Ceritasilat Novel Online

Dua Musuh Turunan 8

Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 8


silat Thaylek Kimkong Tjioe. Maka sekejap saja, kedua serdadu Gielimkoen itu
kena disambar, untuk terus dilemparkan ke lembah!
Habis itu, tak menunda pula, penyanyi ini kembali maju, untuk tempur Tantai Mie
Ming. Ia tidak menjadi jeri walaupun tadi ia kena didesak hebat lawannya yang
tangguh itu. Setelah beberapa jurus, Tantai Mie Ming beseru dengan nyaring sekali, seruan itu
dibarengi dengan gerakan tangannya.
Dengan telak si penyanyi kena dihajar pundaknya, atas itu, dia rubuh terguling,
mental sampai sejauh satu tombak, ketika ia lompat bangun pula, tubuhnya limbung
dan terhuyung. Tantai Mie Ming tidak maju pula untuk meneruskan serangannya, dia Cuma tertawa
riang. Adalah beberapa pahlawan Mongolia lainnya, yang maju dengan berbareng
untuk mencekuk si penyanyi itu.
Adalah di saat itu, mendadak terdengar suara sangat riuh, dari muncul dan
merangsaknya, serombongan orang, hingga pasukan depan si pangeran menjadi kacau
dengan lantas. Itulah rombongannya Pit To Hoan, yang telah dating dengan tepat
dan membuat tentera negeri tak dapat merintangi mereka.
Tantai Mie Ming lompat maju, segera ia cegat Pit To Hoan, hingga mereka jadi
bertempur satu sama satu. Dengan tipu silat "Mega melintang, memotong puncak
gunung," jago Mongolia ini menurunkan tangan jahat.
Pit To Hoan yang bersenjatakan tongkat Hang-liong koen, membebaskan diri, habis
mana, ia pun membalas, dengan menotok jalan darah tjiangboen hiat, mengarah
kedua mata lawannya. Gelaran Tjinsamkay tersohor selama beberapa puluh tahun karena liehay ilmu silat
tongkatnya. "Bagus!" berseru Tantai Mie Ming. Dengan gerakan tubuhnya, ia membuatnya tongkat
To Hoan kehilangan sasarannya. Malah sebaliknya, hampir Tjinsamkay kena
dijambret, syukur dia keburu tancap kaki dengan ilmunya "Tjinkin twie" - "Berat
seribu kati," berbareng dengan mana, tongkatnya menyambar pula!
Mau atau tidak, Mie Ming terkejut juga. Selagi keadaan kacau itu, si penyanyi
dapat melabrak pengepungnya, hingga beberapa orang kena dirubuhkan, hingga ia
mendapat ketika untuk lolos dari kepungan.
In Loei kerutkan alis, ia sangat tidak mengerti.
Penyanyi itu demikian bernyali besar, seorang diri dia serang si pangeran, tapi
sekarang, justeru datang bala bantuan, mengapa dia singkirkan diri. Dan kaburnya
pun sangat cepat seperti angina menuju ke arah ia!
In Loei tak dapat menahan lagi hatinya, dia lompat keluar dari tempatnya
sembunyi. "Kau siapa?" ia menegur selagi ia papaki penyanyi itu.
Orang itu tidak membuka mulutnya, ia justeru menyahuti dengan satu kepalannya.
Dalam herannya, In Loei berkelit, sesudah mana, ia hunus pedangnya.
"Tidak membantu kawan, itulah perbuatan tidak bejik!" kata In Loei. "Mari kita
maju untuk membasmi musuh!"
Melihat In Loei menghunus Tjengbeng kiam yang tajam luar biasa, si penyanyi juga
cabut goloknya, dengan sepasang mata mencorong, ia terus saja membacok.
Kembali In Loei menjadi heran, akan tetapi ia menangkis.
Habis menyerang, si penyanyi memutar tubuhnya, untuk lari.
Tjoei Hong juga lompat keluar. "Sungguh seorang aneh!" katanya. In Loei
memandang kekalangan pertempuran. "Baik kita jangan memperhatikan dia," kata
nona In. "Mari kita bantui Pit Iooenghiong1."
Waktu itu Tantai Mie Ming dan Pit To Hoan bertarung seru selama beberapa puluh
jurus, bedanya adalah Mie Ming bertangan kosong, To Hoan bersenjatakan toya.
"Bagus!" seru Mie Ming selagi mereka bertempur terus. "Sejak aku menginjak tanah
daerah Tionggoan, kau adalah hohan yang pertama-tama aku menemuinya. Sekarang
hendak aku menggunakan senjata!" Dan segera ia cabut sepasang gaetannya dengan
apa ia tangkis toya Pit To Hoan hingga terpental, setelah itu, ia balas
menyerang, terus ia mendesak.
Nampaknya To Hoan repot, hingga, melihat itu, In Loei berseru: "Celaka!" Lantas
ia maju menerjang. Apa mau ia telah dicegat beberapa musuh, benar ia dapat
menahas golok musuh, tapi ia toh kena dilihat oleh dua pahlawan Mongolia, hingga
ia mesti melayani dulu mereka itu, yang dua-duanya bersenjatakan gegaman berat
yang sulit untuk ditabasnya kutung.
Na Thian Sek, Tjek Po Tjiang dan Tjio Tjoei Hong beramai juga menemui
tandingannya masing-masing, mereka telah dikurung hingga tak dapat mereka
rapatkan diri, untuk berkumpul menjadi satu.
Pit To Hoan telah mengeluarkan seantero kepandaiannya, masih ia tidak mampu
undurkan Tantai Mie Ming, siangkauw-nya, sepasang gaetan, bergerak-gerak cepat
bagaikan ular naga keluar dari laut atau burung garuda mengejar mega.....
Beberapa kali Hangliong pang hampir saja kena digaet terlepas.
"Aku tidak sangka aku akan terbinasa ditangan orang Ouw ini....." kata To Hoan
dalam hatinya, saking berduka.
Dalam saat sangat tegang itu bagi pihak penyerbu, mendadak serdadu-serdadu
pengiring pangeran berteriak-teriak, semua lari berserabutan, di antara itu
terdengar suara menggelugur berulang-ulang, yang menggetarkan selat.
Ketika In Loei memandang ke atas bukit, ia tampak perbuatan luar biasa dari si
penyanyi yang dandan sebagai orang Mongolia itu, siapa dengan tenaganya yang
kuat, satu demi satu batu-batu yang besar dia tolak hingga menggelinding jatuh
kebawah bukit hingga melanggar para tentara pengiring, yang menyebabkan mereka
berlarian menyingkirkan diri.
Selat Tjengliong Kiap terletak di antara kedua bukit yang tinggi, selatnya
sempit, dengan bergeluntungan batu-batu besar, maka bahaya itu sangat mengancam,
siapa kena dilanggar, tak dapat di kira-kirakan bencana yang dia dapatkan, maka
musuh semua buyar, lari berserabutan.
Juga pahlawan-pahlawan Mongolia jadi kaget dan ketakutan.
In Loei gunakan ketikanya, ia rubuhkan satu di antara dua lawannya, setelah yang
kedua mundur, ia lari ke arah Tantai Mie Ming, siapa terus ia serang, malah
dengan cara mendesak. "Ha, kembali kau, nona cilik!" seru Mie Ming, yang dengan gaetan kirinya mencoba
menempel Tjengbeng kiam. "Mari kita mundur!" kata Pit To Hoan pada In
Loei. Sambil mengucap begitu, ia tangkis serangannya Mie Ming, lalu ia mundur
dengan cepat, sedang In Loei dapat ketika untuk mundur bersama.
Tantai Mie Ming lompat untuk mengejar, tapi baharu ia lari dua tindak, di
sebelah depannya, sebuah batu besar menggelinding turun, tepat menjurus padanya.
Dalam keadaan seperti itu, ia pasang kuda-kudanya, ketika batu sampai, ia
menahan dengan kedua tangannya, lalu dengan mengerahkan tenaganya ia tolak batu
itu, hingga batu itu terpental, menimpa batu lainnya yang menerbitkan suara
gemuruh, hancurannya terbang ke segala penjuru.
Ketika ini digunakan oleh Pit To Hoan beramai akan singkirkan diri ke atas
bukit. Tantai Mie Ming masih hendak mengejar, ia dicegah si pangeran.
"Tantai Tjiangkoen, sudahlah, jangan kejar mereka!" kata pangeran ini, yang
hatinya ciut. Ia juga kuatirkan musuhnya mengatur barisan sembunyi.
Pit To Hoan beramai telah lari terus mendaki bukit.
"Hoohan, tunggu!" ia teriaki penolongnya. Si orang tidak dikenal yang dandan
sebagai orang Mongolia itu telah menantikan sampai To Hoan semua tiba di tengah
bukit, tiba-tiba ia perdengarkan suitan panjang, habis mana, ia lari turun ke
belakang bukit. Maka ketika To Hoan sampai di atas, orang aneh itu sudah tak
nampak sekalipun bayangannya.
"Sungguh aneh!" kata Tjinsamkay. Karena terpaksa, ia ajak kawan-kawannya turun
gunung, akan kembali ke rumah keluarga Na di mana mereka bicarakan hal si orang
luar biasa itu. Mereka menduga-duga. Cuma dalam satu hal mereka sependapat,
bahwa orang aneh itu adalah si orang bertopeng.....
"Bukan cuma dia yang aneh, juga si orang Ouw," kata To Hoan kemudian. "Ketika
kita mulai lari, Tjek Laotee sudah lari lebih
dahulu, apabila batu gunung itu jatuhnya ke belakang sedikit, sudah pasti Tjek
Laotee terancam bahaya besar."
"Mungkin, untuk menghindarkan tentera negeri bercelaka maka dia berbuat
demikian," kata Tjek Po Tjiang.
Mendengar semua pembicaraan itu, In Loei tertawa.
"Dia bukannya orang Ouw, dia adalah Tantai Mie Ming!" ia beritahu. "Dia adalah
orang Han yang menjadi besar di Mongolia."
Pit To Hoan kerutkan alis.
"Walaupun aku benci sangat turunannya Tjoe Goan Tjiang," berkata jago tua ini,
"akan tetapi siapa membantu bangsa Ouw, apapula dia bernama Mie Ming, dia
sungguh menyebalkan! - Aku benci padanya!"
"Mie Ming" itu, atau "Biat Beng," artinya: "Memusnakan ahala Ming (Beng)."
In Loei juga tuturkan halnya Tantai Mie Ming yang sengaja membiarkan dia dapat
loloskan diri. Kembali orang ramai bicarakan sikapnya Mie Ming itu.
"Tentang si orang aneh, lain kali saja kita selidiki asal usulnya," kata To Hoan
kemudian. "Tentang sikap Tantai Mie Ming, kita juga baik tunda dulu. Sekarang
ini yang paling perlu adalah dengan cara bagaimana kita dapat menolongi San
Bin." Mereka itu bungkam, tidak ada yang mendapat pikiran baik.
"Oleh karena kita tidak peroleh daya, terpaksa kita mesti gunakan kekerasan!"
kata In Loei akhirnya. Kita merampas kereta persakitan di tengah jalan!"
"Jumlah tentera pengiring sangat besar," Tjek Po Tjiang peringatan, "juga
terdapat tiga pahlawan nomor satu dari kota raja, aku kuatir bukan saja kita
tidak akan berhasil, mungkin kita akan nampak kerugian....."
"Sekarang baiklah kita selidiki dahulu," To Hoan usulkan kemudian.
Demikianlah mereka bekerja.
Pada waktu magrib, penyelidik telah kembali dengan warta yang diperolehnya: Thio
Hong Hoe telah menugaskan Khoan Tiong mengepalai sebagian besar serdadu-serdadu
Gielim koen serta anggauta Kimie wie, untuk membantu menyapu pelbagai
pasanggrahan, sedang dia sendiri bersama Hoan Tiong, dengan mengajak kira-kira
tujuh puluh serdadu Gielim koen, sudah berangkat mengiringi orang-orang tawanan
pulang ke kota raja. "Besok mereka akan lewat di sini," demikian mata-mata itu mengakhiri laporannya.
"Bagus!" seru To Hoan dengan girang. "Biarlah besok kita ambil sikap keras
terhadap mereka itu!"
-ooo0dw0ooo- BAB XII Malam itu In Loei merasa gelisah, tak dapat ia tidur pules. Ia sangat berduka
mengingat San Bin berada dalam tangan musuh.
"Besok, sekalipun masti mengadu jiwa, aku mesti tolongi dia!" ia berpikir.
Segera ia bayangkan bagaimana San Bin menghendakinya supaya mereka berdua
bersikap sebagai kakak beradik satu dengan lain. Ia pun merasa tidak tenteram
mengenai kesan San Bin terhadap dirinya.
"Untukku berkorban guna menolongi dia, ada urusan gampang," ia berpikir lebih
jauh, "akan tetapi untuk aku terima cintanya, itulah tak dapat....."
Waktu itu ia dengar suara batuk-batuk dari Tjoei Hong, yang tidur di kamar
sebelah. Ia duga, nona Tjio juga sedang berpikir keras maka nona itu masih belum
tidur pules. Tertawalah In Loei seorang diri ketika ia ingat tingkah lakunya Tjoei Hong yang
sangat menyintai ia, yang "tergila-gila" terhadapnya. Karena ini, terbayanglah
Tjoei Hong dan San Bin di depan matanya. Maka ia tertawa dalam hatinya dan
berkata: "Baik, begini harus aku bekerja! Mereka itu mesti dipadukan satu pada
lain, dengan begitu terhindarlah aku dari segala kesulitan!....."
Baharu lenyap bayangan San Bin dan Tjoei Hong, atau sekarang berpetalah bayangan
dari Thio Tan Hong, si mahasiswa berkuda putih. Ini bukan lagi satu kesulitan,
ini adalah "hal yang sangat hebat".....
Bimbang hati In Loei, sampai ia tak dapat memikir suatu apa, ia rasakan otaknya
seperti kosong. Tidak mau ia memikirkannya terlebih jauh, tidak berani ia
mengingat-ingat pula si anak muda.....
Di hari kedua pagi-pagi, Pit To Hoan sudah siap sedia. Ketika In Loei muncul di
thia, ruang luar, di sana telah berkumpul kawan-kawan mereka.
"Kami telah mendapat keterangan jelas," berkata To Hoan, "Thio Hong Hoe bersama
Hoan Tiong telah pimpin lima puluh serdadu Gielim koen, mereka mengiring enam
buah kereta persakitan, di antaranya ada sebuah yang besar istimewa, selama
dalam perjalanan, Hong Hoe di atas kudanya tak pernah berpisah jauh dari kiri
kanannya kereta istimewa itu, keras sekali penjagaannya. Maka itu aku duga,
tawanan dalam kereta itu mestinya keponakan San Bin. Mengenai usaha kita ini,
tak keburu kita mengirim pula berita loklim tjian. Jumlah orang-orangnya saudara
Na serta saudara-saudara yang berada di dekat sini ada lebih daripada empat
puluh jiwa, aku anggap jumlah ini sudah cukup. Thio Hong Hoe memang liehay,
tetapi aku rasa, dengan aku berdua In Siangkong yang melayani padanya, mungkin
kita dapat mempertahankan diri. Tjengliong Kiap ada selat berbahaya, maka kita
pun dapat menggunakan akalnya si orang aneh yang kemarin menggelindingkan batu-batu dari
atas bukit". "Jika kita menyerang dengan batu besar, apa tak kuatir kita nanti mengenai
kereta-kereta persakitan?" tanya Na Thian Sek.
"Jangan kita pakai batu yang besar-besar," To Hoan beritahu. "Kita pakai batubatu koral sebesar telur ayam, dengan itu kita melempari kalang-kabutan pada
tentera negeri. Maksud kita adalah untuk membuat mereka kalut, supaya
perhatiannya menjadi kacau balau. Na Tjeetjoe, nona Tjio, silakan kamu pimpin
belasan saudara, untuk mendaki bukit, guna mengacau musuh itu. Barangkali
tentera negeri itu akan sampai di lembah pada waktu tengah hari, maka sekarang
juga kita boleh bersiap sedia. Mari kita berangkat!"
Segera rombongan itu keluar dari thia, akan naiki kudanya masing-masing dan
mulai berangkat. In Loei larikan kudanya berdampingan dengan Tjinsamkay Pit To
Hoan. "Pit Lootjianpwee, kenapa kau tidak pakai kuda putih" tanya nona ini.
Memang To Hoan tidak pakai kuda putih itu. Ia tertawa.
"Telah aku kembalikan kuda itu pada pemiliknya!" ia jawab sambil tertawa.
"Apa" Kapan Thio Tan Hong bertemu pula dengan iootjianpwee?" tanya In Loei
heran. "Tjiauwya saytjoe ma benar-benar kuda yang sangat luar biasa," jawab To Hoan.
"Sifatnya cerdas sekali. Hari itu dia dititahkan majikannya untuk membawa aku
kabur, dia telah meloloskan aku dari bahaya, habis itu dia berbenger tidak
hentinya, tak mau dia tunduk lagi terhadap aku. Tahulah aku, dia ingat pada
majikannya, maka aku lepaskan dia pergi sendirian."
"Bagaimana iootjianpwee bisa ketahui dia pasti akan dapat mencari majikannya?"
In Loei tanya pula. "Apakah tidak sayang umpama kata dia dicegat orang jahat di
tengah jalan?" To Hoan kembali tertawa.
"Adalah biasanya kuda perang yang baik dapat mencari majikannya sendiri," ia
kata, "apapula Tjiauwya saytjoe ma ada seekor kuda yang luar biasa sekali. Lagi
pula, siapa yang tidak liehay luar biasa, tidak nanti dia sanggup mencegat kuda
jempolan itu!" In Loei memang ketahui kecerdikan kuda itu, akan tetapi karena ia pikirkan
sangat Tan Hong, ia jadi berkuatir juga.
Habis berbicara, To Hoan tertawa pula.
"In Siangkong," kata dia, kalau nona Tjio tidak memberitahukannya kepadaku,
sungguh aku tidak ketahui Thio Tan Hong itu adalah musuh besarmu turun
temurun....." Muka In Loei merah. Ia tidak menjawab. Untuk menyingkir dari To Hoan, ia
bunyikan cambuknya hingga kudanya lompat kabur.
Heran To Hoan menyaksikan kelakuan orang itu. Ia lantas menduga pada sesuatu
hal. Karena ini, ia tidak menanyakan terlebih jauh.
Tidak lama berselang, sampailah mereka di selat, lantas mereka masuk ke dalam
lembah. Seperti telah direncanakan, To Hoan lantas atur rombongan yang mesti
sembunyikan diri, habis mana mereka terus menantikan sang waktu.
Tepat selagi matahari mulai condong kebarat, dari arah depan datang warta
pemberitahuan dari juru pengintai:
"Sudah datang! Sudah datang!"
Semua orang segera menyiapkan senjatanya masing-masing, tegang hati mereka
selagi mereka memasang mata, menanti-nanti. Mereka tidak usah menunggu lama atau
mereka lantas nampak lerotan dari enam buah kereta persakitan serta barisan
serdadu pengiringnya. Perlahan bergeraknya lerotan itu.
"Itulah kereta yang di tengah!" To Hoan kata pada In Loei sambil menunjuk.
In Loei mengawasi dengan tajam.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring dari Thio Hong Hoe, sambil berkata
dengan keras: "Untuk merampas persakitan, inilah saatnya!"
To Hoan dan In Loei jadi terperanjat. Nyata, dengan begitu, komandan Kimie wie
itu telah menduga maksud mereka dan telah bersedia-sedia untuk menyerbu tukang
cegat. Tapi anak panah telah dipasang dibusurnya, tak dapat jikalau tidak terus
dipanahkan. Maka To Hoan memberikan isyaratnya.
Segera rombongan-rombongan yang bersembunyi munculkan diri.
Thio Hong Hoe dengan sebat mengatur barisannya, untuk melindungi kereta-kereta,


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

guna menyambut serangan. Dengan berani To Hoan maju di muka rombongannya, untuk menyerbu.
Barisan Gielim koen adalah barisan yang terpilih, mereka sudah terdidik, maka
itu rapi perlawanan mereka, tidak peduli rombongan dari Na keetjhoeng ada
tangguh, mereka tidak dapat segera digempur hancur, mereka dapat membuat
perlawanan yang gigih. Kembali terdengar tertawa nyaring dari Thio Hong Hoe.
"Tjinsamkay, orang tua she Pit!" demikian suaranya itu, yang berupa ejekan.
"Kemarin ini aku telah membiarkan kau lolos, kenapa sekarang kau berani antarkan
diri masuk ke dalam jaring?"
Pit To Hoan tahan kudanya. Ia pun bersikap dingin.
"Lihat saja siapa yang masuk ke dalam jaring!" sahutnya. Lalu dengan mendadak ia
perdengarkan suitan nyaring, yang berkumandang di dalam lembah sampai umpama
kata burung-burung kaget dan pada terbang.....
Itulah tanda rahasia untuk rombongan tersembunyi di atas bukit, tanda untuk
mereka itu mulai turun tangan.
Menyambut tanda rahasia itu, Na Poo Tjiang segera perlihatkan diri, di
belakangnya ada rombongannya.
Belum lagi Poo Tjiang bergerak, atau sekonyong-konyong terdengar suara dari
sambar-menyambarnya pelbagai senjata rahasia, hingga ia jadi kaget sekali.
"Celaka!" serunya.
Juga banyak batu-batu ditimpukkan ke arah rombongan Na keetjhoeng ini.
Nyata pihak penyerang dipimpin Hoan Tiong,
Gietjian siewie yang menjadi salah satu dari tiga jago nomor satu dari kota
raja. Dia mempunyai senjata rahasia "bor terbang" - hoeitjoei.
Tjek Poo Tjiang adalah ahli senjata rahasia, walaupun demikian, tidak dapat ia
tidak berlaku hati-hati untuk melayani musuh, sedang orang-orangnya menjadi
repot, karena mereka kalah desak.
Pertempuran dilakukan terutama dengan main saling timpuk batu.
Oleh karena serangan di luar dugaan itu, barisan bersembunyi ini jadi tidak
mampu membantu kawannya di dalam lembah, untuk membokong tentera negeri.
Thio Hong Hoe merasa sangat puas, hingga ia tertawa berkakakan.
"Satu panglima, mana boleh tak memeriksa keletakan tempat!" katanya, jumawa.
"Satu panglima mesti senantiasa berjaga-jaga! Tjinsamkay, dalam ilmu silat kau
liehay tetapi kau kurang membaca kitab perang!"
Pit To Hoan jadi sangat mendongkol, ia seperti ngamuk dengan toya Hangliong
pang-nya, setelah menyampok beberapa senjata musuh, sambil maju, tangan kirinya
menyambar satu musuh yang ia cekuk, habis mana bagaikan entengnya rumput, tubuh
itu dilemparkan jauh. In Loei di lain pihak juga sudah menerjang hebat, dengan dua bacokan, ia
rusakkan seragam besi orang, hingga musuh-musuh
yang berada di depannya terpaksa harus mundur. Dengan begitu, dapat ia merangsak
seperti Pit To Hoan. Thio Hong Hoe memimpin dengan tabah, dengan memberikan isyaratnya, barisannya
terpecah dua, membiarkan To Hoan dan In Loei menyerbu di antara mereka. Satu
pasukan lainnya mencegat majunya rombongan perampas persakitan itu.
(bersambung Jilid 2) CATATAN 1) halaman 129--Tjio Eng adalah keturunan dari Tjio Thian Tok (perwira bawahan
Thio Soe Seng, leluhur Thio Tan Hong), sedangkan lukisan yang berada di rumah
Tjio Eng lalu diambil Thio Tan Hong adalah peta harta peninggalan Thio Soe Seng.
Lukisan itu sebelumnya berada di rumah In Boe Yang, lalu oleh istri In Boe Yang
diserahkan kepada Tjioe Eng, kejadian ini diceritakan di Hoan Kiam Kie Tjeng
(Sebilah Pedang Mustika). Lukisan itu adalah lukisan yang dilihat In Loei dan
Tjio Tjoei Hong sewaktu dipanggil Tjioe Eng naik ke atas loteng.
2) halaman 142--"Kapu-kapu telah hanyut, untuk apa menanyakan tentang sumber
asalnya?" Thio Tan Hong adalah turunan dari Thio Soe Seng, pada waktu Thio Soe
Seng kalah perang dan terbunuh, perwira bawahannya, Tjio Thian Tok (ayah
Hongthianloei Tjio Eng) berhasil melarikan anak Thio Soe Seng ke luar perbatasan
(Mongolia), anak itu adalah kakek Thio Tan Hong. Baca Hoan Kiam Kie Tjeng
(Sebilah Pedang Mustika) 3) halaman 252 - Ternyata urusan peta bumi ini kembali muncul di cerita
berikutnya, Sanhoa Liehiap (Pendekar Wanita Penyebar Bunga), kali ini turunan
keluarga Pit yang tidak mau kalah dengan keluarga Tjoe dan Thio untuk menjadi
kaisar. Sebab dari tiga murid Pheng Hweeshio, Tjoe Goan Tjiang dan Thio Soe Seng
sudah mencicipi tahta kerajaan, hanya keluarga Pit yang belum. Turunan keluarga
Pit itu juga merasa lebih berhak atas peta tsb, karena leluhurnya ikut membuat.
-ooo00dw00ooo- Seri ke 2 Thiansan Karya : Liang Ie Shen Saduran : OKT Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/
Jilid 2 Bab XII (lanjutan) Dengan membelakangi kereta persakitan, Hong Hoe menuding To Hoan dengan golok
Biantoo-nya, sambil tertawa, ia kata: "Tjinsamkay mari kita bertempur pula tiga
ratus jurus!" Kemudian ia melirik pada In Loei sambil menambahkan: "Bagus,
bagus, kau pun datang bersama. Baiklah kamu boleh maju berbareng! Aku sendiri,
aku tidak membutuhkan lain pembantu!"
To Hoan rasakan mukanya menjadi panas sekali, ia gusar tak kepalang.
"Hari ini kita bertempur untuk kawan masing-masing!" ia kata dengan sengit.
"Tidak peduli jumlah kamu jauh terlebih besar, hendak aku adu jiwaku!"
Lalu dengan jurus "Honghouw inliong' "Harimau di antara angin dan naga di dalam
mega," ia menyerang hebat sekali dengan toya-nya, anginnya pun menyambar keras.
Dengan tubuh tidak bergerak dari tempatnya berdiri, Thio Hong Hoe tangkis
serangan toya Tjinsamkay, begitu pula ketika In Loei menikam, ia halau ujung
pedang Tjengbeng kiam itu, sesudah mana dengan kegesitannya, ia balas menyerang,
beruntun tiga kali. Diam-diam Tjinsamkay mengeluh dalam hatinya. Serangan dahsyatnya telah gagal.
Siapa tahu, musuh ada terlebih hebat daripadanya, tak peduli ia berdua. Terpaksa
ia ubah caranya bersilat, satu kali ia menyampok sambil memutar tubuhnya.
In Loei di lain pihak memperlihatkan kepesatan-nya bergerak, ia menyerang
seperti kawannya, sama sekali tak sudi ia kalah desak.
Hong Hoe tangguh, dibanding dengan To Hoan, ia menang satu tingkat, maka itu
dengan tambah lawan dalam dirinya nona In, berselang tiga puluh jurus, repot
juga ia, hingga ia terdesak mundur. In Loei cerdik sekali, menggunakan ketikanya
yang baik, dengan kegesitannya, ia tinggalkan lawannya, yang ia biarkan dilayani
To Hoan, ia sendiri lompat melesat ke kereta persakitan.
Tegang hati si nona. Tidak ia sangka, Hong Hoe dapat dilewatkan secara demikian
mudah. Ia merasa curiga juga. Apakah benar Hong
Hoe demikian alpa" Akan tetapi, dalam keadaan itu, tak sempat In Loei berpikir
lama. Maka juga, dengan cepat ia singkap penutup kereta persakitan itu!
Di dalam kereta terdapat satu tubuh orang yang merengket, karena kereta ditutupi
kain penutup, maka orang tak dapat melihat dengan jelas. Walaupun begitu, In
Loei menjadi sangat girang.
"Tjioe Toako." ia berseru. Dan ia pindahkan pedangnya dari tangan kanan ke
tangan kiri, lalu dengan tangan itu ia menyambar tubuhnya San Bin.
Tiba-tiba tubuh yang merengket itu perdengarkan tertawa iblis "Hm! Hm!" Tubuh
itu pun berbangkit, sebelah tangannya menyambar, menyekal keras lengannya In
Loei di bahagian nadi. Tidak terkira kagetnya si nona. Sungguh ia tidak menyangka.
"Silakan masuk!" terdengar tubuh merengket itu bersuara sambil terus menarik
dengan keras. Tanpa ia berkuasa, tubuh In Loei tertarik masuk ke dalam kerangkeng. Ketika ia
terbetot pedangnya di tangan kiri itu menyambar tenda hingga tenda itu robek dan
mendatangkan cahaya terang.
"Ah, kiranya kau?" seru orang yang merengket itu, agaknya ia terkejut.
In Loei cerdik, ia tidak menjadi gugup, selagi orang tercengang, pedangnya
digerakkan, menikam tangan orang. Orang itu kaget, ia lepaskan cekalannya, terus
ia lompat keluar dari kerangkeng. Atas itu, In Loei lompat keluar juga.
Sekarang, di udara terbuka In Loei dapat melihat dengan tegas orang yang
tubuhnya merengket itu yang memakai kopiah menutupi mukanya, hingga tampak hanya
sepasang matanya yang jelilatan tajam. Nyata dia adalah si gembala bangsa
Mongolia yang kemarin ini - ialah orang yang menyerang si pangeran asing.
Tak berjauhan jaraknya ia berdiri berhadapan dengan orang itu, masih nona In
mengawasi dengan tajam. Ia melihat tegas sekali. Maka tidak salah, orang ini,
yang tubuhnya kurus, adalah si orang bertopeng juga! Ia menjadi girang berbareng
heran. "Tahukah kau dikereta mana adanya Tjioe Toako?" ia tanya. Ia pikir, orang ini
mesti ada kawannya sendiri. Dia toh yang mengusulkan tipu kepada To Hoan untuk
mencegat si pangeran, untuk membekuk pangeran itu. Dia pun secara diam-diam
sudah membantu padanya. Tapi, jawaban yang ia peroleh ada di luar sangkaannya.
"Siapa tahu tentang Tjioe Toako kamu itu?" demikian jawaban itu, tawar, ditambah
dengan tertawa dingin. Lalu, dengan sebat luar biasa, dengan gerakan Taylek
Kimkong Tjioe - "Tangan Arhat yang kuat", ia sambar pedangnya si nona, untuk
dirampas. In Loei terkejut, inilah tidak disangka, hingga ia tak berjaga-jaga. Di saat
tangan orang itu hampir menyambar pedang, mendadak matanya bersorot tajam,
tangannya seperti ditunda. Justeru itu, In Loei sadar, untuk mengirim
bacokannya. Orang itu pun terkejut, ketika pedang datang, ia putar tangannya,
sambil menyambuti, ia sentil belakang pedang, hingga terbit suara nyaring.
Nona In menjadi sangat kaget, sentilan itu membuatnya tangannya sakit, hampir
saja pedangnya terlepas dari cekalan. Insaflah ia bahwa latihan Taylek Kimkong
Tjioe orang ini mahir sekali.
Pada saat itu, di pihak sana terdengar pula tertawanya Thio Hong Hoe, tertawa
bergelak-gelak, disusul dengan kata-katanya yang mengandung ejekan: "Orang tua
she Pit, kau lihat! Siapakah yang mengantarkan diri ke dalam jebakan?"
"Trang!" demikian suara yang menyusuli ejekan itu. In Loei menduga, saking
mendongkol, To Hoan menghajar dengan keras, dan tak kurang kerasnya Hong Hoe
menangkis, hingga kedua senjata bentrok hebat, sampai telinga bagaikan tuli.
Sementara itu, lolos serangannya yang pertama, In Loei telah mengulangi untuk
kedua kalinya. Kembali ia gagal. Sangat gesit gerakan si kurus itu, keras sekali
sampokannya setiap kali ia menangkis, sampai pedang si nona setiap kali mental.
In Loei jadi sangat penasaran, ia menyerang terus. Ia perlihatkan ilmu pedang
"Pekpian Hian Kee Kiamhoat" yang beraneka warna gerakan dan perubahannya. Pedang
itu membacok ke atas delapan kali, kebawah delapan kali, juga masing-masing
delapan kali menikam ke kiri dan kanan, semuanya silih ganti.
Orang bertopeng itu liehay, akan tetapi atas desakan itu, ia repot juga. Untung
baginya, walaupun ia didesak hebat, pada saat yang berbahaya, In Loei
meneruskannya setengah hati, sebab si nona masih ingat, ia seperti kenal orang
ini. Entah kapan, entah di mana, pernah rasanya ia menemui si kurus. Ia berkesan
baik terhadap orang asing ini, karenanya iapun ragu-ragu.....
Setelah serangannya tak hentinya selama tiga puluh dua jurus, baharulah gerakan
In Loei menjadi kendor. Dan lawannya yang sejak tadi melawan dengan tangan
kosong, telah menghunus goloknya yang tersoreng di pinggangnya, untuk melakukan
penyerangan membalas, ia berbalik mendesak, makin lama makin sebat, sinar
goloknya bergemerlapan. Kalau tadi ia menyerang, kini In Loei membela diri saja, pedangnya dibuat tidak
berdaya, beberapa kali pedang itu kena dibikin terpental, syukur tak sampai
lepas dari cekalannya. Nyata sekali golok si penyerang tidak dapat berbuat
banyak, adalah tangan kirinya, yang tiap-tiap kali menyampok dengan hebat.
In Loei telah terdesak, beberapa kali ia mengalami saat-saat yang berbahaya,
akan tetapi sampai pada saat itu, ia bebas sendirinya, golok dan tangan kosong
dari lawannya tidak mengenai sasarannya. Entah itu disengaja atu tidak,
kejadiannya sama seperti In Loei tadi - tadi In Loei seperti tidak hendak
melukai lawannya itu.....
Dalam keadaan terdesak sebagai itu, In Loei empos semangatnya, untuk membuat
perlawanan dengan gigih, kalau
tidak, segera ia akan dirubuhkan. Sementara itu, ia lihat mata orang yang
bersinar tajam, yang terus dipakai menatap mukanya, seolah-olah orang itu sangat
memperhatikan padanya. Sikap lawan itu membuatnya ia tertarik. Tiba-tiba saja ia
menangkis, untuk menahan golok yang dipakai membacok padanya.
"Kau siapa?" ia tanya.
Orang itu membalas menangkis.
"Kau siapa?" diapun tanya.
Dibaliki secara begitu, si nona melengak.
"Kau sebutkan lebih dulu!" ia bentak.
"Kau dulu!" orang itu mengulangi, sementara air mukanya sedikit berubah.
In Loei bersangsi. "Mana dapat aku perkenalkan diri padamu?" ia berpikir. Tapi keras niatnya untuk
mengetahui orang itu. Lagi-lagi ia menangkis, sampai tiga kali.
"Kau bicara lebih dulu!" katanya pula. "Tidak, kau dulu!" orang itu membandel.
Dia mirip dengan satu bocah kepala batu, kedua matanya berputar, wajahnya
berubah pula. Menyaksikan sikap orang itu, In Loei membayangkan satu sahabatnya semasa mereka
masih kecil. Ia mencoba mengingat-ingat dengan terus tak henti-hentinya
bersilat. Lawan itu juga melakukan perlawanan, hanya sekarang ia berlaku tak sesehat tadi.
Masih ia senantiasa tatap wajah lawannya.
Dalam penasarannya, In Loei mendesak, dua kali ia menikam. Kedua-duanya
ditangkis oleh lawannya. "Kau bicara lebih dulu!" katanya pula.
Selagi kedua orang itu berkutat, membentak satu pada lain, supaya pihak sana
yang membuka mulut lebih dahulu, tiba-tiba
terdengar seruannya Pit To Hoan, yang memberi peringatan kepada kawan-kawannya
bahwa keadaan bahaya mengancam pihaknya.
Mendengar suara itu, In Loei melirik kepada jago tua itu. Ia dapat kenyataan,
kawan itu telah terdesak, golok Thio Hong Hoe seperti mengurung dia, hingga
keadaannya jadi sangat berbahaya, sedang kawan-kawan yang menjadi bala bantuan,
kena dirintangi tentera negeri, tak dapat mereka menerjang masuk.
Menampak demikian, In Loei menjadi tegang sendirinya. Ia berkuatir untuk
pihaknya itu. Maka ia mencoba melakukan perlawanan pula dengan keras sekali,
ingin ia menoblos musuhnya.
Pihak lawan itu, yang tidak sudi perkenalkan diri, tetapi menghendaki lain orang
berbicara terlebih dahulu, juga segera perkeras perlawanannya, bagaikan tembok
tanggu, dia menghalang di depan si "anak muda." Hingga tak berhasil In Loei
dengan dayanya itu. "Maukah kau bicara atau tidak?" lawan itu masih menanya.
In Loei mendongkol, tidak sudi ia menyahuti, dalam sengitnya, ia menyerang
dengan terlebih hebat pula.
Lima puluh jurus telah lewat, keduanya tetap dalam keadaan seri. In Loei kalah
tenaga, ia cuma menang gesit, tapi sekarang ia berkuatir untuk Pit To Hoan,
pemusatan pikirannya jadi terganggu, maka itu, lagi beberapa jurus, ia kena
didesak hingga ia mesti main mundur.
Dalam keadaan yang segenting itu, sekonyong-konyong terlihat debu mengepul di
luar selat. Thio Hong Hoe lihat itu.
"Siapa berani menyerbu masuk?" katanya nyaring.
Pertanyaan itu dijawab dengan suara tertawa aneh yang seperti menggetarkan
lembah, lalu tampaklah orang-orang yang menerbitkan debu itu, ialah delapan
penunggang kuda yang tengah mendatangi dengan pesat sekali, sedang dua
penunggang yang jalan paling depan, - agaknya mereka itu menjadi pemimpin, berpakaian secara aneh. Mereka itu yang satu putih mulus, yang lain hitam legam.
Ketika In Loei melihat tegas kedua orang itu, tanpa merasa ia perdengarkan
seruan. Ia agaknya kaget dan heran. Karena ia kenali, kedua orang itu adalah Hek
Pek Moko. Empat orang lainnya adalah si empat saudagar permata, yang pernah
datang ke Tjio keetjhoeng. Sedang kedua penunggang kuda lainnya, yang berada di
belakang, adalah isteri-isteri bangsa Persia dari Hek Moko dan Pek Moko itu.
Berdelapan mereka itu maju pesat, tanpa menghiraukan pertempuran yang kalut dan
dahsyat itu. Hek Moko adalah yang datang paling dekat.
"Kau menggelinding dari, kudamu!" bentak Thio Hong Hoe yang menjadi sangat
murka. Dan dengan satu lompatan, ia segera mendahului membacok.
Hek Moko perdengarkan tertawanya yang aneh, ia angkat tongkat Lekgiok thung-nya,
untuk menangkis bacokan, berbareng dengan itu, ujung tongkatnya meluncur terus
ke arah uluhati si penyerang yang bersenjatakan golok itu.
Hong Hoe kaget dan heran. Tidak ia sangka orang ada demikian liehay. Ia halau
tusukan tongkat itu, habis mana, ia membalas, dengan tak kurang hebatnya. Untuk
dua jurus, ia mendesak hebat.
Hek Moko juga terkejut melihat ketangguan lawan, ia tidak sangka di antara hamba


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

negeri terdapat pahlawan demikian kosen. Ia penasaran, kembali ia menusuk dada
orang. Hong Hoe kembali menangkis, ia tidak mau menyerah kalah.
Dalam penasarannya, Hek Moko menerjang berulang-ulang, yang sama dahsyatnya.
Thio Hong Hoe tangkis serangan berbahaya itu, sambil menangkis, ia angkat
tubuhnya dari bebokong kuda, dengan sebelah kaki, ia injak injakan kakinya,
berbareng dengan mana, dengan sebelah tangannya, ia sambar lawannya itu. Dengan
jurus Kimna tjioe ia gunakan tangan kirinya untuk mencekuk tangan musuh. Ia berhasil,
hingga ia menjadi sangat girang. Sekarang tinggal mengerahkan tenaganya, untuk
membetot lawannya itu. Tapi tiba-tiba ia menjadi kaget, karena tangan yang
dicekal itu licin bagaikan lindung, yang terus dibalikkan untuk dipakai menampar
mukanya! Dalam kagetnya, Thio Hong Hoe masih sempat berkelit, ialah sambil berseru,
sebelah kakinya menjejak, hingga tubuhnya mencelat meninggalkan kudanya dan
jatuh ke tanah sejauh satu tombak lebih.
Hek Moko menjadi heran dan kagum, ia merasa pasti bahwa ia akan dapat menghajar
lawannya itu, siapa sangka, lawan itu pun ada licin sekali.
Pit To Hoan saksikan pertempuran itu, ia heran, terutama karena ia tidak kenal
siapa si hitam ini yang seperti membantu padanya.
"Sahabat siapa di sana?" ia tanya. "Di sini Pit To Hoan menghaturkan hormatnya."
Ia kesohor dengan gelarannya, Tjinsamkay, ia percaya, dengan menyebut namanya,
setiap orang kangouw pasti akan mengenal padanya. Tapi kali ini dugaannya
meleset. Hek Moko tertawa pula, dengan suaranya yang aneh itu.
"Buka jalan! Buka jalan!" dia berseru-seru. "Menggelinding pergi!"
To Hoan tidak mundur, dia malah menghalang di tengah jalan, dengan lonjorkan
toya-nya, ia mencegat. Hek Moko biarkan kudanya lompat kabur, dengan tongkatnya ia halau toya
Tjinsamkay. Kedua senjata bentrok keras, suaranya nyaring. Pit To Hoan miring
tubuhnya karena bentrokan itu, sedang si hitam hampir terguling dari kudanya.
"Bagus!" berseru si hitam ini. "Kau pun ada satu hoohanl Kau minggir!"
Sekarang tidak lagi ia mengusir dengan kata-kata, "Menggelinding pergi" hanya
"minggir!" Ini menyatakan bahwa ia telah menghargai lawannya.
Tapi Pit To Hoan tidak minggir, dalam keadaan seperti itu, tak dapat ia menahan
toya-nya, serangannya yang kedua telah menyusul, kali ini ia mengarah kudanya.
Hek Moko menjadi gusar sekali, ia segera tekan keras toya lawannya itu.
Pit To Hoan terperanjat, apapula ketika ia dilepaskan dari tekanan, tubuhnya
terjerunuk, hampir ia kena terinjak kudanya si orang hitam itu. Dengan
kegesitannya, ia lompat nyamping. Dan kuda lawan dengan pesat luar biasa, sudah
lompat di atasan kepalanya!
Selagi Hek Moko dilayani Thio Hong Hoe dan Pit To Hoan bergantian, Pek Moko pun
telah tiba, ia hanya menyerbu kepada In Loei dan si orang aneh.
In Loei segera lihat si putih ini, ia terperanjat, ia heran atas kedatangan
orang secara tiba-tiba. Ia ingat bagaimana ia bersama-sama Thio Tan Hong telah
menundukkan kedua Moko itu. Maka kalau sekarang Pek Moko ingat sakit hatinya dan
dia mencari balas, celakalah ia. Untuk melayani si orang aneh saja, ia sudah
repot..... Ketika Pek Moko melihat In Loei, tiba-tiba ia tertawa - tertawa aneh seperti Hek
Moko. Kembali ia keprak kudanya, untuk menerjang si orang aneh.
Gusar orang aneh itu, ia menyambut dengan kepalannya ke paha kuda. Tepat
sambutan itu, hingga kuda itu menekukkan kaki depannya. Menyusul ini, si orang
aneh membacok dengan goloknya.
Pek Moko menangkis dengan tongkat Pekgiok thung-nya. Itulah tongkat terbuat dari
baja tulen. Orang aneh itu tidak ketahui ini, ia baharu terkejut apabila dua
senjata telah beradu keras. Terpental golok itu karena bentrokan keras itu,
tetapi si orang aneh tangguh, dengan belakang golok yang terayun, ia menyerang
pula. Tapi juga Pek Moko tidak kurang liehaynya, masih sempat ia menangkis pula, hingga untuk
kedua kalinya, tongkat dan golok bentrok, terus golok terlempar ke udara!
"Jika kau sanggup melayani tongkatku, aku suka memberi ampun padamu!" berseru
Pek Moko. "Minggir!"
Setelah berkata begitu, ia menuding kepada In Loei.
"Kau bukannya tandingan orang ini! Kenapa kau tidak hendak lekas menyingkir?"
Meskipun ia mengucap demikian, ia jepit perut kudanya, hingga kuda itu lompat
kabur. Sebenarnya Hek Pek Moko telah tawar hatinya setelah mereka dikalahkan In Loei
berdua Tan Hong, karena kalah bertaruh, harta di dalam kuburan bukan lagi
miliknya, maka juga ia titahkan ke empat saudagar menutup buku dan berlalu.
Adalah niat mereka untuk pulang ke kampung halaman mereka di Barat. Di luar
dugaan mereka, Tan Hong telah berlaku baik budi, harta mereka telah
dikembalikan. Kejadian ini membuat mereka sangat bersyukur. Dengan modal itu,
mereka lantas berdagang pula. Kali ini mereka dalam perjalanan dari selatan ke
utara, ke delapan kuda mereka menggendol banyak barang permata mulia, niat
mereka adalah melintasi gunung Himalaya, untuk memasuki India, guna menjual
permata itu kepada pangeran-pangeran bangsa India. Adalah di luar dugaan mereka,
di situ mereka menghadapi kedua pihak tengah bertempur, malah pihak yang satu
adalah In Loei, yang mereka kenal baik.
Hek Pek Moko tidak gubris orang dari Jalan Putih atau Jalan Hitam, mereka
bekerja dengan ambil jalan sendiri, karena ini, bertemu dengan tentera negeri,
mereka kuatir nanti dicegat dan dirampas hartanya, maka ingin mereka nerobos
pergi. Ketika, mereka kenali In Loei, ingin mereka membalas budi kebaikannya Tan
Hong, dari itu mereka segera berikan bantuan mereka itu.
Tidak hanya Hek Moko dan Pek Moko yang liehay, juga isteri-isteri mereka dan ke
empat saudagar itu bukannya orang-orang
sembarangan, maka itu ketika mereka berdelapan menyerbu dengan kuda mereka,
tentera negeri menjadi kalut, lekas-lekas mereka menyingkir. Pihak Pit To Hoan
juga tidak terkecuali, hanya To Hoan tidak mau mensia-siakan ketikanya yang
baik, dengan memberikan satu tanda, ia ajak rombongannya lari mendaki bukit.
Hek Moko tertawa berkakakan melihat "musuh" buyar dan lari kalang kabutan, meski
demikian, mereka tidak lantas angkat kaki, masih mereka mondar-mandir di dalam
lembah itu, untuk mencegah In Loei beramai dikepung pula tentera negeri itu,
adalah setelah In Loei semua sudah tiba di tengah bukit, baharu mereka kabur,
untuk melanjutkan perjalanan mereka.....
Thio Hong Hoe mendongkol bukan main, ia lantas kumpulkan tenteranya, ia ingin
kejar musuh, akan tetapi ia tidak mempunyai ketika lagi.
Dari kejauhan, Hek Pek Moko berpaling ke arah bukit.
"Hai, babah kecil!" teriak mereka berbareng terhadap In Loei, "babah besar yang
menjadi sahabatmu itu tengah menantikan kau di sebelah depan sana! Kenapa kau
tidak berada bersama dia?"
Tahulah In Loei, dengan "babah kecil" dimaksudkan ia, dan dengan "babah besar"
dimaksudkan Thio Tan Hong, karenanya, hatinya bercekat. Jadi Tan Hong berada di
sebelah depan. Sebenarnya ingin ia menanyakan Hek Pek Moko, atau:
"Siapa kedua orang itu?" Pit To Hoan tanya dia. "Mereka adalah Hek Moko dan Pek
Moko dari Tanah Barat," In Loei jawab. To Hoan terperanjat.
"Jadi mereka adalah kedua iblis itu!" serunya. "Memang, sudah lama aku dengar
nama mereka, baharu kali ini aku melihat mereka itu. Tidak aku sangka, kita
dapat lolos dari bahaya karena bantuan mereka. Bagaimana sekarang" San Bin masih
belum dapat ditolong....."
"Orang she Pit ini jadi sangat masgul. Tapi, dalam keadaan seperti itu, ia tidak
boleh membuang-buang waktu, lantas ia bantu
Tjek Poo Tjiang memukul mundur pasukan tersembunyi dari musuh, habis mana mereka
mundur dari belakang bukit, untuk pulang ke Na keetjhoeng.
Hari sudah magrib ketika mereka tiba di rumah, semuanya lesu, lelah dan masgul,
karena sia-sia saja usaha mereka. Waktu mereka asyik berbicara, mereka
membicarakan halnya si orang tak dikenal itu, yang menyamar sebagai pengembala
bangsa Mongolia, yang kali ini bersembunyi di dalam kereta persakitan tanpa
diketahui apa maksudnya. Mereka menduga-duga tanpa ada pemecahannya.
"Malam ini pasti Thio Hong Hoe bermalam di dalam kota." kata Pit To Hoan seraya
mendongak untuk melihat cuaca. "Aku pikir, lebih baik kita pergi ke kota, untuk
mengadakan penyelidikan. Mesti kita ketahui bagaimana nasibnya keponakan San
Bin, supaya kita berdaya upaya menolongnya pula. Thio Hong Hoe sangat licin, dia
telah memperdayakan kita, maka itu, sulit bagi kita untuk mengetahui, San Bin
berada di dalam kerangkeng atau tidak....."
Semua orang berdiam ketika mereka ingat akan keliehayannya Thio Hong Hoe, yang
gagah dan cerdik sekali. "Di antara kita, In Siangkong, kaulah yang paling sempurna ilmu entengkan
tubuh," berkata pula To Hoan. "Di samping itu, di dalam kota, adalah rumah
penginapan kita yang paling besar....."
Mendengar ini, In Loei yang cerdik, segera mengerti maksud orang.
"Memang!" katanya. "Pada siang hari kita gagal menggunakan golok dan tombak,
tapi pada malam hari kita pasti dapat membuatnya mereka kalut dan repot! Atau
sedikitnya, kita mungkin dapat mengetahui keadaan mereka yang sebenarnya.....
Thio Hong Hoe gagah perkasa, aku sangsi dia pandai ilmu enteng tubuh, maka andai
kata aku gagal, dapat aku menyingkir daripadanya, belum pasti dia dapat mengejar
aku dan menyandaknya....."
Maka diambillah keputusan, malam itu In Loei akan pergi membuat penyelidikan dan
Pit To Hoan turut sebagai kawan yang mengintai di luar hotel.
Demikian sekira jam dua, kedua orang itu telah masuk secara diam-diam ke dalam
kota di mana mereka segera disambut oleh pihaknya.
Benar saja, Thio Hong Hoe beramai telah mengambil tempat di hotel kaumnya
Tjinsamkay, dari itu In Loei, dengan mengandal jongos hotel, dapat masuk ke
dalam hotel dengan mengambil jalan dari pintu belakang. Ia minta keterangan,
kamar mana yang Hong Hoe pakai, habis itu, ia beristirahat sebentar.
Kira-kira jam tiga, nona In sudah lantas salin pakaian, untuk memakai yaheng ie,
pakaian untuk bekerja malam, tetapi ketika hendak lompat naik ke atas genteng,
kupingnya mendengar tindakan kaki kuda, yang dengan cepat sekali telah tiba di
muka hotel. Dari dalam rumah penginapan pun sudah lantas keluar serdadu Gielim koen, yang
menyambut orang yang baharu tiba itu.
"In Siangkong, harap tunggu sebentar," pesan jongos yang melayaninya.
Dengan bawa tahang air dan makanan kuda, jongos ini terus pergi keluar. Sampai
sekian lama, setelah suara di luar sunyi, baharu ia kembali.
"Rupanya itu adalah kabar kilat," ia beritahu In Loei. "Entah urusan apa yang demikian penting."
Di jaman itu, surat-surat di kirim dan dibawa bergantian oleh pelbagai pesuruh,
yang mempunyai pos-pos sendiri, untuk saling menolong, secara demikian suratsurat dapat disampaikan kepada alamatnya secara cepat sekali. Itulah cara yang
dinamakan "Pat pek lie koay ma kee kin" atau "Larinya kuda cepat delapan ratus
lie." Dalam satu hari orang dapat mencapai sepuluh pos dan menukar sepuluh ekor
kuda, kudanya adalah kuda pilihan, penunggang
kudanya jempolan. Maka dalam tempo dua belas jam, kuda itu dapat menempuh jarak
sejauh tujuh atau delapan ratus lie.
In Loei heran. "Cara bagaimana kau ketahui itu?" ia tanya.
"Sebab, kuda pembawa surat itu telah lelah hingga rubuh," sahut si jongos,
"dengan pertolongan dua orang, baharu kepala kuda itu dapat diangkat untuk
diberi air minum....."
In Loei berpikir. "Baiklah," katanya. "Sekarang ingin aku ketahui, kabar penting apakah yang
dibawa itu." Kamar Thio Hong Hoe berada di sebelah selatan, kamar itu besar. Ke sana In Loei
nelusup, terus saja ia gelantungkan diri di payon kamar, untuk mengintai ke
dalam. Di dalam kamar itu tampak duduk seorang pesuruh, Hong Hoe sendiri tengah
menyekal sepucuk surat. "Penjahat yang hari ini kami dapat tawan, satu pun belum sempat kami periksa,"
berkata Hong Hoe, "karena itu, belum diketahui apa di antaranya ada orang yang
dimaksudkan, tetapi umpama kata benar ada, pasti sekali akan aku turuti kehendak
Kong Tjongkoan. Kau tentunya letih sekali, pergi kau beristirahat, supaya besok
kau dapat segera kembali ke kota raja. Salinan surat dinas ini nanti aku
titahkan orang menyampaikannya kepada Khoan Tiong."
"Terima kasih, thaydjin1." mengucap pesuruh itu, yang terus meminta diri untuk
pergi. Hong Hoe sudah lantas jalan mondar-mandir, kedua alisnya dikerutkan. Terang ia
tengah menghadapi urusan sangat penting.
"Mana orang!" tiba-tiba ia memanggil.
Segera setelah itu, satu serdadu yang menjaga di pintu luar bertindak masuk. Dia
ini diberi titah dengan suara hampir berbisik, atas mana, dia keluar pula.
Masih Hong Hoe nampak tak tenang, ia garuk-garuk belakang kupingnya. Ia beber
kertas di tangannya itu, untuk diawasi.
Dari tempatnya mengintai, In Loei dapat lihat kertas itu. Itulah bukan surat
dinas, itu adalah lukisan satu orang. Melihat gambar itu, hampir In Loei tak
tahan untuk tidak perdengarkan jeritan. Itu adalah gambarnya Tjioe San Bin, yang
ia hendak tolongi. Hong Hoe berkata seorang diri, suaranya tak tegas: "Lebih dulu tusuk tulang
piepee-nya, lalu kedua matanya dikorek keluar, setelah itu dia masih hendak
dipakai sebagai umpan untuk menagih kepada Kim Too Tjeetjoe..... Ah, inilah
sungguh kejam!" In Loei terkejut. "Jikalau benar mereka berbuat demikian macam terhadap saudara San Bin, malam ini
aku mesti adu jiwaku!" dia berpikir. "Biarlah kita semua bersama binasa!....."
Dan ia genggam Bweehoa Ouwtiap-nya. Hatinya tegang, tubuhnya sampai bermandikan
keringat dingin. Tidak lama kemudian terdengar tindakan dari beberapa kaki.
"Inilah tentu saudara San Bin yang diiring," In Loei menduga-duga. Ia lantas
memasang mata, hatinya jadi bertambah tegang. Tapi, ketika ia lihat dengan
nyata, ia jadi melengak, hampir saja ia keluarkan seruan tertahan.
Yang datang itu adalah satu perwira muda, dialah orang dengan siapa tadi In Loei
bertempur, dia juga si orang aneh yang malam itu membokong si pangeran asing!
"Saudara Tjian-lie, urusan ini sangat sulit untuk diputuskan," berkata Thio Hong
Hoe kepada anak muda itu.
"Apakah itu, Thio Thaydjin?" tanya si anak muda. Hong Hoe tidak segera menjawab,
ia hanya maju dua tindak, hingga ia berdiri berhadapan dengan si anak muda. Ia
bersenyum. "Kau meninggalkan kota raja pada tanggal tujuh belas, kenapa baru kemarin malam
kau tiba di sini?" dia tanya.
Anak muda itu nampak kemalu-maluan, ia alihkan pandangan matanya. Habis itu ia
paksakan bersenyum. "Di tengah jalan aku diganggu hujan, kudaku tak dapat jalan," ia kata.
"Karenanya aku terlambat."
Thio Hong Hoe tertawa. "Benarkah itu?" dia tanya pula.
Wajah pemuda itu berubah, ia mundur satu tindak, tangannya menekan meja.
"Apakah Thaydjin curigai aku?" dia tanya.
Thio Hong Hoe tertawa pula, bergelak.
"Mustahil aku curigai kau....." sahutnya. Lalu,
dengan suara dalam, dia tambahkan: "Walaupun kau memakai seragam Kimie wie belum
cukup satu bulan, tapi aku rasa kita dapat bicara dari hati ke hati bukan?"
Dengan bajunya, perwira muda itu menyeka keringat di jidatnya.
"Thaydjin setia dan jujur, aku kagum terhadapmu, " ia kata.
Thio Hong Hoe maju satu tindak.
"Jikalau kau tidak ingin dicurigai, hendaknya kau bicara terus terang," ia kata.
"Ketika kemarin ini di Tjengliong kiap terjadi penyerangan kepada utusan bangsa
Mongolia, bukankah kau telah mengambil bagianmu?"
Perwira itu berdiri tegak.
"Baiklah thaydjin ketahui aku bukan cuma turut dalam sebagian, aku malah orang
yang memegang peranan!" sahutnya.
"Tahukah kau bahwa dia adalah utusan terhormat dari pemerintah kita?" Hong Hoe
tanya. "Tahukah kau, apabila terjadi sesuatu atas diri utusan itu, di antara
kedua negeri dapat terjadi peperangan?"
Anak muda itu tidak terdesak.
"Thio Thaydjin, tahukah kau, apa maksud kedatangan utusan itu?" ia balik
menanya. "Tahukah thaydjin bahwa utusan itu hendak meminta supaya pemerintah
kita menyerahkan tanah daerah untuk mengganti kerugian" Daripada bertekuk lutut
terhina, lebih baik kita berperang mati-matian!"
"Walaupun demikian," kata Hong Hoe, "kau adalah satu hamba negeri, sebagai hamba
negeri, kau serang utusan negara asing, dosamu bukannya kecil!"
"Sehebat-hebatnya tidak melebihi hukum picis!" kata si anak muda. "Thio
Thaydjin, adakah ini urusan yang membuatnya kau sulit" Siapa berani berbuat, dia


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mesti berani bertanggung jawab, maka itu, tidak nanti aku bikin kau susah. Thio
Thaydjin sekarang juga aku bersedia ditawan, kau boleh legakan hatimu!"
Sekonyong-konyong Thio Hong Hoe tertawa bergelak-gelak.
"Saudara Tjian-lie, tak usah kau pancing ke-murkaanku!" katanya. "Kesulitanku
itu tidak ada sangkutannya dengan kau!"
Mendengar ini, tercengang si anak muda. Inilah di luar dugaannya.
"Habis, urusan apakah itu?" tanyanya.
Dengan sabar Hong Hoe beber kertasnya tadi, dia tunjukkan gambar yang terlukis
di atas itu. "Tahukah kau, siapa orang yang tertera di sini?" ia tanya.
Wajah si anak muda kembali berubah.
"Bukankah ia salah satu penjahat yang thaydjin telah tawan?" tanyanya.
"Aku hanya ingin bertanya, kenalkah kau padanya atau tidak?" kata komandan Kimie
wie itu. "Tahukah kau tentang diri dia ini?"
Si anak muda bersangsi sebentar, lalu ia menghela napas.
"Dia adalah putera Kimtoo Tjeetjoe yang sangat disayang dari Ganboenkwan," ia
berikan penyahutan. "Aku dengar pada sepuluh tahun yang
lampau, Tjioe Kian telah berontak dan kabur keluar perbatasan, dia ditangkap
serumah tangganya dan dihukum mati semua, kecuali puteranya ini yang berhasil
meloloskan diri....."
Thio Hong Hoe melirik. "Kau masih berusia sangat muda, tapi bukan sedikit hal yang kau ketahui!" dia
kata. Tiba-tiba si anak muda berlinangkan air mata.
"Thio Thaydjin....." katanya perlahan, tertahan.
Hong Hoe memotong: "Sejak saat ini, kita ada seperti kakak dan adik. Mulai
sekarang aku minta kau panggil saja namaku!"
"Thio Toako," segera si anak muda berkata terus terang, "Kimtoo Tjioe Kian itu
adalah tuan penolongku yang besar. Hanya, bagaimana duduknya hingga aku
berhutang budi daripadanya, maaf, tak dapat aku menjelaskannya."
"Aku pun dapat melihat kesukaranmu hingga kau tak dapat bicara," kata Hong Hoe.
"Baiklah, jangan kita bicarakan pula soal itu. Puteranya Tjioe Kian telah kita
tawan. Coba katakan, dengan cara bagaimana dapat kita merdekakan dia?"
"Urusan ini sangat besar, tidak berani aku campur bicara," jawab si anak muda.
"Memang benar Kimtoo Tjeetjoe telah berontak terhadap pemerintah, akan tetapi
selama berdiam di Ganboenkwan, berulangkah dia melabrak bangsa Ouw yang datang
menerjang daerah kita, jadi dengan sendirinya dia telah berjasa kepada negara!
Dia mempunyai hanya satu putera, jikalau putera itu dibawa ke kota raja dan
diperiksa, aku kuatir ia tak akan dapat lolos dari hukuman mati. Apabila itu
sampai terjadi, sungguh hebat!....."
Pemuda ini berkata, ia tidak berani campur bicara tetapi ia telah mengutarakan
rasa hatinya itu! Dengan itu, ia hendak
menggerakkan hatinya Hong Hoe, supaya komandan itu suka membebaskan San Bin.....
Thio Hong Hoe mengerti maksud orang, ia bersenyum.
"Tidak usah dia dibawa ke kota raja, tidak usah dia diperiksa lagi," katanya.
"Kong Tjongkoan telah ketahui hal ihwalnya putera Tjioe Kian itu tetapi dia
mungkin tak usah menemui ajalnya....."
"Jadi warta kilat tadi ada mengenai urusan ini?" tanya si perwira muda.
"Benar!" jawab Hong Hoe. "Itulah hal yang aku katakan sulit. Sungguh lihay mata
dan kuping Kong Tjongkoan, dia telah ketahui puteranya Tjioe Kian sudah nelusup
masuk ke Tionggoan, dia pun ketahui bahwa kita telah membekuk banyak orang Rimba
Hijau kenamaan. Untungnya dia masih belum ketahui, apakah putera Tjioe Kian itu
ada di antara orang-orang tawanan kita atau tidak. Maka itu dia telah mengirim
warta kilatnya, untuk kita perdatakan putera Tjioe Kian itu. Dia menitahkan,
apabila kita berhasil menawan putera pemberontak itu, supaya kita lantas
mengalungi tulang piepee-nya, mengorek matanya, untuk melenyapkan kegagahannya,
hingga orang tak dapat membawa dia minggat. Setelah itu Kong Tjongkoan hendak
menggunakan putera orang itu sebagai barang berharga, sebagai tanggungan, guna
memaksa Kimtoo Tjeetjoe, supaya dia tidak menentangi lagi tentara negeri....."
"Sungguh daya yang kejam sekali!" seru si anak muda tanpa merasa.
"Kita sama-sama makan gaji negara," kata Hong Hoe, "terhadap penjahat biasa,
bila dia kena ditawan, itu berarti pahala untuk kita, dapat kita bertindak
dengan hati adem. Akan tetapi Tjioe Kian dan puteranya bukan penjahat biasa,
tanpa mereka itu, sudah sejak siang-siang pasukan perang Watzu menyerbu ke tanah
daerah kita....." Pemuda itu membuka dengan lebar kedua matanya, yang bersinar terang.
"Thio Thaydjin," katanya, "eh, bukan, Thio Toako, baik kau merdekakan saja dia!
Coba siang-siang aku ketahui kau mempunyai maksud begini....."
Thio Hong Hoe tertawa, dia memotong: ".....kau sekarang tidak usah menempuh
bahaya dengan menyerang si pangeran asing, bukan" Saudara Tjian-lie, siang-siang
aku telah menduga, untuk menyerang si pangeran, kau menggunakan akal dengan
sebuah batu mendapatkan dua ekor burung. Kau tidak ingin secara terang-terangan
menentang aku, tak ingin kau memerdekakan orang di bawah perlindunganku, maka
kau pinjam tangannya rombongan Pit To Hoan. Kau ingin bekuk si pangeran asing,
untuk dipakai menukar orang. Bukankah begitu?"
"Toako, apa yang kau katakan itu semua benar," jawab si perwira muda. Ia berlaku
terus terang. Dengan tiba-tiba saja, Hong Hoe berhenti bersenyum.
"Bagaimana gampang untuk memerdekakan orang itu!" katanya. "Apakah kau tidak
menginsyafi berbahayanya Kong Tjongkoan" Sudah pasti jabatan komandan Kimie wie
ini tak akan aku pangku terlebih lama pula, juga kau sendiri, jangan kau
mengharap untuk menjadi boe tjonggoan tahun ini....."
Si anak muda bungkam. Sampai sekian lama, baharu ia buka mulutnya. Ia mendongkol
sekali. "Biarlah, tak apa aku tak turut ujian boe tjonggoan1." katanya, sengit. "Tapi
aku tak ingin kau mengorbankan pangkatmu!"
"Dengan perbuatanku itu," kata Thio Hong Hoe, "tidak saja pangkatku yang akan
hilang, juga jiwaku terancam keselamatannya....."
Perwira muda itu nampaknya menjadi sangat lesu.
"Sekarang ada titah apalagi dari Thaydjin?" dia tanya dengan tawar.
"Kau pergi meronda di luar," kata Hong Hoe. "Kecuali Hoan Tiong, yang lainnya
siapa pun tak boleh keluar masuk di sini. Juga kau, aku larang kau bertindak
secara sembrono!" "Di bawah perintah kau, toako, - oh, thaydjin," kata si anak muda, "umpama kata
aku berani bertindak sembrono, aku toh tidak akan lolos dari golok Biantoo-mu.
Thaydjin, legakanlah hatimu, jangan kuatir!"
Thio Hong Hoe tertawa, ia kibaskan tangannya.
In Loei lihat tegas, anak muda itu mengundurkan diri dengan lesu dan uringuringan. Seberlalunya si anak muda, Hong Hoe panggil pengawal kepercayaannya yang ia
bisiki pesannya, setelah mana, orang itu mengundurkan diri, tetapi tidak lama
kemudian ia sudah kembali bersama satu orang.
Itulah Hoan Tiong, Gietjian siewie.
Kepada pahlawan istana ini, Hong Hoe perlihatkan surat dinas, melihat mana,
kedua matanya si orang she Hoan terbelalak, sepasang alisnya berdiri.
"Toako." katanya dengan nyaring, "apakah kau masih ingat sumpah kita baru-baru
ini?" "Sang waktu telah lewat lama sekali, aku sudah lupa....." jawab Hong Hoe.
Hoan Tiong nampak sangat gusar, ia gebrak meja.
"Apakah benar toako telah melupakannya?" dia tegaskan.
"Hiantee, cobalah kau katakan....." Hong Hoe minta, sikapnya sabar.
"Dengan darah kita yang panas, hendak kita membela negara!" kata Hoan Tiong,
keras. "Kita juga tak sudi terima penghinaan dari musuh! Itulah sebabnya kenapa
kita masuk tentera! Sama sekali kita tidak mengharapkan anak isteri berbahagia
karena kemaruk akan jasa atau pangkat!" ia berhenti sebentar, lalu ia menambahkan. "Adalah
maksud hatiku untuk pergi keperbatasan guna dengan golok dan tombakku, mengadu
jiwa dengan bangsa Ouw, tetapi Sri Baginda justeru menghendaki aku menjadi
pahlawan di dalam istana! Maka dalam beberapa tahun ini, aku merasa seperti tak
dapat bernafas....." Masih ia menambahkan setelah berhenti sebentar: "Sudah tak
dapat kita pergi keperbatasan untuk bertempur dengan bangsa asing, guna membela
negara, kita sebaliknya telah mencelakai Kimtoo Tjeetjoe serta puteranya yang
justeru telah mengeluarkan tenaganya menentang bangsa Ouw itu! Apakah artinya
ini" Tidakkah ini memalukan?"
"Apa lagi sumpah kita itu?" Hong Hoe tanya pula. "Kita mesti beruntung hidup
bersama, celaka sama binasa" sahut Hoan Tiong.
"Bagus!" seru tjiehoei itu. "Sekarang ada satu bencana besar yang mengancam
kita, yang aku ingin kita menentangnya bersama! Mari dekatkan kupingmu!"
Hoan Tiong mendekati, ia pasang kupingnya.
Hong Hoe segera berbisik, habis mana, orang she Hoan itu menjura dalam.
"Toako, maafkan aku untuk kesembronoanku tadi!" ia mohon. "Tindakanmu ini tidak
keliru!" Setelah itu, ia putar tubuhnya untuk berlalu.
Thio Hong Hoe mengawasi, ia menghela napas.
"Aku hanya kuatirkan djieko-mu tak sama pikirannya....." ia kata.
"Tak usah kita memikir sampai begitu jauh!" Hoan Tiong masih berkata. Tanpa
menoleh lagi, ia berjalan terus, ia buka tindakan lebar. Menyaksikan semua itu,
In Loei berpikir. "Tidak kusangka mereka ini ada orang-orang gagah sejati," katanya dalam hati.
Lantas ia dapat pikiran untuk menyusul Hoan Tiong, guna melihat apa yang dia
hendak lakukan. Atau tiba-tiba Hong Hoe yang berpaling ke arahnya, sambil
bersenyum lantas melambaikan tangannya dan berkata: "Silakan turun kemari! Sekian lama kau
bergelantungan di payon, apakah kau tidak letih?"
In Loei berani, ia pun bersenyum. Ia lompat melayang turun, akan hampirkan
komandan Kimie wie itu. Segera ia angkat kedua tangannya, memberi hormat.
"Thio Thaydjin, kita adalah sahabat-sahabat satu dengan lain!" katanya tenang.
"Kau datang untuk menolongi San Bin, bukan?" tanya Hong Hoe.
"Tidak salah," In Loei akui terus terang. "Semua pembicaraanmu telah aku dengar
tegas. Sekarang ini aku minta sukalah kau serahkan San Bin padaku."
Dengan langsung nona ini mengajukan permintaannya itu.
Hong Hoe tertawa. "Dengan serahkan ia untuk dibawa pergi, tidakkah itu akan menerbitkan
kegemparan?" tanya komandan ini. "Bagaimana kalau kau gagal" Apakah kau tidak
memikir kepentingan di pihak kami?"
In Loei melengak. Ia lantas berpikir. Memang itu bukanlah cara yang tepat. Tak
seharusnya Hong Hoe dibikin repot atau pusing. Ia jadi malu sendirinya.
Hong Hoe pandang muka orang, ia bersenyum.
"Kini Hoan Tiong telah bawa pergi Tjioe Toako-mu itu dengan diam-diam," ia
beritahu. "Aku titahkan mereka untuk tunggui kau di luar pintu kota utara."
In Loei ada demikian girang, hingga - sret! - lantas saja ia lompat naik ke atas
payon. "Tunggu!" tiba-tiba Hong Hoe mencegah.
"Ada apa lagi?" tanya si nona sambil berpaling.
"Mana sahabatmu yang menunggang kuda putih itu?" Hong Hoe tanya.
Goncang hatinya si nona. "Dia ambil jalannya sendiri, aku juga ambil jalanku sendiri," ia jawab. "Aku tak
tahu dia di mana." Hong Hoe menjadi heran sekali.
"Kamu berdua merangkap sepasang pedang, kamu menjagoi, mana dapat kamu hidup
berpencaran?" dia bilang. "Sahabatmu itu agung sekali, sekali saja orang lihat
padanya, orang akan jatuh hati. Kalau nanti kau bertemu pula dengan dia, tolong
sampaikan hormatku kepadanya."
"Belum tentu aku dapat bertemu pula dengannya," sahut In Loei. "Baiklah, akan
aku ingat pesanmu ini. Aku pergi!"
Ia hendak ambil langkahnya, atau:
"Tunggu dulu!" kembali Hong Hoe mencegah.
In Loei menoleh, ia menjadi tidak sabaran.
"Ada apa lagi?" tanyanya.
"Sekarang ini Tjinsamkay Pit To Hoan ada di mana?" Hong Hoe tanya.
Kaget In Loei. "Apakah ia telah ketahui sepak terjangnya Pit Looenghiong?" ia menduga-duga.
Karena kesangsiannya, ia tidak segera memberi penyahutan.
Hong Hoe awasi kelakuan orang, ia tertawa.
"Kau tidak hendak menerangkannya, tidak apa," katanya. "Sekarang aku hendak
mohon perantaraanmu untuk menyampaikan kepadanya, bahwa dia adalah beda daripada
Kimtoo Tjeetjoe, karena itu, sebab aku telah terima titah untuk membekuk dia,
andaikata dia kena tertawan, tidak dapat aku ambil sikap perseorangan dan
merdekakan dia. Dia ada seorang gagah, aku hargai padanya, aku minta sukalah dia
pergi jauh, supaya tak usah
dia bertemu muka dengan aku. Cukup sudah, untuk sahabat baik, cuma sampai di
sini saja dapat aku bertindak. Kau pergilah!"
In Loei lantas berlalu. Tak habisnya ia memikirkan sikap luar biasa dari Thio
Hong Hoe. Itulah sikap di luar dugaannya. Memikir terlebih jauh, ia sayangi
orang she Thio itu, yang demikian kosen dan cerdik tapi telah sediakan tenaganya
untuk satu kaisar Beng. Itulah tujuan hidup yang tidak ada harganya di matanya.
Karena ini juga, ia menjadi ingat engkong-nya, yang disebabkan kesetiaannya
sebagai utusan kerajaan Beng, sudah mesti bersengsara puluhan tahun di negara
asing, akan akhirnya menghembus napas secara kecewa.
"Itulah kesetiaan tolol!" kata si nona perlahan. "Entah berapa banyak penyinta
negara yang dikurbankan kesetiaan keliru ini....."
Masih muda nona ini, tak memikir ia soal yang demikian berat yang telah berabadabad usianya. Ada sangat sulit untuk membedakan kesetiaan terhadap negara dengan
kesetiaan terhadap raja. Di jaman feodal siapa tidak sangat cerdas dan tabah,
tak dapat dia membedakannya. Tapi ia telah kenal Tan Hong sekian lama, tanpa
merasa, ia kena juga terpengaruh anak muda itu, ia dapat juga menganggap rendah
sikap engkong-nya yang bersetia secara membuta kepada kaisar Beng.
Walaupun hatinya tidak tenteram, In Loei tidak pernah hentikan tindakannya,
tidak ia berlambat sejenak jua. Sebentar saja sudah ia berlalu dari hotel.
Sampai di seberang, ia lompat naik ke atas genteng dari rumah di sebelah depan.
Ia awasi bintang-bintang, ia menerka sudah jam empat. Ia tidak lihat Pit To
Hoan, sekalipun ia ketahui, jago tua itu bertugas memasang mata terhadapnya. Ia
lantas menepuk tangan tiga kali, perlahan tetapi terang. Ia percaya To Hoan akan
mendengarnya kalau kawan itu masih menantikan padanya, karena sangat terang
pendengarannya. Akan tetapi, ia tidak peroleh jawaban tidak ada orang yang
muncul. Sia-sia ia menantikan sekian lama. Akhirnya, ia menyedot napas dingin.
"Ah ke mana perginya. Pit Looenghiong?" ia kata dalam hatinya. "Dia seorang
kangouw yang ulung, tidak nanti orang tipu padanya.
Apakah dia telah lihat San Bin" Kalau begitu, mestinya dia tunggu atau cari aku,
untuk bekerja sama..... Tak seharusnya dia pergi seorang diri dengan diamdiam..... Ke mana dia pergi?"
Si nona mengawasi pula ke sekelilingnya, kembali ia menyedot napas dingin.
Karena penasaran, ia lantas mencari di sekitar tempat itu sejauh satu lie
persegi. Dua kali ia ulangi untuk mencari, matanya dibuka lebar-lebar, kupingnya
dipasang. Sia-sia saja, tetap ia tak tampak bayangan si orang tua.
"Ah, apakah Hong Hoe telah lihat dia dan telah menjebaknya sehingga kena
ditawan?" nona ini mau menduga. "Tidak, itulah tak mungkin! Sebegitu jauh Hong
Hoe tetap berada di dalam kamarnya! Kecuali Hong Hoe, tidak ada satu pahlawan
lainnya yang sanggup layani Pit Looenghiong1. Sekalipun Hong Hoe sendiri,
sebelum lewat lima ratus jurus, tidak nanti ia dapat peroleh kemenangan atasnya!
Kenapa dia tak nampak bayangannya" Mustahil dia benar-benar kena tertawan musuh"
Apakah ada lain orang gagah, yang telah rubuhkan padanya - merubuhkannya secara
curang" Tak bisa jadi Pit Looenghiong dapat dirubuhkan tanpa suara apa-apa....."
Tegang hatinya nona ini, ia berkuatir. Terpaksa ia lari ke pintu kota utara.
Dengan cepat ia telah sampai di luar kota, di tempat yang Hong Hoe sebutkan. Di
sana katanya Hoan Tiong dan San Bin menantikan ia. Ia lantas pergi ke tempat
yang tinggi, ia tepuk kedua tangannya selaku tanda. Dengan mata dibuka lebar, ia
tampak jagat yang tertaburkan bintang-bintang dan cahayanya si Puteri Malam.
Malam yang tenang, kecuali suara kutu-kutu. Suasana sunyi senyap. Di sana tak
ada Hoan Tiong dan San Bin.....
Sekian lama In Loei menanti, akhirnya ia jadi kuatir berbareng mendongkol.
"Apakah Thio Hong Hoe sedang mainkan akal muslihatnya?" ia jadi curigai pahlawan
Kimie wie itu. Kenapa aku gampang mempercayai dia" Mungkinkah dia tidak
memerdekakan Tjioe Toako" Tapi, untuk apa dia dustai dan memperdayai aku?"
Dalam keragu-raguannya yang sangat, akhirnya In Loei lari kembali ke dalam kota.
Dengan cepat ia tiba di muka hotel. Ia lihat pintu besar cuma dirapatkan. Ia
heran. Dengan berani ia menolak pintu dan bertindak masuk. Di dalam pekarangan
ada belasan ekor kuda, tapi kuda-kuda itu berdiri diam bagaikan manusia, kedua
kaki depannya masing-masing terangkat naik. Kuda itu tidak bergerak, tidak


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbunyi, sekalipun mereka didupaki. Maka itu, di bawah sinar rembulan, mereka
tampaknya menyeramkan. Sejenak In Loei berdiam, segera ia ingat kepandaiannya Hek Pek Moko untuk
menakluki kuda. Ia menjadi terperanjat. Ingat ia kepada dua iblis istimewa itu.
Kedua mereka itu, jikalau orang tidak ganggu padanya, tidak akan mereka ganggu
orang lain. Benar di Tjengliong kiap mereka telah bantui ia secara diam-diam,
tetapi itu adalah bantuan sambil lalu, mereka itu tidak tempur terang-terangan
tentara negeri. Sekarang, kenapa malam-malam mereka datang kemari dan
mempermainkan belasan kuda itu" Itu tandanya merekapun mempermainkan tentara
negeri!..... "Jikalau benar Hek Pek Moko yang datang kemari, urusan pasti mesti ada ekornya,"
In Loei menduga kemudian. Karena ini ia lompat naik ke atas rumah, ia pasang
kupingnya. Dalam hotel itu, berikut tentara negeri, penumpangnya berjumlah kira-kira tujuh
puluh orang, tetapi waktu itu, tak terdengar satupun juga suara dari mereka,
suasana sangat sunyi, sampaipun suara dekur tidak terdengar, hingga kesunyian
mirip seperti pekuburan.....
Dengan hati-hati, In Loei lompat masuk ke tjimtjhe dalam. Adalah niatnya untuk
cari si jongos. Ia tampak pintu besar terbuka terpentang. Dan ia dapatkan,
jongos yang pernah jadi penunjuk jalannya, pengantarnya, sedang tidur nyenyak
bagaikan mayat. Ia tolak tubuh jongos itu, masih dia itu tak sadar dari
tidurnya. Ia taruh tangannya di depan hidung orang, ia merasai hembusan napas.
Ia mencoba menguruti jalan darahnya, akan tetapi nampaknya jongos itu bukan
bekas kena totokan tiamhiat hoat.
Heran dan penasaran, In Loei memeriksa terlebih jauh. ia jadi semakin heran.
Beberapa jongos lainnya, jongos dari lain-lain
kamar, rebah diam seperti jongos itu. Malah kuasa hotel, yang ia tahu mengerti
ilmu silat, tidak menjadi kecuali, rebah seperti semua jongos itu.....
"Aku dengar dalam dunia kangouw ada satu penjahat tukang petik bunga yang ada
punya asap lupa istimewa," pikir si nona, "siapa terkena asap itu, dia akan tak
sadarkan diri sebagai orang telah mati. Mungkinkah mereka ini telah terkena
macam obat tidur itu?"
Segera In Loei cari air, dengan itu ia sembur mukanya si kuasa hotel. Cuma kedua
lengannya si kuasa bergerak sedikit tapi dia tetap tak sadar. Dia nampaknya
bukan terkena obat tidur.
Walaupun ia bernyali besar menghadapi kejadian itu, si nona bingung juga. Di
akhirnya, ia lari keluar, akan periksa lain-lain kamar. Semua pintu kamar
terpentang lebar, semua penghuninya, rombongan serdadu, pada tidur nyenyak
sekali. Begitu juga serdadu yang rebah menggelar di ruangan tengah. Malah ada
yang tidur dengan kaki tangan terpentang merupakan huruf "tay" - "besar." Ada
juga mereka yang nyender ngelehek di tembok, kepalanya tunduk, pundaknya turun.
Yang paling lucu ialah mereka yang mulutnya mengangah.....
Seorang diri, In Loei bermandikan keringat dingin. Ia coba berteriak. Tidak ada
jawaban manusia hanya suara kumandang. Ia merasa sangat tegang. Di situ, ia jadi
seperti berada seorang diri saja, ia bagaikan hidup sendirian.....
Dengan perlahan-lahan In Loei tenangkan dirinya. Ia mengingat-ingatkan akan Thio
Hong Hoe yang liehay, juga si perwira muda yang tidak dapat dipandang enteng.
Dua orang itu kosen, melayani mereka, belum tentu Hek Moko dapat dengan mudah
menang di atas angin. Maka aneh sekali kenapa terjadi demikian rupa terhadap
seluruh hotel" Dengan penasaran In Loei lari ke belakang. Di sana ia lihat enam
buah kereta kerangkeng. Sekarang semua kerangkeng itu telah terbongkar, jeruji
besinya memberi tanda bekas dikutungi senjata tajam. Kosong semua kereta itu,
tak ada perantaiannya. In Loei jadi semakin heran. Senjatanya Hek Moko bukan senjata mustika. Siapakah
yang telah melakukan semua ini"
Benarkah Hong Hoe ramai kena dikelecei secara demikian gampang"
Dengan perasaan heran In Loei lari ke kamarnya Hong Hoe. Kalau semua kamar
lainnya pintunya terpentang lebar, adalah kamarnya komandan Kimie wie ini,
tertutup rapat. Untuk membuka kamar itu, In Loei mendupak dengan kakinya. Begitu
lekas daun pintu menjeblak, kamar itu terlihat kosong - Thio Hong Hoe tak nampak
dalam kamarnya itu! Memandang ke sekitar kamar, tembok tertampak lukisan dari dua buah tengkorak
manusia, yang dilukis dengan arang. Itulah tandanya Hek Pek Moko!
Adakah Thio Hong Hoe tercelaka oleh kedua iblis dari Barat itu"
Tetapi tidak ada tanda darah di lantai kamar. Hong Hoe liehay, umpama ia kalah
terkepung Hek Pek Moko, itu baharu akan terjadi sesudah satu pertempuran yang
seru. Sekarang ini keadaan kamar tak berubah sedikit jua, kursi tidak terbalik,
meja tak terjungkal. Tidakkah itu aneh"
Masih In Loei memandang seluruh kamar, hingga ia tampak, di tembok berhadapan
dengan gambar kedua buah tengkorak itu, ada bertuliskan sesuatu yang lain. Yaitu
yang satu adalah sebaris huruf, dan yang lain, yang di tengah, ada lukisan
seekor kera bertangan panjang, mukanya bengis sekali. Di kiri ini ada lukisan
sebatang pedang panjang,yang ujungnya tertusukkan sekuntum bunga merah,
didampingi dikedua sampingnya dengan bunga putih. Sebaris huruf itu yang besarbesar, berbunyi: "Tiatpie Kimwan Hoasam Kiam hendak memapas kepalanya Hek Pek Moko! Siapa yang
berlaku curang, dia bukannya satu enghiong! Siapa bernyali besar, silahkan
datang keselat Tjeng Liong Kiap."
In Loei ulangi itu tujuh huruf "Tiatpie Kimwan Hoasam Kiam," atau Hoa Sam Kiam
si Kera Berlengan Besi. Ia lantas ingat
penuturan gurunya tentang orang-orang liehay dari Rimba Persilatan jamannya itu.
Ketua partai Thiamtjhong Pay, yang bernama Leng Siauw Tjoe mempunyai dua murid
terpandai, ialah Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong dan Hoasam Kiam Hian Leng Tjoe.
Kedua murid ini mempunyai masing-masing kepandaiannya yang istimewa, tadinya
hidup mereka ada di antara kalangan benar dan sesat, akan tetapi sudah belasan
tahun lamanya mereka berdiam "bertapa" di atas gunung Thiamtjong San, untuk
melatih lebih jauh kepandaian mereka, hingga mereka tak tampak pula dalam dunia
kangouw. Maka adalah aneh, kenapa mereka berdua menantang Hek Pek Moko" Ada
perselisihan apakah di antara kedua pihak itu" Memikirkan terlebih jauh, In Loei
mau menduga, Hek Pek Moko adalah yang sampai terlebih dahulu di rumah penginapan itu,
kemudian baharulah muncul Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam.....
In Loei menjadi terlebih bingung lagi. Kejadian yang satu disusul kejadian yang
lain. Yang satu aneh, yang lain terlebih aneh pula. Tak tahu ia apa yang harus
dilakukan. Maka ia tinggalkan kamar dan pergi keluar, akan melihat-lihat. Ia
seperti merondai hotel itu, sampai setibanya ia di belakang, di pintu samping,
ia tampak pula satu hal aneh lainnya.
Di situ terlihat si perwira muda, goloknya melintang di depan dada, kaki
depannya terangkat naik, seperti tengah membuka tindakan lebar. Dia seperti
terkena Tengsin hoat, ilmu "Mendiamkan tubuh", kedua matanya dipentang lebar.
Dari tenggorokannya terdengar suara gerogokan. Inilah pemandangan mirip dengan
yang In Loei tampak di rumah Tjio Eng, ketika Thio Tan Hong totok ke empat
saudagar barang permata. "Apakah dia pun datang kemari?" In Loei tanya dirinya sendiri. Ia ingat pada Tan
Hong, si mahasiswa berkuda putih. Hatinya jadi berdenyut. Ia berdiri menjublak.
Perwira itu tak dapat berkutik, kaki tangan dan tubuhnya juga, akan tetapi kedua
matanya bisa ditujukan kepada si nona.
Oleh karena ia ingat ilmu totoknya Tan Hong, yang ia mengerti cara
membebaskannya, dengan berani In Loei hampiri si anak muda, dengan lantas ia
tekan kedua jalan darahnya , ialah "thiansoan" - "teeekie."
Sekejap saja perwira itu berseru, menyusul mana, kaki dan tangannya dapat
bergerak juga. Tapi, yang hebat, adalah ketika dengan mendadak goloknya
menyambar membacok kepada In Loei!
Tidak terkira kagetnya si nona, syukur ia tidak gugup, di saat bahaya maut
mengancam dirinya itu, dengan kesebetannya ia dapat berkelit. Iapun segera hunus
pedangnya, untuk menjaga diri.
Perwira muda itu menjadi gusar.
"Hai, binatang! Kiranya kau berkomplot dengan si penghianat!" demikian
dampratnya. In Loei menjadi mendongkol.
"Kenapa kau balas kebaikan dengan kejahatan?" ia tegur.
"Sebab tangan jahat dari si penghianat adalah justeru kau yang mengerti ilmu
membebaskannya!" bentak pula si anak muda. "Jikalau kau dan dia bukannya asal
satu guru, kamu tentulah bersahabat kekal satu pada lain, karenanya kau diajari
ilmu membebaskan totokan itu! Apakah kau masih hendak berlaku licik dan
menyangkalnya?" In Loei menjadi gusar, hingga ia maju menyerang, beruntun tiga kali.
"Kau kurang ajar!" ia membentak. "Jikalau aku kandung maksud jahat, mustahil aku
membebaskan kau?" "Kalau bukan sahahat, ada hubungan apa di antara kau dan dia?" membandel perwira
muda itu. "Lekas kau bicara!"
In Loei tetap murka. "Kau siapa" Pernah apa aku terhadapmu hingga aku mesti
turut kata-katamu?" ia bentak pula.
Anak muda itu tetap gusar, malah ia balas membacok, dua kali.
"Kau tahu siapa yang telah membokong aku?" katanya sengit. "Dia adalah puteranya
Thio Tjong Tjioe si perdana menteri muda dari negara Watzu! Aku lihat kau
seorang gagah perkasa, maka itu, setelah kau ketahui siapa dia itu, kau mesti
bantu aku menuntut balas!"
Mendengar itu, di dalam hatinya, In Loei kata: "Sejak siang-siang telah aku
ketahui puteranya Thio Tjong Tjioe itu. Untuk apa aku tunggu sampai kau
memberitahukannya"....." Akan tetapi ia merasa aneh, ingin ia mendapat tahu.
"Ada permusuhan apa di antara kau dan dia?" ia tanya.
"Panjang untuk menuturkan soal itu," jawab si anak muda. "Aku dan dia bukan cuma
bermusuh, aku malah hendak basmi semua anggauta keluarganya, tak peduli tua dan
muda! Dia adalah puteranya Thio Tjong Tjioe si penghianat benar! Dia menyelusup
masuk ke Tionggoan, pastilah dia kandung maksud tidak baik! Karena itu, sebab
kau ada satu orang gagah perkasa, kau juga mesti bermusuh dengannya!"
Diam-diam In Loei bergidik. Dari omongan orang ia dapat membayangkan bunyi surat
wasiat kulit kambing yang berbau bacin. Dan, mengawasi si anak muda, rasanya ia
makin kenal, makin kenal.....
Dan di akhirnya, ia rasakan hatinya dingin, tubuhnya menggigil, giginya
bercatrukan. "He, kau kenapa?" tanya si perwira, heran. Ia mengawasi dengan tajam.
In Loei kuatkan hatinya untuk mencoba berlaku tenang.
"Tidak apa-apa," sahutnya perlahan.
"Syukur!" si anak muda kata. Lalu ia menambahkan: "Kita bertempur, sekarang
baiklah kita berdamai. Kau beritahukanlah asal-usulmu, nanti aku beritahukan
riwayatku kepadamu....."
"Tentang dirimu, tak usah kau tuturkan padaku," In Loei kata. "Aku tahu, kau
datang dari Mongolia....."
"Bagaimana kau ketahui itu?" tanya si anak muda.
"Kemarin kau serang si pangeran asing, kau menyamar sebagai pengembala bangsa
Mongolia," sahut In Loei. "Dalam segala-galanya, kau mirip sekali."
"Oh begitu?" si anak muda tertawa tawar. "Leluhurku, selama dua turunan memang
sebagai pengembala dari Mongolia....."
Tiba saja In Loei rubuh sendirinya, ia bagaikan pingsan.
Kakeknya In Loei hidup mengembala kuda dua puluh tahun di Mongolia, dan ayahnya,
untuk menolongi kakek itu, tinggal di Mongolia juga dengan sembunyikan she dan
namanya, selama itu hidupnya sebagai pengembala kambing. Memang, mereka itu
adalah pengembala-pengembala di Mongolia, namun mereka adalah pengembalapengembala yang terpaksa.....
Sejenak In Loei merasa bagaikan kontak seluruh tubuhnya, hingga ia menggetar,
menjadi seperti beku, habis tenaganya.
"Dia inilah kakakku," demikian pikirnya sesaat itu, begitu lekas ia dengar
jawaban si anak muda itu. "Tidak salah lagi, pasti dia kakakku! Ah, apakah benar
dia kakakku"....."
In Loei datang ke kota raja untuk dengar-dengar perihal kakaknya. Sekarang,
setelah bertemu, tiba-tiba saja ia dapat perasaan, ia mengharap, pemuda itu
bukan kakaknya itu..... Ia terbenam dalam keragu-raguan. Di waktu menyebut Thio
Tjong Tjioe ayah dan anak, nyata sekali kebencian pemuda itu terhadap ayah dan
anak itu. Bagaimana kalau pemuda ini benar kakaknya" Bagaimana anggapan kakak
ini apabila dia ketahui pergaulannya dengan Thio Tan Hong" Apa akan terjadi
kelak" Apakah memang In Loei tidak berniat mencari balas" Bukan! Tak lenyap dari
pandangan matanya itu surat wasiat kulit kambing yang berdarah dan berbau bacin.
Tapi, ia benci Thio Tan Hong berbareng menyintainya
juga..... akan tetapi ia tak menginginkan lain orang membenci Tan Hong itu.....
Inilah pertentangan hebat dalam hatinya itu. Inilah yang membuatnya ia, tanpa
merasa, rubuh sendirinya.
"Kau siapa?" tanya anak muda itu, keras.
Masih kalut pikirannya nona ini.
"Untuk sementara baiklah aku tidak segera perkenalkan diriku?" ia bersangsi.
"Jikalau dia bukan kakakku, tidakkah aku jadi buka rahasiaku sendiri" Bukankah
dia seorang perwira....."
In Loei sambar sebatang rumput, lantas ia lompat bangun.
"Aku datang mencari Tjioe San Bin!" akhirnya ia jawab.
Agaknya pemuda itu heran.
"Aku tahu kau datang untuk menolongi Tjioe San Bin," ia bilang. "Pada waktu
pertama kali kau datang, kau mendekam di atas gentengnya Thio Thaydjin. Ketika
itu sekira jam tiga. Aku telah lihat kau, tetapi aku membiarkannya, tak ingin
aku pergoki kau. Yang aku tanyakan bukannya urusan itu....."
"Jikalau kau tanya lainnya hal, tak sudi aku bicara," In Loei bilang. "Apakah
kau tidak ketahui, urusan ada yang penting dan tidak penting" Kau lihat, cara
bagaimana kau sudah mengacau! Bagaimana kau masih hendak menanyakan sesuatu
kepadaku" Aku justeru hendak tanya kau, di mana Tjioe Toako itu" Kecuali kau,
siapa pernah datang kesini" Apa yang kau bicarakan dengan Thio Hong Hoe, telah
aku dengar semua, dari itu aku ketahui, kau juga datang untuk menolongi Toako
San Bin itu." Nampaknya pemuda ini bagaikan ingat sesuatu, ia seperti sadar.
"Kau benar," ia akui kemudian. "Sekarang mari kita masuk ke dalam untuk melihatlihat. Mengapa Thio Thaydjin tidak muncul?" Tiba-tiba ia berhenti, akan kemudian
menambahkan: "Sebenarnya apa yang kita bicarakan ini bukannya urusan tidak
berarti..... Kau mirip dengan itu orang yang aku sedang cari. Sayang kau adalah seorang pria.....
Ah, panjang untuk menutur, tak dapat itu dijelaskan dalam tempo satu hari satu
malam. Baiklah lain waktu saja kita membicarakannya pula....."
In Loei telah menindakkan kakinya, ia jalan di sebelah depan. Ia tak ingin
pemuda itu melihat air mukanya.
"Apakah kau masih belum ketahui di dalam telah terjadi kekacauan?" ia tanya,
tawar. "Semua serdadumu telah orang buatnya hingga bagaikan mayat-mayat hidup!
Thio Thaydjin-mu juga tak nampak....."
Terkejut anak muda itu, hingga ia berseru, lantas ia lari mendahului, hingga ia
tampak kejadian di dalam, yang membuatnya ia bergidik. Benar katanya anak muda
ini yang ia tidak kenal..... Dan ketika ia masuk ke dalam kamar Thio Hong Hoe,
di situ ia dapatkan lukisan tengkorak, kera dan pedang.
"Benar-benar mereka yang datang!" katanya seorang diri.
"Mereka" Mereka siapakah?" In Loei menegasi.
"Itulah Hek Pek Moko bersama kedua paman guru dari Kong Tjongkoan dari keraton,"
sahut si anak muda. "Oh, kiranya Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong serta Hoasam Kiam Hian Leng Tjoe
adalah paman guru dari Tjongkoan1." In Loei bilang. "Aku harus beri selamat
kepadamu yang telah dapatkan lagi dua orang kosen yang liehay!....."
Tidak senang si anak muda mendengar perkataan itu.
"Kau tidak tahu keadaan di sebelah dalamnya" ia bilang. "Apabila Tiatpie Kimwan
dan Hoasam Kiam ketahui kita yang merdekakan Tjioe San Bin, sudah pasti jiwanya
Thio Thaydjin tidak akan dapat dilindungi....."
In Loei heran. "Apakah benar-benar Tjioe San Bin telah dimerdekakan?" tanyanya, menegaskan.
"Semula memang aku menyangka Thio Thaydjin tidak niat melepaskannya," jawab si
anak muda. "Tak disangkanya, dia telah atur segala apa. Dia telah suruh membawa
San Bin keluar dengan diam-diam....."
"Tapi sekarang San Bin dan Hoan Tiong tak tahu ada di mana dan entah bagaimana
keselamatan mereka," In Loei mengutarakannya. Ia unjuk apa yang ia telah alami.
Perwira muda itu menghela napas.
"Siapa juga tak dapat menyangka kejadian tak diduga-duga ini....." bilangnya.
Hendak In Loei menanya jelas, atau si anak muda telah menambahkannya:
"Hoan Tiong dan Tjioe San Bin keluar secara diam-diam dari pintu belakang,"
demikian katanya. "Selama mereka berlalu, akulah yang memasang mata untuk
berjaga-jaga. Tiba-tiba sang angin berkesiur masuk dengan membawa suatu bau
harum. Aku segera menahan napas tetapi bau wangi itu sudah masuk juga sedikit ke
dalam hidungku, telah kena aku sedot. Hebat bau harum itu, meskipun aku


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyedotnya sedikit, segera aku merasakan tubuhku menjadi lemas. Di saat itu aku
tampak satu tubuh melayang turun dari atas tembok. Aku kenali dialah si
penghianat Thio Tan Hong yang selama di Mongolia aku telah mengenalinya. Begitu
dia turun tangan, dia totok aku dengan ilmu totoknya yang liehay. Aku menahan
napas, untuk melawan, percuma saja, aku tak sanggup bertahan, aku malah tak
dapat berteriak. Dengan paksa aku lawan padanya, tapi baharu enam jurus, segera
aku terpengaruh bau harum itu. Begitulah aku kena ditotok olehnya....."
"Kiranya demikian duduknya hal, pantas dia dapat lekas dirubuhkan Tan Hong," In
Loei pikir. "Anehnya, apa perlunya Tan Hong berlaku demikian rupa terhadap dia"
Apakah maksudnya"....."
"Setelah aku kena ditotok," si anak muda melanjutkan, "aku lantas tidak ketahui
apa juga yang terjadi di dalam hotel ini. Aku juga tidak tahu berapa lama sudah
berselang, tiba-tiba dari luar datang masuk dua orang, datangnya pesat bagaikan
terbang. Yang satu adalah seorang tua dengan "pinggang biruang dan bermuka kera"
yang lainnya satu imam yang menyoreng pedang panjang di pinggangnya. Mereka ini
mencoba menotok aku, untuk bebaskan aku dari totokannya Thio Tan Hong, mereka
tidak berhasil. Mereka jadi mendongkol, mereka tinggalkan aku masuk ke dalam
sambil mereka mengutuk. Sebenarnya kecewa mereka menjadi ketua-ketua dari
Thiamtjhong Pay, tak mampu mereka membebaskan totokannya lain kaum, seharusnya
mereka mengutuk diri sendiri.....
Tidak lama semasuknya mereka, keduanya segera keluar pula, dengan sengit sekali
mereka itu mencaci Hek Pek Moko, lalu bagaikan terbang mereka melesat ke atas
tembok dan pergi. Ah, kalau saja mereka ketemu dua iblis itu, pasti akan terjadi
satu pertempuran dahsyat....."
"Sekarang mari kita pergi ke Tjengliong Kiap untuk lihat mereka," In Loei
mengajak. "Baik!" jawab si perwira muda seraya ia terus bertindak keluar. Ketika ia telah
saksikan keadaan semua kuda-kuda itu, ia tertawa sendirinya, ia menjadi mendelu.
"Lihat dua iblis itu!" katanya, sengit. "Mereka juga turunkan tangan jahat
mereka sebagai pencuri-pencuri kuda yang liehay! Syukur aku telah tinggal buat
banyak tahun di Mongolia, tahu aku caranya menyembuhkan kuda-kuda yang
diperlakukan demikian....."
Sambil mengucap, anak muda ini hampirkan dua ekor kuda, yang ia uruti
bergantian, ditepuk-tepuk pulang pergi, hingga darahnya kedua binatang itu
berjalan pula seperti biasa, hingga di lain saat, kedua kuda itu dapat pulih
kebebasan mereka. Maka berdua mereka naiki kuda itu, untuk kabur keluar kota.
Waktu itu sudah jam empat, sang fajar tengah mendatangi. Kedua kuda dilarikan
keras, tidak lama kemudian, mereka sudah
dapat memandang selat Tjengliong Kiap. Begitu tiba di sebuah tikungan, dari kiri
mereka dengar suara bentroknya alat senjata, sedang di sebelah kanan, mereka
tampak satu penunggang kuda asik kabur.
"Mari kita melihat berpisahan," si anak muda usulkan. "Aku ke kiri, kau ke
kanan." In Loei menurut tanpa banyak bicara, ia lari ke kanan. Tidak lama, ia sudah
mulai candak penunggang kuda yang satu itu. Ia lantas perdengarkan suitan yang
nyaring. Penunggang kuda itu hentikan kudanya dengan tiba-tiba, dengan cepat dia
membalik diri. In Loei segera kenali penunggang kuda itu ialah komandan dari
Gielim koen atau ahli silat nomor satu dari kota raja yaitu Thio Hong Hoe!
Segera In Loei menggape, kudanya dikasi dari terus untuk menghampirkan. Karena
Hong Hoe terus tahan kudanya, sebentar saja mereka sudah datang dekat satu pada
lain. "Mana sahabatmu?" Hong Hoe mendahului menanya.
Si nona terkejut. "Apakah kau telah ketemu dengan dia?" tanyanya, heran. "Aku baharu saja pergi
dari tempatmu di sana....."
Hong Hoe berdiam, agaknya ia berpikir keras.
"Kalau begitu, kejadian sungguh aneh!" ia bilang kemudian. "Kenapa dia pancing
aku keluar" Kenapa kita mesti main petak di tegalan ini, main putar-putaran?"
Heran In Loei. "Apa?" ia tanya. "Diakah yang pancing kau datang kemari" Bagaimana dengan Hek
Pek Moko?" "Apakah kau maksudkan itu dua mahluk aneh yang kemarin kita ketemukan di dalam
lembah?" Hong Hoe menegaskan. "Aku tidak bertemu dengan mereka. Sehabis aku
antar kau, aku duduk diam di dalam kamarku, selagi aku pikirkan daya untuk
menghadapi segala kemungkinan dari akibatnya tindakanku ini, aku dengar tiga kali ketokan perlahan
pada jendela kamarku. "Saudara, kau sudah datang!" demikian aku dengar. Terang
dia sangat enteng tubuhnya, karena kedatangannya itu tak aku ketahui sama
sekali. Aku lantas lompat keluar. Dia telah lantas berada di atas genteng dari
mana dia gapekan aku. Diapun bersenyum berseri-seri....."
Ingin In Loei tanya, siapa orang itu, atau Hong Hoe potong padanya: "Apa" Kau
masih hendak menanyakannya" Pasti sekali dia sahabatmu yang menunggang kuda
putih itu! Apakah namanya dia" Ya, Thio Tan Hong! Sungguh aneh gerak-geriknya
itu, tak dapat aku menerkanya. Sebenarnya aku sangat ingin berkenalan dengannya,
dari itu, aku segera hampirkan dia. Dalam sekelebatan saja, dia telah melintasi
dua wuwungan rumah. Tak dapat aku lukiskan kegesitannya, aku hanya bisa memuji
dia. Aku menduga-duga, mungkin dia panggil aku keluar sebab tidak leluasa
untuknya akan bicara di dalam kamar. Aku susul dia sampai melewati dua jalan
besar, di pojok jalanan aku lihat dua ekor kuda.
"Naik kuda!" dia itu kata padaku. Lantas dia mendahului lompat naik atas kudanya
yang putih itu. Aku lompat atas kuda yang kedua. Sama-sama kita kabur keluar
kota. Semula aku menyangka dia akan hentikan kudanya untuk bicara dengan aku,
tetapi dia kabur terus. Aku teriaki dia berulang-ulang, dia seperti tidak
mendengarnya. Aku coba menyusulnya, tapi tak berhasil aku menyandaknya. Ketika
aku tidak menyusul terlebih jauh, dia justeru perlahankan larinya kudanya,
hingga dia membikin aku sangat heran. Demikian di tempat ini, dia pancing aku
berlari-lari tidak keruan juntrungan. Sungguh aku tidak mengerti....."
"Sekarang?" In Loei tanya. Ia pun heran.
"Sekarang ini dia telah melintasi tepi bukit sana," sahut Hong Hoe sambil
menunjuk ke arah depan. "Karena aku dengar panggilan kau, aku tidak susul dia
lebih jauh. Ya, kau sendiri, dari mana kau datang" Apakah ada orang yang ketahui
perbuatan kita?" In Loei tertawa. "Orang yang mengetahuinya?" katanya. "Sebaliknya daripada sadar, semua orangmu
telah dibikin mampus oleh Hek Pek Moko!"
Hong Hoe berjingkrak. "Apakah benar Hek Pek Moko ada punya nyali demikian besar?" dia tanya.
In Loei bersenyum pula. Tapi ia bersungguh-sungguh.
"Bukan mampus benar-benar, tapi tak bedanya dengan mampus," ia bilang.
Si nona tuturkan apa yang ia lihat di hotel.
Hong Hoe heran. Kenapa orang yang tak sadar tak dapat disadarkan dengan semburan
air" Sungguh hebat bau harum itu! Tapi ia tidak berpikir lama, untuk perbuatannya Hek
Pek Moko! Di Barat ada semacam obat pingsan itu, yang sangat liehay, biasanya
disebut "asap mengembalikan semangat waktu jam lima ayam berkokok." Rupa-rupanya
Thio Tan Hong bekerja sama Hek Pek Moko, yaitu Thio Tan Hong yang pancing aku
keluar, Hek Pek Moko yang melepaskan bau harum itu. Aku tidak mengerti! Dengan
Hek Pek Moko aku tidak bermusuhan, dengan Thio Tan Hong pun aku hanya bentrok
kecil sekali, mengapa sekarang mereka berlelucon demikian hebat denganku?"
"Akupun sangat tidak mengerti," In Loei turut mengutarakan perasaan hatinya.
Ia lantas jelaskan lebih jauh apa yang ia tampak di hotel.
Thio Hong Hoe terkejut mendengar Tiatpie Kimwan datang bersama Hoasam Kiam.
"Apakah mereka bukan kawanmu?" In Loei tanya. "Kenapa kau takut?"
Thio Hong Hoe menggeleng kepala, ia menyeringai.
"Jangan tanya dulu. Kau bicara terus," ia bilang. Nona In lanjutkan
keterangannya, ia menutur dengan jelas.
Mengetahui si anak muda juga rubuh di tangan "lawan", Hong Hoe meringis.
"Aku tak mengerti kenapa perwira muda itu sangat benci dia?" tanya In Loei.
Dengan "dia" ia maksudkan Tan Hong, tetapi tidak mau ia omong jelas, tentang
puteranya Tjong Tjioe itu.
Hong Hoe berdiam, agaknya ia berpikir.
"Dilihat dari romannya, Thio Tan Hong itu mesti bukan seorang busuk," kata ia
kemudian. "Sebetulnya kenapa In Tongnia sangat benci padanya, aku tidak tahu,
mengenai ini, nanti aku tanyakan keterangannya."
Baharu sekarang In Loei dengar si perwira muda dipanggil she In. Karena
mendengar ini, segera mukanya menjadi pucat, tubuhnya limbung hampir rubuh.
Inipun suatu keterangan tambahan, yang menguatkan dugaannya mengenai perwira
muda itu. Hong Hoe tidak mengerti kenapa orang jadi terhuyung, lekas-lekas ia ulur
tangannya, untuk menyambar.
"Kau kenapa?" ia tanya.
In Loei singkirkan dirinya.
"Tidak apa-apa," ia menjawab. "Apakah namanya perwira itu?"
"Ia she In, namanya Tjian Lie," Hong Hoe menerangkan. "Kenapakah?"
Kembali wajahnya In Loei menjadi tambah pucat.
Sekarang ia peroleh kepastian.
Nama Tjian Lie itu pasti bukan nama benar, itulah nama bikinan, pecahan dari
huruf "Tiong"="berat" atau penghargaan atas diri sendiri. Huruf "Tiong" ini,
apabila dipecah, menjadi "tjian lie"="seribu lie".
In Tiong itu adalah kakaknya In Loei akan tetapi dua saudara ini, engko dan
adik, telah terpisah sejak mereka masih kecil, namun In
Loei masih ingat kakaknya itu, malah ia mencarinya. Sekarang ia merasa pasti
atas kakak ini, hatinya goncang, saking girang dan kuatir. Ia girang sebab
akhirnya ia ketemu juga kakaknya itu. Yang membikin ia kuatir adalah
persahabatannya dengan Thio Tan Hong, yang nampaknya dibenci sangat kakaknya
itu. Soal ini bisa sangat menyulitkan dia.....
"Apakah kau kenal In Tjian Lie?" Hong Hoe tanya.
"Dia mirip dengan sahabatku ketika kami masih sama kecil, " In Loei jawab. "Eh,
ya, kapankah dia kembali?"
"Kembali?" mengulangi Hong Hoe. "Ah, apakah kau juga ketahui dia telah kembali
dari Mongolia" Dia memasuki pasukan Gielim koen belum ada satu bulan. Aku
menjabat Tjiehoei dari Kimie wie merangkap Tongnia dari Gielim koen, karenanya
dengan sendirinya aku menjadi pemimpinnya. Perkenalan kami berjalan belum lama
akan tetapi cita-cita kami sama, cocok satu pada lain. Turut saudara In itu,
leluhurnya selama dua turunan adalah orang-orang Han yang tinggal di negeri
Watzu di mana mereka sangat menderita penghinaan dan kesengsaraan, karenanya dia
buron ke Tionggoan, niatnya untuk mencari kedudukan, umpama sebagai kepala
perang, menanti kelak tiba harinya memimpin suatu pasukan besar untuk menyerbu
dan memusnakan negeri Watzu itu. Demikian karenanya, lebih dahulu ia ceburkan
diri dalam pasukan Gielim koen. Sekarang ia tengah bersiap-siap untuk turut
dalam ujian umum militer tahun ini, agar ia dapat lulus dan keluar sebagai
Boe tjonggoan. Kalau ia berhasil, pasti sekali ia akan dapat capai cita-citanya
itu." Mendengar ini, In Loei menghelah napas.
"Dia bercita-cita mencari balas dengan jalan memangku pangkat, aku kuatir dia
tidak akan berhasil dengan pengharapannya itu," ia bilang. "Thio Thaydjin, harap
kau tidak berkecil hati jikalau aku omong terus terang. Untuk melawan bangsa Ouw
itu, pemerintah Beng tak dapat dibuat harapan!"
Hong Hoe tidak mengerti maksud orang, dia bungkam.
"Mungkin sekali kata-katamu ini tak tepat," dia bilang kemudian. "Di dalam
pemerintahan kita ada menteri-menteri besar yang jujur dan setia yang beranganangan menentang bangsa Ouw itu, umpamanya Kokioo Ie Kiam, dialah satu menteri
setia yang pantas dihormati."
In Loei tidak kenal keadaan pemerintah, tidak ingin ia berdebat.
Hong Hoe sementara itu heran juga yang In Loei sangat perhatikan In Tjian Lie,
tadinya hendak ia menanyakannya, ketika tiba-tiba ia dengar ringkiknya kuda,
menyusul mana ia tampak kuda putih dari Thio Tan Hong telah lari balik,
penunggangnya ada bersama, ialah si mahasiswa.
"Hai, kau sedang bersandiwara apa?" tegur Hong Hoe. "Sahabatmu ada di sini!
Jangan kau main teka-teki pula!....."
Kuda putih itu lari bagaikan terbang, sekejap saja dia telah tiba.
"Maaf!" kata penunggangnya kepada komandan Kimie wie itu, lalu terus ia pandang
In Loei, akan tanya: "Kau baik?"
In Loei pegangi pelana. "Terima kasih untuk perhatianmu....." katanya, tawar.
Heran Hong Hoe akan saksikan kedua orang itu bersikap bagaikan bukan sahabatsahabat kekal, akan tetapi karena ia ingin peroleh keterangan dari Tan Hong,
tidak sempat ia untuk menanyakan In Loei akan sikapnya itu.
"Saudara Thio," katanya pada mahasiswa itu, "kau dengan aku dapat dikatakan
bersahabat erat, kenapa kau sebaliknya telah ajak Hek Pek Moko datang kepadaku
untuk mengacau?" Tan Hong melengak, ia tertawa nyaring.
"Inilah yang dikatakan, kesulitan orang, tuan tak mengetahuinya dan sia-sia
belaka di depan orang yang tersangkut sendiri untuk bicara tentang hutang budi!"
katanya. "Sekarang ingin aku tanya kau, tahukah kau siapa yang telah datang
menyelidiki kau?" Wajah Hong Hoe menjadi pucat dengan tiba-tiba.
"Oh, kau juga ketahui halku itu?" tanyanya. "Memang Tiatpie Kimwan Liong Tin
Hong serta Hoasam Kiam Hian Leng Tjoe telah datang kesini."
"Memang!" sahut Tan Hong. "Tahukah kau apa maksud sebenarnya mereka datang
kesini?" Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam adalah soesiok atau paman guru dari Kong Tiauw
Hay, tjongkoan atau kuasa besar dari keraton kaisar dan Kong Tiauw Hay itu
adalah murid kepala dari Leng Siauw Tjoe ketua dari partai persilatan
Thiamtjhong Pay, dia bertenaga sangat besar, liehay ilmu silatnya bahagian luar,
gwakang, tetapi karena dia selalu berdiam di dalam keraton di mana dia in
merawati dan melindungi kaisar, dalam dunia kangouw namanya tak terkenal. Dia
tidak puas terhadap Thio Hong Hoe yang kesohor sebagai jago silat nomor satu
untuk kota raja, pernah tiga kali dia tantang Hong Hoe adu silat, kesemuanya itu
dia kena dirubuhkan, karenanya dia menjadi jelus, di mulut dia mengatakan takluk
terhadap Hong Hoe, tapi di dalam hatinya dia berdendam, maka itu, dengan diamdiam dia cari jalan untuk singkirkan tjiehoei dari Kimie wie dan Gielim koen
itu. Hong Hoe bukannya tidak tahu Tiauw Hay mendendam terhadapnya, akan tetapi
karena kedudukan tjongkoan itu ada terlebih kuat daripada kedudukannya, ia hanya
bisa berlaku hati-hati saja untuk menjaga diri. Sekarang ia dengar keterangannya
Tan Hong itu, tidak heran ia jadi terkejut, hingga mukanya menjadi pucat.
"Bukankah Kong Tiauw Hay yang secara diam-diam undang kedua paman gurunya itu
datang kemari untuk mencelakai aku?" dia kata.
Thio Tan Hong tertawa. "Untuk apa dia berlaku secara diam-diam?" katanya. "Sekarang ini saja dia telah
pegangi kakimu yang sakit....."
Hong Hoe jadi semakin heran.
"Apa?" katanya. "Kau maksudkan apa?" Tan Hong bersenyum.
"Sebenarnya Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam keluar dari kota raja bukan untuk
urusanmu," ia bilang, "hanya kebetulan saja mereka ketahui tentang halmu itu.
Apakah kau ingin ketahui hal ihwalnya?"
"Aku minta kau sudi menceriterakannya," Hong Hoe mohon.
"Hek Pek Moko telah menadah serupa barang curian yang berharga besar," Tan Hong
berikan keterangannya. "Itu adalah pusakanya satu pangeran di kota raja, ialah
sepasang singa-singaan dari batu kumala. Cukup untuk menyebutkannya saja
sepasang matanya singa-singaan kumala itu. Sepasang mata singa-singaan itu
terbuat dari mutiara sejati, yang harganya ada seumpama harganya sebuah kota.
Pencurian itu sangat menghebohkan. Kong Tiauw Hay insyaf dia bukanlah
tandingannya dari Hep Pek Moko, karenanya dia undang kedua paman gurunya itu,
yang diminta bantuannya untuk selidiki kedua Moko. Mereka menduga Hek Pek Moko
menyingkir pulang ke Barat, karenanya mereka menyusul. Kebetulan bagi mereka,
mereka lihat kau berada di sini, maka sekalian mereka awasi kau juga. Lebih
kebetulan lagi, kau justeru dapat menawan puteranya Kimtoo Tjeetjoe, hal mana
mereka dapat mengetahuinya. Yang hebat adalah, selagi kau belum tahu jelas
tentang siapa adanya tawananmu itu, Kong Tiauw Hay sendiri sudah lebih dahulu
menerima laporan yang jelas. Harganya Tjioe San Bin itu ada di atas harganya
sepasang singa-singaan kumala itu, jikalau dia dapat dibawa ke kota raja, itu
artinya satu jasa sangat besar, maka itu Kong Tjongkoan segera bertindak. Ia
telah ke sampingkan dahulu tentang barang curian itu. Begitulah disatu pihak dia
kirim kabar kilat, di lain pihak, dengan berbareng dia undang datang kedua paman
gurunya itu untuk menyusul kemari, untuk ambil alih orang tawananmu itu.
Kesudahannya, baharu saja kaki depan San Bin menindak keluar dari pintu, atau
kaki belakang dari mereka telah tiba....."
Thio Hong Hoe terkejut hingga ia berseru.
"Jikalau mereka dapat tahu aku sudah merdekakan Tjioe San Bin, itu artinya


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagiku hukuman mati seluruh keluargaku!" katanya.
Tan Hong kembali tertawa.
"Jangan kau takut!" katanya, tenang. "Aku telah gunai akal memancing mereka ke
lain jurusan. Tentang tindakanmu ini, mereka tidak nanti ketahui untuk selamalamanya!" Hong Hoe bagaikan sadar. "Jadinya kau sudah gunai Hek Pek Moko sebagai umpan untuk pancing mereka itu
menyingkir dari arahku?" katanya. "Kau bisa pengaruhi kedua iblis itu, sungguh
aku kagum! Tapi, apakah artinya kau mengacau di rumah penginapan itu?"
"Sabar, sahabatku," sahut Tan Hong. "Walaupun benar mereka tidak tahu kau telah
merdekakan Tjioe San Bin, akan tetapi karena kau telah loloskan seorang tawanan
yang penting, dosamu tetap bukannya kecil. Saudara Thio sahabatku, kau pernah
baca masak-masak kitab ilmu perang, kau tentunya ketahui kouw djiok kee dari Oey
Khay, itu akal mempersakiti diri sendiri....."
Hong Hoe benar-benar sadar, segera ia rangkap kedua tangannya, ia angkat, untuk
memberi hormat kepada si mahasiswa berkuda putih itu.
"Terima kasih untuk budimu yang besar ini, tak nanti aku melupakannya." ia
mengutarakan isi hatinya.
In Loei mendengari saja pembicaraan orang, ia tak mengerti.
"Hai, sebenarnya kamu tengah bersandiwara apa?" tanya dia, tak sabaran.
"Mereka telah bongkar kerangkeng, mereka telah merdekakan perantaian," jawah
Hong Hoe. "Karena itu, tak dapat aku lolos dari tanggung jawabku. Yang datang
itu adalah musuh-musuh yang liehay sekali, orang-orang kami telah
dipengaruhinya, telah kami keluarkan antero tenaga, masih kami tidak berdaya.
Sama sekali kami tidak berpura-pura kalah dan membiarkannya perantaian
kabur. Karena kami telah melakukan perlawanan, dosa kami bisa menjadi
entengan....." "Tetapi itu belum semuanya," Tan Hong bilang. "Melihat nama kamu, dengan nampak
kekalahan saja, kamu sudah bersalah. Andaikata musuh dapat mengalahkan orang
yang terlebih liehay daripada kamu, mungkin Kong Tjongkoan tak enak hatinya
untuk menghukum kau....."
"Adakah ini sebabnya kata-katamu bahwa kau hendak mengasi rasa kepada Tiatpie
Kimwan dan Hoasam Kiam?" Hong Hoe tanya. "Sudah pastikah kau dapat mengalahkan
orang-orang Thiamtjhong Pay itu?"
Thio Tan Hong tertawa. "Kau dengarlah dengan saksama!" ia kata.
Waktu itu juga dari kejauhan, dari tepi bukit, ada terdengar suara riuh rendah
dari pertempuran, agaknya orang tengah mendatangi ke arah mereka.
"Masih ada seperjalanan tiga lie!" kata Tan Hong pula. "Thio Thaydjin, hendak
aku membingkiskan sesuatu yang tidak berharga kepadamu....."
Tangannya Tan Hong menyekal satu bungkusan merah yang bundar, seperti
bungkusannya sebuah semangka, bungkusan itu diangsurkan kepada Hong Hoe yang
segera menerimanya dan dibukanya. Ia terkejut hingga wajahnya pucat apabila ia
telah saksikan isinya bungkusan itu, ialah sebuah kepala orang. Bahna murkanya,
dengan goloknya Hong Hoe segera tabas si mahasiswa berkuda putih itu.
"Kenapakah kau bunuh adikku yang kedua?" teriaknya. "Adakah ini yang kau namakan
kouw djiok kee, tipu muslihat mempersakiti diri itu?"
In Loei di samping mereka pun sudah lantas kenali kepala orang itu, ialah
kepalanya Khoan Tiong, Lweeteng Wiesoe yang menjadi salah satu dari tiga jago
silat nomor satu dari kota raja!
Serangannya Hong Hoe itu ada sangat tiba-tiba, hebat serangan itu, atas itu Thio
Tan Hong perdengarkan jeritan "Ayo!" dan tubuhnya pun terhuyung!
-ooo0dw0ooo- BAB XIII Tapinya pemuda she Thio itu tidak menjadi kurban, dia pun sangat gesit, dengan
mendahului sambaran golok, tubuhnya terhuyung ke arah tujuan serangan, berbareng
dengan itu kaki dan tangannya digerakkan bagaikan orang ketakutan sangat. Terang
sudah bahwa ia berpura-pura belaka, hingga Hong Hoe menjadi bertambah-tambah
murka. "Sengaja kau permainkan aku, apakah maksudmu?" dia membentak pula.
Tan Hong tertawa terbahak-bahak.
"Sudah bagus kau tidak menghaturkan terima kasih padaku, kenapa kau sebaliknya
menjadi demikian gusar" katanya. "Kau lihat, apakah ini?"
Dan ia lemparkan sehelai kertas yang bersampul merah.
Surat itu adalah sepucuk surat dinas, karena hanya selembar, enteng sekali
sampul itu, akan tetapi ketika dilemparkan, timpukannya sangat berat dan keras.
Jarak di antara kedua orang hanya setombak lebih, di waktu Hong Hoe
menyambutinya, walaupun ia salah satu jago nomor satu dari kota raja, ia pun
terperanjat. Lemparan itu bagaikan timpukan senjata rahasia.
Dengan sangat bernapsu Thio Hong Hoe beber surat dinas itu untuk dibaca isinya,
atas mana, kagetnya bukan kepalang.
Itu adalah sebuah surat rahasia Khoan Tiong
untuk Tjongkoan Kong Tiauw Hay, terang di situ Khoan Tiong mencatat segala apa
sejak dia ikut Hong Hoe keluar dari kota raja, jelas dia menulis sesuatu sepak
terjangnya Hong Hoe, sang sep atau toako itu, sampai halnya Hong Hoe dikalahkan
Tan Hong dan In Loei dalam lima jurus, dalam mana Hong Hoe melarang orang
membantuinya, yang lebih hebat adalah catatan halnya San Bin tertawan, bagaimana
San Bin diiring, dicampur di antara orang-orang tawanan lainnya.
Setelah Hong Hoe habis membaca, Tan Hong berkata: "Soalnya sudah jelas, Khoan
Tiong telah kenali San Bin akan tetapi dia tidak memberitahukannya kepadamu.
Waktu itu dia tidak keburu tulis laporan rahasianya, sebaliknya, dia kirim orang
kepercayaannya untuk menyampaikan berita ke kota raja. Laporan orang itu tidak
lengkap, itulah tidak terlalu membahayakan, akan tetapi surat rahasia ini,
apabila ini sampai di tangan Kong Tjongkoan, celakalah kau!"
Hong Hoe menjadi lesu sekali dia sampai lemparkan goloknya.
"Memang aku tahu saudaraku yang kedua ini sangat rakus dan temaha akan pangkat
besar, aku hanya tidak sangka bahwa dia ada demikian hina dina.....!"
Bahwa dia ada sangat menyesal, itu terbukti dari air matanya yang segera keluar
bercucuran, sedangkan dia sangat percaya saudara angkat yang kedua itu.
"Orang semacam dia, untuk apakah kau tangisi?" kata In Loei apabila ia telah
ketahui duduknya hal. "Walau bagaimana, kami pernah menjadi saudara angkat," sahut Hong Hoe lemah.
Kasih Diantara Remaja 11 Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Pukulan Naga Sakti 6

Cari Blog Ini