Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
hubunganya dengan pangeran itu dilakukan secara sembunyi dan pertemuan rahasia
yang diadakan hanya melalui kurir (utusan). Akan tetapi sekarang, setelah siasat
di hutan itu sekaligus mengangkat nama Bu-tong-pai, Pangeran Tang Sin Ong berani
datang secara berterang, bahkan sebelum berangkat pangeran itu menerima titipan
bingkisan hadiah yang dikirim oleh Yang Kui Hui sendiri melalui pangeran itu.
Tentu saja keadaan di Bu-tong-san seperti dalam pesta. Semua anak buah Bu-tongpai mengenakan pakaian baru dan rombongan tamu agung itu disambut dengan meriah
seperti sambutan terhadap seorang pengantin. Dengan penuh kehormatan para tamu agung
dijamu di ruangan yang lebar dari Bu-tong-pai, dan pesta pora diadakan diruangan yang
biasa dipergunakan untuk Lian-bu-thia (ruang belajar silat). Sambutan resmi dilakukan
dan pangeran menyerahkan bingkisan dari Yang Kui Hui dan menyerahkan pula bingkisan
dari dirinya sendiri kepada ketua Bu-tong-pai. Malam harinya, sebagai penghormatan
khusus, Pangeran Tang Sin Ong seorang diri dijamu oleh The Kwat Lin diruangan dalam dan
ketua ini ditemani oleh Kiam-mo Cai-li dan Bu Swi Nio! Dara ini setengah dipaksa
oleh subonya untuk menemaninya menjamu pangeran itu dan biarpun di dalam hatinya
Bu Swi Nio tidak setuju, namun dia tidak berani membantah. Pula, di dalam
hatinya dia ingin sekali mendengar
percakapan mereka yang tentu akan menyangkut pula keadaan kakaknya di kota raja.
Ketika pengeran ini dipersilahkan duduk menghadapi meja yang sudah penuh
hidangan, The Kwat Lin memperkenalkan Kiam-mo Cai-li Liok Si sebagai pemilik
istana Rawa Bangkai, dan memperkenalkan muridnya pula Bu Swi Nio sebagai
muridnya yang terkasih. Pangeran itu memandang Kiam-mo Cai-li dan Bu Swi Nio, lalu tertawa gembira dan
berkata, "Sungguh beruntung sekali Pangcu mendapatkan seorang pembantu seperti Liok Toanio ini
yang saya yakin tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan muridmu ini....aaihh... penerangan ini
menjadi makin bercahaya, suasana menjadi makin gembira dan segar, hidangan menjadi bertambah lezat.
Sungguh saya merasa.berbahagia sekali bahwa Nona Bu suka menemani saya makan
minum, untuk ini saya harus menghaturkan arak penghormatan sebagai tiga cawan!" Pangeran itu tentu saja tadinya sudah
diberitahu oleh Kwat Lin bahwa ketua ini hendak menghadiahkan muridnya
kepadanya. Maka begitu melihat Swi Nio yang masih amat muda dan cantik jelita itu, hati Sang Pangeran
sudah jatuh dan gairahnya sudah bernyala-nyala. Wajah Swi Nio menjadi merah
padam. Dia merasa malu sekali menyaksikan sikap dan mendengar kata-kata yang
penuh pujian ini. Dia tidak biasa berhadapan dengan pria seperti ini. Hatinya
berdebar tegang dan khawatir, akan tetapi untuk menolak, tentu saja dia tidak
berani. Sambil menunduk dan membisikan kata-kata terima ksih dia menerima tiga
cawa arak berturut-turut. Biarpun dia tidak biasa minum banyak arak, akan tetapi
terpaksa tiga cawan arak itu diminumnya tanpa banyak membantah. Melihat ini The
Kwat lin dan Kiam-mo Cai-li tertawa girang dan dari seberang meja, The Kwat Lin
mengedipkan sebelah matanya kepada Sang Pangeran.Tang Sin Ong mengerti akan
isyarat ini, maka dia lalu melepas seuntai kalung emas bertaburan permata yang
tergantung di lehernya, bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan yang
memegang kalung itu kepada Swi Nio
sambil berkata, "Nona Bu, kalung ini sama sekali tidak dapat mengimbangi
kecantikan Nona, akan tetapi karena pada saat ini yang ada pada saya hanya
kalung ini, maka sudilah Nona menerimanya sebagai tanda penghormatan saya kepada
seorang Nona secantik dewi!"
Bu Swi Nio terkejut sekali dan cepat dia menoleh kepada subonya. Menurutkan kata
hatinya, ingin dia menolak keras dan mencela sikap pangeran yang terlalu berani
itu. Akan tetapi dia melihat subonya mengangguk dan berkata, "Swi Nio, Pangeran
telah bermurah hati kepadamu, mengapa tidak lekas menerima dan menghaturkan terima kasih?"
Bu Swi Nio merasa terdesak dan dengan suara gemetar dia berkata, "Hamba....,
hamba...., tidak berani menerimanya....."
"Swi Nio....!" The Kwat Lin menegur
"Bu Swi Nio, mengapa kau menolak kemurahan hati Pangeran?" Kiam-mo Cai-li juga
ikut menegur. Pangeran Tang Sin Ong tertawa. "Ahh, tentu saja Nona Bu merasa
malu-malu, tidak seperti gadis-gadis yang haus akan harta benda. Hal ini malah
menonjolkan kecemerlangan watak seorang gadis yang cantik jelita dan gagah
perkasa! Nona, biarlah aku mengalungkan hadiah ini di lehermu." Berkata
demikian, Sang Pangeran lalu bangkit berdiri dan
mengalungkan kalung emas itu melingkari leher Swi Nio yang menundukan kepalanya.
Karena tak dapat menolak lagi dan kalung yang lebar itu sudah mengalungi
lehernya, dengan muka sebentar pucat, Swi Nio menjura, "Banyak terima kasih
hamba haturkan..." "Aaaahhh, jangan sungkan-sungkan." Dia tertawa, kedua orang
wanita sakti itupun tertawa dan mereka bergantian menyuguhkan arak kepada Sang
Pangeran dan juga Bu Swi Nio. "Muridku, karena pangeran telah bermurah hati
kepadamu, tidak saja menyuguhkan arak tetapi juga
menghadiahkan kalung, mengapa kau tidak bersikap sebagai seorang muridku yang
tahu aturan dan mengenal budi. Hayo cepat suguhkan tiga cawan kepada Pangeran sebagai
penghormatanmu!" Muka Swi Nio menjadi merah. Dia tidak membantah kebenaran
ucapan ini, maka secara terpaksa dia bangkit berdiri, dipandang oleh pangeran
yang tersenyum-senyum dan mengelus jenggotnya, menghampiri pangeran dan
menuangkan arak ke cawan Sang Pangeran dari guci emas. "Silahkan Paduka minum arak sebagai tanda
kehormatan hamba, Pangeran," kata Swi Nio dengan malu-malu. "Ha-ha-ha, terima
kasih, Nona. Akan tetapi, aku tidak mau minum kalau tidak aku temani. Hayo
untukmu juga secawan!"
Kembali Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li ikut membujuk dan terpaksa akhirnya Swi Nio
kembali minum tiga cawan arak bersama Sang Pangeran. Karena tidak biasa minum arak, kini diloloh
banyak arak yang diam-diam
telah dicampuri bubuk putih dilepas secara lihai oleh Kiam-mo Cai-li ke dalan
cawan gadis itu, akhirnya Swi Nio menjadi mabok. Dia mulai tersenyum dengan
lepas, memperlihatkan deretan gigi yang putih, dan mulai berani mengangkat muka memandang pangeran yang pandai bicara
itu.."Ha-ha-ha, setelah ditemani makan minum oleh Nona Bu, aku lupa semua wanita
di istanaku! Hemm, bagaimana aku dapat berpisah lagi darimu, Nona?" kata Pangeran itu. Mendengar
ini Swi Nio mengerutkan alisnya, akan tetapi karena kepalanya sudah pening dan
pandang matanya sudah berkunang, hanya sebentar saja dia merasa betapa kata-kata itu tidak pada
tempatnya dan dia hanya tersenyum! "Bu Swi Nio muridku yang baik. Pangeran telah
berkenan mencintaimu! Kau akan diambilnya sebagai selir yang tercinta. Cepat kau berlutut
dan haturkan terima kasih, muridku." Sepasang mata dara itu terbelalak. "Tidak....!
Ah, tidak......!" Terdengar suara pangeran, "Nona, kau cantik sekali.... kau gagah perkasa, aku
cinta padamu dan marilah kau ikut bersamaku ke kota ke kota raja. Kau akan
menjadi selirku yang paling tercinta, menjdi pengawal pribadiku...." "Tidak....!
Ahhh, tidak mau.... oughh.......!" Swi Nio yang tadinya bangkit berdiri serentak
itu, tiba-tiba terhuyung dan kembali menjatuhkan diri di atas bangku karena
melihat betapa kamar itu berpuatr-putar dan dia merasa seperti terayun-ayun.
Karena tidak tahan lagi, Swi Nio merebahkan kepalanya di atas kedua lengan yang
berada di atas meja, hanya menggoyang kepalanya tanda menolak. Terdengar olehnya
lapat-lapat suara gurunya, "Jangan bodoh, Swi Nio. Engkau akan menjadi seorang
nyonya Pangeran yan terhormat, dan di kota raja kau dapat bekerja sama dengan kakakmu........"
"aku tidak mau.... ah, tidak mau....." Swi Nio membuka matanya dan melihat wajah
yang dekat sekali dengan mukanya. Wajah Sang Pangeran Tang Sin Ong, wajah
seorang laki-laki yang cukup tampan gagah, akan tetapi sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya.
Dia merasa ngeri, takut dan akhirnya dia tidak ingat apa-apa lagi. Obat bubuk
yang dicampurkan di raknya oleh Kiam-mo Cai-li telah bekerja dengan baik, dia
tertidur dan tidak merasa apa-apa lagi.
Swi Nio mengeluh dan mengerang. Dia mimpi. Seolah-olah dia berada di dalam
sebuah perahu berdua saja bersama Pangeran Tang Sin Ong. Lalu perahu itu
diserang badai, terguling dan dia meronta-ronta hendak melawan gulungan ombak
yang menggelutnya. Namun dia merasa
tubuhnya lemas, dia terseret, tenggelam, gelagapan dan seluruh tubuhnya terasa
sakit-sakit, kepalanya pening. Sebentar dia timbul, lalu tenggelam lagi, dan
lapat-lapat dia mendengar suara Pangeran Tang Sin Ong yang menyatakan cinta
kasihnya. Jauh lewat tengah malam Swi Nio mengeluh dan merintih perlahan, lalu
membuka matanya Mimpi itu teringat lagi olehnya, membuat dia bergidik ngeri.
Untung hanya mimpi, pikirnya ketika dia membuka mata
mendapatkan dirinya, telah rebah di atas pembaringannya sendiri di dalam
kamarnya. "Ouh....!" Kepalanya masih pening sekali. Dia bangkit duduk dan hampir dia
menjerit kaget ketika melihat bahwa dia tidak berpakaian sama sekali! Dia
teringat bahwa dia menemani subonya, Kiam-mo Cai-li, dan Pangeran Tang Sin Ong
makan minum. Teringat betapa dia
terlalu banyak minum dan mabuk. Mengapa dia tahu-tahu berda di pembaringannya
tanpa pakaian" Dia memeriksa keadaan tubuhnya, melihat kalung yang masih bergantung di
lehernya, dan tiba-tiba tahulah dia akan semua yang telah terjadi atas dirinya!
"Keparat....!" Dia bangkit akan tetapi terguling lagi karena selain kepalanya pening sekali,
tubuhnya juga panas dan lemas seolah-olah kehabisan tenaga. Dia tidak tahu bahwa
itulah pengaruh obat bubuk, racun yang diminumnya bersama arak, yang membuat dia
pulas sehingga tidak dapat melawan ketika Pangeran Tang Sin Ong membawanya ke
dalam kamar dan menggagahinya.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka dari luar. Swi Nio menahan napas, mengambil
keputusan untuk mengerahkan seluruh tenaganya membunuh Pangeran itu. Dia sudah
maklum bahwa dirinya diperkosa Pangeran itu. "Selamat, muridku. Engkau telah menjadi isteri Pangeran! Besok Pangeran Tang Sin
Ong akan menjemputmu secara resmi membawanya ke kota raja sebagai selirnya
terkasih...." "Tidak sudi! Aku harus membunuhnya!" Swi Nio meloncat turun tanpa
mempedulikan tubuhnya yang telanjang bulat, kedua tanganya dikepal.
"Plak!" Swi Nio terlempar dan terbanting di atas pembaringannya lagi ketika kena
tamparan tangan gurunya.."Swi Nio, apa yang kauucapkan itu" Engkau suka sendiri melayani
Pangeran, engkau menerima kalungnya,
engkau tersenyum-senyum kepadanya. Setelah engkau dan dia bersenang-senang di
dalam kamar ini, semestinya aku mengutukmu. Akan tetapi aku sayang kepadamu, aku tidak
marah malah bersyukur bahwa engkau akan menjadi isteri muda seorang pangeran.
Dan sekarang kau hendak memberontak" Hendak membikin malu Gurumu" Kau mau membunuh
kekasihmu sendiri" Bocah setan tak kenal budi! Kalau tidak aku robah pendirianmu, aku sendiri yang
akan membunuhmu! Pikirkan ini baik-baik. Engkau sudah bukan perawan lagi, engkau
milik Pangeran Tang Sin Ong!" The Kwat Lin meninggalkan kamar itu dan membanting
keras-keras daun pintu kamar. Swi Nio menutupi mukanya dan menangis mengguguk.
Tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dengan terisak-isak dan jari-jari tangan gemetar dia
mengenakan pakaiannya yang bertumpuk di sudut pembaringan. Kepalanya masih pening dan
tenaganya habis. Tak mungkin dalam keadaan seperti itu dia melarikan diri. Tentu akan
mudak tertangkap kembali oleh gurunya. Melawan pun tidak mampu, apa lagi dia benarbenar merasa seperti tidak bertenaga lagi. Apa lagi hendak membunuh pangeran itu yang
selalu terkawal kuat! "Ta Tuhan....!" Dia menangis lagi sesenggukan. "Ayah.... Koko...., apa yang
harus kulakukan......?" Dia sudah ternoda. Mau atau tidak, dia harus menjadi
selir Pangeran itu. Dia tidak sudi! Lebih baik mati! Mati!! Ya, matilah jalan
satu-satunya, demikian pikiran yang ruwet itu mengambil. Dirabanya ikat
pinggangnya. Tidak, dia seorang gadis gagah perkasa, tidak semestinya mati
menggantung diri seperti wanita-wanita lemah. Dihampirinya
pedangnya yang tergantung di dinding. Biarpun tangannya gemetar dan tidak
bertenaga dipaksanya tangan itu mencabut pedangnya, lalu sambil memejamkan matanya, dia
mengayun pedang itu ke lehernya.
"Plakkkk!!" Lengan kanannya dipegang orang dan pedang itu dirampasnya. Tadinya
dia mengira bahwa subonya yang mencegahnya membuuh diri, maka dia terisak dan
membalik. Betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa yang mencegahnya membunuh diri itu
adalah seorang laki-laki muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya. Laki-laki ini
tersenyum, wajahnya cukup tampan dan membayangkan kegagahan. "Membunuh diri
bukan perbuatan seorang gagah." Bisik laki-laki itu. "Kalau sudah mati, mana
mungkin dapat menghilangkan penasaran" Kalau masih hidup, selalu terbuka harapan
untuk membalas dendam!" Ucapan ini menyadarkan Swi Nio. "Siapa kau....?"
"Ssssttt...., bisik pula laki-laki itu. "Aku seorang mata-mata yang dikirim oleh
Jenderal An Lu San. Nona, daripada engkau membunuh diri, mari kubantu kau keluar
dari tempat ini dan kau ikut bersamaku. Dengan bekerja untuk An-goanswe, kelak
kau berkesempatan untuk membalas kepada semua orang yang telah mendatangkan malapetaka ini kepadamu."
Seperti kilat masuknya pikiran ini ke dalam kepala Swi Nio. Mengapa tidak" Mati
bukan merupakan jalan yang memecahkan persoalan! Dia harus membalas kepada Pangeran
itu! Dan kini, dia dapat menduga bahwa dia tentu pingsan karena pengaruh obat dari
Kiam-mo Cai-li. Dia tahu bahwa wanita itu adalah seorang ahli tentang racun. Kini dia
mengerti semua. Dia sengaja dikorbankan oleh gurunya dan oleh wanita iblis itu, seperti seekor
domba yang sengaja dikorbankan menjadi mangsa serigala, Si Pangeran itu!
Dendamnya bertumpuk, kini terbuka jalan baginya, perlu apa mengambil jalan
pendek membunuh diri" "Baik, mari ikut aku...." bisiknya dan dengan berindapindap Swi Nio mengajak laki-laki itu melalui jalan rahasia dan akhirnya,
menjelang pagi, mereka berdua berhasil keluar dari tembok pagar Bu-tong-pai.
"Hai i....!!" tiba-tiba terdengar bentakan dan lima orang anggauta Bu-tong-pai
muncul dari tempat penjagaan tersembunyi. Akan tetapi ketika mereka melihat Swi
Nio, mereka terheran-heran, memandang kepada gadis itu lalu kepada orang asing
yang keluar dari jalan rahasia bersama murid utama ketua mereka. Malam itu
memang banyak datang tamu dari kota raja
yang ikut dalam rombongan Pangeran, maka mereka mengira bahwa tentu orang ini
adalah anggauta rombongan pula. Akan tetapi sepagi itu, masih gelap, apakah yang akan
dilakukan tamu ini bersama Swi Nio keluar dari Bu-tong-pai dengan diam-diam?"
Tiba-tiba terdengar teriakan berturut-turut dan lima orang itu roboh dan tewas
seketika. Mereka hanya mampu satu kali saja mengeluarkan teriakan karena tenggorokan mereka hampir
putus disambar jari-jari.yang amat kuat dari mata-mata itu yang bergerak dengan cepat
luar biasa menyerang mereka. Melihat
Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kelihaian orang itu, Swi Nio tercengang. Dia makin kagum. Kiranya mata-mata ini
bukan orang biasa dan andaikata ketahuan pun akan merupakan lawan tangguh,
sungguhpun tentu saja dia sangsi apakah orang ini akan mampu lolos kalau Kiam-mo
Cai-li dan subonya turun tangan.
"Mari cepat....!" Orang laki-laki itu berkata dan melihat keadaan Swi Nio yang
masih lemas, dia tanpa ragu-ragu lagi lalu menyambar tubuh gadis itu,
dipanggulnya dan berlarilah dia dengan amat cepatnya meninggalkan tempat yang
berbahaya baginya itu. Gadis bernama Liang-cu yang sebenarnya adalah penyamaran Bu Swi Liang, bekerja
di dalam istana sebagai pengawal pribadi Yang Kui Hui. Dia bertugas memikat hati
selir Kaisar yang cantik jelita ini. Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati
pemuda itu menyaksikan semua yang terjadi di dalam kamar Yang Kui Hui, melihat
selir yang cantik jelita itu beristirahat, mandi, berganti pakaian dan lain-lain
di depan matanya begitu saja karena dia dianggap wanita pula!
Betapa tersiksa hati orang muda ini hidup di antara wanita-wanita cantik, yaitu
para pelayan Yang Kui Hui. Di istana bagian puteri ini tidak ada prianya, karena
para thaikam yang bertugas di situ biarpun kelihatan seperti orang pria, namun
sesunguhnya tidak lagi dapat disebut sebagai pria. Swi Liang adalah seorang
pemuda yang sedang berkobar nafsunya karena Bu-tong-san dia diseret ke dalam
kekuasaan nafsu berahi oleh subonya sendiri. Sebagai seorang pemuda yang baru
gila berahi, kini berada ditengah-tengah para wanita cantik itu, tentu saja dia
tidak kuat bertahan terlalu lama. Untuk melakukan tugasnya memikat Yang Kui Hui,
dia belum berani karena kesempatanya belum tiba. Dia tidak berani bersikap kasar
dan membuka rahasia penyamarannya begitu saja. Karena sekali gagal, dia tentu
akan mati konyol. Akan tetapi untuk menunda lebih lama lagi menguasai nafsunya,
dia tidak sanggup! Akan tetapi, Swi Liang menahan gelora hatinya sedapat
mungkin. Dia harus bersabar menanti kesempatan baik. Tugasnya amat penting bagi
perjuangan subonya Sama sekali tidak boleh gagal karena taruhannya adalah
nyawanya. Pada suatu senja belasan hari kemudian Swi Liang
diperbolehkan mengaso karena malam itu kaisar akan mengunjungi selirnya yang
tercinta dan tempat itu penuh dengan pengawal-pengawal pribadi Kaisar sendiri.
Swi Liang lalu mengundurkan diri ke dalam kamarnya, sebuah kamar yang amat indah dan berdekatan
dengan kamar para pelayan utama atau pelayan pribadi selir Kaisar itu. Selagi
duduk melamun sendiri di dalam kamarnya, mencari akal bagaimana untuk memulai
tugasnya, merayu dan memikat Hati Yang Kui Hui, dia membayangkan keadaan selir itu dan
jantungnya berdebar penuh nafsu dan gairah. Selir itu memang cantik luar biasa,
dan ketika mandi atau bertukar pakaian, dia dapat menyaksikan seluruh bagian
tubuh yang padat dan amat
menggaerahkan itu. Pernah dia membantu pelayan menyelimutkan kain setelah selir
itu mandi dan jari-jari tangannyamenyentuh kulit yang halus, lunak, dan hangat, dan
tercium olehnya bau semerbak harum dari tibuh selir itu. Keharuman yang khas dan
alangkah jauh bedanya antara kecantikan dan tubuh indah selir itu dibandingkan
dengan subonya! "Enci Liang-cu! kenapa melamun saja?" Seorang gadis cantik
berbaju hijau menegurnya sambil tertawa-tawa, di belakangnya masuk pula seorang
gadis cantik berbaju merah. Mereka itu adalah dua orang pelayan pribadi Yang Kui
Hui, dua orang gadis cantik jelita yang genit-genit
"Ah, Enci Liang-cu orangnya pendiam amat sih, tidak mau bersendaugurau dengan
kami" Swi Liang tersenyum menekan jantungnya yang berdebar-debar dan menahan
matanya agar jangan terlalu melotot melahap kecantikan dua orang gadis itu.
"Ahh, aku lelah dan sedang beristirahat. Jarang ada kesempatan beristirahat
seperti ini...." kata Swi Liang. "Mari temani kami main thio-ki (kartu) di kamarku, Enci Liang-cu!" kata Si Baju
Hijau. "Ya, marilah, Enci Liang-cu. Tidak enak hanya bermain berdua. Marilah,
sambil kita berkenalan lebih erat lagi. Kenapa sih" Bukankah kita ini rekanrekan yang berkerja di sini?" kata Si Baju Merah sambil menarik tangan Swi
Liang. Tak dapat Swi Liang menolak karena hal ini mendatangkan kecurigaan apalagi
memang dia sudah rindu sekali akan sentuhan tangan wanita cantik setelah belasan hari berpisah
dari subonya. Kedua orang gadis itu tertawa-tawa, menggandeng kedua tangan Swi Liang dan membawanya
kedalam kamar Si Baju Hijau yang berbau harum. Sebuah meja bundar rendah telah dipersiapkan di tengah
kamar, di dekat.pembaringan di sekeliling meja itu terdapat tikar yang ditilami
kasur dan bantal. Selain kartu untuk main,
juga di atas meja terdapat seguci arak wangi dan cawan-cawan kecil, juga
beberapa macam kuih kering. "Duduklah, Enci Liang-cu. Mari kita, main-main. kau
bermalam saja di sini malam ini, ya?" Si Baju Hijauberkata sambil merangkul.
"Dan tubuhmu begini tegap dan kelihatan kuat, Enci Liang-cu," kata Si Baju Merah
memegang-megang lengan pemuda itu.
"Aihhh, tangan Enci Liang-cu kuat dan kasar!" kata Si Baju Merah menghelus
telapak tangan pemuda itu. Swi Liang menarik tangannya. "Aahh, aku sejak kecil
berlatih silat. Tentu saja aku seorang gadis yang kasar, mana bisa dibandingkan
dengan kalian yang halus mungil?"
"Hi-hik, kau terlalu memuji, Enci!" kata Si Baju Merah sambil mencubit paha Swi
Liang. "Kalau engkau menjadi seorang laki-laki, tentu tampan dan gagah, Enci Liang-cu!"
kata Si Baju Hilau. Dapat dibayangkan betapa tubuh Swi Liang terasa panas dingin
menghadapi godaan-godaan ini, maka cepat-cepat mengajak mereka bermain kartu,
karena kalau dilanjutkan godaan mereka itu, tentu dia takkan kuat lagi bertahan! Sudah timbul keinginan
keras di hatinya untuk merangkul dan mendekap mereka, menciumi bibir yang merah
dan lincah itu! "Eh, untuk apa arak ini?" katanya setelah Si Baju Merah menuangkan secawan arak
yang berbau wangi. "Hi-hik, bermain thioki tanpa taruhan tidak menyenangkan.
Siapa kalah harus menebus kekalahannya dengan minum secawan arak wangi!" kata Si
Baju Hijau. Meeka mulai bermain thioki sambil bercakap-cakap dan bersendau gurau, atau lebih
tepat lagi, kedua orang gadis itu yang bercakap-cakap dan bersendau gurau
sedangkan Swi Liang hanya mendengarkan dan kadang-kadang tersenyum saja. Karena
dia tidak ingin dilolohi arak sehingga rahasianya dapat terbuka, maka Swi Liang
bermain sungguh-sungguh sehingga dia jarang kalah dan yang kebagian minum arak
adalah kedua orang gadis itulah! Mereka bermain terus sampai menjelang tengah
malam dan akhirnya arak dalam guci kecil itu habis!
"Ahhh, hawanya panas sekali ....!" kata Si Baju Hijau.
"Bukan panas, hanya engkau terlalu banyak minum maka terasa panas, " kata Swi
Liang. "Hemm, mungkin... aihhh, gerahnya." Si Baju Hijau membuka kancing bajunya dan
mengebut-ngebut dengan kipas. Swi Liang menelan ludah, matanya memandang ke arah
dada yang hanya tertutup pakaian dalam yang tipis sehingga membayangkan tonjolan-tonjolan
yang memikat hati. Karena pandang matanya selalu tertarik ke arah dada Si Baju Hijau,
maka permainan Swi Liang menjadi kalut dan sekali ini dia kalah. Akan tetapi
arak telah habis! "Wah, Enci Liang-cu jarang kalah, sekarang telah kalah araknya habis. Mana dia
bisa menebus kekalahannya?" kata Si Baju Merah cemberut.
"Hi-hik, kalau arak habis dia harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Hijau.
"Hi-hi-hik, benar! Dia harus didenda dengan ciuman dan mulai sekarang,
taruhannya dirobah. karena
arak habis, siapa kalah harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Merah. Kedua
orang gadis itu dari kanan kiri lalu menyerbu dan mencium pipi Swi Liang dengan
hidung mereka. Swi Liang memejamkan kedua matanya! "Eh.... eh...., kalian ini bagaimana" Ihh...
malu, kan....?" katanya
gelagapan.."Enci Liang-cu, mengapa kau begitu kejam" Kita bertahun-tahun
dikurung di tempat ini dan hanya dapat
menyaksikan orang lain bermain cinta. Bertemu dengan pria pun merupakan hal yang
tak mungkin bagi kita. Apa salahnya di antara kita saling menghibur dan saling
mencumbu" Sekedar menghilangkan rindu......" kata Si Baju Merah.
Permainan dilanjutkan dan makin lama Swi Liang makin terseret oleh gelora nafsu
berahinya sendiri. Ketika dia menang dan harus mencium, dia tidak mencium
seperti biasa dengan hidung kepipi, melainkan mencium mulut dua orang gadis itu dengan mulutnya! Dua
orang gadis itu mengeluh dan balas mencium sehingga tanpa diperintah lagi permainan
kartu itu bubar dan dilanjutkan dengan permainan saling mencumbu, saling peluk
dan saling cium antara tiga orang itu! "Aihh, Enci Liang-cu.... kau hebat sekali ....." keluh Si
Baju Hijau. "Enci Liang-cu.... kalau saja engkau seorang pria....." bisik Si Baju Merah
"Kalian senang?" Swi Liang berkata, terengah-engah sedikit. "Matikanlah
lampunya, barangkali di dalam gelap aku akan dapat pian-hoa (bermain rupa)
menjadi pria, siapa tahu?"
Sambil terkekeh genit, Si Baju Hijau meniup pandam lampu di meja dan mereka
bertiga pindah ke pembaringan, melanjutkan permainan mereka yang mengasyikkan hati
mereka itu. Mereka merasa semakin bebas setelah keadaan di dalam kamar itu menjadi gelap,
mereka dapat mencurahkan seluruh nafsu mereka tanpa malu-malu lagi.
Tak lama kemudian terdengar jerit tertahan, disusul teriakan-teriakan yang lebih
menyerupai bisikan kaget bercampur girang, "Eh... kau...?"
"Hemm, diamlah sayang....." terdengar suara Swi Liang dan selanjutnya kamar itu
sunyi, tidak terdengar keras lagi sehingga kalau didengar dari luar kamar,
seolah-olah tiga orang "gadis"
itu sedang tidur pulas, padahal tentu saja keadaanya jauh dari pada itu, bahkan
sebaliknya. Menjelang pagi, terdengar suara Si Baju Hijau, suara yang berbisik dan agak
serak karena semalam tidak tidur rupanya, "...engkau.... setiap malam harus
menemani kami.... ya, koko yang baik?" "....harus, kalau tidak.... hemm, kami
akan melaporkan bahwa kau adalah seorang pria sejati......" bisik pula Si Baju
Merah dengan nada manja mengancam.
Sunyi mengikuti kata-kata bisikan itu, kemudian terdengar jerit tertahan dan tak
lama kemudian, tampak Swi Liang dalam pakaian seperti liang-cu, meloncat keluar dari
dalam kamar itu memondong tubuh dua orang pelayan itu yang sudah menjadi mayat! Dengan
tergesa-gesa Swi Liang membawa dua mayat itu ke kebun, menggali lubang, mengubur
dengan cepat sekali, kemudian kembali ke kamarnya dengan badan penuh keringat
dan muka pucat. Akan tetapi hatinya lega dan diam-diam dia menyesali
perbuatannya sendiri. Mengapa dia begitu lemah sehingga tidak dapat menahan diri
terjatuh ke dalam rayuan dua orang gadis cantik itu"
Dia terpaksa membunuh mereka, sungguhpun hal itu dilakukannya dengan perasaan
penuh penyesalan. Tugasnya lebih penting dan kalau sampai gagal, dia akan tewas, akan
mati konyol. Dengan membuka rahasianya kepada dua orang gadis itu, keadaannya tentu
saja terancam hebat. Belum apa-apa dua orang gadis itu telah "memerasnya" untuk
setiap malam melayani mereka dengan ancaman akan dibuka rahasianya! Tentu saja
dia terpaksa harus membunuh mereka demi keselamatan dirinya sendiri. Lenyapnya dua orang pelayan
itu hanya menimbulkan sedikit keributan di istana bagian puteri.
Betapapun juga, mereka itu hanyalah dua orang pelayan dan akhirnya Yang Kui Hui
hanya memerintahkan para pengawal untuk melakukan pengejaran karena dikira bahwa mereka itu tentu
melarikan diri, dan kalau
sampai dapat ditangkap agar supaya dijatuhi hukuman berat. Mengertilah kini Swi
Liang bahwa dia harus cepat-cepat turun tangan kalau tidak mau terjadi gangguan lain lagi. Mulailah
dia mendekati Yang Kui Hui,
membantu pada setiap kali ada kesempatan, membantu para pelayan yang memandikan
selir jelita itu, menggosok punggungnya, mengeringkan tubuhnya dan mengenakan pakaiannya. Bahkan
pada suatu malam, ketika Yang Kui Hui merebahkan diri seorang diri dengan mata merem melek
seperti seekor kucing.malas, ia mendekatinya, berlutut dan menggunakan tangannya
untuk memijit-mijit kaki selir itu dengan
perlahan, meniru perbuatan pelayan yang suka memijit tubuh selir itu. Jantungnya
berdebar keras sekali. Nafsu hatinya ditekannya keras sekali dia merasa betapa
api berahi telah membakar dadanya dan api itu menyala dari ujung jari tangannya
yang bersentuhan dengan kulit kaki yang halus lunak dan hangat.
"Ehhmmm...." Yang Kui Hui menggeliat seperti seekor kucing dan membuka sedikit
matanya untuk melihat siapa yang memijit kakinya. Matanya terbuka agak lebar dan
tersenyum. "Aihhh, kiranya engkau, Liang-cu" Engkau pandai pula memijit" Ahhhh, tanganmu
kuat sekali, nah, kaulanjutkanlah, tubuhku memang sedang pegal-pegal....." Dan
selir itu sudah memejamkan matanya kembali rebah terlentang di depan Swi Liang.
Pemuda itu melanjutkan pekerjaannya memijit betis mengendurkan urat yang kaku
dan pandang matanya melahap wajah yang menengadah itu. Betapa cantik jelitanya,
demikian rangsangan hatinya. Rambut yang hitam agak mengeriting itu terurai di atas
bantal, anak rambut yang melingkar-lingkar menghias dahi dan pelipis sampai ke
bawah telinga. Dahi yang melengkung halus sekali seperti lilin diraut, berkulit
putih bersih itu nampak makin putih terhias anak rambut yang menghitam dan
sepasang alis yang hitam sekali melengkuk seperti dilukis, melindungi mata yang
terpejam sehingga tampak bulu mata yang panjang. Bayangan bulu mata menggelapkan
pipi sebelah atas, menyembunyikan warna kemerahan yang
menyegarkan. Hidung yang mancung, dengan dua cuping hidung yang tipis, agak
bergerak terdorong napas yang keluar masuk, dan dibawah hidung itu, sepasang bibir yang
kemerahan dan agak basah, kelihatan menebal sebelah bawahnya karena selir itu
tersenyum, sebuah lesung pipit menghias di ujung mulut sebelah kiri. Manis dan cantik jelita!
Kemudian leher itu, dan dada itu, pinggang itu....! Swi Liang menelan ludahnya
berkali-kali dan jari-jari tangannya yang memijit kaki itu agak menggigil.
Agaknya Yang Kui Hui dapat merasakan tangan yang menggigil ini, maka dia membuka
sedikit matanya dan bertanya, "Ada apakah Liang-cu"
Tanganmu gemetar..." "Ahhh.... tidak apa-apa, hanya.... paduka demikian cantik
jelita..... hamba sampai merasa terharu memandangi Paduka....."
"Aihhh...., hi-hik, kau aneh, Liang-cu Coba kau tutup dan kunci pintu kamar itu,
dan beritahukan kepada penjaga di luar bahwa aku tidak ingin diganggu malam ini,
hendak beristirahat. Oya, suruh penghubung pelaporkan kepada Sri Baginda tidak datang
ke kamarku. Setelah itu, kautemani aku di sini, pijati tubuhku sampai aku tidur."
Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan gairah, Swi Liang mentaati perintah
itu. Setelah selesai dan dia sudah menutupkan dan memalang daun pintu sehingga mereka
hanya berdua saja di dalam kamar yang mewah dan harum itu, Swi Liang segera
berlutut lagi di depan pembaringan dan melanjutkan pekerjaannya memijit betis
yang berdaging gempal,
Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lunak, halus dan hangat itu. "Nanti dulu, Liang-cu. Coba kaubantu aku membuka
pakaian luarku. Setelah pintu ditutup, kamar ini menjadi agak panas...." kata
Yang Kui Hui sambil bangkit duduk di atas pembaringannya yang bertilam sutera
merah berkembang. Swi Liang tidak mampu menjawab karena merasa lehernya seperti tercekik. Dengan
jari-jari tangan gemetar dia membantu puteri itu membuka pakaian luarnya
sehingga kini Yang Kui Hui hanya memakai pakaian dalam yang amat tipis dan tembus pandang sehingga
terbayanglah lekuk lengkung yang amat menggairahkan. Begitu pakaian luarnya
dibuka, Swi Liang memejamkan mata sebentar sambil menarik napas panjang. Tercium
olehnya bau harum yang memabukan, keharuman yang membuat selir Kaisar itu terkenal sekali si
samping kecantikannya yang sukar dicari bandingnya. "Hi-hik... mengapa kau
seperti patung dan memejamkan matamu, Liangcu?" Suara terkekeh halus dan teguran
itu menyadarkan Swi Liang yang segera membuka matanya.
"Ampunkan hamba.... hamba.... silau, seolah-olah melihat bidadari turun dari
langit....".Selir Kaisar itu tertawa senang. "Aihh, kata-katamu seperti seorang
laki-laki saja! Hayo pijiti aku lagi dan
jangan bersikap seperti orang gila!"
Swi Liang segera melakukan perintah ini dengan penuh gairah. Jari-jari tangannya
kembali memijit betis dan paha, makin ke atas makin tersiksalah hatinya apalagi
mendengar puteri itu terkekeh kegelian. "Hi-hi-hik, kau begitu kuat, jari
tanganmu juga tegang dan kuat seperti tangan laki-laki membelai....!" Yang Kui
Hui membalikan tubuhnya dan kini rebah terlentang, karena pakaian dalam yang
tipis itu tersingkap membuat Swi Liang hampir tidak kuat
menahan lagi. Cahaya kemerahan dari lampu merah di dalam kamar membuat tubuh
yang membayang di balik pakaian tipis itu seolah-olah telanjang bulat di depannya!
"Nah kau pijiti pahaku, pegal-pegal rasanya. Akan tetapi jangan kuat-kuat,
perlahan saja, Liang-cu." Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati seorang pemuda
yang sudah menjadi lemah karena dikuasai nafsu berahi seperti Swi Liang
menghadapi Yang Kui Hui yang tanpa disengaja telah
menimbulkan godaan dan tantangan yang demikian menggairahkan hati pria. Namun
tentu saja Swi Liang tidak berani bertindak sembrono, dan sambil menguatkan hatinya
dan menundukan mukanya yang menjadi merah, menyembunyikan dadanya yang bergelombang
dengan menunduk dan menahan nafsunya yang memburu, dia memijit paha yang gempal
itu dan jari-jari tangannya seolah-olah bertemu langsung dengan kulit paha karena
hanya tertutup sutera tipis. Setiap sentuhan jarinya seolah-olah mendatangkan aliran
hawa panas yang menjalar naik ke dada dan kepala melalui lengannya. Makin lama
dia makin gelisah, tubuhnya panas dingin dan sama sekali dia tidak berani
memandang wajah puteri itu karen takut kalau-kalau Sang Puteri marah. Betapapun
nafsu berahi telah menyundul sampai ke
ubun-ubunnya, namun Swi Liang tidaklah demikian nekat untuk berani bertindak
kurang ajar, tidak berani melakukan langkah pertama dan hanya menanti uluran
tangan Sang Puteri, karena dia maklum bahwa sekali keliru bertindak tebusannya adalah nyawanya di
samping kegagalan tugasnya. "Kau memang aneh, Liang-cu. Benar kata-kata beberapa orang pelayan yang selama
ini tidak kau perhatikan. Sekarang baru aku melihat sendiri. Kau seorang gadis
yang aneh. Apakah seorang gadis kalau sudah mempelajari ilmu silat tinggi lalu
berubah sifatnya, menjadi kejantan-jantanan" Kau patut menjadi seorang lakilaki. Suaramu agak berat, gerak-gerikmu kaku, tanganmu kuat dan kasar, dan
pandang matamu..... hemmm..... engkau seolah-olah
hedak menelanku bulat-bulat setiap kali kau melihatku! Hi-hik, aku sampai merasa
sungkan dan malu!" Swi Liang terkejut sekali, akan tetapi sambil membungkuk rendah dia berkata dan
berusaha sedapatnya untuk meningikan nada suaranya, "Harap Paduka ampunkan semua
kekurangan hamba." "Ah, tidak apa-apa, Liang-cu. Engkau sudah berjasa besar,
dan....hem..... keadaanmu yang kejantan-jantanan itu bukanlah hal yang tidak
menyenangkan. Sayang sekali, kau
seorang wanita dan sifat kejantananmu hanya karena kau seorang gadis kang-ouw
yang berkepandaian silat tinggi. kalau engkau seorang pria sejati, hi-hik, betapa
lucunya...... tentu akan lebih menyenangkan hatiku....." Seketika terhenti jarijari tangan yang tadi menari-nari dan memijiti paha kenyal itu. Jantung Swi
Liang seperti berhenti berdetak mendengar ucapan Sang Puteri, kemudian berdebardebar dengan kerasnya sehingga suara detak jantungnya
memasuki kedua telinganya dengan amat nyaring. Kesempatan baik telah terbuka!
Selir jelita ini telah membuka rahasia hatinya! Begitu menantang, seperti
setangkai bunga yang tinggal memetik saja, tinggal mengulur tangan dan akan
terpenuhilah kedua cita-citanya, yaitu menikmati tubuh yang telah membuat
tergila-gila ini dan sekaligus menyempurnakan tugasnya memikat hati Yang Kui Hui
demi suksesnya siasat yang sedang dilakukan oleh
subonya! Tiba-tiba Swi Liang berlutut dan menempelkan dahinya di lantai dekat
pembaringan. "Hamba.... hamba rela mengorbankan nyawa demi Paduka, dan hamba siap sedia
melalukan apa saja untuk menyenangkan hati Paduka. Akan hamba lakukan dengan
taruhan nyawa dan hamba siap menanti perintah Paduka...."
Hi-hik, Liang-cu. Engkau memang aneh. Betapapun juga, mana mungkin engkau
menjadi laki-laki sejati?"."Kalau Paduka kehendaki, pasti dapat terjadi.
Perintah Paduka merupakan keputusan bagi hamba, seperti
perintah dari langit."
Yang Kui Hui menjadi terheran-heran dan bangkit duduk, membiarkan pakaian
dalamnya tersingkap lebar, tidak hanya pada pahanya, akan tetapi juga pada pundaknya
sehingga setengah dadanya tampak jelas, putih halus membusung. "Apa....,apa maksudmu,
Liang-cu?" "Hamba telah mempelajari ilmu kesaktian dari Subo, sehingga kalau Paduka
menghendaki, hamba dapat pian-hoa (mengubah diri) menjadi seorang pria sejati."
Ehhh...?" Mata yang bening indah itu terbelalak, mulut yang kecil itu ternganga
sehingga bibir merah membasah itu membentuk lingkaran memperlihatkan lidah yang
meruncing merah dan rongga mulut yang lebih merah lagi terhias deretan gigi seperti mutiara. Sinar
mata Yang Kui Hui menjelajahi tubuh pembantunya yang berlutut itu, akhirnya dia
dapat berkata, "Benarkah itu" Suguh aneh dan luar biasa! Coba kaubuktikan
omonganmu, Liang-cu. Coba kau pian-hoa menjadi seorang pria!" Swi Liang menekan
jantungnya yang berdebar tegang, mengangkat mukanya dan berkata, "Hamba....
hamba .... mana berani kurang ajar....?"
"Lakukanlah! ini merupakan perintah. Berdirilah dan pian-hoalah!" Yang Kui Hui
berkata penuh nafsu karena dia ingin sekali menyaksikan apakah benar gadis ini
dapat pian-hoa menjadi pria, hal yang hanya pernah didengar dalam dongeng kuno saja. "kalau
Paduka memerintahkan, hamba tidak berani membantah." Swi Liang lalu bangkit
berdiri dan membungkuk. "Maafkan hamba...." Dia lalu melepas gelung rambutnnya, menggosok
bedak dan yanci dari mukanya, kemudian dengan wajah merah berseri dia berkata,
"Hamba telah berubah menjadi seorang pria." Suaranya kini besar, suara seorang
laki-laki tulen! Yang Kui Hui memandang terbelalak. "Aihhh, mana aku bisa
percaya" Hanya suaramu yang berubah, dan mukamu tanpa bedak dan yanci memang
seperti muka pria, akan tetapi mana buktinya
bahwa kau pria?" Swi Liang mengerutkan alisnya. "Paduka ingin bukti" Baiklah, maafkan kelancangan
hamba!" Dia lalu merenggut pakaiannya, baju di bagian atas sehingga tanggal kancingkancingnya dan terbukalah dadanya. Sebuah dada yang tegap dan bidang, tidak
berbuah, dada seorang laki-laki tulen! Wajah Yang Kui Hui berseri-seri, mulutnya
tersenyum lebar ketika dia memandang dada yang bidang, tegap dan berkulit putih
bersih itu. "Memang tidak salah lagi, tubuhmu bagian atas memang tubuh seorang
pria. Akan tetapi aku belum puas, Liang-cu. Buka semua pakaianmu!" Perintah ini
sama sekali tidak disangka-sangka oleh Swi Liang. Biarpun sudah lama dia
menghedaki terjadinya hal yang hanya dalam mimpi ini, namun sebagai seorang
laki-laki, dia merasa jengah dan malu juga menerima perintah agar dia
bertelanjang bulat seperti itu! Akan tetapi, gairah yang meluap-luap dan
kegembiraannya mengusir semua rasa malu
dan dengan jari tangan gemetar Swi Liang menanggalkan semua sisa pakaiannya
sehingga tak lama kemudian dia telah berdiri membuktikan bahwa dirinya adalah
seorang pria sejati di depan selir jelita itu.
"Ahhh...., Liang-cu... ke sinilah kau! Sungguh hebat.... tak kusangka sama
sekali. Rebahlah kau di sini, di sisiku, manis!"
Tanpa diperitah kedua kalinya karena memang itulah yang di nginkannya selama
ini. Swi Liang lalu naik ke pembaringan dan merebahkan dirinya di sisi selir
cantik itu. Yang Kui Hui terkekeh genit lalu menyambutnya dengan peluk cium
ganas, menerkamnya seperti seekor harimau
kelaparan, atau seperti seekor ular yang memagutnya dan membelit-belitnya.
Manusia, baik laki-laki atau wanita, kaya atau miskin, dari golongan ningrat
maupun jembel terlantar, sekali dikuasai nafsu berahi akan menjadi lupa diri dan
lupa segala. Pada saat seperti itu, lenyaplah duka, lenyap pula takut, hilang
segala pertimbangan dan akal, yang ada
hanyalah tindakan sebagai akibat dorongan nafsu birahi yang minta
dilampiaskan.JILID 15 Hebatnya, makin dipenuhi dorongan nafsu, makin hebatlah, seperti nyala api,
makin dibiarkan makin membesar dan takkan padam sebelum habis bahan bakarnya!
Hanyalah manusia yang selalu sadar akan keadaan dirinya, akan gerak-gerik dirinya lahir maupun batin,
takkan kehilangan kewaspadaan dan kebijaksanaan, takkan dapat dicengkeram oleh
nafsu dalam bentuk apa pun. Hal ini bukan berarti bahwa manusia bijaksana menolak nikmat
hidup yang didatangkan oleh gairah nafsu, sama sekali tidak. Bahkan hanya
manusia sadar sajalah yang bebar-bebar akan dapat menikmati hidup karena baginya
nafsu kesenangan hanyalah
pelengkap hidup, bukan hal yang mutlak dan tidak dikejar-kejarnya. Dialah orang
menguasai nafsu, bukan nafsu yang menguasai dia. Menguasai nafsu dengan
kewaspadaan dan memngenal akan keadaan diri sendiri seperti apa adanya, lahir maupun batinnya,
bukan menguasai nafsu dengan cara pengekangan dan penyiksaan diri. Dengan cara
pengamatan yang sewajarnya, penuh kesadaran, pengamatan terhadap nafsu dan gerak-geriknya,
tanpa celaan tanpa pujian, maka nafsu akan kehilangan kekuasaannya sendiri terhadap
diri pribadi. Sebaliknya, menggunakan kemauan untuk menekan dan mengekang nafsu, tidak akan
ada gunanya, karena, boleh jadi nafsu akan dapat dibendung pada saat itu, manun
sewaktu-waktu nafsu yang masih menguasai diri itu meluap. Bagaikan api dalam
sekam, sewaktu-waktu akan dapat menyala lagi, demikianlah kalau orang menguasai
nafsu dengan pengekangan yang
berarti menguasainya dengan kekerasan.
Dengan pengamatan waspada, nafsu yang seperti api itu akan padam dengan
sendirinya. Namun dengan pengekangan, api itu hanya membara dan tidak tampak untuk sewaktuwaktu bernyala lagi, karena YANG MENGEKANG NAFSU ADALAH NAFSU JUGA. Mengekang berarti
menggunakan kekerasan menuruti keinginan!
Menjelang pagi, yang Kui Hui yang kekenyangan melampiaskan nafsu berahinya,
terlena di pembaringan, wajahnya yang agak pucat menoleh kepada Swi Liang yang
tidur pulas di sampingnya, lalu wanita cantik itu tersenyum. Jari-jari tangannya yang halus itu
bergerak membelai dada telanjang dari pemuda itu, lalu ditariknya kembali
tangannya dan dia menghela nafas panjang. Setelah kekenyangan, barulah dia dapat berfikir dan
barulah selir Kaisar ini sadar betapa bodohnya dia membiarkan dirinya terseret
oleh nafsu berahi. Pemuda ini tentu seorang pria sejati yang menyamar sebagai
wanita. Hal ini sudah jelas! Dan di balik penyamaran ini tentulah ada suatu
rahasia! Kesadaran ini mengejutkan hatinya dan
menimbulkan kekhawatirannya. Dia adalah selir yang cerdik sekali.
Yang Kui Hui bangkit duduk dan perlahan-lahan, agar jangan membangunkan pemuda
itu, dia mengenakan pakaiannya. Matanya tak pernah berpindah dari wajah Swi
Liang dan sambil memakai pakaiannya, dia mengenangkan semua yang mereka lakukan semalam ketika
mereka bermain cinta tanpa mengenal puas sampai akhirnya tertidur kelelahan.
Betapapun juga, pemuda itu terlalu halus. Bagi wanita macam Yang Kui Hui yang
sudah banyak pengalaman bermain cinta dengan pria, kejantanan Swi Liang kurang memuaskan
hatinya. Betapa jauhnya dibandingkan dengan An Lu San! An Lu San barulah boleh disebut
seorang laik-laki sejati! Dengan kekudukannya yang tinggi dan pengaruhnya yang besar,
dengan tubuhnya yang tinggi besar, tenaganya yang seperti singa, dengan permainan
cintanya yang liar kasar dan wajar, menonjolkan kejantanan yang amat hebat!
Sedangkan pemuda ini, terlalu halus, masih hijau dan kurang pengalaman, dan yang lebih berbahaya lagi,
pemuda ini tentulah seorang mata-mata musuh! Yang Kui Hui bergidik ngeri. Betapa
bodohnya dia, mudah terbujuk dan terseret oleh nafsunya sendiri dan terkena rayuan seorang
mata-mata. Untung mata-mata ini belum bertindak terlalu jauh. Bagaimana kalau semalam dia
dibunuhnya" Yang Kui Hui bergidik dan bergegas turun dari pembaringan, dengan hati-hati dia
mengambil pedang bersarung indah yang diletakan oleh Swi Liang di atas tumpukan
pakaiannya, kemudian selir Kaisar itu berindap-indap menuju ke pintu kamar, membuka pintu
dan keluar setelah menutupkan kembali daun pintu perlahan-lahan. Tak lama
kemudian dia telah berbisik-bisik dengan beberapa orang pengawal pribadinya, kemudian memasuki
kamar lain setelah merasa yakin bahwa para pengawalnya yang kini telah berkumpul
itu akan melaksanakan perintahnya dengan baik.
Swi Liang terbagun dari tidur nyenyak, menggeliat dan tersenyum penuh bahagia
ketika dia teringat akan keadaan dirinya. Dirabanya kasur di mana dia rebah dan
hidungnya kembang kempis, masih
penuh oleh keharuman tubuh Yang Kui Hui. Baru saja terbangun dari tidur,
teringat akan wanita cantik itu,
berkobar lagi nafsunya, lenyap semua kelelahan tubuhnya dan dia membalik ke
kanan, lengan kirinya dan
kaki kirinya merangkul memeluk..Dai membuka matanya ketika tangan dan kakinya
bertemu dengan kasur yang kosong, lalu bangkit duduk,
menoleh ke kanan kiri, mencari-cari. yang Kui Hui telah pergi dari kamar itu!
Swi Liang merasa heran dan juga terkejut, kemudian timbul kekhawatiran di dalam
hatinya. Ke manakah perginya wanita itu sepagi ini, pikirnya. Karena khawatir kalau-kalau ada
pelayan memasuki kamar dan memergoki keadaanya, bergegas dia menyambar
pakaiannya, dan cepat mengenakan pakaiannya, pakaian wanita penyamarannya. Dengan tergesa-gesa dia
menghampiri meja rias Yang Kui Hui, menggunakan bedak dan yanci untuk memulas
mukanya yang semalam telah menjadi muka pria aslinya dan sia-sia bedak dimukanya telah
terhapus sama sekali oleh ciuma-ciuman Yang Kui Hui. Kemudian dia mencari
pedangnya dan betapa heran dan terkejut hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa pedangnya tidak
Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berada di dalam kamar itu! Akan tetapi dia segera tersenyum menenangkan hatinya sendiri.
Tentu Yang Kui Hui sengaja hendak main-main dengan dia! Tak mungkin wanita itu
melakukan hal yang bukan-bukan dan merugikannya setelah apa yang mereka nikmati
bersama semalam! Tentu Yang Kui Hui sudah bertekuk lutut dan mencintanya setelah dia membuktikan
kejantanannya semalam, pikir Swi Liang dengan bangga. Dengan hati ringan dia
lalu melangkah ke pintu, membuka daun pintu hendak mencari kekasihnya itu. Sunyi
di luar kamar itu, padahal
biasanya penuh dengan pengawal. Kemudian muncul seorang pelayan wanita yang
bertugas membersihkan kamar Yang Kui Hui setiap pagi. Melihat pelayan ini, Swi Liang
dengan suara biasa lalu menanyakan di mana adanya majikan mereka yang cantik
itu. "Beliau tadi memerintahkan bahwa kalau Liang-lihiap sudah bangun agar
Lihiap suka pergi menyusul ke dalam pondok di taman. Beliau menanti di sana."
Mendengar kata-kata ini, Swi Liang bergegas pergi ke taman, hatinya girang
sekali. Tak salah dugaannya. Yang Kui Hui telah bertekuk lutut di depan kakinya!
Selir yang angkuh dan cantik itu telah jatuh cinta kepadanya sehingga kini selir
itu ingin melanjutkan permainan cinta mereka di dalam pondok taman, tentu agar
jangan sampai menimbulkan kecurigaan para
pelayan lain! "Ha-ha, kau cerdik sekali, mais," kata hatinya penuh kegembiraan,
"untuk kecerdikanmu itu akan kuberi upah ciuman hangat!" Sambil tersenyum-senyum
membayangkan segala kemesraan yang akan dialaminya sebentar lagi di dalam pondok
taman, Swi Liang melangkah lebar ke dalam taman yang indah dan luas itu. Taman
itu sunyi karena hari masih amat pagi dan memang biasanya pun taman itu hanya
dikunjungi para puteri istana setelah matahari naik tinggi sehingga mereka dapat menghirup hawa
segar di situ. Bahkan tidak tampak seorang pun juru taman yang biasanya sepagi
itu tentu telah membersihkan taman. Ketika melewati tempat di mana dia malam-malam beberapa hari
yang lalu mengubur mayat dua orang pelayan wanita, Swi Liang menggerakan pundaknya
untuk menenteramkan hatinya yang agak terguncang. Salah kalian sendiri, pikirnya dan
untuk menekan perasaanya, dia telah menginjak kuburan yang tidak kentara dan tidak
dikenal orang lain kecuali dia itu.
Dia kini sudah berdiri di depan pintu pondok, lalu mengetuk pintu pondok sambil
berkata dengan suara biasa, suara pria, halus dan penuh rayuan, "Dewiku yang
cantik jelita, bidadari dari sorga manis, bukalah pintu, aku sudah amat rindu
kepadamu....!" Daun pintu pondok merah itu terbuka dari dalam dan.... Swi Liang meloncat ke
belakang sambil menahan seruan kagetnya ketika dia melihat bahwa dari dalam pondok itu
keluar dua puluh orang lebih pengawal yang memegang senjata di tangan!
"Menyerahlah engkau, Liang-cu. Kami mendapat perintah untuk menangkapmu!"
komandan pengawal berkata keren.
Seketika pucat muka Swi Liang dan otomatis tangan kanannya meraba pinggang,
hanya untuk di ngatkan bahwa pedangnya telah lenyap dari dalam kamar tadi!
"Apa... apa... dosaku....?" Dia bertanya gagap, saking bingungnya dia lupa
menyembunyikan suara laki-laki yang keluar dari mulutnya.
Dua puluh lebih pengawal itu tertawa dan Sang Komandan membentak. "Lekas
berlutut dan menyerah!" Swi Liang maklum bahwa rahasianya tentu telah terbuka.
Dia tidak tahu apa yang terjadi dan siapa yang telah membuka rahasianya. Sampai
saat itu dia sama sekali tidak menyangka bahwa Yang Kui Hui yang telah
mengkhianatinya. Akan tetapi dia tahu bahwa
kalau dia tertangkap, tentu dia akan celaka.
"Mampuslah!" bentaknya sambil menerjang ke depan, menghantam komandan dengan
kepalan tangan kanan sedangkan kepalan tangan kiri menghantam pengawal ke dua yang berdiri
dekat. Komandan itu memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi, maka dia dapat menangkis biarpun
dia menjadi terhuyung-.huyung, akan tetapi pengawal yang terkena hantaman tangan
kiri Swi Liang, mengeluarkan teriakan keras
dan roboh terguling, muntah-muntah darah karena pukulan yang mengenai dadanya
tadi amat kuat. Segera Swi Liang dikeroyok oleh dua puluh orang lebih. Para pengawal
itu rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, karena mereka semua
bersenjata. Repot jugalah Swi Liang yang harus membela diri dengan tangan
kosong! "Jangan bunuh dia! kita harus menangkapnya hidup-hidup!" beberapa kali komandan
berteriak. Swi Liang mengamuk sekuatnya, namun setelah tubuhnya terkena beberapa
kali bacokan dan tusukan, akhirnya dia terguling dan teringkus. Dalam keadaan
luka-luka dan setengah pingsan dia diseret ke dalam kamar tahanan. Sementara
itu, yang Kui Hui segera mengadu kepada Kaisar bahwa pelayan wanita yang dahulu
menolongnya itu ternyata adalah seorang pemuda dan mungkin mata-mata musuh yang
sengaja menyelundup. Mendengar ini,
kaisar memerintahkan agar Swi Liang disiksa dan dipaksa untuk mengakui
keadaannya. Pada hari itu juga, di dalam kamar tahanan yang dirahasiakan, Swi
Liang dikompres untuk mengaku.
Ada beberapa macam semangat yang mendorong seseorang menjadi prajurit. Semangat
patriotik sebagai pengabdian kepada negara dan bangsa, semangat mencari
kedudukan dan kemuliaan, dan semangat yang timbul dari keadaan lain pula. Di antara semua itu,
hanya prajurit yang didorong semangat mengabdi kepada negara dan bangsa sajalah
yang akan berani mempertaruhkan nyawa dengan rela, karena dia merasa yakin bahwa apa yang
diperjuangkan dalam hidupnya itu benar! Kebenaran seseorang yang tentu saja
mengharapkan sesuatu, misalnya nama sebagai seorang pahlawan atau "tempat baik"
di alam baka! Betapapun juga, lepas daripada tepat tidaknya kebenaran semacam
itu, harus diakui bahwa hanya prajurit yang bersemangat demikian sajalah yang
akan menghadapi kematian dan siksaan dengan berani dan gagah. Tidaklah demikian dengan Swi Liang. Dia
melakukan tugasnya karena dorongan subonya yang juga menjadi kekasihnya, karena
keinginannya untuk kelak memperoleh kedudukan tinggi jika cita-cita subonya
terlaksana. Kalau putera subonya sampai biasa menjadi kaisar seperti yang
dicita-citakan subonya, dia tentu setidaknya akan menjadi seorang menteri!
Karena semangat seperti ini yang mendorongnya berjuang, maka
begitu gagal patahlah semangatnya. Begitu dia disiksa, keluarlah pengakuan dari
mulut Swi Liang bahwa dia adalah kaki tangan subonya, The Kwat Lin Ratu Pulau Es
yang kini menjadi Ketua Bu-tong-pai dan yang bersekutu dengan Pangeran tang Sin
Ong, dan tugasnya adalah memikat hati Yang Kui Hui agar selir itu kelak mau
membantu pemberontakan mereka.
Pengakuan ini tentu saja menimbulkan geger. Pangeran Tang Sin Ong ditangkap dan
beberapa hari kemudian, Swi Liang dan Pangeran Tang Sin Ong dijatuhi hukuman
penggal kepala di tempat umum agar menjadi peringatan bagi siapa saja yang hendak memberontak.
Kaisar lalu mengirim pasukan untuk menangkap Ketua Bu-tong-pai yang memberontak.
Habislah riwayat hidup Bu Swi Liang, putera Lu-san lojin Bu Si Kang yang gagah
perkasa itu. Memang patut disayangkan karena sebenarnya dahulu Bu Swi Liang adalah seorang
pemuda yang baik dan gagah perkasa, yang dididik oleh ayahnya sejak kecil agar menjadi
seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Memang, keadaan
sekeliling amat mempengaruhi jalan hidup seseorang. Hal ini tidaklah berarti bahwa sekeliling
yang bersalah sehingga menyeret seseorang ke jalan sesat seperti halnya Bu Swi
Liang.Sebetulnya, yang bersalah adalah dirinya sendiri! Orang yang mengenal diri
sendiri akan selalu dalam keadaan waspada dan sadar sehingga berada di dalam
lingkungan apa pun juga dia akan selalu
mengamati tingkah laku sendiri lahir batin setiap saat, tak mungkin terseret
atau ternoda, seperti emas murni atau bunga teratai, biar berada di lumpur akan
tetapi tetap bersih! Sebaliknya, orang yang tidak mau mengamati dirinya sendiri setiap saat, akan
mudah lupa karena "akunya"menonjol dan Si Aku ini memang selalu ingin menang
sendiri, ingin enak dan senang sendiri, sehingga untuk memenuhi segala
keinginannya itu, diri terseret dan mudah terjeblos ke dalam jurang penuh dengan
ular-ular berbisa bernama iri, dendam, benci,
sombong, duka, dan lain-lain yang kesemuanya berakhir dengan kesengsaraan.
Pasukan yang kuat dipimpin seorang perwira tinggi membawa perintah penangkapan
dari Kaisar sendiri, tiba di Bu-tong-san. Namun mereka terlambat. The Kwat Lin,
Ketua Bu-tong-pai yang baru dan
hendak ditangkap itu, telah melarikan diri bersama anak buah yang setia
kepadanya. Hal ini tidaklah mengherankan. Sebelum Swi Liang membuka rahasia
pemberontakannya, The Kwat Lin
telah lebih dulu mendengar bahwa muridnya telah gagal dan ditangkap. Dia merasa
kecewa sekali, akan tetapi dia juga maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Kalau sampai pasukan
pemerintah.menyerang Bu-tong-pai, tentu saja dia tidak mungkin dapat melawan
pasukan yang besar itu. Maka diam-diam
dia lalu lolos dari Bu-tong-san, bersama anak buahnya yang setia dia lalu
melarikan diri ke Rawa Bangkai yang menjadi markas ke dua dari komplotan ini.
Seperti di ketahui, Kiam-mo Cai-li Liok Si yang menjadi datuk kaum sesat itu
telah ditaklukannya dan telah menjadi sekutunya, dan tempat tinggal datuk wanita
ini, Rawa Bangkai, di kaki Pengunungan Luliang-san, menjadi markas ke dua.
Ketika menghadapi bahaya penangkapan dari kota raja, tentu saja Kwat Lin lalu
melarikan diri ke tempat yang merupakan daerah berbahaya dan rahasia itu.
Pelarian dari Bu-tong-pai ini diterima dengan baik oleh Kiam-mo Cai-li Liok Si
yang memperoleh kesempatan menonjolkan jasanya. Segera Rawa Bangkai dijaga dengan
kuat sekali dan Liok Si menghibur The Kwat Lin atas kegagalan muridnya. "Aku hanya
merasa kecewa sekali mengenangkan murid-muridku," kata The Kwat Lin dengan suara
gemas. "Swi Nio telah mengkhianatiku, lari dengan seorang mata-mata musuh entah
dari mana dan pengharapanku tadinya tinggal kepada Swi Liang. Dia sampai terbuka rahasianya
dan tertangkap, hal itu katakanlah sebagai suatu kegagalan yang menyedihkan. Akan
tetapi mengapa dia membocorkan rahasia Pangeran Tang Sin Ong sehingga Pangeran itu pun
dihukum mati. Dengan matinya Pangeran Tang Sin Ong habislah harapan kita!" The
Kwat Lin menghela napas panjang dan mengepal tinjunya dengan hati gemas.
"Aihhh, seorang yang memiliki ilmu kepandaian seperti Pangcu, mengapa mudah
sekali putus asa?" Liok Si mencela.
"Hem, Cai-li, jangan kau menyebutku Pangcu lagi. Aku bukan lagi Ketua Bu-tongpai setelah kini menjadi pelarian pemerintah. Dan aku tidak membutuhkan
perkumpulan itu. Siapa yang tidak akan putus asa" Cita-cita kita kandas setengah
jalan. Betapapun tinggi kepandaian kita, menghadapi pasukan pemerintah yang
puluhan laksa banyaknya, kita dapat berbuat apakah?"
Kiam-mo Cai-li tersenyum. Dia maklum bahwa wanita yang amat lihai ini memiliki
cita-cita yang besar sekali. "The-pangcu.... eh, Lihiap, seorang dengan
kepandaian seperti engkau tentu dapat mencari kedudukan dengan mudah sekali."
"Hemm, mana mungkin" Pemerintah telah menganggapku sebagai pemberontak dan aku
akan selalu menjadi pelarian dan buruan pemerintah. Pula, aku adalah seorang
bekas ratu, oleh karena itu. Cita-citaku hanya satu, ialah aku akan berusaha
sekuat tenaga agar puteraku memperoleh kedudukan yang sepadan dengan darah
keturunannya." Kiam-mo Cai-li mengangguk-angguk. "Memang sepatutnya.... sepatutnya...., dan aku
bersedia membantumu asal kelak kau tidak akan melupakan bantuanku."The Kwat Lin memegang tangan datuk wanita itu dan memandang tajam. "Kiam-mo Caili, kita bukan anak-anak kecil lagi, kita sama-sama wanita dan kita saling
mengetahui isi hati masing-masing. Engkau sudah banyak menolongku, masihkah
engkau menyangsikan bahwa aku
menganggapmu sebagai tangan dan kaki sendiri dan kita akan senasib
sependeritaan, bahkan sehidup semati?" Kiam-mo Cai-li tersenyum dan mengangguk.
"Aku tahu bahwa engkau adalah seorang wanita yang selain berilmu tinggi, juga
berkemauan keras dan bercita-cita tinggi, The-lihiap. Kita tidak perlu putus asa
dengan kegagalan muridmu. Masih ada jalan lain yang kurasa akan lebih
menguntungkan kita." "Bagaimana?"
"Bersekutu dengan An Lu Shan!"
The Kwat Lin memandang wajah Kiam-mo Cai-li dengan alis berkerut. Majikan Rawa
Bangkai itu tersenyum dan diam-diam The Kwat Lin harus memuji bahwa wanita yang
usianya sudah lima puluh tahun itu kalau tersenyum kelihatan masih muda dan masih cantik.
Kata-kata Kiam-mo Cai-li mengejutkan hatinya dan sekaligus menimbulkan kecurigaannya.
Sudah terang bahwa mereka menjadi saingan An Lu Shan, bagaimana sekarang dapat
bersekutu dengan Panglima itu" Bahkan yang menyalakan api pemberontakan dalam dada Pangeran Tang Sin Ong adalah
karena merasa iri hati kepada An Lu Shan yang disuka oleh Laisar dan selalu dibela oleh Yang Kui
Hui. Dan sekarang, sekutunya ini mengusulkan untuk bersekutu dengan An Lu Shan! "Cai-li, apa
maksudmu?" tanyanya, suaranya membentak dan matanya memandang tajam menyelidik.."Aih, The-lihiap, aku
tahu mengapa engkau terkejut. Akan tetapi bukankah para cerdik pandai jaman
dahulu pernah berkata bahwa orang cerdik harus pandai memilih kawan"Demi
tercapainya cita-cita, kalau perlu kawan menjadi lawan dan lawan berbalik menjadi kawan!"
Berseri wajah The Kwat Lin dan dia memandang kagum. "kau benar, Cai-li. Kau
benar dan cerdik sekali! Akan tetapi, mungkinkah dia mau?"
"Jangan khawatir. Aku sudah lama mengenal baik Panglima kasar itu. Di balik
semua langkahnya menjilat Kaisar dan Yang Kui Hui, dia bercita-cita merebut
kekuasaan Kaisar. Dan pada waktu ini dia amat membutuhkan bantuan orang-orang
pandai, tentu saja dia akan
menerima kita dengan tangan terbuka." The Kwat Lin berdebar-debar dan menggosokgosok pipinya yang berkulit halus itu dengan tangannya, nampaknya ragu-ragu.
"Akan tetapi, bagaimana kita dapat mengadakan hubungan?" "Aku akan menyuruh anak
buahku, harap kau suka tulis surat untuk disampaikan kepada An Lu Shan.
Sebaiknya begini isinya." Wanita cerdik Kiam-mo Cai-li berunding dengan The Kwat
Lin, mengulurkan tangan kepada An Lu
Shan mengajak bersekutu melalui sehelai surat yang ditulis oleh tangan halus The
Kwat Lin. Dalam hal menggunakan siasat, kiranya wanita lebih cerdik dari pada pria, dan
hal ini dibuktikan oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li Liok Si. Sebulan kemudian tampak
lima orang muncul di tepi rawa yang sunyi itu. Mereka ini terdiri dari empat
orang pria dan seorang wanita, kesemuanya kelihatan gagah perkasa dan tangkas.
Rawa ini amat luas, sunyi dan terkenal berbahaya sekali. Kelihatannya tidak
berbahaya, hanya merupakan genangan air yang amat luas seperti telaga besar,
namun air itu tertutup oleh rumput dan bermacam tetumbuhan kecil sehingga
kadang-kadang tidak nampak airnya.
Bahkan seolah-olah tertutup oleh lapisan tanah tipis dan inilah yang berbahaya
sekali. Manusia maupun binatang yang berani mendekati rawa dan salah injak, mengira
bahwa tanah berumput itu keras, akan terperosok ke dalam air berlumpur yang
mempunyai daya penyedot sehingga sekali kaki terbenam, disedot ke bawah dan
sukar ditarik ke atas lagi. Air berlumpur itu dalam sekali dan karena amat
lembek, maka seolah-olah menyedot kaki, padahal kaki
orang atau binatang itu tenggelam terus secara perlahan-lahan dan lupur itu
memang mempunyai daya lekat sehingga kaki seolah-olah disedot dan ditahan, sukar untuk
ditarik kembali ke atas. Selain bahaya yang merupakan perangkap-perangkap maut
dari alam ini, juga di situ terdapat banyak ular dan binatang berbisa lain yang
Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersembunyi di antara rumput-rumput dan tetumbuhan lain.
Jauh dari rawa, tampak ditengah-tengah rawa itu sebuah pulau dan di situ
terdapat bangunan-bangunan yang tampak dari jauh. Namun, tidak ada orang dari luar rawa
yang berani mencoba untuk mendekati pulau ini, karena selain jalan menuju ke situ
harus menyeberangi rawa maut itu, juga telah terkenal bahwa bangunan-bangunan itu
adalah sarang dari iblis betina yang ditakuti semua orang, yaitu Kiam-mo cai-li. Karena
seringkali terdapat bangkai-bangkai binatang-binatang yang terperosok ke dalam
perangkap alam sekitar rawa, juga bahkan kadang-kadang tampak mayat mausia-manusia yang sampai
membusuk dimakan lumpur, maka terkenal ah rawa itu dengan sebutan Rawa Bangkai!
Karena Kiam-mo-Cai-li yang cerdik itu melarang para anak buahnya untuk
mengganggu rakyat di sekitar tempat itu, maka tidak akan ada alasan bagi alat
pemerintah untuk memusuhinya, pula pembesar setempat merasa ngeri untuk
menentang iblis betina itu. Dengan demikian, datuk kaum sesat ini hidup aman dan
teteram di kaki Pegunungan Lu-liang-san itu, tempat ini menjadi tempat
pesembunyian yang baik sekali bagi The Kwat Lin dan anak buahnya.
Kita kembali kepada lima orang yang pada hari itu berada di tepi rawa. Tiga
orang di antara mereka laki-laki tua berusia antara lima puluh sampai enam puluh
tahun. Seorang lagi adalah laki-laki berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan
gagah dan bertubuh tegap, sedangkan wanita itu masih muda, seorang gadis berusia
paling banyak enam belas tahun, tubuhnya
langsing dan wajahnya manis namun sepasang matanya mengandung sinar keras.
Wanita itu bukan lain adalah Bu Swi Nio dan laki-laki muda tampan gagah itu adalah
penolongnya ketika dia hendak membunuh diri setelah malam itu dia diperkosa oleh
Pangeran Tang Sin Ong! Bagaimana dia sekarang bersama laki-laki dan tiga orang kakek dapat berada di
tepi Rawa Bangkai" Malam itu, setelah diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong dalam keadaan mabok dan
tidak sadar, Swi Nio hendak membunuh diri dengan pedang, akan tetapi dia dicegah oleh laki-laki yang
ternyata adalah seorang mata-mata dari An Lu Shan. Dia dapat di ngatkan oleh laki-laki itu bahwa
membunuh diri bukanlah jalan.terbaik untuk membalas sakit hati, maka Swi Nio
lalu ikut dengan orang itu dan menjadi petunjuk jalan
sehingga mata-mata itu berhasil menyelamatkan diri bersama Swi Nio, keluar dari
tembok Bu-tong-pai. Kedua orang ini tanpa bicara melarikan diri terus dengan
cepatnya sampai matahari naik tinggi dan mereka tiba di kaki Pegunungan Bu-tongsan, barulah mereka berhenti
mengaso di dalam sebuah hutan lebat. Begitu duduk di bawah pohon melepaskan
lelah, Swi Nio teringat akan nasib yang menimpa dirinya, maka serta merta dia
menangis mengguguk. Laki-laki itu memandang ke arahnya dan menghela napas panjang, mengepal tinju
dan hanya mendiamkannya saja karena pengalamannya membuat dia mengerti bahwa
dalam keadaan berduka seperti itu, tidak ada obat yang lebih baik bagi gadis itu kecuali
tangis dan air mata yang bercucuran. Setelah agak mereda tangis Swi Nio, dia
berkata, "Nona, seperti kukatakan pagi tadi, tidak perlulah hal yang telah
terjadi dan yang telah lalu ditangisi dan disedihkan.
Yang penting, kita melihat ke depan. Jalan hidup masih lebar dan terbentang luas
di depan kita. Mengubur diri dengan kedukaan saja tidak ada artinya dan pula
hanya akan melemahkan semangat kita yang perlu kita pupuk untuk dapat membalas
kepada orang-orang yang telah merusak hidup kita."
Kata-kata yang dikeluarkan dengan suara gagah ini membuat Swi Nio mengangkat
mukanya yang pucat dan basah, memandang. Mereka berdua saling pandang sejenak, kduanya
baru melihat nyata akan wajah masing-masing. Wajah pria itu menimbulkan kepercayaan
di hati Swi Nio sedangkan wajah gadis itu membuat jantung laki-laki itu berdebar
dan tertarik. "Kau siapakah?" Akhirnya Swi Nio bertanya.
"Sudah kukatakan kepadamu, aku adalah seorang mata-mata, seorang kepercayaan
Jenderal An Lu Shan. Namaku Liem Toan Kie. Dalam penyelidikanku di Bu-tong-pai, aku telah mengenal
namamu, Nona. Engkau adalah Nona Bu Swi Nio, bersama kakakmu Bu Swi Liang engkau adalah
murid dari Ketua Bu-tong-pai yang baru. Aku pun telah mengetahui akan nasibmu
semalam...." "Ahhh....! Si Jahanam Tang Sin Ong....!" Engkau benar! Aku tidak perlu berputus
asa, aku tidak perlu mengubur diri dalam kedukaan, aku harus berusaha untuk
membalas semua penghinaan ini. Akan kubunuh Si Jahanam Tang Sin Ong!" Gadis itu mengepal kedua
tangannya dengan penuh kemarahan. "Nah, itu baru gagah dan bersemangat! Akan
tetapi, tidak semudah itu membunuh seorang Pangeran apalagi dia sahabat baik
Gurumu yang amat lihai. Jalan satu-satunya, marilah ikut aku, mengabdi kepada Jenderal An Lu
Shan. Hanya itulah jalannya sehingga kelak engkau akan dapat membalas dendam."
"Kau.... kau seorang prajurit bawahan Jenderal itu?"
Toan Ki menggelengkan kepalanya. "Bukan, aku bukan perajurit, aku seorang luar
yang telah menggabungkan diri dengan An-goanswe dan mendapatkan kepercayaannya
untuk menyelidiki Bu-tong-pai. Aku disuruh menyelidiki rencana apa yang diadakan oleh
Pangeran Tang Sin Ong dan Bu-tong-pai. An-goanswe adalah seorang yang amat
cerdik. Dia biarkan pemberontakan lain agar kedudukan Kaisar makin lemah, namun
dia harus tahu segala gerak-gerik musuh, baik gerak-gerik Kaisar maupun
pemberontak lain. Sekarang aku tahu bahwa
rencana mereka adalah melemahkan Kaisar melalui Yang Kui Hui, dan sekarang aku
akan kembali dan melaporkan hasil penyelidikanku kepada An-goanswe. kau ikutlah, akan
kuperkenalkan dan engkau tentu akan diterima, karena engkau memiliki kepandaian
yang lumayan di samping dendammu kepada Tang Sin Ong."
"Aku.... aku tidak suka menjadi pemberontak."
"Hemm,apakah kaukira aku suka menjadi pemberontak,Nona" tidak,aku membantu An Lu
Shan bukan karena aku suka menjadi pemberontak, melainkan karena aku pun sakit
hati terhadap pemerintah." "Eh?" Swi Nio tertarik dan memandang wajah yang gagah
itu."mengapa?" "Hampir sama nasib kita, Nona, hanya bedanya jalannya saja. ketahuilah, dahulu
aku adalah seorang tokoh Hoa San-Pai yang tentu saja tak mau mencampuri urusan politik dan pemberontakan,
bahkan condong.untuk setia kepada pemerintahan, akan tetapi pada suatu hari
terjadilah hal yang amat hebat... yang
merubah seluruh jalan hidupku..."
Swi Nio teringat akan nasibnya sendiri. dia mendekat lalu berkata, "Liem-twako,
kauceritakanlah!" Sejenak mereka berpandangan, lalu Toan Ki menceritakan
riwayatnya secara singkat. Dia tinggal di kota Ma-Kiubun, sebuah kota yang cukup
ramai di tepi sungai Huangho. dia hidup tenang dan bahagia dengan isterinya yang
baru dinikahinya selama tiga bulan. Dengan membuka toko obat dan mengajar ilmu
silat, dia hidup lumayan. Namun
isterinya merasa kecewa setelah tiga bulan menikah, belum juga ada tanda-tanda
mengandung, maka dia mengijinkan isterinya untuk bersembahyang ke kelenteng
untuk minta berkah agar isterinya dapat memperoleh keturunan secepatnya.
"Akan tetapi mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Menjelang senja,
setelah pergi sejak pagi, barulah isterinya pulang dan turun dari joli dalam
keadaan payah, mukanya pucat dan basah air mata. Sambil menangis sesenggukan
isterinya lari ke dalam rumah,
menjatuhkan diri dan berlutut di depan kakinya sambil menceritakan bahwa ketika
tadi bersembahyang di kelenteng, kebetulan di kelenteng itu terdapat putera bangsawan
Lui yang bermain catur dengan para hwesio. Melihat dia, putera bangsawan
menyeretnya ke dalam kamar di kelenteng dan memperkosanya! Setelah mengucapkan pengakuan yang hebat
itu, isterinya lari ke dalam kamar sambil menangis sesenggukan. hati Toan Ki terasa
tidak enak. Tadi dia termangu-mangu seperti patung saking marah dan dukanya mendengar
penuturan isterinya sehingga dia agak lalai membiarkan isterinya lari. Cepat dia mengejar
dan melihat pintu kamar isterinya dipalang dari dalam, ia menendang pecah daun
pintu! Dia berdiri pucat dan terbelalak. Apa yang dilihatnya"
"Isteriku telah rebah mandi darah di lantai! Pedangku ia pergunakan untuk
membunuh diri, menusuk dadanya hampir tembus!" Dia mengakhiri ceritanya sambil
menutupkan kedua tangan di depan mukanya. "Ohhh....!!" Swi Nio menjadi pucat sekali dan dia
menyentuh lengan Toan Ki dengan penuh perasaan terharu. "Putera bangsawan dan
hwesio-hwesio keparat itu harus dihukum! Dan aku akan membantumu, Liem-twako!"
Toan Ki menurunkan tangannya, memegang tangan Swi Nio dengan erat. Mereka saling
berpegangan dan saling menggenggam tangan. "Kita senasib, Nona. Karenanya ada
kecocokan di antara kita dan karenanya aku menolongmu pagi tadi. Akan tetapi,
bicara soal bantu-membantu, akulah yang akan membantumu kelak kalau saatnya tiba
untuk membalaskan sakit hatimu. Sedangkan sakit hatiku sendiri sudah kubalas impas dan lunas.
Pemuda bangsawan keparat itu telah kubunuh bersama semua hwesio kelenteng itu! Karena
itu aku menjadi buronan dan aku terpaksa lari kepada Jenderal An Lu Shan yang
segera menerimaku karena dia membutuhkan bantuan kepandaianku." "Ahhh, engkau
baik sekali, Twako. Dan engkau bernasib buruk sekali seperti aku. Aku merasa
beruntung dapat bertemu dan dapat bersahabat denganmu. Baiklah aku akan ikut
bersamamu menghadap Jenderal An Lu Shan."
Demikianlah, Swi Nio ikut bersama Toan Ki dan benar saja seperti dikatakan lakilaki gagah itu, dia diterima dengan baik di dalam rombongan orang-orang gagah
bukan perajurit yang menjadi pembantu-pembantu
An Lu Shan. Persahabatannya dengan Liem Toan Ki menjadi makin akrab dan bahkan
tumbuh benih-benih cinta kasih di antara kedua orang yang sama nasibnya ini, Liem Toan
Ki kehilangan isterinya yang dikawininya baru tiga bulan lamanya, sedangkan Swi Nio
kehilangan keperawanannya karena diperkosa oleh seorang pangeran. Akhirnya
keduanya bersepakat untuk mengikat perjodohan, namun Swi Nio mengatakan bahwa dia baru mau
melangsungkan pernikahan secara resmi apabila sakit hatinya telah terbalas semua! Maka kedua
orang ini hidup sebagai dua orang tunangan yang saling mencinta, apalagi karena
perjodohan mereka itu direstui oleh An Lu Shan yang pandai mengambil hati orangorang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat dibutuhkan bantuannya.
Pada suatu hari An Lu Shan memanggil Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio, bersama tiga
orang tokoh lain yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi di antara para
pembantu An Lu Shan. Yang seorang bernama Tan Goan Kok, seorang kakek tinggi besar yang yang terkenal di utara
sebagai seorang ahli gwa-kang yang hebat. Kabarnya, Tan Goan Kok ini biarpun usianya sudah lima puluh tahun
lebih, dapat menggunakan kekuatan otot tubuhnya untuk mengangkat seekor kerbau
bunting.Di samping tenaganya yang besar, juga dia memiliki ilmu silat toya yang sukar dicari
bandingannya. Kakek kedua adalah pat-jiu Mokai (Pengemis Iblis Tangan Delapan),
seorang kakek yang berusia enam puluh tahun, pakaiannya penuh tambalan biarpun
bersih dan baru, selalu memegang
sebatang tongkat butut dan siapa pun, bahkan An Lu Shan sendiri, menyebutnya
Pangcu (Ketua) padahal kakek jembel ini hanyalah seorang ketua yang tidak mempunyai
anak buah! Pat-jiu Mo-kai tidak memimpin suatu perkumpulan pengemis namun nama besarnya
sedemikian terkenal sehingga setiap orang pengemis di manapun juga akan selalu
menyebutnya Pangcu! Sampai ketua para perkumpulan pengemis juga menyebutnya
Pangcu! Ilmu tongkatnya amat tinggi dan kabarnya belum pernah kakek ini dikalahkan lawan
selama dalam perantauannya sampai akhirnya dia dapat dibujuk membantu An Lu
Shan. Orang ke tiga, berusia lima puluh tahun lebih, berpakaian tosu dan memang dia seorang
penganut Agama To, seorang kakek perantau yang disebut Siok Tojin. Berbeda dengan kedua
orang kakek pertama, Siok Tojin orangnya pendiam, tidak terkenal, namun ilmu pedangnya
amat hebat sehingga ketika dia diuji, ilmu pedangnya itu bahkan mampu menandingi
tongkat Pat-jiu Mo-kai! Setelah Liem Toan Ki, Bu Swi Nio, dan tiga orang kakek itu menghadap An Lu Shan
yang memanggilnya, Jenderal pemberontak ini lalu menceritakan akan surat dari The
Kwat Lin bekas ketua Bu-tong-pai yang mengajak kerjasama dalam menentang Kaisar.
"Aku sengaja mengutus Ngo-wi (kalian Berlima) untuk menjajaki hati wanita
berilmu tinggi apakah benar-benar dia hendak bersekutu. Bu Swi Nio adalah
muridnya, maka aku mengutusnya untuk mengukur hati gurunya. Kalau dia benar-benar hendak bersekutu,
tentu dia tidak akan marah kepada muridnya yang telah melarikan diri dan menjadi
pembantuku. kau menemani dan menjaga tunanganmu, Toan Ki. Dan Pangcu bersama dua orang Loenghiong hendaknya menguji kepandaian mereka yang hendak bersekutu, di samping
melindungi mereka berdua ini kalau-kalau terancam bahaya." Demikianlah maka pada
pagi hari itu, lima orang kaki tangan An Lu Shan ini telah berada di tepi Rawa
Bangkai. Mereka memandang ke arah pulau di tengah-tengah rawa yang tampak dari
tempat itu dalam jarak yang cukup jauh dan mereka memandang permukaan rawa dengan wajah membayangkan
kengerian. Sudah banyak mereka mendengar akan bahayanya melintasi rawa itu.
"Saya hanya baru satu kali mengunjungi tempat ini bersama Subo," terdengar Swi
Nio menerangkan ketika dia ditanya oleh teman-temannya, "dan ketika itu kami
mengikuti Kiam-mo Cai-li yang membawa kami berlompatan dari tempat ini ke pulau
itu. Setiap lompatanya membawanya
ke tanah keras dan aman, akan tetapi tentu saja aku tidak bisa mengingat lagi
karena dia melompat-lompat ke tanah kiri, kadang-kadang membalik lagi."
"Hemmm, tentu merupakan jalan rahasia yang sukar diketahui orang luar," kata
Pat-jiu Mo-kai sambil meraba-raba dagunya yang berjenggot panjang.
"Dan menurut Kiam-mo Cai-li, katanya meleset sedikit saja merupakan bahaya maut
karena di sepanjang jalan penuh dengan jebakan alam. Kadang-kadang dia membawa
kami meloncat ke bagian yang ada airnya, sampai saya merasa ngeri, akan tetapi ternyata bagian
itu airnya hanya semata kaki, sedangkan tanah yang kelihatan kering di dekatnya,
menurut keterangannya, bahkan merupakan tempat berbahaya sekali. Ketika pulang ke Butong-san, Subo sendiri mengatakan bahwa dia tidak akan berani lancang menempuh
jalan ini sendirian saja karena dia pun tidak dapat mengingat kembali jalan
berliku-liku itu." "Bagaimana kalau kita menggunakan tali yang panjang" Biar kau
tidak hafal jalan itu, setidaknya kau pernah melaluinya dan dapat kau
mencarinya, Moi-moi. Kita berempat mengikuti dari belakang,
menggunakan tali yang ditalikan di pinggangmu sehingga andaikata kau salah jalan
dan masuk perangkap, kita dapat menolongmu dengan menarik tali itu," kata Liem
Toan Ki kepada kekasihnya. "Begitupun boleh, akan kucoba mengingat-ingat, akan
tetapi harus kau sendiri yang memegang ujung tali, Koko, karena aku ngeri!"
"Ah, aku tidak setuju! Usul itu tidak tepat, Liem Sicu!" Tiba-tiba Tan Goan Kok
berkata dengan suaranya yang parau dan nyaring.
Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan tetapi aku tidak takut, Tan-lo-enghiong!" Swi Nio membantah. "Pula, kalau
Liem-koko yang memegang ujung talinya, aku tidak takut apa-apa lagi.
Andaikata aku terjeblos, tentu akan dapat cepat ditariknya naik lagi."."Bukan
tidak setuju karena takut, melainkan karena kalau hal itu diketahui mereka,
tentu akan menjadi bahan ejekan. Perlu apa kita harus mencari-cari jalan rahasia yang disembunyikan
orang" Kita harus mencari jalan masuk yang lebih gagah, tidak mencuri-curi
seperti segerombolan maling." Bu Swi Nio mengerti dan membenarkan pendapat ini. Mereka berlima lalu
duduk di tepi rawa sambil mengerutkan alis, mencari akal bagaimana mereka akan
dapat mengunjungi pulau di tengah rawa itu sebagai tamu-tamu yang datang secara
gagah. Karena kalau usul Liem Toan Ki dan Swi Nio tadi dilanjutkan, dan sampai
terjadi Swi Nio terjebak ke dalam perangkap alam, tentu hal ini akan membuat
mereka memandang rendah saja. Akan tetapi,
betapapun banyak pengalaman mereka dan betapapun tinggi ilmu kepandaian mereka,
belum pernah mereka menghadapi kesukaran seperti sekarang ini. Akhirnya Siok Tojin
yang sejak tadi tidak ikut bicara, mengeluarkan suara mengomel, kemudian
berkata, "Dapat! Aku teringat akan orang-orang Mongol yang menggunakan akal
mencari ikan di rawa-rawa seperti ini!"
Empat orang kawanannya memandang ke arah tosu ini dengan wajah gembira dan penuh
harapan. "Lekas katakan, Totiang, bagaimanakah akal itu?" Tan Goan Kok bertanya.
"Mereka menggunakan bambu-bambu sebagai perahu."
"ahh, mana mungkin" Menggunakan perahu menyeberangi rawa ini" Tentu akan mogok
di tengah jalan kalau bertemu dengan air yang tertutup tanah dan rumput," bantah
Pat-jiu Mokai sambil memandang ke rawa dengan alis berkerut.
"Kita jangan meniru mereka yang membuat rakit dari bambu. Kita masing-masing
menggunakan sebatang bambu saja, ujungnya dibikin runcing," kata Siok Tojin
singkat, akan tetapi teman temannya sudah dapat menangkap maksudnya.
"Bagus sekali! Tentu kita berhasil! Dengan bambu runcing, kita dapat meluncur
melalui apa saja!" Tan Goan Kok berteriak girang.
"Hemm, kusangka tidak semudah itu. Kita harus hati-hati, benar-benar mengerahkan
ginkang dan sinkang, kalau sampai tergelincir tentu kita celaka dan akan makin
menjadi bahaya tertawan lagi. Betapapun juga, akal itu baik sekali. Mari kita mencari bambu dan
membuat dayung," kata Pat-jiu Mo-kai yang bersama Siok Tojin dianggap orang
tertua dan tertinggi ilmunya.
Tak lama kemudian, tampaklah lima orang itu meluncur di atas Rawa Bangkai yang
terkenal sukar dilalui orang itu. Dilihat dari jauh, seolah-olah lima orang itu
terbang meluncur di atas air rawa! Akan tetapi kalau orang melihat dari dekat
barulah tampak bahwa kaki mereka
menginjak sebatang bambu besar yang kedua ujungnya telah diperuncing dan mereka
menggunakan dayung kayu untuk mendorong bambu yang mereka injak itu meluncur ke
tengah. Orang yang tidak memiliki ginkang dan sinkang jangan mencoba-coba untuk
menyebrang menggunakan cara seperti ini. Bambu sebatang yang di njak kaki itu
tentu saja amat berbahaya, selain licin juga dapat berputar sehingga kaki dapat
terpeleset. Namun, dengan kekuatan sinkang, telapak kaki mereka seolah olah
melekat pada batang bambu itu tidak dapat berputar, dan dengan ginkang mereka
lima orang lihai kepercayaan An Lu Shan itu dapat memperingan tubuh mereka dan
bambu yang mereka injak itu meluncur cepat ke
tengah rawa. Mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Yang paling rendah tingkatannya di antara mereka adalah Bu Swi Nio, padahal
wanita ini sudah amat lihai karena semenjak kecil dia telah digembleng pula oleh
wanita sakti The Kwat Lin, ratu dari Pulau Es! Diam-diam, dari tempat
persembunyian mereka, banyak pasang mata mengintai
dan memandang dengan kagum ketika lima orang itu meluncur datang ke arah pulau
di tengah Rawa Bangkai. Melihat lima orang itu menggunakan sebatang bambu yang di
njak, melihat mereka itu menggunakan kepandaian membunuh ular dan binatang berbisa
lain yang menghadang di tengah perjalanan itu, orang-orang Rawa Bangkai menjadi
kagum dan segera melaporkan kepada Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin akan
kedatangan lima orang itu.
Kedua orang wanita sakti ini segera berunding sambil menanti kedatangan mereka.
Melihat bahwa Bu Swi Nio berada di antara mereka, The Kwat Lin menjadi marah
sekali. "Keparat," desisnya marah. "Murid itu mengantarkan nyawanya ke sini!"."Ahhh,
The-lihiap, mengapa marah" Harap di ngat bahwa dia bukanlah muridmu yang dahulu,
melainkan seorang pembantu An Lu Shan yang dipercaya. Karena itu, untuk memulai dengan
hubungan persekutuan, amatlah tidak baik memusuhi utusan An Lu Shan," kata Kiam-mo Caili. The Kwat Lin tercengang dan teringat akan cita-citanya. Memang benar, urusan
pribadi harus dikesampingkan kalau dia ingin agar cita-citanya yang amat tinggi
untuk putranya itu akan dapat terlaksana. Maka dia lalu mengajak Kiam-mo Cai-li
berunding bagaimana untuk
menghadapi lima orang itu, utusan-utusan An Lu Shan dimana termasuk bekas
muridnya itu. Kiam-mo Cai-li yang amat cerdik lalu memberi nasihat-nasihat sehingga keduanya
dapat mengatur siasat. Biarpun penyeberangan itu amat sukar dan mereka berlima harus membunuh banyak
ular berbisa, saling bantu membantu ketika batang bambu mereka itu menemui banyak
halangan, akhirnya lima orang itu berhasil juga melompat ke atas pulau dimana
telah berdiri serombongan orang yang ditugaskan menyambut mereka.
Melihat dua puluh lebih orang yang berdiri seperti pasukan menyambut mereka,
Pat-jiu Mokai segera tertawa bergelak dan berkata, "Ha-ha-ha, sungguh bagus
sekali penyambutan Rawa Bangkai terhadap utusan dari An Goan-swe!"
Seorang di antara anggauta pasukan itu, yang berjenggot panjang dan bermata
sipit, melangkah maju dan memberi hormat. "Selamat datang di Rawa Bangkai! Karena kami
tidak tahu bahwa Cuwi yang terhormat datang berkunjung maka kami tidak
mengadakan penyambutan di luar rawa. Akan tetapi Cuwi telah memperlihatkan kegagahan yang
membuat kami tunduk dan kagum. Sekarang, silahkan Cuwi semua ikut dengan kami
menghadap Hong-houw (Ratu)."
Diam-diam lima orang itu terkejut juga sungguhpun mereka tahu siapa yang
dimaksudkan dengan sebutan ratu itu. Benar-benar bekas ketua Bu-tong-pai adalah seorang
wanita yang angkuh dan hendak menerima mereka sebagai seorang ratu! Akan tetapi
karena mereka berada di sarang yang berbahaya, mereka tidak banyak cakap melainkan mengikuti
pasukan itu menuju ke tengah pulau dimana terdapat bangunan- bangunan yang kuat
dan cukup indah. Lima orang utusan An Lu Shan itu diterima oleh The Kwat Lin, Kiam-mo Caili Liok Shi, dan Han Bu Ong putra The Kwat Lin, di dalam sebuah ruangan yang
luas. Agak pucat muka Swi Nio dan otomatis dia menyentuh tangan Liem Toan Ki yang
membalas dengan genggaman seolah olah hendak menghibur kegelisahan calon istrinya itu.
Tentu saja Swi Nio merasa takut karena dia sudah mengenal watak subonya yang
keras dan kejam, juga maklum betapa lihainya subonya itu. Dia tahu bahwa andai
kata subonya berniat buruk,
mereka berlima tentu akan tewas semua di tempat itu. "Ibu, itu Swi-suci yang
telah minggat datang kembali!" tiba tiba Han Bu Ong berkata sambil menudingkan
telunjuknya ke muka Swi Nio.
Swi Nio tidak dapat berdiam diri lebih lama lagi, dan dia maju menjatuhkan diri
berlutut sambil berkata, "Subo, teecu harap subo sudi mengampunkan teecu."
The Kwat Lin memandang tajam sejenak lalu menghela napas dan menggerakkan
tangannya. Dia cukup bermata tajam untuk dapat melihat betapa empat orang laki laki yang
datang bersama Swi Nio itu bersikap siap siaga dan kalau dia menurutkan hati panas
turun tangan mengganggu muridnya itu, tentu empat orang utusan An Lu Shan itu
akan membela Swi Nio mati matian. Hal ini sama sekali tidak diharapkannya dan sudah dibicarakannya
tadi bersama Kiam-mo Cai-li, maka dia menekan perasaannya dan
berkata,"Bangkitlah, engkau pergi dan menjadi kepercayaan An Goanswe, tidak
terlalu mengecewakan." Lega bukan main hati Swi Nio dan dia bangkit berdiri lalu
berkata kepada Bu Ong, "Sute engkau baik baik saja, bukan?"
An Bu Ong yang biarpun masih kecil namun sikapnya sudah seperti orang dewasa itu
mencibirkan bibirnya, mendengus seperti orang mengejek, lalu berkata, "Suci,
baik sekali engkau, ya" Suheng dibunuh orang, dan ibu sampai lari ke sini, akan
tetapi engkau malah minggat dan enak enak saja!" "Bu Ong, diamlah engkau!" The
Kwat Lin berkata, lalu melanjutkan kepada Swi Nio, "Swi Nio, tahukah engkau
bahwa kakakmu telah tewas?"
Swi Nio mengangguk dan air matanya bercucuran dan segera diusapnya. "Teecu sudah
mendengar akan hal itu, Subo."."Kalau begitu kita sama-sama mendendam kepada pemerintah.
Kita lupakan saja semua urusan lama, Swi
Nio, dan baik sekali kalau kita dapat bekerja sama. Agaknya engkau kini sudah
dipercaya menjadi utusan An Goanswe, ya?"
Swi Nio cepat menjawab dan memperkenalkan teman-temannya. "Teecu hanya menjadi
pembantu dan penunjuk jalan saja bersama....dia ini...." Swi Nio menunjuk kepada
Liem Toan Ki dan mukanya menjadi merah.
"Siapa dia?" The Kwat Lin memandang tajam kepada Liem Toan Ki yang cepat maju
menjura dengan hormat. "Maafkan, Pangcu...."
"Aku bukan Ketua Bu-tong-pai lagi, aku adalah bekas Ratu Pulau Es!"jawab Kwat
Lin ketus. "Maaf, saya bernama Liem Toan Ki dan Bu-moi adalah calon istri saya." "Ibu, dia
ini yang pernah menyerbu Bu-tong-pai dan dialah tentunya yang membawa minggat
Suci!" tiba-tiba Bu Ong berkata. Toan Ki diam-diam memuji kecerdikan anak lakilaki itu dan dia terkejut sekali. "Benar demikian, saya yang dahulu menjadi
petugas An Goanswe menyelidiki Bu-tong-pai dan kemudian mengajak pergi Bu-moi
yang sekarang menjadi calon istri saya."
The Kwat Lin mengerutkan alisnya. Laki-laki ini sebenarnya telah menghinanya
sebagai bekas Ketua Bu-tong-pai dan sebagai guru Swi Nio, akan tetapi diam-diam
dia menerima isyarat mata Kiam-mo Cai-li, maka dia menoleh kepada Swi Nio sambil
bertanya, "Benarkah kau menjadi calon isterinya?" Muka Swi Nio menjadi merah
sekali. "Benar, Subo. Kami saling mencinta, akan tetapi teecu dan dia berjanji
hanya akan melangsungkan pernikahan setelah dendam saya terbalas, yaitu setelah
kerajaan sekarang jatuh dan dikuasai An Goanswe."
"Hemm, sudahlah. Kalau kau dan calon suamimu ini hanya membantu, siapa yang
menjadi utusan An Goanswe menghadap padaku?"
"Mereka inilah," Swi Nio menunjuk kepada tiga orang teman-temannya. Dia adalah
Pat-jiu Mo-kai, dan Totiang ini adalah Siok Tojin, Lo-enghiongitu adalah Tan
Goan Kok. Mereka bertiga yang menjadi utusan An Goanswe.
The Kwat Lin memandang tajam kepada tiga orang itu seolah-olah hendak menimbang
bobot mereka dengan matanya. Pat-jiu Mo-kai yang tertua dan dianggap pemimpin
rombongan apalagi karena dia yang pandai bicara dibandingkan Tan Goan Kok yang kasar dan
jujur, apalagi dengan Siok Tojin yang jarang sekali membuka mulut, segera tertawa.
"Ha-ha-ha, kami bertiga pun hanyalah pembantu-pembantu rendahan saja dari An
Goanswe, akan tetapi kami menerima kehormatan untuk menjadi utusan Beliau
menghadap Toannio The Kwat Lin yang namanya terkenal sebagai Ratu Pulau Es dan Ketua Bu-tong-pai,
juga menghadap Kiam-mo Cai-li yang juga amat terkenal di dunia Kang-ouw sebagai
seorang wanita yang amat lihai dan cerdas sekali. Kami merasa amat terhormat dapat
menjadi tamu-tamu di Rawa Bangkai ini." Kiam-mo Cai-li Liok Si yang memang amat
cerdas, kini mendahului Kwat Lin dan berkata, "Tidak tahu apakah kedatangan Cuwi
ada hubungannya dengan pesan kami kepada An Goanswe" "Dugaan Cai-li benar
sekali. Kami berlima adalah utusan An Goanswe untuk menghadap Jiwi dan untuk
bicara dengan Jiwi. An Goanswe telah menerima
pesan Jiwi dan sebagai jawaban An Goanswe mengutus kami untuk bicara."
"Lalu bagaimana keputusan An Goanswe tentang ajakan kami untuk bekerja sama?"
The Kwat Lin bertanya.."An Goanswe merasa amat senang menerima surat Jiwi dan
tentu saja An Goanswe menerima dengan kedua tangan terbuka uluran kerja sama
Jiwi itu. Sudah lama An Goanswe merasa kagum, terutama sekali melihat siasat
gemilang yang berhasil baik sehingga Jiwi sekalian dapat menyelundupkan orang
menjadi kepercayaan Yang Kui Hui. Hanya sayang, pada saat terakhir siasat
gemilang itu mengalami kegagalan karena orang kepercayaan Jiwi tidak dapat
menahan nafsu berahinya. Kami diutus oleh An Goanswe untuk menyampaikan
pesan bahwa jika Jiwi suka membantu dari dalam, yaitu berusaha menanam tenagatenaga bantuan di dalam kota raja dan kalau mungkin di dalam istana agar kelak
memudahkan penyerbuan ke kota raja apabila saatnya yang tepat tiba, maka An Goanswe akan
berterima kasih sekali."
Mendengar pesan An Lu Shan yang di sampaikan oleh Pat-jiu Mo-kai ini, hati kedua
orang wanita itu menjadi girang sekali sungguhpun kegirangan itu tidak terbaca
di wajah mereka. "Kami yang tidak mempunyai pasukan besar memang tahu diri dan tentu saja hanya
akan membantu dari dalam seperti yang diusulkan An Goanswe. Kami dapat menerima
usul itu dan sebaiknya kita rencanakan siasat-siasatnya bersama." The Kwat Lin
berkata. "Sebelum kita berunding dan mengatur siasat agar dapat kami sampaikan kepada An
Goanswe terlebih dahulu kami harus menyampaikan semua pesan Beliau untuk Jiwi.
Selain usul itu juga An goanswe mengatakan bahwa pekerjaan membantu dari dalam itu
merupakan pekerjaan yang amat rumit, sulit, dan berbahaya.
Hanyalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi saja yang
akan dapat berhasil dan An Goanswe ingin memperoleh keyakinan bahwa para
pembantunya tidak akan gagal." Mendengar kata-kata kakek berpakaian tambalan itu, merahlah wajah The
Kwat Lin dan hatinya menjadi panas. "Hemm, ucapanmu itu berarti bahwa kalian
hendak menguji kepandaian kami?" Sambil tertawa Kiam-mo Cai-li yang melihat
kemarahan kawannya itu bangkit berdiri dan meloncat ke tengah ruangan yang luas
itu sambil berkata, "Memang sudah seharusnya demikian! An Goanswe adalah seorang
Jenderal besar yang cerdik pandai, tentu akan menguji setiap orang sekutu atau
pembantunya. Nah, biarlah aku yang lebih dulu
memperlihatkan kepandaian. Siapakah di antara Cuwi berlima yang hendak menguji?"
Dengan lagak memandang rendah Kiam-mo Cai-li berdiri dan memandang ke arah lima
orang utusan itu. Tentu saja Bu Swi Nio tidak berani bergerak, juga Liem Toan Ki yang sudah
maklum akan kehebatan ilmu kepandaian wanita Majikan Rawa Bangkai itu mengerti
bahwa dia bukanlah tandingannya. Melihat wanita yang usianya lima puluh tahun itu masih cantik menarik dan
memegang sebatang payung, berdiri dengan sikap memandang rendah, Siok Tojin yang sejak
tadi diam saja sudah bangkit. Ilmu kepandaian tosu ini amat tinggi terutama ilmu
pedangnya, dan di dalam rombongan itu dia merupakan orang ke dua yang terpandai.
"Biarlah pinto yang akan menguji," katanya.
Pat-jiu Mo-kai mengangguk. Memang yang akan menjadi tukang menguji kepandaian
dua orang wanita itu adalah mereka bertiga, dan dia mendengar bahwa kepandaian bekas
Ratu Pulau Es itu lebih hebat daripada kepandaian Kiam-mo Cai-li, maka memang
sebaiknya kalau Siok Tojin yang menghadapi Kiam-mo Cai-li sedangkan dia nanti
yang akan menghadapi The Kwat Lin.
Kiam-mo Cai-li memandang tosu itu penuh perhatian, kemudian sambil tersenyum dia
Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata, "Kalau aku hanya mampu menandingi Siok Tojin, agaknya belumlah patut
aku menjadi tangan kanan Ratu Pulau Es dan akan menjadi kepercayaan An Goanswe,
akan tetapi hendak kuperlihatkan bahwa aku akan dapat mengalahkan totiang dalam
sepuluh jurus. kalau sampai dalam sepuluh jurus aku tidak mampu mengalahkan
Totiang, anggap saja aku tidak
becus dan aku akan mengundurkan diri!"
Ucapan ini mengejutkan semua utusan itu. Biarpun mereka sudah lama mendengar
nama besar datuk wanita yang merupakan iblis betina ini, namun Siok Tojin bukan orang
sembarangan. Ilmu pedangnya amat
tangkas, hebat dan kuat. Bagaimana wanita itu berani bersombong mengatakan
hendak mengalahkannya dalam sepuluh jurus" Namun The Kwat Lin yang dengan pandang matanya yang tajam
dapat menilai orang, tenang-tenang saja. Juga Kiam-mo Cai-li bukanlah menyobongkan diri secara
ngawur, melainkan.dia pun sudah dapat menilai kepandaian tosu itu dari gerakanya
maka dia berani menantang akan
mengalahkannya dalam sepuluh jurus.
Siok Tojin mengerutkan alisnya, perutnya terasa panas. Dia tidak pandai bicara,
maka dalam kemendongkolannya dia hanya berkata, "Hemm, seekor kerbau di kat
hidungnya, manusia di kat mulutnya!"
Ucapan ini mengandung maksud bahwa kalau Kiam-mo Cai-li tidak memenuhi janji
yang diucapkan dengan mulut, dia sama dengan seekor kerbau! Setelah berkata demikian,
tangan kananya bergerak dan tampaklah sinar berkilau dari pedang yang telah
dicabutnya. "Tentu saja mulutku dapat dipercaya, Siok Tojin! Aku akan mengalahkanmu dalam
waktu sembilan jurus! Kiam-mo Cai-li berkata sambil mengejek dan tangan kanannya
memegang payung yang segera terbuka dan dipakainya, sedangkan tangan kirinya diraba-raba
sanggul rambutnya, seperti merapikan padahal diam-diam dia melepas tali
rambutnya yang panjang itu.
JILID 16 "Ehhh.... celaka.....!!" Siok Tojin berseru, akan tetapi bagaimana dia dapat
menghindarkan diri dari serangan ke tiga ini" Kedua tangannya telah menahan dua
ancaman maut dan sama sekali tidak bisa dilepaskan.
"Plak-plak....!!" Seperti ular hidup mematuk saja layaknya, ujung rambut panjang
itu menotok dua kali, membuat ke dua lengan tangan Siok Tojin seketika lumpuh
dan pedangnya telah dirampas oleh ujung rambut yang terayun-ayun dan berputar ke atas, membawa
pedang itu berputaran di atas kepala. "Bagaimana, Totiang?" Kiam-mo Cai-li bertanya.
Sambil menundukan kepalanya, Siok Tojin berkata lirih, "Pinto mengaku kalah."
Dan memang dia tahu akan kekeliruannya sekarang, akan tetapi dia harus mengaku
bahwa dia telah dikalahkan dalam lima enam jurus saja! Dia tahu pula bahwa lawan tidak hendak
mencelakakannya, kakau tidak, tentu ujung rambut itu dapat melakukan totokan
maut yang akan menewaskannya. Rambut itu membawa pedang meluncur ke bawah dan
melempar pedang menancap di depan kaki Siok Tojin, kemudian dua kali rambut menyambar,
dan menotok sehingga terbebaslah tosu itu dari totokan. Siok tojin menghela napas,
mengambil pedangnya, menjura lalu tanpa berkata-kata lagi dia menlangkah mundur
ke tempat teman-temannya.
"Ha-ha-ha, bukan main hebatnya Kiam-mo Cai-li. Pedang payung lihai, kukunya
berbahaya, rambutnya hebat, akan tetapi yang lebih hebat lagi adalah
kecerdikannya yang memancing kemarahan Siok Tojin! Memang kecerdikan seperti itu
amat dibutuhkan dalam tugas bekerja dari dalam yang membutuhkan kecerdikan
seperti yang dimiliki Kiam-mo Cai-li. (Kionghi
(Selamat)! An Goanswe tentu akan girang sekali mendengar laporan kami tentang
diri Kiam-mo Cai-lil!"
Kiam-mo Cai-li yang sudah duduk kembali, tersenyum girang. Aihh, Loenghiong Patjiu Mo-kai terlalu memuji! katanya dengan bangga dan girang.
"Sekarang untuk melengkapi tugas kami yang diberikan oleh An Goanswe, kuharap
The-toanio suka memperlihatkan kepandaian," kata pula Pat-jiu Mo-kai sambil
melangkah maju menyeret tongkat bututnya. "Dan agaknya terpaksa aku sendiri yang
harus maju melayani Toanio." The Kwat Lin masih tetap duduk dan memandang kakek
pengemis itu dengan sinar mata tajam
penuh selidik, kemudian dengan suar tenang dia berkata, "Siapa lagi yang diutus
oleh An Goanswe untuk menguji kami?"
"Hanya kami bertiga, dan karena Siok Tojin sudah kalah....."."maka tinggal
engkau dan Tan Loenghiong itu. Nah, kaulihat Tan Lo-enghiong juga telah membawa
senjatanya, membawa sebatang toya, maka sebaiknya kalau kalian berdua maju dan
mengeroyokku!" Pat-jiu Mo-kai tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, The-toannio, apakah
Toanio juga hendak menggunakan siasat seperti Kiam-mo Cai-li tadi" Ingat,
tidaklah mudah untuk memancing kemarahanku!" The Kwat Lin mengerutkan alisnya, lalu melangkah maju.
"Siapa yang menggunakan siasat" Tanpa siasat pun, menghadapi kalian berdua aku
masih sanggup." Tiba-tiba terdengar suara Han Bu Ong, "Ibu, berikan dia kepadaku! Biar aku yang
menandingi pengemis tua itu!"
Pat-jiu Mo-kai diam-diam terkejut. Kalau seorang anak belasan tahun berani
menghadapinya, tentu ibunya memiliki kepandaian yang hebat sekali. Akan tetapi
The Kwat Lin menoleh kepada puteranya dan berkata, "Bu Ong, kita tidak sedang menghadapi musuh, dan
pertandingan ini hanya untuk menguji kepandaian saja. Jangan kau ikut-ikut!"
Han BU Ong cemberut lalu berkata, "Apalagi hanya dikeroyok dua, biar kalian
berlima maju semua, ibu akan dapat mengalahkan kalian dengan satu tangan saja!"
Kembali Pat-jiu Mo-kai terkejut. Bocah itu, putera The Kwat Lin, tidak lebih
dianggap seperti bocah biasa, dan tentu telah memiliki kepandaian tinggi pula,
maka kata-katanya tidak boleh dianggap kosong belaka. Lenyaplah keraguannya dan
dia berkata kepada The Kwat Lin,
"Memang sesungguhnya aku sendiri dan Tan Goan Kok merupakan orang-orang yang
diutus menguji kepandaian Toanio, apakah kami boleh maju bersama menghadapi
kelihaian Toanio?" Dengan sikap tak acuh The Kwat Lin berkata sambil menggerakan tangan kirinya,
"Majulah, jangan sungkan-sungkan!"
Tan Goan Kok yang berwatak kasar itu melompat ke depan. "Hemm, tentu Nyonya
rumah memiliki kelihaian yang luar biasa maka menantang kita maju berdua, Patjiu Mo-kai!" Pat-jiu Mo-kai mengangguk-angguk. "Hati-hatilah, Tan-sicu." Mereka
berdua lalu memasang kuda-kuda di sebelah kanan kiri The Kwat Lin. Pat-jiu Mokai memegang tongkat butut dengan
tangan kanan seperti memegang sebatang pedang, tongkat itu menuding ke depan
dari dadanya, lurus ke depan, sedangkan tangan kirinya menjaga di depan pusar, kedua
kaki ditekuk sedikit, agak merapat di depan dan belakang. Tan Goan Kok memegang
toyanya dengan kedua tangan, kuda-kudanya kuat sekali, kokoh seperti batu karang dan
toya di kedua tangannya itu sedikit pun tidak bergoyang. Melihat dua orang itu
sudah memasang kuda-kuda, The Kwat Lin lalu mencabut pedangnya, yaitu Ang-bwekiam dan melangkah maju sambil berkata, Nah silahkan kalian mulai!" "Kami adalah tamu-tamu dan kami maju
berdua, tidak pantas kalau kami mulai, silahkan Toanio mulai," kata Pat-jiu Mokai yang tidak mau membuka serangan karena dia ingin lawan maju menyerang lebih
dulu agar dia atau temannya dapat mengacaukan pertahanan lawan dengan serangan mendadak. The Kwat
Lin tersenyum, maklum akan siasat kakek jembel itu. "Nah, sambutlah!" teriaknya dan
Pat-jiu Mokai kecele kalau hendak melanjutkan siasatnya karena tiba-tiba pedang
itu lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar yang menyambar ke arah mereka
seperti kilat cepatnya sehingga sekali bergerak, pedang itu telah menyerang
mereka berdua dalam waktu yang hampir bersamaan!
Tentu saja mereka terkejut sekali dan cepat menggerakkan tongkat dan toya untuk
menangkis. "Trang...! Cringggg....!!"
Pat-jiu Mo-kai dan Tan Goan Kok terhuyung ke belakang. Tenaga yang keluar dari
Ang-bwe-kiam sungguh dahsyat, membuat telapak tangan mereka terasa panas dan
hampir saja senjata mereka terlepas.
Terkejutlah kedua orang itu dan The Kwat Lin diam-diam mentertawakan mereka
karena dia memang hendak mengukur lebih dulu kekuatan lawan..Karena merasa penasaran, kini ke dua
orang itu maju dari kanan kiri dan mulailah mereka menyerang
dengan ganas. Kwat Lin sudah dapat mengetahui bahwa di antara kedua orang
pengeroyoknya, tongkat kakek jembel itulah yang lebih lihai maka dia selalu
mendahulukan tangkisannya terhadap tongkat itu, baru dia menangkis toya yang
menyambar. Dia tahu bahwa kakek Tan Goan Kok yang kasar itu hanyalah menggandalkan tenaga gwakang
yang besar, namun makin besar tenaga kasar lawan, makin mudah dia menghadapinya
karena sedikit getarkan pedang yang dilakukan dengan pengerahan sinkang cukup membuat
telapak tangan Tan Goan Kok terpukul sendiri oleh tangannya. Lewat sepuluh
jurus, setelah dia yakin akan ukuran tenaga kedua orang lawannya, Tiba-tiba The
Kwat Lin menyarungkan kembali
pedangnya dan menghadapi kedua lawan itu dengan tangan kosong. Tentu saja dua
orang lawannya cepat menahan senjata dan pat-jiu Mo-kai berseru, Hei i, The-toanio.
Kami belum kalah mengapa engkau mengakhiri pertandingan?"
"Siapa Mengakhiri" lanjutkanlah serangan kalian, aku menyimpan pedang karena
takut rusak." "Huhhh, dengan tangan kosong pun ibu akan mudah mengalahkan kalian!" Mendengar
teriakan bocah itu, dua orang kakek itu lalu maju lagi dan menggerakan senjata
mereka untuk menyerang. Tongkat pat-jiu Mo-kai melayang dari atas menghantam
kepala, sedangkan toya Tan Goan Kok menyambar dari samping menghantam lambung!
Mereka terkejut setengah mati melihat lawan itu sama sekali tidak mengelak, hanya miringkan sedikit
tubuhnya dan meloncat sedikit. "Bukkk! Bukkkk!!" Tongkat itu dengan kerasnya
menghantam leher dan toya itu menghantam pangkal paha, akan tetapi tiba-tiba dua
orang kakek itu roboh terguling dalam keadaan lemas tertotok! "Horeeee....!!"
Han Bu Ong bersorak melihat betapa dalam segebrakan saja setelah ibunya
menyimpan pedang, dua orang pengeroyok itu dapat
dirobohkan. Sementara itu, The Kwat Lin cepat membebaskan totokannya dan dua
orang kakek itu dapat bangkit sambil memungkut senjata mereka dan memandang dengan
mata terbelalak kagum kepada wanita itu. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa
mereka dapat dirobohkan hanya dalam segebrakan saja, namun kenyataannya memang demikian
dan mengingat akan siasat lawan ini, mereka bergidik dan kagum sekali. Ternyata
ketika tadi dia menggunakan pedang, The Kwat Lin hanya ingin mengukur sampai di
mana kekuatan dua orang lawannya. Setelah yakin benar, dia menyimpan pedang dan sengaja menerima
hantaman yang sudah dia ukur akan dapat diterima oleh leher dan pinggulnnya,
kemudian pada saat kedua senjata itu tiba di tubuhnya, menggunakan kesempatan selagi
kedua orang kakek itu terkejut melihat lawan tidak mengelak dan menerima
pukulan, cepat seperti kilat kedua tangan The Kwat Lin bergerak dan berhasil
menotok roboh dua orang kakek yang sama sekali tidak menduga bahwa lawan yang
terkena hantaman dua kali itu akan menotok
mereka! "Bukan Main!!!" Tan Goan Kok berseru dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Belum pernah selama hidupnya dia bertemu tanding sehebat itu.
"Kami mengaku kalah! Kiranya The toanio memiliki kelihaian yang amat luar biasa
dan kami akan melaporkan semua ini kelak kepada An Goanswe," kata pat-jiu Mokai. The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li girang sekali setelah dapat menundukan para
utusan itu, maka pesta lalu diadakan untuk menyambut utusan-utusan An Lu Shan
dan sambil makan minum mereka lalu
merundingkan dan merencanakan siasat untuk bekerja sama.
Dalam kesempatan ini, Pat-jiu Mo-kai mengeluarkan sebuah peti hitam kecil dan
menyerahkannya kepada The Kwat Lin sambil berkata, "Harap Toanio suka menerima
hadiah tanda persahabatan dari An Goanswe ini."
The Kwat Lin menyatakan terima kasih, lalu bersama Kiam-mo Cai-li membuka peti
yang terisi emas dan perak dalam jumlah yang cukup banyak. The Kwat Lin lalu melepaskan rantai
kalungnya dan menyerahkannya kepada Pat-jiu Mo-kai sambil berkata, "kami tidak
mempunyai apa-apa untuk dipersembahkan kepada An Goanswe sebagai tanda persahabatan ini, harap Mo-kai
suka menerima dan menyampaikan kepada Beliau.".Pat-jiu Mo-kai menerima kalung itu dan mereka
berlima terbelalak kagum melihat mata kalung yang amat
besar dan indah penuh batu permata yang amat luar biasa. Biarpun mereka bukanlah
ahli, namun pengalaman mereka membuat mereka, terutama tiga orang kakek itu
dapat menduga bahwa harga kalung ini tidak kalah mahalnya dengan peti dan isinya, hadiah dari
An Lu Shan tadi! "Hendaknya di antara pelaporan Cuwi, diberitahukan kepada An
Goanswe bahwa kami sama sekali tidak membutuhkan harta benda, melainkan
hendaknya An Goanswe mengingat
bahwa saya adalah bekas Ratu Pulau Es dan puteraku adalah seorang Pangeran,
sedangkan Kiam-mo Cai-li adalah majikan Rawa Bangkai sehingga kelak kalau perjuangan kita
berhasil, sudah sepatutnya kalau kami memperoleh kedudukan yang setingkat dengan
keadaan dan dengan bantuan kami."
Mengertilah tiga orang kakek itu bahwa wanita lihai bekas ratu ini ternyata
memiliki ambisi untuk kedudukan tinggi bagi puteranya.
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Lui Bwee, Ratu Pulau Es yang bernasib
sengsara, ibu dari Swat Hong itu. Seoerti telah diceritakan di bagian depan, Liu
Bwee meninggalkan Pulau Es, naik perahu dan mencari atau menyusul puterinya, Han
Swat Hong yang lebih dulu
meninggalkan Pulau Es menuju ke Pulau Neraka hendak menggantikan hukuman yang
dijatuhkan oleh Raja Pulau Es atau diri Liu Bwee. Sambil menahan tangisnya,
wanita yang menderita sengsara karena madunya ini mendayung perahu secepatnya
meninggalkan Pulau Es. Akan tetapi, biarpun semenjak kecil berada di Pulau Es, namun dia belum
pernah pergi Ke Pulau Neraka. Siapakah orangnya yang berani pergi ke Pulau
Neraka, kecuali mereka yang memang dihukum buang ke pulau terkutuk itu" Karena
tidak mengenal jalan, Lui Bwee
menjadi bingung, apalagi karena tidak lagi melihat bayangan puterinya. Dia
adalah puteri nelayan Pulau Es, tentu saja dia pandai mengemudikan perahu, akan
tetapi karena tidak tahu di mana letaknya Pulau Neraka, dia menjadi bingung dan
meluncurkan perahunya tanpa arah tertentu, asal meninggalkan Pulau Es sejauhjauhnya saja. Dia ingin menjauhkan diri dari suaminya yang amat tercinta, dan
terutama dari The Kwat Lin, madunya yang telah
menghancurkan hidupnya. Setelah sehari semalam berputaran tanpa tujuan dan sama sekali tidak melihat
Pulau Neraka atau puterinya, bahkan tidak melihat seorang pun manusia yang dapat
dia tanyai di antara gumpalan-gumpalan es yang mengambang di laut dan pulaupulau kosong yang banyak terdapat di situ, tanpa makan tanpa tidur, akhirnya Liu Bwee terpaksa mendarat
di sebuah pulau kosong yang subur. Dia mencari makanan untuk memenuhi tuntutan
Dendam Perempuan Sepi 2 Pendekar Rajawali Sakti 122 Sepasang Pendekar Bertopeng Misteri Pulau Neraka 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama