Bara Maharani 10
Bara Maharani Karya Khu Lung Bagian 10 Giok Teng Hujien sambil putar senjata Hud timnya melayani serangan-serangan gencar dari Cho Bun Kui komandan pengawal Golok Emasnya Jin Hian, dengan sebilah golok besar gagang emasnya orang she Cho itu pertunjukkan suatu pemainan ilmu golok yang mantap dan lihai, hal ini jauh diluar dugaan Hoa Thian-hong. Ditinjau dari situasi ketika itu, agaknya bila Giok Teng Hujien tidak mengeluarkan ilmu simpanannya Hiat sat sinkang, sulit bagi perempuan itu untuk menangkan lawannya. Di pihak lain, tiga orang toosu tua dengan andalkan tiga bilah pedang mustika sedang mengerubuti Jiu Hian seorang, diantara tiga kelompok pertarungan itu boleh dibilang kelompok inilah yang bertarung paling seru dan menarik. Ngo Ing Tojin mempermainkan pedang mustikanya dengan amat hebat, setiap kali melancarkan serangan dari tubuh pedang itu segera menyiarkan pula irama2 yang aneh. Kadangkala suara yang dipantulkan amat gemuruh bagaikan gulungan ombak yang menghantam pantai, kadangkala mendebar bagaikan aliran air di sungai, kadangkala dalam melancarkan tusukan disertai dengan lengking bagaikan gelak tertawa seorang gadis, kadangkala pula dalam melancarkan babatannya ia sertai suara desiran bagaikan rintihan seorang gadis yang lemah. Sebaliknya Cing Si-cu mempermainkan pedang tipis Liu-yap-po-kiamnya dengan enteng dan lincah, serangannya rapat seperti dinding terbuat dari baja, meskipun nampaknya lemah lembut tak bertenaga namun dalam kenyataannya mengandung daya kekuatan yang sangat hebat., Ang Yap Toojin sendiri lebih mengutamakan permainan ilmu pedang aliran sesat, setiap jurus serangannya merupakan ancaman maut dan jauh berbeda dengan ilmu pedang biasa, sepintas lalu memandang siapapun akan melihatnya bahwa permainan pedangnya amat ganas, keji dan penuh dengan tipu tipu muslihat, membuat orang yang menyaksikan merasa jeri, takut dan muak! Ketiga bilah pedang mustika itu rata-rata merupakan pedang tajam yang luar biasa, bayangan pedang yang berlapis lapis mengurung ketat di sekitar tubuh Jin Hian, maju atau mundur semua serangan diatur secara bagus dan sempurna. Jin Hian adalah seorang pimpinan dari suatu perkumpulan, ilmu silat yang ia miliki sangat lihai dan tak dapat dibandingkan dengan kepandaian dari Cu Goankhek sekalian. Tampaklah sepasang telapaknya menari kesana kemari dengan amat lincah, ketiga bilah pedang mustika itu dilawan dengan mantap, setiap jurus dipecahkan dengan jurus, setiap ada peluang segera melontarkan serangan balasan, sikapnya tidak gugup dan gerakannya enteng bagaikan mega. Hawa murni yang terkandung dalam telapaknya amat hebat sekali, barang siapa terkena niscaya bakal terluka parah. Makin bertarung suasana makin seru dan ramai tujuh manusia seekor binatang mengerahkan segenap kemampuannya untuk berusaha merobohkan lawannya, kecuali Cia Kim yang jelas terdesak hebat dan terjerumus dalam posisi yang amat berbahaya, yang lain masih sulit untuk menentukan menang kalahnya dalam waktu singkat. Sementara itu Hoa Thian-hong yang telah tiba disisi gelanggang pertama-tama alihkan sinar matanya lebih dahulu ke arah kelompok Jin Hian yang melawan tiga orang toosu tua itu, terutama sekali irama merdu yang dipancarkan keluar dari pedang Ngo Ing Too-jin, terasa olehnya suara itu merdu dan memabukkan. "Siau Koan-jin" ujar Hoa In secara tiba-tiba, "Apakah racun teratai yang mengeram dalam tubuhmu telah hilang?" "Sekarang sudah tak menjadi soal lagi," jawab pemuda itu sambil mengangguk. Sejak kemunculan dua orang itu ditepi gelanggang, secara diam-diam semua orang menaruh perhatian kepada mereka berdua. Sebab posisi kedua belah pihak ketika itu adalah seimbang, bila dua orang itu membantu salah satu pihak saja niscaya pihak yang lain akan menderita kekalahan total. Untuk keadaannya waktu itu aneh sekali, Jin Hian tahu bahwa Hoa Thian-hong mempunyai hubungan dengan Thong-thian-kauw terutama sekali hubungannya dengan Giok Teng Hujien amat akrab, sebaliknya pihak Thongthiankauw yang melihat pemuda itu berjalan bersama Jin Hian, hal ini jelas menunjukkan bahwa ia telah bekerja sama dengan pihak Hong-im-hwie. Karena persoalan inilah kedua belah pihak sama-sama tidak tahu kemanakah pemuda itu akan bercondong, Jin Hian serta ketiga orang toosu tua itu menyadari akan posisi sendiri karena takut urusan jadi berabe maka tak seorangpun diantara mereka yang buka suara Yang lebih aneh lagi adalah Giok Teng Hujien sendiri, perempuan itu tetap berlagak pilon dan seolah olah tidak tahu kalau Hoa Thian-hong telah hadir disitu. Pemuda she-Hoa itu sendiri sambil berpeluk tangan hanya menonton jalannya pertarungan dari sisi kalangan mendadak ia merasa bahwa dari ujung pedang milik Ngo Ing Toojin memancar keluar suara aneh yang bisa membuyarkan perhatian orang, hal ini mencengangkan hatinya di samping merasa makin kagum atas kehebatan ilmu silat yang dimiliki Jin Hian. Suatu ketika Ang Yap Too jin mendadak berkata, "Jien Tang-kee, betulkah kau menenggelamkan sampan membuang kapak?" dalam pergerakanmu itu hanya ada maju dan tak ada mundur?" "Dalam perkumpulan Thong-thian-kauw, aku orang she jin hanya kenal Thian Ek-cu seorang, lebih baik kalian undang dia keluar untuk berbicara," jawab Jin Hian ketus. Ang Yap Toojin jadi amat gusar. "Kaucu kami toh jauh berada di kota Leng-An" Tidak menanti ia menyelesaikan katanya, Jin Hian telah menukas dengan suara dingin, "Sekarang juga aku orang she-Jin sedang berangkat menuju ke kota Leng An!" "Jien Tang-kee. kau benar-benar tidak pandang sebelah matapun terhadap orang lain, kalau memang begitu jangan salahkan kalau pinto akan berlaku kurangajar kepadamu!" Pedangnya digetarkan, secara beruntun ia lancarkan tiga jurus serangan berantai, bentaknya, "Saudarasaudara sekalian, ayoh perketat serangan kita bereskan dulu ketiga orang jagoan itu!" "Bagus sekali!" seru Giok Teng Hujien pula sambil tertawa nyaring, "Ini hari aku akan membuka pantangan membunuh" Ujung baju sebelah kirinya dikebaskan segera tampaklah telapak tangannya yang putih bersih menghantam dada Cho Bun Kai Komandan dari pengawal golok emas itu membentak keras, goloknya dibabat kemuka balas melancarkan pula sebuah bacokan, bersama dengan gerakan itu pula ia bergeser satu langkah ke samping. Giok Teng Hujien segera menerjang kemuka, bibirnya bersuit nyaring memperdengarkan jeritan yang sangat aneh. Mendeagarkan jeritan aneh itu, Soat-ji makhluk aneh tersebut segera memperhebat terjangannya, sambil bercuit gusar binatang itu loncat ke angkasa dan menerjang tubuh Cia Kim dengan ganas. Dalam waktu singkat Cia Kim serta Cho Bun Kui segera terjerumus dalam posisi yang amat berbahaya, setiap saat jiwa mereka mungkin akan punah di tangan musuh. "Hmm!" dengan gusar Jin Hian mendengus, "setelah dunia persilatan aman selama sepuluh tahun, binatangpun berani unjuk kebuasan terhadap manusia!" Sambil berseru, sepasang telapaknya didorong ke depan secara berbareng, tubuhnya bergeser beberapa langkah ke samping, dengan manis sekali ia melepaskan diri dari kepungan ketiga bilah pedang pusaka itu, kemudian telapak sebelah menyerang Giok Teng Hujien, telapak yang lain menghantam tubuh Soat-jie rase salju itu. Bentakan keras berkumandang memecahkan kesunyian, Ang Yap Toojin serta Cing Si-cu menggerakkan pedangnya menyusul ke depan, secara berbareng mereka tusuk2 bagian belakang Jin Hian. Ngo Ing Toojin loncat pula ke tengah udara Sreeet! pedangnya diiringi dengungan nyaring membacok lengan kiri orang she Jin itu. Dengan lincah Jin Hian berkelit ke samping, setelah terlepas dari ancaman ketiga bilah pedang itu maka posisinya dengan Cia Kim serta Cho Bun Kui-pun terbentuk jadi posisi segi tiga, dalam keadaan begini setiap saat ia dapat memberikan pertolongan kepada pihak yang lemah. Mendengar sampai disitu, Hoa Thian-hong segera berpikir di dalam hati, "llmu silat yang dimiliki Jin Hian sangat lihay, sekalipun ia tak mampu untuk melawan setiap saat masih sanggup untuk melarikan diri, sedang Giok Teng Hujien agaknya memiliki ilmu silat yang sukar diukur kelihaiannya, tapi ia tak mau menyerang dengan sepenuh tenaga. Pertarungan yang terjadi pada hari ini jelas merupakan suatu keadaan yang tak terselesaikan...!" Hoa In yang berada di sisinya jadi amat kuatir bila pemuda itu ikut campur tangan dalam pertarungan itu, apalagi setelah dilihatnya pemuda itu tersenyum dengan sorot mata berkilat, buru-buru katanya, "Kedua bilah pihak sama-sama belum membongkar isi peti masingmasing, rasanya tak perlu bagi kita untuk mencampuri urusan mereka. Hoa Thian-hong tersenyum, tiba-tiba berkata, "Harap saudara-saudara sekalian berhenti bertempur, bagai mana kalau dengarkan dulu sepatah dua patahku?" Ucapan itu nyaring dan lantang, setiap patah kata dapat terdengar oleh semua orang dengan cepat. Maka orang-orang itupun segera tarik kembali serangannya sambil meloncat mundur ke belakang. Sambil membopong rase saljunya, Giok Teng Hujien mengundurkan diri kesisi kalangan, serunya sambil tertawa, "Apa yang hendak kau katakan?" Hoa Thian-hong tertawa, ia menjura dan menyapa, "Cici. Baik-baikkah kau" tootiang bertiga, baik-baikkah kalian semua?" Giok Teng Hujien tertawa makin merdu. "Oooh....aku mengira kau sudah tidak kenal lagi dengan aku yang menjadi cicimu" "Siaute masih tetap seperti sedia kala, siapapun tak kupandang dengan rendah" sorot matanya menyapu sekejap keseluruh wajah para jago, kemudian lanjutnya, "Baik Thong-thian-kauw maupun Hong-im-hwie samasama merupakan perkumpulan besar dalam Bulim, Jien Tang-kee-pun mempunyai hubungan yang erat dengan Thian Ek kaucu, bagaimana kalau pertarungan pada hari ini kalian sudahi sampai kisini saja?" Giok Teng Hujien tertawa cekikikan. ujarnya, "Siapapun mengira hanya kaulah yang tidak menyukai kolong langit jadi kacau, tak tahu caramu bekerja ternyata jauh lebih hebat. Itulah yang dikatakan setiap orang pandai bermain sulap. hanya caranya saja masingmasing berbeda." Hoa Thian-hong tersenyum, kepada Jin Hian sembari menjura katanya kembali, "Jien Tang-kee, lebih baik kita seleaikan saja urusan kesalahpahaman ini langsung dengan Thian Ek kaucu, ayoh kita pergi saja dari sini!" "Bocah. pandai amat kau!" pikir orang she-Jin itu di dalam hati. Cho Bun Kui serta Hoa In yang mendengar mereka mau berangkat segera menuntun kudanya masingmasing untuk diserahkan kepada majikan mereka Jin Hian serta Hoa Thian-hong segera menerima tali les kuda itu dan loncat naik ke atas pelana. "Saudara Hoa," terdengar Giok Teng Hujien berseru sambil tertawa merdu, "Andaikata kami bersikeras akan menahan Jien Tang-kee di tempat ini, kau bakal membantu pihak Hong-im-hwie ataukah membantu Thong-thian-kauw kami?" Jin Hian segera mengerutkan dahinya dengan mata melotot, ia mendengus dingin dan bibirnya bergerak seperti mau mengucapkan sesuatu, namun akhirnya niat itu dibatalkan kembali. Hoa Thian-hong tersenyum dan segera menjawab, "Dengan andalkan kemampuan cici serta Tootiang bertiga, aku rasa masih belum sanggup untuk menahan Jien Tang-kee, kalau tidak perkumpulan Hong-im-hwie tak akan hidup hingga hari ini....." "Pintar juga kau si bocah cilik," batin Jin Hian di dalam hati. Sementara itu Giok Teng Hujien sudah tertawa mengejek, katanya lagi, "Andaikata kami tak mau tahu diri dan memaksa untuk tahan orang itu" Apa yang akan kau lakukan?" "Itu mamanya mencari penyakit buat diri sendiri," batin Hoa Thian-hong, diluaran ia tertawa nyaring dan menjawab, "Aku akan berpeluk tangan belaka, kedua belah pihak tiada yang akan kubantu!" "Seandainya cici bukan tandingan lawan dan jiwaku Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terancam mara bahaya?" "Tentu saja aku akan turun tangan untuk memberi pertolongan" sahut si anak muda itu setelah berpikir sebentar. Giok Teng Hujien segera tertawa cekikikan. "Waaah.... jadi kalau begitu, kau masih tetap membantu pihak Thong-thian-kauw?" Hoa Thian-hong pun tersenyum, sambil menjura segera serunya, "Perjumpaan kita sampai disini saja, sampai ketemu lain waktu." Ia cemplak kudanya dan segera berlalu dari sana...... Tiba-tiba Ang Yap Toojin gerakan tubuhnya menghadang di depan kuda, hardiknya dengan suara keras, "Apakah Hoa Kongcu juga akan ikut ke kota LengAn untuk menyambangi Kaucu kami?" Sebelum pemuda itu sempat menjawab, Jin Hian larikan kudanya maju ke depan, serunya sambil tertawa dingin, "Ang Yap, kalau kau hanya mencari Satroni dengan aku orang she-Jin, itu masih mendingan, kalau kau berani mengganggu Hoa kongcu. Hmm....... Hmm....... aku tanggung kau pasti akan berbaring di tempat ini dan sejak kini tak mampu untuk pulang ke kota Leng An lagi" "Eeei.... eeei ,.... orang ini benar-benar sangat lihay" pikir Hoa Thian-hong dalam hati, "Belum sampai aku mengadu domba mereka berdua, tak tahunya ia sudah mendahului diriku lebih dulu.... sunggub hebat!" Sambil tertawa terbahak-bahak segera serunya, "Jien Tang-kee, kau terlalu pandang tinggi diriku." Dalam pada itu Ang Yap Toojin merasa semakin gusar, dengan mata melotot serunya, "Saudara cilik, sudah kau dengar tidak pertanyaan yang pinto ajukan" Atau mungkin kau sudah tuli?" Hoa Thian-hong mengerutkan dahinya mendengar makian itu. segera pikirnya kembali, "Orang goblok! rupanya kau memang seorang manusia tolol yang tak punya otak!" Tiba-tiba tampak sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu Hoa In sudah muncul disitu sambil membentak, "Siapa yang sedang kau maki?" Telapak tangannya diayun, ia kirim satu pukulan ke depan. Dalam serangan ini meskipun ia tidak menggunakan ilmu 'Sau-yang-ceng-khie' nya, namun kecepatan gerakan tangannya serta kemantapan dari tenaga pukulannya cukup mengejutkan hati orang. Ang Yap Toojiu segera enjotkan kakinya loncat mundur lima depa ke belakang, cring....! pedang mustikanya kembali diloloskan dari sarung, serunya sambil menyeringai seram, "Maaf bila pinto tidak sempat mengenali dirimu, siapa sih namamu?" "Kau bukan tak sempat kenal, goblok dan pelupa," sahut Hoa in sambil tertawa dingin, "Aku adalah Hoa In dari perkampungan Liok Soat Sanceng, pada sepuluh tahun berselang bukankah kita pernah berjumpa muka?" Mula-mula Ang Yap Toojin nampak agak tertegun, diikuti ia segera tertawa seram ejeknya, "Menurut kabar yang tersiar dalam dunia persilatan, aku dengar majikan dari perkampungan Liok Soat Sanceng adalah seorang she-Jin, hey orang yang bernama Hoa In, kenapa kaupun mengatakan orang yang berasal dari perkampungan Liok Soat Sanceng?" Jin Hian yang berada di samping segera tertawa terbahak-bahak, selanya dari damping, "Dulu karena aku lihat perkampungan Liok Soat Sanceng indah dan tak berpenghuni, aku merasa sayang untuk membiarkan bangunan itu rusak dimakan tahun, maka sengaja kudiami beberapa tahun lamanya. Siapa tahu tempat yang penuh rejeki macam itu ternyata tidak cocok bagi orang kasar seperti aku, dimana akhirnya selembar jiwa putera kesayangankupun lenyap disana. Aai kini aku sudah menyadari akan kesalahanku pada masa yang silam, perkampungan tadi sudah kuserahkan kembali kepada Hoa kong cu" Ang Yap Toojin tertawa dingin. pada dasarnya diapun seorang siluman tua yang licik, ia tahu bila dirinya memusuhi Hoa Thian-hong maka dialah yang akan menderita kerugiannya. Tapi apa lacur ia sudah kesesem terhadap kecantikan Giok Teng Hujien sayang orang yang diidamkan itu tidak menaruh perhatian kepadanya, ditambah pula setelah menyaksikan tingkah laku Giok Teng Hujien yang begitu mesra terbadap diri Hoa Thian-hong, hal ini membuat rasa cemburunya makin berkobar, tanpa sadar ia telah anggap Hoa Thian-hong sebagai paku di depan mata, ia seialu berusaha keras untuk mencabutnya dari depan mata. Jin Hian adalah seorang manusia yang licik, ia pandai mendalami perasaan orang, melihat keadaan Ang Yap Toojin sudah mengenaskan sekali, ia jadi kegirangan, Sambil tertawa tergelak serunya, "Hoa Loo-te, waktu sudah tidak pagi-pagi ayoh kita lanjutkan perjalanan...-!" Ia cemplak kudanya dan berlalu lebih dahulu dari situ. Ngo Ing Toojin sendiri dapat memahami sampai dimanakh kelihayan dari ilmu silat yang dimiliki Hoa In, dia takut keadaan Ang Yap toojin bertambah runyam, sambil memburu maju ke depan seraya serunya, "Ang Yap Too-heng, baiknya kita sudahi saja persoalan pada hari ini sampai disini saja, mari kitapun harus segera melanjutkan perjalanan" Waktu itu matahari bersinar dengan teriknya, siapapun tidak tahan untuk berdiam terlalu lama disitu, Hoa Thianhong sendiri setelah 'lari racun' sekujur badannya basah kuyup oleh air peluh, sambil meneguk air dalam botol yang tersedia di atas pelana kudanya, ia beri tangan kepada Giok Teng Hujien dan segera berlalu dari Sana. Ang Yap Toojin yang ditinggalkan begitu saja, dari mulanya jadi gusar, dengan mata melotot diawasinya kelima orang jago itu berlalu dari sana, giginya bergemerutukan menahan gusar seluruh rasa benci dan dongkolnya segera ditimpakan ke atas tubuh Hoa Thianhong seorang, ia banci pemuda itu hingga terasa merasuk ke dalam tulang sumsumnya." Sore itu rombongan Jin Hian sekalian beristirahat disebuah rumah penginapan dalam dusun yang kecil. tengah malam perjalanan kembali dilanjutkan. Hoa Thian-hong yang tak dapat melupakan peristiwa pertarungan dengan Tauto tua itu sepanjang perjalanan selalu berjalan dipaling belakang, dia berharap bisa berjumpa kembali dengan orang itu. Siapa tahu Tauto tua berambut putih itu tak pernah muncul kembali dihadapan mukanya. Keesokan harinya, ketika sore menjelang tiba sampailah mereka di kota Wi-im, kota itu merupakan sebuah kota yang terpenting di wilayah utara dengan pelabuhan yang ramai pula, keempat puluh orang pengawal golok emas itu masih berada di dalam kota dan belum berlalu dari situ. Setelah mencari rumah penginapan, Hoa Thian-hong duduk dikamar minum teh sambil menunggu air untuk mandi, tiba-tiba Cho-Bun Kui masuk ke dalam kamar sambil berkata, "Cong Tang-kee memerintahkan aku untuk memberi tahu kepada kongcu, bahwa seluruh rombongan akan beristirahat selama satu hari di kota Wiim, besok malam perjalanan baru akan dilanjutkan kembali" Dari sakunya dia ambil keluar serenteng mutiara serta dua keping emas murni, sambil diserahkan ke tangan Hoa In sambungnya lebih jauh, "Cong Tang-kee berkata bahwa kota Wi-im adalah sebuah kota yang ramai dan makmur, bila Hoa kongcu ada kesenangan untuk berjalan jalan, silahkan pengurus tua membawa sedikit emas dan mutiara ini sebagai persiapan untuk dipergunakan oleh kongcu" Hoa Thian-hong ingin menampik tapi Hoa In keburu sudah menerimanya sambil menyahut, "Sampaikan kepada Tang-kee kalian, anggap saja dua keping emas serta satu renteng mutiara ini sebagai beaya menyewa perkampungan kami selama ini, hutang piutang kita hapus sampai disini saja" Cho Bun Kui mengiakan sebisanya, setelah memberi hormat kepada pemuda she-Hoa itu dia segera mengundurkan diri dari kamar. Pelayan datang membawa air, selesai mandi dan bersantap Hoa Thianhong segera naik ke atas pembaringan untuk beristirahat, Hoa In yang menyanjung serta menyayang majikan kecilnya bagaikan burung hong membuat pemuda itu tidur dengan nyenyak dan tenang. Senja itu Hoa Thian-hong setelah bangun dari tidurnya segera bersantap di dalam kamar bersama pelayan tuanya, terdengar Hoa In bertanya, "Siau Koan-jin, apa kau ingin berjalan2 cari angin di dalam kota?" "Emmm....sepanjang jalan kita sibuk terus untuk melakukan perjalanan, hingga kesempatan untuk berbicarapun tak ada, malam ini lebih baik kita cari kesenangan dengan membicarakan soal ilmu silat saja, apa gunanya berkeliaran di tempat luar?" "Ilmu silat setiap saat dapat dibicarakan Toa-ya pun pernah berkata daripada membaca selaksa jilid kitab lebih baik melakukan perjalanan selaksa li. Siau Koan-jin! bukankah kau baru pertama kali ini datang ke wilayah selatan, mari kita berjalan jalan diluar sambil cari kesenangan!" Hoa Thian-hong adalah seorang jago yang masih muda, hatinya segera tergerak oleh ucapan itu, setelah menutup pintu berangkatlah kedua orang itu berjalan jalan mencari angin. Kota Wi-Im meskipun merupakan kota penting yang menghubungkan utara dan selatan serta ramai dengan toko dan perdagangan, namun disitu tak ada tempat rekreasi yang baik, setelah berjalan jalan beberapa saat lamanya Hoa Thian-hong merasa bosan dan kesal, tanpa terasa ia teringat akan ibunya, bayangan Chin Wan-hong pun terlintas pula dalam benaknya, banyak persoalan berkecamuk dalam benaknya membuat kegembiraannya hilang sama sekali. Akhirnya kepada Hoa In dia berseru, "Badanku terasa amat lelah, mari kita pulang ke penginapan untuk beristirahat!" "Siau Koan-jin, apakah badanmu merasa tak enak?" Hoa Thian-hong geleng kepala, maka berangkatlah kedua orang itu kembali ke rumah penginapan. Tiba-tiba dari hadapan mereka menyongsong datang seseorang, sambil jalan mendekati ia bersenandung dengan suara lantang: "Angin dan rembulan tiap malam muncul. Manusia durjana kian lama kian menumpuk. Ada orang bertanya bagaimana urusan" Samudra manusia amat luas, angin dan ombak setiap saat bakal muncul...." Ketika Hoa Thian-hong melihat orang yang bersenandung itu adalah seorang kakek gemuk pendek yang membawa sebuah kipas bundar, hatinya segera tergerak. Teringat olehnya bahwa orang yang telah melarikan Chin Giok-liong dari rumah makan Li-Ing loo di kota Cho-ciu tempo dulu bukan lain adalah orang yang berada dihadapannya sekarang. Sejak kakek tua itu mempermainkan Giok Teng Hujien dengan sindiran syairnya Hoa Thian-hong telah mengetahui bahwa orang itu adalah seorang pendekar aneh, kini setelah berjumpa muka tentu saja ia tak mau membuang kesempatan baik ini dengan begilu saja, sambil menjura teriaknya, "Locianpwee..." Namua kakek gemuk pendek itu pura-pura berlagak pilon, sambil bersenandung ia tetap lanjutkan langkahnya ketika berpapasan dengan mereka berdua. Tanpa berpikir panjang Hoa Thian-hong segera melakukan pengejaran bisiknya, "Hoa In, kenal tidak dengan kakek tua itu." Hoa In termenung dan berpikir sebentar, kemudian sahutnya, "Kalau dilihat dari potongan badannya aku seperti mengenali dirinya. Cuma aku lupa siapakah orang itu!" Ia berhenti sejenak. kemudian sambil mengamati bayangan punggung kakek gemuk pendek itu ujarnya lagi, "Pada sepuluh tahun berselang, hampir semua jago kenamaan yang tersohor namanya di kolong langi pernah kujumpai, yang tak pernah kutemui sedikit sekali jumlahnya hingga bisa dihitung dengan jari." "Mungkinkah kakek itu adalah seorang jago kenamaan yang belum lama muncul dalam dunia persilatan?" pikir anak muda itu. Langkahnya dipercepat, dengan langkah lebar ia segera menyusul ke depan. Hoa In dengan kencang mengikuti disisi majikan mudanya, ia lihat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kakek gemuk itu lihai sekali. dalam setiap loncatannya beberapa tombak berhasil dilalui dengan enteng. la segera berteriak lantang, "Hey! Sahabat dari manakah itu" Kongcu kami ingin berjumpa dengan dirimu!" Kakek gemuk pendek itu tidak menjawab, hanya senandungnya kembali: "Jangan takabur jangan berlagak latah bibit bencana sukar diduga. Lok Hau bukan perwira budiman, ia membawa Ki-pang menuju bencana. Pertempuran kerbau api hampir binasa, ingin mengejar tak mungkin terkena" Mendengar senandung itu Hoa In segera melototkan matanya bulat bulat, serunya, "Siau Koan-jin, kakek tua itu sedang menyindir kita, ia telah samakan aku Hoa In Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo seperti Lok Hau, dia bilang aku tidak becus dan tak mampu melindungi Siau Koan-jin" Hoa Thian-hong tersenyum. "Ia sedang menyanyikan sebuah bait syair dari Ma Bi Wan, bila syair itu dinyanyikan dalam keadaan begini memang persis seperti maksud hati Tauto berambut putih itu. Rupanya orang inipun sedang menasehati diriku agar membatalkan niat menuju ke selatan serta datang ke kota Leng An." "Perkataannya itu memang tidak salah baik orangorang dari Thong-thian-kauw maupun orang-orang dari Hong-im-hwie rata-rata merupakan manusia yang tidak genah, mereka hanyalah manusia-manusia rendah yang mengandalkan jumlah banyak. Bila kita bergaul terus dengan mereka maka akhirnya sendirilah yang bakal rugi." Ia menghela napas panjang, kemudian lanjutnya, "Mati hidup aku budak tua sih bukan menjadi soal, sebaliknya bila Siauw-koan-jin sampai mengalami sesuatu kejadian, budak mana punya muka untuk bertemu lagi dengan toa-ya diakhirat?" Hoa Thian-hong tertawa paksa. "Bagaimanapun juga kita harus balaskan dendam bagi kematian ayahku, kalau tidak apa gunanya kita hidup lebih lanjut di kolong langit?" Ia mendongak dan tiba-tiba bersenandung: "Di tengah berhembusnya angin malam, burung elang terbang di angkasa. Sebercak kain terkurung di daratan tengah ... Oooh! pedih tahukah sahabat lama, ingin naik loteng sayang tiada tangga menuju ke langit?" Kakek gemuk pendek itu segera menjawab dengan bersenandung pula, "Di tengah kain bertanya pahlawan apa gunanya merebut kekuasaan merajai kolong langit" Tinggi rendah gardu merah generasi pemerintah, jauh rendah daun seribu kuburan. Aaaai.... .! yang ada tinggal impian buruk!" "Kalau didengar dari nada ucapannya ini jelas dia adalah seorang jago yang sedang putus asa dan bersedih hati, tapi siapa dia?" pikir Hoa Thian-hong di dalam hati. Sejak ia terjun ke dunia persilatan, sudah banyak pengetahuan serta pengalaman yang didapatinya. Terhadap orang-orang dari Hong-im-hwie, Sin-kie-pang serta Thong-thian-kauw, pemuda ini merasa bahwa orang-orangnya kalau bukan sengaja melanggar hukum, pastilah manusia yang termasuk dalam golongan orang buas, licik dan keji. Sebaliknya mereka2 yang berjiwa ksatria sebagian besar telah putus asa dan patah semangat. Kini mendengar nada ucapan dari kakek itu, dengan cepat ia dapat merasakan bahwa kakek gemuk itu adalah segolongan dengan dirinya. Setelah berhasil menyusul kesisi tubuhnya ia lantas menjura dan berkata, "Loocianpwee, aku Hoa Thianhong memberi hormat untukmu." "Tidak berarti, bagaimana kalau kita bicarakan suatu perdagangan jual beli?" sahut si kakek gemuk itu sambil goyangkan kipasnya. "Bolehkah aku mengetahui terlebih dahulu sebutan loocianpwee?" "Kalau kau ingin tahu, akupun tak akan merahasiakan kepadamu. aku she-Cu bernama Tong. dengan mendiagan ayahmu boleh dibilang pernah bersahabat!" "Oooh..! rupanya Cu toa-ya!" seru Hoa In tercengang, "Hampir saja hamba tidak kenal lagi dengan kau orang tua" "Kekesalan serta penderitaan membuat orang gampang tua, wajahmu penuh berkeriput dan rambutmu telah berubah semua. hampir saja akupun tidak kenali dirimu lagi," sahut Cu Tong. "Kini hamba sudah tidak kesal dan menderita lagi. Eeei.. Cu toa-ya. Bukan dahulu wajahmu putih bersih" Kenapa sekarang berubah jadi merah bercahaya?" "Mungkin tua aku semakin tak becus, maka aku ganti berlatih ilmu iblis hingga wajahku makin lama makin jadi merah" ia tertawa kering lalu melanjutkan, "Setelah mencuri hidup belasan tahun, aku malu untuk bertemu dengan orang jagad lagi, bila wajahku tidak berubah merah, bukankah keadaanku lebih rendah daripada seekor binatang?" Tertegun hati Hoa In mendengar ucapan itu. setelah termangu mangu beberapa saat lamanya ia berkata, "Siau Koan-jin, Cu toa-ya ini adalah salah seorang diantara Bulim Siang-Sian sepasang dewa dari dunia persilatan....." "Aku hanya seorang panglima yang kalah perang" tukas Cu Tong dengan cepat, "Tidak pantas menceritakan kegagahan dan keberanian, lebih baik jangan kau ungkap lagi peristiwa di masa silam" Diam-diam Hoa Thian-hong menghela napas melihat sikap kakek gemuk itu, ujarnya kemudian, "Loocianpwee. mari kita cari tempat untuk beristirahat, keponakan ingin berlutut memberi hormat kepadamu!" "Tak usah... tak usah, mari kita keluar dari kota saja" Dengan membawa perasaan yang berat serta pikiran masing-masing, berangkatlah ketiga orang itu keluar kota, tidak selang beberapa saat kemudian sampailah mereka di pinggir kota. "Orang tua, apakah kau ada urusan hendak diperintahkan kepada tecu?" tanya Hoa Thian-hong kemudian. "Memberi perintah sih aku tak berani," sahut Cu Tong, setelah berhenti sebentar ia lanjutkan lagi dengan nada serius, "Sejak pertarungan di Pak Beng, golongan kesatria mengalami kekalahan total yang hampir saja memusnahkan seluruh inti kekuatan golongan lurus, "Tiga bencana" masing-masing merajai suatu wilayah dan membentuk posisi segi tiga, karena pertama setelah pertempuran besar mereka membutuhkan istirahat yang cukup, dan kedua kekuatan ketiga belah pihak seimbang, siapapun tak berani bergerak secara serampangan, dengan demikian dunia persilatan dapat hidup aman selama sepuluh tahun. Tapi kini.... aaai! Ketenangan tersebut mulai goyah, rupanya saat saling memperebutkan kekuasaan telah tiba." "Perkataan dari Loocianpwe sedikitpun tidak salah" pemuda itu mengangguk membenarkan, "Kematian Jin Bong bukanlah suatu kejadian secara kebetulan saja. Pek Siau-thian mengurung Ciu It-bong selama sepuluh tahun lamanya tanpa dibunuhpun tujuannya bukan lain hanya terletak pada pedang emas tersebut. Manusia-manusia semacam ini semuanya merupakan manusia golongan pengacau, masing-masing pihak ingin merajai kolong langit dan menduduki kursi pimpinan, merebut tanah beradu ilmu silat rasanya memang suatu kejadian yang tak dapat dihindari lagi." "Yang lebih tak beruntung lagi, kau yang belum lama muncul di dalam dunia persilatan ternyata sudah terjerumus pula di dalam persoalan ini," Cu Tong menambahkan dengan suara gusar. Hoa Thian-hong tertawa getir. "Takdir telah mempermainkan orang, keadaan siautit amat kepepet dan bagaimanapun juga terpaksa harus berbuat begitu." "Aaai..!benarkah bagimu hanya ada jalan maju tanpa mundur dan hendak bertarung melawan kawanan durjana itu hingga sampai akhirnya?" "Selama siautit masih bisa bernapas, aku akan balaskan dulu dendam sakit hati ayahku, kemudian berusaha membukakan sebuah jalan keluar bagi sahabat2 Bulim!" "Seandainya tak ada kita orang, mungkin kawanan durjana itu bakal bentrok sendiri dan saling bunuh membunuh, saling berebut memperebutkan wilayah serta kekuasaan" sela Hoa In dengan wajah sedih, "Tetapi setelah Siau Koan-jin tampil kemuka kemungkinan besar kawanan durjana itu akan tinggalkan dendam pribadi dan bekerja sama untuk menghadapi kita orang lebih dahulu" "Dunia selalu berputar, kita hidup sebagai seorang kuncu mengapa mesti unjuk kelemahan sendiri?" sahut Hoa Thian-hong, "Bagaimanapun kita toh tak bisa berpeluk tangan belaka hidup di tengah penindasan sambil menunggu pihak lawan saling bunuh membunuh lebih dahulu. Lagipula seandainya dari pihak mereka akhirnya berhasil muncul satu golongan yang mampu mengalahkan golongan-golongan yang lain hingga seluruh kolong langit jatuh di bawah kekuasaannya, bukankah hal ini akan membuat kekuatan mereka kian lama kian bertambah kuat?" "Andaikata situasi berubah jadi demikian, maka budak hanya akan memperhatikan keselamatan Siau Koan-jin seorang, aku tidak punya minat lagi untuk memikirkan jalan keluar dari kawan2 Bulim" sambung Hoa In dengan cepat. Bicara pulang pergi pelayan tua ini lebih mementingkan keselamatan majikan mudanya, dari ucapan tadi jelas ia mengartikan bahwa lebih baik dendam terbunuhnya ayah Hoa Thian-hong tidak berhasil dibalas, dari pada harus membiarkan majikan mudanya menempuh bahaya. Terdengar Cu Tong menghela napas berat dan berkata, "Bagi orang yang lebih banyak makan garam, hidupnya akan lebih lama beberapa tahun. Pengurus tua! Kau tak usah kuatir aku tak berani bicara besar tetapi aku berjanji kemanapun Hoa Hian-tit pergi aku orang she-Cu pasti akan mengikuti terus dibelakangnya" JILID 17 : Tujuh kupasan dari Ci-Yu "LOOCIANPWE, kuucapkan banyak terima kasih atas kasih sayangmu itu!" seru Hoa Thian-hong, setelah termenung beberapa saat ia melanjutkan, "Menurut pendapatku, pihak lawan tidak terlalu menaruh perhatian terhadap kekuatan siautit seorang, karena itu lebih baik untuk sementara waktu loo-cianpwe jangan unjukkan diri lebih dahulu, dari pada kita musti pukul rumput mengejutkan ular membuat pihak lawan mempertinggi kewaspadaannya terhadap kita." "Aaaai....! Kawanan bajingan itu masih menaruh beberapa bagian rasa jeri terhadap Hoa Hujien, sekalipun aku munculkan diri rasanya mereka tak akan menaruh perhatian terhadap diriku." Dari sikap kakek gemuk itu Hoa Thian-hong mengerti bahwa ia sedang mencari tahu keadaan ibunya, maka tidak menanti pihak lawan ajukan pertanyaan itu ia berkata lebih dahulu, "Dewasa ini ibuku juga sedang berkelana di dalam dunia persilatan, hanya dimanakah beliau pada saat ini siautit sendiripun kurang begitu jelas!!" Karena melihat orang-orang itu sudah patah semangat, Hoa Thian-hong tidak ingin menceritakan keadaan ibunya yang sebenarnya dimana luka dalamnya belum sembuh dan tenaga dalamnya punah, ia takut bila hal ini diketahui mereka maka kemungkinan besar semangat mereka semakin merosot. "Cu toa-ya," tiba-tiba Hoa In menegur, "Kenapa kaupun bisa datang ke kota Wi-im?" "Aku selalu mengikuti di belakang Siau Koan-jin mu ini," sahut Cu Tong, sorot matanya berputar dan melanjutkan. "Hoa hiantit. apakah aku boleh ajukan satu permintaan?" "Kalakan sajalah loocianpwee!" Cu Tong menghela napas panjang. "Aku mempunyai seorang sahabat karib yang disebut 'Pek-lek-sian' atau disebut Dewa geledek oleh orang-orang Bulim, ia mempunyai seorang murid yang bernama Bong Pay, tahun ini berusia dua puluh satu tahun dan hidup terlantar di dalam dunia persiiatan. Sebetulnya aku ada maksud membawa dirinya disisiku, apa daya ia punya pandangan lain terhadap diriku, ia tak sudi berada didekatku" "Siau Koan-jin," sambung Hoa In dengan cepat, "si dewa geledek Chin jiya adalah sahabat karib serta saudara angkat dari Cu-Tau-ya, jadi orang jujur dan berjiwa pendekar, dengan loa-ya kitapun mempunyai hubungan yang intim" "Kalau begitu Bong toako adalah saudaraku sendiri. Cu locianpwe, kini Bong toako berada dimana?" Cu Tong menghela napas panjang. "Selama ini ia hidup gelandangan di kota Wi Im, ketika aku hendak tengok dirinya tadi, kutemui bahwa ia sudah terperosok di dalam kuil Tiong-goan-koan" "Kuil Tiong-goan-koan" Semestinya kuil dari pihak Thong-thian-kauw?" Cu Tong mengangguk. "Diam-diam aku sudah menengok keadaannya, sekarang ia berada dalam keadaan sehat dan sebenarnya akan kuselamatkan jiwanya, tapi sayang pertama ia benci melihat tampangku dan kedua, aku tak tahu bagaimana musti mengatur dirinya. karena itu terpaksa aku harus mohon bantuan dari Hoa hiantit untuk melakukan pekerjaan ini" "Ooo... kau orang tua tak usah sungkan-sungkan, siautit sebagai seorang anggota muda sudah memastikannya melakukan pekerjaan ini," pemuda itu berpikir sebentar lalu melanjutkan, "menolong orang bagaikan menolong api, mari sekarang juga kita pergi menolong Bong toako...." Tapi dengan cepat ingatan lain berkelebat dalam benaknya, teringat olehnya bahwa usia Bong Pay jauh lebih besar dari dia sendiri, bagaimana selanjutnya ia akan mengatur kehidupannya" Sekembalinya ke dalam kota, terdengar Cu Tong menghela napas dan berkata kembali, "Watak Bong Pay Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo selalu berangasan dan kasar, setelah ia punya pandangan lain terhadap diriku sulitlah bagiku untuk mendidik dirinya. Hoa hiantit. Kau masih muda dan gagah perkasa, mungkin ia bisa menaruh hormat kepadamu, Bila demikian adanya aku berharap agar kau suka mengingat pada hubungan angkatan yang lebih tua dan baik-baik merawat dirinya." "Locianpwee tak usah kuatir, siautit pasti akan berusaha dengan segenap tenaga." Rupanya Co Tong merasa amat lega hatinya, ia segera tersenyum. "Bila hiantit bisa baik-baik membimbing dirinya, kemungkinan besar bocah itu bisa unjukkan kegagahannya dan memupuk kembali nama baik perguruannya....!" Melihat begitu besarnya perbatian jago tua itu terhadap keturunan sahabatnya, dalam hati Hoa Thianhong segera berpikir, "Loocianpwee ini betul-betul memiliki jiwa yang besar dan hati yang lapang, begitu setia kawan ia terhadap sahabatnya sampai terhadap anak muridnyapun diperhatikan benar-benar bila Pek-leksian mengetahui akan hal ini dia tentu akan beristirahat dengan hati tenteram." Tiba-tiba Cu Tong ambil keluar sebuah bungkusan kecil terbuat dari kertas minyak, sambil diangsurkan ke depan katanya, "Hoa hiantit, bungkusan ini berisikan sebagian kecil dari kitab ilmu pukulan yang berhasil kutemukan dimasa yang silam, meskipun hanya terdiri dari tiga jurus dua gerakan, namun kehebatannya luar biasa sekali. Aku harap hiantit suka mempelajari lebih dahulu kemudian wariskanlah kepada Bong Pay" Hoa Thian-hong simpan baik-baik bungkusan kertas minyak itu ke dalam saku. lalu tanyanya, "Kenapa kitab ilmu pukulan ini tidak langsung diserahkan ke tangan Bong toako?" "Aaaai..... dia tidak mengerti tulisan dan isi kitab itupun terdiri dari bahasa kuno yang sulit untuk dipahami, bila kau serahkan kitab itu kepadanya, dari mana ia bisa mempelajarinya?" Sementara pembicaraan masih berlangsung dihadapan mereka muncullah sebuah bangunan kuil yang indah dan megah, papan nama dengan tulisan 'Tiong-goan-koan' terbuat dari tinta emas nampak terpanjang diatap bangunan tersebut Cu Tong membawa kedua orang itu menuju ke kuil bagian belakang, setelah loncat masuk lewat tembok pekarangan mereka berputar-putar di halaman belakang, hingga akhirnya sampailah mereka diluar pintu sebuah kebun katanya, "Hiantit, masuklah ke dalam untuk menolong Bong Pay, sedang aku akan membantu secara diam-diam, dihadapan pemuda dogol itu jangan sekali2 kau sebut namaku" Hoa Thian-hong mengiakan, ia segera masuk ke dalam kebun sambil pikirnya di dalam hati, "Bong toako itu benar-benar seorang manusia aneh. sampai Cu locianpwee yang menjadi cianpweenya malahan takut kepadanya ketika dia angkat kepala, pemuda itu segera berdiri tertegun. Bangunan loteng tinggi yang berada dalam kebun itu mempunyai corak yang persis sama dengan kuil It-goankoan di kota Cho-ciu, yang berbeda hanyalah di bawah undak undakan batu tertanam sebuah tonggak besi setinggi beberapa depa, pada tonggak tadi terbelenggu sebuah rantai baja sebesar telur itik yang panjangnya mencapai tujuh depa, pada ujung rantai tadi tampaklah seorang pria kekar yang berwajah hitam pekat bagaikan pantat kuali dan memakai baju compang-camping bagaikan pengemis sedang duduk terpekur. Kalau di kuil bagian depan banyak sekali peziarah yang berdoa dan pasang hio suasana di kuil bagian belakang amat sunyi sekali seakan akan tak terdapat seorang manusiapun disitu. Ketika mendengar suara langkah manusia, pria yang dirantai di atas tonggak itu segera membuka matanya dan berpaling. Hoa Thian-hong berjalan menghampiri kehadapannya. di bawah sorot cahaya lentera ia lihat orang itu punya potongan wajah persegi empat, sepasang alisnya tebal dan meletik ke atas, matanya yang cekung memancarkan cahaya tajam, hidungnya mancung dan badannya kekar tak terasa dalam hati ia memuji. "Sungguh kekar dan gagah orang ini, andaikata tubuhnya tidak dirantai mungkin ia kelihatan jauh lebih keren....!" Dalam pada itu pria kekar itu sudah melotot ke arah Hoa Thian-hong berdua dengan pandangan tajam tibatiba tanyanya, "Kalian adalah pemuja dewa yang datang untuk pasang hio, ataukah kaki tangan anjing Thongthiankauw?" "Semuanya bukan," sahut pemuda itu sambil menggeleng, "Aku bernama Hoa Thian-hong, kedatanganku kesini bukan lain adalah untuk mencari seorang kakakku yang bernama Bong Pay, apakah saudara tahu ia dikurung dimana?" "OOH....! Kau yang bernama Hoa Thian-hong" jadi kau yang mengadakan Lari Racun di kota Cho-ciu?" seru pria kekar itu dengan mata melotot besar. Hoa Thian Houg tersenyum dan mengangguk. "Tolong tanya siapakah nama saudara?" "Akulah Bong Pay, ketika berada di pertemuan PakBeng-Hwee tempo dulu, aku sempat bertemu dengan bapakmu Hoa Goan-siu" Tiba-tiba terdengar suara langkah manusia berkumandang datang, disusul seseorang menegur dengan suara berat, "Siapa yang sedang berbicara dengan Bong Pay?" Hoa Thian-hong berpaling, dia lihat dari balik ruangan berjalan keluar seorang toosu muda, dengan cepat pemuda mengedip memberi tanda kepada Hoa In sedang ia sendiri sambil menggape serunya, "Siau sian-tiang, cepat datang kemari,! orang ini hendak memutuskan rantai untuk melarikan diri....." "Omong kosong," jengek toosu muda itu sambil tertawa dingin, "kau anggap rantai besi itu adalah rantai biasa" Sambil mengomel ia berjalan menghampiri kedua orang itu, siapa tahu belum sempat ia berbuat sesuatu tiba-tiba Hoa In telah ayunkan telapaknya menotok jalan darah toosu muda itu. Tanpa mengeluarkan sedikit suarapun, toosu itu segera menggeletak tak berkutik di atas tanah. "Kepandaian silat yang bagus!" puji Bong Pay dengan sinar mata berkilat, "Eee, siapa namamu?" "Aku bernama Hoa In, pengurus rumah tangga dari perkumpulan Liok Soat Sanceng!" Melihat orang she-Bong itu bicara keras dan nyaring, Hoa Thian-hong kuatirkan lebih banyak musuh yang datang kesitu, buru-buru ia berjongkok sambil katanya, "Bong toako, mari biar siaute periksa rantai ini." Ujung rantai itu berada di atas leher Bong Pay, ketika Hoa Thian-hong sedang meraba benda tersebut, tiba-tiba pemuda she-Bong itu ayunkan telapaknya mengirim satu pukulan ke arah dadanya, Hoa Thian-hong terkejut, bila dibicarakan dari soal ilmu silat maka sekalipun orang yang menyerang adalah jago nomor satu ditolong langit, ia masih mampu untuk menandinginya selama beberapa saat, yang diandalkan hanya sebuah jurus pukulan 'Kunsiuci-tauw' belaka. berbicara tentang ilmu pukulan dan ilmu tendangan boleh dibilang pengetahuannya cetek sekali. Sekarang setelah dilihatnya serangan tersebut muncul secara mendadak, dalam keadaan kepepet tak sempat lagi baginya untuk menghindarkan diri, terpaksa ia gunakan telapak kirinya untuk menyambut datangnya serangan tersebut dengan keras lawan keras. Tentang jurus telapak ini Hoa Thian-hong telah melatihnya hingga hapal diluar kepala. Plooook! di tengah benturan nyaring, sepasang telapak saling membentur satu sama lainnya. Pemuda itu segera merasakan telapak tangannya bergetar keras, namun tubuh mereka berdua tetap berdiri tegap tak berkutik, agaknya kekuatan mereka seimbang satu sama lainnya Tampak Bong Pay tertawa lebar dan memuji, "Kau memang sangat lihay, dalam bentrokan ini telapak kiri yang telah kau pergunakan" "Bong toako memang bukan orang bodoh," batin Hoa Thian-hong, "Cuma wataknya terlalu berangasan dan ugal ugalan!" Berpikir demikian, ia lantas mendekati tonggak besi itu dan menyambar rantai tersebut, kemudian dibetotnya sekuat tenaga, Telapaknya terasa sakit dan panas, sedang rantai tersebut masih tetap utuh seperti sedia kala, ternyata betotannya itu tidak menghasilkan apa-apa "Hey sahabat, kalau kau mampu memutuskan rantai itu, aku Bong Pay pun sanggup melakukan hal itu," ejek Bong Pay dengan suara lantang. Hoa In segera maju ke depan, katanya, "Rantai ini bukan ditempa dari besi baja biasa, Siau Koan-jin menyingkirlah ke samping, biar budak yang coba membetot putus rantai ini." Hoa Thian-hong geleng kepala, pikirnya di dalam hati, "Bong toako terlalu jujur dan lugu, andaikata aku tidak unjukan sedikit kepandaian mungkin dia akan pandang rendah diriku, baiklah aku harus unjuk kelihaianku!" Karena berpikir demikian, hawa murninya segera dihimpun ke dalam telapak, setelah pusatkan perhatiannya ke arah tongkat besi itu sekuat tenaga ia betot rantai tadi ke belakang. Rantai baja itu benar-benar luar biasa Criiing!" di tengah suara dentingan nyaring, rantai itu sama sekali tidak putus sebaliknya tongkat baja yang tertanam di bawah tanah terbetot patah jadi dua bagian oleh senjata hawa murni Hoa Thian-hong yang maha hebat itu. Bentakan gusar bergema memecahkan kesunyian, sesosok bayangan manusia dengan kecepatan bagaikan kilat meluncur masuk ke dalam gelanggang Melihat orang itu adalah seorang toojin berusia pertengahan, Hoa In segera menyongsong kedatangannya. Baru saja pihak lawan meloloskan pedang yang tersoren di bahunya untuk menghadapi segala kemungkinan, Hoa In telah bertindak lebih duluan, telapak tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu jalan darah kakunya sudah tertotok Sementara itu Hoa Thian In yang telah berhasil mematahkan tongkat baja segera merasakan telapaknya panas dan kaku, ia gosok-gosok telapaknya sambil berseru, "Bong toako, rantai besi ini benar-benar luar biasa sekali, bagaimana dengan rantai dilehermu?" Belum habis dia berkata Bong Pay sudah loncat bangun dari atas tanah, telapaknya menyambar rantai tersebut kemudian..... "Weees!" senjata itu dihajarkan ke atas punggung toojin setengah baya tadi. Pemuda she-Bong ini bukan saja memiliki kekuatan yang luar biasa, bahkan gerak-geriknya lincah dan enteng, begitu rantai itu diayun toojin setengah baya tadi terhajar telak punggungnya. Bisa dibayangkan betapa hebatnya akibat serangan itu yang ditujukan ke arah seseorang yang tertotok jalan darahnya, toojin itu mendengus berat, tulang punggungnya segera patah jadi dua bagian, sedang tulang dadanya patah lima batang. Baik Hoa Thian-hong maupun Hoa In sama-sama tertegun menyaksikan peristiwa yang sama sekali berada diluar dugaan ini, mereka tak sempat menghalangi perbuatannya itu lagi. terlihatlah toojin itu muntah darah segar dan jiwanya sukar dipertahankan lebih lanjut. Rupanya Bong Pay sudah dipengaruhi oleh nafsu membunuh yang berkobar kobar, ia loncat ke muka dan rantainya kembali diayun menghajar toosu muda yang lain. Hoa Thian-hong bertindak cepat tangan kirinya berkelebat mencengkeram pergelangannya sambil berseru, "Bong toako, buat apa kau musti?" Desiran angin tajam menderu deru, mendadak Bong Pay ayunkan ujung rantainya itu menghantam ke atas kepala pemuda Hoa. "Wataknya memang betul-betul berangasan" batin pemuda kita, tangan kanannya segera bergerak mencekal ujung rantai itu, tegurnya sambil tertawa, "Bong toako, masa siaute pun hendak kau hantam?" Sinar mata Boag Pay berapi-api, dengan penuh kegusaran teriaknya, "Kalau tidak kau lepaskan rantai itu, aku akan menyumpahi dirimu!" Hoa Thian-hong benar-benar takut orang kasar itu memaki dirinya dengan ucapan yang tak genah, cepatcepat ia lepas tangan dan mundur selangkah ke belakang. Bong Pay berdiri agak tertegun. tapi akhirnya dia putar badan dan lari menuju ke ruang loteng. Rupanya Hoa In merasa sangat tidak puas dengan sikap pemuda she-Bong itu, dengan alis berkerut omelnya, "Keparat cilik ini benar-benar goblok dan sembrono, dia adalah seorang jago pemberani yang tak berotak, di kemudian hari entah berapa banyak kesulitan yang bakal ia perbuat!" Yang diperhitungkan serta dipikirkan oleh kakek tua she Hoa ini hanyalah untung rugi bagi majikan mudanya, Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ia merasa tak senang hati karena urusan Bong Pay ini, dalam anggapannya mencampuri urusan manusia sembrono itu hanya akan mendatangkan banyak kerepotan bagi majikan mudanya saja, oleh sebab itu dia ada maksud mengajak Hoa Thian-hong jangan mencampuri urusan itu lagi. Tapi Hoa Thian-hong segera berkata, "Kita telah mengabulkan permintaan dari Cu Locianpwee, bagaimanapun juga janji yang telah kita ucapkan tak boleh disesali kembali!" Habis berkata ia gerakkan badannya dan berkelebat menuju ke arah ruang loteng, terdengar teriakanteriakan keras berkumandang datang, Bong Hay sambil membentak gusar memutar rantai besinya secara kalap. tiga orang toojin berusia pertengahan sambil putar pedangnya melakukan perlawanan selangkah demi selangkah terdesak keluar dari ruang loteng itu. "Sudah terjadi keributan begini lama, kenapa belum nampak juga seorang jago lumayan yang munculkan diri?" pikir Hoa Thian-hong di dalam hati. "Masa kuil Tiong-goan-koan yang begini besar, hanya dipimpin oleh beberapa orang itu saja?" Ketika dia mendongak kembali, terlihatlah Bong Pay memutar rantai bajanya makin kencang, keberaniannya luar biasa sekali, sekalipun harus melawan tiga orang musuh sekaligus namun sedikitpun tidak menunjukkan tanda-tanda akan menderita kalah, Ia segera mendekati toosu muda tadi dan membebaskan jalan darahnya, setelah itu tanyanya, "Siapakah hong-tiang dari kuil Tiong-goan-koan ini" Kenapa sampai sekarang belum juga unjukkan diri?" Toosu muda ini tahu bahwa Hoa Thian-hong sangat lihay, terutama kehebatannya dalam membetot patah tiang tonggak besi itu. begitu totokannya di bebaskan ia segera putar badan dan kabur dari situ. Hoa In yang berdiri disisinya segera ayun telapaknya mencengkeram bahu toosu muda itu, bentaknya, "Hidung kerbau cilik! Sudah kau dengar belum pertanyaan yang kami ajukan?" "Aduuuh....!" toosu muda itu menjerit kesakitan, dengan badan terbongkok2 menahan rasa sakit ujarnya setengah merengek, "Apakah yang hendak sicu berdua tanyakan?" "Aku tanya siapakah ketua kalian" Kenapa tidak nampak dia unjukan diri?" Agaknya semangat toosu itu bangkit kembali, sambil busungkan dada ia menjawab. "Ketua dari kuil kami adalah Thamcu sektor tengah sekte agama Thong-thiankauw, gelarnya Hian Leng Cinjin! dia adalah seorang jago yang tersohor namanya di kolong langit" "Tak usah banyak cerewet" bentak Hoa In gusar, "Sekarang dimana orangnya?" Mendadak dari tempat kejauhan terdengar Bong Pay membentak keras, ketika semua orang berpaling tampaklah ia sedang ayun rantai besinya membentur ujung pedang seorang toojin, letupan bunga api diiringi suara gemerincing yang amat nyaring segera bergema, pedang dalam genggaman Toojin itu seketika terlepas dari genggamannya. Melihat kesempatan yang sangat baik itu Bong Pay tak mau sia-siakan peluang itu, rantainya diayun dan langsung dibacok ke atas wajah orang tadi. Dua orang toojin lainnya buru-buru ayunkan pedangnya berusaha untuk menolong jiwa rekannya itu, namun sayang gerakan mereka terlambat satu langkah, jeritan ngeri yang menyayat hati seketika berkumandang ke tengah udara, raut muka toojin tadi hancur berantakan dengan darah berceceran di atas lantai setelah termakan hantaman rantai itu, ia roboh ke atas tanah sekarat, rintihan ngeri mendirikan bulu roma... Setelah berhasil dengan serangannya, kembali Bong Pay membentak keras, sambil putar senjata rantainya ia menerjang ke arah dua orang toojin lainnya Menyaksikan betapa dahsyat dan bengisnya pihak lawan pecahlah nyali kedua orang toojin tadi, pemainan pedang mereka kontan jadi kacau tak karuan, mereka berusaha untuk melarikan diri apa lacur permainan rantai itu sangat dahsyat, hal ini membuat mereka jadi kalang kabut dan berkaok-kaok minta ampun. Sudah lama aku dengar para toojin dari sekte agama Tong Thian melakukan tindakan sewenang wenang terhadap rakyat biasa, dosa mereka sudah bertumpuk tumpuk, ditambah pula Bong toako ini sudah lama dikurung, disiksa dan dihina. rasa bencinya terhadap mereka sudah tak terlukiskan lagi dengan kata-kata bila ini hari aku tidak biarkan ia mengumbar hawa nafsunya, Orang itu pasti tak mau berdiam diri begitu saja" Ia sendiri pernah mencicipi bagaimanakah tersiksanya bila seseorang dihina dan dipermainkan, ia dapat menyelami perasaan orang semacam ini, maka Hoa Thian-hong pun tidak menghalangi perbuatan Bong Pay untuk melampiaskan rasa sakit hatinya. Kepada toosu muda itu kembali ia membentak, "Ayoh cepat menjawab, Hian Leng Toojin sekarang berada dimana?" Dua orang toojin yang berhasil dilukai Bong Pay. seorang patah tulang punggungnya dan yang lain hancur wajahnya, mereka belum putus napasnya tapi berbaring disitu sambil merintih kesakitan. Menyaksikan keadaan yang sangat mengerikan itu, toosu muda tersebut merasakan sukmanya seakan akan terbang tinggalkan raganya, dengan suara gemetar ia segera menjawab, "Kaucu kami telah menurunkan titah untuk memanggil seluruh anak murid perkumpulan kami berkumpul semua di markas besar, Koancu kami dengan membawa seluruh anak muridnya telah berangkat ke kota Leng-An fajar tadi!" "Kalau ditinjau keadaan ini, rupanya kehadiran pasukan besar perkumpulan Hong-im-hwie menuju selatan telah diketahui pula oleh pihak sekte agama Thong-thian-kauw," kata Hoa In! Hoa Thian-hong mengangguk, "Ehmmm..,l Thongthiankauw bukanlah sebuah perkumpulan agama yang tidak terdapat orang pandai" Jeritan ngeri berkumandang susul menyusul, permainan rantai baja Bong Pay dalam waktu singkat telah berhasil menghajar pula batok kepala kedua orang toojin itu sehingga pecah dan mengucurkan darah segar, dengan lengan putus kaki patah mereka roboh tak berkutik lagi di atas tanah. Tanpa berpaling Bong Pay langsung menerjang masuk ke dalam bangunan loteng itu. Menyaksikan tingkah laku orang itu, Hoa Thian-hong segera mengerutkan dahinya, dalam hati ia membatin, "Dia pasti sedang pergi mencari kunci untuk membuka borgol rantai yang membelenggu lehernya. Kepada toosu muda itu ia segera bertanya, "Siapa saja yang masih berada di dalam loteng?" "Hanya dua orang toosu cilik" "Apakah disitu terdapat alat jebakan serta alat rahasia lain?" "Tidak ada!" Melihat raut wajah toosu muda itu telah berubah jadi pucat pias bagaikan mayat dan ketakutan setengah mati, Hoa Thian-hong jadi tidak tega. segera ujarnya, "Cepatlah menyingkir jauh jauh dari sini, bila kau tidak bertobat dan baik-baik jadi manusia..... Hmmm! lain kali aku tak akan mengampuni jiwamu lagi." Toosu muda itu mengangguk tiada hentinya ketika Hoa In melepaskan cengkeramannya, toosu muda tadi segera kabur terbirit-birit dari situ. Rintihan kesakitan yang memilukan hati bersahut sahutan memenuhi seluruh angkasa, suasana di sekitar tempat itu jadi mengerikan sekali. Lama kelamaan Hoa Thian-hong jadi tidak tega sendiri, kepada Hoa In dia lantas bertanya, "Apakah keempat orang ini masih ada harapan untuk ditolong?" Hoa In tertegun lalu menggeleng. "Tiada harapan lagi untuk hidup, yang seorang di sebelah sana itu mungkin masih ada harapan untuk hidup. cuma sekalipun bisa lolos dari kematian dia bakal hidup sebagai seorang cacad!" "Aaai...! bagaimanapun akhirnya toh mati, lebih baik cepat-cepatlah menghantar keberangkatan mereka untuk pulang ke rumah neneknya!" Hoa In mengangguk, dia segera berkelebat maju ke depan telapaknya diayun berulang kali, dalam sekejap mata keempat orang toojin yang menggeletak di atas tanah dalam keadaan terluka parah itu menghembuskan napas yang terakhir. Tiba-tiba terdengar suara isak tangis kaum wanita yang amat ramai bergema datang dari balik ruangan loteng muncullah serombongan gadis-gadis muda yang menangis dengan penuh kesedihan, di belakangnya mereka menyusul pula serombongan pria yang jumlah keseluruhannya mencapai delapan puluh orang lebih. Rombongan pria wanita itu semuanya berada dalam kondisi mengenaskan, tubuh mereka kurus ceking tinggal kulit pembungkus tulang, yang pria berwajah tampan sedang yang gadis berwajah cantik rupawan. Sekilas memandang bisa diketahui bahwa orang-orang itu sama sekali tidak mengerti akan ilmu silat. Hoa In adalah seorang jago kawankan, meninjau keadaan tersebut dengan cepat ia bisa memahami apa yang sudah terjadi. Ketika dilihatnya rombongan pria dan wanita itu celingukan kesana kemari dengan wajah ketakutan, ia segera membentak keras, "Kalian semua ikutilah diriku!" Hoa Thian-hong tertegun dan dalam Waktu singkat iapun tahu apa yang telah terjadi, diapun lantas berkata, "Hoa In, coba carilah di ruang atas loteng apakah da sedikit harta benda yang berharga" Kalau ada, ambillah dan bagikan kepada mereka semua!" "Kalian semua harap tunggu sebentar!" teriak Hoa In kemudian dengan suara keras. Ia segera putar badan dan berkelebat masuk ke dalam ruang loteng. Cahaya api berkilauan memenuhi seluruh angkasa, di tengah kilatan cahaya terang tampaklah Bong Pay dengan membawa sebuah obor sedang membakar ruang loteng yang megah itu, dalam sekejap maka seluruh bangunan telah tenggelam dibalik amukan api yang berkobar-kobar. Tiba-tiba Bong Pay menerjang keluar dari balik lautan api, dengan gerakan bagaikan kilat ia menerjang ke arah kuil bagian depan. "Bong toako!" pemuda kita berteriak keras. Namun Bong Pay sama sekali tidak menggubris panggilan itu, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap dibalik bangunan. Melihat pemuda itu tak menggubris panggilannya, Hoa Thian-hong lantas berpikir di dalam hati, "Aaai, bagaimanapun di tempat ini toh tak ada jago lihay, biarlah dia berbuat sekehendak hatinya" Si anak muda she-Hoa ini merasa malu dan menyesal atas kejadian yang telah berlangsung di hadapannya ia tidak mengira kalau di dalam kuil kaum toosu ini terkurung begitu banyak gadis muda dan pria tampan ia semakin tak menduga kalau tempat suci semacam ini sebenarnya merupakan suatu tempat mesum yang menjijikkan, karena itu ia merasa tak enak untuk menghalangi perbuatan Bong Pay, sambil berdiri menjublak ia pandang jilatan api yang sedang membakar seluruh bangunan kuil itu. "Siau Koan-jin, terimalah ini!" mendadak Hoa In berteriak dari atap loteng. "Weess... weess...!" dua buah buntalan besar segera meluncur ke bawah loteng dengan cepatnya. Hoa Thian-hong sambut buntalan tadi, ketika dibuka ternyata isinya berupa intan permata dan emas murni, buru-buru benda tersebut dibagi-bagikan kepada kaum gadis dan pria tampan yang mendapat celaka itu. Jilatan api bergerak dengan cepatnya menyebar keempat penjuru, dalam waktu singkat ruang loteng bagian terbawahpun sudah menjadi lautan api, Hoa In tiba-tiba loncat turun dari atas loteng sambil membawa dua bungkusan besar berisi alat-alat yang terbuat dari emas dan perak, hardiknya dengan suara keras, "Jangan menangis, jangan dorong mendorong...." Suasana di halaman belakang kacau balau penuh dengan jeritan serta tangisan, tiba-tiba dari bagian depan kuilpun terjadi kegaduhan, suara teriakan manusia makin ramai dan api berkobar memenuhi seluruh kompleks kuil Tiong-goan-koan tersebut. "Rupanya cukup banyak siksaan serta penderitaan yang dirasakan bocah itu hingga dia jadi kalap" ujar Hoa In sambil tertawa. "Bong toako adalah seorang lelaki yang berjiwa panas, melenyapkan kuil ini sama artinya dengan membasmi bibit penyakit bagi rakyat kecil daerah sekitar sini" "Toosu-toosu siluman dari Thong-thian-kauw adalah manusia cabul yang suka main perempuan dan homoseks, aku rasa di setiap kuil di daerah kekuasaan sekte agama Thong-thian-kauw semuanya melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk macam ini" "Kalau demikian adanya, sekte agama Thong-thiankauw adalah suatu perkumpulan kaum durjana," seru Hoa Thian-hong dengan alis berkerut, "Mungkin kejahatan yang mereka lakukan jauh di atas perbuatanperbuatan dari Sin-kie-pang maupun Hong-im-hwie" Sementara pembicaraan masih berlangsung, kedua orang itu telah selesai membagi bagikan emas perak Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo serta intan permata itu kepada para korban, maka dipimpinlah orang-orang itu keluar dari halaman kebun dan menyuruh cepat-cepat bubar. Dalam pada itu peristiwa terbakarnya kuil Tiong-goankoan telah menggemparkan seluruh kota, banyak rakyat dari empat penjuru berduyun duyun datang ke sekitar situ menonton kebakaran, para Jemaah berusaha keras menolong api membuat suasana jadi kalut dan kacau tak karuan. Menanti para korban yang berhasil ditolong telah bubar semua, Hoa Thian-hong berdua baru balik lagi untuk mencari jejak Bong Pay, seluruh ruangan kuil telah tenggelam di tengah amukan api, dengan gerakan tubuhnya yang cepat mereka berkelebat kesana kemari mencari jejak pemuda she-Bong tersebut Ujung baju tersampok angin bergema tiba, empat sosok bayangan manusia dengan gerakkan cepat mendadak muncul dari arah depan, ketika kedua belah pihak saling berpapasan mereka semua pada tertegun dibuatnya. Di bawah sorot cahaya api, terlihatlah keempat orang itu bukan lain adalah Ang Yap Toojin, Ngo Ing Toojin, Cing Si-cu serta Giok Teng Hujien dari perkumpulan Thong-thian-kauw..... Setelah terjadi bentrokan fisik dengan rombongan Jin Hian, keempat orang itu secara diam-diam mengawasi terus gerak-gerik dari musuhnya itu, ketika baru saja tiba di kota Wi-im, tiba-tiba mereka temukan kuil Tiong-goankoan kebakaran, keempat orang itu segera sadar bahwa suatu peristiwa yang tak diiginkan telah terjadi. Buru-buru berangkatlah mereka menuju kesitu, siapa tahu kedatangan mereka justru telah berpapasan dengan Hoa Thian-hong berdua. Begitu bertemu dengan pemuda she-Hoa Ang Yap Toojin seketika naik darah. sambil tertawa seram teriaknya, "Kau yang bakar kuil Tiong-goan-koan ini?" "Kalau benar mau apa?" sahut Hoa Thian-hong tawar. Giok Teng Hujien tertawa merdu. "Eeei.... kenapa sih kau suka main gila" too-koan ini toh indah dan megah, kenapa musti dibakar habis"!" "Hmmm, dalam kuil ini terjadi perbuatan mesum yang amat menjijikkan, kuil sebagai tempat pemujaan kaum dewata telah digunakan sebagai gudang untuk menyimpan gadis tak berdosa. Justru siaute merasa muak melihat tempat seperti ini maka sengaja kubakar sampai habis. Apa cici ada petunjuk lain?" "Sudahlah.... kau tak usah berlagak sok di hadapanku!" seru Giok Teng Hujien sambil tertawa, "aku berani taruhan, api ini bukan kau yang lepaskan.....! bukan begitu?" "Saudara Hoa, diantara kita toh pernah berjumpa beberapa kali," ujar Ngo Ing Toojin pula. "Bolehkah pinto mengetahui siapa yang telah melepaskan api ini?" Hoa In tidak ingin melihat majikan mudanya memikul dosa orang lain, dengan hati tak senang ia segera berkata, "Kami bukanlah manusia-manusia rendah yang suka menjual teman, kalau kamu semua ingin mencari orang yang melepaskan api, sana carilah sendiri!!...." Meskipun hanya dua tiga patah kata saja, tapi dengan cepat ia telah mencuci bersih segala tuduhan yang ditimpakan kepada mereka berdua. Kembali Giok Teng Hujien tertawa ringan. "Too-yu sekalian, api ini pasti dilepaskan oleh musuh bebuyutan kita kaum cecunguk dari perkumpulan Hong-im-hwie, mari kita geledah sekeliling tempat ini mungkin jejaknya masih bisa tertangkap!" serunya. "Bong Pay bukan tandingan dari beberapa orang ini," pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, "sekarang aku telah menyanggupi Cu locianpwee untuk merawat serta melindungi dirinya, bagaimanapun juga aku harus menghadapi kejadian ini dengan tegas." Berpikir demikian, dengan suara lantang ia lantas berseru, "Cici, setelah kau temukan orang yang melepaskan api itu. apa yang hendak kalian lakukan?" "Bocah bodoh!" sahut Giok Teng Hujien dengan alis berkerut, "Jin Hian bukanlah manusia baik-baik, kenapa sih musti bergaul dengan dirinya?" Hoa Thian-hong tersenyum. "Cici terus terang saja kukatakan, api ini bukanlah perbuatan dari Jin Hian" "Tentu saja, Jin Hian adalah seorang pimpinan dari suatu perkumpulan besar, tentu saja dia tak akan turun tangan sendiri, Too-yu sekalian, ayoh berangkat!" Menyaksikan sikap Giok Teng Hujien yang begitu hangat dan mesra terhadap diri Hoa Thian-hong, makin dilihat Ang Yap Toojin merasa semakin gusar, api cemburu membakar hatinya dan niat jahat segera muncul dalam benaknya, dengan suara keras dia segera membentak, "Hoa Thian-hong! ayoh ngaku terus terang, apakah api ini kau yang lepaskan?" Hoa Thian-hong sendiripun naik darah melihat kekasaran musuhnya, ia menjawab dengan nada ketus, "Sedari tadi toh aku orang she-Hoa sudah mengatakan bahwa api itu akulah yang lepaskan, apa telingamu sudah tuli?" Ketika terjadi persengketaan sewaktu berada di tengah jalan tempo dulu, Ang Yap Toojin pernah memaki Hoa Thian-hong sebagai orang yang tuli, maka sekarangpun si anak muda itu memaki telinganya telah tuli pula. Ang Yap Toojin segera tertawa seram. "Too-yu bertiga, ini hari pinto bersumpah akan cabut selembar jiwa manusia she-Hoa ini, harap too-yu bertiga suka melayani pengurus perkampungan itu, urusan selanjutnya serahkan saja kepada pinto untuk dibereskan sendiri." Selesai berkata ia cabut keluar pedang mustika yang tersoren di atas bahunya. Berbicara sampai disana sorot mata semua orang tanpa terasa dialihkan ke atas wajah Giok Teng Hujien, jelas dalam peristiwa yang terjadi hari ini perempuan tersebut mempunyai peranan yang amat penting. Andaikata ia setuju dengan cara kerja Ang Yap Toojin, itu berarti posisi akan berubah jadi empat lawan dua, meskipun menang kalah masih sulit untuk ditentukan, namun pertarungan masih bisa dilangsungkan. Sebaliknya kalau ia nampik dan sebaliknya akan membantu Hoa Thian-hong, maka posisinya akan menjadi tiga lawan tiga, jelas posisi di pihak Thong-thiankauw amat lemah, apalagi Soat-ji rase salju dalam bopongannya masih belum masuk hitungan. Giok Teng Hujien sama sekali tidak menanggapi pertanyaan itu, ia malahan menuding ke arah lain sambil berseru, "Coba kalian lihat, pohon dan bunga telah termakan api, sebentar lagi seluruh kuil akan tenggelam di tengah lautan api dan kita tak akan mendapatkan tempat berpijak lagi" "Giok Teng Too-yu!" hardik Ang Yap Toojin dengan penuh kegusaran, "Pinto ingin bertanya kepadamu, dalam pertempuran yang akan terjadi pada malam ini Hujien akan berpihak kemana"' "Aku berdiri di pihak perkumpulan Thong-thian-kauw," sahut Giok Teng Hujien dengan wajah berubah, "Tetapi, Hoa Thian-hong adalah saudara angkatku, maka Soat-ji ku harus berdiri di pihaknya'" Semua orang tertegun sehabis mendengar perkataan itu, siapapun tahu kelihayan Soat-ji makhluk aneh itu, kehebatannya cukup menandingi kelihayan seorang jago silat kelas satu. Bila Hoa Thian-hong berdua sampat mendapat bantuan Soat-ji, maka kekuatan mereka pasti akan bertambah lipat ganda. dan Giok Teng Hujien seandainya bekerja setengah tengah dan tidak menyerang dengan sepenuh tenaga, bukankah mereka bertiga orang toosu tua bakal mati konyol" Kuil-kuil yang didirikan di tempat luaran di bawah kekuasaan perkumpulan Thong-thian-kauw memang amat banyak sekali, tapi struktur organisasinya lapuk dan tidak ketat. Hoa Thian-hong sendiripun tidak tahu kedudukan Giok Teng Hujien yang lebih tinggi atau Ang Yap Toojin yang lebih tinggi di dalam perkumpulan itu, tetapi setelah mengetahui bahwa perempuan itu secara terang terangan berpihak kepadanya, sedikit banyak ia merasa hatinya rada lega. Sebaliknya Ang Yap Toojin makin cemburu dan naik darah setelah mendengar keputusannya itu, dengan sorot mata bengis ia segera berseru, "Hoa Thian-hong, seandainya kau menganggap dirimu seorang lelaki jantan pria sejati.... ayoh terimalah tantanganku untuk berduel!" Hoa In teramat gusar, ia takut Hoa Thian-hong tak kuat menahan sindiran itu dan menerima tantangan lawan. Tanpa mengucapkan sepatah katapun sepasang telapaknya segera bekerja Cepat dan melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke arah depan. Demi majikan mudanya. kakek tua she-Hoa ini tanpa berpikir panjang segera lancarkan sebuah pukulan dengan ilmu Sau-yang-Ceng-khie-nya yang lihay. Ang Yap Toojin sekalian tak pernah menyangka kalau ilmu maha sakti dari Hoa Goan-siu yang pernah menggemparkan seluruh kolong langit itu bisa muncul di tangan seorang pelayan tua, terkesiap hati mereka bertiga menjumpai serangan itu. Rupanya Ang Yap Toojin sekalian menyadari akan kelihayan lawannya, melihat begitu dahsyat datangnya ancaman buru-buru pedangnya dipindahkan ke tangan kiri, telapak kanan diangkat ke depan dan serentak mereka bendung datangnya ancaman itu Hoa Thian-hong naik pitam, ia tak sudi berpeluk tangan belaka. Melihat serangan dahsyat dari Hoa In telah dilancarkan iapun segera menggerakkan sepasang telapaknya menyerang Ngo Ing Toojin serta Ceng Si-cu yang berdiri di dekatnya. Tindakan yang dilakukan beberapa orang itu semuanya dilakukan dengan kecepatan laksana sambaran kilat.... Blaam! terjadi benturan keras bergeletar memenuhi angkasa, Hoa Thian-hong, Ngo Ing Toojin serta Ceng Si-cu secara beruntun mundur beberapa langkah ke belakang. Hoa In takut majikan mudanya cedera, dalam kerepotan telapak kirinya dimiringkan ke samping, separuh bagian tenaga serangannya segera dihantamkan ke arah tubuh Ngo Ing Toojin serta Ceng Si-cu. Kendati begitu Ang Yap Toojin masih belum mampu untuk menahan diri, termakan oleh pukulan yang sangat hebat itu badannya segera mencelat ke belakang darah kental mengucur keluar dari panca inderanya membuat keadaan toosu itu mengerikan sekali. Dalam waktu singkat Ngo Ing Toojin serta Ceng Si-cu sama-sama menderita Iuka dalam yang parah darah panas bergolak dalam dada mereka membuat kedua orang itu buru-buru pejamkan mata dan mengatur pernapasan. Keadaan Ang Yap Toojin paling parah. tubuhnya menggeletak di atas tanah dengan sepasang mata terpejam rapat, mukanya pucat pias bagaikan mayat, napasnya kempas-kempis dan lirih sekali. Hoa Thian-hong sendiripun merasa jantungnya berdebar dan napasnya tersengal-sengal lama sekali ia baru berhasil menguasai diri. Hoa In segera menghampiri ke sisi tubuhnya. "Siau Koan-jin, bagaimana keadaanmu?" tegurnya gelisah. Buru-buru telapak kanannya ditempelkan ke atas punggung pemuda itu. segulung hawa murni segera menyusup masuk ke dalam tubuhnya "Api sudah hampir menyumbat jalan keluar kita, mari kita undurkan diri lebih dahulu dari sini," kata Hoa Thianhong kemudian setelah berhasil menenangkan diri, sorot matanya segera melirik sekejap ke arah Giok Teng Hujien. "Kau memang amat pandai bikin gara-gara," omel perempuan itu sambil tertawa. "Coba kau lihat, sekarang apa yang musti cici sampaikan kepada kaucu nanti tentang peristiwa ini" Hoa Thian-hong tersenyum. "Cici, bila kau ada niat tinggalkan jalan sesat menuju ke jalan yang benar, seketika ini juga siaute akan cabut selembar jiwa Ang Yap Toojin untuk memotong jalan mundurmu. "Kurang ajar! apa sih yang dimaksudkan tinggalkan jalan sesat menuju ke jalanan yang benar" Siapa yang bersih tetap bersih, siapa yang kotor tetap akan kotor cici yakin belum pernah melakukan perbuatan yang memalukan orang." "Aaai... kalau memang cici selalu berpikiran sesat dan tak mau mendusin dari kedosaan, siautepun tidak akan bicara lebih banyak lagi," ia berpaling dan serunya, "Hoa In, ayoh kita pergi." Kedua orang itu putar badan dan segera berlalu, tibatiba disini mereka bertambah lagi dengan seseorang, dia bukan lain adalah Bong Pay yang sedang dicari. Hoa Thian-hong jadi amat kegirangan dia tarik lengan pemuda itu dan diajak bersama-sama membelok ke sebelah kiri. Dalam pada itu setiap ruangan dalam bangunan kuil itu telah termakan api, jalan maju ketiga orang itu segera tersumbat sama sekali, hawa begitu panas terasa menyengat badan membuat peluh mengucur keluar dengan derasnya, dengan susah payah akhirnya mereka bertiga berhasil juga mendekati tepi dinding pekarangan dari kuil itu. Mendadak terdengar Jin Hian tertawa tergelak sambil serunya, "Hoa Loo-te, dimanakah cicimu serta ketiga Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo orang toosu hidung kerbau itu?" Pemuda kita segera mendongak, ia lihat di atas dinding pekarangan berdiri sederetan panjang jago-jago lihay dari perkumpulan Hong-im-hwie, kecuali Jin Hian, Cia Kim serta Cho Bun-kui, keempat puluh orang pengawal golok emas pun telah hadir semua di tempat itu. Di bawah sorot cahaya api nampak kilatan senjata berkilauan, dalam keadaan siap siaga dengan senjata terhunus para jago dari perkumpulan Hong-im-hwie itu memblokir seluruh daerah yang tidak terjamah oleh api. Hoa Thian-hong sama sekali tidak gentar menghadapi kejadian ini, dengan langkah yang tetap ia dekati dinding pekarangan tersebut, sekali enjot badan tubuhnya langsung melayang ke arah mana Jin Hian berada. Dengan kencang Hoa In mengikuti di sisi majikan mudanya, hawa sakti Sau-yang-ceng khie dihimpun ke dalam sepasang telapak, asal Jin Hian menunjukkan tanda-tanda tidak beres, ia segera akan lancarkan serangan dengan sepenuh tenaga. Terdengar ketua dari perkumpulan Hong-im-hwie itu tertawa terbahak-bahak, kaki kanannya melangkah satu tindak ke samping memberikan sebuah tempat berpijak bagi lawannya, dengan cepat Hoa Thian-hong serta Bong Pay sekalian telah hinggap di atas tembok pekarangan itu. Beberapa waktu kemudian. dari kejauhan tampaklah Ceng Si-cu memayang Ang Yap Toojin yang terluka parah dilindungi Giok Teng Hujien serta Ngo Ing Toojin di kedua belah sisinya muncul pula di tempat itu. "Hoa Loo-te" Jin Hian segera berseru sambil tertawa, "Kalau bekerja janganlah kepalang tanggung, bagaimana kalau kita bekuk pula ketiga orang peria dan seorang perempuan itu agar tak bisa keluar dari tempat ini?" Hoa Thian-hong tidak menjawab, ia tetap membungkam dalam seribu bahasa. Sementara itu keempat puluh orang pengawal golok emas telah membentak keras, "Berhenti!" Keempat sosok bayangan manusia itu segera menghentikan langkah kakinya, Ngo Ing Toojin dengan suara gusar menegur, "Jien Tang-kee, apa yang hendak kau lakukan?" "Hmmm..... jalan sempit, kita selalu berjumpa, tentu saja aku hendak menahan kalian," sorot matanya dialihkan ke samping dan melanjutkan, "bagaimana menurut pendapat Hoa Loo-te?" Hoa Thian-hong tertawa lantang, pikirnya, "Memang lebih baik toosu-toosu siluman dari Thong-thian-kauw dibunuh habis oleh kaki tangannya, cuma bagaimana dengan cici yang tak kuketahui nama aslinya ini.....!" Puluhan pasang mata para jago sama-sama dialihkan ke atas wajahnya, dalam keadaan begini tak sempat baginya untuk berpikir panjang lagi, segera sahutnya, "Pertikaian antara perkumpulan Hong-im-hwie dan Thong-thian-kauw tidak ingin kucampuri, bila Jien Tangkee ada maksud menahan mereka silahkan turun tangan sendiri" Bicara sampai disitu sorot matanya berkilat mengerling sekejap ke arah Giok Teng Hujien, maksudnya agar perempuan itu bisa menerjang ke arahnya. Giok Teng Hujien adalah seorang gadis yang cerdas, menyaksikan keadaan itu dia segera berkata, "Setan cilik, seorang pria sejati berani berbuat berani bertanggung jawab, kalau kau punya keberanian lindungilah cicimu, kalau tidak lebih baik jangan turut campur, aku tidak ingin mengajak kau main pat-pat gulipat!" Merah jengah selembar wajah si anak muda itu, setelah tertegun sejenak ia berkata kembali, "Selamanya siaute bekerja tampa menghendaki merusak nama baik orang lain, sekalipun aku bukan enghiong akupun tak ingin pura-pura jadi hohan, sekalipun hubungan pribadi kuperhatikan tetapi kepentingan umum akan kuutamakan lebih dulu" la berhenti sejenak, kemudian dengan suara yang tegas ia melanjutkan, "Dalam peristiwa yang terjadi hari ini, siaute akan menjamin keselamatan dari cici untuk tinggalkan tempat ini dalam keadaan selamat, aku harap cici dapat menjaga diri baik-baik sehingga tidak menyianyiakan jerih payahku untuk melihat diri cici." Giok Teng Hujien tersenyum. "Seandainya pikiranku masih sesat dan bekerja lagi untuk pihak Thong-thiankauw?" "Mungkin orang yang akan membunuh cici adalah siaute sendiri" "Kau berani?" seru perempuan itu sambil mencibirkan bibirnya. biji matanya yang jeli mengerling ke arah Ngo Ing Toojin dan memberi tanda agar bersiap sedia melakukan penerjangan. "Tunggu sebentar?" tiba-tiba terdengar Jin Hian berseru, "Hoa Loo-te, bila cicimu berhasil lolos dari sini, bukankah urusan akan semakin berabe" Terbakarnya kuil Tiong-goan-koan pasti akan dikatakan olehnya sebagai hasil karya dari perkumpulan Hong-im-hwie" "Haaah... haaah... antara perkumpulan Hong-im-hwie dengan Thong-thian-kauw toh sudah berhadapan sebagai musuh, kenapa Jien Tang-kee musti risaukan urusan sekecil ini"' "Akulah yang membakar kuil Tiong-goan-koan!" tibatiba Bong Pay berteriak lantang, "Siapa yang tidak puas, carilah aku orang she Bong untuk dimintai pertanggungan jawabnya!" Semua orang segera alihkan sorot matanya ke arah pemuda itu, tetapi setelah diketahuinya bahwa orang yang barusan berteriak bukan lain adalah seorang pria dekil yang lehernya masih diborgol oleh rantai baja yang kasar dan panjang, tak tertahankan lagi semua orang segera mendongak dan tertawa terbahak bahak, Watak Bong Pay amat berangasan dan kasar, melihat semua orang menertawakan dirinya, dengan penuh kegusaran ia segera berteriak, "Kalau mau tertawa tertawalah sekeras-kerasnya, kalau mau berkelahi, ayoh tunjukkan kepala kalian!" Tentu saja semua orang tak memandang sebelah matapun terhadap dirinya, mendengar teriakan itu gelak tertawa para jago terdengar semakin keras Hoa Thian-hong menyadari akan rendahnya ilmu silat yang dimiliki Bong Pay, dengan kepandaiannya yang cetek itu pemuda tadi masih belum mampu untuk berduel melawan salah seorangpun di antara para pengawal golok emas. Karena takut ia turun ke gelanggang secara gegabah hingga mencari Kesulitan bagi diri sediri, sambil mencekal pergelangannya ia lantas berseru, "Bong toako, jangan gubris urusan tetek bengek yang sama sekali tak berguna itu." Kemudian ia menoleh dan berkata kembali, "Ngo Ing Tootiang, harap sampaikan kepada kaucu kalian, katakanlah untuk peristiwa kebakaran ini ia boleh catat atas namaku!" "Pinto akan mengingatnya!" Hoa Thian-hong segera berpaling ke arah Jin Hian dan menantikan keputusannya. Ketua dari perkumpulan Hong-im-hwiee ini bukanlah seorang manusia bodoh, dalam hati ia segera berpikir, "Kenapa aku musti repot2 untuk turun tangan sendiri" Kalau dilihat keadaan Ang Yap toosu hidung kerbau itu, jelas ia terluka parah di tangan pemuda itu. Baiklah aku akan biarkan dia tetap hidup di kolong langit agar di kemudian hari bisa merupakan bibit bencana bagi bangsat cilik itu" Berpikir begitu ia lantas tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Haaah.... haaah.... haaah kalian anggap aku she-Jin adalah manusia macam apa" Sebelum berjumpa muka dengan Thian Ek si toosu tua itu aku tak sudi ributribut dengan anak buahnya" Diam-diam Hoa Thian-hong geli juga melihat sikapnya itu, ia segera menyingkir ke samping dan berseru, "Cici, baik-baiklah menjaga diri. kita berjumpa lagi di kota Leng An nanti" "Aku takut sebelum tiba di kota Leng An kau sudah mati terlebih dahulu oleh serangan bokongan dari Jien Tang-kee" kata Giok Teng Hujien sambil tertawa. Rasa benci malaikat berlengan delapan Cia Kim terhadap Giok Teng Hujien maupun terhadap Hoa Thianhong adalah sama-sama mendalamnya, hanya sayang ia tak berani melanggar perintah Jin Hian maka selama ini ia tak sempat mencelakai kedua orang itu. Sekarang setelah mendengar sindiran tersebut, ia segera tertawa dingin serunya dengan marah, "Hujien, lebih baik cepat-cepatlah pulang ke kota Leng An, bila kau berani berlagak tengik lagi dihadapanku... Hmmm, hati-hati1ah bila serangan bokongan dari perkumpulan Hong-im-hwie segera akan unjukkan kehebatannya...." Giok Teng Hujien tertawa ewa, ia ulapkan tangannya ke arah Ngo Ing Toojin berdua, maka berkelebatlah tubuh ketiga orang itu lewat disisi Hoa Thian-hong.... Pemuda she-Hoa itu melirik sekejap ke arah Ang Yap Toojin dalam dukungan Ceng Si-cu, ia lihat sepasang mata toosu tua itu terpejam rapat-rapat, giginya mengatap satu sama lainnya, wajahnya kuning pucat dan mengerikan sekali keadaannya, dalam hati ia lantas berpikir, "Begitu lihaynya ilmu Sau-yang-ceng-khie seharusnya aku melatih ilmu tersebut sedari dulu...,dulu...." Dalam waktu setingkat beberapa orang dan sekte agama Tong Jin Kau itu sudah lenyap dari pandangan. Jin Hian segera ulapkan tangannya dan berseru, "Hoa Loo-te, persoalan di tempat ini telah selesai, mari kita kembali ke penginapan!" "Silahkan Jien Tang-kee!" Jin Hian melompat turun terlebih dahulu dari atas tembok pekarangan, Cho Bun-kui memberi tanda kepada para pengawal golok emas dan secara beruntun keempat puluh orang jago itu melayang turun pula dari atas tembok dan membentuk barisan berbanjar empat, dengan rapi dan teratur mereka mengikuti di belakang komandannya. Hoa Thian-hong sambil menggandeng tangan Bong Pay menyusul di belakang rombongan jago-jago dari perkumpulan Hong-im-hwie, katanya di tengah jalan, "Bong toako, aku dengar katanya kau hidup sebatang kara tanpa sanak tanpa tempat tinggal, bagaimana kalau kita bersahabat dan mengembara di dunia persilatan bersama-sama?" Bong Pay tertegun mendengar ucapan itu, kemudian nyeletuk, "Kepandaian silatmu hebat sedang ilmu silatku cetek sekali, mana mungkin kita bisa melakukan perjalanan bersama-sama?" "Sahabat bisa berkumpul bila saling setia kawan, asal tujuan dan cita-cita kita sama apa bedanya antara ilmu silat yang .tinggi dan ilmu silat yang rendah" Tapi Bong Pay tetap menggeleng. "Kepandaian silatku kecil tapi watakku terlalu besar, bila jalan bersama dirimu maka tentu banyak kerepotan yang akan kutimbulkan untukmu!" "Ehmmm.... bocah ini rupanya tahu diri juga," pikir Hoa In di dalam hati, "Kalau begitu hanya perangainya saja yang kasar dan berangasan. sedang otaknya sama sekali tidak tumpul" Tanpa terasa sikap serta pandangannya terhadap pemuda itu berubah lebih baik beberapa bagian. Memandang raut wajah Bong Pay yang dipenuhi oleh garis-garis kekesalan dan kemurungan, Hoa Thian-hong pun berpikir di dalam hati, "Ketika diadakan pertemuan Pek Beng Hwee, ayahku mati dalam medan pertempuran sedang ibuku dalam keadaan terluka parah berhasil lolos dari kepungan kesemuanya adalah berkat bantuan dari para sahabat karib, aku lihat Bong toakopun seorang keturunan dari golongan ksatria, aku tak boleh memandang rendah dirinya karena ilmu silat yang ia miliki terlalu rendah!" Ia lantas menggenggam tangan Bong Pay dan berseru, "Bong toako, kau maupun aku adalah keturunan dari kaum ksatria, marilah kita angkat saudara dan hidup bersama mati berbareng, mari kita bekerja sama membangun suatu pekerjaan besar yang berguna bagi seluruh umat dunia....!" Bong Pay merasa amat terharu mendengar perkataan itu. tetapi setelah tertegun beberapa saat lamanya kembali ia menggeleng. "Kalau berbuat begitu, aku pikir rada kurang baik" "Kenapa?" tanya Hoa Thian-hong tidak habis mengerti. "Usiaku tebih tua tapi kepandaianku kecil, sedang kau usia muda kepandaian lihay, bila kita harus angkat saudara maka akulah sang kakak dan kau sang adik, kepandaianku tak mampu melampaui dirimu, mana mungkin aku bisa memberi petunjuk kepadamu..." "Sungguh tak nyana Bong toako meskipun kasar orangnya cermat otaknya....." pikir Hoa Thian-hong. Dengan wajah serius ia lantas berkata, "Siaute toh sudah pikir sejak tadi, persahabatan hanya didasarkan oleh rasa setia kawan dan hubungan batin yang cocok, asal tujuan dari cita-cita kita sama perduli amat dengan kepandaian yang lebih lihay atau kepandaian yang lebih lemah" Untuk kesekian kalinya Bong Pay menggeleng. "Yang aku maksudkan kepandaian bukan hanya terbatas dalam hal ilmu silat belaka," katanya. "Lalu apa yang dimaksudkan Bong Toako?" Rupanya Bong Pay tidak tahu bagaimana musti menjawab pertanyaan itu, setelah termenung senjenak ia berkata, "Usiamu masih sangat muda, sekalipun ilmu Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo silatmu lihay tak mungkin kelihayannya mencapai setinggi langit. tetapi bukti menunjukkan bahwa orangorang dari pihak Hong-im-hwie berlaku sungkan kepadamu, para toosu siluman dan Thong-thian-kauw juga jeri kepadamu, menurut penglihatanku inilah baru yang dinamakan kepandaian sesungguhnya." "Tentu saja begitu," batin Hoa Thian-hong. "Mau tundukan hati orang, tidak dapat hanya mengandalkan ilmu silat saja." Dalam hati berpikir begitu, diluaran ia segera menjawab, "Ooo...! Kiranya kau maksudkan tentang soal itu. Siaute mendapat perlindungan dari pengurus perkampunganku yang sangat lihay dalam ilmu silat, berkat kelihayannya itulah tak ada orang yang berani menganiaya diri siaute." Sementara pembicaraan masih berlangsung, sampailah beberapa orang itu di depan penginapan. Jin Hian sekalian segera masuk ke dalam kamar sedang sepuluh orang pengawa golok emas yang tinggal disana ikut masuk pula ke dalam penginapan, sisanya setelah menghantar pulang ketua mereka segera berlalu dari situ. "Bong toako" ujar Hoa Thian-hong kemudian, "Urusan tentang angkat saudara kita bicarakan lagi kemudian hari saja, kita berteman dulu untuk sementara waktu, bagaimana menurut pendapatmu?" Bong Pay mengangguk "Baiklah, bila kau merasa bosan dengan tampangku, aku segera pergi dari sini. Hoa Thian-hong tersenyum, masuklah ketiga orang itu ke dalam kamar. Setelah berada di tempat kebakaran beberapa waktu lamanya Semua orang merasa haus, pemuda she Hoa pun ambil dua cawan air teh dan sebuah diantaranya diserahkan ke tangan Bong Pay, katanya, "Bong toako, silahkan minum air teh" Waktu itu adalah bulan tujuh musim panas, teh dingin merupakan minuman yang paling segar untuk keadaan demikian. Bong Pay segera menerima cawan air teh itu dan sekali teguk menghabiskan isinya. Hoa Thian-hong yang minum secucupan dengan cepat merasakan lidahnya jadi kaku dan pedas, rasanya aneh sekali, ia jadi terperanjat. Melihat Bong Pay hendak penuhi pula cawannya dengan air teh tangannya segera berkelebat ke muka menahan cawan itu. Dalam pada itu Hoa In sedang keluar pintu untuk mencari cawan. melihat gerak-gerik Hoa Thian-hong sangat aneh, buru-buru tegurnya, "Siau Koan-jin, apakah air teh itu tidak bersih?" "Masih mendingan" sahut sang pemuda sambil tersenyum, "katakanlah kepada Jien Tang-kee bahwa aku terlalu rakus hingga perutku terasa mules, mintakan dua biji obat sakit perut darinya." "Obat pemberian dari Jin Hian mana boleh diminum!" seru Hoa In dengan alis berkerut, "biarlah kucarikan seorang tabib saja....." Habis berkata ia lantas melangkah keluar dari kamar. "Eeei... eee... kenapa musti pergi terlalu jauh" Cari saja Jien Tang-kee!" kembali pemuda itu berseru sambil tertawa. Hoa In melongo kemudian sambil menghela napas ia geleng kepala dan menuju ke kamar Jin Hian. Hoa Thian-hong perhatikan sekejap cawan air teh itu, sewaktu tidak menemukan sesuatu tanda ia menoleh pula ke arah Bong Pay ditemuinya sorot mata pemuda itu tetap jeli dan sama sekali tak berubah, segera diambilnya cawan air teh pemuda itu dan dicicipi sedikit, ternyata rasanya kaku dan pedas, sama sekali tak enak diminum. Sementara itu Bong Pay sendiri telah merasakan pula gejala yang tidak beres, matanya segera melotot dan ia berseru, "Apakah Jien loo-ji telah main gila dengan air teh kita?" "Bagaimana rasanya teh dalam cawan Bong toako itu?" "Air teh, yaah air teh, sedikitpun tidak ada rasanya!" Hoa Thian-hong tersenyum, ia ambil poci teh itu dan dihisapnya satu tegukan, ternyata air teh disana rasanya biasa saja sedikitpun tiada pertanda yang mencurigakan, maka sadarlah dia apa yang telah terjadi. "Ooooh...! rupanya bubuk racun itu dipoleskan dalam cawan air teh itu hingga air teh dalam poci sama sekali tidak terganggu, kalau ditinjau dari lambatnya daya kerja racun itu, jelas bukanlah racun dari jenis yang terlalu lihay, Sebagai seorang pemuda yang kebal terhadap racun, perduli racun yang jahat dari jenis apapun asal masuk ke dalam mulutnya ia segera akan merasa pedas dan kaku, pengalaman yang lain membuktikan bahwa pertanda itu tak mungkin salah lagi. SESAAT kemudian Hoa In muncul kembali di dalam kamar sambil membawa dua pil, ujarnya, "Siau Koan-jin, Jin Hian telah memberi dua buah pil untukmu, aku lihat pil ini sama sekali tak berbeda dengan obat yang diberikan kepada Chin Giok-liong tempo dulu" Setelah kupecahkan siasat busuknya, mungkin lain kali ia tak akan berani main gila lagi kepadaku!" pikir Hoa Thian-hong. Meskipun dalam hati berpikir begitu, untuk menghindari siasat buruk berantai dari orang she-Jien itu. ia segera ambil sebutir obat diantaranya dan di kunyah dalam mulut, setelah dirasakan obat itu sama sekali tidak mengandung rasa kaku atau pedas seperti halnya gejala keracunan, ia baru serahkan obat penawar yang lain ke tangan Bong Pay. "Bong toako!" ia berkata, "telanlah obat penawar ini!" Bong Pay amat percaya terhadap ucapan pemuda ini, tanpa banyak curiga ia terima obat itu dan segera ditelan ke dalam mulut kemudian ia baru mengomel dengan suara jengkel, "Jin Hian tua bangka itu benar-benar licik, sungguh memalukan manusia macam itu bisa, dianggap sebagai seorang pimpinan dari suatu perkumpulan besar" "Siau Koan-jin" ujar Hoa In pula dengan wajah murung, "serangan secara blak-blakan bisa dihindari, serangan bokongan sukar dilewatkan. lebih baik kita berpisah saja dari rombongan merek" Hoa Thian-hong termenung sejenak, lalu menggeleng. "Aku pikir lebih aman bagi kita untuk tetap menggabungkan diri dengan rombongan mereka, sebab dengan begitu kita hanya perlu berjaga jaga terhadap serangan bokongannya dia seorang, sebaliknya kalau perjalanan kita lakukan secara berpisah maka bukan saja kita musti waspada terhadap mereka, kitapun harus waswas terhadap bokongan dari orang-orang Thong-thiankauw "Ucapan dari Hoa kongcu sedikitpun tidak salah," sahut Bong Pay dengan alis berkerut, "Aku orang sheBong akan menuntun kuda bagimu. mari kita genjot Hian Loo-ji sampai keok." Begitu nyaring dan keras ucapan itu sehingga hampir semua tamu yang menginap dalam rumah penginapan itu dapat mendengar ucapannya, "Bong toako kalau kau tidak merasa direndahkan, itulah bagus sekali," ujar Hoa Thian-hong sambil tertawa, "hanya sikapmu terlalu sungkan justru membuat hubungan kita serasa lebih renggang." Sembari berkata ia hancurkan dua buah cawan yang beracun itu dan dihuang keluar jendela. Hingga saat itu di atas leher Bong Pay masih terborgol sebuah rantai besi panjang tujuh depa, Hoa Thian-hong serta Hoa In harus bekerja keras beberapa waktu lamanya sebelum rantai tersebut berhasil dicopot dan dilepaskan dari leher orang. Bertiga mereka bersantap di dalam kamar kemudian Boan Pay pindah ke kamar sebelah untuk mandi dan tidur. sedang Hoa In sambil membawa rantai itu berkata, "Siau Koan-jin, beristirahatlah dulu aku ingin jalan2 sebentar diluaran" "Tengah malam buta begini, mau apa kau keluar kamar?" "Aku lihat rantai ini kuat dari aneh, aku ingin mencari tukang besi untuk menempa rantai ini jadi sebilah pedang" Hoa Thian-hong pikir benar juga ucapan itu, maka ia mengangguk. Sepeninggalnya Hoa In ia tutup pintu dan ambil keluar bungkusan kertas minyak untuk yang diserahkan Cu Tong kepadanya itu. Ketika dibuka ternyata isinya berupa setengah jilid kitab yang isinya cuma lima enam lembar, kertasnya warnanya kuning dan agak kumala, sepintas dilihat sudah bisa diketahui bahwa buku itu sudah berusia lama sekali. Pada halaman pertama buku itu terlihatlah empat huruf kuno yang berbunyi, "Ci-Yu-Jit-Ciat" atau Tujuh kupasan dari Ci-Yu. Hoa Thian-hong merasa semangatnya bangkit, ia duduk di dekat meja memasang lampu lentera dan membuka halaman berikutnya. Pada ujung halaman tertera tulisan "Bab pertama menyerang menyebabkan mati", di bawah judul itu tertulis tulisan kecil yang rapat dan penuh semuanya membicarakan tentang bagaimana cara-cara mengendalikan serangan secara jitu dan tepat. Halaman berikutnya merupakan gambar-gambar manusia yang disertai dengan keterangan lengkap Hoa Thian-hong yang memeriksa sepintas lalu segera menemukan bahwa isi kitab itu hanya terdiri dari tiga jurus serangan belaka, semuanya merupakan jurus-jurus serangan yang dilakukan baik ada kesempatan maupun tidak ada kesempatan, baik menyerang secara halus maupun kekerasan, tetapi yang diarah semuanya merupakan tempat-tempat penting di tubuh manusia, serangan tidak terbatas pada kepalan belaka, tapi mencakup pula menyerang dengan telapak, dengan bacokan maupun dengan totokan jari. JILID 18: Rasa Cinta Pek Kun Gie SEMAKIN memperhatikan isi kitab itu Hoa Thian-hong semakin kesemsem hingga akhirnya ia mengulangi lagi dari permulaan, sambil mempelajari diam-diam diapun mulai meraba inti sari dari pelajaran tersebut. Entah lewat berapa saat lamanya, Hoa In muncul kembali di dalam kamar itu, ketika melihat pemuda tersebut belum tidur ia lantas menegur, "Hari sudah pagi waktu menunjukkan kentongan kelima, apakah Siau Koan-jin belum tidur?"" "Ehmmm, ayam toh belum berkokok" "Ayam telah berkokok sejak tadi..." Hoa In dekati meja dan bertanya kembali, "Ilmu silat apakah itu" Berguna tidak bagi Siau Koan-jin....?"" "Oooh.... suatu ilmu aliran silat yang luar biasa hebatnya...." Melihat pemuda itu sedang kesemsem Hoa In-pun tidak berani mengganggu kembali, ia sediakan air teh lalu menyingkir ke samping untuk bersemedhi. Ketika fajar telah menyingsing, pelayan muncul menghidangkan air teh. Tetapi perhatian Hoa Thian-hong masih tetap terjerumus di dalam ilmu silat, hingga akhirnya kepada Bong Pay ia berkata. "Bong toako, bukankah gurumu telah meninggal dunia hingga toako tiada orang yang memberi petunjuk" ilmu silat yang di miliki pengurus perkampunganku ini didapati dari leluhurku, bila kau punya kegembiraan tak ada salahnya bila minta petunjuk darinya." "Bakatku tidak bagus, watakku berangasan. dan tidak sabaran, aku takut pengurus tua merasa tidak sabar untuk memberi petunjuk kepadaku." "Bocah ini jujur dan gagah," pikir Hoa In dalam hati," bila aku bisa mendidiknya secara baik-baik. akhirnya ia akan menjadi seorang pembantu yang baik buat Siau Koan-jin." Agaknya semua persoalan yang ia pikirkan hanya ditujukan demi kebaikan majikan mudanya. berpikir sampai disana dengan senang hati ia lantas berkata, "Engkoh cilik. asal kau mau belajar akupun dengan senang hati akan menurunkan kepandaian silatku padamu." Hoa Thian-hong jadi sangat girang mendengar perkataan itu, ujarnya, "Selama berkelana di dalam dunia persilatan, ilmu silat adalah merupakan senjata yang paling ampuh, setiap saat kemungkinan besar kita bisa dikerubuti oleh musuh dalam jumlah yang lebih banyak, mari kita mulai berlatih sekarang juga, jangan sampai membuang waktu dengan percuma" Itu hari kecuali di tengah hari pergi 'lari racun', sepanjang waktu Hoa Thian-hong mengurung diri di dalam kamar sambil mempelajari ketiga jurus serangan, ampuh itu, setelah dipertimbangkan berulang kali akhirnya ia ambil keputusan, ilmu tadi baru akan diwariskan kepada Bong Pay setelah ia dapat menguasai kepandaian tersebut. Malam harinya rombongan melanjutkan perjalanan tinggalkan kota Wi-Im menuju ke selatan, seperti semula keempat puluh orang pengawal golok emas berangkat lebih duluan dan menanti di kota paling depan, sedang Jin Hian serta Hoa Thian-hong sekalian enam orang menyusul dari belakang. Rantai besi yang didapatkan dari leher Bong Pay itu oleh Hoa In telah dibikinkan sebilah pedang raksasa yang amat besar, ketika Hoa Thian-hong menjajal senjata tersebut terasalah olehnya meski tidak seberat pedang baja miliknya yang hilang di markas besar perkumpulan Sin-kie-pang, tetapi benda itu secara paksa masih dapat menahan getaran tenaga dalamnya hingga tidak sampai Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo patah. Hari itu tibalah mereka di kota Ko-Yu dan bermalam disitu. Bong Pay dengan berlagak hendak membeli barang di kedai, seorang diri ternyata telah menyusup ke dalam kuil 'Tiong-goan-koan' milik perkumpulan Thongthiankauw, karena para jago lihaynya telah ditarik pulang semua ke kota Lang-An ditambah pula rasa dendamnya yang berkobar-kobar, setelah melepaskan semua perempuan yang disekap di dalam kuil itu, di tengah hari bolong ia segera melepaskan api dan membakar pula kuil itu hingga hancur sama sekali. Menanti Hoa Thian-hong mengetahui kejadian ini, sudah tak sempat lagi baginya untuk mencegah perbuatan itu. Melihat kenyataan bahwa dendamnya dengan pihak Thong-thian-kauw kian hari kian bertambah dalam hati pemuda itu hanya bisa mengeluh sambil tertawa getir. Suatu senja rombongan Jin Hian sekalian telah menyeberangi sungai Tiangkang dan menginjakkan kakinya di wilayah Kanglam suasanapun seketika berubah sama sekali. Tampak Cu Goan-khek, Seng Sam Hau. Siang Kiat serta seluruh jago yang terpandang dalam perkumpulan Hong-im-hwie hadir semua jadi satu rombongan, di samping itu terdapat pula lima puluh orang jago lainnya termasuk keempat puluh pengawal golok emas maka rombongan Hong-im-hwie yang berkumpul ditepi sungai meningkat jumlahnya jadi beberapa ratus orang. Setelah mendarat barisan berangkat memasuki kota Ceng-kang-shia, suara derap kaki kuda yang ramai bergema bagaikan guntur di tengah hari, pasir dan debu beterbangan memenuhi angkasa seolah-olah medan pertempuran yang sedang melangsungkan pertumpahan darah. Hoa Thian-hong bertiga yang berada diantara rombongan besar itu merasakan dirinya bagaikan sebuah sampan kecil di tengah amukan ombak, sekalipun nyali pemuda itu amat besar tak urung gelisah juga dibuatnya. Setelah masuk ke dalam kota, pasukan besar perkumpulan Hong-im-hwie itu behenti di depan sebuah bangunan rumah yang besar dan megah, semua orang loncat turun dari kuda dan mengiringi Jin Hian masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba Jin Hian menghentikan langkahnya, kepada para pengiring disisinya ia berseru, "Hoa kongcu akan ditempatkan dimana?" "Lapor toako" sahut seorang pria setengah baya, "siauwte mengosongkan ruang barat tempat itu sengaja kami sediakan untuk Hoa Kongcu.." Jin Hian mengangguk, sambil berpaling ke arah Hoa Thian-hong ujarnya, "Loo-te, bila pelayanan kurang memadai harap kau suka secara langsung mencari aku." "Terima kasih atas perintahmu!" Seorang pria baju hijau segera maju dan memberi hormat ujarnya, "Hoa kongcu, silahkan ikut diriku menuju ke ruang barat untuk beristirahat....!" Hoa Thian-hong memberi hormat kepada Jin Hian lalu mengikuti di belakang pria tadi menuju ke ruang barat, disana empat orang pelayan perempuan telah siap menyambut kedatangannya. "Aku bernama Lie Sim" ujar pria baju itu memperkenalkan diri, "aku mendapat tugas untuk melayani kongcu. bila kau ada permintaan harap kongcuya suka sampaikan kepadaku" "Terima kasih!" Lie Sim memberi hormat dan mengundurkan diri dari ruang barat. Ruangan itu merupakan sebuah bangunan yang tersendiri, bangunannya luas dengan suasana yang tenang, setelah memandang sebentar sekitar tempat itu Hoa In berkata, "Rupanya Jin Hian akan berdiam agak lama ditempat ini, kalau ditinjau dari sikapnya mungkin ia tiada maksud untuk meneruskan perjalanannya menuju ke selatan" Melihat kakek itu murung bercampur kesal, Hoa Thianhong segera menghibur. katanya, "Persoalan ini merupakan suatu masalah besar yang akan merubah situasi di dalam dunia persilatan, banyak sekali masalah yang pelik tercakup dalam soal itu dan tidak dipahami oleh kita, tetapi toh kita sudah sampai disini, marilah kita hadapi setiap perubahan dengan sikap tenang tak perlu kita terlalu merisaukan akan soal ini" "Aku amat merisaukan keselamatan dari Siau Koanjin," Hoa Thian-hong tersenyum. "Berjuang demi menegakkan keadilan ibaratnya bekerja sebagai pengawal barang kiriman. setiap hari harus bergelimpangan di ujung senjata dan adu kepalan, soal bahaya sudah bukan kejadian yang asing lagi bagi manusia macam kita ini" Ia berhenti sebentar untuk tukar napas, lalu berpaling tampaknya, "Bong toako, siaute mempunyai tiga jurus ilmu totokan, bagaimana kalau kita pelajari secara bersama?" Dengan cepat Bong Pay menggeleng. "Sebelum pertemuan besar Pek Beng Hwee, suhu secara terburuburu telah turunkan ilmu kepandaian andalannya 'Pek Lek-ciang' kepadaku itu waktu usiaku masih terlalu kecil dan dasarku amat cetek ditambah pulu otakku bebal, sekalipun secara dipaksakan aku masih ingat permainan ilmu telapak itu namun belum pernah kepandaian tadi kupelajari secara baik. setelah mendapat petunjuk dari pengurus tua beberapa hari belakangan ini pikiranku terasa bertambah terbuka, aku ingin melatih dulu ilmu telapak milik suhuku sehingga matang, kemudian baru mempelajari ilmu silat yang lain." "Rangkaian ilmu telapak itu merupakan kepandaian ampuh dari Pek-lek-sian, sewaktu dia berkelana dan angkat nama di dalam dunia persilatan" sambung Hoa In cepat, "bila ilmu tersebut bisa dilatih hingga mencapai puncak kesempurnaan, sama saja kau bisa menjagoi kolong langit tanpa tandingan menurut penilaianku memang sudah sepantasnya kalau ilmu silat dari perguruan sendiri dilatih dulu sampai matang." Hoa Thian-hong mengangguk, ujarnya kemudian, "Mara bahaya setiap kali akan muncul dijalan sebelah muka, kita harus berusaha sekuat tenaga untuk mencegah jangan sampai peristiwa dalam pertemuan Pek Beng Hwe terulang kembali, mari kita gunakan waktu sebaik-baiknya untuk menggembleng diri!" "Tapi dengan andalkan kita beberapa orang....." tetapi setelah dilihatnya raut wajah majikan kecilnya menunjukkan kebulatan tekadnya, ucapan yang telah meluncur keluar segera ditelan kembali. Dalam ruang barat tersedia empat orang pelayan perempuan yang khusus untuk melayani kebutuhan beberapa orang itu, Hoa In memandang majikannya bagaikan barang mustika, semua keperluannya masih tetap dilayani sendiri olehnya, selesai bersantap Hoa Thian-hong mengunci diri kembali di dalam kamar untuk mendalami ilmu 'Ci Yu Jit Ciat' sedang Bong Pay di bawah mengawasi Hoa In berlatih ilmu telapak diluar halaman. Meskipun pelayan tua itu tidak mengerti akan jurus silat dari ilmu telapak Pek-Lek-ciang, namun dengan pengetahuannya yang luas setiap kali Bong Pay mengalami kesulitan ia dapat memecahkannya secara jitu. Ketika senja telah menjelang dan ketiga orang itu sedang bersantap, tiba-tiba Lie Sim datang melapor katanya ada orang mohon bertemu. Setelah menanyakan raut wajah tamunya, Hoa Thianhong buru-buru munculkan diri di depan pintu untuk menyambut kedatangan tamunya. Yang datang berkunjung semuanya terdiri dari tiga orang- mereka adalah Ciong Lian-khek, Chin Giok-liong serta seorang tauto jubah putih berikat kepala perak. Ciong Lian-khek dengan pedang tersoren di punggung ujung baju sebelah kosong kegagahannya masih nampak seperti sedia kala, Cuma sorot matanya memancarkan cahaya berapi api, seakan-akan ia sedang merasa amat gusar. Hoa Thian-hong segera memburu maju ke depan dan memberi hormat kepada Ciong Lian-khek. Jago buntung itu menahan badannya sambil berseru, "Mari kita berbicara di dalam kamar saja" Hoa Thian-hong mengangguk dan menoleh ke arah tauto tua berambut putih itu, sambil memberi hormat katanya, "Toa suhu, baik-baikkah kau" boanpwee mengira kau si orang tua telah meninggalkan diriku" Tauto berambut putih itu tertawa ramah. "Akupun merupakan salah seorang rekan dari mendiang ayahmu, setelah kau punya keberanian untuk menghadapi kekacauan di depan mata, kenapa aku musti sayang dengan rongga badanku yang kosong ini?"" Hoa Thian-hong tersenyum, ia gandeng tangan Chin Giok-liong dan naik ke atas undak-undakan, mereka berpandangan sambil tersenyum, semua rasa kangen seketika lenyap dalam senyuman itu. Setelah semua orang ambil tempat duduk Hoa In mengamat amati tauto berambut putih itu beberapa kejap, tiba-tiba teriaknya dengan suara keras, "Eeei....toa suhu, bukankah kau adalah Cu In Taysu?"" "Sedikitpun tidak salah. aku adalah Cu In" sahut Tauto tua itu sambil tertawa, "Loo Koan-kee (pengurus tua) ilmu sakti Sau-yang-ceng-kiemu sudah hampir memadahi kehebatan dari Hoa Tayhiap tempo dulu, hal ini patut dibanggakan dan dipujikan." "Aaaat, hamba telah tua," sambil berkata pengurus she-Hoa itu melirik sekejap ke arah Hoa Thian-hong, secara lapat-lapat, wajahnya terlintas rasa murung yang mendalam. Cu In Taysu termenung beberapa saat lamanya. Tibatiba ia menghela napas dan berkata pula, "Melihat kau berdiri di belakang keponakan Hoa tanpa terasa terbayang kembali olehku akan Hoa Taybiap dimasa yang silam, waktu itu dimana kalian berdua muncul Hoa Tayhiap bagaikan rembulan di langit, memberikan suasana tenang dan damai bagi setiap orang, kau yang berdiri di belakangnya menunjukkan sikap yang gagah dan berwibawa. Kini justru keadaan itu malah sebaliknya, majikan mudamu ini kokoh dan kebal laksana sebuah bukit. sebaliknya kau berwajah murung, kesal dan tidak tenteram. Aaaai..." Helaan napas itu mengandung arti yang sangat mendalam, tiba-tiba ia membungkam. Teringat akan majikannya, Hoa In tertunduk dengan wajah sedih. sambil menghela napas katanya, "Kejadian yang telah lampau tak akan kembali lagi, meskipun Siau Koan-jin memiliki kecerdasan yang luar biasa, lapi betapa hebatnya musuh yang harus dihadapi, mungkinkah dengan tenaga kita beberapa orang keadilan bila ditegakkan kembali" dan dia,." ternyata tak mau mendengarkan nasehatku.." Diam-diam Hoa Thian-hong mengamati raut wajah semua jago. Ia lihat Cu In Taysu menunjukkan raut wajah yang sedih, Ciong Lian-khek tenang bagaikan air telaga, sedikitpun tidak menunjukkan perubahan apapun. Chin Giok-liong juga tenang dan alim bahkan Bong Pay yang biasanya binalpun saat itu bungkam dalam seribu bahasa. Tanpa terasa ia lantas berpikir di dalam hati, "Masa depan amat suram. mereka semua tidak mempunyai rasa percaya pada diri sendiri, tapi karena aku seorang meski tahu bukan tandingan mereka paksakan diri untuk muncul pula di gelanggang, sikap ini walaupun patut dihargai tetapi berjuang tanpa semangat darimana bisa menyelesaikan persoalan?"" Kendati dalam hati merasa kesal tapi perasaan itu tidak sampai diperlihatkan ditempat luaran, sambil tertawa nyaring ujarnya, "Hoa In, bukankah tempo dulu kau adalah sahabat karib dari Toa suhu ini,kenapa sewakiu berjumpa muka di tengah jalan tempo hari, kalian telah saling bertempur?"" "Dahulu kepala taysu gundul kelimis dan kini memelihara rambut, dulu senjata yang dipergunakan adalah toya Pat-Poo sian-ciang sedang kini yang dipakai adalah senjata sekop bergigi. dulu sekarang bagaikan dua orang yang berbedi, dari mana aku bisa ingat?"" Cu In Taysu tertawa sedih. "Sejak bertempur di Pak Beng, sahabat karib dan rekan2 seperjuangan banyak yang mati binasa, aku yang berhasil melepaskan diri dari maut sungguh merasa tak punya muka untuk hidup sebagai manusia" Mendengar pembicaraan yang berlangsung selalu Ikat Pinggang Kemala 8 Pendekar Rajawali Sakti 30 Warisan Berdarah Tengkorak Maut 5