Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit Bagian 2
terlepas itu."
Orang tua bertubuh katai itu mengangguk dan cepat-cepat tinggalkan tempat itu.
Tapi dia tidak melakukan apa yang diperintahkan Patih Raganatha melainkan
mendahului Patih itu menuju Ruang Pemanjatan Doa.
Dalam Ruang Pemanjatan Doa, sang Prabu hanya ditemani oleh Pendeta Mayana.
Sang Prabu saat itu duduk di atas batu pualam putih yang mengeluarkan sinar
terang dalam ruangan yang redup itu. Keadaannya seperti orang yang kurang sadar.
Kedua matanya terpejam. Telapak tangan dirapatkan dan diluruskan di depan dada.
Mulutnya bregerak-gerak tapi tak ada suara yang keluar. Damar maklum sekali
keadaan sang Prabu seperti itu buakn karena dia tenggelam dalam kekhusyukan doa,
melainkan karena pengaruh minuman keras yang diteguknya terlalu banyak. Di atas
lantai di sekitarnya bertebaran tabung-tabung dari tanah tempat minuman keras
yang telah kosong.
Di sebelah belakang duduk bersila Pendeta Mayana. Ada dua tabung minuman di
sampingnya yang masih berada dalam keadaan penuh karena dia sama sekali tidak
menyentuhnya walaupun dalam upacara pemanjatan doa seperti itu meneguk minuman
keras memang diperkenankan.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Walaupun tidak membuka mata namun Pendeta Mayana sudah tahu siapa yang datang.
"Kau membawa kabar apa Damar?"
"Orang-orang Kediri membakar gudang senjata yang sebelumnya memang sudah kosong.
Mereka juga melepaskan kuda-kuda. Panglima..."
"Tunggu, saya mendengar langkah orang di luar sana. Ada yang datang,"
memotong Pendeta Mayana. Ketinggian ilmunya membuat dia mampu mendengar langkah
kaki orang yang masih jauh sekalipun.
"Pasti itu Patih Raganatha," kata Damar. "Saya tidak suka dia mengetahui kita
bicara di tempat ini."
"Kalau begitu lekas kita menyelinap ke balik tirai besar di sebelah kiri sana,"
kata Pendeta Mayana.
Kedua orang itu cepat bersembunyi ke balik tirai biru muda tebal yang ada di
dinding sebela kiri ruangan. Tak lama kemudian seseorang memasuki Ruang
Pemanjatan Doa.
Dia memang adalah Patih Raganatha. Sang Patih agak heran mendapatkan Sri Baginda
hanya sendirian di ruangan. Apalagi dilihatnya Sang Prabu berada dalam keadaan
kurang sadar. Mau tak mau dia harus bicara dengan Sang Prabu. Patih Raganatha
berlutut di samping Raja. "Sang Prabu, saya Patih Raganatha datang menghadap..."
"Kau berani mengganggu Raja yang sedang melakukan upacara keagamaan?"
sepasang mata Sri Baginda membuka sedikit. Kelihatan matanya agak merah kurang
tidur. "Mohon maafmu sang Prabu. Tapi ada berita penting yang harus saya sampaikan.
Gudang senjata dibakar dan ratusan kuda dilepaskan orang. Sama sekali tidak ada
kabar dari pasukan kita di Utara..."
"Semua laporan itu harus kau sampaikan pada Panglima, bukan padaku!"
"Saya tahu sang Prabu. Tapi Panglima tidak ada di Kotaraja saat ini. Dia berada
di Selatan tengah berembuk dengan beberapa Kepala Pasukan untuk menyusun rencana
perlindungan atas Kotaraja."
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Adalah tolol kalau dia hanya memikirkan perlindungan bagi Tumapel. Dia harus
turun tangan menyerbu musuh, sebelum musuh mendekati Tumapel!"
Patih Raganatha merasa heran mendengar ucapan Rajanya itu. Sebelumnya sang Prabu
sendiri yang menyetujui tindakan yang diambil Panglima yaitu hanya mengirim satu
kelompok kecil pasukan ke Utara. Kini mengapa dia baru bisa berpikir lebih baik
seperti ini"
"Paman Patih, apakah kau masih di sini?"
"Saya masih di sini sang Prabu. Saya mohon petunjuk sang Prabu," jawab Patih
Raganatha. "Kau kuperintahkan untuk mengambil alih tugas dan tanggung jawab Panglima
Argajaya..."
"Saya siap kalau begitu perintah sang Prabu. Kita masih belum tahu sampai
seberapa besar bahaya yang dihadapi Singosari. Namun untuk berjaga-jaga saya
mohon sang Prabu meninggalkan tempat ini dan bersembunyi di satu tempat yang
aman." "Bersembunyi?" sang Prabu tertawa panjang.
"Raja Singosari bersembunyi hanya karena ada gangguan dari serombongan tikustikus Kediri dan Madura" Jangan kau hinakan Rajamu sendiri, Mapatih!"
"Maafkan saya sang Prabu. Kalau sang Prabu ada usul lain demi keselamatan sang
Prabu, saya akan lakukan.."
"Usulku lekas tinggalkan tempat ini. Aku tidak akan pernah meninggalkan Ruangan
Pemanjatan Doa ini apapun yang terjadi!"
"Sang Prabu, keadaan sewaktu-waktu bisa berubah genting!" kata Patih Raganatha
pula. "Keluar dari tempat ini Paman Patih, lakukan apa yang tadi kuperintahkan! Aku
hanya minta agar seratus prajurit utama berjaga-jaga di luar."
Patih Raganatha menarik napas panjang. Perlahan-lahan dia berdiri, menjura
hormat lalu tinggalkan tempat itu.
Di balik tirai tebal Pendeta Mayana berbisik, "Damar, saya rasa keadaan sudah
mulai gawat. Saya tidak yakin Panglima Argajaya emnemui beberapa Kepala Pasukan
di Selatan untuk menyusun perlindungan atas Tumapel..."
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Saya juga merasa begitu Pendeta. Jika dia hendak melindungi Kotaraja, dia harus
memanggil semua Kepala Pasukan ke Kotaraja, bukannya dia yang harus pergi ke
sana. Sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Kau awasi gerak-gerik Dewi Maha Geni. Temui Raden Juwana, katakan agar dia
bersiap-siap mengungsikan empat puteri sang Prabu ke desa Tembang Sari dekat
Kudadu di percabangan Kali Brantas." Dari balik jubahnya Pendeta Mayana
mengeluarkan secarik kertas. Kertas ini diserahkannya pada Damar. "Berikan peta
ini pada Raden Juwana agar dia tidak tersesat."
Damar menyimpan peta kecil itu di balik pinggang pakaiannya. "Ada hal lain lagi
Pendeta?" tanya lelaki katai ini kemudian.
"Ya. Kau ingat pemuda gondrong bernama Wiro itu?"
"Saya ingat."
"Saat ini dia berada di sekitar tembok luar Keraton. Temui dia dan katakan
padanya agar menyiapkan seekor kuda yang kuat, menyamar sebagai tukang rumput
dan supaya menunggu di persimpangan jalan. Jangan pergi sebelum saya muncul. Nah
hanya itu Damar. Cepat pergi. Sebentar lagi pagi segera datang."
"Pendeta sendiri akan berada dimana dan akan berbuat apa?" tanya Damar.
"Ada sesuatu yang akan saya lakukan. Jika sudah selesai saya akan berada di
tempat ini menemani sang Prabu."
Damar tampak bimbang sebentar. Lalu dia bertanya.
"Bagaimana
dengan Sri Baginda sendiri" Apakah
kita tidak akan menyelamatkannya?"
"Keselamatan sang Prabu serahkan pada saya," jawab Pendeta Mayana pula.
"Kalau begitu saya minta diri sekarang."
"Pergilah. Hati-hati.."
*** BAB VII mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Apa yang dikhawatirkan orang-orang seperti Pendeta Mayana dan Damar serta Patih
Raganatha walaupun kekhawatiran sang Patih ini datangnya agak terlambat memang
beralasan. Pasukan musuh yang menyerbu di kawasan Utara jumlahnya memang tidak besar.
Tetapi mereka sempat memporak-porandakan pasukan Singosari di wilayah itu.
Katika bala bantuan yang dikirim Panglima Argajaya datang, pasukan musuh
berhasil dihantam hingga cerai berai di satu tempat tak jauh dari Candi
Sanggariti. Pasukan dalam jumlah besar yang kemudian dikirimkan oleh Patih Raganatha ke
Utara mambentuk tembok pertahanan guna melindungi Singosari. Namun satu hal
tidak pernah diduga oleh orang-orang Singosari. Serangan yang dilancarkan oleh
orang-orang Kediri yang dibantu oleh orang-orang Madura di kawasan Utara itu
ternyata hanyalah siasat tipu daya belaka. Selagi sebagian besar pasukan
Singosari bergerak menuju Utara, secara diam-diam satu gelombang gabungan
pasukan Kediri dan Madura yang luar biasa besarnya, bergerak menyusuri kaki
Gunung Penanggungan sebelah timur, terus menyusup ke kaki Gunung Welirang,
melewati bagian timur kaki Gunung Anjasmoro lalu mendekati Singosari dari arah
Selatan. Gerakan pasukan yang besar ini telah dilakukan jauh sebelum serbuan
pancingan dilakukan di Utara. Sehingga ketika pertempuran pecah di Utara, dua
hari kemudian pasukan musuh di Selatan sudah berava di pintu gerbang Selatan
membuat kaget pasukan Singosari yan berada di situ. Lebih mengejutkan lagi
karena di kepala pasukan kelihatan memimpin panglima Perang Argajaya. Lenyapnya
Sang Panglima sejak beberapa hari ini rupanya karena memang dia sudah menyusun
rencana pengkhianatan, menggabungkan pasukan yang dapat ditariknya dengan
pasukan Kediri-Madura yang datang dari Utara!
Saat itu matahari masih belum menyembul dari ufuk timur. Rombongan pasukan yang
siap menggempur Singosari bergerak laksana gelombang air laut. Di lapis kedua
barisan terdapat serombongan penabuh genderang dan peniup terompet. Mereka
bertugas memberikan semangat pada seluruh balatentara.
Di barisan terdepan di belakan pasukan panah kelihatan Panglima Argajaya. Dia
tidak mengenakan seragam pasukan Singosari melainkan berpakaian merah dengan
ikat kepala merah. Dia dikelilingi oleh enam orang bekas Kepala Pasukan
Singosari wilayah Selatan yang berhasil dibujuknya untuk ikut bergabung dengan
pasukan Kediri-Madura.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Dua puluh tombak di sebelah kiri Argajaya terlihat Adipati Wira Seta didampingi
pembantu utamanya yaitu pemuda berkepandaian tinggi bernama Gandita. Kedua orang
ini mengenakan pakaian perang lengkap dengan senjatanya. Seperti Argajaya
keduanya menunggangi kuda.
Penunggang kuda keempat yang bertindak selaku salah satu pimpinan pasukan
penyerang adalah Dewa Sedih. Orang tua ini seperti biasa selalu kelihatan murung
dan sesenggukan. Orang kelima yang menjadi tokoh di pihak penyerang adalah
seorang perempuan tua bertubuh jangkung, mengenakan jubah merah. Saosoknya
hampir tidak kelihatan karena terhalang oleh barisan berkuda yang ada di sebelah
depan. Perempuan tua ini bukan lain adalah Dewi Maha Geni yang seperti Panglima
Argajaya melakukan pengkhianatan, menyeberang ke pihak musuh. Yang tidak
kelihatan justru adalah Raden Adikatwang, pucuk pimnpinan tertinggi pasukan
musuh, yang berambisi ingin menjadi Raja di Raja penguasa Kediri dan Singosari.
Di pihak Singosari yang telah bersiap sedia menyambut serangan musuh di pintu
gerbang Selatan hanya dipimpin oleh beberapa Perwira Tinggi dan Perwira Muda.
Melihat pasukan musuh dipimpin oleh empat orang kawakan itu mau tak mau pihak
Singosari menjadi kendor nyali mereka. Namun apa mau dikata tugas mereka harus
siap mempertahankan kerajaan dengan darah dan nyawa.
Perlahan-lahan sang surya mulai muncul di Timur.
Genderang ditabuh keras. Terompet ditiup nyaring. Inilah satu pertanda bahwa
serangan segera dimulai. Laksana air bah pasukan Kediri-Madura bergerak cepat
menuju pintu gerbang Selatan. Pasukan panah sudah siap merentang busur. Saat
itulah tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda berpakaian perang. Ternyata dia
avalah Patih Raganatha.
Kedatangan Raganatha memberi semangat pada pasukan Kerajaan. Orang tua ini
muncul di pintu gerbang, mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah Argajaya.
Patih Singosari ini berusaha terus maju sampai ke luar pintu gerbang. Di satu
tempat dia hentikan kudanya.
Argajaya mengangkat tangan dan meneriakkan sesuatu.
Seluruh pasukan yang tengah bergerak itu berhenti dengan tiba-tiba.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Argajaya! Aku tidak mengira serendah ini budimu terhadap Sri Baginda Prabu dan
Singosari. Namun aku memberikan kesempatan. Kau masih punya waktu untuk kembali
bersama pasukanmu!"
Argajaya menyeringai. Dia balas berteriak. "Patih Singosari! Saat ini tidak
perlu kita bicara menyangkut segala macam budi! Aku tawarkan padamu untuk
bergabung bersama kami. Atau kau akan ikut kami sama ratakan dengan bumi
Singosari!"
"Pengkhianat busuk!" teriak Patih Raganatha marah. Tangan kirinya dihantamkan ke
depan. Selarik angin menderu menyambar ke arah Argajaya. Selagi Panglima
Singosari yang menyeberang ke pihak musuh itu menarik kudanya dan mengelak ke
samping, Raganatha angkat tangan kanannya. Tangan itu berubah menjadi panjang
sekali bercabang cabang. Inilah ilmu kesaktian
seratus gurita amuk. Argajaya tahu betul
kehebatan ilmu ini. Maka cepat-cepat dia menyingkirkan kudanya ke kiri sambil
balas menghantam dengan pukulan tangan kosong. Argajaya berlaku cerdik. Yang
dihantamnya adalah kuda tunggangan Patih Singosari itu.
Saat itu pula Argajaya mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke atas. Genderang
ditabuh gegap gempita.
Terompet ditiup memekakkan telinga. Pasukan menyerbu untuk kedua kalinya.
Dan sekali ini seperti tidak ada lagi yang sanggup menahannya. Setelah
menewaskan ratusan prajurit Singosari, pertahanan di pintu gerbang Selatan
bobol. Pasukan musuh membanjir. Patih Raganatha berteriak memberi semangat. Tangan
kanannya kini memegang sebilah golok panjang sedang tangan kiri terus menerus
melancarkan serangan seratus gurita mengamuk. Balasan prajurit lawan menjadi
korbannya. Namun pasukan musuh datang laksana air bah, menggulung apa saja yang
ada di hadapannya. Patih Raganatha tidak mampu mendekati Argajaya. Bahkan kini
dia terpaksa mundur terus dan keselamatannya terancam.
Di tengah-tengah perang bersosoh itu terdengar teriakan Argajaya."Patih
Singosari! Nyawamu akan selamat jika kau ikut dengan kami!"
Patih Raganatha menyambar sebilah tombak lalu dilemparkannya ke arah Argajaya.
Karena tidak menyangka akan diserang seperti itu, walau masih bisa berkelit
namun ujung tombak itu masih sempat menyambar kain merah ikatan kepalanya hingga
putus! mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Meskipun marah namun Argajaya tahu kalau ilmunya masih setingkat di bawah Patih
Raganatha. Maka dengan cerdik dia menoleh pada Dewa Sedih.
"Dewa Sedih! Bantu aku melenyapkan tua bangka buruk ini!"
Dewa Sedih keluarkan suara terisak lalu didahului oleh suara menggerung keras
tubuhnya berkelebat ke arah Raganatha. Saat itu pula Argajaya cabut golok
panjang yang mencantel di ikat pinggang besarnya lalu menarik tali kekang kuda
hingga binatang ini melompat mendekati Patih Raganatha. Dikeroyok dua serta
merta Patih Singosari ini terdesak hebat, sekalipun ada dua Perwira Tinggi yang
berusaha membantunya, Sang Patih akhirnya tewas secara mengenaskan.
Di bagian lain, ketika pasukan gabungan Kediri-Madura mulai menyerbu, sambil
mengeluarkan pekik keras nenek berjubah merah yaitu Dewi Maha Geni berkelebat ke
depan.
Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia bukannya menyerang pasukan Singosari namun melompati tembok tinggi.
Begitu sampai di dalam dia menggebuk kepala seorang Perwira Muda hingga rengkah
dan jatuh dari kudanya. Si nenek rampas kudanya lalu menghambur menuju ke arah
Timur yaitu dimana terletak kawasan Keraton.
Pagi itu kabar penyerbuan besar-besaran pasukan musuh di pintu gerbang Selatan
telah sampai di Keraton Tumapel.
Di salah satu bangunan yang sangat rahasia Pendeta Mayana keluar dengan
tergopoh-gopoh. Di tangannya ava dua buah kotak kayu. Yang pertama berisi
Mahkota Narasinga yakni mahkota lambang dan syahnya seorang menjadi Raja
Singosari. Kotak kedua yang agak kecil dan pipih di dalamnya terdapat Keris Saktipalapa,
juga merupakan salah satu benda pusaka sangat berharga, pendamping Mahkota
Narasinga. Pendeta ini mengambil jalan berputar dan muncul di sebuah pintu kecil di bagian
Barat tembok Keraton. Dua orang pengawal yang bertugas di situ memberi hormat
dan membiarkannya lewat. Di luar tembok Pendeta Mayana melangkah cepat menuju
persimpangan jalan. Dia mengharapkan pemuda itu sudah menunggu di sana. Tetapi
ketika dia sampai di persimpangan tak seorangpun dilihatnya di tempat itu. Sang
Pendeta mulai khawatir. Serombongan prajurit berkuda lewat di jalan dengan
cepat. Pendeta Mayana memandang berkeliling. Hatinya lega ketika di depan sana
ada seorang mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
bercaping terbungkuk-bungkuk memikul dua keranjang berisi rumput. Di belakangnya
mengikuti seekor kuda coklat.
Pendeta Mayana cepat mendekati tukang pikul rumput itu. Dua buah kotak yang
dibawanya dimasukkan ke dalam keranjang seraya berkata."Lekas tinggalkan
Kotaraja. Bergabung denganRaden Juwana dan empat puteri Sri Baginda di desa Tembang Sari.
Ingat, dua kotak berisi benda pusaka dalam keranjang itu adalah mati hidupnya
Kerajaan Singosari. Jaga baik-baik.."
"Akan saya pertahankan dengan darah nyawasaya," jawab Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Saya harus kembali ke Keraton untuk menyelamatkan Sang Prabu," kata Pendeta
Mayana lalu pergi meninggalkan Wiro.
Murid Sinto Gendeng cepat naik ke atas punggung kuda.
Tapi belum sempat dia menarik tali kekang binatang itu tiba-tiba ada bayangan
merah berkelebat di depannya disertai menyambarnya hawa panas. Memandang ke
depan Wiro melihat nenek berjubah merah yang pernah ditemuinya sebelumnya dan
disangkanya adalah seorang pengemis. Dewi Maha Geni! Dari Pendeta Mayana Wiro
suvah mendapat keterangan siapa adanya nenek bermata dan berlidah api ini.
Dia bersikap berpura-pura ramah tapi penuh waspada.
"Ah, sobatku nenek canti jelita bermata seperti Bintang Timur. Apakah kali ini
kau muncul hendak mengemis lagi" Atau ingin menotokku sekali lagi"!"
Dewi Maha Geni menyeringai. Dari mulutnya keluar suara menggerendeng. Lalu
perempuan tua yang sakti ini berkata dengan suara keras.
"Jangan berlaku seperti pemuda merayu janda!"
Wiro Sableng batuk-batuk beberapa kali. "Harap maafkan kelancanganku. Aku tidak
tahu kalau kau seorang janda!"
Sepasang mata Dewi Maha Geni menyorot marah laksana api. Lidahnya dijulurkan
membasahi bibirnya dan lagi-lagi Wiro melihat lidah itu seperti lidah api.
"Sebetulnya aku sudah bosan jadi pengemis. Tapi sekali ini tidak ada salahnya.
Lekas kau serahkan padaku keranjang berisi rumput yang kau cantelkan di leher
kuda itu!"
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Ah, jadi dia sudah tahu apa isi keranjang ini, membatin Wiro. Kalau perempuan
tua beralis dan berambut merah ini suvah berkata begitu berarti dia tidak mainmain. Tahu betul tingkat kepandaian si nenek maka Wiro siapkan pukulan sinar matahari
di tangan kiri dan tangan kanan siap mencabut Kapak Maut Naga Geni 212
yang tersisip di pinggangnya. Namun selintas pikiran muncul dalam benaknya.
Kalau dia mampu menipu nenek ini mengapa tivak dicobanya"
Daripada harus melakukan baku hantam!
"Kalau kau tidak mau serahkan keranjang itu, kau bisa ganti dengan menyerahkan
jantungmu!" si nenek membentak marah.
Pendekar 212 pura-pura ketakutan tapi masih coba bergurau.
Nenek, aku tidak tahu kau senang rerumputan. Kalau kau memang doyan lalapan
rumput silahkan ambil keranjang ini!" lalu dengan tangan kirinya Wiro lepaskan
keranjang yang dicantelkannya pada tali di leher kuda. Namun tumit kaki kanannya
yang dialiri tenaga dalam tanpa terlihat oleh Dewi Maha Geni ditusukkannya ke
tulang rusuk kuda. Binatang ini meringkik kesakitan dan mengangkat kedua kaki
depannya tinggi-tinggi. Wiro pura-pura jungkir balik jatuh ke tanah.
Keranjang rumput yang hendak diserahkannya jatuh bergelindingan dan bertabrakan
dengan keranjang rumput yang satu lagi yang masih ada di tepi jalan. Kedua
keranjang itu sama-sama terguling dan sama-sama bergelindingan. Wiro mengejar
dan menangkap salah satu dari dua keranjang itu.
Lalu dilemparkannya ke arah Dewi Maha Geni.
"Ini keranjang yang kau minta Nek! Ambillah!" ujar Wiro.
Nenek bermata api segera menyambuti keranjang yang dilemparkan. Merasa bahwa
keranjang itu memang keranjang yang tadi berada di atas kuda maka Dewi Maha Geni
cepat tinggalkan tempat itu. Setelah si nenek menghilang di kejauhan Wiro
tertawa gelak-gelak. Diambilnya keranjang yang masih tergeletak di tengah jalan
dan cepat-cepat dicantelkannya ke tali leher kuda. Lalu murid Eyang Sinto
Gendeng ini menggebrak kuda tunggangannya. Binatang ini menghambur ke depan. Di
atasnya Wiro tak henti-hentinya tertawa karena berhasil menipu nenek tadi,
menyerahkan keranjang yang hanya berisi rumput, tidak berisi dua buah kotak kayu
benda pusaka Keraton Singosari itu!
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Kita tinggalkan dulu Pendekar 212 yang berhasil mengelabui Dewi Maha Geni.
Kita menuju ke dalam kawasan Keraton. Sesuai dengan nasihat Pendeta Mayana maka
Raden Juwana mengumpulkan keempat puteri Sang Prabu. Agar tidak mencurigakan
mereka dinaikkan ke atas empat kereta mayat. Sekitar seratus orang prajurit
terpercaya tanpa pakaian seragam mengawal empat kereta jenazah itu. Untuk
mengelabui, enam orang perempuan disewa mengikuti perjalanan. Tugas mereka
adalah pura-pura menangis bila berpapasan dengan orang lain. Sehingga orang
menyangka bahwa rombongan yang lewat itu adalah benar-benar rombongan duka yang
membawa empat jenazah yang akan disembahyangkan di satu tempat. Di sebelah muka
menunggangi kuda Raden Juwana.
Dalam rombongan terdapat si katai Damar dan empat Perwira Muda. Mereka tidak
menempuh jalan umum tapi melewati perbukitan dan hutan belantara di Timur Laut
Tumapel. Meskipun jarak perjalanan menjadi tambah jauh namun terasa lebih aman.
Di satu tempat Raden Juwana yang merasa was-was atas keselamatan calon mertuanya
yaitu Sri Baginda berbalik kembali menuju Tumapel. Dia berpesan kepada Damar dan
Perwira-Perwira kepercayaan agar terus bergerak menuju Kudadu. Bila sang Prabu
sudah diselamatkan dia akan segera menyusul.
Sementara itu di Ruang Pemanjatan Doa, Pendeta Mayana telah mendampingi Sang
Prabu melakukan upacara keagamaan. Di luar seratus pengawal berjaga-jaga. Bagi
Pendeta Mayana apalah artinya jumlah seratus prajurit itu jika nanti ribuan
pasukan musuh berhasil menerobos benteng pertahanan Singosari di Selatan lalu
menyerbu Keraton. Apalagi kalau orang-orang berkepandaian tinggi seperti si
pengkhianat Argajaya dan Dewi Maha Geni muncul di tempat itu, pasti keselamatan
nyawa Sang Prabu tidak akan tertolong.
Belum lama Pendeta Mayana berpikir seperti itu, seorang prajurit tiba-tiba masuk
ke dalam memberikan laporan. Prajurit ini jatuhkan diri ke lantai, bersujud
beberapa lamanya kemudian baru duduk bersila di hadapan Sang Prabu dan Pendeta
Mayana dengan wajah pucat.
"Ada apa Prajurit?" tanya Pendeta Mayana sedang Sang Prabu hanya memandang
dengan lirikan matanya. Raja Singosari ini masih berada dalam pengaruh minuman
keras. "Pasukan Singosari tidak sanggup mempertahankan pintu gerbang Selatan.
Balatentara musuh berhasil menjebol pintu gerbang dan saat ini tengah membanjir
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
memasuki Kotaraja! Panglima Argajaya ternyata berpihak pada mereka dan ikut
memimpin pasukan musuh!"
Pendeta Mayana mengelus dadanya sendiri. Musuh cukup cerdik. Mereka sengaja
mengirimkan pasukan kecil menyerbu kawasan Utara, padahal mereka sebenarnya
tengah menyelinapkan pasukan besar di bagian Selatan Tumapel!
Wajah sang Pendeta nampak muram. Sebenarnya dia sudah maklum bahwa suatu saat
orang-orang Kediri di bawah pimpinan Adikatwang yang sudah dianggap Raja oleh
pengikutnya, dibantu orang-orang Madura di bawah pimpinan Wira Seta akan
melakukan penyerbuan. Namun dia sama sekali tidak mengira hal itu terjadi
demikian cepatnya.
"Prajurit," kata Pendeta Mayana. "Lekas kembali ke induk pasukanmu..."
Prajurit itu merunduk khidmat. Lalu cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Dia
tidak pernah kembali ke induk pasukannya tetapi menghambur bersama kudanya
menuju ke Barat yaitu ke arah Jombang. Baginya kembali ke pasukan sama saja
dengan menyerahkan nyawa pada pemberontak.
Pendeta Mayana bangkit dari duduknya lalu melangkah ke tempat Prabu Kertanegara
duduk pejamkan mata. Dalam keadaan biasa tidak mungkin Pendeta Mayana akan
berani mengganggu sang Prabu. Namu saat itu keadaan sudah sangat gawat. Dia
harus memberi tahu Prabu Kertanegara. "Sang Prabu...," kata Pendeta Mayana.
Kertanegara tetap tak bergerak dalam duduknya. Mukanya tampak merah akibat
pengaruh minuman keras.
"Sang Prabu!" memanggil kembali Pendeta Mayana. Sekali ini dengan suara lebih
keras. Ketika dilihatnya kedua mata Kertanegara bergerak tanda dia mendengar
panggilan tadi maka Pendeta Mayana meneruskan ucapannya dengan suara keras.
"Kita harus meninggalkan tempat ini dengan segera Sang Prabu! Balatentara musuh
telah memasuki Tumapel..."
"Kau takut pada orang-orang Kediri dan orang-orang Madura itu, Pendeta Mayana?"
"Tidak ada yang saya takutkan di dunia ini sang Prabu, kecuali terhadap para
Dewa..." "Kalau begitu ikuti aku memuja dan berdoa pada Dewata."
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Sang Prabu, maafkan saya. Doa bisa dilakukan kemudian. Yang penting saat ini
sang Prabu harus menyelamatkan diri. Ikuti saya. Saya tahu jalan rahasia yang
bisa membawa kita keluar dari kawasan Keraton dan sampai di sebuah rimba
belantara."
Sang Prabu berpaling, memandang menyeringai pada Pendeta Mayana.
"Lupakan apa yang ada dalam pikiranmu Pendeta Mayana. Lebih baik kau pimpin
upacara berdoa ini. Kita berada di tempat suci. Para Dewa akan melindungi kita.
Balatentara musuh tidak akan dapat menyerbu ke tempat ini!
Kita punya pasukan besar dan setia serta berani. Kita punya orang gagah seperti
Panglima Argajaya, Dewi Maha Geni, serta belasan Perwira."
"Panglima Argajaya telah berkhianat. Dia menyeberang ke pihak penyerbu. Dewi
Maha Geni saya yakin juga melakukan hal yang sama," mejelaskan Pendeta Mayana.
Kening sang Prabu tampak mengerenyit tapi dia tidak berkata apa-apa.
"Sang Prabu, waktu kita hanya tinggal sedikit. Lekas ikuti saya...!"
"Kalau kau mau pergi, pergilah sendiri. Aku akan tetap di sini. Jangan ganggu
aku lebih lama!" Sang Prabu lalu mencabut keris yang tersisip di pinggangnya dan
meletakkan senjata ini di atas meja kecil di hadapannya.
Keris itu adalah senjata sakti, termasuk salah satu pusaka Kerajaan.
Dalam keavaan sang Prabu seperti itu akan sulit bagi Pendeta Mayana untuk
membujuknya. Sementara itu di luar terdengar sorak sorai gegap gempita disusul
suara beradunya senjata. Pendeta Mayana mengintai dari balik kisi-kisi di
dinding. Dia melihat banyak sekali pasukan musuh mengurung dan menghantam
seratus prajurit yang melindungi Raja. Bagaimanapu seratus prajurit itu
mempertahankan diri namun jumlah lawan banyak sekali.
Pendeta Mayana berpaling pada sang Prabu. Saat itu dilihatnya sang Prabu tengah
meneguk minuman keras dari dalam sebuah tabung bambu. Tak ada jalan lain.
Sang Pendeta segera mendekati Rajanya. Begitu berdekatan dengan cepat ditariknya
lalu dipanggulnya di bahu kiri.
Namun pertolongan yang dilakukan oleh Pendeta Mayana sia-sia saja. Saat itu
puluhan prajurit lawan telah menyerbu masuk ke ruangan itu. Kebanyakan dari
mereka segera mengenali sang Prabu dan Pendeta Mayana.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Tidak menunggu lebih lama puluhan prajurit segera memburu kedua orang itu dengan
senjata masing-masing. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara membentak.
"Tahan! Raja Singosari itu punya hutang padaku! Aku yang akan menghabisinya!"
Lalu terdengar suara ringkikan kuda disusul ada suara angin menyambar dan tahutahu seekor kuda hitam besar sudah berada dalam ruangan itu. Di atas punggungnya
duduk seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun berpakaian sederhana.
Rambutnya yang hitam digulung di atas kepala. Di pihak musuh, suara itu tidak
asing lagi. Mereka segera batalkan serangan lalu bergerak mundur tapi tetap
dalam keadaan mengurung.
Melihat tidak ava jalan untuk lari, perlahan-lahan Pendeta Mayana turunkan tubuh
sang Prabu yang didukungnya. Raja Singosari ini tegak terhuyung-huyung setengah
tidak sadar, bersandar ke dinding. Di hadapannya saat itu Pendeta Mayana melihat
Adikatwang penguasa Gelang-Gelang di Kediri duduk di atas punggung kuda sambil
memegang sebilah pedang. Di bagian lain sang Pendeta melihat Panglima Argajaya
berdiri diantara para prajurit penyerbu.
"Sri Baginda yang mengakui sebagai Prabu dan Raja Singosari!" tiba-tiba suara
Adikatwang menggeledek di ruangan itu. "Belasan tahun lalu kau membunuh ayahku.
Kini puteranya akan menuntut balas! Bersiaplah menerima kematianmu!"
Habis berkata keras begitu Adikatwang melompat dari kudanya. Namun gerakannya
disongsong oleh Pendeta Mayana.
"Adikatwang manusia tidak berbudi!" bentak Pendeta Mayana. "Ini balasanmu
terhadap Sang Prabu yang telah mengampuni jiwamu dan memberikan kedudukan tinggi
di Gelang-Gelang...!"
"Pendeta Mayana! Kau tidak masuk dalam daftar manusia-manusia Singosari yang
harus disingkirkan. Tapi jika kau tidak segera minggat dari hadapanku, kau akan
kubunuh saat ini juga!"
Diancam seperti itu Pendeta Mayana ganti tertawa dan menjawab. "Kau bodoh!
Seharusnya kau masukkan aku dalam daftar orang-orang yang harus kau bunuh! Aku
bukan penveta yang berpantang membunuh demi menyelamatkan Singosari dan Sang
Prabu Raja syah kerajaan ini!"
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Pendeta Mayana tutup ucapannya vengan menghantamkan kedua tangannya ke depan
sekaligus! Dua gelombang angin menderu. Adikatwang tidak berlaku ayal. Dia sudah
lama tahu kalau Pendeta Mayana bukan Cuma seorang pendeta agama biasa, tetapi
seorang yang memiliki kesaktian tinggi. Cepat-cepat Adikatwang menyingkir dengan
melompat kek kiri. Dua gelombang angin menyambar lewat di sampingnya.
Saat itu juga terdengar pekik jerit kematian sembilan orang prajurit yang
terkena hantaman pukulan Pendeta Mayana.
Adikatwang cepat berpaling pada Panglima Argajaya dan berkata: "Dimas Argajaya!
Aku tak ingin mengotorkan tangan membunuh manusia satu ini! Kau bereskan dia!"
Adikatwang lalu melompat menjauhi Pendeta Mayana namun terus berkelebat ke arah
Sang Prabu yang masih tegak tersandar ke dinding. Pedangnya menyambar. Pendeta
Mayana berteriak marah dan coba memburu Adikatwang. Namun gerakannya dihadang
oleh Argajaya yang melompat ke hadapannya dengan golok besar terhunus.
"Pengkhianat busuk terkutu!" teriak Pendeta Mayana.
Dengan tangan terpentang dia menerjang. Argajaya babatkan goloknya tapi
serangannya luput. Sebaliknya serangan Pendeta Mayana pun dapat dihindari oleh
Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Argajaya yang kemudian berteriak pada beberapa Perwira dan puluhan prajurit yang
ada di sekitarnya. Pendeta Mayana tak dapat menghindarkan diri vari keroyokan
begitu banyak lawan. Dengan mengandalkan tangan kosong dan pukulan-pukulan sakti
dia mampu merobohkan belasan lawan. Namun lebih banyak yang datang. Selagi dia
terdesak dan bertahan mati-matian di bagian lain didengarnya suara jeritan Sang
Prabu. Pendeta Mayana yang telah menderita beberapa luka di tubuhnya berpaling ke arah
suara jeritan itu. Lalu terdengar Pendeta ini meraung ketika melihat apa yang
terjadi. Adikatwang tegak menyeringai memegang pedang yang berlumuran darah. Di depannya,
tersandar ke dinding sang Prabu berdiri megap-megam sambil pegangi perutnya yang
berlumuran darah akibat tusukan pedang Adikatwang.
"Manusia iblis! Biadab!" teriak Pendeta Mayana. Dia melompat ke arah Adikatwang
dan menghantam dengan seluruh tenaga dalamnya yang ada. Namun vari samping
Panglima Argajaya memotong gerakannya dengan sambaran golok besar.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Hantaman Pendeta Mayana memang berhasil membunuh seorang Perwira Kediri dan
delapan prajurit musuh. Namun tangannya tidak dapat diselamatkan dari tabasan
golok yang dibabatkan Argajaya. Tangan kanan itu putus. Darah memancur. Selagi
Pendeta Mayana terhuyung menahan sakit, golok di tangan Argajaya bergerak
menusuk lambung pendeta itu.
"Ananta!" tiba-tiba terdengar seseorang menjerit menyebut nama asli Pendeta
Mayana. Lalu terdengar suara berdesing. Tiga buah benda aneh memancarkan warna
berkilau melesat dalam Ruangan Pemanjatan Doa. Di lain kejap terdengar jeritan
Panglima Singosari yang berkhianat itu. Sebuah senjata berupa tusuk kundai
terbuat dari perak menancap di keningnya. Dua buah lainnya menancap di lehernya!
Sekujur tubuh Argajaya nampak bergetar. Dia seperti menahan rasa sakit yang luar
biasa. Lalu terdengar jeritannya sekali lagi. Tubuhnya kemudian terbanting ke
lantai, menggeliat beberapa kali akhirnya meregang nyawa dengan mata membeliak
dan lidah mencelet. Seluruh muka dan lehernya sampai ke dada tampak berubah
menjadi seputih kapur! Mengerikan untuk dipandang.
Selagi semua orang geger melihat apa yang terjadi, satu sosok berkelebat laksana
bayangan. Orang ini menyambar tubuh Pendeta Mayana lalu memanggulnya. Belasan
prajurit dan beberapa orang Perwira berusaha menangkap atau menghantamnya dengan
senjata. Orang yang memanggul tubuh Pendeta Mayana membuat dua kali gerakan.
Enam orang prajurit roboh, seorang Perwira langsung meregang nyawa dengan kepala
pecah. Lalu laksana ada kilat yang menyambar, di ruangan itu terdengar suara
letusan keras disertai menghamparnya hawa panas dari suatu sinar yang
menyilaukan. Ruangan Pemanjatan Doa tergoncang seperti dilanda gempa. Dinding,
langit-langit dan lantai ruangan berderak.
"Lekas tinggalkan tempat ini!" terdengar teriakan Adikatwang. Lalu pimpinan
pemberontak ini melompat ke arah pintu. Beberapa orang mengikutinya. Yang lain
tidak sempat menyelamatkan diri. Ruangan Pemanjatan Doa itu runtuh dengan suara
bergemuruh. Sekitar enam puluh orang terkubur hidup-hidup di dalamnya, belum
terhitung belasan mayat termasuk jenazah Sang Prabu dan Panglima pengkhianat
yaitu Argajaya.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Selamat dari tertimbun ruangan yang runtuh wajah Adikatwang nampak pucat di
balik debu reruntuhan bangunan.
Dia memandang berkeliling. Namun dia tidak melihat lagi bayangan orang yang tadi
melarikan tubuh Pendeta Mayana.
*** BAB VIII Pendeta Mayana tahu kalau dirinya dipanggul dan dilarikan laksana kilat. Namun
dia tidak tahu siapa yang melarikannya itu. Dibukanya kedua matanya.
Pemandangannya berkunang dan kabur. Dia melihat wajah itu tapi sangat samarsamar. Lalu dia ingat kejadian di Ruangan Pemanjatan Doa. Saat itu dia dalam
keadaan luka. Tangan kanannya buntung. Lalu perutnya ditembus golok Argajaya.
Saat itu dia mendengar ava seseornag berteriak menyebut namanya. Bukan
memanggilnya sebagai Pendeta atau Mayana tapi menyebut nama aslinya yaitu
Ananta! Suara teriakan itu jelas suara perempuan. Jika ada seorang perempuan
yang tahu nama aslinya maka hanya satu orangnya yaitu nenek sakti Sinto Gendeng
alias Sinto Weni.
Dalam keadaan luka parah seperti itu Pendeta Mayana alisan Ananta Wirajaya coba
mengerahkan tenaga dalamnya. Lama dan perlahan sekali akhirnya dia mampu
memandang sedikit lebih jelas. Wajah itu. Wajah orang yang mendukungnya. Wajah
seorang nenek berkulit hitam keriput dan cekung. Memang dia!
"Sinto Weni, betul kakukah ini yang memanggul dan melarikanku...?"
terdengar suara menjawab tersendat. "Jangan bicara dulu Ananta. Lukamu parah
sekali. Aku tidak yakin bisa menyelamatkanmu..."
"Kau telah menyelamatkanku. Aku berterima kasih. Bawa aku ke tempat yang teduh
Sinto. Aku ingin bicara banyak hal denganmu disana. Aku.. aku ingin mati bahagia
dalam pelukanmu."
"Jangan bicara begitu Ananta! Jangan bicara lagi atau aku terpaksa menotok jalan
suaramu..."
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Ananta diam tapi tersenyum. "Bawalah aku kemana kau suka Sinto. Kali ini jangan
kau tinggalkan lagi diriku..."
Sinto Weni tidak dapat menahan air mata yang membuat kedua matanya berkaca-kaca.
Dia mendengar apa yang diminta Ananta Wirajaya. Dia tahu mungkin itu adalah
permintaannya yang terakhir. Karena itu Sinto Weni membawa Ananta Wirajaya yang
dipanggulnya menuju sebuah puncak bukit kecil yang teduh dimana tumbuh pepohonan
rindang dan kembang-kembang liar warna-warni.
Hati-hati sekali nenek sakti itu membaringkan Ananta di atas rerumputan. Pendeta
ini berusaha membuka kedua matanya lebih besar agar dia dapat melihat orang yang
dikasihinya itu lebih jelas. Lalu terdengar suaranya berbisik. "Sinto...Aku
ingin mati di dalam pelukanmu. Peluk diriku Sinto..."
Betapapun kerasnya hati nenek sakti ini dia tetap seorang perempuan yang punya
hati dan sentuhan rasa. Dia membungkuk dan menangis terisak-isak lalu memeluk
tubuh Ananta. "Boleh...boleh aku melihat wajahmu untuk terakhir kali Sinto...?"
Sinto Weni melepas kulit tipis yang selama puluhan tahun menutupi wajahnya.
Kelihatan kini satu wajah putih yang keriputan tapi masih membayangkan
kecantikan di masa muda.
Dengan tangan kirinya Ananta Wirajaya berusaha membelai wajah orang yang
dikasihinya itu tapi tangannya hilang kekuatan dan jatuh. Saat itu pula
terdengar suara tercekik halus di tenggorokannya. Kepala lelaki itu terkulai.
Sinto Weni menjerit keras dan memeluk tubuh yang sudah tidak bernapas itu. Air
matanya membasahi wajah Ananta ketika dia menciumi lelaki itu sejadi-jadinya.
"Aku mengasihimu Ananta. Hanya kau seorang yang benar-benar mendapat tempat di
hatiku. Aku ingin ikut bersamamu Ananta..." Ratapan Sinto Weni yang menyayat
hati itu hanya disambut oleh suara hembusan angin di puncak bukit.
"Ananta! Aku bersumpah membalaskan kematianmu!" kata Sinto Weni diantara suara
isakannya. *** mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Kejatuhan Kraton Tumapel dan runtuhnya Kerajaan Singosari tidak dapat dielakkan
lagi. Apalagi kalau tewasnya Sri Baginda Prabu sudah tersebar luas. Di tengah
berkecamuknya pertempuran di sekitar Kotaraja, seorang mata-mata membawa kabar
kepada Adipati Sumenep Wira Seta. Kabar ini kemudian diteruskan Wira Seta kepada
pembantu utamanya yaitu pemuda berkepandaian tinggi bernama Gandita.
"Bawa tigaratus prajurit. Kejar rombongan itu! Ingat jika apa yang dikatakan
mata-mata memang benar jangan biarkan seorangpun hidup!"
Gandita mengangguk lalu cepat memisahkan diri keluar dari pertempuran. Tak lama
kemudian kelihatan dia membawa satu rombongan besar pasukan terdiri dari tiga
ratus prajurit gabungan Kediri-Madura. Rombongan berkuda ini bergerak
meninggalkan Kotaraja ke arah Timur Laut. Menjelang rembang petang, setelah
melewati satu jalan memintas Gandita dan pasukannya berhasil mencapai sebuah
bukit kecil. Memandang ke bawah mereka melihat satu rombongan sekitar seratus
orang berkuda membawa empat kereta jenazah. Rombongan ini bukan lain adalah
rombongan yang telah berusaha menyelamatkan empat puteri sang Prabu. Mereka
tidak pernah menyangka kalau pihak musuh telah mengetahui rahasia besar yang ada
dalam rombongan itu. Yang lebih mengenaskan ialah saat itu setelah ditinggalkan
oleh Raden Juwana yang hendak menyelamatkan rombongan tidak memiliki lagi
seorang berkepandaian tinggi kecuali lelaki katai bernama Damar.
Dari atas bukit Gandita membawa turun pasukannya ke sebuah jalan menikung.
Pasukan bergerak melebar dan begitu sampai di tikungan kembali merapat membentuk
japitan. Ketika rombongan yang membawa empat kereta jenazah sampai di tikungan
jalan serat merta mereka berada dalam kepungan rapat. Dari atas kudanya Gandita
memanvang berkeliling. Ada empat kereta jenazah. Dikawal oleh hampir seratus
orang berpakaian biasa. Di bagian depan kereta ada satu atau dua orang perempuan
yang bermata merah tanda banyak menangis.
"Siapa pimpinan rombongan ini"!" teriak Gandita sambil tekankan tangan kanan ke
hulu golok yang terselip di pinggangnya.
Orang tua bernama Damar mengangkat tangannya dan menjawab. "Aku pimpinan
rombongan yang tengah berduka ini!"
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Hemmmm..manusia katai. Aku pernah melihatmu. Kau bekerja di Keraton.
Sebagai perawat kuda-kuda Kerajaan! Betul! Memang kau orangnya!"
"Dugaanmu tidak meleset!" jawab Damar.
"Rombonganmu ini dari mana dan mau kemana?"
"Ini adalah rombongan berduka. Empat orang kerabat kami menemui ajal karena
penyakit sampar. Kami akan mengurus upacara pemakaman mereka di muara Kali Mas."
"Begitu?" ujar Gandita sambil menyeringai. "Aku mau periksa kereta jenazah itu
satu per satu!"
"Kalian manusia-manusia tidak tahu peradatan! Berani mengganggu orang yang
sedang berduka! Kalau kalian adalah prajurit-prajurit pemberontak mengapa jauhjauh berada di sini menghadang kami" Bukankah kalian ingin merebut tahta
Kerajaan Sang Prabu" Pergialh ke Tumapel! Bertempur disana!"
"Manusia katai! Cakapmu banyak amat! Bawa rombonganmu meninggalkan tempat ini.
Empat kereta jenazah tetap di sini!"
"Aku meminta kaulah yang harus segera meninggalkan tempat ini! Pergilah mencari
mampus di Tumapel!"
Kesabaran Gandita habis sudah. Dia memberi isyarat pada pasukannya. Tiga ratus
prajurit menyerbu seratus lawan yang telah terkurung rapat. Si katai Damar yang
sadar tidak bisa berbuat banyak menyelamatkan empat kereta jenazah berisi
puteri-puteri sang Prabu memutuskan untuk berjibaku. Tubuhnya melesat dari
punggung kuda. Enam prajurit yang berusaha menghantamnya dengan berbagai senjata
terpental. Dua roboh tak berkutik lagi, empat terjengkang jatuh ke tanah.
"Hemm... Si katai ini rupanya bukan tukang kuda biasa! Aku mau lihat sampai
dimana kehebatannya!" habis berkata begitu Gandita majukan kudanya lalu lepaskan
pukulan tangan kosong ke arah Damar. Orang tua ini memang memiliki kepandaian
tidak rendah. Tapi dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki Gandita, pemuda itu
bukanlah lawannya. Setelah berhasil mengelakkan serangan pemuda ini dia tampak
mengeruk saku pakaiannya. Lalu terdengar suara berdesing. Tiga buah senjata
rahasia berbentuk paku hitam melesat ke arah kepala, dada dan perut Gandita.
Yang diserang cabut golok besarnya. Sesaat kemudian senjata itu berkelebat di
udara. Terdengar tiga kali suara berdentangan. Tiga paku terbang yang
dilemparkan mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Damar runtuh ke tanah. Satu diantaranya menghantam leher seorang prajurit Kediri
hingga dia tewas saat itu juga!
Golok di tangan Gandita berkelebat ganas kian kemari. Namun ternyata tidak
gampang baginya untuk dapat membacok atau menusuk lawan pendek yang mampu
bergerak cepat kian kemari. Apalagi saat itu Gandita masih tetap berada di atas
kuda tunggangannya. Sebelum dia memutuskan untuk melompat turun, si katai Damar
berhasil menyelinap di bawah tubuh binatang itu dan memukul pecah kemaluan kuda
jantan ini. Diiringi ringkik setinggi langit kuda itu mengangkat kedua kakinya tinggitinggi, membuat Gandita terpental. Meskipun dia sanggup jatuh ke tanah dengan
kedua kaki lebih dahulu namun amarah si pemuda sudah tak terkendalikan lagi.
Tubuhnya berkelebat ke depan. Goloknya berubah jadi bayang-bayang yang
mengeluarkan suara bersiuran. Di samping itu Gandita telah pula memberi isyarat
pada anak buahnya. Sepuluh orang prajurit bergabung dengannya menyerang Damar.
Empat prajurit berhasil dirobohkan Damar, namun lebih banyak lagi yang datang
mengeroyok. Si katai tua ini hanya mampu bertahan enam jurus. Dengan tubuh penuh
luka dia bersandar ke roda salah satu kereta jenazah. Dalam keadaan tak berdaya
dia harus menerima tusukan golok Gandita di perutnya!
Seratus prajurit yang setia pada Kerajaan bertahan mati-matian menyelamatkan
empat puteri Sang Prabu yang ada dalam empat kereta jenazah itu. Namun kekuatan
lawan yang tiga kali lebih besar tidak dapat dibendung. Apalagi setelah melihat
matinya Damar, mereka merasa tidak punya daya lagi. Dua belas prajurit dan
seorang Perwira yang masih hidup jatuhkan diri tanda menyerah. Tanpa ampun
Gandita memerintahkan pasukannya untuk memancung prajurit-prajurit dan Perwira
yang menyerah ini! Lalu dia melompat ke arah salah satu kereta jenazah. Dengan
kasar didorongnya dua orang perempuan yang duduk di depan kereta. Ketiga pintu
kereta dibuka, sepasang mata Gandita tampak membesar. Di dalam sana tampak
puteri bungsu sang Prabu duduk menyudut dengan wajah pucat pasi ketakutan. Di
tangan kanannya puteri ini memegang sebilah pisau.
"Kalau kau sentuh aku, aku akan bunuh diri!" mengancam Gayatri.
Gandita tersenyum. "Tidak ada seorangpun yang akan menyakitimu Raden Ayu
Gayatri." Tanpa ada yang tahu sebenarnya Gandita sudah sejak lama secara diamdiam mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
jatuh cinta terhadap puteri bungsu sang Prabu ini. Namun ketika diketahuinya ava
semacam hubungan rahasia antara puteri Keraton Singosari ini dengan Pendekar 212
Wiro Sableng yang sangat dibencinya itu, maka rasa cinta sepihak pembantu utama
Adipati Sumenep ini kini dikobari rasa benci, dendam dan itikad untuk menguasai
Gayatri secara keji. Kesempatan itu kini sudah ada di depan mata, di dalam
tangannya karena Sang Puteri berada dalam kekuasaannya. Dan saat itu malam
segera pula akan tiba. Pucuk dicinta ulam tiba!
"Apa yang kalian lakukan terhadap kami" Prabu Singosari akan memancung kepalamu
jika berani berlaku kurang ajar terhadapku!"
Gandita mengulurkan tangannya memegang paha Gayatri. Puteri bungsu sang Prabu
ini hunjamkan pisaunya ke tangan Gandita. Tapi si pemuda sepat menarik pulang
tangannya. "Raden Ayu Gayatri! Sejak saat ini tak perlu lagi menyebut-nyebut
nama Singosari. Kerajaan itu sudah runtuh! Musnah! Masih untung kalau Ayahandamu
dibiarkan hidup. Dengar, malam ini kau akan bersamaku. Kita akan berdua-dua...!"
"Mulutmu kotor! Otakmu keji!" teriak Gayatri marah sekali. Dia melompat dan
kembali menusukkan pisaunya ke arah Gandita. Tapi dengan cepat pemuda ini
merangkul pinggangnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan menotok dada
Gayatri hingga puteri Kerajaan ini tersentak dan kaku tak bisa bergerak lagi.
Gandita memanggul Gayatri di bahu kirinya.
Sementara itu ketika tiga kereta jenazah lainnya diperiksa dalam masing-masing
kereta memang ditemui ketiga puteri Raja Singosari.
"Kumpulkan ketiga puteri ini di satu tempat," perintah Gandita. "Puteri Gayatri
biar aku yang mengurus. Kita berkemah malam ini di sini. Kalian semua boleh
istirahat!"
"Tapi Raden," berkata seorang Prajurit Kepala.
"Bukankah Adipati Wira Seta meminta kita segera kembali ke Kotaraja begitu
urusan di sini selesai?"
Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sepasang mata Gandita membeliak. "Aku yang mengambil segala putusan dan
mengeluarkan perintah di sini!" bentak Gandita dengan mata melotot. "Jika kau
ingin pergi ke Kotaraja, lebih baik minggat sekarang-sekarang!"
Prajurit Kepala itu hanya bisa berdiam diri.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Gandita berpaling pada seorang pembantunya. "Siapkan sebuah kemah untukku di
bawah pohon sana! Dan dengar baik-baik! Kalau aku berada dalam kemah itu, jangan
ada yang berani mengganggu!"
Si pembantu mengangguk lalu bersama beberapa orang lainnya dia segera melakukan
apa yang diperintahkan Gandita. Membangun sebuah kemah untuk atasan mereka itu.
*** BAB IX Ketika Raden Juwana bersama empat pengiringnya memasuki Kotaraja dan sampai di
Keraton Tumapel, saat itu Ruang Pemanjatan Doa baru saja runtuh menimbun jenazah
Prabu Singosari dan Panglima pengkhianat Argajaya. Raden Adikatwang masih belum
sirna kejut dan kecutnya. Wajahnya masih tampak memucat. Para pengawal dan
pembantunya mengelilinginya. Kalau saja dia terlambat keluar dari ruangan tadi,
pasti dia akan ikut tertimbun hidup-hidup. Dalam tegak seperti tertegun
Adikatwang berpikir dan menduga-duga siapa adanya nenek sakti yang mampu
membunuh Argajaya dengan senjatanya berupa tiga buah tusuk konde perak lalu
menyambar dan menyelamatkan tubuh Pendeta Mayana yang terluka parah.
Selagi dia berpikir-pikir begitu tiba-tiba Adikatwang melihat kemunculan Raden
Juwana bersama empat pengiringnya. Adikatwang mengenali siapa adanya Raden
Juwana. Lebih dari itu dia tahu kalau Raden Juwana adalah calon menantu mendiang
Prabu Singosari, pemuda gagah yang akan dinikahkan dengan puteri sulung sang
Prabu yaitu Tribuana Tunggadewi.
"Manusia ini harus dilenyapkan! Kalau tidak bisa berbahaya!" membatin
Adikatwang. Dia memberi isyarat pada Adipati Wira Seta. Melihat isyarat
Adikatwang. Adipati Sumenep itu cepat mendatangi.
"Saya tahu apa yang ada di benak Kangmas Adi," kata Wira Seta pula.
"Kalau begitu kita bunuh dia sekarang juga!"
"Jangan, dia lebih berguna kalau dibiarkan hidup," jawab Wira Seta.
"Apa gerangan maksud Dimas?" bertanya Adikatwang.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
"Setelah sang Baginda dan Patih Raganatha tewas dia satu-satunya orang penting
dan berbobot di Singosari. Bukankah dia keturunan Raja besar Singosari pertama
yaitu Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa" Kalau dia tidak disingkirkan
sekarang, di kemudian hari bisa menjadi pangkal bahaya!"
"Apa yang Kangmas katakan itu betul. Tapi untuk sementara biar dia kita tangkap
hidup-hidup. Kita perlu beberapa keterangan penting dari dia." Wira Seta lebih
mendekat. Lalu berbisik ke telinga Adikatwang. "Orang kita memberi kabar bahwa dua pusaka
sangat berharga milik Keraton Singosari yaitu Mahkota Narasinga dan Keris
Saktipalapa tidak ditemui di tempat penyimpanan rahasianya!"
"Kurang ajar! Padahal dua benda pusaka itu sangat diperlukan syahnya aku menjadi
penguasa Singosari dan Kediri!" kata Adikatwang sambil mengepalkan tinjunya.
"Di samping itu saya mendengar kabar bahwa keempat puteri Sang Prabu lenyap
tanpa bekas. Diduga dia kabur bersama Pendeta Mayana, tapi ternyata Pendeta itu
berada dalam Ruangan Pemanjatan Doa. Walaupun seorang tak dikenal melarikan dan
menyelamatkan dirinya namun saat ini dia pasti sudah tewas karena luka-lukanya.
Nah, kalau pemuda itu kita tangkap hidup-hidup, saya yakin dia bisa memberi
keterangan dimana beradanya dua benda pusaka Keraton Singosari serta dimana pula
beradanya empat puteri Sri Baginda."
"Kalau begitu, saya setuju pada pendapat Dimas Wira Seta! Lekas gerakkan orang
kita untuk mengurung pemuda itu. Saya mendengar si Juwana ini membekal ilmu
kesaktian bernama geger guntur. Kita harus berhati-hati."
Adipati Wira Seta menyeringai. "Dia boleh punya seribu ilmu. Namun dia tidak
lebih seorang pemuda hijau yang tak punya apa-apa. Lagi pula masakan kita berdua
tidak bisa meringkusnya?"
Di lain pihak Raden Juwana telah pula melihat kedua orang musuh besar Singosari
itu. Meskipun dia belum dapat memastikan nasib Sang Prabu Baginda Raja namun
melihat runtuhnya Ruangan Pemanjatan Doa pemuda ini merasa sangat khawatir bahwa
sesuatu telah terjadi dengan Raja Singosari itu. Ketika dia meninggalkan Keraton
sebelumnya, sang Prabu berada di dalam ruangan itu. Kini ruangan itu dilihatnya
dalam keadaan runtuh porak poranda. Jangan-jangan sang Prabu tertimbun di
dalamnya! Walau hatinya bersikeras ingin menyelidiki namun menyadari bahaya yang
bakal dihadapinya mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
jika dia terus berada di situ maka Raden Juwana cepat mengajak para pengiringnya
meninggalkan tempat itu. Tapi terlambat. Puluhan prajurit telah mengurung
mereka. Lalu Adikatwang dan Wira Seta bergerak ke tengah lingkaran.
"Calon menantu sang Baginda yang malang!" menegur Adikatwang dengan seringai
pongah mengejek. "Calon mertuamu Prabu Singosari sudah jadi mayat di bawah puing
reruntuhan di sebelah sana! Patih Kerajaan sudah tewas! Kini tinggal kau seorang
diri. Jika kau mau menyerah secara baik-baik dan ikut bersama kami, tubuhmu akan
tetap utuh. Aku berjanji memberikan satu kedudukan yang lumayan untukmu. Tapi
kalau kau bertindak bodoh dan berani melawan, nyawamu tidak lebih berharga dari
sampah busuk! Nah, kau memilih madu atau minta racun"!"
"Manusia-manusia terkutuk! Pengkhianat busuk! Kalian menghidangkan racun!
Sekarang minumlah sendiri!" teriak Raden Juwana. Pemuda itu cabut pedangnya lalu
mendahului membuka serangan.
Ilmu pedang Raden Juwana memang hebat. Sekali dia membabatkan pedang, dua
prajurit yang mengurung roboh mandi darah. Empat prajurit musuh bergerak maju.
Keempatnya langsung tersungkur luka-luka. Sesaat para pengurung menjadi kecut.
Namun Adikatwang berteriak memberi semangat lalu bersama Wira Seta dia menyerbu
masuk ke kalangan pertempuran. Empat pengiring Raden Juwana merupakan korban
pertama kedua orang berkepandaian tinggi ini. Raden Juwana mengamuk dengan
pedang di tangan kanan sementara tangan kiri mulai melepas pukulan tangan kosong
mengandung aji kesaktian bernama
geger guntur. Setiap tangan itu dihantamkan terdengar suara dahsyat seperti
suara guntur. Lalu menyusul satu gelombang angin panas menyapu dengan ganas.
Belasan prajurit pengurung mencelat mental dan roboh berkaparan tanpa nyawa.
"Awas! Hati-hati Dimas!" teriak Adikatwang.
Bagaimanapun kehebatan ilmu pedang dan pukulan sakti yang dimiliki Raden Juwana,
dikurung ratusan prajurit serta menghadapi dua tokoh pemberontak berkepandaian
tinggi setelah mengamuk selama sebelas jurus, dalam satu gebrakan hebat pedang
di tangan Raden Juwana berhasil dibuat mental oleh hantaman golok Adikatwang.
Walau golok Adikatwang patah dua tapi jelas bahwa tingkat tenaga dalam pimpinan
pemberontak ini jauh lebih tinggi dari yang dimiliki Raden Juwana.
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Dalam keadaan tanpa senjata begitu rupa, Raden Juwana kini pergunakan kedua
tangannya untuk menebar maut dengan melepaskan pukulan-pukulan geger guntur.
Semua serangannya diarahkan pada Adikatwang yang dianggapnya sebagai biang racun
malapetaka dan gembing utama kaum pemberontak. Adikatwang yang sejak tadi telah
berlaku waspada sambut serangan Raden Juwana dengan mengangkat kedua tangannya
pula. Dari telapak tangan orang ini kelihatan sinar cahaya kebiru-biruan. Inilah
ilmu kesaktian andalan Adikatwang yang didapatnya dari seorang Resi di pantai
Selatan. Dia harus berpuasa dan merendam diri dalam lautan selama 40 hari untuk
mendapatkan ilmu kesaktian yang bernama gelombang hantu itu. Berbarengan dengan
terlihatnya sinar kebiruan maka menggemuruh suara seperti ombak sambungmenyambung serta deru angin seperti badai mengamuk. Suara seperti guntur yang
menyertai ilmu pukulan yang dilepaskan Raden Juwana tampak bergetar keras.
Mukanya menjadi pucat dan keningnya penuh dengan butir-butir keringat. Ketika
dia berusaha bertahan, di depannya Adikatwang dorongkan kedua tangannya. Sinar
biru pukulan gelombang hantu kelihatan berkilau terang. Saat itu pula Raden
Juwana merasakan dadanya seperti dihantam batu besar. Dari mulutnya meleleh
darah. Sadar bahaya maut yang bakal dihadapinya jika dia bersikeras melayani
kekuatan lawan maka Raden Juwana cepat jatuhkan diri ke tanah.
Ketika dia berusaha tegak dengan sempoyongan, dari belakang Wira Seta mendatangi
lalu menotok punggungnya dengan cepat hingga pemuda ini kaku tegang tak berkutik
lagi. Lima orang prajurit Kediri segera meringkusnya. Ketika hendak dinaikkan ke atas
seekor kuda Raden Juwana berpaling pada Adikatwang. "Aku tidak takut mati!
Mengapa kau tidak membunuhku saat ini juga"!"
Adikatwang menyeringai. "Bersabarlah sedikit anak muda. Akan datang saatnya aku
mengorek jantung dan hatimu!"
"Manusia pengkhianat busuk! Sang Prabu telah mengampuni nyawamu dan masih mau
memberikan kedudukan tinggi di Gelang-Gelang. Sekarang ini balasanmu
terhadapnya. Kau bukan manusia tapi iblis laknat! Terkutuk kau dan keturunanmu!"
Plaak! Tamparan Adikatwang meledak di muka Raden Juwana. Pipi kiri pemuda ini tampak
bengkak merah kebiruan. Bibirnya pecah mengeluarkan darah. Tapi di wajahnya
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
sedikitpun tidak ada tampak rasa takut. Malah dengan menyeringai sinis dia
mengangkat kepalanya lalu meludahi muka Adikatwang!
"Keparat rendah!" teriak Adikatwang. Dia menyambar golok seorang prajurit.
Sewaktu senjata itu hendak dipancungkannya ke leher Raden Juwana, Adipati Wira
Seta cepat menghalangi seraya berbisik. "Ingat rencana kita harus membiarkan
nafasnya berjalan."
Tubuh Adikatwang nampak bergetar menahan amarah. Golok di tangannya dibanting
hingga terhunjam masuk ke tanah sampai ke gagangnya. Dalam hati dia menyumpah.
"Aku akan menentukan cara matimu yang paling sengsara Juwana!"
*** BAB X Adikatwang duduk di singgasana milik Sri Baginda Singosari sambil tiada hentinya
tersenyum. Dia benar-benar telah mendapatkan apa yang diidamkannya, menumbangkan
Kerajaan Singosari, merebut tahta Sang Prabu, dan menjadi Raja di Raja di Kediri
dan Singosari. Di samping singgasana berdiri Adipati Sumenep Wira Seta. Semuanya tidak kalah
dengan Adikatwang yang kini tengah mabuk kepayang. Di sekelilingnya berdiri para
pembantu kepercayaannya yang lain, yang telah membantu perjuangannya meruntuhkan
Singosari dan menjadikannya sekarang seorang Raja besar. Beberapa orang Pendeta
Istana juga kelihatan berada di tempat itu dengan wajah muram tanda mereka
sebenarnya mendekam perasaan tidak enak. Tetapi sebagai pemuka agama mereka
hanya bisa pasrah.
Apa yang telah terjadi yaitu direbutnya tahta Kerajaan dan gugurnya sang Prabu
mungkin sudah menjadi suratan. "Saya sekarang menjadi Raja di seluruh kawasan
ini, Dimas Wira Seta!" kata Adikatwang sambil tertawa lebar.
"Memang itu tujuan kita Sri Baginda," jawab Wira Seta. "Saya mengucapkan
selamat!" "Kau boleh memilih jabatan apa yang kau inginkan, asalkan bukan jabatan Patih
Kerajaan..."
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
Paras Wira Seta berubah. "Kangmas Adikatwang, " katanya dengan suara agak
tercekat. Rasa tercekat membuat dia tidak lagi menyebut Adikatwang dengan
panggilan Sri Baginda. "Kangmas, sesuai perjanjian kita dalam perundingan
sebelum rencana ini kita jalankan, bukankah kau sudah mengatakan dan menyetujui
bahwa jabatan Patih adalah menjadi bagianku kalau Singosari berhasil
ditumbangkan. Apakah Kangmas lupa hal itu?"
"Tidak, tentu saja tidak Dimas Wira Seta."
"Kalau begitu mengapa..."
Adikatwang berdiri dari singgasana dan memegang bahu Wira Seta. "Saya tidak lupa
janji itu Dimas. Cuma berikan saya waktu. Untuk sementara jabatan itu akan
serahkan pada Rana Trijaya..."
"Adik Kangmas?"
"Ya, adik kandung saya..."
Paras Wira Seta berubah mengelam. "Jadi.."
"Dimas, jabatan Patih itu akan saya berikan pada Rana hanya untuk sementara.
Satu atau dua tahun saja. Setelah itu kau akan menggantikannya."
"Itu tidak ada dalam perjanjian kita Kangmas." Wira Seta semakin tidak enak.
"Memang benar. Maafkan kalau saat ini saya berubah pikiran. Bukan apa-apa.
Hanya sekadar untuk mengajar Rana dalam tatacara kehidupan berkerajaan.
Sementara itu Dimas bisa memilih jabatan apa saja. Panglima Balatentara
misalnya. Itu bukan jabatan rendah. Hampir setingkat dengan kedudukan Patih
Kerajaan." Adikatwang tersenyum.
Wira Seta menggeleng. "Saya tidak mengerti," jawabnya.
"Saya tidak menginginkan jabatan Panglima Balatentara itu."
"Kalau begitu masih tersedia jabatan lain. Kedudukan Dimas sebagai Adipati di
Madura tidak akan dikutik-kutik. Dimas tetap berkuasa di sana."
"Maafkan saya Kangmas. Saya merasa kurang sehat. Saya akan kembali dulu ke
perkemahan di tapal batas..."
"Dimas Wira Seta, jangan pergi dulu. Nanti malam pembicaraan kita lanjutkan.
Kita akan mengadakan pesta besar-besaran. Lagi pula Dimas harus menyaksikan satu
mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
acara sangat menarik yang sebentar lagi akan diadakan di halaman belakang
Keraton. Sesuai dengan usul Dimas sendiri... Ingat Raden Juwana yang sudah kita ringkus?"
Wira Seta mengangguk. Tapi dia sudah tidak tertarik lagi untuk bicara dengan
Adikatwang. Juga untuk menyaksikan apa yang bakal dilakukan Raja baru itu. Dia
merasa sangat terpukul dan sangat kecewa. Dia merasa tertipu ikut membantu
Adikatwang meruntuhkan Singosari, merebut tahta. Begitu tujuan tercapai
Adikatwang tidak menepati janjinya yaitu memberikan kedudukan Patih Kerajaan
padanya. "Maaf Kangmas, saya harus kembali ke tapal batas. Saya benar-benar merasa kurang
sehat..." kata Wira Seta. Lalu dia bergerak hendak melangkah.
"Tunggu dulu Dimas," ujar Adikatwang pula. "Saya tidak melihat Gandita pembantu
utamamu itu. Dimana dia?"
Semula Wira Seta hendak mengatakan bahwa dia telah memberikan tugas pada Gandita
untuk menguntit rombongan yang membawa empat kereta jenazah. Tetapi setelah
melihat keculasan Adikatwang, Wira Seta menjawab dengan angkat bahu. "Dia pasti
masih berada di salah satu medan pertempuran. Saya akan beri tahu jika Kangmas
ingin bertemu dia."
"Ya, malam ini dia harus menghadiri pesta. Dimas juga..."
Wira Seta tidak menyahut. Dia meninggalkan ruangan besar itu dengan langkah
cepat tetapi limbung.
Seorang pembantu menyodorkan sebuah tabung bambu berukir-ukir berisi minuman
keras pada Adikatwang. Penguasa baru Singosari ini meneguk seluruh isi tabung
sampai habis hingga wajahnya kelihatan merah padam.
Seorang Perwira Tinggi Kediri mendekatinya lalu membisikkan sesuatu. "Bagus!
Mari kita sama-sama ke halaman belakang..." Adikatwang memberi isyarat agar
semua orang yang ava di tempat itu mengikutinya. Namun tiba-tiba dari pintu
depan terdengar seorang berseru.
"Sri Baginda Adikatwang! Lihat apa yang aku bawa!"
Satu bayangan merah berkelebat. Sesaat kemudian di depan Adikatwang tampak
berdiri Dewi Maha Geni, si nenek yang menjadi kaki tangan utama Adikatwang dalam
penggulingan sang Prabu. Seperti diketahui sebelumnya nenek sakti ini adalah
pembantu Raja Singosari, seorang tokoh silat Istana. Dia berdiri di hadapan
Adikatwang membawa mercy13019@yahoo.com
Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Pelangi Di Majapahit
sebuah keranjang berisi rumput. Keranjang ini adalah keranjang yang dirampasnya
dari Pendekar 212 Wiro Sableng. Dewi Maha Geni meletakkan keranjang di lantai.
Lalu dia membongkar dan mengeluarkan rumput yang ada dalam keranjang.
Paras si nenek jadi berubah ketika keseluruhan rumput dikeluarkan tetapi dua
Perawan Lembah Wilis 16 Pendekar Rajawali Sakti 207 Kekasih Sang Pendekar Kelana Buana 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama