Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 1
Bidadari dari Sungai Es
(Peng Tjoan Thian Lie)
Karya : Liang Ie Shen (Liang Yu Shen)
Saduran : Boe Beng Tjoe
Sungai es di puncak gunung laksana Thianho*) yang nyungsang. Dengarlah 'tu
kepingan es mengalir dengan bersuara perlahan sekali, Ibarat suara tetabuhan yang dipentil
dengan jeriji si
gadis jelita, Si nona tanya pada sang pengembara: Berapa gunung es lagi yang harus kau daki"
Berapa topan lagi harus kau lewati" Pengembara!
Sang elang di atas padang rumput pun tak dapat terbang terus-terusan. Tapi kau
jalan, jalan terus, jalan terus,
Sampai tahun apa, bulan apa, barulah kalian mau turun dari kuda"
Nona, terima kasih atas kebaikanmu.
Tapi kami tak dapat menjawab pertanyaanmu.
Apakah kau pernah melihat bunga di padang pasir"
Apakah kau pernah melihat gunung es menjadi lumer"
Kau belum pernah lihat" Belum pernah!
Maka itu, kami pengembara.
Juga tak akan berhenti jalan selama-lamanya.
*) Thianho, Bima Sakti atau Milky Way adalah sehelai sinar terang di waktu malam
yang membentang di langit, terdiri dari rangkaian bintang-bintang. Sungai es yang
mengalir dari atas
puncak gunung ke bawah diibaratkan Thianho yang membentang nyungsang.
Itulah suara nyanyian, diseling dengan klenengan kuda, yang pada suatu hari
dapat didengar di
padang rumput perbatasan Tibet. Nyanyian itu keluar dari mulutnya pengembara
yang sedang lewat di padang rumput tersebut. Pegunungan Himalaya yang berentet-rentet,
puncak-puncak gunung yang tertutup es dan menjulang tinggi sehingga menembus awan seperti juga
sedang mendengari nyanyian itu yang menyedihkan hati.
Dan tanpa diketahui oleh sang penyanyi, satu pemuda bangsa Han turut pasang
kupingnya. Air mata berlinang di kedua matanya. Ia menghela napas panjang dan berkata seorang
diri: "Aku dan
kalian tak ada bedanya. Kalian mengembara ke ujung langit, aku pun tak tahu
kapan bisa dapat
pulang ke kampung kelahiranku."
Pemuda itu she Tan, bernama Thian Oe, kelahiran Souwtjiu, daerah Kanglam.
Ayahnya, Tan Teng Kie, dahulu pegang pangkat di kota raja, tapi lantaran ia berani ajukan
pengaduan yang menyerang Ho Kun, satu menteri busuk yang sangat disayang oleh Kaizar Kian
Liong, ia dikirim ke
Tibet (Seetjong) sebagai Amban1) (Soanwiesoe) pada sekte Sakya. Sedari waktu itu
sampai sekarang, delapan tahun sudah lewat. Waktu datang di Tibet, Thian Oe masih anakanak berusia sepuluh tahun, sekarang ia sudah jadi pemuda 18 tahun.
Berada jauh di tempat orang, hatinya Thian Oe sangat rindukan kampung
halamannya, terutama lantaran ayahnya hampir saban hari ceritakan keindahannya Kanglam yang
permai. Jumlahnya pengembara itu ada belasan orang, antaranya terdapat orang Tibet,
Uighur dan dua orang Han. Rupanya mereka bertemu di tengah jalan dan lalu membentuk satu
rombongan penjual suara yang berkelana ke sana-sini. Kedua matanya Thian Oe yang mengikuti
mereka mendadak terpaku kepada satu gadis dari suku Tsang yang memakai pakaian serba
putih. Berjalan
di antara kawan-kawannya, gadis itu adalah laksana burung ho di antara kawanan
ayam. Lain orang menyanyi, ia sendiri tutup mulut rapat-rapat, sedang kedua matanya yang
bersinar terang
mengawasi langit dan awan tanpa berkesip. Duduk di atas sela, ia seperti juga
tidak dengar suara
kawan-kawannya, seperti sedang memikir sesuatu. Kalau bukan biji matanya masih
bergerakgerak, Thian Oe bisa salah mata dan menduga ia sebagai patung di atas kuda.
Selagi mengimplang seperti orang kehilangan semangat, tiba-tiba terdengar suara
burung gagak di tengah udara. Thian Oe dongak dan mendadak dengar suara menjepratnya
tali gendewa dan sebatang anak panah, yang dilepaskan oleh salah satu orang Han, menyambar ke
arah ia. Dari mendesingnya sang anak panah yang menusuk telinga, ia tahu bahwa orang yang
melepaskan mempunyai tenaga dalam yang sangat kuat.
Thian Oe kelit sembari angkat tangannya yang tepat menangkap buntut anak panah.
Baru mau membentak, ia kembali dengar suara menjeprat dan sang gagak jatuh terguling
sembari berteriak
keras. Dengan tangan mencekal gendewa, orang itu memberi hormat kepada Thian Oe dan
berkata: "Lantaran jengkel mendengar suara gagak, aku jadi panah padanya. Cuma menyesal,
sebab kepandaianku belum sempurna, aku jadi membikin kongtjoe mendapat kaget."
Thian Oe keluarkan suara di hidung dan berkata dengan berdongkol: "Jika aku
tidak mengerti ilmu menangkap anak panah, apakah aku sekarang masih bisa bicara dengan kau"
Kenapa kau memanah secara begitu?"
"Harap kongtjoe perhatikan anak panahku," kata orang itu sembari tertawa. "Anak
panah itu tidak bisa mencelakakan orang!
Aku sebenarnya mau panah gagak, tapi sebab kepandaianku belum cukup, maka aku
membikin kongtjoe jadi salah mengerti."
Tan Thian Oe periksa anak panah itu, yang ternyata benar tidak ada tajamnya.
Orang itu cabut
sebatang anak panah yang ada tajamnya dan berkata: "Ini barulah anak panah yang
dapat mencelakakan orang."
Ia lantas pentang gendewanya dan memanah ke udara. Selagi anak panah itu jatuh
ke bawah, ia susul dengan lain anak panah yang secara tepat sekali ujungnya kebentrok
dengan ujung anak
panah pertama, sehingga lelatu api kelihatan muncrat di udara dan kedua anak
panah jatuh berbareng ke muka bumi. Orang itu tertawa berkakakan dan merangkap kedua
tangannya, akan
kemudian keprak kudanya buat susul kawan-kawannya.
Thian Oe jadi seperti orang kesima. "Ilmu memanah orang itu jarang terdapat
dalam dunia,"
kata ia dalam hatinya.
"Barusan terang-terangan ia memanah aku, tapi bilang kesalahan tangan. Sedang
aku tidak kenal padanya, kenapa ia panah padaku" Dan kalau toh sudah memanah aku, kenapa
ia gunakan anak panah tumpul" Apa maksudnya?"
Selagi putar otaknya buat mencari-cari jawabannya, mendadak kedengaran satu
seman "Siauwya (majikan kecil)!" dan satu kacung yang berusia kurang lebih 17 tahun
kelihatan muncul.
Tan Thian Oe terkejut dan berkata: "Kang Lam, kau juga ada disini" Kenapa aku
tadi tidak lihat
kau?" Lantaran kangen pada daerah Kanglam yang ia sudah tinggalkan dalam tempo lama,
ayahnya Thian Oe memberi nama Kang Lam kepada kacungnya, sebagai semacam peringatan bagi
tempat kelahirannya. Usianya Kang Lam hampir bersamaan dengan Thian Oe yang menjadi
kawan memainnya sedari kecil.
Mendengar pertanyaan majikannya, kacung yang nakal itu lalu tertawa haha-hihi
dan menyahut: "Looya (majikan tua) perintah aku cari kau dan waktu orang hitam itu
panah padamu, aku mengumpat di alang-alang. Siauwya, banyak tahun aku ikuti kau, tapi aku
tidak tahu kau mempunyai kepandaian begitu tinggi dan sekali jambret saja, kau bisa tangkap
anak panah itu!
Dan lebih heran lagi, aku belum pernah lihat kau belajar memanah. Siauwya,
bolehkah kau ajarkan aku."
Parasnya Thian Oe berobah dan ia berkata dengan sungguh-sungguh: "Kang Lam, aku
larang kau memberitahukan hal ini kepada looya! Jika hal aku menangkap anak panah kau
beritahukan kepada lain orang, aku akan keset kulitmu!"
Melihat sikap majikan kecilnya begitu sungguh-sungguh, Kang Lam segera berkata
sembari leletkan lidah: "Tidak, aku tentu tidak omong dengan siapa pun juga." Tapi dalam
hatinya ia merasa heran, kenapa juga majikan itu sungkan memberitahukan kepandaiannya
kepada sang ayah. Sembari lari loncat-loncatan, Kang Lam pungut burung gagak yang barusan dipanah
jatuh oleh orang itu. "Hei!" mendadak ia berseru. "Kenapa gagak ini mati tanpa ada
lukanya?" Thian Oe terkejut dan periksa bangkai burung itu yang ternyata benar tidak
terluka barang sedikit, sedang sebatang anak panah tumpul menggeletak di dekat bangkai burung
itu. Ia tahu, gagak itu binasa dengan luka di dalam badannya lantaran terpukul batang anak
panah. "Jika
gagak ini yang terbang begitu tinggi binasa tertikam tajamnya anak panah,
tidaklah usah dibuat
heran," kata Thian Oe di dalam hatinya. "Tapi dengan binasa cuma lantaran kena
terpukul batang
anak panah, bisalah dibayangkan hebatnya tenaga dalam orang yang memanah itu."
Demikianlah dengan hati masgul, Thian Oe lalu berjalan pulang bersama
ka.cungnya. Setibanya
di rumah, ia lihat ayahnya sedang pasang omong dengan satu orang di kamar
tetamu. Orang itu
berusia kurang lebih 50 tahun, paras mukanya bersih dan jujur, jenggotnya
panjang, punggungnya sedikit bongkok, sehingga ia kelihatannya seperti seorang sastrawan
tua yang gagal dalam ujian. Orang itu bukan lain dari gurunya (guru surat), she Siauw bernama
Tjeng Hong. Guru itu mulai bekerja pada tahunan Tan Teng Kie dikirim ke Tibet oleh Kaizar
Kian Liong. Waktu itu ia masih menjabat pangkat Tjiesoe, dan oleh karena keuruk dengan
tugasnya, ia jadi
tidak mempunyai tempo senggang untuk mendidik puteranya. belakangan salah satu
sahabatnya pujikan Siauw Tjeng Hong buat ajar ilmu surat kepada puteranya itu. Sesudah
omong-omong, ia
dapat kenyataan Siauw Tjeng Hong mempunyai pengetahuan yang cukup baik, maka
tanpa rewel ia segera pekerjakan padanya. Tidak lama kemudian, lantaran menulis surat
pengaduan yang menyerang Ho Kun, Teng Kie dikirim ke Tibet sebagai semacam hukuman. Sebenarnya
ia merasa tidak enak hati buat ajak sang guru pergi ke tempat yang begitu jauh, akan
tetapi Siauw Tjeng
Hong sendirilah yang sudah mendesak supaya diajak. Ia mengatakan merasa cocok
dengan majikannya itu dan secara suka rela suka turut pergi ke Tibet. Oleh karena lihat
kesungguhan orang, Tan Teng Kie jadi sangat hargakan padanya dan perlakukan ia seperti
anggauta keluarga
sendiri. Sesudah Thian Oe memberi hormat kepada ayah dan gurunya, Teng Kie lantas
menanya: "Oedjie
(anak Oe), kemana kau pergi begitu lama" Lain kali tidak boleh pergi memain
sendirian."
"Datang serombongan penyanyi, malam ini mungkin ada pertunjukan," si kacung
menyeletuk. Thian Oe lirik kacungnya itu, tapi ia seperti juga tidak melihat. "Sinshe
(guru)," kata Kang Lam
lagi. "Kau adalah seorang berpengalaman dan
berpengetahuan luas, tapi pernahkah kau lihat orang panah gagak dengan anak
panah tumpul?" Paras mukanya Siauw Tjeng Hong berobah dengan mendadak. "Apa?" ia menegasi.
Sehabis berkata begitu, mukanya pucat seperti kertas, sedang badannya bergoyang-goyang.
Tan Teng Kie kaget dan menanya: "Kau kenapa, Siauw sinshe?"
"Lantaran perobahan hawa, mungkin kena pilek," jawabnya.
"Kang Lam," kata Teng Kie. "Pergi antar sinshe ke kamarnya supaya mengasoh."
"Sinshe lagi kurang enak badan, kau jangan banyak bicara," memesan Thian Oe.
Kang Lam manggutkan kepalanya. Diam-diam ia lirik Thian Oe dan bikin muka badut.
"Aku toh tidak sebut-sebut soal kau tangkap anak panah. Kenapa kau jadi kebingungan?"
kata ia dalam hatinya. Thian Oe jadi heran sekali. Ia tidak mengerti, kenapa gurunya jadi begitu
ketakutan, setelah
mendengar perkataannya Kang Lam.
"Mulai dari sekarang, kau tidak boleh lagi pergi keluar sendirian," kata lagi
sang ayah. "Kalau
tidak ada pekerjaan, berdiamlah di dalam rumah. Kau tahu" Tahun yang lalu, suku
Gurkha dari Nepal telah menyerang Tibet dan telah dipukul oleh tentara kerajaan 2). Mereka
tentu penasaran.
Sepanjang warta, mereka telah kirim sejumlah pembunuh buat binasakan pembesarpembesar kerajaan Tjeng. Sekarang pembesar-pembesar yang bertugas di Tibet tidak berani
keluar tanpa
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengawal."
"Apa benar" Apa benar mereka begitu besar nyalinya?" tanya sang putera.
"Warta ini datang dari markas besar Jenderal Hok. Kita tidak boleh tidak
percaya," sahut sang
ayah. Jenderal Hok itu adalah Hok Kong An (Fu Kang An). Ada orang bilang, ia adalah
"anak gelapnya" Kian Liong, akan tetapi, ini cuma merupakan desas-desus yang tidak ada
buktinya. Tapi memang benar, Hok Kong An adalah jenderal yang paling disayang oleh Kian Liong,
yang lantaran sangat mengutamakan keselamatan di daerah perbatasan, sudah kirim jenderal
tersebut untuk menduduki Tibet, dengan markas besarnya di Lhasa.
Malam itu, siang-siang Thian Oe sudah disuruh tidur oleh ayahnya. Akan tetapi,
gulak-gulik di atas bantal, ia tidak bisa pulas lantaran otaknya selalu ingat rombongan
pengembara yang ia
ketemukan tadi siang. Ia tidak dapat menebak siapa adanya itu orang yang
mempunyai kepandaian memanah begitu tinggi. Ia tidak dapat singkirkan dari otaknya itu
gadis Tsang yang
sangat aneh. Begitu meramkan mata, parasnya si nona lantas terbayang di depan
matanya. Itu muka yang seperti patung dengan sinar mata yang dingin bagaikan es seakan-akan
diam-diam melirik padanya dalam malam yang gelap-gelita itu.
Mendadak kupingnya dapat tangkap suara tambur yang kedengarannya lapat-lapat di
tempat yang jauh. Di sebelahnya tambur, kedengaran juga suara cecer dan terompet. Tapi
suara tetabuhan itu sangat membosankan lantaran tetap begitu-begitu juga, tanpa ada
perubahan tinggi
dan rendah, cepat dan perlahan. Tan Thian Oe tahu, tentulah rombongan penyanyi
yang tadi siang sedang membuka pertunjukan malam di padang rumput. Mendengari suara itu,
di tengah malam yang sunyi, tanpa merasa ia jadi mengkirik bulu badannya.
Pada besokan paginya, baru saja Thian Oe sadar dari tidurnya, di luar sudah
kedengaran Kang
Lam bicara: "Hei! Kau percaya atau tidak" Semalam aku lihat setan perempuan. Ha!
Benar loh! Aku tidak mendusta. Setan perempuan!"
Thian Oe terkejut. Berapa saat kemudian, si kacung berkata lagi: "Ha! Setan itu
pakai dua selendang sutera merah, rambut palsunya terurai sampai di pinggangnya, dia pakai
kedok tiga pasegi, lidahnya yang panjang melelet keluar! Ha! Dia juga menari, putar, putar,
putar, luar biasa
cepatnya. Di bawah kedua kateknya terselip dua golok pendek. Sesudah menari, dia
poksay (loncat jungkir balik), goloknya mengkeredep benar-benar menakuti. Sesudah itu,
ia lemparkan rambut palsu dan tarik kedoknya. Ha! Kau bisa tebak! Aduh cantiknya! Aku belum
pernah lihat wanita Tibet yang begitu cantik seperti ia. Cuma paras mukanya dingin seperti
es. Ha! Tak bedanya seperti muka setan perempuan!"
Kang Lam ternyata sedang bicara dengan Loo Ong (si tua she Ong), penjaga pintu.
Ia sedang ceritakan pertunjukan yang ia telah saksikan semalam. Thian Oe tahu, yang ia
namakan "setan
perempuan" tentulah juga itu gadis Tibet yang aneh.
Loo Ong keluarkan suara di hidung dan berkata sembari tertawa dingin: "Kulitmu
kelihatannya sudah gatal. Looya baru saja pesan, kita tidak boleh sembarangan keluar, kau
seorang sudah nyolong lihat wayang."
Kang Lam tertawa terbahak-bahak. "Aku satu orang keluar lihat wayang?" kata ia
dengan suara yang menggenggam rahasia. "Ha! Loo Ong, kau salah raba! Sinshe kita juga pergi
kesana! Hi! Cara-caranya lebih mengherankan daripada setan perempuan itu. Sinshe kita...."
Baru Kang Lam bicara sampai disitu, Thian Oe sudah loncat keluar dari kamarnya
dan membentak: "Kang Lam, sampai kapan penyakit rewelmu bisa hilang" Hayo, lekas
bereskan pembaringanku!"
Melihat majikannya gusar, Loo Ong ngeloyor dengan cepat, sedang Kang Lam masuk
ke kamarnya Thian Oe sembari leletkan lidah. "Siauwya", kata ia seperti orang yang
diperlakukan tidak adil. "Kenapa dalam dua hari ini kau begitu galak?"
Thian Oe rapatkan pintu. "Siauw sinshe kenapa semalam?" ia tanya dengan suara
perlahan. "Oh, kalau begitu Siauwya juga kepengen dengar cerita?" kata ia sembari tertawa
nakal. "Menurut penglihatanku, sinshe kita juga mempunyai kepandaian yang sangat
tinggi. Semalam
jumlah penonton bukan main banyaknya. Sesudah keluarkan banyak keringat, barulah
aku dapat menyelesep masuk, tapi toh tidak bisa berdiri tetap sebab tak hentinya
kena didorong ke
depan dan ke belakang. Tapi sinshe kita, jangan kau pandang rendah badannya yang
kelihatannya lemah. Ia berdiri tegak. Orang-orang yang mendorong sudah pada mental sebelum
senggol badannya. Aku tidak tahu, ilmu apa ia gunakan. Aku heran bukan main. Sebetulnya
aku mau tegor padanya, tapi orang terlalu banyak, sedang itu setan perempuan sudah keluar,
maka aku urungkan niatan itu. Tapi siapa tahu, baru saja pertunjukan setan perempuan itu
selesai, ia sudah
pergi. Kalau ia suka nonton, kenapa tidak nonton terus" Siauwya, bukankah ia
seorang aneh?"
"Kang Lam," kata Tan Thian Oe sembari perengutkan mukanya. "Urusannya Siauw
sinshe, kau cuma boleh ceritakan kepadaku. Pada lain orang, dari Loo Ong sampai Looya, kau
tidak boleh cerita. Jika kau langgar, aku akan keset kulitmu. Tidak, aku akan tidak ladeni
kau lagi."
Thian Oe dan Kang Lam adalah kawan memain sedari kecil. Perhubungan antara
mereka adalah perhubungan sahabat dan bukannya perhubungan antara majikan dan bujang. Thian Oe
kenal baik adatnya si kacung, yang paling takut kalau tidak diajak omong oleh majikan
kecilnya. Baru saja Thian Oe cuci muka dan makan sarapan pagi, Kang Lam datang lagi dan
berkata: "Looya panggil kau."
"Ada urusan apa ayah panggil padaku?" tanya ia dalam hati sambil masuk ke
ruangan tengah,
dimana ia ketemukan orang tua itu sedang duduk dengan paras muka seperti orang
yang lagi berpikir keras.
"Touwsoe mau bertemu dengan kau," kata sang ayah. "Aku tak tahu ada urusan apa.
Touwsoe ini adatnya sangat jelek. Pembesar-pembesar kerajaan tidak ada satu yang
dipandang mata olehnya. Selama berdiam disini delapan tahun, baru berapa kali saja aku bertemu
dengan ianya. Sekarang ia sengaja undang aku bersantap dan pesan juga supaya ajak kau datang
bersamasama. Lekas pergi salin pakaian."
"Aku tidak kenal ia," kata sang putera dengan suara heran. "Ada urusan apa ia
pesan supaya aku datang" Tidak, ayah, aku tak kesudian."
"Tidak boleh begitu, anakku," kata Teng Kie. "Aku bertugas dalam daerah
kekuasaannya. Ia
tuan rumah, kita tetamu. Perhubungan antara tuan rumah dan tetamu haruslah baik,
apalagi dalam banyak hal aku harus mengandal kepada pengaruhnya. Dalam kalangan pembesar
negeri, perhubungan antara kedua keluarga adalah kejadian yang lumrah. Sekarang ia
mengundang kita
dan kita tidak boleh menolak. Jangan kau bawa adat anak-anak."
Mendengar ayahnya berkata begitu, Thian Oe tidak membantah lagi dan lalu pergi
salin pakaian. Amban adalah pembesar sipil dan cuma mempunyai beberapa puluh serdadu pengawal.
Sesudah pilih memilih, Teng Kie ajak delapan pengawal buat antar padanya.
Selagi mau berangkat, diluar mendadak terdengar suara berbengernya kuda dan
penjaga pintu datang melaporkan: "Nyepa
Omateng ingin bertemu dengan taydjin (orang besar = panggilan buat orang
berpangkat)."
"Nyepa" adalah semacam pangkat di Tibet. Di bawah saban Touwsoe ada empat Nyepa.
Tan Teng Kie kaget berbareng girang. "Apa benar?" Nyepa yang berkuasa atas
ketentaraan dan
pengadilan, sehingga pengaruhnya besar sekali. Saban kali satu Nyepa keluar dari
rumahnya, ia selalu diiring oleh satu pasukan tentara, dan oleh karena begitu, Teng Kie jadi
merasa heran dan
ajukan pertanyaan, waktu mendengar Nyepa Omateng datang seorang diri. "Omateng?"
ia menegasi. "Kenapa ia datang seorang diri?"
Thian Oe berdiri di satu pinggiran buat turut sambut kedatangannya pembesar
Tibet itu. Ia lihat
Omateng masuk dengan tindakan meniru caranya pembesar-pembesar kerajaan Tjeng.
Sembari menggendong tangan, ia mendatangi setindak demi setindak sampai di hadapannya
Teng Kie. Ia memberi hormat dengan sikap hormat sekali dan berkata: "Apakah Ponpo mau hadiri
perjamuan Touwsoe?" (Ponpo = Pembesar negri. Panggilan menghormat untuk orang berpangkat).
"Benar," jawab Teng Kie dengan suara terperanjat. "Aku sungguh merasa jengah
sampai Nyepa datang buat menyambut."
Hatinya merasa heran, sebab sang Nyepa yang biasanya angkuh, sekarang jadi
begitu menghormat. Omateng awasi padanya dan berkata sambil tertawa: "Kalau tidak ada urusan
penting, aku tentu tidak datang kesini. Kedatanganku ini adalah buat mohon Ponpo lakukan satu
pekerjaan mulia." Teng Kie yang tadinya duga ia datang atas perintah Touwsoe untuk menyambut
padanya, jadi tercengang mendengar
perkataannya itu. "Urusan apa?" ia tanya.
"Apakah Ponpo tahu kemarin datang serombongan pengembara yang menjual suara?"
tanya ia. "Aku dengar orang bilang begitu," sahutnya.
"Mereka sebenarnya kawanan pencuri kuda," menerangkan Omateng. "Kepandaian
mereka juga lumayan dan mereka telah dapat curi lima ekor kudanya Touwsoe. Yang lelaki
bisa kabur semuanya, yang kena dibekuk satu wanita muda."
Thian Oe terkesiap. "Yang lain aku tidak tahu, tapi orang yang lepaskan anak
panah benarbenar
mempunyai kepandaian tinggi. Kenapa mereka curi kuda" Dalam urusan ini tentu ada
lain latar belakang. Wanita yang kena ditangkap tentulah juga itu gadis yang aneh,"
demikian Thian Oe memikir dalam hatinya.
"Ponpo sudah berdiam disini banyak tahun dan tentu mengetahui peraturan Touwsu
terhadap pencuri kuda," kata lagi Omateng.
Kembali Thian Oe terkesiap. Ia pun sudah pernah dengar penuturan ayahnya, bahwa
hukuman terhadap pencuri-pencuri kuda adalah kejam sekali. Paling dahulu kedua matanya
pencuri dikorek
dan kemudian kedua tangannya dibacok kutung. Mengingat sinar matanya gadis itu
yang bening seperti es, tanpa terasa badannya jadi gemetar.
Paras mukanya Teng Kie juga berobah, tapi ia tentu tidak dapat mencampuri
urusannya Touwsoe. "Sebagaimana Ponpo tahu, hatiku selalu tidak tegaan," Omateng sambung
pembicaraannya. "Aku sungguh tidak tega, kalau gadis itu sampai mesti jalankan
hukuman yang biasa. Maka itu, kalau sebentar bertemu dengan Touwsoe, aku sangat harap
Ponpo sudi mintakan ampun. Jika mesti membayar hukuman denda dengan emas, mohon Ponpo suka
talangi dahulu dan aku akan pulangkan emas itu secara diam-diam."
Mendengar permintaan orang, Teng Kie jadi terlebih heran lagi. "Omateng biasanya
sangat sekaker, kenapa hari ini dia begitu loyar" Apakah wanita itu mempunyai hubungan
apa-apa dengan ia" Tapi kalau benar wanita itu mempunyai hubungan rapat dengan Omateng,
kenapa juga ia mesti menjual suara di padang rumput?" tanya Teng Kie dalam hatinya.
Melihat Teng Kie bersangsi, Omateng kelihatannya bingung sekali. "Ponpo
Taydjin," kata ia.
"Jiwanya nona itu sekarang berada dalam tanganmu."
"Menolong jiwanya satu manusia ada lebih baik daripada berdirikan menara tujuh
tingkat," kata
Teng Kie akhirnya. "Aku berjanji akan berbuat apa yang bisa. Kalau harus
membayar denda, aku
juga masih mempunyai sedikit uang, sehingga tidaklah perlu Nyepa mesti mengodol
kantong. Cuma aku kualir Touwsoe tidak akan mau meluluskan."
"Jika Ponpo yang minta, Touwsu pasti meluluskan," kata Omateng dengan suara
girang. "Sekarang aku mau permisi. Urusan hari ini harap Ponpo jangan sebut-sebut di
hadapan Touwsoe." Ia lalu pamitan dengan cara hormat sekali dan waktu bertindak keluar pintu, ia
mesem-mesem
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepada Thian Oe dengan sikap yang mengherankan.
Baru saja Omateng berangkat, Thian Oe lantas berkata: "Ayah, hayolah."
"Bukankah tadi kau sungkan pergi?" kata sang ayah sembari mesem.
Mukanya sang putera jadi bersemu merah, tapi Teng Kie berlagak tidak lihat dan
lantas suruh orang sela-kan kuda.
Gedungnya Touwsoe dibikin dengan menyender pada suatu bukit, sehingga gedung itu
jadi bertingkat-tingkat, yang satu lebih tinggi dari yang lain. Dipandang dari bawah,
gedung tersebut
agaknya seperti satu benteng yang berbentuk pasegi.
Rombongan Tan Teng Kie tiba waktu matahari sudah naik tinggi dan tepat pada
waktunya bersantap tengah hari. (Perjamuan Touwsoe di Tibet biasanya dimulai tengah hari
dan berlangsung sampai sore). Tan Teng Kie bersama puteranya diantar ke satu pendopo
dalam kebun bunga, sedang para pengikutnya tersebar dalam kebun itu untuk mengawal. Di
tengah-tengah pendopo sudah siap sedia sebuah meja santapan. Baru saja, ayah dan anak duduk,
serdaduserdadu yang berbaris di bawah pendopo sudah berseru: "Touwsoe datang!"
Touwsoe itu berusia kira-kira 50 tahun, hidungnya bengkok, janggut pasegi,
sedang kedua matanya bersinar tajam, sehingga macamnya jadi kelihatan angker sekali.
Sesuai dengan adat kebiasaan orang Tibet, Tan Teng Kie lebih dahulu
mempersembahkan
khata 3) kepada tuan rumah. Sembari tertawa dengan meram-meramkan matanya,
Touwsoe mengawasi tetamunya dan sesudah selang beberapa saat, ia lantas berkata: "Apakah
pemuda ini puteramu" Sungguh cakap romannya!"
Saat itu, Thian Oe mendadak rasakan jantungnya mengetok keras dan napasnya agak
sesak. Dua serdadu Tibet kelihatan mengiring satu wanita yang jalan menghampiri
perlahan-lahan dan
berhenti di luar pendopo. Wanita itu ternyata bukan orang lain daripada gadis
aneh yang ia ketemu kemarin. Di bawah pendopo sudah siap sedia pekakas hukuman, antaranya dua
golok tajam dan dua bungbung bambu yang digunakan untuk korek biji matanya orang yang
terhukum. Di sebelahnya terdapat satu batu bundar yang di atasnya dipasangi dua pelat besi
tipis dari setengah lingkaran. Thian Oe tidak mengetahui kegunaannya alat itu.
Menghadapi alat menghukum itu, si jelita melirik pun tidak. Paras mukanya tetap
tenang, sedang pada kedua matanya tertampak semacam sinar yang mengejek, seolah-olah
orang yang lagi menghadap pengadilan bukannya ia, tapi si Touwsoe sendiri. Dengan adanya
alat-alat menghukum dan dengan sikapnya si nona yang sedemikian rupa, kecuali Touwsoe,
semua orang yang menyaksikan jadi mengkirik bulu badannya.
Touwsoe itu tertawa kejam dan berkata sembari tunjuk pekakas hukum itu: "Taruh
batu itu di atas kepalanya pesakitan dan ketok pelat besi itu dengan martil kecil. Matanya
akan lantas nonjol
keluar dan korek kedua biji matanya sama bungbung bambu kecil!"
Sehabis berkata begitu, ia kebaskan tangannya dan niat segera perintah supaya
hukuman itu lantas dijalankan.
"Tahan! Tahan!" Tan Teng Kie mendadak berseru.
Touwsoe bangun dan berkata: "Apa" Kalian orang Han kecil nyalinya. Apa kau tidak
berani saksikan hukuman itu?"
"Aku mohon tanya," sahut Teng Kie sambil menahan amarah. "Berapa ekor kuda sudah
dicuri mereka?" "Lima ekor yang paling baik," sahutnya.
"Bagaimana kalau aku ganti dengan sepuluh ekor?" tanya Tan Teng Kie.
"Dia juga niat bakar istalku," berkata Touwsoe.
"Apa sudah dibakar?" Teng Kie tanya lagi.
"Dia sudah kena dibekuk selagi nyalakan batu api," sahutnya.
Teng Kie mesem dan keluarkan batu api dari kantongnya. "Kau lihat, aku pun
membawa barang ini!" kata ia.
Si Touwsoe tertawa terbahak-bahak. Ia mengerti maksudnya Teng Kie, yang hendak
mengatakan, bahwa dengan membawa batu api belum merupakan suatu bukti bahwa
seseorang berniat jahat. Sedikitpun Tan Teng Kie tidak unjuk perasaan keder. Ia diawasi, ia balas
mengawasi. "Bagaimana, Touwsoe" Bisakah kau memberi pengampunan?" tanya ia.
Thian Oe tahan napasnya. Ia awasi Touwsoe itu, kemudian awasi ayah sendiri. Tak
pernah ia begitu kagumi ayahnya seperti pada saat itu. Kalau biasanya sang ayah suka takut
ini dan takut itu, sekarang ia berdiri tegak, dengan paras muka yang sama tenangnya seperti si
gadis itu. Sedikitpun tidak terdapat tanda-tanda keder. Mungkin sekali, semangat yang
sedemikian juga
telah diunjuk oleh sang ayah, ketika ia ajukan surat pengaduan buat serang sepak
terjangnya Ho Koen. Demikianlah, pada saat itu Tan Thian Oe dapat lihat semangat muda dari
ayahnya yang sekarang sudah berambut putih.
Touwsoe terkejut. "Tak dinyana, pembesar Han yang kelihatannya begitu lemah
mempunyai nyali yang begitu besar," ia kata.dalam hatinya. Mendadak ia tertawa dan
berkata: "Menurut
pantas, aku sebenarnya harus meluluskan permintaan Ponpo. Cuma saja,
peraturannya kakek
moyang tidak dapat gampang-gampang dirobah."
Tan Thian Oe cekal keras-keras belati yang ia sembunyikan dalam tangan bajunya.
Ia sudah mengambil putusan pasti buat lantas menerjang, begitu lekas Touwsoe itu
memerintahkan di
jalankannya hukuman.
Sesudah berpikir beberapa saat dan manggut-manggut beberapa kali, Touwsoe itu
berkata: "Peraturan leluhur memang tidak dapat dirubah, akan tetapi muka Ponpo pun tidak
harus hilang. Baiklah! Sekarang kita pertaruhkan nasibnya pesakitan itu!"
Ia kebaskan tangan bajunya dan satu serdadu lantas taruh satu buah apel merah di
atas kepalanya si gadis.
Sang Touwsoe kembali tertawa besar. Ia berpaling kepada Tan Teng Kie dan
menanya: "Apa
kalian pandai menggunakan hoeito (golok terbang)?" Dengan satu suara "srett!" ia
cabut satu golok lancip yang ditaruh di atas meja.
"Jika dengan sebatang golok terbang, kalian dapat membelah buah apel itu di sama
tengah, tanpa penggantian apa pun juga, aku akan segera lepaskan dia," kata Touwsoe itu.
"Cara ini juga
adalah peraturan leluhur kita. Baiklah. Sekarang bawa pesakitan itu sampai
seratus tindak jauhnya!" Satu serdadu lantas saja tuntun gadis itu sembari menghitung tindakannya dan
lantas berhenti
sesudah cukup seratus tindak.
"Aku permisikan kau atau siapa saja di antara pengikutmu buat membelah apel itu
dengan golok terbang," berkata si Touwsoe.
Tan Teng Kie adalah seorang pembesar sipil yang lemah, sedang di antara
pengikutnya pun
tidak ada orang yang berkepandaian begitu tinggi. Cangkriman yang dibertelorkan
oleh Touwsoe terang-terangan adalah buat hinakan orang Han. Ia jadi naik darah dan berkata
dengan suara gusar: "Touwsoe, cara bagaimana jiwa manusia bisa dibuat permainan?"
Touwsoe itu lantas saja kasih unjuk paras yang memandang rendah. "Jika kalian
tidak berani pertaruhkan nasibnya, biarlah hukuman itu di jalankan saja," kata ia sembari
tertawa. Mendadak Tan Thian Oe berdiri dengan sinar mata yang berapi dan berkata: "Jika
dengan sebatang golok terbang aku dapat membelah buah apel itu..."
"Aku lantas lepaskan dia!" Touwsoe potong perkataan orang.
"Aku harap perjanjian ini tidak berobah lagi," kata Thian Oe.
"Aku tidak pernah omong kosong," Touwsoe itu menyahut dengan pendek.
Tan Teng Kie terkesiap dan menanya: "Oe-djie, apa kau gila?"
Baru habis ayahnya bicara,
Thian Oe sudah jumput golok itu dan tanpa mengincar, ia menimpuk! Bagaikan kilat
golok itu terbang ke kepalanya si jelita, dan di lain saat, sang apel terpental menjadi
dua! Satu serdadu
lantas pungut dan berseru: "Tepat betul terbelah dua di tengah-tengah!"
Paras mukanya Touwsoe berobah, tapi ia segera tertawa berkakakan sembari
acungkan jempol
tangannya. "Sungguh bagus ilmu menimpuk golok itu!" ia kata
Tan Teng Kie adalah seperti orang baru sadar dari mengimpi. Perasaan herannya
sukar dapat dilukiskan. Apa yang ia tahu, puteranya belum pernah belajar ilmu silat. Delapan
belas tahun mereka bersama-sama, en toh ia tidak mengetahui sang anak mempunyai kepandaian
yang sedemikian tinggi.
Satu serdadu segera lepaskan tali urat kerbau yang mengikat badannya nona itu.
Ia lirik penolongnya dan kemudian berjalan keluar dari antara dua baris serdadu yang
memegang macam-macam senjata. Parasnya yang tenang tetap tidak berobah, kedua matanya
tetap bersinar dingin bagaikan es! Ia tidak mengucapkan sepatah kata, malahan tidak
menghaturkan terima
kasih kepada Tan Thian Oe.
Touwsoe geleng-gelengkan kepalanya. "Hm!" kata ia.
"Sungguh terlalu enak pesakitan ilu!" Seperti satu bola yang sudah kempes, ia
sekarang tidak begitu bersemangat lagi. Mereka kembali mengambil tempat duduk di seputar meja
perjamuan. Waktu Tan Teng Kie mau angkat cawan sebagai pemberian hormat. Touwsoe itu lirik
Thian Oe. Tiba-tiba ia jadi gembira kembali dan berkata kepada salah satu pengikutnya:
"Undang Kangma
Kusiu datang kesini!"
Kangma Kusiu dalam bahasa Tibet berarti siotjia (nona). "Ah" Kenapa ia suruh
puterinya keluar
buat temani tetamu?" tanya Teng Kie dalam hatinya.
Barulah sekarang Thian Oe merasa tangannya gemetaran lantaran ia ingat bagaimana
besar adanya bahaya waktu menimpuk dengan golok. Inilah buat pertama kali, ia unjuk
kepandaiannya di muka umum dan sungguh mujur, ia berhasil.
"Siapa wanita itu" Apa benar ia curi kuda" Apa ia mengerti silat" Kenapa paras
mukanya begitu luar biasa?" demikian rupa-rupa pertanyaan mengaduk dalam otaknya pemuda itu,
sehingga ia seperti tidak dengar waktu Touwsoe perintah orang undang puterinya datang
kesitu. Tiba-tiba ia jadi sadar mendengar kerincingnya perhiasan, dibarengi dengan
kedatangannya satu gadis Tibet. Nona itu memakai perhiasan yang reboh sekali. Jubahnya yang
panjang berwarna biru muda, sedang badannya ditutup dengan baju sutera warna biru langit
dan pinggangnya diikat sama selendang sutera. Dengan dandanan yang kaya-raya, ia
seperti juga sekuntum bunga mawar di musim panas. Tapi, setahu bagaimana, dengan segala
kerebohannya itu, orang yang melihat masih mendapat perasaan bahwa nona itu berharga murah.
Dengan mulut tersungging senyuman, puterinya Touwsoe berjalan ke arah Thian Oe.
Pemuda itu terkejut. Begitu berhadapan, gadis itu membungkuk dan sembari tertawa ia
berkata: "Tali
sepatumu kendor!" Di lain saat, dengan kedua tangannya ia bikin kencang tali
sepatunya Thian
Oe. Kejadian itu yang tidak terduga-duga, membuat Thian Oe jadi kesima. Ia seperti
tidak tahu apa yang dilakukan oleh gadis itu dan juga tak tahu apa yang ia harus berbuat.
Sesudah ikatkan
sepatunya Thian Oe, gadis itu lalu bangun berdiri dan paras mukanya jadi bersemu
merah. Ia pelengoskan mukanya supaya matanya tidak kebentrok dengan matanya Thian Oe yang
mengawasi dengan perasaan tidak mengerti.
Sementara itu, Tan Teng Kie kasih lihat paras yang penuh keheranan, tercampur
sedikit kegirangan. Touwsoe tertawa besar dan berkata dengan suara girang: "Keringkan
cawan! Mulai dari sekarang, kita jadi orang sendiri!"
Tan Thian Oe seperti orang sadar dari tidurnya dan mukanya lantas berobah pucat.
Ia ingat, bahwa menurut adat kebiasaan di Tibet, jika seorang gadis ikatkan tali sepatunya
satu pria, berarti
gadis itu meminang si pria. Dan jika pihak lelaki tidak menolak, berarti ia
setuju dan tinggal pilih
hari buat langsungkan pernikahan. Puteri Touwsoe sering tunggang kuda dan
memanah di padang
rumput, dimana beberapa kali ia bertemu dengan Tan Thian Oe, yang sama sekali
tidak menaruh perhatian. Gadis itu sudah cukup usianya dan sudah temponya buat menikah, akan
tetapi belum ada pemuda yang pantas buat jadi suaminya. Melihat Thian Oe yang cakap,
puterinya Touwsoe
jadi menaruh hati. Dan sekarang ternyata, bahwa maksud perjamuannya Touwsoe
adalah buat rangkap jodoh puterinya dengan puteranya Tan Teng Kie.
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan paras muka berseri-seri, Touwsoe angkat satu cawan yang kakinya tinggi.
"Aku sungguh merasa puas dengan perjodohan ini." kata ia kepada Teng Kie. "Tjinke
(besan), marilah
kita keringkan cawan."
Tan Teng Kie tidak tahu harus berbuat bagaimana. Mendadak sang putera berkata
dengan suara gugup: "Tidak, aku tidak puas!"
Mukanya Touwsoe berobah dengan mendadak."Apa?" ia membentak. "Kau tidak puas
dengan puterinya seorang Touwsoe?" Sedang sang ayah marah, sang puteri lantas menangis.
"Oleh karena masih berusia sangat muda, anakku jadi tidak mengenal aturan,"
berkata Teng Kie dengan perasaan bingung. "Mohon Touwsoe jangan jadi gusar."
Touwsoe itu kembali tertawa girang. "Nah, inilah baru omongan yang benar," kata
ia. "Hei, bocah! Lekas keringkan cawan bersama tunanganmu!"
Puterinya Touwsoe yang barusan menangis juga lantas tertawa. Ia segera angsurkan
satu cawan arak kepada Thian Oe, yang jadi bingung sekali.
Saat itu... di luar kebun bunga mendadakan saja terdengar suara ribut. Tibatiba, seorang yang
rambutnya teriap-riap menerobos dan berteriak: "Tan Taydjin, celaka! Celaka!"
Teng Kie terperanjat. "Ada apa?" ia tanya.
"Kantor dibakar penjahat! Banyak yang mati dan luka!" sahut orang itu.
Cawan arak terlepas dari tangannya Teng Kie, sedang Thian Oe, tanpa mengucapkan
sepatah kata, segera loncat turun dari pendopo dan cemplak seekor kuda yang lantas
dikaburkan sekeras
bisa. "Segala perampok kecil, buat apa bikin banyak ribut?" kata Touwsoe sembari
tertawa. "Kangho
Nyepa, tolong siapkan seratus serdadu untuk bekuk kawanan kecu itu, Tjinke,
dengan aku sebagai
sandaran, kau tidak usah takutkan apa juga!"
Teng Kie bingung sekali. Baru saja Touwsoe tutup mulutnya, ia sudah lari turun
dari pendopo, cemplak kudanya yang lantas dikaburkan. Lapat-lapat ia dengar suara tertawanya
Touwsoe yang berteriak: "Tjinke Ponpo, perjamuan belum berakhir. Sesudah penjahat dibekuk,
lantas balik kesini
bersama puteramu!"
Thian Oe yang kaburkan kudanya seperti terbang, jauh-jauh sudah lihat sinar api.
Bagus juga waktu itu tidak turun angin dan api belum mengamuk hebat. Ia loncat turun depan
kantor Amban, dimana ia dengar teriakan dan rintihan, tapi sang penjahat sudah tidak kelihatan
mata hidungnya.
Buru-buru ia loloskan jubah panjangnya dan menerobos masuk ke dalam kantor.
Disitu ia ketemukan banyak mayat yang pada menggeletak, tapi tidak lihat tanda-tanda
darah, la mengetahui, bahwa mereka binasa sebab kena pukulan berat. Beberapa di antaranya
yang belum mati pada berteriak-teriak kesakitan.
Thian Oe terkejut dan memanggil: "Siauw sinshe! Siauw sinshe!" Mendadak di
antara tumpukan
mayat terdengar suara orang: "Siauw sinshe dan penjahat sudah pergi!" Orang itu
adalah Kang Lam. "Aduh! Terima kasih kepada Tuhan, kau tidak binasa," kata Thian Oe.
"Dua perampok itu duga aku sudah mampus," kata si kacung sembari Ieletkan lidah.
"Ha! Sebenarnya aku berlagak mati dan berhasil tipu mereka. Kalau tidak begitu,
sekarang aku tentu
sudah tidak bernyawa!" Dalam keadaan yang berbahaya, ternyata Kang Lam masih
belum hilang kebawelannya. Thian Oe lantas ajak ia menyingkir keluar dari dalam kantor dan kemudian
berkata: "Bagaimana
sih kejadiannya" Coba ceritakan."
"Baru saja kalian berangkat, dua penjahat datang kesini," Kang Lam mulai
menutur. "Mereka
itu adalah dua orang Han yang turut rombongan penyanyi. Satu antaranya adalah
orang yang telah panah padamu. Apa kau masih ingat?"
"Ingat. Bicara terus," kata sang majikan.
"Satu penjahat membawa bungbung penyemprot api. Kemana juga ia menyemprot, api
segera berkobar," kata si kacung. "Siauwya, apa kau pernah lihat benda yang luar biasa
itu?" "Belum pernah. Lekas teruskan, jangan omongkan segala tetek bengek," kata Thian
Oe dengan suara berdongkol dan tidak sabaran.
Kang Lam manggutkan kepalanya dan teruskan penuturannya: "Penjahat yang satunya
lagi membawa satu gendewa besar. Wah tangannya cepat sekali! Begitu ketemu serdadu
pengawal, ia menyabet ke arah kepala, dan begitu kena, serdadu itu kontan roboh tanpa
bersuara lagi. Sebelum ia datang dekat kepadaku, buru-buru aku rebahkan diri di atas lantai dan
berlagak mati. Ha! Waktu itu Siauw sinshe keluar. Punggungnya tidak bongkok lagi, kedua matanya
besar dan bundar. "Orang she Siauw ada disini!" ia berteriak. "Urusan kita tak ada sangkut
pautnya dengan majikan rumah ini. Marilah kita pergi ke gunung di belakang buat mendapat
kepastian, siapa mati,
siapa hidup. Hari ini akan aku iring keinginanmu buat bereskan hutang yang sudah
sepuluh tahun lamanya!"
Baru saja Kang Lam bicara sampai disitu, di sebelah kejauhan kelihatan debu
mengepul, diikuti
dengan suara berbengemya kuda. Tan Teng Kie dan pengawalnya ternyata sedang
mendatangi. "Aku mau pergi ke gunung buat cari sinshe," kata Thian Oe kepada kacungnya. "Kau
cuma boleh beritahukan hal ini kepada looya." Sehabis berkata begitu, ia cemplak kuda
yang lantas dikaburkan. Jalanan gunung penuh bahaya, disini es disana salju dengan batu-batu dari macammacam bentuk, sehingga sang kuda tidak dapat lari cepat. Sesudah lewati dua lembah,
kupingnya Thian
Oe dapat dengar suara "ting-tang, ting-tang", seperti juga suara tetabuhan yang
tidak ada lagunya
dan membikin sakit kuping pendengar.
Thian Oe naik ke tempat tinggi dan melongok ke bawah. Ia lihat gurunya yang
bersenjatakan hudtim (kebutan debu) sedang dikepung oleh dua orang. Satu musuh
bersenjata gendewa besar yang talinya mengeluarkan suara "ting-tang" jika kelanggar senjata
gurunya. Musuh yang satunya lagi bersenjata Tjittjiat Djoanpian (Pian lemas tujuh
tekukan), yang menyambar-nyambar bagaikan kilat.
"Soehoe!" Thian Oe berteriak.
Sembari sampok gendewa musuh, Siauw Tjeng Hong berseru: "Oe-djie, jangan
kemari!" Suaranya tidak lampias, lantaran napas sengal-sengal. Thian Oe kaget. Biarpun ia
baru saja mendapat dasar-dasarnya pelajaran Iweekang (ilmu dalam), tapi, mendengar suara
gurunya, ia mengetahui bahwa sang guru sudah mendapat luka di dalam.
Siauw Tjeng Hong sebenarnya adalah satu tayhiap (pendekar) yang umpatkan diri.
Secara diam-diam ia turunkan pelajaran ilmu silat kepada muridnya itu, dengan memesan
wanti-wanti, bahwa hal itu tidak dapat dibocorkan. Ia memberitahukan, bahwa kalau bocor,
jiwanya terancam
bahaya. Demikianlah, Thian Oe belajar ilmu surat di-waktu siang dan ilmu silat
di waktu malam,
sehingga ayahnya sendiri tidak mengetahui.
Thian Oe belajar ilmu silat di tahun kedua sedari datangnya Tjeng Hong, sehingga
ia sudah belajar tujuh tahun lamanya. Selama itu, ia cuma mengetahui, bahwa gurunya
adalah ahli silat
kenamaan dari Tjengshia pay (Partai kota hijau). Tentang asal-usulnya sang guru
dan kenapa ia tinggalkan Tionggoan (wilayah Tiongkok) buat ikut keluarga Tan, Tjeng Hong sama
sekali belum pernah bilang kepada muridnya dan larang sang murid menanya melit-melit. Ia cuma
mengatakan, bahwa mereka berjodoh dan kalau sang murid bocorkan asal-usulnya,
jodoh itu akan habis. Thian Oe adalah seorang yang sangat jujur dan hormati gurunya itu.
Sesudah menanya
sekali, ia tidak berani menanya lagi.
Pertempuran di atas lapangan yang tertutup es jadi semakin hebat. Sering-sering
terdengar suara hancurnya kepingan-kepingan es yang terinjak oleh ketiga orang itu. Buat
orang biasa, jangan kata berkelahi, berjalan di atas es yang licin mungkin sudah tidak mampu.
Hatinya sang murid bergoncang keras. "Walaupun mesti dicomeli, kali ini aku tidak dapat
menurut lagi perintahnya guru," kata ia dalam hatinya. Sembari menahan napas, ia buru-buru
turun. Ia tahu,
kedua musuh itu sangat tangguh dan penyerbuannya sama juga mengantarkan jiwa.
Akan tetapi, hatinya tidak tega buat peluk tangan, sedang jiwa gurunya terancam
bahaya. Mendadak ia melihat badan gurunya limbung, disusul dengan suara hancurnya
kepingan es, seperti juga kaki gurunya terpeleset dan badannya jadi limbung doyong ke depan.
Orang yang bersenjata pian sungkan sia-siakan ketika yang baik dan menyabet bagaikan kilat
dengan sabetan yang membinasakan. Thian Oe terkesiap dan keluarkan teriakan tertahan. Akan
tetapi, sedang mulutnya masih menganga, matanya lihat satu bayangan hitam melesat ke tengah
udara, dibarengi dengan teriakan hebat dan badannya seorang lain tergelincir ke dalam
jurang es. Orang yang bersenjata gendewa menggereng seperti binatang terluka dan menyabet
dengan senjatanya. Ternyata orang yang barusan loncat ke atas adalah Siauw Tjeng Hong
yang sengaja berlagak terpeleset, dan ketika musuhnya menyabet dengan pian, ia kirim satu
tendangan yang sudah mendapat hasil.
Kupingnya Thian Oe mendadak dengar suara mengaungnya tali gendewa dan lihat
benangbenang hudtim gurunya yang halus bagaikan sutera berterbangan di tengah udara, seperti
juga kena ditarik putus dengan tali gendewa.
Harus diketahui, bahwa kebutannya Siauw Tjeng Hong dilihatnya halus seperti
buntut kuda, tapi sebenarnya benang-benang itu terbuat dari emas hitam yang luar biasa kuat
dan uletnya, sehingga merupakan satu senjata mustika. Dan sekarang, benang-benang itu kena
ditarik putus dengan tali gendewa musuh. Dari sini dapat dibayangkan, bagaimana tinggi adanya
tenaga dalam sang musuh. Mukanya Thian Oe jadi pucat. Selagi ia niat memburu, kupingnya mendadak dengar
lagi satu suara "ting-tang" yang luar biasa keras dan berkumandang jauh. Di lain saat, kedua
orang yang sedang bertempur terpental dan jatuh duduk di atas tanah. Gurunya goyang-goyang
hudtimnya seperti orang yang mau memukul, sedang sang musuh pentil tali gendewanya, yang
sekarang sudah tidak bersuara lagi. Heran sungguh hatinya Thian Oe melihat kejadian itu.
Ketika itu Thian Oe sudah memburu ke tanah datar dan cuma terpisah kurang lebih
100 tindak dari kedua orang itu. Ia lihat gurunya duduk di atas es dengan kepala
mengeluarkan uap putih
dan musuhnya juga sami mawon. Mereka duduk berhadapan dalam jarak tidak lebih
dari sepuluh tindak dan matanya saling mengawasi dengan penuh kegusaran, tapi badan mereka
sama sekali tidak bergerak.
Melihat begitu, Thian Oe mengetahui, bahwa gurunya sedang ukur tenaga sama
musuhnya dengan gunakan lweekang (tenaga dalam) yang paling tinggi. Di lain saat, ia
melihat gurunya
kalah seurat dari musuhnya. Tanpa berpikir lagi, ia pentang gendewanya dan
lepaskan sebatang anak panah ke arah bebokongnya musuh.
"Oe-djie! Lekas lari!" mendadak gurunya berteriak. Pada detik itu, sang musuh
kebaskan gendewanya dan anak panahnya Thian Oe menyambar balik. Thian Oe terkesiap, tapi
masih keburu angkat goloknya buat menangkis. Ia rasakan lengannya kesemutan dan
telapakan tangannya pecah, sedang anak panah itu menancap di atas golok! Kalau bukan
secara kebetulan
goloknya dapat menangkis, anak panah itu tentu sudah menembus ulu hatinya.
Thian Oe kaget tidak terhingga dan sebelum ia dapat tetapkan hatinya, kupingnya
sudah dengar lagi satu teriakan keras. Ia lihat badan gurunya melesat ke udara, sedang
sang musuh bergulingan beberapa kali dan badannya tergelincir ke dalam jurang, seperti
kawannya tadi. Thian Oe buru-buru menghampiri. Siauw Tjeng Hong waktu itu sudah jatuh duduk di
atas tanah, matanya meram, mukanya pucat seperti kertas, sedang kebutannya
menggeletak di dekatnya. Sambil tundukkan kepala, sang murid berdiri mengawal gurunya itu.
Kira-kira
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepasangan hio, mukanya Siauw Tjeng Hong perlahan-lahan bersemu merah dan kedua
matanya terbuka. "Oe-djie, tolong ambilkan hudtim," kata ia dengan napas sengal-sengal.
Thian Oe lantas
saja pungut kebutan itu.
"Gantung hudtim itu di pinggangku," memerintah lagi sang guru.
Sekarang Thian Oe baru dapat lihat, bahwa jeriji gurunya gemetaran, pundaknya
turun dan gerakannya sukar sekali.
"Soehoe, kau kenapa?" ia tanya dengan suara berkuatir.
"Hudtim-ku masih ketinggalan separoh, sedang tali gendewanya kena aku kebut
putus," kata
sang guru sembari mesem. "Dalam pertandingan ini, aku tidak terhitung kalah."
"Tapi, tanganmu... tanganmu," kata sang murid.
Siauw Tjeng Hong kembali mesem dan berkata: "Orang she Tjoei itu adalah ahli
silat kelas satu
dari Khongtong pay. Dengan berhasil gulingkan dia ke dalam jurang, aku sendiri
pun mesti mendapat sedikit luka. Kedua lenganku kena kepukul senjatanya, hingga jadi
begini. Akan tetapi,
ia masih belum mampu membuat aku bercacat selamanya. Dalam tempo lima hari, atau
paling lama tujuh hari, aku sendiri akan dapat menyembuhkan. Oe-djie, sekali ini aku
ketolongan lantaran anak panahmu."
Thian Oe jadi kemalu-maluan dan berkata: "Anak panah yang dilepaskan olehku sama
juga telor menghantam batu. Bukan saja tidak mengenakan sasaran, malahan kena dipukul
balik. Ini semua disebabkan ilmu silatku masih sangat rendah, sehingga tidak dapat membantu
soehoe." "Oe-djie, kau ternyata masih belum mengerti terang persoalannya," kata sang
guru. "Kalau begitu, mohon soehoe sudi menerangkan," kata Thian Oe.
"Tadi musuh sedang layani aku dengan tumplek semua tenaganya," demikian Siauw
Tjeng Hong memberi keterangan. "Oleh karena mesti menyambut anak panahmu, perhatiannya
jadi terpecah dan dengan menggunakan kekosongan itu, aku menyerang masuk. Kalau
bukannya begitu, walaupun aku tidak sampai menjadi kalah, tapi buat menang juga bukannya
perkara gampang. Cuma saja, kau sudah menempuh bahaya yang terlalu besar. Kalau bukan
jaraknya ada seratus tindak, kau pasti tidak akan kuat menahan serangannya itu. Kalau
diingat, sungguh luar
biasa. Ilmu memanah yang aku ajarkan padamu sudah membikin bocor rahasia tempat
sembunyiku. Tapi ilmu itu juga sudah membantu aku untuk jatuhkan musuh."
Sang murid jadi merasa heran dan menanya: "Kalau begitu, apakah soehoe mau
bilang, bahwa ia memanah padaku dengan anak panah tumpul adalah buat cari tahu rahasia?"
"Benar." sahut gurunya. Dengan melihat caranya kau menangkap anak panah, ia
lantas tahu bahwa kau adalah muridku. Sepuluh tahun ia cari ubak-ubakan dan akhirnya dapat
ketemukan juga padaku."
Hatinya sang murid jadi sangat tidak enak sebab ia mendadak ingat suatu hal.
"Kalau begitu,
apakah semua pengembara yang menjual suara adalah orang-orang jahat?"
"Ah, tidak," sahut sang guru. "Aku sudah cari keterangan, bahwa selainnya itu
wanita Tsang, yang lain semuanya benar-benar adalah kaum pengembara. Kedua musuhku dan wanita
itu masing-masing mempunyai maksud tertentu dan sudah campuri dirinya ke dalam
rombongan pengembara."
"Apakah soehoe mendapat tahu asal-usulnya wanita Tsang itu?" tanya lagi Thian Oe
dengan hati berdebar. "Tidak, aku tidak tahu," kata Siauw Tjeng Hong. "Urusan sendiri sudah cukup
bikin aku jadi sakit kepala, manalah aku mempunyai kegembiraan buat cari tahu asal-usulnya
wanita itu. Ah, Oedjie,
sekarang jodoh kita sudah sampai pada akhirnya."
Sang murid jadi sangat terkejut. "Ada apa lagi yang harus ditakuti" Bukankah
kedua musuh itu
sudah binasa?" kata ia.
Siauw Tjeng Hong meringis dan menyahut: "Ong Lioe Tjoe yang kena tendanganku
mungkin tidak dapat hidup lagi. Tapi Sinkiong (Gendewa malaikat) Tjoei Loosam (Si tua
ketiga she Tjoei)
mempunyai tenaga dalam yang sangat kuat dan aku duga ia tidak mati lantaran
jatuh. Selainnya
begitu, aku bukannya cuma mempunyai dua musuh berat. Kepandaiannya musuh yang
ketiga malahan banyak lebih tinggi dari kepandaianku. Jika Tjoei Loosam tidak mati, ia
tentu akan ajak
musuh itu cari padaku. Aku kuatir dalam dunia ini tidak ada orang yang dapat
menolong."
"Habis bagaimana baiknya, soehoe?" tanya Thian Oe dengan suara bingung.
"Aku dengar di pinggiran Tibet ada hidup satu orang luar biasa," kata Siauw
Tjeng Hong. "Mungkin sekali ia masih dapat melawan musuhku itu. Cuma aku tidak tahu apa ia
sudi menolong atau tidak. Akan tetapi, dalam keadaan yang serba sulit, aku tidak dapat lihat
lain jalan lagi. Hari
ini juga aku mau berlalu dari tempat ini buat coba-coba cari padanya."
Selagi Thian Oe mau menanya lagi, mendadak ia lihat satu titik hitam di lamping
gunung yang sedang turun mendatangi dan semakin dekat jadi semakin nyata. "Ah, itulah Kang
Lam," kata
Thian Oe. Sesudah berhadapan, napasnya Kang Lam memburu dan sengal-sengal. Sesudah
sengalsengalnya
jadi lebih reda, ia berkata: "Looya
perintah aku cari kalian. Urusan hari ini, sesuai dengan pesanan Siauwya, aku
sudah beritahukan Looya."
"Bagaimana keadaan Looya?" tanya Thian Oe.
"Looya datang bersama serdadu pengawal dan tidak lama kemudian pasukannya
Touwsoe juga sampai," menerangkan Kang Lam. "Sekarang api sudah padam, yang binasa sudah
dirawat, yang luka sudah diobati. Serdadu kantor banyak sekali yang tewas dan yang ketinggalan
cuma beberapa belas orang saja. Looya bilang, ia mau pergi ke Lhasa buat memberi
laporan kepada Jenderal Hok. Nyepa yang pimpin pasukannya Touwsoe, mengatakan ia mau cari kau.
Menurut katanya, malam ini kau harus pergi ke rumahnya Touwsoe."
"Tidak, aku tidak mau!" kata Thian Oe.
"Benar," kata Kang Lam lagi. "Looya juga tahu, kau tentu tidak mau. Ia perintah
aku sampaikan kepadamu, bahwa ia tak mau paksa kau melakukan apa-apa yang tidak disukai
olehmu. Sekarang
ia tahu, bahwa Siauw sinshe adalah orang yang berkepandaian tinggi, sehingga
hatinya jadi lega
dan suka permisikan kau mengikuti sinshe. Siauwya, ada urusan apa yang kau tidak
suka lakukan?" Sang majikan tidak gubris pertanyaannya si kacung. "Soehoe," kata Thian Oe
sambil berpaling
kepada gurunya. "Kalau begitu, biarlah aku ikut cari orang luar biasa itu."
"Kau ikut" Tak boleh! Berbahaya sekali," kata gurunya.
"Soehoe, kalau berdiam terus disini malahan akan lebih berbahaya," kata lagi
Thian Oe. "Bagaimana persoalannya aku akan ceritakan belakangan. Kang Lam, kau pulang saja
dan beritahukan Looya, bahwa aku akan pergi ke Lhasa buat ketemui ia."
Tjeng Hong awasi kedua tangannya dengan perasaan terharu sekali. "Muridku," kata
ia dengan suara sember. "Aku mengerti niatanmu yang sangat baik. Baiklah, kau boleh ikut
padaku." *** Waktu itu sudah buntut musim semi, akan tetapi di jalanan pegunungan antara
Sakya (di Tibet
Selatan) dan Shigatse (Tibet Barat), es dan salju masih belum mulai lumer.
Pengembara yang
nyalinya paling besar juga mesti tunggu kira-kira setengah bulan lagi sampai
sinarnya matahari
musim panas lumerkan gumpalan-gumpalan salju yang menutup jalanan, barulah
berani berjalan.
Tapi tak terduga, pada waktu itu toh masih
ada dua penunggang kuda yang berani lalui jalanan gunung yang bulat-belit dan
penuh bahaya itu. Kedua penunggang kuda itu, satu tua dan satu muda, bukan lain daripada
Siauw Tjeng Hong
dan Tan Thian Oe.
Tibet dikenal sebagai "Atapnya dunia." Daerah antara Sakya dan Shigatse, di
sebelah selatan
terdapat pegunungan Himalaya, sedang di sebelah utara membentang gunung Koenloen
san, sehingga jalanannya lebih-lebih sukar dilewati. Di tempat tinggi, tipisnya hawa
udara membikin orang lebih sukar bernapas. Baik juga, Siauw Tjeng Hong mempunyai tenaga dalam
yang sangat kuat, sedang Tan Thian Oe sudah memiliki dasar-dasarnya ilmu silat dan usianya
masih sangat muda, sehingga mereka tidak merasakan penderitaan yang terlalu berat. Tapi kedua
tunggangannya sangat kepayahan, napasnya sengal-sengal, sedang dari mulutnya
keluar ilar tak hentinya.
"Manusia masih dapat tahan, sang kuda dapat mati kecapaian," kata Siauw Tjeng
Hong sembari usap-usap bulu suri kudanya.
Hawa udara di Tibet Barat sangat luar biasa. Waktu siang, matahari sangat panas,
dan ditambah sama tipisnya hawa udara, panasnya menakuti orang. Akan tetapi, di
tempat-tempat teduh, atau di waktu malam, dinginnya bukan main.
Walaupun di puncak gunung, es bertumpuk-tumpuk, sedang di lurang, sungai es
mengalir legat-legot laksana naga, akan tetapi orang yang berkepandaian bagaimana tinggi
pun tidak berani menempuh bahaya buat coba-coba memacul es atau salju buat dilumerkan
menjadi air. Harus diketahui, bahwa dengan sedikit getaran saja, tumpukan salju bisa menjadi
ambruk dan manusia serta binatang bisa terkubur hidup-hidup. Maka itulah, dengan tumpukan
es di seputarnya, seorang pelancong bisa kehausan setengah mati, tanpa berani
mengambil es itu.
Melihat tunggangannya sengal-sengal, Siauw Tjeng Hong menanya: "Kita masih punya
berapa kantong air?"
"Tiga kantong," jawab muridnya.
"Bagus," kata sang guru. "Coba berikan setengah kantong kepada kedua kuda. Kita
irit sedikit. Tanpa diberi minum, kedua binatang ini tidak akan kuat berjalan terus."
Kedua lengannya Siauw Tjeng Hong yang kena dibikin luka oleh musuh, masih belum
dapat bergerak leluasa, sehingga segala pekerjaan dilakukan oleh Thian Oe seorang.
Thian Oe lantas loncat turun, buka kantong air dan beri minum kedua binatang
itu. Mendadak di sebelah belakang terdengar suara kelenengan kuda dan tiga penunggang kuda
kelihatan mendatangi. Mereka itu adalah orang-orang Han, alisnya tebal, matanya besar dan
romannya kasar sekali. Melihat Thian Oe sedang kasih minum kudanya, satu antaranya
berkata: "Sayang!
Sayang!" Orang yang jalan paling depan tahan les dan berhenti di pinggirnya Thian Oe.
"Eh," ia
menegur. "Apa kau punya banyak air" Persediaan kami sudah hampir habis. Dapatkah
kau bagi satu kantong?"
Cara bicaranya orang itu yang sangat kasar membuat Thian Oe jadi kaget dan,
berkata dalam hatinya: "Disini air lebih berharga daripada emas. Cara bagaimana bisa bagi
kau?" Tapi sebelum ia menyahut, gurunya sudah mendahului: "Pelancong harus saling
membantu. Oe-djie, kasihkan!"
Thian Oe tidak berani membantah. Ia serahkan satu kantong kepada orang itu yang
lantas tenggak dengan bernapsu sekali. "Kau orang baik. Mau kemana?" kata ia sembari
lirik Siauw Tjeng
Hong. "Ke Shigatse," jawabnya dengan pendek.
"Kenapa begitu buru-buru, tak mau tunggu sampai salju lumer?" ia tanya lagi.
"Ada anggauta keluarga yang sakit keras di Shigatse dan kami mesti lekas-lekas
tengok padanya," jawab Tjeng Hong.
Orang itu awasi kawannya. Paras mukanya mengunjuk kesangsian.
"Oe-djie," kata Siauw Tjeng Hong pada muridnya. "Hati-hati obat itu. Kantong
obat lebih baik
jangan digantung di sela. Simpan saja. Jalanan sangat jelek, kalau kuda
terpeleset dan kantong
obat hilang, akibatnya bisa hebat sekali. Yang lain masih tidak apa, tapi
Iiongsoeko sukar dicari."
Thian Oe terperanjat. Kantong yang tergantung di sela sebenarnya adalah kantong
senjata rahasia. Ia lirik gurunya yang balas mengawasi ia dengan sorot mata berarti. Ia
mendusin dan berkata dalam hatinya: "Benar, ketiga orang yang berani jalan di waktu sekarang
tentulah mempunyai kepandaian tinggi. Kita tidak boleh perlihatkan muka yang sebenarnya.
Tapi Iiongsoeko bukannya barang langka dan bisa dibeli dengan gampang di Sakya.
Kenapa soehoe
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bilang begitu?"
"Oh, kalau begitu pamilimu dapat sakit keluar-keluarkan darah?" kata lagi orang
itu. "Liongsoeko memang obatnya, tapi belum tentu bisa berhasil baik. Aku mengerti
sedikit ilmu pengobatan dan juga mau pergi ke Shigatse.
Marilah kita jalan bersama-sama."
"Bagus! Bagus!" jawab Siauw Tjeng Hong. "Walaupun aku pernah baca beberapa buku
obat, tapi tidak mengerti banyak tentang penyakit yang keluarkan banyak darah waktu
datang bulan. Maka itu, rasanya aku mesti minta pertolongan saudara untuk mengobatinya."
"Sesudah dihadiahkan air, aku tentu akan menolong apa yang bisa," kata orang itu
sembari menyoja. Ia lantas kedut les, sedang kedua kawannya apit Thian Oe di tengah-tengah.
Thian Oe merasa jengkel lantaran tidak mengerti maksud perkataan gurunya, dan
dengan diapit di sama tengah seperti orang perantaian, hatinya jadi mendeluh. Ia tidak
tahu, bahwa biarpun di Sakya liongsoeko, bukannya barang langka, akan tetapi pada waktu
begini, liongsoeko
sukar didapat di Shigatse, karena mesti menunggu sampai lumernya salju barulah
ada pedagang yang angkut obat itu ke Shigatse.
Di sepanjang jalan, ketiga orang itu coba pancing-pancing Siauw Tjeng Hong. Akan
tetapi ia berlaku sangat hati-hati. Begitu lekas pembicaraan biluk ke soal Kangouw, ia
lantas memberi jawaban tolol dan belokkan omongan ke ilmu pengobatan.
Mereka ternyata tidak mempunyai banyak pengetahuan tentang ilmu tersebut dan
cuma kenal cara mengobati orang kepukul, muntah darah dan sebagainya, yang umumnya harus
dimengerti oleh orang yang pandai silat.
Sesudah jalan beberapa lama, matahari doyong ke barat. "Untung kita tidak
ketemukan salju
roboh," kata orang yang jalan paling depan. Belum habis ia ucapkan perkataannya,
di sebelah depan mendadak terdengar suara tindakan kaki kuda. Ia terkejut dan lihat satu
penunggang kuda
mendatangi dari satu lembah. Kaki kudanya dibungkus kain wol tebal buat menjaga
hawa dingin, sehingga tindakannya baru dapat didengar, sesudah ia datang dekat.
Jalanan disitu sangat berbahaya dan sempit dan cuma dapat dilalui oleh seekor
kuda. Kuda yang mendatangi jalan sangat cepat dan agaknya tidak akan dapat ditahan oleh si
penunggangnya, sehingga satu tubrukan sukar disingkirkan.
Orang yang beroman kasar dan jalan paling depan dari rombongan Siauw Tjeng Hong,
jepit keras perut kuda dengan kedua dengkulnya dan kuda itu lantas berhenti. Satu
tangannya terangkat dan dorong orang yang baru datang, dengan niatkan jatuhkan ia ke dalam
jurang. Sembari menjerit, orang itu tergelincir dari kudanya, sedang satu tangannya
jambret selanya
orang kasar itu. Ia jatuh tepat di depan kudanya Thian Oe, sedang jambretannya
mengenakan kantong air si kasar yang lantas menggelinding jatuh ke dalam jurang.
Hatinya Thian Oe kembali jadi kaget. Ia lihat orang itu adalah pemuda yang
dandanannya seperti anak sekolah. Disitu ia berdiri, dengan sikap yang ketakutan. Si orang
kasar loncat turun
dari kudanya dan memaki: "Apa kau buta" Hayo lekas ganti kantong airku!"
"Airku sendiri sudah diminum habis. Aku justru sedang mencari air, mana bisa
mengganti?"
jawabnya. "Tak bisa ganti?" membentak si kasar. "Baiklah! Aku keset saja kulitmu dan hirup
darahmu!" Ia
cabut goloknya dan jalan menghampiri buat pegang tangannya si anak sekolah.
Thian Oe jadi sangat gusar. Anak sekolah itu memang ceroboh, tapi mengambil
jiwanya adalah perbuatan keterlaluan. "Aku yang ganti!" ia berseru tanpa merasa lagi.
Si kasar kelihatan terkejut. "Baik!" kata ia sembari tertawa dingin. "Kau yang
mau ganti" Mari!"
Thian Oe lantas saja lepaskan satu kantong air yang tergantung di sela kuda.
Waktu berangkat, mereka bawa tiga kantong air. Satu kantong sudah dihadiahkan, satu
kantong dibuat mengganti, isinya sekantong lagi sudah diminum separoh oleh sang kuda, sehingga
sekarang mereka cuma mempunyai setengah kantong air. Si kasar tidak main sungkan-sungkan.
la angsurkan tangannya untuk sambuti kantong air itu.
Anak sekolah itu rangkap kedua tangannya dan memberi hormat kepada Thian Oe.
"Terima kasih banyak-banyak buat budi saudara yang sudah menolong jiwaku," kata ia. "Ah,
sekarang bisalah kita melihat budi pekertinya seorang koentjoe (manusia utama) dan
serakahnya seorang
siauwdjin (orang rendah)."
"Kau bilang apa?" tanya si kasar sembari mendelik.
"Aku sedang bersyair, ada sangkut paut apakah dengan kau?" kata si anak sekolah.
"Sama-sama pelancong kita harus saling mengalah," kata Thian Oe dengan suara
berkuatir. "Sudahlah, pihak tuan toh tidak mendapat rugi apa-apa."
Satu orang yang berada di belakangnya Siauw Tjeng Hong (rupanya, ia adalah
saudara paling tua antara mereka bertiga), juga turut membujuk: "Loosam, dengan memandang
mukanya ini saudara kecil, biarlah kita ampuni padanya."
Sembari marah-marah si kasar loncat naik ke atas kudanya. "Sekarang mundurkan
kudamu sampai dibilukan yang lebih luas, supaya kita bisa lewat lebih dahulu," kata ia
kepada si anak sekolah dengan suara aseran.
"Ah, buat apa begitu berabe," jawabnya. "Kemanakah kalian mau pergi?"
"Bukan urusan kau," kata si kasar.
"Manalah aku berani tanya kau" Aku tanya ini saudara kecil," kata si anak
sekolah dengan suara tenang. "Kita semua mau pergi ke Shigatse," kata Thian Oe.
"Bagus! Bagus!" kata si anak sekolah lagi. "Kalau begitu, kita beramai semua
satu tujuan."
"Kau barusan datang dari jurusan sana, kenapa sekarang bilang mau ke Shigatse?"
tanya Thian Oe dengan penuh keheranan.
"Barusan aku cari air dan lantaran jalanan bulat-belit, jadi sampai disini,"
menerangkan ia.
"Aduh, haus! Haus! Saudara kecil, menolong orang harus menolong sampai di
akhirnya. Kasihlah
aku minum barang dua ceglukan."
Thian Oe tidak dapat berbuat lain daripada buka lagi kantong airnya, yang isinya
tinggal separoh. Si anak sekolah lantas saja gelogok isinya dan Thian Oe mengawasi
dengan perasaan
sayang. Sesudah minum, si anak sekolah miringkan badannya dan lewat di pinggir kudanya
si orang kasar. Ia angkat les buat bilukkan kepala kuda, supaya si anak sekolah jadi
kaget. Tapi tak
dinyana gerakannya si anak sekolah luar biasa cepat dan di lain saat, ia sudah
cemplak kudanya.
Ia rangkap kedua tangannya dan soja kepada Thian Oe sembari berkata: "Aku jalan
duluan sebagai pengunjuk jalan."
"Siapa mau kau jadi pengunjuk jalan?" kata si kasar dengan suara perlahan. Si
anak sekolah seperti tidak mendengar dan lantas jalankan kudanya.
Si kasar yang kelihatannya masih berdongkol, tak hentinya mengoceh sama dua
kawannya dalam bahasa Kangouw yang tidak dimengerti oleh Thian Oe.
Ketika itu, matahari sudah silam ke barat. Angin gunung mulai turun dan hawa
luar biasa dinginnya. Mendadak di sebelah depan terdengar suara "srr, srr." Orang yang
jalan di belakangnya
Siauw Tjeng Hong, berkata dengan girang: "Kita kuatir malam ini tidak bisa dapat
tempat mengasoh yang baik. Untung benar sekarang ketemu sumber air panas."
Sesudah lewati satu lembah, mereka tiba di satu tanah datar luas dan dari antara
batu-batu gunung yang besar, uap panas keluar bergulung-gulung, sedang cipratan air
muncrat berterbangan di tengah udara, sehingga merupakan bunga-bunga dalam warna ungu
dan merah muda. Pemandangan itu sungguh indah, seakan-akan kembang api yang dipasang di
waktu pesta Goansiauw (Capgomeh).
Dalam bumi Tibet terdapat banyak sekali gunung api yang antaranya masih terus
bekerja dan semburkan air mancur yang sangat panas ke atas bumi, dan inilah yang merupakan
salah satu pemandangan yang aneh di wilayah Tibet. Oleh karena di pegunungan sukar mencari
bahan bakar, maka penduduk sangat hargakan ini sumber air panas. Sering-sering mereka
mengikat daging kering sama tali dan dicemplungkan ke dalam air panas itu. Sesudah lewat
beberapa jam, daging itu akan matang.
Hawa di sekitar sumber air panas ini hangat seperti hawa musim semi. Selainnya
itu, sesudah dibikin dingin, air panas tersebut merupakan minuman yang paling baik. Maka
itulah, para pelancong paling girang kalau bertemu dengan sumber panas itu. Mereka turun dari
kuda dan pasang tenda buat mengasoh.
Ketiga orang yang berkawan lantas saja pasang satu tenda buat mereka mengasoh.
Oleh karena kuatir si anak sekolah dihina oleh ketiga orang itu, diam-diam Thian Oe
berdamai dengan
gurunya buat undang ia itu mengasoh bersama-sama dalam tendanya. Tapi sang guru
unjuk paras muka sungguh-sungguh dan gelengkan sedikit kepalanya, sehingga si murid tidak
berani bicara lebih jauh. Sesudah ambil air dan makan rangsum kering, mereka semua masuk ke dalam tenda.
"Soehoe, apakah kau lihat apa-apa yang kurang baik dalam dirinya anak sekolah
itu?" Thian Oe
berbisik. "Aku masih belum tahu asal-usulnya. Tapi ketiga orang yang berkawan adalah
musuhku!" jawab sang guru.
"Habis bagaimana?" tanya Thian Oe dengan terkejut.
"Pada sepuluh tahun berselang, aku telah tanam bibit permusuhan dengan tiga
orang," menerangkan si guru. "Dua antaranya kemarin dulu datang di Sakya buat cari
padaku. Yang satu
bernama Ong Lioe Tjoe, sedang yang lain Tjoei In Tjoe. Kepadaiannya Ong Lioe
Tjoe berada di sebelah bawahanku, sedang Tjoei In Tjoe kira-kira berimbang dengan aku. Musuhku
yang ketiga adalah ahli silat kelas satu dari Boetong pay, yaitu Loei Tjin Tjoe.
Kepandaiannya banyak lebih
tinggi daripada aku. Buat singkirkan diri, aku mengumpat di tempat sepi. Tapi,
siapa nyana, mereka dapat juga cari diriku."
"Apa antara tiga orang di tenda itu terdapat Loei Tjin Tjoe?" tanya Thian Oe.
"Kalau Loei Tjin Tjoe ada, aku tentu sudah tidak bernyawa," jawab Siauw Tjeng
Hong. "Mereka
itu adalah murid-muridnya Loei Tjin Tjoe. Barusan aku dapat dengar
pembicaraannya dalam
bahasa Kangouw. Ternyata mereka mendapat perintah Loei Tjin Tjoe buat cari Ong
Lioe Tjoe dan Tjoei In Tjoe. Masih untung, mereka tidak tahu aku adalah musuh gurunya. Tapi
mereka curigai anak sekolah itu, yang diduga adalah muridku. Menurut
pemandanganku, anak sekolah itu juga adalah seorang yang berkepandaian tinggi,
cuma masih belum terang, apa ia kawan atau lawan. Biar bagaimana juga, kita harus sangat
berhati-hati."
Thian Oe gulak-gulik di dalam tenda dan tidak dapat tidur pulas. Tak tahu sudah
lewat berapa lama, kupingnya mendadak dengar suara tangisan di tempat jauh. Suara itu yang
menyayatkan hati seperti juga tangisan setan dalam tempat yang belukar itu. Waktu baru
mendengar, bulu
badannya Thian Oe pada bangun. Lama kelamaan, Thian Oe merasa seperti sudah
pemah dengar suara begitu. Ia lantas loncat berdiri.
"Mau apa?" tanya gurunya.
"Soehoe," berbisik sang murid.
"Dengarlah tangisannya wanita itu, seperti orang sedang hadapi bencana. Rasanya
masih bisa ditolong."
"Baiklah, Oe-djie! Pergi selidiki," kata sang guru dengan mata bersinar.
"Tidak, aku harus temani soehoe," kata sang murid.
Meskipun ilmu silatnya Siauw Tjeng Hong sangat tinggi, tapi lantaran kedua
tangannya belum
dapat bergerak leluasa, ia seperti juga orang bercacat. Thian Oe kuatir, begitu
ia berlalu, musuh
segera menyatroni. Dari sebab itu, sedang di satu pihak, ia sangat pikirkan
nasibnya wanita yang
sedang menangis,, di lain pihak ia tidak berani tinggalkan gurunya.
Tapi parasnya sang guru lantas berobah dan berkata: "Kita adalah kaum ksatria
yang mengutamakan pribudi dan kita tidak boleh berpeluk tangan, jika ketemu dengan
sesama manusia yang menghadapi kebinasaan.
Dengarlah suara tangisannya wanita itu. Kalau bukan ketemu penjahat, ia tentu
mau bunuh
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diri. Kau pergilah! Aku masih dapat menolong diri sendiri, jika perlu. Hayo,
lekas!" Thian Oe bersangsi. Suara tangisan jadi lebih menyayatkan hati. "Urusan ada yang
penting, ada yang kurang penting," kata Siauw Tjeng Hong dengan suara gusar.
"Saat ini menolong orang yang paling penting. Kenapa kau membandel" Hayo lekas!"
"Soehoe, kalau begitu, jagalah diri baik-baik. Aku pergi lantas kembali," kata
sang murid dengan suara terharu melihat tingginya budi pekerti sang guru.
Dengan perlahan Thian Oe keluar dari tenda dan lalu berlari-lari menuju ke arah
suara tangisan, dengan gunakan ilmu entengi badan.
Thian Oe belajar ilmu silat dengan sembunyi-sembunyi dan belum pernah digunakan
dalam praktek. Inilah buat pertama kali, ia menggunakan ilmu tersebut. Jalanan gunung
yang penuh bahaya dan banyak batunya, ditambah lagi sama gelapnya sang malam, membikin
perjalanan jadi
semakin sukar. Begitu kerahkan ilmu Teetjiongsoet, badannya melesat beberapa
tombak jauhnya.
Lantaran belum mahir dan lari terlalu cepat, kakinya terpeleset dan ia jatuh
terguling. Mendadakan, ia dengar suara tertawa dingin. Buru-buru ia bangun dan memandang ke
seputarnya, tapi tidak kelihatan bayangannya barang satu manusia.
Sesudah tetapkan hatinya, ia kembali berlari-lari, kali ini dengan terlebih
hati-hati. Sesudah
jalan kurang lebih setengah jam, ia tiba di depannya satu bukit es.
Di atas bukit es itu berdiri seorang wanita, yang bukan lain daripada itu gadis
Tsang! "Thianlie tjietjie," kata si nona sembari menangis. "Sungguh aku menyesal tidak
belajar lebih lama dengan kau. Sekarang bukan saja sakit hati tak dapat dibalas, malahan
berbalik didesak
orang. Oh, ayah dan ibuku! Terlebih baik anakmu mengikut kau!"
Thian Oe terperanjat. Mendadak, ia lihat nona itu bergerak seperti orang mau
buang diri, tapi
tidak jadi. "Biarlah! Bisa lawan satu, aku lawan satu! Mari! Mari!" katanya
dengan suara geregetan.
Ketika itu Thian Oe masih berada dalam jarak belasan tombak dari bukit es dan di
depannya menghalang satu batu besar. Si gadis pun bukannya berdiri berhadapan dengan ia,
maka perkataannya tadi tentulah bukan berarti ditujukan kepadanya.
Hatinya Thian Oe jadi legaan sebab tahu si nona tidak akan segera mengambil
jalanan pendek.
Rupa-rupa pikiran saling susul berkelebat dalam otaknya. Apakah Touwsoe itu yang
jadi musuhnya si nona" Kalau benar, kenapa Touwsoe mau melepaskan ia secara begitu gampang"
Apakah, diam-diam si Touwsoe perintah orang ubar padanya" Kalau bukan begitu, kenapa ia
bilang sedang didesak orang" Dtm siapa itu wanita yang dinamakan Thianlie" Kenapa namanya
begitu luar biasa" Sembari memikir begitu, Thian Oe niat melangkah buat mendaki bukit es. Tiba-tiba
ia dengar wanita itu berteriak keras, tangannya diayun dan sehelai sinar terang menyambar
bagaikan kilat.
Itulah golok terbang! Sebelum Thian Oe dapat melihat tegas, wanita itu, yang
rupanya terpleset
lantaran gunakan tenaga terlalu besar, jatuh terpelanting. Pada saat yang sangat
berbahaya, dari
pojokan bukit es loncat keluar satu orang yang lantas jambret padanya.
Thian Oe terkesiap, sebab orang itu bukan lain adalah Nyepa Omateng yang telah
minta pertolongan ayahnya buat menolong wanita Tsang itu. Tidak dinyana, Nyepa yang
rakus dan gemuk itu, yang biasanya sukar dapat berjalan tegak, sekarang dapat loncat ke
atas bukit es dalam gerakan yang sedemikian cepatnya.
Pada saat itu, Thian Oe mengawasi dengan mulut ternganga, sedang satu tangannya
mencekal hoeito keras-keras, siap sedia buat lantas menimpuk jika Omateng coba bikin
celaka gadis itu.
"Minggir!" gadis itu membentak. "Aku memang bukan tandinganmu. Sakit hatiku tak
dapat dibalas, biarlah aku terjun ke bawah. Kau yang sudah terima perintahnya Touwsoe
buat mengubar padaku, harus mengetahui bahwa aku ini sebangsa apa. Manalah aku mau kasih diri
dihina olehmu?" Omateng tertawa terbahak-bahak dan berkata: "Aku tahu, nama pedenganmu adalah
Sanma, sedang namamu yang asli adalah Chena. Kau adalah puterinya Raja muda Chinpu!"
"Kalau kau sudah tahu, kenapa masih rewel!" membentak sang puteri. "Puterinya
Raja muda Chinpu cuma mengenal bunuh diri, tapi tidak boleh dihina orang! Sesudah aku
binasa di bawah
bukit, barulah kau boleh kutungkan kepalaku!"
Omateng terus cekal tangannya dan berkata sembari tertawa" "Apa kau tahu, siapa
adanya aku?" "Anjingnya Touwsoe Sakya!" sahutnya.
"Tidak," kata Omateng. "Kau salah. Aku pun musuhnya Touwsoe dan aku sengaja
datang kemari buat menolong jiwamu."
Sekarang Chena kaget. Sesudah berdiam beberapa saat, ia menanya: "Jadi kau
datang bukan buat menangkap aku?"
"Touwsoe tidak mengetahui, bahwa kau adalah puterinya Raja muda Chinpu," kata
Omateng. "Kalau ia tahu, ia tentu akan kirim orang buat bekuk padamu."
Chena menghela napas, sedang Omateng lepaskan cekalannya. "Nyalimu cukup besar,
cuma terlalu goblok," kata ia
"Apa?" Chena menegasi.
"Goblok," mengulangi Omateng. "Kau sama sekali tidak pikirkan Touwsoe mempunyai
berapa banyak orang pandai, dan dengan seorang diri, kau sudah berani coba-coba
membalas sakit hati.
Aku sendiri, yang mempunyai kepandaian banyak lebih tinggi daripada kau,
bertahun-tahun mengabdi padanya sebagai Nyepa dengan menukar she dan nama. Buat membalas sakit
hati, orang harus menunggu sampai datang temponya yang tepat. Orang Han ada bilang:
"Koentjoe membalas sakit hati, sepuluh tahun masih belum terlambat. Apakah kau belum
pernah dengar nasehat itu?"
Kedua matanya Chena lantas saja berlinang air. Ia agaknya sudah percaya habis
kepada Nyepa itu. "Siapa yang ajarkan kau ilmu silat?" Omateng mendadak tanya.
"Pengtjoan Thianlie (Bidadari dari Sungai Es)!" sahutnya.
"Pengtjoan Thianlie?" menegaskan Omateng dengan paras muka berobah. "Apa benar
Pengtjoan Thianlie?"
"Ia menolak buat jadi guruku dalam artian yang sebenarnya. Ia cuma mau ajarkan
ilmu silat buat tiga hari lamanya," menerangkan Chena.
"Oh, kalau begitu, aku percaya," kata Omateng. Dengan berkata begitu, Omateng
seperti mau bilang, bahwa jika benar Chena adalah muridnya Pengtjoan Thianlie, ilmu silatnya
mesti banyak lebih tinggi daripada apa yang dipunyai olehnya sekarang.
"Dimana tempat tinggalnya Pengtjoan Thianlie?" tanya lagi Omateng.
"Di Thian-ouw (Telaga Langit)" jawab Chena. "Namanya yang sejati jarang
diketahui orang.
Cara bagaimana kau dapat mengenal padanya?"
"Sebenarnya aku tidak kenal, cuma aku tahu, ada orang yang sedang cari padanya," kata
Omateng. Sesudah itu, ia bicara bisik-bisik, sehingga Thian Oe tidak dapat
dengar. Ia cuma lihat,
sang puteri manggut-manggutkan kepalanya.
"Sekarang pergilah kau lari dengan ambil jalanan di bawah jurang es itu," kata
Omateng. "Disini
ada satu lengtjian-nya (pertandaan) Touwsoe. Ambillah. Dengan lengtjian itu,
orang tidak akan
berani ganggu padamu. Hi! Aku dengar suara orang. Pergi sembunyi. Aku pergi
lebih dahulu."
Thian Oe pasang kupingnya, tapi tidak dapat dengar suatu apa. Dengan mengintip,
ia dapat lihat Omateng keluarkan seutas tambang panjang, dengan apa ia turun ke bawah
bukit. Mendadak, dari sinar rembulan dan es, ia lihat Omateng keluarkan satu senyuman
yang membikin bulu badannya berdiri. Itulah senyuman licik, berlapis kejam! Sesudah mendengar
pembicaraannya barusan, perasaan membencinya Thian Oe terhadap Omateng
sebenarnya sudah
menjadi hilang. Ia anggap, Nyepa itu adalah seorang baik. Tapi sekarang, sesudah
lihat senyuman itu, hatinya timbul perasaan sebal dan kembali curigai orang yang serakah itu.
Sang puteri perlahan-lahan menengok ke belakang dan menggape ke arah tempat
sembunyinya Thian Oe. "Keluarlah! Aku sudah lihat kau," kata ia. Sehabis berkata
begitu, ia lantas
jalan turun ke bawah bukit es.
Hatinya Thian Oe berdebar keras. Ia datang buat menolong si nona, tapi sekarang,
sesudah berhadapan, ia tak tahu mesti bicara apa.
Sesudah datang dekat, si nona berkata sambil tertawa: "Terima kasih atas
pertolonganmu kepada wanita yang menderita ini!"
Tan Thian Oe sudah hidup delapan belas tahun lamanya dan selama itu, belum
pernah ia bicara
dengan wanita asing. Sebab begitu, mukanya lantas saja bersemu merah dan ia
berdiri dengan sikap kemalu-maluan. Akan tetapi, melihat gadis itu mengawasi padanya dengan
mulut tersungging senyuman, biarpun paras mukanya masih tetap dingin dan angkuh, Thian
Oe jadi merasa lebih tetap hatinya.
Tanpa merasa, Thian Oe balas mesem. Ia keluarkan selampe sutera yang berwarna
putih dan persembahkan kepada sang puteri, sebagai suatu khata. Si gadis mesem simpul dan
sambuti hadiah itu dengan dua jerijinya. Sembari masukkan khata dalam sakunya, ia
berkata: "Terima
kasih buat hadiahmu. Sudah berapa lama kau datang disini?"
"Cukup lama buat menyaksikan apa yang telah terjadi barusan," jawab Thian Oe.
"Sungguh 'ku
tidak nyana bahwa kau ini adalah sang puteri yang kita muliakan."
"Urusanku kau tak usah sebut-sebut lagi," kata Chena. "Di antara orang Tsang ada
satu pepatah yang mengatakan: Impian semalam jangan ceritakan di siang hari."
Thian Oe merasa kikuk sekali. Tanpa mengetahui sebabnya, hatinya sangat
memperhatikan wanita itu. Ia sangat ingin mengeluarkan isi hatinya, akan tetapi mulutnya
seperti terkancing.
Akhirnya, dengan memberanikan hati, ia berkata: "Alangkah baiknya kalau nona
tidak terlalu percaya Nyepa Omateng."
"Apa ia?" kata Chena. "Urusanku aku dapat mengurus sendiri. Legakanlah hatimu."
Sesudah berkata begitu, ia agaknya merasa menyesal dan kuatir kalau-kalau perkataannya
menyinggung perasaan. Maka itu, ia kembali mesem dan berkata: "Biar bagaimana juga, aku
menghaturkan banyak terima kasih buat maksudmu yang sangat baik. Sebenarnya aku pun tidak
percaya habis padanya! Sedari tadi, aku sudah mengetahui kedatanganmu, akan tetapi aku tidak
membilang apa-apa di hadapannya."
Thian Oe juga membalas dengan satu meseman. Baru ia akan buka suara, sang puteri
sudah mendahului "Terima kasih banyak buat hadiahmu. Aku sendiri tidak mempunyai suatu
apa untuk membalasnya. Biarlah aku persembahkan sekuntum bunga kepadamu."
Thian Oe heran. "Di tempat yang begini tinggi dan dengan hawa sedemikian dingin,
dimanalah orang dapat mencari kembang?" kata ia dalam hatinya.
Chena keluarkan satu vas perak kecil dari dalam sakunya. Dalam vas itu terdapat
sekuntum bunga putih yang di atasnya masih menempel butiran-butiran embun, seperti juga
baru dipetik dari tangkainya.
"Bunga ini adalah hadiah dari Pengtjoan Thianlie dan aku sudah simpan setahun
lamanya," kata
Chena. "Sekarang biarlah aku persembahkan kepadamu."
Bukan main herannya Thian Oe. Dalam dunia ini dimanakah tumbuhnya bunga itu,
yang sesudah dipetik setahun, masih kelihatan begitu segar"
"Menurut keterangan Thianlie tjietjie," kata lagi Chena. "Bunga ini dinamakan
soatlian (Teratai
salju) yang ia cabut dari pegunungan Thiansan dan dipindahkan ke tempat
tinggalnya. Tidak
perduli orang mendapat luka di dalam yang bagaimana berat, begitu makan bunga
ini, jiwanya akan ketolongan. Kau ambillah."
"Ah, manalah aku berani terima hadiah yang berharga sedemikian besar," kata
Thian Oe. "Apa kau lupakan gurumu?" tanya Chena. "Aku tahu, dua orang Han itu cari
permusuhan dengan gurumu. Mungkin sekarang ia mendapat luka Hari itu kau sudah menolong
jiwaku dan aku tidak mempunyai apa-apa buat membalas budimu. Soatlian ini justru cocok buat
gurumu. Ambillah."
Mendengar begitu, Thian Oe tidak berlaku sungkan lagi dan lantas menerima vas
tersebut. Meskipun gurunya bilang, dalam tujuh hari, ia sendiri dapat menyembuhkan
lukanya, akan tetapi
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang, sesudah lewat empat hari, kedua lengannya masih belum dapat bergerak
leluasa, sehingga belumlah tentu, apa cara pengobatan dengan jalankan napas itu bisa
berhasil baik. "Gurumu tentu sedang menunggu dengan tidak sabaran. Kau pulanglah," kata Chena
sembari tertawa. Sehabis berkata begitu, dari pinggangnya ia loloskan seutas tambang
panjang yang ujungnya dipasangi gaetan. Dengan sekali lempar, gaetan itu nyangkol pada
batangnya satu pohon siong tua. Sambil mencekal tambang, ia ayun badannya yang lantas terbang
ke seberang. Dengan berbuat begitu beberapa kali, dalam tempo sekejap, ia sudah lewati
tanjakan di sebelah
depan dan sesudah biluk di satu lembah, badannya lantas menghilang.
Thian Oe menghela napas panjang. "Ah, bertahun-tahun aku belajar silat, tapi ia,
yang baru belajar tiga hari, sudah mempunyai kepandaian entengi badan yang lebih tinggi
daripada aku,"
katanya di dalam hati.
Sesudah kantongi soatlian itu, ia lantas berbalik dan berjalan pulang. Sembari
jalan, otaknya penuh dengan rupa-rupa pikiran. Ia ingat kejadian-kejadian luar biasa selama
beberapa hari paling
belakang. Itu gadis dari Tsang sudah aneh sekali, akan tetapi, didengar dari
pembicaraannya sama Omateng, Pengtjoan Thianlie lebih aneh lagi. Cara bagaimana, dalam tempo
cuma tiga hari,
ia sudah bikin puteri yang lemah dari seorang raja muda menjadi seorang yang
ilmu silatnya tinggi. Dengan berjalan sembari ngelamun, tanpa merasa ia sudah lewati beberapa lembah
dan ia sudah lihat uap putih yang disemburkan oleh sumber air panas. Sesudah datang
lebih dekat, di
antara suara semburan air, lapat-lapat terdengar suara bentrokan senjata yang
semakin lama jadi
semakin tegas. Thian Oe terkejut dan cepatkan tindakannya.
Sekonyong-konyong kupingnya dengar suara tertawa dingin yang keluar dari pinggir
jalan. Thian Oe cabut pedangnya dan di lain saat, dari pinggir jalanan loncat keluar
satu orang yang
tangannya mencekal pecut panjang.
"Bocah tolol!" ia mengejek sembari tertawa. "Kau mau pulang buat antar
jenazahnya tua bangka she Siauw?"
Dengan gusar Thian Oe menyabet dengan pedangnya. Orang itu berkelit sembari
sabetkan pecutnya ke arah pinggangnya Thian Oe, yang hampir saja kena terpecut kalau
tidak buru-buru
loncat tinggi. Sembari tertawa berkakakan, orang itu gentak pecutnya yang
menyambar dua kali
beruntun bagaikan ular. Dengan gerakan Toeitjhung bonggoat (Buka jendela
melongok bulan),
Thian Oe membabat lengannya musuh. Orang itu benar liehay. Dengan cepat ia robah
gerakan dan sapu kakinya Thian Oe yang jadi sangat ripuh lantaran diserang atas dan
bawah. Dalam kerepotannya itu, Thian Oe kirim satu tikaman hebat. Mendadakan, ia rasakan
lengannya berat,
sebab pedangnya kena digulung sama ujung pecut. Thian Oe bingung dan tanpa
berpikir keluarlah
ilmu silat simpanan dari gurunya. Ia pasang kuda-kuda dan gentak pedangnya Orang
itu keluarkan seruan tertahan lantaran ujung pecutnya yang sedang melibat jadi terlepas. Saat
itu, Thian Oe segera barengi dengan dua serangan yang saling susul. Diserang secara begitu,
orang itu terpaksa
mundur beberapa tindak.
Ilmu silatnya Thian Oe sebenarnya ada lebih tinggi dari lawannya. Cuma saja
lantaran baru pertama kali bertempur dengan musuh, maka pada gebrakan pertama, hatinya sedikit
keder. Sesudah lihat kemampuan sang lawan cuma sebegitu saja, nyalinya jadi lebih besar
dan dengan tenang ia keluarkan Tjengshia Kiamhoat (Ilmu pedang dari Tjengshia pay) yang
lantas menyambar-nyambar bagaikan seekor naga. Lima puluh jurus sudah lewat tanpa ada
yang keteter. Thian Oe lebih unggul dalam ilmu pedang, tapi orang itu lebih matang
dalam pengalaman.
Sekarang orang itu tidak berani lagi memandang enteng kepada pemuda lawanannya.
"Murid dari
guru ternama, memang juga tidak sembarangan," kata ia dalam hatinya.
Sesudah bertempur lagi beberapa jurus, orang itu lalu keluarkan akal licik.
Kakinya terus bergerak ke kiri dan ke kanan, sehingga Thian Oe terpaksa mengikuti padanya.
Sebagaimana diketahui, jalanan gunung itu sangat berbahaya. Ditambah dengan
gelapnya sang malam dan licinnya jalanan lantaran es, bahaya itu jadi semakin besar. Thian Oe
belum mempunyai pengalaman. Buat jalan di atas jalanan gunung saja, ia sudah tidak
biasa, apalagi mesti bertempur hebat. Maka itu, baru saja bulak-biluk beberapa kali dalam
mengikuti tindakan
lawannya, kakinya sudah terpeleset beberapa kali dan hampir-hampir jatuh
terguling. Dengan
perlahan orang itu tuntun Thian Oe ke pinggir jurang dan hatinya diam-diam
merasa girang. Tapi mendadak, muridnya Siauw Tjeng Hong tancap kedua kakinya dan tidak mau
bergerak lagi. Ia putar pedangnya untuk melindungi badannya dan saban-saban musuh datang
dekat, ia menikam atau menyabet bagaikan kilat. Ternyata Thian Oejuga sangat cerdik.
Begitu melihat cara
berkelahinya orang itu, ia tahu akan bahaya yang mengancam. Buru-buru ia
kerahkan ilmu Tjiankin toei (Ilmu bikin berat badan seribu kati) dan tancap kedua kakinya di
atas tanah. Dalam
kedudukan begitu, ia mengambil siasat membela diri. Berulang kali orang itu coba
pancing padanya, tapi ia tetap tidak mau bergerak.
Dua puluh jurus kembali sudah lewat. Orang itu tidak dapat menyerang masuk,
sedang Thian Oe pun sungkan menyerang keluar. Selagi hatinya merasa sangat tidak sabaran,
kupingnya Thian
Oe mendadak dengar suara tertawa dari seorang tua. "Hm!" kata orang itu. "Masa
segala bocah kau tidak dapat takluki! Jangan bikin malu padaku. Houw-tjoe, coba dekatan
supaya aku dapat
melihat terlebih nyata."
Thian Oe awasi orang itu dan hatinya kaget bukan main. Seorang lelaki tinggi
besar dan bermuka hitam panggul sebuah tandu dan dalam tandu itu duduk satu orang yang
mukanya kuning dan menakuti sekali, sedang kedua matanya bundar dan besar. Orang itu
bukan lain daripada Tjoei In
Tjoe yang kena dipukul terguling ke dalam jurang oleh gurunya. Kena terpukul
hudtim, isi perutnya mendapat luka berat, badannya mati sebelah dan tidak dapat bergerak.
Lantaran begitu,
ia perintah dua muridnya tandu padanya buat pergi ke Shigatse guna cari Loei
Tjin Tjoe supaya
dapat diobati oleh saudara angkatnya itu. Dan tidak dinyana, di tengah jalan ia
bertemu dengan Tan Thian Oe. Sebagai orang yang lebih tua, ia masih menjaga kedudukannya dan sungkan turun
tangan terhadap orang dari tingkatan lebih muda. Ia lebih dahulu perintah salah satu
muridnya menyerang pemuda itu. Ia menduga, berhubung usianya yang masih sangat muda.
Thian Oe tidak mempunyai kepandaian tinggi, sedang muridnya sudah berlatih dua puluh tahun,
sehingga dengan
sekali gebrak, ia taksir murid Siauw Tjeng Hong akan dapat dibekuk.
Tapi siapa nyana, dugaannya meleset jauh sekali. Apa yang dibelajarkan oleh
Thian Oe adalah
lweekang (ilmu tenaga dalam) yang tulen dari Tjengshia pay dan pemuda itu sudah
mempunyai dasar-dasar yang kuat. Ditambah dengan ilmu silat pedangnya yang sangat bagus,
kalau bukan ia masih kurang pengalaman, murid Tjoei In Tjoe benar-benar bukan tandingannya.
Melihat muridnya keteter, mau tidak mau Tjoei In Tjoe terpaksa munculkan diri.
Mendengar makian gurunya, muridnya Tjoei In Tjoe jadi kemalu-maluan dan ia
berdiri sembari
tunduk di pinggir tandu. Badan Tjoei In Tjoe mati sebelah di bagian bawah, tapi
kedua tangannya
masih dapat bergerak leluasa. Sembari tertawa menyeramkan, dua jerijinya sentil
sebutir Thielian
tjoe (Biji teratai besi) ke arah Thian Oe. Senjata rahasia itu melesat bagaikan
kilat dan sebelum
Thian Oe keburu kelit, ia rasakan dadanya kesemutan dan badannya terguling di
atas tanah. Masih
untung, lantaran mendapat luka, tenaga dalamnya Tjoei In Tjoe sudah banyak
kurang, sehingga
muridnya Siauw Tjeng Hong tidak sampai menjadi pingsan.
Muridnya Tjoei In Tjoe yang bermuka hitam lantas taruh tandu di atas tanah dan
bersama soehengnya, ia ikat Thian Oe seperti lepat.
"Geledah badannya!" memerintah sang guru.
Hasil penggeledahan itu adalah itu vas kecil yang berisi soatlian. Tjoei In Tjoe
tertawa terbahak-bahak dan berkata: "Ha! Kalau begitu Sanma rela menyerahkan soatlian
dari Thiansan kepadamu. Muridku, serahkan vas itu kepadaku."
Bukan main gusarnya Thian Oe. "Itu adalah milik guruku!" ia berseru.
"Gurumu tak perlu lagi barang begini," kata Tjoei In Tjoe. "Sebentar aku akan
kirim kau ketemui gurumu."
Thian Oe berontak-rontak sekuat tenaga, tapi tali yang bebat badannya ada cukup
kuat. "Houwtjoe, totok jalanan darahnya dan taruh ia ke dalam tandu," Tjoei In Tjoe
perintah muridnya.
Dengan badan rebah di dampingnya musuh itu, Thian Oe menyaksikan cara bagaimana
ia buka tutup vas, ambil soatlian yang lantas dimasukkan ke dalam mulutnya! Mengingat
soatlian itu tadinya adalah untuk gurunya sendiri, bukan main sakit hatinya Thian Oe.
Tandu lalu diangkat oleh dua muridnya Tjoei In Tjoe yang lantas jalan dengan
cepat sekali. Ketika itu, sang rembulan pancarkan sinarnya di atas puncak-puncak gunung yang
tertutup es, sehingga puncak-puncak itu jadi bersinar putih bagaikan perak.
Sambil menggeletak di dalam tandu, dengan perasaan sangat heran Thian Oe awasi
perubahan pada mukanya sang musuh. Kalau tadi muka In Tjoe kuning pias, adalah sekarang,
sesudah makan soatlian, mukanya mulai bersemu merah. Ia duduk disitu dengan meramkan
kedua matanya, sambil kasih jalan napasnya. Lewat beberapa saat, ia tertawa nyaring
sekali. "Sungguh
manjur soatlian dari Thiansan!" ia berseru. Suaranya yang nyaring berbeda sekali
daripada tadi. Tak terkira sakit hatinya Thian Oe, sakit hati yang tercampur keheranan. "Aku
tidak duga soatlian
begitu manjur. Luka di dalam dari manusia ini sudah menjadi sembuh secara begitu
cepat. Ah, malam ini jiwanya guru dan murid akan binasa!" pikir Thian Oe dalam hatinya.
Sesudah lewat beberapa lama, suara semburan air panas kedengaran semakin nyata,
diseling dengan suara bentakan dan beradunya senjata. Paras muka Tjoei In Tjoe
menunjukkan keheranan. "Ih! Urat lengan si tua bangka she Siauw sudah diputuskan dengan tali
gendewaku. Cara bagaimana ia masih bisa bertempur?" kata ia.
Mendadak dengan dua jerijinya ia gunting tali yang mengikat badan Thian Oe, yang
lantas diangkat, dan ia lantas loncat turun dari tandu. "Tak usah digotong lagi!" kata
ia. "Aku Tjoei
Loosam tidak berdusta. Sekarang juga aku antar kau ketemui gurumu."
Dikempit oleh musuh tangguh, Thian Oe tidak dapat berkutik. Setibanya di dekat
sumber air panas, ia lihat tendanya robek sana sini, sedang ketiga orang kasar yang masingmasing mencekal
golok mengkilap, sedang kepung gurunya yang bersita di tengah-tengah tenda yang
robek itu. Thian Oe terperanjat. Gurunya bersila dengan badan tidak bergerak, sedang
mulutnya menggigit hudtim. Golok yang menyambar, ia sampok dengan hudtim. Tak perduli
serangan datang dari depan, samping atau belakang, dengan sedikit saja goyang kepalanya,
hudtim itu selalu dapat menyambut dengan tepat sekali! Semakin hebat bacokan musuh, semakin
hebat lagi tenaga yang menangkis.
Tjoei In Tjoe kerutkan alisnya dan kemudian tertawa berkakakan. "Siauw Tjeng
Hong!" ia berseru. "Marilah aku sambut lagi hudtimmu." Tiga orang yang sedang mengepung
lantas loncat mundur. Dengan sekali loncat, Tjoei In Tjoe sudah berhadapan dengan Siauw Tjeng
Hong dan kedua tangannya lantas terangkat naik.
Dengan seruan tertahan, Tjeng Hong pentang mulutnya dan kebutannya melesat
bagaikan anak panah. Dengan sebet, Tjoei In Tjoe kelit senjata itu.
"In Tjoe," berkata Siauw Tjeng Hong sambil menghela napas. "Lweekangmu ternyata
lebih tinggi daripada aku. Empat hari aku kerahkan hiankong, kedua lenganku belum
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat bergerak,
tapi kau sudah bisa jalan sebagaimana biasa. Aku mengaku kalah!"
"Tidak! Soehoe, kau tidak kalah!" berseru Thian Oe. "Dia yang kalah. Dia rampas
soatlian-ku."
Siauw Tjeng Hong kaget dan berseru: "Apa" Dari mana kau..." Belum habis
perkataannya, Tjoei
In Tjoe sudah loncat sembari menotok jalan darahnya sama jerijinya, sehingga ia
tidak keburu menanya terus. Tan Thian Oe yang jalanan darahnya masih belum terbuka, ketika itu telah
didorong roboh oleh
satu muridnya Tjoei In Tjoe.
"Siauw Tjeng Hong," kata Tjoei In Tjoe sembari tertawa. "Mengenai ilmu, kau
memang lebih tinggi daripadaku. Tapi memang sudah maunya Tuhan, aku mesti membunuh kau. Maka
itu, dengan pinjam tangan muridmu, Tuhan sudah kirim soatlian yang langka untukku!"
Paras mukanya Siauw Tjeng Hong berobah dan keluarkan suara di hidung. "Bagus!"
kata ia. "Sungguh gagah! Hari ini aku dapat saksikan kepandaiannya ahli silat Khongtong
pay!" Tjoei In Tjoe kembali tertawa dan berkata: "Menurut peraturan Kangouw, aku mesti
tunggu sampai kau sembuh, barulah jajal lagi kepandaianmu. Cuma aku kuatir, sesudah
sembuh, kau kembali akan kabur sembari kelepotan buntut. Kemana aku mesti cari padamu"
Apalagi dahulu,
kau bersama itu perempuan siluman juga menggunakan akal bulus buat celakakan
kita. Hai! Dengarlah! Sekarang lebih dahulu aku mau balaskan sakit hatinya toako dengan
persen empat bacokan di atas mukamu!"
Sehabis berkata begitu, ia ambil sebatang golok dari tangan soetit-nya
(keponakan murid, tiga
orang itu adalah murid-muridnya Loei Tjin Tjoe). Sembari bulang-balingkan golok
itu, ia tarik tangannya Siauw Tjeng Hong dan awasi muka korbannya dengan sorot mata kejam.
Mendadak ia keluarkan satu suara tertawa seperti orang kalap dan angkat goloknya yang akan
segera menyabet mukanya Siauw Tjeng Hong.
Mendadak, mendadakan saja, satu suara tertawa dingin terdengar, disusul dengan
perkataan halus mengejek: "Aduh! Gagah betul!"
Tan Thian Oe kaget sebab satu bayangan berkelebat di pinggir badannya, dan apa
yang membikin ia jadi lebih kaget lagi, adalah jalanan darahnya mendadak terbuka
sendirinya! Orang
yang baru datang adalah si anak sekolah yang berdiri disitu sembari mesemmesem
simpul. Tjoei In Tjoe mengawasi dan menanya: "Apa tuan tidak suka hati?"
"Mana aku berani!" jawab si anak sekolah. "Dalam kalangan Kangouw, soal membalas
sakit hati adalah soal yang lumrah. Cuma saja orang tua ini mempunyai sedikit hubungan
denganku."
"Dalam kalangan Kangouw, hal membantu sahabat adalah hal yang lumrah," kata
Tjoei In Tjoe sembari tertawa dingin. "Baiklah. Kita jangan banyak omong yang tidak ada
perlunya. Cabut
senjatamu, aku Tjoei In Tjoe akan meladeni beberapa jurus dengan tangan kosong."
Si anak sekolah dongak dan tertawa terbahak-bahak. "Aku belum keluar dari rumah
perguruan," kata ia. "Guruku larang aku adu tenaga dengan orang."
"Kalau begitu, apakah dengan dengar omongannya satu pitik, aku harus ampuni si
tua bangka?" kata Tjoei In Tjoe sembari tertawa bergelak-gelak. "Siapa kau" Siapa
gurumu?" "Siapa suruh kau ampuni si tua bangka?" sahut si anak sekolah. "Si tua bangka
adalah musuhku juga!"
Tjoei In Tjoe kaget dan berkata: "Kalau begitu aku salah sangka. Apa kau juga
mempunyai permusuhan dengan dia?"
"Benar," sahutnya.
"Sungguh bagus nasibmu," kata Tjoei In Tjoe dengan sikap sombong. "Dengan ilmu
silatmu, sekali pentil saja, dia bisa bikin kau terguling ke dalam jurang. Mengingat kita
berdua sama-sama
bermusuh padanya, sesudah aku membacok empat kali, kau boleh bacok satu kali
buat lampiaskan ganjelanmu."
"Tidak," kata si anak sekolah. "Sakit hatiku dalam seperti lautan. Kasihlah aku
yang membalas lebih dahulu."
Hatinya Tjoei In Tjoe gusar sekali, tapi oleh karena perasaan herannya, ia
segera menahan sabar. "Kau mempunyai permusuhan apa dengan dia?" tanya ia. "Coba ceritakan."
"Kemarin di tengah jalan aku bertemu mereka, guru dan murid," ia menerangkan.
"Waktu aku
minta air dari muridnya, si tua unjuk paras sekaker. Baik juga muridnya yang
baik hati, bagikan air
kepadaku. Ah, orang kehausan bisa jadi mati, dan si tua rela melihat kebinasaan
sambil berpeluk
tangan. Inilah sakit hatiku yang pertama Tadi, saudara kecil itu sebenarnya mau
undang aku buat
sama-sama mengasoh dalam tendanya. Tapi si tua tidak permisikan. Tendaku sudah
pada robek dan angin dingin menyerang hebat sekali, hingga hampir-hampir aku mati
kedinginan. Ah,
mendesak orang sampai mesti mati kelaparan dan kedinginan adalah kedosaan hebat.
Inilah sakit hatiku yang kedua."
Begitu bertemu dengan si anak sekolah, Siauw Tjeng Hong sudah merasa heran.
Sekarang, sesudah dengar omongannya, hatinya jadi kaget sekali. "Cara bagaimana ia bisa
dapat dengar pembicaraanku dengan Oe-djie?" tanya ia dalam hatinya.
Tjoei In Tjoe jadi gusar sekali. "Jangan banyak bacot!" ia berteriak sembari
sabetkan goloknya
ke arah si anak sekolah.
Sembari berteriak "A-yo!" ia miringkan badannya dan goloknya Tjoei In Tjoe jatuh
di tempat kosong. "Kau tidak bacok si tua, sebaliknya membacok aku," berseru si anak sekolah.
"Punya sakit hati
tidak dibalas, berbalik hantam kawan sendiri. Dalam dunia mana ada aturan
begitu!" Diejek secara begitu, Tjoei In Tjoe jadi seperti orang kalap dan ia lalu
membacok beruntun tiga
kali. "Kalau kau tak mau membalas sakit hati, biarlah aku turun tangan lebih dahulu,"
kata si anak sekolah, "aku belum keluar dari perguruan dan guruku larang aku menggunakan
senjata tajam. Tapi menggunakan senjata rahasia rasanya masih boleh juga."
Sembari kelit sana-sini buat loloskan diri dari bacokan saling susul, ia ayun
satu tangannya dan
beberapa sinar emas melesat ke arah Siauw Tjeng Hong.
Ketika itu Siauw Tjeng Hong tak dapat bergerak lantaran jalanan darahnya sudah
kena ditotok dan beberapa jarum emas itu mengenakan tepat pada sasarannya!
Thian Oe terkesiap. Barusan mendengar si anak sekolah permainkan Tjoei In Tjoe,
Thian Oe menduga, ia berdiri sebagai kawan. Tapi tak dinyana, benar-benar ia menggunakan
senjata rahasia buat menyerang * gurunya. Tanpa berpikir lagi, ia loncat dan hantam
jalanan darah Tayyang hiat si anak sekolah dengan gerakan Kimkouw kibeng (Tambur emas
bersuara). Si anak
sekolah berkelit. "Dengan menghadiahkan air, kau adalah tuan penolongku," kata
ia sembari tertawa. "Seorang laki-laki harus membalas budi dan sakit hati secara tepat.
Maka itu, manalah
aku boleh turun tangan terhadap seorang penolong." Sehabis berkata begitu,
badannya berkelebat
dan lantas tidak kelihatan lagi!
Sesudah membacok tempat kosong empat kali dan setelah melihat lagak lagunya si
anak sekolah yang sedemikian aneh, Tjoei In Tjoe jadi bengong beberapa saat. Hatinya
sungguh tidak dapat mengerti apa maunya orang itu.
Ia balik badannya dan menoleh kepada Siauw Tjeng Hong. Kali ini, ia benar-benar
kaget! Siauw Tjeng Hong sudah bisa angkat kedua tangannya dan berseru: "Tjoei Loosam, marilah
kita adu tenaga lagi!" Beberapa jarum emas yang menancap di dagingnya masih kelihatan
menonjol di luar
bajunya dan pancarkan sinar yang gilang-gemilang!
Ketika si anak sekolah menimpuk dengan jarum emas, hatinya Siauw Tjeng Hong
terkejut bukan main. Tapi di lain saat, mendadak ia rasakan satu perasaan segar dalam
badannya, hawa dan darah mengalir lagi seperti biasa, bukan saja jalanan darah yang tertotok
terbuka kembali,
akan tetapi, urat-uratnya yang kena terpukul juga sudah pulih seperti sediakala,
sedang bukubuku
tulang yang kesemutan pun sudah dapat bergerak leluasa. Inilah ada kejadian
seperti di dalam impian dan Siauw Tjeng Hong kaget berbareng girang.
Tjoei In Tjoe terperanjat bukan main. Ketika itu tangannya Siauw Tjeng Hong
sudah terangkat
dan terus menghantam dengan sepenuh tenaga. In Tjoe menyambut dan rasakan tenaga
yang luar biasa besarnya, mendorong ia sehingga badannya sempoyongan ke belakang
beberapa tindak. "Tenaga dalamnya si tua cuma lebih tinggi setingkat daripadaku. Tapi
kenapa dalam tempo
yang begitu pendek, ia sudah jadi begitu liehay?" tanya In Tjoe dalam hatinya.
Ia tidak mengetahui, bahwa tenaganya Siauw Tjeng Hong sudah pulih kembali, sedang
tenaganya sendiri,
biarpun lukanya sudah disembuhkan dengan soatlian, belum balik seperti biasa,
oleh karena ia mendapat luka yang lebih berat daripada musuhnya. Itulah sebabnya kenapa ia
kalah jauh dari
tenaganya Siauw Tjeng Hong.
Melihat gurunya sembuh mendadak, Thian Oe jadi seperti orang kalap lantaran
kegirangan. "Oe-djie, hati-hati!" mendadak ia dengar gurunya berteriak.
Dua muridnya Tjoei In Tjoe menyerang dari kiri dan kanan dengan mendadak.
Melihat dirinya
dikerubuti, Thian Oe lantas menyambut dengan gerakan Kaykiong siatiauw (Pentang
gendewa memanah burung tiauw). Murid-muridnya Loei Tjin Tjoe juga sudah menyabet dengan
goloknya. Dikerubuti oleh beberapa musuh, manalah Thian Oe bisa tahan" Dalam tempo
sekejap, ia sudah
keteter dan keadaannya berbahaya sekali. Mendadak terdengar suara
berkerontrangan dan
goloknya satu musuh terlempar di atas tanah, sedang musuh itu berteriak
kesakitan sembari
pegang tangannya.
Orang yang menolong adalah gurunya sendiri. Sembari desak Tjoei In Tjoe dengan
seranganserangan
hebat, Siauw Tjeng Hong masih sempat hantam jatuh senjata murid-muridnya Loei
Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe. Melihat gelagat tidak baik, Tjoei In Tjoe lantas
berseru: "Kabur!" dan
bersama dua murid serta tiga cucu murid, ia panjangkan langkahnya.
Thian Oe segera mengejar sembari tengteng pedang. "Oe-djie, balik! Jangan
kejar!" berteriak
Siauw Tjeng Hong. Thian Oe lantas balik dan waktu mau menanya, ia lihat gurunya
sedang cabuti jarum, jarum emas dari badannya, dengan saban-saban gelengkan kepalanya.
"Soehoe, bagaimana sih duduknya kejadian ini?" tanya Thian Oe.
"Dalam ilmu pengobatan ada semacam cara mengobati dengan menggunakan jarum,"
menerangkan Siauw Tjeng Hong. "Akan tetapi, yang paling luar biasa adalah dengan
menimpuk dari tempat jauh, tujuh batang jarumnya pemuda itu bisa menancap tepat di
jalanan darah yang
diingini. Dari sini dapat dibayangkan, bukan saja ilmu ketabibannya pemuda itu
luar biasa tinggi,
tapi tenaga dalamnya pun tak dapat diukur bagaimana dalamnya!"
"Kalau begitu, barusan ia menolong soehoe?" kata sang murid. "Tadi aku ketakutan
setengah mati!" Siauw Tjeng Hong menghela napas panjang dan berkata: "Sungguh-sungguh di luar
langit masih terdapat langit, di atas kepandaian masih terdapat kepandaian. Ia itu
masih berusia begitu
muda, tapi ilmu silatnya banyak lebih tinggi daripada aku. Benar-benar aku
seperti kodok di dalam
sumur yang tidak mengetahui luasnya langit dan bumi. Mulai dari sekarang,
sungguh-sungguh aku
tak berani tonjol-tonjolkan lagi ilmu silatku." ..- "Soehoe berdiam di rumahku
hampir sepuluh tahun, tapi semua orang, kecuali aku, tidak mengetahui, bahwa soehoe mempunyai
kepandaian yang begitu tinggi," kata Thian Oe. "Dari sini dapat dilihat, bahwa kesabaran
Suling Emas Dan Naga Siluman 29 Dewa Linglung 9 Iblis Hitam Tangan Delapan Pedang Langit Dan Golok Naga 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama