Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
dalam bentuk apapun juga, adalah MENYESATKAN. Ingin baik, ingin bebas, ingin
suka, ingin damai dan sebagainya, pada hakekatnya adalah INGIN SENANG! Betapapun
tinggi dan mulianya nampaknya yang diinginkan itu, tetap saja itu merupakan
keinginan untuk mencapai kesenangan, baik kesenangan batin maupun kesenangan
lahir. Dan setiap pengejaran kesenangan, dalam bentuk apapun juga, pasti
mendatangkan konflik dan ada yang menghalangi, ada yang merintangi, timbullah
kekerasan dan pertentangan, timbullah rasa benci dan permusuhan. Betapa
banyaknya hal ini terjadi di sekeliling kita! Betapa memang demikianlah hidup
ini. Contohnya, seorang pendeta bertapa untuk mencari kedamaian. Ini merupakan suatu
keinginan, ingin mencapai kedamaian. INGIN SENANG! Karena kalau dalam keadaan
damai, dianggapnya akan senang. Karena itu, setiap ada gangguan dalam
pertapaannya, dia akan menentang si pengganggu ini dan terjadilah permusuhan.
Dengan sendirinya kedamaian yang dicari-cari itupun hancur lebur! Betapa
banyaknya hal ini dilihat dalam kehidupan kita sekarang ini! Bangsa-bangsa
berteriak-teriak mencari perdamaian, INGIN DAMAI, yang berarti ingin senang
pula! Bukan enggan perang, melainkan ingin damai, ingin senang. Maka, dalam
mengejar perdamaian ini, kalau perlu dengan jalan perang! Dan kalau sudah
perang, mana ada perdamaian" Padahal, perdamaian tidak perlu dikejar, tidak
perlu dicari. Hentikan perang, jangan berperang, maka tanpa dicari sudah ada
kedamaian itu! Demikian pula dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita terlalu
banyak MENGINGINKAN hal-hal yang tidak ada. Kita tidak mau membuka mata akan
kehidupan kita sehari-hari, tidak mau memandang keadaan kita setiap saat, lahir
batin. Kita INGIN sabar, padahal kita pemarah. Sama seperti ingin damai tapi
dalam keadaan perang tadi. Kalau kita mengenal diri sendiri, melihat kemarahan
sendiri, penglihatan ini menyandarkan dan menghentikan marah itu. Kalau sudah
tidak ada marah perlukah belajar sabar lagi"
Kita manusia sebagai perorangan, sebagai kelompok, sebagai bangsa, agaknya lupa
bahwa segala sumber peristiwa berada di dalam diri kita sendiri. Kuncinya berada
dalam diri kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari ke luar. Kita tidak mau
mempelajari diri sendiri dalam hubungannya dengan kehidupan. Kehidupan adalah
kita, kitalah pokoknya, kitalah, ujung pangkalnya, kitalah dasarnya, kitalah
sebab akibatnya. Kita lebih suka mempelajari orang lain, mencari-cari kesalahan
orang lain dan mencari kesenangan untuk diri sendiri belaka selama hidup. Maka
tidaklah aneh kalau selama hidup kita diombang-ambingkan oleh gelombang
kehidupan penuh suka-duka, jauh lebih banyak dukanya dari pada sukanya. Maukah
kita menyadari semua ini dan mulai meneliti diri sendiri. Bercermin sepanjang
hari setiap saat" Bercermin lahir batin" Kapan dimulai" SEKARANG JUGA!
*** Sang waktu berlalu terus tanpa memperdulikan segala sesuatu yang terjadi di
dunia ini. Matahari timbul tenggelam setiap hari tanpa memperdulikan segala yang
terjadi, bebas tanpa ikatan, melalui jalan kehidupan dengan wajar. Itulah ABADI!
Apapun yang terjadi atas dirinya, ada maupun tidak ada, begini maupun begitu,
tidak mempengaruhinya. Tidak ada kemarin, tidak ada esok, yang ada hanya
SEKARANG. Dan sekaranglah abadi!
Tanpa terasa karena tidak diingat-ingat, sepuluh tahun telah lewat semenjak hari
pernikahan di Padang Bangkai antara Liong Si Kwi dan Kui Hok Boan itu. Sepuluh
tahun telah lewat semenjak terjadinya peristiwa menggegerkan di dalam pesta
pernikahan itu. Dan selama sepuluh tahun itu, Liong Si Kwi hidup sebagai suami isteri yang
saling mencinta dengan Kui Hok Boan. Hidup rukun dan damai, menikmati kebahagiaan hidup suami isteri yang sebelumnya belum pernah mereka rasakan. Dan
selama sepuluh tahun itu, terjadi perubahan hebat di tempat itu. Tempat yang
dulu bernama Padang Bangkai dan merupakan tempat yang berbahaya dan menyeramkan,
kini telah menjadi sebuah perkampungan besar. Sudah banyak dibuka toko dan pasar
di tempat itu. Kui Hok Boan sendiri bersama isteri dan keluarganya telah pindah
ke Istana Lembah Naga, dan kini Padang Bangkai hanya tinggal dongengnya saja.
Kini telah menjadi dusun-dusun yang makmur karena tanah di daerah itu memang
subur. Kui Hok Boan dan isterinya telah mempunyai dua orang puteri. Dua orang anak
perempuan kembar yang kini telah berusia sembilan tahun. Dua orang anak kembar
itu diberi nama Lan dan Lin. Sukar sekali bagi orang lain untuk membedakan
antara Kui Lan dan Kui Lin. Wajah mereka sama benar. Bahkan ayah bunda mereka
sendiri kadang-kadang suka keliru memanggil dan hanya setelah melihat leher
sebelah kiri dari seorang di antara mereka saja maka ayah bunda ini tahu mana
yang Kui Lan dan mana yang Kui Lin. Di leher kiri Kui Lan terdapat sebuah titik
berwarna merah, tanda semenjak lahir. Selain tanda itu, tidak ada lagi tanda
lahiriah yang dapat membedakan antara dua orang anak kembar itu. Segala-galanya
sama dari ujung kaki sampai ke ujung rambut! Akan tetapi kalau dua orang anak
itu berbicara atau bergerak, terdapat perbedaan antara mereka. Sejak kecil, Kui
Lan atau yang biasa dipanggil Lan Lan selalu cerewet dan nakal, sedangkan Lin
Lin lebih pendiam. Lan Lan agak bandel dan pemberani, sebaliknya Lin Lin agak
penakut dan cengeng. Akan tetapi kalau keduanya duduk diam dan Lan Lan tidak
memperilhatkan tanda titik merah di leher kirinya biar ayah bundanya sendiripun
tidak akan dapat mengenal dan membedakan mereka.
Selain Lan Lan dan Lin Lin, di dalam Istana Lembah Naga yang menjadi tempat
tinggal sasterawan Kui Hok Boan dan isterinya itu, terdapat pula dua orang anak
laki-laki yang sebaya, berusia kurang lebih dua belas tahun. Mereka ini adalah
keponakan-keponakan dari Kui Hok Boan, yang oleh sasterawan itu diambil dari
selatan untuk menjadi teman dua orang anak kembarnya. Yang seorang bersikap
gagah dan berwajah tampan dan angkuh, bernama Kwan Siong Bu. Anak ini memang
tampan dan biarpun usianya baru dua belas tahun, namun dalam segala hal dia
meniru pamannya sehingga seperti juga pamannya, dia selalu berpakaian bersih dan
rapi, rambutnya disisir rapi pula, muka, leher dan tangannya tidak pernah kotor.
Wajahnya tampan dan sikapnya halus meniru pamannya, sikap seorang kongcu
hartawan, dan wajah yang tampan itu membayangkan keangkuhan, keangkuhan yang
timbul dari kesadaran bahwa dia adalah keponakan penghuni Istana Lembah Naga
yang disegani, kaya raya dan lihai ilmu silatnya. Sedangkan anak ke dua sungguh
jauh bedanya dengan Kwan Siong Bu. Anak ini juga keponakan dari Kui Hok Boan,
akan tetapi biarpun wajahnya juga tidak buruk, bahkan boleh dibilang tampan,
namun wajahnya bulat dengan sepasang pipi yang gendut, matanya lebar penuh
kejujuran, mulutnya selalu menyeringai lucu, tersenyum bukan untuk melucu, akan
tetapi memang wajahnya mempunyai garis-garis yang lucu. Tubuhnya juga kegemukgemukan sehingga cocok benar dengan wajahnya yang bulat dan bundar itu. Anak ini
bernama Tee Beng Sin, seorang anak yang tidak bisa membohong dan terlalu jujur
sehingga menyenangkan hati siapapun juga yang berhadapan dengan dia.
Sejak berusia lima tahun, Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin dibawa oleh paman
mereka ke Istana Lembah Naga, menjadi teman bermain Lan Lan dan Lin Lin. Karena
suaminya amat mencinta dua orang keponakan itu, dan karena dia sendiripun tidak
mempunyai anak laki-laki dari suaminya, maka Si Kwi juga menyayang mereka. Tentu
saja Si Kwi sama sekali tidak pernah menduga bahwa kedua anak laki-laki itu
sebetulnya sama sekali bukan keponakan dari Kui Hok Boan, melainkan anak-anak
kandungnya sendiri! Seperti diketahui, Kui Hok Boan di waktu mudanya adalah
seorang petualang asmara, seorang yang gila perempuan dan entah sudah berapa
ratus orang wanita yang dirayunya dan dijatuhkannya, menjadi kekasihnya. Baik
wanita itu sudah bersuami, janda maupun perawan, jarang ada yang dapat bertahan
terhadap rayuan petualang asmara ini. Dan tidak dapat dihindarkan lagi, di
antara wanita-wanita yang telah dijatuhkannya itu, ada pula yang mengandung dan
melahirkan anak keturunannya!
Kwan Siok Bu adalah anak keturunannya sendiri dari seorang janda bernama Kwan
Sian Li, dan Tee Beng Sin adalah anak keturunannya dari seorang gadis yatim
piatu bernama Tee Cui Hwa yang kini telah menjadi seorang nikouw. Tentu saja Kui
Hok Boan tidak berani mengakui mereka sebagai putera-puteranya sendiri, maka dia
memakai she dari ibu anak masing-masing ketika dia mengajak Siong Bu dan Beng
Sin ke Lembah Naga. Dan bagaimanakah dengan keadaan Sin Liong" Anak dari Si Kwi
yang semenjak lahirnya dipelihara oleh monyet betina" Kini Sin Liong sudah besar
pula, sudah berusia kurang lebih dua belas tahun. Tubuhnya tegap dan kuat karena
anak ini semenjak kecil sering kali bergaul dengan monyet-monyet, berloncatan
dari pohon ke pohon. Ketika anak itu sudah berusia lima tahun, Kui Hok Boan mendesak kepada isterinya
agar Sin Liong tidak lagi diperkenankan untuk hidup liar di hutan-hutan bersama
para monyet. "Anak itu bukan monyet, melainkan manusia," kata sasterawan ini.
"Dan dia adalah anak angkat kita, maka sudah sepatutnya dididik menjadi calon
manusia yang baik. Setidaknya, dia harus diajar baca tulis agar kelak menjadi
manusia yang berguna." Si Kwi yang masih merasa yakin bahwa anak itu adalah anak
kandungnya, melihat betapa wajah anak itu mirip dengan pendekar sakti Cia Bun
Houw, tidak membantah. Memang dia setuju dengan pendapat suaminya. Akan tetapi,
melihat betapa suaminya amat mencintanya, amat baik terhadap dirinya dan dia
menemukan kebahagiaan di samping suaminya dan dua orang anak kembarnya, Si Kwi
sama sekali tidak berani membayangkan kepada suaminya bahwa Sin Liong adalah
puteranya sendiri! Maka, biarpun dalam hatinya dia kadang-kadang merasa kasihan,
rindu dan prihatin melihat putera kandungnya ini, namun pada lahirnya dia tidak
pernah memperlihatkan sesuatu yang melebihi sikap seorang ibu angkat!
Sin Liong amat taat kepada ibu angkatnya. Maka ketika Si Kwi melarang dia
berkeliaran di hutan lagi, dia menurut biarpun merasa berduka. Hanya kalau semua
orang sudah tidur saja, anak berusia lima enam tahun itu masih suka keluar dari
kamarnya untuk menemani para monyet itu bergembira di bawah sinar bulan. Dan
diapun tidak pernah menolak ketika Kui Hok Boan memberi dia pekerjaan yaitu
membersihkan rumah, menyapu halaman, dan menggembalakan sapi dan kuda. Bahkan
dia sayang sekali kepada kuda dan sapi yang dipelihara oleh ayah angkatnya
sehingga pekerjaannya amat memuaskan. Akan tetapi, karena sudah menjadi
kebiasaan, dia tidak pernah dapat menjaga bersih pakaiannya sehingga pakaiannya
selalu kotor. Akhirnya, demi untuk menanamkan kerajinan kepada anak itu, Kui Hok
Boan menyuruh isterinya mengajar anak itu menjahit dan menambal sendiri pakaiannya yang mudah robek karena dia tidak pernah menjaganya. Demikianlah, setelah
berusia dua belas tahun, Sin Liong bekerja di istana itu sebagai seorang jongos
atau pelayan, berpakaian cukup bersih akan tetapi ada tambal-tambalannya, dan
mempelajari membaca dan menulis huruf di bawah pimpinan Kui Hok Boan sendiri,
bersama-sama dengan Lan Lan, Lin Lin, Siong Bu dan Beng Sin. Biarpun di waktu
sama-sama mempelajari ilmu bun (sastera) ini dia duduk di sudut terpisah, namun
ternyata bahwa Sin Liong amat cerdas dan dapat lebih cepat menghafal
dibandingkan dengan empat orang anak yang lain itu. Juga dia telah memiliki
bakat menulis baik, coretan-coretan tangannya ketika menulis huruf amat kuat dan
mengandung keindahan dan gaya tersendiri yang mengagumkan. Dia pandai pula
menggambar dan suka membaca kitab-kitab kuno. Anak ini berwatak sederhana,
pendiam dan suka menyendiri. Wajahnya tampan dan matanya mempunyai sinar yang
tajam. Dia lebih banyak mendengarkan daripada bicara, dan memiliki kekerasan
hati yang amat luar biasa. Anak ini tidak pernah menangis! Atau setidaknya,
tidak pernah kelihatan menangis oleh orang lain. Agaknya, dia mempunyai
pantangan menangis di depan orang lain!
Dalam segala hal kecuali pakaian dan pelajaran ilmu silat, Kui Hok Boan tidak
membedakan sikapnya terhadap Sin Liong dengan sikapnya terhadap dua orang
"keponakannya" itu. Dia selalu bersikap baik dan manis terhadap anak angkatnya
ini. Hal ini kadang-kadang membuat Si Kwi merasa tidak puas. Dia mengerti bahwa
dalam hal pakaian, memang Sin Liong yang sembarangan itu patut memelihara
pakaiannya sendiri, dan memang tidak mengapalah memakai pakaian sederhana karena
seingatnya, ayah kandung anak ini, pendekar sakti Cia Bun Houw juga seorang pria
berjiwa sederhana. Akan tetapi dia tidak setuju kalau Sin Liong tidak diberi
latihan ilmu silat. Anak pendekar sakti Cia Bun Houw dan tidak belajar ilmu
silat! Akan tetapi, suaminya membantah, "Isteriku, kita harus mencegah Sin Liong kelak
menjadi seorang manusia yang mudah menyeleweng ke dalam kejahatan. Ingatlah,
anak itu sejak kecil dipelihara monyet dan sampai sekarangpun dia masih memiliki
watak aneh, penuh rahasia dan pendiam sekali, kadang-kadang seperti masih
mengandung watak atau sifat liar. Bayangkan saja, anak sebesar itu sejak kecil
belum pernah menangis! Aku khawatir sekali, kalau dia diberi pelajaran ilmu
silat dan sudah menguasai ilmu itu, kelak akan muncul sifat liarnya dan dia
tentu sukar untuk dikendalikan lagi. Lebih baik jejali dia dengan pelajaran bun
dan kebudayaan, karena pelajaran ini tentu akan dapat menahan keliarannya. Dan
aku melihat dia amat tekun dan berbakat mempelajari sastera. Kalau kelak dia
sudah pandai dan menempuh ujian di kota raja sampai berhasil, alangkah baiknya."
Seperti biasa, Si Kwi tidak berani membantah lagi. Dia amat tunduk kepada
suaminya yang telah mengembalikan kebahagiaan dalam kehidupannya itu. Dia tidak
pernah dapat melupakan kebaikan suaminya, tiada habisnya dia berterima kasih
kepada suaminya yang telah menuntunnya kembali ke dalam kehidupan yang
berbahagia, setelah dia hampir kehilangan harapan untuk memperoleh kebahagiaan
di dalam istana kuno yang sunyi itu. Apalagi, dia tahu bahwa suaminya amat baik
hati dan menyayangi Sin Liong.
Dan memang sesungguhnyalah. Sama sekali tidak ada rasa benci dalam hati Kui Hok
Boan terhadap anak itu. Dia menganggap anak itu sebagai anak angkat isterinya,
dan diapun merasa kasihan kepada anak yang aneh sekali riwayatnya ini, anak yang
tidak mengenal siapa ayah bundanya, anak yang ditemukan isterinya dalam rawatan
monyet-monyet. Dia malah sudah mencoba untuk menyelidiki asal usul anak ini
dengan bertanya-tanya kepada para penduduk dusun, namun tidak pernah dapat
menemukan jejak orang tua anak itu. Maka dia juga tidak keberatan memberikan she
Kui kepada anak yang tidak mempunyai nama keturunan itu. Hanya dia menekankan
agar diketahui oleh Sin Liong bahwa she Kui hanyalah she "pinjaman" saja.
"Sin Liong, engkau tahu bahwa biarpun engkau memakai nama Kui Sin Liong, namun
shemu itu bukanlah shemu yang sesungguhnya. Oleh karena itu, belajarlah yang
tekun agar kelak engkau dapat memperoleh kedudukan yang tinggi dan engkau
mendapat kesempatan untuk menyelidiki siapa orang tuamu yang sesungguhnya, atau
kalau engkau memperoleh kedudukan, engkau tentu akan dihadiahi she oleh kaisar."
Memang pada waktu itu terdapat kebiasaan aneh bahwa orang yang berjasa dan
membuat pahala, dihadiahi she yang terhormat oleh kaisar! Sejak kecil sudah
tertanam dalam hati Sin Liong bahwa dia bukanlah anak dari ayah dan ibu
angkatnya. Dia tahu diri dan tidak banyak minta. Hanya satu hal yang membuat
hati Sin Liong kadang-kadang merasa tidak senang, yaitu bahwa dia tidak pernah
diajar ilmu silat! Hanya satu kali saja dia pernah mengajukan permintaan dan
pertanyaan ini kepada Hok Boan.
"Gihu (ayah angkat), kenapa saya tidak diberi pelajaran ilmu silat seperti yang
gihu ajarkan kepada kedua siocia dan kedua kongcu?" Sin Liong menyebut siocia
(nona) kepada Lan Lan dan Lin Lin, sedangkan kepada dua orang "keponakan" dari
Kui Hok Boan itu dia menyebut kongcu (tuan muda). Hal ini adalah atas perintah
dari Hok Boan dan ditaati oleh Sin Liong, juga tidak dibantah oleh Si Kwi. Hok
Boan, betapapun juga menganggap bahwa Sin Liong bukanlah darah dagingnya, juga
bukan keluarga dari isterinya. Sin Liong adalah seorang anak berdarah lain, maka
sudah semestinya menyebut nona dan tuan muda kepada anak-anak kandungnya!
"Sin Liong, ilmu silat tidaklah tepat untuk kaupelajari. Bakatmu lebih baik
dalam ilmu bun saja, maka kau tekunlah menghafal kitab dan memperdalam
pelajaranmu dalam kesusasteraan agar kelak engkau dapat menjadi seorang
sasterawan yang berkedudukan tinggi."
Sekali saja bertanya dan meminta sekali ditolak, Sin Liong tidak mau minta lagi.
Akan tetapi, kadang-kadang dia termenung dan ingin sekali mempelajari ilmu
silat, bahkan secara diam-diam dia selalu memperhatikan kalau empat orang anak
itu berlatih ilmu silat di bawah pimpinan Kui Hok Boan. Dan kadang-kadang juga
dipimpin sendiri oleh Liong Si Kwi. Wanita ini tidak lagi prihatin melihat anak
kandungnya, Sin Liong, tidak diperbolehkan belajar ilmu silat, karena dia
menganggap suaminya benar. Lebih baik melihat Sin Liong kelak menjadi seorang
sasterawan yang lemah lembut dan berhasil menjadi seorang yang berpangkat
daripada anak itu terancam bahaya tersesat karena memiliki sifat keras dan liar
setelah mempelajari ilmu silat.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Sin Liong sudah menyapu pekarangan belakang.
Tidak banyak kotoran di pekarangan ini karena musim rontok telah tiba, pohonpohon banyak yang gundul tak berdaun. Maka sebentar saja dia telah selesai
menyapu. Pada pagi hari itu, Kui Hok Boan melatih ilmu silat di pekarangan
belakang ini kepada empat orang anaknya.
"Kalian kurang giat berlatih," terdengar dia mengomel. "Masa sudah hampir
sebulan berlatih, jurus itu belum juga kalian kuasai dengan baik."
"Ayah, jurus Heng-pai-hud (Memuja Sang Buddha dengan Tangan Miring) itu memang
sukar sekali, terutama perubahan dari tangan memukul lalu menangkis dalam satu
gerakan sukar sekali, ayah," kata seorang di antara dua anak kembar itu. Baik
ayah mereka sendiri maupun Siong Bu dan Beng Sin, tidak mungkin dapat yakin
siapa yang bicara itu. Lan Lan ataukah Lin Lin. Akan tetapi Sin Liong yang
berdiri di belakang dua orang anak kembar itu sambil memegang gagang sapunya,
diam-diam dapat mengenal dan tahu bahwa yang bicara adalah Lan Lan. Bagi anak
ini, dia bukan hanya mengenal dan dapat membedakan antara dua orang anak kembar
itu dari tahi lalat merah di leher atau sifat mereka, akan tetapi dari gerakgerik mereka dia dapat membedakan mereka. Kepekaan atau naluri ini didapatnya
dari monyet-monyet itu. Tadi dia melihat betapa kepala anak perempuan yang
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bicara itu agak bergoyang, maka tahulah dia bahwa yang bicara adalah Lan Lan.
Biarpun tidak diketahui orang lain, namun kewaspadaan Sin Liong yang didapat
ketika dia hidup di antara monyet-monyet, dapat membuat dia mengenal kebiasaan
dari gerakan yang sekecil-kecilnya. Lan Lan biasa menggoyang-goyangkan kepala
tanpa disadarinya, mungkin dari perasaan yang menggerakkan syarafnya kalau
bicara, sedangkan kebiasaan Lin Lin kalau bicara adalah agak menundukkan muka.
"Memang benar, paman. Agak sukarlah gerakan jurus itu, harap paman suka
mengulang lagi dan memberi contoh," kata Siong Bu.
"Saya sudah melatih diri setiap hari, namun belum juga dapat bergerak dengan
baik!" Beng Sin juga berkata, matanya terbelalak dan sikapnya lucu.
Kui Hok Boan menarik napas panjang. "Ilmu silat bukan hanya membutuhkan
ketekunan, akan tetapi juga membutuhkan bakat. Bagi yang berbakat, setiap
gerakan akan terasa sampai di tulang sumsum, gerakan seperti menjadi otomatis
dan berirama sehingga setiap jurus baru dapat dikuasai dengan mudah, seperti
pada gerakan menari. Kalian jangan hanya menguasainya secara lahiriah saja,
melainkan harus dapat menjiwai ilmu itu! Ah, memang tidak mudah! Ilmu
kesusasteraan hanya pekerjaan otak, akan tetapi ilmu silat adalah pekerjaan
seluruh tubuh, lahir batin, harus ada keserasian antara otak, otot, tulang dan
syaraf. Nah, kalian lihat baik-baik, aku akan memberi contoh lagi bagaimana
harus bergerak dalam jurus Heng-pai-hud."
Kui Hok Boan lalu bersilat, memainkan jurus itu. Jurus ini adalah jurus serangan
yang sekaligus juga merupakan jurus pertahanan. Jadi, menggunakan jurus ini
dapat saja orang menyerang atau menangkis serangan lawan. Kedua tangan itu
berganti gerakan, dari memukul ditarik ke depan dada dengan tangan miring untuk
menghalau serangan lawan, dan dari menangkis ditarik ke pinggang lalu memukul
lagi. Memang harus ada keseimbangan antara memukul dan menangkis dengan tangan
miring di depan dada ini agar dapat menjadi otomatis dan tidak kaku. Jurus ini
amat lihai, dalam keadaan diserang dapat membalas serangan dengan cepat, dan
dalam keadaan menyerang selalu terjaga dan tidak terbuka.
"Nah, sekarang kaucoba lakukan jurus itu lebih dulu, Beng Sin!" kata Kui Hok
Boan kepada si gendut itu. Siong Bu menonton penuh perhatian dan dia duduk
setengah berlutut di atas batu sambil menunjang dagunya, sedangkan dua orang
anak perempuan kembar berdiri berdampingan sambil memperhatikan dengan kedua
mata terbuka lebar. Sin Liong masih berdiri di belakang mereka, memegang gagang
sapunya dan juga menonton dengan hati tertarik. Dia tadi memperhatikan gerakan
ayah angkatnya dan mencatat di dalam ingatannya semua gerakan yang sekecilkecilnya. Apa sih sukarnya bergerak seperti itu, pikirnya. Di dalam benaknya dia
menirukan gerakan itu dan merasa sudah dapat meniru dengan sempurna!
Beng Sin mulai mainkan jurus itu. Dengan penuh kesungguhan dia mencoha untuk
menirukan gerakan pamannya. Anak ini mempunyai gerakan yang mantap dan tenaganya
besar, akan tetapi gerakannya terlalu lamban.
"Keluarkan bentakan dan atur napas!" kata Kui Hok Boan.
"Heiiiittt! Ahh...! Heiiittt! Ahh...!" Anak gendut itu memukul dan menangkis
sambil mengatur langkah, beberapa langkah maju ke depan setelah memukul dan
menangkis, membalik dengan merubah kuda-kuda dan sekaligus memukul dan cepat
menangkis, mulutnya terus mengeluarkan bentakan-bentakan.
Terlalu lamban, pikir Sin Liong dan ketika memukul, Beng Sin kurang memutar
lengannya. Seharusnya lengan itu cepat diputar, dengan kepalan menelungkup
ketika tiba di ujung pukulan sehingga ketika disambung gerakan menangkis, dapat
dilakukan tangkisan dengan tangan miring di depan dada secara tepat. Nampak
jelas olehnya kelemahan-kelemahan anak gendut itu. Akan tetapi tentu saja dia
tidak berani mengeluarkan pendapatnya itu dan hanya menonton.
Kui Hok Boan juga kurang puas dengan hasil yang diperlihatkan Beng Sin. Kadangkadang dia menghentikan gerakan anak itu, dan memberi petunjuk-petunjuk. Beng
Sin mainkan jurus itu berulang-ulang tanpa mengenal lelah.
"Masih belum sempurna, kau harus banyak belajar," kata Kui Hok Boan dan kini
tiba giliran Siong Bu. Siong Bu juga mainkan jurus itu di bawah petunjuk pamannya. Gerakannya jauh
lebih gesit daripada gerakan Beng Sin, dia lincah dan kuat, namun tidak semantap
gerakan si gendut. Kedudukan kedua tangan Siong Bu sudah banyak baik daripada
Beng Sin, akan tetapi gerakan kedua kakinya masih kurang berirama dan kurang
sesuai dengan gerakan tangan sehingga diapun mendapat teguran dan harus
mengulang terus. Demikian pula Lan Lan dan Lin Lin diharuskan melatih jurus itu
dibawah petunjuk-petunjuk ayah mereka.
Agak jengkel hati Kui Hok Boan melihat betapa empat orang anaknya itu tidak
mudah menguasai jurus Heng-pai-hud, maka ketika dia melihat Sin Liong sejak tadi
berdiri saja menonton, kejengkelan hatinya membuat dia menegur ketus, "Sin
Liong, mau apa engkau berdiri di situ" Apakah tidak ada lagi pekerjaan yang
lain?" Sin Liong terkejut, menunduk dan melangkah pergi untuk mengurus kuda yang harus
diberi makan dan sapi yang harus dibawa keluar. Akan tetapi, jurus Heng-pai-hud
itu tidak pernah terlupa olehnya dan ketika dia mengambil makanan kuda, tanpa
disadari kedua kakinya melakukan gerak langkah jurus itu, dari ketika dia sudah
menaruh makanan kuda di depan lima ekor kuda itu, tanpa disadarinya pula kedua
tangannya melakukan gerakan memukul dan menangkis dalam jurus Heng-pai-hud!
Diam-diam timbul iri di hatinya terhadap empat orang anak itu dan mulai saat itu
dia mengambil keputusan untuk mengintai di waktu mereka berlatih dan menirukan
gerakan-gerakan mereka. Dengan cara demikian, dalam waktu tiga bulan Sin Liong
telah dapat "mencuri" empat macam jurus dan telah dapat melakukan gerakangerakan itu dengan baiknya. Dia selalu melihat gerakan itu dimainkan oleh ayah
angkatnya, kemudian menirunya. Dia tidak mau meniru gerakan empat orang anak itu
yang dianggapnya kaku dan tidak sama dengan gerakan ayah angkatnya.
Di dalam pergaulan sehari-hari, Sin Liong seperti sahabat-sahabat biasa dengan
empat orang anak itu. Terutama sekali Lan Lan dan Lin Lin. Kedua orang anak
perempuan ini suka sekali kepada Sin Liong yang ringan tangan dan kaki, mau
memenuhi segala permintaan mereka sungguhpun Sin Liong kurang pandai bergaul,
tidak banyak bicara dan lebih suka menyendiri. Beng Sin sering kali menggoda Sin
Liong, akan tetapi diam-diam Sin Liong suka kepada anak gendut yang jujur dan
suka melucu ini. Satu-satunya anak yang menimbulkan rasa tidak senang di hati
Sin Liong hanyalah Siong Bu karena anak ini agak angkuh dan bersikap seperti
seorang majikan terhadap dirinya. Bahkan kadang-kadang dia merasa sakit hati
karena Siong Bu seringkali memakinya sebagai "anak monyet"!
Pada suatu hari, dengan tekun dan sungguh-sungguh Sin Liong berlatih "silat"
yaitu gerakan-gerakan dari empat jurus yang dikenalnya dan dikuasainya dari
hasil mengintai itu. Dia tidak tahu bahwa Lan Lan, Lin Lin dan Beng Su,
mengintai dengan mata terbelalak heran dari balik semak-semak. Ketika itu, Sin
Liong sedang menggembala sapi di padang rumput tak jauh dari taman istana. Tiga
orang anak ini bermain-main dan akhirnya tiba di tempat itu, melihat dari jauh
betapa Sin Liong bergerak-gerak seperti orang bersilat maka dengan penuh
keheranan mereka menghampiri dan bersembunyi, mengintai.
Ketika melihat Sin Liong bergerak dengan jurus Heng-pai-hud, Beng Sin tak dapat
menahan keheranannya dan dia meloncat keluar dari balik semak-semak sambil
berseru, "Heii, itu adalah jurus Heng-pai-hud!"
Sin Liong terkejut sekali, cepat menghentikan gerakannya dan menengok. Wajahnya
berubah merah ketika dia melihat Beng Sin dan dua orang anak perempuan itu
berlari-lari menghampirinya.
"Hei, Sin Liong, dari mana engkau dapat memainkan jurus-jurus itu?" Beng Sin
berkata dengan mata terbelalak, "Apakah paman diam-diam mengajarmu?"
Sin Liong menggelengkan kepala. "Ah, aku hanya main-main, Tee-kongcu."
"Ahaaaa, kalau di sini tidak ada paman, jangan menyebut kongcu-kongcuan segala.
Namaku Beng Sin dan kau Sin Liong. Bukankah kita sahabat?"
"Terima kasih, Beng Sin. Akan tetapi lebih baik aku menyebutmu kongcu sesuai
dengen perintah gihu."
"Sin Liong, aku melihat engkau tadi mainkan Heng-pai-hud. Dari mana kau dapat
melakukan gerakan itu?" Kui Lin bertanya.
"Li-siocia, aku hanya menonton kalian berlatih dan meniru-niru saja..."
"Ah, tapi gerakanmu tadi baik benar!" Kui Lan juga memuji.
"Benar!" Kata Beng Sin. "Sebaliknya aku belum juga bisa melakukan gerakan jurus
itu dengan baik." "Gerakanmu sudah baik, hanya perlu dipercepat, kongcu. Terlalu lamban sehingga
gerakan kedua tanganmu kalah cepat oleh kedua kakimu. Juga di waktu kau
memukulkan tanganmu ke depan, engkau kurang memutar lenganmu sehingga ketika
gerakan memukul itu disambung gerakan menangkis, kurang tepat."
Beng Sin membelalakkan matanya dan menjadi gembira. "Ah, begitukah" Biar
kucoba!" Dan anak ini lalu bergerak melakukan jurus Heng-pai-hud dan mengubah
gerakannya sesuai dengan petunjuk Sin Liong. Dia merasa betapa setelah dia
mempercepat gerakan kedua lengannya, dia dapat mengikuti gerakan kaki secara
baik, dan ketika dia memukul, dia memutar lengannya dan mendapat kenyataan bahwa
perubahan, dari memukul menjadi menangkis dapat dia lakukan dengan baik!
"Horeeee...! Aku dapat melakukannya dengan baik!" Dia bersorak girang sekali dan
dua orang anak perempuan itupun ikut gembira, tertawa-tawa melihat si gendut itu
bersorak dan menari-nari dengan pinggul megal-megol.
"Hei, apa-apaan kalian di situ?" tiba-tiba terdengar teguran Siong Bu yang
datang berlari ke tempat itu.
"AH, Bu-ko, terjadi keajaiban di sini!" Beng Sin berkata sambil tertawa dan
menudingkan telunjuknya kepada Sin Liong. "Kaulihat, Sin Liong ternyata pandai
mainkan Heng-pai-hud, dan dia telah memberi petunjuk sehingga gerakanku menjadi
baik sekarang!" "Benar, Bu-ko, dan Sin Liong dapat pula mainkan jurus-jurus lain dengan baiknya,
padahal dia hanya melihat dan meniru-niru kita saja!" Lan Lan berkata.
Alis yang sudah kelihatan panjang tebal di atas sepasang mata Siong Bu berkerut
ketika dia memandang kepada Sin Liong, akan tetapi dia memandang rendah anak
angkat bibinya ini dan menganggap seorang bujang yang derajatnya lebih rendah
daripada dia dan saudara-saudaranya. "Sin Liong, bukankah paman sudah
melarangmuu untuk belajar silat?" bentaknya.
Sin Liong menundukkan mukanya. "Aku tidak belajar, hanya melihat dan ingat
gerakannya." "Dia benar, Bu-ko. Dia hanya mengenal jurus yang pernah dilihatnya saja, akan
tetapi gerakannya hebat. Dia bisa mainkan jurus Heng-pai-hud lebih baik daripada
engkau, Bu-koko!" Beng Sin berkata lagi dengan jujur, tidak tahu betapa katakatanya itu membuat hati Siong Bu menjadi makin panas dan iri.
"Hemmm, golongan monyet mana bisa bermain silat?" dia mengejek.
"Ahh, jangan begitu, Bu-ko. Menurut penuturan paman, bukankah banyak ilmu silat
diambil dari gerakan-gerakan binatang, seperti harimau, bangau, monyet dan lainlain?" bantah Beng Sin. "Ingat jurus-jurus seperti Hek-wan-hian-ko (Lutung Hitam
Memberi Buah), Sin-kauw-pai-bwe (Kera Sakti Menggerakkan Ekor) dan lain-lain."
"Hemm, jurus-jurus itu ciptaan manusia. Mana ada anak monyet bisa bersilat?"
kembali Siong Bu mengejek.
"Bu-koko, kenapa kau menghina Sin Liong" Dia tidak mempunyai kesalahan apa-apa,"
tiba-tiba Lin Lin mencela Siong Bu.
"Benar, kau sengaja hendak memakinya anak monyet. Kau terlalu, Bu-ko, dan kau
mengganggu kami yang sedang bergembira di sini!" Lan Lan juga membela Sin Liong.
Melihat dua orang anak perempuan itu membela Sin Liong, makin panaslah rasa hati
Siong Bu. Akan tetapi dia adalah seorang anak yang cerdik. Dia tidak mau
mendesak lagi karena biarpun dia dapat memperolok Sin Liong, dia tidak mau kalau
untuk itu dia menimbulkan rasa tidak suka di hati Lan Lan dan Lin Lin.
"Aku sebenarnya tidak menghina, hanya tidak percaya. Akan tetapi kalau Sin Liong
mau berlatih silat bersamaku, baru aku percaya," katanya sambil menghampiri Sin
Liong. Beng Sin berseru girang. "Bagus! Itu bugus sekali! Sin Liong, hayo layani Bu-ko
berlatih. Dia baru akan percaya setelah melihat sendiri dan engkaupun akan
memperoleh kemajuan kalau mau berlatih dengan dia."
Sin Liong tentu saja tidak mengerti apa yang dimaksudkan. Dia memang ingin
sekali belajar silat, akan tetapi dia tidak berani belajar dari ayah angkatnya
yang sudah melarangnya. Kini dia meragu dan memandang kepada Lan Lan dan Lin
Lin. Dua orang anak perempuan itupun mengangguk, dengan gembira. Mereka suka
sekali belajar silat, dan melihat gerakan Sin Liong tadi, mereka mengira bahwa
tentu Sin Liong sudah pandai pula, maka tiada buruknya untuk berlatih bersama
Siong Bu. Sin Liong adalah seorang anak yang keras hati. Tadinya dia ingin meninggalkan
mereka pergi, akan tetapi melihat Siong Bu berlagak menantang, hatinya menjadi
panas. Dia menatap wajah Siong Bu dan berkata, "Kwa-kongcu, kau mau mengajarku?"
Siong Bu menyeringai. "Kata mereka engkau pandai. Kalau engkau lebih pandai,
berarti engkaulah yang mengajariku. Mungkin engkau mempunyai jurus-jurus monyet
lain yang belum kukenal." Ucapan ini tentu saja bermaksud mengejek dan Beng Sin
mengerti juga akan ejekan itu. Hati anak gendut ini berpihak kepada Sin Liong
karena tidak jarang dia menjadi sasaran kenakalan dan ejekan-ejekan Siong Bu
yang lebih tua beberapa bulan dari dia dan merasa lebih menang.
"Sin Liong, apakah kau takut" Aku tahu engkau kuat sekali, dan... hemmm, siapa
tahu engkau benar-benar menyimpan jurus-jurus monyet sakti. Hayo, kaulayani Buko!" Dia mendesak. "Benar, kauhadapi dia, Sin Liong!" kata Lan Lan.
"Aku ingin sekali melihatnya!" sambung Lin Lin.
Sin Liong merasa tersudut, apalagi kini Siong Bu sudah menghampirinya dekat,
lalu menggunakan jari tangan mendorong dada Sin Liong, dengan lagak angkuh
berkata, "Kalau takut, kau berlutut saja minta ampun tiga kali!"
Marahlah Sin Liong. "Kwa-kongcu, terhadap setanpun aku tidak takut, apalagi
terhadap engkau!" "Heh-heh, dia memakimu setan, Bu-ko!" kata Beng Sin tertawa keras. "Dia memaki
engkau setan!" Anak nakal ini sengaja mempergunakan kesempatan ini untuk memaki
kepada Siong Bu yang sering memakinya tanpa dia berani membalas.
Merahlah wajah Siong Bu. "Anak monyet! Berani kau!" Dan tangannya lalu memukul
ke arah muka Sin Liong. Sin Liong terkejut, dan dengan gerakan otomatis dia
memalingkan mukanya. "Plakk!" Bukan hidungnya yang kena dijotos, melainkan pipinya. Sin Liong
terhuyung ke belakang. "Eh, kenapa kau memukulktu?" tanyanya, matanya terbelalak heran.
"Itu namanya latihan silat, tolol! Habis apa lagi artinya silat kalau bukan
saling pukul" Nah, kau jaga ini!" Kembali Siong Bu menyerangnya dengan pukulan
yang ditujukan ke arah dada Sin Liong.
Kini Sin Liong sudah siap. Kalau tadi mukanya terkena pukulan adalah karena dia
tidak menyangka bahwa "latihan" itu berarti saling pukul! Kini diapun lalu
teringat akan gerakan Heng-pai-hud, yaitu dengan tangan miring melakukan
tangkisan, maka dia cepat memasang kuda-kuda seperti yang sering dilatihnya,
melangkah mundur sambil miringkan tangan ke depan dada, menangkis pukulan itu.
"Desss!" Karena cara Sin Liong memasang kuda-kuda tidak tepat, biarpun
gerakannya benar namun dia tidak tahu untuk apa kuda-kuda itu, maka penanaman
tenaga di kakinya tidak benar dan dia terhuyung oleh pertemuan lengannya dengan
lengan lawan, dan sebelum dia tahu harus berbuat apa, tiba-tiba kaki lawan sudah
membabatnya dari samping, tepat mengenai belakang lututnya.
"Bresss...!" Tubuh Sin Liong terpelanting roboh.
"Hei, kenapa begitu mudah roboh?" Lan Lan berseru heran.
"Hayo, Sin Liong, jangan mengalah. Serampangan kaki itu mestinya dapat dihindarkan dengan loncatan, dan kau boleh balas memukul!" Beng Sin berseru.
Sin Liong bangkit berdiri dan pada saat itu Siong Bu sudah menerjang lagi dengan
pukulan bertubi-tubi. Sin Liong masih mencoba untuk bergerak dengan jurus-jurus
yang pernah dilihat dan dilatihnya, akan tetapi tentu saja gerakan-gerakan itu
biarpun amat baik akan tetapi tidak tepat, dipergunakan bukan pada saatnya maka
mulailah dia menjadi bulan-bulanan pukulan tangan dan tendangan kaki Siong Bu.
Empat kali mukanya menerima pukulan keras sehingga kedua pipinya menjadi biru
dan mata kanannya membengkak!
"Bu-koko, jangan memukul sungguh-sungguh!" Lin Lin berseru marah.
"Sin Liong, kenapa kau tidak membalas" Kau boleh membalas! Latihan ini
umpamakanlah kau sedang berkelahi! Kalau kau diserang harimau, masa diam saja?"
Beng Sin berteriak-teriak gemas melihat Sin Liong dijadikan bulan-bulanan.
Mendengar ucapan "diserang harimau", seketika bangkitlah kemarahan di hati Sin
Liong. Seperti terbayang olehnya pengalamannya di waktu kecil ketika dia hampir
mati oleh harimau dan diselamatkan oleh teman-temannya, yaitu para monyet. Kini
dia tidak perduli akan latihan ilmu silat, tidak perduli akan jurus-jurus ilmu
silat, akan tetapi menggunakan naluri dan tanggapan syarafnya terhadap ancaman
dari luar. Dengan cekatan dia meloncat ke sana-sini, seperti seekor monyet dan
dia dapat menghindarkan semua pukulan lawan. Ketika tangan kiri Siong Bu
meluncur lewat, dengan cepat sekali dia menangkap tangan itu, memilinnya ke
belakang sampai Siong Bu berteriak kesakitan, dan hampir saja dia lupa. Hampir
saja Sin Liong menggigit leher lawannya! Akan tetapi dia masih teringat dan
segera menggunakan kedua tangannya, mencengkeram pakaian lawan dan mengangkat
tubuh Siong Bu ke atas dengan kedua tangan kemudian melemparkannya ke depan.
"Brukkk...!" Debu mengepul ketika tubuh Siong Bu terbanting.
"Hebat...! Kau hebat, Sin Liong...!" Beng Sin memuji dan bersorak, akan tetapi
tiba-tiba Siong Bu yang sudah bangkit itu menerjang lagi dan sebuah tendangan
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenai perut Sin Liong, membuatnya terhuyung.
"Eh, kau curang, Bu-ko. Engkau sudah roboh dan latihan ini sudah berakhir," kata
Beng Sin. Akan tetapi Siong Bu tidak perduli dan dia menerjang terus, menghujankan pukulan
dan tendangan. Akan tetapi, Sin Liong yang tidak bisa silat itu memiliki tubuh
yang jauh lebih kuat, mempunyai daya tahan yang kuat, kegesitan sewajarnya yang
didapatkan karena pergaulannya dengan monyet-monyet. Dia dapat mengelak ke kanan
kiri dan satu dua kali pukulan yang mengenai tubuhnya tidak dirasakannya.
Betapapun juga, mukanya sudah terasa panas dan nyeri karena pukulan-pukulan yang
tadi, dan kemarahannya memuncak ketika Siong Bu sambil menyerang memaki-makinya.
"Anak monyet bocah hina!" Dia mengeluarkan suara menggereng seperti binatang dan
tiba-tiba dia maju menubruk.
"Bukk!" Pukulan yang mengenai lehernya tidak dirasakannya dan kini kedua
tangannya sudah mencengkeram pundak Siong Bu. Anak ini biarpun sudah mempelajari
ilmu silat, akan tetapi kepandaiannya masih belum matang, maka ketika merasa
pundaknya dicengkeram dan sakit, diapun Ialu mencengkeram dan terjadilah
pergulatan yang tidak memakai jurus ilmu silat lagi! Mereka saling jambak,
saling cengkeram dan saling cekik!
Sin Liong yang tadinya tidak ingin berkelahi sungguh-sungguh, ketika dijambak
rambutnya, merasa nyeri sekali, maka dia lalu membuka mulut dan menggigit daun
telinga Siong Bu! Begitu keras gigitannya sehingga ujung daun telinga Siong Bu
robek dan anak ini berteriak-teriak kesakitan!
"Heii, berhenti kalian!" terdengar bentakan keras dan tiba-tiba dua buah tangan
yang kuat telah menarik tubuh Siong Bu dan Sin Liong ke kanan kiri dan mendorong
mereka terpisah. Siong Bu terisak menangis sambil memegangi telinga kanannya
yang berdarah sambil berlutut di depan pamannya, sedangkan Sin Liong berdiri
dengan kepala tunduk, mukanya bengkak-bengkak dan biru-biru, akan tetapi
sedikitpun tidak ada tanda-tanda bahwa dia menderita kesakitan atau menangis!
Kui Hok Boan berdiri dengan muka merah dan mata terbelalak marah. Tangannya
sudah meraih sebatang ranting kayu dan dia menoleh kepada Siong Bu. "Kenapa
telingamu?" "Di... digigit... monyet cilik itu... aduhhhh...!" Siong Bu mengeluh ketika
pamannya memeriksa telinga itu. Ternyata hanya ujungnya yang robek bekas
gigitan. "Bocah liar! Berani kau berkelahi dengan kong-cu dan menggigit telinganya" Kalau
tidak dihajar, engkau tentu akan menjadi monyet liar!" Kui Hok Boan lalu
menghampiri Sin Liong yang masih berdiri. "Hayo berlutut kau!"
Sin Liong berlutut dan sasterawan yang marah itu lalu mengayun ranting itu yang
meledak-ledak dan melecuti tubuh anak itu. Kulit leher dan punggung Sin Liong
pecah-pecah dan darah mulai mengalir keluar ketika ranting itu menyambar-nyambar
ganas. Akan tetapi, anak itu hanya menunduk dan memejamkan matanya, menahan rasa
nyeri dan sedikitpun tidak mengeluarkan suara mengeluh. Juga tidak nampak dia
menangis. "Prat-prat-prat-prat!" Ranting itu menari-nari dan setelah melihat baju itu
berdarah, baru Hok Boan menghentikan sabetannya. Dia terengah-engah dan
kemarahannya makin memuncak melihat anak itu sama sekali tidak mengeluh atau
menangis. Hal ini diterimanya sebagai tantangan!
"Kau bandel, ya" Kau berkulit tebal, ya" Ingin kuhajar sampai mampus?" teriak
Hok Boan yang makin marah mengingat bahwa puteranya digigit daun telinganya
sampai pecah dan melihat Sin Liong sama sekali tidak menangis atau mengeluh.
"Ayah... harap ampunkan dia, ayah...!" Tiba-tiba terdengar suara Lin Lin meratap
dan terdengar isak terkandung dalam suara itu. Anak ini tidak tega dan merasa
kasihan melihat keadaan Sin Liong.
Semenjak terjadi peristiwa itu, sikap Siong Bu makin angkuh dan menghina Sin
Liong. Siong Bu masih merasa penasaran dan sakit hati karena daun telinganya
digigit. Biarpun kini lukanya telah sembuh, namun ujung telinganya masih
berbekas, dan ini mengingatkan dia betapa dia hampir kalah oleh "anak monyet"
itu! Kekalahan inilah yang lebih menyakitkan daripada luka di daun telinganya.
Akan tetapi kini Sin Liong tidak pernah mau melayaninya biarpun dia sudah sering
kali menghinanya dan memancing suatu perkelahian lagi. Karena sikap Sin Liong
yang mengalah ini, maka hal itu menimbulkan perasaan tidak senang di hati Beng
Sin yang menganggap bahwa Sin Liong pengecut dan penakut. Juga Lan Lan dan Lin
Lin merasa tidak senang. Rasa kagumnya terhadap Sin Liong yang berani melawan
Siong Bu bahkan hampir menang, segera lenyap karena merekapun menganggap bahwa
Sin Liong penakut. Padahal, bukan demikian sesungguhnya. Ada sebabnya mengapa
Sin Liong tidak lagi mau melayani penghinaan Siong Bu yang merasa sakit hati
kepadanya itu. Bukan karena takut dihajar lagi oleh ayah angkatnya.
Pada keesokan harinya setelah perkelahian itu, dia dipanggil oleh Si Kwi. Dalam
pertemuan empat mata ini, Si Kwi menerimanya dengan alis berkerut dan memandang
wajahnya dengan penuh perhatian.
"Sin Liong, aku mendengar bahwa kau berkelahi dengan Siong Bu?" tanya nyonya ini
dengan suara halus. Semalam dia diceritakan oleh suaminya betapa Sin Liong
mencuri belajar silat dan berani berkelahi melawan Siong Bu dan dalam
keliarannya menggigit telinga Siong Bu hampir putus!
Sin Liong menunduk dan mengangguk. Satu-satunya orang yang dipandang dan
dihormati serta dicintanya di dalam rumah itu hanyalah ibu angkatnya ini. Dia
tidak ingin membuat ibu angkatnya ikut berduka atau marah kepadanya.
"Dan engkau telah mencuri dan mempelajari ilmu silat mereka?"
"Ibu... saya... saya hanya menonton dan meniru-niru saja."
"Hemm, yang sudah lalu biarlah. Akan tetapi mulai sekarang jangan kau ikut
mempelajari ilmu silat mereka, dan terutama sekali jangan engkau berkelahi
dengan siapapun." Sin Liong menundukkan mukanya, wajahnya kelihatan berduka sekali, tetapi dia
tidak menjawab. Melihat wajah itu, teringatlah Si Kwi kepada Cia Bun Houw dan
dia menarik napas panjang. Dia sendiri merasa heran mengapa anaknya ini, yang
sejak kecil tidak pernah belajar ilmu silat, dapat bersilat hanya dengan
menonton saja, dan yang lebih mengejutkan lagi, dapat melawan dan menandingi
Siong Bu yang sudah memiliki kepandaian lumayan dan paling kuat di antara empat
orang anak yang dipimpin suaminya!
"Sin Liong, mengapa kau ingin sekali belajar silat?" Tiba-tiba dia bertanya,
pertanyaan yang digerakkan karena teringat akan Cia Bun Bouw.
Tiba-tiba anak itu mengangkat mukanya dan Si Kwi merasa jantungnya tergetar
ketika melihat sepasang mata yang mencorong dan tajam sekali itu! "Ibu,
katakan... siapa yang membuntungi tangan kiri ibu?"
Wajah Si Kwi seketika menjadi pucat dan matanya terbelalak. "Ahhhh...!"
"Saya ingin membalasnya, saya ingin memotong dan membuntungi kedua tangannya!
Siapa dia, ibu?" "Ohhh... Liong-ji...!" Si Kwi merintih dan tak dapat menahan air matanya. Dia
cepat menggunakan saputangan untuk menyusuti air mata yang mengalir turun di
atas kedua pipinya itu. Melihat ini, Sin Liong cepat berlutut di depan kaki ibu angkatnya. "Ibu,
ampunkan saya... sakit sekali hati saya melihat ada orang berbuat demikian keji
terhadap ibu. Saya ingin belajar silat karena ingin membalasnya!"
Si Kwi menggunakan tangan kanannya mengelus rambut kepala anak itu. Sejenak
tangannya membelai rambut itu dan jantungnya seperti diremas-remas. Anak ini
adalah anaknya! Tidak salah lagi! Anak Cia Bun Houw!
"Jangan salah mengerti, anak yang baik. Tangan kiriku ini bukan dibuntungi oleh
musuh, melainkan oleh mendiang guruku sendiri."
"Ahh...!" Sin Liong memandang wajah ibu angkatnya dengan mata terbelalak.
"Betapa kejamnya! Mengapa ibu?"
"Itulah kalau orang belajar silat, anakku. Guru-guru yang mengajar ilmu silat
memang biasanya keras. lbumu ini telah melakukan kesalahan maka hukumannya
adalah potong tangan kiri! Oleh karena itu, jangan kau belajar ilmu silat, tidak
ada gunanya, anakku. Ayah angkatmu masih lunak ketika menghajarmu dengan
cambukan. Maka, kalau engkau suka mendengarkan kata-kata ibumu, mulai sekarang,
jangan engkau layani siapapun untuk berkelahi. Belajarlah dengan tekun, anakku,
agar kelak engkau menjadi seorang manusia yang baik dan berguna."
Sin Liong kecewa sekali, akan tetapi dia amat mencinta ibunya ini yang sejak dia
kecil amat baik kepadanya, maka dia mengangguk. Lalu bangkit dan meninggalkan
kamar ibunya. Sampai di pintu, dia menengok. "Ibu, apakah sampai sekarang ibu
belum juga mendengar siapa adanya ayah dan ibuku yang sesungguhnya?"
"Ahh...!" Si Kwi merasa ditampar lalu dicekik lehernya. Dia hanya memandang
dengan wajah pucat. Entah sudah berapa kali anak ini menanyakan hal itu, dan
selalu dijawabnya bahwa dia tidak tahu, bahwa dia akan berusaha untuk
menyelidikinya. Dan sekarang anak itu kembali menanyakan hal itu. Dia tidak
mampu menjawab, hanya menggeleng kepalanya. Sin Liong menunduk, memutar tubuh
dan melangkah pergi. "Liong-ji...!" Sin Liong berhenti dan ibunya telah berada dekatnya. Dengan sentuhan mesra Si
Kwi membuka baju anaknya, melihat jalur-jalur merah di punggungnya. Dia berkata,
"Mari kuobati luka-lukamu akibat cambukan itu dan... heii, sudah kering
semua..." "Tidak perlu, ibu. Semalam luka-luka itu telah dijilati oleh monyet betina tua
dan sudah sembuh." Setelah berkata demikian, Sin Liong melangkah pergi,
menghilang di dalam gelap.
Nah, itulah sebabnya mengapa Sin Liong tidak pernah mau melayani godaan dan
ejekan Siong Bu. Dia selalu teringat akan pesan ibu angkatnya dan dia tidak
ingin menyusahkan hati ibu angkatnya. Maka ditelannya semua hinaan dan godaan,
dan dia sama sekali tidak pernah mau melayani.
Akan tetapi, sesungguhnya Sin Liong menderita batin yang sukar dapat
dipertahankannya. Pada dasarnya dia memiliki watak keras dan tidak takut
terhadap siapapun juga, maka ejekan, hinaan dan tantangan Siong Bu yang
dilontarkan kepadanya dan tidak dijawabnya karena dia teringat akan ibu
angkatnya, membuat hatinya sakit sekali. Akhirnya dia tidak dapat menahan
kemarahannya lagi, apa pula ketika melihat betapa Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin
mulai tidak suka kepadanya dan menganggap sebagai seorang anak yang pengecut dan
penakut. Dia tahu bahwa tiga orang ini tadinya berfihak kepadanya dan tidak suka
melihat dia dihina dan ditantang, mereka menghendaki agar dia melawan. Akan
tetapi, bukan dia takut kepada Siong Bu, bukan pula takut akan hukuman dari ayah
angkatnya, melainkan dia tidak ingin menyusahkan hati ibu angkatnya, tidak ingin
melanggar pesan ibu angkatnya.
Akan tetapi kekerasan hatinya membuat dia makin tidak kuat bertahan, apalagi
setelah dia merasa kesepian karena anak-anak yang lain mulai menjauhkan diri
darinya. Maka pada suatu malam, diam-diam dia meninggalkan kamarnya, pergi
menemui teman-temannya, yaitu para monyet besar dan bersama mereka dia memasuki
hutan lebat dan tidak mau kembali lagi ke Istana Lembah Naga!
Pada keesokan harinya, semua orang di Istana Lembah Naga kehilangan. Si Kwi
menjadi bingung sekali. "Biarlah," kata suaminya. "Sudah kuketahui bahwa dia
terlalu banyak terpengaruh oleh monyet-monyet itu sehingga dia tidak betah lagi
tinggal bercampur dengan manusia biasa. Kita sudah terlalu baik kepadanya, dan
kalau kita lebih baik lagi, aku khawatir dia akan menjadi manja dan rusak. Ingat
akan sifat-sifatnya yang liar."
Akan tetapi tentu saja Kui Hok Boan tidak tahu bahwa hati seorang ibu kandung
mana mungkin bisa menegakan anaknya begitu saja" Si Kwi juga tidak berani
membuka rahasianya. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat mengerahkan tenaga para
anak buah suaminya yang banyak jumlahnya. Akan tetapi dia tahu akan kekerasan
hati dan keanehan watak Sin Liong. Kalau hanya mengandalkan para anak buah itu
untuk mencari dan membujuknya sudah pasti anak itu tidak akan sudi pulang! Maka
dia lalu diam-diam mencari sendiri dan dia tahu ke mana dia harus mencari.
Si Kwi membawa seperangkat pakaian dan memasuki hutan. Tepat dugaannya, lewat
tengah hari dia tiba di tengah hutan dan dengan hati hancur dia melihat anaknya
itu berloncatan dari dahan ke dahan di atas pohon-pohon yang amat besar dan
tinggi bersama beberapa ekor monyet besar. Yang mengharukan hatinya adalah
melihat anak laki-laki itu sama sekali telanjang bulat! Agaknya Sin Liong telah
membuang semua pakaiannya dan bertelanjang seperti teman-temannya. Dan dari tempat dia mengintai, Si Kwi melihat betapa wajah
anak itu menjadi tampan berseri-seri, penuh keberuntungan dan kegembiraan, bebas
dari kungkungan manusia dengan segala peraturannya, iri hatinya, kebenciannya
dan permusuhannya! Melihat wajah yang tampan gembira itu, hampir saja Si Kwi pergi lagi. Tidak tega
dia mengganggu kebahagiaan anak itu! Akan tetapi dia lalu teringat bahwa anaknya
itu adalah seorang manusia. Dia akan merasa berdosa, berdosa terhadap Sin Liong,
terhadap diri sendiri dan terhadap Cia Bun Houw kalau dia membiarkan saja
anaknya menjadi monyet! "Liong-ji...!" Dia meratap, memanggil dan air matanya bercucuran.
"Grrrr... grrrr...!" Monyet-monyet itu menggereng dan Sin Liong juga
mengeluarkan suara gerengan seperti monyet. Akan tetapi ketika dia melihat ibu
angkatnya di bawah pohon, dia terkejut sekali. Cepat dia meloncat ke dahan lain
dan hendak melarikan diri.
"Sin Liong... kau... kau... tidak kasihankah kepada ibumu..." Sin Liong,
anakku...!" Mendengar seruan dan ratapan yang dikeluarkan dengan isak tangis ini, Sin Liong
berhenti, termenung, kemudian dia berloncatan turun.
"Ibu...!" Dia meloncat ke atas tanah lalu berlutut di depan kaki ibunya. Sudah
dua hari dua malam dia tinggal bersama monyet-monyet itu, dan kini ibunya
menyusulnya. Kalau saja ibunya tidak menangis dan keadaannya demikian
menyedihkan, tentu dia tadi sudah melarikan diri.
"Liong-ji... mengapa kau meninggalkan ibumu" Apakah kau tidak suka lagi kepada
ibumu, anakku?" "Ibu..." Sin Liong merasa lehernya seperti dicekik. Dua hari dua malam tidak
bicara, hanya mengeluarkan suara seperti monyet-monyet itu, membuat lidahnya
kaku dan sukar baginya untuk bicara. Akan tetapi akhirnya dapat juga dia
berkata, "Aku tidak meninggalkan ibu, aku meninggalkan mereka itu!" Suaranya
mengandung kemarahan. "Akan tetapi, meninggalkan mereka berarti meninggalkan ibu, anakku. Marilah kita
kembali, kau tidak boleh meninggalkan aku."
Sin Liong mengangkat mukanya, matanya mengeluarkan sinar berapi. Kemudian dia
menggeleng kepalanya. "Tidak, ibu! Tidak, aku tidak mau kembali ke sana untuk
menerima hinaan mereka!"
Si Kwi merangkul dan memeluk anaknya, mengelus kepala anaknya. "Salahku, Liongji, salahku. Sekarang aku berjanji bahwa tidak akan ada orang yang berani
mengganggumu lagi. Aku akan melarang mereka! Ya, aku akan melindungi anakku!"
"Akan tetapi... mereka pandai silat dan aku tidak boleh..."
"Aku akan melatihmu, Liong-ji. Aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu."
"Benarkah?" Sin Liong girang sekali. "Menurut Lan-siocia dan Lin-siocia..."
"Mulai sekarang kau boleh menyebut mereka moi-moi, jangan menyebut siocia!"
"Ahhh...! Menurut mereka, kepandaian ibu tidak kalah oleh gi-hu..."
"Asal engkau rajin belajar, engkau tentu akan pandai, anakku, karena engkau
memiliki bakat dan tenaga yang kuat."
"Akan tetapi, apa artinya belajar silat kalau aku tidak tahu siapa ayah dan
ibuku?" Si Kwi menarik napas panjang dan membantu anaknya memakai pakaian yang dibawanya
dari rumah tadi. "Pakailah ini dan mari kita pulang, nanti akan kuceritakan
kepadamu siapa adanya ayahmu..."
Janji dan bujukan ini berhasil. Wajah Sin Liong berseri, matanya terbelalak
lebar penuh harapan. Dia tidak membantah lagi, mengenakan pakaian itu, kemudian
dia mengikuti ibunya pulang. Mereka tiba di rumah di waktu senja. Karena tidak
ingin melihat Sin Liong merasa malu dan sungkan bertemu dengan anggauta keluarga
lain, maka dia langsung mengajak Sin Liong memasuki kamar anaknya itu di dekat
kandang kuda. Sin Liong lalu menyalakan lampu minyak sederhana yang berada di
atas meja kasar di dalam kamarnya. Semua gerak-geriknya diikuti oleh pandang
mata Si Kwi dengan penuh keharuan. Insyaflah wanita ini bahwa dia memang telah
membiarkan anak kandungnya ini terlantar! Tak terasa lagi dua titik air mata
membasahi pipinya ketika dia duduk di atas bangku dan melihat keadaan di kamar
itu. Dia telah memperlakukan anaknya sendiri seperti seorang bujang saja! Hal
itu dia terpaksa lakukan agar suaminya dan semua orang tidak akan ada yang
menyangka bahwa Sin Liong adalah anak kandungnya.
Sin Liong menoleh. Melihat ibunya menangis, dia lalu menubruk, menjatuhkan diri
berlutut di depan ibunya dan berkata, "Ibu... aku hanya tahu bahwa ibu merawatku
sejak kecil, bahwa aku adalah anak angkat dari ibu... bahwa katanya ibu
menemukan aku di antara monyet-monyet itu. Akan tetapi aku tahu, aku melihat
perbedaan antara aku dengan mereka, aku tahu bahwa aku bukanlah anak monyet,
melainkan anak manusia seperti juga kedua kongcu dan kedua siauw-moi. Hanya ibu
yang tahu siapa ayah bundaku yang sesungguhnya..."
"Liong-ji..." Si Kwi memejamkan mata, membelai kepala anaknya yang rebah di atas
pangkuannya itu. Biarpun anak itu lenyap sejak dilahirkan, biarpun dia tidak
menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa anak ini adalah anak yang
dilahirkannya di dalam guha itu, namun dia yakin. Inilah anaknya itu!
Wajah anak ini mengingatkan dia kepada Bun Houw, terutama matanya. "Angkatlah
mukamu anakku, lapangkan dadamu. Engkau bukan anak orang sembarangan saja, Sin
Liong. Ayahmu adalah seorang pendekar sakti yang sukar dicari bandingannya di
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dunia ini." Sin Liong mengangkat mukanya, memandang kepada wajah wanita yang selama ini
dianggap sebagai ibunya itu, "Ayah saya... siapa namanya, ibu?"
"Namanya adalah... Cia Bun Houw..."
"She Cia?" Sin Liong yang merasa tegang hatinya itu tidak memperhatikan suara
ibunya yang tergetar penuh keharuan ketika menyebut nama itu. Ibunya mengangguk.
"Engkaupun sesungguhnya she Cia..."
"Dan ibuku...?"
"Ibumu... ibumu... dia sudah meninggal dunia, anakku."
"Ahhh...!" Sin Liong tertegun, mukanya berubah agak pucat, akan tetapi dia tidak
menangis lagi. Tadipun dia hanya menitikkan beberapa butir air mata yang cepat
diusapnya. Setelah mendengar bahwa ayahnya adalah seorang pendekar sakti yang
tiada keduanya atau tiada bandingannya di dunia ini, dia merasa malu untuk
menangis! "Ya, dia sudah meninggal dunia, dia, adalah murid seorang wanita sakti yang
berjuluk Hek I Siankouw dan yang sudah meninggal pula..."
"Namanya, ibu" Siapa namanya?"
"Aku tidak tahu. Kelak engkau akan mengetahuinya dari ayahmu... kalau... kalau
engkau ada jodoh bertemu dengan dia..."
"Di mana ayah kandungku itu tinggal, ibu?"
Si Kwi menggeleng kepalanya. "Aku sendiri tidak tahu, anakku. Dia adalah putera
dari ketua Cin-ling-pai di Pegunungan Cin-ling-san. Hanya itu saja yang
kuketahui. Sudahlah, jangan kau bertanya lagi... mulai sekarang, kau belajarlah
ilmu silat yang tekun dan kelak... siapa tahu, engkau akan dapat mencari ayahmu
itu." "Baik, ibu!" Sin Liong berkata penuh semangat. Dia lalu bangkit berdiri,
memandang kepada Si Kwi dengan sepasang matanya yang lebar. "Mulai sekarang,
selain menjadi ibu angkatku, engkau juga menjadi guruku!" Dan anak ini lalu
menjatuhkan diri berlutut dan memberi penghormatan dengan jalan menyentuhkan
dahinya ke atas lantai di depan kali ibunya.
"Sin Liong..." Si Kwi merangkulnya penuh keharuan.
Ibu dan anak ini tidak tahu bahwa di dalam keremangan senja, ada orang di luar
jendela yang sejak tadi mengintai dan mendengarkan percakapan mereka. Orang itu
adalah Kwan Siong Bu yang memang sejak tadi sudah berada di dekat pondok itu
sehingga dia tahu akan kedatangan ibu dan anak itu dan dengan mudah dia dapat
mengintai tanpa diketahui oleh Si Kwi yang pandai. Kalau anak itu banyak
bergerak, atau kalau Si Kwi tidak sedang dilanda keharuan, tentu wanita yang
lihai ini akan tahu bahwa ada orang lain yang mendengarkan percakapan mereka di
luar jendela pondok itu. Demikianlah, mulai saat itu, Sin Liong belajar silat di bawah asuhan ibunya
sendiri. Dan Si Kwi menegur kedua orang "keponakan" dari suamihya itu agar
jangan lagi mengejek dan menghina Sin Liong. Melihat pembelaan dan perlindungan
yang diberikan oleh isterinya kepada anak angkat itu, Kui Hok Boan pun hanya
mengangkat bahu saja. Dia tentu saja tidak mau ribut-ribut dengan isteri yang
dicintainya itu hanya karena urusan Sin Liong, si anak monyet. Dengan amat rajin
dan tekun sekali Sin Liong mulai mempelajari dasar-dasar ilmu silat dan ternyata
memang dia amat berbakat sehingga pelajaran ilmu silat itu dapat dikuasainya
dengan lancar sekali. Hal ini membuat Si Kwi merasa girang. Akan tetapi, di
samping mempelajari ilmu silat dari ibunya, Sin Liong masih tetap melakukan
pekerjaannya sehari-hari, tidak pernah dia kelihatan malas. Anak ini tahu bahwa
dia adalah seorang "luar" dalam keluarga itu, hanya seorang anak pungut atau
anak angkat, maka diapun "tahu diri". Karena sikapnya ini, biarpun di dalam
hatinya Kui Hok Boan merasa tidak senang dengan anak ini, namun dia tidak
menemukan alasan untuk memperlihatkan ketidaksenangannya itu dan Sin Liong dapat
bekerja seperti biasa. *** Setahun telah lewat tanpa terasa. Pada suatu pagi yang cerah, terdengar suara
nyaring dan merdu dari dua orang anak perempuan yang bermain-main di dalam taman
indah Istana Lembah Naga. Mereka adalah Kui Lan dan Kui Lin yang sedang bermainmain di situ. Tadinya kedua orang anak perempuan kembar ini berlatih silat akan
tetapi sebagai anak-anak yang baru berusia sepuluh tahun, mereka lalu merasa
bosan dan bermain-main sambil tertawa-tawa. Mereka berkejar-kejaran,
mengumpulkan bunga-bunga, kadang-kadang mengejar kupu-kupu yang beterbangan di
antara bunga-bunga yang sedang mekar. Memang, musim bunga telah tiba dan taman
itu penuh dengan bunga-bunga yang beraneka ragam dan warna.
"Ah, bunga di pohon itu indah sekali, Lin Lin," kata Kui Lan sambil menuju ke
puncak pohon besar yang tumbuh di tengah-tengah taman.
"Benar," jawab Kui Lin. "Ibu juga suka memakai kembang ini sebagai hiasan
rambut. Nah, itu di sana ada beberapa tangkai yang gugur dari atas." Kui Lin
berlari dan mengambil bunga berwarna merah muda yang rontok, dari atas pohon.
"Ah, aku tidak suka bunga yang sudah gugur, sudah hampir layu dan kotor, Lin
Lin. Kalau bisa mendapatkan yang masih segar di atas itu, baru indah!"
"Mana bisa, Lan Lan" Tempatnya begitu tinggi. Ngeri kalau harus memanjat pohon
setinggi ini dan cabangnya banyak yang basah pula, licin dan sukar."
"Hei, Lin-moi! Kenapa engkau mulai lagi menyebut namaku begitu saja" Sudah
berapa kali ibu mengharuskan engkau menyebut cici kepadaku?" Kui Lan menegur.
Kui Lin cemberut. "Memangnya berselisih berapa sih usia kita" Tidak ada sehari,
hanya beberapa menit!"
"Kau memang bandel! Sudahlah, kita mencari bunga lain saja, aku tidak suka bunga
yang layu itu." Tiba-tiba muncul Sin Liong yang tadi menyapu di pinggir taman. Jalan menuju ke
taman itulah yang harus selalu bersih dan harus disapu setiap pagi karena penuh
dengan daun dan bunga gugur.
"Kalian menginginkan bunga merah di atas itu" Biar kuambilkan untuk kalian."
katanya melihat dua orang anak perempuan itu kecewa karena tidak dapat
memperoleh bunga-bunga yang mereka inginkan.
"Kau bisa mengambil bunga itu?" Kui Lin menudingkan telunjuknya di atas.
"Tentu saja bisa! Dia ahli memanjat pohon! Lekas ambilkan, Sin Liong!" kata Kui
Lan dengan girang. "Lan Lan, bukankah ibu sudah memesan agar kita menyebut koko kepadanya?" Kui Lin
menegur kakaknya. Kini Kui Lan yang cemberut dan melotot kepada adiknya. "Huh, kau sendiri tidak
mau menyebut cici kepadaku!"
Sin Liong tersenyum. "Sudahlah, segala sebut-sebutan itu apa bedanya sih" Lihat,
aku akan mengambilkan bunga-bunga yang paling segar untuk kalian. Kuambilkan
yang berada di paling puncak!"
Sebelum dua orang anak perempuan itu menjawab, Sin Liong sudah melompat dan
bagaikan seekor kera saja, dengan cekatan dan cepat sekali dia sudah memanjat
pohon besar itu. Ketika tiba di atas, dia sengaja berayun-ayun di antara cabangcabang pohon. Dua orang anak perempuan kembar yang berada di bawah bertepuk
tangan dan berteriak-teriak memuji, kadang-kadang mereka menjerit karena merasa
ngeri merryaksikan tubuh Sin Liong berayun-ayun seperti itu. Hati mereka merasa
ngeri. Semenjak kecil, manusia sudah mengenal pujian-pujian yang tentu saja mula-mula
dimulai dengan timang dan puji dari ayah ibunya sendiri, lalu lama-kelamaan
sifat suka dipuji ini dibentuk oleh keadaan sekeliling. Makin besar pertumbuhan
anak itu, makin besar pula sifat suka dipuji ini, dan agaknya sifat ini dibawa
terus sampai tua dan sampai mati. Betapa manusia ini selalu haus akan pujian.
Sifat haus akan pujian ini makin memperbesar gambaran kita tentang diri kita
sendiri dan hal ini menambah sukar bagi kita untuk memandang dan mengenal diri
sendiri seperti apa adanya. Kita ini kerdil, namun gambaran-gambaran itu membuat
kita melihat diri kita besar dan agung! Kita ini kotor, namun gambaran-gambaran
itu membuat kita melihat bayangan kita sebagai yang paling bersih! Sehingga
kekotoran kita sendiri itu tidak pernah nampak oleh kita, dan karena tidak
pernah kelihatan maka tentu saja tidak pernah terjadi perubahan yang
membersihkan kekotoran itu.
Sin Liong sebagai anak, baru berusia dua belas tahun, tentu saja tidak terlepas
dari sifat ini. Mendengar dua orang anak itu bersorak memuji, dan kadang-kadang
menjerit karena merasa ngeri, dia lalu sengaja hendak memamerkan kepandaiannya!
Bagi dia, berayun-ayun dan bermain-main di pohon itu, betapapun tingginya, tiada
bedanya dengan bermain-main dan berlarian di atas tanah saja. Melihat Sin Liong
berayun-ayun demikian cepatnya, melepaskan cabang dan meloncat ke cabang lain,
memutar-mutar tubuhnya dengan tangan berpegang pada ranting, mengenjot-enjot
ranting, dua orang anak perempuan itu bersorak memuji. Akan tetapi tiba-tiba,
pegangan Sin Liong terlepas dan tubuhnya melayang ke bawah!
"Aihhhh...! Dua orang anak perempuan itu menjerit dengan berbareng.
Akan tetapi, tiba-tiba kaki Sin Liong mengait ranting dan tubuhnya terayun
dengan kepala di bawah dan dia tertawa-tawa, lalu berjungkir balik dan telah
memanjat naik kembali. Dua orang anak perempuan itu juga tertawa, akan tetapi
muka mereka berubah agak pucat. Ketangkasan Sin Liong bermain-main di atas pohon
itu memang tidak ada bedanya dengan seekor monyet. Hal ini tentu saja tidak
mengherankan kalau ingat bahwa sebelum dia dapat berjalan kaki, Sin Liong sudah
pandai berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon.
Tak lama kemudian Sin Liong sudah turun dari pohon itu membawa dua tangkai bunga
merah segar yang indah. Dia menggigit tangkai bunga-bunga itu. Bunga-bunga itu
segar dan masih basah oleh embun pagi.
"Engkau hebat, Sin Liong!" kata Kui Lin.
"Kembang itu indah sekali untuk hiasan rambut!" kata Kui Lan.
"Mari kupasangkan di rambut kalian, seorang satu," kata Sin Liong.
Dua orang anak perempuan itu tertawa-tawa girang dan Sin Liong lalu memasangkan
setangkai bunga pada rambut kepala Kui Lan, kemudian setangkai pula di rambut
kepala Kui Lin. Setelah kembang itu berada di atas kepala dua orang anak
perempuan kembar ini, Sin Liong memandang mereka dengan kagum. Cantik sekali
mereka itu, cantik dan amat baik kepadanya. Dan kembang-kembang itu membuat
mereka nampak makin mungil.
"Kalian cantik sekali..." dia memuji.
"Ah, engkau yang hebat, Sin Liong. Tangkas sekali engkau memanjat pohon tadi,
dan aku berani bertaruh bahwa kedua suheng kamipun tidak mungkin bisa memetik
kembang ini seperti yang kau lakukan tadi!" Kui Lan memuji.
"Dan sebagai hadiahnya, maka engkau boleh memasangkan kembang di rambut kami,"
Kui Lin menambahkan. Mereka tidak tahu bahwa di balik sebatang pohon, Kwan Siong Bu mengintai dan
melihat serta mendengar semua itu dengan mata terbelalak, muka merah dan tangan
terkepal. Dia merasa iri hati sekali. Tadi di mendengar sorak dan jerit kedua
orang anak perempuan itu, maka dia menghampiri dan mengintai dari balik pohon.
Kini hatinya menjadi panas oleh iri. Akan tetapi apa yang dapat dibuatnya" Untuk
memanjat pohon dan bermain-main di atas pohon seperti yang dilakukan Sin Liong
tadi, tentu saja dia tidak mampu. Huh, kau anak monyet, tentu saja pandai
memanjat pohon, pikirnya marah.
"Sin Liong, tangkapkan kupu-kupu kuning itu untukku!" tiba-tiba Kui Lan berkata
sambil menudingkan telunjuknya kepada seekor kupu-kupu berwarna kuning yang
gerakannya gesit sekali. "Ya, untukku seekor, Sin Liong. Tadi kami mencoba-coba menangkapnya selalu
gagal," kata pula Kui Lin.
Mendengar ini, tentu saja Sin Liong ingin sekali menyenangkan hati dua anak
perempuan itu. Untuk sementara dia melupakan pekerjaannya menyapu dan dia
berkata dengan wajah berseri, "Baiklah, Lan-moi dan Lin-moi, kalian tunggu saja.
Aku akan menangkap dua ekor kupu-kupu kuning untuk kalian!" Dan diapun sudah
berlari mengejar kupu-kupu yang terbang menjauh itu.
Mendengar betapa Sin Liong bermain-main dengan dua orang sumoinya itu, dan
menyebut pula moi-moi, hati Siong Bu menjadi makin panas. Huh, anak monyet,
sombong kamu! Demikian pikirnya. Kalau selama setahun ini dia hanya menahannahan ketidaksenangan hatinya terhadap Sin Liong adalah karena dia takut kepada
bibinya yang kini kelihatan melindungi Sin Liong. Kini melihat Sin Liong pergi
mengejar kupu-kupu, Siong Bu cepat mencari akal untuk mengganggunya.
Iri hati selalu menimbulkan benci dan dendam. Benci dan dendam mendatangkan
kecerdikan yang selalu didorong oleh kejahatan untuk mencelakakan orang lain dan
menguntungkan diri sendiri. Oleh karena itu, sepatutnya kalau kita waspada
terhadap diri sendiri yang mudah dikuasai oleh iri hati. Iri hati timbul dari
perbandingan. Kita suka membandingkan keadaan kita dengan orang lain, menganggap
orang lain lebih beruntung dari kita, lebih senang dan lebih enak daripada kita,
maka timbullah iba diri yang berkawan dengan iri hati.
Dua orang anak perempuan itu sedang tersenyum-senyum dan saling pandang. Melihat
saudaranya demikian cantik memakai kembang di kepala, mereka tahu bahwa
merekapun masing-masing seperti saudaranya itulah. Dan mereka merasa bangga dan
girang. "Wuutt... wuuttt...!" Dua buah benda menyambar.
"Pratt! Prattt!"
Kui Lan dan Kui Lin menjerit dan cepat memegang kepala. Bunga-bunga di kepala
mereka tadi telah runtuh dan kepala mereka menjadi kotor terkena lumpur! Entah
dari mana datangnya mereka tidak tahu, akan tetapi ada tanah berlumpur yang
menyambar bunga mereka sehingga bunga itu runtuh dari atas kepala mereka dan
rambut mereka menjadi kotor. Kui Lan dan Kui Lin adalah dua orang anak manja.
Melihat bunga itu jatuh rusak dan rambut mereka kotor, yang mereka ketahui dari
melihat rambut saudara mereka keduanya lalu menangis.
Mendengar jerit itu yang disusul tangis, Sin Liong terkejut. Kupu-kupu kuning
tadi memang lincah sekali, kelihatan terbang rendah akan tetapi beberapa kali
ditubruknya selalu gagal dan luput. Ketika mendengar jerit kedua orang anak
perempuan itu dia menoleh dan kagetlah hatinya melihat mereka menangis sambil
memegangi kepala. Cepat dia berlari menghampiri. Napasnya sampai terengah-engah
karena dia terkejut dan berlari cepat sekali. Ketika melihat betapa bunga itu
rontok dari kepala mereka dan rambut mereka kotor terkena lumpur, Sin Liong
mengerutkan alis dan memandang ke kanan kiri. Akan tetapi tidak nampak
seorangpun di situ dan dia lalu membersihkan rambut kepala Kui Lan karena anak
inilah yang lebih keras tangisnya, sambil menghibur.
"Sudahlah, biar nanti kucarikan lagi."
Sin Liong menggunakan ujung lengan bajunya untuk membersihkan rambut kedua orang
anak perempuan itu. "Heeei Sin Liong, kau berani kurang ajar terhadap dua orang sumoiku" Kau telah
menggoda mereka dan mengotorkan rambut mereka, ya?"
Sin Liong terkejut dan menoleh. Dia melihat Siong Bu tiba-tiba muncul dan selagi
dia hendak membantah, Siong Bu telah menerjang dan menyerangnya dengan pukulan
ke arah dadanya. Sin Liong mundur-mundur, akan tetapi dia tidak mampu
menghindarkan pukulan itu.
"Bukkk...!" dan dia terhuyung ke belakang.
"Heeeiii, aku aku tidak..."
"Pengecut! Beraninya hanya menggoda anak perempuan!" Siong Bu menerjang lagi,
kini mengirim tendangan ke arah perut Sin Liong. Gaya serangan Siong Bu kini
sudah makin berisi, berbeda dengan setahun yang lalu. Sin Liong meloncat ke
belakang mengelak, akan tetapi pemuda kecil yang tampan dan pemarah itu sudah
mendesaknya dan mengirim pukulan bertubi-tubi.
Setahun yang lalu, biarpun Sin Liong belum pernah mempelajari ilmu silat, namun
dia memiliki ketangkasannya karena hidup secara liar bersama para monyet. Kini,
karena dia sudah mempelajari ilmu silat, maka menghadapi serangan-serangan Siong
Bu yang marah tentu saja dia bergerak menurut itu silat yang selama ini
dilatihnya di bawah bimbingan ibunya. Dan justeru hal inilah yang membuat dia
menjadi bulan-bulanan serangan Siong Bu. Siong Bu telah mempelajari ilmu silat
sejak kecil, maka dibandingkan dengan Sin Liong yang baru belajar satu tahun
itu, tentu saja Siong Bu jauh lebih menang, maka kalau Sin Liong menghadapinya
dengan mengandalkan gerak silat, tentu saja dia kalah jauh dan elakan-elakannya
menurut gaya silat yang belum matang itu tidak berhasil menghindarkan dia dari
serangan-serangan Siong Bu. Dengan kepandaian silatnya yang masih mentah, namun
yang dipakainya dalam gerakan, Sin Liong bahkan mengurangi kecepatannya sendiri,
kehilangan ketangkasannya yang didapatnya secara wajar dan otomatis itu. Andaikata dia tidak lagi terikat dengan gerak silat, kiranya dia akan dapat bergerak
lebih cepat karena bebas, dan dia dapat mengandalkan nalurinya yang amat kuat
untuk menghindarkan semua pukulan dan tendangan. Namun, dia menangkis dan
mengelak dengan gerak silat yang masih mentah sehingga berkali-kali dia terkena
hantaman dan tendangan Siong Bu. Beberapa kali dia terpelanting dan terbanting
roboh! "Heii, suheng! Sin Liong! Jangan berkelahi...!" Beng Sin datang berlari-lari ke
tempat itu dan mencoba untuk melerai. Akan tetapi hampir saja dia terkena
sambaran tendangan kaki Siong Bu. "Sudah... sudah... kenapa berkelahi?" Beng Sin
berseru lagi akan tetapi kini dia hanya berdiri dengan khawatir.
Akan tetapi, Sin Liong adalah seorang anak yang keras hati. Biarpun hidungnya
sudah mengeluarkan darah dan mukanya benjol-benjol membiru, pakaiannya koyakkoyak dan tubuhnya babak belur, dia masih terus melawan dan sekali dua kali ada
juga pukulannya yang mengenai tubuh Siong Bu. Akan tetapi, kembali dia
terjengkang oleh tendangan kaki Siong Bu yang mengenai dadanya.
"Desss...!" Sin Liong terjengkang dan terbanting keras.
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sudah... sudah, jangan berkelahi...!" Kui Lin berseru.
"Kwan-suheng, sudah jangan memukul dia lagi!" Kui Lan juga berteriak.
Akan tetapi Siong Bu bukan hanya marah, akan tetapi juga ingin memamerkan
kepandaiannya di depan kedua orang sumoinya, untuk menonjolkan kelebihannya dari
Sin Liong agar harga dirinya naik dalam pandangan dua orang sumoinya itu, juga
untuk merendahkan Sin Liong di depan mereka.
"Hayo kau minta ampun, baru aku mau sudah!" bentak Siong Bu kepada Sin Liong
yang sudah babak belur itu. Akan tetapi, bagi anak ini, dia lebih baik dipukul
mati daripada harus minta ampun kepada Siong Bu, minta ampun tanpa bersalah.
Maka dia sudah merangkak bangun lagi dan dengan gerengan di dalam
kerongkongannya, dia menubruk ke depan. Begitu terdengar gerengan ini, Sin Liong
menyerang dengan ganas dan liar, tidak lagi menggunakan gerak silat. Dia sudah
lupa akan silatnya, kini berubah menjadi seekor monyet marah, matanya mendelik
dan mulutnya menyeringai, tubrukannya dahsyat sekali.
"Plak! Dukk!" Tendangan dan pukulan Siong Bu memapaki tubuhnya, akan tetapi kini
Sin Liong seperti tidak mengenal rasa sakit lagi dan masih dia menubruk dan
mencengkeram. Rambut kepala Siong Bu dijambak dan ditarik sekuatnya sehingga
anak itu menjerit dan berusaha melepaskan jambakan. Namun, Sin Liong tetap
mencengkeram rambut itu seperti seorang yang hanyut di sungai berpegang kepada
ranting pohon penyelamat. Siong Bu kesakitan dan berteriak-teriak, kakinya
menendang-nendang dan ketika lutut Sin Liong tertendang, dia terguling, akan
tetapi karena jari-jari tangannya masih mencengkeram rambut Siong Bus anak
inipun terbawa pula terguling bersamanya. Mereka kini bergulat dan bergulingan
di atas tanah. Tiba-tiba terdengar bentakan, "Lepas...!"
Mendengar suara ibunya, Sin Liong terkejut sekali dan melepaskan cengkeramannya.
Juga Siong Bu melepaskan cekikannya dan kedua orang anak itu bangkit berdiri.
Pakaian mereka penuh debu dan mereka berdiri dengan muka tunduk karena takut.
Akan tetapi Sin Liong segera mengangkat mukanya dan memandang kepada ibunya.
Si Kwi terkejut bukan main melihat muka anaknya itu benjol-benjol biru dan
berdarah di bibir dan hidungnya. Jelas bahwa Sin Liong telah dihajar oleh Siong
Bu karena pada muka anak ini tidak ada bekas pukulan Sin Liong. Si Kwi adalah
seorang wanita yang keras hati dan dia tidak mudah dipengaruhi oleh perasaan.
Biarpun hatinya marah melihat muka anaknya seperti itu, namun dia tidak menuruti
hatinya dan ingin tahu apa yang terjadi sebelum dia menyalahkan.
"Sin Liong, mengapa kau berkelahi dengan Siong Bu?"
Sin Liong menentang pandang mata ibunya. Sepasang matanya tajam menusuk dan
diam-diam Si Kwi bergidik. Mata anak ini serupa benar dengan mata Cia Bun How,
akan tetapi kalau dalam pandang mata Cia Bun Houw selain ketajaman luar biasa
juga terkandung kelembutan, sebaliknya ketajaman pandang mata anak ini bercampur
dengan sinar liar dan ganas! Dan anak itu sama sekali tidak menjawab, sebaliknya
kini malah menunduk. Si Kwi tahu akan watak aneh dari anaknya ini, maka dia menoleh kepada Siong Bu
dan bertanya, "Siong Bu, hayo cepat katakan apa yang terjadi! Kenapa engkau
memukuli Sin Liong?"
Siong Bu yang sejak tadi menunduk, kini mengangkat mukanya dan sambil menoleh ke
arah Sin Liong dengan pandang mata marah, dia berkata, "Dia menggoda Lan-sumoi
dan Lin-sumoi, mengotori rambut mereka dan membuat mereka menangis, maka saya
lalu menghajarnya, bibi."
Si Kwi menoleh kepada Sin Liong yang masih berdiri dengan muka tunduk. "Sin
Liong, benarkah engkau menggoda Lan Lan dan Lin Lin?" tanyanya dengan alis
berkerut. Sin Liong mengangkat mukanya, memandang ibunya sejenak, lalu menunduk lagi tanpa
menjawab! Si Kwi maklum bahwa kalau sudah begitu, diapakanpun juga, Sin Liong
tidak akan mau menjawab. Dia menoleh kepada Beng Sin yang gemuk dan yang sejak
tadi berdiri agak jauh tanpa berani ikut bicara. Melihat bibinya memandang
kepadanya, dia tersenyum ramah akan tetapi tidak berkata apa-apa. Si Kwi tidak
mau bertanya kepada Beng Sin, karena dia tahu bahwa Beng Sin tidak ikut-ikut
dalam hal ini. Yang paling tepat adalah menanyai anak-anaknya sendiri.
"Lan Lan dan Lin Lin, benarkah Sin Liong menggoda kalian dan mengotori rambutrambut kalian?" "Tidak, ibu. Sama sekali tidak!" Kui Lin berkata.
"Hemm, kalau begitu mengapa mereka berkelahi?" Si Kwi mendesak. Kui Lan yang
kini menjawab karena Kui Lin memang tidak begitu pandai bicara.
"Sesungguhnya Sin Liong tidak menggoda kami, ibu. Sin Liong malah mencarikan
bunga dan bermain-main dengan kami. Tahu-tahu Kwan-suheng datang dan menuduh Sin
Liong menggoda kami lalu memukulnya."
Si Kwi menoleh dan memandang kepada Siong Bu dengan alis berkerut. Melihat ini
Siong Bu cepat berkata, "Saya... saya melihat kedua sumoi menangis, maka tentu
mengira Sin Liong menggoda mereka dan..."
"Kenapa kalian menangis?" Si Kwi memotong dan memandang kepada dua orang
anaknya. "Kembang kami jatuh..." Kui Lin berkata.
"Entah kenapa, ibu, kembang pemberian Sin Liong terjatuh dari rambut kami dan
rambut kami menjadi kotor terkena tanah lumpur. Kami menangis, Sin Liong
menghibur kami dan tahu-tahu Kwan-suheng muncul dan memukuli Sin Liong," kata
Kui Lan. Si Kwi kini memandang Siong Bu dengan mata marah. Dia dapat menduga apa yang
terjadi dan dia lalu melangkah maju mendekati Siong Bu. Tangannya bergerak ke
depan menyambar ke arah muka anak itu. "Plak! Plakk!" Dua kali kedua pipi Siong
Bu ditampar oleh nyonya itu, Siong Bu terpelanting, lalu berlari sambil menangis
dan memegangi kedua pipinya.
Hemm, dia tentu akan mengadu kepada pamannya, pikir Si Kwi. Lalu dia menegur Sin
Liong dengan suara halus, "Liong-ji, kenapa engkau mencari gara-gara" Kalau ada
orang menyerangmu, mengapa engkau tidak pergi saja mencariku dan aku yang turun
tangan. Mengapa engkau melawan sendiri sedangkan kepandaianmu masih amat rendah"
Engkau mencari penyakit." Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab, bahkan lalu
pergi meninggalkan ibunya untuk melanjutkan pekerjaannya menyapu lorong di taman
itu. Si Kwi menarik napas panjang, tidak berani dia memperlihatkan kasih
sayangnya secara terbuka kepada Sin Liong, maka diapun lalu menggandeng tangan
kedua orang anak perempuan itu dan mengajaknya kembali ke dalam rumah.
Dugaan Si Kwi memang ternyata terbukti benar. Siong Bu yang merasa betapa
pamannya amat menyayang dan memanjakannya, dan yang tahu pula bahwa pamannya itu
tidak suka kepada anak angkat bibinya, sambil menangis lalu mengadu kepada
pamannya bahwa dia ditampari oleh bibinya karena bibinya membantu Sin Liong.
Melihat kedua pipi keponakan yang sebenarnya adalah anaknya sendiri itu bengkak
dan merah, marahlah Hok Boan. Apalagi ketika mendengar pengaduan Siong Bu bahwa
perkelahian antara anak itu dengan Sin Liong disebabkan karena Sin Liong
dianggap menggoda dua orang anak perempuannya.
"Anak monyet itu memang tak tahu diri!" bentaknya dan cepat dia menemui Si Kwi
dengan muka merah dan mata mengandung kemarahan besar.
"Niocu, perbuatanmu sekali ini sungguh tidak menyenangkan hatiku!" Hok Boan
berkata kepada isterinya yang sedang mencuci rambut kedua anaknya yang kotor
terkena lumpur itu. Si Kwi tahu bahwa suaminya marah dan tentu sudah terkena pengaduan Siong Bu,
akan tetapi melihat betapa dalam kemarahannya Hok Boan masih bersikap halus
kepadanya, diapun hanya memandang dan berkata dengan halus pula, "Kui-long
(kakanda), apakah aku sebagai isterimu tidak boleh mengajar keponakanmu?"
HOK BOAN amat mencinta isterinya ini, maka biarpun marah, dia tidak dapat
bersikap kasar. Kini, ditanya seperti itu, pertanyaan yang mengandung teguran,
dia menjadi gugup, lalu menarik napas panjang dan berkata, "Tentu saja engkau
berhak dan boleh sekali mengajarnya karena keponakanku adalah keponakanmu pula.
Bukan pengajaranmu itu yang tidak menyenangkan hatiku, niocu. Biar engkau
mengajar Siong Bu lebih keras lagi, aku tidak akan merasa menyesal bahkan
bersyukur bahwa engkau sebagai isteriku ikut memperhatikan pendidikan untuk
keponakanku. Akan tetapi kalau engkau mengajarnya sebagai pembelaan terhadap
anak monyet itu, sungguh hal ini amat tidak tepat!"
"Kui-long, aku sama sekali bukan hanya membela Sin Liong. Kalau Sin Liong
melakukan hal yang tidak patut, tentu dia akan kuajar pula. Akan tetapi aku
melihat Sin Liong dipukuli oleh Siong Bu tanpa salah. Suamiku, ingatlah bahwa
kita mendidik anak-anak bukan untuk menjadi tukang pukul dan menjadi orang yang
berhati kejam! Engkau tahu bahwa baru saja aku mengajar silat kepada Sin Liong
dan dia tentu saja tidak akan mampu membela diri terhadap Siong Bu. Kalau dia
tidak diserang, mana dia berani terhadap Siong Bu" Urusan ini adalah urusan
anak-anak, dan kita sebagai orang tua wajib mendidik mereka, kalau perlu
menghajar mereka yang menyeleweng. Kalau kini engkau membela Siong Bu, bukankah
terdapat bahaya bahwa kita seolah-olah membela murid masing-masing?"
Diam-diam Hok Boan terkejut. Benar juga, pikirnya.
"Tia (ayah), Sin Liong tidak bersalah apa-apa dan suheng salah sangka, lalu
datang-datang memukulnya. Suheng mengira Sin Liong menggoda kami berdua, padahal
tidak sama sekali." Kui Lan berkata, membela Sin Liong dan membela ibunya.
Mendengar ini, Hok Boan makin tidak mampu berkata apa-apa. Dia sendiripun tahu
bahwa puteranya itu Siong Bu, memang berwatak keras. Dia menarik napas panjang
lalu berkata kepada isterinya, "Maafkan aku, niocu. Aku tidak menyalahkan engkau
karena memberi hajaran kepada keponakan kita itu. Aku hanya khawatir bahwa
melihat engkau menampari di depan anak monyet itu, hal ini akan membuat dia
besar kepala dan makin liar. Ingat, sejak kecil dia itu sudah terpengaruh oleh
keliaran binatang buas, maka kalau dia merasa dimanja, bukan maksudku mengatakan
kau memanjakannya, akan tetapi kalau dia merasa dimanja, dia bisa menjadi makin
liar. Dia harus dididik secara keras seperti mendidik seekor monyet liar agar
dia menjadi jinak sehingga kelak tidak akan mencemarkan nama baik kita sebagai
orang tua angkatnya."
Mendengar ini, Si Kwi mengangguk dan dia membenarkan pendapat suaminya. Dia
mencinta Sin Liong yang diketahuinya adalah puteranya sendiri. Akan tetapi tentu
saja dia lebih mencinta sauaminya ini. Suami yang sah, sedangkan Sin Liong
bukanlah anaknya yang sah.
"Engkau memang benar, biar aku akan memperkeras pengawasanku terhadap Sin
Liong." "Hemm, kurasa sebaiknya sekarang aku memberi hukuman kepadanya agar dia tahu
bahwa lain kali dia tidak boleh berkelahi dengan orang." Setelah berkata
demikian, Hok Boan pergi mencari Sin Liong yang biasanya pada waktu itu tentu
masih bekerja di belakang memberi makan kuda. Akan tetapi ketika Hok Boan tiba
di kandang kuda, anak itu tidak berada di situ. Hanya kuda yang makan makanan
kuda dari bak yang nampak di dalam kandang.
"Sin Liong...!" Hok Boan memanggil dengan suara marah. Tidak ada jawaban. Hok
Boan sudah membawa sebatang ranting yang dipersiapkan untuk menghajar Sin Liong.
Hatinya menjadi makin marah ketika dia tidak melihat anak itu dan tidak
mendengar jawabannya, maka dia lalu meninggalkan kandang kuda dan mencari ke
tepi hutan di belakang kandang kuda itu.
"Sin Liong...!" Suaranya memanggil-manggil menggema di dalam hutan.
*** Sementara itu, setelah mengadu kepada pamannya tentang dia ditampar oleh bibinya
dan tentang Sin Liong, diam-diam Kwan Siong Bu menjadi takut sendiri. Dia tahu
bahwa sesungguhnya dia yang lebih dulu memukuli Sin Liong karena hatinya panas
melihat anak yang dianggapnya anak monyet itu bermain-main demikian akrabnya
dengan Kui Lan dan Kui Lin. Biarpun dia disayang oleh pamannya, akan tetapi
bibinya agaknya lebih menyayang Sin Liong, dan kalau pamannya mendengar akan
semua yang terjadi, mungkin dia malah yang akan mendapat kemarahan pamannya itu.
Oleh karena itu, setelah melapor sambil menangis di depan pamannya dan melihat
pamannya pergi dengan marah, Siong Bu lalu pergi pula meninggalkan rumah dan
masuk ke dalam hutan. Dia memasuki hutan besar itu dan duduk di bawah pohon besar, tersembunyi di
balik semak-semak belukar. Memang dia bermaksud untuk bersembunyi dan baru akan
pulang kalau keadaan rumah sudah mereda, kalau paman dan bibinya tidak marahmarah lagi. Kalau dia teringat kepada Sin Liong hatinya menjadi makin panas.
Terbayang dalam ingatannya ketika Sin Liong menangis dengan kepala di atas
pangkuan bibinya, dibelai oleh bibinya. Hal itulah yang sesungguhnya menimbulkan
iri di dalam hati anak ini. Dia sendiri tidak pernah merasakan kasih sayang
seorang ibu. Sejak kecil dia dibawa dengan paksa oleh pamannya ke Istana Lembah
Naga. Melihat Sin Liong yang dikenalnya hanya sebagai seorang anak angkat, tidak
ada hubungan darah daging sama sekali dengan paman dan bibinya, bahkan anak yang
kabarnya ditemukan dari sekumpulan monyet, demikian disayang oleh bibinya, tentu
saja dia merasa iri hati dan perasaan ini menimbulkan kebencian di dalam
hatinya. Kedua pipinya masih terasa panas dan nyeri. Gara-gara anak monyet itu, pikirnya
sambil mengusap kedua pipinya. Bibinya telah menamparnya demi membela anak
monyet itu! Hatinya merasa penasaran dan sakit sehingga dua tetes air mata
kembali menuruni pipinya. Siong Bu merebahkan diri di atas rumput, berbantal
lengan dan sebentar saja diapun tertidurlah.
Dia terkejut dan bangun mendengar suara-suara tak jauh dari situ. Dengan heran
Siong Bu bangkit duduk dan ketika mendengar suara orang bercakap-cakap, dia
cepat merangkak dan mengintai dari balik semak-semak. Jantungnya berdebar keras
karena dia mendengar suara wanita, mengira bahwa bibinya yang datang mencarinya.
Akan tetapi setelah dia sadar benar, dia mendapat kenyataan bahwa suara itu
bukanlah suara bibinya. Timbul keberaniannya dan dia mengintai. Ternyata wanita
itu adalah seorang wanita yang berpakaian amat indah, usianya sepantar dengan
bibinya akan tetapi wanita ini cantik sekali, cantik dan pakaiannya mewah.
Rambutnya digelung malang melintang dan membelit-belit seperti beberapa ekor
ular saling belit dan rambut itu dihias dengan hiasan rambut yang gemerlapan.
Lengan kirinya memakai gelang emas kecil-kecil yang banyak sehingga setiap kali
dia menggerakkan tangan kiri, terdengar suara gemerincing nyaring. Wajah itu
cantik dan manis, akan tetapi dingin sekali dan kelihatan angkuh sehingga
menakutkan hati Siong Bu.
Siong Bu kini mengalihkan perhatiannya, memandang orang ke dua yang berdiri
berhadapan dengan wanita itu. Orang ini adalah seorang pemuda kecil, usianya
kurang lebih empat belas tahun, akan tetapi perawakannya tinggi tegap, setinggi
orang dewasa. Seperti juga wanita itu, pemuda ini memakai pakaian yang amat
mewah, topinya terhias mainan seekor naga dengan mata mutiara indah. Wajahnya
tampan dan gerak-geriknya halus, mulutnya selalu tersenyum.
Siong Bu merasa terheran-heran. Memang banyak sudah orang tinggal di sekitar
Lembah Naga, akan tetapi mereka itu semua adalah orang-orang dusun yang miskin
dan berpakaian sederhana. Dari mana datangnya dua orang yang berpakaian seperti
bangsawan-bangsawan tinggi itu" Dia mendengarkan percakapan mereka dengan penuh
perhatian tanpa berani bergerak.
"Suci, kenapa kita harus meninggalkan kereta dan pengawal?" anak laki-laki itu
bertanya kepada wanita yang disebutnya kakak seperguruan itu.
"Sute, di dunia kang-ouw, hal yang paling terpandang adalah keberanian dan
kegagahan. Kalau kita datang bersama banyak pengawal, tentu orang akan mengira
bahwa kita hanya mengandalkan kekuatan pasukan pengawal dan hal itu berarti
mencemarkan nama sucimu ini."
Mendengar ucapan itu, Siong Bu terheran dan kini dia memandang wanita itu dengan
makin penuh perhatian. Tadi dia tidak berani memandang terlalu lama karena wajah
wanita yang dingin dan angkuh itu menakutkan hatinya. Baru sekarang dia melihat
bahwa wanita yang cantik dan berpakaian indah itu ternyata membawa sebatang
pedang yang tergantung di punggungnya. Selain pedang ini, juga nampak sebuah
kayu salib tergantung di punggung itu, kayu salib yang jelas kelihatan ada
tulisan tiga huruf besar, yaitu CIA, YAP dan TIO.
"Suci, banyakkah jagoan-jagoan di dunia kang-ouw?"
Wanita itu menarik napas panjang. "Banyak" Sampai tidak terhitung, sute. Dan
masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri. Di dunia ini penuh orang pandai,
oleh karena itu, dalam melakukan perjalanan ke kota raja di selatan nanti
bersama sucimu, engkau harus berhati-hati dan selalu menurut bimbingan sucimu,
jangan bertindak ceroboh, sute."
"Akan tetapi kenapa kita harus berhenti dulu di Lembah Naga, suci" Bukankah itu
membuang-buang waktu belaka?" anak laki-laki itu mencela.
"Ayahmu sri baginda yang mengutus aku ke sini, sute. Selain itu, juga ada
beberapa urusan pribadi yang harus kuselesaikan. Beberapa orang musuh menantang
sucimu untuk mengadakan pertemuan di tempat ini."
"Apakah mereka lihai, suci?"
"Ah, tidak berapa lihai, hanya beberapa orang yang datang hendak mengantar nyawa
saja." "Suci, biarkan aku menghadapi mereka!"
"Bagaimana nanti sajalah..."
Pada saat itut terdengar bentakan nyaring. "Kim Hong Liu-nio, perempuan sombong!
Kami datang menagih nyawa saudara-saudara kami!" Dan bermunculanlah lima orang
laki-laki dari balik pohonpohon. Namun wanita cantik itu hanya tersenyum
mengejek, sedangkan anak laki-laki itupun memandang dengan wajah gembira dan dia
tersenyum lebar. "Suci, kenapa baru sekarang mereka muncul" Bukankah sejak tadi mereka itu
bersembunyi di balik pohon-pohon itu?"
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siong Bu terkejut. Kiranya anak laki-laki itu sudah tahu akan kedatangan lima
orang ini! Jangan-jangan suci dan sute itupun sudah tahu akan tempat dia
bersembunyi! Siong Bu makin ketakutan dan dia mengintai terus dengan hati penuh
ketegangan. Dia melihat bahwa lima orang yang baru datang itu kelihatan gagah
dan kuat, dikepalai oleh seorang laki-laki berusia enam puluh lima tahun lebih
yang bertubuh pendek besar dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar.
Orang ini pakaiannya serba hitam, dengan sabuk dan kain kepala berwarna kuning.
Empat orang lainnya agak lebih muda, antara empat puluh tahun usia mereka dan
sikap mereka juga gagah, dengan memegang bermacam senjata, sikap mereka penuh
ancaman dan kemarahan. Kim Hong Liu-nio, wanita cantik itu, menghadapi mereka dengan sikap memandang
rendah, lalu dia mengangkat muka memandang kakek pendek besar itu, bertanya
dengan sikap tak acuh, "Jadi kalian inilah yang mengirim surat tantangan agar
aku datang ke tempat ini?"
"Suci, apakah mereka ini jagoan-jagoan kang-ouw?" Anak laki-laki itu bertanya
setelah memandang kepada lima orang itu penuh perhatian.
Wanita itu mendengus dan bibirnya berjebi. "Sute, di dunia kang-ouw, orang-orang
seperti mereka ini hanya merupakan cacing-cacing busuk yang tiada artinya."
Kakek pendek besar yang membawa golok besar di pinggangnya itu membentak marah.
"Perempuan sombong! Aku Twa-sin-to Kui Liok selamanya tidak pernah bermusuhan
denganmu! Akan tetapi, tanpa dosa sama sekali, dua orang keponakanku telah
kaubunuh, hanya karena mereka itu she Tio!"
"Semua orang she Cia, Yap dan Tio harus mampus di tanganku!" kata wanita itu
sambil memperlihatkan papan kayu salib yang diamblinya dari punggung.
"Siluman betina, engkau juga telah membunuh sute kami yang she Yap!" Tiga orang
laki-laki yang memegang pedang melangkah maju dengan sikap mengancam.
"Dan engkau membunuh ibuku yang she Cia!" kata orang ke lima, juga marah sekali.
"Sute, apakah engkau jadi ingin menghadapi cacing-cacing in!?"
"Benar, suci. Aku ingin mencoba apa yang telah kupelajari dari subo dan darimu."
Anak itu lalu melangkah maju, menghadapi lima orang itu dengan sikap tenang.
Lima orang itu saling pandang dengan ragu-ragu. Tentu saja mereka tidak sudi
mengeroyok seorang anak laki-laki yang usianya belum dewasa ini. Mereka adalah
orang-orang yang terkenal di perbatasan utara ini. Bahkan Twa-sin-to Kui Liok
adalah seorang perampok tunggal yang amat terkenal di selatan.
"Kim Hong Liu-nio, suruh anak ini minggir! Kami hanya ingin membalas dendam
kepadamu dan menagih nyawa!" bentak kakek itu sambil melangkah maju.
"Twa-sin-to, biarlah aku yang mewakili suci. Cabutlah golok besarmu dan kalian
boleh maju semua, aku akan menghadapi kalian dengan tangan kosong saja," kata
anak laki-laki itu dengan sikapnya yang halus, namun senyum di bibirnya penuh
ejekan dan penuh ketinggian hati.
Selagi Twa-sin-to Kui Liok meragu, seorang di antara mereka, yang termuda,
kurang dari empat puluh tahun usianya, bermuka hitam, telah melangkah maju dan
membentak. "Biariah aku melemparkan setan cilik yang sombong ini!"
Laki-laki itu bertubuh tinggi besar, bermuka hitam menyeramkan dan karena kedua
lengan bajunya tergulung sampai ke atas siku, maka nampak kedua lengannya yang
berotot dan amat kuat. Kini, menghadapi anak itu, dia menyimpan lagi pedangnya
di sarung pedang yang tergantung di pinggangnya dan dia menghadapi anak itu
dengan dua tangan kosong yang telah dikembangkannya ke kanan kiri, siap untuk
menubruk. "Nanti dulu!" kata anak yang tampan itu. "Apakah engkau juga seorang jagoan
kang-ouw dan mempunyai nama julukan" Lebih baik kauberitahukan nama julukanmu
itu agar aku dapat mencatat namamu sebagai jagoan kang-ouw pertama yang
kurobohkan." Muka yang hitam itu menjadi makin hitam, matanya melotot. "Bocah sombong, setan
cilik yang bosan hidup!" bentaknya dan dengan cepat, seperti seekor harimau
kelaparan, si muka hitam ini sudah menerjang ke depan, menubruk dengan tangan
kiri mencengkeram ke arah pundak anak itu dan tangan kanan mencekik ke arah
leher! "Hemm... kasar sekali, suci!" anak itu berseru dan sekali tubuhnya bergerak,
dengan langkah kaki indah sekali, serangan orang itu mengenai tempat kosong, dan
sambil mengelak itu kaki kanannya diangkat sedikit menyentuh lutut kiri lawan.
"Dukk...!" Perlahan saja tendangan itu, akan tetapi karena tepat mengenai sendi
lutut tak dapat dicegah lagi si muka hitam jatuh berlutut!
"Wah, dia tahu aturan juga, suci. Lihat, belum apa-apa dia sudah berlutut minta
ampun!" anak itu berkata mengejek.
Tentu saja si muka hitam menjadi makin marah dan malu. Dia adalah seorang jagoan
yang telah terkenal memiliki kepandaian tinggi dan nama besar. Sekarang, dalam
segebrakan saja dia telah dihina oleh seorang anak kecil belasan tahun!
"Bocah keparat!" Dia meloncat dan kini dia mengirim serangan hebat, bukan lagi
serangan biasa karena memandang rendah seperti tadi, melainkan serangan yang
berdasarkan ilmu silat, kedua tangannya secara bergantian menghantam ke arah
leher dan pusar, sedangkan kaki kanannya menyusul dengan tendangan maut ke arah
dada. Cepat sekali terjangan yang dilakukan oleh si muka hitam ini. Akan tetapi
baru saja dia bergerak, anak itu telah berseru, "Wah, suci, bukankah ini jurus
Go-houw-pok-sit (Macan Kelaparan Menyambar Makanan)" Kalau kutangkis begini,
tentu dia menyusul dengan tendangan, nah baiknya kutangkap kakinya dari bawah
dan kudorong terus ke atas, ya?" Sambil bicara demikian, dia melaksanakan katakatanya. Serangan pukulan kedua tangan si muka hitam itu berhasil ditangkisnya dan ketika
kaki si muka hitam menyambar, dia cepat meloncat ke samping, lalu secepat kilat
tangannya menyambar kaki yang lewat, menyangga dari bawah dan mendorongnya terus
ke atas. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh si muka hitam itu terjengkang dan
terbanting berdebuk ke atas tanah sampai mengeluarkan debu mengepul!
"Bagus, sute, memang tepat perhitunganmu!" Wanita cantik itu memuji sambil
mengangguk-angguk. "Akan tetapi jangan terlalu lama main-main dengan dia, masih
ada empat ekor lagi yang lain!"
Si muka hitam itu menjadi marah bukan main. Marah dan malu sekali. Jagoan
seperti dia sampai dua kali dirobohkan oleh seorang anak kecil dalam dua
gebrakan saja! Saking marahnya sampai dia lupa diri, lupa bahwa yang dihadapinya
adalah seorang anak laki-laki yang belum dewasa. Dia sudah bangkit berdiri,
mukanya makin menghitam dan matanya mendelik lalu dia membungkuk seperti seekor
kerbau marah, mendengus-dengus.
"Wah, tadi berlutut sekarang menjura. Sudahlah, muka hitam, jangan menggunakan
terlalu banyak peradatan dan sopan santun. Aku tidak bisa menerima
penghormatanmu!" Anak itu yang ternyata selain lihai juga memiliki lidah tajam
dan pandai mengejek, menggerak-gerakkan kedua tangan ke depan seperti orang
menolak. Melihat kehebatan anak laki-laki ini, diam-diam Siong Bu menjadi kagum
bukan main. Akan tetapi terkejutlah dia ketika melihat tiba-tiba si muka hitam
itu mengeluarkan suara gerengan seperti harimau, lalu tubuhnya sudah menerjang
ke depan dengan kepala di depan, menyeruduk seperti seekor kerbau gila!
Siong Bu terkejut bukan main. Dia pernah mendengar dari pamannya tentang ilmu
menyeruduk seperti ini, yang mengandalkan latihan lwee-kang yang dipusatkan di
kepala, dan ilmu ini amat berbahaya karena lawan yang kena diseruduk tentu akan
remuk tulang-tulang dadanya. Biarpun dia belum pernah menyaksikan kehebatan ilmu
aneh ini, namun mendengarkan penuturan pamannya dia merasa ngeri dan kini
melihat anak yang dikaguminya itu diserang dengan ilmu aneh ini, dia terbelalak
dan merasa tegang. Juga empat orang laki-laki yang menjadi teman si muka hitam
merasa tegang dan mereka hampir merasa yakin bahwa kini anak kecil itu tentu
akan celaka. Anehnya, wanita cantik yang menjadi suci anak itu memandang dengan
sikap tenang saja, sama sekali tidak merasa kaget atau gelisah.
Bagaikan seekor gajah atau seekor kerbau gila, si muka hitam menyeruduk dan
nampaknya anak yang menjadi lawannya itupun tidak tahu harus berbuat apa. Dia
sama sekali tidak mengelak dan berdiri tegak saja. Ketika kepala yang
mengancamnya itu sudah meluncur dekat tiba-tiba anak itu menggerakkan tanga
kanannya, dengan jari-jari terbuka dia menusuk ke depan, menyambut kepala itu
dengan tusukan jari-jari tangannya.
"Crokk...!" Tubuh anak itu terhuyung ke belakang bergoyang-goyang dan mukanya
agak pucat, akan tetapi tubuh si muka hitam terguling dan dari kepalanya
mengalir darah merah bercampur cairan otak putih! Dia tewas seketika! Empat
orang temannya menjadi kaget bukan main dan memandang dengan mata terbelalak.
Akan tetapi, wanita cantik itu tidak memperdulikan mereka, cepat menghampiri
sutenya dan dua kali dia mengurut dada sang sute yang menjadi tenang dan pulih
kembali. "Ah, sute, kenapa kau begitu ceroboh" Kau harus ingat bahwa orang yang
menggunakan serangan dengan kepala adalah yang yang memiliki lwee-kang kuat,
apakah kau lupa lagi" Dan melawan kekerasan dengan kekerasan merupakan
kecerobohan besar. Untung bahwa lwee-kangnya tadi belum kuat benar, kalau lebih
kuat setingkat saja, bukankah engkaupun akan menderita luka biarpun kau berhasil
membunuhnya?" Anak laki-laki itu mengangguk. "Aku telah keliru, suci,
mengharapkan petunjukmu."
"Lihat baik-baik. Nah, kaulontarkan dia dalam kedudukan menyerang seperti tadi
kepadaku!" Anak itu mengangguk, lalu menghampiri mayat si muka hitam. Dicengkeramnya baju
di tengkuk dan di belakang pinggul mayat itu dan sambil mengerahkan tenaga,
dilontarkannya mayat itu ke arah sucinya. Mayat itu meluncur dengan cepat ke
arah wanita tadi dengan kepala di depan, seperti ketika dia menyeruduk anak itu.
Dan seperti juga sikap anak tadi, wanita ini tenang saja, baru setelah serudukan
itu dekat, tiba-tiba dia menggeser kakinya, tubuhnya sudah berputar ke kiri dan
ketika kepala yang menyeruduk itu lewat, secepat kilat jari-jari tangannya
bergerak seperti gerakan anak tadi, menusuk ke arah pelipis kanan mayat yang
lewat. "Crokkk!" Mayat itu terbanting dan pelipis kanannya nampak berlubang-lubang bekas jari
tangan, sedangkan wanita itu tetap berdiri tegak. "Nah, kaulihat, sute" Kalau
kau memapaki dari depan, selain melawan tenaga lwee-kangnya, juga tenaganya itu
ditambah lagi dengan tenaga luncuran tubuhnya, tentu saja menjadi amat kuat.
Sebaliknya, kalau kau menusuk dari samping, engkau tidak memapaki tenaga lawan
secara langsung." Tadinya empat orang teman si muka hitam itu hanya memandang dan mendengarkan
dengan mata terbelalak, akan tetapi kini mereka telah sadar dan menjadi marah
sekali. "Bocah setan, berani kau membunuh teman kami?" bentak Twa-sin-to Kui Lokg kakek
berusia enam puluh tahun lebih yang pendek gemuk itu. Goloknya yang besar
panjang tahu-tahu telah berada di tangan kanannya dan begitu dia menggerakkan
tangan, terdengar suara berdesing dan golok itu lenyap berubah menjadi gulungan
sinar yang menyilaukan mata.
"Jangan lawan dengan tangan kosong, gunakan pedangmu!" tiba-tiba wanita cantik
itu berseru setelah melihat gerakan Kui Lok.
"Srattt...!" Nampak sinar berkeredepan dan tahu-tahu anak itupun telah mencabut
pedangnya, sebatang pedang yang amat indah, gemerlapan dan mengkilat sekali
seperti perak kebiruan, gaganngya berukir tubuh naga dan ronce-ronce merah
berbentuk lidah yang keluar dari kepala naga yang terukir di ujung gagang.
Twa-sin-to Kui Lok yang dihadapi oleh anak itu, merasa dipandang rendah sekali,
maka dia terus saja menggerakkan goloknya dengan dahsyat. Si pendek gemuk ini
berjuluk Twa-sin-to (Si Golok Besar Sakti) maka tentu saja ilmu goloknya amat
hebat dan dengan goloknya itu dia telah membuat nama besar di selatan. Kini dia
dihadapi oleh seorang anak yang usianya baru empat belas tahun, tentu saja dia
marah sekali dan ingin dia cepat membunuh anak ini agar dapat mencurahkan
seluruh perhatian dan memusatkan tenaga dan kepandaian untuk menghadapi Kim Hong
Liu-nio yang menjadi musuh besarnya itu. Dia tidak berlaku sungkan-sungkan lagi,
maka goloknya yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung itu kini seperti
gelombang samodera datang menerjang anak yang telah melintangkan pedang di depan
dada dan memandang permainan lawan dengan penuh perhatian.
"Awas, yang dimainkan itu adalah pecahan dari Lo-han-to yang tidak aseli lagi,
namun masih memiliki dasar-dasar Lo-han-to!" tiba-tiba wanita cantik itu berseru
ketika melihat gerakan golok Twa-sin-to Kui Lok. Diam-diam si gemuk pendek ini
kaget bukan main, kaget dan juga marah. Dia merasa telah menguasai Lo-han-to,
ilmu golok yang amat hebat dari cabang persilatan Siauw-lim-pai itu dengan baik,
kini disebut pecahan yang tidak aseli lagi! Memang dia bukan murid langsung dari
Siauw-lim-pai, akan tetapi dia mengira telah menguasai Ilmu Golok Siauw-lim-pai
itu. Lo-han-to (Golok Orang Tua Gagah) memang merupakan Ilmu Golok Siauw-lim-pai
yang hebat, gerakannya gagah bersemangat dan biarpun digerakkan dengan lambat,
namun mengandung lwee-kang yang amat kuat dan sinarnya bergulung-gulung seperti
ombak. Akan tetapi, Kui Lok tidak mau perhatiannya terpecah oleh kata-kata wanita itu,
dia sudah menerjang ke depan, gerakannya ringan dan goloknya menyambar-nyambar
seperti kilat dari atas, mengarah tubuh atas anak itu.
"Itulah jurus Yan-cu-tiak-sui (Burung Walet Menyambar Air), engkau tahu
sifatnya, sute, jaga yang atas jangan lupakan yang bawah!" kembali wanita itu
berseru. Anak itu menggerakkan pedangnya menangkis. Terdengar bunyi trang-tring-trangtring nyaring sekali dan kemanapun golok itu menyambar dari atas, selalu bertemu
dengan bayangan pedang. Kui Lok terkejut juga dan cepat kakinya bergerak. Memang
tendangan merupakan imbangan dari serangan golok jurus itu, karena itulah maka
wanita itu tadi mengingatkan sutenya untuk tidak melupakan yang bawah! Maka
begitu kakinya bergerak menendang, tiba-tiba anak itu membalikkan pedangnya
menyambut kaki yang menendang.
"Ehhh!" Si gemuk pendek cepat menarik kembali kakinya dan meloncat ke belakang
sehingga dia agak terhuyung. Mukanya berubah dan keringat dingin membasahi leher
karena dia mengingat betapa hampir saja dalam satu gebrakan kakinya dibikin
buntung oleh bocah lihai ini. Dengan kemarahan meluap dia lalu menerjang lagi
Jejak Di Balik Kabut 39 Candika Dewi Penyebar Maut X I I I Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama