Ceritasilat Novel Online

Titik Nol 6

Titik Nol Karya Agustinus Wibowo Bagian 6


Kita jadi bertanya, mengapa bencana begitu besar harus turun di tempat seperti ini" Kashmir sudah babak belur, terisolasi berkat konflik India-Pakistan dan ketakutan akan pertikaian yang bisa meletus kapan saja. Kedua negara malah berlomba
nuklir. Dusun-dusun dibanjiri bedil, seolah memang cuma hukum rimba berdarah yang berlaku di sini. Sebelum gempa, orang asing dilarang masuk tanpa izin khusus, karena ini daerah teramat sensitif. Apakah Tuhan menutup mata terhadap semua derita ini, masih menambahkan dengan gempa yang membinasakan kehidupan" Mengapa dan sejuta mengapa selalu menghinggapi orang dilanda bencana. Mengapa aku" Mengapa harus kami" Mengapa" Oh, mengapa"....
Manusia boleh terus berhipotesis, mencari jawab mengapa bencana harus datang. Ada yang menyalahkan Tuhan dan nasib, ada yang menyalahkan diri sendiri, ada yang menyalahkan orang lain. Ini takdir, karma, azab, atau peringatan Ilahi" Apa pun itu, realita yang dihadapi tetap sama. Bencana tetap datang, suka ataupun tidak.
Kami pasti pulih! Kami bahkan akan pulih lebih cepat daripada Aceh di Indonesia! kata seorang lelaki pengungsi dengan yakin. Hidup harus berjalan, katanya berulang kali, menyinarkan sebersit semangat dari reruntuhan hidup yang porak poranda.
Pengalaman pertamaku bersinggungan paling dekat dengan bencana dahsyat adalah tahun kemarin di Banda Aceh, tepat sebulan setelah tsunami. Puing-puing dan tragedi masih mendominasi. Masjid Raya Baiturrahman masih bertahan di tengah kehancuran total yang mengelilinginya, walaupun dinding pualamnya berhias retak-retak. Bau anyir menusuk hidung ketika aku melangkah di Pasar Atjeh yang luluh lantak. Noda
darah, sobekan baju, bakiak yang kehilangan pasangan dan empunya, sejumput rambut yang terpisah dari kepala. Apakah masa depan dari kehancuran ini"
Di kamp relawan, aku tinggal bersama rombongan dari Jawa Timur. Lelaki gemuk setengah baya yang dipanggil Babe adalah pengusaha di kampungnya, rela meninggalkan bisnis, datang ke Aceh untuk mengabdikan diri bersama relawan lain yang jauh lebih muda, memimpin pekerjaan yang menyeramkan bagi semua orang: berburu mayat. Tujuan kami adalah Bala Krueng, pemukiman padat yang kini berubah menjadi rawa berair keruh berbau amis. Sarung tangan dan sepatu bot sudah terpasang. Tugasku sebagai pendatang baru yang tidak berpengalaman adalah mengguyurkan air mineral ke mulut para relawan. Setidaknya tangan yang bersih tetap dibutuhkan dalam satu tim. Masalah kebersihan ini sangat penting. Infeksi sedikit, salah-salah tubuh sendiri yang harus diamputasi.
R"k... R"k... cepetan. Ono gadis ayu iki lho... (Cepat, ada gadis cantik ini lho), seru seorang relawan yang menemukan jenazah berambut panjang. Relawan lain sigap datang menggapai mayat itu dengan tongkat bambu. Permisi, Mbak, katanya, Bismillahirrahmanirrahim. Ia menarik mayat itu dari genangan. Gagal. Rambut panjang langsung tercerabut dari batok kepala. Dia mengucap maaf berkali-kali pada mayat itu. Sssrrrt... kantong hijau muda ditarik ritsletingnya, jenazah yang tidak mungkin dikenali lagi itu siap dikubur.
Walaupun pekerjaan begitu berat, kutemukan bahwa sesungguhnya relawan adalah orang-orang yang berbahagia. Kebahagiaan menjadi seorang relawan berasal hidup yang menjadi lebih bermakna. Ketika kita membaktikan diri pada sesama, bisa
berguna bagi orang lain walau sesedikit apa, sudah menghasilkan energi positif dalam diri. Semakin besar energi positif itu, semakin besar keinginan kita untuk berbagi. Semakin kita berbagi, semakin besar energi positif yang kita dapatkan. Begitu seterusnya, lingkaran kebahagiaan semakin menguat, karena rasa berbagi yang tak ada habisnya.
Kita datang bukan demi kebanggaan. Kita tanggalkan panjipanji itu di rumah: agama, suku bangsa, negara, ideologi, dan segala macam identitas. Kita hanya dipersatukan oleh semangat kemanusiaan yang sama. Menjadi relawan di daerah bencana adalah pengalaman paling berharga, seketika mengubah pandanganku akan hidup. Ini menyadarkanku bahwa hidup manusia itu begitu rapuhnya. Semua kebanggaan itu, kekuasaan dan kekayaan itu, semua identitas dan topeng-topeng itu, bisa direngut habis dari genggaman kita, manusia yang lemah di hadapan kuasa semesta, hanya dalam sekejap mata.
Memang butuh kekuatan luar biasa untuk bertahan dalam lingkungan seperti ini. Tapi lebih luar biasa lagi para korban yang gigih berjuang. Ketika aku duduk bersama para pengungsi di kemah sempit yang ditinggali lebih dari tiga lusin orang, mereka berkisah bagaimana bisa lolos dari air bah yang lebih tinggi daripada pohon kelapa, tapi kehilangan anak, ayah-bunda, sanak keluarga, rumah, segalanya. Aku lemas, mendengar kisah mereka saja sudah terasa begitu berat, apalagi harus mengalami itu semua. Aku hanyalah pendengar, merekalah tokoh utama kisah tragedi ini. Perempuan tua berjilbab lusuh terus bercerita, sambil membetulkan letak jilbab yang menutup kepalanya, tanpa ekspresi kentara. Pasrah. Menerima. Kesedihan dan ratapan itu telah berlalu, katanya, sekarang adalah waktu untuk meneruskan hidup.
Syukur, Allah masih memberi saya selamat, Bang! Syukur, saya masih hidup!
Bisakah aku masih mengucap syukur jika mengalami bencana seperti mereka" Seketika, di saat yang sama, gempa dahsyat juga mengguncang keluarga kami. Di kamp relawan Banda Aceh, kudengar jeritan histeris Mama di ujung telepon mengabarkan datangnya bencana.
Pulanglah, Nak! Cepat pulang! Papamu kena stroke! Stroke!
Di saat dia terserang penyakit yang mengubah seluruh hidupnya, aku justru gagal berada di sisinya. Dalam kultur Tionghoa, Imlek adalah hari berbahagia, haram hukumnya ada tangisan atau kemarahan. Tapi aku justru datang terlambat, bersujud di sisi ranjang, dengan air mata meleleh. Makanan penyambutan istimewa yang disiapkan sudah dingin, sama sekali tak tersentuh. Aku telah membuat penantian mereka berujung pada kekecewaan. Maaf, maaf, maaf, hanya kata itu yang terucap. Aku tak berani menatap wajah Papa.
Lelaki itu terus menyumpahiku. Durhaka! Anak durhaka! Tak pernah kulihat Papa menangis. Penyakit ini seketika meluluhlantakkan kegagahan, keberanian, kekuatannya. Ambrol sudah semua ketegaran, keyakinan, kepercayaan dirinya. Hilang sudah rasa amannya. Papa yang dulu kekar perkasa, kuat mengangkat bertumpuk-tumpuk peti telur, kini jadi manusia separuh lumpuh. Tangan kiri sudah mati, kaki kiri pun terseok. Berdiri harus dipapah, mandi pun dimandikan.
Bencana mengubah segalanya. Tsunami bertubi-tubi meluruhkan semangat. Hari-hari berikutnya, tak akan sama lagi.
Darah itu seharusnya adalah adik keduaku.
Mama sudah mengandung tiga bulan, pada usianya yang keempat puluh. Gagal menjadi bayi, plasenta dari rahimnya berubah wujud jadi gumpalan pekat yang digerojok dengan beberapa gayung air bak mandi.
Mama membilas paha putihnya, mengusap wajah, menyeka sudut matanya.
Bencana itu menentukan arah hidupku. Pengalaman menjadi relawan di Aceh, walau hanya sekejap, membuatku memutuskan meninggalkan semua yang telah aku raih. Kebangkitan Papa dari ranjang dan belajar berjalan lagi hanya dalam waktu tiga bulan setelah stroke membuatku percaya, keteguhan hati adalah kunci keberhasilan perjuangan hidup. Aceh membuatku yakin, pilihanku mengabaikan gelar insinyur komputer dari universitas adalah terbaik, karena aku jadi bisa belajar langsung dari kehidupan, melihat dunia, dan membagikan kisah-kisah perjuangan umat manusia di berbagai belahan bumi ini pada banyak orang. Dan kini, di Kashmir, terwujudlah cita-citaku untuk kembali menjadi sukarelawan yang terjun di lokasi bencana.
Posku adalah Noraseri, desa mungil di pinggang bukit, sekitar setengah jam perjalanan mobil dari Muzaffarabad, dilanjutkan dua puluh menit mendaki lereng curam. Ketidakbecusanku
sudah terlihat saat mencapai kamp ini. Jalanan gunung yang licin, apalagi sehabis hujan, sungguh susah dijalani. Aku berkalikali terpeleset, justru merepotkan Rashid dan para relawan lainnya. Mereka harus menuntun dan menggandengku saat mendaki. Aku jadi bertanya sendiri, apa yang bisa kulakukan di sini"
Di kejauhan, samar-samar di balik awan terlihat puncak salju Nanga Parbat, gunung tertinggi kesembilan dunia. Suasana misterius menyelimuti perkemahan sukarelawan organisasi Danish Muslim Aid. Dua lusinan orang yang belum kukenal menyambutku seperti kawan lama. Aku dipeluk, dicium pipi kiri pipi kanan, dijamu kari kambing nasi putih mengepul, dalam tenda remang diterangi cahaya lilin. Sekejap saja aku diperkenalkan pada barisan nama baru, wajah baru. Ini Aslam, ini Sohail, ini Anis, ini Hussain, Gul Muhammad, Syed Ijaz Gillani.... Begitu cepat, tak mungkin semua teringat. Mayoritas masih di usia 20-an, tapi tak sedikit pula yang sudah menginjak kepala empat.
Terdengar gemuruh. Bumi bergetar. Aku meringkuk, terbayang tanah akan membelah dan menelanku.
Mereka tergelak. Selamat datang di Kashmir, kata Rashid. Itu tanah longsor, kata yang lain.
Itu tadi cuma missed call. Mereka menggabungkan realita daerah bencana dengan kebiasaan menelepon orang Pakistan yang gemar berhemat. Betapa tepatnya ilustrasi itu. Missed call dari Tuhan. Kalau bukan missed kita semua akan terpanggil sungguhan. Gemuruh longsor sambung-menyambung sepanjang malam. Entah desa mana lagi yang menjadi korban sekarang.
Aku masih terloncat setiap ada gemuruh, tapi akhirnya terlelap juga setelah hari yang sedemikian panjang.
Sudah tiga puluh jam hujan terus turun, baru saja berhenti ketika hari sudah kembali berganti. Langit masih gelap, dibungkus mendung. Dingin begini di Kashmir, paling enak meringkukkan tubuh di balik selimut tebal.
Tapi, tak malukah" Suara sandal diseret-seret sudah memecah keheningan sejak subuh. Dari barisan tenda, satu demi satu tirai tersibak. Para lelaki membawa pot berisi air panas, mengambil wudhu, menggosok gigi dengan batang kayu.
Kerja dimulai. Tugasku sebagai staf dokumentasi dari proyek pembagian material bangunan rumah permanen bagi korban gempa. Untuk survei hari ini, kami mengunjungi empat puluh keluarga di lima dusun: tiga di atas, dua di bawah. Seharian ini sungguh membuatku serasa remuk sekujur punggung. Pengalaman trekking di Kailash dan Annapurna ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan curamnya pengunungan Kashmir.
Setiap keluarga korban dipastikan menawari kami minimal secangkir teh panas, tak jarang juga makan siang dengan menu lengkap. Beberapa hari saja, seisi kampung sudah tahu namaku. Setiap aku lewat, mereka bukan lagi menunjukku sebagai orang asing itu , tapi dengan namaku, Itu si Agosteen! Agosteen! Sini! Ayo ngobrol. Foto-foto. Minum teh. Saat senja, giliran para penduduk kampung datang menyambang tenda kami. Mulai dari dokter sampai murid SD, dari tukang batu sampai pejabat partai. Ramai sekali. Kalau tidak hujan, mereka pasti bermain kriket (yang sudah jadi olahraga wajib di Pakistan). Atau bermain kartu remi di dalam tenda. Atau bernyanyi bersama, mengobrol, bicara tanpa henti. Para relawan sibuk menyalin
data ke buku-buku tebal, dan setelah itu, mengajariku menghafalkan puisi-puisi Urdu.
Lama-lama, aktivitas, kesibukan, keceriaan ini pun menjadi rutinitas. Masih adakah air mata" Di daerah bencana, yang kutemukan justru adalah optimisme bahwa semua tragedi itu pasti akan terlalui.
Mama hanya menatapku sekilas. Selesai!, katanya lirih.
Selesai, semua kembali normal, seperti orang yang baru saja buang air. Ya, cuma begitu saja! Dia menegakkan badan, berjalan kembali ke toko di depan, duduk di kasir, melanjutkan kewajibannya melayani para pembeli. Rutinitas bisnis berlanjut, seolah tidak ada apa-apa tragedi telah terjadi. Selesai!
Mungkinkah hidup kembali normal" Seperti sediakala" Kampung halaman yang indah kini porak poranda, nirwana berubah jadi neraka. Kashmir yang diberkahi kesuburan dan nasinya tersohor sebagai yang terlezat, kini harus hidup dari bantuan pangan. Hidup terjungkir-balik hanya dalam sebuah pagi yang kelam.
Kamu harus cepat kawin, kata lelaki tua dengan jenggot putih yang tajam-tajam seperti jarum.
Kenapa" aku balik bertanya, sembari membayangkan, lelaki itu akan memberi petuah tentang pentingnya berkeluarga dalam perjalanan hidup ini.
Karena kalau tidak kawin, dan kamu kena gempa seperti kami, kamu tidak akan dapat seng untuk bikin rumah. Tak peduli berapa umurmu, pokoknya kalau belum punya istri tak bakal dikasih seng! Sudah begitu aturannya!
Ia tergelak karena humornya sendiri. Kamu sudah waktunya kawin. Kalau di Pakistan, sebentar lagi kamu kedaluwarsa. Apa" Kamu baru mau kawin sepuluh tahun lagi" Sudah kedaluwarsa! Expired! Tawanya semakin menggelegar ketika jari telunjuk yang diacungkannya berubah dari tegak lurus pelan-pelan menjadi terkulai.
Pak Dokter, alias Doctor Sahab, begitulah ia dikenal. Aku sempat mengamininya sebagai dokter setelah ia menceramahiku tentang berbagai macam obat diare dan antibiotika. Ternyata dia bukan dokter, melainkan tukang obat yang kemudian jadi sopir ambulans. Karena pekerjaannya yang tidak jauh-jauh dari urusan kesehatan, warga kampung gampang saja menyebutnya: Pak Dokter. Orang tua ini tak pernah kehabisan bahan lelucon. Walaupun sudah uzur, kalau urusan guyonan, main kartu, sampai kriket, dia jagonya. Bualannya setinggi langit. Aku dulu satu sekolah dengan Presiden Sukarno. Jadi jangan lupa, kamu mesti kirim songkok dari Indonesia. Paling sedikit lima puluh biji. Kita bikin Sukarno-isasi, nanti penduduk Noraseri semua akan jadi seperti Sukarno, sahabat karibku itu.
Aku pernah mengiranya adalah lelaki tua mata keranjang, karena tiap hari leluconnya tak jauh-jauh dari kawin dan cewek, selalu minta dikenalkan gadis-gadis muda Indonesia yang montok-montok. Baru kemudian aku tahu, Pak Dokter masih
trauma karena istrinya meninggal tertimpa bangunan rumah yang ambruk. Begitu ia teringat kepedihan itu, ia selalu mengalihkan pembicaraan ke guyonan. Tawa membahana itu sebenarnya hanya untuk menutupi luka di hati.
Sekarang Pak Dokter tinggal bersama seorang anak lelaki, menantu perempuan, dan cucu berumur dua tahun. Dengan tawanya yang hangat, Pak Dokter menyambutku di pintu rumahnya yang sederhana. Bibirku bergetar saat menyaksikan apa yang dihidangkannya di hadapanku: lusinan potongan ayam bersimbah kuah di piring besar.
Pak Dokter telah menyembelih semua ayamnya hanya untuk menjamuku yang datang seorang diri. Kecuali satu ekor ayam betina, katanya terkekeh. Karena kalau ayam betina tidak ada, kami tak bisa makan telur lagi.
Terlalu berlebihan! Dia sendiri tak sanggup makan ayamayam itu, katanya karena sakit jantung dan darah tinggi. Semua itu untuk aku, relawan asing yang harus merasa malu karena tak bisa mengimbangi kebaikan hati mereka.
Aku merasa tak layak berada di sini. Mereka sungguh adalah para korban yang terhormat.
Mubasshar hanyalah satu di antara jutaan warga Kashmir yang menjadi korban dari bencana yang menjungkirbalikkan kehidupan. Di hari malapetaka itu, Mubasshar menyaksikan ribuan mayat berserakan di Muzaffarabad. Rumah-rumah ambruk tinggal puing-puingnya. Suara ratapan menusuk-nusuk. Ini kiamat, batinnya. Tanpa pikir panjang, dia berlari pulang,
ke kampung halamannya Noraseri di balik bukit. Dia berlari dan berlari, sementara bumi masih mengamuk dan mengguncang. Dia menembus hutan, longsor tebing, lereng gunung ambrol. Tanpa makan, tanpa minum, dua hari penuh. Dia terus berlari, air mata bercucuran. Sampai di kampungnya, Mubasshar menemukan tiga adiknya mati. Yang dua sudah dikubur. Adiknya yang paling kecil, baru saja ditemukan di bawah reruntuhan rumah. Adik malang, sama sekali tak luka. Seperti tidur lelap, tapi tak bernapas. Hari itu juga dia dikubur.
Sejak itu, Mubasshar tak pernah lagi mencukur jenggotnya, sampai-sampai sekempal jenggot lebat itu membuatnya tampak seperti pertapa, dan teman-temannya menjulukinya sebagai Sufi . Tapi kini pemuda dua puluh dua tahun itu sudah berdamai dengan masa lalu itu. Dengan bangga dia tunjukkan padaku rumah permanen yang dibangun dari bahan bangunan yang disediakan oleh organisasi. Rumah mungil itu sudah hampir jadi, dinding-dindingnya dicat merah menyala. Bangunan ini adalah kerja keras bapaknya, juga dirinya dan adik-adiknya. Setiap hari mereka berkawan dengan paku, kayu, martil, gergaji. Inilah pemandangan di seluruh Kashmir: rumah-rumah dibangun, semangat dibangkitkan kembali dari puing-puing reruntuhan.
Inilah rumah baru kami, harapan kami, kata Mubasshar, penuh kebanggaan. Sebentar lagi, mereka sudah tak perlu lagi menghabiskan hidup di tenda. Di bawah terpal, musim dingin terasa sangat dingin, sedangkan musim panas begitu membakar. Tapi di rumah baru nanti, tentunya lebih nyaman. Memang ini tidak ada apa-apanya dibanding rumah besar mereka yang hancur itu. Tapi kita tidak bisa terus terpaku pada masa lalu, bukan" Hidup harus terus berjalan! Mubasshar berucap penuh yakin, Itu artinya bangkit dari kehancuran. Kita tak bisa terusmenerus memandang diri sebagai korban, karena kita adalah subyek yang bisa menentukan nasib sendiri. Tak ada guna menyesali nasib, menyalahkan bencana. Masa lalu adalah sejarah, tetapi hari ini adalah kenyataan. Kita tak bisa mengubah sejarah, tapi kita bisa berjuang untuk mengubah takdir hari esok.
Mubasshar memamerkan ratusan foto kenangan masa lalu itu. Yang paling membuatku terpana adalah foto ibu mereka menggendong si adik bayi, yang saking sipitnya sampai mereka panggil sebagai si bayi China .
Kamu tahu, sejak hari pertama kamu datang ke tenda kami untuk survei, malamnya Ibu selalu menangis. Melihat wajahmu, Ibu teringat bayi China kami itu. Ibu yakin, kamu adalah kiriman Allah untuk menggantikan anak itu.
Aku sama sekali tak pernah bertukar kata dengan ibu Mubasshar. Ini karena ketatnya adat di Pakistan. Aku hanya melihat sekelebat, sepasang mata di balik cadar yang bersembunyi di balik kain terpal tenda, lalu menghilang ke dapur.
Tapi Ibu tahu segala-galanya tentangmu, kata Mubasshar, Ibu tahu waktu kamu sakit perut, waktu kamu terpeleset, waktu kamu kehabisan visa. Setiap gerak-gerikmu tak lepas dari perhatiannya. Dia tahu semua, walaupun kamu sama sekali tak pernah bicara langsung dengannya. Itu karena kami, anak-anaknya, yang selalu bercerita segalanya pada Ibu. Ibu selalu mendengar penuh perhatian.
Naluri seorang ibu sanggup mendengar desah angin sekalipun.
Ibu Mubasshar masuk ke tenda. Ini kali pertama aku bertatap pandang dengannya. Tak banyak percakapan. Yang ada cuma kekikukan, senyum kecil, setitik air di ujung mata. Wajahku ini, mata sipit dan hidung pesek, tak sengaja membuka kembali luka lama.
Bagaimana ibumu di rumah" tanyanya.
Baik. Dia baik-baik saja, kataku, seraya menunduk, menghindari tatap matanya, dipenuhi rasa bersalah terakhir kali aku menelepon Mama adalah dua bulan lalu.
Ibu Mubasshar tersenyum sekilas sambil mengusap mata yang sembap. Tak peduli bagaimana reaksiku, dia sudah menanggapku sebagai anaknya sendiri. Tak lama kemudian, dia kembali menghilang, kembali menjadi makhluk tak kasatmata yang selalu mengawasi aku.
Tak peduli itu di Pakistan atau di Indonesia, perasaan ibu terhadap anak tetaplah sebuah cinta yang berat sebelah.
Tanpa keluh kesah, tragedi itu dikuburnya, dilupakannya.
Sakit hatinya, kesedihannya, air matanya, hanya disimpannya seorang diri.
Selama itu pula, perasaan dan dukanya cuma berupa angin lalu buatmu. Tak pernah kaupedulikan, senantiasa terlupakan. Kau anggap dia selalu kuat, berhati baja. Kau kira dia bakal selalu ada dan tetap ada untuk dirimu, untuk selama-lamanya.
Ya, kau. Sungguh kau durhaka. Kau menangis.
Tidakkah ini sudah terlambat" Kau menyesal tak pernah mengenalinya. Kau bahkan tak pernah kenal dirimu sendiri.
Ini sungguh bukan Pakistan yang selama ini kukenal. Di sekelilingku, lima perempuan dengan rambut tergerai yang tak tertutup kerudung bercanda ria dengan begitu bebasnya. Beberapa orang dari mereka bahkan mencubit pipiku, memasangkan kerudung di kepalaku, mengajariku mengucapkan kalimat syahadat, tertawa terbahak-bahak sampai membahana. Kami berada di kamar tidur yang diterangi lampu petromaks remangremang.
Perjodohanku dengan Pak Haji, yang baru kukenal hanya setelah ia terbujur kaku sebagai jenazah di dipan, ternyata belum berakhir. Pak Haji memang bukan satu-satunya haji di kampung ini. Dia dijuluki demikian karena sudah naik haji tujuh kali, dulu pernah tinggal tiga puluh tahun di Saudi Arabia, sehingga orang desa menyebut keluarga mereka sebagai Arabwallah, alias orang Arab . Pak Haji punya delapan anak. Anak pertama laki-laki. Bagi orang Pakistan, punya anak lelaki adalah kebanggaan luar biasa. Pak Haji dan istrinya masih ingin punya satu anak lelaki lagi. Maka lahirlah anak kedua. Ternyata perempuan. Mereka tidak menyerah. Ketiga, eh... perempuan juga. Keempat, lagi-lagi perempuan. Kelima, perempuan lagi. Keenam, perempuan. Ketujuh dan kedelapan, masih juga perempuan. Mereka pasrah. Delapan sudah jadi angka maksimal.
Di sekelilingku ada putri-putri Pak Haji: Hafizah, Samira, banyak lagi yang lain, plus para keponakan yang tak henti main kejar-kejaran dan bersorak sorai. Sering kali dupata yang menutup kepala kaum perempuan itu melorot, menampilkan rambut hitam yang tergerai panjang. Mereka tidak kikuk, malah terkikik geli.
Sudah berapa bulan ini aku sama sekali tak bercakap dengan perempuan. Jantungku berdebar keras. Serbasalah. Para relawan mengingatkan bahwa menatap wajah perempuan adalah dosa besar, menyebut nama mereka adalah ketidaksopanan. Kini aku bukan hanya menatap, aku malah tertawa bersama mereka, bersentuhan langsung. Makhluk tabu yang selalu disakralkan keberadaannya itu kini tampak begitu hidup, begitu manusiawi di hadapanku.
Tempat yang paling tersembunyi di keluarga seperti ini sungguh bukan tempat yang bisa ditembus lelaki, apalagi lelaki asing. Para perempuan dalam keluarga Pak Haji ini lebih fleksibel terhadap tradisi, mungkin ini berkat pengaruh pemikiran Pak Haji yang sangat moderat. Dia mengizinkan istrinya bekerja sebagai perawat dan beberapa putrinya bahkan sampai tamat universitas. Walaupun pendidikan tinggi bagi perempuan desa cukup langka di Pakistan, ini sama sekali bukan hal luar biasa bagi keluarga ini, karena Pak Haji tak pernah memaksa satu pun perempuan di keluarganya untuk menyembunyikan diri di balik kungkungan purdah.
Almarhum Bapak sangat ramah, hampir setiap malam, keluarga kami pasti menjamu orang. Kalau misalnya waktu makan malam tidak ada tamu yang datang berbagi makanan dengan kami, Bapak justru mengeluh. Ada yang kurang, ada rasa bersalah, kenang Hafizah.
Aku tertegun. Pak Haji justru merasa bersalah kalau tidak kedatangan tamu yang bisa dilayani. Masih adakah keramahtamahan dan semangat berbagi yang sekuat ini di zaman sekarang, di mana manusia-manusia berpacu mengumpulkan harta demi memperkokoh rasa aman masing-masing" Di zaman yang cuma ada aku, aku, dan aku ini"
Rumah keluarga Pak Haji dulunya pasti besar sekali, setidaknya ada enam kamar. Sekarang yang tersisa adalah rumah kayu sederhana dengan lempengan seng. Mereka kehilangan hampir segalanya: rumah, mobil, harta benda. Para perempuan memasak di lapangan terbuka, bahkan dapur pun mereka tak lagi punya.
Bagi orang berada, bencana ini lebih menghancurkan. Mereka kehilangan segala kerayaan kekayaan, segala kehormatan dan kebanggaan, lalu diempaskan kembali ke titik nol, keadaan yang tak jauh berbeda dengan semua orang lain di sekitarnya. Rasa aman yang dibangun bertahun-tahun itu pun ludes seketika. Rumah-rumah dari batu gunung yang berat ambruk dan rata, menikam dan menewaskan putri kesayangan Pak Haji, menimbun semua memori kebanggaan masa lalu yang remuk redam.
Tak pernah kami bayangkan hidup seperti ini. Hidup dari uluran tangan orang lain. Hafiza menuangkan teh ke gelas kecil, dan menyajikannya untukku. Pak Haji selalu mengajarkan kami membantu orang. Tapi sekarang, kami malah jadi orang yang butuh bantuan.
Bu Haji kemarin minta tolong aku mencarikan seng tambahan untuk menutup dapur mereka. Malu, ya rasa malu begitu kuat. Bu Haji meminta seng dengan kalimat yang pendek, ringkas, langsung diakhiri tanpa penjelasan, lalu mengalihkan pandangan cepat-cepat. Meminta, bagi mereka adalah mengemis, sesuatu yang menginjak-injak martabat dan kehormatan. Dari keluarga yang dulunya suka menjamu kawan dan tetangga, kini
keluarga Pak Haji harus hidup dari sumbangan beras, minyak, bahan makanan. Tapi untuk baju sumbangan, apalagi bekas: tidak. Bagi mereka memakai pakaian sumbangan adalah hal yang paling memalukan. Pasti jadi bahan olok-olok orang sekampung.
Melihat langsung bagaimana alur barang sumbangan bencana itu sampai ke tangan para korban, sungguh aku pun jadi malu. Aku termasuk orang yang menyumbang barang-barang bekas. Lihat! Para korban masih menyajikan yang terbaik untuk menghormati tamu. Sedangkan aku yang hidup berkecukupan malah cuma mengulurkan barang bekas" Sharam. Sharam. Sharam. Oh, betapa memalukannya. Adakah yang lebih memalukan daripada ketidakpedulian"
Ini adalah sebuah sisi lain Mama yang tak pernah aku kenal.
Teriakan Mama tengah malam mengagetkanku yang tertidur di bawah kolongnya. Tolong... tolong, tolong! Ma! Tolong!!! Tangannya menggapaigapai, badannya gemetaran.
Perlahan dia membuka mata, aku bertanya kenapa.
Rasa sakit kembali datang menyiksanya, kali ini ditemani ketakutan. Mimpi... mimpi... Cuma mimpi..., katanya, sambil mencengkeram tanganku kuat-kuat.
Sedikit tenang, dia pun memulai kisah tentang sebuah sesal yang tak pernah sirna.
Kehangatan keluarga Pak Haji ini membuat tidur malamku ditemani mimpi yang sendu: aku pulang, merangkul Papa yang berjuang melawan stroke. Pulang. Rumah. Keluarga. Betapa aku merindukan kehangatan yang sudah lebih dari enam tahun kutinggalkan. Aku seperti makhluk yang hidup merana. Sendiri, di tengah negeri-negeri asing. Kawan-kawan baru memang datang dan pergi, tapi aku tetap dalam kesendirian. Enam tahun sudah orangtuaku kehilangan anak di sisi mereka. Dibanding keluarga Pak Haji, keluarga kami begitu sunyi, sepi, nyaris tanpa tawa. Bahkan ketika aku masih tinggal bersama mereka, kami berkesempatan makan bersama dalam setahun cuma dua kali Tahun Baru Imlek dan Masehi karena Papa dan Mama selalu sibuk di toko. Di tengah perjalanan musafir, setiap terjangan homesick adalah tonjokan yang sangat menyakitkan.
Samera si kakak merangkulku. Hafizah si adik menghiburku. Jangan sedih. Kamu sudah punya keluarga di Pakistan. Kamilah saudara-saudarimu di tanah Kashmir ini.
Aku tersenyum tipis. Aku tahu, rumahku sekarang ada di mana-mana. Ironisnya, ini sekaligus juga berarti, rumahku tidak di mana-mana. Tak ada satu tempat yang benar-benar bisa kusebut sebagai rumahku yang sejati.
Keluarga adalah unsur penting dalam kehidupan di Pakistan. Ini terlihat dari kultur mereka, hubungan kekerabatan mereka, jumlah anggota keluarga yang besar-besar, dan pertanyaan-pertanyaan mereka yang seputar hubungan kerabat dan keluarga. Di hari ini, empat puluh hari sesudah meninggalnya Pak Haji, rumah ini pun menjadi sangat meriah. Semua sanak saudara dan kerabat berdatangan untuk memperingati hari terpenting yang mengakhiri masa perkabungan. Empat puluh hari, pembacaan doa dan pelantunan ayat-ayat Al Quran akan digelar, agar arwah sang bapa beristirahat dengan tenang di sisi-Nya.
Ini adalah hari besar, dirayakan seperti pesta, justru menjadi kesempatan berbahagia yang cukup langka. Kapan lagi sanak saudara bisa berkumpul lengkap seperti sekarang" Kerabat, paman, menantu, cucu, sampai tetangga dan saudara-saudara dari para tetangga pun berdatangan, bukan hanya dari penjuru Kashmir, tapi juga dari Punjab sampai Sindh.
Pukul empat subuh, orang-orang sudah mulai sibuk. Setelah mendirikan salat, mereka membaca ayat suci hingga matahari benar-benar terbit. Kaum perempuan sibuk membuat roti chapati, membersihkan rumah, menyalakan dupa untuk mengharumkan setiap kamar. Para lelaki sibuk membantu koki menyembelih ayam, memasak nasi biryani dan kari di panci raksasa, di lapangan terbuka di samping tembok yang sudah bolong kena gempa. Setelah pembacaan kitab suci, maka tibalah waktu makan besar. Para lelaki duduk berjajar di samping kain panjang, terhidang berbagai santapan lezat.
Doa dibacakan, pesta pun dimulai.
Nasi biryani yang tersaji langsung diserbu tetamu. Piring demi piring terus mengalir ke tengah barisan tamu lapar. Lusinan ayam yang berkokok nyaring sepanjang pagi tadi kini sudah berakhir riwayatnya di atas piring bersama nasi dan bumbu masala.
Semua berpesta. Tawa membahana. Masa berkabung usai sudah.
Tergagap, dia bercerita. Dalam ruang gelap, dia terbaring berjajar bersama ibunya yang sudah lama meninggal. Ada sebuah pintu, ada cahaya putih menyilaukan. Bayangan seram samar-samar. Dia bertanya: Ma, ada siapa itu di luar" Tapi ibunya tak menjawab, hanya merangkulnya erat-erat. Dia menjerit memohon pertolongan, sampai akhirnya terbangun dengan keringat dingin yang membasahi seluruh ranjang.
Aku bergidik mendengar isi mimpinya, berharap mimpi dirangkul orang mati di depan pintu bersinar ini bukan sebuah irasat.
Mama menangis tersedu. Ming, pergilah ke Jakarta. Pergilah ke kuburan Emak. Kamu sembahyang, wakili aku minta maaf, minta ampunkan semua dosaku. Aku anak durhaka.
Memori perkabungan itu tak kunjung usai. Ia mengatur napas. Dari slang yang menjulur dari lubang hidungnya keluar luapan cairan kuning kental menjijikkan.
Mentari pagi menyembulkan sinar di balik barisan pegunungan Kashmir. Puncak tinggi Nanga Parbat berdiri gagah penuh misteri. Permadani hijau membungkus bumi. Bukit dan gunung tersebar sejauh mata memandang, seperti kerut-merut yang tak beraturan namun tetap berharmoni. Dari kaki gunung hingga ke puncak-puncak terjal yang seakan tak mungkin didaki itu, ternyata ada ribuan noktah putih bertaburan. Manusia merayap di sekujur tubuh pegunungan, membuat perkampungan yang hanya sebesar noktah saja jika dilihat dari angkasa. Bak perahu nelayan yang terserak di tengah samudra luas, bak titik bintang yang memenuhi langit malam. Noktah yang menyelimuti sekujur gunung menyiratkan kebesaran Tuhan dan kerdilnya manusia. Tapi setiap noktah kecil ini punya ceritanya masingmasing. Aku hanyalah satu titik mikroskopis tak berarti di sebuah noktah bernama Noraseri.
Musim panas menjelang. Angin masih dingin menerpa wajah. Perkemahan kami sudah kosong. Yang tersisa adalah tanah lapang dengan garis-garis bekas tenda di atas rumput. Tak lama lagi, garis-garis ini pun akan lenyap, dan kelak, tak akan terbayangkan bahwa pernah ada perkemahan kami di sini.
Begitulah hidup, ada yang datang, ada yang pergi. Sering kali tanpa jejak tersisa. Proyek kami selesai di sini, ketika penduduk sudah mulai mampu menata hidup sendiri, bangkit menjalani hari-hari normal yang mandiri. Tujuh minggu telah kulewati sebagai sukarelawan, inilah saatnya kami tinggalkan Kashmir.
Pak Dokter merangkulku. Jenggot putih lebatnya menyisakan memori sensasi gatal di pipi dan leher. Jangan lupa, topi hitam ala Sukarno ya, bisiknya. Semalaman ibu Mubasshar menangis terus ketika tahu aku akan pergi, mungkin takkan kembali lagi. Dia memelukku, mencium keningku, mengelus kepalaku, mengusap matanya yang basah. Semua penduduk desa yang lain melambai-lambaikan tangan di kaki bukit. Diawali dari ratapan tangis di samping ranjang jenazah Pak Haji, diakhiri dengan perayaan akbar dan sukacita yang mengikhlaskan kepergian Pak Haji, tujuh minggu sebagai sukarelawan sama sekali bukanlah waktu panjang.
Selamat tinggal, Noraseri. Langkah kakiku teramat berat.
Aku ambruk lagi. Pakistan begitu membakar. Badai panas yang menghantam provinsi Punjab telah menewaskan tiga puluh orang di Lahore dan Sialkot. Tak kurang-kurang, lima puluh derajat Celcius. Rasanya seperti disetrap berdiri sehari penuh di samping oven karatan punya Mama yang sibuk menyiapkan kue Lebaran atau Imlek. Di sini, seluruh negeri tampaknya sudah menjadi oven raksasa. Kami semua mendidih.
Sekujur tubuhku dihantam kepenatan tak tertahan. Aku baru saja semalaman tersiksa di atas kereta api ekspres Bahauddin Express yang sama sekali tidak ekspres, malah terlambat berangkat enam jam, ditambah perjalanan molor sampai sembilan jam. Kereta penuh sesak. Saking sesaknya, di bawah kakiku masih ada lusinan tas dan karung, plus bayi-bayi yang tidur lelap. Aku duduk di kursi sempit pinggir jendela, menghitung mundur empat belas jam yang lambat merambat. Tak mungkin tidur. Walaupun aku terbiasa tidur sambil duduk, tetapi tak pernah duduk sambil mengangkat kaki tinggi-tinggi sepanjang malam,
sambil memeluk ransel dan tas lusinan kilogram. Iri aku memandangi bayi-bayi di bawah kaki yang nyenyak tanpa dosa.
Punjab yang datar dan hijau kini digantikan Sindh yang datar dan gersang. Dunia padang pasir menyambut. Setelah melewati kota berbau pesing dan dihiasi jalanan bolong bernama Hyderabad yang dulu terkenal sebagai Paris of India karena konon bahkan jalanannya sampai berbasuh harumnya wewangian kini aku terkesima memandangi barisan pohon palem di tengah kegersangan tanah kuning berpasir. Dan wangi" Aroma kuah kari dan goreng-gorengan berminyak yang dijual pedagang jalanan justru membuatku mau muntah.
Sekujur tubuh remuk rasanya. Pundak sakit. Kepala berat. Kerongkongan kering kerontang. Perutku bergejolak. Di perhentian terakhir, kota padang pasir Umerkot yang berhadapan langsung dengan gurun Tharparkar, aku terkapar.
Sampai di titik ini, energi telah begitu menipis. Bacaan Safarnama semakin menjadi kisah monolog. Tanggapan-tanggapan dari mulutnya menjarang. Cuplikan-cuplikan memori yang tebersit di benak pun berkurang. Haruskah kuteruskan bacaan"
Mata itu memang terpejam. Wajah itu memang meringis dalam perjuangan menahan siksaan. Rintihan sesekali terdengar.
Tapi kalau aku berhenti bercakap, tangan itu menarik-narik bajuku, lalu menggenggam lenganku erat-erat.
Seolah dia berkata, teruskan cerita perjalanan ini.
Ketika aku membuka mata, kulihat seorang bocah kurus dua belas tahunan tersenyum membawa nampan.
Ini es gula, ini sup tomat, ini obat, katanya. Tomato and potato.
Masih kuningkah mataku", aku bertanya.
Masih, jawabnya, Kamu tidur saja, tapi jangan lupa minum obatnya.
Obat itu berupa bubuk putih yang kecut bukan kepalang. Katanya obat ajaib, obat homeopatic yang aku pun tak paham apa itu sebenarnya, sudah didoakan dengan jampi-jampi mujarab dukun Hindu. Mataku sampai terpicing-picing dan kepalaku sampai bergedek-gedek sendiri saking amburadulnya rasa serbuk putih itu.
Madan meninggalkanku di kamar luas ini, membiarkanku sendirian dalam sunyinya perenungan dan penantian. Aku menatap baling-baling kipas angin yang berputar lambat. Kota ini panas dan gersang, tapi tampaknya Dia sudah sengaja mengatur agar aku terkapar di sini. Bukan di hiruk pikuknya kota-kota kuno di Punjab, di dalam sesaknya kereta, atau di tengah pasar Hyderabad. Tapi di sini, di tengah keluarga besar Om Parkash Piragani.
Jatuh, bangun, jatuh lagi, bangun lagi... perjalanan hidup adalah proses jatuh-bangun terus-menerus. Sekali jatuh, aku masih mampu bangkit. Tetapi berkali-kali jatuh" Masihkah aku sanggup mengumpulkan semangat melanjutkan langkah" Kawan lamaku, si hepatitis, kembali datang menghinggap.
Dari cek darah kemarin, angka SGPT yang seharusnya di bawah 40 kini melonjak menjadi angka fantastis 1.355. Lebih dari tiga puluh kali lipat! Sempat kukira data itu salah tulis belaka, tapi ternyata benar adanya. Hingga hari ini, aku tak tahu jenis apa hepatitis yang kuderita. Kalau A, seharusnya tidak kambuh lagi seperti sekarang. Kalau B, ada yang bilang jangan-jangan nanti jadi kanker. Apakah C" Atau D" Tak seorang pun bisa jawab.
Penyelamatku adalah Parkash, seorang kawan baru, yang selalu menenangkanku dari pikiran-pikiran liar. Aku baru pertama kali berjumpa dengannya di Umerkot ini, dan langsung ambruk di hadapannya. Lelaki tegap ini memboyongku ke rumahnya walaupun ini adalah sesuatu yang cukup langka di Pakistan. Di daerah perbatasan yang dijuluki sebagai Little India ini, aku merasa seperti masuk kembali ke bab India yang baru saja kulewati, di mana garis batas antara lelaki dan perempuan bukan lagi belenggu utama. Sebagai minoritas Hindu, tak ada pantangan bagi Parkash untuk membiarkan kaum perempuan keluarganya terlihat olehku. Ia menganggapku sudah bagian dari keluarganya sendiri, walau baru sekali ini berjumpa. Parkash sedikit pun tak takut denganku, tamu yang datang-datang di hari pertama sudah bawa penyakit. Ia malah menyuruhku mengamati matanya lekat-lekat.
Aku terperangah. Mata Parkash begitu kuning, seperti cat kuning yang dioleskan ke bola mata. Kuning yang begitu pekat. Dia pernah menderita hepatitis B, katanya, yang saking parahnya sampai harus terbaring di ranjang enam bulan penuh, dia bahkan tidak tahu apakah masih akan bertahan hidup. Toh, ternyata bisa, walaupun kuning itu masih membekas di matanya sampai hari ini.
Apakah mataku juga akan jadi seperti matamu" Kuning pucat dan redup"
Dia tergelak, berkata, Bahkan semua orang memuji indahnya mata kuningku ini!
Aku akui, semakin dipandang, mata kuning Parkash memang indah, bukan kuning yang suram. Parkash telah melewati tahapan bencana dahsyat yang datang mendadak, lalu tahapan bangkit kembali dari bencana, dan kini sebagai pekerja sosial dia giat berbagi semangat dengan orang-orang yang menghadapi bencana hidup. Betapa bencana demi bencana yang dialaminya itu justru memberinya kekuatan dan kepercayaan luar biasa. Beberapa tahun lalu, Parkash kehilangan bayi pertamanya karena penyakit. Di negeri dengan fasilitas kesehatan minimalis ini, nyawa manusia begitu rentan penyakit-penyakit tak terduga. Parkash dan istrinya menanti kelahiran anak kedua, sebagai pengganti bayi mungil yang selalu dikenang itu. Setelah sembuh dari hepatitis, Parkash rajin berlatih spiritual, yoga, teknik pengaturan napas. Pernah dia melewatkan tiga bulan penuh tanpa sedikit pun makanan maupun setetes minuman. Dia bisa menyerap saripati energi dari udara bebas, seperti halnya kesaktian orang-orang suci Hindu.
Kamu harus istirahat total. Jangan pikir macam-macam. Tidur saja!
Berapa lama" Berapa lama pun kamu mau. Rumah ini adalah rumahmu. Kamu bisa tinggal di sini selama-lamanya. Oh ya, kamu sudah lapar lagi" Mau makan tomato and potato"
Sesungguhnya aku sangat iri pada keluarga besar Parkash. Dan rumahnya ini... oh betapa besarnya, seperti hotel dengan
barisan puluhan kamar yang mengelilingi lapangan terbuka. Tidak main-main, jumlah penghuninya lima puluh dua orang. Semuanya sekeluarga. Ini sudah biasa di Pakistan, katanya. Lima puluh dua orang dalam satu rumah! Tak perlu kau tanyakan betapa ramainya setiap hari. Keluarga Parkash bermunculan satu per satu seperti parade, atau kontes kecantikan Abang- None. Lelaki dalam jubah shalwar kamiz, barisan perempuan dalam balutan sari yang warnanya begitu glamor. Kemudian anak-anak. Jumlahnya lusinan. Ada yang mengintip malu-malu, ada yang sembunyi-sembunyi sambil menyimpan hasrat untuk menowel tanganku. Sejumlah bocah sangat hiperaktif, terutama si bocah lelaki lima tahun yang badan dan punggungnya berbulu lebat serta lahir waktu gerhana bulan (ditengarai berhubungan erat dengan sifat hiperaktifnya), bisa melakukan hal-hal tak terduga, seperti: main sepak bola di kamar, melempar-lempar kasur, berjoget disko di atas tubuhku yang terbaring lemah.
Seminggu penuh berlalu tanpa aktivitas. Waktu serasa terbang, karena lebih dari lima belas jam dalam sehariku hanya untuk tidur. Kuning di mataku sudah mulai memudar, tapi kuning ini justru membekas pada orang-orang serumah ini. Kalau engkau datang ke sini, coba tanyakan pada kelima puluh dua orang di keluarga besar Piragani, kata apa yang paling mereka ingat dariku, sekaligus kata yang paling menyebalkan. Jawabnya pasti: pilia, alias kuning. Setiap hari, setiap jam, sambil menunjuk ke mata, aku selalu bertanya ke siapa saja: Masih kuning" Masih kuning"
Dan mereka, mulai dari bocah balita sampai nenek-nenek, akan serempak menjawab: Pilia nehi! Tidak kuning! Lalu tawa pun meledak. Tapi akhirnya semua bosan, sampai
cermin mungil yang aku pakai untuk memandangi wajah disembunyikan entah ke mana.
Sepuluh hari, aku memandang lekat-lekat cermin di sudut ruangan. Kali ini aku sudah bisa tersenyum kecil. Pilia nehi. Benar-benar pilia nehi.
Di mana kampung halamanku" Itulah nirwana yang indah Di sana ada istana Ibunda Bahagia surgawi senantiasa
Mama menggumamkan lagu kesukaannya itu di tengah penderitaan yang hina. Mama memuntahkan cairan kuning kehitaman bagaikan tinja, baunya pun seperti tinja, dari mulutnya yang meringis menyembunyikan jijik. Aku menadahkan baskom plastik, sementara hati tak tega melihat.
Dia menderita, tapi tetap berwibawa. Hanya mengusap mulut dengan tisu.
Matanya kembali terpejam. Mulutnya terus menggumam. Di mana kampung halamanku" Itulah nirwana yang indah....
Kau mungkin bertanya, masih adakah harapan dari tempat segersang dan sebinasa ini"
Layangkan pandangan sejauh-jauhnya. Yang kaulihat hanyalah pasir kuning di segala penjuru. Di utara, di selatan, di timur, di barat, gundukan kekeringan dan kebinasaan memenuhi
semua garis cakrawala. Mentari terik bersinar, kerongkongan berontak oleh dahaga yang membuat nyeri. Air ludah pun tak cukup membasahi rongga mulut. Kulit berkerak-kerak. Debu melekat di sekujur tubuh, bahkan menyeruak masuk sampai ke lubang hidung dan telinga, terasa sampai tenggorokan dan paruparu.
Kematian. Kata itu bukanlah fatamorgana di sini. Tulang-tulang keledai teronggok di atas gundukan pasir, sedang sapi-sapi yang tak bersuara hanyalah kerangka balung dibungkus kulit, menampilkan barisan rusuk yang nyaris mencekung. Mereka juga menanti kematian yang sama. Tak lama lagi, onggokan tulang baru akan terpapar di gundukan pasir.
Selamat datang di Thar, alias Tharparkar. Selamat datang di kekeringan tiada berakhir. Selamat datang di gurun gersang yang dihuni sejuta manusia, tersebar di delapan ratus desa, paling padat di antara gurun-gurun dunia. Di atas peta, gurun Thar tak lebih dari seonggok wilayah kerontang yang terbentang lebih dari empat ratus ribu kilometer persegi, melintang perbatasan India dan Pakistan. Namanya membawa aroma kekeringan dan kegerahan, namun kegarangannya juga diiringi puja dan puji. Di padang gurun inilah budaya Rajasthan, Sindhi, Gujarati berpadu, menghasilkan harmoni paduan warna membara di tengah muramnya gurun. Pujangga Urdu ternama, Mazhar-ul-Islam pernah menulis, Thar dan hatiku adalah dua nama untuk gurun yang sama. Thar adalah jantung. Thar adalah jiwa. Thar adalah kebanggaan. Dan hatiku pun adalah gurun yang gersang, kering, binasa.
Kebinasaan macam apa yang masih menghidupi sejuta jiwa di sini" Untuk membuktikannya, aku harus datang sendiri ke
Thar. Parkash mencegahku, karena penderita hepatitis harus menghindari panas. Tapi aku berkeras, dia pun akhirnya mengajakku ikut kegiatan lapangan . Kebetulan Parkash dan kakakkakaknya adalah pekerja kemanusiaan, yang mendedikasikan diri dengan mengelola organisasi swadaya tanpa profit demi kesejahteraan bangsa gurun.
Desa Soomon Bheel, sekitar dua puluh kilometer dari Umerkot, adalah desa Hindu yang kerontang. Rumah-rumah berbentuk bulat dengan atap lancip dari dedaunan bertebaran mengisi kekosongan padang pasir. Aku merasa seperti di Sahara Afrika, semua berwarna pasir, kuning muram yang selalu sama. Aku datang bersama Parkash dan rekan kerjanya, seorang wanita aktivis bernama Mumtaz. Mereka memberi penyuluhan kepada suku-suku gurun tentang pentingnya mengurus kartu identitas. Begitu jip kami merapat, puluhan perempuan desa berlarian mendekat, histeris seperti menyaksikan UFO mendarat. Warna-warni baju mereka seperti membuat mata ingin menjerit. Plus sambutan anak-anak yang bercicit saking gembiranya. Kami seperti memasuki negeri yang hanya dihuni para wanita, tidak ada lelaki dewasa sama sekali, karena semua sedang mencari air dan menggembala ternak (di tengah gurun gersang yang bahkan rumput pun tak tampak). Tatapan dari bola mata besar para bocah berbinar menatapku. Aku membalas dengan tatapan mataku yang kekuningan. Mereka tertawa. Aku tertawa.
Para wanita ini suka sekali dipotret. Tidak bersembunyi dan ketakutan seperti biasanya perempuan Muslim di Pakistan. Nenek-nenek pun ikut berebutan bergaya-gaya di depan kamera, dengan kacamata kuno yang ekstracembung superbesar. Gelanggelang yang menutupi sepanjang lengan mereka, bergemerencing
mengiring ledakan tawa. Tapi seorang nenek dengan wajah cemberut mendatangi Mumtaz, menumpahkan protesnya. Tukang potret ini yaitu aku pasti cuma main-main saja. Masa dari tadi cuma prek-prek terus, kenapa tak ada chulka-chulka" Yang dimaksud dengan prek-prek adalah bunyi jepretan kamera, sedangkan chulka-chulka adalah kilatan blitz. Yang dari tadi ditunggu memang cuma kilatan lampu flash saja. Dan benar, begitu aku menyalakan flash, mereka semakin histeris, sampai kelojotan dengan beribu pose.
Sedangkan di desa tetangga, kaum perempuan justru berteriak-teriak tidak mau difoto. Seorang ibu tua renta mendatangi Mumtaz dan berkata, mereka takut foto-foto modeling mereka nanti akan menghiasi hotel dan restoran di seluruh penjuru dunia. Sambil mengucap kata modeling , dia berkacak pinggang dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya diletakkan di atas kepala, berlagak bak supermodel kelas dunia. Mumtaz tergelak, Hah! Kamu tidak cantik-cantik amat untuk jadi poster di hotel dan restoran. Foto kamu nanti cuma untuk ditaruh di meja kantor kami saja!
Selang dua hari, aku kembali lagi ke Thar. Sendirian, di dalam bus seng usang sudah berkarat, mengguncang semua yang ada di dalamnya. Dari lelaki tua, para pemuda, bocah mungil, perempuan dengan baju warna-warni meriah, sampai ke kambing yang tak henti mengembik di sela-sela kaki para penumpang, dan ayam yang tak henti berkotek. Bus juga dijejali karung-karung berisi tomat, beras, berbagai jenis bawang. Bus merayap dengan kecepatan sekitar lima belas kilometer per jam. Kendaraan ini hanya mampu melintasi jalan beraspal yang dibangun pemerintah, menghubungkan kota Umerkot dengan Mithi di
jantung gurun. Di luar jalan utama ini, roda bus tak akan sanggup berputar.
Bulir-bulir pasir, kehampaan yang kau kira tiada berarti, ternyata ikut mengalir bersama embusan angin kuat. Bukit pasir bisa berpindah, seperti hantu yang merayap diam-diam. Sopir mendadak menghentikan kendaraan. Penumpang tertegun menyaksikan lautan pasir yang kini menutupi jalan raya. Perjalanan terputus.
Semua lelaki turun. Mereka membersihkan jalan dari luberan pasir. Sekop, potongan kayu, sampai telapak tangan telanjang, apa saja digunakan. Tetapi bulir pasir begitu lembut. Sedikit saja angin bertiup, pasir sudah terbang kembali menutup jalan. Mereka terus mencongkel, menyapu, menggiring, menguruk, perlahan seutas jalan kelabu pun akhirnya terlihat. Dengan tali tambang, para penumpang bersama menarik bus tua, seperti kerja keras umat manusia zaman kuno yang menggeret batubatu raksasa untuk membangun Piramida. Satu... dua... tiga! Satu... dua... tiga! Peluh menetes. Untungnya, matahari sudah mulai berkurang kegarangannya. Bayang-bayang bukit pasir kini tawarkan kesejukan. Di pucuk utara Pakistan sana, warga Chapursan mengibaratkan batu raksasa yang menutup jalan sebagai chapati. Di sudut selatan di negeri yang sama, keseharian rintangan alam tampil dalam wujud berbeda. Satu... dua... tiga! Mesin bergemuruh. Bus tua terguncang-guncang, lalu melanjutkan perjalanan saat senja mulai datang.
Ujung jalan makin dekat. Bahkan kenyataan yang paling pahit pun harus dihadapi. Pertanyaan paling penting, tetapi mustahil ditanyakan adalah: Mama mau dikubur atau dibakar"
Sinar matahari yang hangat menyeruak melalui jendela kaca, menghangatkan wajahnya. Seperti orang Chapursan yang menantikan mentari, Mama tersenyum lebar ke arah cahaya.
Aku suka matahari. Apalagi matahari pagi. Aku suka menyanyi. Aku suka menari..., Mama bicara sendiri.
Jamal adalah seorang optimis. Di habitat segersang ini, optimisme ternyata jauh lebih besar daripada curah hujan. Thar kampung kami, Thar yang paling kami cinta. Keindahan Thar bagaikan surga, katanya. Angin gurun yang semilir menerpa wajah, memasukkan bulir-bulir pasir ke mata. Realita hidup di sini: sudah empat tahun hujan tak turun, tak ada air, tak ada rumput, sapi tak hasilkan susu, semua ternak kurus kering seperti menderita anoreksia.
Jamal adalah penduduk Desa Ramsar di pedalaman Thar, sekitar dua puluh lima kilometer dari kota Umerkot. Desa ini dihuni hampir dua ribu orang, dipisah berdasar agama. Yang Muslim tinggal di Ramsar Muslim, dekat jalan beraspal. Yang Hindu tinggal di Ramsar Hindu, dua kali lebih besar, di balik barisan bukit pasir lebih jauh ke arah gurun.
Sebagai tuan rumah, Jamal berusaha menyediakan yang terbaik untukku. Tahu aku kena hepatitis, Jamal bahkan membelikan sebongkah es batu dari pasar Umerkot, diwadahi termos supaya tetap dingin di bawah teriknya mentari gunung. Di tempat sekering ini, air lebih berharga daripada emas. Apalagi es batu, mungkin senilai zamrud berlian.
Dibesarkan di negeri kepulauan yang selalu berlimpah air, aku tak pernah benar-benar merasakan betapa berharganya setetes air. Kata gurun bagiku justru membawa impresi fantasi seribu satu malam: Aladdin dan Ali Baba, karpet terbang dan harta karun, alunan musik dan lenggokan pinggul. Tapi sekarang, di hadapan realita gurun, aku tinggal dalam bangunan dari lumpur beratap rumput kering, pasir dan debu mengisi seluruh udara. Aku sekamar dengan kambing dan domba yang bertandang demi mencari gandum dan rumput yang tercecer.
Jamal menyiapkan kasur kumal dan selimut berdebu, tempat tidurku malam ini. Debu langsung mengepul begitu kasur ditepuk, membuatku terbatuk-batuk. Dia juga menggelar selembar kain di atas ranjangku. Lalat gemuk berdengung-dengung, angin dingin berembus, dalam sekejap makananku penuh pasir. Makanlah, katanya.
Tomat lodoh kecampuran pasir meluncur ke mulutku, ditemani lembaran chapati kering yang sedikit hangat. Aku meringis. Eh... ternyata nikmat betul!
Jangan takut, pasir ini adalah makanan sehari-hari kita di sini, hiburnya. Kami duduk bersama di hadapan gurun, menikmati senja yang mulai membungkus angkasa. Sejauh mata memandang, hanya gundukan pasir kuning menghampar memenuhi batas cakrawala.
Cakrawala... oh, cakrawala. Sudah ribuan kilometer aku lewati dari Beijing, sudah hampir setahun perjalanan tanpa henti membawaku ke sudut-sudut negeri. Sudah beragam penyakit aku cicipi. Dan masihlah cakrawala yang sama terpampang.
Cakrawala, ke mana pun aku melangkah, cakrawala tetap berada di kejauhan.
Apakah perjalanan berarti menggapai cakrawala" Semakin jauh kita melangkah, cakrawala pun ikut menjauh. Perjalanan ini takkan pernah berakhir. Di hadapanku, masih tetap jalan, masih tetap jarak, masih tetap ilusi dan fantasi tentang kata jauh , masihlah nafsu untuk terus melangkah ke depan. Perjalanan dan cobaan tak ada habis-habisnya, bahkan sampai ke ujung terjauh Pakistan ini: jalan buntu di tengah gurun luas. Pemandangan di sekeliling berganti, kontur alam dan pepohonan berganti, orang-orang yang berbagi kisah terus berganti. Tetapi cakrawala tetap senantiasa terlihat, di kejauhan.
Di tengah kekosongan gurun dan cakrawalanya, di tengah keheningan seperti ini, aku bertanya tentang arti hidup pada Jamal. Hidup di gurun begitu datar dan monoton, bagiku. Tetapi buat Jamal, hidup ini justru penuh warna. Kamu harus datang ke sini waktu hujan turun. Gurun pasir yang gersang ini seketika berubah menjadi dataran hijau yang cantik. Thar akan berubah wujud menjadi Kashmir.
Tapi kapan" Tak ada yang tahu. Semua hanya bisa menunggu datangnya mukjizat. Jamal tak pernah ke Kashmir, namun dia yakin, hijaunya alam subur adalah lukisan surgawi. Mimpi tentang pemandangan firdaus di tanah tandus ini tetaplah mimpi dalam penantian. Hujan biasanya datang antara Juni dan Agustus, maksimal hanya tiga empat kali setahun. Bersamaan dengan penduduk yang bersukaria mendapat kiriman air dari langit, ular-ular pun keluar dari perut bumi, merayap menarinari di permukaan bukit pasir lembut Thar. Sehabis musim hujan, datanglah musim dingin yang sejuk. Inilah musim kawin di
Tharparkar. Kamu harus ke sini menghadiri acara pernikahan tradisi kami, kata Jamal bersemangat, kami semua menari, menyanyi, merayakan pernikahan yang penuh bahagia. Berbual-bual soal mimpi memang tidak ada habisnya. Lampu minyak berkelap-kelip. Bocah masih balita menggambar di atas tanah pasir dengan jemarinya yang mungil. Bapaknya sayu memandang, sambil berbisik, Anakku, belajar yang rajin, lalu jadilah menteri, bawalah listrik ke desamu ini....
Jadilah menteri... bawalah listrik... bawalah air... wujudkan mimpi ayahmu....
Mimpi itu kubawa sampai ke atas ranjang. Serangga gurun hitam dan berkulit keras beterbangan ke kasur kumuhku. Apakah makhluk gurun memang begini besar" Bahkan kumbang hitam buruk rupa pun sebesar telapak tangan, mengerikan. Disenggol saja oleh hewan ini, aku sudah meringis nyeri tidak kepalang. Belum lagi kambing-kambing yang ikut masuk ke dalam rumah lempung ini mencari serpihan rumput. Terkadang kakiku dijilat, terkadang kumbang menjejak marah di atas muka, terkadang kambing mengembik manja.
Tapi akhirnya tidurku nyenyak sekali.
Dusun Ramser yang ditinggali umat Hindu terlihat dari kumpulan gubuk bertudung rerumputan yang sama. Gubuk milik dokter desa begitu kosong melompong. Kasur kecil, piring, cermin, foto-foto kakek moyang, gambar-gambar dewa Hindu. Itu saja. Poster Syiwa, Lakshmi, Hanuman tertempel di sudut kamar. Di hadapannya, ada altar untuk melakukan puja. Walaupun
miskin dan berasal dari kasta terendah, ditambah lagi realita menjadi umat minoritas hanya gara-gara hidup di sisi yang lain dari garis batas dua negara, orang sini tak pernah lalai memanjatkan doa kepada dewa-dewi itu, sumber kekuatan mereka. Para wanita setiap pagi mengumpulkan kotoran sapi yang sudah mengering, disimpan di keranjang, kemudian dijemur. Fungsi utamanya memang untuk membuat api. Tapi mereka juga menjadikan tahi hewan ini sebagai pengharum ruangan tidak salah! -ditabur dalam rumah untuk menebarkan aroma semerbak. Tahi sapi juga digunakan sebagai obat. Ibu-ibu yang mengalami kesulitan waktu bersalin diberi minum air dicampur tahi sapi. Uuurrgh... rasanya tentu menjijikkan. Dan brol, bayi pun meluncur keluar dari rahim. Mungkin karena si bayi di perut juga tak tahan dikasih minuman jorok seperti itu.
Gemerencing puluhan gelang para perempuan Hindu memecah kesunyian gurun. Masing-masing kepala mereka menyangga sebuah kendi tanah liat yang menganga lebar. Kaki telanjang menyeret-nyeret di atas pasir panas. Ini perjalanan mahapenting perjalanan mencari air. Mereka bertelanjang kaki di atas pasir membakar. Aku hanya menjejakkan sedikit kakiku di atas pasir, itu pun rasanya sudah hampir melepuh. Sedangkan mereka, berjalan berkilo-kilometer tanpa mengeluh, menyeretnyeret kaki yang sudah sangat tebal dan kebal. Sumur tua di tengah padang sudah dikerumuni para lelaki, bocah-bocah, empat ekor keledai. Hewan-hewan itu dipasung lehernya dengan papan kayu, diikat dengan tali tambang yang menyambungkan mereka dengan katrol sumur.
Di ujung lainnya, tergantung timba karet yang bisa menampung air sampai dua puluh lima liter. Tenaga manusia tak terlalu dibutuhkan untuk menarik beban ini, karena sudah jadi tugas para keledai. Cukup seorang bocah saja untuk mengendalikan jalan keledai-keledai itu menempuh lintasan lurus seratusan meter. Lalu mengapa ada puluhan bocah berkerumun di sini, tanyaku. Mereka cekikikan, sambil menuding ke arah kamera yang tergantung di leherku. Aku merasa seperti time traveler, pelintas waktu yang datang dari abad modern ke tengah suku primitif. Para bocah bersorak sorai, berpose dalam berbagai gaya.
Perlahan-lahan, timba karet penuh air menampakkan diri dari sumur yang tak terlihat dasarnya. Kini giliran para lelaki membagi-bagikan air. Kaum perempuan langsung berebutan mengisi kendi-kendi mereka. Bocah-bocah mengisi ban karet di atas pundak keledai. Kakek tua langsung mengubur kendi airnya dalam-dalam di pasir, lalu masih dikunci gembok gerendel ukuran besar. Air adalah harta karun tak ternilai.
Aku mencicip. Uuugh, rasanya masam, busuk, pahit, penuh pasir. Tapi justru air kotor inilah yang menjadi denyut nadi kehidupan di padang kerontang.
Dalam perjalanan perjalanan mengejar batas cakrawala, bukankah memang harus ada waktunya untuk mempertanyakan akhir dari perjalanan ini, ujung dari pengelanaan ini" Ini bukan lagi saatnya menghibur diri dengan mimpimimpi mustahil. Realita yang paling pahit pun harus dihadapi.
Aku tak rela! Adikku menangis tersedu di samping ranjang. Aku tak rela Mama dibakar. Aku tak mau. Nanti Mama dikubur saja, aku pilihkan yang menghadap matahari. Setiap hari Mama bisa lihat matahari pagi.
Terserah kamu, We, terserah maumu, kata Mama lemah. Aku yang rawat kuburan Mama, aku sapui, aku bersihkan! balasnya sambil terisak-isak.
Sesukamu, We. Mau dikubur atau dibakar, Mama nurut saja.
Dari kejauhan, debu mengepul hebat. Truk tua bobrok seperti menyeruak dari dunia lain, dari pintu zaman berbeda, dari jalan beraspal mulus di seberang sana melintas ke alam Ramsar di pasir gersang. Truk buatan dalam negeri dan kelihatan sudah layak masuk museum peninggalan Perang Dunia II ini masih sanggup melintasi barisan gundukan pasir halus di Thar. Sekarang ia adalah rajanya padang pasir, menggantikan unta-unta yang semakin kurus dan sayu. Bocah-bocah Ramsar berlari riang menyambut truk tua. Mereka melompat, bersorak sorai, memanjati kendaraan kuno berhias pernak-pernik gemerlap. Dari dalam truk, turun dua tukang. Pemerintah menjanjikan akan membangun gedung sekolah baru di desa.
Di tengah gurun Thar sudah banyak gedung sekolah yang masih baru, dengan kursi kayu yang masih anyar gres. Tetapi, sekolahnya kosong melompong karena kurang dua elemen terpenting: guru dan murid. Guru dari kota malas datang ke sini, yang jadi guru biasanya warga setempat. Murid nyaris tidak ada, karena walaupun gratis, banyak orangtua yang tak mengizinkan anaknya ke sekolah. Seorang kakek dengan berapi-api berkata, Kami ini bodoh, buta huruf! Kenapa anak kami harus jadi pintar" Mereka harus jadi seperti kami! Mereka harus sama seperti nenek moyangnya! Gedung-gedung sekolah yang dibangun
pun akhirnya jadi tempat duduk-duduk dan mengobrol santai melewatkan hari bagi para lelaki desa. Lalu lama-lama membusuk, roboh, ditinggalkan.
Roda kehidupan gurun kembali ke kemonotonan. Angin menerbangkan debu. Masih kaki-kaki yang sama tak beralas, beringsut mencari air. Masih kambing-kambing yang sama, mengembik meratap. Masih kumbang-kumbang besar yang sama, menebarkan dengungan memekakkan telinga. Para lelaki dusun mulai duduk-duduk melewatkan waktu. Menyaksikan angin, kumbang, rerumputan, gubuk-gubuk, sumur, unta, kambing, gunungan pasir, semua pemandangan yang sama setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun. Bocah-bocah juga punya miliaran detik untuk dibuang. Siang yang terik dihabiskan dengan bergulat di atas pasir, atau mengadu kumbangkumbang hitam, besar, berkaki panjang, dan menghasilkan suara melengking. Adu kambing juga seru. Gemeretak bunyi tanduk-tanduk beradu, serta aksi kambing yang mengangkat kaki depan tinggi-tinggi sebelum menghunjamkan tanduk ke tubuh lawan, mengundang sorak riang para bocah.
Dulu, aku tentu bisa bersukacita menyaksikan pemandangan seperti ini. Turis mana yang tidak mencari eksotisme, keaslian, tradisi kuno" Oh, tengoklah itu, suku-suku gurun yang begitu asli, tidak terjamah peradaban, begitu primitif, berpakaian warna-warni mencolok mata, dan mereka adalah salah satu bangsa paling ramah di dunia. Oh, mereka tidak terdegradasi televisi, McDonald, atau musik pop. Oh... tradisi mereka begitu murni dan eksotik, begitu unik, nyentrik, menarik. Jepret, jepret, jepret, ratusan foto dijepret untuk dipamerkan kepada tetangga di rumah tentang petualangan menemukan suku-suku terasing. Inikah eksotisme yang dicari oleh semua petualang ke tempat-tempat jauh " Betapa kami ingin menjejakkan kaki di mana-mana, menjadi orang pertama yang menemukan sebuah tempat, lalu berkoar bangga mengatakan, Aku sudah ke sini, aku sudah ke sana " Inikah piala-piala kebanggaan yang kucari"
Setelah perjalanan panjang ini, bagiku eksotisme menjadi kata yang sangat absurd. Mereka bukan kebanggaan kita, mereka bukan objek, bukanlah target kemenangan. Di ujung terjauh dan terpencil Pakistan, mereka adalah manusia yang sama denganku. Yang punya mimpi dan cita-cita, berjuang sekaligus menantikan kebangkitan dari kubangan kemelaratan. Kita tertawa untuk hal-hal yang sama, menangis untuk kesedihan yang sama.
Kita adalah manusia yang sama, dalam perjalanan panjang mengejar mimpi di balik garis cakrawala sana.
Mama jangan pergi... Jangan... Aku tak kuasa lagi menyembunyikan perasaan. Ini pertama kali air mataku tumpah di hadapan Mama. Ketegaran yang selama ini kutampilkan, akhirnya ambrol juga.
Berikan aku sekali lagi kesempatan untuk bahagiakan Mama. Ke mana pun Mama mau pergi, akan aku bawa. Masih banyak tempat yang ingin kutunjukkan pada Mama. Kita ke Tibet, ke Terakota, ke Shanghai, ke mana pun Mama mau. Kita bersenang-senang bersama...
Mama mengelus kepalaku. Dia tak tega melihatku menangis. Ming, jangan sedih, Ming. Semua itu memang sudah ada yang ngatur.
Kalian berdua yang akur, lanjutnya, jangan ada pertengkaran lagi. Saudara cuma seorang saja, buat apa bermusuh-musuhan" Apa untungnya marah-marahan" Baik-baiklah jaga Papa.
Permintaanku ini kalau disanggupi lelaki yang teguh memegang janji, kebahagiaanku tak tertukar oleh emas permata berapa juga banyaknya. Mama kembali menoleh ke jendela, menatap cahaya matahari. Dia bergumam, Aku suka matahari pagi...
Dalam Nama Tuhan Apa agamamu" Kamu Muslim"
Itulah pertanyaan yang selalu mengawali setiap perkenalan di negeri ini. Orang-orang negeri ini selalu antusias menanyakan agama, dan setelah itu mereka rela berdiskusi sampai berjamjam. Tentang Tuhan, tentang ulama, tentang syariah, sampai konspirasi Yahudi.
Ketika mereka tahu aku dari Indonesia, sering kali aku langs ung dipeluk-peluk dan dikecup. Mereka menyebutku Muslim brother! atau berseru, Indonesia is a good muslim country!, atau mencari konfirmasi akan rumor yang entah mereka dengar dari mana: Apa benar semua orang Indonesia itu harus naik haji dulu baru boleh nikah"
Setelah euforia ala perjumpaan sahabat lama itu, barulah kemudian mereka mencari kepastian: Kamu Muslim, kan"
Kadang aku malas meladeni, langsung saja mengangguk tanpa banyak berkata apa-apa lagi. Selesai. Ganti topik.
Tapi, berbohong itu melelahkan. Sekali berbohong masih harus diikuti kebohongan-kebohongan berikutnya. Apalagi kalau tiba jam sembahyang dan mereka mengajakku mengambil wudu, tak mungkin aku terus-terusan menggunakan alasan musafir yang menjamak salat. Lagi pula, jiwaku sesungguhnya tak terancam, negeri ini bukanlah Afghanistan. Daripada berbohong, jawaban yang kupilih adalah: Inshallah.
Ada penanya yang puas, dan menimpali: ho jaega, nanti pasti jadi, kamu pasti bakal dapat hidayah, Inshallah!
Ada yang bingung, tak sedikit pula yang jelas-jelas menampakkan wajah kecewa, lalu berusaha menyadarkan -ku dengan rentetan pertanyaan untuk kurenungkan: Tidak takutkah kau pada hari kiamat" Tidak takutkah akan siksa api neraka" Bukannya semua orang Indonesia itu pasti Muslim" Mungkin ada baiknya, kau mulai baca Al Quran supaya dapat menemukan kebenaran"
Ini masih hari yang panas, di kota ziarah suci Uch Sharif di Punjab yang kering dan terbakar matahari. Aku masuk sebuah bangunan pinggir jalan untuk berteduh. Ada tiga lelaki berjubah. Yang satu sibuk menggerus bhang, minuman hijau dari daun ganja, yang lain menunggu di sekeliling. Setelah bertukar salam dan mengajukan pertanyaan perkenalan, kakek di pinggir langsung berusaha meyakinkanku untuk masuk agamanya.
Siapa yang menciptakan langit dan bumi" tanyanya, sambil menyorongkan ke hadapan jidatku jari telunjuknya yang tegak mengarah ke langit.
Belum aku jawab, dia langsung menjawabnya sendiri, Khuda! Tuhan! Siapa yang menciptakan manusia" Khuda! Siapa yang paling berkuasa dalam semesta" Khuda! Siapa yang menentukan datangnya hari kiamat" Khuda!
Masih dia berceramah, sudah dipotong lelaki berjenggot
yang menggerus bhang. Setiap orang punya imannya sendirisendiri, tak perlu dipaksa! katanya.
Kedua lelaki itu berdebat hebat dalam bahasa Punjabi yang tak kumengerti, bertengkar sampai berteriak-teriak. Kakek tua terbungkam. Sekarang yang terdengar cuma suara bhang yang disiram dan digerus. Cairan hijau mengalir deras di atas papan kayu.
Pertanyaan tentang agama selalu dilematis. Menurutku, agama adalah urusan manusia langsung dengan Sang Khalik. Tak perlu didiskusikan mengapa aku beragama ini, mengapa aku memilih agama itu, mengapa aku mempelajari agama yang lain. Bagiku, beragama itu bukan soal siapa putih siapa hitam, siapa benar siapa salah, siapa kawan siapa lawan, siapa banyak umat siapa sepi peminat, siapa beriman siapa sesat, siapa suci siapa pendosa, siapa masuk surga siapa calon penghuni neraka. Itu di luar kuasa kita, umat manusia. Aku tak memperoleh kebanggaan meluap-luap jika lawan bicaraku ternyata memeluk agama yang sama denganku. Juga tidak ada pengaruh apa-apa jika toh mereka dari agama berbeda. Tapi di negeri ini, diskusi agama bisa berlangsung panjang membuat gerah. Aku lebih memilih untuk menyimpan masalah agama dalam kotak privasiku. Belum puas rupanya, dia kembali mencecarku. Kalau begitu, apa agama ayahmu"
Agama ayahku tidak ada hubungannya dengan agamaku. Lalu agama ibumu"
Tidak ada hubungannya juga.
Masa kamu tidak tahu agama orangtuamu"
Itu urusan pribadi mereka. Isi hati mereka, siapa yang tahu"
Tidakkah kamu cinta ayahmu, ibumu" Tidakkah kamu peduli agama mereka"
... Suster berdatangan, mengukur temperatur dan tekanan darah para pasien dari ranjang ke ranjang. Hari ini, suster juga membawa pena dan lembaran-lembaran kertas, menebar senyum ke arah Mama. Mah, agamanya apa" Ah! Lagi-lagi pertanyaan tentang agama.
Kami diam. Bukan apa-apa, Mah, kata suster itu, nanti akan kami carikan orang yang mendoakan. Kalau Mamah Kristen, nanti kami panggilkan pendeta. Kalau Muslim, ada ulama. Kalau Buddha, juga ada dari kelenteng. Mamah yang mana"
Belum sempat aku menjawabkan, Mama sudah bilang sendiri, Bawakan saja semua! Semua doa aku terima, apa pun agamanya. Karena doa tetap adalah doa!
Siapa yang bisa mengukur dalamnya sebuah doa" Siapa yang bisa mengukur keteguhan hati dari pancaran bola mata" Tuhan adalah awal, Tuhan adalah akhir, dalam Tuhan-lah selalu ada pengharapan.
Di negeri ini, yang mengisi atmosfer adalah lantunan doadoa. Di tanah Punjab yang bertabur makam para orang suci, masjid-masjid tua, pertapa darwis sufi, para umat pun berdatangan mengharapkan turunnya mukjizat. Kota kuno yang diagungkan kesuciannya ini bagaikan magnet raksasa yang selalu mengundang kerumunan para pendoa dari berbagai penjuru negeri. Seorang bapak menatap nanar, mendekap erat-erat bayinya yang selalu melongo tak berkedip. Air mata terus meleleh dari mata merah sang lelaki, ketika dia menceritakan nasib si bayi malang. Entah bagaimana cerita, si bayi tiba-tiba kena gangguan mental. Kepala bapak terantuk pada pagar yang mengelilingi keranda di makam suci guru sufi. Mulutnya komat-kamit, matanya terpejam. Semua doa dia bacakan.
Menziarahi makam suci dan mendoakan orang suci, plus berdoa mengharapkan mukjizat, adalah tradisi yang hidup subur di Punjab, juga di berbagai negeri dari Anak Benua sampai Asia Tengah. Ini adalah jejak bagaimana Islam dulu masuk ke sini, melalui sufisme yang mengakomodasi tradisi lokal dan kepercayaan setempat, sehingga berhasil mempersatukan ummah dari beragam latar budaya. Semua doa diawali dengan bismillah, dengan nama Allah. Mereka percaya, doa di makam suci akan lebih manjur. Cara mereka beribadah sebenarnya penuh pengaruh kultur Hindu. Dengan telapak tangan mereka sentuh daun pintu, lalu mereka tempelkan tangan ke satu titik di tengah dahi, sementara mulut terus berkomat-kamit membaca doa.
Ini mengingatkanku pada seorang kawan Muslim India yang bersamaku menghadiri acara puja di rumah keluarga Hindu yang merayakan Diwali. Dia bahkan menerima olesan tika di tengah dahi seperti halnya umat Hindu, di hadapan poster bergambar Ganesha, sesaji, dupa menyala. Aku bertanya, tidakkah ini melanggar akidah. Dia menjawab, Tak apa, karena yang tadi kubaca dalam hati tetap adalah doa-doa dari Al Quran.
Sayup-sayup, terdengar ratapan tangis. Para peziarah benar terlarut dalam doa nan sendu. Mereka menggapai dan mencium keranda yang dibalut kain merah dan hijau. Ritual dilanjutkan dengan mengelilingi bangunan makam, sambil menyentuh atau menciumi dinding-dinding dan pilar kayu. Para perempuan yang tidak diizinkan masuk ke ruang utama, hanya duduk meringkuk di balik ambang pintu tinggi. Ratapan terisak-isak terdengar dari balik tubuh tertutup kerudung rapat yang berjongkok menciumi pintu.
Juru kunci penjaga makam juga menjadi tumpuan harapan. Dia membaca doa, menyentuh tubuh bayi yang sakit, memberi jimat berupa sejumput garam dan beberapa lembar kertas bertulis huruf Arab. Ada pula bocah belasan tahun dengan wajah muram bercerita tentang ponsel hilang. Sang juru kunci membaca doa, kemudian memberinya sepotong kertas bertulis Innalillahi wa inna ilayhi roji un sesungguhnya kita adalah milik Allah, dan hanya kepada Allah pula kita akan kembali. Disuruhnya bocah itu membaca tulisan ini berulang-ulang, sepanjang siang malam, sampai hatinya tenang. Bocah itu kemudian mencemplungkan uang sedekah ke kotak kayu.
Semakin besar doanya, semakin besar pula nazar yang harus dilepas. Seorang perempuan tua bernazar untuk menyapu di makam suci seumur hidup. Kata si juru kunci, dia sakit parah, anaknya pun sakit, sedangkan suaminya cuma jual air di pasar. Sakit itu adalah sakit mental. Lihat si bocah perempuan empat tahun yang nyaris botak itu, pandangannya selalu kosong, sepanjang hari cuma tiduran di lantai pualam gedung makam yang dingin. Sementara si ibu berkulit hitam berkerudung tebal itu tak pernah lepas dari sapu lidi dan serbet, penuh kecintaan
tanpa keluhan membersihkan setiap sudut kuburan, menyapui debu depan barisan makam yang entah kenapa ditulisi grafiti besar-besar: CRUSH USA.
Siapa yang bisa mengukur kekuatan sebuah doa"
Tangan terlipat, mata terpejam, barisan kata mengalir dari mulut bergumam. Ranjang pesakit ini adalah tempat berpadunya doa berbagai agama. Doakan aku.
Mama berkata kepada semua pembesuk, termasuk orang-orang tak dikenal yang menjenguk pasien sebelah. Tak peduli itu pandita Buddha, pemuka Konghucu, pendeta Kristen, Pak Haji, atau kakaknya yang Protestan dan Katolik. Berbagai nama Tuhan dan Nabi dipuja. Allah, Buddha, Ibunda Agung, Yesus Kristus, Maitreya, Kwan Im,....
Matanya terpejam, perhatiannya terpusat, dia meneguhkan iman penuh percaya bahwa barisan kata setiap mantra akan membawa mukjizat.


Titik Nol Karya Agustinus Wibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

... Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan, sampai selama-lamanya. Amin.
Amin! Mama pun ikut membuka mata. Tersenyum bahagia.
Para sufi berdoa dengan bernyanyi:
Ini musim semi, marilah minum Mengapa malu, Sayang, silakan minum Munafiklah mereka yang minum diam-diam Tak usah malu, marilah minum
Aku pemabuk, Sayang, maafkan aku Aku termabuk, Sayang, maafkan aku
Dalam gelas ada anggur, dalam anggur ada mabuk, oh, aku termabuk
Ini asli kesenanganku, bersamanya bangkitlah gairah Kalau ada mabuk dalam anggur, botol pun ikut berdansa Segala pertanyaanmu, Sayang, pasti akan kujawab Nanti saja di akhir zaman, buru-buru buat apa" Biarkan aku minum dulu, baru kuserahkan perhitungan
Seorang kawan dari Kashmir mengajariku bait-bait mistik ini. Bait ini berasal dari lantunan panjang qawwali musisi sufi terkenal, berjudul Aku Seorang Pemabuk. Kata-kata seorang sufi menyimpan makna berlapis-lapis. Dengan jujur dia menyebut diri sebagai pemabuk , yang selalu haus akan anggur pengalaman Ilahi yang memabukkan. Dia berani memanggil Tuhan sebagai Sayang , yang selalu menyediakan anggur dalam cawan. Ada yang menyebut para sufi itu edan, tidak waras, kurang ajar, penghujat Tuhan. Tetap sufi tak peduli, karena pengalaman Ilahi adalah pencerahan pribadi.
Di negeri ini, orang bisa mabuk oleh syair religius. Mereka punya kebiasaan bersyair dan menghafal syair. Ketika para pemuda di negeri kita sibuk berdendang lagu Aku Ingin Bercinta , para pemuda di sini duduk bersila, bergantian melantunkan syair dan kidung religi Aku Merindu-Mu Ya Allah . Mereka juga mengajariku hafalan syair-syair, dan aku sering malu tak bisa memberi jawaban ketika mereka menanyakan bait-bait terkenal dari negeriku. Syair spiritual penuh makna metafora, terbungkus dalam permainan misteri kata-kata Urdu yang begitu
indah. Jangan heran, mereka semua bilang, Urdu itu bahasa paling elok di seluruh dunia.
Namun percayalah, kita sebenarnya tak perlu tahu terlalu banyak kata. Kata-kata boleh saja kehilangan makna, menjadi deretan huruf terjangan suara. Yang penting, pengalaman Ilahi itu tetaplah membangkitkan rasa sama: memabukkan.
Dibesarkan dalam lingkungan religius, bagiku agama memang selalu membawa nuansa mistis. Asap dupa di depan altar, tangisan para pendoa di gereja, daras Al Quran bertalu-talu menjelang subuh di surau belakang, juga getaran pita tenggorok membaca mantra di depan patung Buddha. Aku tak selalu mengerti kata-kata mereka ketika berdendang qawwali, tapi dari getaran vibrasi suara panjang dan tarian para sufi yang berpusingpusing seperti gasing lepas kendali, aku tahu ada kekuatan spiritual yang tak mungkin dijelaskan dengan berjuta kata.
Di Pakistan, Kamis adalah hari keramat untuk menggelar berbagai acara spiritual: membaca Al Quran, tadarus, mengalunkan naat yang memuji Sang Nabi, menghadiri konser musik Islami, memanjatkan doa, menziarahi kuburan para wali dan orang-orang suci, serta tak lupa juga tentunya: parade musik qawwali, yang jadi kebanggaan seni negeri ini. Guru sufi mengajar dengan kendang dan harmonium, tepukan tangan dan alunan puisi, tarian, irama lagu. Terkadang syair menerjang cepat seperti rentetan tembakan, terkadang melantun teramat panjang memamerkan keluarbiasaan kekuatan pita suara. Cepat, lambat, cepat, lambat, mengentak, mereda, mengayun, menjerit, mendatar, dinamis bak pasang-surut gelombang laut.
Pengalaman Ilahi adalah sebuah ekstasi. Kelam malam mencekam di kuburan ternyata tidaklah sepi. Ritual religius digelar
di sudut kota tua Lahore ini dikenal sebagai Sufi Night, yang namanya saja sudah cukup menjanjikan nuansa mistis. Samarsamar bayangan para lelaki di bawah sinar purnama. Puluhan mereka jumlahnya, berdesakan di bawah pohon rindang. Kaum hawa dilarang masuk, satu-satunya perempuan yang kulihat adalah turis Jepang yang sibuk dengan kameranya. Malam dimulai dengan bertalu-talu genderang ditabuh. Sesekali mengentak cepat, sesekali mengalun perlahan. Orang-orang yang duduk bersila di kuburan larut dalam hipnotis. Kepala manusia bergedek-gedek seperti menenggak obat. Kekuatan tetabuhan itu terlalu dahsyat. Dua lelaki berputar di tengah lingkaran, kepala terus bergoyang seperti pecandu yang baru menelan ekstasi kelebihan dosis. Asap hashish menyebar, baunya begitu kental, aku terbatuk. Seperti halnya para sadhu Hindu di India dan Nepal, orang-orang di kuburan ini pun bilang, hashish alias ganja itu membantu dekatkan diri pada Tuhan. Para sufi di sini juga terlihat seperti sadhu Hindu: jenggot panjang menjuntai, rambut gimbal melintir ala Bob Marley, pakaian warna-warni, wajah cemong, kaki telanjang.
Semakin larut malam, semakin magis. Tetabuhan makin bertalu-talu. Duk... duk... dukdukdukduk... Sang penabuh berambut gimbal berkalungkan genderang ukuran raksasa, suaranya menggelegar memekakkan telinga. Ada yang bilang, si penabuh itu sebenarnya sudah tuli, tapi siapa tahu pasti" Sambil menabuh, tubuhnya berputar. Pelan, pelan, pelan, semakin cepat, semakin cepat, lalu zip... secepat kilat, mereka berubah menjadi bayangan kabur. Daya sihir meluas. Makin banyak penonton otomatis menggeleng-geleng seperti terhipnotis. Suara tetabuhan makin magis dengan lengkingan trompet tanduk melingkar. Daya sihir
ini tak pilih-pilih. Bahkan barisan turis Jepang di deret depan pun ikut menggodekkan kepala seperti kemasukan roh.
Terbenam mereka dalam ekstasi religius. Dengan doa dan tetabuhan, plus pengaruh hashish, terlupalah semua akan realita dunia fana. Terlepaslah kesadaran akan ruang dan waktu, bahkan hilang pula kesadaran akan keberadaan diri sendiri. Terbang. Tinggi.
Anggur religi bukan hanya monopoli para sufi. Dalam berbagai agama dan kepercayaan di dunia, ritual berbagai bangsa dan budaya, di mana-mana kita temukan pengalaman spiritual yang membawa efek ekstasi. Gerakan berputar itu, gedek-gedek kepala itu, aroma hashish, asap rokok dan pipa air, lantunan doa-doa Islami yang terus mengalir, ditambah lagi teriakan Jhulelal! Jhulelal! dan Mast qalandar yang naik-turun seperti debur ombak di samudra luas. Mereka memuja guru suci Sufi, sekaligus meneriakkan nama derwis Hindu. Tetabuhan ini bagaikan gravitasi yang membuat planet-planet berputar. Lelaki berjubah menari makin liar, berputar bagai gasing lepas kendali, terus berputar... berputar... memasuki alam bawah sadar.
Lewat tengah malam, orang-orang bersama mencapai orgasme spiritual.
Bersama Tante Ning, kakaknya yang jauh-jauh datang dari Jakarta, ruang pesakit ini dipenuhi lantunan lagu-lagu Sekolah Minggu.
Di dalam dunia, ada dua jalan Lebar dan sempit, mana kau pilih"
Yang lebar api, jiwamu mati Tapi yang sempit, hidup berglori.
Penyerahan dalam kuasa-Nya berarti bebas dari segala beban, dari segala ketakutan. Rasa sakit pun terlupakan. Wajah Mama begitu bersinar, senyumnya mengembang. Tangannya melambai-lambai saat menyanyi lagu gereja yang baru dipelajari.
Tak pernah kami lihat Mama sebahagia ini. Dia tertawa, menyanyi sekuat tenaga, ingin menari dan berjingkrak. Kami berusaha menegakkan duduknya, mengangkat tubuhnya yang sudah sebulanan menempel di ranjang.
Tapi, alamak, tubuh kurus kerempeng ini berat sekali. Seperti gumpalan batu. Tak kuat sama sekali kami menggerakkannya. Terbaring Mama terus menyanyi, menyanyi, menyanyi....
Sampai tak sadarkan diri.
Memasuki Muharram, pilunya suasana kematian menyelimuti seluruh negeri.
Semua orang berkabung, semua berbaju serbahitam. Tak lagi terdengar ingar-bingar musik berdentum-dentum, atau alunan melodi Bollywood. Bahkan para lelaki beserban dan bertrompet pemeriah pesta pernikahan juga lenyap dari berbagai sudut jalan. Tak bakal ada orang menikah di bulan ini. Semua suara tenggelam oleh alunan irama doa sendu, diiringi musik latar belakang berupa dada yang dipukul serempak dan berharmoni. Awas, jangan tertawa terbahak, jangan bersenda gurau! Orang mengingatkan, ini Muharram! Ini Muharram!
Puncak prosesi adalah hari ini, tanggal 10 Muharram, ketika
datang Ashura yang diperingati sebagai hari besar nasional. Jalanan Lahore begitu lengang saat dingin mengawali pagi. Ribuan orang berkumpul di masjid. Laki-laki duduk menyemut. Di balik tirai purdah sana, adalah kaum perempuan, juga seperti samudra hitam di balik cadar mereka yang pekat. Penceramah sesenggukan mengisahkan kematian Hussain dalam perang di Karbala. Padang gurun panas menyengat, air tak ada, semuanya kering. Oh Hussain, betapa si tiran jahanam Yazid itu hendak hancurkan Islam, memalsukan Islam, bawa ummah ke kebatilan dan kemungkaran. Mereka licik, mereka kejam. Demi kekuasaan, mereka mau bunuh pahlawan kebenaran, keturunan Rasul kita. Oh Hussain, ya Hussain!
Tragedi Hussain, cucu Nabi Muhammad SAW sekaligus putra Ali bin Abi Thalib itu, terjadi di tahun 680 Masehi, di tengah perpecahan yang mengancam umat Muslim mengenai siapa khalifah yang akan memimpin sepeninggal Nabi. Seribu tiga ratus tahun telah berlalu, kemelut itu masih selalu diingat, kematian itu masih menghantui, dukacita masih berlangsung, dalam amplitudo maksimum. Tangisan begitu menyayat hati, seolah Hussain itu anggota keluarga tercinta yang barusan mati. Ya... Hussain. Dia merangkak. Darah mengucur dari ulu hatinya. Panas, panas sekali. Tenggoroknya kering, berhari-hari tak minum tak makan. Matahari membakar hebat. Tubuhnya begitu menderita, tapi dia tak menyerah. Dia korbankan nyawanya! Hussain bela Islam yang sejati dengan darahnya. Semua demi tegaknya hukum Allah!
Suara sang penceramah bergetar penuh emosi. Tangisan berjamaah langsung membuncah. Mereka serempak memukuli dada masing-masing, berirama. Sang pembicara berteriak, menyeru para umat memukul lebih kuat, lebih kuat lagi, lebih kuat lagi. Plak... plak... plak.... Orang-orang histeris. Ada yang berdiri, lalu memukul dada keras-keras. Ada yang menempeleng pipi sendiri, ada yang menangis menggelegar. Ceramah bersambung. Teladan Hussain, kelaknatan Yazid, padang Karbala yang bersimbah darah, tujuh puluh dua sahabat yang jadi korban, kekejaman musuh yang bunuh Hussain bersama bayinya, pujian, makian, enam jam tanpa henti, ceramah panjang bawa emosi para umat naik-turun-naik-turun-naik seperti pasang surut gelombang. Sesaat berikutnya, dukacita ditampilkan dalam wujud yang paling ekstrem: darah.
Para lelaki bertelanjang dada menerjang, berebutan rantai pisau. Mereka mencambuki diri. Jalinan pisau berujung melengkung mencabik daging punggung sendiri. Diayun ke kiri, ke kanan, ke kiri, ke kanan. Darah mengucur deras, tersebar ke segala penjuru, dari punggung ratusan lelaki yang berseru penuh emosi. Bahkan wajah dan kameraku pun ikut basah terciprat darah mereka.
Ya Hussain... Ya Hussain....
Teriakan dan alunan doa bersahut-sahutan, dalam irama yang terdengar seperti mantra. Semakin lama, semakin magis, semakin menyihir. Kakek tua menangis begitu keras, memukuli kepala sendiri seperti hilang sadar. Tak perlu pisau, bahkan tangan kosong pun sanggup koyak batok kepala, sampai sekujur uban berubah jadi merah. Bocah-bocah sepuluhan tahun mencambuki diri dengan pisau-pisau mini. Sorot mata itu! Lihatlah sorot mata para bocah kecil itu! Ketetapan hati yang jelas dari pandangan yang menghunus, hingga tak terasa lagi luka dan
sakit walaupun setiap ayunan rantai pisau gunakan energi penuh.
Aku tak tahu pasti, apakah ritual ini melambangkan kesedihan" Dukacita luar biasa" Cinta mendalam" Penyesalan tidak dapat melindungi Hussain" Atau simbol letupan amarah atas kezaliman dan pengkhianatan, pemberontakan terhadap kekangan dan penindasan" Ini pertama kali aku menyaksikan upacara yang begitu dahsyat spiritnya, seperti ledakan bertubitubi. Kesedihan itu menular. Tanpa sadar, tanpa paham kenapa, aku pun memukuli dada, air mata ikut mengucur tanpa henti.
Menyaksikan luberan darah dengan mata kepala sendiri menimbulkan efek bergemuruh. Tentu ada kecanggungan dan ketakutan, bersama kengerian dan belas kasihan. Tentu ada kecemasan, ketidakmengertian, prasangka. Tentu ada sejuta pertanyaan, mengapa oh mengapa" Tapi tataplah mata mereka, keteguhan dan kerelaan mereka melakukan itu semua. Mereka bilang, semua ini adalah demi kecintaan pada Hussain, ratapan akan kematian Hussain, turut merasakan langsung penderitaan Hussain berabad silam. Seorang pemuda berkata, Hussain menderita jauh lebih hebat daripada apa yang mereka rasakan sekarang, ini tidak ada apa-apanya, dan darah ini adalah wujud cinta mereka.
Cinta! Di mana-mana terlihat slogan: Hidup seperti Ali, Mati seperti Hussain!
Hussain adalah lambang perjuangan melawan ketidakadilan, kemungkaran, kebatilan, kemunafikan, kejahatan. Hussain adalah kekuatan, keberanian, kebenaran, sang pahlawan. Sedang Yazid tergambar sebagai tokoh antagonis, lambang tirani, penjajahan, kesewenang-wenangan. Tragedi adalah jiwa peringatan Ashura: Hussain mati, Yazid berkuasa.
Hiduplah Hussain.... Hiduplah Hussain.... Mampuslah Yazid.... Darah membanjir, membasahi lantai, lalu mengering, segera menghilang. Tapi sayatan-sayatan itu akan meninggalkan bekas permanen di atas daging yang tercabik. Luka untuk mengingatkan pada pengorbanan suci dalam sebuah kemelut akbar, sebuah lembaran hitam tragedi sejarah masa lalu yang teramat berarti bagi iman mereka di hari ini.
Bibi Ying datang membawa kitab mungil berwarna merah. Kitab kuno, semua halamannya menyambung, berupa sejulur kertas putih panjang dilipat-lipat, laksana serat keramat.
Bacakan doa ini untuk Mama, katanya, Ini mantra suci. Untuk kesulitan berat, nanti para Bodhisattva akan menolong. Untuk bahaya yang mengancam jiwa menjelang maut, Sang Maitreya sendiri yang langsung turun.
Kugenggam erat-erat kitab itu, aku duduk di samping Mama yang mengejan menahan sakit. Ketika teknologi kedokteran sudah tak bisa lagi menjanjikan apa-apa, teringatlah manusia akan kekuatan Tuhan dan iman, semakin keraslah lantunan doa-doa.
Bacakan, Ming, bacakan semua doa, suara Mama lemah. Aku menunduk, huruf-huruf China menari-nari di hadapan. Sepucuk mantra, dua kali, tiga kali, sepuluh kali, lima puluh kali, satu jam, tiga jam... aku tak ingat lagi. Pikiran kosong, keringat membasahi tubuh, punggung pun kelu, aku jatuh terguling sampai tersungkur di lantai.
Sementara Mama yang dengar bacaan monoton bertalu-talu itu, telah masuk dalam tidur yang lelap.
Mereka juga menyebut ini sebagai wujud cinta.
Hanya berselang tiga hari dari Ashura, masih di bulan Muharram yang muram. Demi kemuliaan sang Nabi, kota Lahore berubah jadi lautan api.
Di lapangan, ribuan lelaki berkerumun. Hanya ada lelaki, dari bocah sampai kakek tua berjenggot putih lebat. Bush anjing! Bush anjing! Teriakan berirama, menggema, sambung-menyambung. Mereka membawa slogan bertuliskan: Kalau kamu anti- Islam, maka kami pasti akan menghancurkanmu dan No Muslim Are Extremous . Matahari semakin tinggi, teriknya makin membakar amarah. Asap membumbung di mana-mana. Demonstran membakar ban mobil, kertas, juga bendera Amerika, Denmark, Israel. Mereka mencurahkan kemarahan atas kartun yang melecehkan Nabi Muhammad dan menuding pengikutnya sebagai jahanam teroris, dimuat di suratkabar di Denmark. Efeknya merambat ke seluruh dunia, sampai ribuan kilometer ke semua radian, termasuk ke Lahore, Pakistan. Massa terus berteriak: Bush anjing! Amerika anjing! Denmark anjing! Israel anjing!
Kasihan si anjing. Anjing putih itu diarak ramai-ramai, digantungi kertas karton bertulis Bush , dipukuli sampai hilang kesadarannya (atau memang sudah mati sungguhan"). Bush anjing! Musharraf betinanya! Seruan terus bergaung, pasangan Bush-Mush (George Bush dan Musharraf) adalah sasaran utama kemarahan.
Semua orang sudah gila! Qutbi berkata lirih, Semua sudah bukan manusia lagi!
Untung ada Qutbi di sampingku. Lelaki Lahore bertubuh kekar inilah yang menawarkan diri sebagai bodyguard dadakan, ketika aku diserang para demonstran yang tiba-tiba jadi brutal. Tadinya aku memang datang sendirian. Melihat mataku yang sipit dan kulitku yang kuning, para demonstran meneriakiku, Chini! Chini! Cina! Cina! Aku sudah jelaskan, aku bukan dari Cina, aku ini orang Indonesia, tapi sayang hari ini lupa bawa peci. Percuma, suaraku tenggelam dalam gemuruh yel-yel yang terus berkumandang. Massa mengerumuniku, menghardikku, memaksaku ikut meneriakkan slogan-slogan hujatan. Lelaki menarik kerah bajuku dengan kasar, mengangkatku ke angkasa, berseru: Apa yang kamu lakukan di sini" Dia mencoba merampas kameraku. Semakin banyak orang datang, berteriak-teriak ke arahku, mengajukan pertanyaan-pertanyaan serempak yang aku pun tak tahu bagaimana harus jawab. Ada yang mencekal pundakku, ada pula yang curi kesempatan meremas-remas pantatku dengan gemas.
Di saat inilah Qutbi datang, menggeretku. Aku mengikutinya karena suaranya lembut, di tengah keberingasan gerombolan lelaki. Ikut aku!, katanya. Dia menghalau semua orang marah itu, membawaku ke rumahnya, memberiku segelas air dingin,
menganjurkan aku segera pulang ke hotel, karena hari ini terlalu bahaya.
Aku menggeleng. Ada gemuruh dalam hatiku yang membuatku ingin mengikuti unjuk rasa ini. Ini adalah sebuah peristiwa , ini sebuah berita . Pertama kali dalam perjalananku, aku sungguh-sungguh berada di tengah sebuah peristiwa . Dan bukankah aku memang bercita-cita ingin jadi pewarta"
Qutbi tak berdaya dengan kekerasan tekadku. Istrinya yang bercadar sekujur tubuh datang membawa sebuah kopiah putih. Qutbi memasangkannya ke atas kepalaku. Sekarang kamu sudah seperti pelajar Muslim, katanya, Orang-orang itu tidak akan mengganggumu lagi.
Demikianlah, aku melangkah penuh percaya di samping Qutbi si bapak kekar dari Lahore, menyaksikan Pakistan yang seketika berganti wajah. Keramahan yang kukenal kini berubah jadi kemarahan, kemudian meledak, menyajikan kerusuhan, mutiny, anarkisme, pemberontakan, keganasan, tepat setelah mereka menyelesaikan ibadah salat berjamaah di masjid dekat Data Darbar. Perlahan, arakan manusia bergerak menuju pusat kota. Papan baliho sepanjang jalan dirusak, tinggal kerangka tersisa. Kios dan toko yang masih buka ditutup paksa. Semua barang terlempar ke udara: batu, kursi, tongkat. Aku nyaris jadi korban lemparan sepatu rombeng, andai bukan Qutbi yang mendorongku ke samping.
Mulut-mulut tanpa henti teriakkan slogan. Ada tawa lega menyelingi, sepertinya memang boleh tumpah sudah semua rasa yang dipendam selama ini. Truk melintas, mengangkut lusinan demonstran yang masih berwujud bocah-bocah ingusan. Gerai McDonald ludes sudah, asap hitam mengepul, bangkubangku masih berkobar. Mesin kasir diinjak-injak penuh sukacita. Sementara orang-orang di sekeliling, mungkin sama sepertiku journalist-wannabee, ramai-ramai mengabadikan gambar dengan kamera Nokia. Serpihan sobekan kertas dari kantor sebelah beterbangan, diterpa angin, berjatuhan bagaikan gerimis di tengah lautan ribuan lelaki yang berarak meneriakkan nama Tuhan yang Maha Besar.
Belasan pemuda menerjang gedung-gedung mewah sepanjang Mall Road, menjarah apa saja yang mungkin. Laptop, televisi, mesin cuci. Yang terlalu berat langsung dibakar. Tumpukan monitor dan komputer menyemburkan api di jalanan ramai. Lahore modern kini dibanjiri orang-orang beserban. Dari mana datang mereka" Di hari-hari biasa, aku tak pernah lihat sebanyak ini mode pakaian ala Timur Tengah di pusat kota Lahore. Gedung Telenor sudah tinggal sejarah, massa tak peduli bahwa perusahaan telekomunikasi itu punya Norwegia, bukan Denmark. Fakta itu sudah tak penting. Siapa yang masih berbantahbantahan mengenai hubungan antara Kentucky dengan Denmark" Apa urusannya National Bank Pakistan" Lalu Pizza Hut" Showroom Suzuki" Semua mengalami nasib sama, gosong setelah digarong.
Kemarahan sudah merembet ke mana-mana lepas kendali semakin beringas. Semua juga jelas melihat, kartun itu sesungguhnya cuma katalis, kesempatan meledakkan akumulasi kemarahan, bagaikan bisul busuk yang pecah memuncratkan nanah berbau amis yang selama ini disimpan di balik kulit. Nanah amarah mereka semprotkan pada pemerintah, Amerika, Yahudi, Barat, kafir, kapitalis, Denmark, orang asing, kekangan, kemiskinan, kerendahdirian, keterbelakangan, penjajahan.
Yih bohut accha hai. Ini bagus sekali! seru pemuda tertawa penuh kemenangan setelah membakar mobil-mobil dekat Bank Askari. Dia berteriak, Amerika memang harus dijatuhkan!
Aku nyaris berteriak balik, bagaimana mungkin si Amerika itu bisa jatuh hanya dengan membakari mobil dan rumah di Lahore. Tapi Qutbi menggeretku sebelum aku menyelesaikan kalimat. Tak ada guna berdebat dengan massa yang marah.
Kepada siapa sebenarnya kemarahan ini dipertontonkan" Kepada pelukis kartun" Kepada Denmark" Kepada Islamabad" Kepada manusia di penjuru seluruh bumi" Kepada Nabi" Kepada Tuhan" Kartun itu memang sungguh provokasi konyol murahan yang tidak menghargai perbedaan tapi justru berlindung di balik ketiak slogan kebebasan berekspresi. Itukah perbuatan beradab dari manusia-manusia beradab penghuni negeri-negeri beradab yang selalu mendengung-dengungkan keberadaban demokrasi" Kemarahan orang-orang di sini benar dapat dipahami, tapi ketika mereka merespons kartun dengan kerusuhan berdarah-darah membakari kota, sebenarnya jadi sama konyolnya dan sama murahannya, sama tidak beradabnya, malah seakan membenarkan isi tudingan dalam kartun.
Qutbi mengibaratkan, kerusuhan ini seperti orang yang marah dengan tetangga, tetapi malah membakari rumah dan dapurnya sendiri.
Dan di mana polisi" Setelah kantor Citibank ludes, rombongan polisi bertongkat kayu barulah datang. Para perusuh diperintah bubar. Demonstran malah bangkit amarah. Mereka melempar batu ke arah polisi. Polisi menyemprotkan gas air mata. Aku pas di tengah-tengah.
Aku bersembunyi menghindari batu beterbangan, batu runcing nyaris kena pelipis. Belum lagi semprotan gas, mataku perih. Qutbi tak sabar, menyeretku langsung ke pinggiran, menyuruhku cepat-cepat mengunyah garam. Di atas trotoar, terlihat jelas bilasan darah. Suara tembakan terdengar. Perusuh mulai reda. Semua orang disuruh duduk. Seorang mullah pemimpin Jama at-e-Islami menenangkan massa, meminta mereka pulang. Kemarahan ini tak bisa diredam dengan pentungan polisi, rentetan tembakan, ataupun gas air mata. Cuma sebaris omongan dari mulut sang mullah sendiri yang manjur membubarkan mereka.
Api terus berkobar. Kerusuhan Lahore hari ini memakan dua korban tewas. Keesokan harinya, kerusuhan dengan dalih yang sama meluluhlantakkan Peshawar. Lalu Islamabad... Rawalpindi... Karachi....
Lihat, siapa yang justru terbahak-bahak di luar sana" Gambargambar kartun sudah cukup membuat seluruh negeri mogok massal nasional, ekonomi lumpuh total, kota-kota terbakar ludes, sementara rekan-rekan sebangsa justru binasa meregang nyawa sia-sia.
Tapi sikap mereka tetap adalah sebuah kepastian. Apa pun yang terjadi, pembuat kartun itu harus dihukum mati, karena itu hukuman pantas bagi penghujat Nabi! , kata seorang mahasiswa.
Hukuman ini bukan kami yang tentukan, tetapi sudah tertulis jelas di Kitab Suci! , kata seorang pengusaha.
Kalau pembela dan pencinta Nabi disebut sebagai teroris, maka iya, aku adalah teroris! , kata seorang pengacara.
Senja perlahan membungkus Lahore. Bangkai-bangkai mobil dan pertokoan sepanjang jalan menjadi saksi kegilaan hari ini. Qutbi melangkah gontai dalam hening. Aku di belakangnya. Hatinya hancur.
Hatiku pun hancur. Mamamu masih merasa berdosa pada ibunya, kata Tante Ning.
Iya, kataku. Hati Mama tak tenang. Mama suruh aku cepat-cepat ke Jakarta, minta maaf di kuburan Emak dan Yeye.
Rasa bersalah itu memang wajar, tapi buat apa jauh-jauh ke Jakarta hanya untuk minta maaf ke kuburan"
Mama bilang, sejak Emak mati sudah sepuluh tahun lebih dia tidak ke Jakarta, tidak pernah membersihkan kuburan orangtua. Tahun ini kan rencananya mau ke sana, eh siapa sangka jadi sakit begini.
Kamu kasih tahu, kuburan itu bukan yang utama. Emak dan Yeye bukan di sana, cuma ada debu dan tulang-tulang. Mereka sudah di surga yang indah, berbahagia bersama Tuhan Yesus. Minta maaf itu cuma boleh kepada Tuhan. Berdoa di sini pun sama saja.
Tapi, kataku, ini mungkin adalah permintaan terakhirnya....
Ini bukan perjalanan yang selalu mudah, bukan pula di negara yang nyaman. Aku melihat kehancuran di sana-sini, ketidakadilan, krisis identitas. Ada air mata, ada jenazah, ada banjir darah. Tapi entah mengapa, perasaanku dengan Pakistan justru begini dalam. Bersama kehancuran ini aku menangis, bersama
mogok massal hatiku ikut sunyi dan dingin, bersama bencana yang bertubi-tubi aku berbaur dalam semangat perjuangan. Dalam carut-marut kehidupan di sini, aku pun terlarut dalam dunia mereka.
Selama ini, aku memang melintasi negeri-negeri yang relatif lebih miskin dan menderita daripada kehidupanku di Indonesia. Tentu, di satu sisi ini membawa perubahan pada caraku memandang keindonesiaanku. Indonesia memang bukanlah negeri yang sempurna, namun perjalanan membuat aku semakin menghargai tanah airku sendiri, bangsa dan identitasku, masa lalu dan hari depanku. Juga hal-hal yang tak pernah kusyukuri sebelumnya, seperti sinar mentari tropis atau langit biru, air yang melimpah dan pantai yang membuai, kebebasan berpikir dan demokrasi. Namun, inti perjalanan bukanlah melihat penderitaan negara lain untuk mensyukuri keberuntungan diri.
Perjalanan itu sesungguhnya adalah belajar untuk menatap cermin. Kusadari, sejak meninggalkan Tibet, gaya perjalananku pelan-pelan berubah. Dalam perjalanan, memang pada awalnya kita belajar menghilangkan diri, tapi pada akhirnya kita justru menemukan diri dan menjadi diri. Di awal perjalanan kita melihat negeri-negeri yang antik dan eksotik, tapi semakin lama kita berjalan, yang kita lihat justru adalah gambaran kemanusiaan kita sendiri. Di awal perjalanan, kisah berpusat pada aku dan selalu aku , namun perlahan-lahan si aku meredup, berganti dengan mereka . Aku telah memakai shalwar qamis seperti mereka, berbahasa Urdu seperti mereka, ikut tertawa dalam humorhumor mereka. Sampai pada akhirnya, aku adalah mereka, dan mereka adalah aku. Kisah tentang mereka juga adalah kisah tentang diriku. Di hadapanku yang terpampang memang adalah
Pakistan, tetapi yang kulihat di mana-mana adalah Indonesiaku.
1995, 1996, 1997, 1998.... Tahun-tahun berlalu dalam ketakutan. Betapa mudah kemarahan meledak, kerusuhan tersulut. Provokator, provokator, provokator, kambing hitam setan gundul selalu disebut-sebut. Seluruh negeri membara, tak ada siapa pun yang bisa jamin besok kita masih menghirup udara. Di Rengasdengklok, rumah-rumah dan toko-toko milik Tionghoa dibumihanguskan, juga vihara dan gereja-gereja, hanya garagara seorang Tionghoa marah-marah tidurnya terganggu panggilan sahur. Di Pekalongan, toko-toko Tionghoa habis dibakar, gara-gara seorang sakit jiwa merobek Al Quran. Ujungpandang, Pamanukan, Lombok, Solo, Kraksaan, Medan, Belawan, Losari, Sumbawa.... Satu per satu kota Nusantara jadi lautan api, menambah daftar panjang lembaran hitam sejarah pembantaian negeri kita di penghujung abad ke-20.
Tengkorak Hitam 2 Wiro Sableng 029 Bencana Di Kuto Gede Api Di Bukit Menoreh 11

Cari Blog Ini