Ceritasilat Novel Online

Dendam Perempuan Sepi 2

Suro Bodong 09 Dendam Perempuan Sepi Bagian 2


"Saya ingin ikut menjaganya, saya ingin melihat apa-apa yang dilakukan sepanjang
hari, supaya saya tahu persis bahwa dia bukan iblis berhati binatang!" ujar Puji
Wardani dengan kebencian masih tersirat lewat nada suaranya.
Ada sebuah kamar yang letaknya bertolak belakang
dengan kamar Puji Wardani. Kamar itu, dulu bekas kamar pusaka yang sekarang
sudah dipindahkan ke ruang utama Kadipaten. Menjadi satu dengan kamar tidur
Adipati Lohgawe.
Kamar bekas tempat penyimpanan pusaka itu terbuat
dari dinding tebal, belapis pintu baja yang kokoh. Konon, kamar itu dulu bekas
kamar tidur kakek Puji Wardani yang dikenal di rimba persilatan sebagai Malaikat
Tanpa Bintang. Di depan kamar itu, ada sederetan rumah
keprajuritan di mana Wijaya dan Rahuto juga tinggal di sana. Lalu di samping
kiri kamar itu, adalah ruang perpustakaan, dan di sebelah kanan kamar itu,
adalah gudang penyimpanan pakaian perang. Menurut beberapa punggawa negeri,
memang kamar bekas tempat
penyimpanan pusaka itulah satu-satunya tempat yang layak untuk mengurung rapat
Suro Bodong. Hanya ada satu pintu baja, tak ada jendela kecuali lubang angin
yang sebesar bata merah di atas pintu. Letaknya cukup tinggi dan hanya terdiri
dari dua lobang angin.
Di kamar itu, ada dipan kecil bisa untuk berbaring, ada meja dan kursi sederhana
untukmanak, dan ada meja hias lengkap dengan cerminnya yang berbentuk daun waru.
Sebab, konon kakek Puji Wardani itu termasuk laki-laki pesolek yang memiliki
meja rias sendiri. Suro Bodong sempat tertawa sendiri melihat tempat rias yang
katanya bekas milik Malaikat Tanpa Bintang itu. Alangkah genitnya lelaki tua itu
pada masa ia masih hidup. Apa saja yang dikenakannya" Apakah ia juga mengenakan
gincu" Ih, lucu!
Suro Bodong tidak perduli tempat itu, apakah terkurung rapat atau tidak, yang
jelas di situ ia menunggu saat yang baik untuk keluat dan berhadapan langsung
dengan orang yang mengaku dirinya.
Ada sedikit rasa aneh di hati Suro Bodong. Ia memang dijaga oleh dua orang
prajurit bersenjata lengkap. Tapi mereka ada di luar kamar. Di depan pintu.
Mereka tidak melihat apa yang dilakukan Suro di dalam kamar tersebut.
Padahal, seharusnya mereka selalu memantau kegiatan Suro Bodong setiap harinya.
Hal ini untuk menyelidiki apakah Suro benar-benar selalu ada di dalam kamar atau
sempat menghilang. Seharusnya mereka menaruh satu
orang pengintai untuk mengawasi Suro Bodong. tapi
nyatanya tidak. Suro sudah memikirkan ke sana ke mari, tidak ada lobang
pengintaian itu. uuh...! Alangkah tololnya mereka! Pikir Suro.
Tetapi, sebenarnya Suro sendiri yang tolol, sebab ia tidak tahu kalau ada
sepasang mata yang selalu mengawasi gerak-geriknya. Sepasang mata itu adalah
sepasang mata yang sempat dikagumi Suro sendiri. Puji Wardani.
Dia yang dengan tekun memperhatikan segala gerakgerik Suro Bodong dari kamarnya sendiri yang bertolak belakang dengan kamar
Suro. Puji Wardani dengan tekun dan cermat selalu mengikuti kegiatan Suro di
dalam kamarnya. Ia cukup berdiri, atau duduk di depan sebuah cermin, di mana
cermin itu adalah cermin tembus pandang ke kamar Suro Bodong. Cermin yang ada di
kamar Puji bisa untuk melihat keadaan di kamar Suro, sebab cermin itu tepat
berada di balik cermin hias yang ada di kamar Suro Bodong. Apalagi Suro Bodong
memandang cermin hias, ia tidak bisa melihat keadaan kamar Puji Wardani. Ia
hanya akan melihat wajahnya sendiri di dalam cermin hias itu.
Kalau saja Suro Bodong tahu bahwa cermin itu bisa
untuk memperhatikan keadaannya dari kamar Puji
Wardani, mungkin ia tidak mau sering-sering berada di depan cermin. Tapi, karena
dia tidak tahu hal itu, maka sesekali ia duduk dan berdiri di depan cermin
memperhatikan luka di wajahnya, terkadang menghilangkan darah yang mengering di
keningnya, atau menobati luka dengan tangan kiri yang diludahi. Ia sengaja tidak
ingin menghilangkan lukanya, walau hal itu bisa di lakukan.
Sebab ia ingin agar kelak orang-orang Kadipaten Kidang Kencana tahu, betapa
kejinya mereka melukai orang tak berdosa. Tapi, tentunya itu kalau dia sudah
bisa membuktikan bahwa dia bukan pembunuh yang dicari
rakyat Kadipaten Kidang Kencana.
"Kau tak bosan-bosannya memperhatikan dia, Puji....?"
Tegur istri Adipati kepada anaknya ketika ia masuk ke kamar Puji Wardani.
"Untuk meyakinkan siapa pembunuh Kang Mas Atmaja,
aku harus sabar dan tekun melakukan penyelidikan ini, Ibu."
Ibu Puji Wardani menghela nafas. Kemauan anaknya
dari kecil memang keras dan tak boleh dicegah oleh siapa pun. Apalagi Puji
Wardani anak tunggal yang menjadi buah hati sang ibu, tentu saja ia sangat
dimanja dan diberi kesempatan untuk menentukan sikap.
Sambil ikut memperhatikan Suro Bodong yang tengah
melatih otot-otot tubuhnya dengan gerakan lamban, istri Adipati itu berkata
kepada anaknya,
"Jaga kesehatanmu agar jangan sampai sakit karena
memperhatikan gerak geriknya."
"Ya, Bu. Aku sadar akan hal itu," jawab Puji. "Bagaimana keadaan di luar, Bu?"
"Sudah dua hari ini rakyat ikut sibuk mencari Suro Bodong. Kabar Suro Bodong
melarikan diri sampai ke mana-mana. Bahkan kemarin Pragulo menghadap ayahmu
untuk meminta tambahan uang hadiah. Katanya, ia
sanggup mencari dan menangkap Suro Bodong."
"Pragulo...!?" Puji Wardani berkerut dahi. "Pragulo putra paman Renggono itu?"
"Ya. Dia baru saja pulang dari puncak Mahageni.
Katanya ia telah selesai berguru dengan Resi Pangguno, bahkan ia pun sempat
menawarkan diri untuk menjadi Jagabaya di kadipaten ini asal upahnya memadai."
Puji Wardani menggumam dan berpikir sesaat, tapi
matanya masih mengawasi Suro Bodong lewat cerminnya.
"Kemudian Romo menerimanya sebagai Jagabaya di
sini?" "Romomu sedang mempertimbangkan," jawab ibu Puji
Wardani dengan mata juga memandang Suro melalui
cermin itu. Kemudian perempuan yang rambutnya mulai beruban tipis itu bertanya
tentang Suro Bodong, "Apa saja yang ia lakukan selama ini" Tidak ada yang
mencurigakan?"
"Kurasa tidak, Bu. Dia hanya melatih gerakan-gerakan tubuhnya, seakan melemaskan
otot-ototnya yang selama ini mungkin kaku akibat siksaan penduduk dan dari kita
sendiri." Suro Bodong menerima makanan dari penjaganya. Ia
bertanya, "Jagung bakarnya mana?"
"Sedang dibakar oleh Ki Sangu...!"
"Ooo...nanti lekas kirim ke mari ya?" kata Suro yang tak mau ketinggalan jagung
bakar sebagai makanan saban harinya. Adipati yang menyuruh agar segala
permintaan Suro Bodong yang bersifat tidak membahayakan dapat dikabulkan tanpa
pertimbangan macam-macam. Dan satu-satunya permintaan yang sering didengar
adalah jagung bakar.
Puji Wardani sendiri sampai heran memperhatikan Suro Bodong yang gemar memakan jagung bakar. Kelihatannya, jika Suro mulai memakan
jagung bakar, dunia ini menjadi miliknya sepenuhnya. Ia kelihatan tenang dan
berwibawa. Puji sering menelan ludahnya sendiri jika melihat Suro Bodong sedang mengunyah
jagung bakar. Sampai-sampai, iapun berbisik kepada emban yang melayaninya agar
dibuatkan jagung bakar juga. Puji sempat tertawa sendiri dalam hati,
menertawakan sikapnya yang lama-lama
ketularan Suro Bodong.
Bahkan, ketika Suro Bodong melatih diri dengan
menggerakkan tangan, kaki dan badannya secara
perlahan, Puji Wardani ikut-ikutan meniru gerakan itu. Ia tak tahu kalau Suro
Bodong sedang melatih satu jurus berangkai yang mempunyai saluran tenaga dalam
cukup hebat. Puji Wardani hanya tahu, bahwa gerakan jurus itu cukup indah dan ia
menyukai gerakan itu sehingga
ditirukan. Jurus itu sebenarnya pemberian dari Eyang
Panembahan yang dinamakan jurus Gerakan Bidadari Pagi.
Gerakannya cukup lamban, seperti orang menari, tapi hentakan-hentakan tersendiri
yang mampu menyalurkan tenaga dalam jika dilatih berulang-ulang.
Empat hari sudah Puji Wardani ikut melatih diri
menggunakan jurus Gerakan Bidadari Pagi itu. Rasarasanya ia mulai hapal, dan mulai terasa ada perubahan pada aliran darahnya.
Sering berdesir-desir dan desiran itu menjalar ke tangan, kaki dan seluruh jarijarinya. Kadang-kadang, ketika Suro beristirahat, Puji Wardani melatih gerakan
itu sendiri tanpa memperhatikan gerakan dari Suro Bodong. Lama-lama, ia terkejut
ketika menggerakkan tangannya dengan gemulai seperti orang menebar bunga, tahutahu sebuah jambangan keramik pecah. Bersamaan dengan itu ia merasa ada semacam
desiran yang terlempar dari jarinya.
*** 4 ALAM keempat, Suro Bodong dikeluarkan dari
kamarnya. Bukan untuk keperluan ke kamar
M mandi,melainkan Adiati ingin bicara dengannya.
Rupanya, bukan hanya Adipati yang menunggu kehadirannya, melainkan Wijaya,
Rahuto dan para perajurit lainnya pun sudah menunggu di ruang paseban.
"Ada masalah apa ini?" Suro Bodong menyapa mereka
dengan santai, sambil memetik-metik jagung bakar
kesukaannya untuk kemudian dilemparkan ke mulut
seenaknya. "Dugaanmu benar," kata Adipati Lohgawe yang
didampingi istrinya.
"Dugaan apa?"
"Ada orang yang mengaku Suro Bodong telah membunuh dua keluarga dalam semalam ini. Dia sempat memperkosa seorang perawan,
lalu membunuhnya. Rakyat
mulai terbakar dan menuntut agar semua perajurit dikerah-kan untuk mencari dan
membunuh Suro Bodong.
Senyum sinis Suro membuat mereka tertegun. Suro
berjalan ke pintu, menghadap ke luar sambil makan jagung bakar. Beberapa mata
mengikuti gerakannya. Kemudian, Suro berbalik dan berkata dengan tenang.
"Di mana keluarga yang menjadi korban itu?"
"Di kampung Ligu," jawab Rahuto.
"Kau menyaksikan sendiri keadaan korban?" tanya
Suro. "Bukan aku, tapi Wijaya...."
"Benar, Wijaya?"
"Benar!" Wijaya menjawab mantap seperti memberi
laporan kepada pimpinannya.
"Mari kita ke sana!" ajak Suro. "Aku ingin melihat sendiri bekas luka dan
keadaan sekeliling. Siapa tahu ada tanda-tanda yang kukenal, atau yang bisa
kusimpulkan!"
"Jangan ke sana!" cegah Adipati Lohgawe. Suro
memandang dengan tenang, namun Adipati tanggap
bahwa Suro membutuhkan penjelasan. Karena itu Adipati Lohgawe menjelaskan,
"Kalau kau ke sana, rakyat akan mengamuk! Mereka
tahu kalau kau bersama kami. Sebab, bagaimanapun juga rakyat hanya mengenal Suro
Bodong dalam ujud seperti kamu. Mereka pasti akan mengira, kaulah yang telah
berbuat." "Kalau menurutmu, bagaimana?" Suro bicara
seenaknya. Cuek sekali.
"Memang bukan kau pelakunya," jawab Adipati
kemudian. "Bagaimana kau yakin itu bukan aku?"
"Kami punya cara sendiri untuk meyakinkan hal itu,"
Adipati tidak menjelaskan caranya.
Suro Bodong manggut-manggut, lalu bertanya,
"Jadi, apa gunanya aku dipanggil ke mari?"
"Kau pasti punya gagasan lain, Suro. Kami mengharapkan usulmu. Karena usul pertama, yaitu mengurung-mu dan menyebarkan berita
bohong tentang pelarianmu sudah berhasil memancing kemunculan Suro Bodong yang
palsu." Senyum Suro melebar. Adipati angkat bahu dengan
membalas senyuman ramah.
"Kok aku kau jadikan penasihat" Aku sendiri belum
sehat. Lihat, luka-lukaku masih membekas dan perih setiap hati."
Adipati berdiri, lalu mendekati Suro Bodong dan berkata dengan penuh penyesalan,
"Kalau ada cara untuk menebus kesalahan kami,
katakanlah cara apa yang harus kami lakukan. Kami
sangat menyesal mengapa kau menjadi korban dendam
kesumat kami."
"Caranya mudah saja....!" Kata Suro Bodong.
"Sebutkanlah...!"
"Beri aku kebebasan bergerak di sini, supaya aku bisa berhadapan dengan Suro
Bodong yang palsu! Kalau kau dan perajuritmu percaya bahwa aku bukan
pembunuhnya, maka akupun akan membantumu sekuat tenaga untuk
menangkap pembunuh menantumu itu. Beri aku
kepercayaan, maka akan kuberikan nyawaku untuk
Kadipaten ini!" kata Sur dengan tegas.
Adipati Lohgawe tersenyum bangga mendengar katakata itu. Yang lain pun tampak manggut-manggut dengan serius. Kemudian, Adipati
berkata dengan tegas,
"Bertindaklah seperti di rumahmu sendiri, Suro. aku percaya, hanya kau yang bisa
menyelesaikan masalah ini!"
"Nah... begitu!"
"Sekarang apa gagasanmu?" tanya Wijaya.
"Mengembalikan kepercayaan rakyat, bahwa pemerintahan di Kadipaten ini masih mampu menegakkan
keadilan dan menjamin ketentraman rakyanya!" jawab Suro .
Yang lain manggut-manggut lagi seperti wayang golek.
"Bagaimana caranya?" istri Adipati diizinkan bicara.
"Kerahkan semua prajurit untuk menyebar ke seluruh Kadipaten siang dan malam.
Jika melihat orang seperti aku, atau yang mengaku Suro Bodong, jangan ditangkap,
melainkan diikuti dengansembunyi-sembunyi. Lalu salah seorang memanggilku dan
aku akan datang menghadapi dia!"
"Kalau semua prajurit menyebar di luar dalem
kadipaten, lantas bagaimana keamanan di sini sendiri?"
kata Adipati. "Aku yang bertanggung jawab keamanan di sini! Syukur-syukur orang itu mau datang
ke mari dengan maksud
membunuh siapa saja, terserah pilihannya."
"Kedengarannya kau malah mengharapkan kematian!"
sela Rahuto. "Kelihatannya memang begitu. Tetapi sebenarnya
kematian yang kuharapkan adalah kematian pembunuh
keji itu. kalau dia mau datang ke mari, berarti dia sudah siap berhadapan dengan
aku. Jangan coba-boa melarikan diri, karena itu perbuatan sia-sia, tahu"!"
"Yaah, tapi jangan melototnya sama aku, ah!" gerutu Rahuto dengan bersungutsungut. Suro tersenyum sendiri.
"Supaya kau menyampaikan kepada orang itu kalau
sewaktu-waktu bertemu dengannya," kata Suro Bodong menutupi kegeramannya.
Adipati sendiri segera berkata kepada prajurit-prajurit pilihan, termasuk orang
andalannya, Wijaya dan Rahuto.
"Kerjakan cara itu! Bawa semua prajurit, sisakan
sepuluh orang di sini. Dan jangan bertindak gegabah!
Mengerti?"
"Sendiko, Kanjeng Adipati...!" jawab mereka.
Sebelum Suro Bodong pergi ke kamarnya, ia sempat
berkata kepada Adipati dan istrinya,
"Tolong diingat-ingat, siapa-siapa saja orang yang pernah dikecewakan oleh
pemerintahanmu, Adipati."
"Maksudmu?"
"Aku melihat tujuan pembantaian itu. Tak lain hanya untuk merongrong kewibawaan
pemerintahanmu! Kalau
rakyat mengaku bernama Suro Bodong itu yang menjadi dalang mereka, sekarang ini,
menurut dugaanku, orang tersebut sedang menciptakan rasa tidak percaya rakyat


Suro Bodong 09 Dendam Perempuan Sepi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadamu! Kalau rakyat sudah tidak percaya, sudah
kecewa dengan pemerintahanmu, maka ia mudah
dikendalikan untuk memberontak!"
Adipati manggut-manggut sambil memperhatikan Suro
Bodong yang seenaknya berdiri di depan seorang Adipati sambil memakan jagung
bakar. "Ingat...." Kata Suro lagi, "Hanya orang yang merasa pernah dikecewakan oleh
pemerintahanmu, itulah yang akan menyulut api pemberontakan. Karena itu, ingatingat....siapa saja yang pernah kau kecewakan. Catat, dan nanti kita bicarakan...!"
Suro sudah bersikap seperti raja saja. Hal ini ia lakukan untuk menghajar
Adipati atas tindakannya tempo hari yang membiarkan diri Suro disiksa oleh anak
buahnya. Suro sendiri sebenarnya tak tega bersikap begitu, tapi demi kelanjutan
sikap Sang Adipati, ia merasa perlu mem-perlakukan Adipati Lohgawe seperti
bawahannya. Dan Adipati Lohgawe sendiri tidak tersinggung dengan sikap tersebut.
Ia tidak mempersoalkan sikap Suro, tetapi yang diperhitungkan adalah bagaimana
membuat rakyatnya
bersimpati lagi kepada pemerintahannya.
Waktu Suro Bodong mau masuk ke kamarnya, kamar itu sudah tidak dijaga oleh
pengawal lagi. Tetapi di depan kamar itu, telah berdiri seorang perempuan
bertubuh sekal dengan bentuk bibir yang sensual. Puji Wardani. Dia yang berdiri
di depan pintu kamar Suro Bodong. Hal itu sungguh mengejutkan Suro Bodong. Ia
terpaksa berhenti
melangkah, namun masih menampakkan sikap acuh-acuh butuh.
"Ada apa kau di sini?" tanya Suro sengaja dibuat ketus.
"Aku ingin bicara denganmu," kata Puji Wardani dengan suara pelan.
"Apa...?" Suro berlagak budeg.
"Aku ingin bicara padamu."
"O, ya..." Aku tidak ingin...!" Suro menampakkan
sikapnya yang angkuh. Sengaja, untuk memancing
kemarahan Puji sekaligus menggoda hati Puji yang tampak menyesali sikapnya
selama ini. Suro Bodong langsung masuk ke kamar, bagai tidak
perduli dengan Puji Wardani. Tanpa setahu Suro,
perempuan cantik itu juga buru-buru lari ke kamarnya dan berdiri di depan
cermin, memperhatikan Suro dari balik cermin hiasnya. Suro memang tidak tahu. Ia
langsung saja duduk di depan cermin sambil tertawa sendiri.
"Rasakan pembalasanku, Puji...! Rasakan! Sakitkan
rasanya hati kalau disuguhi sikap sinis dan ketus seperti tadi..." Sakit kan?"
Suro Bodong sebenarnya berkata pada dirinya sendiri di depan cermin. Tetapi
karena Puji Wardani bisa melihat tembus ke kamar Suro melalui cermin di
kamarnya, maka rasa-rasanya ia sedang berbicara kepada Suro berhadap-hadapan.
Rasa-rasanya Suro sengaja mengajak Puji
Wardani bicara, sekalipun tidak mendengar suaranya, tapi dari gerakan bibir Puji
bisa mengerti apa yang dibicarakan Suro.
Tak tahan hati Puji menerima kata-kata itu. Ia sempat memerah matanya, dan
menunduk sedih. Ia bertahan
untuk tidak menangis. Ia malu pada diri sendiri, hanya karena orang seperti Suro
ia harus menangis. Ia tidak mau!
Tidak mau! "Sekarang mereka semua sudah menyesali perbuatannya," kata Suro sendirian di depan cermin yang
memantulkan bayangan dirinya. "Mereka sudah tahu
bahwa perbuatannya menyiksaku adalah kesalahan besar yang seharusnya ditebus
dengan nyawa. Maka, tak ada gunanya aku bertahan dalam keadaan luka seperti ini.
Aku harus segera mnyembuhkan diriku sendiri."
Puji Wardani sempat pula menangkap pmbicaraan itu
melalui bibir Suro. Ia menengadah dan memperjelas
penglihatannya, ia bertanya dalam hati, apa yang akan dilakukan Suro dengan
luka-lukanya itu.
Suro melakukan penyembuhan yang aneh dan
menjijikan. Ia meludah ke telapak tangannya tujuh kali, lalu kedua telapak
tangan itu saling menggosok, kemudian masing-masing ditempelkan pada bagian yang
luka. Setiap saat ia memejamkan mata dan menahan nafas dalam-dalam. Sesaat
kemudian ia melepas telapak tangan yang menempel pada luka, dan hasilnya membuat
Puji Wardani terbelalak bengong.
Setiap luka yang ditempeli telapak tangan, selalu hilang tanpa bekas sedikitpun,
kecuali sisa darah yang kering.
Demikian pula luka di pundak, luka di kepala akibat getokan tongkat seorang
kakek tempo hari, luka memar di sudut matanya, semua hilang bagai tak pernah
terjadi luka di situ. Tak habis-habisnya Puji Wardani terheran-heran dan
berdecak dengan gumam yang lirih.
"Hebat sekali dia itu..." kata Puji Wardani sendirian dengan suara lirih. Semalam
itu ia duduk di tepi ranjang sambil memperhatikan Suro Bodong menyembuhkan luka,
dan mempelajari beberapa gerakan jurus Bidadari Pagi.
Tanpa disadari, Puji Wardani tertidur di ranjang dalam keadaan berpaling ke arah
cermin. Ketika ia terbangun di ujung fajar, ia merasakan ada tangan yang merayap
di dada. Ia sangat terkejut, karena ketika membuka mata, ia langsung berhadapan
dengan seorang lelaki berikat kepala merah.
"Hah..."!" Puji Wardani terpekik. Ia melihat tubuhnya nyaris tanpa busana lagi.
Dan seorang lelaki gemuk, dengan ikat kepala merah, baju merah lengan panjang
yang tak dikancingkan, juga celana biru yang terikat pinggang kuning, sedang
berdiri dengan senyum yang menggoda.
"Suro..."!" Puji Wardani membisik tegang seraya
menutup dadanya dengan selimut tebal. "Apa-apaan kau, hah" Berani-beraninya kau
masuk ke mari, Suro" Nanti kupanggilkan romo bisa dihukum lagi kau!"
"Aku hanya ingin menemanimu mengusir kedinginan
pagi," kata Suro Bodong.
"Oh, jangan! Aku...aku....nanti kalau ada yang tahu, kita berdua bisa dijatuhi
hukuman. Jangan Suro...."
"Semua orang tertidur nyenyak, juga para pengawal!
Kita bisa berlayar sebentar untuk mengusir dinginnya pagi..."
Suro Bodong meraih selimut yang dipegangi Puji
Wardani. Tetapi selimut itu masih dipegang erat-erat oleh Puji.
"Tidak....! Aku tidak mau, Suro .... Oh, jangan...!"
Tetapi ketika selimut dihentakkan, terbukalah dada itu, membusung dan mulus.
Membengkak tapi berisi padat.
Suro Bodong segera memeluk tubuh Puji Wardani.
Wajahnya mendesak-desak di dada. Kumisnya yang tebal menggelitik Puji sehingga
perempuan itu mendesah
berkepanjangan. Kendati demikian, ia tetap saja berkata,
"Tidak...! Jangan....! Oh, jangan lakukan itu, Suro
....jangan...!"
Suro Bodong melepaskan baju merahnya. Dan pada
saat itu teringatlah Puji, bahwa Suro sudah tidak
mempunyai baju merah lagi. Baju itu telah robek dicabik-cabik dan dibuang.
Belakangan ini, Suro Bodong tidak pernah mengenakan baju lagi. Tetapi....lelaki
yang menyerangnya dengan nafas memburu itu memakai baju dalam keadaan masih bagus.
Belum ada luka atau bekas sobekan sedikitpun.
Seketika itu juga, Puji Wardani sadar bahwa lelaki yang mendusal-dusal di
dadanya dengan rakus itu bukan Suro Bodong sebenarnya. Puji segera berteriak
keras dan nyaring.
"Aaaaahhh...!!" sambil kaki kanannya mendepak alat
vital lelaki itu. Ketegangan dan ketakutan memuncak.
Lelaki itu ditendang sekali lagi hingga terpental membentur dinding. Puji
Wardani menjerit sekuat-kuatnya.
Suara jeritan Puji Wardani sempat membangunkan Suro Bodong. Segera Suro Bodong
melompat dari dipan dan berlari ke luat. Ia memutar ke arah kamar Puji Wardani,
lalu menendang pintu kamar itu dengan kasar.
"Braaak...!"
Sekali tendang, pintu terbuka. Suro Bodong berdiri dengan kedua kaki merenggang.
Badannya yang tanpa
baju itu kelihatan besar, berotot kuat. Matanya mendelik seketika sewaktu ia
melihat seorang lelaki yang sedang berusaha untuk memperkosa Puji Wardani. Yang
membuat Suro terkejut adalah, kemiripan lelaki itu dengan dirinya.
Suro Bodong bagai melihat dirinya sendiri sedang
melakukan usaha pemerkosaan terhadap diri Puji Wardani.
Merah muka Suro Bodong yang asli. Ia segera menyerang lelaki yang serupa
dengannya itu dengan sebuah
tendangan kilat. Tendangan itu tepat mengenai wajah lawan hingga terpental jatuh
dari ranjang. "Kau keparat busuk...!" gerak Suro Bodong yang segera menyerang kembali lawannya.
Pada saat itu lawannya siap berdiri. Tendangan kaki Suro ditangkisnya dengan
lengan kanan, sedangkan lengan kirinya segera menghentak ke depan dalam posisi
telapak tangannya terbuka sedangkan keempat jarinya terlipat bagian ruas atas.
Suro Bodong yang asli nyaris menjatuhi Puji Wardani, karena ia terpental ketika
ada semacam hawa kuat yan gmendorong tubuhnya sejak tangan lawan menghentak ke
depan. Ia segera bergegas bangkit, tetapi tendangan lawannya menyusul mengenai
dagu hingga wajah Suro
terdongak ke belakang.
"Aaaoow...!" pekik Suro seraya menjaga keseimbangan
tubuh. Ia belum sempat mengembalika posisi kepala
menjadi tegak, tahu-tahu pukulan ganda menghantam
dada dan ulu hatinya dengan keras.
"Huuugh...!!"
Suro Bodong terbungkuk menahan sakit. Kepalanya
dipegang kuat-kuat dengan Suro Bodong palsu, lalu kepala itu dihantamkan dengan
lutut yang menyodok ke atas.
Kalau saja Suro Bodong tidak cekatan, paling tidak hidungnya akan berdarah dan
tulang hidung itu akan pecah karena sodokan lutut lawan. Namun, sebelum lutut
itu menyodok hidungnya, tangan Suro buru-buru menahan lutut itu dengan kekuatan
kedua tangan. Lalu, kepala yang menunduk itu segera disodokkan maju sehingga
lawannya mengaduh kesakitan, nafasnya tersendat seketika. Suro Bodong
mengibaskan kakinya dalam tendangan berputar.
Kibasan kaki itu ditangkis oleh lawan, namun Suro Bodong buru-buru menjatuhkan
diri ke lantai karena ia tahu akan ada serangan datang dari lawan ke bagian
atas. Maka, ketika lawan menendang juga dengan jurus tendangan berputar, ia
menemui sasaran kosong. Saat itu, Suro Bodong yang terlentang di lantai segera
menyepak kemaluan lawan dengan keras, sampai-sampai lawan
terbawa ke atas, lalu begitu turun, kaki kiri Suro menyambutnya dengan sebuah
tendangan ke arah yang
sama. Tubuh lawan yang sama gemuknya dengan Suro itu melayang melewati atas Suro
dan kepalanya menghantam pintu kamar itu.
"Braaak...!"
Pintu kamar jebol sama sekali. Tadi waktu ditendang Suro memang sudah jebol,
tapi masih ada sisanya yang menempel bersama engsel pintu. Namun kini, pintu itu
telah lepas bersama engselnya akibat ditabrak kepala Suro Bodong palsu. Orang
itu jatuh di luar kamar. Suro Bodong yang asli segera memburunya. Ia menendang
wajah orang itu ketika orang itu hendak bangun.
Wajah yang ditendang terdongak ke belakang, namun
bersamaan dengan itu, lawan mengulingkan tubuhnya ke belakang beberapa kali.
Dengan satu hentakan lutut, lawan, berhasil berdiri dengan kaki merenggang
kekar. "Sudah saatnya kau berhadapan denganku, Bangsat!"
teriak Suro Bodong.
Orang-orang yang mulanya tertidur, segera bangun dan hendak berlari ke kamar
Puji Wardani. Namun mereka erhenti di taman, di depan kamar itu, karena mereka
menyaksikan dua Suro Bodong saling bertarung dengan sengit. Adipati Lohgawe
buru-buru masuk ke kamar
anaknya. Setelah mendapat keterangan bahwa Puji
Wardani tidak apa-apa, maka ia segera keluar untuk menyaksikan pertarungan dua
Suro Bodong. Yang satu mengenakan baju merah, yang satu tanpa baju. Tetapi
Adipati dan yang lainnya tahu, orang yang tidak memakai baju itulah Suro Bodong
yang asli. Kali ini lelaki berbaju merah mengeluarkan pedangnya yang dicabut dari pinggan
kanan. Ia bermain pedang dengan tangan kiri. Oh, dia kidal, kurang mahir
menggunakan tangan kanannya. Suro Bodong sempat
mempelajari beberapa kelemahannya.
Ketika pedang itu menebas bagaikan kilat ke arah dada Suro Bodong, segera Suro
melengkungkan badan ke
belakang. Namun selang beberapa detik, kaki kanan Suro Bodong segera menghentak
ke atas, mengani siku
lawannya dengan keras. Tapi, agaknya tendanganya itu tidak berguna. Lawan tetap
menyerang dengan ganas.
Melompat seraya menggerakkan pedang ke depan. Kepala Suro Bodong nyaris menjadi
sasaran kalau Suro tidak segera memiringkan kepala ke kiri. Sambil merendahkan
badan ke kiri, Suro berhasil menendang pinggang lelaki itu dengan kaki kiri.
Tendangan samping itu membuat lawan terpental beberapa langkah dan jatuh
terguling-guling.
Dengan hentakan tangan ke tanah, lawan mampu
melompat ke atas, melebihi ketinggian Suro Bodong. Pada saat itu ia melemparkan
pedangnya dari tangan kiri ke tangan kanan. Suro Bodong bersiap menyerang dengan
satu lompatan. Tetapi lawan sudah telanjur turun, dan pedangnya dipegang dengan
kedua tangan, diangkat ke samping telinga kanan dengan posisi tubuh merendah
sedikit. Ia berteriak sambil menghentakkan kaki kirinya tiga kali ke tanah.
"Heeaaat....! Heeat...! Heaaat...!"
Meluncur sebuah sinar berbentuk pedang itu, seolah-olah dari ujung pedang. Sinar
berbentuk pedang
menerobos ke depan dengan cepat, dan menghantam
dada Suro Bodong. Suro buru-buru melompat bagai singa menerkam kadal. Sinar
berbentuk pedang warna merah membara itu lolos dari sasaran, mengenai sebuah
pohon dan meledak seketika. Pohon itu hancur, menjadi serpihan-serpihan kecil
bagai percikan tanah liat. Prajurit yang berdiri di bawah pohon itu pingsan
seketika, telinganya berdarah. Mungkin karena suara ledakan yang didengarnya
dari jarak dekat sehingga mampu memecahkan gendang telinga.
Pedang masih diarahkan ke Suro Bodong dalam posisi dipegang dua tangan di
samping kepala kanan. Lawan menghentakkan kakinya lagi tiga kali sambil
berteriak seperti tadi. Maksudnya ingin menhajar tubuh Suro Bodong yan gmelayang
hendak menerkamnya itu. tetapi Suro
Bodong dengan gesi meliukkan tubuhnya ke kiri, dan berguling ke samping di
udara. Sinar merah membara serupa dengan bentuk pedang lawan itu melesat, tidak
mengenai sasaran. Sinar itu melesat ke atas, terus ke aras dan menghilang entah
sejauh mana. Yang jelas, pada saat itu Suro Bodong berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya,
sehingga ia dapat mendarat
dengan kedua kaki tegak berdiri. Tepat di depan kaki Suro terdapat sebutir batu
dalam ukuran hampir datu
genggaman. Suro menendang batu itu ke arah lawan. Batu melayang bagai
dilemparkan dengan tangan yang kekar.
"Aaauuhh...!!" Lawan mengaduh kesakitan, karena batu itu tepat mengenai ujung
hidungnya hingga berdarah. Suro buru-buru melompat dan menendang wajah lawan.
Yang ditendang sempoyongan sambil mengibaskan pedang
secara ngawur. "Ciaaat...!!"
Puji Wardani yang sudah mengenakan pakaian itu
mengibaskan pedangnya dari arah belakang lawan.
"Haaagh...!!"
Orang itu tersentak dan kesakitan karena tebasan
pedang Puji Wardani tepat mengenai punggungnya.
Punggung itu menampakkan luka menganga panjang dan darah pun mulai berhamburan.
Lawan berbalik arah. Pedangnya dipegang dengan dua tangan, diangkat ke samping
kepala, diarahkan ke Puji Wardani. Kakinya menghentak ke tanah sambil berseru
"Heaaat...! Heeeaaat...!
"Ciaaat...!!" Tepat pada saat itu Suro Bodong yang asli menendang lawannya dari
samping. Kaki Suro yang keras dan kaku itu menghantam pelipis lawan dengan
keras. Lawan tak jadi mengeluarkan jurus pedang yang
membahayakan itu. Ia terjatuh berjumpalitan dan
membentur pohon. Segera Suro Bodong berguling di


Suro Bodong 09 Dendam Perempuan Sepi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rerumputan dan menghentakkan kakinya lagi dengan
tendangan berganda. Kedua tendangan tepat mengenai kepala dan perut lawan,
sehingga orang itu pun semakin terpental jauh dari tempatnya. Bahkan sempat
melayang ke atas bagai boneka dilemparkan.
"Aaah...! Aaauh...!" Suro Bodong palsu mengaduh-aduh.
Ia berusaha untuk berdiri, Suro Bodong tak memberi kesempatan. Tetapi pada waktu
ia melayang, tubuh Suro Bodong jatuh terpental ke belakang. Pukulan tenaga dalam
yang keluar dari telapak lawan berhasil mengenai dada Suro Bodong. Dada Suro
menjadi membiru. Sakit! Nafasnya sesak. Pukulan tanpa ujud itu agaknya lebih
besar dari pada pukulan yang tadi diterima di dalam kamar.
"Jahanam kau, ciaaat...!!" Puji Wardani melompat dan mengarahkan pedangnya ke arah
lawan. "Puji....jangan! bahaya itu...!!" teriak Suro Bodong.
Cemas sekali Suro melihat keberanian Puji yang tanpa perhitungan. Lawan sudah
berdiri dan siap menggunakan jurus pedang yang dapat menghancurkan pohon seperti
tadi. Nyawa Puji terancam. Seketika itu, tangan Suro Bodong melemparkan sebuah
batu dan tepat mengenai
kaki lawan yang akan dipakai menghentak ke tanah itu.
Lawan menjerit kesakitan, pusat pikirannya terganggu. Ia tak jadi menggunakan
jurus pedang berbahaya.
Tetapi ia masih berhasil menghindari tusukan pedang Puji Wardani dengan cara
menghantamkan tangan
kanannya ke arah pinggan Puji dengan tubuh merunduk ke bawah.
"Haaagh...!!"
Puji mengaduh kesakitan sambil tubuhnya limbung ke kiri dan jatuh bagai batang
pisang dilemparkan.
"Pujiii...!!" jerit ibunya yang hendak mendekat, tapi buru-buru dipegang ayahnya.
Suro Bodong sudah berhasil berdiri. Nafasnya memang masih sesak, tetapi ia
mencoba untuk menyerangnya.
Hanya saja, lawan sudah buru-buru melompat, bersalto ke belakang dan melayang
melewati tembok batas Dalem
Kadipaten. Ia menghilang di balik tembok. Suro Bodong bergegas mengejarnya
dengan berseru,
"Bangsat....!! Jangan lari...! Kita selesaikan sekarang juga, kucing kurap...!!
Hiaaat...!" Suro Bodong berhasil melompat sampai di atas tembok yang mengelilingi
Dalem Kadipaten itu. ketika ia hendak melompat ke bawah
mengejar lawannya, Adipati Lohgawe berseru,
"Jangan dikejar dia....!"
Teriakan itu membuat Suro tak jadi melompat turun. Ia diam, dalam keraguan dan
sedang mempertimbangkan
permintaan Adipati itu. Adipati tahu Suro dalam
kebimbangan. Ia segera berseru lagi,
"Jangan tampakkan wajahmu di depan rakyat!
Kumohon, jangan! Berbahaya Suro...! Lihat... matahari
mulai keluar dari cakrawala, sebentar lagi akan terang benderang!"
Suara Adipati, bagai suara yang mohon perhatian sekali.
Suro Bodong segera menahan diri, lalu ia kembali ke tempat. Ia buru-buru menemui
Puji Wardani yang ternyata tidak mengalami luka apapun, kecuali pinggangnya
sedikit nyeri. "Kau tak apa-apa?" tanya Suro.
Puji Wardani menggeleng. Ia masih menyeringai sedikit, dan segear dituntun Suro
Bodong untuk masuk ke
kamarnya. "Lain kali kalau mau bertarung jangan lupa....pakai otak!
Kalau otak kau tinggal di kamar, kau tidak akan bisa menang, tahu" Bisa jadi
malah mampus...!" kata Suro
kasar, dan ia memang tidak peduli dengan kekasarannya itu. "Sekarang kalian tahu
aku bukan dia, dan dia buka aku toh"!" kata Suro kepada Puji Wardani yang sedang
diusap-usap pinggangnya oleh ibunya, sedangkan Adipati sendiri berdiri dengan
gelisah di samping Puji Wardani.
"Sayang sekali hanya sepuluh perajurit yang melihat pertarungan tadi. Wijaya dan
Rahuto tidak ada. Coba kalau mereka ada, kurasa mereka tahu kalau..."
"Kami sudah tahu...!" sahut Adipati. "Sejak pertemuan tadi malam, sudah kukatakan,
kami sudah tahu siapa kamu. Kau memang bukan dia!"
Puji Wardani berkata dengan jengkel, "Lantas maumu apa sebenarnya, Suro " Mau
menuntut kami" Tuntutlah aku saja! Aku orang yang paling dendam denganmu!
Aku...!" teriak Puji dengan kemarahan yang timbul dari rasa sesal dirinya. "Aku
yang membujuk Romo untuk meng-hukummu tempo hari! Kalau kau merasa menjadi orang
benar dan ingin membalas dendam, balaslah aku. Apa maumu" Ini pedangku dan bunuh
aku dengan pedang ini!
Bunuh...!"
Suro Bodong bersungut-sungut, lalu meninggalkan Puji Wardani. Puji yang tak bisa
dibujuk ibunya itu masih penasaran. Ia mengejar Suro Bodong sampai di pintu,
meraih lengan Suro dan menyodorkan pedangnya.
"Lekas bunuh aku...!"
"Kamu ini waras apa gila"!" kata Suro Bodong.
"Persetan dengan waras apa gila, kalau kau sakit hati dengan tuduhan kami, bunuh
saja aku! Aku yang paling menympan dendam kepadamu. Ayo, bunuh aku...!"
"Suruh saja Suro Bodong yang tadi...! Kenapa kau tadi pakai menjerit-jerit
segala..." Kenapa tadi tidak minta dibunuh sama Suro Bodong yang kabur itu..."
Dengan ketus dan cemberut penuh gerutu, Suro Bodong pergi, keluar dari kamar. Ia
tak sempat memperhatikan cermin yang dipakai melihat kamarnya. Ia nyelonong
begitu saja setelah berkata demikian. Puji Wardani berseru,
"Mau ke mana kau"!"
"Berobat...!" jawab Suro seenaknya. Puji segera
berhenti menggerutu setelah menyadari, dada Suro
membiru akibat pukulan lawan tadi. Wah, gawat.
Berbahayakah itu" Kenapa Suro Bodong tadi kelihatan pucat sekali waktu dibentakbentak Puji Wardani" Adakah racun dari pukulan itu yang akan menghancurkan Suro
dan mengakhiri hidup Suro Bodong"
*** 5 ENGAN melalui semadi setengah hari, Suro Bodong
berhasil menyembuhkan luka di dadanya yang
D membiru itu. Selama ia melakukan semadi, ia tak
tahu kalau Puji Wardani memperhatikan terus melalui cermin tembus padang di
kamar Puji itu.
Sesungguhnya, belakangan ini Puji Wardani suka
berperasaan aneh terhadap Suro Bodong, lebih-lebih kini ia tahu persis bahwa
Suro Bodong bukan pembunuh rakyat, bukan pembunuh suaminya. Puji Wardani bagai
menyimpan suatu getaran sendiri jika memperhatikan Suro di cerminnya. Ia merasa
jengkel jika Suro bersikap acuh tak acuh padanya. Ia ingin berhubungan baik
dengan Suro, sebab selama ia mengamati gerak-gerik Suro, ternyata ia menemukan
suatu kelembutan di balik kekasaran Suro Bodong. ia juga menemukan beberapa hal
yang sempat mengagumkan dan mendebarkan. Menurutnya, Suro
adalah laki-laki yang penuh dengan kebanggaan. Hanya saja, kebanggaan itu
disembunyikan di balik sikapnya yang seenaknya sendiri dan sedikit kasar itu.
Maka, ketika Suro selesai mandi sore, Puji Wardani memperhatikan Suro lagi dari
cerminnya. Ia kasihan melihat Suro Bodong termenung sedih di tepian dipannya.
Raut wajahnya nyata-nyata digeluti penyesalan. Bahkan sesekali ia bicara pada
bayangannya sendiri di cermin,
"Kenapa menangkap tikus seperti itu saja kau tidak becus, hah" Manusia macam apa
kau jika dengan cecurut saja sampai dibuat kelabakan!" Tidak. Kau tidak boleh
seperti itu lagi, Suro. Kau harus bisa meringkusnya! Bunuh dia dan jangan beri
ampun lagi! Dia sudah banyak makan korban, bahkan Puji....ah, Puji sendiri nyais
jadi korban! Kau harus membunuhnya demi Puji yang kau kagumi,
Suro.....!"
Puji Wardani tertegun-tegun ketika Suro Bodong berkat demikian di depan cermin.
Padahal Puji sendiri berada di depan Suro Bodong, hanya saja Suro Bodong tidak
tahu, sehingga kata-katanya itu seakan suatu pengakuan yang ditujukan kepada
Puji Wardani. Di dalam hati, Puji sempat berkata, "Ooh...ternyata dia
mengagumiku.... Tapi, kenapa sikapnya tak mau terus terang" Kenapa sikapnya
berlawanan?" setelah Suro mempertimbangkan segala
sesuatunya, akhirnya ia memperoleh suatu keputusan yang ingin disampaikan kepada
Adipati Lohgawe. Namun, ketika ia keluar dari kamar dengan dadanya yang
bidangtanpa baju itu, ia sempat terkejut, karena Puji Wardani ternyata berdiri
di depan kamarnya dengan melipat kedua
tangannya di dada.
"Hei, perlu apa kau berdiri mematung di situ?" tegur Suro Bodong dengan tak
ramah. Namun Puji tahu apa yang ada di balik ketidakramahan itu. Rasa kagum yang
disembunyikan! Dan.... Karena itu, Puji sendiri harus berlagak tidak tahu menahu
tentang rasa kagumnya Suro Bodong. Ia melangkah masuk ke kamar dan berkata,
"Aku harus nekad begini untuk bisa bicara denganmu!"
kata-kata itu sempat membuat Suro Bodong terbengong.
"Jangan masuk ke kamarku! Nanti dugaan orang tuamu buruk terhadapku."
"Aku yang ingin menjernihkan kalau mereka mempunyai dugaan buruk," kata Puji
dengan ketus. Sebenarnya Suro Bodong menggeragap melihat
kenekatan Puji Wardani itu, tetapi ia berhasil menguasai diri dengan
ketenangannya. Ia berdiri di depan pintu dan memandang Puji Wardani yang manis,
cantik dan lembut sekali dalam suasana sore mengenakan gaun sutra warna hijau
muda. "Apa maksudmu datang ke kamar ini?" tanya Suro dari depan pintu. Puji duduk di
kursi sederhana dari kayu.
"Aku ingin meminta maaf padamu!"
"Sudah habis! Aku tidak punya persediaan maaf lagi.
Kalau kau mau, maafkanlah dirimu sendiri!" jawab Suro.
Puji melirik dengan cemberut. Kesal juga hatinya
mendengar kata-kata yang asal nyeplos itu. Apalagi Suro kali ini berkata
seenaknya, "Hei, kamu cantik kalau cemberut begitu! Kenapa tidak rajin-rajin
cemberut, biar tetap cantik?"
Puji Wardani segera mengendurkan wajahnya, tidak lagi cemberut, namun memasang
keangkuhan dan keketusan.
"Aku ke sini bukan untuk bicara soal kecantikan!"
katanya walaupun sebenarnya kata-kata Suro itu enak didengar bagi telinga Puji.
"Aku ke sini hanya meminta maaf atas tuduhan dan kebencianku waktu itu..."
"Lalu...?"
"Lalu....aku juga berterima kasih kepadamu, karena kau telah menyelamatkan aku
dari usaha pemerkosaan Suro Bodong yang palsu itu...!"
"Terima kasihmu kutolak," kata Suro tergas. Puji
Wardani berpaling cepat dengan memandang tajam. Suro Bodong bejalan mendekati
meja yang ada di depan Puji. Ia meneguk minumannya sebentar.
"Aku tidak menolongmu. Aku hanya ingin membunuh
orang yang menjelekkan nama baikku!"
Wajah yang berkulit kuning langsat itu menjadi merah dadu. Ada rasa malu dan
dongkol yang disembunyikan di balik kebisuan Puji Wardani.
"Kalau begitu aku salah duga."
"Memang," jawab Suro Bodong. "Sebab itu, berterima kasihlah pada Suro Bodong
yang kau bacok punggungnya itu, sebab karena dia maka kau bisa membangunkan kau
dengan jeritanmu."
Puji diam. Lama sekali terbungkam. Suro Bodong mem-erhatikan wajah itu dengan
leluasa. Lalu ia menggoda,
"Kau kecewa karena kemunculanku saat itu, bukan?"
Segera Puji mengangkat wajah dan mendelik
memandang Suro Bodong. "Kau kejam mengatakan aku
begitu! Kau pikir aku senang diperkosa lelaki itu?"
Suro seenaknya saja berbaring di dipan dengan
menumpuk dua bantal. Ia berkata, "Kupikir kau senang, sebab waktu itu kulihat
pakaianmu tidak ada yang robek.
Itu pertanda kau dengansuka rela membukanya."
"Karena kupikir dia adalah kamu!" bentak Puji dengan kejengkelan yang memuncak.
"Kupikir dia kamu, maka aku sedikit memberi peluang padanya! Tapi setelah aku
tahu dia bukan kamu, bukan Suro Bodong yang asli, aku
menjerit dan ketakutan! Jelas"!" Puji bicara sambil mendekati Suro.
Kini ganti Suro Bodong yang terbengong melompong
mendengar pengakuan itu. ia bisa menangkap makna kata-kata itu. Tapi, sebenarnya
sangat di luar dugaan kalau Puji mempunyai perkiraan semacam itu.
Suro buru-buru bersikap biasa-biasa saja. Ia malah tersenyum sinis seraya
berkata, "Ah, itukan alasanmu saja.
Kurasa kau sudah tahu kalau dia bukan aku, maka kau biarkan sejenak dia
menguasai tubuhmu, lalu... au puas, dan baru berteriak mengagetkan aku. Jadi
akulah yang mendapat jatah kekagetannya!"
"Kurang ajar....!"
"Plak...!" Suro Bodong ditampar dengan sengit oleh Puji.
"Plak...!" sekali lagi wajah Suro menjadi sasaran tangan Puji. Namun ketika tangan
itu hendak menamparnya untuk yang ketiga kalinya, Suro Bodong buru-buru
menangkap pergelangan tangan Puji Wardani.
"Cukup...! Ini wajah, bukan kendang main tampar
seenaknya saja!" hardik Suro Bodong sambil terduduk di dipan.
Puji Wardani menampakkan kedua matanya yang merah
dibakar kemarahan dan kesedihan. "Kau menghinaku...!
Kau kejam menuduhku begitu...! Kau pikir aku perempuan urahan yang...!"
Suro Bodong buru-buru menutup mulut Puji Wardani
dengan tangannya. Ia berkata pelan tapi jelas,
"Diam kau! Aku sebenarnya hanya ingin mengatakan
bahwa kau cantik, menggiuran bagi semua lelaki, termasuk aku! Tapi jika kamu
menangis dan marah-marah, kau sama saja menantangku untuk bercumbu. Berhentilah
marah. Berhentilah menangis. Jangan pancing kejantananku
dengan dikap seperti itu. Aku tidak tahan, tahu...?"
Suro Bodong melepaskan tangannya yang membungkam mulut Puji Wardani. Kini mulut itu terbengong, mata masih menatap Suro
Bodong. airnya semakin bening dan meleleh. Lalu, dengan serta merta Puji Wardani
memeluk Suro Bodong kuat-kuat. Tangisnya menghambur di pundak Suro. Sekarang
Suro Bodong kebingungan
sendiri. Ternyata perempuan itu lebih berani memulai dari pada dirinya.
Wah....kacau! "Jangan menangis....nanti aku....aku terpancing...."
Puji berkata dalam isakannya, "Biar...biar kau terpancing dan tahu, bahwa kau
ingin berdamai denganmu! Ingin menjadi akrab dan dekat....!"
Isak tangis terdengar, Suro Bodong makin bingung tujuh keliling. "Ssstt...diam.
Jangan menangis. Kau sudah dekat denganku kan?"
"Tapi kau belum memelukku...!" katanya disela isakan tangis ang membingungkan Suro
Bodong. Lalu, dengan pelan-pelan Suro Bodong memeluk Puji Wardani.
"Diamlah....aku sudah memelukmu, kan?"
"Tapi tidak erat...."
Suro Bodong mempererat pelukannya. Puji Wardani
masih mengisak beberapa saat. Suro Bodong tertahan.
"Ssst...ko malah betah menangis" Aku kan sudah
memeluk dengan erat..."
"Aku...aku...oh...aku bahagia...."
"Apa....?" Bisik Suro.
"Aku bahagia..." jawab Puji dalam tangis.
"Aku...aku juga bahagia. Tapi...aku tidak bisa menangis.
Aku lupa caranya menangis....sudah diam, nanti hatiku sedih dan aku ikut-ikutan
menangis lho..."
"Menangislah demi kebahagiaan ini, Suro ."
"Jangan paksa aku menangis, sulit menghentikannya."
"Aku akan menghentikannya."
"Dengan cara apa?"
"Membawamu terbang..." bisik Puji sesekali.
"Ah, jangan....!" Kata Suro. "Biar aku saja yang
membawamu terbang."
"Bawalah....! Lekas bawalah aku terbang..."
"Ssst...pintu belum dikunci...."
"Kuncilah....lekas kuncilah....!"
"Krek!" pintu dikunci. Tangis berhenti. Keluh menjelma.
Erang membakar darah. Mereka terbang. Terbangnya
jauuuuh....sekali. Puji Wardani kegirangan memperoleh penerbangan perkasa dan


Suro Bodong 09 Dendam Perempuan Sepi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekar. Mereka merajut benang-benang mimpi. Mereka menyelinap di sela keluh dan
dengus membara. Puji Wardani berpesta pora di atas bentangan kulit Suro Bodong.
Dia lebih terampil. Karena ia termasuk perempuan berselera tinggi. Ia perempuan
yang punya segudang selera dan cara. Suro Bodong membiarkan dirinya dipakai
landasan kebahagiaan yang
sesekali membuat tubuhnya kejang sejenak. Sampai
keduanya pun tuntas merenggut nafas, memburu lemas.
"Aku akan pergi malam ini juga," kata Suro setelah mereka saling menyeka
keringat. "Aku ikut," kata Puji, seraya tangannya mengusap
keringat yang membasahi tubuh Suro Bodong.
"Jangan ikut. Aku akan memburu orang itu! aku akan menyeretnya ke mari, agar
dendammu puas."
"Tapi dia berbahaya, Suro. Aku tak ingin kau terkena pukulannya lagi," Puji
Wardani menampakkan kekawatiran-nya.
"Ah, aku tidak akan melakukan kebodohan untuk kedua kalinya. Aku akan memakai
otakku. Kemarin, eh...tadi pagi....aku juga meninggalkan otakku di kamar. Jadi aku
kena pukulan tenaga dalamnya."
"Pokoknya jangan. Jangan memburu dia. Biar ayah nanti akan kubujuk agar dia mau
menerima tawaran Pragulo."
Suro Bodong berkerut dahi. "Siapa" Pragulo?" Puji
Wardani mengangguk. Tangisnya sudah berhenti sejak tadi.
Bukan air mata lagi yang keluar, tapi keringat!
"Pragulo anak paman Renggono. Dia kemarin datang
menawarkan diri untuk menangkap orang yang mengaku bernama Suro Bodong. tapi dia
belum tahu kalau kaulah Suro Bodong yang sebenarnya. Dan.... waktu itu dia minta
hadiah lebih banyak jika ia berhasil menangkap Suro Bodong. Bahkan ia menawarkan
diri untuk menjadi
Jagabaya yang akan menjamin keamanan di Kadipaten ini, tetapi minta upah tinggi.
Ayahku sedang mempertimbangkan penawarannya."
"Pragulo itu orang sakti, ya?"
"Katanya ia baru saja selesai berguru di Gunung
Mahageni. Dan.... kurasa ia punya ilmu yang cukup hebat, nyatanya ia menawarkan
diri sebagai Jagabaya, kepala keamanan di Kadipaten."
Setelah terbungkam sesaat sambil merenung, Suro
Bodong bertanya bagai menyelidik,
"Kau sudah lama mengenal dia?"
"Sudah. Waktu kecil aku bermain dengannya. Dulu,
ayahnya bekerja sebagai Jurubayar Kadiapaten...."
"Lalu..."!"
"Lalu.... ayahnya melakukan penyelewengan uang. Ia
mencari keuntungan untuk memperkaya diri sendiri.
Kecurangan-kecurangan dilakukan, sayangnya ketahuan oleh Romo Purwakusuma,
kemudian dilaporkan. Waktu itu yang menjadi Adipati masih kakekku: Sang Adipati
Sindang Mukti..."
"O, bukan kakekmu yang menempati kamar itu?"
"Ini kan kakek dari ibuku."
"Oo....terus?" Suro memancing keterangan. "Eh, tadi kau bilang, yang melaporkan
perbuatan curang ayah
Pragulo itu siapa" Romo Purwakusuma?"
"Benar."
"Maksudmu....Raden Mas Purwakusuma?"
"Ya. Tapi aku memanggilnya Romo."
"Kenapa begitu" Memangnya ada hubungan apa
denganmu?"
"Dia kan mertuaku. Orang tua dari bekas suamiku itu: Kang Mas Atmaja."
"Oooo.....jadi Raden Atmaja itu anak dari Raden Mas
Purwakusuma" Yang dibantai satu keluarga itu"!"
"Iya. Benar, dan...."
"Tunggu, tunggu....! Jangan bicara dulu. Diam...!" Suro Bodong bersemangat. Ia
berdiri, mengerutkan dahi. Garuk-garuk kumis. Berjalan mondar mandir beberapa
saat. Puji Wardani terheran-heran memandangnya. Ia menunggu izin bicara. Suro
bicara sambil mondar-mandir.
"Jadi.... Raden Mas Purwakusuma itu mertuamu, ya"
Dan.... Pragulo adalah anak dari....Paman Renggono.
Melakukan kecurangan soal uang. Yang melaporkan RM
Purwakusuma. Dan....O, ya....terus bagaimana nasih ayah Pragulo setelah dilaporkan
tentang kecurangannya itu?"
"Dipenjara oleh kakekku, dan....ia meninggal dalam
penjara. Meninggal dengan sedih dan tekanan batin."
"Hemmm...ya, ya, ya...!" Suro Bodong manggut-manggut.
"Kalau begitu, suruh ayahmu memanggil Pragulo...!"
"Lalu...?"
"Suruh panggil saja dia, dan terima sebagai Jagabaya atau beri hadiah tinggi
asal dia bisa menangkap Suro Bodong...!"
Ketika hal itu disampaikan kepada Adipati Lohgawe, Sang Adipati merasa heran
mendengar usulan puterinya.
"Mengapa Suro Bodong mempunyai maksud begitu?"
Suro menampakkan diri dari ruang tengah, lalu ia sendiri yang menjelaskan.
"Pragulo itulah Suro Bodong yang palsu."
"Pragulo..."!" Adipati dan istrinya terheran-heran.
"Ya. Dia yang menjadi Suro Bodong. Dia ingin menuntut balas atas kematian
ayahnya dalam penjara. Perihal kecurangan ayahnya dalam menjalankan tugasnya
sabagai Jurubayar Kadipaten, dilaporkan oleh Raden Mas
Purwakusuma. Karena laporan itu ayah Pragulo dipenjara dan mati dalam tahanan.
Sekarang ia selesai menuntut ilmu. Dia membalas kematian ayahnya kepada Raden
Mas Purwakusuma. Karena Raden Atmaja, bekas suami Puji Wardani itu adalah anak
keturunan Raden Mas
Purwakusuma, maka ia ikut dibinasakan."
"Tapi kenapa ia juga membunuh rakyat tak berdosa?"
Suro Bodong menjawab, "Seperti yang pernah kukatakan, dia ingin menghilangkah rasa percaya lagi kepada Adipati. Ia nantinya
yang akan membakar rakyat untuk memberontak. Dan kalau sudah terjadi
pemberontakan, kedudukanmu bisa digulingkan, maka dia yang akan
merebut kekuasaan kadipaten ini."
"Oo....begitu...." Adipati manggut-manggut. "Dan tentang penyamaranmu" Kenapa dia
menyemar menjadi Suro
Bodong dengan persis sekali begitu?"
"Dia tahu namaku. Dia mengenal siapa diriku. Dan kalau aku terbunuh oleh orangorangmu, maka Kesultanan Praja yang akan menyerang dan menghabiskan Kadipaten
ini. Dalam perang antara Kadipaten ini dengan kesultananku, Pragulo pasti akan ambil
bagian, supaya dicalonkan menjadi Sang Adipati di sini, sekalipun Kadipaten ini
akan berada di bawah kekuasaan Kesultanan Praja. Paling tidak, kalau kau
berhubungan denganku dan akan marah, aku bisa membunuh semua orang penting dalam
Kadipaten ini. Kalau kau sudah tiada, dia akan mendirikan Kadipaten dengan sisa peninggalanmu.
Kira-kira begitulah jalan pikiran Pragulo..."
Adipati semakin jelas permasalahannya. Lalu ia segera mengerahkan prajuritnya
untuk mencari di mana Pragulo berada. Dengan hati-hati mereka harus bisa
membujuk Pragulo dengan mengatakan, bahwa Adipati sangat membutuhkan tenaganya
untuk menjadi Jagabaya. Ternyata tidak sulit mencari Pragulo di bekas rumahnya
dulu. Pragulo berhasil dikelabuhi dan ia mau menghadap Adipati Lohgawe. Sebelumnya,
suatu rencana telah dipersiapkan lebih dulu.
Ketika Pragulo datang, ia disambut dengan baik oleh Adipati Lohgawe. Bahkan Puji
Wardani ikut menyambutya dengan ramah dan manja, seperti waktu mereka masih
kanak-kanak. Namun ketika Suro Bodong muncul dalam pertemuan
itu, Pragulo kelihatan terkejut dan wajahnya menjadi pias.
Sekalipun ia menutupi perasaan resahnya dengan
ketenangan, namun Adipati sendiri dapat mengentahui bahwa Pragulo kelihatan
gelisah sjak kemunculan Suro Bodong yang asli.
"Pragulo..." kata Adipati. "Kami semua sudah bosan
dibuat kacau oleh Suro Bodong palsu. Nah, yang berdiri di sampingmu itu Suro
Bodong asli. Ia sendiri mengakui bahwa ilmu yang dimiliki Suro Bodong palsu
sungguh hebat. Tak ada orang yang menandinginya. Itu menurut dia...." Adipati
menuding Suro Bodong. Aku sudah
bersepakat dengan keluargaku, dengan pegawaipegawaiku untuk mencari seorang panglima perang! Bukan seorang Jagabaya saja,
tetapi seorang panglima perang Kadipaten Kidang Kencana. Kedudukannya merupakan
orang nomer dua di Kadipaten ini setelah aku. Apakah kau sanggup menjadi
Panglima Perang Kadipaten kita ini, Pragulo."
Dengan keangkuhan yang sudah terlihat dari caranya memandang, Pragulo menjawab,
"Itu pekerjaan yang
mudah bagi saya, Kanjeng. Saya sanggup menjadi
panglima di sini asal saya mendapat jaminan hidup dan gaji yang tinggi."
"Gaji akan kuberikan sesuai dengan permintaanmu.
Tapi aku punya syarat....kau tidak perlu menangkap atau membunuh Suro Bodong.
melainkan buatlah Suro Bodong datang dan meminta maaf, lalu dia harus pergi
secepatnya setelah kami menuruti permintaannya. Jangan bunuh dia, sebab kalau
kita membunuh dia, maka kita akan
kewalahan menghadapi rohnya. Jadi, cukup dia datang, mengutarakan keinginannya,
lalu meminta maaf, kalau mau. Kalau tidak mau lekas pergi setelah kami
mengabulkan permintaanya. Apa kira-kira...tugas itu berat, Pragulo?"
"Saya rasa tidak, Kanjeng Adipati. Buat saya, tidak ada pekerjaan yang tidak
bisa saya lakukan. Saya sanggup memenuhi syarat itu."
Wijaya menyahut dengan girang, "Wah, kalau begitu....
jabatan panglima sangat sosok buat Kakang Pragulo, ya?"
Rahuto menyahut, "Benar! Dan kalau Kakang Pragulo ini sudah menjadi panglima
kita, wah....beres pokoknya! Tak ada yang mau mengganggu-ganggu kita lagi.
Bukankah begitu Kakang Pragulo..."!"
Pragulo tertawa girang, merasa bangga. "Pokoknya,
kalau aku berhasil menundukkan Suro Bodong dan
menjadi orang kedua di sini...." Ia berbisik kepada Rahuto,
"Kuusulkan agar gaji prajurit dinaikkan semua...."
"Cocok...! Cocok sekali itu, ha, ha...!" Rahuto sengaja disuruh memancing sedemikian
rupa agar tidak timbul kecurigaan.
Pragulo masih bau kencur, menurut Suro Bodong. Ia
mempunyai otak sebesar lada. Ia tidak merasa kalau dirinya masuk dalam perangkap
yang membahayakan.
Kalau menurut Puji Wardani, Pragulo itu pintar-pintar bodoh. Ia pintar, karena
bisa mempunyai rencana yang begitu rumit, susah dipecahkan dengan penyamarannya
sebagai Suro Bodong. Tetapi keangkuhan dan keserakahan membuat ia jadi bodoh,
terbuai karena sanjungan dan jajni suatu kedudukan sebagai panglima perang,
orang kedua setelah Adipati Lohgawe. Mungkin ia berpikir, dengan cara itu ia
akan lebih mudah menguasai Kadipaten Kidang Kencana.
Benar-benar bodoh. Esoknya, seorang prajurit menghadap Adipati dan berkata bahwa seseorang yang mengaku bernama Suro Bodong
hendak menghadap. Kontan
saja Adipati memberi izin, karena memang itulah saat yang ditunggu-tunggu. Orang
yang mengaku bernama Suro
Bodong. Hanya saja, ia tetap mengenakan kain merah yang bagian belakangnya sudah
dijahit karena bekas robek terkena pedang Puji Wardani. Orang itu dtang dengan
menampakkan rasa sesal dan kesedihannya. Tetapi
sebelum ia bicara dengan Adipati Suro Bodong yang asli muncul dari samping dan
langsung menyerangnya dengan sebuah tendangan telak di pelipisnya.
"Hiaaat...!!" Suro Bodong tidak memberi kesempatan
lagi kepada tiruannya. Ketika lawannya hendak bangun, tendangan beruntun
mengenai punggungnya, sehingga
orang itu sempat terpental menabrak tiang besar. Suro Bodong memainkan jurusjurus andalan. Tendangan Ayam Kawin dilancarkan, yaitu gerakan kaki yang
menendang tujuh kali beruntun tanpa sempat ditangkis, dan bergantian dari kaki
kanan ke kaki kiri.
Ketika musuhnya jatuh, Suro Bodong segera mencengkeram baju lawan lalu melemparkannya keluar. Ia sengaja mendesak agar Suro
Bodong palsu keluar dari Dalem Kadipaten dan berlarian di alun-alun. Ternyata
harapannya itu terkabul juga. Lawannya lari ke luar, dan Suro Bodong segera
mengejarnya sampai alun-alun. Ketika mereka berdua sudah berada di alun-alun,
para prajurit segera menjalankan rencana yang sudah ditentukan
sebelumnya. Mereka mengepung alun-alun dengan berisan rapat. Sebagian prajurit
lainnya memanggil para penduduk dengan berteriak di atas punggung kuda yang
melaju ke mana-mana,
"Suro Bodong telah tertangkap...! Suro Bodong
tertangkap....! Hukuman akan dijatuhkan kepadanya hari ini...!"
Kontan penduduk yang sudah merindukan kebencian
terhadap Suro Bodong segera berkumpul berlari-larian ke alun-alun. Segala
kegiatan ditinggal hanya untuk menonton Suro Bodong disiksa.
Tetapi ternyata mereka terbengong. Setiap orang pasti berkata, "Hahh..."! Kok ada
dua Suro Bodong"!"
Sementara Suro Bodong asli sedang bertarung dengan yang palsu. Wijaya dan Rahuto
diminta memberi
penjelasan kepada masyarakat, "Yang memakai baju
merah itu adalah Suro Bodong yang membunuh keluarga kalian, sedangkan yang tidak
mengenakan baju itu adlaah Suro Bodong yang kita siksa dulu. Sekarang dia ingin
membuktikan bahwa dirinya bukan Suro Bodong yang kita cari...! Perhatikan saja
mereka!" Kalimat itu diucapkan berkali-kali oleh Rahuto dan Wijaya.
Melihat lawannya mencabut pedang, Suro Bodong mulai berpikir bahwa lawan akan
memainkan jurus pedang maut yang mampu menghancurkan sebuah pohon. Kalau pun
Suro bisa menghindari, maka kilatan cahaya yang
menyerupai bentuk pedang itu akan melesat terus dan mengenai penduduk atau siapa
saja yang ada di belakang Suro Bodong. karena tidak ingin terjadi korban lain,
maka Suro Bodong pun segera meraba tangan kirinya. Sampai di pergelangan tangan
kiri, ia menghentakkan tangan kanan, seperti mencabut sesuatu, dan tahu-tahu
tangan kanannya memegang sebuah pedang.
Orang-orang, bahkan Adipati dan Puji Wardani sendiri sampai terbengong
keheranan. Pedang itu seperti dicabut dari pergelangan tangan, padahal sejak
tadi mereka melihat Suro Bodong tidak membawa senjata. Kini, tahu-tahu Suro
Bodong yang asli sudah menggenggam sebuah pedang yang memancarkan sinar ungu
berpijar-pijar.
Sangat indah dan mengagumkan siapa saja. Mereka tidak tahu, itulah pusaka Suro
Bodong yang bernama Pedang Urat Petir.
"Hiaaaat...!" lawan Suro Bodong menebaskan
pedangnya ke arah perut Suro. Tapi dengan ringan
ditangkis memakai pedang Urat Petir. Lalu, dalam saat itu, kaki Suro Bodong
menendang lurus ke depan, dan
mengenai dagu lawannya. Lalu kaki yang habis untuk menendang itu menapak, kini
ganti kaki yang satunya menendang dengan tendangan memutar belakang. Tepat
mengenai dada lawan hingga orang itu terpental beberapa langkah ke belakang.
Lawan segera bergegas, ia mulai menggunakan gerakgerak pedang yang tadinya di tangan kiri, kini dilemparkan ke tangan kanan.
Lalu, kedua tangan menjadi satu
memegangi gagang pedang. Ini tanda-tanda jurus pedang maut akan digunakan oleh
Suro Bodong palsu.
Pada saat itu, Puji Wardani nekad lagi. Ia menyusul dari belakang Suro Bodong
palsu. Ia memainkan jurus Bidadari Pagi, meliuk-liuk bagai orang menari, lalu
tangannya seperti membuat sesuatu yang lembut. Pada waktu itu, lawan sedang
menghentakkan kaki untuk yang kedua
kalinya. Puji Wardani merasakan ada suatu getaran yang memercik lewat jari
jemarinya sewaktu ia menggerakkan tangannya itu, dan tiba-tiba....tubuh lawan
terpental bagai diterjang bagai yang ganas. Ia terguling-guling, dan rakyat pun
bersorak keras, "Hidup Raden Ayu...! Hidup Raden Ayu...!!"
Tentu saja gerakan dari jurus Bidadari Pagi itu sangat mengejutkan Suro Bodong.
Ia sempat berseru, "Puji...!
Jangan ikut campur...!"
Lawan mengerang, mau bangkit susah, daging tubuhnya mulai melepuh dan menjadi
seperti borok yan gmeretak.
Sekujur tubuh itu menjadi retak-retak bak tanah kering kekurangan air. Namun,
agaknya ia masih bertahan untuk berdiri dan menyerang. Ia mengangkat pedangnya
dengan lemas. Ia berhasil menempatkan pedangnya dengan kedua tangan di samping


Suro Bodong 09 Dendam Perempuan Sepi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telinga kanan. Lalu kakinya menghentak ke tanah tiga kali dengan berseru suara
serak. Lalu, melesatlah sinar merah membara berbentuk seperti
pedang itu, keluar dari ujung pedang dan sasarannya menuju Puji Wardani yang
tengah menari-nari
membawakan jurus Gerakan Bidadari Pagi. Suro Bodong terpaksa melompat ke arah
melajunya sinar membara
merah itu, kemudian ia merentangkan pedangnnya ke
depan, dan.... "Duaar...!!" Terjadilah ledakan yang dahsyat akibat benturan sinar
merah membara serupa pedang
dengan sinar Pedang Urat Petir yang berpijar sinar ungu sejak tadi itu.
Suro Bodong terpental, lawannya juga terpental. Tapi Puji Wardani selamat. Suro
Bodong segera menggunakan jurus Pedang Jitu. Ia melemparkan pedangnya ke atas
hingga berputar tujuh kali, kemudian menendang pedang itu ke atah lawan. Maka,
Pedang Urat Petir terpecah menjadi tujuh bagian yang semua bagian melesat ke
tubuh lawan. Tubuh yan gmulai berlumur darah karena retak-retak oleh jurus
Bidadari Pagi itu kini memekik tertahan,
"Aaakhh...!!"
Tiga bagian dari pecahan Pedang Urat Petir menembus tubuhnya dari depan sampai
ke belakang. Lalu, pedang itu berkumpul lagi menjadi satu dan melesat ke tangan
Suro Bodong. orang-orang menggumam kagum melihat
kesaktian pedang Suro Bodong. Sementara lawannya jatuh tak berkutik lagi. Jurus
Pedang Jitu telah mengakhiri riwayatnya. Dan tubuh retak-retak yan gmenyerupai
Suro Bodong itu pun mengepulkan asap biru samar-samar.
Lambat laun, tubuh itu berubah bentuk menjadi tubuh Pragulo yang sebenarnya.
Takyat makin menggumam
kagum dan terheran-heran melihat perubahan tersebut.
Suro Bodong memasukkan pedangnya kembali ke
dalam lengan kirinya. Pedang itu disusupkan begitu saja, seakan disimpan di
bawah kulit dan daging tangan kirinya.
Dan bekas masuknya pedang itu sama sekali tidak ada, sekalipun bekas sebesar
jarum. Rakyat berseru, bersorak kegirangan melihat kematian orang yang selama ini
mereka benci dan mereka takuti.
Mereka menampakkan wajah cerah yang penuh
kegembiraan, terlebih Adipati dan keluarganya.
Puji Wardani berlari menghampiri Suro Bodong dan
segera memeluknya dengan hati girang dan tawa
kebahagiaan. Adipati mendekat dengan istrinya, lalu mereka bersalaman erat-erat.
"Terima kasih, Suro ...! Terima kasih, kau telah
menyelamatkan Kadipaten ini dari ancaman
kehancuran...!"
"Terima kasih itu mudah. Yang sulit adalah menerima kasih seseorang...!" kata Suro
Bodong kepada Adipati, tapi matanya melirik Puji Wardani. Yang dilirik hanya
senyum-senyum saja seraya bergelayutan di pundak Suro Bodong.
"Apakah ada yang ingin memberikan kasihnya
kepadamu, Suro ?" kata istri Adipati.
"Saya tidak tahu." Suro menjawab dengan senyum. Tapi Puji Wardani menyahut
dengan tegas dan bernada manja.
"Ada...! Siapa bilang tidak ada?"
"Siapa?" desak Suro Bodong.
"Entah..." jawab Puji Wardani seraya mereka melangkah.
"Hei, aku tadi melihatmu menggunakan jurus Bidadari Pagi. Dari mana kau peroleh
jurus itu, hah"!"
"Dari mencuri jurus yang kau latih di kamar," Puji tersenyum-senyum nakal.
"Di kamar" Kau melihatku" Melihat aku melatih jurus itu?"
Puji Wardani mengangguk sambil tertawa lirih. Ia
berkata, "Cermin hias di kamarmu itu tembus pandang dari kamarku. Jadi aku tahu
apa saja yang kau lakukan di kamar itu."
"Sial...!" Suro bersungut-sungut. "Kalau tahu begitu aku akan melepas pakaian
setiap hari jika di kamar!"
"Kan sudah..." Lalu Puji Wardani tertawa mengikik geli seraya masih bergelayut di
pundak Suro Bodong, Senopati Praja!
TAMAT Created ebook by fujidenkikagawa
Anak Pendekar 27 Dewi Ular Puncak Kematian Cinta Panji Akbar Matahari Terbenam 2

Cari Blog Ini