Ceritasilat Novel Online

Via 2

Via Karya Dirgita Devina Bagian 2


Ayah, itu bisa membantu keluarganya."
"Haaah...!" Mita tiba-tiba menghela memelas.
"Aku ternyata memperbincangkan hal sensitif.
Sudahlah, lebih baik kita lupakan saja kakakku itu.
Mari kita mengobrol barang sebentar. Aku ingin tahu
kisah lebih banyak tentang keponakan baruku yang
satu ini." Lagi, Mita tersenyum. Dan mereka kembali
berjalan. Entah mengapa, Danti merasa diejek oleh
senyuman manis itu. Senyuman yang telah membuat
para dosen lajang di kampus ini terkena panah
kasmaran. *** Ternyata, berurusan dengan Wiwid membuat
Alwi jengkel. Setelah mulut mahasiswi itu terbuka,
ternyata sangat sulit untuk menutupnya. Bahkan,
setelah disumpal sedotan teh botol.
"Kau yakin akan memberikan bunga itu?"
Wiwid benar-benar tak bisa diam. Pertanyaannya
menyembur usai menyeruput sogokannya, hingga
tersisa setengah. Alwi mengerem langkah dan menghela
kencang. Bunga mawar pemberian Mita kini dibalut
plastik bening. "Semakin kau bertanya, semakin aku gugup."
Alwi benar-benar merasa jantungnya bagai samsak
para petinju. "Sebaiknya, kau diam. Aku sudah
memberimu hadiah penutup mulut, kan?"
"Ini?" Wiwid mengangkat tangan kanannya,
tergenggam satu teh botol. Isinya tinggal seperempat.
"Sebaiknya, kau pikirkan makanan lain yang bisa
menyumpal mulutku. Burger?"
"Lagi pula, mengapa kau masih mengikutiku"
Urusan di antara kita bukankah sudah beres?"
Wiwid tersenyum licik. "Megingat apa yang
telah kuperbuat pada bungamu itu, bukankah
seharusnya aku yang berkata demikian?" Dan, ia
mengubah raut wajahnya lagi. Senyumannya hilang,
berganti serius dengan tarikan alis mata yang tegas.
"Lagi pula, siapa tahu aku akan mendapat jajan gratis
jika terus bersamamu."
"Pemerasan...!" gerutu Alwi. Wiwid hanya
tersenyum menampakkan jejeran giginya yang putih
mengkilap. Lalu tanpa belas kasihan, ia habisi teh
yang tersisa di dasar botolnya dalam sekali sedot.
Tiba-tiba, ia menertawainya. tersedak. Giliran Alwi yang "Itu Danti!" Wiwid tersedak karena melihat
gadis itu di sebuah lorong, tengah berbincang hangat
dengan wanita lainnya. Dan kini, mereka berbelok ke
arah Wiwid dan Alwi. Alwi melompat dan berlindung di sebuah tiang.
Wiwid tak lupa ia tarik serta.
"Kau kenapa?" tanya Wiwid.
"Itu Danti. Tak kusangka akan secepat ini." Alwi
merasakan dadanya tiba-tiba sesak.
"Jika kau belum siap, maka persiapkanlah
dirimu dulu," pesan Wiwid. "Sampai nanti." Ia pun
berputar hendak beranjak.
"Eh, mau ke mana?" cegah Alwi.
"Lho" Bukankah kau sendiri yang memintaku
enyah?" "Terlambat. Lebih baik, kau membantuku."
"Aku bisa bantu apa?"
"Kau bisa memberitahuku, kapan mereka akan
sampai kemari. Jujur, aku tidak bisa menatap Danti
secara langsung sekarang. Itu malah membuat
jantungku berdetak kian tak menentu."
"Baiklah. Aku bisa melihatnya. Wajahmu sangat
pucat." "Benarkah?" Wiwid mengangguk pelan. "Sebaiknya, kau cepat-cepat menenangkan diri.
Mereka tinggal beberapa langkah lagi."
Alwi memejamkan mata dan mulai menghela
napas. Kumpulan bunga mawar di tangannya ia
genggam erat-erat. "Dengar, aku akan menghitung
Lima..., empat..., tiga..., dua..., satu!"
mundur. Ini yang terakhir. Alwi menghela cukup keras.
Tubuhnya berputar dan melangkah mantap ke
tengah lorong. Danti dan Mita jelas-jelas kaget
mendapati pemuda itu tiba-tiba berhenti di depan
mereka. Sembari menundukkan kepala, tangannya
terulur dengan menggenggam sekelompok tangkai
bunga mawar. "Kumohon, terima bungaku!" Masih saja Alwi
tak berani untuk mengangkat kepala. Sementara di
dekat tiang, Wiwid memasang tampang pucat.
Teman-teman mahasiswa lain, baik di lorong
maupun di taman, juga tak kalah berwajah bego.
"Kau..., kau pasti sudah tahu, bahwa aku selama
ini mengikutmu. Aku mohon maaf. Tapi, aku
melakukan itu semua karena aku menyukaimu.
Aku..., aku.... Kumohon! Terimalah bunga ini, tanda
bahwa kau menerima perasaanku!"
Wiwid memejamkan mata. Ia tak mampu lagi
melihat. Alwi bodoh, makinya. Alwi malang,
rintihnya. "Ah, bagaimana ini..." Terlalu mendadak...."
Sebuah suara yang cukup asing di telinga Alwi
akhirnya terdengar. Nada suaranya terlalu rendah
bagi seorang Danti. Menyeruak terlalu merdu dari
yang seharusnya. Maka, pelan-pelan, Alwi mengangkat wajah. "Apa kau benar-benar menyukaiku?"
Serasa puing-puing langit meruntuhi kepalanya.
Petir seakan-akan menyambar di siang bolong, ketika
Alwi dapati ke arah mana sebenarnya tangannya
mengulur. Danti yang menjadi target, ternyata
berdiri lebih ke kiri. Sementara orang yang sekarang
benar-benar di hadapan mukanya, adalah..., tak
lain..., dosen baru yang bernama Mita.
Bukannya segera menarik tangan, Alwi justru
membeku. Di hadapannya, seperti Mita menanggapi
serius. "Kau terlalu gigih...," bibirnya bergerak kecil.
"Hanya kau yang hingga kini berani terangterangan."
"Aku..., aku...." Alwi merasa rohnya tersedot ke
dimensi lain. "Baiklah, kuterima...."
Beledar! BAB 7 "Baiklah, kuterima...."
Alwi membatu. Dadanya sesak, seakan dihimpit
isi dunia. Terlebih, ketika jemari sang dosen akhirnya
menarik lembut kumpulan mawar yang ia genggam.
Wiwid turut syok. Kepalanya pusing. Dengan
mata yang berkunang-kunang, ia tersandar di tiang
koridor. Mawar-mawar itu kini berpindah di dekapan
Mita. Tak seperti mawar-mawar sebelumnya, yang
akan ia bagi-bagikan gratis. Kini, kumpulan beberapa
tangkai bunga uluran Alwi, sepertinya akan ia
simpan baik-baik. Bibir Mita menggores senyum. Tampak tulus
dan anggun. Namun bagi Alwi, justru sungguh
menyayat perasaannya. Dan sembari hanya
tersenyum, Mita kembali mengayun langkah.
Ditelantarkannya Alwi bersama tabuh-tabuh gendang
perasaan hancur yang semakin keras.
Mita dan Danti akhirnya semakin jauh.
Sementara Alwi, masih serupa patung batu. Wiwid
menghampirinya dengan langkah yang terasa gegar.
Disentuhnya pelan pundak Alwi, namun pemuda itu
terus tak bergeming. Wiwid hanya bisa menunduk,
lalu berputar hendak beranjak.
Genggaman tangan tiba-tiba mengurungkan
niatnya. Wiwid menoleh. Kedua tangan Alwi tidak
lagi mengacung. Keduanya telah berlabuh, dan salah
satunya kini menggenggam hangat pergelangan
Wiwid. Mata Alwi yang semula kosong, mulai pendar
berkaca-kaca. Keduanya sontak saling rangkul dan
terisak. *** Antara Wiwid dan Alwi sebenarnya bukan
tetangga jauh. Semenjak Alwi berkuliah di
universitas yang sama dengan Wiwid " Universitas
Pontianak " Alwi mengontrak salah satu rumah
kepunyaan orang tua Wiwid. Setidaknya, ada
sepuluh rumah yang posisinya dalam satu kompleks
tanah milik Juragan Darsono, ayah Wiwid. Salah
satunya yang terdekat, bersebelahan rumah, adalah
yang dikontrak oleh Alwi. Bahkan, jendela kamar
mereka saling berhadapan.
Wiwid sempat protes kepada sang ayah, takut
aktivitasnya bisa dimata-matai oleh Alwi.
"Dia, kan, cowok, Yah. Wiwid risih. Lebih-lebih
menurut statistik, 80% laki-laki itu hidung belang,
mata keranjang, dan tidak bisa dipercaya." Wiwid
menyerang ayahnya seusai makan malam, dengan
bukti empiris asal comot di Internet.
"Halah, kamu itu!" cengkok Jawa sang ayah
terdengar kental. "Belum berkenalan sudah berkata
jelek. Anaknya baik. Selain ayahmu ini, dia pasti
masuk kategori yang sisa 20%. Tidak hidung belang,
tidak mata keranjang, dan dapat dipercaya."
"Paling, cuma luarnya saja...," bibir Wiwid
sudah serupa bibir ikan mas koki.
"Halalalah!" Wiwid mendelik. Ayahnya tiba-tiba meluncurkan kata pamungkas saat berdebat. Jika
diteruskan, ayahnya bisa berubah menjadi pelempar
apa saja. Apa saja yang ada di dekatnya.
"Pokoknya, Bapak ndak suka kamu ngomong
begitu! Titik! Kamu harus terima. Lagi pula, kamu
sendiri yang minta rumah di depan jendela kamarmu
itu secepatnya dikontrak orang, bukan dihuni hantu."
Wiwid hanya bisa tertunduk, sembari matanya
mencuri lihat. Bapaknya sedang duduk di kursi rotan,
di depannya ada meja, di atasnya ada segelas kopi.
Bapaknya sudah menyalakan lampu kuning tadi.
Kalau ia menyahut, bisa jadi benda-benda yang baru
saja ia lihat akan terbang ke arahnya.
Lagi pula, apa yang dikatakan bapaknya itu
sedikit ada yang benar. Rumah di depan jendela
kamarnya itu menyimpan cerita tragis. Seorang
mahasiswi yang mengontraknya empat tahun lalu
ditemukan tewas gantung diri. Dan setelahnya, cerita
seram mulai beredar. Singkat kata, tidak ada yang
tahan tinggal di rumah itu cukup lama. Setidaknya,
setelah tiga minggu mengontrak pasti sudah
hengkang karena takut. Terlebih, selama ini yang
suka mengontrak rumah itu adalah para gadis.
Hanya Alwi pengontrak laki-laki pertamanya. Dan
Alwi bisa dikatakan awet di rumah itu. Sudah dua
tahunan dan sepertinya tidak bermasalah dengan isu
roh gentayangan. Dan oleh karenanya, pagi-pagi sekali ketika
embun sudah mulai tipis, Wiwid bisa menemukan
wajah Alwi terpajang di depan jendela rumah
seberang. Tanpa ekspresi. Menatap langit. Penasaran,
Wiwid yang belum cuci muka karena baru bangun
tidur turut mengekori arah mata Alwi. Yang terlihat
hanyalah langit yang mulai membiru dengan dihiasi
bercak-bercak putih dan beberapa titik berpijar
redup. Wiwid menggeleng dan segera pergi ke kamar
mandi. Sepuluh menit kemudian, ia muncul dengan
wajah sedikit segar. Kedua tangannya cekatan
merapikan rambut dengan sebuah pita di belakang
kepala. Berhenti di depan jendela, wajah Alwi masih
terpampang. Matanya masih lurus ke langit. Mata itu
pelan-pelan mulai berpendar.
"Hei!" Wiwid tergoda untuk menegur pemuda
itu. Pelan, Alwi menoleh. "Jadi cowok jangan
cengeng, dong!" Alwi malah mengangkat sebuah
Wajahnya kini tertutup lembarannya.
buku. "Kasih, jika aku tak bisa menggapaimu, lebih
baik aku mati saja...."
"Eih!" Wiwid bergidik kaget. Ditariknya sebuah
kamus tebal dari meja, dan begitu saja dilempar ke
arah Alwi. Dengan mulus, menghantam wajah dan


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat Alwi terjengkang.
"Aduh...!" Wiwid kini malah meringis. Tak
disangkanya ia mampu melempar begitu tepat.
"Apa-apaan?" Alwi tiba-tiba muncul.
"Maaf! Aku cuma ingin kau sadar."
"Sadar dari apa?"
"Ratapan anak tiri," jawab Wiwid asal.
"Sebegitunya kau menyukai Danti, hingga ingin
bunuh diri segala. Padahal, sudah ada Ibu Mita."
*** "Hatchieh!" Danti yang tengah menggosok gigi
tiba-tiba bersin. *** Mita berhenti menggosok piringnya dengan
spons pembersih. Sepertinya ada sesuatu yang
mengitari pendengarannya.
"Telingaku, kok, berdengung, ya?"
*** Wiwid sempat bersyukur. Buku yang ia lempar
tadi pagi bukanlah buku materi pokok Ekonomi
Makro. Pasalnya, buku hasil meminjam tersebut
menyebelah dengan kamus. Jika ia lempar, sudah
pasti ringsek. Dan jika ringsek dengan lembarannya
yang burai, bisa menimbulkan masalah gawat.
Dijamin, ia bakal terkena embargo meminjam buku
dari Via. Terlebih, ia berjanji mengembalikan buku
tersebut keesokan hari. Meski bukan jurusan yang ia
ambil, Via memiliki koleksi buku dari mata kuliah
khusus jurusan-jurusan lain, menjadikannya tempat
favorit untuk meminjam bahan belajar.
Di antara seliweran mahasiswa di lorong
kampus, Via adalah salah satunya. Rasa tak begitu
enak yang membelit di hatinya memang berangsur
pergi. Pagi ini, ia memperoleh kabar bahwa pemuda
yang telah ia buat gegar otak berangsur pulih. Lebih
cepat dari yang dibayangkan.
Namun, masih ada yang mengganjal. Alangkah
baiknya pagi ini bila ia bisa berjumpa dengan Andre.
Mungkin, rasa itu akan hilang dengan cepat. Ia jadi
tidak perlu khawatir akan memporak-porandakan isi
kampus. Sayang, meski setahu dirinya Andre memiliki
jadwal kuliah pagi ini, mobil jip milik Andre tidak
tampak di pelataran parkir. Sudah pasti pula Andre
tidak menyambangi kampus. Ada apa gerangan"
Semalam lagi-lagi tidak menjemput, pagi ini tidak
kuliah, SMS tidak dibalas, ketika ditelepon nomornya
malah tidak aktif. "Hei, ada apa?" Wiwid tiba-tiba muncul.
Refleks, Via menjawab, "Entahlah, tidak ada
kabar sama sekali dari Adre."
"Hei!" Wiwid pun kaget dengan apa yang ia
peroleh. Sementara Via, segera menutup mulut.
Namun, kata-kata itu sudah terlanjur keluar, dan Via
hanya bisa menimpal, "Apa yang aku bicarakan?"
"Kau memiliki masalah dengan Andre" Ya,
Tuhan. Sungguh suatu keajaiban. Hari ini, dua orang
yang kukenal masing-masing memiliki masalah
dengan asmara mereka."
"Aku tidak punya masalah dengan Andre,"
sanggah Via segera. "Aku hanya tidak mendapat
kabar, mengapa hari ini ia tidak kuliah."
"Ah, sudahlah. Itu urusanmu. Tapi kuharap, kau
masih ingat dengan pesanku kemarin. Kumis kucing
garong Andre sudah mulai memanjang. Kau harus
segera ambil gunting."
Via menggeleng kecil dan terus melangkah. Ia
tak menyahut. Mencoba tidak menanggapi kata-kata
Wiwid yang sudah mulai pedas.
Wiwid tetap mengekor. "Tapi Via, sepertinya
kau lebih beruntung ketimbang Alwi."
"Alwi denganku?" yang mana" Apa hubungannya "Kau pasti kenal dengan Alwi yang ini. Itu...,
pemuda yang sering mengekori Danti. Danti pasti
bercerita denganmu, kan?"
Via mengangguk-angguk. Siapa yang tak kenal
dengan orang yang selama ini menjadikan dirinya
biro konsultasi" "Memangnya, ada apa dengannya"
Bertepuk sebelah tangan?" Meski sudah tahu, Via
berpura-pura tidak paham.
"Aku tidak tahu istilah apa untuk kasus yang
menimpanya. Bisa dibilang, ia gagal mendapat hati
Danti. Namun, ia justru berhasil tanpa sengaja
memperoleh hati dosen baru di kampus ini. Bagai
100 bidadari yang terpeleset dari khayangan. Cantik dan
pintar." Via berhenti. Wiwid tak kalah sigap mengerem.
Sudah saatnya junior yang satu ini dibungkam, pikir
Via. Tapi, tentunya bukan dengan membentakbentak, mengkritik, atau ngeloyor pergi dengan muka
berkerut-kerut. Itu hanya akan membuat dirinya
kembali kehilangan teman.
"Apa kau tidak sedang menjahiliku?" mulai Via.
"Mendapat perhatian dari seorang gadis tanpa
sengaja. Orangnya bak bidadari, cantik, dan pintar.
Apa bukan sebuah keberuntungan?"
"Sebuah keberuntungan apabila ceritanya
seperti dirimu dan Andre ketika awal menjalin
hubungan. Tapi ini..., oh, kau patut berbelasungkawa." Wiwid menatap lurus ke ujung lorong. Seorang
pemuda berjalan dengan mata kosong ke arah
mereka. Di keningnya, menempel plester luka.
"Kau tahu seberapa mahal ia harus membayar
karena memiliki hati bidadari itu?"
Via menghela. "Setahuku, kau adalah mahasiswi
jurusan Manajemen. Apakah kau sudah pindah ke
jurusan Bahasa dan Sastra?"
"Aku serius! padanya?" Kau tahu 101 apa yang terjadi Via menggeleng. "Dosen baru yang bernama Ibu Mita itu diincar
oleh dosen-dosen lajang maupun sudah beristri di
kampus ini. Jelas, Alwi memperoleh lawan tanding
kelas kakap untuk mempertahankan hati Ibu Mita.
Selain itu, karena Ibu Mita lebih memilih Alwi
ketimbang salah satu dosen itu, dosen-dosen yang
mengincar Ibu Mita menjadi sinis kepadanya. Hari
ini, Alwi menerima tindakan diskriminatif di dua
dari lima kelas yang ia ikuti."
"Ya, ampun...."
Dari jauh, tampak Alwi tiba-tiba menunduk.
Kedua tangannya menutup hidung. Ia sepertinya
bersin. Dan ketika wajahnya kembali terangkat,
ujung matanya tak sengaja menemukan Wiwid.
"Astagfirullah alazim! Dia melihatku!"
Via segera melirik berjumpa hantu saja."
Wiwid. "Kau seperti "Aku tidak ingin terlibat dalam urusannya.
Permisi...!" Wiwid berputar dan siap untuk kabur.
Namun baru kakinya hendak diayun, segenggam
tangan merangkul pergelangan tangan kirinya.
Wiwid berbalik. "Alwi?"
"Cepatnya...," gumam Via.
102 "Alwi, kumohon!" Lebainya Wiwid pun keluar.
Semua mahasiswa menoleh. "Kumohon, lepaskan
aku! Aku tidak ingin terlibat dalam masalah ini lebih
jauh." Drama kolosal penuh darah dan air mata
tersaji gratis di lorong kampus.
"Tidak bisa...!" Tatapan kedua mata Alwi bagai
dua bilah pisau yang baru diasah. Sangat tajam
menembus hingga sumsum tulang belakang. Seketika
itu, Wiwid merasa dengkulnya lemas. Ia belum
pernah setakut ini, terlebih di hadapan pemuda yang
selama ini ia anggap tolol.
"Aku tidak akan melepaskanmu," sambung
Alwi. Lebai Wiwid ternyata sejenis penyakit menular.
"Kau mengantarku dalam masalah ini. Kita akan
selesaikan masalah ini sekarang juga."
"Ya, Tuhan.... Tak kusangka akan dipanggil
begitu cepat!" "Bicara apa menyeretnya. kau" Ayo, ikut!" Alwi pun "Tidaaak! Dosaku masih banyak!"
Via yang ditinggal hanya menggeleng kecil.
Senyum halus pun melintas setelah sekian lama sulit
untuk bersinggah di bibirnya. Wiwid hari ini aneh,
begitu pula Alwi. Ingat akan Alwi, senyum itu perlahan bubar.
Via menoleh ke arah Alwi datang, lalu menoleh lagi
103 ke arah di mana tiba-tiba ia sudah menggenggam
pergelagan tangan Wiwid. "Ia melangkahi jarak tiga puluh meter dalam
waktu singkat. Sepertinya, cocok sebagai atlit lari 100
meter. Jangan-jangan, itu adalah hasil berlatih untuk
mengekori Danti" Luar biasa...." Via pun beranjak.
*** Sebuah nada mengalun dari balik tas mungil
milik Wiwid. Ada seseorang yang menghubungi
ponselnya, dan ia harus segera menerima panggilan
itu. Alwi dipinta segera berhenti.
"Assalamualaikum...," sambut Wiwid setelah
memencet tombol hijau dan mendekatkan ponsel itu
di depan telinga. "Oh iya, ini Wida. Alwi" Dia
sekarang bersamaku. Baiklah, akan segera kusampaikan." Ponsel ditutup. ponselnya ke dalam tas. Wiwid mengembalikan "Aku pinta kau tidak menyeret-nyeretku lagi
dalam masalah ini." "Bagaimana tidak" Kau punya andil."
"Andil apanya" Kau melompat terlalu jauh!"
104 "Kau tidak memberitahuku posisi Danti."
"Kau tidak bertanya!"
Masing-masing berwajah ngotot. Seakan beradu, siapa yang matanya copot lebih dulu dialah
yang menang. Merasa tidak akan pernah berakhir,
Wiwid sadar dan menarik diri.
"Sudahlah. Berkeras menyeretku pun kau tidak
akan berjumpa Ibu Mita di ruang dosen. Jadwal
Beliau telah habis untuk hari ini. Dan satu jam lalu
sudah pulang. Sekarang, ia di rumah temannya untuk
menghadiri acara reuni kecil."
"Kalau begitu, besok!"
"Tidak...." Wiwid menggeleng. "Ibu Mita ingin
menemuimu malam ini. Pukul delapan malam, di
Mirna Cafe "n Resto."
"Kalau begitu, ini pertama kalinya kita keluar
malam berdua. Semoga ayahmu memberi izin."
"Ibu Mita ingin kau datang sendiri."
Alwi melongo. Wajahnya bungkam seribu bahasa. memucat dan "Hei...," Wiwid menegur, lalu berujar dengan
suara pelan, "Ini kesempatanmu untuk mencari tahu,
apakah Ibu Mita serius denganmu atau hanya mainmain. Jadi, kusarankan kau untuk pergi. Dan Ibu Mita
105 pasti punya alasan tersendiri yang mungkin hanya
enak dibicarakan antara kalian berdua."
Alwi masih pucat. Tak mampu berkata-kata.
Entah otaknya bekerja, atau malah sibuk memikirkan
apa yang harus ia perbuat.


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku permisi...." Wiwid pelan-pelan melangkah
mundur. Tetapi ketika telah siap untuk berlari
sekencang-kencangnya, akal jahat minggat di
kepalanya, hingga ia bergegas mendekati kembali
Alwi yang masih membisu. "Ingat, Alwi. Apabila Ibu Mita serius kepadamu,
itu adalah anugerah sekaligus musibah. Anugerah
karena wanita seperti Ibu Mita adalah wanita ideal
yang sulit dicari. Sementara musibah, karena
kudengar dari beberapa sumber, banyak pria yang
mengincar Ibu Mita. Aku berharap, kau harus
berhati-hati." Wiwid merogoh tas, menarik kunci sepeda
motor yang dibandul tiga boneka beruang. Salah
satunya dicopot dan diletakkan di genggaman Alwi.
"Ketiga beruang milikku ini melambangkan
kesehatan, kesejahteraan, dan keamanan. Karena
kita bersahabat, aku rela meminjamkan keamananku
padamu. Jaga baik-baik. Aku permisi dulu. Ada
kuliah lain yang harus kuikuti."
Pelan-pelan Wiwid menyeret kaki, lalu akhirnya
berlari menahan senyum. 106 *** Siang itu adalah siang terakhir kali ia melihat
wajah Alwi di kampus. Selebihnya, hingga pulang ke
rumah nyaris pukul empat sore, mereka sama sekali
tidak berjumpa. Seandainya pun berjumpa, Wiwid
akan dengan sigap memasang langkah seribu.
Kira-kira, hampir pukul enam sore Alwi baru
pulang. Ia masih setia mengikuti kegiatan yang
dijalani oleh Danti, seperti basket dan karate. Namun
berdasar info dari seorang teman yang Wiwid
hubungi via ponsel, Alwi tidak bersemangat seperti
biasanya. Wiwid terpaksa menelepon temannya itu
untuk memastikan bahwa Alwi terlambat pulang
bukan karena kabur. Jika Alwi kabur dan tidak
menemui Ibu Mita malam ini, maka proyek bernilai
ratusan ribu rupiah akan kabur juga.
Usai menelepon temannya, masih sempat pula
Wiwid menggerutu, "Dasar cowok katrok! Ponsel saja
tidak punya." Oleh karena itu, Alwi tidak bisa
dihubungi langsung olehnya.
Dengan setia, Wiwid hingga pukul setengah
delapan malam mengintai di ruang tamu. Dari balik
tirai jendela, ia bisa pastikan bahwa pemuda sumber
uang jajannya keluar rumah malam ini.
"Awas kalau sampai tidak, akan aku cekik!"
ancam Wiwid dalam hati. Jemarinya sudah
menyeringai, memperagakan teknik mencengkik
yang dapat membunuh dengan efisien.
107 Karena ulah Wiwid menunggui jendela hingga
lupa makan malam, sang ibu jadi risih dan mengadu
pada sang bapak. Pak Darsono itu jarang di rumah,
lebih sering di kebunnya yang ratusan hektar, kebun
sawit, kelapa, duren, dan rambutan.
"Bapak, anak kita sepulang kuliah jadi aneh,"
sang ibu mengadu, sembari menyodorkan secangkir
kopi panas nan pahit di meja makan. Minuman yang
satu itu sudah jadi tradisi seusai makan malam.
"Aneh bagaimana?"
"Itu, dari tadi ngintip terus dari balik jendela
ruang tamu. Sampai-sampai, makan pun di situ.
Kalau tidak diingatkan, pasti dia juga lupa makan
malam." "Memangnya, kenapa, ya, Bu" Apa sudah
seharusnya Wiwid berhenti kuliah" Jangan sampai ia
seperti anak adikku. Hari ini mungkin dia cuma
menunggui jendela, tapi besok pulangnya bonyokbonyok."
"Hus! Keponakanmu itu tawuran. Bukan kuliah
yang bikin dia begitu. Ibu rasa, Wiwid sudah mulai
suka sama laki-laki."
"Alhamdulillah, anak kita normal. Tapi,
bagaimana Ibu bisa tahu" Anak laki-lakinya tadi
mampir ke rumah" Mengantar pulang Wiwid?"
"Nggak. Wiwid dari tadi mengintip rumah di
samping kita ini. Rumah itu, kan, dikontrak sama
108 laki-laki. Ibu juga sempat lihat, Wiwid senyumsenyum waktu tahu si Alwi sudah pulang."
"Yang benar saja, Bu" Dengan Alwi" Tidak boleh
itu! Wiwid rencananya Bapak jodohkan dengan putra
sahabat karib Bapak."
"Bapak mau menjodohkan Wiwid?"
"Nanti saja kita bicarakan. Bapak mau bicara
dulu dengan anak kita itu."
Sementara di serambi, senyum Wiwid merekah
bagai bunga mekar di pagi hari. Ia bisa melihat Alwi
keluar dari rumah. Tampilannya rapi, sudah pasti
bukan untuk kabur karena tidak membawa koper
besar. Asyik tersenyum, ponsel miliknya tiba-tiba
mengikik. Tadi siang, ia mengunduh nada dering
tertawa Mak Lampir. Begitu selesai, langsung ia
pasang hingga sekarang. "Tunggu saja, Bu. Alwi baru turun dari
rumahnya. Sekarang, ia baru saja melintas di depan
rumahku. Walaikum salam...."
Ponsel ditutup. Saking senangnya mengetahui
Alwi beranjak ke luar rumah, ia melompat tinggi
nyaris menyeruduk plafon. "I love you, Alwi!"
pekiknya sembari melempar kecupan jarak jauh.
"Ehem!" 109 Wiwid menoleh. "Bapak?"
*** Sudah pukul 20.05 WIB. Alwi sepertinya akan
terlambat. Atau paling parah, ia berubah pikiran dan
kembali pulang. Berharap Alwi memiliki niat positif
untuk menemuinya malam ini, Mita menaikkan batas
toleransi. Ia kembali sibuk mengetik pesan instan via
protokol Yahoo!. Asyik mengetik, ponsel miliknya berdering
halus. Sebuah pesan ia terima. Begitu tahu siapa sang
pengirim, ia sontak menutup pesan tersebut dan
meletakkan ponsel di atas meja. Dengan ragu-ragu
dan sedikit berpoles cemas, ia melirik kiri dan kanan.
"Tidak ada yang patut kucurigai di tempat ini.
Apa mungkin di luar?" Mita bergumam.
"Maaf, terlambat."
Bagai kaget, Mita menoleh. "Ah! Kau" Alwi."
"Maaf, sekarang saya membuat Ibu kaget."
"Tidak apa-apa. Ayo, silakan duduk." Dengan
piawai, Mita meredam rasa paniknya. Ia kembali ke
sosok wanita berpembawaan tenang.
110 Alwi duduk di kursi yang saling berhadapan
dengan Mita. Mita sendiri mengetik pesan bahwa ia
akan segera offline. Begitu terkirim dan memperoleh
respon, ia menutup aplikasi dan mematikan
laptopnya. Untuk memulai suatu pembicaraan serius, Mita
berinisiatif memesan minuman dingin untuk Alwi.
Seorang pramusaji menghampiri meja mereka. Alwi
terkaget karena mengenal pramusaji yang datang.
"Alwi" Wah, kebetulan sekali bisa berjumpa
malam ini. Ada kuliah tambahan, ya, Bu?" Itu adalah
Via. Ia membuat Alwi serba salah.
Tiba-tiba saja Alwi berdiri dan berbisik kepada
Via, "Jangan beri tahu Danti soal ini, ya?"
"Soal apa" Apa hubungannya dengan Danti?"
Via memanfaatkan situasi dengan berpura-pura
bodoh. "Kakak Senior jangan
Wiwid...!" bisik Alwi lagi.
bertingkah seperti Via nyengir kuda. "Oke, mulutku terkunci rapat.
Tapi, aku tidak menjamin Danti tidak akan tahu
hubungan antara kau dan Ibu Mita. Aku tahu berita
ini dari Wiwid." "Aduh...!" Alwi menepuk kening. "Gadis itu
memang ember." "Dia memang begitu," Via menimpali.
111 "Terima kasih, Kakak Senior. Sudah membuat
kepalaku makin pusing."
Via terkekeh. "Aku tidak suka kau memanggilku
"Kakak Senior". Panggil "Via" saja."
Alwi mengangguk dan Via tugasnya mencatat pesanan Ibu Mita.
melanjutkan "Jadi..., jadi..., apa yang akan kita bicarakan?"
Alwi memberanikan diri untuk bertanya. Pada saat
itu, Via telah kembali ke meja kasir untuk
menyerahkan daftar pesanan. Ibu dosen di depannya
itu cuma diam sembari sesekali tersenyum. Membuat
jantung Alwi deg-deg seeeeer!
"Tentang insiden bunga itu. Tidak keberatan?"
Mita menjawab. Matanya yang kemudian menatap
langsung pandangan Alwi membuat pemuda itu
serba salah. "Ti..., tidak," sahutnya. "Justru, saya pun ingin
membicarakan hal yang sama kepada Ibu."
"Hei, tidak perlu sok resmi begini," tegur Mita
kemudian. "Hanya akan membuat suasana menjadi
kaku. Di kampus, kau boleh memanggilku "Ibu". Tapi
jika di luar tugas, kau bisa memanggilku "Mita".
Hanya "Mita". Lagi pula, usia kita sepertinya tidak
terpaut jauh. Dari data yang kudapat, kita hanya
berbeda sekitar... enam tahun."
"Ng...," Alwi menimbang-nimbang
"Baiklah, jika itu yang diinginkan Ibu."
112 sejenak. "Hei!" Mita lagi-lagi menegur. Alwi masih
memanggilnya "Ibu". Setidaknya, ada dua alasan ia
tidak ingin dipanggil demikian di luar tugas. Pertama,
sudah barang tentu karena ia tidak dalam posisi
sebagai "Ibu Dosen". Dan kedua, ia merasa dirinya
sangat tua. Padahal, dandanannya kini tak kalah
kasual dengan para remaja di kafe. Celana panjang
blue jeans, atasan kaos merah muda dibalut jaket
kain berwarna coklat. Sepertinya, sangat cocok
dengan penampilan Alwi yang sedang duduk di
hadapannya. Walau, pemuda itu hanya bercelana
panjang dan berkaos biru dengan tulisan besar
"Seadanya". Setelah sedikit meminta maaf, Alwi lanjut
berkata. Ia masih menyusun kalimatnya dengan
sangat hati-hati. "Jadi..., tentang kejadian tempo
hari?" Mita mengangguk kecil. "Aku harap, itu tidak dianggap serius. Bunga itu
sebenarnya untuk...."
"Aku tahu, itu untuk Danti," potong Mita.
"Tetapi, hampir seluruh kampus tahu bahwa kau
menyodorkannya padaku. Dan, aku menerimanya."
"Di situlah letak permasalahannya. Aku ingin,
persoalan itu segera diluruskan, sehingga tidak ada
lagi yang salah paham."
113 "Sayangnya, aku tidak mau. Aku ingin tetap
mempertahankan pendapat orang tentang kita
berdua." "Ibu tidak serius, kan?"
"Aku serius." "Ibu bercanda?"
"Jika aku serius, berarti tidak bercanda."
Alwi tergagap. Urat bicaranya seolah putus.
Melihat pemuda di depannya mati kutu, Mita malah
kembali melontar senyumnya yang lembut. Namun
bagi Alwi, senyum itu terasa menyayat.
"Baiklah, sebelum semuanya lebih jauh salah
paham, akan kuberi tahu maksud dan alasanku. Aku
sebenarnya perlu bantuan. Jika kau membantuku,
maka aku akan membantumu."
"Eh, bantuan?" Pada mulanya, Mita hanya ingin berbuat sedikit
usil pada Alwi dan beberapa dosen yang iseng. Meja
kerjanya jadi taman kota gara-gara ulah para oknum
dosen itu. Tapi karena tindakan spontannya itu pula,
Mita mulai merasa kenyamanan dan keamanan
hidupnya terganggu. Pesan-pesan singkat mulai
masuk ke ponsel hampir tiap setengah jam sekali.
Pengirimnya sama, isinya seperti ditulis oleh seorang
maniak. Bahkan, orang tak dikenal itu baru
114 mengirim pesan "surat cinta"nya beberapa detik
sebelum Alwi muncul di kafe.
"Coba kau lihat sendiri." Mita menyodorkan
ponsel. Alwi menerimanya dan mulai mengecek
pesan singkat yang masuk. Hampir semua dikirim
oleh "Siapa?", begitulah Mita menamai sang nomor
misterius. Isi yang ditulis bergaya puisi cinta. Namun
pada beberapa pesan, Alwi merasa janggal.
"Aku melihatmu duduk seorang diri di sana.
Ingin kumenemanimu barang sejenak. Menikmati
senyummu yang indah dari dekat."
"Pesan yang terakhir seakan ia melihatku


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk sendiri di sini. Sebelum-sebelumnya, seperti ia
tahu bahwa aku tengah membaca buku, bersantai di
teras, hingga ketika aku tengah mandi."
"Yang ini, ya, Bu" Lekuk...."
"Jangan dibaca!" Ponsel segera ditarik. "Yang ini
tidak boleh dibaca."
Pada intinya, sang pengirim seperti mematamatai aktivitas Mita. Mita sendiri merasa takut,
namun bingung apa yang harus ia perbuat. Hingga
akhirnya tadi malam, ia mendapat ide yang cukup
cemerlang. "Kita lanjutkan sandiwara ini. Bagaimana?"
"Sandiwara?" 115 "Seolah-olah aku menyukaimu dan kau
menyukaiku. Bagai sepasang kekasih. Aku ingin
membuat pria-pria itu mundur teratur."
Alwi terlihat bimbang. "Mengapa harus denganku" Seharusnya, Ibu
memilih pria yang lebih dewasa, mapan, ganteng,
biar terlihat lebih meyakinkan."
"Inginnya memang seperti itu. Tapi setelah
melalui beberapa pertimbangan, aku terpaksa
memilihmu." Alwi tersedak. "Terpaksa?"
Mita tersenyum geli. "Bisa dikata seperti itu.
Soalnya, aku menitikberatkan dalam satu hal. Untuk
saat ini, aku tidak ingin terlibat dalam masalah
asmara. Aku masih ingin fokus di karir, sebagai
dosen. Kebetulan pula, kau telah memiliki gadis
pujaan. Peluang kita terlibat dalam asmara cinta
lokasi pun sepertinya sangat-sangat kecil."
"Lalu, bagaimana denganku" Sebagai seorang
dosen, Ibu seharusnya memperhatikan masa depan
mahasiswanya juga." Mita segera membalas, "Makanya, sejak awal
sudah aku katakan. Kau membantuku, maka aku juga
membantumu. Kau membantuku menyingkirkan
pria-pria itu. Aku akan melindungimu dari tindakan
diskriminatif para dosen. Serta, meskipun tidak
116 kujamin seratus persen, aku
hubunganmu dengan Danti."
akan membantu Alwi mendelik, "Yang benar?"
"Rekanan tidak boleh bohong. Deal?"
"Aku pegang kata-kata Ibu. Setuju!" Untuk
pertama kalinya di hari ini, Alwi tersenyum. Setelah
tersenyum, tiba-tiba keroncongan. Alwi pun tersadar
bahwa seharian ini belum makan. Dan tanpa malu, ia
minta ditraktir nasi goreng oleh Mita.
117 BAB 8 Mita baru tiba di meja kerjanya. Belum ia
duduk, Yasmine sang dosen muda lain lekas-lekas
bangkit dan mendekat. "Hei!" tegur Yasmine segera. "Aku memperoleh
kabar angin. Katanya, kau berpacaran dengan
mahasiswamu sendiri. Apa itu benar?" Gosip tentang
Mita sudah ia dengar sejak kemarin. Namun, baru
kali ini ia bisa berjumpa dengan orang yang
bersangkutan. "Aduh?" Mita terkesan dalam hati. Orang yang
berjiwa muda memang suka tembak langsung. Lalu,
dirinya pun menyahut enteng, "Kalau sudah cinta,
mau diapakan lagi?" Yasmine gregetan. Ingin ia jewer kedua pipi
Mita. Dosen baru itu tiba-tiba saja bertambang lugu.
Kontras dengan pembawaannya selama ini yang
feminim dan anggun. "Aku juga ingin tahu, se-gentle apa dosen-dosen
itu. Jika mereka malah berbuat tidak menyenangkan
pada Alwi, itu menandakan bahwa mereka bukanlah
lelaki sejati. Aku sangat-sangat membenci orangorang seperti itu."
119 Bagi beberapa dosen pria, kata-kata Mita bagai
gelegar guntur di siang bolong. Mita pun tersenyum
puas di lubuk hatinya. "Ini adalah perbuatan licik pertama yang
pernah aku lakukan," batinnya kemudian.
*** Toilet kampus. Seorang mahasiswi tengah
merapikan dandanannya ketika sayup isak tangis
terdengar. Ia segera berpaling pada temannya yang
kini bersiap untuk pergi.
"Hei, kamu dengar?"
"Dengar apa?" balas temannya yang berambut
pirang. "Sepertinya, ada yang menangis."
Keduanya memasang kuping. Tangis yang
sayup mulai terdengar jelas. Seperti berasal dari
sebuah kamar paling ujung di toilet. Pelan-pelan,
mahasiswi yang hendak berdandan itu mulai
meninggalkan cermin. Temannya yang pirang
mengekor. "Halo. Siapa itu" Anda baik-baik saja?"
120 Tidak ada yang menyahut. Tangis dari kamar
paling ujung semakin jelas. Mereka terus mendekat.
Namun, teringat akan sebuah kisah, mahasiswi
berambut pirang tiba-tiba berhenti. Lengan sang
teman ia rangkul erat-erat, hingga tidak mampu terus
melangkah. "Aku rasa, ini bukan ide yang baik. Kau pernah
mendengar cerita mengenai toilet ini?"
Sang teman dengan rambut hitam sebahunya
hanya menggeleng. "Seorang mahasiswi pernah bunuh diri di toilet
ini. Di kamar itu. Meski sudah lewat tiga tahun, aku
rasa arwahnya masih bergentayangan. Beberapa
mahasiswi yang ikut kegiatan malam di kampus
mengaku pernah melihat sang gadis pendiam
nyelonong masuk ke kamar itu dan tidak pernah
keluar lagi." "Ah, mustahil. Ini masih siang. Mana ada hantu
siang bolong begini."
"Ini zaman modern. Siapa tahu, hantu tidak
hanya keluar malam."
"Ada-ada saja." Sang teman kembali mendekati
pintu. Mahasiswi berambut pirang tersebut kembali
menahan. "Untuk memastikan saja. Coba kamu lihat
kakinya." 121 Meski tak percaya, mahasiswi berambut hitam
akhirnya pelan-pelan merebahkan tubuhnya mendekati lantai. Ia mengintip dari celah pintu di
bagian bawah. Dan seketika itu, ia membelalak dan
kembali berdiri. "Bagaimana?" pirang. tanya mahasiswi berambut "Aku tidak bisa melihat kakinya."
"Sudah kubilang, itu hantu!" Ia menyeret
temannya menjauh. "Kau ini!" sanggah sang rekan. "Siapa tahu
cuma mahasiswi biasa. Ia duduk di atas water
closed." Mahasiswi berambut pirang tersebut tidak ingin
ambil resiko. Jika benar hantu, bagaimana nasib
tidurnya nanti malam" Maka, ia pun mengusulkan
untuk mencari seorang mahasiswa.
Apes, Alwi melintas di depan toilet ketika
mereka keluar. Lebih apes lagi, keduanya mengenal
Alwi karena berada dalam satu jurusan dan satu
kelas. Berdasarkan faktor tersebutlah, keduanya
kemudian menyeret Alwi masuk ke dalam toilet.
"Cepat, Wi! Ada hantu!" gegas mahasiswi
berambut pirang. Tak sadar ia memeluk erat lengan
Alwi sembari menunjukkan kamar toilet paling
ujung. 122 "Hantu apa" Belum tentu!" protes temannya.
"Lalu, hubungannya denganku?" sisip Alwi.
"Kalau memang hantu, kalian tinggal lari saja.
Kenapa harus membawaku ke toilet" Reputasiku
terancam jika sampai diketahui orang lain. Kau juga!
Kenapa peluk-peluk?"
Sang gadis berambut pirang
Terpaksa dilepasnya lengan Alwi.
cemberut. "Sudah, reputasimu sudah hancur," ujar gadis
berambut hitam. "Tadi, banyak yang lihat waktu Tia
menyeretmu kemari." Alwi menepuk jidat dan menggeleng-geleng.
"Mutia takut kalau benar hantu. Tapi, aku ingin
memperlihatkan padanya bahwa yang menangis di
toilet bukan hantu. Kau ada di sini supaya ia berani
saja," jelas mahasiswi berambut hitam.
"Tapi, tangis itu sepertinya tidak lagi
terdengar." Mutiara, mahasiswi berambut pirang,
mengajak teman-temannya untuk membisu barang
sejenak. Benar saja. Suara tangis yang sempat sayupsayup itu kini menghilang. Mutiara semakin yakin
bahwa itu adalah tangis hantu, arwah penasaran
mahasiswi yang dulu bunuh diri di toilet ini.
"Pasti bukan!" Tidak mudah bagi temannya
untuk yakin bahwa tadi adalah tangis hantu. Cepat
123 saja ia meraih gagang kamar. Baru ingin memutar
gagang, pekik Nek Lampir mengagetkan ketiganya.
Mutiara begitu saja terkulai mendekap Alwi.
Sementara temannya, tanpa sadar melenting mundur
dengan wajah pucat. Alwi yang pada mulanya turut tersentak,
dengan sigap menguasai perasaannya. Dengan rasa
penasaran yang tiba-tiba muncul, ia mengambil alih
membuka pintu. Saking kencangnya ia memutar
gagang, slip kunci sampai terbengkas. Seorang gadis
yang hendak mendekatkan ponsel ke telinganya,
terlonjak kaget. "Wiwid?" Begitu tahu yang membuat teman-teman satu
jurusannya takut setengah mati tak lain tetangga di
samping rumah, Alwi tak kuasa menahan geli di
perutnya. Puas menertawai Wiwid, giliran ia iba
terhadap gadis itu. Diajaknya Wiwid ke kantin.
Setelah Mutiara membuka mata karena gelak tertawa
Alwi, kedua teman satu jurusannya itu bergegas
pamit. "Aku akan dijodohkan...!" Akhirnya, setelah
nyaris lima menit hanya memandangni segelas teh es
di depannya, Wiwid membuka mulut. Alwi sendiri
makin terenyuh karena mata Wiwid yang sembab.
Kira-kira, sudah setengah jam ia menangis di toilet.
Ditambah lagi, kemarin malam ia juga lebih memilih
menangis berjam-jam sampai akhirnya tertidur.
124 Kabar bahwa sang ayah akan menjodohkannya,
seakan membuat dunianya rontok.
"Dijodohkan dengan siapa?"
Wiwid menjawab lunglai, "Aku tidak mau
membahasnya sekarang...!"
"Kalau begitu, minumlah es tehmu. Aku sudah
mengeluarkan uang tiga ribu rupiah untuk
mentraktir. Jangan sia-siakan. Siapa tahu, perasaanmu jadi lebih dingin."
Wiwid melirik tak semangat gelas bening
berembun di depannya. Meski dengan tusukan mata
tak berminat, tangannya justru meraih sedotan dan
menghirup teh es hingga habis separuh.
"Oh iya...." Alwi merogoh kocek, menaikkan
benda mungil yang sangat Wiwid kenal. Boneka
beruang yang kemarin ia hadiahkan kepada Alwi,
kini telah duduk di atas telapak tangan kanannya.
"Kau bilang, boneka ini melambangkan
keamanan. Aku rasa, yang perlu keamanan sekarang
adalah kau. Semoga kau bisa selamat dari
perjodohan itu." Wiwid tercenung. Apakah Alwi balas mengerjainya" Ia menoleh pada Alwi. Tatapan
pemuda itu sepertinya sungguh-sungguh. Sungguhsungguh bodoh.
125 *** Bisa dikata, jalan bareng malam ini adalah
suatu rapat koordinasi. Mita dengan bangga memberi
laporan bahwa telah berhasil membuat dosen-dosen


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu berhenti mengiriminya bunga. Begitu pula dengan
pesan singkat yang pernah ia ceritakan. Begitu saja
berhenti masuk ke inbox ponsel.
Alwi tak ketinggalan melapor. Para dosen yang
kemarin sinis, kini berubah manis.
"Itu berarti, kerja sama kita berhasil," simpul
Mita. "Sampai kapan kita akan begini?"
"Hm...," Mita terlihat
"Mungkin, sampai kau lulus."
menimbang-nimbang. "Mustahil! Paling cepat aku lulus tiga tahun
lagi." Alwi terperanjat.
"Mau bagaimana lagi?" Mita tersenyum. "Kalau
kau cepat lulus, aku yang bingung. Berpindah ke lain
hati itu tidak mudah." Untuk melengkapi sandiwara
mereka, Mita sampai harus belajar menggombal.
"Kalau harus sampai selama itu, bagaimana
hubunganku dengan Danti?"
Dengan sok polos, Mita menjawab, "Wah, aku
belum berpikir sampai sejauh itu."
126 "Ibu ini bagaimana, sih" Jangan-jangan, Ibu
tidak berniat menolongku?"
"Eits, jangan menuduh sembarangan. Aku ini
orangnya selalu menepati janji. Aku kini tengah
mencari informasi mengenai gadis pujaanmu itu.
Jadi, kusarankan kau untuk bisa percaya terhadap
kekasihmu ini." Alwi mendesah, "Terpaksa...."
Mita justru tertawa renyah. "Ternyata, enak
juga hubungan kita yang sekarang."
"Enak dari mana" Enak dari Hong Kong?"
gerutu Alwi dalam hati. "Hm..., setahuku, seorang pemuda akan selalu
menuruti permintaan kekasihnya. Hei, Alwi.
Bagaimana jika kau ke warung yang ada di seberang.
Belikan aku es cendol."
"Es" Malam-malam begini?"
"Kebiasaan menerima." burukku. Kau harus bisa "Kalau begitu...," Alwi menyodorkan tangan
yang menengadah. "Kau bokek" Ya, ampun. Sungguh memalukan."
Mita menarik selembar lima puluh ribu rupiah dari
dompet. "Kalau kau mau, kau juga boleh beli es
127 cendol untukmu. Kembaliannya juga silakan ambil.
Untuk ongkosmu pulang."
Meski sedikit merasa diejek, Alwi tanpa
sungkan menarik dan mencium tangan Mita. Hitunghitung upah kerja.
"Terima kasih, Bu!" ucapnya haru. Mita tiba-tiba
menggetok ubun-ubun Alwi.
"Di luar sini, berhenti memanggilku "Ibu" dan
bertingkah seperti itu. Selain mengundang kecurigaan, aku juga merasa.... Ah, pokoknya jangan
dipanggil "Ibu"!"
"Ya, ya, ya!" Alwi ngeloyor. Ia menyeberang
setelah menunggu sebuah mobil sedan hitam
melintas. Ia sama sekali tak menduga, mobil tersebut
akan berputar arah setelah menjauh dua puluh
meter. Dan dengan kecepatan penuh, ia meluncur ke
arah Alwi. *** Selain ditraktir oleh Alwi, amplop pemberian
Mita sepulang kuliah turut andil membuat hatinya
sedikit teduh. Namun, Wiwid tetap tidak menyangkal
bahwa ia masih gusar. Perjodohan itu. Akankah tetap
terlaksana" Wiwid tidak ingin hidup bersama orang
yang tidak ia cintai. Pasti rasanya sangat tidak enak.
Neraka dunia. 128 "Bapak orangnya kolot!" Wiwid menggerutu.
Tubuhnya terbentang di tempat tidur. Matanya jauh
menerobos langit-langit kamar.
"Apa aku harus berkonspirasi seperti Ibu Mita?"
Selintas ide licik terbersit di kepalanya. "Bagaimana
kalau pura-puranya aku dan Alwi memang benarbenar pacaran" Lalu, kami sudah...." Wiwid terbatukbatuk. Ia sendiri kaget mampu berpikir jorok. "Bapak
pasti batal menjodohkanku. Alwi sungguh malang."
Terdengar deru mesin mobil yang segera
senyap. Itu pasti Kijang Bapak. Pasti ada urusan
penting, sampai-sampai pulangnya semalam ini.
Jangan-jangan, Bapak menemui sohibnya untuk
membicarakan perjodohan kedua anak mereka.
Pintu mobil terdengar bagai dibanting. Wiwid
terkaget. Ada apa dengan si Bapak" Bapak juga tahutahu masuk rumah memanggil Ibu. Kedengaran
jengkel. "Ada apa, Pak" Pulang-pulang, kok, bawa muka
jeruk?" sambut Ibu. "Edan! Anak muda sekarang edan!"
"Edan kenapa?" Ibu menyodorkan segelas air
putih, supaya sang suami agak mendingan.
"Kau tahu anak temanku
kujodohkan dengan Widya?"
129 yang ingin "Iya, Bapak sudah cerita kemarin. Yang sarjana
itu, kan" Yang ganteng. Sekarang sudah kerja di
perusahaan swasta. Memangnya, ada apa dengan
anak itu?" "Edan! Dia kecelakaan dulu dengan anak orang
lain." "Innalilahi waina ilaihi rojiun...."
"Bukan mati, Bu! Tapi hamil! Di sudah lebih
dulu menghamili anak orang. Rencananya, minggu
depan dia akan nikah. Edan! Edan! Edan!"
Di kamar, Wiwid merem-melek. Kabar yang ia
dengar, apakah mimpi atau nyata" Setelah mencubit
pipi sendiri, ia yakin bahwa ini bukanlah mimpi.
Ketika baru ingin melonjak girang, pekik Nek Lampir
tiba-tiba melantun. Buru-buru, ia sambut sang
penelepon. Rupa-rupanya dari Ibu Mita.
Malam-malam begini, ada apa gerangan"
130 BAB 9 Alwi kecelakaan. Di depan mata Mita, pemuda
itu dilindas mobil sedan berwarna hitam. Bukannya
berhenti untuk turun membantu, sang pengemudi
justru kian menambah laju kendaraannya. Mobil itu
pun lenyap dalam hitungan detik. Tanpa bekas.
Dibantu warga sekitar, Alwi kini berada di unit
gawat darurat sebuah rumah sakit. Mita yang sudah
pucat sejak datang, disarankan dokter untuk
menenangkan diri di ruang tunggu. Benar saja, Mita
sulit untuk menangani jemarinya yang dingin dan
gemetar. Sampai-sampai, ia harus bersusah payah
menekan tombol ponsel untuk menelepon kakaknya.
Sepuluh menit usai dihubungi, Eldien menyusul
ke rumah sakit. Masih berpakaian kantor, ia
langsung mendekap adik bungsunya begitu tiba.
"Kau tidak apa-apa, kan" Kau pucat sekali!"
seloroh Eldien khawatir. Bertambah kaget dirinya
begitu menyentuh jemari tangan Mita yang bagai
direndam air es. "Aku tidak apa-apa, Kak...." Namun begitu, Mita
menjawab sebaliknya. 131 "Temanmu?" "Sekarang tengah diobati."
Kedatangan Eldien cukup membantu. Pelanpelan, Mita tidak lagi gemetar dan pucat. Namun,
sinar khawatir masih terpancar jelas dari riak
matanya. Oleh karena itu, Eldien melarang dirinya
menjenguk Alwi di UGD bila belum ada
pemberitahuan dari dokter. Ia takut justru kemudian
Mita yang harus dirawat. Hampri satu jam kemudian, Wiwid pun muncul.
Kehadirannya nyaris berbareng dengan Alwi keluar
dari UGD. Leher, kening, dan bahu kiri pemuda itu
dilingkari perban. Seorang dokter menemani langkah
kakinya yang sedikit pincang menuju ruang tunggu.
"Menakjubkan!" Dokter berkepala plontos itu
dari jauh sudah memasang senyum. "Meski di
beberapa bagian tubuhnya terdapat tanda digilas
mobil, tidak ada luka yang serius. Kecuali lecet di
kening, leher, dan pundak. Ditambah, sedikit terseleo
di kaki." "Syukurlah!" sambar Wiwid. "Aku pikir, saat di
kantin kampus adalah terakhir kali kita bertemu!"
Alwi hanya nyengir. Tatapannya tak lepas dari
Mita. Ibu Dosen sepertinya tidak percaya akan apa
yang ia dengar. "Kau benar baik-baik saja" Tidak ada yang
remuk?" Tepat dugaan Alwi. Mita ingin klarifikasi
132 lebih jelas. Bagaimana tidak" Mobil sedan itu benarbenar melindas Alwi tepat di depan matanya. Kucing
yang lincah serta kata orang bernyawa sembilan saja
bisa tewas sekejap, terlebih manusia yang tidak
memiliki tubuh selentur hewan berbulu itu.
"Benar-benar tidak ada," ambil alih sang dokter.
"Buktinya, beliau bisa berdiri dengan tegak meski
berjalan sedikit pincang. Tapi, untuk mengetahui
adanya tulang yang retak, harus dirontgen lebih
dulu." "Rontgen saja, Dok!" pinta Mita tanpa pikir dua
kali. Alwi pun tak kalah buru-buru memotong. Ia
yakin tubuhnya tidak apa-apa. Dan dengan enteng, ia
membalikkan kata-kata si Ibu Dosen.
"Mita sayang.... Kau
mempercayai kekasihmu."
harus belajar untuk Wiwid terjengit. Perutnya serasa dikelitiki.
Eldien tak kalah menyenggol pelan adiknya. "Diamdiam ternyata kau...."
"Kakak!" potong Mita berbisik. "Dia hanya
mahasiswaku. Kami...."
"Dosen dan mahasiswanya jalan berdua di
malam hari?" Eldien ikut juga memotong. "Kakak
mengerti, kok. Jangan malu. Sekarang ini, banyak
yang seperti itu. Yang lebih tua menjalin hubungan
asmara dengan yang lebih muda. Seperti Kakak."
133 Tua" Mita sensitif dengan kata itu. Alisnya
sempat meninggi meski tak kentara.
"Oh, kakaknya Mita, ya" Saya Alwi." Alwi
dengan penuh percaya diri menyodorkan tangan
kanannya. Eldien balas menyalami.
"Eldien. Saya kakak ketiga Mita. Mita itu anak
paling bungsu di keluarga kami. Jadi, mohon maaf
kalau ia sedikit manja." Sekali lagi, Mita merasa
seolah dipukul pojok hatinya. Keningnya jadi tambah
menunduk, sementara ujung jemari tangannya naik
ingin menutupi wajahnya yang mulai merona. Hah,
gara-gara sifat manjanya yang tiba-tiba keluar,
bercampur dengan akal licik, Alwi jadi seperti
sekarang. Sedikit banyak Mita merasa bersalah.
Dokter memberi tahu bahwa Alwi sudah
diperbolehkan pulang. Alwi sudah diperbolehkan
pulang. Merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan
lagi, Eldien pamit ke kantor. Ia harus mengawasi
karyawannya yang lembur. Melihat punggung kakak dosen barunya yang
menjauh, Wiwid pun tiba-tiba kesambet. "Aku pulang
juga!" ucapnya kemudian mendadak. "Kau mau
ikut?" tawarnya pada Alwi. Kebetulan, dirinya
meluncur dari rumah mengendarai skutik kesayangannya yang berwarna putih itu.
Alwi lantas menyahut, "Tidak. Aku
mengantar Ibu Mita dulu. Kau pulang saja."
134 akan Ujung mata Wiwid meruncing. "Yang benar...?"
selidiknya. "Apa kau bisa berjalan sendiri?"
Belum Alwi sempat menjawab, Mita pun
menyela, "Lebih baik kau pulang bersama Wiwid.
Aku bisa pulang sendiri. Aku khawatir dengan
kondisimu." "Aku lebih khawatir dengan keamanan Ibu,"
balas Alwi cepat. Keduanya saling pandang. Wiwid terjebak di
antara keduanya dan hanya mampu menatap
keduanya secara bergantian.
"Baiklah, aku pulang dulu," undur Wiwid pula
tanda menyerah. Cepat-cepat ia memutar badan
menuju pintu keluar. Sepeninggalnya Wiwid dan sang kakak, Mita
baru berani mendekati Alwi. Itu pun dengan langkah


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang diseret. "Ini adalah salahku. Ini pasti ada hubungannya
dengan sandiwara kita. Aku minta maaf kau jadi
begini." Pelan dan penuh sesal, Mita tidak mampu
mengangkat wajahnya ketika berbicara demikian. Ia
merasa punya andil atas celakanya Alwi. Konspirasi
yang tengah mereka jalankan, itu adalah idenya.
Alwi justru menggeleng-geleng, "Jika ini
memang ada hubungannya, berarti satu dari dosendosen itu sungguh tidak pantas untuk Ibu Mita. Dan
135 orang itu adalah orang yang sangat berbahaya. Aku
akan melindungi Ibu."
Mita merasa tentram ketika Alwi menggenggam
tangannya. Anak ini sungguh-sungguh" Atau, hanya
menggombal" Pelan, ia pun mengangkat wajah.
"Ibu akan aman bersamaku."
"Ibu" Semenjak kakakku pulang, sudah berapa
kali kau memanggilku "Ibu?""
** BERSAMBUNG ** 136 Creative Commons Attribution-No
Derivative Works 3.0 Unported
CREATIVE COMMONS CORPORATION IS NOT A
LAW FIRM AND DOES NOT PROVIDE LEGAL
SERVICES. DISTRIBUTION OF THIS LICENSE DOES
NOT CREATE AN ATTORNEY-CLIENT
RELATIONSHIP. CREATIVE COMMONS PROVIDES
THIS INFORMATION ON AN "AS-IS" BASIS.
CREATIVE COMMONS MAKES NO WARRANTIES
REGARDING THE INFORMATION PROVIDED, AND
DISCLAIMS LIABILITY FOR DAMAGES RESULTING
FROM ITS USE. License THE WORK (AS DEFINED BELOW) IS PROVIDED UNDER
THE TERMS OF THIS CREATIVE COMMONS PUBLIC LICENSE
("CCPL" OR "LICENSE"). THE WORK IS PROTECTED BY
COPYRIGHT AND/OR OTHER APPLICABLE LAW. ANY USE OF
THE WORK OTHER THAN AS AUTHORIZED UNDER THIS
LICENSE OR COPYRIGHT LAW IS PROHIBITED.
BY EXERCISING ANY RIGHTS TO THE WORK PROVIDED
HERE, YOU ACCEPT AND AGREE TO BE BOUND BY THE TERMS
OF THIS LICENSE. TO THE EXTENT THIS LICENSE MAY BE
CONSIDERED TO BE A CONTRACT, THE LICENSOR GRANTS
YOU THE RIGHTS CONTAINED HERE IN CONSIDERATION OF
YOUR ACCEPTANCE OF SUCH TERMS AND CONDITIONS.
137 1. Definitions a. "Adaptation" means a work based upon the
Work, or upon the Work and other pre-existing works,
such as a translation, adaptation, derivative work,
arrangement of music or other alterations of a literary
or artistic work, or phonogram or performance and
includes cinematographic adaptations or any other
form in which the Work may be recast, transformed, or
adapted including in any form recognizably derived
from the original, except that a work that constitutes a
Collection will not be considered an Adaptation for the
purpose of this License. For the avoidance of doubt,
where the Work is a musical work, performance or
phonogram, the synchronization of the Work in timedrelation with a moving image ("synching") will be
considered an Adaptation for the purpose of this
License. b. "Collection" means a collection of literary or
artistic works, such as encyclopedias and anthologies,
or performances, phonograms or broadcasts, or other
works or subject matter other than works listed in
Section 1(f) below, which, by reason of the selection
and arrangement of their contents, constitute
intellectual creations, in which the Work is included in
its entirety in unmodified form along with one or more
other contributions, each constituting separate and
independent works in themselves, which together are
assembled into a collective whole. A work that
constitutes a Collection will not be considered an
Adaptation (as defined above) for the purposes of this
License. c. "Distribute" means to make available to the
public the original and copies of the Work through sale
or other transfer of ownership.
d. "Licensor" means the individual, individuals,
entity or entities that offer(s) the Work under the
terms of this License. 138 e. "Original Author" means, in the case of a
literary or artistic work, the individual, individuals,
entity or entities who created the Work or if no
individual or entity can be identified, the publisher;
and in addition (i) in the case of a performance the
actors, singers, musicians, dancers, and other persons
who act, sing, deliver, declaim, play in, interpret or
otherwise perform literary or artistic works or
expressions of folklore; (ii) in the case of a phonogram
the producer being the person or legal entity who first
fixes the sounds of a performance or other sounds;
and, (iii) in the case of broadcasts, the organization
that transmits the broadcast.
f. "Work" means the literary and/or artistic work
offered under the terms of this License including
without limitation any production in the literary,
scientific and artistic domain, whatever may be the
mode or form of its expression including digital form,
such as a book, pamphlet and other writing; a lecture,
address, sermon or other work of the same nature; a
dramatic or dramatico-musical work; a choreographic
work or entertainment in dumb show; a musical
composition with or without words; a cinematographic
work to which are assimilated works expressed by a
process analogous to cinematography; a work of
drawing, painting, architecture, sculpture, engraving
or lithography; a photographic work to which are
assimilated works expressed by a process analogous to
photography; a work of applied art; an illustration,
map, plan, sketch or three-dimensional work relative
to geography, topography, architecture or science; a
performance; a broadcast; a phonogram; a compilation
of data to the extent it is protected as a copyrightable
work; or a work performed by a variety or circus
performer to the extent it is not otherwise considered
a literary or artistic work.
g. "You" means an individual or entity exercising
rights under this License who has not previously
violated the terms of this License with respect to the
139 Work, or who has received express permission from
the Licensor to exercise rights under this License
despite a previous violation.
h. "Publicly Perform" means to perform public
recitations of the Work and to communicate to the
public those public recitations, by any means or
process, including by wire or wireless means or public
digital performances; to make available to the public
Works in such a way that members of the public may
access these Works from a place and at a place
individually chosen by them; to perform the Work to
the public by any means or process and the
communication to the public of the performances of
the Work, including by public digital performance; to
broadcast and rebroadcast the Work by any means
including signs, sounds or images.
i. "Reproduce" means to make copies of the Work
by any means including without limitation by sound or
visual recordings and the right of fixation and
reproducing fixations of the Work, including storage
of a protected performance or phonogram in digital
form or other electronic medium.
2. Fair Dealing Rights. Nothing in this License is
intended to reduce, limit, or restrict any uses free from
copyright or rights arising from limitations or exceptions that
are provided for in connection with the copyright protection
under copyright law or other applicable laws.
3. License Grant. Subject to the terms and conditions of
this License, Licensor hereby grants You a worldwide, royaltyfree, non-exclusive, perpetual (for the duration of the
applicable copyright) license to exercise the rights in the Work
as stated below: a. to Reproduce the Work, to incorporate the Work
into one or more Collections, and to Reproduce the
Work as incorporated in the Collections; and,
140 b. to Distribute and Publicly Perform the Work
including as incorporated in Collections.
c. For the avoidance of doubt:
i. Non-waivable Compulsory License
Schemes. In those jurisdictions in which the
right to collect royalties through any statutory
or compulsory licensing scheme cannot be
waived, the Licensor reserves the exclusive
right to collect such royalties for any exercise
by You of the rights granted under this
License; ii. Waivable Compulsory License Schemes. In those jurisdictions in which the
right to collect royalties through any statutory
or compulsory licensing scheme can be waived,
the Licensor waives the exclusive right to
collect such royalties for any exercise by You of
the rights granted under this License; and,
iii. Voluntary License Schemes. The
Licensor waives the right to collect royalties,
whether individually or, in the event that the
Licensor is a member of a collecting society
that administers voluntary licensing schemes,
via that society, from any exercise by You of
the rights granted under this License.
The above rights may be exercised in all media and
formats whether now known or hereafter devised. The above
rights include the right to make such modifications as are
technically necessary to exercise the rights in other media and
formats, but otherwise you have no rights to make
Adaptations. Subject to Section 8(f), all rights not expressly
granted by Licensor are hereby reserved.
4. Restrictions. The license granted in Section 3 above
is expressly made subject to and limited by the following
restrictions: 141 a. You may Distribute or Publicly Perform the Work
only under the terms of this License. You must include
a copy of, or the Uniform Resource Identifier (URI) for,
this License with every copy of the Work You
Distribute or Publicly Perform. You may not offer or
impose any terms on the Work that restrict the terms
of this License or the ability of the recipient of the
Work to exercise the rights granted to that recipient
under the terms of the License. You may not
sublicense the Work. You must keep intact all notices
that refer to this License and to the disclaimer of
warranties with every copy of the Work You Distribute
or Publicly Perform. When You Distribute or Publicly
Perform the Work, You may not impose any effective
technological measures on the Work that restrict the
ability of a recipient of the Work from You to exercise
the rights granted to that recipient under the terms of
the License. This Section 4(a) applies to the Work as
incorporated in a Collection, but this does not require
the Collection apart from the Work itself to be made
subject to the terms of this License. If You create a
Collection, upon notice from any Licensor You must, to
the extent practicable, remove from the Collection any
credit as required by Section 4(b), as requested.
b. If You Distribute, or Publicly Perform the Work
or Collections, You must, unless a request has been
made pursuant to Section 4(a), keep intact all
copyright notices for the Work and provide,
reasonable to the medium or means You are utilizing:
(i) the name of the Original Author (or pseudonym, if
applicable) if supplied, and/or if the Original Author
and/or Licensor designate another party or parties
(e.g., a sponsor institute, publishing entity, journal) for
attribution ("Attribution Parties") in Licensor's
copyright notice, terms of service or by other
reasonable means, the name of such party or parties;
(ii) the title of the Work if supplied; (iii) to the extent
reasonably practicable, the URI, if any, that Licensor
specifies to be associated with the Work, unless such
142 URI does not refer to the copyright notice or licensing
information for the Work. The credit required by this
Section 4(b) may be implemented in any reasonable
manner; provided, however, that in the case of a
Collection, at a minimum such credit will appear, if a
credit for all contributing authors of the Collection
appears, then as part of these credits and in a manner
at least as prominent as the credits for the other
contributing authors. For the avoidance of doubt, You
may only use the credit required by this Section for the
purpose of attribution in the manner set out above
and, by exercising Your rights under this License, You
may not implicitly or explicitly assert or imply any
connection with, sponsorship or endorsement by the


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Original Author, Licensor and/or Attribution Parties, as
appropriate, of You or Your use of the Work, without
the separate, express prior written permission of the
Original Author, Licensor and/or Attribution Parties.
c. Except as otherwise agreed in writing by the
Licensor or as may be otherwise permitted by
applicable law, if You Reproduce, Distribute or Publicly
Perform the Work either by itself or as part of any
Collections, You must not distort, mutilate, modify or
take other derogatory action in relation to the Work
which would be prejudicial to the Original Author's
honor or reputation. 5. Representations, Warranties and Disclaimer
UNLESS OTHERWISE MUTUALLY AGREED TO BY THE
PARTIES IN WRITING, LICENSOR OFFERS THE WORK AS-IS
AND MAKES NO REPRESENTATIONS OR WARRANTIES OF ANY
KIND CONCERNING THE WORK, EXPRESS, IMPLIED,
STATUTORY OR OTHERWISE, INCLUDING, WITHOUT
LIMITATION, WARRANTIES OF TITLE, MERCHANTIBILITY,
FITNESS FOR A PARTICULAR PURPOSE, NONINFRINGEMENT,
OR THE ABSENCE OF LATENT OR OTHER DEFECTS,
ACCURACY, OR THE PRESENCE OF ABSENCE OF ERRORS,
143 WHETHER OR NOT DISCOVERABLE. SOME JURISDICTIONS DO
NOT ALLOW THE EXCLUSION OF IMPLIED WARRANTIES, SO
SUCH EXCLUSION MAY NOT APPLY TO YOU.
6. Limitation on Liability. EXCEPT TO THE EXTENT
REQUIRED BY APPLICABLE LAW, IN NO EVENT WILL
LICENSOR BE LIABLE TO YOU ON ANY LEGAL THEORY FOR
ANY SPECIAL, INCIDENTAL, CONSEQUENTIAL, PUNITIVE OR
EXEMPLARY DAMAGES ARISING OUT OF THIS LICENSE OR
THE USE OF THE WORK, EVEN IF LICENSOR HAS BEEN
ADVISED OF THE POSSIBILITY OF SUCH DAMAGES.
7. Termination a. This License and the rights granted hereunder
will terminate automatically upon any breach by You
of the terms of this License. Individuals or entities who
have received Collections from You under this License,
however, will not have their licenses terminated
provided such individuals or entities remain in full
compliance with those licenses. Sections 1, 2, 5, 6, 7,
and 8 will survive any termination of this License.
b. Subject to the above terms and conditions, the
license granted here is perpetual (for the duration of
the applicable copyright the Work). Notwithstanding the above, Licensor reserves the
right to release the Work under different license terms
or to stop distributing the Work at any time; provided,
however that any such election will not serve to
withdraw this License (or any other license that has
been, or is required to be, granted under the terms of
this License), and this License will continue in full force
and effect unless terminated as stated above.
8. Miscellaneous a. Each time You Distribute or Publicly Perform the
Work or a Collection, the Licensor offers to the
144 recipient a license to the Work on the same terms and
conditions as the license granted to You under this
License. b. If any provision of this License is invalid or
unenforceable under applicable law, it shall not affect
the validity or enforceability of the remainder of the
terms of this License, and without further action by
the parties to this agreement, such provision shall be
reformed to the minimum extent necessary to make
such provision valid and enforceable.
c. No term or provision of this License shall be
deemed waived and no breach consented to unless
such waiver or consent shall be in writing and signed
by the party to be charged with such waiver or
consent. d. This License constitutes the entire agreement
between the parties with respect to the Work licensed
here. There are no understandings, agreements or
representations with respect to the Work not
specified here. Licensor shall not be bound by any
additional provisions that may appear in any
communication from You. This License may not be
modified without the mutual written agreement of
the Licensor and You. e. The rights granted under, and the subject
matter referenced, in this License were drafted
utilizing the terminology of the Berne Convention for
the Protection of Literary and Artistic Works (as
amended on September 28, 1979), the Rome
Convention of 1961, the WIPO Copyright Treaty of
1996, the WIPO Performances and Phonograms Treaty
of 1996 and the Universal Copyright Convention (as
revised on July 24, 1971). These rights and subject
matter take effect in the relevant jurisdiction in which
the License terms are sought to be enforced according
the corresponding provisions the implementation of those treaty provisions in the
applicable national law. If the standard suite of rights
granted under applicable copyright law includes
145 additional rights not granted under this License, such
additional rights are deemed to be included in the
License; this License is not intended to restrict the
license of any rights under applicable law.
Creative Commons Notice Creative Commons is not a party to this License,
and makes no warranty whatsoever in connection
with the Work. Creative Commons will not be
liable to You or any party on any legal theory for
any damages whatsoever, including without
limitation any general, special, incidental or
consequential damages arising in connection to
this license. Notwithstanding the foregoing two
(2) sentences, if Creative Commons has expressly
identified itself as the Licensor hereunder, it shall
have all rights and obligations of Licensor.
Except for the limited purpose of indicating to
the public that the Work is licensed under the
CCPL, Creative Commons does not authorize the
use by either party of the trademark "Creative
Commons" or any related trademark or logo of
Creative Commons without the prior written
consent of Creative Commons. Any permitted use
will be in compliance with Creative Commons'
then-current trademark usage guidelines, as may
be published on its website or otherwise made
available upon request from time to time. For the
avoidance of doubt, this trademark restriction
does not form part of this License.
Creative Commons may be contacted at
http://creativecommons.org/.
146 Tentang Penulis Informasi lebih lanjut mengenai Dirgita bisa dijumpai di
beberapa tempat berikut. YM: dirgitadevina WP: http://dirgita.wordpress.com.
MP: http://dirgita.multiply.com.
FB: http://facebook.com/dirgita.
TW: http://twitter.com/dirgita.
K.com: http://kemudian.com/users/dirgita.
147 148 http://dirgitadevina.web.id
Hak Cipta VIA: Bagian Kedua Hak Cipta " 2013 Dirgita, Dirgita Devina, Citra Paska
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Buku ini dilisensikan
di bawah ketentuan Creative Commons Attribution-No
Derivative Works 3.0 Unported (CC-by-ND). Salinan lisensi
disertakan pada buku ini.
Penyebarluasan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu pada
pemegang hak cipta diperkenankan, selama masih dalam
batas-batas yang disebutkan dalam ketentuan CC-by-ND
tersebut. Cetakan pertama, Desember 2013.
Persembahan Ng..., untuk siapa, ya"
Siapa aja, deh^^ Terima Kasih Allah SWT atas karunia yang telah diberikan.
Kedua orang tua yang tercinta.
Para pembaca sekalian. iii Pengantar Ampun..., hampir dua tahun setelah Via Bagian Pertama,
barulah bisa dilahirkan Via Bagian Kedua. Pengembangannya
diakui sangatlah lambat. Tapi..., cukup sudah berbasa-basi.
Pendek cerita, janganlah sungkan untuk memberi masukan
demi pengembangan novel ini lebih lanjut.
Terima kasih telah membaca^^
Salam, Dirgita Ada Apa" 31 Desember 2013 Tema dirilisnya Via Bagian Kedua adalah sesuatu yang akan
pergi segera tiba. Pada tanggal ini, tahun 2013 akan segera
pergi. Namun begitu, tahun 2014 segera datang.
Daftar Isi Hak Cipta ....................................................................
Persembahan ....................................................................
Terima Kasih ....................................................................
Pengantar ....................................................................
Ada Apa" ....................................................................
Daftar Isi ....................................................................
BAB 1 ....................................................................
BAB 2 ....................................................................
BAB 3 ....................................................................
BAB 4 ....................................................................
BAB 5 ....................................................................
BAB 6 ....................................................................
BAB 7 ....................................................................
BAB 8 ....................................................................
BAB 9 ....................................................................
BAB 10 ....................................................................
BAB 11 ....................................................................
BAB 12 ....................................................................
BAB 13 ....................................................................
BAB 14 ....................................................................
BAB 15 ....................................................................
BAB 16 ....................................................................
BAB 17 ....................................................................
BAB 18 ....................................................................
Creative Commons Attribution-No Derivative Works 3.0
Unported ....................................................................
Tentang Penulis ....................................................................
iii 107 123 143 155 169 177 191 201 213 227 239 255 263 273

Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

VIA: Bagian Pertama DARAH vii BAB 1 Pintu dibuka. Tiupan angin dan sengatan
matahari segera menyerbu tubuh Revo. Pemuda
berkemeja putih layaknya orang kantoran itu segera
menyisir atap gedung dengan ujung matanya. Ia
mencari-cari sosok lelaki gempal. Namun yang ia
temui justru sebuah payung yang menaungi meja dan
kursi pantai. Revo melanjutkan langkah. Disambanginya dua
benda yang tak lazim berada di ketinggian gedung
tiga puluh lantai. Dan benar, ia menemukan seorang
pria terbaring di kursi itu. Separuh tubuh bagian
atas, termasuk wajahnya, ditutupi lembaran koran.
Sedangkan kedua tangannya, melingkar di pinggang
mencegah lembaran koran yang menutupi tubuhnya
terbang ditiup angin. Untuk beberapa detik, Revo hanya berdiri diam
di belakang kursi. Perlu beberapa saat baginya untuk
mampu menyapa pria berselimut koran tersebut.
"Bos...," sapanya mula-mula dengan suara
pelan. "Bos!" ulangnya kemudian sedikit agak keras.
"Apa?" tiba-tiba terdengar suara dari balik
lembaran koran. "Ada kabar penting."
"Dari Radon?" "Ng..., bukan."
Pria itu, yang bernama Braham, tidak menyahut
lagi. Hingga kemudian, ia mengangkat tangan
kanannya dan menunjuk-nunjuk ke arah pintu.
"Pergi sana!" "Tapi...," Revo
diperintahkan. tak menurut apa yang "Pergi sana! Pergi!" Telunjuk sang atasan masih
bermain-main. "Ini... soal Via."
Seketika itu pun, tangan Braham berhenti
menunjuk-nunjuk. Tangan itu lalu berlabuh
menyingkirkan koran, membuat lembar-lembarnya
terbang dibawa angin tak tentu arah.
Braham bangkit. Tanpa diperintah, Revo sudah
menyodorkan sebuah benda tipis berwarna putih
yang sedari tadi ia tenteng. Braham menerima
komputer tablet itu dan mulai memainkan jemari
pada layarnya. Terpapar puluhan foto.
"Beberapa hari lalu, Ken melapor ada kasus
ganjil di Pontianak. Sejumlah pemuda ditemukan
terluka parah tanpa sebab yang jelas. Mengingat
bagaimana gadis itu, jadi kusuruh Ken untuk
menyelidiki keberadaan Via di sana. Dan hasilnya...."
Revo sengaja memberi jeda. Dibiarkannya
atasannya itu penasaran menyeret-nyeret ujung
jemari, menggeser lembaran foto yang terpajang.
Mulai dari gambar jalan, foto pemuda-pemuda yang
terkapar itu, sebuah gedung kampus perguruan
tinggi, hingga akhirnya foto seorang gadis.
"Positif. Kita menemukan Via."
"Bagus...." Braham berhenti mengulik-ngulik
foto. "Sudah tahu di mana ia tinggal?"
"Ken bergerak cepat. Tidak hanya tempat
tinggal, kita sudah tahu di mana ia berkuliah, siapa
saja temannya, hingga tempat ia bekerja."
"Siapkan tiket menjemputnya." pesawat. Suruh Radon "Tapi...." "Tapi apa lagi?" Braham mendongak. Matanya
tajam menusuk. Lekas-lekas Revo menundukkan
kepala menghindari tatapan itu.
"Radon saat ini tidak ada di Jakarta. Ia di
Lampung. Bos sendiri yang memintanya untuk
mengunjungi pusat jaringan Abah Klipper."
Mendengar nama pesaing usahanya itu disebut,
Braham justru refleks terkekeh. Komputer tablet ia
lemparkan ke atas meja. Ia lalu berdiri dan berjalan
melewati Revo untuk kembali ke dalam gedung.
"Satu jam lagi pasti beres...."
*** Sebuah truk melaju kencang menyusuri jalan
raya. Di sebuah pertigaan, ia berbelok ke sebelah kiri,
mengambil jalan yang paling kecil di antara jalan
yang lain. Hingga lima belas menit selanjutnya, jalan
aspal mulus tersebut berubah menjadi jalan tanah
merah yang diapit semak belukar di kiri dan kanan.
Sampailah mobil itu memasuki sebuah gudang
terpencil. Bangunannya tampak tua, seperti
kompleks kecil pabrik dengan beberapa bangunan
telah roboh dengan noda terbakar. Hanya dua
bangunan yang utuh. Mobil masuk dan mematikan mesin. Sang supir
turun dan disambut beberapa pria bertubuh tegap.
Mereka cepat-cepat membuka pintu bak mobil dan
naik ke dalamnya. Puluhan keranjang buah jeruk,
semangka, dan pisang mereka turunkan dari truk.
Tak ketinggalan pula mereka menarik keluar lima
buah peti kayu seukuran tinggi manusia dewasa.
Peti-peti itu ditumpuk. Seorang pria berpenampilan lebih rapi dibanding pria-pria tegap
itu kemudian masuk dari pintu lain dan meminta
salah satunya membuka peti paling atas.
Peti paling atas dicungkil dengan linggis. Begitu
penutupnya terbuka, jejeran senapan mesin saling
tindih begitu rapi. Pria itu tersenyum. Cerutunya ia
sedot berkali-kali. Sembari mengisap cerutu, ia melangkah ke
jejeran keranjang buah yang telah disusun.
Didekatinya satu keranjang berisi jeruk dengan
kulitnya yang berwarna kuning. Dicelupkan tangan
kirinya di antara buah-buah jeruk, sembari seolah
meraba-raba. Beberapa detik setelah itu, tangannya
ditarik kembali dan menemukan sebuah granat.
"Bawa masuk gudang!" perintahnya kemudian.
Maka, laki-laki di sekelilingnya kembali cepat-cepat
bergerak. Beberapa mengangkat keranjang, beberapa
yang lain menggotong peti. Dengan tubuh-tubuh yang
kekar, ternyata mereka masih terseok-seok membawa beban-beban itu. "Hati-hati...," ingat sang mandor. Tapi baru ia
mengingatkan, satu anak buahnya yang baru
memasuki pintu gudang tiba-tiba tergelincir dan
jatuh terjengkang. Keranjangnya terlepas dan jatuh
tumbang. Jeruk-jeruk di dalamnya terserak, begitu
pun ratusan amunisi yang ditumpuk di bagian bawah
keranjang. "Sudah dibilang hati-hati!" bentak sang mandor
akhirnya. Bukannya minta maaf, laki-laki yang terjatuh
itu malah berlari layaknya ketakutan usai
meraba-raba sesuatu di bawah tubuhnya. Ia
mendapati tubuh pria lain tertelungkup di lantai.
Punggung pria tertelungkup itulah yang menjadi
sebab ia jatuh terjengkang.
"Siapa itu" Suruh dia bangun! Dia dibayar
bukan untuk tidur!" pita suara sang mandor makin
bersuara nyaring. Cerutunya ia lemparkan dan
diinjak lumat-lumat saking kesal.
Pria-pria yang menggotong peti akhirnya
meletakkan peti di lantai. Seorangnya mendekati
tubuh tertelungkup itu dan membalikkannya. Sontak
seisi garasi terperanjat. Wajah pria itu berlumuran
darah. "Anton, Bos...," ujar pria yang membalikkan
tubuh rekannya tersebut. Mimiknya tercekat. "Ia
mati." "Kurang ajar!" sang mandor makin geram. Ia
baru memasang cerutu baru. Cerutu yang belum
separuhnya ia hisap, cepat ia buangkan lagi. Diinjak
lumat-lumat lagi. Sembari meratakan cerutu itu di
lantai beton, tangannya meraih pistol yang terselip di
belakang punggung. Ia sadar ada yang tak beres.
Maka, ia pun berteriak sembari menembakkan
pistolnya ke arah gudang.
"Brengsek! Keluar kau! Kau pikir ini zaman
Belanda " bergeriliya?"
Melihat atasannya menarik pistol, anak
buahnya yang lain pun ikut menarik senjata api yang
mereka tenteng. Masing-masing meninggalkan
pekerjaan dan fokus waspada. Mereka kedatangan
tamu tak diundang. Dari kado yang diberikan, jelas
itikad tamu itu buruk sekali.
Mendadak, terdengar suara gaduh bagai
sesuatu jatuh dengan keras. Semuanya cepat-cepat
berputar ke arah suara yang tak jauh dari mobil truk
yang parkir. Sesosok anak muda berkulit putih
dengan rambut pirang sebahu, berdiri berkacak
pinggang tepat di sisi tumpukan peti senjata yang
belum diangkut. Papan penutup peti paling atas
terbuka. "So, is this your another bussiness" Selling guns
to who want to burn your nations?" Anak muda itu
mengalihkan matanya dari tumpukan senapan mesin
di dalam peti menuju para laki-laki yang berdiri siaga
dengan pistol di tangan. Mendapati dirinya ditodong
puluhan orang, bukannya gentar atau bibirnya
memucat tanda takut. Ia malah menggeleng-geleng
bagai orang heran. Sang mandor tiba-tiba tergelak mendapati
ucapan itu. Tak penting negara ini nantinya menjadi
apa. Yang penting adalah bisnis harus terus berjalan.
Jadi, ia pun menyahut, "That"s not your bussiness,
Young Man. Who are you" How dare you come here."
Wajah sang anak muda pun bergurat serius.
"Aku kemari untuk balas dendam," jawabnya
kemudian dengan bahasa Indonesia yang begitu
fasih. "Balas dendam?" kening sang mandor berkerut.
"Aku tak mengenalmu."
"Tapi kau mengenal Tuan Braham, kan?"
Mendengar nama lawan bisnisnya disebut-sebut, sontak wajah sang mandor menampilkan rasa tak suka. Ia pun teringat kejadian
dua minggu sebelum ini. Saat itu, seorang anak
buahnya menghadap dengan membawa muka
senang. Ia melapor bahwa tugas yang ia emban telah
dilaksanakan dengan baik. Ia dan rekan-rekannya
berhasil menghabisi beberapa anggota jaringan
Braham yang selama ini dianggap mengganggu
eksistensi bisnis mereka.
"Jadi, kau juga anak buah dari si brengsek itu?"
Anak muda di hadapannya hanya berdiri diam.
Air mukanya tak berubah sedikit pun. Tetap tanpa
riak takut atau gentar. "Dan kau ingin balas dendam?" sambung sang
mandor. Anak muda itu mengangguk enteng.
"Mati saja kau!" tanpa basa basi, sang mandor
mengacungkan pistol lalu menarik pelatuk. Letupannya membahana di garasi. Anak muda
tersebut langsung roboh terjengkang.
menyambar tepat di dada kirinya.
Peluru Sang mandor terkekeh jumawa. Ia meludah ke
lantai, seolah melihat benda menjijikkan. Lalu ia
berputar dan memerintahkan beberapa anak
buahnya membereskan tubuh pemuda yang baru
saja ia tembak. "Buang di jurang. Biar dimakan anjing hutan,"
tambahnya. Dua anak buahnya bergegas menyanggupi.
Mereka menjemput jasad pemuda yang baru saja
ditembak oleh atasan mereka. Sementara sang
atasan, beranjak ingin kembali ke ruangannya yang
tak jauh dari gudang.

Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Asyik melangkah, tiba-tiba suara gaduh seperti
tadi kembali terdengar. Kali ini, sebanyak dua kali.
Cepat ia berputar. Didapatinya dua laki-laki yang ia
perintah untuk membuang jasad bawahan Braham
tergeletak di lantai. Mereka terpisah jarak belasan
meter satu sama lain seolah habis dilempar bagai
mainan. "Akan kubuat jasad kalian lebih terhina...." Sang
mandor terbelalak. Suara itu muncul dari sosok yang
perlahan bangkit berdiri. Dia pemuda yang sudah ia
tembak dengan telak. Namun sekarang, ia justru
melihat pemuda itu masih mampu menarik napas.
Sebuah dentingan terdengar saat pemuda
berkulit putih itu telah tegak berdiri. Dentingan itu
berasal dari kepala timah panas yang sempat
dilesatkan ke dada kirinya. Tak ada bercak darah di
sana. Proyektil peluru tersebut jatuh dengan bentuk
pipih bagai menghantam dinding baja yang sangat
tebal. Pada saat itu juga, sang mandor sadar. Pemuda
yang ia tembak sama sekali tak mengucurkan darah.
Tak ada luka di dadanya. Hanya bajunya saja yang
berlubang kecil akibat diseruduk peluru berkecepatan tinggi. "Makhluk apa kau...?" sang mandor gamang. Ia
kemudian mengangkat kembali pistolnya. Ia tarik
pelatuknya berkali-kali. Peluru melesak beruntun ke
tubuh sang pemuda. Dada, pundak, serta leher tak
luput dari tembakan membabi buta tersebut. Peluru
telak mengenai sasaran. Namun entah bagaimana,
orang yang menjadi targetnya sama sekali tak
memercikkan darah. Bahkan, bibirnya yang datar
pelan-pelan menampakkan senyum. Makin lebar dan
makin lebar. Melihat atasannya kewalahan, pria-pria yang
berada di sekitar sana dan hanya menonton sedari
tadi, juga ikut mengangkat senjata api. Tak
tanggung-tanggung, mereka menyiapkan senapan
mesin yang baru tiba di gudang beberapa menit lalu.
Mereka berondong pemuda itu. Letupan moncong
senapan membahana. Dentingan selongsong dan
kepala peluru berguguran di lantai.
Sang pemuda tetap berdiri. Ia melangkah
mendekati sang mandor dengan senyum mengerikannya. Seorang anak buah merogoh granat dari
keranjang buah yang belum diangkut. Pin pengaman
ia lepas, lalu granat tersebut ia lempar ke arah sang
pemuda. Tanpa diduga, granat itu malah berhasil
disambut oleh orang yang ingin ia lempari. Benda
sebesar kepalan tangan itu kemudian meledak
mengguncang isi garasi saat masih berada dalam
genggaman. Peluru sang mandor habis. Kebingungan, ia
meminta seorang anak buahnya melemparkan
senapan. Namun belum sempat ia ikut kembali
menghajar sang pemuda dengan hujan peluru,
pemuda itu sudah berdiri sangat dekat di depannya.
Ujung senapan dipegang sangat kuat, hingga sulit
bergerak. Lalu disentak dan dilempar jauh-jauh. Tak
tertinggal, ia turut menangkap kerah baju sang
mandor, hingga ia tak dapat lari.
Semua berhenti menembak. Salah sasaran, bisa
fatal akibatnya. Semua menunggu tegang. Merasa serba salah,
hanya berdiam diri atau menembak. Di antara
kebimbangan itu, seorang di antara mereka
pelan-pelan memundurkan langkahnya ke arah
gudang. Ia membungkuk, meraih sebilang parang
panjang. Lalu, pelan melangkah mengendap-endap
menuju punggung pemuda itu.
Masih tak sadar ada yang mendekat, sang bule
muda makin mengeratkan genggamannya pada
kerah sang mandor. Sang mandor sendiri berusaha
melepaskan kepalan itu. Namun, cangkupan jemari
di hadapan wajahnya bagai sebuah gembok baja
yang sulit dienyahkan. Tak bergeming meski sekuat
apa pun ia mencoba. Hingga akhirnya, anak buah sang mandor yang
semula jalan mengendap-endap itu tiba di posisinya.
Ia berhenti lima atau empat langkah lagi dari
pemuda bule tersebut berdiri. Begitu berhenti, ia
menegakkan punggung dan mengangkat parang
dengan bilahnya yang mengkilap setinggi mungkin.
Dan, masih tak sadar ada yang mendekat, pria di
belakang pemuda bule itu pun mengayunkan parang
yang ia sandang sekuat tenaga. Ayunannya melesat
kilat mengarah ke pinggang kanan sang pemuda
bule. *** Dentingan membahana di dalam gudang.
Serpihan logam kecil-kecil menghambur, memencar
dari dua bilah parang yang terpisah karena patah.
Satu bilahnya yang paling pendek, tergenggam di
tangan pria yang mengayunkan parang. Sementara
satu bilah paling panjang, berputar-putar di udara,
lalu jatuh di lantai semen berdenting-denting
kembali. Pria di belakang pemuda bule itu terkesiap.
Matanya membelalak melihat sobekan kain di
pinggang kanan pemuda yang masih berdiri tegap di
hadapannya. Baju pemuda itu sobek separuh oleh
sabetan parang. Namun..., tak ada setetes pun darah
yang mengalir. Bahkan, bergeming saja tidak tubuh
putihnya. "Kalian semua kotoran!" pekik pemuda bule itu
pula. Kerah sang mandor ditarik, hingga terhuyung
ke depan. Baru sekejap tubuhnya berhenti, sang bule
lalu menggerakkan tangannya lagi. Kali ini
mengayun ke depan. Tubuh sang mandor yang
gempal terlempar bagai bola kasti yang dipukul
sekuat tenaga, kemudian menghantam sisi gudang
hingga jebol. Tak sampai sedetik usai melempar sang
mandor, si pemuda bule berputar ke belakang dan
menangkap pundak kanan pria di belakangnya tadi
dengan tangan kirinya. Tangan kiri sang bule
mencengkeram hebat, hingga terdengar remukan
tulang di pundak pria penyabet parang itu. Pria itu
dibuatnya pula memekik tak kepalang.
Padahal baru terbuka mulutnya untuk berteriak
kesakitan, cengkeraman tangan kanan pemuda bule
yang ia sabet tadi kini menyambar dagunya. Sebegitu
hebat sambaran tangan itu, hingga lehernya berderik
ke belakang. Suaranya putus seketika. Dan dengan
satu dorongan lagi, kepala itu lepas, dan belulang
belakangnya turut terseret keluar dari punggungnya.
Kepalanya terlempar jauh dan jatuh tergolek di
tanah, dengan untaian beberapa tulang punggung
menyertainya. Sementara tubuhnya yang tertinggal,
dengan pundak kanannya yang masih dicengkeram,
kemudian dilontarkan begitu saja bermeter-meter
jauhnya hanya dengan ayunan satu tangan kiri.
Semua bergidik. Semua takut. Tapi tiba-tiba,
mereka kemudian berteriak, "Bangsaaaaat!"
Lalu, berbondong-bondong mereka memberondong pemuda itu dengan serbuan timah
panas. *** Sang mandor tak bisa apa-apa kini. Ia
mengerang kecil dengan tubuh tergolek tak berdaya
di tanah. Separuh wajahnya bermandikan darah.
Lontaran pemuda bule tadi membuatnya menghantam susunan batu bata berlapis semen yang
menjadi dinding gudang, lalu jatuh dengan keras di
tanah, berguling-guling, kemudian berhenti setelah
hampir tiga puluh meter. Punggungnya patah,
kakinya patah, begitu pun tangan-tangannya tak bisa
ia gerakkan. Jadilah, ia hanya bisa merasakan sakit di
sekujur tubuhnya, dan mendengar rentetan
tembakan di dalam gudang, disusul pekikan dan
erangan keras, begitu pun hantaman berdentum
kencang. Entah sesuatu jatuh, sesuatu menghantam
sesuatu lain, atau ledakan granat. Yang pasti,
rentetan-rentetan itu pelan-pelan hilang keramaiannya. Makin lama, makin sedikit.
Hingga suatu ketika, seorang pria berlari
ketakutan keluar dari gudang. Meski berlari,
disempatkannya terus menembak ke arah belakang
dengan senapan serbu yang ia bawa. Tak dinyana,
sebuah lempengan layaknya pintu sebuah mobil
melesat berputar-putar ke arahnya. Sangat cepat
lesatannya, sangat cepat pula putarannya, hingga
membuat benda besar itu setajam pisau, kemudian
memotong tangannya yang memegang senapan.
Tangannya jatuh, menembak membabi-buta.
Beberapa tembakan mengenai kakinya sendiri.
Hingga pekikannya bertambah selain kehilangan
tangan, juga karena tulang kering dan betisnya
diserbu peluru. Ia pun jatuh, bersimpuh. Kemudian
sebuah kepala truk menerobos dinding gudang,
terlontar dan akhirnya jatuh berguling melumat
tubuhnya, melenyapkan lengkingan suaranya di
tengah hutan. Sunyi. Sepi. Dari dinding yang diterobos oleh kepala truk
itu, melangkah pelan-pelan sesosok tubuh. Pakaiannya penuh lubang peluru. Rambutnya yang
pirang, dilumuri noda merah, begitu pun separuh
wajah, seluruh tangan dan dada, hingga hampir
mencapai ujung kaki. Anyir darah menyeruak pekat
seiring kakinya berayun. Sang mandor mengerang kian jadi. Darah
memuncrat seiring hembusan napasnya yang
memburu. Namun, sedikit pun ia tak mampu
bergerak, sedangkan sang pemuda bule kian dekat
langkahnya. Hingga kemudian, ia berhenti di dekat kepala
sang mandor. tersenyum menyeringai menyaksikan tubuh yang semula arogan menantangnya, kini tersungkur mengerang-erang.
Sebuah nada tiba-tiba mengalun pelan.
Membuat seringaiannya mendatar. Tangan kirinya
kemudian naik menyentuh tombol di earphone yang
terus menempel di kuping kirinya.
"Radon...!" tiba-tiba suara di sana menyapa.
"Kau sudah selesai?"
"Sedikit lagi. Kau menelepon ketika aku hampir
selesai." "Bagus! Kalau begitu, selesaikanlah!"
"Segera." "Jangan lupa mandi. Tapi aku tak yakin, di
tengah hutan ada sungai."
Telepon diputus. Pemuda kulit putih yang
dipanggil Radon oleh Braham itu kembali
menyeringai. Dipandanginya tubuh lumpuh di
hadapannya puas-puas selama sepuluh detik. Dan
setelah puas, disepaknya kepala sang mandor
kuat-kuat hingga copot dan pecah. Sebagiannya
terburai kecil-kecil, sementara sebagiannya lagi
menabrak salah satu dari jejeran drum di tepi
halaman gudang. "Tidak masalah," ujar Radon kemudian ketika
tahu isi dari drum-drum tersebut adalah tadahan air
hujan. BAB 2 Mita memutar tubuhnya di atas ranjang. Ia
merasai keningnya yang berdenyut dan menghangat.
Sungguh membuat paginya tak nyaman. Terlebih
lagi, hingga sekarang ujung pikirannya selalu tertuju


Via Karya Dirgita Devina di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada Alwi akibat kejadian naas itu. Tidak hanya
sebelum memejamkan mata pukul 01.00 dini hari
perasaannya masih tak enak, selama bermimpi pun
ia digerayangi sedan metalik yang tiba-tiba menggilas
Alwi tepat di depan matanya tadi malam.
Mita pun dibuatnya terbangun berkali-kali
dengan keringat dingin di sekujur tubuh. Dan untuk
yang terakhir ini, Mita sudah tidak sanggup lagi
melanjutkan tidurnya. Dengan kepala pening dan
mata perih karena kurang tidur, ia mengangkat
punggungnya dari ranjang, lalu menyandar dan
meraih ponsel yang turut tergeletak di atas tempat
tidur. Setelah mengaktifkan tombol, dengan jelas ia
menjumpai angka 07.48 disudut kanan atas layar
ponsel. Mita melengos. Dipandanginya jendela kamar
yang masih terkunci rapat dan ditutupi tirai. Cahaya
matahari yang menerpa rangka jendela membuat
pola kotak-kotak di tirai itu. Terang yang menyeruak
turut menambah gangguan untuk terus menikmati
tidur. Jadilah Mita menghempaskan ponselnya.
Sebelum itu, ia sempat mencari-cari nomor ponsel
yang sekiranya dapat dihubungi perihal Alwi.
Selintas, terlenting di benaknya untuk mengakhiri
sandiwara yang baru seumur jagung mereka
perankan. Ia pun memperoleh nomor Wiwid. Namun
setelah dihubungi, nomor itu sedang tidak aktif.
Sekarang, apa" Mita menoleh setumpuk buku dan tas kerjanya
di atas meja, tepat di depan jendela dengan tirainya
yang sesekali bergoyang dihembus angin. Hari ini
ada jadwal untuk mengajar. Ingat akan kewajibannya
itu, Mita mendesah. Dengan kondisi tubuh yang
kurang fit begini, rasa-rasanya ia tidak akan mampu
mengajar dengan penuh cinta.
Sedetik, Mita berpikir untuk tidak masuk
mengajar. Dua detik kemudian, ia teringat lagi pada
Alwi. Dan untuk detik ketiga, Mita akhirnya menyeret
tubuhnya turun dari ranjang. Lebih baik ia masuk
mengajar meskipun terlihat tanpa semangat.
Sekaligus ia akan menjumpai Alwi setelah mengajar.
Mita meraih gagang pintu kamar dan
memutarnya. Namun, lantunan nada polifonik yang
tiba-tiba terdengar membuat ia urung menarik pintu
yang siap dibuka. Rangkaian nadanya tidak ia kenal.
Dan sudah pasti, bukan berasal dari ponsel yang ia
miliki. Lagi pula, jika sistem pendengarannya masih
berfungsi dengan baik, arah nada itu berasal dari
belakang. Belakang" Lekas Mita berputar. Hampir bertepatan
dengan itu, nada tersebut pun melenyap.
Sekonyong-konyong, ia lalu menghambur ke arah
jendela dan menyibak tirainya yang masih
terbentang. Dan, nihil. Hanya tembok putih setinggi
dua meter yang menyambutnya di halaman samping
rumah. Untuk lebih meyakinkan, ia buka jendela dan
menjulurkan lehernya sesaat.
Meski sadar bahwa keadaan kepalanya kurang
begitu fit akibat berkali-kali terganggu mimpi buruk,
Mita yakin ia tidak berhalusinasi. Telinganya
menangkap jelas suara itu. Berasal dari balik jendela
dan bukannya dari balik tembok halaman. Jika
berasal dari balik tembok, mana mungkin suaranya
sebening dan selantang tadi. Jarak jendela kamarnya
dari tembok mencapai hampir enam meter.
Terkecuali.... Tengkuk dosen muda itu merinding. Ia berani
jamin bahwa nada yang baru saja ia dengar adalah
dering ponsel. Ponsel dipakai oleh orang, bukannya
setan atau jin. Dan jika suaranya terdengar jelas dari
balik jendela, berarti orang itu baru saja berada di
depan jendela. Jika orang itu berada di depan jendela
kamarnya di pagi hari seperti ini sementara ia baru
saja bangun tidur, dapat dipastikan orang itu telah
masuk ke area pekarangannya tanpa izin.
Jantungnya seolah berhenti berdegub beberapa
saat bilamana ia sampai pada satu kesimpulan.
Dirinya tengah dimata-matai. Seketika itu juga
sekujur tubuhnya kian merinding. Ia melenting
mundur dari jendela. Baru ia hendak berputar dan
secepatnya meninggalkan kamar, ponsel yang ia
tinggalkan di atas kasur berdenting empat kali. Mita
tambah terperanjat. Jantungnya kini kembali bekerja,
namun dengan detakan maraton.
Backlight ponsel meredup lalu padam. Barulah
Mita berani menyeret langkahnya mendekati tempat
tidur. Sebuah pesan singkat ternyata baru saja
masuk. Cukup sekali menekan tombol, isi pesan
tersebut segera menghampar.
Belum dua baris membaca, Mita tiba-tiba
menjerit. Kalimat pembuka pada pesan singkat itu
seolah menyengat dengan kekuatan satu gardu,
membuatnya melepaskan ponsel yang tergenggam
kembali ke atas ranjang. "Kurang ajar!" Mita cepat menoleh ke jendela
kamar yang tadi sempat ia inspeksi. Meskipun
berasal dari nomor berbeda, Mita yakin pengirim
SMS yang baru saja membuat matanya perih adalah
orang yang selama ini menerornya melalui
pesan-pesan sok romantis yang menjijikkan. Tidak
ada yang pernah memanggilnya putri salju selain
orang ajaib itu. "Kau yang menatap dari jendela dengan mata
indahmu...?" Kalimat pembuka itu terus terngiang.
Membuat rangkaian gigi Mita gemeretak saling
beradu. Ia jengkel setengah mati. Manusia kurang
kerjaan ini rupa-rupanya belum kembali ke jalan
yang lurus dan masih mengiriminya SMS.
Namun dalam detik yang sama pula,
rambut-rambut halus di sekujur tubuhnya serentak
bangun. Dengan lutut yang menggigil, ia menoleh
jendela yang terbuka. Tirainya yang tersibak
bergoyang pelan ditiup angin.
Kalimat pembuka pesan tadi seolah berderet
kembali di depan matanya. Membuat Mita sontak
melenting dari tempat ia berdiri. Ditabraknya pintu
kamar, diputarnya gagang pintu semau hati. Setelah
terbuka, ia menghambur ke luar kamar dan menutup
kembali pintu itu, untuk kemudian melarikan dirinya
ke ruang tengah. Satu-satu ia periksa segala pintu dan jendela di
dapur maupun serambi. Disempatkannya pula untuk
mengintip kalau-kalau ada orang aneh di sekitar
rumah yang baru ia kontrak. Dan hasilnya, nihil.
Tawon Merah Bukit Hengsan 2 Pendekar Mata Keranjang 18 Tembang Maut Alam Kematian Terbang Harum Pedang Hujan 6

Cari Blog Ini