16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 22
"Ya, ya. Ngger. Kami akan membantunya."
"Ki Bekel dan para bebahupun harus mengubur pengantin laki-laki yang telah berkhianat itu. Tetapi untunglah yang segala sesuatunya belum terlanjur. Jika saja pernikahan ini sudah berlangsung kemudian pengantin laki-laki itu baru mengupah orang untuk membunuh isterinya, keadaan akan lebih sulit lagi diatasi. Namun ternyata yang terjadi tidak seperti itu."
"Kalau keluarga pengantin laki-laki itu menghendaki melakukan upacara penguburan sendiri?"
"Serahkan saja kepada mereka."
"Baik, ngger." "Kami sendiri tidak dapat menunggui penyelesaian dari peristiwa ini. Kami harus segera pergi."
"Pergi kemana ngger?"
"Aku harus segera melapor kepada Pangeran Ranapati bahwa hal seperti ini telah terjadi disini."
"Apakah Pangeran Ranapati akan marah?"
"Itulah yang harus kami usahakan agar Pangeran Ranapati tidak marah. Untunglah bahwa puteranya yang masih berada dalam kandungan itu tidak mengalami cidera. Jika saja orang itu terlanjur membunuh perempuan yang akan menikah itu, maka kami tidak tahu, apa yang akan dilakukannya."
"Kami mengucapkan terima kasih atas tindakan yang cepat Ki Sanak lakukan."
"Baiklah. Sekarang kami minta diri. Kami tidak boleh terlambat. Pangeran Ranapati harus mendengar peristiwa ini dari mulut kami sendiri."
"Lalu, bagaimana dengan orang-orang ini" Orang-orang yang menjadi pengikut dari pemimpinnya yang telah mati itu?"
"Biarlah mereka pergi setelah mereka membantu kalian menguburkan pemimpinnya itu. Tetapi biarlah mereka mendengar apa yang aku katakan. Jika terjadi sesuatu dengan perempuan dan anak yang ada di dalam kandungannya itu, maka mereka dan keluarga mereka akan kami tumpas habis. Tidak seorangpun yang dapat bersembunyi dari penglihatan Pangeran Ranapati meskipun Pangeran Ranapati sekarang tidak tahu, siapakah kalian. Meskipun demikian, aku minta Ki Bekel dan Ki Jagabaya berusaha mengetahui tempat tinggal mereka."
"Baik, Ki Sanak."
"Sementara aku pergi, aku titipkan perempuan itu kepada Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Usahakan agar ia mendapatkan seorang suami yang baik, yang benar-benar bersiap menerimanya apa adanya seutuhnya."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian minta diri kepada orang-orang yang ada di pendapa dan di halaman rumah itu, sementara pengantin perempuan itu masih baru saja sadar, sehingga ia tidak tahu apa yang telah dibicarakan oleh Glagah Putih dengan Ki Bekel dan para bebahu.
"Demikian aku bertemu dan melaporkan peristiwa ini. Aku akan segera kembali," berkata Glagah Putih.
Sebelum Glagah Putih meninggalkan tempat itu, ia masih sempat mengancam orang-orang yang ikut bersama pemimpinnya yang akan membunuh perempuan yang akan menikah itu.
Demikian Glagah Putih dan Rara Wulan beranjak, maka penunggu banjar itupun mendekatinya sambil berkata, "Aku minta maaf atas penerimaanku yang tidak memadai."
"Akulah yang harus mengucapkan terima kasih," sahut Glagah Putih sambil tersenyum, "kalian sudah berbuat sangat baik kepada kami. Sayang bahwa kami harus segera pergi. Tetapi pada kesempatan lain, kami akan singgah."
Penunggu banjar itu masih mencoba mencegahnya, "kenapa tidak esok pagi saja, Ki Sanak. Kalian berdua dapat melanjutkan bermalam di banjar itu."
"Sudah aku katakan bahwa aku harus secepatnya menemui Pangeran Ranapati. Sebelum Pangeran mendengar dari orang lain, maka sebaiknya Pangeran itu mendengar dari aku sendiri."
Penunggu banjar itu tidak dapat mencegahnya. Ia hanya dapat memandang Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan keluar dari regol halaman.
Sementara itu, sudah terdengar ayam jantan berkokok di dini hari. Ki Bekelpun kemudian sibuk membenahi tempat upacara pernikahan yang menjadi kacau, bahwa telah terjadi pembunuhan pula.
Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan meninggalkan padukuhan itu. Di dinginnya malam, Rara Wulan itu berdesis, "daripada berjalan malam hari yang dingin, sebenarnya lebih enak tidur di banjar. Bahkan esok pagi, kita tentu mendapat minuman hangat dan bahkan mungkin makan lagi sebelum berangkat meninggalkan banjar itu."
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Kita harus bermain dengan baik. Laki-laki itu memang harus mendapat hukuman yang berat. Ternyata orang upahannya sendirilah yang telah membunuhnya."
"Peristiwa yang terjadi di padukuhan ini agaknya mempertegas watak Pangeran Ranapati. Laki-laki itu telah menodai seorang gadis padukuhan yang tentu lugu, jujur dan mungkin sedikit bodoh karena kurang pengalaman. Kemudian gadis itu ditinggalkannya begitu saja. Ia memang meninggalkan uang. Tetapi sebenarnya itu tidak cukup. Untunglah kita melihat kecurangan yang sangat menyakitkan itu sehingga kita dapat mencegahnya. Jika tidak, maka nasib perempuan yang mengandung itu akan menjadi sangat malang. Sebagian dari kesalahan yang menyebabkannya harus ditimpakan kepada orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu."
"Ya," Glagah Putih mengangguk-angguk, "kita semakin condong berpendapat, bahwa orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati memang bukan orang yang baik sehingga mungkin kepergiannya ke Timur memang berniat kurang baik."
Rara Wulanpun mengangguk-angguk.
Namun kemudian Rara Wulan itupun berkata, "Apakah tidak sebaiknya kita berhenti untuk menghabiskan malam ini?"
"Jarak kita belum cukup jauh dari padukuhan itu."
Rara Wulan menarik nafas panjang. Sementara itu keduanyapun melanjutkan perjalanan mereka di gelapnya malam menuju ke arah Timur.
Namun menjelang fajar keduanya sempat beristirahat sejenak. Mereka duduk di tanggul sebuah sungai kecil bersandar sebatang pohon.
Ketika langit menjadi merah, maka merekapun telah turun ke sungai untuk mencuci muka dan berbenah diri.
Sebelum matahari terbit, mereka sudah melanjutkan perjalanan mereka. Udara masih terasa dingin. Burung-burung liar bernyanyi dengan suaranya yang nyaring menyambut matahari yang bakal terbit.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun berjalan disejuknya udara pagi hari sambil memperhatikan langit bersih yang menjadi semakin semburat merah.
Semakin lama jalan yang dilaluinyapun menjadi semakin ramai. Beberapa orang yang turun ke jalan, agaknya akan pergi ke pasar selagi masih pagi. Sebagian dari mereka membawa hasil kebun mereka yang araknya akan dijual di pasar. Pisang setandan. Daun pisang beberapa lipatan. Uwi panjang. Empon-empon dan ada pula yang membawa daun lembayung, daun kangkung daun so beberapa ikat, serta kacang panjang dan melinjo.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun ikut pula bersama ir-mg-iringan orang yang akan pergi ke pasar itu. Sebelum matahari terbit, mereka telah mendekati pintu gerbang sebuah pasar yang cukup ramai. Meskipun hari masih pagi, tetapi pasar itu sudah menjadi cukup ramai. Orang-orang yang akan menjual hasil kebun mereka telah menggelar dagangannya mereka.
Sementara itu, beberapa orang pembelinya sudah berdatangan. Mereka yang dapat langsung membeli dari para petani dari kebun mereka sendiri harganya tentu sedikit lebih murah daripada mereka membeli di tempat tengkulak yang mengumpulkan hasil bumi itu serta menjualnya lagi untuk mendapatkan untung.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun berhenti sejenak di depan pintu gerbang pasar. Semakin lama pasar itu menjadi semakin ramai. Para pedagang yang lebih besarpun sudah berdatangan serta menggelar dagangan mereka yang terdiri dari berbagai jenis barang. Disudut, pande besi sudah mulai mengatur bengkelnya. Merekapun kemudian menyalakan perapian mereka, karena mereka segera akan mulai dengan kerja mereka.
Para penjual kainpun telah menggelar berbagai macam kain lurik. Dari yang kasar sampai yang halus. Dari yang bergaris-garis besar sampai yang bergaris halus.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak singgah di pasar itu. Mereka hanya berhenti sebentar. Nasi megana yang masih mengepul memang menarik perhatian mereka, tetapi mereka masih belum ingin makan lagi.
Sejenak kemudian merekapun meninggalkan pasar itu.
Mereka meneruskan perjalanan mereka ke arah Timur. Di jalan yang mereka lalui, mereka berpapasan dengan orang-orang yang akan pergi ke pasar yang nampaknya untuk berbelanja.
Sementara itu, matahari pun telah mulai memanjat langit. Sinarnya yang ceria memancar ke puncak bukit-bukit kecil yang ada di hamparan ngarai yang luas. Bulak-bulak panjang yang membentang nampak hijau membentang. Sekali-sekali nampak padukuhan yang muncul dari tebaran tanaman yang hijau. Namun di sisi yang lain, bukit-bukit kecil muncul dari permukaan bagaikan sebuah pulau yang mengapung di lautan.
Jalan-jalanpun nampak menjadi semakin ramai. Selain orang yang pergi dan pulang dari pasar, beberapa orang nampak pergi ke sawah. Disaat sedang musimnya orang yang membersihkan rerumputan Uar diantara tanamannya, maka banyak para petani yang memerlukan pergi ke sawah mereka, agar tanaman mereka tidak terganggu oleh rumput-rumput liar yang tumbuhnya diantaranya.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun berjalan terus melintasi bulak dan padukuhan. Sementara mataharipun memanjat langit semakin tinggi.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan mulai menjadi haus dan lapar, maka merekapun telah singgah di sebuah kedai diantara beberapa kedai yang berdiri berjajar di depan sebuah pasar yang besar.
Kedai itupun terhitung kedai yang cukup ramai. Namun sebelum memasuki kedai itu, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat memperhatikan beberapa orang yang sudah ada di-dalamnya.
"Agaknya kedai ini bukan kedainya orang-orang kaya," desis Glagah Putih.
Dengan demikian, maka keduanyapun kemudian memasuki kedai itu dan seperti biasanya, jika masih ada, mereka memilih tempat disudut.
Ternyata para pelayan kedai itupun bersikap ramah kepada tamu-tamunya. Mungkin pemilik kedai itu sempat mengajari mereka, agar mereka memelihara hubungan baik dengan para lengganan, agar para lengganan itu tidak lagi ke kedai yang lain. Dalam persaingan yang nampaknya cukup ketat, kedai-kedai itupun harus menunjukkan beberapa kelebihannya. Mungkin masakannya. Mungkin tempat duduknya dan mungkin pelayanannya.
Glagah Putihpun kemudian telah memesan makan dan minuman hangat bagi dirinya dan Rara Wulan.
Dengan cepat para pelayan itupun segera menghidangkan pesanan itu, sehingga Glagah Putih dan Rara Wulan tidak perlu menunggu terlalu lama. Demikian pula para tamu yang lainpun telah dilayani dengan cepat pula.
Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan sedang minum dan makan, tiba-tiba saja seorang diantara para tamu itu bertanya kepada pemilik kedai yang sedang sibuk menyiapkan pesanan tamu tamunya itu, "Kakang. Agaknya kakang kurang beruntung bahwa seorang Pangeran dari Mataram yang berkelana seorang diri tidak singgah dikedaimu ini. Tetapi singgah di kedai sebelah."
Pemilik kedai yang sedang sibuk itu sempat tertawa dai menjawab, "Ya. Agaknya kami kurang beruntung. Tetapi kami telah terpercik oleh keberuntungan yang dibawa Pangeran dari Mataram itu. Kedai di sebelah memang bertambah besar, karena ceritera tentang Pangeran yang singgah itu segera tersebar. Banyak orang yang ingin tahu, apa yang menyebabkan seorang Pangeran yang berkelana seorang diri singgah di kedai itu. Namun karena kedai itu selalu penuh, maka orang-orang yang tidak mendapatkan tempat telah memilih singgah di kedai ini atau di kedai di sebelah lain."
Orang itu tertawa. Katanya, "Peristiwa itu sudah terjadi beberapa waktu yang lalu. Tetapi gemanya sampai sekarang masih terdengar. Kemarin aku sempat singgah di kedai itu. Tetapi aku tidak menemukan kelebihan apa-apa di kedai itu. Aku masih tetap mengganggap bahwa riasi langgi di kedai ini lebih asyik dibanding dengan nasi langgi di kedai sebelah. Disini nasi langginya diberi ikan abon, telor dadar yang dipotong halus, serta yang tidak dapat ditandingi adalah sambal lombok gorengnya yang diberi ranti dan udang."
Pemilik kedai itu tertawa, katanya, "terima kasih." Sementara itu, seorang yang lain lagi tiba-tiba saja menyahut. Ya. Nasi langgi di kedai inilah yang membuat aku tidak mau beranjak. Tetapi sekali-sekali jika aku ingin makan nasi tumpang maka aku akan singgah di kedai yang berada di ujung. Nasi tumpangnya tidak ada yang dapat menyamainya. Daging lidah lembunya telah membuat aku ketagihan."
Orang-orang yang ada di kedai itu tertawa. Sementara itu Glagah Putihpun bertanya kepada Rara Wulan, "apakah kau sudah kenyang?"
"Sudah. Kenapa?"
"Tetapi kita tidak memesan nasi lagi. Kita justru memesan nasi megana."
"Kalau kakang mau memesan nasi megana, silahkan."
"Tetapi perutku tentu tidak akan muat. Baiklah. Lain kali aku akan singgah di kedai ini untuk memesan nasi langgi dengan sambal lombok goreng dengan ranti dan udangnya."
Rara Wulan tertawa. Tetapi iapun bertanya, "Kenapa harus menunggu. Jangan habiskan nasi megana itu. Kemudian kakang memesan nasi langgi."
"Tetapi sebenarnya aku ingin singgah di kedai sebelah. Bukankah kita ingin mendengar ceritera tentang Pangeran Ranapati itu lebih banyak."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Jika kita singgah di kedai sebelah sekarang, maka tentu akan menarik perhatian orang. Mereka yang melihat kita berada disini, kemudian berpindah ke kedai sebelah, tentu bertanya-tanya. Justru setelah ada yang berbicara tentang seorang Pangeran yang berkelana seorang diri.
Glagah Putih menarik nafas panjang.
Sementara itu, seorang yang lain berkata kepada pemilik kedai itu, "Kakang. Menurut pendengaranku, Pangeran itu adalah seorang yang sangat baik. Ia membayar jauh lebih banyak dari pesanan minum dan makannya."
"Mungkin saja, adi. Tetapi bukankah tidak sewajarnya kita menjadi iri hati. Apalagi kepada tetangga sendiri. Rejeki itu memang memilih orang yang akan memiliki. Bukan sebaliknya. Betapapun kita memburunya, kalau belum saatnya rejeki itu menjadi milik kita, maka rejeki itu akan luput. Tetapi seharusnya kita mensukuri apa yang kita terima."
"Ya, ya," orang itu mengangguk-angguk.
Sementara itu orang yang lain berkata, "Tetapi yang memugar pintu gerbang pasar serta memberikan pertanda disebelah pintu gerbang itu bukan Pangeran yang berhenti di kedai sebelah."
"Ya," seseorang menyahut, "itu lain lagi. Yang memugar pintu gerbang pasar itu adalah Pangeran Jayaraga. Seorang Pangeran yang akan bertugas di Panaraga. Di pasar itu, pangeran Jayaraga berkenan berhenti, karena keluarganya merasa lapar dan haus."
"Kenapa di pasar" Kenapa tidak di kedai-kedai ini?"
"Mereka sudah terlalu sering singgah di kedai yang jauh lebih baik dari kedai-kedai ini. Karena itu, mereka justru ingin berhenti di pasar. Minum dawet cendol serta membeli nasi tumpang atau nasi megana, yang jarang mereka jumpai."
Orang-orang itupun kemudian berhenti sejenak. Seorang diantara mereka bangkit berdiri. Membayar makan dan minumnya, kemudian minta diri.
Seorang kawannyapun telah bangkit pula sambil berkata, "Tunggu. Kita pulang bersama-sama."
Orang itupun segera membayar pula dan kemudian keluar menyusul kawannya.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah selesai makan dan minum. Merekapun kemudian meninggalkan kedai itu pula setelah membayar harga makan dan minum mereka.
Namun, demikian mereka keluar dari kedai itu, maka Glagah Putihpun berkata, "Kita lihat, pintu gerbang pasar itu."
Keduanyapun kemudian telah pergi ke pintu gerbang pasar itu untuk melihat pintu gerbang yang memang nampak lebih baik dari pintu gerbang pasar pada umumnya.
"Nah, sekarang kita berhenti sambil membeli minuman hangat di sudut pasar itu. Kau lihat orang menjual wedang jahe atau wedang sere itu."
Rara Wulan mengangguk. Ia tahu bahwa Glagah Putih ingin berbicara dengan penjual wedang jahe itu tentang pintu gerbang yang belum lama diperbaharui itu.
Sejenak kemudian, keduanya sudah duduk di sebuah lin-cak bambu di depan seorang penjual wedang jahe. Di sebelah penjual wedang jahe itu terdapat sebuah kuah diatas perapian yang menjaga agar wedang jahe itu tetap panas.
Sambil menghirup wedang jahe, maka Glagah Putih memang bertanya kepada penjual wedang jahe itu, "Bibi. Nampaknya gerbang pasar itu baru saja diperbaiki."
"Ya, ngger," jawab penjual wedang jahe itu, "ketika itu seorang Pangeran dari Mataram dengan pengiringnya lewat di depan pasar ini. Entah mimpi apa orang-orang sepasar ini bahwa ternyata Sang Pangeranpun berhenti. Sang Pangeran segera meloncat turun dari kudanya dan diikuti oleh para pengiringnya. Tandu-tandu yang ada didalam iring-iringan itupun berhenti pula. Sekelompok prajurit segera bersiaga di depan, dibelakang dan di sebelah menyebelah iring-iringan itu."
"Apa yang dilakukan oleh sang Pangeran?"
"Beberapa orang puteri dari dalam tandu ingin turun pula. Nampaknya mereka merasa letih duduk didalam tandu. Apalagi para emban dan pelayan yang naik pedati. Merekapun nampak kelelahan. Sementara itu, agaknya beberapa orang keluarga Pangeran dari Mataram yang lapor itu tiba-tiba ingin mencicipi minuman dan makanan yang ada di pasar ini," orang itu berhenti sejenak ketika ada seorang yang membeli wedang sere dengan pemanis gula kelapa. Namun kemudian ia berceritera terus, "Pasar ini menjadi geger, ngger. Orang sepasar ingin melihat Pangeran, putera-puteranya serta para puteri keraton. Agaknya sambutan yang sangat meriah dari orang-orang yang berada di pasar itu sangat berkenan di hati Pangeran dari Mataram itu. Kecuali membayar harga minuman dan makanan dengan berlebihan, Pangeran itupun telah memanggil Ki Bekel dan para bebahu padukuhan ini. Ternyata pangeran itu telah memberikan uang kepada Ki Bekel untuk membangun pintu gerbang pasar ini sebagai satu petilasan, bahwa Pangeran itu pernah singgah di pasar ini bersama keluarganya ketika sedang dalam perjalanan ke Panaraga."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Perjalanan Pengeran Jayaraga memang mudah sekali di lacak. Apalagi Pangeran itu kini sudah berada di istana kadipaten Panaraga sebagaimana seharusnya.
Namun dugaannya tentang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu ternyata keliru. Glagah Putih dan Rara Wulan mengira bahwa mereka akan mengalami kesulitan melacak perjalanan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Namun ternyata orang itupun meninggalkan jejak di sepanjang jalan yang dilewatinya, sehingga Glagah Putih dan Rara Wulanpun tidak mengalami kesulitan pula untuk melacaknya.
Tetapi di pasar itu dan di sekitarnya, orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu tidak meninggalkan tetenger apapun kecuali bahwa ia telah singgah di sebuah kedai serta menyatakan diri, bahwa ia adalah seorang Pangeran yang lelana tanpa kanti.
Namun ternyata penjual wedang jahe itupun tahu juga, bahwa disamping Pangeran Jayaraga yang menempuh perjalanan bersama keluarganya menjelang tugasnya di Panaraga, maka seorang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati telah berkelana seorang diri.
"Kepada orang-orang di sekitar pasar ini Pangeran Ranapati mengatakan, bahwa tugas yang diembannya sangat berbeda. Pangeran Jayaraga akan mengemban tugas sebagai penguasa di Panaraga berdasarkan atas tatanan pemerintahan, maka Pangeran Ranapati telah mengemban tugas untuk menyelamatkan tatanan kehidupan dalam hubungan serta kepentingan antar sesama. Tetapi terus terang, aku tidak tahu apa yang dimaksud oleh Pangeran Ranapati itu."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Glagah Putihpun berkata, "Bibi. Apalagi kami yang terhitung masih muda ini. Kami tentu tidak mengerti, apa yang dimaksud Pangeran Ranapati itu."
Penjual wedang jahe itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Aku juga tidak merenunginya terlalu lama. Bagi kami, pokoknya kedua orang Pangeran itu sedang mengemban tugas yang baik bagi seluruh rakyat."
"Ya. Itulah yang penting," sahut Rara Wulan, "bagaimana bibi dapat merasakan meningkatnya kesejahteraan hidup sehingga hasil penjualan wedang jahe dan wedang sere ini akan dapat berarti bagi keluarga bibi."
"Ya, ya ngger. Aku berharap bahwa hasilnya akan dapat menambah hasil sawah kami yang hanya selebar lidah cicak. Sementara disamping bertani suamiku telah mencoba mencari keberuntungan menjadi blandong yang bekerja di sela-sela pekerjaannya di sawah."
"Mudah-mudahan tugas yang diemban oleh kedua Pangeran itu memberikan arti bagi kesejahteraan hidup bibi."
Penjual wedang jahe itu menarik nafas panjang.
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian membayar harga minuman mereka. Keduanyapun minta diri untuk melanjutkan perjalanan.
Namun ketika mereka sampai di pintu gerbang pasar yang baru itu, mereka tertarik melihat sekelompok orang sedang berkerumun. Nampaknya telah terjadi ketegangan antara beberapa orang yang ada di kerumunan orang banyak itu.
"Ki Bekel benar," desis seseorang, "pintu gerbang itu dibangun di atas perintah Pangeran Jayaraga yang sekarang berkuasa di Panaraga. Bagaimana mungkin ia dapat dianggap bersalah, bahwa ia tidak melaporkan pembangunan pintu gerbang pasar ini."
Sebenarnyalah seorang yang rambutnya sudah ubanan berusaha untuk menjelaskan bahwa pintu gerbang itu dibangun atas kehendak Pangeran Jayaraga. Pangeran Jayaraga itu pulalah yang membiayainya. Bahkan Pangeran Jarayaga itu pulalah yang telah mengirimkan beberapa orang yang terampil untuk memimpin pembuatan pintu gerbang yang bagus itu.
"Kau dapat saja membuat dongeng yang menarik Ki Bekel. Tetapi seharusnya kau melaporkannya lebih dahulu kepada Ki Demang. Ki Demang kemudian melapor kepada Ki Panji Wirataruna di Ngadireja. Ki Panjilah yang selanjutnya akan membuat kesepakatan dengan Pangeran Jayaraga."
"Itu tidak mungkin. Tidak ada waktu. Utusan Pangeran Jayaraga itu waktunya sangat sempit. Mereka datang dan langsung merencanakan pembuatan pintu gerbang itu. Kemudian dibantu oleh beberapa orang yang dianggap terampil di padukuhan ini, merekapun membuat pintu gerbang itu."
"Kau telah melampaui kuasa Ki Panji. Kau memang penjilat Ki Bekel. Kau sekarang berusaha menjilat Pangeran Jayaraga yang berkuasa di Panaraga. Tetapi Panaraga masih jauh. Kuasanya tidak akan begitu terasa sampai di dini."
"Kau tidak dapat berbuat begitu Ki Lurah," berkata orang yang sebaya dengan Ki Bekel. Tubuhnyapun masih nampak kokoh seperti Ki Bekel pula meskipun ia juga sudah ubanan. "aku tidak merasa dilampaui oleh Ki Bekel, meskipun aku Demang di daerah ini. Kalau Pangeran Jayaraga waktu itu berhadapan langsung dengan Ki Bekel, kemudian turun perintahnya, apakah mungkin Ki Bekel minta waktu untuk menghubungi aku dan kemudian menghadap Ki Panji lebih dahulu. Sementara orang-orang yang dikirim oleh Pangeran Jayaraga sudah mulai bekerja."
"Katakan waktu itu kalian tidak sempat melakukannya, apakah sesudah itu kalian memberikan laporan kepada Ki Panji."
"Kami memang belum melaporkannya, Ki Lurah. Tetapi apakah itu perlu sekali. Justru gerbang pasar yang dianggap sebagai satu kenangan ini sudah berdiri."
Tetapi Lurah Prajurit itu berkata dengan nada semakin tinggi, "Kalian jangan terlalu banyak alasan. Dimata kami, kalian telah melakukan satu kesalahan yang besar. Kalian telah meremehkan Ki Panji di Ngadireja."
"Lalu, apa yang harus kami lakukan, Ki Lurah?" bertanya Ki Demang.
"Meskipun pembuatan pintu gerbang pasar ini tidak kalian laporkan, bukan berarti bahwa kalian tidak perlu membayar pajaknya. Selain pajak yang seharusnya kalian bayar, maka kalianpun harus membayar denda karena aku harus menyisihkan waktu datang kepada kalian."
"Kenapa Ki Panji tidak memungut pajak itu kepada Pangeran Jayaraga karena Pangeran Jayaragalah yang membangun pintu gerbang itu."
"Apakah kau sudah gila bahwa aku harus memungut pajak itu pada Pangeran Jayaraga" Kalianlah yang menikmati hasil kerja yang ditinggalkan oleh Pangeran Jayaraga. Jadi kalianlah yang harus membayar. Pangeran Jayaraga sudah mengeluarkan uang untuk membangun pintu gerbang itu. Jadi tidak patut kalau Pangeran Jayaraga pula yang harus mengeluarkan uang untuk membayar pajaknya. Karena itu, maka kalianlah yang harus membayar, Ki Bekel dan Ki Demang."
"Berapa pajak itu harus kami bayar?" bertanya Ki Demang.
"Sebesar beaya pembuatan pintu gerbang ini."
"He"," Ki Demang dan Ki Bekel terkejut, "darimana kami mendapat uang sebanyak itu."
"Jangan memperbodoh kami. Jika kalian harus membuat sendiri gerbang pasar itu, maka kalian juga harus mengeluarkan uang sebanyak itu. Masih harus ditambah dengan pajaknya. Sekarang kalian cukup mengeluarkan uang sebanyak itu tanpa harus ditambah-tambah lagi. Bukankah itu sudah merupakan satu penghematan yang cukup besar bagi kalian."
"Tidak, Ki Lurah," sahut Ki Demang, "kami tidak akan sanggup membayar."
"Jangan membohongi kami terus-menerus. Aku mendapat wewenang dari Ki Panji untuk mengurus masalah ini. Jika terpaksa kalian tidak mau membayar, maka tanah kekayaan kademangan dan padukuhan akan kami ambil."
-ooo0dw0ooo- Jilid 394 "JANGAN. Lalu darimana kami mendapatkan dana bagi kepentingan kademangan dan padukuhan kami?"
"Itu adalah urusan kalian. Jika kalian tidak ingin terjadi, maka kalian harus menetapi kewajiban kalian tentang pajak yang harus kalian bayar."
"Ki Lurah," berkata Ki Demang, "kami tidak dapat memutuskan sekarang. Kami akan berbicara dahulu dengan para bebahu kademangan dan padukuhan ini."
"Apa yang akan kalian bicarakan" Cara untuk mendapatkan uang yang akan kalian pergunakan membayar pajak atau cara untuk apa?"
"Masalah pajak itu sendiri."
"Apa yang harus dibicarakan tentang pajak itu. Kalian harus membayarnya. Tidak ada jawaban lain. Itupun harus kalian lakukan segera. Hari ini atau esok. Kami tidak mempunyai banyak kesempatan untuk mengurusi pajak kalian. Pekerjaan kami terlalu banyak. Apakah kalian kira tugas kami hanya mengurusi kalian?"
"Bukan begitu, Ki Lurah. Tetapi kami memerlukan waktu."
"Ki Demang dan Ki Bekel. Aku tidak mau tahu persoalan diantara kalian. Esok aku akan datang lagi. Jika esok kalian belum membayar pajak itu, maka orang-orangku ini akan menangkap kalian dan membawa kalian menghadap Ki Panji di Ngadireja."
"Ki Lurah. Kami juga tidak tahu, berapa banyak beaya yang dikeluarkan sebenarnya oleh Pangeran Jayaraga. Pangeran Jayaraga memang meninggalkan sejumlah uang. Tetapi selain yang kami keluarkan untuk membeli bahan-bahan bangunan, batu, batu bata, kayu dan yang lain-lain, orang-orang yang dikirim oleh Pangeran Jayaraga itu juga mengeluarkan uang bagi keperluan itu."
"Besok aku akan menaksir berapa beaya pintu gerbang itu. Dengan demikian, maka kami akan menentukan besar beaya yang harus kalian bayar."
Ki Demang dan Ki Bekel nampak menjadi bingung. Beberapa orang yang mengerumuninyapun tidak tahu, apa yang harus mereka lakukan. Yang memberikan perintah itu seorang Lurah Prajurit dan datang bersama beberapa orang prajuritnya.
Tetapi menurut pendapat orang-orang yang berkerumun itu, perintah Lurah Prajurit itu benar-benar tidak masuk akal. Namun Lurah Prajurit itu membawa wewenang dan kuasa dari Ki Panji di Ngadireja.
Tetapi tiba-tiba orang orang yang berkerumun itu terkejut ketika tiba-tiba saja dua orang, laki-laki dan perempuan, telah menyibak orang-orang yang berkerumun itu. Demikian ia berdiri di depan Ki Lurah laki-laki itupun berkata, "Aku setuju Ki Bekel dan Ki Demang menghadap Ki Panji di Ngadireja. Aku bersedia menyertai mereka."
"Kau siapa, he?"
"Aku penghuni padukuhan ini. Rumahku di belakang pasar ini. Bahkan tanpa Ki Bekel dan Ki Demang, kami berdua akan ikut pergi ke Ngadireja untuk menghadap Ki Panji. Persoalan tentang pajak atas bangunan yang dibuat oleh Pangeran Jayaraga ini memang memerlukan penjelasan."
Wajah Ki Lurah menjadi tegang. Dengan nada tinggi iapun berkata, "Kau kira kau ini siapa, he " Apa hakmu menghadap Ki Panji di Ngadireja."
"Setiap orang dapat menghadap Ki Panji. Kami adalah rakyatnya. Karena itu, kami berhak menyampaikan gejolak perasaan kami kepada Ki Panji karena Ki Panji adalah pemimpin kami. Orang tua kami yang wajib mengasuh, melindungi dan merawat kami."
"Bicaramu seperti orang gila. Untuk menghadap Ki Panji ada tatanannya. Ada aturannya. Tidak setiap orang begitu saja dapat menghadap."
"Ki Lurah. Kami ingin memberikan penjelasan tentang pintu gerbang pasar ini sejelas-jelasnya, agar Ki Panji mengerti, bahwa tidak seharusnya Ki Panji minta Ki Bekel dan Ki Demang membayar pajak."
"Cukup," bentak Ki Lurah, "aku dapat membungkam mulutmu."
"Mungkin. Tetapi mulut tetanggaku. Mulut para bebahu padukuhan ini dan bebahu kademangan. Mulut orang-orang pasar ini " Apakah Ki Lurah akan membungkam semuanya. Kalau membungkam itu Ki Lurah artikan, membungkam untuk selama-lamanya, apakah Ki Lurah akan melakukan terhadap kami semuanya ?"
Ki Lurah itu menggeretakkan giginya. Sementara Ki Bekel dan Ki Demang serta orang-orang padukuhan itu yang mengerumuninya menjadi bingung. Mereka belum pernah mengenal kedua orang laki-laki dan perempuan itu. Namun kedua orang itu mengaku, bahwa mereka tinggal di belakang pasar ini.
Panggraita Ki Bekel dan Ki Demang yang tajam mampu meraba bahwa kedua orang itu tentu bukan orang yang tinggal di belakang pasar. Tetapi kedua orang itu tidak dapat membiarkan Ki Lurah itu berbuat semena-mena. Tetapi perbuatan mereka itu akan dapat mengakibatkan malapetaka yang gawat bagi mereka berdua. Sementara itu Ki Bekel dan Ki Demang mengetahui, bahwa para pemungut pajak adalah sekelompok orang yang tidak berjantung. Mereka dapat berbuat apa saja untuk memaksa orang-orang yang tinggal di daerah kuasanya untuk membayar pajak.
Dibekali dengan sekelompok prajurit, maka pemungut pajak itu benar-benar mampu berbuat sebuas anak iblis yang bangkit dari neraka.
"Sudahlah," berkata Ki Demang, "biarlah kami selesaikan masalah pajak ini. Sebaiknya kalian berdua tidak usah mencoba untuk menghadap Ki Panji di Ngadireja."
"Harus ada yang menyampaikannya Ki Demang," sahut Glagah Putih, "jika tidak ada yang berani menyampaikan kepada Ki Panji, maka persoalan seperti ini akan berlarut-larut. Bukankah tidak wajar sama sekali, bahwa Ki Bekel dan Ki Demang harus membayar pajak atas pembuatan pintu gerbang pasar yang tidak pernah Ki Bekel dan Ki Demang buat. Kalau Ki Panji ingin memungut dengan paksa pajak atas pembuatan pintu gerbang pasar ini, seharusnya Ki Panji memaksa Pangeran Jayaraga, penguasa di Panaraga untuk membayarnya."
Kemarahan Ki Lurah hampir tidak terkendali. Tetapi seorang prajuritnyapun kemudian berkata, "Ki Lurah. Baiklah kita mengalah. Marilah kedua orang ini kita bawa menghadap Ki Panji di Ngadireja. Biarlah mereka mengatakan apa yang ingin mereka katakan kepada Ki Panji. Tetapi mereka harus menanggung segala akibat dari perbuatan mereka itu. Jika Ki Panji marah dan kemudian berbuat di luar dugaan, sama sekali bukan tanggung-jawab kami."
Ki Lurah itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil menjawab, "Baiklah. Tetapi akibat yang dapat timbul karena kemarahan Ki panji, biarlah mereka tanggung sendiri."
"Tidak, Ki Lurah," sahut Ki Demang dengan serta-merta, "mereka tidak akan pergi menghadap Ki Panji. Biarlah aku dan Ki Bekel menyelesaikan pembayaran pajak ini dengan baik."
"Nah, terserah kepada kalian, jalan yang manakah yang akan kalian tempuh."
Namun Glagah Putih nampaknya tetap pada pendiriannya. Katanya, "Sudahlah Ki Bekel dan Ki Demang. Biarlah kami berdua menghadap. Kami tahu, bahwa Ki Bekel dan Ki Demang ingin menghindarkan kami dari kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Tetapi akibat apapun yang dapat timbul, biarlah kami tanggung tanpa menyentuh Ki Bekel dan Ki Demang."
Ki Bekel dan Ki Demang benar-benar menjadi heran. Tetapi mereka tidak dpat mencegah lagi ketika Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian ikut bersama Ki Lurah pergi ke Ngadireja.
Ki Lurah berjalan di paling depan. Kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara itu sekelompok prajurit berjalan di belakang mereka. Demikian mereka pergi, maka Ki Bekel dan Ki Demangpun menjadi gelisah. Dengan nada berat Ki Demangpun bertanya, "Apakah mereka itu orang-orangmu Ki Bekel ?"
"Bukan Ki Demang. Aku tidak mengenal mereka. Namun agaknya mereka tidak dapat menerima kesewenang-wenangan ini. Sehingga mereka telah melakukan satu perbuatan yang aneh."
"Kau percaya bahwa Ki Lurah akan membawa mereka kepada Ki Panji di Ngadireja ?"
"Tidak. Aku justru takut, bahwa laki-laki dan perempuan itu akan mengalami bencana di jalan sebelum mereka sampai di Ngadireja."
Ki Bekel dan Ki Demangpun menjadi tegang. Sementara itu beberapa orang yang berkerumun itu tidak dapat memberikan pendapat mereka.
Namun akhirnya Ki Demangpun berkata, "Kita ikuti mereka."
"Lalu apa yang dapat kita lakukan " Jika Ki Lurah dan para prajuritnya memperlakukan kedua orang laki-laki dan perempuan itu dengan buruk, bukankah kita tidak dapat berbuat apa-apa."
"Kita akan menyatakan kesediaan kita untuk membayar. Tetapi jika keduanya benar-benar dibawa menghadap ke Ngadireja, kita tidak akan mengganggu mereka. Kita justru akan menunggu hasil pembicaraan mereka dengan Ki Panji."
"Kalau Ki Panji yang memperlakukan mereka dengan buruk ?"
"Kita harus mengambil alih persoalannya. Kita tidak dapat membiarkan kedua orang itu mengorbankan diri mereka bagi kita."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Akhirnya keduanya-pun menyusul Glagah Putih dan Rara Wulan. Kepada beberapa orang yang mengerumuninya Ki Demangpun berkata, "Jika kami tidak pulang, kalian tahu, kemana kami pergi dan kenapa kami telah hilang."
Tidak ada orang yang dapat mencegah mereka. Karena itu, maka orang-orang yang berkerumun itu hanya dapat memandang dengan jantung yang berde-baran, Ki Bekel dan Ki Demang yang berjalan dengan cepat menyusul Ki Lurah yang katanya, akan membawa kedua orang laki-laki dan perempuan itu menghadap Ki Panji di Ngadireja untuk membicarakan pajak yang harus dibayar oleh Ki Bekel dan Ki Demang karena pemugaran pintu gerbang pasar itu.
Dalam pada itu, Ki Lurahpun berjalan dengan cepat melintasi bulak dan padukuhan. Namun ketika mereka berada di sebuah bulak panjang, maka Ki Lurah itupun telah berbelok di sebuah simpang tiga dan menuruni tebing yang landai. Ternyata merekapun sampai di tepi-an sungai yang menikung. Di tikungan terdapat sebuah kedung yang nampaknya cukup dalam, dengan airnya yang berputar.
"Apakah ini jalan ke Ngadireja ?" bertanya Glagah Putih.
Ki Lurahpun kemudian berdiri sambil bertolak pinggang. Sambil tersenyum iapun menjawab, "Kita sekarang berada di Kedung Tangkis. Kedung ini memang bukan kedung yang besar. Tetapi ke dung ini adalah kedung yang keramat. Beberapa pohon raksasa yang tumbuh di pinggir kedung ini dihuni oleh dua jenis mahluk. Sepasang Jin di batang dan dahannya. Sedangkan di bawah akar-akarnya itu merupakan sarang beberapa ekor buaya yang buas."
"Untuk apa kita singgah ke mari ?" bertanya Glagah Putih.
"Segala penyesalan sudah terlambat. Aku tahu, bahwa kau tidak tinggal di belakang pasar itu. Dugaan kami itu kalian perkuat dengan sikap kalian, bahwa kalian tidak mengenal Kedung Tangkis yang terkenal ini. Kau tentu orang asing yang berlagak sebagai pahlawan."
Glagah Putihpun menjawab, "Aku memang tidak tinggal di belakang pasar itu. Tetapi aku sama sekali tidak ingin menjadi pahlawan. Aku hanya merasakan ketidak-adilan. Karena itu, maka aku berniat menjelaskan persoalannya kepada Ki Panji di Ngadireja."
"Tidak ada gunanya, karena kau tidak akan pernah sampai di Ngadireja."
"Kenapa ?" "Kau akan mandi di kedung itu. Jika kemudian kau akan disambar buaya itu adalah nasibmu yang buruk. Tetapi tentu saja bahwa perempuan ini tidak akan melakukannya. Mungkin ia akan merasa malu untuk mandi di kedung ini."
Namun bahwa Rara Wulan menyahut, sangat mengejutkan mereka, "Aku tidak malu. Jika kakang akan mandi, aku juga akan ikut mandi di kedung itu."
Wajah Ki Lurah menjadi tegang. Katanya, "Di kedung itu ada buayanya."
"Kalau benar begitu, kakang tentu tidak akan mandi di kedung itu pula."
"Cukup. Kami tidak mempunyai waktu banyak," Ki Lurah itupun kemudian berpaling kepada prajurit-prajuritnya, "Lemparkan laki-laki itu ke dalam kedung. Tetapi bawa perempuan itu ke Ngadireja. Aku memerlukannya."
Para prajuritnya berdiri termangu-mangu. Namun sementara itu Ki Demangpun berkata, "Jangan Ki Lurah. Jangan sakiti orang itu. Jangan pula dilemparkan ke dalam kedung. Kami akan membayar pajak yang harus kami bayar. Seberapa banyaknya, tentu tidak akan semahal harga nyawa orang."
"Kalian ternyata adalah orang-orang gila pula. Bahwa Kalian datang kemari, merupakan bencana yang sangat pahit bagi kalian. Aku tidak ingin ada saksi yang menyaksikan, bahwa para prajurit telah melemparkan laki-laki gila itu ke dalam kedung. Karena itu, jangan menyesal, bahwa setelah itu aku akan menghapus semua kesaksian. Termasuk kesaksian kalian berdua."
"Tidak akan ada kesaksian mengenai pembunuhan itu. Karena Ki Lurah tidak akan melemparkan laki-laki itu ke dalam kedung."
"Ia adalah orang yang sangat berbahaya bagiku. Orang itu telah berbicara tentang ketikadilan karena aku menentukan pajak yang dianggapnya tidak masuk akal."
"Bukankah Ki Panji di Ngadireja yang akan memutuskan."
"Ia tidak akan pernah bertemu dengan Ki Panji Ngadireja."
"Maksud Ki Lurah ?"
"Jangan terlalu banyak bertanya."
"Apakah yang menentukan pajak itu bukan Ki Panji di Ngadireja " Tetapi Ki Lurah sendiri ?"
Mata Ki Lurah itu menjadi merah. Namun kemudian iapun tertawa sambil berkata, "Ya. Akulah yang menentukan besar kecilnya pajak. Aku yang menentukan siapakah yang terkena pajak. Ki Panji tidak tahu apa-apa tentang pajak. Beberapapun aku serahkan uang pajak kepadanya, maka Ki Panji di Ngadireja hanya mengangguk-angguk saja."
"Dan ternyata uang pajak yang kau pungut tidak seluruhnya kau serahkan," sahut Glagah Putih, "uang pajak yang kau serahkan kepada Ki Panji di Ngadireja jauh lebih kecil dari uang pajak yang kau terima, sehingga sebagian terbesar dari pajak yang kau peras itu masuk ke dalam kantongmu sendiri."
"Ya, Bukankah itu sangat menyenangkan " Karena itu, aku menjadi kaya. Prajurit-prajurit yang setia kepadakupun menjadi kaya pula. Mereka mendapat bagian yang cukup dari pajak yang aku peras dari rakyat dengan meminjam kuasa Ki Panji di Ngadireja."
"Kau adalah iblis yang paling laknat," geram Glagah Putih, "sudah sampai saatnya tingkah lakumu itu dihentikan. Marilah kita menghadap Ki Panji di Ngadireja. Aku akan melaporkan kepada Ki Panji, apa yang telah kau lakukan itu."
Ki Lurah tertawa. Katanya, "Kau kira Ki Panji akan marah kepadaku " Ki Panji tentu hanya akan memperingatkan aku dengan kata-kata lunak, karena Ki Panji memang tidak pernah marah. Ki Panji adalah seorang pemimpin yang lemah, yang tidak dapat berbuat apa-apa tanpa dukungan kami para prajurit. Karena itu, maka Ki Panji tidak akan dapat berbuat apa-apa, apapun yang kami lakukan. Karena itu, tidak ada gunanya seandainya kalian dapat menangkapku dan membawaku untuk menghadap Ki Panji."
"Apapun yang akan dilakukan oleh Ki Panji, aku ingin membawamu menghadap."
Ki Lurah itu tertawa berkepanjangan. Kepada para prajuritnya iapun berkata, "Lemparkan ketiga orang gila itu kedalam kedung. Laki-laki itu, Ki Bekel dan Ki Demang. Seperti kataku tadi, bawa perempuan ini pulang. Aku memerlukannya."
Ki Bekel dan Ki Demang adalah orang yang diunggulkan di kademangan mereka. Karena itu, maka merekapun tidak begitu saja menyerahkan diri untuk dilemparkan menjadi makanan buaya di kedung yang dalam itu. Seandainya mereka harus dicabik-cabik oleh buaya-buaya yang bersembunyi dibawah akar-akar pohon raksasa yang tumbuh di pinggir kedung itu, biarlah buaya itu mencabik-cabik mayatnya saja.
"Ki Bekel," berkata Ki Demang, "ternyata kita benar-benar tidak akan pulang."
"Rakyat kita tahu, apa yang terjadi atas diri kita meskipun mereka tidak menyaksikan sendiri."
"Jangan merajuk," berkata Ki Lurah lantang, "kalian sudah terlanjur masuk ke sarang serigala lapar. Tidak ada jalan kembali. Kematianlah yang akan mencengkam kalian sesaat lagi."
Ki Bekel dan Ki Demang itupun segera meloncat ke tepian. Merekapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia senang melihat sikap Ki Bekel dan Ki Demang yang bertanggung jawab atas tugas mereka. Bahkan mereka bersedia mempertaruhkan nyawa mereka untuk berusaha membela rakyatnya.
Tetapi kemampuan seseorang memang terbatas. Demikian pula kemampuan Ki Bekel dan Ki Demang. Mereka berdua merasa bahwa hari-hari terakhir mereka telah tiba. Mereka tidak akan mampu melawan sekian banyak prajurit yang dipimpin oleh Ki Lurah yang bengis itu.
Tetapi Ki Bekel dan Ki Demang tidak memperhitungkan kemampuan Glagah Putih dan perempuan yang berjalan bersamanya itu.
Sejenak kemudian, maka para prajurit itupun telah menghambur menyerang Ki Bekel dan Ki Demang. Yang lain menyerang glagah Putih serta dua orang diantara mereka berusaha menangkap Rara Wulan.
Tetapi yang terjadi sangat mengejutkan mereka. Dua orang prajurit yang berusaha menangkap Rara Wulan itu telah terlempar beberapa langkah surut. Hampir saja mereka terguling masuk ke dalam air. Sementara itu, para prajurit yang berniat menangkap dan melemparkan Glagah Putih ke dalam kedung, telah kehilangan kesempatan mereka. Merekapun berjatuhan sambil mengaduh kesakitan. Ketika Glagah Putih meloncat sambil memutar tubuhnya dengan kaki terayun mendatar, maka kakinya itu telah menyambar beberapa orang prajurit sekaligus, sehingga merekapun terpelanting jatuh.
Sementara itu, Rara Wulan telah menyingsingkan kain panjangnya serta melenting bergabung dengan Ki Bekel dan Ki Demang yang segera mengalami kesulitan.
Sejenak kemudian pertempuranpun menjadi sengit. Glagah Putih dan Rara Wulan berloncatan menyambar-nyambar. Tangan dan kaki mereka bergerak dengan cepat mengenai tubuh para prajurit sehingga merekapun berjatuhan.
Ki Lurah yang menyaksikan pertempuran yang berat sebelah itu mengumpat sejadi-jadinya. Kemarahannya tidak mampu dibendungnya lagi. Karena itu, maka iapun segera terjun memasuki arena pertempuran.
Yang menghadapinya bukannya Glagah Putih, tetapi justru Rara Wulan.
"Iblis betina," geram Ki Lurah, "aku akan mencekikmu dan melemparkanmu ke kedung itu. Aku ingin melinat tubuhmu dikoyak-koyak oleh buaya yang tinggal di dalamnya."
Tetapi Rara Wulan justru bertanya, "Apakah kau tidak jadi membawa aku ke Ngadireja " Bukankah kau mengatakan, bahwa kau memerlukan aku."
"Persetan kau perempuan binal," teriak Ki Lurah.
Rara Wulan tertawa. Sementara itu Ki Lurah yang marahpun segera meloncat menyerangnya.
Tetapi Rara Wulan telah bersiap menghadapinya. Sehingga dengan cepat pula Rara Wulan itu bergeser menghindar.
Bahwa serangannya sama sekali tidak menyentuh lawannya, maka Ki lurahpun menjadi semakin marah. Sebagai seorang Lurah Prajurit ia merasa, betapa para prajuritnya meyakini, bahwa Ki Lurah adalah seorang yang berilmu tinggi. Karena itu, berhadapan dengan seorang perempuan, Ki Lurah tidak boleh mengecewakan keyakinan para prajuritnya. Ia harus dapat menangkap perempuan itu dan dengan tangannya sendiri melemparkannya ke dalam kedung yang dihuni oleh beberapa ekor buaya itu.
Jika semula Ki Lurah itu memang tertarik melihat perempuan itu, namun kemudian wajah perempuan itu baginya telah berubah menjadi wajah iblis yang menyeringai dengan taring-taringnya yang tajam serta suara tertawanya yang melengking tinggi.
Ki Lurahpun kemudian telah meningkatkan ilmunya. Serangan-serangannya datang bagaikan banjir bandang. Tetapi bagi Rara Wulan, yang dilakukan oleh Ki Lurah itu adalah sia-sia. Justru beberapa kali serangan Rara Wulanlah yang telah menembus pertahanan Ki Lurah. Betapapun Ki Lurah itu mengerahkan kemampuannya serta tenaga dalamnya, namun tataran kemampuannya masih belum mampu menjangkau tataran kemampuan Rara Wulan.
Karena itulah, maka justru berkali-kali Ki Lurah itu tergetar surut. Bahkan ketika kaki Kara Wulan itu menyambar lambung Ki Lurah, maka Ki Lurah itu telah terlempar beberapa langkah. Hampir saja Ki Lurah itu terpelanting masuk ke dalam kedung yang dihuni oleh beberapa ekor buaya yang buas itu.
Dengan tergesa-gesa Ki Lurah itupun bangkit berdiri. Dengan tergesa-gesa pula Ki Lurah itupun bergeser menjauhi air kedung yang nampak berputar perlahan-lahan.
Sementara itu, Glagah Putihlah yang kemudian bertempur bersama Ki Bekel dan Ki Demang. Ki Bekel dan Ki Demang sendiri telah mengalami kesulitan menghadapi prajurit-prajurit yang menyerang mereka. Tetapi setiap kali prajurit-prajurit itu telah terlempar jauh di pasir tepian. Glagah Putihlah yang berloncatan menyambar-nyambar seperti sikatan memburu belalang. Dengan demikian, maka para prajurit itu tidak sempat berbuat apa-apa terhadap Ki Bekel dan Ki Demang, yang serbu sedikit mampu pula melindungi dirinya.
Dengan demikian, maka Ki Lurah dan para prajuritnya itupun akhirnya sama sekali tidak berdaya. Jangankan melemparkan orang-orang yang dianggapnya menghalanginya itu ke kedung, sedangkan untuk melindungi diri mereka sendiri, mereka sudah tidak mampu lagi. Ki Lurah yang beberapa kali jatuh terbanting itu memang masih berusaha bangun. Untunglah bahwa pasir yang lunak menebar ditepian, sehingga pada saat ia terbanting jatuh, tubuhnya tidak menjadi luka oleh goresan-goresan batu padas. Meskipun demikian, maka serangan Rara Wulan telah membuat wajahnya menjadi lebam. Sebelah matanya menjadi merah kebiru-biruan. Dadanya menjadi sangat nyeri, seakan-Oakan tulang-tulang iganya berpatahan. Lambungnyapun terasa mual dan nafasnya menjadi sesak.
Ketika Ki Lurah itu tertatih-tatih berdiri, maka Rara Wulan sudah siap untuk meloncat sambil menjulurkan kakinya menyamping. Maka Ki Lurah itupun akan terlempar kedalam kedung.
Tetapi Rara Wulan tidak melakukannya. Ia justru melangkah perlahan-lahan mendekati Ki Lurah sambil berkata, "Ki Lurah. Tubuh dan pakaian Ki Lurah nampak kotor sekali oleh pasir di tepian. Tubuh Ki Lurahpun nampak terlalu letih. Karena itu, maka sebaiknya Ki Lurah mandi. Aku ingin mempersilahkan Ki Lurah mandi di kedung itu. Ki Lurah tidak perlu malu, meskipun aku berdiri disini, karena Ki Lurah dapat mandi dengan tetap mengenakan pakaian Ki Lurah."
Wajah Lurah prajurit itu menjadi pucat. Apapun yang dilakukannya, tidak akan berarti apa-apa. Perempuan itu dapat saja melemparkannya ke dalam kedung itu.
Namun ketika selangkah Rara Wulan maju, maka Ki Lurah itupun segera berlutut sambil berkata, "Jangan. Jangan lemparkan aku ke dalam kedung itu."
"Kita akan menghadap Ki Panji di Ngadireja, Ki Lurah. Karena itu, sebiknya Ki Lurah mandi dahulu. Kemudian satu-satu prajuritmu juga akan terjun ke dalam kedung untuk mandi. Jika kalian nampak bersih dan segar, Ki Panji di Ngadireja tentu akan merasa senang menerima kalian."
"Jangan. Aku minta ampun."
Rara Wulanpun kemudian berpaling kepada Glagah Putih yang berdiri disebelah Ki Bekel dan Ki Demang. Di tepian itu beberapa orang prajurit, terbaring pingsan. Satu dua masih tetap sadar akan diri mereka. Tetapi tubuh mereka terasa sangat lemah, sehingga mereka tidak dapat segera bangkit.
"Sebenarnya aku ingin tahu, apakah di kedung Tangkis ini memang ada buayanya," berkata Glagah Putih, "karena itu, aku ingin melemparkan seorang di-antara kalian ke dalamnya."
"Kau dapat memilih Ki Sanak," berkata Ki Lurah, "siapakah di antara para prajurit yang pingsan itu."
Tetapi Glagah Putih menjawab, "Itu tidak menarik. Jika kita lemparkan seorang yang sedang pingsan, maka ia tidak akan meronta jika seekor buaya menyeretnya ke bawah akar pohon-pohon raksasa yang tumbuh di pinggir kedung itu atau bahkan seandainya ada dua ekor atau lebih yang memperebutkannya. Aku ingin seorang yang tidak pingsan. Seorang yang masih sadar penuh dan mampu meronta-ronta ketika mulut-mulut buaya itu menyentuhnya. Seorang yang pingsan atau sudah tidak berdaya sama sekali tidak akan dapat memberikan satu pertunjukkan yang menarik."
"Maksud Ki Sanak?"
"Yang tidak pingsan dan yang masih mempunyai kesadaran utuh, serta mampu berusaha menyelamatkan diri meskipun tidak akan berhasil adalah Ki Lurah."
"Jangan. Jangan Ki Sanak," Ki Lurah itupun kemudian membungkuk sampai dahinya menyentuh pasir sambil merengek. "Ampun, Ki Sanak. Aku mohon ampun. Jangan lemparkan aku ke dalam kedung."
"Baiklah. Jika demikian, bersiaplah. Siapkan prajurit-prajuritmu, kita akan menghadap Ki Panji di Ngadireja."
Ketegangan telah mencengkam jantung Ki Lurah. Wajahnya nampak bahwa ia mengalami ketakutan yang sangat. Agaknya tidak seperti yang dikatakannya, bahwa Ki Panji adalah seorang yang lembut, yang tidak pernah marah dan segala sesuatunya hanya menurut saja kepada Ki Lurah, karena ia menyandarkan kuasanya kepada kekuatan para prajurit.
Tetapi agaknya Ki Lurah merasa lebih takut lagi jika ia dilemparkan ke dalam kedung dan kemudian jatuh ke mulut seekor buaya yang akan menyeretnya ke bawah pepohonan raksasa di antara akar-akarnya yang kusut. Atau bahkan akan menjadi rebutan dua atau tiga ekor buaya sehingga tubuhnya akan terkoyak-koyak.
Dalam pada itu, Glagah Putihpun kemudian membentaknya, "Cepat. Bersiaplah. Kita akan menghadap Ki Panji di Ngadireja."
"Baik, Baik, Ki Sanak," berkata Ki Lurah.
Ki Lurah itupun kemudian telah memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk bersiap-siap. Yang sudah dapat bangkit segera berusaha membangunkan kawan-kawannya yang masih pingsan. Sementara Glagah Putihpun berkata, "Sabar sajalah Ki Bekel dan Ki Demang. Kita akan membawa mereka ke Ngadireja."
"Terima kasih atas pertolongan Ki Sanak. Kami tidak menyangka bahwa Ki Sanak ternyata mampu mengatasi Ki Lurah dan sekelompok prajurit-prajuritnya yang garang itu. Bahkan dengan demikian, Ki Sanak berdua telah menyelamatkan nyawa kami pula. Hampir saja kami menjadi makanan buaya-buaya di Kedung Tangkis itu jika saja Ki Sanak tidak tampil."
"Tetapi kami pula yang memaksa Ki Sanak datang ke tempat ini. Jika kami tidak berusaha untuk membawa Ki Lurah ke Ngadireja, maka aku kira Ki Bekel dan Ki Demang tidak akan datang ke tempat ini."
Ki Bekel dan Ki Demang mengangguk-angguk kecil. Sementara Glagah Putihpun berkata selanjutnya, "Ki Bekel dan Ki Demang. Marilah. Kita akan pergi ke Ngadireja bertemu dengan Ki Panji. Apakah Ki Bekel dan Ki Demang pernah bertemu dan berbicara dengan Ki Panji?"
"Belum Ki Sanak."
"Jadi Ki Bekel dan Ki Demang masih belum pernah mengenal Ki Panji ?"
Ki Demang menggeleng. Katanya, "Kami memang belum pernah mengenal Ki Panji di Ngadireja. Selama ini yang kami kenal adalah Ki Lurah yang bertindak atas nama Ki Panji."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Lurahpun tengah mempersiapkan orang-orangnya. Ia mencoba membangunkan mereka yang pingsan dengan memercikkan air ke wajah mereka.
Satu-satu para prajurit itupun menjadi sadar. Merekapun kemudian duduk sambil memegangi bagian tubuhnya yang masih terasa kesakitan. Sementara itu, Ki Lurahpun telah memerintahkan mereka bersiap untuk pergi ke Ngadireja menghadap Ki Panji.
Beberapa saat kemudian, meskipun sambil menyeringai kesakitan, maka para prajurit itupun telah bersiap untuk meneruskan perjalanan mereka ke Ngadireja. Mereka yang menolak untuk meneruskan perjalanan, akan dilemparkan ke dalam kedung yang dihuni oleh beberapa ekor buaya itu.
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Marilah. Jangan menunda-nunda lagi. Kami sudah merasa tidak sabar lagi," berkata Glagah Putih.
Ki Lurahpun kemudian memerintahkan prajuritnya untuk bangkit dan berjalan meninggalkan tepian. Mereka naik ke tebing yang landai. Beberapa orang berjalan tertatih-tatih sambil menyeringai kesakitan. Bahkan ada di antara mereka yang setelah berjalan beberapa langkah, masih harus berpegangan dan dipapah oleh kawan-kawannya yang keadaannya lebih baik.
Dengan demikian, maka perjalanan mereka menjadi sangat lamban.
Tetapi Glagah Putih tidak dapat memaksa mereka berjalan lebih cepat. Jika ada diantara mereka yang bergayut kepada kawannya, maka iring-iringan itupun harus berhenti beberapa saat lamanya.
Ketika mereka naik ke jalan, maka orang-orang yang berpapasanpun memperhatikan mereka sambil bertanya-tanya didalam hati. Apa yang telah terjadi dengan para prajurit itu, sehingga nampaknya mereka seperti sepasukan yang baru saja dikalahkan di medan perang.
Namun Ngadireja memang sudah tidak terlalu jauh. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, merekapun telah sampai di Ngadireja, sebuah kademangan yang terhitung besar.
"Untuk sementara Ki Panji tinggal di banjar," berkata Ki Lurah.
"Jadi kita akan pergi ke banjar sekarang," sahut Glagah Putih.
Ki Lurah terdiam. Ia tidak dapat berbuat apa-apa. Satu-satunya harapan baginya adalah sikap Ki Panji yang mudah tersinggung. Meskipun kemudian Ki Panji itu dapat menghukumnya dengan hukuman yang sangat berat, tetapi Ki Panji itu tidak mudah menerima sikap orang di luar kesatuannya yang mencampuri persoalannya. Bahkan mungkin Ki Panji akan menolak mendengarkan laporan orang-orang yang membawanya menghadap bersama Ki Bekel dan Ki Demang. Meskipun setelah mereka pergi, ia akan mengalami perlakukan yang sangat menyakitkan.
Tetapi sikap Ki Panji itu memang tidak dapat ditebak sebelumnya. Jika Ki Panji itu mau mendengarkan laporan kedua orang yang menangkapnya, maka keadaannya akan dapat menjadi sangat gawat.
Demikian mereka memasuki pintu gerbang banjar, maka Ki Lurah itupun berkata kepada dua orang prajurit yang bertugas di banjar itu. "Silahkan mereka duduk di pringgitan. Aku akan menghadap Ki Panji."
Kedua orang prajurit itu memperhatikan kawan-kawannya dengan kerut di dahi. Tatapi keduanya tidak berbuat apa-apa karena Ki Lurah tidak memberikan perintah apa-apa. Sedangkan Ki Lurah sendiri merasa tidak perlu memberikan perintah apa-apa kepada kedua orang prajurit yang bertugas di banjar itu, karena mereka memang tidak akan dapat berbuat apa-apa. Kedua orang yang datang menggiringnya bersama para prajurit itu adalah dua orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
"Aku tidak tahu, apakah ilmu mereka setingkat dengan ilmu Ki Panji."
Yang kemudian dilakukan oleh kedua orang prajurit itu kemudian adalah mempersilahkan kedua orang laki-laki dan perempuan serta Ki Bekel dan Ki Demang itu duduk di pringgitan.
Sementara itu, Ki Lurah telah memerintahkan prajurit-prajuritnya yang kesakitan duduk di serambi gandok, sementara Ki Lurah itupun segera masuk ke ruang dalam untuk menghadap Ki Panji yang sedang berada di longkangan menunggui orangnya yang sedang memandikan seekor ayam jantan. Ayam aduan kebanggaan Ki Panji yang selalu menang dalam arena aduan ayam.
"Ki Panji," desis Ki Lurah yang kemudian duduk di belakangnya.
Ki Panji itu berpaling. Namun iapun menjadi terkejut ketika ia melihat wajah Ki Lurah yang lebam serta sebelah matanya yang masih nampak merah ke biru-biruan.
"Kau kenapa ?" bertanya Ki Panji.
"Telah terjadi perlawanan terhadap para prajurit."
"Perlawanan " He " Kau bilang perlawanan ?"
"Ya, Ki Panji."
"Siapa yang berani melawan para prajurit " Apakah kau tangkap orang itu dan kau bawa kemari ?"
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Panji yang disebutnya tidak pernah marah dan yang hanya akan menasehatinya dengan lembut itu membentak. "Apakah kau tuli " Apakah orang itu kau tangkap dan kau bawa kemari ?"
"Bukan kami yang membawanya kemari, Ki Panji. Tetapi orang itu sendiri yang datang kemari, ingin bertemu dan berbicara dengan Ki Panji."
"Apa " Orang itu datang kemari setelah ia melawan prajuritku " Apakah ia orang gila ?"
"Apa yang sebenarnya terjadi ?" geram Ki Panji, "kenapa orang itu tidak kau tangkap dan kau bawa kemari, sehingga orang itu sendiri yang berniat menemui aku disini. Seharusnya apapun keperluannya, jika ia sudah memberikan perlawanan kepada para prajurit, maka ia harus ditangkap."
"Kami sudah berusaha, Ki Panji. Tetapi kami tidak berhasil menangkapnya."
"Apa yang kau katakan. Kau dan prajuritmu sudah mencoba menangkapnya tetapi tidak berhasil ?"
"Ya, Ki Panji."
"Berapa orang semuanya yang telah melawan para prajurit itu."
"Dua orang, laki-laki dan perempuan, serta Ki Bekel dan Ki Demang yang kami datang untuk dipungut pajaknya."
"Empat orang. Yang seorang perempuan " "
"Ya Ki Panji." "Anak iblis," tiba-tiba saja kaki Ki Panji telah menekan bahu Ki Lurah sehingga Ki Lurah itu jatuh terlentang. Sementara Ki Panji itu dengan cepat melangkah ke pendapa.
Demikian Ki Panji itu keluar dari pintu pringgitan, maka iapun melihat empat orang duduk di pringgitan. Sementara beberapa orang prajuritnya duduk di serambi gandok. Sebagian dari mereka masih nampak kesakitan.
"Jahanam kalian. Jadi kalian telah berani melawan kuasa seorang Panji di Ngadireja ?"
"Apakah aku berbicara dengan Ki Panji di Ngadireja," sahut Glagah Putih.
"Ya. Aku Panji di Ngadireja," jawabnya masih sambil berdiri.
Glagah Putihpun kemudian bangkit berdiri pula. Ia sama sekali tidak menunduk ketika Ki Panji di Ngadireja itu memandanginya dengan mata menyala.
"Ki Panji," berkata Glagah Putih kemudian, "aku datang mengantarkan prajurit-prajuritmu yang telah menyalah gunakan wewenangnya."
"Siapa yang mengatakan bahwa prajurit-prajuritku telah menyalah gunakan wewenangnya?"
"Kami. Maksudku kami berdua, Ki Bekel dan Ki Demang. Ki Lurahmu itu mencoba memeras Ki Bekel dan Ki Demang untuk membayar pajak yang seharusnya tidak perlu dibayar."
"Kau tidak mempunyai wewenang untuk menilai prajurit-prajuritku. Akulah yang dapat mengatakan, apakah prajurit-prajuritku menyalah gunakan kekuasaan yang ada padanya atau tidak. Bukan kau. Bukan Ki Bekel dan bukan Ki Demang."
"Kami melihat langsung apa yang akan dilakukan, sedang Ki Bekel dan Ki Demang telah mengalaminya. Kami datang untuk minta agar Ki Panji mengadili para prajurit Ki Panji itu."
"Itu urusanku. Itu urusan para prajurit. Kalian tidak dapat ikut campur. Apalagi kalian telah berani menentang para prajuritku yang sedang menjalankan tugasnya."
"Prajurit-prajurit Ki Panji tidak sedang menjalankan tugas. Tetapi mereka sedang memeras."
"Kalian harus melakukan apa yang diperintahkan oleh prajurit-prajuritku itu lebih dahulu. Tidak seorangpun yang boleh mencoba menentangnya. Baru kemudian, jika tindakan para prajuritku itu dirasa kurang adil, barulah kalian datang kepadaku. Melaporkan apa yang kalian anggap tidak adil itu. Tetapi kalian tidak dapat langsung menentang keputusan-keputusan yang telah mereka buat."
"Tetapi keputusan-keputusan mereka jelas tidak pada tempatnya. Mereka memungut pajak seenaknya sendiri tanpa mengingat sasaran pajak yang akan mereka ambil."
"Cukup. Aku tidak mau mendengar sesorahmu. Pergi dari banjar ini. Biarlah aku mengurusi prajurit-prajuritku dengan caraku. Aku tidak mau kalian mengajari kami."
"Aku tidak mengajari Ki Panji. Kami datang untuk melaporkan tindakan-tindakan para prajurit yang tidak pada tempatnya. Aku melaporkan bahwa mereka telah menyalahgunakan kekuasaan yang Ki Panji berikan kepadanya."
"Cukup. Kau dengar. Sekarang pergi. Biar aku mengurusi prajurit-prajuritku sendiri."
"Tetapi kami adalah saksi. Ki Panji belum bertanya kepadaku, kesalahan apa yang sudah dilakukan oleh para prajurit itu. Ki Panji belum mendengarkan kesaksian kami tentang penyalahgunaan kekuasaan yang telah mereka lakukan."
"Diam. Diam," Ki Panji berteriak, "aku dapat mengusirmu dengan kekerasan. Masih ada beberapa orang prajuritku yang dapat melemparkan kalian keluar regol halaman."
"Jika itu yang Ki Panji lakukan, aku akan melawan mereka. Aku akan memaksakan kehendakku sampai Ki Panji mau mendengarkan kesaksian kami tentang prajurit-prajurit Ki Panji yang telah diperbantukan kepada Ki Panji disini sudah tidak berdaya, termasuk Ki Lurah. Sisanya tidak akan mampu mengusir kami dari banjar ini."
"Kau memang orang gila. Kau tidak menghitung aku sendiri."
"Aku justru menghitung Ki Panji. Tetapi aku tetap saja tidak mau pergi."
Wajah Ki Panji menjadi merah. Ia merasa orang yang datang itu telah merendahkannya. Karena itu, maka iapun menggeram, "Mari kita lihat. Kau atau aku yang harus menundukkan kepalanya."
"Bagus. Aku tunggu Ki Panji di halaman."
Glagah Putih tidak menunggu lagi. Iapun segera turun ke halaman diikuti oleh Rara Wulan, Ki Bekel dan Ki Demang.
Nampaknya persoalannya bukan persoalan yang sederhana.
Demikian Glagah Putih turun ke halaman, maka Ki Panjipun telah meloncat ke halaman itu pula. Beberapa orang prajurit yang masih segar berdiri di depan tangga pendapa. Nampak mereka telah siap menjalankan perintah apapun demikian diberikan oleh Ki Panji.
"Ki Sanak," berkata Ki Panji, "kau akan menyesal, bahwa kau telah berani menentang dan menghalangi tugas para prajurit."
"Bukan aku yang akan menyesal. Tetapi Ki Panji. Ki Panji terbiasa menilai para prajurit Ki Panji menurut penglihatan Ki Panji sendiri. Ki Panji terbiasa tidak mau mendengar pendapat orang lain. Dengan demikian, maka penilaian Ki Panji atas prajurit Ki Panji tidak didas pada kenyataan yang sebenarnya terjadi. Ki Panji hanya duga-duga apa yang telah dilakukan oleh para prajurit Ki Panji. Ki Panji mungkin memanggilnya, bertanya kepada mereka. Sedangkan mereka selalu berbohong kepada Ki Panji. Sementara itu, Ki Panji sudah menjadi puas mendengarkan kebohongan mereka itu."
"Anak iblis. Jangan berkata sepatah katapun lagi. Jika kau menggerakkan mulutmu, maka aku akan mengoyakkan bibirmu."
"Aku akan berbicara terus Ki Panji."
Sebenarnyalah Ki Panji menjadi sangat marah. Tangannyapun segera terayun untuk menampar mulut Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih tidak membiarkan mulutnya tersentuh.
Karena itu, maka Glagah Putih telah menarik kepalanya dan sedikit berpaling.
Gerak yang sederhana itu ternyata telah membebaskan Glagah Putih dari sentuhan tangan Ki Panji di Ngadireja.
Namun demikian, Ki Panji di Ngadireja menjadi semakin marah. Ia merasa telah dipermainkan dengan orang yang masih terhitung muda itu. Jauh lebih muda dari umurnya sendiri.
Karena itu, maka Ki Panji tidak mengekang kemarahannya lagi. Dengan tangkasnya Ki Panji meloncat sambil menjulurkan kakinya menyambar kearah dada Glagah Putih. Tetapi sekali lagi Glagah Putih mengelak, sehingga kaki Ki Panji tidak dapat mengenai dadanya.
Ki Panji yang menjadi marah sekali itupun menggeram, "Kau menantangku orang muda."
"Tidak," sahut Glagah Putih, "aku datang untuk menyampaikan laporan serta kesaksian tentang prajuritmu yang telah menyalahgunakan kekuasaan. Jika kau melindunginya, maka itu berarti bahwa kaupun telah terlibat pula ke dalamnya. Bahkan kaupun telah melakukan pemerasan dengan meminjam tangan prajurit-prajuritmu itu."
"Anak iblis. Kau jangan asal membuka mulutmu. Sadari bahwa aku dapat menjatuhkan hukuman yang sangat berat kepadamu."
"Kau akan menghukum orang yang tidak bersalah ?"
"Siapa yang tidak bersalah" Kau telah berani melawan prajurit-prajuritku yang sedang menjalankan tugas."
"Prajurit-prajuritmu tidak sedang menjalankan tugas. Tetapi mereka sedang memeras."
Ki Panji tidak mau mendengarkan lagi. Iapun segera menyerang Glagah Putih. Bahkan serangan yang dilambari kemarahan itupun kemudian datang bagaikan banjir bandang.
Tetapi Glagah Putih telah benar-benar bersiap. Dengan tangkasnya iapun berloncatan menghindari serangan-serangan Ki Panji. Bahkan Glagah Putihpun kemudian telah berganti menyerangnya pula.
Demikianlah, maka pertempuranpun kemudian segera berlangsung dengan sengitnya. Keduanya saling menyerang dan menghindar.
Ternyata Ki Panjipun seorang yang berilmu tinggi. Tetapi yang dihadapi waktu itu adalah Glagah Putih. Seorang yang seakan-akan telah menjadi mumpuni sehingga sulit dicari tandingnya.
Dengan demikian, maka pertempuranpun menjadi semakin lama semakin sengit. Ki Panjipun telah meningkatkan ilmunya pula. Ia tidak mengira bahwa orang yang masih terhitung muda itu telah memiliki ilmu yang mampu mengimbanginya.
Dengan segenap kekuatan ditopang oleh tenaga dalamnya, Ki Panji berusaha untuk dapat menembus pertahanan Glagah Putih.
Tetapi usahanya itu tidak segera dapat berhasil. Pertahanan Glagah Putih benar-benar rapat sekali. Serangan-serangan Ki Panji selalu dapat dihindari dan bahkan sekali sekali serangan itu telah sengaja ditangkisnya, sehingga kekuatan merekapun berbenturan.
Ki Panjipun tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Ternyata orang yang masih terlalu muda itu tidak dapat diabaikannya. Bukan saja dengan tangkas ia dapat menghindar, tetapi dengan kekuatan yang besar dengan sengaja telah membentur serangan-serangannya.
Ki Panji yang marah itupun kemudian telah menumpahkan segenap kemampuannya. Bahkan iapun sudah tidak memikirkan lagi, apa yang bakal terjadi dengan orang yang masih terhitung muda itu.
Tetapi ternyata bahwa Ki Panji itu tidak mampu menguasainya. Orang yang terhitung masih muda itu justru perlahan-lahan mulai mendesaknya, sehingga Ki Panji itu menjadi semakin sulit menghadapinya. Serangan-serangan Glagah Putih yang semakin cepat telah mulai menerobos pertahanannya. Tangan Glagah Putih yang terjulur lurus rasa-rasanya telah meretakkan tulang-tulang iganya, sehingga ki Panji itupun terdorong surut.
"Gila orang ini," geram Ki Panji.
Namun betapapun Ki Panji mengerahkan kemampuannya, namun sulit baginya untuk dapat menerobos pertahanan Glagah Putih yang sangat rapat.
Jika sekali-sekali serangannya menembus pertahanan lawannya, terasa bahwa sentuhan itu tidak menyakitinya.
Kemarahan Ki Panji benar-benar tidak dapat dikekangnya lagi. Karena itu, maka Ki Panjipun segera telah menarik pedangnya sambil menggerang, "Aku masih memberimu kesempatan, orang muda. Pergilah dan jangan kembali lagi."
"Bagaimana dengan Ki bekel dan Ki Demang?" bertanya Glagah Putih.
"Bawa orang itu pergi."
"Lalu, Ki Panji membiarkan pemerasan itu terjadi."
"Diam. Sudah aku katakan, bahwa itu bukan urusanmu. Akulah yang akan mengurusnya."
"Tidak. Kau tidak melihat kejadiannya. Kamilah yang melihatnya. Karena itu, Ki Panji harus mendengarkan kesaksian kami."
"Persetan," geram Ki Panji, "jika kau mati disini, sama sekali bukan tanggung-jawabku. Kau telah berani melawan aku, penguasa di Ngadireja ini. Tidak ada orang yang mengimbangi kekuasaanku disini, karena itu, apa yang aku lakukan, tidak ada yang dapat menghalanginya."
Namun Glagah Putihpun menjawab, "Kalau kuasamu kau landaskan pada kekuatan prajuritmu serta kemampuanmu, maka akulah yang akan mematahkannya. Akulah yang akan menghalangimu."
Ki Panji tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera meloncat sambil menjulurkan pedangnya. Tetapi Glagah Putih dengan cepat menghindarinya.
Ki Panji yang menjadi sangat marah itu tidak lagi mengekang diri. Serangan-serangannyapun kemudian datang dengan garangnya. Pedangnya terayun-ayun mengerikan. Kemudian terjulur lurus menggapai kearah dada atau menebas langsung kearah lehernya.
Tetapi Glagah Putih dengan kecepatan yang sangat tinggi, mampu selalu menghindarinya. Bahkan ketika Ki Panji mengayunkan pedangnya ke arah lehernya, Glagah Putih dengan cepat merendahkan dirinya. Demikian pedang itu terayun di-atas kepalanya, maka dengan cepat Glagah Putihpun melenting. Kakinya terjulur lurus mengenai dada Ki Panji dengan derasnya.
Ki Panji itu terlempar beberapa langkah surut. Bahkan Ki Panji itupun kemudian jatuh terguling. Namun pedangnya masih saja berada di dalam genggaman tangannya.
Tetapi Glagah Putih tidak membiarkannya. Demikian ia meloncat bangkit Glagah Putihpun meloncat sambil memutar tubuhnya. Kakinya terayun mendatar langsung mengenai kening Ki Panji, sehingga sekali lagi Ki Panjipun terlempar jatuh. Namun Ki Panjipun segera berguling untuk mengambil jarak Baru kemudian Ki Panji itu berusaha untuk berdiri.
Tetapi demikian ia bangkit, maka kaki Glagah Putih telah menyambar pergelangan tangan Ki Panji, sehingga pedangnya telah terlempar jatuh.
Wajah Ki Panji menjadi merah. Tetapi ia tidak segera menyerah. Bahkan Ki Panjipun kemudian berteriak kepada prajurit-prajuritnya terutama prajuritnya yang masih segar, "Tangkap orang ini hidup atau mati."
Para prajuritpun serentak bergerak. Mereka telah mencabut pedang mereka atau para prajurit yang membawa tombak pendek telah merundukkan tombak mereka. Bahkan Ki Lurah yang wajahnya sudah menjadi lebam serta sebelah matanya menjadi merah biru, maish juga berniat untuk ikut serta menangkap Glagah Putih.
Glagah Putih bergeser surut. Sementara itu Ki Panji sempat memungut pedangnya yang terjatuh.
Namun ketika para prajurit itu mulai bergerak. Glagah Putih telah mengurai ikat pinggangnya sambil berkata, "Aku hanya sekedar membela diri. Jika karena itu ada diantara kalian yang mengalami nasib buruk, itu bukan tanggung jawabku."
"Persetan dengan igauanmu itu," geram Ki Panji. Dengan garang, maka sekali lagi Ki Panjipun meneriakkan perintah, "Tangkap orang-orang itu hidup atau mati."
Dalam pada itu melihat lawan yang menjadi banyak Rara Wulan tidak tinggal diam. Para prajurit yang masih segar dan bahkan Ki Lurah yang sudah mengalami kesakitan, bersama Ki Panji akan bertempur melawan mereka
Sementara itu, maka Rara Wulanpun telah mengurai selendangnya pula, sehingga iapun sudah benar-benar bersiap sebagaimana Glagah Putih.
"Apa yang akan kalian lakukan dengan ikat pinggang dan selendangmu itu?" bertanya Ki Panji.
"Jangan remehkan senjata kami," jawab Glagah Putih, "kalian akan menyesal karena kecongkakan kalian. Kalian mengira, bahwa kalian akan dapat memaksa kami dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan kalian."
Sekali lagi Ki Panji itupun memberikan perintah, "Cepat. Tangkap orang-orang itu hidup atau mati."
Dengan demikian, maka pertempuranpun telah berkobar kembali. Bahkan menjadi lebih sengit. Glagah Putih dan Rara Wulan harus berhadapan dengan Ki Panji, Ki Lurah yang bangkit lagi serta sekelompok prajurit yang masih segar.
Namun ternyata bahwa kedua orang itu sangat mengejutkan Ki Panji, Ki Lurah dan para prajurit. Dengan senjata yang menurut penilaian mereka sangat sederhana itu, mereka ternyata mampu mengimbangi kemarahan Ki Panji dan para prajuritnya. Pedang dan tombak yang berputaran itu ternyata sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh kedua orang itu. Bahkan setiap kali ada saja prajurit yang kehilangan senjatanya, sehingga beberapa orang kawannya harus membantunya untuk memungutnya kembali.
Tetapi mereka lebih terkejut lagi ketika seorang prajurit mulai tersentuh ikat pinggang Glagah Putih di lengannya. Lengannyapun telah terkoyak sebagaimana terkoyak oleh tajamnya pedang. Tetapi ketika ujung ikat pinggang itu mematuk perutnya, rasa-rasanya perutnya telah dihentak oleh landean tombak yang bersalut kuningan.
Apalagi ketika para prajurit itu dikenai oleh ujung selendang Rara Wulan. Selendang itu dapat menghentak dada seperti himpitan segumpal batu padas, namun selendnag itu dapat membelit dan mencekik leher mereka sehingga mereka hampir mati karena tidak dapat bernafas.
Dengan demikian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun segera memporak porandakan para prajurit yang bertempur bersama Ki Panji. Bahkan dari bahu Ki Lurah, darahpun telah mengalir karena sentuhan ikat pinggang Glagah Putih.
Dengan demikian, bukan saja wajahnya yang menjadi lebam dan sebelah matanya menjadi merah biru, tetapi tubuhnya mulai digores oleh luka-luka. Darahpun telah mengalir pula dari luka-luka itu menitik membasahi halaman.
Dengan demikian, maka para prajurit itupun semakin lama menjadi semakin menyusut. Beberapa orang telah terbaring kesakitan karena luka-lukanya. Bahkan akhirnya Ki Lurah itupun tidak dapat lagi bangkit, karena tulang-tulang di punggungnya serasa patah ketika kaki Glagah Putih menyambarnya.
Akhirnya, Ki Panji sendiri menjadi semakin terdesak.
Bahkan tubuhnya sudah mulai terluka pula.
"Ki Panji," berkata Glagah Putih, "apakah kau masih akan melawan?"
"Kau akan menyesali perbuatanmu. Kau telah melawan penguasa di Ngadireja."
"Yang diperlukan oleh rakyat Ngadireja bukan seorang penguasa. Tetapi seorang pemimpin. Selama ini kau sama sekali tidak bersikap sebagai seorang pemimpin. Tetapi kau benar-benar hanya seorang penguasa yang mengandalkan kuasamu pada kekuatan serta tajam ujung senjata prajurit-prajuritmu."
"Lalu, kau kira aku dapat melandaskan kuasaku pada sikap ramah tamah dan belas kasihan."
"Bagus. Jika menurut pendapatmu, kuasa itu dapat hanya dilandasi pada kekuatan dan ketajaman senjata, marilah kita lanjutkan pertarungan ini. Jika aku berhasil mengalahkan kalian, maka akulah penguasa disini. Aku akan memerintah dengan landasan kekuatan dan ketajaman senjataku. Kau mau apa" Jika kau mau melawan, katakan bahwa kau akan melawan sampai titik darahmu yang penghabisan. Dengan demikian maka tuntaslah usahaku merebut kuasa dari tanganmu. Akupun kemudian akan berkuasa sampai ada orang lain dapat mengalahkan aku dan pengikut-pengikutku yang akan aku bangun kemudian."
"Itu pikiran gila. Kau akan dilumatkan oleh kekuasaan yang kebih tinggi. Kekuasaan di Panaraga."
"Kau akui kekuasaan di Panaraga."
"Tentu." "Kekuasaan di Panaraga itukah yang memberimu wewenang untuk mempergunakan kekuatan dan tajamnya senjata selama kau berkuasa di Ngadireja sampai datangnya kekuatan baru yang dapat mengalahkanmu?"
Ki Panji menjadi bingung. Karena itu, ia tidak segera dapat menjawab.
"Ki Panji," berkata Glagah Putih kemudian, "ketahuilah, aku adalah seorang prajurit Mataram yang sedang mengemban tugas. Demikianlah pula perempuan itu. Ia adalah isteriku. Kami berdua telah mendapat perintah untuk pergi ke Panaraga. Kami adalah penghubung antara pemerintah Mataram dan pemerintahan yang ada di Panaraga."
Wajah Ki Panjipun menjadi tegang. Detak jantungnya serasa bergetar lebih cepat. Dengan gagap iapun berkata, "Jadi, jadi Ki sanak itu seorang petugas dari Mataram?"
"Ya. Kami akan pergi ke Panaraga. Adalah kebetulan bahwa aku melihat prajurit-prajuritmu sedang memeras Ki Bekel dan Ki Demang. Mereka minta Ki Bekel dan Ki Demang membayar pajak karena pintu gerbang pasar di padukuhan mereka telah dipugar sehingga menjadi pintu gerbang yang terhitung sangat baik bagi lingkungan ini."
"Tetapi itu bukan karena perintahku."
"Kau tidak tahu apa-apa. Kau hanya dapat membentak-bentak dan meneriakkan perintah-perintah. Tetapi kau tidak mau tahu, bahwa orang-orangmu telah melakukan perbuatan yang sangat tidak terpuji. Sementara itu kau hanya tahu menghitung berapa banyak prajurit-prajuritmu itu memberikan upeti kepadamu."
"Tidak. Bukan maksudku."
"Sementara itu Ki Bekel dan Ki Demang sudah mengatakan, bahwa yang memugar pintu gerbang pasar itu adalah justru Pangeran Jayaraga yang sekarang diserahi pemerintahan di Panaraga."
"Tetapi, tetapi itu bukan salahku."
"Aku akan menghadap Pangeran Jayaraga di Panaraga. Aku akan mengatakan bahwa Ki Panji di Ngadireja telah memaksa Ki Bekel dan Ki Demang untuk membayar pajak justru karena Pangeran Jayaraga memugar pintu gerbang pasar sebagai satu pertanda dan kenangan, bahwa Pangeran Jayaraga pernah berhenti dan makan bersama keluarganya yang sedang dalam perjalanan di pasar itu."
"Tidak. Jangan. Jangan katakan itu kepada Pangeran Jayaraga di Panaraga."
"Kenapa tidak" Biarlah kau diadilinya dan kemudian mendapat hukuman yang setimpal."
"Jangan adili aku. Aku tidak memerintahkannya. Biarlah nanti aku bunuh Lurah yang telah melakukan pemerasan itu."
"Jika kau bunuh Ki Lurah, maka hukumanmu akan berlipat. Kau berusaha melenyapkan saksi yang dapat memberikan kesaksian atas kesalahan yang telah kau lakukan."
"Baik, baik. Aku tidak akan membunuh. Tetapi tolong jangan adili aku. Selama ini aku menjalankan tugasku dengan jujur."
"Jangan berbohong. Para prajuritmu dapat berbicara tentang dirimu."
Wajah Ki Panji menjadi tegang. Seperti seorang pencuri yang tertangkap basah, maka ia tidak akan dapat mengelak lagi. Karena itu, ia hanya dapat memohon pengampunan atas kesalahan yang pernah dilakukannya.
"Baiklah Ki sanak," berkata Ki Panji, "aku akan mengakui segala kesalahan kepadamu. Tetapi aku mohon jangan sampaikan kepada Pangeran Jayaraga di Panaraga."
"Tetapi kau harus benar-benar jujur, Ki Panji, Ki Bekel, Ki Demang dan para prajuritmu menjadi saksi. Jika para prajuritmu itu masih akan tetap melindungimu, apakah karena mereka merasa takut kepadamu, atau karena mereka sudah berhutang budi kepadamu atau karena kau telah membiarkan mereka melakukan banyak kesalahan dan bahkan pemerasan terhadap rakyatmu sendiri, maka mereka sendirilah yang akan dijerat oleh tatanan. Mereka dapat dihukum berat melampaui hukuman yang dapat kau jatuhkan kepada mereka, apalagi karena Ki Panji sendiri sudah tidak berdaya."
"Baik, baik Ki sanak. Aku akan jujur."
"Kau dan semua prajuritmu dan siapapun yang bekerja sama dengan Ki Panji, harus mengakui kesalahan itu. Ki Panjilah yang bertanggungjawab."
"Baik-baik." "Mengakui kesalahan mengandung pengertian bahwa kesalahan yang serupa tidak akan dilakukan lagi."
"Ya, ya, Ki Sanak."
"Kalau kemudian kesalahan Ki Panji itu tidak akan aku sampaikan kepada Pangeran Jayaraga, bukan berarti bahwa Ki Panji tidak pernah berbuat salah. Ki Panji tidak dapat berlaku seakan-akan tidak pernah bersalah terhadap rakyat Ngadireja dan sekitarnya, karena sebenarnyalah bahwa Ki Panji memang bersalah."
"Ya, ya, Ki Sanak Aku memang bersalah."
"Pengakuan itu harus Ki Panji buktikan."
"Aku akan membuktikannya. Aku akan berkata dengan terbuka kepada rakyat Ngadireja bahwa aku bersalah. Aku minta maaf dan aku tidak akan mengulanginya lagi."
"Itu belum cukup."
"Jadi?" "Kalau Ki Panji memang mengaku bersalah sampai ke dasar jantung, maka sebaiknya Ki Panji mengembalikan kekayaan yang Ki Panji depatkan dengan cara yang tidak wajar itu kepada pemiliknya. Kepada rakyat di Ngadireja dan sekitarnya."
Wajah Ki Panji menjadi merah. Tetapi ia masih juga berkata, "Aku tentu tidak akan ingat lagi, uang siapa saja yang sekarang ada di rumahku."
"Ki Panji tidak perlu mengembalikannya kepada orang-orang tertentu. Tetapi pergunakan uang itu untuk meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat Ki Panji. Itu sudah cukup memadai. Namun masih harus diingat, bahwa Ki Panji pernah melakukan kesalahan yang sangat besar terhadap rakyat Ki Panji sendiri."
"Ya, ya, Ki Sanak. Aku mengerti. Aku memang harus menebus kesalahan itu. Aku kira, memang tidak ada gunanya aku mempertahankan kelimpahan kekayaan itu justru pada saat aku menyadari, betapa dalam kesalahan yang pernah aku lakukan itu."
"Baik. Aku berjanji untuk tidak menyampaikan persoalan Ki Panji kepada Pangeran Jayaraga. Tetapi jika syarat yang Ki Panji katakan itu tidak Ki Panji penuhi, maka aku tidak akan menyampaikannya persoalan ini kepada siapa-siapa. Tetapi aku sendiri yang akan menyelesaikannya dengan caraku berdasarkan atas wewenang yang aku miliki dari Ki Patih Mandaraka di Mataram. Bukan hanya dari Pangeran Jayaraga di Panaraga."
"Baik, baik, Ki Sanak Aku mengerti."
"Nah, sekarang selesaikan persoalanmu dengan prajurit-prajuritmu dan rakyatmu sendiri. Aku akan meneruskan perjalanan," kemudian kepada Ki Bekel dan Ki Demang, Glagah Putih pun berkata, "Ki Bekel dan Ki Demang dapat pulang. Jangan takut terjadi apa-apa lagi atas Ki Bekel dan Ki Demang, Ki Bekel dan Ki Demang tinggal menunggu janji Ki Panji, bahwa ia akan mengembalikan milik rakyat yang ada padanya dan ada pada prajurit-prajuritnya. Jika yang dijanjikan itu tidak dilakukannya, maka kami akan berbuat apa saja sesuka hati kami atas Ki Panji dan prajurit-prajuritnya. Selain berdasarkan atas wewenang yang ada padaku, maka kalau landasannya adalah ketajaman ujung senjata, maka aku telah memenangkan pertarungan melawan mereka."
"Baik, Ki Sanak," sahut keduanya hampir berbareng.
"Kami berdua akan pergi. Tetapi dalam waktu dekat, kami akan memantau kesanggupan Ki Panji. Diketahui atau tidak diketahui."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rura Wulanpun meninggalkan tempat itu. Demikian bingungnya Ki Panji, sehingga ia tidak ingat lagi untuk mempersilahkan kedua orang laki-laki dan perempuan itu untuk duduk. Demikian pula Ki Bekel dan Ki Demang yang segera minta diri.
Di perjalanan pulang, Ki Bekel sempat bergumam, "Jadi Ki Panji itu telah dimaafkan, Ki Demang."
"Ya. Kesalahannya tidak akan dilaporkan kepada Pangeran Jayaraga. Tetapi itu bukan berarti bahwa Ki Panji tidak bersalah. Ia harus menebus kesalahannya dengan beberapa langkah yang nyata yang memberikan manfaat bagi rakyat."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Yang ia mengerti, Ki Panji itu bersalah. Apakah kesalahan itu akan diungkap sampai ke telinga Pangeran Jayaraga atau tidak, tetapi kesalahan itu sudah dilakukan.
Sebenarnyalah bahwa apa yang terjadi pada Ki Panji itu memang tidak dapat dirahasiakan lagi. Rakyat Ngadireja dan sekitarnyapun telah mendengar apa yang terjadi. Dua orang prajurit penghubung antara Mataram dan Panaraga yang menangkap basah bahwa Ki Panji di Ngadireja telah menyalahgunakan wewenangnya tidak akan mengangkat persoalan itu Ki Panaraga. Prajurit penghubung dari Mataram itu seakan-akan telah memaafkan meskipun mereka tetap menganggap bahwa Ki Panji bersalah dan harus menebus kesalahannya.
Dalam pada itu, ketika Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan Ngadireja, maka Ki Panji itupun sempat merenungi dirinya sendiri. Ia sempat merenungi rakyatnya di Ngadireja. Ia mulai membayangkan, apa saja yang pernah dihisapnya dari rakyatnya itu.
Seperti asap yang mengepul dari hutan yang terbakar, Ki Panji melihat, betapa gelapnya sisi kehidupannya. Sebagai seorang pemimpin yang memegang wewenang, ia dapat membanggakan dirinya karena rakyatnya menjadi sangat patuh kepadanya. Setiap wajah orang yang ditemuinya, selalu men-bayangkan ketakutan sehingga tidak ada yang berani mengangkat wajahnya dihadapannya dalam keadaan apapun.
Ki Panji itupun menarik nafas panjang. Pada saat-saat yang demikian, pada saat-saat ia tersudut, rasa-rasanya secerah cahaya telah menerangi hatinya, menembus asap yang tebal hitam yang bergulung-gulung menyelimutinya.
"Aku memang telah bersalah," terdengar suara yang meskipun perlahan sekali, tetapi telinga hatinya dapat mendengarnya dengan jelas.
Pengakuannya itu telah mendorongnya untuk mengambil langkah-langkah sebagaimana dikatakan oleh dua orang suami isteri dari Mataram itu.
Sebenarnyalah langkah itulah yang diambil oleh Ki Panji. Diperintahkannya semua prajuritnya melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukannya.
Ki Panji dan para prajuritnya telah mempergunakan semua kekayaan mereka bagi kesejahteraan rakyat Ngadireja dan sekitarnya. Tidak lagi karena terpaksa, tetapi gejolak yang dahsyat yang terjadi didalam lubuk hatinyalah yang telah mendorongnya untuk berbuat demikian.
Sebenarnyalah di hari-hari mendatang rakyatnya yang semula menjadi sangat kecewa karena Ki Panji itu tidak dilaporkan kepada Pangeran Jayaraga di Panaraga, akhirnya dapat menerima sikap Ki Panji yang telah menyerahkan segala yang ia punya bagi kesejahteraan rakyat Ngadireja, karena sebenarnyalah Ki Panji merasa bahwa apa yang ia punya itu telah dihisapnya dari darah rakyatnya itu pula.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak segera dapat memantau apa yang telah terjadi di Ngadireja. Tetapi merekapun menelusuri jalan menuju ke Panaraga.
Mereka tidak mengalami kesulitan apa-apa di perjalanan. Tidak pula ada kesulitan menelusuri jalan ke Panaraga. Sementara itu, merekapun masih juga menemukan jejak perjalanan Pangeran Ranapati, yang seakan-akan dengan sengaja mengikuti jejak perjalanan Pangeran Jayaraga.
Glagah Putih dan Rara Wulan diperjalanan masih bermalam semalam lagi di sebuah banjar padukuhan. Tetapi Panaraga sudah berada didepan hidung mereka.
Di hari berikutnya, sebelum tengah hari, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di alun-alun Panaraga. Sebelum mereka mengambil keputusan untuk melakukan langkah-langkah yang terbaik dalam tugas mereka, maka keduanyapun duduk di pinggir alun-alun, dibawah sebatang pohon rimbun.
"Apa yang akan kita lakukan kemudian, kakang?"
"Kita akan memikirkannya. Kita masih mempunyai banyak waktu sebelum kita mengambil sikap yang terbaik. Kita harus menemukan, dimana orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu berada. Mungkin di sebuah penginapan. Mungkin di rumah seseorang yang dikenalnya atau saudaranya menurut garis perguruan atau orang-orang lain. Baru kemudian kita akan mengamati, apa yang dilakukan selama ia berada di Panaraga. Apakah ia mencoba membuat hubungan dengan Pangeran Jayaraga atau tidak."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun untuk beberapa saat keduanya terdiam,. Keduanya mengamati orang-orang yang lalu lalang di alun-alun. Tetapi panas yang terik nampaknya membuat alun-alun itu menjadi agak sepi.
Namun tiba-tiba saja Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut. Seorang laki-laki yang sudah separo baya, tiba-tiba saja berdiri dihadapan mereka.
Orang itupun langsung menyingkapkan bajunya, sehingga timang pada ikat pinggangnya dapat dilihat oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Kau siapa?" bertanya Glagah Putih.
"Kau kenal pertanda pada ikat pinggangku?" bertanya orang separo baya yang kemudian telah menakupkan kembali bajunya untuk menutupi timang pada ikat pinggangnya.
Glagah Putih memperhatikan orang itu sejenak. Tetapi ia masih tetap duduk. Dengan nada datar ia bertanya, "Kenapa kau tunjukkan timangmu itu kepadaku?"
"Aku membawa tugas dari Ki Patih Mandaraka. Aku harus menemuimu disini. Sejak tiga hari aku berada di sini. Baru sekarang kau berdua datang."
"Kau yakin, bahwa kamilah yang kau tunggu?"
"Ya." "Kenapa?" "Aku pernah bertemu dengan kalian di Kepatihan. Maksudku, aku pernah melihat kalian menghadap Ki Patih. Tetapi mungkin kalian belum mengenal aku."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun saling berpandangan sejenak. Namun tiba-tiba saja Rara Wulan bertanya, "Awan itu ditiup angin dari mana?"
"Dari Barat," sahut orang itu.
"Bintang di pagi hari?"
"Lintang rinonce."
"Kau sendiri?" "Panjer Esuk." Glagah Putih menarik nafas panjang. Keduanyapun segera bangkit berdiri.
"Ikutlah aku," berkata orang itu.
Dalam pesan terakhir, Ki Patih memang mengatakan, bahwa ia akan mendapat bantuan dari orang-orang yang sudah berada di Panaraga. Ki Patihpun telah memberikan pesan kata-kata sandi yang harus disampaikan kepada orang-orang yang menemuinya di Panaraga sebagaimana ditanyakan kepada orang itu. Menurut Ki Patih, di Panaraga tidak hanya ada seorang yang akan membantunya melaksanakan tugasnya. Tetapi ada tiga, yang disebut dengan kata sandi - Panjer esok, Panjer Wengi dan Panjer Sore. Yang menemuinya di alun-alun itu adalah petugas yang disebut dengan kata sandi Panjer Esuk."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian mengikuti orang itu. Sambil berjalan Glagah Putih bertanya, "Siapa namamu?"
"Madyasta. Aku seorang Lurah prajurit yang pernah menjadi Narpa Cundaka di Kepatihan."
"O, Jadi aku berbicara dengan Ki Lurah Madyasta."
"Lupakan bahwa aku seorang Lurah Prajurit. Mungkin kau masih belum berpangkat Lurah. Tetapi lupakan pangkat itu. Dalam tugas ini aku harus membantumu. Kau berdualah yang memegang perintah atas kami."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan. Namun kemudian Glagah Putihpun berkata, "Terima kasih atas kepercayaan Ki Lurah."
"Panggil namaku. Jangan panggil Ki Lurah."
Glagah Putih menarik nafas panjang.
Keduanyapun kemudian berjalan menyusuri jalan-jalan yang terhitung ramai di Panaraga. Ki Lurah Madyasta kemudian membawa Glagah Putih dan Rara Wulan membelok ke jalan yang lebih kecil memasuki sebuah padukuhan di pinggir kota Panaraga.
Merekapun kemudian masuk ke sebuah regol halam an yang berada di pinggir jalan kecil itu. Halaman yang tidak terlalu luas. Di sebelah menyebelahnya juga terdapat rumah dengan halaman yang rata-rata hampir sama luasnya. Demikian pula sederet halaman di seberang jalan kecil itu. Rumah-rumah yang berdiri di halaman itupun rata-rata adalah rumah yang sederhana pula, meskipun bukan rumah yang jelek.
Rata-rata rumah yang ada di sebelah menyebelah jalan itu adalah rumah yang terbuat dari bambu. Dindingnya juga terbuat dari anyaman bambu. Demikian pintu lereg di depan dan disamping.
Pada umumnya di kebun belakang dari setiap halam an terdapat rumpun dari berbagai jenis bambu. Bambu apus, bambu wulung dan bahkan bambu petung. Ada pula yang mempunyai serumpun bambu tutul dengan ujudnya yang menarik meskipun tidak sekokoh bambu wulung.
Madyastapun kemudian membawa Glagah Putih dan Rara Wulan masuk ke rumah yang ada di tengah-tengah halaman itu. Rumah yang juga terbuat dari bambu serta dindingnya juga anyaman bambu apus. Bambu yang tidak begitu besar, tetapi cukup liat.
Seperti rumah-rumah yang lain, maka pintu rumah itupun terbuat dari anyaman bambu. Jika membuka pintu itu, maka pintu itupun didorong kesamping.
Glagah Putih dan Rara Wulan sudah terbiasa dengan pintu lereg semacam itu. Di Tanah Perdikan Menoreh, banyak rumah yang masih mempergunakan pintu lereg dari anyaman bambu seperti pintu rumah itu, meskipun banyak pula yang rumahnya sudah memasang pintu kayu.
Demikian pintu terbuka, maka mereka telah memasuki satu ruangan yang agak luas dengan sebuah amben yang besar terletak di sisi sebelah kanan.
"Silahkan masuk. Aku tinggal di rumah ini sendiri."
"Dimana kedua orang kawan Ki Lurah yang lain."
"Panggil aku Madyasta. Nama itupun bukan namaku sendiri. Namaku sebagai Lurah prajurit adalah Ki Lurah Wirasana."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.
"Silahkan duduk. Kedua orang kawanku tinggal di rumah yang lain. Kami sengaja tinggal di rumah yang berbeda."
Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk.
"Kalian berdua akan tinggal di sini untuk sementara."
Glagah Putih dan Rara Wulan itupun kemudian dipersilahkan duduk di amben bambu yang besar itu.
Orang itupun kemudian duduk pula bersama mereka. Katanya kemudian, "Aku akan membawa kalian berdua melihat-lihat keadaan di lingkungan ini sebelum kalian bertugas. Kalianpun akan aku perkenalkan dengan kedua orang kawanku itu pula. Tetapi tentu tidak sekarang. Sebaiknya sekarang kalian beristirahat saja dahulu. Pakiwan ada disebeluh kiri. Mungkin kalian ingin mandi lebih dahulu. Aku akan pergi ke dapur untuk merebus air dan menanak nasi. Mungkin kalian haus dan lapar. Sementara nasiku tinggal sedikit."
"Biarlah aku yang merebus air dan menanak nasi. Kau duduk disini bersama kakang Glagah Putih," berkata Rara Wulan.
"Kalian adalah tamu-tamuku. Akulah yang punya rumah, sehingga akulah yang harus menyediakan suguhan bagi kalian."
"Tetapi aku perempuan."
"Tetapi kau adalah tamuku. Kau tentu tidak tahu dimana aku simpan beras. Dimana aku simpan gula kelapa dan dimana aku simpan garam."
Rara Wulan tersenyum. "Nah, silahkan duduk. Atau barangkali kalian akan pergi ke pakiwan."
"Terima kasih," sahut Glagah Putih.
Ketika kemudian orang yang minta dipanggil Madyasta itupun pergi ke dapur, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun pergi ke pakiwan.
Karena rumah itu hanya dihuni oleh seorang laki-laki, maka nampaknya memang agak kurang bersih. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulanpun dapat memakluminya.
Glagah Putihpun kemudian telah mencucui kaki, tangan dan mencuci mukanya bergantian dengan Glagah Putih, sehingga tubuh merekapun menjadi semakin segar.
Demikian mereka selesai mencuci muka, maka mereka tidak segera masuk ke rumah depan. Mereka masih mengamati halaman dan kebun belakang. Di halaman belakang nampak ketela pohon yang subur. Kemudian dibawah rumpun bambu di kebun, terdapat berbagai macam tanaman empon-empon. Glagah Putih yang serba sedikit mengenal berbagai jenis dedaunan dan akarakaran yang dapat dipergunakan sebagai obat mengira, bahwa Madyasta memang telah menanam berbagai jenis empon-empon itu.
Di dekat dinding kebun di belakang, terdapat batang ubi yang merambat. Tetapi batang-batang serta daunnya sudah mulai mengering. Pertanda bahwa sebentar lagi uwi itu dapat di gali.
Di sudut yang lain, nampak serumpun pisang yang subur. Daunnya berwarna hijau segar. Sementara itu, dua batang pisang yang berbuah harus di sangga dengan sepotong bambu agar tidak roboh, karena buahnya yang besar dan tandannya panjang.
Ketika keduanya berjalan melintas di halaman belakang, maka keduanya berhenti depan sebuah kandang kuda. Dua ekor kuda yang besar dan tegar berada dalam kandang itu.
Sedangkan disekitar kandang itu berkeliaran kelompok-kelompok ayam jantan dan betina. Ada pula yang sedang menggiring anak-anaknya.
Dari kandang kuda merekapun bergeser pula. Mereka berhenti disebuah pintu butulan yang terbuka. Ternyata pintu itu adalah pintu dapur.
Mereka melihat Madyasta yang sedang sibuk membuat minuman setelah air yang direbusnya mendidih.
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Glagah Putih dan Rara Wulan segera masuk ke dapur itu pula. Dengan cekatan Rara Wulanpun membantu Madyasta menempatkan mangkuk-mangkuk ke dalam nampan dan kemudian dibawanya ke ruang depan.
"Duduk sajalah," berkata Madyasta.
Tetapi Glagah Putih justru duduk didepan perapian. Dengan sepotong bumbung bambu Glagah Putih menghembus api yang nyalanya menjadi redup, sehingga nyalanya menjadi besar kembali.
"Nanti pakaianmu menjadi kotor," berkata Madyasta.
"Pakaianku memang sudah kotor."
Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulanpun tidak segera meninggalkan dapur. Mereka bahkan ikut membantu menyediakan makan pagi mereka bertiga.
Mereka telah mengambil beberapa butir telur di petarangan yang akan dapat dijadikan lauk. Kemudian Rara Wulanpun telah membuat sambal dengan bawang putih.
"Aku tidak mempunyai apa-apa lagi," berkata Madyasta.
"Ini sudah cukup. Telur ceplok dengan sambal bawang. Sementara nasinya masih mengepul."
Sebenarnya, sejenak kemudian, mereka telah duduk di ruang depan, diamben yang besar menghadapi nasi hangat, telur ceplok dan sambal bawang.
"Nanti kita dapat membeli sayur di sudut simpang empat buat makan malam."
"Tidak usah," berkata Rara Wulan, "Aku melihat ada beberapa batang kacang panjang yang berbuah di kebun. Kita dapat memetik kacang panjang itu serta daun lembayungnya. Nanti biarlah kakang memetik kelapa yang belum terlalu tua."
Sambil makan, Madyasta telah bercerita tentang berbagai hal yang ada hubungannya dengan tugasnya. Madyastapun mengatakan, bahwa orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu bagaikan siluman. Madyasta dan kedua kawannya dapat menelusuri jejaknya sehingga orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu sampai di Panaraga. Tetapi setelah itu merekapun kehilangan jejaknya. Sampai kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan, mereka belum menemukan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati.
"Kita akan mencarinya bersama-sama," berkata Glagah Putih kemudian, "mungkin orang yang menyebut diri Pangeran Ranapati itu justru sudah berada di istana Kadipaten Panaraga serta mengelabuhi Pangeran Jayaraga dengan mengaku sebagai putera Lembu Peteng Panembahan Senapati."
Madyasta mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kita akan menelusurinya."
Demikianlah, maka setelah mereka selesai makan serta sempat beristirahat sejenak, Madyastapun mengajak Glagah Putih dan Rara Wulan untuk melihat-lihat keadaan. Mereka pergi ke alun-alun lagi. Kemudian menyusuri jalan-jalan utama. Baru kemudian merekapun telah turun ke jalan-jalan yang lebih kecil.
"Kalian harus mengenal tempat ini sebaik-baiknya," berkata Madyasta, "sehingga jika terjadi sesuatu, maka kalian telah mengenali medannya."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun mengangguk-angguk. Ketika malam mulai turun, maka mereka bertiga sampai di sebuah regol halaman rumah yang juga termasuk sederhana. Halamannyapun tidak lebih luas dari halaman rumah yang dipergunakan oleh Madyasta. Sementara bangunannya juga terdiri dari bambu termasuk dindingnya. Atapnya terbuat dari ijuk, sehingga kesannya di malam hari, rumah itu nampak gelap. Apalagi lampu minyak yang berada di ruang depan rumah itu, sinarnya tidak memancar keluar. Hanya nampak secercah cahaya di sela-sela pintu lereg dan uger-ugernya yang semua terbuat dari bambu.
Di rumah itu tinggal dua orang petugas yang disebut dengan nama sandi Panjer Wengi dan Panjer Sore yang bersama-sama dengan Panjer Esuk bertugas mendahului Glagah Putih dan Rara Wulan.
Ketika Madyasta mengetuk pintu rumah itu, terdengar suara di dalam, "siapa?"
"Panjer Esuk." Langkah yang cepat terdengar menuju ke pintu. Demikian pintu lereg itu terbuka, maka seorang yang berdiri di belakang pintu itupun mempersilahkan mereka masuk.
Demikian cahaya lampu minyak di ruang depan itu menyentuh Glagah Putih dan Rara Wulan, maka orang itupun berdesis, "Ki Glagah Putih dan Nyi Rara Wulan."
"Darimana kau tahu?" bertanya Glagah Putih.
"Seperti kakang Madyasta, aku juga pernah bertugas di Kepatihan, sehingga aku mengenal Ki Glagah Putih dan Nyi Rara Wulan tanpa harus mengucapkan sebutan sandi kalian berdua."
Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum.
"Marilah, silahkan masuk."
Glagah Putih dan Rara Wulan dan Madyastapun kemudian memasuki ruangan depan rumah itu. Mirip seperti ruang depan rumah yang dihuni oleh Madyasta, maka di ruang itu terdapat sebuah amben yang terhitung besar.
"Kalian dapat bermalam disini," berkata orang itu. Tetapi Madyasta menyahut, "mereka bermalam di rumahku."
"Bukankah sama saja?" sahut Glagah Putih.
"Ya. Sama saja," sahut orang itu.
Sejenak kemudian, merekapun telah duduk di amben yang besar itu. Madyastapun kemudian memperkenalkan penghuni rumah itu, "Namanya yang sebenarnya adalah Ki Lurah Cakrajaya. Tetapi namanya telah berubah menjadi Sungkana. Dan seorang lagi, Panjer Sore, yang belum kelihatan, nama sebenarnya adalah Ki Lurah Mertadrana. Sebutannya adalah Sembaga."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi disini ada Madyasta, Sungkana dan Sumbaga."
"Ya." "Ketiganya adalah Lurah Prajurit."
"Lupakan," sahut Sungkana.
Glagah Putihpun mengangguk-angguk. Sementara itu Madyastapun bertanya, "Dimana Sumbaga?"
"Ia baru pergi ke sungai sebentar. Ia lebih senang mandi di sungai daripada mandi di pakiwan. Sebenarnya ia malas menimba air untuk mengisi jembangan. Ia lebih senang pergi ke sungai yang hanya berjalan beberapa patok saja di belakang."
Madyasta tersenyum. Katanya, "Sumbaga memang seorang yang malas sekali. Tetapi kerjanya cukup baik."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk kecil.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, seseorang telah mendorong pintu lereg yang sudah ditutup kembali. Tetapi karena pintu itu belum diselarak, maka pintu itupun dengan mudah telah terbuka.
Seorang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan berdiri didepan pintu.
"Apakah Ki Glagah Putih dan Nyi Rara Wulan sudah lama?" bertanya orang itu.
"Apakah Ki Sanak juga pernah bertugas di Kepatihan?"
"Ya. Aku pernah bertugas di Kepatihan. Karena itu, aku mengenal Ki Glagah Putih dan Nyi Rara Wulan."
Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itupun kemudian telah duduk pula bersama yang lain di amben besar itu.
"Segarnya mandi di sungai," berkata orang yang disebut Sumbaga itu.
"Yang penting bagimu, bahwa kau tidak usah menimba air," sahut Sungkana.
Sumbaga tertawa. Yang lainpun tertawa pula.
Namun sejenak kemudian Madyasta itu jadi bersungguh-sungguh, "Aku sudah mengatakan kepada Ki Glagah Putih dan Nyi Rara Wulan, bahwa kita telah kehilangan jejak dari orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati."
"Kami memang agak meremehkan," berkata Sungkana, "dengan mudah kami dapat mengikuti jejak orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu sampai ke Panaraga. Dengan demikian, kami mengira, bahwa untuk selanjutnya pun kami tidak akan mengalami kesulitan. Tetapi ternyata kita telah kehilangan jejaknya."
Eldest 1 Joko Sableng Kitab Serat Biru Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 26
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama