Ceritasilat Novel Online

Legenda Kelelawar 2

Legenda Kelelawar Karya Khu Lung Bagian 2


luar tidak berhak ikut campur, mengapa dia mesti memfitnah
Bu Wi-yang?" Kembali Oh Thi-hoa tidak sanggup bersuara lagi.
Dengan pelan Coh Liu-hiang bersuara. "Tindakan mereka
ini sama sekali bukan khawatir akan pengusutan kita, juga
bukan memfitnah Bu Wi-yang!"
"Habis. apa maksud tujuan mereka?" tanya Thio Sam.
"Tujuannya agar kita mengira Bu Wi-yang masih hidup," kata
Coh Liu-hiang. Oh Thi-hoa saling pandang sekejap dengan Thio Sam,
nyata mereka bingung apa maksud ucapan Coh Liu-hiang itu.
Maka Coh Liu-hiang menyambung. "Jika tidak keliru
tebakanku, Bu Wi-yang sudah mati."
"Maksudmu Bu-lotoa telah dibunuh?" tanya Thio Sam.
"Betul," kata Coh Liu-hiang, "Cuma mereka belum ingin hal
ini diketahui orang, bisa jadi masih ada muslihat lain. makanya
mereka bertindak begini. Dan bila kita percaya kedua orang itu
dibunuh oleh Bu Wi-yang, ini berarti Bu Wi-yang sendiri masih
segar bugar. Bila kelak ada orang menanyakan Bu Wi-yang.
tentu kita dapat menjadi saksi bahwa Bu Wi-yang pada saat
kejadian ini masih hidup."
Dia menghela napas gegetun. lalu menyambung pula.
"Betapa licik dan licin perencanaan orang-orang ini sungguh
menakutkan, tapi yang lebih menakutkan ialah sampai saat ini
belum lagi diketahui apa sebetulnya maksud mereka."
Thio Sam melelet lidah, katanya dengan tertawa, "Untung
malam ini aku tidak ikut diundang......"
*** Hari sudah gelap. api anglo di haluan kapal belum padam.
Thio Sam menepuk pundak Oh Thi-hoa. katanya dengan
tertawa. "Hari belum lagi malam. bagannana kalau makan ikan
panggang lagi?" "Tidak, perutku harus diberi peluang untuk mengisi
santapan di Sam-ho-lau nanti. besok saja kumakan ikan
panggangmu," jawab Oh Thi-hoa dengan tertawa.
"Jika kesempatan sekarang tersia-sia, besok mungkin kau
tidak dapat makan lagi." gumam Thio Sam sambil
menggeleng, pelan ia masuk kabin kapalnya sambil
bersenandung. Ketika didengarkan dengan cermat, yang dia dengungkan
adalah lagu sebangsa 'gugur bunga'.
Dengan tertawa Oh Thi-hoa mengomel. "Dasar mulut
anjing takkan tumbuh gading, belum-belum bocah ini
menganggap kita akan gugur. Aku justru tidak percaya di
Sam-ho-lau ada orang berani mengusik kita."
Coh Liu-hiang termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata
dengan tertawa, "Kukira ikan panggangnya memang harus
kita makan lagi, mungkin kesempatan memang tidak banyak
lagi..." Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara
jeritan kaget tertahan. Thio Sam yang sudah masuk ke dalam
kabin menyurut mundur keluar, meski air mukanya tampak
heran dan kaget, tapi tetap berkata dengan tertawa. "'Di
kapalku ini tiada sesuatu benda berharga, sungguh menyesal
jika kunjungan sahabat tidak mencapai sasaran yang tepat."
Oh Thi-hoa melirik Coh Liu-hiang sekejap. katanva
tertawa, "Tak tersangka hari ini ada maling ketemu pencuri."
Kedua orang itu terus memburu ke sana, benar juga
terlihat seorang meringkuk di pojok kabin sana.
Di dalam kabin kapal itu gelap gulita, lampu tidak
dinyalakan, maka tak jelas wajah dan bangun tubuh orang itu,
yang kelihatan hanya sepasang matanya yang mencorong
terang. Jarang orang dapat melihat mata yang begini terang dan
jeli, cuma sayang, sorot mata ini sekarang menampilkan rasa
takut dan cemas sehingga tidak begitu menarik seperti
biasanya. "Tempatku ini tiada sessuatu barang berharga, jika ada
paling juga cuma beberapa potong baju bekas. bilamana nona
mau, boleh silakan ambil dan pergi saja, mendekam di sini
kukira bukan cara yang baik," demikian ucap Thio Sam pula.
Tapi orang itu tidak bergerak dan juga tidak mau pergi
tampaknya dia sudah pasti hendak mengendon di sini.
"Masa kau tidak mau pergi?" tanya Thio Sam pula sambil
mengernyitkan kening. Orang di dalam kabin menggeleng. "Lalu apa
kehendakmu" Apakah perlu kulemparkan kau keluar?" kata
Thio Sam pula. Tampaknya dia benar-benar hendak berlari masuk untuk
mengusir orang itu, tapi Oh Thi-hoa keburu mencegahnya,
omelnya dengan melotot. "He, apa kau sinting?" "Sinting"
Siapa sinting" Kau atau aku?" "Kau yang sinting." jawab Oh
Thi-hoa dengan gemas. "Bilamana rumahku bisa kedatangan
anak perempuan secantik ini, tentu aku akan berdaya upaya
untuk menahannya, masa kau menjadi marah dan akan
mengusirnya malah?" Thio Sam tertawa, katanya kepada orang di dalam kabin.
"Nah, kau dengar sendiri, meski aku ini orang baik-baik, tapi
kawanku ini adalah tukang terkam, maka kunasehati kau agar
lekas pergi, jika nanti kau diterkamnya, Jangan menyalahkan
aku." Kecuali ikan dan mutiara. urusan lain sama sekali tidak
menarik bagi Thio Sam. termasuk juga urusan perempuan.
Tak tersangka orang di dalam kabin itu hanya
menggelengkan kepala. Maka dengan tertawa Oh Thi-hoa berkata, "Jangan
percaya ocehannya, pribadiku ini cuma suka berkawan saja,
asalkan nona suka, silakan tinggal saja di sini. Namun dia
pasti tidak berani mengganggumu."
Ia mengira orang di dalam kabin pasti akan berterimakasih
padanya, tak tahunya si nona sama sekali tidak kenal baik dan
buruk, ia malah melototi sekejab.
Tapi cukup sekejap itu. tiba-tiba Oh Thi-hoa merasa
pelototan mata ini sudah sangat dikenalnya, seperti sudah
pernah dilihat entah dimana.
Belum lagi dia bersuara pula, terdengar Coh Liu-hiang
bertanya, "Apakah nona Kim di situ?"
Benar juga, orang itu lantas manggut-manggut. Segera Oh
Thi-hoa ingat, serunya. "Betul, bila dia marah dan mendelik,
maka segera kukenali dia, he. Thio Sam...." Waktu ia
menoleh. ternyata Thio Sam sudah ngeluyur pergi.
"Untuk apakah nona Kim berkunjung kemari?" tanya Coh
Liu-hiang pula. Kim Leng-ci tetap diam saja di tempat tanpa menjawab.
Oh Thi-hoa menarik muka, jengeknya, "Hm, orang
terhormat seperti nona Kim ternyata sudi juga datang ke
tempat kotor ini. sungguh aneh dan lucu, jangan-jangan
kedatanganmu ini hendak melabrak diriku?"
Kim Leng-ci tampak berkedip-kedip. tiba-tiba matanya jadi
merah basah. Nona yang biasanya galak itu ternyata tak dapat menahan
perasaannya lagi, malahan tampaknya rada-rada memelas.
Seketika hati Oh Thi-hoa menjadi lunak. Sebenarnya
hatinya memang tidak terlalu keras, lebih-lebih bila
berhadapan dengan anak perempuan. hatinya menjadi cepat
lunak. Dengan tertawa ia lantas berkata, "Meski di sini tiada
barang baik. tapi ikan panggangnya boleh dicicipi. Asalkan
nona Kim tidak marah-marah, segala apa dapat dirundingkan."
Kembali Kim Leng-ci berkedip-kedip dan tiba-tiba
meneteskan air mata. Bila melihat air mata perempuan, bukan saja hati Oh Thihoa
lantas lemah, bahkan orangnya lantas lemas juga.
Dengan suara lembut ia bertanya pula, "Jika nona Kim
masih marah padaku. umpama aku dipukul beberapa kali juga
tak jadi soal." "Mungkin tujuan nona Kim bukan untuk mencarimu." kata
Coh Liu-hiang. "Bukan mencari diriku, memangnya mencari dirimu" Untuk
apa dia mencarimu?" ujar Oh Thi-hoa dengan mendelik.
Coh Liu-hiang tak menghiraukan, ia berkata pula. "Janganjangan
nona Kim mengalami sesuatu kejadian luar biasa?"
Benar juga, Kim Leng-ci kembali mengangguk.
"Masa ada orang berani kurangajar terhadap nona Kim?"
cepat Oh Thi-hoa mendahului bertanya.
Tapi Kim Leng-ci lama menunduk. agaknya sedang
menangis pelan. "Apakah nona Kim bukan tandingan orang-orang itu,
makanya bersembunyi di sini?" tanya Oh Thi-hoa.
Tubuh Kim Leng-ci tampak mengkeret dan seperti rada
gemetar. Dengan suara keras Oh Thi-hoa bertanya, "Siapa yang
berani mengganggu nona Kim" Apakah keparat Ting Hong
itu?" Tapi Kim Leng-ci tidak mengangguk, juga tidak
menggeleng, tampaknya menangis terlebih sedih.
"Sungguh berani keparat itu, tapi jangan khawatir nona
Kim, ada kami di sini, apapun tidak perlu takut..." makin
omong makin murka Oh Thi-hoa.
Bila melihat anak perempuan diganggu orang, biasanya
dia pasti tampil ke depan untuk membelanya. Dengan gemas
dia berkata pula. "Dimana keparat itu sekarang" Bawalah
kami pergi mencarinya!"
Tubuh Kim Leng-ci kembali mengkeret ke belakang pula
bak seekor anak domba yang ketakutan dan minta
perlindungan. "Apakah nona Kim terluka?" tanya Oh Thi-hoa.
"Aku ..." terdengar suara Kim Leng-ci rada gemetar. hanya
satu kata saja disuarakan, lalu tidak sanggup berucap pula
seperti tidak tahan rasa sakitnya.
Oh Thi-hoa jadi tertarik, katanya, "Dimana lukamu, coba
kuperiksa," Sambil bicara ia terus menerobos ke dalam kabin.
Kabin kapal layai ini tidak besar, malahan ada semacam
bau istimewa. Tempat tinggal orang bujangan kebanyakan
mempunyai bau begini. Puteri terhormat seperti Kim Leng-ci. jika terpaksa.
sekalipun sambil memencet hidung juga tak sudi masuk ke
sini. Dengan suara lembut Oh Thi-hoa berkata pula sambil
mendekat, "Meski aku bukan tabib ternama, tapi untuk
mengobati luka kiranya bukan soal. Nona Kim jangan
khawatir. setelah kuperiksa lukamu. tentu dapat
kusembuhkan." Kim Leng-ci menjulurkan kakinya dengan berat. ucapnya
dengan suara gemetar. "Dia..... dia hendak membunuhku,
hampir saja kakiku tertabas kutung oleh goloknya."
"Keparat kejam amat..." kata Oh Thi-hoa dengan gemas.
Dalam kabin sangat getap, ia berjongkok. tapi tetap tak dapat
melihat jelas dimana luka kaki Kim Leng-ci. Ia mengomel,
"Thio Sam. tempat busukmu ini masa tiada lampu sama
sekali?" Ia bermaksud meraba luka di kaki si nona, siapa tahu baru
saja tangannya terjulur, mendadak kaki Kim Leng-ci yang
terluka itu dapat bergerak cepat, bahkan bergerak sangat kuat
sekali, menendang dengan tepat Koh-cing-hiat di bahu Oh
Thi-hoa, menyusul sekali depak. kontan Oh Thi-hoa mencelat
keluar. Menjerit kaget saja belum sempat. tahu-tahu Oh Thi-hoa
ditendang terguling hingga tak bisa bcrkutik. Ketika sinar
pedang berkelebat, ujung pedang telah mengancam lehernya.
Mata si nona yang tadi mencucurkan air mata itu kini telah
mendelik pula, bentaknya dengan bengis, "Kau jahanam,
berani kau meraba kakiku. Apakah kau lupa siapa aku ini?"
Oh Thi-hoa menghela napas, katanya sambil menyengir,
"Aku tidak melupakan apa pun, aku cuma lupa kau adalah
perempuan. Kalau lelaki ingin membantu perempuan, ini
berarti mencari susah sendiri, jika percaya kata-kata
perempuan, ini lebih celaka lagi."
"Hm, kau ini barang apa, masa kuperlukan bantuanmu?"
jengek Kim Leng-ci. "Sekalipun lelaki di seluruh dunia ini
sudah mati semua juga takkan kucari kau."
Mendadak ia menoleh ke sana dan membentak,
"Semuanya dilarang bergerak, sekali bergerak kubunuh dia
lebih dahulu!" Padahal sedikitpun Coh Liu-hiang tidak bergerak. Ketika
diketahuinya gelagat tidak baik, namun sudah terlambat untuk
turun tangan. "Orang ini kawan baikmu, bukan?" tanya Kim Leng-ci
kepada Coh Liu-hiang. "Tampaknya tak ada jalan lain bagiku kecuali
membenarkan," sahut Coh Liu-hiang.
"Kau menghendaki dia hidup atau ingin dia mati?" tanya
Kim Leng-ci pula. "Dengan sendirinya dia menginginkan aku hidup." sela Oh
Thi-hoa. "Kalau aku mati. siapa lagi yang akan ribut mulut
dengannya?" "Betul" tukas Coh Liu-hiang. "Jika dia mati maka
tenteramlah aku. Tapi sayang, selamanya aku tidak biasa
dengan hidup tenteram."
"Baik, jika kau ingin menolong dia, lebih dahulu kau seret
bocah she Thio itu ke sini," kata Kim Leng-ci.
Baru saja selesai ucapannya. tahu-tahu Thio Sam sudah
muncul sendiri, katanya dengan wajah sedih. "Aku pun tidak
ingin dia mati, sebab di antara kawan-kawannya tiada seorang
pun yang ketolol-tololan seperti dia, untuk mencari lagi
seorang tolol begini bukan pekerjaan yang mudah."
Mendadak Oh Thi-hoa berteriak. "Aku ini si tolol atau si
jahanam ?" "Dua-duanya, ya tolol. ya jahanam!" ujar Thio Sam.
"Wah, jika ada gajinya, jabatan rangkap ini kan lumayan,"
kata Oh Thi-hoa dengan tertawa.
Sinar mata Kim Leng-ci tampak gemerdep. Ia tidak ikut
bicara, sebab ia sendiri jadi melenggong.
Jika orang lain dan terancam begini, andaikan tidak
gemetar dan ketakutan setengah mati dengan wajah pucat,
juga pasti tidak berani bersuara, apalagi tertawa. Siapa tahu
beberapa orang ini masih dapat bersenda gurau seperti tidak
pernah terjadi apa-apa, hakikatnya tidak memusingkan apa
yang bakal terjadi.

Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lebih-lebih Oh Thi-hoa. ternyata sangat gembira.
Segera Kim Leng-ci tekan pedangnya lebih keras sehingga
ujung pedangnya hampir masuk tenggorokan Oh Thi-hoa,
dengan suara bengis ia membentak. "Apakah kau kira aku
tidak berani membunuh dia?"
Thio Sam menghela napas dan bergumam sendiri, "Sudah
tentu kau berani, tempat mandi lelaki saja kau berani masuk.
masa ada sesuatu di dunia ini yang tak berani kau lakukan ?"
"Kau menggerundel apa?" damprat Kim Leng-ci gusar.
"O. kubilang nona Kim adalah ksatrianya wanita, tidakkah
mengherankan jika cuma membunuh seorang saja." jawab
Thio Sam dengan mengiring tawa. "Cuma kumohon, janganlah
nona memaksa aku terjun ke dalam sungai. segala barangku
selalu kubuang ke sungai ini."
"Asalkan kau tahu saja." ucap Kim Leng-ci.
"Nah, lekas kau terjun dan mandi dulu."
"Apa, mandi?" seru Thio Sam kaget.
"Wah.... kemarin baru saja mandi uap, tubuhku sekarang
masih sangat bersih."
"Jika kau ingin menolong jiwanya, kau harus lekas terjun
ke situ, jangan banyak cincong," bentak Kim Leng-ci.
"Tapi.... tapi sekarang sudah malam.... air sungai juga....
sangat kotor...." ucap Thio Sam seperti mau menangis.
"Jika tidak kotor tentu takkan kusuruh kau terjun ke situ,"
jengek si nona. "Seb... sebab apa...?" tanya Thio Sam.
"Kau membikin susah padaku mendekam sekian lama di
tempat berbau busuk ini, mana boleh kuampuni kau?" kata
Kim Leng-ci. "Tapi bukan aku yang mengundangmu," ujar Thio Sam.
Kim Leng-ci menjadi murka, katanya, "Kenapa tempatmu
tidak kau bikin lebih bersih?"
"Darimana kutahu nona akan berkunjung kemari?"
"Aku tidak perduli, jawab saja, kau mau terjun atau tidak?"
bentak si nona. Kembali Thio Sam menghela napas, gumamnya, "Nona ini
benar-benar tidak pakai aturan, kelak suamimu akan mati
kaku saking gemasnya."
"Kau menggerundel apa lagi?" bentak Kim Leng-ci dengan
melotot. "Kubilang, perintah nona mana bisa dibantah?" jawab Thio
Sam, terpaksa ia pencet hidung dan "plung", ia benar-benar
terjun ke dalam sungai. Namun rasa gusar Kim Leng-ci belum berkurang, segera ia
melototi Coh Liu-hiang dan berkata, "Sekarang giliranmu!"
Coh Liu-hiang jadi serba susah. ucapnya, "Apakah nona
juga menghendaki aku terjun mandi di situ?"
"Bagimu tidak semudah itu," jengek si nona.
"Habis nona menyuruhku bagaimana?"
"Aku cuma menyuruhmu mengambilkan suatu barang
bagiku, Jika kau sanggup. kubebaskan dia." kata Kim Leng-ci.
"Entah barang apa yang kau kehendaki, nona?" tanya Coh
Liu-hiang. "Buah Tho (peach)," kata Kim Leng-ci.
"Tho" Tho apa?" Coh Liu-hiang jadi melenggong.
"Sudah tentu Tho yang bisa dimakan. masa kau tak tahu?"
"Sekarang bukan musim buah Tho. tapi kalau nona
menghendakinya, kukira masih dapat kucarikan," ujar Coh Liuhiang
dengan tertawa. "Hanya saja Tho yang kuminta memang rada spesial," kata
si nona. "Spesial bagaimana?" tanya Coh Liu-hiang.
Tiba-tiba ia seperti ingat sesuatu, seketika berubah air
mukanya, serunya, "Jangan-jangan Tho yang dikehendaki
nona adalah Giok-hoan-tho di istana Kek-lok kiong di daerah
barat sana?" "Betul, cerdik juga kau," kata si nona.
"Wah, tho yang nona minta benar-benar sangat spesial,"
ucap Coh Liu-hiang sambil menyengir.
"Jika tidak spesial, untuk apa aku mencarinya?" kata Kim
Leng-ci tak acuh. Lalu ia menyambung. "Setengah bulan lagi
adalah hari ulang tahun ke-80 nenekku, semua kakak dan
pamanku sudah menyiapkan kado bagi beliau. maka aku pun
perlu menyediakannya."
"Ya. bila nona dapat gunakan Giok-hoan-tho dari Kek-lokkiong
sebagai kado. dengan sendirinya akan sangat menonjol
dan mengatasi kado orang lain," kata Coh Liu-hiang.
"Justru lantaran itulah. maka harus kucari sampai dapat,"
kata Kim Leng-ci. "Menurut cerita. konon Giok-hoan-tho adalah buah Tho
pembibitan dari taman Ong-bo Nionio (tokoh dalam dongeng
tentang dewa-dewa). Bila orang muda makan Tho ini akan
awet muda, jika dimakan orang tua akan panjang umur."
"Jika demikian seharusnya nona juga tahu Giok-hoan-tho
ini baru berbuah satu kali selama 13 tahun, apalagi ,..,"
"Sudah kuselidiki dengan jelas," sela Kim Leng-ci. "Justru
tahun inilah Giok-hoan-tho itu berbuah. maka harus
kudapatkan buah itu Tidak banyak yang kuharapkan, cukup
lima buah saja." Oh Thi-hoa menghela napas gegetun, katanya, "Ai, bicara
memang mudah,apakah nona tahu berapa biji sekali Giokhoantho itu berbuah?" "Tujuh," jawab Kim Leng-ci.
"Betul," kata Oh Thi-hoa.
"Selama 13 tahun Giok-hoan-tho berbuah satu kali dan
jumlahnya cuma tujuh bji. tapi sekaligus kau menghendaki
lima biji. Memangnya kau kira makhluk tua penjaga Kek-lokkiong
itu seperti anak kutu busuk tua ini, sehingga barangnya
dapat diambil begitu saja?"
"Seumpama betul aku ini bapaknya juga sukar
mendapatkannya," ujar Coh Liu-hiang.
"Sebab apa?" tanya Kim Leng-ci.
"Sebab buah itu akan dimakan sendiri oleh penghuni Keklokkiong," tutur Coh Liu-hiang.
"Sun-put-lau, istri Thio Pik-ki yang menjadi penguasa
istana itu paling suka pada kecantikan dan juga paling takut
tua, dia pernah bersumpah takkan membiarkan suaminya
melihat wajahnya sesudah tua."
"Nyonya itu perempuan pintar," sambung Oh Thi-hoa. "Ia
tahu lelaki takut melihat bininya tua, sebab, bila bini sudah tua,
sembilan sembilan di antara sepuluh lelaki pasti akan
menyeleweng." "Tapi setiap orang kan pasti akan tua, siapa pun tidak
terkecuali, betul tidak?" ujar Kim Leng-ci, dengan gegetun.
Setiap perempuan bila mendengar kata-kato tua, tanpa
terasa akan timbul rasa sedihnya, hal ini juga dirasakan oleh
Kim Leng-ci meski perangainya mirip lelaki.
"Maksud pernyataan Sun Put-lau itu sama halnya bilang
kalau dia sudah dekat hari tua, maka dia lebih suka mati
dengan demikian sang suami tak dapat melihat lagi mukanya
yang keriput." kata Coh Liu-hiang.
"Tidak, mungkin tidak begitu maksudnya," ujar Oh Thi-hoa
tertawa. "Bisa jadi maksudnya ingin menyatakan bilamana dia
sudah tua, maka dia akan membunuh sang suami... hanva
orang mati saja yang tak dapat menyeleweng, betul tidak?"
"Maksudku menceritakan kejadian ini hanya agar nona
mengetahui betapa penguasa Kek-lok-kiong itu sayang pada
buah Tho yang ditanamnya. apalagi aku, dan mereka tidak
pernah kenal dan tiada hubungan apapun, cara bagaimana
buah itu akan kudapatkan?"
"Aku pun tahu, sukar bagimu untuk mendapatkannya, tapi
barang yang sukar diminta, kan dapat kau curi," kata Kim
Leng-ci. "Setiap orang Kangouw tahu, tiada sesuatu barang di
dunia ini yang tak dapat dicuri oleh Coh-hiangswe, betul tidak
?" "Tapi suami istri Thio Pik-ki dan Sun Put-lau sudah
bersemayam selama 40 tahun di Kek-lok-kiong. ilmu silat
mereka sukar diukur. selama 40 tahun ini ada juga orang
Kangouw yang mengincar Giok-hoan-tho mereka. tapi tiada
seorang pun yang dapat kembali dengan hidup."
Setelah menghela napas. Coh Liu-hiang menyambung.
"Apalagi Kek-lok-kiong terletak jauh di daerah barat sana,
hanya dalam waktu setengah bulan mana bisa kupergi
pulang" Wah, nona benar-benar mempersulit orang."
"Ya, memang aku sengaja mempersulit orang. Jika kau tak
sanggup, sekarang juga kubinasakan dia," teriak Kim Leng-ci.
Oh Thi-hoa memejamkan mata, katanya dengan menghela
napas panjang, "Sudahlah. kukira lebih baik kau pergi
membelikan peti mati bagiku saja, beli peti mati kan lebih
mudah dari pada mencuri Sian-tho."
"Peti mati juga tidak perlu," jengek Kim Leng-ci. "Setelah
kubunuh kau, segera kulempar kau ke dalam sungai, untuk
apa beli peti mati?"
Belum habis ucapannya, "blang", sekonyong-konyong
dasar kapal itu berlubang besar, air sungai terus menyembur
ke atas. Badan perahu berguncang. karena tidak tersangkasangka.
Kim Leng-ci jadi sempoyongan, mendadak
pergelangan tangannya kesemutan. entah terpukul apa, tahutahu
pedang pun terlepas dan berpindah ke tangan Coh Liuhiang.
Dan lubang perahu yang menyemburkan air sungai itu,
mendadak menongol seseorang. siapa lagi dia kalau bukan si
jaring kilat Thio Sam. "Haha. sudah sekian lama nona berdiam
di sini, kukira tubuhmu juga ketularan berbau busuk, lebih baik
kau pun turun mandi saja," demikian Thio Sam berseru
dengan tertawa. Berbareng kaki Kim Leng-ci terus hendak
dipegangnya. Keruan wajah Kim Leng-ci menjadi pucat. Padahal kabin
kapal itu terbuka. dia tidak lekas menerobos keluar, tapi malah
berteriak khawatir, "Kau.... kau berani menyentuh diriku..." "
Thio Sam yakin si nona pasti tidak dapat berenang. makanya
ketakutan perahu akan tenggelam. Dengan tertawa ia berkata
pula, "Di daratan nona lebih lihai, tapi kalau di dalam air, baru
kau tahu rasa." Selagi Kim Leng-ci menjerit khawatir, tahu-tahu bahunya
terasa dipegang orang, terus ditolak ke atas, seketika
tubuhnya melayang keluar kabin. Didengarnya Coh Liu-hiang
sedang berkata denga n tertawa, "Lain kali kalau hendak
membunuh orang, jangan asyik mendengarkan obrolan orang
lain...." 00oo00 Perlahan perahu layar itu mulai tenggelam. Dengan
bertopang dagu, Thio Sam berjongkok di tepi sungai dan
menyaksikan tamatnya perahu itu dengan sedih, hampir ia
menangis. Meski di dalam hati Oh Thi-hoa sangat berterima kasih,
tapi di mulut sengaja dia mengoceh, "Kalau yang lama tidak
dibuang, yang baru takkan datang. Perahu bobrok ini akhirnya
tamat riwayatnya. tambah cepat kan tambah baik, kenapa kau
sedih?" Seketika Thio Sam berjingkrak gusar. teriaknya. "Bobrok
katamu" Kau bilang kapalku itu bobrok" Memangnva kau
mempunyai berapa biji kapal bobrok seperti ini?"
"Satu pun tidak punya," jawab Oh Thi-hoa dengan tertawa.
"Seumpama punya tentu juga sudah kutenggelamkan sejak
dulu- dulu agar tidak dongkol bila melihatnya."
"Hahaha, bagus, bagus," Thio Sam menengadah dan
bergelak tertawa. "Jika demikian. kapal yang tidak bobrok milik
tuan Oh kita sedikitnya ada sepuluh atau delapan buah, nah,
silakan tuan Oh memberi ganti rugi sebuah padaku."
"Kapal memang seharusnya diganti, orang yang harus
ganti rugi padamu tadi juga berada di sini, cuma sayang...." Ia
melirik Coh Liu-hiang sekejap, Lalu menyambung pula. Cuma
sayang, orang itu sudah dilepas oleh Hoa-hoa-kongcu
(playboy) kita yang pengasih ini."
Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Kulepas dia, kau sangat
mendongkol, begitu bukan" Dan kalau tidak kulepas dia. lalu
bagaimana" Apakah kau akan menggigitnya?"
"Betul juga," timbrung Thio Sam. "Kukira memang lebih
baik melepaskan dia, kalau ditahan di sini, bukan mustahil hati
tuan Oh kita akan tergoda lagi. Dan bila hati tuan Oh sudah
lunak, bisa jadi beliau akan meraba kaki si nona, lain kalau
lehernya diancam pedang, wah...." Ia menghela napas
gegetun sambil menggeleng.
"Seumpama aku ingin menolong tuan Oh, tentu tiada
perahu bobrok lagi yang dapat kutenggelamkan."
"Hahahaha...." Oh Thi-hoa bergelak tertawa. "Bagus,
bagus, kalian berdua sengaja main pingpong, supaya aku
menjadi gusar bukan" Hm. aku justru tidak marah sedikit pun.
Sekali aku ditipu orang. tidak nanti aku tertipu untuk kedua
kalinya." "O. apakah tuan Oh kita baru sekali ini tertipu oleh
perempuan?" kata Thio Sam.
Seketika Oh Thi-hoa tidak dapat omong lagi. Hidungnya
terasa rada gatal, segera ia hendak meraba hidung lagi.
Rupanya penyakit meraba hidung ala Coh Liu-hiang itu telah
ditirunya dengan lebih bergaya daripada Coh Liu-hiang.
"Setahuku," demikian Thio Sam berucap pula. "Tuan Oh
kita ditipu perempuan. andaikan tidak ada tiga ratus kali,
paling sedikit juga ada seratus lima puluh kali. Setiap kali
habis tertipu, beliau selalu bersumpah lain kali pasti takkan
tertipu lagi. Tapi lain kali kalau melihat perempuan cantik toh
tetap tertipu lagi. Coba. aneh tidak?"
"Kukira mungkin leluhurnya banyak hutang pada kaum
wanita, maka keturunannya yang harus bayar utang," ujar Coh
Liu-hiang dengan tertawa, "Cuma saja bicara sejujurnya.
tertipunya sekali ini memang tak dapat menyalahkan dia."
"Oo," Thio Sam merasa bingung.
"Kau tahu apapun dapat dilakukan nona Kim," tutur Coh
Liu-hiang. "Jika dia menerobos ke tempat mandi kaum lelaki.
bahkan berjalan di depan umum dengan telanjang bulat.
semua itu takkan kuherankan. Tapi, kalau bilang dia dapat
menipu orang dengan akal licik, inilah yang sama sekali tak
pernah kuduga." Oh Thi-hoa menghela napas, gumamnya, "Meski si kutu
busuk ini tak pernah bermulut bersih, tapi terkadang ia pu
suka bicara jujur. Justru lantaran aku tidak pernah menyangka
nona pemberang itu bisa menggunakan akal untuk menipu
orang, makanya aku dapat terjebak."
"Beralasan juga," kata Thio Sam. "Tapi caranya menipu
tadi apakah timbul dari pikiran nona itu sendiri?"


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Betul, kukira tindakannya tadi pasti bukan timbul dari
pikirannya sendiri," kata Coh Liu-hiang.
"Ya, pasti dia didalangi orang lain," Oh Thi-hoa
menambahkan. Bisa jadi dia juga diancam orang, kalau
tidak...." "Kalau tidak, pasti dia tak sampai hati menipu tuan Oh kita
yang tersayang ini. begitu bukan?" tukas Thio Sam. Tanpa
menunggu jawaban orang. segera 1a menyambung lagi, "Tapi
orang yang begitu pemberang seperti nona itu. masakah rela
didalangi orang" Apalagi orang mengancamnya ?"
"Bukan mustahil ada sesuatu kelemahannya tergenggam
di tangan orang." ujar Coh Liu-hiang setelah berpikir.
"Betul, orang yang mengancam pasti Ting Hong," kata Oh
Thi-hoa. "Tidakkah kau lihat bagaimana sikapnya ketika
berhadapan dengan Ting Hong?"
"Juga belum tentu begitu," kata Thio Sam. "Bahwa dia
mengalah terhadap Ting Hong, bisa jadi lantaran dia jatuh
cinta padanya. Terhadap kekasih sendiri. biasanya
perempuan memang suka mengalah, Kau tahu sendiri. Tingkongcu
itu kan gagah dan cakap, tutur katanya juga sopan,
pintar ilmu silat maupun sastra. Jika aku jadi perempuan pasti
juga akan jatuh hati padanya."
Oh Thi-hoa memandangi Thio Sam dengan terbelalak.
mendadak ia berdiri dan menjura padanya. katanya.
"Bolehkah kumohon sesuatu padamu?"
Thio Sam jadi melengak. jawabnya. "Apa yang kau
inginkan" Minta diberi ikan panggang lagi?"
Oh Thi-hoa menghela napas, katanya. "Kumohon dengan
sangat jangan lagi kau bikin marah aku, aku tak tahan lagi.
Nanti kalau aku sudah kaya, pasti akan kuganti sebuah kapal
baru padamu, kujamin pasti sama bobroknya dengan kapalmu
itu." Thio Sam jadi tertawa geli. gumamnya, "Semula ucapan
ucapan orang ini masih wajar, tapi kemudian ucapannya
menjadi melantur pula...."
Sejenak kemudian ia menyambung pula, "Tapi kalau kalian
menganggap dia mendapatkan ancaman dari Ting Hong, hal
ini juga masuk akal. cuma saja, yang dikehendaki Ting Hong
adalah jiwa Coh Liu-hiang, mengapa si nona disuruh
memaksa Coh Liu-hiang mencuri Giok-hoan-tho?"
"Masa kau tidak paham?" tanya Oh Thi-hoa. "Ini namanya
akal pinjam golok untuk membunuh orang."
"Pinjam golok untuk membunuh orang?" ulang Thio Sam.
"Betul," kata Oh Thi-hoa. "Sebab Ting Hong tahu. kutu
busuk tua ini bukan lawan empuk. maka menyuruhnya
mencuri Giok-hoan-tho. Kau tahu Kek-lok-kiong bukanlah
tempat yang boleh dijelajahi orang sesuka hati. Jika kutu
busuk ini pergi ke sana. bisakah dia pulang ke sini?"
"Aha. betul tak tersangka mendadak kau berubah menjadi
pintar!" seru Thio Sam.
"Dan apalagi?" tanya Coh Liu-hiang.
Oh Thi-hoa menghela napas gegetun, katanya, "Ai, cepat
juga caramu belajar, hakikatnya kau seperti pengelana ulung."
"Aku dapat melihat noda darah ini karena kebetulan berdiri
di sebelah sini, tapi hanya sekejap saja sambil bicara
Hiangswe juga sudah mengetahuinya," ujar Cu-tiang.
Coh Liu-hiang termenung sejenak, lalu katanya, "Anak
buah Bu Wi-yang tiada yang lemah. Kalau kepandaian
menunggang kuda kedua orang ini sangat hebat, tentu ilmu
silat mereka juga tidak lemah. Tapi mereka baru saja lewat
sini, hanya sekejap saja mereka sudah terbunuh...."
"Akan kuperiksa apakah jenazah mereka masih dapat
ditemukan atau tidak...." sambil berseru Oh Thi-hoa terus
melarikan kuda belang ke depan.
"Umpama mayat mereka dapat ditemukan, lalu mau apa?"
ujar Kau Cu-tiang. "Kalau mayat mereka dapat ditemukan, tentu kita dapat
menyelidiki apa yang menyebabkan kematian mereka"
Terluka oleh senjata apa" Mungkin dapat pula diduga siapa
yang membunuh mereka," kata Coh Liu-hiang.
Kau Cu-tiang termenung sejenak, lalu katanya, "Agaknya
terlalu banyak yang masih harus kupelajari..."
*** "Apalagi bagaimana?" Oh Thi-hoa menjadi bingung.
"Yang digunakan Ting Hong adalah akal berganda, di
antara satu akal masih disambung akal yang lain, masa orang
pintar semacam kau tak dapat melihatnya?" kata Coh LiuKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
hiang. "Masih ada akal lagi" Akal apa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Yaitu akal kedelapan belas di antara ketiga puluh enam akal.
namanya Tiau-hou-li-san (memancing harimau meninggalkan
sarang)," tutur Coh Liu-hiang.
"Tiau-hou-li-san?" tukas Oh Thi-hoa sambil mengernyitkan
kening. "Betul," kata Coh Liu-hiang, "Kuyakin pasti ada sesuatu
urusan yang akan dikerjakannya di sini. lantaran khawatir kita
merintangi urusannya, maka hendak disingkirkan jauh ke Keklokkiong di barat sana, seumpama kepergianku ini bisa
kembali. paling sedikit juga memerlukan waktu setengah bulan
lebih." Oh Thi-hoa terdiam sejenak, katanya sambil menggeleng,
"Tampaknya hanya orang seperti kau ini baru dapat
mengetahui tipu muslihat Ting Hong, aku memang selisih jauh
soal urusan licik dan licin begini, bukan saja tak dapat
kulakukan, bahkan memikirkannya saja tak dapat."
"Tapi kepandaianmu memaki orang lumayan juga, memaki
orang sama sekali tak kau gunakan satu kata kotor pun," ujar
Coh Liu-hiang. "Ini kan kupelajari darimu, masa lupa?" jawab Oh Thi-hoa
"Wah, bicara kian kemari, tampaknya Ting Hong memang
tokoh yang hebat," kata Thio Sam.
"Hebat apanya?" jengek Oh Thi-hoa.
"Coba pikir dia dapat memperhitungkan kalian pasti tidak
menaruh prasangka apa-apa terhadap Kim Leng-ci, maka
nona itu disuruhnya melakukan kejadian tadi, melulu hal ini
saja sudah luar biasa."
"Namun betapapun jitu perhitungannya, toh tetap
kebocoran sesuatu," kata Coh Liu-hiang.
"Dalam hal apa?" tanya Thio Sam.
"Dia lupa bahwa Kim Leng-ci bukan nona yang dapat
bertindak demikian, dalam keadaan bagaimana pun, tentu
akan timbul sifat garangnya sebagai puteri pujaan, kalau tidak.
masakah dia dapat memaksa kau terjun mandi di sungai?"
00ooo00 Malam sudah tiba. Sudah tiba pula waktunya perjamuan di
Sam-ho-lau. Sam-ho-lau sesuai namanya. dengan sendirinya terdapat
'Lau' atau 'Lauteng' (loteng).
Di atas loteng restoran itu, ada sebuah ruangan mewah.
ruangan VIP, begitulah menurut istilah sekarang. walaupun
tidak terlalu luas ruangan ini, tapi terdapat sebuah meja besar.
Dan di sinilah perjamuan Hay Khoa-thian diadakan.
Waktu Oh Thi-hoa masuk ke ruangan VIP. orang pertama
yang dilihatnya ialah Kim Leng-ci. Nona ini ternyata hadir juga.
Waktu bertemu di Siau-yau-ti. yaitu di tempat mandi uap, si
nona kelihatan seperti perempuan bawel dan judas, bahkan
rada latah. Waktu bertemu lagi di kapal Thio Sam, si nona
berubah memelas, seperti anak domba yang harus dikasihani,
tapi sekejap berubah menjadi seperti seekor serigala atau
harimau. Dan sekarang, kembali si nona telah berubah. Kini dia
mengenakan baju yang berkualitas tinggi, warnanya tidak
terlalu mencolok. kepala memakai hiasan mutiara dan batu
permata, walaupun tidak banyak. tapi juga tidak sedikit.
Dengan sopan dan tenang, Kim Leng-ci duduk di situ, tidak
menyolok. tapi juga tidak kurang menariknya. Memang
seharusnya beginilah bentuk seorang puteri keluarga
terhormat. Diam-diam Oh Thi-hoa menghela napas gegetun. pikirnya,
"Perempuan seperti hawa di musim rendeng, orang yang
mengemukakan pendapat ini benar-benar jenius. pemikir
ulung." Yang mengagumkan adalah ketika melihat Oh Thi-hoa dan
Coh Liu-hiang, sama sekali Kim Leng-ci tidak memperlihatkan
sesuatu tanda apapun, seolah tak pernah terjadi apa-apa,
seakan-akan orang yang tadi sembunyi di kapal Thio Sam itu
bukan dia. Kembali Oh Thi-hoa menghela napas gegetun. pikirnya.
"Jika aku menjadi dia dan dia menjadi aku. bila aku lihatnya,
tentu mukaku sudah merah dan sembunyi ke kolong meja.
Ditinjau dan hal ini, tampaknya kulit muka perempuan jauh
lebih tebal daripada lelaki."
Dia tidak tahu, apabila kulit muka perempuan dikatakan
lebih tebal daripada kulit muka lelaki, soalnya lantaran muka
perempuan dibubuhi satu lapis pupur, sekalipun mukanya
merah juga sukar dilihat.
Orang pun suka bilang, semakin lanjut usia seorang
perempuan, semakin tebal pula kulit mukanya (artinya
semakin tak tahu malu). Padahal yang benar adalah karena
usia perempuan semakin banyak, bedak yang dipakainya juga
semakin tebal. 00ooo00 Tempat duduk di sisi kiri Kim Leng-ci masih kosong, jelas
khusus disediakan untuk Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa. Di
meja perjamuan, kedua tempat ini adalah tempat tuama bagi
tamu yang paling terhormat.
Tapi Oh Thi-hoa lebih suka duduk di lantai daripada di
tempat yang disediakan itu. Maklum, ia belum lupa kejadian
tadi. kalau leher diancam ujung pedang. betapa pun hal ini
bukan kejadian yang menyenangkan. Apalagi bagian lehernya
sampai sekarang masih terasa sakit.
Di sisi kanan Kim Leng-ci berduduk seorang tua berjubah
sulam, wajahnya tampak keren. rambutbya beruban, tapi sorot
matanya tajam dan berwibawa.
Setiap orang dapat menduga asal-usul orang tua ini pasti
tidak sembarangan, yang menggembirakan ialah sikapnya
tidak angkuh. demi melihat kedatangan Oh thi-hoa berdua. dia
berdiri menyambut dengan mengulum senyum.
Cepat Oh Thi-hoa balas menghormat dengan tersenyum.
Ini namanya belajar busuk mudah, belajar baik sukar," ujar
Thio Sam tertawa. "Apalagi kepandaiannya suka memikat
perempuan memang tidak ingin kupelajari, aku cuma ingin
belajar bagaimana cara membikin dongkol kau, bila dapat
membuatmu kheki setengah mati, maka puaslah rasa hatiku."
Tiba-tiba Coh Liu-hiang berkata, "Jika ada orang di
sebelah juga mencuri dengar pembicaraan kita, inilah baru
menarik. Dia pasti mengira aku mengurung dua ekor anjing
gila di dalam kamar dan sekarang sedang terjadi anjing
menggigit anjing." "Jika aku ini anjing gila, lalu kau sendiri apa" Srigala?"
jawab Oh Thi-hoa. "Kukira srigala juga lebih baik daripada anjing gila, srigala
paling-paling juga cuma menggigit perempuan, kalau anjing
gila menggigit setiap orang, baik perempuan maupun lelaki
tanpa pandang bulu," kata Thio Sam.
Selagi Oh Thi-hoa mendelik dan hendak mendamprat,
sekonyong-konyong ada orang bersuara di luar pintu,"He,
apakah di dalam kamar kalian ada srigala dan juga anjing" Ai,
kan aneh, padahal sebelumnya kamar sudah kusuruh
bersihkan." Jelas itu suara Hay Koa-thian.
Coh Liu-hiang memberi isyarat kepada Oh Thi-hoa dan
Thio Sam, habis itu barulah dia membuka pintu dengan
tertawa, "Eh, kiranya Hay-pangcu belum tidur?"
Hay Koa-thian tidak menjawab, tapi lantas ia melongok ke
dalam kamar, lalu bergumam, "Mana srigalanya" Dan mana
anjingnya" Mengapa tidak kelihatan?"
Coh Liu-hiang tak tahu apakah orang memang bodoh atau
pura-pura bodoh, dengan tertawa ia menjawab, "Kalau Haypangcu
sudah datang, biarpun gerombolan srigala juga akan
lari terbirit-birit."
Hay Koa-thian tertawa, cuma sekarang tampaknya dia
sedang menanggung pikiran, air mukanya juga kurang cerah,
walaupun tertawa, tapi tertawanya sangat dipaksakan, pula
sinar matanya tampak gemerdap dan berulang-ulang
celingikan kian kemari, tiba-tiba ia merapatkan pintu kamar
dengan sikap gugup. Sudah tentu Coh Liu-hiang menjadi rada bingung, ia tidak
tahu orang hendak main gila apa, terpaksa ia mengikuti setiap
gerak-gerik orang. Setelah memasang palang pintu, barulah Hay Koa-thian
menghela napas lega, desisnya kemudian, "Apakah ada
sesuatu gerakan di kamar sebelah?"
"Tidak ada," jawab Oh Thi-hoa. "Sehabis makan minum
kenyang, tentunya sudah tidur."
Hay Koa-thian tampak berpikir sejenak, lalu berkata pula
dengan mengernyitkan dahi, "Coh-hiangswe sudah menjelajah
setiap pelosok dunia, pergaulan juga sangat luas, entah
sebelum ini apakah pernah melihat mereka?"
"Belum pernah," jawab Coh Liu-hiang.
"Coba silakan Hiangswe mengingatnya lagi...."
"Siapa pun juga, asalkan pernah kulihat satu kali, rasanya
pasti takkan kulupakan," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.
Hay Koa-thian manggut-manggut, katanya dengan
menyesal, "Soalnya bukan Cayhe suka curiga, tapi lantaran
gerak-gerik kedua orang ini terlalu aneh, lebih-lebih si murid,
tampaknya seperti tidak waras, tapi ilmu silatnya justru begitu
tinggi, sebaliknya sang guru malahan kelihatan sangat lemah.
Semula kukira mereka sengaja menyimpan kepandaian, tapi
setelah kuteliti lagi, tampaknya juga tidak begitu."
"Betul, seumpama mereka pandai berpura-pura, masa bisa
mengelabui mata orang banyak?" tukas Oh Thi-hoa.
"Ya, makanya menurut pendapatku, mereka pasti bukan
guru dan murid." Kata Hay Koa-thian.
Habis apa hubungannya kalau bukan antar guru dan
murid?" tanya Oh Thi-hoa.
"Kukira Pek-lak-cek pasti tokoh Bu-lim yang diundang
Kongsun Jiat-ih untuk mengawalnya, demi mengelabui mata
setiap orang, dia berlagak bodoh dan pura-pura jadi


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muridnya." Coh Liu-hiang meraba hidung, katanya, "Maksu Haypangcu....
nama Pek-lak-cek itu juga nama palsu, begitu?"
"Nama Kongsun Jiat-ih pasti juga palsu," ucap Hay Koathian.
"Orang ini pasti mempunyai kedudukan tinggi serta
orang berada, kalau tidak mana mungkin dapat mengundang
tokoh besar seperti Pek-lak-cek untuk melindunginya, pula....
mukanya pasti juga tidak aneh begitu, dia sengaja menyamar
dengan wajah buruk, tujuannya agar orang lain merasa mual
dan tidak memandangnya, dengan demikian kelemahan
penyamarannya juga takkan ketahuan."
"Pandangan Hay-pangcu sungguh tajam, caramu
menganalisa sangat jelas, sungguh mengagumkan," puji Coh
Liu-hiang. Pandangan Hay Koa-thian ternyata tidak banyak berbeda
daripada pendapatnya, apa yang dikatakannya itu bukan
umpakan belaka. "Lalu apa maksud tujuan mereka datang kemari dengan
susah payah begitu?" tanya Oh Thi-hoa.
"Ini memang sangat mencurigakan," kata Hay Koa-thian
dengan tersenyum, tiba-tiba ia menahan suaranya dan
menyambung pula dengan lirih, "Cayhe akan memperlihatkan
sesuatu kepada kalian bertiga untuk bantu memecahkan
persoalan ini." "Barang apa" Tampaknya rahasia?" kata Oh Thi-hoa.
Belum lagi Hay Koa-thian menjawab, mendadak terdengar
pintu diketuk orang. Air mukanya berubah seketika, cepat ia
pasang kuping di daun pintu dan mendengarkan dengan
cermat sampai lama sekali, barulah membuka pintu dengan
pelan, lalu ia melongok keluar, kemudian desisnya, "Mari ikut
aku, segera kalian akan jelas bila sudah melihatnya."
Di luar kamar kabin itu ada sebuah jalan lorong yang
sempit, pada ujung lorong sana ada sebuah tangga kecil yang
menembus ke dek bawah. Hay Koa-thian mendahului turun ke
sana, jalannya sangat enteng dan sangat hati-hati seolah
khawatir didengar orang. Di bagian bawah adalah dek yang sepanjang tahun tak
tertembus sinar matahar, gelap dan lembab, begitu menuruni
tangga, sayup-sayup terdengar suara ngorok para kelasi yang
sedang tidur nyenyak. Ketujuh belas kelasi bergiliran bekerja tanpa membedakan
siang dan malam, saking kecapaian, dengan sendirinya tidur
mereka sangat lelap. Pada umumnya orang yang bekerja
berat, bilamana sudah tertidur akan akan sukar untuk
dibangunkan. Gudang perbekalan terletak di kaki tangga, pintu gudang
tergembok rapat, dua orang berjaga di situ dengan muka
pucat dan siap memegang golok yang tergantung di pinggang,
sorot mata mereka menampilkan rasa cemas dan khawatir.
Hay Koa-thian mendahului mendekati mereka dan
menegur, "Sesudah kupergi, apakah ada orang lain datang ke
mari?" Kedua orang itu memberi hormat dan menjawab bersama,
"Tidak ada." "Baiklah, buka pintu!" kata Hay Koa-thian pula. "Tidak
peduli siapa pun yang datang lagi, jangan diperbolehkan
masuk kemari." Setelah pintu terbuka, segera Hay Koa-thian mengendus
semacam bau yang aneh, bau amis dan busuk, seperti bau
ikan asin yang bacin, juga mirip bau sayur yang mulai layu,
pula seperti bau mayat yang mulai membusuk.
Thio Sam mengerut kening, diliriknya kaki Oh Thi-hoa yang
telanjang itu, dilihatnya pula sikap Hay Koa-thian yang
misterius itu, dia juga lupa mengenakan sepatu waktu keluar.
"Apa yang kau lirik?" semprot Oh Thi-hoa dengan melotot.
"Betapapun, kakiku tidak berbau sebusuk ini."
"Ini adalah bau khas yang cuma ada di gudang kapal," kata
Hay Koa-thian dengan menyengir. "Tapi bahan makanan dan
air minum tersimpan di gudang kecil di samping dapur sana."
Oh Thi-hoa menghela napas lega, katanya, "O syukurlah,
kalau tidak, selanjutnya bisa jadi aku tidak berani makan nasi."
"Tapi arak kan tersimpan di sini, apakah selanjutnya kau
pun tidak berani minum arak lagi?" tanya Thio Sam.
Di gudang memang bertumpuk macam-macam barang,
diantaranya memang betul ada beberapa ratus guci arak. Di
tengah gudang mestinya ada tempat luang, tetapi sekarang
juga tertimbun sederet barang yang tertutup kain minyak.
Belum lagi Oh Thi-hoa menanggapi olok-olok Thio Sam
tadi, mendadak Hay Koa-thian menyingkap kain minyak
penutup itu dan berseru, "Coba kalian lihat, barang apakah
ini?" Ternyata yang ditutup itu adalah enam peti mati.
Oh Thi-hoa tertawa, katanya, "Sudah banyak peti mati
yang kulihat, tapi Hay-pangcu sengaja mengundang kami ke
sini, apakah juga cuma untuk melihat peti mati belaka?"
Dengan air muka prihatin Hay Koa-thian berkata, "Di kapal
yang biasa berlayar, sebenarnya tidak nanti ada peti mati."
"Oo" Kenapa" Memangnya kapal berlayar tidak pernah
mengubur kematian orang?" tanya Oh Thi-hoa.
"Orang yang hidup di lautan, umpama mati juga akan
dikubur di dalam laut, hakikatnya tidak perlu pakai peti mati
segala." kata Hay Koa-thian.
"Jika begitu, darimana datangnya beberapa peti mati ini?"
tanya Oh Thi-hoa. "Pertanyaan yang menarik, sebab memang tiada yang
tahu darimana datangnya peti mati ini!" kata Hay Koa-thian.
"Masa tiada seorang pun yang melihat waktu keenam peti
mati ini dimuat ke atas kapal?" tanya Oh Thi-hoa pula dengan
melenggong. "Ya, tidak ada, " jawab Hay Koa-thian dengan prihatin lalu
ia menyambung pula, "Setiap kali sebelum berlayar, seperti
biasa aku pasti mengadakan pemeriksaan segala apa yang
perlu, sebab itulah ketika kalian masuk kamar, segera
kudatang ke sini " "Pada waktu itulah baru kau temukan keenam peti mati
ini?" tanya Oh Thi-hoa.
"Ya, maka aku lantas menegur petugas gudang, tapi tiada
yang tahu siapa pengirimnya, dan kapan peti mati ini diantar
kesini. Dua orang pengurus gudang sudah cukup lama bekerja
padaku, selama ini bekerja dengan jujur, tidak pernah
berdusta." "Jika bukan orang yang dapat dipercaya, tentu Pangcu
takkan menyuruh mereka menjaga gudang," kata Coh Liuhiang
setelah berpikir sejenak.
"Memang betul," kata Hay Koa-thian.
"Seumpama betul peti mati ini dimuat ke kapal tanpa
permisi, kukira juga tidak menjadi soal, melihat bahan kayu
peti mati yang baik ini, sedikitnya dapat ditukarkan beberapa
arak yang enak," ujar Oh Thi-hoa
"Dasar pemabuk asal buka mulut pasti tidak lupa
menyebut arak, "omel Thio Sam. "Kenapa tidak kau pikirkan
kapal penumpang Hay-pangcu ini apakah boleh didatangi
orang sesuka hati, apalagi membawa enam peti mati di luar
tahu siapa pun. Dan untuk apa dengan susah payah keenam
peti mati ini diantar ke sini jika tiada tujuan tertentu."
"Coba katakan, apa tujuan mereka?" tanya Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang tampak sedang meraba hidung, mendadak
bertanya, "Tahukah kau yang menumpang kapal ini bersama
kita seluruhnya ada berapa orang?"
Sejak Oh Thi-hoa meniru caranya meraba hidung, sudah
jarang Coh Liu-hiang meraba hidung lagi, tapi sekarang
penyakit lama itu kambuh lagi, jelas dia sedang menghadapi
sesuatu persoalan yang sangat sulit dipecahkan.
Setelah berpikir sejenak, Oh Thi-hoa menjawab, "Kau, aku,
Thio Sam, Kim Leng-ci, Kau Cu-tiang, Ting Hong, Kongsun
Jiat-ih, Pek-lak-cek, ditambah lagi Hay-pangcu dan Hiang
Thian-hui, seluruhnya tepat sepuluh bulat."
Mendadak ia seperti ingat apa-apa, air mukanya rada
berubah dan bergumam pula. "Sepuluh penumpang, tapi di
sini hanya ada enam peti mati, apakah ini enam di antara
kesepuluh orang akan matii di sini?"
"Tampaknya pengantar peti mati inipun berhati baik," kata
Thio Sam. "Dia tahu kita dibesarkan di daratan, mati juga
mesti ditanam dalam tanah, maka sengaja mengirimkan enam
peti mati." Ia melirik Hay Koa-thian sekejap, lalu menyambung, "Haypangcu
dan Hiang Thian-hui adalah yang hidup di lautan,
dengan sendirinya tidak perlu pakai peti mati."
"O, jadi maksudnya, di antara kita sepuluh orang, sedikit
nya harus mati delapan orang, aku dan Hiang Thian-hui jelas
pasti akan mati?" tukas Hay Koa-thian dengan rada cemas.
"Jika begitu, di antara kita bersepuluh, sedikitnya ada dua
orang yang akan hidup, lalu siapa mereka?" tanya Oh Thi-hoa.
"Yang hidup, dengan sendirinya ialah pembunuh
kedelapan orang yang lain," ucap Hay Koa-thian sekata demi
sekata. Thio Sam memandangi keenam peti mati itu dan
bergumam, "Aku seperti melihat enam orang berbaring dalam
peti." "Enam orang siapa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Seorang ialah Coh Liu-hiang, yang kedua ialah Oh Thihoa,
seorang lagi seperti perempuan...." Thio Sam bicara
dengan lambat dan perlahan, sinar matanya menatap peti mati
dengan lekat sehingga menimbulkan suasana seram.
Meski tahu orang hanya mengacau saja, tidak urung Oh
Thi-hoa merinding juga, segera ia menambahkan, "Dan
seorang lagi ialah kau sendiri, bukan?"
Thio Sam menghela napas panjang, katanya, "Betul,
memang tidak salah, aku sendiri pun seperti rebah dalam peti
mati, yang ini!" Dia menuding ke depan, seketika jantung semua orang
ikut berdetak keras, tanpa terasa Thio Sam ikut mengkirik.
Wajah Hay Koa-thian menjadi pucat, ucapnya dengan
parau, "Siapa lagi yang dua orang" Dapatkah kau
mengenalnya?" "Wah, samar-samar, sukar dikenali," kata Thio Sam
menyengir sambil mengusap keringat.
"'Apakah Hay-pangcu ada curiga Kongsun Jiat-ih dan PekLak-cek adalah pembunuhnya?" tanya Coh Liu-hiang.
Hay Koa-thian diam saja tanpa menjawab. Gemerdap sinar
mata Coh Liu-hiang, katanya, "Hubungan Ting-kongcu cukup
erat dengan Hay-pangcu, kenapa Hay-pangcu tidak
merundingkan hal ini dengannya?"
Hay Koa-thian termangu-mangu sejenak, akhirnya
menghela napas panjang dan berkata, "Yang dilihat Thio-heng
ini memang tidak salah, Cayhe juga merasa kalian bertiga dan
nona Kim pasti bukan orang yang bermaksud jahat, makanya
kudatang berunding dengan kalian."
"Masa Hay-pangcu juga menaruh curiga terhadap Tingkongcu?"
tanya Coh Liu-hiang. Kembali Hay Koa-thian diam saja, butiran keringat dingin
tampak menghiasi jidatnya.
Segera Coh Liu-hiang mendesak pula, "Tampaknya Haypangcu
sudah cukup lama berhubungan dengan Tingkongcu."
Hay Koa-thian tampak ragu-ragu untuk menjawab akhirnya
ia mengangguk. Terbeliak mata Coh Liu-hiang, segera ia mendesak lagi,
"Jika demikian, seharusnya Hay-pangcu kenal baik asal-usul
dan seluk-beluk Ting-kongcu?"
Kulit daging ujung mata Hay Koa-thian tampak kedutan,
katanya, "Aku tidak mencurigai dia, cuma.... cuma ...." Kulit
daging mulutnya juga mengejang hingga tak sanggup bicara
lagi. Oh Thi-hoa menjadi tak tahan, tanyanya, "Cuma apa?"
Hay Koa-thian seperti tidak mendengar apa yang
dikatakan Oh Thi-hoa, ia memandang kesima ke depan, agak
lama barulah ia berkata perlahan, "Entah mengapa, sejak In
Ciong-liong, In-pangcu meninggal, sering aku merasa
berdebar dan kedutan, inilah alamat tidak enak, seakan-akan
ajalku sudah dekat."
Mata Coh Liu-hiang mencorong terang, tanyanya,
"Kematian In-pangcu ada sangkut-paut apa dengan Hay-pangcu?"
"Aku.... aku cuma merasa matinya rada-rada aneh," kata
Hay Koa-thian. "Aneh?" tukas Oh Thi-hoa dengan mengernyitkan dahi.
"Apanya yang aneh?"
"Kita tahu Bu Wi-yang. Bu-pangcu berjuluk panah sakti,
kemahirannya memanah boleh dikata tiada bandingan, tapi
kalau bicara tentang ilmu silat sejati, rasanya tak seberapa
lebih tinggi dari In-pangcu."
"Betul," sela Thio Sam. "Setahuku, ilmu silat mereka
setingkat, hanya dalam hal main
panah Bu-pangcu memang lebih tinggi, sebaliknya Inpangcu
lebih unggul di dalam air."
"Waktu di Sam-ho-lau semalam, ketika Bu-pangcu
bertanding dengan In-pangcu, kalian berdua kan juga hadir di
sana," tutur Hay Koa-thian pula dengan suara tertahan.
"Pertarungan mereka hanya berlangsung sebentar saja,
rasanya tidak lebih dari sepuluh gebrakan, lalu In-pangcu
tewas di bawah pukulan Bu-pangcu.... Bukankah kematiannya
itu sangat aneh dan juga terlalu cepat?"
Oh Thi-hoa termenung sambil melirik Coh Liu-hiang
sekejap, lalu katanya. "Jangan-jangan Bu-pangcu juga serupa
Kim Leng-ci, telah berhasil meyakinkan semacam ilmu silat
yang sangat lihai?" "Ya, memang bisa jadi demikian," jawab Coh Liu-hiang.
"Namun Bu-pangcu sudah lanjut usia, sekalipun masih gagah
dan kuat, jelas otot tulangnya tidak setangkas orang muda,
daya ingatan juga sudah berkurang, kalau belajar ilmu juga
tidak secepat orang muda, sebab itulah belajar ilmu apapun
harus dimulai selagi muda." Dia menghela napas, lalu
menyambung, "Dan inilah susahnya orang tua, siapa pun tak
kuasa." "Hal ini pun sudah pernah kupikirkan," kata Hay Koa-thian.
"Aku pun anggap tidak mungkin mendadak Bu-pangcu
berhasil meyakinkan semacam Kungfu maha lihai yang dapat
membinasakan In-pangcu hanya dalam sepuluh jurus."
"Jika begitu, bagaimana duduk perkaranya menurut
pendapatmu?" tanya Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang saling pandang sekejap dengan Hay Koathian,


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sinar mata kedua orang ini sama-sama menampilkan
perasaan aneh, seakan kedua orang inimempunyai pikiran
yang mengerikan, cuma tak berani diutarakan. Habis saling
pandang, kedua orang pun bungkam.
Oh Thi-hoa berpikir sejenak, katanya, "In Ciong-liong dan
Bu Wi-yang sudah sering saling labrak dan tidak cuma satu
kali saja, dengan sendirinya tinggi rendah, dengan sendirinya
tinggi rendah ilmu silat masing-masing cukup jelas bagi pihak
lain." "Betul, mungkin tiada orang ketiga yang lebih jelas
daripada mereka sendiri," tukas Thio Sam.
"Tapi malam kemarin waktu di Sam-ho-lau, sebelum
mereka bergebrak, sikap dan gerak-gerik In Ciong-liong
kelihatan sangat aneh," ujar Oh Thi-hoa.
"Aneh bagaimana?" tanya Thio Sam
"Sebelumnya dia seperti sudah tahu bilamana dia keluar
pintu bersama Bu Wi-yang, maka untuk seterusnya takkan
melangkah pulang lagi," tutur Oh Thi-hoa. "Apakah mungkin
disebabkan dia tahu Kungfu Bu Wi-yang sekarang sudah lain
daripada biasanya?" "Kendatipun Bu Wi-yang sudah berhasil meyakinkan
semacam Kungfu khas dan siap melayani In Ciong-liong,
selayaknya ini kan dirahasiakan, lalu darimana In Ciong-liong
bisa mengetahuinya?" tanya Thio Sam.
"Betul, mengapa pula In Ciong-liong merasa dirinya pasti
akan mati" Jangan-jangan mendadak dia menemukan
sesuatu rahasia?" ujar Oh Thi-hoa dengan mengerut kening.
"Lalu rahasia apa yang ditemukannya itu?"
Mendadak ia ingat sesuatu, cepat ia berpaling dan tanya
Coh Liu-hiang, "Waktu dia akan keluar bersama Bu Wi-yang,
bukankah In Ciong-liong minta kau mewakilkannya minum
satu cawan arak, ingat tidak?"
"Ehmm," Coh Liu-hiang mengangguk.
"Kukira kalau cuma satu cawan arak saja dia masih
sanggup menghabiskan, tapi dia sengaja minta kau minum
baginya, tindakan itu pasti punya tujuan tertentu." kata Oh Thihoa.
"Tujuan apa?" tanya Coh Liu-hiang.
"Cawan arak yang dia serahkan padamu seperti ada
sesuatu benda, masa tidak kau perhatikan?"
"Begitu dia menyerahkan cawan arak itu, segera
kutenggak habis, aku tidak melihat sesuatu benda apapun,"
jawab Coh Liu-hiang. Dia tertawa, lalu menyambung,
"Selamanya aku minum arak dengan mulut dan bukan dengan
mata." "Akhir-akhir ini matamu semakin lamur tampaknya," kata
Oh Thi-hoa menyesal. "Selanjutnya lebih baik kau menjauhi
perempuan, kalau tidak, dua tiga tahun lagi mungkin kau akan
berubah menjadi kakek tuli dan buta."
"Kukira itu tidak menjadi soal," ujar Thio Sam dengan
tertawa. "Ada sementara orang perempuan justru menyukai
kakek, sebab kakek-kakek pada umumnya jauh lebih tahu
cara bagaimana harus sayang pada istri muda, bahkan orang
tua juga lebih banyak uang daripada orang muda."
"Perempuan yang suka pada orang tua juga serupa kau,
berjiwa budak," jengek Oh Thi-hoa.
Sejak tadi Hay Koa-thian hanya termangu-mangu saja,
entah apa yang sedang dipikirkannya. Tapi dari air mukanya
yang menampilkan rasa susah itu, jelas yang dipikir sesuatu
persoalan yang sangat sulit diselesaikan.
Sampai sekarang barulah ia menghela napas panjang, lalu
berkata dengan tertawa, "Sungguh beruntung bagiku dapat
berkenalan dengan anda bertiga, Cayhe hanya ingin.... ingin
mohon sesuatu kepada kalian."
Meski dia menyebut "kalian" dan "anda bertiga", tapi yang
dipandang hanya Coh Liu-hiang seorang saja.
"Asalkan dapat dilaksanakan oleh tenagaku, pasti takkan
kutolak," jawab Coh Liu-hiang.
Jika ucapan ini keluar dari mulut orang lain, paling-paling
hanya dapat dianggap sebagai basa-basi antar kawan saja.
Tapi kata-kata yang keluar dari mulut Coh Liu-hiang jelas
berbeda dan cukup berbobot. Setiap orang Kangouw tahu,
setipa kata Coh Liu-hiang sama dengan emas.
Hay Koa-thian menghela napas lega, air mukanya tampak
jauh lebih cerah, katanya, "Apabila Cayhe mengalami sesuatu
yang tak terduga, kumohon Coh-hiangswe suka...." Sembari
bicara ia mengeluarkan sebuah kotak kecil.
Tapi baru bicara sampai di sini, mendadak terdengar suara
"klotak", seperti ada orang mengetuk pintu dengan keras.
Air muka Hay Koa-thian berubah pucat, cepat ia simpan
kembali kotak kecil tadi, sekali lompat ia mendekati pintu
sambil membentak tertahan, "Siapa itu?"
Pintu dipalang dari dalam, dari luar ternyata sunyi senyap.
Dengan suara bengis Hay Koa-thian membentak, "Ong Tek-ci,
Li Tek-piau, siapa itu yang di luar?"
Ong Tek-ci dan Li Tek-piau adalah kedua penjaga tadi, tapi
entah mengapa, juga tiada suara jawaban kedua orang ini.
Air muka Hay Koa-thian berubah hebat, cepat ia menarik
palang pintu, segera ia menerobos keluar.
Waktu Coh Liu-hiang ikut keluar, dilihatnya wajah Hay
Koa-thian pucat pasi seperti mayat dan berdiri mematung di
sana dengan keringat dingin memenuhi dahinya.
Kedua penjaga menggeletak, sudah menjadi mayat.
Tiada kelihatan noda darah pada kedua mayat itu. Air
mukanya juga kelihatan biasa saja, agaknya waktu mati tetap
dalam keadaan tenang, tidak mengalami sesuatu penderitaan.
Cepat Hay Koa-thian membuka baju mereka dan diperiksa,
ditemukan ada bekas telapak tangan merah tepat di punggung
kedua korban. Jelas sekali hantam urat nadi jantung kedua
orang itu lantas tergetar putus dan binasa seketika.
"Lihai amat tenaga pukulannya," seru Oh Thi-hoa sambil
menjulurkan lidah. Bekas telapak tangan pada punggung kedua korban itu
terdiri dari tangan kanan dan kiri, jelas penyerangnya satu
orang dan dilakukan sekaligus.
"Tampaknya pukulan ini Kungfu sejenis Cu-seh-ciang (ilmu
pukulan pasir merah)," kata Coh Liu-hiang.
"Betul, pukulan Cu-seh-ciang memang meninggalkan
bekas merah begini," kata Oh Thi-hoa.
"Nama Cu-seh-ciang dikenal setiap orang, padahal cara
berlatihnya sudah lama lenyap," ujar Coh Liu-hiang. "Selama
dua tiga puluh tahun terakhir ini, hampir tidak pernah lagi
terdengar ada tokoh ahli Cu-seh-ciang yang menonjol di dunia
Kangouw." "Pernah kudengar ada seorang 'Tan-ciang-tui-hun'
(pukulan pemburu nyawa) Lim Bun, yang dilatihnya adalah
Cu-seh-ciang," tutur Oh Thi-hoa. "Tapi itu pun sudah lama
berselang, kini Lim Bun sudah mati dan tak diketahui apakah
dia mempunyai keturunan atau tidak?"
"Betul Tan-ciang-tui-hun Lim Bun terkenal sebagai ahli Cusehciang," kata Coh Liu-hiang. "Tapi yang dilatihnya juga
cuma satu tangan saja. Sedangkan orang ini dapat
menggunakan kedua tangan sekaligus, bahkan sudah terlatih
sehebat ini, sungguh jarang ada."
"Konon orang yang berlatih Cu-seh-ciang akan dapat
diketahui dari tangannya," tiba-tiba Hay Koa-thian berkata.
"Waktu mula-mula berlatih memang telapak tangan akan
bersemu merah," kata Coh Liu-hiang. "Tapi bila sudah
sempurna, warna merah itu akan lenyap, hanya waktu
melancarkan pukulan akan kelihatan telapak tangannya
bersemu merah, dalam keadaan biasa takkan kelihatan
sesuatu ciri apa-apa."
"Jika demikian, kecuali kita berempat yang berada di sini,
orang selebihnya ada kemungkinan pembunuh mereka ini,"
kata Hay Koa-thian dengan menghela napas.
"Kecuali seorang saja yang tak mungkin," ujar Thio Sam.
"Oo?" Siapa?" tanya Hay Koa-thian.
"Kim Leng-ci," jawab Thio Sam.
"Apa dasarnya?" tanya Hay Koa-thian pula.
"Coba kau lihat, bekas telapak tangan ini sangat besar,
tidak mungkin tangan perempuan," kata Thio Sam.
"Hm, dasar budak tetap budak," jengek Oh Thi-hoa
mendadak. "Tampaknya Kim Leng-ci tidak sia-sia membuang
uang membeli seorang budak seperti kau ini."
"Tapi tangan orang perempuan kan juga ada yang besar,"
ujar Hay Koa-thian. "Menurut ilmu nujum, perempuan yang
bertangan besar pasti kaya dan jaya, bukankah nona Kim juga
dari keluarga kaya dan jaya?"
"Hah, rupanya Hay-pangcu juga mahir menujum?" jengek
Thio Sam. "Konon air muka pembunuh juga ada tanda-tanda
pembunuh, ini pun menurut ilmu nujum, entah Hay-pangcu
dapat melihatnya atau tidak?"
Belum lag, Hay Koa-thian menanggapi, tiba-tiba terdengar
jeritan ngeri. Suara ini seperti datang dari geladak di atas
sana, meski kedengaran sangat jauh, tapi suaranya tajam
menyeramkan dan terdengar jelas.
Air muka Hay Koa-thian berubah pula, ia membalik tubuh
terus menerobos ke atas. Oh Thi-hoa menghela napas, katanya, "Ai, tampaknya
kapal ini tidak membawa kemujuran, banyak halangan dan
rintangan, jika ingin meninggalkan kapal dengan hidup
rasanya tidaklah mudah!"
Mendadak Coh Liu-hiang mengeluarkan sesuatu dari balik
baju Ong Tek-ci, katanya tertahan, "He, lihat, apa ini?"
Yang dipegang adalah satu biji mutiara sebesar gundu.
Air muka Thio Sam berubah seketika, serunya. "He, inilah
mutiara yang pernah kucuri dari nona Kim itu."
"Kau tidak keliru?" tanya Coh Liu-hiang.
"Tidak, pasti tidak, aku kan ahli mutiara," jawab Thio Sam
tegas. Dia mengusap keringat dahinya, lalu berkata pula,
"Mengapa mutiara nona Kim bisa ada di tubuh orang mati ini?"
"Mungkin dia kurang hati-hati dan terjatuh di sini," kata Coh
Liu-hiang. "Jika demikian, apakah Kim Leng-ci adalah
pembunuhnya?" tanya Thio Sam dengan terkesima.
Coh Liu-hiang tak menjawab, dia sedang berpikir, dengan
hati-hati ia menyimpan mutiara itu lalu melangkah ke geladak.
Oh Thi-hoa menepuk pundak Thio Sam, katanya, "Kalau
sang majikan adalah pembunuh, budaknya juga dapat dituduh
sebagai pembantu pembunuh, kau harus hati-hati."
Waktu Oh Thi-hoa dan Thio Sam naik ke geladak, di
buritan tampak berkerumun orang banyak, Kim Leng-ci, Ting
Hong, Kau Cu-tiang, Kongsun Jiat-ih dan Pek-lak-cek, semua
berada di situ. Hiang Thian-hui yang tadi pegang kemudi di situ, sekarang
sudah lenyap, hanya di geladak kapal bertambah secomot
darah yang masih segar. "Darah Hiang Thian-hui!" seru Oh Thi-hoa. "Apakah dia
terbunuh" Dimana mayatnya?"
Mata Hay-Koa-thian tampak merah, mendadak ia berteriak
bengis, "Ci Hong, Loh Kiat, apakah hari ini kalian yang dinas
pegang kemudi?" Di tengah kerumunan tampil dua orang dan
memberi hormat, mereka mengiakan bersama.
"Kemana kalian tadi?" tanya Hay Koa-thian dengan gusar.
"Hiang-jiya yang menyuruh menyingkir, kami tidak mau
pergi, Hiang-jiya lantas mendelik dan mau memukul, terpaksa
kami pergi," tutur orang yang bernama Ci Hong dengan
gemetar. Segera yang bernama Loh Kiat menambahkan, "Kami pun
tidak berani pergi jauh tapi membantu Sim-losam menggulung
tambang di sebelah sana."
"Tadi apakah kalian mendengar sesuatu suara?" tanya
Hay Koa-thian. "Ketika mendengar suara jeritan, segera kami memburu
kemari," tutur Ci Hong. "Tapi sebelum tiba di sini, kami
mendengar suara "plung" satu kali, waktu kami pandang
Hiang-jiya, beliau ternyata sudah lenyap."
Semua orang saling pandang sekejap, mereka tahu suara
"plung" itu tentu karena mayat Hiang Thian-hui tercebur ke
sungai. Sekarang mereka yakin orang she Hiang itu pasti
banyak celaka daripada selamat.
Hay Koa thian sudah bersahabat cukup lama dengan
Hiang Thian-hui, air matanya lantas berlinang, ucapnya
dengan suara parau, "O, jite, akulah yang membikin celaka
dirimu, tidak seharusnya kuajak kau ke sini..."
"Kan belum lama mayatnya kecebur, biar aku menyelam
ke bawah, mungkin dapat ditemukan," kata Thio Sam.
Waktu itu kapal sudah mendekati muara laut, ombak
bergulung-gulung. Tapi tanpa pikir Thio Sam lantas terjun ke
bawah mirip seekor ikan raksasa.
Segera Hay Koa-thian berteriak, "Kurangi kecepatan, kapal
berhenti! Adakan penghitungan orang."
Di tengah suara teriakannya itu, para kelasi lantas
berpencar, anak buah Ci-keng-pang memang sudah terlatih
dan sangat disiplin, meski terjadi peristiwa gawat, semuanya
tetap tenang. Dalam waktu singkat kapal berhenti, segera
terdengar suara mengabsen bergema susul-menyusul.
Selang sejenak, orang yang bernama Ci Hong berlari
datang dan memberi hormat kepada Hay Koa-thian serta
melapor, "Kecuali Ong Tek-ci dan Li Tek-piau, yang lain masih
ada." Kalau orang lain masih ada, yang mati dengan sendirinya
ialah Hiang Thian-hui. Mendadak Hay Koa-thian berlutut di depan genangan
darah itu. Gemerdap sinar mata Ting Hong, ucapnya dengan suara
tertahan, "Betapa tinggi ilmu silat Hiang-jiya cukup kukenal,
aku justru tak percaya dia dikerjai orang begitu saja, sebab
orang Kangouw yang mampu membunuhnya juga sangat
terbatas." Waktu berkata demikian, sorot matanya menyapu muka
para hadirin, dimulai dari Kau Cu-tiang, Coh Liu-hiang, Oh Thihoa
dan Pek-lak-cek, tapi Kongsun Jiat-ih dan Kim Leng-ci tak
dipandangnya sama sekali. Jelas maksudnya orang yang
mampu membunuh Hiang Thian-hui hanya keempat orang itu
saja. Oh Thi-hoa lantas menjengek, "Betapa tinggi ilmu silat
Ting-kongcu, bukan saja cukup kukenal, bahkan semua orang
pun cukup jelas. Waktu peristiwa ini terjadi, entah Ting-kongcu
berada dimana tadi?"
Maksud ucapannya ini sangat gamblang, hakikatnya dia


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hendak bilang Ting Hong adalah pembunuhnya.
Tapi Ting Hong tenang-tenang saja, jawabnya dengan tak
acuh. "Pada waktu itu Cayhe sedang berbaring di ranjang."
"Kau-heng kan satu kamar dengannya, tentu kau
melihatnya?" tanya Oh Thi-hoa.
Sikap Kau Cu-tiang seperti agak susah, jawabnya dengan
tergagap, "Waktu itu aku sendiri sedang.... sedang pergi
buang air, tidak berada di kamar."
Mendadak Coh Liu-hiang berkata, "Padahal orang yang
membunuh Hiang-jiya-tidak perlu ilmu silatnya lebih tinggi dari
Hiang-jiya." "Bila tidak lebih tinggi ilmu silatnya, apakah mampu
membunuhnya?" ujar Oh Thi-hoa.
"Bisa jadi lantaran Hiang-jiya tidak menyangka orang itu
akan membunuhnya, maka dia sama sekali tidak berjaga-jaga
sehingga orang itu berhasil menyerangnya."
Hay Koa-thian menengadah, katanya dengan gemas,
"Betul, kalau tidak, waktu mereka bergebrak tentu akan
menimbul kan suara, Ci Hong berdua tentu akan mendengar,
tapi lantaran orang itu menyerang secara diam-diam, maka
tidak terdengar sesuatu suara."
"Begitulah, makanya setiap orang yang berada di kapal ini
mungkin adalah pembunuh Hiang-jiya," kata Coh Liu-hiang.
"Tapi orang lain kan tiada permusuhan apa-apa dengan
Hiang-jiya mengapa turun tangan keji kepadanya?" jengek
Ting Hong sambil melototi Kau Cu-tiang.
"Untuk apa mendelik padaku" Memangnya aku
bermusuhan dengannya?" tanya Kau Cu-tiang dengan gusar.
"Waktu Kau-heng bertengkar dengan Hiang-jiya di Samholau, kukira hampir semua orang ikut menyaksikan, bukan
cuma aku sendiri," jawab Ting Hong dengan tak acuh.
Seketika pandangan Hay Koa-thian beralih ke arah KauCu-tiang, sorot matanya penuh rasa benci seakan-akan Kau
Cu-tiang telah dianggap sebagai pembunuhnya.
Dengan muka merah Kau Cu-tiang berseru, "Waktu itu aku
cuma bilang ingin mencoba kepandaiannya dan tidak
menyatakan akan mencabut nyawanya."
"Apakah Kau-heng hendak mencabut nyawanya atau tidak
hanya Kau-heng sendiri yang tahu," jengek Ting Hong pula.
"Apalagi setahuku, waktu Hiang-jiya terbunuh, Kau-heng
sendiri entah pergi kemana?"
"Kan sudah kukatakan, waktu itu aku sedang buang air....."
"Buang air dimana?" tanya Ting Hong.
"Sudah tentu di kakus, masa boleh kukencing di
hadapanmu?" jawab Kau Cu-tiang.
"Memangnya siapa yang melihat kau pergi ke kakus?" kata
Ting Hong pula. "Tidak ada, waktu itu tiada seorang pun yang berada di
kakus," jawab Kau Cu-tiang.
"Hm, masa begitu kebetulan, tidak cepat, tidak lambat,
ketika Hiang-jiya terbunuh dan Kau-heng kebetulan ingin
buang air, pula kebetulan di kakus juga tiada orang lain lagi....
hehehe, semua ini sungguh sangat kebetulan, serba
kebetulan," demikian jengek Ting Hong.
Seketika Kau Cu-tiang meraung murka, "Persetan kau!
Darimana aku tahu air kencingku akan keluar mendadak dan
cara bagaimana pula kutahu di kakus tidak ada orang."
"Jangan gelisah, Kau-heng," tiba-tiba Coh Liu-hiang
menyela. "Bukti nyata dan lengkap, jelas Kau-heng bukan
pembunuhnya." "Bukti nyata" Dimana?" tanya Ting Hong.
"Bila pembunuhan ini dilakukan secara diam-diam, jarak si
pembunuh dan Hiang-jiya pasti sangat dekat," tutur Coh Liuhiang.
"Padahal Kau-heng dan Hiang-jiya jelas tidak akur
mana mungkin Hiang-jiya membiarkan Kau-heng
mendekatinya. "Betul, jika dia melihat aku mendekat, mungkin dia akan
segera melonjak," tukas Kau Cu-tiang.
"Coba lihat noda darah di lantai ini." kata C oh Liu-hiang.
"Darah Hiang-jiya yang mengalir keluar amat banyak, jika
pembunuh itu melakukan keganasannya dari dekat, tentu
bajunya akan terciprat darah." Dia pandang Kau Cu-tiang
sekejap, lalu menyambung, "Baju Kau-heng kering dan bersih,
pakaian cukup rajin, bila dia habis membunuh lalu berganti
pakaian, kukira juga takkan terjadi secepat ini."
"Betul, begitu mendengar jeritan, segera kuburu ke sini,
mana sempat berganti pakaian segala," tukas Kau Cu-tiang.
"Untuk ini aku dapat menjadi saksi," tiba-tiba Kim Leng-ci
menambahi. "Waktu kudatang, dia sudah berada di sini."
"Dalam hal ini, siapa pun pembunuhnya jelas tidak keburu
berganti pakaian," kata Coh Liu-hiang pula. "Yang bisa
dilakukan dalam waktu sesingkat ini hanya menanggalkan
baju yang berlepotan darah, lalu dilemparkan ke laut atau
disembunyikan." "Jika demikian, saat ini pakaian si pembunuh pasti masih
rapi dan bersih?" jengek Ting Hong sambil melototi Kau Cutiang.
Yang dikenakan Kau Cu-tiang sekarang hanya pakaian
dalam dan tidak memakai baju luar.
Namun Kau Cu-tiang tetap tenang, ucapnya, "Cayhe
memang tidak biasa tidur dengan memakai baju panjang."
"Betul, tidak mungkin orang tidur dengan pakaian rapi "
kata Kim Leng-ci. "Waktu kudengar suara jeritan tadi, segera
kulari ke sini, aku pun tidak memakai baju luar, memangnya
aku pun dianggap sebagai pembunuhnya?"
Si nona memang betul cuma memakai pakaian dalam saja,
tidak memakai kaos kaki, sehingga kedua kakinya tampak
putih mulus. Segera pandangan Oh Thi-hoa beralih ke arah kaki yang
putih itu, katanya pelahan, "Sebelum pembunuhnya diketahui,
setiap orang tak terhindar dari sangkaan, sekalipun orang
kaya juga tak terkecuali. Orang kaya tidak pasti bukan
pembunuh, bukankah begitu nona Kim?"
Sebenarnya Kim Leng-ci hendak meraung, tapi demi
melihat mata Oh Thi-hoa yang melotot mengincar kakinya
yang mulus itu, seketika mukanya menjadi merah dan tanpa
terasa ia menyurut mundur hingga lupa membuka suara.
Sementara itu Thio Sam telah menongol di permukaan air
dan berseru "Tidak ada, tidak kutemukan apapun, gelombang
air cukup keras, ikan mati saja tiada, apalagi orang mati."
Segera Hay Koa-thian melempar seutas tambang,
serunya, "Apapun Thio-heng sudah berusaha sedapatnya, aku
dan Hiang-jite merasa berterima kasih. Lekas Thio-heng naik
ke atas." ********** Hari sudah terang, sekembalinya di kamar, segera Oh Thihoa
menjambret leher baju Coh Liu-hiang dan berkata. "Breng
sek, sekarang kau pun tidak jujur lagi padaku. Memangnya
kau kira dapat menipu tuan Oh ini?"
"Siapa yang menipu kau" Apakah penyakit gilamu sudah
kumat?" tanya Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Masa kau tidak dusta padaku?" seru Oh Thi-hoa dengan
mendelik. "Sebelum mati In Ciong-liong minta kau mewakilkan
dia minum araknya, dalam cawan itu jelas ada semacam
benda, mengapa kau bilang tidak ada apa-apa?"
Sementara Thio Sam sudah ganti pakaian kering
pemberian Hay Koa-thian dan sedang berbaring di tempat
tidur, dengan tertawa ia menyela, "Orang sering bilang Oh Thihoa
adalah manusia yang paling goblok, tadinya aku tidak
percaya, tapi sekarang baru kutahu olok-olok itu memang
tidak salah." "Kentut makmu," demikian damprat Oh Thi-hoa dengan
gusar. "Kau tahu apa?" .
"Dan kau" Kau tahu apa?" jawab Thio Sam. "Tahu kentut.
Tadi dia tidak bicara sejujurnya adalah karena Hay Koa-thian
juga hadir di sana, kenapa kau jadi marah-marah begini?"
"Kenapa kalau Hay Koa-thian hadir di sana?" kata Oh Thihoa
penasaran. "Kukira dia bukan orang busuk, pula dia
berdiri satu garis di pihak kita, mengapa kita harus mengelabui
kita?" Thio Sam menghela napas gegetun, katanya, "Tadinya
kukira kau cuma tahu kentut, hakikatnya kentut saja kau tidak
tahu. Padahal Hay Koa-thian hanya membawa kau ke
gudangnya yang menyimpan beberapa guci arak dan kau
lantas menganggap dia sebagai sahabatmu yang sejati."
"Hm, masa aku serupa kalian, selalu curiga kepada siapa
pun," jengek Oh Thi-hoa. "Jika menuruti jalan pikiran kalian, di
dunia ini mana ada orang yang dapat kalian percayai?"
"Tidak ada, memang tidak ada," kata Thio Sam.
"Terkadang pada diri sendiripun aku tak percaya, apalagi
orang lain." "Paling sedikit kau masih suka berterus terang, tidak
seperti si kutu busuk ini," jengek Oh Thi-hoa.
"Kau benar-benar percaya penuh kepada Hay Koa-thian?"
tanya Thio Sam. "Dia kan sudah bicara segalanya, sedikitpun tidak meraha
siakan apa-apa...." "Hm, hendak memancing ikan harus pakai umpan,
darimana kau tahu ucapan Hay Koa-thian itu bukan umpan?"
"Umpan" Maksudmu dia hendak memancing" Memangnya
apa yang hendak dipancing?" tanya Oh Thi-hoa.
"Dia hendak memancing keterangan kita, tentu saja dia
harus bicara dulu untuk menarik perhatian kita. Padahal apa
yang diucapkannya itu tidak lebih hanya dugaan saja, kalau
dia dapat menduga tentu orang lain juga bisa, jadi uraiannya
yang panjang lebar itu hakikatnya sama dengan nol besar,"
tanpa menunggu tanggapan Oh Thi-hoa, segera Thio Sam
menyambung, "Mengenai keenam peti mati itu, tiada yang
tahu siapa yang mengirim, bukan mustahil perbuatan Hay
Koa-thian sendiri." Tangan Oh Thi-hoa yang mencengkeram leher baju Coh
Liu-hiang lantas dikendurkan, baru sekarang Coh Liu-hiang
berkata dengan tertawa, "Betul, penumpang kapal ini kan tidak
tuli dan buta, jika dikatakan ada orang membawa keenam peti
itu ke atas kapal tanpa diketahui siapa pun juga, rasanya hal
ini tidak mungkin terjadi, hanya dia sendiri...."
"Paling tidak dia bukan pembunuh Hiang Thian-hui." Seru
Oh Thi-hoa penasaran. "Waktu Hiang Thian-hui mati, jelas dia
berada bersama kita, betul tidak?"
"Ehmm,"'Coh Liu-hiang mengangguk.
"Menurut pendapatku, kalau Kau-Cu-tiang bukan
pembunuhnya, maka yang paling mencurigakan ialah Kim
Leng-ci, Ting Hong dan Kongsun Jiat-ih."'
"Betul," kata Coh Liu-hiang pula.
"Untuk mengangkut peti mati ke atas kapal di luar tahu
orang memang tidak mudah, ketiga orang itu kan punya uang
dan berpengaruh. Kata orang 'setan juga doyan duit'. Asalkan
punya uang, segala apapun dapat diperbuat,"
"Tapi selain ketiga orang itu, masih ada dua orang lagi
yang harus dicurigai," kata Coh Liu-hiang.
"O, siapa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Yaitu Loh Kiat dan Ci Hong yang memegang kemudi
kapal," kata Coh Liu-hiang.
"Dengan kepandaian mereka itu, masa mampu membunuh
Hiang Thian-hui?" "Jika hari ini mereka yang dinas kerja dan mereka berada
di samping sana tentu tidak dicurigai Hiang Thian-hui, apalagi
orang yang angkuh seperti Hiang Thian-hui itu pasti tidak me
naruh perhatian terhadap mereka. Jika hendak membunuh
Hiang Thian-hui secara diam-diam, hanya mereka itulah yang
punya kesempatan dan peluang terbesar."
"Ya, lantaran mereka bukan orang penting sehingga tiada
orang yang memperhatikan mereka, maka setelah melakukan
keganasan, dengan leluasa mereka dapat berganti pakaian
dengan waktu yang cukup singkat," kata Thio Sam.
"Waktu itu Hay Koa-thian kebetulan berada bersama kita,
bukan mustahil tujuannya hendak menyuruh kita menjadi saksi
bahwa waktu Hiang Thian-hui terbunuh, dia tak berada di
tempat, dengan demikian akan terbukti dia bukan
pembunuhnya." "Tapi inipun tak dapat membuktikan ia tak pernah
menyuruh orang lain membunuh Hiang Thian-hui," kata Thio
Sam. "Jika demikian, kau anggap Hay Koa-thian adalah
pembunuhnya?" tanya Oh Thi-hoa.
"Aku tidak menuduh dia adalah pembunuhnya, aku Cuma
bilang dia juga harus dicurigai," jawab Thio Sam.
"Menurut pendapatku, orang yang paling mencurigakan
ialah Kim Leng-ci," jengek Oh Thi-hoa.
"Sebab apa?" tanya Thio Sam.
"Jika dia bukan pembunuh, mengapa mutiara besar
miliknya itu bisa berada di mayat Li Tek-piau?" kata Oh Thihoa.
"Setiap orang patut dicurigai, kukira terlalu dini bila
menentukan siapa pembunuhnya sekarang," ujar Coh Liuhiang.
"Memangnya harus menunggu sampai kapan kalau tidak
sekarang?" kata Oh Thi-hoa.
"Siapa pun pembunuhnya, membunuh orang pasti ada
tujuannya," kata Coh Liu-hiang. "Maka kita harus mencari tahu
lebih dahulu apa maksud tujuan si pembunuh itu."
"Ehm, betul juga," ujar Oh Thi-hoa.
"Betapapun lihainya sang pelaku, setelah membunuh,
sedikit banyak akan meninggalkan jejak dan tanda-tanda,
maka kita menunggu sampai dia sendiri memperlihatkan ciricirinya
itu." "Maksudmu, petunjuk yang ada sekarang belum cukup dan
masih harus menunggu dia membunuh beberapa orang lagi,
begitu?" jengek Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang menghela napas, katanya, "Aku cuma
berharap dia hendak membunuh pula, semoga kita dapat
mendahului dan membekuknya."
"Bila selanjutnya dia tidak membunuh lagi, kan kita pun tak
dapat membekuk dia?"
"Jangan lupa peti mati itu masih banyak yang kosong,
sebelum peti mati itu terisi penuh, tidak nanti, dia berhenti
bekerja," kata Coh Liu- hiang dengan tersenyum.
Oh Thi-hoa berpikir sejenak, katanya, "Jika demikian,
menurut perkiraanmu, siapa sasaran kedua yang akan
diincarnya?" "Ini sukar dikatakan..., bisa jadi kau, mungkin pula aku."
"Kalau begitu, sebelum mati lekaslah kau perlihatkan
padaku barang yang kau simpan itu?"


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Coh Liu-hiang tertawa, katanva, "Paling tidak orang ini
punya mata maling yang tajam. Dalam cawan arak yang
kuterima dari In Ciong-liong memang betul ada sesuatu
benda." "Gambar apa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Sudah kuperiksa hingga setengah harian dan tetap tidak
tahu apa arti gambar itu," jawab Coh Liu-hiang sambil
mengeluarkan secarik kertas.
Di atas kertas itu terlukis seekor kelelawar atau kalong di
sekitar kalong ada garis melengkung, banyak pula titik-titik
hitam, lalu di pojok kiri atas dilukis satu lingkaran yang
bergaris-garis seperti sinar.
"Garis-garis yang melengkung ini agaknya tanda air," ujar
Coh Liu-hiang. "Ehm, benar," kata Thio Sam.
"Dan lingkaran ini seperti tanda matahari," kata Coh Liuhiang
pula. "Betul," tukas Thio Sam.
"Dan tanda apa titik-titik hitam besar dan kecil ini?" tanya
Oh Thi-hoa. "Bisa jadi.... bisa jadi sebagai tanda batu karang di tengah
air...." "Matahari, air, batu karang, adalagi seekor kalong.... apa
artinya semua ini?" tanya Oh Thi-hoa.
"Dengan sendirinya gambar ini mengandung arti yang
sangat mendalam, dengan sendirinya juga suatu rahasia yang
maha besar, kalau tidak, masakah sebelum ajal In Ciong-liong
menyerahkannya padaku dengan cara misterius?"
"Mengapa tidak dia katakan terus terang saja, malah main
teka-teki begini?" ujar Oh Thi-hoa.
"Waktu itu tiada peluang untuk bicara baginya..."
"Betul," sela Oh Tht-hoa. "Waktu di Sam-ho-lau, aku pun
merasa cara bicara In Ciong-liong agak gelagapan dan tidak
pantas sebagai seorang tokoh pimpinan suatu organisasi
besar...." Belum habis ucapannya, mendadak Coh Liu-hiang
melompat ke pintu, dengan cepat ia menarik daun pintu. Dan
di depan pintu ternyata berdiri satu orang.
Ternyata Kim Leng-ci adanya.
Begitu Coh Liu-hiang membuka pintu, seketika muka si
nona menjadi merah, kedua tangan disembunyikan di
belakang, entah apa yang dipegang, tampaknya hendak
bicara, tapi urung. Segera Oh Thi-hoa berolok-olok, "Kita asyik mengobrol di
sini, tak tersangka nona Kim telah menjadi penjaga pintu bagi
kita, sungguh kita harus berterima kasih kepadanya."
Kim Leng-ci menggigit bibir, ia melengos dan melangkah
pergi dengan dongkol. Tapi baru dua-tiga tindak, mendadak ia
menoleh dan berseru, "Kemari kau, Thio Sam!"
Thio Sam mengiakan sambil melompat turun dari tempat
tidur. "Ada pesan apa nona?" tanyanya dengan mengiring
tawa. "Budak ini sungguh penurut, jika nona Kim menyuruhnya
membunuh pasti akan dilaksanakannya," jengek Oh Thi-hoa.
Kim Leng-ci tidak menggubris ocehannya, ia
mengeluarkan sebungkus barang yang disembunyikan di
belakang punggung dan berkata pula, "Bungkusan ini
hendaklah kau simpan dan jaga dengan baik."
Thio Sam menerimanya sambil mengiakan.
"Bungkusan barang ini baru kutemukan, boleh kau buka di
periksa isinya, tetapi awas jangan sampai hilang, akan
kupenggal kepalamu sebagai gantinya," kata si nona.
"Jangan khawatir nona," jawab Thio Sam pula dengan
tertawa "Barang apapun, jika sudah berada padaku, biarpun
maling sakti nomor satu di dunia juga jangan harap dapat
mencurinya." Kim Leng-ci mendengus, segera ia melangkah menuju
kamar depan, "blang", dengan keras ia gabrukkan pintu
kamarnya. "Di kamar kita ini memang ada seorang maling sakti nomer
satu di dunia," kata Oh Thi-hoa. "Maka kau harus simpan baikbaik
barang itu, awas jika kepalamu terpaksa dijadikan
gantinya, kan bisa konyol."
Belum habis ucapannya, mendadak daun pintu kamar
yang satu lagi terbuka, Ting Hong tampak melongok keluar,
sorot matanya seperti tidak sengaja melirik sekejap pada
bungkusan yang dipegang Thio Sam, lalu menyapa dengan
tertawa, "Kalian belum tidur?"
"Ting-kongcu mungkin juga seperti kami, sukar pulas bila
berada di tempat baru," kata Coh Liu-hiang.
Mata Ting Hong tampak berkedip-kedip, lalu mendesis,
"Ada sedikit urusan yang ingin kubicarakan dengan Cohhiangswe,
entah sekarang boleh tidak?"
Belum lagi Coh Liu-hiang menjawab, pintu kamar sebelah
juga mendadak terbuka, yang melangkah keluar ternyata
bukan Pek-lak-cek, juga bukan Kongsun Jiat-ih, tapi Kau Cutiang.
Air muka Kau Cu-tiang tampak pucat kehijau-hijauan, sinar
matanya buram, koper hitam tetap dibawanya. Ketika melihat
Coh Liu-hiang dan lain-lain sama berdiri di luar pintu, seketika
ia melenggong kaget. "Kukira Kau-heng lagi pergi buang air, sedang kupikirkan
akan memperkenalkan seorang tabib sakti untuk memeriksa
penyakit ginjalmu," kata Ting Hong.
Muka Kau Cu-tiang sebentar pucat sebentar merah,
jawabnya dengan tergagap, "Aku memang pergi buang air,
waktu lewat sini, tiba-tiba timbul keinginanku untuk
mengobrol." "O, kiranya Kau-heng memang kenal mereka, sungguh tak
terduga olehku," kata Ting Hong sambil menatap orang
dengan tajam. Lalu ia melirik Coh Liu-hiang sekejap dan
berkata dengan tertawa, "Mungkin tidak tersangka oleh Cohhiangswe
bukan?" Kau Cu-tiang berdehem beberapa kali, jawabnya, "Aku dan
mereka pernah bertemu sekali dua kali saja, tidak.... tidak
terlalu karib...." sambil bicara ia terus menyelinap masuk
kamar. "Bila Ting-heng ingin memberi petunjuk, silakan kemari
saja," kata Coh Liu-hiang kemudian.
Ting Hong berpikir sejenak, katanya, "Rasanya kita sudah
lelah dan perlu istirahat, kita bicarakan malam nanti saja."
Segera ia menyurut ke dalam dan menutup pintu.
Pintu kamar satunya juga sudah tertutup, tapi sejauh itu
Kongsun Jiat-ih dan Pek-lak-cek sama sekali tidak menongol.
Oh Thi-hoa sudah tidak tahan, belum lagi Coh Liu-hiang
merapatkan pintu kamarnya segera ia menggerutu, "Zaman ini
hati manusia memang sukar diraba, tak tersangka orang
macam Kau Cu-tiang juga bisa berdusta. Jelas dia kenal
Kongsun Jiat-ih dan Pek-lak-cek, tapi waktu naik kapal,
mereka berlagak seperti tidak saling kenal."
"Ya, dia mengaku belum pernah mengembara di dunia
Kangouw, kecuali Coh Liu-hiang. tiada yang dikenalnya,
kiranya semua itu dusta belaka. Orang yang dia kenal jauh
lebih banyak daripada kita," demikian Thio Sam menggerutu.
"Semula kukira dia benar-benar masih hijau dan tidak
paham seluk-beluk dunia Kangouw, bicaranya blak-blakan,
tindakannya terang-terangan, siapa tahu semua ini kedok
belaka," demikian Oh Thi-hoa menambahkan.
"Apa yang diperbuatnya itu sengaja diperlihatkan agar kita
menaruh curiga padanya, padahal bisa jadi sebelumnya sudah
bersokongkol dengan Kongsun Jiat-ih."
"He, tidak, tidak betul, harus kuperiksa ke sana," seru Oh
Thi-hoa sambil melonjak bangun.
"Apa yang tidak betul" Periksa apa?" tanya Thio Sam.
"Bukan mustahil dia pembunuhnya, Kongsun Jiat-ih dan
Pek-lak-cek adalah sasaran yang kedua, bisa jadi sekarang
kedua orang itu sudah mati."
Sejak tadi Coh Liu-hiang termenung, baru sekarang ia
mengangguk dan buka suara, "Sesudah Kau Cu-tiang keluar
tadi, pintu kamar lantas ditutup orang dari dalam, jika orang
mati apakah dapat menutup pintu?"
Mestinya Kim Leng-ci hendak meraung lagi, tapi entah
mengapa demi mendengar ucapan Coh Liu-hiang itu,
mukanya menjadi merah mendadak, dengan mendongkol ia
menggentak kaki terus masuk ke kabin.
"Wah, jika Oh-heng benar-benar segera menikah, sungguh
peristiwa gembira juga," segera Ting Hong menanggapi.
"Entah siapakah gerangan pengantin perempuannya?"
"Pengantin perempuan...." Coh Liu-hiang pura-pura
berpikir sejenak lalu menyambung, "Boleh dikata cantik dan
puteri keluarga ternama, ilmu silatnya juga lumayan, kekuatan
minum araknya lebih dari lumayan, konon sekaligus sanggup
menghabiskan satu guci...."
"Kutu busuk keparat," Oh Thi-hoa berteriak. "Jika kau
omong lagi, segera ku.... kubunuh kau."
Semua orang merasa geli mendengar olok berolok
mereka. Pada saat itulah tiba-tiba tertampak sebuah perahu kecil
sedang meluncur tiba dari tepi sungai. Di haluan perahu
berdiri seorang dengan mengangkat kedua tangan
membentangkan sehelai kain putih.
Pada kain plakat itu jelas tertulis : "Menjual diri untuk
mengubur kawan". Dalam cerita kuno memang ada anak berbakti yang
'menjual diri untuk mengubur ibu', tapi 'menjual diri untuk
mengubur kawan', hal ini selamanya belum pernah terjadi.
"Lihatlah kawan," seru Kau Cu-tiang. "Orang ini hendak
menjual dirinya untuk biaya penguburan kawannya, orang
yang setia kawan begini rasanya harus kujadikan sahabat."
"Betul, jika ingin bersahabat, paling baik kau beli saja dia,
bila di kemudian hari dia membusuk-busukkanmu, dapat kau
jual lagi," kata Oh Thi-hoa. Lalu dia melototi Coh Liu-hiang
sekejap dan menyambung pula, "Cuma sayang ada
sementara orang biarpun hendak dijual obral toh tetap tidak
laku." "Masa?" ujar Con Liu-hiang dengan tertawa. "Asalkan tidak
bau, tidak jorok, tidak malas, tidak suka mabuk-mabukan,
mustahil tak dapat dijual."
Belum Oh Thi-hoa menanggapi, terdengar orang yang
berdiri di haluan perahu itu berteriak, "Jangan khawatir, aku
tidak bau, tidak jorok, tidak malas, arak juga tidak banyak
kuminum, nasi yang kumakan lebih sedikit daripada burung,
tapi kalau bekerja melebihi kerbau, terhadap majikan juga
lebih setia daripada anjing penjaga. Barang siapa mau
membeli diriku, dijamin takkan kecewa, ditanggung barang
tulen harga murah, pasti akan puas."
Di tengah suaranya, perahu itupun sudah makin dekat
Tapi tanpa melihat, Oh Thi-hoa sudah dapat mengenali
suara orang itu, jelas dia si jaring kilat Thio Sam adanya. Ia
menjadi geli, katanya, "Mungkin bocah ini sudah melarat,
hinga pikiran menjadi miring."
Pendatang ini memang betul Thio Sam, ia berdiri di haluan
perahu dan berseru, "Hayolah tuan-tuan dan nyonya-nyonya
dia atas kapal, adakah di antara kalian yang tahu barang baik,
lekas beli diriku!?"
Germedap sinar mata Ting Hong, dengan tertawa ia
berkata, "Apakah sahabat benar-benar akan menjual diri
sendiri?" Thio Sam menghela napas jawabnya, "Sebenarnya aku
punya sebuah perahu rongsok, jika terpaksa dapat kujadikan
duit, celakanya aku suka berkawan tapi tidak pilih-pilih kawan
baik atau busuk, gara-gara membela kawan akhirnya
perahuku menjadi korban, tenggelam. Sekarang aku tinggal
sebatangkara, lalu apa yang dapat kuharapkan selain menjual
diri sendiri?" "Berapa harga yang kau pasang?" tanya Ting Hong.
"Tidak lebih tidak kurang tepat 500 tahil perak," jawab Thio
Sam. "Bila tidak kepepet dan perlu uang, tidak nanti
kulepaskan diriku dengan harga sekian."
"Sebenarnya sahabat ini ada keperluan apa hingga
terpaksa menjual diri" tanya Ting Hong pula
"Soalnya aku mempunyai dua orang kawan, tampaknya
jiwa mereka pasti akan melayang," tutur Thio Sam dengan
menghela napas gegetun. "Jelek-jelek mereka kawanku, tak
mungkin kusaksikan mayat mereka jadi makanan anjing liar,
terpaksa aku menjual diri untuk ongkos penguburan mereka "
Ting Hong melirik sekejap Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang,
lalu berkata pula dengan tertawa, "Untuk itu juga tidak perlu
sebanyak 500 tahil perak"!"
"Eh, agaknya tuan ini tidak tahu bahwa kedua kawanku ini
lain daripada yang lain," kata Thio Sam. "Waktu hidup mereka
adalah setan arak, bila mati kan akan menjadi setan araknya
setan. Nah, untuk itu terpaksa setiap hari aku harus menyirami
kuburan mereka dengan beberapa botol arak, kalau tidak, bila
mereka ketagihan di neraka dan hidup kembali ke dunia fana
ini, kan aku bisa celaka?"
Sudah jelas siapa-siapa yang dimaksud Thio Sam itu,
tentu saja Oh Thi-hoa sangat mendongkol, kalau bisa ia ingin
tonjok hidung Thio Sam. Kau Cu-tiang juga geli, katanya dengan tertawa, "Eh, jika
begitu, bolehlah Ting-heng membelinya saja."
Ting Hong tersenyum, jawabnya, "Boleh juga kubeli,
cuma...." "Kau tak mau beli, biar aku yang beli!" mendadak seorang
berseru. Di tengah suaranya itu, tahu-tahu Kim Leng-ci sudah
menerobos keluar dari kabin, segera ia sambung pula, "500
tahil perak akan kubayar, tanpa tawar."
Thio Sam lantas menggeleng, katanya tertawa, "Tidak
bisa, jika nona yang beli, harga diriku jadi lima ribu tahil
perak." "Kenapa begitu?" tanya Kim Leng-ci dengan melotot.
"Sebab majikan laki-laki jauh lebih mudah dilayani, majikan
perempuan banyak menimbulkan kerepotan, terkadang aku
diharuskan mandi di air lumpur, kan cialat"!" kata Thio Sam.
Tanpa pikir mendadak Kim Leng-ci berseru, "Baik, lima
ribu tahil juga jadi, kututup jual beli ini."
Thio Sam jadi melengak malah, katanya dengan tergagap,
"Nona bet.... betul-betul mau beli?"
"Sudah tentu betul, memangnya guyon?" omel si nona.
Thio Sam memandang sekelilingnya, lalu berkata, "Wah
entah masih adakah peminat yang berani membeli dengan


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harga lebih tinggi daripada tawaran nona ini?"
Oh Thi-hoa menggeleng, katanya, "Orang ini bukan saja
mirip burung, juga mirip kerbau dan seperti anjing, boleh
dikata seekor siluman. Aku sendiri belum lagi sinting, buat apa
membuang lima ribu tahil perak untuk membeli makhluk
aneh?" "Jadi kau maksudkan aku sinting" Begitu?" serentak Kim
Leng-ci berjingkrak gusar.
"Aku bilang diriku sendiri tidak sinting, kenapa nona Kim
jadi tersinggung?" ucap Oh Thi-hoa dengan tal acuh.
Saking dongkolnya muka Kim Leng-ci menjadi merah
padam, tapi ia pun tak dapat bersuara lagi.
Thio Sam berdehem beberapa kali, lalu berseru, "Hayolah
siapa berani tawar algi, jika tiada, akan kujual kepada nona
ini." "He, apakah kau ini si jaring kilat Thio Sam?" tiba-tiba
seseorang berseru. "Betul, tanggung barang tulen dan harga murah, bila palsu
uang kembali," sahut Thio Sam.
"Baik, kalau begitu, kutawar lima ribu lebih satu tahil
perak!" seru orang itu pula.
Ternyata entah sejak kapan sebuah perahu kecil telah
mendekat. Orang yang menawar ini duduk di haluan perahu,
bajunya berwarna kelabu, memakai topi lebar, tepian topi di
bagian muka agak melambai ke bawah sehingga tidak jelas
bentuk wajahnya. Semua orang terkejut mendengar ucapannya ini. Sungguh
tiada yang menduga ada orang mau berebut membeli Thio
Sam dengan Kim Leng-ci. Diam-diam Coh Liu-hiang juga heran, ia merasa urusan ini
jadi semakin menarik. Sudah tentu Kim Leng-ci menjadi berang, dengan suara
keras ia pun bertenak, "Aku tawar enam ribu tahil"
"Enam ribu lebih satu tahil."
"Tujuh ribu tahil!" Kim Leng-ci juga tidak mau kalah.
"Tujuh ribu lebih satu," kontan orang itu berteriak pula.
Kim Leng-ci tambah gregetan, sekaligus ia jadikan
"Selaksa tahil!"
Namun orang di atas perahu itu tetap tenang-tenang saja,
dengan perlahan ia berkata, "Selaksa lebih satu tahil!"
Bahwa ada dua orang berani melelang dirinya dengan cara
demikian, Thio Sam sendiri menjadi melenggong. Sungguh tak
terpikir olehnya bahwa dirinya bisa bernilai setinggi ini.
Oh Thi-hoa juga terkesima, gumamnya, "Wah, jika kutahu
dia berharga setinggi ini, tentu sudah kubeli sejak mula.
Rupanya barang sedikit permintaan banyak, jadinya harga
naik terus. Padahal sudah kuperiksa dari atas ke bawah dan
dari kanan ke kiri, tiada kudapatkan sesuatu pada dirinya yang
berharga." Orang di atas perahu itu tertawa, dengan tenang ia
berkata, "Barang baik hanya dijual kepada orang yang kenal
barang. Tawaranku selaksa lebih satu tahil perak belum
terhitung tinggi." Kim Leng-ci jadi makin gregetan, segera ia bertenak. "Baik,
kutawar...." Sebelum dia menyebut jumlah tawarannya, mendadak
Ting Hong menyela, "Nanti dulu ingin kutanya sebelumnya
orang jual beli kan harus adil, bayar dan terima barang, begitu
bukan.?" "Betul," sahut Thio Sam cepat. "Penjualanku ini dengan
kondisi pembayaran kontan, tidak boleh bon, tidak boleh
kredit." "Jika begitu," kata Ting Hong. "Untuk mencegah hal-hal
yang mengecewakan, agar penawaran ini tidak cuma omong
kosong belaka, siapa yang memberi penawaran hendaklah
memperlihatkan dulu uangnya kepada si penjual."
Segera Kim Leng-ci keluarkan segebung 'Gin-bio' (kertas
tanda pembayaran, seperti uang kertas atau cek zaman kini),
katanya. "Ini cukup tidak?"
Ting Hong memandang sekejap, ucapnya dengan tertawa,
"Cukup, tentu saja cukup. Gin-bio keluaran Le-goan Gin-ceng
(nama bank) di Soasay, dihargai sama seperti uang kontan."
"Kalau belum cukup, di sini juga tersedia uang kontan,
boleh nona Kim gunakan seperlunya," tukas Hay Koa-thian.
Setiap orang Kangouw kenal betapa kaya rayanya Cikengpang dengan ucapannya itu maka 'bonafiditas' Kim
Leng-ci tidak perlu disangsikan lagi.
"Dan bagaimana dengan kawan di perahu itu?" tanya Ting
Hong. Orang itu tetap tenang-tenang, katanya pelan, "Mungkin
anda khawatir aku bersekongkol dengan Thio Sam dan
sengaja meninggikan harganya, begitu bukan?"
Ting Hong hanya tertawa saja tanpa menjawab. Biasanya
kalau orang tidak menjawab berarti membenarkan.
Orang itu mendengus, mendadak ia memberi tanda dan
berseru,"Bawa kemari!" Segera dari buritan perahu ada orang
menggotong sebuah peti. Waktu di buka, seketika tertampak
cahaya gemerlapan, isi peti itu ternyata lantakan emas.
Seketika mata Oh Thi-hoa terbelalak, ucapnya sambil
menyengir,"Sungguh tak tersangka ada orang membawa
emas kemari untuk membeli Thio Sam, tampaknya akulah
yang terlalu menilai rendah dirinya."
"Apakah cukup isi peti ini?" orang di perahu bertanya.
Ting Hong juga tercengang melihat emas sebanyak itu,
dengan tertawa ia menjawab, "Ya, cukup, lebih daripada
cukup." "Jika belum cukup, peti seperti ini masih ada beberapa
buah lagi, silakan nona menawar lagi sesukamu," ucap orang
itu dengan tak acuh. Biarpun Kim Leng-ci dilahirkan dalam keluarga hartawan,
emas perak baginya seperti batu belaka, tapi kalau disuruh
membuang berlaksa-laksa tahil emas hanya untuk membeli
seorang Thio Sam, mau tak mau hal ini membuatnya bingung
dan sangsi. Kini air muka si nona sudah rada pucat, ia menggit bibirnya
dan coba menawar lagi, "Baik, selaksa seribu tahil."
"Setaksa seribu lebih satu," orang itupun naik harga lagi.
"Selaksa seribu lima ratus," seru Kim Leng-ci.
"Selaksa seribu lima ratus satu," orang itu tetap tidak mau
kalah. "Selaksa dua ribu tahil," kata Kim Leng-ci.
Kini dia benar-benar susah, ibarat sudah naik di atas
punggung harimau, turun atau tidak serba salah. Tampak rasa
garangnya tadi juga sudah berkurang, penawarannya yang
setiap kali tambah seribu tahil kini hanya bertambah lima ratus
tahil saja. Dan orang di atas perahu itu tetap tenang-tenang saja,
kembali ia menambah, "Selaksa dua ribu satu!"
Dengan gemas Kim Leng-ci berteriak, "Kenapa kau harus
membelinya?" "Dan kenapa pula nona juga ingin membelinya?" jawab
orang itu. Kim Leng-ci jadi melengak. Ia sendiripun tak dapat
memberi alasannya. Setelah melenggong sejenak, akhirnya ia
berteriak pula, "Aku senang. Asalkan aku senang, biarpun
beberapa laksa tahil perak kulemparkan ke sungai juga bukan
soal." "Apakah hanya nona saja yang boleh senang dan orang
lain tidak boleh?" tanya orang itu dengan dingin.
Mendadak Ting Hong menyela lagi, "Padahal maksud
kedatangan sahabat ini sejak tadi sudah kuketahui."
"Ooo" Kau sudah tahu?" tanya orang itu.
"Setiap orang Kangouw sudah tahu bahwa si jaring kilat
Thio Sam sangat mahir menyelam, bahkan kepandaiannya
membuat kapal dan berlayar juga tiada bandingannya,
bilamana dalam pelayaran ikut serta Thio Sam, maka
manfaatnya melebihi memakai ratusan kelasi. Tampaknya
anda sangat berhasrat mendapatkan ahli pelayaran, janganjangan
ada maksud berlayar keluar lautan?"
Tiba-tiba orang yang berada di haluan perahu sana
menengadah dan bergelak tertawa, lalu berkata. "Hahaha,
sungguh hebat, sungguh lihai pandanganmu!"
"Jadi dugaanku tidak keliru?" tanya Ting Hong.
"Bicara terus terang, apa yang dikatakan anda memang
tidak salah sedikitpun," kata orang itu.
"Jika demikian, Cayhe jadi ingin memberi sedikit nasihat,"
kata Ting Hong "O, silakan bicara," jawab orang itu.
"Perubahan cuaca di lautan sukar diduga, bahaya berlayar
jauh berbeda daripada perjalanan di sungai, apabila tiada
urusan sangat penting, kukira lebih baik anda jangan
berangkat saja." '"Terima kasih atas maksud baikmu, cuma sayang,
betapapun Cayhe harus berangkat" kata orang berbaju kelabu
itu. Dia tidak menunggu tanggapan Ting Hong, segera
bertanya pula, "Konon di lautan bebas sana ada sebuah gua
emas, entah anda mendengar atau tidak?"
Ting Hong berkerut kening, katanya, "Gua emas" Di dunia
ini, dimana-mana juga ada gua emas, entah gua yang kau
maksudkan itu terletak dimana?"
"Gua emas itu terletak di lautan timur sana, konon
tempatnya sangat rahasia, disana banyak tetumbuhan aneh
dengan ratna mutu manikam yang sukar dibayangkan. Ada
wanita cantik yang tidada bandingan dengan pemandangan
alam yang sukar dilukiskan, ada arak yang tak pernah habis
diminum dan macam-macam kebaikan lagi yang tak dapat
diuraikan satu per satu."
Waktu itu angin meniup kencang, sungai sangat luas, jarak
kedua kendaraan air itu ada sepuluhan tombak jauhnya,
bilamana bicara dari kejauhan, oang biasa terpaksa harus
berteriak. Cuma mereka semuanya adalah tokoh persilatan
kelas tinggi. Lwekang masing-masing sangat kuat, setiap
ucapan mereka dapat terdengar dengan jelas oleh lawan
bicaranya. Orang berbaju kelabu itu mula-mula juga cukup nyaring
suaranya, cuma sayang, dia bicara terlalu panjang, sampai
beberapa kalimat terakhir agaknya mulai berkurang tenaganya
hingga terpaksa dia harus berteriak.
Betapa tajam penglihatan Hay Koa-thian, HiangThian-hui,
Oh Thi-hoa dan lain-lain, segera mereka tahu orang ini tidak
memiliki tenaga dalam yang kuat sekalipun ilmu silatnya
mungkin sangat tinggi, jadi bukan seorang lawan yang
menakutkan. Dengan tertawa Oh Thi-hoa lantas menanggapi, "Apa yang
kau katakan itu hanya mengenai arak yang tak habis terminum
itulah yang menarik hatiku, jika di dunia ini benar ada tempat
sebagus itu, maka aku pun ingin berkunjung ke sana."
"Tempat itu memang benar-benar ada, cuma kalau ingin
ke sana, sulitnya seperti manjat ke langit," kata orang itu.
"Oo" Sebab apa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Sebab tempat itu tidak tercatat dalam kitab, tidak terlukis
dalam peta, siapa pun tidak tahu dimana letaknya." tutur orang
itu. "Jika tiada penunjuk jalannya, biarpun dicari berpuluh
tahun juga sukar ditemukan."
"Wah, lantas siapakah yang akan menjadi penunjuk jalan?"
tanya Oh Thi-hoa. "Dengan sendirinya hanya anak buah pemilik gua emas
saja yang tahu jalan menuju gua itu," kata si orang berbaju
kelabu. "Pemilik gua emas, tokoh macam apa pula dia?" tanya Oh
Thi-hoa, ia menjadi tertarik oleh cerita ini.
"Siapa pun tidak tahu dia itu orang macam apa, tidak ada
orang yang tahu nama serta asal-usulnya, lebihlebih.
tiada.yang pernah melihat bentuk wajahnya," tutur orang
itu. "Ada orang bilang dahulu dia adalah bandit ternama di
dunia Kangouw, kemudian cuci tangan dan mengasingkan diri
di lautan sana. Ada pula cerita bahwa dia seorang pemuda
yang bercita-cita tinggi, karena di Tionggoan cita-citanya sukar
terlaksana, terpaksa menyingkir ke lautan bebas untuk
mencari perkembangan."
Setelah tertawa, ia menyambung pula, "Bahkan ada orang
bilang dia adalah anak perempuan yang masih muda belia
dan cantik jelita, tapi maha pintar, makanya banyak orang
kosen rela tunduk pada perintahnya."
"Wah, jika begitu, orang ini benar-benar sangat misterius,"
ucap Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Orang yang misterius juga sudah banyak kulihat," tukas
Oh Thi-hoa. "Tapi kalau kalian berdua ingin bertemu dengan orang ini,
mungkin tidak mudah," ujar orang tadi.
"Sedikitnya kan sudah ada orang yang pernah berkunjung
ke gua emas itu?" tanya Oh Thi-hoa.
"Sudah tentu ada, kalau tidak, darimana kutahu di dunia ini
ada tempat sehebat itu?" kata orang itu, "Hanya saja, orang
yang benar-benar pernah berkunjung ke sana tidaklah
banyak." "Oo, kira-kira siapa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Beberapa tahun terakhir ini, setiap tahun pemilik gua itu
selalu mengundang beberapa orang untuk berkunjung ke
tempatnya selama sepuluh hari atau setengah bulan, yang
mendapat undangannya dengan sendirinya adalah orang kaya
raya pula." Oh Thi-hoa memandang sekeliling, lalu berucap dengan
dengan hambar, "Wah, bila begitu, di antara kita ada beberapa
orang yang cukup memenuhi syarat untuk berkunjung ke
sana." Air muka Kim Leng-ci tampak berubah, tapi dia menahan
perasaannya dan tidak bersuara.
"Orang yang sempat berkunjung ke tempat begitu
sepantasnya dapat dibanggakan," kata si baju kelabu pula.
"Anehnya yang sudah pergi ke sana, sepulangnya mereka
lantas tutup mulut, satu kata saja tidak menyinggungnya,
bahkan....." sinar matanya tampak gemerdap di bawah topinya
yang lebar. Agaknya melirik ke arah Ting Hong, lalu
menyambung pula dengan pelan, "Tindak-tanduk pemilik gua
itu penuh rahasia, orang yang terima kartu undangannya juga
sukar dijajaki, sebab itu di kalangan Kangouw, hakikatnya
tidak diketahui siapa saja yang pernah diundang ke sana,
andaikan orang ingin berta-nya juga tidak tahu kepada siapa
harus bertanya, kalau ingin menguntit secara diam-diam, jelas


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih tidak mungkin."
"Memangnya sebab apa?" tanya Oh Thi-hoa
"Sebab pada kartu undangan itu oleh pemilik gua tidak
dijelaskan alamat si pengundang, hanya disebut hari dan
waktunya supaya bertemu di tempat tertentu, tiba saatnya
sang tamu akan diantar oleh penunjuk jalan. Bila orang yang
hadir di tempat ditentukan itu bukan tamu dimaksud, maka
penyambutnya juga takkan muncul. Dalam perjalanan juga
penuh rahasia, bila ada orang berani menguntit secara diamdiam,
akan mati di tengah jalan secara aneh."
Coh Liu-hiang saling pandang sekejap dengan Oh Thi-hoa,
diam-diam keduanya saling memberi isyarat.
Dengan menghela napas Oh Thi-hoa berkata pula. "Wah,
untuk pergi ke tempat setan itu ternyata begitu sukar,
sudahlah, aku tak mau pergi ke sana."
"Tapi setiap orang pasti mempunyai rasa ingin tahu," kata
orang itu pula. "Semakin sulit tempat yang sukar didatangi itu,
semakin banyak pula yang ingin pergi ke sana."
Sejak tadi Ting Hong hanya mendengarkan saja,
mendadak ia menanggapi, "Jika anda benar-benar ingin pergi
ke sana, bisa jadi Cayhe mempunyai akal untuk
membantumu." Gemerdap pula sinar mata orang di haluan perahu sana.
katanya. "Jangan-jangan anda mengetahui letak gua enas
itu?" "Kebetulan Cayhe pernah berkunjung satu kali ke sana,"
jawab Ting Hong dengan tersenyum. "Apalagi anda sekarang
membekal harta sebanyak itu, tentu tak perlu khawatir
kehabisan sangu. Setiba di sana, pemilik gua emas pasti akan
menyambut kedatanganmu dengan hormat.
Orang itu sangat girang, serunya, "Jika demikian, tolong
sudi memberi petunjuk. Cayhe akan sangat berterima kasih.
"Kebetulan di sini ada kawan-kawan yang hendak pergi ke
sana, bila tidak menolak, silakan naik kemari dan melanjutkan
perjalanan bersama." kata Ting Hong dengan gelak tertawa.
Orang itu tidak menjawab, tampaknya ia ragu-ragu.
Segera Oh Thi-hoa mendengus. "Kan sudah kukatakan
sejak tadi bahwa ada beberapa orang di sini cukup memenuhi
syarat pergi ke sana...." Sembari berkata ia melirik Kim Lengci.
Si nona melengos ke sana dan pura-pura tidak mendengar.
Hay Koa-thian juga lantas berkata dengan suara keras.
"Sahabat ini membawa harta sebanyak itu. bila disuruh
menumpang kapal orang yang tak dikenal, dengan sendirinya
merasa sangsi." "Apalagi kapal ini bukan sembarang kapal, melainkan
sebuah kapal bajak." jengek Hiang Thian-hui.
Watak orang she Hiang ini memang aneh, setiap kali buka
suara selalu menusuk perasaan orang dan seakan-akan
sengaja mencari perkara. Orang di sana berkata dengan suara hambar, "Cayhe sih
tak berprasangka apa-apa terhadap para sahabat, yang
kupikirkan justru kalian mungkin akan berprasangka jelek
pada diriku." "Ah, mana bisa, " kata Ting Hong. "Terhadap orang lain
kami akan curiga, tapi terhadap anda lebih dulu mesti menjaga
keamanan sendiri, mana bisa mengincar pihak lain malah?"
"Jika demikian, baiklah aku menurut saja," kata orang itu
dengan tertawa. Kembali Oh Thi-hoa menjengek, "Hah, kiranya seorang
kalau sudah punya uang, apapun akan dianggap orang baik
dan tidak mungkin bermaksud jahat terhadap orang lain." Dia
tepuk-tepuk pundak Coh Liu-hiang dan menambahkan. "Wah,
melihat gelagatnya, lebih baik kita turun saja."
"Eh, arak belum lagi diminum, mengapa Oh-heng hendak
pergi?" kata Ting Hong.
"Habis, kami tidak membawa harta benda apa-apa, boleh
dikata berkantong kosong, bisa jadi setiap saat kami akan me
ngincar harta kalian apakah kalian tak merasa khawatir
terhadap kami?" kata Oh Thi- hoa. Lalu ia melirik Ting Hong
dan mendengus pula, "Tapi hal inipun tidak dapat
menyalahkan kalian, orang kaya memang pantas kalau mesti
berjaga-jaga segala kemungkinan terhadap orang miskin."
"Ah, Oh-heng memang suka bergurau," ujar Ting Hong.
"Padahal setiap kata Oh-heng dan Coh-heng juga bernilai
seribu tahil emas, nama kebesaran kalian sudah lama
termashur, bila berada bersama kalian kemana pun Cayhe
akan merasa aman, apalagi....."
"Apalagi dia belum bertanding minum arak denganku, tidak
nanti kubiarkan dia pergi," tiba-tiba Kim Leng-ci menukas.
"Jika begitu, terpaksa Cayhe menurut saja." ujar Coh Liuhiang
dengan tertawa. "Sesungguhnya hatiku juga sangat
tertarik demi mendengar di dunia ini ada tempat ajaib begitu."
Tiba-tiba Thio Sam berseru sambil menghela napas
panjang, "Wah, sialan! Kalian sudah mempunyai tempat
tujuan, tinggal aku yang sebatangkara dan gentayangan tiada
tempat tertentu. Tadi kalian malah berebut hendak membeli
diriku, agaknya sekarang tiada yang menaruh minat lagi...."
"Jika ucapan orang lain tidak dapat dipegang teguh,
terpaksa akulah yang akan membeli dirimu," kata Oh Thi-hoa.
"Apa yang sudah kukatakan sudah tentu kupegang teguh,"
kata Kim Leng-ci dengan menarik muka.
Oh Thi-hoa berkedip-kedip, tanyanya. "Engkau tetap
hendak membeli dia?"
"Sudah tentu!" jawab Kim Leng-ci.
"Tetap bayar kontan?" tanya Oh Thi-hoa pula.
Kim Leng-ci hanya mendengus, berbareng segebung Ginbio
terus dilemparkan. Mendadak Thio Sam melompat keatas,
sekali berjumpalitan, uang kertas yang bertaburan itu telah
ditangkap seluruhnya, habis itu ia melayang turun dengan
enteng, katanya sambil memberi hormat, "Terima kasih,
nona!" "Kungfu hebat," seru Hay Koa-thian sambil berkeplok.
"Pandangan nona Kim, agaknya memang tajam, Kungfu
setinggi ini seumpama dibeli dengan harga lebih tinggi lagi
juga tidak mengecewakan."
"Ting Hong juga lantas menjura kepada Kim Leng-ci,
katanya dengan tertawa, "Selamat nona Kim, dengan
pembantu sehebat ini, kelak kalau perlu berlayar jauh, tentu
tenaganya sangat diharapkan dapat memberi bantuan, untuk
mana biarlah Cayhe mengucapkan terima kasih sebelumnya."
Dia tidak berterima kasih kepada Thio Sam, tapi kepada
Kim Leng-ci, jelas dia anggap Thio Sam sudah menjadi budak
belian si nona. Segera Oh Thi-hoa menjengek pula, "Thio Sam,
tampaknya aku pun harus mengucapkan selamat padamu.
Kau punya majikan sebaik ini, hidupmu selanjutnya pasti
sangat senang." "Ya, mempunyai majikan kaya, bila kelak ada sahabatku
yang mampus, paling tidak kan dapat kupinjam uang untuk
biaya penguburannya," jawab Thio Sam dengan tertawa.
"Macam-macam sahabatku, tapi sahabat yang menjadi
budak orang, kau inilah orang pertama," kata Oh Thi-hoa.
"Tampaknya kau harus belajar banyak lagi," ujar Thio Sam
dengan tertawa. "Bersahabat dengan budak keluarga kaya
jauh lebih baik daripada mempunyai sahabat miskin, paling
tidak dia takkan pinjam duit padamu atau makan gratis ke
rumahmu." Jika di sebelah sana Oh Thi-hoa sedang berolok dengan
Thio Sam, di sebelah lain Coh Liu-hiang dan Ting Hong
sedang memperhatikan gerak gerik di atas perahu sana.
Perahu itu lebih besar sedikit daripada perahu Thio Sam
yang tenggelam itu, tapi juga tidak terlalu besar. Penumpangperahu
hanya dua orang, yaitu orang berbaju kelabu bertopi
lebar di haluan itu, di buritan masih ada seorang tukang
perahu yang memegang dayung, yaitu orang yang
menggotong peti emas ke haluan tadi.
Sementara itu si tukang perahu sedang mengangkat tiga
buah peti lagi ke haluan si orang bertopi lebar tampak sedang
berbisik-bisik memberi pesan, tukang perahu itu hanya
manggut-manggut saja tanpa bersuara seperti orang gagu.
Jarak antara kedua kendaraan air itu masih ada lima-enam
Jaka Lola 1 Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara Laba Laba Hitam 3

Cari Blog Ini