Ceritasilat Novel Online

Dua Musuh Turunan 18

Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 18


kebutan di tangannya, menyambar kepada ke empat pedang dari murid-murid dan
cucu-muridnya, atas mana terdengarlah suara nyaring dari semua pedang itu, yang
menjadi mental sendirinya.
"Terhadap orang yang terlebih tua tak dapat kamu berlaku kurang hormat! Lekas
mundur!" Semua ke lima orang itu melepaskan napas lega, lebih-lebih In Loei. Nona ini
paling rendah tenaga dalamnya, ia sudah hampir tak dapat pertahankan diri,
syukur baginya, Thian Hoa dan Eng Eng turut maju, ia jadi masih bisa mencoba
bertahan terus. Di lihat keseluruhannya, pihak Thian Hoa menang sedikit di atas angin, tetapi
karena ketangguannya Siangkoan Thian Ya, mereka tidak mampu berbuat lebih banyak
daripada mempertahankan diri saja.
Si hantu menghela napas, terus ia berkata: "Ah! Setelah lewat tiga puluh tahun,
kita bertemu pula, nyata kau telah sempurnakan dirimu! Kau telah mempunyai
murid-murid yang berbakat ini. Kini aku insyaf, sahabatku, mulai saat ini aku
tak ingin pula memperebuti kedudukan ketua Rimba Persilatan denganmu!..."
Hian Kee Itsoe tertawa pula.
"Laohia, tak usah kau terlalu merendahkan diri," ia berkata. "Bicara sebenarnya
akulah yang mesti mengalah!"
Hian Kee Itsoe telah berdaya keras akan menciptakan ilmu silatnya ini, siangkiam
happek, atau lebih benar Goangoan Kiamhoat, ia percaya pasti bahwa ia bakal
menjagoi di kolong langit ini, akan tetapi di luar sangkaannya, Tjia Thian Hoa
dan Yap Eng Eng berdua masih belum sanggup tunduki jago tua itu, si hantu dari
Tangkula, baharulah setelah mereka dibantu Tan Hong dan In Loei, pertandingan
menyampaikan tingkat seimbang. Karena itu, dengan sejujurnya, ia mesti kagumi si
hantu itu, sebagaimana si hantu pun mengagumi padanya.
Begitulah kedua pihak saling menyayangi, saling menghormati, keduanya saling
memuji, saling merendah, tetapi selagi mereka berbicara, tiba-tiba mereka semua
dengar satu seruan yang nyaring tapi halus, yang seperti mendengung di tengah
udara, menyusul mana, di antara mereka segera tambah satu orang lain lagi!
Tan Hong adalah orang yang melihat paling dulu dan segera ia kenali si nyonya
tua dari hutan bambu tjietiok lim!
Wajahnya Siangkoan Thian Ya lantas saja menjadi berubah, dari mulutnya pun
terdengar suara sangat perlahan:
"Sukar melupai budi dan penasaran, sukar melupai kau - Kecuali sang cinta dan
peri kebenaran..." Sekonyong-konyong Tan Hong majukan pertanyaan: Di antara kamu siapa sebenarnya
yang disebut kiamkek dan si penjahat?"
Mendengar itu, Thian Hoa terkejut.
"Tan Hong ada satu anak baik, kenapa dihadapan kedua iootjianpwee ini ia berlaku
begini tidak tahu aturan?" tanya ia dalam hatinya. Ia pun heran akan menyaksikan
roman orang beda daripada biasanya itu.
Siangkoan Thian Ya tertawa, ia lantas berkata bagaikan menjawab Tan Hong. Ia
kata: "Tjhuang Tze di siang hari bermimpikan kupu-kupu dan mimpi yang pendek
paling gampang sadarnya, maka itu untuk apa kau menanyakannya lagi siapa si kiamkek dan siapa
si penjahat" Hari ini si kiamkek dan si penjahat, apabila mereka tidak
bertempur, tidak nanti mereka kenal satu pada lain, maka di sini terimalah
hormatku!" Dengan tiba-tiba ia menjura terhadap Hian Kee Itsoe, sebelah tangannya dimajukan
dengan jari-jari tangannya dikerahkan tenaganya, dalam ilmu silatnya Ittjie sian
yang paling liehay! Siangkoan Thian Ya telah tersadar akan tetapi tetap ia masih mempunyai tabiat
yang suka menang sendiri itu, walaupun ia sudah menyerah kalah tapi sekarang,
melihat datangnya secara tiba-tiba nona kekasihnya dari tiga puluh tahun yang
lampau, nona mana justeru mengawasi Hian Kee Itsoe dengan wajahnya bersenyum
bukannya bersenyum, kumatlah cemburuannya, maka lagi satu kali hendak ia mencoba
saingannya itu! Hian Kee Itsoe bersenyum, ia rangkap kedua tangannya untuk membalas hormat
sambil menjura, kedua tangan itu dimajukan ke depan. Atas itu terlihatlah ujung
bajunya si hantu bergerak bagaikan ditiup angin. Lantas saja tubuh gurunya Thian
Hoa itu bergoyang dua kali, segera ia memberi hormat pula dengan dua tangannya
terangkap sambil berkata: "Laohia, ilmu silatmu adalah yang nomor satu di kolong
langit ini, aku rela menyerah kalah!"
Lalu sehabisnya berkata itu, ia putar tubuhnya, untuk bertindak turun gunung.
Semua orang tidak melihat suatu apa kecuali si nyonya tua dan Siangkoan Thian Ya
yang mengerti sendiri. Perbuatannya Hian Kee Itsoe itu adalah perbuatan suka
mengalah. Si hantu sudah menyerang terlebih dahulu akan tetapi dengan gampang
serangannya itu telah dipunahkan Hian Kee Itsoe, yang gunakan tenaganya
berbareng dia rangkap kedua tangannya, agaknya Hian Kee memberi hormat tapi
sebetulnya dia menangkis, hingga ujung bajunya Thian Ya bergoyang. Bahwa tubuh
Hian Kee pun goyang sedikit, sebagai juga dia kalah tenaga, itulah melainkan
disengaja. Hian Kee Itsoe hendak berlalu, baharu ia bertindak, atau si nyonya tua telah
berlompat kepadanya, dengan tongkat bambunya nyonya itu gaet ujung bajunya untuk
ditarik. Mau atau tidak, kakek gurunya In Loei ini menoleh sambil menyeringai.
"Aku sudah menyerah kalah, kau masih tahan aku, hendak apakah kau?" dia tanya.
Si nyonya tidak menyahuti, yang menjawab adalah Siangkoan Thian Ya, yang
berkata: "Hian Kee si orang tua, tidak dapat aku terima budi kebaikanmu ini!
Yang seharusnya angkat kaki adalah aku! Kaulah yang mesti berdiam di sini,
semoga kau nanti dengan baik-baik melayani dia!"
Dengan "dia," hantu ini maksudkan si nyonya tua. Setelah itu, ia pun hendak
berlalu. Si nyonya tua sudah lantas menggape, hingga Thian Ya merandek.
"Dua-dua kamu tidak usah pergi!" berkata dia sambil tertawa. "Bicara tentang
ilmu silat, kamu keduanya adalah yang nomor satu di kolong langit ini, dari itu
tak usah kamu saling berebutan lagi, juga tak usah kamu saling mengalah!"
Nyonya tua ini mengatakan secara tidak berat sebelah. Ia telah lihat tadi Thian
Ya terjatuh di bawah angin daripada Hian Kee, akan tetapi ia berkesimpulan
karena sebelumnya si hantu telah melayani Thian Hoa dan Eng Eng dan kemudian
terkepung Tan Hong dan In Loei, karena mana, mau atau tidak, tenaganya tentu
berkurang banyak. Bila tidak demikian, masih belum dapat dipastikan, dia dengan Ittjie sian-nya
yang menang atau Hian Kee Itsoe dengan Kimkong tjioe-nya.
Hian Kee Itsoe mengkerutkan keningnya.
"Jikalau bukannya kau yang menghendaki kami bertanding, siapakah yang kesudian
membangkitkan keruwetan ini"..." katanya di dalam hatinya.
Siangkoan Thian Ya pun nampaknya masgul.
Si nyonya tua sudah lantas berkata pula, tetapi lebih dahulu ia menghela napas.
"Sepejaman mata saja, tiga puluh tahun telah berlalu..." demikian katanya, "dan
kita bertiga telah menjadi tua... Kerunyaman di masa kita masih muda, apabila
itu dipikirkan sekarang, sungguh sangat lucu agaknya! Berapa tinggikah usianya
manusia" Maka kalau kita merunyamkannya pula, pasti kita akan ditertawai orangorang jaman belakangan. Maka segala kerunyaman kala muda itu, yang tadinya tak
dapat dibereskan, sesudah tua sekarang, harus dibereskannya! Engko Hian Kee,
adik Siangkoan, marilah sejak saat ini, kita bertiga jangan berpisahan pula,
mari kita sama-sama meyakini ilmu yang terlebih tinggi, supaya dapat kita
mewariskan sedikit kepada anak-anak muda! Tidakkah itu bagus?"
Hian Kee tergerak hatinya mendengar kata-kata itu, yang dikeluarkan dengan
sesungguh hati, maka juga kesannya yang buruk selama tiga puluh tahun terhadap
nyonya itu, sekarang dapat ia lenyapkan dalam tempo yang pendek sekali.
Juga hatinya, Siangkoan Thian Ya menjadi lemah mendengar orang memanggil mereka
engko dan adik, ia mendengar itu sebagai juga suaranya Siauw Oen Lan pada tiga
puluh tahun yang lampau, di saat orang masih menjadi nona remaja yang cantik
manis. Ia pun menjadi berpikir: "Benarlah apa yang dikatakannya, dia nyata ada
terlebih insyaf daripada aku. Ganjalan semasa muda itu sudah selayaknya sekarang
dibikin habis..." Sekarang, sesudah mereka semua berusia tinggi, di antara mereka tidak ada lagi
soal pernikahan, lebih pula soal cinta, maka sungguh tepat jikalau mereka
berkumpul bersama, akan hidup tenang sambil memperdalam terus ilmu silat mereka,
untuk menjadi sahabat-sahabat atau saudara angkat.
Kenapa si nyonya tua, Siauw Oen Lan, dapat mengucap demikian" Itulah
kesadarannya, hasilnya bersamedhi selama tiga puluh tahun di dalam hutan bambu.
Selama itu, sangat sukar untuk ia mengatasi dirinya. Terhadap Hian Kee Itsoe ia
penasaran dan membenci, terhadap Siangkoan Thian Ya ia putus harapan. Lama ia
berpikir, hatinya panas dan dingin bergantian. Ia mencoba berlaku tenang dan
sabar, ia mencoba memikir dengan kesadaran, menimbang-nimbang keruwetannya
sendiri disebabkan cintanya terhadap Hian Kee dan Thian Ya. Di akhirnya ia
merasa, bukankah semua itu kosong belaka" Ketika akan tiba saatnya perjanjian
pertemuan tiga puluh tahun, ia menjadi sangat menyesal. Bukankah karena
urusannya maka kedua jago jadi bentrok, dengan menunggu tiga puluh tahun untuk
mengambil keputusan" Maka itu, cepat-cepat ia berangkat ke gunung Tangkula,
untuk datang sama tengah, untuk mengakuri satu pada lain. Demikian ia muncul di
saat yang tepat. Siangkoan Thian Ya masih diam berpikir, ketika Lim Sian In, muridnya yang
perempuan, menghampiri padanya.
"Soehoe, tolong tengok Ouw Soeheng..." berkata murid ini.
Thian Ya segera berpaling kepada muridnya itu. Ia dapatkan Ouw Bong Hoe sedang
duduk numprah di tanah, dari kepalanya menghembus uap putih, yang seperti
mengepul-ngepul. Ia lantas menjadi kaget.
"Ia terkena Kimkong tjioe!..." katanya terkejut.
Mendengar itu, Tang Gak lompat kepada gurunya, romannya gelisah.
"Selagi teetjoe menghaturkan karcis nama kepada iootjianpwee, dengan tidak
disengaja teetjoe kena lukai dia," ia akui. "Sekarang teetjoe bersedia untuk
tolong padanya dengan emposan semangatku."
Hian Kee pun telah awasi Ouw Bong Hoe, mendengar perkataan muridnya, ia
menggeleng-geleng kepala.
"Siangkoan Laohia," kemudian katanya kepada Thian Ya, "kali ini benar-benar aku
takluk kepadamu! Sungguh aku tidak sangka muridmu itu mempunyai ilmu dalam yang
demikian sempurna, kalau dibanding dengan aku, ternyata apa yang sebegitu jauh
telah aku yakini adalah ilmu sesat!"
Kata-kata ini membuat heran murid-murid kedua pihak. Kenapa Hian Kee mengucap
demikian" Siangkoan Thian ya menyeringai. "Jikalau kepandaianmu itu dikatakan ilmu sesat,
lebih-lebih lagi kepandaianku!" ia berkata. Lantas ia bertindak kepada Ouw Bong
Hoe, untuk raba nadinya dan meneliti wajahnya. Ia segera perlihatkan roman
keheranan yang bertambah-tambah.
Pukulan Kimkong tjioe sangat liehay, Ouw Bong Hoe telah terkena pukulan itu,
dengan mengimbangi latihannya, ia terluka sedikitnya mesti sampai tujuh hari
baharulah ia dapat sembuh, akan tetapi waktu gurunya periksa padanya, guru ini
dapatkan nadinya jalan seperti biasa, jalan darahnya pun tidak terganggu. Dengan
begitu, dengan mengempos semangatnya sendiri, segera juga Bong Hoe akan sembuh
dan pulih kesehatannya seperti biasa. Namun apa yang membikin guru ini menjadi
lebih heran pula, ialah ia dapat kenyataan caranya sang murid bernapas bukanlah
menurut cara pengajarannya, sedang tenaga dalamnya sang murid tidaklah bertambah
banyak. Maka adalah aneh, setelah tergempur Kimkong tjioe, Ouw Bong Hoe dapat
menolong dirinya sendiri dengan masih tetap numprah untuk memusatkan tenaganya
sendiri. Bahna herannya untuk sesaat Siangkoan Thian Ya berdiri bengong, kemudian dengan
tiba-tiba ia tepuk punggung muridnya sambil menyerukan: "Bangun!"
Menuruti seruan itu, Ouw Bong Hoe lantas lompat bangun, ia telah sembuh dari
lukanya, kesehatannya pun pulih seperti biasa.
"Kau dapat petunjuk dari orang berilmu siapa?" Siangkoan Thian ya tanya muridnya
setelah murid itu menghaturkan terima kasih kepadanya. "Jikalau kau benar telah
dapatkan satu guru lain, maka tak usahlah kau belajar terlebih jauh padaku!"
Bong Hoe menjadi ketakutan.
"Maaf, soehoe, maaf..." berkata ia. "Dengan sebenarnya teetjoe tolong diri
dengan ilmu kepandaiannya lain kaum tetapi sama sekali bukannya teetjoe telah
menuntut pelajaran kepada lain guru..."
Guru itu tertawa dingin. "Tanpa orang beri petunjuk padamu, apa itu artinya kau dapatkan kepandaianmu
sendiri?" dia tanya, bengis.
Bong Hoe masih saja ketakutan, akan tetapi belum lagi ia memberikan penyahutan,
Tan Hong sudah majukan diri di antara mereka, tapi pemuda ini terlebih dahulu
memberi hormat sambil menjura kepada kakek gurunya.
"Murid siapakah pemuda ini?" bertanya orang tua itu.
"Dialah Thio Tan Hong, murid teetjoe," Thian Hoa memberikan jawaban.
Hian Kee tertawa bergelak.
"Muridmu nyata ada jauh terlebih liehay daripada muridku!" berkata dia. "Di
belakang hari, dalam kemajuannya, bukan saja dia bakal melampaui kamu semua,
bahkan aku sendiripun..."
Thian Hoa heran berbareng girang.
"Ah, soehoe terlalu memuji padanya!" ia bilang.
Tan Hong tidak pedulikan pembicaraan antara kakek guru dan gurunya itu, setelah
memberi hormat pada sang kakek guru, ia maju buat memberi hormat kepada
Siangkoan Thian Ya. "Aku tahu siapa yang telah memberi petunjuk kepada dia," ia kata sambil tunjuk
Bong Hoe. Si hantu heran, ia mengawasi muka orang.
"Siapakah?" ia tanya.
"Pemberi petunjuk itu adalah seorang yang telah hidup lebih daripada seratus
tahun yang lalu," menyahut Tan Hong.
"Ngaco belo!" bentak Thian Ya. Ia heran dan tak mempercayainya. Ia lantas
berpaling kepada Hian Kee Itsoe, untuk mengatakannya: "Cucu muridmu ini telah
berdiam lamanya tujuh hari di dalam kamar batuku, telah aku periksa padanya, aku
dapat kenyataan dia terganggu urat syarafnya disebabkan gangguan pada hatinya. Dia
masih belum sadar betul, dari itu perlulah kau rawat dia baik-baik."
Mendengar itu, Thio Tan Hong tertawa berkakakan.
"Siapa bilang urat syarafku terganggu dan aku tak sadar benar?" bertanya dia.
"Sebaliknya aku tahu benar, justeru kaulah yang terganggu asmara! Dan pada tiga
puluh tahun dulu, kaulah satu penjahat! Kau repoti dirimu dengan asmara, kau
sebaliknya tidak pedulikan mati atau hidupnya murid-muridmu, malah kau terangterangan hendak pisahkan mereka itu hidup-hidup! Aku tidak puas terhadap sepak
terjangmu itu maka aku telah minta almarhum orang tua itu beri petunjuk ilmu
kepada muridmu ini!"
Kata-kata ini membuat heran semua orang, lebih-lebih orang tidak mengerti kenapa
Tan Hong berani bersikap demikian kurang ajar terhadap Siangkoan Thian Ya.
Hian Kee heran akan tetapi ia diam saja, otaknya tengah bekerja. Beda daripada
yang lain-lain, kakek guru itu tidak pandang perkataannya cucu muridnya itu
sebagai ocehan belaka. Siangkoan Thian ya pun heran sekali, ia terkejut, tetapi ia tidak menjadi gusar,
malah sebaliknya, ia ingat suatu hal.
"Bong Hoe!" ia segera tanya muridnya, "benarkah apa yang dia katakan ini?"
"Sedikit pun tidak salah," menyahut murid itu. Sekarang tidak lagi ia takut
seperti tadi. Ia malah rogo sakunya, akan keluarkan kitabnya Tan Hong yang
dipinjamkan kepadanya, ia serahkan itu kepada gurunya.
Si hantu menyambuti kitab yang kecil itu, segera ia lihat judulnya ialah
"Hiankong Yauwkoat". Di bawah itu juga ada huruf-huruf yang menandakan nama
penulisnya, bunyinya: "Dikarang oleh Pheng Eng Giok". Tentu saja, menampak itu,
ia menjadi melengak. Tan Hong tertawa bergelak-gelak.
"Kau lihat, aku dustakan kau atau tidak?" anak muda ini tanya. Ia bicara seperti
terhadap sesamanya. "Bukankah penulis itu seorang tua almarhum dari seratus
tahun yang lampau, yang pernah menjadi gurunya dua kaisar" Kau buka kitab itu
dan periksa sendiri! Apakah kau masih hendak berkukuh bahwa orang mesti bertubuh
perjaka tulen untuk dapat mempelajari ilmu silatmu yang kau namakan Ittjie sian
itu?" Siangkoan Thian Ya sudah lantas periksa kitab tersebut, walau ia melihatnya
sepintas lalu, ia menjadi terperanjat tak kepalang.
"Hai, kiranya kitab warisannya Pheng Hoosiang berada di dalam tanganmu!" dia
berseru. "Jadi kaulah yang pinjamkan kitab kepadanya?" dia menegaskan, sambil
tunjuk muridnya. Tan Hong tertawa pula. Ia tidak jawab si hantu, hanya kemudian, ia mengoceh
sendirian: "Semoga air sorga, dapat menyiram pelbagai pasangan. Semua siapa
saling menyinta, sudah selayaknya dapat berumah tangga..."
Hatinya Siangkoan Thian Ya tergerak dengan kata-kata itu, sehingga ia menjadi
bimbang. Iapun menginsafi artinya kitabnya Pheng Hoosiang itu. Ia juga tergerak
hati untuk ketulusan dan kedermawanan Tan Hong. Untuk kebahagiaannya Ouw Bong
Hoe dan Lim Sian In, bukankah pemuda itu berani berkurban meminjamkan kitabnya


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, suatu kitab istimewa"
Nyata si hantu pandai berpikir, ia cerdas dan sadar. Sejenak itu ia lantas
tertawa bergelak-gelak. "Saudara kecil, sungguh kau hebat!" serunya. Ia tertawa pula seraya pegangi
tangannya si anak muda. "Kakak Siangkoan!" berkata Hian Kee, yang pun tertawa, "kau nyata masih sama
seperti tiga puluh tahun yang lampau!"
Si hantu tidak jawab sahabat atau saingan itu, sambil lepaskan tangannya Tan
Hong ia berpaling kepada Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In.
"Kamu adalah muridku yang baik, selama belasan tahun telah aku menghalangi
jodohmu," katanya. "Sekarang aku hapuskan peraturanku yang melarang pernikahan
kamu berdua, dan rumah batu ini juga aku hadiahkan kepada kamu." Kedua murid itu
girang bukan main, dengan lantas mereka berlutut di depan guru itu untuk
haturkan terima kasihnya.
"Sepantasnya kamu menghaturkan terima kasih terhadapnya!" berkata si hantu
sambil tertawa dan menunjuk Tan Hong.
Dalam kegirangannya yang berlimpah-limpah itu, Ouw Bong Hoe tidak pikir lagi
tentang usia atau tingkat tinggi atau rendah, segera ia memberi hormat pada si
pemuda she Thio untuk haturkan terima kasihnya. Iapun lantas kembalikan kitab
"Hiankong Yauwkoat."
Bong Hoe kalah cerdas dari Tan Hong akan tetapi, selama beberapa hari ia membaca
kitab itu, telah dapat ia ambil sarinya, maka itu kitab sudah tak perlu lagi
baginya. Senang Siangkoan Thian Ya menyaksikan segala apa dihadapannya itu, kembali ia
tertawa sendirinya. "Seumurku pernah aku melakukan pertempuran besar dan kecil tak kurang daripada
beberapa ratus kali," katanya kemudian, "akan tetapi pertempuran hari ini adalah
yang paling memuaskan! Memang tidak berhasil aku merebut nama sebagai kepala
kaum Rimba Persilatan akan tetapi sekarang, budi dan permusuhan, telah dapat
dijelaskan dan dilenyapkan! Kakak Hian Kee, sekarang telah tiba waktunya untuk
kita pergi!" demikian ia mengajak. Akan tetapi, terus ia menoleh kepada Bong
Hoe, sambil mengatakannya: "Lihat, kakak seperguruanmu telah datang dan
datangnya di saat yang tepat ini!"
Memang itu waktu tertampak Tantai Mie Ming tengah mendaki gunung, mendatangi ke
arah mereka. Ia heran akan menyaksikan Hian Kee Itsoe dan gurunya berdiri
berdampingan selaku dua sahabat, bukannya sebagai musuh satu pada lain. Memang
ia datang membawa pesan dari Thio Tjong Tjioe, yang telah minta bantuannya untuk
menemui Siangkoan Thian Ya, untuk mencegah si
hantu nanti celakai Tan Hong. Sekarang ia menampak demikian, hatinya lantas
menjadi lega sekali. Ia pun telah saksikan soetee dan soemoay-nya, Bong Hoe dan
Sian In, berdiri rapat di samping guru mereka, hal itu menambah kelegaan
hatinya, tapi masih dalam keheranan...
Dengan Tantai Mie Ming Tan Hong hidup bersama semenjak kecil, selagi sekarang
kesadarannya telah pulih enam atau tujuh bahagian, kapan melihat sahabatnya itu,
Thio Tan Hong segera juga ingat segala apa dengan baik sekali. Artinya, ia ingat
perihal dirinya sendiri, perihal permusuhan pribadi atau negara. Demikian, dalam
kesadarannya, ia lari memapaki Mie Ming.
"Tantai Tjiangkoen, ayahku tak kurang suatu apa, bukan?" bertanya ia.
"Ayahmu justeru mengharapkan pulangmu!" adalah jawaban yang singkat dari
jenderal itu. "Bukankah kamu telah kenal lama satu dengan lain?" Siangkoan Thian Ya menyelak,
menanya kedua orang muda itu ketika menyaksikan sikap erat rapat dari mereka
itu. "Harap soehoe ketahui, dia adalah junjunganku yang muda," menjawab Tantai Mie
Ming, sang murid. Mendengar itu, Siangkoan Thian ya tertawa besar.
"Saudara Hian Kee!" ia berkata, lihatlah, bukankah murid-murid kita telah sejak
siang-siang menjadi orang sendiri, karenanya, untuk apa kita saling berebut
pengaruh pula?" Hian Kee Itsoe tidak menjawab, ia melainkan bersenyum.
Thian Ya lantas panggil Mie Ming datang dekat kepadanya.
"Telah aku ambil putusan untuk meninggalkan tempat ini," berkata dia kepada
muridnya itu. "Sian In telah lama ikuti aku, maka itu, rumah ini aku sudah
serahkan kepadanya sebagai hadiah pernikahannya, supaya dia dapat hidup tenteram
bersama Bong Hoe. Maka itu sejak hari ini, kaulah ahli waris dari partai kita,
kau menggantikan aku menjadi ketua. Harapanku adalah kau nanti tilik
dan anjurkan kedua saudara seperguruanmu ini agar mereka tetap rajin memperdalam
pelajarannya." Kedua matanya Lim Sian In menjadi merah.
"Bukankah terlebih baik soehoe tetap berdiam di sini?" katanya dengan sangat
berduka. "Kenapa soehoe hendak pergi" Baiklah soehoe berikan ketika kepadaku
untuk merawat soehoe lagi beberapa tahun, untuk sedikitnya dapat membalas budi
soehoe." Siangkoan Thian Ya, sang guru, tertawa. "Pada tiga puluh tahun dulu, karena aku
tidak sanggup mengalahkan Hian Kee si tua bangka, telah aku kabur kemari, untuk
tinggal di sini sambil meyakini lebih jauh ilmu silatku," ia berkata, "akan
tetapi sekarang segala apa telah dibikin habis, untuk apa jikalau aku tidak
kembali ke Tionggoan" Kau telah punyakan kawanmu, maka itu, aku juga hendak cari
kawanku - dua orang!"
Sementara itu, Tantai Mie Ming telah berlutut kepada gurunya, untuk menghaturkan
terima kasih. Mukanya Sian In menjadi merah, akan tetapi ia masih dapat berbicara, sambil
tertawa ia bilang: "Asal soehoe beruntung, akupun girang!"
Lantas, bersama-sama Bong Hoe, ia memberi hormat sambil berlutut juga.
"Menampak ini, akupun perlu menyelesaikan sesuatu," berkata Hian Kee. Lantas ia
panggil berkumpul murid-muridnya. Kemudian, baharu ia berkata pula.
"Tang Gak berusia paling tua dan jujur, iapun paling lama mengikuti aku, maka
itu, mulai hari ini dan selanjutnya dialah yang akan mengepalai partai kita," ia
berkata. "Kamu, Thian Hoa dan Eng Eng, dasarmu berdua adalah yang paling baik,
kamu juga telah masing-masing mewarisi separuh dari ilmu silatku, yaitu ilmu
pedang Goangoan Kiamhoat, mulai hari ini aku ijinkan kamu untuk saling
menurunkan pelajaran kamu itu, supaya siangkiam happek, sepasang pedang
terangkap menjadi satu, kamu berdua turut
bergabung bersama. Aku tugaskan toasoeheng-mu untuk mengurus pernikahanmu."
Setelah belasan tahun, baharu pada saat ini terwujud pengharapannya, citacitanya Thian Hoa dan Eng Eng, mereka menjadi girang tak kepalang, akan tetapi
di muka orang ramai itu, tidak merdeka mereka lampiaskan itu, mereka hanya
saling mengawasi sambil bersenyum. Terhadap guru mereka itu, mereka menghaturkan
terima kasih sambil berlutut.
Tang Gak menghampirkan kedua adik seperguruan itu, untuk beri selamat kepada
mereka. Memang ia tahu hatinya soetee dan soemoay itu, sekian lama ia hanya bisa
menyesal yang mereka itu tak dapat menikah satu pada lain. Sebenarnya, ia
sendiripun menaruh hati kepada Eng Eng akan tetapi mengetahui mereka itu saling
menyinta, ia suka mengalah, hingga untuk banyak tahun, ia melainkan hiburkan
diri saja. Ia ada demikian sadar hingga ia tidak iri hati kepada Thian Hoa,
tidak membenci kepada Eng Eng, sebaliknya, ia menyesal yang mereka pun tak dapat
menikah karena larangan guru mereka.
Lalu Hian Kee berkata pula: "Di antara kamu, In Teng adalah yang paling pendek
harinya mengikuti aku, pelajarannya pun belum rampung, sudah begitu, sekarang ia
pun menderita. Hal ini membuat aku menyesal, tak puas hatiku. Maka itu aku
ingin, seberlalunya aku, supaya kamu beramai menilik ia baik-baik. Tang Gak, kau
wakilkan aku mendidik ilmu dalam kepadanya. Asal ia suka meyakininya, ia pun
masih dapat memperoleh hasil yang memuaskan."
In Teng jadi sangat terharu hingga ia menangis menggerung-gerung.
Tan Hong menjadi sangat terharu, ia menyesal bukan main, hingga tidak berani ia
berpaling kepada In Loei.
"Jangan terlalu berduka, soetee," Tang Gak menghibur. "Kau telah ketolongan, kau
telah bertemu pula dengan puterimu,
sekarang pun soehoe menaruh belas kasihan terhadapmu, sudah selayaknya kau
merasa girang." Hian Kee usap-usap rambutnya In Loei, ia kata kepada muridnya: "Kau telah
punyakan puteri yang bagaikan kumala dan bunga ini, yang pun berbakti kepadamu,
kau justeru jauh lebih menang daripada aku! Asal kau tidak melakukan sesuatu
yang memalukan, sudah seharusnya kau hidup senang. Kau pun telah punyakan putera
yang berbakti dan berpangkat, walaupun kau bercacat, kau tak usah berduka, maka
janganlah kau menangis terlebih jauh."
In Teng berhenti menangis, ia seka air matanya. Ia sangat bersyukur untuk
kebaikan hatinya guru itu, yang telah melepas budi banyak terhadapnya. Memang
benar nasihatnya guru itu. Akan tetapi ia masih kandung kemurkaan, ia masih
mendendam sakit hati, mengenai itu ia menghadapi rintangan... Di luar
sangkaannya, putera dari musuh besarnya justeru adalah keponakan muridnya
sendiri dan keponakan murid itu justeru paling dipuji gurunya. Sudah pasti,
tidak dapat ia membalas sakit hati terhadap putera musuhnya itu, malah untuk
memberitahukan saja halnya itu kepada gurunya pun ia tidak dapat lakukan. Mana
ia bisa buka mulutnya" Karena ini, ia menjadi berduka.
Lalu terdengar suaranya Hian Kee Itsoe, yang berbicara sambil tertawa.
"Apa yang membuatnya aku paling gembira adalah kaum kita yang setingkat demi
setingkat, telah menjadi semakin maju!" demikian katanya. "Thio Tan Hong di
belakang hari pasti akan membuat semakin mentereng partai kita. Asal dia tidak
keliru menggunai kesadarannya, kemajuannya tak akan ada batasnya, dari itu, kamu
semua harus didik padanya dengan teliti dan seksama."
Si nyonya tua, yang menyekal tongkat, yang sejak tadi diam saja, rupanya telah
habis sabarnya menyaksikan orang main mengangkat ahli waris dan omong seperti
tak habisnya. Waktu itu matahari sudah doyong jauh ke barat, sang magrib tengah
mendatangi. Maka ia lantas saja menyelak: "Hai, kenapa urusan kamu ada demikian
banyak hingga seperti tak habis-habisnya?" demikian katanya.
"Orang seharusnya menyingkirkan urusan dunia untuk lompat keluar dari
penghidupan lahir!" Mendengar itu, Siangkoan Thian Ya bertepuk tangan.
"Bagus, bagus!" serunya. "Sejak kini baiklah kita menjadi seperti bangau-bangau
merdeka yang senantiasa mengawani mega, yang tidak mengenal asmara! Saudara Hian
Kee, inilah saatnya untuk kita berlalu!"
Hian Kee segera pandang semua muridnya, terhadap mereka ia mengibaskan tangan.
"Kamu semua baik-baik membawa diri!" ia mengucap, lalu ia bertindak pergi dengan
cepat, pergi bersama-sama Siangkoan Thian Ya dan si nyonya tua yang bertongkat,
selagi mulai berangkat, ketiga-tiganya menepuk-nepuk tangan tandanya riang hati
mereka. Cepat sekali tindakan mereka, sebentar saja mereka sudah terhilang di
dalam cuaca yang remeng-remeng. Murid-murid dari kedua pihak telah bertekuk
lutut untuk memberi selamat jalan kepada guru mereka masing-masing, walaupun
sebenarnya mereka sangat berduka dan menyesal. Sungguh lekas perpisahan itu,
dengan tiba-tiba saja. Tang Gak berdiam, begitupun Tantai Mie Ming, masing-masing tenggelam dalam
perasaannya sendiri-sendiri. Mereka juga tidak sangka, kedua lawan yang demikian
hebat, percederaannya dapat disudahi secara demikian mudah.
Kemudian kedua orang ini, yang masing-masing menjadi murid kepala, menjadi
terperanjat apabila mereka berpaling ke arah Tan Hong. Mereka dapatkan anak muda
itu masih saja berlutut di belakang mereka, kedua matanya mendelong ke arah
gunung, air matanya mengembeng, dia seperti hendak menangis tetapi tak keluar
suara dari mulutnya. Teranglah pemuda itu bagaikan hilang semangatnya.
Tantai Mie Ming datang menghampirkan, ia segera membanguni Tan Hong.
"Kau kenapa?" ia tanya.
Tan Hong tidak segera menjawab. Di hadapannya ada Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In.
Kedua pasangan itu telah berhasil dengan cita-citanya, penderitaannya telah
berakhir. Malah gurunya, cita-citanya pun telah terwujud! Akan tetapi dia, meski
dekat kekasihnya itu tapi mereka berdua seperti terpisah jauh bagaikan di antara
kedua pangkal langit. Dia cuma dapat melihat, tidak dapat dia memegangnya,
bagaikan ada pintu yang memisahkan mereka, sama-sama mereka tak dapat memasuki
atau keluar... Tantai Mie Ming mengulangi pertanyaannya beberapa kali, akhirnya ia dapatkan
penyahutan seperti bersenanjung dari si anak muda, katanya: "Sukar melupai budi
dan penasaran, sukar melupai kau - kecuali sang cinta dan peri kebenaran...
Kecewa kau menjadi muridnya si hantu tua, kata-kata ini kau tidak mengerti! Apa
perlunya kau menanyakannya padaku" - Haha-ha! Kau siapakah" Siapakah aku ini"
Siapakah dia itu" Jikalau langit berasmara, dia juga bakal menjadi tua, tak
dapat dia mempertahankan diri! Hendak aku menanyakannya kepada langit, langit
tidak memberikan penyahutan! Sekarang kau menanya aku, mana aku tahu?"
Kembali kesadarannya pemuda ini seperti ketutupan kembali.
In Loei telah saksikan keadaannya si anak muda, ia berduka tanpa daya. Selagi ia
awasi pemuda itu, orang telah menggeser kepalanya, berputar ke arahnya, matanya
mengawasi, pada itu terpeta sinar dari kemenyesalan, penasaran dan menyinta...
Ia lantas memalingkan muka, tapi justeru matanya bentrok kepada mata ayahnya. Ia
dapat kenyataan, ayah itu tengah mengawasi padanya, sinar matanya tajam
mengandung kemurkaan dan kedukaan...
Wajah ayah itu, yang perok dan lesu, nampaknya menjadi besar dengan perlahanlahan, wajah itu menjadi lebar dan akhirnya menutup mukanya Tan Hong, yang
seperti turut berpeta di hadapan matanya itu...
Hampir In Loei menjerit ketika sinar matanya bentrok dengan sinar matanya Tan
Hong, syukur ia dapat menguatkan hati dan dapat membatalkannya. Ia tunduk dengan
segera, akan menyingkir dari pandangan mata si pemuda. Ia juga menyingkir dari
sinar mata tajam dari ayahnya itu. Itulah dua orang yang ia sangat cintai atau
menyayanginya, tidak ingin ia melukai hati mereka hingga mereka menjadi berduka.
Ia hanya tidak ketahui, bagaimana perasaannya mereka itu masing-masing...
Tang Gak, Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng menundukkan kepala, mereka menginsyafi
urusannya Tan Hong dengan In Teng itu, atau Tan Hong dengan In Loei. Mereka juga
mengetahui sulitnya urusan. Maka mereka berpikir masing-masing. Daya apa mereka
punya untuk meredakan ketegangan di antara kedua pihak itu"
Angin gunung meniup sepoi, membuatnya sesuatu orang merasakan tubuhnya dingin.
-ooo00dw00ooo- Bab XXIX Tengah Tan Hong dan In Loei saling berhadap-hadapan tanpa mengatakan sesuatu,
oleh karena hati mereka masing-masing sedang pepat sekali, adalah Tantai Mie
Ming menggeleng-geleng kepala, ia menghela napas perlahan. Sejak tadi, iapun
berdiam saja bahna masgul dan bingungnya. Tapi kali ini ia berbisik di kupingnya
si anak muda. "Kau dapat melepaskan negara kerajaan Beng yang luasnya sembilan laksa lie, yang
indah pemandangan alamnya, mustahil kau pun tidak dapat membiarkan satu wanita?"
jenderal Watzu ini berkata dengan perlahan, yang dekatkan mulutnya kepada kuping
orang. Tan Hong agaknya terperanjat.
"Apa?" ia menegaskan.
"Ayahmu mengharapkan kau untuk membangun pula kerajaan Tjioe," Tantai Mie Ming
menerangkan, "dan kau sendiri, untuk tak membiarkan daerah Tionggoan yang indah
dan luasnya sembilan laksa lie itu terjatuh ke dalam tangan bangsa asing,
setelah kau menempuh bahaya, untuk itu kau telah serahkan harta dan peta bumi
kepada pemerintah yang sekarang ini, hingga kau telah menolong kerajaan Beng
yang menjadi musuh keluargamu itu! Tidakkah dengan begitu, kau telah lepaskan
percobaanmu untuk merebut pulang negaramu" Usahamu membangun negara masih kau
dapat melepaskannya, apapula budi dan penasaran ini?"
Tan Hong melengak. "Aku pandang raja bagaikan kotoran!" katanya.
Tantai Mie Ming mengawasi, ia menyambungkan: "Negaramu tengah menantikanmu!"
Dengan tiba-tiba air mukanya Tan Hong berubah, dari pucat menjadi merah.
Suaranya Mie Ming pelahan akan tetapi bagi pendengarannya Tan Hong seperti suara
guntur. Sejenak itu segera ia ingat bahwa ia datang dari gurun pasir utara,
bahwa setibanya di Kanglam, kembali ia ke gurun, jauh perjalanannya, melintasi
sungai dan gunung, banyak penderitaannya. Untuk apakah itu" Bukankah itu untuk
cita-citanya yang luhur" Untuk melindungi negaranya nan indah permai" Bukankah
itu untuk mencegah berlangsungnya peperangan antara Tionggoan dan Watzu, supaya
menjadi berhenti seanteronya, agar di empat penjuru tetangga, semua hidup rukun
dan damai" Sekarang, justeru cita-citanya itu bakal berwujud, ia telah menjadi
seperti runtuhiKenapa begitu"
Dasarnya cerdas dan ingatannya kuat, segera Tan Hong sadar. Ia kertek giginya
ketika ia buka suara. "Tantai Tjiangkoen, terima kasih untuk peringatanmu ini kepadaku!" demikian
katanya. "Mari kita berangkat!"
Pemuda ini segera memberi hormat kepada guru dan paman gurunya semua, dengan
sekelebatan sinar matanya menyapu In
Loei, lalu dengan sebat ia membalik tubuhnya. Tapi ia masih dengar elahan napas
dari gurunya, dari Eng Eng juga.
In Loei segera duduk numprah di tanah, air matanya tak dapat mengucur keluar.
Syukur baginya Tan Hong tidak berani berpaling kepadanya, jikalau tidak, asal
sinar rata mereka bentrok, mungkin ia segera menangis, atau mungkin keduanya


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saling tubruk, untuk menangis sambil saling rangkul, tak ingin mereka angkat
kaki, tak sudi mereka memisahkan diri lagi...
Tan Hong dan Mie Ming turun gunung dengan cepat. Itu waktu, sang malam telah
tiba, bintang-bintang di langit sudah mulai berkelak-kelik. Mereka lantas cari
rumahnya satu pemburu, untuk numpang bermalam. Esoknya pagi di kaki gunung itu,
Tan Hong dapat cari Tjiauwya saytjoe ma, kudanya yang jempol.
Tjiauwya saytjoe ma benar-benar kuda luar biasa. Telah sekira sepuluh hari Tan
Hong berdiam di atas gunung, dia dilepas, diumbar mencari makan sendiri, tidak
ada kandangnya, tidak ada yang urus, dia dapat bawa dirinya sendiri, dia tak
pergi jauh, terus dia menantikan majikannya. Demikian pagi itu, begitu lekas
melihat majikannya, dia segera meringkik keras, sambil berjingkrakan dia lari
menghampiri majikannya itu.
Tan Hong usap-usap lehernya kuda itu, ia lalu teringat di kala ia bersama In
Loei berada di atas seekor kuda itu, tanpa merasa, ia menjadi bersedih hingga
tak dapat ia cegah mengalirnya air matanya...
"Dengan ada punya kuda jempolan ini," berkata Tantai Mie Ming kemudian, setelah
berada dekat kawannya itu, atau majikannya yang muda, "tak usah sampai sepuluh
hari, akan kita sudah tiba di kota raja."
"Bagaimana keadaan di ibu kota Watzu sekarang ini?" Tan Hong tanya.
"Di luar nampaknya segala apa tenang-tenang saja, tapi di dalam sang hujan akan
segera turun," ada jawabannya jenderal Watzu itu.
"Bagaimana sebenarnya?" si anak muda menegaskan.
"Atzu Tiwan sudah mengadakan perserikatan dengan pelbagai suku bangsa," Mie Ming
memberi keterangan, "hendak dia mulai dengan pemberontakannya. Di pihak lain,
Perdana Menteri Yasian ingin sekali lekas-lekas mengadakan perdamaian dengan
Tionggoan. Pada hari aku meninggalkan kota raja, kabarnya pemerintah Beng Tiauw
sudah mengirim utusan untuk perdamaian itu. Mudah-mudahan utusan itu tiba
sebelum kedua pihak tentera mulai bentrok, kalau tidak, mungkin akan terbit
perubahan besar!" "Bagaimana dengan ayahku?" Tan Hong menanya pula.
"Ayahmu telah meletakkan jabatannya sebagai Menteri Muda," menyahut Mie Ming.
"Ia sekarang tengah menantikan tibanya utusan Beng Tiauw itu."
"Apakah ayah masih belum ambil putusan untuk pulang ke Tionggoan?" Tan Hong
menanya lebih jauh. Tantai Mie Ming menggeleng-geleng kepalanya. "Sekarang ini siapa juga tidak
berani memberi nasihat kepadanya," ia menjawab. "Ayahmu masih tetap tinggal di
ibu kota, benar ia sudah tidak memangku jabatan akan tetapi Yasian masih tetap
berkuatir terhadapnya. Maka itu, kalau lama-lama ayahmu tetap masih tinggal di
ibu kota, aku kuatir di belakang hari ada bahaya mengancam padanya. Aku lihat
melainkan kau yang dapat membujuki ayahmu itu berangkat pergi..."
Tan Hong menjadi jengah sendirinya dan menyesal. Ia insyaf benar-benar, karena
beberapa hari berada dalam keadaan tak sehat itu, hampir saja ia menyebabkan
terbitnya peristiwa yang hebat sekali. Maka itu, berlompatlah ia atas kudanya,
yang segera ia kedut lesnya, untuk dikaburkan...
Selama di perjalanan itu, Tantai Mie Ming tidak berani sebut-sebut nama atau
halnya In Loei kepada kawan seperjalanannya ini, ia kuatir urusan itu akan
menyebabkan bangkitnya pula atau kumat angotnya si anak muda.
Kuda Tjiauwya saytjoe ma lari pesat sekali, di waktu tengah hari dia telah
melewati selat bahagian selatan dari gunung Tangkula itu di mana berdiam suku
bangsa Ngolo. Pada belasan hari yang lalu, bersama In Loei pernah Tan Hong
menemui ketua dari suku itu, maka pengembala-pengembala di dataran rumput itu
banyak sudah yang kenali padanya, ada di antara mereka yang dengan ramah tamah
menegur padanya. Dengan kedut les kudanya, Tan Hong lewatkan mereka itu. Karena
ia biarkan kudanya lari pesat, ia membikin Tantai Mie Ming hampir ketinggalan.
Mie Ming tidak tahu apa sebabnya di tempat ini Tan Hong bedal kudanya itu.
"Tan Hong, bagus sekali peruntunganmu!" berkata jenderal ini. Ia maksudkan
bagaimana pemuda ini disukai suku bangsa Ngolo itu, yang menyambutnya dengan
manis. Mendengar perkataannya sang kawan, wajahnya si pemuda berubah secara tiba-tiba.
Ia membungkam. Justeru itu, dari lain arah terdengar meringkiknya kuda, atas mana dengan
mendadak Tjiauwya saytjoe ma perlahankan jalannya, dari mulutnya pun keluar
suara sambutan ringkikan itu.
Tan Hong menjadi heran, dengan lantas ia berpaling ke arah dari mana suara kuda
tadi datang. Di tepi jalan ia tampak sebuah rumah tua dan rusak dari tanah liat,
di luar rumah itu, di sampingnya, ada sebuah pohon kayu kering. Pada pohon itu
tertambat seekor kuda merah, ialah kudanya In Loei yang ia kenali dengan baik.
Tak tahu Tan Hong, mengapa kuda merah itu berada di situ, akan tetapi dapat ia
menduga-duga. In Loei datang bersama ayahnya, yang bercacat kakinya. Berdua mereka menaiki
kuda merah itu. Lewat di rumah tua itu In Loei singgah, ia tambat kudanya, lalu
dengan pepayang ayahnya mendaki gunung itu. Lama mereka berjalan, maka itu,
mereka tiba selagi pertempuran berlangsung.
Sekarang kedua kuda, putih dan merah, meringkik saling sambut, mereka pun
berlompatan, berjingkrakan. Menyaksikan itu, Tantai Mie Ming menjadi heran.
"Ah, rumah siapa ini?" berkata dia sambil tertawa. "Tidak kusangka, tuan rumah
itu ada punya seekor kuda jempol... Eh, Tan Hong, kenapa, kenapa kudamu..."
Sebenarnya jenderal ini hendak menanyakan mengapa kedua kuda itu seperti telah
kenal lama satu dengan lain, tapi ia batalkan itu karena dengan sekonyongkonyong ia tampak wajah si anak muda berubah pula, wajah itu menjadi pasi dan
air matanya pun segera mengembeng. Ia menjadi heran dan terkejut.
Tan Hong tidak jawab kawannya itu, kemudian ia menghela napas, lalu seorang diri
ia perdengarkan suaranya: "Tak sanggup aku mengalami pula kedukaan semacam ini!
Bukankah daun kuning terbawa angin barat berarti usus putus" Ya, ya, kuda pun
ada sedemikian rupa, apapula manusia?"
Belum berhenti suara si anak muda, dari dalam rumah telah terdengar suara orang,
rupanya tuan rumah, yang mendengar suara berisik, hendak keluar untuk
menghentikan suara kuda yang membikin berisik itu.
Tan Hong dengar kuda itu, sekonyong-konyong ia cambuk kuda putihnya keras
sekali, ia sendiri lompat naik ke atas kudanya itu. Tadi ia telah lompat turun
untuk membiarkan kedua kuda saling bertemu.
Sudah lama Tjiauwya saytjoe ma ikuti anak muda ini, sebegitu jauh belum pernah
dia dicambuk begitu rupa, tidak heran kalau saking sakit dan kaget, lantas saja
dia berlompat dengan ke empat kakinya dan terus kabur larat sekuat-kuatnya!
Tantai Mie Ming pun heran, tetapi karena ia ditinggal pergi, tanpa bisa bilang
suatu apa, terpaksa ia lantas menyusul. Kembali ia merasakan penderitaan, oleh
karena ia ketinggalan jauh sekali. Ia tidak menjadi gusar atau mendongkol
terhadap si anak muda, ia hanya menggeleng-geleng kepala...
"Tan Hong, pikiranmu tidak sehat," katanya seorang diri. "Kenapa kau persakiti
seekor binatang?" Tan Hong sendiri, di atas kudanya, yang ia peluki, telah menangis menggerunggerung. Ia mencoba usap-usap lehernya Tjiauwya saytjoe ma, akan tetapi karena
kuda sudah kabur, baharu sekira sepuluh lie lebih, dapat ia menguasainya pula.
Ketika kemudian Tantai Mie Ming telah dapat menyusul, Tan Hong sudah berhenti
menangis, air matanya telah ditepas kering, ia sedang berhenti di tepi jalan di
depan sebuah warung arak.
Mie Ming hentikan kudanya di dekat kawan itu. Ia merasa sangat heran, ia ingin
mengetahui sebabnya perubahan adat dari pemuda ini. Sebelumnya belum pernah si
anak muda perlihatkan sikap yang aneh ini.
"Eh, Tan Hong, kau kenapakah?" ia tanya. Tan Hong tidak awasi sahabatnya, ia pun
tidak menjawabnya, ia hanya bicara dengan caranya sendiri.
"Mari! Mari! Kita minum puas-puasan di sini!" demikian katanya.
Itulah bukan jawaban, itulah ajakan!
"Kita masih harus melakukan perjalanan cepat," Tantai Mie Ming memperingatkan.
Tan Hong menjawab tetapi sambil tertawa.
"Jikalau ada arak, mesti kita minum itu sampai mabuk!" katanya. "Dengan keadaan
mabuk itulah paling tepat untuk membuat perjalanan! Eh, Tantai Tjiangkoen,
mengapa hari ini kau nampak tidak gembira?"
Sehabis mengucap demikian, tanpa memberi ketika kepada kawannya itu, Tan Hong
sambar tangan orang untuk ditarik, buat diajak masuk ke dalam warung arak itu.
"Apakah ada koumiss di sini?" dia berseru, menanya tuan rumah atau pelayan,
untuk minta susu kuda, arak termurah untuk di Mongolia.
Tuan rumah adalah seorang yang sepasang matanya putih mencilak.
"Ada, kau menghendaki berapa banyak?" berkata tuan rumah itu, suara dan sikapnya
kaku. "Aku minta kau membayar uang di muka!"
"Kau sajikan enam atau tujuh kati!" sahut Tan Hong dengan suara keras, terus ia
lemparkan sepotong perak ke meja tuan rumah itu sepotong besar, yang lebih
dahulu ia tepuk-tepuk di atas meja. "Inilah uang arak, selebihnya untukmu!
Jangan kau ngoceh tidak keruan, tidak senang aku melihat biji matamu yang putih
itu! Tahukah kau?" Tuan rumah itu kaget, lekas-lekas ia ubah sikapnya. Sekarang ia berlaku telaten
dan wajahnya pun senantiasa tersungging senyuman. Tapi di dalam hatinya, ia
kata: "Kiranya orang ini sudah minum sinting di lain warung arak..."
Koumiss di warung arak ini rasanya asam dan juga turunnya seret, maka itu,
baharu ia tenggak dua cangkir, Tantai Mie Ming sudah kerutkan keningnya. Tidak
demikian dengan Tan Hong, yang meminumnya sangat bernapsu!
Begitulah, lekas sekali anak muda itu sudah keringkan tujuh cawan.
"Arak yang wangi! Arak yang wangi!" demikian pemuda ini berseru-seru dengan
pujiannya. Hanya, di dalam sintingnya itu, di depan matanya berpeta samar-samar
bayangannya In Loei, bayangan yang bergoyang-goyang...
Pada mula kalinya Tan Hong ikat persahabatan dengan In Loei justeru ia telah
minum koumiss dari sebuah buli-buli yang besar, ia meminumnya secara sangat
bernapsu dan gembira, akan tetapi sekarang, ia minum seorang diri, ia telah
kehilangan kekasihnya itu, maka itu, bukan main sedih hatinya. Ia jadi sangat
berduka, lebih-lebih lagi ketika ia membayangkan si nona...
Tantai Mie Ming masih minum beberapa cegukan kapan ia lihat arak susu kuda telah
hampir habis ditenggak Tan Hong.
"Cukup sudah!" ia lalu berkata. "Mari kita berangkat!" Ia tidak mengatakan
langsung agar kawan ini hentikan minumnya.
Tan Hong menyeringai, ia letakkan cawannya. Hampir di waktu itu, di luar
terdengar riuh ringkiknya kuda.
"Tjoei Hong, lihat!" demikian terdengar satu suara nyaring. "Itulah kuda
Tjiauwya saytjoe ma dari Tan Hong!"
Menyusuli suara itu, orang tertampak bertindak masuk ke dalam warung arak itu,
satu pria, dan lainnya wanita, yang jalan di depan ialah Tjioe San Bin, dan yang
belakangan, Tjio Tjoei Hong.
Segeralah terdengar keluhannya pemuda she Tjioe itu: "Oh, Tan Hong, bagaimana
sengsara aku mencari kau! Siapa sangka di sini kita bertemu!"
Tjoei Hong sendiri perdengarkan seruan kaget.
"Tan Hong, mana entjie In Loei?" dia bertanya. "Kenapa ia tidak ikut serta
bersamamu?" Tan Hong menggeleng kepalanya, terus ia bersenanjung: "Manusia itu ada saatnya
untuk berduka dan bergembira, berpisah dan berkumpul, bagaikan rembulan ada
waktunya bulat bundar dan bercacat, suram gelap dan terang cemerlang. Demikian
tetap berlanjut sejak jaman purbakala. Kau tidak dapat menahan padanya, cara
bagaimana aku pun dapat menahannya" Ya, ya, semoga manusia hidup kekal abadi,
beriang gembira bersama-sama seribu lie..."
Tidak puas Nona Tjio mendengar kata-kata itu, ia menyangka Tan Hong menggodai
dia mengingat kejadian dahulu hari halnya ia keliru menganggap In Loei sebagai
pemuda, maka wajahnya menjadi merah.
"Foei!" katanya, "orang omong benar-benar, kau ngaco belo!"
Tan Hong terperanjat, lantas menjadi sadar sedikit dari sintingnya.
"Eh, mengapa kau mendapat tahu dan dapat mencari aku di sini?" dia tanya.
Lenyap lantas kemendongkolannya si nona, terus saja ia tertawa.
"Kami telah sampai di rumahnya entjie In!" ia menjawab. "Kami telah bertemu
dengan In Peebo. Bukankah kau dan In Loei telah bertengkar" Peebo bilang bahwa
kau datang bersama In Loei kemudian kau pergi seorang diri. Peebo pun
beritahukan kami bahwa entjie Loei telah pergi bersama ayahnya beberapa hari
yang lalu. Aku menyangka mereka mencari kau..."
"Pantas tadi di jalan aku dengar suara seperti beberapa orang bicara, kiranya
itulah kamu!" berkata Tan Hong.
"Kami baharu sampai, lantas kami dengar suaranya Tjiauwya saytjoe ma," Tjoei
Hong berkata pula, "waktu kami keluar untuk melihat, kau nyata telah pergi jauh,
lantas kami menyusul, baharu sekarang kami dapat menyandak padamu! Ya, hendak
aku tanya kau," menambahkan si nona, "umpama benar kau bercedera dengan entjie
In Loei, tidak seharusnya kau berlaku begini tidak tahu aturan! Kenapa kau lewat
di rumahnya entjie Loei tapi tidak mampir" In Peebo harus dikasihani, kau
selayaknya pergi menjenguk padanya..."
Dengan tiba-tiba air mukanya Tan Hong berubah, kedua biji matanya berdiam. Ia
lantas tunduk mengawasi dadanya saja.
Tjoei Hong menjadi heran.
"Entjie Loei sangat lemah lembut, tentulah kau yang berbuat salah terhadapnya!"
ia berkata pula. "Oleh karena itu, ia menjadi tidak mau pedulikan pula padamu!
Sebenarnya, urusan apakah itu" Coba kau tuturkan kepadaku. Nanti aku wakilkan
kau untuk menyampaikan maaf kepadanya..."
Nona Tjio ini lantas saja tertawa geli.
Tantai Mie Ming lihat gelagat kurang baik, ia lantas datang sama tengah.
"Mari kita bicarakan urusan kita!" demikian ia menyelak. "Kau masih belum
menjelaskan, siapakah yang beri tahu kamu alamatnya In Loei itu?"
Masih si nona tertawa. "Apakah aku bukan omong tentang urusan kita?" ia balik menanya. Ia sebenarnya
hendak bicara terus tapi ia segera tampak wajah pucat pasi dari Tan Hong, yang
terus membungkam dan menjublak saja, dengan lantas ia berhenti tertawa.
"Pemerintah Beng sudah kirim utusan," berkata San Bin, yang turut bicara. Ia
bicara dari urusan yang benar. "Utusan itu akan segera tiba di negeri Watzu
untuk merundingkan perdamaian."
"Hal itu aku sudah ketahui," berkata Tantai Mie Ming.
"Coba terka, siapakah yang menjadi utusan itu?" San Bin tanya.
"Siapakah dia?" tiba-tiba Tan Hong menanya. Ia sadar dari menjublaknya.
"Dialah kakaknya In Loei," sahut San Bin.
Kembali Tan Hong menjublak. Kali ini disebabkan ia ingat In Tiong bersikap
bermusuh terhadapnya. Datangnya In Tiong itu bisa menyebabkan semakin putus harapannya terhadap In
Loei. "Apa" Apakah kau tidak gembira?" menanya San Bin, yang tak tahu hati orang.
"Kenapa aku tidak bergirang," berkata si anak muda. "In Tiong menjadi utusan,
tidak ada yang terlebih baik daripada itu!"
Tan Hong mengucapkan kata-kata yang benar, yang keluar dari hatinya yang tulus.
Kakaknya In Tiong telah menjadi utusan ke negeri Watzu, kakek itu mesti hidup
mengembala kuda di tepi telaga, sengsara sekali hidupnya, sekarang Tionggoan
dari lemah menjadi kuat, utusan yang di kirim adalah cucunya kakek yang
bersangsara itu, sungguh itulah tepat dan sangat menggirangkan, sangat memuaskan hati. In Tiong pun setia
kepada negara, gagah dan pandai bekerja, dia menang beberapa lipat dari kakeknya
yang lemah itu. Dengan diutusnya In Tiong inipun menjadi terbukti kepandaiannya
Ie Kiam, yang bisa memilih orang. Tan Hong tahu In Tiong keliru mengerti
terhadapnya, ia sangat menyesalinya, tetapi itu adalah urusan perseorangan,
tetapi sebagai utusan, In Tiong bekerja untuk negara, itulah lain. Kalau ia
menjadi menjublak, itulah disebabkan kekagumannya negara memperoleh wakil yang
tepat, dan berbareng, ia bakal menghadapi kesulitan lebih jauh...
"Di waktu In Tiong lewat di Ganboenkwan, dia telah bertemu dengan kami," San Bin
menerangkan lebih jauh, "malah dia minta kami menyampaikan kata-kata untuk
ibunya, mewartakan perihal kedudukannya sekarang, dan mohon si ibu nanti membuat
pertemuan di ibu kota Watzu. Siapakah yang sangka bahwa ayahnya In Tiong itu
masih hidup" In Peebo telah beritahukan kami, bahwa dia hendak menantikan In
Loei dahulu, kelak baharulah bersama In Loei dan ayahnya ia akan bersama-sama
pergi ke kota raja. Kami diminta tak usah menemaninya."
Tubuh Tan Hong menggigil mendengar disebutnya nama In Loei. San Bin lihat itu,
ia heran. "In Tiong berangkat dengan membawa delapan belas pahlawan Gietjian Siewie
sebagai pengiringnya," San Bin menerangkan pula. "Di samping itu ada turut
beberapa wanita." Tantai Mie Ming heran mendengar keterangan yang belakangan ini.
"Apa" Orang-orang perempuan?" tanyanya.
San Bin tertawa atas pertanyaan itu.
"Tantai Tjiangkoen," berkata dia dengan penyahutannya, "aku dengar yang turut In
Tiong itu adalah adikmu yang perempuan, Keng Beng namanya yang harum!"
Mie Ming menjadi girang. "Ha, dia pun datang?" serunya. "Pasti sekali paman tjintong-ku serta ayahnya
yang menitahkan dia menyambut aku!"


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sedikitpun tidak salah!" berkata San Bin. "Aku menghaturkan selamat kepadamu,
yang sekarang akan dapat pulang ke negeri sendiri!"
Cuma sebentar saja pemuda she Tjioe ini berhenti, lalu ia menambahkan pula:
"Beberapa orang wanita yang turut bersama itu adalah orang-orang dari kampungmu
yaitu Tamtay tjoen, mereka dititahkan oleh adikmu untuk menemani padanya!"
Di dalam hati kecilnya, Tantai Mie Ming berkata: "Keng Beng si bocah itu memikir
sempurna sekali! Terang tidak ingin seorang diri dia menemani In Tiong, dia
kuatir orang nanti banyak mulut dan usil terhadapnya. Hanya kasihan Tan Hong
ini, andaikan Keng Beng di perjodohkan dengannya, mereka sembabat sekali..."
Selagi Mie Ming masih berpikir, San Bin sudah berkata pula: "Mereka itu adalah
utusannya pemerintah," demikian katanya, "karena itu di sepanjang jalan ada
orang-orang yang menyambut mereka, karenanya setiap hari mereka cuma bisa
melakukan perjalanan lima sampai enam puluh lie. Mungkin masih perlu belasan
hari lagi untuk mereka dapat tiba di kota raja Watzu. Sebenarnya akupun sedikit
berkuatir juga terhadapnya..."
"Kenapa begitu?" Tan Hong menyelak pula.
"Sesudahnya peperangan di antara dua negara," berkata San Bin, "di mana-mana
mesti ada muncul orang-orang dari kalangan Hitam dengan aksi mereka. Walaupun
benar In Tiong membawa delapan belas pengiring pahlawan raja, ia toh tetap mesti
berhati-hati menjaga sesuatu yang tak diduga-duga. Selama di dalam wilayah
Ganboenkwan, dengan disiarkannya panah Loklim tjian kami, aku berani tanggung
tidak akan terjadi apa-apa, akan tetapi sekeluarnya batas itu, di luar kota,
tenaga kami tidak sampai..."
"Aku rasa kekuatiran itu tidak pada tempatnya," menyatakan Mie Ming. "Yasian
menghendaki pembicaraan perdamaian dengan
kerajaan Beng, apabila utusan Beng mengalami sesuatu di dalam negaranya, sukar
untuk dia berdiam saja."
"Walaupun demikian tetapi Yasian itu sangat licik, kelicikannya itu diketahui
orang di dalam dan di luar negerinya. Siapa yang dapat menduga apa yang
dikandung di dalam hatinya" Justeru sekarang ini negara Watzu tengah terpecahbelah, tak mungkin orang semua taat kepada Yasian itu, apapula segala penjahat
Rimba Hijau. Aku anggap berlaku hati-hati adalah terlebih baik. Aku ingin
berdamai dengan kau, yaitu apakah perlu kita kirim beberapa orang yang dipercaya
untuk memapak mereka itu?"
Tan Hong berdiam sekian lama, tetapi sekarang, tiba-tiba ia nampaknya
bersemangat. "Tjioe Toako. Tjio Hianmoay." serunya. "Aku haturkan selamat kepadamu dengan ini
satu cawan!" Segera ia isikan satu cawan yang besar, yang terus ia tenggak!
San Bin dan Tjoei Hong melengak.
Sehabis minum, Tan Hong lemparkan cawannya itu, terus ia tertawa bergelak.
"Tjioe Toako." katanya pula, nyaring, "kuda kami keras larinya, hendak kami
berangkat terlebih dahulu! Kau jangan kuatir, aku tanggung In Toako bakal tiba
dengan selamat di kota raja Watzu!"
Setelah itu Tan Hong lari keluar dan lompat ke bebokong kudanya, kuda mana terus
meringkik, sesudah gerakkan kedua kakinya berlompat, dia lantas lari kabur!
Tantai Mie Ming tak dapat susul anak muda itu walaupun kudanya juga ada kuda
Mongol pilihan, jangan dikata lagi kudanya San Bin dan Tjoei Hong.
Tiga hari kemudian, Tan Hong telah kembali ke kota raja Watzu. Ia tampak kota
agak kacau. Penduduk kota tertampak seperti berebut membeli bahan makanan. Nyata
mereka itu sudah dengar kabar angin, mereka kuatirkan nanti terbit bentrokan
senjata antara Yasian dan Atzu Tiwan. Maka penduduk hendak menyimpan persediaan pangan.
Tan Hong menjadi berduka, hingga ia menghela napas.
"Kalau dunia aman damai, untuk selama-lamanya tidak ada bencana perang, alangkah
bagusnya!" dia berkata di dalam hatinya. Lebih jauh dia pun berpikir: "Suasana
ada begini rupa, malapetaka peperangan sudah mengancam, maka terang sudah Yasian
semakin menghendaki perdamaian dengan Tionggoan. Nampaknya peruntungan In Tiong
ada jauh terlebih baik daripada kakeknya, kali ini pastilah tugasnya tidak akan
gagal dan tidak akan mendapat malu karenanya, dengan berhasilnya perdamaian,
niscaya ia akan berangkat pulang sambil mengajak juga junjungannya yang sekian
lama telah menjadi orang tawanan..."
Lantas tanpa ayal lagi, Tan Hong pulang ke rumahnya.
"Oh, tuan rumah baharu pulang!" demikian ia disambut oleh bujangnya. "Setiap
hari tuan besar mengharap-harap kepadamu. Selama beberapa hari ini tuan besar
telah rebah di atas pembaringannya, tak hentinya ia perintah orang pergi keluar
untuk melihat tuan sudah pulang atau belum..."
Mendengar ini, Tan Hong terkejut. Dengan tindakan cepat, ia langsung menuju ke
kamar tulis. Ia dapatkan ayahnya seorang diri berduduk menghadapi meja, sedang
menulis. Orang tua itu dengar tindakan kaki.
"Siapa?" ia bertanya.
Lega juga hatinya si anak mendengar suara orang tuanya itu.
"Aku, ayah," sahutnya lekas. "Apakah ayah baik?"
Thio Tjong Tjioe lantas berpaling.
"Mana Tantai Tjiangkoen?" dia balik menanya.
"Kudanya larinya sangat ayal, mungkin besok dia baharu sampai," sahut putera
itu. "Katanya ayah kurang sehat, benarkah" Ayah sakit apa" Apakah ayah sudah
undang tabib?" "Syukur kau ingat aku, anak," sahut si orang tua. "Aku tidak kurang suatu apa,
cuma gangguan biasa saja. Selama hari-hari belakangan ini hawa udara buruk,
sudah belasan hari hujan turun terus menerus, baharu kemarin dulu langit terang.
Lututku, terasakan ngilu."
"Mengapa ayah tidak undang tabib?" sang anak tanya.
Tjong Tjioe tertawa. "Aku justeru hendak memberitahukannya satu hal kepadamu!" kata dia. "Itu
beberapa jilid catatannya Pheng Hoosiang yang kau bawa pulang dari dalam kamar
batu sungguh berfaedah. Ternyata di dalamnya ada termuat beberapa resep untuk
penyakit di buku-buku tulang. Walaupun orang sudah pincang, masih ada jalan
untuk mengobatinya, baik dengan menyambung kaki itu dengan kayu yanglioe atau
dengan ditusuk dengan jarum."
Pheng Hoosiang itu gemar pesiar, di tempat di mana ia tiba, tentu ia membuat
catatan tentang keadaan penduduk setempat, tentang tempat-tempat yang penting
untuk pergerakan tentera, lengkap pelbagai catatannya itu. Apa yang Tan Hong
dapatkan di dalam kamar batu masih kalang kabutan, setelah ia pulang baharulah
ia kumpulkan dan rapikan, masing-masing ada bahagiannya. Ia tinggal catatan itu
di rumah, untuk ayahnya baca, sampai sekarang ayahnya peroleh faedah dari buku
itu. Iapun baharu ingat tentang resep obat itu sesudah ia dengar perkataan
ayahnya itu. "Apakah ayah pernah coba resep itu?" dia lantas tanya.
Thio Tjong Tjioe segera berbangkit, untuk jalan beberapa tindak, untuk
menendang-nendang beberapa kali.
"Baharu kemarin aku mencobanya," ayah ini bilang. "Aku telah suruh orang tusuki
telapak kakiku dengan jarum, cuma beberapa kali saja, lantas hari ini aku dapat
berjalan seperti biasa."
"Sungguh mujarab!" Tan Hong memuji. "Kalau begitu, buku itu perlu aku baca pula
dengan teliti untuk dapat menghafalkannya."
"Pheng Hoosiang itu adalah guru negara dari kerajaan Tjioe kita yang terbesar,"
berkata pula Thio Tjong Tjioe, "dia juga telah menjadi guru dari dua raja, bahwa
dia pintar dan pandai, itulah sudah selayaknya. Memang, anak, harus kau baca
pula bukunya itu dengan seksama."
Dari atas meja tulisnya, ayah ini tarik buku yang dimaksudkan itu, untuk
diserahkan kepada puteranya.
"Kau duduklah di situ!" berkata dia sambil menunjuk kursi di sampingnya. Ia
sendiri angkat cangkir tehnya dan meminumnya.
"Aku dengar bahwa utusan kerajaan Beng akan tiba, hatiku lega," ia berkata pula
sambil bersenyum. "Hanya belum tahu, siapakah utusan itu" Kalau dia ada seperti
In Tjeng dahulu hari, sungguh bagus!"
Baru saja orang tua ini tertawa, atau setelah menyebut namanya In Tjeng,
suaranya menjadi parau, wajahnya menjadi suram berduka.
Tan Hong tahu sebabnya perubahan dari ayahnya itu. Si ayah ingat kejadian dahulu
hari dan hatinya menjadi berduka. Itulah penyakit lama dari sang ayah, yang
terus menjadi lesu. Ia sendiri pun turut lenyap kegembiraannya. Ia jadi ingat
sikap keras dari In Tiong dan limbungnya hatinya In Loei.
"Ayah suka menyudahi permusuhan itu, akan tetapi, dengan cara bagaimana itu
dapat disudahinya?" ia bertanya dalam hatinya sendiri.
"Eh, Tan Hong, apa yang kau sedang pikirkan?" tiba-tiba Tjong Tjioe menanya,
karena waktu berpaling kepada puteranya, ia dapatkan anak itu duduk menjublak.
Tan Hong paksakan diri untuk tertawa.
"Tidak apa-apa, ayah," sahutnya cepat. "Aku juga tengah menduga-duga siapa
orangnya yang diutus kerajaan Beng itu..."
Dengan terpaksa anak ini mendusta. Tidak berani ia memberitahukan halnya In
Tiong walaupun semula ia niat menuturkannya. Ia bersangsi karena sikap keras
dari In Tiong itu, ia kuatir In Tiong tak dapat memaafkan pihaknya. Pasti ayah
ini berduka apabila dia ketahui kekerasan hati dari puteranya In Teng itu. Oleh
karena ini, ia mencoba untuk bersabar.
Sekian lama ayah dan putera itu membungkam.
"Ayah, adakah pikiran ayah masih belum berubah?" tiba-tiba si anak menanya.
Thio Tjong Tjioe tahu apa yang dimaksudkan puteranya itu. Ia menyeringai.
"Jikalau nanti utusan kerajaan Beng itu tiba, pergilah kau turut dia pulang ke
negeri," menyahut orang tua ini. "Aku hanya melarang kau menjadi hambanya
kerajaan itu." "Bagaimana dengan ayah sendiri?" sang anak menegaskan.
"Dalam hidupku cuma dalam impian saja akan aku pulang ke Kanglam," sang ayah
berikan jawabannya. "Penyair dari ahala Tong, Wie Tjhong, telah mengatakannya:
'Sebelum tua, jangan pulang ke kampung asal, kalau pulang tentu bakal putus
harapan. Akan tetapi aku, walaupun sudah tua, tidak ingin aku pulang ke kampung
halaman. Sebabnya ialah aku kuatir nanti putus harapan hingga aku jadi berduka
karenanya, Tan Hong jangan kau menyebut-nyebutnya pula hal ini."
Anak ini merasakan tubuhnya menggigil. Nyatalah hatinya ayah ini telah menjadi
seperti kayu kering, hingga tak nanti kayu itu bersemi, tumbuh daun pula
andaikata sang musim semi telah kembali dan angin timur meniupnya menderaiderai. Ia lantas tunduk. Di atas meja ada selembar kertas yang ada tulisannya, yang air baknya masih
belum kering semuanya. Membaca itu, tahulah Tan Hong bahwa itu adalah syairnya
Liok Voe yang ayahnya tulis tetapi belum habis disebabkan datangnya dia. Itulah
syair tentang burung bangau terbang sendirian, bahwa orang lama bakal digantikan
orang baru, bahwa raja ada bagaikan semut, semua akan habis bagaikan debu...
"Begini rupalah perasaannya ayah sekarang ini," anak ini berpikir. Teranglah,
ayah itu sudah putus harapan untuk hidupnya di dalam dunia ini. Karena ini, ia
menjadi berduka sekali. Malam itu Thio Tjong Tjioe tidur dengan diganggu pelbagai impian tak hentinya
tetapi semua adalah impian yang baik, umpamanya dalam mimpinya itu ia telah
pesiar di Kanglam yang indah.
Maka ketika terang tanah ia bangun dari tidurnya, pelbagai impian itu masih
berkesan dalam mengenai kampung halamannya, karena mana, ia menjadi berduka. Ia
baharu sadar ketika pelayannya mengetok pintu kamarnya.
"Tantai Tjiangkoen dan tuan muda mengasi selamat pagi kepada thaydjin," demikian
hamba itu. Tjong Tjioe segera turun dari pembaringannya, untuk pakai baju luarnya, lalu ia
bertindak keluar dari kamarnya, menuju ke kamar tulisnya. Di sana Tantai Mie
Ming dan Tan Hong telah menantikan ia, puteranya itu berdiri di pinggiran.
"Kau telah kembali, Tantai Tjiangkoen?" menegur junjungan ini. "Tan Hong benarbenar tidak tahu urusan, dia sangat kesusu hendak menemui aku, dengan andalkan
kudanya yang keras larinya, dia tinggalkan kau! Tidak selayaknya dia berbuat
demikian..." Tan Hong terharu mendengar kata-kata ayahnya itu. Ia sangat berduka.
"Ayah, mana kau tahu apa yang aku pikir dalam hatiku," ia kata dalam hati
kecilnya. "Ayah tidak tahu, aku ingin lekas-lekas pulang
karena aku harus segera pergi pula meninggalkan lagi padamu..." Tetapi apa yang
ia pikir ini ia tidak mengutarakannya.
"Tjoekong, ingin aku memberitahukannya," berkata Tantai Mie Ming, yang memanggil
"tjoekong" kepada junjungannya itu, "sekarang ini kongtjoe dan aku ingin lekaslekas kembali ke Selatan, malah kami hendak berangkat segera. Sekarang kami
hendak minta diri!" Tjong Tjioe terperanjat. Inilah ia tidak sangka.
"Apa?" katanya. "Baharu pulang sudah lantas hendak pergi pula?"
"Benar, tjoekong," sahut si jenderal. "Kami dengar kabar utusannya kerajaan Beng
sudah memasuki wilayah Watzu, karena itu kami hendak pergi menjemputnya."
"Apakah kau kenal utusan itu?" tanya Tjong Tjioe heran.
Tantai Mie Ming menggeleng kepala. Ia menyangkal karena siang-siang Tan Hong
telah kisiki padanya. "Walaupun kami tidak kenal dia, perlu kami sambut padanya," jenderal ini
memberikan jawabannya. "Ketika baharu ini kongtjoe pulang ke negeri dan aku
turut Atzu Tiwan, yang menjadi utusan, kami telah mendapatkan penyambutan baik
dari Kokioo Ie Kiam. Kabarnya utusan Beng itu adalah orang pilihannya Ie Kokioo
sendiri, oleh karenanya kita harus balas kehormatan dengan kehormatan, sudah
selayaknya apabila kita menyambut kepadanya dengan baik. Dengan demikian kita
berbareng jadi bisa mencegah andaikata ada bahaya di perjalanan bagi utusan
itu." Selagi bicara jenderal ini diam-diam lirik Tan Hong, ia dapatkan mata pemuda itu
mengembeng air, ia dapat menduga akan perasaannya tuan mudanya itu. Justeru guna
tuan muda ini, untuk pertama kali ini, ia sudah mendusta terhadap junjungannya.
Karena lihat orang mengembeng air mata, iapun menjadi terharu sekali.
Tjong Tjioe berbangkit dengan pelahan-lahan dari kursinya, ia buat main kumis
jenggotnya yang putih. "Aku telah berusia lanjut, tidak dapat aku berbuat sesuatu untuk Tiongkok," ia
berkata sambil menghela napas. "Kamu masih berusia muda, kamu bercita-cita
luhur, baiklah, kamu boleh pergi!"
Air matanya Tan Hong lantas saja mengucur turun. Sering juga ia berpisah dari
ayahnya tetapi belum pernah terjadi perpisahan seperti ini, baharu bertemu
setelah perpisahan lama lantas sudah mesti berpisah pula. Sebenarnya ia merasa
berat untuk berpisah melihat orang tuanya sekarang tak begitu sehat pula seperti
dulu-dulu. Tapi apa boleh buat. Maka ia rangkul ayah itu.
"Ayah, harap ayah baik-baik merawat diri," ia bilang. Terus ia membalik tubuh,
untuk segera keluar dari kamar tulis. Akan tetapi, masih sempat ia dengar
ayahnya itu bersenanjung:
"Berapa lama kekalnya bunga dari musim semi dan rembulan dari musim rontok" Ada
berapa banyakkah peristiwa-peristiwa yang telah berlalu" Di loteng kecil tadi
malam kembali meniup angin timur... Negara sendiri tak dapat ditengok walaupun
di dalam terangnya sang rembulan..."
Tidak berani Tan Hong berpaling, bersama-sama Tantai Mie Ming, yang mengikuti
padanya, ia bertindak dengan cepat keluar dari pintu depan, maka di lain saat
mereka sudah lantas berada di atas kuda masing-masing, yang segera dikasih lari
kabur. Keduanya sangat kesusu, mereka sangat bernafsu untuk menyambut utusan
kerajaan Beng. Di lain pihak, utusan kerajaan Beng itupun, yaitu In Tiong, juga
sama keras keinginannya untuk lekas-lekas sampai di negeri atau kota raja Watzu,
ke mana dia telah diutus.
In Tiong dan rombongannya berangkat dari kota raja Tionggoan, Pakkhia, di hari
kedua sehabis tahun baru, hingga sekarang ini mereka sudah satu bulan lebih
berada di dalam perjalanan. Mereka sudah memasuki wilayah Watzu. Musim dingin
telah berlalu, musim semi datang sebagai gantinya, dengan lumernya salju, di
tegalan, di pegunungan, telah tertampak sinar hijau dari daun-daun
pepohonan. Sekarang mereka berada di semak belukar selewatnya sebuah gunung, di
sekitar mereka, selama beberapa puluh lie, mereka tak tampak sebuahpun rumah
penduduk. Hanya di atas gunung kelihatan beberapa ekor elang terbang melayanglayang mencari makanan, sedang di jalan yang menanjak, beberapa pohon tengah
bersemi. "Tidak disangka wilayah Mongolia ada demikian menyedihkan," berkata Tamtay Keng
Beng yang temani In Tiong. Ia bicara sambil menghela napas. "Waktu ini jangankan
daerah Kanglam, sekalipun di kota Pakkhia, kini bunga telah mekar!..."
Salah satu pengiring, yang pernah pergi ke Mongolia, menyelak: "Tempat ini masih
belum terlalu hebat. Kalau kita telah tiba di bahagian utaranya, yang buminya
bersalju dan langitnya ber-es, baharulah kita akan merasakan kesengsaraan yang
hebat sekali. Di bagian utara itu di mana dahulu hari Souw Boe mengembala
kambing, jangankan manusia, walau burung pun tak nampak! Di sana jikalau orang
berdahaga, dia cuma bisa minum salju dan kalau lapar cuma bisa dahar daging
kambing bakar..." Mendengar orang menyebut halnya Souw Boe mengembala kambing, In Tiong lantas
teringat kakeknya, dengan tiba-tiba saja ia menjadi berduka, hingga wajahnya


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muram dan lesu. Ia berdiam.
Tamtay Keng Beng yang manis melirik kepada pemuda utusan Bengtiauw itu. Ia
tertawa. "Di sini masih terdapat rumput dan selokan," ia berkata, "di sini kuda kita
dapat singgah. Aku berpendapat malam ini baik kita mendirikan kubu-kubu di sini
saja." "Akur!" menyatakan In Tiong dengan cepat. Agaknya ia sadar dengan tiba-tiba.
"Oleh karena hari ini kita tidak akan sanggup meliwati tanah tegalan ini, baik
besok saja kita melanjutkan perjalanan kita. Bagimu, ini adalah yang pertama
kali kau datang ke Mongolia, kau tentunya tidak biasa, maka itu baiklah kau
beristirahat siang-siang."
"Itulah tidak berarti," sahut Nona Keng Beng. "Seandainya kaki dan tangan
kedinginan hingga menjadi kaku, namun pelahan-lahan, kita akan menjadi biasa."
Di mulut nona ini mengatakan demikian, tapi di dalam hatinya ia berpikir lain.
Memang ia asing terhadap hawa udara di Mongolia ini, akan tetapi mengenai
tabiatnya In Tiong, lambat laun ia mulai mengenalnya. Pemuda ini keras hatinya,
tidak selemah lembut Tan Hong, tetapi terhadap ia, In Tiong berlaku baik hati
dan halus, segala-galanya ia sangat diperhatikan, untuk itu In Tiong tidak
pernah menyelimuti diri. Maka dari itu, terhadap pemuda ini ia berkesan baik.
In Tiong pilih sebuah tempat untuk mendirikan tendanya. Tempat itu membelakangi
angin, terlindung lamping gunung. Sedang pengiring-pengiringnya sudah lantas
mengumpulkan kayu-kayu kering guna menyalakan unggun. Mereka mematangi makanan
bekalan untuk bersantap malam.
Sehabis bersantap, In Tiong pergi ke tendanya Tamtay Keng Beng, untuk menemani
sambil bercakap-cakap. Dengan cara itu mereka biasa lewati waktu yang luang,
hingga mereka tidak jadi terlalu sunyi.
"Jikalau Thio Tan Hong dan adikmu ketahui kita telah tiba di sini, betapa
girangnya mereka," berkata Nona Keng Beng. "Kakak San Bin telah pergi untuk
menyampaikan kabar, mungkin dia telah bertemu dengan mereka itu. Kalau nanti
kita sampai di ibu kota Watzu, untuk menyampaikan surat negara, kita masih
punyakan waktu luang beberapa hari. Selama itu maukah kau pergi ke rumah
keluarga Thio untuk menemui mereka itu?"
"Hm!" In Tiong perdengarkan suara tak tegas. Kemudian ia kata: "Kalau kau pergi
ke rumah keluarga Thio itu, siapakah yang kau hendak cari" Mungkin Thio Tan Hong
ada di rumahnya di mana ia menantikanmu, akan tetapi jikalau In Loei juga berada
di sana, dia bukan lagi adikku!"
Mendengar itu, Nona Keng Beng tertawa geli. Dengan telunjuknya, ia dorong anak
muda di depannya itu. "Hai, sampai kapankah kau dapat ubah tabiatmu yang bagaikan tabiat kerbau ini?"
tanyanya sambil tertawa. "Permusuhan apakah itu yang demikian besar hingga kau
tak dapat melupakannya" Kau seharusnya mengarti, kali ini jikalau tidak ada Thio
Tan Hong, Ie Kokioo sendiri pasti tidak bakal mengetahui jelas keadaan dalam
dari negara Watzu, dan di antara kedua negara, pasti tidak begitu mudah lantas
dapat kecocokan untuk membuat perdamaian. Syukur ada dia maka kau sekarang telah
menjadi utusan untuk perdamaian itu!"
In Tiong lantas saja tunduk. Memang juga Tan Hong itu setia kepada negara.
Bukankah pemuda she Thio itu tengah bekerja guna Tionggoan" Maka ia terus
membungkam, akan tetapi di dalam hatinya, ia mengharap-harap In Loei, adiknya
itu, tidak ada di rumahnya Tan Hong...
"Maka setibanya di Watzu, kau harus menemui Thio Tan Hong," Nona Tamtay berkata
pula. Ia agaknya menegur tetapi suaranya halus, sikapnya lembut. "Kau harus
menghaturkan terima kasih kepadanya."
"Ie Kokioo ada mengirimkan surat untuknya, sudah semestinya aku pergi menemui
dia", menjawab In Tiong kemudian. "Hanya sayang sekali, permusuhan di antara
kedua keluarga ada sedemikian rupa bagaikan laut dalamnya. Sekarang ini dia
tengah bekerja untuk negara, dengan memandang dan menghargainya, aku suka tidak
menarik panjang urusan kami. Akan tetapi, untuk membikin lenyap permusuhan itu,
supaya kami menjadi sahabat-sahabat, itulah tak dapat!"
Nona Keng Beng tidak menjadi kecil hati atau putus harapan, ia malah bersenyum.
Kembali ia angkat tangannya, akan dengan sebuah jarinya menekan pula jidatnya si
anak muda. "Sayang kau menjadi satu taytianghoe, satu laki-laki, tak dinyana, pikiranmu
sedemikian cupat!" ia berkata. "Nyata kau masih
kalah dengan kami kaum wanita! Pihak kami dengan pihaknya Keluarga Tjioe itu,
yang menguasai negara Tionggoan, ada musuh turun temurun, untuk beberapa turunan
kami sudah menyimpan barang-barang permata mulia yang berharga sangat besar,
akan tetapi di akhirnya kami toh telah keluarkan itu, kami menyerahkannya kepada
pemerintah Beng! Dan Thio Tan Hong apabila dia masih ingat kepada permusuhannya,
tidak nanti dia mau berdaya sungguh-sungguh meminta Ie Kokioo urus penyambutan
pulang raja yang tua."
Tamtay Keng Beng jujur dan polos, dia omong seperti apa yang hatinya pikir. In
Tiong merasakan itu, hatinya tergerak. Maka sejenak itu, iapun berpikir: "Ya,
mustahilkah aku tidak seperti Thio Tan Hong itu?" Tapi sedetik itu juga, di
depan matanya berbayang surat wasiat kulit kambing yang berdarah itu, maka juga
pikirannya menjadi sangat kusut. Untuk menyingkirkan pikirannya yang kusut itu,
ia jemput paha kambing panggang di depannya yang ia keset dan dahar sambil terus
tunduk. Keng Beng awasi kelakuan orang itu, ia juga berpikir, kemudian, selagi ia hendak
membuka mulut pula, tiba-tiba ia lihat In Tiong mendekam di tanah di mana dia
pasang kupingnya. Ia menjadi heran, apapula ketika ia tampak wajah tak wajar
dari pemuda itu. "Eh, kau bikin apa?" dia tanya, heran.
Sebelumnya menyahuti, In Tiong sudah berlompat bangun.
"Ada pasukan tentara yang tengah mendatangi kemari," ia menjawab.
Belum utusan raja Beng ini tutup mulutnya, mereka sudah dengar suara terompet
tanduk, yang disusul dengan mengaungnya anak panah yang dilepas melesat ke
udara, suaranya nyaring melewati atasan tenda.
"Peronda kita melaporkan ada pasukan tentara tengah mendatangi!" begitu datang
warta dari salah satu siewie pengiring. "Mereka itu sudah lantas membagi diri
dengan sikap mengurung kita. Di dalam gelap gulita tidak bisa dilihat berapa
besar jumlahnya mereka, tidak tertampak juga benderanya. Mohon In Thaydjin memberikan titah apa
yang kita harus lakukan."
"Tempat ini adalah tanah pegunungan belukar, mereka itu tentulah gerombolan
penjahat yang niat merampok kita," berkata In Tiong. "Sekarang kamu ke delapan
belas orang lekas keluar dan memecah diri menjadi dua rombongan. Kamu juga mesti
sembunyi, bila dapat lihat bayangan orang, segera kamu gunai panah!"
Siewie itu menurut, ia undurkan diri untuk berkumpul sama kawan-kawannya, untuk
lantas bersiap sedia. "Bagaimana dengan kau?" Keng Beng tanya si utusan setelah si siewie mundur.
"Kamu semua pergi ke tendaku," jawab In Tiong, yang tidak menjawab pertanyaan
orang. "Apakah kau tidak hendak keluar sendiri?" Keng Beng menanya pula.
"Aku memegang soetjiat, pada tubuhku ada surat negara kerajaan," jawab In Tiong,
"dan di dalam tenda ini juga ada banyak barang berharga untuk raja Watzu, cara
bagaimana aku bisa menyingkir dari sini" Kau bersama beberapa serdadumu, yang
semuanya wanita, juga tak leluasa untuk keluar di waktu malam gelap petang
seperti ini, maka daripada pergi untuk mencegat penjahat, lebih baik kami
berkumpul di dalam tenda untuk menjaga bersama-sama aku. Aku percaya segala
gerombolan gunung itu tidak berarti banyak!"
Tamtay Keng Beng mengarti maksud sebenarnya dari In Tiong ini, ia menjadi sangat
bersyukur. In Tiong bukan berati barang-barang untuk raja Watzu itu tetapi
sebetulnya dia hendak lindungi ia dan serdadu-serdadunya. Tentulah In Tiong
berkuatir juga, karena katanya ia dingin kaki tangannya hingga bisa jadi kurang
leluasa menggunai senjata, sedang serdadu-serdadu wanita itu, apabila mereka
pergi keluar, mungkin mereka ditawan penjahat dan diperkosa. Dengan berkumpul di
dalam sebuah tenda, mereka dapat bekerja sama.
Baharu selesai orang mengatur diri, penyerangan sudah lantas dimulai. Anak-anak
panah lantas tampak melayang pergi datang tak putusnya, disusul dengan seruanseruan serta bentrokan senjata. Selain suara beradunya pelbagai senjata itu
terdengar juga suara banyak kaki berlari-lari.
"Kawanan penjahat itu mendapat pukulan yang hebat!" berkata In Tiong kemudian
sambil tertawa, sehabisnya ia mendekam pula. Di dalam hal kepandaian memasang
kuping sambil mendekam, pemuda ini ada liehay sekali.
Selagi mereka bicara, tiba-tiba terdengar satu sambaran "Sret!" lalu api
berkobar di tenda sebelah luar.
"Celaka!" berseru In Tiong. Terpaksa ia lompat untuk pergi keluar tenda, dengan
niat memadamkan api itu. Untuk ini, ia mesti pentang pintu tenda. Justeru itu,
berbareng dengan sambaran angin, lima orang lompat menerjang masuk, yang
semuanya memakai tutup muka.
Nyatalah, dengan menggunakan panah apinya itu, lima orang ini telah dapat
perdayai In Tiong, untuk mereka menyerbu masuk. Dari gerakan tubuh mereka yang
gesit-gesit itu, dapat diduga mereka mempunyai kepandaian enteng tubuh yang
sempurna. Segera juga lima orang bertopeng itu menyerang In Tiong.
Utusan kaisar Beng itu berseru sambil menyambut, ketika sebelah tangannya
dipakai menyerang, satu penyerang lantas saja terpukul hingga tubuhnya terpental
keluar tenda. Tanpa bersangsi lagi, In Tiong terus pentang kedua tangannya, untuk bersilat
dengan ilmu silat Taylek Kimkong Tjioe. Ia menyerang ke kiri dan kanan. Ketika
sedangnya ia menyerang ke kanan, ia telah menyerang tempat kosong, menyusul
mana, seorang bertopeng datang menyerang ia dengan sepuluh jarinya.
Itulah pukulan Taylek Engdjiauw Kang yang berbahaya. Menampak itu, In Tiong
menyedot napas, untuk membikin kempes dada dan perutnya, sedang tangan kirinya,
yang segera ditarik pulang, diteruskan dipakai membacok kedua lengan si penyerang itu.
"Ih!" berseru si orang bertopeng itu, yang lekas-lekas turunkan kedua tangannya,
untuk berkelit dari bacokan.
Di dalam tenda ada api lilin, di antara terangnya cahaya lilin itu, In Tiong
lihat tangan orang yang merah gelap, ia menjadi terkejut. Meski demikian sambil
lompat mencelat, ia dapat dupak rubuh satu musuh bertopeng di sampingnya selagi
musuh itu hendak mendekat padanya. Dengan demikian juga, ia telah dapat
menyingkir dari tangan merah dari musuhnya itu.
Itu waktu Tamtay Keng Beng pun tidak diam saja, ia sudah hunus pedangnya akan
terjang dua orang bertopeng lainnya.
"Awas kuku mereka itu!" In Tiong memperingatkan. "Kuku mereka ada racunnya!"
Satu musuh bertopeng yang berada paling depan, yang rupanya ada seorang tua,
perdengarkan tertawa ejekannya yang dingin, sedang seorang kawannya yang
bersenjatakan sebuah golok bagaikan gergaji, sudah lompat maju guna desak si
utusan raja. Sambil berkelahi, In Tiong memasang mata terhadap Tamtay Keng Beng, yang
dikerubuti dua musuh. Untuk keheranannya, ia seperti kenali potongan tubuhnya
salah satu musuh. Musuh ini, yang rupanya liehay, berkelahi dengan menggunai
Tjeksee Tjiang atau Tangan Pasir Merah dicampur dengan Engdjiauw Kang, Tangan
Kuku Garuda, kelihatannya, dia ada terlebih gagah daripada si orang tua.
Tamtay Keng Beng berkelahi dengan menggunai ilmu pedang Lamgak Kiamhoat, ia
dapat melayani kedua musuhnya, tapi tubuhnya kurang lincah, di waktu dia lompat
berkelit, nampaknya agak lambat. Itulah mungkin disebabkan kakunya kaki
tangannya, seperti tadi ia telah beritahukan kepada In Tiong. Ia agaknya masih
menderita dari gangguan hawa udara yang dingin itu.
Kedua musuh itu seperti dapat melihat kelemahan si nona, segera mereka ubah cara
menyerangnya, yaitu sekarang mereka lebih banyak merabu di bahagian bawah, agar
si nona menjadi lekas lelah.
Tiba-tiba salah satu penyerang yang bertopeng itu ulur kedua tangannya ke arah
Nona Keng Beng, untuk merabu kaki orang. Si nona lihat itu, sambil berjingkrak,
ia mendahului menendang dengan dua-dua kakinya. Musuh itu liehay, dengan sebat
ia menangkap kedua kakinya Keng Beng, terus ia menggentak, untuk lemparkan nona
itu. Keng Beng menjadi tidak berdaya, tubuhnya lantas terlempar melayang dengan kedua
kakinya di atas. Ketika ini digunai oleh musuh yang kedua, yang bersenjatakan sebatang golok
tantoo. Ia tidak pakai goloknya itu, ia hanya menukar dengan tali bandringan,
yang ia lemparkan untuk meringkus si nona!
In Tiong lihat si nona berada dalam bahaya, ia kaget hingga ia lupa segala apa.
Sambil berteriak, ia menyambar dengan sebelah tangannya, ia lupa kepada bahaya
apabila tangannya bentrok dengan tangan liehay dari musuh itu, tentulah tangan
In Tiong terkena racun yang jahat, tapi di lain pihak, tangan si orang tua akan
menjadi patah juga. Si orang tua ternyata kalah hati, dia berkelit sambil tarik pulang tangannya.
Tapi kawan di sampingnya yang memegang golok model gergaji majukan diri. Dengan
tangan kirinya, dengan gagang golok, In Tiong sampok golok musuh ini, berbareng
dengan itu tangan kanannya menyambar terus.
Dengan tak sempat berteriak kesakitan lagi, pecahlah kepalanya musuh itu.
Sekarang In Tiong terlepas dari gangguannya dua musuh, dapat ia wujudkan
keinginannya untuk menolongi Tamtay Keng Beng, justeru ia hendak lompat maju,
tiba-tiba ia dengar jeritan nona Keng Beng, hingga ia menjadi kaget tak
kepalang! Keng Beng benar-benar kurang kelincahannya karena hawa dingin itu, maka kedua
kakinya telah kena disambar musuh bertopeng, yang terus melemparkan tubuhnya itu
membentur lelangit tenda hingga ia menjerit. Di waktu ia hendak jatuh turun,
masih dapat ia menjumpalitkan tubuhnya, hingga ia jadi jatuh berdiri, tepat
didekatnya satu musuh yang bersenjatakan sebatang golok, maka terus saja ia
tikam musuh itu hingga tenggorokannya tembus.
Berbareng dengan itu, tambang bandringan telah menyambar nona ini.
Adalah di waktu itu In Tiong datang dengan pertolongannya. Ia serang orang yang
menggunai lasso itu, tetapi orang itu, lekas-lekas undurkan diri karena takut.
Tidak demikian dengan si orang bertopeng yang usianya lanjut, dia maju dengan
niatan mengepung, dengan bengis dia sambar pundaknya si anak muda selagi anak
muda ini hendak serang terus kepada musuh yang mundur itu.
Dengan cepat In Tiong turunkan pundaknya, akan tetapi oleh karena ia sedang
menyerang musuh, turunnya pundak kurang rendah, hingga ia merasakan pundaknya
sakit. Di lain pihak, saking sehatnya gerakannya, ia berhasil menyerang lawan
yang undurkan diri itu hingga rubuh tanpa dapat berbangkit pula!
Meskipun ia telah kena diserang, In Tiong tidak berbalik untuk melayani musuh
yang tua itu, sebaliknya dia berlompat dua tindak, guna segera tengok Tamtay
Keng Beng. "Hm!" berseru si orang tua, yang tidak susul In Tiong hanya dia lompat kepada
kawannya yang rubuh itu, tubuh siapa ia sambar dan angkat, untuk segera dibawa
lari keluar tenda. Bersama ia, mundur juga semua kawan lainnya.
Nona Keng Beng tidak kurang suatu apa, malah ia bisa loloskan diri dari lasso
yang melibat tubuhnya, sambil tertawa ia berdiri memandang In Tiong, yang datang
padanya. "Sungguh berbahaya!" demikian ucapannya. Ia menghadapi bahaya tetapi ia tetap
tabah, besar nyalinya. "Kau tidak kenapa-napa?" In Tiong tanya.
"Tidak," sahut si nona, gembira.
In Tiong kerutkan keningnya: "Coba kau buka sepatumu." berkata anak muda ini.
"Buka sekalian kaos kakimu, untuk aku periksa..."
Mukanya si nona menjadi merah.
"Dahulu di Thayouw santjhun ketika aku terluka oleh tangan jahatnya Anghoat
Yauwliong, kau yang merawat aku," berkata In Tiong, "sekarang datang giliranku
untuk membalas merawat kau."
"Aku tersambar dia tetapi aku memakai sepatu dan kaos kaki, apakah aku masih
dapat terluka juga?" si nona menanya. Ia benar-benar tidak percaya. Akan tetapi
ia toh buka sepatunya, kaos kakinya juga. Ia dapat lihat pada kakinya itu ada
tanda merah sebesar uang emas.
"Sungguh liehay!" berkata In Tiong. "Syukur kau memakai sepatu dan kaos kaki."
Anak muda ini pinjam pedang si nona, dengan ujung pedang itu, ia gurat tanda
merah di kakinya nona itu hingga terluka, setelah mana, lekas-lekas ia menguruti
untuk keluarkan darahnya yang sudah kental dan hampir hitam warnanya. Setelah
itu, ia lantas borehkan obat.
"Sekarang kau boleh beristirahat," berkata si pemuda kemudian. "Lihat besok,
bagaimana perubahannya, kalau perlu, kau mesti berobat lebih jauh."
Suaranya pemuda ini tenang tetapi hatinya sebenarnya tegang sekali, inilah
disebabkan obat yang ia pakai adalah obat biasa saja, bukan obat istimewa untuk
luka semacam itu. Ia sebenarnya kuatir racun masih belum lenyap, hingga bisa
terjadi luka itu berubah menjadi berbahaya. Bagaimana kalau kaki nona itu menjadi bercacat sebab pertolongan tidak tepat"
Keng Beng tidak menginsafi kekuatiran itu, ia pandang enteng kepada lukanya,
maka juga ia perlihatkan wajah yang tersungging senyuman manis. Ia sangat girang


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan puas untuk perlakuannya In Tiong itu, yang demikian telaten merawat padanya,
hingga tak dapat ia umpetkan perasaan hatinya itu. Di dalam hati kecilnya pun ia
berkata: "Dibandingkan dengan Tan Hong, dia agak kasar, tetapi perhatiannya ini
tak kalah daripada Tan Hong atau In Loei..."
"Eh, kau jangan perhatikan aku saja," kata ia kemudian. "Kau sendiri pun telah
kena sambarannya si bangsat tua bertopeng itu..." Ia bicara sambil tertawa.
"Untukku tidak ada halangannya, aku memakai lapisan emas," In Tiong berikan
jawabannya. Tapi ia buka pakaiannya, seragamnya, maka ia bisa lihat, lapis
emasnya pun lecet, tapi benar tubuhnya tidak terluka. Keng Beng leletkan
lidahnya. "Sungguh liehay si muka bertopeng itu!" katanya. "Dia terlebih liehay daripada
si penjahat yang membokong aku!"
Sementara itu barisan wanita dari Nona Keng Beng sudah berhasil memadamkan api
yang membakar tenda, sedang jauh di sebelah luar itu, suara pertempuran pun
sudah lantas menjadi sirap, tandanya pertempuran telah sampai di akhirnya. Cuma
di tengah udara masih terdengar suaranya anak-anak panah yang menyambar-nyambar.
Tidak lama kemudian satu pahlawan datang melaporkan: "Dengan mengandal rejeki
besar dari thaydjin, penyerang telah dapat dipukul mundur!"
"Apakah mereka telah mundur seanteronya?" In Tiong tegaskan.
"Nampaknya mereka masih berjaga-jaga dari tempat yang tinggi," pahlawan itu
berikan keterangan. "Mereka kadang-kadang masih melepas anak panah tetapi mereka
tidak berani menyerbu pula."
"Jikalau begitu, rupanya mereka hendak kurung kita," In Tiong bilang. "Sekarang
berhati-hatilah kamu membuat penjagaan, jangan sekali alpa. Apakah ada yang
terluka di pihak kita?"
"Ada," sahut pahlawan itu. "Dua terkena panah, satu luka terbacok, tetapi luka
mereka tidak berbahaya."
"Bawa mereka itu ke dalam tenda, supaya serdadu wanita rawat lukanya," In Tiong
memerintahkan. Delapan belas pahlawan itu adalah pahlawan-pahlawan kelas satu dan kelas dua,
semua gagah, hingga yang terluka sedikit sekali.
Beberapa serdadu wanita lantas saja menjadi repot, akan obati ketiga pahlawan
itu. Belum terlalu lama, satu pahlawan datang pula dengar laporannya: "Musuh
telah menyalakan api di atas gunung, asapnya mengepul hebat. Entah apa
maksudnya..." Baharu saja pahlawan itu berhenti bicara, mereka segera dengar suara terompet
yang nyaring. Hebat terompet itu akan tetapi musuh tidak menyerang.
"Inilah berbahaya," mengatakan In Tiong. "Mereka menyalakan unggun, mereka pun
perdengarkan terompet, itu tandanya mereka meminta bala bantuan. Mungkin
sebentar, sebelum terang tanah, kita akan bertempur pula..."
Maka itu, ia lantas atur penjagaan di empat penjuru tenda. Dua orang dijadikan
satu rombongan. Suara terompet terdengar pula, lalu sirap. Asap unggun pun terbawa angin, lalu
apinya padam. Dengan begitu, sang malam menjadi sunyi seperti biasa pula.
"Apakah kau merasa baikan?" In Tiong tanya Keng Beng, kaki siapa ia periksa.
"Aku merasa lebih enak," sahut si nona, yang segera alisnya terbangun. Ia kata
pula dengan cepat: "Dugaanku kawanan penyerbu ini bukannya penjahat biasa!"
"Kenapa kau beranggapan demikian?" In Tiong tanya.
"Jikalau mereka ada penjahat biasa dan maksudnya cuma untuk merampas barangbarang kita, tidak ada perlunya mereka memakai topeng."
"Apakah kau mencurigai mereka sebagai tentara Mongol?" In Tiong tanya. "Aku
percaya Yasian tidak akan berani sembarangan berbuat demikian rupa. Tiga korban
yang terbinasa itu aku telah perika, semua adalah orang-orang Han."
"Tetapi apa perlunya mereka bertopeng?" Keng Beng berkata pula. "Kenapa di
wilayah Mongolia ini ada banyak orang Han sebangsa mereka?"
In Tiong mengkerutkan keningnya, ia berpikir keras.
"Mereka pakai topeng, tentulah mereka kuatir akan dapat dikenali kita," ia
berkata kemudian. "Dan penjahat tua yang liehay itu, melihat potongan tubuhnya,
aku rasanya seperti mengenalinya, entah di mana aku pernah bertemu dengannya."
"Cobalah kau pikirkan dengan pelahan-lahan," Keng Beng anjurkan.
In Tiong benar-benar asah otaknya.
"Oh, aku ingat sekarang," kemudian ia berkata pula. "Tempo hari ketika kami
bertempur di tanah lapang, selama diadakan perebutan kehormatan Tjonggoan, aku
telah lihat padanya. Ketika itu ada banyak sekali calon, aku juga tidak sampai
bertempur dengan dianya. Aku tidak ingat betul, siapa dia..."
Keduanya lantas berdiam, "Sayang tadi tak dapat kita bekuk padanya," kata In Tiong sambil menghela napas,
menyatakan penyesalannya.
Keng Beng berdiam terus, maka si anak muda pun bungkam pula.
Belum lama kesunyian itu berlanjut, mendadak keduanya menjadi kaget sekali.
Tenda mereka melesak dengan perdengarkan suara keras. Itulah tandanya tenda
telah tertimpa barang yang berat. In Tiong segera lompat menyamping.
Segera terlihat tenda terbelah, dari mana tertampak satu tubuh merosot masuk.
Untuk herannya si utusan kerajaan Beng, dia kenali orang itu adalah musuh yang
melukai Keng Beng. "Orang pandai siapakah yang tengah bergurau?" In Tiong berseru menanya.
Menyusuli jatuhnya tubuh orang bertopeng itu, dari lobang tenda itu lompat masuk
satu orang, yang terus saja tertawa berkakakan.
"Aku tolongi kau membekuk jahanam ini, cara bagaimana kau mengatakan aku
bergurau?" berkata dia.
Tamtay Keng Beng berlompat dengan kegirangan, hingga ia perdengarkan seruannya.
Orang yang baharu datang ini adalah Thio Tan Hong!
In Tiong pentang matanya lebar-lebar, ia melengak. Ia heran dan sangat kagum
untuk liehaynya Tan Hong itu, yang seperti juga pergi dan datang tanpa
ketentuan. "Coba kau bentet topengnya!" Tan Hong berkata tanpa ia pedulikan utusan kaisar
Beng itu tercengang. Orang yang bertopeng itu rebah tanpa berkutik, rupanya dia telah kena ditotok
Tan Hong. Mungkin juga dia terluka karena terbanting keras barusan.
In Tiong sadar, ia bertindak menghampirkan, ia ulur tangannya akan sambar topeng
orang. Maka sekarang ia kenali See Boe Kie siapa, selama adu kepandaian di kota
raja, telah kena dirubuhkan Liok Thian Peng muridnya Tiatpie Kimwan si Lutung
Emas Bertangan Besi. Itu waktu dia dianggap sebagai calon biasa saja seperti
calon-calon lainnya, tidak tahunya dia adalah penjahat besar di perbatasan kedua
negara. Sekarang In Tiong menjadi gusar sekali.
"Saudara Thio, tolong kau totok sadar padanya!" ia minta kepada Tan Hong. "Ingin
aku dengar keterangannya!"
Tan Hong tertawa. "Sekarang ini sudah tidak ada tempo lagi untuk memeriksa padanya," jawabnya.
"Bala bantuan mereka telah datang, di antaranya terdapat orang-orang yang
liehay. Mereka itupun bakal lantas menyerang pula..."
Selagi In Tiong berdiam, Keng Beng buka mulutnya. Nona ini tahu Tan Hong gagah
dan pintar, ia mempercayainya benar-benar. Ia juga menduga, dengan Tan Hong yang
bekuk See Boe Kie, mesti Tan Hong ketahui banyak perihal musuh.
"Thio Toako," demikian ia berkata, "jumlah kami sedikit, pasti kami tak dapat
bertahan lama. Aku minta kau suka membantu mendayakannya."
"Saudara In, maafkan aku, hendak aku menjadi seperti Mo Swie yang telah
perkenalkan dirinya sendiri," berkata Tan Hong, yang tak jawab lagi si nona.
"Hendak aku mewakilkan kau..."
In Tiong mengerti akan kelemahan rombongannya, ia juga sangat kagumi anak muda
itu, ia tidak berkeberatan.
"Saudara Thio, silakan kau berikan titah-titahmu!" ia berikan perkenannya.
"Segera kita harus menyingkir dari sini!" Tan Hong bilang tanpa berayal lagi.
"Sekarang malam gelap gulita, kami juga tidak ketahui keadaan musuh," berkata In
Tiong, "di sini pun ada banyak wanita, apakah mundur tidak berarti kita
menghadapi bencana?"
Sebaliknya dari utusan kaisar itu, Tamtay Keng Beng tertawa.
"Mestinya Thio Toako ada punya rencana sendiri!" ia bilang. Nyata ia sangat
mempercayai tjoekong yang muda itu.
In Tiong menjadi bungkam.
"Semua barang yang hendak dihadiahkan kepada raja Watzu, kau muatkanlah di atas
bebokong seekor kuda," Tan Hong beri petunjuk, "lalu kau perintahkan semua orang
lainnya meninggalkan kuda mereka. Mereka mesti turut aku menerobos keluar! Aku
tanggung keselamatan kamu, malah kau akan berbalik menjadi mendirikan jasa
besar!" In Tiong bersangsi, ia setengah percaya dan setengah tidak, maka itu, ia
mengawasi Keng Beng. "Kau jangan kuatir," si nona berkata. "Aku dapat berjalan."
Utusan kaisar itu kuatirkan kakinya si nona.
Tetapi Keng Beng sudah lantas berlompat, untuk membuktikan bahwa ia dapat
bergerak dengan leluasa. "Oh, kiranya kau terluka, adik Tamtay?" bertanya Tan Hong. Ia awasi nona itu,
yang ia tidak tahu telah mendapat halangan. "Sekarang kau dapat bergerak dari
berjalan, sebentar selang satu jam, nanti aku obati padamu."
Pemuda ini lantas titahkan serdadu perempuan siapkan seekor kuda, yang ke empat
kakinya dibungkus wol tebal hingga di waktu berjalan, binatang itu tidak akan
menerbitkan suara tindakannya. Semua barang yang hendak dibawa, digemblokkan
kuat-kuat di bebokong kuda itu.
Berbareng dengan itu, In Tiong perintahkan seorang pahlawannya, untuk berikan
kisikan kepada yang lain-lainnya, supaya semua undurkan diri dan berkumpul,
untuk bersama-sama menyingkir dari tenda yang terkurung musuh itu. Maka sebentar
kemudian, mereka sudah siap sedia. Tenda telah digulung rapi, tiga pahlawan yang
terluka sudah lantas digendong.
Tan Hong jalan di muka sebagai penunjuk jalan. Semua tutup mulut, hingga mereka
tidak perdengarkan suara apa juga. Tetapi di waktu mereka mau berangkat, Tan
Hong perintahkan semua kuda dikumpulkan, mukanya dihadapkan ke arah musuh, lalu
kempolannya semua kuda itu ditikam dengan golok, hingga semuanya kaget dan
kesakitan, sambil meringkik keras, mereka kabur ke depan, ke arah musuh.
Tentu saja, di waktu gelap petang itu, ringkikan dan tindakan kakinya semua kuda
itu menerbitkan suara sangat berisik, hingga musuh menyangka bahwa pihak lawan,
yang tengah mereka kurung, sudah lakukan penyerangan balasan, hingga mereka
menjadi repot bersiap untuk menangkis. Dan justeru itu, Tan Hong ajak
rombongannya kabur ke arah barat di mana ada suatu jalanan kecil.
Baik orang maupun kuda, tidak ada satu juga yang menerbitkan suara. Di tengah
jalan, mereka pun tidak menemui rintangan. In Tiong menjadi heran.
"Kenapa di sini tidak ada musuh yang menjaga?" menanya utusan kaisar Beng ini
sesudah mereka melalui perjalanan sekian lama.
Thio Tan Hong tertawa. "Jalanan ini tidak ada mulut jalan untuk keluar, inilah jalan mati," ia
menjawab. "Di sini ada ditaruh belasan serdadu penjaga tetapi mereka itu telah
aku bikin habis. Berhati-hatilah semua, semakin ke depan jalan semakin buruk dan
berbahaya." Memang di kedua tepi ada batu-batu gunung yang besar dan tidak rata bagaikan
batang rebung, yang pun ketutupan pohon-pohon oyot dan duri. Untuk menyingkirkan
rintangan itu, Tan Hong kerjakan pedangnya, sedang sebelah tangannya yang lain
dipakai menuntun kuda. Ia jalan di muka sebagai pembuka jalan.
Oleh karena semua orang mengerti silat dengan baik, tidak terlalu sulit untuk
mereka ikuti si anak muda. Di mana perlu, mereka juga gunai senjatanya, untuk
singkirkan pelbagai rintangan oyot itu.
Belum terlalu lama, tibalah mereka di luar jalan kecil dan berbahaya itu, hingga
sekarang mereka tampak langit yang gelap, yang bintang-bintangnya berkelak
kelik. Angin meniup dengan
keras. Mereka sukar melihat ke sekitarnya tetapi mereka tahu bahwa mereka berada
di sebuah tempat terbuka, tegalan rumput yang lebar. Mungkin mereka berada di
tengah lembah... Sampai di situ baharulah In Tiong dapat bernapas lega. Tetapi meski demikian,
hatinya belum aman betul. Ia kata: "Benar kita sekarang sudah lolos tetapi tipu
kita tadi bukanlah akal yang dapat bertahan lama, itu hanya untuk sementara
saja... Lihat, di depan kita ada gunung besar yang mencegat jalan, malam pun demikian
gelap, cara bagaimana kita bisa melewatinya" Di akhirnya, musuh toh akan ketahui
tipu kita itu... Sebaliknya dari utusan itu, yang hatinya ber-kuatir, Tan Hong tertawa.
"Aku justeru hendak pancing mereka itu datang kemari!" katanya. Tanpa berayal
lagi, ia atur delapan belas pahlawan dan serdadu-serdadu wanita itu, berikut In
Tiong dan Keng Beng, untuk menyembunyikan diri di tempat yang tinggi, untuk
menyambut musuh. Ia sendiri pun segera menempatkan diri.
Belum lama mereka bersiap, lalu terlihat datangnya musuh, yang mendatangi dengan
berlerot-lerot. Yang paling dahulu tertampak adalah obor mereka yang dinyalakan
besar-besar. Dari kejauhan, mereka nampaknya bagaikan seekor naga.
Tan Hong sudah mengatur persiapannya, begitu musuh sudah datang cukup dekat, ia
segera perdengarkan suara tertawanya yang nyaring dan panjang. Di malam gelap
seperti itu. di dalam lembah, suara tertawa itu berkumandang keras dan riuh,
apapula suara itu dapat sambutan dari yang lain-lainnya.
Musuh terkejut, mereka tidak tahu di mana adanya lawan, tetapi mereka maju
menerjang ke arah dari mana mereka dengar suara tertawa itu.
Menyusuli majunya musuh, lalu terdengar jeritan-jeritan, datangnya dari empat
penjuru. "Gulingkan batu!" Tan Hong berteriak-teriak.
"Gulingkan batu! Hajar mampus semua kurcaci itu!"
Di atas gunung itu ada banyak batu besar, sebenarnya tidak sembarang orang dapat
menolak batu-batu besar itu, akan tetapi semua pahlawan-pahlawan itu kuat-kuat,
mereka dapat menjalankan titahnya Tan Hong sebagaimana si anak muda telah
merencanakannya. Maka itu, hebat kesudahannya ketika banyak batu besar menggelinding turun dari
sana sini dari lamping gunung itu, yang menggelinding saling susul. Banyak musuh
yang kena terbentur batu, tubuhnya rubuh, obornya terlempar terlepas, tubuh
mereka ketindihan batu-batu besar itu. Ada yang berkaok-kaok, ada yang
menjeritnya tertahan. Di antara terangnya obor, In Tiong mengawasi kepada musuh itu. Ternyata tempat
di mana musuh jatuh adalah sebuah rawa atau pengempang, yang di atasnya
ketutupan pohon-pohon kaput atau lainnya, hingga di dalam gelap itu, tidak dapat
orang melihat tempat air itu. Ke situ musuh terjatuh, ketindihan batu atau
tenggelam, tak dapat mereka membela diri. Tentu saja mereka itu mendapat lukaluka patah kaki dan tangan atau tubuh remuk...
Menampak itu, In Tiong kaget sendirinya. Apabila tidak Tan Hong yang menunjukkan
jalan, mereka sendiripun bisa tercebur ke dalam rawa itu.
"Kasihlah ampun kepada mereka!" Tamtay Keng Beng meminta, sebab tak tega ia
menyaksikan orang menjadi kurban secara demikian hebat.
"Tahan!" Tan Hong pun segera berikan titahnya.
Maka berhentilah turunnya batu-batu besar itu.
"Kawanan serdadu musuh boleh dikasih ampun tetapi pemimpinnya tidak," kemudian
Tan Hong kata sambil tertawa kepada In Tiong. "Mari kita berdua bekuk satu atau
dua orang! Adik Tamtay, kau tunggulah sebentar di sini!"
In Tiong akur, maka Tan Hong ajak dia pergi.
Anak muda itu ambil jalan mutar.
Di dalam rawa, semua tentera musuh yang masih dapat bergerak, atau yang tidak
terluka, telah berebut mendarat, untuk menyingkirkan diri. Mereka tidak lihat
ada serangan lagi, tetapi mereka berlalu dengan terburu-buru.
Tan Hong dan In Tiong berlaku hati-hati. Karena mereka jalan mutar, mereka
sampai dengan lekas di bahagian belakang dari barisan musuh. Di sana mereka
dapatkan dua pemimpin musuh yang bertopeng, satu di antaranya dikenali sebagai
si orang tua yang liehay. Kedua pemimpin ini sedang beraksi untuk mencegah
tenteranya menjadi kalut terus-terusan.
Tan Hong kisiki In Tiong, lalu ia mendekati kedua pemimpin musuh itu, begitu
datang dekat, ia lompat menerjang si orang tua, yang ia tikam.
Orang tua itu kaget, tetapi ia liehay, walaupun ia diserang secara membokong,
masih dapat ia berkelit sambil terus balas menyerang dari samping.
Tan Hong sudah duga ke mana musuh akan buang dirinya, sebat luar biasa ia tarik
pedangnya, untuk dipakai menyerang pula, sasarannya kali ini adalah pundak
musuh. Orang tua itu kalah gesit, juga karena ia membalas menyerang sambil berkelit,
maka ia menjadi tidak berdaya ketika datang serangan yang kedua. Ia kena
tertikam, tubuhnya lantas saja rubuh.
Kembali Tan Hong tunjukkan kesebatannya, ketika musuh jatuh, ia berlompat maju
untuk menjambret, pedangnya dipakai menjaga pedang musuh kalau-kalau musuh masih
dapat membela diri. Bagaikan garuda menyambar kelinci, demikian ia cekuk musuh
tua itu, yang tubuhnya terus diangkat.


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

In Tiong juga berhasil. Ia telah membarengi Tan Hong menyerang pemimpin musuh
yang kedua, musuh ini lengah, dia kena terpukul, akan tetapi dia mengenakan baju
lapis kulit, maka itu, waktu terhajar, dia cuma limbung, tidak sampai dia jatuh.
Tapi pukulan In Tiong hebat sekali, baju lapis kulit itu robek. Sudah begitu, utusan
kaisar yang gagah itu tidak memberi ketika, ia menyusuli dengan serangannya yang
kedua. "Hm!" berseru musuh itu, yang nyata liehay. Dia tidak cuma dapat berkelit, malah
dia dapat membalas juga, akan menotok ke arah pinggang si orang she In, sedang
kakinya dikasi melayang, untuk mendupak lengannya In Tiong itu.
Itulah serangan menurut ilmu silat partai Thianliong Pay atau Naga Langit dari
Seetjhong (Thibet). Tendangannya biasa saja tetapi yang hebat adalah susulannya,
atau runtunannya, yang membuatnya orang sukar berkelit. Maka syukur In Tiong
tabah dan sebat gerakannya. Hanya setelah mendesak, musuh itu, yang ternyata
licik, sudah memutar tubuh, untuk ambil langkah panjang!
Tan Hong sudah berhasil membekuk si orang bertopeng tua, ia lihat kelicikannya
lawan dari In Tiong itu, sambil bawa tubuhnya si orang tua ia maju untuk
mencegat. Musuh itu ganas, ia lantas serang pemuda she Thio itu. Melihat ini,
Tan Hong pun berlaku cerdik, yaitu ia bukan berkelit atau menangkis dengan
tangannya, ia justeru majukan tubuhnya si orang tua, untuk dijadikan sasaran
musuh itu. Di lain pihak, tangan kirinya dikasih bekerja juga.
"Aduh!" menjerit si orang tua, yang suaranya bagaikan babi mengguwik. Tetapi
jeritan itu juga disusul oleh jeritan lain, ialah dari si orang bertopeng yang
licik itu! Tan Hong tertawa bergelak-gelak, ia lantas lepaskan cekalannya kepada si orang
tua, yang sudah tidak bersuara lagi, yang sudah tidak berkutik pula, karena
serangan kawannya sangat liehay, hingga dia pingsan seketika.
"Dia liehay," berkata In Tiong sambil tunjuk musuhnya yang kabur itu. "Dia cuma
lebih rendah sedikit saja dari kita. Di antara penyerang-penyerang kita malam
ini, dialah yang paling liehay, maka itu, saudara Thio, mengapa kau biarkan dia
meloloskan diri?" Tan Hong tertawa memandang utusan kaisar Beng ini.
"Jikalau dapat kita menawan, kita menawannya, jikalau dapat kita melepaskan,
biarlah kita melepaskannya," jawabnya. "Dia itu... biarlah dia terlepas dan
kabur..." In Tiong tidak puas. Ia beranggapan Tan Hong seperti sedang mempermainkan
padanya. Akan tetapi di samping itu ia mau menyangka orang masih mempunyai akal
lain, karenanya ia lantas tutup mulut, ia tidak menanya lebih jauh.
Keduanya segera kembali ke tempat mereka bersembunyi tadi.
"Bagus!" berseru Tamtay Keng Beng, yang menyambutnya. "Sekalipun sewaktu Kwan
Kong membunuh Hoa Hiong tiada secepat demikian!"
"Beruntung!" Tan Hong pun berkata. "Malam ini ancaman bencana sudah lewat, orang
kita semua boleh tidur dengan tenang, kecuali kau dan aku, masih ada sedikit
urusan lagi yang harus diselesaikan. Saudara In, sekarang silakan kau duduk di
tempatmu untuk mulai dengan pemeriksaan!"
Sehabis mengucap demikian, Tan Hong titahkan orang membangunkan tenda, untuk
mereka beristirahat, sedang ia bersama Keng Beng dan In Tiong, segera hadapkan
si orang tua bertopeng. Untuk menyadarkan tawanan itu, mereka mengguyurnya
dengan air dingin, lalu orang digusur ke dalam tenda.
Thio Tan Hong sudah menduga siapa adanya si orang tua, ternyata ketika ia telah
sambar topeng orang untuk dibukanya, dugaannya tidak meleset. Orang tua itu
adalah ayahnya See Boe Kie, yaitu See Too. Maka ia tertawa dengan dingin.
"Manusia yang mencari pangkat dengan hianati sahabat, dengan tak segan menjual
negara berkongkol dengan musuh, sungguh dosamu tak dapat ditebus hanya dengan
jiwamu!" anak muda kita mencaci. "Syukur mengenai aksimu malam ini telah aku
menduganya sejak siang-siang, jikalau tidak, tidakkah kamu akan membikin kedua
negara menjadi bentrok dan berperang?"
In Tiong juga mendongkol dan gusar, ia turut menegur.
"Ada permusuhan apakah di antara kamu dan si utusan kaisar Beng?" demikian
tegurnya. "Apakah sebabnya maka kamu serbu kami dan hendak membinasakan kami
semua" Hayo lekas berikan pengakuanmu, supaya kau tak usah merasakan kompesan!"
"Sama sekali aku tidak berniat membinasakan kamu," See Too menjawab. "Lebih Pedang Berkarat Pena Beraksara 3 Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru Mencari Ayah Kandung 2

Cari Blog Ini