Ceritasilat Novel Online

Harta Karun Kerajaan Sung 7

Harta Karun Kerajaan Sung Seri Ke 02 Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


Ceng Ceng mengangguk. "Mudah-mudahan begitu, Giok-ko. Kemungkinan itu ada, bukan?"
Cun Giok mengamati wajah gadis itu dengan tajam. "Ah, Ceng-moi, mengapa engkau pantang menyerah" Sudah banyak penderitaan dan kekecewaan kau alami untuk mencari harta karun itu. Engkau tampak begini kurus, Ceng-moi. Ah, aku khawatir kalau engkau sampai jatuh sakit. Mengapa tidak kau sudahi saja pencarian yang tiada gunanya ini?"
Ceng Ceng memandang Cun Giok dengan alis berkerut dan sepasang matanya yang biasanya lembut dan bening itu kini memancarkan sinar penasaran.
"Giok-ko, apakah engkau belum mengerti" Ingat keadaanku sekarang ini. Aku yatim piatu, tiada sanak keluarga, hidup sebatang kara, seakan kehilangan pegangan. Satu-satunya yang masih ada dan merupakan harapanku, tujuan hidupku dan pembangkit semangatku, hanyalah memenuhi pesan mendiang, Ayah. Kalau aku berhasil melaksanakan kehendak dan pesan Ayahku, menemukan harta karun itu dan menyerahkannya kepada mereka yang berhak seperti yang ditunjuk Ayahku, yaitu para pejuang membebaskan bangsa dan tanah air dari penjajah, maka hidupku akan berarti dan aku akan merasa berbahagia. Kalau tidak berhasil, lalu apa artinya hidupku ini" Melaksanakan tugas memenuhi pesan terakhir Ayahku merupakan satu-satunya pegangan hidupku!"
Cun Giok merasa terharu sekali. Dia dapat membayangkan betapa menyedihkan keadaan gadis ini. Dia sendiri juga orang yatim piatu, akan tetapi dia tidak pernah dapat mengingat bagaimana rupa ayah ibunya. Ayahnya tewas terbunuh sebelum dia lahir, dan ibunya meninggal ketika melahirkannya. Dia tidak pernah merasakan kasih sayang ayah Ibunya sehingga kalau dia mengingat akan ayah ibunya, hatinya tidak demikian sakit rasanya. Akan tetapi gadis ini ditinggal mati ayah ibunya setelah ia dewasa.
"Ceng-moi,...... aku aku akan selalu membelamu...... kalau engkau tidak keberatan ditemani seorang...... duda...... aku berjanji akan selalu menemani dan mendampingimu, selalu membelamu......"
Ceng Ceng menghela napas panjang, dan ada sedikit cahaya terpancar pada wajahnya yang agak kurus. Ucapan Cun Giok itu bagaikan obat penyejuk dalam hatinya karena ucapan itu secara tidak langsung menyatakan cinta pemuda itu kepadanya. Ia dapat nerasakan bahwa pemuda itu merasa sungkan untuk berterang menyatakan cintanya karena dia merasa bahwa dia sudah menjadi duda dengan kematian Siok Eng, walaupun dia belum menjadi suami Siok Eng, hanya tunangan saja. Diam-diam Ceng Ceng merasa terharu dan nilai pemuda itu semakin tinggi dalam pandangannya karena jelas bahwa Cun Giok setia kepada tunangannya yang telah mati, menganggap tunangannya itu sebagai istrinya dan menganggap dirinya sebagai seorang duda.
"Terima kasih, Giok-ko. Aku tahu bahwa engkau seorang sahabat yang baik sekali, yang membantuku sejak dulu. Sekarang marilah kita bongkar semak belukar ini, aku ingin menyelidiki ke dalam guha."
"Baik, Ceng-moi!" Tanpa banyak cakap lagi Cun Giok mencabut Kim-kong-kiam. Tampak sinar pedang keemasan bergulung-gulung menyambar-nyambar ketika dia menggerakkan pedangnya dengan cepat dan kuat sekali. Batang, ranting, dan daun-daun semak belukar yang berduri itu terbang berhamburan ketika disambar sinar pedang dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, seluruh tumbuh-tumbuhan semak yang menghalangi guha itupun sudah dibabat bersih! Kini tampaklah mulut guha yang lebarnya sekitar tiga tombak dan tingginya dua tombak.
Ceng Ceng membantu Cun Giok dengan melempar-lemparkan onggokan semak yang telah dibabat, menggunakan sebatang kayu sehingga terbuka jalan menuju ke mulut guha. Mereka lalu maju menghampiri guha dan begitu tiba di depan guha, keduanya berhenti dan memandang ke dalam guha dengan mata terbelalak. Di lantai guha itu mereka melihat kerangka manusia berserakan malang melintang! Ketika dihitung mereka mendapatkan bahwa semua ada delapan buah kerangka yang masih utuh, ada yang telentang, telungkup, dan ada pula yang miring. Di dekat kerangka-kerangka ini tampak pula cangkul dan sekop, alat-alat untuk menggali tanah!
"Ceng-moi, agaknya mereka ini pernah mencari harta karun dan mencoba untuk menggali di sini. Akan tetapi mengapa mereka semua tewas di sini?" Cun Giok memandang ke sebelah dalam guha yang agak gelap karena tidak mendapatkan sinar matahari itu.
"Awas, Ceng-moi......!" Cun Giok berseru. Dia melihat sepasang benda kecil mencorong kehijauan di sebelah dalam guha dan benda itu bergerak ke arah mereka dengan mengeluarkan suara mendesis-desis.
"Ular, Giok-ko......!" Ceng Ceng juga berseru kaget.
Pada saat itu, seekor ular yang besarnya tidak kurang dari paha seorang dewasa, dengan kepala besar yang mengeluarkan sinar hijau, sepasang matanya mencorong kehijauan, dan moncongnya mengeluarkan bunyi mendesis-desis, bergerak cepat menghampiri mereka.
"Mundur, Ceng-moi!" Cun Giok berseru dan dia bergerak ke depan Ceng Ceng untuk melindungi gadis itu. Setelah dekat, tiba-tiba ular itu berhenti, lalu kepalanya meluncur ke depan, menyerang Cun Giok. Moncongnya terbuka lebar memperlihatkan gigi-gigi yang runcing melengkung ke dalam.
Dengan tenang namun cepat dan kuat, Cun Giok menebaskan pedangnya ke arah kepala ular itu.
"Singgg?" takk!" Cun Giok terkejut bukan main ketika pedangnya mental seperti tertangkis benda yang amat kuat. Pedang pusakanya, Kim-kong-kiam, yang dapat membabat putus senjata-senjata lawan yang terbuat dari besi atau baja, kini tidak mampu memecahkan kepala ular yang memilikl kekebalan itu. Ini aneh, luar biasa sekali! Hampir Cun Giok tidak percaya sehingga sejenak dia mengamati pedangnya dan menjadi lengah.
"Awas, Giok-ko!" Ceng Ceng berseru namun terlambat.
Ekor ular yang panjang itu telah membelit-belit tubuh Cun Giok. Pemuda ini terkejut namun sebelum dia sempat menggerakkan kedua tangannya, tubuh ular yang besar dan panjang itu telah membelit kedua lengannya sehingga menempel pada tubuhnya dan tidak dapat digerakkan lagi! Cun Giok berusaha membebaskan diri, namun sia-sia. Dia mengerahkan sin-kang, namun tubuh ular itu ulet dan dapat melar sehingga tenaga dalamnya juga tidak mampu membuat ular itu mengendurkan libatan tubuhnya. Padahal, ular itu kini sudah mendekatkan moncongnya pada kepala Cun Giok, siap untuk mencaplok kepala itu!
Sejak tadi Ceng Ceng yang merasa jijik dan geli melihat ular besar itu, hanya berdiri menjauh. Akan tetapi kini melihat Cun Giok terancam bahaya, ia cepat melompat ke depan dan dua kali tangan kanannya menggerakkan tongkat menusuk ke arah mata ular yang hendak mencaplok kepala Cun Giok itu.
"Cres! Cres!" Darah mengucur dari sepasang mata ular yang agaknya kesakitan sekali sehingga libatan tubuhnya pada Cun Giok mengendur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Cun Giok untuk meronta lepas dan dia cepat menggerakkan pedangnya, sekali ini yang dijadikan sasaran adalah leher ular itu.
"Crakk!" Sekali sabet saja, leher ular itu putus! Tubuh yang panjang menggeliat dan melingkar-lingkar. Cun Giok menggunakan kakinya untuk menendang tubuh ular itu keluar guha.
Dengan menahan kejijikannya, Ceng Ceng menggunakan tongkatnya untuk mencokel dan melempar keluar kepala ular itu.
"Tahan Ceng-moi......!" seru Cun Giok menahan.
Ceng Ceng mengurungkan niatnya dan memandang Cun Giok dengan heran.
Cun Giok memperhatikan kepala ular itu lalu berkata kepada Ceng Ceng. "Lihat, Ceng-moi. Ular itu sudah mati akan tetapi kepalanya masih mengeluarkan cahaya kehijauan! Yang lebih hebat, pedangku tadi tidak dapat melukai kepala ular itu! Kukira tentu ada sesuatu di dalam kepala ular itu!"
12.3. Mari Kita Buktikan, Giok-Ko!
Ceng Ceng terbelalak. "Aih, aku teringat, Giok-ko. Dulu pernah Suhu Im-yang Yok-sian bercerita bahwa ada sebuah benda yang disebut Liong-cu-giok (Batu Kemala Mestika Naga), semacam batu giok langka yang bisa terdapat dalam kepala ular yang sudah ratusan tahun umurnya!"
"Wah, kalau benar ada kemala mustika seperti itu, alangkah beruntungnya kita." Cun Giok lalu berjongkok memeriksa kepala ular. Dilihatnya sepasang mata yang sudah terluka oleh tusukan tongkat Ceng Ceng itu pun sudah kehilangan sinar hijaunya yang tadi mencorong ketika ular itu masih hidup. Akan tetapi kepalanya masih mengeluarkan cahaya seperti tadi. Dengan hati-hati, menggunakan pedangnya, dia menoreh kulit kepala ular. Ternyata kulit itu dapat terkelupas, menandakan bahwa setelah ular itu mati, kepalanya kehilangan kekebalannya. Dengan hati-hati dia membelah kepala ular itu dan tampaklah sebuah benda sebesar telur ayam, mengkilap dan mencorong mengeluarkan cahaya kehijauan!
Ceng Ceng memungut benda itu dan memeriksanya. "Aih, Giok-ko, kurasa tidak salah lagi. Inilah yang disebut Liong-cu-giok seperti yang diceritakan mendiang Suhu Im-yang Yok-sian. Menurut cerita Suhu, benda ini selain amat kuat dan tidak dapat tergores senjata tajam mana pun, juga dapat mengisap segala macam racun, merupakan obat yang mujarab sekali terhadap orang yang keracunan. Kiong-hi (selamat), Giok-ko! Engkau beruntung sekali menemukan mustika ini!" Ceng Ceng menyerahkan batu kemala itu kepada Cun Giok, akan tetapi Cun Giok tidak mau menerimanya.
"Ambillah, Ceng-moi. Liong-cu-giok itu lebih pantas menjadi milikmu sebagai seorang ahli pengobatan."
"Tapi, Giok-ko. Engkau yang menemukannya dan engkau yang berhak memiliki. Benda ini merupakan mustika yang langka sekali dan tidak dapat dinilai harganya!"
Cun Giok tersenyum. "Menurut pendapatku, tidak ada benda di dunia ini yang cukup berharga bagimu, Ceng-moi. Ambillah, aku rela memberikannya kepadamu. Pula, kukira engkau memang berhak memilikinya karena kalau tidak ada engkau yang tadi menyerang kedua mata ular itu, mungkin sekali sekarang aku telah ditelan ular dan berada dalam perutnya!"
Ceng Ceng menghela napas panjang. "Baik, Giok-ko. Terima kaslh. Engkau memang baik sekali." Ia memasukkan batu kemala itu ke dalam ikat pinggangnya.
"Nah, sekarang aku tahu, Ceng-moi. Tentu delapan orang ini mencari harta karun di sini akan tetapi mereka semua tewas oleh ular besar tadi. Mari kita tinggalkan saja tempat menyeramkan ini." Dia memandang ke arah delapan buah kerangka manusia itu.
"Nanti dulu, Giok-ko. Batu kemala ini memang amat berharga, akan tetapi batu kemala ini hanya untuk kita, untuk aku karena telah kauberikan kepadaku. Akan tetapi, untuk kepentingan Ayah Ibuku, aku harus menemukan harta karun itu, agar kematian Ayah Ibu yang mempertahankan peta dengan nyawa mereka, tidak sia-sia."
"Akan tetapi, ke mana lagi kita akan mencari, Ceng-moi?"
"Giok-ko, kukira pendapatmu tentang delapan orang yang mati di sini tidak begitu cocok. Lihat, alat-alat menggali itu berada di dekat masing-masing, berarti mungkin mereka tewas terbunuh ketika masih memegang alat menggali itu. Dan lihat alat-alat cangkul dan sekop juga linggis itu. Pada mata alat itu masih terdapat gumpalan tanah. Ini berarti bahwa mereka sedang atau habis menggali tanah ketika mereka terbunuh. Juga, kurasa mereka tidak dibunuh ular tadi. Kalau dibunuh ular, tentu mayat mereka sudah habis dimakan ular itu dalam waktu sekian lamanya. Pula, delapan orang yang semua memegang alat seperti cangkul, sekop dan linggis itu, tentu akan melakukan perlawanan terhadap ular yang menyerang mereka. Sebelum mereka semua terbunuh, mereka tentu dapat pula melarikan diri keluar guha. Bagaimana pendapatmu, Giok-ko?"
Cun Giok memandang kagum. "Engkau hebat, Ceng-moi. Semua perkiraanmu itu tepat sekali dan sungguh bodoh aku tidak dapat melihat semua tanda itu. Lalu kesimpulannya bagaimana?"
"Menurut pendapatku, kesimpulannya begini. Mungkin ketika mereka memasuki guha ini, belum ada ular besar itu dan belum ada pula semak belukar depan guha. Agaknya mereka menggali di sini dan sebelum kita menarik kesimpulan lebih lanjut, baiknya kita buktikan dulu apakah perkiraanku itu benar. Mungkin mereka menggali di lantai guha ini, menggali bukan untuk mengambil sesuatu, melainkan untuk menyimpan sesuatu! Ba"gaimana?"
Wajah Cun Giok berseri. Ah, kalau begitu, harta karun itu berada di lantai guha ini?" Dia menunjuk ke bawah.
"Mari kita buktikan, Giok-ko!"
Mereka lalu bekerja. Mula-mula mereka memindahkan kerangka delapan orang itu ke luar guha. Kemudian mereka mempergunakan cangkul dan sekop untuk menggali lantai guha. Hati mereka gembira dan jantung mereka berdebar tegang ketika mendapat kenyataan betapa lantai guha itu tidak keras, berarti lantai itu bukan dari tanah berbatu, melainkan tanah lunak! Hal ini memperbesar kemungkinan bahwa tempat itu memang pernah digali orang!
Mereka menjadi tambah bersemangat dan menggali dengan cepat. Akhirnya cangkul mereka bertemu dengan benda keras dan setelah tanah di atasnya dibersihkan, tampaklah sebuah peti besi. Pemuda dan gadis itu lalu menarik peti itu dari kanan kiri, mengangkat peti dan menaruhnya di mulut guha yang lebih terang. Dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar, keduanya lalu membuka peti itu dan...... mereka terpesona, mata mereka silau oleh harta benda yang terdapat di dalam peti! Bahkan perak pun tidak ada, yang ada hanya emas, semuanya dari emas! Perhiasan-perhiasan beraneka macam, terbuat dari emas permata yang biasanya hanya dipakai oleh para permaisuri, selir Kaisar dan para puteri istana! Di bagian bawah terdapat emas beratus-ratus kati!
"Ayah, akhirnya aku dapat memenuhi pesanmu!" Ceng Ceng berseru dan ia pun menangis tersedu-sedu sambil berlutut di samping peti harta karun itu.
Ketika Cun Giok yang merasa terharu mendekatinya dan menyentuh pundaknya dengan Iembut, Ceng Ceng mengangkat muka dan begitu melihat Cun Giok, ia pun menubruk dan mereka saling berangkulan. Ceng Ceng menangis di dada pemuda itu.
Sejenak Cun Giok membiarkan gadls itu menangis karena itulah yang terbaik bagi gadis yang agaknya sudah lama dihimpit berbagai kepahitan hidup. Biarlah Ceng Ceng melampiaskan semua kepahitan itu melalui air matanya yang membanjir dan membasahi baju sampai membasahi dadanya. Air mata itu seolah menembus kulit dadanya dan menyirami perasaan hatinya mendatangkan kesejukan dalam hatinya sendiri yang juga dihimpit banyak kepahitan hidup.
Akan tetapi Ceng Ceng adalah seorang gadis yang sudah memiliki kekuatan batin sehingga setelah melalui tangisnya itu ia menumpahkan semua perasaannya, kini ia sudah tenang kembali. Ia menarik mukanya dari dada Cun Giok, melepaskan rangkulannya dan sambil mengusap sisa air mata yang menempel di pelupuk matanya, ia berkata lembut.
"Giok-ko, maafkanlah kelemahanku. Karena merasa girang dan berbahagia menemukan harta karun ini dan dapat memenuhi pesan Ayahku, maka aku menjadi lemah dan menangis. Lihat, aku membuat bajumu menjadi basah. Maafkan aku, Giok-ko."
"Ah, tidak apa-apa, Ceng-moi. Aku ikut bersyukur bahwa engkau dapat menemukan harta karun ini."
"Berkat bantuanmu, Giok-ko."
"Tidak, Ceng-moi. Tadi pun aku ragu apakah harta karun ini ada dan apakah berada di sini. Engkau yang tampaknya begitu yakin dan ternyata engkau benar. Menurut pendapatmu, apa yang terjadi dengan harta karun dan delapan kerangka manusia itu, Ceng-moi?"
"Melihat tanda-tanda tadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa agaknya Thaikam Bong yang mencuri harta ini dari istana Kerajaan Sung, sengaja menyembunyikan peti harta karun ini di sini. Delapan orang itu tentu orang-orangnya yang mengerjakan penggalian untuk menyimpan harta karun. Kemudian, karena tidak ingin ada orang mengetahuinya, dan agar jangan ada yang membocorkan rahasianya itu, dia lalu membunuh delapan orang itu, setelah harta karun ditanam dengan baik. Dan Thaikam yang korup itu pula yang sengaja menanam semak belukar di depan guha untuk mencegah orang memasuki guha. Dan dia membiarkan mayat delapan orang itu di dalam guha karena kalau ada orang yang nekat membabat semak belukar masuk guha, tentu akan takut kalau melihat delapan buah kerangka manusia itu. Kemudian, menurut perkiraanku, agar dia tidak lupa tempat ini, dia sengaja membuat peta itu."
"Akan tetapi, mengapa di Bukit Sorga dekat kota raja itu terdapat peti yang di dalamnya ada tulisan THAI SAN?"
"Agaknya Thaikam Bong memang cerdik dan licik. Dia juga memperhitungkan bahwa peta yang dibuatnya itu mungkin membawa orang ke Bukit Sorga yang berada di sebelah selatan kota raja. Dan mungkin karena dia sudah tua, dia hendak mewariskan peta itu kepada orang lain dan dia memberi tanda THAI SAN pada peti itu kalau-kalau pewarisnya salah memperhitungkan dan mendapatkan peti kosong itu. Juga tentu saja dia hendak mengelabuhi orang-orang lain, kalau-kalau peta itu terjatuh ke tangan orang lain."
"Bagus, Ceng-moi! Jasamu sungguh besar sekali terhadap Kerajaan. Engkau telah membantu Kerajaan dengan menemukan kembali harta karun yang menjadi hak milik Kerajaan. Aku akan melaporkan kepada Sribaginda Kaisar akan jasa besarmu ini agar engkau mendapat imbalan yang sepantasnya!" Yang bicara itu adalah Yauw Tek atau Pangeran Youtechin yang tiba-tiba muncul dan sudah berdiri di hadapan Ceng Ceng dan Cun Giok.
Ceng Ceng dan Cun Giok memandang kepada Pangeran Mongol itu, lalu kepada Li Hong yang datang dan berjalan perlahan menghampiri mereka. Li Hong tersenyum-senyum dan tampak canggung dan malu-malu. Akan tetapi melihat betapa Cun Giok dan Ceng Ceng memandang kepadanya, ia segera berkata kepada mereka sambil tersenyum, namun ucapannya terdengar tegas.
"Enci Ceng dan Giok-ko, jangan memandang kepadaku seperti itu! Urusan harta karun adalah urusan yang dapat dibicarakan antara Enci Ceng dan Pangeran, sama sekali aku tidak ikut campur. Hanya kuminta Pangeran tidak memusuhi kalian dan kuharap saja agar urusan itu dapat diselesaikan dengan cara damai. Enci Ceng adalah kakak angkatku dan Giok-ko adalah kakak misanku, kalian berdua di satu pihak adalah kakak-kakakku, dan di lain pihak, Pangeran Youtechin adalah...... calon suamiku. Karena itu, dalam urusan harta karun ini aku tidak mencampuri. Aku akan membantu kalian berdua kalau memperebutkan harta karun dengan orang lain, demikian pula aku akan membantu Pangeran Youtechin kalau dia berebutan dengan pihak lain. Nah, terserah, akan tetapi harap dapat menyelesaikan urusan ini dengan damai tanpa permusuhan."
Cun Giok dan Ceng Ceng merasa terharu. Bagaimanapun juga, Li Hong sudah bicara dengan sejujurnya, mengakui bahwa ia telah menerima pangeran itu sebagai calon suaminya! Mereka harus menghormati cinta kasih Li Hong yang dijatuhkan kepada pangeran, pemuda yang tampan dan lihai, juga berpenampilan lembut itu. Ceng Ceng maju menghampiri Li Hong dan dua orang gadis itu saling rangkul.
"Hong-moi, aku mengerti dan tidak akan membawamu dalam urusan ini," kata Ceng Ceng sambil mencium pipi adik angkatnya itu.
Setelah mencium adik angkatnya, Ceng Ceng lalu menghadapi Pangeran Youtechin dan berkata lembut. "Pangeran......"
"Ah Ceng-moi. Biarlah engkau mengenal aku sebagai Yauw Tek saja."
"Akan tetapi engkau adalah seorang Pangeran, maka sudah semestinya kalau aku menyebutmu Pangeran. Pangeran, kata-katamu tadi keliru. Aku mencari harta karun sama sekali bukan untuk pemerintah Kerajaan Mongol, dan juga harta karun itu milik Kerajaan Sung. Mendiang ayahku menyita dari seorang Thaikam yang korup, menyita petanya maka dapat dikatakan bahwa harta karun itu yang berhak adalah mendiang ayahku. Sebagai pewarisnya, akulah yang berhak memiliki harta karun ini. Kukira hal ini tidak perlu kujelaskan lebih banyak karena ketika engkau muncul sebagai Yauw Tek, engkau sudah mendengar semua."
"Aku mengerti, Ceng-moi. Akan tetapi perlu kauingat bahwa harta karun itu berasal dari milik Kerajaan Sung yang telah dikalahkan Kerajaan Goan kami, maka semua milik Kerajaan Sung yang kalah sudah sewajarnya menjadi rampasan dan milik kerajaan yang menang. Selain itu, harta karun itu terdapat di Thai-san yang juga menjadi wilayah Kerajaan Goan, maka pemilik yang berhak dan sah adalah Kerajaan Goan," bantah Pangeran Youtechin.
"Nanti dulu, Pangeran Youtechin!" Cun Giok berkata penasaran akan tetapi suaranya tetap halus karena dia ingat bahwa pangeran itu adalah calon suami adik misannya dan harus dia akui bahwa pendapat pangeran itu dipandang dari pihak Kerajaan Mongol memang tidak dapat dibantah kebenarannya. Akan tetapi dipandang dari pihak rakyat Han tentu saja membuat hatinya penasaran. "Pendapatmu itu memang benar, akan tetapi itu kebenaran pemerintah yang menang dan menjadi penjajah. Tentu engkau tahu benar bahwa harta karun itu didapatkan oleh Kerajaan Sung yang telah jatuh dari milik rakyat jelata. Maka setelah kerajaan itu jatuh, sudah sepatutnya kalau harta karun itu dikembalikan kepada rakyat! Adapun tempat ditemukannya harta karun ini, yaitu Pegunungan Thai-san, sejak jaman dahulu adalah milik rakyat jelata di mana mereka terlahir dan mati. Ini adalah tanah air dan tanah tumpah darah rakyat jelata, maka segala sesuatu yang didapatkan di tanah air ini adalah hak milik rakyat. Kami membantu Adik Liu Ceng Ceng mendapatkan harta karun yang petanya ditinggalkan ayahnya dan setelah kami temukan, bagaimana mungkin hendak kau minta begitu saja untuk diserahkan kepada kerajaanmu" Ini sungguh tidak adil!"
Sebelum Pangeran Youtechin menjawab, tiba-tiba terdengar suara tawa aneh. Tawa yang keluar dari dua mulut, akan tetapi begitu aneh tawa itu sehingga menyeramkan, apalagi yang satu tawanya seperti tangis. Muncullah sepasang kakek dan nenek iblis yang bukan lain adalah Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli!
"Heh-heh, Pangeran, mengapa Paduka masih mengajak mereka bercakap-cakap" Rampas saja harta karun itu, kami akan membantu Paduka dan hadiahnya bagi saya cukup serahkan gadis ahli obat itu kepada saya!" kata Cui-beng Kui-ong.
"Hi-hik, benar sekali, Pangeran. Dan serahkan pemuda itu sebagai hadiah kepada saya!" Song-bun Moli tidak mau kalah.
Akan tetapi pada saat itu tampak banyak orang berlompatan dan sebentar saja puluhan orang sudah berdiri di belakang Cun Giok dan Ceng Ceng. Mereka adalah rombongan Thai-san-pai, Ang-tung Kai-pang, Go-bi-pai yang diwakili Thian-li Niocu dan para muridnya, Bu-tong-pai yang diwakili oleh Liong Kun dan Thio Kui yang datang bersama Kui Lan dan Kui Lin. Tampak pula Bu-tek Sin-liong Cu Liong bersama puterinya, Cu Ai Yin, akan tetapi datuk ini berdiri di tempat netral, agaknya tidak berpihak kepada siapa pun.
"Pangeran, mereka itu hendak memberontak terhadap kerajaan kita!" kata Kong Sek dengan nada marah. Agaknya, melihat Cun Giok, dia sudah tidak sabar untuk berdiam diri dan hendak mempergunakan kekuatan Pangeran Youtechin, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli untuk membunuh Cun Giok sebagai balas dendam terhadap kematian ayahnya.
Akan tetapi Pangeran Youtechin memberi isyarat dengan tangan agar Kong Sek dan dua orang kakek nenek iblis itu tidak turun tangan. Lalu dia memandang kepada mereka yang baru datang itu. Thai-san Sianjin Thio Kong, ketua Thai-san-pai berkata dengan lantang namun cukup menghormat.
"Pangeran, kami sama sekali tidak hendak memberontak terhadap pemerintah! Kami hanya membenarkan Nona Liu Ceng Ceng bahwa harta karun itu adalah berasal darl rakyat jelata dan harus kembali kepada rakyat yang menjadi pemiliknya. Ada pun harta karun itu ditemukan di Thai-san, maka kami Thai-san-pai yang sudah ratusan tahun tinggal di sini, dapat mengatakan bahwa tempat ini merupakan daerah wilayah kami. Kami percaya bahwa pemerintah tentu menghormati hak rakyat atas daerah yang menjadi kekuasaannya."
"Kami mendukung Nona Liu Ceng Ceng, dan kalau ada yang hendak merampas harta karun milik rakyat dari tangannya, kami siap untuk membelanya!" kata Thian-li Niocu wakil dari Go-bi-pai. Terdengar suara berisik karena semua yang diam-diam anti penjajahan mendukung Ceng Ceng.
Menghadapi semua ucapan itu dan melihat puluhan pasang mata memandangnya dengan sikap penasaran, Pangeran Youtechin tampak tenang saja. Berbeda dengan Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli dan Kong Sek yang sudah marah dan ingin menerjang dan mengamuk, Pangeran itu kembali memberi isyarat kepada tiga orang pengikutnya untuk berdiam diri, kemudian dengan sikap tenang dan suaranya lantang namun mulutnya tersenyum dia berkata.
"Kami mengerti bahwa kalian tidak hendak memberontak terhadap pemerintah, dan kami juga tidak ingin bermusuhan dengan para tokoh dunia kang-ouw! Kalian menghendaki harta karun untuk diberikan kepada rakyat jelata, sebaliknya pemerintah menghendaki harta karun itu juga hendak dipergunakan demi kesejahteraan rakyat. Untuk mengatur negara dari rakyat, untuk menyjahterakan rakyat memerlukan biaya yang amat besar. Harta karun itu memang peninggalan Kerajaan Sung, maka setelah Kerajaan Sung kalah, maka dengan sendirinya harta karun itu menjadi milik kerajaan kami yang menang. Aku, Pangeran Youtechin, sama sekali tidak menginginkan harta itu untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk diserahkan kepada kerajaan, kepada pemerintah!"
Ketika pangeran itu berhenti sebentar, kesempatan ini dipergunakan oleh Cun Giok untuk menjawab. "Pangeran Youtechin, kami tidak dapat membantah kebenaran ucapan Paduka, akan tetapi kebenaran itu dipandang dari pihak kerajaan. Adik Ceng Ceng juga memiliki kebenaran pendiriannya sendiri. Ia menerima warisan peta dari ayahnya dengan pesan khusus, maka sebagai anak yang berbakti tentu saja ia harus melaksanakan pesan atau perintah yang diwariskan ayahnya. Adapun kami semua yang membela Adik Ceng Ceng juga mempunyai kewajiban, yaitu berbakti kepada bangsa dan tanah air, membela kepentingan rakyat, maka kami mendukung niat Adik Ceng Ceng untuk mengembalikan harta karun kepada rakyat jelata."
Pangeran Youtechin mengangguk-angguk. "Dua pihak memiliki alasan dan pendirian masing-masing, itu hal yang wajar. Tidak ada yang dapat disalahkan karena alasan masing-masing benar. Kalian adalah pendekar-pendekar yang setia membela kepentingan rakyat akan tetapi lupa bahwa kalian juga berkewajiban untuk membela dan setia kepada pemerintah yang berkuasa dan berwenang. Adapun kami tentu saja berkewajiban untuk berbakti kepada pemerintah kerajaan kami dan sekaligus juga mementingkan kesejahteraan rakyat yang akan dilaksanakan dan diatur oleh pemerintah."
"Pangeran, kita hajar saja pemberontak-pemberontak ini!" kata Cui-beng Kui-ong yang sudah tidak sabar lagi.
"Cui-beng Kui-ong, kami bukan pemberontak! Kami tidak takut kepadamu demi membela hak kami!" Ketua Thai-san-pai juga berseru lantang.
Li Hong yang melihat betapa kedua pihak mulai panas, meninggalkan Ceng Ceng dan melompat ke dekat Pangeran Youtechin. Ia menatap wajah pangeran itu dan berkata lirih.
"Pangeran, jangan memusuhi kakak misanku Pouw Cun Giok dan kakak angkatku, Liu Ceng Ceng. Ingat akan janjimu kepadaku!"
Pangeran itu tersenyum, menyentuh lengan Li Hong dan mengangguk. Kemudian dia menoleh ke arah Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli dan Kong Sek yang agaknya sudah siap dengan senjata masing-masing.
"Aku perintahkan kalian jangan menyerang siapapun juga sebelum aku kehendaki!"
Kakek dan nenek itu terpaksa menaati, mereka mengangguk dan bahkan melangkah ke belakang. Biarpun dengan bersungut-sungut karena dia tidak diberi kesempatan menyerang musuh besarnya, yaitu Pouw Cun Giok, Kong Sek terpaksa mundur pula mengikuti kakek dan nenek iblis itu. Setelah itu, Pangeran Youtechin kembali menghadapi Ceng Ceng, Cun Giok para tokoh kang-ouw yang mendukung mereka.
"Cu-wi Enghiong (Para Pendekar Sekalian)! Sesungguhnya, yang langsung berurusan tentang harta karun adalah Nona Liu Ceng Ceng dan kami. Nona Liu Ceng Ceng sebagai pewaris ayahnya yang akan melaksanakan pesan ayahnya dan kami sebagai wakil kerajaan yang bertindak atas nama Sribaginda Kaisar. Ketahuilah bahwa kami sama sekali tidak berniat untuk bermusuhan dengan Nona Liu Ceng Ceng yang merupakan sahabat baik kami dan terutama sekali ia adalah kakak angkat dari calon isteriku, Nona Tan Li Hong. Juga kami sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan para pendekar dan tokoh kang-ouw yang mendukung Nona Liu Ceng Ceng. Kami harap Cu-wi (Anda Sekalian) juga tidak mengambil sikap bermusuhan dengan kami. Sama sekali bukan berarti bahwa kami merasa takut. Kami tidak takut, akan tetapi kalau sampai di antara kita terjadi bentrokan dan pertempuran, lalu kami tewas, akibatnya akan hebat. Kami adalah wakil pemerintah yang mendapat hak dari Sri Baginda Kaisar, maka kalau sampai kami tewas di tangan kalian, tentu kalian dianggap pemberontak dan pemerintah akan mengerahkan bala tentara untuk membasmi kalian! Ini bukan gertakan belaka, melainkan peringatan agar hal itu tidak sampai terjadi. Sekarang begini saja. Karena kedua pihak memiliki alasan masing-masing yang kuat, maka pertentangan karena perebutan harta karun itu kita selesaikan dengan cara yang adil dan gagah seperti biasa dilakukan di dalam dunia persilatan. Agar jangan menimbulkan banyak korban dan permusuhan besar, maka aku, Pangeran Youtechin dan dalam hal ini menjadi utusan istimewa dari Sri Baginda Kaisar, mengajak Nona Liu Ceng Ceng untuk mengadakan pi-bu (adu ilmu silat) untuk menentukan siapa yang menang dan berhak mendapatkan harta karun itu. Tentu saja, Nona Liu Ceng Ceng boleh memilih wakilnya yang akan bertanding melawanku."
Mendengar ucapan yang panjang lebar dari pangeran itu, para tokoh kang-ouw dan anak buah mereka saling berbisik sehingga keadaan menjadi agak berisik. Namun pada umumnya, mereka terkesan dan menganggap pangeran itu bicara dengan adil dan gagah seperti sikap seorang pendekar tulen. Diam-diam mereka merasa heran. Tadinya, dalam anggapan mereka, semua orang Mongol, terutama para pembesar dan bangsawannya, adalah orang-orang yang angkuh, sombong dan sewenang-wenang. Akan tetapi sekarang muncul seorang pangeran selain tampan iuga bersikap ramah dan dapat mengambil keputusan bijaksana dan adil, tidak hendak mencari kemenangan sendiri.
13.1. Pie-bu Perebutan Harta Karun
Para pimpinan rombongan yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw seperti Thai-san Sianjin Thio Kong Ketua Thai-san-pai, Hoa-san Ngo-heng-tin, Kui-tung Sin-kai Ketua Ang-tung Kai-pang, Thian-li Niocu tokoh Go-bi-pai, dua orang pemuda wakil Bu-tong-pai dan yang lain-lain mengangguk-angguk kagum dan setuju dengan peraturan yang dikemukakan Pangeran Youtechin untuk mencegah pertempuran dan permusuhan dengan pi-bu. Bahkan Bu-tek Sin-liong yang berwatak keras dan jujur, tidak berpihak itu tak dapat menahan kegembiraannya untuk menonton orang mengadu ilmu silat dan berseru, "Bagus! Bagus sekali diadakan pi-bu itu!"
Ceng Ceng melangkah maju hendak menyambut tantangan pi-bu itu, akan tetapi Cun Giok memegang lengannya.
"Giok-ko, akulah yang berkepentingan dan aku yang ditantang pi-bu!" kata Ceng Ceng.
"Ceng-moi, kepentinganmu adalah kepentinganku juga, dan tadi Pangeran Youtechin mengatakan bahwa engkau boleh mewakilkan orang lain untuk bertanding melawannya. Biarlah aku yang mewakilimu, Ceng-moi." Tanpa menanti jawaban, Cun Giok melompat ke depan pangeran itu.
"Pangeran, akulah yang mewakili Nona Liu Ceng Ceng untuk bertanding melawanmu!" katanya lantang.
"Ah, sudah kuduga engkau yang akan maju, Pouw Cun Giok! Aku gembira sekali karena aku tahu bahwa engkau yang berjuluk Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan) dan merupakan lawan yang amat lihai dan aku senang sekali tidak harus bertanding melawan Nona Liu Ceng Ceng!" Kata Pangeran Youtechin yang sudah banyak mendengar tentang Cun Giok dari Li Hong. Memang dia ingin sekali mengukur sampai di mana kepandaian pendekar yang dipuji-puji oleh Li Hong yang merupakan adik misan pendekar itu.
Setelah berkata demikian, Pangeran Youtechin menoleh kepada para pembantunya dan berkata dengan nada tegas. "Sekali lagi kuperintahkan agar kalian tidak ada yang campur tangan dalam pi-bu ini!"
Melihat sikap Pangeran Youtechin ini, Cun Giok segera memutar tubuh menghadapi para pendukung Ceng Ceng dan berseru dengan lantang.
"Aku mohon Cu-wi (Anda Sekalian) dapat menjaga nama dan kehormatan kita dan tidak turun tangan membantuku dalam pi-bu ini!"
Kini dua orang pemuda yang tampan gagah itu saling berhadapan dalam jarak kurang lebih tiga meter. Karena keduanya maklum bahwa mereka berhadapan dengan lawan tangguh, Pangeran Youtechin mendengar kelihaian Cun Glok dari Li Hong sebaliknya Cun Giok mendengar akan kelihaian pangeran itu dari Ceng Ceng, kedua orang pemuda itu tidak berani memandang rendah lawan.
Pangeran Youtechin lalu memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang dan kedua lutut ditekuk, kedua tangan terbuka di kanan kiri pinggang. Cun Giok juga memasang kuda-kuda yang disebut pembukaan "Menunggang Kuda" yang sama karena itulah kuda-kuda terbaik untuk menghadapi serangan tangan kosong lawan. Melihat betapa pangeran itu tidak mencabut pedang, Cun Giok juga tidak mencabut pedangnya. Setelah dalam kedudukan memasang kuda-kuda seperti itu untuk sejenak dan hanya saling pandang dengan sinar mata tajam seolah hendak mengukur kepandaian lawan lewat pandang mata masing-masing, Pangeran Youtechin berkata.
"Bu-eng-cu, silakan!" Ucapan ini merupakan tantangan halus agar lawan mulai menyerang.
"Pangeran, aku telah siap, silakan!" Cun Giok balas menantang.
Mendengar ini, Pangeran Youtechin perlahan-lahan menggerakkan kedua tangan di kanan kiri pinggang itu ke atas seperti menarik sesuatu yang berat ke atas sampai depan dada, lalu membalikkan kedua tangan seperti menekan benda berat ke bawah. Dengan gerakan ini dia menghimpun tenaga sakti menjalar ke dalam kedua lengan tangannya.
Melihat ini, Cun Giok mengangkat kedua tangan tinggi ke atas kepala lalu menurunkan perlahan-lahan dan mengumpulkan pula tenaga saktinya, siap menyambut serangan lawan karena dari gerakan pangeran tadi dia dapat menduga bahwa lawan akan menyerang dengan pukulan tenaga sakti. Benar saja dugaannya ketika pangeran itu berseru nyaring.
"Sambut seranganku ini!" Pangeran Youtechin menggerakkan tangan kanannya mendorong ke depan tanpa mengubah posisi kakinya, lalu disusul dorongan tangan kiri.
"Wuuuttt! Wuuuttt!" Angin pukulan yang amat kuat menyambar ke arah Cun Giok, akan tetapi Si Pendekar Tanpa Bayangan ini sudah menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula.
"Syuuuttt! Syuuuttt!" Dari kedua telapak tangannya juga menyambar tenaga yang tak kalah hebatnya.
"Dess! Desss!" Dua tenaga sakti bertemu di udara dan kedua orang pemuda itu merasa betapa tubuh mereka tergetar. Mereka merasa penasaran dan kini mereka saling serang menggunakan tenaga sakti, menyerang dalam jarak tiga meter. Angin pukulan mereka menderu-deru sampai terasa oleh mereka yang menonton, akan tetapi tak seorang pun dari mereka berdua yang dapat terdorong oleh serangan lawan.
Karena merasa penasaran, tiba-tiba kedua orang pemuda itu berseru nyaring sambil mendorongkan kedua tangan mereka.
"Wuuuuttt...... bresss!" Dua tenaga dahsyat bertemu dan keduanya terpental dan terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Ternyata tenaga sakti mereka seimbang dan hal ini diketahui pula oleh para tokoh yang menjadi penonton.
Pangeran Youtechin merasa penasaran sekali. Selama dia meninggalkan Tibet, dalam perantauannya belum pernah dia bertemu orang yang mampu menandingi kekuatan tenaga saktinya. Maka, biarpun dengan wajah berseri karena disamping rasa penasarannya, dia juga merasa kagum dan gembira mendapatkan lawan seimbang, dia lalu melompat dan kini berhadapan langsung dengan Cun Giok. Dia kini menyerang dengan pukulan langsung dengan jurus Hio-te-hoan-hwa (Di Bawah Daun Mencari Bunga), tangan kanannya meluncur ke depan mencengkeram ke arah dada lawan. Serangan ini cepat dan kuat sekali. Cun Giok juga mengerahkan tenaga dan cepat dia menangkis dengan jurus Pai-san-to-hai (Tolak Gunung, Timbun Lautan) yang merupakan tangkisan dan sekaligus ketika tangan kiri menangkis serangan lawan, tangan kanannya menghantam dari atas ke bawah ke arah kepala pangeran itu.
"Haitt!" Pangeran Youtechin cepat mengelak dengan gerakan Kim-le-coan-po (lkan Emas Terjang Ombak), lalu sambil membalikkan tubuh dia balas menyerang dengan jurus Sin-liong-pai-bwe (Naga Sakti Sabetkan Ekor), kakinya mencuat dalam tendangan kilat yang hebat sekali. Saking cepatnya datangnya tendangan, Cun Giok tidak sempat mengelak dan menggunakan lengannya untuk menangkis.
"Dukkk!!" Kini keduanya serang menyerang dengan gerakan cepat dan kuat sehingga terdengar bunyi dak-duk-dak-duk berulang-ulang.
Hebat bukan main pertandingan silat tangan kosong itu. Puncak pertandingan adalah ketika Pangeran Youtechin bersilat dengan ilmu silat Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru Angin), yang dilawan oleh Cun Giok dengan ilmu silat Ngo-heng-kun. Tidak kurang dari limapuluh jurus mereka saling serang dalam keadaan seimbang. Tiba-tiba terdengar suara berdebuk dua kali dan keduanya terhuyung ke belakang. Keduanya terhuyung dengan muka berubah agak pucat. Cun Giok menekan dada kiri dengan tangan kanan sedangkan pangeran itu menekan dada kanan dengan tangan kiri"nya.
Ternyata dalam saat yang hampir berbareng, Cun Giok terpukul dada kirinya dan Pangeran Youtechin terpukul dada kanannya! Sejenak keduanya menggosok-gosok bagian dada yang terkena pukulan.
"Pangeran, ilmu silatmu sungguh hebat, aku merasa kagum!" kata Cun Giok dengan jujur.
"Jangan terlalu merendahkan diri, Bu-eng-cu! Aku juga terkena pukulanmu. Keadaan kita masih seimbang. Mari kita tentukan siapa yang lebih unggul dengan senjata kita!" Setelah berkata demikian, pangeran itu menghunus pedangnya yang indah dan yang ujungnya bercabang. Cun Giok juga mencabut Kim-kong-kiam yang bersinar emas.
"Silahkan, Pangeran!" kata Cun Giok.
Li Hong sejak tadi mengamati pertandingan silat tangan kosong itu dengan muka penuh kecemasan. Hatinya merasa lega ketika kedua orang muda itu sama-sama terhuyung ke belakang dan agaknya hanya menderita luka ringan oleh pukulan masing-masing. Akan tetapi begitu melihat mereka berdua sudah mencabut pedang, kekhawatirannya memuncak dan ia tidak menahan diri lagi lalu berseru.
"Giok-ko, jangan bunuh suamiku! Pangeran, jangan bunuh kakak misanku!!" Gadis ini setelah berseru nyaring lalu menangis. Akan tetapi agaknya seruan yang nyaring, itu tidak didengarkan atau tidak diperhatikan dua orang muda itu karena Pangeran Youtechin telah mulai menyerang dengan pedangnya. Cun Giok menangkis dengan cepat.
"Tranggg......!!" Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kedua orang muda yang merasa betapa tangan mereka tergetar, cepat memeriksa pedang masing-masing. Akan tetapi ternyata pedang mereka tidak rusak oleh benturan yang amat kuat tadi. Maka kembali mereka sudah saling menyerang.
Ceng Ceng merangkul Li Hong dan menghiburnya. "Hong-moi, jangan cengeng. Malu ditonton banyak orang. Tenanglah, kukira mereka tidak akan saling bunuh karena mereka berdua menyayangmu. Kalau hanya terluka, hal itu sudah wajar dalam sebuah pi-bu. Mudah-mudahan saja, siapa pun di antara mereka yang kalah, tidak akan menderita luka parah."
Pertandingan pedang itu benar-benar mengasyikkan akan tetapi juga menegangkan untuk ditonton. Bergantian mereka menyerang dengan menggunakan jurus-jurus terampuh.
"Hyaatt?"!" Pangeran itu menyerang dengan jurus Hui-in-ci-tian (Awan Mengeluarkan Kilat). Pedangnya diputar lalu tiba-tiba pedang itu meluncur ke arah tenggorokan lawan. Cun Giok cepat menggerakkan jurus In-mo-sam-bu (Payung Awan Tiga Kali Menari) dan beruntun dia menangkis pedang pangeran itu yang menyerang bertubi-tubi sampai tiga kali. Terdengar bunyi berdenting-denting ketika berturut-turut kedua pedang itu beradu.
Kemudian Cun Giok membalas. Dia menyerang dengan jurus Liu-seng-kan-goat (Bintang Mengejar Bulan), serangannya berkelanjutan karena begitu dielakkan lawan, pedangnya terus melakukan pengejaran ke mana pun lawan bergerak! Diserang secara berkelanjutan itu, Pangeran Youtechin merasa kewalahan dan terpaksa dia memutar pedangnya untuk melindungi dirinya. Dia menangkis dengan jurus Pek-kong-koan-jit (Cahaya Putih Menutup Matahari) sehingga kembali terdengar suara berdentangan ketika sepasang pedang itu saling bertemu dan mengeluarkan bunga api yang berpijar"pijar.
Setelah mereka bertanding pedang selama limapuluh jurus lebih, tiba-tiba Pangeran Youtechin mengubah gerakan pedangnya dan kini dia mainkan ilmu pedang Liap-in-kiam-hoat (Ilmu Pedang Pengejar Awan) yang gerakannya aneh dan pedang itu sukar dibendung karena menyerang dengan bertubi-tubi. Menghadapi ilmu pedang yang hebat ini, Cun Giok lalu mainkan Ngo-heng Kiam-sut (i1mu Pedang Lima Anasir) yang sudah disempurnakan oleh Pak-kong Lojin, kakek gurunya yang kemudian juga menggemblengnya.
Dua macam ilmu pedang itu sama dahsyatnya. Lima orang tokoh Hoa-san-pai, yaitu Thian-huo Tosu, Thian-kim Tosu, Thian-bhok Tosu, Thian-sui Tosu, dan Thian-tho Tosu yang dikenal sebagai Hoa-san Ngo-heng-tin juga mahir ilmu pedang Ngo-heng. Akan tetapi melihat Cun Giok mainkan ilmu pedang Ngo-heng itu, mereka terkagum-kagum. Memang pada dasarnya bersumber sama, akan tetapi pada ilmu pedang yang dimainkan pemuda itu terdapat banyak kembangan yang tidak mereka kenal dan mereka harus mengakui bahwa Ngo-heng Kiam-sut yang dimainkan Cun Giok sungguh amat dahsyat dan jauh Iebih rumit.
Dua orang muda itu memang hebat. Tingkat ilmu silat dan tenaga sakti mereka berimbang sehingga sukarlah mendesak lawan. Setelah bertanding kurang lebih seratus jurus, Cun Giok yang sudah mengambil keputusan untuk memenangkan Ceng Ceng walaupun dia akan membuat kecewa adik misannya, segera mulai mengerahkan gin-kang yang dikuasainya.
Memang dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh), Cun Giok telah memiliki tingkat yang amat tinggi sehingga karena kecepatan gerakannya, dia mendapat julukan Bu-eng-cu atau Si Tanpa Bayangan! Maka, begitu dia mengerahkan gin-kangnya dan memainkan Ngo-heng Kiam-sut, Pangeran Youtechin terkejut bukan main. Dia merasa seolah-olah bertanding melawan bayangan yang kadang-kadang lenyap dan tahu-tahu berada di belakang atau kanan kirinya. Maklumlah dia bahwa lawannya benar-benar pantas disebut Pendekar Tanpa Bayangan karena memiliki gin-kang yang luar biasa. Dia memutar pedangnya dengan cepat namun tetap saja dia dibuat pusing dengan ke"cepatan gerakan lawannya.
Para penonton kini memandang dengan penuh kagum. Dua gulungan sinar pedang itu bagaikan seekor naga emas dan naga perak melayang-layang dan saling belit, saling sambar dengan dahsyatnya. Kalau tubuh Sang Pangeran masih tampak dan berkelebatan terbungkus sinar pedang, tubuh Bu-eng-cu Pouw Cun Giok benar-benar lenyap tak tampak bayangannya! Pangeran Youtechin melawan mati-matian dan lebih mengandalkan telinganya daripada matanya karena tubuh lawan yang tidak dapat dilihatnya itu masih dapat dia tangkap dengan pendengarannya.
"Cringgg......!!" Tiba-tiba terdengar bunyi berdencing nyaring, tampak bunga api berpijar disusul teriakan Pangeran Youtechin karena dia merasa pergelangan tangan kanannya tertotok dan pedangnya terpental ke atas. Sebelum dia sempat menangkap kembali pedangnya yang terbang karena dihantam pedang lawan, Cun Giok sudah mendahuluinya melompat ke atas dan ketika dia turun kembali, pedang milik pangeran itu telah berada di tangan kirinya!
Dengan terampasnya pedang, semua orang juga mengetahui bahwa pangeran itu telah dikalahkan Bu-eng-cu Pouw Cun Giok yang mewakili Liu Ceng Ceng! Pangeran Youtechin juga mengakui hal ini dan diam-diam dia kagum dan berterima kasih kepada Cun Giok yang telah mengalahkannya tanpa melukainya. Dia tahu bahwa jika Cun Giok mau, dia tentu sudah roboh terluka.
Li Hong melompat dan sudah berada dekat Cun Giok. Ia menjulurkan tangannya minta pedang pangeran itu dikembalikan. Cun Giok dapat menanggapi gerakan Li Hong tanpa kata itu. Dia menyerahkan pedang rampasan kepada adik misannya. Li Hong menerima pedang dan menghampiri Pangeran Youtechin. Diserahkannya pedang itu kepada Sang Pangeran sambil berkata lembut, "Pangeran, engkau telah kalah."
Pangeran Youtechin menerima pedang itu sambil menghela napas panjang. Dia memandang kepada Pouw Cun Giok yang telah berdiri dekat Ceng Ceng, lalu berkata nyaring agar terdengar oleh semua orang yang berada di situ.
"Bu-eng-cu, kami mengaku kalah dan sesuai dengan perjanjian, harta karun itu boleh dimiliki Nona Liu Ceng Ceng dengan sah. Kalau ada pihak yang hendak merebutnya, kami akan membantu Nona Liu untuk menentang mereka!"
Mendengar ucapan Pangeran Youtechin, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli mengerutkan alisnya dan merasa penasaran sekali. Akan tetapi tentu saja mereka berdua tidak berani menentang pangeran yang memegang tanda kekuasaan Kaisar.
"Pangeran, kami mohon diri, akan kembali ke Bukit Sorga," kata Cui-beng Kui-ong dan dengan muka keruh dia dan Song-bun Moli berkelebat dan lenyap dari situ.
Kong Sek yang merasa penasaran sekali, terutama kepada Pouw Cun Giok namun juga merasa tidak berdaya untuk membalas dendam karena tingkat kepandaian Cun Giok jauh melampaui tingkatnya, memandang kepada Pendekar Tanpa Bayangan dengan mata mencorong penuh kebencian. Dia lalu menudingkan telunjuknya kepada musuh besarnya itu dan berkata dengan marah.
"Jahanam Pouw Cun Giok, kau tunggu saja. Akan tiba saatnya aku datang mengambil kepalamu untuk membalas kematian ayah!" Setelah berkata demikian, dia memberi hormat kepada Pangeran Youtechin lalu meninggalkan tempat itu.
Kini Liu Ceng Ceng menghadapi para tokoh kang-ouw yang tadi berdiri di belakangnya dan yang mendukungnya, mengangkat kedua tangan depan dada dan memberi hormat lalu berkata.
"Cu-wi yang budiman, saya Liu Ceng Ceng atas nama mendiang ayah Liu Bok Eng berterima kasih sekali atas dukungan Cu-wi sehingga harta karun itu dapat saya peroleh untuk memenuhi pesan terakhir ayahku. Karena sekarang urusan mengenai harta karun telah dapat diselesaikan, maka saya harap tidak akan terjadi lagi keributan dan pertengkaran mengenai harta karun. Sekali lagi, banyak terima kasih saya ucapkan kepada Cu-wi yang budiman."
Para tokoh kang-ouw senang mendengar ucapan gadis itu dan mereka lalu meninggalkan bukit itu. Diam-diam Bu-tek Sin-liong Cu Liong dan muridnya, Cu Ai Yin, juga telah meninggalkan tempat itu tanpa pamit.
Kini yang masih berada di depan guha hanya Pouw Cun Giok dan Liu Ceng Ceng, berhadapan dengan Pangeran Youtechin dan Tan Li Hong.
Pangeran Youtechin memandang Li Hong dengan wajah muram lalu berkata dengan suara mengandung kesedihan. "Dinda Li Hong, sekarang sebaiknya engkau pulang dulu ke Coa-to (Pulau Ular). Aku harus kembali ke kota raja untuk mempertanggung-jawabkan kegagalanku mengemban tugas mendapatkan harta karun seperti yang diperintahkan Sribaginda Kaisar."
Li Hong memegang kedua lengan pangeran itu, menatap wajah pangeran muda itu penuh kasih sayang lalu berkata. "Tidak, Pangeran. Aku harus ikut bersamamu ke kota raja!"
Pangeran itu merangkul kekasihnya. "Jangan, Adinda. Engkau pulanglah ke Pulau Ular dan tunggu di sana. Percayalah, kalau aku dapat terbebas dari hukuman karena gagal melaksanakan tugas, aku akan memberitahu kepada ayahku tentang perjodohan kita dan ayah pasti akan mengirim orang untuk menyampaikan pinangan secara resmi kepada orang tuamu dan kita dapat menikah dengan resmi."
"Tidak, tidak, Pangeran!" Li Hong berkeras dan menyandarkan mukanya di pundak pangeran itu. Sepasang matanya menjadi merah dan tangisnya sudah berada di ambang pelupuk matanya. "Kalau engkau terhukum, biarlah aku juga menemanimu. Kita pertanggungjawabkan bersama. Aku akan membelamu sampai mati, Pangeran......" Li Hong menangis tersedu-sedu di dada Pangeran Youtechin.
13.2. Pembagian Harta karun . . . . .
Ceng Ceng dan Cun Giok saling pandang dengan terkejut dan heran. Mereka tertegun menyaksikan adegan itu. Melihat Li Hong menangis demikian sedihnya merupakan penglihatan yang luar biasa anehnya! Betapa kuat perkasanya cinta. Cinta membuat Li Hong yang tadinya merupakan seorang gadis yang pemberani, keras hati dan ganas itu menjadi demikian lemah dan cengeng! Hampir mereka tidak percaya kalau tidak menyaksikan sendiri keadaan Li Hong di saat itu.
Di samping keheranannya, hati Ceng Ceng yang lembut tersentuh dan ia merasa terharu sekali. Ia tidak ingin melihat cinta kasih antara Li Hong dan Pangeran Youtechin berantakan mengakibatkan Li Hong hidup menderita sengsara karena pangeran itu gagal mendapatkan harta karun. Maka dengan hati tetap ia melangkah maju menghampiri pangeran dan adik angkatnya itu, lalu berkata lembut.
"Pangeran, engkau adalah seorang gagah yang mencinta negara dan mengemban tugas untuk mendapatkan harta karun dengan setia. Demikian pula aku mengemban tugas dari mendiang ayahku tercinta dengan setia. Keadaan dan kedudukan kita berdua sesungguhnya tidak banyak berbeda. Mengingat akan keadaan ini, apalagi mengingat bahwa engkau adalah calon suami adik angkatku, bagaimana aku tega membiarkan engkau gagal melaksanakan tugas dan terancam hukuman" Mengingat bahwa kemenanganku memperebutkan harta karun ini tidak sepenuhnya murni karena aku dalam pi-bu diwakili Giok-ko, dan kalau aku maju sendiri melawanmu agaknya aku akan kalah, maka sudah adil kalau aku membagi harta karun ini denganmu. Dengan begini, tugasmu tidak sepenuhnya gagal, demikian pula tugasku. Ambillah setengah dari harta karun itu, Pangeran!"
Pangeran Youtechin menatap wajah. Ceng Ceng dengan mata terbelalak. "Apa" Engkau...... rela membagi harta karun ini demi...... keselamatanku, Nona Liu Ceng Ceng?"
Ceng Ceng tersenyum. "Bukan hanya demi keselamatanmu, Pangeran, akan te-tapi terutama sekali demi Adikku Li Hong."
"Enci Ceng......!" Li Hong menubruk dan merangkul Ceng Ceng penuh rasa haru akan tetapi juga bahagia. "Terima kasih, Enci Ceng Ceng...... sungguh engkau seorang yang bijaksana dan berhati mulia......!"
Ceng Ceng balas merangkul. "Hong-moi, Pangeran Youtechin benar, sebaiknya engkau menunggu di Pulau Ular. Engkau harus memberitahu tentang perjodohanmu dengan Pangeran Youtechin kepada orang tuamu dan menunggu datangnya lamaran di sana. Aku yakin, Pangeran Youtechin adalah seorang laki-laki sejati yang tidak akan mengingkari janjinya kepadamu. Giok-ko, tolonglah bagi isi peti harta karun itu menjadi dua agar yang separuh dapat dibawa Pangeran Youtechin ke kota raja."
Cun Giok hanya mengangguk. Dalam hatinya dia merasa penasaran, akan tetapi juga kagum dan terharu karena dia maklum sepenuhnya bahwa Ceng Ceng melakukan hal itu demi kebahagiaan Tan Li Hong! Dia lalu mengeluarkan semua isi peti dan membaginya separuh.
"Silakan bawa yang separuh itu, Pangeran," kata Ceng Ceng setelah kedua bagian harta karun itu dibungkus kain.
Pangeran Youtechin mengangguk dan memberi hormat kepada Ceng Ceng. "Nona Liu Ceng Ceng, benar apa yang dikatakan Adinda Tan Li Hong. Engkau adalah seorang pendekar wanita yang berhati mulia dan bijaksana. Sayang sekali bahwa kita berdiri di dua pihak yang bertentangan. Akan tetapi aku merasa bangga dan bahagia mengetahui bahwa Adinda Tan Li Hong mempunyai seorang kakak angkat sepertimu. Terima kasih atas kerelaanmu ini." Pangeran Youtechin lalu mengambil sebuah buntalan kain dan digendongnya di punggung. Lalu dia berkata kepada Li Hong.
"Dinda Li Hong, engkau tunggulah di Pulau Ular dan aku akan segera mengirim utusan untuk meminangmu. PercayaIah, aku tidak akan menyia-nyiakan cintamu dan kepercayaan Nona Liu Ceng Ceng kepadaku. Nah, selamat berpisah untuk sementara." Setelah berkata demikian, pangeran itu lalu pergi dari situ, diikuti pandang mata tiga orang muda, Cun Giok, Ceng Ceng dan Li Hong.
"Ceng-moi, sekarang bagaimana rencanamu" Ke manakah engkau akan membawa harta karun itu?" tanya Cun Giok kepada Ceng Ceng setelah bayangan pangeran itu lenyap di balik pohon-pohon.
"Untuk sementara ini, harta karun itu akan kusimpan dulu, Giok-ko, sambil mencari keterangan dan menanti siapa pimpinan rakyat pejuang yang pantas menerimanya," kata Ceng Ceng.
"Enci Ceng, akan berbahaya sekali kalau engkau sendiri yang menyimpan harta karun itu, karena tentu akan banyak orang jahat yang akan mencoba untuk merampasnya darimu. Sebaiknya, kaubawa harta itu ke Pulau Ular. Di sana harta karun itu akan aman dan tidak ada orang berani sembarangan naik ke Pulau Ular untuk merampas harta karun. Pula, kita dapat bertanya kepada ayah dan terutama kepada Ibu Ban-tok Niocu, pimpinan pejuang mana yang sekiranya pantas menerima harta karun itu. Pula, bukankah engkau kakak angkatku dan dengan sendirinya ayah ibuku juga menjadi ayah ibumu?"
"Ucapan Hong-moi itu benar sekali, Ceng-moi. Memang tidak ada tempat yang lebih aman dan tepat untuk menyimpan harta karun itu daripada Pulau Ular."
"Dan aku pun membutuhkan bantuanmu untuk ikut meyakinkan hati ayah ibuku akan perjodohanku dengan Pangeran Youtechin, bahwa aku tidak salah pilih, Enci Ceng," bujuk pula Li Hong.
Ceng Ceng tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, aku akan membawa harta karun itu ke Pulau Ular. Aku akan pergi bersamamu, Hong-moi. Dan engkau sendiri, Giok-ko, engkau hendak pergi ke manakah?"
Pertanyaan Ceng Ceng itu membuat Cun Giok mengerutkan alisnya. Ke mana dia hendak pergi" Dia tidak mempunyai keluarga dan tidak ada sesuatu lagi yang harus dikerjakan, maka sejenak dia tidak dapat menjawab. "Aku...... aku...... akan melanjutkan perantauanku, Ceng-moi."
"Tidak, Enci Ceng! Giok-ko juga pergi bersama kita ke Pulau Ular!" Tiba-tiba Li Hong berkata dengan nada suara tegas.
"Eh, Hong-moi, mengapa kau berkata begitu?" Cun Giok bertanya.
"Engkau harus menemani kita pergi ke Pulau Ular, Giok-ko!"
"Harus?" Cun Giok mengerutkan alisnya. Biarpun hatinya ingin sekali pergi bersama mereka karena berat sekali rasanya kalau dia harus berpisah dari Ceng Ceng, akan tetapi dia merasa penasaran juga kalau dipaksa.
"Ya, harus!" kata Li Hong. "Ada dua hal yang mengharuskan engkau ikut bersama kami ke Pulau Ular, Giok-ko. Pertama, kami membawa harta karun dan engkau tahu betapa para tokoh kang-ouw yang berkepandaian tinggi mengincar harta karun itu. Engkau tentu tidak tega membiarkan kami berdua menghadapi rintangan dan terancam bahaya dalam perjalanan. Kedua, engkau adalah keponakan ayahku, ayah dan ibu amat meng"harapkan bertemu denganmu dan apakah engkau tidak ingin bertemu dan memberi penghormatan kepada pek-hu (uwa) dan pek-bomu?"
Di"todong" seperti ini, Cun Giok kehabisan kata untuk dapat menolak atau membantahnya. Alasan-alasan yang dikemukakan Li Hong amat kuat dan menolak dua alasan itu akan membuat dia menjadi seorang yang tega membiarkan dua orang gadis itu terancam bahaya dan membuat dia seorang muda yang tidak sopan dan tidak menghormati uwaknya sendiri, kakak mendiang ibunya!
"Adik Li Hong, jangan terlalu memaksa Giok-ko. Kalau dia tidak mau......"
"Baiklah, aku ikut kalian ke Pulau Ular!" kata Cun Giok dan ucapannya ini disambut senyum lebar dua orang gadis itu. Mereka lalu berangkat, meninggalkan Pegunungan Thai-san dan Cun Giok yang menggendong buntalan harta karun itu di punggungnya.
"Y" Dua hari kemudian, pada suatu siang mereka bertiga baru meninggalkan daerah Pegunungan Thai-san dan tiba di kaki pegunungan. Dari lereng paling bawah yang mereka tinggalkan tadi mereka melihat genteng banyak rumah, menandakan bahwa di sana terdapat perumahan orang, mungkin sebuah dusun yang lumayan keadaannya karena rumah-rumahnya sudah memakai genteng. Mereka kini menuju ke perumahan itu untuk mencari makanan karena perut mereka sejak pagi tadi belum terisi.
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan seorang laki-laki tinggi besar tahu-tahu sudah berdiri menghadang di tengah jalan. Laki-laki itu berusia sekitar limapuluh enam tahun, bertubuh tinggi besar, mukanya merah dan ditumbuhi jenggot dan kumis pendek yang terawat baik sehingga tampak gagah. Tiga orang muda itu segera mengenalnya karena dia adalah Bu-tek Sin-liong Cu Liong majikan Bukit Merak.
"Dia Bu-tek Sin-liong," bisik Cun Giok kepada Ceng Ceng dan Li Hong.
Dua orang gadis itu sudah mendengar akan nama besar datuk ini, maka mereka bersikap waspada. Setelah mereka bertiga tiba di depan datuk itu, Pouw Cun Giok yang sudah mengenalnya karena dia pernah hampir dua tahun yang lalu ditolong oleh Cu Ai Yin, puteri datuk itu di Bukit Merak, melangkah maju dan memberi hormat kepadanya.
"Kiranya Lo-cianpwe Bu-tek Sin-liong yang berada di sini."
Dengan sikap acuh tak acuh datuk itu memandang kepada dua orang gadis cantik di samping Cun Giok, kemudian dia berkata kepada pemuda itu.
"Pouw Cun Giok, engkau masih ingat kepada kami?"
"Tentu saja, Lo-cianpwe dan Adik Cu Ai Yin pernah menolong saya di Bukit Merak," kata Cun Giok, masih menduga-duga apa maksud datuk itu menghadang perjalanannya. Dua orang gadis itu memandang penuh curiga dan mereka menduga bahwa datuk itu tentu bermaksud merampas harta karun yang digendong Cun Giok di punggungnya.
"Pouw Cun Giok, aku hendak bicara penting sekali denganmu dan engkau harus dapat memberi keputusan sekarang juga!"
Cun Giok mengerutkan alisnya. Dia sekarang dapat menduga pula bahwa datuk ini, seperti para tokoh lain, tentu menginginkan harta karun itu, maka dia berkata dengan sikap tetap hormat.
"Lo-cianpwe, hendaknya Lo-cianpwe maklum bahwa harta karun itu bukanlah hak milik kami, melainkan hak milik rakyat yang akan kami serahkan kepada yang berhak kelak."
"Huh, siapa peduli akan harta karun!" bentak Bu-tek Sin-liong, "Harta karun itu tidak ada artinya bagiku. Yang terpenting bagiku adalah urusan puteriku, Cu Ai Yin."
"Ada apakah dengan Adik Cu Ai Yin, Lo-cianpwe?" tanya Cun Giok heran dan dia memandang ke kanan kiri untuk melihat apakah gadis itu ikut datang bersama ayahnya.
"Pouw Cun Giok, sekarang juga engkau harus ikut denganku ke Bukit Merak dan kita langsung saja rayakan pernikahan puteriku denganmu!"
"Menikah......?" Ucapan ini keluar dari mulut tiga orang, yaitu Cun Giok, Ceng Ceng, dan Li Hong karena mereka sungguh terkejut mendengar ucapan datuk itu.
"Maaf, Lo-cianpwe, saya sungguh tidak mengerti apa yang Lo-cianpwe maksudkan. Kenapa saya harus ikut ke Bukit Merak dan...... menikah dengan Adik Cu Ai Yin?"
"Kenapa" Engkau masih bertanya kenapa?" bentak Bu-tek Sin-liong dengan mata melotot dan mukanya menjadi semakin merah. "Masih berpura-pura suci lagi. Pouw Cun Giok, engkau tinggal pilih, menikah dengan Ai Yin atau mati di tanganku!"
Cun Giok menjadi semakin penasaran, juga Ceng Ceng dan Li Hong memandang heran. Li Hong sudah menjadi marah sekali, akan tetapi dua orang gadis itu diam saja, hanya mendengarkan karena mereka tidak tahu urusannya.
"Lo-cianpwe, sebelum saya memilih, harap jelaskan dulu mengapa Lo-cianpwe hendak memaksa saya menikah dengan puterimu," kata Cun Giok dengan sikap masih sabar.
"Bocah tak tahu diri, tidak mengenal budi dan kurang ajar! Ai Yin telah menyelamatkanmu ketika engkau pingsan di dekat sungai dan tentu akan mati dimakan binatang buas kalau tidak ditolong Ai Yin dan dibawa ke tempat tinggal kami. Kemudian untuk kedua kalinya Ai Yin menolongmu ketika engkau akan dibunuh oleh Kong Sek. Semua itu dilakukan puteriku karena ia jatuh cinta padamu. Akan tetapi apa yang telah kau lakukan" Dengan kurang ajar engkau menciumi mulutnya ketika Ai Yin dalam keadaan tidak sadar, dan membuka punggung bajunya! Karena itu, engkau harus menikah dengannya atau aku akan membunuhmu sekarang juga!"
"Lo-cianpwe, dengarkan dulu penjelasanku......"
"Tidak perlu penjelasan lagi! Pilih saja, mau menikah dengan Ai Yin atau mati?" Datuk itu sudah mencabut Kim-siang-to (Sepasang Golok Emas) dari pinggangnya dengan mata mengancam.
"Lo-cianpwe, saya mengakui bahwa Nona Cu Ai Yin memang telah berkali-kali menolong saya. Saya kagum dan suka padanya bahkan kami berdua telah menjadi sahabat baik. Akan tetapi saya hanya menjadi sahabatnya, tidak ingin menjadi suaminya. Dalam hal perjodohan ini harap Lo-cianpwe tidak memaksa karena perjodohan yang dipaksakan hanya akan mendatangkan kesengsaraan kepada puterimu sendiri kelak."
"Berarti engkau menolak mengawininya setelah engkau ciuminya dan......"
"Hal itu dapat saya jelaskan, Lo-cianpwe!" kata Cun Giok yang dapat menduga bahwa Ai Yin tentu sudah bercerita kepada ayahnya tentang peristiwa itu.
"Engkau menolak berarti mati!" Bu-tek Sin-liong sudah tak dapat menahan diri dan hendak menyerang.
"Ayaaahhh......! Jangan......!" Tiba-tiba terdengar jeritan dan muncullah Cu Ai Yin, gadis pendekar yang cantik dan berjuluk Pek-hwa Sian1i itu. Mukanya agak pucat dan basah, tampak jelas bahwa ia tadi menangis.
Gadis itu sudah berdiri menghadang di antara Bu-tek Sin-liong dan Pouw Cun Giok, menghadapi ayahnya dan berkata. "Ayah, sudah kukatakan bahwa Cun Giok sama sekali tidak bersalah! Dia tidak bertindak kurang ajar kepadaku. Ketika dia...... mencium mulutku, hal itu dia lakukan untuk memberi pernapasan kepadaku karena napasku berhenti setelah aku tenggelam dalam air dan dia membuka punggung bajuku untuk mengobati luka di punggungku yang terkena anak panah. Dia tidak bersalah, Ayah dan hal ini sudah kuceritakan kepadamu, mengapa Ayah masih hendak memaksanya?"
"Hemm, Ai Yin, bukankah engkau mengaku bahwa engkau cinta kepada pemuda tak tahu diri ini?" ayahnya menegur.
"Ayah, hal itu bukan alasan untuk memaksa dia menikah denganku. Aku sekarang mengerti bahwa Cun Giok menyayangku sebagai seorang sahabat. Ayah, aku tidak suka dipaksa menikah dengan orang yang tidak mencintaiku. Kalau Ayah hendak memaksa, lebih baik aku mati di depan Ayah!" Gadis cantik itu pun mencabut sepasang pedangnya.
Sejenak ayah dan anak ini saling tatap dengan pandang mata tajam. Kemudian Bu-tek Sin-liong membanting kakinya dengan jengkel.
"Anak bodoh?"!" Dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ dengan marah.
Ai Yin membalikkan tubuh menghadapi Cun Giok. Kedua matanya basah. Lalu ia memandang kepada Li Hong dan Ceng Ceng, kemudian ia berkata lirih kepada Cun Giok.
"Cun Giok, kau maafkan Ayahku......"
"Tidak mengapa, Ai Yin. Justeru aku yang minta maaf kepadamu," kata Cun Giok dengan hati terharu karena dia telah membuat gadis itu kecewa. Kini dia tahu bahwa Ai Yin telah mengaku cinta padanya kepada ayahnya.
Ai Yin tidak menjawab, hanya memutar tubuh dan berlari cepat mengejar ayahnya.
Suasana hening setelah ayah dan anak itu pergi jauh. Ceng Ceng yang berwatak lembut dan peka itu merasa terharu dan kasihan kepada Cu Ai Yin. Ia dapat menduga bahwa Pek-hwa Sianli itu telah jatuh cinta kepada Pouw Cun Giok, akan tetapi pemuda itu tidak membalas cintanya. Ia pun merasa yakin karena sudah mengenal watak pemuda itu bahwa Cun Giok benar-benar hendak menyelamatkan nyawa Cu Ai Yin ketika "mencium" dan membuka punggung bajunya, tidak ada niat lain yang tidak senonoh. Ia lalu teringat kepada Siok Eng, tunangan Cun Giok yang telah tewas dalam keadaan menyedihkan itu dan dari pergaulannya dengan Cun Giok, Ceng Ceng juga dapat merasakan dan tahu bahwa kesetiaan Cun Giok terhadap Siok Eng bukan karena cinta, melainkan karena Cun Giok seorang laki-laki sejati yang menghargai dan memegang teguh janji perjodohan itu!
Pemuda itu ditunangkan dengan Siok Eng dan tidak menolak karena hendak menyenangkan dan berbakti kepada guru dan ayah angkatnya, mendiang Suma Tiang Bun. Kemudian ia teringat kepada Li Hong yang kini berdiri di dekatnya. Juga gadis ini pernah tergi1a-gila kepada Cun Giok yang ternyata sekarang adalah kakak misannya sendiri. Li Hong demikian mencinta Cun Giok sampai hampir membunuhnya karena cemburu. Akan tetapi ia bersyukur bahwa Li Hong telah mendapatkan penggantinya, yaitu Pangeran Youtechin yang tampan dan gagah.
Teringat akan itu semua, dan teringat kepada dirinya sendiri yang tak dapat ia sangkal juga amat mencinta Cun Giok, Ceng Ceng menarik napas panjang. Betapa banyak gadis yang jatuh hati kepada Pendekar Tanpa Bayangan ini.
"Enci Ceng Ceng, kenapa engkau menghela napas panjang?" tanya Li Hong.
Ceng Ceng mengerling kepada Cun Giok yang melangkah sambil menundukkan muka dan alisnya berkerut seperti orang sedang melamun.
"Aku kasihan sekali kepada puteri Bu-tek Sin-liong itu, Hong-moi. Ia seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa, juga berwatak baik dan jujur."
"Bagaimana engkau bisa tahu bahwa ia baik dan jujur, Enci Ceng?"
13.3. Pilihan Jodoh Pangeran Mongol . . . . ."!
"Ia telah menyelamatkan nyawa Giok-ko sampai dua kali, itu berarti ia berwatak baik. Dan kata-katanya ketika mencegah ayahnya menyerang Giok-ko tadi menunjukkan bahwa ia seorang yang jujur. Sungguh patut dikasihani. Aih, betapa cinta telah banyak memakan korban, menghancurkan kebahagiaan banyak orang......"
"Ah, tidak semua cinta gagal dan menyengsarakan orang, Enci Ceng! Contohnya aku sendiri. Aku mencinta Pangeran Youtechin dan dia pun mencintaku, dan kami berdua bahagia dan akan menjadi suami isteri yang berbahagia!" Ia berhenti sebentar lalu menoleh kepada Cun Giok dan melanjutkan kata-katanya. "Dan lihat Piauw-ko (Kakak Misan) Pouw Cun Giok ini, dan engkau sendiri, Enci Ceng. Bukankah kalian berdua saling mencinta dan berbahagia?"
"Hong-moi......!" Cun Giok menegur.
"Kenapa Giok-ko" Bukankah aku bicara jujur dan apa adanya" Engkau tidak dapat menyangkal bahwa engkau sejak dulu mencinta Enci Ceng Ceng dan sebaliknya Enci Ceng Ceng juga mencintamu. Ingat, Giok-ko, janjiku dulu masih berlaku sehingga sekarang, yaitu, bahwa apabila engkau menyia-nyiakan cinta Enci Ceng Ceng dan tidak mau menikahinya, aku akan melupakan bahwa engkau ini kakak misanku dan engkau akan kumusuhi!"
"Hong-moi?"!" Kini Ceng Ceng yang menegur dan wajah gadis ini menjadi merah sekali.
Cun Giok menghela napas panjang. Menghadapi Li Hong yang jujur, dia tidak dapat merahasiakan atau menyembunyikan keadaan hatinya lagi. Dan memang sebaiknya dia berterus terang agar dapat didengar pula oleh Ceng Ceng, karena dia akan selalu merasa tidak tenang sebelum menyampaikan pikiran yang menekan dan selalu mengganggu perasaannya mengenai hubungan cintanya dengan Ceng Ceng.
"Adik Li Hong, engkau sungguh keterlaluan!" Ceng Ceng menegur dengan suara halus. "Cinta dan pernikahan tidak dapat dipaksakan, mengapa engkau hendak memaksa Giok-ko?"
"Enci Ceng Ceng, sejak dulu aku tahu benar bahwa engkau dan Giok-ko saling mencinta. Kemudian Giok-ko mengatakan tidak mungkin berjodoh denganmu karena dia sudah mempunyai seorang tunangan. Akan tetapi sekarang, tunangannya itu telah meninggal dunia, maka tidak ada halangan lagi bagi kalian berdua untuk berjodoh dan menikah! Kalau Giok-ko mengingkari cintanya kepadamu, terpaksa akan kutentang dia!"
"Hong-moi dan Ceng-moi, biarlah aku menggunakan kesempatan ini untuk membuat pengakuan. Aku tidak mengingkari bahwa sejak pertemuan pertama dengan Ceng-moi, aku telah jatuh cinta kepadamu Ceng-moi. Kemudian aku teringat akan ikatan perjodohanku dengan tunanganku Siok Eng dan aku tidak bisa mengingkari atau mengkhianati perjodohan kami itu. Aku telah berterus terang kepadamu, Ceng-moi, bahwa di antara kita tidak mungkin terdapat ikatan perjodohan karena aku telah bertunangan. Kemudian, Eng-moi ternyata telah tewas. Aku merasa berdosa kepadanya karena tidak mampu melindunginya dan biarpun kami belum menikah, aku menganggap diriku telah menjadi seorang duda. Inilah sebabnya mengapa aku menjadi ragu, apakah aku pantas menjadi jodoh Ceng-moi. Pertama, aku adalah seorang duda yang hidup sebatang kara dan miskin. Kedua, aku merasa berdosa kepada Siok Eng yang telah menantiku dengan setia sampai tewas terbunuh......"
"Akan tetapi engkau tidak bersalah, Giok-ko! Dan engkau sudah membalaskan kematiannya, bukan" Kukira sekarang tiada salah dan halangannya lagi bagi engkau dan Enci Ceng Ceng untuk mengikat perjodohan!"
Mendengar ucapan Li Hong itu, Ceng Ceng lalu bicara dengan suara bernada serius untuk menghentikan adik angkatnya itu bicara lebih banyak tentang urusan perjodohan yang hanya membuat ia dan Cun Giok merasa tidak enak saja.
"Sudahlah, Hong-moi, aku minta dengan sangat agar kita tidak membicarakan lagi urusan itu! Mari kita lanjutkan perjalanan kita ke Pulau Ular!"
Mendengar ucapan yang bernada kering dan melihat wajah Ceng Ceng yang mengerutkan alis sehingga sikapnya berbeda dari biasanya yang ramah, Li Hong tidak berani membantah lagi dan mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat.
Karena Cun Giok, Ceng Ceng, dan Li Hong merupakan orang-orang muda yang lihai sekali dan mereka melakukan perjalanan cepat, maka dalam perjalanan itu mereka tidak menemui rintangan dan tidak lama kemudian mereka telah menyeberang dengan perahu ke Pulau Ular.
"Y" Tan Kun Tek, Nyonya Tan, dan Ban-tok Niocu menyambut kedatangan tiga orang muda itu dengan gembira dan lega melihat betapa Li Hong dan Ceng Ceng kembali ke Pulau Ular dengan selamat. Apalagi setelah mereka melihat betapa mereka berhasil mendapatkan harta karun Kerajaan Sung yang diperebutkan itu.
Ketika Li Hong memperkenalkan Pouw Cun Giok dan pemuda itu memberi hormat kepada kakak ibunya, Tan Kun Tek memegang kedua pundak pemuda itu dengan terharu dan girang.
"Aih, Cun Giok, sungguh bahagia sekali rasa hatiku dapat bertemu dengan putera Adikku Tan Bi Lian! Selama bertahun-tahun ini hatiku ikut merasa berduka mendengar akan nasib kedua orang tuamu. Aku tidak pernah bertemu dengan ibumu semenjak ia menikah dan pergi mengikuti ayahmu."
"Saya yang mohon maaf kepada Paman dan Bibi karena baru saya ketahui dari Adik Li Hong bahwa mendiang ibu saya mempunyai seorang kakak."
Ban-tok Niocu yang pernah bertemu dengan Cun Giok dan mengagumi pemuda itu juga menyambut dengan gembira. Perjamuan keluarga diadakan untuk menyambut mereka dan mereka sekeluarga lalu makan minum dengan gembira.
Setelah makan mereka duduk di ruangan dalam dan di sini Ceng Ceng diminta untuk menceritakan keberhasilannya menemukan harta karun dari peta yang diwariskan ayahnya kepadanya. Dengan terkadang dibantu tambahan keterangan dari Li Hong dan Cun Giok, Ceng Ceng menceritakan semua pengalamannya di Thai-san sehingga ia akhirnya, dengan bantuan Cun Giok, mendapatkan setengah dari harta karun itu.
Tan Kun Tek dan dua orang isterinya mendengarkan dengan penuh perhatian dan merasa kagum. Akan tetapi mendengar bahwa akhirnya Ceng Ceng hanya mendapatkan setengah harta karun itu, Ban-tok Niocu merasa penasaran dan dengan alis berkerut ia bertanya.
"Ceng Ceng, mengapa engkau hanya mendapatkan setengahnya?"
"Yang setengahnya lagi diambil oleh Pangeran Youtechin!" kata Li Hong dengan bersemangat dan wajahya berseri.
"Eh, mengapa begitu" Bukankah harta karun Kerajaan Sung itu menjadi hak milikmu karena petanya diwariskan mendiang ayahmu kepadamu, Ceng Ceng?" tegur Ban-tok Niocu.
"Siapa pula itu Pangeran Youtechin?" tanya Tan Kun Tek heran.
Ceng Ceng dan Cun Giok saling pandang, merasa tidak enak kalau harus memberitahu bahwa pangeran itu adalah pemuda yang dulu bernama atau dikenal sebagai Yauw Tek dan yang kini menjadi calon suami Li Hong. Mereka berdua memandang kepada Li Hong dengan pandang mata menuntut agar Li Hong yang memberi penjelasan dan pengakuan!
Dengan gaya yang lincah Li Hong yang maklum akan isi hati kakak misan dan kakak angkatnya, segera berkata kepada ayah dan kedua ibunya.
"Begini persoalannya, Ayah dan Ibu berdua! Sebetulnya, setelah mengetahui bahwa Enci Ceng Ceng berniat menyerahkan harta karun kepada wakil rakyat pejuang, para tokoh yang tadinya ikut memperebutkan harta karun lalu mendukung Enci Ceng Ceng. Semua orang mencari harta karun akan tetapi akhirnya, Piauw-ko (Kakak Misan) Pouw Cun Giok dan Enci Ceng Ceng yang berhasil menemukan peti berisi harta karun Kerajaan Sung itu. Kemudian muncul Pangeran Youtechin yang minta agar harta karun diserahkan kepadanya sebagai wakil Kerajaan Goan dan utusan istimewa dari Kaisar."
"Huh, enak saja! Dasar Pangeran Mongol yang curang dan jahat!" kata Ban-tok Niocu marah.
"Tidak, Ibu, tidak jahat!" Li Hong cepat membela pangeran itu. "Buktinya, dia tidak mengerahkan pasukan untuk merampas harta karun, bahkan melarang dua orang pembantunya yang lihai, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli yang hendak merampas harta karun. Dia minta harta karun itu secara baik-baik, mengajukan alasan yang masuk akal."
"Hemm, alasan masuk akal bagaimana yang dia ajukan?" Kini Tan Kun Tek bertanya kepada Li Hong.


Harta Karun Kerajaan Sung Seri Ke 02 Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Begini, Ayah. Pangeran Youtechin mengatakan bahwa harta pusaka itu tadinya milik Kerajaan Sung, akan tetapi karena Kerajaan Sung telah kalah oleh pasukan Mongol maka semua harta miliknya menjadi barang rampasan Kerajaan Goan (Mongol). Pula, harta karun itu ditemukan di Thai-san yang juga menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Kerajaan Goan, maka sudah semestinya menjadi hak milik Kerajaan Goan yang diwakili Pangeran Youtechin. Maka, alasannya itu tak dapat dibantah kebenarannya dan cukup kuat," kata Li Hong.
"Dan engkau lalu menyerahkan setengah bagian harta karun itu kepadanya, Ceng Ceng?" tanya Ban-tok Niocu.
"Tidak, Ibu." Ceng Ceng juga menyebut ibu kepada Ban-tok Niocu karena ia menjadi saudara angkat Li Hong dan otomatis menjadi anak angkat tiga orang tua di Pulau Ular itu. "Pangeran Youtechin berdebat dengan saya, masing-masing mengajukan alasan. Saya sebagai pelaksana pesan terakhir Ayah dan dia sebagai utusan istimewa Kaisar. Masing-masing tidak mau mengalah dan akhirnya Pangeran Youtechin menantang untuk diadakan pi-bu satu lawan satu. Yang menang berhak memiliki harta karun itu."
"Hemm, aneh sekali! Bagaimana seorang Pangeran Mongol bersikap segagah itu?" tanya Ban-tok Niocu heran.
"Memang Pangeran Youtechin seorang pendekar, Ibu!" kata Li Hong. "Dia pantang bertindak curang, tidak mau mengerahkan pasukan untuk merampas harta karun melainkan mengajak pi-bu secara adil seperti seorang pendekar!"
"Lalu bagaimana?" Tan Kun Tek ingin sekali mendengar kelanjutan cerita itu.
"Kakak Pouw Cun Giok mewakili saya dalam pi-bu itu. Pangeran itu lalu bertanding melawan Giok-ko. Mula-mula adu tenaga sakti, setelah ternyata sin-kang mereka berimbang kekuatannya, mereka lalu bertanding silat tangan kosong. Juga dalam pertandingan ini mereka berimbang."
"Wah, hebat juga Pangeran Mongol itu!" kata Ban-tok Niocu yang sudah tahu akan kelihaian Cun Giok.
"Memang pangeran itu lihai sekali, Ibu!" kata Li Hong bangga.
"Kemudian mereka bertanding ilmu pedang. Biarpun ilmu pedang mereka seimbang juga, namun Giok-ko memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang lebih tinggi sehingga akhirnya Pangeran Youtechin mengakui kekalahannya," Ceng Ceng melanjutkan.
"Tentu saja! Giok-ko berjuluk Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan), gin-kangnya tidak ada yang dapat menandinginya. Kalau tidak demikian, belum tentu pangeran itu kalah!" kembali Li Hong berkata dan jelas suaranya membela Sang Pangeran.
"Nah, kalau Cun Giok menang, berarti harta karun itu menjadi milikmu semua, mengapa hanya setengah dan mengapa pula yang setengah diserahkan kepada pangeran itu?" Ban-tok Niocu bertanya penasaran.
"Kalau tidak saya serahkan setengahnya, pangeran itu sebagai utusan istimewa Kaisar tentu akan menerima hukuman berat karena tugasnya mengalami kegagalan," kata Ceng Ceng.
"Akan tetapi, peduli apa dia mau digantung atau dipenggal kepalanya" Kenapa kalian begitu melindungi seorang pangeran Mongol yang menjadi wakil Pemerintah Kerajaan Mongol?" tegur Ban-tok Niocu kepada gadis yang kini menjadi anak angkatnya itu.
"Ibu, kami tidak berurusan dengan Pemerintah Goan, melainkan urusan pribadi. Kami tidak ingin Pangeran Youtechin dihukum karena selain dia bertindak adil dan tidak menggunakan kekerasan merampas harta karun dengan pengerahan pasukan yang tentu tidak akan mampu kami lawan, juga mengingat bahwa Pangeran Youtechin itu adalah...... calon ipar saya," kata Ceng Ceng.
"Calon iparmu" Ceng Ceng, apa maksudmu dengan kata-kata itu?" tanya Tan Kun Tek dan semua orang memandang Ceng Ceng dengan mata terbelalak heran.
"Ayah, dengan membagi harta karun, Enci Ceng Ceng telah bertindak bijaksana dan adil. Berarti Enci Ceng Ceng dapat melaksanakan kewajibannya terhadap mendiang ayah kandungnya, dan Pangeran Youtechin juga dapat melaksanakan tugasnya sebagai utusan Kaisar. Dan dengan demikian, tidak terjadi pertempuran besar karena kalau pemerintah mengerahkan pasukan, tentu kami semua tidak mampu melawan. Selain itu, hendaknya Ayah dan Ibu berdua mengetahui bahwa aku telah...... bertunangan dengan Pangeran Youtechin......"
"Gila!!" bentak Ban-tok Niocu dengan marah. "Li Hong, gilakah engkau" Bagaimana engkau memilih seorang Pangeran Mongol menjadi calon jodohmu" Engkau seorang gadis yang cantik jelita dan pandai, keturunan terhormat, apakah kurang pendekar-pendekar sakti yang gagah perkasa untuk menjadi jodohmu" Mengapa seorang Pangeran Mongol?"
"Li Hong," kata Tan Kun Tek yang juga terkejut namun suaranya lebih lembut karena dia merasa tidak berhak memutuskan mengingat bahwa dia baru saja bertemu dengan anak kandungnya yang tumbuh dewasa di bawah asuhan Ban-tok Niocu di Pulau Ular. "Coba kau jelaskan, bagaimana engkau sampai memilih pangeran itu sebagai calon suamimu?"
Biarpun tiga orang tuanya tampak terkejut dan agaknya tidak suka mendengar ia akan berjodoh dengan pangeran itu, Li Hong tetap tenang dan tersenyum. "Ayah dan kedua Ibu, mantu seperti apakah yang kalian inginkan?"
"Tentu saja seorang pendekar seperti kakak misanmu ini!" kata Ban-tok Niocu.
"Ya, kami menginginkan mantu seorang pendekar budiman," kata Tan Kun Tek dan isterinya yang sejak tadi diam saja hanya mengangguk-angguk membenarkan suaminya.
"Hemm, seorang pendekar seperti Yauw Tek itu?" tanya Li Hong. "Yang sudah kalian kenal kehebatannya itu?"
"Ya, seperti Yauw Tek itu! O ya, mengapa kalian tidak menceritakan tentang Yauw Tek yang dulu menemani kalian berdua pergi mencari harta karun" Ke mana dia dan bagaimana dengan dia?" kata Ban-tok Niocu.
"Ayah dan Ibu berdua, ketahuilah bahwa Yauw Tek itu bukan lain adalah Pangeran Youtechin," kata Li Hong.
"Apa......?" Tiga orang tua itu terkejut.
"Kalau begitu, ketika dia ke sini itu, dia memang sengaja menyamar dan bermaksud buruk?" tanya Ban-tok Niocu.
"Sama sekali tidak, Ibu," Li Hong membela kekasihnya. "Dia memang mendengar bahwa Enci Ceng Ceng, pemegang peta harta karun itu, berada di sini. Sebagai utusan Kaisar yang bertugas menemukan harta karun itu, tentu saja dia ingin mendekati Enci Ceng Ceng dan menyelidikinya. Akan tetapi ketika dia sudah dekat dengan pulau kita ini, dia bertemu dengan pasukan pemerintah. Pangeran Youtechin belum lama kembali dari perantauannya ke barat sejak remaja, maka pasukan itu tidak mengenalnya. Dan Pangeran Youtechin yang sedang menyamar juga tidak memperkenalkan diri, maka dia dikeroyok sehingga terluka dan kita menolongnya."
"Akan tetapi, Li Hong, bagaimana ceritanya sampai engkau...... mengambil keputusan bertunangan dengan seorang Pangeran Mongol" Tidak kelirukah pilihanmu itu?" Tan Kun Tek bertanya sambil mengerutkan alisnya dan Nyonya Tan juga menggelengkan kepalanya tanda kurang setuju.
Jantung dalam dada Li Hong berdebar kencang dan mukanya berubah merah ketika ia teringat akan pengalamannya dengan Yauw Tek atau Pangeran Youtechin. Tentu saja ia tidak mau menceritakan kepada siapapun juga bahwa ia telah berhubungan sebagai suami isteri dengan kekasihnya itu!
Melihat Li Hong agaknya ragu dan malu, Ban-tok Niocu tidak sabar dan berkata kepada Ceng Ceng. "Ceng Ceng, engkau yang melakukan perjalanan bersama Li Hong dan Yauw Tek tentu tahu apa yang telah terjadi. Ceritakan kepada kami!"
Ceng Ceng lalu bercerita dengan singkat. "Ketika itu kami bertiga, saya, Hong-moi dan Pangeran Youtechin yang kita kenal sebagai Yauw Tek membantu pihak Ang-tung Kai-pang menghadapi Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko beserta anak buah mereka. Kami berhasil mengusir Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, dan sepasang iblis itu melarikan diri. Adik Li Hong mengejar mereka sedangkan saya lalu sibuk mengobati orang-orang Ang-tung Kai-pang yang terluka. Yauw Tek lalu pergi menyusul Hong-moi. Nah, demikianlah dan selanjutnya, saya kira Adik Li Hong sendiri yang akan dapat menceritakan dengan jelas."
"Apa yang diceritakan Enci Ceng itu benar," kata Li Hong. "Aku amat benci kepada Hek Pek Mo-ko dan melakukan pengejaran untuk membunuh mereka. Akan tetapi setelah mengejar sampai hari menjadi gelap, aku kehilangan jejak mereka. Dalam sebuah hutan aku terjebak dalam perangkap lalu tahu-tahu aku tertotok pingsan. Ketika aku siuman, aku telah berada dalam sebuah gubuk, kaki tanganku terikat dan di situ terdapat dua orang laki-laki yang menyeramkan dan tampak jahat sekali. Mereka itu bersikap kurang ajar, memaksa aku minum sesuatu yang membuat tubuhku tidak karuan rasanya dan...... dan mereka melucuti pakaianku! Dalam keadaan yang amat gawat tanpa aku dapat melakukan sesuatu itu, tiba-tiba muncul Pangeran Youtechin dan dua orang itu dibunuhnya. Aku ditolong oleh pangeran itu. Nah, Ayah dan Ibu berdua tentu mengerti mengapa aku bertekad untuk berjodoh dengan Pangeran Youtechin. Pertama karena kami memang mencinta, dan kedua...... bagaimana aku dapat menikah dengan laki-laki lain kalau Pangeran Youtechin telah melihatku dalam keadaan seperti itu, bertelanjang bulat" Akan tetapi yang lebih penting, aku menilai dia seorang yang bertabiat baik sekali, dan kami berdua saling mencinta!"
Tan Kun Tek dan kedua orang isterinya hanya dapat saling pandang. Walaupun di dalam hati mereka terdapat perasaan yang kurang puas memiliki seorang mantu Pangeran Mongol, akan tetapi merekapun maklum akan kekerasan hati Li Hong. Dilarang dan ditentang tentu akan percuma karena kalau sudah memiliki kemauan, gadis itu tidak mungkin dapat dilarang lagi. Apalagi Tan Kun Tek dan Nyonya Tan merasa tidak memelihara dan mendidik Li Hong sejak kecil sampai dewasa, mereka tentu saja merasa tidak enak kalau melarang. Mereka pun menyadari bahwa di bawah bimbingan Ban-tok Niocu yang sebelum menjadi Niocu (Nona) berjuluk Mo-li (Iblis Betina) yang ganas dan kejam, Li Hong menjadi seorang gadis yang amat keras hati. Hanya Ban-tok Niocu yang masih penasaran itu berani bicara, akan tetapi ia bertanya kepada Ceng Ceng dan Cun Giok, untuk memuaskan hatinya.
"Cun Giok dan Ceng Ceng, aku percaya kepada kalian berdua. Maka sekarang katakanlah sejujurnya, benarkah, apa yang dikatakan Li Hong bahwa Pangeran Youtechin itu seorang pemuda yang baik?"
Ceng Ceng dan Cun Giok saling berpandangan, lalu mereka menoleh dan memandang Li Hong.
"Giok-ko dan Enci Ceng, katakanlah yang sebenarnya. Kalau memang kalian melihat Youtechin sebagai seorang pemuda yang brengsek dan jahat, jangan tutup-tutupi, katakan yang sebenarnya!" kata Li Hong menantang.
Gadis ini memang sudah nekat karena andaikata orang tuanya dan seluruh manusia di dunia ini tidak setuju, tetap saja ia akan menikah dengan Pangeran Youtechin! Karena sesungguhnya, ia sekarang pun telah menjadi isteri Pangeran Mongol itu!
13.4. Ayah Jadi Wali Sekaligus Peminang!
Akhirnya Ceng Ceng bicara. Ia memang melihat bahwa Yauw Tek atau Pangeran Youtechin itu seorang pemuda yang baik dan pantas menjadi suami Li Hong. Memang ada sedikit hal yang mengecewakan hatinya, yaitu pangeran itu mudah mengobral dan menyatakan cinta. Dulu baru saja dia menyatakan cinta kepadanya dan ditolaknya, di lain saat dia telah mengalihkan dan menyatakan cintanya kepada Li Hong. Mungkin sudah demikianlah watak seorang pemuda bangsawan tinggi, pikirnya, sehingga akan terdengar amat aneh dan apabila seorang pangeran memiliki isteri kurang dari lima orang!
"Ayah dan berdua Ibu, saya telah melakukan perjalanan bersama Adik Hong dan Pangeran Youtechin dan saya berani menyatakan bahwa Pangeran Youtechin adalah seorang yang baik budi, juga gagah perkasa dan sama sekali tidak membenci kita bangsa Han."
Tan Kun Tek mengangguk-angguk, lalu memandang Cun Giok. "Bagaimana dengan pendapatmu, Cun Giok?"
"Pek-hu (Uwa), saya belum pernah bergaul dengan dia, akan tetapi saya dapat menerangkan bahwa ketika saya bertanding melawannya, dia memiliki ilmu silat yang amat tangguh. Kalau saja saya tidak unggul dalam gin-kang, belum tentu saya dapat mengalahkannya. Juga dia gagah perkasa, tidak mau melakukan pengeroyokan dan dengan jujur mengakui kekalahannya."
Mendengar keterangan Ceng Ceng dan Cun Giok, lega dan giranglah hati Tan Kun Tek, Nyonya Tan, dan Ban-tok Niocu. Tan Kun Tek lalu berkata, "Akan tetapi kalau dia seorang pangeran yang berkedudukan tinggi, bagaimanakah perjodohan itu akan diaturnya" Biarpun dia bangsawan tinggi, kita tidak ingin menikahkan puteri kita tanpa disertai peraturan umum. Kita tidak mau merendahkan diri dan harus menjaga kehormatan kita!"
"Tentu saja!" kata Ban-tok Niocu menyambut ucapan suaminya. "Biarpun dia pangeran, dia harus mengajukan pinangan secara resmi untuk menghormati keluarga kita!"
"Harap Ayah dan berdua Ibu tidak khawatir," kata Ceng Ceng membela adiknya. "Saya dan Giok-ko yang menjadi saksi ketika Pangeran Youtechin berjanji kepada Adik Li Hong untuk mengirim pinangan secara resmi."
"Bagus! Kalau begitu tidak ada masalah dan kami bertiga pasti menyetujuinya perjodohan itu!" kata Tan Kun Tek dan wajah Li Hong berseri-seri dan kedua pipinya tampak kemerahan sehingga ia kelihatan cantik jelita sekali! Akan tetapi tiba-tiba ia berkata, mengeluarkan ucapan yang mengejutkan semua orang.
"Ayah dan berdua Ibu, aku tidak mau melangsungkan pernikahan kalau tidak berbareng dengan pernikahan Enci Ceng Ceng!"
"Hong-moi......!!" Ceng Ceng berseru setengah menjerit karena terkejut dan heran.
"Ha-ha, engkau ini aneh sekali, Li Hong. Bagaimana kalau Ceng Ceng belum mempunyai tunangan atau pilihan hatinya" Sampai kapan engkau akan menunggu?" kata Tan Kun Tek.
"Ayah, Enci Ceng Ceng sudah yatim piatu dan sebatang kara. Karena ia menjadi enci angkatku, dengan sendirinya ia menjadi anak angkat Ayah dan berdua Ibu. Maka sudah seharusnya kalau Ayah yang menjadi wali dan sebagai Ayah angkatnya bersedia menerima pinangan dari calon suaminya!" kata pula Li Hong tanpa mempedulikan gerakan tangan Ceng Ceng yang memprotesnya.
"Aih, jadi ia sudah mempunyai pilihan" Tentu saja kami bertiga senang sekali menjadi walinya dan mewakili orang tuanya yang sudah tidak ada untuk menerima pinangan itu! Siapa yang akan datang meminang?"
"Yang meminang adalah Ayah sendiri!" kata Li Hong sambil cekikikan menahan tawa.
"Hei, gilakah engkau, Li Hong" Aku mengajukan pinangan kepada aku sendiri" Bagaimana ini" Apakah engkau sudah mabok?" tanya Tan Kun Tek heran dan kedua orang wanita itu pun memandang anak perempuan mereka dengan bingung.
"Ayah menerima pinangan sebagai wali atau wakil Enci Ceng Ceng dan Ayah mengajukan pinangan sebagai wali atau wakil Kakak Pouw Cun Giok! Dia juga sudah yatim piatu dan sebatang kara, maka sudah semestinya kalau Ayah sebagai uwanya mewakilinya, bukan?"
Tan Kun Tek menjadi bingung. "Wah?" ini?" ini bagaimana" Bagaimana dilaksanakannya" Masa aku mengajukan pinangan kepadaku sendiri?"
"Hi-hik, mudah saja diatur urusan itu!" tiba-tiba Ban-tok Niocu berkata. "Koko, engkau mewakili Cun Giok mengajukan pinangan atas Ceng Ceng dan akulah yang menjadi wakil Ceng Ceng untuk menerima pinangan itu. Beres, bukan?"
"Bagus! Bagus! Sekarang bereslah sudah!" Li Hong bersorak.
Semua orang tertawa, kecuali Cun Giok dan Ceng Ceng yang hanya menundukkan muka mereka yang berubah kemerahan.
"Nanti dulu!" Tan Kun Tek berkata sehingga mereka yang tertawa berhenti dan memandang kepadanya. "Jangan tertawa dan bergembira lebih dulu. Sebagai wakil-wakil dua orang yang akan berjodoh, sudah semestinya kita bertanya dulu kepada yang bersangkutan. Cun Giok, bagaimana kalau aku menjadi walimu dan mengajukan lamaran kepada Ceng Ceng?"
Curi Giok semakin menunduk dan menahan senyum malu-malu.
"Hei, bagaimana ini" Giok-ko, mengapa engkau begini malu-malu seperti seorang gadis saja" Hayo jawablah pertanyaan Ayah!" kata Li Hong.
"Benar, Cun Giok, jawablah, apakah engkau bersedia untuk dijodohkan dengan Ceng Ceng?" desak Tan Kun Tek.
Cun Giok melempar pandang ke arah Ceng Ceng yang masih menunduk. Dia khawatir kalau-kalau akan menyinggung hati gadis itu. Maka dengan hati tegang dia terpaksa mengangguk dan menjawab lirih sekali.
"Saya...... bersedia, Pek-hu......"
"Apa jawabmu" Kurang jelas, Cun Giok. Jawablah yang jelas, engkau bersedia atau tidak?" desak Tan Kun Tek yang pura-pura tidak mendengar.
"Saya...... bersedia!" kata Cun Giok lebih lantang.
"Bagus!" kata Tan Kun Tek yang kini dengan gaya lucu menghadap ke arah isterinya yang kedua. "Ban-tok Niocu, aku mewakili Pouw Cun Giok untuk melamar anak angkatmu Liu Ceng Ceng. Bagaimana, apakah lamaranku itu dapat kauterima?"
"Nanti dulu, akan kutanyakan kepada yang bersangkutan. Liu Ceng Ceng, engkau sudah mendengar sendiri lamaran dari Pouw Cun Giok yang diwakili uwanya, sekarang jawablah dengan jelas, apakah engkau bersedia untuk dijodohkan dengan Pouw Cun Giok?"
Tanpa mengangkat mukanya, Ceng Ceng semakin menundukkan muka dan menjawab dengan suara menggetar. "Saya...... bersedia......"
"Bagus! Selamat, Enci Ceng......!" Li Hong bersorak dan merangkul Ceng Ceng.
Akan tetapi pada saat itu, Ceng Ceng menangis tersedu-sedu! Gadis ini merasa terharu sekali karena teringat akan ayah ibunya yang tidak dapat menyaksikan kebahagiaannya itu. Li Hong maklum dan sambil merangkul Ceng Ceng ia ikut menangis. Nyonya Tan juga mendekati mereka dan merangkul sambil menangis terharu. Hanya Ban-tok Niocu yang memandang sambil tersenyum, akan tetapi tanpa ia sadari kedua matanya menjadi basah!
Melihat kekasihnya menangis tersedu-sedu, Cun Giok juga teringat kepada orang tuanya dan dia merasa kasihan kepada Ceng Ceng dan juga terharu, maka dia menundukkan mukanya dan menahan suara tangisnya, akan tetapi air mata menetes-netes ke atas sepasang pipinya!
Sejenak Tan Kun Tek membiarkan keharuan mereka larut melalui air mata, kemudian dia berseru. "Hei, apa-apaan ini" Kita mestinya bergembira ria, mengapa malah bertangis-tangisan" Hayo cepat hapus air matamu dan kita harus rayakan kebahagiaan ini dengan minum arak untuk mengucapkan selamat kepada tiga orang calon pengantin kita!"
Mendengar teriakan ini, semua orang mengusap air mata mereka dan tak lama kemudian, dengan mulut tersenyum namun mata basah, keluarga itu minum arak merayakan kebahagiaan mereka.
"Y" Tepat seperti yang telah dijanjikannya, tak lama kemudian utusan resmi dari Pangeran Banagan datang ke Pulau Ular. Rombongan ini diutus Pangeran Banagan di kota raja untuk mengajukan pinangan puteranya, Pangeran Youtechin, kepada Tan Li Hong. Rombongan yang membawa mas kawin amat mewah dan berharga itu disambut dengan kehormatan oleh keluarga Majikan Pulau Ular. Pinangan diterima dan keluarga itu minta disampaikan usul mereka agar upacara pertemuan pengantin diadakan dan akan dirayakan di Pulau Ular sebagai pasangan pengantin kembar, yaitu Tan Li Hong berpasangan dengan Pangeran Youtechin, dan Liu Ceng Ceng berpasangan dengan Pouw Cun Giok. Juga keluarga itu mengusulkan hari perkawinan agar disampaikan kepada keluarga Pangeran Youtechin.
Usul dari keluarga Pulau Ular itu diterima baik dan demikianlah, beberapa bulan kemudian, pada waktu yang telah ditetapkan, Pulau Ular tampak meriah sekali. Semua tempat berbahaya yang dipasangi jebakan telah disingkirkan sehingga pulau itu menjadi tempat yang indah menyenangkan. Tamu-tamu dari kalangan persilatan datang mengalir, termasuk partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai, Hoa-san-pai, Thai-san-pai dan lain-lain. Apalagi yang menikah adalah Liu Ceng Ceng dan Pouw Cun Giok yang banyak dikenal di dunia kang-ouw dan dihormati banyak golongan. Juga tamu-tamu para bangsawan untuk menghormati pernikahan Pangeran Youtechin hadir sehingga pulau itu menjadi tempat pesta yang amat meriah.
Di antara mereka yang datang berkunjung, terdapat pula The Toanio, majikan Lembah Seribu Bunga dengan dua orang puterinya, The Kui Lan dan The Kui Lin yang kembar, bersama tunangan mereka yang sudah diresmikan Liong Kun dan Thio Kui, dua orang pemuda pendekar Bu-tong-pai itu. Bu-tek Sin-liong Cu Liong dan puterinya, Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin, penghuni Bukit Merak, juga diundang, akan tetapi mereka tidak datang hanya mengirim utusan mengantarkan sumbangan karena datuk itu masih merasa penasaran bahwa Pouw Cun Giok tidak bersedia menjadi suami puterinya, dan Cu Ai Yin merasa malu untuk menghadiri hari pernikahan itu, di samping merasa kecewa karena cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.
Setelah berdiam di Pulau Ular selama sepekan, sepasang mempelai meninggalkan pulau itu. Li Hong diboyong suaminya ke kota raja di mana keluarga Pangeran Youtechin akan menyambut sepasang mempelai itu dengan pesta meriah yang dihadiri oleh keluarga istana dan para pembesar.
Ada pun Pouw Cun Giok dan Ceng Ceng juga meninggalkan pulau. Tan Kun Tek dan dua orang isterinya sudah minta dengan sangat agar mereka berdua tinggal di Pulau Ular, akan tetapi sepasang mempelai baru itu menolak dengan halus. Ceng Ceng ingin bersama suaminya kembali ke Nan-king ke bekas rumah orang tuanya yang disita pemerintah daerah. Berkat surat perintah yang mereka terima dari Pangeran Youtechin, mereka akan dapat memiliki kembali rumah itu tanpa ada yang berani mengganggu mereka. Atas nasihat Tan Kun Tek dan dua orang isterinya, harta karun yang dibawa Ceng Ceng dan Cun Giok dari Thai-san itu disimpan di Pulau Ular, tempat yang aman dan kelak akan mereka serahkan kepada yang berhak, yaitu kalau muncul pimpinan sejati bagi rakyat jelata untuk berjuang mengusir penjajah Mongol dari tanah air!
Demikianlah kisah ini diakhiri dengan catatan pengarang bahwa pikiran manusia terombang-ambing antara suka dan duka. Tidak ada suka yang berkelanjutan dan mulus, tidak ada pula duka yang berkelanjutan dan tiada perubahan. Ada kalanya orang merasa hidup ini sengsara, untuk kemudian berubah dengan perasaan bahwa hidup ini senang. Karena hidup ini tidak terlepas dari pengaruh Im-Yang (Positive Negative), maka suka dan duka saling bergantian muncul dalam kehidupan manusia seperti munculnya siang dan malam.
Namun bagi manusia yang lahir batinnya menyerah kepada Kekuasaan Tuhan, maklum bahwa suka duka itu hanya ulah pikiran belaka, maka dia yang berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan, akan menerima segala apa pun yang terjadi pada dirinya dengan sabar dan bersyukur karena baik pahit maupun manis ternilai oleh pikiran, semua yang terjadi itu sudah dikehendaki Yang Maha Kuasa dan di balik semua itu dia yakin ada hikmahnya yang amat berharga baginya. Maka dia tidak akan tenggelam dan putus asa di kala datang duka dan tidak akan mabok dan lupa diri di kala datang suka.
TAMAT Sampai jumpa di lain kisah!
Di Posting Oleh : alysa Waktu : 26 Juli 2013 jam 1:49am
Dikutip dari : http://indozone.net/literatures/literature/1363
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Naga Beracun 15 Dewa Arak 28 Teror Macan Putih Lencana Pembunuh Naga 3

Cari Blog Ini