Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong Bagian 2
Tidak, betapapun djuga Toan-heng harus ikut kesana, kata Djin-ho. Bila tidak,
aku pasti akan didamperat oleh guruku.
Melihat wadjah orang mengundjuk kurang beres, hati Toan Ki tergerak, lapat2 ia
dapat menebak apa maksud orang, pikirnja: Tjelaka, mungkin dia sengadja hendak
menahan aku, agar penolong jang diundang tidak bisa datang, dengan demikian
orang2 Sin-long-pang akan terbinasa dan Bu-liang-kiam mereka tidak kuatir lagi,
terhadap musuh utama itu.
Segera ia menanja pula: Darimana Kam-heng mengetahui aku akan datang kesini"
Hm, djengek Djin-ho. Perembukan kau bersama nona Tjiong terhadap Sin-long-pang
sudah Tjayhe dengar dan lihat semua. Bu-liang-kiam tiada dendam permusuhan apa2
dengan kau, pasti kau takkan dibikin susah. Jang diharap sukalah kau mampir
barang beberapa hari ketempat kami, kemudian kau akan dibebaskan.
Mampir buat beberapa hari" Toan Ki menegas. Kan bisa tjelaka, padahal aku telah
minum Toan-djiong-san pihak Sin-long-pang, kalau ratjunnja bekerdja bagaimana"
Boleh djadi minum sedikit obat urus2, perutmu lantas takkan sakit, kata Kam
Djin-ho tertawa. Diam2 Toan Ki kuatir, seketika iapun tiada akal untuk meloloskan diri.
Kalau ikut pergi ke Kiam-oh-kiong, mungkin dirinja akan mendjadi korban, bahkan
Tjiong Ling, Sikong Hian dan lain2 akan terbinasa.
Dalam pada itu udjung pedang Kam Djin-ho sudah mengantjam didada Toan Ki hingga
terasa sakit. Hajo, ikut! Mau atau tidak mau tetap kau harus ikut kesana! kata
murid Bu-liang-kiam itu. Dengan demikian, bukankah kau sengadja hendak membunuh aku" kata Toan Ki.
Djika sudah berani berkelana dikangouw, djiwamu harus berani dibuat taruhan,
udjar Djin-ho tertawa. Orang pengetjut matjammu ini, sungguh terlalu. Habis
berkata, sret, mendadak pedangnja terus mengiris kebawah hingga badju Toan Ki
terobek sepandjang puluhan senti.
Kam Djin-ho ini tidak malu sebagai murid pilihan Bu-liang-kiam, biarpun badju
Toan Ki terobek disajat, namun badannja sedikitpun tidak luka. Maka tertampaklah
perut Toan Ki jang putih itu, tjepatan pemuda itu memegangi badjunja jang
kedodoran itu. Eh, putih djuga, seperti perempuan, goda Djin-ho tertawa. Mendadak ia berubah
bengis, bentaknja: Hajo, lekas djalan, djangan bikin tuanmu kehilangan sabar,
sekaligus bisa kusajat mukamu hingga berpuluh djalur merah!
Terpaksa, Toan Ki harus menurut, ia pikir nanti ditengah djalan harus mentjari
akal untuk meloloskan diri. Segera ia betulkan badjunja, lalu katanja: Djika
sebelumnja kutahu Bu-liang-kiam kalian begini djahat, tentu aku tidak sudi ikut
tjampur urusan kalian ini, biar kalian sekaligus diratjun mampus semua oleh Sinlong-pang. Kau mengomel apa segala" bentak Djin-ho. Bu-liang-kiam kami adalah Enghiong-hohan (kesatria dan gagah) semua, masakan djeri terhadap kawanan Sin-long-pang
jang tak kenal malu itu. Sret, kembali pedangnja menggores badju dipunggung Toan
Ki, ketika sampai pinggang, terdengar suara krek, goresan pedang itu terhalang
sesuatu. Mendadak barulah Toan Ki ingat bahwa dipinggangnja terlilit Djing-lengtju, ia
merasa dirinja terlalu geblek, kenapa sedjak tadi tidak minta bantuan binatang
itu" Segera ia ber-suit2 menirukan Tjiong Ling.
Begitu kepala Djing-leng-tju menegak, terus sadja ia memagut kemuka Kam Djin-ho.
Karuan djago Bu-liang-kiam itu kaget, tjepat ia melangkah mundur. Sekali pagut
tidak kena, Djing-leng-tju membalik kebawah hendak melilit lengan Djin-ho.
Betapa lihaynja ular hidjau ini sudah dikenal Djin-ho, bahkan pedang gurunja
pernah dililit patah. Maka tjepat ia melompat berkelit pula.
Untung baginja, sebab Toan Ki belum pandai menggunakan Djing-leng-tju, ia
tidauntuk menjerang musuh, maka sebagian besar badan Djing-leng-tju masih
melilit dipinggang, sebab itulah serangan2nja terbatas hingga dua kali pagut
dapat dihindarkan Kam Djin-ho.
Melihat Kam Djin-ho melompat mundur, Toan Ki pikir inilah kesempatan baik,
tjepatan sadja ia angkat langkah seribu, ia ber-lari2 kearah barat.
Hai, berhenti! bentak Djin-ho sambil menguber. Aku membawa obat anti ular, ular
hidjau itu tidak berani menggigit aku, tak mungkin kau bisa lolos! Walaupun
begitu katanja, namun iapun tidak berani mendesak terlalu dekat.
Dasar Toan Ki, belum sampai satu li djauhnja, napasnja sudah megap2
Senin-kemis. Sebaliknja Kam Djin-ho sangat tjekatan larinja, ia mendapatkan
sepotong tangkai pohon pula sambil me-njabet2 kepunggung Toan Ki.
Dalam gugupnja, eh, timbul djuga ketjerdasan Toan Ki, tjepat ia lepaskan Djingleng-tju dari pinggang sambil bersuit, sekuatnja ia ajun ular itu kebelakang.
Dengan demikian Kam Djin-ho mendjadi djeri dan ketinggalan lebih djauh. Pikir
djago Bu-liang-kiam itu: Kau anak sekolahan ini sedikitpun takbisa ilmu silat,
asal aku terus mengintil dibelakangmu, tiada sedjam, tentu kau akan mati lelah.
Maka uber-menguber itu masih berlangsung terus menudju kearah barat.
Tiada lama kemudian, napas Toan Ki benar2 terasa hampir putus, djantungnja
memukul keras se-akan2 meledak. Pikirnja: Djika aku tertawan dia, djiwa nona
Tjiong pasti akan ikut mendjadi korban. Itulah sangat tidak enak terhadap dia.
Karena gugupnja, ia takbisa pilih djalan lagi, jang dia tudju selalu rimba lebat
hutan belukar, kesanalah dia menjusup terus.
Setelah menguber sebentar pula, mendadak Djin-ho dengar suara gemerudjuknja air
jang gemuruh. Tergerak pikirannja, waktu mendongak, ia lihat diarah barat-laut
sana terdapat sebuah air terdjun raksasa dengan airnja jang dituang kebawah
bagai sungai gantung. Tjepat Djin-ho berhenti sambil berteriak: He, didepan adalah tempat larangan
golongan kami, djika kau berani madju lagi hingga melanggar larangan, pasti kau
akan mati tak terkubur! Bukannja Toan Ki berhenti, sebaliknja ia sangat girang
dan berlari kedepan malah, pikirnja: Djika disana adalah tempat larangan Buliang-kiam, tentu dia sendiri tidak berani mengedjar pula. Saat ini djiwaku
memang lagi terantjam, takut apa"
Hai, lekas berhenti! kembali Djin-ho berteriak. Apa kau tidak ingin njawamu
lagi" Aku djusteru ingin njawaku, maka aku lari... baru sekian djawaban Toan Ki, sekonjong2 kakinja terasa mengindjak kosong. Ia tidak bisa ilmu silat, pula sedang
berlari,tentu sadja ia tidak bisa menahan diri, terus sadja tubuhnja andjlok
kebawah. Haja! teriak Toan Ki kaget, namun badannja sudah terdjerumus kebawah berpuluh
tombak dalamnja. Waktu Djin-ho memburu sampai ditepi djurang, jang terlihat hanja kabut tebal,
apa jang terdjadi dibawah djurang sedikitpun tidak terang. Ia menduga Toan Ki
pasti akan terbanting hantjur-lebur, sedangkan tempat dimana dia berdiri adalah
tempat larangan golongan sendiri, maka ia tidak berani lama2 disitu, tjepat ia
putar balik melaporkan pada sang guru.
Sementara itu tubuh Toan Ki jang terapung diudara itu, kedua tangannja me-raup2
kesana-kemari dengan harapan bisa menangkap sesuatu untuk menahan turunnja
badan. Kebetulan djuga, mendadak Djin-leng-tju jang masih dipegang olehnja itu dapat
melilit pada suatu dahan pohon Siong jang tumbuh didinding djurang.
Beberapa kali badan ular itu membelit, dengan kentjang dan kuat dapatlah melilit
diatas dahan itu. Ketika mendadak Toan Ki merasa daja turunnja berhenti, hampir2 ia tidak kuat
memegang Djing-leng-tju dan hampir2 memberosot kebawah. Untung Djing-leng-tju
tjukup tjerdik, tjepat ekornja segera melilit beberapa kali dipergelangan tangan
Toan Ki. Maka mendjeritlah mendadak pemuda itu kesakitan.
Kiranja daja turunnja tadi sangat keras, sekali ditahan oleh ekor Djin-leng-tju
setjara mendadak, seketika lengan kanannja keseleo.
Badan Djing-leng-tju ternjata keras dan kuat luar biasa, meski dibuat gantungan
Toan Ki jang bobotnja ratusan kati itu sambil mem-buai2, namun masih bisa
bertahan dengan baik. Waktu Toan Ki memandang kebawah, ia lihat awan terapung mengambang diudara
djurang, betapa dalamnja djurang itu tidak kelihatan. Untuk mendaki keatas,
terang tiada mungkin, apalagi tangannja keseleo, tenaga habis. Pada saat itulah,
badannja jang terajun terasa mendempel dinding djurang, tjepat ia ulur tangan
kiri untuk menarik pangkal kaju jang berada didinding djurang itu, kemudian
kakinja mendapatkan tempat berpidjak pula, barulah dia merasa lega dan tenang.
Ketika djurang itu di-amat2i, ia lihat ditengah djurang melekah sebuah tjelah
pandjang, ditengah tjelah banjak terdapat sebangsa batu pasir, kalau mau mungkin
djuga bisa dibuat djalan turun kebawah dengan pelahan2.
Setelah mengaso sebentar, Toan Ki merasa serba runjam kalau tinggal disitu,
kalau tidak bisa naik keatas, terpaksa turun kebawah djurang untuk mentjari
djalan keluar lain. Meski dia hanja seorang sekolahan, namun mempunjai semangat banteng. Ia pikir
djiwanja toh bolehnja temu, kalau achirnja mesti melajang lagi, biarlah sudah.
Mati ja mati, seorang laki2 kenapa mesti takut"
Segera ia bersuit pula, lalu men-desis2 sebagai tanda mengembalikan Djing-lengtju. Mendengar suara suitan, Djing-leng-tju lantas melepaskan lilitannja diatas dahan
dan kembali ketangan Toan Ki. Maka badan binatang itu diikatnja pula diatas
dahan tempat kakinja berpidjak, kemudian sambil memegangi badan ular, ia terus
merosot kebawah. Setelah dekat udjung ekor ular, kakinja memperoleh tempat
berpidjak lagi, lalu menarik kembali Djing-leng-tju untuk dipakai tali
memberosot kebawah pula dan begitu seterusnja. Untung bagian bawah djurang itu
tidak terlalu tjuram, achirnja ia tidak perlu bantuan Djing-leng-tju sudah dapat
turun kebawah. Ia dengar suara gemuruh air makin lama makin keras, ia mendjadi kuatir lagi:
Djika dibawah sana adalah arus air jang lihay, tjelakalah aku. ~ Ia merasa
butiran2 air sudah berhamburan mentjiprat kemukanju, begitu besar butiran2 air
itu hingga menimbulkan rasa sakit pedas.
Achirnja sampailah dia didasar djurang. Waktu memandang kedepan, tanpa tertahan
'I'oan Ki bersorak memudji. Ternjata ditebing kiri sana ada sebuah air terdjun
raksasa menuangkan airnja jang djernih kesebuah danau besar, begitu luas danau
itu hingga tidak kelihatan tepi jang sebelah sana.
Walaupun dituangi air terdjun sekeras itu, namun air danau itu tidak mendjadi
penuh, tentunja ada saluran jang membuang air itu kelain tempat.
Tempat dimana air terdjun menggerudjuk, airnja bergulung-gulung, tapi belasan
tombak diluar air terdjun itu, air danau tenang bening bagai katja.
Toan Ki terkesima oleh pemandangan alam jang aneh itu. Karena itu, ia mendjadi
lupa sakit lengannja jang keseleo itu. Ketika kemudian ia sadar akan rasa sakit
itu, segera ia gulung lengan badju dan berkata pada ruas tulang jang keseleo
itu: Wahai, ruas tulang, djika kudapat membetulkan kau, tentu takkan sakit lagi.
Tapi kalau salah sambung biarlah terserah nasib, lebih kesakitan djuga sjukur. ~
Ia kertak gigi dan menarik sekuatnja lengan jang keseleo itu. Krek, eh, tulang
jang keseleo itu dapat disambungnja kembali. Walaupun rasa sakitnja tidak
kepalang, tapi lengan itu kini dapat bergerak dengan bebas lagi.
Toan Ki sangat girang, walaupun sudah menderita setengah harian, namun dasar
semangat banteng, ia merasa tjukup bersemangat. Ia me-raba2 Djing-leng,tju dan
berkata: Wahai, Djing-leng-tju, hari ini kalau kau tidak menjelamatkan djiwaku,
tentu sedjak tadi tuanmu ini sudah naik kesurga.
Maka kelak aku pasti akan suruh tuan puterimu memiara kau lebih baik.
Ia mendekati tepi danau dan meraup air untuk diminum, terasa airnja segar dan
rada2 manis pula. Setelah tenangkan diri, Toan Ki pikir: Urusan hari ini sudah sangat mendesak,
aku harus lekas mentjari djalan keluar, djangan2 Kam Djin-ho itu sebentar
menjusul kesini, kan bisa tjelaka. ~ Segera ia menjusur tepi danau untuk
mentjari djalan. Danau itu ternjata berbentuk bundar londjong, sebagian besar ter-aling2
oleh semak2 tumbuh2an. Toan Ki mengitar kira2 tiga li djauhnja, ia lihat tebing
djurang disekeliling sana lebih2 tjuram, hanja tebing jang dia turun tadi ada
lebih mendingan, terang tiada djalan buat mendaki keatas.
Ia lihat suasana ditengah lembah itu sunji senjap, djangankan djedjak manusia,
djedjak binatangpun tidak nampak, hanja kitjauan burung terkadang terdengar.
Karena itu, Toan Ki bersedih lagi, ia pikir tak djadi soal dirinja mati
kelaparan disitu, tapi djiwa nona Tjiong bagaimana djadinja" Ia duduk ditepi
sungai dengan rasa tjemas gelisah, sedikitpun tidak berdaja.
Kemudian ia pikir: Boleh djadi djalanku tadi terlalu buru2 hingga tidak
memperhatikan kalau ada sesuatu djalan ketjil jang teraling dibalik semak2 atau
tertutup batu2 gunung" ~ Karena itu, ia berbangkit pula, dengan riang gembira
sambil bernjanji2 ketjil ia menjusuri tepi danau untuk mentjari djalan keluar.
Kali ini ia telah periksa setiap semak2 pohon ditepi danau, namun dibalik semak2
itu. setiap tempat adalah batu2 padas melulu jang menempel didinding djurang
jang mendjulang tinggi kelangit. Djangankan djalan keluar, bahkan liang ular
atau lubang djangkrik djuga tidak nampak sesuatu.
Makin lama makin pelahan njanji2 Toan Ki itu, perasaannja pun semakin lama
semakin tertekan. Ketika kembali sampai didepan air terdjun tadi, kakinja sudah
lemas, dengan lesu ia mendoprok ketanah.
Dalam putus asa, timbulah chajalannja: Pabila aku bisa mendjadi seekor ikan, aku
akan menjusur air terdjun itu dan berenang keatas djurang sana.
Sambil berpikir sinar matanja terus mengikuti djalannja air terdjun itu dari
bawah keatas. Ia lihat disebelah kanan air terdjun itu ada sepotong dinding batu
jang putih gilap bagai kemala. Melihat gelagatnja, boleh djadi air terdjun itu
dimasa dahulu djauh lebih besar lagi daripada sekarang ini, Entah sudah
mengalami gerudjukan berapa lama hingga dinding batu itu kena digosok sampai
rata litjin bagai katja. Kemudian air terdjun berubah ketjil dan dinding batu
sehalus katja itupun kelihatan.
Tiba2 Toan Ki ingat kata2 Sin Siang-djing ketika sehabis bertanding di Kiam-ohkiong, ia telah menjindir ketua sekte Timur Bu-liang-kiam, Tjo Tju-bok,
menanjakan selama lima tahun itu apakah sudah banjak mejakinkan peladjaran
dinding kemala. Karena itu, Tjo Tju-bok rada gusar dan menegur apakah sang
Sumoay sudah lupa pada pantangan golongan sendiri, hingga achirnja Siang-djinq
terbungkam. Teringat pula olehnja sebabnja Bu-liang-kiam bermusuhan dengan Sin-long-pang,
adalah karena Sin-long-pang minta mentjari obat kebelakang gunung ini. Lereng
gunung Bu-liang-san ini penuh dengan bukit hutan belukar, kalau tjuma mentjari
sedikit bahan ohat sadja, apa halangannja"
Dasar otak Toan Ki sangat tjerdas, mendadak timbul rasa tjuriganja sekarang.
Segera ia menjelami setiap pembitjaraaa jang pernah didengarnja setelah datang
di Kiam-oh-kiong itu, maka teringatlah ketika Tjiong Ling menanjakan tentang Buliang-giok-bik apa segala pada Tjo Tju-bok, seketika ketua Bu-liang-kiam itu
tertjengang dan pura2 tidak tahu, sebaliknja Tjiong Ling terus menjindir atas
sikap orang itu. Tampaknja apa jang dimaksudkan Giok-bik itu adalah dinding
gunung kemala dan bukan Giok-bik dari batu kemala. Sekarang dihadapannja
terdapat suatu dinding gunung jang putih gilap bagai kemala, pula terletak
dibelakang gunung Bu-liang-san, terang dinding tebing gunung ini banjak
hubungannja dengan apa jang terdjadi hari ini.
Menjusul teringat pula ketika dirinja terdjerumus kedalam djurang tadi, berulang2 Kam Djin-ho membentaknja agar berhenti, katanja tempat itu adalah tempat
Bu-liang-kiam jang terlarang didatangi siapapun djuga. Maka pikirnja pula:
Ketika aku ikut Be Ngo-tek ke Kiam-oh-kiong, pernah kutanja sebab apa ketiga
sekte Bu-liang-kiam itu setiap lima tahun harus saling bertanding sekali dan
jang menang berhak menghuni Kiam-oh-kiong selama lima tahun" Namun djago tua she
Be itu hanja garuk2 kepala dan menjatakan itu adalah rahasia golongan Bu-liangkiam, orang luar susah mengetahuinja.
Ia tjoba menganalisa apa jang telah dilihat dan didengarnja itu, ia menduga
diatas Giok-bik itu tentu terukir sematjam rahasia peladjaran ilmu pedang jang
ditetapkan oleh leluhur Bu-liang-kiam bahwa sekte mana jang menang dalam
pertandingan, lantas boleh tinggal disitu untuk memperdalam ilmu pedang itu
selama lima tahun. Berpikir sampai disini, ia bertambah jakin akan dugaannja
itu. Sedjak ketjil Toak Ki sangat dipengaruhi oleh adjaran Budha, ia bentji terhadap
ilmu silat. Sebabnja melarikan diri dari rumah djuga disebabkan tidak mau
beladjar silat. Tapi setelah ber-runtun2 dianiaja, dihina dan diratjun orang,
jang berbuat itu semuanja adalah orang persilatan pula, maka bentjinja terhadap
ilmu silat makin mendalam. Maka demi ingat dinding kemala itu ada sangkutpautnja dengan ilmu silat, segera ia melengos tidak sudi memandangnja lagi.
Pikirnja: Sebabnja orang suka berkelahi dan bunuh-membunuh didunia ini, semuanja
gara2 ilmu silat masing2 (untuk djaman ini dengan sendirinja karena
persendjataan modern, atoom, nuklir dls. Pen.). Pabila diatas dinding kemala itu
terukir ilmu silat jang tiada tandingannja di seluruh kolong langit, itu berarti
akan membawa bentjana lebih hebat bagi manusia, akibatnja djauh lebih tjelaka
daripada Kim-leng-tju, Toan-djiong-san dan sebagainja.
Ia berpikir sambil berdjalan terus, namun achirnja rasa ingin tahunja lebih kuat
daripada segala pikiran lain, ia pikir: Rahasia ilmu silat jang tertera diatas
dinding kemala itu pasti sangat susah dijakinkan, bila tidak, rasanja Tjo Tjubok dan kambrat2-nja tidak perlu susah2
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempeladjarinja selama lima tahun dan toh tidak banjak hasilnja. Aku djusteru
ingin lihat matjam apakah ilmu jang aneh itu"
Segera ia menengadah pula, ia lihat dinding itu halus gilap seperti katja,
darimana bisa terukir sesuatu rahasia adjaran ilmu pedang atau ilmu silat lain"
Ia tjoba mengintjar2 dari samping dan mengamat-amati dari depan pula, namun
tetap tiada sesuatu jang menarik, pikirnja pula: Apa jang dikatakan orang kuno
belum tentu sungguh2. Boleh djadi leluhur Bu-liang-kiam sengadja membohongi anak
murid mereka agar bisa lebih giat melatih diri. Atau mungkin djuga dugaanku jang
salah. Setelah memandang sekian lama pula, ia merasa letih dan lapar. Tanpa pikir lagi
ia rebahkan diri ditanah dan tertidur. Ketika mendusin esok paginja, perutnja
semakin kerontjongan, tapi ditengah lembah itu tiada sesuatu makanan, buah2an
pun tidak nampak. Sampai lohor, saking lapar Toan Ki terus petik beberapa bunga
hutan sekedar tangsal perut. Walaupun phit getir rasanja bunga itu, terpaksa ia
telan mentah2. Setelah beberapa djam lagi, sang surja sudah menjerong ke barat, ia lihat
diangkasa danau timbul selarik bianglala jang indah permai. Ia tahu dimana ada
air terdjun, repleksi jang tersorot sinar matahari sering menimbulkan bajangan
bianglala jang warna-warni. Menghadapi pemandangan permai itu, Toan Ki merasa
tidak penasaran biarpun harus terkubur dilembah gunung itu. Setelah ter-menung2
agak lama, achirnja ia merebah dan terpulas lagi.
Tidurnja itu njenjak benar, ketika mendusin, waktunja sudah tengah malam. Ia
lihat sang dewi malam sedang memantjar sinarnja jang tenang halus. Ketika
mendongak memandang kedinding batu sana, ia lihat diatas dinding itu djelas
terlukis dua benda. Toan Ki terkesiap, ia kutjek2 mata sendiri dan memandangnja lebih djelas,
kiranja kedua benda itu hanja bajangan sadja. Jang satu berbentuk melengkung,
mirip pelangi jang dilihatnja siang tadi, jang lain adalah bajangan sebatang
pedang. Bajangan pedang itu sangat terang, baik batang pedang, garannja, udjungnja,
semuanja mirip benar. Setelah memikir sedjenak, segera Toan Ki tahu didepan dinding batu itu pasti ada
sebatang pedang, karena sinar bulan jang menjorot miring itu, maka bajangannja
tertjetak diatas dinding itu. Ia lihat udjung bajangan pedang itu menundjuk
keputjuk bajangan benda melengkung itu. Waktu ditegasi, Toan Ki merasa bajangan
itu makin mirip pelangi. Tidak lama, awan tipis jang menutupi sang dewi malam
itu tertiup bujar oleh angin hingga bajangan hitam itu tampak lebih tandas lagi.
Dar bajangan hitam benda melengkung itu ternjata timbul djalur2 aneka-warna
persis seperti warna-warni bianglala.
Toan Ki semakin heran, pikirnja: Kenapa ditengah bajangan bisa timbul warnawarni" Ketika pandangannja beralih ke arah berlawanan dengan dinding batu itu,
ia lihat didinding tebing tjuram sana lapat2 ada sinar berwarna jang bergojang2. Seketika ia mendjadi sadar, kiranja didinding situ ada terdjepit
sebatang pedang, disamping itu ada sepotong batu mestika jang mengeluarkan sinar
pelangi. Batu permata memangnja mempunjai tudjuh warna, maka sinar bulan telah
memindahkan replek warna-warni itu kedinding bati sana. Pantas begitu indah
menarik. Tjuma sajang, tempat dimana terdapat benda2 mestika itu berpuluh tombak
tingginja, betapapun tidak mungkin ditjapai untuk dilihat dari dekat.
Belum lama ia menikmati pemandangan indah itu, sang bulan sudah berpindah hingga
bajangan itu mulai menipis dan achirnja lenjap tinggal dinding batu jang tetap
halus litjin itu. Tanpa sengadja Toan Ki dapat menemukan rahasia itu, ia pikir, Kiranja rahasia
diatas dinding kemala Bu-liang-san ini beginilah adanja. Kalau tidak kebetulan
aku tergelintjir kesini, belum tentu aku bisa melihat bajangan tadi, sedangkan
sinar bulan untuk bisa menjorot keatas dinding itu, dalam setahun hanja ada
kesempatan beberapa hari sadja. Sebaliknja orang2 Bu-liang-kiam jang sengadja
hendak mentjari rahasia itu, kebanjakan pasti datang diwaktu siang hari untuk
memandangi dinding batu itu setjara tolol, boleh djadi mereka malah menggali dan
membongkar batu pegunungan diatas sana untuk mentjari rahasia jang tidak pernah
diketemukan itu. Sudah tentu, hasil mereka tetap nihil.
Berpikir sampai disini, ia tertawa geli sendiri: Hihi, seumpama aku memperoleh
pedang serta benda mestika jang mengeluarkan sinar warna-warni itu, bagiku
paling2 hanja mendapatkan dua matjam mainan jang menarik sadja, perlu apa mesti
banjak pikiran buat itu" Bukankah aku terlalu goblok" Setelah ter-mangu2
sedjenak, kemudian ia tertidur lagi.
Dalam tidurnja itu, se-konjong2 ia melondjak bangun, katanja dalam hati: He,
udjung pedang itu menundjuk keputjuk pelangi jang bawah, djangan2 dibalik itu
ada rahasianja lagi" Padahal untuk mendjepit pedang dan batu mestika itu
kedinding tebing tidaklah mudah dilakukan, bukan sadja diperlukan ilmu silat
jang tinggi, bahkan harus ada orang mengereknja dengan tali jang pandjang. Dan
kalau setjara susah pajah berbuat begitu, didalamnja pasti mengandung maksud
tertentu, apakah diartikan: Rahasianja terletak diudjung pelangi! Kalau dilihat
dari kedua bajangan itu, ketjuali kesimpulan ini, terang tiada arti lain lagi.
Tapi udjung pelangi itu jang satu mendjulang kelangit, udjung jang lain
sebaliknja menundjuk ketengah danau, biarpun didalamnja terkandung rahasia maha
besar djuga susah untuk memperolehnja.
Begitulah Toan Ki ter-mangu2 sampai lama, achirnja ia berpendapat: Perubahan
pelangi setiap waktu ber-beda2, mungkin tempat jang ditundjuk bajangan pedang
itu, besok akan berlainan.
Besok paginja, karena memikirkan muntjulnja pelangi, ia mendjadi lupa akan
kelaparan. Dengan susah pajah achirnja tiba djuga sang malam.
Selondjor pelangi pandjang tampak tergantung dilangit pula. Tapi begitu melihat,
Toan Ki mendjadi ketjewa. Ternjata kedua udjung pelangi itu sedikit pun tiada
ubahnja seperti kemarin, jang sebelah mendjulang kelangit, udjung lain djatuh
ketengah danau. Toan Ki tjoba mendekati pinggir danau, suara gemuruh air terdjun itu membuat
telinganja se-akan2 pekak, sekedjap sadja badjunja sudah basah kujup oleh
tjipratan air terdjun. Ia lihat ditengah danau terdapat suatu pusaran air jang
sangat besar dan sedang berputar dengan keras sekali.
Karena didekati, pelangi tadi lantas tidak kelihatan lagi.
Waktu Toan Ki hitung2, hari itu sudah hari ketiga sedjak dia djatuh kedalam
djurang. Lewat empat hari lagi, seumpama tidak mati kelaparan, kalau ratjun
Toan-djiong-san didalam perut mulai bekerdja, sekalipun dia tidak sampai mati,
tentu kawanan Sin-long-pang akan membunuh Tjiong Ling.
Kesana-kesini djuga mati, tidakkah lebih baik terdjun ketengah pusaran air sadja
untuk melihat apakah ada sesuatu didasar danau itu. Pertama sudah menghadapi
djalan buntu, terpaksa mati2an mentjari selamat; kedua, dia memang bersemangat
banteng, sekali ingin berbuat, segera dilaksanakannja.
Karena itu, tanpa pikir2 lagi terus sadja ia terdjun ketengah pusaran air itu.
Seketika tubuhnja digulung oleh suatu tenaga maha besar terus berputar kebawah.
Lekas2 ia tutup pernapasannja, sebaliknja pasang mata membelalak. Ia lihat
sekitarnja hanja air jang buram belaka, ia terhanjut kedasar danau oleh arus air
jang keras berasal dari air terdjun diatas itu.
Toan Ki hanja sekedar bisa berenang sadja. Tapi terhanjut ditengah arus air jang
keras itu, ia takbisa menguasai diri lagi, tubuhnja ter-putar2
dan sebentar sadja ia sudah megap2 kemasukan air, seketika pikirannja remang2,
hanja merasa terhanjut terus oleh arus air dan entah sudah berapa djauhnja.
Se-konjong2 tubuhnja terasa dilemparkan oleh tenaga pusaran keatas permukaan
air. Ketika Toan Ki menggeraki tangannja serabutan, untung dapat menangkap
seutas tangkai rotan, tjepat sadja ia pegang kentjang2.
Setelah tenangkan diri sedjenak, ia membuka mata dan melihat sekitarnja gelap
gelita. Ia tjoba ulur kaki kanan kedepan dan terasa masih mengindjak ditanah,
segera kaki jang lain ikut melangkah madju, tapi kedua tangannja masih tidak
berani melepaskan pegangannja dirotan tadi.
Setelah belasan tindak djauhnja, ia merasa air hanja sebatas betis kaki, arus
airpun tidak terlalu keras lagi, segera ia lepaskan rotan tadi berdiri menegak.
Tapi mendadak blang, batok kepalanja kebentur sesuatu jang keras, saking
kesakitan, hampir2 ia djatuh kelengar. Diam2 ia memaki dirinja sendiri jang
terlalu kurang hati2. Waktu meraba keatas, benda itu terasa dingin keras, kiranja adalah batu padas
semua. Setelah berpikir sedjenak, Toan Ki tahu dirinja tadi telah dibawa kedasar danau
oleh pusaran air jang keras, tapi arus air itu ada djalan buangannja, maka
dirinja kena terbawa pula sampai didalam djalan buangan air itu. Meski
keadaannja sekarang banjak tjelaka daripada selamatnja, namun selama masih ada
harapan, ia pantang menjerah, segera ia merangkak madju mengikuti lorong buangan
air itu. Ia dengar ada suara gemerudjuknja air, terkadang tjepat dan terkadang
lambat mengalir dikanan-kirinja.
Setelah merangkak sebentar, lorong itu makin melebar hingga achirnja dapatlah ia
berdiri sambil membungkuk. Ia berdjalan terus, achirnja dapatlah ia berdjalan
dengan tegak. Tjuma sering ia mengindjak lubang dibawah air hingga mendadak badannja terendam
air sampai dipinggang. Lain saat diatas kepala tiba2 menondjol batu padas hingga
hampir2 kepalanja bendjut lagi kebentur. Untung kedua tangannja mengulur kedepan
sebagai pembuka djalan, kalau tidak, entah berapa kali kepalanja akan bertambah
telur ajam. Setelah berdjalan lagi, tiba2 Toan Ki teringat pada Djing-leng-tju, ia tjoba
meraba pinggang, sjukurlah binatang itu masih melilit disitu tanpa kurang apa2.
Ia merasa pengalamannja hari ini benar2 merupakan pengalaman aneh selama
hidupnja jang susah diperoleh orang lain. Sudah turun-temurun ahliwaris Buliang-kiam suka ter-mangu2 memandangi dinding batu itu, tapi sekali2 tidak
mereka sangka bahwa orangnja harus terdjun kedalam djurang, disitulah mereka
akan menemukan apa jang diharapkan itu dimalam hari dibawah sinar bulan purnama.
Namun seumpama sudah melihat bajangan pedang dan batu mestika diatas dinding
itu, kalau tiada punja tjita2 berkorban, rasanja djuga takkan berani melompat
ketengah pusaran air jang berarus besar itu.
Semakin dipikir, semakin senang hati Toan Ki. Tanpa tertahan lagi ia ter-bahak2,
lalu ia menggumam sendiri: Wahai, Toan Ki! Djika hari ini djiwamu djadi
melajang, itu berarti tamatlah riwajatmu. Tapi kalau beruntung bisa keluar
dengan selamat, rasanja kau harus pergi mengedjek Tjo Tju-bok dan murid2nja jang
sombong tapi tak betjus itu. Habis berkata, ia ter-bahak2 pula dengan keras.
Tak tersangka, mendadak disebelah kanan sana djuga ada orang menirukan
tertawanja jang ter-bahak2 itu. Karuan Toan Ki kaget, ia berhenti tertawa,
segera suara tawa itupun lenjap. Siapa kau" seru Toan Ki.
Siapa kau" terdengar pula suara serupa disana menanja.
Kau setan atau manusia" teriak Toan Ki lagi.
Kau setan atau manusia" tetap suara sana menirukannja.
Setelah tertegun sekedjap, segera Toan Ki sadar hingga tertawa geli sendiri,
gerutunja: Kurang adjar, kiranja adalah kumandang suaraku sendiri. Tapi segera
timbul tjuriganja lagi: Hanja lembah gunung atau suatu ruangan besar jang bisa
menimbulkan suara kumandang. Djika begitu, disebelah kanan sana tentunja ada
suatu tempat jang luas. Haha, djika bukannja aku kegirangan hingga ter-bahak2
tawa, tentunja aku takkan tahu disini masih ada tempat lain lagi.
Segera ia gembar-gembor serabutan sambil menudju ketempat datangnja suara
kumandang itu. Tiada lama, ia merasa berada disuatu tempat jang luang, tangannja
takbisa meraba sesuatu lagi. Tiba2 kehilangan sandaran, Toan Ki merasa takut
malah. Setindak demi setindak ia madju terus, kakinja merasa tidak mendapat
rintangan apa2 lagi, se-konjong2 tangannja menjentuh sesuatu jang dingin. Begitu
kesenggol, benda itu terus menerbitkan suara njaring tjreng, ketika diraba lagi
lebih teliti, kiranja adalah sebuah gembok besar.
Kalau ada gembok, dengan sendirinja ada pintunja.
Maka tjepat Toan Ki me-raba2 pula, benar djuga dari atas kebawah ada belasan
paku pintu jang besar2. Dalam kedjut dan girangnja, ia heran pula kenapa
ditempat seperti itu ada penghuninja"
Segera ia angkat gembok tadi mengetok pintu beberapa kali. Tapi sampai lama
tiada ada djawaban apa2 dari dalam. Kembali ia ketok2 dan tetap tiada suara
sahutan. Maka ia tjoba dorong pintu itu.
Pintu itu sangat antap, seperti terbuat dari badja. Tapi tidak dipalang dari
dalam, maka pelahan Toan Ki mendorong, segera pintu itu terbuka.
Dengan suara lantang Toan Ki lantas berkata: Tjayhe Toan Ki setjara sembrono
telah masuk kesini, mohon tuan rumah suka memaafkan. Ia berhenti sedjenak dan
tidak mendengar sesuatu suara didalam, lalu ia melangkah masuk.
Meski waktu itu ia sudah berada didalam pintu, tapi biar matanja melotot,
hampir2 bidji matanja mentjelat keluar, toh tetap tidak melihat sesuatu benda,
hanja hidungnja merasa bau disitu sudah tidak selembab seperti dilorong air
tadi. Ia berdjalan terus kedepan, mendadak blang, sungguh sial, kembali batok
kepalanja kebentur sesuatu.
Sjukur ia berdjalan sangat pelahan, maka benturan itu tidak terlalu sakit. Waktu
diraba, kiranja disitu ada sebuah pintu pula. Pelahan2 Toan Ki mendorong itu
hingga terbuka, tapi didalam situ tetap gelap gelita.
Setjara singkat, be-runtun2 Toan Ki telah melalui enam buah pintu.
Ketika memasuki pintu keenam itu, memdadak matanja terbeliak terang, kontan
djantung Toan Ki ikut memukul. Serunja dalam hati: Achirnja dapatlah aku keluar
dengan selamat! Waktu ia perhatikan, kiranja tempat itu adalah sebuah kamar batu jang bundar,
sinar terang itu tembus dari sudut kiri sana, tjuma agak remang2, seperti bukan
tjahaja matahari. Ia tjoba mendekati lubang jang tembus sinar itu, tiba2
dilihatnja ada seekor udang besar berenang lewat. Ia sangat heran, ia madju
lebih dekat, terlihat pula beberapa ekor ikan warna-warni berenang diluar sana
dengan bebasnja. Ketika ditegaskan, kiranja lubang djendela itu terbuat dari
sepotong batu katja jang dipasang didinding batu itu, besarnja kira2 sama dengan
baskom dan sinar tembus dari batu katja itu jang berdjumlah tiga buah.
Toan Ki tjoba mengintip keluar melalui batu katja itu, ia lihat diluar sana
warna air hidjau-biru ber-gerak2 tak pernah berhenti, banjak sebangsa ikan dan
udang berenang kian kemari dengan bebasnja. Maka pahamlah Toan Ki bahwa tempat
dirinja berada itu pasti berada didasar air, kalau bukan didasar danau, tentu
didasar sungai. Rupanja pembangun rumah ini dahulu telah banjak mengorbankan
djerih-pajahnja barulah dapat menarik tjahaja air itu kedalam, dan ketiga potong
batu katja itu terang adalah batu mestika jang tiada tara nilainja.
Ketika berpaling, Toan Ki melihat ditengah kamar batu itu terdapat sebuah medja
batu, didepan medja ada bangku, diatas medja berdiri sebuah tjermin perunggu.
Disamping tjermin terdapat sebangsa sisir, tusuk-konde dan sebagainja. Agaknja
bekas kamar seorang wanita. Tjermin perunggu itu tepinja sudah berlumut, diatas
medja djuga banjak debunja, entah sudah berapa lama tiada orang mengindjak kamar
ini. Melihat keadaan itu, seketika Toan Ki terkesima malah, pikirnja: Lama berselang,
tentu ada seorang wanita tinggal kesepian disini. Entah sebab apa hingga dia
begitu sedih meninggalkan pergaulan ramai untuk mengasingkan diri disini.
Setelah ter-mangu2 sedjenak pula, ia periksa pula kamar itu, ia lihat di sekitar
dinding kamar penuh terpasang tjermin2 perunggu, sekedar dihitung sadja sudah
lebih dari 30 buah banjaknja. Toan Ki makin heran, pikirnja: Tampaknja wanita
jang tinggal disini ini pasti tjantik tiada bandingannja, maka setiap hari
melulu mengatja dirinja sendiri, suasana begini sungguh membuat orang terpesona.
Ia mondar-mandir didalam kamar itu, sebentar ketjek2 kagum, lain saat menghela
napas gegetun, ia kasihan pada wanita tjantik jang belum pernah dikenalnja itu.
Selang agak lama, mendadak ia teringat: Haja, tjelaka! Aku hanja pikirkan urusan
orang lain, tapi lupa pada kepentingan sendiri. Kalau disini djuga tiada djalan
keluar, lalu bagaimana baiknja"
Waktu ia periksa sekitar kamar, terang sekali tiada djalan tembusan lain lagi,
dalam keadaan lesu putus asa, ia berduduk diatas bangku batu sambil mengomel
sendiri: Aku Toan Ki hanja seorang lelaki geblek, kalau mati disini, hanja bikin
kotor tempat sitjantik sadja. Kalau mau mati, pantasnja mati dilorong sana. Ai,
sebelum adjal, biarlah kulihat tjorakku sendiri ini matjam apa" Segera ia
gunakan lengan badju untuk menggosok tjermin perunggu diatas medja itu hingga
gilap, lalu ia duduk diatas bangku untuk mengatja, tapi letak tjermin agak djauh
hingga mukanja kurang djelas, maka ia bermaksud menggeser tjermin itu lebih
dekat. Tak tersangka tjermin itu ternjata menempel kentjang diatas medja batu, sekali
tjermin itu dia tarik, seketika bangku jang diduduki itu terasa bergojang
sedikit. Dalam kagetnja segera Toan Ki sangat girang, tjepat ia berbangkit dan
menarik tjermin itu lebih kuat, maka terdengarlah suara keriat-keriut, bangku
batu mulai menggeser hingga tertampak sebuah lubang dibawahnja. Ketika
dipandang, dibawah lubang itu terdapat undak2an batu jang menurun kebawah.
Banjak terima kasih pada langit dan bumi, achirnja aku Toan Ki mendapatkan
djalan keluar, seru Toan Ki kegirangan. Terus sadja ia turun kebawah mengikuti
undak2an itu. Kira2 belasan undak2an, kemudian membiluk keatas, lalu ber-lingkar2, makin djauh
makin tinggi, setelah menikung beberapa kali lagi, achirnja pandangan Toan Ki
terbeliak terang, se-konjong2 ia mendjerit kaget pula ketika tahu2 dihadapannja
berdiri seorang wanita tjantik berpakaian istana sambil menghunus pedang lagi
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengantjam kedadanja. Sekilas Toan Ki merasa wanita ini tjantiknja luar biasa dan susah dilukiskan,
selama hidupnja belum pernah dilihat ada wanita aju seperti ini. Saking
kedjutnja sampai mulut Toan Ki ternganga.
Selang agak lama, ia lihat wanita itu tetap tidak bergerak sedikitpun, ketika
ditegaskan, ia lihat wanita itu meski tjantik dan agung, tapi bukan manusia
hidup. Waktu diperhatikan lagi, barulah ia tahu wanita itu hanja sebuah patung
jade putih sadja. Tjuma patung itu besarnja seperti manusia biasa, badju sutera
putih jang dipakai bisa ber-gerak2, jang lebih aneh adalah sepasang bidji
matanja se-akan2 bersinar hidup. Saking terpesona Toan Ki sendiri tidak insaf
sudah berapa lama ia memandangi patung itu, achirnja iapun tahu bidji mata
patung itu adalah buatan dari batu permata hitam. Dan sebabnja patung itu mirip
benar dengan manusia hidup adalah karena bidji matanja jang bersinar jang
terbuat dari batu permata itu. Bahkan muka patung djelita jang terukir dari batu
kemala putih itupun bersemu merah djambu hingga tiada ubahnja seperti manusia
umumnja. Ketika Toan Ki miringkan kepala memandang patung itu, ia lihat sorot mata patung
itupun ikut mengerling kesana se-akan2 hidup. Toan Ki terkedjut, ia tjoba
memandangnja dari arah lain lagi, dan sorot mata patung itu tetap mengerling
mengikuti arahnja, dari sudut mana dia memandang, selalu sorot mata patung djuga
memandang kepadanja, perasaan jang terkandung dalam sinar mata patung itupun
susah diraba, seperti girang, se-akan2 sedih, entah suka entah marah, seperti
ke-malu2an, tapi djuga seperti lagi muram.
Toan Ki terkesima sedjenak, kemudian ia membungkukan tubuh memberi hormat,
katanja: Entji Dewi, hari ini Toan Ki beruntung dapat bertemu dengan wadjah
engkau, sungguh matipun aku tidak menjesal. Entji Dewi tinggal seorang diri
disini, apakah tidak merasa kesepian"
Aneh bin adjaib, sorot mata patung itu se-akan2 berubah lain, agaknja dapat
menerima apa jang diutjapkan Toan Ki itu. Sebaliknja pemuda itu sendiri se-akan2
keselurupan setan sadja, pandangannja tidak pernah lagi meninggalkan patung
kemala itu. Katanja pula: Entji Dewi, entah siapakah namamu"
Segera ia pikir barangkali disekitar situ dapat diketemukan sesuatu tjatatan. Ia
tjoba memandang seputarnja, tapi baru beberapa kedjap, tak tahan lagi, ia
memandang patung itu lagi. Kini barulah ia mengetahui bahwa rambut patung itu
adalah rambut manusia tulen, sebuah gelungan jang terikat agak kendor kebawah
se-akan2 semampir dipundak, diatas gelungan terdapat sebuah tusuk-konde kemala
berhiaskan dua butir mutiara mestika sebesar djari jang bersinar mengkilap. Ia
lihat disekitar dinding ruangan penuh terhias matjam2 batu permata hingga
menjilaukan pandangan mata.
Didinding sebelah barat sana djelas tertampak ada delapan huruf jang dibentuk dari batu2 intan ketjil. Arti daripada kedelapan huruf
itu adalah: Rahasia Bu-liang, dapat diketemukan dengan membuka badju.
Toan Ki terperandjat, katanja sendiri: Harus membuka badju Entji Dewi"
Mana boleh djadi! Walaupun patung itu bukan manusia hidup, tapi sekali melihat Toan Ki sudah
kesengsem, sedikitpun ia tidak berani berlaku kurangadjar.
Pikirnja: Memangnja aku tidak pingin tahu segala rahasia apa, sekalipun ingin,
djuga tidak berani berbuat semberono terhadap Entji Dewi. Untung sebelum aku
tiada orang lain mendatangi tempat ini lebih dulu, kalau tidak, wanita tjantik
tiada bandingannja ini bukankah akan dibikin kotor oleh segala manusia rendah"
Ehm, paling baik aku harus hilangkan huruf2
itu, agar kelak bila ada orang lain datang kesini, tidak bikin kotor patung
tjantik ini. Ia lihat dipodjok kamar sana banjak tertumpuk tjermin2 perunggu, sedikitnja ada
ratusan buah. Segera ia mengambilnja sebuah dipakai menggempur batu permata jang
membentuk kedelapan huruf tadi. Kuatir kalau masih ada bekasnja, Toan Ki gosok2
pula lubang2 ketjil bekas gigitan batu permata itu hingga rata benar2.
Selesai itu, Toan Ki merasa sudah berdjasa bagi patung Dewi itu, betapa
senangnja susah dikatakan. Kembali didepan patung itu, ia ter-mangu2 lagi
seperti orang gendeng, bahkan hidungnja se-akan2 mentjium bau wangi.
Njata dari suka timbul rasa hormatnja, dari hormat ia mendjadi gendeng.
Mendadak ia berteriak: Entji Dewi, djikalau kau bisa hidup dan bitjarakan
sepatah kata sadja padaku, biarpun aku harus mati seratus kali, bahkan seribu
kali, bagimu, akupun merasa rela dan puas, senang tak terhingga.
Tiba2 ia berlutut dan menjembah kehadapan patung Dewi. Dan karena berlututnja
inilah baru ia ketahui bahwa didepan patung itu memang terdapat dua buah kasur
tikar seperti disediakan untuk orang bersembajang. Tikar jang dipakai berlutut
Toan Ki itu agak besar, didepan kaki patung masih ada sebuah kasur tikar jang
lebih ketjil, agaknja disediakan kalau jang sembajang mendjura dengan manggutkan
kepala kelantai. Ketika Toan Ki mulai mendjura, ia lihat ditepi kedua sepatu patung itu seperti
tersulam beberapa tulisan. Ketika diperhatikan, ia dapat membatja tulisan ditepi
sepatu kiri berbunji: Mendjura seribu kali, turut segala perintahku. Dan ditepi
sepatu kanan tertulis: Pasti mengalami malapetaka, badan tjelaka nama runtuh.
Tulisan2 jang masing2 terdiri dari delapan huruf itu ketjil bagai lalat, sepatu
patung itu berwarna hidjau muda sebaliknja tulisan itu berwarna hidjau tua,
kalau tidak mendjura, pasti tak mengetahui dibawah situ ada tulisannja.
Sekalipun dapat melihatnja, orang biasa bila membatja kata2: Mendjura seribu
kali, turut segala perintahku, tentu merasa enggan, bagi jang wataknja keras dan
tinggi hati, boleh djadi patung itu akan didepak. Apalagi kalau membatja pula
tulisan jang berbunji: Pasti mengalami malapetaka, badan mati nama runtuh,
lebih2 membikin siapapun marah bila membatjanja.
Tapi kini Toan Ki sudah kesengsem benar2 terhadap patung Dewi itu, ia merasa
mendjura seribu kali masih djauh lebih dari pantas. Kalau bisa djadi pesuruh
sang Dewi, itulah melebihi harapannja. Sedang mengenai bakal mengalami
malapetaka, badan mati, nama runtuh, demi sang djuwita, betapapun ia rela.
Sebenarnja kalau orang biasa, melihat tulisan2 itu, andaikan tidak marah,
paling2 djuga mentertawai dan anggap sepele sadja. Tapi dasar Toan Ki sudah
kesengsem bagai orang gendeng, ia benar2 terus mendjura, sekali, dua kali, tiga
kali.... empatbelas, limabelas..... duapuluh...
tigapuluh... sambil mulutnja menghitung, dengan sangat menghormat ia mendjura
tiada hentinja. Kira2 mendjura lebih 500 kali, Toan Ki merasa kaki sakit, botjok pegal, leher
tjengeng. Tapi demi sang Dewi, betapapun harus bertahan sampai titik
penghabisan, ia sudah bertekad mendjura selesai sampai 1000 kali.
Sampai lebih 800 kali, tiba2 kasur ketjil jang dibuat gandjal anggukan kepalanja
itu pelahan2 ambles kebawah. Setiap kali kepalanja mengangguk, kasur ketjil itu
lantas ambles lagi sedikit.
Setelah berpuluh kali mendjura pula, tiba2 dilihatnja tempat jang ambles itu
menongol tiga buah udjung paah jang mengarah miring keatas dan tepat mengintjar
batok kepalanja. Lapat2 tampak udjung panah itu ber-kelip2, dibatang panah penuh
terpasang pergas. Setelah berpikir sedjenak, segera Toan Ki paham persoalannja. Katanja dalam
hati: Wah, hampir tjelaka! Kiranja dibawah situ ada perangkapnja berupa panah
beratjun. Untung aku mendjura dengan menghormat sungguh2
hingga kasur itu ambles pelahan2 dan panah berbisa itu tidak mendjeplak keluar.
Djika aku berlaku kasar dan men-depak2 kasuran itu, sekali alat perangkap
terguntjang, banah berbisa itu mungkin sudah menantjap diperutku. Baiklah aku
habiskan mendjura seribu kali, ingin kulihat ada perubahan apa lagi.
Segera ia mendjura pula dan bikin habis djumlah 1000 kali itu. Ketika mendongak,
ia lihat tempat jang ambles tadi terdapat sepotong pelat badja, diatasnja ada
ukiran tulisan, segera Toan Ki mengambil pelat badja itu dan membatjanja: Karena
kau sudah mendjura seribu kali, kini kau telah mendjadi muridku. Nasibmu
selandjutnja akan sangat pajah mengenaskan. Ilmu silat golongan kita jang tiada
bandingannja dikolong langit berada semua didalam kamar batu, harap
mempeladjarinja dengan tenang.
Sungguh ketjewa rasanja Toan Ki. Djusteru karena tak mau beladjar silat, maka ia
telah minggat dari rumah. Dengan sendirinja ia pun tidak ingin mempeladjari ilmu
silat tiada bandingan dikolong langit apa segala.
Dengan hati2 kemudian ia kembalikan pelat badja tadi ketempatnja.
Ketika berdiri, ia merasa kakinja kaku seluruhnja, hampir2 ia djatuh terguling.
Setelah ter-mangu2 sedjenak, kemudian ia memberi hormat pula dengan membungkuk
dan berkata: Entji Dewi, aku tidak mau mendjadi muridmu, ilmu silatmu jang tiada
bandingan dikolong langit pun aku tidak mau beladjar.
Hari ini aku masih ada urusan penting, sementara ini aku mohon diri.
Kelak kalau nona Tjiong sudah kuselamatkan, tentu aku akan datang kemari untuk
berkumpul lagi dengan Entji Dewi.
Dengan perasaan berat, segera ia melangkah keluar kamar batu itu. Ia lihat
undak2-an batu diluar kamar mulai miring keatas, terus sadja ia melangkah naik
dengan ragu2, beberapa kali ia ingin menoleh kebelakang untuk memandang patung
tjantik itu, sjukur imannja tjukup teguh, achirnja ia bisa mengekang diri.
Kira2 ratusan undakkan keatas, ia sudah membiluk tiga kali, lapat2
terdengar suara gemuruhnja air. Setelah beratus undakan lagi, suara air semakin
keras se-akan2 memekak telinga, lalu tampak ada tjahaja menembus masuk didepan
sana. Toan Ki pertjepat langkahnja hingga tibalah diudjung terachir undak2an batu itu.
Ternjata disitu ada sebuah gua jang tiba tjukup untuk dilalui tubuh manusia. Ia
tjoba mendongak keluar dengan kepalanja menongol lebih dulu, tapi ia mendjadi
kaget. Diluar sana arus air men-debur2, gulung-gemulung dengan hebatnja, ternjata
adalah sebuah sungai besar. Melihat kedua tepi sungai penuh tebing tjuram, batu
padas sungsang timbul di-mana2, Toan Ki jakin pasti adalah lembah sungai
Landjong. Kedjut dan girang rasa hati Toan Ki. Tjepatan sadja ia merangkak keluar dari
lubang itu. Ternjata tempat dimana dirinja berada kira2 belasan tombak tingginja
diatas permukaan sungai, biarpun air sungai naik pasang melanda djuga takkan
mentjapai mulut gua itu. Tapi untuk bisa mentjapai dataran, ia perlu djuga
merajap melalui tebing2 tjuram. Namun berkat bantuan Djing-leng-tju, walaupun
dengan susah pajah, achirnja dapatlah Toan Ki tiba sampai ditempat jang selamat.
Ia ingat baik2 keadaan disekitar situ, agar kelak bila urusannja sudah beres, ia
ingin datang pula ketempat jang maha rahasia ini.
Ia melandjutkan perdjalanan dengan menjusur tepi sungai jang penuh batu padas,
setelah beberapa li djauhnja, Toan Ki melihat sebuah pohon Tho jang lagi
berbuah, memangnja sudah terlalu lapar, segera Toan Ki pandjat keatas pohon dan
petik buah Tho itu untuk tangsal perut. Habis makan, semangatnja dapatlah
dipulihkan. Setelah belasan li lagi, achirnja sampailah disuatu djalanan ketjil. Ia madju
terus mengikuti djalan ketjil itu. Ketika hampir magrib, baru dapatlah ia
menemukan, djembatan rantai besi jang melintang terapung diantara kedua tepi
sungai. Ia lihat diatas batu diudjung djembatan terapung itu ada terukir tiga
huruf: Sian-djin-toh Atau djembatan orang badjik.
Melihat nama djembatan itu, kembali Toan Ki bergirang. Memang itulah djembatan
jang ditjari sesuai dengan petundjuk Tjion Ling. Terus sadja ia menjeberang
keatas djembatan. Djembatan itu terdiri dari empat utas rantai besi jang sambung-menjambung, dua
utas bagian bawah diberi papan kaju untuk djalan, dua utas jang lain dipakai
pegangan orang menjeberang.
Begitu Toan Ki mengindjak keatas djembatan terapung itu, segera rantai djembatan
ber-gontai2. Sampai ditengah sungai, gontjangan djembatan itu semakin hebat.
Sekilas memandang kebawah, air sungai tampak mengombak mendebur dengan hebatnja,
pabila terpeleset djatuh kebawah, betapapun pandai berenang rasanja djuga takkan
mampu melawan ombak jang luar biasa itu.
Toan Ki tak berani menengok lagi kebawah, ia pandang lurus kedepan, dengan berdebar2 setindak-demi-setindak ia merambat keudjung sana.
Ia duduk mengaso sedjenak ditepi djembatan, kemudian barulah melandjutkan
perdjalanan menurut petundjuk jang diberikan Tjiong Ling itu.
Menurut Tjiong Ling, lembah pegunungan kediamannja itu bernama Ban-djiat-kok
atau lembah berlaksa maut. Djalan masuknja adalah sebuah kuburan.
Setelah ber-liku2 melintasi bukit dan menjusur rimba, ketika sampai ditempat
kuburan jang ditjari itu, hari sudah remang2 gelap. Ia menghitung dari kiri
kekanan dan mendapatkan kuburan nomor tudjuh, ia lihat didepan kuburan itu
terdapat sepotong batu nisan jang bertuliskan: Kuburan Ban Siu Toan.
Toan Ki tertjengang, pikirnja: Aneh benar nama ini" Kenapa bernama Siu Toan
(dendam pada Toan)" Waktu Tjiong Ling memberitahukan tempat tinggalnja, gadis itu djelaskan kalau
mesti mentjari kuburan ketudjuh dihitung dari kiri, tapi tidak menerangkan apa
jang tertulis diatas batu nisan. Kini melihat nama Ban Siu Toan jang aneh itu,
diam2 Toan Ki mendjadi ragu2. Ia lihat sekitarnja sunji senjap penuh kuburan,
hanja terkadang terdengar suara keresekan daun pohon jang bergerak terhembus
angin sendja. Toan Ki tak berani ajal, segera ia menurut petundjuk Tjiong Ling dan menarik
batu nisan tadi kekiri, menjusul menarik lagi dua kali kekanan dan kembali
sekali pula kekiri. Habis itu ia mendepak tiga kali ke-tengah2 tulisan diatas
batu nisan itu. Tulisan jang tepat didepaknja itu adalah huruf Toan, jaitu nama
keluarganja Toan Ki djuga. Diam2 ia geli sendiri, pabila orang lain, tidak
mungkin sudi mendepak diatas huruf jang mendjadi nama keluarganja itu.
Dalam pada itu, tiba2 dua potong batu disamping kuburan itu mendadak robah
hingga tertampak suatu lubang masuk. Toan Ki tjoba melongok kedalam, tapi
keadaan gelap-gelita, segera ia tabahkan diri dan membiluk suatu tikungan,
achirnja ia melihat didepan sana ada setitik sinar pelita. Segera ia
mendekatinja, tapi ia mendjadi kaget, ternjata disamping pelita itu terdapat
sebuah peti mati. Sesuai petundjuk Tjiong Ling, Toan Ki lantas tiup padam pelita itu hingga
keadaan mendjadi gelap pekat. Selang tak lama terdengar suara keriut2 beberapa
kali, tutup peti mati tadi terbuka sendiri, lalu terdengar suara seorang wanita
sedang menanja: Apakah Siotjia jang telah pulang"
Tjayhe bernama Toan Ki, tjepat Toan Ki menjahut, atas permintaan nona Tjiong,
Tjayhe ingin bertemu dengan Koktju (pemilik lembah).
Terdengar wanita itu bersuara heran, rupanja agak terkedjut atas kedatangan Toan
Ki, maka katanja pula: Dja ....... djadi kau adalah orang luar" Dan dimanakah
Siotjia kami" Nona Tjiong sedang terantjam bahaja, maka Tjayhe membawa berita kemari, sahut
Toan Ki. Tunggulah sebentar, biar kulaporkan pada Hudjin (njonja), kata wanita itu.
Toan Ki menjatakan baik, ia pikir kebetulan, memangnja nona Tjiong suruh aku
menemui ibunja lebih dulu, tampaknja urusan ini memberi harapan bagus.
Setelah agak lama berdiri menunggu dalam kegelapan, achirnja Toan Ki mendengar
suara tindakan orang mendatangi, terdengar suara wanita tadi berkata padanja:
Hudjin menjilahkan tuan tamu masuk!
Aku tidak bisa melihat, kata Toan Ki, terlalu gelap!
Tiba2 terasa sebuah tangan mengulur menarik tangan kanannja dan melangkah masuk
kedalam peti mati, lalu menurun melalui undak2an batu.
Setelah beberapa ratus tindak, mendadak pandangannja mendjadi terang.
Toan Ki telah dibawa kesuatu tempat jang penuh tumbuh2an bunga. Wanita itu
lepaskan tangan Toan Ki jang digandengnja tadi dan berkata: Tuan tamu silahkan
ikut padaku. Dibawah sinar bulan, Toan Ki melihat wanita itu berusia antara 14-15
tahun, berdandan setjara pelajan, mungkin adalah dajang jang melajani Tjiong
Ling. Maka Toan Ki tjoba menanja: Siapakah nama Tjitji"
Ssssst! pelajan itu mendesis sambil menoleh dan gojang2 tangan tanda djangan
bersuara. Melihat wadjah pelajan itu menampilkan rasa takut, maka Toan Ki tidak menanja
lebih djauh. Dajang itu membawa Toan Ki menjusur sebuah rimba dan menudju kekiri melalui
suatu djalanan ketjil. Sampai didepan sebuah rumah genteng, pelahan2 pelajan itu
mengetok pintu tiga kali, dengan pelahan daun pintu lantas terpentang. Pelajan
itu memberi tanda agar Toan Ki disilahkan masuk dahulu, ia sendiri lantas
berdiri kesamping pintu. Waktu Toan Ki melangkah kedalam, ia lihat disitu adalah sebuah ruangan tamu,
diatas medja tersulut sebatang lilin besar hingga djelas kelihatan perabotan
dalam ruangan itu sangat indah, diatas dinding tergantung beberapa lukisan,
dekorasi dalam ruangan tamu jang tidak terlalu luas itu ternjata sangat pandai
dan serasi. Sesudah Toan Ki ambil tempat duduk, pelajan tadi lantas menjuguhkan teh,
katanja: Silahkan Kongtju minum, sebentar Hudjin akan keluar!
Sehabis Toan Ki minum, terdengarlah suara tindakan orang jang perlahan, dari
dalam muntjul seorang njonja berbadju sutera hidjau muda, usianja sekira 40-an
tahun, wadjahnja putih aju dan rada mirip dengan Tjiong Ling.
Menduga tentu inilah ibunja Tjiong Ling, tjepat Toan Ki berbangkit dan memberi
hormat, katanja: Wansing (saja jang muda) Toan Ki menjampaikan salam pada Pekbo
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
(bibi). Mendengar itu, njonja Tjiong rada tertjengang, dengan sikapnja jang agung ia
membalas hormat orang. Ketika Toan Ki mendongak hingga mukanja kelihatan djelas,
tak tertahan lagi wadjah Tjiong-hudjin berubah hebat sambil ter-hujung2 mundur
dua tindak, katanja dengan napas memburu: Kau
...... kau ........ Kenapa Pekbo" tanja Toan Ki kedjut.
Kau ........ kau djuga she Toan"Tjiong-hudjin menegas.
Barulah sekarang Toan Ki ingat pada pesan Tjiong Ling jang pernah minta agar
pemuda itu djangan mengaku she Toan. Tapi ia pikir orang she Toan didunia ini
terlalu banjak, melulu daerah Hunlam sadja tidak kurang beratus ribu lelaki jang
she Toan, belum tentu bahwa setiap orang she Toan mahir ilmu It-yang-tji, sebab
itulah ia tidak perhatikan usul sigadis itu. Kini demi menampak wadjah Tjionghudjin jang terkedjut itu, baru Toan Ki paham apa jang diusulkan Tjiong Ling itu
sebenarnja mengandung maksud mendalam. Untuk membohong sudah terlambat, terpaksa
ia mendjawab: Ja, Wansing she Toan.
Kongtju berasal darimana" Dan siapakah nama orang tua Kongtju" tanja njonja
Tjiong lagi. Toan Ki pikir sekarang harus mendusta agar asal-usulku tak diketahui, maka
djawabnja: Wansing berasal dari Lim-an-hu didaerah Kanglam, ajah bernama Toan
Liong. Tjiong-hudjin menghela napas lega oleh djawaban itu, setelah tenangkan diri,
katanja pula: Silahkan Kongtju duduk.
Setelah kedua orang sama2 ambil tempat duduk, njonja Tjiong tidak membuka suara
lagi, tapi terus mengamat-amati Toan Ki dari kanan-kekiri dan dari kiri kekanan.
Karuan Toan Ki mendjadi likat, achirnja ia bitjara lebih dulu: Puteri njonja
sedang terantjam bahaja, Wansing sengadja datang memberi kabar.
Ah! Kenapakah puteriku" seru Tjiong-hudjin tersadar dari lamunannja.
Segera Toan Ki melepaskan Djing-leng-tju dari pinggangnja dan dipersembahkan
pada njonja rumah, katanja: Harap Pekbo periksa, ini adalah benda pengenal
puterimu jang dibawakan Wansing.
Melihat ular hidjau itu, Tjiong-hudjin mengerut kening dan mengundjuk rasa
djemu, ia sedikit menghindar kebelakang sambil berkata: Kiranja Kongtju djuga
tidak takut pada binatang berbisa ini. Harap kau letakkan dipodjok rumah sana
sadja. Diam2 Toan Ki heran melihat njonja rumah itu djeri pada ular. Ia taruh Djingleng-tju kesudut ruangan jang ditundjuk itu. Lalu mentjeritakan pertemuannja
dengan Tjiong Ling di Kiam-oh-kiong diatas Bu-liang-san dan tjara bagaimana
dirinja telah tjari gara2 hingga bikin marah kawanan Sin-long-pang, dimana
terpaksa Tjiong Ling melepaskan Kim-leng-tju, tapi achirnja gadis itu tertawan
serta dirinja dipaksa datang minta pertolongan. Semuanja Toan Ki tjeritakan,
hanja pengalamannja melihat patung kemala didasar danau itu tak di-sebut2.
Sambil mendengarkan, Tjiong-hudjin berdiam sadja, wadjahnja makin lama makin
menampilkan rasa sedih. Setelah Toan Ki menutur, dengan menghela napas barulah
ia berkata: Anak perempuan ini memang terlalu nakal, begitu keluar rumah sudah
bikin onar. Peristiwa ini adalah gara2 perbuatanku, tak bisa menjalahkan nona Tjiong, udjar
Toan Ki. Dengan ter-mangu2 Tjiong-hudjin memandangi pemuda itu, sahutnja dengan lirih:
Ja, memangnja djuga takbisa menjalahkan dia. Dahulu.........
dahulu akupun demikian.........
Apa itu" tanja Toan Ki.
Tjiong-hudjin terkesiap hingga wadjah bersemu merah, meski usianja sudah
setengah umur, tapi sikap malu2-kutjingnja itu ternjata tiada ubahnja seperti
gadis remadja. Dengan likat ia mendjawab: O, aku.......
aku hanja teringat pada sesuatu kedjadian. ~ Dan karena berkata suatu kedjadian
itu, wadjahnja tampak semakin merah djengah, maka tjepat ia membilukan pokok
pembitjaraan: Kukira urusan............ urusan ini agak sulit diselesaikan.
Melihat sikap njonja rumah jang ke-malu2an itu, diam2 Toan Ki pikir sang ibu
masih lebih kaku daripada puterinja jang lintjah itu menghadapi orang luar.
Pada saat itulah, tiba2 terdengar suara seorang berkata diluar sana dengan nada
dingin: Hm, apakah kau tidak pernah mendengar peraturan di Ban-djiat-kok kami
ini" Tjong-hudjin terkedjut mendengar suara itu, dengan perlahan katanja pada Toan
Ki: Suamiku sudah datang, dia ........ dia suka tjurigai orang, sementara harap
Toan-kongtju suka bersembunji dahulu.
Tapi achirnja Wansing toh harus mendjumpai Tjiong-tjianpwe, lebih baik
........ belum selesai utjapan Toan Ki, tjepat tangan Tjiong-hudjin sudah
menekap mulutnja, lalu menjeretnja kesuatu kamar disebelah timur sana.
Kau bersembunji disini, sekali2 djangan bersuara, pesan njonja rumah.
Watak suamiku sangat keras, sedikit tjeroboh, djiwamu akan terantjam dan akupun
tak bisa menolongmu. Djangan menjangka njonja rumah itu tampaknja lemah lembut, ilmu silatnja
ternjata sangat lihay, sedikitpun Toan Ki takbisa berkutik kena dipegang dan
diseret tadi, terpaksa ia menurut sadja. Sedang dalam hati diam2 pemuda itu
mendongkol: Djauh2 aku datang memberi kabar, djelek2 aku adalah tamu, kenapa
mesti disuruh main sembunji2 seperti pentjuri sadja"
Dalam pada itu terdengar pula suara seorang wanita dibalik dinding papan sana
sedang berkata: Sutjiku ini kena pagutan ular berbisa, djiwanja sangat
berbahaja, maka mohon Lotjianpwe suka memberi pertolongan
........... ~ sembari berkata, terdengar suara tindakan tiga orang memasuki
ruangan disebelah. Waktu Toan Ki mengintip melalui selah2 dinding, ia lihat seorang wanita berbadju
hidjau, menggembol pedang dipunggung, tangannja memondong seorang wanita lain
sembari tiada hentinja minta tolong. Disamping itu adalah seorang laki2 berbadju
hitam jg tinggi kurus, muka menghadap keluar, maka wadjahnja tidak kelihatan,
tjuma dari sepasang tangannja jang lebar mendjulur kebawah itu, terang bentuknja
sangat aneh luar biasa. Kemudian terdengar suara Tjiong-hudjin lagi menanja: Siapakah kedua tamu ini"
Ada perlu apakah datang kelembah sini"
Wanita badju hidjau tadi meletakkan kawan jang dipondongnja itu kelantai, lalu
menanja: Njonja tentunja Tjiong-hudjin"
Tjiong-hudjin mengangguk.
Siaulitju (aku jang muda) bernama Hoan He, anak murid Hoa-san-pay dari Siamsay,
terimalah hormatku ini, kata wanita badju hidjau sambil memberi hormat.
Ah, nona Hoan tak perlu banjak adat, tjepat Tjiong-hudjin membalas hormat
sembari membangunkan orang.
Toan Ki melihat Hoan He itu kira2 berusia 27-28 tahun, beralis tebal dan bermata
besar, gagah mirip kaum pria. Kedengaran ia berkata lagi: Siaulitju bersama
Sutji, Si Hun, oleh karena ada keperluan datang kedaerah Hunlam sini, ketika
lewat Bu-liang-san, Sutji jang kurang hati2
mendadak dipagut oleh seekor ular emas ketjil .......
Mendengar kata2 ular emas ketjil, hati Toan Ki tergerak, pikirnja: Djangan2 jang
dimaksudkan itu adalah Kim-leng-tjunja nona Tjiong"
Sebab apakah sampai dipagut oleh ular emas itu" tanja njonja Tjiong.
Waktu itu kami merasa lelah dan duduk mengaso ditepi djalan, demikian tutur Hoan
He. Tiba2 tampak seekor ular emas jang ketjil merajap keluar dari semak2 rumput,
karena tertarik oleh warna emas gemilapan ular itu.
Sutji telah mentjukitnja dengan pedang. Tak tersangka ular ketjil itu terus
meledjit keatas dan menggigit sekali dipergelangan tangan Sutji.
Seketika itu djuga Sutji terus djatuh semaput.
Tiba2 laki2 berbadju hitam tadi menjela: Asal kau bunuh ular emas itu dan telan
empedunja, djiwanja lantas dapat tertolong.
Namun sahut Hoan He: Pergi-datang ular emas itu teramat tjepat, sekali meledjit
lagi lantas menghilang ketengah semak2 rumput, pula Siaulitju sibuk menolong
Sutji, tiada pikiran bahwa ular itu harus dibunuh.
Bagus bila kau sudah tahu bahwa pergi-datang Kim-leng-tju itu setjepat kilat,
kata laki2 badju hitam itu dengan ter-bahak2. Memangnja orang jang berilmu silat
sepuluh kali lebih tinggi dari kau djuga takkan mampu mengatasi binatang itu.
Dasar tjari penjakit, tiada apa2, kenapa mesti meng-kutik2 ular itu dengan
pedang" Ha, mampus djuga sjukur.
Sudah, orang toh sudah terluka dan djauh2 datang kesini minta tolong padamu,
buat apa kau menjakiti perasaan orang malah" udjar sang isteri.
Mendengar nada utjapan Tjiong-hudjin itu, barulah Toan Ki tahu bahwa laki2
berbadju hitam itu tak-lain-tak-bukan adalah ajah Tjiong Ling, pemilik dari Bandjiat-kok ini. Dalam pada itu laki2 badju hitam itu telah ter-bahak2 pula sambil berpaling.
Melihat mukanja, Toan Ki mendjadi kaget. Ternjata orang itu bermuka kuda, kedua
matanja tumbuh terlalu tinggi, hidungnja jang besar sebaliknja hampir berdesak2an dengan mulutnja jang lebar, hingga ditengah muka terluang suatu bagian
jang polos kosong. Wadjah Tjiong Ling tjantik molek, sungguh tak njana bahwa
ajah kelahirannja itu sebaliknja begini djelek mukanja.
Tadinja wadjah Tjiong-koktju itu penuh senjum edjekan, tapi demi berpaling
kearah sang isteri, wadjahnja jang djelek itu tampak berubah lemah-lembut,
katanja dengan tertawa: Baiklah, apa jang Niotju (isteriku) katakan, aku hanja
menurut sadja. Diam2 Toan Ki heran pula, pikirnja: Aneh! Tadi ketika mendengar sang suami
datang, Tjiong-hudjin tampak sangat takut, tapi kalau melihat sikap Tjiongkoktju sekarang, ia djusteru sangat tjinta dan menghormat pula kepada sang
isteri. Rupanja Hoan He djuga sudah dapat melihat akan gelagat itu, segera ia berlutut
dan berkata pula: Mohon Tjiong-koktju dan Tjiong-hudjin sudi menolong djiwa
Sutjiku, bukan sadja kami berdua akan sangat berterima kasih, sekalipun guruku
djuga merasa hutang budi.
Gurumu tentunja sibopeng Pho Pek-ki, bukan" tanja Tjiong-koktju. Hm, dia adalah
angkatan muda, perlu apa aku ingin dia utang budi segala padaku. Dahulu ketika
aku meninggal, kenapa dia tidak datang melawat" Apa dia kira aku tidak tahu" Aku
djusteru tahu2 dengan djelas biarpun didalam peti mati ini.
Utjapannja itu tidak hanja membikin Toan Ki tertjengang, sekalipun Hoan He djuga
dibuatnja bingung. Pikirnja: Kau masih hidup baik2 seperti ini, kenapa bitjara
tentang melawat dan peti mati segala"
Tiba2 Tjiong-koktju menanja lagi dengan suara keras: Sudah sekian tahun aku
meninggal dunia, orang luar tiada jang tahu bahwa aku masih hidup.
Lalu siapakah jang telah tundjukkan padamu untuk mentjari aku kesini dan
darimana kau kenal djalan masuk Ban-djiat-kok" ~ Pertanjaan ini dilakukan dengan
nada bengis, alisnja menekuk kebawah dan mulut merot, sikapnja sangat
menakutkan. Maka djawablah Hoan He: Waktu Siaulitju lagi bingung ingin menolong djiwa Sutji
dengan maksud lekas2 berlari kekota untuk mentjari tabib, tiba2 melihat ditepi
djalan ada seorang nona berbadju hitam sedang mengulur tangan hendak menangkap
seekor ular ketjil. Ular itu berwarna emas mengkilap, terang itu ular berbisa
jang memagut Sutji. Maka tjepat Siaulitju berseru memperingatkan nona badju
hitam itu agar djangan main2
dengan ular berbisa djahat itu. Tak tersangka nona itu sama sekali tidak gubris
pada peringatanku, ia malah menangkap ular emas itu terus dimasukan kedalam
badjunja. Melihat itu, Siaulitju mendjadi girang, sebab kupikir orang jang dapat
mengatasi ular itu, tentu dapat pula mengobati pagutan sang ular. Segera
Siaulitju memohon dengan sangat, namun nona itu mendjawab bahwa dirinja takbisa
mengobati bisa ular itu. Diseluruh djagat hanja ada seorang jang mampu
menjembuhkan pagutan ular emas itu, maka aku diberi petundjuk untuk datang
kemari memohon pertolongan Tjiong-koktju.
Ketika Siaulitju minta tanja nama nona badju hitam itu, namun dia takmau
memberitahu. Mendengar uraian itu, Tjiong-koktju dan sang isteri saling pandang sekedjap,
lalu katanja dengan mendjengek: Ha, ternjata adalah dia. Orang ini tidak
bermaksud baik, selalu ia ingin memaksa aku keluar dari lembah ini. Ja, semuanja
gara2 Ling-dji, sembarangan membawa Kim-leng-tju keluar lembah hingga
menimbulkan onar sadja. ~ Lalu ia berpaling dan tanja Hoan He: Lalu, apa jang
dikatakan lagi oleh perempuan itu"
Tidak ada lagi, sahut Hoan He.
Betul tidak ada lagi" Tjiong-koktju menegas dengan dingin.
Terpaksa Hoan He menjahut dengn gelagapan: Nona .......... nona itu seperti
berkata pula bahwa: Djalan hanja melulu satu ini, tjuma, sekali kau sudah masuk
kesana, belum tentu dapat keluar lagi dengan badan selamat. Maka kau harus pikir
masak2 sebelumnja. Benarlah! udjar Tjiong-koktju. Dan kau sudah pikirkan tidak"
Tjepat Hoan He berlutut mendjura pula sambil memohon: Mohon belas-kasihan
Tjiong-koktju dan Hudjin.
Bangunlah kau, sahut Tjiong-koktju. Aku mempunjai dua djalan, kau boleh pilih
manasuka. Pertama, kau dan Sutjimu selama hidup tinggal dilembah ini melajani
isteriku. Djalan kedua, tangan kalian berdua harus dipotong, lidah diiris, agar
kalau sudah keluar dari sini tidak membotjorkan rahasiaku.
Ta ......... tapi Siaulitju ditugaskan Suhu untuk menjelesaikan suatu urusan
penting di Hunlam sini, sahut Hoan He meratap, sebelum tugas itu terlaksana,
bukankah berarti melanggar perintah guru bila terus tinggal dilembah
sini ......... Djadi kau akan memilih djalan kedua sadja, ja" kata Tjiong-koktju.
Tiba2 Hoan He merangkak madju dan merangkul kedua kaki Tjiong-hudjin sambil
meratap: Mohon belas-kasihan Hudjin, Siaulitju berdjandji sesudah keluar lembah
ini pasti akan tutup mulut se-rapat2nja, kalau berani bitjara satu-patah-kata
sadja, biarlah aku mati tertjingtjang tak terkubur.
Hm, aku Tjiong Ban-siu kalau bukan terlalu pertjaja pada sumpah orang, rasanja
harini takkan mengumpet dilembah maut ini sebagai orang mati, mengkeret sebagai
kura2, tiba2 Tjiong-koktju tertawa mendjenggek dan sekali tangan kiri mengulur,
tahu2 leher badju Hoan He kena ditjengkeramnja terus diangkat keatas.
Perawakan tubuh Hoan He dikalangan wanita sudah tergolong tinggi, tapi kena
diangkat oleh Tjiong Ban-siu, kakinja lantas ter-katung2 setingggi hampir satu
meter. Saking kaget dan takutnja Hoan He mendjerit, berbareng kaki kanan terus
melajang menendang kedada Tjiong Ban-siu.
Namun sama sekali Tjiong Ban-siu tak menghindar, ia membiarkan dada ditendang
orang. Maka terdengarlah suara krak sekali, tahu2 tulang kaki Hoan He jang patah
malah. Menjusul tampak Tjiong Ban-siu gerakan tangan kanan, sinar tadjam
berkelebat agaknja tangannja itu telah menjiapkan sematjam sendjata pendek
sebangsa belati, maka terdengarlah suara tjret-tjret dua kali, kedua tangan Hoan
He sudah terkutung semua sebatas pergelangan.
Tjiong-hudjin hanja mendengus sekali menjaksikan itu. Sedangkan Tjiong Ban-siu
telah masukan djarinja pula kemulut Hoan He terdengar wanita itu berseru
tertahan sekali, darah lantas mengutjur dari mulutnja, tentu lidahnja telah kena
diiris putus djuga. Ber-debar2 perasaan Toan Ki menjaksikan adegan mengerikan itu, ia tekap mulut
sendiri, sedikitpun tak berani bersuara, sebaliknja berpikir: Meski kau telah
kutungi kedua tangan dan iris lidahnja, dia masih punja sebelah kaki jang dapat
dipakai menggores tulisan diatas tanah, achirnja dia bisa djuga membotjorkan
rahasia Ban-djiat-kok ini.
Ia lihat Tjiong Ban-siu telah melemparkan tubuh Hoan He jang sudah pingsan
saking kesakitan, lalu Si Hun jang menggeletak ditanah tak sadarkan diri itu
diseretnja dan diperlakukan seperti Hoan He, kedua tangannja dikutung dan
lidahnja disajat. Melihat kekedjaman orang, Toan Ki mendjadi naik darah, tak terpikir lagi olehnja
akibat apa jang bakal menimpa dirinja, mendadak ia membentak: Pengetjut jang
rendah tak kenal malu, kau benar2 terlalu kedji!
Karena bentakan Toan Ki ini, Tjiong Ban-siu mendjadi kaget, lebih2
Tjiong-hudjin, ia ketakutan hingga putjat bagai kertas.
Dengan langkah lebar terus sadja Toan Ki keluar dari balik dinding papan itu, ia
tuding Tjiong Ban-siu dan mendamperat: Tjiong siangsing, njalimu terlalu ketjil,
tjaramu ini bukanlah perbuatan seorang laki2
sedjati! Melihat wadjah Toan Ki, air muka Tjiong Ban-siu berubah hebat dan kesiap,
katanja: Apakah kau ...... kau ......ah, tak mungkin ........
Tjayhe bernama Toan Ki, segera pemuda itu perkenalkan diri, sedikitpun aku tidak
paham ilmu silat, maka hendak kau korek atau bunuh, boleh kau lakukan sesukamu.
Tapi kalau kau lepaskan aku dari sini, perbuatanmu jang kedjam tak
berprikemanusiaan ini, pasti akan kusiarkan diseluruh Kangouw, biar setiap orang
mengenal manusia matjam apakah Tjiong Ban-siu itu"
Ha-ha-ha! tidak gusar malah Tjiong Ban-siu tertawa. Manusia matjam apa Tjiong
Ban-siu, masakah orang Kangouw tidak tahu" Kau botjah ini apa tidak kenal
djulukanku dahulu dikangouw"
Tidak tahu, sahut Toan Ki.
Aku Tjiong Ban-siu, berdjuluk Kian-djin-tjiu-sat (melihat orang lantas
membunuh)! kata Tjiong Ban-siu dengan sikap sangat bangga.
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Toan Ki rada tertjengang oleh gelar orang itu, tapi dadanja segera bergolak pula
oleh semangat banteng, dengan lantang katanja pula: Djadi membunuh setjara
kedjam orang tak berdosa memang dasar watakmu. Tjuma umumnja kalau orang suka
membunuh, biasanja orang itu pasti tidak takut pada langit dan gentar pada bumi,
masakan pengetjut matjam kau, takut kepala takut buntut, djeri dimuka kuatir
dibelakang. Rupanja utjapan Toan Ki itu tepat menusuk lubuk hati Tjiong Ban-siu hingga
seketika ia malah tidak gusar.
Memangnja Toan Ki sudah tidak pikirkan mati-hidupnja sendiri lagi, segera ia
berkata pula: Kulihat ilmu silatmu sangat tinggi, kusangka kau tentu seorang
laki2 berdjiwa badja, bila takbisa menangkan orang, seharusnja kau labrak dia
mati2an sekalipun achirnja gugur bersama. Tapi kau djusteru main sembunji2,
kuatir orang membotjorkan tempat mengumpetmu, lantas kau menjiksa dan menganiaja
seorang wanita jang tak mampu melawan kau, apakah ...... apakah perbuatan
demikian ini adalah kelakuan seorang djantan tulen"
Wadjah Tjiong Ban-siu tampak sebentar putjat sebentar merah padam, seakan2 apa
jang dikatakan Toan Ki itu setiap kalimatnja kena benar2
menusuk lubuk hatinja, tiba2 sinar matanja jang bengis menjorot tadjam,
tampaknja segera akan membunuh orang. Tapi setelah tertegun sedjenak, mendadak
ia menggebrak medja, blang-blang, medja disebelahnja sempal separoh, menjusul
sebelah kakinja melajang, dinding papan djebol berwudjut sebuah lubang. Ia tutup
mukanja dengan kedua tangan sendiri sambil berseru: Ja, aku adalah pengetjut,
aku adalah pengetjut! ~ Mendadak ia lari tjepat keluar.
Dalam keadaan demikian, saking ketakutan Tjiong-hudjin sampai gemetaran
bersandar didinding, sama sekali tak tersangka olehnja sekali ini sang suami
tidak membunuh Toan Ki. Ia menoleh dan menanja: Toan-kongtju, apa be ..... benar
kau tidak bisa ilmu silat" ~ sembari berkata, dengan perlahan tangannja terus
menabok kepunggung pemuda itu.
Tempat jang ditabok itu adalah tempat mematikan ditubuh manusia, asal sedikit
dia gunakan Lwekang, tidak mati pasti Toan Ki akan terluka djuga.
Namun pemuda itu memang benar2 takbisa ilmu silat, maka sedikitpun ia tidak
kenal bahaja, dengan djudjur ia mendjawab: Wansing memang tidak pernah beladjar
silat, kepandaian jang gunanja melulu dipakai mentjelakai orang ini, tiada
harganja untuk dipeladjari.
Be ....... besar amat njalimu, ternjata se ........ serupa benar dengan dia,
kata Tjiong-hudjin. Serupa dengan siapa" Toan Ki menegas.
Kembali wadjah Tjiong-hudjin bersemu merah, ia tidak mendjawab pertanjaaan
orang, sebaliknja ia tepuk tangan dua kali, maka keluarlah pelajan tadi.
Kau bubuhi obat luka pada kedua nona itu, untuk mentjegah darah mereka mengutjur
terlalu banjak, pesan njonja rumah itu.
Pelajan itu mengia dan memondong Si Hun dan Hoan He kedalam kamar, melihat
sikapnja jang sedikitpun tidak heran atau kaget, agaknja soal membunuh dan
menganiaja orang sudah biasa dilihatnja.
Sambil bertopang-dagu, diam2 Tjiong-hudji lagi terombang-ambing dalam
lamunannja, seperti ada sesuatu kesulitan jang maha besar jang susah diputuskan.
Tadi Toan Ki hanja terdorong oleh darah panas jang timbul seketika, maka berani
mendamperat Tjiong Ban-siu, tatkala itu ia sudah nekad.Tapi kini demi melihat
darah berlumuran dilantai, hatinja mendjadi takut lagi.
Pikirnja: Aku harus lekas2 berusaha melarikan diri, kalau tidak, bukan sadja
djiwa akan melajang, bahkan akan mati dengn mengenaskan.
Segera ia menghampiri ambang pintu sambil memberi hormat pada njonja rumah dan
berkata: Wansing sudah menunaikan tugas menjampaikan berita, kini mohon Hudjin
lekas berdaja untuk menolong puterimu.
Nanti dulu, Kongtju, sahut Tjiong-hudjin.
Karena itu Toan Ki tidak djadi tinggal pergi.
Mungkin Kongtju tidak tahu bahwa suamiku pernah bersumpah selama hidupnja takkan
keluar dari lembah ini, kata njonja rumah kemudian. Sebab itulah, meski puteriku
itu tertawan musuh, rasanja suamiku pasti takkan pergi menolongnja ...... Ah,
urusan sudah begini, terpaksa aku sadja jang ikut pergi bersama Kongtju.
Kedjut dan girang Toan Ki, sahutnja: Bila Tjiong-hudjin sudi pergi bersama aku,
itulah paling baik. ~ Tiba2 ia teringat pada apa jang dikatakan Tjiong Ling
bahwa satu2nja orang jang bisa menjembuhkan ratjun Kim-leng-tju hanja ajahnja
sadja, maka tjepat ia tanja pula njonja rumah apakah djuga bisa mengobati ratjun
Kim-leng-tju itu. Namun Tjiong-hudjin geleng2 kepala, sahutnja: Aku tak bisa mengobati.
Djika ... djika begitu ...... namun belum selesai Toan Ki berkata, njonja rumah
itu sudah tinggal masuk kekamarnja.
Setelah tinggalkan setjarik surat singkat dan bebenah pakaian seperlunja, segera
Tjiong-hudjin keluar lagi dan berkata: Marilah kita berangkat! ~ Terus sadja ia
mendahului djalan didepan.
Ter-sipu2 Toan Ki mengikut dibelakang njonja rumah itu, namun dia masih sempat
mendjemput pula Djing-leng-tju untuk diubet dipinggang.
Djangan menjangka Tjiong-hudjin tampaknja lemah gemulai, tetapi djalannja
ternjata djauh lebih tjepat daripada Toan Ki.Karena mengetahui njonja rumah itu
tak bisa mengobati ratjun Kim-leng-tju, betapapun Toan Ki masih merasa kuatir.
Maka tanjanja lagi: Djika Hudjin tak bisa menjembuhkan ratjun ular, mungkin Sinlong-pang tidak mau membebaskan puterimu itu.
Siapa jang ingin minta mereka lepaskan Ling-dji" sahut Tjiong-hudji adem2 sadja.
Kalau Sin-long-pang berani menahan puteriku untuk mengantjam aku, itu berarti
mereka sudah bosan hidup. Kalau menolong orang takbisa, masakan membunuh orang
djuga tak bisa" Tak tertahan Toan Ki bergidik, ia merasa kata2 Tjiong-hudjin jang sepele dan
sederhana itu sesungguhnja maksud membunuh orang jang terkandung didalamnja
tidak dibawah perbuatan Tjiong Ban-siu jang bengis dan kedjam itu. Namun
lahirnja Tjiong-hudjin lemah lembut, kalau dibandingkan, rasanya akan lebih
menakutkan orang. Sambil bitjara, kedua orang sudah berlari beberapa li djauhnja. Tiba-tiba
terdengar suara teriakan orang dibelakang: Hudjin, kau... Kau hendak kemana"
Waktu Toan Ki menoleh, siapa lagi dia kalau bukan Tjiong Ban-siu jang sedang
mengedjar mereka setjepat terbang datangnja.
Sekonjong-konjong Tjiong-hudjin ulur tangannja keketiak Toan Ki sambil
membentak: Lekas! terus sadja ia angkat tubuh pemuda itu dan melesat kedepan.
Seketika Toan Ki merasa kedua kakinja terapung diatas tanah, ia sudah dikempit
oleh Tjiong-hudjin dan tak bisa berkutik. Maka kedjar-mengedjar itu segera
berlangsung dengan tjepat, dalam sekedjap sadja mereka sudah berlari berpuluh
tombak djauhnja. Ginkang atau ilmu mengentengkan tubuh Tjiong-hudjin ternjata lebih tinggi
setingkat daripada sang suami, tjuma betapapun ia membawa beban seorang, jaitu
Toan Ki, maka lambat laun dapatlah disusul oleh Tjiong Ban-siu.
Diam-diam Toan Ki ikut kuatir dan kerupukan, ia tahu asal bisa keluar mulut
lembah, Tjiong Ban-siu sudah bersumpah, tentu tak akan mengudak lebih djauh.
Dalam saat demikian, terkilas suatu pikiran dalam benaknja: Meski ilmu silat
adalah kepandaian jang bikin tjelaka orang, tapi kalau aku mahir Ginkang,
rasanja ada paedahnja djuga.
Njata, dalam keadaan kepepet begini, ia benar-benar ingin bisa berlari lebih
tjepat. Sementara itu tampak tinggal belasan tombak lagi, sudah bisa keluar dari lembah
itu. Toan Ki merasa suara napas Tjiong Ban-siu sudah terdengar dibelakangnja.
Mendadak, bret, Toan Ki merasa punggungnja silir-silir dingin, badjunja telah
kena didjambret sobek sebagian oleh Tjiong Ban-siu.
Tiba-tiba Tjiong-hudjin angkat tubuh Toan Ki dan dilemparkan sekuatnja kedepan
sambil membentak: Lekas lari!, menjusul tangannja jang lain sudah lantas lolos
pedang terus menusuk kebelakang dengan maksud merintangi kedjaran sang suami.
Hakikatnja Tjiong-hudjin tiada maksud hendak mentjelakai suami sendiri.
Tak terduga tusukannja itu benar-benar telah mengenai dada sang suami.
Ternjata sama sekaii Tjiong Ban-siu tidak menghindar atau berkelit, tapi rela
ditusuk oleh sang isteri.
Karuan Tjiong-hudjin terkedjut, tjepat ia menoleh, seketika ia tidak berani
tarik kembali pedangnja, ia lihat wadjah sang suami penuh rasa sesal dan
dongkol, kelopak matanja mengembeng air, dadanja berlumuran darah dan lagi
berkata: Wan-djing, djadi achir.... achirnja kau akan meninggalkan daku"
Melihat tusukannja itu tepat mengenai tengah-tengah dada sang suami, meski tidak
mengenai ulu hati, tapi udjung pedang djuga amblas beberapa senti dalamnja,
karena kuatir akan djiwa sang suami, tjepat Tjiong-hudjin mentjabut pedangnja
terus menubruk madju untuk menutupi luka tusukan itu, ia lihat darah lantas
menjembur keluar melalui sela-sela djarinja.
Kenapa kau tidak menghindar" tegur Tjiong-hudjin dengan gusar.
Djika kau toh akan tinggalkan diriku, adalah lebih baik aku mati sadja, sahut
Tjiong Ban-siu tersenjum getir.
Siapa bilang aku hendak tinggalkan kau" kata Tjiong-hudjin.
Aku hanja pergi buat beberapa hari sadja lantas kembali.Kepergianku adalah untuk
menolong puteri kita.~ Segera ia tjeritakan setjara singkat tentang tertawannja
Tjiong Ling oleh orang-orang Sin-long-pang.
Menjaksikan itu, Toan Ki, sampai kesima, ia tidak djadi melarikan diri, tapi
sesudah tenangkan diri, tjepat ia sobek lengan badju sendiri dan sibuk hendak
membalut luka Tjiong Ban-siu.
Tak terduga mendadak sebelah kaki Tjiong Ban-siu melajanq hingga Toan Ki kena
ditendang terdjungkal, sambil membentak: Anak haram, aku tidak sudi melihat
tjetjongormu! ~ Lalu ia berpaling kepada sang isteri dan berkata: Aku... aku
tidak pertjaja, tentu kau berdusta, sudah terang dia.........dia datang kesini
mengundang kau. Anak djadah ini sekalipun mendjadi abu djuga aku mengenalnja,
malah dia....dia tadi telah menghina aku.
Habis berkata, ia terbatuk-batuk dengan hebat, dan karena batuk, darah jang
mengutjur dari lukanja itu bertambah hebat. Mendadak ia teringat sesuatu,
katanja kepada Toan Ki: Hajolah madju, kenapa kau tidak madju"
Meskipun aku terluka parah, belum tentu aku djeri pada kau punja It-yang-tji!
Hajolah madju! Karena tendangan tadi, djidat Toan Ki telah membentur sepotong batu ketjil jang
tadjam hingga terluka, tjepatan ia merangkak bangun sambil memegangi djidatnja
jang bendjol itu, lalu mendjawab: Tjayhe Toan Ki dari daerah Kanglam,
sesungguhnja tidak paham tentang It-yang-tji atau Dji-yang-tji segala!
Kembali Tjiong Ban-siu terbatuk-batuk, bentaknja dengan gusar: Anak djadah, apa
kau berlagak dungu" Pergilah kau me.......memanggil bapakmu kemari!
Dan karena gusarnja itu, batuknja makin mendjadi-djadi.
Dalam keadaan demikian, penjakitmu suka tjuriga tetap tidak mau berubah, kata
Tjiong-hudjin.Kalau kau toh tak pertjaja padaku, lebih baik biarlah aku mati
dihadapanmu sadja. Terus sadja ia djemput kembali pedangnja dan menggorok keleher sendiri.
Tjepat Tjiong Ban-siu merebut pedang itu, wadjahnja berubah girang, katanja:
Niotju, djadi sungguh-sungguh kau bukan hendak ikut minggat dengan anak djadah
ini" Orang adalah Toan-kongtju jang terhormat, kau maki orang anak djadah apa segala"
omel Tjiong-hudjin. Kepergianku ikut Toan-kongtju adalah hendak membunuh habis
Sin-long-pang untuk menolong puteri mestika kita.
Walaupun terluka parah, namun demi nampak sikap sang isteri jang mengomel dan
marah ketjil, rasa tjinta-kasih Tjiong Ban-siu semakin berkobar, dengan
mengiring senjum ia menjahut: Djika demikian halnja, ja, anggaplah aku jang
salah. Ketika Tjiong-hudjin periksa luka sang suami, ia lihat darah masih merembes
keluar dengan deras.Ba......... bagaimana baiknja, ini" ratapnja kuatir.
Girang Tjiong Ban-siu tidak kepalang, terus sadja ia rangkul pinggang sang
isteri dan berkata: Wan-djing, kau begini memperhatikan diriku, biarpun aku mati
seketika, djuga puas aku.
Muka Tjiong-hudjin mendjadi merah, pelahan-lahan ia kesampingkan tangan sang
suami dan menjahut: Toan-kongtju berada disini, kenapa kau pegang-pegang begini,
~ Dan karena melihat keadaan sang suami pelahan-lahan bertambah pajah dan wadjah
putjat, ia mendjadi kuatir, katanja pula: Sudahlah aku tak pergi menolong Lingdji, onar jang dia perbuat sendiri, biar dia terima nasib sadja. ~ Lalu ia
bangunkan sang suami dan berkata pada Toan Ki: Toan-kongtju, harap kau sampaikan
pada Sikong Hian bahwa suamiku sudah.... sudah mati. Djika dia berani mengganggu
seudjung rambut puteriku itu, suruh dia djangan lupa pada keganasan Hiang-yokdjeh Bok-Wan-djing! Melihat keadaan demikian, Toan Ki pikir Tjiong Ban-sin terang tak mungkin pergi,
Tjiong-hudjin djuga tidak tega meninggalkan sang suami untuk menolong puterinja,
melulu mengandalkan kata-kata Hiang-yok-djeh Bok-Wan-djing (si kuntilanak harum)
apakah dapat menggertak Sikong Hian, sungguh masih harus disangsikan. Tampaknja
ratjun Toan-djiong-san jang masih mengeram didalam perut sendiri ini sudahlah
pasti tak bisa diobati lagi.
Untuk sedjenak ia tertegun, ia pikir urusan toh sudah demikian, banjak omong
djuga pertjuma, maka sahutnja lantas: Djika begitu, baiklah Wansing lantas
berangkat menjampaikan pesan Hudjin itu.
Melihat ketegasan pemuda itu, sekali bilang berangkat lantas berangkat,
sedikitpun tidak ragu-ragu. Hal ini membuat Tjiong-hudjin teringat pula pada
seseorang. Segera serunja: Nanti dulu, Toan-kongtju, masih ada jang hendak
kukatatan! Pelahan-lahan ia letakkan sang suami ketanah, lalu memburu kedekat Toan Ki, ia
mengeluarkan sepotong barang dan diserahkan pada pemuda itu, lalu bisiknja:
Lekas bawalah benda ini kepada Toan Tjing-bing........
Mendengar nama Toan Tjing-bing, tak tertahan lagi wadjah Toan Ki berubah.
Dasar njonja Tjiong alias Bok Wan-djing memang orangnja sangat tjermat, ketika
mengutjapkan Toan Tjing-bing tadi, memangnja dia ingin mengetahui perubahan
wadjah Toan Ki. Karena itu, pelahan-lahan ia menghela napas, katanja pula:
Apakah sekarang kau masih hendak membohongi aku" Lekaslah kau pergi dan semoga
bisa tiba disana tepat pada waktunja, agar djiwa Ling-dji dan kau sendiri
tertolong. Dan tanpa menunggu djawaban Toan Ki, segera ia putar balik kesamping
sang suami serta memajangnja pergi.
Waktu Toan Ki periksa barang jang diterimanja dari Tjiong-hudjin, ia lihat benda
itu adalah sebuah kotak ketjil bersepuh emas jang sangat indah. Ketika tutup
kotak ia buka, tertampak isinja hanja setjarik kertas melulu jang warnanja sudah
menguning, terang karena disimpan terlalu lama, malahan diatas kertas lapatlapat masih kelihatan ada bekas noda tetesan darah. Diatas kertas tertulis:
Tahun Kui-hay, bulan dua, tanggal lima, waktu niu. Gaja tulisannja halus halus,
seperti ditulis oleh kaum wanita. Lebih dari itu tiada barang lain lagi.
Diam-diam Toan Ki membatin: Ini adalah surat lahir (pek-dji) seseorang, Tjionghudjin suruh aku menjerahkannja pada ajah, entah apakah maksud tudjuannja.
Masakah setjarik surat lahir begini bisa menolong djiwa nona Tjiong dan njawaku"
Tampaknja Tjiong-hudjin sudah dapat menerka bahwa aku adalah puteranja ajah,
sebaliknya Tjiong Ban-siu berulang-ulang memaki aku, agaknja dia pun kenal
wadjahku jang mirip ajah. Apakah barangkali dia ada permusuhan dengan ajah"
Sedang Toan Ki melamun sambil herdjalan, tiba-tiba dari belakang terdengar suara
seruan seorang tua: Tunggu dulu, Toan-kongtju!
Waktu Toan Ki menoleh, ia lihat seorang tua berbadju pendek kasar lagi
menjusulnja dengan tjepat. Sesudah dekat, orang tua itu memberi hormat dan
berkata: Hamba bersama Tjiong Hok. Atas perintah Hudjin agar menghantarkan
Kongtju keluar lembah ini.
Baik, sahut Toan Ki mengangguk.
Segera Tjiong Hok berdjalan didepan, achirnja mereka tiba dimulut lembah, jaitu
melalui peti mati dan kuburan jang pernah dimasuki Toan Ki itu. Tapi Tjiong Hok
membawa Toan Ki melalui suatu djalan ketjil lain hingga 6-7 li pula djauhnja,
achirnja sampailah didepan sebuah gedung besar.
Harap Kongtju menunggu sebentar, kata Tjiong Hok. Tanpa mengetok pintu lagi,
terus sadja hamba itu melompat kedalam gedung itu melintasi pagar tembok.
Sementara itu hari sudah gelap, memandangi sinar-sinar bintang jang berkelipkelip ditengah djakrawala, tiba-tiba Toan Ki terkenang pada patung dewi tjantik
jang didjumpainja didasar danau itu.
Tengah pikiran Toan Ki melajang-lajang djauh, tiba-tiba terdengar suara
ringkikan kuda didaiam pekarangan gedung, mendengar suara binatang jang njaring
pandjang itu, tak tertahan Toan Ki berseru memudji: Kuda bagus!
Kemudian tampak pintu gedung dibuka hingga menongol satu kepala kuda, ditengah
malam gelap, sepasang mata binatang itu tampak bersinar, hanja sekali pandang
sadja sudah kelihatan kalau kuda itu memang lain dari jang lain.
Prak, prak dua kali, seekor kuda hitam mulus tampak melangkah keluar.
Pelahan sekali suara jang didjangkitkan derapan binatang itu, agaknja seekor
kuda ketjil. Tapi kalau melihat perawakan kuda itu, ternjata keempat kakinja
pandjang merit, tangkas gagah. Jang menuntun kuda adalah seorang pelajan ketjil,
dalam kegelapan tidak djelas mukanja, usianja kira2 belasan tahun dan tentunja
wadjahnja djuga lumajan. Tjiong Hok ikut dibekakang kuda itu, katanja kemudian: Toan-Kongtju, Hudjin
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuatir kalau kau tak bisa tepat waktunja sampai di Tayli, maka sengadja pindjam
kuda bagus ini pada tuan rumah disini untuk tunggangan Kongtju.
Sudah banjak djuga kuda bagus jang pernah dilihat Toan Ki, tapi tjukup mendengar
suara ringkikan kuda ini tadi, ia sudah tahu pasti seekor kuda bagus pilihan
jang djarang terdapat. Maka sahutnja: Banjak terima kasih!
Segera ia ulur tangan hendak menarik tali kendali.
Pelahan-lahan dajang tjilik tadi mengelus-elus leher kuda itu, katanja dengan
suara halus: Oh-bi-kui, Oh-bi-kui! Siotja memindjamkan kau kepada Kongtjuya ini,
kau harus menurut perintahnja, lekas pergi, tjepat kambali!
Kuda hitam jang diberi nama Oh-bi-kui atau mawar hitam itu berpaling dan
menggosok-gosokkan lehernja kelengan sipelajan, sikapnja sangat aleman. Lalu
pelajan itu menjerahkan tali kendali kepada Toan Ki dan memesan: Kuda ini
djangan dipetjut, semakin baik padanja, semakin tjepat larinja.
Baiklah, sahut Toan Ki. Nah, Siotjia mawar hitam, terimalah hormatku ini! sembari berikata, ia benar2benar membungkukkan tubuh pada binatang itu.
Pelajan ketjil itu mengikik geli, katanja: Lutju djuga kau ini. Eh, hati-hati,
ja! Djangan merosot djatuh!
Namun soal menunggang kuda tidaklah asing bagi Toan Ki, sedjak ketjil ia sudah
biasa. Maka dengan enteng sadja ia mentjemplak keatas kuda hitam itu dan berkata
pada sipelajan: Sampaikanlah terima kasihku kepada Sotjiamu!
Dan tidak terima kasih padaku, ja" udjar sipelajan tertawa.
Toan Ki memberi Kiongtjhiu, katanja: Terima kasih pada Tjitji, Nanti kalau
datang lagi aku akan membawakan banjak permen untukmu.
Sudahlah, djiwamu sendiri perlu didjaga baik-baik, bisa datang lagi atau tidak
masih harus disangsikan, siapa pingin pada permen segala"
sahut sipelajan tertawa manis.
Tjiong Hok ikut berkata djuga: Harap Kongtju mendjaga diri baik-baik, dari sini
lurus keutara akan sampai didjalan raja jang menudju ke Tayli, maafkan hamba
tidak menghantar lebih djauh.
Toan Ki melambaikan tangan sebagai tanda berpisah, lalu larilah, kudanja
kedepan. Oh-bi-kui alias mawar hitam itu ternjata tidak perlu diperintah, ditengah.malam
buta larinja setjepat terbang. Toan Ki hanja merasa tumbuh-tumbuhan di
sekitarnja tiada hentinja melesat lewat di sampingnja.
Jang paling hebat adalah anteng sekali menunggang diatas kuda itu, sedikit
sekali terasa guntjangan-guntjangan, pikir Toan Ki: Demikian tjepat lari kuda
ini, rasanja lewat lohor besok sudah bisa sampai di Tayli. Tapi ajah belum tentu
sudi ikut tjampur urusan tetek-bengek dikangouw ini, apakah aku terpaksa harus
pergi memohon Toapek (paman tertua)" Ai, urusan sudah ketelandjur begini,
terpaksa aku harus menjerah pada Toapek dan ajah.
Tiada sedjam lamanja, sudah puluhan li djauhnja, dalan malam gelap terasa angin
silir-silir disertai hawa malam jang njaman. Selagi Toan Ki merasa senangsenang, sekonjong-konjong ada seorang membentak di depan: Perempuan keparat,
lekas berhenti! ~ menjusul sinar tadjam berkelebat, sebatang golok lantas
membatjok . Namun kuda hitam itu benar-benar teramat tjepat, baru golok itu diajunkan,
binatang itu sudah melompat lewat sedjauh setombak lebih.
Waktu Toan Ki menoleh, ia lihat dua laki-laki bersendjata golok dan tombak lagi
mengedjar dari belakang dengan tjepat sambil memaki kalang kabut: Perempuan
keparat! Pakai menjamar segala, apa kira Lotju dapat kau kelabui demikian sadja"
Dan hanja sekedjap sadja mawar hitam sudah djauh meninggalkan kedua pengedjar
itu. Tapi kedua laki-laki itu masih belum kapok, mereka masih memburu terus
hingga tidak selang lama, suara teriakan dan makian merekapun tidak terdengar
lagi. Diam-diam Toan Ki membatin: Kedua orang memaki aku sebagai perempuan keparat
segala dan menuduh aku menjamar sebagai lelaki. Ja, tentu mereka akan tjari
setori pada madjikan si mawar hitam ini. Kenal kuda tak kenal orangnja sungguh
tolol henar! Setelah lebih satu li lagi, tiba-tiba Toan Ki teringat: Haja, tjelaka!
Berkat ketjepatan kuda ini aku telah bisa lolos dari sergapan kedua orang tadi.
Tampaknja ilmu silat kedua orang itupun tidak lemah, djikalau Siotjia jang
memberi pindjam kuda ini tidak tahu kedjadianku tadi dan djalan-djalan keluar,
mungkin dia akan kena bokongan musuh. Rasanja aku harus kembali kesana dulu
untuk memberitahu padanja.
Segera ia kendalikan kuda dan berhenti, katanja pada binatang itu: Oh-bi-kui,
ada orang hendak membokong Siotjiamu, kita harus lekas kembali memberitahu
padanja agar dia berdjaga-djaga dan djangan keluar dari rumah.
Terus sadja ia putar kuda dan lari kembali kearah tadi. Ketika dekat tempat
sergapan kedua laki-laki itu, ia desak si mawar hitam: Lekas, lekas lari!
Binatang itu ternjata bisa terima maksud orang, dibawah desakan lekas lari itu,
ia benar-benar mentjongklang terlebih pesat. Namun kedua laki-laki tadi ternjata
sudah tidak disitu lagi, karena itu, Toan Ki mendjadi lebih kuatir malah,
pikirnja: Jika mereka berdua sudah menjerbu masuk kerumah Siotjia itu, hal ini
pasti lebih tjialat lagi. ~ segera ia membentak-bentak si mawar hitam agar lebih
tjepat. Seketika lari si mawar hitam bagai kaki terapung diatas tanah, setjepat terbang
ia lari pulang. Ketika hampir sampai didepan gedung besar itu, mendadak dari
samping dua batang pentung menjerampang kaki kuda. Namun tidak sampai Toan Ki
memberi perintah, kontan si mawar hitam sudah melompat menghindarkan diri,
menjusul kaki belakang terus mendepak, bluk, salah seorang penjerang gelap itu
telah kena ditendang mentjelat.
Dan sekali melompat lagi, si mawar hitam sudah sampai didepan pintu gedung itu.
Dalam kegelapan mendadak tampak 4-5 orang undjukkan diri serentak hendak menarik
tali kendali Oh-bi-kui menjusul Toan Ki merasa lengan sendiri kena ditjengkeram
orang terus diseret orang ketanah.
Segera seorang diantaranja membentak: Siautju, untuk apa kau datang kesini"
Diam-diam Toan Ki mengeluh: Tjelaka, rumah ini ternjata sudah dikepung musuh,
entah tuan rumahnja sudah mengalami nasib malang atau belum"
Ia merasa lengan, kanan jang ditjengkeram orang itu seakan-akan terdjepit
tanggam, separoh tubuhnja merasa kaku, maka tjepat katanja: Ada urusan jang
hendak kutjari tuan rumah disini, kenapa kau berbuat begini kasar"
Lalu terdengar suara seorang tua jang lain berkata: Siautju ini menunggang kuda
hitam milik perempuan hina itu, boleh djadi adalah kawan karibnja, biar kita
lepaskan dia kedalam, babat rumput harus sampai akar-akarnja, nanti kita
bereskan sekalian. Hati Toan Ki berdebar-debar tak karuan, pikirnja: Aku ini benar-benar ular
mentjari gebuk, ikan masuk djala sendiri. Sudah enak-enak pergi, datang kembali
tjari penjakit. Sekarang sudah kadung begini, hendak lari djuga tidak mungkin
lagi, terpaksa masuk melihat gelagat nanti.
Ia merasa tjengkeram orang telah dikendorkan, segera ia betulkan badjunja, lalu
melangkah masuk dengan membusung dada.
Didalam pekarangan ada suatu djalanan batu, kedua samping penuh tanaman bunga
mawar jang menjiarkan bau harum. Djalanan batu itu berliku-liku, setelah
menembus sebuah pintu bundar, djalanan itu lurus kedepan. Toan Ki melihat
disekitarnja disana-sini penuh berdiri orang. Ketika mendengar ada suara
mendehem ditempat tinggi, ia mendongak dan melihat diatas pagar tembok sana
djuga berdiri 7-8 orang dengan sendjata terhunus. Dimalam gelap, sinar sendjata
jang gemilapan itu tjukup membuat djeri siapa jang melihatnja. Diam-diam Toan Ki
membatin: Gedung ini meski sekian besarnja, tapi belum tentu dapat dihuni orang
sekian banjaknja. Tentu mereka ini adalah musuh tuan rumah, apa benar-benar
mereka akan membunuh seisi rumah ini habis-habisan"
Didalam gelap remang-remang Toan Ki melihat orang-orang itu sama melototi
dirinja, ada jang pegang-pegang sendjatanja tanda menggertak.
Tapi Toan Ki bisa tenangkan diri, achirnja ia sampai disuatu ruangan besar jang
berdjendela pandjang, didalam ruangan tampak sinar lampu terang-benderang.
Toan Ki mendekati deretan djendela pandjang itu, lalu berseru lantang: Tjayhe
Toan Ki, ada urusan mohon bertemu tuan rumah!
Siapa" Gujur masuk! suara seorang tua jang serak membentaknja.
Toan Ki mendjadi dongkol, ia dorong daun djende]a pandjang itu dan melangkah
masuk. Tapi ia mendjadi kaget melihat didalam ruangan penuh dengan orang pula,
ada jang berdiri, ada jang berduduk, sedikitnja 17-18
orang. Di tengah-tengah seorang wanita badju hitam berduduk mungkur, muka
menghadap kedalam, maka wadjahnja tidak kelihatan. Tapi dari perawakannja jang
tampak langsing, rambutnja hitam gelap berkonde tjiodah, terang dandanan seorang
gadis remadja. Ketjuali itu, disana-sini ada lagi belasan orang laki-laki dan
perempuan, ada pula dua Hwesio dan tiga Tosu.
Diantara orang-orang itu ketjuali seorang kakek jang berduduk diatas kursi malas
disudut timur sana dan seorang nenek serta kedua Hwesio, jang bertangan kosong,
selebihnja setiap orang bersendjata semua. Didepan nenek itu menggeletak
seseorang, lehernja luka terbatjok, dan sudah mati.
Segera Toan Ki dapat mengenali sebagai Tjiong Hok, itu hamba tua jang membawanja
kesini untuk pindjam kuda itu.
Meski Toan Ki baru kenal orang tua itu, tapi ia merasa orang sangat sopan dan
menghormat pada dirinya. Ia mendjadi sedih dan gusar melihat nasib hamba tua
jang malang itu, terutama bila mengingat dirinja jang menjebabkan kematiannja
itu. Untuk apa kau datang kesini" dengan suara serak si kakek tadi membentak pula.
Meski antero rambut kakek ini sudah beruban, tapi djanggutnja ternjata halus
kelimis tiada seudjung djenggotpun.
Sedari melangkah masuk tadi, Toan Ki sudah ambil keputusan: Sekali sudah masuk
sarang harimau, kalau bisa loloskan diri, itulah paling baik.
Kalau tak bisa, tiada gunanja djuga banjak bitjara dengan manusia-manusia jang
tampak bengis dan djahat ini. Tapi sesudah melihat majat Tjiong Hok menggeletak
disitu, seketika malah menimbulkan djiwa kesatrianja jang bersemangat banteng,
dengan bersitegang segera ia mendjawab: Aku bernama Toan Ki. Rasanja Lotiang
(bapak tua) ada seorang jang terhormat, hanja karena kau lebih lama hidup
beberapa tahun, kenapa kau panggil orang Siautju segala setjara tak sopan"
Kedua alis kakek itu menegak, sinar matanja menjorot tadjam, sikapnja keren,
tapi tak mendjawab. Sebaliknja seorang laki-laki jang berdiri disebelahnja
lantas membentak: Bangsat ketjil, apa kau sudah bosan hidup, berani sembarang
mengotjeh! Loyatju ini sudi bitjara dengan kau, hal ini sudah untung bagimu, apa
kau kenal siapa Loyatju ini" Hm, matamu benar-benar buta!
Melihat lagak kakek ltu benar-benar lain dari jang lain, betapapun timbul djuga
sedikit rasa hormat Toan Ki, maka sahutnja: Akupun tahu Lotiang ini pasti bukan
orang sembarangan. Bolehkah mohon tanja siapakah nama Lotiang jang terhormat"
Belum lagi si kakek mendjawab, lelaki tadi sudah berkata pula: Baiklah, supaja
kau bisa mati dengan meram, dengarlah jang djelas. Loyatju ini adalah No-kangong, San-tjiang-tjoat-beng Tjin-loyatju!
San-tjiang-tjoat-beng" Toan Ki menegas, Seorang tua baik-baik, kenapa pakai
gelaran jang tak enak didengar itu" Dan kenapa di sebut No-kang-ong pula, Tjinloyatju. Kiranja No-kang-ong, siradja sungai mengamuk, San-tjiang-tjoat-beng atau tiga
kali pukulan melenjapkan njawa, nama lengkapnja adalah Tjin Goan-tjun. Tidak
sadja namanja mengguntjangkan daerah selatan, terhitung tokoh terkemuka dalam
dunia persilatan diwilajah Hunlam, bahkan disekitar lembah Hongho dan kedua tepi
sungai Yangtju, setiap djago silat djuga segan pada namanja.
Tak terduga, sesudah mendengar nama dan gelar itu, Toan Ki anggap sepele sadja,
sedikitpun tidak heran. Tentu sadja No-kang-ong, Sam-tjiang-tjoat-beng Tjin Goan-tjun sangat gusar.
Sedjak namanja terkenal, djarang ia mendapat tandingan, sekalipun lawan jang
berilmu silat lebih tinggi kalau mendengar namanja djuga akan tergetar,
sedikitpun tidak berani memandang enteng.
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa hakikatnja Toan Ki tidak pernah merantau
Kangouw, mengenai seluk-beluk kedjadian dunia persilatan, sedikitpun tak
diketahuinja, Djangankan nama Sam-tjiang-tjoat-beng Tjin Goan-tjun, sekalipun
gelar Sam-sian-su-ok, jaitu tokoh-tokoh tiga orang badjik dan empat manusia
djahat jang diagungkan dunia persilatan, djuga takkan membuatnja djeri.
Umumnja djago silat manapun djuga, dalam hal nama dipandangnja sangat penting.
Maka Tjin Goan-tjun menjangka perbuatan Toan Ki ini sengadja hendak menghina
dirinja, meski dalam hati sangat gusar, namun melihat sikap Toan Ki jang atjuhtak-atjuh, kalau bukan memiliki ilmu silat jang diandalkan, rasanja pasti tidak
berani begitu kurangadjar.
Karena menjangka Toan Ki pasti seorang djago sangat lihay, maka Tjin Goan-tjun
tjepat mentjegah dua orangnja jang hendak madju melabrak pemuda itu, lalu
tanjanja: Saudara dari golongan dan aliran mana" Siapa gurumu"
Untuk beladjar, kenapa rewel tentang golongan segala" sahut Toan Ki.Tjayhe tidak
masuk golongan dan aliran mana-mana, guruku khusus mejakinkan Kong-yang-tji-hak,
namanja kalau kukatakan djuga kau tidak kenal.
Meski ilmu silat Tjin Goan-tjun sangat tinggi, tapi dalam hal ilmu sastra
tentang Kong-yang-tji-hak segala, selama hidupnja tak pernah mendengar, maka ia
menjangka apa jang dikatakan Toan Ki itu tentunja sematjam ilmu sakti jang belum
pernah dilihatnja. Diam-diam ia merasa sjukur dirinja tidak gegabah bertindak,
maka ia bertambah hati-hati lagi menghadapi pemuda itu, tanjanja pula: Lalu
kedatangan saudara ini ada urusan apa"
Melihat Tjin Goan-tjun makin sungkan pada Toan Ki, semua orang jang hadir disitu
mendjangka djuga pemuda itu pasti seorang tokoh silat pendaman.
Maka terdengar Toan Ki mendjawab: Kedatangan Tjayhe kesini adalah ingin
menjampaikan sesuatu kabar pada tuan rumah.
Kabar apa" tanja Tjin Goan-tjun.
Toan Ki menghela napas dulu, lalu sahutnja: Kedatanganku sudah terlambat,
kukatakan atau tidak kabar itu, sama sadja.
Menyampaikan kabar apa" Lekas katakan! desak Tjin Goan-tjun lagi Nadanja makin
bengis. Kalau sudah berhadapan dengan tuan rumah, dengan sendirinja akan kukatakan, apa
gunanja bitjara padamu" sahut Toan Ki.
Tjin Goan-tjun tertawa dingin, selang sedjenak, ia berkata pula: Kau ingin
bitjara berhadapan dengan tuan rumah" Baiklah, tak usah kau katakan, biar
sebentar lagi kalian berdua boleh bertemu sadja diacherat.
Jang manakah adalah tuan rumah" tanja Toan Ki.Tjayhe ingin menjampaikan terima
kasih telah diberi pindjam kuda.
Karena pertanjaan itu, sorot mata semua orang disitu lantas beralih kepada nona
badju hitam jang duduk mungkar tadi.
Toan Ki terkesiap: Apakah nona inilah pemilik rumah ini" Seorang gadis lemah
seperti dia telah kena dikepung musuh sebanjak ini, tampaknja djiwanya susah
diselamatkan. Dalam pada itu terdengarlah wanita badju hitam telah berkata: Kau diberi pindjam
kuda adalah karena aku memandang muka orang lain, perlu apa terima kasih segala"
Kau tidak lekas2 pergi menolong orang, buat apa kembali kesini" Sembari bitjara
mukanja tetap menghadap kedalam tanpa menoleh.
Maka Toan Ki mendjawab: Tjayhe menunggang simawar hitam, sampai ditengah djalan
telah disergap musuh jang salah sangka Tjayhe sebagai nona serta ditjatji-maki.
Tjayhe merasa kurang enak, maka sengadja balik kesini untuk memberi kabar pada
nona. Kabar apa" tanja wanita itu, nadanja njaring merdu, tapi sedikitpun tidak
membawa rasa simpatik, hingga bagi jang mendengarkan, rasanja tidak enak, seakan2 wanita ini sudah terasing dari dunia ramai, sedikitpun tidak perduli
terhadap segala apa didunia ini, seperti orang adalah musuh besarnja, kalau bisa
setiap orang akan dibunuhnja habis.
Tentu sadja Toan Ki rada mendongkol oleh nada djawaban orang. Tapi lantas
teringat olehnja bahwa wanita itu sudah djatuh ditengah kepungan musuh,
keadaannja sangat berbahaja, kalau pikirannja mendjadi gopoh, takbisa djuga
salahkan dia. Karena itu, timbul djuga rasa solider Toan Ki.
Maka dengan ramah ia mendjawab: Tjayhe pikir kedua orang djahat itu akan bikin
susah nona, untuk mana tentunja nona belum tahu, maka sengadja memburu kembali
untuk memberi kabar agar sebelumnja nona menjingkir. Tak terduga toh tetap
terlambat, musuh sudah tiba lebih dulu, sungguh aku menjesal.
Begini baik kau sengadja mendjilat aku, sebenarnja apa maksud tudjuanmu" tanja
wanita itu dingin. Toan Ki mendjadi naik darah, sahutnja keras: Tjayhe selamanja tidak kenal nona,
tjuma mengetahui ada orang hendak bikin susah padamu, masakan aku bisa berpeluk
tangan diam sadja" Kata2 mendjilat itu entah darimana bisa nona katakan"
Apakah kau kenal siapa aku" tanja wanita itu.
Tidak sahut Toan Ki. Kudengar tjerita Tjiong Hok, katanja sama sekali kau tidak bisa ilmu silat, tapi
berani mendamperat terang2an dihadapan Tjiong-koktju. njalimu benar2 tidak
ketjil, tapi kau djusteru sudah terlibat dalam kedjadian ini, apa kehendakmu
sekarang" Sebenarnja sehabis menjampaikan berita ini, segera akan pulang kerumah
setjepatnja, sahut Toan Ki. Ia menghela napas, lalu menjambung: Tapi tampaknja
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nona bakal tjelaka dan akupun tak terhindar dari malapetaka.
Tjuma entah tjara bagaimana nona bisa bermusuhan dengan orang2 ini"
Berdasarkan apa kau berani tanja padaku" sahut wanita itu mendjengek.
Kembali Toan Ki tertjengang, tapi segera katanja: Urusan pribadi orang,
memangnja aku tidak pantas menanja. Baiklah, aku sudah menjampaikan kabar
padamu, selesailah kewadjibanku.
Tentunja kau tidak menduga djiwamu bakal melajang disini, bukan" Apa kau
menjesal" tanja siwanita.
Mendengar kata2 orang itu bernada menjindir, kontan Toan Ki mendjawab: Perbuatan
seorang Taytianghu (laki2 sedjati), asal demi kebaikan sesamanja, kenapa mesti
menjesal" Hm, hanja matjam kau ini djuga berani mengaku sebagai laki2 sedjati"
djengek wanita badju hitam itu.
Gagah kesatria atau bukan, masakan ditentukan dalam hal tinggi-rendahnja ilmu
silat" sahut Toan Ki aseran. Sekalipun ilmu silatnja tiada tandingan dikolong
langit, kalau kelakuannja rendah memalukan djuga takbisa disebut sebagai
Taytianghu! Tjin-losiangsing, tiba2 wanita badju hitam itu berpaling pada Tjin Goan-tjun,
kau dengar tidak utjapan Toan-ya ini" Kelakukan kalian ini rasanja tidak bisa
dikatakan terang2an, bukan"
Perempuan hina, mendadak nenek jang duduk disamping Tjin Goan-tjun itu memaki:
apa kau hendak mengulur tempo terus" Bangkitlah untuk bertempur
...... Usiamu sudah landjut begini, ingin mampus djuga tidak perlu buru2, sahut
Tengkorak Maut 9 Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Seruling Samber Nyawa 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama