Ceritasilat Novel Online

Pendekar Wanita Baju Putih 3

Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


"Biarpun kau tidak membunuhnya dengan ujung pedang, tapi kematiannya
karena kau juga. Kau tertawalah, kau puaslah. Bergembiralah kau karena
sesungguhnya ayahku meninggal dunia karena kau!"
"Apa katamu" Mengapa begitu?"
"Ayah meninggal dunia karena....karena hatinya terpukul. Karena malu. Kau
telah mencemarkan nama keluarga kami: "Tidak tahukah kau betapa kau telah
menghina kami, menghina nama keluarga kami, menghina ayah dan menghina aku"
Kau sedia akan menjadi mantu ayah, tapi...tapi...justru pada saat
perkawinan...kau...kau hendak membunuh kami. Sedangkan para tamu tahu belaka
akan hal itu. Ayah tak dapat menahan kesedihan dan malunya hingga ia jatuh
sakit...dan meninggal dunia...Bukankah hal ini berarti bahwa kau telah
membunuhnya" Telah membalasnya jika benar-benar dia berhutang kepadamu?"
Thian In menundukkan kepala. "Aku tak puas. Aku tak rela ia mati dalam
keadaan demikian. Aku belum begitu rendah untuk melakukan pembalasan dendam
secara pengecut dan rendah itu. Kau tahu sendiri...tadinya aku tidak tahu
bahwa ayahmu adalah musuhku. Tadinya dengan jujur aku memasuki sayembara,
dengan jujur...ingin kawin dengan engkau. Tapi pada saat perkawinan
dilangsungkan barulah aku tahu bahwa ia adalah musuhku, bahwa kau adalah anak
musuh besarku, bahwa kita...tak mungkin menjadi suami isteri ayahmu, untuk
membunuh kau juga, tapi aku tak berhasil. Ayahmu mati karena perbuatanku yang
memang rendah, walaupun tak kusengaja. Kau....kau mencari aku untuk.....membalas dendam?"
Giok Cu mengangguk. "Memang! Tadinya aku merasa sakit hati sekali dan
tinggalkan rumah untuk mencarimu. Untuk menuntut balas! Tapi...aku tak
Koleksi Kang Zusi dapat....kau..engko Thian In, kau harus terangkan padaku mengapa kau sakit
hati kepada ayah. Barulah hatiku bisa tentram, barulah penasaran dalam hatiku
dapat lenyap. Thian In memandang kepada Giok Cu dengan heran, kemudian dengan pandangan
penuh hati iba. Ia dapat meraba perasaan gadis cantik ini. Pengakuan yang
baru saja diucapkan gadis itu adalah pembukaan rahasia hatinya. Gadis ini
mencinta padanya. Tapi betapa tidak" Bukankah ia pemuda pilihan dalam
sayembara yang telah kawin padanya, walaupun perkawinan resmi itu belum
selesai" Thian In merasa bingung dan menghela napas, penuh penyesalan.
"Sayang dulu aku tak berhasil membunuh ayahmu. Kalau berhasil, tentu kau
akan merasa dendam padaku dan akan membenciku selama hidup. Sayang kau dan
ayahmu berada dalam lindungannya. Oo, ya, di manakah dia?"
Giok Cu heran. "Dia" Dia siapakah yang kau maksudkan" Dan berapa kali kau
katakan pelindung, siapakah yang kau maksudkan?"
"Dia itu, kawanmu dulu itu, pemuda yang berlagak sastrawan..."
"Ooo, kau maksudkan Gan Kam Ciu?"
Thian In mengangguk. "Ya, siapa lagi. Di manakah pelindungmu yang gagah
dan lihai itu?" Giok Cu terkejut bukan main. "Eh, eh, jangan kau permainkan namanya.
Biarpun ia hanya seorang sastrawan yang lemah, tetapi ia seorang pemuda yang
baik dan jujur. Selama hidup aku takkan melupakan kebaikan hatinya."
Thian In tertegun. "Pek I Lihiap! Kau seorang gadis pendekar yang pandai
ilmu silat. "Benar-benarkah kau begitu bodoh hingga menyangka bahwa Gang Kam
Ciu itu seorang sastrawan lemah?" Tiba-tiba Thian In tertawa bergelak, "Lucu!
Lucu! Bukan aku yang sekarang merasa heran sekali mengapa kau dan ayahmu
main-main, tapi kaulah yang hendak mempermainkan aku. Sampai mengadakan
sayembara pilih mantu yang lihai dalam ilmu silat dan ilmu surat" Padahal di
dekatmu ada pemuda seperti Kam Ciu! Terus terang saja, sepuluh kali lipat ia
lebih pandai dariku, baik dalam ilmu silat maupun dalam ilmu kesusasteraan."
Giok Cu memandang wajah Thian In dengan mata terbelalak dan mulut
ternganga heran. Ia tidak mau percaya dan anggap bahwa Thian In sengaja
mempermainkannya atau menyindirnya. Thian In dapat menduga keraguan gadis
itu, maka ia berkata: "Nona Ong, memang mungkin kau tidak tahu, sedangkan aku sendiri yang
tinggal sekamar dengan dia juga tadinya tertipu. Tahukah kau, siapa yang dulu
menjatuhkan aku dan menolong kau dan ayahmu" Siapakah yang menotoku dan
membuat aku tak berdaya hanya dengan beberapa butir buah kerikil" Siapa pula
yang membantuku ketika aku bertempur melawan Hoan Tin-cu dengan sindiran
tentang ular dan burung" Semua itu bukan lain ialah perbuatan pemuda
sastrawan yang kau anggap lemah itu!"
"Dia..." Dia....?" Tapi...ayah dulu bilang bahwa yang dapat menggunakan
batu untuk menotok orang hanyalah Hong-san Lojin. Apakah dia murid locianpwee
itu?" "Entahlah, tapi yang kutahu jelas ialah kepandaiannya yang hebat.
Ingatkah kau dulu Hoan Tin-cu pernah menjura dan menyerang secara gelap
kepadanya" Ia hanya duduk tertawa saja dan diam-diam memukul kembali serangan
tosu itu! Ah aku sendiri masih geli memikirkan betapa bodohnya kita dapat
ditipu sedemikian rupa!"
Sementara itu Giok Cu duduk termenung dengan pandangan jauh. Pikirannya
melayang tak karuan. Ia teringat betapa baiknya pemuda sastrawan itu
terhadapny, sungguhpun lamarannya dulu telah ditolak mentah-mentah dengan
alasan bahwa Kam Ciu tidak pandai silat! Ah, mengapa begitu" Mengapa dul
pemuda itu tidak terus terang saja dan memperlihatkan diri sebenarnya"
Mengapa pemuda itu rela lamarannya ditolak dari pada membuka rahasia dirinya"
Tapi ia dapat menguasai diri dan tunjukkan perhatiannya kepada Thian In,
pemuda yang sedianya menjadi suaminya tapi yang kini seakan menjadi musuh
itu! Cobalah, ceritakan padaku tentang sakit hatimu," katanya.
Thian In menghela napas beberapa kali kemudian berkata:
"Baiklah, memang seharusnya kau tahu pula duduknya perkara agar kau tidak
manjadi penasaran." Koleksi Kang Zusi Tapi Thian In tidak lanjutkan kata-katanya, bahkan miringkan kepala
seakan-akan ada sesuatu yang didengarkan. Giok Cu merasa heran dan curahkan
perhatiannya untuk mendengar pula. Benar saja, ada tindakan kaki orang di
atas genteng! Tindakan kaki itu demikian ringan hingga kalau tidak didengar
dengan teliti, tentu takkan terdengar orang.
Sebelum mereka berdua dapat berbuat sesuatu, tiba-tiba ada bayangan orang
melayang turun dan tahu-tahu seorang tosu yang bermuka kejam dengan pakian
mewah berwarna kuning keemasan berdiri di depan pintu kamar mereka yang
merupakan jeruji besi yang kuat. Melihat tosu itu menyeringai memandang
mereka, Giok Cu loncat berdiri dengan wajah pucat karena ia kenali tosu itu
yang bukan lain Gang Ong Tosu, pendeta siluman yang sangat lihai dan yang
pernah menculiknya dulu! "Ha, ha, ha! Pek I Lihiap yang manis jelita ternyata benar-benar orang
yang berani mengganggu anak Kwie-san. Aku tahu, aku tahu, selain kau si
cantik manis siapa lagi yang berani" Hayo kau turut aku ke Kwie-san!" Setelah
berkata begini tosu itu gunakan kedua tangannya memegang jeruji-jeruji besi
itu dan sekali betot saja ia berhasil membongkar pintu besi yang belum tentu
dapat terbongkar oleh tubrukan seekor kerbau!
Thian In meloncat mundur sambil mencabut pedangnya dan membentak: "Tosu,
siluman dari mana berani kurang ajar?"
Tosu itu memandang dan ketika melihat pedang Thian In yang digerakgerakkan dalam persiapan, ia berkata: "He, gerakan pedangmu menyatakan bahwa
kau adalah murid Gak Bong. Benarkah?"
Thian In terkejut sekali. Baru melihat ia mencabut pedang dan
menggerakkan sedikit saja tosu itu sudah dapat tahu bahwa ia adalah murid Gak
Bong Tosu! Ia merasa heran siapakah tosu siluman yang kenal pada Pek I Lihiap
dan juga agaknya kenal pula dengar gurunya ini!
"Gak Bong Tosu adalah suhuku. Siapakah engkau?"
"Ha, ha, ha! Memang Gak Bong bukan orang baik-baik. Ia tidak bisa
mengajar adat kepada muridnya. He, kau muridnya Gak Bong! Siapa namamu" Kau
kurang ajar sekali berani-sekali berlaku tidak sopan terhadap susiokmu
sendiri?" Gemetarlah tubuh Thian In. Ia pernah mendengar dari suhunya bahwa suhunya
mempunyai seorang sute bernama Gak Ong Tosu tapi agaknya suhunya tidak suka
kepada sute ini. Apakah tosu ini Gak Ong"
Giok Cu berbisik di dekatnya: "Ia adalah Gak Ong Tosu, tosu siluman yang
dulu pernah menculikku, baiknya aku ditolong oleh gurumu!"
Pucatlah wajah Thian In. Terpaksa ia berlutut dan berkata: "Maaf, susiok.
Teecu tidak tahu sedang berhadapan dengan susiok maka berlaku kurang ajar.
Terserah kepada susiok kalau hendak mengajar kepada teecu."
Sementara itu, Gak Ong Tosu telah masuk ke dalam kamar dan tertawa
bergelak. "Nah, begitulah seharusnya. Tapi kau tadi berlaku sangat kurang
ajar! Kesinikan pedangmu!" Thian In angsurkan pedangnya dan Giok Cu sudah
siap dengan pedangnya pula dengan hati berdebar karena ia hendak membela
mati-matian jika tosu siluman itu akan mencelakakan Thian In. Tapi dengan
gunakan jari telunjuk dan ibu jari, tosu itu tekan pedang Thian In.
"Pletak!!" dan dia lempar potongan pedang itu ke atas lantai.
"Tapi susiok, pedang itu adalah pemberian suhu. Mengapa dipatahkan?"
"Tak perduli pemberian siapa juga, kau telah bersalah dengan mencabutnya
dan hendak melawan kepada susiokmu sendiri. Hayo maju dan berlutut!" Thian In
hanya dapat menurut, dan ia berlutut di depan susioknya. Menurut
perguruannya, seorang murid yang bersalah akan dipukul tubuh belakangnya. Dan
ia tahu bahwa susiok di depannya ini adalah seorang manusia berhati iblis dan
tentu hendak menjatuhkan tangan kanannya kepadanya. Tapi ia tak berani
melawan karena dengan demikian berarti ia melanggar peraturan gurunya! Ia
hanya kerahkan tenaga dalamnya ke arah punggung untuk menahan kedua orang
yang ditahan itu kedatangan musuh dari luar.
Dengan menyimpang Thian In ceritakan bahwa yang datang musuh-musuh lama,
maka karena hari telah sore ia minta diri dari tihu itu. Pembesar itu
terpaksa meluluskan karena iapun tidak suka kalau musuh-musuh kedua orang itu
datang lagi membuat ribut.
Koleksi Kang Zusi Sebelum tinggalkan tempat itu, Thian In berkata kepada Giok Cu: "Nona
Ong, sekarang, biarlah kita berpisah. Aku masih ada urusan lain yang harus
diselesaikan." Giok Cu memandangnya dengan hati sedih. "Tpai, tapi...kau belum ceritakan
tentang hal.... "Biarlah nanti bila kita berjumpa di atas Kwie-san akan kuceritakan
padamu akan hal ku mendendam kepada keluargamu."
Terpaksa Giok Cu hanya dapat melihat pemuda itu meninggalkannya dengan
hati perih. Ia merasa betapa sikap pemuda itu telah berobah kepadanya. Ia
sebagai seorang gadis yang berperasaan halus dapat merasakan bahwa Thian In
tidak cinta. Ujung sabut cepat melejit ke bawah dan menyambar leher tosu itu!
"Bagus juga permainanmu!" Gak Ong memuji dan kali ini ia biarkan saja
ujung sabuk membelit lehernya! Ketika Giok Cu dengan girang menyentak
sabuknya, bukan tubuh pendeta itu yang roboh, sebaliknya dia sendiri yang
tertarik hingga terhuyung ke arah pendeta itu! Gak Ong Tosu dengan tertawa
menjemukan buka kedua lengannya sambil berkata:
"Ah, ah...mari, manis, mari sini..."
Tapi Giok Cu keburu menahan tubuh dan loncat mundur sambil memaki dengan
gemas. "Tosu anjing! Tosu siluman!" Ia banting banting kaki dan hampir saja
menangis, karena menghadapi tosu itu ia merasa sebagai seorang anak kecil
yang tak berdaya. Sementara itu Thian In masih berlutut tak bergerak.
Pada saat yang berbahaya itu, berkelebatlah sinar putih dan tahu-tahu
sebutir batu karang putih menyambar ke arah pilingan kepala Gak Ong Tosu.
Menyambarnya senjata rahasia itu demikian cepat hingga Gak Ong mengeluarkan
suara kaget dan berkelit ke samping. Tapi pada saat itu juga, tida buah benda
putih lain menyambarnya! Senjata-senjata rahasia itu sangat lihai karena yang
di arah adalah jalan-jalan darah yang mematikan.
Dengan berseru marah Gak Ong gunakan ujung bajunya yang panjang untuk
mengebut ketiga batu itu, kemudian secepat kilat kedua tangannya bergerak dan
tahu-tahu Thian In dan Giok Cu telah tertotok hingga tidak berdaya karena tak
dapat bergerak sedikitpun! Thian In masih berlutut dan Giok Cu berdiri
bagaikan patung. "Bueng-cu setan kecil! Jangan lari, tunggu pembalasanku!" Gak Ong berseru
keras lalu tubuhnya berkelebat keluar dan loncat ke atas genteng.
Ketika berada di atas genteng, ia tidak melihat siapa-siapa. Tiba-tiba
empat buah batu, batu lain menyambarnya yang dapt dikebut dengan mudah.
Berbareng saat itu terdengar seruan Bueng-cu si Tanpa bayangan.
"He, Gak Ong, pendeta cabul penuh dosa! Mengapa selainnya cabul dan
jahat, kau juga sangat pengecut" Kau sudah janji dengan suhengmu untuk
bertemu di Kwie-san. Mengapa kau ganggu mereka sebelum tiba waktu penetapan
di Kwie-san" Apakah kau hendak andalkan kepandaianmu menghina yang lemah"
Ingat, Gak Ong perbuatanmu ini akan membusukkan nama selama kau hidup di
kalangan kang-ouw! Tidak beranikah kau menanti sampai setengah bulan lagi di
Kwie-san?" Merahlah wajah Gak Ong. "Bu-eng-cu! Kau manusia rendah! Kau katakan aku
pengecut" Untuk makian ini saja aku akan membunuhmu! Baiklah aku menanti di
Kwie-san. Dan jangan kau tidak datang, karena kalau kau tidak muncul, ke
manapun kau pergi pasti aku akan mengejarmu!" Sehabis berkata demikian dengan
hati panas Gak Ong Tosu melayang pergi.
Thian In dan Giok Cu mendengar semua itu tapi mereka tak berdaya untuk
keluar. Tiba-tiba dua butir batu melayang dan memukul tepat pada jalan darah
Thian In dan Giok Cu yang segera terbebas dari totokan tadi. Mereka memburu
keluar dan loncat naik. Tapi Bu-eng-cu Koay-hiap si Pendekar aneh Tanpabayangan sudah tak tampak sedikitpun bayangannya!
"Kenalkah kau kepada Bu-eng-cu Koay-hiap?" Giok Cu bertanya dengan suara
gemetar kepada Thian In. Pemuda itu geleng kepala dan tersenyum.
"Biarpun belum pernah bertemu muka tapi aku dapat menduga siapa dia, dan
kurasa kaupun dapat menduganya, nona Ong. Tapi sementara ini biarlah kita
jangan pusingkan kepala dengan menduga-duga karena kau tadipun mendengar
bahwa setengah bulan lagi dia juga hendak naik ke Kwie-san. Ah, akan ramailah
di sana nanti!" Koleksi Kang Zusi Ketika mereka turun kembali, di situ sudah penuh orang-orang yang
ternyata adalah tihu dan pengawal-pengawalnya. Mereka ini diberitahu oleh
penjaga tahanan dan segera mengepung tempat itu karena menyangka bahwa
datangnya pukulan susioknya yang ia duga tentu akan mendatangkan maut
baginya, atau setidak-tidaknya luka dalam yang hebat! Ia meramkan matanya.
Tapi pada saat itu Giok Cu tak dapat tahan marahnya lagi. Secepat kilang ia
menusuk dengan pedangnya ke arah pinggang tosu itu.
Gak Ong Tosu tertawa menyindir dan berkata: "Ha, nona, kau juga hendak
kurang ajar padaku" Lihat nanti di Kwie-san, kalau aku sudah membawa kau ke
sana, apakah kau masih dapat berlaku segalak ini atau tidak. Ha, ha, ha!
Sambil tertawa ia gerakkan tangannya dan tahu-tahu pedang Giok Cu telah
menusuk celah-celah jari tangan tosu itu yang menyengkeram dan dengan
keluarkan suara keras pedang Giok Cu juga patah menjadi dua. Bukan main
kagetnya gadis itu tapi ia belum mau menyerah. Ia cabut sabuk suteranya dan
gunakan itu untuk memecut muka Gak Ong Tosu. Pendeta siluman itu gunakan
tangan kiri mencabut ujung sabuk, tapi dengan sekatan sekali Giok Cu gerakkan
tangannya hingga lagi padanya! Ia terkenang kepada Kam Ciu. Benarkah pemuda
yang dulu ia tolak lamarannya dan tampak lemah dan tolol itu sekarang
pendekar luar biasa" Benarkah Bu-eng-cu Koayhyap yang lihai dan beberapa kali
menolongnya itu adalah Gan Kam Ciu juga" Ah, tidak masuk diakal! Tapi kalau
betul.....alangkah malunya kalau bertemu padanya!
Berpikir sampai di sini, Giok Cu menjadi bingung dan ia merasa betapa ia
hidup seorang diri di dunia ini. Tiba-tiba ia merasa sangat kesepian dan
menangislah ia tersedu-sedu!
Ketika ada tangan memegang pundaknya dengan lembut, ia angkat kepala
menengok Tihu tua yang ramah itulah yang memegang pundaknya.
"Lihiap, mengapa bersedih dan menangis" Marilah kau tinggal di rumahku
beberapa hari, Lihiap. Isteriku tentu akan senang sekali bertemu dengan
engkau. Tentu saja, kalau kau sudi mampir di rumah kami."
Giok Cu hendak menolak, tapi ia melihat wajah yang ramah itu seakan-akan
memohonnya. Juga, pada saat hari telah mulai gelap itu, hendak kemanakah ia


Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pergi" "Marilah, lihiap. Barang-barangmu di hotel telah kupindahkan ke rumah
kami, karena aku kalau-kalau di sana ada yang mencurinya."
Akhirnya Giok Cu setuju dan mengikuti tihu itu ke gedungnya.
Tihu itu adalah seorang she Thio. Thio tihu hidup berdua dengan
isterinya, karena putera tunggalnya yang bernama Thio Seng melanjutkan
pelajaran ke kota raja dan menempuh ujian di sana.
Gedung tihu itu biarpun besar tapi hanya diisi dengan perabot rumah
tangga yang sederhana saja hingga diam-diam Giok Cu merasa heran. Mengapa ada
tihu semelarat ini" Ia tidak tahu bahwa Thio-tihu terkenal sebagai seorang
yang jujur dan adil. Hatinya bersih tak pernah sudi menerima sogokan hingga
ia terkenal dan disuka oleh rakyat, tapi keadaannya selalu miskin. Kelebihan
hasil yang dipakainya selalu digunakan untuk membantu mereka yang miskin,
atau disumbangkan kepada kelenteng-kelenteng yang hendak memperbaiki
bangunannya. Thio-hujin ternyata adalah seorang nyonya setengah tua yang halus tutur
bahasanya, perumah dan terpelajar pula. Nyonya itu walaupun hanya seorang
wanita, tapi setelah bercakap-cakap dengan Giok Cu, ternyata sangat luas
pandangannya. Tidak heran bahwa sebentar saja Giok Cu merasa tunduk betul dan
merasa suka kepadanya. Hal ini tidak saja dikarenakan kehalusan budi nyonya
Thio, tapi juga karena sebenarnya Giok Cu haus akan kasih sayang seorang ibu.
Ibunya sendiri meninggal ketika ia belum dewasa.
Karena kebaikan Thio tihu dan keramahan Thio-hujin. Giok Cu merasa betah
tinggal di situ hingga ketika suami isteri she Thio itu minta agar ia tinggal
lebih lama ia menyetujui sambil haturkan terima kasih. Tapi, biarpun merasa
senang tinggal di situ karena tekanan-tekanan batin yang dideritanya semenjak
tinggalkan rumah sampai pada perjumpaannya dengan Thian In, ditambah
kekecewaan hatinya mendengar akan hal Kam Ciu yang membuatnya merasa malu
kepada diri sendiri, Giok Cu jatuh sakit!
Koleksi Kang Zusi Tubuhnya panas sekali hingga ia sering sekali mengigau menyebut-nyebut
nama ayah-ibu, nama Thian In dan Kam Ciu berganti-ganti. Berhari-hari ia
tidak ingat orang hingga Thio tihu berdua isterinya merasa bingung sekali.
Kedua suami isteri yang baik hati ini segera panggil tabib terpandai dan
merawat gadis itu dengan teliti dan open sekali.
Tiga hari kemudian Giok Cu sembuh kembali dari sakitnya, walaupun
tubuhnya masih lema. Ia terima kasih sekali kepada Thio-tihu dan terutama
kepada Thio-hujin yang sering kali duduk di pinggir pembaringannya dan
gunakan tangannya yang halus untuk membereskan rambut dan pakaiannya, bahkan
sering kali nyonya yang berbudi ini elus-elus rambut kepala Giok Cu dengan
penuh kasih sayang! Giok Cu tidak tahu bahwa nyonya itu dulu di samping
puteranya mempunyai juga seorang anak perempuan yang wajahnya hampir sama
dengan dia, dan yang meninggal dunia karena penyakit. Agaknya persamaan wajah
inilah yang menggerakkan hati nyonya itu untuk timbul kasih sayangnya
terhadap Giok Cu. Pada hari keempatnya, di waktu senja ketika Giok Cu sadar dari tidur
siang, ia melihat Thio-hujin telah duduk pula di dekatnya.
"O, sudah lamakkah, pehbo?" tegurnya sambil buru-buru bangun duduk. Ia
diharuskan menyabut peh-peh dan peh-boh, yakni uwak atau paman serta bibi
kepada Thio-tihu berdua, sebutan yang lebih mesra dan yang lebih berarti
bahwa ia dianggap keluarga sendiri.
Thio-hujin menahan tubuhnya dengan tangan lalu mendorongnya perlahan
untuk rebah kembali. "Tidurlah saja Giok Cu badanmu masih lemah. Kebetulan
sekali Siauw Seng mengirim buah-buah dari kota raja. Nah ini untukmu," Nyonya
itu serahkan beberapa butir buah.
"Siapakah Siauw Seng peh-boh?"" Thio hujin gunakan tangannya menutup
mulut sambil tertawa. "Lupakah kau" Dia adalah anak kami. Namanya Seng, tapi dari dulu kami
sebut dia Seng Kecil (Siauw Seng)."
"Peh-bo, sungguh saya merasa berhutang budi kepadamu berdua. Kebaikan
hatimu membuat saya malu saja. Maka besaok hendak melanjutkan perantauanku,
peh-bo." Thio-hujin menghela napa. "Kau...sudah tidak mempunyai orang tua
lagikah?" Giok Cu geleng-geleng kepala dengan sedih.
"Dan keluarga lain?"
Kembali Giok Cu geleng-geleng kepala.
"Dan....jangan marah, ja. Itu...pemuda yang dulu bersamamu" Siapakah dia"
Masih keluargamukah?"
"Bukan! Ia hanyalah...kenalan ayah ketika beliau masih hidup. Kebetulan
saja aku berjumpa di kota ini ."
"Jadi...kau, belum kawin?"
Giok Cu termenung sebentar, wajah halus itu sambil tersenyum lalu
gelengkan kepala. "Belum bertunangan?" pertanyaan ini dikeluarkan dengan hati-hati sekali.
Giok Cu kerutkan jidat sebentar lalu menjawab tetap: "Belum. Mengapa kau
tanyakan hal itu, peh-bo?"
Thio-hujin menghela napas. "Terus terang saja, nak. Peh-pohmu dan aku
sering bicara tentang kau dan kami merasa kau sebagai anak sendiri. Kami suka
dan kasihan padamu. Kami...kami...jika kau suka, kami akan girang sekali
mengambil mantu kau untuk kami jodohkan dengan Siauw Seng...
Giok Cu bangkit dan duduk dengan serentak. Ia memandang dengan mata
terbuka lebar kepada nyonya yang memandangnya dengan tersenyum itu.
"Ah, peh-bo...." tiba-tiba Giok Cu memeluk nyonya itu dan menangis sedih.
Thio hujin elus-elus pundak gadis itu dengan penuh kasih sayang.
"Kalau kau hidup sebatang kara, bukankah baik sekali kau terima
pinanganku, Giok Cu" Kau akan mendapat keluarga dan orang tua yang akan
selalu berlaku baik padamu. Tapi, ingat nak, aku tidak memaksa. Aku tahu
bahwa sebagai seorang gadis pendekar yang sering merantau dan banyak melihat
dunia kau tentu tidak puas menerima begitu saja. Maka biarlah kutunggu sampai
Koleksi Kang Zusi Siauw Seng pulang, lihatlah sendiri putera kami itu. Kalau ia tidak terlalu
buruk dan terlalu bodoh, kuharap engkau dapat menerima kehendak kami ini."
Bukan demikian, peh-bo. Tapi....tapi aku..."Giok Cu tak dapat melanjutkan
kata-katanya karena hatinya sangat terisak-isak saja. Nyonya Thio bangkit
berdiri dan setelah menepuk-nepuk bahu gadis beberapa kali dengan mesranya ia
berkata: "Jangan banyak bersedih, nak dan jangan bingungkan tentang pinangan itu.
Kau mempunyai banyak waktu untuk mempertimbangkannya. Sekarang mengasolah
badanmu masih lemah. "Setelah berkata demikian nyonya yang baik hati itu
tinggalkan kamar Giok Cu dan gadis itu duduk termenung seorang diri.
Pikirannya berputar-putar dan melayang-layang jauh. Ia hendak dijodohkan
dengan putera tihu, seorang pemuda sasterawan. Ia teringat kepada Kam Ciu.
Pemuda itu juga dianggap sastrawan ketika meminang dan ditolaknya, hanya
karena alasan bahwa ia seorang pemuda sastrawan lemah! Ah, ia telah menolak
pemuda seperti Kam Ciu dan salah memilih seorang pemuda yang hendak
membunuhnya, yang telah mendatangkan malu dan cemar pada keluarganya. Dan
sekarang ia akan dijodohkan dengan seorang pemuda sastrawan lain, sastrawan
tulen" Ia bingung, akhirnya menjadi pusing dan tak terasa tertidur kembali.
Di dalam tidurnya ia mimpi berjumpa dengan Thian In yang mengejarnya dengan
pedang terhunus dan hendak membunuhnya. Ia akhirnya tak kuat lari lagi dan
menanti pemuda itu dengan nekad lalu ia berkata bahwa ia takkan melawan dan
rela dibunuh asal saja pemuda itu suka menceritakan tentang sebab
permusuhannya dengan ayahnya. Tapi Thian In tak menjawab, hanya terus
menyerang dan sabetkan pedang ke leher Giok Cu! Giok Cu berkelit tapi pedang
masih terus bergerak mengikuti leher hingga ia menjerit dan sadar dari
tidurnya! Giok Cu susut keringat yang membasahi leher dan jidatnya. Seketika timbul
rasa penasaran dalam hatinya terhadap Thian In. Mengapa pemuda itu belum mau
juga membuka rahasianya" Mengapa belum juga menceritakan riwayat terjadinya
permusuhan" Malam hari itu, ketika Nyonya Thio memasuki kamar Giok Cu, ia melihat
kamar itu telah kosong. Gadis itu diam-diam telah pergi hanya tinggalkan
sehelai surat di atas meja. Dengan kecewa dan terharu Thio-hujin baca surat
itu. Thio peh-bo yang tercinta,
Sungguh saya merasa berdosa besar dan malu sekali telah pergi diam-diam
tanpa pamit, setelah peh-bo berdua begitu baik terhadap saya. Tapi apa boleh
buat, sebuah urusan yang sangat penting memaksa saya pergi malam ini juga.
Saya belum dapat ceritakan apakah adanya urusasn ini, dan pada bulan depan,
sekiranya saya masih hidup, pasti saya akan datang menghaturkan maaf di depan
peh-bo berdua. Hormat saya: Ong Giok Cu Diam-diam Thio-hujin mengeluh. Ah, dasar anak perempuan kang-ouw. Sayang
dia bukan gadis terpelajar biasa yang tidak kenal akan segala kekasaran dari
golongan persilatan, pikirnya. Maka timbullah sedirit rasa kecewa dalam hati
nyonya yang halus budi itu. Dan pergilah ia mendapatkan suaminya sambil
membawa surat Giok Cu. Thio tihu hanya geleng-geleng kepala dan rabah-rabah
kumisnya. Seperti orang yang tak sehat pikiran, Giok Cu di waktu tengah malam buta
pergi meninggalkan gedung tihu, balapkan kudanya keluar kota dan semalam
penuh tiada hentinya ia berpacu melawan angin malam. Ia tak perdulikan hawa
malam yang dingin, tak perdulikan tubuhnya yang baru saja sembuh dari sakit
itu menjadi basah oleh keringat. Ia larikan kudanya seperti dalam mimpi.
Satu-satunya pikiran yang terbayang dalam otaknya ialah kejar dan cari Thian
In! Fajar telah menyingsing ketika ia masuk kota kecil yang ramai. Bau
masakan yang keluar dari sebuah rumah makan menyadarkannya bahwa perutnya
sejak malam tadi terasa lapar dan minta diisi. Ia hentikan kudanya di depan
rumah makan itu dan setelah ikat kendali kuda pada sebuah tiang, ia masuk.
Rumah makan itu kecil tapi telah ramai. Giok Cu agak heran melihat kerajinan
Koleksi Kang Zusi orang-orang di situ, sepagi itu telah keluar rumah dan berada di rumah makan.
Mungkin di situ terdapat pasar yang buka pagi-pagi, pikirnya.
Rumah makan itu berloteng dan karena di bawah terlalu penuh, Giok Cu naik
ke loteng. Semua tamu yang makan di situ adalah laki-laki belaka, dan tak
seorangpun tidak menengok memandangnya semenjak ia memasuki pintu rumah
makan. Hal ini membuat Giok Cu merasa gemar sekali hingga ketika ia sudah
sampai di loteng ia duduk sambil tarik kursi keras-keras.
Yang makan di atas loteng hanyalah serombongan orang terdiri dari seorang
tua dan empat orang muda. Pakaian mereka menunjukkan bahwa mereka adalah
ahli-ahli silat dan di pinggang mereka tergantung pedang. Tapi Giok Cu tak
memperhatikan mereka hanya makan dengan bernapsu. Ia tidak tahu bahwa seorang
di antara mereka yang muda, memandangnya dengan penuh gairah. Ketika ia
kebetulan menengok, maka marahlah ia karena orang muda itu lalu memandangnya
dengan mata kurang ajar dan mulut cengar cengir!
Bangsat, pikirnya, dan untuk melampiaskan rasa mendongkolnya, Giok Cu
berdiri dengan serentak dan pergi hingga kursi yang tadi didudukinya
terguling dan mengeluarkan suara keras! Tapi gadis itu tak perdulikan itu
semua, hanya cepat bayar harga makanan dan cemplak kudanya.
Tapi setelah keluar dari kota, pikirannya agak tenang. Hawa sangat sejuk
dan pemandangan indah. Maka ia jalankan kudanya dengan perlahan seenaknya.
Tiba-tiba ia mendengar suara kaki kuda belakangnya. Segera ia hentikan
kudanya dan minggir. Ternyata yang datang adalah lima orang yang tadi sedang
makan di loteng rumah makan. Pemuda yang tadi memandangnya dengan sikap
menjemukan, tahan les kudanya hingga kawan-kawannyapun terpaksa berhenti.
Orang tua itu angkat tangan memberi hormat. "Nona, boleh aku bertanya.
Nona hendak ke mana?" Kata-katanya diiringi senyum memikat.
Giok Cu kedikkan kepalanya. Hendak kemanapun aku apakah hubungannya
dengan kamu?" Orang itu tersenyum dan lirik kawan-kawannya yang juga tersenyum
mendengar dan melihat lagak gadis yang galak itu.
"Tidak apa-apa, nona. Hanya kalau kita sejurusan, bukankah lebih enak
kita jalan sama-sama dari pada menyepi seorang diri."
Giok Cu marah sekali, wajahnya memerah. "Kau anggap aku orang apa maka
kau berani berlaku kurang ajar?"
Orang itu makin lebar senyumnya. "Kau" Kau kuanggap orang yang cantik
jelita, sayang sedikit galak!"
"Bangsat, rendah, kau cari mampus!" Giok Cu cabut pedangnya dan loncat
turun dari kudanya. Pengganggunya loncat turun juga dan sambil memandang kawan-kawannya ia
berkata: "Ah, tak kusangka gadis cantik ini pandai main pedang. Twako,
perkenankanlah aku main-main sebentar dengan orang ini."
Orang yang tertua mengangguk tersenyum. Tapi berhati-hatilah, jangan kau
celakakan padanya." "Mana aku tega hati untuk melukai kulitnya yang halus dan putih bersih
itu?" orang itu berkata tapi ia harus segerah tahan suara ketawanya ketika
pedang Giok Cu datang menyambar!
"Aya...! ia berseru sambil berkelit cepat, tapi tak disangkanya gerakan
pedang Giok Cu yang cepat sudah datang menyerang lagi!
"Bagus!" teriaknya dan menangkis. Kini Giok Cu yang terkejut karena
tangkisan itu berat sekali hingga tangannya tergetar. Ia tahu lawannya bukan
orang lemah, maka cepat tangan kirinya mencabut sabuk suteranya yang segera
disabetkan ke arah muka lawannya. Lawannya terkejut dan melihat benda panjang
warna kuning bagaikan ular menyambar mukanya, ia berkelit, tapi benda itu
cepat sekali gerakkannya hingga pundaknya masih tercambuk! Ia rasakan
pundaknya panas hingga terhuyung-huyunglah ia ke belakang sambil menjerit:
"Aha, lihai sekali!"
Melihat kawannya tak dapat menangkap gadis itu bahkan kena terpukul
sabuk, pemimpin mereka yang paling tua itu merasa kagum dan tiba-tiba ia
bertanya kepada Giok Cu: "Nona berpakaian putih, bersenjata pedang dan sabuk. Bukankah Pek I
Lihiap?" Koleksi Kang Zusi "Aku memang Pek I Lihiap, habis kalian mau apa" Pergilah sebelum aku
ambil kepala kalian semua!" jawab Giok Cu dengan jumawa. Orang tua itu
tertawa besar melihat lagak gadis itu.
"Pek I Lihiap kau sombong sekali. Kalau baru mempunyai kepandaian seperti
ini saja, tak mungkin kau mampu ambil kepala kami. Tapi kami mempunyai urusan
lebih penting dan tidak ada waktu bermain-main maka maafkanlah kami!" Ia lalu
memberi tanda kepada kawan-kawannya yang cemplak kuda masing-masing dan
melanjutkan perjalanan. Giok Cu mendengar betapa mereka goda dan tertawai
pemuda yang menggodanya tadi. Diam-diam Giok Cu bernapas lega. Ia maklum
bahwa untuk melawan pemuda tadi itu saja belum tentu ia bisa menang. Apa lagi
melawan yang lain-lain yang agaknya berkepandaian tinggi, terutama pemimpin
itu. Ia heran dan ingin tahu siapakah rombongan itu. Langgam bicaranya
seperti orang-orang kota.
Karena tidak mempunyai tujuan tertentu, maka Giok Cu ikuti jejak mereka.
Setelah hari mulai gelap, sampailah ia di kota Liok-an-kia. Ia memilih kamar
di hotel yang terbesar. Ketika ia diantar oleh pelayan ke kamarnya, ia
mendengar suara orang bercakap-cakap dan ia kenal bahwa orang-orang yang
sedang bercakap-cakap di kamar sebelah adalah rombongan yang ribut dengan dia
di hutan tadi. Karena merasa curiga dan ingin sekali tahu darimana datangnya orang-orang
ini, ia hendak mengintai dan mendengar pembicaraan mereka. Kebetulan sekali
ia dapatkan sebuah lobang kecil dinding papan yang memisah kamarnya dengan
kamar besar mereka. Ia melihat mereka berlima mengelilingi meja menghadapi
arak dan makanan. Ia pasang telinga mendengar dengan penuh perhatian.
"Kita harus berhati-hati dan jangan gegabah. Ciu-sute tadi berlaku
sembrono sekali, harap saja hal semacam itu jangan terulang lagi. Kita sedang
menghadapi tugas besar dan berat, jangan libat diri dengan segala hal yang
reme-reme. "Tapi apakah beratnya menangkap seorang sastrawan lemah semacam Thio
Seng?" pemuda yang tadi menganggu Giok Cu itu berkata menghina.
"Ciu-sute, kau masih muda dan belum banyak pengalaman. Jangan kau kira
mudah saja menangkap Thio Seng. Biarpun dia sendiri lemah. Tapi namanya telah
banyak menggerakkan hati orang-orang gagah di kalangan kang-ouw dan ia telah
banyak mempunyai kawan. Karena itulah maka Oey Tayjin mengutus kita.
Gadis tadi adalah Pek I Lihiap, sia tahu kalau-kalau dia juga mempunyai
hubungan dengan Thio Seng?"


Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Giok Cu merasa heran karena ia teringat akan putera Thio tihu. Bukankah
putera Thio tihu yang bersekolah di kota raja juga bernama Thio Seng"
Bukankah orang yang hendak dijodohkan dengan dia yang disebut Siauw Seng oleh
nyonya Thio, adalah seorang yang dinanti-nanti dan hendak ditangkap oleh
kelima orang ini" Ia mendengarkan lagi.
"Penyelidik kita melapor bahwa dia telah berada di Ki-lok dan paling lama
dua hari lagi tentu tiba di sini."
Tiba-tiba timbul pikiran dalam kepala Giok Cu. Ia harus tolong Thio Seng.
Ia harus membelanya sebagai pembalas budi kepada orang tua pemuda itu.
Sementara itu, tak habis herannya mengapa anak muda terpelajar putera seorang
tihu pula, hendak ditangkap oleh rombongan orang-orang ini" Siapakah mereka
ini" Pada saat itu terdengar suara orang-orang di luar dan pintu kamar mereka
terbuka. Maka masuklah empat orang yang tiga berpakaian seperti lima orang
pertama dan yang keempat adalah seorang pendeta Lama berkepala gundul yang
berpakaian jubah kuning, tapi jubah itu tak berkancing di bagian atas dan
terbuka saja hingga tampak dadanya yang penuh bulu hitam. Tubuh Lama itu
tinggi besar, tapi tindakan kaki dan gerakannya demikian ringan dan gesit
hingga diam-diam Giok Cu terkejut. Ia maklum bahwa orang-orang dalam kamar
itu adalah orang dengan kepandaian tinggi, sedikitnya tidak di bawah
kepandaiannya sendiri! "Ha, loheng baru datang! Dan Beng Po Hwatsu juga ikut datang! Silahkan
duduk, silahkan duduk!"
Koleksi Kang Zusi Semua orang duduk, kecuali Lama itu. Ia berdiri dan tiba-tiba tangannya
mengangkat guci arak dan menghirupnya. Kemudian ia turunkan lagi guci itu ke
atas meja, lalu menengok ke dinding yang berlobang kecil dan menyembur.
"Pinto paling tidak suka kalau ada anak anak mengintip-ngintip orang
lain," katanya lalu tertawa bergelak-gelak.
Untung sekali Giok Cu telah bercuriga dan buru-buru tarik kepalanya dari
lobang itu. Ia melihat arak yang disemburkan itu memasuki lobang bagaikan
jarum-jarum berterbangan! Kalau saja semburan arak itu mengenai matanya tentu
ia akan menjadi buta! Keringat dingin membasahi jidatnya. Bagaimana pendeta
itu dapat tahu bahwa ia berada di situ" Apakah pendeta itu dapat melihat
menembus dinding" Giok Cu tak sempat berpikir lagi, tentang hal ini. Ia cepat ambil pedang
dan buntalan lalu keluar dari kamar. Kepada pelayan ia beritahukan bahwa ia
hendak pergi pesiar naik kudanya. Setelah cemplak kudanya, ia balapkan kuda
tinggalkan tempat berbahaya itu. Ia bertanya kepada orang-orang di situ jalan
yang menuju ke Ki-lok, karena ia hendak mencegat Thio Seng untuk diberi
peringatan. Kemudian ia kaburkan kuda menempuh malam gelap! Ia merasa lelah
dan mengantuk, tapi karena ingin segera berjumpa dengan Thio Seng dan
menolongnya menghindarkan diri dari bencana, ia tidak memperdulikan diri
sendiri. Ia makin heran memikirkan mengapa untuk menangkap anak muda itu
dibutuhkan tenaga demikian banyak, bahkan harus minta bantuan seorang berilmu
tinggi seperti pendeta Lama itu.
Ia terus berkuda sampai pagi dan masih saja ia berada dalam sebuah hutan,
karena jalan besar yang dilaluinya itu lewat dalam sebuah hutan yang sangat
panjang. Untung malam tadi terang bulan hingga ia bisa melanjutkan
perjalanan. Ketika melihat sebuah anak sungai ia turun dan mencuci muka, karena ia
merasa lelah sekali dan mengantuk, sedangkan ia hendak melanjutkan
perjalanannya sampai dapat berjumpa dengan orang yang dicarinya.
Pada siang hari, setelah melampaui beberapa dusun dan bertanya kepada
para petani kalau-kalau mereka melihat rombongan sastrawan muda lewat di
situ, akhirnya ia bertemu juga dengan Thio Seng.
Ia melihat empat penunggang kuda datang dari depan. Yang tiga orang
berpakaian seperti biasa dipakai seorang siucay atau mahasiswa. Sedangkan
orang keempat berpakaian sebagai ahli silat. Ketika mereka datang dekat, Giok
Cu sengaja mencegah di tengah jalan karena ia hendak bertanya apakah benar
mereka itu rombongan Thio Seng. Tapi alangkah herannya ketika melihat bahwa
orang yang membawa pedang dan mengawal mereka itu bukan lain ialah Thian In
sendiri! "Ong Siocia! Kau di sini?" tegur Thian In yang majukan kudanya.
"Aku bukan sengaja mencari kau," gadis itu menjawab perlahan walaupun ia
tahu bahwa sebenarnya Thian In yang dia cari-cari.
"Hendak kemanakah kau?"
"Aku hendak mencegat rombongan Thian kongcu. Apakah tuan-tuan ini
rombongannya?" Seorang pemuda yang berwajah tampan dan tampak cerdas majukan kudanya
lalu menjawab dengan menjura: "Siauwtee adalah Thio Seng, apakah yang harus
siauwtee kerjakan untukmu, nona"
Giok Cu memandang tajam. Inilah pemuda yang hendak dijodohkan dengan dia!
Mau tidak mau ia harus akui bahwa Thio Seng adalah seorang pemuda yang cakap
sekali. Mukanya putih dan bundar dengan sepasang mata yang bening tajam,
sedangkan mulutnya manis dengan bibir merah seperti mulut seorang wanita
cantik dan usianya paling banyak dua puluh tahun. Kalau dibandingkan, Thio
Seng lebih tampan daripada Kam Cu maupun Thian In sekali!
Giok Cu balas memberi hormat. "Thio kongcu, maaf aku tidak kenali kau
karena baru mendengar nama saja, baru kali ini melihat rupa. Aku kenal baik
dengan kedua orang tuamu, Thio kongcu.
Wajah pemuda itu berseri. "Ah, bagaimana keadaan mereka, nona" Mereka
baik saja dan mengharap-harap kedatanganmu."
Koleksi Kang Zusi "Kau sungguh mulia, nona. Terima kasih atas berita yang kau sampaikan
ini. Tapi...tapi agaknya nona mempunyai kepentingan dengan siautee hingga
sampai mencegat di sini."
"Sebenarnya, aku hendak memperingatkan kau supaya berhati-hati karena ada
beberapa orang hendak menangkapmu!" Giok Cu menduga bahwa pemuda itu akan
terkejut dan ketakutan, tapi ia kecele. Thio Seng sama sekali tidak
memperlihatkan muka terkejut, apa lagi takut. Tidak demikian dengan kedua
kawannya yang juga adalah pemuda-pemuda pelajar sastra, mereka ini menjadi
pucat dan jelas menunjukkan muka takut.
Tiba-tiba Thian In pegang lengan Thio Seng dan berkata: "Mereka benarbenar tidak mencegat kita, tapi jangan takut, ada aku di sini. Apa pula
sekarang ada Pek I Lihiap beserta kita, takut apakah kita?"
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Thian In sengaja jalankan kuda di
belakang bersama Giok Cu. Setelah berada di belakang berdua dengan gadis itu,
wajah Thian In tampak bersungguh-sungguh.
"Nona Ong, sebenarnya siapakah orang-orang yang hendak menangkap Thiokongcu" Ada berapa orang dan mereka orang-orang apa?"
"Katanya kau tidak takut! Untuk apa tanya-tanya pula?" jawab Giok Cu
sambil mengerling tajam dan mulut tersenyum mengejek.
"Di depan Thio kongcu tidak perlu kita bicara tentang bahaya."
"Tapi ia tampaknya tak setakut engkau!"
Thian In menghela napas. "Memang ia orang luar biasa. Biarpun tubuhnya
lemah, tapi hati dan semangatnya lebih kuat dan tabah daripada kita. Karena
itu harus kita lindungi dia."
"Eh, dia itu orang apakah maka agaknya demikian penting" Aku lihat orangorang yang hendak menangkapnya juga bukan orang-orang sembarangan. Mereka
berjumlah sembilan orang dan semuanya memiliki ilmu silat yang tidak rendah,
terutama pendeta itu!"
"Biarlah aku tidak takut. Apalagi ada kau yang membantu."
"Engkoh Thian In sebenarnya orang penting macam apakah pemuda sastrawan
lemah itu?" tanya Giok Cu sambil menunjuk dengan gagang cambuk kudanya ke
arah punggung Thio Seng, dan bagaimana kau bisa bersama-sama dengan dia?"
"Biarlah kuceritakan riwayatnya yang kudengar dari suhu, dan tentang
pertemuanku dengan dia agar kita tidak kesepian melalui hutan ini," kata
Thian In yang selalu bercerita.
Seperti telah diketahui, Thio Seng atau yang biasa disebut Siauw Seng
oleh ayah ibunya, adalah putera tunggal dari Thio tihu yang tinggal di kota
Anting. Semenjak kecilnya, Thio Seng sangat pintar dan maju sekali dalam
pelajaran membaca dan menulis hingga setelah ia agak besar, ayahnya
mengirimnya ke kota raja di mana tinggal pamannya yang menjadi congtok. Thio
Seng terus mempelajari ilmu kesusasteraan dan ketatanegaraan dengan tekun dan
rajin ketika ia menempuh ujian koota raja, ia lulus dengan hasil baik. Tapi
dalam dada pemuda ini menyala semangat cinta bangsa yang besar sekali hingga
ia segera merasa penasaran dan menyesal melihat ketidak adilan pemerintah
Cen-tiauw di masa itu. Ia anggap bahwa pemerintah asing dan bangsa Boan
mengisap rakyat yang miskin. Ia bersedih betapa orang-orang gagah bangsa Han
yang memiliki kepandaian digunakan oleh pemerintah asing itu untuk menindas
rakyat lemah, betapa orang-orang gagah terpecah belah dan bahkan saling
bermusuhan. Terdorong oleh rasa penasaran, kemarahan dan kesedihan ini ia
menulis sebuah karangan yang isinya mencela pemerintah Boan dan menyerukan
kepada semua rakyat jelata agar bersatu padu, saling tolong dan meninggalkan
kebiasaan-kebiasaan buruk. Walaupun ia tidak langsung menganjurkan pemberontakan, tapi isi tulisan itu demikian tajam hingga menimbulkan heboh
besar, baik di kalangan rakyat maupun di pihak pemerintah. Orang-orang gagah
yang membaca karangan itu timbullah semangat kepahlawanan dan jiwa
patriotnya, para dorna atau penghianat, yakni orang-orang Han yang gunakan
kesempatan untuk mencari pangkat dengan menjilat-jilat pembesar-pembesar Boan
dan menindas serta kurbankan bangsa sendiri merasa tercambuk muka mereka,
sedangkan kaisar membaca karangan itu menjadi marah. Pada saat itu memang
Thio Seng hendak pulang ke rumah orang tuanya, maka kaisar segera memberi
titah untuk menangkap pemuda itu dan membawanya ke istana. Tapi hal itu
Koleksi Kang Zusi dilakukan dengan hati-hati sekali oleh para petugaas karena mereka maklum
bahwa banyak sekali orang gagah merasa simpati dan suka kepada Thio Seng.
Di antara para orang gagah i tu, Gak Bong Tosu juga merasa kagum akan
keperibadian dan buah pikiran anak muda itu, maka ia segera mencari Thian In
dan perintahkan muridnya itu mencegah perjalanan Thio Seng dan melindunginya.
Thian In semenjak gagaknya membalas dendam kepada Ong Kang Ek lalu naik
gunung dan bertapa dengan suhunya, tapi Gak Bong tahu bahwa muridnya itu
tidak berjodoh untuk menjadi pertapa, karena itulah maka ia perintahkan
muridnya turun gunung sekalian melindungi pemuda sasterawan yang berjiwa
besar itu. Perjalanan Thian In terhalang ketika ia bertemu dengan Giok Cu, tapi
segera pemuda itu melanjutkan perjalanannya ke kota raja untuk menjemput Thio
Seng. Kebetulan sekali ia bertemu dengan Thio Seng yang telah tertangkap oleh
segerombolan perampok dan dengan gagah Thian In menwaskan kepala rampok dan
menolong Thio Seng dengan dua orang kawannya. Semenjak peristiwa itu mereka
bersahabat dengan Thian In mengawali Thio Seng pulang ke kampungnya dan
bertemu di jalan dengan Giok Cu.
Demikianlah, Thian In menceritakan pengalamannya kepada Giok Cu dan
sebaliknya Giok Cu juga tuturkan pengalamannya semenjak mereka berpisah.
Tentu saja ia tidak ceritakan bahwa ia telah dipinang oleh Thio-hujin untuk
dijodohkan dengan Thio Seng!
Akhirnya Giok Cu bertanya: "Engko Thian In, sebenarnya aku masih sangat
mengharap penjelasan tentang rahasiamu agar penasaranku segera padam."
Thian In menghela napas dan geleng-geleng kepala. "Belum waktunya, nona
Ong, nanti saja aku tuturkan hal itu di atas gunung Kwie-san!" Setelah
berkata demikian pemuda itu keprak kudanya dan jalankan kudanya sejajar
dengan Thio Seng, sedangkan Giok Cu dengan hati mangkel tinggal di belakang.
Tak lama kemudian Thian In mendekati Giok Cu lagi dan berkata perlahan:
"Nona, kau katakan tadi hendak membalas budi keluarga Thio dan membela Thio
kongcu, betulkah?" Giok Cu memandang heran karena ia tidak dapat menduga apa maksud pemuda
itu, tapi ia mengangguk membenarkan.
"Kau begitu, kuharap kau suka berjalan di belakang, sedangkan aku
berjalan di depan hingga Thio kongcu dan kawan-kawannya berada di tengah.
Dengan cara demikian, akan lebih mudahlah kita melindunginya. Hati-hatilah,
kita sudah dekat Liok-ankian!"
Giok Cu mengangguk dan semangatnya bangun kembali. Ah, ia memang hendak
membalas budi dan melindungi keselamatan Thian Seng dengan sekuat tenaga,
kalau perlu dengan jiwanya! Bukankah dulu ayah bunda pemuda itu juga telah
memeliharanya dari sakit, bahkan mungkin dari kematian"
Ketika mereka memasuki kota Liok-ankian, hati Giok Cu berdebar. Betapapun
juga, kalau teringat akan pendeta Lama itu, ia merasa seram dan ngeri juga.
Dapatkah ia dan Thian In melawan kekuatan mereka itu" Ia sangsi dan raguragu, tapi di depan Thian In dan Thio Seng ia tidak sudi perlihatkan
kelemahan atau ketakutan, lebih-lebih ketika ia mendengar bahwa biarpun
tubuhnya lemah, hati dan semangat Thio Seng menyala bagai api yang tak kenal
padam! Mereka singgah di sebuah rumah makan sebentar untuk makan. Selama itu
Giok Cu dan Thian In berlaku sangat hati-hati biarpun kepada Thio Seng mereka
tak berkata apa-apa. Terutama Thian In sampaipun makanan dan minuman yang
dihidangkan selalu diperiksa dengan teliti hingga diam-diam Giok Cu merasa
kagum dan dalam perjalanan itu ia banyak mendapat petunjuk yang memperluas
pengalamannya. Tapi sungguh heran, sampai pada saat mereka keluar lagi dari kota Liokankian, mereka tidak mengalami gangguan sedikitpun! Thian In memandang Giok
Cu dengan penuh pertanyaan, tapi gadis itu sendiripun mengangkat pundak dan
terheran. Perjalanan dilanjutkan. Beberapa belas li setelah mereka berada di luar
kota, tiba-tiba mereka berada di luar kota, tiba-tiba di sebuah kota jalan
tikungan mereka melihat beberapa orang berdiri di pinggir jalan.
"Nah, itulah mereka!" Giok Cu berkata cemas.
Koleksi Kang Zusi Ketika Thian In memandang, pemuda itu berseru: "Celaka mereka adalah
pengawal-pengawal istana, jagoan-jagoan kelas satu! Kita menemui lawan-lawan
berat! Ternyata yang mencegat mereka adalah delapan orang pahlawan keraton dan
seorang pendeta lama berjubah kuning. Thian In belum pernah melihat pendeta
asing itu, mereka tidak berapa memperhatikan. Yang menjadi pusat perhatiannya
ialah rombongan pengawal itu.
"Nona, kau lihat! Pengawal yang tertua itu bukan lain ialah Kim-to Poey
Kong Si golok emas! Ia lihai sekali, maka serahkanlah ia padaku. Kau boleh
layani yang muda-muda mungkin mereka tak berapa berat!"
Ketika mereka sudah datang dekat dengan para pencegat itu Kim-to Poey
Kong sambil lintangkan goloknya angkat tangan kiri. "Tahan, atas nama Sri
Baginda Kaisar yang mulia, kami harus antar Thio siucai kembali ke
kotaraja!!" Thio Seng memang biasa disebut Thio siucai, ialah sebutan bagi
para sastrawan yang telah lulus ujian.
Melihat sikap orang, Thio Seng turun dari kuda dan bertanya: "Bolehkah
aku melihat tanda-tanda bahwa kau diutus oleh Baginda Kaisar" Mana lengkinya
(bendera perintah)?"
"Lihatlah, bukalah matamu! Bukankah jelas bahwa kami adalah pahlawanpahlawan Kaisar" Kami tak perlu membawa lengki!"
Thio Seng geleng-geleng kepala dengan tabah. "Tak mungkin ada aturan
demikian! Kalau memang kau membawa tanda dari Sri Baginda, tentu aku akan
berlutut dan menurut saja kau tangkap. Tapi karena kalian tidak membawa surat
perintah, aku tidak mau kau suruh kembali ke kota raja!"
"Twako, tak perlu ribut-ribut. Tangkap saja dia!" seru pengawal lain.
Tapi pada saat itu Thian In dan Giok Cu maju menghalang di depan Thio
Seng. "Orang-orang kurang ajar dari mana hendak andalkan kekerasan mengganggu
orang baik-baik?" Thian In membentak.
"Eh, darimana datangnya orang hutan ini" Menyindir seorang pengawal muda
yang pernah merasakan sabetan sabuk Giok Cu, berkata menyeringai:
"Ha, Pek I Lihiap datang lagi. Apakah kau rindu padaku?" pahlawan itu
gunakan kesempatan untuk menghina Giok Cu karena hatinya masih sakit karena
sabetan dulu. "Saudara-saudara! Kalau memang kalian tidak mencari permusuhan, pergilah


Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jangan ganggu kami!" Thian In berkata lagi.
Kim-to Poey-kong tertawa. "Sobat, kau agaknya seorang gagah juga. Maka
kau pergilah dengan Pek I Lihiap, kami takkan mengganggu kalian. Tapi Thiosiucai ini harus kalian tinggalkan kepada kami."
"Tak mungkin! Kami berlima adalah teman seperjalanan, tak mungkin dia
kami tinggalkan. Kami pergi bersama dan tinggal bersama pula."
"Kalau begitu, terpaksa kami harus gunakan kekerasan!"
"Silahkan! Kami tidak takut!" berkata demikian ini Thian In mencabut
pedangnya dan Giok Cu juga turut contoh pemuda itu.
"Ha, ha! Agaknya kalian dua orang muda sudah bosan hidup."
Sebagai penutup kata-katanya, Kim-to Poey Kong gerakkan golok emasnya ke
arah Thian In yang menangkis dengan cepat. Keduanya merasa betapa besar
tenaga masing-masing hingga Kim-to Poey Kong terkejut sekali, karena si Golok
emas ini tadinya hendak gunakan tenaganya dan sekali sampok hendak bikin
pedang Thian In terpental jauh! Siapa duga, tidak saja pedang, pemuda itu
tidak terlempar, bahkan ia merasa telapak tangannya yang memegang golok
tergetar panas! Ia maklum bahwa pemuda di depannya ini tak boleh dibuat
gegabah, maka ia berseru: "Kawan-kawan, serbu!"
Para pengawal keraton itu maju menyerbu dengan senjata masing-masing tapi
Giok Cu perlihatkan kesebetannya. Ia mengamuk hebat dengan tangan kanan
pegang pedang dan tangan kiri pegang sabuk sutera. Gerakannya demikian gesit
dan ia bersilat dengan penuh semangat hingga tak berbeda dengan seekor
harimau betina mengamuk. Thian In juga keluarkan seluruh kepandaiannya. Ia
mainkan pedangnya bagaikan seekor naga menyambar-nyambar ke sana kemari. Tapi
lawan mereka adalah pahlawan-pahlawan kelas satu yang memiliki kepandaian
silat tinggi hingga mereka segera terkurung dan terdesak hebat.
Koleksi Kang Zusi "Adik Giok Cu, kesini!" Thian In berseru keras dan Giok Cu segera geser
kakinya hingga mereka berdua berkelahi sambil adu punggung. Dengan cara
demikian, mereka lebih muda menghadapi lawan-lawan mereka tanpa khawatir
diserang dari belakang. Giok Cu berkelahi makin bersemangat. Agaknya sebutan
Thian In menyebutnya adik!
Kedua kawan Thio Seng dengan wajah pucat dan tubuh menggigil ketakutan
bersembunyi di balik pohon. Tapi sungguh mengagumkan, Thio Seng sendiri duduk
di atas sebuah akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. Anak muda itu
duduk dengan enaknya sambil nonton perkelahian itu. Berulang-ulang ia
mengangguk dan matanya berseri kagum melihat sepak terjang Thian In dan Giok
Cu hingga beberapa kali ia berseru: Bagus! Bagus!"
Tapi perlahan-lahan, Thio Seng merasa cemaas juga, bukan takut untuk
nasibnya sendiri, tapi takut kalau-kalau kedua muda mudi yang gagah itu akan
mendapat celaka, di ujung senjata. Ia tahu betapa mereka terdesak, tapi apa
daya, ia tak sanggup membantu.
Thian In dan Giok Cu juga merasa betapa berbahaya keadaan mereka. Mereka
telah merasa lelah sekali, bahkan Thian In telah mendapat beberapa luka di
tubuhnya. "Adikku yang baik, biarlah kita mati bersama dalam menjalankan tugas
kegagahan!" Thian In berbisik, Giok Cu tiba-tiba merasa kedua pipinya basah
karena air matanya loncat keluar ketika ia mendengar kata-kata Thian In itu.
Ia hana bisa menjawab dalam bisikan.
Engko Thian In, jangan putus harapan. Mari kita terjang kepungan ini!"
Dan ia putar pedang dan sabuk suteranya makin cepat. Terdengar pekik
kesakitan dan seorang pengawal tertusuk pedang Giok Cu pada pahanya. Ia
terhuyung-huyung ke belakang lalu roboh dan tak dapat membantu kawankawannya. Melihat hasil yang didapat oleh kawannya, Thian In timbul
semagatnya. Ia kertak gigi dan putar pedangnya dengan gerakan Hui-pauw-liucoan atau Air terjun bertebaran. Terdengar jeritan lain dan pedang Thian In
berhasil pula melukai pundak kiri seorang pahlawan lain yang cepat loncat
mundur untuk rawat lukanya.
Kawanan pengawal keraton menjadi marah sekali dan mereka mendesak makin
hebat. Yang aneh adalah pendeta Lama itu. Ia berdiri berpeluk tangan dan
nonton pertempuran itu. Sungguh sikapnya seperti Thio Seng, tenang dan
dingin! Kembali Thian In dan Giok Cu terdesak hebat. Giok Cu mendapat luka
dipangkal lengannya dan Thian In telah menerima beberapa guratan lagi.
Keadaan mereka sungguh berbahaya dan jiwa mereka seolah-olah tergantung pada
sehelai rambut! Pada saat itu terdengar pekik kesakitan beberapa kali dan keadaan para
pengepung menjadi kalut. Dua orang pengawal keraton roboh tak ingat orang!
Kini yang mengepung tinggal empat orang lagi. Thian In dan Giok Cu tidak tahu
bagaimana dan mengapa dua orang pengeroyoknya roboh.
Pada saat itu, barulah pendeta Lama itu bergerak! Dengan sekali loncat
saja pendeta itu telah berada di tengah kalangan pertempuran, dan dua kali
tangannya bergerak, ia telah dapat merampas pedang Thian In dan kedua senjata
yang dipegang Giok Cu! Melihat kehebatan orang, Thian In dan Giok Cu loncat
mundur dengan terkejut, tapi pada saat itu keempat pahlawan telah maju
mengeroyok lagi! Sedangkan pendeta lama itu tinggalkan mereka dan tahu-tahu
telah loncat ke depan Thio Seng! Sebelum Thio Seng tahu apa yang terjadi, ia
merasa dirinya telah diangkat dan berada dalam pondongan pendeta Lama itu.
Thio Seng hendak berontak, tapi tiba-tiba ia rasakan tubuhnya kaku dan tak
dapat bergerak. Ternyata ia telah ditotok jalan darah Tay-hwie-hiat hingga
tubuhnya kaku! Beberapa buah batu putih menyambar ke arah jalan darah pendeta
Lama itu, tapi semua senjata rahasia itu dapat disampoknya pergi. Namun makin
banyaklah batu-batu kecil m enyambar dan kesemuanya menuju ke tempat yang
berbahaya atau ke arah urat yang mematikan! Repot juga batu yang lihai itu.
Akhirnya karena gemas, Beng Po Hoatsu, yakni pendeta Lama yang lihai itu,
tutup semua jalan darahnya dan kerahkan tenaga dalamnya hinnga kulitnya
menjadi kebal. Dan aneh! Semua batu seperti hujan menyerangnya, ketika
mengenai kulit tubuhnya lalu jatuh ke atas tanpa berhasil sedikitpun!
Koleksi Kang Zusi Kemudian, maklum bahwa lawan-lawan tangguh segera datang membela Thio Seng.
Beng Po Hoatsu kempit tubuh pemuda itu dan sekali berkelebat ia lenyap dari
situ! Thian In dan Giok Cu berada dalam keadaan berbahaya. Mereka kini
bertangan kosong dan harus menghadapi empat orang jagoan keraton. Mereka
sibuk melawan dan gunakan kegesitan hingga sama sekali tidak tahu akan
terculiknya Thio Seng oleh Beng Po Hoatsu.
Tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali dan tampak sinar pedang
berkelebat ke kanan kini, dan tahu-tahu dua orang pengawal roboh tewas,
sedang seorang lagi terbabat pahanya sampai hampir putus! Tinggal Kim to Poey
Kong seorang yang merasa gemas dan heran. Ia ayunkan goloknya menyabet ke
arah bayangan itu, tapi kembali berkelebat sinar pedang dan ia merasa
tangannya sakit sekali hingga goloknya terlepas. Ternyata lengannya telah
terlepas hingga mengeluarkan banyak darah. Pada saat itu Thian In maju
menendang dadanya hingga ia terlempar beberapa tombak dan roboh pingsan!
Thian In dan Giok Cu hanya melihat bayangan itu loncat pergi cepat sekali
dan terdengar suara: "Thio-kongcu kenal tertawan si auwte coba mengejarnya!"
Thian In dan Giok Cu kagum sekali, dan setelah berdiri bengong agak lama,
akhirnya Thian In berkata: "Hebat sekali kepandaian orang itu!"
"Dia adalah Bu-eng-cu Koayhiap. Aku kenal suaranya!" kata Giok Cu
gembira. "Pantas disebut Bu-eng-cu si Tanpa bayangan. Ginkangnya benar-benar telah
mencapai puncak kesempurnaan."
"Tapi mengapa Thio-kongcu sampai dapat terampas" Siapa yang melakukan
itu?" Tiba-tiba Thian In teringat. "Eh, mana pendeta Lama yang tadi berdiri
saja dan tiba-tiba merampas senjata kita" Dia lihai sekali tentu dialah yang
telah menawan Thio kongcu."
Giok Cu mengangguk membenarkan. "Tentu dia! Siapa lagi selain dia. Untung
Bu-eng-cu Koay hiap datang, kalau tidak, selain Thio kongcu tertawan, jiwa
kitapun tentu telah melayang."
Thian In menghela napas lagi. "Kalau pendeta itu sampai dapat menawan
Thio kongcu di depan mata Bu-eng-cu, dapat dibayangkan betapa hebat
kepandaian pendeta Lama itu.
Mereka merawat luka masing-masing. Untungnya Thian In selalu membekal
obat-obat luka. Kemudian mereka memilih dua kuda yang terbaik dan naik kuda
itu tinggalkan para korban. Delapan orang pahlawan Kaisar yang terkenal gagah
perkasa semua rebah mandi darah di tempat itu, ada yang sudah mati, ada yang
pingsan, dan ada yang masih bergerak-gerak sambil mengerang kesakitan!
"Sekarang apa yang harus kita lakukan?" Giok Cu berkata bingung.
"Kita harus menuju ke rumah orang tua Thio kongcu. Aku dapat menduga
bahwa kaisar tentu akan membasmi mereka serumah tangga. Marilah, makin cepat
makin baik. Thio-tihu serumah tangga harus segera lari bersembunyi!"
Mereka lalu bedal kuda dan membalap menuju kota Anting. Mereka berjalan
terus tak kenal lelah walaupun sesungguhnya mereka butuh sekali mengaso
setelah mengalami pertempuran yang hebat itu dan mendapat luka-luka walaupun
hanya luka-luka di luar dan tak berbahaya. Semua ini menunjukkan bahwa baik
Thian In dan Giok Cu adalah orang-orang yang menjunjung tinggi prikebenaran,
orang-orang yang setia akan tugas seperti halnya Thian In yang menjalankan
perintah suhunya, dan yang bertekad dalam membalas budi, seperti halnya Giok
Cu yang masih ingat akan budi keluarga Thio kepadanya!
Kedatangan mereka disambut oleh kedua suami isteri Thio. Dengan halus
agar tak mengejutkan orang, Giok Cu ceritakan akan hal tertawannya Thio Seng.
Namun, tetap saja Thio-hujin mendengar hal ini lalu menjerit dan jatuh
pingsan! Setelah ditolong dan siuman kembali, nyonya itu menangis sedikit
walaupun ia menahan suara tangisnya, agak tak kedengaran orang tapi tubuhnya
bergerak-gerak menggigil dan air matanya tiada hentinya mengalir dari kedua
belah matanya. Giok Cu menjadi terharu dan ikut menangis.
Thio tihu dapat menekan penderitaan batin itu. Ia geleng-geleng
kepalanya. "Memang sudah kuduga bahwa Siouw Seng tentu akan menjadi seorang
luar biasa. Aku girang mendengar dia berjiwa patriot, berarti ia menjunjung
Koleksi Kang Zusi tinggi nama nenek moyangnya, tapi tak kusangka ia seberani itu. Ahh...ia
masih muda, tak kurang hati-hati...
"Tapi, tayjin tak usah kau khawatir. Thio kongcu telah membangunkan
semangat banyak orang gagah. Mereka tentu takkan tinggal diam dan berusaha
menolongnya. Sekarang yang penting tayjin berdua harus segera lari dari sini,
karena kalau tidak tentu bencana besar menimpa keluar ini! Pasti kaisar akan
menangkap kalian serumah tangga!"
Thio tihu mengangguk-angguk. "Aku tahu...aku tahu...tapi sebagai seorang
pemangku jabatan, aku harus menerima segala hukum yang dijatuhkan padaku oleh
Sri Baginda!" "Kau keliru, tayjin. Bukankah putermu sudah dengan nyata sekali
menyatakan ketidak adilan pemerintah" Mengapa kau hendak berkorban jiwa
serumah tanggamu untuk kaisar asing itu" Pula, kalau sampai tayjin tertawan,
aku berani pastikan bahwa Thio-kongcu juga pasti akan menyerahkan diri
kembali seandainya ia telah terbebas sekalipun. Mana dia mau melarikan diri
jika diketahuinya bahwa orang tuanya mendekam dalam penjara!
Karena bujukan-bujukan Thian In dan Giok Cu, akhirnya orang tua itu
menurut. Demikianlah, malam-malam mereka berangkat, diantar oleh Giok Cu dan
Thian In. Mereka bersembunyi dalam sebuah kampung di bukit yang sunyi di mana
mereka menuntut hidup sebagai petani biasa.
Setelah berjanji hendak menyelidiki keadaan Thio Seng, Thian In dan Giok
Cu berpisah dari mereka. Kedua orang muda itu naik kud dan menuju ke kota
raja. Di sepanjang jalan mereka tak banyak bercakap-cakap, karena mereka
masih tertindas oleh rasa kasihan melihat nasib rumah tangga Thio.
Pada keesokan harinya ketika mereka sedang bedalkan kudanya melalui
sebuah lereng bukit, dari jauh tampak dua kuda mendatangi dengan dijalankan
perlahan oleh penunggangnya. Ketika mereka sudah datang dekat, hampir saja
kedua anak itu berteriak dengan girang, kaget, dan heran. Seorang dari kedua
penunggang kuda itu ternyata adalah Thio Seng sendiri! Pemuda itu tersenyumsenyum dan ayem saja, seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu yang hebat!
Setelah saling pandang denga heran, Thian In dan Giok Cu memperhatikan
penunggang kedua, Thian In melihat bahwa orang itu adalah seorang tua yang
berpakaian sebagai sastrawan pula. Kuku jari tangannya panjang-panjang dan
jenggotnya putih panjang pula. Wajahnya biasa saja dan kedua matanya
memandang dengan jujur dan terbuka. Bibirnya selalu membayangkan senyum
ramah. Kalau bagi Thian In orang tua itu tak dikenal dan tampak seperti
seorang guru sekolah biasa saja, bagi Giok Cu adalah sebaliknya. Ia loncat
turun dan lari menghampiri lalu memberi hormat sambil menyebut:
"Gan lopeh benar-benar kaukah ini?"
Orang tua itu tertawa bergelak, suara tawa yang jujur dan tak dibuatbuat. Sebaris gigi yang putih, rata dan kokoh kuat tampak. Matana bersinarsinar mengeluarkan cahaya kilat. Setelah berhenti ketawa, sastrawan tua itu
mengelus-ngelus rambut Giok Cu sambil berkata:
"Nona Giok Cu! Hampir aku lupa ketika melihat kau sudah begini berubah.
Bagaimanakah, baik-baik saja kau selama ini?"
Orang tua itu ternyata bukan lain ialah Gan Im Kiat, si sastrawan jujur
yang dulu datang bersama puteranya, Kam Ciu dan bermalam di rumah Giok Cu.
Gan Im Kiat inilah yang dulu melamar untuk dijodohkan dengan Kam Ciu, dan
lamaran itu telah ditolaknya!
Giok Cu heran mengapa orang tua itu tidak menanyakan ayahnya dan
sebaliknya menanyakan keadaannya sendiri" Masih marahkah orang tua itu kepada
ayahnya karena penolakan pinangan dulu"
"Gan lopeh....ayah...ayah telah meninggal dunia," katanya dan air matanya
menitik turun. "Hm, hm....jangan menangis, nona. Aku sudah mendengar akan hal itu dari
Kam Ciu. Kematian bukanlah hal yang aneh bagi manusia hidup. Bukankah kita
semua ini akhirnya toh akan mati juga" Mati dulu atau mati belakangan itu
hanya soal waktu saja! Mengapa kau bersedih" Mari, mari, kuperkenalkan aku
kepada kawanmu ini. Ia agaknya gagah sekali."
Thian In ketika mendengar bahwa orang tua itu adalah ayah Kam Ciu,
menjadi heran sekali. Orang tua ini kelihatan biasa saja. Apakah anaknya itu
Koleksi Kang Zusi benar-benar pandai" Ia sangsi. Mendengar kata-kata terakhir dari Gan Im Kiat,
ia maju dan turun dari kuda dan menjura:
"Saya adalah Souw Thian In. Bagaimana lo-sianseng dapat menolong Thio
kongcu?" "Menolong" Ha, menolong?" Gan Im Kiat memandang kepada Thio-kongcu. "Coba
kau ceritakan apa yang telah terjadi.
Thio Seng yang semenjak tadi hanya mendengarkan sambil tersenyum, segera
berkata: "Gan lo-sianseng ini sebenarnya adalah guruku dalam hal
kesusasteraan! Beliau pernah mengajarku beberapa bulan ketika aku masih
tinggal di kota raja. Ketika aku ditawan dan dibawa pergi oleh pendeta Lama
dulu, aku lalu dimasukkan dalam tahanan sementara menanti persidangan
memeriksaku. Dan malam tadi datanglah seorang gagah menolongku. Aku tidak
tahu siapa dia karena gerakan-gerakannya demikian cepat dan malam gelap.
Tahu-tahu aku telah dibawa loncat naik ke atas rumah dan dibawa ke dalam
hutan. Kemudian aku ditinggalkan di hutan itu seorang diri. Ketika aku tanya
namanya, ia tak mau mengaku hanya berkata bahwa aku harus menanti di situ dan
jangan pergi ke mana-mana. Lalu ia pergi dengan berjanji.
"Dengan bernyanyi" Ah, ia tentu Bu-eng-cu Koayhiap!" berkata demikian
Giok Cu memandang kepada Gan Im Kiat dengan tajam tapi orang tua itu hanya
tersenyum dan bertanya kepadanya.
"Kenalkah kau kepada Bu-eng-cu Koayhiap?"
Giok Cu geleng-geleng kepala dan menjawab: "Kenal sih tidak, tapi sudah
beberapa kali kami bertemu tanpa saling bertemu muka. Beberapa kali ia
menolongku dengan menggelap. Gan Lopeh kenalkah kau kepada Bo-eng-cu
Koayhiap?" Dan gadis itu kembali gunakan matanya yang tajam menatap wajah
orang tua itu. "Pernah aku mendengar nama itu," jawabnya sederhana.
"Aku tidak tahu siapakah dia, hanya lagu nyanyiannya masih kuingat,
beginilah: Pedang di tangan kiri Pit dan kertas di tangan kanan
Menjelajah rimba raya Menurun jurang mendaki gunung
Langit suram muram Bumi hitam gelap kotor Pedang dan pit tak berguna
Biarlah pedangku tumpul berkarat!


Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biarlah pitku kering tak bertinta!
"Mendengar nyanyiannya itu, aku lalu berteriak dan mencelanya, dan
mencelanya, dan kukatakan bahwa lagu itu seharusnya begini:
Pedang di tangan kiri Pit dan kertas di tangan kanan
Menjelajah rimba raya Menurun jurang mendaki gunung
Langit suram muram Bumi hitam gelap kotor Asah pedang, gosik bak basahkan pit
Biar pedangku membersihkan bumu
Biar pitku menerangi langit
Pedang dan pit bersatu, ribuan, laksaan
Langit akan bersih, dunia akan terang
"Setelah aku nyanyikan lagu yang telah kurobah itu, dari dalam gelap ia
berseru bahwa lagu itu sangat baik dan ia sangat kagum padaku, lalu berjanji
bahwa semenjak saat itu ia akan mengubah pendiriannya."
Thian In dan Giok Cu mendengar penuturan Thio Seng dengan kagum dan
heran. Tiba-tiba Giok Cu berpaling kepada Gan Im Kiat dan berkata:
"Gan Lopeh, di manakah saudara Kam Ciu" Telah lama aku tidak berjumpa
dengan dia. "Kam Ciu" Ah, anak yang tiada guna itu selalu pergi ke mana-mana. Ia
mempunyai urusan tersendiri, entah di mana ia berada sekarang. Akupun hendak
mencarinya, maka kebetulan sekali kami bertemu dengan kalian di sini. Nah,
Koleksi Kang Zusi sekarang aku serahkan Thio Seng kepada kalian untuk diantar ke rumah orang
tuanya. Aku harus mencari Kam Ciu!" Kemudian otrang tua itu naik ke atas
kudanya lagi dan jalankan kuda itu perlahan ke jurusan lain.
Giok Cu masih merasa penasaran berteriak:
"Gan lopeh, kenalkah kau kepada seorang locianpwe?"
Gan Im Kiat tahan kudanya dan menengok. "Locianpwe yangmana?"
"Heng-san Lojin, guru Bu-eng-cu Koayhiap! Kenalkah kau kepadanya?"
Gan Im Kiat geleng-geleng kepala dan mulutnya berkata perlahan-lahan.
"Entahlah...entahlah..."kemudian sambil pandang muka Thio Seng, ia
berkata sambil tertawa: "Nyanyian karanganmu yang kau ceritakan tadi bagus
sekali, aku suka pula menyanyikannya..."
Setelah berkata demikian, orang tua itu jalankan lagi kudanya dan
bernyanyi perlahan dengan suara tinggi:
Pedang di tangan kiri Pit dan kertas di tangan kanan...
Giok Cu dan Thian In memandang perginya orang tua itu sampai lenyap di
sebuah tikungan. Gadis itu menghela napas kecewa karena tidak mendapat
keterangan yang jelas maka ia bertanya kepada Thio Seng:
"Thio kongcu, di manakah kau bertemu dengan Gan-lopeh?"
"Ceritaku tadi belum habis!" jawab Thio Seng tertawa. "Setelah penolongku
itu memujiku, ia lalu pergi. Aku menaati nasihatnya dan tidak pergi ke manamana, hanya duduk saja di situ di atas sebuah batu karang, sampai fajar
menyingsing. Kemudian berbareng dengan datangnya sinar matahari, datanglah
Gan losianseng itu naik kuda dan menuntun kuda lain di belakangnya. Ia
katakan bahwa di jalan ia bertemu dengan seorang yang pesan agar ia menjemput
aku di tempat itu. Ia tidak tahu siapa orang yang memesan itu, hanya orang
itu meninggalkan seekor kuda untukku! Nah, begitulah maka aku berjalan
bersama dia sampai di sini.
Giok Cu makin bingung dan tak mengerti. Siapakah yang main sandiwara"
Benarkah Bu-eng-cu yang gagah perkasa itu Kam Ciu" Juga Thian In merasa raguragu, tapi ia masih teguh keyakinannya bahwa Kam Ciu bukanlah seorang pemuda
sastrawan yang lemah, hanya ia tidak tahu pasti apakah pemuda itu Bu-eng-cu
atau bukan. Giok Cu dan Thian In lalu antar Thio Seng menuju ke kampung di mana
bersembunyi Thio tihu dan isterinya. Pertemuan mereka mengharukan sekali,
terutama sekali Thio hujin yang menangis tersedu-sedu karena girang melihat
puteranya selamat tapi bersedih mengenang akan nasib keluarnya. Thio Seng
menjatuhkan diri berlutut di depan ayah bundanya dan berkata dengan suara
penuh penyesalan: "Ayah dan ibu, ampunilah anakmu yang hanya mendatangkan malapetaka belaka
kepada ayah bunda." Ibunya hanya dapat memeluknya dan menangis makin sedih, tapi ayahnya
berkata tegas: "Tidak, Siauw Seng! Kau tidak berbuat salah!"
"Anak adalah seorang yang puthauw, ayah. Anak hanya mendatangkan
bencana." "Aku tidak menganggapnya begitu, Siauw Seng. Bahkan...aku bangga melihat
sepak terjangmu. Kau tidak nodai nama keluarga bahkan kau membuat keluarga
Thio terpandang tinggi oleh rakyat. Kau mengharumkan nama keluargamu, anakku.
Biarlah jangan kita bekerja setengah-setengah. Teruskanlah cita-citamu, kalau
perlu lawanlah pemerintah asing! Atau setidak-tidaknya gunakanlah pengertianmu untuk mengumpulkan kawan-kawan membasmi para durna yang hanya
merusak rakat. Akupun sudah bosan menjadi pembesar, karena di sekelilingku
hanya orang-orang rendah, penjilat-penjilat, dan pengejar-pengejar harta
benda belaka yang bekerja! Majulah, Siauw Seng, aku dan ibumu hanya bisa
berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaanmu. Kau akan dibantu oleh banyak
orang-orang gagah seperti yang telah terjadi sekarang ini!"
Thian In dan Giok Cu ditahan semalam di kampung itu. Malam harinya Thio
hujin ma suk ke kamar Giok Cu.
"Giok Cu kau anak nakal! Kau ke mana saja, nak" Semenjak kau pergi diamdiam dulu itu, kau kelihatan sibuk sekali. Bukankah urusan yang kau campuri
Koleksi Kang Zusi semua itu urusan laki-laki" Mengapa kau ikut-ikut dan turut campur"
Biarkanlah saja orang-orang lelaki yang mengurus dan menyelesaikannya!"
Giok Cu tersenyum. "Memang aku berbeda jauh dengan kau, peh-bo. Kau
adalah wanita yang halus terpelajar, kau adalah bagaikan bunga, aku adalah
bagaikan bunga hutan, bunga liar yang sudah biasa hidup di hutan-hutan!
Thio-hujin tersenyum. "Bunga hutan kalau dipindahkan dan ditanam dalam
taman akan menjadi bunga yang lebih indah dan harum lagi, Giok Cu."
Giok Cu geleng kepala. "Belum tentu, peh-bo. Siapa tahu, iklim dalam
taman yang terkurung dan tidak bebas bahkan membuat ia mudah layu dan mati."
Thio hujin mendekat dan pegang pundak gadis itu. "Giok Cu betapapun juga,
aku sayang padamu, dan...dan usul pinanganku dulu itu masih berlaku, nak.
Bagaimana pendapatmu" Kau telah melihat anakku yang bodoh. Memang aku tahu,
Siauw Seng tidak berharga menjadi suamimu, tapi, kami yang cukup tahu
kewajiban." Giok Cu memandang Thio hujin dengan muka sungguh-sungguh, peh bo. Jangan
kau bilang begitu, Thio kongcu adalah seorang yang sangat mulia dan berjiwa
gagah perkasa. Bukan dia yang tak berharga, tapi akulah yang tak pantas sama
sekali duduk di sampingnya. Aku seorang gadis kasar dan bodoh yang hanya bisa
sedikit bermain pedang dan olah raga kasar."
"Jadi kau tidak menolak?" Thio hujin tanya cepat-cepat.
Giok Cu geleng-geleng kepala. "Peh bo sebenarnya...aku...aku sudah kawin
dengan orang lain...."
Terkejutlah Thio-hujin mendengar ini. "Apa?" Kau sudah kawin" Mana
suamimu..." Ditanya demikian, tiba-tiba Giok Cu menangis. Wajah Thio-hujin melembut
dan ia segera pegang pundak gadis itu. "Ah, apakah suamimu telah meninggal?"
Giok Cu geleng-geleng kepala kemudian dengan terisak-isak
ia ceritakan riwayatnya semenjak ia dikawinkan dengan Thian In. Thio
hujin mengucurkan air mata karena kasihan dan terharu.
"Jadi pemuda di lain kamar itu, dia itu suamimu, juga musuhmu" Giok Cu
tak dapat menjawab karena hatinya perih, maka hanya mengangguk-angguk saja.
"Kalau demikian halnya, maafkanlah aku urusan pinanganku itu anggaplah
seperti yang tak pernah kuucapkan saja." Setelah menghibur dengan kata-kata
manis, Nyonya Thio tinggalkan Giok Cu.
Gadis itu duduk termenung seorang diri. Ia buka jendela kamarnya. Ketika
bulan yang semenjak tadi tertutup mega kini muncul dengan cahayanya yang
gemilang, tiba-tiba Giok Cu ingat besok adalah permulaan musin Chun! Hampir
saja ia loncat dan lari ke kamar Thian In untuk memberi tahu hal itu. Hatinya
berdebar girang dan seketika itu juga lupalah ia akan kesedihan yang baru
saja timbul karena percakapan dengan Thio hujin! Besok ia dan Thian In akan
ke Kwie san. Dan di sana pemuda itu akan membuka tabir rahasia yang
mendatangkan kegelapan baginya.
Pada keesokan harinya, ketika ia bertemu Thian In dan memberitahukan hal
itu, Thian In hanya tersenyum dan berkata:
"Apakah kau kira akupun lupa akan hal itu" Hayolah kita siap dan
berangkat dengan cepat!"
Mereka lalu berkemas dan setelah mendapat nasehat-nasehat serta doa-doa
dari Thio tihu suami isteri, juga dari Thio Seng, mereka naiki kuda mereka
dan kaburkan kudanya menuju ke Kwie-san!
Setelah lewat tengah hari, mereka telah berada di lereng Kwie-san dan
jalan mulai sukar. Akhirnya mereka turun dari kuda dan setelah ikat kendali
kuda pada sebuah pohon yang lebat daunnya, mereka lalu lanjutkan perjalanan
dengan jalan kaki. Thian In menyatakan herannya mengapa ia belum melihat gurunya, juga Giok
Cu yang mengharap-harap akan dapat bertemu dengan Bu-eng-cu merasa gelisah.
Mereka telah mendekati puncak dan samar-samar telah tampak genteng sebuah
kelenteng yang tinggi, tempat kediaman tokoh-tokoh Kwie-san-pay!
Timbul keraguan dan kecemasan dalam hati mereka. Bagaimana kalau orangorang yang mereka andalkan itu tidak datang" Sama halnya dengan mengantar
jiwa untuk binasa di situ, karena mereka maklum betapa lihainya lawan-lawan
mereka di atas panggung itu. Kwie-san-ngokoay atau lima orang aneh dari Kwie
Koleksi Kang Zusi san saja sudah merupakan lawan yang berat dan sukar kiranya bagi mereka
berdua untuk mengalahkan mereka, belum ditambah dengan Gak Ong Tosu yang luar
biasa lihainya! Giok Cu merasa bulu tengkuknya berdiri ketika ia teringat
akan Gak Ong Tosu si pendeta siluman yang pernah menculiknya dulu itu!
Thian In tunda langkah kakinya, dituruti oleh Giok Cu.
"Mereka terlalu lihai....bukan makanan kita..." pemuda itu berkata pelan
seakan-akan kepada diri sendiri.
"Akupun pikir demikian tapi tak mungkin kita kembali."
"Tak mungkin! Lebih baik mati daripada berlaku demikian pengecut!" kata
Thian In gagah. "Akupun berpendapat begitu!" kata Giok Cu.
"Hm, ada persamaan di antara kita," kata Thian In.
"Kurasa...banyak persamaan kita."
Pada saat itu tiba-tiba dari atas puncak terdengar bunyi orang bernyanyi.
Itulah nyanyian yang telah terkenal, tapi yang telah diubah oleh Thio Seng!
Penyanyi itu hanya dinyanyikan bagian bawah saja.
Asah pedang, gosok bak basah pit!
Biar pedangku membersihkan bumi, biar pitku menerangi langit
Pedang dan pit bersatu, ribuan, laksaan
Langit akan bersih, dunia akan terang
Suara itu makin keras dan bergema di segenap penjuru hingga Thian In
keluarkan suara pujian. Giok Cu telah loncat bangun dan pegang lengan Thian
In. "Dia telah datang!" katanya dengan gembira dan wajah berseri.
Bu-eng-cu Koayhiap?" tanya Thian In.
Mereka lalu bergerak cepat ke arah datangnya suara. Semangat mereka
timbul dengan mendadak! Tapi mereka tak dapat temukan penyanyi itu dan ketika
mereka telah tiba di depan pintu kelenteng itu, belum juga mereka bertemu
dengan orang yang dicarinya! Bangunan itu adalah sebuah gedung beras yang
besar yang berbentuk seperti kelenteng, dan di atas pintunya yang besar
terdapat tulisan: "Kwie-san-pay."
Keadaan di situ sunyi saja dan pintu depannya tertutup. Thian In mencoba
untuk dorong daun pintu, tapi ternyata pintu yang tebal dan berat itu
terpalang dari dalam. Pemuda itu berani gunakan kepalan tangan menggedor
pintu sambil berseru keras:
"Kwie-san Ngo-lo-enghiong! Kami berdua orang-orang muda telah datang
memenuhi janji. Berilah pintu!"
Setelah berteriak beberapa kali, tiba-tiba dari dalam terdengar suara
orang ketawa nyaring dan disusul oleh kata-kata.
"Pintu memang tertutup, tapi tembok kami demikian rendah, lompati saja
tembok itu kami menanti di taman!" Kata-kata ini seolah-olah dikeluarkan
terhadap seorang kawan lama, hingga Thian In dan Giok Cu segera memandang
tembok itu. Bukan main tingginya dinding yang mengurung tempat itu. Tidak
kurang dari lima belas kaki! Dan di atas tembok dipasangi besi-besi tajam
seperti ujung tombak lagi. Kalau bukan orang yang telah mempunyai kepandaian
loncat dan ginkang yang tinggi, sukarlah agakna untuk dapat meloncati tembok
itu tanpa terluka kulitnya atau terobek pakaiannya oleh ujung tombak tajam
itu! Tapi Thian In tidak mampu perlihatkan kelemahannya hanya karena
menghadapi rintangan macam itu.
"Dapatkah kau loncati tembok ini?" tanyanya kepada Giok Cu.
Setelah mengukur dengan matanya, Giok Cu berkata terus terang: "Kalau
tidak terhalang oleh ujung-ujung tombak itu, tentu dapat."
Tiba-tiba dari dalam terdengar suara tertawa lagi yang diikuti suara
ejekan: "He anak-anak muda, hati-hatilah. Ujung-ujung besi itu telah karatan
dan beracun!" Thian In merasa mendongkol sekali.
"Aku hendak loncat dulu, kau menyusul kemudian dan pegang kedua kakiku.
Aku akan lempar kau lewat tembok dengan kedua kakiku. Mengertikah"
Giok Cu tersenyum maklum. "Baiklah!"
Koleksi Kang Zusi Setelah kencangkan ikat pinggang dan ringkaskan pakaian, Thian In enjot
tubuhnya dan dengan gerakan Pek-lion-seng thian atau Naga-putih-naik ke
langit ia loncat ke atas dengan ringannya. Tubuhnya melayang dengan cepat dan
ia gunakan kedua tangannya untuk menyambar dan memegang dua batang besi
tombak di atas tembok! Ia ulur kedua kakinya melintang dan berseru ke bawah:
"Adik Giok, kau naiklah!"
Giok Cu kagum melihat gerakan pemuda itu. Kemudian setelah mendengar
seruan Thian In, ia loncat ke atas dengan gerakan Hui hiau-coan-in atau
burung terbang terjang mega. Ia telah gunakan seluruh tenaganya meloncat
dengan mudah ia dapat menangkap pergelangan kedua kaki Thian In yang
diulurkan. Awas, aku lempar kau ke dalam!" Thian In lalu ayunkan kakinya beberapa
kali untuk ambil tenaga, kemudian dengan keras ia tendangkan kakinya ke atas
dan tubuh Giok Cu terlempar ke atas melewati ujung-ujung tombak!
Karena sudah berjaga, maka Giok Cu dapat atur tubuhnya sedemikian rupa
hingga ia melayang dengan baik ke dalam! Ternyata di sebelah dalam adalah
sebuah taman bunga yang indah dan dengan selamat Giok Cu dapat turunkan kedua
kakinya di atas rumput hijau!
Melihat bahwa Giok Cu telah melayang ke dalam dengan selamat, Thian In
lalu ayun kakinya ke atas dan dengan ber-poksay atau berjumpalitan dengan
gerakan Lee-hi-ta-teng atau Ikan-lohi-loncat meletik ia berhasil melewati
ujung-ujung tombak dan melayang ke dalam dengan selamat pula!
Mereka berdua memandang ke sekeliling dengan waspada. Dan apa yang tampak
di dalam taman adalah di luar dugaan mereka.
Lima orang saykong rambut panjang dengan pakaian seragam warna hijau
tengah berdiri mengelilingi dua orang yang sedang duduk main catur. Thian In
dan Giok Cu kanali bahwa dua di antara kelima saykong itu adalah Hoan Tin-cu
dan Gan Tin-cu, maka mereka dapat menduga bahwa tiga saykong yang lain
tentulah tokoh-tokoh Kwie-san-pay yang lain. Maka lengkaplah Kwie-san-ngokoay! Tapi kenyataan ini belum terlalu mengagetkan mereka, karena ketika
mereka melihat kedua orang yang sedang bermain catur itu mereka terkejut
sekali. Mereka adalah Gak Ong Tosu dan Beng Po Hiatsu, si pendeta Lama yang
kelihaiannya seperti iblis dan yang telah berhasil menculik Thio Seng dulu!
Biarpun mereka berdua tabah dan gagah, namun melihat keadaan lawan yang


Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangguh itu, diam-diam Thian In dan Giok Cu mengeluh! Mereka bertujuh, lima
tokoh Hwie-san dan dua pendeta siluman yang sedang main catur itu sama sekali
tidak melihat mereka bahkan seakan-akan tidak tahu akan kedatangan mereka.
Thian In merasa dihina sekali maka ia maju hendak menegur, tapi tiba-tiba
Gan Tin-cu goyang-goyang tangan menyuruh ia diam!
Thian In tidak jadi menegur dan melihat betapa kelima saykong itu
memandang ke arah papan catur dengan penuh perhatian, ia pun sangat tertarik!
Dengan tak heran ia maju melangkah mendekati tempat itu, diikut Giok Cu. Tak
lama kemudian mereka berdua berdiri di sebelah kelima saykong itu sambil
menonton orang main catur! Sungguh lugu keadaan mereka. Jauh-jauh datang
hendak menguji ilmu silat, tidak tahunya mereka kini berdiri diam bagaikan
patung, nonton orang beradu otak dengan tertarik sekali!
Pada saat itu kedudukan raja yang dipegang Beng Po Hoatsu terdesak dan
terkurung. "Ha, ha, ha! Toyu, sekarang kau pasti kalah! Taruhan itu takkan terlepas
lagi dari tanganku!" kata Gak Ong Tosu girang.
Tapi Beng Po Hoatsu tidak menjawab hanya usap-usap jidatnya dan mencari
jalan untuk mengeluarkan rajanya dari kepungan Thian In makin tertarik.
"Apakah taruhan mereka?" tanyanya kepada Gan Tin-cu.
Saykong itu tersenyum dan gerakan kepalanya ke arah Giok Cu!
"Apa maksudmu?" Thian In berbisik dan Giok Cu memandang dengan mata
terbelalak. "Nona inilah taruhan mereka," jawab Gan Tin-cu dengan perlahan.
Bukan main marah hati Giok Cu. Ia hendak menerjang kedua pertapa yang
main catur itu, tapi Thian In pegang lengannya dan menyabarkannya.
Pada saat itu terdengar suara orang bernyanyi. Yang dinyanyikan adalah
lagu-lagu yang diambil dari sajak To-tik-khing. Ketika Thian In dan Giok Cu
Koleksi Kang Zusi menengok, ternyata pintu depan yang tadinya tertutup kini telah terbuka dan
dari pintu muncullah seorang pemuda berpakaian sebagai seorang siucay atau
sastrawan. Sambil berjalan lenggang kangkung ke arah mereka, orang itu tiada
hentinya bernyanyi den gan suara tinggi.
Ketika ia telah datang dekat, bukan main heran hati Giok Cu dan Thian In
karena orang itu bukan lain ialah Gan Kam Ciu!
Kam Ciu lewati Thian In dan Giok Cu seakan-akan tak mengenalnya, dan
ketika kedua orang muda itu hendak menegurnya, ia menggunkan sebelah mata
mengedip dan memberi tanda, hingga Giok Cu hanya memandang bengong terheranheran! Tapi Thiau In tampak tersenyum-senyum dan agaknya ia tahu akan
permainan sandiwara yang dilakukan oleh Kam Ciu!
Seperti seorang yang tolol, Kam Ciu mendekati meja tempat main catur dan
berdiri menggendong tangan sambil terus saja bernyanyi-nyanyi.
Tiba-tiba Ceng Po Hoatsu yang baru pusing karena rajanya terkurung,
merasa marah dan terganggu sekali. Ia angkat kepala dan membentak: "Bodoh!
Diam jangan gaduh!" Kam Ciu leletkan lindah dan angkat pundak. Ia lalu pindah ke belakang
Beng Po Hoatsu dan memberi nasihat serta petunjuk.
"Berikan saja kuda itu. Nah, yang di kanan itu, biar saja dimakan kuda
kurus itu. Mula-mula Beng Po Hoatsu marah-marah, tapi entah mengapa, ia
menurut juga! Beberapa langkah dijalankan oleh Bong Po Hoatsu menurut
petunjuk Kam Ciu yang agaknya ahli main catur pula hingga akhirnya Gak Ong
Tosu menggebrak meja karena mereka bermain seri!!
"Ha, ha! Gak Ong Tobeng! Jangan kau buru-buru bergembira, akhirnya kita
toh seri juga. Jadi taruhan itu harus dibagi dua!" Kemudian mereka berdua
memandang ke arah Giok Cu dan Thian In.
"He, kemari kau!" Gak Ong Tosu melambaikan tangan ke arah Giok Cu. "Coba
kau pilih di antara kami berdua, mana yang lebih kau suka?"
Bukan main marahnya Giok Cu. Ia cabut pedangnya. Thian In melangkah maju
dan berkata: "Tidak pantas menghina yang muda.
Gak Ong Tosu memandang Thian In seperti juga baru saat itu ia meliihat
pemuda itu, ia berdiri dan menuding:
"Eh, kau" Kau berani berlaku kasar terhadap susiokmu" Hayo berlutut!"
Tapi Thian In sudah memuncak marahnya maka sambil pelototkan mata ia
menjawab:"Aku tidak mempunyai susiok seperti kau!"
"Eh, kurang ajar!" Gak Ong Tosu ulur tangannya, tapi kelima saykong
segera maju menahannya. "Sabar Gak Ong Tobeng, mereka ini datang untuk kami. Sabarlah, biar kami
layani mereka lebih dulu untuk membalas dendam kami dulu!"
Gak Ong tertawa bergelak. "Ya, ya, aku tahu. Tapi awas jangan kalian
merusak yang secantik halus itu!" Dan kembali ia tertawa bergelak sambil
memandang ke arah Giok Cu dengan sikap menjemukan sekali.
Kemudian Gan Tin Cu menjura kepada Giok Cu. "Pek I Lihiap, kau sungguh
gagah. Biarpun masih muda tapi ternyata keu penuhi janjimu. Nah, setelah kau
datang marilah kita saling ukur tenaga. "Tanpa menjawab Giok Cu hunus pedang
dan lepaskan sabuk suteranya. Gan Tin-cu juga lolos pedangnya dan mereka
segera bertempur! Hoan Tin-cu menghampiri Thian In dengan senyum mengejek.
"Orang she Souw! Bagus sekali kau juga datang! Ternyata kau bukanlah
orang bai-baik melihat sikapmu terhadap susiokmu tadi. Mari, mari
kuperkenalkan saudara-saudaraku." Ia menunjuk kepada tiga orang saykong yang
masih berdiri di belakangnya sambil memangku tangan.
"Nah, inilah toasuheng Ang Tin-cu yang bertempur melawan Pek I Lihiap itu
adalah Jisuheng Gan Sin-cu. Ini suteku Lan Tin-cu dan Beng Tin-cu. Sekarang
bersiaplah, dan cobalah jatuhkan aku untuk kedua kalinya!"
Thian In memandang kepada Kam Ciu yang masih duduk di atas sebuah bangku
di bawah pohon bunga sambil tersenyum. Ia lihat pemuda itu berkedip padanya
dan anggukkan kepala, maka tanpa ragu-ragu lagi ia cabut pedangnya.
"Marilah, Hoan lo-enghiong!"
Hoan Tin-cu segera mainkan Kwie-san-kianhwat yang lihay. Baru beberapa
jurus saja tahulah Thian In bahwa Hoan Tin-cu telah memperdalam ilmu
Koleksi Kang Zusi pedangnya dan kepandaiannya telah banyak maju jika dibandingkan dengan dulu.
Tapi baiknya ia sendiri telah mendapat petunjuk-petunjuk dari suhunya hingga
ia dapat melawan dengan gagah. Dengan gunakan ilmu pedang Delapan dewa mabok
arak ia perlihatkan kegesitannya hingga Hoan Tin-cu merasa terkejut sekali.
Tak disangkanya pemuda itu telah demikian maju selama ini.
Di lain, biarpun untuk beberapa lama masih dapat mengimbangi permainan
pedang Gan Tin-cu, namun setelah bertempur lima puluh jurus lebih, gerakan
pedang dan sabuk sutera Giok Cu makin lemah dan ia hanya dapat menangkis
saja. Sambil bertempur, Thian In kadang-kadang layangkan pandangannya ke arah
Giok Cu dan diam-diam ia merasa cemas sekali melihat betapa gadis terkurung
oleh sinar pedang Gan Tin-cu! Ia kertak gigi dan putar pedangnya lebih cepat
lagi. Pada suatu kesempatan yang baik, ia gunakan gerakan Hong-cui-pay hio
atau Angin tiup-daun-tua, pedang di tangan kanannya menyambar ke arah
tenggorokan lawan sedangkan tangan kirinya yang trkepal mengirim pukulan. Totiu-kim-ciang atau Robohkan-lonceng-mas! Hoan Tin-cu berseru kaget dan
miringkan kepala untuk hindarkan pedang lawan, tapi ia tidak sangka bahwa
tangan kiri Thian In dapat bergerak secepat itu. Kepalan pemuda yang
dipukulkan dengan tenaga hebat itu menggempur dadanya hingga Hoan Tin-cu
terlempar jauh lalu terguling sambil muntahkan darah dengan mata terbalik!
Tapi pada saat itu juga Gan Tin-cu berhasil melukai pundak Giok Cu yang
terpaksa lepas pedangnya karena tangan kanannya terasa lumpuh! Ia loncat
mundur dan kelebatkan sabuknya menjaga diri, tapi Gan Tin-cu yang melihat
betapa Hoan Tin Cu roboh menjadi marah sekali dan kirim serangan maut!
Pada saat yang berbahaya bagi Giok Cu itu, berkelebatlah bayangan putih
secepat kilat dan tahu-tahu pedang Gan Tin Cu telah tertangkis hingga
terpental dan hampir terlepas dari tangannya! Ketika ia memandang, ternyata
yang menangkisnya bukan lain ialah pemuda sasterawan yang nonton main catur
tadi! Entah kapan mengambilnya, Kam Ciu telah berdiri di situ dengan pedang
Giok Cu di tangan. "Sabar, totiang, orang yang sudah kalah tak perlu didesak terus!" katanya
sambil tersenyum. Gan Tin Cu marah sekali dan tiga saudaranya yang tadi hanya nonton saja,
kini maju mengurung Kam Ciu!
"Gan twako! Kau..kau...Bu-eng-cu?" Giok Cu memandang dengan mata
terbelalak dan mulut ternganga, tapi Kam Ciu hanya tersenyum.
"Nona Ong, kau mengasolah di sana," ia menunjuk bangku yang didudukinya
tadi, biarlah aku yang wakili kau menerima gebukan dan hajaran dari orang tua
yang berbudi ini." Mendengar disebutnya nama Bu-eng-cu, terkejutlah keempat saykong itu.
Sementara itu Gak Ong Tosu yang pada saat itu tengah merawat dan mencoba
untuk memulihkan kesehatan Hoan Tin Cu yang terpukul, juga terkejut dan
menengok. Ia pandang anak muda yang tampak lemah lembut itu dengan heran.
"Benarkah kau Bu-eng-cu Koayhiap?" Ang Tin-cu tokoh tertua dari Kwie-san
bertanya. Kam Ciu menjura, kemudian ia kembalikan pedang Giok Cu kepada gadis itu.
Ia sendiri lalu gunakan tangan kanan mencabut sebatang pedang tipis dari
bawah baju dan keluarkan sebatang pensil besi dengan tangan kiri. Lalu ia
bernyanyi: Pedang di tangan kiri Pit dan kertas di tangan kanan
Menjelajah rimba raya Menurun jurang mendaki gunung
Langit suram muram Bumi hitam gelap kotor Asah pedang, gosok bak basahkan pit
Biar pedangku membersihkan bumi
Biar pitku menerangi langit
Pedang dan pit bersatu, ribuan, laksaan
Langit akan bersih, dunia akan tenang
Koleksi Kang Zusi Sambil bernyanyi, ia putar-putar pedang dan pit dari tangan kiri ke
tangan kanan. Gerakannya demikian cepat hingga orang tidak tahu di tangan
manakah pedang atau pit terpegang!
Mendengar lagu itu, Ang Tin Cu menjura:
"Bok-en-cu Koayhiap! Selama ini pinto dengar bahwa kau dan suhumu telah
cuci tangan dan bebaskan diri dari ikatan segala macam urusan dunia. Tapi
ternyata dugaan pinto keliru. Mengapa tanpa sebab koayhiap datang ke sini dan
ikut cam pur dalam urusan ini" Kalau memang koayhiap menghargai persahabatan,
biarlah lain kali koayhiap datang agar kami dapt menyambut sepantasnya."
"Ha, kau terlalu sungkan, totiang! Jangan katakan bahwa aku datang tanpa
sebab! Sebenarnya kalian sendirilah yang telah berubah adat. Itupun
sebenarnya bukan urusanku, kalau saja kalian tak ikut-ikut menjadi anjing
penjilat segala durna dan hendak membasmi orang-orang gagah pembela rakyat
seperti Thio kongcu!"
"Eh, eh! Jadi kau juga bercampur gaul dengan segala pemberontak?" Ah,
rusaklah dunia kang-ouw." Kalau begitu, biarlah, jangan kau anggap kami tidak
pandang persahabatan." Sebagai penutup bicaranya, Ang Tin-cu gerakan
pedangnya menyerang. Ternyata gerakannya lebih hebat daripada saudarasaudaranya. Sabetannya berat dan cepat mendatangkan angin dingin.
Kam Ciu tertawa geli bagaikan seorang anak-anak mempermainkan kawannya.
Sekali ia berkelit, maka lenyaplah tubuhnya! Ang Tin-cu menjadi heran dan
bingung, maka ketiga saudaranya segera maju menyerbu!
Tapi Kam Ciu buktikan bahwa ia pantas mendapat julukan si Tanpa bayangan,
karena ia betul-betul bagaikan seekor burung kepinis yang gesit seklai dan
terbang ke sana kemari melayani empat pedang lawannya. Pedangnya bergerak
lihai dan lebih hebat adalah pit atau pensilnya, karena pensil itu dengan tak
tersangka-sangka digunakan untuk menotok jalan darah musuh! Maka biarpun
dikerook empat, ia masih sempat mempermainkan semua lawannya!
Thian In dan Giok Cu kagum sekali. Thian In kagum karena biarpun memiliki
kepandaian yang berapa kali lipat lebih tinggi darinya, namun Kam Ciu dapat
sembunyikan kepandaiannya itu sedemikian rupa hingga ia sendiri tertipu.
Sedangkan Giok Cu memandang sepak terjang Kam Ciu dengan dada berdebar. Ia
menghendaki seorang suami yang pandai ilmu surat dan lihai ilmu silat dan
seorang pemuda seperti Kam Ciu pernah ditolak lamarannya! Kini ia dapat
buktikan mata sendiri betapa hebat dan tinggi ilmu silat pemuda kutu buku
itu. Gak Ong Tosu melihat betapa keempat saykong terdesak hebat dan sewaktuwaktu tentu dapat dirobohkan oleh Kam Ciu, merasa heran sekali. Saykong itu
kepandaiannya sangat tinggi dan tak kalah banyak dengan dia sendiri, namun
dengan berempat mereka masih dapat terdesak. Alangkah hebatnya kepandaian
pemuda itu. Maka ia segera perhatikan pemuda itu. Pernah ia bertempur melawan
Kam Ciu, tapi ia tidak dapat melihat jelas wajah Kam Ciu. Kini melihat bahwa
Bu-eng-cu hanyalah seorang pemuda, keheranannya besar sekali.
Gak Ong Tosu lalu menerjang maju dengan tongkat bajanya diputar di
tangan. Datangnya tosu ini membuat keadaan berubah dan Kam Ciu segera
terdesak! Melihat keadaan yang tidak menguntungkan ini Thian In segera menyerbu
membantu Kam Ciu. Pertempuran dua lawan lima terjadi seru sekali. Namun gak
Ong Tosu ilmu tongkatnya memang luar biasa dan tenaga lweekangnya masih jauh
lebih tinggi dari Thian In dan setingkat lebih kuat daripada Kam Ciu. Keadaan
mereka berbahaya sekali. Tapi terdengar Kam Ciu berseru keras dan pemuda luar
biasa itu segera putar pedangnya sedemikian rupa hingga sinar pedangnya
mengurung tubuhnya dan tubuh Thian In hingga tak mudak terserang lawan. Ia
kerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk digunakan menjaga diri tapi
sedikitpun tak dapat balas menyerang. Biarpun demikian, agaknya tak mudah
bagi kelima lawannya untuk menerjang masuk di antara sinar pedang Kam Ciu!
Thian In mengikuti contoh Kam Ciu, iapun putar pedangnya dalam gerak
perlindungan. Tapi sampai berapa lamakah kedua orang itu dapat bertahan"
Diam-diam Giok Cu mengeluh dan merasa cemas sekali.
Koleksi Kang Zusi Pada saat itu terdengar bentakan: "Gak Ong, kau mundur!" dan tahu-tahu
seorang tosu gemuk pendek telah berada di dalam taman dan gunakan kipas
mengebut-ngebut dirinya. Mendengar suara itu, Gak Ong Tosu loncat keluar dari medan pertempuran
dan berdiri menghadapi tosu yang baru datang itu dengan sikap menantang dan
tongkat dilintangkan! Thian In mendengar suara tosu itu segera bertambah
semangatnya dan ia berseru perlahan: "Suhu telah datang!"
"Sudah sejak tadi beliau datang!" berkata Kam Ciu sambil tertawa. "Hayo
kita bereskan empat siluman ini." Setelah berkata demikian gerakan pedangnya
berubah. Kalau tadi ia hanya menjaga diri saja, kini sinar pedangnya
menyambar-nyambar dan berkeredepan menyerang dengan hebatnya!"
Terdengar pekik ngeri dan Gan Tin Cu roboh mandi darah. Gak Ong Tosu
marah sekali. Ia tinggalkan suhengnya dan loncat membantu para pengeroyok Kam
Ciu. "Gak Ong, ke sini kau!" Gak Bong Tosu membentak, tapi bukan Gak Ong Tosu
yang datang, sebaliknya terdengar suara tertawa seperti ringkik kuda dan
tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang pendeta Lama berbaju kuning.
"Hi, hi, hi! Kalau orang tua mulai sesat, yang muda tidak menghargainya
lagi. Gak Bong Tosu, telah lama aku mendengar namamu yang meenjulang tinggi
sampai ke langit. Untung sekali hari ni aku dapat bertemu muka dengan kau.
Ternyata nama besarmu itu meragukan. Kau agaknya bersekutu dengan kaum
pemberontak dan untuk membela mereka kau hendak kurbankan sute sendiri.
"Bagus, bagus!"
Gak Bong tunda kebutan kipasnya dan memandang Lama itu dengan tajam. Tosu
siapakah dan apa gelaran, di mana tempat pertapaan?"
Kembali pendeta Lama itu tertawa ngikik. "Aku tidak ternama seperti
engkau. Aku disebut orang Beng Po Hoatsu."
Terkejutlah hati Gak Bong Tosu mendengar nama ini. Beng Po Hoatsu adalah
seorang tokoh kenamaan dari Tibet! Ia tahu bahwa Beng Po Hoatsu adalah
seorang pendeta Lama yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya. Ia tahu pula
bahwa Ulama ini telah menyeleweng dari agamanya dan kini datang ke Tiongkok
dan bersekutu dengan kaisar Boan membantu para durna untuk memuaskan nafsunya
akan harta dan kemuliaan! Mengingat akan hal ini, Gan Bong Tosu tersenyum.
"Hm, jadi tosu adalah Beng Po Hoatsu" Ah, siapakah yang belum pernah
mendengar namamu yang termashur" Aku pernah mendengar cerita tentang seorang
pendeta Lama yang mengkhianati dan mencemarkan nama agamanya sendiri. Tidak
tahu apakah hubungan pendeta itu dengan kau!
Merahlah wajah Beng Po Hoatsu mendengar sindiran ini. Ia angkat papan
catur dari meja dan banting itu ke tanah. Papan itu amblas dan lenyap, masuk


Pendekar Wanita Baju Putih Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke dalam bumi bagaikan tenggelam.
"Gak Bong, jangan kau menghina orang. Sampai di mana sih tingginya
kemampuanmu maka kau berani menyombongkan diri di depanku?" Kemudian sambil
perdengarkan suara ringsik nyaring Beng Po Hoatsu kebutkan ujung jubahnya
yang panjang ke arah kepala Gak Bong Tosu. Guru Thian In ini maklum betapa
lihai dan berbahayanya kebutan ini yang dapat menghancurkan batu karang, maka
cepat ia angkat kipasnya menangkis. Kipas Gak Bong Tosu bukaknlah sembarangan
kipas. Benda itu terbuat dari pada bambu kuning yang ulet, tipis dan ujungnya
runcing. Kipas ini merupakan senjatanya yang jarang terkalahkan.
Giok Cu melihat kedua orang tua jagoan itu berdiri berhadapan dan gerakgerakkan senjata mereka yang istimewa, yakni ujung-ujung lengan baju dan
kipas perlahan-lahan seakan-akan orang bermain-main. Tapi dari kedua ujunag
baju dan kipas itu menyambar keluar angin dan pukulan yang mematikan!
Ternyata dalam hal tenaga lweekang mereka berimbang.
Melihat bahwa dengan lweekang ia tak dapat menjatuhkan lawannya, Beng Po
Hoatsu segera berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya lenyap dari pandangan mata
Giok Cu. Ia hanya melihat bayang-bayang putih menyambar ke arah Gak Bong Tosu
yang juga berseru keras dan putar kipasnya. Sebentar saja kedua tokoh
persilatan yang tinggi ilmunya itu telah berputar-putar merupakan dua
bayangan atau gundukan sinar yang melesat ke sana sini saling serang. Mereka
telah terlibat dalam pertempuran mati-matian! Giok Cu merasa pandangan
matanya kabur dan ia tak dapat bedakan mana Gak Bong mana Beng Po! Ketika ia
Koleksi Kang Zusi menengok ke arah Kam Ciu dan Thian In, hatinya makin cemas saja, karena
kembali kedua anak muda itu terdesak hebat oleh Gak Ong Tosu dan ketika
saykong Kwie-san yang masih mengeroyoknya!
Ingin sekali Giok Cu membantu, tapi apa daya" Kepandaiannya masih jauh
daripada cukup untuk memasuki pertempuran.
Tiba-tiba Giok Cu melihat seorang kakek berjalan dari luar memasuki pintu
dan menuju ke taman itu. Hatinya berdebar keras, karena orang tua itu bukan
lain ialah Gan Im Kiat, ayah Kam Ciu. Orang tua itu langsung menghampiri Giok
Cu dan tersenyum padanya, lalu berkata: "Perkelahian hebaat, pemandangan
bagus, bukan?" Kemudian Gan Im Kiat berseru ke arah kedua pendeta yang sedang bertempur:
"He, Gak Bong! Kau turutlah urusanmu dengan Gak Ong! Tinggalkan Lama ini.
"Heng San Lojin! Aku serahkan penghianat agama ini padamu! Gak Bong Tosu
lalu loncat keluar dan langsung menyerang Gak Ong yang terpaksa melayani
suhengnya dengan lihai. Sementara itu Bong Po Hoatsu marah sekali. Ia tuding muka Gan Im Kiat dan
berkata keras marah: "Jadi, inikah macamnya Heng San Lojin, manusia setengah
dewa yang kabarnya telah sucikan diri di atas gunung Heng San dan yang telah
cuci tangan dari segala urusan dunia?"
"Gan Im Kiat gerakkan alis matanya dan angkat pundak, lalu menarik napas
panjang. "Memang tadinya aku orang tua bosan mencampuri segala urusan tapi
setelah muncul orang-orang seperti kau ini, setelah ini, setelah para pertapa
turun gunung, keluar gua dan menambah kacau dunia yang sudah kotor, terpaksa
aku tak biarkan lagi. Kalau orang-orang seperti kau dan kawan-kawanmu turun
ke dunia dan membuat ribut, selain orang-orang seperti aku dan Gak Bong ini,
siapa lagi yang dapat mengendalikan kalian?"
"Heng-san Lojin! Jangan kau sombong! Kau kira kau saja orang pandai di
dunia ini" Majulah, kalau kau bisa kalahkan aku, barulah kau boleh banggakan
diri sebagai jago silat kelas tertinggi!"
Gan Im Kiat tersenyum. "Ah, kau jumawa sekali. Memang, tadi kau telah
berhasil mendesak Gak Bong, tapi hal itu kau anggap suatu kemenangan" Gak
Bong sengaja mengalah, tahukah kau?" Heng-san Lojin tertawa keras hingga
pendeta Lama itu makin marah.
"Hari ini kuantarkan ke neraka!" ia berseru sambil menerjang maju.
"Cobalah akupun ingin sekali melihat nerakamu itu seperti apa!" Gan Im
Kiat pentang kedua telapak tangannya dan dengan kepretan-kepretan ujung jari
ia melawan ujung tangan baju Beng Po Koatsu yang lihai. Kalau tadi Giok Cu
telah kabur pandangannya melihat Gak Bong Tosu bertempur melawan Beng Po
Hoatsu, kini tiba-tiba ia merasa pening karena kedua orang luar biasa itu
bertempur dengan lebih cepat lagi. Beberapa tombak di sekeliling mereka
seakan-akan diserang angin puyuh yang berputar-putar hingga daun pohon rontok
berhamburan. Kedua orang itu seakan-akan berkelahi dengan kaki tak menginjak
tanah karena tidak sedikitpun debu mengepul dan kadang-kadang bayangan tubuh
mereka mengapung tinggi! Sementara itu, setelah Gak Ong terpaksa melayani Gak Bong. Thian In dan
Kam Ciu berhasil merobohkan ketiga saykong dari Kwie-san! Dan Gak Bong Tosu
yang mendesak adik seperguruannya akhirnya dapat juga merobohkan Gak Ong Tosu
dengan sebuah tendangan soan-houng-twie. Setelah Gak Ong Tosu roboh, Gak Bong
Tosu berkata kepadanya: Gak Ong, terpaksa aku mentaati pesan suhu. Serahkan kembali
kepandaianmu!" Secepat kilat kaki kanannya bergerak dan terdengar suara
pletak pletak tulang patah. Ternyata kedua tulang pundak Gak Ong telah
terpapas dan kedua sambungan lututnya juga terlepas! Dengan demikian,
walaupun Gak Ong dapat sembuh kembali, namun ia akan menjadi seorang yang
lemah dan bercacad, tak mungkin lagi gunakan kepandaiannya berbuat kejahatan!
Melihat keadaan kawan-kawannya, Beng Po Hoatsu berteriak.
"Aku pasti mengadu jiwa dengan kalian!"
"Sudahlah, hoatsu, lebih baik kau kembali ke Tibet dan minta ampun agar
dosamu dibersihkan!" Gan Im Kiat berkata.
"Orang rendah! Kau akan kubunuh lebih dulu!" Dan pendeta Lama itu
menyerang lebih hebat. Terpaksa Heng-san Lojin melayaninya dan pada suatu
Koleksi Kang Zusi kesempatan baik, Gan Im Kiat berhasil kirim sentilan jari ke dada Beng Po
Hoatsu yang terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung dengan wajah pucat!
"Terima kasih atas pemberianmu!" Lama itu berkata dan sambil meringis
kesakitan ia angkat kaki dan lari!
"Omitohud!" Gan Im Kiat menyebut nama dewa. "Mudah-mudahan sebelum tiga
hari ia dapat menemukan obat untuk menyambung jiwanya."
Gak Bong Tosu menjura kepada Hek-san Lojin. "Sungguh kebetulan sekali
kedatanganmu, orang tua. Kalau tidak entah bagaimana jadinya."
"Yang benar tentu menang. Yang bersih pasti selamat." Gan Im Kiat berkat
tertawa. Giok Cu menghampiri Gan Im Kiat dan tiba-tiba jatuhkan diri berlutut
di depan orang tua itu. Heng-san Lojin mengangkatnya bangun. "Eh, nona, jangan berlaku sungkan.
Aku adalah lopehmu seperti biasa."
Gak Bong Tosu pandang muka dan tubuh Giok Cu dengan penuh perhatian.
Kemudian ia menghela napas. "Aah, nona ini berjodoh unutk menjadi penggantiku
kelak." Kata-kata ini diucapkan perlahan seperti kepada diri sendiri.
Tiba-tiba Thian In menghampiri mereka dan setelah ia memberi hormat
kepada suhunya dan kepada Heng-san Locianpwee. Telah lama ceecu menyangka
bahwa saudara Kam Ciu bukan orang sembarangan dan ternyata dugaan ceecu
betul. Ceecu tahu pula apa yang terkandung dalam hati saudara Kam Ciu
terhadap nona Ong." Kam Ciu memandangnya dengan mata melotot dan Giok Cu
memandangnya dengan mata heran dan muka merah.
"Maka, hati ceecu takkan tentram kalau belum dapat menyaksikan perjodohan
saudara Kam Ciu dengan adikku Giok Cu.
Gak Bong Tosu dan Heng-san Lojin saling pandang dengan tertawa,
sebaliknya Kam Ciu hampir saja loncat ke atas karena heran dan malu.
"Tidak, tidak, Saudara Thian In jangan putar balikkan duduknya persoalan.
Aku tidak dapat memenuhi usulmu itu. Aku telah ditolak Souw Lo-enghiong
almarhum, juga oleh nona Giok Cu. Aku bukan jodohnya. Tapi kaulah suaminya,
saudara Thian In. Bukankah kau pernah dikawinkan dengannya?"
Thian geleng-geleng kepala. Tak mungkin...tak mungkin...."
Kam Ciu melangkah maju. "Saudara Thian In, dengar! Aku telah berjanji
almarhum Ong Lo-enghiong untuk mempersatukan kalian kembali, dan kau telah
memasuki sayembara dan diterima! Bukankah kau seorang jantan" Ingat, kalau
sekarang kau mengingkari janji dan tidak mau kembali menjadi suami nona Giok
Cu, bukan orang lain, aku sendirilah yang akan menghajarmu!"
Juga Gak Bong Tosu dan Heng-san Lojin membujuk Thian In supaya berlaku
secara laki-laki. Tiba-tiba Giok Cu sambil menghapus airmatanya berkata:
"Apa artinya semua ini" Apakah aku kalian anggap sebagai sebuah barang
yang mudah diberikan begitu saja" Kalian tidak menanyakan pendapatku!
Sekarang engkoh Thian In, kau sudah berjanji hendak menceritakan rahasia
dirimu. Aku hanya menuntut itu, tak menghendaki yang lain!" Gadis ini merasa
penasaran dan sedih sekali hingga ia lupa diri dan berlaku kasar.
Thian In tekap mukanya dan geleng-geleng kepala. "Aku berdosa. Tak munkin
aku menjadi suami Giok Cu. Dulu....ibuku adalah isteri Ong Kang Ek yang
dicerai dan dibuang selagi mengandung aku! Ong Kang Ek melupakan ibuku karena
ia kawin dengan ibu Giok Cu! Ketika ibu hendak menutup mata beliau pesan agar
aku membalaskan sakit hatinya kepada seorang perempuan yang merampas
suaminya. Ia memberiku sebuah gambar perempuan itu, dan ternyata perempuan
itu adalah ibu Giok Cu yang tadinya hendak menjadi isteriku! Jadi....Giok Cu
adalah adikku sendiri, kami lain ibu satu ayah. Mungkinkah kami menjadi suami
isteri" Suhu, ampunkan ceecu yang tak pernah ceritakan hal ini kepadamu.
Sekarang....hidupku kosong. Saudara Kam Ciu harus menolong Giok Cu, menolong
adikku, aku tahu kau cinta padanya. Dan Giok, adikku, lenyapkanlah bayanganku
dari lubuk hatimu. Aku saudaramu....Setelah berkata demikian, Thian In lalu
berdiri dan loncat secepat kilat turun gunung!
Mendengar semua itu, Giok Cu menjadi pucat dan ia tentu roboh kalau tidak
Kam Ciu cepat-cepat menangkapnya, hingga gadis itu pingsan dalam pelukannya.
Ketika sadar kembali, Giok Cu dapatkan dirinya berada dalam sebuah kamar
goha yang bersih. Di sebelahnya terdapat sebuah batu besar di mana Gak Bong
Tosu duduk bersemedhi. Kam Ciu dan ayahnya tak tampak. Mereka hanya berdua.
Koleksi Kang Zusi "Di mana mereka?" Giok Cu berkata.
"Mereka" Sudah pergi. Ayah anak she Gan itu memang keras hati dan julur.
Mereka itu jantan-jantan tulen. Karena dulu kau dan ayahmu telah menolak
lamaran mereka, maka merekapun mengundurkan diri, entah ke mana."
"Kenapa ceecu berada di sini?"
"Aku yang membawamu. Kulihat kau memang bertulang pendeta. Hatimu telah
terluka dan pendirianmu tidak menentu lagi. Jika kau masih sayang jiwa ragamu
dan menghendaki kebahagiaan sejati, aku suka menerima menerima dan menjadi
murid dan menunjukkan jalan kebahagiaan batin padamu. Giok Cu, sukakah kau
menjadi pertapa wanita yang kelak akan menurunkan ilmu silatku kepada orangorang yang mempunyai bakat pahlawan?"
Untuk semenjak Giok Cu diam saja. Thian In adalah kakakna dan tak mungkin
menjadi suaminya. Kam Ciu telah pernah ditolaknya. Kemana dia hendak pergi"
Merantau" Tanpa tujuan" Ah, dia sudah bosan! Hidup baginya penuh penderitaan
dan kekecewaan belaka. Ia memandang sekeliling kamar. Dinding goha putih
polos dan hawanya sejuk. Ia berdiri dan melongok keluar pintu. Di luar goha
terdapat jurang dalam dan pemandangan sungguh indah permai menyejukkan hati.
Kekayaan dan tamasya alam tampak terbentang luas di hadapannya seakan-akan
dia yang memiliki semua itu.
Kemudian ia masuk lagi dan berlutut di depan Gak Bong Tosu.
"Baiklah suhu, ceecu suka menjadi muridmu."
Gak Bong Tosu tersenyum girang dan meramkan kedua matanya kembali setelah
berkata: "Duduklah di sana dan bersemedhilah!"
Giok Cu lalu duduk di atas sebuah batu hitam yang ditunjuk lalu bersila
dan pusatkan seluruh pancaindera meniru contoh suhunya. Ia berjuang untuk
ketentraman batinnya. Di masa yang akan datang, Giok Cu menjadi seorang pertapa yang tinggi
ilmu kepandaiannya dan dikenal sebagai seorang wanita yang suci dan yang
mengasingkan diri di puncak bukit Kouw-san, di mana ia bangunkan sebuah
kelenteng dan selanjutnya Giok Cu disebut orang Kouw-san Nio-nio.
TAMAT Cinta Bernoda Darah 6 Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad Pedang Kayu Harum 24

Cari Blog Ini