Ceritasilat Novel Online

Pendekar Elang Salju 10

Pendekar Elang Salju Karya Gilang Bagian 10


Brakk! Brakk! Brull! Badan ular itu menghancurkan apa saja yang disentuhnya, termasuk pula Simo
Bangak harus pontang-panting menghindari sergapan ekor ular yang menggila.
"Huaaaa ... sakittt ... "
Jeritan Senopati Taksaka Sunti semakin keras, dan bersamaan dengan terlukanya
siluman ular itu, Senopati Segawon Alas juga mengalami nasib yang tidak jauh
berbeda di tangan Gadis Naga Biru.
Mati dengan leher tertebas pedang!
"Kau ... kau bohong padaku, bocah!" geram Senopati Taksaka Sunti dengan masih
menggelepar-gelepar, sedang tangan kanan berusaha mencabut golok yang menancap
di pusar, tapi ia urungkan. Sebab jika sampai golok itu dicabut, itu sama saja
dengan mempercepat kematiannya.
"Di bagian mana aku berbohong padamu, siluman jelek!" seru Simo Bangak sambil
berkacak pinggang sebelah.
"Bukankah kau ingin ... memenggal leherku?"
"Sudah kulakukan!" jawab Simo Bangak enteng, sambil tangan kiri dan kanan saling
menggosok satu sama lain, sedang golok satunya sudah tertancap di tanah.
"Lalu kenapa kau ... menusuk pusarku" Aaah .... aaa ... " keluh kesakitan
Senopati Taksaka Sunti. "Sebenarnya aku yang pintar atau kau yang goblok, sih?" sahut si bocah dengan
tangan masih saling menggosok, "Aku tanya padamu."
"Katakan ... " "Berapa kali kau memberiku kesempatan menyerangmu?"
"Tiga kali!" "Nah, serangan pertama aku arahkan ke lehermu sesuai dengan permintaanku
padamu." tukas pewaris Sang Tanah, " ... orang bego namanya jika gagal di satu
tempat tidak mencoba tempat yang lain."
"Bukankah kau berjanji ingin menebas leherku tiga ... " ucap siluman ular dengan
menyeringai kesakitan saat asap hitam keluar dari bekas tusukan golok.
"Aku tidak berjanji begitu!" potong Simo Bangak cepat, "Janjiku padamu hanya
memenggal leher satu serangan, tapi tidak berjanji serangan berikutnya. Paham?"
"Kau ... kau ... dasar bocah licik!"
"He-he-he, kau sendiri yang licik! Bukankah tadi kau bilang tidak akan membalas,
kenapa malah menambah tenaga?"
Benar-benar bocah yang pandai bersilat lidah!
"Dan tadi juga kudengar dari mulut ularmu yang berbisa itu, 'jika kau tidak bisa
membunuhku, kau harus jadi pengikutku!' bukankah begitu?" tanya Simo Bangak
sambil terus menggosok-gosok ke dua telapak tangan semakin cepat, "Nah ...
sekarang kita lihat! Jika pada serangan ke tiga aku tidak bisa membunuhmu, aku
benar-benar akan menjadi pengikutmu. Tapi yang menjadi pengikutmu bukanlah
diriku jika aku gagal membunuhmu, tapi cuma mayatku! Paham?"
Kabut hitam dan putih mengepul keluar dari gosokan tangan yang dilakukan oleh
Simo Bangak, semakin lama semakin menebal.
Senopati Taksaka Sunti yang sedang dalam keadaan sekarat karena titik lemahnya
telah hancur, berulangkali berusaha mencabut Golok Hitam Taring Harimau. Baru
satu jari ditarik sudah dilepas lagi karena asap hitam mengepul keluar. Semakin
banyak asap hitam berbau amis keluar, semakin lemah pula daya tahan siluman ular
tersebut. "Anak muda ... kita buat kesepa ... katan ... "
"Wah ... jangan deh ... "
"Tolong ... lah, anak muda ... sekali ini saja."
"Wah, ngga bisa! Ini sudah keluar semua!" kata Simo Bangak semakin cepat
menggosok-gosokkan ke dua tangan. "Ngga bisa ditarik seenaknya saja!"
Woshh ... woshh ... ! Kabut hitam dan putih bergumpal-gumpal di kiri dan kanan kemudian membentuk dua
sosok harimau raksasa yang berdiri mengambang di udara yang bentuknya sangat
mirip dengan dua harimau peliharaan si bocah.
Itulah yang dinamakan sebagai 'Tapak Bukit Harimau'!
"Baiklah ... " "Terima kasih ... anak muda ... " potong Senopati Taksaka Sunti sambil menghela
napas. "Kau telah ... mengabul ... kan perminta ... anku."
"Baiklah, aku akan mengirimmu ke Sang Pencipta pada serangan ke tiga ini!" Simo
Bangak berkata melanjutkan ucapannya yang terpotong.
"Apa ... ?" seru Senopati Taksaka Sunti.
Belum lagi kekagetannya sirna, dua bentuk kabut yang berwujud harimau hitam dan
putih bergerak cepat laksana kilat seiring dengan lontaran telapak tangan Simo
Bangak. "Heeeaaaa ... !"
Wess! Sweeess ... ! Blarrr ... Glarrr!! Tubuh Senopati Taksaka Sunti hancur tercerai berai diterjang Ilmu 'Tapak Bukit
Harimau'. Tubuh siluman ular itu benar-benar hancur dan bisa dipastikan ia akan
menjadi keraknya neraka! Begitu hancur, langsung diselimuti asap hitam bergulung-gulung kemudian memudar
dengan pelan, dan akhirnya ... hilang, bersatu dengan alam yang menggulita dalam
kegelapan. "Maaf, ternyata kau terbunuh pada serangan ke tiga ... " ucap Simo Bangak sambil
memungut sepasang goloknya, lalu dimasukan ke dalam sarung golok yang ada di
pinggang kanan. " ... jadi aku tidak bisa menjadi pengikutmu!"
Bersamaan dengan tewasnya pimpinan mereka, beberapa ular jejadian tiba-tiba
meletus sendiri tanpa sebab dan pada akhirnya hilang mengasap.
Blush ... blushh ... ! Sedang ular-ular yang asli langsung semburat melarikan diri. Ada yang menyusup
ke dalam tanah, ada yang langsung melata dengan cepat dan bersembunyi di
rimbunnya pohon. "Pethak! Ireng! Biarkan saja mereka pergi!" perintah Simo Bangak saat melihat
dua harimaunya berniat mengejar mangsa yang lolos.
Grrrh ... grrhhh ... ! "I ya! Aku tahu! Tapi membiarkan lawan yang sudah kalah juga merupakan perbuatan
baik, bukan?" kata Simo Bangak sambil mengelus leher si Maung Ireng dan Maung
Pethak. "Kita berkumpul melindungi bintang ke delapan bersama Ketua!"
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Satu
Simo Bangak menghampiri tempat Paksi berada.
Begitu sampai sebuah sindiran pedas langsung keluar dari mulut seorang gadis.
"Sudah puas?" "Puas" Apanya?" tanya heran si bocah.
"Itu tuh ... meremas-remas milik orang lain?" sindir si gadis.
"He-he-he, kau juga kepingin, ya" Bilang dong!" kata Simo Bangak sambil
menjungkit-jungkitkan alis, lalu tangannya terulur ke depan.
"Satu jengkal lagi tanganmu maju, kutebas tangan busukmu dengan pedangku!"
bentak Retno Palupi sambil menarik sedikit pedang samurai yang ada di tangan
kiri. Jarak antara tangan Simo Bangak dengan dada membusung Retno Palupi hanya tinggal
setengah tombak. Pada mulanya bocah sinting itu ingin melanjutkan aksinya, tapi
begitu ia melihat tatapan berwibawa dari Paksi Jaladara, ia langsung
mengurungkan niatnya sambil berkata, "Jadi ngga nafsu nih ... "
Gineng hanya tertawa kecil mendengar celotehan ngawur si bocah bergolok.
"Dasar bocah bertangan jahil," gumamnya, "Pantasnya kau digelari Bocah Harimau
Bertangan Jahil ... "
Paksi justru menimpali ucapan kawan dekatnya, "Hem ... Bocah Harimau Bertangan
Jahil! Bagus juga sebutannya!"
"Betul! Sebutan itu lebih cocok baginya, tapi lebih cocok lagi jika diubah
menjadi Bocah Harimau Bertangan Jahil Berotak Mesum Tukang Remas Kurang Ajar
Bermulut Usil Tukang Intip Bermata Juling Ber ... "
"Berani kau tambahi dengan yang lebih jelek lagi, kucium habis kau!" ancam Simo
Bangak dengan mata melotot, pura-pura marah.
"Aah ... kalian ini! Kalau ketemu pasti perang mulut," gerutu Paksi Jaladara.
"Mungkin kalau mereka kakak adik pasti mereka sangat akrab satu sama lain,"
timpal Gineng sambil senyum-senyum melihat tingkah dua manusia beda kualitas
itu. "Punya adik macam dia?" tuding Retno Palupi ke arah jidat simo, "Bisa mati
berdiri aku!" "Memangnya aku juga mau punya kakak bawel sepertimu!" sahut Simo Bangak cepat
sambil membalik badan memunggungi Retno Palupi. "Ngga usah, ya?"
"Boro-boro punya, mikir punya adik tengil macam dirimu juga tidak!" balas Retno
Palupi sambil bersungut-sungut.
Paksi hanya geleng-geleng saja melihat perang mulut antara kekasihnya dengan
pewaris Sang Tanah, yang entah karena apa, Paksi berpikiran bahwa mereka berdua
cocok satu sama lain sebagai dua bersaudara. Meski tidak bermusuhan tapi sifat
keras kepala dan mau menang sendiri mereka benar-benar seperti tingkah laku dua
saudara kandung. Istilahnya ... teman bebuyutan!
-o0o- 'Ilmu Tongkat Daun Bambu Melayang' yang diwarisi Rintani dari si Kutu Buku
Berbambu Ungu berkelebatan dengan ganas dan liar. Meski pada dasarnya ia gadis
yang lemah lembut, namun menghadapi busur pertarungan yang aneh dan sulit
diterima dengan akal sehat tersebut, justru membuat gadis itu seperti harimau
betina yang berubah liar karena menghadapi kepungan para pemburu.
Wuuung ... wungg ... ! Tubuhnya berkelebatan cepat diiringi suara kesiuran tongkat panjang yang
menderu-deru. Hawa tenaga dalam pun memancar ke segala arah, sehingga gerakan
Rintani laksana bayangan pembawa maut.
Prakk! Prakk! Wutt! Gerakan tongkat mengait, menangkis, menusuk, memutar, menempel dan menebas yang
luar biasa telah dikerahkan secara maksimal oleh murid tunggal si Kutu Buku
Berbambu Ungu. Bahkan dengan pergeseran jurus tongkat yang tak terduga membuat
beberapa penghuni alam gaib kelabakan dibuatnya.
Wuuung! Rett! Rrrttt ... !
Tak pelak lagi, beberapa mahkluk alam gaib terkena sambaran angin yang
diakibatkan oleh jurus tongkat bambu itu berhamburan kesana kemari mengikuti
arah gerak tongkat, hingga nampak seperti daun kering melayang-layang di udara.
Bahkan belasan tuyul dan jin kecil-kecil terlihat menjerit-jerit mengeluarkan
suara yang mendirikan bulu roma.
Begitu berada pada puncaknya, Rintani melakukan liukan tajam ke bawah dengan
badan sedikit membungkuk ke depan sambil melakukan ayunan tongkat bambu dengan
cepat melalui jurus 'Daun Bambu Berguguran Dari Atap Langit' dimana tongkat
panjangnya melakukan gerakan menghantam tanah diikuti dengan hempasan hawa
tenaga dalam tinggi. Wutt! Wushh!! Dharr ... blarrr ... blarrr ... !
Belasan tuyul dan jin kecil-kecil bagai dibanting dari atas ketinggian. Begitu
menghantam tanah, langsung terdengar ledakan keras disertai kepulan asap hitam.
Beberapa jin kecil yang sempat selamat mengeluarkan pekik ngeri ketakutan. Baru
saja mereka terbebas dari jurus tongkat milik Rintani, tiba-tiba tanah tempat
mereka berpijak berubah melunak dengan cepat.
Blubb ... Blubb ... ! Mereka langsung terperosok masuk ke dalam tanah. Bahkan dalam jarak tiga empat
tombak, tanah yang ada di tempat itu juga melunak, lalu dengan cepat membentuk
pusaran tanah yang menyedot ke bawah. Akibatnya, ratusan penghuni alam gaib dari
Kerajaan Iblis Dasar Langit terjebak dalam pusaran tanah.
"Rupanya Kakang Seto sudah mengeluarkan ilmu kesaktiannya," pikir Rintani.
Lalu gadis itu segera memutar tongkat panjangnya di atas kepala.
Wukk ... wukkk ... ! Begitu putaran tongkat yang telah berubah seperti baling-baling terus dilempar
ke atas. Wutt ... ! Sampai pada jarak lima tombak dari atas ketinggian, Rintani segera berkelebat,
melenting ke atas. Tapp! Begitu mendarat di atas baling-baling yang berputaran di angkasa, sontak tubuh
gadis itu terseret pusaran baling-baling yang melayang-layang. Bukannya jatuh,
tapi justru dengan adanya gadis berbaju coklat-coklat yang menunggang tongkat
membuat pusaran tongkat semakin cepat dan menghasilkan jalinan udara membentuk
satu gulungan angin puyuh. Rupanya Rintani berniat menggunakan 'Ilmu Tongkat
Daun Bambu Melayang' pada jurus ke sembilan yang bernama 'Pusaran Angin Puyuh
Menyapu Daun'. Weeerrr ... werr ... !! Pusaran angin puyuh berputar-putar mengelilingi sekitar lokasi pertarungan,
melempar-lemparkan para penghuni alam gaib ke dalam pusaran tanah yang melunak.
Blubbb ... byurrr ... ! Beberapa gendruwo berilmu tinggi yang dihadapi Bidadari Berhati Kejam ikut
terseret masuk ke dalam pusaran angin puyuh, kemudian dilemparkan ke dalam
kubangan tanah. Begitu seterusnya, sampai sedikit demi sedikit jumlah lawan
berkurang. Saat melihat ada beberapa mahkluk yang berusaha meloloskan diri,
pusaran angin puyuh langsung menghantam dari samping.
Brakk! Akibatnya, mereka kembali tercebur ke dalam kubangan tanah lunak.
Tiga Golok Empat Pedang dari Perguruan Karang Patah yang saat itu sedang
kuwalahan menghadapi setan-setan berkepala besar dan ratusan tengkorak berjalan
bagai menemukan semangat baru saat melihat libasan angin puyuh yang semakin
mengencang dan menenggelamkan ratusan penghuni alam gaib.
Wutt! Wutt! Dengan serta merta mereka mengumpankan lawan ke arah pusaran angin, yang
langsung menelan begitu saja benda-benda yang ada dideaktnya. Bahkan salah
seorang diantara Tiga Golok yang tangan kanannya putus akibat tersambar tulang
kering yang digunakan tengkorak berjalan sebagai senjata dengan sigap
mengelebatkan golok di tangan kiri ke arah kumpulan beberapa mahkluk yang
berniat membokong salah seorang saudaranya.
"Dasar setan keparat!"
Tubuhnya berkelebat cepat, dan entah dengan cara bagaimana, lima mahkluk
langsung terhumbalang jatuh. Tercebur ke dalam kubangan tanah lunak.
Begitu melihat bahwa tinggal beberapa gelintir lawan saja yang masih selamat,
sedang sebagian besar masuk ke dalam kubangan tanah lunak, Rintani berteriak
dari atas, "Kakang Seto! Sekarang giliranmu!"
Begitu nama Seto disebut, tiba-tiba terjadi keanehan. Tanah yang semula lembek,
lunak dengan cepat berubah mengeras dari arah pinggir ke tengah, bahkan mungkin
lebih keras dari sebelumnya.
Krakk! Krakk! Krakk!! "Aaaa ... !! Arghh ... !! Uaghhh ... !!"
Terdengar jerit kematian saat para penghuni alam gaib yang berjumlah ribuan
terbenam ke dalam tanah yang mengeras. Bahkan ada beberapa setan kecil yang
terseret masuk ke dalam pusaran tanah langsung tewas mengeluarkan asap hitam
pekat sebelum tanah berubah menjadi keras seperti sekarang ini.
Krakk! Krakk! Grhh! Tanah mengeras ... mengeras ... dan akhirnya ... seluruh tanah yang ada dalam
jarak lima enam tombak telah membatu sempurna.
Dan akibatnya ... Blushh ... blushh ... bubbb ... blesshh ... !
Terdengar letupan disana-sini yang terdengar saling bersahut-sahutan dan
bersamaan dengan itu pula, kembali medan pertarungan diselimuti gumpalan asap
hitam pekat bergulung-gulung yang menebarkan bau busuk menyengat. Jika
sebelumnya hanya satu persatu kepulan asap hitam, kali ini justru terjadi secara
massal. Begitu asap sirna, terlihat seorang pemuda gagah berbaju loreng berdiri kokoh
dengan sabuk hitam tebal melilit pinggang. Dialah Seto Kumolo, Ketua Perguruan
Gerbang Bumi, yang mengukir nama besar Sabuk Hitam Macan Loreng!
Bersamaan dengan musnahnya penghuni alam gaib yang terjebak dalam kubangan
tanah, pusaran angin puyuh langsung mereda, dan akhirnya ...
Wutt! Jlegg! Rintani berdiri dengan anggun, dimana tongkat tergenggam cantik di tangan kanan,
berjajar dengan Seto Kumolo. Kali ini, pemuda yang juga kekasih dari Rintani
telah mengerahkan Ilmu 'Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi' tingkat ke sepuluh yang
bernama jurus 'Sedot Bumi Serap Nyawa'!
Dan hasilnya adalah kemenangan yang cantik untuk mereka berdua!
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Dua
"Syukurlah, kakang! Kita selamat!" ucap Rintani.
"Benar! Untung aku tadi menggunakan tingkat sepuluh, pada mulanya aku ragu-ragu
bisa menuntaskan mereka." ujar Seto Kumolo, lalu sambungnya, "Bayangkan saja ...
kita berkelahi dengan mahkluk halus yang umumnya hanya bisa dilihat dengan


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunakan ilmu-ilmu gaib."
"Aku sendiri juga heran, kakang! Kenapa kita bisa melihat mereka seperti melihat
orang biasa, padahal biasanya merekalah yang bisa melihat kita, tapi kita
sendiri tidak tahu bagaimana wujud aslinya."
"Sebab saat ini sedang terjadi Gerhana Matahari Kegelapan, maka mereka bisa
terlihat jelas," sahut seseorang dari arah belakang.
Siapa lagi jika bukan Raja Pemalas!
Berturut-turut pula Raja Penidur, utusan Partai Ikan Terbang, orang-orang
Perguruan Perisai Sakti bersama Perisai Baja Bermata Sembilan, di belakangnya
menyusul kemudian Tiga Golok Empat Pedang dari Perguruan Karang Patah, sedang
Bidadari Berhati Kejam, Juragan Padmanaba dan Nawala yang bersenjatakan Tombak
Ekor Naga datang belakangan setelah membereskan dua sundel bolong dan satu
kuntilanak yang tersisa. Tentu saja sisa penghuni alam gaib yang tersisa sudah
tidak bisa melanjutkan pertarungan karena kehilangan semangat akibat teman-teman
mereka sudah mengasap di telan kegelapan malam. Dan yang pasti, dengan adanya
gerhana matahari kegelapan justru membuat kekuatan para bangsa siluman itu
mengalami penurunan yang cukup berarti. Hal inilah yang tidak disadari oleh
kedua belah pihak yang bersengketa.
Beberapa orang diantara mereka mengalami luka luar dan dalam yang cukup serius.
Salah satu dari Tiga Golok langsung mendapat pengobatan seperlunya untuk
menghentikan pendarahan. Wiratsoko sendiri mengalami patah tulang kaki saat
berusaha menghindari sergapan dari delapan tuyul besar yang mengeroyoknya,
termasuk pula Perisai Baja Bermata Sembilan harus menderita cakaran di bagian
punggung saat berusaha menolong sang murid.
Yang paling parah justru salah seorang dari utusan Partai Ikan Terbang yang
bernama Pancasaka karena harus kehilangan sepasang kaki. Hal ini terjadi tatkala
Pancasaka diserang dari atas bawah oleh empat Siluman Kelelawar Penghisap Darah,
meski bisa menghabisi semuanya, tapi ia harus merelakan sepasang kaki sebagai
tumbal pengganti nyawa. Akan halnya Wanengpati dan Kakek Pemikul Gunung masih dalam posisi semula,
berada di atas pucuk pohon. Memang sudah direncanakan sebelumnya, bahwa apa pun
yang terjadi di tempat itu, pasangan dalang ayah anak itu harus tetap di posisi
semula mengawasi keadaan.
"Ayah, sebenarnya apa yang kita tunggu disini?" tanya Wanengpati sambil
mengelus-elus gagang Keris Kiai Wisa Geni yang kini ada di depan tubuhnya,
diselipkan melintang dalam posisi siap tarung.
"Entahlah, Ayah sendiri juga tidak tahu," desah Kakek Pemikul Gunung, " ...
hanya saja Paksi berpesan bahwa kita merupakan ujung tombak dari menang tidaknya
pertarungan yang mustahil terjadi di rimba persilatan saat ini."
"Coba ayah lihat, bukankah sudah banyak dari para penghuni alam gaib yang
tewas ... " kata Wanengpati dalam keresahan, "Apalagi yang kita tunggu?"
Kakek Pemikul Gunung hanya terdiam tanpa kata. Tiba-tiba saja, bulu kuduknya
sedikit meremang. "Hemmm ... Aji 'Pameling Inti Rasa'-ku menangkap sinyal gaib yang lebih besar
lagi sedang menuju ke tempat ini," batin si Kakek Pemikul Gunung, lalu ia
berkata, "Anakku! Lebih baik kau bersabar sedikit," setelah berhenti sebentar,
ia kembali melanjutkan, " ... sebab aku yakin sekali bahwa sebentar lagi akan
terjadi sesuatu luar biasa di tempat ini."
"Dengan dasar apa ayah bisa berkata seperti itu?"
"Gunakan saja Aji 'Pameling Inti Rasa'-mu."
Tanpa menunggu tempo lama, Wanengpati segera merapal Aji 'Pameling Inti Rasa',
sehingga dalam benaknya terdapat kilasan-kilasan kejadian yang kemungkinan besar
akan terjadi di tempat ini.
Bahaya besar yang datangnya dari alam gaib!
"Kita harus bersip-siap, Ayah!"
Pada saat yang bersamaan pula, Pasukan Manusia Rawa yang semula berjumlah
puluhan orang, kini membengkak jumlahnya hingga ratusan sosok manusia berlendir
dengan tempurung kura-kura di punggungnya. Memang ada satu kelebihan dari
pasukan lendir yang dimiliki oleh Jin Kura-Kura, sebab setiap luka tubuh atau
potongan tubuh mereka akan berubah wujud menjadi sosok yang sama rupa dan sama
bentuk serta dengan kemampuan yang sama pula dengan asalnya. Jika salah satu
Manusia Rawa tewas akan muncul empat Manusia Rawa baru, namun jika satu siluman kalajengking tewas akan langsung tewas
mengasap. "Huaa ... !" Kala Hijau dan Kala Kuning pun harus merelakan nyawa siluman mereka lenyap di
tangan puluhan Manusia Rawa yang mengerubutinya dari segala arah. Sehebathebatnya siluman, tentu masih ada batas kemampuan tertinggi yang mereka miliki.
Blushh .. blusshh ... ! Begitu Kala Hijau dan Kala Kuning tewas, sasaran Manusia Rawa beralih ke Kala
Biru. "Huaghh ... arrghh ... !"
Suara serak para Manusia Rawa terdengar nyaring, seakan berusaha merontokkan
nyali Kala Biru, sedang yang dikerubuti berusaha sebisa mungkin mempertahan
diri. Terlihat dengan jelas bagaimana Kala Biru membagi-bagi serangan dengan
sengatnya yang berwarna biru kehitaman.
Crass, cras, jrebb!! Dua Manusia Rawa langsung tewas tersentuh sengat berbisa itu, namun dengan aneh
pula, dari tubuh Manusia Rawa yang telah tewas tiba-tiba saja mengepulkan asap
hijau bergulung-gulung. Blabb! Begitu asap hijau menghilang, terlihat delapan Manusia Rawa sudah berdiri sambil
menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi runcing mereka. Dan tanpa dikomando,
langsung menyerang Kala Biru yang saat itu sedang sibuk melayani empat Manusia
Rawa. "Krakhhh ... !"
Dengan masuknya delapan lawan baru, Kala Biru semakin sulit dalam menghadapi
lawan. Dan pada akhirnya, siluman kalajengking berkepala manusia pun harus
menyusul saudara-saudaranya menghadap Sang Pencipta.
"Aaaakh ... !" Jerit lengking kesakitan terdengar saat salah satu dari Manusia Rawa
menyarangkan kuku-kuku jari mereka yang berlendir ke dalam dada tepat di ulu
hati, dan begitu ditarik keluar ...
Slapp! Sebuah benda merah tua tergenggam di tangan, lalu dibanting ke tanah dengan
keras. Blarrr! Blushhh ... ! Tubuh Kala Biru langsung mengasap menimbulkan bau menyengat seperti daging yang
terbakar. Kala Biru pun tewas! Melihat lawan tarung sudah berkurang banyak, para Manusia Rawa mengalihkan
sasaran. Dan kali ini Pasukan Kuda Iblis menjadi target berikutnya.
Benar-benar pasukan yang mengerikan!
"Manusia berlendir itu benar-benar mengerikan!" desis Juragan Padmanaba. "Aku
sendiri sampai merinding melihat kekejaman mereka."
"Untunglah mereka ada di pihak kita," sahut Nawala, " ... jika tidak, mungkin
kita tidak bisa mengatasi mereka."
"Aku sendiri juga takjub dengan kekuatan Manusia Rawa itu," kata Perisai Baja
Bermata Sembilan, Ketua Perguruan Perisai Sakti, "Karena baru kali ini aku
saksikan petarung sejenis ini yang kalau mati bisa hidup kembali, bahkan
jumlahnya menjadi empat kali lipat banyaknya."
Beberapa diantara Pasukan Manusia Rawa langsung berjibaku sebagian Pasukan Kuda
Iblis yang sedang bertarung sengit dengan Ayu Parameswari dan Nawara. Tentu saja
dua dara cantik itu pada mulanya kaget mengetahui ada pihak lain yang masuk ke
kancah pertarungan mereka berdua. Tapi begitu melihat bahwa pihak tersebut
justru menyerang para siluman kuda berkepala manusia dan membantu mereka,
membuat dua dara itu tersenyum lega.
Nawara langsung meninggalkan para siluman kuda dan menerjang ke arah Senopati
Jaran Panoleh yang beradu keras dengan murid tunggal Nini Naga Bara Merah.
Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib di tangan kanan berkelebat kesana kemari
mengurung lawan dari atas ketinggian lewat jurus 'Pedang Menari Diantara
Kumpulan Rajawali'! Syutt! Sratt! Hawa pedang segera mengepung ruang gerak Senopati Jaran Panoleh yang saat itu
sedang menghindari terjangan hawa naga merah yang meluncur dari tendangan 'Naga
Bayangan Membuka Pintu' yang dilancarkan Ayu Parameswari dari depan yang
mengarah ke ulu hati. "Brengsek! Pedang sialan itu ternyata mengarah padaku!" batin Senopati Jaran
Panoleh. "Menghindar pun sudah tidak bisa."
Tanpa tempo lama, senopati bermuka kuda yang langsung mengerahkan tenaga
gabungan 'Ilmu Baju Besi Iblis' tingkat emas dan 'Tenaga Gaib Siluman Kuda'
tingkat puncak. "Hieghh ... !!"
Bayangan kuda raksasa keemasan terbentuk sempurna disertai ringkikan keras
dengan dua tangan terkepal di samping, Senopati Jaran Panoleh dengan berani
menahan sengatan hawa naga yang dikerahkan lawan.
Dhess ... ! Hawa naga melenceng ke samping saat membentuk dinding pelapis tubuh berbentuk
bayangan kuda raksasa keemasan yang dibangun oleh Senopati Jaran Panoleh.
Wess ... ! Dhuarrr ... ! Justru pantulan hawa naga mengenai salah seorang dari Pasukan Kuda Iblis yang
langsung tewas seketika. Siing! Swiing! Triing! Triing!
Bersamaan dengan itu pula, hawa pedang segera mengepung rapat ruang gerak lawan
sehingga terdengar dentingan nyaring disertai percikan api saat terjadi benturan
dengan dinding pelapis kuning keemasan. Melihat serangan hawa pedang kandas,
dara murid Rajawali Alis Merah langsung melanjutkan dengan lontaran 'Pukulan
Paruh Rajawali' dari tangan kiri.
Wutt! Bleggarrr ... ! Larikan sinar merah patah-patah langsung menghantam dinding pelapis yang
dibangun Senopati Jaran Panoleh. Dinding pelapis pun hancur berkeping-keping.
"Hebat sekali pukulan gadis berpedang itu," pikir senopati yang bermuka kuda
dengan rumbai hitam di belakang kepala. "Dinding pelindung tenaga gabungan pun
bisa dirontokkannya!"
Melihat gadis bersulam rajawali terpental, pimpinan siluman kuda itu tanpa
mengatur napas kembali segera mengejar lawan dengan sepasang kaki melancarkan
jurus tendangan 'Kuda Putih Membumihanguskan Daratan' ke arah Nawara yang sedang
dalam posisi tidak menguntungkan.
Bukk! Buk! Bukk!! Bayangan kaki kuda langsung menghujani sekujur tubuh dara cantik berbaju putihputih dengan sulaman rajawali. Puluhan bahkan mungkin ratusan tendangan
bertenaga dalam tinggi dari jurus 'Kuda Putih Membumihanguskan Daratan' mengenai
tubuh Nawara dengan telak. Tidak ada kesempatan bagi gadis itu untuk melindungi
diri dari serangan dadakan lawan. Seluruh tubuh gadis itu rasanya seperti
dihantam dengan palu ribuan kali. Saat antara sadar dan tidak sadar akibat
rapatnya tendangan lawan, tiba-tiba saja, terjadi suatu keajaiban!
Dari tubuh Nawara keluar cahaya terang hijau kekuning-kuningan membentuk
bayangan rajawali raksasa dan bersamaan pula dengan Pedang Giok Hijau Rajawali
Gaib yang ada di tangan kanan ikut serta memancarkan cahaya hijau kekuningkuningan yang berpencar ke segala arah.
Swoshh! Sriiing ... ! Tanpa disadari sendiri oleh Nawara, bahwa dirinya telah dikendalikan oleh
sebentuk kekuatan roh gaib yang berasal dari Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib
milik Dewa Rajawali Sakti. Namun kekuatan yang merasuk ke dalam dirinya bukanlah
sesuatu yang jahat atau pun sesat, tapi sebuah kekuatan lurus yang pada jaman
dahulu pernah dimiliki pendekar sakti mandraguna yang berjuluj Dewa Rajawali
Sakti, dimana pada saat menjelang tidur abadinya, telah memasukkan semua ilmu
kesaktian yang dimilikinya ke dalam pedang pusaka yang menjadi senjata
pamungkasnya. Pedang yang kini berada di tangan gadis dari Benteng Dua Belas Rajawali!
Senopati Jaran Panoleh yang sudah merasakan tarian kemenangan sudah berada di
depan mata, langsung buyar seketika saat mengetahui bahwa tendangan kakinya
seperti menyentuh kumpulan kapas yang empuk dan lunak.
"Tenaga Inti Sukma Rajawali!" serunya sambil berusaha menarik mundur sepasang
kakinya. "Mustahil!"
Saat siluman bermuka kuda itu baru menarik satu kaki kanan, mendadak pedang di
tangan gadis itu dilemparkan ke atas.
Syutt! Pedang melayang-layang berputaran beberapa kali bagai seekor rajawali betina
yang melindungi sarangnya dari ancaman lawan. Diikuti suara pekikan rajawali
membahana, pedang yang memancarkan cahaya aneh itu segera meluncur ke bawah
dengan kecepatan tinggi. Itulah yang dinamakan jurus 'Rajawali Liar Melindungi Sarang'!
Wuss ... ! Sratt! Sratt! Kaki kanan Senopati Jaran Panoleh langsung terpotong putus menjadi dua bagian,
dimana pada bekas sayatan pedang masih terdapat pendaran cahaya hijau
kekuningan. Blukk! Blushh ... ! "Huaghh ... hieghhh ... tobbaaattt ... !"
Nawara tampak melayang di udara dengan tangan terentang lurus ke kiri kanan.
"Kuda Randana! Ternyata kau telah ingkar janji!"
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Tiga
Sebuah suara teguran keluar dari mulut Nawara, tapi bukan suara merdu Nawara
yang terdengar justru suara berat seorang laki-laki yang berat berwibawa.
Mendengar suara berat itu, selebar wajah Senopati Jaran Panoleh langsung
memucat! Dirinya tahu betul yang mengetahui nama aslinya hanya dua orang. Yang pertama
tentulah Sang Maharaja Agung Kerajaan Iblis Dasar Langit tempat ia mengabdi
selama ratusan tahun, dan yang kedua adalah Ketua Padepokan Sangga Buana yang
bergelar Dewa Rajawali Sakti yang telah mengalahkannya tewat pertarungan tiga
hari tiga malam. "Ampunkan hamba ... Ketua ... !" kata Senopati Jaran Panoleh sambil duduk
menyembah. "Kali ini saya akan menepati janji!"
"Tidak! Satu kali ampunan sudah cukup bagimu!" bentak suara berat dari mulut
Nawara. Tentu saja perbuatan Senopati Jaran Panoleh dan apa saja yang terjadi di arena
maut tersebut bisa diketahui semua orang yang ada di tempat itu.
"Kali ini hamba benar-benar akan meninggalkan Istana Iblis Dasar Langit untuk
selamanya, ketua!" janji sang senopati dengan kepala menunduk.
"Aku sudah menetapkan hukuman, tidak bisa ditarik begitu saja, Kuda Randana!"
Suara berat Nawara yang diduga adalah roh gaib dari Dewa Rajawali Sakti yang
masih melayang-layang di udara, terlihat merangkap tangan di depan dada, sedang
Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib terlihat berdiri tegak lurus dengan ujung mata
pedang menghadap ke bawah sejarak satu jangkauan tangan.
Woshh ... swirrr ... wuuungg ... !
Terdengar desau angin tajam saat sepasang telapak tangan yang merangkap di depan
dada sang dara. Bersamaan dengan suara desiran angin, seluruh tubuh murid
Rajawali Alis Merah terlihat diselimuti cahaya tipis bening hijau kekuningkuningan, lalu diikuti dua telapak tangan yang semula merapat sedikit merenggang
satu jengkal. Akan tetapi, yang terlihat cukup tebal cahaya bening hijau
kekuning-kuningan terletak bagian tengah telapak tangan yang sedikit merenggang
yang perlahan namun pasti membentuk bola cahaya bening hijau kekuning-kuningan.
Senopati Jaran Panoleh yang duduk menyembah langsung pucat pasi melihat tata
ilmu yang sedang digelar di depan matanya. Dengan ilmu itu pulalah, yang
memaksanya berjanji selama hidup pada Dewa Rajawali Sakti untuk berbuat
kebaikan, tapi justru ia ingkari semenjak tokoh utama dari Padepokan Sangga
Buana meninggal dunia. Ilmu 'Pukulan Terakhir Penentu Takdir'!
"Celaka dua belas! Kali ini aku benar-benar akan mati mengenaskan!" batin
Senopati Jaran Panoleh dengan muka pias.
Jika sebelumnya tarian kemenangan sudah berada dalam genggaman, dalam waktu
sekedipan mata saja sudah berubah menjadi panggilan kematian!
Sementara itu, Ayu Parameswari yang sebelumnya gagal lewat tendangan 'Naga
Bayangan Membuka Pintu', kini juga sudah bersiap-siap menggunakan jurus
pamungkasnya. Belum sampai ia merapal ilmu itu, sebuah suara berat menahan
langkahnya. "Murid Nini Naga Bara Merah!" kata Nawara. "Biarkan aku saja yang mengantarnya
ke alam kelanggengan!"
Ayu parameswari tertegun. Namun melihat sorot mata berwibawa dari Nawara yang
sedang mengerahkan ilmu kesaktiannya terlihat memerintah, membuatnya tanpa sadar


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melepas kembali jurus pamungkasnya.
"Kenapa aku ini" Suara itu ... terdengar sangat agung dan tak bisa dibantah,"
pikir si gadis berbaju merah. "Lebih baik aku lihat dulu apa yang terjadi, baru
bertindak," lanjutnya membuat keputusan.
Dalam pada itu, Senopati Jaran Panoleh yang dalam kondisi patah semangat,
seperti mendapat kekuatan tambahan, mendadak ia bangkit berdiri, meski cuma
dengan kaki kiri. "Dewa Rajawali Sakti! Aku akan melawanmu habis-habisan!" seru Kuda Randana atau
Senopati Jaran Panoleh. "Bagus! Itu lebih baik daripada kau menunggu kematian!"
Kemudian senopati bermuka kuda mengerahkan semua ilmu-ilmu kesaktian yang
dimilikinya. Setelah kalah dari ketua padepokan sangga buana dan sembuh dari
luka-lukanya, Kuda Randana mulai mencoba menggabungkan seluruh ilmu dan jurus
siluman yang dimilikinya yang pada akhirnya terciptalah satu jurus pukulan yang
bernama 'Pukulan Tapak Kuda' dan satu jurus tendangan yang dinamai 'Tendangan
Kaki Kuda', dimana ilmu ini merupakan gabungan antara 'Ilmu Baju Besi Iblis'
tingkat emas, 'Tenaga Gaib Siluman Kuda' tingkat akhir, Ilmu Silat 'Kuda Iblis'
dan daya gaib dari Permata Setan yang diberikan oleh Sang Maharaja Agung padanya
setelah ia mengalami kekalahan pada masa ratusan tahun silam.
Jrasss .... srasss ... !!
Begitu ia menghimpun tenaga silumannya, seluruh tubuh Senopati Jaran Panoleh
dilingkupi sinar kuning keemasan berbentuk kuda emas raksasa dan sinarnya
memancar ke segala arah. Pyarrr ... ! Sinar itu begitu menyilaukan mata sehingga Ayu Parameswari harus menutup kelopak
matanya dengan segera. "Ilmumu telah maju pesat, Kuda Randana!" kata Nawara yang disusupi roh gaib Dewa
Rajawali Sakti, dimana saat itu himpunan hawa sakti dari Ilmu 'Pukulan Terakhir
Penentu Takdir' sudah pada tataran puncak.
"Sekarang ... terimalah ajalmu!" bentak Nawara sambil mendorong bola cahaya
seukuran buah kelapa dan dibelakangnya masih diikuti dengan luncuran Pedang Giok
Hijau Rajawali Gaib melayang cepat seakan mendorong maju bola sinar itu ke arah
Senopati Jaran Panoleh. Wutt! Woooshh ... !! Pusaran badai angin menderu-deru langsung menerjang maju ke arah lawan yang
dengan sigap pula langsung membalas dengan melakukan rentetan serangan
mematikan. Plakk! Plakk! Duess!! Ratusan bentuk tapak dan tendangan kuda berusaha membendung laju bola sinar dari
Ilmu 'Pukulan Terakhir Penentu Takdir', namun semuanya kandas, bahkan ada dari
beberapa bayangan tapak dan tendangan lawan yang justru menyerang balik
pemiliknya sendiri. Plakk! Drakk! Brakk!! "Heeigghhh ... !"
Senopati Jaran Panoleh meringkik nyaring dan bersamaan dengan suara ringkikan,
di antara celah bayangan tapak dan tendangan, sebentuk tapak kuda raksasa dan
tendangan kuda raksasa menerobos masuk ke dalam kepungan.
Wutt! Wutt! Blammm .... !
Akhirnya, bola sinar hijau kekuning-kuningan yang berasal dari Ilmu 'Pukulan
Terakhir Penentu Takdir' dikeroyok dua jenis ilmu siluman tingkat tinggi yaitu
'Pukulan Tapak Kuda' dan 'Tendangan Kaki Kuda' yang digunakan oleh Senopati
Jaran Panoleh dalam usaha mempertahankan selembar nyawanya. Gesekan keras
membahana membuat guncangan hebat di atas bumi. akibatnya, semua tapak dan
tendangan hancur musnah. Senopati Jaran Panoleh terkesima melihat ilmu pamungkasnya tidak bisa menahan
luncuran serangan Dewa Rajawali Sakti.
Bleegarrr ... ! Kembali terdengar suara keras bagai guntur memecah langit di saat bola cahaya
hijau kekuning-kuningan berhasil menembus dinding pertahanan yang dibangun
siluman bermuda kuda dan pada akhirnya layaknya bor langsung melesak masuk ke
dalam dada lawan dan tembus hingga ke punggung.
Brassh ... ! Senopati Jaran Panoleh hanya bisa ternganga saat melihat dinding pertahanannya
jebol dan tidak ada teriakan kesakitan sedikit pun saat dadanya ditembus bor
cahaya. Bersamaan dengan melesak masuknya bor cahaya, mulut kuda randana
terlihat meruncing cepat dan ...
Cuhh! Sebentuk ludah kental kuning kusam dari jurus 'Air Liur Kuda Binal' meluncur
cepat ke arah Nawara. Cesss! Saat bersentuhan dengan selubung cahaya tipis bening hijau kekuning-kuningan,
ludah langsung mendidih pertanda adanya racun yang disertakan dalam ludah
tersebut. Bersamaan dengan itu gagalnya serangan ludah, tubuh senopati jaran
panoleh langsung ambruk ke tanah dengan dada berlubang sebesar buah kelapa!
Brughh! Blushhh ... ! Begitu menyentuh tanah, langsung mengeluarkan kepulan asap hitam berbau bangkai
menyengat hidung. Akhirnya senopati paling tangguh dari Kerajaan Iblis Dasar
Langit kalah di tangan musuhnya ratusan tahun silam yang merasuk ke dalam raga
Nawara. Begitu melihat Kuda Randana tewas, roh gaib yang bersemayam ke dalam raga Nawara
segera keluar dan masuk kembali ke dalam pedang yang kini tertancap di tanah,
tempat dimana sebelumnya Senopati Jaran Panoleh mempertahankan diri.
Srepp!! Nawara langsung lemas dan jatuh dari ketinggian dalam keadaan pingsan.
Brughh! Celakanya, punggung dara cantik murid Rajawali Alis Merah justru tepat menimpa
ceceran ludah yang sebelumnya gagal mengenai dirinya akibat terlindung oleh roh
gaib Dewa Rajawali Sakti. Begitu menyentuh punggung, cairan ludah langsung
meresap masuk tubuh dan akibatnya, tubuh gadis itu langsung merah membara
seperti kepiting rebus serta sekujur tubuhnya laksana diamuk birahi tinggi dan
dengus napas yang panas. Memang jurus 'Air Liur Kuda Binal' merupakan senjata
gelap beracun yang acapkali digunakan Kuda Randana untuk menjebak lawan tangguh
terutama sekali jika lawannya seorang gadis cantik, tentulah akan langsung
bereaksi dengan cepat. Tidak ada obat yang bisa menawarkan racun birahi ini selain kematian yang
mengenaskan! Ayu Parameswari yang melihat Nawara pingsan, langsung memburu ke arah gadis itu
sambil menyambar pedang Nawara.
"Celaka! Dia keracunan!" gumam Ayu Parameswari setelah memasukkan kembali pedang
ke dalam sarungnya. "Kampret juga dia! Sudah mau mati saja, masih bisa
mencelakai orang lain!"
Saking bingungnya, ia berteriak ke arah Nawala, "Nawala, cepat kesini!"
Tentu saja Nawala yang semula melihat hal menakjubkan terjadi di depan matanya
yang membuatnya terpesona, langsung sadar diri saat melihat tubuh saudara
kembarnya jatuh terkulai di tanah. Saat Ayu memanggil dirinya, ia sudah berjarak
dua langkah dri tempat gadis itu berjongkok.
"Nawara kenapa, Ayu?" tanya Nawala dengan cemas.
"Dia keracunan!"
"Kita bawa saja ke tempat Paksi! Biar dia yang mengobati!"
Tanpa menunggu jawaban, Nawala langsung mengangkat Nawara dan berkelebat ke arah
teman-temannya berkumpul, dan segera saja Si Elang Salju memasukkan satu Buah
Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka ke dalam mulut Nawara. Karena dalam keadaan
pingsan, Paksi menotok beberapa urat leher si gadis agar buah obat tersebut bisa
masuk ke dalam perut. Nawala yang pernah melihat benda putih berbau harum itu hanya diam saja, sebab
dirinya sendiri pernah mencicipi air rendaman Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa
Luka saat Jin Kura-Kura mengobati teman-temannya yang terluka sebelumnya.
Satu helaan napas berlalu.
Dua ... tiga ... hingga sepuluh helaan napas telah terlampaui, tapi kondisi
Nawara tetap pingsan seperti sebelumnya, hanya kali ini hawa panas yang merasuk
ke dalam tubuh gadis itu telah turun drastis, tapi rona merah pucat tetap
terlihat di seluruh tubuhnya. Yang lebih aneh lagi, dalam kondisi pingsan akibat
keracunan jurus 'Air Liur Kuda Binal' justru dara berbaju putih itu terlihat
lebih menarik, lebih cantik dan menawan hati.
"Aneh, kenapa tidak ada reaksi sama sekali," gumam Paksi sambil matanya tak
lepas memandang seraut wajah cantik Nawala.
Retno Palupi yang duduk berjongkok di sebelah pemuda itu bukannya tidak tahu
tatapan mata Paksi tidak lepas dari wajah Nawala, bahkan Gadis Naga Biru
tersenyum tipis melihatnya.
"Akhirnya, Kakang Paksi sadar juga bahwa Nawala juga bisa mencuri sebagian dari
hatinya," pikir Retno Palupi, "Dengan begitu aku tidak perlu repot-repot merayu
kekasihku ini agar bisa menerima kehadiran Nawala di hatinya. Semoga saja,
hubungan kami bertiga baik-baik saja," pikir si gadis kemudian, " ... dan yang
pasti, semoga Kakang Paksi bisa bersikap adil terhadap kami berdua."
Dasar gadis aneh! Bisa-bisanya ia berpikir seperti itu di saat kondisi menegangkan seperti
sekarang ini. Tiba-tiba, Gineng memecah kesunyian.
"Den Paksi, racun itu tidak akan bisa diobati dengan satu cara," tutur Gineng,
sambungnya, "Namun, untuk sementara, racun ini tidak akan membahayakan nyawa
gadis ini." "Ya, aku juga tahu, Kakang Gineng!" kata Paksi sambil bangkit berdiri, "Retno,
tolong kau jaga Nawara!"
"Beres!" -o0o- Sebuah suara teguran keluar dari mulut Nawara, tapi bukan suara merdu Nawara
yang terdengar justru suara berat seorang laki-laki yang berat berwibawa.
Mendengar suara berat itu, selebar wajah Senopati Jaran Panoleh langsung
memucat! Dirinya tahu betul yang mengetahui nama aslinya hanya dua orang. Yang pertama
tentulah Sang Maharaja Agung Kerajaan Iblis Dasar Langit tempat ia mengabdi
selama ratusan tahun, dan yang kedua adalah Ketua Padepokan Sangga Buana yang
bergelar Dewa Rajawali Sakti yang telah mengalahkannya tewat pertarungan tiga
hari tiga malam. "Ampunkan hamba ... Ketua ... !" kata Senopati Jaran Panoleh sambil duduk
menyembah. "Kali ini saya akan menepati janji!"
"Tidak! Satu kali ampunan sudah cukup bagimu!" bentak suara berat dari mulut
Nawara. Tentu saja perbuatan Senopati Jaran Panoleh dan apa saja yang terjadi di arena
maut tersebut bisa diketahui semua orang yang ada di tempat itu.
"Kali ini hamba benar-benar akan meninggalkan Istana Iblis Dasar Langit untuk
selamanya, ketua!" janji sang senopati dengan kepala menunduk.
"Aku sudah menetapkan hukuman, tidak bisa ditarik begitu saja, Kuda Randana!"
Suara berat Nawara yang diduga adalah roh gaib dari Dewa Rajawali Sakti yang
masih melayang-layang di udara, terlihat merangkap tangan di depan dada, sedang
Pedang Giok Hijau Rajawali Gaib terlihat berdiri tegak lurus dengan ujung mata
pedang menghadap ke bawah sejarak satu jangkauan tangan.
Woshh ... swirrr ... wuuungg ... !
Terdengar desau angin tajam saat sepasang telapak tangan yang merangkap di depan
dada sang dara. Bersamaan dengan suara desiran angin, seluruh tubuh murid
Rajawali Alis Merah terlihat diselimuti cahaya tipis bening hijau kekuningkuningan, lalu diikuti dua telapak tangan yang semula merapat sedikit merenggang
satu jengkal. Akan tetapi, yang terlihat cukup tebal cahaya bening hijau
kekuning-kuningan terletak bagian tengah telapak tangan yang sedikit merenggang
yang perlahan namun pasti membentuk bola cahaya bening hijau kekuning-kuningan.
Senopati Jaran Panoleh yang duduk menyembah langsung pucat pasi melihat tata
ilmu yang sedang digelar di depan matanya. Dengan ilmu itu pulalah, yang
memaksanya berjanji selama hidup pada Dewa Rajawali Sakti untuk berbuat
kebaikan, tapi justru ia ingkari semenjak tokoh utama dari Padepokan Sangga
Buana meninggal dunia. Ilmu 'Pukulan Terakhir Penentu Takdir'!
"Celaka dua belas! Kali ini aku benar-benar akan mati mengenaskan!" batin
Senopati Jaran Panoleh dengan muka pias.
Jika sebelumnya tarian kemenangan sudah berada dalam genggaman, dalam waktu
sekedipan mata saja sudah berubah menjadi panggilan kematian!
Sementara itu, Ayu Parameswari yang sebelumnya gagal lewat tendangan 'Naga
Bayangan Membuka Pintu', kini juga sudah bersiap-siap menggunakan jurus
pamungkasnya. Belum sampai ia merapal ilmu itu, sebuah suara berat menahan
langkahnya. "Murid Nini Naga Bara Merah!" kata Nawara. "Biarkan aku saja yang mengantarnya
ke alam kelanggengan!"
Ayu parameswari tertegun. Namun melihat sorot mata berwibawa dari Nawara yang
sedang mengerahkan ilmu kesaktiannya terlihat memerintah, membuatnya tanpa sadar
melepas kembali jurus pamungkasnya.
"Kenapa aku ini" Suara itu ... terdengar sangat agung dan tak bisa dibantah,"
pikir si gadis berbaju merah. "Lebih baik aku lihat dulu apa yang terjadi, baru
bertindak," lanjutnya membuat keputusan.
Dalam pada itu, Senopati Jaran Panoleh yang dalam kondisi patah semangat,
seperti mendapat kekuatan tambahan, mendadak ia bangkit berdiri, meski cuma
dengan kaki kiri. "Dewa Rajawali Sakti! Aku akan melawanmu habis-habisan!" seru Kuda Randana atau
Senopati Jaran Panoleh. "Bagus! Itu lebih baik daripada kau menunggu kematian!"
Kemudian senopati bermuka kuda mengerahkan semua ilmu-ilmu kesaktian yang
dimilikinya. Setelah kalah dari ketua padepokan sangga buana dan sembuh dari
luka-lukanya, Kuda Randana mulai mencoba menggabungkan seluruh ilmu dan jurus
siluman yang dimilikinya yang pada akhirnya terciptalah satu jurus pukulan yang
bernama 'Pukulan Tapak Kuda' dan satu jurus tendangan yang dinamai 'Tendangan
Kaki Kuda', dimana ilmu ini merupakan gabungan antara 'Ilmu Baju Besi Iblis'
tingkat emas, 'Tenaga Gaib Siluman Kuda' tingkat akhir, Ilmu Silat 'Kuda Iblis'
dan daya gaib dari Permata Setan yang diberikan oleh Sang Maharaja Agung padanya
setelah ia mengalami kekalahan pada masa ratusan tahun silam.
Jrasss .... srasss ... !!
Begitu ia menghimpun tenaga silumannya, seluruh tubuh Senopati Jaran Panoleh
dilingkupi sinar kuning keemasan berbentuk kuda emas raksasa dan sinarnya
memancar ke segala arah. Pyarrr ... ! Sinar itu begitu menyilaukan mata sehingga Ayu Parameswari harus menutup kelopak
matanya dengan segera. "Ilmumu telah maju pesat, Kuda Randana!" kata Nawara yang disusupi roh gaib Dewa
Rajawali Sakti, dimana saat itu himpunan hawa sakti dari Ilmu 'Pukulan Terakhir
Penentu Takdir' sudah pada tataran puncak.
"Sekarang ... terimalah ajalmu!" bentak Nawara sambil mendorong bola cahaya
seukuran buah kelapa dan dibelakangnya masih diikuti dengan luncuran Pedang Giok
Hijau Rajawali Gaib melayang cepat seakan mendorong maju bola sinar itu ke arah
Senopati Jaran Panoleh. Wutt! Woooshh ... !! Pusaran badai angin menderu-deru langsung menerjang maju ke arah lawan yang
dengan sigap pula langsung membalas dengan melakukan rentetan serangan
mematikan. Plakk! Plakk! Duess!! Ratusan bentuk tapak dan tendangan kuda berusaha membendung laju bola sinar dari
Ilmu 'Pukulan Terakhir Penentu Takdir', namun semuanya kandas, bahkan ada dari
beberapa bayangan tapak dan tendangan lawan yang justru menyerang balik
pemiliknya sendiri. Plakk! Drakk! Brakk!! "Heeigghhh ... !"
Senopati Jaran Panoleh meringkik nyaring dan bersamaan dengan suara ringkikan,
di antara celah bayangan tapak dan tendangan, sebentuk tapak kuda raksasa dan
tendangan kuda raksasa menerobos masuk ke dalam kepungan.
Wutt! Wutt! Blammm .... !
Akhirnya, bola sinar hijau kekuning-kuningan yang berasal dari Ilmu 'Pukulan
Terakhir Penentu Takdir' dikeroyok dua jenis ilmu siluman tingkat tinggi yaitu
'Pukulan Tapak Kuda' dan 'Tendangan Kaki Kuda' yang digunakan oleh Senopati
Jaran Panoleh dalam usaha mempertahankan selembar nyawanya. Gesekan keras
membahana membuat guncangan hebat di atas bumi. akibatnya, semua tapak dan
tendangan hancur musnah. Senopati Jaran Panoleh terkesima melihat ilmu pamungkasnya tidak bisa menahan
luncuran serangan Dewa Rajawali Sakti.
Bleegarrr ... !

Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembali terdengar suara keras bagai guntur memecah langit di saat bola cahaya
hijau kekuning-kuningan berhasil menembus dinding pertahanan yang dibangun
siluman bermuda kuda dan pada akhirnya layaknya bor langsung melesak masuk ke
dalam dada lawan dan tembus hingga ke punggung.
Brassh ... ! Senopati Jaran Panoleh hanya bisa ternganga saat melihat dinding pertahanannya
jebol dan tidak ada teriakan kesakitan sedikit pun saat dadanya ditembus bor
cahaya. Bersamaan dengan melesak masuknya bor cahaya, mulut kuda randana
terlihat meruncing cepat dan ...
Cuhh! Sebentuk ludah kental kuning kusam dari jurus 'Air Liur Kuda Binal' meluncur
cepat ke arah Nawara. Cesss! Saat bersentuhan dengan selubung cahaya tipis bening hijau kekuning-kuningan,
ludah langsung mendidih pertanda adanya racun yang disertakan dalam ludah
tersebut. Bersamaan dengan itu gagalnya serangan ludah, tubuh senopati jaran
panoleh langsung ambruk ke tanah dengan dada berlubang sebesar buah kelapa!
Brughh! Blushhh ... ! Begitu menyentuh tanah, langsung mengeluarkan kepulan asap hitam berbau bangkai
menyengat hidung. Akhirnya senopati paling tangguh dari Kerajaan Iblis Dasar
Langit kalah di tangan musuhnya ratusan tahun silam yang merasuk ke dalam raga
Nawara. Begitu melihat Kuda Randana tewas, roh gaib yang bersemayam ke dalam raga Nawara
segera keluar dan masuk kembali ke dalam pedang yang kini tertancap di tanah,
tempat dimana sebelumnya Senopati Jaran Panoleh mempertahankan diri.
Srepp!! Nawara langsung lemas dan jatuh dari ketinggian dalam keadaan pingsan.
Brughh! Celakanya, punggung dara cantik murid Rajawali Alis Merah justru tepat menimpa
ceceran ludah yang sebelumnya gagal mengenai dirinya akibat terlindung oleh roh
gaib Dewa Rajawali Sakti. Begitu menyentuh punggung, cairan ludah langsung
meresap masuk tubuh dan akibatnya, tubuh gadis itu langsung merah membara
seperti kepiting rebus serta sekujur tubuhnya laksana diamuk birahi tinggi dan
dengus napas yang panas. Memang jurus 'Air Liur Kuda Binal' merupakan senjata
gelap beracun yang acapkali digunakan Kuda Randana untuk menjebak lawan tangguh
terutama sekali jika lawannya seorang gadis cantik, tentulah akan langsung
bereaksi dengan cepat. Tidak ada obat yang bisa menawarkan racun birahi ini selain kematian yang
mengenaskan! Ayu Parameswari yang melihat Nawara pingsan, langsung memburu ke arah gadis itu
sambil menyambar pedang Nawara.
"Celaka! Dia keracunan!" gumam Ayu Parameswari setelah memasukkan kembali pedang
ke dalam sarungnya. "Kampret juga dia! Sudah mau mati saja, masih bisa
mencelakai orang lain!"
Saking bingungnya, ia berteriak ke arah Nawala, "Nawala, cepat kesini!"
Tentu saja Nawala yang semula melihat hal menakjubkan terjadi di depan matanya
yang membuatnya terpesona, langsung sadar diri saat melihat tubuh saudara
kembarnya jatuh terkulai di tanah. Saat Ayu memanggil dirinya, ia sudah berjarak
dua langkah dri tempat gadis itu berjongkok.
"Nawara kenapa, Ayu?" tanya Nawala dengan cemas.
"Dia keracunan!"
"Kita bawa saja ke tempat Paksi! Biar dia yang mengobati!"
Tanpa menunggu jawaban, Nawala langsung mengangkat Nawara dan berkelebat ke arah
teman-temannya berkumpul, dan segera saja Si Elang Salju memasukkan satu Buah
Dewa Selaksa Embun Selaksa Luka ke dalam mulut Nawara. Karena dalam keadaan
pingsan, Paksi menotok beberapa urat leher si gadis agar buah obat tersebut bisa
masuk ke dalam perut. Nawala yang pernah melihat benda putih berbau harum itu hanya diam saja, sebab
dirinya sendiri pernah mencicipi air rendaman Buah Dewa Selaksa Embun Selaksa
Luka saat Jin Kura-Kura mengobati teman-temannya yang terluka sebelumnya.
Satu helaan napas berlalu.
Dua ... tiga ... hingga sepuluh helaan napas telah terlampaui, tapi kondisi
Nawara tetap pingsan seperti sebelumnya, hanya kali ini hawa panas yang merasuk
ke dalam tubuh gadis itu telah turun drastis, tapi rona merah pucat tetap
terlihat di seluruh tubuhnya. Yang lebih aneh lagi, dalam kondisi pingsan akibat
keracunan jurus 'Air Liur Kuda Binal' justru dara berbaju putih itu terlihat
lebih menarik, lebih cantik dan menawan hati.
"Aneh, kenapa tidak ada reaksi sama sekali," gumam Paksi sambil matanya tak
lepas memandang seraut wajah cantik Nawala.
Retno Palupi yang duduk berjongkok di sebelah pemuda itu bukannya tidak tahu
tatapan mata Paksi tidak lepas dari wajah Nawala, bahkan Gadis Naga Biru
tersenyum tipis melihatnya.
"Akhirnya, Kakang Paksi sadar juga bahwa Nawala juga bisa mencuri sebagian dari
hatinya," pikir Retno Palupi, "Dengan begitu aku tidak perlu repot-repot merayu
kekasihku ini agar bisa menerima kehadiran Nawala di hatinya. Semoga saja,
hubungan kami bertiga baik-baik saja," pikir si gadis kemudian, " ... dan yang
pasti, semoga Kakang Paksi bisa bersikap adil terhadap kami berdua."
Dasar gadis aneh! Bisa-bisanya ia berpikir seperti itu di saat kondisi menegangkan seperti
sekarang ini. Tiba-tiba, Gineng memecah kesunyian.
"Den Paksi, racun itu tidak akan bisa diobati dengan satu cara," tutur Gineng,
sambungnya, "Namun, untuk sementara, racun ini tidak akan membahayakan nyawa
gadis ini." "Ya, aku juga tahu, Kakang Gineng!" kata Paksi sambil bangkit berdiri, "Retno,
tolong kau jaga Nawara!"
"Beres!" -o0o- Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Empat
Sementara itu, peta pertarungan yang tersisa hanyalah Pasukan Kuda Iblis yang
diserang membabi buta oleh Pasukan Manusia Rawa dan Senopati Kala Hitam yang
masih beradu nyawa dengan sengit melawan Jin Kura-Kura, murid tunggal Kura-Kura
Dewa Dari Selatan. Pasukan Kuda Iblis yang melihat bahwa pimpinannya telah tewas, langsung
mengerahkan kemampuan tertinggi masing-masing.
"Hieghh ... hieghhh ... !"
Pasukan siluman yang pada awalnya berjumlah belasan kini tinggal lima siluman
kuda berbadan manusia langsung mengerahkan 'Tenaga Gaib Siluman Kuda' secara
serempak. "Hieghh ... hieghhh ... !"
Disertai ringkikan kuda, lima siluman kuda berbadan manusia langsung menerjang
cepat ke arah Pasukan Manusia Rawa.
Brakk! Brakk! Craaak! Crakk! Jdderr ... !
Jika Manusia Rawa punya dua kaki, maka siluman kuda justru punya empat kaki yang
kokoh. Begitu dua puluh kaki bergerak menendang secara hampir bersamaan, puluhan
Manusia Rawa langsung terlempar dengan tubuh tercerai berai dengan tubuh hancur
membentuk serpihan. Begitu membentuk serpihan dan jatuh ke tanah, cacahan tubuh
Manusia Rawa mengeluarkan asap hijau bergulung-gulung.
Blabb! Begitu asap hijau menghilang, terlihat belasan Manusia Rawa sudah berdiri kokoh
menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi runcing mereka. Dan tanpa dikomando,
langsung menyerang Pasukan Kuda Iblis yang tersisa. Tanpa bisa dicegah lagi,
mereka berlima menjadi sasaran keberingasan dari Pasukan Manusia Rawa ini,
sehingga pertarungan menjadi lebih mengerikan karena diiringi dengusan kuda yang
sekarat dan ringkikan kematian yang menyayat.
"Hieghh ... mbrrrr ... !"
Blubb! Blusshh ... ! Jika dilihat sekilas, pertarungan yang tersisa ini seperti ajang pembantaian
saja. Saling banting, saling cakar, saling cekik bahkan ada yang saling hantam
dengan jurus-jurus maut yang dilakukan Pasukan Kuda Iblis. Akibatnya, berulang
kali terdengar dentuman keras yang memekakkan telinga.
Dharr, dharr, jldarrr ... !
Kembali Pasukan Manusia Rawa terbantai, dan kembali pula jumlah Manusia Rawa
bertambah empat kali lipat banyaknya. Tak pelak lagi, nyali Pasukan Kuda Iblis
semakin kuncup. Satu demi satu mereka meregang nyawa dan kemudian tewas diikuti
dengan kepulan asap berbau bangkai, hingga pada siluman terakhir yang langsung
terbantai ramai-ramai. Blubbb! Blushh ... ! Pertarungan mengerikan pun telah usai. Kini yang tersisa dari hanyalah sekitar
empat ratusan Pasukan Manusia Rawa yang tegak mematung seperti menunggu sesuatu.
Tidak ada gerakan apa pun dari mereka, bahkan yang terdekat dari Wiratsoko
sejarak dua tombak tidak melakukan apa-apa.
Di sela-sela pertarungan, Joko Keling masih sempat melirik pasukan andalannya.
Begitu tidak ada lagi sisa para penyerang, pemuda berkulit hitam langsung
berteriak keras, "Pasukan Manusia Rawa! Kembali ke asal!"
Begitu mendengar perintah, seluruh Pasukan Manusia Rawa langsung menjatuhkan
diri dengan posisi kura-kura merangkak.
Brughh! Brughh! Bushh ... bushh ... ! Kembali bekas arena pertarungan dibuncahi gumpalan asap pekat. Kalau sebelumnya
adalah warna hitam dengan segala macam bau busuk yang menyengat hidung, kali ini
justru gumpalan asap hijau disertai bau daging bakar yang diberi bumbu masak
atau rempah-rempah. Begitu asap dan bau menghilang, yang tersisa hanyalah medan
pertarungan terakhir antara Senopati Kala Hitam yang bertarung ketat dengan Jin
Kura-Kura. Pertarungan mereka inilah yang paling lama dan paling seru, bahkan acapkali
terdengar suara beradunya tenaga dalam yang dimiliki masing-masing pihak.
Jldarr! Jdlarr! Senopati Kala Hitam dengan bersenjatakan Cambuk Ekor Kalajengking yang
mengandung racun mematikan dan 'Tenaga Gaib Siluman Kalajengking' yang sudah
dikerahkan hingga tingkat paling tinggi seolah-olah tidak berguna sama sekali
saat berulang kali menyentuh sosok gemuk hitam yang menjadi lawannya.
Tarr! Tarrr! "Cambuk bututmu tidak akan mempan terhadapku, siluman jelek!" oceh Arjuna
Sasrabahu sambil membiarkan senjata lawan mencicipi kehebatan Ilmu 'Jubah KuraKura Sakti' yang menjadi andalannya. "Lihat sekellilingmu, sobat! Semua temantemanmu sudah duluan berangkat ke neraka, dan tak lama lagi ... giliranmu pun
akan tiba!" Senopati Kala Hitam yang sedang konsentrasi melakukan serangan-serangan
berbahaya, tidak terpengaruh sedikit pun dengan pancingan yang dilakukan oleh
lawan, bahkan lewat jurus 'Kalajengking Menyabetkan Ekor' kaki kanan Senopati
Kala Hitam berhasil masuk ke dalam daerah pertahanan Jin Kura-Kura di bagian
dada saat lawan sedang berusaha memecah konsentrasinya.
Dhess ... ! Duarrr! Senyum seringai kemenangan sudah terpatri di sudut bibirnya saat melihat
serangannya masuk, lalu berkata, "Dasar manusia bego! Justru kau sendirilah yang
akan menyusul teman-temanku ke neraka!"
Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari bawah yang dengan serta merta membuat
Senopati Kala Hitam terlonjak kaget!
"Benarkah?" Rupanya di saat yang tepat, Arjuna yang mengetahui arah serangan lawan, segera
menurunkan tubuhnya ke bawah sambil tinju kirinya menghantam ke kaki lawan.
Tentu saja tinjunya bukan sembarang tinju, tapi tinju yang didalamnya sarat
dengan Ilmu 'Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api' yang dirangkum lewat jurus
'Tinju Kura-Kura Berantai'!
Jadi, suara ledakan yang terakhir adalah saat dimana jurus 'Tinju Kura-Kura
Berantai' menghantam kaki kanan lawan.
Begitu lawan terkesima sesaat, Arjuna Sasrabahu langsung memanfaatkan kesempatan
emas dengan melayangkan puluhan bahkan ratusan bayangan tinju ke seantero tubuh
Senopati Kala Hitam. Bukk! Bukk! Dessh! Bukk! Bukk! Dessh! Bukk! Bukk! Dessh!
Tubuh Senopati Kala Hitam terhajar dengan telak, bahkan untuk bernapas saja
sudah kesulitan, apalagi harus menangkis bayangan tinju yang datangnya bagai
hujan. Pada tinju terakhir paling keras, tubuh Senopati Kala Hitam langsung
melayang ke atas bagai layang-layang putus tali.
Dhess! Darah kental kehitaman sontak keluar dari sembilan lubang hawa di tubuhnya.
Arjuna yang melihat kesempatan emas ternyata datang untuk kedua kalinya,
langsung mengejar sambil berteriak nyaring, "Sekarang, silahkan cicipi 'Tinju
Dewa Api' milikku!" Begitu selesai berkata, sebentuk hawa api merah kekuning-kuningan membentuk
sosok semu kepala kura-kura yang berasal dari 'Tinju Dewa Api' yang dengan
ditopang dengan Ilmu 'Tenaga Sakti Tapak-Tapak Dewa Api' tingkat tujuh
terhampar. Whusss!! Begitu cepat datangnya serangan, sehingga membuat Senopati Kala Hitam yang
terluka parah tidak bisa berbuat apa-apa.
"Tamat sudah riwayatku ditempat ini!"
Blamm ... blamm ... glarrr ... !
Terdengar suara dentuman bertalu-talu disertai kepulan asap kuning kemerahan
saat 'Tinju Dewa Api' yang dilepas Jin Kura-Kura menyentuh raga lunglai Senopati
Kala Hitam yang sedang melayang jatuh.
Whuss! Akan tapi justru yang terpental adalah Jin Kura-Kura dengan kondisi luka cukup
parah! Melihat arah luncuran tubuh Jin Kura-Kura ke posisi ayah dan anak yang saat ini
sedang mengawasi keadaan disekeliling arena pertempuran, membuat Wanengpati
tanpa diperintah langsung melesat cepat menyongsong luncuran tubuh Joko Keling.
Tapp! Begitu menyentuh cangkang kura-kura, pemuda itu langsung memutar tangan setengah
lingkaran untuk mengurangi daya luncur akibat benturan sambil melayang ringan ke
bawah bagai burung walet kembali ke sarang, diikuti dengan Ki Dalang Kandha
Buwana yang bergerak lincah ke bawah dengan jurus peringan tubuh yang bernama
Ilmu 'Menjangan Punguh'! Wuss ... ! Tapp! "Kenapa kau turun, Kandha?" tanya Juragan Padmanaba saat melihat sang besan
berdiri tepat di sampingnya.
"Karena yang kita tunggu selama ini telah hadir disini," kata lirih Ki Dalang
Kandha Buwana dengan mata tetap menatap lurus ke depan, ke arah satu sosok yang
sedang melayang turun sambil memondong tubuh Senopati Kala Hitam.
Rupanya pada saat yang bersamaan, sesosok bayangan perak menghadang serangan
pamungkas yang dilancarkan oleh murid tunggal Kura-Kura Dewa Dari Selatan
sejarak sejengkal dari tubuh Senopati Kala Hitam dengan lima jari tangan kiri
terkembang. Itulah ilmu pertahanan yang paling terkenal di jagad persilatan,
ilmu yang juga terdapat dalam Kitab Hitam 'Bhirawa Tantra'.
Ilmu 'Tapak Emas Penghukum Balai'!
Sosok itu berdiri gagah dengan tangan kiri masih diselimuti cahaya tipis
keemasan dikarenakan mengerahkan Ilmu 'Tapak Emas Penghukum Balai' yang
cahayanya semakin lama semakin memudar, sedang tangan kanan disembunyikan di
balik punggung. Baju putih keperakan yang dipakainya bagaikan lentera di dalam
kegelapan malam, meski glapnya suasana akibat Gerhana Matahari Kegelapan yang
diterangi dengan puluhan cahaya obor, tapi masih kalah terang dengan pancaran
sinar perak yang berasal dari baju yang dikenakan sosok yang telah menyelamatkan
Senopati Kala Hitam. Yang cukup mengejutkan adalah, sosok berbaju perak itu mengenakan sebuah topeng
tengkorak dari baja murni yang bentuk dan wujudnya sama persis dengan topeng
tengkorak yang dimiliki oleh Si Topeng Tengkorak Emas.
Sementara dibelakangnya, berdiri ribuan siluman, jin, biang setan dan segala
macam penghuni alam gaib lainnya. Namun anehnya, semua tidak bergerak sedikit
pun dari tempatnya berdiri sekarang ini, tidak seperti sebelumnya saat dipimpin
Enam Senopati yang begitu riuh dan semarak.
Sementara itu, sosok bertopeng tengkorak terlihat berdiri tenang hingga aura
keagungan terpancar keluar dari sosok tubuh tinggi kekar ini. Namun dibalik aura
keagungan itu pula, ternyata tersembunyi satu bentuk aura kegelapan yang bisa
menghancurlumatkan apa saja. Bahkan orang-orang yang ada ditempat itu sampai
merinding mana kala ujung-ujung syaraf-syaraf mereka bersentuhan dengan sebentuk
kekuatan kasat mata. Begitu melihat sosok orang yang menyelamatkannya, Senopati Kala Hitam langsung
duduk menyembah! "Maharaja Agung!" kata Senopati Kala Hitam.


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa menjawab sepatah kata pun, sosok yang disebut sebagai Maharaja Agung
justru melangkah maju ke arah tempat Paksi Jaladara dan kawan-kawan berkumpul.
"Tak kusangka, ternyata Mutiara Langit Merah sendiri juga memiliki daya
pelindung yang tangguh dan mumpuni," kata pelan Sang Maharaja Agung, "Aku telah
salah perhitungan kali ini!"
Tentu saja laki-laki yang ternyata adalah Raja Di Raja Kerajaan Iblis Dasar
Langit sendiri yang datang ke tempat itu. Matanya tidak lepas dari gumpalan
cahaya kunang-kunang yang menyelimuti sosok majikan Mutiara Langit Merah dan
ibunya. Laki-laki itu tahu betul, bahwa dirinya tidak akan mampu mendekat
apalagi sampai mengambil benda yang sangat diinginkannya tersebut. Satu-satunya
orang yang bisa mengambil Sepasang Mutiara Langit tanpa terhalang pancaran sinar
maut hanya majikannya sendiri dan juga sejenis manusia setengah setan separuh
iblis, dan satu-satunya manusia jenis ini yang diketahui hanyalah anaknya
seorang. Pangeran Nawa Prabancana!
"Seharusnya Nawa Prabancana yang aku suruh datang kemari," pikir Sang Maharaja
Agung atau Topeng Tengkorak Baja. "Namun menurut hematku, kusingkirkan saja dulu
penghalang yang ada didepan mataku ini! Jika mereka semua sudah mampus, urusan
mengambil Sepasang Mutiara Langit sama mudahnya dengan membalik telapak tangan."
"Siapa kau?" tanya Paksi Jaladara sambil maju ke depan, berdiri sejarak dua
tombak dari sosok berbaju putih perak.
Belum sampai terdengar jawaban, dari arah kejauhan terdengar suara sahutan
nyaring, "Dialah yang merencanakan semua ini, Ketua!"
Belum sampai suara bernada aneh itu hilang dari pendengaran, sesosok bayangan
kelabu telah berdiri dengan kokoh di hadapan Paksi Jaladara sambil memberi
hormat! Seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh lima tahunan dengan postur tinggi
besar kekar berotot. Kulit tubuhnya yang kuning pucat dipadu dengan celana dan
baju yang serba abu-abu, termasuk pula sebentuk sabuk kulit dari sejenis beruang
yang juga berwarna abu-abu. Jika tubuhnya kekar berotot, justru matanya
cenderung kecil memanjang alias sipit. Yang aneh dari sosok ini adalah di bagian
kepalanya terdapat sebentuk benda bulat warna hitam legam yang terbuat dari batu
cadas hitam. Benda itu mirip sekali dengan topi gembala yang biasa digunakan
oleh orang-orang dari Daratan Mongolia.
Yang cukup mengejutkan, laki-laki berwajah asing ini pada bagian punggungnya
tergantung sebentuk kapak raksasa bermata satu yang telanjang mengkilat dengan
gagang panjang terbuat dari gading gajah purba.
Itulah yang dinamakan Kapak Batu Sembilan Langit!
"Hamba Xiangzi Shang, Pewaris Sang Batu, menghadap Ketua!" laki-laki yang
mengaku bernama Xiangzi Shang mengepalkan kedua tangan di depan dada dengan
badan sedikit membungkuk. Logat bahasanya terdengar aneh di telinga, meski ia
lancar menggunakan logat jawa.
"Penghormatanmu kuterima, Pewaris Sang Batu!" kata paksi jaladara dengan tenang.
"Siapa tadi namamu?"
"Hamba Xiangzi Shang, Ketua!"
Telinga Paksi agak aneh mendengar sebuah nama yang pertama kali didengarnya itu.
"Apa ada nama lain yang bisa memudahkanku dalam memanggilmu, Pewaris Sang Batu?"
"Guru hamba memberi julukan Dewa Cadas Pangeran, Ketua!"
Guru yang dimaksud oleh Dewa Cadas Pangeran tentulah Pengawal Gerbang Utara dari
Istana Elang yang dijuluki sebagai Si Kapak Batu Sembilan Langit yang dulu kala
terkenal dengan jurus 'Kapak Batu Dingin Kutub Utara' dan Ilmu 'Sembilan Pukulan
Titah Penghancur Langit'.
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Lima
"Bagus! Kali ini bertambah satu lagi calon penghuni neraka di tempat ini, ha-haha!" Suara tawa keras yang dilambari dengan kekuatan hawa perusak segera menggema
tinggi rendah ke seantero Padukuhan Songsong Bayu. Orang-orang yang ada
disekitar itu yang sebelumnya sudah siap sedia dengan segala kemungkinan yang
terjadi, mau tidak mau harus menderita juga. Gendang telinga mereka bagai
ditusuk dengan ribuan jarum.
Yang paling tersiksa justru Paksi, dimana tubuh Si Elang Salju yang berada dalam
jarak dekat dari Sang Maharaja Agung. Meski sedikit terlambat, pemuda sakti dari
Lembah Badai yang juga Ketua Muda Istana Elang itu langsung mengerahkan 'Tenaga
Sakti Hawa Rembulan Murni' tingkat ke dua.
Sett! Swwoshh ... ! Sinar putih keperakan langsung menyelimuti tubuh Si Elang Salju dan pada saat
yang bersamaan pula, Dewa Cadas Pangeran langsung menarik keluar kapak raksasa
yang ada di balik punggung, kemudian diayunkan dengan mantap ke tanah.
Wutt! Crakkk! Dhuarrr ... !
Jurus pertama dari Ilmu 'Kapak Batu Dingin Kutub Utara' yang bernama jurus
'Tanah Meledak Di Kaki' langsung terdengar membuncah ke atas sehingga membentuk
dinding tanah yang menghalangi gelombang suara dari jurus 'Irama Maut' yang
dilancarkan lawan. Prakk! Prakk! Begitu melihat bahwa dinding tanah yang dibuatnya retak-retak karena tidak kuat
menahan daya gempur ilmu lawan, Dewa Cadas Pangeran segera menghempos keluar
'Tenaga Sakti Dewa Batu' disertai dengan gerakan mengibaskan kapak dari ke kiri
ke kanan sambil memutar tubuh dengan cepat.
Wutt! Wuuuungg ... ! Crasss ... !
Begitu jurus 'Lempar Batu Sembunyi Tangan' dikerahkan, dinding tanah sontak
pecah berhamburan serta menerjang bagai anak panah dengan kecepatan kilat.
Si Topeng Tengkorak Baja yang saat itu sedang tertawa keras karena mengerahkan
jurus 'Irama Maut' langsung menarik diri sambil mengerahkan Ilmu 'Baju Besi
Iblis' tingkat ungu, tingkat paling akhir!
Srasshh ... ! Begitu cahaya ungu menyelimuti dirinya, puluhan mata anak panah dari tanah
langsung menghantam dengan ganas.
Crookk, crakk, deeerr, dhuass ... !
Meski bisa melindungi diri, namun anak buahnya yang berada dibelakang dirinya
langsung menjadi korban. "Kurang ajar!" bentak Si Topeng Tengkorak Baja, "Terima ini!"
Jurus 'Hantaman Kuali Tembaga' langsung dikerahkan begitu Dewa Cadas Pangeran
baru selesai merapal jurus.
Wutt! Melihat tidak ada waktu untuk menghindari serangan maut lawan, Xiangzi Shang
melintangkan kapak yang ada di tangannya di depan dada
Blangg! Terdengar suara besi ketemu baja saat Kapak Batu Sembilan Langit beradu keras
dengan sepasang kepalan tangan yang sarat kekuatan sakti menghantam kapak batu
yang digunakan Dewa Cadas Pangeran untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Tubuh
laki-laki bermata sipit itu langsung terlempar jauh disertai muncratan darah
segar dari mulut. Brughh! Sambil menyeka mulutnya yang berdarah, ia berkata, "Ketua, untuk mengalahkannya,
Delapan Bintang Penakluk Iblis harus bersatu. Hanya itu caranya!"
Paksi yang melihat Dewa Cadas Pangeran terluka dalam akibat baku hantam dengan
Si Topeng Tengkorak Baja, langsung memberikan perintah.
"Delapan Bintang Penakluk Iblis, serang!"
Begitu mendengar perintah untuk menyerang dari Paksi Jaladara, maka Joko Keling,
Rintani, Simo Bangak, Gadis Naga Biru, dan Ayu Parameswari langsung merangsek
maju, mengerubuti Si Topeng Tengkorak Baja.
"Heeaa ... Heeaat ... Ciaattt ... !!"
Drakk! Prakk! Krakk! Dhuarr, jeddeerr, glarrr ... !
Ramai sekali pertarungan kali ini, karena kumpulan anak-anak muda sakti yang
masih berdarah panas langsung mengerahkan ilmu-ilmu pamungkas masing-masing.
Bahkan Sepasang Raja Tua yang melihat jalannya pertarungan ikut nimbrung
meramaikan pertarungan maut ini.
Glarrr, gleerr ... ! Sinar-sinar maut dari jurus dan pukulan sakti datang bagai banjir bandang
menerjang ke arah Si Topeng Tengkorak Baja yang saat itu sedang berdiri kokoh
sambil tetap mengerahkan Ilmu 'Baju Besi Iblis' tingkat ungu.
Klaangg, crangg, criing ... !
Pedang Samurai Kazebito dan Golok Hitam Taring Harimau tidak bisa menorehkan
jejak luka, tapi justru terpental balik dengan pemiliknya mengalami luka dalam.
Sedang Ayu Parameswari langsung menggunakan jurus pamungkas 'Telapak Naga Turun
Dari Langit' dengan kekuatan hawa tenaga dalam sepuluh bagian, sehingga seberkas
hawa naga berwarrna merah pekat keluar dari sepasang telapak tangan yang terbuka
lebar itu. "Hoargghh ... !"
Terdengar raungan naga yang membuncah disertai pekikan nyaring yang membahana
memenuhi angkasa, bahkan arena pertarungan berguncang tatkala sepasang hawa naga
itu terlihat meraung keras memperlihatkan deretan gigi tajam sambil badannya
meliuk-liuk di angkasa turun ke bumi. Sepasang tangan Ayu Parameswari yang
mengerahkan jurus 'Telapak Naga Turun Dari Langit' berulangkali berputar-putar
saling susul menyusul sehingga membentuk gulungan hawa naga menjadi semakin
pekat diiringi suara desisan menyelingi raungan naga yang semakin mengangkasa.
Woshhh ... Cwozz ... !! Blarrr ... Blarrr ... ! Begitu sepasang hawa naga menerkam ke arah pancaran sinar ungu bening yang
melingkupi Si Topeng Tengkorak Baja, hawa naga kontan meledak hancur.
Glarr ... ! Tubuh murid Nini Naga Bara Merah langsung terhumbalang jatuh menyusul dua
rekannya. Brughh! Mukanya pucat pasi seperti kehilangan darah, pertanda terjadi pembalikan aliran
darah dalam tubuh sang dara.
Melihat rekan-rekannya tumbang satu persatu, selain Ki Dalang Kandha Buwana yang
telah siaga dengan Gunungan Emasnya dan Wanengpati yang telah meloloskan Keris
Kiai Wisa Geni serta Pancasaka yang telah kehilangan sepasang kaki, semua yang
langsung meluruk ke arah Si Topeng Tengkorak Baja yang dengan santainya menadahi
setiap serangan maut yang dilancarkan oleh lawan-lawan.
Meski dikeroyok begitu rupa, Sang Maharaja Agung masih tetap dalam posisi
semula. Tegak kokoh bagai batu karang di laut yang diterjang air berulang kali.
Ibarat kata, seperti capung mengeroyok gajah!
Paksi Jaladara yang saat itu bersiap-siap mengerahkan Pukulan 'Telapak Tangan
Bangsawan' dan 'Tapak Rembulan Perak' dilontarkan bersamaan dengan menggunakan
hawa tenaga dalam tingkat ke tiga dari Kitab Sakti 'Hawa Rembulan Murni' yang
bernama 'Di Bawah Sinar Bulan Purnama'. Pemuda didikan dari Lembah Badai ini
sebenarnya berniat menggunakan 'Tapak Rembulan Perak' tingkat ke empat, namun
melihat situasi yang tidak memungkinkan, pemuda itu menetapkan hati untuk
mengerahkan 'Tapak Rembulan Perak' tingkat ke tiga saja. Sebab dirinya tidak
yakin bisa mengontrol muntahan hawa salju yang datang bagai gelombang dan bisa
memancar ke segala arah. Dan yang pasti, ia tidak mau teman-temannya menjadi korban dari ilmu yang
dikerahkannya! Namun sebelum niatnya terlaksana, Si Topeng Tengkorak Baja telah melakukan
gerakan yang membuat mereka semua terlempar ke segala arah diiringi bentakan
keras. "Kalian benar-benar tak berguna! Semuanya sampah!"
Bersamaan dengan kata-katanya, Raja Di Raja Kerajaan Iblis Dasar Langit segera
merentangkan ke dua belah tangan dari dalam kubah ungu bening dan tanpa perlu
tempo lama, dari dalam kubah ungu bening yang tercipta dari Ilmu 'Baju Besi
Iblis' tingkat ungu keluar sebentuk tenaga hitam keunguan berpendar-pendar.
Sriiing, sriiing ... ! Jurus 'Amarah Raja Kegelapan' yang digunakan oleh orang tertinggi dari alam gaib
langsung menghancurkan kepungan. Dalam satu jurus saja, puluhan jago-jago kosen
yang ada di tempat itu tumbang bersamaan.
Dhess, ddheerr ... ! Brugh! Buughh! Si Elang Salju yang saat itu dalam pertengahan pengerahan dua ilmu saktinya,
langsung terseret enam tujuh tombak jauhnya saat pancaran hawa hitam keunguan
bersentuhan dengan pancaran sinar putih keperakan dan keemasan miliknya. Meski
tidak jatuh terpuruk seperti teman-temannya, namun bisa dipastikanj ia mengalami
luka dalam yang cukup serius.
"Gila! Ilmu macam apa yang dimiliki orang ini?" batin Paksi Jaladara sambil
mengerahkan hawa penyembuh, "Kesaktiannya enam kali lipat dari Si Topeng
Tengkorak Emas!" Dadanya yang semula panas bagai digodok dalam tungku api, kini terasa dingin
sejuk. Bersamaan dengan jatuhnya para jago kosen persilatan, Si Topeng Tengkorak Baja
berkelebat cepat dengan dua tangan masih terpancar cahaya hitam keunguan.
"Kalian berdualah yang menjadi korban pertamaku, ha-ha-ha!" bentak Si Topeng
Tengkorak Baja ke arah Ki Dalang Kandha Buwana dan Wanengpati.
Tentu saja ayah anak dalang itu terkejut bukan main, namun keterkejutan mereka
berdua tidak membuatnya lengah, terutama sekali Ki Dalang Kandha Buwana, sebab
sebagai tokoh yang pernah mengukir nama besar dengan julukan Kakek Pemikul
Gunung dan termasuk pula sebagai jajaran tokoh yang paling disegani oleh
kalangan pendekar setiap aliran. Kakek itu segera bersiap diri mengerahkan
pukulan sakti tanpa wujud yang dulunya pernah dipakai dalam perebutan gelar
Pendekar Rimba Persilatan pada masa tiga puluh tahun silam.
'Pukulan Tanpa Bayangan'!
Namun, belum lagi Kakek Pemikul Gunung melontarkan 'Pukulan Tanpa Bayangan', dua
kelebatan bayangan mendahului menerjang dari belakang ke depan.
"Biar kami saja yang menghadapinya!" bentak yang sebelah kanan.
Yang sebelah kiri terlihat tangan kiri dan kanannya keluar cahaya putih
menyilaukan mata dan sebelah kanan terlihat asap hitam pekat keungu-unguan yang
langsung menyongsong serangan kilat dari Topeng Tengkorak Baja. Siapa lagi yang
memiliki dua pukulan sakti seperti itu diantara mereka jika bukan Sepasang Raja
Tua yaitu Raja Pemalas dan Raja Penidur adanya. Tanpa bisa dihindari lagi, jurus
'Amarah Raja Kegelapan' di tangan kiri Si Topeng Tengkorak Baja beradu dengan
dua tangan Raja Pemalas yang sarat dengan Ilmu 'Tapak Tangan Putih' dan Ilmu
Gaib 'Sangkakala Braja', sedangkan tangan kanan disambut pula oleh Ilmu 'Tapak
Inti Ungu' tingkat ke dua belas dan 'Kidung Sang Baka' secara bersamaan.
Dan akhirnya ... bentrok ilmu-ilmu tingkat tinggi terjadi di tengah udara
kosong! Plakk! Pplakk! Bleegaarr ... ! Glarrr ... ! Jedderr ... !
Beberapa kali suara letupan keras terdengar disertai kepulan asap hitam, ungu
dan putih menutupi tiga tokoh sakti berbeda alam ini. Akan tetapi ledakan yang
terdengar ini mendadak berhenti begitu saja, namun karena kepulan asap tiga
warna membuat semua orang yang ada di tempat itu tidak biasa melihat apa yang
sebenarnya terjadi. Wuss ... ! Begitu asap tiga warna sirna, terlihatlah siapa yang menang siapa yang tumbang
dari adu kesaktian tersebut.
Terlihat dengan jelas, bagaimana kondisi dari Sepasang Raja Tua yang tergeletak
di tanah dan Si Topeng Tengkorak Baja yang masih berdiri dengan gagah!
Kepala Raja Pemalas retak saat tapak tangan kiri Si Topeng Tengkorak Baja
berhasil menembus dinding pelindung kakek pemalas itu, sehingga terlihat darah
kental keluar dari bekas lekukan tapak yang ada di ubun-ubun, sedang kondisi
Raja Penidur sendiri tidak kalah mengenaskan dari sobatnya Raja Pemalas. Di dada
kiri tepat pada bagian jantung terlihat melesak dalam-dalam membentuk tapak
tangan. Jelas sekali Raja Penidur yang memiliki tabiat tidur seenaknya ini,
akhirnya benar-benar tidur untuk selamanya.
Raja Pemalas dan Raja Penidur, dua orang sahabat karib yang lahir pada waktu,
hari, bulan dan tahun yang berbeda, justru tewas pada waktu, hari, bulan dan
tahun yang sama! "Kalian berdua benar-benar hebat!" kata Si Topeng Tengkorak Baja sambil menyusut
darah yang meleleh di sudut bibirnya. "Darahku sedikit bergolak akibat serangan
gabungan kalian dan kini menetes keluar, dan itu artinya ... raga kalian harus
dimusnahkan dari muka bumi!"
Suara yang datar tanpa tekanan, tapi justru terdengar menakutkan bagi siapa
saja! Nawala yang tergeletak tak jauh dari Sepasang Raja Tua, bibirnya sedikit
bergetar saat mengucapkan sepatah kata lirih, "Guru ... "
Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Enam
Masih dengan jurus yang sama pula, Sang Maharaja Agung mengarahkan tapaknya ke
arah jasad Sepasang Raja Tua.
Semua begitu terpana melihat tewasnya Raja Pemalas dan Raja Penidur pada


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertarungan kali ini sehingga tidak bisa mencegah tindakan yang dilakukan lawan
untuk menghancurkan sosok raga kaku dari Sepasang Raja Tua. Tapi benarkah semua
terpaku dengan kejadian itu"
Ternyata ... tidak! Tiba-tiba saja, terdengar suara legnking tangis bayi yang menyadarkan mereka
semua dari keterpakuan sesaat. Bahkan Sang Maharaja Agung sendiri juga terhenti
dalam posisi siap memukulkan tapak tangannya.
"Oeeekkhh ... oeeekkhh ... "
Paksi Jaladara, Si Elang Salju yang sadar diri untuk pertama kalinya, langsung
mengerahkan tahap ke empat dari Kitab Sakti 'Hawa Rembulan Murni' tanpa raguragu lagi. Sratt! Swoshhh ... ! Begitu seluruh tubuh pemuda itu diselimuti kabut putih keperakan yang kian lama
kian menebal, dan bersamaan dengan kepulan kabut, dari balik selimut kabut
melesat sesosok bayangan elang putih raksasa dan mengarah ke Sang Maharaja Agung
dengan kecepatan kilat. Lappp ... ! Blammm! Blamm! Bummm ... !
Tanpa ada halangan, bayangan elang raksasa langsung menabrak sosok Topeng
Tengkorak Baja yang saat itu sedang pecah konsentrasi akibat mendengar suara
tangis bayi. Dan akibatnya, tubuh laki-laki bertopeng tengkorak dan sosok
bayangan elang yang sama-sama sedang mengerahkan jurus-jurus maut kini terpental
berlawanan arah. Wutt ... ! Jika sosok bayangan elang langsung mengarah ke arah kumpulan pendekar yang
sedang menyembuhkan diri dan posisi agak ke kiri, justru Sang Maharaja Agung
terpental balik ke tempat semula dan bisa berdiri dengan dua kaki tegak di atas
bumi. Jlegg! Brughh ... ! Begitu menyentuh tanah, sosok bayangan elang raib, dan berganti dengan tubuh
Paksi yang sedang berjongkok dengan satu kaki di tekuk.
"Kakang Paksi!" seru Gadis Naga Biru dengan langkah tertatih-tatih.
Di antara mereka yang masih bisa berdiri kokoh hanyalah Retno Palupi, Seto
Kumolo, Dewa Cadas Pangeran, Ki Dalang Kandha Buwana dan Wanengpati, sedang yang
lain masih tergeletak di tanah dengan napas kembang kempis.
"Dia sangat tangguh, Nimas! Aku tidak bisa mendekatinya," kata Paksi dengan
lirih sambil bangkit berdiri.
"Kau ternyata hebat juga, Majikan Mutiara Langit Putih! Jarang aku temui manusia
yang bisa bertahan dari jurus 'Amarah Raja Kegelapan' dalam satu jurus!" tutur
Sang Maharaja Agung dari Kerajaan Iblis Dasar Langit kagum, "Kau adalah orang
pertama yang bisa menahan ilmuku ini!"
"Aku tidak butuh pujianmu, Topeng Tengkorak Baja!" ucap Paksi Jaladara, "Yang
aku butuhkan ... urungkan niatmu mendirikan kerajaan setanmu di atas bumi
ini ... " "Heh, kau tidak perlu menekanku, anak muda! Memangnya kau ini siapa?" bentak
Sang Maharaja Agung sambil menudingkan tangan kirinya, "Lagipula, kalian semua
berada di bawah angin, seharusnya kalian yang menuruti perkataanku! Lagi pula,
tanpa perlu aku sendiri yang turun tangan pun, kalian bisa kami binasakan
seluruhnya dalam sekejap!"
"Oh, ya?" kata Paksi meremehkan, "Kenapa tidak sekarang saja kau bunuh kami" Itu
kan mudah!" "Dasar pemuda bangsat!" bentak Sang Maharaja Agung.
Mulanya ia berniat menekan sisi kejiwaan dari si pemuda berbaju putih, tapi
rupanya pemuda itu cukup cerdik untuk diakali olehnya.
Dewa Cadas Pangeran mendekati Paksi Jaladara dengan menyeret Kapak Batu Sembilan
Langit. Lalu ia membisiki pemuda itu, "Ketua, yang bisa mengalahkannya hanyalah gabungan
Delapan Bintang Penakluk Iblis."
"Kondisi kita saja sekarang morat-marit seperti ini," jawab Paksi dengan pelan.
"Sulit sekali menggunakan kemampuan tarung mereka sekarang ini."
"Yang kita butuhkan bukanlah kekuatan raga, tapi kekuatan hati."
"Kekuatan hati?"
"Benar! Kita harus bisa membangkitkan kekuatan sejati dari Delapan Bintang
Penakluk Iblis." "Tapi, bagaimana caranya?"
"Dari Guru, hamba mendengar bahwa untuk membangkitkan kekuatan sejati ini
membutuhkan sebuah mantra sakti yang bernama rajah ... rajah ... rajah apa, ya?"
"Rajah Kalacakra maksudmu?" potong Paksi dengan cepat.
"Benar, Ketua! Tapi harus ada dua orang yang memiliki mantra ini dan telah
menguasai sepenuhnya hingga mendarah daging. Itulah petunjuk yang Guru berikan
pada hamba," terang Dewa Cadas Pangeran, lalu sambungnya, "Kunci kekuatan sejati
dari Bintang Penakluk Iblis adalah pada bintang ke satu dan bintang ke delapan.
Untuk membangkitkannya harus mengurutkan jumlah bintang yang dimiliki masingmasing orang dengan membentuk Barisan Delapan Bintang Penakluk Iblis."
"Bagus, semua pemilik rajah bintang ada di tempat ini, tidak ada salahnya jika
dicoba! Nimas, tolong hubungi Kakang Waneng dan Paman Kandha," bisik Paksi
Jaladara pada Gadis Naga Biru. "Dan kumpulkan teman-teman yang memiliki rajah
Bintang Penakluk Iblis dalam satu barisan."
Gadis berbaju biru itu mengangguk, lalu berjalan menghampiri dua orang yang
dimaksud dan membisikkan semua yang didengarnya dari Paksi Jaladara. Kakek
Pemikul Gunung dan Wanengpati menganggukkan kepala tanda menyetujui.
Dalam hati, kakek itu berkata, "Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan kunci
kemenangan oleh anak muda itu."
Semua kegiatan dari orang-orang yang ada ditempat itu tidak lepas dari tatap
pandang Si Topeng Tengkorak Baja, tapi laki-laki dari alam gaib itu membiarkan
saja semua perbuatan yang dilakukan pihak lawan. Toh kemenangan akan berada
ditangan mereka, begitu pikirnya.
Paksi Jaladara, Joko Keling, Rintani, Simo Bangak, Gadis Naga Biru dan Ayu
Parameswari duduk dalam satu barisan memanjang dalam posisi bersemadi, sedang di
bagian paling belakang sendiri di posisikan anak Wanengpati pada urutan
terakhir. Meski Nyi Dhandhang Gendhis dan anaknya masih dilindungi pancaran
cahaya kunang-kunang yang menggantung di langit, tetap dianggap sebagai deretan
terakhir. Akan halnya Ki Dalang Kandha Buwana duduk berhadapan dengan Paksi Jaladara
sedang Wanengpati berdiri membelakangi gumpalan cahaya kunang-kunang yang berisi
anak dan istrinya. Sedang yang lainnya, oleh Seto Kumolo dan Bidadari Berhati
Kejam yang sadar belakangan, lalu dikumpulkan di satu tempat yang tersembunyi di
belakang rumah batu, termasuk pula jasad Sepasang Raja Tua. Setelah itu mereka
berdua berdiri membelakangi Wanengpati, entah apa maksudnya. Sebab dua orang ini
telah ditugasi oleh Wanengpati untuk melakukan gerakan penyelamatan.
Justru yang mengherankan adalah Dewa Cadas Pangeran duduk bersebelahan dengan
Simo Bangak. "Apa yang kau lakukan?" tanya Simo Bangak dengan heran.
"Karena aku juga pemilik Bintang Penakluk Iblis seperti halnya dirimu, bocah
muda," sahut Dewa Cadas Pangeran sambil membuka telapak tangan kanannya dan
terlihatlah lima buah bintang biru dengan tepi kuning keemasan.
Bintang ke lima! Tentu saja Simo Bangak kaget!
"Bagaimana mungkin ini terjadi?"
Yang bersuara adalah ... Sang Maharaja Agung!
Laki-laki itu terkejut sekali saat melihat lima bintang berada di telapak tangan
Dewa Cadas Pangeran dan itu artinya bahwa ada dua bintang ke lima yang sama dari
Delapan Bintang Penakluk Iblis yang ada di muka bumi. Dari Kitab Hitam 'Bhirawa
Tantra', bahwa yang bisa menghancurkan seluruh kekuatan gaib yang bersumber dari
bawah tanah adalah jika adanya bintang kembar dalam satu Barisan Delapan Bintang
Penakluk Iblis. Belum lagi keterkejutannya hilang, terdengar lantunan mantra 'Rajah Kalacakra
Pangruwating Diyu' secara bersamaan!
Begitu mendengar lantunan mantra pengusir iblis ini, penghuni alam gaib langsung
geger. Beberapa prajurit yang berkekuatan siluman rendah, langsung semburat
mengeluarkan kepulan asap hitam dan tewas seketika.
"Aku harus mencegah mereka melakukan penyatuan kekuatan pemusnah ini," gumam Si
Topeng Tengkorak Baja tanpa mempedulikan nasib anak buahnya yang meregang nyawa
satu demi satu, termasuk pula Senopati Kala Hitam yang harus bertahan dari
lantunan mantra sakti itu. "Kupecah konsentrasi mereka dengan Ilmu 'Banjir
Bandang Semesta'!" Sepasang tangan laki-laki berbaju putih perak itu menyentuh bumi, lalu diiringi
dengan hembusan napas berat, ia seperti menarik sesuatu dari dalam tanah.
"Heeaaa ... !" Waktu bersamaan dengan lengkingan membahana Raja Di Raja Kerajaan Iblis Dasar
Langit, dari Barisan Delapan Bintang Penakluk Iblis terlihat pancaran sinar biru
terang dengan tepi kuning keemasan memancar ke arah delapan penjuru mata angin.
Sriing! Criing ... ! Kemudian delapan bintang itu berputaran dengan cepat membentuk bayangan biru
keemasan, terus memilin cepat di udara membentuk untaian panjang seperti tali
dengan ukuran besar. Setelah itu, dengan kecepatan kilat, pilinan cahaya biru
keemasan langsung melesat dan menerjang masuk lewat ubun-ubun Paksi Jaladara.
Jress! Zratt! Zratt!! Bagai disengat halilintar, tubuh Paksi Jaladara yang dalam posisi bersemadi,
terlihat berkelojotan seperti orang sekarat menunggu ajal dimana tubuh pemuda
itu diselimuti percikan-percikan lidah sinar biru keemasan.
"Aku harus bisa! Harus bisa!" pekik Paksi diantara rasa sakit akibat masuknya
delapan tenaga sakti yang berbeda bentuk dan sifat dan berusaha bergabung
menjadi satu dalam raganya, belum lagi dengan tenaga saktinya sendiri. Praktis,
dalam tubuh pemuda murid Si Elang Berjubah Perak sekarang ini mengeram sembilan
jenis tenaga sakti yang saling bentrok satu sama lain.
Begitu lantunan mantra selesai, tubuh Joko Keling, Rintani, Simo Bangak, Dewa
Cadas Pangeran, Gadis Naga Biru dan Ayu Parameswari langsung ambruk kehabisan
tenaga. "Sekarang!" Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Tujuh
Begitu mendengar aba-aba Wanengpati, Seto Kumolo dan Bidadari Berhati Kejam
berkelebat cepat menyambar ke arah Joko Keling, Rintani, Simo Bangak, Dewa Cadas
Pangeran, Gadis Naga Biru dan Ayu Parameswari.
Wutt! Wutt! Wuss!! Jika Wanengpati langsung menyambar Gadis Naga Biru dan Ayu Parameswari, Seto
Kumolo langsung mengarah ke Rintani dan Simo Bangak. Akan halnya Ki Dalang
Kandha Buwana langsung menyambar Joko Keling dan Bidadari Berhati Kejam ke
bagian Dewa Cadas Pangeran.
Lapp! Lapp! Blapp! Begitu semuanya telah berada di tempat aman, empat orang itu segera membuat
pagar betis! Bersamaan dengan masuknya delapan jens tenaga sakti dan kini menjadi sembilan
hawa tenaga sakti ke dalam tubuh Paksi, bagai dipaksa keluar dari dalam bumi,
terlihat gemuruh air bah yang datang bergelombang siap menelan apa saja yang ada
di depannya. Srakk! Grkkkk ... !!! Terlihat sosok angker Topeng Tengkorak Baja berdiri di atas gulungan air yang
berpusar. "Anak muda, bersiaplah!"
Bergerak saja sudah sulit, apalagi berbicara. Paksi hanya diam saja tanpa
memberikan komentar apa pun.
Grahhh ... ! Seiring dengan dorongan sepasang tangan Sang Maharaja Agung, air bah yang
bergemuruh langsung menerjang ke depan, melumat apa saja yang bisa dilumat,
menghancurkan apa saja yang bisa dihancurkan.
Sementara itu, Paksi yang terus berusaha memaksakan diri untuk memadukan
sembilan jenis hawa tenaga sakti yang berbeda-beda yang berasal dari Delapan
Bintang Penakluk Iblis dan satu dari sumber tenaga dalamnya sendiri yang berhawa
salju sangat tersiksa sekali. Pemuda itu hanya memiliki dua kemungkinan,
berhasil memanfaatkan gabungan sembilan tenaga sakti tersebut dengan resiko
tubuhnya tidak mampu menampung besarnya jumlah tenaga gabungan yang melebihi
kapasitas atau justru sebelum gabungan sembilan tenaga sakti ini berhasil
disatukan, sudah terjadi daya tolak dalam tubuh Paksi dan akan mengakibatkan
ledakan tenaga dalam di dalam raga si Elang Salju.
Tubuhnya akan hancur berkeping-keping!
Akan tetapi, pemuda berhati baja itu mengambil resiko kematian demi
menyelamatkan nyawa banyak orang!
Air bah bergemuruh yang dihasilkan Ilmu 'Banjir Bandang Semesta' yang digunakan
Topeng Tengkorak Baja membawa air coklat kehitaman dari dasar bumi yang kini
sudah semakin mendekat. Paksi mulai menyalurkan gabungan tenaga sakti yang terkumpul perlahan melalui
kedua lengan tangannya sedikit demi sedikit. Sembilan warna dari sembilan tenaga
sakti langsung terkumpul.
Sratt! Sratt!! Retno Palupi yang sangat mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya yang terlihat
sangat menderita akibat luapan tenaga yang melebihi batas hanya bisa mendesis
lirih, "Kakang ... "
"Retno, jangan kau ganggu konsentrasi Paksi, bisa berbahaya," bisik Seto Kumolo.
"Kita singkirkan dulu teman-teman kita lebih jauh lagi."
Gadis berbaju biru laut hanya mengangguk lemah mengiyakan.
Sementara itu, si pemuda berbaju putih-putih dengan ikat kepala merah mulai
berkonsentrasi penuh. Kumpulan sembilan tenaga sakti yang sudah mengalir melalui
lengan Paksi kini menghembus melalui kedua telapak tangan yang sudah digerakkan
perlahan membuka ke arah air bah yang sudah semakin dekat, tinggal berjarak lima
tombak lagi dari Paksi berdiri. Jurus ini mirip sekali dengan 'Menahan Samudera
Menepis Gelombang' yang pernah diperlihatkan oleh Tabib Sakti Berjari Sebelas
sat ia masih kecil dahulu. Oleh Paksi, diubah bentuk dan kemampuannya, setelah
itu digabung dengan Ilmu 'Mengendalikan Badai' dan menjadi satu jurus tunggal
dimana kekuatannya menjadi dua kali lipat lebih hebat. Uniknya, jurus ini belum
pernah dicoba sama sekali dalam suatu pertarungan oleh Paksi Jaladara, dan kali
ini adalah kesempatan emas mencoba kemampuan dari jurus ciptaannya ini.
Jurus 'Pemunah Bumi Dan Badai'!
Wwuuusss ... !!! Jddaarrr ... !! Glaarrr ... grrerrr!!
Sungguh ajaib! Sembilan warna dari sembilan tenaga sakti tersebut bagai sebentuk dinding
cembung yang menghalangi laju air bah yang datang bagai gelombang pasang.
Jddaarrrr ... gllarrr!! Air bah selebar lima tombak yang bisa meluluhlantakkan benda-benda di sekitarnya
tertahan membentur dinding tenaga disertai suara benturan dan gemuruh keras.
"Kurang ajar!" pekik Si Topeng Tengkorak Bmelihat air bah kirimannya bisa
dibendung oleh lawan yang terlihat kesulitan mengerahkan tenaga, lalu ia
menghempos tenaga, dan kembali gerumuh air bah yang lebih besar datang
menerjang. Jddaarrrr ... jdddarrrr ... !! Gleerrrr ... !!
Paksi terlihat begitu berhati-hati dalam mengatur nafas. Justru dalam keadaan
yang seperti itu, tampak hal aneh terjadi pada diri pemuda itu, dimana keluar
keringat dingin sebesar butiran jagung dari seluruh tubuhnya. Tubuh Paksi
bergeser setapak demi setapak ke belakang terdorong oleh air bah yang berasal
dari Ilmu 'Banjir Bandang Semesta', yang terus mencoba mendobrak dinding
sembilan warna yang terangkum dalam jurus 'Pemunah Bumi Dan Badai'.
Paksi Jaladara benar-benar mempertaruhkan nyawa kali ini!
"Hebat juga dia!" pikir Si Topeng Tengkorak Baja, setelah melihat peningkatan
dari Ilmu 'Banjir Bandang Semesta' masih bisa di tahan pihak lawan. "Kuberikan
saja serangan susulan!"
Tiba-tiba saja Paksi Jaladara terkejut dan hal itu justru membuatnya terdorong
beberapa tombak ke belakang ketika ia melihat Si Topeng Tengkorak Baja yang
masih berdiri tegak mengambang di atas air, sekilas pemuda itu melihat mata Si
Topeng Tengkorak Baja yang mengeluarkan semacam hawa pembunuh yang sangat aneh
dan sangat menakutkan serta bisa membuat bulu kuduknya berdiri, seolah setan
dari neraka yang ingin menjemput dirinya.
Belum pernah Paksi Jaladara bertemu dengan hawa pembunuh seperti ini!
"Gila! Hawa siluman dan iblis semakin kental keluar dari tubuhnya!" pikir Paksi
Jaladara. "Bagaimana ini" Apa perlu kukorbankan teman-temanku yang terluka di sini dengan melepas tenaga penahan dari jurus 'Pemunah Bumi Dan
Badai' ini, untuk kemudian menghadapi pertarungan lagi dengan Si Topeng
Tengkorak Baja" Ahh ... serba sulit, bagai makan buah simalakama!"
Ia tahu pasti bahwa Si Topeng Tengkorak Baja kini datang membawa satu keinginan,
yakni membunuh dirinya! Si Topeng Tengkorak Baja kini bersiap. Sambil berdiri di atas air yang mengapung


Pendekar Elang Salju Karya Gilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

coklat kehitaman, secara perlahan namun pasti, mengangkat tangan kanan ke atas,
mengepalkannya perlahan namun sampai terdengar bunyi berkerotokan sendi-sendi
tangan, terus tampak gulungan hawa panas membara membentuk api coklat kehitaman
sebesar kepala manusia saat ia membuka genggaman tangan.
Bluubb! "Pemilik Mutiara Langit Putih! Terimalah Pukulan 'Tinju Neraka Iblis Dasar
Langit' tingkat lima belas!"
Sekejap kemudian, Si Topeng Tengkorak Baja menggerakkan tangan kanan, dan
gulungan bola api rakasasa melesat menuju arah Paksi Jaladara.
Wutt ... ! Disusul gulungan bola api raksasa yang lebih kecil dari tangan kiri yang sejak
tadi juga sudah dipersiapkan langsung melesat menuju arah kepala Paksi Jaladara.
Begitu mendekat, dua gumpalan api langsung berubah menjadi sebesar kerbau
bunting. Syyuuttt ... !!! Paksi Jaladara berpikir cepat, "Aku tidak boleh mengorbankan jiwa teman-temanku.
Jika aku harus mati ... apa boleh buat!"
Ketua Muda Istana Elang berniat menghalangi dua gulungan api raksasa yang kini
mengarah menuju dirinya dengan taruhan nyawa. Si Elang Salju cuma sedikit
menambah tenaga yang dikeluarkan, diikuti dengan terdorongnya ia beberapa kaki
ke belakang akibat dorongan air bah coklat kehitaman yang terus mencari celah
lengah Paksi Jaladara. Jdduuarrr ... !! Terjadi benturan antara dua gulungan api sebesar kerbau dengan dinding sembilan
warna yang dihasilkan dari gabungan tenaga sakti yang bersumber Bintang Penakluk
Iblis. Daya dinding penghalang dari jurus 'Pemunah Bumi Dan Badai' itu sungguh
luar biasa, sebab gulungan api raksasa itu tak berhasil menembus.
Weesss ... wosss ... !! Hanya saja terdengar suara kesiuran dari dua gulungan api yang terus berputar
mencoba menembus dinding penghalang yang diciptakan Paksi Jaladara.
Si Topeng Tengkorak Baja terlihat geram karena kesal.
"Kurang ajar!! Terima kembali Pukulan 'Tinju Neraka Iblis Dasar Langit' tingkat
enam belasku, anak muda!"
Sekali lagi, tangannya langsung dikepalkan dua-duanya, kemudian secara perlahan,
kedua kepalan tinjunya didorongkan ke depan. Terasa arus hawa panas membara yang
sangat dahsyat luar biasa terhembus dan mendorong maju dua gumpalan api raksasa
untuk membantunya menjebol dinding pertahanan Paksi Jaladara yang berusaha
melindungi orang-orang yang kini sedang menderita luka parah tepat berada di
belakangnya. Wossshh ... wosshh ... ! Paksi Jaladara sadar, begitu dua gumpalan bola api itu lolos dari dinding
pertahanannya, rasanya dirinya bakalan sulit untuk selamat. Nafas kembali
dihembuskan sedikit. Tenaga pertahanan sekali lagi bertambah, kini benturan yang
lebih keras terjadi ... Jduaarrrr ... !!! Paksi Jaladara kini terdorong sampai beberapa tombak ke belakang.
"Huaghh!!" Dari mulutnya keluar darah segar, menetes jatuh terpercik ke bawah bersamaan
dengan jatuhnya tetesan air ke tanah. Beban air bah yang ditahannya, ditambah
dengan beban desakan serangan gumpalan api raksasa itu telah membuatnya luka
dalam. Luka dalam yang parah sekali!
"Kakang Paksi," desis lirih Gadis Naga Biru melihat sang kekasih terluka.
Bersamaan dengan kilatan petir tanpa suara, Paksi melihat sekilas ke belakang.
"Hemm, sudah aman untuk sementara, sebagian besar telah diungsikan lebih menjauh
dari jangkauan air bah ini oleh Retno Palupi dan Seto Kumolo!" pikir Paksi,
berniat menghadapi langsung Si Topeng Tengkorak Baja. "Lebih tenang hatiku
sekarang!" Si Topeng Tengkorak Baja memuncak kegeramannya, ia kini mulai menarik nafas
panjang, kemudian tubuhnya berjongkok dalam posisi merangkak di atas air seperti
katak, sementara ke dua tinjunya ditekankan ke bawah yang kadang bergerak timbul
tenggelam dalam air. "Kalau 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia' tidak bisa mengenyahkannya,
aku bersumpah akan menghilang selamanya di jagad ini," pikirnya.
Sementara empat bola api raksasa yang tadi diluncurkan lewat Pukulan 'Tinju
Neraka Iblis Dasar Langit' masih terus berputar dan bergerak maju mencoba
menembus dinding sembilan warna akibat 'Tenaga Sakti Bintang Penakluk Iblis'.
Kemudian Si Topeng Tengkorak Baja atau Sang Maharaja Agung dari Kerajaan Iblis
Dasar Langit mengeluarkan suara keras seperti seekor raungan katak murka.
"Ngkkroookk ... nggkkroookk ... !"
Berbareng dengan sebuah hawa tenaga berbentuk katak merah raksasa terlontar
cepat laksana sambaran petir menuju dinding pertahanan Paksi Jaladara.
Wusss!! Wuusss!! Posisi Paksi Jaladara semakin sulit. Ia tak mungkin bertahan lagi, arus deras
air bah terus-menerus menghantam dinding pertahanannya, sementara empat gumpalan
api yang kini membengkak membesar masih terus mendesak maju, dan sekarang satu
gelombang hawa tenaga berbentuk katak merah raksasa yang keluar dari suara Si
Topeng Tengkorak Baja menghantam dinding pertahanan. Sembilan tenaga gabungan
berbeda jenis dari para pemilik Bintang Penakluk Iblis bertemu dengan tiga ilmu
sakti paling mengerikan sekaligus dari alam gaib yaitu Ilmu 'Banjir Bandang
Semesta', Pukulan 'Tinju Neraka Iblis Dasar Langit' dan kini ditambah 'Tenaga
Sakti Katak Merah Penghancur Dunia'!
"Seandainyapun ini dihindari ... " pikirnya, tapi sebuah pikiran terlintas,
" ... tak bisa! Ini adalah takdir! Aku tak bisa melepaskan manusia-manusia
menjadi budak-budak setan tanpa daya!"
Semangat dan jiwa kesatria Paksi kembali menyala setelah menyadari betapa
pentingnya mempertahankan hidup manusia-manusia yang ada di muka bumi!
Sementara itu, langit masih gelap pekat akibat Gerhana Matahari Kegelapan, hanya
kadang saja terlihat terang semuanya ketika petir tanpa suara berkilat menerangi
langit kelam. Akhirnya ... benturan paling mengerikan yang belum pernah ada di jaman mana pun
terjadi ... Dhhhhuuaarrr ... !!!!! Glhhaarrr ... !!! Meski sempat mengurangi tenaga pertahanannya untuk mengurangi dampak benturan
tenaga sakti, tak urung Paksi Jaladara terhantam paduan antara dorongan Ilmu
'Banjir Bandang Semesta' berbentuk air bah yang terus mendesak, tersengat oleh
dorongan gumpalan api raksasa dari Pukulan 'Tinju Neraka Iblis Dasar Langit' dan
terutama sekali terhantam 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia'!
Paksi Jaladara terlempar ke belakang beberapa tombak disertai dengan muntahan
darah segar yang keluar dari dalam mulut. Ia terluka dalam yang parah sekali.
Bersamaan dengan tubuhnya terhempas ke tanah, bersamaan itu seleret cahaya merah
menerjang tubuh pemuda itu, bersamaan itu pula air bah yang sudah tertahan sejak
tadi, sekarang mengamuk bergemuruh menerjang apa saja yang ada di depannya tanpa
bisa dicega lagi. Menjarah semua yang bisa dijangkau!
Melumat apa saja yang ditemui!
Hancur lebur! Pohon-pohon ditumbangkan, gerbang padukuhan dirobohkan, rumah-rumah penduduk
semua disapu bersih. Lenyap habis, semua dihempaskan dan dihanyutkan oleh air
bah yang menggila! Jika tidak ada Seto Kumolo yang mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerbang Inti Bumi'
tingkat akhir, mereka semua pasti akan tewas terhantam banjir bah. Dengan
tingkat akhir ini, Seto Kumolo membuat kubah tanah raksasa untuk menyelamatkan
teman-temannya dari amukan air bah.
Lebih-lebih gumpalan api raksasa dari Pukulan 'Tinju Neraka Iblis Dasar Langit'
dan 'Tenaga Sakti Katak Merah Penghancur Dunia' langsung menyapu bersih hutan
kebanggaan Padukuhan Songsong Bayu dalam sekejap mata.
Dhuarrr ... ! Bllammm ... !!
Tak ada yang tersisa! Jilid 1 : Sang Pewaris - Bab Lima Puluh Delapan
Sementara itu, tubuh Paksi Jaladara terlibas banjir dan hanyut tenggelam diterpa
banjir yang menggila! "Aku harus bisa menemukan mayat!" pikirnya, "Jika tidak mati, pemuda itu bisa
sebagai bibit bencana di kemudian hari!"
Sang Maharaja Agung atau Si Topeng Tengkorak Baja terlihat seperti sangat geram,
ketika beberapa kali ia berloncatan di atas air mencari mayat Paksi Jaladara.
"Setan laknat! Kemana perginya mayat pemuda busuk itu!" desisnya.
Tak tenang rasanya bila ia tak bisa menemukan Paksi Jaladara dalam keadaan
menjadi mayat, tak tenang rasanya jika ia tak bisa menemukan tubuh Paksi
Jaladara untuk memastikan bahwa ia sudah menjadi mayat. Beberapa kali ia
berloncatan di atas air, dan beberapa kali ia sengaja masuk ke dalam air yang
kotor pekat, tapi tak ditemukan tubuh Paksi Jaladara di situ. Dengan menampakkan
muka kecewa dan geram yang sangat, Si Topeng Tengkorak Baja berlompatan beberapa
kali sambil mengumpat panjang pendek.
"Setan! Dimana kau, pemuda keparat!" teriaknya keras.
Tiba-tiba saja ... Dari kedalaman air, menyeruak sinar putih dan merah bergulung-gulung ke atas,
membentuk bola cahaya raksasa dengan warna terpisah antara putih dan merah yang
saling berkejaran. Tidak menyatu dan juga tidak menjadi satu.
"Apa itu?" desis Si Topeng Tengkorak Baja.
Tiba-tiba, Maharaja Agung menyadari sesuatu. Suatu yang mengancam diri dan juga
kelangsungan hidup bangsa dan Kerajaan Iblis Dasar Langit. Seketika wajahnya
pucat pasi bagai tanpa darah!
"Celaka! Itu ... penyatuan dari Sepasang Mutiara Langit dengan kekutan sejati
Delapan Bintang Penakluk Iblis!" desisnya sambil menyeka keringat sebesar jagung
menetes keluar dari dahinya. "Mustahil!"
Di dalam bola raksasa, terlihat samar Paksi Jaladara berdiri mematung sambil
merentangkan ke dua belah tangan dengan mata terpejam. Rambut panjangnya
tergerai lepas, terlepas pula ikat kepala merah yang ada di dahi yang menutupi
sebentuk Rajah EWlang Putih yang kini bersinar putih terang keperakan, bagai
menyinari nuansa gelap gulita Gerhana Matahari Kegelapan.
Sriing! Sinar putih dan merah menyeruak ke atas bersamaan, bagai dua batang tombak
raksasa menusuk langit. Sriiing ... sriing! Dan bersamaan dengan itu pula, sinar putih dan merah berukuran satu telunjuk
memancar ke segala arah, saling silang dengan rapat sehingga bola raksasa yang
didalamnya berisi Paksi Jaladara bagai seorang nelayan yang menebar jaring di
sungai. Duashh ... blubb ... ! Beberapa siluman yang terkena atau pun terserempet jaring putih merah, langsung
Pedang Dan Kitab Suci 13 Pendekar Slebor 59 Cinta Dalam Kutukan Bunga Penyebar Maut 1

Cari Blog Ini