Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 18
seberang. Begitu satu tangannya mencekal tiang, badannya diputar dan kembali
menghantam dengan tangan yang lain. Kejadian serupa itu telah berulang sampai tiga kali,
dengan Tang Thay
Tjeng masih tetap bisa mempertahankan diri di tengah udara dan mengegos pukulanpukulan musuh dengan "terbang" bulak-balik. Tapi, walaupun luar biasa, ilmu itu tak bisa
dipertahankan dalam tempo lama. Waktu si kurus menghantam ke empat kali, ia sudah tak kuat
lagi dan roboh di
lantai akibat kebasan tangan si kurus. Secara kebetulan, ia jatuh di dekat
Hiatsintjoe. Sambil tertawa terbahak-bahak, si kurus lalu kembali ke tempatnya yang tadi dan
bersila di dekat kawannya. Sekarang, seperti Hiatsintjoe, Tang Thay Tjeng juga sudah
terbetot masuk ke
dalam kalangan tenaga kedua orang itu dan mereka tak dapat meloloskan diri lagi.
Semakin lama gerakan tangan kedua orang aneh itu jadi semakin cepat. Tang Thay
Tjeng dan Hiatsintjoe yang semula berada dalam jarak kira-kira setombak, dengan perlahan
mendekati kedua
musuhnya. Dengan keringat membasahi pakaian, mereka mengamuk bagaikan kerbau
gila dan maju sedikit demi sedikit. Seorang yang tak mengerti ilmu silat tentu menduga,
bahwa mereka sedang menyerang- Tapi Yo Lioe Tjeng mengetahui, bahwa mereka sedang dibetot
dengan tenaga tak kelihatan. Begitu lekas mereka berada pada jarak yang bisa disampaikan
dengan tangan kedua
lawannya, riwayat mereka akan segera tamat.
Diam-diam Yo Lioe Tjeng merasa girang. Biarpun permusuhannya sudah dibereskan
oleh Phang Lin, tapi masih terdapat kemungkinan, bahwa Tang Thay Tjeng akan berusaha untuk
membalas sakit hati lagi di belakang hari. Maka itu, jika si pendeta binasa, ia akan
terbebas dari segala
kekuatiran. Dengan mata tidak berkesip ia memperhatikan jalannya
pertempuran. Hiatsintjoe yang Iweekang-nya lebih tinggi, masih terus berusaha
untuk meloloskan diri dengan Seantero tenaganya, tapi Tang Thay Tjeng sudah tak kuat
lagi. Ia mundur
setindak, maju dua tindak, semakin lama jadi semakin dekat dengan kedua musuhnya
Urat-urat di kepalanya timbul keluar, sedang kedua biji matanya yang berwarna merah seolaholah mau melompat. Yo Lioe Tjeng jadi merasa tak tega, sehingga ia melengos supaya tak
usah melihat pemandangan yang tak enak itu.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan nyaring: "Tinggalkan lututmu!" Hampir
berbareng terdengar suara "trang!", seperti martil memukul lonceng. Sebelum Yo Lioe Tjeng
sempat menengok, mendadak ia merasakan lewatnya hawa panas di depan mukanya. Di lain
saat, ia melihat badan Tang Thay Tjeng "terbang" keluar dari jendela sebelah timur,
sedang Hiatsintjoe
pun sudah tak kelihatan bayang-bayangnya lagi. Kedua orang aneh itu masih tetap
bersila, dengan
si gemuk mencekal sebuah lengan besi seraya berkata seorang diri: "Tak dinyana
dia mempunyai ilmu yang luar biasa."
Ternyata, pada detik yang sangat berbahaya, Tang Thay Tjeng telah berhasil
menolong diri dengan melontarkan lengan besinya. Kedua orang aneh itu kaget bukan main dan
sambil mengerahkan lweekang, mereka menyambut senjata yang luar biasa itu. Dengan
menggunakan kesempatan tersebut, si pendeta melarikan diri bersama-sama kawannya.
Selagi Yo Lioe Tjeng bergirang karena dua musuhnya sudah mabur, tiba-tiba ia
melihat kedua orang aneh itu mengawaskan padanya dengan sorot mata bengis. Ia terkejut dan
lalu mencekal gendewa erat-erat.
Sementara itu, karena keadaan berubah sepi, Kang Lam yang lagi bersemedi membuka
matanya. Ia melompat bangun dan berkata sambil tertawa: "Ha! Dua memedi itu
sudah dihajar kabur" Ha-ha! Kalian harus menghaturkan terima kasih kepadaku. Arak itu memang
bisa membangunkan semangat dan daging ayam dapat menambah tenaga." Selagi berkata
begitu, mendadak ia melihat Yo Lioe Tjeng dan kedua orang aneh itu tengah saling
memandang dengan
sorot mata menakuti. Hati Kang Lam berdebar-debar dan ia segera menutup mulut.
Tiba-tiba si gemuk tertawa besar. "Benar! Memang kami harus menghaturkan terima
kasih kepadamu," katanya.
"Aku ingin minta pinjam kedua lututmu," menyambung si kurus. "Jangan kuatir. Aku
tanggung kau tidak merasa sakit waktu lututmu digergaji."
"Apa?" menegas Kang Lam. "Kau mau gergaji lututku?"
"Tak salah," jawab si kurus sambil mengangguk. "Aku mempunyai ilmu bedah yang
sangat liehay. Lebih dulu aku akan memberi obat lupa dan begitu kau tersadar, segala
apa sudah beres.
Bagaimana, apa kau setuju?"
"Tak bisa! Gila kau!" teriak si kacung dengan suara ketakutan. "Aku masih perlu
dengan kedua lututku." "Aku juga perlu dengan kedua lututmu," kata si gemuk dengan suara dingin.
"Sesudah kau menyerahkan lututmu kepadaku, aku akan mengambil kau sebagai
murid," kata
si kurus. "Kau akan punya senderan teguh, kau tak usah kuatir kekurangan makan
pakai dan tak akan ada manusia yang berani menghina kau."
"Tak bisa!" Kang Lam berteriak pula. "Tapi... kenapa... lututmu patah?"
Perkataan si kacung itu justeru menyentuh bagian yang lemah. Mendadak saja,
kedua orang itu
jadi gusar tak kepalang. "Binatang!" geram si kurus "Aku ingin putuskan lutut
semua manusia yang pandai silat. Orang pertama adalah kau!" Berbareng dengan perkataannya,
badannya melesat dan tangannya menyambar untuk menotok jalanan darah Kang Lam.
"Celaka!" mengeluh Kang Lam.
Sebelum tangan si kurus menyentuh Kang Lam, Yo Lioe Tjeng sudah melepaskan
pelurunya dengan beruntun-runtun. Dalam sekejap, puluhan peluru menyambar-nyambar kedua
orang aneh itu. Tapi sungguh aneh, sebelum melanggar badan musuh, peluru-peluru itu sudah
hancur semua! Kedua orang itu tertawa terbahak-bahak. "Masih ada lagi" Hayo keluarkan semua!"
teriaknya. Yo Lioe Tjeng terkesiap dan di lain saat, ia merasa dirinya dibetot dengan
semacam tenaga yang tak kelihatan. Dengan sekuat tenaga, ia memberontak untuk meloloskan diri,
tapi sebaliknya
dari berhasil, setindak demi setindak ia mendekati kedua musuhnya itu.
Pada detik yang berbahaya, sekonyong-konyong terdengar suara keras dan papan
loteng berlubang besar.
Kedua orang aneh itu terkejut. "Siapa yang bersembunyi di atas" Turun!"
membentak satu antaranya. Mendadak dari atas terdengar suara "srr", disusul dengan menyambarnya sehelai
sinar merah. Kedua orang itu pucat mukanya. Buru-buru mereka menekan lantai dengan kedua
tangan dan badan mereka lantas saja melesat keluar dari pintu. "Tong Siauw Lan!" teriak
satu antaranya. "Kau
tak boleh melanggar janji!"
Yo Lioe Tjeng jadi seperti orang kalap bahna girangnya. "Siauw Lan! Kau berada
disini?" serunya. Hampir berbareng, dari lubang papan loteng melayang turun seorang pemuda yang
parasnya cakap. "Bukan. Aku Keng Thian," katanya.
Sesaat kemudian, Pengtjoan Thianlie pun turun ke bawah. Yo Lioe Tjeng yang baru
pertama kali bertemu dengan si nona, jadi merasa sangat kagum. "Aku tak nyana dalam
dunia ada wanita
yang begini cantik," katanya di dalam hati. Ia melirik Keng Thian melirik
puterinya sendiri dan
kemudian menghela napas.
Sementara itu, dengan rasa girang Tjee Tjiang Hee menghampiri dan mencekal baju
Peng Go. "Tjietjie," katanya. "Sekali ini kau tak boleh kabur." Ia berpaling kepada
ibunya dan berkata pula:
"Pada malam itu, Keng Thian Koko telah mabur tanpa bisa dicegah lagi. Tak
tahunya ia kabur
untuk mengubar Tjietjie ini."
Muka Peng Go lantas saja berubah merah karena ia ingat salah mengerti yang
terjadi pada malam itu. Tanpa mengatakan suatu apa, ia bersenyum dengan perasaan jengah
tercampur girang. "Inilah puteri tunggal dari Kui Hoa Seng Pehpeh, namanya Peng Go," Keng Thian
memperkenalkan kecintaanya kepada Yo Lioe Tjeng. "Inilah Tjee Pehbo. Pada tiga
puluh tahun berselang, beliau adalah Kangtong Liehiap Yo Lioe Tjeng yang namanya harum dalam
Rimba Persilatan. Ayahku adalah adik seperguruannya."
Yo Lioe Tjeng tertawa girang.
"Benar, memang benar, dan kita semua bukan orang luar," katanya sambil tertawa.
Ia menarik tangan Peng Go dan lalu mengajukan berbagai pertanyaan secara gembira sekali.
Sesudah menjawab pertanyaan-pertanyaan nyonya Tjee, Peng Go menengok kepada Keng
Thian seraya berkata: "Keng Thian, baik juga kau lekas-lekas melepaskan Thiansan
Sinbong. Kedua orang itu liehay bukan main. Mungkin sekali Pengpok Sintan tak akan
berhasil mengusir
mereka." "Keng Thian, kau lihatlah, aku sudah tua dan sangat pelupaan," kata Yo Lioe
Tjeng sambil tertawa "Aku belum menghaturkan terima kasih untuk pertolonganmu."
"Menurut pendapatku, Thiansan Sinbong yang dilepaskan olehku juga belum tentu
bisa melukakan mereka," kata Keng Thian. "Mereka kabur karena ketakutan."
"Kenapa begitu?" tanya Peng Go.
"Aku rasa, lutut mereka patah karena dihajar dengan Thiansan Sinbong oleh
ayahku," jawabnya. "Maka itu, mereka lantas kabur sebab menduga ayahku datang kembali"
"Benar," kata Yo Lioe Tjeng. "Tadi, selagi lari, mereka menyebut-nyebut nama
ayahmu. Mungkin sekali ayahmu telah meluluskan untuk mengampuni jiwa mereka, maka
barusan mereka mengatakan Siauw Lan tak boleh melanggar janji."
"Dilihat begini, jebakan di puncak itu telah dipasang oleh mereka," kata Keng
Thian. "Kenapa
mereka kebentrok dengan ayahku?"
"Jebakan apa?" tanya Yo Lioe Tjeng.
Keng Thian lantas saja menceritakan peristiwa yang dialaminya, sehingga ia
hampir-hampir binasa tertimpa batu besar.
Nyonya Tjee jadi kaget tercampur girang. "Kalau begitu, ayahmu benar berada
disini," katanya.
"Tapi gunung Himalaya begini besar. Kemana kita mencarinya" Ah" Dua puluh tahun
lebih aku tak pernah bertemu dengan ayahmu." Sambil berkata begitu, ia melirik Keng Thian dan
Peng Go dan kemudian menghela napas. "Sesuatu manusia mempunyai jodoh sendiri-sendiri,
manusia tak dapat melawan nasib," katanya di dalam hati.
Harus diketahui, bahwa di waktu masih gadis, Yo Lioe Tjeng pernah ditunangkan
dengan Tong Siauw Lan. Belakangan, karena tak ada kecocokan, pertunangan itu tidak terwujut
dengan pernikahan. Sesudah lewat banyak tahun, biarpun masing-masing sudah menikah, Yo
Lioe Tjeng masih tidak bisa melupakan Siauw Lan sebagai kecintaannya yang pertama. Tapi
kecintaan itu adalah bebas dari segala arti yang jelek. Lioe Tjeng sekarang mencintai Siauw
Lan sebagai saudara sendiri, atau sedikitnya sebagai seorang sahabat karib. Maka itulah pada
waktu bertemu dengan Keng Thian, ia segera berniat untuk merangkap jodoh Tjiang Hee dengan
pp~iuda itu. Tapi tak dinyana, putera Tong Siauw Lan sudah mempunyai kecintaan lain.
Malam itu, mereka menginap di Hongto tay. Pada besokan paginya, luka Keng Thian
sudah sembuh sama sekali dan mereka lalu meneruskan perjalanan ke jurusan barat.
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di sebelah selatan Himalaya. Selagi enak
berjalan, mendadak Peng Go terkejut karena jauh-jauh ia melihat bendera-bendera yang
sangat besar jumlahnya. "Keng Thian, apa tentara Nepal benar sudah datang kesini?" tanyanya.
"Mari kita
menyelidiki,"
"Baiklah, aku akan mengantar kau," kata pemuda itu. "Tjee Pehbo, kalian tunggu
saja disini. Sesudah menyelidiki, kami akan kembali untuk berdamai bagaimana baiknya."'
Sebagai gunung yang besar luar biasa di Himalaya terdapat banyak hutan-hutan
yang belum pernah ditembus orang, sehingga jika orang bertemu dengan hutan begitu, ia
terpaksa mengambil
jalan mutar. Demikianlah, biarpun bendera-bendera yang dilihat Peng Go
kelihatannya tidak
seberapa jauh, tapi waktu berusaha untuk mendekatinya, beberapa kali mereka
menyasar dan sesudah berjalan setengah harian, belum juga mereka sampai di tempat yang
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dituju. "Dilihat begini, kita harus cari seorang pengunjuk jalan," kata Keng Thian.
"Jangan mimpi," kata si nona sambil tertawa. "Dari mana kau mau cari pengunjuk
jalan" Biarpun kau berani membayar seribu tail emas, tiada manusia yang bisa mengantar
kau di gunung ini." "Kau salah!" Keng Thian mendadak berkata. "Coba lihat! Apa disana bukan
manusia?" Peng Go mendongak dan melihat seorang yang sedang berlari-lari di puncak gunung
seberang. Orang itu yang gerakannya sangat gesit, ternyata tengah diubar lima orang yang
di kepalai oleh
seorang pendeta yang mengenakan jubah pertapaan warna merah. Dilihat dari jauh,
warna merah itu sangat menyolok mata.
"Orang yang dikejar adalah Liong Leng Kiauw!" teriak Keng Thian.
"Benar," kata si nona. "Pendeta yang mengejarnya tentulah si pendeta yang
membongkar penjara." "Mereka pasti mengandung maksud tak baik, mari kita cegat," mengajak Keng Thian.
Ketika itu Liong Leng Kiauw dan pengejar-pengejarnya sudah lari jauh sekali.
Si nona mengangguk. "Baiklah, kita ambil jalan dari samping gunung," katanya.
Karena jarak antara kedua gunung itu tidak seberapa jauh dan juga sebab Keng
Thian dan Peng Go memiliki ilmu mengentengkan badan yang lebih tinggi daripada Leng Kiauw
dan si pendeta, maka belum cukup setengah jam, mereka sudah berada di sebelah depan si
pendeta. Ketika itu, Liong Leng Kiauw sudah mendaki puncak kedua, sedang beberapa boesoe
Nepal lainnya masih ketinggalan jauh di belakang si pendeta.
Ternyata, selama berdiam beberapa hari di perkemahan tentara Nepal, Leng Kiauw
tak hentinya mengasah otak. Biarpun mempunyai cita-cita besar, perasaan hatinya
masih tidak mengijinkan untuk menjadi pengkhianat bangsa yang mengajak tentara asing masuk
ke dalam negeri sendiri. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk kabur dan lebih suka
dibinasakan oleh
kaizar Tjeng daripada jadi pengkhianat. Ia bertujuan pergi ke Lhasa guna
melaporkan kejadian itu
kepada Hok Kong An. Di luar dugaan, kaburnya telah diketahui oleh si pendeta
asing yang lalu
mengejar dengan mengajak beberapa boesoe.
Liong Leng Kiauw tidak berani mengambil jalanan di tanah datar dan terus mabur
ke gununggunung.
Sesudah lari sehari dan semalam, ia naik semakin tinggi dan jalanan jadi semakin
sukar. Si pendeta asing yang bernama Taichiti dan berkedudukan sebagai Koksoe (guru
negara) utama, terus mengejar sekeras-kerasnya dan waktu Leng Kiauw mendaki puncak yang kedua,
jarak antara mereka hanya kira-kira seratus tindak.
Sesaat itu, mereka berada di tempat yang tertutup salju dan licin luar biasa.
Beberapa kali si
pendeta mengempos semangat dan melompat tinggi, tapi ia selalu menyerosot lagi
ke bawah karena licinnya jalanan. Mendadak ia membuka jubah pertapaannya yang lalu
digunakan untuk
mengeredongi pundaknya, sehingga ia seolah-olah mempunyai dua sayap. Sekali lagi
ia melompat tinggi dan dengan bantuan jubah itu yang seperti "layar perahu" kakinya bisa
hinggap di atas salju
tanpa menyerosot ke bawah lagi.
Ia tertawa terbahak-bahak dan berteriak: "Lian Sianseng, rajaku telah
memperlakukan kau
sebagai tamu terhormat, tapi kenapa kau mabur tanpa pamitan lagi" Dengan
menempuh bahaya,
aku membawa kau datang kesini. Perbuatanmu itu sungguh-sungguh tidak
memandang persahabatan."
Leng Kiauw tak menyahut, ia terus merayap ke atas dengan sepenuh tenaga.
"Lian Sianseng!" berseru pula si pendeta. "Lebih baik kau lekas-lekas turun.
Jika dicandak olehku, bisa terjadi kejadian yang kurang enak." Ia melompat lagi dan naik
setombak lebih.
Selagi si pendeta tergirang-girang, tiba-tiba terdengar suara aneh, disusul
dengan menyambarnya satu sinar merah. Buru-buru ia mengebas dengan jubahnya. "Brt!",
jubah itu berlubang dan tidak bisa digunakan lagi sebagai "layar perahu". Si pendeta yang
tidak berwaspada
terpeleset dan menyerosot turun beberapa tombak, hampir-hampir ia jatuh
terguling. Jubah
pertapaan itu dibuat dari benang emas dan ditambah dengan lweekang, kekuatannya
melebihi sebuah tameng. Pada belasan hari berselang, dengan jubah itu, ia telah menyampok
jatuh semua senjata rahasia yang dilepaskan oleh Tong Say Hoa. Maka itu, ia kaget tak
kepalang ketika tahu
jubahnya ditembuskan dengan senjata rahasia.
Di lain saat, dari lamping gunung mendadak muncul seorang pemuda yang parasnya
cakap sekali. Orang itu bukan lain daripada Tong Keng Thian yang tidak dikenal oleh si
pendeta. "Siapa
kau?" bentaknya.
"Tak usah tahu!" jawabnya. "Yang penting adalah aku tidak mempermisikan kau naik
di gunung ini." "Bocah! Besar benar nyalimu!" bentak si pendeta sambil mengebut dengan jubahnya.
Biarpun tahu pemuda itu mempunyai senjata rahasia yang sangat liehay, ia tak menjadi
keder karena menganggap Keng Thian yang berusia begitu muda, pasti tidak memiliki ilmu silat
berarti. Maka itu, ia lantas saja mengebut dengan ilmu Thianlo kaytee (Jala langit menungkup
bumi), serupa ilmu yang telah dilatih olehnya selama beberapa puluh tahun.
Melihat menyambarnya jubah itu dengan, tenaga yang dahsyat, Keng Thian
terperanjat. "Tak
heran jika Tong Say Hoa dan Kim Sie Ie masih belum dapat
menjatuhkannya," pikirnya. Tanpa berayal lagi, ia menghunus Yoeliong kiam dan
menikam dengan pukulan Houwtek siadjit (Houwtek memanah matahari).
Sebagaimana diketahui, Yoeliong kiam adalah pedang mustika dari Thiansan pay,
sehingga jangankan jubah, sedangkan tameng baja pun dapat ditembuskannya. Dengan satu
suara "bret!",
diiring dengan sinar berkilauan, jubah itu berlubang besar.
Si pendeta kemekmek, buru-buru ia menarik pulang jubahnya dan melompat ke
belakang, akan kemudian mengawasi pemuda itu dengan mata membelalak. Di lain pihak, biarpun
berhasil merobek jubah pertapaan itu dengan pedangnya, Keng Thian sendiri merasa
lengannya sakit.
Di lain saat, pendeta itu sudah menyerang lagi dengan jubahnya. Dengan satu dua
kebutan saja, ia tahu tenaga pemuda itu sudah banyak berkurang. Maka itu, tanpa
menghiraukan kemungkinan jubahnya ditobloskan pula dengan pedang musuh, ia segera mengirim
serangan berantai sambil memutar jubahnya bagaikan titiran. Dengan menggunakan ilmu
menggulung, ia ingin merampas pedang Keng Thian. Sambil mengempos semangat, Keng Thian melayani
dengan hati-hati sekali. Sesudah lewat kira-kira dua puluh jurus, beberapa kali lagi
jubah itu tertikam
tembus, tapi si pendeta tidak memperdulikan dan terus menerjang bagaikan kerbau
gila. Beberapa saat kemudian, barulah Pengtjoan Thianlie tiba disitu. Meskipun
memiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, tapi karena jalanan penuh rintangan dan
pohon-pohon berduri dan juga karena Pengpok Hankong kiam tidak setajam Yoeliong kiam, maka
si nona agak terlambat datangnya.
Melihat munculnya seorang wanita yang luar biasa cantik dan mengenakan pakaian
serba putih, si pendeta yang lagi menyerang sambil berteriak-teriak jadi terkesiap dan
melompat mundur
beberapa tindak.
"Nepal dan Tiongkok adalah tetangga baik," kata si nona. "Kenapa kau merusak
persahabatan itu" Di samping itu, kau juga berani melintasi perbatasan dan menculik orang.
Lekas pergi!" Suara
si nona nyaring bagaikan kelenengan perak dan mengandung keangkeran yang luar
biasa. Si pendeta terkejut dan mundur lagi beberapa tindak. Sebagai Koksoe utama dari
Nepal, rajanya sendiri tak pernah bicara begitu terhadapnya. Darahnya lantas saja naik dan
sambil mengebas
jubah pertapaannya, ia menanya dengan suara dingin: "Siapa kau" Sungguh besar
nyalimu, berani
mencampuri urusan negaraku... ih!..." Mendadak ia mengebut dengan jubahnya dan
tanpa merasa ia bergidik, karena Peng Go sudah melepaskan sebutir Pengpok Sintan. Sekonyongkonyong ia ingat suatu hal. Dengan memiliki lweekang yang tinggi, Pengpok Sintan tak cukup
hebat untuk menggetarkan badan si pendeta. Tapi begitu ingat hal itu, badannya lantas saja
bergemetaran dan
parasnya berubah pucat.
Sebelum ia keburu berbuat apa-apa, tiba-tiba di belakangnya terdengar suara:
"Kongtjoe (Puteri), terimalah hormat kami!"
Ia menoleh dan melihat empat boesoe Nepal sudah berlutut di atas salju.
Jantungnya memukul
keras dan ia berkata dalam hatinya: "Benar saja dia!"
Harus diketahui, bahwa Taichiti adalah Soeheng (kakak seperguruan) dari pendeta
jubah merah yang dulu pernah naik ke istana es dan belakangan binasa dalam tangan Tan Thian
Oe. Waktu masih hidup, Soete itu pernah menuturkan pengalamannya di istana es dan hebatnya
Pengpok Sintan, sehingga begitu ditimpuk dengan Sintan, ia segera menduga pasti, bahwa
nona itu adalah
Pengtjoan Thianlie. Maka'itu, buru-buru ia memohon maaf kepada sang Puteri.
Pengtjoan Thianlie mengebas tangannya dan menegur dua boesoe yang berlutut
paling depan: "Aku pernah melarang kalian mengacau di Tiongkok, tapi kenapa sekarang kalian
datang kembali?" Kedua orang itu manggut-manggutkan kepalanya. "Karena diperintah raja, hamba
berdua tak berani membantah," jawabnya dengan suara ketakutan.
"Dimana adanya rajamu?" tanya si nona
"Dengan membawa tentara, beliau berkemah di selat sebelah selatan," jawab satu
antaranya "Kedatangan raja di kali ini justeru adalah untuk mencari Kongtjoe" kata
Taichiti sambil
bersenyum. " "Pertemuan ini sungguh menggirangkan, sehingga tentara kita
terbebas dari kecapaian. Maka itu, kami memohon Kongtjoe sudi berkunjung ke perkemahan."
"Baiklah," kata si nona "Aku memang mau cari dia."
Mendengar jawaban itu, bukan main girangnya si pendeta. "Hilangnya Liong Leng
Kiauw berbalik menjadi satu keberkahan," pikirnya. "Dengan berhasil mengundang
Kongtjoe, pahalaku
bukan main besarnya." Ia lantas saja memerintahkan empat boesoe jalan di muka
untuk membuka jalan dalam perjalanan pulang ke perkemahan.
Taichiti dan kawan-kawannya membawa tenda dan malam itu mereka menginap di atas
gunung. Besokan paginya mereka meneruskan perjalanan dan sesudah berjalan
setengah harian,
barulah lapat-lapat mereka mendengar suara berbengernya kuda. "Kira-kira sejam
lagi kita akan tiba di perkemahan," kata Taichiti kepada si nona "Pertemuan dengan Kongtjoe
akan menggirangkan sangat hatinya raja."
Peng Go tak menyahut, ia hanya mengangguk.
Sementara itu, hati Keng Thian terus berdebar-debar. Sebenarnya ia sendirilah
yang telah menganjurkan Peng Go pergi menemui raja Nepal, tapi sekarang, sesudah mereka
berada dekat dengan raja tersebut, hatinya jadi berkuatir kalau-kalau pertemuan itu akan
mengakibatkan kejadian yang tidak diingin. Ia melirik kecintaannya yang bersikap tenang
sekali. Selagi Keng Thian berjalan dengan hati bimbang, tiba-tiba Peng Go mengeluarkan
seruan tertahan dan si pendeta asing melompat dengan kaget. Ia segera mengawasi ke arah
yang diawasi mereka dan melihat bekas pukulan tongkat di atas sebuah batu besar yang
licin. Dilihat dari bekasnya, tak bisa salah lagi batu itu telah dipukul dengan tongkat Kim Sie
Ie. "Dia juga menulis beberapa baris huruf," kata si nona
Keng Thian segera mendekati dan membaca huruf-huruf itu yang ditulis di atas
batu: "Di antara manusia hina menghina adalah lumrah. Untuk apa manusia hidup terlalu
lama" Kuingin memetik bintang di ruang angkasa, Menenangkan lautan Tonghay aman
sentosa." Sesudah membaca syair itu Keng Thian berdiri bengong. Ia tak menduga, bahwa Kim
Sie Ie yang gila-gilaan dapat menulis syair yang luhur artinya dan bebas dari segala
rasa dendam terhadap sesama manusia. "Apakah sifatnya berubah karena dia sudah mendekati
ajalnya?" tanya
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keng Thian di dalam hati. "Ditinjau dari syairnya, ia seolah-olah hendak mendaki
Tjoehong untuk mati di puncak gunung yang tinggi itu. Sungguh mengherankan."
Peng Go menghela napas panjang seraya berkata: "Bagaimana kita bisa mencarinya
di gunung yang begini besar dan luas?"
"Siapa dia?" tanya Taichiti. "Seorang sahabat karib," jawab si nona.
Mendengar jawaban itu, si pendeta terkejut karena sebagaimana diketahui ia
pernah dihajar oleh Kim Sie Ie. Tapi ia tak berani menanya lebih jauh, sebab si nona
kelihatannya sedang berpikir
keras dengan paras berduka.
Sesudah berjalan lagi beberapa lama, tibalah mereka di satu lembah yang sangat
luas dimana terdapat ribuan tenda yang berderet-deret dan ribuan bendera yang berkibar-kibar
dengan megahnya. Ditambah dengan suara berbengernya kuda dan tentara yang menjaga
dengan senjata terhunus, lembah itu memperlihatkan suatu pemandangan yang angker luar biasa.
Taichiti segera memerintahkan dua orang boesoe untuk melaporkan kedatangan
Pengtjoan Thianlie kepada raja
Berita itu tersiar dengan cepat sekali dan dalam sekejap mata, dengan berlombalomba ribuan atau laksaan serdadu Nepal menerobos keluar dari tenda mereka untuk melihat
wajah sang puteri.
Semenjak mendiang Koksoe jubah merah kembali dari Puncak Es dan membawa warta
tentang kecantikan dan kegagahan Pengtjoan Thianlie, di seluruh Nepal telah tersiar
macam-macam cerita
-- yang satu lebih muluk dari yang lain -- tentang puteri itu. Sedari waktu itu,
terutama sesudah
raja memerintah secara sewenang-wenang, segenap rakyat mengharap-harap
kedatangan puterinya Hoa Giok Kongtjoe, ahli waris tulen dari tahta kerajaan Nepal. Maka
itu tidaklah heran,
begitu mendengar kedatangan Peng Go, tata tertib ketentaraan tidak dapat
dipertahankan lagi dan
bagaikan gelombang laut, laksaan serdadu menerobos keluar dari perkemahan
mereka. Dengan jubah yang berkibar-kibar karena ditiup angin dan dengan duduk tegak di
atas punggung kuda, bagaikan seorang dewi yang baru turun dari kahyangan, Pengtjoan
Thianlie mengawasi laksaan tentara itu yang menghampirinya bagaikan air bah. Mendadak
mereka menghentikan tindakan dan keadaan di lembah itu mendadak berubah sunyi senyap.
Semua orang, dari perwira sampai serdadu biasa, memandang wajah sang Puteri dengan
rasa cinta dan kagum. Tiba-tiba terdengar seruan "Banswee" yang bergemuruh! Pengtjoan Thianlie
bersenyum sambal
mengulapkan tangan, sedang air mata berlinang-linang di kedua matanya.
Sedang seruan itu masih berkumandang di seputar lembah, sekonyong-konyong
bendera raja bergerak dan tenda besar yang berwarna kuning terbuka, disusul dengan keluarnya
raja Nepal yang menunggang gajah putih yang diiringi oleh para menteri serta pembesar
agung. Keadaan di
lembah itu dengan serentak menjadi sunyi kembali. Keng Thian dan Peng Go
mengawasi sang raja
yang parasnya kelihatan pucat sekali. Mereka menduga, bahwa raja itu telah jadi
ketakutan karena
teriakan "Banswee" dari tentaranya dalam menyambut Peng Go. (Banswee yang
berarti laksaan
tahun adalah panggilan untuk seorang raja atau ratu).
Dugaan mereka adalah tepat. Sesudah menggerakkan tentara, siang malam raja
membayangbayangkan,
bahwa dalam tempo cepat ia akan bisa menikah dengan saudara sepupunya yang
cantik bagaikan dewi. Tapi seruan "Banswee" itu adalah bagaikan halilintar di
tengah hari bolong.
Mendadak ia ingat, bahwa Peng Go adalah ahli waris tahta kerajaan Nepal dan hal
itu dengan segala akibatnya sama sekali tidak diperhitungkan olehnya.
Waktu sudah berhadapan dengan si nona, rasa kuatir raja bercampur dengan rasa
kagum yang sangat besar. Kecantikan Peng Go ternyata melebihi dari apa yang pernah
dibayangkannya. Ia
menatap wajah si nona tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Pengtjoan Thianlie sendiri menghadapi saudara sepupunya dengan sikap tenang dan
sambil bersenyum, ia memberi hormat.
Seperti orang baru tersadar dari tidurnya, buru-buru raja melompat turun dari
atas punggung gajah dan mempersilahkan Peng Go menunggang tunggangan
kehormatan itu. Melihat kecantikan yang angker dan dingin, sedikitpun ia tak
berani berlaku kurang ajar dan dengan segala upacara kehormatan, Peng Go diiringi masuk ke
dalam tenda raja
Begitu masuk, raja segera memerintahkan disiapkannya meja perjamuan untuk
menjamu si nona. Ia mendongkol waktu Peng Go minta Keng Thian duduk di sampingnya, tapi ia
tidak bisa berbuat lain daripada menahan sabar.
Sesudah minum beberapa cawan arak, hati sang raja mulai tenang, tapi sebelum ia
bicara, Peng Go sudah mendului: "Bolehkah kutahu, perlu apa Ong-heng (saudara raja)
menggerakkan tentara dan datang kesini?"
"Untuk menyambut Piauwmoay pulang ke negara sendiri," jawabnya.
Paras muka si nona lantas saja berubah dan ia berkata pula dengan suara dingin:
"Walaupun aku terlahir di Tiongkok dan belum pernah menginjak negara sendiri, tapi ibuku
sering memberitahukan tentang ajaran mendiang kakek raja Sebagai orang yang mewarisi
tahta, masakah Ong-heng tak tahu ajaran kakek sendiri?" Kata-kata yang berani itu sudah
mengejutkan hatinya semua orang!
Sehabis berkata begitu, dengan matanya yang sangat tajam, si nona mengawasi
raja, yang parasnya lantas saja berubah merah. Sesudah menetapkan hati, ia tertawa getir
seraya menanya:
"Ajaran apa" bolehkah Piauwmoay memberitahukanku?"
"Negara kita adalah sebuah negara kecil yang dalam banyak hal harus menyender
kepada Tiongkok," kata si nona. "Maka itu, semenjak dulu, negara kita selalu mengikat
tali persahabatan
dengan Tiongkok. Menurut ajaran leluhur, kita tak boleh mengganggu wilayah
Tionggoan. Tapi
sekarang, mengapa Ong-heng sudah menggerakkan tentara dan melintasi daerah
perbatasan?"
"Aku sama sekali bukan ingin mengganggu wilayah Tiongkok," jawabnya. "Karena tak
ingin kau berkelana di negeri orang, maka aku sudah datang kesini untuk menyambut kau
pulang ke negeri
sendiri." "Dalam hal ini sebenarnya Ong-heng boleh tak usah mencampuri," kata si nona.
"Aku hidup
dengan senang di Tibet dan jika aku ingin pulang, aku bisa pulang sendiri.
Andaikata benar Ongheng
ingin mengajakku pulang, Ong-heng bisa berbuat begitu tanpa menggerakkan
Seantero tentara." Raja Nepal kemekmek, tak dapat ia menjawab perkataan adiknya.
Selang beberapa saat, Peng Go berkata pula dengan suara perlahan: "Seantero
tentara dari negara kita masih belum cukup untuk memenuhi sebuah lembah gunung Himalaya.
Tindakan Ongheng
dengan sesungguhnya tindakan yang terlalu ceroboh!"
Karena malu, raja Nepal menjadi gusar, tapi terhadap Peng Go yang cantik dan
angker, ia tak berani sembarangan mengumbar napsu.
Sesudah menyapu para menteri dengan matanya yang sangat berpengaruh, si nona
berkata pula: "Dalam hal ini, kalian pun turut bersalah. Jika raja mau bertindak keliru,
adalah kewajiban
para menteri untuk mencegahnya!" Menteri-menteri dan pembesar-pembesar tinggi
itu tak berani mengangkat muka. Biarpun mendongkol, tiada satupun yang membuka mulut.
Peng Go berdiam sejenak dan kemudian menyambung perkataannya: "Meskipun ibuku
telah meninggalkan negara sendiri, tapi ia telah dianugerahi Tiatkoen151 oleh Sian-ong
(mendiang raja)
dan dengan kekuatan Tiatkoen itu, ia masih boleh mencampuri urusan dalam negara
Nepal. Tiatkoen sekarang berada dalam tanganku.
Demi persahabatan dan kepentingan kedua negara, aku menasehati supaya Ong-heng
segera menarik pulang tentara ini. Manakala Ong-heng tidak menyetujui, marilah kita
menghimpunkan seantero barisan dan membentangkan pendapat-pendapat kita kepada mereka supaya
mereka bisa menimbangnya dan memberi keputusan yang mengikat."
Raja Nepal terkesiap. Ia merasa seperti juga kepalanya diguyur dengan air
dingin. Ia yakin,
bahwa jika tentara Nepal dikumpulkan dan diminta pendapatnya, mereka pasti akan
menunjang usul Pengtjoan Thianlie, yang mana bisa berarti tergulingnya ia dari tahta
kerajaan. Ia mengeluh
dan menyesal, bahwa ia sudah cari-cari penyakit sendiri.
Sedang raja kebingungan, Keng Thian kegirangan, sebab ia tak menduga
kecintaannya bisa
bertindak begitu tegas.
Karena tiada jalan lain, sesudah menimbang-nimbang beberapa saat, raja menyerah
juga. "Baiklah," katanya sambil tertawa getir. "Akan tetapi penarikan tentara
memerlukan persiapan
beberapa hari. Di samping persiapan, kita juga harus memerintahkan orang untuk
menyingkirkan salju yang menutup jalanan gunung."
Mendengar jawaban itu, paras muka si nona lantas saja berubah sabar dan bersinar
terang, "Kalau begitu, Ong-heng harus segera bertindak," katanya.
Sesudah soal yang penting dapat dibereskan, mereka lalu mulai makan minum dan
bicara dengan gembira.
"Aku mendengar dulu Piauwmoay berdiam dalam istana es yang tak pernah atau
sedikitnya jarang dikunjungi manusia," kata sang raja. "Apa kau tidak merasa kesepian?"
"Tidak, apalagi aku mempunyai banyak sekali dayang sebagai kawan," jawabnya.
Raja tertawa dan berkata pula: "Sebagai seorang yang hidup di wilayah Tionggoan
Piauwmoay tentu tahu ajaran orang Tionghoa. Lelaki harus menikah, sedang wanita harus
keluar pintu. Itulah
satu kemestian dari semua manusia. Jika berdiam terus di Puncak Es, bagaimana
kau bisa memilih
Hoema (suami seorang puteri raja)" Maka itu aku telah mengambil keputusan untuk
menyambut kau pulang ke negeri sendiri, supaya aku bisa mengatur soal pernikahanmu."
Alis si nona berkerut dan ia berkata dengan suara mendongkol: "Lebih baik Ongheng mengurus saja urusan-urusan yang penting..."
"Apa pernikahanmu bukan urusan penting?" memotong raja. "Aku adalah anggauta
keluargamu yang terdekat. Mana bisa aku tak memikiri soal itu?"
Paras muka Peng Go lantas saja berubah. "Soal pernikahanku tak perlu dipikiri
Ong-heng,"
katanya dengan ketus.
Hati raja melonjak. "Apa kau sudah memilih Hoema?" tanyanya.
Peng Go tak menyahut. Perlahan-lahan ia mengangkat kepala dan melirik Keng Thian
yang justeru sedang mengawasinya dengan sorot mata penuh kecintaan. Si nona jadi
kemalu-maluan dan ia menunduk dengan paras muka bersemu dadu.
Dengan sikap itu, siapapun juga bisa menduga, bahwa Keng Thian adalah pemuda
yang sudah dipilih Pengtjoan Thianlie. Mendadak saja, darah raja Nepal meluap, hatinya
penuh dengan rasa
mengiri dan cemburu. "Siapa dia?" tanyanya dengan nada menghina.
"Ia adalah seorang Hiapkek (pendekar) ternama di wilayah Tionggoan," jawab Peng
Go dengan angkuh. "Ia adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi, baik dalam ilmu
surat, maupun dalam ilmu silat."
"Kongtjoe memuji terlalu tinggi," kata Keng Thian. "Di wilayah Tiongkok, orang
yang seperti aku tidak bisa dihitung berapa banyaknya."
Sang raja mendongkol bukan main. Ia hanya mengeluarkan suara di hidung dan tidak
berkata apa-apa lagi. "Di kaki gunung masih terdapat beberapa orang sahabat," kata Pengtjoan Thianlie.
"Bagus," kata raja sambil berpaling kepada seorang perwira "Undanglah mereka
semua." Sambil berkata begitu, diam-diam ia mengambil keputusan mengenai tindakan yang
akan diambil olehnya. Malam itu, sekejappun ia tak pulas. Di depan matanya terbayang-bayang wajah
Pengtjoan Thianlie yang seolah-olah merupakan sekuntum mawar berduri, boleh dipandang, tak
boleh dipegang. Ia tahu Peng Go tak boleh dibuat gegabah, tapi ia merasa berat untuk
melepaskannya dengan begitu saja. Di lain saat, terbayang pula sikap si nona terhadap Keng
Thian dan tiba-tiba
saja hatinya jadi panas sekali. "Tak boleh tidak aku mesti membinasakan bocah
cilik itu," pikirnya
dengan rasa jelus.
Pada esokan paginya, ia kembali mengadakan perjamuan untuk para tamunya di tenda
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
besar. Dalam perjamuan itu, di samping Peng Go dan Keng Thian, juga turut hadir Tong
Say Hoa bersama Tong Toan, Yo Lioe Tjeng bersama puterinya dan si kacung Kang Lam yang
datang atas undangan raja Peng Go girang bukan main dan minta si nenek Tong duduk di sampingnya. "Sungguh
sukar kami mencari kau," bisiknya: "Bukankah kau berjalan bersama-sama Kim Sie Ie.
Dimana dia?"
"Begitu tiba di kaki gunung, ia lalu meninggalkanku dan naik dengan kecepatan
luar biasa,"
jawabnya. "Jika aku masih-muda, mungkin sekali aku masih dapat menyusulnya.
Pemuda itu sungguh-sungguh aneh. Hai! Aku menanggung budi yang sangat besar dan mungkin
sekali budi itu tak akan dapat dibalas olehku. Apakah kau pernah bertemu dengan Leng Kiauw?"
Sebelum Peng Go sempat menjawab, dari ruangan belakang tenda mendadak muncul
sejumlah boesoe yang terdiri dari berbagai kebangsaan, antaranya terdapat orang Eropa,
Arab, India dan
sebagainya. Tong Say Hoa mengawasi dengan hati berdebar-debar, karena di antara
mereka terlihat juga Taichiti yang telah menculik Liong Sam. Ia ingin sekali segera
menanyakan si pendeta
tentang Liong Leng Kiauw, tapi sebisa-bisa ia menahan napsu.
"Sudah lama aku mendengar, bahwa di Tiongkok terdapat banyak sekali orang
pandai," kata
raja Nepal sambil tertawa: "Kemarin Kongtjoe telah memuji Tong Tayhiap sebagai
seorang yang berkepandaian sangat tinggi, sehingga aku merasa sangat kagum. Maka itu, dengan
meminjam kesempatan ini, kapan para boesoe dari berbagai negara berkumpul disini, kami
ingin meminta pengajaran dari Tong Tayhiap, supaya kami bisa membuka mata terlebih lebar."
Mendengar tantangan itu, Peng Go tersenyum. "Dalam ilmu silat sebenarnya tiada
perbedaan antara negara ini dan negara itu," katanya. "Dengan berkata begitu, Ong-heng
seolah-olah ingin
memisahkan orang-orang yang hadir disini menjadi dua rombongan."
"Tong Tayhiap adalah tamuku yang terhormat dan juga sahabat Piauwmoay," kata
raja dengan menyimpang. "Maka itu, aku ingin sekali melihat kepandaiannya. Mari! Aku ingin
memberi hormat kepada Tong Tayhiap dengan secawan arak ini!"
Melihat sinar mata raja yang luar biasa, Peng Go merasa curiga, tapi sebelum ia
keburu mencegah, Keng Thian sudah menyambuti cawan itu dan mencegluk isinya.
"Siapakah yang ingin melayani Tong Tayhiap?" tanya raja.
Taichiti bangun berdiri dan berkata sembari tertawa: "Kemarin kusudah berkenalan
dengan ilmu silat Tong Tayhiap, maka hari ini kuingin meminta pelajaran lebih jauh."
Ternyata pendeta itu
sudah bersiap dengan dua macam senjata:
Tangan kiri mencekal jubah pertapaan yang berwarna merah, sedang tangan kanannya
memegang sebuah martil besar.
"Aku merasa sangat beruntung, bahwa Koksoe sudi memberi pelajaran kepadaku,"
kata Keng Thian sambil menghunus Yoeliong kiam.
Raja segera menghadiahkan secawan arak kepada Koksoe-nya dan memerintahkan orang
membuka tenda, supaya pertandingan bisa berlangsung dengan leluasa.
Tanpa berkata suatu apa lagi, Taichiti, segera mengebut dengan jubah
pertapaannya. "Jubahmu sudah ditambal cepat sekali!" kata Keng Thian sambil menangkis dengan
pedangnya. "Trang!", si pendeta mendului menghantam Yoeliong kiam dengan martilnya dan Keng
Thian terhuyung beberapa tindak.
"Piauwmoay, pujianmu yang muluk ternyata melebihi kenyataan yang sebenarnya,"
kata raja dengan suara mengejek.
Si nona heran bukan main. Biarpun Taichiti bertenaga besar, ia sama sekali tak
percaya, bahwa Keng Thian dapat dipukul sempoyongan dalam satu gebrakan. Ia merasa pasti, bahwa
di dalam itu terselip apa-apa yang luar biasa
Sesudah memperoleh hasil dalam jurus pertama, si pendeta segera menerjang
seperti singa kelaparan. Dengan jubah dan martil, ia mengirim serangan-serangan berantai
secara ceroboh sekali, seakan-akan tak memandang Keng Thian sebelah mata. Beberapa kali, garis
pembelaannya terbuka lebar, tapi ia tak menghiraukannya dan terus menyerang secara membabibuta. Mendadak, bagaikan kilat, Keng Thian balas menyerang dengan pukulan Hoeihong
tjeklioe (Angin puyuh mematahkan pohon lioe). Yoeliong kiam berkelebat laksana kredepan
kilat dan "brett!", jubah pertapaan si pendeta berlubang besar! Keng Thian merangsek dan
mengirim dua tikaman dengan beruntun sehingga si pendeta jadi gelagapan dan coba menangkis
dengan martilnya secara sembarangan. Apa mau pukulan martil itu meleset dan mengenakan
sebuah batu besar yang lantas saja terpukul pecah.
Keng Thian menarik pulang pedangnya dan berkata sambil bersenyum: "Maju lagi!
Aku tak bisa menyerang seekor anjing yang sudah basah kuyup!"
Pengtjoan Thianlie lega hatinya. "Ong-heng, kau lihatlah," katanya sambil
bersenyum manis.
"Jika Tong Tayhiap mengirim pula satu tikaman, bukankah Koksoe-mu yang terutama
sudah melayang jiwanya?"
Paras muka raja jadi pucat, sekarang adalah gilirannya sendiri untuk terheranheran. Dalam niatannya untuk membinasakan pemuda yang dianggap sebagai saingannya, ia
telah menggunakan racun. Dalam poci arak yang tadi digunakannya terdapat dua kotak
dengan alat rahasianya Arak dalam kotak yang satu sudah dicampur dengan semacam rumput
beracun yang dinamakan Pekdjit tjoei (Mabuk seratus hari), sedang arak dalam kotak yang lain
adalah arak biasa Dengan memijit alat rahasia, raja bisa menuang arak beracun atau arak
biasa. Yang diberikan kepada Keng Thian adalah arak beracun, sedang yang diminum Taichiti
arak biasa. Pekdjit tjoei adalah rumput yang tumbuh di pegunungan Himalaya dan dapat
memabukkan manusia secara hebat sekali. Tapi Keng Thian adalah seorang yang berpengalaman
luas dan sangat berhati-hati. Melihat paras sang raja yang luar biasa, hatinya merasa tak
enak dan diamdiam
ia sudah menelan sebutir Pekleng tan yang terbuat dari Thiansan Soatlian.
Sebagaimana diketahui, Teratai Salju dari Thiansan itu mempunyai khasiat untuk memunahkan
segala macam racun. Jangankan baru Pekdjit tjoei, sedangkan Khongtjiok tan (Nyali burung
merak) yang banyak
lebih hebat pun dapat dipunahkannya.
Sementara itu, Taichiti yang tahu, bahwa rajanya sudah turunkan tangan jahat,
dan menduga, bahwa musuhnya bakal segera roboh karena lemas dan mabuk, sudah menyerang secara
membabi-buta. Ia sama sekali tak pernah mimpi, bahwa dirinya sendirilah yang
ditipu oleh lawannya. Dalam gebrakan pertama, Keng Thian berlagak terhuyung, sehingga dia
jadi semakin besar hatinya dan kecerobohannya sudah mengakibatkan kekalahannya.
Sesudah mendapat pelajaran getir, Taichiti segera menyerang lagi dengan hatihati. Kedua lawan lantas saja bertempur dengan menggunakan Seantero
kepandaiannya. Dalam sekejap, mereka sudah bertanding seratus jurus lebih, tanpa
ada yang keteter. Jubah pertapaan berkelebat-kelebat bagaikan awan merah, sedang Yoeliong
kiam yang menyilaukan mata menari-nari di tengah udara. Semua orang mengawasi jalan
pertempuran dengan hati berdebar-debar.
Sesudah kemarinnya mendapat pengalaman dalam pertempuran dengan Keng Thian,
Taichiti tahu, bahwa pedang pemuda itu tajam luar biasa dan ia tak akan bisa mendapat
kemenangan, jika
hanya mengandalkan jubah pertapaan. Maka itu, sekali ini ia menerjun ke dalam
gelanggang dengan membawa juga sebuah martil besar yang beratnya kurang lebih delapan puluh
kati. Walaupun pedang mustika, Yoeliong kiam tak bisa membabat putus senjata yang
begitu besar, apapula lweekang si pendeta ada lebih tinggi daripada tenaga dalamnya Keng
Thian. Dengan demikian biarpun pemuda itu mengeluarkan Thiansan Kiamhoat yang sangat liehay,
sesudah bertempur ratusan jurus, ia belum juga bisa berada di atas angin.
Selagi pertempuran berlangsung dengan serunya, mendadak turun angin besar. Angin
di Himalaya memang terkenal hebat. Bahwa tentara Nepal berkemah di suatu lembah,
sebagian adalah untuk melindungi diri dari hawa dingin dan sebagian pula guna menyingkir
dari serangan angin. Bagi si pendeta, turunnya angin merupakan bantuan yang sangat besar. Didorong
dengan tenaga angin, setiap kebutan jubah jadi bertambah hebat dan dalam sekejap, badan
Keng Thian seolah-olah dikurung dengan awan merah, Keng Thian berusaha keras untuk merobek
pula jubah pertapaan si pendeta, tapi Yoeliong kiam selalu berbentur dengan martil.
Melihat jagonya berada di atas angin, raja bunga hatinya dan melirik Peng Go
sambil mesemmesem.
Tong Say Hoa yang duduk di samping si nona jadi mendongkol dan berkata sambil
menjebi: "Dengan mendapat bantuan angin, meskipun menang orang tak boleh merasa
bangga." Mendengar perkataan si nenek yang juga menduga, bahwa Keng Thian bakal kalah,
hati Peng Go jadi semakin berkuatir.
Sementara itu, dengan gembira Taichiti menyerang semakin hebat, sehingga
beberapa kali Keng Thian terpaksa melompat mundur. Tiba-tiba pemuda itu tertawa nyaring dan
berkata: "Kau
menggunakan dua macam senjata, sedang aku hanya mempunyai sebatang pedang.
Pertempuran ini agak kurang adil."
Si pendeta tertawa dingin. "Aku tak pernah melarang kau menggunakan dua macam
senjata," katanya dengan sombong.
"Kalau begitu, baiklah," kata Keng Thian seraya mengayun tangan kirinya. Dengan
serentak sejumlah sinar merah menyambar dengan saling susul dan jubah pertapaan Taichiti
ditobloskan dengan belasan Thiansan Sinbong. Bukan main kagetnya si pendeta. Sebelum ia
dapat berbuat suatu apa, Keng Thian sudah mengayun pula tangan kirinya dan membentak: "Lepas
jubahmu!" Beberapa Thiansan Sinbong kembali menobloskan jubah itu dan mengenakan tangan si pendeta
yang mencekalnya. Sambil mengeluarkan teriakan kesakitan, Taichiti melepaskan
jubahnya yang lantas
saja terbang ke atas karena tiupan angin dan di lain saat sudah tak kelihatan
bayang-bayangannya
lagi. Sambil menundukkan kepala, Koksoe itu lalu menghilang di antara tenda-tenda yang
ribuan jumlahnya. Keng Thian membungkuk kepada raja dan berkata sambil bersenyum: "Koksoe nomor
satu dari negara Nepal memang sangat tinggi ilmunya."
Mendengar sindiran itu, raja merasa gusar sekali tapi ia merasa malu untuk
mengumbar napsu.
Ia bingung karena orang pandai yang diundang olehnya belum juga datang dan untuk
menutupi rasa malu, ia terpaksa berkata sambil tersenyum getir: "Dalam negaraku, setiap
serdadu dilatih
masak-masak dalam ilmu perang, baik ilmu menunggang kuda, maupun ilmu melepaskan
anak panah. Kami bukan hanya memperhatikan satu-dua boesoe yang berilmu tinggi."
Mendengar keterangan itu, Tong Say Hoa tertawa dingin. "Apakah betul?" ia
menegas. "Kalau
tidak berkeberatan, aku mohon baginda memanggil beberapa jago melepaskan anak
panah supaya aku si tua menambah pengalaman."
Muka raja lantas saja berubah merah padam karena gusar. Dengan sekali mengebas
tangan, dari dalam beberapa tenda lantas saja keluar empat orang boesoe yang masingmasing membawa sebuah busur besar. Mereka itu adalah guru yang mengajar tentara Nepal dalam
ilmu melepaskan
anak panah. Sambil menunjuk ke empat jagonya itu, raja berkata kepada Keng Thian: "Mereka
itu adalah serdadu pilihan dari barisan anak panah. Apakah Tayhiap bersedia untuk mengadu
ilmu dengan mereka?" Dengan
memperkenalkan empat guru itu sebagai serdadu biasa, raja berlaku licik sekali.
Jika Keng Thian menang, kemenangan itu tiada artinya, tapi kalau kalah, ia akan kehilangan
muka, karena sudah dikalahkan oleh orang-orang yang tidak ternama.
Keng Thian bersenyum, tapi sebelum ia sempat menjawab, Tong Say Hoa sudah
mendului:
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dalam permainan bocah cilik itu. Tong Tayhiap tak perlu turun tangan sendiri.
Hawa disini lembab
dan dingin, sehingga urat-uratku kaku. Biarlah aku saja yang turun untuk mainmain sedikit guna
melemaskan urat." Sambil berkata begitu, ia segera berjalan masuk ke dalam
gelanggang. Bukan main gusarnya raja. "Biarpun negeraku kecil, tapi setiap orang yang berada
dalam tentaraku adalah laki-laki sejati," katanya dengan suara dingin. "Dan sebagai
laki-laki sejati,
mereka tentu sungkan menghina seorang nenek tua!"
Tong Say Hoa mengeluarkan suara di hidung. "Hra!" katanya dengan nada menyindir.
"Memang, memang usiaku sudah lanjut. Kalau disuruh menjahit, memang kutak bisa.
Tapi kalau main panah... huh-huh! Jika baginda tidak memperkenalkan mereka sebagai jagojago pilihan, belum tentu aku kesudian menghadapi bocah-bocah itu!"
Raja mengawasi si nenek dengan sorot mata membenci. "Jika kau mau cari mampus,
akupun tak bisa menolong," katanya di dalam hati. Ia mengangguk seraya berkata:
"Baiklah. Serdaduku
menggunakan busur nomor satu. Busur nomor berapakah yang ingin digunakan
olehmu?" Sebaliknya dari menjawab pertanyaan orang, si nenek berteriak: "Ambil secawan
arak untuk menambah semangatku!"
Sementara itu, beberapa serdadu sudah mengeluarkan sejumlah busur, dari yang
besar sampai yang paling kecil. "Lootaytay (nyonya tua), beratnya busur yang paling besar
kurang lebih seratus
kati, sedang yang paling kecil kira-kira dua puluh kati," kata raja. "Kau boleh
memilih yang manapun juga. Dalam pertandingan ini, sebaiknya Lootaytay berlaku hati-hati."
Si nenek menyengir dan berkata dengan suara adem: "Aku tak biasa menggunakan
busur. Di negeriku, orang bisa balas menyerang lawannya dengan tangan kosong. Apakah jagojagomu belum pernah mempelajari ilmu itu?"
Ilmu melepaskan anak panah tanpa menggunakan busur belum pernah dikenal di Nepal
dan oleh karenanya, raja tak percaya omongan si nenek. Ia hanya menduga, bahwa orang
tua itu sudah mengaco belo sebab tak kuat menggunakan busurnya yang paling kecil. Ia
tentu saja tak tahu, bahwa di wilayah Tionggoan, keluarga Tong dikenal sebagai ahli melepaskan
senjata rahasia
nomor satu di kolong langit.
Setindak demi setindak, dengan gerakan loyo, Tong Say Hoa masuk ke dalam
gelanggang dan lalu duduk di tengah-tengah dengan napas agak tersengal-sengal. Melihat lagak si
nenek, ke empat jago Nepal jadi merasa bingung. Sebagai guru-guru ternama, mana mereka
tega menyerang seorang tua yang tidak bersenjata"
"Eh-eh! Mengapa kamu diam saja?" tanya si nenek. "Apa kamu tak berani melawan
aku si tua?"
Dua antara ke empat guru itu mengerti bahasa Han dan satu antaranya tak dapat
menahan sabar lagi "Baiklah," katanya. "Aku akan memanah tusuk konde giok di atas
kepalamu. Hati-hati,
jangan bergerak!" Berbareng, dengan menjepretnya busur, sebatang anak panah
menyambar ke atas kepala Tong Say Hoa.
Si nenek memperlihatkan sikap acuh tak acuh. Begitu lekas anak panah mendekati
kepalanya, bagaikan kilat tangannya bergerak dan anak panah itu sudah kena ditangkap.
Sambil tertawa dingin, ia menancapnya di tanah seraya berkata: "Eh, mengapa yang lain tidak
memanah?" Si guru terkejut dan lalu melepaskan anak panah yang kedua. Seperti yang
pertama, anak panah itu juga ditangkap dengan mudah sekali dan lalu ditancap di tanah.
Seorang kawannya jadi gergetan dan tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia memanah
tenggorokan Tong Say Hoa. "Celaka!" seru si nenek sambil membuka mulutnya dan
anak panah itu lantas saja masuk ke dalam mulut.
"Ah! Mengapa kau membinasakan dia?" kata seorang guru lain dengan suara
menyesal. Mendadak Tong Say Hoa membuka mulutnya dan menyemburkan anak panah itu yang
lantas saja menancap di tanah. "Baik juga gigiku masih cukup kuat," katanya sambil
tertawa. Ilmu menangkap senjata rahasia dengan menggunakan gigi adalah salah satu ilmu
istimewa dari keluarga Tong. "Hei!" seru si nenek. "Mengapa kamu begitu tolol" Sudah begitu
lama, baru melepaskan tiga batang yang tiada artinya!"
Sekarang keempat guru itu benar-benar gusar. Dengan berbareng empat busur
menjepret dan bagaikan kilat empat batang anak panah menyambar. Dengan tubuh tak bergerak,
tangan Tong Say Hoa bekerja. Dalam sekejap, di seputar tempat duduknya sudah penuh dengan
anak panah yang merupakan pagar.
Dengan kedua tangan terus menangkap anak-anak panah yang menyambar-nyambar, si
nenek berteriak berulang-ulang: "Terlalu lambat! Cepat! Cepat sedikit!"
Hati keempat guru itu panas bukan main. Tanpa sungkan-sungkan lagi, mereka
segera memanah dengan menggunakan ilmu Liantjoetjian (Anak panah berantai) yang
terkenal liehay.
Bagaikan hujan gerimis, anak-anak panah itu lalu menyambar-nyambar dengan saling
susul dan tidak henti-hentinya.
"Tong Say Hoa lantas saja mengubah gerakan tangannya. Begitu menangkap, ia
melontarkan dan anak panah yang dilontarkan membentur anak panah yang lain, yang lantas saja
mengikut terbang balik. Dengan menggunakan Iweekang yang sangat tinggi, ia balas
menyerang, tapi ia
juga sungkan melukakan orang dan anak-anak panah itu menancap di seputar ke
empat jago Nepal tersebut.
Muka keempat guru itu jadi pucat bagaikan mayat. Dalam sekejap, semua anak panah
yang tersimpan dalam kantong senjata, sudah habis digunakan. Tiba-tiba si nenek
berteriak: "Awas!
Jaga busurmu baik-baik!" Sambil mengempos semangat, ia mengayun kedua tangannya
dan melemparkan empat batang anak panah yang terakhir. Bagaikan kilat dan dengan
suara nyaring, empat batang anak panah itu menyambar dengan dahsyatnya. Keempat orang itu
terkesiap. Untuk
menolong jiwa, mereka menangkis dengan busur yang dicekalnya. Berbareng dengan
terdengarnya suara "pletak!" empat busur itu patah serentak!
Dengan kemalu-maluan, mereka melemparkan busur mereka di tanah dan lalu mundur
sambil menundukkan kepala. Perlahan-lahan Tong Say Hoa bangun berdiri dan sambil
berpaling kepada
raja, ia berkata seraya bersenyum: "Bagaimana" Bagaimana dengan kepandaian si
nenek tua?"
Muka raja merah padam, bahna malu dan gusarnya. Si nenek kembali mesem dan
sambil menggapai, ia berteriak: "Lioe Tjeng! Cobalah kau memperlihatkan serupa
pertunjukan untuk
menambah kegembiraan."
Ketika itu, angin sudah mereda dan kawanan burung pada terbang masuk ke dalam
lembah untuk melindungi diri dari serangan salju dan angin di luar lembah. Lioe Tjeng
segera mengeluarkan busur dan peluru sambil menuding dua baris burung gan yang sedang
terbang di angkasa, ia berteriak: "Peluru pertama akan menghantam mata kiri burung gan di
barisan sebelah
kiri, peluru kedua akan mengenakan mata kanan burung yang terbang di barisan
sebelah kanan!"
Hampir berbareng, busur yang dicekalnya menjepret dua kali dan sesaat kemudian,
dua ekor burung melayang turun ke bumi.
Dua antara guru panah yang barusan dijatuhkan oleh si nenek, segera memungut dua
bangkai burung itu dan memeriksa lukanya. Mereka kagum bukan main karena luka kedua
burung itu adalah tepat dengan yang dikatakan Lioe Tjeng. Itulah serupa kepandaian yang
benar-benar belum pernah dilihat mereka. Mau tak mau, raja pun mengakui keliehayan lawan dan
ia hanya bisa mengawasi dengan mulut ternganga.
Sesudah memperlihatkan kepandaiannya, si nenek bersama Yo Lioe Tjeng segera
kembali ke tempat duduknya.
Raja Nepal jadi semakin bingung. "Apakah orang-orang Han ini dewa-dewi yang
turun ke dunia?" tanyanya di dalam hati. "Racun yang1 hebat tak dapat mencelakakannya,
sedang seorang nenek bangkotan mempunyai kepandaian yang begitu luar biasa." Ia tak bisa
mendapat jalan yang
baik guna menjatuhkan Keng Thian, sedang seorang berilmu yang ditunggu-tunggu
tak kunjung datang. Selagi ia kebingungan, tiba-tiba seorang boesoe bangsa Eropa yang berambut
kuning dan bermata biru bangun berdiri dan mengucapkan kata-kata yang tak dimengerti oleh
Peng Go dan kawan-kawannya. Seorang juru bahasa segera menyalinnya. Orang Eropa itu, yang
bernama Smith mengatakan, bahwa ia mendengar di Tiongkok terdapat ilmu menotok jalanan
darah yang dapat membinasakan manusia. Menurut katanya di Eropa pun terdapat ilmu semacam
itu yang dapat menghentikan pengaliran darah. Maka itu, ia ingin sekali bisa menjajal
ilmu dengan seorang
ahli Tionghoa. Keng Thian jadi gembira, tapi sebelum ia menyambut tantangan itu, tiba-tiba Kang
Lam bangun berdiri sambil tertawa haha-hihi. "Tong Tayhiap, tanganku gatal sekali,"
katanya. "Bolehkah
kuturun tangan dalam gebrakan ini?"
"Bagus!" kata Keng Thian sambil mengangguk. "Hampir-hampir aku lupa, bahwa di
antara kita terdapat seorang ahli tiamhiat."
Kang Lam girang bukan main dan sambil tertawa-tawa, ia melompat ke tengah
gelanggang. Melihat yang maju ke gelanggang adalah seorang bocah cilik, raja jadi
mendongkol, tapi
teringat pengalamannya dengan si nenek, ia tak berani memandang enteng lagi. Di
lain pihak, boesoe Eropa itu berteriak-teriak sambil menuding Kang Lam. Ia ternyata merasa
tak senang karena dihadapi dengan tandingan bocah cilik. Si nakal yang tak mengerti bahasa
itu, segera menuding lawannya dan mengeluarkan kata-kata seperti yang dikatakan oleh orang
itu. Si boesoe Eropa jadi gusar bukan main dan sambil membentak keras, ia menubruk.
Karena melihat Kang Lam yang masih kekanak-kanakan, ia merasa tak tega untuk menyerang
dengan menggunakan ilmu "menutup jalanan darah" dan hanya ingin memberi hajaran kepada
si bocah yang dianggap kurang ajar sekali. Tapi di luar dugaan, Kang Lam yang pernah
mempelajari ilmu
Tjoanhoa yauwsoe (Bermain-main di antara bunga dan pohon) di hutan batu, licin
bagaikan lindung dan tak dapat ditangkap atau dihajar dengan begitu saja. Sebagai
akibatnya, apa yang
tertampak dalam gelanggang bukanlah pertempuran, tapi semacam main petak yang
menggelikan hati. Boesoe Eropa itu naik darahnya. "Jika kau terus main gila, kutak akan sungkansungkan lagi!"
teriaknya. Kang Lam menyengir dan lalu berteriak dengan meniru kata-kata itu.
Si boesoe tak dapat menahan sabar lagi dan lalu mengeluarkan semacam senjata
yang luar biasa. Senjata itu yang terbuat daripada perak, menyerupai gagang pena dan
panjangnya kurang
lebih tujuh dim, dengan kedua ujungnya berbentuk lancip. Begitu mencabut
senjata, begitu ia
menusuk. Kang Lam melompat ke belakang, tapi... "gagang pena" perak itu mendadak
mulur beberapa dim dan menyentuh dada. Ternyata senjata itu diperlengkapi dengan alat
rahasia, sehingga bisa pendek dan bisa panjang.
Begitu tertotok Kang Lam merasa badannya kesemutan. Pada hakekatnya, ilrhu
menutup jalanan darah dari si orang Eropa adalah bersamaan dengan tiamhoat dari orang
Tionghoa. Dengan memperhatikan jam dan menit, ia bisa menotok dan menghentikan aliran
darah di tubuh lawannya. Tapi sebagaimana diketahui, dari Hongsek Toodjin Kang Lam telah
mendapat serupa
ilmu untuk mengacaukan jalan darah sendiri, sehingga walaupun jalanan darahnya
tertotok, ia tak
roboh. Ia hanya merasa kesemutan, tapi tak sampai terluka.
Melihat si-bocah tak bergeming karena totokannya, bukan main kagetnya si boesoe
Eropa. Dengan cepat ia segera menusuk lagi, sekali ini ke arah pergelangan tangan Kang
Lam. "Setan!"
bentak si bocah sambil menyambut dengan pukulan Soentjhioe kianyo (Tangan
menuntun
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kambing) yang ia dapat dari Tan Thian Oe. Dengan satu tangan ia menangkap sikut
si boesoe dan tangannya yang lain coba merampas senjata lawan. Tapi si orang Eropa mempunyai
tenaga yang sangat besar. Dengan sekali menggentak, Kang Lam terhuyung, dan hampir berbareng
"gagang pena" itu mengeluarkan jarum tajam yang lalu ditusukkan ke lutut si bocah. Kali
ini pena itu bukan
digunakan untuk menutup jalanan darah, tapi dipakai sebagai jarum injeksi.
Harus diketahui, bahwa "gagang pena" tersebut terdiri dari tiga bagian. Bagian
pertama adalah "gagang pena" itu sendiri, bagian kedua jarum tumpul yang digunakan untuk
menotok jalanan
darah dan bagian ketiga jarum tajam yang digunakan untuk menginjeksi racun ke
dalam tubuh musuh. Begitu tertusuk Kang Lam mengeluarkan teriakan kesakitan dan ia merasa lututnya
lemas baal. Ia menduga, bahwa jalanan darahnya kena ditotok dan lalu berteriak dengan suara
gusar "Bangsat! Apa kau kira, hanya kau yang bisa tiamhiat" Jaga totokanku!" Ia
melompat sambil
menotok dengan jerijinya yang mengenakan tepat pada jalanan darah Hoen-hiat, di
bawah katek lawannya. Boesoe Eropa itu mengaum seperti harimau terluka dan roboh tanpa
berkutik lagi. Sesudah lawannya roboh, dengan terpincang-pincang ia menghampiri Keng Thian
seraya berkata: "Tong Tayhiap, ilmu mengacau aliran darah tak manjur lagi. Coba tolong
buka jalanan darahku." Keng Thian segera memeriksa luka si bocah dan melihat lutut itu bengkak merah.
"Kau bukan
kena ditotok," katanya sambil tertawa. "Minum saja secawan arak."
Sehabis berkata begitu, diam-diam ia memasukkan sebutir Pekleng tan ke dalam
cawan yang berisi arak, yang lalu diberikan kepada Kang Lam. Benar saja begitu mencegluk
arak, rasa kesemutan dan baal pada lututnya lantas saja hilang.
Sambil tertawa haha-hihi Kang Lam berpaling kepada raja dan berkata: "Baginda,
jagoanmu benar-benar tak tahu malu! Dia bukan mengunakan ilmu tiamhoat, tapi jarum
beracun. Lihatlah!
Aku sudah merobohkannya dengan ilmu tiamhoat tulen. Dalam pertandingan ini,
akulah yang menang, bukan?"
Selebar muka raja jadi merah karena malu dan gusar. Ia tak dapat mengeluarkan
sepatah kata, sebab jagonya memang sudah dikalahkan.
Tiba-tiba beberapa boesoe Eropa lainnya berteriak-teriak. Sesudah gagal dalam
usaha menolong kawannya yang dirobohkan Kang Lam, mereka menduga jiwa kawan itu sudah
tak bisa ditolong lagi. Maka itu, mereka berteriak-teriak untuk minta Kang Lam mengganti
jiwa. Sesudah maksud teriakan itu diterangkan oleh juru bahasa Kang Lam menjebi dan
berkata dengan suara nyaring: "Hei! Kamu sungguh-sungguh tak mengenal malu! Siapa suruh
dia menantang" Siapa suruh dia mencari mampus" Minta ganti jiwa" Tak malu kamu!"
Raja Nepal pun menganggap, bahwa permintaan mengganti jiwa adalah tak pantas.
Seorang yang berani maju ke dalam gelanggang pertandingan silat, memang harus bersedia
untuk dibinasakan oleh lawannya. Maka itu, ia lalu berkata dengan suara memohon:
"Benar. Memang
benar kami tak berhak untuk minta ganti jiwa. Tapi apakah Siauwhiap (pendekar
kecil) dapat menolongnya?"
Kang Lam girang setengah mati karena ini adalah untuk pertama kali orang
memanggil "Siauwhiap" kepadanya. Dengan paras muka berseri-seri, ia berkata: "Aku...
aku... Guruku hanya
mengajar tiamhiat, belum pernah mengajar kayhiat (membuka jalanan darah). Siapa
suruh dia banyak lagak" Kalau tak punya kemampuan, paling baik jangan menentang orang."
Raja merasa putus harapan. "Habis bagaimana baiknya?" tanyanya pula.
"Ada jalan," kata Kang Lam sambil menunjuk Keng Thian. "Siauwhiap tak mampu,
tapi ada Tayhiap. Tong Tayhiap bukan saja bisa membuka jalanan darah, tapi ia malah mampu
menghidupkan manusia yang sudah mati."
Raja jadi girang dan lalu memohon pertolongan pemuda itu.
Keng Thian merasa geli dalam hatinya. "Baiklah," katanya sambil tertawa. "Aku
boleh mencobacoba,
tapi belum tentu berhasil. Mintalah orang-orang yang berkerumun menyingkir ke
pinggir." Raja segera memerintahkan juru bahasa memberitahukan boesoe-boesoe Eropa itu
yang lantas saja membuka jalan untuk Keng Thian. Tapi pemuda itu tidak bergerak dari tempat
berdirinya. Ia hanya membungkuk dan memungut sebutir batu kecil yang lalu dilontarkan ke arah
si boesoe yang menggeletak di tanah. Begitu lekas batu itu menyentuh alisnya, ia
mengeluarkan teriakan
keras dan di lain saat, ia sudah bisa bangun berdiri!
Melihat kepandaian yang luar biasa itu, semua orang kaget berbareng kagum. Si
boesoe yang ditolong dan beberapa kawannya segera menghampiri dan menghaturkan terima kasih
kepada Keng Thian. Selagi Kang Lam tertawa haha-hihi dengan gembiranya, tiba-tiba suasana berubah.
Raja dan semua orang Nepal yang berada disitu kelihatan kaget, seolah-olah terjadi suatu
perubahan yang luar biasa! Sekonyong-konyong Raja Nepal mengeluarkan teriakan girang dan bangun berdiri. Di
lain saat, dari sebelah kejauhan kelihatan muncul dua orang aneh yang pincang kedua kakinya
dan mendatangi dengan menggunakan tongkat. Mereka itu bukan lain daripada si orang
aneh yang ingin memutuskan kedua kaki Kang Lam di Honghotay. Melihat mereka, si bocah
mengeluarkan keringat dingin dan tak berani tertawa lagi.
Di pundak salah seorang terdapat satu jubah pertapaan warna merah, milik
Taichiti yang tadi
terbang ditiup angin dan yang telah diketemukan mereka.
Begitu tiba, dengan mata yang sangat tajam, mereka menyapu semua orang yang
berada disitu. Tiba-tiba orang yang membawa jubah mencabut sebatang Thiansan Sinbong
dari jubah itu.
"Siapa punya senjata ini?" tanyanya.
Raja buru-buru bangun dari kursinya dan memperkenalkan mereka: "Ini adalah Tong
Tayhiap, seorang pendekar kenamaan di wilayah Tionggoan. Kedua tuan itu adalah orangorang beribadat
yang sangat terkenal namanya di negeri Arab. Yang di sebelah kiri adalah
Tunhuman dan yang di
sebelah kanan Asia. Guru mereka adalah seorang yang berilmu paling tinggi di
daerah Eropa Timur dan di negara Arab."
Keng Thian membungkuk sambil merangkap kedua tangannya. "Sinbong itu adalah
milikku," katanya. Kedua orang aneh itu menatap wajah Keng Thian dan sambil memberi hormat, salah
seorang berkata: "Kami merasa beruntung, bahwa kita bisa bertemu pula di tempat ini.
Kami ingin sekali
meminta pelajaran dari Tong Tayhiap."
Mendengar perkataan itu, raja merasa heran, karena ia tak menduga, bahwa mereka
sudah pernah bertemu muka.
Sebagaimana diketahui, pada malam itu di Honghotay, Tunhuman dan Asia tidak,
bertemu muka dengan Keng Thian dan mereka kabur karena diserang dengan Thiansan Sinbong.
Tadi, ketika memungut jubah pertapaan Taichiti di luar lembah, mereka mendapatkan
senjata rahasia
itu yang menancap di jubah tersebut dan oleh karenanya, mereka menganggap, bahwa
orang yang menjadi tamu Raja Nepal adalah Tong Siauw Lan. Sesudah menimbang-nimbang
beberapa lama, dengan memberanikan hati, mereka datang juga ke lembah itu. (Bercacatnya
kaki mereka adalah sebab diserang dengan Thiansan Sinbong oleh Tong Siauw Lan). Sekarang,
melihat Tong Siauw Lan tidak berada disitu, hati mereka jadi lega dan segera menantang Keng
Thian. Mendengar tantangan itu, Keng Thian segera berkata dengan suara tenang: "Harap
Djiewie sudi mengusulkan caranya kita mengadu ilmu." Sambil berkata begitu, diam-diam ia
memutar otak untuk mencari jalan guna memunahkan pukulan Imyang Tjianglek dari kedua lawan
itu. Sesudah berdamai dengan bisik-bisik, Tunhuman berkata: "Kami berdua mendapat
pelajaran dari satu guru. Menurut kebiasaan, melawan satu orang, kami maju berdua, melawan
seribu orang, kami pun maju berdua. Maka itu, dalam pertandingan melawan Tayhiap, kami
pun harus maju dengan berbareng,"
Keng Thian terkejut. Jika melawan satu orang, mungkin ia masih bisa memperoleh
kemenangan, tapi kalau mereka maju dengan berbareng, ia merasa tak ungkulan
untuk memecahkan Imyang Tjianglek. Sedang hatinya keder, paras mukanya sedikitpun
tidak berubah, sebab ia tahu, tak dapat ia memperlihatkan kelemahan di hadapan Raja Nepal. Ia
mengangguk seraya menjawab: "Bagus! Bagus! Biarlah dengan sendirian aku menghadapi kalian
berdua." "Tong Tayhiap adalah tamu terhormat dari paduka raja, sehingga jika kita
bertanding secara
boe (dengan menggunakan kekerasan, berkelahi sungguh-sungguh), aku kuatir akan
merenggangkan persahabatan," kata Tunhuman.
Keng Thian girang. "Baiklah," katanya. "Kalau begitu, kita menjajal tenaga
secara boen saja
(tanpa menggunakan kekerasan, tanpa berkelahi betul-betul). Sudikah Djiewie
mengajukan usul?"
"Biarlah kita bertanding dalam ilmu mengentengkan badan," kata Tunhuman.
Mengapa mereka mengajukan usul itu"
Sesudah dirobohkan oleh Tong Siauw Lan, hati mereka selalu merasa keder.
Mendengar Keng Thian she "Tong" dan juga pandai menggunakan Thiansan Sinbong, mereka sudah
menduga, bahwa pemuda itu adalah puteranya Siauw Lan yang mungkin sekali memiliki
kepandaian tinggi.
Maka itu, mereka tidak berani menantang untuk bertempur secara boe.
Usul itu sudah mengejutkan semua orang, terhitung juga Keng Thian. Tulang lutut
kedua orang itu dihancurkan Thiansan Sinbong dan biarpun sudah diobati sekian lama, mereka
masih memerlukan tongkat untuk berjalan. Dengan adanya kenyataan tersebut, usul itu
sungguhsungguh tak bisa dimengerti.
Sementara itu, sambil bersenyum Tunhuman sudah berkata pula: "Tempat yang
menjadi titik terakhir dari perlombaan kita adalah puncak gunung yang terletak di sebelah
selatan. Siapa yang
tiba lebih dulu di atas puncak, dialah yang menang."
Tong Say Hoa tertawa dingin. "Tapi di pihakmu terdapat dua orang," katanya.
"Bagaimana jika
yang satu tiba lebih dulu dan yang lain tiba lebih belakang dari Tong Tayhiap?"
"Kalau menang, kami harus menang berdua, jika kalah, kami kalah berdua," jawab
Tunhuman. "Jika salah satu di antara kami berada di belakang Tong Tayhiap, kamilah yang
kalah." Tong Say Hoa tidak dapat mengatakan suatu apa lagi, karena jawaban itu justeru
menguntungkan Keng Thian.
Tunhuman mencegluk secawan arak dan kemudian melemparkan cawan kosong ke tengah
udara. Ia tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Udara sangat bagus, sekarang
saja kita mulai.
Kalau turun angin, kita sukar bertanding."
Semua orang mendongak dan mengawasi puncak gunung di sebelah selatan yang
menjadi titik terakhir dari perlombaan itu. Puncak itu yang tingginya ribuan tombak, tertutup
salju sehingga,
dipandang dari jauh, seolah-olah satu sekosol yang terbuat dari batu giok putih.
Di bawah sorotan
matahari, "sekosol" itu memancarkan sinar beraneka warna yang gilang-gemilang
dan menyilaukan mata. Semua orang memandangnya sambil menahan napas, bagaimana
seorang manusia bisa memanjat puncak yang sedemikian licin dan tebing"
Belum sempat Keng Thian menjawab tantangan itu, tiba-tiba Pengtjoan Thianlie
bangun dari kursinya sambil bersenyum. "Tong Tayhiap baru saja bertanding dengan Koksoe
terutama dari negara kami," katanya dengan suara merdu. "Adalah kurang pantas jika kita
membuat seorang
tamu terlalu capai. Maka itu, biarlah aku saja yang melayani kedua Taysoe dalam
pertandingan ini.
Dalam persilatan tak ada perbedaan negara atau bangsa. Kalau kita terlalu
mendesak Tong Tayhiap, ia mungkin merasa diperlakukan sebagai orang luar."
Tunhuman jadi bingung. "Kongtjoe adalah seorang yang sangat mulia, tak dapat
Kongtjoe sembarangan maju dalam gelanggang pertandingan," katanya.
Si nona tertawa seraya berkata: "Waktu masih berdiam di Puncak Es, kusudah biasa
mundarmandir di gunung yang tertutup salju. Jika aku kalah, barulah Tong Tayhiap yang
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melayani Djiewie. Dengan demikian, kita tak bisa dikatakan menarik keuntungan selagi
lawan masih letih."
Tunhuman dan Asia adalah orang-orang yang kenamaan. Mendengar kata-kata Peng Go
yang seperti juga menuduh, bahwa mereka mau menarik keuntungan selagi Keng Thian
masih letih, mereka lantas saja jadi mendongkol dan mengangguk dengan berbareng. "Baiklah,"
kata Tunhuman. "Jika Kongtjoe mengatakan begitu, kami tak bisa berbuat lain daripada
melayaninya. Kami mengharap baginda sudi memaafkan kelancangan kami."
Raja Nepal tak menyahut. Sesudah berpikir beberapa saat, barulah ia berkata:
"Baiklah, Aku
hanya minta supaya Piauwmoay menyayang diri sendiri dan jangan berlaku ceroboh."
Melihat puncak yang begitu tebing dan berbahaya, di dalam hati ia sebenarnya merasa
berkuatir. Sekali
terpeleset, si nona bisa lantas binasa. Tapi sementara itu, ia juga ingat, bahwa
kemungkinan mengambil Peng Go sebagai permaisuri, adalah sangat tipis. Jika Pengtjoan
Thianlie binasa, paling
banyak dia dan Keng Thian sama-sama tak bisa mendapatkan nona yang cantik itu.
Sebegitu jauh mengenai kepentingannya sendiri,
kebinasaan Peng Go adalah menguntungkan, karena dengan demikian, kedudukannya di
atas tahta kerajaan Nepal tidak terancam lagi. Itulah sebabnya, sesudah menimbangnimbang beberapa saat, ia segera memberi permisi.
Mendengar sang puteri akan turun sendiri ke dalam gelanggang pertandingan,
segenap tentara
Nepal jadi kaget, berkuatir dan girang. Dengan serentak, laksaan manusia keluar
dari ribuan tenda
untuk menyaksikan pertandingan yang luar biasa itu.
Perlahan-lahan, bersama Tunhuman dan Asia, Pengtjoan Thianlie berjalan ke kaki
puncak dan berdiri berjejer untuk menunggu pertandaan yang akan diberikan oleh raja.
"Tunggu dulu!" tiba-tiba Asia berkata.
"Ada apa?" tanya si nona.
"Pertandingan kita ini namanya satu kali, tapi sebenarnya dua kali
pertandingan," jawabnya.
"Sesudah tiba di puncak, kita harus turun lagi. Siapa yang tiba lebih dulu
disini, dialah yang
menang dengan menggunakan peraturan seperti waktu naik gunung."
"Tentu saja, sesudah tiba di puncak, kita harus kembali," kata Peng Go.
"Baiklah. Mari kita
mulai." Sehabis berkata begitu, ia mengulapkan tangan, sebagai tanda, bahwa
mereka sudah siap
sedia. Dalam mengajukan usul tadi, Asia ternyata lebih hati-hati daripada Tunhuman.
Sebelum menang, ia sudah memikir kalah. Dengan mengingat, bahwa sang puteri bergelar
Pengtjoan Thianlie, atau Bidadari dari Sungai es, ia menaksir, bahwa Peng Go memang
mempunyai kepandaian luar biasa dalam ilmu memanjat gunung. Maka itu, ia segera membagi
perlombaan tersebut menjadi dua babak. Jika pihaknya menderita kekalahan dalam babak
pertama, ia percaya
akan mendapat kemenangan dalam babak kedua.
Melihat ulapan tangan si nona, raja segera memerintah seorang pengawal
pribadinya melepaskan sebatang anak panah nyaring sebagai tanda dimulainya pertandingan.
Dengan sekali menekan kedua tangannya di tanah, tubuh Tunhuman segera melesat ke atas kirakira tiga tombak tingginya, dengan kepala di bawah, kaki di atas. Apa yang mengherankan
semua orang, ialah begitu tiba di atas, badannya seolah-olah terpaku di tembok salju. Hampir
berbareng, tubuh
Asia pun "terbang" dan satu tangannya menjambret tangan Tunhuman. Di lain saat,
sambil menekan tangan saudaranya, ia mengenjot tubuh dan kembali melesat beberapa
tombak tingginya, akan kemudian "menempel" di tembok salju. Sekarang giliran Tunhuman
untuk mengulangi perbuatan Asia dan dalam sekejap, dengan kerja sama seperti itu,
mereka sudah naik
beberapa puluh tombak tingginya. Melihat kepandaian yang istimewa itu, dengan
serentak tentara
Nepal bersorak-sorai.
Ternyata, sesudah mereka bercacat, Tunhuman dan Asia telah menggubah berbagai
cara kerja sama dalam macam-macam ilmu. Untuk pertandingan mendaki gunung, mereka sudah
mempunyai persiapan yang sempurna. Kedua tangan mereka memakai sarung tangan
yang pada ujung-ujung jerijinya terdapat besi-besi lancip untuk menancapkan jeriji-jeriji
di salju atau es yang
keras. Itulah sebabnya, mengapa mereka tak bisa turun ke gelanggang seorang
diri. Pengtjoan
Thianlie mengawasi kedua lawannya sambil bersenyum dan sesudah mengempos
semangat, ia segera melompat ke atas. Sekarang para penonton menyaksikan ilmu yang lebih luar
biasa lagi. Begitu kedua kakinya menyentuh tembok salju, tanpa bertindak lagi, badan si nona
terus meluncur ke atas, seperti cara orang bermain ski.
Nepal adalah sebuah negara yang banyak gunungnya dan banyak pula saljunya,
sehingga ilmu bermain ski adalah ilmu yang dikenal umum. Tapi dalam permainan ski, orang harus
menggunakan alat-alat dan dalam olah raga itu, seseorang hanya bisa menyerosot
ke bawah dan tak mungkin meluncur ke atas. Maka itulah, begitu Peng Go mempertunjuki
kepandaiannya, soraksorai
bergemuruh di seluruh lembah. Keng Thian sendiri yang sudah mengenalnya beberapa
tahun, baru sekarang mengetahui, bahwa Peng Go memiliki ilmu yang luar biasa
itu. Bagaikan kilat, Pengtjoan Thianlie dan kedua lawannya mendaki puncak itu dengan
saling susul. Sebentar si nona yang berada di depan, sebentar kedua lawannya yang naik
lebih dulu. Biar
bagaimanapun jua, Tunhuman dan Asia agaknya masih kalah cepat, karena mereka
harus meminjam tenaga untuk melesat ke atas. Saban kali ketinggalan, pada saat-saat
itulah, si nona
bisa menyusul dan melewati lawannya. Semakin lama, mereka naik semakin tinggi,
hingga para penonton berkunang-kunang matanya dan sukar bisa melihat tegas, siapa yang
unggul dan siapa
yang kalah. "Eh," kata Kang Lam sambil menyentuh lengan Keng Thian dengan jerijinya. "Siapa
yang menang?" Pemuda itu yang sedang mengawasi ke atas tanpa berkesip tidak meladeni. Tibatiba Keng Thian mengeluarkan teriakan kegirangan, sehingga cawan yang sedang dicekalnya
jatuh di tanah.
"Ada... apa?" tanya si kacung.
"Kongtjoe menang!" jawabnya.
Ternyata, pada detik hampir tiba di titik yang terakhir, dengan menggunakan
seantero tenaganya, Tunhuman melesat ke atas lima enam tombak tingginya dan berhasil
melewati Peng Go. Si nona pun segera mengempos semangat dan menyusul dengan meninggalkan Asia
di belakangnya. Dengan demikian, Tunhuman tiba paling dulu di titik terakhir, kedua
Peng Go dan ketiga Asia. Tapi sebagaimana sudah dijanji, untuk memperoleh kemenangan,
Tunhuman dan Asia
harus menang bersama-sama dan jika ada satu saja yang kalah, pihak mereka
dihitung kalah.
Maka itu, Keng Thian sudah mengatakan, bahwa kemenangan diperoleh oleh Pengtjoan
Thianlie. Untuk sementara waktu mereka mengasoh di puncak itu. Sedang kedua lawannya sudah
kehabisan napas, Peng Go masih tetap segar. Sambil bersenyum ia berkata: "Aku
menang atas Asia, tapi kalah dari Tunhuman. Menurut perjanjian, akulah yang menang dalam
perlombaan ini.
Tapi kumerasa tak enak hati. Begini saja: Kali ini kita seri, tiada yang menang,
tiada yang kalah.
Bagaimana" Apa cukup adil?"
Tunhuman yang napasnya masih sengal-sengal, tak bisa lantas menjawab. "Jika
Kongtjoe mengatakan begitu, kami hanya bisa menghaturkan terima kasih atas kebaikan itu,"
kata Asia. "Sekarang marilah kita mencoba-coba dalam babak kedua."
Melihat sifat ksatria dari sang puteri, kedua orang itu jadi kagum bukan main.
Sesudah mereka mengasoh beberapa lama, Raja Nepal segera memerintahkan seorang pengawal
pribadinya melepaskan lagi anak panah sebagai pertanda dan dengan berbareng, ketiga orang
yang berada di puncak segera menyerosot turun.
Dalam perlombaan kedua, Tunhuman dan Asia juga menggunakan cara yang tadi. Tapi
perbedaannya ialah, kalau waktu naik sekali melesat mereka hanya bisa mencapai
empat lima tombak, kali ini, sekali melompat, mereka bisa meluncur ke bawah belasan tombak.
Mereka cepat, Pengtjoan Thianlie lebih cepat lagi. Hal ini bisa dimengerti, karena menyerosot
turun menurut cara
si nona, adalah banyak lebih mudah daripada meluncur ke atas, Dalam sekejap, ia
sudah tiba di tengah-tengah puncak dan meninggalkan kedua lawannya di sebelah belakang.
Tunhuman jadi bingung. Sesaat itu, angin Himalaya mulai meniup dengan santer. Ia
girang dan dengan menggunakan tudungnya yang menggemblok di punggung sebagai layar, ia
"terbang" ke
bawah. Selagi Tunhuman lewat di sampingnya, sambil bersenyum Peng Go berkata: "Kau
harus berhati-hati!" Tapi Tunhuman yang tengah memusatkan seluruh tenaganya dan
perhatiannya, tak
menjawab nasehat itu.
Angin meniup semakin hebat.
Asia lewat di depan Tunhuman. Baru saja jeriji Asia menancap di tembok es,
Tunhuman sudah menyusul dari belakang. Karena tak keburu menjambret tangan saudaranya, ia
terpaksa menekan
pundak Asia untuk meminjam tenaga. Pada detik itulah, angin menyambar hebat luar
biasa, sehingga Asia yang jerijinya belum menancap dalam di es dan pundaknya didorong
dari belakang, lantas saja tergelincir ke bawah, berikut saudaranya. Bagaikan bola, mereka
menggelinding dengan kecepatan yang menakuti di tebing yang tingginya ribuan tombak! "Habislah
sekali ini!"
mereka mengeluh di dalam hati.
Tapi orang-orang yang menonton di bawah sebagian besar tak tahu terjadi
kecelakaan itu.
Mereka malahan menganggap kedua orang itu menggunakan ilmu luar biasa dan diamdiam mereka merasa menyesal, karena menduga si nona bakal dikalahkan.
Tiba-tiba kembang salju muncrat berhamburan. Ternyata, tubuh Tunhuman membentur
balokan es besar yang menonjol di tembok itu, sehingga kepalanya pecah dan
pingsan seketika
dengan berlumuran darah. Tapi untung sungguh, badannya kena ditahan dengan
balokan es itu.
Di lain saat, Asia pun tiba dan juga terbentur dengan balokan es tersebut,
sehingga ia pun
mendapat luka-luka.
Melihat kecelakaan tersebut, dengan cepat Pengtjoan Thianlie menyusul sambil
membuka ikatan pinggangnya yang lalu dilontarkan dan melibat pinggang Tunhuman.
Berbareng dengan itu,
ia memerintahkan Asia yang hanya terluka enteng, mencekal ikatan pinggang
tersebut dan kemudian, dengan hati-hati, ia membawa mereka turun ke bawah.
Begitu mereka tiba di kaki puncak, sejumlah boesoe segera memburu dan memberi
pertolongan. Untung juga, berkat lweekang yang sangat tinggi, kecelakaan itu
tidak membahayakan jiwa Tunhuman dan Asia.
Dengan hati berdebar-debar dan paras muka pucat, raja segera memerintahkan
beberapa boesoe menggotong kedua orang itu ke dalam tenda untuk diobati. Pada sebelum
digotong masuk, dengan sorot mata berterima kasih, mereka manggutkan kepala beberapa kali
terhadap Pengtjoan Thianlie.
Si nona lantas saja kembali ke meja perjamuan. Ia menghela napas dan berkata:
"Aku merasa
menyesal, karena gara-garaku, mereka mendapat luka."
"Hati Piauwmoay sangat mulia dan berkepandaian sangat tinggi, sehingga di puncak
yang begitu berbahaya, kau masih dapat menolong mereka," kata raja sambil tertawa.
"Untuk itu
semua, aku menghaturkan banyak terima kasih." Ia. segera menuang tiga cawan arak
yang lalu dipersembahkan kepada Peng Go sebagai pemberian selamat.
Sambil mengangsurkan cawan-cawan itu, jantung sang raja memukul keras. Sesudah
menyaksikan kepandaian saudari sepupunya, ia jadi keder dan malahan ketakutan.
Andaikata si nona bersedia untuk menjadi permaisurinya, ia merasa tak akan bisa hidup
beruntung, karena
sang puteri pasti tak akan bisa dikendalikan olehnya. Malahan terdapat
kemungkinan, bahwa ia
sendirilah yang berbalik dijajah sang puteri! Ia mengharap-harap Peng Go lekaslekas berlalu, tapi
tentu saja ia tak dapat mengusirnya, sebab ia sendiri yang sudah mengatakan,
bahwa
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedatangannya ini adalah untuk mengundang si nona pulang ke negeri sendiri.
Hatinya takut tak kepalang, karena jika Peng Go benar-benar pulang ke Nepal, kedudukannya di
atas tahta sukar dapat dipertahankan lagi.
Sekonyong-konyong di sebelah kejauhan terdengar suara tambur yang dipukul tiga
puluh enam kali dengan beruntun. Peng Go tahu, bahwa pemukulan tambur itu adalah
penyambutan resmi
untuk seorang tamu agung. "Siapa yang datang berkunjung?" tanyanya di dalam
hati. Paras muka raja mendadak berubah berseri-seri. Sambil bangun berdiri, ia
berkata: "Tong
Tayhiap, aku ingin
memperkenalkan kau dengan seorang luar biasa. Ia adalah seorang yang berilmu
paling tinggi di Eropa Timur dan di negara-negara Arab. Namanya Timotato Thayhoatsoe."
Raja Nepal menyambut tamunya dengan upacara kerajaan. Dengan didului oleh
barisan yang membawa bendera raja dan diiring oleh sepasukan serdadu serta murid-muridnya,
Timotato memasuki lembah itu dengan menunggang seekor gajah putih.
Keng Thian mengawasi tamu itu yang ternyata sudah berambut putih, tapi mukanya
bersemu merah, seperti muka seorang muda. Melihat Tayyang hiat-nya yang menonjol keluar,
Keng Thian tahu, bahwa orang tua itu memiliki Iweekang yang sangat tinggi.
Terhadap raja yang keluar menyambutnya, Timotato hanya membungkuk sedikit dan
lalu melompat turun dari tunggangannya. Dengan diiring raja, ia masuk ke ruangan
perjamuan dan dipersilahkan duduk di kursi pertama, sedang raja sendiri menemani di sebelah
bawah. Keng Thian
yang memperhatikan segala gerak-geriknya, mendapat kenyataan, bahwa salju yang
diinjak oleh orang tua itu segera melumer. Ia terkejut karena hal itu merupakan suatu bukti,
bahwa si kakek memiliki Iweekang yang sudah mencapai puncak kesempurnaan. Di seluruh daerah
Tiongkok, hanya beberapa orang saja yang dapat menandinginya.
Sesudah menyapu para hadirin dengan kedua matanya yang sangat tajam, Timotato
berkata dengan suara perlahan: "Kedatanganku ke Himalaya di kali ini sebenarnya adalah
untuk mendaki puncak tertinggi di dalam dunia (Everest). Aku merasa sangat beruntung, bahwa di
tempat ini aku bisa bertemu dengan baginda." (Pembicaraan antara Timotato dan para hadirin
disalin oleh juru
bahasa). Mendengar perkataan itu, Keng Thian bermesem di dalam hati, karena ia yakin,
bahwa biarpun kakek itu mempunyai kepandaian sangat tinggi, tak gampang-gampang ia bisa
menakluki puncak
tersebut. "Untuk mendaki Tjoe-hong (Everest), Thayhoatsoe sebaiknya menunggu beberapa hari
lagi sampai hawa udara jadi lebih hangat," kata raja. "Dalam perjamuan ini secara
kebetulan berkumpul ahli-ahli silat dari berbagai negara. Dalam kesempatan yang jarang
terdapat ini, aku
justeru ingin meminta pengajaran-pengajaran dari Thayhoatsoe."
Dengan perasaan mendongkol, Pengtjoan Thianlie melirik orang tua itu. Ia merasa,
bahwa jika Timotato berhasil memanjat Tjoe-hong, maka bangsa Nepal akan. kehilangan muka
dan ia jengkel bukan main melihat cara-cara raja yang menjilat-jilat, la juga mengerti, mengapa
si kakek sudah menerima baik undangan raja untuk menghadiri perjamuan itu. Pada jaman itu,
Himalaya berada
di bawah kekuasaan dua negara, yaitu Tiongkok dan Nepal. Ia tentu ingin meminta
permisi dari raja Nepal untuk memanjat Tjoe-hong. Bagian utara dari Himalaya dikuasai oleh
pemerintah Tjeng
dan jika Timotato ingin mendaki puncak dari sebelah utara, maka, menurut pantas
ia harus mendapat permisi pembesar Boan yang berada di Tibet. Hanya sayang, berhubung
dengan adanya kegoncangan di wilayah Tibet pada masa itu, maka pemerintah Boan tak sempat lagi
mengurus hal-hal yang dianggap remeh.
Selagi si nona melirik apa mau Timotato pun meliriknya dan kedua pasang mata
kebentrok. Muka si kakek lantas saja berubah dan sambil merangkap kedua tangannya, ia
berkata: "Apakah
Liepousat ini Puteri dari negara baginda?"
"Benar," jawabnya. "Semenjak kecil Kongtjoe hidup di negeri lain dan
kedatanganku kali ini
adalah untuk menyambutnya pulang ke negeri sendiri."
Begitu masuk ke dalam lembah, Timotato sudah mendengar, bahwa dua muridnya telah
dikalahkan oleh si nona dalam perlombaan memanjat puncak dan kedua-duanya telah
mendapat luka. Maka itu, ia datang dengan perasaan gusar, tapi sesudah melihat wajah si
nona dan tahu siapa adanya Peng Go, ia tak dapat mengumbar napsu. Sekali lagi matanya menyapu
para hadirin dan kemudian mengawasi Keng Thian.
Sambil bersenyum raja menunjuk pemuda itu seraya berkata: "Tuan itu adalah
pendekar yang namanya paling kesohor di daerah Tiongkok, Soetit (keponakan murid) Thayhoatsoe,
Taichiti Koksoe, telah roboh dalam tangannya. Dalam dunia ini, kecuali Thayhoatsoe,
mungkin sekali tiada
orang lain yang bisa menandinginya." Kata-kata yang "membakar" itu benar saja
sudah lantas membangkitkan rasa gusarnya si kakek. Sesudah mengeluarkan suara di hidung, ia
berkata dengan nada memandang rendah: "Memang sudah lama aku mendengar, bahwa di
Tiongkok terdapat banyak sekali orang-orang pandai. Hanya sayang sebegitu jauh aku belum
pernah mengunjungi daerah Tionggoan. Hari ini, secara kebetulan aku bertemu dengan
seorang pendekar
dan kesempatan ini tentu saja tak boleh dilewatkan begitu saja."
"Aku sungguh tak berani menerima julukan pendekar yang diberikan Thayhoatsoe,"
jawab Keng Thian dengan sabar. "Jika Thayhoatsoe ingin menjajal ilmu dengan ahli-ahli silat
Tionggoan, keinginan itu bisa tercapai dengan mudah sekali. Dalam tempo sebulan, aku pasti
akan mencari seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi untuk menghadapi Thayhoatsoe." Keng
Thian tahu, bahwa kedua orang tuanya, Phang Lin dan Lu Soe Nio sudah datang di Tibet dan
salah seorang antaranya sudah cukup untuk bertanding dengan si kakek.
Timotato bersenyum tawar. Ia mendongakkan kepala dan berkata dengan suara
mengejek: "Mana kupunya tempo untuk menunggu sebulan! Kita bukan anak-anak kecil yang jika
mau berkelahi, harus menunggu kedatangan orang tua. Kita hanya menjajal ilmu silat,
siapa menang, siapa kalah, bukan soal besar. Jika Tong Tayhiap takut kalah dengan maju
sendirian, biarlah kau
dan semua kawan-kawanmu mengerubutiku dan aku sendiri akan melawan dengan tangan
kosong." Suara temberang itu sudah membangkitkan kegusaran, Tong Say Hoa yang lantas saja
berteriak: "Keng Thian! Jika kau tak mau turun ke gelanggang biarlah aku si tua
yang meminta pengajarannya."
Keng Thian segera mencegah dan berkata sambil tertawa: "Jika Thayhoatsoe
mengatakan begitu, biarpun aku tak cukup berharga untuk mewakili boesoe dari wilayah
Tionggoan, biarlah
kusaja yang melayani Thayhoatsoe."
"Bagus!" kata Timotato sambil tertawa berkakakan dan lalu berjalan masuk ke
dalam gelanggang dengan sikap memandang rendah.
Keng Thian mendongkol bukan main, tapi sebagai seorang yang berusia lebih muda,
ia menyoja seraya berkata: "Hayolah!"
"Mengapa kau tidak menghunus pedang mustikamu?" tanya si kakek sembari
menyengir. "Hunuslah! Aku mempermisikan kau lebih dulu menyerang tiga kali."
Keng Thian terkejut, karena mata si tua ternyata awas sekali dan dapat mengenali
pedang mustika sebelum senjata itu dicabut. "Kubelum pernah menghinakan orang yang
tidak bersenjata,"
jawabnya dengan suara tawar. "Keluarkanlah senjatamu dan kau boleh lebih dulu
menyerang tiga kali kepada diriku."
Timotato menggosok-gosok kedua tangannya seraya berkata: "Sudah banyak tahun
kutak pernah menggunakan senjata, sehingga kusudah lupa bagaimana harus
menggunakannya."
"Baiklah," kata Keng Thian. "Kalau begitu kita bertempur saja dengan tangan
kosong." "Tong Tayhiap, jangan kena ditipu!" tiba-tiba Kang Lam berteriak. "Mengapa kau
tidak mau menggunakan pedang mustika?"
Timotato tertawa terbahak-bahak. "Benar," katanya. "Mengapa kau tak mau
menggunakan pedang mustika" Tanpa bersenjata, kukuatir kau akan merasa penasaran."
Tapi tentu saja Keng Thian sungkan menjilat kembali ludah yang sudah dibuang.
"Sudahlah,
jangan rewel!" katanya dengan angkuh. "Hayolah! Jika kukalah, aku akan mengakui
kekalahanku!"
Mendengar perkataan pemuda itu yang keras kepala, si kakek merasa kagum. "Kalau
begitu, kau bersiaplah!" katanya sambil bersenyum. Sehabis berkata begitu, tanpa
memasang kuda-kuda,
ia lalu mengirim satu pukulan dari jarak tiga tombak jauhnya. Tiba-tiba Keng
Thian merasakan
dirinya didorong dengan semacam tenaga yang sangat dahsyat, sehingga buru-buru
ia mengerahkan lweekang dan "menancap" kedua kakinya di tanah dengan ilmu Tjiankin
toei (ilmu memberatkan badan). Tapi biarpun begitu, badannya masih bergoyang-goyang
beberapa kali. Timotato heran sebab pemuda itu tidak menjadi roboh dan ia lalu menarik pulang
tangannya sambil mengerahkan lweekang.
Mendadak, Keng Thian merasa dirinya diseret dengan serupa tenaga membetot,
sehingga kedua kakinya terangkat dari tanah. Dengan kaget, ia mengenjot badannya yang lantas saja
melesat ke depan, sambil mengirim satu pukulan membinasakan dari Thiansan
Tjianghoat. Melihat gerakan yang indah, sejumlah boesoe Nepal bersorak. Mereka tak tahu,
bahwa Keng Thian sudah berbuat begitu, karena terpaksa. Di antara tampik sorak, tiba-tiba
terlihat berkelebatnya kedua tangan Timotato dan tubuh Keng Thian menjungkir balik dua
kali di tengah udara, akan kemudian hinggap di atas tanah yang jauhnya kurang lebih tiga
tombak. Melihat pemuda itu berhasil menyelamatkan diri dari dua serangan hebat, si kakek
merasa kagum. Sekarang ia tidak berani memandang rendah lagi dan lalu mulai menyerang
dengan bertubi-tubi. Keng Thian lantas saja melayani dengan ilmu Toeihong Tjianghoat yang kesohor
liehay. Ia mengutamakan pembelaan diri dan hanya menyerang jika terbuka kesempatan baik.
Akan tetapi, karena si kakek memang banyak lebih unggul, dalam sekejap mata ia sudah berada
di bawah angin dan ia seperti juga terseret masuk ke dalam "pusar air", maju tak mungkin,
keluar pun tak bisa! Ilmu yang digunakan Timotato adalah Imyang Ngoheng Tjianglek, yaitu pukulan yang
mempunyai tenaga "positif dan "negatif, tenaga mendorong dan tenaga membetot,
sehingga seseorang yang sudah "dikurung" dengan ilmu itu, sukar sekali bisa menyingkirkan
diri. Biarpun tidak mengenal ilmu itu, Keng Thian adalah turunan dan ahli waris
seorang ahli silat
besar di wilayah Tionggoan. Begitu merasa dirinya terseret ke dalam gelombang
tenaga yang menyerupai "pusar air", ia tahu bahwa hal itu sudah terjadi karena Iweekang-nya
masih kalah dari
lweekang lawan. Maka itu, buru-buru ia memusatkan pikiran dan mengempos semangat
untuk mempersatukan tenaga jasmaniah dan rohaniah, akan kemudian mengeluarkan ilmu
silat Siebie Tjianghoat, yaitu ilmu yang terliehay dalam seluruh Thiansan Tjianghoat, untuk
coba menyelamatkan diri. Siebie Tjianghoat adalah ilmu silat nomor satu dalam
pembelaan diri dan
terutama digunakan jika bertemu dengan lawan yang lebih liehay. Dengan
menggunakan tenaga
Imdjioe (tenaga lembek), Keng Thian coba memunahkan gelombang tenaga Timotato.
Tapi serangan Timotato adalah lain dari serangan biasa. Pukulannya bukan ditujukan
langsung ke tubuh Keng Thian, tapi terputar-putar seperti "pusar air", yang satu mendorong
dan yang lain membetot, sehingga mau tak mau, Keng Thian turut terseret dan terputar-putar.
Melihat Keng Thian lari terputar-putar, sejumlah boesoe Nepal merasa heran
karena mereka tak
mengerti apa sebabnya. Semakin lama pemuda itu lari semakin cepat dan di atas
kepalanya muncul uap putih. Tong Say Hoa kaget tak kepalang dan tanpa menunggu tempo lagi,
Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia mengebas tangan bajunya dan tiga batang paku Samleng Touwkoet teng menyambar ke
arah tiga jalanan darah Timotato.
Pada jaman itu, Tong Say Hoa adalah ahli nomor satu dalam ilmu melepaskan
senjata rahasia.
Tiga paku itu menyambar tanpa bersuara, sehingga orang-orang yang tengah
memperhatikan jalan pertempuran, sedikitpun tak tahu, bahwa si nenek telah membantu pemuda
itu. Tiba-tiba terdengar tiga kali suara "tring!" Si nenek terkesiap, sebab ia tahu
senjatanya telah
menyentuh semacam logam. Sebagaimana diketahui, Timotato tidak bersenjata dan
juga tidak mengenakan pakaian berlapis besi. Paku yang barusan dilepaskan, dinamakan
Touwkoet teng, atau paku menembus tulang, sehingga begitu menyentuh badan manusia, paku yang
sangat tajam itu bisa menembus tulang. Tapi mengapa terdengar suara "tring!", seperti juga
paku itu terbentur
logam" Ternyata, tanpa diketahui oleh siapapun juga, pada waktu tiga paku itu menyambar
ke arah jalanan darahnya, dengan kecepatan kilat Timotato menyampok, sehingga senjata
rahasia itu berbalik menyambar Keng Thian. Baru saja ia ingin mengeluarkan ejekan, tiba-tiba
ia melihat peletikan api dan tiga paku itu terpental dari tubuh Keng Thian. Kecuali si
kakek sendiri, tiada
manusia lain yang melihat kejadian itu. Kagetnya Timotato tak kurang dari
kagetnya Tong Say
Hoa. Dibantu dengan tenaga pukulannya, andaikata Keng Thian mengenakan baju
besi, tiga paku
itu belum tentu tidak menancap.
Si kakek tentu saja tak tahu, bahwa pemuda itu mengenakan semacam baju mustika,
yaitu Kimsie Djoanka (baju yang terbuat daripada benang emas), yang dulu dihadiahkan
kepada ibunya oleh Tjiong Ban Tong. Jangankan baru Touwkoet teng, sedangkan pedang mustika
masih tak bisa menembus baju mustika itu.
Keng Thian yang menduga, bahwa senjata rahasia itu dilepaskan oleh lawannya,
segera membentak dengan suara gusar: "Bagus! Kau menggunakan senjata rahasia" Sambutlah
senjataku!" Hampir berbareng, dua Thiansan Sinbong menyambar. Si kakek mengebas
dengan tangan jubahnya dan walaupun Sinbong terpukul jatuh, tapi tangan jubah itu tak
urung berlubang
juga! Inilah untuk pertama kali, Timotato bertemu dengan senjata rahasia yang begitu
hebat. Ia terkejut dan di lain saat, dua batang Sinbong kembali menyambar.
Sambil mengempos semangat, ia mengebas dengan tangannya dan Sinbong jatuh di
tempat yang jaraknya kira-kira setombak.
Ketika itu, juru bahasa baru menyalin cacian Keng Thian.
Bukan main gusarnya Timotato. "Gila!" teriaknya. "Kawanmu yang membokong aku,
tapi kau berbalik menyalahkan aku!" Sebenarnya, ia ingin mencaci lebih hebat, tapi
mengingat kesombongannya yang tadi sudah menantang semua kawan-kawan pemuda itu, ia jadi
malu sendiri dan lalu menutup mulut.
Sementara itu, Keng Thian sudah melepaskan pula dua Sinbong dari jarak dekat.
Karena sedang mendongkol, tenaga si kakek berkurang dan Sinbong itu jatuh dalam jarak
hanya tiga kaki
dari tubuhnya. Ia terperanjat dan buru-buru mengempos semangat.
Pada detik itu, mendadak, mendadak saja si kakek merasa jalanan darah di
lengannya kesemutan dan jauh-jauh terdengar suara tertawa seorang wanita!
Semua orang menengok dan mengawasi ke arah suara tertawa itu. Mereka melihat dua
orang wanita muncul di tanjakan, yang satu setengah tua, yang lain seorang gadis yang
parasnya cantik
sekali. Dandanan mereka hampir tidak berbedaan, di rambut masing-masing terikat
dua kupukupu yang terbuat dari sutera, sedang gerak-gerik dan lagak mereka menyerupai kanak-kanak
nakal. "Ie-ie!" teriak Keng Thian dengan kegirangan yang meluap-luap.
Wanita yang setengah tua itu mengenjot badan dan tubuhnya lantas saja melesat ke
tengah udara. Sesudah memutar badan, dengan satu gerakan yang sangat indah, ia melayang
turun ke bawah. Melihat pertunjukan yang luar biasa itu, ribuan serdadu Nepal dengan
serentak bersoraksorai.
Timotato mengawasi lengannya yang kesemutan dan melihat selembar daun hijau yang
menempel di lengan itu. Ternyata, wanita setengah tua itu... yang bukan lain
daripada Phang Lin... sudah menimpuknya dengan ilmu Hoeihoa tjekyap yang disertai dengan
lweekang yang tinggi luar biasa, lweekang antara si kakek dan Phang Lin sebenarnya kira-kira
berimbang. Tapi
tadi, karena seluruh perhatiannya sedang dipusatkan kepada Thiansan Sinbong,
maka ia merasa lengannya kesemutan waktu tersentuh dengan daun yang dilontarkan oleh nyonya
itu. Sementara itu, sambil tertawa Phang Lin mendekati Keng Thian dan menanya: "Keng
Thian, mana Kim Sie Ie?"
"Kutak ketemu," jawabnya.
"Tapi melihat tapak-tapaknya, mungkin sekali ia pun sudah berada di sekitar
tempat ini."
Sang le-ie (bibi) mengangguk seraya berkata: "Baiklah. Kau boleh omong-omong
dengan Piauwmoay-mu (Lie Kim Bwee). Aku ingin menghadapi pendeta asing itu." la
berpaling kepada
Timotato dan berkata pula seraya tertawa: "Aku paling senang menyaksikan
pertunjukan yang luar
biasa. Gerak-gerakan tangan Thayhoatsoe yang terputar-putar sungguh menarik
perhatianku. Aku
ingin sekali bermain-main dengan Thayhoatsoe."
Hari ini, beberapa kali Timotato sudah diejek orang. Melihat cara Phang Lin
melontarkan daun,
ia tahu, bahwa nyonya itu tidak boleh dibuat gegabah. Dalam pertandingan antara
jago dan jago, salah satu pantangan yang paling besar adalah naik darah. Maka itu, biarpun
Phang Lin mengejeknya, sebisa-bisa ia menahan sabar.
"Bagus!" katanya. "Aku merasa beruntung sekali, bahwa sekarang aku bisa
berhadapan dengan
seorang jago wanita dari wilayah Tionggoan, hunuslah senjatamu!"
Sambil tertawa geli, si nyonya lalu mencopot satu kupu-kupu sutera yang terikat
di rambutnya dan lalu membukanya, sehingga di lain saat, tangan kanannya mencekal sehelai
pita panjang yang
beraneka warna. "Aku bukan jago wanita dan kutak biasa menggunakan pedang atau
golok." katanya seraya bersenyum. "Aku hanya membekal seutas tali untuk mengikat kera."
Belum habis kata-kata Phang Lin disalin oleh juru bahasa, Timotato sudah
membentak keras
dan menghantam dengan kedua tangannya.
Bagaikan pohon yanglioe yang tertiup angin, badan si nyonya bergoyang-goyang.
"Celaka!" seru Tong Say Hoa.
"Jangan kuatir, ibuku sedang mempermainkan dia," kata Lie Kim Bwee.
Di lain saat, tubuh Phang Lin melompat kian kemari bagaikan seorang yang menarinari, sedang pita sutera yang dicekalnya menyambar-nyambar di tengah udara. Beberapa
saat kemudian pita itu mendadak berubah tegak lurus dan meluncur masuk ke dalam .
hidung si kakek!
Tentu saja ia gelagapan dan berbangkis keras-keras!
"Bagus! Sungguh bagus!" teriak Kang Lam sambil menepuk-nepuk tangan dan tertawa
terbahak-bahak. Raja Nepal yang sedang jengkel juga turut tertawa.
Phang Lin berkelahi dengan terus menerus mengunjuk kenakalannya. Sedang mulutnya
tak henti-hentinya berteriak: "Awas matamu! Awas kupingmu!... Pita suteranya yang
tegak lurus bagaikan kawat baja karena disertai dengan Iweekang yang sangat tinggi,
menyambar ke arah
mata, ke kuping dan ke lain-lain bagian badan, sesuai dengan teriakan nyonya
itu. Apa yang lebih
hebat lagi ialah sambaran-sambaran itu selalu menuju ke arah jalanan darah.
Terhadap pita sutera
itu, yang sebentar lemas dan sebentar keras, Imyang Ngoheng Tjianglek tak bisa
berbuat banyak.
Dalam gusarnya, si kakek menyerang dengan pukulan-pukulan Pekkong tjiang
(pukulan yang bisa
merobohkan musuh dari jarak jauh), tapi siasat itu pun tidak berhasil karena
Phang Lin segera
membela diri dengan mengerahkan Iweekang untuk menolak sambaran-sambaran angin
dari pukulan itu. Selagi Keng Thian memperhatikan jalan pertempuran, Lie Kim Bwee tiba-tiba
berbisik di kupingnya: "Piauwko, apa kau membenci Kim Sie Ie?"
"Hm! Sedikit," jawabnya, tanpa memikir lagi. Ia melirik dan melihat paras muka
si nona yang bersungguh-sungguh. Ia terkejut sebab tahu, bahwa ia sudah kesalahan bicara.
"Tidak, kutak
membencinya," katanya dengan cepat. "Aha! Lihatlah! Indah betul pukulan itu!"
"Eh," kata pula Kim Bwee. "Mengapa kau ogah-ogahan menjawab pertanyaanku. Ibu
pasti menang. Tak perlu kau menonton pertandingan itu. Jawablah pertanyaanku dengan
sungguhsungguh:
"Apakah kau membenci Kim Sie Ie?"
"Untuk bicara terus terang, dulu memang aku merasa agak mendongkol terhadapnya,
tapi sekarang sudah tidak lagi," jawab Keng Thian.
"Hm, tapi apa kau tahu, sekarang Sie Ie-ko hanya bisa hidup tujuh hari lagi?"
tanya lagi si adik.
Keng Thian kaget. Ia merasa heran, bagaimana adik sepupunya bisa tahu begitu
tepat. Mendadak ia mendusin dan lalu berkata sambil bersenyum: "Kalau begitu kedatangan
Ie-ie dan kau kesini adalah untuk mengejar Kim Sie Ie, bukan?"
"Apakah kau bersedia menolong dia?" tanya Lie Kim Bwee tanpa menjawab pertanyaan
kakaknya. "Menurut katanya ibu, hanya Iethio dan kau sendiri yang bisa
menolongnya dengan
menggunakan Iweekang dari Thiansan pay."
Sang kakak kembali bersenyum dan menyahut: "Kedatanganku dan Peng Go ke gunung
ini memang untuk menolong dia."
"Jika kau tidak mendusta, kita harus mendaki gunung secepat mungkin untuk
mencarinya,"
kata si nona dengan nada memohon.
"Akur!" kata Keng Thian. "Tapi sedikitnya kita harus menunggu sampai ibumu
menyelesaikan pertandingan ini." Diam-diam ia merasa geli dalam hatinya karena seorang otakotakan seperti Kim Sie Ie masih disayang oleh seorang gadis jelita. Tapi di lain saat, ia
merasa berduka sebab
mengingat, bahwa harapan adiknya adalah harapan yang sukar tercapai. Usaha
mencari satu manusia di gunung Himalaya adalah seperti usaha mencari jarum di lautan yang
dalam. "Ibu!" teriak Lie Kim Bwee. "Piauwko sudah berjanji akan menolong dia. Ibu!
Lekas-lekas robohkan pendeta itu, supaya kita bisa segera mendaki gunung."
Tiba-tiba di gelanggang pertempuran terdengar suara gedubrakan, sehingga semua
orang jadi terkejut. Ternyata lapisan es tebal yang diinjak Phang Lin mendadak pecah dan
roboh. Tiba-tiba tubuh Phang Lin melesat ke atas, pita suteranya berkelebat memutari
dirinya dan hampir berbareng, dengan menekuk lima jerijinya bagaikan gaetan, dari tengah
udara ia menghantam batok kepala Timotato.
"Sungguh indah gerakan Niauw-eng itu!" memuji Keng Thian.
Baru saja Keng Thian mengucapkan pujiannya, rambut si kakek berdiri dan kedua
tangannya menghantam ke atas, sedang Phang Lin "terbang" seputaran, akan kemudian melayang
turun ke muka bumi. Tanpa diketahui oleh para penonton, dalam gebrakan barusan, kedua lawan telah
menggunakan siasat yang sangat liehay dan lweekang yang sangat tinggi.
Harus diketahui, bahwa Timotato sudah bisa menjagoi di Eropa Timur dan Asia
Misteri Serigala Berkaki Tiga 1 Raja Naga 08 Ratu Tanah Terbuang Pedang Golok Yang Menggetarkan 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama