Ceritasilat Novel Online

Pendekar Negeri Tayli 6

Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong Bagian 6


perak dari kebut itu seakan-akan bertenaga zemberani, kedua panah itu kena
dibungkus semua oleh hulu kebut.
Kau pernah apanja Siu-lo-to Tjin Ang-bian" tiba-tiba To-koh itu membentak.
Apa itu Siu-lo-to Tjin Ang-bian segala" Aku tak pernah dengar! sahut Wan-djing.
Melihat wadjah si To-koh jang putjat pasi saking marahnja itu, tjepat Toan Ki
menghiburnja: Engkau djanganlah marah, ibu!
Apa katamu, dia ibumu" djerit Wan-djing terkedjut oleh utjapan Toan Ki itu.
Sungguh ia tidak pertjaja akan telinganja sendiri.
Emangnja tadi aku sudah memanggil-manggil ibu, masakah kau tak dengar"
sahut Toan Ki tertawa. Lalu ia berpaling pada si To-koh dan berkata: Mak, inilah
nona Bok Wan-djing, selama beberapa hari ini anak banjak menghadapi bahaja dan
ketemukan orang djahat, tapi berkat pertolongan nona Bok ini, djiwa anak masih
selamat sampai sekarang. Pada saat itulah tiba-tiba dari sana terdengar seorang lagi berteriak-teriak:
Yau-toan-siantju, Ya-toan-siantju! Engkau harus hati-hati, ini adalah satu
diantara Su-ok! Kiranja jang datang ini adalah Tju Tan-sin jang ketinggalan dibelakang tadi.
Sesudah dekat dan melihat wadjah si To-koh rada aneh, ia sangka orang telah
ditjederai oleh In Tiong-ho, dengan kuatir segera ia menanja: Yau-toan-siantju,
apa engkau engkau sudah bergebrak dengan dia"
Tiba-tiba In Tiong-ho bergelak ketawa, serunja: Sekarang dimulai djuga belum
terlambat! ~ Habis berkata, ia terus berdiri diatas pelana kuda.
Dasar perawakan In Tiong-ho sudah djangkung, berdiri lagi diatas kuda, karuan
mirip tiang bendera menegak. Sekonjong-konjong tubuhnja mendojong kedepan, ia
gantol pelana kuda dengan kaki kanan, kedua tjakar badjanja terus menggaruk
kearah si To-koh alias Yan-toan-siantju.
Tjepat Yan-toan-siantju berkelit dan mengisar kesisi kiri kuda, sekali kebutnja
menjabet, segera kaki kiri In Tiong-ho diintjar.
Sama sekali In Tiong-ho tidak menghindar, sebaliknja ia masih ulur tjakar badja
sebelah kiri untuk mentjengkeram punggung si To-koh. Tapi tjepat sekali To-koh
itu mendak tubuh terus menerobos lewat dibawah perut kuda, menjusul kebutnja
mengebas, beratus ribu benang perak jang kemilauan terus menantjap kekaki kanan
lawan. Namun kaki kanan In Tiong-ho segera melangkah madju, ia berdiri diatas kepala
kuda dengan enteng, dari tempat jang lebih tinggi itu kembali ia menjerang,
tjakar badja kanan terus menjerampang.
Turun! tiba-tiba Tju Tan-sin membentak terus ikut menerdjun kekalangan
pertempuran. Mendadak iapun melompat keatas bokong kuda, dari situ ia lantas
memukul pinggang lawan dengan kepalan kiri, sedangkan kipas ditangan kanan
berbareng menutuk kaki. Sendjata jang dipakai Tju Tan-sin sangat pendek dan sangat menguntungkan untuk
bertempur dari djarak dekat.
Tjepat In Tiong-ho menangkis dengan tjakar sebelah kiri, berbareng tjakar badja
jang lebih pandjang itu ditjengkeramkan kedepan. Namun dengan tjepat Yan-toansiantju sudah tarik kembali kebutnja terus menjabet pula kekaki lawan.
In Tiong-ho benar-benar sangat lihay, biarpun dikerojok dua, ia masih dapat
memainkan sepasang tjakar badannja dengan kentjang, sedikitpun tidak terdesak
dibawah angin. Melihat orang berdiri diam diatas kuda, kedudukannja lebih
menguntungkan. Segera Bok Wan-djing bidikan sebatang panah ketjil hingga
menantjap dimata kiri kuda itu. Ratjun panahnja itu sangat lihay, begitu masuk
dimata, seketika binatang itu roboh binasa.
Pada saat itu djuga kebut Yan-toan-siantju sudah dapat menggubet sebelah tjakar
badja lawan, berbareng Tju Tan-sin ikut merangsang madju dan menjerang tiga kali
be-runtun2. Huh, bangsat2 Tayli hanja pintar main kerojokan sadja! damperat In Tiong-ho
sambil menjerang kekanan dan kekiri, lalu ia melajang keatas pagar tembok dan
melarikan diri. Karena kedua sendjata tergubat mendjadi satu, Yau-toan-siantju dan In Tiong-ho
saling betot sekuatnja. Meski tenaga dalam In Tiong-ho lebih kuat dari lawannja,
tapi karena sebagian tenaganja harus dipakai menangkis serangan kipas badja Tju
Tan-sin, pula mesti ber-djaga2
serangan panah beratjun dari Bok Wan-djing, maka ia tak kuat lagi memegangi
sendjatanja itu, sekali tergetar, tjakar badja dan kebut pertapaan mentjelat
keudara berbareng. Namun sekali tangan kiri Yau-toan-siantju mengajun, tahu2 seutas selendang
sutera jang melibat dipinggangnja telah ditarik dan disabetkan pula.
Huh, bangsat2 dari Tay-li-kok hanja pintar main kerojok sadja! damperat In
Tiong-ho. Ia insaf takkan bisa menang lagi, sekali tutul kakinja diatas pelana
kuda, setjepat panah orangnja terus melesat keluar, sekali tjakar badja jang
masih ketinggalan itu menggantol pagar tembok, orangnja terus mengapung keatas
dan sekali berdjumpalitan, menghilanglah keluar.
Pada waktu jang sama Bok Wan-djing telah membidikkan pula sebatang panah, tapi
toh masih kalah tjepat, plok, panah itu menantjap diatas pagar tembok, sedang In
Tiong-ho sudah lenjap bajangannja. Menjusul mana terdengarlah suara gemerantang
jang njaring, kebut dan tjakar badja djatuh ketanah bersama. Diam2 Yau-toansiantju saling pandang dengan Tju Tan-sin dan Bok Wan-djing, mereka terpesona
oleh ketjepatan In Tiong-ho jang luar biasa itu.
Selang sedjenak, barulah Tju Tan-sin membuka suara: Yau-toan-siantju, kalau
bukan engkau turun tangan, hari ini Tan-sin pasti sudah tewas ditangannja.
Yau-toan-siantju tersenjum, sahutnja: Sudah belasan tahun tidak pakai sendjata,
sudah kaku rasanja. Tju-hiati, siapakah sebenarnja orang tadi ini"
Kabarnja Su-tay-ok-djin (empat orang maha djahat) telah datang ke Tayli semua,
orang tadi adalah nomor empat dari Su-tay-ok-djin itu. Tapi ilmu silatnja sudah
begini tinggi, maka tiga orang jang lain tak usah ditanja lagi, demikian sahut
Tan-sin. Maka lebih baik engkau menghindarinja sementara ke Onghu sadja sampai
nanti kalau keempat durdjana itu sudah dibereskan.
Wadjah Yau-toan-siantju rada berubah, sahutnja kurang senang: Guna apa aku
pulang ke Onghu (istana pangeran)" Kalau Su-tay-ok-djin datang semua dan aku tak
bisa melawannja, biarlah aku terima nasib sadja.
Tju Tan-sin ternjata sangat menghormat pada paderi wanita itu, ia tidak berani
bitjara lagi, sebaliknja berulang kali mengedipi Toan Ki agar pemuda itu ikut
membudjuk. Maka berkatalah Toan Ki: Mak, keempat durdjana itu benar2 terlalu djahat dan
kedjam, djika kau tidak mau pulang, marilah kita pergi ketempat Pekhu (paman)
sadja! Tidak, aku tidak mau sahut Yau-toan-siantju sambil menggeleng, matanja lantas
memberambang se-akan2 meneteskan air mata.
Kalau ibu tidak mau pulang, biarlah aku menemani engkau disini, udjar Toan Ki.
Lalu katanja pada Tju Tan-sin: Tju-toako, harap kau suka laporkan pada Empek dan
ajahku, katakan bahwa kami ibu dan anak tetap tinggal disini untuk melawan musuh
bersama. Yau-toan-siantju mendjadi tertawa, katanja: Tidak malu, kepandaian apa jang kau
miliki, berani bilang akan melawan musuh bersama aku" ~ walaupun ia tertawa geli
karena kelakuan Toan Ki itu, namun tidak urung air matanja jang mengembeng
dikelopak matanja itu menetes djuga, lekas2 ia berpaling dan mengusap air
matanja dengan lengan badju.
Diam2 Bok Wan-djing heran: Kenapa ibu Toan-long adalah seorang paderi"
Dan dengan perginja In Tiong-ho itu, tentu selekasnja akan datang pula bersama
tiga orang kawannja, lalu ibunja apa sanggup melawannja" Tapi dia sudah bertekad
tak mau menjingkir pergi. Ah, tahulah aku! Memang laki2
didunia ini berhati palsu semua, pasti ajahnja Toan-long punja kekasih baru
lagi, hingga ibunja marah, terus tirakat menjutjikan diri. ~
Berpikir demikian, ia mendjadi solider pada Yau-toan-siantju, katanja segera:
Yau-toan-siantju, biar aku membantu kau melawan musuh.
Yau-toan-siantju meng-amat2i paras Bok Wan-djing sedjenak, mendadak ia menanja
dengan suara bengis: Kau harus mengaku terus terang, sebenarnja
'Siu-lo-to' Tjin Ang-bian itu pernah apamu"
Bok Wan-djing mendongkol djuga oleh sikap orang, sahutnja: Bukankah sudah
kukatakan bahwa selamanja aku tidak pernah kenal nama itu. Apakah Tjin Ang-bian
itu laki2 atau perempuan, manusia atau chewan, sama sekali aku tidak tahu.
Baru sekarang Yau-toan-siantju mau pertjaja, sebab kalau gadis ini adalah sanak
keturunan Siu-lo-to, tidak mungkin berkata tentang chewan segala. Maka sikapnja
berubah ramah kembali, katanja dengan tersenjum: Nona djangan marah, soalnja
karena tadi aku melihat tjara kau melepaskan panah sangat mirip seorang wanita
jang kukenal, parasmu djuga rada memper, maka timbul rasa tjurigaku. Nona Bok,
siapakah nama kedua orang tuamu" Ilmu silatmu sangat bagus, tentu djuga keluaran
perguruan ternama! Bok Wan-djing menggeleng kepala, sahutnja: Sedjak ketjil aku sudah piatu, Suhu
jang membesarkan aku. Maka aku tidak tahu siapa2 ajah-bundaku.
Djika begitu, siapakah gerangan gurumu itu" tanja Yau-toan-siantju lagi.
Guruku bernama 'Bu-beng-khek' sahut Wan-djing.
Namanja Bu-beng-khek" Yau-toan-siantju mengulangi nama itu sambil merenung
sedjenak, kemudian ia pandang Tju Tan-sin dengan maksud menanja apakah kenal
akan nama itu. Tapi Tju Tan-sin menggojang kepala, katanja: Tan-sin tinggal terpentjil didaerah
selatan, sempit pengalamannja, maka banjak kaum kesatria gagah di Tionggoan
tidak dikenalnja. Tjianpwe 'Bu-beng-khek' itu tentunja seorang kosen jang
mengasingkan diri dipegunungan sunji.
Tengah berbitjara, tiba2 diluar sana ramai dengan suara derapan kuda, dari djauh
ada seorang sedang berseru menanja: Site, Kongtjuya baik2
bukan" Ja, Toako, Kongtjuya tidak kurang suatupun apa! sahut Tan-sin.
Hanja sebentar sadja, empat penunggang kuda sudah berhenti didepan Djing-hoakoan, Bu-sian-tio-to, Djay-sin-khek dan Tiam-djong-san-long bertiga tampak
masuk, terus menjembah kehadapan Yau-toan-siantju.
Sedjak ketjil Bok Wan-djing dibesarkan dipegunungan sunji, ia mendjadi heran
melihat tata-krama jang ber-tele2 itu, pikirnja: Orang2 ini sangat hebat ilmu
silatnja, mengapa melihat seorang wanita lantas menjembah semua"
Melihat keadaan ketiga orang itu rada runjam, muka Tiam-djong-san-long, sipetani
dari pegunungan Tiam-djong, tampak terluka pula hingga perlu dibalut, Djay-sinkhek, situkang kaju, badannja djuga berlepotan darah, sedang alat pantjing Busian-tio-to, situkang pantjing dari danau Busian, sudah terkutung sebagian, maka
tjepat Yau-toan-siantju menanja: Bagaimana, apa musuh terlalu hebat" Parah tidak
lukanja Su-kui" Tang Su-kui adalah nama Tiam-djong-san-long, sipetani.
Mendengar pertanjaan itu, matanja se-akan2 berapi saking penasarannja, sahutnja
keras2: Su-kui pertjuma beladjar, sungguh memalukan hingga Onghui mesti ikut
berkuatir. Kau sebut aku Onghui apa segala" kata Yau-toan-siantju dengan pelahan.
Rupanja ingatanmu begitu djelek, ja
Seketika Tang Su-kui menunduk, sahutnja: Ja, harap Onghui memaafkan!
Walaupun mengaku salah tapi mulutnja tetap menjebut Onghui atau isteri pangeran.
Rupanja panggilan itu sudah terlalu biasa diutjapkan hingga susah disuruh
berubah. Dimanakah Ko-houya" Kenapa tidak ikut datang " demikian Tan-sin menanja.
Houya berada diluar, ia terluka dalam sedikit, tidak leluasa untuk turun dari
kudanja, sahut Bu-sian-tio-to, sinelajan, jang bernama Leng Djian-li.
Ah, djadi Houya djuga terluka" Ap ... apa parah" seru Yau-toan-siantju
terkedjut. Ko-houya tadi mengadu tenaga dengan Lam-hay-gok-sin, dalam keadaan tak
terpisahkan, se-konjong2 Yap Dji-nio menjerangnja dari belakang hingga
punggungnja kena digablok sekali, tutur Leng Djian-li.
Setelah ragu2 sedjenak, mendadak Yau-toan-siantju menarik Toan Ki dan mengadjak:
Marilah, Ki-dji, kita keluar mendjenguk Ko-sioksiok.
Segera mereka berdua mendahului keluar diikut empat tokoh Hi-djiau-keng-dok atau
sinelajan, situkang kaju, sipetani dan sipeladjar. Begitu pula Bok Wan-djing
mengikut keluar. Benar djuga segera nampak Sian-tan-hou Ko Sing-thay tengkurap diatas kudanja,
badju dibagian punggung tampak robek dan djelas kelihatan bekas telapak tangan.
Tjepat Toan Ki memburu madju dan menanja: Ko-sioksiok, bagaimanakah keadaanmu"
Waktu Ko Sing-thay mendongak dan nampak Yau-toan-siantju berdiri didepan pintu,
tjepat ia meronta turun dari kuda untuk memberi hormat.
Ko-houya, kau terluka, tidak perlu banjak adat lagi, kata Yau-toan-siantju.
Namun Ko Sing-thay sudah menjembah ditanah dari djauh serta berkata: Sing-thay
menjampaikan salam bakti kepada Onghui!
Ki-dji, lekas kau memajang bangun Ko-sioksiok! seru Siantju segera.
Diam2 Bok Wan-djing bertambah tjuriga, pikirnja: Ilmu silat orang she Ko ini
sangat lihay, dengan serulingnja jang pendek itu, hanja beberapa gebrak sadja
sudah kalahkan Yap Dji-nio, tentu dia sangat terkemuka didunia persilatan, tapi
kenapa melihat ibunja Toan-long, ia mendjadi begitu menghormat serta menjebutnja
Onghui" Apa mungkin Toan-long adalah
..... adalah Ongtju (putera pangeran) segala" Tapi, ah, seorang peladjar ketolol2an seperti dia masakah mirip seorang Ongtju apa"
Dalam pada itu terdengar Yau-toan-siantju lagi berkata: Djika Ko-houya terluka,
silahkan segera pulang Tayli untuk merawat dirimu.
Ko Sing-thay mengia sambil berbangkit. Tapi segera katanja pula: Sutay-ok-djin
telah datang ke Tayli semua, keadaan sangat berbahaja, harap Onghui suka pulang
istana untuk menghindarinja sementara.
Yau-toan-siantju menghela napas, sahutnja: Selama hidupku ini takkan pulang
kesana lagi. Djika begitu, biarlah kita tinggal mendjaga diluar Djing-hoa-koan ini, udjar
Sing-thay. Lalu ia berpaling pada Tang Su-kui dan berkata: Su-kui, kembalilah
kau dan lekas laporkan pada Hongsiang dan Ongya.
Su-kui mengia terus mentjemplak keatas kudanja. Meski lukanja tidak ringan, tapi
gerak-geriknja masih sangat tjekatan.
Nanti dulu ! tiba2 Yau-toan-siantju mentjegah. Ia menunduk memikir.
Sorot mata semua orang terpusatkan pada dirinja, tapi dari air muka Siantju jang
ber-ubah2 itu, terang dia lagi menghadapi pertentangan batin jang serba sulit.
Selang agak lama, mendadak ia menengadah dan berkata: Baiklah, marilah kita
pulang ke Tayli semua, tidaklah patut kalau melulu untuk diriku mesti bikin
semua orang tinggal disini.
Karuan Toan Ki berdjingkrak saking girang, terus sadja ia peluk sang ibu dan
berkata: Beginilah memang ibuku jang baik!
Biar kupergi memberi kabar dulu! seru Su-kui terus keprak kudanja.
Dalam pada itu Leng Djian-li sudah lantas bawakan kuda untuk Yau-toan-siantju,
Toan Ki dan Bok Wan-djing.
Begitulah be-ramai2 mereka lantas berangkat ke Tayli. Yau-toan-siantju, Toan Ki,
Wan-djing dan Sing-thay berempat menunggang kuda, sedang Busian-tio-to Leng
Djian-li, Djay-sin-khek Siau Tiok-sing dan Pit-bek-seng Tju Tan-sin mengikuti
dengan djalan kaki. Tidak djauh, dari depan tampak datang seregu pasukan berkuda negeri Tayli. Leng
Djian-li memberi tanda kepada komandan pasukan itu serta berkata beberapa ketjap
padanja. Segera komandan pasukan itu memberi perintah, semua peradjurit melompat
turun dari kuda serta menjembah ditanah. Toan Ki memberi tanda dan berkata:
Silahkan berdiri, tak usah banjak adat!
Segera komandan pasukan itu membawakan tiga ekor kuda lain untuk Leng Djian-li
bertiga. Lalu ia pimpin pasukannja mendahului membuka djalan.
Melihat suasana jang luar biasa itu, Bok Wan-djing menduga Toan Ki pasti bukan
orang biasa, tiba2 ia mendjadi kuatir: Semula kusangka dia hanja seorang
peladjar jang miskin, makanja aku pasrahkan diriku padanja. Tapi melihat
gelagatnja ini, kalau bukan sanak-keluarga keradjaan, tentu dia adalah pembesar
negeri, bukan mustahil aku akan dipandang hina olehnja.
Suhu pernah berkata bahwa semakin laki2 itu kaja dan berpangkat, semakin tidak
punja Liangsim, tjari isteri djuga mesti minta jang sederadjat. Hm, hm,
sjukurlah bila dia tetap memperisterikan daku dengan baik, kalau tidak, ragu2
dan matjam2, ha, lihatlah kalau aku tidak batjok kepalanja, peduli apakah kau
keluarga radja atau pembesar negeri!
Dan karena berpikir begitu, ia takbisa tahan perasaannja lagi, segera ia keprak
kudanja mendjadjari Toan Ki terus menanja: He, sebenarnja siapakah kau" Apa jang
kita tetapkan diatas gunung itu masih tetap berlaku tidak"
Melihat didepan umum sigadis terang2an menegur padanja tentang urusan
perdjodohan, keruan Toan Ki mendjadi kikuk, sahutnja dengan tersenjum: Setelah
sampai dikota Tayli, pelahan2 tentu akan kudjelaskan padamu.
Awas kalau kau mengingkari aku............... aku......... berkata sampai
disini, suaranja mendjadi ter-guguk2 dan takbisa diteruskan lagi.
Melihat wadjah sigadis ke-merah2an menahan isak tangis, air matanja mengembeng
ber-kilau2 hingga makin menambah tjantiknja, rasa tjinta Toan Ki mendjadi berkobar2, katanja dengan lirih: Wan-djing, djanganlah kau kuatir, lihatlah, ibuku
djuga sangat suka padamu.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seketika dari menangis Bok Wan-djing berubah tertawa, sahutnja pelahan: Ibumu
suka atau tidak suka padaku, aku tidak urus! ~ dibalik kata2nja ini se-akan
menjatakan: asal kau suka padaku, sudahlah tjukup.
Tentu sadja perasaan Toan Ki terguntjang, waktu ia berpaling kearah ibunja, ia
lihat Yau-toan-siantju lagi memandang kepada mereka dengan paras jang tertawatidak-tertawa. Karuan Toan Ki medah djengah.
Mendjelang petang, kira2 masih 30 li diluar kota Taylil, tiba2
kelihatan debu mengepul tinggi didepan sana, sepasukan tentera jang berdjumlah
beberapa ratus orang mendatangi dengan tjepat. Dua buah pandji kuning djingga
tambak ber-kibar2, jang sebuah tertulis dua huruf sulam Tin-lam dan jang lain
Po-kok (menduduki selatan dan membela negara).
Segera Toan Ki berseru: Mak, ajah sendiri datang memapak engkau!
Yau-toan-siantju hanja mendengus sekali terus memberhentikan kudanja.
Ko Sing-thay dan lain2 lantas turun dari kuda dan berdiri dipinggir djalan.
Sedang Toan Ki segera keprak kudanja kedepan. Bok Wan-djing ragu2
sedjenak, tapi tjepat iapun keprak kudanja menjusul.
Tidak lama, pasukan itu sudah dekat, segera Toan Ki berseru: Tiatia (ajah), ibu
telah kembali! Maka tampaklah dari tengah pasukan itu muntjul seorang berdjubah kuning
menunggang seekor kuda putih jang tinggi besar sekali, datang2 terus membentak:
Ki-dji, kau terlalu bandel hingga Ko-sioksiok ikut terluka parah, lihatlah nanti
kalau aku tidak hadjar patah kedua kakimu!
Bok Wan-djing mendjadi kaget, pikirnja: Hm, kedua kaki Toan-long hendak kau
patahkan" Tidak bisa, pasti aku akan merintangi, biarpun kau adalah ajahnja! ~
Ia lihat orang berdjubah kuning itu bermuka lebar, sikapnja sangat gagah keren,
alis lebat, mata besar, mempunjai wibawa sebangsa radja atau pangeran. Meski
utjapannja tadi kedengarannja bengis, tapi melihat sang putera telah pulang
dengan selamat, air mukanja lebih banjak girangnja daripada gusarnja.
Diam2 Wan-djing membatin: Untung paras Toan-long lebih banjak mirip ibunja,
kalau matjam kau jang garang bengis begini, tentu aku takkan suka.
Ia lihat Toan Ki sudah memapak madju sambil berkata dengan tertawa: Tia, engkau
baik2 sadja bukan" Baik, hitung2 tidak mati gusar oleh perbuatanmu! sahut orang berdjubah kuning
itu dengan marah. Tapi kalau bukan anak keluar rumah, ibu tentu djuga takbisa diadjak pulang.
Djasa anak ini rasanja bolehlah mengimbangi kesalahanku, harap ajah djangan
gusar lagi, demikian kata Toan Ki dengan tertawa.
Seumpama aku tidak hadjar kau, Empekmu pasti djuga tidak bisa mengampuni kau,
udjar sibadju kuning. Dan sekali ia kempit kudanja, setjepat terbang kuda
putting ia lantas mentjongklang kearah Yau-toan-siantju.
Melihat peradjurit pasukan itu semua berlapis badja jang mengkilap dengan
sendjata lengkap, 20 orang dibaris depan membawa pandji dan papan jang bertjat
emas bentuk naga dan harimau, diatas salah sebuah papan merah itu tertuliskan
tanda pangkat ajah Toan Ki sebagai Po-kok-tay-tjiang-kun atau panglima besar
pembela negara dan papan lain tertulis gelar bangsawannja sebagai Tin-lam-ong
she Toan dari negeri Tayli.
Meski biasanja Bok Wan-djing tidak takut langit dan tak gentar pada bumi, tapi
menjaksikan perbawa barisan jang angker itu, mau-takmau ia harus prihatin djuga.
Tiba2 tanjanja pada Toan Ki: He, apakah Tin-lam-ong, Po-kok-tay-tjiang-kun ini
adalah ajahmu" Toan Ki mengangguk, sahutnja dengan lirih: Dan adalah ajah mertuamu pula.
Sesaat itu Bok Wan-djing mendjadi ter-mangu2 diatas kudanja dengan rasa hampa.
Habis itu, ia keprak kudanja mendjadjari Toan Ki pula. Disekitar djalan besar
itu penuh dengan orang, tapi ia merasa hampa dan sepi tak terkatakan, ia
mendjadi lega bila berdampingan dengan Toan Ki.
Sementara itu Tin-lam-ong tampak sudah berhadapan dengan Yau-toan-siantju, kedua
orang saling pandang kian-kemari, tapi tiada satupun jang mulai bitjara.
Mak, ajah sendiri datang menjambut kau, seru Toan Ki segera.
Kau pergi katakan pada Pekbo (bibi) bahwa aku akan tinggal beberapa hari
ditempatnja, sesudah mengundurkan musuh, aku lantas kembali ke Djing-hoa-koan,
demikian kata Yau-toan-siantju.
Maka dengan mengiring tawa, Tin-lam-ong membuka suara: Hudjin, apakah kau masih
marah padaku" Marilah pulang dulu, nanti akan kuminta maaf padamu.
Yau-toan-siantju menarik muka, sahutnja: Tidak, aku tidak pulang, aku akan
keistana. Bagus, seru Toan Ki tertawa, kita keistana dulu untuk mendjumpai Pekhu dan
Pekbo. Mak, anak telah keluar kelujuran tanpa permisi, Pekhu tentu akan marah,
ajah terang tidak mau membela aku, maka mohon ibu suka mintakan ampun pada
Pekhu. Tidak, semakin besar semakin bandel kau, biar Pekhu memberi hadjaran setimpal
padamu, sahut Yau-toan-siantju.
Tapi kalau anak dihadjar, jang merasa sakit tentu ibu, maka lebih baik djangan
sampai dihadjar, kata Toan Ki dengan tjengar-tjengir aleman.
Yau-toan-siantju tertawa, katanja lagi: Tidak, semakin keras kau dihadjar,
semakin senang aku. Begitulah, suasana pertemuan kembali Tin-lam-ong dengan sang isteri itu
sebenarnja serba runjam, tapi karena banjolan Toan Ki itu, perasaan suami-isteri
itu seketika berasa bahagia.
Tia, tiba2 Toan Ki berseru pula, kudamu lebih bagus, kenapa tidak bertukar kuda
dengan ibu" Tidak, kata Yau-toan-siantju, terus keprak kudanja kedepan.
Segera Toan Ki memburunja dan menahan kuda sang ibu. Sementara itu Tinlam-ong
sudah turun dari kudanja serta menjusul. Dengan tertawa2 Toan Ki terus pondong
sang ibu keatas kuda putih ajahnja dan berkata: Mak, wanita setjantik engkau
mendjadi lebih aju lagi bila menunggang kuda putih ini.
Nonamu she Bok itu barulah benar2 tjantik tiada bandingannja, kau sengadja
mentertawai ibumu jang sudah nenek2 ini ja" sahut Siantju tertawa.
Baru sekarang Tin-lam-ong berpaling kearah Bok Wan-djing, tanjanja pada Toan Ki:
Ki-dji, siapakah nona ini"
Ia adalah ...... adalah nona Bok, ia adalah ..... adalah kawan baik anak, sahut
Toan Ki gelagapan. Melihat sikap puteranja itu, segera Tin-lam-ong tahu apa artinja itu.
Ia lihat Bok Wan-djing tjantik-molek, putih halus, diam2 ia harus memudji djuga
kepandaian puteranja jang pintar pilih pasangan itu. Tapi demi nampak sifat liar
Bok Wan-djing itu, sama sekali tidak memberi hormat atau menjapa, diam2 katanja
dalam hati: Kiranja adalah seorang gadis desa jang tidak kenal peradaban. ~ Ia
kuatirkan keadaan luka Ko Sing-thay, segera ia mendekatinja serta menanja dan
memeriksa urat nadinja. Hanja terluka sedikit, tidak apa2, djangan kau buang tenaga.................
demikian kata Ko Sing-thay. Namun Tin-lam-ong sudah lantas ulur djari telundjuk
kanan dan menutuk tiga kali dipunggung dan tengkuknja, berbareng telapak tangan
kiri menahan dipinggangnja.
Lambat laun tampak asap putih mengepul dari ubun2 Tin-lam-ong, selang sedjenak
lagi, barulah ia lepaskan tangan kirinja.
Sun-ko, bakal menghadapi musuh tangguh, buat apa kau membuang tenaga dalam
dirimu" udjar Ko Sing-thay.
Lukamu tidak enteng, lebih tjepat disembuhkan lebih baik, kalau dilihat Toako,
tanpa menunggu aku tentu dia akan turun tangan sendiri, sahut Tinlam-ong alias
Toan Tjing-sun. Melihat wadjah Ko Sing-thay jang tadinja seputjat majat itu, hanja dalam
sekedjap sadja sudah bersemu merah, lukanja sudah disembuhkan, diam2 Bok Wandjing sangat terkedjut: Kiranja ajah Toan-long memiliki Lwekang jang maha
tinggi, tapi kenapa............. kenapa dia sendiri tak bisa ilmu silat"
Sementara itu Leng Djian-li sudah bawakan seekor kuda lain untuk Tinlam-ong
serta meladeni pangeran itu naik keatas kuda. Tin-lam-ong keprak kudanja
berdjadjar dengan Ko Sing-thay dan mengadjaknja bitjara tentang kekuatan musuh.
Toan Ki djuga pasang omong dengan senangnja dengan sang ibu, ber-bondong2
pasukan tentara negeri Tayli itu berangkat kembali, hanja Bok Wan-djing jang
merasa kesepian karena tiada jang adjak omong.
Petangnja, rombongan sudah memasuki kota Tayli. Dimana pandji2
bertuliskan Tin-lam dan Po-kok tiba, disitu rakjat djelata lantas bersorak-sorai
memudji kebesaran panglima itu. Tin-lam-ong balas memberi tangan kepada rakjat
jang meng-elu2kannja itu, tampaknja ia sangat disukai oleh rakjat djelata.
Bok Wan-djing melihat kota Tayli itu sangat ramai, gedung berdiri disana-sini
dengan megah, djalan raja jang berlapiskan batu hidjau besar rata penuh rakjat
jang berlalu-lalang. Setelah melalui sebuah djalan kota, kemudian tampak didepan mendatar sebuah
djalan batu jang lempeng lebar, diudjung djalan itu tampak berdiri beberapa
istana berwarna kuning jang indah dengan katja jang kemilauan tersorot oleh
tjahaja matahari diwaktu sendja.
Rombongan itu sampai didepan sebuah gapura, semuanja lantas turun dari kuda. Bok
Wan-djing melihat diatas papan gapura itu tertulis empat huruf Tjip-to-kiongtju, artinja djalan menudju istana bidjaksana.
Bok Wan-djing pikir: Tentu inilah istana radja negeri Tayli. Pamannja Toan-long
tinggal didalam istana, agaknja kedudukannja sangat tinggi, kalau bukan
pangeran, tentu sebangsa panglima besar dan sebagainja.
Setelah lewat gapura itu, sampailah didepan istana radja Seng tju-kiong. Tiba2
seorang Thaykam (dajang kebiri) berlari keluar dengan tjepat, katanja sambil
menjembah: Lapor Ongya, Hongsiang dan Nionio (baginda radja dan permaisuri)
sedang menunggu di Onghu, silahkan Ongya dan Onghui pulang ke Tin-lam-onghu
untuk menghadap Hongsiang!
Tin-lam-ong mengia dengan girang. Begitu pula Toan Ki lantas berseru: Bagus,
bagus! Apanja jang bagus" omel Onghui dengan melototi sang putera, Biarlah aku tunggu
Nionio didalam istana sini.
Tapi Nionio memesan agar Onghui diharuskan menghadapnja sekarang djuga, beliau
ingin berunding sesuatu jang penting dengan Onghui, demikian segera Thaykam tadi
menutur. Ada urusan penting apa" Huh, tipu muslihat belaka! Yau-toan-siantju menggerundel
pelahan. Toan Ki tahu djuga, itulah rentjana jang sengadja diatur oleh Honghou
(permaisuri), sebab menduga ibunja tentu tak mau pulang istana pangeran, maka
sengadja menunggu di Tin-lam-onghu untuk mempertemukan kembali ajah-bundanja
disana. Maka iapun tidak banjak bitjara lagi, tjepat ia bawakan kuda untuk sang
ibu serta menaikkannja keatas kuda.
Rombongan segera putar balik keistana pangeran. Disana suasana tampak sangat
angker, pasukan pengawal berdiri dengan radjin memberi hormat atas pulangnja
Tin-lam-ong dan permaisuri. Tin-lam-ong mendahului masuk kepintu istana, tapi
Yau-toan-siantju masih ogah2an, begitu naik keatas undak2an, segera matanja
memberambang basah. Namun dengan setengah mendorong dan setengah menjeret Toan
Ki dapat mengiringkan sang ibu kedalam istana, lalu katanja: Tia, anak telah
mengadjak ibu pulang kerumah, djasa anak sebesar ini, hadiah apa jang akan ajah
berikan padaku" Saking senangnja, Tin-lam-ong menjahut: Kau boleh tanja ibumu, ibu bilang hadiah
apa, segera kuberikan. Kubilang paling tepat beri hadiah gebukan, kata Yau-toan-siantju dengan tertawa.
Toan Ki melelet lidah dan tak berani bitjara lagi.
Setelah ikut masuk ruangan pendopo, Ko Sing-thay dan lain2 tidak ikut masuk
lebih djauh. Kata Toan Ki kepada Wan-djing: Bok .... Bok-kohnio, silahkan kau
menunggu sebentar disini, setelah kuhadap Hongsiang, segera kudatang lagi.
Terpaksa Wan-djing mengangguk, walaupun dalam hati sangat berat ditinggal pemuda
itu. Tanpa peduli lagi ia terus duduk diatas kursi pertama jang tersedia disitu.
Sebaliknja Ko Sing-thay dan lain2 tetap berdiri, setelah Tin-lam-ong bertiga
masuk keruangan dalam, barulah Ko Sing-thay ambil tempat duduk, jang lain2 tetap
berdiri dengan tangan lurus tegak.
Bok Wan-djing tidak ambil pusing mereka itu, ia lihat didalam pendopo itu penuh
terhias pigura lukisan dan seni tulis, begitu banjak hingga dia bingung sendiri
melihatnja, apalagi memang banjak djuga huruf jang tak dikenalnja. Maklum gadis
gunung jang tak banjak makan sekolahan.
Tidak lama, seorang dajang membawakan teh, sambil setengah berlutut, dajang itu
angkat nampan tinggi2 menjuguhkan minuman itu kepada Bok Wan-djing dan Ko Singthay. Diam2 sigadis mendjadi heran mengapa hanja dirinja dan Ko Sing-thay jang
mendapat minum, sedang Tju Tan-sin dan lain2 tidak. Padahal djago2 itu ketika
menghadapi musuh dipuntjak gunung, perbawanja tiada terkatakan kerennja. Tapi
sampai didalam Tin-lam-onghu, mereka mendjadi begitu prihatin, sampai
bernapaspun tak berani keras2.
Sesudah lama ditunggu, ternjata Toan Ki belum djuga keluar, Wan-djing mendjadi
tak sabar, teriaknja tak peduli: Toan Ki, Toan Ki, kerdja apa kau didalam, lekas
keluar! Ruangan itu hening sunji, bahkan setiap orang berdiam dengan menahan napas, tapi
mendadak Bok Wan-djing menggembor, karuan mereka kaget. Tapi segera mereka
merasa geli djuga. Kata Ko Sing-thay: Harap nona Bok suka sabar, sebentar
Siauongya tentu akan keluar
Siauongya apa katamu" tanja Wan-djing.
Toan-kongtju adalah putera Tin-lam-ong, bukankah Siauongya (putera pangeran)
namanja" sahut Sing-thay.
Bok Wan-djing mendjadi heran, katanja kemak-kemik: Siauongya" Huh, peladjar ketolol2an begitu masakah memper seorang Ongya segala"
Apakah engkau inilah kaisar negeri Tayli" tanja Bok Wan-djing setjara blak2an
tanpa berlutut dan tidak menjembah.
Sedjenak kemudian, dari dalam keluarlah seorang Thaykam dan berseru: Titah
baginda: Sian-tan-hou dan Bok Wan-djing diperintahkan masuk menghadap!
Waktu melihat keluarnja Thaykam itu, Ko Sing-thay sudah lantas berdiri dengan
sikap menghormat. Tapi Bok Wan-djing sama sekali tak peduli, ia tetap duduk
ditempatnja dengan enaknja. Dan demi mendengar namanja disebut begitu sadja, ia
mendjadi kurang senang, omelnja pelahan: Masakan menjebut nona djuga tidak,
apakah namaku boleh sembarangan kau panggil"
Ko Sing-thay tersenjum, katanja segera: Marilah nona Bok, kita masuk menghadap
Hongsiang Biarpun Bok Wan-djing tidak pernah gentar pada siapa dan apapun djuga, tapi
mendengar akan menghadapi radja, tanpa merasa ia djadi merinding.
Terpaksa ia ikut dibelakang Ko Sing-thay, setelah menjusur serambi pandjang dan
menerobos beberapa ruangan lagi, achirnja sampailah disebuah ruangan besar jang
indah. Segera Thaykam tadi berseru sembari menjingkap kerai: Sian-tan-hou dan Bok Wandjing datang menghadap Hongsiang dan Nionio.
Ko Sing-thay mengedipi Bok Wan-djing agar mengikut tjaranja, lalu ia mendahului
masuk keruangan terus berlutut kehadapan seorang laki2 dan wanita agung jang
berduduk ditengah situ. Sebaliknja Wan-djing tidak ikut berlutut, bahkan ia
meng-amat2i laki2 jang berdjubah sulam kuning dan berdjenggot pandjang itu, lalu
menanja: Apakah engkau ini adalah Hongte (kaisar)".
Memang laki2 jang duduk di-tengah2 dengan agungnja ini adalah Toan Tjing-beng,
kaisar negeri Tayli sekarang jang bidjaksana dengan gelar Poting-te.
Tay-li-kok atau negeri Tayli itu berdiri sedjak djaman Ngotay, sudah bersedjarah
lebih 150 tahun. Po-ting-te sudah belasan tahun naik tachta, tatkala itu seluruh
negeri aman sentausa, rakjat hidup sedjahtera, negara makmur, rakjat subur.
Melihat Bok Wan-djing tidak berlutut, sebaliknja menanja apakah dirinja kaisar
atau bukan, Po-ting-te mendjadi geli malah, maka sahutnja: Ja, akulah kaisar.
Bagaimana, senang tidak pesiar dikota Tayli ini"
Begitu masuk kota aku lantas datang kemari, belum ada tempo untuk pesiar, sahut
sigadis. Biarlah besok Ki-dji mengadjak kau pesiar menikmati keindahan Tayli ini, udjar
Po-ting-te dengan tersenjum.
Baiklah, kata Wan-djing. Dan kau apa akan mengiringi kami djuga"
Mendengar itu, semua orang ikut tertawa geli. Namun Po-ting-te menoleh kepada
permaisurinja dan menanja: Honghou, dara ini minta kita mengiringi dia, kau
bilang bagaimana" Dengan tersenjum belum lagi permaisuri itu mendjawab, Bok Wan-djing sudah lantas
buka suara pula: Apakah engkau Honghou-nionio" Sungguh tjantik benar!
Po-ting-te ter-bahak2, serunja: Ki-dji, nona Bok ini sungguh polos dan kekanak2an, sungguh menarik.
Kenapa kau panggil dia Ki-dji" tiba2 Wan-djing menanja lagi. Empek (paman) jang
sering dia sebut itu apakah engkau adanja" Kali ini dia berkelujuran keluar, dia
sangat takut dimarahi olehmu. Harap kau djangan menghadjar dia, ja"
Sebenarnja aku akan persen dia 50 kali rangketan, sahut Po-ting-te dengan
tertawa. Tapi kau telah minta ampun baginja, baiklah kuampuni dia.
Nah, Ki-dji, tak lekas kau menghaturkan terima kasih pada nona Bok"
Melihat Bok Wan-djing membikin baginda sangat senang, Toan Ki bergirang djuga,
ia tjukup kenal watak sang paman jang suka turut permintaan orang, maka tjepat
ia berkata pada Wan-djing: Terima kasih atas kebaikanmu, nona Bok.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sigadis membalas hormat serta menjahut dengan pelahan: Tak usah kau berterima
kasih, asal kau tak dihadjar pamanmu aku sudah lega. ~ Lalu ia berkata pula
kepada Po-ting-te: Semula kusangka seorang kaisar tentu sangat bengis
menakutkan, siapa tahu engkau ..... engkau sangat baik!
Sebagai kaisar, umumnja orang hanja djeri dan menghormat padanja, tapi belum
pernah ada orang memudjinja engkau sangat baik, karuan Po-ting-te sangat senang
terutama melihat sifat sigadis jang polos ke-kanak2an itu, maka katanja pada
permaisurinja: Honghou, barang apa akan kau hadiahkan padanja"
Segera Honghou tanggalkan sebuah gelang kemala dari lengannja dan disodorkan
pada Bok Wan-djing dan berkata: Ni, dihadiahkan padamu!
Wan-djing tidak menolak, ia terima hadiah itu dan dipakai ditangan sendiri,
katanja kemudian dengan tertawa: Terima kasih, ja! Lain kali akupun akan
mentjari sesuatu barang bagus untuk dipersembahkan padamu.
Honghou tersenjum dan belum lagi mendjawab, se-konjong2 diluar beberapa rumah
sana, kedengaran atap rumah berbunji keresek sekali. Segera Honghou berpaling
pada Po-ting-te dan berkata: Itu dia, ada orang menghantar hadiah padamu!
Belum selesai utjapannja, kembali suara keresekan berbunji pula diatas rumah
sebelah. Bok Wan-djing terperandjat, ia tahu musuh jang datang itu berilmu
Ginkang jang maha tinggi, entengnja laksana daun djatuh, bahkan tjepatnja luar
biasa. Dalam pada itu segera terdengar djuga ada beberapa orang telah melompat keatas
rumah, menjusul terdengar suara Bu-sian-tio-to Leng Djian-li lagi menegur:
Siapakah tuan ini, ada urusan apa malam2 mengundjungi Onghu"
Aku ingin mentjari muridku! Dimana muridku jang sajang itu, lekas suruh dia
keluar! demikian djawab suara seorang jang menjerikan mirip logam digesek.
Itulah dia suaranja Lam-hay-gok-sin.
Diam2 Bok Wan-djing berkuatir, meski iapun tahu pendjagaan dalam istana itu
sangat keras dan kuat, Tin-lam-ong sendiri dan Yau-toan-siantju serta tokoh2 Hidjiau-keng-dok sangat tinggi ilmu silatnja, tapi Lam-hay-gok-sin itu
sesungguhnja teramat lihay, tambahan pula dibantu Yap Dji-nio dan In Tiong-ho,
belum lagi orang djahat nomor satu didunia jang belum muntjul itu, sekaligus Suok bersatu untuk merampas Toan Ki, mungkin tidak mudahlah untuk melawannja.
Sementara itu terdengar Leng Djian-li lagi menanja: Siapakah gerangan muridmu"
Didalam Tin-lam-onghu ini darimana ada seorang muridmu"
Se-konjong2 gerubjak sekali, tahu2 dari udara menjelonong turun sebuah tangan
besar hingga kerai didepan pintu tersempal separoh, menjusul suatu bajangan
orang berkelebat, Lam-hay-gok-sin sudah berdiri ditengah ruangan dengan matanja
jang mirip kedelai itu lagi meng-amat2i setiap orang jang hadir disitu, ketika
melihat Toan Ki, segera ia ter-bahak2: Haha, memang benar apa jang dikatakan
Losi, muridku sajang ternjata ada disini.
Hajolah lekas ikut pergi padaku untuk beladjar. ~ sembari berkata, tangannja
jang mirip tjakar ajam itu terus mentjengkeram bahu pemuda itu.
Mendengar samberan angin dari tjengkeraman Lam-hay-gok-sin itu sangat keras,
Tin-lam-ong mendjadi kuatir sang putera dilukai, tanpa pikir lagi iapun memapak
dengan sebelah telapak tangannja. Plak, kedua tangan saling beradu dan sama2
merasakan getaran tenaga masing2.
Diam2 Lam-hay-gok-sin terperandjat, tanjanja: Siapakah kau" Aku hendak mengambil
muridku, peduli apa dengan kau"
Tjayhe Toan Tjing-sun, sahut Tin-lam-ong. Pemuda ini adalah puteraku, bilakah
dia mengangkat guru padamu"
Dia jang paksa hendak menerima aku sebagai murid, demikian Toan Ki menjela
dengan tertawa. Sudah kukatakan padanja bahwa aku sudah punja guru, tapi dia
djusteru tidak mau pertjaja.
Lam-hay-gok-sin pandang2 Toan Ki, lalu perhatikan Tin-lam-ong Toan Tjing-sun
pula, kemudian berkata: Jang tua ilmu silatnja sangat hebat, tapi jang muda
sedikitpun tidak betjus, aku djusteru tidak pertjaja kalian adalah ajah dan
anak. Toan Tjing-sun, sekalipun dia benar anakmu, namun tjara adjaran silatmu
tidak tepat, anakmu ini terlalu geblek.
Sajang, hehe, sungguh sajang.
Apanja jang sajang" tanja Toan Tjing-sun.
Bangun tubuh puteramu ini lebih mirip diriku, boleh dikata adalah bahan beladjar
silat jang susah ditjari didunia ini, asal dia beladjar 10 tahun padaku,
tanggung dia akan djadi seorang djago muda kelas satu di Bu-lim, sahut Gok-sin.
Sungguh geli dan mendongkol Toan Tjing-sun. Tapi dengan gebrakan tadi, iapun
tahu ilmu silat orang sangat hebat. Selagi hendak buka suara pula, tiba2 Toan Ki
telah mendahului: Gak-losam, ilmu silatmu masih terlalu tjetek, tidak sesuai
untuk mendjadi guruku. Silahkan kau pulang Ban-gok-to di Lam-hay untuk berlatih
lagi 10 tahun, habis itu barulah kau ada nilainja buat bitjara tentang ilmu
silat. Karuan Gok-sin mendjadi gusar, bentaknja: Kau botjah ingusan ini tahu apa"
Kenapa aku tidak tahu" sahut Toan Ki. Tjoba, ingin kutanja padamu, apa artinja:
Hong-lui-ek, kun-tju-ih-kian-sian-tjek-ih, yu-ko-tjek-kay. Hajo, djawab lekas!
Lam-hay-gok-sin mendjadi melongo tak bisa mendjawab, tapi segera ia mendjadi
gusar, bentaknja: Ngatjo belo! Apakah artinja itu" Artinja kentut!
Hahaha! Toan Ki ter-bahak2. Hanja sedikit kalimat jang tjetek artinja sadja kau
tak paham, tapi kau masih bitjara tentang ilmu silat segala"
Semua orang ikut geli mendengar Toan Ki menggunakan isi kitab I-keng untuk
mempermainkan Lam-hay-gok-sin itu. Meski Bok Wan-djing djuga tidak paham apa
jang diuraikan Toan Ki itu, tapi ia dapat menduga tentu sipeladjar tolol itu
lagi putar lidah. Sebaliknja Lam-hay-gok-sin lantas insaf dirinja tentu lagi dipermainkan demi
nampak wadjah semua orang mengundjuk sikap mentertawai dirinja.
Dengan menggerung sekali, segera ia hendak menjerang.
Namun Toan Tjing-sun telah melangkah kedepan sang putera. Maka dengan tertawa
Toan Ki dapat berkata lagi: Apa jang kukatakan tadi adalah istilah2 ilmu silat
jang maha mudjidjat, kalau tjuma engkau ini, terang takkan paham. Haha, katak
didalam sumur matjammu ini djuga ingin mendjadi guru orang, sungguh gigi orang
bisa tjopot tertawa geli. Padahal semua guruku, kalau bukan kaum terpeladjar,
tentu adalah paderi saleh.
Sebaliknja matjam kau, biar beladjar 10 tahun lagi djuga belum tentu sesuai
untuk angkat guru padaku.
Lam-hay-gok-sin menggerung murka, teriaknja: Siapa gurumu, hajo suruh dia keluar
undjukkan beberapa djurus padaku!
Melihat Lam-hay-gok-sin hanja datang sendirian, untuk melawannja tidaklah sulit,
maka Toan Tjing-sun tidak mentjegah kelakuan Toan Ki, apalagi hari ini suamiisteri bisa berkumpul kembali, ia pikir biar puteranja menggoda orang djahat
ketiga itu sekedar bikin senang hati sang isteri.
Karuan Toan Ki bertambah berani, segera ia berkata pula: Baiklah, djika kau
berani, tunggulah sebentar, biar kupanggil guruku dulu, kalau djantan sedjati,
djangan kau lari! Gok-sin mendjerit murka: Aku Gak-lodji selama hidup malang-melintang diseluruh
djagat, pernah takut pada siapa" Hajo lekas panggil sana, lekas!
Benar djuga Toan Ki lantas pergi keluar. Tinggal Lam-hay-gok-sin jang memandangi
setiap orang jang hadir disitu dengan sikap menantang, sama sekali ia tidak
djeri biarpun seorang diri berada di-tengah2 lawan sebanjak itu.
Tiada lama, terdengarlah suara tindakan orang, dua orang kedengaran sedang
mendatangi. Ketika Gok-sin mendengarkan, langkah orang2 jang datang itu katjau
tak bertenaga, terang orang2 jang tak paham ilmu silat.
Maka terdengarlah suara seruan Toan Ki dari luar: Mana itu Gak-losam, dia tentu
sudah lari ketakutan" Tia, djangan kau biarkan dia lolos, ini, Suhuku sudah
datang! Buat apa aku lari" bentak Gok-sin dengan aseran. Kurang adjar Siautju ini, bikin
gusar padaku melulu. Belum selesai utjapannja, tertampak Toan Ki sudah melangkah masuk sambil
menjeret satu orang. Melihat itu, seketika semua orang bergelak ketawa.
Ternjata orang jang dibawa datang Toan Ki itu kurus ketjil, bertopi bentuk kulit
semangka, berdjubah pandjang longgar, berkumis tikus, kedua matanja merah sepat
se-akan2 kurang tidur selalu, kepalanja mengkeret takut2, sikapnja lutju
menggelikan. Segera Yau-toan-siantju dapat mengenal orang ini sebagai djurutulis
dikantor Tin-lam-onghu. Djurutulis she Ho ini setiap hari suka kantuk sadja dan
kerdjanja berdjudi dengan para pelajan didalam istana. Dalam keadaan setengah
mabuk, ia diseret Toan Ki kedalam ruangan, dengan takut, tjepat djurutulis itu
berlutut dan menjembah kehadapan Po-ting-te dan permaisuri.
Sudah tentu Po-ting-te tidak kenal siapa djurutulis ketjil itu, ia perintahkan
dia berbangkit. Segera Toan Ki gandeng Ho-sinshe itu kehadapan Lam-hay-gok-sin,
katanja: Nah, Gak-losam, diantara guru2ku, Suhuku inilah ilmu silatnja paling
rendah. Maka lebih dulu kau harus menangkan dia, baru kau ada harganja buat
menantang guru2ku jang lain.
Gok-sin ber-kaok2 murka, teriaknja: Matjam begini gurumu" Haha, dalam tiga
djurus sadja kalau aku tak bisa bikin dia remuk seperti bergadel, biar aku
angkat guru padamu. Seketika sinar mata Toan Ki terbeliak terang mendengar itu, tanjanja tjepat:
Utjapanmu ini benar2 atau tidak" Seorang laki2 sedjati, sekali bitjara harus
bisa pegang djandji, kalau ingkar djandji, itu berarti anak kura2 haram djadah!
Baik, mari, mari! segera Gok-sin ber-teriak2.
Dan kalau tjuma tiga djurus sadja, tidak usah guruku turun tangan, biarlah aku
sendiri sudah lebih tjukup untuk melajani kau, udjar Toan Ki.
Mendengar pemuda itu hendak madju sendiri, karuan Lam-hay-gok-sin bergirang.
Datangnja keistana pangeran ini atas berita In Tiong-ho jang menjatakan, tjalon
muridnja jang hilang, diketemukan didalam istana situ, maka tudjuannja melulu
ingin djemput Toan Ki untuk mendjadi ahliwarisnja dari Lam-hay-pay. Tapi ketika
tadi bergebrak sekali dengan Toan Tjing-sun, ia mendjadi kaget oleh kepandaian
pangeran itu. Apalagi disamping itu masih banjak pula djago2 lainnja, kalau
hendak menggondol Toan Ki begitu sadja, rasanja tidaklah mudah. Maka ia mendjadi
girang mendengar pemuda itu sendiri jang akan bergebrak dengan dirinja, sekali
ulur tangan, ia jakin sudah dapat menawan pemuda itu.
Maka katanja segera: Bagus, djika kau jang madju aku pasti takkan gunakan tenaga
dalam untuk melukai kau. Kita djandji dulu dimuka, dalam tiga djurus kalau kau tak bisa djatuhkan aku,
lantas bagaimana" tanja Toan Ki.
Lam-hay-gok-sin ter-bahak2, ia tahu pemuda itu adalah seorang peladjar lemah
jang ibaratkan memegang ajam sadja tidak kuat, apalagi hendak bertanding tiga
djurus dengan dirinja, mungkin setengah djurus sadja tidak tahan. Maka sahutnja
segera: Dalam tiga djurus kalau aku tak bisa menangkan kau, aku lantas angkat
kau sebagai guru! Nah, semua hadirin disini sudah mendengar semua, djangan kau mungkir nanti! seru
Toan Ki. Gok-sin mendjadi gusar, teriaknja: Aku Gak-lodji selamanja kalau bilang satu ja
satu, bilang dua tetap dua!
Gak-losam! seru Toan Ki. Gak-lodji! bentak Gok-sin.
Gak-losam! Toan Ki mengulangi.
Sudahlah, kau tjerewet apa lagi, hajo lekas mulai! teriak Gok-sin tak sabar.
Segera Toan Ki melangkah madju hingga berhadapan dengan tokoh ketiga dari Su-ok.
Diantara hadirin itu, dimulai Po-ting-te dan permaisuri kebawah, setiap orang
menjaksikan dewasanja Toan Ki, semuanja tahu kalau pemuda itu gemar sastra dan
tidak suka ilmu silat, selama hidupnja tidak pernah beladjar silat sedjuruspun.
Malahan ketika dipaksa oleh Po-ting-te dan ajahnja supaja beladjar silat, ia
lebih suka minggat dari rumah. Djangankan bertanding melawan djago kelas wahid
matjam Lam-hay-gok-sin, biarpun melawan seorang peradjurit biasa djuga kalah.
Semula semua orang mengira pemuda itu sengadja menggoda Lam-hay-gok-sin, siapa
duga sekarang benar2 akan bertanding. Sebagai seorang ibu jang sangat sajang pada puteranja itu, segera Yau-toansiantju membuka suara: Ki-dji, djangan semberono, orang liar matjam begitu
djangan kau gubris padanja.
Tjepat Honghou djuga memberi perintah: Sian-tan-hou, lekas kau perintahkan
tangkap perusuh ini! Sian-tan-hou Ko Sing-thay mengia dan segera berseru: Leng Djian-li, Tang Su-kui,
Siau Tiok-sing dan Tju Tan-sin berempat dengarkan perintah, atas titah Nionio,
lekas tangkap perusuh kurangadjar ini!
Bu-sian-tio-to Leng Djian-li berempat membungkuk menerima perintah itu.
Melihat dirinja hendak dikerojok, segera Lam-hay-gok-sin membentak: Biarpun
kalian madju semua djuga Lotju tidak gentar. Hajo, Hongte dan Honghou djuga
silahkan madju sekalian! Nanti dulu, nanti dulu! demikian Toan Ki mentjegah dengan gojang2 kedua
tangannja. Biarlah aku selesaikan tiga djurus dengan kau dulu.
Po-ting-te kenal keponakannja itu tindak-tanduknja sering2 diluar dugaan orang,
boleh djadi diam2 dia sudah atur perangkap untuk mendjebak musuh, apalagi ada
dirinja berdua saudara mendjaga disamping, kalau Lam-hay-gok-sin hendak bikin
susah pemuda itu, rasanja djuga tidak bisa.
Dengan tersenjum ia lantas berkata: Mundurlah kalian, biarkan perusuh ini
beladjar kenal betapa lihaynja Ongtju dari Tay-li-kok, supaja dia tahu rasa!
Mendengar perintah itu, Leng Djian-li berempat jang sudah ber-siap2
mengerubut madju itu lantas undurkan diri pula.
Gak-losam, segera Toan Ki berkata lagi, marilah kita djandji sebelumnja setjara
lebih tegas. Kalau dalam tiga djurus kau tak bisa robohkan aku, kau harus angkat
guru padaku. Tapi meski aku mendjadi gurumu, melihat kau terlalu tolol begini,
aku merasa pertjuma kalau mengadjarkan ilmu silatku padamu. Djadi aku tak mau
adjarkan apa2 padamu, kau harus berdjandji.
Siapa pingin beladjar silat padamu" bentak Gok-sin gusar. Huh, ilmu silat kentut
andjing apa jang kau miliki"
Baik, baik! Tak perlu banjak tjerewet lagi, hajo, lekas mulai! bentak Lam-haygok-sin dengan tak sabar, segera ia mentjengkeram dengan djari tangannja jang
mirip tjakar itu. Baik, itu artinja kau sudah terima sjaratku, udjar Toan Ki. Dan sesudah kau
menjembah guru, segala perintah guru selandjutnja harus kau turut.
Kalau membangkang, itu berarti durhaka dan akan dikutuk oleh setiap orang Bu-lim. Kau terima tidak sjarat
kedua ini. Hahaha, sudah tentu, Gok-sin ter-bahak2 malah. Dan begitu pula bila kau nanti
angkat guru padaku. Ja, namun kalau kau ingin menerima aku sebagai murid, kau harus kalahkan dulu
setiap Suhuku untuk membuktikan bahwa kepandaianmu memang lebih tinggi dari
guru2ku itu, barulah aku merasa ada harganja mengangkat guru padamu.
Baik,baik, tak perlu tjerewet lagi, hajo lekas madju! sahut Gok-sin tak sabar.
Buat apa buru2" Lihatlah seorang guruku sudah berdiri dibelakangmu.....
kata Toan Ki dengan tersenjum sambil menuding kebelakang Gok-sin.
Lam-hay-gok-sin tidak merasa kalau dibelakangnja ada orang, namun begitu toh dia
menoleh djuga. Kesempatan itu lantas digunakan Toan Ki dengan baik, mendadak ia
melangkah miring kekiri, dengan tjepat dan lutju ia terus mentjengkeram To-tohiat dipunggung Gok-sin. Gerak-gerik Toan Ki sama sekali tidak mirip seorang jang bersilat, tapi Hiat-to
jang dipegangnja itu adalah salah-satu djalan darah penting ditubuh manusia.
Begitu tertjengkeram, seketika Lam-hay-gok-sin merasa dadanja sesak. Sementara
itu tangan Toan Ki jang lain sudah lantas tahan di Ih-sik-hiat bagian
pinggangnja, djari djempol tepat menekan ditengah Hiat-to itu.
Dalam kagetnja tjepat Lam-hay-gok-sin meronta dengan tenaga dalam. Tapi dua
Hiat-to penting sudah diatasi orang, sekali tenaga dalam dikerahkan, bukannja
terlepas dari tjengkeraman Toan Ki, sebaliknja kedua tenaga itu saling terdjang
hingga seketika ia mendjadi lemas pegal tak bisa berkutik. Terus sadja Toan Ki
angkat tubuh Lam-hay-gok-sin dan dibanting kelantai. Untung lantai diruangan
pendopo itu digelari permadani hingga kepalanja jang botak itu tidak sampai
bendjut. Walaupun begitu, dengan nama besar Lam-hay-gok-sin, setjara begitu sadja ia kena
dibanting Toan Ki, tentu sadja ia malu. Dalam murkanja, sekali melompat dengan
gerakan Le-hi-tah-ting atau ikan lele meledjit, begitu berdiri, ia terus
mentjengkeram kearah Toan Ki.
Semua hadirin jang berada diruangan itu adalah djago2 terkemuka semua, tapi
tiada seorangpun jang menjangka Toan Ki jang diketahui sama sekali tidak pernah
beladjar silat dan lemah itu, ternjata bisa membanting Lam-hay-gok-sin dengan
begitu mudah. Dalam kesiap mereka, sementara itu Lam-hay-gok-sin sudah
melantjarkan serangan tadi kepada Toan Ki.
Toan Tjing-sun mendjadi kuatir, tapi belum sempat turun tangan melindungi sang
putera, tahu2 tampak pemuda itu sudah menggeser miring kekiri, langkahnja aneh
gesit, hanja satu langkah itu sadja sudah dapat menghindarkan serangan kilat
Lam-hay-gok-sin. Bagus! seru Toan Tjing-sun memudji.
Menjusul mana serangan Gok-sin jang kedua sudah dilontarkan lagi. Tapi Toan Ki
tetap tidak membalas, hanja melangkah madju malah dua tindak dan kembali
serangan itu sudah luput.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua kali menjerang tidak kena sasaran, Lam-hay-gok-sin mendjadi gusar dan
kedjut. Ia lihat Toan Ki hanja berdiri satu meter didepannja, sekonjong2 ia
menggerang keras2, kedua tangannja mengulur berbareng terus mentjengkeram dada
dan perut pemuda itu. Ini adalah salah satu ilmu silat tunggal maha lihay jang
sudah dilatihnja selama sepuluh tahun ini, namanja Tok-liong-djiau atau tjakaran
naga berbisa. Ilmu ini sebenarnja disediakan untuk melawan Yap Dji-nio guna
merebut gelar runner up dari Thian-he-su-ok atau empat orang maha djahat dari
dunia. Tapi kini, karena telah dibanting, pula menjerang berulang tidak kena, Gok-sin
sudah kalap, tak terpikir lagi olehnja apakah tjakarannja itu bakal membinasakan
tjalon ahliwarisnja itu atau tidak.
Dalam pada itu Po-ting-te, Honghou, Toan Tjing-sun, Yau-toan-siantju dan Ko
Sing-thay mendjadi kuatir djuga, berbareng mereka memperingatkan Toan Ki: Awas!
Namun dengan enteng sadja pemuda itu melangkah kekanan setindak, menjusul
menggeser pula kekiri selangkah, tahu2 ia sudah memutar sampai dibelakang Lamhay-gok-sin. Plok, ia terus keplak sekali diatas kepala Gok-sin jang botak itu.
Sungguh sedikitpun Gok-sin tidak menduga bahwa pemuda itu bisa menabok kepalanja
setjara demikian adjaibnja. Ketika meras tangan orang sudah sampai diatas
kepala, diam2 ia mendjerit: Matilah aku! ~ Tapi demi kepala sudah kena ditabok,
segera ia tahu serangan Toan Ki itu sedikitpun tidak bertenaga dalam. Tanpa ajal
lagi ia angkat tangan kiri keatas, tjret, kontan punggung tangan Toan Ki
tertjakar lima djalur luka oleh kuku djari.
Waktu Toan Ki tarik kembali tangannja dengan tjepat, serangan Gok-sin itu masih
belum bisa direm, tjakarannja masih merosot kebawah hingga djidatnja sendiri
djuga ikut tertjakar. Sebenarnja sesudah berhasil menghindarkan tiga djurus serangan lawan, Toan Ki
sudah menang dan dapat mengachiri pertandingan itu. Tapi dasar sifat botjahnja
masih belum hilang, biarpun dirinja tak bisa Lwekang, namun ketika nampak ada
kesempatan untuk menabok kepala orang, terus sadja ia keplak sekali kepala Lamhay-gok-sin jang gundul itu, akibatnja hampir2 dirinja kena tertawan. Karuan
kedjutnja bukan buatan, buru2 ia mengumpet kebelakang sang ajah dengan muka
putjat ketakutan. Yau-toan-siantju melotot sekali kearah puteranja itu, katanja dalam hati: Bagus,
djadi selama ini diam2 kau telah beladjar ilmu sehebat itu kepada ajah dan
pamanmu, tapi aku sama sekali tak diberitahu.
Dalam pada itu Bok Wan-djing terus berseru: Nah, Gak-losam, sudah tiga djurus
kau tak mampu merobohkan dia, sebaliknja kau sendiri jang kena dibanting
olehnja. Sekarang lekas kau menjembah dan panggil Suhu padanja.
Muka Lam-hay-gok-sin mendjadi merah, ia garuk2 kepalanja jang tak gatal itu dan
menjahut: Dia toh belum bergebrak sungguh2 dengan aku, kedjadian tadi tak bisa
dihitung. He, tidak malu" seru Bok Wan-djing. Kau tidak mau mengaku guru padanja, itu
berarti kau terima mendjadi anak kura2. Sebenarnja kau mau mengangkat guru sadja
atau terima mendjadi anak kura2"
Tidak semua, sahut Gok-sin. Aku ingin mengulangi bertanding dengan dia.
Melihat gerak langkah puteranja tadi sangat hebat dan bagus luar biasa, sampai
dirinja djuga tidak paham dimana rahasia kepandaian itu, segera Toan Tjing-sun
membisiki Toan Ki: Kau boleh madju lagi. Djangan pukul dia, tapi tjari
kesempatan mentjengkeram Hiat-tonja.
Tapi anak mendjadi takut sekarang, mungkin tak berhasil, sahut Toan Ki lirih.
Djangan kuatir, aku mengawasi kau dari samping, kata Tjing-sun.
Njali Toan Ki mendjadi besar lagi karena mendapat dukungan sang ajah.
Segera ia melangkah kedepan dan berkata pada Lam-hay-gok-sin: Sudah tiga djurus
kau tak mampu merobohkan aku, kau harus menjembah guru padaku!
Tapi tanpa mendjawab lagi, Gok-sin menggerung sekali terus menghantam dengan
telapak tangannja. Lekas Toan Ki melangkah miring kekiri, dengan enteng sadja ia hindarkan serangan
itu. Brak, pukulan Gok-sin itu telah menghantjurkan sebuah medja.
Toan Ki pusatkan pikirannja sambil mulutnja pelahan2 mengutjapkan istilah2: Santa-pak, hwe-te-tjin.... dan seterusnja, jaitu istilah2
didalam kitab I-keng. Sama sekali ia tidak pandang datangnja serangan Lam-haygok-sin, tapi ia urusi langkahnja sendiri jang kekanan, kekiri, madju dan mundur
sesukanja. Dalam pada itu semakin lama semakin tjepat dan keras pukulan2 Lam-hay-gok-sin
hingga terdengarlah suara gedubrakan dan gemerantang jang riuh didalam ruangan
pendopo, medja-kursi dan mangkok tjangkir sama petjah berantakan kena pukulan2
Gok-sin. Tapi dari mulai sampai achir, sedikitpun dia masih belum mampu
menjenggol udjung badjunja Toan Ki.
Hanja sekedjap sadja lebih 30 djurus sudah berlangsung. Selama itu Poting-te
Toan Tjing-beng dan Tin-lam-ong Toan Tjing-sun sudah dapat melihat tindakan Toan
Ki enteng kaku, sedikitpun memang tak bisa ilmu silat. Tjuma entah darimana
pemuda itu mendapat adjaran seorang kosen dalam sedjurus ilmu gerak langkah jang
adjaib dengan mengikuti filsafah Pat-kwa tjiptaan Hok-hi didjaman baheula, jaitu
jang mempunjai hitungan 8
x 8 = 64 segi. Padahal kalau dia benar2 bertempur dengan Lam-hay-gok-sin,
mungkin tidak lewat sedjurus pemuda itu sudah bisa dibinasakan orang.
Tapi dia djusteru mengurusi gerak langkahnja sendiri sambil mulut mengutjapkan
istilah2 jang bersangkutan, dan sebegitu djauh pukulan Lam-hay-gok-sin tetap tak
bisa menjenggolnja. Diam2 Toan Tjing-beng dan Toan Tjing-sun berdua saudara saling pandang sekedjap,
sekilas mereka mengundjuk rasa kuatir djuga. Dalam hati mereka sama2 berpikir:
Pabila Lam-hay-gok-sin itu menjerang dengan pedjamkan mata misalnja, hakikatnja
dia tak perlu melihat kemana Ki-dji melangkah, sekenanja ia lontarkan sedjurus
pukulan dan tidak susah2 lagi tentu pemuda itu akan dirobohkannja.
Tapi Lam-hay-gok-sin ternjata tidak mempunjai pikiran seperti mereka.
Sebaliknja wadjahnja makin lama semakin beringas, matanja djuga semakin mendelik
hingga bidji mata jang tadinja sebesar katjang, kini melotot sebesar gundu, ia
masih tetap memukul sedjurus demi sedjurus dan tetap tak bisa mengenai sasaran
biarpun ia telah berganti tipu serangan dengan tjepat. Toan Ki selalu dapat
menghindarkan diri ketempat jang sama sekali diluar perhitungannja.
Namun pertarungan demikian itu kalau diteruskan, sekalipun Toan Ki tidak sampai
dirobohkan, tapi untuk mengalahkan lawan djuga tidaklah mungkin.
Setelah melihat lagi sebentar, tiba2 Po-ting-te berkata: Ki-dji, melangkah
pelahan sedikit, papak dari depan dan tjengkeram Hiat-to didadanja.
Toan Ki mengia sambil melambatkan tindakannja, segera ia memapak Lam-hay-gok-sin
dari depan. Tapi ketika sinar matanja kebentur dengan sorot mata Gok-sin jang
beringas itu, ia mendjadi djeri, sedikit kakinja merandek, tempat kedudukannja
mendjadi rada mentjeng. Sekali tjakar Lam-hay-gok-sin menjamber, kebetulan
menjerempet turun disamping kuping kirinja hingga letjet berdarah. Pabila
tjakaran itu sedikit geser kekanan, tentu Toan Ki sudah mendjadi majat disitu.
Dan karena kupingnja berasa kesakitan, Toan Ki semakin djeri, ia pertjepat
langkahnja menjingkir kesamping, terus mundur kebelakang sang ajah sambil
berkata dengan menjengir: Pekhu, aku tak sanggup!
Tjing-sun mendjadi gusar, serunja: Keturunan keluarga Toan dari Tayli mana ada
jang mundur ketakutan digaris depan" Hajo, lekas madju lagi, apa jang
diandjurkan Pekhu tadi memang tidak salah!
Yau-toan-siantju terlalu sajang pada sang putera, tjepat ia menjela: Ki-dji
sudah bergebrak hampir 60 djurus dengan dia, keluarga Toan mempunjai keturunan
sehebat ini, apakah kau masih belum puas" Ki-dji, sedjak tadi kau sudah menang,
tak perlu diteruskan lagi.
Tidak, kata Toan Tjing-sun, puteraku tak perlu kau ikut tjampur, aku tanggung
dia takkan mati. Sedih dan dongkol rasa Yao-toan-siantju, air matanja terus ber-kilau2
akan menetes. Melihat itu, Toan Ki mendjadi tak tega. Dengan beranikan diri, segera ia
melangkah madju dengan membusungkan dada, bentaknja: Marilah kita teruskan
bertempur! ~ sekali ini ia sudah nekad, ia berputar kian kemari dengan teratur,
makin lama makin lambat, ketika berhadapan dengan Gok-sin, ia tidak mau beradu
sinar mata lagi, tapi kedua tangan diulur terus mentjengkeram kedada lawan.
Melihat tangan Toan Ki jang diulur itu lemas tak bertenaga, Lam-hay-gok-sin terbahak2 geli, ia miringkan tubuh terus angkat tangannja hendak pegang bahu pemuda
itu malah. Tak terduga gerak langkah Toan Ki ternjata bisa berubah dengan susah
diraba, kedua orang berbareng menggeser tubuh hingga kebetulan dada Lam-hay-goksin tepat se-akan2 dipapakkan kedjari tangan Toan Ki. Tanpa ajal lagi Toan Ki
intjar Tan-tiong-hiat dan Gi-ko-hiat dengan tepat, sekaligus tangannja terus
mentjengkeram. Sama sekali Toan Ki tidak punja tenaga dalam, meski berhasil memegang dua tempat
Hiat-to dibadan lawan, tapi kalau Lam-hay-gok-sin anggap sepi sadja, tidak
menggunakan tenaga dalam, tapi pelahan2 meronta melepaskan diri setjara biasa,
sebenarnja Toan Ki djuga tak bisa apa2kan dia. Namun karena merasa Hiat-to
penting dibadan kena ditjengkeram lawan, dalam kagetnja, tanpa pikir Lam-haygok-sin kerahkan tenaga dalam untuk menutup kedua Hiat-to itu, berbareng kedua
tangannja balas menjerang kemuka Toan Ki.
Serangan Gok-sin ini mengarah kedua mata Toan Ki, sebenarnja sangat tepat
pemakaiannja, jaitu apa jang disebut menjerang tempat musuh jang terpaksa mesti
menolong diri sendiri lebih dulu , betapapun lihaynja musuh, kalau menghadapi
serangan demikian, terpaksa harus tarik kembali tangannja untuk melindungi diri
sendiri. Dan bagi Lam-hay-gok-sin akan dapatlah terhindar dari malapetaka.
Tak tersangka olehnja bahwa Toan Ki sedikitpun tidak paham tentang menjerang
atau diserang segala, ketika djari Gok-sin mentjolok kearah matanja, hakikatnja
ia tidak memikir harus tjepat tarik kembali tangannja untuk menangkis,
sebaliknja kedua tangannja masih tetap mentjengkeram kentjang ditempat Hiat-to
tadi. Dan kesalahan ini ternjata malah membawa kebetulan baginja. Ketika Lam-hay-goksin mengerahkan Lwekang tadi, se-konjong2 ketemu rintangan ditempat kedua Hiatto itu, seketika hawa murni dan darah bergolak hebat dalam badannja, kedua
tangannja jang sudah mendjulur kira2 belasan senti didepan mata Toan Ki, tahu2
terasa lemas tak mau turut perintah lagi. Ia masih belum terima, ia kerahkan
tenaga dalam lebih kuat. Tapi lebih tjelaka lagi baginja, sekali tenaga dikerahkan, ia merasa dua arus
tenaga maha hebat saling terdjang didalam tubuhnja hingga aliran darah ikut
katjau dan mogok, seketika matanja ber-kunang2.
Sebaliknja mendadak Toan Ki djuga merasakan dua arus tenaga maha kuat membandjir
ketangannja hingga tubuhnja ikut sempojongan. Ia sadar akan keadaan waktu itu,
asal kedua tangannja melepaskan Hiat-to lawan, segera djiwanja akan terantjam.
Sebab itulah meski rasanja menderita sekali, sedapat mungkin ia tjoba bertahan.
Djaraknja waktu itu dengan Toan Tjing-sun hanja satu meteran sadja.
Ketika melihat air muka sang putera makin lama makin merah, terang pemuda itu
lagi menahan rasa derita, segera Tjing-sun ulur djari telundjuknja untuk menahan
Tay-tjui-hiat dipunggung Toan Ki.
It-yang-tji atau ilmu djari betara surja dari keluarga Toan dinegeri Tayli sudah
tersohor diseluruh djagat. Maka begitu djari Toan Tjing-sun menempel punggung
Toan Ki, seketika suatu arus hawa hangat jang halus menjalur kebadan pemuda itu.
Kontan badan Lam-hay-gok-sin tergetar, pelahan2 ia roboh dengan lemas.
Segera Toan Tjing-sun pajang sang putera sambil kerahkan tenaga djarinja lebih
kuat. Hanja sebentar sadja, lambat-laun air muka Toan Ki sudah pulih kembali,
tapi untuk sedjenak iapun belum sanggup bitjara.
Bagaimana diam2 Toan Tjing-sun memakai ilmu It-yang-tji untuk membantu sang
putera, hingga Lam-hay-gok-sin dapat dirobohkan, hal ini dapat diketahui setiap
orang jang diruangan itu. Namun begitu, toh Lam-hay-gok-sin tetap djatuh dibawah
tangannja Toan Ki, betapapun hal ini tak bisa dibantah.
Hiong-sat-ok-sin itu benar2 lihay djuga luar biasa. Begitu tangan Toan Ki
melepaskan Hiat-to dibadannja, seketika ia melompat bangun. Ia pandang Toan Ki
dengan kedua matanja jang bundar ketjil itu, sikapnja penuh rasa heran, gemas
dan sedih pula. Nah, Gak-losam, demikian Bok Wan-djing lantas menteriaki, sekarang kau sudah
kalah lagi, kulihat engkau lebih suka mendjadi anak kura2 daripada mengangkat
guru, bukan" Tidak, aku djusteru ingin berbuat diluar dugaanmu, seru Gok-sin murka.
Angkat guru ja angkat guru, malu2 apa" Aku Gak-lodji sekali2 tidak sudi mendjadi
anak kura2 ~ Habis berkata, benar djuga ia terus berlutut dan menjembah empat
kali kepada Toan Ki sambil berteriak: Suhu, ni, Tetju Gak-lodji memberi hormat
padamu! Untuk sedjenak Toan Ki terkesima, dan belum lagi sempat mendjawab, mendadak Lamhay-gok-sin sudah melompat bangun terus mentjelat keatas wuwungan rumah. Tiba2
terdengar suara djeritan sekali diatas rumah itu, menjusul suara gedebukan
sekali, dari atas terbanting kebawah tubuh seorang. Waktu semua orang menegas,
kiranja adalah seorang pengawal istana pangeran, dadanja sudah berlumuran darah
dan berlubang, buah hatinja telah kena dikorek oleh Lam-hay-gok-sin untuk
dimakan. Wi-su atau pengawal itu masih berkelodjotan belum lantas mati,
keadaannja sangat mengerikan.
Sebenarnya kepandaiannja pengawal itupun tidak rendah, walaupun tidak setingkat
dengan empat tokoh Hi-djiau-keng-dok, tapi hanja dalam segebrakan sadja ternjata
hatinja sudah kena dikorek orang. Karuan semua orang saling pandang dengan
terkedjut. Longkun, muridmu itu benar-benar kurangadjar, lain kali kalau ketemu, kau harus
hadjar dia sampai minta ampun, seru Bok Wan-djing dengan gusar.
Kemenanganku tadi hanja setjara kebetulan sadja berkat bantuan Tiatia, sahut
Toan Ki tersenjum. Tapi lain kali kalau ketemu lagi, mungkin buah hatiku sendiri
djuga bisa dikorek oleh dia, kepandaian apa jang kumiliki untuk hadjar dia lagi"
Dikala bitjara itulah, Leng Djian-li dan Siau Tiok-sing sudah gotong keluar
majat pengawal tadi. Toan Tjing-sun memberi perintah agar diberi pensiun pada
keluarganja dan suruh Ho-sinshe tadi undurkan diri.
Ki-dji, kata Po-ting-te kemudian. Poh-hoat (ilmu gerak langkah) jang kau mainkan
tadi berasal dari filsafah Pat-kwa tjiptaan Hok-hi, kau bolehnja beladjar dari
siapa" Anak mempeladjarinja setjara ngawur dari dalam sebuah gua, entah tepat atau
tidak, masih mengharapkan petundjuk dari Pekhu, sahut Toan Ki.
Dari sebuah gua tjara bagaimana, tjoba tjeritakan, tanja Po-ting-te.
Maka bertjeritalah Toan Ki tentang pengalamannja.
Kiranja tempo hari waktu dia ditinggal diatas puntjak karang, Wan-djing digondol
pergi oleh Lam-hay-giok-sin, dalam keadaan bingung Toan Ki terus mengudak. Tapi
baru beberapa tindak, tiba-tiba ia mengindjak diatas badan seekor ular sawa jang
besar. Bundar dan litjin badan ular itu penuh lendir jang basah-basah. Toan Ki
terpeleset dan tergelintjir kepinggir djurang. Dalam keadaan bahaja, untung
tangannja jang menggagap-gagap serabutan itu dapat memegang sebatang akar pohon
hingga badannja tidak terdjerumus lebih djauh kebawah, mati-matian ia pegang
kentjang akar pohon itu tak mau melepaskan lagi demi keselamatannja.
Dalam keadaan badan setengah terguntai, kaki Toan Ki merasa mengindjak diatas
suatu batu karang, telinganja mendengar pula suara gemuruh, air sungai mendeburdebur hebat dibawah sana. Ia tjoba tenangkan diri dan mengawasi sekitarnja,
ternjata dirinja berada ditengah tebing jang terdjal sekali, untuk merambat
keatas terang tidak mampu, kalau turun kebawah akan ketjebur kesungai. Terpaksa
merembet kekiri sana, disitu masih ada tempat untuk berpidjak. Begitulah segera
ia menggeremet kesana dengan hati2.
Setelah merajap sebentar, ia mengaso sedjenak. Kalau ketemukan tempat jang
tjuram, terpaksa tabahkan diri dan achirnja dapat merajap lewat djuga dengan
selamat. Sampai hari sudah magrib, ia lihat didepan masih tetap tebing djurang
jang terdjal, sedikitpun belum ada tanda2 akan sampai ditempat datar, diam2 Toan
Ki sudah putus asa. Ia tjoba merajap lagi sebentar, se-konjong2 pikirannja
tergerak, pemandangan didepan matanja, ini lapat2 seperti sudah dikenalnja.
Waktu ia perhatikan lebih djauh, tak tertahan lagi ia berteriak: Aha, ingatlah
aku! Ketika aku keluar dari dalam gua didasar danau itu, pemandangan jang
kulihat tak-lain-tak-bukan adalah seperti ini!
Toan Ki senang sekali demi mengenal keadaan sekitar itu, ia masih ingat bila dia
merajap lagi lewat beberapa tebing tjuram, ia akan sampai disuatu djalan ketjil
dan kalau djalan terus belasan li pula, ia akan tiba didjembatan Sian-djin-toh.
Djadi terang mulut gua itu berada tidak djauh dari tempatnja sekarang ini.
Pabila teringat pada patung dewi didalam gue jang tjantik tiada bandingannja
itu, perasaannja mendjadi bergolak, ia tak tahan lagi, betapapun ia ingin pergi
mendjenguk patung aju itu.
Maka tanpa pikir lagi segera ia merangkak terus. Tiada belasan meter djauhnja,
benar djuga ia sudah sampai dimulut gua tempat keluarnja dari djalan dibawah
danau tempo hari. Terus sadja ia menjusup kedalam gua, mengikut djalan lama
achirnja ia dapat mentjapai kamar batu jang dulu.
Sementara itu hari sudah gelap, tapi didalam kamar batu itu tetap terang
benderang oleh tjahaja mutiara mestika jang menghiasi seputar dinding kamar.
Toan Ki ter-mangu2 memandangi patung dewi itu, pikirnja: Untung ini hanja patung
belaka dan bukan manusia. Pabila didunia benar2
ada gadis setjantik ini, aku Toan Ki bukan mustahil rela mati asal dapat


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempersuntingkannja. Begitulah ia terus kesima dihadapan patung aju itu sampai kakinja sudah terasa
lemas, toh dia masih belum merasa tjapek, njata, saat itu segala Bok Wan-djing,
Lam-hay-gok-sin dan lain2 sudah dibuang olehnja keawang-awang. Sampai achirnja
ia benar2 tidak tahan lagi, lalu ia mendeprok rebah dibawah kaki patung itu dan
terpulas. Dalam mimpi, patung itu telah bisa bergerak dan memberikan Toan Ki sebilah pisau
serta menjuruh dia membunuh 36 orang laki2 dan wanita jang tak berdosa. Tanpa
membantah, Toan Ki terima pisau itu dan membunuh serabutan hingga sekedjap lebih
dari 50 orang telah dibunuhnja hingga majat bergelimpangan dan darah
bertjetjeran. Patung itu tersenjum senang seakan-akan memudji akan perbuatan Toan Ki, lalu
menjuruhnja pergi membunuh ajahnja sendiri. Tapi Toan Ki tetap tidak mau, patung
itu mendjadi marah, katanja: Kau tidak turut perintah, lebih baik kau membunuh
diri sadja! ~ Tanpa ragu2 lagi Toan Ki terus angkat pisaunja dan menikam ulu
hatinja sendiri. Dalam kagetnja ia terus mendjerit hingga tersadar dari tidurnja
dengan keringat dingin membasahi djidatnja, hatinja masih berdebar2 dengan
kerasnja. Ia lihat didalam kamar sudah terang-benderang oleh tjahaja matahari,
njata ia sudah tertidur semalam.
Ia pandang2 patung itu pula dengan matjam2 pikiran berketjamuk, tiba2
teringat olehnja: He, kamar ini berada didasar danau, darimana datangnja sinar
matahari itu" Ia tjoba memandang kearah datangnja sinar sang surja, ia lihat diudjung kanan
atas kamar itu tergantung sebuah tjermin perunggu, sinar matahari itu menjorot
balik dari tjermin itu. Ketika tjermin perunggu itu diperhatikannja lebih
djelas, lapat2 ternjata diatas tjermin itu ada ukirannja. Tergerak pikirannja:
Didalam kamar ini penuh terdapat tjermin seperti ini, bukan mustahil ada udang
dibalik batunja" Segera ia ambil tjermin tadi, ia kebut debu diatasnja serta diusap lebih bersih,
maka tertampaklah diatas tjermin itu memang terukir banjak sekali garis2 jang
tegak dan miring, disamping garis2 itu terukir pula huruf It-poh, Liang-poh,
Poan-poh (satu langkah, dua langkah, setengah langkah) dan seterusnja. Dan
ditiap2 udjung garis itu terukir pula pendjelasan Tong-djin, Tay-yu, dan matjam2
huruf2 ketjil lain. Toan Ki pernah membatja I-keng, maka tahu Tong-djin, Tay-yu dan sebagainja itu
adalah nama2 dari segi2 Pat-kwa jang seluruhnja berdjumlah 8 X 8 = 64 segi itu.
Waktu tjermin itu ia balik, dipunggung tjermin terukir pula empat huruf kuno
Leng-po-wi-poh atau Langkah lembut dewi tjantik. Kalimat ini mengingatkan Toan
Ki pada sjair Tjo Tju-kian, itu puteranja Tjo Tjho didjaman Sam-kok, jaitu sjair
jang memudja wanita tjantik. Tapi bagi Toan Ki, ia merasa sjair itu masih belum
tjukup untuk melukis betapa tjantiknja patung didepan matanja ini.
Untuk sekian lamanja ia ter-mangu2 disitu sambil memegang tjermin perunggu.
Kemudian teringat pula olehnja tulisan dipapan perunggu dibawah kaki patung jang
pernah dibatjanja itu. Kata tulisan itu: Sesudah kau genap mendjura seribu kali
padaku, itu berarti sudah mendjadi muridku.
Pengalamanmu selandjutnja akan sangat mengenaskan, hendaklah kau djangan
menjesal. Ilmu silat perguruan kita jang tiada bandingannja didjagat ini berada
didalam ruangan batu ini, harap kau melatihnja dengan tekun.
Malah tempo hari waktu dia berpisah dari patung itu pernah mengatakan: Entji
Dewi, aku tidak mau mendjadi muridmu, ilmu silatmu jang tiada bandingannja itu
djuga aku tidak mau mempeladjarinja ~ Tapi kini sesudah memandang lebih mesra
terhadap patung itu, pikirannja mendjadi kabur tak terkendali, pikirnja
sekarang: Dimanakah beradanja ilmu silat tiada bandingannja itu" Apa barangkali
terukir diatas tjermin2 perunggu ini"
Entji Dewi suruh aku beladjar silat, takbisa tidak aku harus mempeladjarinja
sekarang. Berpikir begitu, segera ia balik tjermin perunggu tadi dan mengapalkan segi2
hitungan dari 64 segi Pat-kwa itu, lalu setindak demi setindak mulai berdjalan.
Semula ia hanja melangkah mengikuti petunjduk jang terukir diatas tjermin itu
tanpa mengetahui dimana letak keadjaibannja, terkadang tulisan ditjermin itu
sangat aneh, setelah melangkah setindak, langkah selandjutnja mendjadi buntu
rasanja. Tapi ketika kemudian mesti melompat sambil memutar tubuh,djalan
selandjutnja terbuka lagi dengan lantjar.
Sering pula harus disertai dengan melompat madju dan mundur untuk bisa tjotjok
dengan petundjuk diatas tjermin itu.
Dasar peladjar seperti Toan Ki memang sudah biasa tekun beladjar, maka sekali
sudah mau, biarpun ketemukan persoalan sulit, ia harus memetjahkannja dengan
peras otak baru mau sudah. Dan bila kemudian sudah paham, ia lantas berdjingkrak
girang seperti orang gendeng. Pikirnja: Elok benar! Djadi dalam ilmu silat djuga
bisa membikin orang senang, bahkan tidak kurang menariknja daripada orang
membatja kitab. ~ Lalu pikirnja pula: Aku tidak suka bikin susah atau membunuh
orang, makanja selama ini aku tidak sudi beladjar silat. Tapi Poh-hoat (ilmu
gerak langkah) ini tak bisa dipakai membunuh orang, sebaliknja dapat
menghindarkan maksud djahat musuh, kalau dipeladjari, ada manfaatnja tiada
djeleknja. Seumpama ilmu silat lainnja kalau melulu digunakan untuk menolong
sesamanja, sebenarnja djuga tidak djelek.
Begitulah, sekali dia sudah suka, ia lantas merasa tiada salahnja beladjar
silat. Dan dengan demikian, ia lantas beladjar terlebih giat.
Hanja dalam satu hari sadja, Poh-hoat jang tertulis diatas tjermin itu sudah 2-3
bagian dapat dipahaminja.
Sambil membatja ukiran2 jang tertulis diatas tjermin perunggu, selangkah demi
selangkah Toan ki mengapalkan Leng-po-wi-poh jang adjaib itu.
Malamnja, ia merasa sangat lapar. Segera ia keluarkan Bong-koh-tju-hap dan
biarkan binatang itu bersuara untuk memanggil ular, la pilih seekor ular jang
gemuk, lalu menjembelihnja, ia keluar ketepi sungai itu untuk mentjari kaju
bakar dan memanggang daging ular untuk dimakan.
Selama beberapa hari, ketjuali makan ular dan tidur, senantiasa Toan Ki terbenam
dalam peladjarannja Leng-po-wi-poh jang aneh itu. Terkadang kalau sudah malas,
begitu mendongak dan memandang patung dewi itu, ia lantas merasa wadjah patung'
tjantik itu lagi mengomeli dia, ia terkesiap dan kembali beladjar lagi dengan
tekun. Hari keempat, seluruh peladjaran ilmu melangkah itu sudah dapat diapalkannja.
Selama itu, sering djuga teringat olehnja. Akan diri Bok Wan-djing jang tak
diketahui bagaimana nasibnja selama digondol Lam-hay-gok-sin itu, tentu gadis
itu lagi menunggu dirinja pergi menolongnja, demikian pikirnja. Tapi bila sinar
matanja kebentrok dengan pandangan patung tjantik itu, ia mendjadi seperti
keselurupan dan lupa daratan.
Tapi kini ia telah ambil ketetapan jang tegas: ku harus pergi menolong nona Bok
dulu kemudian baru aku kembali lagi kesini!
Segera ia kembalikan tjermin perunggu itu ketempat asalnja, sekilas ia dapat
melihat pula bahwa diatas tjermin perunggu lain jang berada dilantai djuga
lorang-loreng penuh terukir tulisan dan garis2. Ia tahu bila terus melatih ilmu
diatas tjermin itu, tentu akan makan waktu beberapa hari lagi, padahal nona Bok
masih berada dibawah tjengkeraman orang djahat dan sedang menantikan
kedatangannja untuk menolong. Namun begitu, dalam hati ketjilnja timbul djuga
sematjam rasa berat untuk meninggalkan patung tjantik itu Kalau dia pergi, toh
djelas dirinja takkan mampu mengalahkan Lam-hay-gok-sin dan terpaksa mengangkat
guru padanja baru nona Bok mau dibebaskan. Padahal untuk suruh dia angkat orang
sedjahat itu mendjadi guru, Toan Ki merasa lebih suka mati daripada mesti
menurut. Sebab itulah, pertentangan batinnja mendjadi hebat, ia ragu2 sampai lama sekali.
Achirnja merasa bila dirinja tidak pergi menolong Bok Wan-djing, itu bcrarti
tidak berbudi dan takbisa dipertjajai, seorang laki2
sedjati tidak nanti berbuat demikian, sekalipun achirnja dirinja mesti tjelaka,
kalau sekali sudah djandji harus ditepati. Karena itu, segera ia mendjura kepada
patung dewi itu, katanja: Entji Dewi, pabila aku bisa meloloskan diri dari Lamhay-gok-sin jang djahat itu dengan ilmu Leng-po-wi-poh adjaranmu, kelak tiap2
tahun aku pasti akan tinggal bersama engkau disini setengah tahun lamanja.
Habis itu, segera ia bertindak keluar gua dengan gaja berlenggang menurut gerak
langkah Leng-po-wi-poh itu.
Tak tersangka, baru sadja ia mengindjak sudut Thay dan menggeser kesegi Koh, sekonjong2 suatu arus hawa panas menerdjang keatas dari dalam perutnja. Seketika
badannja terasa lumpuh, kontan ia ambruk kelantai.
Dalam kagetnja tjepat Toan Ki bermaksud menahan lantai dengan tangannja untuk
merangkak bangun. Tak terduga semua anggota badannja djuga terasa kaku pegal tak
mau turut perintahnja lagi, bahkan untuk menggerakkan sebuah djari sadja terasa
susah. Kiranja Leng-po-wi-poh jang tertera diatas tjermin perunggu itu adalah sematjam
ilmu silat maha tinggi, kalau orang melatihnja sudah mempunjai dasar ilmu silat
jang baik, maka setiap gerak-geriknja akan selalu disertai dengan tenaga dalam
jang kuat. Sebaliknja Toan Ki sedikitpun tidak mempunjai dasar Lwekang,
djalannja tergantung ingatannja melulu, melangkah sekali, pikir sekali dulu,
lalu berhenti, kemudian melangkah pula, tjara demikian tidak mendjadi halangan
karena pergolakan darah jang disebabkan gerak langkah itu mendapat tjukup waktu
untuk berhenti. Tapi kini sesudah dia apal, lalu sekaligus djalan begitu sadja,
seketika djalan darahnja berontak dan menerdjang balik, seketika ia lumpuh
dilantai, hampir2 tersesat atau apa jang disebut Tjau-hwe-djip-mo dalam ilmu
silat. Untung dia baru melangkah dua tindak dan tidak terlalu tjepat pula, maka
urat nadinja tidak sampai petjah atau putus.
Dalam keadaan kaget itulah, Toan Ki tjoba hendak meronta bangun, tapi semakin
bergerak semakin kaku, rasanja ingin muntah2, tapi toh tidak muntah. Achirnja ia
menghela napas pasrah nasib. Aneh djuga, setelah dia pasrah masabodoh, rasa
muaknja malah hilang lambat-laun.
Dan sekali dia sudah menggeletak tak berkutik, keadaan itu berlangsung hingga
esok paginja masih tetap begitu. Diam2 ia pikir: Papan perunggu dibawah kaki
Entji Dewi itu tertulis bahwa pengalamanku selandjutnja akan sangat mengenaskan,
suruh aku djangan menjesal. Namun kalau aku tjuma mati kelaparan begini sadja,
rasanja masih belum termasuk terlalu mengenaskan.
Kira2 sampai pukul 10 pagi itu, sinar matahari menjorot miring dari luar hingga
persis menerangi diatas sebuah tjermin perunggu. Mata Toan Ki mendjadi silau
oleh repleksi tjahaja matahari itu. Pikirnja ingin egos kepala menghindari sinar
menjilaukan itu, tapi apa daja, antero badannja tak bisa bergerak. Tiba2 ia
melihat diatas tjermin itu lapat2 seperti terukir huruf2 Bi-the, Siau-ko dan
lain2. oleh karena kepalanja toh tak bisa bererak, sekalian ia lantas batja
tulisan2 itu setjara tjermat, lalu direnungkan dalam2.
Dari tjermin pertama tadi ia hanja dapat beladjar 32 segi daripada 64
segi itu. Kebetulan apa jang terukir diatas tjermin sekarang ini adalah sisa 32
segi jang lain. Segera ia mempeladjarinja lebih djauh. Meskipun kakinja takbisa
bergerak, tapi pikirannja dipusatkan se-akan2 kakinja lagi bergerak menurut
langkah2 jang ditundjukkan diatas tjermin itu.
Sampai petang, sudah ada belasan langkah dapat dipahami, rasa muaknja ternjata
djauh berkurang. Sampai besok paginja lagi, ke-32 langkah itu sudah dapat dipetjahkan seluruhnja.
Diam2 ia mengapalkan lagi seluruh 64 segi itu dari awal sampai achir. Dan
njatanja memang berdjalan dengan lantjar. Ibaratnja orang jang mogok ditengah
djalan karena menghadpai djalan buntu, kini mendadak djalan itu dapat ditembus.
Karuan Toan Ki sangat girang, terus sadja ia melontjat bangun sambil bertepuk
tangan dan berseru: Bagus, bagus! ~ Dan ia mendjadi tertegun heran ingat dirinja
mendadak sudah dapat bergerak lagi tanpa merasa.
Kedjut dan girang Toan Ki tidak terkira, ia kuatir kalau lupa, maka ke-64 gerak
langkah itu diulanginja beberapa kali hingga apal benar2, ia melangkah pelahan2
setindak demi setindak hingga achirnja tertjapai dengan bulat, ia merasa
semangatnja mendjadi kuat dan seger. Meski sudah beberapa hari tidak makan, tapi
toh tidak terasa lapar. Ia memberi hormat kearah patung dan mengutjapkan terima
kasih, lalu tjepat berlari keluar dari gua itu. Dengan mengikuti djalan jang
pernah dilaluinja, ia melintasi Sian-djin-toh dan kembali ke Bu-liang-san,
achirnja berdjumpa pula dengan Bok Wan-djing.
Demikianlah ia tjeritakan pengalamannja itu kepada sang ajah dan paman, hanja
mengenai patung tjantik itu ia tidak tjeritakan, ia bilang menemukan dua buah
tjermin perunggu dan dari ukiran tulisan diatas tjermin2 itulah dapat diperoleh
ilmu gerak langkah jang adjaib itu. Ia merasa dihadapan orang sebanjak itu tidak
pantas kalau mentjeritakan dirinja kesemsem oleh sebuah patung aju, apalagi Bok
Wan-djing tentu akan marah besar dan bukan mustahil dirinja bisa digampar pula.
Selesai Toan Ki bertjerita, Po-ting-te lantas berkata: Ke-64 gerak langkah itu
terang mengandung sematjam ilmu Lwekang jang maha tinggi, tjobalah kau melakukan
sekali lagi dari awal sampai achir.
Toan Ki mengia, lalu mulai berdjalan selangkah demi selangkah menurut
perhitungan Pat-kwa. Po-ting-te, Toan Tjing-sun dan Ko Sing-thay adalah ahli2 Lwekang semua, tapi
terhadap keadjaiban ilmu langkah itu, mereka tjuma bisa menangkap satu-dua
bagian sadja, selebihnja merekapun merasa bingung.
Selesai Toan Ki melangkah ke-64 segi itu, persis ia memutar suatu lingkaran
besar dan tiba kembali ditempat semula. Po-ting-te sangat girang, serunja: Bagus
sekali! Poh-hoat ini tiada bandingannja diseluruh djagat, sungguh beruntung
sekali Ki-dji dapat memperolehnja, harap Ki-dji melatihnja lebih masak. Sekarang
silakan kau omong2 dengan ibumu jang baru pulang istana. ~ Lalu ia berpaling
pada permaisurinja: Marilah kita pulang keraton!
Honghou mengia sambil berbangkit. Segerak Toan Tjing-sun dan lain2
menghantar Hongte dan Honghou keluar gapura istana Tin-lam-ong.
Setelah berada didalam istana sendiri, segera Toan Tjing-sun mengadakan
perdjamuan untuk menjambut pulangnja sang isteri dan datangnja Bok Wan-djing.
Satu medja hanja empat orang, jaitu Toan Tjing-sun suami isteri, Toan Ki dan
Wan-djing, tapi dajang jang melajani hampir 20 orang banjaknja. Sudah tentu
selama hidup Bok Wan-djing belum pernah melihat kemewahan demikian, begitu pula
semua masakan jang disuguhkan disitu djangankan melihat, bahkan mendengar djuga
tidak pernah. Tapi demi nampak ajah-bunda Toan Ki memandang dirinja sebagai
anggota keluarga sendiri, diam2 iapun sangat lega dan senang.
Ketika melihat sikap ibunja terhadap ajahnja tetap dingin sadja, tidak mau minum
arak dan tidak makan daging, hanja dahar sedikit sajuran sadja, segera Toan Ki
menuangi satu tjawan arak dan berkata: Mak, marilah anak menghormati engkau
setjawan! Tidak, aku tidak minum arak, sahut Yan-toan-siantju.
Tapi Toan Ki menuang lagi setjawan dan mengedipi Wan-djing, katanja pula:
Minumlah, mak, nona Bok djuga ingin menjuguh engkau setjawan!
Segera Bok Wan-djing mengangkat tjawan jang diangsurkan Toan Ki itu dan berdiri.
Yan-toan-siantju mendjadi tidak enak kalau bersikap dingin juga terhadap Bok
Wan-djing, maka katanja dengan tersenjum: Nona, puteraku ini terlalu nakal,
ajah-bundahnja susah mengendalikan dia, selandjutnja kau perlu membantu aku
mengawasi dia lebih keras.
Tentu, sahut Wan-djing. Kalau dia tidak menurut, kontan kudjewer dia!
Yan-toan-siantju mengikik keli oleh djawaban itu sambil melirik sang suami.
Dengan kikuk Toan Tjing-sun djuga tertawa, udjarnja: Memang harus begitu!
Lalu Yan-toan-siantju ulur tangannja menerima tjawan arak suguhan Bok Wan-djing
itu. Dibawah sinar lilin jang terang-benderang, Wan-djing melihat lengan njonja
pangeran itu putih halus bagaikan saldju. Tiba2
dapat dilihatnja pula dipunggung tangan dekat pergelangan terdapat sebuah
andeng2 merah sebesar mata uang (tembong). Seketika badang Wan-djing tergetar,
tjepat ia tanja dengan suara gemetar: Apa ... apakah engkau ber
... bernama Si Pek-hong"
Darimana kau tahu namaku" sahut Yan-toan-siantju dengan tertawa.
Engkau benar... benar2 Si Pek-hong" Wan-djing menegas pula dengan terputus2.
Bukankah dahulu engkau memakai sendjata... sendjata petjut"
Melihat gadis itu rada aneh, namun Yan-toan-siantju alias Si Pek-hong masih
belum tjuriga, sahutnja pula dengan tersenjum: Sungguh Ki-dji sangat baik
kepadamu, sampai nama ketjilku djuga diberitahu padamu.
Mendadak Bok Wan-djing terus berteriak: Budi guru maha tinggi, perintah guru
susah dibangkang! ~ bebareng tangannja bergerak, dua batang panah beratjun
lantas menjamber kedada Yan-toan-siantju.
Dalam perdjamuan jang diliputi suasana riang gembira diantara anggota keluarga
sendiri itu, sudah tentu siapapun takkan menjangka bakal terdjadi penjerangan
mendadak dari Bok Wan-djing. Biarpun ilmu silat Yan-toan-siantju djauh lebih
tinggi daripada Bok Wan-djing, tapi djarak kedua orang sangat dekat, pula
terdjadinja setjara tiba2, tampak kedua panah itu segera akan menantjap didada
sasarannja. Toan Tjing-sun duduk disebelah kiri Bok Wan-djing, begitu melihat gelagat
djelek, tjepat djarinja menutuk, tapi It-yang-tji jang lihay itu djuga tjuma
dapat membikin Bok Wan-djing takbisa berkutik, sedang kedua panah masih tetap
menjamber kedepan. Sebaliknja Toan Ki duduk disisi kanan, sudah beberapa kali ia pernah menjaksikan
Bok Wan-djing menjerang dan panahnja jang berbisa lihay itu.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka begitu nampak gadis itu ajun tangannja, segera ia tahu bakal tjelaka. Ia
takbisa ilmu silat, tapi diengan Leng-po-wi-poh jang tjepat luar biasa, tahu2 ia
dapat menjelinap menghadang didepan sang ibu sehingga kedua panah berbisa tepat
menantjap didadanja. Bebareng itu Bok Wan-djing djuga merasa badannja mendjadi
kaku dan takbisa berkutik karena ditutuk Toan Tjing-sun. Betapa tjepatnja Tinlam-ong itu hingga menjusul sekaligus ia tutuk pula, beberapa kali disekitar
luka Toan Ki jang terpanah itu agar ratjun tidak terus menjerang lebih dalam.
Habis itu, ia baliki tangan memuntir lengan Bok Wan-djing hingga terlepas dari
ruasnja, dengan demikian supaja gadis itu takbisa melepaskan panahnja pula. Lalu
ia lepaskan Hiat-to jang ditutuk dan membentak: Lekas keluarkan obat penawarnja!
Aku ... aku tidak bermaksud memanah Toan-long, aku ingin ... ingin membunuh Si
Pek-hong! demikian djerit Wan-djing setengah emratap. Dengan menahan sakit
lengannja jang keseleo, tjepat ia keluarkan dua botol ketjil obat penawar
ratjun, katanja: Jang merah minumkan, jang putih bubuhkan dilukanja, lekas,
harus lekas! Kalau terlambat tidak keburu tertolong lagi!
Yan-toan-siantju melotot sekali kearah gadis itu, melihat begitu perhatiannja
terhadap puteranja jang timbul sungguh2 dari hati murninja.
Diam2 ia sudah dapat membade sebab-musabab kedjadian ini. Segera ia rebut obat
penawar itu dan mengobati Toan Ki menurut petundjuk Bok Wan-djing tadi.
Terima kasih kepada langit dan bumi bahwa... bahwa djiwanja dapat diselamatkan,
kalau... kalau tidak... demikian Bok Wan-djing tak sanggup meneruskan lagi
ratapannja. Sementara itu setelah terpanah, Toan Ki sudah djatuh pingsan dipangkuan sang
ibu. Suami-isteri Toan Tjing-sun terus memperhatikan luka Toan Ki, melihat darah
jang mengalir keluar dari luka itu dari hitam sudah berubah ungu, lalu mendjadi
merah kembali, mereka baru merasa lega karena tahu djiwa sang putera sudah dapat
diselamatkan. Segera Yan-toan-siantju pondong puteranja kedalam kamar, lalu ia keluar lagi
keruangan makan itu. Tidak apa2, bukan" tanja Toan Tjing-sun kepada sang isteri.
Tapi Yan-toan-siantju tak mendjawabnja, sebaliknja lantas berkata kepada Bok
Wan-djing: Pergilah kau katakan pada Siu-lo-to Tjin Ang-bian bahwa...
Mendengar disebutnja Siu-lo-to Tjin Ang-bian itu, seketika wadjah Toan Tjing-sun
berubah hebat, tanjanja dengan ter-gagap2: Kau... kau bilang apa"
Tapi Yan-toan-siantju tak menggubrisnja, ia tetap berkata pada Wan-djing:
Katakanlah padanja, djika dia inginkan djiwaku, pakailah tjara terbuka dan
terang2an, tapi kalau main litjik begini, tentu akan dibuat tertawaan orang
sadja. Aku tidak kenal siapa gerangan Siu-lo-to Tjin Ang-bian! djawab Wan-djing keras2.
Habis, siapa jang suruh kau membunuh diriku! tanja Siantju.
Guruku, sahut Wan-djing. Guruku suruh aku membunuh dua orang. Jang seorang
adalah engkau. Beliau menerangkan padaku bahwa ditanganmu ada andeng2 merah jang
besar, namanja Si Pek-hong, parasnja tjantik, bersendjatakan petjut. Tapi dia
tidak bilang kau berdandan sebagai To-koh (imam wanita). Kulihat pula engkau
memakai kebut pertapaan, bernama Yan-toan-siantju pula, sungguh tidak njana
bahwa engkaulah orang jang harus kubunuh menuru perintah guruku, lebih2 tak
kusangka bahwa engkau adalah ibunja Toan-long... ~ berkata sampai disini, tak
tertahan lagi air matanjua bertjutjuran.
Dan orang kedua jang gurumu ingin membunuhnja itu, bukankah djuga seorang wanita
tjantik, tangan kanannja sudah kehilangan tiga djari"
tanja Si Pek-hong alias Yan-toan-siantju.
Benar, seru Wan-djing heran. Darimana engkau tahu" Wanita itu katanja she
Kheng.... Tiba2 pipi Si Pek-hong basah djuga oleh air mata jang sudah berlinang2, ia
memikir sedjenak, lalu berkata kepada sang suami: Tjing-sun, haraplah kau
merawat Ki-dji baik2! Pek-hong, sahut Tin-lam-ong, suka-duka dimasa lalu, buat apa masih tetap kau
pikir" Kau tidak memikir, tapi aku tetap memikirnja dan orang lainpun tidak pernah
melupakannja, sahut Si Pek-hong dengan rasa pedih. Habis ini, sekonjong2 ia
melompat naik terus melesat keluar melalui djendela.
Tjepat Toan Tjing-sun hendak menarik lengan badjunja, namun Si Pek-hong sempat
angkat tangannja itu terus menjabet kemuka sang suami, untuk Tinlam-ong sempat
mengegoskan kepalanja, bret, hanja sepotong kain lengan badju Si Pek-hong kena
dirobeknja. Apa kau adjak berkelahi" seru Si Pek-hong dengan gusar sambil menoleh.
Pek-hong, kau ... baru sekian Toan Tjing-sun mendjawab, segera Si Pek-hong sudah
melesat dengan tjepat. Dari djauh terdengar suara bentakan Leng Djian-li jang keras: Siapa itu" ~
Segera terdengar Si Pek-hong mendjawab: Aku! ~ Lalu kedengaran Leng Djian-li
berseru dengan gugup: Ah, kiranja Onghui! ~ Habis itu, lalu sunji senjap tiada
suara lagi. Tjing-sun ter-mangu2 berdiri ditempatnja, achirnja ia menghela napas dan
memandang Bok Wan-djing jang sementara itu tampak putjat pasi menahan sakit,
tapi toh tidak melarikan diri. Ia mendekati gadis itu dan pegang langannja,
krok, ia betulkan lagi ruas tulang jang sengadja dipuntir keseleo tadi.
Aku telah panah isterinja, entah siksaan kedji apa jang hendak dia lakukan atas
diriku" demikian Wan-djing membatin.
Tak terduga Toan Tjing-sun hanja diam2 sadja, dengan lesu kemudian ia berduduk
diatas kursinja, pelahan2 ia angkat tjawan araknja tadi dan diteguk habis
sekaligus. Pandangannja terpaku kearah perginja Si Pek-hong tadi dengan termangu2. sedjenak kemudian, ia menuang arak dan diteguknja habis lagi. Dengan
tjara menuang sendiri dan minum sendiri, tidak lama sudah 13 tjawan
dikeringkannja, kalau potji arak jang satu sudah kering, lantas menuang dari
potji jang lain. Menuangnja sangat lambat, tapi meneguknja sangat tjepat.
Makin lama Bok Wan-djing mendjadi semakin kesal, saking tak tahan, achirnja ia
berteriak keras2: Tjara bagaimana kau hendak siksa aku, lekaslah kau lakukan!
Baru sekarang Toan Tjing-sun mendongak kearahnja serta memandangnja dengan mata
tak berkedip. Selang agak lama, ia berkata: Sungguh mirip!
Seharusnja aku sudah melihatnja sedjak tadi, ja, beginilah wadjahnja dan
beginilah tabiatnja .... Mendengar utjapan orang tak karuan tudjuannja, Bok Wan-djing berseru pula: Kau
bilang apa" Ngatjo-belo belaka!
Tapi Tjing-sun tak mendjawabnja, tiba2 ia berbangkit, pelahan2 telapak tangan
kiri memotong miring kebelakang, ser sekali dengan pelahan, tahu2
api lilin jang berkobar2 dibelakangnja terpadam sebatang. Menjusul telapak
tangan kanan memotong pula kebelakang dan lagi2 api lilin jang lain disirapkan.
Ber-turut2 ia memadamkan lima batang api lilin, tapi pandangannja selalu melihat
kedepan, gerak tangannja pelahan, tapi enteng dan indah gajanja.
He, bukankah ini adalah... adalah Ngo-lo-gin-yan-tjiang"Kenapa engkau djuga
bisa" demikian tanja Wan-djing dengan heran dan terkedjut.
Pernahkah gurumu mengadjarkan ilmu ini kepadamu" sahut Tjing-sun dengan
tersenjum getir. Tidak pernah, sahut sigadis. Suhu bilang kepandaianku belum tjukup masak untuk
melatih ilmu pukulan ini. Pula, Suhu menjatakan ilmu pukulannja ini sudah pasti
takkan diturunkan pada orang lain, kelak akan dibawanja serta keliang kubur.
O, djadi dia bilang takkan mengadjarkan pada orang lain dan akan dibawa serta
keliang kubur kelak" Tjing-sun menegas.
Ja, sahut Wan-djing. Tjuma Suhu masih sering melatihnja diluar tahuku, karena
itu, diam2 aku sudah sering melihatnja djuga.
Dia sering melatih ilmu pukulan ini seorang diri" Tjing-sun menegas pula.
Wan-djing memanggut, sahutnja: Ja. Setiap kali Suhu melatih ilmu pukulan ini,
tentu dia muring2 dan mendamperat aku. Tapi ken... kenapa kaupun bisa" Eh,
malahan engkau seperti lebih pandai memainkannja daripada guruku.
Toan Tjing-sun menghela napas, kemudian katanja pula: Ilmu Ngo-lo-gin-yan-tjiang
ini adalah aku jang mengadjarkan pada Suhumu.
Wan-djing terkedjut, tapi ia pertjaja djuga. Sebab setiap kali gurunja melatih
pukulan itu, seringkali mesti dua-tiga kali gerakan baru bisa memadamkan api
lilin. Tapi Toan Tjing-sun ini tjukup sekali kebas sudah bisa sirapkan api
lilin, geraknja indah dan dilakukan seperti seenaknja sadja. Maka dengan tak
lantjar ia menanja pula: Djadi engkau adalah gurunja Suhuku" Engkau
adalah........ adalah kakek guruku"
Bukan! sahut Tin-lam-ong dengan menggeleng kepala. Kemudian ia komat-kamit
sendiri sambil bertopang dagu: Setiap kali dia berlatih tentu muring2 dan
menjatakan ilmu ini takkan diadjarkan pada orang lain, tapi akan dibawa serta
keliang kubur..... Dan bagaimana engkau......"
Baru Wan-djing hendak menanja atau Toan Tjing-sun sudah menggojang tangan
mentjegahnja supaya djangan bersuara. Lewat sebentar, tiba2 ia menanja: Tahun
ini kau berumur 18, kau terlahir dibulan sembilan, betul tidak"
He, darimana kau tahu" Kau pernah apa dengan Suhuku" tanja Wan-djing heran.
Maka tertampaklah air muka Toan Tjing-sun penuh rasa derita, dengan suara parau
ia mendjawab: Aku merasa ber....... dosa pada gurumu, berdosa pada.......
padamu, Wan-djing, kau......
Ada apa" sahut Wan-djing Kulihat engkau ini sangat ramah-tamah, sangat baik.
Apa nama gurumu tak pernah diberitahukan padamu" tanja Tjing-sun pula.
Suhu bilang namanja Bu-beng-khek, tapi sebenarnja she apa dan nama apa, aku
tidak mengetahuinja. Bagaimana penghidupan gurumu selama ber-tahun2 ini" Dimana kalian tinggal" tanja
Tjing-sun lebih djauh. Kami tinggal dibalik suatu gunung jang tinggi dan tidak pernah bertemu dengan
siapapun, sedjak ketjil akupun demikian. sahut sigadis.
Siapakah ajah-bundamu, apakah kau tak diberitahu oleh gurumu"
Kata Suhu, aku adalah anak piatu jang dibuang oleh orang tua, Suhu dapat
menemukan aku ditepi djalan.
Kau bentji pada ajah-bundamu atau tidak"
Bok Wan-djing tidak lantas mendjawab, ia meng-gigit2 kuku djarinja sambil
miringkan kepalanja memikir.
Melihat sikap demikian itu, tak tertahan lagi hati Toan Tjing-sun mendjadi pilu
dan meneteskan air mata. Wan-djing mendjadi heran melihat pengeran itu menangis, tanjanja: He, kenapa
engkau menangis" Lekas2 Tin-lam-ong berpaling dan mengusap air matanja, lalu paksakan diri
tertawa dan mendjawab: Ah, masakan aku menangis" Tapi pengaruh arak itu, mataku
mendjadi pedas! Sudah tentu sigadis takmau pertjaja, katanja: Terang aku melihat engkau
menangis. Biasanja tjuma wanita jang menangis, djadi laki2 djuga bisa menangis"
Aku tak pernah melihat orang laki2 menangis, ketjuali anak ketjil.
Melihat gadis itu sama sekali tidak mengerti peradaban orang hidup, Tin-lam-ong
mendjadi lebih terharu. Katanja kemudian: Wan-dji, kelak aku pasti akan djaga
baik2 padamu barulah dapat sekedar mengganti kesalahanku jang lalu. Adalah
sesuatu tjita2mu, tjoba katakanlah padaku, pasti aku akan melaksanakannja
sepenuh tenaga bagimu. Sebenarnja hati Bok Wan-djing masih kebat-kebit karena habis memanah njonja
Toan, tapi demi mendengar utjapan Toan Tjing-sun ini, ia mendjadi girang,
serunja: Djadi kau takkan marah lagi karena aku memanah isterimu"
Djusteru seperti apa jang kaukatakan tadi: Budi guru maha tinggi, perintah guru
susah dibantah, urusan orang tua dimasa dahulu tiada sangkut-pautnja dengan
dirimu, maka aku takkan marah padamu. Tjuma sadja lain kali djangan lagi kau
kurang sopan pada isteriku.
Tapi kalau kelak Suhuku menanjakan, lantas bagaimana" udjar Wan-djing.
Bawalah aku pergi menemui gurumu, biar kubitjara padanja. kata Tjing-sun.
Bagus! seru Wan-djing dengan girang sambil bertepuk tangan. Tapi segera ia
berkata pula dengan mengkerut kening: Namun guruku sering bilang bahwa laki2
didunia ini semuanja berhati palsu. Selamanja dia tidak sudi menemui orang
laki2. Sekilas Tjing-sun mengundjuk rasa aneh dan heran, tanjanja tjepat: Gurumu
selamanja tidak bertemu dengan orang laki2"
Ja, untuk keperluan se-hari2, Suhuku selalu suruh pelajan perempuan tua jang
melakukan, sahut Wan-djing. Satu kali, pelajan tua itu sakit, ia suruh puteranja
mewakili belandja keperluan dapur, Suhu mendjadi marah dan suruh dia taruh
djauh2 diluar pintu dan melarangnja masuk kerumah.
Ai, Ang-bian, Ang-bian! Buat apa engkau menjiksa diri begitu" demikian Tjing-sun
menghela napas. Kau mengatakan Ang-bian lagi, sebenarnja siapakah gerangan Ang-bian itu" tanja
Wan-djing. Urusan ini takbisa membohongi kau selamanja, biarlah kukatakan padamu.
Gurumu asalnja bernama Tjin Ang-bian, orang memberi djulukan Siu-lo-to padanja.
O, kiranja begitu! Pantas begitu melihat tjaraku membidikkan panah, njonjamu
lantas tanja aku pernah apa dengan Siu-lo-to Tjin Ang-bian.
Tatkala itu aku benar2 tidak tahu, djadi bukan sengadja berdusta. Kiranja guruku
bernama Tjin Ang-bian, ehm, namanja ini indah benar!
Tadi aku telah puntir tanganmu, masih sakit tidak sekarang" tanja Tjing-sun
dengan penuh menjesal. Melihat sikap pengeran itu begitu ramah tamah, dengan tersenjum Wan-djing
mendjawab: Sekarang sudah baik. Marilah kita pergi mendjenguknja"
Kukuatir ratjun panahku itu belum lagi bersih dari lukanja.
Baiklah. sahut Tjing-sun sambil berbangkit. Lalu katanja pula: Kau mempunjai
keinginan apa, tjoba katakanlah padaku.
Paras Bok Wan-djing mendjadi merah djengah, ia menunduk dan menjahut:
Sesudah........ sesudah kupanah isterinja, kukuatir dia........ dia akan marah
padaku. Kita pelahan2 minta maaf padanja, boleh djadi kelak dia takkan marah lagi, kata
Tjing-sun. Sebenarnja aku tidak pernah minta maaf pada siapapun djuga. Tapi demi Toan-long,
tidak apalah biar kuminta ampun padanja kelak, habis ini, tiba2 Wan-djing
beranikan diri dan berkata pula: Tin-lam-ong, apabila kukatakan tjita2ku, apa
benar2 engkau akan........ akan melaksanakan bagiku"
Sudah tentu, asal tenagaku tjukup utk melakukannja, pasti akan kulaksanakan
bagimu. sahut Tjing-sun. Apa jang kau katakan ini, djangan kau pungkir djandji. udjar Wan-djing.
Tin-lam-ong tersenjum, ia mendekati sigadis dan mem-belai2 rambutnja dengan
penuh rasa kasih-sajang, kemudian djawabnja: Aku pasti takkan pungkir djanji.
Baiklah, djika begitu urusan pernikahan kami berdua, haraplah engkau
melaksanakannja, tidak boleh dia mengingkari djandji dan berhati palsu. ~
Habis mengutjapkan kata2 itu, wadjah Wan-djing tampak bertjahaja berseri2.
Sebaliknja air muka Toan Tjing-sun semakin guram dan pelahan2 melangkah mundur,
lalu mendjatuhkan diri diatas kursinja dengan lesu. Lama sampai lama sekali
masih tidak bitjara. Melihat gelagatnja rada kurang benar, segera Bok Wan-djing mendesak lebih djauh:
Engkau......... engkau menjanggupi atau tidak"
Tidak, kau pasti tidak dapat menikah dengan Ki-dji. sahut Tjing-sun kemudian
dengan suaranja jang parau berat, tapi tegas.
Seketika rasa Bok Wan-djing mendjadi dingini, se-akan2 digujur seember air,
tanjanja dengan ter-putus2: Sebab apa" Se............ sebab apa"
Dia............ dia sendiri sudah berdjandji pada......... padaku, Tapi Toan
Tjing-sun hanja mendjawab singkat: Hukum karma, hukum karma!
Wan-djing semakin gugup, serunja: Djika dia tidak mau lagi
padaku,aku............ aku lantas membunuhnja, lalu............ lalu membunuh
diri. Sebab aku telah............ telah bersumpah dihadapan Suhu.
Takbisa! sahut Tjing-sun sambil geleng kepala pelahan.
Mengapa takbisa" Biar aku pergi tanja dia!
Ki-dji sendiripun takkan tahu, udjar Tjing-sun. Dan ketika melihat rasa derita
sigadis jang memilukan itu mirip benar dengan kedjadian 18 tahun jang lalu,
dimana ketika mendadak Tjin Ang-bian mendengar berita duka, ia takbisa menahan
perasaannja lagi, tertjetuslah segera dari mulutnja: Kau takbisa menikah dengan
Ki-dji, djuga tak boleh membunuhnja!
Sebab apakah" Sebab............... sebab Toan Ki adalah kakamu sendiri!
Seketika mata Bok Wan-djing terbelalak lebar, sungguh ia tidak pertjaja pada
pendengaran sendiri itu, tanjanja dengan suara gemetar: Ap.........
apa katamu" Kau......... kau bilang Toan-long adalah kakaku"
Ja, sahut Tjing-sun tegas. Wan-dji, apa kau belum tahu siapakah sebenarnja
gurumu itu" Dia adalah ibu kandungan dan aku adalah ajahmu!
Terperandjat dan gusar tak terhingga rasa Bok Wan-djing hingga wadjahnja putjat
pasi, katanja pula dengan ter-putus2: Aku ti............... tidak pertjaja, aku
tidak pertjaja! Sekonjong2 terdengar suara seorang menghela napas pandjang diluar djendela, lalu
suara seorang wanita telah berkata: Wan-dji, barilah kita pulang sadja!
He, Suhu! teriak Wan-djing sambil memutar tubuh dengan tjepat.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Srak, mendadak djendela itu terbuka, maka tertampaklah diluar situ sudah berdiri
seorang wanita setengah umur, berwadjah bundar telor,alis lentik, mata tjeli,
paras mukanja sangat tjantik, sinar matanja menjorotkantjahaja bengis dan
kekerasan hatinja. Melihat bekas.kekasihnja ~ Siu-lo-to Tiin Ang-bian ~ mendadak muntjul di situ,
Toan Tjing-sun mendjadi kaget dan girang, serunja keras2: Angbian, Ang-bian!
Selama beberapa ta............ tahun ini, entah betapa aku te........ telah
merindukan dikau! Namun Tjin Ang-bian tidak mendjawab, katanja pula kepada Bok Wan-djing: Wan-dji,
marilah keluar! Rumah manusia jang tipis budi dan berhati palsu, djangan tinggal
terlalu lama disini! Melihat sikap sang Suhu terhadap Toan Tjing-sun itu, perasaan Bok Wan-djing
mendjadi lebih tersedak, serunja dengan tak lantjar: Suhu, dia...... dia telah
menipu aku, katanja engkau adalah......... adalah ibuku dan dia....... dia
adalah ajahku. Ibumu sudah lama meninggal, begitu pula ajahmu, sahut Tjian Ang-bian dengan
sikap dingin. Mendadak Tjing-sun berlari keambang djendela, serunja dengan suara memohon: Angbian, marilah masuk kesini, biarkan aku bisa memandang engkau barang sebentar.
Djangan lagi engkau tinggalkan daku, marilah selandjutnja kita selalu hidup
berdampingan bersama. Tiba2 sinar mata Tjin Ang-bian mengkilat terang, tanjanja: Kau bilang kita akan
hidup berdampingan untuk se-lama2nja" Benar2 demikian maksudmu"
Ja, benar, benar! sahut Tjing-sun. O, Ang-bian, selama ini tidak pernah
sedetikpun aku melupakan dikau.
Tapi apa engkau tega meninggalkan Si Pek-hong" tanja Ang-bian.
Tjing-sun mendjadi tertegun, ia ragu2 dan tidak bisa mendjawab, wadjahnja
mengundjuk rasa serba sulit.
Maka Tjin Ang-bian berkata pula: Pabila engkau masih menaruh kasihan pada puteri
kita ini, maka marilah engkau ikut pergi padaku dan selandjutnja tidak boleh
ingat lagi pada Si Pek-hong, untuk se-lama2nja djangan pulang lagi kesini.
Mengikuti pertjakapan itu, perasaan Bok Wan-djing mendjadi makin tenggelam,
makin tertekan, air matanja ber-kilau2 dikelopak matanja hingga bajangan sang
guru dan Toan Tjing-sun tampak samar2. Sekarang ia telah jakin bahwa kedua orang
dihadapannja ini memang benar2 adalah ajah-bunda kandungnja sendiri. Dan jang
lebih memukul perasaannja adalah kekasih jang selama ini ditjintainja itu
ternjata adalah saudara laki2
sendiri dari satu ajah tapi lain ibu. Maka segala impian muluk2 jang pernah
dibajangkan olehnja selama ini dalam sekedjap sadja telah bujar sirna semua.
Terdengar Toan Tjing-sun telah mendjawab: Tapi, Ang-bian, aku adalah.......
adalah Tin-lam-ong dari negeri Tayli ini, aku memegang kekuasaan penuh
pemerintahan militer dan sipil, sebentar.......
sebentarpun aku takbisa meninggalkannja.....
Delapanbelas tahun jang lalu kau berkata demikian, delapanbelas tahun kemudian
Samurai Pengembara 4 1 Pendekar Pulau Neraka 48 Perempuan Bertopeng Emas Ksatria Negeri Salju 4

Cari Blog Ini