16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 2
Rara Wulan yang juga dapat melihat burung itu mengangguk-angguk.
Sejenak kemudian, maka langitpun menjadi terang. Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah turun ke sebuah sungai kecil untuk mencuci muka serta berbenah diri serba sedikit. Baru kemudian merekapun naik lagi, justru diseberang sungai kecil itu.
Ketika mereka berdiri diatas tanggul, maka mereka melihat bahwa tidak jauh dari tempat mereka berdiri terdapat jalan yang lebih besar dari jalan yang telah dilaluinya. Bahkan agaknya jalan itu termasuk jalan yang cukup ramai. Glagah Putih dan Rara Wulan melihat tiga orang berkuda menginngi sebuah pedati yang diduga berisi barang-barang dagangan yang akan dibawa ke pasar.
"Agaknya ada pasar yang ramai di sekitar tempat ini," desis Rara Wulan.
"Kau yakin, bahwa yang ada di pedati itu barang-barang dagangan yang akan dibawa ke pasar?" bertanya Glagah Putih.
"Jika bukan barang-barang dagangan, lalu apa?"
Glagah Putih tidak menjawab. Namun nampaknya isi pedati itu cukup berat, sehingga dua ekor lembu yang menariknya harus mengerahkan tenaganya.
Beberapa saat keduanya mengamati pedati yang berjalan lamban. Sekali-sekali rodanya terguncang oleh lubang-lubang yang ada di jalan itu.
"Kalau pedati itu berisi barang dagangan yang akan dibawa ke pasar, dagangan apakah yang agaknya demikian beratnya itu. Apalagi pedati itu telah ditutup demikian rapatnya, sehingga orang tidak akan dapat melihat, apa yang berada di dalamnya," desis Glagah Putih kemudian.
"Ya. Yang berkuda itu agaknya orang-orang yang bertugas mengawal pedati itu."
Keduanya mengangguk-angguk.
Namun tiba-tiba saja roda pedati itu terperosok ke dalam sebuah lubang yang agak dalam, sehingga kedua ekor lembunya tidak kuat lagi menarik pedati itu keluar dari lubang itu.
Tiba-tiba tiga orang telah berloncatan dari dalam pedati itu. Ternyata di samping barang-barang yang dibawanya ada tiga orang yang berada di dalam pedati. Seorang saisnya serta dua orang yang nampaknya sebagaimana orang-orang berkuda itu, mengawal barang-barang yang dibawa dalam pedati itu.
Ketiga orang yang berloncatan keluar dari dalam pedati itu mencoba membantu mendorong pedati itu. Bahkan mencoba mengangkat rodanya dari lubang yang dalam. Tetapi ketiga orang itu tidak mampu mengangkat roda pedati itu.
"Turunlah," berkata salah seorang dari ketiga orang itu kepada ketiga orang berkuda yang mengiringi pedati. Tiga orang penunggang kuda itupun berloncatan turun pula. Bersama-sama, keenam orang itu berusaha mengangkat roda pedati, sementara lembunya berusaha dengan sekuat tenaga menariknya.
Tetapi pedati yang terhitung besar dan ditarik oleh dua ekor lembu itu sama sekali tidak bergerak.
"Apa sebaiknya yang harus kita lakukan?" bertanya seorang diantara mereka.
Seorang yang agaknya memimpin kawan-kawannya itupun berkata, "Kita kurangi muatannya."
"Apakah kita akan membuangnya?"
"Tidak bodoh. Kita turunkan. Nanti setelah lewat lubang itu. kita akan memuatnya lagi."
Yang lampun mengangguk-angguk mengiakan. Seorang diantara mereka berkata, "Ya. Kita kurangi berat pedati itu."
Demikianlah. maka keenam orang itupun kemudian telah membuka kerudung pedati itu. Merekapun kemudian menurunkan sebagian muatan dari pedati itu dan meletakkannya di pinggir jalan.
Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut. Ketika beberapa ikat dari barang barang yang ada di pedati itu diturunkan, maka Glagah Putihpun berdesis, "Senjata."
"Ya," Rara Wulanpun menjadi berdebar-debar, "beberapa ikat tombak pendek telah diturunkan."
Sebenarnyalah bahwa keenam orang itu telah menurunkan beberapa ikat tombak pendek dan pedang. Baru kemudian mereka mencoba untuk mendorong gerobag itu lagi.
Karena gerobag itu masih belum bergerak maju, maka mereka telah menurunkan beberapa ikat lagi.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian menyadari, bahwa tidak seharusnya mereka menonton orang-orang yang sedang sibuk menurunkan beberapa ikat senjata dari pedati itu. Jika pedati itu harus dikerudungi dengan rapat, maka senjata-senjata itu tentu dikirim dengan rahasia ke tempat-tempat yang rahasia pula.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera mengetahui dihubungkan dengan perkembangan keadaan, bahwa senjata-senjata itu tentu akan dikirim untuk mempersenjatai orang-orang yang mengikuti latihan-latihan keprajuritan sepekan dua atau tigakali.
"Nampaknya Demak dan Perguruan Kedung Jati kali ini bersungguh-sungguh dengan persiapan yang matang," desis Rara Wulan.
"Ya," jawab Glagah Putih, "tetapi sebaiknya kita tidak berdiri disini. Sebaiknya kita menyingkir saja."
"Ya. Mereka tentu tidak senang jika mereka mengetahui ada orang lain yang tidak mereka kenal menyaksikannya."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian berniat kembali menuruni tebing yang rendah dan menyingkir sepanjang tepian. Tetapi ternyata seorang diantara mereka yang menurunkan senjata dari pedati itu melihatnya.
"Siapa orang itu?" desis orang yang melihat Glagah Putih dan Rara Wulan yang menyingkir itu.
Kawan-kawannyapun segera berpaling. Ketika mereka melihat Glagah Putih dan Rara Wulan. maka orang yang agaknya memimpin tugas pengiriman senjata itu berteriak, "He. Ki Sanak. Berhenti."
"Mereka sudah melihat kita, kakang."
"Ya Kita tidak dapat menghindar lagi." Keduanyapun kemudian berhenti. Mereka berdiri di atas tanggul sungai menunggu empat orang diantara keenam orang itu mendatangi mereka, sedangkan dua orang yang lain tetap di tempatnya menunggui senjata-senjata itu.
Beberapa langkah dihadapan Glagah Putih dan Rara Wulan. keempat orang itupun berhenti. Dengan wajah yang gelap, orang yang nampaknya memimpin pengiriman senjata itu bergeser maju selangkah sambil berkata dengan nada yang berat, "Siapakah kalian berdua Ki Sanak?"
"Kami adalah dua orang pengembara. Kami menyusuri padukuhan demi padukuhan untuk mengenali dunia yang luas ini."
"Apakah hubungan diantara kalian berdua?"
"Perempuan ini adalah isteriku. Kami berselisih dengan keluarga kami. sehingga kami telah diusir dari rumah kami. Tetapi rumah itu memang bukan rumahku. Tetapi rumah pamanku."
Orang yang berwajah gelap itu memandang Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Dengan curiga orang itu berkata, "Kenapa kalian memperhatikan kami. Pedati yang terpaksa kami turunkan sebagian muatannya itu."
"Aku tidak memperhatikan Ki Sanak serta pedati dan isinya itu. Kami baru saja mencuci muka di sungai itu. Demikian kami naik ke atas tanggul, kami melihat ada pedati yang berhenti karena rodanya terperosok ke dalam lubang yang agak dalam. Semula kami berniat untuk membantu mendorong, tetapi setelah kami melihat isi dari pedati itu setelah Ki Sanak turunkan, maka kami membatalkan niat kami. Kami berniat untuk pergi dan tidak mengetahui apa-apa tentang pedati yang berisi senjata itu."
"Apapun alasannya, tetapi kalian sudah mengetahui isi dari pedati itu. Karena itu, aku minta kalian ikut aku sampai ke padukuhan di belakang bulak itu. Kami akan menyerahkan kau kepada petugas kami di padukuhan itu. Selanjutnya biarlah mereka yang memutuskan, apa yang akan mereka lakukan terhadap Ki Sanak berdua, sementara kami akan melanjutkan perjalanan kami. Senjata-senjata itu tidak kami peruntukkan bagi padukuhan di belakang bulak itu. Tetapi senjata-senjata itu akan kami kirimkan ke tempat yang lebih jauh untuk keperluan yang khusus. Satu lingkungan yang selama ini tidak pernah tenang karena ulah segerombolan perampok yang sangat ganas. Rakyat di lingkungan itu memerlukan senjata. Karena itu, maka kami mengirimkan senjata ke padukuhan itu, agar rakyatnya sempat mempertahankan dirinya."
"Ki Sanak. Kenapa kami berdua harus ikut bersama Ki Sanak" Bukankah kami tidak berbuat apa-apa. Apakah salah, jika kami berpapasan dengan Ki Sanak yang mengawal sebuah pedati yang membawa senjata untuk menolong rakyat yang dihantui oleh gerombolan perampok."
"Tetapi kalian telah melihat rahasia pengiriman senjata itu."
"Kenapa harus dirahasiakan Ki Sanak. Biarlah para perampok itu mengetahui bahwa sasaran mereka telah dipersenjatai."
"Tidak. Yang terjadi justru sebaliknya. Para perampok itu akan menjadi semakin garang. Merekapun akan menjadi semakin berhati-hati. Tetapi jika mereka tidak tahu, bahwa sasaran mereka telah bersenjata lengkap, maka mereka akan dapat dijebak."
"Baiklah. Jika demikian biarlah aku pergi jauh. Aku tidak akan lagi mendekati daerah ini. Aku akan pergi ke Demak."
"Tidak. Kalian akan kami serahkan kepada bebahu di padukuhan itu. Berbicaralah dengan mereka. Apakah kalian boleh pergi atau tidak, merekalah yang akan memutuskan."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Ada niat mereka untuk mengetahui keadaan padukuhan di seberang bulak itu. Tetapi mungkin sekali mereka akan berhadapan dengan kekuatan yang sangat besar. Mungkin ada beberapa orang berilmu tinggi di padukuhan itu atau sekelompok prajurit dan murid-murid dari perguruan Kedung Jati yang jumlahnya cukup besar.
Karena itu, baik Glagah Putih maupun Rara Wulan memperhitungkan, bahwa lebih baik menghadapi orang-orang yang ada di hadapan mereka itu, dari pada mereka yang berada di padukuhan yang belum diketahui jumlah serta kemampuan mereka.
Glagah Putihpun kemudian berdesis, "Bukankah kita tidak perlu pergi ke padukuhan itu, Rara. Kita tidak akan meloncat ke dalam lubang yang dalam dan gelap yang tidak kita ketahui dasarnya serta apa saja yang ada didasar lubang itu."
"Ya. Aku sependapat, kakang," jawab Rara Wulan.
"Apa yang Ki Sanak katakan ?" bertanya orang yang berwajah gelap itu.
"Maaf, Ki Sanak. Kami berkeberatan untuk pergi ke padukuhan itu. Kami akan melanjutkan perjalanan kami. Jika kami singgah serta menunggu keputusan para bebahu, kami akan banyak kehilangan waktu."
"Jika Kalian tidak merasa bersalah, kalian tidak perlu takut menghadap para bebahu serta petugas-petugas kami yang ada di padukuhan itu."
"Kami tidak takut Ki Sanak. Kami hanya tidak ingin kehilangan banyak waktu. Sementara itu, jika benar apa yang kalian katakan tentang senjata itu, maka itu bukannya rahasia. Kalian tentu tidak merasa perlu untuk membawa kami kepada para bebahu dan petugas-petugas kalian di padukuhan itu."
Namun tiba-tiba Rara Wulan bertanya, "Siapakah sebenarnya yang kalian maksud dengan petugas-petugas kalian itu ?"
Orang itu mengerutkan dahinya. Pertanyaan itu tidak diduganya sebelumnya. Namun demikian orang yang berwajah gelap itu menjawab, "Kami adalah para prajurit dari pasukan yang khusus untuk memberantas kejahatan dari Demak. Karena itu, kalian harus tunduk kepada kami."
Tetapi Rara Wulan itupun berkata pula, "Ki Sanak. Biarlah kami berdua melanjutkan perjalanan. Waktuku sudah banyak terbuang. Demikian pula waktu Ki Sanak. Bukankah lebih baik bagi kalian untuk menyelesaikan pekerjaan kalian" Bahkan jika kalian minta, kami akan bersedia membantunya, mendorong pedati itu keluar dari lubang yang agak dalam itu."
"Cukup aku memang tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi. Cepat ikut kami. Bantu kami mendorong pedati itu, tetapi setelah itu kalian harus ikut bersama kami."
Glagah Putih menggeleng sambil menjawab, "sayang Ki Sanak. Aku tidak dapat ikut bersama kalian. Tetapi kami bersedia membantu mendorong pedati kalian."
"Kami akan dapat melakukannya tanpa kalian. Setelah sebagian dari muatannya sudah kami turunkan, maka kedua ekor lembu itu akan dapat menariknya. Tetapi yang penting bagi kalian adalah justru ikut bersama kami sampai ke padukuhan di belakang bulak itu."
"Maaf Ki Sanak. Bagaimanapun juga kami berkeberatan."
"Apakah kami harus memaksa" Kami akan dapat mengikat tangan kalian pada pedati itu sehingga kalian akan terseret sampai ke padukuhan di belakang bulak. Jika kalian tidak ingin terhina seperti itu, maka sebaiknya kalian ikut kami dengan suka rela."
"Kalian tidak akan memaksa kami. Adalah hak kami untuk menentukan kemana kami akan pergi, karena kami tidak merasa harus menuruti perintah kalian."
Orang yang berwajah gelap itu menggeram. Iapun kemudian memerintahkan kepada orang-orangnya."
"Tangkap keduanya. Ikat tangannya dan kemudian ikatkan talinya pada pedati itu."
"Aku akan mengambil tali itu di pedati, kakang." berkata seorang diantaranya.
"Berteriak sajalah. Biarlah salah seorang dari kedua orang yang menunggui senjata itu membawa tali ijuk itu kemari."
Orang itupun segera berteriak kepada kawannya agar kawannya itu membawa tali ijuk kepada mereka.
Sebenarnyalah seorang diantara kedua orang yang menunggui pedati itu telah berlari-lari membawa tali ijuk.
"Jangan bodoh," berkata orang yang berwajah gelap itu, "jika kalian mencoba untuk melawan, maka nasib kalian akan menjadi semakin buruk."
"Jika kami melawan Ki Sanak, justru karena kami ingin memperbaiki nasib kami. Karena itu, jangan paksa kami."
"Cukup," orang yang berwajah gelap itu menjadi marah, "kami berlima dan kau hanya seorang diri. Betapapun tinggi ilmumu, maka akhirnya kau akan aku seret dibelakang pedati bersama isterimu itu."
"Bukankah kau lihat, bahwa aku tidak sendiri?"
"Apa yang dapat dilakukan oleh isterimu?"
"Kita akan melihat, apa yang dapat dilakukannya."
Orang itu menggeram. Kemudian sekali lagi ia berteriak, "Lakukan. Tangkap kedua orang itu. Jika mereka melawan, kalian tahu apa yang harus kalian lakukan."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
-ooo0dw0ooo- Jilid 377 KETIKA, kemudian Rara Wulan menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang nampak dikenakannya adalah pakaian khususnya, maka orang berwajah gelap itupun segera menyadari, bahwa ia telah berhadapan dengan orang yang mengaku suami isteri yang tentu mempunyai bekal ilmu kanuragan.
Karena itu, maka iapun kemudian berkata, "Agaknya kalian memang bukan orang kebanyakan. Mungkin kalian sengaja dikirim oleh Pajang atau Mataram untuk mengamati kesiagaan Demak. Karena itu maka kesalahan kalian di mata kami menjadi semakin besar. Jangan menyesal bahwa kami akan mengetrapkan hukuman yang murwat kepada telik sandi yang disusupkan ke daerah kami."
"Kenapa kau tiba-tiba saja mengira bahwa kami adalah petugas sandi" Aku sudah mengatakan, bahwa kami adalah pengembara. Kami tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Pajang atau Mataram. Kami hanya akan lewat dalam pengembaraan kami, karena kami tidak mempunyai tempat lagi di lingkungan keluarga kami."
"Seorang petugas sandi tidak akan demikian mudahnya mengaku tentang dirinya. Tetapi alangkah bodohnya kalian. Pakaian perempuan itu sudah menunjukkan bahwa ia bukan perempuan kebanyakan. Tentu bukan seorang perempuan yang terusir dari keluarganya."
"Kau salah menilai keadaan kami."
"Persetan," geram orang berwajah gelap itu. Lalu terdengar aba-abanya lebih tegas lagi, "Tangkap mereka. Cepat. Tetapi berhati-hatilah. Mereka adalah petugas sandi yang tentu berbekal ilmu pula."
Keempat orang yang mendapat perintah itupun segera bergerak. Dua orang menghadapi Glagah Putih dan dua orang yang lain menghadapi Rara Wulan yang telah bersiap pula untuk bertempur.
Pertempuranpun segera terjadi. Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mau menyerah begitu saja kepada keempat orang yang akan menangkapnya.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian harus menjadi semakin berhati-hati pula. Ternyata keempat orang itu bukan orang kebanyakan. Mereka yang dipercaya untuk mengawal pengiriman senjata itu ternyata orang-orang yang berilmu pula.
Demikianlah maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Tetapi ternyata bahwa untuk menangkap kedua orang suami isteri itu bukan satu pekerjaan yang mudah bagi keempat orang pengawal pengiriman senjata itu.
Bahkan semakin lama, mereka justru menjadi semakin terdesak. Bergantian mereka terlempar dari arena dan terpelanting jatuh. Namun merekapun segera meloncat bangkit kembali untuk meneruskan pertempuran yang semakin sengit.
Orang yang berwajah gelap, yang mengamati pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Ternyata dua orang yang mengaku suami isteri itu adalah dua orang yang berilmu tinggi, sehingga' empat orang kawannya yang terlatih dengan baik itu tidak segera dapat mengalahkan mereka, apalagi menangkap dan mengikat tangannya.
Orang berwajah gelap itu tidak mau berlama-lama. Sebagian dari senjata yang diturunkan dari pedati masih terletak di pinggir jalan, sehingga jika ada orang uang lewat, maka mereka akan melihat senjata-senjata itu.
Sedangkan pedati yang terperosok ke dalam lubang itupun masih belum sempat di dorong maju.
Karena itu, maka orang berwajah gelap itupun segera menyingsingkan lengan bajunya. Ia sendiri akan terjun ke arena agar kedua orang yang mengaku suami isteri itu segera dapat ditangkap dan diikat di belakang pedati.
Dengan demikian, maka orang itupun segera menempatkan diri bersama dengan dua orang kawannya untuk melawan Glagah Putih. Jika laki-laki itu sudah dikalahkannya, maka tentu akan mudah menghentikan perlawanan perempuan yang ternyata cukup garang itu."
Glagah Putih meloncat surut untuk mengambil jarak ketika lawannya menjadi tiga orang.
"Sebaiknya kau menyerah saja," berkata orang berwajah gelap itu, "kau tidak mempunyai kesempatan. Menyerah tentu lebih baik daripada jika kami harus menangkap kalian dengan kekerasan. Apalagi bagi perempuan yang kau aku sebagai isterimu. Kau tentu dapat membayangkan apa yang ak"n terjadi jika ia masih tetap saja memberikan perlawanan."
"Ia akan baik-baik saja," jawab Glagah Putih, "isteriku tidak akan mengalami kesulitan apa-apa untuk mengatasi kedua orang lawannya."
"Aku sudah memberimu peringatan."
"Terima kasih," jawab Glagah Putih. Namun justru serangan-serangannya telah datang lagi seperti arus banjir bandang.
Orang berwajah gelap itu terkejut. Ketika sekali terjadi benturan, maka orang berwajah gelap itu telah tergetar beberapa langkah surut.
"Gila orang ini," geram orang berwajah gelap itu, "tenaganya melebihi tenaga seekor kuda."
Sebenarnyalah Glagah Putih yang harus berhadapan dengan tiga orang itu telah meningkatkan ilmunya. Berkali-kali serangan-serangannya mampu menembus pertahanan lawannya. Bahkan orang yang berwajah gelap itu harus mengaduh tertahan ketika kaki Glagah Putih menyambar lambungnya.
Pada saat orang itu masih memegangi lambungnya yang kesakitan tiba-tiba saja seorang kawannya telah terlempar dari arena pertempuran, sehingga tubuhnya terbanting jatuh keatas tanggul. Untunglah orang itu tidak terpelanting dan jatuh ketepian.
Dengan demikian, maka orang yang berwajah gelap itupun menjadi yakin, bahwa lawannya memang seorang yang berilmu tinggi. Keberhasilannya menembus pertahanannya bukan hanya satu kebetulan. Tetapi ia benar-benar memiliki kemampuan.
Dengan demikian, maka orang berwajah gelap itu bersama kedua orang kawannya telah menghentakkan kekuatan dan kemampuan mereka untuk menggempur pertahanan Glagah Putih dari tiga arah.
Sementara itu, Rara Wulanpun masih bertempur melawan dua orang lawan. Kedua orang yang semula meremehkannya itu harus bertarung mati-matian untuk mempertahankan diri. Serangan -serangan Rara Wulanpun kemudian datang seperti badai.
Kelima orang yang bertempur melawan dua orang yang mengaku suami isteri itu menjadi semakin sengit. Tetapi kelima orang itu semakin lama menjadi semakin terdesak.
Orang keenam yang masih menunggui senjata yang berada di pedati serta yang sudah terlanjur diturunkan itupun tidak dapat tinggal diam. Iapun segera berlari-lari ke arena pertempuran.
Ternyata orang itu mempunyai perhitungan tersendiri. Ia tidak menempatkan diri bersama dua orang kawannya yang bertempur melawan Rara Wulan. Tetapi orang itu justru bergabung bersama ketiga orang kawannya termasuk orang yang berwajah gelap. Ia memperhitungkan bahwa bersama ketiga orang kawannya, mereka akan segera dapat menguasai lawannya, bahkan membunuhnya. Dengan demikian maka mereka berenam .akan mempunyai banyak kesempatan untuk menguasai perempuan yang diakunya sebagai isterinya itu.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, Glagah Putih harus menghadapi empat orang lawan yang tangguh yang mendapat kepercayaan untuk mengirimkan senjata dari Demak.
Glagah Putih memang harus meningkatkan ilmunya pula. Dengan kemampuannya meringankan tubuhnya, maka Glagah Putih mampu bergerak cepat sekali, sehingga keempat lawannya kadang-kadang merasa bahwa lawannya itu dapat menghilang dari pandangan mereka berempat.
Ternyata meskipun orang-orang yang mengawal pengiriman senjata itu bertempur berempat, namun mereka tidak mampu mengatasi kemampuan Glagah Putih. Bergantian mereka terlempar keluar dari arena. Sementara itu serangan-serangan Glagah Putih benar-benar telah menyakiti tubuh mereka.
Dalam pada itu, ternyata Rara Wulan menjadi tersinggung karenanya, ketika ia melihat orang keenam itu justru bergabung dengan tiga orang lainnya. Rara Wulan merasa dirinya diremehkan.
Justru karena itu. maka Rara Wulanpun telah meningkatkan kemampuannya. Kedua orang lawannya itupun segera mengalami kesulitan. Serangan-serangan Rara Wulan menjadi semakin sulit untuk dihindari. Jika kemudian terjadi benturan, maka kedua orang lawannya itupun akan terpelanting dari arena.
Karena semakin lama menjadi semakin sering, maka kedua orang lawan Rara Wulan itu akhirnya harus mengakui kenyataan, bahwa mereka berdua tidak akan dapat memenangkan pertempuran itu. Apalagi setelah memeras segala tenaga dan kemampuan mereka, maka tenaga merekapun sudah mulai menyusut. Sementara itu, seluruh tubuh mereka semakin terasa sakit karena serangan-serangan Rara Wulan yang sering kali menyusup pertahanan mereka.
Dalam kesulitan yang tidak teratasi, maka seorang diantara merekapun memberikan isyarat kepada kawan-kawannya yang bertempur melawan Glagah Putih untuk segera datang membantu.
Sebenarnyalah keempat orang itupun merasa bahwa mereka semakin mengalami kesulitan melawan Glagah Putih. Meskipun demikian seorang diantara mereka telah meninggalkan Glagah Putih dan bergabung dengan dua orang lawannya yang bertempur melawan Rara Wulan.
Tetapi ternyata bahwa ketiga orang itupun belum cukup memadai untuk melawan Rara Wulan. Merekapun masih saja terdesak. Serangan-serangan Rara Wulan masih saja mampu menembus pertahanan mereka.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun sudah menjadi tidak seimbang sama sekali. Keenam orang yang bertempur melawan dua orang suami isteri itu.s emakin tidak berdaya, sehingga akhirnya seorang demi seorang, mereka terkapar sambil mengerang kesakitan di atas rerumputan kering.
Glagah Putih yang kemudian berdiri di sebelah orang yang berwajah gelap itupun berkata, "Jika aku mempergunakan bahasamu, maka aku sudah sewajarnya membunuhmu. Membunuh kawan-kawanmu."
"Jangan bunuh kami. Kami minta ampun."
"Kami mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya tidak sebagai pembunuh. Karena itu, maka aku memang tidak akan membunuhmu. Tetapi jawab pertanyaanku."
"Apa yang ingin kau ketahui?"
"Kemana senjata-senjata itu akan kalian bawa ?"
"Kami mendapat perintah untuk membagikan senjata kepada rakyat di padukuhan-padukuhan yang terletak di sebelah utara Pegunungan Kendeng."
"Darimana kau mendapatkan senjata itu?"
"Dari Demak." "Aku akan pergi ke Demak. Aku akan meyakinkan, apakah benar senjata-senjata ini kau dapat dari Demak."
"Bagaimana kau akan meyakinkannya" Siapakah kau sebenarnya sehingga kau menaruh perhatian terhadap senjata-senjata yang aku bawa ?"
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Yang penting bagiku sebenarnya bukan darimana kau peroleh senjata itu. Tetapi yang sebenarnya penting untuk aku ketahui, apakah senjata-senjata itu sampai ke sasaran."
Orang berwajah gelap itu terkejut. Tertatih-tatih ia bergeser sambil bertanya, "Siapakah kalian sebenarnya?"
"Kalian tidak perlu tahu. Tetapi sekarang, bangkitlah. Urus senjata-senjata itu. Jangan kalian biarkan tergolek di pinggir jalan."
"Baik. Baik." Keenam orang yang kesakitan itu berusaha untuk bangkit. Yang terbaring di tanggul sambil menyeringai kesakitan telah bangkit berdiri. Yang lainpun, yang tulang-tulangnya serasa patah, juga bangkit berdiri.
Merekapun kemudian dengan susah payah melangkah ke pedati mereka yang masih berada di pinggir jalan.
"Dorong pedati kalian. Mari kami bantu," berkata Glagah Putih.
Glagah Putihpun memberi isyarat kepada Rara Wulan untuk membantu mendorong pedati itu.
Seorang diantara mereka, meskipun masih sambil berdesah kesakitan telah berdiri dihadapan pedati itu dengan cambuk di tangan. Sambil bergantung pada ujung pasangan lembu pedati itu, iapun kemudian berteriak keras-keras. Dilecutnya kedua lembunya berganti-ganti sementara yang lain berusaha untuk mendorong pedati itu.
"Seorang diantara kalian siap dengan batu ganjal roda pedati itu," berkata Glagah Putih, "demikian pedati ini beringsut, ia harus menyusupkan ganjal itu lebih dalam lagi. Semakin lama semakin dalam di lubang itu, agar rodanya tidak bergerak mundur lagi."
Demikian, maka sambil didorong sekuat tenaga yang tersisa dan sepasang lembu yang dilecuti itu juga berusaha birak, maka pedati itupun bergerak setapak demi setapak. Demikian rodanya bergerak sedikit, maka batu ganjal itupun telah disusupkan semakin dalam.
Demikianlah, maka akhirnya pedati, yang bergerak setapak demi setapak itu, dapat keluar dari lubang yang agak dalam itu.
Demikian pedati itu bergerak maju, maka Glagah Putihpun berkata, "Sekarang naikkan senjata-senjata itu kedalam pedati. Pastikan bahwa senjata-senjata itu akan terbagi di padukuhan-padukuhan sebelah Utara Gunung Kendeng. Kiriman berikutnya akan segera sampai di sana pula."
Keenam orang itu termangu-mangu. Mereka memang agak bingung menghadapi sikap Glagah Putih.
Dengan wajah yang membayangkan kegelisahan yang sangat orang yang bertanggung jawab terhadap pengiriman senjata itupun bertanya, "Siapakah Ki Sanak ini sebenarnya?"
"Sudah aku katakan, kalian tidak perlu tahu. Sekarang pergilah, kami akan meneruskan pengembaraan kami."
Glagah Putih tidak berkata apapun lagi. Iapun kemudian memberi isyarat kepada Rara Wulan untuk meninggalkan tempat itu.
Beberapa puluh langkah dari pedati itu, keduanya berpaling . Mereka melihat orang-orang yang membawa senjata itu sibuk menaikkan senjata-senjata itu ke dalam pedati.
"Kakang," berkata Rara Wulan, "kau membuat mereka bingung. Bahkan akupun menjadi bingung. Apa yang sebenarnya ingin kakang katakan kepada mereka."
"Aku sendiri juga bingung," jawab Glagah Putih, "tetapi aku mencoba untuk membuat kesan, bahwa kita justru orang yang berpihak kepada Demak. Seandainya tidak, aku ingin agar mereka tidak menganggap kita petugas sandi dari Pajang atau Mataram."
"Jika mereka tahu, bukankah mereka tidak dapat berbuat apa-apa."
"Tetapi mereka akan menentukan sikap dan rancangan baru. Setidak-tidaknya mereka akan menjadi semakin berhati-hati terhadap petugas sandi dari Pajang dan Mataram."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Memang lebih baik jika orang-orang yang membawa senjata itu tidak mencurigai mereka sebagai petugas sandi dari Pajang atau Mataram.
Dalam pada itu, beberapa saat kemudian, senjata-senjata yang diturunkan dari pedati itu sudah dinaikkan kembali. Bahkan beberapa saat kemudian, pedati itu sudah bergerak lagi. Tiga orang diantara orang-orang yang membawa senjata itu kembali duduk di punggung kudanya. Mereka masih saja sekali-kali mengaduh karena punggung mereka serasa patah. Sedangkan seorang lagi yang merasa di dadanya bagaikan menyala bara api, duduk bersandar tumpukan senjata didalam pedati yang bergerak perlahan itu. Sedang dua orang yang lain duduk di depan. Seorang diantaranya memegang kendali sepasang lembu yang menarik pedati itu.
Orang yang berwajah gelap, yang duduk di punggung kudanya itupun berdesis, "Agaknya kedua orang itu telah dikirim untuk mengamat-amati kita. Apakah kita menjalankan tugas kita itu dengan baik atau tidak."
"Ya. Agaknya keduanya petugas sandi justru dari Demak."
"Ya. Jika mereka orang Pajang atau Mataram, kita tentu sudah mereka bunuh. Mereka akan memusnahkan senjata-senjata itu. Mungkin dibakar."
"Ya. Namun dengan demikian, mereka akan melihat bahwa kita telah bekerja dengan bersungguh-sungguh. Bahkan mempertaruhkan nyawa kita."
Tetapi orang yang berwajah gelap itu menjadi semakin gelap. Dengan nada dalam iapun bergumam seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri, "Apa kata petugas sandi itu tentang diriku. Aku telah menyerah kepadanya dan justru mengatakan bahwa senjata-senjata itu akan aku bawa ke daerah di sebelah Utara Gunung Kendeng."
"Tentu tidak apa-apa. Jika mereka menganggap kita bersalah, maka sikap mereka tidak akan sebagaimana mereka lakukan. Mereka justru membantu kita mendorong pedati itu. Bahkan mengatakan bahwa kiriman berikutnya akan segera menyusul."
Orang berwajah gelap itu terdiam. Sebenarnya ia memang agak khawatir atas penilaian orang yang diduganya justru petugas sandi dari Demak itu.
Tetapi segala sesuatunya sudah terlanjur. Sementara itu iring-iringan itu masih berjalan terus menyusuri jalan ke daerah berbukit-bukit di sebelah Utara Pegunungan Kendeng.
Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun berjalan terus. Sepanjang jalan mereka menyempatkan diri untuk mengamati dan berbicara dengan para penghuni di daerah yang dilewatinya. Kadang-kadang Glagah Putih dan Rara Wulan berhenti beberapa lama di kedai sambil berbincang dengan pemilik kedai itu. Jika Rara Wulan memberikan uang lebih dari yang seharusnya dibayar dari harga minuman dan makan mereka, maka pemilik kedai itu sempat berbincang berlama-lama jika kedainya tidak sedang ramai dikunjungi orang.
Dengan demikian maka Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi semakin yakin, bahwa Demak telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk mengambil langkah-langkah yang dapat membahayakan keutuhan Mataram.
Dengan demikian perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi semakin lamban. Bahkan jarak yang ditempuhnya dalam sehari, tidak lebih dari tiga atau empat kademangan saja.
Semakin ke Utara, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun menjadi semakin berhati-hati. Kadang-kadang mereka berkesempatan untuk dapat berbicara agak terbuka. Tetapi kadang-kadang Glagah Putih dan Rara Wulan justru harus menahan diri jika perasaannya sebagai petugas dari Mataram sering tersinggung.
Bahkan orang-orang yang mengaku dari Perguruan Kedung Jati yang merasa mendapat kesempatan bertindak atas nama Demak yang sebenarnya, mencoba untuk mengambil hati rakyat sehingga mereka dengan ikhlas berdiri di pihak Demak. Mereka telah mempersiapkan diri untuk berjuang menuntut keadilan, bahwa sebenarnyalah Kanjeng Adipati Demak mempunyai hak yang lebih besar untuk bertahta daripada Kanjeng Sultan di Mataram.
Meskipun lambat, namun Glagah Putih dan Rara Wulanpun tetap saja bergerak ke Utara. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan bermalam di banjar sebuah pedukuhan, maka Glagah Putih dan Rara Wulan mengetahui, bahwa mereka sudah tidak terlalu jauh lagi dari sebuah padepokan yang disebut padepokan Jung Wangi.
Penunggu banjar yang masih belum terlalu tua itu, ternyata dapat banyak diajak berbicara tentang padepokan itu.
Adalah kebetulan, bahwa isteri penunggu banjar itu adalah seorang penjual makanan di pasar yang tidak terlalu jauh dari pedukuhan itu. Karena itu, ada alasan bagi Rara Wulan untuk memesan makanan yang akan dibawanya sebagai bekal di perjalanannya esok.
"Setiap pagi, sebelum fajar makanan kami sudah siap," berkata penunggu banjar itu, "jika Ki Sanak memesannya, maka sebelum fajar tentu sudah kami sediakan."
"Terima kasih," sahut Rara Wulan smabil menyerahkan sekeping uang perak.
"Kami tidak mempunyai uang kembalinya. Kami tidak mempunyai uang sebanyak itu," desis isteri penunggu banjar itu.
"Tidak apa-apa. mbokayu. Biarlah uang kembalinya aku titipkan saja kepada mbokayu."
"Bahaya itu Nyi. Bahaya. Uang itu bagaikan mempunyai kaki sehingga tanpa kita ketahui, tiba-tiba saja uang itu sudah tidak ada lagi di kampil."
Rara Wulan tertawa. "Nyi," berkata penunggu banjar itu, "jika uang sekian banyaknya ada di tangan kami, maka kami tidak akan mampu mencegah keinginan kami untuk mempergunakannya."
"Tidak apa-apa. Kakang." Glagah Putihlah yang menyahut, "kakang dapat mempergunakan uang itu. Kakang tidak usah ragu-ragu. Atau katakan saja, uang itu memang kami peruntukkan bagi kakang berdua."
"Jadi, apakah kami harus menyediakan makanan segerobak esok pagi."
"Tidak. Bukan begitu. Sediakan saja beberapa bungkus agar kami tidak kesulitan membawanya. Sedangkan uang itu dapat kalian pergunakan untuk keperluan apa saja," Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, "Kakang. Aku baru saja mendapat rejeki banyak. Kita berbagi keberuntungan."
"Apakah uang itu uang panas atau uang gelap?"
"Tidak. Tidak. Yakinlah. Aku baru saja menyembuhkan anak gadis seorang yang kaya raya. Seharusnya aku akan diambil menantu. Tetapi aku sudah beristeri, sehingga orang kaya itu memberi uang kepada kami berdua banyak sekali."
Penunggu banjar dan isterinya itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Rara Wulan berdesis di telinga Glagah Putih, "Kenapa kau menolak diambil menantu orang yang kaya raya."
Glagah Putihpun berdesis, "Sst."
Meskipun agak ragu, tetapi akhirnya penunggu banjar suami isteri itupun bersedia menerima sekeping uang perak dari Rara Wulan.
Namun dengan demikian, maka penunggu banjar itu dapat diajak berbicara tentang padepokan dari perguruan Jung Wangi.
"Padepokan itu sekarang sudah tidak lagi dipergunakan oleh perguruan yang disebut Perguruan Jung Wangi. Perguruan itu sekarang sudah lebur. Tidak lagi berdiri sendiri. Sejak padepokan itu menyatu dengan perguruan Kedung Jati, maka padepokan Jung Wangi sebagian telah dipergunakan sebagai barak para murid dari perguruan Kedung Jati. Sebuah perguruan yang besar, yang tidak tertandingi. Yang memiliki pertanda kekuasaan sepasang tongkat baja putih berkepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan. Orang-orang percaya bahwa kepala tongkat yang berupa tengkorak itu benar-benar telah dibuat dari emas murni."
"Lalu, apakah sudah tidak ada kegiatan sama sekali di padepokan itu."
"Tidak, Ki Sanak. Tidak ada kegiatan apa-apa dari perguruan Jung Wangi sendiri. Yang ada adalah kegiatan dari para prajurit dari Demak serta para murid dari perguruan Kedung Jati. Jung Wangi sudah berubah menjadi padepokan tempat anak-anak muda dari sebelah Utara Pegunungan Kendeng yang terpilih, untuk menjadi prajurit Demak yang sebenarnya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, "Ki Sanak Ada berapa anak muda yang sekarang berada di padepokan Jung Wangi?"
Orang itu menggeleng. Katanya, "Aku tidak tahu. Tetapi tentu lebih dari seribu orang."
"Seribu" Jadi di Jung Wangi itu tinggal sekitar seribu anak muda yang sedang ditempa sebagaimana seorang prajurit."
"Ya. Mereka mendapat latihan yang berat."
"Bagaimana sikap anak-anak muda itu sendiri?"
"Nampaknya mereka justru menjadi bangga. Mereka mengikuti latihan-latihan itu dengan penuh gairah."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Dari penunggu banjar itu mereka mendapat banyak keterangan tentang padepokan Jung wangi yang sudah tidak lagi menjadi padepokan dari perguruan Jung Wangi.
Glagah Putih dan Rara Wulan berbincang dengan penunggu banjar itu suami isteri sampai larut malam. Namun isteri penunggu banjar itu harus segera beristirahat. Di dini hari ia harus sudah bangun dan mulai menyiapkan makanan yang akan dijualnya di pasar. Hari itu isteri penunggu banjar itu harus membuat lebih banyak lagi, karena sebagian akan dibawa oleh suami isteri pengembara itu untuk dijadikan bekal di perjalanan.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulanpun merasa bahwa keterangan penunggu banjar itu sejauh yang diketahui sudah cukup. Karena itu, maka keduanyapun dipersilahkan beristirahat di bilik yang sudah disediakan di serambi belakang banjar.
Pagi-pagi sekali pesanan Rara Wulan ternyata sudah siap. Ketika Rara Wulan dan Glagah Putih selesai berbenah diri, maka merekapun dipersilahkan singgah di rumah penunggu banjar itu sejenak. Sambil minum minuman hangat, isteri penunggu banjar itu tengah mempersiapkan makanan yang akan dibawa oleh Glagah Putih dan Rara Wulan sebagai bekal di perjalanan.
Namun ternyata isteri penunggu banjar itu membungkus tiga jenis makanan yang jumlahnya terlalu banyak.
"Jangan terlalu banyak. Nyi. Sedikit-sedikit saja. Jadikan satu bungkus agar kami tidak kesulitan membawanya."
Karena isteri penunggu banjar itu selalu saja memberikan terlalu banyak, akhirnya Rara Wulan sendirilah yang membungkus tiga jenis makanan, tetapi jumlahnya tidak terlalu banyak.
"Tetapi uang Ki Sanak adalah sekeping uang perak. Bahkan seandainya semuanya ini kalian bawa, uang kalian masih tersisa."
"Tidak apa. Biarlah uang itu dapat kau pergunakan untuk apa saja. Sudah aku katakan, bahwa kita berbagi keberuntungan. Tetapi uang itu bukan uang panas dan bukan pula uang gelap."
Akhirnya, sebelum matahari terbit, Glagah Putih dan Rara Wulanpun minta diri. Isteri penunggu banjar itupun akan segera pergi ke pasar, menitipkan makanan yang dibuatnya kepada beberapa orang penjual makanan serta di kedai-kedai di depan pasar itu.
Demikian Glagah Putih dan Rara Wulan meninggalkan padukuhan itu, maka Glagah Putihpun berkata, "Jadi rencana kita sudah benar. Kita tidak usah mengamati padepokan Jung Wangi dan yang lain. Semuanya tentu sudah dicakup oleh perguruan Kedung Jati bergabung dengan Demak untuk melawan Mataram."
Karena itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun akan langsung menuju ke Demak untuk mengamati keadaan. Tetapi di Demak Glagah Putih dan Rara Wulan harus berhati-hati, karena ada beberapa orang prajurit di Demak yang sudah mengenalinya.
"Kita tidak usah berada di pusat kota. Kita dapat berada di pinggiran saja," berkata Glagah Putih.
"Ya, kakang. Kita harus berusaha untuk menghindar dari segala macam keributan."
"Mudah-mudahan kita tidak bertemu dengan persoalan-persoalan yang menarik perhatian."
Hari itu Glagah Putih dan Rara Wulan tidak merasa perlu untuk singgah dikedai sepanjang perjalanannya. Jika mereka haus, maka telah tersedia air bersih di gentong, atau gendi yang berada di dekat regol-regol rumah. Air bersih yang memang disediakan bagi mereka yang kehausan di perjalanannya. Sedangkan jika mereka lapar, mereka sudah membawa bekal makanan yang dibelinya dari isteri penunggu banjar itu.
Ketika malam tiba, Glagah Putih dan Rara Wulan masih belum memasuki Demak. Mereka sengaja bermalam di padang perdu yang membatasi daerah persawahan dengan sebuah hutan yang memanjang.
Malam itu Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar mempersiapkan dirinya menghadapi banyak kemungkinan yang dapat terjadi apabila mereka esok pagi memasuki Demak. Karena itu, maka malam itu Glagah Putih dan Rara Wulan telah mengangkat kembali segala kemampuan yang ada di dalam diri mereka ke permukaan, sehingga siap dipergunakan setiap saat.
Keduanya tidak tahu. berapa lama mereka akan berada di Demak. Mungkin dalam sehari mereka sudah dapat mengambil kesimpulan sehingga mereka dapat segera pergi. Tetapi mungkin dua atau tiga hari Bahkan mungkin mereka harus berada di Demak selama sepekan.
Di keesokan harinya, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun mandi dan berbenah diri di sebuah sungai kecil yang mengalir lewat padang perdu itu sebelum fajar. Kemudian merekapun segera bersiap untuk memasuki kota Demak. Dengan demikian, maka mereka harus berusaha menempatkan diri mereka sehingga tidak justru menarik perhatian.
Ketika kemudian matahari terbit, keduanya telah mendekati pintu gerbang kota yang cukup ramai.
Demikianlah, maka pada hari itu, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah berada di Demak. Namun mereka masih belum berbuat apa-apa selain melihat lihat keadaan di Demak.
Sebenarnyalah Demak sendiri nampak tenang-tenang saja. Ketika mereka sampai di pasar, maka mereka melihat bahwa pasar itu tetap saja ramai. Bahkan orang-orang yang berjualan sayuran meluap sampai keluar pintu gerbang pasar dan menjajakan dagangannya di pinggir jalan. Meskipun demikian para pedagang sayuran itu nampaknya mematuhi segala petunjuk dari para petugas di pasar, sehingga keadaannya nampak tertib.
Di depan pasar itu, terdapat beberapa kedai yang sudah membuka pintunya dengan menggelar nasi hangat yang masih mengepul serta berbagai macam lauk dan sayurnya.
"Kita singgah di kedai itu sebentar, Rara," berkata Glagah Putih.
"Apakah kakang sudah lapar?"
"Aku belum lapar. Tetapi mungkin ada sesuatu yang dapat kita dengar dari mereka yang berada di kedai itu."
Rara Wulan mengerti maksud Glagah Putih. Karena itu. maka iapun mengangguk sambil menjawab, "Baik kakang."
Karena itidah mereka justru memilih kedai yang paling besar dan paling ramai dikunjungi orang.
Meskipun hari masih terhitung pagi, menjelang saat pasar temawon, tetapi kedai-kedai itu sudah mulai ramai Para pedagang yang datang untuk membawa dagangannya, setelah digelar dan ditunggui oleh para pembantunya telah duduk di kedai itu. Demikian pula para pedagang yang akan membeli barang dagangan di pasar itu, agaknya masih harus menunggu. Tempat yang paling baik untuk menunggu adalah di kedai itu. Bahkan ada diantara para pedagang yang mengadakan ikatan jual beli sambil minum minuman hangat serta makan nasi yang masih mengepul.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah masuk dan duduk di sebuah kedai yang ramai. Keduanya berusaha untuk menyesuaikan diri dengan para pembeli yang lain.
"Kita memesan yang terbaik yang ada di kedai ini," desis Glagah Putih.
"Ya. Tetapi apa?"
Ketika seorang pelayan mendekati keduanya, maka Glagah Putihpun telah menanyakan macam-macam masakan yang ada di kedai itu, sehingga akhirnya Glagah Putihpun benar-benar telah memesan yang terbaik.
Namun diantara mereka yang ada di kedai itu, pada umumnya juga memesan yang terbaik yang ada di kedai itu. Sebagian dari mereka adalah pedagang-pedagang. Sedangkan beberapa orang yang lain adalah orang-orang yang nampaknya berkecukupan yang ingin atau yang sudah selesai berbelanja di pasar yang ramai itu.
Sambil menunggu, Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkan pembicaraan orang-orang yang ada di kedai itu. Namun pada umumnya mereka hanya berbicara tentang perdagangan mereka.
"Tidak ada yang berbicara tentang pemerintahan Demak sekarang," desis Rara Wulan,
Glagah Putih memandang beberapa orang yang duduk tidak jauh daii tempat duduknya. Tidak seperti yang lain, mereka justru sibuk dengan pesanan mereka, sehingga mereka tidak banyak berbicara yang satu dengan yang lain, kecuali saling mempersilahkan menghirup minuman serta menikmati makan mereka.
Namun agaknya mereka adalah orang-orang yang sudah terbiasa berada di kedai itu. Ketika seorang pelayan mendekat maka agaknya pelayan itu juga sudah terbiasa dengan mereka.
"Tambah lagi, Raden?" bertanya pelayan itu.
"Seperti biasanya. Jangan lupa pupu gending dengan berutunya," sahut yang dipanggil Raden itu.
Pelayan di kedai itu tertawa. Katanya, "Kami sisihkan pupu gending dengan berutunya bagi Raden. Di hari Cemengan Raden sering datang ke pasar."
Orang yang disebut Raden itu tersenyum. Katanya, "Di hari Cemengan pasar itu menjadi lebih ramai dari biasanya."
"Tentu bukan itu yang menarik bagi Raden. Lalu kau kira apa ?"
Pelayan itu tertawa sambil menjawab, "Tentu gadis dari sebelah alun-alun itu yang telah menyeret Raden kemari."
"Sst. Sekarang ambil saja pesananku. Jika pupu gending dengan berutunya sudah habis, maka aku akan memangkas kuncungrnu itu."
Pelayan itu masih saja tertawa. Namun kemudian ia pun pergi untuk mengambil pesanan orang yang dipanggilnya Raden itu.
"Apa yang dipesannya lagi?"
"Seperti biasanya."
Pemilik kedai itupun sudah terbiasa. Disenduknya nasi dengan sambal dan lalapan. Kemudian daging ayam pada bagian pupu gending dengan berutunya. Tanpa sayur sama sekali.
Sambil memberikan pesanan itu kepada pelayannya untuk disampaikan kepada orang yang dipanggilnya Raden itu pemilik kedai itupun berkata, "Biasanya gadis yang rumahnya di dekat alun-alun itu sudah singgah di kedai ini. Entahlah jika ia tidak datang."
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Di hari Cemengan seperti ini, biasanya ia datang." Sejenak kemudian, maka pelayan itupun telah menghidangkan pesanan orang yang dipanggilnya Raden itu.
Demikian pelayan kedai itu pergi, maka seorang yang duduk di dekatnyapun berdesis, "Raden. Ternyata telah banyak orang yang mengetahui hubungan Raden dengan gadis itu."
"Tidak. Tetapi pelayan itu sering melihat aku bertemu dengan gadis itu disini."
Seorang yang duduk bersamanya yang lain berkata, "Sebaiknya Raden jangan menemuinya lagi."
"Kenapa ?" "Ayah Raden tidak senang mendengar hubungan Raden dengan anak pemberontak itu."
"Ayahlah yang tidak mau menghanyutkan diri dalam arus yang mengalir demikian derasnya. Ayah tidak akan dapat menentang niat Kanjeng Pangeran untuk menuntut haknya. Jika ayah masih saja tetap pada pendiriannya, maka ayah akan diseret dan dihanyutkan oleh arus itu."
"Tetapi Kanjeng Pangeran tengah bermain dengan api. Ia sudah menapak ke jalan yang salah."
"Bukan Kanjeng Pangeran yang bermain api. Tetapi ayah. Ayah tidak seharusnya menantang niat Kanjeng Pangeran untuk mengambil tahta dari adiknya di Mataram."
"Raden harus tahu, bahwa Kanjeng Pangeran tidak berhak atas tahta itu. Yang berhak adalah Putera Mahkota yang sekarang telah dinobatkan."
"Paman tahu. bahwa Kanjeng Pangeran itu lebih tua dari yang sekarang bertahta di Mataram itu ?"
"Aku mengerti. Tetapi Putera Mahkota yang sekarang bertahta adalah putera dari permaisuri Sedangkan Kanjeng Adipati di Demak bukan. Adalah merupakan kemurahan bahwa Kanjeng Pangeran itupun telah dinobatkan menjadi Adipati yang memerintah di Demak dengan kebebasan yang longgar."
"Aku tidak dapat mengikuti jalan pikiran ayah. Aku sudah memperingatkan ayah. Tetapi ayah tetap saja pada pendiriannya. Sebenarnya buat apa ayah bersitegang mempertahankan pendiriannya itu" Ayah seharusnya tahu, bahwa justru ayah akan tersisih."
Orang-orang yang duduk disebelah menyebelah orang yang dipanggil Raden itupun terdiam.
Glagah Putih dan Rara Wulan berkesempatan untuk mendengar pembicaraan itu. Meskipun semula tidak begitu jelas karena mereka berbicara perlahan-lahan, namun dengan mengetrapkan aji Sapta Pangrungu maka semua pembicaraan itu menjadi jelas.
Sementara itu, orang yang dipanggil Raden itupun telah makan dengan lahapnya. Nasi sambal dengan lalapan, pupu gending dengan berutunya itupun telah hampir dihabiskannya.
Namun anak muda yang dipanggil Raden itupun tiba-tiba saja berhenti makan. Dipandanginya dengan mata tanpa berkedip seorang gadis yang memasuki-kedai itu bersama seorang yang sudah berumur separo baya.
Ketika anak muda yang dipanggil Raden itu akan bangkit berdiri, maka orang yang duduk didekatnya itu memegangi lengannya sambil berkata, "Tangan Raden masih kotor."
"O." Anak muda itu segera mencuci tangannya dengan air yang dituang kedalam mangkuk yang sudah disediakan.
"Bukan hanya itu," berkata orang yang duduk disampingnya, "ia datang bersama pemberontak itu. Jika ayah Raden mengetahuinya, maka ayah Raden akan menjadi marah."
"Sudah aku katakan, aku tidak berpihak kepada ayah. Tetapi aku berpihak pada Kanjeng Adipati. Karena itu, bagiku orang yang datang itu bukan pemberontak, ia justru pendukung setia Kanjeng Adipati di Demak."
"Itulah yang dimaksud. Kanjeng Adipati sudah tidak berjalan diatas jalur kebenaran."
"Itu hanya omongmu saja. Biarkan aku mendapatkan mereka," berkata anak muda itu.
Anak muda yang dipanggil Raden itu tidak menghiraukan lagi orang-orang yang duduk disampingnya. Karena itu. maka iapun segera bangkit berdiri dan berjalan menyongsong seorang gadis yang memasuki kedai itu diiringi oleh seorang laki-laki yang umurnya sudah separo baya.
"Mawarni," panggil anak muda yang dipanggil Raden itu.
Gadis yang baru saja memasuki kedai itu berpaling. Sambil tersenyum iapun segera berdesis, "Raden Sabawa."
Raden Sabawa itu mendekatinya. Sementara gadis itu berkata, "Raden. Ini adalah ayahku."
Raden Sabawa itu mengangguk hormat. Katanya, "Aku sudah mengenalnya, Mawarni."
"Ayah sudah mengenalnya ?"
"Aku pernah bertemu dengan Raden Sabawa. Tetapi agaknya kami baru saling mengangguk saja."
Mawarni tersenyum. Katanya, "Sekarang ayah dan Raden Sabawa berkesempatan untuk saling mengenal lebih dekat lagi."
"Marilah paman. Silahkan."
Keduanyapun kemudian mengikuti Raden Sabawa. Merekapun kemudian duduk ditengah-tengah kedai itu.
Tiga orang yang semula duduk bersama Sabawa itupun saling berpandangan sejenak. Namun kemudian seorang diantara mereka berkata, "Aku akan mengajak Raden Sabawa meninggalkan tumpat ini. Jika ada yang menyampaikan kepada ayahnya bahwa Raden Sabawa berada di kedai ini bersama Mawarni dan apalagi ayah Mawarni itu. maka ayah Raden Sabawa tentu akan marah sekali."
"Kita juga yang akan dianggapnya bersalah," sahut kawannya.
Kawannya mengangguk-angguk.
Demikianlah seorang diantara merekapun segera mendapatkan Raden Sabawa. Sambil mengangguk hormat orang itupu berkata, "marilah Raden. Jika Raden sudah selesai maka kita akan segera pulang."
"Pulanglah dahulu," jawab Raden Sabawa.
"Aku telah ditugaskan oleh ayah Raden untuk menemani Raden. Karena itu. maka aku mohon Raden juga pulang sekarang."
"Pulanglah dahulu, kau dengar."
"Sebaiknya kita pulang bersama-sama."
"Jika kita harus pulang bersama, duduklah. Tunggu aku sampai saatnya aku ingin pulang."
"Aku minta Raden pulang sekarang."
"Kau akan memaksaku ?"
"Ayah Raden tentu akan marah jika Raden tidak segera pulang sekarang. Raden sudah terlalu lama pergi."
"Kau kira aku ini masih kanak-kanak yang harus mulai dapat berjalan sehingga kalian harus mengikuti aku sepanjang hari" Pergilah. Aku muak melihat wajahmu."
Wajah orang itu menjadi merah. Dengan nada yang lebih tinggi orang itupun berkata, "Raden. Aku minta Raden pulang sekarang."
"Tidak. Aku tidak mau."
Tiba-tiba saja Mawarni itupun bertanya, "Kenapa kalian memaksa Raden Sabawa pulang."
"Aku mendapat pesan dari Ayah Raden Sabawa. agar Raden Sabawa segera pulang."
"Jangan perlakukan Raden Sabawa seperti kanak-kanak. Ia sudah dewasa, sehingga ia sudah dapat menentukan sikap sendiri. Bahkan aku akan minta Raden Sabnwa menemani aku di sini."
Glagah Putih dan Rara Wulan yang mendengarnya merasa agak terkejut. Dari sikapnya, maka terkenali bahwa gadis yang bernama Mawarni itu tentu bukan gadis kencur yang masih sedang mulai melibatkan diri dalam pergaulan. Agaknya gadis itu mempunyai wawasan yang cukup luas dan bahkan sikapnya yang berani itu telah menarik perhatian tersendiri.
Orang yang minta Raden Sabawa itu pulang tertegun sejenak. Agaknya ia juga tidak mengira bahwa gadis yang bernama Mawarni itu akan bersikap sedemikian berani.
Namun orang yang menemani Raden Sabawa itupun kemudian menyahut, "Aku tidak memperlakukannya seperti anak-anak. Tetapi aku memperingatkannya akan pesan ayahnya."
"Katakan kepada ayah. bahwa aku tidak patuh terhadap pesan ayah. Aku masih senang berada di kedai ini."
"Aku akan memaksa Raden untuk pulang," berkata orang yang menemaninya itu.
Mawarni itu justru tertawa. Katanya, "Agaknva kau terlalu manja di rumah Raden, sehingga kau masih saja dianggap seperti kanak-kanak yang bermain di tepi kolam yang dalam. Tetapi jangan takut. Aku bukan kolam yang dalam akan dapat menggelamkan Raden Sabawa. Bahkan aku siap menolong jika Raden Sabawa memerlukannya."
Dalam pada itu, seorang lagi diantara mereka yang menemani Raden Sabawa itu mendekatinya sambil berkata, "Maaf Ki Sanak jika kami harus memaksa membawa Raden Sabawa pulang. Sama sekali bukan karena Ki Sanak serta gadis ini. Tetapi semata-mata karena kami harus mentaati pesan ayah Raden Sabawa. Raden Sabawa memang masih pantas diperlakukan seperti kanak-kanak. Ia masih belum tahu, manakah yang baik dan manakah yang buruk."
Mawarni dan laki-laki yang disebut ayahnya itu tertawa semakin keras. Dengan nada tinggi Mawarnipun berkata, "Benarkah begitu Raden " Apakah benar bahwa Raden masih belum mengenal manakah yang baik dan manakah yang buruk."
Raden Sabawapun tertawa. Katanya, "Jangan hiraukan kata-katanya. Mereka memang penjilat."
Tetapi orang yang menyertainya itupun berkata, "Mungkin aku memang penjilat. Demikian pula kawan-kawanku. Tetapi justru karena itu, maka aku ingin memaksa Raden untuk pulang."
"Tidak. Aku tidak mau."
"Aku memang hanya seorang abdi. Tetapi oleh ayah Raden Sabawa. aku mendapat wewenang untuk mempergunakan kekerasan jika Raden Sabawa menolak petunjuk-petunjukku berdasarkan atas pesan-pesan ayah Raden itu sendiri. Karena itu. selagi aku belum mempergunakan kekerasan, sebaiknya Raden mengikuti nasihatku. Pulanglah."
"Aku belum membayar minuman dan makanan yang kita minum dan kita makan."
"Bayarlah. Atau jika Raden tidak membawa uang, aku diberi bekal oleh ayah Raden untuk membayar."
Tetapi tiba-tiba saja ayah gadis yang bernama Mawarni itupun berkata, "Jangan dipaksa Ki Sanak. Kasihan. Raden Sabawa sudah dewasa. Sudah tidak pantas untuk dipaksa-paksa. Apalagi dihadapan banyak orang seperti di kedai ini."
"Aku setuju Ki Sanak. Seharusnya Raden Sabawa dapat menjaga nama baiknya sendiri. Ia tidak perlu dipaksa-paksa seperti kanak-kanak yang tidak mau mandi di musim bediding."
"Jika demikian, kenapa kau lakukan juga ?" bertanya ayah Mawarni.
"Raden Sabawa sendiri yang harus dapat menempatkan dirinya. Jika ia tetap keras kepala, maka ia akan menjadi malu, karena kami akan menyeretnya pulang. Mungkin Raden Sabawa akan marah. Tetapi aku lebih takut kepada ayahnya daripada kepada Raden Sabawa sendiri."
"Tidak. Kau tidak akan membawanya kemana-mana," berkata laki-laki separo baya itu.
"Ki Sanak. Sebaiknya Ki Sanak tidak ikut campur. Biarlah aku menjalankan tugasku dan biarlah Raden Sabawa terbiasa menuruti perintah ayahnya."
"Aku tidak akan dapat tinggal diam Ki Sanak. Ada hubungan antara anakku dengan Raden Sabawa. Karena itu. maka menjadi kewajibanku untuk membantu Raden Sabawa jika ia mengalami kesulitan."
"Tetapi persoalan Raden Sabawa adalah persoalan antara keluarga sendiri. Ki Sanak. Ayahnya minta ia pulang. Apakah dalam persoalan ini Ki Sanak berhak untuk ikut campur."
"Tidak. Tidak hanya itu," potong Raden Sabawa.
"Tidak ada persoalan lain kecuali perintah ayah Raden agar Raden segera pulang."
"Tidak. Tetapi ayah memang tidak senang dengan Mawarni apalagi ayah yang dianggapnya sebagai penjilat dihadapan Kanjeng Adipati."
"He ?" wajah ayah Mawarni menjadi tegang, "siapa yang menyebut sebagai penjilat dihadapan Kanjeng Adipati?"
"Ayah. Ayahku."
"Tidak," sahut orang yang mengiringinya, "bukan itu maksudnya. Ayah Raden Sabawa memang menasihatkan agar ia tidak berhubungan dengan seorang gadis lebih dahulu. Raden Sabawa masih belum tahu arti dari hubungan yang sebenarnya antara laki-laki dan perempuan. Raden Sabawa baru tahu, bahwa ia tertarik kepada seorang perempuan. Tetapi ia tidak tahu latar belakang yang sebenarnya dari hubungan antara laki-laki dan perempuan itu. Raden Sabawa belum tahu, seberapa jauh seorang laki-laki dan seorang perempuan harus bertanggungjawab atas hubungan mereka. Itulah yang dikhawatirkan oleh ayah Raden Sabawa."
"Tidak hanya itu. Kau berbohong. Ayah sendiri pernah mengatakan, bahwa ayah Mawarni adalah salah seorang dari mereka yang telah merusak tatanan pemerintahan di Demak. Salah seorang dari mereka yang memacu dirampasnya hak seseorang, tetapi justru membebani kewajiban seseorang semakin berat."
Ayah Mawarni itu tersenyum. Katanya, "Itu tidak benar Raden. Aku berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya bagi Demak serta bagi Kanjeng Adipati."
"Ayah juga mengatakan, bahwa paman adalah orang yang paling bertanggungjawab atas penindasan terhadap para nelayan yang mohon keringanan pajak. Paman juga telah menindas rakyat Klajor yang menyatakan pendapatnya untuk mempertahankan kedudukan Demangnya yang telah tersingkir oleh Tumenggung Jayawilaga."
Ayah Mawarni itu tertawa. Katanya, "Itu juga tidak benar. Tumenggung Jayawilaga menyingkirkan Demang Klajor karena Demang Klajor juga menentang kebijaksanaan Kanjeng Adipati untuk membuka jalan perdagangan yang melewati Kademangan Klajor. Sementara itu jalan itu sangat penting bagi jalur pendagangan. Karena Demang di Klajor menghasut rakyatnya untuk mementingkan diri mereka sendiri, maka Ki Tumenggung mengambil sikap tegas. Demang Klajor disisihkan dan diganti dengan orang lain yang sejalan dengan usaha Kanjeng Adipati meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat Demak dan seluruh wilayahnya."
Glagah Putih dan Rara Wulan yang mendengarkan pembicaraan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Bagi mereka berdua. Raden Sabawa benar-benar seorang anak muda yang sangat bodoh. Bukan sekedar lugu. Apalagi mengingat ujudnya yang sudah memasuki masa dewasanya.
Sementara itu Raden Sabawapun berkata, "Nah, kalian dengar. Sekarang pulanglah. Katakan kepada ayah apa yang sudah kau dengar langsung di sini."
Pengiringnya itu menarik nafas panjang. Dengan nada rendah iapun berkata, "Kenapa persoalannya jadi meluas sampai kemana-mana Raden. Marilah kita melihat pada masalah yang sederhana saja. Raden diminta pulang oleh ayah Raden. Itu saja."
"Bukankah aku sudah menjawab. Aku akan berada di sini bersama Mawarni. Bukankah jawabku sudah cukup jelas. Atau kau sekarang sudah menjadi tuli."
Orang itupun agaknya telah kehabisan kesabaran. Ditariknya pergelangan tangan Raden Sabawa untuk keluar dari kedai itu, sementara orang itu berkata kepada kawannya, "Selesaikan dengan pemilik kedai itu. Berapa kita harus membayar."
"Baik, kakang," jawab kawannya.
Sementara itu, Raden Sabawa itupun berteriak, "Tidak. Aku tidak mau. Jangan."
Pengiringnya tidak melepaskannya. Ia sudah berniat untuk menyeret Raden Sabawa pulang. Ia tidak boleh terlalu lama bersama gadis yang bernama Mawarni itu. apalagi ayahnya.
Tetapi di luar dugaan, Raden Sabawa itu telah berteriak, "Rampok. Aku akan dirampok oleh orang ini."
Orang-orang yang berada di kedai itu sudah mengetahui persoalannya. Tetapi ketika kemudian Raden Sabawa itu ditarik sampai kelain pintu kedai, maka orang-orang yang berada di jalanpun berpaling kepadanya.
Tetapi sementara itu. ayah gadis yang bernama Mawarni itupun telah turun ke halaman itu pula. Dengan geram iapun berkata, "Lepaskan Raden Sabawa itu. Kau tidak dapat merampoknya disiang hari seperti ini."
"Kau katakan bahwa aku akan merampok?"
"Ya. Kau telah mencoba menarik timang mas yang dikenakan oleh Raden Sabawa ini. Karena kau gagal, maka kau seret anak muda ini untuk kau bawa ke tempat sepi. Baru kemudian kau akan melucuti perhiasan yang dikenakannya. Mungkin juga pendok keris yang terbuat dari emas itu."
"Jadi kau sekarang menuduhku perampok " Kau sudah menggeser persoalan yang sebenarnya kau ketahui."
"Aku tidak peduli. Lepaskan Raden Sabawa dan tinggalkan anak muda ini."
"Tidak." "Jika demikian, jika kau memaksa anak muda ini pulang, maka akupun akan memaksamu meninggalkan anak ini."
"Aku sudah memperingatkanmu. Jangan turut campur."
"Aku akan turut campur."
Karena pengiring Raden Sabawa itu tidak mau melepaskannya, maka ayah Mawarni itupun telah mengayunkan tangannya. Dengan sisi telapak tangannya orang itu berniat memukul pergelangan tangan orang yang memegangi Raden Sabawa itu.
Tetapi seorang pengiringnja yang lain telah menepis ayunan tangan itu sehingga tidak mengenai sasarannya.
Orang yang memegangi Raden Sabawa itupun kemudian mendorong Raden Sabawa kepada kawannya sambil berkata, "Seret anak keras kepala ini pulang. Ayahnya tentu sudah menunggu."
Namun ayah Mawarni benar-benar tidak mau melepaskannya. Iapun dengan tangkasnya meloncat menyerang orang yang telah melepaskan Raden Sabawa itu sambil berkata, "Aku akan melumpuhkannya. Kemudian kawan-kawanmu. Aku akan melindungi Raden Sabawa dari tindak sewenang-wenang ayahnya itu."
Pengirjng Raden Sabawa itupun segera mempersiapkan diri. Ketika ayah Mawarni itu menyerang, maka orang itupun sudah siap menghadapinya.
Keduanyapun kemudian segera bertempur dengan sengitnya. Ternyata ayah Mawarni itu adalah seorang yang berilmu. Demikian pula pengiring Raden Sabawa itu sehingga pertarungan diantara keduanyapun semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka masing-masing.
Tetapi ayah Mawarni memang tidak mengira, bahwa orang yang harus mengiringi Raden Sabawa itu ternyata adalah orang yang berilmu tinggi, sehingga dengan demikian, maka ayah Mawarni itupun tidak segera dapat mengalahkannya.
Dalam pada itu, Raden Sabawapun memperhatikan pertarungan itu dengan seksama. Namun orang yang bertarung melawan ayah Mawarni itupun berteriak kepada kawan-kawannya, "Bawa Raden Sabawa pergi. Bawa anak itu pulang dan sampaikan kepada ayahnya, apa yang telah dilakukannya."
"Baik. kakang."
Tetapi demikian mereka beranjak dan tempatnya sambil menarik tangan Raden Sabawa. maka Mawarni berdiri di hadapan mereka sambil bertolak pinggang.
"Kalian akan membawanya kemana ?" bertanya Mawarni.
"Pulang," jawab seorang diantara pengiringnya.
"Jangan bawa anak itu pergi. Aku memerlukannya."
"Kau tidak akan dapat mencegahnya. Ayahnyalah yang memerintahkannya untuk segera pulang."
"Tentu bukan karena itu. Seperti yang dikatakan oleh Raden Sabawa, bahwa kau seret anak itu pulang karena Raden Sabawa berhubungan dengan seorang gadis yang dinilai sebagai anak seorang yang sikapnya tidak sejalan dengan ayah Raden Sabawa."
"Apapun alasannya, aku akan membawanya pulang."
"Aku ikan mencegahnya. Aku akan membawa Raden Sabawa bukan saja ke rumahku karena aku membutuhkannya, tetapi ia harus bersikap dan berpendirian sebagaimana aku dan ayahku. Ia harus berdiri dipihak Kangjeng Adipati Demak."
Wajah pengiringnya menjadi tegang. Dengan nada tinggi iapun berkata, "Tidak. Mawarni. Aku akan menyelamatkan Raden Sabawa."
"Akulah yang akan menyelamatkan dari ketamakan ayahnya."
Mawarni tidak berbicara lagi. Disingsingkannya kain panjangnya sehingga Mawarni itupun telah mengenakan pakaian khususnya.
Pengiring Raden Sabawa itu bergeser selangkah surut. Ternyata Mawarni bukan gadis kebanyakan. Bahkan pengiring Raden Sebawa itupun mulai meragukan, apakah Mawarni itu masih juga seorang gadis atau seorang perempuan yang dengan sengaja ingin menyeret Raden Sabawa berpihak kepadanya. Menilik sikap dan kata-katanya, Mawarni adalah seorang perempuan yang telah matang, sementara Raden Sabawa adalah seorang anak muda yang bodoh meskipun ia sudah dapat disebut dewasa. Anak itu memang terlalu manja sehingga ia tidak tahu apa apa mengenai tatanan pemerintahan serta ilmu kanuragan Balikan ilmu yang lain.
Dengan demikian, maka telah terjadi pertempuran di halaman kedai itu. Ayah Mawarni bertempur melawan seorang pengiring Raden Sabawa, sedangkan Mawarnipun telah bertempur pula dengan pengiring yang lain. sementara seorang lagi pengiring Raden Sabawa tetap saja memegangi tangan, anak muda itu.
Ternyata ayah Mawarni salah menilai pengiring Raden Sabawa. Meskipun ia sudah meningkatkan ilmunya, namun ia tidak segera dapat menguasai pengiring Raden Sabawa. Bahkan semakin lama ayah Mawarni itupun menjadi semakin terdesak.
Karena itu. maka ayah Mawarniatu tidak mempunyai pilihan lain. Tiba-tiba saja ditangannya telah tergenggam goloknya yang terhitung besar dan panjang.
Pengiring Raden Sabawa itupun bergeser surut. Namun iapun kemudian telah mencabut pedangnya. Dengan pedang di tangan pengiring Raden Sabawa itu melawan golok ayah Mawarni.
Dalam pada itu. Mawarni sendiri justru berhasil mendesak lawannya. Dengan kecepatan geraknya, Mawarni sempat membuat lawannya mengalami kesulitan.
Tetapi ketika lawannya menarik pedangnya, maka Mawarnilah yang mengalami kesulitan. Meskipun Mawarni mempergunakan juga pedang yang tipis, tetapi ilmu pedang pengiring Raden Sabawa itu ternyata lebih baik dari ilmu pedang Mawarni. Pedang tipis Mawarni temvarta tidak dapat bergerak lebih cepat dan pedang pengiring Raden Sabawa.
Bahkan dalam benturan-benturan yang terjadi, telapak tangan Mawarni merasa pedih karena getar senjatanya yang kadang-kadang harus dipertahankannya jaka pedang itu hampir terlepas.
Ayah Mawarni melihat kesulitan anakma serta kesulitannya sendiri. Karena itu. maka sejenak kemudian, iapun memberi isyarat kepada Mawarni untuk bergeser mundur.
Mawarnipun tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Sementara itu masih ada pengiring Raden Sabawa yang bebas yang setiap saat dapat bergabung dengan kawan-kawannya.
Mungkin bergabung dengan kawannya yang bertempur melawan Mawarni sendiri atau bergabung dengan orang yang bertempur melawan ayah Mawarni.
Karena itu, maka Mawarnipun tidak menunggu lagi. Iapun segera meloncat surut mengambil jarak lawannya.
Lawannya tidak memburunya. Demikian pula pengiring Raden Sabawa yang bertempur melawan ayah Mawarni. Ketika ayah Mawarni itu meloncat surut, maka lawjinnya juga tidak berusaha memburunya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mawarni dan ayahnya itupun telah meninggalkan arena pertempuran. Sementara itu, beberapa orang yang berkerumun menyaksikan pertempuran itupun bergeser menjauh.
"Siapa yang masih menganggap kami sebagai perampok, aku persilahkan untuk mendekat. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya ingin menjelaskan siapakah aku, kawan-kawanku dan siapa pula Raden Sabawa. Mereka y mg sering datang ke kedai ini tentu sudah mengenal kami. sehingga mereka tidak akan begitu mudahnya dikelabui dengan teriakan-teriakan yang menuduh kami sebagai perampok."
Orang-orang yang berada diseputar arena itupun tidak ada yang beranjak mendekat. Bahkan sebagian dari merekapun dengan diam-diam bergeser menjauh dan meninggalkan arena pertempuran itu.
Seorang pengiring Raden Sabawapun segera menyelesaikan pembayaran makan dan minum mereka. Sementara pemilik kedai itu berkata, "Maaf Ki Sanak. Selama ini kami sering menggoda Raden Sabawa yang telah berhubungan dengan gadis yang tinggal di sebelah alun-alun itu. Tetapi kami tidak tahu. bahwa persoalannya tidak sekedar dipermukaan saja."
"Sudahlah. Lupakan saja."
Pemilik kedai ini mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian memberitahukan kepada pelayan-pelayannya. jangan sering menggoda Raden Sabawa.
"Ternyata persoalan diantara mereka menyangkut masalah yang mendalam. Masalah sikap mereka terhadap tuntutan Kangjeng Adipati Demak tentang tahta di Mataram."
Pelayan-pelayannya itupun mengangguk-angguk. Mereka mengerti, bahwa persoalannya tidak sepantasnya disebut-sebut sebagai bahan gurauan.
Dalam pada itu. Raden Sabawa telah dibawa pulang dengan paksa. Demikian ia sampai di rumah, maka iapun segera dibawa menghadap kepada ayahnya.
Ayahnya, Raden Yudatengara mendengar laporan orang-orang yang diperintahkan untuk mengiringi anaknya dengan wajah yang muram. Dengan nada dalam iapun bertanya kepada Raden Sabawa, "Kenapa kau lakukan itu semua Sabawa ?"
"Aku bukan bayangan ayah. Silahkan ayah mengambil sikap. Biarlah aku mengambil sikap sendiri. Bukankah aku sudah dewasa penuh ?"
"Sabawa. Kau tidak tahu apa yang sudah kau lakukan. Kau telah memancing persoalan yang gawat bagi ayah."
"Itu salah ayah sendiri. Jika ayah tidak bersikap seperti sekarang terhadap Kangjeng Adipati. maka ayah tidak akan mengalami kesulitan apa-apa. Tetapi ayah mengeraskan hati ayah dan menganggap bahwa Kangjeng Adipati telah melakukan kesalahan. Akibatnya, ayah akan mendapat kesulitan. Semua orang Demak dan sekitarnya sudah membulatkan tekadnya untuk memantapkan sikap, bahwa Kangjeng Adipati di Demak berhak atas tahta di Mataram."
"Siapa yang mengatakan itu kepadamu, Sabawa."
"Aku bukan anak-anak lagi. Apalagi seorang anak yang bodoh. Aku sudah beberapa lama berhubungan dengan Mawarni dan ayahnya. Mereka adalah orang-orang yang berwawasan luas. Mereka tidak memandang dunia ini seluas daun kelor atau hanya selebar tempurung yang menelungkup."
"Sabawa," berkata ayahnya, "sepeninggal ibumu aku berusaha untuk membesarkanmu, untuk mendidikmu agar kau tahu manakah yang benar dan manakah yang salah. Manakah yang baik dan manakah yang buruk."
"Ternyata ayah berhasil. Sekarang aku tahu, manakah yang salah dan manakah yang benar. Aku tahu manakah yang baik dan manakah yang buruk."
"Kenapa pandanganmu dapat sama sekali terbalik" Yang salah kau anggap benar dan yang benar kau anggap salah. Yang baik kau anggap buruk, sedangkan yang buruk kau anggap baik."
"Siapakah yang sebenarnya wawasannya terbalik " Aku atau ayah ?"
"Sabawa. Sejak aku tahu, Mawarni itu anak siapa, maka aku sudah mengira, bahwa kau akan terseret ke dalam sikap yang salah. Karena itu, aku harus memperingatkanmu, Sabawa. Sekali lagi aku beritahukan kepadamu, bahwa aku tidak dapat berpihak kepada Kangjeng Adipati. Aku sudah memberitahukan kepadamu, kelemahan-kelemahan yang dilakukan oleh Kangjeng Adipati, para pejabat di Demak serta perguruan yang nampaknya mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap Kangjeng Adipati. Padahal pada masa Kangjeng Adipati itu menginjakkan kakinya di Demak, maka perguruan Kedung Jati itu telah mengganggunya."
"Jamannya telah berubah ayah. Sikap seseorangpun dapat berubah. Ayah tidak perlu berpegang pada sikap ayah sebagaimana ayah pertama kali datang di Demak. Jika keadaan dan suasana berubah, maka ayah harus menyesuaikan diri."
"Kita harus memperhatikan perubahan itu bergerak kemana " Apakah perubahan itu menguntungkan rakyat atau tidak," ayahnya itu menarik nafas panjang, "coba perhatikan Sabawa. Apakah yang dilakukan oleh para pejabat di Demak sekarang ini. Apa pula yang dilakukan oleh para pemimpin dari perguruan Kedung Jati. Mereka berbuat semena-mena. Rakyat Demak sama sekali tidak pernah didengar pendapatnya. Mereka harus melakukan apa yang menurut para pemimpin baik. Tetapi tentu saja baik dan menguntungkan bagi mereka sendiri. Bagi segolongan kecil rakyat Demak. Tetapi Rakyat Demak yang lain mengalami penderitaan. Namun tidak seorangpun yang mau mendengarkan sesambat mereka."
"Ceritera itu adalah ceritera yang tidak masuk akal ayah."
"Sabawa. Kau tahu sendiri nasib Ki Demang Klajor dan Ki Demang Ngarang."
"Bohong ayah. Ki Demang Klajor itu bohong. Menurut ayah Mawarni, Demang Klajor adalah seorang Demang yang tamak. Ia mempergunakan uang kademangan bagi kepentingannya sendiri. Iapun menolak pembuatan jalan tembus lewat kademangannya. sementara itu jalan tembus itu akan sangat berarti bagi jalan perdagangan. Perdagangan yang akan dapat membuat rakyat Klajor menjadi lebih sejahtera. Karena itulah, maka Ki Tumenggung Jayawilaga harus bertindak tegas."
"Kenyataan itu sudah diputar balikkan, Sabawa. Jalan itu sama sekali bukan jalan perdagangan. Tetapi jalan menuju ke tempat para keluarga istana kadipaten Demak ngenggar-enggar penggalih. Tempat para keluarga Kangjeng Adipati itu bertamasya, berburu di hutan tutupan, sendang buatan serta tempat-tempat yang dapat membuat keluarga istana kadipaten Demak merasa hidupnya sangat bahagia. Ki Tumenggung Jayawilaga adalah salah seorang di antara mereka yang harus menyiapkan tempat itu. Sementara Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer akan membujuk Kangjeng Adipati untuk melanjutkan rencananya, memberontak terhadap Mataram."
"Itu tidak benar, ayah."
"Sementara itu Ki Demang di Ngarang juga disingkirkan, karena Ki Demang di Ngarang menolak penebangan hutan yang semena-mena di kademangan Ngarang. Tanah itu akan menjadi tanah milik orang-orang kaya di tempat yang akan mengusahakannya menjadi ladang pertanian dan sumber kekayaan bagi mereka."
Sabawa itupun tertawa. Katanya, "Bohong. Ki Demang di Ngarangpun telah berbohong. Ayah memang terlalu mudah untuk dibohongi."
Raden Yudatengara menarik nafas panjang. Dipandanginya anaknya dengan tajamnya. Raden Yudatengara menyesal bahwa ia terlalu memanjakan anaknya. Apalagi setelah ibunya meninggal. Namun akhirnya anak itu tidak mau menuruti kata-katanya.
"Sabawa," berkata Raden Yudatengara, "ternyata kau menjadi terlambat dewasa justru karena aku memanjakanmu. Pengetahuanmu sangat terbatas. Wawasanmu terlalu sempit. Kau mudah sekali dihasut dengan sanjungan-sanjungan yang berlebih. Bahkan kemudian kau telah tunduk kepada kecantikan wajah Mawarni."
"Kenapa ayah menjadi dengki melihat hubunganku dengan Mawarni. Mungkin karena ayah sudah terlalu lama ditinggalkan oleh ibu. sehingga ayah ingin melihat setiap orang tidak mempunyai sisihan seperti ayah."
Ki Yudatengara menarik nafas panjang. Katanya, "Tanggapanmu terhadap gejolak kehidupan ini ternyata telah terbalik karena kau telah mendapat keterangan dari mereka yang mempunyai sikap yang berlawanan dengan sikapku. Kau telah terbius oleh bualan ayah dari seorang gadis yang kau anggap sebagai gadis idaman. Tetapi kau akan terperosok kedalam jerat yang penuh dengan getah yang akan sangat sulit kau lepaskan."
"Ayah ingin memaksakan pendapat dan sikap ayah. Sudah aku katakan, bahwa aku bukan bayangan ayah. Aku mempunyai pendapat dan sikap sendiri."
"Sabawa. Ki Demang Klajor dan Ki Demang Ngarang telah menjadi korban ketidak adilan para pengikut Kangjeng Adipati. Para pengikut Kangjeng Adipati yang mendapat kepercayaan itu justru para pejabat yang ingin menjerumuskan Kangjeng Adipati untuk kepentingan mereka sendiri."
"Ternyata ayah sudah tersesat terlalu jauh. Ayah. Aku mohon ayah segera menyadari, bahwa ayah sudah meninggalkan garis perjuangan rakyat Demak. Mungkin pada saat ayah masih di Mataram, ayah mendapat banyak sekali kekucah. Ayah sudah mendapat banyak sekali hadiah sehingga ayah masih tetap merindukan kekuasaan Mataram agar ayah tetap menerima ganjaran dari penguasa di Mataram. Tetapi ayah lupa, bahwa ayah sekarang tidak berada di Mataram. Tetapi ayah berada di Demak."
"Begitu tajamnya bisa yang sudah dihembuskan oleh Mawarni serta ayahnya itu ke dalam sanubarimu. Sabawa. Sehingga kau sama sekali tidak mau mendengar nasehat ayahmu lagi."
"Maaf ayah. Mungkin jalan kita memang berbeda."
"Raden," berkata seorang pengiringnya, "seharusnya Raden dapat melihat, sikap dan perbuatan Mawarni. Mawarni adalah perempuan yang sudah masak. Ia sudah mempunyai landasan sikap yang mapan. Dihadapannya. Raden tidak lebih dari seorang bocah yang masih ingusan."
Wajah Raden Sabawa menjadi merah bagaikan membara. Dengan geramnva ia membentak, "jangan ikut campur. Kau tidak tahu apa-apa tentang hubunganku dengan Mawarni."
"Bukan tidak tahu apa-apa, Raden. Aku tahu benar. Dan aku melihat sendiri, apa yang dilakukannya. Mawarni telah menarik pedangnya di hadapan kami sebagaimana ayahnya, sementara kami melakukan perintah Raden Yudatengara, ayah Raden Sabawa sendiri."
"Tutup mulutmu."
Tetapi Raden Yudatengara itupun memotong, "Aku justru ingin mendengar keterangannya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi."
"Tetapi ia berbohong ayah."
"Aku memang orang yang mudah dibohongi seperti kau katakan. Aku ingin ia membohongiku."
"Gila. Semuanya sudah gila."
"Kau katakan bahwa aku, ayahmu, juga sudah gila?"
"Jika ibu masih ada," berkata Raden Sabawa kemudian, "tidak akan terjadi seperti ini. Ibu tidak akan membiarkan ayah memperlakukan aku seperti sekarang ini."
"Jika ibumu masih ada, maka kau akan menjadi seorang anak yang penurut. Ibumu adalah seorang perempuan yang keras. Yang akan mengendalikanmu dengan baik. Tidak seperti ayah, yang terlalu memanjakanmu sehingga akhirnya kau menjadi anak yang hanya menuruti kemauanmu sendiri."
"Bohong. Ayah tidak memanjakan aku. Tatapi ayah justru membenciku."
"Sabawa. Ketahuilah, bahwa apa yang kau katakan kepada ayah Mawarni itu akan dapat membawa bencana bagi ayahmu. Meskipun ayah Mawarni itu tahu, bahwa sikapku tidak sejalan dengan sikap Kangjeng Adipati Demak sekarang, tetapi pernyataan itu belum pernah dikemukakan dengan terbuka sebagaimana kau katakan kepada ayah Mawarni itu."
"Tetapi bukankah itu sikap ayah yang sebenarnya?"
"Ya." "Ayah memang harus bertanggungjawab atas sikap ayah."
"Kami akan bertanggungjawab, Sabawa Apapun yang terjadi."
"Siapakah yang ayah maksud dengan kami?"
"Aku dan orang-orang yang sikapnya sejalan dengan sikapku. Orang-orang yang menemanimu, tetapi yang justru telah kau musuhi itu."
Sabawa mengerutkan dahinya. Katanya, "Mereka adalah orang-orang yang sangat menjengkelkan. Mereka menganggap aku sebagai budak mereka, sehingga aku harus tunduk kepada kemauan mereka."
"Baiklah Sabawa. Ayah akan mempersiapkan diri. Ayah Mawarni tentu tidak akan tinggal diam. Ceriteramu tentang sikapku dengan terbuka itu adalah pertanda akan datangnya bencana bagi ayah."
Tetapi Raden Sabawa itupun menjawab, "Aku minta ayah merubah sikap ayah."
"Aku justru akan memohon Kangjeng Adipati merubah sikapnya untuk menantang Mataram. Seharusnya Kangjeng Adipati mengetahui kekuatan Mataram."
"Kalau ayah memang mengeraskan hati ayah, maka jika bencana itu datang, maka itu harus ayah pertanggungjawabkan."
"Aku memang akan mempertanggungjawabkan sikapku itu, Sabawa. Jika kau memang tidak mau mengikuti sikap ayah, maka sebaiknya kau tidak usah mencampuri persoalan yang dapat timbul karena sikap ayah itu."
Raden Sabawa termangu-mangu sejenak. Namun iapun berkata didalam hatinya, "Ayah Mawarni tentu tidak akan berbuat apa-apa terhadap ayahku mengingat hubunganku dengan anak gadisnya. Mawarni tentu akan bersikap baik terhadap ayah sehingga hati ayah akan menjadi lunak terhadapnya."
Demikianlah, maka Raden Sabawapun kemudian telah meninggalkan ayahnya yang duduk termangu-mangu. Iapun segera pergi ke gedogan untuk melihat kudanya yang baru.
Sementara itu, Raden Yudatengarapun berkata kepada orang-orang yang setia kepadanya itu, "Akan terjadi sesuatu di rumah ini. Aku tidak ingin kalian terlibat terlalu jauh. Karena itu, tinggalkan rumah ini agar kalian tidak harus ikut memikul beban yang tentu akan diletakkan di pundakku oleh ayah Mawarni. Aku tahu, bahwa orang itu adalah seorang penjilat. Mungkin ia akan berhubungan dengan para pejabat di Demak. Tetapi mungkin pula mereka akan berhubungan dengan orang-orang dari perguruan Kedung Jati."
Tetapi seorang diantara mereka berkata, "Tidak Raden. Aku sudah lama menjadi bagian dari keluarga ini. Sejak Raden masih berada di Mataram. Sejak ibu Raden Sabawa masih hidup. Karena itu, kami mohon diijinkan menuntaskan pengabdian kami kepada Raden Yudatengara."
"Aku mengucapkan terima kasih. Tetapi sebaiknya kalian tidak menyia-nyiakan kesempatan ini."
"Jika Raden Yudatengara berniat meninggalkan rumah ini, kamipun akan pergi bersama Raden."
"Aku tidak dapat meninggalkan anakku satu-satunya. Padahal anakku tentu tidak akan mau aku ajak pergi. Ia sudah terjerat dalam jebakan Mawarni dan ayahnya. Ayah Mawarni itu tentu sudah melihat sikapku sebelumnya sehingga ia berniat untuk menyeretku ke dalam kubunya. Tetapi aku tidak dapat berkhianat terhadap Mataram."
"Jika demikian. Raden Yudatengara. Ijinkan kami juga tetap berada di rumah ini. Apapun yang akan terjadi, aku akan tetap bersama Raden Yudatengara."
"Sekali lagi aku peringatkan. Kalian masih sempat untuk menyingkir dari rumah ini. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Pergilah ke Mataram, sampaikan laporan tentang perkembangan keadaan di Demak kepada Ki Patih Mandaraka."
"Kenapa Raden tidak pergi ke Mataram."
"Bagaimana dengan Sabawa?"
"Kami akan membawanya dengan paksa."
Raden Yudatengara menjadi ragu-ragu. Namun kemudian katanya, "Aku akan tetap berada di sini. Aku akan menghadapi apapun yang akan terjadi. Mudah-mudahan sikapku dapat memberikan peringatan kepada beberapa orang yang datang bersama-sama Kanjeng Pangeran Puger ke Demak."
"Jika demikian Raden, izinkan kami tinggal bersama Raden."
Raden Yudatengara menarik nafas panjang. Jarang sekali diketemukan kesetiaan yang mendalam dalam persahabatan sebagai ketiga orang pembantunya yang sudah dianggapnya sebagai keluarga sendiri itu."
"Baiklah. Jika itu sudah menjadi tekad kalian, aku hanya dapat mengucapkan terima kasih. Sekarang persiapkan segala jenis senjata. Letakkan berpencar di rumah ini. Sehingga dimanapun kita berada, kita akan dengan cepat meraih senjata. Kecuali tombakku Kiai Tunggul Mega. Bawalah tombak itu kemari. Letakkan di sini. Jika ada orang yang mencari aku, bawa mereka ke bilik ini."
"Baik Raden." "Beritahu Sabawa, sebaiknya ia tidak pergi kemana-mana."
"Apakah tidak sebaiknya Raden Sabawa disingkirkan dari rumah ini?"
"Ia tidak akan disentuh oleh ayah Mawarni. Sabawa akan dapat diperalatnya. Meskipun demikian, aku masih akan mencoba membujuknya agar ia pergi."
"Kalau di bawa pergi dengan paksa, Raden."
"Tidak. Ia memang harus belajar mengambil sikap sendiri."
Para pembantu Raden Yudatengara yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri itupun telah mempersiapkan segala macam senjata. Mereka telah menggantungkan sebilah pedang sehingga menjadi perhiasan dinding di ruang dalam. Sebuah tombak pendek diletakkan di pringgitan dengan sebuah songsong yang berwarna hijau bergaris kuning. Kemudian sebuah luwuk telah digantungkan di dekat pintu butuhan. Sedangkan sebuah pedang panjang di sandarkan pada sandaran kayu di atas geledeg di dekat pintu bilik.
Sedangkan para pembantu itu sendiri, telah mempersiapkan pedang mereka dengan sebaik-baiknya. Sedangkan diikat pinggang mereka, terselip beberapa pisau belati kecil.
Meskipun demikian. Raden Yudatengara itupun berdesis, "Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Tetapi ayah gadis itu menurut pendapatku adalah seorang yang dengki. Apalagi orang itu sudah dikalahkan oleh salah seorang pembantuku. Demikian pula anaknya. Gadis yang nampaknya dibangga-banggakan itu. Kekalahan itu, ditimbuni dengan pernyataan Sabawa dengan terbuka tentang sikapku, tentu sudah cukup alasan baginya untuk membuat keributan di rumah ini."
Dengan demikian, maka seisi rumah itupun telah bersiaga menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, Raden Yudatengara telah menemui Raden Sabawa untuk mencoba membujuk anak itu agar bersedia meninggalkan Demak pergi ke Mataram.
"Tidak. Aku tidak akan meninggalkan Demak," jawab Raden Sabawa.
"Seandainya ayah pergi ke Mataram."
"Silahkan. Silahkan ayah pergi. Tetapi aku tidak. Aku tidak dibayangi oleh ketakutan sebagaimana ayah yang telah menolak kebijaksanaan Kangjeng Adipati Demak."
Raden Yudatengara itu menarik nafas panjang. Satu pertanda, bahwa Raden Yudatengara sendiri terpaksa harus tetap berada di rumahnya apapun yang terjadi.
Sebenarnya terpercik pula pendapatnya, bahwa Raden Sabawa telah cukup dewasa. Bahkan telah mengaku mempunyai landasan sikap sendiri tanpa harus dibayangi oleh sikap ayahnya. Ia sudah menyatakan bahwa ia berbeda dengan ayahnya.
Tetapi Raden Yudatengara rasa-rasanya tidak sampai hati untuk meninggalkannya sendiri di Demak. Ia tentu akan menjadi budak Mawarni dan ayahnya.
Sementara itu waktupun tergulir terus. Ketika malam tiba, maka Raden Yudatengara menjadi semakin mempersiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan. Namun ia sudah mengatakan kepada Raden Sabawa, bahwa ia tidak diperkenankan untuk keluar dari regol halaman rumahnya. Para pembantu Raden Yudatengara yang sudah diakunya sebagai keluarga sendiri itu sudah diperintahkan untuk mengawasi Sabawa. Anak itu tidak boleh keluar. Jika ia memaksa maka Raden Sabawa harus dicegah dengan kekerasan pula.
Raden Sabawa menjadi sangat marah ketika para pembantu ayahnya itu benar-benar mencegahnya pergi di ujung malam itu. Tetapi betapapun kemarahan itu membakar ubun-ubunnya, tetapi para pembantu ayahnya itu benar-benar tidak membiarkan Raden Sabawa itu pergi.
"Aku harus menemui Mawarni," Raden Sabawa itu berteriak.
"Tidak Raden. Ayah Raden sudah memerintahkan, agar Raden tidak keluar dari regol halaman rumah ini."
"Aku tidak peduli. Aku akan pergi."
Tetapi dengan tegas pula pembantu ayahnya itu berkata, "Tidak. Kami sudah mendapat wewenang untuk melarang Raden pergi ."
"Aku akan memaksa."
"Kami akan mempergunakan kekerasan."
"Gila. Kalian kira, kalian itu siapa he" Kalian adalah abdi disini. Kalian tidak wenang untuk berbuat seperti itu yang justru menganggap aku sebagai budak. Aku akan menyatakan keberatanku kepada ayah. Aku akan minta kalian diusir dari rumah itu."
"Silahkan mengadu kepada ayah Raden. Wewenang yang aku pergunakan justru berasal dari ayah Raden."
Wajah Raden Sabawa menjadi merah. Iapun segera berlari mencari ayahnya.
Diketemukannya ayahnya duduk di serambi. Di sebelahnya terdapat sebuah ploncon dengan tombak pendek dan songsong yang berwarna hijau bergaris kuning.
"Ayah. Para abdi itu menjadi semakin berani melawan aku. Ayah terlalu memberi hati kepada mereka, sehingga mereka sama sekali tidak menghargai aku lagi."
Ayahnya menarik nafas panjang. Katanya, "Aku memang memberikan tugas kepada mereka, agar mereka mencegahmu jika kau akan pergi."
"Tetapi mereka menjadi semakin berani kepadaku."
"Kaupun menjadi semakin berani kepada ayah. Jika para abdi itu berani kepadamu, mereka sama sekali tidak berdosa, karena yang mereka lakukan itu atas dasar perintahku. Tetapi jika kau berani menentangku, kau telah melakukan dosa yang besar."
Wajah Raden Sabawa menjadi sangat tegang. Namun kemudian iapun berkata, "Ayah tidak usah mencoba menyudutkan aku dengan ancaman dosa. Yang berdosa adalah anak yang berani menentang orang tuanya, jika orang tuanya itu berdiri diatas kebenaran. Tetapi ayah tidak. Ayah tidak berdiri diatas landasan kebenaran dan keaddan. Ayah berdiri semata-mata berlandaskan kepentingan ayali sendiri.
"Kau benar-benar sudah terbenam ke dalam arus kegelapan. Aku hanya dapat berdoa bagimu, ngger. Semoga Yang Maha Agung memberikan terang dihatimu, sehingga kau dapat menghargai ayahmu. Orang tuamu, yang menjadi lantaran kelahiranmu di muka bumi ini."
"Ayah jangan memanfaatkan hubungan kita dengan Yang Tidak Terlalu Kita Kenal itu untuk memaksakan kehendak ayah."
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sangat menyedihkan jika kau menganggap Sumber Dari Segalanya itu tidak terlalu kita kenal. Sabawa, aku mengenalinya dengan sepenuh keyakinan. Yang Ada itu berada di dalam jiwaku. Juga di dalam jiwamu. Karena itu dengarlah suaranya."
Tetapi Sabawa itu menjawab, "Sudahlah ayah. Perlakukan aku sebagaimana seorang laki-laki dewasa."
Raden Yudatengara menarik nafas penjang. Katanya, "Ternyata sikapmu membuat aku lebih sedih lagi. Sabawa. Ternyata aku benar-benar telah gagal, sehingga kau menganggapnya bahwa Yang Maha Agung itu Sesuatu Yang Tidak Terlalu Kita Kenal. Aku tidak akan merasa sangat bersedih atas sikapmu yang keras kepala tanpa mau mendengarkan nasihatku tentang hubunganmu dengan Mawarni serta pernyataanmu dengan terbuka akan sikapku meskipun itu akan dapat menimbulkan bencana bagiku dan bagi seluruh keluarga kita. Tetapi justru karena kau merasa tidak begitu mengenal dari apa yang selalu aku perkenalkan kepadamu sejak ibumu masih ada. Sejak kau masih menghisap ibu jarimu. Sabawa. Mudah-mudahan kau masih berkesempatan untuk mohon pengampunan-Nya."
"Ayah. Yang kita bicarakan adalah sikap ayah yang berbeda dengan sikapku menanggapi perjuangan Kangjeng Adipati Demak yang ingin menuntut keadilan mengambil tahta Mataram. Tetapi ayah telah berbicara tentang persoalan yang tidak ada hubungannya dengan sikap ayah dan sikapku tentang tuntutan keadilan itu."
"Tentu ada, Sabawa."
"Apapun hubungannya, tetapi yang penting sekarang aku minta, ijinkan aku pergi."
"Tidak. Aku tidak mengijinkanmu pergi menemui perempuan itu. Kau harus menyadarinya, bahwa kau akan menjadi budaknya seumurmu. Jika segala sesuatunya berhasil nanti, maka kau akan menjadi alas telapak kakinya."
"Ayah ternyata berprasangka buruk terhadap sesama. Itu bukan sikap ayah yang selama ini mengajariku berbuat baik kepada orang lain."
"Aku tidak asal berprasangka, Sabawa. Aku mempunyai dasar pertimbangan yang masak."
"Cukup ayah. Sekarang ijinkan aku pergi. Atau aku akan memaksa pergi apapun akibatnya."
"Tidak." Tetapi Sabawa tidak mendengarkannya. Iapun segera berlari menghambur turun lewat pringgitan, pendapa dan turun ke halaman.
Tetapi terdengar suara ayahnya, "Cegah anak itu."
Sabawapun segera ditangkap oleh orang-orang yang mengabdi kepada ayahnya, yang sudah dianggapnya seperti keluarga sendiri itu. Meskipun Sabawa meronta-ronta, tetapi ia tidak dapat melepaskan dirinya dari tangan-tangan yang kokoh, yang kemudian membawanya kembali ke ruang dalam.
"Ikat anak itu."
"Ayah, ayah," sabawapun berteriak-teriak. Tetapi orang-orang yang setia kepada Raden Yudatengara itu tidak mendengarkannya. Merekapun mengikat Raden Sabawa dengan tali rami yang kokoh dengan tiang di ruang dalam.
"Kalau kau tetap berteriak-teriak, aku akan menyumbat mulutmu dengan kain yang kotor itu," berkata ayahnya.
"Ternyata ayah membenciku. Ayah sangat membenciku sehingga ayah telah mengikat seperti mengikat seekor kerbau di kandang. Jika ibu sempat melihat perbuatan ayah ini, maka ibu tentu akan mengutuk ayah."
"Ibumu akan sependapat dengan aku, Sabawa. Kau memang harus diikat. Jika kau masih belum menyadari kelakuanmu yang buruk, maka besok aku akan mencambukmu sehingga kau menjadi pingsan."
"Ayah jahat," teriak Raden Sabawa.
Tetapi Raden Yudatengara tidak menghiraukannya.
Namun akhirnya Raden Sabawa itu menjadi letih, sehingga ia terdiam dengan sendirinya. Namun dan sepasang matanya mengalir air matanya karena kemarahan yang membakar jantungnya.
Dalam pada itu, maka malampun menjadi bertambah malam. Tetapi Raden Yudatengara masih saja duduk di serambi. Disebelahnya terdapat sebuah ploncon dengan tombak pendek dan songsong di dalamnya.
Beberapa saat Raden Yudatengara itu merenungi kejadian-kejadian di Demak pada hari-hari terakhir. Raden Yudatengara tidak mengerti, kenapa para pemimpin di Demak dapat bekerja sama dengan orang-orang dari perguruan Kedung Jati untuk melawan Mataram.
Selagi Raden Yudatengara merenungi keadaan serta dirinya sendiri, menjelang tengah malam, tiba-tiba saja sekelompok orang telah mendatanginya. Mereka begitu saja memasuki halaman tanpa memberikan salam. Sementara tiga orang abdi Raden Yudatengara berada di halaman depan.
"Kalian mau apa?" bertanya para abdi itu.
Tetapi mereka tidak menghiraukannya. Mereka langsung menuju ke pintu pringgitan.
"Kalian mau apa. Kalian mau bertemu dengan siapa?" bertanya salah seorang abdi di rumah itu.
"Aku akan bertemu dengan Raden Yudatengara," jawab seorang diantara mereka.
Para abdi itu ternyata sudah mengenalnya. Merekapun mengangguk hormat. Seorang diantara mereka berdesis, "Raden Wirapraba."
"Ya. Kalian tentu mengenal aku. Aku adalah kawan baik Raden Yudatengara."
"Sekarang, apakah yang Raden kehendaki."
"Dimana Raden Yudatengara ?"
"Di dalam Raden. Di serambi."
"Bukankah Raden Yudatengara masih belum tidur ?"
"belum Raden." Raden Wirapraba itupun berkata, "Baik. Aku akan menemuinya."
"Biarlah aku menyampaikannya, Raden. Aku persilahkan Raden duduk dan menunggu sebentar."
"Tidak. Aku akan datang kepadanya. Dimana ia sekarang?"
"Sebaiknya Raden duduk saja lebih dahulu."
"Aku dapat mencarinya."
"Aku mohon Raden tidak langsung masuk."
Tetapi orang yang disebut Raden Wirapraba itu tidak menghiraukannya. Iapun segera mendorong pintu pringgitan dan langsung masuk ke ruang dalam.
Ketika ketiga orang abdi Raden Yudatengara itu mencoba menghalanginya, maka para pengiring Raden Wirapraba itupun telah menyerang mereka, sehingga sejenak kemudian telah terjadi pertempuran di depan pintu pringgitan.
Ketiga orang abdi Raden Yudatengara yang setia itupun segera terdesak. Yang datang ke rumah itu ternyata terlalu banyak untuk dilawan.
Tetapi ketiga orang abdi itu tidak segera menyerah. Mereka pun kemudian berloncatan turun ke halaman dan bertempur melawan para pengiring Raden Wirapraba yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Ternyata diantara mereka terdapat Mawarni dan ayahnya.
"Kau terlalu sombong Ki Sanak," berkata ayah Mawarni, "aku datang lagi untuk membunuhmu."
"Pengecut. Kau tidak berani berhadapan seorang melawan seorang. Sekarang kau datang bersama dengan banyak orang."
"Apa bedanya. Kami akan menangkap kalian bertiga. Kami akan menjadikan kalian pengewan-ewan di alun-alun esok pagi. Kalian akan di keluarkan dari kandang seperti seekor harimau. Kemudian kalian akan dirampok beramai-ramai sehingga tubuh kalian akan hancur arang keranjang."
"Tidak ada yang dapat menangkap kami hidup-hidup." Terdengar suara tertawa beberapa orang.
Sejenak kemudian merekapun telah terlihat dalam pertempuran yang sengit. Namun ketiga orang abdi Raden Yudatengara itu agaknya mencemaskan Raden Yudatengara yang tentu harus bertempur melawan beberapa orang yang menyusul Raden Wirapraba masuk ke ruang dalam.
Karena itu, maka seorang diantara merekapun segera berteriak, "Kita selamatkan Raden Yudatengara."
Ketiga orang itupun segera meloncat meninggalkan arena. Mereka memasuki pintu seketeng langsung ke longkangan.
Dalam pada itu, Raden Wirapraba telah memasuki serambi. Namun langkahnya terhenti. Ia melihat Raden Yudatengara duduk dengan tombak pendek di tangannya.
"Kangmas Yudatengara."
"Ya, dimas. Selamat datang di rumahku."
"Sudahlah kangmas. Tidak usah berpura-pura lagi. Aku datang untuk menangkap kangmas dan membawanya menghadap Kangjeng Adipati Demak. Kangmas telah menyatakan sikap bermusuhan dengan Kangjeng Adipati."
"Aku tidak memusuhi Kangjeng Adipati, Dimas. Aku hanya menyatakan bahwa sikapku tidak sejalan dengan sikap Kangjeng Adipati. Aku tidak dapat melawan Mataram, karena aku, Dimas dan bahkan Kangjeng Adipati berasal dari Mataram. Kekuasaan yang sekarang dipegang oleh Kangjeng Adipati itupun berasal dari Mataram juga."
"Sudahlah. Kangmas tidak usah sesorah. Sekarang aku minta kangmas menyerah. Kami akan mengikat kangmas dan membawa Kangmas menghadap Kangjeng Adipati. Aku tidak tahu, hukuman apa yang akan kangmas tanggungkan. Biarlah Kangjeng Adipati yang memutuskannya."
"Dimas. Apakah kau juga sudah benar-benar kehilangan ikatan kesatuan Dimas dengan Mataram?"
"Sudahlah. Kangmas tidak usah mengungkit-ungkit lagi. Aku memang berasal dari Mataram. Tetapi sekarang aku berada di Demak. Karena itu, maka sekarang aku mengabdi kepada Kangjeng Adipati di Demak."
"Dimas. Jika demikian, maka biarlah aku menolak untuk menyerah. Aku akan melawan."
"Bukankah tidak akan ada gunanya, kangmas. Lebih baik kangmas menyerah. Mungkin Kangjeng Adipati akan memberikan keringanan kepada kangmas."
"Aku tidak menginginkan balas kasihan itu Dimas."
"Baiklah, kangmas. Jika itu yang kangmas kehendaki. Aku akan menangkap Kangmas. Kangmas tidak akan dapat bertahan sesilir bawang karena aku datang dengan banyak orang."
Raden Yudatengara itupun bangkit berdiri. Tombak pendeknyapun segera merunduk.
Sementara itu Raden Wiraprabapun telah menarik pedangnya. Diputarnya pedangnya sambil bergeser. Sementara itu, dua orang bersamanya untuk melawan Raden Yudatengara.
"Aku mendapat perintah untuk menangkap kangmas hidup atau mati," berkata Raden Wirapraba.
"Bagus Dimas. Lakukan apa yang ingin kau lakukan." Sementara itu, ketiga orang abdi Raden Yudatengarapun telah bertempur di longkangan. Mereka berniat untuk melindungi Raden Yudatengara, namun agaknya mereka sulit untuk dapat mendekat.
Demikianlah maka pertempuran itupun telah terjadi di longkangan dan diserambi.
Namun akhirnya Raden Yudatengara yang berada di serambi itupun meloncat keluar. Untuk menghadapi lawan yang lebih dari seorang, Raden Yudatengara memerlukan tempat yang lebih luas dari serambi rumahnya.
Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Sementara pertempuran itu masih berlangsung dengan sengitnya, Mawarni telah menyelinap masuk ke ruang dalam. Karena ia tidak melihat Raden Sabawa, maka Mawarni itu sengaja mencarinya. Raden Sabawa bukan seorang yang memiliki kemampuan untuk bertempur. Justru karena ia terlalu manja, maka Raden Sabawa sama sekali tidak berminat untuk mempersulit dirinya sendiri, berlatih olah kanuragan.
Mawarni memang terkejut melihat Raden Sabawa diikat pada sebatang tiang didalam rumah itu. Sejenak Mawarni termangu-mangu memandanginya.
"Mawarni. Tolong aku Mawarni. Aku telah diikat oleh para abdi ayahku yang penjilat itu."
"Kenapa Raden membiarkan diri Raden diikat" Apakah Raden tidak dapat menolak atau melawan mereka?"
"Tidak. Aku tidak dapat melawan mereka bertiga. Mereka adalah orang-orang yang keras dan kasar."
"Apakah ayah Raden tidak menolong Raden?"
"Ayah ternyata jahat. Ayah tidak menolongku. Justru ayah yang ingin aku diikat malam ini."
"Kenapa?" "Aku ingin pergi menemuimu, Mawarni. Tetapi ayah tidak mengijinkannya. Ketiga orang abdi yang penjilat itu menangkapku dan mengikatku disini."
Mawarni tertawa. Katanya, "jadi ayahmu melarang kau menemui aku?"
"Ya." Mawarni itupun melangkah mendekati Raden Sabawa, sementara Raden Sabawa berkata, "Terima kasih Mawarni."
"Kenapa kau berterima kasih kepadaku?"
"Bukankah kau akan melepaskan tali pengikatku?"
Mawarni tertawa berkepanjangan. Katanya, "Sayang anak manis. Aku tidak berniat melepaskan tali pengikatmu. Jika ayahmu mengikatmu, biarlah ayahmu atau para abdinya yang melepaskanmu. Tetapi jika mereka terbunuh serta ayahmu ditangkap dan dibawa menghadap Kangjeng Adipati, maka kau akan terikat tanpa ada yang melepaskan lagi."
"Mawarni," wajah Raden Sabawa menjadi tegang. Mawarni itupun mendekatinya. Ditepuknya pipi Raden Sabawa sambil berkata, "Jangan menangis anak manis."
"Tetapi, tetapi kau harus melepaskan taliku ini Mawarni."
"Jangan merajuk. Tergantung kepada nasibmu, apakah akan ada yang melepaskanmu atau tidak."
Mata Raden Sabawa bagaikan menyala. Ia baru menyadari kebenaran kata-kata ayahnya serta para pemomongnya yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri di rumah itu. Mawarni bukan seorang gadis yang baik untuk dijadikan sisihan. Jika Raden Sabawa itu benar akan menjadi suami Mawarni, maka Raden Sabawa itu tidak akan lebih daripada seorang budak.
Tetapi semuanya sudah terlambat. Sekali lagi Mawarni menyentuh pipi Raden Sabawa. Kemudian Mawarni itu berlari menghambur ke halaman untuk terjun kembali ke dalam pertempuran.
Raden Yudatengara yang bertempur melawan Raden Wirapraba berhasil mendesaknya. Tetapi bersama beberapa orang pengiringnya akhirnya Raden Wiraprabalah yang mendesak Raden Yudatengara.
"Kau tidak akan dapat melepaskan diri kangmas," berkata Raden Wirapraba.
Raden Yudatengara menggeram. Raden Yudatengara tidak dapat minta bantuan kepada para abdinya yang justru harus bertempur melawan orang yang lebih banyak.
Dalam keadaan yang rumit, maka Raden Yudatengara itupun telah bergeser dan meloncat masuk ke dalam rumahnya.
Tombak pendek di tangan Raden Yudatengara telah terpental lepas dari tangannya.
"Kau sudah tidak bersenjata lagi kangmas," teriak Raden Wirapraba sambil memburu. Beberapa orang pengiringnya ikut memburunya pula.
Tetapi ketika mereka memasuki ruang dalam, mereka terkejut. Pengiring Raden Wirapraba yang berlari di paling depan tiba-tiba saja berhenti. Namun ia terlambat mengambil sikap. Ternyata Raden Yudatengara itu telah menggenggam pedang di tangannya.
Pengiring Raden Wirapraba yang berlari di paling depan itupun jatuh tersungkur. Pedang Raden Yudatengara telah menghujam di dadanya.
Raden Wirapraba itupun menggeram. Bersama beberapa orang pengiringnya, ia menyerang Raden Yudatengara di ruang dalam. Beberapa saat lamanya mereka bertempur di ruang dalam. Namun ketika pedang Raden Yudatengara membentur senjata Raden Wirapraba dan seorang pengiringnya bersama-sama, maka pedang Raden Yudatengara itupun terlepas dari tangannya.
Namun dengan tangkas Raden Yudatengara itu meloncat dan berlari, ke ruang yang lain. Tiba-tiba saja Raden Yudatengara itu telah mengayunkan sebuah luwuk yang berwarna kehitam-hitaman. Seorang berteriak kesakitan ketika luwuk itu menggores dadanya.
Raden Wirapraba menjadi semakin marah. Beberapa orangnya telah terbunuh di rumah Raden Yudatengara. Karena itu, maka Raden Wiraprabapun telah menjadi semakin garang.
Pangeran Caspian 3 Pengemis Binal 25 Petualangan Roh Iblis Tarian Merpati 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama