Ceritasilat Novel Online

Pembakaran Kuil Thian Lok 1

Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Koleksi Kang Zusi Pembakaran Kuil Thian Lok Si
Kho Ping Hoo Bagian 01. Pengkhianatan Saudara Angkat.
Kerajaan Tang berada dalam tangan seorang
Kaisar yang lemah bagaikan sebuah boneka.
Kekuasaan sepenuhnya berada dalam kekuasaan
para pembesar yang korup, terutama para
pembesar Thaikam (orang-orang kebiri). Rakyat
menderita sekali dibawah penindasan dan
penghisapan orang-orang besar yang hanya
mementingkan kesenangan sendiri saja. Di manamana timbul kerusuhan sebagai akibat hati tak
puas dan perut lapar. Pembesar tertinggi di setiap
kota merupakan raja sendiri, dan tuan-tuan tanah
di dusun-dusun merupakan raja-raja kecil tanpa
mahkota. Keadaan ini tidak saja membuat rakyat menderita
hidup yang sukar dan sengsara, akan tetapi juga
membikin marah hati setiap orang yang sedikitnya
mempunyai perasaan cinta bangsa dan mau yang
mau menaruh perhatian kepada keadaan rakyat
kecil. Akan tetapi, apa daya mereka " Kaisar dan
para pembesar yang hidup dalam laut
kemewahan dan kesenangan dunia itu maklum
juga akan ketidakpuasan hati rakyat dan telah
menaruh curiga kalau-kalau ada rakyat yang
hendak memberontak. Oleh karena ini,
pemerintah membentuk barisan yang kuat,
barisan yang terdiri dari orang-orang
berkepandaian silat tinggi dan yang khusus
diadakan untuk menindas dan memadamkan api
pemberontakan. Khusus digunakan untuk
menindas dan menghancurkan rakyat sendiri ! Oleh karena takut akan hukuman,
hukuman mati yang diobral secara murah oleh Kaisar dan para pembesar Thaikam,
maka sakit hati dan ketidakpuasan para patriot itu hanya terpendam di dasar hati
saja dan mereka hanya berani membicarakan dengan kawan-kawan sehaluan secara
sembunyi-sembunyi. Keadaan yang buruk ini pulalah yang menggerakkan hati dan membangunkan semangat
dua orang sastrawan terkemuka. Mereka ini adalah Khu Liok dan Ma Eng, dua orang
sastrawan pandai yang telah menjadi sahabat baik semenjak mereka masih muda.
Kini mereka telah tua dan menjadi orang-orang terpelajar yang amat terkenal
karena syair-syair dan tulisan mereka. Bahkan Kaisar dan orang-orang besar amat
suka membaca hasil tulisan mereka dan biarpun mereka ini berasal dari rakyat
biasa, namun para pangeran dan orang besar tidak merasa rendah untuk berkenalan
dan bercakap-cakap dengan dua orang sastrawan ini.
Khu Liok dan Ma Eng tinggal di Kotaraja bahkan bertetangga. Mereka seringkali
mengadakan pertemuan dan bercakap-cakap dan keduanya memiliki jiwa patriot,
merasa marah sekali melihat ketidakadilan Kaisar dan kelaliman para pembesar.
Diam-diam mereka mengutuk para pembesar, terutama para Thaikam dan akhirnya,
karena sudah tidak tahan lagi menyaksikan penderitaan rakyat kecil, rasa
penasaran dan sakit hati telah membuat mereka menggerakkan tangan dan mengarang
sebuah kitab kecil yang diberi judul "TUHAN TELAH SALAH PILIH"
Kitab ini hanya tipis saja dan berisikan sindiran-sindiran dan protes terhadap
keadaan rakyat yang sengsara dan terhadap kelaliman pemerintah. Walaupun tidak
ditulis secara terang-terangan, namun dari isi karangan dapat dirasakan
singgungan-singgungan yang pedas dan membuat telinga para pembesar menjadi merah
dan muka menjadi pucat. Para rakyat kecil yang membaca tulisan ini, menyambut
dengan penuh semangat dan isi karangan ini telah membangkitkan jiwa mereka untuk
tidak Koleksi Kang Zusi tinggal diam saja dan untuk berusaha memberantas pihak yang menindas mereka. Di
sana-sini para kaum tani mulai mengadakan pertemuan dan perundingan,
membicarakan isi tulisan yang sangat berkesan di dalam hati mereka dan timbul
pula semangat mereka untuk menumbangkan kekuasaan yang mencekik leher mereka
itu. Kaisar dan para pembesar tentu saja tahu akan hal ini dan mulailah diadakan
pengusutan dan penyelidikan untuk mengetahui siapa adanya orang-orang yang
begitu berani untuk menulis karangan semacam itu. Akan tetapi, oleh karena Khu
Liok dan Ma Eng tidak menyebutkan nama mereka dalam tulisan itu, para penyelidik
itu tak dapat menemukan siapa sebenarnya penulis karangan yang telah memerahkan
telinga Kaisar dan para pembesar.
Di antara sekian banyak pangeran yang suka berkenalan dengan Khu Liok dan Ma
Eng, bahkan telah mengirim anak-anak mereka untuk belajar kesusastraan dari dua
orang sastrawan besar itu, terdapat seorang pangeran bernama Gu Mo Tek yang
tinggal dalam sebuah gedung besar tak jauh dari rumah kedua sastrawan itu. Gu Mo
Tek seringkali mengunjungi mereka, bahkan sering pula mengundang kedua sastrawan
itu untuk berkunjung ke gedungnya. Sambil menghadapi arak wangi dan hidangan
yang lezat, mereka bertiga bercakap-cakap sampai jauh malam. Kedua sastrawan
itupun amat suka bercakap-cakap dengan pangeran Gu oleh karena pangeran itupun
amat luas pandangannya dan seorang sastrawan yang pandai pula. Hubungan mereka
demikian eratnya hingga pangeran Gu mengusulkan untuk mengangkat saudara. Dengan
menyalakan hio ditangan, ketiganya mengangkat saudara, disaksikan oleh Bumi dan
Langit. Setelah menjadi saudara angkat, ketiga orang ini makin erat hubungannya.
Keluarga mereka juga mengadakan perhubungan yang baik sekali dan tidak jarang
mereka saling berkunjung. Hal ini berjalan bertahun-tahun sampai pada waktu
kedua orang sastrawan ini menulis karangan yang menggemparkan itu.
Gu Mo Tek mempunyai dua orang putera yang telah kawin dan kedua orang puteranya
ini juga tinggal di dalam gedungnya yang indah dan besar. Mereka bernama Gu Keng
Siu dan Gu Leng Siu dan menjadi murid-murid kedua orang sastrawan itu.
Khu Liok mempunyai seorang putera bernama Khu Tiong sedangkan Ma Eng juga
mempunyai seorang putera bernama Ma Gi. Sungguhpun kedua orang sastrawan Khu dan
Ma adalah orang-orang lemah yang hanya ahli dalam hal membaca dan menulis, akan
tetapi kedua orang puteranya ini telah mempelajari ilmu silat yang tinggi dari
seorang tosu di Kunlun-san. Hal ini tidak mengherankan oleh karena kedua orang
sastrawan yang berpemandangan luas itu menganggap bahwa kepandaian sastra saja
tak dapat menjamin keselamatan dari gangguan orang-orang jahat. Sedangkan pada
waktu itu, memang keadaan di Tiongkok amat buruknya, hingga berlakulah hukum
rimba, siapa kuat dia menang.
Khu Tiong dan Ma Gi juga telah beristeri, bahkan pada waktu cerita ini terjadi,
kedua isteri mereka telah mengandung. Isteri Khu Tiong adalah puteri seorang
penjual obat yang pandai dan juga seorang ahli silat, hingga tak mengherankan
apabila nyonya Khu yang cantik itupun pandai pula memainkan senjata tajam.
Sebaliknya, isteri Ma Gi adalah puteri seorang petani yang hanya pandai bekerja
di sawah ladang, akan tetapi nyonya Ma ini luar biasa cantiknya hingga setiap
orang melihatnya pasti akan merasa kagum dan menyangka bahwa ia adalah seorang
puteri dari keraton Kaisar.
Kedua keluarga Khu dan Ma itu hidup dalam keadaan cukup dan penuh kebahagiaan,
terutama sekali oleh karena keduanya sedang menanti datangnya manusia baru yang
akan dilahirkan oleh nyonya Khu dan nyonya Ma. Akan tetapi, keadaan hidup
manusia ini memang tidak tetap, ada pasang surutnya, maka terjadilah peristiwa
hebat yang menggoncangkan seluruh kehidupan mereka dan mengubah keadaan mereka,
bagaikan ketenangan air laut yang tiba-tiba terserang badai mengamuk.
****** Beberapa pekan kemudian semenjak Khu Liok dan Ma Eng menulis kitab karangan
mereka dan menyebarkannya di seluruh kota dan desa sehingga menimbulkan
kegemparan besar di kalangan rakyat dan Kaisar serta pembesar-pembesarnya.
Pada suatu pagi, ketika Khu Liok dan keluarganya sedang duduk di ruang dalam dan
bercakap-cakap, tiba-tiba datanglah serombongan perwira Kaisar yang membawa
surat perintah untuk menangkap Khu Liok sekeluarga. Mendengar hal ini, dari para
penjaga pintu, keluarga wanita segera pergi bersembunyi di dalam kamar dengan
ketakutan, sedangkan Khu Liok dan Khu Tiong segera keluar menjumpai rombongan
perwira yang terdiri dari tujuh orang itu.
Koleksi Kang Zusi "Khu Liok atas nama Kaisar kami datang hendak menangkap kau dan keluargamu.
Harap kau menyerah dan menurut dengan baik tanpa memaksa kami mempergunakan
kekerasan!" kata seorang di antara perwira-perwira itu yang agaknya menjadi
pemimpinnya. "Dengan alasan apakah maka kami sekeluarga hendak ditangkap?" tanya Khu Liok
dengan sabar dan tenang. Sementara itu, Khu Tiong berdiri dengan kedua tangan
mengepal tinju. "Tak perlu kau bertanya kepadaku, karena hal ini bukanlah urusanku. Pendeknya,
kau sekeluarga ditangkap tentu ada kesalahan. Nanti saja di depan pengadilan kau
boleh mendengar segala kedosaan yang telah kau lakukan"
"Bukan kami melawan, akan tetapi sebelum kau memberitahukan tentang alasan
penangkapan ini, terpaksa kami tidak mau menurut!" tiba-tiba Khu Tiong berkata
tegas. Mendengar ini, ketujuh orang perwira itu serentak mencabut pedang masing-masing.
"Apa " Kalian hendak memberontak " Bagus ! Memang telah kami duga bahwa kalian
adalah pemberontak-pemberontak jahat. Pendeknya, lekas kumpulkan semua orang
untuk kami bawa sebagai tangkapan, kalau tidak, terpaksa kami akan membawa
kalian dalam keadaan luka-luka atau mati!" seru komandan perwira itu dengan
bengis. Khu Liok dan Khu Tiong sudah mendengar dan kenal akan kebengisan dan kekejaman
para perwira ini, maka mereka saling pandang.
"Tiong-ji, biarlah kita menurut saja. Kita lihat saja bagaimana jadinya nanti di
pengadilan" kata Khu Liok.
Khu Tiong merasa ragu-ragu akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak
ayahnya, maka ia hanya dapat mengangguk dan ia segera masuk ke dalam untuk
memberitahu kepada semua keluarga agar berkumpul dan ikut.
"Semua harus ikut, biarpun seorang pelayan atau pesuruh kecilpun tak boleh ada
yang ketinggalan!" teriak perwira itu. Pada saat itu, dari luar mendatangi seorang laki-laki dengan tubuh luka-luka. Ia
berlari masuk dan menyerobot saja di antara semua perwira yang berdiri dengan
gagah di pintu, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan Khu Liok. Khu Tiong
yang baru saja melangkah hendak masuk ke ruang dalam, ketika melihat keadaan
orang itu dan mengenal bahwa orang ini adalah seorang pelayan di rumah keluarga
Ma Gi, menjadi terkejut sekali dan segera kembali keluar.
"Ada apakah " Apa yang terjadi di sana ?" tanyanya.
"Celaka........celaka, Khu siauwya....... keluarga Ma habis binasa. Ada.....
ada.....perwira-perwira yang datang hendak menangkap dan Ma siauwya melawan
sehingga banyak terjadi pembunuhan.
Semua...... semua ....... terbunuh atau tertangkap ........"
Baru saja berkata sampai di sini, Khu Tiong sudah mencabut pedangnya dan
menyerang rombongan perwira itu. Khu Liok tidak melarang puteranya oleh karena
ia maklum bahwa tentu rahasianya dan rahasia Ma Eng telah bocor dan Kaisar telah
mengetahui bahwa dia dan Ma Eng yang menjadi penulis kitab pemberontakan itu. Ia
lalu melarikan diri ke dalam dan memanggil mantunya, yakni nyonya Khu yang
bernama Ong Lin Hwa, puteri tukang obat yang pandai ilmu silat itu. Nyonya Khu
telah mendengar bahwa suaminya bertempur dengan perwira-perwira di ruang depan,
maka ketika mertuanya memanggilnya, nyonya muda itu telah keluar dengan pedang
di tangan. "Jangan....... jangan kau ikut bertempur. Kau sudah mengandung tua, tubuhmu
lemah. Dengar baik-baik, kau harus melarikan diri dari pintu belakang !
Tinggalkan kami karena kalau kau berada di sini, tentu kau akan ditangkap
pula !" Kedua mata Ong Lin Hwa menyinarkan cahaya berapi. "Tidak, gakhu (ayah mertua) !"
katanya nyaring dan tetap. "Mana bisa saja harus meninggalkan suamiku dikeroyok
orang " Maaf, kali ini saya terpaksa membandel !" Setelah berkata demikian, Lin
Hwa melompat keluar dengan pedang ditangannya.
Khu Liok menggelengkan kepala dan dengan bersedih ia menjatuhkan diri di atas
kursinya. "Thian (Tuhan) ....... lindungilah mereka dan biarkanlah hamba
menanggung semua akibat dari semua ini ......"
Koleksi Kang Zusi Isterinya lalu menubruknya sambil menangis. Semua pelayan juga menangis dan lari
ke sana ke mari dengan wajah pucat.
"Tiong-ji, larilah kau dengan isterimu, lekas.........! Larilah sebelum
terlambat.......!" Akan tetapi Khu Tiong dan isterinya mengamuk terus hingga akhirnya empat orang
perwira yang lain juga roboh dengan tubuh berlumur darah. Khu Tiong dan
isterinya yang gagah perkasa itu sebentar saja telah merobohkan ketujuh orang
pengeroyoknya. Khu Liok melangkah maju dan memegang tangan anaknya yang masih
berdiri memandang ke luar dengan pedang di tangan, seakan-akan hendak menanti
datangnya musuh-musuh baru.
"Khu Tiong ! Apakah kau tidak mau menurut perintah ayahmu ?" Khu Liok membentak
dengan suara keras dan marah.
Khu Tiong membalikkan tubuh dan segera menjatuhkan diri berlutut di depan
ayahnya, "Ayah .....
bagaimana anak bisa pergi meninggalkan ayah menjadi kurban mereka ?"
"Anak bodoh ! Ayahmu sudah tua dan selain itu, aku mempunyai banyak sahabat di
kalangan atas. Namun, betapapun juga, kau lebih baik pergi menyelamatkan isteri dan...... dan
anakmu......" Menyebut tentang calon cucunya ini, hati Khu Liok merasa terharu
sekali. Telah berbulan-bulan ia mengharap-harapkan kehadiran cucunya, telah
rindu hatinya untuk merasai kehalusan kulit tubuh bayi yang menjadi cucunya dan
untuk menimang-nimang tubuh kecil munggil, menikmati tawanya yang bersih. Akan
tetapi, malapetaka datang menimpa dan agaknya tak mungkin ia akan dapat melihat
wajah cucunya. "Ayah...... tapi........ " Khu Tiong masih membantah.
"Cukup ! Lekas kau siapkan kuda dan bawa pergi isterimu, atau kau tunggu sampai
aku menjadi marah ?" bentak Khu Liok. Dengan hati sedih, terpaksa Khu Tiong lalu menyiapkan dua ekor kuda. Kemudian ia
dan isterinya menjatuhkan diri berlutut di depan Khu Liok suami isteri dan
menangis tersedu-sedu. Nyonya Khu Liok memeluk dan menciumi puteranya, sedangkan
Khu Liok hanya duduk sambil menghela napas.
"Sudahlah, kau pergilah, lekas !" katanya.
Tiba-tiba pelayan di luar berseru, "Celaka, Thai-ya......, sejumlah besar
perwira mendatangi lagi !"
Khu Liok cepat berdiri dan mendorong puteranya, Khu Tiong, lekas pergi dengan
isterimu, mau tunggu kapan lagi ?"
Khu Tiong dengan masih ragu-ragu dan sedih, terpaksa lalu memegang tangan
isterinya, keluar dari pintu belakang dan kemudian cepat naik dipunggung kuda
dan melarikan kuda itu cepat melalui jalan belakang.
Ketika mereka tiba di sebuah hutan yang berada di luar Kota raja sebelah utara,
tiba-tiba terdengar suara orang memanggil keras.
"Khu Tiong!!" Khu Tiong dan isterinya mengenali suara ini dan dengan girang mereka lalu
membelokkan kuda ke kiri dan menuju ke arah suara itu. Di bawah sekelompok
pohon, ternyata telah berdiri Ma Gi dengan tubuh penuh peluh dan muka pucat
sekali. Khu Tiong melompat turun dari kuda dan kedua orang sahabat itu segera
berpelukan dan Ma Gi bahkan mengalirkan air mata.
"Bagaimana keadaan keluargamu Ma Gi ?" tanya Khu Tiong penuh kekhawatiran,
sedangkan nyonya Khu melihat betapa sahabat suaminya itu mengucurkan air mata,
tak tertahan lagi ia pun ikut menangis.
"Celaka sekali, Khu Tiong....... celaka sekali.......... " Kemudian ia lalu
menceritakan peristiwa yang terjadi di rumah ayahnya.
Ternyata bahwa pada waktu yang sama, serombongan perwira lain telah menyerbu
rumah Ma Eng dengan maksud menangkap keluarga Ma. Seperti juga Khu Tiong, Ma Gi
yang gagah perkasa lalu Koleksi Kang Zusi
mengadakan perlawanan, akan tetapi oleh karena kebetulan sekali pada waktu
pertempuran terjadi, di depan rumahnya lewat pula serombongan perwira lain, maka
ia lalu dikeroyok oleh belasan orang perwira yang berkepandaian cukup tinggi. Ma
Gi mengamuk seperti harimau kelaparan dan berhasil merobohkan lima orang
perwira. Akan tetapi, jumlah pengeroyoknya banyak sekali dan beberapa orang
pelayan telah roboh di bawah tikaman pedang para perwira yang kejam itu. Ma Eng
berteriak-teriak minta supaya anaknya yang telah membunuh perwira-perwira itu
segera melarikan diri. Akhirnya Ma Gi tidak tahan lagi dan terpaksa melarikan


Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri meninggalkan ayah, ibu, serta isterinya.
Bukan main kaget dan sedihnya hati Khu Tiong mendengar ini dan ketika ia
menceritakan kepada Ma Gi tentang malapetaka yang menimpa keluarganya pula, Ma
Gi berulang-ulang menghela napas.
"Ini tentu ada hubungannya dengan tulisan ayah kita. Akan tetapi, siapa gerangan
yang membocorkan rahasia ini hingga Kaisar mendapat tahu"
Khu Tiong menggeleng kepala karena iapun merasa heran. Di antara semua orang,
yang tahu akan rahasia itu hanyalah Khu Liok, dan Ma Eng sendiri dan dia serta
Ma Gi. "Hanya kita berempat yang mengetahui hal ini, bahkan isteri-isteri kitapun tidak
tahu" katanya. "Boleh kau tanya isteriku ini, dia belum pernah kuberitahu
tentang hal itu" "Kau lupa !" kata Ma Gi. "Bukankah Pangeran Gu Mo Tek juga mengetahuinya ?"
Khu Tiong terkejut, akan tetapi ia lalu berkata dengan suara tetap, "Tak mungkin
dia mau membocorkan rahasia. Bukankah ia telah menjadi saudara angkat kedua ayah
kita ?" "Aku juga merasa ragu-ragu untuk menuduhnya, akan tetapi bagaimana mereka bisa
tahu ?" "Nanti saja kita selidiki hal ini. Paling perlu sekarang kita mencari tempat
persembunyian dulu" kata Khu Tiong.
"Lebih baik kita pergi bersembunyi di gedung keluarga Un di sebelah barat"
"Un Kong Sian ?" Khu Tiong berpikir sebentar. Memang Un Kong Sian adalah seorang
putera bangsawan yang telah menjadi sahabat karib mereka. Pemuda itu selain
menjadi sute (adik seperguruan) mereka dalam ilmu silat, juga terkenal baik dan
jujur. "Baiklah, selain Kong Sian sute, kurasa memang tidak ada lagi yang boleh
kita minta pertolongan"
Mereka lalu kembali ke kota dengan jalan memutar dan setelah hari menjadi gelap,
barulah mereka berani masuk kota raja dan menuju ke rumah Un Kong Sian.
Un Kong Sian adalah putera seorang congtok yang telah meninggal dunia dan hanya
hidup berdua dengan ibunya yang telah tua di dalam gedungnya yang besar. Ia
masih belum kawin walaupun telah ditunangkan dengan seorang puteri hartawan.
Ilmu silatnya lihai juga karena ia adalah murid seperguruan dengan Khu Tiong dan
Ma Gi, bahkan dalam hal ilmu menyambit dengan piauw, Kong Sian lihai sekali
hingga mendapat julukan Bu-eng-piauw atau piauw tanpa bayangan.
Ketika pemuda ini melihat kedatangan Khu Tiong, Lin Hwa, dan Ma Gi yang datangdatang memeluk dengan wajah pucat, ia menggeleng-geleng kepala.
"Jiwi suheng dan kau juga so-so (sebutan untuk isteri kakak), mari masuk saja ke
dalam" Setelah mereka berada di dalam kamar, Kong Sian lalu berkata dengan suara
perlahan, "Aku telah mendengar semua tentang malapetaka yang menimpa keluarga
kalian. Tadi, akupun telah mencari-carimu dan kebetulan sekali kalian datang ke
sini. Kalian dicari-cari oleh banyak sekali perwira dan kurasa hanya di sinilah
tempat yang sementara ini aman bagimu bertiga"
Khu Tiong dan Ma Gi mengucapkan terima kasihnya, kemudian setelah mereka
menuturkan pengalaman mereka yang membuat Un Kong Sian menghela napas berulangulang, pemuda itu lalu berkata,
"Jiwi suheng (kedua kakak seperguruan), kalian adalah orang-orang gagah yang
bersemangat dan berhati kuat. Maka sekarang kuatkanlah hatimu untuk mendengar
penuturanku" Kemudian pemuda itu Koleksi Kang Zusi
dengan suara perlahan dan hati-hati sekali menuturkan apa yang didengarnya
semenjak ketiga orang itu melarikan diri dari rumah. Ternyata bahwa karena marah
sekali melihat ketujuh orang perwira yang roboh ditangan Khu Tiong dan
isterinya, perwira-perwira yang baru datang lalu mengamuk, membunuh semua
pelayan dan hanya menangkap Khu Liok berdua isterinya. Sedangkan di rumah Ma Gi,
juga terjadi hal yang sama, bahkan lebih hebat lagi, karena nyonya Ma Eng
sendiri juga ikut binasa diujung senjata perwira-perwira kejam itu. Nyonya ini
ketika melihat betapa komandan perwira menarik-narik tangan nyonya Ma Gi mantu
perempuannya, dengan nekad lalu menubruk dan memukuli tangan komandan itu
sehingga komandan itu menjadi marah dan menendang dengan keras. Nyonya tua itu
roboh bergulingan dan kemudian ujung senjata perwira-perwira lain menamatkan
riwayatnya. Kemudian, setelah semua isi rumah habis binasa dan tidak ketinggalan pula
barang-barang berharga juga ikut lenyap, Ma Eng lalu ditawan dan nyonya Ma Gi
diseret pergi oleh komandan itu.
Khu Tiong dan Ma Gi berdiri dengan tubuh lurus dan urat-urat menegang, sepasang
mata bersinar bagaikan mengeluarkan api dan dari pelupuk mata mengalir dua butir
air mata, kedua tangan dikepalkan. Ong lin Hwa atau nyonya Khu Tiong, menangis
terisak-isak. "Keparat-keparat kejam ! Tunggulah pembalasanku" kata Khu Tiong sambil
mengacung-acungkan tinjunya.
"Akan kubasmi perwira-perwira itu!" berkata Ma Gi. "Akan kupenggal leher
komandan bangsat itu!!"
Kedua orang muda itu hendak segera pergi melakukan ancaman-ancaman mereka, akan
tetapi Kong Sian yang lebih sabar karena biarpun ikut berduka akan tetapi tidak
terkena langsung oleh malapetaka itu, berkata menghibur,
"Suheng berdua harap suka berpikir tenang. Soal pembalasan dendam ini mudah
dilakukan kelak, akan tetapi yang terpenting sekarang adalah usaha untuk
menolong orang tua jiwi suheng dan juga isteri Ma suheng"
Mendengar kata-kata ini, Khu Tiong dan Ma Gi tersadar dari keadaan mereka yang
dipengaruhi rasa marah luar biasa itu.
Malam itu gelap sekali dan di sekeliling tempat tahanan di mana Khu Liok,
isterinya, dan Ma Eng dikeram, dijaga keras oleh para perwira. Akan tetapi, dua
sosok bayangan hitam yang gerakannya gesit sekali, berhasil melewati penjagaan
dan melompat ke atas tembok tinggi yang mengelilingi tempat tahanan. Kemudian
dengan gerakan Naga Sakti Naik Mega, kedua sosok bayangan itu melayang naik ke
atas genteng rumah tahanan itu. Mereka ini adalah Khu Tiong dan Ma Gi yang
mendatangi tempat tahanan dan mencoba menolong orang tua mereka.
Setelah membongkar genteng, kedua orang muda itu melompat ke dalam rumah.
Seorang penjaga yang kebetulan masuk ke dalam ruang belakang hendak memeriksa
tawanan, tiba-tiba melihat mereka, akan tetapi sebelum ia sempat bergerak atau
berteriak, ujung pedang Ma Gi telah membungkam mulutnya dan ia mandi darah tanpa
dapat berkutik lagi. Khu Tiong dan Ma Gi lalu membongkar pintu dan masuk ke dalam kamar tahanan. Akan
tetapi, keduanya berdiri tak bergerak di ambang pintu ketika melihat pemandangan
yang berada di dalam kamar itu. Kedua orang tua Khu Tiong dan ayah Ma Gi nampak
duduk di dalam kamar itu, di atas lantai yang kotor dan menyandarkan tubuh di
dinding yang dingin, dan jelas sekali kelihatan betapa tubuh mereka telah
menjadi korban siksaan kejam.
Kedua orang muda itu menubruk maju sambil menangis, memeluk tubuh orang tua
mereka. Dan alangkah kagetnya ketika Khu Tiong melihat bahwa ibunya telah
meninggal dunia dalam keadaan duduk bersandar di dinding. Sedangkan ayahnya pun
pingsan tak sadarkan diri. Keadaaan Khu Liok sungguh mengerikan, kepalanya
bengkak-bengkak dan tubuhnya mendapat luka bekas cambukan sedemikan rupa
sehingga agaknya tak ada sepotong kulit tubuhnya yang masih utuh, napasnya
empas-empis hampir putus. Keadaan Ma Eng juga amat mengenaskan dan hampir sama
dengan keadaan Khu Liok, akan tetapi orang tua ini masih sadar dan ketika
melihat kedatangan Ma Gi dan Khu Tiong, ia lalu menggerakkan kedua tangannya.
"Ayah, mengapa kau sampai menjadi begini ?" tanya Ma Gi dengan air mata
bercucuran, "dan bagaimana pula dengan Kwei Lan ?"
"Isterimu....... ia dibawa oleh komandan keparat...... aku...... aku dan Khu
Liok....... disiksa hebat.......
takkan tahan hidup lebih lama lagi........."
Koleksi Kang Zusi "Ayah........" "Ma-pekhu........ " kata Khu Tiong dan mendekati orang tua itu. "Siapakah yang
mengkhianati kita " Siapa.........?""
Dengan kuatkan tubuhdan mengumpulkan seluruh tenaga terakhir, Ma Eng menjawab,
"Gu...... Gu Mo.... Tek.......!" Kemudian kepalanya lemas dan napasnya berhenti.
"Ayah.......!" Ma Gi berseru sambil memeluk tubuh yang lemas dan tak bernyawa
pula itu. "Gu Mo Tek ! Bangsat Pengkhianat rendah !" Khu Tiong menggertak gigi dengan
marah sekali. Dan ketika ia mendekati ayahnya, ternyata bahwa ayahnya pun telah
melepaskan napas terakhir.
Kedua orang muda itu saling pandang, kemudian saling pelukan dengan tangisan
menyesak di dada. "Ma Gi kita harus membalas dendam sekarang juga !"
"Baik suheng, akupun rela mengorbankan jiwa untuk membuat pembalasan dendam
kepada keparat Gu Mo Tek itu !" jawab Ma Gi dengan mata berapi-api. Setelah
beberapa lama memeluki dan menangisi mayat-mayat orang tua mereka, kedua orang
muda ini lalu melompat ke atas genteng lagi. Hati mereka panas dan penuh dengan
rasa sakit hati. Dari tempat itu, mereka menempuh malam gelap dan mendatangi
gedung keluarga pangeran Gu Mo Tek. Setelah mereka pergi, barulah para penjaga
mendapatkan mayat penjaga yang tewas oleh pedang Ma Gi sehingga mereka menjadi
ribut. Beberapa orang perwira melakukan pengejaran dan beberapa orang lagi
memberi laporan kepada markas besar.
Bagian 02. Penyelamat Keturunan Khu dan Ma
Memang benar sebagaimana dikatakan oleh Ma Eng sebelum orang tua ini
menghembuskan napas terakhir. Kedua orang sastrawan ini telah dikhianati oleh
pangeran Gu Mo Tek yang melakukan hal ini terdorong oleh keinginannya
menempatkan putera-puteranya ke dalam kedudukan tinggi. Ia melihat betapa kedua
orang puteranya, yakni Gu Keng Siu dan Gu Leng Siu, tak dapat merebut kedudukan
tinggi oleh karena kedua anak muda ini biarpun semenjak kecil telah dilatih
dengan ilmu kepandaian sastra, akan tetapi ternyata tidak bisa maju dan lebih
senang belajar silat. Maka ketika ia melihat betapa Kaisar dan para pembesar
tinggi menjadi gempar karena hasil tulisan kedua saudara angkatnya, ia lalu
menggunakan kesempatan ini untuk mencarikan kedudukan tinggi bagi kedua
puteranya dengan mengkhianati Khu Liok dan Ma Eng, kedua saudara angkatnya yang
amat dikaguminya itu. Sebetulnya ia mengagumi Khu Liok dan Ma Eng hanya dalam
bidang kesusastraan dan ketika kedua orang saudara angkat itu menulis karangan
yang menyinggung dan memburukkan pemerintah, ia tidak setuju, karena betapa pun
juga, darah bangsawan masih mengalir tebal dalam tubuhnya.
Akan tetapi, setelah ia melakukan pengkhianatan dan mendengar betapa kedua
saudara angkatnya itu ditawan dan keluarganya dibasmi, ia merasa berduka dan
menyesal sekali. Semenjak siang hari tadi ia duduk saja di dalam kamarnya sambil
menyesali akibat perbuatannya sendiri. Ia diam-diam merasa menyesal sekali
mengapa para perwira itu melakukan penumpasan yang demikian kejamnya.
Gu Keng Siu dan Gu Leng Siu yang berdiam di kamar masing-masing beserta isteri
masing-masing, hanya menganggap bahwa ayah mereka berduka mendengar berita
tentang malapetaka yang menimpa keluarga Khu Liok dan Ma Eng dan mereka inipun
bersama semua keluarga merasa sedih. Tak seorang pun di antara mereka ini tahu
bahwa Gu Mo Tek telah melakukan pengkhianatan dan menjadi biang keladi dari pada
semua malapetaka itu. Pada malam hari itu, ketika Gu Mo Tek sedang duduk seorang diri di dalam kamar
buku, tiba-tiba dari jendela menyambar masuk dua orang muda dengan pedang di
tangan. Gu Mo Tek terkejut dan berdiri dari tempat duduknya dan ketika melihat
bahwa yang datang itu adalah Ma Gi dan Khu Tiong yang memandangnya dengan sinar
mata menyatakan kemarahan dan kebencian besar, ia menjadi ketakutan dan merasa
ngeri. Koleksi Kang Zusi "Eh, Khu Tiong dan Ma Gi, kalian dari manakah dan....... dan mengapa datang ke
sini dalam keadaan demikian ini ?"
"Bangsat tua berhati busuk !" Khu Tiong memaki marah.
"Keparat besar, kau telah mengkhianati orang-orang tua kami dan masih berpurapura bertanya lagi ?"
berkata Ma Gi sambil melangkah maju dengan pedang ditangan.
Gu Mo Tek mundur ketakutan dan dengan wajah pucat ia bertanya,
"Apa...... apa maksudmu ......?"
"Anjing rendah ! Kau telah mengkhianati orang tua kami sehingga seluruh keluarga
kami mati dalam tanganmu yang berdarah !" kata Khu Tiong sambil melangkah maju
juga. "Mati....... mereka telah mati...... ?" Gu Mo Tek menggunakan kedua tangannya
menutup muka dengan perasaan ngeri dan menyesal.
"Dan kau harus mampus juga agar kau dapat menghadapi orang-orang tua kami di
alam baka untuk minta ampun !" kata Ma Gi. Secepat kilat pedang ditangan Ma Gi
dan Khu Tiong bekerja dalam saat yang sama sehingga dua batang pedang menembus
dada pangeran tua itu di kanan kiri. Ketika kedua orang muda itu mencabut
senjata, tubuh Gu Mo Tek terhuyung-huyung dan roboh mandi darah.
"Apa yang telah terjadi ?" tiba-tiba terdengar suara orang membentak dan pintu
kamar itu terbuka keras. Gu Seng Kiu dan Gu Leng Siu melompat masuk dengan senjata golok di tangan.
Melihat Khu Tiong dan Ma Gi berdiri disitu dengan pedang berlumur darah dan ayah
mereka rebah mandi darah di atas lantai, kedua putera pangeran ini menjadi
terkejut sekali. "Khu Tiong dan Ma Gi ! Apakah kalian telah menjadi gila " Kalian apakan ayah
kami ?" teriak mereka.
"Keng Siu dan Leng Siu ! Mungkin sekali kalian berdua tidak tahu apa yang telah
terjadi. Ayahmu telah mengkhianati ayah kami hingga kebinasaan kami boleh dikata
adalah hasil perbuatan ayahmu yang durhaka !"
"Gila !" teriak Keng Siu dengan suara gemetar. "Semenjak siang tadi ayah
menyedihkan malapetaka yang menimpa keluarga kalian, dan sekarang kalian datang
membunuhnya" "Menyedihi kami " Ha, ha, ha ! Bahkan terhadap putera-putera sendiri keparat ini
masih main rahasia. Ayahmu telah melaporkan kepada yang berwajib tentang tulisan ayah kami itu. Dia
telah membunuh keluarga kami, maka sekarang kami datang membalas dendam. Kalau
kalian merasa penasaran, kalian boleh berbuat sesukamu !" kata Khu Tiong menahan
marahnya. "Bangsat berhati kejam ! Kami tidak tahu tentang urusan yang kau sebutkan tadi,
akan tetapi, jangan mengagulkan kepandaian sendiri ! Hutang jiwa harus dibayar
jiwa !" teriak Keng Siu sambil melompat maju dan memutar goloknya.
"Majulah !" Ma Gi menantang dan di dalam kamar buku di mana mayat pangeran Gu Mo
Tek masih rebah itu, terjadilah pertempuran sengit antara Keng Siu melawan Khu
Tiong dan Leng Siu melawan Ma Gi.
Suara ribut-ribut ini terdengar oleh para pelayan dan beberapa orang penjaga
segera menyerbu dengan senjata di tangan, mengeroyok Khu Tiong dan Ma Gi.
Sebagian pula lalu lari melaporkan kepada markas besar penjaga di kota raja.
Biarpun Keng Siu dan Leng Siu suka akan ilmu silat, akan tetapi mereka hanya
belajar dari guru-guru silat biasa saja, maka mana mereka dapat melawan Khu
Tiong dan Ma Gi yang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi " Juga keroyokan
beberapa orang pelayan itu tidak ada artinya bagi kedua orang pemuda yang gagah
itu hingga beberapa belas jurus saja, Keng Siu telah tertusuk oleh pedang Khu
Tiong sehingga roboh binasa sedangkan Leng Siu telah terbacok lehernya oleh
pedang Ma Gi sehingga hampir putus.
Koleksi Kang Zusi Tiba-tiba dari luar gedung pangeran Gu ini terdengar suara orang berseru-seru
keras. Ternyata para perwira yang mendapat kabar bahwa dua orang putera
sastrawan yang ditangkap itu mengamuk di gedung pangeran Gu Mo Tek, segera
datang mengurung gedung itu.
"Sute, mari kita pergi !" kata Khu Tiong yang mendahului adik seperguruannya
melompat keluar dari kamar itu dan berlari melalui pintu belakang. Beberapa
orang perwira yang sudah menjaga lalu menyerbu mereka, akan tetapi dengan mudah
Khu Tiong dan Ma Gi merobohkan dua orang dan mereka segera melompat naik ke atas
genteng. Di antara perwira-perwira itu, banyak yang memiliki ilmu silat tinggi,
sehingga ketika melihat bahwa dua orang muda yang mereka kejar-kejar telah
melompat ke atas genteng, mereka ini lalu melompat pula menyusul.
Terjadilah pertempuran hebat lagi di atas genteng, di mana Khu Tiong dan Ma Gi
dikeroyok oleh beberapa orang perwira. Kedua orang muda ini mengamuk hebat
hingga tak sedikit yang roboh diujung pedang mereka, akan tetapi jumlah
pengeroyok amat banyak dan boleh dibilang jatuh satu datang dua dan roboh dua
datang empat, hingga akhirnya kedua orang muda itupun mendapat luka-luka di
tubuh dan mengeluarkan banyak darah. Akan tetapi, dengan pedang yang dimainkan
secara kuat dan hebat dalam ilmu pedang asli dari Kun-lun-pai, kedua anak murid
Kun-lun-san ini masih dapat mempertahankan diri. Namun, mereka menjadi lelah
menghadapi banyak lawan itu dan terpaksa mereka lalu membuka jalan darah dan
melarikan diri dari situ dengan cepat.
Para anggota penjaga yang dipimpin oleh perwira-perwira kerajaan segera
melakukan pengejaran, akan tetapi oleh karena malam masih gelap, Khu Tiong dan
Ma Gi dapat menyelamatkan diri, walaupun musuh masih terus mengejar dan mencaricari. Menjelang fajar, ketika kedua orang muda ini berlari dan tidak berani menuju ke


Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah Un Kong Sian, kuatir kalau-kalau akan merembet pemuda yang baik hati itu.
Tak disangkanya, tiba-tiba pemuda itu muncul dan memberi isyarat dengan tangan
agar mereka berdua suka ikut dengannya. Tanpa bertanya, Khu Tiong dan Ma Gi lalu
berlari mengikuti Un Kong Sian yang membawa mereka keluar kota raja melalui
tempat yang penjagaannya tidak begitu keras.
Setelah berlari cepat kira-kira sepuluh li jauhnya dari kota raja, Un Kong Sian
membelok ke dalam sebuah hutan kecil dan di situ ternyata telah menanti Ong Lin
Hwa, isteri Khu Tiong, di atas seekor kuda dan telah disediakan dua ekor kuda
lain untuk mereka. "Cepat ! Larilah kalian, jiwi suheng, aku telah mendengar semua tentang
pembalasan dendammu !"
"Sute, kau baik sekali. Terima kasih banyak" berkata Khu Tiong.
"Cepat, mereka telah datang !" kata Un Kong Sian kuatir dan benar saja, dari
arah kota raja telah mendatangi banyak sekali kuda yang mengejar mereka. Agaknya
para penjaga telah tahu bahwa orang-orang buruan mereka telah dapat melarikan
diri keluar dari kota, maka mereka lalu mengejar cepat.
"Baiklah, sute, selamat tinggal" kata Ma Gi. Akan tetapi, ketika mereka hendak
berangkat, tiba-tiba dari arah depan datang pula serombongan tentara negeri yang
mengurung mereka. "Celaka, kita terkurung" bisik Un Kong Sian dengan pucat. "Khu-suheng, lekas kau
bawa soso lari, biar aku dan Ma-suheng mempertahankan diri di sini !"
"Tidak, sute !" kata Khu Tiong dengan tetap. "Kami tak dapat membiarkan kau
terbawa-bawa dalam urusan kami. Kau saja pergilah cepat-cepat !"
"Khu-suheng, dalam keadaan dan waktu seperti ini, mengapa kita harus berlaku
sungkan-sungkan" Pergilah kau bersama soso !" Kong Sian mendesak dan pada saat itu, berpuluh
batang anak panah menyambar ke arah mereka hingga mereka bertiga, juga Lin Hwa
yang memegang pedang, memutar senjata untuk menyampok semua anak panah yang
menyambar ke arah mereka.
"Kau saja yang pergi, sosomu juga dapat menjaga diri, dan biarkan kami bertiga
mempertahankan diri !"
Khu Tiong berkeras dan Ma Gi juga mendesaknya,
"Un-sute, kau telah menolong kami dan tidak seharusnya kau berkorban jiwa pula.
Kau masih muda dan kau tidak mempunyai hubungan dengan urusan kami ini. Kau
pergilah dan tinggalkan kami bertiga mempertahankan diri dan biarlah kami
bertiga mati secara orang-orang gagah !"
Koleksi Kang Zusi Un Kong Sian membanting kakinya dengan gemas dan pemuda yang tampan dan gagah
ini merasa bingung sekali.
"Ah, jiwi suheng benar-benar kepala batu dan keras hati" katanya gemas. "Apakah
artinya mati bagiku "
Apakah artinya mati membela saudara " Lebih baik kalian mengingat akan nasib
soso ini, terutama nasib anak yang dikandungnya ! Kalau kita semua mati, habis
siapakah yang akan membalaskan dendam kelak ?"
Pucatlah wajah Khu Tiong dan Ma Gi karena ucapan ini menikam betul hati dan
perasaan mereka. "Dia betul suheng !" kata Ma Gi. "Kau lekaslah lari bersama soso !" Khu Tiong
terpaksa lalu melompat naik ke atas kuda, lalu ia berpaling memandang Kong Sian
dan Ma Gi dengan kedua mata basah air mata.
"Sampai mati aku takkan melupakan kalian" Ong Lin Hwa telah mendahului dan
melarikan kudanya, akan tetapi Khu Tiong masih ragu-ragu dan beberapa kali ia
berpaling memandang kedua saudara seperguruan itu. Keraguannya inilah yang
mencelakakannya, karena tiba-tiba ia menjerit keras dan roboh dari kudanya. Lin
Hwa mendengar jerit suaminya lalu melompat turun dari kuda dan berlari
menghampiri. Ia memeluk suaminya yang ternyata terkena anak panah pada dada
kanannya. Kong Sian dan Ma Gi juga berlari menghampiri dan pada saat itu kurungan para
tentara kerajaan telah makin merapat dan mendekat. Ma Gi tidak mau membuang
waktu lagi. "Khu-soso, lekaslah kau pergi, tinggalkan kami di sini. Sekarang bukan waktunya
ragu-ragu dan berlaku lambat. Musuh telah dekat !"
Akan tetapi, sambil mengeluh sedih nyonya Khu bahkan lalu menjadi lemas dan
roboh pingsan di samping suaminya.
"Celaka !" kata Ma Gi dengan bingung. "Sute, lekas kau pondong tubuh sosomu dan
bawa dia lari cepat keluar dari kepungan ini !"
Un Kong Sian adalah seorang pemuda yang dapat berpikir cepat dan mengambil
tindakan tepat pada waktunya. "Baik, Ma suheng, dan ......mudah-mudahan kau dan
Khu suheng dapat keluar dari sini dengan selamat !" Pemuda itu lalu memondong
tubuh Lin Hwa yang pingsan dan secepatnya ia melompat ke atas kuda yang terbaik,
lalu melarikan kuda itu bagaikan terbang cepatnya dari hutan itu.
Beberapa batang anak panah menyambarnya, akan tetapi dengan pedang di tangan
kanan, Kong Sian dapat memukul jatuh semua anak panah itu dan melarikan kudanya
makin cepat lagi. Ma Gi membungkuk dan memeriksa keadaan Khu Tiong. Orang gagah itu mengeluh dan
bergerak, membuka matanya, lalu bangun duduk.
"Isterimu telah pingsan dan ditolong oleh Un sute, sudah melarikan diri" bisik
Ma Gi. Dan pada saat itu terdengar sorakan riuh. Beberapa orang perwira telah
datang menyerbu dengan senjata di tangan.
Terpaksa Ma Gi meninggalkan Khu Tiong untuk melompat dan menyambut musuh-musuh
itu dengan pedangnya. Khu Tiong biarpun telah mendapat luka parah dan anak panah
masih menancap di dadanya, lalu mencabut pedang pula dan melompat dengan
garangnya. Ma Gi sendiri merasa kagum melihat sepak terjang Khu Tiong yang
mengamuk hebat dan tiap lawan yang menghadapinya tentu roboh kena tusuk atau
sabetan pedangnya. Kedua orang ini mengamuk hebat sekali hingga mayat musuh
bergelimpangan di atas tanah, akan tetapi oleh karena malam tadi mereka telah
mengalami pertempuran dan dikeroyok hingga mendapat luka dan telah lelah sekali,
apalagi karena Khu Tiong telah menderita luka parah, maka mereka tak dapat
mempertahankan diri lebih lama lagi dan beberapa buah senjata menghancurkan
tubuh Khu Tiong dan Ma Gi yang gagah perkasa itu, Mereka telah melakukan
perlawanan sebagai orang-orang gagah dan mati di bawah tikaman belasan buah
senjata tajam hingga tubuh mereka menjadi tidak karuan lagi rupanya.
Setelah puas membalas sakit hati atas kematian kawan-kawannya dn menghujani
tubuh kedua orang muda yang gagah itu dengan senjata mereka, para perwira dan
tentara kerajaaan lalu mengejar terus karena mereka tadi juga melihat bahwa
isteri Khu Tiong telah dapat melarikan diri. Beberapa orang di antara mereka
lalu mengangkut pergi mayat kawan-kawannya dan menolong yang terluka, sedangkan
mayat Khu Tiong dan Ma Gi yang sudah tidak karuan macamnya itu dibiarkan
menggeletak begitu saja di dalam hutan itu. Tak seorang pun tahu betapa pada
senja hari itu, dua orang penggembala kerbau yang menghalau kerbau mereka dan
lewat di tempat itu, merasa terkejut sekali melihat mayat dua Koleksi Kang Zusi
orang yang tak dikenalnya, akan tetapi dengan penuh hormat kedua anak
penggembala itu lalu menggunakan golok pembabat rumput untuk menggali dua buah
lobang di tanah dan mengubur kedua jenazah tadi.
****** Kita mengikuti pengalaman Yo Kwei Lan, nyonya Ma Gi yang dibawa pergi oleh
komandan perwira ketika terjadi penyerbuan di rumah sastrawan Ma Eng.
Komandan itu adalah seorang muda bernama Gak Song Ki, seorang gagah perkasa yang
memiliki ilmu silat tinggi, karena dia adalah murid Cin Sam Cu, tokoh besar dari
Gobi-san. Ketika memimpin penyerbuan di rumah sastrawan Ma Eng dan melihat
nyonya Ma Gi yang cantik jelita dan sedang hamil tua itu, timbul hati kasihan
padanya dan sebelum nyonya itu menjadi korban senjata anak buahnya, ia lalu
menyeret Yo Kwei Lan. Ketika nyonya Ma Eng yang hendak menolong mantunya itu
dengan nekad menyerbu, ia lalu menendang nyonya tua itu yang akhirnya mati di
bawah pukulan senjata para tentara yang kejam. Kwei Lan menjerit-jerit, akan
tetapi dengan totokan pada jalan darah di lehernya, Gak Song Ki berhasil membuat
Kwei Lan diam tak dapat mengeluarkan suara pula. Kemudian komandan itu lalu
menaikkan Kwei Lan ke atas kudanya dan membawanya lari dari situ.
Kwei Lan merasa sedih dan bingung sehingga akhirnya ia jatuh pingsan di atas
kuda, tidak tahu dibawa kemana oleh komandan itu. Ketika Kwei Lan membuka
matanya, ia mendapatkan dirinya berada dalam sebuah kamar yang indah sekali dan
seorang wanita tua sedang duduk menjaganya.
"Di mana aku.......... " Mana suamiku......." Mana ayah ibu.......?" Kwei Lan
berbisik perlahan dan ia bangun duduk dengan bingung.
Wanita tua itu dengan lemah lembut lalu menyuruhnya berbaring kembali dan
berkata dengan halus, "Kau tidurlah saja, nak dan jangan banyak bergerak. Kau berada di rumahku, di
rumah anakku dan jangan kau kuatirkan sesuatu"
Kwei Lan teringat akan semua yang telah terjadi dan ia menangis tersedu-sedu
sambil menjatuhkan diri di atas bantal yang empuk.
"Siapakah kau " Dan siapakah anakmu itu " Ke mana perginya komandan keparat tadi
?" "Tenanglah, nak. Dan jangan kau salah paham. Komandan itu adalah putera
tunggalku dan aku adalah ibunya. Ia merasa kasihan kepadamu dan sengaja
menolongmu dari bahaya maut."
"Apa " Ia menolongku " Bangsat rendah ! Dialah yang mengepalai setan-setan itu
membinasakan keluargaku," teriak Kwei Lan dengan marah dan bangkit duduk lagi.
Nyonya itu tersenyum sabar. "Kau masih bingung dan sedih. Sudahlah, jangan kau
bersedih dan ingat kepada kandunganmu. Puteraku hanya menjalankan tugas
kewajibannya saja dan betul-betul karena kasihan kepadamu maka kau dapat dibawa
ke sini dan terlepas dari bahaya maut."
Kemudian dengan suara halus nyonya janda Gak ini menuturkan betapa puteranya
merasa kasihan kepada Kwei Lan dan menawannya agar jangan sampai terjatuh dalam
tangan para anak buahnya yang tentu akan membunuhnya pula. Dengan tangis
memilukan, Kwei Lan mendengarkan ini semua dan ia menaruh kepercayaan,
sungguhpun kesedihannya tidak berkurang karenanya. Ia hanya mengharapkan untuk
berjumpa kembali dengan suaminya selekasnya.
Ketika Gak Song Ki datang, pemuda ini disertai ibunya menengok keadaan Kwei Lan
dan sikapnya yang sopan dan halus membuat Kwei Lan tidak ragu-ragu lagi akan
maksud baik perwira ini. Akan tetapi, melihat pandangan mata pemuda tampan itu
mengandung perasaan hati yang mesra dan menyayang, timbul rasa malu yang besar
dalam hati nyonya muda itu dan hal ini memperbesar pengharapannya untuk dapat
segera bertemu kembali dengan suaminya dan selekasnya meninggalkan rumah gedung
mewah dan indah ini. "Toanio, harap kau tenang-tenang saja tinggal di rumah kami ini dan anggaplah
rumah ini seperti rumahmu sendiri. Kami takkan mengganggumu, dan kalau boleh
anggap saja kami sebagai keluarga sendiri," kata Gak Song Ki dengan ramah tamah
hingga tentu saja Kwei Lan merasa makin malu dan Koleksi Kang Zusi
sungkan, karena di dalam keramahan ini terkandung suara hati yang lebih mesra
daripada keramahan biasa.
"Ciangkun, di manakah ........suamiku " Kalau kau memang menaruh kasihan
kepadaku dan bermaksud menolongku, tak ada pertolongan yang lebih besar bagiku
selain apabila kau dapat mempertemukan kami kembali."
"Toanio, untuk apa kau memikirkan hal itu " Suamimu terbawa-bawa oleh urusan
mertuamu yang memberontak terhadap pemerintah, bahkan suamimu telah membunuh
banyak sekali perwira-perwira kerajaan. Kau sebagai seorang wanita janganlah
ikut-ikut memikirkan dan berdiamlah saja di sini dengan hati tentram."
Wajah Kwei Lan yang cantik jelita dan pucat itu makin memucat mendengar ucapan
ini dan hatinya berdebar-debar penuh kecemasan.
"Gak-ciangkun, katakanlah sebenarnya, bagaimana dengan suamiku " Bagaimana
nasibnya dan dimanakah dia berada ?"
Gak Song Ki menghela napas panjang berulang-ulang, dan ia nampak sukar sekali
untuk membuka mulutnya. Akhirnya, sambil memandang tajam dan dengan suara lirih
ia berkata, "Toanio, apakah yang harus ku katakan kepadamu " Suamimu bersama Khu
Tiong yang memberontak dan membunuh banyak sekali perwira itu telah terkurung di
hutan dan akhirnya mati terbunuh."
"Mati......?" lemaslah seluruh tubuh Kwei Lan. Pandangan matanya menjadi suram
dan tiba-tiba seluruh isi kamar itu seakan-akan berputaran di depan matanya.
Kemudian, dengan keluhan perlahan, nyonya muda ini terguling dari dari tempat
tempat duduknya tak sadarkan diri. Untung sekali Gak Song Ki berlaku cepat dan
memeluk tubuh itu sebelum Kwei Lan roboh dan kalau hal itu terjadi, akan
membahayakan keselamatan kandungannya. Dengan hati-hati dan penuh kasih sayang,
Gak Song Ki lalu membaringkan tubuh yang lemas itu ke atas tempat tidur.
Ketika Kwei Lan siuman kembali, ia mendapatkan dirinya sudah terbaring di atas
tempat tidur dan melihat bahwa pemuda perwira itu masih duduk di situ bersama
ibunya, menjaganya dengan wajah nampak beriba hati. Nyonya muda itu lalu
menangis sedih dan berkata dalam ratap hatinya,
"Suamiku telah binasa, demikian pula seluruh keluarga......apa artinya hidupku
lagi...." Lebih baik aku mati saja ......"
Setelah berkata demikian dan teringat akan keadaannya yang ditinggal seorang
diri oleh orang-orang yang dicintainya, tiba-tiba sinar mata Kwei Lan menjadi
beringas. Ia memandang kepada Gak Song Ki dan ibunya, lalu berkata dengan suara
ketus, "Kalian keluarlah dari kamar ini. Keluar !"
Nyonya tua ibu perwira itu, berdiri dan menhampiri serta membujuk, "Sabarlah,
nak dan jangan kau bersedih. Tak baik bagi kesehatanmu, terutama bagi
kandunganmu." "Sudahlah, tiada gunanya semua hiburan dan nasehat bagiku pada saat ini.
Pergilah, pergilah kalian berdua dan biarkan aku seorang diri dalam kamar ini !"
Kemudian ia menangis lagi terisak-isak.
Nyonya janda she Gak memandang kepada puteranya dan Gak Song Ki memberi tanda
dan mengajak ibunya keluar dari kamar itu. Setelah kedua orang itu pergi, Kwei
Lan lalu bergerak turun dari pembaringan dengan cepat dan matanya memandang ke
seluruh kamar, mencari-cari. Ia hendak mencari benda tajam, pisau atau gunting
untuk membunuh dirinya, akan tetapi di situ tidak terdapat sebuah pun benda
tajam. Ia lalu memandang ke atas, juga mencari-cari dengan maksud menggantung
diri. Akan tetapi, kembali ia kecewa karena rumah gedung itu mempunyai langitlangit yang tinggi sekali dan di situ tidak terlihat balok melintang yang cukup
rendah untuk digunakan sebagai tempat sabuknya mengikat lehernya bergantung.
Juga tempat tidur yang ditidurinya tadi mempunyai bentuk istimewa hingga tempat
kelambunya pun kecil dan tidak cukup kuat untuk menahan gantungan tubuhnya. Hal
ini membuat Kwei Lan menjadi bingung sekali dan akhirnya sambil memejamkan
matanya, nyonya muda yang sudah berputus asa dan nekad ini lalu mengayun tubuh
dan maju membenturkan kepalanya yang indah bentuknya itu kepada dinding di
depannya. Koleksi Kang Zusi Akan tetapi, kembali maksudnya gagal, Sebelum kepalanya pecah membentur dinding,
tubuhnya telah ditangkap dan dipeluk oleh Gak Song Ki yang sengaja berdiri
dibalik daun pintu. Karena pemuda ini telah merasa curiga dan sengaja mengintai
di situ. Kwei Lan meronta-ronta, akan tetapi ia tidak berdaya melepaskan diri
dari pelukan kedua lengan yang amat kuat itu, akhirnya ia menjadi lemas dan
menangis tersedu-sedu. "Toanio, mengapa kau mengambil keputusan pendek " Berdosa besar untuk membunuh
diri sendiri, seakan-akan kau tidak percaya kepada keadilan Thian lagi," pemuda
itu menghibur setelah meletakkan tubuh Kwei Lan dengan hati-hati di atas
pembaringan pula. "Keadilan Thian " Ah, kalau Thian adil tidak nanti menjatuhkan malapetaka atas
keluargaku ....... mana keadilan Thian ......?" Suaranya amat memilukan.
"Jangan berkata demikian, toanio. Keluargamu tertimpa malapetaka bukan tidak ada
sebabnya. Semua itu diakibatkan oleh kesalahan dan perbuatan mertuamu dan
sahabatnya orang she Khu itu. Sudahlah, toanio, kau ingatlah. Kalau kau membunuh
diri, bukankah berarti kau menjadi pembunuh anak yang kau kandung sendiri "
Dosamu makin besar lagi !"
Diingatkan akan hal ini, tangis Kwei Lan menjadi-jadi karena ia merasa terharu
dan sedih sekali. Gak Song Ki yang cerdik itu maklum bahwa kata-katanya mengenai
sasaran tepat, maka ia lalu menyambung pula,
"Apalagi membunuh diri, baru berduka saja kau telah mempengaruhi keadaan
kandunganmu dan kau telah berdosa terhadap calon anakmu. Karena Thian
menghendakinya dan kau telah berada seorang diri, hidup sebatang kara, maka
janganlah kau menampik uluran tangan kami yang bermaksud baik.
Anakmu yang akan terlahir di sini akan menjadi penghiburmu, maka jagalah dirimu
baik-baik, toanio. Kalau kau tidak kasihan kepada diri sendiri, sedikitnya, taruhlah hati kasihan
kepada anak yang kau kandung itu."
Sambil mengguguk-guguk menangis, Kwei Lan memandang wajah pemuda she Gak itu
dengan teraruh dan penuh pernyataan terima kasih, lalu ia berkata perlahan,
"Terima kasih ciangkun ....... terima kasih.
Hanya Thian yang akan membalas kebaikan budimu ini ....."
"Tak usah berterima kasih, toanio. Jaga dirimu baik-baik dan berlakulah seperti
keluarga kami sendiri. Rumah ini rumahmu juga dan segala macam keperluanmu, katakan saja kepada pelayan


Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atau kepada ibu, jangan kau berlaku sungkan-sungkan !" Dengan gembira dan hati
tetap Gak Song Ki mengundurkan diri, keluar dari kamar itu. Ia merasa lebih
gembira dari pada kalau pulang membawa kemenangan berperang. Kemenangan kali ini
membuat hatinya berdebar girang dan ia merasa bahagia sekali. Demikianlah
pengaruh hati yang terserang asmara.
Semenjak saat itu, benar saja Kwei Lan menghibur-hibur dirinya sendiri dan tiap
kali ia teringat akan kedukaan besar yang menimpa dirinya, ia lalu mengingat
kepada anak yang dikandungnya dan yang merupakan sumber kekuatan bagi jiwa
raganya. Apalagi sikap Gak Song Ki dan ibunya merupakan hiburan yang besar pula
hingga tak lama kemudian ia dapat tersenyum kembali hingga ibu Gak Song Ki
seringkali memandang wajah yang tersenyum itu dengan amat kagumnya karena memang
jarang ia melihat orang secantik Kwei Lan.
Bagian 03. Kuil Thian Lok Si
Un Kong Sian melarikan kudanya cepat sekali oleh karena ia maklum bahwa tak lama
lagi para perwira kerajaan tentu akan mengejar dan tak membiarkan seorang
keluarga dari Khu Liok yang dianggap pemberontak itu melarikan diri. Baiknya
semua pengejar belum melihat mukanya, karena kalau hal ini terjadi maka ia tak
dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengan ibunya yang berada di rumah
seorang diri pula. Ia tidak merasa kuatir akan keadaan ibunya sekarang, oleh karena ketika ayahnya
masih hidup, Un Congtok adalah seorang panglima yang disegani karena gagah
berani dan berjasa, sedangkan selain mempunyai rumah gedung sendiri, juga
keadaan nyonya janda Un cukup kaya.
Setelah melarikan kuda belasan li jauhnya, tiupan angin membuat Ong Lin Hwa
siuman kembali dari pingsannya, nyonya muda ini ketika merasa bahwa ia sedang
berada di atas kuda yang dilarikan keras, dipeluk oleh Un Kong sian segera
berseru, "Berhenti dulu !"
Koleksi Kang Zusi Un Kong Sian girang mendengar ini karena kalau nyonya ini tetap pingsan saja
maka sukar baginya untuk dapat bergerak leluasa dalam menghadapi musuh. Segera
ia menghentikan kudanya dan melompat turun. Juga Ong Lin Hwa melompat turun
dengan air mata membasahi kedua pipinya.
"Un-te, bagaimana dengan suamiku ?" tanya nyonya ini dengan suara tetap, oleh
karena sebagai seorang berkepandaian tinggi dan bersemangat gagah, nyonya muda
ini tidak lemah hatinya. "Khu-soso, ketika siauwte membawa lari soso, Khu suheng kulihat berdiri lagi dan
mengamuk dengan pedang di tangan, bersama Ma suheng. Mereka berdua itu gagah
sekali, soso. Sebetulnya siauwte merasa iri kepada mereka dan menghendaki agar
kau dapat pergi berdua dengan suamimu biar aku dan Ma suheng yang melayani
musuh. Akan tetapi, apa mau dikata .........."
Ong Lin Hwa menghela napas panjang, "Tuhan menghendaki demikian, Un-te (adik
Un), dan aku tahu akan kebaikan hatimu. Namun, biar pun bagaimana juga,
kegagahan suamiku dan Ma-te yang gugur dengan pedang di tangan dan anak panah di
tubuh, banyak mengurangi kedukaanku. Kalau sampai suamiku tewas, biar kudidik
calon anak yang masih kukandung ini untuk menjadi seorang gagah perkasa agar ia
dapat membalaskan dendam ayahnya dan membunuh semua perwira kerajaan yang
berhati buruk dan kejam." Sambil berkata demikian, nyonya yang gagah itu berdiri
sambil mengepalkan tinjunya dan kedua matanya yang jeli dan bagus itu berapiapi. Di dalam hatinya, Un Kong Sian tidak setuju dengan maksud Lin Hwa yang hendak
memusuhi semua perwira kerajaaan, karena ia maklum bahwa tidak semua perwira
kerajaan berhati kejam dan jahat belaka, akan tetapi oleh karena ia tahu pula
akan kedukaan wanita muda ini, maka tak baik untuk membantahnya disaat itu.
"Khu-soso, lebih baik kita cepat melakukan perjalanan karena aku kuatir kalaukalau mereka akan mengejar ke sini. Biarpun mereka tertinggal jauh, namun kuda
mereka lebih cepat larinya dan di antara mereka banyak terdapat orang-orang
gagah yang sukar dilawan!"
"Aku tidak takut ! Biar aku mati diujung senjata mereka, aku tidak takut dan
akan membasmi sebanyak mungkin perajurit kerajaan yang keparat itu !"
"Aku tahu, soso, tentu saja kau atau aku tidak takut mati di ujung senjata
mereka, akan tetapi kalau kita melawan begitu saja hingga akhirnya kita berdua
mati, bagaimana dengan cita-citamu yang tadi kau ucapkan " Apakah anak
dikandunganmu itupun tidak akan ikut binasa ?"
Pucatlah wajah Ong Lin Hwa mendengar ini, ia memandang ke arah kuda mereka dan
berkata, "Kau benar, Un-te. Mari kita pergi cepat-cepat. Akan tetapi, kuda hanya
ada seekor saja." "Tidak apa-apa, soso. Kau sajalah naik kuda, aku akan mengejar dari belakang!"
Ong Lin Hwa belum tahu betul sampai di mana ketinggian ilmu kepandaian pemuda
ini yang sebetulnya tidak kalah dari suaminya sendiri, maka wanita muda ini
meragukannya. Biarpun ia sendiri memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi,
namun apabila dibandingkan dengan suaminya atau dengan Un Kong Sian, ia masih
kalah jauh. Lin Hwa lalu naik di punggung kudanya dan melarikan kuda itu. Un Kong Sian lalu
mengeluarkan ilmu kepandaian berlari cepat, sehingga cepat sekali ia melompat ke
depan dan mengejar larinya kuda.
Ketika sudah melarikan kudanya untuk beberapa lama, Lin Hwa menengok dan
alangkah heran dan kagumnya ketika melihat bahwa pemuda itu berlari cepat sekali
di belakang kuda, nampaknya tidak sangat sukar untuk membarengi larinya kuda
yang ditungganginya. Beberapa lama mereka berlari dan tiba-tiba mereka mendengar suara banyak kaki
kuda mengejar dari belakang.
"Benar saja, soso, mereka telah mengejar dari belakang, agaknya mereka telah
mendapatkan jejak kita," kata Un Kong Sian yang mempercepat larinya sehingga
dapat berlari di samping kuda itu.
"Habis, bagaimana baiknya, Un-te ?" jawab Lin Hwa dengan khawatir.
"Mari kita menuju kesana, soso, ke rimba itu !" Mereka lalu melarikan diri ke
dalam hutan di sebelah kira jalan, Un Kong Sian minta supaya Lin Hwa turun dari
kuda, kemudian mencambuk kuda itu sehingga berlari terus dengan cepat karena
merasa sakit punggungnya dicambuk oleh pemuda itu. Sementara itu, Kong Sian lalu
mengajak Lin Hwa berlari cepat dan bersembunyi di dalam rimba.
Tak lama kemudian, serombongan tentara pengejar yang dikepalai oleh seorang
perwira tua mendatangi dari belakang.
"Hm, Can-ciangkun sendiri yang melakukan pengejaran," kata Un Kong Sian
terkejut. Juga Lin Hwa terkejut karena pernah mendengar nama ini sebagai seorang
perwira yang berilmu tinggi dan gagah sekali. Can-ciangkun yang mengejar ini
adalah seorang perwira berpangkat congtok dan yang telah menjadi panglima perang
karena kegagahannya. Ia ahli bermain silat dengan tombak bercagak dan biarpun
usianya telah lebih dari empat puluh tahun, namun tenaganya masih besar dan
lihai. Ketika rombongan itu lewat di dekat rimba, mereka tidak berhenti dan mengejar
terus, karena kuda yang tadi ditunggangi Lin Hwa masih berlari terus dan
terdengar suara kakinya dari situ. Un Kong Sian dan Lin Hwa yang bersembunyi di
dalam rumpun alang-alang dan mengintai keluar, merasa lega melihat rombongan
yang terdiri lebih dari dua puluh orang itu melewat dengan cepat tanpa menyangka
bahwa orang-orang yang mereka kejar berada di dalam rimba itu.
"Mari, soso, kalau kuda kita tersusul, mereka mungkin akan kembali dan mencari
di sini !" kata Un Kong Sian yang biarpun masih muda, namun pemandangannya luas
dan pikirannya cerdas. Lin Hwa menurut saja, karena selain kalah pengalaman,
nyonya muda inipun lebih muda usianya dari pada Un Kong Sian hingga biarpun
pemuda ini menjadi adik seperguruan suaminya dan ia menyebutnya Un-te (adik Un),
namun ia tidak merasa lebih tua atau lebih pandai. Apalagi ketika tadi ia
menyaksikan betapa cepat lari pemuda ini hingga dapat diduga bahwa ilmu
kepandaian pemuda inipun tentu jauh lebih tinggi dari pada Koleksi Kang Zusi
kepandaiannya sendiri. "Nanti dulu, Un-te. Kita telan ini dulu agar kelelahan kita berkurang," kata Lin
Hwa sambil mengeluarkan beberapa butir pel merah dari saku bajunya.
Kong Sian maklum bahwa nyonya ini adalah seorang puteri tukang obat yang ternama
sekali ketika masih hidup, maka tentu saja Lin Hwa juga ahli dalam hal
pengobatan. Akan tetapi karena melihat bahwa pel yang dibawa oleh Lin Hwa itu
tidak banyak, maka ia berkata, "Perlu sekali bagimu, soso, akan tetapi aku
sendiri belum lelah. Jangan kita pergunakan benda berharga ini dengan sia-sia."
Lin Hwa mengangguk, dan setelah menelan dua butir pel merah itu yang amat perlu
bagi tubuhnya, mereka berdua lalu berlari cepat ke dalam hutan. Dapat
dibayangkan betapa sengsara keadaan mereka berdua ini, apalagi karena kandungan
Lin Hwa sudah delapan bulan sehingga tak dapat diduga berapa hari atau berapa
pekan lagi ia akan melahirkan. Hutan itu liar dan penuh jurang-jurang curam
sehingga perjalanan itu sungguh-sungguh sukar dan melelahkan. Terpaksa Kong Sian
mengajak Lin Hwa berkali-kali mengaso untuk menjaga agar supaya nyonya muda itu
tidak terlampau lelah. Lin Hwa maklum akan hal ini dan ia makin berterima kasih
kepada pemuda yang selain gagah, juga baik hati dan bijaksana sekali itu.
Malam itu mereka terpaksa bermalam di dalam hutan yang gelap dan dengan cekatan
sekali Kong Sian melompat kepohon-pohon untuk mencari buah-buahan yang enak
dimakan. Mereka tidak berani menyalakan api karena takut kalau-kalau ada
pengejar yang berada di dalam hutan itu, sehingga mereka harus menderita dari
serangan beratus nyamuk yang kecil-kecil akan tetapi amat jahat dan gigitannya
panas. Kong Sian mempergunakan mantelnya untuk diobat-abitkan mengusir nyamuknyamuk itu. "Un-te, percuma saja kalau diusir dengan cara demikian. Kau carilah air sebelum
keadaan terlalu gelap, kata Lin Hwa. Un Kong Sian lalu pergi mencari air dan
akhirnya ia mendapatkan anak sungai mengalir di dalam rimba itu. Ia
mempergunakan daun-daun yang lebar untuk membawa air itu dan memberikannya
kepada Lin Hwa yang mengeluarkan sebungkus bubuk obat putih.
"Ini adalah bubuk penolak racun dan selalu kubawa untuk menjaga senjata beracun
atau gigitan binatang berbisa," katanya.
Kemudian Lin Hwa mencampur obat bubuk itu dengan air lalu membalurkan obat itu
keseluruh kulit tubuh yang tidak tertutup pakaian seperti muka, tangan dan kaki.
Kong Sian tidak berani melukai perasaan Lin Hwa, juga meniru perbuatan nyonya
muda itu dengan merasa tidak enak sekali karena pada pikirnya sungguh gila harus
memarami tubuh dengan air pada saat hawa udara sedingin itu.
Akan tetapi setelah air yang menempel kulit menjadi kering dan ketika ia diamkan
saja nyamuk-nyamuk yang menempel pada kulit muka dan tangannya, dengan heran
sekali ia melihat dan mendengar betapa nyamuk-nyamuk itu terbang pergi dan
bahkan ada yang jatuh seperti mati pada saat menempel dikulit muka atau
tangannya. "Aduh, hebat sekali obatmu ini, soso. Nyamuk-nyamuk pada mampus begitu menempel
pada kulitku, seakan-akan kulitku menjadi berbisa," katanya memuji.
Di dalam gelap ia tidak melihat betapa wajah wanita itu berseri mendengar
pujiannya, akan tetapi lin Hwa hanya berkata sederhana,
"Hal itu tak perlu diherankan. Sekarang yang penting kita dapat tidur nyenyak
agar besok pagi dapat melanjutkan perjalanan."
Perjalanan " Kemana " Demikan Un Kong Sian berpikir bingung, walaupun mulutnya
tidak berkata apa-apa. Ia merasa bahwa kini nyonya ini tentu telah menjadi janda
dan sebatangkara karena ia tidak dapat meragukan akan nasib kedua suhengnya itu.
Ia harus melindungi dan membela nyonya Khu ini karena selain dia sendiri, siapa
lagi yang akan melindunginya " Akan tetapi, kemana ia harus membawa Lin Hwa "
Pulang ke rumahnya tidak mungkin karena tentu para kaki tangan kaisar akan dapat
mengetahuinya dan hal ini amat berbahaya. Tiba-tiba ia teringat kepada suhunya
di Kunlun-san. Membawa Lin Hwa ke pegunungan Kunlun " Lebih tak mungkin lagi, karena perjalanan
ke Kunlun-san sedikitnya makan waktu berbulan-bulan, sedangkan kandungan Lin Hwa
telah mendekati kelahiran.
Habis, apa dayanya " Un Kong Sian merasa bingung sekali dan selagi ia hendak
membuka mulut mengajak Lin Hwa berunding, ia mendengar tarikan napas yang halus
dan lambat, tanda bahwa wanita itu telah tidur. Maka ia urungkan maksudnya dan
menyandarkan tubuh pada sebatang pohon. Dengan lindungan obat istimewa yang
membuatnya kebal terhadap gangguan nyamuk, tak lama kemudian Kong Sian juga
tertidur karena ia memang telah lelah sekali.
Pada keesokan harinya, baru saja mereka berdua terjaga dari tidur, mereka telah
mendengar suara orang-orang di dalam hutan itu. Mereka serentak berdiri dan Un
Kong Sian lalu berkata, "Ah, mereka itu agaknya tidak tidur semalam karena gangguan nyamuk sehingga
pagi-pagi benar telah mengejar kita."
Keduanya lalu lari terus menuju ke barat dan tak lama kemudian mereka mendengar
suara yang amat keras, "Hai, pemberontak-pemberontak. Menyerahlah dengan baikbaik agar kami tak usah mempergunakan tangan kejam!"
Kong Sian dan Lin Hwa terkejut karena thu bahwa suara ini digerakkan oleh tenaga
khi-kang sehingga dapat terdengar jauh dan gemanya memenuhi hutan.
"Itu suara Can Kok lagi yang mengejar," kata Kong Sian sambil mengajak kawannya
berlari lebih cepat lagi. Tak lama kemudian mereka telah keluar dari rimba itu
dan kini mereka berlari cepat di sepanjang sawah ladang tanda bahwa di dekat
situ terdapat desa-desa tempat tinggal kaum tani yang mengerjakan sawah ladang
itu. Koleksi Kang Zusi "Cepat, soso, ditempat terbuka ini kita mudah sekali kelihatan oleh musuh !"
Benar saja, setelah mereka berlari agak jauh dan telah mendekati sebuah dusun,
dari dalam rimba keluarlah Can Kok diikuti oleh beberapa orang perwira yang
berlari cepat sekali. "Cepat masuk ke dusun ini !", kata Kong Sian dengan khawatir karena ia maklum
bahwa Lin Hwa tidak begitu tinggi ilmu lari cepatnya, apalagi karena
kandungannya yang telah tua itu tidak memungkinkan ia berlari cepat.
Jarak antara mereka dengan para pengejar tidak jauh lagi dan ketika melihat
sebuah kuil besar ditengah dusun itu, tanpa ragu-ragu lagi Kong Sian lalu
memegang tangan Lin Hwa dan mengajak nyonya muda itu masuk ke dalam kelenteng.
Kelenteng ini adalah sebuash kelenteng besar yang bernama Kuil Thian-Lok-Si atau
Kuil Kebahagiaan Surga. Kuil ini selain besar dan megah, juga didiami puluhan
orang Hwesio (pendeta agama Buddha berkepala gundul). Ketika Kong Sian dan Lin
Hwa memasuki kuil itu, para pendeta sedang berkumpul di ruang sembahyang dan
sedang melakukan ibadat pagi, berkumpul dan bersembahyang bersama, kecuali
beberapa orang hwesio yang bertugas, seperti mereka yang bertugas membersihkan
halaman, masak, dan pekerjaan-pekerjaan lain lagi.
Seorang hwesio tukang sapu di ruang depan melihat dan menyambut kedatangan
mereka dengan heran, "Apakah jiwi (kalian berdua) hendak bersembahyang " Masih terlalu pagi,"
katanya. "Suhu (anggilan untuk pendeta), tolonglah kami berdua yang dikejar-kejar oleh
para perwira kerajaan . Demi nama Buddha yang mulia dan demi prikemanusiaan, biarkan kami bersembunyi di
kuil ini," kata Kong Sian.
Hwesio yang belum tua benar usianya itu memandang dengan ragu-ragu, akan tetapi
ketika melihat perut Lin Hwa yang besar, ia lalu menyebut nama Buddha dan segera
membawa mereka ke ruang belakang.
"Kalian harus menyamar sebagai hwesio," katanya tergesa-gesa. "Telah pinceng
dengar tentang kekejaman para perwira kerajaan. Akan tetapi sayang sekali,
bagaimana dengan rambut jiwi ?"
Kong Sian berpikir cepat, lalu mencabut pedangnya sambil memandang kepada Lin
Hwa, "Soso, beranikah kau mengorbankan rambutmu yang indah itu ?" Ia terlanjur
mengucapkan kata-kata "indah"
itu yang tak disengaja terloncat keluar dari mulutnya.
Untuk sejenak Lin Hwa memandang dengan muka pucat, akan tetapi dengan gagah ia
lalu berkata, "Un-te jangan ragu-ragu, potonglah rambutku !" Dengan hati terharu Un Kong Sian
lalu menggunakan pedangnya yang tajam untuk mencukur rambut kepala Lin Hwa yang
meramkan matanya karena tidak tahan melihat betapa rambutnya yang hitam dan
panjang itu tercukur habis dan jatuh ke atas lantai.
Hwesio itupun dengan cepat lalu mencukur gundul kepala Un Kong Sian. Setelah
kedua orang muda itu kepalanya menjadi gundul dan bersih, hwesio tadi cepat
membawa pergi rambut yang memenuhi lantai, dan mengeluarkan dua stel pakaian
hwesio. Untung sekali bahwa pakaian hwesio memang biasanya longgar dan besar hingga
ketika Lin Hwa mengenakan pakaian ini, perutnya yang besar tertutup dan ia
nampak sebagai seorang hwesio muda yang tampan sekali. Juga Kong Sian berubah
menjadi seorang hwesio tulen hingga tanpa dapat tertahan pula, Lin Hwa
memandangnya sambil tertawa geli.
"Mukamu terlalu halus dan merah,' kata Kong Sian yang menatap wajah Lin Hwa
dengan penuh perhatian. Wajah Lin Hwa memerah karena kata-kata ini walaupun
sesungguhnya diucapkan karena kuatir hal ini menimbulkan kecurigaan para
pengejar, akan tetapi juga dapat diartikan sebagai pujian akan kecantikannya.
Nyonya muda ini memang pandai sekali dalam hal pengobatan dan penyamaran.
Ia lalu minta arang dan setelah mencampur arang itu dengan tanah, ia membuat


Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semacam bedak dan menggosok-gosok dengan bedak istimewa ini. Dan benar-benar
hebat, karena kini mukanya berubah sama sekali dan kulit muka yang tadinya halus
dan putih kemerahan serta tampak segar itu, kini menjadi gelap kehitam-hitaman
dan kasar. Kemudian, kedua hwesio istimewa ini lalu diantar oleh hwesio yang menyapu dan
menolong mereka tadi ke ruang sembahyang di mana mereka ikut berlutut dan
meniru-niru gerakan bibir hwesio lain yang sedang berkomat-kamit membaca doa.
Dan pada saat itu, setelah mencari di seluruh dusun dan tidak menemukan dua
orang buruan mereka, para pengejar yang dikepalai oleh Can Kok, panglima yang
kosen itu, masuk ke dalam kuil Thian-Lok-Si. Tadinya memang mereka tidak menduga
bahwa kedua orang buruan itu berani memasuki kuil, akan tetapi oleh karena di
seluruh dusun tidak tidak terdapat orang-orang yang mereka cari, akhirnya mereka
lalu masuk ke dalam kuil. Kedatangan mereka ini disertai kutuk dan caci maki,
dan sikap mereka yang kasar ini dan tidak mengindahkan kesucian kuil, membuat
para pendeta menjadi marah dan mendongkol. Akan tetapi, mereka bersabar dan
tidak mencari penyakit dengan memusuhi perwira=perwira yang terkenal sewenangwenang dan kejam itu. Melihat bahwa yang datang adalah serombongan perwira dari kota raja, maka kepala
hwesio sendiri maju untuk menyambut setelah upacara sembahyang selesai. Kepala
hwesio di kuil Thian-Lok-Si ini adalah seorang hwesio tua bernama Pek Seng
Hwesio. Biarpun usianya telah lima puluh tahun lebih, akan tetapi wajahnya masih
segar dan kemerah-merahan. Kepalanya gundul dan licin seakan-akan selama
hidupnya tak pernah ditumbuhi rambut. Tubuhnya tinggi kurus dan sepasang matanya
yang sipit itu nampak lemah lembut akan tetapi bersinar tajam sekali. Dengan
sikap tenang, Pek Seng Hwesio menyambut kedatangan para perwira yang bersikap
kasar itu dengan tubuh membungkuk sedikit dan kedua tangan terangkat ke dada
sebagai penghormatan yang dilakukan kepada siapa saja yang Koleksi Kang Zusi
bertemu dengannya. "Cuwi ciangkun, selamat datang dan bolehkah pinceng ketahui maksud kunjungan
yang terhormat ini ?"
Can Kok yang lebih halus sikapnya dari pada semua anak buahnya, lalu melangkah
maju dan membalas penghormatan kepala hwesio itu.
"Losuhu, tadi ada dua orang buruan yang berlari masuk ke dalam kuil ini. Kami
datang hendak menangkap dua orang itu dan hendaknya diketahui bahwa ini adalah
perintah dari kaisar sendiri yang tak boleh dilanggar oleh siapa juga."
"Dua orang buruan ?" tanya Pek Seng Hwesio dengan muka heran, "Pinceng tidak
tahu sama sekali. Siapakah orang-orang buruan itu ?"
"Mereka adalah seorang wanita muda dan seorang laki-laki kawannya. Mereka itu
adalah pemberontak-pemberontak keluarga pemberontak Khu Liok yang telah dihukum.
Kalau Losuhu membantu kami menangkap dua orang pemberontak besar itu, tentu kuil
ini akan mendapat anugerah dari kaisar."
"Pinceng tidak melihat mereka," kata Pek Seng Hwesio dengan suara bersungguhsungguh, karena ia memang benar-benar tidak pernah melihat Un Kong Sian dan Ong
Lin Hwa karena ketika kedua orang muda itu tadi masuk, ia sedang memimpin
persembahyangan di ruang sembahyang.
Can Kok memandang tajam dan agaknya ia tidak percaya ucapan itu. "Benar-benarkah
losuhu tidak melihatnya ?"
Pek Seng Hwesio hanya menggelengkan kepala dengan perasaan tidak puas melihat
bahwa ada orang yang meragukan kata-katanya.
"Kami akan memeriksa kuil ini !" tiba-tiba Can kok berkata keras.
Pek Seng Hwesio tersenyum, "silahkan, ciangkun."
Can Kok menyebar anak buahnya dan pemeriksaan dimulai dengan kasar oleh para
anak buah panglima itu. Mereka memeriksa dan mencari dengan teliti sekali hingga
semua kamar dimasukinya, akan tetapi bayangan kedua orang yang dicarinya itu
tidak kelihatan. Dengan penasaran sekali Can Kok mengulur tangan hendak menarik
tirai sutera yang menutup meja toapekong yang besar. Akan tetapi, tiba-tiba
terdengar suara keras dan nyaring,
"Jangan lakukan kelancangan itu !" Ini adalah suara Pek Seng Hwesio dan
terdengar demikian berpengaruh hingga Can Kok menarik kembali tangannya.
"Mengapa losuhu " Bagaimana kalau dua orang buruan itu bersembunyi di situ ?"
"Tak mungkin, pinceng yang menanggung bahwa tidak ada orang dapat bersembunyi di
tempat itu. Janganlah ciangkun mengotori tempat yang suci ini."
"Apa " Tanganku kotor " Ha, ha, ha ! Tidak lebih kotor daripada meja yang penuh
debu dupa ini," katanya dan ia mengulur tangan lagi hendak menarik tirai itu. Akan tetapi, tibatiba seorang hwesio yang berwajah bopeng dan bertubuh bongkok, melompat dan
menarik tangannya. "Jangan mengacau di sini ! Siapapun juga tanpa perkenan Pek Seng Suhu, tidak
boleh menjamah tirai ini !" katanya dengan suara keras dan kedua matanya yang
bundar dan lebar itu melotot marah.
Can Kok terkejut sekali karena ketika tangan hwesio buruk ini menarik tangannya,
ia merasa tenaga yang besar sekali keluar dari tangan itu hingga terpaksa ia
tidak dapat menjamah tirai itu. Tentu saja perwira ini marah sekali dan sambil
bertolak pinggang dengan tangan kiri ia membentak,
"Kau ini hwesio kurang ajar ! Tidak tahukah kau sedang berhadapan dengan
siapa ?" Hwesio yang bermuka bopeng dan hitam itu tertawa bergelak dan berkata dengan
suaranya yang parau, "Dengan siapa " Ha, ha, ha ! Pinceng tidak tahu akan
perbedaan pangkat dan pakaian, akan tetapi yang sudah terang bahwa pinceng
berhadapan dengan seorang yang kasar, dan terutama sekali membanggakan sedikit
kepandaian yang dimilikinya."
"Hwesio bangsat ! Buka matamu lebar-lebar. Aku adalah seorang panglima kerajaan
berpangkat congtok, dan aku si Tombak Dewa Can Kok bukanlah seorang yang biasa
suka menerima hinaan dari seorang hwesio hina dina macam kau !" Can Kok marah
sekali hingga seluruh mukannya menjadi merah karena ia telah dihina oleh seorang
hwesio biasa di depan semua anak buahnya yang telah melakukan pemeriksaan tanpa
berhasil lalu mengelilingi komandannya yang hendak memberi hajaran kepada hwesio
kurang ajar itu. Mereka merasa tertarik karena tadinya mereka ini merasa jengkel
dan penasaran karena usaha mereka untuk menangkap kedua orang buruan itu gagal,
dan mereka telah dapat membayangkan betapa Can Kok pasti akan menghajar hwesio
buruk itu sampai berteriak-teriak minta ampun.
Akan tetapi, melihat kemarahan Can Kok, hwesio bermuka hitam itu tidak merasa
gentar sedikitpun, bahkan lalu menjawab sambil tertawa. "Bukan kami yang
menghina, akan tetapi kaulah yang mulai mencari perkara. Kalian ini datang
mencari orang, setelah tak bertemu, seharusnya segera pergi agar jangan
mengganggu kami dan jangan mengotori tempat suci ini dengan kekasaran-kekasaran.
Akan tetapi kalian bahkan hendak menodai tempat suci. Ketahuilah, orang sombong,
jangankan baru kau yang hanya berpangkat congtok saja, bahkan kaisar sendiri tak
boleh menghina tempat suci."
"Bangsat sombong, rasai kepalanku !" bentak Can Kok yang segera menyerang dengan
gerakan istimewa, yakni tangan kanan memukul kepala dengan tipu Thai-san-ap-teng
atau Gunung Besar Menimpa Kepala sedangkan tangan kiri menggunakan gerakan Engjiauw-kang atau Cengkeraman Kuku Garuda yang menyerang ke arah lambung hwesio
itu. Jangankan kedua serangan ini mengenai sasaran, baru salah satu saja kalau
mengenai sasaran dengan tepat, cukup membuat orang yang diserang mati seketika.
Melihat serangan yang berbahaya dan disertai tenaga iweekang yang kuat ini, baik
Un Kong Sian maupun Lin Hwa yang berdiri di antara puluhan orang hwesio yang
berada di sekitar tempat itu Koleksi Kang Zusi
menonton, menjadi terkejut dan cemas sekali. Akan tetapi, Pek Seng Hwesio bahkan
tersenyum dan berkata, "Lo-koai (setan tua), jangan kau celakakan dia !"
Hwesio muka hitam itu dengan tertawa geli lalu mengulurkan tangan ke arah
cengkeraman lawannya, sedangkan pukulan yang mengarah kepalanya yang gundul
pelontos itu tidak dihiraukannya sama sekali. Dua hal yang aneh sekali terjadi
pada saat bersamaan. Ketika pukulan Can Kok tiba di kepala yang licin itu, tibatiba kepalan tangannya meleset, seakan-akan kepala itu terbuat dari pada baja
yang dilumuri minyak, demikian keras dan licinnya. Sedangkan tangan Can Kok yang
mencengkeram lambung, begitu kena ditangkap, lalu hwesio itu berseru keras dan
tahu-tahu tubuh Can Kok telah dilempar ke atas dan jatuh bergedebukan di atas
tanah, kira-kira tiga tombak jauhnya dari tempat itu.
Tentu saja hal ini mengejutkan para perwira itu, juga mendatangkan rasa terkejut
dan heran pada kedua orang muda yang menyamar menjadi hwesio. Sedangkan Can Kok
yang biarpun tidak menderita luka berat, hanya merasa pusing saja, menjadi marah
dan malu. Dia tidak tahu ilmu apa yang membuat kepala hwesio itu demikian keras
dan licin dan tidak tahu pula gerak tipu apa yang digunakan oleh hwesio itu
untuk melemparkannya ke udara. Dengan mengeluarkan seruan keras, Can Kok lalu
menyambar tombak cagaknya yang dibawa oleh seorang pembantunya. Ia putar-putar
tombak yang telah memberi julukan si Tombak Dewa kepadanyaitu, sambil berkata,
"Hendak kulihat apakah kepalamu yang gundul itu cukup keras untuk menahan
tombakku." Lalu ia menyerang dengan hebatnya.
Can Kok memang lihai sekali bermain tombak bercagak yang disebut kong-ce.
Permainannya berdasarkan ilmu tombak dari Butong-pai yang sudah banyak dirobah
dan disesuaikan dengan keadaan kong-ce itu dan ujung kong-ce itu mempunyai ujung
tiga bergerak-gerak menjadi puluhan ketika ia memutar-mutar dan menyerang dengan
ganasnya ke arah hwesio muka hitam yang masih berdiri dan tertawa ha, ha, hi, hi
itu. Ketika kong-ce itu menusuk ke arah perutnya yang gendut, hwesio itu tiba-tiba
saja menarik perutnya sehingga mengempis, bahkan seakan-akan perut itu pindah ke
belakang tubuhnya hingga ujung kongce tidak mengenai sasaran.Dipermainkan secara
menghina ini, Can Kok lalu mengamuk hebat dan tujuan semua serangannya ialah
membunuh lawan ini. Sekali lagi terdengar suara Pek Seng Hwesio, "Lo-koai, jangan kau celakai dia !"
"Tidak suhu, jangan kuatir. Untuk merobohkan cacing tanah ini, tak perlu
membunuhnya," jawab si hweaio muka hitam sambil mengelak ke sana ke mari dengan
cepatnya hingga diam-diam Un Kong Sian kagum sekali melihat kehebatan ilmu
ginkang ini. Gerak-gerik hwesio ini mengingatkan dia akan seorang tosu sahabat
baik suhunya yang dalam pengembaraannya seringkali mampir di Kunlun-san, karena
tosu itu pernah mendemonstrasikan ilmu silatnya atas permintaan suhunya untuk
menambah pengertian anak murid Kunlun-pai dan gerakan-gerakan serta kegesitan
tosu itu hampir sama dengan hwesio muka hitam ini.
Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh Can Kok dengan kong-cenya, hanya
diganda ketawa sambil bergerak ke sana ke mari oleh hwesio itu. Setelah Can Kok
menyerang lebih dari empat puluh jurus dan mulai merasa pening karena
dipermainkan, tiba-tiba hwesio itu berseru keras dan sekali ia menangkap dan
membetot, tubuh Can Kok terpelanting ke kiri dan roboh mencium tanah sedangkan
kong-ce itu telah pindah tangan. Sambil menjura dengan penuh hormat, hwesio muka
hitam itu lalu menyerahkan kong-ce tadi kepada Pek seng Hwesio yang menerima
sambil memuji, "Bagus, lo-koai!"
Can Kok merayap bangun dan semua anak buahnya yang berjumlah seluruhnya dua
puluh tiga orang itu, dengan senjata di tangan segera maju dan hendak menyerang.
Akan tetapi, tiba-tiba mereka mendengar suara senjata di belakang mereka dan
ketika mereka menengok, ternyata lebih dari empat puluh orang hwesio telah
berbaris rapi dengan senjata golok besar di tangan dan sikap mereka yang tenang
itu mendirikan bulu tengkuk para anak buah Can Kok.
"Cuwi, janganlah menggunakan kekerasan !" kata Pek Seng Hwesio dengan suara
tenang akan tetapi berpengaruh. "Apakah salah kami maka cuwi hendak memusuhi
kami " Cuwi sedang bertugas mencari dua orang buruan, akan tetapi buruan tidak
tertangkap bahkan sebaliknya mengotori tempat suci. Kalau hal ini terdengar oleh
kaisar, bukankah cuwi akan mengalami hal yang tidak enak sekali " Ciangkun,
terimalah kembali senjatamu ini dan bawalah kawan-kawanmu pergi dari sini !"
Sambil berkata demikian, Pek Seng Hwesio menyerahkan kembali kong-ce itu kepada
Can Kok dan ketika ia menyerahkan senjata itu ia angsurkan gagangnya kepada Canciangkun sedangkan ia sendiri memegang ujung kong-ce yang runcing. Terpaksa Can
Kok menerima senjatanya dan tanpa banyak cakaplagi ia lalu memimpin anak buahnya
keluar dari kuil Thian-lok-si yang besar itu. Ketika ia telah tiba di luar
dusun, barulah dengan terkejut sekali ia melihat betapa ketiga ujung kong-cenya
yang tajam itu telah patah-patah semua. Ia teringat bahwa tadi ketika memberikan
senjata ini, kepala hwesio yang alim dan lemah lembut itu memegang ujung kongce, maka mengingat betapa hebatnya tenaga hwesio tua yang baru memegang saja
sudah dapat mematahkan ketiga ujung senjatanya yang kuat dan tajam, maka dapat
diukur betapa tinggi pula ilmu kepandaiannya. Diam-diam Can Kok merasa untung
bahwa hwesio-hwesio itu tidak bermaksud mencelakakannya, maka ia mengambil
keputusan untuk berdiam dan tidak menceritakan hal memalukan itu kepada orang
lain. Sementara itu, setelah para pengejar itu pergi jauh, serta merta Un Kong Sian
dan Ong Lin Hwa menjatuhkan diri berlutut di depan Pek Seng Hwesio.
Bukan main herannya pendeta tua ini melihat dua orang "hwesio" muda tiba-tiba
berlutut di depannya, bahkan "hwesio" yang seorang lagi menangis dengan suara
wanita. Ia mengangguk maklum dan tahu Koleksi Kang Zusi
bahwa inilah dua orang buruan yang dikejar-kejar oleh Can Kok dan anak buahnya.
"Siapa yang menolong mereka ini ?" tanya Pek Seng Hwesio sambil memandang ke
arah semua hwesio yang berdiri di situ dengan sikap tenang.
Hwesio tukang sapu yang tadi menolong mereka, lalu maju dan menjatuhkan diri
berlutut di belakang Kong Sian. "Teecu yang menolong mereka karena teecu tidak
tega melihat keadaan toanio yang sedang mengandung ini."
Pek Seng Hwesio menghela napas panjang dan mengangguk-angguk ketika mendengar
bahwa wanita yang telah berubah menjadi hwesio gundul itu sedang mengandung.
"Suhu yang mulia, teecu berdua menyerahkan keselamatan jiwa raga di tangan suhu.
Kalau suhu menghendaki kami ditangkap dan dihukum mati, terserah, kami takkan
melawan karena teecu berdua maklum bahwa melawan suhu sekalian takkan ada
gunanya," kata Un Kong Sian.
"Hm, anak muda, kau berani dan tabah sekali. Siapakah kau dan siapa pula toanio
ini ?" tanya Pek Seng Hwesio.
"Teecu hanyalah seorang kawan atau saudara yang membela kawan ini, dan dia ini
adalah isteri suheng yang bernama Khu Tiong. Mungkin suhu pernah mendengar nama
Khu Liok sastrawan tua itu, Nah, dia ini adalah anak mantunya."
Mendengar nama Khu Liok disebut oleh anak muda itu, wajah Pek Seng Hwesio nampak
terkejut dan sikapnya berubah sungguh-sungguh. Ia lalu mengajak masuk kedua
orang muda itu ke ruang dalam dan berkata,
"Pinceng sudah mendengar tentang sastrawan tua yang luar biasa itu dan pinceng
sudah membaca pula tulisannya yang berjudul TUHAN TELAH SALAH PILIH. Tadinya
pinceng tidak sudi membaca tulisan yang berjudul seperti itu, tidak tahunya
ketika pinceng membacanya, isinya penuh dengan sifat-sifat prikemanusiaan dan
keadilan yang membuat pinceng sampai mengeluarkan air mata karena teraruh.
Sastrawan she Khu itu benar-benar telah membuka mata dan melukiskan keadaan
rakyat jelata yang amat menderita dan secara menyindir menyatakan betapa dengan
pengangkatan seorang kaisar yang tidak tahu akan keadaan rakyatnya maka seakanakan Thian telah salah pilih, yakni salah memilih kaisar."
Dengan penuh semangat dan bergembira, pendeta tua itu membicarakan isi tulisan
Khu Liok sehingga Un Kong Sian dan Lin Hwa merasa girang karena hal ini
membuktikan bahwa tulisan orang tua itu benar-benar meresap di kalangan rakyat
sampai ke pendeta-pendetanya dan bahwa pendeta ini berada di pihak mereka.
Kemudian Pek Seng Hwesio lalu bertanya tentang pengalaman mereka. Ketika ia
mendengar betapa seluruh keluarga Khu dan Ma mengalami bencana hebat dan menemui
maut secara mengerikan, ia menyebut berulang-ulang,
"Omitohud ..... Kejam, sungguh kejam. Kalau begitu, jiwi harus segera mencari
tempat yang aman. Bagi kau, sicu, lebih mudah untuk menghindari diri dari
ancaman mereka karena selain kau seorang pria, juga kau memiliki ilmu silat yang
cukup baik. Akan tetapi bagi toanio ini..........." Pek Seng Hwesio memutarmutar otaknya. Untuk menempatkan wanita muda ini di kuil Thian-lok-si adalah hal
yang tidak mungkin sama sekali oleh karena di sebuah kelenteng hwesio, mana bisa
ditempatkan seorang wanita muda yang cantik dan yang sedang hami pula "
"Toanio telah mengandung tua, maka perlu sekali mendapat tempat yang tepat,
hingga sewaktu-waktu melahirkan, tidak mengalami kesukaran. Pinceng mempunyai
seorang kenalan baik di Kwi-ciu, yakni Lan-lan Nikouw yang mengepalai sebuah
kuil wanita di kota itu. Lebih baik sicu ajak toanio ke Kwi-ciu yang tak berapa
jauh letaknya dari sini sambil membawa sepucuk surat dari pinceng, Lan-lan
Nikouw tentu akan suka menerima dan menolong toanio hingga sementara waktu dapat
tinggal dan bersembunyi di sana sampai saat melahirkan tiba. Adapun bagi
sicusendiri, tentu saja tidak bisa tinggal di sana dan pinceng rasa mudah bagi
sicu untuk mencari tempat berlindung," kata pula hwesio tua itu kepada Un Kong
Sian. "Terima kasih banyak, suhu. Sekarang juga teecu hendak membawa soso ke sana.
Bagi teecu sendiri tidak ada bahaya sesuatu oleh karena menurut rasa teecu, para
perwira itu tidak ada yang melihat teecu hingga setelah teecu dapat mencarikan
tempat aman bagi soso, teecu dapat kembali ke kota raja dengan aman."
Demikanlah, setelah keduanya menghaturkan banyak-banyak terima kasih kepada
hwesio tukang sapu yang telah menolong mereka, Kong Sian dan Lin Hwa segera


Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan kelenteng Thian-lok-si dan menuju ke Kwi-ciu. Mereka masih menyamar
sebagai dua orang hwesio yang melakukan perantauan.
Oleh karena pada waktu itu memang banyak terlihat hwesio-hwesio atau tokouwtokouw dan tosu-tosu melakukan perantauan, maka kedua orang hwesio muda yang
tampan initidak banyak menarik perhatian orang dan mereka dapat melakukan
perjalanan dengan aman tanpa mendapat gangguan.
Bahkan para orang jahat dan perampok tidak mau mengganggu mereka, oleh karena
selain mereka segan mengganggu "orang-orang suci", juga mereka tahu bahwa dalam
saku baju hwesio yang lebar itu takkan terdapat sesuatu yang berharga.
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di Kwi-ciu dan mudah saja mereka mencari
kuil nikouw (pendeta wanita penganut agama Buddha). Yang bernama Thian-an-tang.
Kepala pendeta di situ yang bernama Lan-lan Nikouw ternyata adalah seorang
nikouw tua yang amat ramah tamah dan yang menerima mereka dengan hati terharu
setelah membaca surat pek Seng Hwesio dan mendengar pengalaman mereka. Ia
menyatakan kerelaan hatinya untuk menerima Lin Hwa dengan ucapan halus,
"Tentu saja toanio boleh tinggal di sini dan biarlah dia menyamar sebagai nikouw
dan menanti kelahiran bayinya di kelenteng kami."
Koleksi Kang Zusi Lin Hwa sambil berlutut menghaturkan terima kasih, sedangkan Kong Sian setelah
berpamit dan meninggalkan pesan agar Lin Hwa menjaga diri dengan hati-hati, lalu
meninggalkan tempat itu dan kembali ke kota raja.
Sebelum masuk ke kota raja, pemuda yang selalu berhati-hati ini terlebih dahulu
mendengarkan berita-berita tentang peristiwa hebat itu untuk mendengar kalaukalau namanya disebut-sebut. Akan tetapi, sebagaimana dugaannya, dengan hati
lega ia mendapat kenyataan bahwa tak seorang pun di antara para perwira ada yang
mengenalnya hingga ia dapat masuk dengan aman di kota raja dan menuju ke
rumahnya. Ibunya yang sudah amat mengkhawatirkan keadaan puteranya yang lama pergi tak
kunjung pulang dan yang sama sekali tidak mengabarkan ke mana perginya itu,
menyambutnya dengan girang dan lega.
Kepada ibunya, Kong Sian menuturkan pengalamannya hingga orang tua inipun merasa
amat terharu dan kasihan mendengar tentang nasib kedua keluarga yang dikenalnya
itu pula. Pada hari itu juga, Kong Sian mengunjungi seorang perwira yang dikenalnya dan
bertanya tentang nasib kedua suhengnya. Ternyata bahwa kedua suhengnya itu telah
tewas dan hal ini benar-benar membuat hati pemuda ini sakit sekali. Akan tetapi,
di depan perwira itu, ia tidak berani berkata apa-apa dan kemudian ia pulang
dengan hati dan pikirannya penuh mengenangkan keadaan lin Hwa Bagaimana kalau
nyonya yang kini telah menjadi janda itu mendengar akan nasib suaminya " Ia
merasa kasihan sekali dan diam-diam Kong Sian merasa heran di dalam hatinya kini
tumbuh semacam perasaan yang aneh terhadap diri Lin Hwa. Seakan-akan ia ikut
merasakan penderitaan nyonya muda itu dan diam-diam ia merasa bahwa ia
bertanggung jawab untuk mengurus dan memperhatikan nasib selanjutnya dari Lin
Hwa dan diam-diam ia mempunyai kesanggupan besar untuk membela dan melindungi
nyonya itu dengan taruhan jiwanya.
Nyonya Un yang selalu menguatirkan puteranya kalau-kalau sampai terlibat dalam
urusan itu, lalu mengambil keputusan untuk segera melangsungkan pernikaan Un
Kong Sian yang sudah lama ditunda-tunda. Ia berpendapat bahwa kalau sudah kawin,
putera tunggalnya ini tentu akan menghentikan kebiasaannya merantau. Maka,
ketika Kong Sian tiba di rumah, ia disambut oleh ibunya dengan kata-kata halus
akan tetapi tegas, "Kong Sian, aku akan mengirim utusan ke rumah keluarga Oey untuk menetapkan hari
perkawinanmu. Ku minta supaya kali ini kau tidak akan membandel lagi !"
"Ibu......!" bantah Kong Sian, akan tetapi ketika melihat betapa sinar mata
ibunya membayangkan sesal dan duka, ia tak berani melanjutkan bantahannya.
"Anakku, kau tahu bahwa ibumu telah tua dan mungkin takkan lama lagi hidup di
dunia ini. Kau tahu pula bahwa idam-idaman hati ibumu yang terutama ialah
melihat kau menjadi pengantin dan kemudian kalau usia masih panjang, dapat
menyaksikan kelahiran cucuku dan dapat pula menimang-nimangnya.
Apakah kau begitu tega hati untuk mengecewakan dan mendukakan hati ibumu yang
telah tua ini " Apakah dari anak tunggalku aku takkan mendapatkan kepuasan hati yang tak berapa
berat dilakukannya ini ?"
Un Kong sian menundukkan kepala dan aneh sekali, pada saat ia didesak supaya
kawin dengan Oey-siocia, puteri keluarga Oey yang kaya raya itu, pikirannya
melayang ke kuil Thian-an-tang.
"Aku tidak berani membantah kehendakmu, ibu, hanya aku hendak menyatakan bahwa
sebenarnya hatiku belum ingin kawin."
"Kong Sian, Kong Sian ..........apakah kau hendak menanti aku mati lebih dulu
sebelum kawin ?" Sambil berkata demikian, nyonya tua itu mulai menangis.
Menghadapi senjata ampuh dari kaum wanita ini, Kong Sian menyerah dan segera
berlutut di depan ibunya.
"Baiklah, ibu, baiklah dan jangan ibu bersedih hati," jawabnya dengan lemas.
Maka giranglah hati Un-hujin ini dan segera ia mengirim utusan dan menetapkan
hari pernikahan puteranya itu secepat mungkin. Semua persiapan pernikahan telah
diadakan dan setiap hari nyonya tua itu sibuk sekali, akan tetapi dalam
kesibukkannya, sinar kegembiraan tak pernah meninggalkan wajah nyonya tua ini
sehingga diam-diam Un Kong Sian menghela napas dan tidak tega untuk
mengecewakanhati ibunya. Ia pernah melihat wajah tunangannya dan harus ia akui
bahwa wajah tunangannya itu cukup cantik menarik, akan tetapi entah mengapa,
kini hati dan pikirannya penuh dengan bayangan Lin Hwa yang ia anggap seorang
wanita gagah yang bernasib malang dan patut dikasihani.
Sebulan kemudian, perkawinan antara Un Kong Sian dan Oey Bi Nio dilangsungkan
dengan meriah. Gedung nyonya Un dihias indah dan ruang yang luas itu penuh dengan tamu-tamu
yang terdiri dari orang-orang hartawan dan berpangkat. Kong Sian nampak gagah
dan cakap dalam pakaian pengantin sedangkan Oey-siocia kelihatan cantik bagaikan
bidadari dari kayangan. Akan tetapi, benar-benar aneh, pada saat Kong Sian berlutut disamping isterinya
untuk bersembahyang, pikirannya tak dapat dipusatkan dan selalu melayang-layang
ke tempat jauh, ke kuil nikouw di mana Lin Hwa berada. Bahkan, pada malam
harinya, ketika ia berada di kamar pengantin dengan isterinya, ia seringkali
melihat betapa wajah isterinya berubah menjadi wajah Lin Hwa yang membuatnya
melamun. Un Kong Sian sama sekali tidak tahu dan juga tidak mengira bahwa pada saat itu,
tepat di hari ia menikah, pada malam harinya, Lin Hwa telah melahirkan bayi
laki-laki yang sehat di dalam kuil Thian-an-tang itu. Tangis bayi ini demikian
nyaringnya hingga Lan-lan Nikouw mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan
berkata, "Bagus, bagus ! Ia calon seorang Mulia"
Koleksi Kang Zusi Dengan penuh kesabaran dan telaten sekali, para nikouw di kuil itu memelihara
Lin Hwa dan bayinya hingga biarpun ketika melahirkan menderita hebat oleh karena
lelah dan sedih teringat kepada suaminya, namun lambat laun hati Lin Hwa yang
bersemangat gagah itu dapat menundukkan kesedihannya dan apabila ia nelihat
puteranya yang montok dan sehat itu, sinar kegembiraan terbayang pada wajahnya
yang cantik. Atas nasehat Lan-lan nikouw, anak yang diberi nama Cin Pau oleh
ibunya itu, diberi she (nama keturunan Ong, yakni she ibunya, oleh karena kalau
diberi she Khu, khawatir kalau-kalau akan menarik perhatian para perwira
kerajaan. Maka, anak itu lalu bernama Ong Cin Pau dan mendapat perawatan yang
sangat open dan penuh kasih sayang dari ibunya dan para nikouw di kuil Thian-antang. Setelah anak itu dapat berjalan, Lin Hwa mulai menggembleng tubuh
puteranya dengan menggosok ramuan obat kuat yang ia buat sendiri dengan maksud
agar tubuh puteranya menjadi sehat dan kuat dan kelak menjadi seorang yang gagah
perkasa. Bagian 04. Perkawinan Nestapa
Peristiwa yang terjadi pada keluarga Khu dan Ma itu, tidak saja mendatangkan
malapetaka pada kedua keluarga tersebut, akan tetapi juga mendatangkan
malapetaka yang tak kalah hebatnya pada keluarga Pangeran Gu Mo Tek dengan
terbunuhnya Gu Mo Tek dan kedua orang puteranya, Gu Keng Siu dan Gu Leng Siu,
oleh amukan Khu Tiong dan Ma Gi.
Pada malam hari terjadinya pembunuhan itu, gegerlah seluruh keluarga pangeran
itu. Nyonya pangeran yang sudah tua menangis sampai jatuh pingsan beberapa kali,
sedangkan isteri kedua orang muda ini memeluki jenazah suaminya sambil menangis
tersedu-sedu. Mereka ini harus dikasihani oleh karena sama sekali tidak berdosa
dan tidak tahu menahu tentang urusan yang mendatangkan malapetaka ini, bahkan
kematian Gu Keng Siu dan Gu Leng Siu juga mengandung penasaran besar karena
kedua orang muda inipun tidak tahu akan pengkhianatan terhadap kedua orang
sastrawan tua yang dilakukan oleh ayah mereka.
Pada saat terjadinya pembunuhan ini, isteri Gu Keng Siu telah mempunyai seorang
putera berusia lima bulan, sedangkan isteri Gu Leng Siu mengandung muda, paling
banyak empat bulan. Dapat dibayangkan betapa hancur dan sedih hati mereka dan
berbareng dengan kesedihan hebat ini, timbul pula dendam yang mendalam dan besar
di dalam hati mereka terhadap Khu Tiong dan Ma Gi. Kedua nama ini mereka ingat
baik-baik dan selama hidup takkan pernah mereka lupakan.
Beberapa bulan kemudian, isteri Gu leng Siu melahirkan seorang anak perempuan
yang diberi nama Gu Hwee Lian. Dan karena nyonya janda ini masih muda lagi
cantik jelita, maka ketika datang pinangan dari seorang komandan meliter
berpangkat Touw-tong yang masih muda lagicakap dan gagah, ia menerimanya lalu
berpindah ke rumah gedung Touw-tong itu ke kota Lok-keng. Towtong ini bernama
Gan Hok dan ia memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, mewarisi ilmu
kepandaian silat ayahnya yang telah meninggal dunia. Gan Hok menerima anak
tirinya dengan hati rela, karena iapun suka melihat anak yang mungil dan mukanya
mirip ibunya itu. Adapun nyonya janda Keng Siu tidak mau kawin lagi, bahkan bersumpah hendak
menjadi janda sampai tiba saatnya menyusul suami ke alam baka dan bersumpah pula
hendak menjagaputeranya yang bernama Gu Liong itu agar kelak dapat membalaskan
dendam hatinya. Nyonya janda Cu Keng Siu tetap tinggal bersama ibu mertuanya di
gedung nyonya pangeran ini, dan kadangkala ia mengunjungi ibu Gu Hwee Lian yang
kini menjadi nyonya Gan Hok itu. Mereka tetap mengadakan perhubungan seperti
biasa oleh karena biarpun yang seorang telah menjadi isteri orang lain, namun
dendam hati mereka masih sama hingga seakan-akan ada pertalian erat di antara
mereka berdua, bahkan Gan Hok telah berlaku baik sekali kepada nyonya janda Gu
Keng Siu dan ketika diminta, ia suka menerima Gu Liong menjadi muridnya, dan
mengajarsilat kepadananak laki-laki ini bersama dengan anak tirinya, yakni Hweee
Lian. Biarpun kedua orang perempuan yang mengandung dendam hati besar ini telah
mendengar bahwa kedua orang musuh mereka, yakni Khu Tiong dan Ma Gi, telah dapat
ditewaskan oleh para perwira, namun mereka tetap merasa kurang puas oleh karena
kedua isteri musuh-musuh ini masih hidup dan bahkan sedang mengandung tua
sehingga rasa dendam mereka segera berpindah kepada isteri Khu Tiong dan isteri
Ma Gi beserta anak-anak mereka.
Demikian hebat rasa dendam yang sudah mengeram dan meracuni hati wanita,
sehingga mereka tidak puas sebelum melihat musuh mereka di tumpas habis sampai
semua keluarga dan keturunannya.
Koleksi Kang Zusi ****** Nyonya janda Ma Gi yang tinggal di gedung Gak Song Ki akhirnya melahirkan
seorang anak perempuan yang diberi nama Ma Siauw Eng. Nama ini dipilih oleh Kwei
Lan, nyonya janda itu, untuk memperingati ayah mertuanya, Ma Eng, maka anaknya
pun diberi sama dengan huruf "Eng" pula. Gak Song Ki dan ibunya girang sekali
dan suka melihat anak perempuan yang cantik dan mungil itu. Adapun tentang nama,
Gak Song Ki tidak menaruh keberatan karena ia amat sayang kepada Kwei Lan.
Mendapat pelayanan yang amat manis dan baik dari perwira muda yang tampan itu
beserta ibunya, dan melihat pula betapa Gak Song Ki selalu bersikap ramah tamah
dan sopan santun, juga amat mencintainya, maka setahun kemudian Kwei Lan tak
dapat menolak dan menerima dengan hati tulus pinangan perwira muda itu sehingga
ia menjadi nyonya Gak Song Ki yang gagah. Orang tak dapat menyalahkan nyonya
janda ini karena ia mempunyai banyak alasan kuat untuk menerima pinangan Gak
Song Ki. Pertama-tama karena ia masih amat mudah, belum lebih dua puluh tahun
hingga tentu saja hatinya masih ingin sekali mempunyai rumah tangga yang
bahagia. Kedua karena Gak Song Ki adalah seorang perwira muda yang cukup tampan,
sopan, dan gagah perkasa. Ketiga karena nyonya janda ini merasa telah berhutang
budi dan mengingat akan nasib puterinya. Kalau ia menjadi nyonya perwira ini,
tentu hidupnya akan terjamin dan dengan sendirinya ia tak usah kuatirkan nasib
anaknya. Pula, dengan menjadi isteri Gak Song Ki ia tak perlu kuatir lagi akan
dikejar-kejar oleh kaisar dan jiwanya serta keselamatan anaknya takkan terganggu
pula. Ternyata bahwa Gak Song Ki amat menyinta Kwei Lan hingga nyonya ini merasa
beruntung sekali. Terutama karena ia melihat betapa suaminya yang baru ini juga menaruh hati kasih
sayang kepada Siauw Eng yang jelas sekali kelihatan bahwa ia akan menjadi
seorang gadis yang cantik luar biasa seperti ibunya. Gak Song Ki adalah seorang
perwira yang kurang paham tentang ilmu sastera, akan tetapi memiliki ilmu
kepandaian silat yang tinggi hingga karena ia tidak dapat mengajarkan ilmu
kesusasteraan maka ia lalu melatih ilmu silat kepada Siauw Eng yang dianggap
seperti anak sendiri itu.
Demikianlah, empat orang muda yang binasa sebagai akibat dari pada perbuatan
ayah masing-masing, yakni Khu Tiong, Magi, Gu Keng Siu, dan Gu leng Siu,
meninggalkan keturunan masing-masing yang hidup terpisahdan dalam keadaan yang
berlainan pula, akan tetapi keempat keturunan itu semua menerima latihan-latihan
ilmu silat tinggi semenjak kecil dan yang kelak akan menimbulkan cerita luar
biasa hebat dan ramainya.
Pada waktu itu, rakyat yang telah tertindas oleh kelaliman Kaisar beserta
Penguasa Gunung Lanang 1 Misteri Pulau Neraka Ta Xia Hu Pu Qui Karya Gu Long Gadis Tanpa Raga 2

Cari Blog Ini