Ceritasilat Novel Online

Dua Musuh Turunan 10

Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 10


"Yang dikuatirkan justeru tak adanya persatuan..." Ie Kiam utarakan.
"Piauwkie Tjiangkoen Kwee Teng, Pengpou Tjoesoe Yo Hong, begitu juga Gielim koen
Toatongnia Thio Hong Hoe adalah penyinta negara yang dapat diandalkan," kata Tan
Hong, "maka berhubung dengan ini, baiklah thaydjin lekas membuat persiapan. Ong
Tjin itu besar pengaruhnya, akan tetapi di antara menteri setia dan pengkhianat
ada perbedaannya yang nyata, maka bila tiba saatnya negara terancam bahaya
kemusnahan, asal thaydjin bergerak secara tepat, mesti thaydjin dapat sambutan
hangat dari empat penjuru! Ong Tjin adalah satu hamba kebiri, dia dapat
diumpamakan dengan seekor cengcorang yang menerjang kereta, mana dia dapat
memusnahkan negara?"
Akan tetapi Ie Kiam menghela napas pula.
"Sungguh sukar untuk mengatakan, siapa yang akan berhasil dan siapa yang akan
runtuh," kata menteri setia ini, "tetapi aku, akan aku habiskan semua tenagaku
untuk mencoba melindungi negara!"
"Kesesatan tak dapat melawan kebenaran, hal ini harap thaydjin jangan
sangsikan!" Tan Hong menganjurkan.
"Siesieng, kau dapat melihat segala apa dengan tegas sekali, kau juga
berpemandangan luas dan jauh, kau adalah satu orang cerdik pandai luar biasa
untuk jaman ini," berkata Ie Kiam, "karenanya, sieheng, kenapa kau tidak sudi
bekerja untuk pemerintah?"
Thio Tan Hong tertawa. "Seseorang mempunyai pendiriannya sendiri-sendiri!" ia kata. "Lagi pula, untuk
satu laki-laki membela negara, apakah dia mesti selalu berdiri dipihak
pemerintah?" Ie Kiam diam, dia bungkam.
Tan Hong insyaf bahwa ia telah bicara terlalu tandas, maka ia tertawa pula.
"Thaydjin adalah tiang negara, tentang thaydjin adalah lain," ia tambahkan.
Bukan main tergeraknya hati In Loei mendengar pembicaraan antara Tan Hong dan
menteri setia itu, teranglah sudah, mereka itu adalah penyinta-penyinta negara,
hanya paham mereka itu yang berlainan. Ia girang dan kagum untuk Tan Hong. Ia
kagum karena sepak terjang yang tak dapat diterka-terka dari anak muda itu. Ia
girang karena terbukti ia tak keliru mengenali orang - Tan Hong benar-benar satu
pemuda gagah dan jujur. Karena ini juga, dalam sekejap itu ia anggap benar-benar
"tidak ada faedahnya permusuhan antara kedua keluarga mereka".....
Segera terdengar pula suaranya Tan Hong.
"Thaydjin, harap kau maafkan aku, sukalah kau percaya akan janjiku," demikian
pengutaraan si anak muda. "Aku telah nelusup masuk ke kota raja ini, aku pun
telah lancang menemui thaydjin, tindakanku ini penuh dengan ancaman bahaya, akan
tetapi, lega hatiku, karena thaydjin telah mempercayai aku. Thaydjin, apabila di
belakang hari kau membutuhkan aku, walaupun tubuhku mesti hancur lebur, masih
itu tak cukup untuk aku membalas budi kebaikanmu ini."
"Jangan kau mengucap demikian, sieheng," kata Ie Kiam "Untukku adalah sama, kau
membalas untuk negara, sama dengan kau membalas untukku!"
"Satu laki-laki mesti membalas budi negara, tentang itu tak usah orang sampai
dipesan lagi," Tan Hong kata. "Sekarang sudah jauh malam, thaydjin harus
beristirahat, maka itu harap thaydjin mengijinkan boanseng mengundurkan
diri....." Ie Kiam berdiam, ia bagaikan berbicara seorang diri.
"Bila kau akan datang pula padaku?" tanyanya kemudian.
"Kalau telah datang saatnya untuk bertemu pula, akan aku datang sendiri," jawab
Tan Hong. "Pribahasa kuno mengatakan, "Kepala putih bagaikan baru, membuka tenda bagaikan
biasa," pribahasa itu cocok dengan kita," kata Ie Kiam. "Dalam usiaku yang
lanjut ini, aku masih dapatkan satu sahabat sebagai kau, sieheng, sungguh aku
puas sekali. Sieheng pandai main tabuhan, main catur, melukis gambar juga,
kebetulan baru-baru ini aku telah mendapatkan gambar lukisannya Tio Yoe, 'Liang
Hoe Gim Touw,1 aku harap sieheng sudi menuliskan sebaris syair untuk gambar itu,
untuk dijadikan peringatan di kemudian hari. Sudikah kau menulisnya, sieheng?"
Dengan pribahasanya itu, "Kepala putih bagaikan baru, membuka tenda bagaikan
biasa," Ie Kiam maksudkan: Ada beberapa orang yang telah bersahabat satu dengan
lain, sampai rambut mereka telah ubanan, persahabatan itu masih sama seperti
sahabat-sahabat baru, masing-masing tetap tak mengerti satu pada lain. Atau, ada
beberapa orang yang telah bertemu di tengah jalan, mereka hentikan kereta
mereka, mereka membuka tenda kereta mereka, untuk pasang omong, asyik
pembicaraan mereka, hingga mereka jadi mirip dengan sahabat-sahabat lama. Dengan
itu diartikan, persahabatan itu, kekal atau tidak, tidak disebabkan melulu dari
waktunya bersahabat sudah lama atau masih baharu, hanya dari mereka saling
mengerti atau tidak. Atas permintaan menteri itu, Tan Hong jawab: "yang terlebih tua telah
memintanya, mana berani aku menampik" Baiklah, akan aku menuliskannya dengan
syair The Soe Siauw,"
In Loei di luar jendela dengar semua pembicaraan itu, lalu ia dengar juga suara
goresan, dari jalannya pit di atas kertas, cepat dan tetap, maka tahulah ia, Tan
Hong tengah menulis syairnya itu di atas gambar lukisan "Liang Hoe Gim Touw" "Liang Hoe tengah bersenanjung."
Lalu habis itu, terdengarlah Ie Kiam membacakan syair itu, membacanya sambil
bersenanjung. "Sungguh indah! kata si menteri kemudian. "Entah bagaimana sieheng telah
terpengaruh syair ini....."
Tiba-tiba saja Thio Tan Hong tertawa bergelak, menyusul mana, ia pun
bersenanjung: "Di dalam dadaku ada sumpah laksana dalamnya lautan, yang dapat
membuat negara bagaikan karam terendam..... Boanseng tidak minum arak tetapi
boanseng bagaikan telah mabuk, maka haraplah, thaydjin sudi memaafkan kelakuanku
ini yang lancang! Di belakang hari masih ada waktu untuk kita bertemu muka pula,
dari itu tidak usahlah thaydjin mengantar aku!"
Kata-kata itu disusul oleh Ie Kiam, yang membukakan pintu, atas mana lalu
terdengar tindakan kaki Tan Hong, yang pergi berlalu.
Sejenak itu, kusut pikirannya In Loei. Ia bimbang, baik ketemui Tan Hong atau
jangan. Tak dapat ia ambil putusan dalam sekejap. Sementara itu, Tan Hong
sendiri sudah keluar dari kamar tulis, dia tengah memohon Ie Kiam tidak
mengantar dia keluar. Di saat tegang itu, mendadak In Loei ingat kata-katanya Tan Hong: "Kalau mesti
tertawa, tertawalah! Kalau mesti menangis, menangislah!
Kenapa segala apa mesti dipaksakan"....." Karena ini, ia pikir: "Kalau begitu
aku pun mesti, kalau mesti bertemu, mesti aku menemuinya, kenapa aku mesti
kuatirkan ocehan orang luar?"
In Loei segera merasa darahnya berjalan cepat sekali, hatinya menjadi goncang,
tapi ia sudah lantas ambil putusannya. Hanya, pada saat ia hendak lompat, untuk
menyusul, sekonyong-konyong ia merasa ada angin halus yang menyambar pada
bebokongnya, lalu ia merasa ada benturan perlahan pada pinggangnya. Ia kaget,
segera ia rabah pinggangnya.
Akhirnya ia menjadi kaget sekali. Pedang Tjengbeng kiam, pemberian gurunya,
telah dicabut orang, hingga di pinggangnya tinggal sarungnya saja, yang kosong!
Walaupun ia sangat kaget, tidak berani ia menjerit, tapi ia teruskan berlompat,
kedua tangannya dibuka ke kiri dan kanan. Itulah sampokan untuk
menyusul tangan yang membuatnya pedang itu terbang. Tiba-tiba saja, ia rasakan
sebelah lengannya lemas bergemetar, lalu ia tampak, di depan matanya, satu tubuh
berkelebat bagaikan bayangan. Kecewa dia, yang pandai ilmu silat, telah ditotok
orang tanpa dapat bersiap. Dalam keadaan lemah itu, ia merasa orang telah
menyambar tubuhnya, dikempit, terus dibawa pergi cepat sekali bagaikan terbang,
sampai tak dapat ia berteriak. Tapi selagi dibawa kabur itu, di kupingnya, ia
dengar suara Thio Tan Hong: "Turunkan dia! Turunkan dia! - Eh, adik kecil, adik
kecil! Benarkah kau?"
In Loei merasa bahwa Tan Hong, yang berkata-kata itu, tengah menyusul ia.
Larinya cepat luar biasa orang yang mengempit itu, In Loei merasa seperti dibawa
terbang di tengah udara. Ilmu enteng tubuh Thio Tan Hong sudah liehay sekali,
dalam dunia kangouw jarang ada tandingannya, tetapi kali ini, orang itu seperti
melebihinya sebab di lain saat, dia telah membuatnya si mahasiswa berkuda putih
jauh tertinggal, di sebelah belakang.....
In Loei kaget dan gusar, ia mendongkol tanpa ada gunanya. Sama sekali ia tidak
mampu berontak, untuk membebaskan diri dari kempitan.
Adalah tidak lama kemudian, si nona merasa ada orang menepuk bebokongnya,
menyusul mana dengan perlahan ia dilepaskan, diturunkan ke tanah. Itu waktu,
orang telah berhenti berlari-lari yang pesatnya bagaikan terbang. Ia pun segera
merasa, darahnya telah mengalir seperti biasa. Sebenarnya, ketika ia menoleh,
akan pandang orang yang membawa ia kabur, ia kenali dia adalah si orang tua yang
lihay ilmu Taylek Kimkong Tjioe-nya dengan apa dia dapat melukai Tantai Mie
Ming! Sedetik saja, kata-kata ketus yang sudah siap untuk dikeluarkan, ia
batalkan mengucapkannya, ia tarik kembali ke dalam perutnya.....
Si orang tua buat main pedang Tjengbeng kiam-nya, dibulak-balik di tangannya,
lalu dengan sepasang matanya yang bersinar tajam, ia tatap si nona. Dengan tibatiba dia menanya: "Bukankah
gurumu Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng dari Siauwhan San di Soetjoan Utara?"
Tanpa bersangsi, In Loei menjawab: "Ya." Orang tua itu lantas menghela napas.
"Sudah belasan tahun aku tak pernah bertemu pula dengan dia," ia kata suaranya
tak sekeras tadi, "walaupun demikian, dengan melihat pedangnya, aku bagaikan
melihat dia sendiri. Dia telah serahkan Tjengbeng kiam kepadamu, rupa-rupanya
dia sudah berhasil mewujudkan dua tugas yang menjadi pesan kakek gurunya"
Cepat-cepat In Loei manggut kepada orang tua itu. Ia tahu tentang gurunya.
Itulah kejadian pada dua belas tahun yang lampau. Ketika itu Hoeithian Lionglie,
si Puteri Naga Terbang, yaitu Yap Eng Eng, telah melanggar pesan gurunya, ialah
Hian Kee It Soe. Kesalahan itu ialah: dia bersama Tjia Thian Hoa, secara diamdiam telah saling menukar pelajaran ilmu silat pedang. Karena kesalahan itu, Yap
Eng Eng dihukum duduk bersemedhi menghadapi tembok di gunung Siauwhan San selama
lima belas tahun, dan selama lima belas tahun itu, dia dimestikan menjelesaikan
dua rupa urusan, dua tugas. Yang kesatu dia mesti melatih sempurna dua rupa ilmu
silat yang paling sulit untuk dipelajarinya, dan yang kedua, dia mesti berhasil
mendidik satu murid yang pandai "Pekpian Hian Kee Kiamhoat" yaitu ilmu silat
pedang yang mempunyai seratus jurus perubahannya.
"Loodjinkee, bukankah kau Kimkong Tjioe Tang Toasoepee?" dia lantas tanya. Ia
percaya betul, tidak ada lain orang lagi yang mengetahui hal ikhwal gurunya itu.
Orang tua itu, yang benar ada Kimkong Tjioe Tang Gak, tertawa bergelak.
"Hai, bocah, kau cerdik sekali!" katanya. "Kemarin malam di rumah Thio Hong Hoe
kau menggondol pedang ini dibebokongmu, aku sudah lantas perhatikan padamu, cuma
disebabkan kau menyamar sebagai satu pemuda, aku tidak berani berlaku lancang.
Nyatalah kau benar ada keponakan muridku! Tahukah kau kenapa aku melarang kau
turun tangan?" Heran In Loei "Apa?" dia tanya. Di dalam hatinya sendiri, dia kata: "Aku toh tidak memikir
untuk turun tangan terhadap siapa juga.....?"
"Bukankah tadi kau berniat munculkan diri untuk membunuh Thio Tan Hong?" Tang
Gak tegaskan. "Jikalau kau bunuh dia kau lakukan satu kekeliruan."
In Loei meringis. Nyata sudah paman guru itu telah keliru. Tapi ia cerdik. Ingin
ia ketahui, apa yang menyebabkan kekeliruan paman guru itu.
"Kenapa keliru?" demikian ia tanya.
"Thio Tan Hong itu," sahut Tang Gak, menerangkan, "sekalipun benar dia ada
puteranya Thio Tjong Tjioe, akan tetapi mendengar kata-katanya dan melihat sepak
terjangnya, dia adalah satu penyinta negara. Kemarin ini setelah aku tempur
Tantai Mie Ming, malamnya aku datangi tempat kediamannya si pangeran Mongolia,
untuk mendengar kabar. Di sana dapat aku dengar pembicaraan antara Thio Tan Hong
dengan Tantai Mie Ming itu. Mereka tengah merundingkan suatu urusan rahasia yang
maha penting. Tentang itu, tak usah kau mengetahuinya jelas, tetapi itu ada
sangat besar faedahnya untuk Tionggoan. Oleh karena itu, meski aku berniat
memberi juga satu gaplokan lagi kepada Tantai Mie Ming, kesudahannya aku beri
ampun juga padanya."
Mendengar ini, In Loei tertawa di dalam hatinya.
"Halmu ini telah aku ketahui....." demikian pikirnya.
Tang Gak tidak ketahui apa yang si nona pikir, ia bicara lebih jauh.
"Coba kau pikir, jikalau sampai terjadi kau binasakan Thio Tan Hong, tidakkah
karenanya kau jadi melakukan satu kekeliruan besar?" katanya. "Lagi pula, dalam
hal ilmu silat, kau bukan
tandingannya Tan Hong..... Ah, apakah kau belum pernah menyaksikan kepandaiannya
yang asli?" "Baharu sebagian saja," In Loei jawab paman guru itu.
Orang tua itu kerutkan alisnya.
"Nah, itulah tak tepat," katanya. "Satu anggota dari Rimba Persilatan tidak
seharusnya menuruti saja ambekannya tanpa mengukur tenaga sendiri. Eh, ya,
apakah namamu?" "Aku bernama In Loei," si nona jawab.
"Ah!" seru si orang tua, agaknya ia terkejut sekali. "Inilah yang pribahasa
bilang, orang mencari sesuatu dengan memakai sepatu besi, sampai sepatu itu
rusak, yang dicarinya tetap tak dapat diketemukan, sebaliknya, bila ada
jodohnya, yang dicari itu dapat diketemukan dalam tempo sedetik, tanpa susah
payah. Kiranya kau adalah adiknya In Tiong! Sungguh beruntung! Sekarang aku tak
merasa aneh lagi kenapa kau, sekalipun kau ketahui kau bukan tandingan Tan Hong,
tetap kau hendak mencoba membunuh dia!....."
In Loei meringis pula. Tak dapat ia menangis, tak dapat ia tertawa.
"Kemarin malam aku dengar Thio Tan Hong bilang, malam ini hendak dia menghadap
Ie Kiam," Tang Gak bicara pula, "karena itu, aku pun telah datang kemari. Di
tengah jalan tadi, satu urusan telah memhuatnya aku datang terlambat, maka itu,
ketika aku tiba, Tan Hong sudah pergi, hingga tak tahu aku apa yang telah mereka
bicarakan. Apakah kau dengar pembicaraan mereka itu?"
"Aku tak dapat mendengar nyata," sahut In Loei, yang tidak gembira untuk omong
banyak. "Aku cuma dengar mereka menyebut-nyebut Watzu dan Tionggoan, mereka
hendak menerbitkan perang saudara di Watzu. Ya, tak ingat aku semua apa yang
mereka itu katakan."
"Itulah soalnya!" kata Tang Gak. "Aku dengar In Tiong juga berada di sini.
Pernahkah kamu bertemu satu dengan lain?"
In Loei menjawab dengan suara dalam, tanda ia berduka. "Kakakku itu telah
diangkat menjadi pahlawan dalam keraton," ia beri tahu.
Mendengar itu, Kimkong Tjioe menghela napas.
"Bagus cita-cita bocah itu," ia kata, "hanya kali ini, tak tepat tindakannya.
Dia berpendapat, untuk dapat membalas sakit hati kakeknya, guna menyuci malu
negara, mesti dia menghamba dahulu kepada pemerintah, untuk mendapat pangkat dan
pengaruh besar." "Toasoepee benar," kata In Loei, "Di mana ada dorna yang berkuasa dalam
pemerintahan, sekalipun Lie Kong yang gagah tak ada jasanya!" Itulah katakatanya Tang Gak dalam suratnya kepada Kimtoo Tjioe Kian.
Heran Tang Gak hingga ia mengawasi si nona. "Eh, apakah kau pun melihat surat
itu?" dia tanya. "Sayang si Tiong tak menginsyafi dalil itu. Aku kuatir, karena
sikapnya si Tiong itu, akan sukar untuk kita menemui dia....."
"Mungkin, lagi setengah bulan akan ada ketika-nya," In Loei beritahu. Ia
utarakan dugaannya Thio Hong Hoe mengenai In Tiong.
"Sekarang begini saja," kata Tang Gak kemudian. "Aku pulang secara mendadak,
untuk satu urusan sangat penting. Perlu aku segera menemui kakek gurumu. Ini pun
sebabnya, sampai aku tak sempat mengunjungi pula Kimtoo Tjioe Kian yang namanya
telah lama aku kenangkan. Bahwa aku telah mampir di kota raja ini, itulah untuk
sekalian menengok si Tiong. Tidak dapat aku berdiam lama di sini, maka itu,
kalau kau bertemu dengan kakakmu, kau sampaikan pesanku ini."
In Loei menyanggupi, ia manggut.
"Kamu berniat mencari balas untuk keluargamu terhadap keluarga Thio," berkata
pula Tang Gak. "Mengenai ini, jikalau kita pakai aturan kaum Rimba Persilatan,
tidak dapat aku mencampurinya. Tapi satu hal hendak aku terangkan: Thio Tan
Hong itu adalah orang kaum kita dan dia tidak ada hubungannya dengan perbuatan
leluhurnya, yang bermusuhan dengan keluargamu, maka itu aku harap, kalau bisa,
bereskanlah permusuhan itu. Kakakmu menjadi putera sulung, dalam hal menuntut
balas, kau mesti turut pendapat dia. Kau sampaikan kata-kataku ini kepadanya,
untuk dia pikirkan dan fahamkan."
Turut kebiasaan Rimba Persilatan, mengenai permusuhan ayah, ibu dan leluhur,
meskipun satu guru, dia cuma dapat menganjurkan perdamaian, tak bisa dia
memerintah atau melarang pembalasannya. Demikian, Tang Gak berikan pesannya itu.
"Tentang Thio Tjong Tjioe itu, dia ada seorang baik atau seorang busuk, aku
masih belum tahu suatu apa," Tang Gak lanjutkan. "Shatee Thian Hoa terkurung di
dalam keraton bangsa Ouw, tentang dia, tentang kejadian yang sebenarnya, aku pun
tak mengetahuinya. Karena itu, hendak aku menemui kakek gurumu, ingin aku minta
supaya kakek gurumu itu mengijinkan gurumu turun gunung....."
"Mungkin sekarang ini djiesoepee sudah sampai di Siauwhan San," In Loei utarakan
dugaannya. Ia beritahukan warta perihal Tiauw Im Hweeshio, djiesoepee-nya itu,
paman guru yang kedua.

Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus, bagus!" tertawa Tang Gak. "Rupa-rupanya kita ke empat saudara
seperguruan akan melakukan suatu apa yang menggemparkan di tapal batas bangsa
Ouw, malah mungkin kakek gurumu juga akan turut terlibat, hingga dia turut turun
gunung!....." Hian Kee Itsoe telah sekap diri selama tiga puluh tahun lebih, In Loei belum
pernah bertemu dengan kakek gurunya itu, maka itu, di dalam hatinya, ia kata:
"Untuk melibat kakek gurumu turun gunung, itulah pekerjaan sangat sulit....."
Tentu saja, mengenai orang-orang pihak tertua, In Loei tidak berani campur tahu,
karenanya, ia tidak menanyakan terlebih jauh.
Tang Gak pun berdiam, ia cuma memandang langit.
"Jam sudah hampir pukul empat," ia kata, "karena sebentar pagi aku mesti lantas
meninggalkan kota raja ini, tak dapat aku antar kau pulang. Di mana kau
tinggal?" "Aku tinggal di rumah penginapan," sahut In Loei. "Toasoepee, silakan berangkat!
Aku pun tak dapat mengantar kau."
Waktu itu mereka berdua berada di luar kota, di tempat di mana mereka berdiri,
terdapat sebuah empang kecil, maka itu, selagi rembulan bersinar terang, tegas
sekali bayangan mereka berpeta di muka air itu.
Ketika Tang Gak berpaling ke muka air, tiba-tiba ia menghela napas.
"Buat belasan tahun aku lewatkan waktuku di tanah yang ber-es dan bersalju,
tanpa merasa, rambut kepalaku pun telah berubah menjadi putih," dia kata,
menyesal. "Sungguh, sang waktu lewat pesat sekali! Ketika dulu aku berpisah dari
gurumu, gurumu itu mirip dengan kau sekarang ini....."
Diam-diam tergerak hatinya In Loei. Ia ingat lelakon asmara antara gurunya itu
dengan samsoepee-nya, paman guru yang ketiga. Mengenai kata-katanya toasoepee
ini, ia separuh mengerti dan separuh tidak, ia diam saja, tunduk. Maka itu,
ketika kemudian ia angkat kepalanya, ia dapatkan paman guru itu sudah tidak ada
dihadapannya..... Sampai di situ, In Loei segera putar tubuhnya. Ia tidak balik ke hotelnya, ia
hanya menuju kembali ke rumah Ie Kiam. Tepat ketika ia sampai, ia dengar suara
kentongan empat kali. Pada waktu itu, ia dapat lihat kamar si menteri masih
terang benderang seperti tadi. Heran ia.
"Ah, apakah dia masih belum tidur?" dia tanya dirinya sendiri. Dengan perlahan,
ia menghampiri pintu. Tanpa sangsi-sangsi, ia mengetok dengan perlahan, beberapa
kali. Ie Kiam belum tidur, lantas ia membukakan pintu. "Nona In, silakan masuk!"
menteri itu mengundang, sambil tertawa manis,
"sudah lama aku tunggui kau!" In Loei tercengang. Ia dandan sebagai satu pemuda,
ia anggap tidak ada orang yang ketahui atau kenali padanya, siapa tahu, Ie Kiam
sekarang buka rahasianya itu!
"Thio Tan Hong telah menuturkan halmu kepadaku," Ie Kokioo kata pula,
menambahkan. "Dia juga telah melukiskan potongan tubuhmu dan wajahmu kepadaku.
Apakah kau baharu sampai?" Melihat sikap orang demikian ramah tamah, tanpa
merasa In Loei jadi sangat terharu, hingga air matanya mengucur. Ia lantas saja
berlutut, untuk memberi hormat.
Ie Kiam membungkuk, untuk memimpin bangun nona itu.
"Ketika dahulu aku diangkat menjadi Hanlim, adalah kakekmu yang menjadi ketua
ujian," Ie Kiam kata pula. "Maka itu, andaikata aku tidak dipandang lancang,
ingin aku panggil kau titlie saja."
Titlie ialah keponakan perempuan.
Mendengar disebutnya engkong-nya, In Loei menjadi terlebih berduka.
"Bagaimana meninggalnya kakekku itu?" dia tanya sambil menangis tersedu-sedu.
"Benarkah dia diberikan kematian oleh raja" Peehoe, tahukah kau keadaan yang
sebenarnya?" In Loei sudah lantas memanggil peehoe, paman, kepada menteri itu.
"Kau duduk dulu," berkata Ie Kiam serta menuangkan orang secangkir teh, yang
masih panas. "Kau seka air matamu, nanti aku jelaskan padamu."
In Loei mengucap terima kasih, ia seka air matanya. Ie Kiam mengawasi, ia
menghela napas pula. "Ketika hari itu kakekmu menemui kecelakaannya, aku telah menjadi Pengpou
Sielong," menteri ini menutur. "Begitu kita dapat kabar buruk dari kota
Ganboenkwan, semua menteri, sipil dan militer, menjadi kaget sekali, mereka
berduka berbareng gusar. Semua orang anggap kakekmu itu sudah meninggalkan nama
baik di negara asing. Selama dua puluh tahun kakekmu mengembala kuda di daerah ber-es
dan bersalju, tak sudi ia menyerah di bawah tekanan musuh, sungguh dia mirip
dengan Souw Boe yang setia dan keras hati, dialah satu manusia yang langka!
Kakekmu menemui ajalnya secara demikian mengenaskan, manusia dan langit bergusar
bersama. Demikian satu giesoe yang tak takut mati sudah memajukan surat kepada
raja, untuk membalas kakekmu itu, ia minta supaya raja mencuci penasaran itu,
agar nama kakekmu diperbaiki, untuk selanjutnya diberi pangkat mulia.
"Apa benar In Tjeng telah meninggal dunia?" tanya raja setelah ia baca surat
giesoe itu. "Aku masih belum tahu. Baiklah, nanti aku cari keterangan. Suratmu
ini akan ditangguhkan dulu."
"Lantas raja menitahkan membubarkan persidangan di singgasana.
"Menteri besar yang bernama Lauw Tek Sin tidak puas dengan sikap raja. Ia
berbangkit, ia susul raja sampai di kamar tulis.
"Bukankah Sri Baginda yang membubuhi tanda tangan atas surat titah yang
menghadiahkan kematian kepada In Tjeng itu?" dia tanya.
"Raja mencoba menyangkal tapi bicaranya tidak jelas.
"Mengetahui rajanya disusul Lauw Tek Sin, Soeiee Thaykam Ong Tjin datang
menyusul. "Sri Baginda, apakah Baginda telah lupa menulis firman itu?" ia tanya.
"Oh, ya, ya," kata raja itu gugup. "Memang benar, akulah yang menulis firman
itu. Ya, kenapakah dia diberi hadiah kematian" Baiklah, nanti aku pikirpikir....." "Ong Tjin, yang mendampingi raja, lantas membantu mengingat. Dia kata, In Tjeng
menjadi utusan, dengan tidak tahu malu, dia bekerja kepada musuh. Begitulah maka
dia dihadiahkan kematiannya....."
"Benar, benar!" kata raja. "Karena itu dia dihukum mati"
"Lauw Tek Sin menjadi sangat murka.
"Teranglah kau yang membuat firman palsu, jahanam!" dia damprat orang kebiri
itu. "Kau telah memfitnah satu menteri setia dan membinasakannya, kau pakai nama
Sri Baginda, dengan begitu kau membuatnya Sri Baginda tak disukai menterimenterinya!" "Akan tetapi Ong Tjin menjadi gusar sekali. Dia perintahkan menawan Lauw Tek
Sin, untuk dijebluskan ke dalam penjara istana, habis mana, dengan mencari akal,
menunjuk orang berdosa, dia hendak hukum mati pada menteri itu. Hal ini
membangkitkan kegusarannya menteri-menteri sipil dan militer dalam istana,
mereka ini memprotes, mereka menuduh Ong Tjin. Karena protes ini, Lauw Tek Sin
bebas dari kematian, tetapi dia dipecat, dijadikan rakyat jelata. Sedang giesoe
yang setia itu, yang membelai kakekmu, juga dihukum, yaitu dihukum buang ke
Haylam. Tidak lama kemudian, giesoe itu terbinasa di bawah tangan jahat dari Ong
Tjin. Kemudian lagi, satu demi satu, menteri-menteri yang protes dorna kebiri
itu, telah menerima bagiannya, pembalasannya Ong Tjin itu. Aku sendiri tidak
terkecuali, aku telah diturunkan pangkat, dipindah ke Kangsee menjadi soenan."
Mendengar keterangan itu, bukan kepalang mendongkolnya In Loei.
"Sungguh satu dorna kebiri yang sangat menjemukan!" dia berseru. "Jadi dialah
yang membinasakan kakekku itu" Kenapa dia membinasakan kakekku?"
"Hal itu baharulah kita ketahui kemudian," sahut
Ie Kiam. "Sejak siang-siang Ong Tjin itu telah membuat perhubungan rahasia
dengan Yasian ayah dan anak, secara diam-diam mereka itu menukar besi kita
dengan kuda Mongolia. Perdagangan tukar-menukar secara gelap ini dilakukan
secara besar-besaran, dengan begitu Yasian telah mengeruk uang dalam jumlah yang
besar sekali. Turut kabar, untuk Mongolia, perdagangan semacam itu dilakukan
secara terang-terangan. Kakekmu adalah satu menteri besar, dia ternama baik, sudah begitu, untuk dua
puluh tahun dia telah melindungi kesetiaannya, kesetiaan itu tak kalah dengan
kesetiaan Souw Boe yang mengembala kambing, umpama kata dia dapat
kemerdekaannya, pulang ke negeri, pasti sekali dia akan perbaiki tata tertib di
dalam istana, untuk mana tentulah dia akan singkirkan segala dorna. Karena ini
semua, pasti Ong Tjin jeri terhadap kakekmu itu, Ong Tjin mestinya telah menerka
yang kakekmu telah ketahui rahasianya. Untuk menjaga bahaya di belakang hari,
Ong Tjin telah menggunakan firman palsu, untuk mendahului turun tangan terhadap
kakekmu itu. Dia berpangkat Soeiee Thaykam, cap kerajaan berada di tangannya,
karena semua surat-surat, dari luar dan dari dalam, mesti terlebih dahulu lewat
ditangannya, kecuali jikalau yang dihaturkan pribadi oleh suatu menteri. Karena
kekuasaannya itu, gampang sekali baginya untuk memalsukan firman."
Sampai di situ, In Loei teringat halnya Thio Tjong Tjioe telah memesan Tantai
Mie Ming untuk menyampaikan tiga buah kimlong kepada kakeknya.
Memang kimlong itu - surat tertutup, yang untuk sementara dirahasiakan dulu ada luar biasa. Dulu, dimasa ia kecil, In Loei tidak ketahui suatu apa tentang
kimlong itu, adalah kemudian, sesudah ia dewasa, ia dengar hal itu dari Tiauw Im
Hweeshio, dari Kimtoo Tjioe Kian juga, dan belakangan lagi, dari Thio Tan Hong.
Dari ketiga kimlong, yang ketiga memuat sebutir pil lahwan, dan di dalam lahwan
ini - lilin bundar - terdapat lagi sehelai surat. Itulah suratnya Ong Tjin yang
di alamatkan kepada To Huan (ayahnya Yasian) serta Thio Tjong Tjioe, maksud yang
tak adalah surat urusan pertukaran besi Tionggoan dengan kuda Mongolia. Surat
rahasia itulah yang menyebabkan In Tjeng ditawan. Sebenarnya Tjia Thian Hoa
telah dititahkan pergi ke kota raja, untuk menyerahkan lahwan kepada Ie Kiam,
supaya Ong Tjin didakwa. Sayang telah terjadi kegagalan. In Tjeng bukan
melainkan kena ditawan, dia malah segera dibinasakan. Meski begitu, terang
sudah, itulah maksud baik dari Thio Tjong Tjioe berdua. Surat itu kesampaian.
Ingat kebinasaan kakeknya "Apabila lahwan dapat diserahkan kepada Ie Kiam, pasti
sudah Ong Tjin dan kawan-kawannya serta pengaruhnya tak jadi sehebat sekarang
ini. Dengan bukti itu belum tentu Ong Tjin tak dapat dirubuhkan....."
Setelah menutur, Ie Kiam menghela napas.
"Memang sakit hati In Thaydjin belum dapat dicuci bersih," kata dia, "akan
tetapi ia mempunyai satu cucu perempuan sebagai kau, di alam baka, dia tentunya
dapat meramkan mata."
Ingat itu, In Loei berpikir itu, hati In Loei panas dengan tiba-tiba. Tiba-tiba
saja ia tepuk kedua tangannya satu dengan lain, seraya berseru: "Jikalau aku
tidak berhasil mencingcang hancur tubuh dorna kebiri itu, aku bersumpah tak sudi
menjadi manusia!" Tapi Ie Kiam menggeleng-gelengkan kepala.
"Nona In, sekarang ini, aku tidak setuju kau pergi menuntut balas!" dia kata.
In Loei heran. Ia memang sedang murka.
"Loopee, apakah artinya perkataanmu ini?" ia tanya.
"Sekarang Ong Tjin sedang besar pengaruhnya dan orang-orangnya pun banyak
sekali," menteri itu berikan keterangan, "di samping itu, di dalam angkatan
perang, banyak panglima yang menjadi anak pungutnya. Maka sekarang lebih baik
kita pusatkan seluruh tenaga kita untuk menghadapi penyerbuan bangsa Watzu.
Jikalau kita turuti hati saja, bisa-bisa kita mencelakai diri sendiri, bisa kita
merusak urusan besar. Tidakkah pepatah mengatakan, 'Kalau seribu orang menuding,
tak sakit pun orang dapat mati"' Jikalau orang telah penuh dengan kedosaan dan
kejahatan, mana dapat dia hidup senang untuk selama-lamanya" Pendeknya kalau
nanti telah tiba saatnya dari terbukanya kebusukan itu, taruh kata kau tidak
pergi membalasnya sendiri, mungkin ada lain orang yang akan menyingkirkan dia!
Kau pandai silat dan gagah, tapi kau harus ingat, tangan sebelah tak dapat
perdengarkan suara. Maka sedikitnya kau mesti tunggu sampai kau bertemu dengan kakakmu, baharu dapat kau
berichtiar." In Loei berdiam. Ia anggap pikiran menteri itu benar sekali. Tapi ia jadi sangat
bersedih, hingga air matanya membasahi ujung bajunya.
Dengan perlahan-lahan, Ie Kiam berbangkit, akan bertindak ke jendela, yang
daunnya ia tolak. "Ah, sudah hampir terang tanah!" katanya. "Keponakan Loei, kau tinggal di mana?"
Nada suara itu seperti mengandung maksud.
"Aku tinggal di rumah penginapan," sahut In Loei.
"Di rumah penginapan terdapat orang dari segala macam, kau bersendirian saja,
kau pun menyamar, pastilah kau kurang merdeka," berkata menteri itu.
"Bukankah ada terlebih baik untuk pindah saja kemari, untuk tinggal bersama aku"
Di sini juga kabar-kabar datangnya terlebih cepat."
"Jikalau peehoe kehendaki itu, aku menurut saja" sahut si nona. "Baik, akan aku
pulang dulu ke pondokku, untuk mengambil barang-barangku."
Justeru itu waktu, dari kamar sebelah, terdengar satu suara bocah perempuan yang
terang sekali: "Ayah, kembali untuk satu malam kau tidak tidur....."
Bangun alisnya Ie Kiam, ia tertawa.
"Segera akan aku tidur," ia menyahuti. Ia terus berpaling pada In Loei, untuk
meneruskan: "Anakku meminta aku masuk tidur, maka lekaslah kau pergi untuk lekas
kembali. Seringkah, karena repot, aku tidak tidur satu malaman, untukku tidak
berarti apa-apa, cuma kasihan bagi anak itu, dia jadi kesepian....."
Itulah kecintaan antara ayah dan anaknya, mengetahui itu, In Loei teringat pada
kakek dan ayahnya. Ie Kiam ini, dalam hal usianya, tak berbeda daripada kakeknya
pada sepuluh tahun yang lampau. Bedanya ialah, kakeknya tidak semanis budi
seperti menteri ini. Segera nona ini memberi hormat, untuk berlalu, dan di lain saat, ia telah
kembali. Ia pun segera menjadi kawannya si nona tadi, puterinya Ie Kiam.
Puterinya Ie Kiam bernama Sin Tjoe,4j usianya baharu sembilan tahun, akan tetapi
ia cerdik sekali dan gesit. Ia panggil entjie kepada In Loei, yang sudah lantas
dandan sebagai satu nona. In Loei pun senang mendapat kawan yang manis ini.
Selama menumpang pada keluarga Ie, In Loei ada kandung suatu maksud. Ialah, ia
harap-harap datangnya Tan Hong kembali untuk menemui Ie Kokioo. Akan tetapi,
setengah bulan sudah lewat, pemuda itu masih belum kelihatan juga.
Sementara itu si pangeran asing beserta Tantai Mie Ming, enam hari sesudahnya In
Loei pindah ke rumah Menteri Ie, telah berangkat pulang ke negeri mereka,
sebabnya ialah karena pembicaraan mereka gagal.
Setelah lewat setengah bulan, tiba-tiba ingatlah In Loei akan omongannya Thio
Hong Hoe tentang ujian militer Boe kiedjin istimewa untuk tahun yang sedang
berjalan. Hal itu sangat menarik perhatiannya, maka sering sekali ia tanyakan Ie
Kokioo, bilamana ujian itu akan diadakan.
"Keponakanku yang baik, kau sabarlah," kata Ie Kokioo sambil tertawa ketika ia
ditanyakan yang terakhir. "Kalau nanti kakakmu turut ambil bagian, pasti sekali
akan aku pertemukan kau dengannya!"
"Apakah ujian sudah dimulai?" si nona tanya.
"Sekarang baharu permulaan saja. Banyak sekali jumlah mereka yang mengambil
bagian. Nanti aku pergi ke Kementerian Perang untuk mencari tahu angka ujiannya
kakakmu itu." Lima hari telah lewat sejak pembicaraan itu, atau pada hari ke enam, pagi-pagi
sekali, Ie Kiam telah memanggil In Loei, dan semunculnya si nona, ia tertawa
dengan manis. "Bukankah kau ingin menemui kakakmu?" ia tanya.
In Loei berjingkrak. "Peehoe, apakah sekarang juga kau hendak ajak aku menemuinya?" tanya ia, yang
girangnya tak kepalang. "Benar," jawab paman itu. "Hanya kau harus merendahkan sedikit dirimu. Kau
menyamar sebagai pengiringku, nanti aku ajak kau ke lapangan pieboe untuk
menyaksikan pertandingan."
In Loei girang bukan main, dengan lantas ia salin pakaian. Ia sudah biasa
menyamar sebagai priya, untuk jadi pengiring atau kacung, iapun tak
berkeberatan. Ia seperti tak pedulikan segala apa, asal ia dapat bertemu dengan
kakaknya. Kiranya hari itu adalah hari terakhir, untuk memilih Boe tjonggoan. Sudah
dikatakan, ujian ada istimewa, maka itu, setelah ujian main panah sambil
menunggang kuda, ujian lisan ilmu perang, datanglah ujian untuk pieboe, guna
mengadu kepandaian silat.
Usul atau saran keluar dari otaknya Taylwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay. Dia ambil
alasan, ilmu silat ada banyak macamnya, tak berbatas cuma dengan ilmu panah di
atas kuda, ada ilmu tombak atau golok, juga dengan bertangan kosong, tanpa ini,
ilmu silat itu tidak lengkap.
Senantiasa berdiam di dalam keraton, atau istana, kaisar merasa kesepian, maka
itu satu kali ia dengar akan diadakan keramaian - di antaranya termasuk pieboe dengan segera dia terima baik usul Kong Tjongkoan itu.
Demikian di tengah-tengah lapangan segera dibangun satu ioeitay - panggung untuk
adu silat itu - dengan di empat penjurunya diberdirikan pula panggung-panggung
untuk penonton. Kaisar pun tidak datang menonton sendiri, ia diiring para
pahlawan dan thaykam, pun Menteri Perang dan semua menteri lainnya turut
mendampingi padanya. Sebenarnya usul Kong Tiauw Hay ini disebabkan dia mempunyai maksud sendiri urusan pribadi. Dia mempunyai dua soehengtee, saudara-saudara seperguruan yang


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

liehay ilmu silatnya, dia ingin kedua saudara itu memamerkan kepandaiannya,
supaya mereka peroleh nama dan kedudukan baik. Tapi kedua saudara itu terlalu
rendah pengetahuannya mengenai kitab ilmu perang, maka itu diciptakan akal ini,
ialah adu kepandaian silat.
Sekitar lapangan dijaga tentara Gielim koen, pasukan pribadi kaisar. Kaisar
sendiri, diiring oleh para pangeran dan orang kebiri, mengambil tempat di
panggung tengah, yang menghadapi langsung panggung ioeitay. Ie Kiam beserta In
Loei, bersama Menteri Perang dan menteri lainnya, mengambil panggung timur, dari
mana orang pun dapat melihat tegas ke panggung raja.
"Kau lihat," kata Ie Kokioo pada pengiringnya sambil berbisik, "itu orang dengan
juba naga di belakang siapa berbaris pahlawan-pahlawan adalah Sri Baginda raja.
Di kiri raja, orang yang berdiri mendampinginya adalah Thaykam Ong Tjin."
Dengan mata tajam, In Loei awasi orang kebiri itu, untuk mengenali dengan baik
roman orang dan potongan tubuhnya.
Semua boe kiedjin, yang berhak turut ujian, berkumpul di bawah panggung di mana
ada sebuah gubuk istimewa untuk mereka menanti atau beristirahat, sebab sebelum
tiba gilirannya, tak dapat mereka sembarang menaiki panggung ioeitay.
"Ujian istimewa kali ini namanya saja boleh diikuti oleh siapa saja asal
berkepandaian silat dan telah terpilih," Ie Kiam terangkan pada In Loei, "akan
tetapi kenyataannya, kecuali mereka yang memang sudah memangku pangkat dalam
tentara, dia mesti diberi
pertanggungan oleh suatu orang berpangkat, yang pangkatnya mesti sedikitnya
sudah tingkat ketiga. Inilah sebabnya kenapa Sri Baginda berani turut datang
menonton." Mendengar ini, di dalam hatinya, In Loei kata:
"Kalau begitu orang kangouw, yang benar-benar gagah, tak dapat kesempatan untuk
turut serta....." Tiba-tiba terdengarlah suara tambur nyaring, tiga kali. Itulah tanda bahwa
pieboe sudah akan dimulai. Mendengar suara tambur itu, In Loei merasa tegang
sendirinya, segera ia mengawasi ke arah ioeitay.
Yang pertama kali maju adalah dua orang yang romannya kasar, mereka masingmasing bersenjatakan golok tantoo dan sebuah tombak. Sebentar saja, si pemegang
golok peroleh kemenangan.
Menyusul itu adalah tiga pertandingan lagi. Siapa yang menang, dia mesti
bertanding terus. Siapa menang dua kali beruntun, dia dapat hak untuk
beristirahat, untuk nanti diadu pula dengan pemenang lainnya. Begitu seterusnya.
Selama itu, In Loei belum lihat kakaknya.
Pertandingan, ke empat telah selesai, dan pemenangnya adalah seorang yang
tubuhnya tinggi tujuh kaki, besar dan tegap, gegamannya adalah sepasang
gembolan. Selama itu, kuranglah perhatian In Loei. Sampai ia dengar bicaranya Pengpou
Siangsie, menteri perang, kepada Ie Kokioo. Kata menteri itu: "Pemenang ini
adalah Tjiangkoen Ouw Tay Keng, panglima yang baru diangkat oleh Kementerian
Perang, kedua tangannya bertenaga seribu kati. Sebenarnya jumlah peserta ada
banyak sekali, semuanya sembilan puluh enam orang, tetapi Sri Baginda hendak
menyaksikan yang paling kosen saja, maka kemarin diadakan ujian istimewa oleh
Kementerian, hingga kesudahannya, dari sembilan puluh enam peserta itu sekarang
tinggal dua puluh empat orang. Sri Baginda pun ingin supaya ujian
selesai dalam hari ini. Dalam ujian kemarin, Ouw Tjiangkoen ini dapat angka baik
sekali." Ie Kiam sambut keterangan itu dengan senyuman. Ia tahu, Ouw Tay Keng adalah
sanaknya Pengpou Siangsie, sudah tentu Siangsie itu, menteri, mengharap-harap si
sanak keluar sebagai pemenang.
Segera juga terdengar suaranya kiepaykhoa di muka panggung: "Lim Too An, kiedjin
nomor sembilan, naiklah ke atas panggung! Penanggung jawabnya adalah Leepou
Tjoesoe Lie Soen." Pemberitahuan itu menunjukkan bahwa peserta Lim Too An bukan perwira, maka ia
memerlukan orang yang menanggung dirinya.
Heran juga In Loei, maka perhatiannya jadi tertarik sekali. Ia lantas lihat, Lim
Too An lompat naik ke atas ioeitay dengan sebelah tangannya menggoyangkan kipas,
dandannya pun tidak keruan, ialah sembarangan saja. Dia adalah puteranya Lim
Tjhoengtjoe, sahabatnya Hongthianloei Tjio Eng. Dia juga yang beberapa bulan
yang lalu telah melamar Nona Tjio Tjoei Hong akan tetapi dia kena dikalahkan
Nona Tjio. Too An beri hormat pada Ouw Tjiangkoen sambil menjura seraya pegangi terus
kipasnya itu. Ia kata dengan lagu suaranya yang agak seram: "Ouw Tjiangkoen, aku
mengharap belas kasihanmu....."
"Sial!" keluh Ouw Tay Keng di dalam hatinya. "Dari mana datangnya makhluk aneh
ini, priya bukan wanita bukan"....." Tapi waktu menjawab, sambil mengayunkan
gembolannya, dia membentak: "Belas kasihan apa! Ini ada tempat resmi! Apakah kau
anggap ini bagaikan sandiwara" Lekas kau keluarkan senjatamu!"
Jumawa panglima ini, tetapi Lim Too An tidak menghiraukannya.
"Boanseng empunya senjata ialah kipas ini," dia menyahut, suaranya halus
bagaikan suara wanita. Ia pun membahasakan diri boanseng, artinya yang mudaan.
Ouw Tay Keng menjadi gusar sekali, segera ia menghajar dengan sebelah
gembolannya. Lim Too An berkelit sambil mendak, berbareng dengan itu kipasnya yang ia buat
kuncup, diulurkan ke arah iga dari panglima itu, untuk menotok jalan darah
djoanmoa hiat. Lincah gerakannya, tapi tidak segarang lawannya itu.
Ouw Tay Keng bertubuh besar, ia kurang gesit, tidak ampun lagi, begitu kena
ditotok, tubuhnya itu bergelimpang rubah jatuh di lantai panggung dengan
menerbitkan suara keras! Lim Too An tidak berhenti sampai di situ, dengan sebat ia angkat sebelah
kakinya, untuk dipakai mendupak, maka tersapulah tubuh besar dari panglima itu,
jatuh terbanting ke bawah panggung.
"Maaf, boanseng terima kalah!" kata dia sambil tertawa. Masih dia mengejek.
Gembira kaisar menampak pertempuran itu.
"Bagus!" serunya dengan pujiannya.
"Pertandingan yang menyusul akan lebih bagus lagi!" kata Ong Tjin. "Lekas
Baginda lihat!" Kiepaykhoa segera perdengarkan pula suaranya: "Nomor 10!"
Kali ini yang lompat naik adalah seorang dengan sebelah tangannya mengangkat
tinggi sehelai tameng. Dia adalah Lou Liang, adiknya Lou Beng. Lou Beng sendiri
kemarin telah dijatuhkan oleh satu anak muda, hingga Lou Liang mesti maju
seorang diri. Dua saudara Lou ini adalah orang-orang kepercayaannya Ong Tjin.
Lim Too An layani ilmu tameng Koengoan pay dari keluarga Lou dengan tameng
besinya, Lou Liang lindungi diri dari totokan ujung kipas. Untuk sementara, Too
An tidak bisa berbuat suatu apa, maka itu dengan cepat pertandingan telah
melalui kira-kira lima puluh jurus.
Lou Liang tahu orang pandai tiamhiat hoat, ilmu totok jalan darah, setelah
bertanding sekian lama, ia menggunakan akal. Ialah
mengangkat tamengnya demikian rupa hingga ia membuatnya satu lowongan.
Too An girang melihat ketika yang baik ini, ia tidak sia-siakan itu, dengan
memutar kipasnya, segera ia menotok jalan darah soankee hiat pada dada lawan. Ia
percaya, setelah lawan nampaknya lelah, ia akan berhasil.
Tiba-tiba saja tameng bergerak sangat cepat. "Prak!" demikian terdengar satu
suara. Too An kaget bukan main, karena kipasnya kena dihajar hingga patah
seketika. Ia tahu selatan, segera saja ia lompat turun dari panggung.
Ong Tjin lantas saja tertawa, wajahnya berseri-seri.
"Kongkong, pahlawanmu benar kosen!" kaisar memuji. Ia membuatnya orang kebiri
itu bergirang dan bersyukur.
"Kiedjin No. ", See Boe Kie, naik ke panggung! Penanggung jawabnya Hoetongnia Yo
Wie dari Gielim koen!" demikian suara kiepaykhoa.
In Loei terkejut pula. Ia tidak sangka, juga penjahat besar ini, yang telengas,
turut serta dalam ujian, malah dengan ditunggui oleh komandan muda dari tentara
raja. Ia ingat benar, See Boe Kie adalah orang yang lamarannya telah ditolak
Tjoei Hong. Begitu ia mencelat naik ke atas panggung, See Boe Kie tidak berlaku sungkan
lagi. "Dengan kepalanku ini akan aku sambut tamengmu!" katanya dengan jumawa.
Lou Liang gusar terhadap sikap kasar itu.
"Baik, kau sambutlah!" dia jawab, dan tamengnya segera menyambar dari atas
kebawah Hebat serangan itu, sampai tameng itu mendatangkan siliran angin.
See Boe Kie berkelit ke samping, dari situ ia membalas menyerang dengan
kepalannya dibuka, hingga lima jarinya jadi berbaris rapat.
Lou Liang terkejut apabila ia tampak telapak tangan hitam dari lawannya ini.
Itulah Toksee tjiang - Tangan Pasir Beracun. Lekas-lekas ia menangkis.
See Boe Kie sebat sekali, ketika serangan pembalasannya itu gagal, ia menyusul
dengan tangan yang lain, ia barengi selagi orang menangkis. Kali ini ia berhasil
menimpa pundak orang. "Aduh!" teriak Lou Liang yang dibarengi dengan menggelindingnya tubuhnya ke
bawah panggung. Ia sebenarnya kosen tetapi ia kalah sebat.
Wajah Ong Tjin menjadi matang biru, karena mendongkolnya, sebab pahlawan yang ia
banggakan itu, rubuh sebelum mencapai tiga jurus.
Jangan gusar, kongkong1." tertawa Kong Tiauw Hay. "Pada babak selanjutnya,
binatang itu tak akan bertahan lama!....."
Lalu terdengar suara kiepaykhoa'. "No. 12, Liok Thian Peng! Penanggungnya,
Tayiwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay!"
Segeralah lompat naik seorang yang tubuhnya tegap, di pinggangnya terlibat
cambuk lemas Kimsie Djoanpian. Dia tidak loloskan senjata itu, hanya sambil
tertawa ia kata pada See Boe Kie: "Toksee tjiang-mu liehay sekali, tapi biarlah
aku mengalah, kau menyerang dulu dua kali! Bila aku berkelit, anggaplah, aku
kalah!" See Boe Kie melengak. Orang ada lebih terkebur daripadanya.
"Hayo mulai!" kata Liok Thian Peng. "Kenapa kau belum menyerang juga" Di sini
ada ioeitay tempat pieboe, jikalau kau tetap tidak hendak menyerang, hendak kau
menggelinding turun saja dari atas panggung ini!....."
See Boe Kie mendongkol, ia penasaran.
"Mungkinkah tubuhnya kebal hingga ia tidak mempan racun tanganku yang liehay?"
dia berpikir. "Belum pernah aku dengar ilmu kebal semacam itu....." Lantas ia
kata dengan tawar: "Tanganku beracun, Tuan Liok, harap kau berhati-hati!....."
Belum berhenti si jago tangan beracun ini berbicara, atau sebelah tangannya
sudah menyambar ke arah muka lawan. Sambil menyerang, ia berpikir: "Pada
tubuhnya ada bajunya, yang mungkin menjadi alingan, maka akan aku hajar mukanya,
yang kulitnya tipis! Mungkinkah mukanya pun kebal"....."
Pada saat tangan lawan hampir sampai pada mukanya, mendadak Liok Thian Peng
mendak berkelit, menyusul mana, tangannya diangkat, dipakai membentur sikut
orang. Hebat benturan ini, See Boe Kie merasakan sakitnya sampai di jantungnya,
lengannya yang dibentur pun lantas saja turun tergantung, tetapi ia kuat, masih
dapat ia bertahan, maka dengan menuruti amarahnya, ia tidak mau menyerah kalah,
lantas dengan menggunakan tangannya yang lain, ia menyambar ke iga Liok Thian
Peng, mengarah jalan darah kematian.
In Loei saksikan pertempuran itu, ia tahu, kalau sambaran itu tidak gagal, mesti
celaka Liok Thian Peng. Tapi yang menjerit hebat adalah See Boe Kie, tangannya
semper, tubuhnya rubuh ke bawah panggung.
"Hebat!" kata In Loei di dalam hatinya. Ia insyaf atas orang punya ilmu "Tjiamie
sippattiat" - "Membentur baju, delapan belas kali terguling." Itulah ilmu tenaga
dalam yang paling sempurna. Sedikit benturan saja sudah cukup membuatnya orang
kesakitan dan rubuh. Maka berpikirlah ia lebih jauh: "Dalam ujian ini turut
ambil bagian orang kosen semacam ini, aku kuatir kakakku tidak akan dapat
merebut gelar Boe tjonggoan....."
Liok Thian Peng adalah soetee, adik seperguruan, dari Kong Tiauw Hay,
kepandaiannya berimbang dengan Tiauw Hay sendiri. Tentu saja dia jadi sangat
puas dengan kemenangannya itu, hingga
dia jadi bangga sekali. Kemudian terdengar pula seruannya kiepaykhoa: "Kiedjin
No. 14 naik ke panggung!"
Bukan kepalang girangnya In Loei apabila ia tampak, siapa calon yang ke empat
belas itu, dialah In Tiong, kakaknya.
"Ha, In Tongnia juga naik!" tertawa Liok Thin Peng. "Silakan tongnia keluarkan
senjatamu!" Belum lama In Tiong masuk dalam kalangan Gielim koen akan tetapi namanya menaik
dengan cepat sekali, hingga hampir menyamai kesohornya ketiga jago utama dari
kota raja. Tentu saja, terhadap tongnia ini, Liok Thian Peng tidak berani
memandang enteng, maka itu, ia sudah lantas loloskan cambuk lemasnya. Ia malah
segera rebut tempat di kepala di mana ia berdiri dengan siap sedia.
Cambuk lemas itu terbuat dari rotan tua terlibat dengan urat harimau,
keuletannya istimewa, dapat melibat juga golok atau pedang. Karena In Tiong
bersenjatakan golok Angmo Pootoo, dalam tandingan, ia kalah imbangan. Baharu ia
hunus goloknya, atau Liok Thian Peng sudah mulai menyerang padanya.
Dahsyat serangan cambuk itu, akan tetapi mengimbangi kegesitan lawan, In Tiong
kelitkan diri. Nampaknya ia akan tercambuk, tapi kesudahannya, bajunya pun tidak
tersentuh. Sebaliknya ia, dari samping, segera membalas membacok.
Liok Thian Peng benar-benar liehay. Ia terancam bahaya tapi, dengan mudah ia
egoskan tubuhnya, untuk selanjutnya, menyambuk pula berulang-ulang tiga kali,
guna mendesak lawannya, yang pun gesit sekali, hingga tiga cambukan itu tidak
memperoleh hasil. In Tiong tidak cuma berkelit, dia pun berlompatan pesat, dan
di bawah bayangan cambuk itu, ia melakukan serangan pembalasannya.
Serangan tiga kali saling susul dari Liok Thian Peng itu adalah serangan jurusjurus "Kenghong sauwlioe" atau "Angin besar menyapu pohon yanglioe," biasanya
sulit untuk orang menghindarkan diri dari bahaya itu, maka itu kagum Thian Peng,
terhadap lawannya. Ia pun mengelakkan diri dari pelbagai bacokan, sesudah mana,
lagi satu kali ia menyerang hebat, untuk melibat lengan orang. Apabila ia
berhasil, yang paling dulu akan terjadi adalah golok In Tiong mesti terlepas
dari cekalan dan terlempar.
In Tiong perdengarkan suara, bagaikan kaget, berbareng dengan itu, tangan
kirinya, yang hendak dilihat itu, dilonjorkan lempang dan kaku, atas mana,
dengan sendirinya, libatan cambuk lolos dan cambuk lemas itu mental, tidak
mendapatkan korbannya. Tapi itu belum semua, selagi dilonjorkan, tangan In Tiong
dan kepalannya, berbareng dipakai menjotos dada lawannya!
"Bagus" teriak Liok Thian Peng, yang kaget dan kagum. Kakinya tidak digerakkan,
hanya tubuhnya digeser sedikit, untuk melewatkan kepalan itu, menyusul mana
tangan kirinya, dengan lima jarinya, dipakai menunjuk, akan menyambuti kepalan
lawan itu. Kelihatannya kepalan dan jari-jari tangan akan bentrok satu dengan lain, akan
tetapi di saat yang berbahaya, keduanya mundur sendirinya, diganti dengan
gerakan cambuk dan golok - cambuk bagaikan terbang, golok bagaikan menari.....
Kedua pihak nampak merenggangkan diri tetapi sebenarnya, mereka asyik mengadu
kepandaian mereka, hingga penonton rata-rata menjadi kagum, ada yang
menyaksikannya seperti matanya kabur.
Ilmu silat "Tjiamie Sippattiat" dari Liok Thian Peng liehay, akan tetapi, kali
ini, menghadapi ilmu silat "Taylek Kimkong Tjioe" dari In Tiong, dia repot juga.
Kelihatannya dia cuma dapat bertahan. Maka itu, dia lantas berlaku sangat hatihati, dia keluarkan seluruh kepandaiannya untuk dapat melayani terus.
"Bagus, bagus!" kaisar memuji berulang-ulang. Ia kagum dan girang.
In Loei sebaliknya, berdebar-debar hatinya.
Pertempuran seru berjalan terus, sampai kemudian In Loei lihat, gerakan kaki
kedua pihak mulai ayal. "Kali ini umpama kata kakak menang," pikir In Loei kemudian, "ia pasti akan jadi
sangat lelah, sedang menurut aturan pertandingan, dia mesti melayani terus
lawan-lawan baru hingga dua pertandingan, baharu ia boleh beristirahat. Jikalau
tandingan kakak yang kedua ada sebangsa Liok Thian Peng kosennya, pasti
lenyaplah gelaran Boe tjonggoan1. Sekarang masih belum ada kepastiannya....."
Pertempuran berjalan untuk banyak jurus, kedua pihak masih sama imbangannya,
kejadian itu membuatnya kedua pihak tegang sendirinya.
In Tiong berkemauan keras untuk menang, ia berani melakukan penyeranganpenyerangan yang berbahaya sekalipun untuk dirinya sendiri, setiap kalinya,
pukulannya bertambah berat. Untuk ini ia berlaku lambat dan sebat dengan tibatiba. Ia mainkan siasat, ia mencari lowongan, sekalipun dengan memancing.
Liok Thian Peng lebih berpengalaman, dia tidak membiarkan dirinya dipancing, dia
berlaku tenang, matanya pun dipasang dengan tajam.
Selagi pertandingan berjalan, tiba-tiba tubuh In Tiong terhuyung, lalu lolos di
antara cambuk, ia menyerang dengan kedua tangannya, golok di tangan kanan,
kepalan di sebelah kiri. "Bagus!" seru Liok Thian Peng atas serangan tiba-tiba itu. Ia berkelit dari
kepalan dan menangkis golok, sesudah mana, ia pun membalas, yaitu ia membarengi,
meneruskan gerakan cambuknya, yang ia pakai menyerang membalas.
Hampir In Loei keluarkan seruan karena menyaksikan saat yang sangat berbahaya
itu, atau segera ia dengar jeritan "aduh!" dari Liok Thian Peng. Ia pun belum


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat nyata atau ia saksikan Thian Peng rubuh, cambuknya terlempar, tubuhnya
terguling di atas panggung.
Dengan tibanya serangan membalas itu, tiba-tiba Thian Peng merasakan lengannya
tertusuk jarum yang sakit rasanya. Tentu saja ia menjadi sangat kaget, apapula
pada saat itu, serangan In Tiong datang menyusul. Tak ada jalan lain, sambil
melepaskan cambuknya, ia buang dirinya ke panggung, guna berkelit dari serangan Kimkong
tjioe yang dahsyat. Selagi bergulingan, di dalam hatinya, ia kata: "Hm! Kiranya
di tangan bocah ini masih ada senjata rahasianya! Kecewa aku terpedaya!" Tapi ia
bungkam. Di dalam pieboe itu tidak disebutkan larangan menggunakan senjata
rahasia. Tentu saja, ia pun tidak ketahui, penyerang dengan jarum rahasia itu
bukannya In Tiong. Di bawah panggung, In Loei heran. Di atas panggung, In Tiong tidak kurang
herannya kenapa lawannya itu rubuh sedang serangannya belum lagi mengenal
sasarannya. Dengan begitu, selesailah sudah pertempuran itu, maka kembalilah kiepaykhoa
dengan tugasnya, memperdengarkan suaranya seperti biasa: "Kiedjin ke lima belas,
Thio Tan Hong, naik ke panggung!
Penanggungnya Thio Hong Hoe, Tjongkauwtauw dari Gielim koen merangkap Tjiehoei
dari Kimie wie!" In Loei mendengar nyata, ia menjadi kaget hingga semangatnya bagaikan terbang
pergi. Ia berdiri menjublak. Ia heran bukan main. Kenapa Thio Tan Hong juga
turut dalam ujian" Kenapa Thio Tan Hong hendak perebutkan gelar Boe tjonggoan
dengan kakaknya itu"
-ooo00dw00ooo- Bab XVI Thio Tan Hong lompat naik ke atas panggung dengan sikap yang tenang dan wajah
berseri-seri. Seperti biasanya, dia dandan dengan pakaian putih, pun ikat
kepalanya putih juga. Sepatunya adalah sepatu yang enteng. Indah gerakannya
ketika tubuhnya mencelat ke atas panggung Ioeitay, bagaikan "pohon kemala ditiup
angin" atau "bunga lay beterbangan antara salju." Dia pun muda dan cakap
romannya, halus gerak-geriknya. Para kiedjin bersorak, waktu mereka menyaksikan
munculnya saingan ini. "Sungguh satu pemuda yang cakap!" raja memuji setelah menyaksikan kiedjin No. 15
ini. Hingga ia berkata kepada Kong Tiauw Hay: "Orang ini sepantasnya turut dalam
ujian Boen tjonggoan....."
"Ya," sahut Kong Tiauw Hay, acuh tak acuh, sebab kedua matanya sedang menatap
Thio Tan Hong. Terang nampaknya, dia heran atau curiga....."
Sesampainya di atas panggung, Tan Hong tidak segera tantang In Tiong, dia hanya
memandang sekelebatan, menyapu dari kaisar sampai kepada yang lainnya.
Terkejut Kaisar Kie Tin ketika sinar matanya bentrok dengan sinar mata Tan Hong,
tanpa merasa, ia bergidik sendirinya. Kaisar ini heran sekali, orang ada
demikian lemah lembut, kenapa matanya tajam sekali, pada sinarnya seperti
berbayang "hawa pembunuhan." Tentu sekali raja ini tidak tahu, leluhur Thio Tan
Hong adalah musuh besar dari leluhurnya sendiri - musuh dalam perebutan negara.
Munculnya Tan Hong tidak hanya mengejutkan In Loei seorang. Ie Kiam dan In Tiong
juga tak menyangkanya sama sekali. Ie Kokioo berpikir: "Tan Hong adalah seorang
luar biasa, telah berulang kali aku menganjurkan dia bekerja untuk pemerintah,
untuk itu bersedia aku menanggung dia dengan rumah tanggaku, dengan jiwaku, dia
senantiasa menampiknya, kenapa sekarang dia muncul di sini hendak memperebutkan
segala gelar Boe tjonggoan?"
In Tiong sebaliknya berpikir: "Binatang ini adalah pengchianat yang bekerja
untuk bangsa Watzu, kenapa dia datang untuk perebutkan gelaran Boe tjonggoan
denganku" Apa tidak baik jikalau aku beber saja rahasianya" Tapi dia ditanggung
oleh Thio Hong Hoe, pemimpinku, bagaimana?" Karena ini, terpaksa ia bungkam, ia
cuma telan sendiri kemendeluannya.
Tak berayal lagi, Thio Tan Hong menghadap In Tiong. Ia bersenyum lebar dengan
tangannya di gagang pedang. Dengan dalam ia menjura, terus ia berkata dengan
hormat: "Saudara In, aku mohon belas kasihanmu....."
In Tiong gusar bukan kepalang, kedua matanya sampai bersinar bagaikan api
menyala, akan tetapi dia berada di atas panggung, dia mesti kendalikan dirinya,
dia harus mengindahkan adat istiadat, maka itu, dia pun membalas menghormat
sambil menjura, cuma waktu dia buka suara, walaupun perlahan, dia kata: "Hari
ini jikalau bukannya kau yang mati, aku yang mampus!"
Akan tetapi Tan Hong tertawa.
"Itulah tak usah!....." katanya, sabar.
Belum orang menutup mulutnya, In Tiong sudah mulai menyerang. Setelah mereka
satu pada lain memberi hormat, tak perlu lagi mereka main hormat-hormatan
terlebih jauh. Gerakkannya adalah "Kwahouw tengsan," atau "Menunggang harimau
mendaki gunung." In Loei telah menyaksikan itu, tanpa merasa, tubuhnya mengeluarkan keringat
dingin. Ia berkuatir tak terkira.
Di atas panggung, Tan Hong telah perdengarkan seruannya, "Bagus!" lalu tubuhnya
bergerak, mengegos dari bacokan In Tiong, atas mana, In Tiong, menyusul dengan
bacokan lagi dari samping. Ia jadi penasaran karena bacokannya yang pertama itu
dengan mudah dapat dielakkan lawan.
Kali ini Tan Hong mencoba tenaga orang, ketika ia melewatkan bacokan itu, ia
bentur lengan pemuda she In itu, hingga terjadilah satu peraduan tangan yang
keras. Ia pakai tangan kanan, In Tiong tangan kiri.
"Nyata Taylek Kimkong Tjioe dari Toasoepee bukan nama belaka!" kata Tan Hong
dalam hatinya setelah benturan itu, terus saja ia balas menikam.
"Bagus!" seru In Tiong tanpa disengaja ketika ia berhasil mengelakan diri dari
tikaman yang berbahaya itu. Ia juga kagumi liehaynya lawan ini.
Kedua pihak bertempur dengan hati-hati, apa-pula In Tiong, yang tahu pedang
lawan adalah pedang mustika dan goloknya, walaupun
tajam, tak akan sanggup melawan pedang itu. Ia tidak membiarkan goloknya
dipapas, sedang ia sendiri, ia selalu menahas pedang lawan dari samping.
Kedua pihak, berlaku hati-hati, tapi kedua pihak pun saling menyerang secara
hebat. Sesudah pertempuran berjalan sekian lama, tiba-tiba Tan Hong merubah gerakgeriknya. Satu kali ia berseru panjang, lalu tubuhnya berkelebat bagaikan
bayangan, ke kiri dan kanan, hingga In Tiong seperti dikurung musuh-musuh
diempat penjuru. Menghadapi musuh demikian gesit, In Tiong pernahkan diri di tengah-tengah. Ia
berputar ke mana lawan berkelebat, ia menangkis sambil membalas membacok. Ia
telah mencoba, akan menahas kutung pedang lawan, tapi belum pernah ia berhasil.
Ia berlaku sangat cepat, tapi lawan lebih cepat pula. Bagaikan capung menyambar
air, demikian samberan Tan Hong dan lewatlah tubuhnya pesat sekali.
Sepasang alis kaisar bangun ketika menyaksikan pertempuran setelah tujuh puluh
jurus. "Bagus! Bagus!" pujinya berulang-ulang.
In Loei kagum, tetapi kekuatirannya menjadi lebih besar. Ia takut kalau-kalau
Tan Hong melukai In Tiong, ia kuatir saudaranya nanti melukai mahasiswa itu.....
Di mata banyak penonton, kedua pemuda itu setanding, tetapi di mata In Loei,
keadaan ada sebaliknya. In Tiong gagah tetapi ia tetap kalah gesit, kalah mantap
daripada Tan Hong. Tubuh si mahasiswa, juga pedangnya, bergerak dengan terlebih
bebas. In Loei sering bertempur melawan musuh bersama Tan Hong, ia tahu baik
tentang liehaynya pemuda ini. Adalah kemudian, lega juga hati si nona. Ia merasa
bahwa Tan Hong mempunyai belas kasihan terhadap kakaknya itu.....
Ie Kiam pun berkuatir, hingga membuka mulutnya. Ia seperti berbicara sendiri,
seperti mengatakan pada In Loei. Katanya: "Kalau
dua ekor harimau berkelahi salah satu mesti terluka..... Apakah perlunya itu"
Apakah perlunya itu"....."
Tapi pertandingan ini resmi, siapa juga tidak berhak untuk menghentikannya.
In Tiong telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, tapi ia hanya dapat bertanding
seri terhadap lawan itu, dengan sendirinya, hatinya menjadi tegang. Ia pun baru
saja berkutat mati-matian dengan Liok Thian Peng, hingga ia merasa letih bukan
main. Maka pada akhirnya, ia menjadi lelah sendirinya.
Aneh sikap Tan Hong terlebih jauh. Satu kali agaknya ia peroleh lowongan, lalu
ia lepaskan itu, ia sebaliknya bagaikan terancam golok In Tiong. Beberapa kali
hal ini terjadi, In Tiong lantas menduga, bahwa Tan Hong tidak berniat
mengalahkannya. Tapi hal ini membuatnya ia menjadi panas hati, ia tidak
puas..... Bertempur lebih jauh, In Tiong berlaku telengas.
Goloknya, di tangan kanan, dan kepalan kirinya mendesak terus hingga tiga kali
beruntun. Ia mendesak begitu rupa , hingga Tan Hong mesti mundur. Kemudian,
sambil lompat mutar, ia mundur teratur, agaknya desakan itu tidak memberi hasil.
Tan Hong tertawa di dalam hatinya.
"Kau hendak gunakan akal, siapa sudi terkena tipumu?" kata mahasiswa ini. Ia
segera gunakan akal untuk melawan akal. Ialah ia maju, untuk menyusul.
Justeru itu, mendadak In Tiong lompat mutar pula, tangan kirinya turut bergerak,
melemparkan tujuh butir senjata rahasia Thielian tjie, semacam biji teratai
besi, yang semuanya menuju keberbagai anggota berbahaya dari si pemuda she Thio.
Itulah senjata rahasia Hian Kee Itsoe.
Itulah serangan sangat berbahaya, para penonton menjadi terkejut.
Menyusul serangan teratai besi itu, terdengar suara bentrokan nyaring, lalu
sirap, hingga orang menjadi heran, cuma In Tiong yang hatinya gentar, sebab ia
tahu, serangan itu telah digagalkan lawan. Malah ia menduga juga, senjata
rahasia yang dipakai menentanginya adalah sebangsa jarum, yang kecil sekali,
hingga heranlah ia, kenapa senjata halus itu dapat melemahkan bijih-bijih besi
yang jauh terlebih berat. Lain dari itu, senjata Tan Hong ini membuatnya In
Tiong ingat kejadian tadi sewaktu ia bertanding dengan Liok Thian Peng.
Tadi ketika berhadapan dengan Thian Peng, In Tiong tahu benar mereka berdua
sudah menghadapi jalan buntu, ia mesti celaka, demikian juga Thian Peng, akan
tetapi pada saat terakhir, Thian Peng rubuh tanpa sesuatu sebab. Tidak mengerti
In Tiong, kenapa lawannya itu kalah tanpa alasan apa-apa. Tapi sekarang, melihat
senjata rahasia Tan Hong, segera ia mengerti, ia sadar. Teranglah sudah, tadi
Tan Hong telah menyerang Thian Peng secara diam-diam. Maka bingunglah ia kenapa
"musuhnya" - "musuh besar" - telah membantu ia secara diam-diam itu.
Pada saat itu, In Tiong jadi merasa malu berbareng bersyukur. Malu karena
serangannya itu gagal, bersyukur sebab "musuh" telah membantu padanya, telah
menolong ia dari ancaman bahaya besar. Sebaliknya, ia juga mendongkol, karena
musuh itu sangat tanggu dan tak dapat dirubuhkan.
Selagi In Tiong diliputi pelbagai perasaan itu, tiba-tiba terdengar suara Tan
Hong. "Lihat pedang!" seru pemuda she Thio itu sambil tertawa, lalu pedangnya
berkelebat, bersinar di muka orang she In itu.
In Tiong masih sadar akan dirinya, maka dengan sebat ia tangkis tikaman itu,
setelah mana, ia melakukan pembalasan. Ia terpaksa membalas, sebab setelah
tikaman itu, Tan Hong mengulanginya, hingga dia mesti dilayani terus.
In Tiong berpikir, baik atau tidak ia serahkan saja gelar Boe tjonggoan kepada
Tan Hong, karena pertempuran mereka ini luar
biasa dahsyatnya. Kalau ia mengalah, bahaya sudah tidak ada. Tapi ia didesak, ia
jadi berpikir lain. Semuanya terjadi dalam sekejap itu. Tidak banyak waktu untuk
berpikir lama-lama. Maka, setelah satu tangkisan tangan kiri disusul dengan
bacokan tangan kanan, dengan goloknya, ia memikir untuk menggunakan serangan
"Pengin liatsek" atau "Awan buyar, batu gempur."
"Jangan!" tiba-tiba terdengar suaranya Tan Hong, perlahan. "Lekas gunakan
Samyang kaytay....."
Tanpa merasa, In Tiong ubah serangannya, lalu tiga kali beruntun ia memberikan
bacokan. Benar saja, ia telah menggunakan tipu silat yang disebutkan pemuda she
Thio itu. Tan Hong menutup dirinya dengan tipu silat "Pathong hongie" - "Hujan angin di
delapan penjuru," tetapi percuma saja, pembelaannya dapat dipecahkan, hingga ia
jadi terdesak, kalau tadi ia menjadi penyerang, sekarang ia berbalik menjadi
orang yang diserang, karenanya, ia perdengarkan jeritan terancam bahaya.
In Tiong lanjutkan desakannya, ia membuat Tan Hong mundur terus, sampai di
pinggir panggung di mana sudah tak terdapat tempat lagi untuk mundur lebih jauh,
di saat itu tiba-tiba pemuda she Thio itu mencelat tinggi, ia apungkan dirinya,
berjumpalitan, hingga di lain saat, ia telah berada di bawah panggung! Tubuhnya
itu telah melayang bagaikan layangan putus.....
Bergemuruhlah suara di bawah panggung, sebab pieboe telah berakhir untuk
kekalahannya Thio Tan Hong dan kemenangannya In Tiong. Semua orang puji In Tiong
dengan jurusnya yang terakhir itu,
"Samyang kaytay," - "Selamat tahun baru"
Di antara semua penonton, cuma In Loei yang bernapas lega, yang ketahui
kemenangan In Tiong itu, sebab Thio Tan Hong bukannya kalah, hanya mengalah.
Adalah maksud Tan Hong turut dalam pieboe, bukan untuk merebut kemenangan, bukan
untuk menjadi Boe tjonggoan, hanya
guna membantu In Tiong, supaya In Tiong dapat menjadi tjonggoan militer, supaya
In Tiong berhasil dengan angan-angannya mencari kedudukan tinggi guna nanti
mencapai cita-citanya. Tan Hong mengetahui, dua saudara seperguruan dari Tayiwee Tjongkoan Kong Tiauw
Hay turut dalam ujian militer itu. Inilah berbahaya untuk In Tiong sekalipun ia
ketahui kepandaian In Tiong dibanding dengan dua saudara seperguruan dari Tiauw
Hay itu berimbang. Bahayanya ialah kalau In Tiong mesti bergantian melayani dua
musuh tanggu itu, sedang di lain pihak, masih ada beberapa calon lainnya yang
tak kurang berbahayanya. Maka ia paksa pernahkan dirinya dalam keadaan berbahaya
itu, guna secara diam-diam membantui In Tiong, agar orang she In ini dapat
memastikan kemenangannya. Untuk ini, Tan Hong dapat bantuannya Thio Hong Hoe,
yang menjadi orang penanggungnya.
Bahwa In Tiong sampai sebegitu jauh tidak ketahui Tan Hong turut dalam ujian
itulah karena, dalam ujian-ujian pertama, mereka dipisahkan rombongannya, hingga
baharulah di babak ini mereka diberikan ketika untuk berhadapan satu pada lain.
Kemarinnya, dalam ujian pertama, Tan Hong telah merubuhkan tiga calon yang
liehay, yaitu pertama satu soeheng lainnya dari Kong Tiauw Hay, kedua ahli silat
Kimkauw Gouwhong, dan ketiga pahlawan istana Lou Liang. Ini pun membantu
meringankan In Tiong untuk memasuki babak terakhir. Pada akhirnya, Tan Hong
membantu ia merubuhkan Liok Thian Peng, sesudah mana, ia maju sendiri, ia
berpura-pura kalah sesudah mengajari In Tiong bagaimana ia harus mendesak
padanya..... Begitu rupa Tan Hong telah bertindak, sehingga Thio Hong Hoe dan Ie Kiam tidak
mengetahui maksud yang disembunyikan itu.
Tetapi ini tidak berarti Tan Hong tidak menghadapi ancaman malapetaka.
In Tiong melengak atas kemenangannya itu. Ia berpikir keras karena kemenangan
yang tidak wajar itu, walaupun tidak ada satu orang jua yang mengetahuinya.
Tengah ia berdiri diam, gemuruhlah
seluruh tanah lapang itu. Lalu, di saat ia masih belum ingat untuk mengundurkan
diri, guna beristirahat, ia dengar satu teriakan dari panggung muka: "Lekas
tangkap pemberontak! Lekas tangkap pemberontak!"
In Loei kaget mendengar suara itu, In Tiong pun tak terkecuali, hingga ia jadi
sadar. Di panggung muka itu, ialah panggung untuk kaisar menyaksikan pieboe, Kong Tiauw
Hay perdengarkan suara nyaring berulang-ulang. Dia berteriak-teriak menitahkan
pasukan raja menangkap Thio Tan Hong.
Ketika dua soesiok, atau paman guru, dari Kong Tiauw Hay dikalahkan Tan Hong dan
In Loei di selat Tjengliong Kiap, maka kedua orang itu - ialah Tiatpie Kimwan
Liong Tjin Hong dan Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe - sudah lari pulang ke kota raja.
Mereka ini telah bertemu dengan Kong Tiauw Hay, lalu mereka tuturkan tentang Tan
Hong dan In Loei, terutama mereka lukiskan tegas roman Tan Hong. Tiauw Hay
sangat perhatikan keterangan kedua guru itu, maka sekarang melihat Tan Hong, ia
segera dapat mengetahui tidak peduli kedua paman gurunya tak turut menyaksikan
pieboe itu. Sekian lama ia telah mengawasi Tan Hong, selama itu ia telah
mengambil keputusannya, "lebih baik keliru menangkap orang daripada
meloloskannya," maka juga, habis pieboe, ia maju kemuka panggung dan berikan titahnya itu.
Semua orang menjadi heran, gemuruh pun lenyaplah. Barisan Gielim koen tidak
kurang herannya. Dalam kesunyian setelah teriakan-teriakan Kong Tiauw Hay itu,
menyusullan suara tertawa yang tajam dar nyaring, lalu tampaklah Thin Tan Hong
lari ke muka - ke panggung muka - panggung kaisar, di atas mana Tiauw Hay tengah
menuding kepada pemberontak yang ia titahkan menawannya.
Tayiwee Tjongkoan itu tak dapat berteriak lebih jauh, begitu lekas Thio Tan Hong
lari sampai di muka panggung, dia pun menjerit keras, tubuhnya terus terguling,
jatuh ke bawah panggung. Karena Tan Hong tidak mau membiarkan orang pentang
terus bacotnya, dia telah menghadiahkan hoeitjiam, senjata rahasia jarum yang liehay.
Kembali orang kaget, mereka menjadi gempar. Semua pahlawan lantas lari maju,
untuk memburu. Sekarang mereka tahu pasti, siapa yang dimaksudkan sebagai si
pemberontak yang mesti ditawan itu.
Tengah orang berlari-lari, di antara suasana kacau itu, Thio Tan Hong segera
perdengarkan suitan mulut yang panjang, menyusul mana, dari satu jurusan


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datanglah kuda Tjiauwya saytjoe ma yang larinya sangat pesat, menuju ke arah
majikannya. Thio Tan Hong lantas perdengarkan tertawa berkakakan. Dengan satu enjotan,
tubuhnya sudah mencelat naik di bebokong kudanya, sesudah mana, ia mainkan
pedangnya secara liehay. Sebab waktu itu, kecuali serdadu-serdadu yang memburu,
anak-anak panah juga sudah datang saling sambar, maka anak panah itu mesti
ditangkis, disampok jatuh, supaya tidak mengenai sasarannya.
Tjiauwya saytjoe ma lari pesat sekali keluar lapangan tanpa ada yang bisa
mencegah! Ong Tjin jadi sangat mendongkol, hingga tubuhnya gemetar.
"Celaka betul!" teriaknya. "Lekas tawan si penanggung jawab, Thio Hong Hoe!"
demikian ia berikan titahnya.
"Tunggu dulu!" tiba-tiba terdengar raja mencegah. "Coba tanya dulu Kong Tiauw
Hay, bagaimana duduknya perkara!"
Raja memang tidak mengetahui duduknya perkara itu.
Kong Tiauw Hay adalah seorang gagah, akan tetapi sekarang dia seperti tak
berdaya. Saking sakitnya, dia rubuh dari atas panggung. Hoeitjiam tidak meminta
jiwanya, akan tetapi jarum itu yang membuat jalan darahnya terganggu dan
beberapa uratnya terluka. Untuk menolong dirinya, terlebih dahulu harus dicabut
jarum rahasianya dengan kekuatan besi berani. Tapi ia tanggu, dan jatuhnya pun
tidak membikin ia terluka parah, maka ia berbangkit, lalu dengan timpang ia
bertindak mendaki panggung, untuk menghampiri raja.
"Kau kenapa?" tanya kaisar.
Tidak berani Kong Tiauw Hay bicara terus terang, ia malu, ia mesti lindungi nama
baiknya. "Oleh karena kesusu hendak menawan pemberontak, budakmu telah terjeblos jatuh di
pinggir panggung....." demikian ia menjawab junjungannya itu.
Kong Tiauw Hay adalah Tayiwee Tjongkoan, dengan diam-diam ia bersaingan dengan
Thio Hong Hoe, kepala Gielim koen, komandan Kimie wie. Ia ingin rebut nama
sebagai orang kosen nomor satu untuk kota raja. Tentu saja ia akan merasa malu
kalau orang mengetahui ia rubuh di tangan orang sebawahannya Thio Hong Hoe itu.
Bukankah Tan Hong pun tak dikenal"
Mendengar jawaban tjongkoan itu, kaisar tertawa.
"Apakah Thio Tan Hong itu benar-benar pemberontak?" tanya pula junjungan ini.
"Benar," sahut tjongkoan itu. "Dia pernah melukai Taytongnia Thio Hong Hoe dari
Gielim koen, dia pernah merampas persakitan utama dari tangan Thio Hong Hoe,
yaitu putera pengkhianat pemberontak Tjioe Kian! Bukankah Thio Hong Hoe pernah
melaporkannya semua kejadian itu" Si perampas persakitan utama itu adalah Thio
Tan Hong!" Tanpa pikir panjang lagi, mengikuti kemendongkolannya, Kong Tiauw Hay telah
mengucapkan kata-katanya itu. Dengan begitu juga hendak ia lindungi nama baik
kedua paman gurunya yang telah dipecundangkan Tan Hong. Dengan begitu ia
tumpahkan kesalahan atas diri Hong Hoe.
Mendengar jawaban itu, raja tertawa berkakakan.
"Aykeng, kau telah membuat kekeliruan!" kata raja ini. Ia memanggil "aykeng" "hambaku yang disayang" kepada tjongkoan-nya itu.
"Jikalau Thio Tan Hong itu pernah melukai Thio Hong Hoe, cara bagaimana sekarang
Thio Hong Hoe kesudian menjadi penanggung atas dirinya" Aku lihat Thio Tan Hong
itu meski benar dia kena dikalahkan In Tongnia, tidak lemah ilmu silatnya. Dia
mempunyai roman yang baik, tenaganya juga dapat dipakai. Sayang kau menyebabkan
dia menyingkirkan diri. Sekarang pergilah kau cari dia, untuk mengajak dia
pulang, jangan kau membuat dia ketakutan terus menerus!"
Kaisar Kie Tin ini, walaupun setiap hari dia dipengaruhi Ong Tjin, belum dapat
dikatakan dia kaisar dungu, malah dia sebenarnya gemar juga memperlihatkan
kecerdasannya. Demikian kali ini, dia anggap pandangannya jauh terlebih sadar
daripada Kong Tiauw Hay, maka dia bergurau dengan hambanya itu, habis mana, dia
menjadi puas sekali, dia anggap Kong Tiauw Hay tolol, telah mencari kepusingan
sendiri. Thio Hong Hoe telah mendengar semua, dia keluarkan keringat dingin. Dia girang
sekali yang raja tidak memperpanjang kejadian itu, kalau tidak, bisa sulit
kedudukannya. Habis kekacauan itu, pieboe dilanjutkan pula. In Tiong telah menangkan dua kali,
dia dapat hak untuk masuk dalam babak terakhir, karenanya, dia boleh
beristirahat. Dengan majunya Tan Hong sebagai calon ke lima belas, masih ada sembilan calon
lagi. Sudah diterangkan, cuma ada dua puluh empat calon yang berhak pieboe di
atas ioeitay. Pertandingan dilanjutkan antara sembilan calon itu, kesudahannya
ada satu orang, yang beruntung menang dua kali beruntun. Dia adalah Hoan Tjoen,
salah satu dari tiga jago di kota raja Kengsoe samtoa kotjioe. Dialah adik
kandung dari Hoan Tiong, itu Gietjian siewie, kepandaiannya Hoan Tiong yang
mengajarkan. Dibanding dengan In Tiong, dia masih beda jauh, maka itu, sebelum
pertandingan berakhir, belum sampai tiga puluh jurus, dia telah dirubuhkan In
Tiong. Kembali terdengar suara gemuruh diseluruh lapangan. Sebagai penghormatan, In
Tiong dikerebongi mantel sendiri oleh kaisar, yang mengumumkan dia adalah Boe
tjonggoan. In Loei girang tak terhingga. Begitu pulang ke gedung Ie Kiam, dia nantinantikan In Tiong peroleh sesuatu jabatan, untuk In Tiong pindah keluar dari
istana. Waktu itu dia berpikir akan minta bantuannya Thio Hong Hoe, supaya
mereka dua saudara, kakak dan adik, diperkenalkan, dipertemukan satu dengan
lain. Tapi, beberapa hari telah berselang, kabar yang ditunggu-tunggu itu tidak
juga kunjung tiba, hingga, selainnya In Loei, Ie Kiam juga turut merasa heran.
Menurut kebiasaan, siapa sudah diangkat jadi boe tjonggoan, sedikitnya dia akan
diangkat menjadi tjiangkoen, jenderal, dia akan diberikan satu gedung tersendiri
untuknya, jadi tidak usah dia berasrama lagi di dalam istana. Maka kali ini,
sia-sia saja orang menantikan pengumuman dari kaisar tentang pengangkatan boe
tjonggoan itu. Inilah kejadian yang langka.
Ie Kiam menjadi bingung juga meski benar ia ada satu menteri, di dalam hal
pemberian pangkat atau gelar atau hadiah, dia tidak punya hak untuk
mencampurinya. In Tiong sendiri, setelah kemenangannya itu, terus terbenam dalam keragu-raguan,
hingga ketika ramai orang memberi selamat, sama sekali ia tidak pernah tertawa.
Ia kembali ke asrama, tetap ia menjadi pahlawan, kalau malam, masih ia bertugas
meronda keraton. Di dalam istana terdapat batas di antara istana dan keraton. Keraton adalah
istana bahagian dalam. Dan bahagian In Tiong adalah keraton, yang disebut
iweeteng, perdalaman. Ketika ia kembali ke asramanya, dia lantas keram diri di dalam kamarnya,
beberapa rekannya telah datang untuk memberi selamat, tetapi ia tidak mau
menemuinya. Karena sikapnya ini, ada rekannya yang menganggap dia jadi angkuh
dan kepala besar, tapi ada juga yang mengerti dan percaya bahwa dia sangat letih
hingga dia perlu beristirahat. Hanya anehnya, sejak hari kemenangan itu, In Tiong lantas saja
menjadi seorang yang pendiam, tidak lagi dia bergembira seperti biasa, malah dia
nampaknya tak tenang. Ini pun sebabnya kenapa dia keram diri di dalam kamar.
Cuma In Tiong sendiri yang ketahui kenapa ia bawa sikap yang luar biasa ini. Ia
tahu, Boe tjonggoan itu ia dapatkan bukan karena kepandaiannya, ia hanya seperti
dihadiahkan Thio Tan Hong, yang telah mengalah terhadapnya, hal ini membuatnya
ia merasa malu sendiri. Tidakkah ia diberi hadiah oleh "musuh?" Tapi, gelar itu
telah ia dapatkan, mustahil kalau ia kembalikan kepada Kaisar. Karena ini, ia
jadi berpikir keras, makin ia berpikir, makin ruwet pikirannya. Demikian dalam
keadaan bimbang dan berduka itu, tiba-tiba satu thaykam kecil datang padanya,
mengetok pintu kamarnya, sambil berkata bahwa kaisar memanggil ia.
In Tiong terkejut berbareng girang. Dengan lekas ia salin pakaian, terus ia ikut
thaykam itu, melintasi lorong yang panjang, sampai di pendopo Boenhoa thian di
mana terdapat giesie pong, kantor kaisar.
Dalam kantor itu, yang apinya dipasang terang-terang tampak raja duduk seorang
diri. Melihat datangnya Boe tjonggoan, raja memberi tanda kepada thaykam untuk
mengundurkan diri sambil menutup pintu kamar.
"Liehay keng punya ilmu silat, keng telah menjagoi di kolong langit ini, maka
keng harus bergembira, seharusnya keng diberi selamat!" kata raja sambil
tertawa. Dan ia beri selamatnya.
Muka In Tiong menjadi merah.
"Terima kasih untuk pujian Sri Baginda," kata ia, dengan likat. "Untuk budi Sri
Baginda ini, walaupun hancur lebur tubuh sin, tidak dapat sin membalasnya."
Dengan kata "sin," In Tiong membahasakan dirinya "hambamu."
Kaisar awasi tjonggoan baru ini. "Sebenarnya keng asai mana?" ia tanya. ("Keng"
adalah kata hormat seperti "kau" atau "kamu" untuk menteri.)
In Tiong bersangsi ketika ia menyahuti: "Leluhur sin berasal dari Kayhong
dipropinsi Hoolam." Mata kaisar bagaikan terbalik, ia menatap pula. "Kalau
begitu," kata raja dengan sekonyong-konyong, "keng berasal dari satu kampung dan
satu she dengan menteri In Tjeng dari pemerintah yang terdahulu. Pernah apakah
keng dengan In Tjeng itu?"
Terharu In Tiong, hingga lantas saja ia bertekuk lutut.
'In Kimsoe adalah sin empunya kakek," sahut ia. Ia menyebutnya "kimsoe" "utusan kaisar" - terhadap engkong-nya itu.
Sekian lama In Tiong sembunyikan diri sebagai turunan dari In Tjeng, yang
dipandang sebagai "menteri yang berdosa," tidak berani ia memberitahukan itu
kepada siapa juga, tetapi sekarang, ditanya raja, tidak berani ia mendusta.
Raja pun terkejut, wajahnya sampai berubah. "In Tjonggoan, adakah keng
mengandung rasa benci terhadap tim?" dia tanya. ("Tim" adalah istilah raja
membahasakan dirinya sendiri selagi bicara dengan menterinya.)
In Tiong merasa hatinya sakit bagaikan disayat-sayat.
"Kakek sin itu sangat setia terhadap negaranya, maka itu sin mohon semoga
Baginda suka mencuci bersih noda atas namanya itu," ia mohon. Setelah mengucap
demikian, air matanya segera bercucuran.
Raja tidak mengeluarkan air mata akan tetapi ia berpura-pura menyusut matanya.
"Kakekmu itu setia, inilah tim ketahui," ia kata. "Dalam hal tim menghadiahkan
ia kematian, itulah sebenarnya bukan kehendak tim sendiri....."
In Tiong heran, ia angkat kepalanya akan mengawasi kaisar.
"Hanya," kaisar lantas menambahkan, "untuk tim mencuci noda kakekmu itu, guna
memulihkan kehormatannya, haruslah ditunggu lain hari....."
Benar-benar, kaisar ini bukan kaisar tolol, dia tidak berdaya karena sejak kecil
dia selalu dikekang Ong Tjin, hingga dia tak dapat berdiri sendiri. Pernah dia
memikirnya, berulangkah, untuk merampas kembali kekuasaan, haknya sebagai kepala
pemerintahan, tetapi pengaruh Ong Tjin besar sekali, hingga dia merasa sulit.
Maka tidak ada lain jalan daripada bertindak dengan perlahan-lahan, untuk ini,
dia juga perlu mengumpulkan tenaga-tenaga pembantu, akan mengimbangi kekuatan
kawannya si dorna kebiri. Sekarang dia lihat In Tiong setia, dan In Tiong
kebetulan bermusuh dengan Ong Tjin, orang semacam In Tiong inilah yang sedang
dicari. In Tiong sementara itu sedang menangis tersedu-sedu mengetahui kakeknya telah
menjadi korbannya Ong Tjin, tidak peduli dihadapan raja tidak dapat ia kuatkan
hati lagi. Sekarang telah berubah pandangannya, maka ia mengambil keputusan akan
bekerja untuk raja ini, supaya ia dapat membantu menyingkirkan dorna.
Raja mengawasi Boe tjonggoan itu, ia tunggu sampai orang menyeka kering air
matanya, lalu ia bersenyum dan berkata: "Keng, janganlah kau terburu napsu, kau
mesti bersabar, sekarang ini belum sampai ketikanya hingga tak dapat kita
menggeprak rumput membikin ular kaget....."
"Jikalau diperkenankan Sri Baginda," In Tiong lantas minta, "sin mohon diberikan
tugas di tapal batas, untuk sin memimpin suatu pasukan, supaya bila dikemudian
hari tiba saatnya untuk berperang, sin nanti bisa mengumpulkan pasukan-pasukan
yang bersetia kepada Sri Baginda. Bila sin mempunyai kekuasaan ketentaraan,
sesudahnya memukul mundur angkatan perang Watzu, sin akan segera pulang ke dalam
negeri untuk menyapu bersih kawanan dorna!"
Raja bersenyum pula. "Tindakan itu pun harus dilakukan dengan sabar," kata dia.
Mendengar ini, In Tiong menjadi lesu. Ketika ia pandang kaisar, raja itu sedang
mengawasi dia. Kaisar sudah lantas tertawa.
"Bukankah boe kiedjin yang tadi bertanding dengan kau bernama Thio Tan Hong?"
raja ini tanya. "Tim lihat ilmu silatnya tak dapat dicela!"
In Tiong merasakan mukanya panas, hatinya pun berdebar. Ia kertek giginya, untuk
dapat menguasai diri. "Harap Sri Baginda mengetahui," dia berkata, "ilmu silat Thio Tan Hong itu
sebenarnya berada di atasan sin. Gelar Soe tjonggoan ini pun aku peroleh karena
dia mengalah dan memberikannya kepada sin."
Kalau tadinya ia merasa tidak tenang, setelah mengucapkan kata-katanya yang
terachir ini, hati In Tiong menjadi lega.
Wajah raja sedikit berubah setelah mendengarkan perkataan tjonggoan itu. Tibatiba dia tertawa pula sambil terus mengatakan: "Keng benar jujur! Sebenarnya,
tanpa kau mengatakannya, itu sudah dapat dilihat....."
In Tiong terperanjat, ia heran.
"Raja tinggal di dalam istana, dia tentunya tidak mengerti ilmu silat, ia
sekarang ketahui Tan Hong mengalah, inilah aneh," pikirnya. "Sekalipun ahli-ahli
silat di sekitar Ioeitay tidak ada yang sadar akan peranan Tan Hong itu....."
Benar-benar boe tjonggoan itu tak mengerti.
"Tahukan kau, orang macam apa Thio Tan Hong itu?" tanya pula raja kemudian.
"Tentang ini justeru sin hendak menuturkan kepada Sri Baginda," jawab In Tiong.
"Thio Tan Hong adalah puteranya Thio Tjong Tjioe, menteri muda dari negara
Watzu. Dia sekarang melusup masuk ke dalam negeri kita, sin kuatir dia
mengandung maksud yang tidak baik....."
Raja agaknya heran. "Apa, dia puteranya Thio Tjong Tjioe?" dia ulangi.
"Ya," In Tiong pastikan. "Mengenai dia, mungkin Thio Hong Hoe belum tahu jelas,
cuma karena melihat dia pandai silat, maka Hong Hoe berikan pertanggungannya.
Thio Tongnia setia, sin mohon dia tidak dicurigai."
"Siapa tidak bersalah, dia tidak dapat dipersalahkan," kata raja. "Tentang
kecurigaan, ah, sebenarnya tim tidak mencurigai Thio Hong Hoe....."
In Tiong terperanjat, wajahnya sampai pucat.
"Thio Tan Hong mengalah, dia serahkan gelar Boe tjonggoan kepada sin, tidaklah
mengherankan jikalau Baginda merasa curiga ia lekas berkata. "Harap Baginda
ketahui, Thio Tan Hong itu adalah musuh keluarga sin\"
Untuk membuktikan perkataan ini, In Tiong terus tuturkan duduknya permusuhan itu
dan akhirnya ia perlihatkan surat wasiat dari kakeknya.
Setelah mendengar dan menyaksikan itu, raja tertawa.
"Aku pun tidak curigai kau," katanya kemudian. "Sepak terjang Thio Tan Hong itu,
menurut penglihatan tim, adalah untuk melepas budi atas dirimu, supaya kau
melupakan permusuhan kekeluargaan itu, dan juga tentang sakit hati negara. Tim
lihat, kau tentunya tidak akan terpedayakan dia....."
In Tiong setujui pendapat raja itu. "Sekarang kemari kau," kata pula raja,
kemudian. Tim hendak perlihatkan keng sehelai gambar lukisan."
Raja menghampiri lemari bukunya, lalu membuka pintunya, akan mengambil gambar
yang ia maksudkan itu. Di situ terlukis satu orang yang memakai mahkota, jubanya
bersulamkan naga-nagaan, romannya keren.
"Coba keng lihat, miripkah Thio Tan Hong dengan orang dalam gambar ini?" tanya
raja setelah ia menunjukkan gambar itu.
In Tiong awasi gambar itu, ia terperanjat. Ia tampak potongan muka dan tubuh
yang sama, kecuali orang dalam gambar ini ada terlebih kasar, kalah halus dan
tenang dengan Thio Tan Hong.
"Mungkinkah Thio Tan Hong seorang anggauta keluarga raja?" ia menduga-duga dalam
hatinya. "Tidakkah mereka agak mirip?" raja menegaskan.
"Ya, mirip," sahut In Tiong, suaranya tak tegas.
Sekonyong-konyong wajah raja berubah, secara tiba-tiba dia tuding gambar itu
sambil mengatakan dengan keras: "Kau telah mati tetapi kau tidak meramkan mata,
kau masih menugaskan anak cucumu untuk merampas negaraku?"
In Tiong kaget, ia heran bukan main.
"Dia..... dia siapakah?" ia tanya.
Raja menyahut sambil tertawa tawar: "Raja bangsat di dalam gambar ini adalah
Thio Soe Seng, kaisar dari kerajaan Tjioe yang palsu!" dia jawab. "Thio Tjong
Tjioe dan Thio Tan Hong adalah anak cucunya! Hm! Dia pakai nama Tjong Tjioe,
bukankah dengan itu dia bermaksud meminjam tenaga bangsa asing untuk
membangunkan pula kerajaan Tjioe itu, untuk memusnakan kerajaanku?"
Inilah untuk pertama kali yang In Tiong ketahui Thio Tan Hong adalah turunan
Thio Soe Seng. Inilah di luar dugaannya. Maka itu, ia jadi menjublek saja, tak
dapat ia mengatakan suatu apa. Tapi, dalam hatinya, ia berpikir: "Pantas mereka
ayah dan anak sangat membenci kerajaan Beng. Hanya heran, cara bagaimana Sri
Baginda ketahui ini" Raja sudah ketahui Tan Hong siapa, kenapa ia tidak titahkan
menawan Tan Hong selagi pieboe berlangsung?"
Raja seperti tidak mempedulikan orang terheran, ia berikan keterangannya
terlebih jauh. Ia kata: "Ketika dahulu Thio Soe Seng perebutkan negara dengan


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

leluhurku, mereka telah melakukan
pertempuran yang memutuskan disungai Tiangkang. Dia kalah, dia pun terbinasa.
Menurut ceritera, pada saat menghadapi ajalnya yang terakhir, Thio Soe Seng
sudah pendam kekayaannya, yang berupa emas dan, perak dan permata mulia, di
suatu tempat di daerah Souwtjioe. Di situ terpendam tidak hanya harta besar itu,
juga sehelai peta bumi negara, di mana terlukis jelas tempat-tempat yang penting
untuk pergerakan tentara. Kalau peta itu tetap masih ada, itulah berbahaya
sekali untuk keamanan negara, karena itu, leluhurku telah meninggalkan pesan
agar turunan keluarga Thio itu dibasmi habis, supaya harta dan peta itu dicari,
agar dengan secara demikian, amanlah kerajaan Beng. Thio Tan Hong sudah lolos,
mestinya dia terus meninggalkan kota raja, tim duga dia pasti menuju langsung ke
Souwtjioe, untuk mencari tempat menyimpan harta dan peta itu. Sekarang tim
berikan keng seekor kuda, dengan itu keng mesti segera pergi ke Souwtjioe, untuk
menyusul Thio Tan Hong. Tugas keng adalah, selama Thio Tan Hong belum berhasil
membongkar harta dan peta itu jangan keng turun tangan atas dirinya, adalah
setelah ia berhasil mendapatkan harta dan peta itu, baharu keng bunuh padanya,
keng rampas harta dan peta itu, untuk dibawa pulang, untuk diperlihatkan kepada
tim." In Tiong bergidik seorang diri, ia sampai tidak menyahuti raja.
Raja pun melanjutkan perkataannya. Ia bicara sambil tertawa.
"Akan tim titahkan tujuh pahlawan untuk turut kau, guna membantu padamu,"
katanya. "Kamu nanti bertemu di Souwtjioe saja. Jangan kau kuatir."
In Tiong terima tugas ini. Ia pikir, meskipun Tan Hong lebih gagah daripadanya
tapi dengan mendapat bantuan dari tujuh pahlawan pilihan, pasti dia akan dapat
kemenangan. Ia hanya tidak tahu, kenapa raja ketahui asal-usul Thio Tan Hong.
Sebenarnya, duduknya hal, ada sederhana saja: Thio Tan Hong turut dalam ujian
setelah ia memikir masak-masak, ia sudah mengatur rencana. Ia telah siap sedia
bila ada orang hendak turun tangan terhadap dirinya. Karena ini, sesudah
bertanding dengan In Tiong, dan Kong Tiauw Hay memberi titah untuk membekuk
padanya, dia mendahului turun tangan. Begitu lekas dia telah menghadiahkan jarum
rahasia kepada Kong Tiauw Hay, begitu juga ia lemparkan segumpal kertas ke arah
raja. Itulah kertas yang ia tulis dan sediakan siang-siang. Ia memang mempunyai
kepandaian luar biasa dalam hal melepaskan senjata rahasia. Bukan saja oran
lain, raja sendiri tidak merasa yang orang telah menimpuki dengan segumpal
kertas kecil itu, yang tepat masuk ke dalam sakunya. Adalah sekembalinya ke
keraton, selagi hendak beristirahat, raja dapatkan gumpalan kertas itu. Di
dalamnya lebih dahulu Tan Hong membeber rahasia bangsa Watzu akan menyerbu
Tionggoan, lantas ia beri nasihat supaya raja membedakan menteri-menteri setia
dari dorna supaya raja bersiap sedia menghalau serbuan dari luar. Tan Hong juga
memberi bukti dari hal persekongkolan antara Ong Tjin dan raja Watzu dan
dimintanya raja bersiap-siap juga. Habis itu baharu Tan Hong tuturkan yang ia,
ialah keluarganya, bermusuhan dengan keluarga raja.
Meski begitu, ia jelaskan dalam suratnya itu, jikalau raja bersungguh-sungguh
hendak melawan musuh, ia bersedia untuk membasmi permusuhan di antara mereka.
Akhirnya, Tan Hong beri nasihat supaya raja jangan lagi mencelakai menterimenteri setia, kalau tidak, hendak ia ambil kepala raja itu. Ia kata, untuk
mengambil kepala raja, kerjaannya sama gampangnya seperti orang membalikkan
telapak tangan. Terang dan jelas bunyi surat itu, halus dan keras sifatnya. Tan Hong ambil sikap
demikian karena ia masih menyintai negaranya, tidak peduli negara itu sedang
diperintah oleh musuhnya. Ia hanya tidak sangka, bagaimana nanti kesan raja
setelah raja membaca suratnya itu.
Mulanya raja terperanjat, kemudian ia berpikir.
"Kenapa di dalam dunia ada manusia tolol semacam dia?" demikian pikir raja ini
mengenai Tan Hong. "Jikalau dia tidak siang-siang disingkirkan, bukankah jiwaku
terancam di dalam tangannya?"
Lantas raja menduga, mestinya Tan Hong ada
turunan Thio Soe Seng. Bukankah Tan Hong menyebut-nyebut permusuhan keluarga"
Untuk dapat kepastian, ia keluarkan gambar Thio Soe Seng, yang disimpan di dalam
keraton. Melihat tampang Thio Soe Seng, raja kaget. Tampang itu mirip dengan
tampang Tan Hong. Maka ia percaya, tak salah lagi dugaannya itu. Karena ini, ia
tak mengambil mumat lagi atas kebaikan Tan Hong, yang sudah membeber rahasia
dorna dan memberikan ia nasihat, sebaliknya, ingin ia membinasakan Tan Hong.
Begitulah ia berikan tugasnya kepada In Tiong.
Thio Tan Hong, dalam tindakannya menulis surat kepada kaisar, untuk membuka
rahasia dorna dan memberi nasehat, ada seumpama orang memainkan tabuhan kim
terhadap seekor kerbau, hasilnya tak usah diharap. Hanya, ada juga sedikit
kebaikannya, yaitu yang mengenai Thio Hong Hoe. Yaitu, sebelum Tan Hong
tertawan, raja tidak berani mengambil tindakan apa-apa terhadap pemimpin Gielim
koen dan Kimie wie itu. Demikian, karena tugasnya ini, In Tiong seperti telah menghilang dari kota raja.
Pada hari kedua, dia sudah lantas berangkat secara diam-diam. Dia mendapat kuda
istana, kuda itu tidak dapat menandingi Tjiauwya saytjoe ma, kuda Tan Hong, akan
tetapi perbedaannya tidak seberapa, cuma enam atau tujuh hari. Setelah melewati
dua propinsi Hoopak dan Shoatang, dia menuju ke propinsi Kangsouw, pada suatu
hari tibalah ia di kecamatan Gouwkoan, yang bertetangga dengan kota
Souwtjioe, maka itu, dia mulai memperlambat kudanya. Jarak kedua kota itu cuma
setengah hari perjalanan.
Kanglam adalah satu daerah yang indah, yang kesohor, In Tiong dapat kesempatan
untuk melihat-lihat. Pernah ia menyaksikan gurun pasir, yang gundul, yang
berhawa panas, sekarang ia menyaksikan Kanglam, sungguh suatu perbedaan besar.
Ia merasa seolah-olah hatinya terbuka. Malah ia insaf juga, sebenarnya hidup
bergulat, untuk memperebutkan nama, tidak ada artinya....."
Setelah berjalan sekian lama, In Tiong singgah di depan sebuah telaga. Ia turun
dari kudanya, ia rebahkan diri di tepi telaga itu,
yang airnya jernih dan indah. Langit waktu itu bersinar kebiru-biruan.
Dekat tempat In Tiong berbaring terdapat sebuah kuburan tua, selagi berpaling ke
arah kuburan itu, matanya terpaku pada batu bongpay atau nisan, yang ada hurufhurufnya. Ia lantas mengawasi, hingga dapat ia baca huruf-huruf ukiran itu. Ia
menjadi heran sekali. Bongpay itu berbunyi: "Kuburan Tantai Mie Ming."
"Tantai Mie Ming menjadi jenderal bangsa Watzu," ia berpikir, "bulan yang lalu
dia masih ada di Pakkhia, kenapa sekarang di sini terdapat kuburannya. Kenapa
kuburan ini beda daripada yang lainnya" Teranglah ini bukan kuburan baru....."
Keras In Tiong berpikir, ketika tiba-tiba datang satu bocah angon, di tanduk
kerbaunya tergantung sejilit buku. Dengan perlahan bocah itu berjalan di tepi
telaga. "Engko kecil, numpang tanya, tempat ini tempat apa?" In Tiong tegur bocah itu.
"Dan kuburan ini kuburan siapa?"
Bocah itu memandang orang yang menanya dia, dia tertawa.
"Tuan tentu orang yang datang dari tempat jauh," ia menyahut. "Desa ini
dipanggil Tamtay Tjoen, dan telaga ini dinamakan Tamtay Ouw. Dan kuburan ini,
inilah kuburan leluhur keluarga kami."
In Tiong menjadi tambah heran.
"Apa?" dia tanya pula. "Kuburan kaum keluargamu?"
Bocah itu tertawa pula. "Tuan, aku lihat kau tidak mirip dengan orang yang tidak bersekolah," dia kata.
"Mustahil sampaipun Tamtay Biat Beng macam apa kau tidak tahu?"
In Tiong melengak. "Tahukah kau akan pepatah yang berbunyi, "Melihat orang dari romannya saja,
orang akan keliru mengenali Tjoe Ie?" bocah itu kembali menanya.
Ditanya begitu, In Tiong menjadi kurang senang.
"Ah, engko kecil, kau menguji aku!" dia kata. "Pepatah itu adalah kata-katanya
Khong Hoe Tjoe. Tjoe Ie adalah muridnya Khong Hoe Tjoe, dia pandai, cuma dia
beroman jelek. Maka itu Khong Hoe Tjoe mengatakannya demikian. Artinya ialah
supaya melihat orang tidak dari romannya saja."
"Ya, benarlah begitu," kata bocah itu. "Leluhur kami, Tamtay Biat Beng, adalah
salah satu dari ke tujuh puluh dua murid Khong Hoe Tjoe, alias Tjoe Ie. Siapa
saja, yang telah membaca kitab Soe Sie, pasti mengetahui tentang ini. Telaga ini
mulanya adalah tempat kedudukannya rumah keluarga kami, kemudian karena suatu
perubahan alam, tanah ini melesak ke dalam, lalu berubah menjadi telaga, maka
itu, namanya dipanggil Tamtay Ouw. Tentang ini, dalam buku riwayat kecamatan
kami, ada catatannya."
Penyahutan bocah itu membuatnya In Tiong melengak.
Guru In Tiong, yaitu Tang Gak, adalah seorang boenboe tjoantjay, yang paham ilmu
surat dan ilmu silat berbareng, maka itu selama In Tiong ikuti gurunya, ia juga
sekalian belajar surat, hingga pernah ia membaca buku klassik. Memang, di antara
murid-murid Khong Hoe Tjoe, ada yang bernama Tamtay Biat Beng itu. Ia ingat
sekarang bagaimana pada waktu bermula ia dengari nama Tantai Mie Ming, panglima
bangsa Watzu itu, ia merasa lucu, hingga ia tertawa dalam hatinya, sebab seorang
militer, malah seorang asing, memakai nama seorang yang terpelajar dalam ilmu
surat pada jaman dahulu. Ia mengira, "Tantai" itu she bangsa Mongolia, begitupun
nama "Mie Ming" itu. Tapi sekarang ia dapat kenyataan, Tamtay Biat Beng itu
benar-benar ada, malah kuburannya masih ada dikecamatan Gouwkouw ini, Kangsouw.
Tapi ia percaya, kuburan ini mungkin pernah diperbaiki oleh turunannya, meskipun
bentuk kuburan, bentuk bongpay dan huruf-hurufnya sedikit mirip dengan jaman
setelah kerajaan Tjin atau Han, jadi bukan kuburan buatan jaman Tjoen Tjioe.
Perbedaannya ialah dalam cara membacanya, antara Tantai M i e Ming dan Tamtay
Biat Beng. Bocah itu tertawa, ia kata: "Melihat orang dari romannya saja, orang akan keliru
mengenali Tjoe Ie, maka sekarang terbuktilah kata-katanya nabi!"
Lalu, habis mengucap demikian, ia bawa serulingnya ke mulutnya, untuk meniup
lagu, sedang kerbaunya ia jalankan perlahan-lahan....."
In Tiong awasi orang berlalu, sambil memikirkan pepatah itu, yang benar-benar
tepat. Ia jadi berpikir keras: "Kalau begitu, aneh Tantai Mie Ming itu. Itulah
nama orang Han. Kenapa dia memakainya sebagai she dan namanya sendiri"
Sengajakah dia memakai nama sasterawan jaman dahulu itu" Tantai Mie Ming beroman
keren dan jelek, ia dapat disamakan dengan Tamtay Biat Beng, tetapi tentang
kepintaran dan penghidupannya tidak. Dia telah pergi dan tinggal di negara asing
dengan memakai nama asing juga! Adakah ia mengandung sesuatu maksud" Yaitu ia
ingin orang jangan hanya memandang ia dari romannya saja" Atau mungkinkah nama
Mie Ming itu ia pakai justeru untuk diartikan sebagai kenyataannya, yaitu untuk
membikin musnah kerajaan Beng" Mungkinkah Tantai Mie Ming bercita-cita demikian
besar?" Setelah beristirahat cukup, In Tiong berbangkit, untuk melanjutkan
perjalanannya. Ia memasuki dusun Tamtay Tjoen itu. Karena ia telah peroleh
kesan, masih ia pikirkan halnya Tantai Mie Ming. Ia ingat ketika malam itu ia
serang si pangeran asing di Tjengteng. Tantai Mie Ming benar-benar kosen, tapi
Mie Ming tidak menurunkan tangan jahat terhadap dirinya. Ia ingat juga kepada
pieboe di dalam rumah Thio Hong Hoe, waktu itu secara diam-diam Tantai Mie Ming
telah menghalau musuh. Ia jadi seperti dibikin pusing.
"Ah, sudahlah!" katanya kemudian seorang diri. "Kenapa aku mesti pusingkan
kepala bahwa dia Tantai Mie Ming atau Tamtay Biat Beng?"
Ia tertawa seorang diri, ia jalan terus.
Hari waktu itu sangat panas, In Tiong merasa sangat berdahaga, tenggorokannya
kering. Ia hanya merasa aneh, kenapa tempat itu tidak seperti kebanyakan tempat
di Kanglam - umpamanya Souwtjioe dan Hangtjioe - di mana banyak kedapatan warung
teh atau arak. Sekarang, dia telah melintasi dua petak sawah di kiri dan
kanannya, tapi tak tampak olehnya orang membajak sawah, di situ tidak ada warung
teh atau arak. "Mungkinkah Tamtay Tjoen ini tidak ada penduduknya?" akhirnya In Tiong tanya
dirinya sendiri. Ia menengok kesana kesini, ia jalankan kudanya terus. Ia rasakan lehernya
semakin kering. Syukur baginya, akhirnya ia tampak juga sebuah warung teh model
paseban dan penjualnya adalah seorang wanita tua. Baharu sekarang ia bisa
tertawa. "Begitu jauh aku berjalan, baharu sekarang aku dapatkan tempat untuk minum teh,"
kata dia seorang diri. "Syukur tidak semua tempat di daerah ini ada semacam
dusun ini, kalau tidak, boleh aku anggap bahwa aku tengah membuat perjalanan di
padang pasir....." In Tiong tambat kudannya, ia memasuki paseban.
"Ada tamu! Anak Beng, tuangkan teh!" kata si nyonya tua, yang dengan manis
menyambut tetamunya. Dari ruang dalam lantas muncul satu bocah wanita umur kira-kira empat atau lima
belas tahun, ia membawa tehkoan serta cangkirnya, terus ia tuangkan teh hijau ke
dalam cangkir itu, yang disuguhkan kepada tetamunya itu.
Anak dara itu berpakaian kain kasar akan tetapi dia mempunyai kulit halus.
"Memang Kanglam indah tanahnya, sekalipun penduduk desanya tak sembarang," pikir
In Tiong. Oleh karena iseng, In Tiong ajak si nyonya tua bicara, ia tanyakan she-nya.
"Kami di sini satu desa, semua penduduknya she Tamtay," sahut orang tua itu.
"Untuk aku, cukup kau memanggilnya Tamtay Toanio."
Selagi dua orang ini bicara, satu penunggang kuda lewat di depan paseban itu.
Orang ini beroman kasar. Tanpa turun dari kudanya, dia bertanya dengan suaranya
yang kaku: "Eh, orang tua, ingin aku bertanya, adakah kemarin seorang mahasiswa
yang menunggang kuda putih lewat di sini atau tidak?"
"Mahasiswa berkuda putih!" pikir In Tiong, yang menjadi kaget sendirinya. Tidak
salah, orang mesti maksudkan Thio Tan Hong.
Nyonya tua itu membuka kedua matanya lebar-lebar.
"Aku tidak dengar nyata!" dia sahuti. Penunggang kuda itu lompat turun dari
kudanya. "Aku tanya kau, adakah kau lihat seorang anak sekolah yang naik seekor kuda
putih?" dia ulangi pertanyaannya, suaranya keras, seolah-olah menggetarkan
genteng. Nyonya itu membuka matanya dan mulutnya ternganga, tetapi ia bungkam.
Gusar penunggang kuda itu.
"Taruh kata kau tuli, tapi seharusnya kau dapat melihat!" dia berteriak. Dia
bertindak masuk ke dalam paseban, agaknya dia hendak menjambret si nyonya tua.
In Tiong heran. Tidak dapat ia biarkan kejadian kurang ajar itu di hadapannya,
maka itu, sebelum tangan kasar si penunggang kuda mengenai si nyonya tua, ia
mendahului melonjorkan tangannya sendiri, untuk mencegah. Ia kerahkan tenaga
dalam Taylek Kimkong Tjioe, karena mana, hampir saja penunggang kuda itu
terpelanting. Dia jadi kaget, dia mengawasi dengan tidak berani bertindak kasar
terlebih jauh. In Tiong pandang orang itu, ia tertawa. "Kalau mau bicara, bicaralah dengan
baik-baik, untuk apa kau bergusar?" katanya. "Nyonya tua ini kupingnya kurang
sempurna....." Sebenarnya nyonya itu tidak tuli, tadi pun ia dapat bicara seperti biasa dengan
In Tiong. Si anak muda mengatakan demikian hanya untuk meredakan suasana.
Si nyonya tua tertawa mendengar perkataan orang itu.
"Kupingku ini aneh," kata dia. "Kalau suara terlalu keras, aku tidak dapat
dengar, begitupun suara terlalu perlahan, aku tidak dapat dengar juga, hanya
suara yang tidak keras dan tidak perlahan, baharu aku dapat dengar nyata. Tadi
kau menanyakan apa" Coba kau ulangi." Penunggang kuda itu kendalikan hawa
amarahnya. "Aku ingin menanya tentang seorang mahasiswa yang menunggang kuda putih,"
demikian ia ulangi pertanyaannya, "apakah dia telah lewat di sini?"
"Oh, mahasiswa penunggang kuda putih?" kata si orang tua. "Ya, benar! Kemarin
ada seorang mahasiswa menunggang kuda putih, tepat pada waktu seperti ini telah
lewat di sini. Dia malah telah meninggalkan pesan kepadaku, yaitu kalau ada
orang yang menanyakan tentang dia, dia minta disampaikan undangannya pada orang
itu untuk besok tengah hari pergi ke Souwtjioe guna membuat pertemuan di Koaywa
Lim, dia akan mengundang minum arak."
Begitu dengar jawaban itu, tanpa berkata suatu apa lagi, si penunggang kuda lari
kepada kudanya, lalu lompat naik ke bebokongnya, untuk segera dikaburkan.
Si nyonya tua mengawasi sambil tertawa dingin. "Anak Beng, kau catat!" dia
berkata. Nona muda tadi, yang duduk di satu pojok sambil menyulam, menyahuti:
"Sudah dicatat!" Terus dia balik sulamannya, maka di situ terlihat sulaman dari
tujuh tangkai bunga merah, ada yang benar, ada yang kecil. Ia pun menambahkan:
"Inilah yang ke tujuh!"
In Tiong berdiam, ia merasa heran. Ia duga nyonya tua dan si nona muda itu bukan
sembarang orang. Tapi ia tidak takut, ia percaya akan kepandaiannya sendiri.
Maka itu, ia pun tidak ambil mumat pantangan kaum kangouw untuk jangan lancang
mencampuri utusan lain orang.
"Siapakah mahasiswa penunggang kuda putih itu?" demikian ia tanya. "Dan di
manakah letak Koaywa Lim?"
Nyonya tua itu pandang tetamunya, ia tertawa.
"Tuan, kau seorang baik, aku suka memberi keterangan padamu," ia jawab. Koaywa
Lim letaknya di dalam kota Souwtjioe, itu adalah tempat untuk menghamburkan
uang. Katanya dahulu, pada masa Thio Soe Seng menjadi kaisar di Souwtjioe, di
sana ia telah membangun satu istana peristirahatan. Kemudian, ketika Thio Soe


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seng terbinasa dalam peperangan, Koaywa Lim disita pembesar negeri, sebab
dipandang sebagai milik pemberontak, lalu dijual. Sekarang ini pemilik dari
Koaywa Lim itu adalah Kioetauw Saytjoe In Thian Sek si Singa Berkepala Sembilan,
dia membuatnya menjadi taman yang besar, menjadi tempat pelesir dan judi, hingga
dia mendapat untung besar terdiri dari uang tak halal, uang itu terus dipakai
membeli sawah dan tanah, sampai dia membelinya ke-kecamatan Gouwkoan ini.
Begitulah, tanah di dusun Tamtay Tjoen ini, dalam sepuluh bahagian, tujuh atau
delapan bahagian telah menjadi kepunyaannya."
"Jikalau begitu, Kioetauw Saytjoe itu adalah okpa besar!" kata In Tiong. Dia
menyebutnya "okpa," - "hartawan jagoan." "Bagaimana mengenai si mahasiswa
berkuda putih" Apakah hubungannya dengan dia itu?"
"Nanti aku jelaskan," sahut si nyonya tua, yang suka berbicara dengan anak muda
ini. "Tempat di mana pasebanku ini berdiri adalah tanah miliknya Kioetauw
Saytjoe, setiap bulannya dia pungut sewa sebanyak tiga tail enam tjhie. Mengenai
sewa tanah itu, kami sudah berhutang tiga bulan. Kemarin Kioetauw Saytjoe
mengirimkan dua guru silatnya, mereka ini memaksa hendak membawa anak Beng untuk
dijadikan budak, katanya sebagai tanggungan dari
hutang kami itu. Kebetulan tengah kita berbicara, si mahasiswa penunggang kuda
putih itu lewat di sini, dia singgah, begitu dia ketahui duduknya perkara,dia
lantas tolongi kami membayar hutang itu. Itu belum semua, dia juga telah
menghajar kedua guru silat itu hingga mereka sungsang sumbel."
Si nona muda tiba-tiba campur bicara: "Tetapi, ibu, si mahasiswa itu tidak
memukul orang itu! Sebaliknya kedua guru silat itu yang memukul padanya! Ah,
sungguh menarik hati! Baharu saja kepalannya kedua guru silat itu mengenai tubuh
si mahasiswa, lantas mereka menjerit kesakitan, sama sekali tidak terlihat si
mahasiswa membalas menyerang, tahu-tahu kedua guru silat itu rubuh tergulingguling. Ketika kemudian mereka dapat merayap bangun, aku lihat kepalan mereka
menjadi bengkak matang biru, sebesar mangkok! Tuan, kau tentu banyak pengalaman,
luas pengetahuanmu, tahukah kau ilmu silat apa yang digunakan si mahasiswa itu?"
"Aku tidak tahu," jawab In Tiong, sekalipun ia tahu betul, si anak muda pasti
telah menggunakan tipu silat Tjiamie sippattiat atau sebangsanya yang liehay.
"Kedua guru silat itu tidak berdaya, cuma mulutnya yang besar," kata si nyonya
tua. "Begitulah terhadap si mahasiswa berkuda putih itu, mereka menantang,
katanya: Jikalau kau benar laki-laki, pergilah ke Koaywa Lim untuk menemui
Kioetauw Saytjoe kami. Atas itu, si mahasiswa tertawa besar, sambil tertawa
melenggak, dia jawab: Lagi dua hari, akan aku pergi menemui dia! Hendak aku
lihat, bagaimana galaknya Kioetauw Saytjoe itu!"
In Tiong heran. Ia jadi berpikir: "Thio Tan Hong pergi ke Souwtjioe terang Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 43 Pendekar Pulau Neraka 45 Sengketa Sepasang Pendekar Tersiksa Seperti Di Neraka 2

Cari Blog Ini