Harta Karun Kerajaan Sung Seri Ke 02 Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Pangcu, agaknya Pangcu salah paham. Saya hendak menjelaskan keadaan kami yang sebenarnya. Ketika Ayah saya meninggal dunia karena terbunuh oleh panglima Mongol, Ayah meninggalkan sebuah peta harta karun kepada saya dengan pesan agar saya mencari harta karun itu dan menyerahkannya kepada yang berhak, yaitu para pejuang yang berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari penjajahan bangsa Mongol. Kenyataannya harta karun itu telah dicuri atau diambil oleh orang yang mengaku dari Thai-san. Kami bertiga mencari harta karun yang dicuri itu, sama sekali bukan untuk kami miliki sendiri, melainkan untuk kami serahkan kepada para pejuang seperti yang dipesan Ayah Liu Bok Eng. Kami mendengar bahwa Ang-tung Kai-pang juga menentang Pemerintah Mongol, maka kami percaya bahwa Pangcu tentu suka membantu para pejuang kemerdekaan tanah air dari cengkeraman penjajah Mongol. Karena itu maka kami berani menghadap Pangcu dan mohon petunjuk."
Mendengar ucapan Ceng Ceng, ketua Kai-pang (Perkumpulan Pengemis) itu tersenyum dan wajahnya berubah cerah. "Ah, sekarang aku tidak ragu akan kebenaran berita bahwa mendiang Liu Bok Eng adalah seorang gagah perkasa yang bijaksana setelah melihat puterinya! Nona Liu, maafkan sikapku tadi. Kalau memang kalian hendak mendapatkan kembali harta karun itu untuk diserahkan kepada para pejuang kemerdekaan, tentu saja kami sepenuhnya mendukung! Bahkan kami bersama seluruh anggauta yang sekitar seratus orang jumlahnya di sini, siap untuk membantu. Bukan itu saja, kami juga dapat mengerahkan semua anggauta yang tersebar di banyak cabang Ang-tung Kai-pang, yang ribuan jumlahnya, untuk membantu!"
"Terima kasih, Pangcu!" kata Yauw Tek dengan gembira. "Akan tetapi kami kira belum tiba saatnya kami membutuhkan bantuan para anggauta Ang-tung Kai-pang. Untuk saat ini kami hanya membutuhkan petunjuk Pangcu, siapa kiranya di antara para penghuni Thai-san yang patut dicurigai sebagai pencuri harta karun itu. Kami mohon pefunjuk Pangcu."
"Kami kira hanya ada dua golongan yang seyogianya tidak dimasukkan daftar mereka yang dicurigai, yaitu Thai-san-pai dan Ang-tung Kai-pang. Kami kira kedua perkumpulan ini tidak mungkin melakukan pencurian itu karena kami berdua bukan golongan orang-orang yang murka akan harta benda. Akan tetapi ada banyak orang atau golongan lain berada di Thai-san. Yang terbesar dan mempunyai banyak anak buah adalah Huo Lo-sian dan anak buahnya yang tinggal di daerah Barat pegunungan ini dan yang kedua adalah Hek Pek Mo-ko dengan anak buah mereka yang tinggal di Bukit Batu dan berada di daerah Utara pegunungan ini. Selain mereka tentu saja masih terdapat banyak pertapa yang kabarnya memiliki kesaktian, tinggal bertapa di tempat-tempat terasing di pegunungan yang luas ini." Pangcu itu menerangkan.
"Pangcu, orang berbaju putih yang berkelahi dengan anak buah Ang-tung Kai-pang itu, katanya adalah anak buah dari Bukit Batu. Kalau begitu, dia itu anak buah Hek Pek Mo-ko?" tanya Li Hong.
"Benar, Nona," kata Ketua Kai-pang itu yang kini dapat mengerti bahwa gadis ini memang memiliki watak yang keras, kasar dan jujur, hal yang tidak aneh karena ia berasal dari Pulau Ular! "Si Baju Putih itu adalah seorang murid dari Pek Mo-ko. Dua orang iblis itu yang disebut Hek Pek Mo-ko terdiri dari Hek Mo-ko ( Iblis Hitam ) dan Pek Mo-ko (Iblis Putih), masing-masing mempunyai murid sendiri. Murid Hek Mo-ko berpakaian serba hitam dan murid Pek Mo-ko berpakaian serba putih. Akan tetapi keduanya selalu bekerja sama seolah hanya ada satu perkumpulan."
"Hemm, kalau begitu yang menantang Pangcu untuk mengadakan pi-bu (adu ilmu silat) esok lusa ada dua orang, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko?" Ceng Ceng juga bertanya, nadanya khawatir.
Pangcu itu mengangguk. "Benar, Nona Liu. Yang menantang adalah mereka berdua."
"Ah, itu tidak adil sama sekali, Pangcu. Masa dua orang menantang seorang?" kata Yauw Tek sambil mengerutkan alisnya yang tebal karena merasa penasaran.
"3angan khawatir, Pangcu! Kalau mereka maju berdua, biar aku yang akan membantumu sehingga pi-bu itu seimbang, dua lawan dua!" kata Li Hong bersemangat. "Kalau hanya melawan dua orang berandal itu saja, aku tidak takut!"
"Tenanglah, Hong-moi," kata Ceng Ceng yang lalu bertanya kepada ketua itu. "Pangcu, bagaimana kepandaian Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko?"
"Aku sendiri belum pernah bertanding dengan mereka berdua. Akan tetapi menurut kabar, kedua orang itu memiliki tingkat kepandaian yang seimbang, Hek Mo-ko memiliki ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang dahsyat dan senjata goloknya juga terkenal lihai. Sedangkan Pek Mo-ko memiliki ilmu Pek-tok-ciang (Tangan Racun Putih) yang tak kalah dahsyatnya, dan senjatanya adalah sebatang pedang yang kabarnya juga amat tangguh. Kukira, kalau aku menghadapi seorang di antara mereka, aku masih dapat menandingi, akan tetapi entah kalau mereka maju berdua karena menurut keterangan yang pernah kudengar, Hek Pek Mo-ko selalu maju bersama sebagai pasangan yang amat kuat."
"Pangcu, untuk menghadapi mereka besok lusa pagi, tentu Pangcu sudah mengatur sebaiknya dan tentu ada orang lain dari Ang-tung Kai-pang yang akan menemani Pangcu menghadapi mereka," kata Yauw Tek.
Ketua Kai-pang itu menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. "Murid-murid Kai-pang tidak ada yang dapat diandalkan kepandaiannya. Tingkat mereka masih terlalu jauh untuk dapat melawan Hek Pek Mo-ko. Aku memang mempunyai beberapa orang Sute (Adik Seperguruan) yang agaknya memiliki tingkat yang sudah boleh diandalkan, namun pada waktu ini mereka semua tidak berada di sini. Mereka bertugas memimpin cabang-cabang Ang-tung Kai-pang di kota-kota besar. Akan tetapi, aku sendiri tidak gentar melawan Hek Pek Mo-ko yang telah menghina dan menantang."
Kembali Li Hong berkata, "Jangan khawatir, Pangcu. Aku besok lusa akan menemanimu, kita berdua akan menghadapi mereka!"
Ketua itu menggelengkan kepalanya perlahan. "Tidak mungkin, Nona Tan. Nama dan kehormatan Ang-tung Kai-pang akan tercemar kalau aku minta bantuan orang luar bukan anggauta kami untuk menghadapi tantangan Hek Pek Mo-ko."
"Akan tetapi siapa yang akan tahu bahwa aku bukan anggauta Ang-tung Kai-pang, Pangcu?" bantah Li Hong. "Kulihat di sini juga terdapat banyak wanita."
"Memang benar di sini terdapat banyak keluarga para anggauta dan diantara mereka terdapat pula gadis-gadis muda, akan tetapi ilmu silat mereka rata-rata lemah, dan kalau engkau yang maju menemani aku menghadapi Hek Pek Mo-ko, ada dua hal yang menjadi pantangan bagi kami. Pertama, berarti kami bohong mengakuimu sebagai murid, dan kedua, murid kami bersenjatakan tongkat merah, bukan pedang. Terima kasih atas maksud baikmu hendak membantu, Nona Tan, akan tetapi mengingat akan pantangan kami berbohong, terpaksa kami tidak dapat menerima bantuanmu itu."
Sekali ini Li Hong tidak dapat membantah biarpun ia merasa kecewa dan penasaran sekali. Ceng Ceng juga tidak melihat adanya kemungkinan untuk membantu ketua yang kini terancam bahaya itu. Ia tahu bahwa biarpun Ang-tung Kai-pang merupakan sebuah perkumpulan pengemis, akan tetapi ketuanya merupakan seorang gagah yang pantang melanggar aturan mereka sendiri.
"Pangcu," tiba-tiba terdengar suara Yauw Tek memecahkan kesunyian setelah ketua itu bicara. "Menurut ucapan Pangcu kepada Hong-moi tadi, berarti bahwa yang dapat membantu Pangcu menghadapi musuh yang menantang hanyalah orang yang menjadi anggauta perkumpulan Ang-tung Kai-pang dan juga yang menggunakan tongkat merah sebagai senjata?"
Ketua itu mengangguk-angguk, "Demikianlah keadaannya, Yauw-sicu. Aku tentu tidak bisa mempertaruhkan nama dan kehormatan perkumpulan kami hanya untuk mencari kemenangan pribadi. Seperti kukatakan tadi, kalau ada seorang saja suteku di sini, kami berdua pasti akan mampu menandingi Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi para suteku berada di tempat-tempat yang cukup jauh dan untuk memanggil mereka membutuhkan waktu sedikitnya seminggu. Padahal tantangan pi-bu itu harus disambut besok lusa."
"Pangcu, biarlah aku Pangcu terima sebagai murid sehingga dengan sendirinya aku menjadi anggauta Ang-tung Kai-pang. Aku akan menemani Pangcu menghadapi Hek Pek Mo-ko dan menggunakan sebatang tongkat merah sebagai senjata. Dengan demikian, Pangcu tidak akan kehilangan muka dan nama Ang-tung Kai-pang tidak akan tercemar."
Ketua itu termenung, menghela napas dan menggelengkan kepalanya perlahan-lahan. "Agaknya usulmu itu sukar dilaksanakan, Sicu."
"Hei, Pangcu!" teriak Li Hong. "Yauw-twako memberi jalan yang baik dan engkau masih saja berkeras menolak! Sebetulnya, apa sih maumu menolak semua bantuan yang kami tawarkan" Sekarang begini saja, Yauw-twako dan Enci Ceng, kita tidak perlu membantu Ang-tung Kai Pangcu! Kita bertiga langsung datang ke tempat Hek Pek Mo-ko dan membasmi mereka sehingga mereka tidak dapat menantang Ang-tung Kai-pang lagi!"
"Aih, Hong-moi, mengapa engkau menjadi tidak sabaran seperti itu?" Ceng Ceng menegur sambil tersenyum. "Ingat, kedatangan kita ke Thai-san adalah untuk mencari pencuri dan menemukan kembali harta karun, bukan untuk mencari permusuhan yang hanya akan menghalangi dan menggagalkan usaha kita."
Li Hong cemberut. "Habis, Pangcu ini bisanya hanya menolak saja, bikin hatiku menjadi gemas!"
"Pangcu, harap jelaskan, mengapa usulku tadi sukar dilaksanakan?" tanya Yauw Tek.
"Begini, Sicu. Pertama, untuk menjadi anggauta Ang-tung Kai-pang, engkau harus memakai pakaian tambal-tambalan, ciri khas pakaian pengemis anggauta Ang-tung Kai-pang adapun yang kedua, sebagai anggauta Ang-tung Kai-pang, engkau harus menggunakan sebatang tongkat merah untuk melawan musuh. Bagaimana mungkin kedua syarat itu dapat terpenuhi?"
Setelah berpikir sejenak Yauw Tek menjawab. "Pangcu, aku pernah mempelajari ilmu silat menggunakan delapanbelas macam senjata termasuk senjata tongkat sehingga untuk menggunakan senjata itu bukan masalah bagiku. Akan tetapi untuk terus mengenakan pakaian tambal-tambalan......" Pemuda itu tidak melanjutkan karena takut menyinggung perasaan Kui-tung Sin-kai.
Semua kini terdiam mendengar ucapan ketua itu tadi. Mereka menjadi bingung karena alasan ketua itu membuat mereka kehabisan akal. Untuk membiarkan ketua itu seorang diri menghadapi kedua Hek Pek Mo-ko, hati mereka tidak rela. Hal itu akan membahayakan keselamatan ketua itu, padahal Ang-tung Kai-pang merupakan perkumpulan yang kiranya akan dapat membantu usaha mereka mendapatkan kembali harta karun. Perkumpulan ini juga menentang penjajah Mongol dan berjiwa patriot maka patut dibela.
"Aku ada akal!" Tiba-tiba suara Li Hong mengejutkan semua orang dan mereka memandang kepada gadis lincah ini. "Yauw-twako diterima menjadi anggauta Ang-tung Kai-pang dan mengenakan pakaian tambal-tambalan untuk melawan Hek Pek Mo-ko. Setelah pi-bu itu selesai, Yauw-twako boleh menyatakan dengan resmi keluar dari keanggautaan Ang-tung Kai-pang sehingga tentu saja dia boleh melepaskan pakaian tambal-tambalan. Nah, bagaimana akalku itu, Pangcu?"
Kui-tung Sin-kai mengangguk-angguk, namun alisnya masih berkerut. "Bagus sekali akal itu dan memang akal itu telah menyelesaikan masalah pakaian pengemis. Akan tetapi bagaimana dengan ilmu tongkat Yauw-sicu" Harap diketahui bahwa Hek Pek Mo-ko itu kabarnya lihai bukan main. Senjata mereka, baik golok Hek Mo-ko maupun pedang Pek Mo-ko, merupakan senjata-senjata pusaka ampuh. Aku sungguh akan merasa berdosa sekali kalau sampai Yauw-sicu cedera atau tewas dalam membantu aku menghadapi mereka."
"Pangcu meragukan kemampuanku, hal itu memang wajar saja. Akan tetapi, masih ada kesempatan bagi Pangcu untuk memberi petunjuk kepadaku dalam ilmu tongkat," kata Yauw Tek.
"Tepat sekali," kata Ceng Ceng. "Sebaiknya sekarang juga Pangcu menguji ilmu silat tongkat Yauw-twako, kalau ada kekurangannya, Pangcu dapat memberi petunjuk."
Ketua itu mengangguk-angguk dan tampak gembira. Dia lalu mengajak tiga orang muda itu memasuki lian-bu-thia (ruangan latihan silat) yang luas. Dia mengambil dua batang tongkat merah dan menyerahkan sebatang kepada Yauw Tek. Mereka berdiri saling berhadapan di tengah ruangan itu. Ceng Ceng dan Li Hong menonton dan duduk di bangku dekat dinding.
"Yauw-sicu, perlihatkan ilmu tongkatmu kepadaku!"
"Silakan, Pangcu!" kata Yauw Tek sambil melintangkan tongkatnya depan dada.
"Sambut seranganku, Sicu!" Ketua itu mulai menyerang dan dia menyerang dengan sungguh-sungguh sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) sekuatnya. Dia benar-benar ingin menguji ilmu tongkat pemuda itu agar yakin sampai di mana tingkat kepandaian pennuda itu. Kalau sekiranya ilmu tongkat dari Yauw Tek tidak berapa tinggi tingkatnya, lebih baik dia menolak bantuannya. Dia tidak ingin pemuda itu celaka karena membantunya.
"Syuuttt".. trak-trak-trak-trak-trak!" Lima kali tongkat di tangan Kui-tung Sin-kai menyerang dengan pukulan dan tusukan dahsyat sekali, akan tetapi kelima serangan itu selalu dapat ditangkis dengan baik oleh Yauw Tek. Bahkan ketua itu merasa betapa kedua tangannya yang memegang tongkat tergetar hebat! Dia terkejut bukan main akan tetapi masih belum yakin dan melanjutkan se-rangannya dengan jurus-jurus pilihan yang dahsyat sekali.
Akan tetapi, bukan saja semua serangannya dapat dihindarkan Yauw Tek dengan tangkisan kuat atau elakan yang cepat, bahkan kini pemuda itu mulai membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah hebatnya. Gerakan pemuda itu amat ringannya, juga mengandung tenaga sin-kang yang membuat tangan ketua itu tergetar berulang kali! Hati Kui-tung Sin-kai menjadi gembira sekali dan dia juga mengeluarkan seluruh jurus simpanannya. Namun selalu Yauw Tek mampu mengimbanginya.
Sudah hampir seratus jurus lewat dan keduanya masih terus bertanding dengan serunya. Kini, ketua itu mulai berkeringat, sedangkan Yauw Tek masih biasa saja dan jelaslah bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ketua itu akan kalah dan kehabisan tenaga dan napas! Dia maklum akan hal ini dan merasa sudah puas menguji ilmu tongkat Yauw Tek.
"Cukup, Sicu!" katanya sambil terhuyung ke belakang ketika kedua tongkat itu bertemu kuat sekali. Yauw Tek menghentikan gerakannya dan dengan tongkat tersembunyi di belakang lengan kanannya, dia memandang ketua itu dengan senyum dan tampak masih segar.
"Bagaimana, Pangcu" Apakah aku memenuhi syarat?"
Kui-tung Sin-kai terengah-engah, wajahnya berseri dan dia merangkap kedua tangan depan dada. "Ah, maafkan keraguanku tadi, Sicu. Aku sungguh seperti Si Buta tak melihat tingginya langit! Kalau engkau mau membantuku dengan ilmu tongkatmu tadi, hatiku menjadi tenang karena harus kuakui bahwa ilmu tongkatmu membuat ilmuku tidak ada artinya sama sekali!"
"Ah, Pangcu terlalu memuji," kata Yauw Tek dan tiba-tiba dia melontarkan tongkat merah itu ke atas. Kui-tung Sin-kai, Ceng Ceng dan Li Hong memandang dengan heran, akan tetapi segera mata mereka terbelalak ketika melihat betapa tongkat merah itu kini berputar lalu melayang di udara seperti hidup dan meluncur ke arah rak senjata, kemudian dengan tepat memasuki lubang rak senjata sehingga tongkat itu kembali ke tempatnya semula!
Kalau hanya melempar biasa saja agar tongkat itu masuk kembali ke lubang masih terbilang wajar. Akan tetapi apa yang diperlihatkan pemuda itu sungguh luar biasa. Tongkat itu tadi berputar-putar di udara lalu melayang seolah mencari sasarannya! Dua orang gadis yang baru sekarang menyaksikan kehebatan ilmu tongkat Yauw Tek ketika melawan ketua tadi, kini menjadi bengong dan kagum bukan main kepada sahabat baru mereka yang memang sudah mengagumkan hati dengan sikapnya yang sopan dan lembut.
07.1. Rayuan Cinta Pendekar Muda"
"Wah, Yauw-twako! Ilmu aneh apakah yang kau perlihatkan dengan tongkatmu tadi" Tongkatmu seperti hidup dan dapat bergerak sendiri!" Seru Li Hong sambil melompat bangkit berdiri.
Yauw Tek tersenyum. "Ah, sama sekali tidak aneh. Itu adalah semacam Hoat-lek (llmu Sihir) yang pernah kupelajari dari para pendera Lhama di Tibet," katanya sederhana.
"Akan tetapi...... bagaimana benda mati dapat bergerak seperti hidup?"
"Benda itu digerakkan oleh kekuatan gelombang pikiran."
"Apa dapat dikendalikan untuk menyerang musuh, Sicu?"
"Tentu saja dapat, Pangcu."
"Aduh, hebat sekali! Aku ingin mempelajari ilmu itu, Engkau ajari aku, ya?" kata Li Hong yang merasa kagum bukan main kepada pemuda yang selain tampan, lembut dan sopan, ternyata juga berkepandaian tinggi.
Diam-diam ia teringat kepada kakak misannya, Pouw Cun Giok yang pernah dicintanya sebelum ia tahu bahwa pemuda itu kakak misannya. Dan ia membandingkan keduanya. Agaknya Yauw Tek ini tidak kalah hebat, baik ketampanannya, sikapnya maupun kepandaiannya. Dan Li Hong kini benar-benar telah jatuh cinta kepada pemuda yang dikaguminya itu!
"Hong-moi, mempelajari ilmu yang tinggi bukan semudah membalikkan telapak tangan," kata Ceng Ceng. "Membutuhkan bakat, waktu, dan ketekunan. Yauw-twako mana bisa menggunakan banyak waktu untuk mengajarkan Hoat-lek kepadamu?"
Yauw Tek tersenyum. "Benar seperti yang dikatakan Ceng-moi tadi, Hong-moi. Mempelajari itu membutuhkan waktu bertahun-tahun. Dan bertingkat. Pertama harus mampu menguasai diri sendiri, lalu menguasai orang lain, kemudian menguasai semua mahluk, baru dapat menguasai benda mati."
Kui-tung Sin-kai dengan gembira lalu menyuruh anak buahnya menyiapkan dua buah kamar untuk tiga orang tamunya yang kini dia hormati. Tahulah dia bahwa bukan Yauw Tek saja yang lihai, juga dua orang gadis itu bukanlah ahli silat sembarangan. Dia juga mengadakan perjamuan untuk menghormati mereka dan sebelum saat pibu tiba, yaitu besok lusa, tiga orang tamu itu diberi kebebasan sepenuhnya tinggal di perkampungan Ang-tung Kai-pang.
"Y" Malam itu bulan bersinar terang, hampir bundar sempurna. Langit cerah jernih tanpa ada awan menghalang sehingga permukaan Bukit Cemara itu tampak gemilang bermandikan cahaya bulan yang lembut. Udara sejuk dengan hembusan angin semilir lembut. Sejak bulan muncul tadi, anak-anak diperkampungan Ang-tung Kai-pang bermain-main di luar rumah, bernyanyi-nyanyi dan menari dengan gembira. Seluruh keluarga para anggauta Ang-tung Kai-pang bergembira bukan hanya karena malam itu cerah dan indah, akan tetapi juga mereka merasa gembira dan lega karena ketua mereka kini dibantu oleh tiga orang pendekar muda yang lihai sehingga tidak perlu khawatir dengan tantangan pi-bu dari Hek Pek Mo-ko.
Setelah malam agak larut, anak-anak disuruh masuk rumah oleh orang tua mereka. Di dalam taman bunga di belakang gedung rumah induk tempat tinggal ketua Ang-tung Kai-pang, tampak Ceng Ceng duduk seorang diri. Taman itu indah sekali menerima sinar bulan, ditambah udara yang segar dan penuh keharuman bunga, membuat Ceng Ceng seperti dalam keadaan samadhi atau melamun. Ketika kenangan muncul dalam hatinya, teringat akan keadaan dirinya yang telah kehilangan orang tua, kehilangan guru, hidup sebatang kara dan kini bahkan pesan ayahnya tak dapat ia laksanakan dengan baik, perasaan sedih menyelimuti hatinya.
Kemudian muncul bayangan Pouw Cun Giok, pemuda yang dicintanya dan yang mencintanya. Pemuda itu ternyata telah bertunangan dengan gadis lain. Ini berarti ia telah kehilangan segala-galanya, kehilangan orang-orang yang dicintanya. Hatinya semakin tertekan rasa duka. Akan tetapi kesadarannya mengingatkan bahwa membiarkan pikirannya sendiri memperdalam rasa iba diri, hal itu hanya akan melemahkan hatinya dan dapat berakibat mengganggu kesehatan tubuhnya. Maka, ia menghela napas panjang berulang kali, mengumpulkan hawa udara segar dan perlahan-lahan semua kesenduan hatinya dapat dikurangi.
"Ceng-moi," Suara Yauw Tek lembut sekali memanggil di belakangnya.
Ceng Ceng bangkit berdiri dari bangku dan memutar tubuhnya. Mereka berdiri berhadapan. Ceng Ceng melihat betapa sinar mata pemuda itu tampak aneh, tidak seperti biasanya. Sepasang mata itu bersinar tajam mencorong dan bibir itu tersenyum. Wajah Yauw Tek tampak tampan bukan main. Ada suatu dorongan kuat sekali yang membuat hati Ceng Ceng tertarik dan seolah terpesona oleh ketampanan wajah pemuda itu. Namun, ia kembali mengambil napas panjang dan dapat membebaskan diri dari pengaruh daya tarik ini, walaupun jantungnya masih berdebar aneh. Ia tahu bahwa perasaan tertarik ini terdorong nafsu berahi yang tidak wajar, maka ia segera melangkah mundur.
"Ah, kiranya engkau, Yauw-twako," katanya lembut. "Sialakan duduk, Twako."
Yeuw Tek tersenyum dan kini pandang matanya biasa lembut lagi, tidak mencorong mempesonakan seperti tadi. "Terima kasih, Ceng-moi. Aku tidak tahu bahwa engkau berada di sini dan maaf kalau aku mengganggu ketenanganmu."
"Ah, sama sekali tidak, Twako. Aku sedang menikmati malam yang begini indah. Bulan bersinar terang, udara sejuk menyegarkan dan keharuman bunga sungguh membuat hati menjadi nyaman," kata Ceng Ceng bersungguh-sungguh sambil menyedot napas panjang.
Yauw Tek memandang ke sekeliling, lalu menengadah memandang bulan dan dia pun menyedot udara yang segar itu sehingga dada dan perutnya penuh hawa segar.
"Benar sekali, Ceng-moi. Malam ini sungguh teramat indah. Sesungguhnyalah kalau aku mengatakan bahwa selama hidupku yang duapuluh dua tahun ini, baru saat ini aku menyaksikan saat yang begini indah dan membahagiakan hatiku. Ceng-moi dapatkah engkau menerangkan kepadaku mengapa aku saat ini memiliki perasaan yang begini berbahagia dan segala sesuatu tampak indah sekali?"
"Twako, sesungguhnyalah kebahagiaan tidak pernah meninggalkan kita. Kalau kita dapat menerima segala sesuatu seperti apa adanya tanpa menolak tanpa mengharapkan, maka bahagia juga akan selalu ada bersama dengan kita. Hanya kalau nafsu perasaan menguasai hati akal pikiran, maka segala sesuatu tidak akan terasa bahagia lagi karena muncul segala macam keinginan akan kesenangan yang tak kunjung habis ingin kita raih. Yauw-twako, engkau berbahagia saat ini karena engkau menikmati apa adanya dan tidak menginginkan apa pun yang tidak ada padamu. Bukankah demikian, Yauw-twako?"
Yauw Tek mengangguk-angguk dan memandang kagum. "Pendapatmu itu memang benar sekali, Ceng-moi. Sungguh aku merasa heran dan kagum bagaimana seorang gadis muda seperti engkau ini memiliki pendapat tentang kebahagiaan yang sama dengan pendapat para pendeta Lhama di Tibet dan pendapat para pertapa di Himalaya. Akan tetapi kebahagiaan dan keindahan yang kurasakan saat ini bukan hanya disebabkan oleh penerimaan keadaan tanpa diganggu hati akal pikiran, Ceng-moi. Aku yakin betul bahwa kebahagiaan ini muncul dalam hatiku hanya oleh adanya suatu sebab."
"Eh" Apakah yang menjadi sebabnya, Twako?" Ceng Ceng mengangkat muka menatap wajah pemuda itu.
Yauw Tek juga sedang menatapnya dan dua pasang mata bertemu dan bertaut. Kembali Ceng Ceng merasa getaran yang amat kuat menyentuh perasaannya dan jantungnya berdebar.
"Yang menyebabkan semua keindahan dan kebahagiaan ini adalah engkau, Ceng-moi, dirimu......" Kedua tangan Yauw Tek menyentuh kedua pundak gadis itu dan dia hendak menarik dan mendekapnya. Akan tetapi, sentuhan tangan itu bahkan seolah menyentak, membuat gadis itu terkejut dan lenyaplah getaran aneh yang amat menarik hatinya tadi. Dengan lembut namun cepat dan kuat, ia membebaskan kedua pundak dari pegangan tangan pemuda itu dan cepat melangkah ke belakang.
"Tidak, Twako! Jangan sentuh aku. Sayang kalau seorang pemuda seperti Twako terseret oleh gelombang nafsu!" Setelah berkata demikian, Ceng Ceng membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan taman menuju rumah induk di mana ia bermalam.
Yauw Tek masih berdiri dan pemuda itu menundukkan kepalanya, tak bergerak seperti sebuah patung. Agaknya sikap Ceng Ceng tadi membuat dia terkejut, heran, dan kecewa. Tak disangkanya sama sekali gadis itu akan menolak pendekatannya. Padahal setiap harinya, sikap Ceng Ceng demikian ramah dan akrab. Sejak pertemuan pertama dia memang sudah kagum sekali kepada Ceng Ceng.
Tiba-tiba terdengar gerakan kaki orang di belakangnya. Yauw Tek menyadari keadaannya dan bersikap biasa kembali.
"Yauw-twako......!"
Yauw Tek cepat membalikkan badannya dan Li Hong sudah berdiri di depannya. Sepasang mata gadis itu bersinar dan alisnya yang hitam melengkung itu berkerut.
"Eh, engkau, Hong-moi" Engkau juga tertarik oleh malam yang indah ini" Duduklah, Hong-moi," kata Yauw Tek dengan sikap ramah dan lembut seperti biasanya.
Akan tetapi gadis itu tidak duduk dan matanya menatap wajah Yauw Tek dengan penuh selidik. "Twako, apa yang terjadi antara engkau dan Enci Ceng tadi?"
Ditanya dengan nada marah itu, Yauw Tek tersenyum lebar. "Aih, Hong-moi apa maksudmu dengan pertanyaan ini?"
"Tidak perlu menyangkal, Twako. Ketika aku memasuki taman ini tadi, aku melihat Enci Ceng berada di sini denganmu, lalu ia pergi. Apa yang kalian lakukan, berduaan di sini?"
"Hong-moi, mengapa engkau bersikap seperti ini dan seperti menyangka yang bukan-bukan" Kami hanya bicara biasa, tidak terjadi sesuatu yang tidak semestinya. Akan tetapi, kalau engkau masih penasaran, engkau tanyalah saja kepada Ceng-moi sendiri. Mengapa engkau tampak seperti orang marah, Hong-moi?" kata Yauw Tek yang sudah tahu akan watak Ceng Ceng sehingga dia yakin bahwa Ceng Ceng pasti tidak akan bicara tentang peristiwa dengannya tadi.
"Betulkah tidak terjadi sesuatu antara kalian, Twako" Aku hanya khawatir. Aku harap engkau tidak mengganggu Enci Ceng. Ketahuilah bahwa selain ia Enciku yang tersayang, juga Enci Ceng telah mencinta seorang pemuda lain, yaitu Kakak Misanku sendiri!"
Yauw Tek mengembangkan kedua lengannya dan tertawa. "Ha-ha, engkau ini lucu dan aneh. Hong-moi. Aku tidak berbuat apa-apa terhadap Ceng-moi dan syukurlah kalau ia sudah memiliki pilihan hati. Aku memang sayang ia sebagai seorang sahabat, Hong-moi, lain tidak!"
"Dan engkau tidak sayang padaku?" Li Hong bertanya penuh iri.
"Sayang padamu" Aih, Hong-moi, apakah selama ini engkau belum merasakan atau menyadari betapa besar rasa sayangku kepadamu?" Yauw Tek memandang wajah Li Hong dengan tajam dan mesra.
Memang sejak pertemuan pertama dengan dua orang gadis itu, hati Yauw Tek sudah terpikat oleh keduanya. Baik Ceng Ceng maupun Li Hong amat cantik jelita dan mempesonakan hatinya, keduanya memiliki daya tarik yang luar biasa dan amat kuat walaupun sifat mereka itu berbeda seperti bumi dan langit. Ceng Ceng bagaikan air telaga yang tenang dan dalam sehingga berdekatan dengan Ceng Ceng membuat dia merasa tenteram, aman, dan damai yang menyejukkan hati. Sebaliknya, Li Hong bagaikan air samudera yang menggelora sehingga dekat dengan gadis itu membuat dia bersemangat dan gembira!
"Sayangmu padaku juga sebesar sayangmu kepada Enci Ceng?" tanya Li Hong, kini kemarahannya tadi sirna dan ia merasa senang sekali mendengar pernyataan Yauw Tek tadi. Ia harus mengakui dalam hatinya bahwa terhadap Yauw Tek timbul perasaan seperti yang ia rasakan dahulu terhadap Pouw Cun Giok! Ia jatuh cinta kepada Yauw Tek.
"Sama besarnya tapi tak sama, Hong-moi. Kalau aku sayang Ceng-moi dan ingin ia menjadi sahabatku yang terbaik, aku menyayangmu dan ingin agar engkau menjadi......" Yauw Tek tidak melanjutkan ucapannya.
Tentu saja Li Hong semakin penasaran dan tertarik. Saking tegang hatinya, ia memegang tangan Yauw Tek, mengguncang-guncang tangan itu dan mendesak.
"Menjadi apa, Twako" Hayo katakan, engkau ingin aku menjadi apa?"
"......menjadi ......menjadi ......teman hidupku selamanya......"
"Ahh?"!" Li Hong menjatuhkan diri duduk di atas bangku. Rasanya lemas seluruh sendi tulangnya. Jantungnya berdebar kencang dan tubuhnya agak gemetar. Berbagai perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa senang bahagia, ada terharu, ada pula perasaan lain yang ia tidak mengerti benar. Ia hanya menundukkan mukanya karena baru pertama kali ini ia menerima pengakuan cinta seorang pemuda yang memang telah menjatuhkan hatinya!
Dengan hati-hati Yauw Tek duduk pula di atas bangku, namun tidak terlalu dekat dengan Li Hong, melainkan di ujung bangku.
"Maafkan aku, Hong-moi. Maafkan kalau ucapanku tadi menyinggung hatimu. Ah, aku terlalu lancang dan kurang ajar. Bagaimana mungkin seorang pemuda sebatang kara dan miskin seperti aku ini berani mencinta seorang gadis puteri majikan Pulau Ular seperti dirimu" Maafkan aku, atau kalau engkau tersinggung dan marah, pukullah aku, aku tidak akan melawan, Hong-moi......" Suara pemuda itu bernada penuh sesal dan sedih.
Mendengar ucapan yang bernada sedih dari Yauw Tek, Li Hong mengangkat muka memandang. Dua pasang sinar mata bertemu, bertaut, dan jantung Hong tergetar hebat. Sinar mata pemuda itu demikian penuh kasih sayang, seolah membelal-belai hatinya.
"Yauw-twako, mengapa engkau berkata begitu" Tidak ada perlu dimaafkan, dan jangan engkau terlalu merendahkan diri. Aku hargai pernyataan hatimu tadi, bahkan aku merasa berbahagia sekali, Twako, aku senang sekali......"
Yauw Tek menjulurkan kedua tangannya dan memegang kedua tangan Li Hong. Seolah ada getaran keluar dari duapuluh buah jari tangan itu dan terasa oleh keduanya. Jari-jari tangan yang hanya saling pegang itu seolah saling cengkeram dengan penuh kemesraan.
"Aduh, terima kasih, Hong-moi! Aku menjadi orang yang paling berbahagia di dunia ini! Katakanlah, Hong-moi, engkau menerima cintaku dan engkau juga mencintaku?"
Li Hong menundukkan mukanya yang berubah kemerahan. "Aku...... aku terima cintamu, Twako, dan tentang perasaan hatiku...... entahlah, saat ini belum dapat aku memastikan. Akan tetapi aku bahagia, aku senang......!" Mereka saling pandang dan bibir mereka merekah dalam senyum.
Yauw Tek tidak berani mendesak. Juga dia menahan diri membatasi tindakannya yang mungkin akan membuat gadis yang lincah ini marah. Kedua tangan mereka masih saling berpegangan dan ketika dengan lembut Yauw Tek menarik, Li Hong tidak menentang dan di lain saat gadis itu telah menyandarkan kepalanya di dada Yauw Tek, membiarkan pemuda itu merangkul dan memeluknya! Mereka berdiam diri namun keduanya seolah tenggelam dalam kemesraan. Hanya jantung mereka yang berdetak keras seolah hati mereka yang bicara.
"Twako, dapatkah aku percaya kata-katamu, bahwa engkau sungguh mencintaiku dan tidak akan membagi cinta dengan wanita lain?"
"Aku bersumpah demi Langit dan Bumi, disaksikan Bulan yang bersinar terang itu, Hong-moi, bahwa aku sungguh mencintaimu dan tidak akan membagi cintaku dengan wanita lain."
07.2. Mengapa Dia Mengobral Cinta"
Yauw Tek memperkuat rangkulannya dan Li Hong menghela napas panjang. "Aku bahagia sekali, Twako......"
"Engkau juga mencintaiku, bukan?"
"Belum saatnya aku mengatakan itu, tunggulah, Twako, sampai aku dapat mengambil keputusan." Li Hong lalu melepaskan diri dari rangkulan pemuda itu. "Mari kita kembali ke rumah induk, Twako, tidak baik kalau dilihat orang kita berdua berada di sini malam-malam begini."
"Engkau benar sekali, Hong-moi. Memang dapat menimbulkan dugaan yang bukan-bukan. Marilah kita kembali ke sana," kata Yauw Tek dan mereka bergandeng tangan meninggalkan taman menuju ke rumah Ketua Kai-pang.
Li Hong semakin girang dan bangga. Pemuda yang mencintanya itu benar-benar seorang pemuda yang sopan dan menghormatinya. Belum pernah ia dicinta dan diperlakukan laki-laki seperti yang dilakukan Yauw Tek! Ia sudah hampir yakin bahwa ia jatuh cinta kepada pemuda itu, hanya tinggal menanti waktu dan kesempatan saja untuk menyatakan perasaan hatinya secara terbuka.
Baru sekali ini Li Hong merasa betapa indahnya suasana. Bahkan awan putih yang mulai menutupi bulan pun tidak mengurangi keindahan itu, Bayang-bayang pohon pun tampak indah serasi, menyenangkan dan hatinya penuh oleh rasa bahagia.
Keindahan bukan terletak pada bendanya, juga bukan pada alat panca-indera, melainkan dalam hati. Kalau batin sudah ditumpulkan oleh bermacam gangguan, maka dia tidak akan mampu merasakan keindahan.
"Y" Wajah Li Hong masih berbinar-binar ketika ia memasuki kamar tidurnya. Ceng Ceng yang duduk di atas bangku dalam kamar mereka itu, dan sedang membaca kitab seperti yang biasa ia lakukan sewaktu menganggur, mengangkat muka memandang dan ia melihat keceriaan wajah adik angkatnya.
"Adik Hong, kulihat wajahmu berseri-seri, matamu bersinar dan mulutmu tersenyum manis sekali. Agaknya engkau berbahagia benar, Adikku!"
"Benar, enci Ceng, hatiku sedang merasa bahagia. Terlalu bahagia sehingga jantung ini berdebar seperti hendak memecahkan dada!"
"Aih, apa yang terjadi, Adikku" Aku ikut girang mendengar engkau bahagia, akan tetapi juga ingin tahu sekali. Engkau datang dari manakah dan mengapa kembali ke kamar begini cerah dan gembira?"
"Aku tadi berjalan-jalan di dalam taman, Enci Ceng. Wah, indah sekali taman bunga di sini, apalagi bulan bersinar terang. Aku sungguh berbahagia sekali!"
"Hemm, Hong-moi, pasti terjadi sesuatu denganmu. Masa kalau hanya berjalan-jalan di taman saja membuat engkau demikian bahagia" Apakah yang terjadi denganmu?"
Li Hong tersenyum dan mengerling tajam. "Ah, tidak terjadi apa-apa, Enci. Aku tadi bertemu Yauw-twako dan kami berbincang-bincang......"
"Hemm, apa saja yang kalian perbincangkan sehingga membuat engkau demikian gembira dan bahagia, Adikku?"
"Bermacam-macamlah! Eh, Enci Ceng, ketika aku memasuki taman tadi, aku melihat engkau meninggalkan Yauw-twako di taman! Kalian bercakap-cakap di dalam taman, bukan" Apa saja yang kalian bicarakan?"
Melihat betapa Li Hong memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik, Ceng Ceng tersenyum tenang. "Mengapa engkau bertanya demikian, Adikku" Memang aku bertemu dengan Yauw-twako di sana, akan tetapi pertemuan itu hanya sebentar dan kami bercakap-cakap biasa saja."
Li Hong menyadari bahwa pertanyaannya memang agak berlebihan, sehingga terdengar seperti orang menaruh curiga. Maka cepat ia merangkul kakak angkatnya itu. "Ah, aku tidak bermaksud apa-apa, Enci. Maafkan aku?"! Eh, Enci Ceng yang baik, bagaimana sih rasanya orang jatuh cinta itu?"
"Ih, anak nakal! Mengapa engkau tanyakan hal itu" Bagaimana aku dapat menjawabnya?"
"Ah, Enci Ceng, aku bertanya kepadamu karena engkau pernah merasakannya. Bukankah engkau dan kakakku Pouw Cun Giok saling mencinta" Nah, yang kutanyakan, bagaimana sih rasanya jatuh cinta itu?"
Ceng Ceng menghela napas panjang. "Adikku, kuharap engkau jangan menyinggung tentang Giok-ko. Engkau akan dapat merasakan sendiri kalau jatuh cinta. Akan tetapi, sebagai kakakmu, aku peringatkan engkau, Adikku. Berhati-hatilah jangan terlalu mudah jatuh cinta karena kalau engkau hanya terdorong gairah kemudian salah pilih, jatuh cinta itu mendatangkan duka. Hong-moi, melihat sikap dan mendengar kata-katamu, timbul dugaan di hatiku bahwa tentu ada apa-apa antara engkau dan Yauw-twako. Benarkah?"
"Enci Ceng sayang, aku percaya sepenuhnya kepadamu, maka aku mau bicara terus terang. Memang telah terjadi sesuatu yang teramat penting. Enci Ceng, dia...... Yauw-twako...... dia mengatakan bahwa dia...... dia mencintaiku!" Sepasang pipi yang berkulit halus putih itu kemerahan, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum malu-malu, tampak cantik sekali.
Ceng Ceng tersenyum walaupun hatinya merasa tidak nyaman mendengar pengakuan adik angkatnya itu. Baru saja Yauw Tek mencoba untuk merayunya dan di lain saat pemuda itu kini menyatakan cinta kepada Li Hong! Biarpun sikap pemuda itu baik, sopan, ramah, juga gagah perkasa, akan tetapi mengapa dia seolah mengobral cinta"
"Adikku, lalu bagaimana tanggapanmu" Apakah engkau juga mencintanya?"
"Dia juga menanyakan hal itu, Enci. Akan tetapi aku masih ragu, aku memang amat suka dan kagum kepada Yauw-twako, akan tetapi...... aku tidak yakin betul bagaimanakah rasanya kalau jatuh cinta. Maka tadi kutanyakan kepadamu."
Ceng Ceng merangkul Li Hong. "Li Hong, Adikku, tidak ada salahnya bagi setiap orang untuk jatuh cinta. Bahkan hidup tanpa adanya cinta akan hampa. Sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi seorang gadis apabila ada seorang pemuda yang mencintanya, yang benar-benar mencintanya dengan tulus, bukan sekedar cinta terdorong nafsu gairah berahi, dan pemuda itu juga ia cinta. Akan tetapi, setiap orang gadis haruslah berhati-hati untuk jatuh cinta, harus waspada agar tidak sampai hanyut oleh cinta palsu karena hal itu akhirnya akan menyakitkan sekali. Wanitalah yang paling menderita kalau sampai pasangan yang tadinya saling mencinta itu akhirnya gagal dan berpisah, bahkan saling membenci."
"Mengapa wanita yang paling menderita, Enci?"
"Memang, pria dan wanita itu sama saja, akan tetapi sudah menjadi kenyataan sejak sejarah berkembang bahwa dalam masalah hubungan antara pria dan wanita, si wanitalah yang berada di pihak lentah. Kalau sebuah perkawinan sampai gagal dan terjadi perceraian, si wanita akan dikecam dan dipandang kurang baik di mata masyarakat, sebutan janda merupakan sebutan yang diucapkan dengan nada mencibir dan dengan prasangka buruk, sedangkan si pria tidak terpengaruh nama atau kehormatannya. Tidak ada yang mencibir kalau seorang duda menikah lagi, akan tetapi kalau seorang janda yang menikah lagi, banyak orang, terutama kaum wanita, akan mencibir dan mengejek."
"Wah, ini tidak adil! Harus diberantas!" Li Hong seperti terbakar, penasaran dan marah. "Kalau ada laki-laki yang palsu cintanya dan menyia-nyiakan wanita yang tadinya saling mencinta dengannya, akan kupecahkan kepalanya!"
"Husshh, Hong-moi. Tahanlah kemarahanmu. Kalau sampai terlaksana kehendakmu itu, kukira dunia ini akan kehilangan prianya lebih dari setengah jumlahnya!"
Ucapan Ceng Ceng ini mengandung kebenaran karena pada jaman itu, derajat kaum wanita di Cina memang amat rendah. Pada masa itu wanita mudah dikawini dan mudah pula diceraikan, bahkan dihargai seolah barang yang indah dan berharga. Akan tetapi karena cinta kaum prianya pada masa itu seperti yang dikenal umum adalah cinta berahi, maka para pria itu mudah bosan terhadap wanita yang tadinya dicintanya dan yang dulu diperebutkannya dengan taruhan nyawa!
"Aih, Enci Ceng, pendapatmu tentang pria tadi amat menakutkan hatiku. Apakah Yauw-twako termasuk pria seperti itu, yang tidak menghargai wanita, yang palsu cintanya dan mudah bosan sehingga mudah menyia-nyiakan pasangannya" Rasanya aku tidak percaya, Enci!"
"Aku pun mengharap dengan sangat agar Yauw-twako bukan termasuk laki-laki yang palsu cintanya. Apalagi kalau dia menjadi laki-laki pilihan hatimu, laki-laki yang engkau cinta. Kalau sampai dia kelak menyia-nyiakanmu dan ternyata cintanya palsu, aku sendiri yang akan menghajarnya, Hong-moi. Akan tetapi kuharap sebelum terlanjur, engkau sebaiknya berhati-hati dan setelah yakin bahwa cintanya murni dan tulus, baru engkau dapat menerima cintanya."
Li Hong mengangguk-angguk. "Tadi aku pun mengatakan bahwa aku belum dapat mengambil keputusan apakah aku mencintanya atau tidak, Enci Ceng. Kuharap saja cintanya murni. Aku tidak ingin kelak menderita sengsara karena cinta, seperti yang pernah diderita oleh guruku yang kini menjadi ibu tiriku itu selama belasan tahun."
"Akan tetapi akhirnya gurumu menemukan kebahagiaan karena sebetulnya cinta ayah kandungmu terhadapnya adalah murni. Sudahlah, Hong-moi, tidak baik membicarakan Yauw-twako. Yang penting engkau berhati-hati dan jangan hanya menuruti keinginan hati, melainkan pergunakan kewaspadaanmu sehingga engkau tidak akan salah pilih."
Li Hong mengerutkan alisnya ketika memandang wajah kakak angkatnya. Ia menemukan kesedihan tertahan yang tersembunyi di balik ucapan encinya itu.
"Enci Ceng, aku yakin bahwa engkau tidak salah pilih ketika engkau saling mencinta dengan kakak misanku Pauw Cun Giok. Dia telah bertunangan karena diikatkan perjodohan itu oleh mendiang gurunya. Kelak, kalau aku bertemu dengan dia, pasti aku akan menegurnya karena dia telah membuatmu menderita dan sedih."
Mendengar ini, Ceng Ceng tersenyum dan awan kesedihan tadi lenyap dari wajahnya yang jelita dan penuh kelembutan.
"Aih, mengapa engkau menyinggung hal itu, Hong-moi" Aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Selalu ingatlah, Hong-moi bahwa hidup di dunia ini hanya ada dua hal yang teramat penting dan yang mempengaruhi seluruh jalan hidupmu. Kedua hal itu adalah menanam dan memetik buahnya. Segala perbuatan kita, termasuk pemikiran dan pengucapan, merupakan benih yang kita tanam. Karena benih itu akan menjadi pohon dan berbuah, maka seyogianya kita menanam benih yang terbaik, berarti kita melakukan perbuatan yang terbaik. Kemudian segala peristiwa yang menimpa diri kita, itu bukan lain adalah memetik buah dari benih kita tanam sendiri. Oleh karena itulah, Hong-moi, semua hal yang menimpa diriku, baik maupun buruk, adalah hasil petikan buah dari pohon yang kutanam sendiri, entah kapan aku menanamnya. Maka, aku tidak perlu bersedih, tidak perlu menyalahkan siapa-siapa karena sudah sepantasnyalah kalau aku memetik dan makan buah dari hasil tanamanku sendiri."
"Aduh, Enci Ceng, engkau seorang gadis yang luar biasa dan bijaksana sekali!"
"Tidak, Hong-moi. Aku pun tiada bedanya dengan engkau atau siapapun juga, lemah dan mudah terpengaruh. Yang penting kita harus selalu waspada setiap saat, terutama sekali, di samping waspada terhadap segala di luar diri, harus waspada terhadap diri sendiri. Waspada terhadap apa yang kupikirkan, apa yang kukatakan, dan apa yang kulakukan. Kewaspadaan yang terus menerus terhadap diri sendiri ini mendatangkan kebijaksanaan, Adikku, walaupun tidak mungkin manusia itu sempurna, namun setidaknya akan selalu ingat untuk menanam benih terbaik melalui pemikiran, ucapan, dan perbuatan."
Malam telah larut dan kedua orang gadis itu tidur untuk menjaga kesehatan dan kesiapan diri karena mereka maklum bahwa mereka masih menghadapi banyak tantangan dalam usaha mereka mencari harta karun yang dicuri orang.
"Y" Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali mereka telah siap. Pagi itu adalah saat yang ditentukan oleh tantangan Hek Pek Mo-ko terhadap ketua Ang-tung Kai-pang. Kui-tung Sin-kai sudah berdiri di halaman depan rumahnya, dihadap para anggauta Kai-pang yang berjumlah sekitar seratus orang, tidak termasuk anak bini mereka. Ketua itu mengenakan pakaian tambal-tambalan baru, memegang tongkat merahnya dan tampak gagah berwibawa.
Di sebeiahnya berdiri Yauw Tek, juga mengenakan pakaian tambal-tambalan dan memegang sebatang tongkat merah. Ceng Ceng dan Li Hong yang berada di dekat merasa lucu melihat Yauw Tek, akan tetapi juga harus mereka akui bahwa dengan pakaian pengemis itu pun Yauw Tek tampak tampan dan gagah.
"Para anggauta Kai-pang!" seru ketua itu dengan lantang. "Kami akan turun bukit memenuhi tantangan Hek Pek Mo-ko. Kami hanya mengajak limapuluh orang anak buah. Yang lain, sisanya harus melakukan penjagaan di perkampungan kita. Hari ini semua pekerjaan ditunda dan yang penting adalah menjaga keamanan kampung. Kepada mereka yang mengikuti kami turun bukit, sekali lagi kuperingatkan. Kalian ikut bukan untuk bertempur, melainkan hanya untuk menjaga agar kami yang melakukan pi-bu (adu silat) tidak sampai dikeroyok. Ingat, tanpa adanya perintah dariku, semua dilarang turun tangan menyerang!"
Setelah menyampaikan pesan dan perintahnya, rombongan itu turun bukit. Kui-tung Sin-kai berjalan di depan, ditemani Yauw Tek, Ceng Ceng, dan Li Hong. Di belakang mereka berjalan limapuluh orang anak buah yang semua berpakaian tambal-tambalan dan memegang tongkat merah.
Ketika mereka tiba di tempat dekat hutan di mana kemarin dulu anggauta Kai-pang berkelahi melawan anak buah Hek Pek Mo-ko, rombongan itu melihat rombongan lawan sudah berada di situ. Di depan rombongan itu berdiri dua orang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun yang bukan lain adalah Hek Pek Mo-ko.
Hek Mo-ko bermuka hitam arang, pakaiannya juga hitam tubuhnya sedang dan sikapnya sombong. Sebatang golok besar tergantung di punggungnya dan dia berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum mengejek. Di sebelah kirinya berdiri Pek Mo-ko yang lebih muda beberapa tahun. Pek Mo-ko juga bertubuh sedang, akan tetapi mukanya seputih kapur dan pakaiannya juga serba putih. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Sikapnya juga sombong seperti kakaknya. Di belakang mereka berdiri dua gerombolan orang, ada yang berpakaian serba hitam dan ada yang serba putih. Jumlah mereka sekitar limapuluh orang.
Seperti sudah disepakati sebelumnya, yang maju menghadapi dua orang majikan Bukit Batu itu adalah Kui-tung Sin-kai dan Yauw Tek yang juga berpakaian pengemis dan memegang tongkat merah. Kini mereka berdua berdiri berhadapan dengan, Hek Pek Mo-ko.
Hek Mo-ko yang berwajah hitam sambil tersenyum mengejek berkata dengan nada tinggi hati. "Heh-heh, engkau datang juga memenuhi tantangan kami, Kui-tung Sin-kai!"
Ketua Ang-tung Kai-pang masih bersikap tenang lalu berkata dengan lantang penuh wibawa. "Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, selama ini antara kalian dan kami tidak pernah terjadi permusuhan apa pun dan tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Akan tetapi mendadak ada anak buah kalian yang menghina anak buah kami dan memaki kami sebagai pencuri! Apa sebenarnya niat buruk kalian karena agaknya kalian mendukung anak buah kalian yang jahat itu?"
"Heh-heh-heh-heh!" Pek Mo-ko tertawa dan menudingkan telunjuknya kepada Ketua Kai-pang. "Bukan menuduh sembarangan, karena kami hampir yakin bahwa kalian yang mencuri harta karun Kerajaan Sung itu!"
"Hemm, tuduhan membabi buta! Apa dasar dan alasan maupun buktinya bahwa kami melakukan pencurian itu?"
"Ha-ha-ha, alasannya sudah jelas! Kalian ini hidup sebagai pengemis yang selalu kekurangan makan, tentu saja haus akan harta benda. Kalau yang mencuri itu tinggal di Thai-san ini, seperti pengakuan mereka, siapa lagi pelaku pencurian itu kecuali Ang-tung Kai-pang?" kata Hek Mo-ko.
"Heii! Babi muka hitam dan anjing muka putih! Aku tahu sekarang! Kalian sengaja menuduh Ang-tung Kai-pang untuk mengalihkan perhatian, padahal sebetulnya kalian dua binatang bermulut kotor inilah yang menjadi pencuri!" seru Li Hong.
Tentu saja Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko marah sekali. Belum pernah selama hidup mereka dimaki dengan kata-kata demikian menghina, apalagi oleh seorang gadis muda seperti ini!
"Perempuan keparat!" Hek Mo-ko mendorongkan tangan kanannya ke arah Li Hong yang memakinya. Sinar hitam menyambar ke arah Li Hong, akan tetapi dengan beraninya Li Hong menyambutnya dengan Hek-tok-tong-sim-ciang yang juga mengeluarkan asap hitam.
"Derrrr......!" Hek Mo-ko terkejut ketika merasa betapa hawa pukulannya membalik, sungguhpun Li Hong juga merasa betapa kuatnya pukulan manusia muka hitam itu.
Ketua Kai-pang melangkah maju. "Hek Pek jangan menyerang lain orang. Kita selesaikan urusan antara kita. Kami dari Ang-tung Kai-pang menyambut tantanganmu untuk mengadakan pi-bu di sini. Dengan cara apa kalian hendak mengadu kepandaian" Satu lawan satu" Aku yang akan maju! Kalian maju berdua" Aku akan maju bersama saudara mudaku ini! Ataukah kalian mau secara keroyokan mengerahkan orang-orangmu" Kami juga tidak akan mundur dan sudah siap!"
Hek Mo-ko memandang kepada Yauw Tek penuh perhatian. Dia merasa heran dan curiga melihat betapa teman Ketua Kai-pang itu seorang pemuda tampan dan tidak patut mengenakan pakaian pengemis.
"Kui-tung Sin-kai, siapakah pemuda ini" Benarkah dia anggauta Kai-pang" Orang muda, benarkah engkau anggauta Kai-pang dan siapa namamu?"
"Aku anggauta Kai-pang baru dan namaku Yauw Tek," kata pemuda itu singkat.
Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko saling pandang. Kedua orang ini sudah memperhitungkan dan maklum bahwa kalau mereka bertanding keroyokan, pihak mereka yang akan menderita rugi. Tadi Hek Mo-ko mengalami sendiri betapa gadis muda cantik jelita itu mampu menahan pukulan sinar hitamnya. Padahal dia terkenal dengan pukulan Hek-kong-ciang (Tangan Sinar Hitam) seperti juga Pek Mo-ko terkenal dengan pukulannya yang ampuh Pek-kong-ciang (Tangan Sinar Putih). Nah, di pihak Ang-tung Kai-pang terdapat orang-orang muda yang lihai, semuanya ada tiga orang, berarti di pihak musuh ada empat orang yang tinggi tingkat kepandaiannya. Sedangkan di pihak mereka hanya ada mereka berdua. Juga mereka melihat betapa Ang-tung Kai-pang mengerahkan anggautanya yang jumlahnya sekitar limapuluh orang, sebanding dengan anak buah mereka sendiri.
Hek Pek Mo-ko, keduanya adalah laki-laki yang mata keranjang. Mereka masing-masing telah memiliki lima orang isteri, akan tetapi setiap kali melihat wanita muda yang jelita, mata mereka masih berminyak. Kini, melihat Ceng Ceng dan Li Hong yang memiliki kecantikan luar biasa, jauh melebihi kecantikan wanita yang pernah mereka miliki, tentu saja mereka berdua tertarik sekali. Apalagi melihat seorang di antara dua gadis itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Alangkah senangnya kalau mereka berdua mendapatkan dua orang gadis jelita dan sakti itu sebagai isteri dan pembantu mereka!
"Kui-tung Sin-kai, kami bukan pengecut yang suka mengandalkan keroyokan. Kami menantangmu untuk bertanding satu lawan satu, atau dua lawan dua. Kami berdua yang akan maju. Nah, dari pihakmu siapa yang akan menandingi kami?"
"Aku sendiri dan rekanku Yauw Tek ini yang akan menandingi kalian berdua," kata Kui-tung Sin-kai menjawab.
"Heh-heh-heh, bagus sekali!" Pek Mo-ko tertawa dengan sikap memandang rendah. "Akan tetapi, sebuah pertandingan harus ada taruhannya! Kui-tung Sin-kai apa yang hendak kaupertaruhkan dalam pi-bu (adu silat) ini?"
07.3. Penghinaan Hek Pek Mo-ko
Ketua Kai-pang itu mengerutkan alisnya dan memandang marah.
"Hek Pek Mo-ko, pihakmu yang pertama menghina kami, kemudian kalian pula yang menantang pi-bu! Kalau kalian kalah, kalian harus menarik kembali tuduhan kalian bahwa kami mencuri harta karun dan minta maaf kepada kami!"
"Ha-ha, baik, kami terima taruhanmu itu. Akan tetapi sebaliknya kalau kalian kalah dan kami yang menang, engkau harus menyerahkan dua orang nona manis itu kepada kami, untuk kami jadikan isteri kami!" kata Pek Mo-ko sambil memandang kepada Li Hong dan Ceng Ceng dengan mata penuh gairah.
Li Hong merasa dadanya seperti dibakar dan hendak meledak mendengar ucapan Pek Mo-ko itu. Tak mungkin ia mendiamkan saja hinaan itu.
"Anjing belang putih busuk!" Ia berteriak dan sudah melompat dengan cepat, menyerang Pek Mo-ko bagaikan seekor singa yang menerkam lawan! Begitu menyerang, ia telah mempergunakan Hek-tok-tong-sim-ciang yang ampuh. Telapak tangannya berubah menghitam dan begitu angin pukulannya menyambar, Pek Mo-ko sudah merasakan sambaran angin pukulan yang dahsyat itu. Dia terkejut dan cepat dia miringkan tubuh dan menangkis dengan ilmu andalannya, yaitu Pek-tok-ciang!
"Wuuutt...... derrr......!!" Tubuh Pek Mo-ko terdorong ke belakang dan Li Hong juga merasa betapa lengannya tergetar. Namun ia tidak gentar dan menyerang terus. Pek Mo-ko cepat mencabut pedangnya dan balas menyerang!
"Anjing, mampuslah!" Li Hong membentak dan tampak sinar hitam menyambar. ketika ia mencabut Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun) lalu pedangnya berkelebat menjadi sinar hitam yang bergulung-gulung dan mengeluarkan bunyi mencicit mengerikan!
Pek Mo-ko makin terkejut, akan tetapi dia pun bukan seorang lemah, melainkan seorang ahli pedang yang lihai, maka dia pun melawan mati-matian sehingga terjadilah perkelahian dengan pedang yang amat seru. Melihat betapa lihainya Li Hong, Hek Mo-ko mengkhawatirkan adiknya. Mereka berdua memang memiliki keistimewaan, yaitu ketangguhan mereka menjadi berlipat ganda kalau mereka maju bersama. Mereka telah membentuk ilmu pedang dan golok yang disatukan saling bantu dalam penyerangan dan saling melindungi dalam pertahanan. Maka Hek Mo-ko lalu melompat dan maju mengeroyok Li Hong!
"Hemm, kalian berdua manusia curang!" terdengar seruan lembut dan bayangan putih berkelebat cepat sekali ketika Pek-eng Sianli Liu Ceng Ceng sudah melompat dan terjun ke arena pertempuran untuk membantu adik angkatnya yang dikeroyok. Ceng Ceng yang menggunakan senjata ranting, namun karena gerakannya yang luar biasa cepat dan ringannya, dan tenaga sin-kang tinggi yang membuat ranting itu menjadi senjata yang kuat dan berbahaya, maka begitu diterjang oleh gadis ini, Hek Mo-ko terpaksa melindungi dirinya dari ancaman bayangan putih yang seolah mengepung dan mengitari dirinya itu!
Kui-tung Sin-kai dan Yauw Tek hanya saling pandang dan Yauw Tek menggerakkan kedua pundaknya tanda bahwa dia tidak berdaya. Memang tidak mungkin mencegah Li Hong bertindak. Tidak mungkin mencoba untuk menghentikan Li Hong yang mengamuk itu. Dan Ceng Ceng hanya membantu Li Hong melihat adiknya dikeroyok. Tentu saja kedua orang gagah ini tidak mau maju mengeroyok walaupun pi-bu itu kini salah alamat. Yang ditantang adalah Ketua Kai-pang, akan tetapi kini yang maju adalah dua orang gadis luar yang sama sekali bukan anggauta Ang-tung Kai-pang!
Akan tetapi melihat Yauw Tek agaknya tidak dapat menghentikan amukan Li Hong yang kini dibantu Ceng Ceng, Kui-tung Sin-kai juga tidak berani turun tangan dan terpaksa dia hanya menjadi penonton. Ketua Kai-pang ini pun terkejut dan kagum bukan main. Dia sudah tahu akan kelihaian Yauw Tek, akan tetapi melihat sepak terjang dua orang gadis cantik itu ketika melawan Hek Pek Mo-ko, dia benar-benar kagum. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa dua orang gadis itu memiliki ilmu silat yang demikian hebatnya sehingga mereka bedua mampu menandingi Hek Pek Mo-ko!
Sementara itu, Yauw Tek juga tidak dapat berbuat sesuatu. Dia tidak berani menghentikan atau mencegah dua orang gadis itu, terutama Li Hong, untuk berhenti mengamuk. Dan dipikir memang dua orang macam Hek Pek Mo-ko itu pantas untuk diberi hajaran keras!
Anak buah kedua pihak juga tercengang melihat perubahan keadaan ini. Mereka tidak jadi melihat kedua pimpin"an mereka melakukan pi-bu, melainkan dua orang gadis jelita yang amat lihai bertanding mati-matian melawan Hek Pek Mo-ko! Ketika Kui-tung Sin-kai memandang kepada Yauw Tek dengan sinar mata mengandung pertanyaan dan minta pendapat, Yauw Tek menggelengkan kepala.
"Biarkan saja, Pangcu. Tidak mungkin menghentikan Hong-moi, dan aku kira mereka tidak akan kalah. Aku sudah siap melindungi mereka kalau terancam bahaya."
Legalah hati Kui-tung Sin-kai mendengar ini. Tentu saja hatinya merasa khawatir dan tidak enak sekali kalau sampai dua orang gadis itu menderita luka atau tewas karena membela perkumpulannya.
Perkelahian itu memang seru dan hebat sekali. Mula-mula mereka memang bertanding secara terpisah. Pek Mo-ko melawan Li Hong, dan Hek Mo-ko melawan Ceng Ceng. Akan tetapi dalam pertandingan satu lawan satu ini, Pek Mo-ko kalah ganas dibandingkan Li Hong, sedangkan Hek Mo-ko kalah cepat dari lawannya, Ceng Ceng. Maka, melihat pihaknya terdesak, Hek Mo-ko memberi isyarat dan mereka berdua kini bekerja sama, menggabungkan ilmu silat pedang dan golok mereka.
Begitu mereka bergabung, memang dua orang gadis itu terkejut dan agak kewalahan. Lawan yang bergabung itu menjadi kuat bukan main, juga mereka menggunakan penggabungan tenaga Hek-tok-ciang dan Pek-tok-ciang, menambah serangan senjata mereka dengan dorongan pukulan tangan kiri mereka yang berubah hitam dan putih.
Namun, Li Hong menyambut dengan dorongan tangan kiri dengan ilmu andalannya, yaitu Hek-tok-tong-sim-ciang, sedangkan Ceng Ceng mengandalkan kelebihannya dalam gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehingga tubuhnya berubah menjadi bayangan putih yang berkelebatan dan sulit untuk dapat dijadikan sasaran.
Melihat betapa Hek Pek Mo-ko menjadi kuat sekali setelah menjadi pasangan yang tergabung, Yauw Tek mengerutkan alisnya. Berbahaya juga bagi dua orang gadis itu kalau keadaannya terus begini, pikirnya. Dia diam sejenak memperhatikan jalannya pertandingan lalu dia berseru kepada dua orang gadis itu.
"Ceng-moi, engkau bagian pertahanan dan Hong-moi di bagian penyerangan!"
Dua orang gadis itu dapat menangkap apa yang dimaksudkan Yauw Tek dengan seruan itu. Yauw Tek memang sudah memperhitungkan ketika dia mengamati perkelahian itu. Li Hong amat ganas dengan penyerangannya, membahayakan lawan. Sedangkan Ceng Ceng yang memiliki gerakan luar biasa cepatnya itu, lebih kuat dalam pertahanan. Hal ini mungkin karena watak lembut dan hati penuh kedamaian itu membuat Ceng Ceng tidak terlalu kejam dan bahkan tidak tega untuk membunuh lawan sehingga penyerangannya kurang ganas, tidak seperti Li Hong yang mengamuk seperti seekor naga marah!
Dua orang gadis perkasa itu percaya sepenuhnya kepada Yauw Tek. Maka, mendengar seruan pemuda itu, mereka lalu mengubah cara tata kelahi mereka. Li Hong mengamuk dan membagi-bagi serangannya kepada dua orang lawan itu, sedangkan Ceng Ceng dengan gerakannya yang cepat membentuk pertahanan dan rantingnya membentuk perisai yang kuat dan yang dapat menahan atau menangkis semua serangan golok dan pedang Hek Pek Mo-ko!
Perkelahian itu semakin seru dan menegangkan. Akan tetapi juga indah ditonton. Menakjubkan sekali melihat bayangan putih Ceng Ceng berkelebatan seolah menjadi banyak, berkelebatan di antara bayangan hitam dan putih dari Hek Pek Mo-ko, ditambah sinar pedang Ban-tok-kiam di tangan Li Hong, sinar putih pedang dan golok di tangan Hek Pek Mo-ko, dan sinar kuning dari ranting yang digerakkan Ceng Ceng!
Para anak buah kedua pihak menonton dengan penuh rasa kagum, tegang dan juga terkejut karena semula tidak ada yang mengira bahwa dua orang gadis cantik itu memiliki kepandaian setinggi itu. Yang paling terkejut dan juga cemas adalah Hek Pek Mo-ko. Tadi ketika mereka bergabung, mereka hampir yakin akan mampu mengalahkan dua orang gadis itu. Akan tetapi sekarang ternyata pertahanan yang dilakukan gadis baju putih yang memiliki gerakan amat ringan dan cepat itu kokoh sekali, juga serangan-serangan gadis yang memiliki pedang hitam mengerikan itu amat berbahaya dan ganas. Kini mereka menyadari bahwa kalau dilanjutkan, mereka akan kalah dan mendapat malu. Maka, untuk mencari jalan agar dapat keluar dari desakan Li Hong, Hek Mo-ko berseru memberi isyarat kepada anak buahnya.
Mendengar isyarat ini, sekitar limapuluh orang anak buah Hek Pek Mo-ko bersorak dan mereka maju dengan senjata di tangan, hendak mengeroyok dua orang gadis itu. Tentu saja Kui-tung Sin-kai segera memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menyambut mereka. Dia sendiri juga mengamuk dengan tongkat merahnya.
Anak buah Hek Pek Mo-ko itu pun maju dua-dua seperti pimpinan mereka. Seorang anggauta berpakaian hitam ditemani seorang anggauta berpakaian putih dan senjata mereka yang berlainan, yang hitam bersenjata golok, yang putih pedang, dan mereka bergerak saling bantu dengan kompak sekali! Terjadilah pertempuran yang seru di antara anak buah kedua pihak. Yauw Tek sendiri hanya menonton karena dia merasa kurang adil kalau dia melawan para anak buah Hek Pek Mo-ko yang tentu saja tidak akan mampu menandinginya.
Hek Pek Mo-ko yang sudah memperhitungkan keadaan, ketika beberapa orang anak buah mereka datang membantu, mereka menggunakan kesempatan selagi terjadi kekacauan itu, mereka melompat jauh ke belakang dan melarikan diri!
"Anjing-anjing busuk, kalian hendak lari ke mana?" Li Hong melompat dan melakukan pengejaran memasuki hutan.
"Hong-moi......!" Ceng Ceng hendak mengejar, akan tetapi Yauw Tek sudah berada di dekatnya.
"Ceng-moi, biarkan aku yang mengejar Hong-moi." Pemuda itu memandang ke sekeliling di mana terjadi pertempuran itu. "Engkau di sini saja membantu Ketua Kai-pang." Sebelum Ceng Ceng menjawab Yauw Tek sudah melompat dan mengejar ke arah larinya Li Hong yang mengejar dua orang lawannya itu.
Pertempuran itu masih berlangsung seru. Ketika para anak buah Hek Pek Mo-ko melihat dua orang pemimpin mereka melarikan diri, hati mereka merasa gentar. Sudah ada belasan orang rekan mereka yang roboh. Maka setelah tidak ada lagi yang memimpin, mereka lalu melarikan diri sambil membawa teman-teman yang terluka dan meninggalkan lima orang rekan yang sudah tewas.
Kui-tung Sin-kai melarang anak buahnya untuk melakukan pengejaran terhadap lawan yang melarikan diri. Ceng Ceng sibuk memeriksa dan mengobati sembilan orang anak buah Kai-pang yang terluka. Tidak ada yang tewas di antara mereka. Sebelum kembali ke perkampungan mereka, Kui-tung Sin-kai memerintahkan anak buahnya untuk mengubur mayat lima orang anggauta Hek Pek Mo-ko.
Melihat ini, Ceng Ceng semakin suka kepada Ketua Kai-pang itu. Sebaliknya, Kui-tung Sin-kai kagum bukan main melihat betapa cekatan dan pandainya Ceng Ceng mengobati mereka yang terluka. Gadis yang lemah lembut ini, selain lihai ilmu silatnya, ternyata juga merupakan seorang ahli pengobatan yang pandai pula.
Setelah semua selesai dan para anggauta Kai-pang disuruh pulang, Kui-tung Sin-kai berkata kepada Ceng Ceng. "Nona Liu, bagaimana dengan Nona Tan dan Yauw-sicu yang mengejar musuh tadi?"
"Pangcu, tadi ketika terjadi serbuan dari anak buah Hek Pek Mo-ko, dalam kekacauan itu Hek Pek Mo-ko lalu melarikan diri. Hong-moi segera mengejar mereka. Hong-moi tidak dapat dicegah, Pangcu, karena ia memang berhati keras dan membenci Hek Pek Mo-ko yang telah menghinanya. Aku hendak mengejar, akan tetapi Yauw-twako melarangku, menyuruh aku tinggal dan dialah yang melakukan pengejaran."
"Hemm, berbahaya sekali." Ketua Kai-pang itu mengelus jenggotnya yang panjang. "Sekarang Hek Pek Mo-ko berada di bagian Utara pegunungan ini, di Bukit Batu yang terletak jauh dari sini yang berada di bagian Selatan. Dua orang itu licik dan berbahaya, aku khawatir kalau-kalau Nona Tan akan terjebak oleh mereka."
"Tidak perlu khawatir, Pangcu. Hong-moi memiliki ilmu silat yang amat tangguh, cukup kuat untuk menjaga diri. Apalagi ada Yauw-twako yang mengejarnya."
"Syukurlah kalau begitu, hatiku tidak gelisah lagi. Nona Liu, sekarang terbuktilah bahwa urusan harta karun Kerajaan Sung yang kabarnya dicuri orang yang berasal dari Thai-san sudah diketahui banyak orang dan pasti akan menggegerkan dunia kang-ouw. Hek Pek Mo-ko sudah menuduh bahwa Ang-tung Kai-pang sebagai pencurinya. Bagaimana menurut pendapatmu" Benarkah pendapat Nona Tan tadi bahwa agaknya Hek Pek Mo-ko sendiri yang mencurinya dan hendak mengalihkan perhatian agar orang-orang mengira kami yang mencurinya?"
"Biarpun perkiraan Hong-moi itu mungkin dilakukan oleh pencuri harta karun untuk mengalihkan perhatian sehingga si pencuri sendiri tidak dicurigai, akan tetapi menurut pendapatku, agaknya Hek Pek Mo-ko tidak mencuri harta itu. Mereka memang mengira bahwa harta itu ada pada Ang-tung Kai-pang, maka mereka sengaja mencari permusuhan. Tentu saja dengan harapan kalau mereka dapat mengalahkan dan menguasai Ang-tung Kai-pang, harta karun itu akan dapat mereka miliki. Tidak, Pangcu, kukira pencurinya adalah orang yang jauh lebih lihai dan berbahaya dibandingkan Hek Pek Mo-ko. Orang yang berani menantang seperti pencuri itu dengan mengaku bahwa dia datang dari Thai-san, pasti bukan orang sembarangan dan dia sudah yakin bahwa dia mampu menandingi siapa saja yang hendak mengganggunya."
Mereka lalu pulang dan menanti kembalinya Li Hong dan Yauw Tek di perkampungan Ang-tung Kai-pang.
Akan tetapi setelah menanti sehari semalam Li Hong dan Yauw Tek belum juga kembali ke perkampungan itu, Kui-tung Sin-kai mulai merasa gelisah. Bagaimanapun juga, Li Hong dan Yauw Tek adalah tamunya yang telah membela Ang-tung Kai-pang sehingga mereka terlibat permusuhan dengan Hek Pek Mo-ko. Kalau mereka tertimpa bencana, dia merasa bertanggung jawab. Ketika dia mengemukakan kekhawatirannya kepada Ceng Ceng, gadis itu berkata tenang.
"Harap Pangcu tenang. Aku percaya sepenuhnya kepada Hong-moi dan Yauw-twako. Mereka pasti mampu menjaga diri dengan baik. Tentu ada sesuatu yang sedang mereka selidiki maka mereka belum kembali ke sini."
"Akan tetapi, bagaimana kalau sesuatu itu mengancam keselamatan mereka" Aku merasa tidak enak sekali karena mereka terlibat karena membela kami."
Ceng Ceng tersenyum memandang ketua itu. "Baiklah, Pangcu. Aku akan menyusul mereka." Setelah berkata demikian, Ceng Ceng berkemas lalu pergi mencari Yauw Tek dan Li Hong. Ketika Kui-tung Sin-kai hendak menemaninya atau menyuruh anak buahnya mengawal, Ceng Ceng menolaknya dengan halus. Ia mengatakan bahwa ia biasa melakukan perjalanan seorang diri dan minta agar ketua itu tidak khawatir.
"Y" Dengan penuh kemarahan Li Hong melakukan pengejaran terhadap Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang melarikan diri ke dalam hutan. Dua orang itu telah berani menghinanya, karena itu ia tidak akan merasa puas sebelum dapat membunuh mereka! Sebetulnya, dalam hal ilmu berlari cepat, Li Hong masih lebih unggul dibandingkan Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi kelebihannya ini tidak ada artinya karena ia sama sekali tidak mengenal daerah itu. Maka terkadang ia kehilangan bayangan dua orang yang dikejarnya.
Li Hong tidak mau menghentikan pengejarannya. Ia mencari terus dan setelah mendapatkan jejak mereka, ia mengejar terus dengan penuh semangat. Saking semangatnya, ia tidak menyadari bahwa ia telah melakukan pengejaran setengah hari lebih, juga tidak menyadari bahwa ia telah jauh meninggalkan tempat pertandingan tadi. Ia telah keluar masuk beberapa buah hutan, naik turun beberapa buah bukit dan masih terus ia membayangi dua orang itu, seperti seorang pemburu sedang mengejar dua ekor binatang buruannya!
Perubahan cuaca tidak disadarinya. Perlahan-lahan cuaca menjadi kurang cerah karena matahari telah condong ke barat. Baru setelah ia memasuki sebuah hutan lebat di lereng Thai-san itu, menyadari bahwa cuaca mulai gelap.
Hutan itu lebat, penuh pohon-pohon yang tinggi dan besar sehingga sinar matahari yang mulai melemah itu sukar dapat menembus celah-celah pohon. Begitu menyadari bahwa hari telah mulai sore dan ia kembali kehilangan jejak dua orang yang diburunya, Li Hong menyadari keadaannya dan ia menjadi bingung juga. Ia berada di tengah hutan lebat, tidak akan mudah mencari jalan pulang ke perkampungan Ang-tung Kai-pang. Ia juga menyadari bahwa tidak ada gunanya lagi melanjutkan pengejaran karena sebentar lagi tentu gelap dan tak mungkin ia melanjutkan pengejaran. Dua orang itu tidak akan dapat disusulnya. Ia merasa gemas dan penasaran sekali.
Ia berdiri di tengah hutan, menghentikan pengejarannya, mengepal kedua tangan dan berkata gemas. "Biarlah! Hari ini kalian dapat melarikan diri. Tunggu, aku akan mendatangi sarangmu dan di sana aku akan membunuh Hek Pek Mo-ko!"
Setelah berkata demikian, ia mulai mencari jalan untuk kembali ke perkampungan Ang-tung Kai-pang. Namun ia menjadi bingung karena di dalam hutan lebat itu ia kehilangan arah. Akan tetapi ia tidak mau kemalaman dalam hutan lebat itu dan melangkah terus untuk dapat keluar dari dalam hutan.
Senja telah masuk ke dalam hutan. Cuaca mulai remang-remang. Li Hong mulai merasa khawatir. Kalau ia tidak mampu keluar dari dalam hutan sebelum malam tiba, berarti ia harus melewatkan malam di dalam hutan lebat dan gelap itu! Karena cuaca mulai gelap dan hatinya merasa penasaran, jengkel dan agak bingung, kewaspadaannya berkurang. Ketika ia melangkah di bawah sebatang pohon besar, ia menginjak tanah berumput, tiba-tiba kedua kakinya terperosok ke sebuah lubang, disambut sebuah jala dan ia pun terangkat ke atas di dalam sebuah jala hitam yang kuat!
"Keparat!" Li Hong mengutuk. Ia telah terjerat jebakan yang agaknya dipasang orang untuk menjebak binatang dan menangkapnya hidup-hidup! Li Hong meronta dan meraba gagang pedangnya di punggung. Karena jala itu kuat dan ketat membungkus tubuhnya, agak sukar baginya untuk mencabut pedangnya guna membabat putus jala itu.
Tiba-tiba, sebelum ia berhasil mencabut pedangnya, sesosok bayangan berkelebat dalam keremangan cuaca itu, lalu cepat sekali bayangan itu memukul tengkuk Li Hong yang masih rebah telentang dalam jala dan tergantung. Li Hong tidak mampu menghindarkan diri dan begitu tengkuknya ditepuk, ia pun pingsan dan tidak tahu apa-apa lagi!
Ketika siuman dari pingsannya, Li Hong mendapatkan dirinya berada dalam pondongan seorang laki-laki tinggi besar. Tubuhnya telungkup di pundak orang itu dan ketika dengan marah ia hendak me"ngerahkan tenaga untuk meronta dan melepaskan diri, dengan kaget ia mendapatkan bahwa kaki tangannya tidak mampu digerakkan! Ternyata ia telah tertotok secara lihai sekali sehingga tubuhnya menjadi lemas dan tidak dapat mengerahkan tenaga!
Li Hong adalah seorang gadis pemberani yang cerdik. Ia tidak merasa takut dan tidak bergerak, berpura-pura masih pingsan akan tetapi ia diam-diam memperhitungkan segalanya. Laki-laki tinggi besar yang tak dapat dilihat wajahnya dengan jelas karena cuaca sudah gelap itu, melangkah lebar dan di sebelah kirinya terdapat orang kedua yang berjalan. Orang kedua ini pun tinggi besar dan mereka berjalan tanpa mengeluarkan suara. Tak lama kemudian, mereka sudah keluar dari dalam hutan itu dan berjalan di atas jalan umum yang kasar berbatu-batu.
Tak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah gubuk yang berada di tepi jalan, di luar sebuah hutan lagi. Pemanggul tubuh Li Hong berkata dengan suara yang kasar, dalam logat bahasa orang Mongol, kepada temannya.
"Buka pintunya dan nyalakan lampu," sambil memindahkan tubuh Li Hong dari pundak kiri ke pundak kanan.
"Magu, gubuk ini punyaku, maka berikanlah gadis itu lebih dulu kepadaku, baru kemudian engkau boleh......"
"Enak saja engkau! Siapa yang menangkap gadis ini" Perangkapku! Yang masuk perangkapku berarti milikku! Akan tetapi karena engkau rekanku dan engkau yang punya gubuk ini, maka nanti engkau boleh mengambil bagian. Akan tetapi aku lebih dulu! Kalau engkau tidak mau, biar aku mencari tempat lain. Untuk bersenang-senang, tidak harus di dalam gubukmu!"
"Baiklah, mari masuk," kata orang kedua.
Mereka memasuki gubuk dan sebuah lampu dinyalakan. Si Pemanggul itu lalu melepaskan tubuh Li Hong ke atas sebuah dipan kayu yang kasar. Tubuh gadis itu rebah telentang. di atas dipan dan kini ia dapat melihat agak jelas wajah kedua orang laki-laki itu dan diam-diam ia merasa ngeri. Mereka itu ternyata merupakan dua orang yang berpakaian kasar seperti para pemburu. Wajah mereka pun tampak bengis dan kasar, dengan mata, hidung dan bibir serba besar. Tubuh mereka juga kokoh dengan otot melingkar-lingkar di lengan dan dada mereka yang bajunya terbuka lebar. Li Hong merasa muak ketika tercium bau keringat dan badan mereka yang apak.
08.1. Sandaran Cinta Puteri Pulau Ular
Dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya sekitar empatpuluh tahun itu memandang kepada Li Hong dan mereka tampaknya terkejut dan terpesona. Agaknya mereka tidak pernah membayangkan bahwa tangkapan mereka ternyata seorang gadis yang demikian cantik jelitanya seperti bidadari! Mata mereka yang melotot seperti hendak menelan dan melahap tubuh langsing yang terbujur di hadapan mereka. Sinar mata mereka seperti menggerayangi seluruh tubuh Li Hong, membuat gadis itu merasa ngeri.
"Wah, Magu, kita untung besar! Seorang dewi yang cantik jelita menjadi kekasih kita! Ha-ha-ha, sungguh beruntung sekali kita!"
"Ya, dan engkau cepat pergi dari sini. Baru besok malam engkau mendapatkan giliran. Malam ini dan besok sehari aku tidak mau diganggu! Engkau berjagalah di luar agar jangan ada yang mengganggu kita!" kata orang yang tadi memanggul Li Hong dan bernama Magu. Temannya mengomel, akan tetapi keluar juga dan duduk di atas batu yang terdapat di luar gubuk itu.
Sejak tadi Li Hong sudah berusaha untuk meronta, namun tubuhnya belum juga dapat digerakkan. Rasanya lemas seluruh badannya, lemah lunglai. Bahkan ketika ia mencoba untuk mengeluarkan suara, yang terdengar hanya suara lirih saja.
"Lepaskan aku, jahanam...... lepaskan......!" Ia sudah berteriak, namun karena tidak ada tenaganya, suara itu terdengar lirih seperti bisik-bisik saja. Akan tetapi kerut merut di tubuhnya, pandang matanya yang penuh kebencian, agaknya dimengerti oleh Magu bahwa gadis ini dalam hatinya menolaknya dan berusaha untuk meronta. Dia terkekeh.
"Heh-heh-heh, rupanya engkau keras nati dan tidak mau menyerah, manisku. Engkau perlu dipaksa!" Dia lalu mengambil tali yang cukup kuat dari sudut gubuk itu dan dengan tali itu dia mengikat kedua pergelangan tangan dan kedua pergelangan kaki Li Hong, diikatkan pada keempat kaki dipan itu. Tentu saja Li Hong ingin memberontak, akan tetapi ia masih belum mampu menggerakkan kaki tangannya. Kembali Magu tertawa dan memandang kepadanya dengan mata penuh nafsu.
"Manisku, aku tidak ingin memaksamu, aku ingin engkau menyerahkan diri dengan manis!"
Setelah berkata demikian, dia mengambil sebuah bungkusan dari saku bajunya yang kotor, kemudian membawa bungkusan ke meja di sudut di mana terdapat sebuah guci dan beberapa cawan kosong. Dibukanya bungkusan dan dituangkan isinya, bubuk merah, ke dalam cawan lalu cawan itu diisi minuman dari guci. Kemudian dibawanya cawan kecil berisi arak itu ke dekat dipan dan disodorkannya cawan itu kepada Li Hong.
"Nah, minumlah arak ini, manis, dan engkau akan merasa senang dan sehat!"
Akan tetapi tentu saja Li Hong tidak sudi minum, akan tetapi ia tidak mampu menolak dengan tangannya yang telah diikat dan terbentang. Ia hanya berusaha untuk memalingkan mukanya dan mengatupkan mulutnya, walaupun dengan gerakan lemah.
Harta Karun Kerajaan Sung Seri Ke 02 Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Minum!" Orang itu membentak, lalu duduk di tepi dipan dan menggunakan tangan kirinya memaksa mulut Li Hong terbuka dengan menekan rahangnya, lalu dia menuangkan arak itu ke dalam mulut Li Hong! Gadis itu tak dapat menolak lagi, mencoba untuk menutup kerongkongannya, namun akhirnya arak itu memasuki perutnya dan ia tersedak-sedak.
Li Hong merasa betapa ada hawa panas mengamuk di dalam perutnya dan hawa panas itu menjalar ke dalam kepalanya, membuat ia merasa pening. Akan tetapi ia terkejut bukan main karena tiba-tiba saja ia merasakan rangsangan yang amat hebat dan kuat! Ia memejamkan matanya dan menggeleng-gelengkan kepalanya untuk melawan rangsangan yang tidak wajar itu. Biarpun selama hidupnya ia belum pernah merasakan rangsangan seperti itu, namun nalurinya mengatakan bahwa itu merupakan pengaruh yang tidak baik.
"Tidak...... tidak?"!" Berulang kali ia berseru sekuatnya, namun terdengar suara lirih saja. Makin lama semakin pusing dan ia segera merasakan sesuatu yang membuatnya merasa ngeri bukan main. Pakaiannya dilucuti orang! Ia masih memejamkan matanya dan ia pun dapat menduga apa yang akan terjadi padanya. Sesuatu yang dianggapnya lebih mengerikan daripada maut! Ia tidak berani membuka matanya, hanya menggelengkan kepalanya dan agaknya pengaruh totokan itu mulai berkurang karena tiba-tiba dapat menjerit nyaring.
"Jangan......! Ah, jangan......! Tolong...... tolonggg......!"
Laki-laki itu terkejut juga mendengar Li Hong mampu menjerit nyaring, akan tetapi dia tertawa dan berkata, "Percuma engkau menjerit, manisku, tidak ada yang dapat mendengarmu, ha-ha-ha! Mengapa engkau menjerit" Kita akan bersenang-senang!"
Li Hong merasa betapa rangsangan dalam tubuhnya, terutama pada otaknya, semakin kuat dan panas. Ia melawannya dengan menanamkan dalam ingatannya sambil berbisik, "Kalau kalian memperkosaku, kelak aku akan mencabik-cabik jantung kalian dan melumatkan kepala kalian!!"
Pikiran ini merupakan hiburan satu-satunya, dan ini untuk melawan rangsangan itu sehingga ia tidak akan menyerah dengan suka rela. Ia akan membunuh dan menyiksa mereka, baru kemudian ia akan membunuh diri! Ini tekadnya dan ia mengerahkan seluruh tenaga ingatannya agar tidak merasakan apa pun yang akan terjadi dengan dirinya, hanya air matanya yang mengucur deras.
Tiba-tiba terdengar suara gedobrakan di luar gubuk, disusul teriakan mengaduh. Laki-laki yang hendak menggerayangi tubuh Li Hong itu terkejut dan melompat ke pintu.
"Apa yang terjadi?" Dia bertanya kepada kawannya yang tadi menjaga di luar gubuk.
Tiba-tiba daun pintu gubuk itu roboh dan sesosok bayangan berkelebat masuk. Laki-laki yang hendak memperkosa Li Hong itu terkejut, cepat mencabut goloknya dan menyerang. Akan tetapi bayangan itu dengan tangkas mendahului dengan tendangan. Begitu kakinya mencuat, perut laki-laki tinggi besar itu tertendang dan dia roboh terjengkang! Penolong itu menangkap kakinya dan sekali dia melempar, tubuh Magu yang tinggi besar itu terlempar keluar. Penolong itu melompat keluar mengejar dan terdengar teriakan-teriakan dua orang itu, lalu terdiam.
Li Hong yang menangis tanpa mengeluarkan suara, membuka matanya dan ia sempat melihat penolongnya itu melemparkan penjahat itu ke luar pintu gubuk. Karena api lampu bergerak-gerak tertiup angin yang masuk melalui pintu yang terbuka, Li Hong tidak dapat melihat siapa penolongnya. Setelah teriakan dua orang itu tak terdengar lagi, dara ini melihat seorang laki-laki memasuki gubuk dan menutupkan pintu yang jebol pada lubang pintu sehingga api lampu itu tidak lagi bergerak-gerak tertiup angin dan Li Hong dapat melihat jelas wajah pemuda yang kini mendekati dipan.
"Twako......!" serunya dengan terisak-isak.
Pemuda yang menolongnya itu adalah Yauw Tek. Cepat Yauw Tek melepaskan tali yang mengikat kaki dan tangan Li Hong dan menepuk pundak gadis itu. Begitu dapat bergerak, Li Hong bangkit duduk sambil menangis dan merangkul Yauw Tek. Tadi ia ketakutan setengah mati, takut dan ngeri, maka pelepasan ini membuat ia merasa sangat bersyukur, girang dan juga terharu sehingga ia menangis mengguguk di dada Yauw Tek yang merangkulnya.
Demikian terguncang batin Li Hong oleh peristiwa dan kengerian yang tadi mengancam dan nyaris melanda dirinya, membuat ia lupa bahwa ia masih dalam keadaan telanjang bulat karena tadi pakaiannya telah dilucuti semua oleh Magu dan hampir tidak dirasakan Li Hong dengan cara menanamkan dendamnya.
Setelah tangisnya mereda, Li Hong berbisik, "Yauw-twako...... engkau telah menolongku...... aku berhutang budi dan nyawa kepadamu......"
"Hushh, Hong-moi, hal ini sudah wajar. Aku pasti akan membelamu dan melindungi selamanya......"
"Selamanya, Twako......" Lengan Li Hong merangkul leher sehingga Yauw Tek agak terkejut.
"Tentu saja selamanya, Hong-moi karena aku cinta padamu."
"Aku...... aku pun...... cinta padamu, Yauw-twako......"
Merangkul gadis yang telah menjatuhkan hatinya sejak pertama kali bertemu itu, yang kini dalam keadaan bugil sehingga terasa hangat dalam dekapannya, membuat Yauw Tek gemetar. Pengakuan cinta Li Hong terasa merdu sekali, mengobati hatinya yang tadinya kecewa oleh penolakan cinta Ceng Ceng. Dia lalu mendekatkan mukanya dan mencium pipi Li Hong. Akan tetapi, mendadak Li Hong memperketat rangkulannya dan membalas ciumannya dengan panas!
"Hong-moi......!!" Yauw Tek terkejut dan menegur, agak menarik dan menjauhkan mukanya dari Li Hong.
Saat itu, semua pertahanan dalam batin Li Hong sudah buyar dan hilang. Pengaruh racun perangsang yang diminumnya secara paksa kini sedang bekerja mencapai puncaknya. Tadi daya rangsangan itu sudah menyerangnya, namun dengan sekuat tenaga batinnya ia melawan dan mempertahankan diri agar tidak hanyut, dengan penanaman dendam kebencian terhadap orang yang memperkosanya itu. Akan tetapi sekarang, ia merasa lega, girang, dan terharu ketika diselamatkan oleh Yauw Tek, pemuda yang memang telah menarik hatinya. Ditambah Iagi kesadarannya bahwa ia ditemukan pemuda itu dalam keadaan tanpa pakaian, membuat ia mengambil keputusan bahwa ia hanya dapat menghapus rasa malu itu dengan menjadi isteri Yauw Tek.
Semua ini merupakan dorongan sehingga rangsangan yang dibangkitkan racun perangsang itu menjadi berlipat ganda kuatnya, membuat ia tidak ada keinginan lain kecuali menyerahkan dirinya kepada pemuda yang dicintanya itu. Dalam pandangannya, sepasang mata Yauw Tek itu demikian indah cemerlang, demikian penuh wibawa sehingga membuat ia kagum dan tunduk. Akan tetapi melihat Li Hong semakin kuat merangkulnya dengan napas terengah-engah, Yauw Tek menarik diri ke belakang dan kedua tangannya menahan kedua pundak gadis itu, matanya memandang tajam.
"Hong-moi, ingat dan sadarlah! Perbuatan ini kalau dilanjutkan tidak baik sama sekali! Jangan, Hong-moi, aku ha"nya seorang manusia biasa, kalau engkau bersikap seperti ini, aku tidak akan kuat bertahan! Hong-moi, aku cinta padamu dan aku tidak ingin merusak kehormatanmu, aku cinta dan hormat padamu......"
Li Hong mendengar dan menyadari akan kebenaran ucapan itu, akan tetapi justeru penolakan itu membuat ia semakin nekat.
"Aku pun cinta padamu, Twako. Aku ingin menyerahkan segala milikku, kalau perlu nyawaku, kepadamu. Yauw-twako......!" Li Hong kembali menubruk, merangkul dan Yauw Tek tidak kuat bertahan untuk menolak lagi. Dia pun balas merangkul dan keduanya tenggelam dalam nafsu berahi, terbuai asmara yang membuat manusia lupa akan segala sesuatu, lupa akan baik buruk, kehilangan semua pertimbangan, bahkan kehilangan kesadaran, diri sendiri pun terlupa dan yang hidup menguasai seluruh diri hanya nafsu berahi yang mendesak untuk disalurkan dan dipuaskan.
Sejak jaman dahulu, para manusia yang dipilih Tuhan, menerima wahyu untuk mengajarkan kebaikan kepada manusia, sejak yang primitip (kuna) sampai yang paling modern, selalu menekankan agar manusia waspada dan berhati-hati terhadap setan yang menguasai diri manusia melalui nafsu-nafsu manusia sendiri. Namun kenyataannya, jarang sekali terdapat manusia yang mampu menguasai atau mengendalikan nafsunya sendiri.
Bermacam usaha yang timbul dari ulah hati akal pikiran dilakukan untuk mengalahkan nafsu, namun sebagian besar atau hampir semua usaha itu menemui kegagalan. Hal ini terjadi karena semua usaha itu dilakukan oleh pikiran yang selalu mementingkan diri sendiri, mementingkan si-aku yang selalu mengejar kesenangan dan tidak menghendaki kesusahan. Maka, usaha untuk menguasai nafsu itu pun bersumber dari keinginan untuk kepentingan si aku. Pikiran yang mengaku-aku ini melihat betapa nafsu dapat menjerumuskannya dan akhirnya mencelakakannya, maka timbul keinginan untuk menghentikan hal yang membahayakan itu. Jadi, yang mendorong menghentikan nafsu itu pun nafsu juga! Nafsu untuk menyenangkan diri, memetingkan si aku yang bukan lain adalah pikiran kita sendiri.
Nafsu sudah disertakan oleh Sang Maha Pencipta kepada kita manusia sejak kita lahir di dunia. Nafsu itu teramat penting bagi kehidupan. Nafsu membuat kita ingin menikmati segala sesuatu dalam kehidupan ini melalui panca indera kita. Nafsu datang tanpa dipelajari karena memang sudah ada pada diri kita. Setiap orang bayi sudah memiliki nafsu makan atau minum yang amat diperlukan bagi hidupnya. Nafsu membuat dia menikmati air susu yang diminumnya.
Seperti juga nafsu-nafsu lain, nafsu berahi juga sudah disertakan manusia, menjadi alat atau menjadi peserta, juga hamba dari manusia. Nafsu ini, seperti nafsu-nafsu lain, juga teramat penting karena dengan adanya nafsu ini, maka manusia dapat berkembang biak. Akan tetapi kalau sampai nafsu yang disertakan oleh Sang Maha Pencipta kepada kita untuk menjadi hamba kita ini kita biarkan menguasai dan memperhamba diri kita, maka malapetaka yang timbul. Nafsu berahi yang mendorong hubungan suami isteri adalah baik, benar, dan bersih karena sesuai dengan Kehendak Sang Maha Pencipta. Namun, kalau nafsu ini menguasai diri manusia, maka muncullah perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari Kehendak Tuhan, seperti pelacuran, perjinaan, pemerkosaan, dan sebagainya.
Segala perbuatan yang disebut jahat di dunia ini, segala macam kebencian, permusuhan, perang, dan semua kejahatan umum, semua itu adalah ulah manusia yang sudah diperhamba oleh nafsu yang menguasai dirinya.
Masalahnya sekarang, bagaimana kita dapat terbebas dari pengaruh nafsu" Pertanyaan ini menunjukkan bahwa kita INGIN BEBAS dari nafsu. Lalu siapa yang ingin itu" Yang ingin itu aku, karena aku tidak mau diperbudak nafsu yang mendatangkan sengsara. Aku tidak mau sengsara. Aku ingin hidup tenteram. Aku ingin hidup damai! Aku ingin ini, aku ingin itu, ingin yang lebih baik, lebih menyenangkan dari pada yang ada. Si aku yang ingin tenteram ini apakah berbeda dengan si-aku yang ingin menikmati kesenangan melalui pemuasan nafsu" Kita dipermainkan oleh pikiran sendiri, berputar-putar dalam ruangan yang itu juga. Tetap saja pada dasarnya adalah yang ingin senang. Menuruti nafsu agar puas berarti mengejar kesenangan. Menghentikan nafsu agar tenteram juga berarti mencari kesenangan karena tenteram itu mendatangkan kesenangan pula.
Lalu bagaimana" Kalau menuruti nafsu salah dan meniadakan nafsu salah, apa yang harus kita perbuat" Yang salah adalah keinginan itu sendiri! Keinginan mendapatkan kesenangan melalui pemuasan nafsu ataupun keinginan mendapatkan kesenangan melalui penghentian nafsu. Maka, satu-satunya hal yang dapat dilakukan manusia adalah tidak menginginkan kesenangan dalam bentuk apa pun selama keinginan itu timbul dari pementingan diri sendiri. Kita tidak mungkin dapat menguasai nafsu. Yang dapat menguasai nafsu itu hanyalah Sang Maha Pencipta yang menciptakan nafsu dan memberikan itu kepada kita sebagai pelayan dalam hidup. Hanya kalau Jiwa kita disinari Kekuasaan Tuhan, maka Jiwa itu akan dapat melaksanakan tugas semula, yaitu menjadi Kusir (Sais) dari kendaraan yang berupa tubuh kita. Hanya dengan bimbingan Kekuasaan Tuhan sajalah yang akan membuat Jiwa kuat untuk mengendalikan nafsu-nafsu sehingga dengan sendirinya, pikiran, ucapan, dan perbuatan kita tidak lagi selalu ditujukan untuk kepentingan dan kesenangan diri pribadi. Jiwa yang dibimbing Kekuasaan Tuhan saja yang mampu membebaskan kita dari perbudakan nafsu atau membebaskan kita dari kekuasaan setan!
Pada keesokan harinya, ketika matahari mulai bersinar mengusir kegelapan malam dan mengangkat halimun membubung ke atas, ketika burung-burung menyanyikan pujian bagi Sang Maha Pencipta sebelum mereka mulai dengan kehidupan baru di hari itu, diseling kokok ayam hutan yang membungkam segala macam jengkerik belalang dari senandung malam mereka, Yauw Tek terbangun dari tidur nyenyak.
Dia melihat dirinya tadi rebah di dipan kayu yang kasar dalam gubuk itu. Dia terkejut ketika teringat akan peristiwa semalam. Li Hong tidak ada di situ. Cepat dia mengenakan pakaiannya dan keluar dari gubuk. Dilihatnya Li Hong, dengan pakaian kusut dan rambut tidak tersisir, duduk di atas batu sambil menangis tanpa suara.
Yauw Tek cepat menghampiri dan dia menjatuhkan diri berlutut di dekat batu di mana Li Hong duduk.
"Hong-moi......, aku telah berdosa padamu?" ah, Hong-moi, dosaku terlalu besar...... engkau boleh bunuh aku, Hong-moi, untuk menebus kesalahanku padamu......" Suara Yauw Tek tergetar.
Li Hong menurunkan kedua tangannya yang tadi dipakai menutupi mukanya. Kedua matanya basah, wajahnya agak pucat dan ia memandang pemuda yang berlutut di depannya itu.
"Yauw-twako......" Suara Li Hong juga gemetar dan ketika Yauw Tek mengangkat muka memandang, melihat wajah yang memelas (menimbulkan iba) dengan sepasang mata basah itu, Yauw Tek juga menangis tanpa suara. Air matanya bercucuran keluar dari sepasang matanya dan dia berkata dengan suara lirih gemetar.
"Li Hong...... ampuni aku...... ah, tidak, jangan, ampuni aku...... bunuhlah aku dengan pedangmu...... aku akan menerima kematian di tanganmu dengan bahagia karena telah dapat menebus dosaku......"
Dalam tangisnya, Li Hong tersenyum, menjulurkan kedua tangannya, menarik Yauw Tek agar duduk di atas batu, di sampingnya.
"Twako, aku tidak menyesal, aku tidak marah kepadamu. Engkau tidak bersalah, Yauw-twako. Sekarang aku ingat betul. Iblis-iblis itu memaksaku minum arak, lalu tubuhku terasa tidak karuan...... kemudian engkau menyelamatkan aku...... aku begitu bahagia...... aku lupa segala...... dan terjadilah itu dengan kita. Aku sungguh tidak menyalahkanmu, dan aku tidak menyesal, Twako. Apakah engkau menyesal?"
08.2. Keangkuhan Bu-tek Sin-liong!
"Bukan salahmu, Hong-moi. Akulah yang salah, aku tidak dapat menahan diri, aku hanyut. Aku memang menyesal kalau sampai hal itu membuat engkau berduka......"
"Sama sekali tidak, Twako! Aku tidak berduka dan aku tidak menyesal."
"Tapi...... engkau tadi menangis......"
"Aku menangis karena bahagia, Twako. Aku kini menjadi milikmu, untuk selamanya! Bukankah engkau sangat mencintaku, Twako?"
"Tentu saja, aku sangat mencintamu, Hong-moi."
"Dan engkau berjanji tidak akan meninggalkan aku?"
"Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu."
"Juga tidak akan mencinta wanita selain aku?"
Yauw Tek menggelengkan kepalanya.
Li Hong menghela napas penuh kelegaan dan kebahagiaan dan ia lalu menyandarkan kepalanya di dada Yauw Tek yang merangkulnya dengan mesra. Sampai lama mereka hanya duduk diam, kediaman yang menenggelamkan Li Hong dalam kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Bagaikan dalam mimpi ia membayangkan semua yang terjadi sejak ia terjebak dan ditawan dua orang jahat itu.
Pagi tadi, ketika ia terbangun, ia cepat berpakaian dan menyambar Ban-tok-kiam lalu melangkah keluar, pikirannya masih termenung dan kacau oleh ingatan semalam. Ia masih merasakan kemesraan yang dialaminya bersama Yauw Tek dan merasa berbahagia sekali, merasa betapa kini ia menjadi milik Yauw Tek dan pemuda itu menjadi miliknya! Saking terharu dan berbahagia, ia menangis tanpa suara. Kini ia teringat akan dua orang penjahat itu.
"Yauw Twako, di mana mereka?" tanya Li Hong sambil bangkit duduk kembali.
Yauw Tek kaget juga merasa betapa Li Hong yang tadi begitu lembut, hangat dan pasrah dalam rangkulannya, kini menjadi tegang dan kekerasan membayang di sinar matanya yang jernih tajam.
"Siapa maksudmu" Ah, dua orang penjahat itu" Aku sudah melempar mereka ke dalam jurang di sana." Dia menuding dan Li Hong lalu melompat dari atas batu dan lari ke tepi jurang tak jauh dari situ. Yauw Tek menyusulnya.
"Nah, itu mereka, Hong-moi. Sudah tewas!" kata Yauw Tek sambil menunjuk ke bawah jurang.
Jurang itu cukup dalam dan Li Hong melihat dua orang yang semalam menangkapnya itu. Yang seorang rebah miring dan seorang lagi, yang semalam memperkosanya, rebah telentang. Dengan kebencian masih mengganjal hatinya, Li Hong mengambil sebuah batu sebesar kepala orang lalu melontarkan batu itu ke bawah.
"Wuuuttt...... prakk!" Kepala penjahat yang telentang itu pecah tertimpa batu yang ditimpukkan dengan kuat. Batu kedua menyusul memecahkan kepala penjahat kedua.
"Mari kita kembali ke perkampungan Ang-tung Kai-pang, Twako. Tentu Enci Ceng sudah merasa khawatir karena aku belum kembali ke sana," kata Li Hong setelah merasa puas dapat membalas dendam dengan menghancurkan kepala dua orang penjahat yang menculiknya itu, walaupun yang dihancurkan adalah kepada yang sudah menjadi mayat.
Mereka berdua lalu melakukan perjalanan cepat ke Bukit Cemara di bagian Selatan pegunungan Thai-san. Hari telah siang ketika mereka tiba di perkampungan Kai-pang, disambut gembira oleh Ang-tung Kai-pang.
"Ah, kami gembira sekali melihat Ji-wi (Kalian Berdua) kembali dalam keadaan selamat. Kami sudah merasa khawatir sekali karena Nona Tan semalam tidak pulang. Bagaimana, apakah yang terjadi dengan Hek Pek Mo-ko?"
Wajah Li Hong berubah merah dan Yauw Tek cepat berkata. "Hek Pek Mo-ko pergi dan menghilang. Hong-moi mengejar terlalu jauh sehingga kemalaman dan tidak dapat pulang karena malam gelap. Baru pagi tadi kami saling bertemu dan aku mengajak ia kembali ke sini, Pangcu."
"Pangcu, di mana Ceng-ci" Mengapa ia tidak keluar menyambut kami?" tanya Li Hong.
"Nona Liu pergi menyusul dan mencarimu, Nona. Sampai sekarang ia juga belum kembali," jawab ketua itu.
Mendengar ini, Yauw Tek dan Li Hong merasa khawatir sekali dan mereka segera berpamit kepada Kui-tung Sin-kai untuk mencari Ceng Ceng. Akan tetapi ketua itu menahan mereka dan mengajak mereka berdua makan siang terlebih dulu.
"Jangan khawatir, Yauw-sicu dan Nona Tan. Nanti kami akan mengerahkan semua anak buah kami untuk berpencar dan mencari Nona Liu Ceng Ceng. Seka-rang, harap Ji-wi suka menerima hidangan, yang telah kami siapkan untuk Ji-wi."
Terpaksa Yauw Tek dan Li Hong menerima tawaran ini. Setelah selesai makan minum, dua orang muda itu berkemas lalu pamit dan meninggalkan perkampungan Ang-tung Kai-pang. Kui-tung Sin-kai lalu mengerahkan sebagian anak buahnya untuk berpencar dan berusaha mencari Nona Liu Ceng Ceng.
"Y" Pada waktu itu, memang banyak tokoh-tokoh dunia persilatan berbondong-bondong datang ke Thai-san begitu mereka mendengar berita tentang harta karun Kerajaan Sung yang dicuri oleh orang yang mengaku bertempat tinggal di Thai-san. Mereka berlumba untuk memperebutkan dan mendapatkan harta karun yang kabarnya amat banyak jumlahnya itu.
Di antara mereka yang berdatangan itu, tampak Bu-tek Sin-liong Cu Liong, majikan Bukit Merak bersama puterinya, Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin. Bu-tek Sin-liong adalah seorang yang tidak menginginkan harta karena dia sudah cukup kaya raya. Akan tetapi dengan cerdiknya Cu Ai Yin dapat membangkitkan semangat ayahnya dengan mengatakan bahwa perebutan harta karun itu dapat mengangkat nama besar Bu-tek Sin-liong sehingga sesuai dengan julukannya Naga Sakti Tanpa Tanding!
Sudah tiga hari ayah dan anak ini tiba di kaki Pegunungan Thai-san. Namun mereka belum juga mendaki karena Cu Liong masih belum dapat mengambil keputusan ke bagian mana dia harus melakukan penyelidikan. Selama tiga hari itu, Ai Yin sudah berkali-kali mendesak ayahnya untuk mulai mencari dan mendaki pegunungan itu, akan tetapi ayahnya masih ragu-ragu.
"Pegunungan Thai-san begini tinggi dan besar, begini luas. Ke mana kita harus mencari pencuri yang hanya meninggalkan tulisan THAI SAN" Mencarinya dengan menjelajahi seluruh pegunungan ini kukira memakan waktu beberapa tahun!" katanya ketika puterinya merengek lagi.
Datuk ini duduk bersila di atas sebuah batu besar memandang puterinya yang berdiri di depannya. Biarpun usianya sudah sekitar limapuluh enam tahun, Bu-tek Sin-liong Cu Liong masih tampak gagah sekali. Tubuhnya tinggi besar, mukanya merah seperti tokoh Kwan Kong dalam cerita Sam Kok, kumis jenggotnya pendek terpelihara pakaiannya mewah seperti pakaian seorang hartawan dan Kim-siang-to (Sepasang Golok Emas) menempel di punggungnya. Sikapnya acuh tak acuh dan biasanya dingin. Hanya kalau dia berhadapan dengan puteri tunggalnya yang tersayang itu dia bersikap ramah dan memanjakan puterinya.
"Tapi, Ayah!" Ai Yin merengek.
Kalau berhadapan dengan ayahnya, sikap Cu Ai Yin menjadi kekanak-kanakan dan manja. Gadis sembilanbelas tahun ini memang cantik jelita dan daya tariknya terutama terdapat pada mulut dan matanya yang menggairahkan. Di rambutnya yang hitam panjang dan lebat itu selalu terhias sebatang bunga putih dan karena inilah dara ini dijuluki Pek-hwa Sianli (Dewi Bunga Putih). Wajahnya yang bulat telur itu menjadi manis dengan adanya setitik tahi lalat di sudut mulut sebelah kanan. Di punggungnya tergantung sepasang hui-kiam (pedang terbang) pendek. Pakaian sutera merah muda membungkus ketat tubuhnya yang padat dan ramping.
"Tapi apa, Ai Yin?"
"Kita sudah jauh-jauh datang ke sini, apakah hanya untuk duduk termenung di kaki pegunungan saja" Kalau begitu, untuk apa kita capek-capek (kelelahan) datang ke sini?" Dara itu merajuk dan bibirnya yang merah lembut itu cemberut.
"Ha-ha-ha-ha!" Datuk itu tertawa bergelak. "Kalau engkau sudah merajuk seperti itu, aku jadi teringat kepada mendiang ibumu! Ketahuilah, Ai Yin, bukan aku bermalas-malasan di sini. Aku sengaja mendatangi Thai-san di bagian barat ini karena aku mendengar bahwa Huo Lo-sian bermukim di sini. Menurut pendapatku, Dewa Api itu merupakan orang pertama yang kucurigai sebagai pencuri harta karun. Aku percaya kehadiranku di sini pasti akan dia ketahui dan tanpa mencarinya, dia akan datang menemuiku di sini!"
Ucapan datuk itu membayangkan keangkuhannya. Bukan dia yang mencari Huo Lo-sian, melainkan Dewa Api itu yang akan lebih dulu mencari dan datang kepadanya, seolah dia menganggap bahwa Dewa Api memiliki kedudukan yang lebih rendah daripadanya!
Ai Yin merasa tidak puas dengan jawaban itu dan ia berkata dengan masih bersungut-sungut. "Aku tidak betah tinggal menganggur di sini lebih lama lagi, Ayah. Aku akan mendekati bukit di depan itu untuk melihat-lihat. Siapa tahu aku akan mendapatkan petunjuk di sana."
Setelah berkata demikian, Ai Yin meninggalkan ayahnya yang masih duduk bersila. Ia mendaki bukit di depannya itu, tidak menyadari bahwa yang didaki itu adalah Bukit Merah yang menjadi tempat tinggal Dewa Api dan anak buahnya!
Memang benarlah dugaan Bu-tek Sin-liong Cu Liong bahwa kehadirannya di kaki Bukit Merah yang menjadi bagian Barat Pegunungan Thai-san itu sejak semula telah diketahui oleh Huo Lo-sian yang mendapat laporan dari anak buahnya. Dia memesan kepada anak buahnya agar jangan mengganggu datuk yang namanya sudah dia kenal itu.
Seperti juga Bu-tek Sin-liong, Huo Lo-sian juga memiliki watak sombong dan angkuh. Dia tidak mau menyambut kedatangan Majikan Bukit Merak itu dan menunggu datuk itu yang akan datang lebih dulu mengunjunginya. Dia hanya memesan kepada anak buahnya untuk melakukan penjagaan ketat dan melihat gerak-gerik datuk itu. Selama tiga hari tidak terjadi sesuatu karena menurut laporan anak buahnya, datuk itu bersama seorang gadis cantik masih saja duduk di kaki bukit dan tidak ada tanda-tanda akan mendaki bukit.
Pada hari keempat, pagi itu Huo Lo-sian mendapat laporan bahwa gadis cantik yang tadinya bersama datuk itu mendaki bukit seorang diri. Mendengar ini, Huo Lo-sian memerintahkan anak buahnya untuk menangkap gadis itu karena dianggap melanggar wilayahnya.
"Tangkap gadis itu, akan tetapi jangan dibunuh!" kata Huo Lo-sian yang merasa sayang kalau gadis yang kabarnya cantik jelita itu dibunuh. Apalagi gadis itu datang bersama Bu-tek Sin-liong dan akan tidak menguntungkan kalau bermusuhan dengan datuk yang namanya sudah terkenal di dunia kang-ouw itu.
Ai Yin mendaki bukit itu dengan sikap waspada karena ia sudah mendengar bahwa bukit itu adalah Bukit Merah yang menjadi tempat tinggal Dewa Api dan anak buahnya. Ketika ia sudah mendaki di lereng tengah, ia mendengar gerakan dari sekelilingnya, Ai Yin menghentikan langkahnya dan siap menghadapi segala kemungkinan. Ia tetap tenang saja ketika melihat sekitar duapuluh orang bermunculan mengepungnya. Mereka adalah laki-laki berusia sekitar tigapuluh sampai limapuluh tahun, kesemuanya berpakaian serba hijau dan memegang sebatang golok yang punggungnya merupakan gergaji! Sikap mereka amat bengis menyeramkan.
Tanpa rasa takut sedikit pun terhadap sekitar duapuluh orang yang mengepungnya, Ai Yin bertanya dengan garang. "Siapa kalian dan mau apa kalian menghadang perjalananku?"
Seorang dari mereka, yang berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan berkepala botak, menjawab dengan suara tenang. "Nona, engkau telah melanggar wilayah kami, maka menyerahlah untuk kami hadapkan kepada majikan kami yang akan mengambil keputusan terhadap engkau yag melanggar."
"Hemm, aku tidak tahu siapa kalian dan tidak merasa melanggar. Aku hanya mendaki bukit ini. Siapa sih kalian yang mengaku bahwa tempat ini wilayah kalian?"
"Kami adalah para penghuni Bukit Merah ini, dan pemimpin kami atau majikan kami adalah Huo Lo-sian. Mari, Nona, kami tidak menggunakan kekerasan asalkan engkau mau menghadap majikan kami dengan sukarela."
"Ah, kiranya ini tempat tinggal Dewa Api! Dan kalian ini anak buahnya" Katakan kepadanya bahwa aku Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin datang sebagai tamu. Mengapa dia tidak menyambutku malah mengerahkan anak buahnya untuk mengepungku" Begitu sombongkah Huo Lo-sian" Ingin kuketahui sampai di mana kepandaiannya maka dia berani begitu sombong!"
Laki-laki botak itu mengerutkan alisnya. Hatinya mendongkol juga mendengar gadis muda ini mencela pemimpinnya dan memakinya sombong, bahkan seperti memandang rendah kepandaian Si Dewa Api!
"Nona Cu, kami tidak tahu akan semua itu. Setahu kami, engkau telah memasuki wilayah kami tanpa ijin, engkau telah melakukan pelanggaran dan adalah kewajiban kami untuk menangkapmu dan menghadapkanmu kepada pimpinan kami."
"Kalau aku tidak mau?" tantang Ai Yin.
"Kalau engkau tidak mau ikut kami menghadap pimpinan kami secara sukarela, terpaksa kami akan menggunakan paksaan!"
"He-heh! Kalian hendak menggunakan kekerasan" Menangkap aku?" Ai Yin tertawa dan dia mencabut sepasang pedangnya lalu menantang. "Hendak kulihat bagaimana kalian dapat menangkap aku!"
Melihat sikap gadis itu, kepala regu itu menoleh kepada kawan-kawannya lalu menggerakkan golok memberi aba-aba, "Serbu dan ingat pesan Suhu!" Hal ini dia ingatkan karena kalau sampai gadis itu terbunuh, yang akan mendapat marah besar tentu dia sebagai pemimpin rombongan itu. Huo Lo-sian sudah berpesan kepada mereka agar jangan sampai gadis itu terbunuh.
Mendengar aba-aba ini, rombongan yang terdiri dari duapuluh dua orang itu lalu bergerak, melangkah dan mengitari gadis itu. Biarpun mereka tidak boleh membunuh, namun melihat Ai Yin mencabut pedang, tentu saja mereka tidak berani menyerbu dengan tangan kosong. Melihat mereka melangkah dan mengitarinya, Ai Yin berdiri diam saja, akan tetapi matanya waspada dan seluruh syaraf tubuhnya siap menghadapi serangan mereka.
Tiba-tiba pemimpin rombongan membuka serangan lebih dulu sebagai isyarat kepada kawan-kawannya. Goloknya menyambar dari atas membacok ke arah kepala Ai Yin. Gerakannya cukup cepat dan kuat. Namun bagi Ai Yin, gerakan itu tampak lamban dan dengan mudah ia miringkan tubuh sehingga sambaran golok itu luput. Akan tetapi pada saat berikutnya, mereka mulai mengeroyoknya. Golok menyambar-nyambar dari semua penjuru dan Ai Yin segera memutar pedang di kedua tangannya.
Ilmu pedang gadis ini hebat sekali. Dari ayahnya ia berhasil menguasai Jit-seng Siang-kiam (Sepasang Pedang Tujuh Bintang) dan ketika pedangnya itu diputar untuk melindungi dirinya, seolah-olah sepasang pedang itu berubah menjadi tujuh bintang yang sinarnya bergulung-gulung. Terdengar bunyi berdentingan dan para pengeroyok berseru kaget karena golok mereka terpental hampir terlepas dari pegangan dan tangan mereka terasa panas dan tergetar kuat.
Kenyataan itu membuat mereka semua menyadari bahwa gadis cantik yang mereka keroyok ini ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali sehingga baru sekarang mereka mengerti mengapa Dewa Api menyuruh anak buahnya sebanyak itu hanya untuk menangkap seorang gadis muda yang cantik! Kalau tadinya merasa heran, geli dan memandang ringan, sekarang mereka merasa gentar dan hati-hati. Mereka lalu menyerang lebih hebat lagi dan ulah mereka seperti segerombolan srigala yang mengeroyok seekor harimau.
"Haiiiittt?"!" Ai Yin menggunakan keringanan tubuhnya melompat keluar dari kepungan dan begitu ia membalik, pedang kanannya meluncur ke arah pengejar terdepan.
"Singg...... cratt!"
Seorang pengeroyok roboh disambar pedang dan pedang itu setelah melukai seorang pengeroyok, lalu terbang kembali ke tangan Ai Yin! Inilah yang dinamakan "pedang terbang". Sesungguhnya bukan pedangnya yang dapat terbang kembali kepada pemiliknya, melainkan karena pada gagang pedang itu dipasangi tali sutera hitam yang amat lembut sehingga tidak tampak dan begitu disentakkan pedang itu melayang kembali ke tangan kanan Ai Yin.
Para pengeroyok terkejut melihat seorang kawan mereka roboh. Mereka kini mengepung dengan menjaga jarak dan hanya ada empat orang yang mengepung dekat dari empat penjuru. Mereka sudah membawa obor yang bernyala, kemudian mereka menyemburkan api begitu obor didekatkan muka mereka. Api itu menerjang ke arah Ai Yin! Tentu saja Ai Yin terkejut bukan main diserang dengan semburan api dari empat penjuru secara bergantian itu. Tidak mungkin ia dapat menangkis serangan api. Ia hanya dapat menggunakan keringanan tubuhnya untuk mengelak ke sana-sini. Akan tetapi kini maju empat orang lagi dan delapan orang itu secara bergantian menyemburkan api menyerang Ai Yin.
Ai Yin mulai merasa ngeri karena belum pernah ia menghadapi pengeroyokan delapan orang yang menyemburkan api untuk menyerangnya! Kalau ia melompat tinggi keluar dari kepungan, belasan oran yang lainnya menyambutnya dengan serangan golok dan begitu ia menangkisi golok-golok itu, delapan orang penyembur api itu sudah menyerang dan mengepungnya lagi!
Ai Yin mulai terdesak dan sebuah tendangan ketika ia terhuyung menjauhi api mengenai pahanya, terasa nyeri juga walaupun tidak sampai melukainya. Rasa nyeri di pahanya membuat gerakannya kurang leluasa. Ia menjadi marah sekali dan begitu ia mengeluarkan bentakan nyaring, sepasang pedangnya mengamuk dan dua orang pengeroyok yang berada terdekat roboh!
08.3. Siasat Huo Lo-sian Merebut Harta Karun
Tiba-tiba lebih banyak lagi pengeroyok yang membawa obor dan kini mereka menancapkan tongkat obor di sekelilingnya sehingga Ai Yin terkurung pagar obor yang bernyala-nyala!
Selagi ia kebingungan, banyak tali menyambar dan gadis itu terikat banyak tali! Ia menjadi marah dan menggunakan sepasang pedangnya untuk memotong tali-tali itu. Akan tetapi semakin banyak tali menyambar dan mengikatnya sehingga kedua lengannya tak dapat digerakkan. Ia meronta-ronta dan mengerahkan tenaga untuk membikin putus tali-tali itu, akan tetapi ternyata tali-tali itu kuat sekali.
Selagi Ai Yin meronta-ronta berusaha melepaskan diri, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring sekali sehingga menggetarkan seluruh tempat itu. Angin bertiup kuat dan pagar api obor itu padam!
Sengatan Satu Titik 4 The Chronicles Of Narnia 4 Kuda Dan Anak Manusia The Horse And His Boy Terbang Harum Pedang Hujan 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama