Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 17

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 17


cepat berjungkir balik sehingga tidak sampai terbanting jatuh. Diam-diam Han
Houw kagum sekali dan juga penasaran. Pemuda ini semenjak kecil bukan saja
digembleng dengan ilmu-ilmu silat tinggi oleh sucinya dan juga oleh subonya,
akan tetapi selain ilmu silat juga dia memiliki kepandaian seperti sucinya, yaitu waspada dan mengenal ilmu-ilmu silat orang lain, mudah
menangkap dan mencatat ilmu-ilmu asing.
Maka ketika dia menyerang Sin Liong, dia sudah memasang mata untuk mencatat
semua gerakan adik angkatnya itu. Seperti biasa, seperti yang diajarkan oleh
sucinya pula, dia ingin "mencuri" ilmu silat lawan yang tinggi. Akan tetapi
sekali ini dia kecele. Ketika dia menyerang sambil memperhatikan gerakan Sin
Liong, adik angkatnya itu hanya mengelak atau menangkis saja, sama sekali tidak
membalas menyerang sehingga dia tidak dapat mengenal perkembangan setiap
gerakan. Apalagi, gerakan Sin Liong terlalu sederhana, seperti bukan gerakan
silat lagi, melainkan gerak otomatis melindungi diri dari bahaya.
Memang demikianlah. Makin tinggi dan makin matang ilmu silat yang dimiliki
seseorang, makin lenyap pula kembangan-kembangan yang tidak ada gunanya, yang
hanya bertugas sebagai hiasan belaka. Sin Liong yang digembleng orang-orang
sakti telah membuat ilmu-ilmu yang tinggi itu mendarah daging dan menjadi satu
dengan syaraf tubuhnya sehingga setiap gerakannya, biar tidak sedang berkelahi
sekalipun, telah mengandung unsur-unsur melindungi diri ini. Oleh karena itu,
begitu dia diserang, dia sudah bergerak tanpa hafalan ilmu silat lagi, melainkan
secara otomatis dan gerakannya tidak lagi dibatasi oleh gerak hafalan. Setiap
jurus yang dimainkannya hanya "keluar" intinya belaka, yang disesuaikan dan
dimanfaatkan dengan datangnya setiap bahaya. Oleh karena itu, maka Han Houw yang
memperhatikan dan hendak mempelajarinya, hanya melihat gerakan sederhana tanpa
tahu ujung pangkalnya. Padahal, untuk menghindarkan diri dari semua serangan Han
Houw yang amat berbahaya tadi, Sin Liong telah mempergunakan ilmu silat yang
tinggi, di antaranya jurus-jurus dari San-in-kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun, dan
dia menggerakkan pula hawa sakti dari tubuhnya yang diwarisi dari Kok Beng Lama,
yaitu Thian-te Sin-ciang.
Tidaklah aneh bahwa semua serangan Han Houw dapat dihindarkan oleh Sin Liong
karena anak itu mempergunakan inti dari ilmu-ilmu yang amat tinggi itu. Akan
tetapi Han Houw menjadi makin penasaran.
"Sin Liong, coba kausambut serangan pedangku!" Dia sudah mencabut pedangnya dan
menyerang. "Houw-ko... mengapa kau... hendak membunuhku?" Sin Liong berseru kaget, akan
tetapi pedang itu sudah meluncur ke arah lehernya.
Tentu saja Sin Liong tidak mau dibunuh begitu saja. Melihat pedang meluncur
dengan cepat ke lehernya, dia mulai merasa marah. Bagaimanakah kakak angkatnya
ini" Sudah gilakah" Karena serangan pedang itu tidak boleh dipandang ringan
setelah dia mengenal kekuatan kakak angkatnya yang lihai, Sin Liong secara
otomatis menggerakkan tangan kanan dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang yang
membuat lengan dan tangannya menjadi kebal, menangkis ke arah pedang lalu
mencengkeramnya. "Plakk!" Pedang itu kena dicengkeram dan tangan kirinya lalu menangkap
pergelangan tangan Han Houw.
"Ihhhhh...!" Han Houw berseru dan kaget bukan main karena merasa betapa tenaga
sin-kangnya memberobot keluar dari lengannya yang terpegang adik angkatnya itu.
Tahulah dia bahwa Sin Liong telah mempergunakan Thi-khi-i-beng yang mujijat, dan
dia juga kagum melihat betapa adik angkatnya itu berani menyambut pedang dengan
tangan kosong dan memiliki kekebalan yang tidak kalah ampuhnya dengan ilmu
kekebalan yang dimilikinya sendiri.
Han Houw tidak mau menerima kalah begitu saja. Dalam kagetnya karena tenaga sinkangnya tersedot keluar, tangan kirinya bergerak dan jari-jari tangan itu
menusuk ke arah mata Sin Liong! Mata merupakan bagian tubuh yang tentu saja
tidak mungkin dibikin kebal, maka serangan ini amat mengejutkan Sin Liong yang
terpaksa melepaskan pedang dan lengan lawan, melangkah mundur sambil mengelak
dengan miringkan kepalanya.
Akan tetapi Han Houw benar-benar hebat. Baru saja pedang dan tangannya terlepas,
dia menyusuli tusukan jari tangan ke arah mata tadi dengan tusukan pedang ke
arah pusar dan tangan kirinya mencengkeram dengan ganas sambil mengerahkan
tangan sehingga dari telapak tangan kiri itu mengepul uap hitam. Itulah pukulan
beracun semacam Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang mengeluarkan uap hitam.
Bau uapnya itu saja sudah cukup untuk merobohkan atau membuat pening lawan,
apalagi pukulannya sendiri! Diserang seperti itu, Sin Liong kembali terkejut dan
dia harus mengakui bahwa Han Houw merupakan lawan yang luar biasa lihainya dan
kalau dia tidak segera mengeluarkan ilmu simpanannya, jangan-jangan dia akan
celaka di tangan kakak angkatnya. Maka dia meloncat ke belakang dan ketika
kakaknya mendesak, dia merendahkan tubuhnya, kedua tangannya bergerak aneh,
mendorong ke depan. "Eihhh... brukkkk!" Tubuh Han Houw terbanting cukup keras sehingga dia menjadi
pening! Dia hanya dapat bangkit duduk dan memejamkan mata sambil mengguncangguncang kepalanya karena bumi seperti terputar di sekelilingnya.
"Houw-ko, maafkan aku...!" Sin Liong cepat menghampiri.
Han Houw mengangkat muka memandang dan menarik napas panjang. Dia tidak
membantah ketika adik angkatnya mengulurkan tangan dan membantunya bangkit
berdiri. Disimpannya pedangnya dan dia bertanya dengan pandang mata penuh kagum,
"Liong-te, bukankah pukulanmu yang terakhir tadi merupakan jurus dari ilmu silat
yang diajarkan oleh suhu Bu Beng Hud-couw?"
Sin Liong mengangguk. "Dari kitabnya karena aku belum diajar secara langsung."
Sin Liong mengingatkan. "Ah, bukan main! Baru belajar tidak langsung saja sudah begitu hebat. Apalagi
kalau diajar oleh manusia sakti itu sendiri. Ah, aku harus menemuinya dan
berguru kepadanya! Liong-te, engkau hebat sekali."
"Maafkan aku, Houw-ko. Akan tetapi mengapakah engkau menyerangku seperti itu?"
Sin Liong bertanya, nadanya menegur.
Han Houw memandangnya lalu tersenyum. "Aku ingin mengujimu, adikku. Dan pula,
mengapa engkau menghinaku dan menuduhku yang bukan-bukan" Kau menuduhku hendak
memaksa dan memperkosa wanita!"
Sin Liong menengok dan melihat gadis itu sudah duduk dengan muka pucat, mata
terbelalak dan kelihatan takut sekali. Sejak tadi dia tidak berani bergerak,
hanya duduk dan melihat perkelahian itu.
"Akan tetapi... mengapa engkau melarikan gadis itu?"
Han Houw menoleh ke arah gadis itu dan tersenyum lebar. "Kaukira aku ini orang
apa" Aku adalah Pangeran Oguthai, lupakah engkau, adikku" Memperkosa wanita" Ah,
apa perlunya" Semua wanita akan suka sekali melayaniku, mengapa harus
memperkosa" Betapa hina dan rendahnya!"
"Tapi... tapi dia itu tidak mau dan berteriak-teriak..." Sin Liong berkata
bingung. "Ha-ha-ha, karena gelap dan karena dia tidak tahu aku siapa! Disangkanya aku
sama dengan si laknat Bouw Song Khi yang menculiknya. Kaulihat saja, adikku, dan
coba buktikan apakah aku memperkosa wanita atau bukan?" Setelah berkata
demikian, Han Houw lalu mengebut-ngebutkan pakaiannya, memakai kembali topinya
yang tadi terjatuh, kemudian dengan langkah lembut dia menghampiri gadis yang
masih duduk di atas rumput. Melihat pemuda tampan bertopi indah itu
menghampirinya, gadis itu memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia
melihat betapa orang yang semalam melarikannya itu ternyata adalah seorang
pemuda yang demikian tampan dan gagahnya! Sama sekali tidak disangkanya hal ini
maka dia terheran-heran, juga hatinya ragu-ragu dan masih takut-takut.
Han Houw tersenyum manis dan memang wajah panggran ini amat tampan dan sikapnya
halus serta gagah. Dia menggunakan bahasa daerah, dengan lembut dia lalu berkata
kepada gadis dusun itu. "Nona, aku telah menolongmu dari rumah terbakar,
membebaskanmu dari tangan penjahat-penjahat kejam, mengapa engkau malah merontaronta dan menarigis semalam suntuk sehingga saudaraku ini mengira yang bukanbukan?" Suara itu halus dan dengan muka manis sehingga dara itu kehilangan rasa
takutnya. "Maafkan saya... saya tidak tahu dan mengira... kawanan penjahat yang melarikan
saya..." "Hemm, anak manis. Engkau tidak tahu siapa aku maka kau mengira aku seorang
jahat" Coba pandang wajahku dengan teliti. Apakah engkau tidak pernah mendengar
tentang Pangeran Oguthai?"
Dara itu terbelalak dan memandang wajah pangeran itu dengan takjub.
"Pangeran... pangeran..."
"Akulah Pangeran Oguthai, putera Raja Sabutai!"
"Ahhh... ampunkan hamba, pangeran..." Dan gadis dusun itu segera menjatuhkan
diri berlutut sampai hampir menelungkup di atas tanah, di depan kaki pangeran
itu. Han Houw tersenyum dan menoleh ke arah Sin Liong yang hanya memandang
dengan penuh perhatian. "Bangunlah, manis. Aku tidak ingin melihat pakaian dan
wajahmu yang manis itu kotor oleh tanah. Bangunlah, aku mengampunimu."
Gadis itu bangun dan masih berlutut, lalu menengadah, wajahnya berseri dan
bertambah manis. "Ah, terima kasih, pangeran..." Sikapnya berubah sama sekali,
kini sama sekali tidak lagi kelihatan takut, bahkan tersenyum manis sekali!
"Manis, engkau cantik dan aku suka padamu. Kalau aku minta padamu agar engkau
suka melayaniku, karena aku cinta padamu, apakah engkau akan menolak?"
Wajah yang berseri itu seketika menjadi merah sekali dan wajah itu menunduk
kelihatan malu-malu akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. Gadis itu menggeleng
kepala karena rasa malu membuat dia sukar untuk menjawab dengan mulut.
"Bagus!" kata Han Houw sambil tertawa dan mengangkat bangun gadis itu. Ketika
berdiri, ternyata gadis itu hanya setinggi pundaknya. Gadis dusun itu bertubuh
ramping padat dan kini wajahnya yang merah itu kelihatan bertambah manis.
"Sekarang, untuk membuktikan kepada saudaraku bahwa aku tidak memaksamu..."
Pangeran itu mendekatkan mulutnya di telinga dara itu dan berbisik-bisik.
Gadis dusun itu menahan ketawa dan mukanya makin tersipu-sipu, matanya melirik
ke arah Sin Liong dan akhirnya, tiba-tiba dia menahan ketawa dan merangkulkan
kedua lengannya ke leher Han How, mencium pipi pangeran itu di depan Sin Liong!
Kiranya itulah yang diminta oleh Han Houw kepada dara dusun itu untuk
membuktikan kepada Sin Liong bahwa dia tidak perlu memperkosa wanita! Ketika
gadis itu menciumnya, Han Houw tertawa dan menoleh ke arah Sin Liong. Ketawanya
makin keras ketika dia melihat Sin Liong membuang muka dan cemberut.
"Ha-ha, adikku yang baik, kautunggulah di situ sebentar!" kata Han Houw yang
masih tertawa gembira lalu pangeran itu memondong tubuh gadis dusun yang masih
merangkul lehernya, dibawanya menghilang ke balik semak-semak tak jauh dari
tempat itu! Sin Liong mendengar suara ketawa tertahan kedua orang itu dan dia merasa muak,
lalu dijauhinya tempat itu sampai dia tidak mendengar apa-apa lagi dan dia lalu
menghempaskan dirinya duduk di atas tanah berumput sambil termenung. Dia
mengusir bayangan yang muncul dalam benaknya, bayangan Han Houw dan gadis itu
dan dia menggigit bibirnya.
Ceng Han Houw bukan manusia baik-baik! Suara ini terdengar olehnya, seperti
dibisikkan oleh hatinya. Memang benar bahwa Han Houw tidak memperkosa gadis itu
dengan kekerasan, akan tetapi apa bedanya pemerkosaan dengan kekerasan kalau
dibandingkan dengan bujukan" Gadis itu memang tidak menyerahkan diri karena
paksaan, akan tetapi menyerahkan diri karena silau oleh kedudukan dan ketampanan
yang akhirnya toh sama juga! Dia tahu benar bahwa Han Houw tidak melakukan
perbuatan itu karena cintanya kepada gadis yang sama sekali tidak dikenalnya
itu, melainkan terdorong oleh nafsu seperti yang sering dilakukannya dengan
wanita-wanita muda suguhan para pembesar. Ceng Han Houw adalah seorang pemuda
mata keranjang, seorang laki-laki yang gila perempuan, hamba dari nafsu
berahinya sendiri! Betapapun juga sikapnya amat baik kepadanya! Dan penyerangan
Han Houw tadipun hanya untuk menguji kepandaiannya! Dan di dalam dasar hatinya
memang terdapat rasa suka kepada pangeran itu. Sin Liong merasa bingung dan
penuh keraguan. Haruskah dia melanjutkan pendekatan diri dengan pangeran itu"
Ataukah seharusnya dia cepat meninggalkannya"
Kesenangan atau kenikmatan, yaitu perasaan menikmati kesenangan, adalah berkah
yang dimiliki setiap manusia. Namun, berkah ini berubah menjadi sumber
kesengsaraan kalau kesenangan sudah mencengkeram dan memperbudak kita. Suatu
peristiwa apapun dapat mendatangkan suka cita, mendatangkan kebahagiaan pada
saat itu juga. Akan tetapi kalau pikiran kita mencatat pengalaman itu,
mengingatkan dan menginginkan terulangnya kembali pengalaman penuh nikmat itu,
maka suka cita itu berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar dan setelah
kita menjadi pengejar kegenangan, muncullah pelbagai konflik dan terseretlah
kita ke dalam kesengsaraan.
Memang selera manusia berbeda-beda, tergantung dari lingkungan hidup dan
pendidikan masing-masing. Setiap orang manusia merasa benar dalam pengejarannya
masing-masing terhadap sesuatu yang dinamakan cita-cita, yang dianggap benar dan
akan mendatangkan kebahagiaan hidup. Seorang saterawan akan mengejar dan
mendewa-dewakan kesusasteraan dan dia menganggap bahwa kesusasteraan itulah yang
paling berharga dalam kehidupan, yang dianggapnya merupakan satu-satunya sarana
menuju kebahagiaan. Seorang ahli silat akan mengejar-ngejar ilmu sliat dan
menganggap ilmu silat sebagai satu-satunya hal yang terpenting dalam kehidupan.
Seorang hartawan akan mengejar-ngejar harta dan menganggap bahwa hanya hartalah
yang akan dapat membahagiakan kehidupan manusia. Seorang pembesar akan mengejar
kedudukan atau nama yang dianggapnya terpenting di dunia ini. Seorang pendeta
akan mengejar-ngejar kedamaian batin, dan sebagainya lagi.
Semua pengejaran itu, biar diselimuti dengan nama apapun, yang rendah atau yang
tinggi, yang hina atau yang agung, pada hakekatnya adalah sama saja! Segala
sesuatu yang dikejar-kejar dan diinginkan, atau merupakan suatu hal yang
dianggap akan mendatangkan kesenangan, baik kesenangan lahir maupun kesenangan
batin yang sesungguhnya sama saja, bagi si pengejar! Dan karena pandangan setiap
orang pengejar terhadap kesenangan itu berbeda-beda, tergantung dari keadaan
dirinya yang dibentuk oleh lingkungan dan pendidikan, maka semua pengejaran
kesenangan dalam berbagai bentuk itu hanyalah merupakan perpecahan. Yang
dikejar-kejar itu hanya merupakan sebagian saja dari kehidupan, sebagian yang
dipentingkan. Oleh karena itu, akhirnya akan mendatangkan kekecewaan karena
tanpa yang lain-lain, maka satu yang dikejarnya itu takkan lengkap! Si pengejar
uang, biarpun berhasil menumpuk uang banyak, namun kalau tidak memiliki
kesehatan, akan merasa kecewa dan sengsara. Si kaya dan sehat, kalau merasa
rendah kedudukannya dan tidak terpandang, akan merasa kecewa juga. Demikianlah,
pengejaran selalu menimbulkan pengejaran akan suatu yang lain dan tidak akan ada
habisnya sebelum kita mati! Kita akan menjadi hamba dari keinginan ini, selama
hidup mengejar-ngejar apa yang kita anggap akan membahagiakan kehidupan kita,
seperti mengejar bayangan sendiri yang takkan mungkin pernah dapat tertangkap.
Pengejaran menunjukkan adanya ketidakpuasan, dan hati yang tidak puas, mengejar
dan memperoleh apapun juga akan tetap tidak puas dan akan terus mengejar yang
lain, yang dianggap lebih menyenangkan daripada apa yang telah diperoleh atau
dimiliki. Beginilah kenyataannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Oleh karena itu, timbul pertanyaan yang amat penting bagi kita semua, yaitu :
Apakah mungkin bagi kita untuk hidup tanpa mengejar apapun" Bukan berarti kita
lalu tidur pulas atau bermalas-malasan, bukan berarti kita menjadi tidak
perdulian, bukan berarti kita putus asa! Sama sekali bukan! Bahkan sebaliknya!
Dengan bebas dari keinginan mengejar kesenangan, kita benar-benar hidup! Kita
benar-benar waspada akan kehidupan saat demi saat, membuka mata melihat segala
sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita, tidak dibuai oleh khayal dan bayangan
cita-cita yang abstrak. Dan kalau kita sudah tidak ingin apa-apa yang tidak ada,
maka barulah kita dapat waspada terhadap apa yang ada! Sesungguhnya, kebahagiaan
hanya terdapat dalam apa yang ada! Dan perhatian terhadap apa yang ada setiap
saat ini, tanpa membiarkan diri diseret oleh lingkaran setan berupa kenangan
masa lalu dan bayangan atau harapan masa depan, adalah benar-benar hidup yang
sesungguhnya. Hidup adalah kenyataan setiap saat ini, bukan kenangan masa lalu,
bukan pula bayangan khayal masa depan. Sekali lagi, dapatkah kita hidup tanpa
mengejar kesenangan dalam bentuk apapun" Kalau sudah begitu, mungkin akan nampak
oleh kita bahwa kebahagiaan terdapat di mana-mana, dalam segala waktu dan
keadaan, karena kebahagiaan bukanlah soal di luar diri, melainkan soal batin,
dan mungkin mata kita akan dapat melihat keindahan di mana-mana, dalam senyum
seorang manusia lain, dalam pandang mata isteri, suami, anak atau siapa saja,
dalam lambaian ujung daun, dalam sinar matahari, dalam awan berarak, dalam air
hujan, dalam apa saja! "Liong-te, apakah engkau sekarang masih menuduhku pemerkosa dan pemaksa wanita?"
Suara ini mengejutkan Sin Liong yang sedang melamun. Dia bangkit berdiri,
membalikkan tubuhnya dan ternyata Ceng Han Houw telah berdiri di situ, wajahnya
berseri dan lengan kirinya merangkul leher dan pundak gadis tadi yang berdiri
dengan muka merah dan malu-malu namun matanya juga bersinar-sinar dan berseri
penuh kegembiraan. Sin Liong sebentar memandang keduanya dengan sinar mata marah. Dia merasa jijik
terhadap mereka, kemudian dengan bersungut-sungut dia meninggalkan mereka,
mencari kudanya. "Manis, kaupulanglah ke dusunmu. Kelak aku akan datang mencarimu," terdengar Han
Houw berkata. Gadis itu mengeluh, kemudian menangis ingin ikut. Han Houw membentaknya dan
gadis itu diam. Dari sudut matanya Sin Liong melihat betapa mereka berciuman,


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian gadis itu pergi dengan muka tunduk. Dan tak lama kemudian Han Houw juga
sudah meloncat ke atas kudanya.
"Ha-ha, Liong-te, jangan murung. Mari kita pergi!"
"Aku juga akan kembali ke selatan!" Sin Liong berkata, suaranya masih kaku.
"Aku juga akan kembali ke selatan. Ingat, kita akan mencari suhu Bu Beng Hudcouw bersama. Mari kita pergi ke kota Ceng-lun di tepi Sungai Luan, di sana aku
akan menyuruh orang mengabarkan kepada ayahku bahwa tugas kita telah selesai dan
Jeng-hwa-pang telah kita basmi."
Sin Liong tidak banyak membantah. Hatinya masih terasa panas dan tidak enak. Dia
masih marah karena urusan gadis dusun tadi. Akan tetapi Han Houw bersikap ramah
sekali dan di sepanjang perjalanan dia bicara dengan gembira, menceritakan
tentang daerah yang mereka lewati. Sebagai putera raja, tentu saja dia banyak
mempelajari tentang daerah-daerah di luar tembok besar dan dengan bangga dia
menceritakan betapa ayahnya, Raja Sabutai sudah menjelajahi seluruh daerah itu
dan bahkan pernah menaklukkan hampir semua daerah di luar tembok besar. Karena
sikap ramah dan ceritanya menarik, mau tak mau Sin Liong mendengarkan dengan
hati tertarik dan sikap kakak angkatnya itu sebentar saja sudah menghapus rasa
marah dari dalam hatinya. Pangeran ini memang mata keranjang dan suka bermain
gila dengan wanita, pikirnya, akan tetapi dia melihat pula kenyataan bahwa
biarpun pangeran ini mempergunakan kedudukan dan ketampanannya untuk menjatuhkan
hati wanita, namun si wanita sendirilah yang salah. Dia melihat kenyataan bahwa
wanita itu memang lemah, mudah terbujuk dan secara murah saja menyerahkan
dirinya. Kalau wanita itu berhati bersih, tidak mungkin mau menyerahkan diri
secara sedemikian mudah dan murahnya. Dan dia berjanji dalam hati bahwa kalau
dia bertemu dengan wanita seperti itu, dia akan melindunginya dan kalau perlu
dia akan menentang kakak angkatnya!
Beberapa kali Sin Liong menoleh ke arah kakak angkatnya yang menjalankan kudanya
perlahan di sampingnya. Dia heran melihat pangeran ini. Sekarang kelihatan
begitu baik, begitu ramah, dan seolah-olah pengalaman dengan wanita tadi,
perkelahiannya dengan dia, hanya merupakan hal remeh yang boleh dilupakan dalam
sekejap mata saja! "Houw-ko..." "Ada apakah, Liong-te?" Han Houw menoleh dan tersenyum.
"Siapakah nama perempuan tadi?"
Han Houw terbelalak, senyumnya melebar. "Ahhh..." Mana aku tahu?"
Sin Liong mengerutkan alisnya, keheranannya membesar. "Tidak tahu namanya?" Amat
sukar dipercaya bahwa orang yang sudah berhubungan selekat itu masih belum
diketahui namanya! "Ha-ha, Liong-te. Perempuan seperti itu saja, mana pantas kita ingat namanya" Di
dunia ini terdapat laksaan perempuan seperti itu, yang menyerah dengan mudah
karena bangga melayani kita. Kalau kita memperhatikan mereka, wah, kiranya tidak
ada apa-apa lagi yang dapat kita pikir karena sudah penuh dengan nama-nama
mereka. Ha-ha-ha! Dia tidak ada harganya untuk diingat."
"Tapi... tapi... dia seorang gadis, dan kau... kau sudah... dan kaujanjikan dia
suruh menanti di dusunnya..."
Kembali pangeran itu tertawa bergelak. "Wah, adikku yang baik. Engkau sungguh
hijau, jujur dan masih polos benar-benar! Kalau aku tidak muncul dalam waktu
beberapa bulan saja, dia, gadis seperti itu, tentu sudah memperoleh penggantiku.
Eh, Sin Liong, apakah benar-benar engkau tidak suka kepada wanita?"
Sin Liong mengerutkan alisnya, masih terlalu kaget dan terheran mendengar
keterangan kakak angkatnya. Pangeran ini menganggap hubungan antara pria dan
wanita sedemikian remehnya! Kemudian pertanyaan terakhir itu mengejutkannya dan
kembali wajahnya menjadi merah.
"Aku bukannya tidak suka atau suka, akan tetapi jelas aku tidak akan melakukan
perbuatan seperti yang kaulakukan itu, Houw-ko!" katanya tegas dan dia menyuruh
kudanya lari congklang. Han Houw tertawa bergelak dan mengejar.
Kota Ceng-lun adalah sebuah kota di tepi Sungai Luan yang berada di sebelah
utara Peking dan berada di luar tembok besar. Kota ini cukup ramai dan kota ini
pernah diduduki pasukan Raja Sabutai, bahkan dijadikan benteng ketika raja ini
memimpin pasukannya untuk menyerbu ke dalam tembok besar di selatan. Biarpun
kini daerah itu dikepalai oleh pasukan liar dari bangsa Nomad lain yang
bersahabat dengan pemerintah Kerajaan Beng-tiauw pada waktu itu, akan tetapi
suku bangsa inipun masih tunduk akan kekuasaan Raja Sabutai yang amat kuat dan
yang merupakah bahaya lebih dekat dan lebih besar bagi suku bangsa itu daripada
bahaya yang datang dari tembok besar.
Inilah sebabnya maka ketika Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw bersama Sin
Liong tiba di kota Ceng-lun, dan para pembesar setempat mengenal pangeran ini,
dua orang muda itu disambut dengan hormat dan meriah! Apalagi ketika Ceng Han
Houw membuktikan dirinya sebagai seorang pangeran Kerajaan Beng, dan dapat
memperlihatkan tanda kekuasaan yang diperolehnya dari Kaisar Beng yang baru,
maka semua orang makin menyembah-nyembahnya!
Kembali Sin Liong melihat dengan hati tidak senang betapa kakak angkatnya itu
bersikap congkak dan tinggi hati, menganggap fihak tuan rumah, yaitu para
pembesar seperti anak buah saja, dan anehnya, yang diperlakukan seperti itu
malah kelihatan senang dan menjilat-jilat! Lebih lagi ketika mereka berdua
dijamu dengan hidangan yang serba mewah dan dilayani makan minum oleh sekumpulan
gadis-gadis cantik. Sin Liong merasa sungkan, malu dan juga muak. Sejak kecil
dia sudah hidup bebas dan seadanya, sederhana namun kebebasannya mendatangkan
rasa nikmat dan bahagia yang luar biasa. Maka kini, keadaan yang mewah dan
dikurung kesopanan dan peraturan yang memuakkan hatinya itu, tentu saja dia
merasa tidak enak dan tidak senang.
Bagi Sin Liong yang berjiwa bebas, kebebasan yang diperolehnya karena keadaan
hidupnya di waktu kecil, tentu saja nampak tidak menyenangkan dan merepotkan
malah, semua peraturan dan sopan santun, semua kebudayaan yang jelas kelihatan
amat palsu olehnya itu. Memang, kalau kita mau membuka mata dan melihat apa
adanya, akan nampak oleh kita betapa kita ini hidup di alam kepalsuan! Sikap
kita, senyum kita, ucapan-ucapan kita, semua itu terkendali, semua itu munafik
dan palsu, tidak sewajarnya, semua itu "demi kesopanan". Sopankah sikap yang
dibuat-buat itu" Kalau kita bicara dengan orang lain, terutama kalau kita bicara
dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya daripada kita, atau lebih kaya, atau
lebih pintar menurut anggapan kita, maka otomatis muncullah kepalsuan kita,
senyum kita, pandang mata kita, kata-kata kita, semua itu "disesuaikan" dalam
pertemuan itu dan kita menjadi manusia lain, yang berbeda dengan pembantu kita,
dengan keluarga kita dan sebagainya! Sopan santun pura-pura dan palsu! Beginikah
kebudayaan kita" Beginikah peradaban kita" Betapa menyedihkan kalau kita namakan
kebudayaan, peradaban itu hanya merupakan kepintaran berpura-pura belaka, pandai
bermanis selagi perasaan sepahit-pahitnya, pandai menghormat dan bersikap sopan
selagi hati menghina dan membenci! Dan kita telah terdidik semenjak kecil untuk
berpura-pura seperti itu! Semenjak kecil kita dijejali pelajaran-pelajaran
bagaimana harus bersikap sebagai seorang sopan, sebagai seorang berbudaya,
terpelajar dan sebagainya! Kita tidak pernah diperkenalkan kepada apa yang
dinamakan kesopanan itu, dalam arti kata menyelami, mendalami, mengerti dan
menghayati, bukan sekedar sikap lahiriah yang pura-pura belaka! Kalau sudah ada
rasa hormat dalam batin kita terhadap sesamanya, rasa hormat yang timbul bukan
karena pura-pura, bukan karena penjilatan, melainkan rasa hormat yang dengan
sendirinya muncul di mana terdapat cinta kasih terhadap sesama, kalau sudah ada
rasa cinta seperti itu di dalam batin kita, maka segala kepura-puraan itu,
segala kesopanan hampa, segala kemunafikan, akan sirna dan hubungan antara
manusia akan menjadi lain sama sekali! Kalau segala kepalsuan itu sudah tidak
ada, dan kalau hubungan antara manusia didasari cinta kasih, maka barulah akan
benar-benar ada hubungan itu! Sebaliknya, hubungan seperti adanya sekarang ini,
hanyalah hubungan semu belaka, hubungan antara dua gambaran dari aku dan engkau
yang keduanya palsu, tidak sewajarnya, tidak seadanya, dan dalam hubungan
seperti itu, tentu saja muncul pertentangan-pertentangan.
Ketika Han Houw minta kepada pembesar kota Ceng-lung untuk menyampaikan
laporannya kepada Raja Sabutai tentang hasilnya membasmi Jeng-hwa-pang, pembesar
itu terkejut bukan main, akan tetapi tergopoh-gopoh dia lalu mengutus pasukan
kecil untuk menyampaikan berita itu ke utara. Barulah para pembesar itu tahu
bahwa dua orang pemuda ini ternyata memiliki kepandaian luar biasa, karena kalau
tidak demikian, mana mungkin dua orang itu mampu membasmi perkumpulan Jeng-hwapang yang amat ditakuti itu"
Malam harinya, kembali dua orang muda itu dijamu secara besar-besaran oleh para
pejabat di Ceng-lun. Han Houw nampak gembira bukan main dan minum sampai hampir
mabuk. Malam makin larut dan akhirnya para pembesar itu minta diri, meninggalkan
dua orang muda itu melanjutkan bersenang-senang dilayani oleh delapan orang
gadis cantik manis yang melayani sambil tersenyum-senyum. Karena dipaksa dan
dibujuk oleh Han Houw, Sin Liong minum arak agak banyak pula. Biarpun dia tidak
sampai mabuk, akan tetapi seluruh tubuhnya terasa panas dan dia mulai pening.
"Houw-ko, akupun hendak mengaso. Biarlah aku kembali ke kamar lebih dulu dan
kalau engkau belum puas, kaulanjutkan sendiri pesta ini," katanya sambil bangkit
sendiri. Han Houw tertawa bergelak dan mengangkat cawan yang penuh arak. "Ha-ha-ha,
engkau sudah ingin tidur" Bagus, bagus, dan selamat Liong-te, selamat bersenangsenang, ha-ha-ha!" Sin Liong memandang kakak angkatnya dengan alis berkerut, tidak mengerti apa
yang dimaksudkan oleh kakaknya itu. Akan tetapi Han Houw hanya tertawa sambil
merangkul pinggang seorang di antara empat orang gadis cantik yang berpakaian
serba merah, maka diapun mengira bahwa kakak angkatnya itu sudah mabuk. Dia
tersenyum, menggeleng kepala lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan ruangan itu
untuk pergi ke kamar yang sudah disediakan untuknya. Dia tidak tahu bahwa empat
orang yang berpakaian serba hijau, saling pandang, tersenyum lalu merekapun
membayanginya dari jauh. Karena terlalu banyak minum, Sin Liong segera
melemparkan tubuhnya ke atas pembaringan tanpa membuka pakaian atau sepatunya.
Kepalanya terasa pening dan tubuhnya panas. Tiba-tiba dia terkejut karena
biarpun dia pening dan mengantuk, namun pendengarannya masih tajam sekali dan
sedikit gerakan di pintu itu cukup membuat dia terkejut dan menoleh. Dia
terbelalak heran ketika melihat empat orang gadis berpakaian serba hijau yang
tadi melayaninya makan minum, kini memasuki kamarnya itu dan gadis terakhir
menutupkan pintu kamar. Mereka itu tersenyum-senyum memandang kepadanya dengan
sikap amat genit. "Hee! Mau apa kalian masuk ke sini...?" Sin Liong sudah bangkit duduk dan
menegur dengan gugup. Empat orang pelayan yang muda dan cantik-cantik itu amat
genit dan tadi ketika melayaninya makan minum sudah membuat dia bingung dan
gugup sehingga dia tidak dapat menolak mereka yang ikut Han Houw membujuknya
sehingga dia minum terlalu banyak.
Empat orang itu tertawa cekikikan mendengar pertanyaan ini, dan mereka lalu
mulai menanggalkan pakaian luar mereka! Seorang di antara mereka berkata dengan
sikap genit. "Ah, kongcu..., masih bertanya mau apa" Hik-hik, apapun mau asal
kongcu yang menyuruh...! Kami berempat memang ditugaskan untuk melayanimu,
kongcu..." Sepasang mata Sin Liong makin terbelalak ketika dia melihat betapa empat orang
wanita itu kini memakai pakaian dalam yang tipis berwarna hijau muda sehingga
terkena sorotan lampu, nampak lekuk lengkung tubuh mereka membayang di balik
pakaian dalam yang tipis itu.
"Tidak..., tidak...! Kalian layani saja Houw-ko..."
"Ahhh, kongcu tidak usah khawatir. Pangeran sudah ada yang melayani, yaitu empat
orang gadis berpakaian merah tadi. Kami bertugas melayanimu, kongcu, dan kami
beruntung sekali karena kami merasa lebih senang melayanimu..."
"Eh, mengapa?" Sin Liong merasa heran mendengar bahwa mereka ini lebih senang
melayaninya daripada melayani Han Houw.
"Hik-hik, karena... semua orangpun dapat melihat bahwa kongcu adalah seorang
perjaka tulen..." Wajah Sin Liong menjadi merah dan jantungnya berdebar keras ketika melihat empat
orang gadis cantik itu dengan langkah memikat menghampirinya, lenggang mereka
seperti empat orang penari.
"Mari kubantu kongcu menanggalkan pakaian. Hawanya begini panas..."
"Biar kupijit badanmu, kongcu, engkau tentu lelah..."
"Kongcu hendak minum apa?"
"Aku yang akan mengipasimu, kongcu..."
Akan tetapi Sin Liong meloncat menghindarkan mereka. "Aku... aku... mau mencari
hawa sejuk..." katanya gagap dan seperti orang takut setan pemuda ini lari
keluar dari kamar itu. Tentu saja empat orang gadis itu melongo, saling pandang lalu tertawa cekikikan.
Sikap pemuda itu malah menimbulkan gairah di hati mereka karena jelaslah bahwa
pemuda itu belum pernah berdekatan dengan wanita, dan hal ini amat menarik hati
mereka. Sambil tertawa-tawa mereka menyambar pakaian luar mereka, memakainya
kembali dan mereka lalu keluar dari kamar, cekikikan dan berlumba untuk mencari
pemuda itu. Tiba-tiba muncullah Han Houw dan dia lalu berbisik-bisik dengan mereka, seperti
orang yang mengatur siasat dan disambut oleh empat orang pelayan itu dengan
tertawa geli. Sementara itu, Sin Liong melarikan diri ke dalam taman dengan jantung berdebar
tegang. Tubuhnya penuh keringat karena pengalaman tadi membuat dia menjadi
tegang sekali, Dia sudah mengenal taman ini siang tadi dan tahu bahwa di situ
terdapat sebuah telaga buatan kecil yang airnya jernih. Taman itu sunyi, dan di
bagian telaga kecil itu amat indahnya. Bulan malam itu bersinar terang dan
cahayanya membuat permukaan air telaga kuning keemasan. Air sedemikian heningnya
sehingga bulan seperti tenggelam di dasarnya, tersenyum kepadanya. Ketika Sin
Liong berdiri di tepi telaga memandang, bulan yang bundar itu membentuk wajah.
Wajah yang berubah-ubah, wajah keempat orang pelayan wanita tadi yang kini
tersenyum memikat kepadanya. Dia bergidik, biarpun tubuhnya terasa gerah. Sin
Liong mengusir semua bayangan itu dengan duduk di tepi telaga yang sunyi dan
menujukan pikirannya kepada pelajaran ilmu yang pernah dilatihnya di bawah
bimbingan dan petunjuk Ouwyang Bu Sek. Di antara ilmu yang didapatinya di dalam
kitab pemberian guru mereka yang pernah dilihatnya, yaitu Bu Beng Hud-couw,
terdapat ilmu samadhi untuk menghimpun tenaga Im-kang dan waktunya tepat sekali
pada saat itu. Ilmu itu harus dilakukan dengan cara merendam diri dalam air, di
bawah sinar bulan purnama. Dan saat itu bulan purnama, dan di depannya terdapat
air telaga yang bening dan jernih. Dia akan dapat melakukan ilmu "menyedot dan
menghimpun hawa Im" dengan sebaiknya. Apalagi dia memang sedang merasa panas,
dan latihan itu dapat mengusir gangguan bayangan empat orang wanita tadi yang
telah mengejarnya! Karena taman itu sunyi dan tidak kelihatan ada seorangpun kecuali dirinya, Sin
Liong tidak ragu-ragu lagi lalu menanggalkan semua pakaiannya, dan dengan hatihati dia lalu turun ke dalam air telaga. Air yang sejuk sekali menyambutnya dan
dia merasa segar sekali. Dia terus melangkah ke tengah telaga di mana airnya
mencapai perutnya dan ketika dia duduk bersila, air merendam tubuhnya sampai ke
leher. Mulailah Sin Liong bersamadhi dan mengatur napas menurut pelajaran dalam
kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw dan mulailah dia menghimpun tenaga dari hawa Im
yang berlimpahan bersama dengan sinar bulan purnama memenuhi telaga itu! Dia
segera merasa betapa hawa yang amat dingin itu meresap ke dalam tubuhnya,
bergerak-gerak di dalam pusar karena hawa di dalam tubuhnya siap menolak hawa Im
yang amat kuat itu. Namun dengan menurutkan petunjuk pelajaran itu dia tidak
menolak, melainkan menghimpun dan menerima. Mula-mula memang tubuhnya menggigil,
akan tetapi makin lama hawa dingin itu makin berkurang dan dia mulai merasa
nyaman sehingga kalau dia tidak waspada, dia dapat tertidur dan akibatnya tentu
akan berbahaya sekali baginya.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa cekikikan yang amat mengejutkan hati Sin Liong
dan dia terbelalak memandang ke tepi telaga di mana empat orang pelayan cantik
tadi telah berdiri sambil tertawa-tawa dan mereka itu mulai menanggalkan pakaian
mereka dengan cepat! Kini bukan hanya pakaian luar yang mereka tanggalkan,
melainkan berikut pula pakaian dalam sehingga mereka itu semua berbugil!
"Aihhh, kongcu mandi mengapa tidak mengajak kami?"
"Mari kugosokkan punggungmu, kongcu."
"Kongcu, kauajari aku renang, hi-hik!"
Tiga orang sudah terjun dan sambil tertawa-tawa, menghampiri dan mengurung Sin
Liong, bersiram-siraman air dengan tangan mereka sambil tertawa-tawa. Orang ke
empat sudah tergesa-gesa menanggalkan pakaian untuk terjun pula.
Empat orang wanita itu makin geli tertawa ketika melihat keadaan Sin Liong.
Memang lucu sekali keadaan pemuda ini. Dia bengong dan tetap mendekam dalam air,
tidak berani bergerak sama sekali! Dia bertelanjang bulat, bagaimana dia berani
bergerak" Kalau dia melarikan diri, tentu ketelanjangannya akan terlihat orang!
Akan tetapi berdiam saja di situ juga tidak mungkin. Empat orang wanita itu
telah mendekatinya, bahkan mulai meraba-raba sambil tertawa-tawa.
"Jangan... pergilah kalian... pergilah..." Dia berkata gagap, akan tetapi empat
orang itu makin geli tertawa-tawa, memperlihatkan dada mereka yang terbuka dan
melakukan gerakan-gerakan memikat di depan Sin Liong sehingga pemuda ini
memejamkan mata agar tidak melihat semua pemandangan itu.
"Aihh, kongcu, mengapa malu-malu?"
"Malu-malu kucing, hi-hik..."


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kongcu, berilah cium padaku..."
Sin Liong tidak dapat bertahan lagi. Dia membuka kedua matanya dan tiba-tiba
kedua tangannya bergerak. Air terpercik ke sekelilingnya.
"Aduhhh...!" "Ah, mataku..."
Empat orang wanita itu menjerit dan menggunakan kedua tangan menutupi muka dan
mereka memejamkan mata karena percikan air itu seperti jarum-jarum saja menusuki
muka mereka! Mereka hanya merasakan air bergerak kuat kemudian sunyi. Ketika
akhirnya mereka berani membuka mata, ternyata pemuda yang tadi merendam diri
bertelanjang di antara mereka itu telah lenyap. Demikian pula tumpukan pakaian
pemuda itu di tepi telaga telah lenyap pula!
Dengan kecewa dan juga terheran-heran empat orang gadis cantik itu keluar dari
dalam telaga. Muncullah Han Houw dan dengan kecewa pula dia berkata, "Ah, kalian
sungguh bodoh! Mengapa kalian tidak memeganginya dan tidak berhasil
menundukkannya" Tolol!" Dan dengan gemas pangeran inipun pergi dari situ,
kembali ke dalam kamarnya. Dia merasa amat penasaran karena belum juga dapat
berhasil menggoda adik angkatnya itu. Selama adik angkatnya itu dapat bertahan
dan tinggal menjadi seorang perjaka, dia akan selalu merasa "kalah" dan hal ini
amat tidak enak baginya. Dia tidak mau kalah, dalam hal apapun juga. Dan kalau
dia sudah berhasil menemukan guru adik angkatnya itu, diapun tidak akan mau
kalah dalam hal ilmu silat. Akan tetapi sekarang, dia tidak saja kalah dalam
ilmu silat, bahkan kalah pula dalam keteguhan hati mempertahankan kemurnian
dirinya. Dia hanya menang dalam kedudukan dan pangeran ini mulai merasa menyesal
dan kecewa. Sementara itu, ketika tadi dia menggunakan akal membuat empat orang wanita itu
terpaksa menutupi muka mereka, Sin Liong berhasil melarikan diri tanpa mereka
lihat dan pada saat dia melarlkan diri, dia melihat Han Houw mengintai dari
balik sebatang pohon, tidak jauh dari telaga buatan itu! Hatinya merasa
penasaran sekali karena dia dapat menduga bahwa kembali kakak angkatnya itulah
yang berusaha untuk menyeret dan menjatuhkannya dalam pelukan wanita-wanita itu!
Mulailah Sin Liong merasa betapa berbahayanya kalau dia melanjutkan perjalanan
bersama kakak angkatnya itu. Ada ketidakcocokan dalam banyak hal di antara
mereka, biarpun harus diakuinya bahwa dia merasa suka kepada Han Houw dan
mengagumi pangeran itu. Karena dia merasa marah oleh perbuatan Han Houw yang
jelas hendak menyeretnya jatuh ke dalam permainan cinta kotor dengan wanitawanita itu. Sin Liong tidak kembali ke dalam kamarnya, melainkan terus melarikan
diri pergi dari kota Ceng-lun. Bahkan kuda tunggangnya tidak diambilnya dan dia
melanjutkan perjalanan seorang diri, menggunakan ilmunya berlari cepat melintasi
padang pasir dan menyeberangi tembok besar, memasuki daerah selatan. Dia
meninggalkan Han Houw begitu saja!
*** Sin Liong melakukan perjalanan jauh yang susah payah menuju ke selatan. Alangkah
jauh bedanya dengan ketika dia melakukan perjalanan bersama Han Houw. Ketika dia
melakukan perjalanan bersama pangeran dari selatan, jauh sekali dari selatan,
dia dan Han Houw menunggang kuda dan selalu berhenti di kota-kota besar,
disambut dengan penuh kehormatan oleh para pembesar, dijamu dengan hidanganhidangan lezat, dilayani dan diberi tempat penginapan di kamar istimewa yang
bersih dan mewah. Kini, setelah dia meninggalkan Han Houw di Ceng-lun dan
melakukan perjalanan dengan jalan kaki ke selatan, dia melakukan perjalanan
seorang diri yang melelahkan, bahkan sering kali kurang makan dan terpaksa dia
makan seadanya, malah pernah dia terpaksa minta makan pada keluarga petani yang
miskin! Akhirnya dia tiba di kota raja, tempat yang memang ditujunya. Dia ingin mencari
Kim Hong Liu-nio, wanita yang bukan saja telah membunuh ibu kandungnya, akan
tetapi juga yang menyebabkan kematian kakeknya. Akan tetapi, setelah dia tiba di
kota raja, kota yang besar dan ramai itu, mulailah dia merasa bingung. Ke mana
dia harus mencari Kim Hong Liu-nio di tempat ramai dan besar ini" Dan mulai pula
dia bingung karena tidak tahu bagaimana dia harus mencari makan! Kalau dia
berada di dalam hutan, mudah baginya untuk menangkap binatang hutan atau
tetumbuhan untuk dimakan, akan tetapi di kota besar seperti kota raja ini,
bagaimana dia bisa mendapatkan makan" Mengemis" Dia tidak sampai hati untuk
mengemis makanan. Jalan satu-satunya hanyalah bekerja. Akan tetapi bekerja
apakah" Sin Liong merasa bingung sekali. Sudah dua hari dia tidak makan dan pagi hari
itu, dia berdiri di depan sebuah restoran yang baru saja membuka pintu pintunya.
Dia berdiri di situ karena asap dan uap masakan yang keluar dari rumah makan itu
sungguh amat sedap tercium hidungnya, membuat perutnya terasa makin lapar,
hampir tak tertahankan lagi.
Sin Liong adalah seorang pemuda yang berwajah tampan. Pakaiannyapun adalah
pakaian yang tadinya amat indah dan mahal, pemberian dari pembesar-pembesar yang
menyambut Han Houw. Biarpun sudah beberapa lama pakaian itu tidak dicuci atau
diganti, sudah nampak kotor, namun masih mudah dikenal bahwa pakaian itu tadinya
merupakan pakaian mahal. Oleh karena itu, melihat pemuda ini berdiri bengong di
depan rumah makan, majikan rumah makan itu menjadi tertarik. Dia memandang penuh
perhatian dan keheranan. Kalau pemuda itu seorang kongcu, tentu sudah masuk
restoran dan pesan makanan untuk sarapan pagi, akan tetapi kalau seorang tuan
muda, biar pakaian dan sepatunya menunjukkan demikian, pakaian itu sudah terlalu
kotor. Sebaliknya, kalau pengemis, tidak pantas pula. Wajah dan pakaian pemuda
itu, juga sikapnya, sama sekali tidak memberi tanda bahwa pemuda itu seorang
pengemis. "Engkau... ada apakah berdiri di situ, orang muda?" Akhirnya majikan rumah makan
itu berdiri di depan pintunya dan bertanya.
Ditegur orang, Sin Liong gelagapan dan dia menelan ludahnya, "Ah, aku... lapar
sekali..." Hemm, bukan pengemis, pikir majikan rumah makan itu. Kalau pengemis tentu sudah
minta-minta. "Kalau lapar, boleh membeli makanan," pancingnya.
Sin Liong makin gelisah. "Aku... aku tidak punya uang..."
Majikan rumah makan itu mengerutkan alisnya dan memandang dengan teliti dari
atas sampai ke bawah. "Lalu dengan apa engkau akan membayar makanan kalau tidak
punya uang?" Pertanyaan ini seolah-olah membuka kesempatan bagi Sin Liong. "Lopek, kalau
engkau sudi memberi makanan kepadaku, aku dapat membayarnya dengan tenagaku. Aku
mau bekerja apa saja untukmu!"
Majikan rumah makan itu mengelus jenggotnya yang jarang dan pendek. Hemm, orang
muda ini tidak kelihatan jahat, sikapnya halus dan tubuhnya kelihatan kuat.
"Kau mau menjadi pelayan?"
"Aku mau!" "Apakah engkau bisa?"
"Aku dapat mempelajarinya."
"Siapa narnamu, orang muda?"
"Namaku... panggil saja A-sin!"
"Di mana rumahmu?"
"Lopek, harap percaya kepadaku, aku bukan orang jahat. Akan tetapi aku tidak
punya rumah, dan akupun tidak mau mengemis. Aku ingin bekerja untuk mendapatkan
makan." Sikap tegas dan gagah ini meenarik hati majikan rumah makan itu. "Sudah berapa
hari engkau tidak makan?"
"Sudah dua hari dua malam, dan aku telah melakukan perjalanan jauh sekali."
"Masuklah!" Sin Liong masuk dan majikan rumah makan itu dengan penuh perhatian memberi
hidangan bubur panas kepadanya. Sin Liong makan dengan lahapnya dan sebentar
saja sudah menghabiskan bubur empat mangkok besar! Setelah selesai makan, pemuda
ini lalu bangkit berdiri, menjura kepada pemilik rumah makan sambil berkata
lantang, "Lopek yang baik. Terima kasih atas kebaikanmu, dan sekarang aku mau
bekerja untukmu!" Mulailah Sin Liong bekerja di rumah makan itu. Mula-mula, dia disuruh membantu
tukang masak, mengambil air, membelah kayu, mencuci mangkok piring dan
sebagainya. Karena pemuda itu rajin dan pandai membawa diri, dia disuka dan
sebentar saja majikan memberi kepercayaan kepadanya untuk menjadi pelayan.
Wajahnya yang tampan dan usianya yang masih muda itu dianggap memenuhi syarat
untuk menjadi pelayan yang baik dan menyenangkan tamu, dan pekerjaan ini memang
menyenangkan hati Sin Liong karena membuka kesempatan baginya untuk bertemu
dengan macam-macam orang dan dari percakapan para tamu dia dapat mengetahui
keadaan luar dan bahkan dari para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw
dia mendapat kesempatan untuk mendengar banyak tentang dunia persilatan sehingga
dia dapat melakukan penyelidikan mengenai musuh besarnya.
Sampai berbulan-bulan lamanya Sin Liong bekerja sebagai seorang pelayan
restoran. Selama itu, dia tidak pernah lalai untuk melatih ilmu-ilmunya, bahkan
dia makin memperdalam ilmu-ilmu aneh yang dipelajarinya dari kitab-kitab ciptaan
Bu Beng Hud-couw. Namun tidak ada seorangpun tahu akan keadaan dirinya ini
karena Sin Liong pandai menyembunyikan semua kepandaiannya itu dan dia selalu
menjauhkan diri dari urusan yang menimbulkan pertentangan atau keributan. Dia
selalu mengalah sehingga tidak ada orang pernah memusuhinya.
Ketika melayani para tamu yang datang makan di restoran itu, Sin Liong selalu
waspada sehingga dia tidak pernah melewatkan percakapan antara tamu yang
penting. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mempergunakan ketajaman
pendengarannya untuk menangkap semua percakapan, biarpun yang dilakukan tamu
yang duduk di ujung restoran dan jauh dari tempat dia berdiri sekalipun. Dengan
jalan inilah dia mendengar pula tentang tokoh-tokoh kang-ouw yang berada di kota
raja dan sekitarnya. Bahkan dengan hati kaget dia mendengar pula betapa keluarga
mendiang kakeknya di Cin-ling-pai, yaitu Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun
Houw dan Yap In Hong telah dicap sebagai pemberontak-pemberontak buruan
pemerintah! Berita ini membuatnya termenung sejenak. Betapapun juga, seorang
diantara mereka, yaitu Cia Bun Houw, adalah ayah kandungnya! Cerita tentang
peristiwa itu selalu memasuki benaknya sungguhpun dia sudah selalu mengusirnya
dengan ingatan bahwa ayah kandungnya itu adalah seorang yang tidak baik, yang
menyia-nyiakan ibu kandungnya sehingga dia terlahir tanpa ayah dan semenjak
lahir tidak pernah ditengok ayahnya!
Pada suatu pagi, rumah makan itu ramai dikunjungi tamu. Hari itu kebetulan jatuh
pada Pek-gwe Cap-go (tanggal lima belas bulan delapan), yaitu merupakan satu di
antara hari-hari besar di Tiongkok, karena pada hari tanggal itu orang-orang
melakukan sembabyang Tiong-ciu. Seperti biasa, banyak penduduk di luar kota raja
pada hari besar itu berduyun-duyun datang ke kota raja, ada yang hanya
berpesiar, akan tetapi sebagian besar untuk membeli kue tiong-cu-pia yang lezat
dan juga untuk berbelanja segala macam barang yang tidak bisa mereka dapatkan di
dusun-dusun. Restoran di mana Sin Liong bekerja penuh dengan tamu sehingga semua
pelayan menjadi sibuk, bahkan majikan rumah makan itu sendiri ikut pula
menyambut tamu di pintu depan dengan wajah berseri gembira karena keramaian itu
meramaikan bahwa hari itu akan memperoleh keuntungan yang tidak sedikit.
Empat orang tamu baru memasuki rumah makan itu. Mereka ini terdiri dari dua
orang pemuda dan dua orang gadis, Melihat empat orang muda yang dari pakaiannya
saja sudah menunjukkan bahwa mereka orang-orang kaya itu berdiri termangu-mangu
dan ragu-ragu karena restoran itu amat penuhnya, majikan restoran itu cepat
menyambut mereka dengan senyum ramah.
"Silakan masuk, ji-wi siocia dan ji-wi kongcu, di dalam masih ada tempat duduk
yang kosong. A-sin...! Kausambutlah tamu-tamu kita ini!" teriaknya kepada Sin
Liong yang cepat berjalan keluar untuk menyambut tamu-tamu itu seperti yang
diteriakkan oleh majikannya.
Begitu melihat empat orang tamu itu, wajah Sin Liong berubah dan jantungnya
berdegup tegang. Cepat dia membungkuk-bungkuk untuk menyembunyikan wajahnya dan
dia mempersilakan mereka masuk karena di sudut sebelah dalam memang masih ada
meja yang kosong, baru saja ditinggalkan tamu lain dan sudah dibersihkannya. Dia
segera mengenal dua orang gadis itu. Andaikata dia salah mengenal dua orang
gadis itu dan seorang diantara pemudanya, akan tetapi tidak mungkin dia salah
mengenal pemuda ke dua itu. Pemuda itu sudah pasti adalah Beng Sin! Wajahnya
yang bulat, tubuhnya yang gendut, mulut yang seperti selalu tersenyum dan mata
yang lucu itu! Siapa lagi kalau bukan si gendut Beng Sin, seorang di antara
keponakan Kui Hok Boan, ayah tirinya" Dan dua orang gadis itu, yang sukar
dibedakan satu antara yang lain, tentulah si kembar Lan Lan dan Lin Lin, adikadik tirinya! Dan pemuda tampan gagah itu siapa lagi kalau bukan Siong Bu" Masih
nampak pesolek, angkuh dan gagah saja pemuda itu! Dan Lan Lan berdua Lin Lin,
kini telah menjadi dara-dara remaja yang cantik manis. Jantung di dalam dada Sin
Liong berdebar tegang. Ingin dia menyapa, akan tetapi teringat bahwa dia
hanyalah seorang pelayan restoran, dia menelan kembali seruan yang sudah berada
di ujung bibirnya tadi. Jelas bahwa mereka berempat itu tidak mengenalnya. Tentu
saja tidak mengenalnya. Dia hanyalah seorang pelayan restoran!
"Tuan-tuan muda dan nona-nona hendak memesan masakan apakah" Dan minum apa?" dia
bertanya dengan sikap hormat dan biasa seperti kalau dia melayani para tamu
lainnya. Empat pasang mata memandangnya dan Sin Liong merasa betapa jantungnya makin
berdebar. "Eh, aku pernah melihatmu!" Tiba-tiba Beng Sin si gendut berseru sambil
memandang kepada Sin Liong. Sin Liong terkejut dan cepat memasang aksi terheranheran dan segera menekankan gaya bahasa selatan dalam kata-katanya. "Ah, kongcu
tentu keliru mengenal orang. Atau barangkali kongcu pernah makan di sini, tentu
saja pernah melihat saya."
"Aku belum pernah makan di sini, baru sekali ini," kata Beng Sin. "Sudahlah,
sekarang hidangkan empat masakan yang paling lezat dari restoran ini!"
"Sin-ko, aku hanya ingin makan bubur ayam saja dan minum secangkir air teh
panas," kata Lan Lan.
"Aku juga," sambung Lin Lin.
"Ha-ha, engkau hanya mengingat makanan saja, Sin-te! Kita berangkat dari rumah
untuk berbelanja ke pasar kota raja, akan tetapi begitu masuk kota raja engkau
memaksa kami masuk restoran untuk makan!" Siong Bu mencela sambil tertawa.
"Wah, Bu-ko, selagi kita masih hidup, tentu saja kita harus ingat akan makan.
Makan merupakan kebutuhan hidup yang pokok, sedangkan berbelanja ke pasar hanya
merupakan kesenangan biasa saja. Sesudah makan, baru belanja, dan dapat
berbelanja dengan senang karena tidak lagi diganggu perut lapar. Bukankah
begitu?" Lan Lan dan Lin Lin tertawa. "Bu-ko, sudahlah, berdebat tentang makan melawan
Sin-ko, engkau takkan menang!"
Sin Liong melihat dan mendengarkan percakapan antara empat orang muda ini dengan
hati berdebar dan penuh keharuan. Terbayanglah dia akan masak anak-kanak, ketika
dia masih berada disamping empat orang ini. Dia merasa terharu karena ternyata
mereka itu tidak berubah, atau yang jelas, Beng Sin sama sekali tidak berubah,
masih seperti dulu ketika anak-anak. Suka makan, jenaka dan gembira!
Dia lalu menyampaikan pesanan mereka ke dapur dan diam-diam dia merasa heran
mengapa empat orang itu kini berada di sini. Agaknya mereka tinggal tidak jauh
dari kota raja. Apakah yang terjadi dengan mereka dan sejak kapan mereka pindah
dari utara" Tentu saja ingin sekali dia bercakap-cakap dengan mereka, akan
tetapi karena dia masih menyembunyikan keadaan dirinya, maka dia menahan hatinya
dan melayani mereka tanpa membuka suara.
Akan tetapi, setelah empat orang muda itu selesai makan dan meninggalkan
restoran dengan sikap gembira, Sin Liong cepat mendekati majikannya dan tibatiba dia mengeluh dan terhuyung-huyung. Majikannya terkejut sekali dan cepat
memegang lengannya. "Eh, kau kenapa, A-sin?" tanyanya, akan tetapi melihat A-sin menjadi pucat
sekali wajahnya dan tubuhnya terasa panas bukan main, dia segera memanggil
pelayan yang lain dan dipapahlah A-sin memasuki kamarnya. A-sin segera jatuh
pingsan! Majikannya tentu saja menjadi bingung, akan tetapi pada saat majikannya
hendak suruhan orang memanggil tabib, Sin Liong "siuman" kembali dan berkata
lemah. "Tidak usah memanggil tabib... mungkin hanya masuk angin... asal saya
diperbolehkan rebah mengaso, tentu akan segera sembuh..."
Majikannya tentu saja membolehkan dia mengaso dalam kamarnya. Melihat bahwa Sin
Liong tidak begitu payah lagi, majikannya dan pelayan lain lalu keluar lagi
karena restoran amat sibuknya pada waktu itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh
Sin Liong yang tadi hanya mempergunakan ilmunya untuk membikin dirinya pucat dan
panas, untuk menutupkan daun pintu dari dalam, kemudian dia meloloskan diri
tanpa diketahui siapapun melalui genteng rumah! Tak lama kemudian dia telah
berada di dalam pasar dan membayangi empat orang muda tadi yang sedang
berbelanja. Mereka membeli pakaian dan segala macam barang lain, dan lagak
mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang muda yang membawa bekal uang
cukup banyak. Seperti biasa di tempat-tempat ramai pada waktu-waktu ramai dikunjungi oleh
orang-orang dusun yang hendak berbelanja, di pasar itupun terdapat banyak kaum
pencopet! Mereka inipun "berpesta" karena banyak terdapat korban-korban yang
berkantong tebal dan yang bersikap agak lalai, yaitu orang-orang dusun yang
membawa banyak uang. Ketika Sin Liong membayangi empat orang muda itu dari jauh,


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diapun melihat beberapa orang jembel muda berseliweran di tempat itu. Dia
mengenal mereka itu sebagai pengemis-pengemis yang kadang-kadang suka datang ke
belakang restoran dan minta sisa-sisa makanan. Dia selalu merasa kasihan kepada
mereka, karena dia menganggap mereka itu sebagai orang-orang muda yang patut
dikasihani, yang terlantar dan hidup mengandalkan betas kasihan orang. Dia
kadang-kadang bergidik membayangkan dirinya sampai terpaksa minta-minta makanan
seperti mereka itu, maka timbullah rasa iba di dalam hatinya dan kadang-kadang
dia rajin mengumpulkan sisa-sisa makanan para tamu untuk dibagi-bagikannya
kepada mereka yang sudah menanti di pintu belakang.
Kini Sin Liong menyaksikan kenyataan yang membuatnya terbelalak penuh keheranan!
Sekumpulan pengemis muda itu ternyata kini melakukan pekerjaan yang lain sama
sekali. Mereka kini menggunakan kecepatan gerak tangan dan gerak isyarat memberi
tanda satu kepada yang lainnya untuk mencopet! Dan dia melihat betapa para
pengemis yang menjadi "langganan" restoran di mana dia bekerja itu kini dipimpin
oleh seorang gadis muda berbaju biru yang amat lincah! Gadis itu usianya baru
lima belas atau enam belas tahun, namun jelas kelihatan amat berwibawa di antara
para pengemis muda itu! Biarpun gadis itu sendiri tidak melakukan sesuatu, namun
semua pengemis muda taat dan tunduk kepadanya, memperhatikan isyarat-isyarat
yang dilakukan gadis ini dengan jari-jari tangan atau kerling matanya! Dan kini,
jelas nampak oleh Sin Liong betapa gadis itu memberi isyarat kepada kawankawannya untuk "mengerjakan" Beng Sin dan tiga orang temannya!
Gadis itu membawa sebuah keranjang yang penuh sayur-sayuran. Dengan langkah
ringan dan lemah gemulai, gadis itu berjalan dan ketika tiba di rombongan Beng
Sin, tiba-tiba saja gadis pembawa keranjang sayuran itu mengeluh dan kakinya
tersandung lalu dia terhuyung ke depan, menabrak Beng Sin!
"Eh, eh... hati-hatilah, nona..."
Beng Sin yang gemuk itu ternyata dapat bergerak cepat sekali dan dia sudah
berhasil menangkap lengan nona itu sehingga nona itu tidak sampai jatuh,
sungguhpun keranjang sayurannya terlempar dan sayurnya berantakan. Beberapa
orang pengemis muda ikut membantu mengumpulkan sayuran yang berhamburan dan
untuk beberapa lamanya tempat itu menjadi ribut karena kerumunan banyak orang.
Sin Liong terkejut sekali ketika melihat betapa gadis yang terjatuh tadi,
bersama beberapa orang pengemis mempergunakan kesempatan itu untuk menjambret
beberapa buntalan barang belanjaan empat orang muda itu, bahkan gadis baju biru
yang mukanya berlepotan lumpur dan yang tadi membawa keranjang dan terjatuh,
dengan gerakan lihai bukan main, cepat seperti kilat menyambar telah berhasil
menyambar kantung uang dari pinggang Beng Sin! Sin Liong melihat betapa cepatnya
gadis itu menyambar kantung, menggunakan sebatang pisau kecil yang amat tajam
memotong tali kantong dari gantungannya dan dalam sekejap mata saja kantung itu
telah lenyap ke balik bajunya! Sin Liong dapat melihat hal ini dengan jelas, dan
dia sudah menggerakkan kaki hendak maju dan menangkap para pencopet itu. Akan
tetapi ketika gadis itu menoleh kepadanya dan memandangnya dengan sepasang mata
yang bening dan bersinar-sinar, seolah-olah sepasang mata itu bicara kepadanya,
mohon agar dia jangan mencampurinya, dan terutama sekali karena teringat bahwa
mereka adalah para pengemis yang hidupnya kekurangan, ada sesuatu yang menahan
Sin Liong dan membuat dia tidak jadi bergerak. Apalagi karena diapun tidak ingin
memperkenaikan diri kepada empat orang muda itu. Maka dia hanya memandang dan
menahan senyum ketika gadis itu pergi menyelinap di antara orang banyak dalam
pasar bersama teman-temannya dan tak lama kemudian terdengar ribut-ribut ketika
Beng Sin dan saudara-saudaranya merasa kehilangan.
"Keparat! Berani benar mengganggu kami?" Beng Sin mencak-mencak dan mengepal
tinju, akan tetapi dia hanya menjadi tontonan orang karena dia sendiri tidak
tahu kepada siapa dia harus marah-marah. Akhirnya empat orang muda itu
meninggalkan pasar dan kembali ke tempat tinggal mereka. Mereka tidak tahu bahwa
sejak tadi Sin Liong membayangi mereka sampai mereka tiba di sebuah dusun yang
terletak tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat kota raja.
Setelah mengetahui di mana tempat tinggal mereka, yaitu di sebuah rumah besar di
dusun itu, Sin Liong lalu mencari keterangan di dusun itu, dan mendengar bahwa
Kui-wangwe (hartawan Kui) telah beberapa tahun tinggal di tempat itu, memiliki
banyak sawah dan menjadi tuan tanah paling kaya di dusun itu!
Setelah merasa puas karena dapat menemukan tempat tinggal keluarga Kui itu, Sin
Liong lalu cepat kembali ke rumah makan dan siang hari itu juga dia sudah dapat
membantu lagi pekerjaan di rumah makan, sehingga majikannya merasa senang.
Beberapa hari kemudian, ketika pada suatu sore Sin Liong sedang mencuci mangkok
piring di bagian belakang restoran itu, dan membuangi sisa makanan ke dalam
keranjang sampah, terdengar seruan orang dari luar pintu belakang. "Heh, bung Asin, kenapa kau buangi sisa makanan itu" Berikan kepada kami...!"
Mendengar suara ini, Sin Liong menengok dan dia melihat tiga orang pengemis muda
berlarian mendatangi sambil membawa kaleng mereka yang biasanya mereka
pergunakan untuk menampung sisa-sisa makanan yang masih baik. Akan tetapi sekali
ini, tidak seperti biasanya, Sin Liong dengan gerakan marah lalu membuang sisasisa makanan ke dalam keranjang sampah sehingga tiga orang pengemis muda itu
tertegun dan memandang heran.
"Bung A-sin, kenapa kaubuang?" Mereka terkejut karena biasanya, A-sin ini
merupakan seorang di antara pelayan yang bersikap paling ramah dan baik kepada
mereka. Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang mereka dengah sikap marah, "Perlu
apa kalian mencari sisa makanan" Bukankah sekarang kalian mampu membeli masakanmasakan yang mahal?"
Tiga orang pengemis muda itu saling pandang, lalu seorang di antara mereka
bertanya, "Eh, saudara A-sin, apa maksudmu dengan kata-kata itu" Kami tidak
mengerti." "Hemm, perlukah kalian berpura-pura lagi" Atau apakah kalian begitu royal
membuang hasil kalian seperti pasir sehingga dalam waktu empat hari saja harus
mengemis lagi?" Tiga orang itu mengerutkan alis. "Saudara A-sin, apa maksudmu?"
Kini Sin Liong menjadi makin marah dan membentak. "Sudahlah! Kaukira tidak ada
yang tahu ketika kalian melakukan pencopetan-pencopetan di pasar" Tak tahu
malu!" Tiga orang itu saling pandang dan wajah mereka berubah, kelihatan ketakutan dan
tanpa berkata apa-apa lagi mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu. Sin Liong
juga diam saja, di dalam hatinya merasa menyesal sekali. Biasanya dia merasa
kasihan kepada pengemis-pengemis muda itu, merasa senasib dengan mereka. Akan
tetapi melihat mereka menjadi pencopet-pencopet di pasar, perasaan kasihan di
hatinya kini berubah menjadi sebal dan tak senang. Keadaan lahir tidak selalu
mencerminkan batin, pikirnya. Pengemis-pengemis muda yang menimbulkan rasa iba
itu ternyata hanyalah penjahat-penjahat kecil yang tidak patut dikasihani!
Malam hari itu setelah restoran tutup, Sin Liong rebah di dalam kamarnya dan
melamun. Sudah lama juga dia bekerja di restoran itu, sudah hampir setengah
tahun! Selama itu, tidak pernah dia lalai utnuk melatih ilmu-ilmunya dan dia
kini merasa sudah cukup kuat untuk menghadapi orang yang selama ini dicaricarinya, yaitu Kim Hong Liu-nio! Selama ini dia sudah menyelidiki dan mendengardengar berita di antara para tamu restoran dan dia tahu bahwa Kim Hong Liu-nio,
sebagai utusan atau wakil dari Raja Sabutai, merupakan orang penting juga di
kota raja bahkan kabarnya merupakan orang kepercayaan dalam istana. Jelaslah
bahwa dia akan dapat mencari wanita pembunuh ibunya itu di kota raja ini, dan
agaknya di dalam istana. Kalau perlu dia akan mencari ke dalam istana!
Tiba-tiba Sin Liong bangkit duduk. Pendengarannya yang amat tajam dan terlatih
itu menangkap gerakan kaki manusia di atas genteng rumah! Gerakan kaki yang
ringan terlatih, akan tetapi tidak cukup ringan baginya sehingga masih
menimbulkan suara yang terdengar olehnya. Sekali tiup, lilin di atas mejanya
padam dan dengan hati-hati sekali Sin Liong lalu keluar dari dalam kamarnya
melalui jendela. Setelah menyelinap dengan gerakan cepat akhirnya Sin Liong
meloncat naik ke atas genteng dan mengintai gerak-gerik bayangan orang yang
berada di atas genteng. Ketika sinar bulan menerangi wajah bayangan yang
bertubuh langsing itu, dia terkejut. Kiranya bayangan itu adalah gadis berbaju
biru, pemimpin para tukang copet di pasar! Atau lebih tepat lagi, gadis yang
memimpin para pengemis muda menjadi pencopet! Mau apa dia berkeliaran di sini"
Apakah selain mencopet, gadis ini juga biasa melakukan pekerjaan sebagai maling"
Akan tetapi, gadis itu tidak kelihatan membawa senjata tajam dan dia kagum juga
menyaksikan gerakan yang tetap dan ringan itu, tanda bahwa gadis itu telah
mempelajari ilmu silat yang lumayan tingginya. Dia melihat gadis remaja itu
ragu-ragu dan tiba-tiba gadis itu mendekam.
Sin Liong juga menoleh karena pada saat itu terdengar suara orang bernyanyi
dengan suara serak, lalu nampak seorang laki-laki gendut berjalan sempoyongan di
belakang rumah makan yang sudah tertutup itu. Sin Liong mengenal laki-laki itu
yang bukan lain adalah A-tong, pembantu tukang masak yang perutnya gendut.
Selain ahli masak dan gembul makan sehingga perutnya gendut, A-tong terkenal
sebagai seorang laki-laki yang suka berpacaran dan minum sampai mabuk, pikir Sin
Liong yang merasa geli melihat gadis itu terkejut mendengar nyanyian serak itu.
Akan tetapi Sin Liong menjadi terkejut ketika melihat gadis itu tiba-tiba
bangkit berdiri, kemudian melayang turun dengan gerakan seperti seekor burung
kenari saja ringannya. Sin Liong cepat membayanginya dan siap untuk menolong si
gendut karena agaknya gadis itu hendak menyerang si gendut! Namun, dengan
waspada Sin Liong melihat bahwa serangan gadis itu hanya untuk menotok saja,
bukan untuk mencelakai, maka diapun diam saja, hanya mengamati dari balik pohon,
dia turun tangan kalau gadis aneh itu berniat jahat.
"Uhhh...!" A-tong tertotok pundaknya dari belakang dan roboh dengan lemas, akan
tetapi sebelum roboh, gadis itu sudah mencengkeram pundaknya dan menghardik
dengan suara dibesar-besarkan, seperti suara laki-laki akan tetapi kedengarannya
lucu sekali. "Hemmm... aku adalah setan penunggu kebun ini...!" hardiknya dengan suara
menggeram, Sin Liong yang mendengarkan ini, menjadi geli. Apa maunya dara itu
bermain-main seperti itu" Apakah gadis itu miring otaknya" Dan dia makin geli
melihat tubuh gendut yang lemas dan tidak dapat menengok ke belakang itu
menggigil ketakutan. "Ampun... ampunkan saya... Pek-kong...!" A-tong mengeluh, dalam keadaan setengah
mabuk dia percaya bahwa dia telah dicengkeram oleh setan!
"Hemm... aku dapat ampunkan kau akan tetapi beri tahu di mana kamarnya si A-sin
pelayan itu?" Diam-diam Sin Liong makin geli akan tetapi juga terkejut dan heran. Kiranya
gadis itu mencari dia! "Ehh... A-sin... A-sin... kamarnya di ujung kanan itu... harap ampun..."
"Plak!" Gadis itu mengetuk tengkuk A-tong yang mengeluh dan terguling roboh. Sin
Liong makin geli karena dia tahu bahwa tamparan itu tidak melukai, akan tetapi
saking takutnya A-tong sudah jatuh pingsan. Cepat dia meloncat dan di lain saat
dia sudah memasuki kamarnya melalui jendela, kemudian dia melepas sepatunya dan
rebah di atas pembaringan, terdengar suara dengkurnya tanda bahwa dia sudah
tidur pulas! Dengan menahan geli hatinya, Sin Liong mendengar betapa jendela kamarnya yang
tadinya dipalangnya dari dalam itu perlahan-lahan digerayangi dan dibuka orang!
Kagum juga dia karena agaknya tidak makan waktu terlalu lama bagi gadis itu
untuk dapat membuka daun jendelanya. Agaknya gadis inipun ahli dalam ilmu
membuka-buka daun pintu dan jendela rumah orang dari luar! Hening sejenak
setelah daun jendela terbuka, kemudian sesosok bayangan yang gesit meloncat
masuk. Kakinya hanya menimbulkan sedikit suara saja ketika menyentuh tanah,
seperti lompatan seekor kucing!
Gadis ini mau apa setelah menemukan kamarnya, pikir Sin Liong. Mau membunuhnya"
Agaknya tidak, karena selain gadis itu tidak kelihatan jahat seperti terbukti
ketika memaksa A-tong mengaku, juga tidak membawa senjata. Lalu mau apa" Jantung
dalam dada Sin Liong berdebar dan tiba-tiba dia memejamkan matanya ketika
melihat sinar api. Gadis itu menyalakan lilin di atas meja! Dan tiba-tiba,
dengan gerakan cepat juga, gadis itu sudah meloncat ke dekat pembaringannya dan
dengan tangannya siap untuk menotoknya seperti yang dilakukannya tadi kepada Atong! Akan tetapi dia diam saja, pura-pura tidur.
"Heh, A-sin bangun kau!" terdengar gadis itu membentak halus dan jari-jari
tangan yang kecil halus itu mencengkeram pundak Sin Liong dan mengguncangnya!
Sin Liong pura-pura kaget, akan tetapi tiba-tiba dia kelihatan ketakutan ketika
pundaknya dicengkeram makin kuat.
"Diam jangan bergerak atau bersuara! Kalau berteriak, kubunuh kau!" bentak gadis
itu. "Eh... ehhh... kabarnya Giam-lo-ong itu pria, akan tetapi... kenapa ada Giam-loong wanita...?" Sin Liong pura-pura gugup dan terheran-heran, terbelalak
memandang wajah yang kini tidak lagi berlepotan lumpur dan kelihatan manis
nampak remang-remang di bawah sinar lilin yang lemah.
"Kau ngaco-belo apa" Siapa Giam-lo-ong?" Gadis itu juga menjadi heran dan
membentak lirih. "Kau bukan Giam-lo-ong" Mengapa mau mencabut nyawaku?" Sin Liong bersikap
ketolol-tololan. "Huh, ceriwis kau! Cerewet kau! Awas, kaulihat baik-baik ini!" Setelah berkata
demikian, gadis itu menengok ke kanan kiri dalam kamar. Melihat sebuah sapu
dengan gagang kayu sebesar lengan orang, dia lalu mengambil dan dengan sekali
tekuk menggunakan kedua tangannya, gagang sapu itupun patah dan dilemparkannya
ke atas lantai. Sin Liong terbelalak dan bersikap ketololan.
"Eh, eh... apa dosanya sapu itu" Kenapa kaupatahkan gagangnya" Wah, celaka,
kaubikin aku susah, harus membuatkan gagang baru...!"
Gadis itu kelihatan gemas. Dia mendemonstrasikan kekuatannya untuk membikin
takut pemuda tolol ini, si pemuda bukannya takut akan kekuatannya, malah
mengomel karena gagang sapunya patah!
"Goblok! Kau bernama A-sin?"
"Benar, dan kau siapa, kenapa masuk kamarku" Apa kau babu baru di sini?"
"Cerewet! Aku datang untuk memperingatkanmu, mengerti" Dan kau harus taat
kepadaku, kalau tidak, lehermu akan kupatahkan seperti gagang sapu tadi!"
"Wahhh... kau galak... mengerikan..." Sin Liong bangkit duduk dan meraba
lehernya. "Nah, kau takut padaku, bukan?"
Sin Liong menggeleng kepala.
"Apa?" Gadis itu mengerutkan alisnya dan menarik muka serem, akan tetapi
akibatnya menjadi tambah manis dan jauh daripada mengerikan. "Kau tidak takut
padaku?" Sin Liong menggeleng kepala. "Ketiapa mesti takut?"
"Karena aku menakutkan!"
"Tidak, kau tidak menakutkan sama sekali..."
"Aku ingin kau takut!"
"Wah, kau ini aneh. Eh, nona cilik..."
"Aku tidak cilik lagi!"
"Baiklah, nona gede, dengarkan. Apa kau suka menggigit?"
"Ehhh" Menggigit..." Wah, kau mau kurang ajar, ya" Porno, ya?"
"Lhoh! Mengapa kurang ajar" Aku tanya apakah kau suka menggigit maka kau ingin
aku takut padamu. Kau tidak suka menggigit, bukan?"
"Gila kau! Aku anak perempuan masa menggigit, menggigit apamu?" bentak gadis itu
jengkel. "Ya menggigit apaku, boleh kaupilih, akan tetapi aku tidak takut padamu. Habis,
kau tidak menakutkan, sih!"
Gadis itu kini menyambar paku yang menancap di dinding, paku yang dipergunakan
oleh Sin Liong untuk menggantungkan pakaiannya. Dicabutnya paku itu dengan jari
tangannya, kemudian didepan mata Sin Liong, dia menggunakan jari-jari tangannya
untuk menekuk-nekuk paku itu! Sin Liong memandang dan membelalakkan matanya
penuh keheranan. Dengan puas dan bangga, sedikit membusungkan dadanya yang masih belum terlalu
besar itu, gadis itu mendengus, "Huh, sekarang kau takut padaku" Lihat kekuatan
tanganku!" "Eh, apakah kau main sulap" Wah, kalau kau bermain sulap seperti itu besok siang
di depan restoran, tentu banyak orang suka membayar..."
"Sulap hidungmu!" Gadis itu makin marah. Kiranya tolol benar orang yang namanya
A-sin ini! Sin Liong yang sudah bangkit duduk itupun pura-pura marah. "Dengar kau,nona
cilik... eh, gede! Mau apa kau memasuki kamarku" Anak perempuan masuk kamar anak
laki-laki! Cih, tak tahu malu!"
"Dengarkan kau, bocah tolol! Buka telinga keledaimu lebar-lebar! Aku adalah
pimpinan anak-anak miskin di kota raja dan kalau kau banyak membantah, sekali
tampar aku akan dapat membikin nyawamu melayang! Sore tadi engkau telah menghina
anak buahku, mengatakan mereka mencopet! Awas, kalau kau berani berkata kepada
siapapun tentang itu, kalau sampai ada anak buahku yang ditangkap polisi, aku
akan datang lagi dan akan kupatahkan batang lehermu. Atau akan kubuat kepalamu
seperti ini... crokkk!" Gadis itu menggunakan tiga jari tangannya menusuk meja
dan... papan kayu meja itu tembus berlubang oleh tiga jari yang kecil mungil
itu! Sin Liong pura-pura terkejut dan membelalakkan matanya, di dalam hatinya dia
memang kagum juga, bukan hanya kagum akan kelihaian gadis ini, melainkan akan


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keberaniannya dan juga sikapnya yang membela kawan.
"Nah, kau mengerti" Jangan bilang siapapun juga atau aku akan kembali!"
"Siapakah namamu, nona?"
Gadis yang sudah hendak pergi itu membalik lagi dan memandang dengan sepasang
matanya yang bening dan tajam, "Mau apa kau tanya-tanya namaku segala?"
"Lhoh, nona sudah tahu namaku, akan tetapi aku belum mengenal nona. Bukankah
kita sudah saling mengenal dan sudah sepatutnya aku mengenal namamu?"
Diam-diam gadis itu merasa jengkel akan tetapi juga geli menyaksikan ketololan
ini. Betapapun juga, dia merasa kagum akan keberanian bocah tolol yang wajahnya
tampan ini! "Semua anak miskin di sini mengenal Kim-gan Yan-cu!" Setelah berkata demikian,
dia meloncat keluar dari jendela dan keadaan di situ menjadi sunyi kembali.
Sin Liong masih termenung, duduk di atas pembaringannya. "Kim-gan Yan-cu (Walet
Mata Emas)?" Dan dia makin geli. Anak perempuan itu hebat! Sayang semuda itu
sudah menjadi kepala jembel, kepala copet dan agaknya menjadi jagoan penjahat!
Semalam dia tidak dapat tidur lagi. Wajah anak perempuan itu terus terbayang
olehnya dan dia merasa seperti telah mengenal gadis itu semenjak lama sekali.
Wajah itu tidak asing sama sekali! Sinar mata itu!
Sin Liong masih mengantuk karena kurang tidur ketika pada keesokan harinya dia
sudah harus bekerja lagi melayani tamu-tamu yang datang untuk sarapan pagi.
Tiba-tiba muncul beberapa orang perajurit berkuda yang berhenti di depan
restoran dan dengan suara galak memerintahkan majikan restoran untuk bersiapsiap melayani seorang pembesar yang ingin sarapan di restoran itu. Majikan
restoran menjadi gugup dan segera mengerahkan anak buahnya untuk membersihkan
meja-meja dan siap melayani pembesar dengan para pengikutnya, yang menurut para
perajurit pengawal yang datang terlebih dahulu adalah seorang pembesar dari luar
kota raja yang datang berkunjung ke kota raja.
Majikan restoran menyuruh para pembantunya untuk cepat-cepat bertukar pakaian bersih dan dia
sendiripun sibuk keluar masuk untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Kunjungan
seorang pembesar pada sebuah rumah makan merupakan peristiwa besar dan
menegangkan bagi pemiliknya, karena peristiwa itu dapat mengakibatkan berbagai
kemungkinan, yang baik maupun yang buruk!
Tak lama kemudian, sebuah kereta berhenti di depan rumah makan dan turunlah
seorang laki-laki berpakaian pembesar dari kereta itu, kemudian dengan iringan
para pembantu dan pengawalnya, rombongan itu memasuki restoran, disambut dengan
penuh kehormatan oleh majikan restoran, sedangkan para pelayan, termasuk Sin
Liong, hanya berdiri di kanan kiri dengan tubuh membungkuk penuh sikap hormat.
"Eh, Liong-kongcu... kenapa berada di sini...?"
Sin Liong terlonjak kaget mendengar ini dan cepat dia mengangkat mukanya.
Kiranya pembesar yang memasuki restoran dan diiringkan banyak pembantu dan
pengawal itu bukan lain adalah Gu-taijin, pembesar dari kota Kiu-kiang! Tentu
saja pembesar Gu ini mengenalnya, karena dia pernah bermalam di rumah gedung
pembesar ini, bahkan di rumah pembesar inilah dia mengangkat saudara dengan Han
Houw! "Siapa... eh, paduka... salah lihat..." Dia berkata gagap.
Akan tetapi Gu-taijin yang telah mengenalnya, tertawa. "Aihh, Liong-kongcu harap
jangan main-main! Biarpun kongcu menyamar, tetap saja saya akan mengenalmu.
Kalau tidak, tentu pangeran akan marah kepada saya. Kongcu adalah tuan muda
Liong Sin Liong, mengapa berada di sini dan apakah yang saya lihat ini" Apakah
kongcu menyamar sebagai pelayan..." Ha-ha-ha...!"
"Bukan... bukan...! Hamba adalah A-sin... pelayan restoran ini..."
"Ha-ha, saya sudah tahu akan kesenangan pangeran untuk merantau dan menyamar
seperti rakyat biasa. Kongcu sebagai adik angkatnya tentu mempunyai kesukaan
yang sama. Akan tetapi saya tetap mengenali Liong-kongcu. Marilah, beri
kesempatan kepada saya untuk menghormati kongcu dengan tiga cawan arak. Dan saya
ingin mohon pertolongan kongcu..." Pembesar itu mendekatkan mulutnya. "Mengenai
puteriku..." "Tidak... bukan... aku bukan..." Sin Liong bingung sekali, apalagi ketika
melihat majikannya menjadi pucat dan memandang kepadanya dengan mata terbelalak.
Baru pagi tadi A-tong, pembantu tukang masak bercerita bahwa ada "setan penjaga
kebun" menangkapnya dan setan itu bertanya tentang A-sin. Hal itu tentu saja
ditertawakan dan orang-orang menganggap A-tong mimpi, sedangkan A-sin yang
mendengar itu hanya tertawa saja.
Dan kini, seorang pembesar yang berpakaian indah datang-datang memberi hormat
kepada A-sin seolah-olah pelayan itu adalah seorang pemuda bangsawan yang amat
tinggi kedudukannya. Apalagi pembesar itu juga menyebut-nyebut pangeran!
"Ah" Liong-kongcu menyimpan rahasia" Kalau begitu biarlah kita bicara di dalam
saja..." "Harap taijin sudi memaafkan hamba, akan tetapi hamba... hamba A-sin... pelayan,
bukan orang lain..."
"Hemm, benarkah itu?" Tiba-tiba terdengar bentakan wanita. "Akulah yang akan
dapat memaksa harimau keluar dari kulit domba!"
Bukan main kagetnya hati Sin Liong ketika dia mendengar suara wanita ini karena
wanita itu bukan lain adalah seorang wanita cantik yang sudah amat dikenalnya.
Seorang wanita cantik jelita dengan pakaian mewah dan indah, rambutnya digelung
ke atas seperti model gelung rambut seorang puteri istana, wajahnya manis akan
tetapi kelihatan angkuh dan dingin, matanya bersinar kejam, lengan kirinya penuh
dengan gelang-gelang emas dan di punggungnya tergantung kayu salib sedangkan di
pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang. Kim Hong Liu-nio! Melihat musuh
besar yang dicari-carinya ini tahu-tahu berdiri di depannya, tentu saja Sin
Liong menjadi terkejut bukan main, girang dan juga gugup karena dia berada di
dalam restoran, di tempat ramai sehingga amat berbahaya baginya kalau dia
bertanding melawan musuh besarnya ini karena wanita ini merupakan seorang tokoh
kepercayaan istana! Akan tetapi, menghadapi Kim Hong Liu-nio dia tidak mungkin dapat menyangkal
keadaan dirinya lagi, dan juga hal itu akan sia-sia karena pada saat itu, Kim
Hong Liu-nio sudah menggerakkan tangan kirinya dan dua batang hio (dupa biting)
telah meluncur seperti anak panah, menyambar ke arah kedua matanya! Kiranya
wanita itu bukan hanya ingin membuka rahasia, melainkan juga ingin membunuhnya
secara keji. Dan dugaan ini memang benar. Begitu melihat Sin Liong kemarahan Kim
Hong Liu-nio bangkit karena dia ingat bahwa anak ini mengaku keturunan Cia Bun
Houw. Sakit hatinya karena kematian kekasihnya, Panglima Lee Siang, membuat dia
segera menurunkan tangan kejam, menyerang kedua mata Sin Liong dengan senjata
rahasia hionya yang telah banyak merobohkan korban manusia itu.
Diserang sehebat itu, tentu saja Sin Liong tidak dapat menyembunyikan lagi
kepandaiannya. Dia melihat jelas dua batang hio yang menyambarnya itu, maka dia
cepat mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan dengan menggunakan tenaga sinkang dia berhasil memukul patah dua batang hio itu. Dia tidak mungkin mengelak
karena kalau hal ini dilakukan, dua batang hio itu tentu mengambil korban, yaitu
mengenai orang-orang yang berada di sebelah belakangnya. Maka terpaksa dia
memperlihatkan kehebatannya dan dua batang hio itu ditangkisnya runtuh. Hal ini
amat mengejutkan Kim Hong Liu-nio karena dia tahu benar bahwa jarang ada tokoh
di dunia kang-ouw ini yang berani menangkis sambaran hionya, dan kalau ada yang
berani mencobanyapun tentu akan celaka karena hionya itu didorong oleh tenaga
sakti yang amat kuat sehingga kalau ditangkis akan dapat melesat dan melanjutkan
serangannya. Akan tetapi, dua batang hionya itu patah dan runtuh begitu bertemu
dengan tangan Sin Liong! Marahlah Kim Hong Liu-nio. Dia tahu bahwa Sin Liong pernah digembleng oleh kakek
Cia Keng Hong, maka diapun tidak heran kalau anak ini telah mewarisi ilmu yang
hebat dari ketua Cin-ling-pai itu. Hal ini mendorongnya untuk cepat membunuhnya,
karena kalau tidak, kelak akan menambah deretan musuhnya yang berilmu tinggi.
"Hyaaaaattt...!" Kim Hong Liu-nio mengeluarkan suara melengking tinggi sehingga
mengejutkan semua orang, bahkan ada beberapa orang yang terguling roboh karena
jantung mereka tergetar dan membuat kedua kaki mereka lumpuh ketika mereka
mendengar suara melengking tinggi itu. Dan terasa angin menyambar ketika wanita
itu sudah menerjang ke depan dan mengirimkan pukulan maut dengan tangan kirinya
yang bergelang kerincing, dengan tangan terbuka menghantam ke arah dada Sin
Liong. Sebelum tangan itu tiba, lebih dulu telah terasa angin pukulan dahsyat
yang berhawa panas datang menyambar.
"Ehhh...!" Sin Liong terkejut, maklum akan kehebatan pukulan itu maka diapun
cepat mengangkat tangan kanannya, dengan telapak tangan terbuka didorongkannya
tangan itu ke depan menyambut pukulan lawan.
"Plakkk!" Kedua telapak tangan bertemu dan seketika tubuh Kim Hong Liu-nio
tergetar hebat dan tenaga sin-kangnya memberobot keluar tersedot melalui telapak
tangan pemuda remaja itu.
"Eiiihhhhh...!" Kim Hong Liu-nio menjerit dan tangan kanannya menyambar dengan
totokan ke arah kedua mata Sin Liong! Wanita ini mengenal Thi-khi-i-beng maka
dia merasa ngeri dan cepat mengeluarkan serangan yang dapat menolong dirinya
dari ilmu sedot yang hebat itu. Ketika Sin Liong menggerakkan tangan kanan
menangkis, maka wanita itu secepat kilat menarik tangan kirinya yang tersedot
melekat pada tangan lawan sambil mengerahkan sin-kangnya dan terlepaslah
tangannya. Dia menjadi marah bukan main.
"Tarrr...!" Sabuk sutera merahnya telah menyerang, meluncur ke arah leher Sin
Liong. Akan tetapi Sin Liong maklum bahwa dia berada dalam bahaya setelah kini
semua orang tahu keadaan dirinya yang sebenarnya. Dia cepat mengerahkan tenaga
lemas untuk menangkis sabuk.
"Pratti!" Ujung sabuk merah itu membelenggu pergelangan tangannya. Akan tetapi
Sin Liong mengerahkan Ilmu Thian-te Sin-ciang, mengebutkan dengan telapak
tangannya ke arah muka lawan.
"Ihhh...!" Kim Hong Liu-nio kembali menjerit dan dia mengelak, akan tetapi tetap
saja pundaknya terdorong angin pukulan Thian-te Sin-ciang yang ampuh dan dia
terhuyung, sedangkan pergelangan tangan lawan yang terbelit sabuk sudah terlepas
pula. Kesempatan selagi lawannya terhuyung ini dipergunakan oleh Sin Liong untuk
meloncat keluar restoran dan menyelinap di antara penonton yang memenuhi tempat
itu karena tertarik oleh kedatangan pembesar, kemudian oleh keributan yang
terjadi di restoran itu. "Tangkap dia! Dia itu putera pemberontak Cia Bun Houw...!" Kim Hong Liu-nio
berteriak sambil mengejar. Akan tetapi dia terhalang oleh banyak orang, dan
melihat para pasukan melakukan pengejaran, wanita ini dengan cemberut lalu masuk
kembali ke dalam restoran di mana dia disambut oleh Gu-taijin yang masih
terheran-heran. Sementara itu, melihat dirinya dikejar-kejar pasukan yang makin lama makin
banyak jumlahnya, Sin Liong terus melarikan diri. Dia menjadi bingung. Kalau dia
dikabarkan sebagai anak pemberontak yang melarikan diri, tentu sukar baginya
untuk keluar dari kota raja ini. Tentu pintu-pintu gerbang yang kuat itu telah
terjaga dengan ketat, dan ke manapun dia bersembunyi, tentu dia akan terus
dicari oleh para perajurit. Mana mungkin dia dapat melawan pasukan yang banyak
jumlahnya" Dan diapun tidak mempunyai ingatan untuk melawan pemerintah. Dalam
gugupnya dia segera membelok dan masuk ke dalam pasar ketika larinya melewati
tempat ini. Dari belakang terdengar hiruk-pikuk para perajurit yang mengejarnya.
Pasar itu menjadi geger ketika para perajurit memasukinya dan orang-orang
berlarian ke mana-mana ketika mendengar betapa para perajurit itu mengejarngejar seorang pemberontak! Makin ribut dan terkejutlah orang-orang itu ketika
mendengar bahwa yang dikejar-kejar dan dianggap seorang sebagai pemberontak yang
buron itu adalah seorang pelayan rumah makan bernama A-sin!
Ketika Sin Liong sedang kebingungan, berdiri di antara orang-orang pasar yang
menyelinap ke sana-sini itu, tiba-tiba tangannya dipegang oleh seorang pengemis
muda yang berbisik, "A-sin... cepat, kau ikut...!"
Melihat bahwa pemuda pengemis itu adalah seorang di antara "langganannya", Sin
Liong yang sedang kebingungan itu mengangguk dan cepat dia mengikuti pengemis
muda itu menyelinap di antara orang-orang yang sedang panik itu. Dia dibawa ke
bagian belakang pasar, di tempat pengumpulan sampah dan di situ dia melihat
empat orang pengemis muda lainnya bersama seorang gadis. Melihat gadis ini,
jantungnya berdebar tegang karena dia segera mengenal yang semalam memasuki
kamarnya! Gadis itu masih memakai baju biru, entah baju yang semalam entah
memang bajunya semua berwarna biru, akan tetapi sepasang matanya tetap bening
dan bersinar tajam, pantas kalau dijuluki Walet Mata Emas! Melihat dia, gadis
itu tersenyum mengejek. "Aihh, kiranya si pelayan restoran yang tolol ini seorang pelarian pemberontak?"
"Aku... aku bukan..."
"Ahh, sikapmu yang tolol itu hanya kedok saja. Lekas kau sembunyi ke sini, itu
para perajurit sudah datang!" Gadis itu dengan cekatan sudah menyambar tangan
Sin Liong dan mendorong pemuda itu ke tempat sampah, kemudian dia bersama temantemannya lalu menimbuni tubuh Sin Liong yang duduk di atas tanah itu dengan
sampah! Baunya bukan main dan terpaksa Sin Liong mengerahkan tenaganya agar
jangan muntah-muntah dan juga agar jangan sesak napas. Dia tidak dapat melihat
keluar, akan tetapi dia dapat mendengar suara para perajurit yang tiba di situ.
"He! Apakah kalian melihat pemberontak yang lari ke sini?" terdengar bentakan
nyaring. "He! He! Engkau bicara dengan orang atau setan" Begitukah pendidikan sopan
santun yang kauterima ketika menjadi perajurit, menyapa orang hanya dengan he-he
saja?" tiba-tiba terdengar suara gadis itu marah.
"Apa..." Kalian ini sekumpulan pengemis..." suara pertama menghardik.
"Ah, jangan ceroboh, Ciong-ko, dia ini adalah Kim-gan Yan-cu...!" terdengar
suara orang ke dua, agaknya seorang perajurit lain yang mengenal gadis itu.
"Ahhh... maafkan aku, nona. Aku tidak tahu..." kata suara pertama.
Terdengar gadis yang berjuluk Walet Mata Emas itu mengomel. "Hemm, setelah
mengenal orang baru bersikap sopan, itu namanya sopan palsu. Biarpun kami orang
miskin, apakah para perajurit berhak untuk memandang rendah dan menghina kami"
Kalau tidak mampu bertanya dengan sopan, kamipun tidak mampu menjawab!"
"Kim-gan Yan-cu, maafkan kawan kami ini. Dia perajurit baru, pindahan dari luar
kota raja. Kami sedang bingung dan sibuk, mengejar-ngejar seorang buronan,
seorang pemberontak yang amat berbahaya. Biasanya engkau dan kawan-kawanmu tak
pernah mengganggu, bahkan sering kali membantu kami mengamankan daerah-daerah.
Maka kini kami mohon bantuanmu dan kawan-kawanmu untuk mencari buronan itu. Dia
seorang muda, namanya A-sin, tadinya bekerja sebagai pelayan restoran."
"Hemm, kami tidak melihat dia sekarang."
"Kalau kalian melihatnya, harap suka membantu kami menangkapnya, dan harap
kalian menyuruh kawan-kawan kalian yang banyak untuk ikut mencarinya."
"Baik, baik...!"
Tak lama kemudian, para perajurit itu sudah pergi dan Sin Liong disuruh keluar
dari tumpukan sampah. Dia merasa heran sekali. Ternyata para perajurit itu tidak
hanya mengenal gadis ini, bahkan kelihatan takut dan menghormatinya! Maka diapun
cepat menjura. "Terima kasih atas pertolongan kalian..."
"Pertolongan apa! Engkau masih terancam bahaya. Hayo kerjakan dia!" perintah
gadis itu. Empat orang pengemis muda itu lalu beramai-ramai mengenakan pakaian butut kepada
Sin Liong dan dengan arang dan lumpur mereka menyulap wajah Sin Liong menjadi
wajah yang kotor, wajah seorang pengemis yang terlantar. Sin Liong tidak sempat
menolak karena dia tahu bahwa mereka itu bermaksud baik terhadap dirinya.
"Nah, kau diam saja, pura-pura sakit dan kelaparan. Jangan mengeluarkan suara,
kecuali rintihan dan keluhan kalau bertemu perajurit," kata gadis itu dan Sin
Liong yang masih keheranan itu hanya mengangguk. Dia benar-benar merasa canggung
sekali berhadapan dengan gadis yang ternyata amat berwibawa ini dan merasa makin
canggung lagi ketika empat orang itu menggotongnya, seperti menggotong seekor
kerbau yang akan disembelih! Dan gadis itu berjalan di depan!
Beberapa kali mereka bertemu dengan pasukan dan seperti dipesankan oleh gadis
itu, setiap kali ada pasukan berhenti dan memandang kepadanya, dia mengeluh.
"Ini seorang pengemis kelaparan dari luar daerah. Mengotori kota raja saja, dan
kami hendak mengirim dia kembali ke tempatnya, biar kalau sampai matipun mati di
tempatnya sendiri, tidak di kota raja!" demikian gadis itu menerangkan setiap
kali ada pertanyaan dari para perajurit yang masih sibuk mencari-cari Sin Liong
itu. Akhirnya, dengan mudah para pengemis muda itu menggotong Sin Liong keluar
dari pintu gerbang selatan. Agaknya mereka itu amat dipercaya oleh para penjaga
pintu gerbang, apalagi keterangan gadis lincah itu agaknya tidak pernah
diragukan orang. Setelah keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan dan para pengemis
yang menggotong tubuh Sin Liong itu sudah tiba jauh dan tidak nampak lagi oleh
para penjaga, Sin Liong lalu diturunkan.
"Nah, sekarang kita harus berlari cepat. Hayo ikut dengan kami, A-sin!" kata
gadis baju biru itu. Sin Liong hanya mengangguk saja dan dia ikut berlari
bersama gadis itu dan empat orang pengemis muda, menuju ke sebuah hutan kecil di
lereng bukit yang nampak dari situ.
Ternyata di tengah hutan itu terdapat sebuah kuil rusak yang kosong dan ke
tempat inilah mereka menuju. Agaknya gadis itu dan kawan-kawannya sudah biasa di
tempat ini karena mereka langsung masuk dan membersihkan sebuah ruangan yang
masih belum begitu bobrok dan dapat dipergunakan untuk tempat bersembunyi yang
teduh dan terlindung dari panas atau hujan. Memang demikianlah, tempat-tempat
seperti kuil kosong, kolong-kolong jembatan, emper-emper toko merupakan tempattempat yang tidak asing bagi kaum gelandangan seperti mereka itu, yang tidak


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempunyai rumah atau keluarga.
Setelah membersihkan ruangan itu dibantu oleh empat orang pengemis muda yang
agaknya menjadi anak buah gadis itu, mereka lalu berunding. "Kalian harus cepat
kembali ke kota raja dan menyelidiki keadaan. Kalau ada bahaya mengancam, lekas
beri tahu kami di sini. Aku terpaksa harus melindungi si lemah ini!" kata gadis
berbaju biru itu kepada empat orang anak buahnya yang menyatakan setuju. Mereka
segera berangkat meninggalkan Sin Liong berdua gadis itu.
Diam-diam Sin Liong merasa kagum menyaksikan kesigapan dara itu,
kesederhanaannya, kecerdikannya, dan juga wibawanya. Gadis itu tentu paling
banyak lima belas atau enam belas tahun usinya, namun telah dapat memimpin
pengemis-pengemis muda yang kelihatan begitu taat kepadanya!
Setelah empat orang pengemis muda itu pergi, gadis baju biru itu keluar dari
dalam kuil. Tanpa diperintah, Sin Liong mengikutinya dan ketika gadis itu duduk
di atas sebuah bangku batu rendah yang berada di belakang kuil rusak, Sin Liong
hanya berdiri memandang, sinar matanya masih membayangkan kekaguman dan juga
keheranan karena kembali ada perasaan mengganggunya bahwa dia pernah bertemu
dengan gadis ini! Wajah gadis ini tidak asing baginya! Akan tetapi biarpun dia
payah mengingat-ingat, dia merasa belum pernah berkenalan dengan seorang gadis
pengemis, apalagi pemimpin pengemis!
Tiba-tiba gadis itu menoleh dan memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu
pandang, melekat sebentar. Gadis itu cemberut. "Ada apa engkau memandangku
seperti itu" Engkau berani mengandung pikiran kurang sopan" Kugampar mukamu
nanti!" Sin Liong menjadi gugup dan mukanya menjadi merah, seperti telah dipukul saja.
Dia cepat menundukkan mukanya dan tidak berani memandang. Terdengar gadis itu
tertawa kecil. "Hik-hik, aku hanya main-main. Kau mengapa begini pemalu" Eh, A-sin, sungguh
tidak kusangka bahwa engkau ternyata bukan sembarang orang, melainkan seorang
penting yang menyembunyikan diri dan menyamar sebagai pelayan! Hebat! Semuda ini
engkau sudah dijadikan buruan pemerintah. Wah, engkau pasti orang penting yang
menyamar. Siapakah sebenarnya engkau dan mengapa engkau dikejar-kejar perajurit
kerajaan?" Sin Liong tidak ingin diketahui sebabnya dia dikejar-kejar para perajurit. Dia
dikejar perajurit karena hasutan Kim Hong Liu-nio bahwa dia adalah putera
pemberontak Cia Bun Houw dan dia sama sekali tidak suka mengaku sebagai putera
pendekar itu. Akan tetapi, para pengemis muda pembantu gadis itu pergi
menyelidiki ke kota raja. Mereka itu tentu akan mendengar pula bahwa dia menjadi
buronan karena putera pendekar Cia Bun Houw. Setelah berpikir sejenak dia
menemukan akal. "Ahh, aku adalah orang biasa dan bekeria sebagai pelayan untuk mencari sesuap
nasi. Akan tetapi sungguh sial, mungkin karena persamaan wajah, aku dituduh
sebagai anak pemberontak dan dikejar-kejar. Kalau tidak ada engkau yang
menolongku, tentu aku telah ditangkap dan dihukum mati."
Gadis itu bangkit berdiri, menghadapi Sin Liong dan sepasang matanya yang jeli
itu dengan penuh selidik mengamati Sin Liong, dari rambut sampai ke kaki,
kemudian dia cemberut, menggeleng kepalanya. "Tidak, engkau bukan seorang
pelayan restoran biasa! Engkau tidak setolol yang ingin kauperliliatkan. Aku
lebih percaya kalau engkau benar-benar seorang penting yang menyamar pelayan
daripada seorang pelayan tulen dari dusun yang buta huruf dan tolol. Dan...
wajahmu ini tidak asing bagiku! Benar, aku pasti sudah pernah melihatmu. Hayo
kau mengaku sajalah!"
Sin Liong terkejut dan dia kembali memandang. Mereka berpandangan dan makin
terasa oleh mereka bahwa mereka memang pernah saling jumpa, dan betapa wajah itu
tidak asing sama sekali. Kini, setelah tidak berada dalam keadaan tegang, mereka
dapat memperhatikan wajah masing-masing. Akan tetapi tetap saja Sin Liong tidak
ingat pernah berkenalan dengan seorang gadis pemimpin pengemis, sebaliknya gadis
itu agaknya juga tidak ingat pernah bertemu dengan seorang pelayan atau buronan
pemberontak. "Nona, siapakah namamu?" akhirnya Sin Liong bertanya karena dia yakin kalau dia
mengetahui nama gadis ini tentu dia akan teringat.
Kembali sinar mata gadis itu memperlihatkan perasaan tidak senang dan curiga.
"Mau apa kau tanya-tanya nama orang!" bentaknya curiga, menduga bahwa pemuda
ini, seperti pemuda-pemuda lain berwatak ceriwis.
Galak benar bocah ini, pikir Sin Liong. Akan tetapi karena gadis ini telah
menolongnya, dia tetap bersikap sabar. "Terus terang saja, nona, akupun merasa
seperti pernah bertemu denganmu. Kalau aku mengetahui namamu, mungkin saia aku
akan teringat lagi dan kenal padamu."
"Hemm, engkau sudah mendengar bahwa namaku dikenal sebagai Kim-gan Yan-cu!" kata
nona itu dan mendengar nama julukan ini, mau tidak mau Sin Liong memperhatikan
mata gadis itu dan memang pantaslah kalau gadis itu dijuluki Kim-gan (Si Walet
Emas) karena sepasang mata itu memang amat indahnya!
"Aku tidak mengenal julukan itu."
"Hemm, kalau tidak mengenal sudah saja!" Gadis itu mendengus marah karena
hatinya merasa tidak senang mendengar ada orang yang tidak mengenal "nama
besarnya". Ketika mendengus marah, dia menggerakkan kepalanya sehingga rambut
yang dikucir menjadi dua itu pindah ke depan pundak dan gerakan itu membuat
lehemya tersibak. Nampak kulit tengkuk leher yang amat mulus, akan tetapi bukan
kemulusan kulit itu yang membuat Sin Liong terbelalak, melainkan setitik tahi
lalat di kulit tengkuk yang putih mulus itu. Tahi lalat itu! Kini dia teringat
dan matanya terbelalak memandang kepada gadis itu. Tahi lalat itu membuat
sepasang mata yang tajam dan jeli, hidung kecil mancung dan mulut dengan
sepasang bibir mungil itu menjadi sama sekali tidak asing lagi baginya.
"Bi Cu...!" suara ini hanya terdengar sebagai bisikan saja keluar dari mulut Sin
Liong yang masih menatap wajah itu tanpa berkedip.
Kini gadis itu yang kelihatan kaget bukan main. Selama ini tidak ada orang yang
mengenal namanya, dan dia hanya memperkenalkan nama dengan julukannya itu. "Eh,
bagaimana kau bisa mengenal namaku" Kau... kau siapa...?" bentaknya, heran,
kaget dan curiga. Mendengar ini, yakinlah hati Sin Liong dan tiba-tiba dia merasa sekali, teringat
akan malapetaka yang menimpa keluarga Na yang amat baik kepadanya itu. "Bi Cu,
lupakah engkau kepadaku" Aku Sin Liong...!"
Sepasang mata itu terbelalak lebar, amat indahnya. "Sin Liong..." Ah, tentu
saja...! Akan tetapi siapa sangka engkau menjadi pelayan restoran dan seorang
buronan pasukan pemerintah pula?" Gadis itu juga teringat akan masa lalu, maka
menjadi terharu dan juga gembira sekali. "Sin Liong...!"
Mereka saling berpegang tangan, lalu keduanya berloncatan menari-nari dengan
gembira seperti dua orang anak kecil bermain-main. Kegembiraan meluap di dalam
hati mereka karena mereka berdua sama sekali tidak pernah mengira akan dapat
saling berjumpa setelah malapetaka itu menimpa mereka dalam rumah keluarga Na
Ceng Han atau Na-piauwsu.
Akhirnya keduanya ingat bahwa mereka telah bersikap seperti anak kecil. Dengan
muka berubah merah Bi Cu melepaskan pegangan tangannya, lalu terengah-engah
duduk di atas bangku batu tadi. Wajahnya berseri dan merah sekali, akan tetapi
matanya basah air mata. "Aihh... siapa kira dapat bertemu denganmu lagi, Sin Liong," Katanya dan dia
terhenti karena lehernya seperti tercekik oleh rasa haru.
Sin Liong tersenyum. Bukan main gembira rasa hatinya, Bi Cu yang dulu seorang
anak perempuan pendiam itu kini telah menjadi seorang gadis remaja yang lincah,
cantik dan cerdik. Teringat akan waktu dulu, dia tertawa dan menudingkan
telunjuk kirinya ke arah gadis itu. "Dan siapa sangka akan dapat bertemu engkau
yang kini telah menjadi ratu pengemis" Engkau dahulu begitu pendiam dan pemalu
dan sekarang..." Kegembiraan Sin Liong menular kepada Bi Cu yang kini memang berwatak lincah itu.
Dia membuat gerakan lucu dan bersungut-sungut, tangan kirinya terbentang. "Dan
sekarang kau hendak mengatakan bahwa aku cerewet dan tak tahu malu?"
"Ihh, tentu saja tidak!" Sin Liong tersenyum. "Engkau menjadi seorang gadis
lincah, cerdas dan berani, sungguh mengagumkan sekali, Bi Cu! Sungguh mati, mana
mungkin aku dapat mengenalmu lagi?"
"Tapi toh engkau tadi mengenalku lebih dulu!"
"Atas bantuan tahi lalatmu."
"Eh?" Bi Cu meloncat bangun dan berdiri menghadapi Sin Liong, menatap wajah
pemuda itu dengan tajam. "Tahi lalat?"
"Ya, tahi lalat di tengkukmu. Tadi tampak ketika engkau memindahkan kuncirmu ke
depan. Engkau mempunyai tahi lalat kecil di tengkuk, apakah engkau tak dapat
melihatnya?" "Hik-hik, tolol engkau. Apa kaukira aku sudah menjadi siluman yang mempunyai
mata di belakang kepala" Mana bisa melihat tahi lalat di tengkuk sendiri!"
Sin Liong juga tertawa. "Akan tetapi, sejak dahulu engkau sudah mempunyai tahi
lalat itu, apakah kau lupa betapa tahi lalatmu itu dijadikan bahan godaan
oleh... Tiong Pek?" "Ohhh...!" Mendengar disebutnya nama ini, berubah wajah Bi Cu dan dia duduk
kembali di atas bangku, termenung!
Tanpa ragu-ragu Sin Liong juga duduk di atas bangku itu setelah Bi Cu menggeser
ke pinggir. Mereka duduk berdampingan, seperti dulu di waktu mereka baru berusia
dua belas tahun. Sin Liong maklum bahwa tentu gadis ini mengalami banyak sekali
hal luar biasa, maka dia sampai menjadi seorang pemimpin kaum jembel di pasar
kota raja itu. "Bi Cu, bagaimana engkau dapat berada di sini dan menjadi pemimpin para pengemis
muda itu" Bukankah dahulu engkau masih bersama Tiong Pek dan tinggal di Kunting?" Bi Cu bertopang dagu, mukanya masih muram dan bibirnya cemberut, seolah-olah
saat itu dia terkenang akan hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya, kemudian
dia melirik ke arah muka Sin Liong dan bertanya, "Engkau sendiri, setelah dulu
dibawa pergi oleh wanita itu, bagaimana tahu-tahu muncul di kota raja sebagai
pelayan restoran yang kemudian dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah?"
Sin Liong tersenyum dan memandang kagum. "Ah, engkau benar-benar telah berubah
banyak sekali, Bi Cu. Engkau dulu pemalu dan pendiam, kini engkau demikian
lincah dan pandai bicara. Belum menjawab pertanyaan orang, engkau sudah
menyerang kembali dengan pertanyaanmu."
"Sudah sepatutnya dan selayaknya seorang pria mengalah terhadap wanita, bukan"
Nah, kauceritakan pengalamanmu."
"Seperti engkau ketahui, ketika keluarga paman Na diserbu penjahat dan engkau
bersama aku dan Tiong Pek melawan para penjahat, muncul wanita iblis itu dan aku
lalu dibawanya pergi..."
"MANUSIA IBLIS" Kaumaksudkan wanita cantik gagah perkasa yang telah berhasil
membunuh semua penjahat keji yang telah menewaskan suhu sekeluarganya itu"
Mengapa kau menyebut wanita gagah itu iblis?"
"Engkau tidak tahu, Bi Cu. Memang dia, entah mengapa, telah membunuh penjahatpenjahat yang membasmi keluarga paman Na, dan memang agaknya ada kegagahan
tersembunyi dalam dirinya, akan tetapi wanita itu adalah seorang manusia iblis
yang amat kejam sekali. Namanya Kim Hong Liu-nio, ah, engkau tidak tahu betapa
kejamnya. Aku nyaris tewas disiksa olehnya, untung aku dapat... eh, membebaskan
diri, ditolong oleh seorang kakek." Sin Liong tidak ingin menceritakan tentang
kakek Cia Keng Hong yang sesungguhnya adalah kakeknya sendiri itu. Juga dia
tidak ingin menceritakan bahwa dia telah mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, dia
ingin dikenal oleh Bi Cu sebagai Sin Liong yang dahulu ketika mereka bersamasama belajar di bawah bimbingan Na-piauwsu yang baik hati.
"Nona... nona Kim-gan Yan-cu...!"
Sin Liong dan Bi Cu cepat menengok dan mereka melihat dua orang pengemis muda
yang tadi membantu datang dengan muka pucat dan penuh keringat, napas mereka
terengah-engah. Semua pengemis muda yang menjadi anak buah Bi Cu memang
diharuskan menyebut nona oleh gadis itu. Melihat keadaan dua orang pembantunya
yang dia tahu tidak mudah ketakutan itu, Bi Cu maklum bahwa tentu terjadi halhal yang hebat. "Hem, A-sam dan A-khun, ada apakah?" tanyanya dengan alis berkerut sambil
bangkit berdiri. Sin Liong sudah berdiri, memandang penuh perhatian.
A-khun memandang kepada Sin Liong dengan terbelalak, sedangkan A-sam setelah
menoleh ke arah Sin Liong berkata, "Nona, kita telah tertipu... dia... dia ini
benar-benar orang yang menyamar..., kabarnya dia... dia ini seorang yang
berkedudukan tinggi, masih saudara dengan seorang pangeran, akan tetapi juga
kabarnya dia dicari karena dia keluarga pemberontak... wah, celaka, nona,
sekarang ada pasukan kerajaan sedang menuju ke sini untuk menangkap dia, dan
juga untuk menangkap nona sendiri...!"
"Biar mereka menangkap aku!" Sin Liong berkata penasaran. "Akan tetapi mengapa
mereka hendak menangkap Kim-gan Yan-cu?"
"Ya, mengapa mereka bendak menangkap aku, A-sam?"
"Karena nona diketahui telah menolong dia melarikan diri. Cepat, nona, itu,
sudah terdengar bunyi derap kuda mereka!"
Benar saja dari jauh terdengar derap kaki kuda memasuki hutan. Sin Liong tidak
merasa gentar, akan tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, sementara itu,
A-sam dan A-khun sudah menyelinap dan melarikan diri di antara semak-semak
belukar. "Bi Cu, cepat mari ikut aku pergi!"
Dia menggandeng tangan gadis itu dan mengajak lari. Bi Cu yang biasanya menjadi
pemimpin, kini menurut saja karena dia masih terlampau kaget dan bingung.
Dikejar pasukan pemerintah bukan merupakan hal yang remeh, pikirnya.
"Ke mana kita akan pergi, Sin Liong?"
Mereka sudah tiba di luar hutan bagian belakang atau bagian selatan dan derap
kaki kuda tidak terdengar lagi. Agaknya pasukan yang mengejar mereka itu sedang
mencari-cari dan berkeliaran di dalam hutan karena memang hutan belukar itu
tidak memungkinkan mereka melarikan kuda cepat-cepat tanpa mengetahui ke arah
mana mereka harus mengejar.
"Bi Cu, aku menyesal sekali bahwa engkau terseret oleh kesialanku. Akan tetapi,
aku sudah mempunyai tempat yang baik sekali untuk melarikan diri. Mari kati ikut
bersamaku ke dalam dusun di mana tinggal keluarga Kui...!"
"Siapa itu keluarga Kui?" Bi Cu bertanya sambil terus melangkah mengikuti Sin
Liong. Mereka tidak lari lagi, hanya berjalan cepat menyusup-nyusup di antara
batu-batu besar, pohon-pohon dan semak-semak.
"Sin Liong, engkau ini aneh sekali. Benarkah engkau menjadi saudara seorang
pangeran" Dan benarkah engkau keluarga pemberontak?" Di tengah perjalanan itu Bi
Cu bertanya, suaranya penuh keheranan.
Sin Liong mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, tentu Gu-taijin yang mengabarngabarkan keadaan dirinya sebagai saudara Pangeran Ceng Han How, dan tentu Kim
Hong Liu-nio yang mengabarkan bahwa dia adalah putera pemberontak Cia Bun Houw!
Dia tetap tidak ingin bercerita tentang Cia Bun Houw kepada siapapun juga,
apalagi kepada Bi Cu, hanya kenyataan tentang hubungannya dengan Han Houw tentu
tidak mungkin untuk dirahasiakannya lagi.
"Baik, kuceritakan semua kepadamu, Bi Cu. Pertama-tama tentang keluarga Kui yang
akan kita datangi dan di mana kita akan berlindung dan bersembunyi. Dia... Kui
Hok Boan itu adalah ayah tiriku..."
"Ahh...!" Bi Cu menoleh dan memandang wajah Sin Liong dengan tertarik. Selama
Pendekar Gagak Cemani 1 Pendekar Rajawali Sakti 121 Rahasia Patung Kencana Raja Iblis Dari Utara 2

Cari Blog Ini