Ceritasilat Novel Online

Bunga Pedang Embun Hujan 1

Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung Bagian 1


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam
Judul Asli : Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam
Karya: Khulung Saduran : Tjan ID
2 BUNGA PEDANG, EMBUN HUJAN, KANGLAM
LEBAH BUNGA THO BERWAJAH MANUSIA
I Jian-jian menunduk rendah, melewati pintu gerbang,
berjalan di atas permadani merah. Rambutnya yang hitam
tersanggul rapi terselip sebatang tusuk konde emas, mutiara
di ujung tusuk konde bergoyang tiada hentinya. Langkah
kakinya selalu begitu ringan dan gemulai, tapi juga begitu
berat. Mereka berdelapan masuk bersama-sama, namun sorot
mata semua yanghadir hanya tertuju pada dia seorang.
Ia tahu itu semua, tapi posisi dan ayunan kakinya takbeda
sedikit pun dengan langkahnya ketika berjalan sendirian di
tempat yang sepi. Keseriusan dan kecantikan Jian-jian sama-sama mendapat
pujian serta rasa kagum setiap orang.
Lilin merah di atas meja bersinar terang, menyilaukan huruf
emas "Siu" (panjang usia) yang tertera besar di tengah ruangan,
seterang kehidupan Lui Ki-hong, Lui lotaiya selama ini.
Kini, dengan wajah penuh senyuman ia awasi dayang
kesayangan istrinya ini datang mengucapkan selamat panjang
umur kepadanya. Delapan orang bersama-sama menyembah
hormat di hadapannya, tapi senyuman di ujung bibirnya
seolah-olah hanya tertuju pada Jian-jian seorang.
Bagaimanapun ia tetap seorang pria.
Sinar mata lelaki berusia 60 tahunan tak ada bedanya
dengan sinar mata pria berusia 16 tahunan.
Jian-jian tahu itu semua, namun dia tak membalas dengan
senyuman. Jarang ada orang melihatnya tersenyum apalagi
tertawa. Ia selalu memahami status dirinya, perempuan semacam
dia tak mungkin ada kesenangan, dan tak boleh ada
3 penderitaan, sebab termasuk selembar nyawa miliknya yang
paling berharga pun sudah menjadi milik orang lain.
Oleh sebab itu mau tertawa atau pun melelehkan air mata,
ia selalu lakukan setelah berada di tempat yang sepi, di
tengah malam buta dan tak ada orang lain.
Jian-jian masih menunduk, melalui pintu gerbang,
menelusuri serambi samping. Hujan rintik musim semi sedang
berderai di luar serambi, hujan rintik musim semi dari daerah
Kanglam. Hujan rintik memang gampang membuat hati gundah,
terlebih untuk gadis berusia 17-18an tahun yang belum
menikah, dalam musim seperti ini gampang muncul suatu
perasaan sedih, masgul dan muram yang tak terlukiskan
dengan kata-kata. Jian-jian belurn pernah menikah, masih berusia 17-18an
tahun, namun baginya, mau di musim apa dan berada di
mana pun ia tetap harus bersikap tenang dan serius.
Setelah melalui serambi panjang, suara gaduh manusia tak
kedengaran lagi, bunga bunga yang mekar di luar halaman
kelihatan lebih indah dan segar di tengah terpaan hujan rintik.
Semua gadis mulai nampak lincah, mulai tertawa.
Biarpun mereka hanya berstatus dayang, bukan berarti tak
berhak menikmati kegembiraan masa remaja mereka, maka
lengan baju pun mulai digulung, menampilkan kulit lengan
yang putih dan halus, pergi memetik bunga segar di luar
pagar, pergi memetik masa remaja serta keceriaan mereka.
Hanya Jian-jian yang tak bergeming, melirik sekejap keluar
pagar pun tidak, kepalanya masih tertunduk, meneruskan
langkahnya dengan tenang.
Memandang bayangan tubuhnya yang gemulai makin
menjauh, mulai terdengar suara tertawa dingin dari kalangan
gadis-gadis itu, mulai ada yang menyindir dengan sinis:
"Dasar balok kayu, huhh... Dia bukan manusia!"
"Coba lihat dadanya yang rata, datar persis sebatang papan
kayu... Begitu dibilang cantik... " Huuh, coba aku pria, tak sudi
memilih perempuan macam dia!"
4 "Memeluk gadis semacam dia, pasti rasanya seperti
memeluk sebatang kayu balok. .."
Maka semua gadis pun mulai tertawa cekikikan, persis
seperti serombongan lebah yang sedang bergembira.
II Dengan kepala tertunduk,pelan-pelan Jian-jian membuka
pintu kamarnya. Dia memiliki sebuah ruangan yang kecil,
sangat nyaman, sangat bersih. Di sinilah dunia bebas miliknya
seorang. Hanya di sini, tak seorang pun pernah datang
mengganggu atau mengusiknya.
Ia mengunci pintu kamarnya, pelan-pelan memutar badan,
bersandar di pintu dan memandang keluar jendela. Wajah
cantiknya yang semula pucat, tiba-tiba bersemu merah. Hanya
dalam sekejap, ia sama sekali telah berubah.
Dengan cepat dia melepas jubah luarnya yang tebal, di
balik jubah yang tersisa hanya pakaian yang tipis lagi ketat.
Tusuk konde emasnya dicabut lepas, rambutnya yang
hitam memanjang dibiarkan terurai di atas bahu, diliriknya
cermin di atas meja sekejap, lalu tangannya merogoh ke balik
pakaian ketat, melepaskan seuntai sabuk panjang berwarna
putih Kemudian... dadanya yang semula datar bagaikan
lapangan secara tiba-tiba menggelembung... meloncat
keluar... tahu-tahu muncul dua gundukan bola daging yang
montok Sekarang dia baru menghembuskan napas lega, sambil
memandang cermin membuat muka setan, kembali ia
membuka lebar daun jendela, berlutut di atas ranjang sambil
memandang keluar sana, ketika yakin tak ada orang di
sekelilingnya, dengan sekali loncatan ringan, tahu-tahu ia
sudah keluar dari kamar. Senja musim semi di bulan ketiga, burung nuri beterbangan
di atas rumput yang rimbun, tanah berumput nan hijau,
5 nampak begitu lembut dan halus bagai rambut seorang
kekasih di tengah rintikan hujan yang membasahi jagad.
Dengan sebelah tangan memegangi rambutnya yang
panjang, tangan yang lain menenteng sepatu, Jian-jian
dengan bertelanjang kaki berlarian di atas rerumputan yang
hijau. Ia tak perduli butiran air hujan membasahi rambutnya, ia
pun tak perduli rumput hijau yang tajam menusuk telapak
kakinya yang indah dan mungil, walaupun semuanya
menimbulkan rasa geli dan kesemutan...
Kini, ia tak beda dengan seekor burung nuri yang baru
lepas dari sangkar, apapun yang terjadi ia tak perduli, dalam
hati kecilnya hanya terbayang satu... pergi menemui
kekasihmusim seminya. Air sungai bening nan jernih, ketika titik air hujan jatuh di
atasnya, tercipta lingkaran-lingkaran riak yang menggelora,
persis seperti gelora perasaan gadis-gadis itu.
Ia berlarian menelusuri sungai, naik ke atas sebuah bukit,
di sana terhampar sebidang hutan bunga tho yang luas.
Di balik pepohonan yang lebat, bergelantung seorang
pemuda berbaju cerah, ldengan badan berayun ke bawah, ia sedang berusaha
menggigit sekuntum bunga tho yang berada di atas tanah.
Macam begitulah orang tersebut, tiap saat tiap waktu selalu
ingin bergerak dan berubah, tak pernah bisa tenang walau
sekejappun. Wajahnya begitu cerah dan tampan, dari balik matanya
terpancar sinar kenakalan dan kepolosan seorang anak-anak.
Jian-jian tertawa, begitu manis tertawanya, begitu cantik.
Dia sudah meloncat turun dari pohon, bibirnya masih
menggigit tangkai bunga tho, ia berdiri di sana sambil
berkacak-pinggang. Setiap kali bertemu dengannya, nona ini tak pernah bisa
menahan diri, ia tak dapat mengendalikan keinginannya untuk
tertawa... 6 Sambil melemparkan sepatunya, ia rentangkan lengannya
lebar lebar, lari menghampirinya, memeluknya erat-erat,
kemudian desisnya penuh kebahagiaan.
"Siau Lui... Oooh... Siau Lui..."
Tiap kali ia sedang memeluknya, ia merasa seolah-olah
sedang memeluk segumpal bara api, ia merasa dirinya seolaholah
telah berubah menjadi segumpal kobaran bara api.
Mereka berdua sama-sama membara, saling membakar,
saling melumat, seakan-akan berusaha untuk melumat habis
lawannya. Tapi kali ini sangat berbeda, tubuh yang dipeluknya amat
dingin, amat kaku, seakan-akan tiada reaksi sedikitpun.
Hari ini adalah ulang tahun ke enam-puluh ayahnya,
sepantasnya dia tetap tinggal di rumah.
Sesungguhnya dia amat senang bergaul, suka berteman,
suka akan keramaian, tapi kini ia lebih rela berada di tempat
yang basah oleh rintikan hujan, dia rela berada di situ demi
menanti gadis pujaannya. Membayangkan semuanya itu, perasaan haru dan gejolak
hawa panasnya semakin membara, Jianjianmemeluknyakianerat,
menggigit daun telinganya sambil
berdesis meluapkan semua kerinduaan serta keresahan
hatinya. Dadanya yang montok dan empuk melekat rapat-rapat di
atas dadanya yang bidang. Dulu, setiap kali berada dalam
posisi macam ini, gejolak napsu mereka pasti akan kian
membara dan kian membakar.
Tapi hari ini... Mendadak ia mendorong badannya. Jian-jian tertegun, bara
api yang berkobar di dadanya langsung membeku, kini dia
baru menyaksikan keanehan pada dirinya. Ceceran darah
nampak melekat di sekujur badannya.
Ceceran darah yang menodai pakaian berwarna cerah
memang susah diketahui... Hanya orang yang paling teliti baru
bisa menemukannya, hanya ketelitian seorang kekasih yang
dapat menangkapnya. 7 Berubah air muka Jian-jian
"Lagi-lagi kau berkelahi dengan orang.. ."
Siau Lui menggeleng. "Jangan coba menipuku!" desis Jian-jian sambil menggigit
bibir, "Pakaianmu penuh noda darah!"
Siau Lui tertawa, "Masih ingat, darahmu juga pernah
menodai pakaianku?" Tertawanya begitu dingin,begitu tawar, tajam amat
menusuk hati, bagaikan sebilah pisau yang menghujam ke
dalam lubuk hatinya. Tiba tiba sekujur tubuhnya terasa kaku, terasa membeku,
Jian-jian merasa badannya seolah-olah terperosok ke
kubangan salju. "Kau... kau.. ."matanya melotot lebar, "Apa kau sudah
memiliki perempuan lain?"?"
"Kenapa aku tak boleh memiliki perempuan lain?" tawa
Siau Lui masih kedengaran tawar, sangat hambar.
Tubuh Jian-jian mulai gemetar keras, air matanya meleleh
membasahi pipinya, air mata terasa lebih dingin daripada
rintikan hujan di musim semi.
"Tapi... apa kau sudah lupa... aku sudah mempunyai anak
darimu...?" "Plookk...!" tiba tiba Siau Lui meloncat ke depan dan
menampar pipinya keras-keras, makinya sambil tertawa
dingin. "Darimana aku tahu anak siapakah itu" Hmmm, ketahuilah,
kau tak lebih hanya seorang dayang... Seorang babu!"
Tertawanya begitu seram, lebih seram dari lolongan
serigala liar. Jian-jian melotot besar, selangkah demi selangkah ia
mundur ke belakang, tiba-tiba ia merasa seakan akan sedang
berhadapan dengan seorang yang amat asing, seorang asing
yang lebih tengik, lebih hina daripada seekor binatang. Air
matanya mengering secara tiba-tiba, darah pun ikut
mengering, Ia merasa dirinya saat ini hanya tinggal seonggok
8 kerangka tubuh yang kosong, badan kasar yang tak memiliki
jiwa lagi. "Aku rasa lebih baik kau cepat-cepat minggat dari sini!"
kembali Siau Lui merebahkan diri kemalas-malasan,
"Minggatlah yang jauh... Makin jauh makin baik! Jangan
ganggu janjiku dengan orang lain."
Kuku jari Jian-jian sudah menembus ke dalam daging
tubuhnya, tapi gadis itu sama sekali tidak merasa, tidak
merasa sakit biar sedikitpun, matanya masih melotot besar,
sepatah demi sepatah ujarnya.
"Aku pasti pergi dari sini! Jangan kuatir, sejak detik ini aku
tak akan datang menjumpaimu lagi! Tapi aku bersumpah,
suatu hari kelak kau pasti akan menyesal..."
Tiba-tiba ia membalik badannya dan lari meninggalkan
tempat itu. Siau Lui tidak mendongak, melirik ke arahnya sekejappun
tidak, hanya dua deret air mata tiba-tiba meleleh keluar
membasahi pipinya. Air matakah" Atau hanya butiran air
hujan di musim semi ini?"" Entahlah...
III Cahaya lampu dalam gedung masih terang-benderang
menerangi seluruh sudut ruangan, hujan pun telah berhenti.
Dengan langkah perlahan Siau Lui berjalan melalui halaman
menuju ke dalam ruang gedung, sambil menyandarkan diri
pada sebuah tiang, dipandangnya para tetamu yang sedang
bermabukmabukan dengan pandangan dingin.
Akhirnya ada juga tetamu yang mengetahui kehadirannya.
"Aaah, tuan muda telah kembali, ayoh kita bersulang
untuknya." "Hehehe... Kalian belum cukup minum?" dengus Siau Lui
sambil tertawa dingin, "Apakah kalianbaru rela pergi setelah
minum sampai modal kembali?"


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

9 Semua orang tertegun, seolah-olah ditampar orang secara
keras... Entah siapa yang berdiri duluan, akhirnya semua
orang berdiri dan berlalu tanpa menoleh lagi.
"Lui Seng, buka pintu gerbang dan hantar tamu!" kembali
Siau Lui berseru dengan wajah dingin, membeku tanpa
perasaan. Tak ada orang yang punya muka untuk tetap tinggal di
sana, mau tak mau setiap tamu harus angkat kaki dari sana.
Lui Lo-taiya yang baru saja beristirahat di ruang belakang,
buru-buru datang ke ruang tengah dengan wajah hijau
membesi. Siau Lui segera datang menyambut, menarik ayahnya
menuju ke belakang ruangan.
"Kau ingin membuat aku malu?" teriak Lui Lo-taiya sambil
menghentakkan kakinya, suaranya gemetar menahan emosi.
"Tidak!" Siau Lui menggeleng.
"Kau sudah edan?" Lui Lo-taiya semakin gusar.
"Tidak!" kembali Siau Lui menggeleng.
"Kenapa kau lakukan perbuatan yang begitu memalukan?"
teriak Lo-taiya sambil mencengkeram pakaian putranya.
Menengok dari balik ruangan, tampak semua tamu yang
hadir dalam gedung telah bubar, tak tertinggal seorangpun.
Setelah lewat lama sekali, sepatah demi sepatah Siau Lui
baru berkata. "Karena malam ini tak seorang pun boleh tinggal di sini,
mereka semua harus pergi dari tempat ini!"
"Kenapa?"?"
"Karena mereka telah datang!"
"Siapa yang kau maksud?" air muka Lui Ki-Hong tiba-tiba
berubah. Siau Lui tidak menjawab, dari balik bajunya ia
mengeluarkan sepotong tangan. Sepotong lengan yang telah
terpotong putus mulai pergelangannya, darah telah membeku
di atas potongan lengan itu.
Di atas lengan yang telah mengering tertancap seekor
lebah, seekor lebah berwajah manusia.
10 Kulit lengan itu telah mengering, maka raut muka dari
lebah berwajah manusia itupun telah berubah jadi kaku
hingga nampak begitu misterius, begitu menyeramkan hingga
sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Air muka Lui Ki-hong ikut berubah, berubah jadi kaku dan
berkerut, mendadak ia seperti kehilangan keseimbangan
hingga kemampuan untuk berdiri pun hampir tak sanggup.
Buru-buru Siau Lui membimbing ayahnya, cekalan
lengannya masih nampak tenang dan mantap.
"Yang mau datang, cepat atau lambat akhirnya harus
datang juga!" suaranya masih kedengaran tenang dan
mantap. "Betul" dengan nada sedih Lui Ki-Hong mengangguk,
"Kalau toh harus datang, memang lebih baik datang lebih
awal!" Dia memang berbicara dengan tulus, dengan sejujurnya,
sebab ia cukup menyadari bahwa menanti datangnya
pembalasan dendam merupakan saat penantian yang paling
menyiksa, paling menakutkan dan paling menderita
"Tigabelas tahun... yaaa... sudah tigabelas tahun... Mereka
berani datang kali ini berarti pasti sudah punya keyakinan
penuh!" "Itulah sebabnya kecuali kita dari marga Lui, siapapun tak
boleh tetap tinggal di sini, semua orang kang-ouw tahu, di
mana mereka datang dan menyatroni,tak sebatang rumput
pun akan tersisakan!"
"Kalau begitu... kau pun harus pergi tinggalkan tempat ini,
yang mereka cari hanya aku seorang," seru Lui Ki-hong sambil
menggenggam lengan putranya erat erat.
Siau Lui tertawa, lolongan tertawanya sudah tak
menyerupai lolongan serigala, lolongan tertawanya lebih mirip
pekikan malaikat... Di balik suara tertawanya terkandung rasa percaya diri
yang begitu kuat, semangat dan tekad yang begitu besar dan
kuat, tekad untuk mengorbankan segala-galanya, tekad yang
11 tak segan-segan menerima semua penderitaan, semua
ganjaran dan semua cemoohan.
Tentunya Lui Ki-Hong, sang ayah, sangat memahami
perasaan putranya, maka ia genggam lengan putranya makin
erat. "Paling tidak, marga Lui harus punya keturunan untuk
meneruskan generasi kita..." pintanya.
"Keluarga Lui sudah memiliki keturunan!"
"Di mana?" "Di tempat Jian-jian!"
Lui Ki-Hong terperangah, terkejut tapi amat gembira,
namun setelah menghela napas kembali tanyanya.
'Tapi... di mana dia sekarang?"
"Aku telah menyuruhnya pergi"
"Dia mau pergi dari sini?"
Siau Lui mengangguk. Baru sekarang dari sorot matanya
terpancar penderitaan dan kesedihan yang amat mendalam.
Justru karena ia tahu bahwa Jian-jian tak bakal tega
meninggalkannya, maka ia tak segan menggunakan cara yang
paling keji untuk menghancurkan hatinya, meremukkan
perasaannya, agar ia patah hati.
Perasaan dia sendiripun sama remuknya. Ia telah menyakiti
hatinya, bahkan jauh lebih menderita ketimbang menyakiti diri
sendiri. Lui Ki-hong mengawasi mata putranya, ia dapat merasakan
kepedihan serta penderitaannya. "Kau... mana boleh kau
biarkan ia pergi seorang diri?"
"Aku telah menyuruh Touw Hong melindunginya diamdiam"
Touw Hong adalah sahabat karibnya, bahkan ia bisa
menyerahkan nyawa miliknya yang paling berharga kepada
sahabat semacam ini. Dan sekarang, ia telah serahkan
kehidupannya kepadanya! Dia percaya asal dirinya tidak mati, pasti ada saat untuk
bertemu lagi dengan Jian-jian.
12 Lui Ki-hong tarik napas panjang dan tidak berkata lagi, ia
sudah memahami keputusan yang diambil putranya, ia tahu
keputusan semacam ini tak mungkin bisa dirubah oleh
siapapun. Semua pegawai dan pelayan telah dikumpulkan di ruang
tengah, setiap orang sudah memperoleh sejumlah uang untuk
menghidupi keluarganya. "Kalian cepat tinggalkan tempatini!
Malam ini juga tinggalkan tempat ini, tak seorangpun boleh
tetap tinggal di sini"
Lui Ki-hong tidak menjelaskan apa sebabnya mereka harus
pergi dari situ, tapi siapapun dapat merasakan, suatu
perubahan serius telah menimpa keluarga Lui.
Selama ini keluarga Lui bersikap sangat baik terhadap
mereka, maka ada beberapa orang yang setia tetap ingin
tinggal di situ, ingin sehidup semati dengan keluarga Lui.
Sedangkan mereka yang tidak setia, agak rikuh juga untuk
meninggalkan tempat itu kelewat cepat.
Nyonya Lui memandangi mereka dengan air mata
berlinang. Lui Hujin yang selama ini berdandan rapi dan
sopan, kini telah berganti dengan pakaian ketat, sebilah golok
Yan-ling-to terhunus di tangannya.
Dengan wajah pucat pias, ia berkata sepatah demi sepatah,
"Jika kalian masih tetap tinggal di sini, sekarang juga aku akan
mati di hadapan kalian!"
Perkataannya diucapkan tegas dan keras, sama sekali
tidakmemberi peluang untuk dirubah, juga tak seorang pun
yang menaruh curiga. Sambil menggertak gigi Lui Sin jatuhkan diri berlutut lalu,
"Duk, duk, duk" ia pay-kui tiga kali kemudian putar badan,
tanpa mengucapkan sepatah katapun melangkah pergi
dengan langkah lebar. Cuma, ketika membalikkan badan, air
matanya telah jatuh bercucuran
Dia adalah pembantu terbaik keluarga Lui, dan hanya dia
seorang yang tahu bahwa apa yang telah dikatakan keluarga
Lui pasti akan dilaksanakan.
13 Karena itu dia tak bisa tidak harus pergi, pun tak berani tak
pergi. Suasana di luar pintu gelap gulita, malam yang kelam dan
berat tak berbeda dengan perasaan berat mereka semua.
Semua orang berpaling dan memandang kearahnya... asal
dia telah pergi berarti semua orang boleh pergi meninggalkan
tempat itu. Memandang pembantunya yang paling setia pelan-pelan
berjalan menjauh, memasuki kegelapan, Lui hujin merasa
hatinya amat pilu dan pedih.
Pada saat itulah, tiba tiba sekilas cahaya menyambar lewat,
mendadak tubuh Lui Sin terbang kembali dari balik kegelapan.
"Bluukk!" tubuhnya roboh terlentang di atas lantai.
Percikan darah menyebar ke empat penjuru, tatkala
terjatuh ke lantai, tubuhnya sudah terpotong-potong jadi lima
bagian. Darah yang merah kental pelahan-lahan meleleh dan
mengaliri ubin lantai berwarna hijau keabu-abuan, mengalir
hingga ke dasar kaki seseorang.
Orang tersebut seperti terkena sambaran panah secara
tiba-tiba, ia melompat bangun kemudian berlarian keluar
sambil berteriak histeris.
Kembali cahaya tajam yang menyilaukan mata menyambar
lewat, orang itu segera terpental balik ke dalam ruangan,
roboh terjengkang di lantai dan tubuhnya kembali terpotong
jadi lima bagian. Darah yang berwarna merah dan segar, kembali mengalir
di atas ubin lantai yang hijau.
Suasana dalam ruangan menjadi sunyi senyap, begitu
hening hingga cuma terdengar suara darah yang mengalir di
lantai, semacam suara yang begitu mengerikan, begitu
menggidikkan hati dan membuat bulu roma pada berdiri.
Lui Ki-hong mengepal tinjunya kencang kencang, seakanakan
dia sudah siap menyerbu keluar dan bertarung matimatian
melawan iblis keji si pembunuh yang berada di balik
14 kegelapan itu, tapi Siau Lui buru-buru menarik lengan
ayahnya. Genggaman tangannya masih begitu kokoh dan tenang,
ujarnya pelan-pelan. "Di mana Kiu-Yu-It-Wo-Hong (segerombol lebah dari
neraka) muncul, seikat rumput pun tidak dibiarkan hidup,
apalagi manusia!" Tiba-tiba terdengar seseorang tertawa dari balik kegelapan,
suara tertawanya lebih mirip suara tangisan kuntilanak. Kalau
bukan setan dedemit yang datang dari neraka, mana mungkin
akan kedengaran suara tertawa yang begitu memilukan dan
mengerikan hati" Di tengah suara gelak tertawa yang mengerikan, sesosok
bayangan manusia muncul dari balik pintu, di atas bajunya
yang berwarna kuning kecoklat-coklatan tampak sebuah
pergelangan tangan kanan dengan sulaman bunga berwarna
hitam terlilit selembar kain putih yang digantungkan di atas
tengkuknya. Percikan darah menodai kain putih tersebut,
sebatang lengan sudah terpapas kutung. Tak ada orang yang
dapat melihat wajahnya. Ia mengenakan topeng tembaga pada wajahnya, topeng itu
tidak kelewat menakutkan, yang mengerikan justru sepasang
mata yang tampak terpancar keluar dari balik topeng tersebut.
Sepasang mata yang penuh dengan sorotan benci, dendam
dan keji. Pelan-pelan ia berjalan masuk, sorotan matanya tak
pernah berkedip dari wajah Siau Lui.
Kini semua orang sudah lari masuk ke sudut ruangan,
bergerombol jadi satu. Kini tinggal tiga orang dari keluarga Lui
yang masih berdiri di tengah ruangan, begitu sendiri, begitu
sepi hingga terkesan satu rombongan manusia yang
ditinggalkan, diasingkan tanpa bala bantuan.
Manusia berbaju coklat itu sudah masuk melewati ruang
lengah, berjalan ke hadapan Siau Lui, sorot matanya masih
menatap wajahnya lekat-lekat. Sampai lama sekali, kemudian
ia baru mengacungkan kurungan lengan tersebut sambil
pelan-pelan bertanya. 15 "Kau?"?" Siau Lui mengangguk. "Bagus!" orang berbaju coklat itu mengangguk pula pelanpelan,
"Kembalikan lenganku!"
Nada suaranya datar, hambar dan dingin, tapi kobaran api
yang terpancar dari balik matanya justru seakan-akan
semburan api yang datang dari neraka.
Siau Lui memperhatikan matanya sekejap, tiba-tiba ujarnya
sambil tertawa. "Bagaimanapun, lengan ini toh sudah tak mampu dipakai
untuk membunuh orang lagi, jika kau mau, ambillah!"
Begitu tangannya diayunkan, kurungan lengan tersebut
sudah tiba di tangan orang berbaju coklat itu.
Dengan menggunakan tangan kirinya orang berbaju coklat
itu menopang tangan kanannya, kemudian setelah
diperhatikan sesaat mendadak ia gigit kurungan lengan
miliknya itu. Setiap orang dapat mendengar suara gemerutuk yang
terpancar keluar dari katukan giginya yang sedang menggigit
kurungan lengan itu. Ada orang mulai muntah, muntah karena mual, ada pula
yang sudah pingsan, bahkan Lui Hujin sendiripun tak tahan
untuk menunduk sambilmengawasi golok di dalam
genggamannya. Golok Yan-Ling-to sebening air di musim gugur, namun
ujung golok tersebut kelihatan mulai gemetar.
Hanya Siau Lui seorang masih memandang dengan begitu
tenang, menyaksikan orang berbaju coklat itu menggertak
putus kutungan lengannya, mengunyah kemudian menelannya
bulat-bulat. Sesaat kemudian ia baru mendongak, mengangkat
kepalanya memandang Siau Lui tajam-tajam, lalu katanya


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepatah demi sepatah kata.
"Sudah tak ada orang yang bisa membawa lari lengan itu
lagi!" "Yaa, memang sudah tak ada," Siau Lui mengangguk.
16 "Bagus!" kembali orang berbaju coklat itu mengangguk.
Ternyata ia tak mengucapkan perkataan lain lagi, dan
segera balik badan pelan pelan berjalan keluar. Ia berjalan
sangat lamban, namun tak ada yang berusaha mencegah atau
menghalanginya. Walau ia berjalan sangat lamban, namun setiap langkahnya
seolah-olah menginjak di atas ruas tulang setiap orang yang
hadir di tempat itu. Ada orang yang mulai roboh ke lantai, roboh persis di atas
bekas tumpahannya tadi, ruas-ruas tulang mereka serasa
lemas, serasa tak mampu untuk berdiri lagi.
Lui Ki-hong hanya mengawasi orang berbaju coklat itu
pergi meninggalkan ruangan, diapun tidak bermaksud
mencegah atau menghalanginya.
Penantian selama tigabelas tahun membuat ia sudah
terbiasa belajar sabar. Kesabaran yang ditempa selama
tigabelas tahun membuat ia tahu bagaimana harus
menantikan saat seperti ini
Walaupun kini ia sudah melihat kemunculan si ular berbisa,
namun belum menemukan titik kelemahan si ular berbisa itu,
maka ia harus menunggu, wajib menanti.
Jika dia harus menyerang, serangan tersebut harus tepat
mengenai titik kelemahan ular beracun tersebut, ia takboleh
memberi peluang kepada si ular beracun untuk balik
mematuknya. Pada saat itulah mendadak terdengar...
"Took, toook, toook, toook...!"
Berbareng dengan menggemanya suara itu, dari atas
dinding tembok di seberang ruangan meluncur masuk empat
utas tali panjang yang langsung menyambar ke tengah
ruangan, golok lengkung di ujung tali langsung "Took!"
menancap di atas tiang belandar di tengah ruangan.
Menyusul kemudian ada empat sosok manusia meluncur
masuk melewati tali panjang itu, empat sosok mayat manusia.
Empat sosok mayat manusia yang sudah mati lama, mayat
itu sudah kaku, kering dan mengeras tapi masih nampak utuh
17 dan sempurna seperti diberi obat pengawet, rambut yang
terurai di kepala mereka masih kelihatan hitam mengkilat.
Tak ada orang bisa melihat wajah mereka, untung tak ada
orang bisa memandang wajah mereka. Betapapun
menakutkannya empat sosok mayat, tak akan lebih
menakutkan daripada wajah-wajah mereka. Sudah tigabelas
tahun lamanya mereka mati.
Mati pada tigabelas tahun berselang, di suatu malam yang
gelap gulita tanpa cahaya rembulan dan berangin kencang.
Lui Ki-hong mengenali mereka, walau ia tidak sempat
melihat wajah-wajah mereka, tapi ia tetap dapat mengenali
mereka semua. Biarpun dandanan pakaian serta topeng yang dikenakan
Kiu-Yu-It Wo-Hong kelihatannya serupa, namun
sesungguhnya pada tiap topeng yang mereka kenakan tertera
suatu pertanda atau lambang yang khas.
Dalam sekali pandangan saja Lui Ki-hong dapat mengenali
ciri khas mereka semua. Karena pada tigabelas tahun
berselang ia pernah mencopot topeng-topeng yang dikenakan
keempat orang itu dan mengamatinya sampai lama sekali.
Keempat orang itu sudah mati di tangannya. Bahkan
seorang di antara mereka adalah si ratu tawon dari
gerombolan tawon dari neraka ini. Pada topeng yang
dikenakan ratu tawon itu terukir sekuntum bunga tho kecil.
IV Jin-bin-tho-hoa-hong, si Lebah Bunga Tho Berwajah
Manusia, penjahat nomor wahid dari dunia persilatan.
Lui Ki-hong telah melihat topeng bunga tho itu, sudah
melihat bunga tho di atas topeng tersebut. Lambungnya
mendadak mengerut kencang, nyaris isi perutnya menyembur
keluar. Banyak orang dalam dunia persilatan tahu dia telah
membunuhnya, namun tak seorangpun yang tahu ia pernah
18 membayar dengan begitu banyak penderitaan dan
pengorbanan yang menyakitkan hati.
Hingga tigabelas tahun kemudian, setiap kali teringat akan
kejadian pada malam itu, ia masih merasa begitu mual
perutnya dan ingin muntah
Malam itu mereka berangkat bersebelas, bersama-sama
meluruk sarang lebah itu.
Dari sebelas orang jago lihay dunia persilatan, hanya dia
seorang yang masih tetap hidup hingga kini.
Begitu sengit dan dramatisnya pertempuran itu membuat ia
tak pernah berani membayangkannya kembali kendati
kejadian tersebut sudah lewat banyak tahun.
Untung saja si Ratu Lebah Berwajah Bunga Tho yang
berada di hadapannya sekarang, tak lebih hanya sesosok
mayat saja. Betapapun sempurnanya mengawetkan sesosok mayat, ia
tak akan mampu membunuh orang lagi.
Lui Ki-hong menepuk pundak putranya dengan perasaan
amat bersyukur, karena nasib si anak muda itu ternyata jauh
lebih baik ketimbang dirinya, beruntung tidak bertemu
dengannya ketika ia masih dalam keadaan hidup.
Pada jaman Ratu Lebah Berwajah Bunga Tho masih hidup,
semua pemuda yang pernah berjumpa dengannya harus mati!
Bahkan harus mati dalam cara yang paling istimewa.
Asal kau telah mendengar suara tertawanya, sudah lebih
dari cukup untuk menjerumuskan dirimu ke dalam neraka
jahanam, dan tak pernah bisa ditiriskan kembali.
Tentu saja orang yang sudah mati tak sanggup tertawa.
Lui Ki-hong menghembuskan napas lega, tapi kemudian
aliran darah dalam sekujur tubuhnya mendadak berubah jadi
dingin dan membeku. Tiba-tiba saja ia mendengar ada orang sedang tertawa,
begitu merdu dan manja suara tertawa itu, bagaikan bunga di
musin semi, lebah yang berterbangan di antara bebungahan.
Jin-bin-tho-hoa-hong telah tertawa.
19 Tak seorang pun dapat melukiskan suara tertawa itu. Jelas
tertawa itu bukan berasal dari sesosok mayat yang sudah mati
lama, lebih-lebih tak mungkin suara tertawa itu datang dari
dasar neraka jahanam... Seandainya hanya berada di dasar
neraka baru bisa mendengar suara tertawa semerdu, semanja
itu, pasti ada banyak orang yang rela datang ke neraka untuk
mencarinya. "Siapa kau?" bentak Lui Ki-hong.
"Kau sudah tidak mengenali aku?" suara tertawa itu makin
manis dan merdu, "Tapi aku tak akan melupakan kau, tak
akan melupakan kejadian di tengah hutan pada tigabelas
tahun berselang" "Kau bukan dia, kau tak akan bisa menipu diriku. Dia sudah
mampus tigabelas tahun berselang"
"Benar, tigabelas tahun berselang aku sudah mati, karena
itulah sekarang aku ingin kau mengembalikan nyawaku..."
Suara tertawanya bagaikan suara seorang dewi, seorang
malaikat, sedang suara dari ke tiga sosok mayat lainnya
menyerupai tangisan setan penasaran dari dasar neraka.
"Kembalikan nyawaku, kembalikan nyawaku..."
Angin malam berhembus lewat. Mayat-mayat kaku itu mulai
bergoyang di tengah hembusan angin.
Mendadak Siau Lui melangkah maju ke depan,
menghadang persis di depan tubuh ayahnya.
"Maaf!" suaranya masih begitu tenang dan mantap,
"Tangan boleh dikembalikan, tapi sayang nyawa tak bisa
dikembalikan." Jin-bin-tho-hoa-hong tertawa makin merdu, makin manis,
sepatah demi sepatah ujarnya.
"Kalau begitu gunakan sembilanpuluh-tujuh lembar nyawa
yang berada dalam keluargamu untuk mengganti nyawa
kami!" "Nyawa boleh saja dikembalikan kepadamu, cuma..." suara
Lui Hujin sangat dingin, sorot matanya pun setajam ujung
goloknya. "Cuma kenapa?" "
20 "Aku masih ingin mengajukan satu pertanyaan lagi."
"Tanyakan!" "Sebenarnya apa yang sedang kalian lakukan di dalam
hutan pada malam tigabelas tahun berselang?"
"Tentu saja perbuatan yang tak boleh diketahui orang lain,"
jawab Jin-bin-tho-hoa-hong sambil tertawa, "Sebagai seorang
istri yang pandai, seharusnya berpura-puralah bodoh sekalipun
sudah tahu dengan jelas, buat apa kau banyak bertanya lagi?"
Tiba-tiba Lui Hujin membalikkan badannya, menghadap ke
arah suaminya, dengan wajah pucat pias bagaikan mayat ia
berkata. "Ternyata kau... selama ini kau membohongi aku, selalu
menutupi kejadian ini, rupanya kau sama sekali tidak
menghabisi nyawanya!"
"Kau lebih percaya kepadanya atau aku?" merah jengah
wajah Lui Ki-hong. "Aku hanya ingin mengetahui kejadian yang sebenarnya!"
"Kita sudah tigapuluhan tahun hidup bersama sebagai
suami-istri, masa hingga sekarang kau masih sok cemburu?"
teriak Lui Ki-hong sambil menghentakkan kakinya saking
jengkelnya. "Biarpun sudah puluhan tahun jadi suami-istri toh masih
bisa cemburu," jawaban Lui hujin dingin dengan wajah kaku.
"Sekalipun kau ingin menunjukkan cemburumu, tidak
seharusnya kau tunjukkan di saat seperti ini"
"Aku tak ambil perduli saat apakah sekarang ini, jika kau
enggan berterus terang, aku akan adu jiwa dulu denganmu!"
teriak Lui hujin makin sengit.
Kalau wanita sudah cemburu, urusan apapun memang tak
digubris lagi, betapa luasnya pengetahuan dan pengalaman
seorang wanita, jika mulai dilanda rasa cemburu, ia bisa
berubah jadi berangasan dan tak pakai aturan.
Lui Ki-hong menghembuskan napas panjang, setelah
tertawa getir ujarnya. "Baik, baik, kuberitahu kepadamu, pada malam itu..."
21 Ketika berbicara sampai di situ, mendadak ia mengedipkan
matanya kepada sang istri memberi kode. Suami-istri yang
sudah hidup dan berjuang bersama puluhan tahun lamanya ini
tiba-tiba turun tangan melancarkan serangan secara serentak.
Dua bilah golok yang tajam langsung menusuk ke tubuh
Jin-bin-tho-hoa-hong itu.
Golok Yan-ling-to sebenarnya termasuk sejenis golok yang
amat ringan, tapi berada dalam genggaman suami-istri dari
keluarga Lui ini, kedahsyatannya ternyata luar biasa.
Ilmu golok Peng-hii-to-hoat (ilmu golok kilatan halilintar)
yang dimiliki Lui Ki-hong sudah diwariskan turun-temurun,
bukan saja cepat dalam gerakan, penuh dengan perubahan
bahkan kedahsyatannya luar biasa.
Bagaikan kilatan bianglala yang saling menggunting, dua
bilah golok itu menyambar kian-kemari. Perasaan mereka
berdua yang telah menyatu membuat kerja sama ilmu golok
yang mereka gunakan begitu rapat dan sempurna.
Tubuh Jin-bin-tho-hoa-hong bergelantungan di atas tali
panjang, nampaknya sulit baginya untuk menghindari
serangan golokitu, tapi pada saat yang bersamaan, tali
tersebut kelihatan bergetar kencang menyusul kemudian
empat sosok tubuh yang bergelantungan di atas tali panjang
tadi sudah melesat mundur dengan kecepatan bagaikan anak
panah yang terlepas dari busurnya.
Dalam waktu singkat, empat orang itu sudah lenyap di balik
pintu dan tertelan dalam kegelapan malam.
"Kejar!" bentak Lui Hujin nyaring.
"Jangan, jangan dikejar!" sahut Lui Ki-hong dan putranya
hampir berbarengan. 'Tak usah dikejar!" Bayangan lilin bergoncang terhembus angin, dalam kilatan
cahaya keempat sosok mayat yang bergelantungan di atas tali
panjang tadi mendadak sudah meluncur masuk lagi ke dalam
ruangan bagaikan kilatan bintang.
22 Tubuh mereka masih tetap bergelantungan seperti orang
bermain ayunan, tapi kecepatannya bergerak kian-kemari tak
beda dengan kelebatan bayangan setan.
Sambil tertawa dingin Lui Hujin mengayunkan goloknya,
babatan ini lebih kencang dan cepat, di antara kilauan cahaya
golok bagaikan bianglala di angkasa, ia songsong tubuh Jinbintho-hoa-hong itu dengan sebuah bacokan ganas.
Kali ini Jin-bin-tho-hoa-hong tidak mundur.
"Bluuk!" mata golokmembelah persis di atas tubuhnya
seperti membacok seikat rumput kering, tubuh si lebah
tersebut terbelah jadi dua dan roboh ke tanah.
Gumpalan asap berwarna merah segera menyembur keluar
dari belahan tubuh itu, tatkala Lui Hujin sadar kalau dirinya
terjebak, keadaan sudah terlambat, tubuhnya langsung roboh
terjengkang ke belakang. Jin-bin-tho-hoa-hong ini selain bukan manusia hidup, juga
bukan orang mati. Ketika tubuhnya meluncur mundur dari
ayunan tali panjang tadi, ternyata ia sudah bertukar diri di
balik kegelapan Waktu itu, mata golok Lui Ki-hong hampir saja membabat
di atas sesosok mayat yang berada di hadapannya.
Menyaksikan perubahan yang tak terduga itu, dengan paksa ia
menarik kembali ayunan goloknya.
Tak disangka kali ini bukan saja orang itu tidak mati, pun
bukan orang palsu untuk menjebak Ketika Lui Ki-hong menarik
paksa ayunan goloknya, tahu-tahu pergelangan tangannya
sudah dicengkeram orang itu kencang-kencang, separuh
badannya kontan menjadi kesemutan dan kaku.
Siau Lui melompat ke depan dengan kecepatan tinggi, tapi
dalam waktu bersamaan dua sosok mayat lain yang masih


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergelantung di atas tali panjang itu sudah berayun mendekat,
empat buah kaki melancarkan serangkaian tendangan berantai
ke tubuhnya. Dengan tubuh berputar setengah lingkaran, ia berkelit dari
tendangan berantai sepasang kaki itu, kemudian sambil
23 membalik telapak tangannya ia babat pergelangan kaki dua
kaki yang lain. "Bluuk!" sebuah pergelangan kaki terbabat hingga hancur
berantakan, tapi lagi-lagi segumpal asap merah menyembur
keluar dari balik serpihan kaki yang hancur itu.
Ternyata kedua orang itu satu asli satu palsu, kaki si orang
palsu yang dipakai untuk menendang tadi dilancarkan dengan
meminjam kekuatan ayunan kaki orang yang asli.
Siau Lui berjumpalitan, bersalto beberapa kali di udara, lalu
melejit mundur sejauh tiga kaki dari posisi semula.
Walaupun ia berhasil menghindarkan diri dari semburan
asap beracun itu, tapi sayang ayahnya sudah jatuh ke dalam
cengkeraman lawan. Gelak tawa menggema di udara bagaikan tangisan setan
penasaran, wajah Lui Ki-hong pucat pias bagaikan mayat,
goloknya sudah terlepas dari genggamannya dankini terjatuh
ke tanah, dengan pandangan tak berkedip ia pandang
lambang mata setan yang terukir di atas topeng tembaga itu.
Lebah Bermata Setan tertawa terkekeh-kekeh, teriaknya
menyeramkan, "Kembalikan nyawaku!"
Tubuhnya menyusut ke muka, nampaknya dia ingin
menyambar Lui Ki-hong dan berusaha membawanya pergi dari
situ, siapa tahu pada detik terakhir itulah mendadak tiga orang
pelayan berbaju hijau yang semula sudah roboh tergeletak di
tanah itu melompat bangun sambil mengayunkan tangannya
bersamaan waktu, puluhan titik cahaya bintang yang berhawa
amat dingin segera memancar ke muka bagaikan hujan
gerimis. Tubuh si Lebah Bermata Setan seketika terhajar puluhan
senjata rahasia itu hingga berubah bagaikan landak, untuk
menjerit kesakitan pun tak sempat diutarakan.
Lui Ki-hong membalik pergelangan tangannya, secepat kilat
ia sambar golok yang pada saat bersamaan telah dilempar
Siau Lui ke arahnya. Percikan darah segar menyembur ke empat penjuru
ruangan, dua batang kaki yang berlumuran darah jatuh rontok
24 dari tengah udara, dua batang kaki yang berdaging dan penuh
berpelepotan darah segar.
Orang yang kehilangan kedua kakinya itu menjerit
kesakitan, cepat-cepat tubuhnya berayun pada tali dan
melompat mundur ke belakang, semburan darah segar ikut
menyembur keluar membasahi lantai, persis seperti kuntum
kuntum-bunga sakura yang rontok dari rantingnya dan
berguguran ke tanah. Waktu itu Siau Lui sudah melompat ke depan, berjongkok
di samping ibunya. Paras muka Lui Hujin telah berubah pucat
pias bagaikan mayat. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Lui Ki-hong dengan nada
berat Siau Lui menggertak giginya kencang kencang, otot-otot di
wajahnya menonjol keluar semua menahan emosi, ia marah
dan sangat mendendam. Sementara itu ketiga orang pelayan berbaju hijau itu sudah
melompat bangun dan berdiri berjajar menghadang di muka
majikannya berdua, mereka bertiga telah menyingkap pakaian
luarnya hingga kelihatan kantung-kantung kulit yang terikat
rapi di pinggang mereka. Tangan mereka bertiga siap merogoh ke dalam kantungkantung
kulit itu, jari jemari yang kurus dan panjang nampak
runcing penuh tenaga, kuku mereka terpapas pendek.
Sebagian besar tangan jago-jago kenamaan dalam
penggunaan senjata am-gi, semuanya terawat bersih dan rapi.
"Boan-Thian-Hoa-Yu (hujan bunga memenuhi angkasa)..."
seru orang dari balik kegelapan sambil tertawa melengking,
suara tertawa yang amat memikat hati, "Tiga bersaudara
keluarga Peng, sejak kapan kalian jadi begundal orang lain"
Betul-betul sebuah kejadian yang tak disangka..."
Paras muka tiga bersaudara dari keluarga Peng tetap dingin
kaku, sama sekali tidak menunjukkan perubahan mimik
apapun. Syarat utama untuk bisa melepaskan am-gi secara tepat
adalah harus memiliki sepasang tangan yang sangat tenang
25 dan kokoh, untuk bisa memperoleh tangan yang tenang dan
kokoh harus dilatih syaraf dan semangat yang keras bagaikan
baja. "Lui Ki-hong, kau memang si rase tua!" suara tertawa
Lebah Bunga Tho Berwajah Manusia tergetar tiada hentinya,
"Tak disangka kau dapat membeli tiga bersaudara dari
keluarga Peng secara rahasia dan menyembunyikan mereka di
dalam rumah. Aku kagum kepadamu!"
Suara tertawa perempuan itu meski merdu, sayang Lui Kihong
tidak mendengarnya. Baginya tak ada suara lain yang
lebih penting daripada dengus napas istrinya saat itu. Napas
Lui hujin sudah amat lirih amat lemah.
Siau Lui angkat wajahnya, memandang ke arah ayahnya.
Waktu itu Lui Ki-hong telah berlutut, berlutut di sisi istrinya,
sambil membungkuk ia berbisik.
"Lebah Bunga Tho Berwajah Manusia sudah mampus
tigabelas tahun berselang, yang datang kali ini pasti
gadungan!" Paras muka Lui Hujin sudah kaku, sekaku batu, namun
sorot matanya masih lembut, halus bagaikan aliran air.
Ia memandang ke arahnya, dia bukan cuma suaminya, juga
merupakan sahabat sehidup-sematinya. Ia selalu mempercayainya,
seperti dia percaya pada diri sendiri. Kini dia tahu,
sebentar lagi dia akan pergi meninggalkannya, namun tak
terpancar rasa takut sedikitpun dari sorot matanya.
Juga tak terpancar rasa sedih, apalagi rasa takut atau
ngeri. Kematian bukan sesuatu yang menakutkan.
Bagi seorang wanita, selama ia sudah mendapat seorang
suami yang sepanjang hidup selalu setia kepadanya, apalah
arti dari sebuah kematian?""
Lui Ki-hong mengganggam tangannya dengan lembut, tapi
sinar mata istrinya sudah dialihkan ke wajah putranya.
Tiba tiba muncul setitik suara dari balik tenggorokannya...
sejenis kekuatan luar biasa yang mendorong dia dapat
mengeluarkan suara tersebut.
26 Itulah kekuatan kasih-sayang seorang ibu terhadap
anaknya. Dengan suara lirih Lui Hujin berbisik.
"Kau tak boleh mati... Kau harus temukan Jian-jian, dia
sangat baik... dia pasti bisa melahirkan seorang cucu yang
gagah untukku." "Aku pasti dapat menemukannya" Siau Lui merebahkan
kepalanya di atas dada ibunya yang lemah, "Aku pasti dapat
membawa putra kami datang ke sini, menjumpai dirimu."
Di tengah sorotan mata Lui Hujin yang lembut, tersungging
secercah senyuman, dia seolah-olah ingin mengangkat
tangannya, menggerakkan lengannya untuk memeluk putra
tercintanya. Sayang ia tidak sempat menggerakkan lengannya,
sepanjang masa tak pernah dapat dilakukannya lagi.
Dada ibunya sudah lama menjadi dingin. Siau Lui masih
berlutut di sana, berlutut tanpa bergerak sedikitpun. Tatkala
dada ibunya mulai mendingin, perasaan hati putranya juga
ikut mendingin. Titik air mata nampak bercucuran membasahi kelopak mata
tiga bersaudara dari keluarga Peng, namun tak seorangpun
yang berpaling. Mereka tidak bisa berpaling.
Kembali ada empat orang berjalan masuk dari atas tali
panjang, berjalan masuk dengan langkah sangat lambat.
Siapapun tak tahu keempat orang yang baru muncul itu
manusia sungguhan" Gadungan" Mayat hidup" Atau manusia
hidup" Tiga bersaudara dari keluarga Peng memiliki senjata am-gi
yang sangat beracun, tapi sayang mereka tak bisa
memakainya untuk menyerang. Asap racun yang menyelimuti
ruangan itu sudah kelewat jenuh, kelewat pekat.
Mendadak Siau Lui menyambar golok milik ibunya,
berjumpalitan di udara dan melesat sejauh empat kaki lebih,
di antara kilatan cahaya golok, empat utas tali terbang itu
terpapas putus semua 27 Empat sosok manusia itu jatuh hampir bersamaan...
"Blukk.." Semuanya terkapar di atas tanah tanpa bergerak
sedikitpun, rupanya empat sosok manusia gadungan.
Seandainya tiga bersaudara dari keluarga Peng melepaskan
am-gi mereka tadi, niscaya asap beracun yang menyelimuti
ruangan itu akan semakin menyesakkan napas.
Biarpun serbuk bunga dari segerombolan lebah itu sangat
harum, namun pantang tercium baunya... Biarpun serbuk
bunga dari sang lebah sangat beracun, yang paling beracun
justru sengatannya. Setelah terjerembab ke tanah, keempat sosok manusia itu
tidak pernah bergerak lagi... mendadak cahaya lampu yang
menerangi ruangan dalam rumah itu padam, suasana jadi
gelap gulita. Menyusul kemudian terdengar jeritan lengking yang
menyayat hati bergema dari balik kegelapan. Jeritan ngeri dari
begitu banyak orang yang belum pernah terdengar sebelumnya,
jeritan tersebut sudah tak mirip suara dari manusia tapi
lolongan menyeramkan dari sekawanan binatang.
Lolongan ngeri sekawanan binatang yang sedang sekarat,
semacam irama suara yang membikin perut jadi mual, jeritan
yang membuat otot pada kaku, susul-menyusul tiada
hentinya. Mungkin, hanya ada satu suasana yang lebih menakutkan
daripada suara tersebut... ketika semua suara mendadak
berhenti berbunyi... Ketika suasana tiba-tiba tercekam dalam
keheningan yang amat menyeramkan.
Bagaikan suara irama musik yang tiba-tiba terhenti karena
senarnya terbabat putus oleh bacokan golok, suara pisau yang
sedang membabat di atas daging manusia, suara tulang yang
sedang retak dan hancur... Suara tenggorokan yang
mendadak tercekik dan dipatahkan.
Namun seluruh suara tersebut tak pernah terdengar,
karena semua suara itu tak pernah bisa didengar secara jelas,
karena seluruh suara itu tenggelam oleh jeritan ngeri yang
menyayat hati. 28 Ketika jeritan ngeri itu terhenti, seluruh suara yang ada
dalam ruangan pun ikut terhenti. Tak seorang pun yang tahu
kenapa semua suara yang begitu menakutkan itu bisa berhenti
secara tiba-tiba. Juga tak seorang pun yang tahu mengapa ruangan di
tempat itu bisa berubah begitu gelap gulita, begitu senyap.
Kenapa sampai suara napas manusia pun tak kedengaran"
Entah berapa lama sudah lewat... Setitik cahaya lampu
mendadak berkilat dari balik kegelapan
Cahaya lampu yang berwarnah hijau pucat pelan-pelan
melayang masuk dari luar pintu, seorang manusia bertubuh
langsing yang memegang lentera tersebut.
Ketika cahaya lentera baru saja menyinari pemandangan
dalam ruangan itu, lentera yang berada di tangannya
mendadak terjatuh ke lantai, terbakar di atas tanah, orang
yang membawa lentera itu mulai muntah-muntah.
Tak ada orang yang bisa menahan rasa mual bila menyaksikan
pemandangan di tempat itu. Tak nampak seorang
manusia hidup pun di dalam gedung.
V Cahaya api yang sedang berkobar, memancar di atas wajah
tiga bersaudara dari keluarga Peng, air muka mereka
menunjukkan mimik wajah yang sangat aneh, seakan-akan
mereka tak percaya bahwa dirinya bakal tewas di ujung
senjata rahasia orang lain.
Senjata rahasia itu berupa jarum beracun dari seekor lebah,
lebah yang datang dari neraka dan kini sudah balik kembali ke
dalam neraka. Ketika tubuh Lui Ki-hong roboh ke tanah, tangannya masih
menggenggam golok Yan-ling-to miliknya, meski mata
goloknya telah gumpil. 29 Ia roboh persis di samping jenasah istrinya, seakan-akan
hingga detik terakhir hidupnya ia enggan meninggalkan sisi
istrinya walau setengah langkah pun.
Siau Lui sendiripun roboh di tengah genangan darah,
ceceran darah berwarna hitam, jelas darah yang mengandung
racun. Empak sosok manusia yang meluncur turun dari atas tali
terakhir tadi, kini tidak berada di posisi semula.
Mereka bukan manusia gadungan, tapi sekarang telah
berubah menjadi orang mati. Masih berapa banyak orang yang
mati disitu" Pada saat itulah terbesit setitik cahaya api di luar jendela,
api itu mulai membakar daun jendela, membakar bangunan
loteng dan gedung tersebut.
Tak ada yang tega saling memandang, karena memang tak
mungkin saling memandang lagi... lentera yang tadi terbakar
kini apinya telah padam, "Tak sejengkal rumputpun yang tersisa!" Hanya kobaran
api yang tak berperasaan dapat mengubah tempat tersebut
menjadi tak tersisa walau hanya sejengkal rumputpun.
Entah berapa lama kembali berlalu, dari balik kilauan
cahaya api kembali muncul sesosok bayangan manusia.
Sesosok bayangan tubuh yang langsing dan indah,
wajahnya i nengenakan sebuah topeng, sebuah topeng
dengan sekuntum bunga tho... bunga tho yang nampak merah
menyala karena terpantul cahaya api.
la berdiri tenang di depan pintu, mengawasi tumpukan
mayat yang berserakan di hadapannya dengan tatapan dingin,
walau seluruh lantai berubah jadi lautan darah, ia tak
sedikitpun muntah, ia bahkan tidak merasa mual.


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mungkinkah ia bukan manusia" Mungkinkah ia benar-benar
setan iblis yang hidup kembali dari dalam neraka" Lambat laun
tempat tersebut berubah semakin panas, sepanas api jahanam
dari dalam neraka. Kejam dan menyeramkan seseram suasana
neraka, dan ternyata ia berjalan memasuki neraka itu.
30 Perlahan-lahan ia berjalan masuk ke dalam ruangan, sepatu
yang dikenakan telah basah berpelepotan darah, golok dalam
genggamannya masih memancarkan cahaya yang
menyilaukan mata. Sorot matanya berputar kesana-kemari seakan-akan
sedang mencari sesuatu. Akhirnya pandangan matanya
terhenti di atas batok kepala Lui Ki-hong. Itulah batok kepala
dari musuh besarnya, dia harus membawa pulang batok
kepala itu, untuk bersembahyang bagi arwah ibunya.
Dendam kesumat! Ketika rasa dendam mulai membakar
dalam lubuk hati seseorang, kobaran apinya akan lebih
dahsyat ketimbang kobaran api yang membakar gunung, lebih
menakutkan, lebih menyeramkan.
Kalau Thian telah menganugerahkan rasa cinta dalam alam
jagat ini, kenapa harus menebarkan pula bibit dendam
kesumat disitu" Selangkah demi selangkah ia berjalan mendekati Lui Kihong,
tak ada lagi manusia di dunia ini yang bisa
menghalanginya. Tapi mungkin masih ada seseorang...
Yaaa, hanya satu orang yang bisa menghalanginya!
Mendadak muncul seseorang dari balik genangan darah,
menghadang persis di hadapannya, menghalangi jalan
perginya. Tampaknya orang itu mengenakan pula sebuah topeng di
wajahnya, bukan topeng yang terbuat dari tembaga, tapi
topeng yang penuh berlumuran darah.
Darah segar bukan saja menyelimuti seluruh wajahnya,
juga mengelamkan air mukanya, menutupi semua
perasaannya, pikirannya. Dia bagaikan sesosok mayat, mayat hidup yang berdiri
kaku di situ sambil mengawasi dirinya, meski tak dapat
melihat wajah asli perempuan itu, paling tidak ia masih dapat
melihat dengan jelas ukiran bunga tho yang terpampang di
atas topeng wajahnya. 31 Lama sekali ia berdiri di situ mengawasi lawannya,
kemudian sambil tertawa seram yang menggidikkan bulu
roma, katanya. "Rupanya kau belum mampus?"
Yaa, dia memang belum mati, karena ia tak boleh mati.
"Kedua orang-tuamu sudah pada mampus, apa artinya kau
tetap hidup seorang diri" Lebih baik pergilah mampus!"
Ia cukup tahu siapakah dia, tapi tidak cukup tahu manusia
macam apakah dirinya. Hanya sedikit orang yang tahu
manusia macam apakah dirinya, amat sedikit manusia yang
benar-benar bisa memahami dirinya.
Darah segar masih meleleh keluar membasahi wajahnya, di
atas wajahnya sudah tak ada air mata, yang ada tinggal
darah, cucuran darah segar.
Dalam tubuhnya juga tak punya darah lagi, karena semua
darah miliknya sudah mengalir keluar, yang ada dalam
nadinya sekarang tinggal aliran kekuatan yang besar, mungkin
saja semacam kekuatan yang terbawa dari dalam neraka,
kekuatan yang muncul dari kekuatan rasa dendamnya.
Kobaran api semakin membara, seluruh belandar dalam
gedung itu sudah terbakar, terjilat kobaran api yang makin
membara. Akhirnya perempuan itu menghela napas panjang, ujarnya
pelan. "Kalau kau tak ingin mampus, pergilah! Toh yang kucari
sebenarnya bukan dirimu. .."
Yang dicari perempuan ini memang bukan dia, tapi sebelum
ucapannya selesai diutarakan, ia sudah turun tangan, sabatan
golok di genggamannya tak beda dengan sengatan beracun
seekor lebah. Siau Lui tidak menghindar, juga tidak bergerak, ia biarkan
mata golok yang tajam menembusi tulang iganya, ketika mata
golok sudah terjepit di dalam tulangnya itulah tiba-tiba ia
balas melancarkan serangan.
"Krakkk....!" 32 Bersamaan dengan patahnya tulang iga yang ditembusi
mata golok pergelangan tangan perempuan itu ikut terhajar
patah. Gerakannya bukan gerakan dari ilmu silat, di dunia ini tak
ada ilmu silat semacam ini.
Tindakan yang dilakukan olehnya saat itu tak ubahnya
dengan pertarungan seekor hewan liar, bahkan lebih
menakutkan dan lebih kejam daripada pertarungan hewan liar.
Sebab pertarungan seekor hewan masih dilandasi untuk
mempertahankan hidup, tapi baginya, ia sudah tidak
memikirkan keselamatan sendiri, tak memikirkan kehidupan
sendiri. Memang, kadangkala sifat manusia memang jauh
lebih kejam daripada sifat seekor hewan.
Hingga saat itulah sorot mata ngeri dan takut mulai
terpancar keluar dari sorot mata perempuan itu, tiba-tiba
teriaknya keras. "Kau ingin membunuhku?"
"Betul!" jawaban Siau Lui amat singkat, sesingkat mata
golok yang meluntakkan tulang iganya.
"Kenapa" Ingin balaskan dendam ayah-ibumu" Kau boleh
membalaskan sakit hati orang-tuamu, kenapa aku tak boleh"
Bila kau anggap tindakanku keliru, kaupun telah melakukan
langkah yang salah!" Nada suaranya tinggi tajam seperti
sayatan sebilah mata golok
Makin kencang jari-jemari Siau Lui mencengkeram tulang
pergelangan tangannya yang telah hancur, seluruh tubuh
perempuan itu mulai gemetar, wajahnya mulai menampilkan
perasaan kesakitan dan ngeri yang amat mendalam.
Tapi ia masih dapat mempertahankan diri, sudah lama dia
terbiasa menahan rasa penderitaan dan rasa ngeri yang
dalam, katanya: "Lagipula aku toh tidak membunuh siapapun,
tanganku belum pernah ternoda oleh darah siapapun,
sebaliknya ibuku justru mati di tangan ayahmu, aku
menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana mata
goloknya menggorok leher ibuku, memenggal kepala ibuku..."
"Kau menyaksikan dengan mata kepala sendiri?"
33 Perempuan itu mengangguk, dengan sorot mata penuh
kebencian dan rasa dendam yang dalam lanjutnya.
"Kau ingin melihat wajahku?" Tiba tiba ia lepaskan topeng
yang menutupi wajahnya, memperlihat raut muka aslinya.
Tak dipungkiri sebenarnya dia memiliki sebuah wajah yang
amat cantik, kecantikan wajahnya cukup membuat setiap
lelaki berlutut di hadapannya, membuat setiap lelaki
kehilangan sukma dan tergila-gila kepadanya.
Tapi sekarang, sebuah bekas bacokan golok yang sangat
dalam dan mengerikan membekas di wajah ayunya,
menggurat dari ujung matanya hingga ke ujung bibirnya.
Seperti sebuah lukisan wanita cantik yang ternoda oleh tinda
hitam... Semua orang pasti akan merasa sayang bila melihat raut
muka seperti ini, guratan golok tersebut bukan hanya
menghancurkan paras mukanya yang cantik, meluluhlantakkan
juga kehidupannya. Sambil menunjuk bekas bacokan golok di wajahnya dan
tertawa dingin, kembali ia berkata.
"Tahukah kau perbuatan biadab siapakah hasil karya ini"
Dia tak lain adalah ayahmu... Padahal aku masih berusia lima
tahun kala itu... Siapa yang mengira seorang pendekar besar
golok sakti ternyata begitu tega menghancurkan kehidupan
seorang gadis yang masih berumur lima tahun?"?"
Siau Lui tertegun memandang wajahnya, genggaman
tangannya yang semula kencang mulai mengendor, tiba tiba
saja ia pingin muntah, perutnya mulai terasa mual.
"Sekarang, apakah kau masih ingin membunuhku" Masih
ingin balaskan dendam bagi ayah-ibumu?" sepatah demi
sepatah kata ia bertanya.
Tiba tiba Siau Lui melengos, dia tak tega lagi memandangi
wajahnya. Seluruh semangat dan kekuatan rubuhnya
mendadak jadi runtuh. "Aku sengaja mengatakan semuanya ini tak lebih hanya
ingin beritahu kepadamu bahwa Lui Ki-hong bukan seorang
malaikat," kembali ia bicara dengan suara dingin, sedingin es
34 dari kutub, "la tidak sesuci dan sehebat apa yang kau
bayangkan, dia ingin membunuh ibuku karena tak lain ingin..."
"Enyah kau dari sini, cepat enyah dari sini!" teriak Siau Lui
tiba tiba, "Mulai detik ini aku tak ingin bertemu dirimu lagi!"
Kembali ia tertawa, bekas luka golok yang membekas di
ujung bibirnya membuat suara tertawanya seakan akan
mengandung sindiran yang tak terlukis dengan kata-kata,
ujarnya. "Kalau toh kau tak berani mendengar lagi, baiklah, aku tak
usah lanjutkan perkataanku, sebab jika kuteruskan, perutku
pun mulai ikut mual, pingin muntah!"
Perlahan-lahan ia membalikkan tubuhnya, perlahan-lahan
pergi meninggalkan tempat itu, ia tak berpaling lagi walau
sekejap pun. Siau Lui juga tidak memandang ke arahnya,
apalagi menghalangi Kepergiannya.
Dia cuma berdiri termangu di situ seperti orang yang
kehilangan sukma, seluruh pikiran dan peredaran darahnya
seolah-olah jadi kosong dan hampa.
Api masih berkobar dengan hebatnya, semua tiang
belandar lelah terbakar patah, arang dan abu mulai
berguguran ke atas tanah, mengotori sekujur badannya.
Ia tidak berkelit juga tidak berusaha untuk menghindar,
maka tubuhnya ikut roboh keatas tanah.
Betapa hebatnya kobaran api yang membakar tempat itu,
pada akhirnya padam juga. Sebuah perkampungan yang
semula begitu kokoh dan angker kini sudah rata dengan
tanah. Seluruh kehidupan, jenasah, tulang-belulang, ceceran
darah segar, kini sudah tersapu bersih oleh kobaran api. Tapi
hanya satu yang tak mungkin patah walau dibacok, tak habis
terbakar walau dijilat kobaran api yang begitu dahsyat. Itulah
perasaan manusia. Hutang budi, dendam kesumat, cinta,benci... Selama
manusia masih hidup di dunia ini, semua perasaan itu tetap
akan hidup. 35 Rasa marah, rasa sedih, keberanian... semuanya muncul
hanya dikarenakan perasaan tersebut.
Kini, walau kobaran api sudah padam, namun cerita
mengenai mereka justru baru saja dimulai.
VI Matahari bersinar terik. Bunga tho berwarna merah yang tumbuh di bawah terik
matahari kelihatan begitu merah bagaikan kobaran api.
Bunga Tho masih tetap berkembang seperti sedia kala, tapi
di manakah orang di bawah bunga itu"
JIAN-JIAN I Jian-jian menundukkan kepala memandangi kaki sendiri.
Noda darah membasahi kakinya yang mungil. Onak semak
belukar yang tajam dan kerikil batu gunung yang runcing
membuat ia amat tersiksa.
Tapi, betapa pun beratnya luka luar yang dideritanya
sekarang, jauh tak dapat menandingi kepedihan hatinya yang
terluka dan tersayat sayat.
Ia berlarian sampai di situ bagaikan kesetanan, lupa siang
lupa malam, bahkan lupa arah jalan yang di tuju. Kesemuanya
itu dapat ia lupakan, sayang ia susah melupakan diri Siau Lui.
Kini perasaan hatinya sudah tercabik-cabik menjadi ribuan
keping. Tapi dalam setiap kepingan yang hancur itu masih
tertera bayangan dari Siau Lui.
Bayangan yang begitu menarik tapi juga begitu
menggeramkan, rasa benci yang lebih mendalam ketimbang
rasa cinta. 36 "Mengapa ia bersikap begitu kepadaku" Kenapa secara
tiba-tiba ia begitu tega, begitu tak berperasaan kepadaku?" Ia
tidak tahu, benar benar tidak paham. Tapi dia ingin
mengetahui, ingin mencongkel keluar hatinya, agar bisa
ditanya sampai jelas. Sayang ia tak punya kemampuan untuk berbuat begitu.
Apa boleh buat, sumpah sehidup-semati yang pernah
diucapkan dulu, cinta kasih yang lembut bagaikan buaian air,
sekarang telah berubah menjadi luka sayatan yang begitu
dalam menggores hatinya. Bisikan-bisikan mesra tempo dulu, juga rangkulan dan
pelukan hangat di masa lalu, kini hanya tersisa kenangan yang
penuh kegetiran dan penderitaan.
Dia rela mengorbankan segalanya untuk ditukar dengan
kemesraan dan kegembiraan seperti di masa lalu, walau itu
hanya berlangsung sekejap pun.
Sayang semuanya sudah berlalu, semuanya tak mungkin
diulang kembali. Walau ia benturkan kepalanya ke atas
dinding, walau dibenturkan hingga seluruh tubuhnya hancur
lebur, semuanya tak mungkin terulang kembali.
Inilah yang dinamakan kesedihan, kepedihan yang
sesungguhnya, penderitaan yang sebenarnya.
Penderitaan semacam ini dapat meresap langsung ke
dalam peredarah darahmu, ke dalam tulang sumsummu.
Musim semi, hembusan angin pagi dimusim semi masih
terasa dingin. Ia hanya mengenakan seperangkat pakaian yang amat
tipis, bertelanjang kaki. Pakaian tipis itu adalah seluruh harta
yang di milikinya saat itu.
Sisanya telah ia tinggalkan,
Tinggalkan untuknya. Kini mungkin hanya kematian
merupakan satu-satunya pelepasan baginya, tapi dia masih
tak pingin mati. "Suatu hari nanti... Akan kubuat kau menyesal seumur


Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidup." 37 Cinta yang kelewat mendalam dapat berubah menjadi
kebencian dan dendam, semakin kau mencintai seseorang,
semakin dalam rasa bencimu kepadanya.
Oleh sebab itu dia harus tetap hiidup, dia harus membalas
dendam, tapi dengan cara apa dia mempertahankan
hidupnya" Dunia begitu luas, kemana ia harus pergi untuk
tinggal sementara waktu" Dia tak ingin menangis tapi air mata
jatuh berlinang tiada hentinya.
"Jian-jian..." Tiba-tiba ia mendengar ada orang memanggil
namanya dengan suara lirih.
"Jian-jian... Jian-jian..." ketika berada di depan bunga, di
bawah sinar rembulan, dalam pelukan mesranya Siau Lui
selalu memanggil namanya berulang-ulang.
Dalam sekejap mata ia seperti melupakan seluruh
kepedihan hatinya, semua rasa benci dan dendamnya, asal ia
mau balik kepadanya maka diapun akan segera memaafkan
seluruh kesalahan dan kesilafan yang telah dilakukan olehnya,
ia akan segera menjatuhkan diri ke dalam pelukan mesranya.
Tapi sayang dia kecewa, yang memanggil namanya bukan
Siau Lui, dia adalah Kim Cwan.
Kim Cwan seorang terpelajar juga seorang pendekar. Kim
Cwan adalah seorang pemuda yang halus, lembut dan penuh
sopan santun Rambutnya selalu disisir hingga kelimis dan rajin, pakaian
yang di kenakan selalu bersih, modis dan ae suai dengan
perawakan tubuhnya Dibandingkan dengan Siau Lui, mereka berdua sama sekali
berbeda dan bertolak belakang. Tapi dia justru sahabat
karibnya Siau Lui. Tentu saja Jian-jian kenal dengannya, sebab pemuda inipun
tahu hubungan asmara antara dia dengan Siau Lui yang
berjalin secara rahasia. "Jangan-jangan Siau Lui yang menyuruh dia datang
mencariku jantungnya berdebar keras, tak tahan serunya.
"Kenapa kau bisa muncul di sini?"
38 "Datang mencarimu," senyuman Kim Cwan lembut seperti
senyuman seorang perawan "Mencari aku" Darimana kau tahu aku berada di sini?"
"Sepanjang jalan aku selalui melindungimu!"
Hati Jian-jian berdebar semakin kencang, iaberharap Kim
Cwan mau memberitahukan kepadanya bahwa Siau Lui lah
yang menyuruh dia melakukan semuanya itu. Tapi sayang
pemuda itu tidak berkata demikian.
"Apa kau melihat dia?" Sambil menggigit ujung bibir tak
tahan Jian-jian bertanya lagi.
Kim Cwan menggeleng. "Kau tahu... kami telah berpisah?"
Kim Cwan tetap menggeleng.
Perasaan hati Jian-jian semakin tenggelam, lama sekali ia
menundukkan kepalanya sebelum diangkat kembali. Tiba tiba
ia menemukan Kim Cwan sedang mengawasi kakinya, kaki
mungilnya yang telanjang, putih mulus bagaikan pualam tapi
penuh dengan goresan luka dan darah itu, sepasang kaki yang
menimbulkan rasa iba bagi yang melihatnya.
Lelaki manapun yang menyaksikan sepasang kaki itu, tentu
tak akan bisa mengendalikan diri untuk mengamatinya lebih
lama... karena kaki perempuan yang putih mungil itu seolaholah
mengandung suatu misteri yang menarik, semacam
hubungan perasaan yang amat aneh.
Ia ingin sekali menarik pakaiannya untuk menutupi kakinya
yang telanjang, tapi pada saat yang bersamaan tiba tiba
terpancar sinar kebencian yang luar biasa dari balik matanya.
"Aku pasti akan membuatnya menyesal... aku harus
membalas sakit hati ini..."
Hanya cinta yangkelewat dalam dapat berubah secara
mendadak jadi kebencian yang luar biasa, yang dapat
mengubah seorang gadis yang lemah-lembut dan berhati
mulia menjadi beracun dan jahat, sejahat ular berbisa.
"Kau tidak pulang?" kembali Kim Cwan bertanya dengan
suaranya yang merdu bagai seorang gadis.
Jian-jian menunduk rendah, sahutnya sedih.
39 "Aku tak punya rumah..."
"Lantas... kau ingin ke mana?"
Kepala Jian-jian menunduk semakin rendah, ia mengerti
antara rasa kasihan dan rasa cinta seringkah susah dipisahkan
satu dengan lainnya. Ia tahu dan mengerti bagaimana caranya
membangkitkan rasa iba dan kasihan seorang lelaki terhadap
dirinya. Betul juga, rasa iba dan kasihan segera muncul di wajah
Kim Cwan, setelah menarik napas panjang katanya lagi
dengan lembut. "Apapun akhirnya nanti, paling tidak aku harus temani kau
untuk berganti pakaian bersih dan makan sampai kenyang."
Ada satu hal yang tak boleh dilupakan kaum lelaki,
pembalasan yang datang dari seorang wanita seringkali
dilakukan dengan segala car dan menghalalkan cara apapun.
II Bunga Tho di bawah terik matahari nampak merah
bagaikan bara api, Ketika Siau Lui membuka matanya,
terbentang bunga-bunga tho yang membara bagaikan kobaran
api di atas ranting pohon di hadapannya.
Seseorang berdiri bersandar di bawah pohon bunga tho,
seorang berbaju putih yang berbadan langsing, bersanggul
tinggi dan memakai sebuah cadar yang menutupi wajah
putihnya. Merah bunga yang memenuhi seluruh hutan merangkul
tubuhnya vang putih bagaikan salju, Seorang bidadari kah dia"
Bidadari bunga tho" Siau Lui meronta ingin bangun dan duduk. Pakaian yang dikenakan
sudah basah oleh embun pagi, namun sekujur
badannya terasa panas bagai digarang di atas kobaran api
yang membara. 40 Dia ingin duduk, tapi rasa sakit yang luar biasa membuat
seluruh badannya kejang dan sakit, begitu sakitnya nyaris
membuat ia jatuh pingsan.
"Kau terluka sangat parah," ujar gadis berbaju putih itu
sambil memandangnya dengan mata yang bening, "lebih baik
berbaringlah dengan tenang jangan sembarangan bergerak."
Suaranya lembut, merdu tapi dingin dan hambar seakanakan
berasal dari suatu tempat yang jauh.
Siau Lui coba pejamkan matanya, semua peristiwa yang
dialaminya semalam kembali terlintas di depan matanya.
Kilatan golok, bayangan darah, kobaran api...
Kejadian terakhir yang masih diingatnya adalah jilatan api
membara yang rontok ke arah tubuhnya, membuat sekujur
badannya serasa terbakar hebar, membuat ia serasa
terjerumus ke dalam neraka tingkat tujuhbelas.
Tapi kini, angin lembut musin semi berhembus
menggoyangkan rerumputan harum bunga semerbak mengalir
bagaikan alur air jernih di selokan.
Kicauan burung di antara dahan pohon merdu bagaikan
bisikan mesra seorang kekasih.
Sekali lagi Siau Lui membuka matanya: "Aku... bagaimana
aku sampai di sini" Kau yang menolongku?"
Gadis berbaju putih itu mengangguk.
"Siapa kau?" Pelan-pelan gadis berbaju putih itu memutar badannya,
begitu ringan gerak tubuhnya bagaikan gerak awan di
kejauhan bukit sana. Ia petik sekuntun bunga tho lalu disisipkan di atas
sanggulnya, bunga tho yang merah bagaikan darah, cadar
yang putih bagaikan salju membuat gadis itu seperti sekuntum
bunga merah yang sedang mengapung di tengah kabut.
"Jin-bin-tho-hoa!" tak tertahan Siau Lui menjerit, "Rupanya
kau!" Gadis berbaju putih itu tertawa, suara tertawanya merdu
bagaikan keleningan perak yang berdenting di tengah
41 hembusan angin musim semi, "sudah kuduga, cepat atau
lambat kau pasti akan mengenaliku"
"Kau... mengapa kau menolongku?" tiba-tiba Siau Lui
merasa tubuhnya mengejang keras.
"Bunuh orang itu melanggar hukum, masa menolong orang
juga dianggap melanggar hukum?" gadis berbaju putih itu
tertawa. Kembali ia membalikkan tubuhnya dan mengeluarkan
sebuah tangannya yang semenjak tadi disembunyikan di balik
baju, sebuah tangan yang dibalut kain putih, tangan yang
telah diremuk Siau Lui tadi malam.
Siau Lui segera tertawa: "Ooh... kau ingin aku
mengembalikan tanganmu itu" Ambillah!"
"Sebenarnya kau hanya berhutang sebuah tangan kepadaku,
tapi sekarang kau berhutang pula selembar nyawa
kepadaku," sahut gadis berbaju putih itu hambar.
"Kalau mau, kau boleh ambil juga nyawaku!" jawab Siau
Lui dengan suara yang ringan dan datar, seakan-akan
menyuruh seseorang mengambil sebuah pakaian rombeng
saja. Gadis berbaju putih itu memandangnya sampai lama sekali,
tiba tiba ia mengajukan satu pertanyaan yang sangat aneh.
"Kau benar benar putranya Lui Lo-hong?"
"Ehm!" "Kau tahu ayahmu sudah mati?"
"Tahu!" "Kau tahu rumahmu sudah terbakar habis dan rata dengan
tanah?" "Tahu!" Gadis berbaju putih itu menghela napas panjang.
"Heran, kenapa wajahmu sama sekali tidak mirip orang
sedih?" "Bagaimana baru kau anggap mirip" Harus memukul dada
sambil menangis meraung-raung?"
42 "Sekarang kau tak punya apa-apa lagi, yang kau miliki
tinggal selembar nyawa," kembali gadis itu berkata setelah
memandangnya mkuplama. "Ooh..." 'Tahukah kau, bagi siapa pun yang tertinggal kini hanya
selembar nyawa?" "Tahu!" 'Tahukah kau, setiap saat aku bisa mencabut nyawamu"
"Tahu!" Kembali gadis berbaju putih itu menghela napas.
"Tapi keadaanmu nampak sama sekali tak mirip!"
"Pada dasarnya beginilah aku."
"Dalam menghadapi persoalan lain keadaan apapun kau
selalu demikian?" "Bila kau tak suka dengan sikapku sekarang, kau boleh
tidak Melihatnya." "Sebetulnya kau itu manusia bukan?"
"Rasanya manusia."
Kembali gadis berbaju putih itu menatapnya tajam-tajam,
kemudian setelah menghela napas, ia balikkan badan dan
pergi dari situ. "Hey, tunggu sebentar," teriak Siau Lui.
"Tunggu apa" Masa kau suruh aku tetap tinggal di sini
menemanimu?" "Kau bilang aku masih berhutang kepadamu, kenapa tidak
kau ambil kembali?" Gadis berbaju putih itu segera tertawa.
"Kau sendiri tidak memandang berharga nyawa sendiri,
buat apa aku mesti mengambilnya?"
"Tapi..." 'Tunggu saja sampai hatiku lagi senang," potong gadis itu
cepat, "saat itu aku pasti akan mengambilnya kembali. Tunggu
saja!" Selesai bicara ia betul-betul melangkah pergi tanpa
berpaling kembali. 43 Siau Lui termangu-mangu mengawasi bayangan tubuhnya
yang ramping lenyap di balik pepohonan bunga tho. Dia masih
berbaring di situ, tanpa bergerak sedikitpun. Tapi kini yang
meleleh di atas wajahnya sudah bukan darah, melainkan air
mata. Angin berhembus sepoi-sepoi, bunga tho berkuntumkuntum
rontok di atas tubuhnya, wajahnya, la masih belum
bergeming. Air matanya sudah lama mengering.
"Kini kau tidak memiliki apa pun, yang tersisa tinggal
selembar nyawamu." Gadis itu benar-benar telah merampas seluruh yang
dimilikinya, tapi ia justru telah menyelamatkan nyawanya.
Mengapa ia harus berbuat begini" Apa menginginkan ia
hidup dalam penderitaan"
"Kau sendiri tidak memandang berharga nyawa sendiri,
buat apa aku mesti mengambilnya?"
Sesungguhnya dia memang sudah tidak memandang
berharga kehidupan sendiri.
Gadis itu bukan saja telah merampas seluruh yang
dimilikinya, dia juga telah menghancurkan idola paling suci
yang dimilikinya selama ini, ayahnya memang merupakan
idolanya selama ini. Berdiri di atas genangan darah ayahnya sambil
mendengarkan gadis itu menguak rahasia masa lalunya, saat
itu dia hanya ingin melepaskan semua siksaan batin dan
penderitaannya dengan kematian.
Tapi sekarang, walaupun gejolak perasaannya belum
tenang kembali, paling tidak sudah tidak bergejolak seperti
tadi, tiba-tiba saja ia menyadari bahwa dirinya belum boleh
mati dalam keadaan demikian,
"Kau harus menemukan kembali Jian-jian, dia adalah gadis
baik, pasti dapat melahirkan bibit unggul bagi keluarga Lui
kami." "Jian-jian... Jian-jian..." dalam hati kecilnya ia menjerit,
memanggil, hanya nama itulah satu-satunya pengharapan
yang dimilikinya...

Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

44 Seluruh pengharapan yang ada dan tertinggal kini.
III Air sungai mengalir amat jernih, berkuntum-kuntum bunga
tho mengapung di atas permukaan air dan mengalir lambat
jauh ke ujung dunia. Siau Lui menggertak gigi, bergulingan menuruni tebing
berlantai rumput hijau dan menceburkan diri ke dalam
selokan, Air dingin yang menyengat bukan saja mengurangi siksaan
hawa panas yang menggerogoti sekujur tubuhnya, juga
membuat pikirannya lebih tenang dan sadar,
Ia berendam dalam air tanpa bergerak, dia berharap bisa
melupakan segalanya, tidak memikirkan persoalan apa pun,
tapi sayang ia tak mampu,
Semua peristiwa masa lalu, semua kejadian mengenaskan
yang telah dialaminya, tiba tiba melunak dan memenuhi
seluruh pikiran dan perasaan hatinya, begitu berat
menghimpitnya membuat hatinya nyaris hancur berantakan.
Dia seakan-akan sedang menghindari kejaran sejenis
makhluk jahat pembunuh manusia, melarikan diri terbirit-birit
dari dalam air. Betapa dalamnya penderitaan yang dirasakan di tubuhnya
masih dapat ia tahan. Ia lari kencang menelusuri aliran sungai,
menembusi hutan bunga, kehijauan bukit tampak terbentang
jernih nun jauh didepan sana.
Di bawah bukit terdapat sebuah dusun kecil, dalam dusun
terdapat sebuah rumah makan kecil, di sana Irrsedia arak
wangi yang hijau hening bagaikan warna pegunungan nun
jauh di depan sana. la pernah mengajak Jian-jian mengetuk pintu rumah makan
itu di tengah malam buta, menunggu kedatangan sahabat
karibnya Kim-Cwan. 45 Kemudian mereka bertiga akan mulai meneguk air katakata
bagai orang kesetanan, riang gembira seperti anak kecil,
karena saat itulah saat paling gembira bagi mereka bertiga.
Kekasih yang sehati, sahabat karib yang setia kawan, arak
wangi yang harum semerbak... Apa lagi yang dicari bila orang
hidup dalam keadaan demikian"
'Bawalah Jian-jian ke situ, tunggu aku walau harus menanti
berapa lama pun, kalian harus menunggu hingga
kedatanganku. Biar dia ingin pergi meninggalkan tempat
tersebut, kau harus berupaya untuk menahannya!" Itulah
pesan yang ia sampaikan kepada Kim-Cwan semalam.
Ia tidak berpesan banyak, tidak pula menjelaskan mengapa
harus berbuat demikian. Kim-Cwan juga tidak banyak
bertanya. Rasa saling percaya di antara mereka berdua
seakan-akan seperti percaya pada diri sendiri.
Bukit di depan mata terasa begitu jauh. Siau Lui berharap
bisa menemukan sekor kuda dengan sebuah pedati... sayang
tidak ada pedati... apalagi seekor kuda.
Darah segar bercucuran di wajahnya, bercampur dengan
peluh, sekujur tulang-belulang tubuhnya seolah-olah akan
hancur berantakan saking sakit dan menderitanya.
Betapa pun jauh dan menderitanya jalan raya yang harus
ditempuh, asal kau berniat menelusurinya, suatu ketika akan
tiba juga saatnya mencapai ujung jalan tersebut.
Pohon Yang-liu nan hijau bergoyang terhembus angin,
pada akhirnya ia dapat melihat sepucuk bendera hijau
bertuliskan "Ciu" berkibar di antara pepohonan liu nan lebat.
Cahaya matahari senja memancarkan cahayanya di atas
bendera yang tampaknya masih baru. Pagar yang terbuat dari
bambu membiaskan cahaya hijau pualam di bawah sorotan
matahari yang sendu. Pagar itu mengelilingi tiga-lima buah tiang bangunan.
Ditinjau dari balik jendela kelihatan kalau tamu di rumah
makan itu tak banyak. Tempat itu memang bukan jalan raya utama, bukan
termasuk dusun yang ramai dan makmur. Hanya tamu yang
46 tertarik dengan kesohoran tempat tersebut yang datang
berkunjung. Walaupun arak yang dibuat kakek Sin Hoa-ang tidak bisa
dibilang amat tersohor, paling tidak cukup untuk memabukkan
orang. Kakek Sin Hoa-ang dengan rambutnya yang telah putih
beruban sedang duduk santai di pinggir rumah makannya,
memakai sebuah hud-tim ekor kuda mengusir lalat-lalat hijau
yang muncul dari balik pepohonan liu.
Di atas meja tersedia lima-enam macam sayur yang ditutup
dengan sebuah tudung saji terbuat dari kain kasa hijau, bukan
saja kelihatan lezat menggiurkan juga amat menyolok mata.
Tuan rumah yang santai, tamu yang santai... Tempat ini
sesungguhnya memang sebuah tempat santai yang amat sepi
dan hening. Ketika Siau Lui melangkah masuk ke dalam, tuan rumah
dan tamu-tamu segera memandangnya dengan rasa kaget
dan terperana.... Melihat pandangan mata orang yang begitu terkejut, ia
segera sadar betapa menakutkan wajah dirinya saat ini,
betapa mengerikan dan kacaunya keadaan dia...
Tapi ia tak ambil perduli. Bagaimanapun pandangan orang
lain terhadap dirinya, ia tak perduli.
Yang dia perdulikan sekarang hanya, "Kenapa Kim-Cwan
dan Jian-jian tidak berada di situ" Ke mana mereka pergi?"
Ia menerjang ke tepi meja. Sebenarnya kakek SinHoa-ang
ingin memayangnya, tapi melihat betapa gerahnya anak muda
itu, ia segera menarik kembali tangannya sambil menjerit.
"Mengapa kau berubah jadi begini" Apa yang sebenarnya
telah terjadi?" Tentu saja Siau Lui tidak menjawab, lebih banyak persoalan
yang dia ingin tanyakan. "Kau masih ingat dengan kedua
orang temanku yang datang mengetuk pintu di tengah malam
buta tempo hari?" "Tentu saja masih ingat," sahut kakek Sin Hoa-ang sambil
tertawa pahit. 47 "Mereka tidak datang kemari hari ini?"
"Sudah, pagi tadi."
"Di mana mereka sekarang?"
"Telah pergi!" "Ada orang yang memaksa mereka untuk pergi dari sini?"
Siau Lui menggenggam kencang tangan Sin Hoa-ang, nada
suaranya agak berubah "Tidak ada! Mereka hanya makan bubur dua mangkuk, tak
sempat minum arak, mereka segera pergi."
"Mengapa mereka telah pergi" Mengapa tidak
menungguku?" Sin Hoa-ang memandangnya dengan melongo, ia merasa
pertanyaan ini sangat aneh... kelewat aneh, kenapa sikap
anak muda ini macam orang sinting" Tidak waras otaknya"
"Kalau mereka tidak menerangkan, darimana aku bisa tahu
kenapa mereka pergi?"
'Kapan mereka pergi dari sini?" tanya Siau Lui sambil
melepaskan genggamannya dan melangkah mundur
'Sudah pergi lama sekali, mereka hanya beristirahat sejenak
lalu pergi." "Pergi melalui jalan yang mana?"
Sin Hoa-ang berpikir sejenak, lalu menggeleng dengan
perasaan bimbang. "Mereka tidak meninggalkan pesan untukku?" buru Siau
Lui. "Tidak!" Jawaban Sin Hoa-ang tegas dan meyakinkan.
Daun pohon liu berkibar lembut terhembus angin sepoisepoi,
cahaya senja mulai memenuhi angkasa membuat
suasana semakin sendu, asap mulai mengepul dari balik
dusun, dari balik atap rumah.
Lamat-lamat terdengar suara gonggongan anjing, tangisan
bayi menggaung dari kejauhan, berbaur dengan suara istri
yang memanggil suaminya agar pulang...
Sebenarnya tempat ini merupakan sebuah tempat yang
tenang, sebenarnya merupakan sebuah dunia yang hening,
48 tapi bagi Siau Lui ibarat sebuah medan pertempuran berdarah
yang penuh dengan jeritan tentara dan ringkikan kuda terluka.
Ia sudah menjatuhkan diri duduk di atas bangku yang
terbuat dari bambu, di hadapannya tersedia secawan air katakata
yang baru saja dituang kakek Sin Hoa-ang untuknya.
"Teguk dulu satu dua cawan air macan, siapa tahu mereka
akan balik kemari?" Siau Lui tidak mendengar kata-kata itu, dia hanya
mendengar pertanyaan yang diajukan suara hatinya kepada
diri sendiri: "Kenapa mereka tidak menunggu" Kenapa Kim Cwan tidak
berusaha menahannya" Ia sudah berjanji untuk melakukannya
untukku!!!" Ia percaya dengan Kim Cwan, belum pernah Kim Cwan
ingkar janji. Arak hijau nan semerbak ditenggaknya hingga
habis, sayang rasanya getir, sepahit perasaaan hatinya kini.
Penantian jauh lebih getir daripada rasa arak. Matahari
senja sudah turun gunung, selimut kegelapan malam mulai
membentang menyelimuti angkasa, rembulan mulai muncul
dengan malu-malu dari balik ranting pohon liu yang ramping.
Mereka tidak datang! Sebaliknya Siau Lui sudah dibuat
mabuk oleh air kata-kata. Sayang mabuk tak bisa
menyelesaikan persoalan, tak bisa mengurai simpul mati
dalam hatinya, tak akan menyelesaikan masalah apapun.
Kakek Sin Hoa-ang memandangnya dengan masgul, lamatlamat
terpancar rasa kasihan dan rasa iba dari balik sorot
matanya. Dengan pandangan matanya yang kenyang
pengalaman, secara samar ia sudah bisa menduga apa gerangan
yang sebenarnya telah terjadi.
"Perempuan... perempuan... kau selalu menjadi bibit
bencana, wahai anak muda, kenapa kau tak pernah paham
tentang ajaran tersebut" Mengapa kau selalu rela menderita
dan tersiksa batin hanya dikarenakan perempuan?"
Sambil menghela napas ia menghampirinya, duduk di
hadapan Siau Lui lalu bertanya lagi secara tiba-tiba.
"Temanmu itu dari marga Kim?"
49 Siau Lui mengangguk. "Konon ia datang dari jauh, kemari
untuk belajar silat dan sastra dan selama ini tinggal di kebun
kecil belakang kuil Kwan-Im-bio?"
Kembali Siau Lui mengangguk. "Mungkin saja mereka telah
pulang, kenapa kau tidak ke situ mencari mereka?"
Siau Lui tertegun, seolah-olah baru mendusin dari tidurnya,
tiba-tiba ia lari keluar meninggalkan tempat itu.
Memandang bayangan tubuhnya yang semakin menjauh,
kakek Sin Hoa-ang menghela napas panjang, gumamnya.
"Dua lelaki dengan seorang gadis cantik... aaai...,
bagaimana tidak menimbulkan kerumitan dan kerepotan?"
Bunga yang tumbuh di balik kebun kecil itu rimbun dengan
air yang banyak, tapi semuanya sedang mekar memancarkan
bau semerbak. Kim Cwan adalah seorang sastrawan berbakat,
bukan saja ia pandai membuat syair bermain khim, dia pun
menguasai banyak pengetahuan tentang tumbuhan dan
tanaman. Pintu pagar bambu tertutup tanpa dikunci, tapi pintu rumah
gubuk di baliknya terkunci rapat, ini menandakan tak mungkin
ada penghuninya. Piikiran dan kesadaran Siau Lui sudah tak sempat melintas
sampai dii situ, ia mendobrak pintu rumah keras-keras,
dengan sekuat tenaga ia menerjang masuk ke dalam rumah,
ia pernah kemari berulang-kali.
Ruangan itu adalah sebuah kamar baca yang mungil tapi
amat bersih, seperti juga Kim Cwan, mendatangkan rasa
nyaman bagi yang memandang.
Di sudut ruangan terdapat sebuah ranjang, di depan
jendela ada sebuah meja, di atas meja berjajar buku, lukisan,
catur dan khim, sedang di atas dinding tergantung sebuah
pedang kuno. Tapi sekarang, semua benda tersebut telah tiada, yang
tersisa hanya sebuah lentera, sebuah lentera yanlg tak ada
apinya. 50 Siau Lui menerjang masuk ke dalam, terduduk lesu di atas
ranjang, memandangi dinding ruangan dengan pandangan
masgul. Sinar rembulan memancar masuk dari luar jendela,
menyinari lentera di atas meja, menyinari manusia kesepian
yang duduk termenung di depan lentera.
"Kim Cwan telah pergi, pergi bersama Jian-jian..."
Ia tak percaya peristiwa ini menjadi kenyataan, terlebih tak
percaya peristiwa semacam ini dapat menimpa dirinya.
Tapi kini, mau tak mau dia harus mempercayainya, harus
percaya bahwa peristiwa ini adalah sebuah kenyataan.
Air mata membasahi kelopak matanya, terasa air mata itu
lebih dingin daripada sinar rembulan, ia merasakan air mata
itu tapi tidak membiarkannya meleleh keluar.
Ketika seseorang sedang betul-betul menderita dan sedih,
air mata jarang bisa meleleh keluar.
Sebenarnya ia memiliki sebuah keluarga yang hangat dan
hidup penuh kebahagiaan, memiliki orang tua yang saleh dan
lembut, kekasih yang amat mencintainya, teman yang amat
setia kepadanya... Tapi kini, apa yang masih dimilikinya" Selembar nyawa,
yaa... Kini dia hanya memiliki selembar nyawa. Tapi, masih
patut dan berhargakah nyawa itu untuk tetap dipertahankan
hidup" Cahaya rembulan memancar terang di balik jendela, pelanpelan
ia membaringkan diri di atas ranjang milik temannya...
Seorang teman yang telah menghianatinya, sebuah
pembaringan yang dingin dan beku.
Angin masih berhembus sepoi, lentera tak pernah
dihidupkan, mungkin minyak dalam lentera itu telah lama
mengering... Musim semi macam apakah ini" Bulan purnama macam
apakah ini" Kehidupan seperti apakah ini..."
IV

Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

51 Pintu itu hanya dirapatkan, sewaktu angin berhembus lewat
pintu itu segera menimbulkan suara "Nyiitt. ." dan terbuka.
Sesosok bayangan manusia muncul dari balik pintu,
sesosok bayangan manusia yang ramping dan tinggi, memakai
baju berwarna putih, seputih salju dimusin dingin.
Siau Lui tidak bangkit dari tidurnya, juga tidak berniat
untuk berpaling dan memandang ke arahnya, tapi ia tahu ada
orang datang. Karena orang itu sudah melangkah masuk ke
dalam, berjalan menghampiri pembaringan persis di
hadapannya. Cahaya rembulan menyoroti tubuhnya yang ramping,
menerangi kain cadar tipis yang menutup wajahnya, sorot
mata di balik kaini cadar itu nampak jeli dan indah bagaikan
sinar rembulan di malam yang hening.
Alam jagat terasa begitu damai, dan tenang, entah berapa
banyak perasaan orang yang melumer di tengah malam yang
hening ini, juga tak tahu berapa banyak perasaan gadis yang
melumer dalam pelukan hangat kekasihnya.
"Jian-jian, Jian-jian... di mana, kau" Berada di mana kau"
Di mana perasaanmu?"?"
Ia tak pernah menyalahkan dia. Sudah kelewat dalam luka
hati yang dideritanya, oleh karena itu apapun yang telah ia
lakukan, sudah sepantasnya bila dia memaafkan. Ia yang
teramat menderita mungkin tak pernah tahu mengapa dia
harus menyakiti perasaan hatinya. Mungkin selamanya ia tak
akan mengerti bahwa ia melakukan i semuanya itu
terhadapnya tak lain karena dia kelewat mencintai dirinya.
Seandainya ia bisa memahami hal tersebut, walau
penderitaan yang harus dialaminya jauh lebih hebat pun ia
tetap sanggup untuk menerimanya, bahkan termasuk
penderitaan karena dikhianati sahabat karib sendiri.
Gadis berbaju putih itu sudah duduk di tepi ranjang, jarijemarinya
mash mempermainkan sekuntum bunga tho yang
baru saja dipetiknya, namun yang ia pandang saat itu bukan
bunga tho tersebut, ia sedang mengawasi anak muda itu.
52 "Lelaki macam kau pasti memiliki seorang kekasih. Siapa
dia?" tiba-tiba gadis itu bertanya.
Siau Lui memejamkan matanya, juga mengunci mulutnya
rapat-rapat. Gadis itu tertawa. "Walau aku tak tahu siapakah gadis itu,
tapi aku tahu kau telah berjanji dengannya untuk bertemu di
dusun Sin-hoa-ang bukan?"
"Apa lagi yang kau ketahui?"
"Aku masih tahu kalau ia sama sekali tidak menunggumu di
situ Itu karena kau masih mempunyai seorang sahabat karib."
Setelah tersenyum lanjutnya, "Kini kekasihmu telah kabur
bersama sahabat karibmu, selama hidup kau tak bakal tahu
kemana mereka telah perg..i"
"Kau tahu?" tiba-tiba Siau Lui pentang matanya lebar-lebar.
"Aku juga tak tahu, seandainya lalui juga tak bakal
kuberitahu kepadamu."
"Tentu," pelan pelan Siau Lui mengangguk. "Tentu saja tak
akan kau beritahu kepadaku."
"Kini, kau masih memiliki apa lagi?"
"Selembar nyawaku!"
"Jangan lupa kalau nyawamu sudah menjadi milikku," tukas
gadis berbaju putih itu cepat. "Apalagi nyawa yang kau miliki
sekarang paling tinggal separuh lembar."
"Oh ya?" "Tulang igamu ada dua yang telah patah, belum terhitung
berapa banyak luka bacokan dan luka bakar yang telah kau
derita, bisa hidup sampai sekarang pun sudah terhitung suatu
kemukjijatan." "Oh ya...!" "Bila aku jadi kau," kata gadis berbaju putih itu lagi dengan
suara yang lebih lembut, "Sekalipun ada satu juta orang yang
berlutut dan memohon kepadaku, aku tak bakal hidup lebih
lanjut." "Kau bukan aku, dan akupun bukan kau."
"Oh, jadi kau masih ingin hidup terus?"
"Ehm!" 53 "Apakah hidupmu masih berarti?"
"Tidak, sama sekali tidak berarti."
"Kalau memang hidup tak berarti, apa yang hendak kau
lakukan jika hidup terus?"
"Tidak melakukan apa-apa."
"Lalu, kenapa kau harus hidup terus?"
"Karena aku masih hidup... Selama seseorang masih bisa
hidup maka ia harus hidup terus," nada suaranya masih begitu
tenang, rasa tenang yang mendirikan bulu kuduk orang, rasa
tenang yang begitu menakutkan.
Gadis berbaju putih itu memandangnya sekejap, kemudian
menghela napas panjang, kembali katanya.
"Ada sepatah kata ingin kutanyakan sekali lagi kepadamu,
boleh?" "Tanya saja!" "Sebetulnya kau ini manusia atau bukan" Apakah seorang
manusia yang masih hidup?"
"Kini sudah tidak!"
"Lalu kau adalah apa?"
"Semua bukan!" jawab Siau Lui sepatah demi sepatah
sambil memandang atap rumah dengan mata melotot lebar.
"Semuanya bukan?"
"Ehm!" "Apa maksud ucapanmu itu?"
"Maksudnya, terserah apa pun yang kau katakan mengenai
aku." "Kalau kukatakan kau adalah binatang?"
"Kalau begitu anggap saja aku memang binatang."
Mendadak ia tarik tangan gadis itu, sebuah tarikan yang
sangat kuat. Gadis itu segera roboh, roboh ke dalam pelukannya.
V 54 Angin malam terasa semakin i dingin, dingin sampai
menyayat tulang. Tapi tubuhnya justru lembut, hangat dan
halus. Cahaya rembulan menerobos masuk lewat daun jendela,
menyoroti baju putih di ujung ranjang sana, baju putih
bagaikan hamparan salju, salju di musim semi. Musim semi
yang sangat indah, cahaya rembulan yang indah, berapa
orang yang tidak mabuk dibuatnya" Mungkin hanya satu
orang yang tidak bergeming.
Mendadak Siau Lui melompat bangun, berdiri di ujung
ranjang sambil memandang tubuhnya yang lembut, ramping
dan memancarkan cahaya itu.
Tidak seharusnya ia bangun berdiri pada saat seperti ini,
apalagi pergi meninggalkan tempat itu. Tapi secara tiba-tiba ia
membalikkan badan lalu pergi meninggalkan tempat itu
dengan langkah lebar. Gadis itu terperangah, tertegun, seperti tak percaya,
serunya. "Kau akan pergi sekarang?"
"Benar!" "Kenapa?" Tanpa berpaling jawab Siau Lui sepatah demi sepatah.
"Karena aku teringat dengan codet di wajahmu, bekas
bacokan itu membuatku muak!"
Tubuhnya yang lembut, hangat dan halus itu mendadak
berubah jadi dingin membeku, dingin kaku. la terhenyak.
Waktu itu Siau Lui sudah keluar dari pintu ruangan dengan
langkah lebar, berjalan masuk ke balik cahaya rembulan yang
menyinari kegelapan, namun secara lamat-lamat dia masih
sempat mendengar sumpah serapahnya.
"Kau memang betul-betul bukan manusia, kau adalah
binatang!" Siau Lui menyeringai sinis, suara tertawanya sangat
hambar, sahutnya, "Yaa, aku memang binatang!"
VI 55 Angin bertiup di atas mulut luka di atas dadanya, rasanya
sakit dan perih seperti disayat dengan pisau. Tapi Siau Lui
masih bisa membusungkan dadanya.
Ternyata ia masih bisa hidup, ternyata masih bisa berjalan
sambil membusungkan dadanya, hal ini memang merupakan
suatu kemukjijatan. Kekuatan apa yang telah menciptakan
kemukjijatan ini" Apakah cinta" Atau dendam kesumat" Atau
kepedihan hati" Atau rasa marah yang membara" Paling tidak,
semua kekuatan tersebut telah berperan dalam penciptaan
kemukjijatan ini. Dalam kuil Kwan-Im-bio masih tersisa cahaya lentera.
Dalam ruang suci Buddha memang selalu tergantung sebuah
lentera dengan cahaya api yang tak pernah padam.
Ia menerobos masuk ke dalam, memasuki hutan bambu di
depan kuil Kwan-Im, selamanya ia tak pernah percaya dengan
Buddha, hingga detik ini pun ia tak pernah mau percaya
dengan segala dewa, segala Sin-bin yang datang dari langit
maupun dari dalam bumi. Tapi sekarang, ia sangat butuh dengan suatu kekuatan
mukjijat yang dapat menunjang dirinya, sebab kalau tidak ia
pasti sudah roboh ke tanah.
Di kala seseorang berada dalam kesendirian, dalam
keadaan sebatang kara tanpa bantuan, seringkali ia berusaha
mencari suatu topangan untuk menunjang dirinya, sebab
kalau tidak begitu, ada banyak orang sudah roboh terkulai di
tanah. Di dalam halaman terbentang juga hutan bambu, lamatlamat
ia dapat melihat cahaya lentera yang memancar dari
balik ruang Buddha. Ia menerobos halaman itu, masuk ke
dalam ruang utama. Patung Kwan-im yang saleh dan anggun berdiri tepat di
tengah ruangan, patung yang bisa memberikan suasana
tenang dan damai bagi setiap orang yang memandangnya.
56 Ia maju ke depan altar dan menjatuhkan diri berlutut di
depan patung itu, selain terhadap orang tuanya, selama hidup
baru kali pertama ini ia berlutut di depan orang lain.
Ketika tubuhnya berlutut, tak tahan air matanya jatuh
berlinang, karena hanya dia sendiri yang tahu bahwa apa yang
didambakan dan diinginkannya selama ini mungkin tak pernah
bisa terwujud lagi untuk selamanya.
Sekalipun yang dia dambakan bukan harta kekayaan, juga
bukan keberuntungan, dia hanya berharap memperoleh
ketenangan batin saja. Walaupun sesungguhnya hanya itu saja yang bisa
dipersembahkan para dewa untuk umat manusia, tapi
baginya... selama hidup tak mungkin bisa didapatkan lagi.
Sepasang mata Kwan-lm Pouw-sat yang berada di atas
meja altar seakan-akan sedang mengawasinya. .. ia merasa
seolah-olah bukan hanya sepasang mata itu saja yang sedang
mengawasinya di tempat tersebut.
Tiba-tiba ia mulai merasa bergidik, suatu perasaan hawa
dingin yang sangat aneh muncul secara mendadak dari tulang
belakangnya, bukan yang pertama kali dia merasakan
perasaan seperti ini. Ketika masih berusia tujuh tahun, ia sudah pernah
merasakan perasaan seperti ini.
Waktu itu ada seekor ular berbisa yang merangkak secara
pelan-pelan dari balik semak di belakang tubuhnya, perlahanlahan
merayap menghampirinya. Waktu itu ia sama sekali tidak, melihat ular tersebut, juga
tidak mendengar setitik suarapun, tapi secara tiba-tiba ia
merasakan suatu perasaan ngeri yang sukan dilukiskan
dengan kata-kata, rasa! takut dan ngeri yang membuatnya!
hampir saja tak dapat menahan diril untuk berteriak dan
menangkis! keras-keras. Tapi ia memaksakan diri untuk menahan gejolak perasaan
itu, meski sekujur badannya sudah membeku! dingin lantaran
ketakutan, tapi ia tetap menggigit bibir menahan diril dia
tunggu hingga ular tersebul merayap naik di atas kakinya,
57 baru dengan sekuat tenaga mencengkeram titik kelemahan
ular tersebul dan mencekiknya kuat-kuat
Sejak peristiwa tersebut, beberapa kali ia pernah
mengalami ancaman marabahaya serupa, setiap kali ancaman
bahaya mulai menghampirinya, dia selalu akan merasakan
perasaan yang sama seperti saat ini.
Itulah sebabnya hingga kini ia masih tetap hidup.
Yang muncul kali ini bukan seekor ular berbisa tapi tiga
orang manusia, satu di antaranya yang memakai baju warna
abu-abu, jauh lebih menakutkan ketimbang ular berbisa.
Pekerjaan mereka yang utama adalah membunuh manusia,
membunuh manusia di tengah kegelapan malam,
menggunakan segala cara yang tak pernah kau bayangkan
sebelumnya untuk membunuh korbannya.
Entah di mana pun mereka munculkan diri, di situ selalu
muncul dengan satu tujuan yang sama, lalu mengapa mereka
muncul diri sini pada saat seperti ini"
Tiga pasang mata yang dingin menggidikkan hati
mengawasinya lekat-lekat, dari sorot mata tersebut seolaholah
mereka sudah menganggap dirinya hanya sesosok mayat,
sesosok bangkai yang kaku.
Siau Lui berusaha mengendurkan seluruh otot tubuhnya
berlagak santai, lalu sambil tertawa ia bertanya.
"Kedatangan kalian bertiga untuk membunuh aku?"
Dengan cepat manusia berbaju abu-abu itu bertukar
pandangan dengan rekan lainnya, lalu satu di antara mereka
menjawab. "Belum tentu!"
"Belum tentu?" Siau Lui mengernyitkan dahinya.
"Kami hanya minta kau balik."
"Minta aku balik" Balik ke mana?"
"Balik ke dalam ruangan di mana baru saja kau tinggalkan."
"Mau apa ke sana?"
"Menunggu seseorang."
"Siapa?" "Seseorang yang telah memberi uang."
"Memberi uang kepada kalian?"
58

Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ehm!" "Buat apa aku menunggu kedatangannya?"
"Untuk membunuhmu!"
"Dia ingin membunuhku dengan tangannya sendiri?"
Kembali Siau Lui mengerdipkan matanya berulang-kali.
"Kalau bukan begitu, kini kau sudah menjadi sesosok
mayat" Siau Lui tertawa. "Tapi... kenapa aku harus menunggu
orang lain datang membunuhku?" katanya.
"Karena kami yang menyuruh kau menunggu."
"Selama ini kau yakin bisa melaksanakan keinginanmu?"
"Selamanya begitu, apalagi menghadapi manusia macam
kau." "Kau tahu, manusia macam apa aku ini?"
"Semacam manusia yang satu tingkat lebih rendah
daripada diriku." "Oh ya?" Sorot mata manusia berbaju abu-abu itu makin dingin dan
menyeramkan, sepatah demi sepatah katanya lagi.
"Paling tidak aku tak pernah menghianati sahabat sendiri,
paling tidak aku tak pernah mencuri uang sebesar
delapanratus ribu tahil perak yang dititipkan sahabat karib
untuk dibawa kabur."
Tiba tiba Siau Lui tertawa terbahak-bahak, seakan-akan
baru saja ia mendengar satu cerita yang paling lucu di dunia
ini. Yaaa, kejadian ini memang teramat lucu.
Bukan yang pertama kali ini dia difitnah dan dituduh orang
secara semena-mena. Tapi ia tak pernah sudi memberi
penjelasan apapun di hadapan seseorang yang sama sekali
tak dipandang sebelah mata olehnya.
"Sekarang kau pasti sudah mengerti bukan, siapa yang
suruh kami datang mencarimu?" kembali manusia berbaju
abu-abu itu berkata dengan suara yang dingin dan menatap
wajahnya tajam-tajam. Siau Lui menggeleng. "Kau mau balik tidak?" kembali orang berbaju abu-abu itu
menegaskan. 59 Sekali lagi Siau Lui menggeleng.
"Jadi kau paksa kami untuk menggotong balik dirimu?"
hardik orang berbaju abu-abu itu.
Siau Lui masih terus mengeleng, hanya kali ini di kala ia
sedang menggeleng, secara tiba-hba badannya sudah melejit
ke depan, bagaikan anak panah yang baru terlepas dari
busurnya, dia meluncur ke arah manusia berbaju abu-abu
yang bicara paling banyak tadi.
Biasanya di kala seseorang sedang berbicara, titik
perhatiannya selalu akan terpencar, oleh sebab itu orang yang
berbicara paling banyak akan menjadi sasaran yang paling
baik bagi orang lain. Sebilah pedang tajam berada dalam
genggaman orang itu. Entah dikarenakan ia sudah terbiasa mengasah lidahnya
kelewat tajam hingga pedang yang berada dalam
genggamannya menjadi lamban, ketika Siau Lui sudah
menerjang sampai di hadapannya, ia baru menggerakkan
senjatanya. Di saat cahaya pedang berkelebat lewat, Siau Lui
sudah menerjang masuk ke balik cahaya senjata.
Ia sama sekali tidak mengepal tinjunya, luka golok yang
menyayat dadanya telah membuat dia kehilangan tenaga
untuk mengepalkan kembali tinjunya.
Namun terjangan tubuhnya bagaikan sebuah martil besi
yang sangat berat, menumbuk persis di dada orang itu keraskeras.
Cahaya pedang berkilau, namun senjata itu malah
terlepas dari genggamannya dan mencelat ke udara.
Tubuh orang itu terlempar ke arah rekannya yang lain.
Ketika masih di tengah udara, darah segar telah menyembur
keluar dari mulutnya, hingga sewaktu tubuhnya sudah terjatuh
kembali ke lantai, semburan darah segar itu persis jatuh
berhamburan di tubuhnya sendiri bagai percikan hujan gerimis
membasahi dadanya yang sudah melengkung gara gara
tumbukan tersebut. Darah segar membasahi juga tubuh Siau Lui. Gara-gara
tumbukan yang keras tadi, mulut luka di dadanya kembali
robek besar, tapi ia masih berusaha untuk berdiri tegak.
60 Dua bilah pedang telah menempel di tengkuknya, hawa
senjata yang dingin menggidikkan membuat bulu kuduknya
pada berdiri, rasa ngeri terlintas dipiikirannya.
Di kala kedua orang itu meluncur datang tadi, sebenarnya
ia mempunyai cukup waktu dan tenaga untuk berkelit,
melompat ke samping. Tapi sayang kekuatan yang tersisa itu sudah ikut mengucur
keluar bersama kucuran darah dari mulut lukanya, bahkan
tengkuknya juga mulai melelehkan darah segar.
Bahkan sekarang ia sudah dapat merasakan rasa sakit
akibat tusukan benda tajam yang menempel di tengkuknya
Sepasang Pedang Iblis 15 Pendekar Rajawali Sakti 49 Gelang Naga Soka Pelangi Di Majapahit 2

Cari Blog Ini