Bara Maharani 14
Bara Maharani Karya Khu Lung Bagian 14 berat sekali. Ang Yap Toojin amat terperanjat, tanpa berpikir panjang dia segera enjotkan badan dan melayang ke tengah udara, laksana anak panah yang terlepas dari busnrnya ia menerjang keluar dari ruangan itn lewat atas kepala manusia aneh tadi. Terdengar manusia aneh itu tertawa seram. "Heeeh.... heeeh.... kau anggap bisa berlalu dari sini dengan begitu saja?" Pedang baja ditangannya disodok lalu di tebas ke bawah, di tengah jeritan kesakitan sepasang kaki Ang Yap Toojin seketika kutung jadi dua, darah dan daging berhamburan ke atas tanah, tubuh iman tersebut dengan sepasang kaki yang kutung langsung muluncur keluar dari ruangan dan terhempas ke atas tanah.Pada dasarnya luka dalam yang diderita iman tersebut belum sembuh, sekarang setelah mendapat luka baru lagi, ia jatuh tak sadarkan diri. Hoa Thian-hong sendiri merasa sangat terkejut setelah menyaksikan peristiwa itu, dia lupa akan luka pedang yang dideritanya.... lewat beberapa saat kemudian pikirannya baru bisa ditenangkan, sambil tertawa paksa serunya engkau, telah berhasil mengelesaikan masa penderitaanmu selama sepuluh tahun" Kiranya manusia aneh itu bukan lain adalah kakek telaga dingin Giu It Bong yang selama ini dikurung dalam markas besar perkumpulan Sin-kie-pang, saat itu dia mengenakan sebuah jubah pendek berwarna biru, pinggangnya terikat seuntai tali serat yang kecil sedang raut wajahnya menunjukkan kegembiraan yang amat tebal. Kakek telaga dingin Ciu It-bong mengerutkan alisnya lalu tertawa terbahak-bahak, tidak melihat ia menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu manusia aneh itu sudah berada dihadapan Hoa Thian-hong, sambil ayun pedang bajanya ia menegur dengan suara lantang, "Bocah keparat! Sekarang kau masih bernama Hong-po Seng ataukah bernama Hoa Thian-hong?" Pemuda itu tersenyum. "Aku telah pulihkan kembali raut wajah asliku, tentu saja bernama Hoa Thian-hong" Setelah berhenti sebentar, dengan wajah serius ia melanjutkan, "Terima kasih atas bantuan dari Loocianpwe, berkat pertolongan itu boanpwee telah telah berhasil menyelamatkan raut wajahku ini!" Kakek telaga dingin Ciu It-bong mendengus dingin. "Hmmm....! Selamanya aku tak sudi menolong orang tanpa mengharapkan imbalan siapa tahu kalau justru karena pertolonganku ini maka engkau akan ketimpa bencana?" Hoa Thian-hong tertawa. "Sudah banyak gelombang dahsyat dan angin topan yang kuhadapi, terhadap keselamatan pribadiku aku sudah memandang terlalu tawar.... kau tak usah menakut-nakuti diriku lagi, aku bukan orang yang jeri menghadapi bencana...." serunya. Tiba-tiba dadanya terasa sakit, ia segera tundukkan kepalanya, tampaklah luka bacokan didadanya mencapai lima cun dalamnya, meskipun tidak sampai melukai tulang tetapi darah segera mengalir keluar tiada hentinya, sebentar saja separuh bagian bajunya telah basah kuyup dengan darah. Dengan wajah mengejek kakek telaga dingin Ciu Itbong tertawa seram, akhirnya dia angkat jari tangannya menotok beberapa buah jalan darah di atas dada pemuda itu, darah yang mengalir keluar dari mulut lukapun segera jauh berkurang. "Waah.... merepotkan loocianpwee...." seru Hoa Thianhong sambil tertawa. Kakek telaga dingin Ciu It-bong melototkan sepasang matanya bulat-bulat, dari sikapnya seakan-akan menunjukkan bahwa ia segan untuk turun tangan menolong pemuda itu, tapi sebentar kemudian ia berubah pikiran, tidak menunggu pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, ia telah membuka pakaian pemuda tadi lalu mencabutkan pula jarum jarum perak yang mengunci jalan darahnya. Meskipun jarum itu menancap di dalam daging, tapi bagi Ciu It-bong seorang jago lihay yang punya tenaga besar, tindakan itu dilakukan gampang sekali, dalam waktu singkat ketiga batang jarum perak yang mengunci jalan darahnya itu sudah dicabut semua. Buru-buru Hoa Thian-hong duduk bersila di atas tanah kemudian mengatur pernapasan dan pulihkan kembali tenaga dalamnya. "Bajingan cilik!" terdengar kakek telaga dingin Ciu Itbong menegur dengan suara kasar, "apakah Pek Kun-gie sudah kau bunuh?" "Loocianpwee, kau tidak merasa pertanyaanmu itu kau ajukan dengan percuma...." Kakek telaga dingin Ciu It Beng mendengus dingin, ia ulurkan tangannya ke depan dan serunya kembali, "Mana pedang emas itu" Berikan kepadaku!" Hoa Thian-hong tertawa. "Pedang emas itu belum berhasil kudapatkan, tapi sudah kudengar kabar berita mengenai senjata mustika itu, kemungkinan besar pada bulan tujuh tanggal lima belas nanti dikala pertemuan besar Kian ciau Tay hwee diselenggarakan, pedang emas itu akan muncul kembali di depan umum!" Kakek telaga dingin Ciu It-bong mendengus, dia cengkeram bahu si anak muda itu dan bentaknya dengan suara dalam, "Ayoh mengaku terus terang! pedang emas itu sudah terjatuh di tangan siapa?" "Aku sendiripun tak tahu begitu pasti," jawab Hoa Thian-hong sambil menggertak gigi menahan rasa sakit dibahunya, "sebelum saatnya tiba, aku tak berani bicara secara Sembarangan" "Kau berani mempermainkan aku?" teriak Ciu It-bong teramat gusar, kelima jarinya mencengkeram semakin kencang. Hoa Thian-hong yang tulang bahunya dicengkeram keras-keras-keras merasa sekujur badannya jadi sakit hingga keringat dingin mengucur keluar tiada hentinya, darah segar yang menyembur keluar dari mulut, luka didadapun memancar semakin deras. Buru-buru bentaknya keras, "Lepas tangan." Kakek telaga dingin Ciu It-bong mengendorkan cengkeramannya, kemudian berseru, "Ayoh cepat jawab, pedang emas itu terjatuh di tangan siapa?" ooooOoooo PEDANG emas itu berada di tangan Thian Ik tosu tua itu, kau punya kemampuan untuk merampasnya kembali?" teriak Hoa Thian-hong dengan gusar. "Dari mana kau bisa tahu?" seru Ciu It-bong dengan sepasang mata melotot bulat. "Hmmm mau percaya atau tidak terserah kepadamu, kalau engkau merasa tidak percaya pergilah menghadap Thian Ik tosu tua itu dan tanyakan sendiri kepadanya, coba lihat apa yang dia jawab!" Ciu It-bong tersenyum. "Thian Ik sihidung kerbau itu sedang repot karena ingin mengawasi putri sulungnya Pek looji, sekarang dia tak ada waktu luang, mau bertanya nanti saja kita baru menghadapi" Air muka Hoa Thian-hong berubah hebat, dia loncat bangun dari atas tanah dan teriaknya . "Loocianpwee, mari cepat kita kesana!" "Hmmm! budi kebaikan apa sih yang telah diberikan Pek Siau-thian kepadamu?" jengek Ciu It Boog dengan suara dingin, "toh yang ketimpa urusan adalah putrinya Pek Loji" Kenapa kau musti gelisah macam begitu?" "Pek Soh-gie adalah seorang gadis yang halus, berbudi dan baik hati, kita tak boleh berpeluk tangan belaka membiarkan dia ketimpa malang....!" Ciu It-bong kontan tertawa dingin sualah mendengar parkataan itu. "Heehh.... heeehhh.... heehhh.... Pek Siau-thian tidak setia kawan, setelah melihat barang pusaka, memenjarakan diriku selama se puluh tahun lamanya, untuk membalas dendampun tak sempat, kenapa aku musti menolong putrinya" haaah.... haaaah.... haaah justru aku malah gembira sekali melihat dia akan menerima pembalasan.... Hmm! aku bu kan anak jadah yang tak punya otak, segan aku untuk menolong gadis itu!" "Hmmm! akupun terlalu goblok" seru Hoa Thian-hong dengan gusar, "sepantasnya kalau aku menyadari bahwa engkau bukan manusia budiman yang bisa diajak kompromi.... bicara dengan engkau sama halnya memetik khiem di depan kerbau!" Sebagai penutup kata, tangannya langsung menyambar pedang baja di tangan orang. Ciu It-bong tarik kembali pedang bajanya ke belakang dan berseru, Eeei, perkataanmu tak bisa dipercaya, enghiong hoohan macam apakah dirimu itu?" "Sejak kapan aku mengingkari perkataan ku sendiri?" teriak Hoa Thian-hong dengan penuh kegusaran, hatinya gelisah sekali karena ingin menolong kesucian dari Pek Soh-gie. Rupanya Ciu It-bong sengaja henkak mengulur waktu, setelah tertawa mengejek, jawabnya perlahan-lahan, "Bukankah kau telah menyanggupi untuk membunuh Pek Kun-gie...." "Aku punya keinginan tapi tenaga tak memadahi, apa yang musti kulakukan?" "Dan kaupun pernah berjanji akan carikan pedang emas untuk menolong aku lepas dari kurungan...." Hoa Thian-hong semakin gelisah, serunya, "Pedang emas itu belum berbasil kudapatkan!" "Setahun demi setahun dilewatkan dengan begitu saja, seharusnya kau pergi kesitu dan menjenguk mati hidupku!" "Aku tidak sebebas seperti apa yang kau bayangkan!" bentak sang pemuda itu sambil meraung gusar, habis berkata dia loncat ke depan siap menerjang keluar dari pintu. Ciu It-bong putar pedang bajanya menciptakan sekilas cahaya tajam yang menyilaukan mata, begitu dahsyat setangan itu memaksa Hoa Thian-hong harus membatalkan maksudnya dan menghentikan gerakan tubuhnya secara paksa. Kegusaran yang berkobar dalam dada Hoa Thian-hong sukar dibendung lagi, dengan wajah mendongkol teriaknya, "Kalau engkau tak mau tolong orang, akupun tidak memaksa, tapi tidak sepantasnya kalau engkau menghalangi jalan pergiku...." "Haaah.... haaah...." Ciu It-bong tertawa terbahakbahak, "inilah hukuman yang ditimpahkan Thian kepada Pek Siau-thian, kau harus tahu bahwa ilmu silatmu masih terlalu cetek, kau masih bukan tandingan dari Thian Ik si hidung kerbau itu.... percuma saja engkau pergi kesitu, sebab paling banter jiwamu ikut melayang.... Hmmm....Hmmm.... apa kau anggap puterinya Pek Siauthian bisa ditolong?" Hoa Thian-hong merasa darah panas dalam rongga dadanya bergolak keras setelah membayangkan bahwa Pek Soh-gie seorang gadis yang berhati mulia sebentar lagi bakal dinodai oleh seorang tosu siluman secara brutal, ia tak dapat menahan diri lagi, sambil membentak keras telapak kirinya diayun kemuka nelancarkan sebuah pukulan dengan jurus Kun-siu-ci-tauw. Kakek telaga dingin Ciu It-bong jadi bergirang hati melihat pemuda lawannya menyerang dengan menggunakan jurus ajarannya, ia berseru sambil tertawa, "Bagus sekali!" Sambil melepaskan pedang bajanya, ia sambut datangnya serangan itu dengan jurus Kun-siu-ci-tauw pula. Sepasang telapak saling membentur satu sama lainnya menimbul-kan suatu ledakan yang amat keras, Ciu Itbong segera mengepos tenaga dan hawa pukulannya yang sebesar tujuh bagian kontan menggulung keluar dengan hebatnya. Dalam keadaan begini Hoa Thian-hong tidak punya minat untuk bertarung melawan, dirinya, ketika suasana jadi tegang mendadak ia menggetarkan pergelangannya dan memunahkan daya tekanan seberat beberapa ribu kati itu hingga lenyap tak berbekas, meminjam kesempatan itu tubuhnya melesat ke tengah udara membentuk gerakan busur kemudian meluncur keluar dari balik ruangan itu. "Keparat licik!" teriak kakek telaga dingin Ciu It-bong setengah menjerit, ia sambar pedang bajanya lalu mengejar dari belakang. Hoa Thian-hong mengenjotkan badannya di atas tanah, setelah melirik sekejap ke arah Ang Yap Toojin yang kakinya telah kutung dan baru saja mendusin dari pingsannya itu, bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya dia lari keluar dari tempat itu. Para imam penjaga penjara telah roboh tertotok jalan darahnya oleh Ciu lt Bong, pintu terali besi terbentang lebar dan seakan-akan sama sekali tak ada penjaganya, Hoa Thian-hong segan memeriksa tempat itu dengan teliti, bagaikan hembusan angin dalam sekejap mata ia sudah menerjang keluar dari rumah penjara. Sementara itu fajar telah menyingsing dan seluruh jagad terang benderang oleh sinar sang surya yang berwarna keemas-emasan, Hoa Thian-hong menghembuskan napas panjang lalu menengadah dan bersuit nyaring, dengan tangan kanan ia tekan mulut Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo luka didadanya, kemudian setelah menentukan arah dia meluncur ke arah sebuah bangunan loteng yang megah. Kakek telaga dingin Ciu It-bong menggunakan pedang baja itu sebagai pengganti tongkat, tubuhnya bergerak bagaikan hembusan angin dan menguntit terus di belakang Hoa Thian-hong dengan ketat. Sewaktu mendengar suitan nyaring itu, ia tertawa dan segera menegur, "Hey bocah cilik, tenaga dalammu telah mendapat kemajuan yang amat pesat, apakah hasil dari teratai beracun itu?" "Benar! hasil dari teratai racun empedu, tapi...." Ia berpaling sekejap ke belakang, lalu berpikir, "Rupanya pedang bajaku dipergunakan sebagai pengganti tongkat, tidak aneh kalau ia tak mau mengembalikan kepadaku" Sementara itu Ciu It-bong sudah berkata lagi sambil tertawa keras, "Hey bocah cilik, aku dengar katanya Teng Hujtn telah berhasil kau gaet sehingga tergila-gila kepadamu, kenapa sekarang menaruh perhatian pula terhadap Pek Soh-gie?" Merah jengah selembar wajah Hoa Thian-hong, dengan gusar bentaknya, "Kentut busukmu!" Meskipun sudah tua, Ciu It-bong selamanya tak tahu adat, maka ucapan yang diutarakan Hoa Thian-hong terhadap dirinyapun kian lama kian bertambah kasar dan tak sopan. "Hoa Thian-hong, berhenti!" tiba-tiba terdengar suara bentakan keras berkumandang. Bersamaan dengan bentakan tersebut, dari arah depan muncullah seorang tosu cilik berbaju merah, rupanya tosu cilik itu tahu akan kelihayan lawannya, sebelum tiba dihadapan pemuda itu pedangnya telah dicabut keluar dari sarungnya. Hoa Thian-hong menatap tajam raut wajah orang itu, dengan cepat dia dikenali kembal iimam cilik itu sebagai salah satu diantara delapan imam cilik baju merah yang memainkan barisan Kan Lee Kian tin. Dalam hati segera pikirnya, "Thian Ik tosu tua itu merupakan salah satu diantara pembunuh ayahku, cepat atau lambat aku pasti akan melangsungkan petarungan secara terbuka dengan dirinya, barisan pedang Kan Lee Kian tin tersebut luar biasa hebatnya, aku harus mematahkan lebih dahulu sebuah kaki dari barisan itu...." Setelah ingatan tersebut berkelebat dalam benaknya, ia segera keraskan hati dan ayunkan telapak kirinya siap melancarkan serangan. Gerakan tubuh imam kecil baju merah itu cepat bagaikan hembusan angin, dalam sekejap mata telah tiba di depan mata. ketika dilihatnya Hoa Thian-hong tidak menghentikan langkah kakinya, ia segera membentak gusar, pedangnya laksana kilat ditusuk ke arah ulu hatinya. Setelah kemarin malam jatuh kecundang di tangan orang, sampai ini hari rasa mendongkol dalam hati Hoa Thian-hong masih belum tersalur keluar, ia segera mendengus dingin, sepasang kakinya merendah ke bawah dan tubuhnya bergeser dua depa ke samping pinggang digoyang-kan dan telapaknya langsung menggaplok punggung lawan. Baru saja imam cilik baju merah itu merasakan tusukan pedangnya mengenai sasaran kosong, tiba-tiba ia merasa munculnya segulung daya tekanan yang maha berat menumbuk punggungnya, hal ini membuat ia jadi terperanjat. Dalam gugup dan gelisahnya, cepat-cepat ia gulingkan badannya ke atas tanah dan meloloskan diri dari hantaman telapak pemuda itu. Kakek telaga dingin Ciu It-bong tertawa dingin, ejeknya, "Huuh....! Kepandaian mu masih belum sempurna. Sambil berkata dengan seenaknya saja dia lancarkan sebuah pukulan menghantam punggung imam cilik baju merah itu Blaaam....! di tengah benturan keras, punggung si iman cilik baju merah itu terhajar telak oleh serangan tersebut, seketika itu juga jantungnya tergetar putus dan berhenti berdetak, sambil menjerit ngeri, binasalah iman itu seketika itu juga. Kedua orang itu menggunakan gerakan serangan yang sama, bedanya bukan terletak pada enteng atau beratnya tenaga pukulan juga bukan tercepat atau lambatnya serangan, melainkan terletak pada kesempurnaan tenaga dalamnya serta ketepatan dalam melakukan serangan. Ketika melancarkan pukulan tadi, bukan saja Ciu Itbong bisa mengatur waktunya dengan tepat bahkan arah yang dituju serta saat mengirim pukulan bisa diatur sedemikian rupa sehingga waktu serangan tersebut dilancarkan maka sulit bagi lawannya untuk menghindarkan diri atau melarikan diri dari sana. Hoa Thian-hong kagum sekali terhadap ilmu silat yang dimiliki Ciu It-bong, ketika menyaksikan kakek itu melayang di udara dengan begitu enteng, segera serunya, "Heh, jangan keburu bangga dulu, hati-hati kalau sampai ditertawakan orang...." selesai berkata, ia lanjutkan kembali gerakan tubuhnya meluncur ke arah depan. Beberapa saat kemudian sampailah pemuda itu di depan sebuah bangunan loteng yang tinggi, di depan loteng itu terpancang sebuah papan nama yang bertulisan: Yang sim tiam, tiga huruf besar terbuat dari emas, ke tempat inilah Pek Soh-gie dibawa oleh kawanan iman baju merah kemarin malam. Sementara ia masih celingukan, dari balik ruang loteng tiba-tiba muncul kembali serombongan iman cilik baju merah, dengan senjata terhunus mereka lari keluar dari ruangan dan langsung mengepung si anak muda itu.... Hoa Thian-hong tidak memberi waktu bagi iman-imam cilik tersebut untuk menyusun barisan pedangnya lagi, dia ikut menerjang ke depan dan langsung melancarkan sebuah pukulan ke arah seorang iman kecil yang berada dipaling depan, bentaknya, "Thian Ik-cu, cepat gelinding keluar dari sarangmu! Ciu It-bong telah datang untuk menagih pedang emas!" "Bajingan yang tak tahu diri!" bentak iman cilik baju merah yang lari mendekat lebih dahulu itu dengan suara gusar, "tahukah engkau tempat apakah ini" Siapa suruhn kamu berteriak seenaknya sendiri?" Sementara pembicaraan masih berlangsung kedua belah pihak telah melakukan pertempuran sebanyak dua puluh jurus lebih, Hoa Thian-hong menyumbat pintu keluar istana itu dan tidak membiarkan pihak lawannya sempat mengatur barisan pedang. Tujuh orang imam cilik baju merah itu segera mengepung Hoa Thian-hong rapat-rapat, namun setelah kehilangan daya tekanan dari barisan Kan Lee Kiam tin maka untuk beberapa saat lamanya mereka tak mampu berbuat apa-apa terhadap si anak muda itu. Hoa Thian-hong yang harus bertempur melawan tujuh bilah pedang mustika, terpaksa musti mengerahkan segenap tenaganya untuk mempertahankan diri, darah segar yang mengucur keluar dari mulut luka didadanya menyembur semakin deras, dalam keadaan begitu ia harus menutup mulut lukanya dengan tangan kanan, sedang telapak kiri diputar sedemikian rupa menahan serangan dari musuhny. Ciu It-bong yang menonton jalannya pertarungan itu dari sisi lapangan, segera berteriak keras dengan wajah berseri-seri, "Hey, keparat cilik, bagaimana dengan ilmu silat hasil ciptaanku ini....?" Setelah bertempur beberapa saat lamanya hawa amarah yang berkobar dalam dada Hoa Thian-hong makin memuncak, mendengar ucapan itu dia segera meraung keras, "Huuuh.... . cuma menghadapi beberapa orang imam cilikpun tak bisa digunakan dengan baik, kau masih bisa merasa bangga.... tak tahu malu!" Ciu It-bong jadi amat gusar, dia lemparkan pedang baja ditangannya ke arah pemuda itu dan bentaknya, "Hmmm! aku ingin lihat ilmu pedang ajaran bapakmu mempunyai kelihayan sampai di mana!...." Pedang baja yang di sambit ke depan itu laksana anak panah yang terlepas dari busur, diiringi sekilas cahaya hitam langsung meluncur ke arah Hoa Thian-hong. Seorang imam cilik baju merah menghadang di tengah jalan, ketika mendengar datangnya desiran tajam, buruburu ia menyingkir ke samping, tatkala menyaksikan ada sebilah pedang baja sedang meluncur dari sisi tubuhnya tanpa berpikir panjang dia segera lancarkan sebuah babatan. Traaaang....! di tengah suara bentrokan nyaring yang bergema di angkasa, imam cilik baju merah itu merasa lenganya tergetar kaku, cekallan-nya jadi enteng dan tahu-tahu pedang pusaka dalam genggamannya telah patah jadi beberapa bagian, kutungan pedang itu segera tersebar di atas tanah.... Tenaga dalam yang dimiliki Ciu It-bong benar-benar luar biasa sekali, walaupun pedang itu terkena sebuah tangkisan akan tetapi gerakannya sama sekali tidak berubah, seperti sedia kala senjata itu langsung meluncur ke arah Hoa Thian-hong. Dengan cekatan pemuda itu menyingkir ke samping lalu mencekal gagang pedangnya, mengikuti gerakan tadi ia bacok batok kepala seorang imam cilik baju merah yang berada dihadapannya. Serangan yang dilancarkan dengan meminjam sisa tenaga sambitan dari Ciu It-bong ini benar-benar luar biasa sekali, serangan itu meluncur datang dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat. Tak sempat lagi bagi imam cilik baju merah itu untuk menghindarkan diri, dalam keadaan begitu terpaksa ia harus angkat pedangnya sambi1 balas membabat pergelangan tangan lawannya. Walaupun Sin-kie-pang, Hong-im-hwie serta Thongthiankauw sama-sama merupakan perkumpulan kalangan hitam dalam dunia persilatan namun berhubung anggota perkumpulan Thong-thian-kauw seringkali mengganggu anak gadis orang dan melakukan perbuatan-perbuatan yang amoral, maka rasa benci Hoa Thian-hong terhadap mereka jauh lebih tebal daripada terhadap perkumpulan lain, sekarang melihat pihak lawannya balas melancarkan satu sabatan, ia tidak berubah jurus malah mengerahkan tenaga dalamnya makin hebat, pergelangan tangannya ditekan ke bawah dan langsung membacok tubuh iman-imam tersebut. Satu pihak melancarkan satu bacokan ke arah batok kepala lawannya sedang dipihak lain mengebaskan pedang mustikanya membabat pergelangan orang, nampaknya kedua belah pihak akan sama-sama menderita luka, pada saat yang kritis itulah tiba-tiba Hoa Thian-hong menekan pedang bajanya ke bawah dengan kecepatan yang luar biasa ia mendahu1ui musuhnya. "Aduuuh....!" jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang memenuhi angkasa, tubuh imam cilik baju merah itu terbelah jadi dua bagian dan roboh binasa ke atas tanah, darah segar berhamburan di lantai membuat pemandangan terasa memuaskan sekali. Menerima pedang, membinasakan musuh semua gerakan dilakukan dalam sekejap mata dan siapapun tak menyangka kalau dalam detik yang amat singkat pemuda itu mampu membereskan jiwa seorang imam cilik yang lihay. Pedang baja yang berat itu sudah dua tahun lamanya berada di tangan Ciu It-bong, setelah pedang itu terjatuh kembali ke tangan nya tanpa sadar semangat bertempur dari pemuda itu bangkit kembali. Dengan langkah yang lebar ia segera menerjang maju ke depan, pedang baja berputar keempat penjuru.... jurus demi jurus dilancarkan secara gencar mendesak lawan-nya, begitu bersemangat pemuda itu melancarkan serangan hingga tidak sadar kalau darah yang mengucur keluar dari dadanya bertambah deras. Dalam Waktu singkat keenam Orang iman cilik baju merah itu sudah didesak hingga kalang kabut dan tak mampu mempertahankan diri lagi, jangan dibilang untuk mengatur barisan pedang Kan Lee kiam tin, tena-ga untuk melancarkan serangan balasanpun sudah tak dipunyai lagi. Tiba-tiba terdengar Ciu It-bong tertawa dingin, lalu berkata, "Huuuuh....! aku mengira ilmu pedang dari Hoa Goan-siu sampai dimana lihaynya.... ternyata cuma begitu saja!" Sambil menggertak gigi Hoa Thian-hong membungkam dalam seribu bahasa, dengan penuh semangat dia melayani serangan-serangan musuhnya. Ketidak munculan Thong-thian Kaucu selama ini membuat Hoa Thian-hong semakin gelisah, dia kuatir Pek Soh-gie sudah keburu diperkosa oleh iman tua cabul itu, dalam keadaan begini dia cuma berharap bisa cepatcepat bereskan beberapa orang iman cilik itu serta mener-jang masuk ke dalam ruang istana. Tetapi rombongan iman cilik baju merah itu merupakan anak murid yang dididik langsung oleh Thong-thian Kaucu , ilmu silat mereka luar biasa sekali, walaupun dengan adanya pedang ditangan, keadaan dirinya laksana harimau tumbuh sayap, namun untuk membereskan iman- iman cilik itu bukanlah suatu pekerjaan yang gampang. Dalam pada itu empat penjuru disekeliling tempat itu telah dipenuhi dengan para iman yang bersenjata lengkap, mereka bersiap sedia melakukan pertarungan, Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ada pula yang melihat gelagat kurang baik segera masuk keruang istana untuk memberi laporan. Mulut luka di atas dada Hoa Thian-hong merekah makin besar, darah mengalir terus tiada hentinya, namun ia tetap tidak merasa, hal ini membuat Ciu It-bong yang menyaksikan jalannya pertarungan dari sisi lapangan diam-diam mengerutkan dahinya. Ketika itulah dari balik pintu istana Yau sim tian berjalan keluar seorang imam cilik baju merah, sambil mengangkat tinggi-tinggi sebilah senjata Ji gi yang terbuat dari batu kumala hijau serunya dengan suara lantang, "Atas titah dari kaucu, diperintahkan semua murid perkumpulan untuk menghentikan pertempuran, dan mempersilahkan Ciu Loo-cianpwee masuk ke dalam ruangan istana!" Enam orang imam cilik baju merah yang sedang bertempur segera menghentikan serangannya dan loncat mundur ke belakang. Imam cilik yang memegang senjata Ji gi tadi perlahanlahan turun dari undakan batu, setelah memberi hormat kepada Ciu It-bong, ujarnya penuh kesopanan, "Tecu Cing Lian memberi hormat untuk Ciu Locianpwee!" "Kenapa?" teriak Ciu It-bong dengan mata melotot, "sepasang kakiku telah kutung apakah sepasang kaki dari Thian Ik sihidung kerbau itupun juga ikut kutung?" "Tiga orang cosu ya dari perkumpulan kami yang sudah lama mengasingkan diri baru saja berkunjung tiba, saat ini kaucu sedang mendampingi beliau bertiga, karena itu ia tidak bisa menyambut sendiri kedatangan locianpwee, atas kekurangan adat ini harap locianpwee suka memberi maaf!" Ciu It-bong tertawa seram. "Heeehhh.... heeehhh.... heeehhh.... akupun sudah lama mengasingkan diri dan belum lama berselang baru tinggalkan tempat pertapaan, ketiga orang cou su ya kalian itu tak akan membuat diriku jadi gentar" Setelah berhenti sebentar, ia lantas menegur, "Apakah engkau adalah murid didikan langsung dari Thian Ik-cu?" Semua murid baju merah dalam perkumpulan kami adalah murid didikan langsung dari Kaucu" "Hmm! bagus sekali!" seru Ciu It-bong ketus, "aku adalah kenalan lama dari suhu kalian, ayoh cepat carikan sebuah kursi dan perintahkan empat orang imam cilik baju merah untuk menggotong aku masuk ke dalam istana!" Imam cilik yang bernama Cing Lian itu berpikir sebentar, kemudian kepada para imam cilik baju merah yang berada di bawah tangga serunya, Ciu Loocianpwee adalah sahabat karib dari kaucu kita, berhubung gerakgerik dia orang tua leluasa.... harap kalian segera mencari sebuah kursi dan menggotong Loocianpwee ini masuk istana!" "Keparat cilik" teriak Ciu It-bong dengan mata melotot dan wajah menyeringai seram, tajam amat selembar mulutmu itu.... Hmmm! Suatu ketika aku akan suruh engkau menyaksikan sendiri apakah gerak-gerikku cukup leluasa atau tidak" Cing Lian pura-pura tidak mendengar, beberapa saat kemudian sebuah kursi telah disiapkan dan digotong oleh empat orang imam ci lik baju merah, serunya, "Ciu loocianpwee, silahkan duduk!" Ciu It-bong mendengus, ia loncat keudara dan melayang di atas kursi lalu duduk tak berkutik disana. Cing Lian buru-buru membawa jalan dan di bawah gotongan keempat orang imam cilik tersebut berangkatlah mereka masuk keruang istana. Istana Yang sim tian adalah tempat kediaman dari Thong-thian Kaucu , lotengnya bertingkat tiga dan penuh dihiasi aneka lukisan yang indah, bangunan itu begitu megah dan mewah seakan-akan keraton tempat kediaman kaisar, pada setiap pintu masuk serta tikungan strategis, seorang imam berbaju kuning dengan senjata tersoren melakukan penjagaan. Hoa Thian-hong sambil mencekal pedang bajanya mengikuti di belakang orang-orang itu, sebentar saja mereka sudah tiba diloteng tingkat ketiga dan mendekati sebuah ruangan dengan sinar yang redup. Dipintu depan berdirilah dua orang iman cilik baju kuning, ketika melihat munculnya orang-orang itu mereka segera menyingkap horden dan membuka tabir di depan pintu. Cing Lian melangkah masuk ke dalam ruangan, serunya sambil memberi hormat" "Lapor kaucu, Ciu Locianpwee telah tiba!" Thong-thian Kaucu segera munculkan diri di depan pintu, setelah memberi hormat, ujarnya sambil tertawa, "Ciu heng, selama bertemu muka.... maapkanlah pinto kalau aku tak bisa menyabut dirimu dari depan" Ciu It-bong tertawa dingin. "Hidung kerbau tua, besar amat lagakmu!" Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak, dengan sorot mata yang tajam ia menatap sekejap wajah kakek telaga dingin, lalu sambil tertawa serunya, "Ciu neng, panjang amat usiamu.... sungguh mengagumkan! Sungguh mengagumkan!" Ia menyingkir ke samping dan mempersilahkan tamunya masuk, Ciu It-bong mendengus dingin, ujung bajunya berkibar terhembus angin, tubuhnya segera meloncat turun dari atas kursi dan melayang masuk ke dalam ruangan. Hoa Thian-hong diam-diam merasa kagum juga melihat kegesitan kakek aneh itu walaupun anggota badannya tinggal satu yang utuh, tanpa terasa semangatnya berkobar kembali, dengan langkah lebar dia ikut masuk ke dalam ruangan. Jilid 24 : Nenek dewa bermata buta KETIKA sorot matanya membentur dengan sorot mata Thong-thian Kaucu disisi pintu, senyuman dingin segera tersungging di ujung bibir mereka. Suasana dalam ruangan itu sunyi senyap, kecuali Thong-thian Kaucu serta Cing Lian, hanya seorang tosu cilik pemegang pedang saja yang masih ada disana. Ciu It-bong segera duduk di atas sebuah bantal semedi, sambil menatap tajam wajah kaucu itu serunya, Thian Ik-cu, aku dengar di tempat ini sudah kedatangan beberapa orang tua bangka dari Thong-thian-kauw, mengapa tidak kau undang mereka untuk unjukkan diri?" "Hmm.... tidak ada manfaatnya bila kau berjumpa dengan mereka," sahut Thong-thian Kaucu sambil tersenyum. "Hmm! aku si Ciu tua merasa berumur panjang.... kalau engkau tak tahu diri jangan salahkan kalau sahabat lama tak kenal adat. Thong-thian Kaucu tertawa, ia tidak menggubris ocehan manusia aneh itu, sambil berpaling tiba-tiba tegurnya, "Hoa Thian-hong kau celingukan sedari tadi.... apa sih yang sedang kau cari?" "Kau bawa kemana Pek Soh-gie?" bentak pemuda itu sambil melirik sekejap ke arah kedua belah sisi pintu. Thong-thian Kaucu mengerutkan dahinya. "Huuu.... Pek Siau-thian memandang tinggi dirimu, tapi dalam pandangan pun-kaucu, engkau bukanlah seorang manusia yang luar biasa," jengeknya ketus. "Kalau memang begitu, aku menantikan petunjuk darimu!" "Oooh....! jadi kau belum takluk?" "Tentu saja!" Suatu perasaan memandang hina pada lawannya terlintas di atas wajah Thong-thian Kaucu ,ia berkata, "Pek Soh-gie adalah putri sulung dari Pek Siau-thian, aku hendak membunuh atau memperkosa dirinya itu bukan urusanmu dan sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan dirimu, Pek Siau-thian bisa datang untuk bikin perhitungan sendiri dengan diriku. Perkumpulan Sin-kieTiraikasih Website http://kangzusi.com/ pang toh tiada bubungan dengan engkau, sedang Pek Soh-gie pun bukan sanak keluargamu.... kenapa kau musti mencampuri urusan ini?" "Tepat sekali ucapan itu!" teriak Ciu It-bong dengan suara keras, Hoa Thian-hong, budi kebaikan apa sih yang telah diberikan Pek Lo ji kepadamu" Kenapa kau musti kuatirkan bagi keselamatan putrinya" Bila perkumpulan Sin-kie-pang sampai bentrok dengan Thong-thian-kauw bukanlah yang bakal mengeruk keuntungan adalah dirimu sendiri?" Air muka Hoa Thian-hong berubah jadi merah darah bagaikan babi panggang, pikirnya, Mencampuri urusan orang serta memberantas ketidakadilan adalah tugas utama kaum pendekar, meskipun Pek Soh-gie adalah orang gadis yang baik hati akan tetapi ayahnya Pek Siauthian adalah seorang gembong iblis dari kalangan hitam, tidak aneh kalau orang akan salah paham terhadap tindak tandukku.... .apalagi kalau bisa memancing terjadinya bentrokan kekerasan antara pihak Sin-kiepang dengan Thong-thian-kauw, hal itu merupakan suatu perbuatan yang luar biasa sekali.... jika kutolong putri dari Pek Siau-thian ini, bukankah berarti merusak suasana yang menguntungkan bagi pihakku?" Berpikir sampai disini ia jadi ragu-ragu dan untuk beberapa saat lamanya ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Melihat keraguan pemuda itu, Thong-thian Kaucu jadi amat bangga, ia segera berpaling ke arah Ciu It-bong dan berseru, "Ciu heng, kau telah melukai Ang Yap toojin dari perkumpulan kami kemudian membinasakan pula seorang muridku, bagaimana pertanggungan jawabmu atas hutang ini?" Ciu It-bong menengadah memandang seangkasa, lalu dengan sombong menjawab, "Kapan sih Thian Ik-cu pernah menangkan Ciu It-bong?" "Diantara kita berdua belum pernah saling bertempur satu sama lainnya, sudah tentu menang kalah sukar untuk dikatakan" "Hmmm! aku rasa sekarang bertarungpun belum terlambat!" habis berkata dia ayun telapaknya melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke arah imam tua itu. Hoa Thian-hong memahami sampai dimanakah kelihaiannya dari jurus pukulan Kun-siu-ci-tauw tersebut, melihat Ciu It-bong telah turun tangan ia segera pusatkan perhatiannya untuk melihat bagaimana caranya Thong-thian Kaucu menangis datangnya serangan tersebut. Rupanya Thong-thian Kaucu tidak menyangka kalau Ciu It-bong segera melancarkan serangannya setelah habis bicara, melihat datangnya ancaman tersebut buruburu ia letakkan senjata kebutannya ke atas tanah, lalu mendorong sepasang telapaknya ke depan untuk membendung datangnya ancaman tersebut. "Ciu Loji, jangan bertindak gegabah!" teriaknya. Blaaaam....! di tengah benturan keras, sepasang telapak kedua orang itu telah bertemu satu sama lainnya. Dalam perkiraan Hoa Thian-hong kedua orang tokoh sakti itu tentu akan beradu tenaga dalam setelah terjadi bentrokan kekerasan itu, dan akibatnya seluruh ruangan itu tentu akan bergoncang keras atau bahkan roboh sama sekali. Siapa tahu kecuali terjadi bentrokan yang begitu dahsyat, tidak nampak sesuatu yang luar biasa lagi. Terdengar Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak dan berseru, "Ciu heng, selama sepuluh tahun terakhir ini ternyata engkau tidak buang waktu dengan percuma, sungguh luar biasa.... sungguh luar biasa....!" "Hmm! engkau Thian Ik-cu pantas lebih hebat dari aku si Lo Ciu...." seru Ciu It-bong ketus. Hoa Thian-hong menyaksikan jalannya bentrokan itu dari samping, diam-diam merasa terperanjat, pikirnya, "Thian Ik-cu saja sudah begitu hebatnya apalagi ketiga orang cou sunya, tentu semakin luar biasa. Aaaaai....! rupanya untuk menumpas kaum iblis dan manusiamanusia laknat itu dari muka bumi, aku harus berusaha untuk memancing bentrokan serta pertikaian diantara mereka sehingga saling bunuh membunuh" Karena pikiran yang kusut tanpa terasa semangat bertempuran-nyapun semakin berkurang, dia merasa kepalanya pusing tujuh keliling dan dadanya yang terluka terasa panas menyengat badan, sakitnya bukan kepalang. "Thian Ik-cu!" tiba-tiba terdengar Ciu It-bong membentak keras" ayoh cepat kembalikan pedang emas itu kepadaku" "Ciu-heng, engkau benar-benar tak tahu aturan!" tegur Thong-thian Kaucu dengan alis berkerut, "hutang ada pemiliknya kalau mau tagih pergilah cari orangnya yang benar.... orang yang merampas pedang emas itu toh Jin Hian, kenapa kau menagihnya kepada pinto" Apakah tidak salah cari orang....?" "Hmm....Hmm....!kau tahu bahwa pedang emas itu berada ditanganmu, maka aku datang menagihnya kepadamu, ayoh cepat kembalikan pedang emas itu kepadaku dan akupun akan memetikkan batok kepala Jin Hian untukmu, tukar menukar ini tidak merugikan kedua belah pihak.... kau suka mengerjakannya atau tidak?" "Apa gunanya batok kepala Jin Hian bagi ku?" Ciu It-bong tertawa dingin. "Heeeh.... heehh.... heehh.... hidung kerbau tua, buat apa engkau berlagak pilon" jengeknya, sekarang Sin-kiepang telah bekerja sama dengan Hong-im-hwie untuk menghantam perkumpulanmu, sebentar lagi perkumpulan Thong-thian-kauw bakal mengalami Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kehancuran total dan musnah dari muka bumi.... haaahh.... haaahh.... haaahh.... jangan dibilang ketiga orang Cou su ya mu, sekalipun locou yang mendirikan perkumpulanmu diundang turun ke atas bumi pun tak bisa kau selamat kan perkumpulanku ini dari lembah kehancuran. "Setelah Jin Hian dibunuh, apakah situasinya bisa dirubah dan perkumpulanku tertolong?" tukas Thongthian Kaucu sambil tertawa. Ciu It-bong melototkan sepasang matanya bulat-bulat. "Apa yang musti dikatakan lagi?" sahutnya, setelah Jin Lo-ji mati konyol maka perkumpulan Hong-im-hwie akan buyar bagaikan buyarnya mega terhembus angin, sekalipun Cong Tang-kee lain bisa segera dipilih tapi apakah orang lain sudi menuruti perintahnya" dan anak buah dari Jin Hian apakah mudah diperintah orang dengan begitu saja" Asal Hong-im-hwie batalkan perjanjiannya untuk bersekutu dengan Sin-kie-pang, maka apa yang ditakuti lagi oleh perkumpulan Thongthiankauw?" "Ehmmm! pendapat yang tinggi.... pendapat yang tinggi...." puji Thong-thian Kaucu sambil mengelus jenggotnya, "cuma.... ilmu silat yang dimiliki Jin Hian tidak berada di bawah kita berdua, siasat bagus apa yang dimiliki Ciu beng untuk memenggal batok kepalanya?" "Tentang soal itu kau tak usah tahu dan tak perlu kuatir. kembalikan pedang emas itu kepadaku maka kutanggung batok kepalanya berhasil kupetik untukmu!" Thong-thian Kaucu tersenyum. "Kalau memang begitu, silahkan Ciu heng pergi memenggal batok kepalanya Jin Hian lebih dahulu, setelah kau berhasil maka pinto akan kembalikan pedang emasmu itu kepadamu!" Hoa Thian-hong yang mendengar perkataan itu, dalam hati jadi curiga bercampur ragu, pikirnya, "Menurut Giok Teng Hujin, pedang emas itu semuanya terbagi jadi dua yakni pedang jantan dan pedang betina, pedang jantan berada ditangannya sedang pedang betina tersimpan di dalam pedang mustika milik Thong-thian Kaucu , menurut Thong-thian Kaucu sama sekali tidak tahu akan persoalan ini" Mendadak satu ingatan berkelebat dalam benaknya, ia berpikir lebih jauh, "Ia mengaku dirinya bernama Siang Hoa apakah dia punya hubungan yang erat dengan pemilik pedang emas itu" Aaah....! benar, jangan-jangan dia memang punya hubungan yang istimewa dengan 'It kiam kay-tionggoan' pedang sakti penyapu daratan Tionggoan, Sang Tay Lay!" Berpikir sampai disini jantungnya terasa berdebar keras ia ingin bertemu segera Giok Teng Hujin serta menanyakan persoalan ini kepadanya. Sementara itu Ciu It-bong telah berkata kembali. "Sebenarnya boleh saja kalau suruh aku bunuh Jin Hian lebih dahulu baru minta kembali pedang emas itu, tetapi bila aku kekurangan sebilah senjata tajam yang akan kugunakan untuk memenggal batok kepala Jin Hian itu, keberhasilanku dalam usaha ini jadi agak meragukan!" "Haaah-haaah.... siasat disusun oleh manusia dan keberhasilan ditentukan Thian, bila cara yang satu tak bisa digunakan apa salah nya kalau mencoba dengan cara yang lain" "Jin Hian bukan manusia sembarangan, bila seranganku gagal maka sulitlah bagiku untuk mengulangi kembali pembunuhan itu" "Jika sampai begitu keadaannya, maka Ciu heng harus menunggu sampai bulan tujuh tanggal lima belas nanti, dalam pertemuan besar Kian ciau Tay hwee itu kau boleh berduel melawan Jin Hian disaksikan oleh para enghiong dari seluruh kolong langit, asal Ciu heng berhasil membinasakan Jin Hian maka pintopun akan serahkan kembali pedang emas itu kepadamu" "Hidung kerbua tua, apakah kau bersikap keras tak akan serahkan pedang emas itu kepadaku sebelum kubunuh Jin Hian?" Thong-thian Kaucu tertawa. "Kalau pedang emas itu kukembalikan ke padamu lebih dulu. kemudian Ciu heng tak mau membunuh Jin Hian, apa yang bisa pinto lakukan?" "Hihi! Sebaliknya kalau kubunuh Jin Hian lebih dahulu kemudian kau mengingkari janji dan tak mau serahkan pedang emas itu ke padaku, apa yang bisa aku lakukan?" "Haaaah.... haaaahh.... haah...." Thong-thian Kaucu tertawa terbahak bahak, bila pinto berani mengingkari janji, maka dipersilahkan Ciu heng sekalian untuk memenggal batok kepalaku ini!" "Hmm, kau anggap aku tak berani melakukannya?" teriak Ciu It-bong penuh kegusaran. Tubuhnya mendadak mencelat keudara dan langsung menerjang ke arah Tnian Ik-cu. Thong-thian Kaucu tak berani bertindak gegabah, sepasang kakinya menjejak tanah lalu loncat bangun dari atas kasur, sepasang telapaknya disilangkan di depan dada siap menghadapi segala kemungkinan, Terdengar Ciu It-bong mendengus dingin dengan gunakan jurus Kun-siu-ci-tauw ia kirim satu pukulan yang maha dahsyat bagaikan tindihan gunung Thay san ke atas batok kepala Thian Ik-cu. Serangan yang dilancarkan oleh Ciu It-bong sendiri ini benar-benar luar biasa sekali, melihat datangnya ancaman itu Thong-thian Kaucu tahu bahwa tak mungkin bagi dirinya untuk memunahkan serangan tadi, sepasang bahunya segera bergerak, tubuhnya merandek setengah depa ke belakang dan dalam sekejap mata dia meloloskan diri dari kepungan angin pukulan lawan. Sreeet! Senjata hud-timnya yang langsung dibahat kemuka. Ciu It-bong putar badannya di tengah udara untuk meloloskan diri dari babatan senjata hud-tim tersebut, kemudian rentangkan lengannya dan melakukan terjangan untuk kedua kalinya. Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak, tubuhnya melayang keudara dan hinggap di atas tempat duduk dimana Ciu It-bong berada tadi, katanya sambil tertawa, "Tidak aneh kalau ketiga orang Cousu perkumpulan kami selalu memuji akan kehebatan Ciu heng, jurus pukulanmu ini memang betul-betul luar biasa dan cukup untuk menjagoi kolong langit" Ciu It-bong yang bergebrak satu jurus melawan kaucu dari Thong-thian-kauw dengan hasil kedua belah pihak saling bertukar tempat belaka kontan melototkan matanya sesudah mendengar perkataan itu, serunya sambil tertawa dingin, "Heehhh.... heeehhh.... heeehhh dari perkumpulan Thong-thian-kauw masih ada berapa orang tua bangka yang berani mengejek kemampuan dari aku orang she Ciu" Kalau engkau tidak undang mereka untuk tampil ke depan lagi, jangan salahkan kalau aku akan mulai memaki!" "Dimaki juga tak ada gunanya," jawab Thong-thian Kaucu sinis, ketika engkau berada di dalam penjara batu tadi, ketiga orang Cou-su kami berada tepat di belakang tubuhmu, tapi sekarang mereka telah berlalu semua dari tempat ini." Ciu It-bong berkaok-kaok aneh, mendadak ia tutup mulut dan gelengkan kepalanya berulang kali. "Hidung kerbau tua, kau ngaco belo dan bicara tak karuan, aku percaya di kolong langit belum ada orang yang mampu mengutil di belakang punggungku tanpa diketahui!" Thong-thian Kaucu tersenyum, dia alihkan pembicaraan ke soal lain dan bertanya, "Engkau dengar dari siapa kalau pedang emas itu berada di tanganku....?" "Bocah itu yang bilang!" jawab Ciu It-bong sambil menuding ke arah Hoa Thian-hong. "Hey, bocah keparat, kau dengar dari siapa kalau pedang emas itu berada disini?" tegur kaucu itu kemudian sambil berpaling. Sejak dadanya tertusuk oleh ujung pedang Ang Yap toojin, mulut luka didada Hoa Thian-hong telah melebar sampai dua cun panjangnya, meskipun tidak sampai melukai otot dan tulangnya namun karena tidak dibalut maka darah mengalir keluar tiada hentinya, hal ini sangat merugikan kesehatan tubuhnya. Ditambah lagi pikirannya sedang kusut dan hatinya terasa berat, maka wajah pemuda itu kelihatan lesu dau kacau sekali. Ketika Thong-thian Kaucu ajukan pertanyaan tadi, ia gerakan bibirnya hendak menjawab, tapi secara tiba-tiba timbul keseganan untuk buka suara, maka akhirnya tetap ia membungkam dalam seribu bahasa. Melihat pemuda itu tetap membungkam dan tidak menggubris pertanyaan, air muka Thong-thian Kaucu berubah hebat, sambil mengebaskan senjata Hudtimnya kemuiian dia membentak, Bocah keparat. Engkau melongo dan duduk termangu-mangu seperti orang bodoh, apa sedang bermimpi?" Sejak ia bertukar tempat dengan Ciu It-bong, jaraknya dengan Hoa Thian-hong jadi lebih dekat lagi, kebasan senjata hudtim nya itu kelihatan akan segera mengenai tubuhnya.... buru-buru ia angkat pedang untuk menangkis. Thong-thian Kaucu amat benci dan mendendam karena murid didikannya dibunuh orang, dia ingin sekali membinasakan Ciu It-bong dan Hoa Thian-hong pada saat itu juga, namun karena situasinya tidak mengijinkan maka niat tersebut untuk sementara tak dapat dilaksanakan. Sekarang melihat pemuda itu menangkis serangannya dengan angkat pedang, pergelangan segera digetarkan dan senjata Hudtim menggulung ke arah depan, tiba-tiba pedang lawan dijangkau dan di tengah sentakan iman tua itu membentak keras. "Enyah kau dari sini!" Hoa Thian-hong merasa telapaknya jadi kaku, pedang bajanya seketika terlepas dari cekalan dan meluncur ke arah Ciu It-bong. Hoa Thian-hong menjadi gusar bercampur malu, ia takut Ciu It-bong tak mau mengembalikan ketangannya, sambil menahan sakit tubuhnya segera meluncur keudara dan menubruk ke arah pedang bajanya. Thong-thian Kaucu menyeringai seram, hud tim nya kembali dikebut kemuka....Weess! dengan telak bersarang di atas lutut pemuda itu. Sambil menggertak gigi Hoa Thian-hong mendengus berat, celananya robek dan kakinya berdarah, sementara tubuhnya segera terbanting jatuh di atas tanah. Dua orang iman cilik baju merah yang berdiri disisi arena segera tertawa cekikikan karena geli ketika melihat Hoa Thian-hong roboh dalam keadaan yang mengenaskan. Si anak muda itu sendiri walaupun badannya terbanting ke tanah, namun pedang bajanya berhasil dirampas kembali, dia loncat bangun ke atas dan menyilangkan pedangnya di depan dada dengan mulut membungkam. Sepasang matanya berubah jadi merah berdarah, rasa benci dan dendam berkecambuk dalam dadanya, ia sadar bahwa kepandaian silatnya masih jauh ketinggalan kalau dibandingkan dengan Thian Ik-cu, karena itu untuk beberapa saat lamanya ia tak berani bergerak secara sembarangan. Ciu It-bong jadi iba dan kasihan melihat pemuda itu terluka di ujung senjata Thong-thian Kaucu , apalagi setelah dilihatnya darah masih mengucur keluar dari dada dan kakinya, bagaimanapun ia pernah mewaris-kan ilmu silatnya kepada pemuda itu, maka dengan suara dalam ia berseru, "Hidung kerbau tua, kalau engkau teruskan perbuatanmu yang brutal dan tak tahu malu itu, maka kesulitan akan kau hadapi dengan segera.... ayoh cepat ambil keluar obat luka luar untukku, akan kubalutkan luka bocah itu. Apalagi sekarang tengah hari sudah lewat, perutku sudah harus diisi...." "Oohoo.... kau tak usah kuatir, selamanya keparat ini tak pernah mendendam kepada orang, aku dengar orang berkata tempo hari Pek Siau-thian ayah dan anak pernah menghina dan menyiksa dirinya habis-habisanan, ternyata di kemudian hari bukan saja ia tidak mendendam terhadap mereka malah rela tenaga buat keluarga Pek, karena itulah walaupun sekarang pinto sudah kasih pelajaran yang berat kepadanya, lewat beberapa waktu toh dia akan melupakannya kembali!" Tertegun Hoa Thian-hong mendengar perkataan itu, kemudian pikirnya lebih jauh, "Aku mengira jika menghadapi manusia dengan kebajikan maka dunia akan jadi aman, tak tahunya justru perbuatanku ini maka sampai pihak musuh pun memandang rendah diriku!" Berpikir sampai disitu ia jadi kecewa dara menyesal sekali.... tiba-tiba ia teringat akan sesuatu, wajahnya seketika berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, sekujur tubuhnya gemetar keras. Ciu It-bong yang melihat keadaanya itu segera mengira kalau pemuda itu telah naik pitam dan siap beradu jiwa dengan Thian Ik-cu, buru-buru teriaknya dengan suara lantang, "Hoa Thian-hong, hidung kerbau itu ini sudah duapuluh tahun lamanya memegang pucuk pimpinan perkumpulan Thong-thian-kauw, bapakmu sendiri pun tak berani pandang enteng dirinya, kalau engkau tak tahu diri maka itu berarti mencari penyakit buat diri sendiri" Hoa Thian-hong menggelengkan kepalanya, ia tetap Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo membungkam. "Ciu heng!" terdengar Thong-thian Kaucu mengejek." rupanya kesanmu terhadap bocah keparat itu tidak terlalu jelek!" "Hmm! Kalau tidak terlalu jelek lantas kenapa?" teriak Ciu It Boug dengan nada ketus, "kalau engkau tidak puas, silahkan cari aku orang she Ciu untuk bikin perhitungan" 00000O00000 33 Thong-thian Kaucu tertawa, katanya, "Kau repot benar untuk melakukan pembalasan dendam sedang pinto repot untuk pukul mundur musuh tangguh, boleh dibilang kita punya persoalan yang sama-sama repotnya.... kalau ingin bertempur aku rasa lebih baik ditunda saja sampai diselenggarakannya pertemuan besar Kian ciau Tay hwee!" "Hmm! Siapa yang takut terhadap dirimu?" "Locianpwee, aku ingin mohon diri terllebih dahulu," tiba-tiba Hoa Thian-hong berseru sambil memberi hormat, kemudian dengan langkah lebar ia berlalu dari sana. Cing Lian siauto jadi naik pitam menyaksikan pemuda itu hendak berlalu dengan seenaknya, ia melesat ke depan dan menghadang di depan pintu, hardiknya, "Hoa Thian-hong, siapa yang suruh engkau pergi?" Dia adalah murid tertua dari Thong-thian Kaucu , sejak Hoa Thian-hong membinasakan seorang imam cilik baju merah serta Ciu It-bong membunuh pula seorang imam cilik dan menguntungi kaki Ang Yap toojin, ia catat semua hutang tersebut atas nama si anak muda itu, maka setelah menyaksikan Hoa Thian-hong hendak berlalu, ia bersikeras menghalanginya. Hoa Thian-hong segera membentuk keras, pedang bajanya diayun kemuka melancarkan sebuah bacokan. Sreeet. .! desiran angin tajam menyapu ke muka, sebelum pedang itu tiba, segulung hembusan hawa pedang yang dahsyat telah mennyambar datang lebih dahulu. Cing Lian siauto amat terperanjat, buru-buru ia jejak kakinya ke atas tanah dan menyingkir kesamping Thong-thian Kaucu merasa terkejut bercampur gusar, dia putar badan dan berseru sambil menyeringai seram, "Keparat cilik, lihat dulu dimanakah saat ini engkau berada.... berani benar main kasar disini.... Hmm....! Nyalimu benar-benar tidak kecil....!" Senjata Hud-timnya diputar ke depan, tiba-tiba ia totok jalan darah Gi cung hiat di tubuh Hoa Thian-hong. Mendengar muncilnya desiran angin tajam dari arah belakang, pemuda itu segera putar badan, tanpa memandang barang sekejappun pedangnya dibacok ke belakang. Serangan itu tajam dan cepat sekali, kendati Thongthian Kaucu mempunyai ilmu silat yang maha tinggipun tak berani menangkis dengan keras lawan keras, buruburu ia mengepos tenaga dan tarik lambungnya ke belakang. Weeees....! Ujung pedang itu diiringi desiran angin tajam menyambar lewat di atas dadanya dan hampir saja merobek jubah pertapaan yang dia kenakan. "Hidung kerbau tua!" teriak Ciu It-bong dengan cepat, dia hendak pergi 'lari racun' mau apa kau tahan dirinya?" "Keparat itu merupakan satu-satunya saksi hidup yang mengetahui peristiwa pembunuhan atas diri Jin Bong aku ada persoalan yang hendak ditanyakan kepadanya" Sambil menerjang kemuka, lengannya di rentangkan, dengan gagang Hudtimdnya sodok perut pemuda itu. Hoa Thian Hone membentak keras, pedang bajanya ditekan ke bawah dan langsung membacok musuhnya. Setelah hawa amarah menyelimuti wajahnya, keadaan pemuda itu boleh dibilang sudah berubah sama sekali, matanya melotot alisnya berkerut seolah-olah malaikat bengis yang sedang mencari mangsa. Ruangan itu merupakan tempat Thian Ik-cu berlatih tenaga dalam, setelah Hoa Thian-hong menghadang di depan pintu sambil mengirim bacokan-bacokan mautnya, sulit bagi imam tua itu untuk menerjang ke depan, beberapa kali ia terdesak mundur kembali ke belakang. Melihat serangannya berulang kali digagalkan oleh pemuda itu, Thong-thian Kaucu jad i gusar dan marah sekali, senjata hud-timnya dipindahkan ke tangan kiri lalu dengan telapak disilangkan di depan dada perlahan-lahan ia maju ke depan. Ciu It-bong takut si anak muda itu tak tahu lihay, buru-buru bentaknya keras, Hoa Thian-hong, cepat mundur ke belakang!" Bersama itu pula terdengar teriakan seoang perempuan dengan suara yang gelisah, "Kaucu.... jangan turun tangan keji!" Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, Giok Teng Hujin diiringi Hoa In telah muncul di atas loteng. Semua peristiwa itu berlangsung pada waktu yang hampir bersamaan begitu menyaksikan keadaan dari majikan kecilnya, Hoa In jadi amat terperanjat, bagaikan hembusan angin puyuh dia meloncat ke muka dan membentak keras, "Siau Koan-jin, cepat menyingkir!" Setelah dada dan kakinya terluka sehingga darah banyak yang hilang, Hoa Thian-hong sadar bahwa ia tak mampu membendung datangnya angin pukulan dari Thong-thian Kaucu , mendengar Hoa In sudah datang cepat-cepat ia menyingkir ke samping. Thong-thian Kaucu bermata tajam, sekilas memandang dia sudah mengenali orang itu sebagai Hoa In, ditambah pula dari laporan Ang Yap toojin ia sudih tahu kalau ilmu pukulan Sau yang ceng ki nya lihay sekali, maka dalam keadaan itu terpaksa ia manambahi tenaganya menjadi sepuluh bagian dan mengirim satu pukulan gencar. Setelah mengetahui majikan mudanya terluka parah, Hoa In sudah diliputi oleh hawa gusar yang memuncak, ketika menerjang ke depan pintu hawa sakti Sau yang ceng ki nya telah dihimpun sampai sepuluh bagian, dengan cepat dia lancarkan satu pukulan untuk menyambut datangnya ancaman tersebut. Blaaam....! Ketika sepasang telapak saling beradu satu sama lainnya, terjadilah ledakkan dahsyat yang menggetarkan seluruh ru angan, gulungan angin tajam memancar keempat penjuru, pintu depan ruangan itu seketika ambruk dari tempatnya, lukisan di atas dinding terlempar jauh ke belakang dan separuh bagian diantaranya tersayat robek. Tong Thiao Kaucu berdiri saling berhadapan dengan Hoa In pada jarak kurang dari lima langkah, dada mereka bergelombang dan empat mata bertemu jadi satu memandangkan rasa gusar, kaget dan tercengang. "Loo koankee, harap tahan dulu...." teriak Giok Teng Hujin dengan alis berkerut. Sejak lenyap Hoa Thian-hong ketika keluar rumah bersama perempuan itu, Hoa In sudah merasa amat tidak puas terhadap Giok Teng Hujin, bila ia tidak membuka suara mungkin masih mendingan, ucapan itu seolah-olah api bertemu dengan bensin, kegusaran Hoa In semakin memuncak. Dengan mata melotot besar, Hoa In berteriak keras, "Thian Ik-cu, dengarkan baik-baik.... barang siapa berani melukai majikan muda dari perkumpulan Liok Soat Sanceng, maka Hoa In akan mempertaruhkan selembar jiwanya untuk melukukan membalasan!" Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, sepasang telapak diayun berbareng ke depan dengan gunakan tenaga sebesar duabelas bagian. Thong Thian Kjucu merasa terkejut bercampur gusar, makinya, "Tua hangka sialan....!" Kakinya melangkah ikuti gerak pat kwi, sepasang telapak didorong kemuka dan menyambut datangnya ancaman itu dengan keras lawan keras. Blaaam....! Suara yang menggelegar kembali bergema di angkasa, kali ini masing-masing pihak mundur beberapa langkah ke belakang dengan sempoyong, di atas lantai lonteng tertera bekas-bekas telapak kaki yang dalam. Adu kekuatan yang berlangsung saat itu betul-betul mengerikan sekali, seluruh ruangan dalam bangunan loteng itu bergoncang keras, keadaan mengerikan sekali. Sau yang ceng ki adalah kepandaian ampuh yang diandalkan Hoa Goan-siu sewaktu berkelana di dalam dunia persilatan tempo dulu, meskipun Thong-thian Kaucu memiliki tenaga dalam sebesar enam puluh tahun hasil latihan, akan tetapi setelah bertanding dengan Hoa In keadaan ternyata seimbang. Setelah dua kali bentrokan kekerasan itu lewat, diamdiam Thong-thian Kaucu merasakan isi perutnya tergoncang dan darah dalam tubuhnya tergolak keras, hal itu menunjukkan hawa isi perutnya sudah terluka, sebaliknya Hoa In sendiri walaupun merasakan pula golakan darah dalam tubuhnya, namun isi perutnya tidak sampai terluka. Suasana hening untuk beberapa saat lama nya, tibatiba Giok Teng Hujin menggoyang bahu Hoa Thian-hong sambil serunya, "Adik Hong kalau ada persoalan kita bicarakan secara baik-baik, cepat perintahkan pengurus tuamu untuk mengundurkan diri" "Thian Ik-cu adalah salah seorang pembunuh ayahku," pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, "sudah sepantasnya kalau kubereskan jiwanya, apalagi ia mentertawakan aku lupa akan dendam....Hmm! Sekarang juga aku akan menuntut balas...." Berpikir demikian selangkah demi selangkah ia segera maju menuju ke tengah gelanggang. Hoa In yang menyaksikan tingkah laku majikannya jadi gelisah, buru-buru teriaknya, "Siau Koan-jin, jangan ikut campur! engkau berdiri disisi arena saja...." Ia takut kalau Hoa Thian-hong turut campur dalam pertarungan itu, belum habis perkataannya diucapkan ia sudah menghimpun segenap kekuatan yung dimilikinya dan langsung disodokan ke tubuh Thian Ik-cu. Thong-thian Kaucu jadi terkejut bercampur gusar, bentaknya dengan hati mendongkol, "Tua bangka sialan, kau benar-benar cari mati?" Dari perubahan wajah iman tua itu, rupanya Ciu Itbong sudah tahu kalau ia tak mampu melanjutkan pertarungan itu dengan adu kekerasan, tanpa terasa sambil tertawa terbahak-bahak jengeknya, "Haaah.... haaah.... haaah.... hidung kerbau tua gunakan pedangmu, kalau tidak maka pertemuan Kiau ciau tay hwee yang akan diseleng garakan pada bulan tujuh tanggal lima belas bakal gagal dilang-sungkan!" Iman cilik pembawa pedang yang berdiri disisi kalangan buru-buru loncat maju ke depan setelah mendengar perkataan itu, pedang pusaka digenggamannya langsung diangsurkan ke depan. Thong-thian Kaucu jadi bergirang hati, dia pegang gagang pedangnya dan pencet tombol disana....Crriing....! cahaya tajam berkilauan di angkasa dan muncullah sebilah pedang pusaka di depan mata. "Pedang bagus!" puji Ciu It-bong dengan suara keras. Thong-thian Kaucu tidak mengubris seruan orang, dengan wajah hambar katanya, "Hoa In, tempat ini tidak cocok untuk digunakan sebagai gelanggang pertempuran, ayoh kita cari tempat yang lebih lebar untuk menentukan siapa menang siapa kalah diantara kita berdua!" Sebelum Hoa In sempat menjawab, Ciu It-bong telah berteriak kembali, "Hidung kerbau sialan, kalau kau pingin mati, serahkan dulu pedang emas itu kepada ku" Hoa Thian-hong yang melihat hal itu segera berpikir di dalam hati, "Ciu It-bong gembar gembor sedari tadi, rupanya ia memang sengaja mengacau terus agar pertarungan tak bisa dilangsungkan. Aa ai....! bagaimana baiknya...." Sementara itu Giok Teng Hujin sudah maju ke depan, katanya, "Pengurus tua, racun teratai dalam tubuh majikan mudaku sebentar lagi bakal kambuh, sekalipun kau tangguh dan hebat tidak seharusnya kalau berkeras kepala terus.... aaah!" Mendadak dengan air muka berubah, teriaknya, "Adik Hong cepat balut mulut lukamu itu! jangan biarkan darah mengalir tiada hentinya!" Teringat akan luka yang diderita majikan mudanya, Hoa In jadi amat terperanjat, buru-buru ia dekati Hoa Thian-hong sambil tegurnya, "Siau Koan-jin, apakah racun teratai yang mengeram dalam tubuhmu sudah mulai bekerja?" Hoa Thian-hong sudah tahu bahwa racun teratai itu bila kambuh maka darah yang mengalir dalam tubuhnya akan bergolak keras, mulut luka akan merekah semakin besar mengakibatkan darah mengalir makin deras. Dengan mempertahankan ketegangannya ia menjawab sambil tertawa, "Racun teratai baru saja kambuh, untuk beberapa waktu sih tak menjadi soal, perhatikan sekeliling tempat ini baik-baik, hati-hati terhadap serangan bokongan orang!" Hoa In mengangguk tanda mengerti, setelah menyambut pedang baja itu dia belalakan matanya bulat-bulat, sambil melotot ke arah Thong-thian Kaucu tanpa berkedip ia berjaga-jaga atas serangan yang mungkin dilakukan oleh lawan. Dari dalam sakunya Giok Teng Hujin ambil keluar sebuah botol porselen, setelah membubuhkan obat luka luar dimulut luka Hoa Thian-hong, dirobeknya pakaian Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sendiri untuk membungkus dada orang, sikapnya yang gugup dan cemas menunjukkan betapa kuatirnya hati perempuan ini. Thong-thian Kaucu jadi sangsi dan ragu-ragu melihat tingkah laku perempuan itu, beberapa kali dia hendak bicara namun niat itu selalu dibatalkan, sepasang alisnya berkerut kencang.... kalau ditinjau dari keadaan itu, jelas sekali menunjukkan bahwa ia sangat gusar. Setelah merawat mulut luka Hoa Thian-hong di atas dada, Giok Teng Hujin berjongkok kembali untuk merawat luka disepasang kakinya, waktu itu tengah hari sudah tiba, kadar racun teratai dalam tubuh si anak muda itu mulai membubung naik dari atas pusar dan bercampur dengan darah dalam nadinya, dalam waktu singkat darah yang mengucur keluar dari mulut lukanya berubah jadi hitam pekat bagaikan tinta. Terdengar Ciu It Boag menghela napas panjang dan berkata, "Aaai....! Keajaiban alam, sungguh tak nyana luar biasa sekali...." setelah berhenti sebentar, teriaknya kembali, "Hoa Thian-hong, totoklah jalan darah pingsanmu.... bagaimana kalau beristirahat sejenak?" Hoa Thian-hong segera menggeleng. "Setelah racun teratai itu kambuh, cara apapun tak bisa menolong diriku, apa lagi menotok jalan darah...." Mendadak pemuda itu merasa bahwa banyak bicara akan merugikan diri sendri, buru-buru ia tutup mulut dan tidak membocorkan rahasia itu lagi.... Tindak tanduk Giok Teng Hujin sungguh cekatan, dalam waktu singkat ia telah membalut luka yang diderita pemuda itu pada sepasang kakinya, hanya darah masih belum berhenti maka sebentar saja kain pembungkus luka itu telah berubah jadi hitam karena darah mengandung racun, terutama sekali luka didadanya membuat orang yang memandang jadi ngeri dan bergidik sekali. Hoa Thian-hong merasakan sekujur badannya gatal seperti dirambat oleh berjuta-juta ekor semut, rasanya amat tersiksa, menanti lukanya telah dibalut ia segera berkata, "Terima kasih atas bantuan dari cici, siaute ingin mohon diri terlebih dahulu" "Kau hendak pergi kemana?" tanya perempuan itu sedih. "Aku sudah tidak tahu dan ingin berlari-lari sebentar...." Sambil berpaling teriaknya, "Ciu Locianpwse....! Thian Ik su....! Sampai jumpa lain waktu...." tanpa menanti jawaban dia lari lebih dahulu tinggalkan tempat tersebut. Giok Teng Hujin segera menyusul dari belakangnya, ia berteriak, "Adik Hong, jangan terlalu cepat.... tunggu aku sebentar, ada urusan penting hendak kusampaikan kepadamu!" Thong-thian Kaucu amat gusar melihat perbuatan perempuan itu, bentaknya nyaring, "Hujien.... berhenti!" Tapi Giok Teng Hujin tidak menggubris teriakan tersebut, sambil mendampingi Hoa Thian-hong dia lari turun dari loteng, Hoa In berjalan dipaling belakang dan bersama-sama tinggalkan istana Yang sim tian. Sepanjang jalan walaupun ada orang yang melakukan penjagaan, tapi berhubung Giok Teng Hujin berada bersama mereka, maka siapapun tak berani menghalangi kepergian beberapa orang itu. Dalam waktu singkat mereka bertiga sudah berada diluar kuil. Setelah racun teratainya kambuh, rasa sakit didada dan kaki pemuda itu sudah tidak terasa lagi, tetapi setelah menyaksikan darah yang mengucur keluar dari dadanya tidak berhenti, ia jadi gugup sekali. Sambil lari ia tutup mulut lukanya dengan sepasang tangan, teriaknya, "Cici.... benarkah engkau she Siang?" Giok Teng Hujin tertegun lalu mengangguk, "Benar aku bernama Siang Hoa, tetapi kecuali engkau seorang tak ada yang tahu tentang namaku ini" "Apa hubunganmu dengan Pedang sakti yang menyapu daratan Tionggoan, Siang Tang Lay?" Air muka Giok Teng Hujin berubah hebat setelah memandang sekejap sekeliling tempat itu ia menjawab sambil tertawa.... "Si Tolol.... akhirnya engkau berhasil menebaknya juga dengan jitu," setelah berhenti sebentar, dengan wajah sedih lanjutnya, "Pedang sakti yang menyapu daratan Tiong goan Siang Tang Lay bukan lain adalah ayah enci, sekarang kau tentu sudah mengerti bukan?" Meskipun Hoa Thian-hong telah menebaknya sejak semula, namun setelah mendengar pengakuan dari perempuan itu tak urung hatinya merasa terperanjat juga, teringat bahwa dia adalah putri dari Siang Tang Lay maka bisa diduga maksudnya perempuan itu jadi anggota perkumpulan Thong-thian-kauw tentu mengandung rencana tertentu. Terdengar Giok Teng Hujin berkata lagi, "Adik Hong, persoalan yang paling menyedihkan hati cici selama ini adalah peristiwa ditepi sungai Huang-ho tempo hari, aku menyesal mengapa tidak tampilkan diri untuk menyelamatkan jiwamu...." "Ketika itu kita tak pernah saling kenal mengenal, mau menolong atau tidak bukanlah suatu masalah yang penting, toh sekarang aku masih hidup segar bugar" Buat apa kau ungkap kembali peristiwa yang sudah lewat itu....?" Giok Teng Hujin meagbela napas panjang. "Engkau adalah pendekar sejati yang berhati bajik, kau hanyalah tahu menyalahkan diri sendiri tak tahu menyalahkan orang. Aaaaai....! ayahmu pernah melepaskan budi pertolongan kepada ayahku, aku hanya ingin membalas dendam dan tak tahu membalas budi.... sekarang keadaan berubah jadi begini inilah dosa yang harus kupikul" "Bagaimana sih keadaan cici pada saat ini?" tanya Hoa Thian-hong tidak habis mengerti, "apakah Thian Ik-cu sudah menaruh curiga terhadap dirimu?" "Huuuh....! Siapa sih yang ajak engkau bicarakan tentang persoalan itu?" tukas Giok Teng Hujin sambil tertawa, "Coba pikir lah, seandainya pada tempo hari akulah yang menolong dirimu, maka sekarang orang yang selalu kau ingat dan kau bayangkan adalah diriku, dan bukan Chin Wan-hong" Hoa Thian Hang tersenyum mendengar perkataan itu. "Cici, pikiranmu terlalu picik" serunya, tiba-tiba ia menghela napas dan melanjutkan, "Pek Soh-gie yang melakukan perjalanan bersama aku kini ditawan oleh Thian Ik-cu, bagaimanakah nasibnya hingga kini belum diketahui, bila berbicara tentang soal setia kawan, sudah sepantasnya kalau aku harus berusaha menolong dirinya lebih dahulu, tetapi...." Mula-mula Giok Teng Hujin tertegun, kemudian serunya dengan nada agak mendongkol, "Pek Siau-thian adalah pangcu dari perkumpulan Sin-kie-pang, siapa suruh engkau mencampuri urusannya?" "Kita sebagai manusia harus berbuat kebajikan dan kebaikan tanpa memandang bulu dan memilih orang. Aaai....! Mungkin saja aku adalah orang yang terlalu memandang penting persoalan yang remeh...." Buru-buru Giok Teng Hujin tertawa ketika melihat pemuda itu mengeluh dan tiba-tiba tidak senang hati, ujarnya, "Kau tak usah berpikir yang bukan-bukan.... ketahuilah jago lihay yang dimiliki perkumpulan Thongthiankauw banyak sekali, sekali pun engkau pertaruhkan selembar jiwamu belum tentu gadis itu berhasil kau selamatkan" Bicara sampai disitu kembali ia berpaling memandang sekejap sekeliling tempat itu, melihat disitu tak ada orang, lanjutnya, "Adik Hong, bersabarlah sedikit.... coba berhentilah sebentar, akan kuperiksakan lukamu itu" Hoa Thian-hong berhenti berlari, ketika melihat darah racun telah membasahi seluruh dadanya, ia menghela napas panjang. "Waaah.... kalau begitu terus keadaannya darahku akan mengalir sampai habis dan akhirnya aku tentu akan mati kekeringan," keluhnya. Hoa In sudah cemas sekali sedari tadi, keringat dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya, mendengar perkataan itu ia berseru, "Siau Koan-jin, mari kita menuju keutara kita coba minta pertolongan dari Dewa suka pelancongan Cu tayhiap" Namun Hoa Thian-hong segera gelengkan kepalanya. "Cu locianpwee suka berpesiar kemana-mana, sekarang dia entah berada dimana" Sekalipun kita berhasil temukan dirinya juga belum tertu ada gunanya" "Kalau begitu kita cari Cu Im taysu saja." "Penyakitku adalah penyakit yang sangat aneh, percuma.... mereka tak mungkin bisa mengobatinya," jawab pemuda itu sambil tertawa. Sementara pembicaraan itu masih berlangsung, Giok Teng Hujin telah putar badan melepaskan jubah luarnya, dari saku dia ambil keluar sebuah kotak kumala yang panjangnya empit cun dengan tebal delapan dim, ujarnya sambil tertawa, "Adik Hong, coba tebak api isi kotak ini. "Coba kulihat dulu....!" seru Hoa Thian-hong dengan wajah tercengang. Giok Teng Hujin tertawa, dengan sangat hati-hati ia membuka kotak kumala itu, sambil diangsurkan kehadapan pemuda itu serunya manja, "Coba lihatlah....Leng-ci berusia seribu tahun ini sudah disimpan ayahku selama sebelas tahun lamanya, kemudian aku pun menyimpan kembali selama belasan tahun.... obat ini merupakan obat mujarab yang bisa digunakan untuk menolong orang yang hampir mati, perduli obat ini bisa memunahkan racun dari Teratai empedu api atau tidak, makanlah lebih dahulu!" Hoa Thian-hong jadi sangat kegirangan, ketika ia periksa isi kotak itu maka tampaklah dalam kotak berisikan sebatang rumput aneh yang bentuknya luar biasa, separuh bagian kotak itu berisikan tanah berwarna hitam, rumput mujarab itu tertanam di atas tanah yang lembab dan seolah-olah baru saja digali dari atas tanah, bau harum semerbak yang menyegarkan badan segera tersiar ke luar. Hoa Thian-hong yang mencium bau harum itu merasakan badannya nyaman dan segar sekali. Melihat pemuda itu menunjukkan rasa kejut bercampur girang, Giok Teng Hujin jadi amat senang, katanya, "Aku sendiripun tak tahu bagaimanakah cara menggunakan obat Leng-ci ini, telan saja seakarakarnya.... aku rasa tak mungkin bisa terlalu salah....!" Melihat perempuan itu hendak mencabut obat, buruburu Hoa Thian-hong mencegahnya, sambil berseru, "Cici.... jaa.... jangan kau sentuh...." "Kenapa" tumbuhan yang ada di kolong langit adalah diberikan kepada umat manusia kalau manusia tak mau memakainya maka semuanya akan jadi barang yang tak berguna" "Siaute hendak...." "Kau hendak berbuat apa?" tanya Giok Teng Hujin dengan halus bercampur sayang, "berada dihadapan cici, utarakan saja semua perkataanmu itu....!" Titik air mata tiba-tiba jatuh berlinang di atas wajah Hoa Thian-hong, ujarnya, Sejak termakan oleh sebuah pukulan dahsyat waktu menghadiri perempuan besar Pek Beng Tay hwee, ibuku menderita luka dalam yang amat parah.... hingga kini keadaannya belum sembuh benar.... selama belasan tahun selalu menderita dan tersiksa....!" pemuda itu berhenti sebentar, dengan wajah menyesal, serunya, "Bila cici suka menghadiahkan Lengci ini kepadaku maka penyakit yang diderita ibuku tentu akan sembuh.... budi dari cici ini." "Apa itu budi?" tukas Giok Teng Hujin cepat, "Lengci berusia seribu tahun ini toh sudah kuhadiahkan kepadamu, benda itu hendak kau pergunakan untuk apa adalah urusanmu sendiri...." Berbicara sampai akhirnya, suara perempuan itu berubah jadi ketus dan keras. "Persoalan ini menyangkut tentang kesehatan ibuku, terpaksa aku harus tebalkan muka." pikir Hoa Thian-hong di dalam hati. Berpikir demikan ia segera menerima kotak kumala itu dari tangan Giok Teng Hujin kemudian dengan sangat hati-hati menyimpannya ke dalam saku. "Terima kasih cici!" serunya dengan hati kegirangan. Giok Teng Hujin jadi serba salah dan tak bisa berbuat apa-apa kecuali berdiri melongo, walaupun hatinya merasa kecewa namun perasaan tersebut tak berani diutarakan ke luar. Hoa In tak bisa menahan diri, ia segera melangkah maju ke depan dan berseru, "Siau Koan-jin, Teratai racun empedu api adalah racun yang tak bisa dipunahkan.... sedangkan Leng-ci berusia seribu tahun merupakan obat mujarab di kolong langit, inilah berkat perlindungan dari sukma toa ya serta, cinta kasih nona Siang, engkau harus...." Hoa Thian-hong amat cemas, tidak menunggu perkataannya selesai diucapkan, dengan lagak tuan mudanya ia membentak dengan suara gusar, "Teratai racun empedu api tak akan meracuni diriku sampai mati. kau tak usah berpikir yang bukan-bukan lagi, kalau berani mem-bangkang maka aku tak sudi melakukan perjalanan bersama dirimu!" Tertegun hati Hoa In mendengar perkataan itu, tanpa terasa air matanya jatuh berlinang membasahi pipinya, ia mengeluh, "Siau Koan-jin, dari keluarga Hoa tinggal sau ya seorang yang masih hidup...." Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Apa ibuku bukan orang" Apa engkau bukan orang" Bentak Hoa Thian-hong dengan gusar, sehabis berkata ia putar badan dan segera berlalu dari sana. Tertegun hati Giok Teng Hujin menyaksikan kesemuanya itu, setelah berpikir sebentar, tiba-tiba ia tertawa lalu membisikan sesuatu kesisi telinga Hoa In. Pelayan tua itu segera mengangguk berulang kali dan buru-buru menyusul majikan mudanya. Setelah berlarian beberapa saat lamanya Hoa Thianhong berpaling, ketika dilihatnya hanya Hoa In seorang yang menyusul dirinya ia jadi tak tenang, segera tegurnya, "Dimanakah enci Siang?" "Nona Siang telah kembali ke kuil It-goan-koan!" "Thian Ik-cu adalah seorang manusia yang cabul dan berhati kejam" pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, "lain kali kalau bertemu lagi, aku akan menasehati dirinya untuk cepat-cepat lepaskan diri dari perkumpulan Thongthiankauw!" Tiba-tiba terdengar Hoa In berseru, "Siau Koan-jin, darah di atas dadamu masih mengalir terus, bagaimana baiknya?" "Tidak menjadi soal, perlahan-lahan toh akan sembuh dengan sendirinya....!" "Sekarang kita akan pergi kemana?" Hoa Thian-hong berpikir sebentar, lalu menjawab, "Aku hendak mencari sesuatu tempat yang tersembunyi letaknya di sekitar sini, di samping merawat luka aku hendak berlatih ilmu pedang, sedang engkau boleh berangkat ke kota Ceng kang dan beri tahu kepada Pek Siau-thian kalau putri sulungnya Pek Soh-gie telah diculik oleh Thian Ik-cu, setelah itu pergilah mencari Cu Im taysu serta Ciong Lian-khek cianpwee, kalau bisa berangkatlah secara berombongan menuju ke gunung See thian pada tanggal limabelas nanti, aku sendiri akan langsung pergi menghadiri pertemuan Kian ciau Tay hwee tersebut!" Dengan tenang Hoa In mendengarkan perkataannya itu hingga selesai, kemudian menggeleng dan menjawab, "Siau Koan-jin boleh menyusun rencana lain, sekalipun budak akan dibunuh tak nanti akan kutinggalkan diri Siau Koan-jin lagi" Perkataannya begitu tegas dan keras membuat Hoa Thian-hong jadi tertegun. "Tapi urusan ini penting sekali...." serunya. "Perduli urusan ini penting atau tidak, sekalipun budak dibunuh juga tak akan kutinggalkan Siau Koan-jin barang selangkah pun" Hoa Thian-hong jadi amat terharu mendengar keputusan pelayan tuanya, ia tidak ingin mengecewakan hati orang itu lagi, setelah tertegun sebentar, katanya, "Kalau begitu mari kita pergi mencari Chin Locianpwee lebih dahulu, ooh yaa.... masih ada si pahlawan tua berkerudung itu, kitapun harus saling berkenalan" Yang dipikirkan Hoa In adalah jangan sampai berpisah dari sisi majikan mudanya, tentang soal lain dia tidak menaruh perhatian. Begitulah setelah mengambil keputusan maka berangkatlah kedua orang itu dengan kecepatan bagaikan hembusan angin, ketika tengah hari sudah lewat racun teratai dalam tubuh Hoa Thian-hong pun tenggelam kembali ke dasar pusar, tetapi karena terlalu banyak darah yang mengalir keluar, wajahnya kelihatan lesu dan layu. Beberapa waktu kemudian, sampailah kedua orang itu diluar sebuah kota. Hoa Thian-hong menghentikan langkah kakinya, sambil menghembuskan napas panjang katanya, "Aku sudah lelah sekali, mari kita bersantap sambil beristirahat sebentar!" "Leng-ci berusia seribu tahun itu adalah satu benda yang mujarab sekali, cuma dicium saja sudah mendatangkan manfaat yang besar.... Siau Koan-jin! Kalau badanmu merasa kurang enak, ciumlah beberapa kali agar kesehatanmu segar kembali!!" Hoa Thian-hong menggeleng. "Benda mustika akan memancing keserakahan orang, benda itu mempunyai hubungan yang erat sekali dengan diriku, mulai hari iui janganlah sekali-kali kau sebut lagi tentang obat itu, kalau sampai kabar ini bocor di tempat luaran.... waah! bakal banyak kerepotan yang akan kita jumpai" Hoa In menyanggupinya tanpa membantah maka masuklah kedua orang itu ke dalam sebuah rumah makan dan bersantap sampai kenyang. Baru saja mereka selesai bersantap, tiba-tiba dari luar rumah makan berkumandang datang suara seseorang yang serak dan tak aneh didengar sedang berkata, "Seng sam ko, kita harus mencari satu akal untuk menyingkirkan nenek tua itu, kita musti lihat macam apa sih goa malaikat yang dia katakan hebat itu...." Hoa Thian-hong merasa suara itu sangat dikenal olehnya, ia segera menengadah ke atas dan memandang ke depan.... tapi sebentar saja ia telah berdiri tertegun. Rupanya dari luar rumah makan telah muncul tiga orang jago. ketika mereka bertiga menjumpai Hoa Thianhong pun berada disitu orang-orang itu nampak melengak dan ragu-ragu untuk masuk ke dalam ruangan. Kiranya tiga orang yang baru saja munculkan diri itu bukan lain adalah jago-jago lihay dari perkumpulan Hongg In Hwee, salah satu diantaranya berpotongan hwesio dengan badan yang gemuk bulat, dia bukan lain adalah Seng Sam Hau, orang yang barusan bicara adalah seorang pria berbadan pendek, sedang orang ketiga berbadan tinggi kurus dengan muka hijau menyeramkan, dia bukan lain adalah Siang Kiat. Orang ini mempunyai saudara bernama Siang Hau, ketika melancarkan serangan bokongan dengan ilmu cakar walangnya sewaktu berada di rumah makan Kie ing loo di kota Cho ciu tempo hari, telah menemui ajal nya di tangan Hoa Thian-hong. Dalam pada itu si anak muda tersebut pun diam-diam berpikir setelah menyaksikan kehadiran ketiga orang itu, "Ketiga orang itu masih bukan tandingan dari Hoa In, aku benar- benar sudah teramat payah.... aaai....! Segala macam kurcaci macam dia, lebih baik dilepaskan saja!" Berpikir demikian ia segera memberi tanda kepada Hoa In kemudian bangkit tinggalkan tempat duduknya. Pemuda itu segan mencari gara-gara, pada dasarnya ia sudah bersantap kenyang dan hendak berlalu maka tanpa banyak bicara pemuda itu berjalan menuju keluar. Hoa In tak tahu maksud hati majikannya melihat ia bangkit dan berlalu pelayan tua ini segera menyambar pedang bajanya dan mengikuti dengan langkah lebar. Waktu itu Seng Sam Hau bertiga masih berdiri di depan pintu, ketika menyaksikan kemunculan Hoa In mereka jadi terperanjat tanpa banyak bicara ketiga orang itu segera loncat mundur ke belakang dan berdiri di tengah jalan raya. Hoa In tertegun, dengan langkah lebar ia berjalan keluar dari ruang rumah makan, setelah menyorenkan pedang bajanya di atas punggung, ia menegur dengan suara dingin, "Hmm! Mau turun tangan" Majulah bertiga.... daripada aku musti buang waktu dan tenaga dengan percuma" Dengan Cepat ketiga orang itu saling bertukar pandangan sekejap, tiba-tiba Seng Sam Hau tertawa terbahak-bahak. "Haaah haaah....Hoa In, kau benar-benar ingin bertarung....?" serunya. Hoa In tidak menjawab, sebaliknya malah bertanya, "Ciong Lian-khek toako apakah masih berada di dalam perkumpulanmu?" "Ciong Lian-khek telah dibunuh oleh sam ko kami," jawab Seng Sam H&u, ketika dilihatnya dada dan kaki si anak muda itu penuh dengan darah berwarna hijau, ia jadi curiga, tegurnya lebih jauh, "Hoa Thian-hong, siapa yang melukai dirimu hingga menjadi begitu rupa....?" Hoa Thian-hong mendengus dingin pikirnya, "Perkataan orang ini ngawur dan tidak katuan, kalau dilihat keadaannya yang tidak tenang rupanya ada satu kejadian sedang ber langsung...." Dalam hati ia herpikir demikian, sedang diluaran ia segera bertanya, "Dimana Cia Kim" dan Jien Tang-kee kalian kini berada dimana?" Jejak dari Cong-Tang-kee kami tidak jelas sebaliknya Cia Samko berada di sekitar tempat ini, kalau kau punya nyali, ayoh ikut kami pergi kesitu...." teriak Seng Sam Hau dengan mata melotot. Hoa Thian-hong tertawa, ia ulapkano tangannya dan berseru, "Bawa jalan, kalau Cia Kim tidak berhasil ditemukan....Hmm! akan kusuruh engkau rasakan kelihayanku!" Seng Sam Hau mendengus dingin, dia ulapkan tangannya dan segera berangkat lebih dahulu. Siang Kiat serta pria pendek itu buru-buru menyusul di belakang rekannya, Hoa Thian-hong pun menggape ke arah Hoa In kemudian mengikuti di belakang ketiga orang itu. Sebentar saja mereka sudah keluar dari kota itu dan berlarian menuju ke arah selatan. "Siau Koan-jin, permainan setan apa yang sedang dilakukan bajingan itu....?" tanya Hoa In dengan wajah bingung. Hoa Thian-hong tertawa. "Seng Sam Hau adalah seorang hweesio yang tidak pantaDg arak dan daging, sudah terlalu banyak perbuatan jahat yang dia lakukan, tadi ia ketakutan karena mengira kau hendak turun tangan.... dalam keadaan begini tak mungkin dia bisa bermain setan...." "Tadi mereka membicarakan tentang gua malaikat dan nenek tua.... permainan apa pula yang sedang berlangsung?" "Ikuti saja jejak mereka! Sekarang adalah saatnya banyak urusan, mereka bisa berkeliaran di tempat luaran itu berarti bahwa orang-orang itu sedang melakukan tugas!" Sementara itu Seng San Hau sekalian yang menyaksikan Hoa Thian-hong berdua menguntil terus di belakang mereka, buru-buru mem percepat larinya dan berbelok ke tempat yang terpencil kemudian menuju kederetan bukit disebelah Barat daya. Setengah jam sudah lewat, namun mereka masih juga berlarian di tempat yang sunyi itu.... lama sekali belum sampai juga di tempat tujuan, baru saja Hoa Thian-hong merasa curiga, tiba-tiba Hoa In menuding ke depan sambil berteriak, "Siau Koan-jin, coba lihat! disana ada orang sedang bertempur....!" Hoa Thian-hong segera alihkan sorot matanya kemuka, tampaklah dihadapan mereka terbentang dua buah bukit yang dipisahkan oleh sebuah jurang, di atas jurang terbentang sebuah jembatan batu yang luasnya beberapa depa tapi terpatah-patah, dua orang nenek tua berambut putih duduk berhadapan muka di tengah jembatan batu itu. pukulan demi pukulan dilancarkan tiada hentinya satu sama lain.... pertarungan sedang mencapai pada keadaan yang amat seru. Sementara itu Seng Sam Hau bertiga telah tiba di ujung jalan, dikedua belah sisi jurang, tampaklah serombongan jago sedang menyaksikan jalannya pertarungan itu. Orang pertama yang kelihatan paling menonjol adalah seorang kakek tua berwajah persegi dengah mata yang gede dan alis yang tebal, dia adalah Tang-kee kedua dari perkumpulan Hong-im-hwie yakni Cu Goan-khek, di samping itu nampak delapan sembilan orang jago mengerubungi di sekitarnya, kebanyakan terdiri, dari jago-jago lihay perkumpulan Hong In Im Hwee. Diantara mereka bukan saja tidak nampak Jin Hian, bahkan malaikat berlengan delapan Cia Kim pun tidak kelihatan batang hi dungnya. Setibanya ditepi jurang, Hoa Thian-hong saling menyapa sekejap dengan Cu Goan-khek kemudian seluruh perhatiannya terhisap oleh jalannya pertarungan yang sedang berlangsung di atas jembatan batu itu. Kiranya telapak kiri kedua orang nenek tua itu telah saling menempel satu sama lainnya beradu tenaga dalam, sementara tangan kanannya yang bebas secara beruntun melancarkan serangan-serangan dahsyat dengan tujuan untuk merobohkan, pelbagai jurus ampuh yang lihay dan aneh dilancairkan tiada hentinya kedua belah pihak berusaha untuk merebut posisi yang lebih menguntungkan. "Nenek tua yang duduk disebelah sana adalah seorang nenek buta, "tiba-tiba Hoa In berbisik dengan suara lirih," semua orang menyebut dirinya sebagai nenek dewa bermata buta, ia merupakan salah seorang tulang punggung dari perkumpulan Hong-im-hwie, bukan saja nenek ini berhati kejam dan telengas sekali bahkan hatinya sangat licik dan banyak akal, bila Siau Koan-jin bertemu dengan orang itu di kemudian hari, engkau harus berhati-hati sekali" Hoa Thian-hong mengangguk. "Nenek tua baju abu-abu yang duduk dihadapannya pernah kutemui," katanya, separuh bagian kitab catatan Ci yu jit ciat milIk-cu locianpwee telah dirampas olehnya. "Oooh....! dia bernama Tio Tiang Geng" ujar Hoa In dengan nada tercengang hubungannya dengan ibu majikan tidak jelek, sepantasnya ia tidak mungkin akan merampas kitab pusaka ilmu silat milikku!" Teringat akan gaplokan yang pernah diterima olehnya, Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hoa Thian-hong berseru gelagapan, "Oooh.... mungkin saja ia hanya bergurau!" Tiba-tiba dari dinding bukit sebelah depan berkumandang datang suara rentakan seorang perempuan dengan nada yang rendah tapi berat, "Tio Sam kau, tak usah bertempur lagi, biarkan dia datang kemari!" Perkataan itu seolah mendengung keluar dari balik awan membuat orang tak bisa menebak dengan tepat berasal dari manakah suara tadi, Hoa Thian-hong jadi tercengang dan keheranan, sepasang matanya dipentang lebar-lebar dan mengawasi dinding tebing disebelah depan sana tanpa berkedip. Terdengar nenek baju abu-abu Tio Tiang Geng berseru, "Nenek buta sudah dengar belum?" Sambil berkata tangan kanannya melancarkan beberapa serangan, telapak kirinya tiba-tiba digetarkan dan tubuhnya laksana kilat meloncat pergi dari atas jembatan batu itu. Nenek dewa bermata buta ikut bangkit berdiri, sambil memegang sebuah bambu ramping berwarna hijau yang panjangnya empat depa dengan besar sepertiga jari kelingking, perlahan-lahan ia maju ke depan, katanya, "Tio Tiang Geng sekalipun ada malaikat yang bertindak sebagai tulang punggungmu, ini kali aku si nenek buta tetap akan mencabut selembar jiwamu." "llmu silat yang dimiliki kedua orang ini boleh dibilang sudah mencapai taraf yang luar biasa sekali pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, sekalipun ada orang yang memiiiki kepandaian silat lebih lihaypun aku rasa tak akan lebih lihay berapa banyak!" Sementara ia masih termenung, nenek buta itu sudah melewati jembatan batu dan tiba ditepi seberang saja, Cu Goan-khek sekalian buru-buru loncat naik pula ke atas jembatan batu itu. "Cepat ikut menyeberang kesitu!" serunya kemudian kepada Hoa In, "ayoh kita tengok apa yang telah terjadi di tempat itu!" Sambil berkata ia loncat lebih dahulu ke atas jembatan dan buru-buru lari ke depan. Dengan perasaan ingin tahu, Hoa Thian-hong bagaikan sambaran kilat cepatnya menerjang lebih dahulu ke atas jembatan batu itu. Hoa In dengan kencang menyusul di belakang majikan mudanya, dengan demikian maka Seng Sam Hau sekalian yang menyeberang lebih dahulu telah tiba ditepi seberang jauh lebih lambat daripada pemuda itu berdua. Sementara itu dengan bambu kecil ditangannya sebagai pencari jalan, dengan gerakan yang amat gesit nenek buta itu sudah berada dua tiga tombak tingginya dari permukaan tanah, tubuhnya bergerak terus naik ke atas puncak bukit itu tanpa berhenti barang sekejappun. 0000O0000 34 Hoa Thian-hong amat terperanjat melihat kegesitan orang itu, pikirnya dalam hati, Nenek buta itu bisa mendaki ke atas gunung yang licin bagaikan berjalan ditanah datar belaka, ia betul-betul luar biasa sekali, ka lau orang tidak tahu tentu tak akan percaya kalau dia adalah seorang nenek buta...." Bukit itu tingginya mencapai seratus tombak, kurang lebih belasan tombak dari puncak bukit tersebut terdapat sebuah gua karang, perkataan yang berkumandang di angkasa barusan bukan lain berasal dari balik gua itu, rupanya nenek buta itu mengandalkan ketajaman pendengarannya untuk menentukan arah yang benar. Jilid 25 : Oh Ibu..akhirnya bertemu lagi TAMPAKLAH bambu kecil ditangan-nya bergetar tiada hentinya, dalam waktu singkat ia sudah berada di depan mulut gua. "Nenek tua!" tiba-tiba Tio Sam-koh membentak keras, "cepat hentikan langkahmu, daripada mencari penyakit buat diri sendiri!" Agaknya ilmu meringankan tubuh yang di miliki nenek baju abu-abu ini jauh di atas nenek buta, sebelum orang lain menyadari apa yang telah terjadi tahu-tahu ia sudah berada di hadapan lawannya. Nenek buta itu tidak menggubris bentakan orang, sambil bersuit nyaring, ia jejakkan kakinya ke atas tanah dan menerjang masuk ke dalam gua karang itu.... Tio Sam-koh sendiri meskipun buka suara memberi peringatan, akan tetapi tubuhnya tetap berdiri ditepi gua dan sama sekali tidak menghalangi perbuatan orang itu. Hoa Thian-hong yang berdiri kurang lebih puluhan tombak dari mulut gua itu segera pusatkan perhatian ke arah depan setelah melihat kejadian itu, dia ingin tahu manusia macam apakah yang bersembunyi di dalam gua itu. Baru saja nenek dewa bermata buta menerjang masuk kemulut gua, mendadak suitan tajamnya itu terhenti sampai di tengah jalan, te lapak kirinya diayun dan mengirim satu pukulan ke arah dalam gua. Jeritan kesakitan berkumandang memecahkan kesunyian, tiba-tiba bambu kecil yang dipegang di tangan kanannya terlepas dari cekalan, sementara tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh terguling dari atas bukit curam itu. Peristiwa tersebut benar-benar merupakan suatu kejadian aneh yang sukar dipercayai orang, dengan tenaga lweekang yang dimiliki nenek dewa bermata buta dari peikumpulan Hong-im-hwie ternyata tak sanggup mempertahankan diri terhadap sebuah pukulan dahsyat dari orang lain, dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa jago lihay yang berada di dalam gua merupakan seorang tokoh silat yang maha dahsyat. Semua orang saling pandang dengan mata terbelalak, sementara nenek buta itu dengan baju yang koyak dan kulit robek tersayat batu tajam, menggelinding terus sampai di bawah bukit, keadaannya mengenaskan sekali dan nenek itu ketika jatuh tak sadarkan diri. Hoa Thian-hong berdiri dipaling depan, sebagai seorang jago Bulim yang berhati mulia, meskipun tahu bahwa nenek buta adalah musuh tadi ia merasa tak tega membiarkan badannya tersayat hancur, buru-buru telapaknya diayun ke depan melancarkan sebuah pukulan angin lunak, dengan demikian tertahanlah tubuh nenek buta itu sehingga tidak sampai terbanting di bawah jurang. Sreeet....!sreeet....! Cu Goan-khek serta seorang kakek baju hijau bersama-sama loncat maju ke depan, mereka segera membangunkan tubuh nenek buta itu dari atas tanah. Kakek baju hijau itu memeriksa sebentar denyutan nada si nenek buta, lalu ujarnya, "Jiko, Sian poo terpukul oleh segulung hawa pukulan yang maha dahsyat sehingga napasnya tersumbat...." Dengan air muka hijau membesi, Cu Goan-khek mengangguk, buru-buru ia gerakkan tangannya menguruti seluruh jalan darah dan nadi penting di tubuh nenek buta itu. Tio Sam-koh yang selama ini hanya berdiri saja di depan gua, tiba-tiba menyambar bambu kecil berwarna hijau milik nenek buta itu, sambil diayun kemuka, bentaknya, "Cu Goan-khek! ayoh cepat enyah dari tempat ini.... kalau sampai menggunakan hati aku si nenek tua....Hmm! akan kuusir kalian kawanan bajingan tengiK dari tempat ini!" Cu Goan-khek menengadah ke atas dan memandang sekejap ke arah Tio Sam-koh dengan pandangan dingin, sementara dalam hati sumpahnya, "Setan tua.... Hmmm! Sekarang engkau bisa berlagak, suatu hari kalau terjatuh ketanganku.... Heeeh heeeh heeeh.... lihatlah sampai di manakah kelihaian ji-ya mu...." Walaupun makian itu cukup tajam dan pedas namun tak sampai diutarakan keluar. Lain halnya dengan Seng Sam Hau yang berwatak berangasan, dengan mata melotot dan wajah penuh hawa pembunuhan teriaknya, "Nenek edan, kau musti tahu bahwa saudara dari Hong-im-hwie bukanlah manusia yang gampang dihina, Hmm.... hati-hati dengan mulutmu itu, kalau sampai nanti salah bicara. Tio Sam Kau adalah jago tua yang berwatak berangasan pula, ibaratnya jahe, semakin tua semakin pedas, mendengar ucapan itu ia naik pitam, teriaknya pula, "Bajingan tengik kenapa kalau sampai salah bicara?" Bambu hijau dalam genggaman tangannya langsung dibabat ke arah depan. Bambu kecil itu tersohor sebagai bambu mustika dari negeri Thiam tok (India), dan merupakan senjata andalan dari nenek dewa bermata buta selama berkelana dalam dunia persilatan, walaupun sepintas lalu kelihatannya kecil dan lunak namun dalam kenyataannya kuat dan keras sekali, bambu itu merupakan sejenis senjata yang sangat lihay. Babatan yang dilancarkan Tio Sam-koh ini membawa desiran angin tajam yang amat membisingkan pendengaran, bayangan hijau berlapis-lapis dan dengan cepat menyelimuti daerah seluas beberapa depa disekeling tempat itu. Seng Sam Hau tidak menyangka kalau dirinya bakal diserang secara begitu hebat, menyaksikan datangnya ancaman yang begitu dahsyat ia menjadi keder dan buru-buru melompat mundur ke belakang. Bluuuk....! dengan telak bambu mustika dari negeri Thiam tok itu bersarang di atas punggUng Seng Sam Hau yang lebar, hwesio gede itu menjerit kesakitan dan segera roboh terjengkang ke atas tanah. Untung Thio Sam-koh tidak menguasai sifat-sifat dari bambu mustika itu, sehingga tenaganya tidak sampai dipergunakan tepat pada waktunya, kalau tidak tulang punggung hwesio, gede she Seng ini tentu akan patah jadi beberapa bagian. Para jago dari perkumpulan Hong-im-hwie jadi amat gusar menyaksikan peristiwa itu, bentakan keras berkumandang memecahkan kesunyian, masing-masing orang mencabut senjatanya dan terjun ke dalam gelanggang pertarungan, Dalam sekejap mata lima orang pria telah mengepung Tio Sam-koh rapat-rapat, pertempuran sengitpun dengan cepat berlangsung di atas bukit yang tidak rata itu, deruan angin tajam bentakan nyaring berkumandang silih berganti. Hoa Thian-hong mengikuti jalannya pertarungan itu, diam-diam merasa kagum, ia tak menyangka kalau Tio Sam-koh begitu ampuh meskipun harus menghadapi kerubutan lima orang jago lihay, pikirnya, "Nenek tua ini benar-benar merupakan seorang panglima angkatan perang yang tangguh, seandainya ilmu silat yang dimiliki dewa pelancongan Cu Tong serta Cu Im taysu sekalian serta beberapa orang sederajat dengan ilmu silatnya, maka pihak kami tak usah jeri untuk menghadapi tiga besar dari dunia persilatan...." Berpikir sampai disitu, tanpa terasa timbullah kesan yang baik dan mendalam terhadap nenek baju abu-abu yang pernah menghadiahkan sebuah gaplokan kepadanya itu, kepada Hoa In segera pesannya, "Berjaga-jagalah di samping arena dengan waspada, andaikata nenek tua itu menunjukkan tanda kewalahan, segera terjun ke dalam gelangang dan bantulah dirinya" "Siau Koan-jin akan pergi kemana?" "Aku hendak menengok sebentar ke atas" sambil berjalan ia menuju ke arah gua. "Hoa Thian-hong!" tiba-tiba Tio Sam-koh membentak dengan suara keras, "kau sudah bosan hidup?" Pemuda itu tersenyum. "Nenek gagah dan tangguh sekali, boanpwee merasa amat kagum!" serunya. Tio Sam-koh semakin naik pitam, teriaknya, "Siapa suruh kau sanjung diriku" Bila kau berani masuk ke dalam gua itu, maka nenek buta adalah contoh yang paling tepat!" Rupanya nenek itu gelisah sekali, karena harus pecahkan perhatian untuk berbicara maka seketika itu juga ia terjepit dan menjumpai bahaya Hoa In sendiripun tahu bahwa dalam goa tersebut bersemayam seorang tokoh sakti yang berkepandaian tinggi, sebelum teman atau musuh bisa ditetapkan, ia tak ingin membiarkan Hoa Thian-hong menempuh bahaya, buru-buru serunya, "Tio Lo thay adalah angkatan tua yang harus kita hormati, Siau Koan-jin kau harus turuti perkataannya" Hoa Thian-hong tertawa. "Hati-hatilah berjaga-jaga disitu, tak usah banyak urusi persoalanku...." Ia loncat kemuka dan melayang turun di luar gua. Walaupun nyalinya besar, tetapi setelah menyaksikan keadaan dari nenek buta yang terlempar keluar dari gua dalam keadaan luka parah sebelum melangkah masuk ke tempat itu, Hoa Thian-hong sadar bahwa orang di dalam goa itu lihay sekali. Dengan pandangan tajam ditatapnya lebih dahulu suasana dalam gua karang itu. Mulut gua luasnya hanya enam depa, suasana gelap gulita ibaratnya sumur yang tak nampak dasarnya, lama sekali pemuda itu melongok ke dalam namun tak suatu apapun yang terlihat. Dalam keadaan begini timbullah rasa ingin tahu dalam hatinya, ia semakin bernafsu untuk menyelidikinya. "Hoa Thian-hong!" kembali Thio Sam-koh membentak Bara Maharani Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dengan keras, "cepat mundur ke belakang, kalau tidak akan kuberitahukan kepada ibumu kalau engkau tak mau dengarkan nasehat angkatan yang lebih tua.... Hmm! waktu itu sepasang kakimu tentu akan digebuk sampai kutung!" Diam-diam Hoa Thian-hong merasa geli, pikirnya, "Asal aku bisa bertemu dengan ibu, sekalipun bakal digebuk juga tak menjadi soal" Berpikir demikian dengan wajah serius ia segera memberi hormat ke arah gua yang gelap gulita itu, serunya dengan lantang, "Cianpwee darimanakah yang berada di dalam gua" Aku yang rendah Hoa Thian-hong mohon bertemu" Ditunggunya beberapa saat tapi suasana dalam gua tetap sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun. Hoa Thian-hong jadi sangsi, pikirnya, "Kalau dilihat dari keadaan ini, semestinya berarti orang itu tak mau berjumpa dengan aku!" Kendati ia berpengalaman namun usianya yang masih muda membuat pemuda itu tak terima kalau sudah persoalan itu sampai di situ saja, dengan memberanikan diri ia maju beberapa langkah lagi ke depan, lalu menjura dan berseru, "Cianpwee yang berada dalam gua, maafkanlah diriku bila hamba terpaksa harus masuk sendiri kedalam" Selesai berkata ia langsung berjalan menuju ke dalam gua. Tiba-tiba terdengar Tio Sam-koh membentak gusar, begitu keras suaranya sampai mengejutkan hati Hoa Thian-hong, ia menghentikan langkahnya dan segera berpaling ke belakang. Tampaklah Tio Sam-koh sambil meraung gusar, bambu mustika dari negeri Thiam tok itu diputar dan dibabat secara ngawur, serangan yang dilancarkan tanpa memakai aturan ini seketika menggusarkan jago Hongimhwie yang berada disekeliling itu, mereka sama-sama mencabut senjata dan segera meluruk ke depan. Hoa In jadi gelisah menyaksikan permainan bambu dari nenek tua itu bertambah kalut, teriaknya, "Tio Loo thay, tenangkan hatimu dan bertempurlah dengan pikiran yang mantap...." Simbil tertawa telapaknya segera disodok kemuka melancarkan satu pukulan dahsyat. "Tua bangka!" tiba-tiba Tio Sam-koh berteriak, "selama aku hidup si nenek tua paling segan bertempur secara tenang, bajingan-bajingan tengik ini kuserahkan semua kepadamu!" Bambu mustikanya digetarkan kemuka menangkis beberapa buah senjata yang mengancam tubuhnya, kemudian ia enjotkan badan ke angkasa dan meluncur ke arah mulut gua. Hoa Thian-hong jadi tertegun, pikirnya, "Oooh....!rupanya nenek ini menggunakan akal licik...." Belum habis ingatan tersebut berkelebat dalam benaknya, Tio Sam-koh sudah menyambar lewat dari atas kepalanya.... Sreeet! Sebuah babatan bambu mengencam ke arahnya. Hoa Thian-hong tahu bahwa nenek tua ini tidak pakai aturan, serangan yang dilancarkan pasti berat sekali, buru-buru badannya loncat ke samping dan berkelit dari ancaman tersebut. Tio Sam-koh segera melayang ke atas tanah dan menghadang dimulut gua, sambil mengawasi tubuh Hoa Thian-hong dengan pandangan tajam, tegurnya cepat, "Telur busuk cilik, siapa yang telah turun tangan melukai dirimu hingga separah ini?" Tiba-tiba seperti teringat akan sesuatu, ia melirik sekejap ke arah balik gua dan segera membungkam kembali. Hoa Thian-hong ikut melirik ke arah gua, tetapi ketika dilihatnya suasana disitu gelap gulita tak nampak sesuatu apapun, tanpa terasa sambil tertawa nyaring tegurnya, "Hey orang tua, kenapa kalau bicara tersendat-sendat?" Tio Sam-koh mendelik besar, makinya, "Bocah keparat, kau tak tahu sopan!" Sambil ayun bambu mustika itu bentaknya keraskeras. "Ayoh cepat enyah yang jauh dari sini!" "Hiiih.... hiiih.... orang tua, katanya kau hendak mencari ibuku, apakah sudah ketemu?" "Hmm, ibumu benci karena kau tidak berbakti, ia sudah mati menggantung diri" "Hey orang tua, kalau kau berani menyumpahi ibuku, jangan salahkan kalau aku akan kurang adat pula kepadamu!" teriak Hoa Thian-hong pura-pura gusar. "Heeeh-heeeh-heeeh.... kau mau apa?" jengek Tio Sam-koh sambil tertawa dingin, "akan kugaplok dirimu dua kali lagi, ingin ku lihat kau berani memberontak atau tidak?" Mendengar ancaman itu Hoa Thian-hong jadi terkesiap, ia takut dirinya benar-benar digaplok orang, buru-buru telapak tangannya disilangkan di depan dada siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan. Tiba-tiba terdengar nenek dewa bermata buta membentak dengan suara berat, "Tio Sam-koh, ayoh cepat menggelinding turun ke bawah, apakah engkau hendak menunggu sampai aku naik ke atas untuk menangkap dirimu?" Ketika Hoa Thian-hong berpaling ke bawah, terlihatlah Cu Goan-khek dengan tubuh basah kuyup oleh keringat sedang duduk beristirahat disamping, sedangkan nenek dewa bermata buta sudah bangkit berdiri, telinganya dipasang baik-baik dan rupanya sedang mencari letak berdiri dari nenek baju abu-abu itu. Tio Sam-koh segera mendengus dingin, dia meloncat turun ke bawah sambil serunya, "Nenek buta, Tio Samkoh berada disini, apa yang hendak kau ucapkan kepadaku?" Sebetulnya ketika itu Hoa In sedang bertempur sengit, ketika melihat si nenek buta sudah sadar pingsannya, ia segera menghentikan pertarungan dan mengundurkan diri ke samping, sedang Hoa Thian-hong pun batalkan niatnya untuk masuk ke dalam goa. Sungguh lihay pendengaran nenek buta itu, ia segera alihkan pandangannya ke arah Hoa In sambil tegurnya, "Orang ini memiliki ilmu silat yang sangat bagus, jago lihay dari manakah dia?" "Aku Hoa In dari perkampungan Liok Soat Sanceng!" Nenek dewa bermata buta agak tertegun, setelah hening beberapa saat lamanya dia mengangguk. "Oooooooh....! Kiranya Loo koankee dari perkampungan Liok Soat Sanceng!" Setelah berhenti sebentar, ia berpaling ke arah Hoa Thian-hong lalu bertanya, "Dan siapakah dia?" "Aku bernama Hoa Thian-hong!" Cu Goan-khek maju selangkah ke depan sambil menambahkan, "Dia adalah putra tunggal dari Hoa Goansiu, merupakan orang penting dalam pergolakan kali ini" Air muka nenek dewa bermata buta agak berubah lalu mengangguk, tiba-tiba sambil berpaling ke arah gua bentaknya sambl menyeringai seram. "Tio Sam-koh, sebenarnya jago dari manakah yang ada di dalam gua" Selamanya aku si nenek buta tak akan membiarkan orang lain mengambil keuntungan dariku, benarkah engkau hendak menanggung hutang ini?" Tio Sam-koh tertawa dingin. "Oooh.... jadi kau sibuta ingin membatas dendam atas kekalahanmu barusan" Huuh.... terus terang kuberitahukan kepadamu, bahwa orang yang ada dalam gua itu adalah seorang jago yang maha besar, kau tak mungkin bisa menuntut balas terhadap dirinya, lebih baik catat saja hutang hari ini atas namaku!" "Oooh.... kiranya dia sendiripun tak tahu siapakah jago yang berada di dalam gua itu," pikir Hoa Thian-hong dengan hati tercengang, "orang itupun aneh sekali, kepandaian silatnya begitu lihay tapi apa sebab-nya ia tak mau unjukkan diri untuk bertemu dengan orang?" Dalam pada itu, secara diam-diam Cu Goan-khek telah menilai situasi yang sedang dihadapinya waktu itu, dia merasa ilmu silat yang dimiliki nenek buta seimbang dengan ilmu silat dari Tio Sam-koh, sedang kekuatan Hoa Thian-hong berdua tidak berada di bawah kepandaian para jago-jagonya, andaikata terjadi pertarungan maka kedua belah pihak tentu akan samasama menderita kerugian. Berpikir sampai disana, tanpa terasa alisnya berkerut kencang, pikirnya lebih jauh, "Bangsat cilik she Hoa itu terluka dan keadaannya payah, sebetulnya suatu kesempatan yang bagus bagi kami untuk menghajar harimau sakit itu.... sayang di dalam gua masih ada penyakit lain, lagipula Hoa In kalau sampai nekad tentu sukar dihadapi...." Sebagai orang yang licik, setelah mengetahui bahwa tiada keuntungan bagi pihaknya segera timbullah niat untuk mengundurkan diri dari tempat itu. Dalam pada itu, nenek dewa bermata buta sudah berpekik keras, tubuhnya laksana kilat menerjang ke arah Tio Sam-koh. Rupanya nenek baju abu-abu itu sudah mengenali watak nenek buta yang selamanya menyerang tanpa memberi tahu lebih dahulu itu, bambu mustikanya digetarkan lalu menyongsong ditangnya terjangan itu, sambil tertawa terbahak-bahak, serunya, "Hey nenek buta, asal engkau bersedia angkat sumpah berat dan berjanji mulai hari ini tak akan melakukan pembunuhan lagi memandang di atas wajah itu aku suka mengembalikan bambu ini kepadamu" Dalam waktu singkat kedua belah pihak telah melangsungkan pertarungan sebanyak dua puluh jurus lebih, dalam keadaan nekad nenek buta itu menyerang sekenanya, baik serangan telapak, serangan jari, rendangan maupun kepalan dipergunakan semua secara kombinasi, nekad bagaikan harimau gila yang sudah teluka hal ini membuat keadaannya benar-benar mengerikan sekali. Tio Sam-koh sendiri berhubungan harus menggunakan senjata milik musuh yang enteng dan lunak, di mana senjata itu tidak sesuai dengan gerak ilmu silatnya, baru bertarung dua puluh jurus ia sudah keteter hebat dan beberapa kali terancam jiwanya.... Pertarungan tersebut benar-benar suatu pertarungan yang mencengangkan hati, para hadirin cuma bisa saling berpandangan sambil berdiri melongo. Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya melihat keadaan itu, diam-diam pikirnya. "Kenapa sih sifat kekanak-kanakan pada nenek tua itu belum juga hilang...." Urusan menyangkut tentang mati hidupnya, kenapa dia malahan memandangnya sebagai permainan anak-anak?" Seringkali dia merasa bahwa akhir dari pertemuan besar Pok beng Tay hwee merupakan pelajaran berdarah yang ditinggalkan generasi yang lalu kepada mereka semua, ia merasa seandainya suatu saat antara golongan hitam dan golongan putih terjadi kembali pertarungan yang menentukan, maka bila golongan putih menderita kekalahan total maka semua jago dalam dunia persilatan akan musnah dengan begitu saja. Maka dari itu dia mempunyai suatu perasaan sayang terhadap setiap umat Bulim yang berpihak kepadanya, ketika menyaksikan Tio Sam-koh memandang keselamatan jiwanya seperti barang mainan, timbul rasa gelisah dan kuatir dalam hati pemuda itu. Sedikitpun tidak salah, belum sampai empat puluh jurus, tiba-tiba nenek buta itu mengumbar hawa amarahnya, ia berpekik nyaring tangan kirinya menggaet menyambar bambu mustika di tangan Tio Sam-koh sedang tangan kanannya mendadak kirim satu pukulan dahsyat ke depan. Keadaan nenek buta itu benar-benar mengerikan sekali, wajahnya menyeringai seram sedang giginya terkatup kencang, pukulan yang dilancarkan itu benarbenar mengerikan sekali. Melihat keadaan tidak menguntungkan bagi dirinya, Tio Sam-koh segera melepaskan bambu mustika itu dan buru-buru loncat mundur ke belakang. Setelah berhasil merampas kembali senjatanya, keadaan nenek buta itu bagaikan harimau tumbuh sayap, ia tertawa seram dan berseru, "Tio Sam-koh, saat kematianmu sudah tiba, " Bambu mustika dari negeri Thiam tok itu menyerang bagaikan kitiran hujan badai, sekujur badan Thio Samkoh terbungkus dalam kepungan musuh. Satu kali salah bertindak, posisi baik kena direbut orang dan nenek baju abu-abu itupun terdesak di bawah angin, hal ini membuat ia jadi gelagapan dan tak berdaya mempertahankan diri. Dalam Waktu singkat, selapis bayangan cahaya warna hijau mendesak Tio Sam-koh ha us mundur ke belakang berulang kali, gelak tertawa nyaring, raung gusar serta teriakan keras bercampur aduk menjadi satu. Para kerabat dari kedua belah pihak sama-sama gerakkan tubuhnya mendekat ke depan, Cu Goan-khek yang menyaksikan kemenangan berada dipihaknya jadi girang sekali, semangatnya berkobar-kobar kembali dan wajahnya berseri-seri. Sebaliknya Hoa Thian-hong serta Hoa In jadi gelisah Pedang Ular Merah 8 Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Maut Dari Hutan Rangkong 3