Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen Bagian 12
Karena disamping dapat menjaga diri, itupun dapat juga
dipakai untuk menyerang lawannya.
Andaikata pada saat itu Lie Siauw Hiong berada disitu,
diapun pasti akan mengeluarkan suara teriakannya saking
terkejutnya. Karena sewaktu dia berada dipulau Siauw-ciap-too dan
Lie Siauw Hiong pernah saling mengadu kepandaian
dengan main-main bersama pemimpin Tiga Dewa Diluar
Dunia Peng Hoan Siang-jin, diapun pernah menggunakan
jurus ini, dan setelah berdiam sesaat lamanya, secara
sekonyong-konyong pula Peng Hoan Siang-jin berhasil
mengeluarkan serangan balasan yang tidak lain tidak bukan
sama saja seperti tipu Bu Heng Seng ini.
Bwee San Bin yang sangat membanggakan jurusnya ini,
ketika melihat lawannya telah dapat memecahkan
serangannya ini, tidak terasa lagi dia jadi terkejut sekali.
Setelah berdiam sejurus, lalu dia mengeluarkan
serangannya kembali, dan serangannya ini dinamakannya
'Po-giok-kun-hoat', yang paling dibuat bangga oleh Bu Heng
Seng. Begitulah kedua orang ini saling bertempur dengan
secara lisan, mereka bertempur dengan serunya, dan dengan
serangannya ini ia hendak memutuskan, siapa diantara
mereka berdua yang lebih unggul, sedangkan ketangkasan
kedua-duanyapun, hingga ini tepat sekali jika disebut : "Bila
tidak bersuara, tidak mengapa, tapi jika sekali bersuara saja,
orang banyak segera menjadi terkejut."
Chit-biauw-sin-kun yang tengah berpikir cara bagaimana,
untuk memecahkan serangan lawannya ini, waktu
memperhatikan lawannya bukannya menjaga diri tapi
malah berbalik melakukan penyerangan yang dahsyat
sekali, buru-buru dia berpikir untuk berikhtiar cara
bagaimana untuk memecahkan serangan lawannya, tapi ini
ternyata tidak berhasil. Tapi Chit-biauw-sin-kun ternyata bukanlah seorang
sembarangan. Setelah berselang sejurus lamanya, buru-buru
dia berkata : "Bu Heng Seng, seranganmu ini boleh
dikatakan luar biasa sekali dan sukar dicari keduanya, tapi
untuk membicarakan tentang penjagaan, ternyata itu masih
tidak seberapa kokoh."
Bu Heng Seng dengan suara yang nyaring lalu berkata :
"Silahkan !" Bwee San Bin hanya tersenyum saja, dan tiba-tiba
berkata : "Marilah kita minum arak dahulu."
Sehabis berkata begitu, lalu dia cabut salah satu cabang
dari dalam tabunan, sambil diguratkan diatas salju dengan
maksud menyuruh lawannya untuk minum arak terlebih
dahulu. Bu Heng Seng menganggukkan kepalanya, tapi waktu
dia melihat yang dia sendiri tidak mempunyai cangkir
untuk mengisi araknya, dengan acuh tak acuh dia lalu
membungkuk dan meraup segumpal salju, yang kemudian
dihancurkannya dan dibuatnya sebuah cangkir dari salju
sambil berkata : "Ditempat yang begini sepi dan liar tidak
terdapat alat-alat yang sempurna untuk dipakai minum
arak, oleh karena itu, maka gelas salju inilah saja yang akan
kupergunakan sebagai gantinya."
Bwee San Bin yang mengetahui bahwa lawannya ini
tengah memperlihatkan kepandaian tenaga-dalamnya,
sambil tersenyum dia lain berkata : "Bagus, bagus !" Lalu
dia menuangkan arak itu kedalam cangkir es tersebut.
Harus diketahui, bahwa arak yang masih panas itu
karena baru dihangatkan, dengan sekejapan mata saja dapat
membuat cangkir es itu lumer seketika, tapi dalam
kenyataan ternyata dapat bertahan hawa panas seolah-olah
cangkir yang dibuat daripada porselen saja.
Sekalipun Bwee San Bin mempunyai kepandaian dan
pengalaman yang luas sekali, tapi bila menyuruh dia
berbuat demikian, maka secara terus terang dia akan
menyerah kalah. Tapi berkat tenaga-dalam Bu Heng Seng yang disalurkan
pada cangkir es itu, ternyata cangkir tersebut tinggal utuh
dan tidak menjadi lumer karena diisikan arak yang panas
itu! Setelah mengisi cangkir arak yang istimewa ini, Bwee
San Bin pun lalu mengisi pula cangkirnya sendiri, kemudian
mereka minum arak bersama-sama.
Arak 'Bwee-cu-hiang' ini adalah hasil buatan daerah ini
yang istimewa sekali. Arak ini seluruhnya dibuat daripada
bahan pohon bwee, sehingga harumnyapun bukan buatan
sedapnya. Setelah meneguk arak tersebut, Bu Heng Seng
memuji tak habis-habisnya akan kebaikan arak tersebut.
Setelah Bwee San Bin minum arak bersama-sama Bu
Heng Seng sehingga tujuh gelas banyaknya, barulah dia
hentikan minumnya dan berkata : "Ilmu yang tadi kau
keluarkan itu, bagian sebelah atasnya seperti gertakan
belaka, sedangkan dibagian sebelah bawahnyapun kosong
melompong, dengan mengambil kedudukan ditujuh tempat,
yang setiap saat dapat diubah menjadi bentuk Patkwa, bila
lawan tidak menginsyafi, mula-mula kau tentu menggertak
dengan jurusmu serta mengadakan pergerakan disebelah
atas, dan disebelah itu dengan cepat pula kaupun mengubah
kedudukan bagian sebelah bawahmu dengan bentuk
Patkwa, kemudian kaupun menggunakan tendangan Lianhoan-twie (tendangan berantai) untuk menendang lawanmu, sudah itu disusul dengan jalan mengubah
gertakan menjadi serangan sungguh-sungguh dalam tiga
jalan, tenaga kekuatan penyeranganmu maupun perubahan
jurusmu itu, tidak sedikit daya perubahannya ......" Berkata
sampai disitu, dengan sengaja dia hentikan ceritanya,
dengan laku yang tidak sabaran sekali Bu Heng Seng lalu
bertanya : "Tidak tahu apakah kau dapat menerangkan
dengan gaya apa kau dapat memecahkan seranganku itu ?"
Bwee San Bin lalu menjawab : "Aku tidak hiraukan
serangan bagian atasmu, tapi bagian bawahmu dengan
mengikuti perubahanmu dari bentuk tujuh bintang berubah
menjadi bentuk 'Pat-kwa' aku menendang beberapa kali,
kemudian setelah kaupun mengubah serangan bagian
atasmu dari gertakan menjadi sungguh-sungguh, lantas aku
gunakan jurus 'Lek-cam-lam-kwan' (dengan sepenuh tenaga
membabat rintangan), menggempur jalan darah 'Ciang-bu'
dan 'Cie-ho', maka kaupun sukarlah untuk mempertahankan diri pula ......"
Sesudah Bwee San Bin berkata sampai disitu, mukanya
Bu Heng Seng tampak terkejut sekali dan dia berkata :
"Pelahan dahulu, bila tubuh bagian bawahku dengan lantas
melakukan serangan Lian-hoan-twie-ku, berbareng dengan
itu akupun sekalian mengadakan perubahan pula dalam
seranganku dibagian sebelah atas dengan menggunakan
gaya 'rapat' dari partai Thay Khek ......"
Chit-biauw-sin-kun berpikir sebentar, kemudian diapun
mengeluarkan jurus lainnya untuk menentang lawannya.
Kedua orang ini mula-mula hanya mengeluarkan jurusjurus yang sederhana saja, tapi pada saat ini serangan
mereka dari lambat berubah menjadi cepat, hingga kentara
dari gerak-gerik kedua orang itu, yang sambil menyebutkan
jurus-jurus serangan mereka, segera tangan merekapun
bergerak-gerak sebagai tanda berlangsungnya pertempuran
tersebut. Bu Heng Seng pada saat itu telah mengeluarkan
kepandaiannya yang paling dibuat andalan, yaitu 'Po-giokkun-hoat'-nya, tapi sebaliknya Bwee San Bin telah
menggunakan 'Kiu-cie-kiam-sek'-nya sebagai timpalan
daripada serangan-serangan lawannya itu.
Dalam waktu singkat pertempuran dengan lisan itu telah
mencapai enampuluh jurus lamanya, dengan kedua pihak
masih ngotot dan tak mau saling mengalah.
Semakin lama pertempuran itu berlangsung, Bu Heng
Seng semakin merasa terkejut akan akibat yang disaksikannya itu. Ia tidak nyana bahwa di Tiong Goan ia
telah bertemu dengan seorang lawan yang dapat
menandingi semua kepandaian yang ia miliki. Ia memuji
pada Bwee San Bin, tapi diakhirnya mencaci Chit-biauwsin-kun sebagai 'perampok yang suka memperkosa kaum
wanita'. Ketika berpikir sampai disitu, hatinya teringat akan
kematian Biu Kiu Nio yang disangkanya telah dibinasakan
oleh Bwee San Bin, hingga dengan tiba-tiba timbul kembali
amarahnya, ketika dengan lekas pula dia teringat akan isteri
dan gadisnya yang hilang tak tentu rimbanya. Hal mana,
telah menimbulkan perasaan hatinya yang semakin meluap
dan sengit saja. Chit-biauw-sin-kun dengan mengandalkan kepandaiannya yang bernama 'Kiu-cie-kiam-sek' itu ia
melawan musuhnya, pada saat itu karena hatinya Bu Heng
Seng mendadak tergerak, maka serangannya menjadi agak
kendor, hingga Bwee San Bin yang mendapat kesempatan
baik, dengan segera dia menggunakan sepasang tangannya
untuk menyerang lawannya itu dengan secara bertubi-tubi.
Hati Bu Heng Seng terkejut bukan kepalang, buru-buru
dia pusatkan pula perhatiannya untuk menyambut serangan
yang datangnya bertubi-tubi dari lawannya itu, tapi walau
bagaimanapun, tampak dengan jelas bahwa dia hanya dapat
menangkis serangan lawannya dengan laku yang tergesagesa saking bingungnya, tapi untuk sementara tidak dapat
balas menyerang. Sementara Chit-biauw-sin-kun yang
menampak hal ini, hanya tertawa dingin saja. Dan tatkala
semangat Bu Heng Seng terbangun pula, sepasang
tangannyapun segera menyerang lawannya dengan ganas
sekali. Setelah pertempuran berlangsung beberapa jurus pula
lamanya, Bu Heng Seng yang tidak lagi dapat
mengendalikan perasaan hatinya, dengan laku yang tidak
sabaran lalu berteriak : "Tahan dahulu, aku mempunyai
satu hal yang hendak ditanyakan kepadamu !"
Bwee San Bin agak terkejut ketika mendengar perkataan
lawannya. maka sambil menghentikan serangannya dia
menjawab : "Baiklah, Loohu bersedia akan mendengari."
Dengan muka berubah Bu Heng Seng lalu bertanya
dengan suara yang tajam : "Apakah kau kenal Biu Kiu Nio
?" Sekonyong-konyon g Bwee San Bin merasa terkejut
sekali, seluruh badannya tergetar seakan-akan tersentuh
oleh aliran listrik, karena nama itu seakan-akan merupakan
satu pukulan yang luar biasa hebat bagi dirinya
Dengan marah Bu Heng Seng lalu membentak : "Kau ini
bangsat tua, walau matipun harus menerima hukumanmu
yang setimpal ! Engkau pasti tak akan dapat meloloskan diri
daripada perbuatan kejam yang telah kau lakukan !
Mengapa kau mencelakakannya hidup-hidup sehingga dia
menjadi gila dan akhirnya meninggalkan dunia ini dengan
cara yang begitu sengsara ?"
Bwee San Bin bila tidak mendengar perkataan "dia
menjadi gila dan kemudian mati" masih tidak mengapa,
tapi setelah mendengarnya, mukanya tiba- tiba tampak jauh
lebih tua dan dengan perasaan sayu dia berdiri terpekur ......
Sesungguhnya, dia seperti orang gila saja, muka yang
lemah-lembut terbayang dikelopak matanya, tapi dia telah
mati, malahan matinyapun secara menyedihkan sekali, dan
dalam hal ini, siapakah yang bersalah "
Setelah dia tersadar, maka dengan segera dia mengetahui
apa sebabnya Bu Heng Seng berlaku dengan telengasnya
terhadapnya, oleh karena itu, dia yang memang sangat
cerdik sekali dengan segera mengetahui dimana letak
kesalahannya. Bu Heng Seng hanya memandanginya dengan tertawa
dingin saja, pada saat itu dia perlahan-lahan mengeluarkan
suara jengekannya dari lobang hidungnya, siapa tahu Bwee
San Bin pun mendadak berlaku demikian pula terhadapnya
...... Didalam hati diam-diam Bwee San Bin berkata :
"Kematiannya Kiu Nio, jika dikatakan adalah gara-garaku,
mana boleh aku segera dipersalahkan " Hal ini rupanya
telah terjadi karena salah paham, tapi aku mesti
menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya kepadanya.
Hmm, dia yang mempunyai kepandaian setinggi itu, ketika
melihat kematian Kiu Nio ternyata tak berdaya upaya
untuk menolongnya, mungkin sekali ....."
Begitulah dia berpikir, dan semakin hal ini dipikirkan,
semakin menimbulkan perasaan marahnya saja, seakanakan dengan sesungguhnya Kiu Nio pada saat itu tengah
gila dihadapannya, dengan Bu Heng Seng hanya diam saja
menyaksikan adegan itu, hingga tidak terasa lagi dia lalu
menarik napas dalam-dalam.
Bu Heng Seng yang pada saat itu sedang diliputi amarah,
dia sedang menantikan jawaban orang, ketika tiba-tiba
melihat Bwee San Bin menarik napas, maka dengan
suaranya yang bengis dia berkata : "Hei bangsat tua bangka
yang tak bermalu, sungguh sayang sekali kau yang
mempunyai kepandaian setinggi itu, tapi
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ternyata perbuatannya sangat terkutuk ! Hari ini aku akan
melakukan suatu pekerjaan untuk kebaikannya masyarakat
dan membasmi manusia sebangsamu ini !"
Sambil berkata begitu tangannya lalu diangkat tinggitinggi, untuk kemudian hendak dijatuhkan ketubuh orang
tua itu. Tapi Bwee San Bin hanya tertawa dingin dan lalu
membuka matanya besar-besar menatap wajah Bu Heng
Seng. Tangannya Bu Heng Seng hampir saja menimpah tubuh
Bwee San Bin, ketika dari arah belakangnya sekonyongkonyong terdengar bentakan nyaring dari seseorang :
"Siapakah yang berani melukai guruku ?"
Suara itu masih terpisah jauh pada jarak belasan tombak,
tapi getaran suaranya terasa dekat sekali dibelakangnya.
Oleh karena itu, hati Bu Heng Seng jadi terkejut, lekas-lekas
ia tarik kembali tangannya yang hendak dipukulkan atas
tubuh lawannya, kemudian membalikan tubuhnya sambil
menyerang dengan mengibaskan lengan bajunya.
Tampaknya orang yang mendatangi itupun cepat sekali
datangnya, hingga kedua orang ini tidak dapat dicegah pula
saling berbentrokan dengan mengeluarkan suara "Paang"
yang sangat nyaring sekali, sehingga pundaknya Bu Heng
Seng dirasakan meluang sekali karena beradunya kedua
pukulan itu. Sedangkan orang yang mendatangi itu, karena beradunya kedua kepalan mereka, diapun terpukul mundur
sampai dua langkah jauhnya. Sekalipun tadi Bu Heng Seng
telah menyerang lawannya yang baru datang ini dengan
secara tergesa-gesa, hingga tenaga yang dikeluarkannya
tidak sepenuhnya, tapi dia adalah salah seorang antara Tiga
Dewa Diluar Dunia, pukulannya itu menurut perhitungannya dapat membinasakan orang, tapi mengapa
orang ini hanya dapat dipukul mundur hanya dua langkah
saja, dengan sendirinya iapun menjadi sangat terperanjat
sekali. Setelah kedua pihak melihat lawannya masing-masing,
kedua-duanya jadi bertambah terperanjat, karena orang
yang baru datang itu bukan lain daripada si pemuda Lie
Siauw Hiong adanya ! Bu Heng Seng dalam perasaan terkejutnya, masih merasa
agak girang juga, setelah mengetahui bahwa orang yang
disangkanya sudah terkubur didasar lautan itu ternyata
masih hidup segar-bugar. Tapi dibalik kegirangan itu,
hatinyapun merasa pedih sekali, karana melihat Lie Siauw
Hiong setelah tidak mati dimakan ikan hiu, sekarang malah
tenaga dalamnya sudah bertambah berlipat ganda daripada
semula, dan tatkala baru saja ingin menanyakan sesuatu,
Lie Siauw Hiong dengan perasaan marah sekali sudah
bertanya : "Mengapa kau ingin mencelakai Bwee Sioksiokku ?" Lie Siauw Hiong sebenarnya orang yang simpatik sekali,
antara budi dan permusuhan dia dapat membedakan jelas
sekali, terhadap Bu Heng Seng ini dia sangat benci sekali,
pada saat itu diwaktu melihat orang yang sangat dibencinya
itu mengangkat tangan ingin memukul Bwee Siok-sioknya,
bukan saja dia bertambah marah, tapi karena dia telah
mengetahui, bahwa pada saat ini Bwee Siok-sioknya sudah
tidak lagi dapat mengadakan perlawanan apa-apa berhubung kepandaiannya sudah lenyap sama sekali, oleh
karena itu diapun tidak dapat menahan sabar terlebih lama
pula. "Hmmm, kau sebagai salah seorang antara Tiga Dewa
Diluar Dunia yang namanya sudah terkenal diseluruh
rimba persilatan, ternyata masih dapat berlaku keji terhadap
orang yang tidak mempunyai lagi kepandaiannya ! Maka
terhadap orang semacam kau ini, bolehlah dikatakan,
bolehlah dikatakan ... ah, sukar sekali untuk aku
mengatakannya." Bu Heng Seng pun tidak kurang pula marahnya, maka
dengan suara keras dia berseru : "Boleh dikatakan apa ?"
Dengan tertawa dingin Lie Siauw Hiong menjawab :
"Boleh dikatakan lebih hina daripada binatang !" Dia
sebenarnya tidak pandai memaki orang, tapi kali ini dapat
juga ia berbuat demikian karena saking amat sengitnya.
Bu Heng Seng gusar bukan buatan, maka sambil
mengatupkan mulutnya ia membentak : "Anak kecil,
ternyata kau pandai sekali memaki orang !"
Tapi Lie Siauw Hiong yang sudah merah matanya
saking gusarnya, dengan kalap dia lalu berseru : "Kau ini
setan tua yang keji sekali, dengan sesungguhnya aku
katakan bahwa kau ini tidak pantas disebut sebagai seorang
yang lebih tua, maka aku merasa kecewa sekali atas tindaktandukmu itu ......"
Bu Heng Seng dengan tetap tertawa dingin lalu berkata
pula : "Kau ini bocah masih hijau dan belum dapat
membedakan yang mana baik dan mana pula yang buruk,
maka aku merasa harus dan wajib mengajarmu !"
Perkataannya itu belum lagi habis diucapkan, ketika
badannya bergerak cepat dan lincah sekali bagaikan ikan
yang berenang menubruk kearah Lie Siauw Hiong.
Lie Siauw Hiong yang menampak serangan itu, hanya
mengeluarkan suara jengekan dari lobang hidungnya, dia
melihat bahwa lengan baju Bu Heng Seng tiba-tiba tampak
bagaikan beratus-ratus banyaknya, sedangkan sekujur
badannya sendiri tidak ada satu bagianpun yang tidak
berada dibawah ancaman totokan orang yang luar biasa itu.
Malahan dari mulut lengan bajunya masih dapat dirasakan
angin dingin yang menyamber-nyamber kearah dirinya.
Bila neristiwa ini terjadi pada beberapa bulan yang lalu,
Lie Siauw Hiong pasti sekali dalam satu jurus ini saja akan
tertawan oleh Bu Heng Seng. tapi Lie Siauw Hiong yang
sekarang adalah beda jauh dengan Lie Siauw Hiong pada
beberapa bulan yang lampau itu, maka begitu badannya
bergerak, lantas saja ia maju kemuka setengah langkah.
(Oo-dwkz-oO) Jilid 24 Sekalipun tenaga dalam Bwee San Bin telah lenyap, tapi
kepandaiannya masih tetap ada padanya, maka dengan
suara keras sekali dia berteriak : "Hiong Jie, gunakan jurus
'Bwee-ciam-sian-cun' bunga bwee muncul mendahului
musim semi), untuk menggempur bagian bawah musuh !"
Maksud Bwee San Bin adalah sambil menyerang sambil
menjaga diri, tapi matanya mendadak menjadi kabur,
karena Lie Siauw Hiong dengan segera telah berhasil dapat
meloloskan dirinya dari ancaman kedua lengan baju Bu
Heng Seng, malah disamping itu, diapun sudah berhasil
dapat berkelit dan sekilas berada dibelakangnya Bu Heng
Seng. Sekali ini bukan saja Bwee San Bin, tapi sebaliknya Bu
Heng Seng pun menjadi sangat terperanjat sekali. Yang
membuat heran dan terkejut Bwee San Bin adalah jurus
yang dipakai oleh Lie Siauw Hiong ini bukanlah pelajaran
yang telah diberikannya, tapi kehebatannya sungguh sangat
luar biasa sekali. Sebaliknya yang membuat heran Bu Heng
Seng adalah dalam waktu yang singat dan berbahaya itu,
ternyata pemuda kita telah dapat meloloskan dirinya secara
begitu licin sekali, sedangkan ilmu itupun agaknya mirip
dengan apa yang dimiliki oleh pemilik pulau Siauw Ciap
Too, yaitu Hui Taysu, yang jurusnya ini disebut 'Kit Mo
Pouw Hoat' tapi dia masih merasa sangsi dan dengan segera
berteriak : "Coba kau ulangkan jurus tersebut satu kali lagi
!" Dalam pada itu, diapun lantas menyerang kembali
dengan gerak yang lebih seru, dan begitu sebelah tangannya
berkelebat, lantas tampak bayangan kepalan yang besar
melindunginya ...... Sekalipun pada saat ini tenaga-dalam Lie Siauw Hiong
sudah maju sedemikian pesatnya, tapi serangan sekali ini
yang dilancarkan oleh Bu Heng Seng adalah dengan tenaga
delapan bagian, hingga tidak terasa lagi Lie Siauw Hiong
merasa terkejut sekali, lantas diapun menangkis dengan
tangannya yang separuh melingkar dengan menggunakan
jurus 'Bwee-touw-kie-hiang' (bunga bwee memancarkan
baunya yang harum semerbak), sambil kakinyapun lantas
digeser dengan pesat sekali.
Justeru pada saat itu, sekonyong-konyong terdengar
suatu teriakan yang aneh, dan bersamaan dengan itu,
sesosok bayangan putih dari tempat yang datar melompat
keatas dan bila dilihat dari jauh tampak dengan jelas bahwa
orang yang berbaju putih itu mempunyai ilmu meringankan
tubuh yang sempurna sekali.
Pergerakan kaki orang itu bukan main pesatnya,
demikian juga dengan gerak tubuhnya, hingga dari
kejauhan tampak seperti seekor kupu-kupu putih saja yang
terbang mendatangi. Bu Heng Sang, Lie Siauw Hiong dan
Bwee San Bin tidak terasa lagi merasa tertarik sekali dengan
serentak. Waktu orang itu sudah datang dekat, sekonyongkonyong orang itu tertawa terkekeh-kekeh, tapi suara
tertawanya sangat menyeramkan bagaikan bunyi burung
kokok beluk yang sangat menusuk pendengaran orang.
Lie Siauw Hiong lalu memandang pada orang itu, yang
ternyata diketiaknya mengempit dua orang yang agaknya
telah pingsan, hingga diam-diam dia puji orang itu yang
sekalipun membawa dua orang, tapi masih tetap dapat
berlari begitu pesat, suatu tanda bahwa kepandaian
meringankan tubuh semacam orang ini sungguh sukar
dicari tandingannya. Orang itu secara tiba-tiba lalu menahan suara tertawanya
dan berkata dengan suara yang sangat nyaring : "Bu Kek
Too-cu, kenalkah engkau akan daku ?" Suaranya jauh lebih
tidak enak terdengarnya daripada suara tertawanya tadi.
Bu Heng Seng lalu melirik kepadanya, hingga sekilas
hatinya tiba-tiba teringat akan seseorang yang pernah
dijumpainya sekali, yaitu kepala perampok dari laut Tong
Hay ...... Giok Khut Mo namanya!
Dengan lantas dia teringat bahwa tempo hari kapalnya
telah ditenggelamkan oleh anak buahnya orang ini, hingga
dalam hati dia merasa terkejut juga, tapi dimukanya dia
tidak memperhatikan tanda-tanda dari perasaan jeri
terhadapnya, tapi sesudah mengeluarkan suara jengekannya
dari lobang hidung. dengan suara yang sangat dingin dia
berkata : "Giok Khut Mo, orang-orang sebawahannmu cara
turun tangannya itu sungguh hebat sekali ! Aku mengira
setelah kau persatukan anak buahmu, kekuatanmu akan
bertambah berlipat ganda, tapi kenyataannya adalah nihil
belaka, malahan ketiga kapalmu itu semua telah kukirim
kedasar laut untuk menemui istana Hay Liong Ong !"
Dia kira setelah mendengar perkataannya itu, Giok Khut
Mo akan merasa sangat terkejut, tapi kenyataannya Giok
Khut Mo telah menyambut dengan jengekan itu sambil
tersenyum dan menganggukkan kepalanya, seakan-akan
siang-siang diapun sudah mengetahuinya, dan setelah orang
selesai berkata-kata, barulah dia menjawab dengan tenang :
"Justeru karena aku sangat memandang tinggi kepandaianmu, maka barulah hari ini aku datang kesini
untuk memohon sesuatu darimu ......"
Dalam hati diam-diam Bu Heng Seng berkata : "Kau
yang telah mengirim orang mencelakaiku, akupun masih
belum mencarimu untuk membuat perhitungan, tapi
sekarang lagi-lagi kau datang mencariku, aku ingin lihat
sebenarnya apa lagi yang hendak dimainkannya ?"
Kemudian Giok Khut Mo melanjutkan perkataannya :
"Kaupun sudah harus tahu, kami yang mencari sesuap nasi,
yang paling penting adalah tempat berusaha. Dahulu kapalkapal yang datang selalu melewati daerah kami, yaitu
kepulauan Sip See Kun Too, tapi belakangan ini mereka
telah menemui jalan pelayaran yang baru, sehingga untuk
tidak membuat saudara-saudara kami mati kelaparan, maka
aku datang kesini untuk memohon sesuatu kepadamu ......"
Bu Heng Seng semakin lama semakin tidak enak
mendengar perkataan orang ini, hingga tidak terasa lagi dia
menjadi marah dan dengan suara yang dingin lalu berkata:
"Bukankah kau bermaksud untuk mendaulat tempat
tinggalku ?" Giok Khut Mo lalu tertawa getir dan menjawab : "Tidak
berani, tidak berani, aku hanya ingin supaya kau memberi
kesempatan kepada saudara-saudara kami sekalian untuk
mencari sesuap nasi saja."
Dengan perkataannya itu, bukankah dengan terangterangan berarti bahwa dia membenarkan perkataan orang "
Bu Heng Seng terpaksa menahan amarahnya dan tertawa
getir, tapi suaranya semakin lama semakin tinggi saja.
Giok Khut Mo lalu melanjutkan perkataannya : "Kami
dipulau Sip See Kun Too telah mengatur sesuatu
dikepulauan kecil itu, segala persiapannya tidak lain
semuanya sama seperti dipulaumu, maka aku mengharap
agar supaya kau sudi pindah saja kesitu ......"
Suara tertawanya Bu Heng Seng belum lagi lenyap,
ketika mukanya telah berubah demikian rupa dan tidak lagi
melayani Giok Khut Mo, seakan-akan dia tidak
memandang sebelah mata terhadap kepala perampok dari
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
laut Timur itu. Giok Khut Mo yang melihat orang tidak melayani pula
kepadanya, dengan tertawa getir lalu berkata : "Bu Heng
Seng, cobalah kau lihat, barang apakah yang aku bawa ini
?" Bu Heng Seng ketika menolehkan kepalanya memandang, dia lihat dari bawah kempitan ketiaknya
tampak muka dua orang yang telah membuatnya terkejut
bukan buatan ! Sementara Lie Siauw Hiong yang juga turut memperhatikan lebih cermat, diapun hampir saja mengeluarkan suara teriakan tertahan, karena ternyata
orang-orang yang pingsan itu adalah orang-orang yang
diduganya sudah mati terkubur didasar lautan, yaitu Bu
Chit Nio dan Ceng Jie ibu dan anaknya !
Bu Heng Seng belum lagi lenyap suara teriakannya,
ketika badannya melesat maju untuk merampas kedua
orang itu dari kempitan Giok Khut Mo, orang luar biasa itu
yang melayang ditengah udara dengan amat gesitnya,
tangan kirinya dengan jurus 'Kui-tong-ban-but' (geledek
menggetarkan seluruh benda) hendak mencoba merampas
isteri dan anak dara kesayangannya dari dalam tangan
musuhnya itu. Lie Siauw Hiong yang menyaksikan serangan yang
sangat luar biasa ini, didalam hatinya ia sangat memuji atas
kepandaian orang ini, tapi entahlah cara bagaimana Giok
Khut Mo hendak melayaninya "
Siapa tahu baru saja dia melancarkan serangannya ini,
Bu Heng Seng harus berteriak dengan hati terkesiap dan
buru-buru menahan serangannya, karena demi dilihatnya
dengan teliti, nadi isteri serta anak daranya dicengkeram
demikian rupa oleh Giok Khut Mo, sehingga ia percaya,
bila serangannya itu dilanjutkan, maka orang yang pertamatama akan menjadi korban adalah isteri dan anaknya
sendiri, yang akan mati dibawah ancaman Giok Khut Mo
sang keji ini, maka dari itu, buru-buru dia melompat
mundur dengan hati yang berdebar-debar.
Setelah menyaksikan gerak-gerik orang itu. Giok Khut
Mo pun tidak mengancam pula pada isteri dan anak
daranya Bu Heng Seng, hanya melompat pada jarak yang
terpisah beberapa tombak jauhnya, Bwee San Bin dan Lie
Siauw Hiong yang memang pernah mendengar nama Giok
Khut Mo, ketika melihat ilmu meringankan tubuh orang itu
yang begitu sempurna, hati merekapun sangat memuji atas
kemampuan orang itu, tapi perasaan Lie Siauw Hiong pada
saat itu tidak lepas dari Ceng Jie yang sedang pingsan
dalam tangan kepala perampok itu. Dalam hati Bu Heng
Seng yang bingung bukan kepalang, tapi diam-diam iapun
merasa girang juga, setelah mengetahui bahwa isteri dan
anak daranya tidak mati terkubur didasar lautan.
Selanjutnya karena dia tak berani sembarangan bergerak,
maka suasana disitupun menjadi sunyi sekali.
Keadaan hawa udara ketika itu sangat luar biasa
dinginnya, tapi yang paling aneh Giok Khut Mo yang
hanya memakai pakaian compang-camping saja tampaknya
tidak merasakan hawa dingin itu, dan hal ini rupanya ia
telah dapat bertahan karena penyaluran tenaga-dalamnya
yang hangat disekujur badannya.
Bu Kek Too-cu yang melihatnya, menjadi merah
matanya, tapi tak berani sembarangan bergerak, apa lagi
waktu pandangannya jatuh keatas badan isteri dan
anaknya, diapun bertambah gugup saja, tapi tak berdaya
untuk menolong mereka. Giok Khut Mo dengan sikap dingin memandang
kepadanya, walaupun dia selalu siap sedia. Tatkala lama
juga dia tidak mendengar jawabannya Bu Heng Seng,
segera juga dia berkata: "Hal ini telah kuterangkan cukup
jelas, asal saja kau menganggukkan kepalamu satu kali,
maka kedua orang ini akan kubebaskan ......"
Bu Heng Seng yang pikirannya sedang kacau, seakanakan tidak mendengar perkataan orang itu, lagi pula
walaupun bagaimana dia pandainya juga, pada saat itu
benar-benar dia tidak berdaya sama sekali, hingga tanpa
terasa sekujur badannya telah mengeluarkan keringat
dingin, berhubung tidak mengetahui tindakan apa yang
harus diambil selanjutnya.
Kemudian Bu Heng Seng terdengar berteriak : "Jahanam
! Sesungguhnya engkau mampus !" Ketika tangannya
bergerak, cabang pohon bwee yang dicekalnya itu dengan
cepat meluncur ketubuh lawannya.
Giok Khut Mo segera menggeser badannya dengan tidak
kalah cepatnya, hingga sebentar saja diapun telah berhasil
memutar kedudukannya tiga ratus enam puluh derajat, dan
tatkala dia kembali pada kedudukannya semula, cabang
pohon itu meluncur ketempat kosong tidak berhasil
mengenai tubuhnya. Tapi Bwee San Bin yang duduk diatas tanah, waktu
melihat serangan yang dilangsungkan oleh Bu Heng Seng
ini tampak sedikit berlainan daripada biasa, tidak terasa lagi
dia mengeluarkan suara : "Ihhhhh."
Giok Khut Mo tertawa bergelak-gelak sambil kemudian
berkata : "Bu Heng Seng yang namanya sudah terkenal
sekali, mengapa harus mengeluarkan kepandaian semacam
demikian " Dan sabetan cabang pohon ini apakah hendak
diartikan bahwa kau suka atau tidak ......?"
Perkataan "Meluluskan" belum lagi keluar dari
mulutnya, ketika dugaan Bwee San Bin benar saja telah
terbukti, yaitu cabang pohon yang gagal mengenai
sasarannya tadi, kini mendadak berbalik kembali dan
mengancam punggung lawannya.
Tapi Giok Khut Mo segera mengetahui, bahwa
punggungnya tengah diancam oleh serangan musuh, maka
dengan lantas badannya diputarkan dengan cepat dan lekas
menangkis cabang pohon itu sedemikian kerasnya, sehingga
cabang pohon itu terpental dan menancap dalam sekali
pada sebuah pohon yang tumbuh didekatnya !
Selagi Bwee San Bin dan Lie Siauw Hiong memuji atas
serangan yang dilancarkan oleh Bu Heng Seng dan
ketangkasan Giok Khut Mo menghindarkan diri daripada
serangan itu, Bu Heng Seng dengan cepat sekali telah
menubruk kearah isteri dan anaknya untuk ditolongnya.
Kepandaian yang dikeluarkan oleh Bu Heng Seng ini
adalah kepandaian yang setinggi-tingginya yang pernah
dimilikinya, hingga kecepatannya tidak ada tandingannya,
sedangkan badannyapun ringan luar biasa.
Hal mana telah membuat Giok Khut Mo bagaikan
tersadar setelah kena tertipu oleh lawannya, hingga dengan
cepat dia keluarkan jurus 'Pwee-hong-liong-kiong' (dengan
punggung menutup lubang gua naga), badannya segera
diputarkan, tapi tangan Bu Heng Seng terpisah dengan leher
baju Biu Chit Nio belum sampai satu dim jauhnya.
Giok Khut Mo berteriak saking gugupnya, kemudian
mengangkat lengan bajunya yang sebelah kanan untuk
menyerang Bu Heng Seng dengan sekuat tenaga dalam
yang dimilikinya Bu Heng Seng sekalipun kepalanya sangat
pusing demi memikirkan cara bagaimana untuk menolong
isteri serta anak daranya, tapi pengalaman memberitahukan
kepadanya, bahwa asal saja kulitnya tersentuh oleh
tangannya Giok Khut Mo, tidak perduli betapapun kuatnya
serta tingginya kepandaian silat orang itu, maka kulit orang
yang tersentuh itu segera menderita keracunan hebat sekali.
Dalam waktu sekejapan mata saja. Jari-jari Bu Heng
Seng hampir menyentuh baju isterinya, tapi dengan sangat
terpaksa tangan itu telah dipakainya untuk menangkis
serangan lawannya. Sekonyong-konyong terdengar suara pletak yang nyaring
sekali, sekalipun tenaga Bu Heng Seng yang dikeluarkannya
tidak sepenuhnya, tapi tangkisan itu telah dirasakan oleh
Giok Khut Mo sangat hebat sekali, sehingga pundaknya
yang tergoncang itu dirasakannya meluang sangat hebat
sekali. Hanya akhirnya, Bu Heng Seng tidak berhasil dapat
menolong isterinya. Tapi Bu Heng Seng yang tidak lekas
putus asa, dengan sebelah tangan ia menangkis serangan
lawannya, sedangkan dengan sebelah tangannya lagi ia
tetap berdaya untuk mencekal baju isterinya.
Tiba-tiba terdengarlah Giok Khut Mo tertawa dingin,
lengan bajunya lalu disingsingkan, dari mana kemudian
keluar semacam hawa yang berbau sangat tidak enak !
Hal mana, telah membuat Bu Heng Seng merasa sangat
terperanjat, lebih-lebih karena dia mengingat bahwa Giok
Khut Mo itu adalah salah seorang ahli racun yang
terkemuka, hingga tentunya barang yang dikeluarkan
berupa asap itu mengandung racun yang sangat berbisa
sekali, maka diapun tidak lagi berdaya untuk menjambret
baju isterinya, hanya buru-buru melompat mundur, dan
berbareng dengan itu, iapun segera menahan napasnya.
Lie Siauw Hiong yang menyaksikan Giok Khut Mo telah
mengeluarkan semacam uap, hatinya merasa tidak tenteram
sekali, maka buru-buru dia memeluk tubuh Bwee San Bin
sambil diajak berlompat mundur, kepalanya dirasakannya
agak pusing, ketika Bu Heng Seng dengan sekonyongkonyong terdengar berseru : "Lekas mundur !" Berbareng
dengan itu, diapun segera menjambret Bwee San Bin sambil
diajak mundur dengan cepat sekali. Lie Siauw Hiong
merasakan kepalanya agak pusing, maka buru-buru diapun
mengeluarkan pelajaran 'Am-eng-pu-hiang'-nya, untuk
melompat dan menyingkir sejauh mungkin. Kepandaian
ilmu meringankan tubuh Siauw Hiong kini bukan buatan
hebatnya, karena dengan sekali lompat saja dia sudah
berhasil melompat sehingga tujuh atau delapan tombak
jauhnya, tapi baru saja kakinya menginjak tanah, dia
merasakan dari samping badannya menyambar angin keras,
dan yang ternyata bukan lain daripada Bu Heng Seng yang
mengempit Bwee Siok-sioknya melayang melewati disamping badannya. Lie Siauw Hiong merasa sangat kagum sekali, tapi waktu
dia menoleh kembali kepada Giok Khut Mo, lagi-lagi dia
merasa sangat terkejut. Ternyata dalam waktu sekejap mata saja, Giok Khut Mo
telah mengitari satu tempat sejauh satu tombak, kemudian
dia kibas-kibaskan lengan bajunya dari mana jatuh
berhamburan semacam bubuk halus, yang dalam waktu
sangat pendek telah membuat salju yang putih meletak dan
terserak ditanah berubah warnanya ! Giok Khut Mo sendiri
setelah menyebarkan racunnya ini disekelilingnya, lalu
memasukkan pil kedalam mulut isteri dan anak dara Bu
Heng Seng, karena tanpa menelan pil itu, maka tiada
seorangpun dapat hidup karena serangan racunnya yang
maha dahsyat itu! Tidak antara lama salju dalam lingkungan sejauh
setombak, yang telah disebarkan bubuk racun oleh Giok
Khut Mo tadi telah berubah warnanya menjadi abu-abu,
Giok Khut Mo sendiri beserta dua orang tawanannya yang
berada dalam lingkungan daerah tersebut, semakin lama
tampak berwarna semakin hitam gelap, sedangkan salju
yang jatuh dalam lingkungan itu, dalam waktu sekejap saja
telah menjadi lumer dan menjadi air !
Bu Heng Seng setelah mengenali bahaya dan dikalahkan
musuh pada kali ini karena kurang hati-hati, sekarang
hatinya sudah tenang kembali, maka sambil melirikkan
matanya dia telah mengasah otak cara bagaimana untuk
menolong isteri serta anak daranya.
Sekonyong-konyong Bwee San Bin berkata dengan suara
yang perlahan sekali : "Loohu kenal racun yang
disebarkannya itu. Itulah racun yang bernama 'Touw-khuttwan-hun-see' (menembus tulang mencabut nyawa), dalam
daerah lingkungan yang dibuatnya itu, dalam waktu tiga
jam segala manusia maupun binatang, tidak perduli
betapapun tebalnya kau memakai sepatu, bila sampai
terkena racun tersehut, jiwamu lantas akan melayang
menghadap Giam Loo Ong (raja akhirat). Menurut kata
orang, racun ini sukar sekali dibuatnya, sedangkan orang
yang dapat mengolahnya sudah lenyap atau mati. Tapi
mengapakah Giok Khut Ma masih dapat membuat racun
ini ?" Lie Siauw Hiong yang menaruh dendam terhadap Bu
Heng Seng serta isterinya, semulanya tidak menaruh
perhatian apa-apa, tapi karena diantara dua orang yang
ditawan Giok Khut Mo itu kedapatan Ceng Jie sianak dara
yang dicintainya, tiba-tiba hatinya menjadi sangat gugup
dan tak tahu bagaimana untuk menolongnya selanjutnya.
Maka ketika mendengar penjelasan Bwee Siok-sioknya,
tiba-tiba hatinya tergerak, kemudian dengan mengeluarkan
siulan panjang sekonyong-konyong dia melompat, badannya laksana seekor burung besar yang melayang
masuk kedalam daerah lingkungan Giok Khut Mo, dimana
ia telah menyerang batok kepala Giok Khut Mo dengan
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pedang ditangan kanannya.
Kepala perompak dari lautan Timur itu yang melihat
bayangan pemuda kita mendatangi kejurusannya, hatinya
terkejut bukan main dan dengan cepat dia menangkis
dengan kedua lengan bajunya. Dengan sebelah lengan
bajunya ia menyerang dada pemuda kita, sedangkan
dengan lengan bajunya yang lainnya ia berdaya untuk
melilit pedang pemuda yang ditabaskan kearah batok
kepalanya itu. Diam-diam Lie Siauw Hiong mengeluarkan suara
jengekan dari lobang hidungnya. Sambil menghempos
semangatnya, dia lalu menyerang lawannya dengan laku
yang ganas sekali dengan jurus 'Bwee-ciam-sin-cim' yang
menjadi salah satu jurus dari ilmu pedang 'Kiu-cie-kiamsek'. Giok Khut Mo menyaksikan bahwa serangan pedang
pemuda ini berada diluar dugaannya, tapi dengan
mengandal pada tenaganya yang kuat, dia berusaha untuk
menangkis serangan itu. Tapi meski menerima tangkisan yang sedemikian
hebatnya itu tidak urung Lie Siauw Hiong menerjang
dengan hati mantap. Pedang yang menyamber kian-kemari
dengan amat dahsyatnya, tidak henti-hentinya mengancam
lawannya sehingga lawan itu terdesak mundur. Dan dengan
melupakan segala bahaya, ia menyerbu kedaerah lingkungan Giok Khut Mo untuk membebaskan orangorang yang menjadi tawanan musuh itu.
Tapi siapa tahu, tenaga-dalam Giok Khut Mo cukup
tangguh, hingga waktu pedangnya Lie Siauw Hiong
menusuk dan kena ditangkis oleh lengan bajunya, dia
rasakan sesuatu yang tidak beres, karena dengan segera
Giok Khut Mo telah menahan lengan bajunya dan
melawan dengan tenaga lemas, tapi sesudah itu dengan
lekas pula dia buat lengan bajunya menjadi lurus dan keras,
disabetkan pada sipemuda, hingga Siauw Hiong yang
menampak kejadian tersebut, tentu saja menjadi sibuk
bukan buatan. Dikatakan lambat tapi kejadiannya sangat pesat sekali,
sewaktu Lie Siauw Hiong tidak berhasil memukul mundur
pada Giok Khut Mo, kakinya yang hendak jatuh dibumi
hampir saja menyentuh garis lingkaran yang dibuat oleh
lawannya itu, hingga dalam kegugupannya, dengan laku
yang nekad sekali Siauw Hiong sekonyong-konyong
mengulurkan tangan kirinya untuk menotok mata Giok
Khut Mo. Kepala perampok itu yang melihat serangan totokan
pemuda itu sukar ditangkis, terpaksa dengan hati
mendongkol ia berlompat mundur setengah langkah.
Sementara Lie Siauw Hiong dengan menggunakan
kesempatan itu, segera masuk kedalam kalangan yang
dibuat oleh lawannya itu. Kemudian dengan mengerahkan
tenaga sepenuhnya, diapun melompat keluar pula dari
kalangan yang terlingkungi oleh daerah racun itu.
Giok Khut Mo sekalipun sangat terperanjat menyaksikan
ilmu meringankan tubuh Lie Siauw Hiong, tapi disudut
bibirnya tersungging sebuah senyuman iblis. Kecuali Chitbiauw-sin-kun yang kini sudah lenyap kepandaiannya, Le
Siauw Hong dan Bu Heng Seng adalah orang-orang gagah
sejagat pada saat itu, tapi Giok Khut Mo adalah seorang
ahli racun, dalam lapangan mana sudah barang tentu kedua
orang itu merasa tidak berdaya.
Begitulah ketiga orang itu berdiam diri memikirkan daya
untuk memecahkan soal rumit yang sedang mereka hadapi,
lebih-lebih bagi Bu Heng Seng sendiri ...... karena bila
lawannya tidak menggunakan racun, dia percaya dan yakin,
dalam seratus atau dua ratus jurus saja dia pasti akan dapat
mengambil jiwa Giok Khut Mo, tapi kini karena isteri dan
anak daranya telah pingsan terlampau lama karena kena
racun, maka membuat hati Bu Heng Seng berpikir semakin
keras. Salju masih saja terus turun dengan sesukanya, ketika
dengan sekonyong-konyong dari tempat yang jauh
terdengar berkumandang suara tertawanya seorang edan.
Dibawah salju yang turun dengan lebatnya ini, dengan
tiba-tiba saja terlihat mendatangi seseorang tua yang
berjalan dengan tersaruk-saruk, rambutnya tidak keruan
macam dan mukanya sangat kotor sekali, sedangkan
pakaiannya yang sudah sangat dekil hampir tidak diketahui
pula warna apa pada asal mulanya, tapi bila diperhatikan
dengan cermat, maka tampaklah bahwa baju ini semulanya
terbuat daripada bahan sutera.
Orang tua ini sambil jalan sambil menengadahkan
kepalanya dan tertawa kegila-gilaan, sudah itu lalu
terdengar dia bersenandung : "Orang tua yang gemar
mancing tertawa bergelak-gelak, dengan kedinginan dia
berjalan pulang, cara bagaimanakah dapat mengail seorang
diri ditepi disungan yang dingin itu ?" Setelah itu dia
tertawa pula bergelak-gelak : "Ha ha ha ! Sungguh lucu,
sungguh lucu, ha ha ha ......" Begitulah suara yang telah
dikeluarkannya. Pada saat itu lagi-lagi dia berjalan maju beberapa
langkah dengan sempoyongan, kemudian dia melihat
kelangit, agaknya dia menyadari bahwa hari telah
menjelang malam. Kemudian, entah apa sebabnya, tiba-tiba
saja dia menangis terisak-isak.
Suara menangisnya itu tinggi rendahnya mengikuti
tiupannya angin yang berhembus pada saat itu, tampaknya
dia menangis demikian sedihnya. Lalu berjalan lagi
beberapa langkah, dengan masih terus menangis. Dengan
sikap acuh tak acuh diapun melangkah dua tindak lagi,
sekonyong-konyong dia mengeluarkan suara "Ihhhh", lalu
dia berhenti dimuka sebatang pohon besar ......
Tampak orang itu tengah tercengang agaknya, dan disitu
ia berdiri terpekur bagaikan orang yang sedang berpikir ......
Perlahan-lahan tampaknya terpikir sesuatu, yaitu tempat
ini, lembah ini, pohon ini dan masih banyak lagi barangbarang yang membawa ingatannya kembali pada hal yang
dulu-dulu, benar, agaknya waktu dia masih kecil dia suka
sekali bermain-main disini, dan pohon bwee ini adalah
tangannya sendiri yang telah menanamnya ......
Tampaknya dia mulai mengingat-ingat segala-galanya,
dan dengan laku seperti orang kemasukan setan dia segera
tubruk pohon bwee besar ini. Diwaktu dia menanamnya,
pohon ini masih kecil, baru saja berapa inci tingginya, tapi
kini sudah sepelukan manusia, dan diatasnya banyak sekali
cabang-cabangnya yang menambah keindahannya ......
Setelah dia memeluk pohon bwee besar itu, agaknya dia
merasa girang sekali, seakan-akan menemukan kembali
sesuatu yang sudah hilang, tiba-tiba saja dia melepaskan
suara tangisannya yang menggerung-gerung. Dan dengan
suara yang terputus-putus dia berkata : "Pohon ini sudah
begini besarnya, tapi orangnya kaya apa " Pohon ini sudah
begini besarnya, tapi orangnya kaya apa " ......
Suara tangisannya laksana suara burung kokok beluk
yang berbunyi dimalam sunyi diatas sebuah tanah
pekuburan saja, ataupun suara tangisannya itu bagaikan
pekik monyet yang kehilangan anaknya, suara itu
berkumandang terus ......
Bu Heng Seng, Bwee San Bin, Lie Siauw Hiong,
sampaikan Giok Khut Mo sendiri, tidak dapat menahan
perasaannya lagi dan lalu menoleh memandang pada orang
itu. Dari kejauhan dia kelihatan sebentar menangis sebentar
tertawa, sedangkan jalannyapun sempoyongan, oleh sebab
itu, dalam hati mereka berempat lalu berkata : "Huuuhh,
orang gila !" Lalu mereka bertigapun memusatkan pikiran
mereka kembali untuk berdaya-upaya akan menolong
orang. Giok Khut Mo yang melihat racunnya telah membuat
orang banyak tidak berdaya, sehingga salah seorang antara
Tiga Dewan Diluar Dunia pun tidak berdaya, dalam
girangnya tidak terasa lagi dia menjadi sombong dan
dengan suaranya yang nyaring lalu berkata : "Bu Heng
Seng, aku lihat baiklah kau luluskan saja permintaanku.
Hmmm, membicarakan soal tenaga-dalam, aku Giok Khut
Mo kalah setingkat dari padamu, tapi dalam hal
membicarakan tentang racun, aku Giok Khut Mo dengan
tidak sungkan-sungkan lagi berani mengatakan, bahwa
didunia ini tidak ada orang yang keduanya ...."
Mendengar perkataan orang itu, Bu Heng Seng hanya
mengeluarkan suara jengekan dari lobang hidung, seakanakan dengan secara tidak langsung dia membenarkan
perkataan orang. Siapa tahu ketika baru saja Giok Khut Mo mengatakan
"Tidak ada orang yang keduanya", sekonyong-konyong
terdengar suara orang yang berkata dengan nyaring sekali :
"Siapa sih yang begitu berani membuka mulut besar ?"
Mereka dengan serentak lalu menolehkan kepala
memandang, karena diluar dugaan mereka semula, orang
yang berkata itu bukan lain daripada orang gila itu adanya !
Dalam hati orang banyak berpikir : "Orang ini sungguh
aneh sekali, sebentar menangis sebentar tertawa, kemudian
berteriak-teriak, seakan-akan dia benar-benar seorang edan,
tapi nyatanya pada saat ini dia tidak seperti orang edan pula
!" Lie Siauw Hiong dan Bwee San Bin tiba-tiba merasa
bahwa muka orang ini agak dikenali mereka, cuma karena
jaraknya masih terlampau jauh, maka belum dapat mereka
melihat cukup jelas. Giok Khut Mo yang tengah bergirang dan bangga atas
'keunggulannya', ketika mendengar ada orang yang
memutuskan perkataannya, keruan saja ia menjadi marah,
maka ia lalu berseru : "Orang desa mana sih yang berani
datang ketempat liar ini " Ayoh, lekas laporkan nama
anjingmu !" Orang itu tetap menengadahkan kepalanya, tapi diamdiam matanya memancarkan sinar yang tajam menusuk,
hingga hati Lie Siauw Hiong tergerak, dan ketika baru saja
dia ingin membuka mulut, orang itu dengan secara tiba-tiba
memperdengarkan bentakannya yang keras laksana suara
geledek dan menjawab : "Loohu she Kim, namaku hanya
satu, It Peng !" Pada saat itu, suasana disekeliling mereka
justeru amat sunyinya, hingga suara jawaban orang itu
sangat nyaring dan nyata sekali terdengarnya.
Lie Siauw Hiong dan Bwee San Bin yang mendengarnya,
hati mereka barulah tahu dan insyaf, siapa adanya orang
itu, tapi Giok Khut Mo dan Bu Heng Seng tidak
menunjukkan perasaan apa-apa, karena sesungguhnya
mereka belum pernah mendengar nama tersebut, apa lagi
mereka tinggal jauh sekali, hingga tentu saja nama tersebut
dirasakan asing sekali bagi mereka.
Pada saat itu Kim It Peng tampaknya seakan-akan sudah
sadarkan diri dan tidak lagi dia berlaku seperti orang gila
lagi, maka dengan tindakan yang perlahan dia jalan
menghampiri, sedangkan mukanya menunjukkan sebuah
senyuman yang penuh rahasia.
Waktu dia lewat disamping badan Lie Siauw Hiong,
dengan sebuah lirikan yang disapukannya pada si pemuda
seakan-akan dia hendak berkata : "Hmmm, kau bocah
cilikpun datang juga kemari ?"
Orang banyak yang melihat tingkah laku orang ini, tiada
seorangpun yang tidak merasa heran, tapi dengan tenang
orang tua itu lalu jalan menghampiri ketempat Giok Khut
Mo yang senantiasa bersikap amat sombong dan
mengangap 'sepi' semua lawan-lawannya.
Giok Khut Mo tidak mengetahui, dengan siapa dia
sekarang berhadapan. Kim It Peng dengan laku seenaknya saja lalu berjalan
masuk kedalam lingkungan racun yang disebarkan
lawannya, yaitu racun yang dapat menembusi tulang dan
memutuskan nyawa, dan dengan tidak memandang sebelah
matapun, terus saja dengan sikap yang acuh tak acuh ia
memasuki lingkaran tersebut.
Orang banyakpun baru insyaf, ketika sesudah dia
berjalan diatas salju dia tidak meninggalkan bekas telapak
kakinya, hingga diam-diam Bu Heng Seng jadi terkejut dan
berkata pada dirinya sendiri : "Orang ini tampaknya tidak
lemah tenaga dalamnya. Dulu aku kira didaerah Tiong
Goan tidak terdapat orang-orang gagah, tapi sekarang
teranglah bahwa dugaanku ini tidak benar adanya."
Kim It- Peng terus berjalan sampai dimukanya Giok
Khut Mo kurang lebih tiga langkah, barulah dia berhenti
sambil berkata dengan suara dingin : "Aku dengar kau
mengatakan bahwa tidak ada orang keduanya yang dapat
menandingi dalam soal racunmu didalam dunia ini " Ha ha
ha, barangkali kau sedang bermimpi, kawan ! Maka aku
inilah orang yang pertama tidak merasa tunduk denganmu
!" Giok Khut Mo mengira bahwa orang ini datang untuk
mencari setori, tidak tahunya hendak mengadu racun
dengannya, hingga diam-diam diapun merasa tenteram dan
berkata didalam hati, bahwa orang ini hanya hendak
mencari mampus saja. Oleh karena itu, sambil menegaskan kata-katanya,
tampak Giok Khut Mo berkata dengan suara yang dingin
sekali : "Aku Giok Khut Mo memang benar telah
mengucapkan perkataan tersebut, apakah kau tidak merasa
tunduk dan puas dengan itu ?"
Kim It Peng tertawa bergelak-gelak, dan sambil
menengadahkan kepalanya, dia sama sekali tidak menghiraukan perkataan kepala perampok itu.
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak terasa lagi Giok Khut Mo menjadi sangat geram
dan kemudian berteriak : "Aku Giok Khut Mo telah
berjalan melalui daratan dan menyaberangi lautan, juga
tidak ada tempat yang liar bagaimanapun yang tidak pernah
aku pergikan, segala macam rumput maupun pohonpohonan yang beracun aku telah jumpai, kau orang dari
daerah Tiong Goan seperti juga katak dalam sumur,
pengetahuanmu tentang racun masih sangat cetek sekali,
kau mengerti apa sih tentang hal racun-racun itu ?"
Kim It Peng yang mendengar perkataan orang itu, hanya
merasa heran saja, tapi tidak menjawab barang sepatah
katapun. Giok Khut Mo mengira bahwa orang ini telah
'kena' digertaknya sehingga terkejut dan takut, hingga tidak
terasa lagi dia merasa sangat bangga sekali.
Siapa tahu Kim It Peng hanya menjawab : "Aku malah
merasa heran sekali, mengapa masih ada orang yang berani
main gila dihadapanku, tidak tahunya kau ini adalah
turunan Tartar (orang biadab), maka tidak heranlah jika kau
berani temberang. Ha ha ha ......"
Mendengar perkataan orang itu Giok Khut Mo menjadi
sangat geram sekali, kemudian dengan tidak berayal lagi ia
kibaskan lengan bajunya dari mana segera mengepul uap
putih yang lalu menyamber kemuka Kim It Peng.
Tempat berdirinya Kim It Peng terpisah dengannya tidak
sampai tiga langkah, dan lingkaran yang dibuatnya itu
adalah sejauh lima meter, tentu saja Kim It Peng sukar
meloloskan diri pula, daripada kibasan lengan baju Giok
Khut Mo, hingga Bu Heng Seng jadi berteriak saking ngeri
memikirkan akibatnya. Tapi siapa tahu Kim It Peng masih tinggal tetap berdiri
dengan gagahnya, dan dengan laku yang wajar sekali lalu
menyedot hawa uap beracun itu kedalam rongga dadanya !
Giok Khut Mo pada saat itu menjadi gugup dan marah,
tapi semacam perasaan akan segera menang datang
kepadanya, lalu dia kibaskan kembali lengan bajunya,
kemudian dengan suara yang tajam dia berkata : "Tua
bangka, ternyata kau ini boleh dipuji lihay juga ! Apakah
kau berani bertaruh sekali lagi denganku ?"
Kim It Peng hanya tertawa bergelak-gelak, diapun tidak
ingin menjawab perkataan orang. Sekonyong-konyong dia
berkata pada Lie Siauw Hiong : "Hai, bocah, coba kau
tolong bawakan tempat yang berisi arak itu kepadaku ......"
Sambil berkata begitu, dia menunjuk pada tempat arak yang
dipegang oleh Bwee San Bin itu.
Lie Siauw Hiong tidak tahu dia hendak berbuat apa
dengan tempat arak itu, tapi dia tetap menyanggupi
permintaan orang tua itu. Ia lihat sekalipun api yang
menghangatkan tempat arak itu sudah padam, tapi tempat
arak itu masih tetap hangat, maka ia lalu berseru : "Kim
Loo-cian-pwee, arak datang !"
Lalu dia lemparkan tempat arak itu kearah orang tua itu,
yang dengan sikap yang amat tenangnya lalu menyanggapinya, tanpa setetespun arak yang berisikan
didalamnya tumpah menetes keatas tanah !
Belum lagi Kim It Peng membuka mulut, Giok Khut Mo
sudah mendahului berkata: "Sungguh cocok dengan
keinginan hatiku. Apakah kau berani minum secangkir arak
denganku ?" Kim It Peng menjawab : "Mengapa tidak berani ?"
Sambil berkata begitu, lalu dia ulurkan tempat arak itu
kepada Giok Khut Mo. Giok Khut Mo lalu menyambuti tempat arak tersebut,
yang lalu dibuka tutupnya, kemudian dia sentilkan kukunya
memasukkan semacam bubuk kedalam arak itu. Sudah itu
lalu dikembalikannya kepada Kim It Peng sambil tertawa
dingin : "Aku beritahukan kepadamu pun tidak ada
halangannya, arak ini sudah kemasukkan racun 'Lip-pouwtwan-tiang' (dalam waktu pendek memutuskan usus), bila
kau tidak berani meminumnya, maka sudah cukup jika
sekarang kau minta ampun kepadaku, kalau tidak ......"
Bwee San Bin dan Bu Heng Seng yang berdiri disebelah
luar lingkaran beracun tersebut dan mendengar perkataan
orang, mereka terkejut bukan alang kepalang, hingga diamdiam mereka berpikir : "Racun ini, termasuk salah satu
racun yang paling berbisa dialam dunia ini. Bila orang
minum racun tersebut, dalam waktu yang pendek saja
ususnya akan putus dan jiwanyapun akan melayang kealam
baqa. Belum tahu cara bagaimana Giok Khut Mo ini dapat
membuat racun sehebat demikian " Dan cara bagaimana
Kim It Peng dapat mengalahkannya ?"
Tapi siapa tahu Kim It Peng tanpa banyak cingcong lagi
lalu meneguk habis arak tersebut, kemudian disusul dengan
dikerutkannya keningnya dan lalu diapun berkata: "Apakah
kaupun berani minum arakku ?" Sambil berkata begitu, lalu
dia angsurkan tempat arak itu kepada lawannya.
Giok Khut Mo yang memperhatikan gerak-gerik
lawannya, dia dapat menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, bahwa arak yang diangsurkan kepadanya itu tidak
pernah bergoyang, suatu tanda bahwa arak itu tak pernah
disentuh oleh lawannya, maka didalam hatinya berpikir :
"Sekalipun arak ini beracun, masakah dapat mengalahkan
aku siraja racun ?" Dalam pada itu, diapun lalu menyambut tempat arak
yang diangsurkannya itu dan sambil tertawa besar diapun
berkata : "Aku nasihati supaya kau situa bangka lebih baik
siang-siang mengatur segala sesuatu mengenai penguburanmu ......"
Perkataannya itu belum lagi selesai diucapkan, ketika
sekonyong-konyong dia berteriak kalap, tubuhnya lantas
jatuh terkulai disalju, sedang sepasang kakinya kelojotan
kian kemari, tak lama kemudian kakinya itupun lemaslah
tampaknya dan berhenti berkutik !
Kim It Peng hanya mengganda tertawa dingin saja,
kemudian dengan tindakan yang tenang sekali dia berjalan
keluar dari lingkaran daerah beracun itu, dan terus berlalu
tanpa menolehkan pula kepalanya kearah mereka yang
berdiri terbengong disitu, mengawasi dari sebelah belakangnya. Kejadian itu berlangsung dengan secara tibatiba saja, maka saking herannya Bu Heng Seng hanya
membelalakan mata saja, dia percaya penuh bahwa Giok
Khut Mo adalah rajanya dari segala racun, tapi siapa
sangka dengan racun pula dia kena dibinasakan orang.
Dengan begitu, ternyatalah bahwa perkataan 'Di Tiong
Goan tidak ada orang pandai' itu sudah seharusnya tidak
patut disebut-sebut lagi.
Lie Siauw Hiong dan Bwee San Bin sudah tentu saja
mengetahui, bahwa Kim It Peng itu adalah sebagai
leluhurnya dari Raja Racun, hingga Giok Khut Mo yang
berani menantangnya sudah tentu bukan menjadi tandingannya yang setimpal.
Harus diketahui, hahwa Kim It Peng sudah berpuluhpuluh tahun lamanya berkecimpung dalam soal racun,
terhadap segala racun seolah-olah dia sudah terlampau
mahir sekali, dan terhadap segala macam racun yang
bagaimana berbisanyapun, dia pernah menyelidikinya. Dia
sudah tergolong sebagai seorang yang luar biasa sekali,
hingga dalam dunia ini sukar dicari tandingannya. Dan
karena sehari-hari dia selalu bermain-main dengan racun
saja, maka tabiatnyapun berubah bagaikan orang yang
edan, oleh karena itulah maka dia mendapat gelaran 'Raja
Racun'. Pada tahun-tahun belakangan ini tingkah-lakunya
banyak berubah, hal itu disebabkan karena perasaan hatinya
yang mendapat tekanan bathin yang hebat sekali, tapi satu
hal yang sudah pasti, adalah karena badannya sudah
termakan oleh racun, hingga menyebabkan badannya
sendiri menjadi rusak, tapi dalam tubuhnya segala zat anti
racun sudah terbentuk dengan sendirinya, maka tidaklah
heran, waktu tadi dia mengadu racun dengan Giok Khut
Mo, dia sendiri tidak mendapat cedera apa-apa, tapi
sebaliknya lawannyalah yang menemui ajalnya.
Racun Giok Khut Mo yang disebut 'Dengan segera
memutuskan usus dan mencabut nyawa' itu, sebenarnya
adalah racun yang amat hebat dan sukar dicari
tandingannya, tapi dimanalah ia dapat menandingi
keahliannya Raja Racun itu sendiri " Sedangkan racun yang
digunakan oleh Kim It Peng adalah 'Racun yang tidak
berbau dan tidak berwarna', yaitu racun yang boleh
digolongkan pada 'racun tanpa bayangan', karena itulah
maka Giok Khut Mo menemui ajalnya secara mengecewakan sekali. Bu Heng Seng merasa terkejut dan
girang, begitu badannya berkelebat, lantas badannya masuk
dalam lingkaran racun tersebut, dan begitu badannya
bergerak disertai gentakan lengan bajunya sambil mengambil dua orang itu, lalu dengan sama cepatnya
seperti waktu datang semula diapun sudah balik kembali
keluar dari lingkaran racun tersebut.
Pada saat itu, ditangan Bu Heng Seng sudah mengempit
dua orang, dan tanpa mengeluarkan banyak tenaga lagi dia
telah berhasil keluar dari lingkaran beracun itu, hingga
dengan demikian, kepandaiannya itupun ternyata telah
mencapai pada puncak yang tertinggi.
Maka tanpa dapat mengendalikan dirinya terlebih lama
pula, Lie Siauw Hiong pun buru-buru mendekati sambil
memperhatikan Ceng Jie dan Biu Chit Nio, sekalipun muka
mereka pada waktu itu tampaknya agak pucat, tapi tidurnya
mereka tampaknya sangat nyenyak sekali. Dalam hati
mereka mengetahui, bahwa Giok Khut Mo tidak berani
mengganggu kedua orang tawanannya itu.
Bu Heng Seng lalu menepuk dan mengusap-usap lengan
mereka, hingga akhirnya merekapun menjadi siuman dari
tidur mereka. Kedua orang ibu dan anak itu ternyata sama
sekali tidak terkena racun, berhubung ter1ebih dahulu Giok
Khut Mo telah memasukkan pil pencegah racun kedalam
mulut mereka, dan sekali pun mereka tertidur dalam
lingkungan hawa beracun, tapi mereka sama sekali terbebas
daripada pengaruh racun itu.
Ceng Jie begitu mendusin. matanya iang besar dan jeli
berputar dua kali, mula-mula dia melihat wajah ayahnya
yang memandangnya dengan sorot mata penuh kesayangan, maka ia lalu berseru : "Ayah !" Lantas dia
menubruk kedalam pelukan ayahnya sambil menangis
terisak-isak. Para pembaca yang budiman, marilah kita ajak para
pembaca mengikuti peristiwa yang bersangkut-paut sehingga Bu Heng Seng menemui kecelakaan dan saling
berpisahan dengan anak dan isterinya yang tercinta.
Pada suatu hari diwaktu kapalnya kandas dan dia sendiri
digulung oleh ombak yang besar, semakin lama badannya
semakin tenggelam kedalam laut. Syukur juga pada saat itu
dilautan tampak terapung-apung sebilah papan, hingga ini
lantas dijambretnya, dan selanjutnya dengan mengandalkan
papan ini, dia terapung-apung diantara ombak yang
dahsyat, dan setelah hujan dan badai reda kembali, dia
terdampar kesuatu daratan yang bertanah pasir.
Dengan menggunakan sisa tenaga yang masih ada
padanya, dia mendaki kesebuah bukit kecil. Dari atas bukit
kecil ini dia memandang jauh kemuka, untuk membedakan
jurusan mana yang akan diambilnya. Pada saat itu, dia lihat
ombak dilautan sudah tenang kembali, sedangkan sinar
matahari yang terang telah mulai menyinari muka bumi.
Tapi jauh dihadapannya, air laut bagaikan saling
bersambung dengan langit yang biru. Suasana disekelilingnya sunyi-senyap, hingga disana-sini hanya
terdengar desiran angin dan ombak
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang saling berbenturan. Dan tatkala melihat keadaan disekelilingnya,
tiba-tiba ia teringat akan anak-isteri dan kapalnya, yang
sekarang sudah barang tentu telah terkubur semuanya
didasar lautan. Bu Heng Seng yang pernah melatih dirinya dan sudah
sampai pada suatu tingkat yang tinggi sekali, sebenarnya
tidak lagi dapat dipengaruhi pikirannya, tapi pada saat itu
dari matanya tidak urung masih mengucurkan air mata, dan
air mata yang jatuh berderai-derai itu, akhirnya telah
membasahi bajunya, seakan-akan
semua itu tidak dirasakannya. Tapi akhirnya timbullah kemarahannya terhadap 'Chitbiauw-sin-kun', yang dianggapnya sebagai gara-gara dari
semua kecelakaan yang telah dialaminya pada kali itu.
Tapi, karena mengira bahwa Lie Siauw Hiong yang
dianggap sebagai Chit-biauw-sin-kun telah menemui juga
ajalnya ditengah lautan, maka ia menjadi sangat putus asa,
hingga dia sekarang hidup dengan sendirian saja, walaupun
dia memiliki kepandaian silat yang sangat tinggi dan luar
biasa. Maka setelah mengingat semua kejadian ini, diapun
menjadi tidak enak makan dan minum, sehingga dia
berbaring diatas bukit kecil tersebut selama dua hari dua
malam bagaikan orang yang sedang berpuasa.
Pada hari ketiganya, satu pikiran dengan secara
sekonyong-konyong melintas dikepalanya, dia pikir, bila dia
ingin mati, maka kepandaiannya yang sangat tinggi dan
luar biasa ini hendak diturunkan kepada siapa " Oleh
karena itu, dia berpikir untuk mencari seseorang untuk
menurunkan seluruh kepandaiannya, untuk kemudian
diturunkan kepada seseorang yang dianggapnya cocok dan
mempunyai bakat yang baik.
Begitulah dengan mengandung pikiran demikian, diapun
lalu berangkatlah menuju kedaerah Tiong Goan, karena dia
percaya, mungkin sekali bahwa didaerah itu dia akan
berhasil menemui bibit yang baik untuk mewariskan segala
kepandaiannya. Syukur juga sekarang anaknya yang sebiji mata dan
paling dicintainya sudah berada dalam pelukannya sendiri,
sedangkan isterinyapun telah dapat diketemukannya
dengan baik dan tak kurang suatu apapun berbaring
disampingnya, hingga ia sangat bersyukur atas kurnia Thian
yang berlimpah itu. Sedangkan orang yang mencelakai diri Biu Kiu Nio
sehingga binasa itu, tampak juga dihadapannya. Dengan
sebuah kerlingan matanya ia memandang kepada Chitbiauw-sin-kun, yang rambutnya sudah putih bergoyang
ditiup oleh siliran angin musim dingin. Meski usianya
sudah lanjut tampaknya ia sangat agung dan angker, oleh
karena itu, seluruh amarahnya hilang lenyap seketika,
hingga diapun tidak lagi ingin menanyakan dengan jelas
soalnya Biu Kiu Nio itu, maka dengan tindakan yang
perlahan dia telah membalikan badannya dan menganggukkan kepalanya pada Bwee San Bin, akan
kemudian menarik tangan anak dan isterinya hendak diajak
berlalu. Waktu Ceng Jie mengangkat kepalanya dan memandang
pada Lie Siauw Hiong, hatinya girang bukan kepalang, tapi
dia hanya dapat mengeluarkan suara dengan terkejut : "Oh !
Kau ...... Kau ......"
Baru saja berkata sampai disitu, tangannya sudah ditarik
oleh ayahnya, dan dengan satu-dua kali loncatan saja
mereka sudah hilang lenyap dari pandangan anak muda
tersebut. Dan ditempat yang sunyi dan liar itu hanya
berkumandang suara himbauan Lie Siauw Hiong : "Ceng
Jie ...... Tunggulah aku."
Bwee San Bin lalu memandang pada Lie Siauw Hiong
yang pada saat itu sudah kehilangan semangat tampaknya.
"Hiong Jie, apakah kau kenal padanya ?" tanya orang tua
itu. (Oo-dwkz-oO) Jilid 25 Diam-diam Lie Siauw Hiong menganggukkan kepalanya. Bwee San Bin yang menyaksikan pemuda itu
berhal demikian diapun sudah mendapat jawabannya. Dan
dengan pengalamannya memberitahukan kepadanya apa
yang tengah dipikirkan oleh pemuda kita itu. Dengan
menghela napas lalu dia berkata dengan bersemangat :
"Hiong Jie, aku lihat pedang 'Bwee Hiong Kiam'-mu akan
segera rampung dibikin."
Dengan perasaan tercengang Lie Siauw Hiong tersadar,
waktu dia berpikir yang dirinya sudah patah semangat
terlebih dahulu, tidak terasa lagi dia merasa sangat malu
dan segera putarkan badannya sambil menjawab : "Bwee
Siok-siok, marilah kita pulang dahulu ......"
Dari nada suara jawabannya sudah terdengar yang dia
sudah pulih kembali semangatnya, maka sambil mengusapusap janggutnya Bwee San Bin menjawab : "Oh, benar,
Giok Khut Mo telah menyebabkan racun yang disebut
'Touw-khut-twan-see', (racun yang dapat menembusi tulang
dan mencabut nyawa), tanah disekitarnya yang berada
dalam lingkaran racunnya itu, dalam waktu tiga jam
lamanya tidak seorangpun boleh melaluinya. Sekarang
baiklah kau mengasoh sebentar disini, tungguilah setelah
khasiatnya racun tersebut sudah punah, barulah kita boleh
berlalu, dan janganlah sekali-kali menyebabkan orang lain
mendapat celaka oleh karenanya."
Sambil berkata sambil dia tertawa, waktu dia melihat
Bwee Siok-sioknya sudah berjalan agak jauh, barulah dia
berkata pada dirinya sendiri : "Mayatnya Giok Khut Mo
ini, apakah baik aku kubur saja ?"
Setelah hatinya tergerak, diapun tidak ragu-ragu lagi, lalu
ia menggali sebuah lobang, akan kemudian dia mengangkat
tubuhnya Giok Khut Mo, untuk dikuburkan disitu. Tapi
hatinya tiba-tiba menjadi terkejut sekali, dan diam-diam dia
berpikir pada dirinya sendiri : "Seluruh badannya Giok
Khut Mo penuh diselubungi oleh racun, maka lebih baik
aku jangan menyentuh badannya."
Setelah dia berpikir tetap, lalu dia pusatkan seluruh
tenaganya pada tangannya. kemudian dia pukulkan kearah
tubuhnya Giok Khut Mo. Dengan hanya terasa bertiupnya
semacam angin yang keras dan bergulung-gulung, mayat
Giok Khut Mo segera terjatuh kedalam lobang yang telah
digalinya tadi. Setelah itu, Lie Siauw Hiong tanpa ragu-ragu lagi dan
dengan secara sekonyong-konyong mengubah pukulannya
tadi menjadi tenaga yang mendorong, dengan beruntun dia
mendorong secara berulang-ulang, sehingga mayat Giok
Khut Mo pun terusuklah oleh tanah tadi, maka selanjutnya
disitu tidak tampak lagi bekas-bekas mayat itu.
Demikianlah dalam waktu sekejapan mata saja, seorang
yang sudah ternama dalam kalangan dunia rimba persilatan
sudah berdiam untuk selama-lamanya dibawah tanah ini.
Dengan tidak terasa lagi Lie Siauw Hiong menghela napas,
dia tidak tahu dirinya sendiri akan mengalami hal apakah
lagi yang tidak dapat diramalkannya dimuka.
Setelah dia selesai mengubur mayat Giok Khut Mo,
diapun sudah tidak mempunyai pekerjaan apa-apa lagi, lalu
dia menengadahkan kepalanya memandang langit, hingga
ia melihat bahwa pada saat itu matahari pun akan segera
menyingsing diufuk Timur, sedangkan kabut mulai buyar
terkena sinar matahari pagi.
Begitulah setelah bercapai lelah semalaman pada malam
yang tidak berbintang dan tidak pula berbulan, dimana
tanah seluruhnya ditaburi oleh salju yang berwarna putih,
kini sewaktu matahari pagi mulai menampakkan diri,
ternyata sinarnyapun tidak lemah.
Waktu Lie Siauw Hiong teringat akan pertempuran tadi
yang penuh dengan ketegangan, dimana terdapat kemungkinan akan terkena racun yang hebat bila orang
yang bersangkutan tidak berlaku sangat hati-hati, sekonyong-konyong semacam pikiran yang aneh timbul
didalam hatinya, hingga dengan diam-diam dia berpikir :
"Orang yang hidup dalam kalangan Kang-ouw sungguh
penuh mara bahaya, aku sendiri bila mempunyai
pengetahuan tentang 'racun' sedikit saja agaknya, pasti
sekali untuk dikemudian hari banyak memperoleh kebaikan
bagi diriku sendiri." Maka dengan tidak disadarinya, dia
mulai mengingat-ingat tentang buku 'Tok Keng' (buku yang
membentangkan soal-soal racun) karangannya Kim It Peng,
dimana buku tersebut selalu dibawa-bawanya kemana saja
dia pergi, hanya karena tidak ada waktu saja, maka dia
belum sempat mempelajarinya, dikemudian hari bila ada
waktu yang senggang, pasti sekali dia akan menyelidikinya
untuk dipelajarinya dengan sebaik-baiknya.
Harus diketahui, bahwa Lie Siauw Hiong terhadap
semua orang sangat bebas dan simpatik sekali, diapun tidak
mempunyai ingatan untuk memperdayai orang, waktu dia
berpikir untuk menjadi seorang yang ahli dalam ilmu
pedang dan ilmu racun, hal ini tidak dikisahkan sekarang,
tapi akan dituturkan perlahan-lahan nanti.
Waktu dia berpikir tentang buku racun itu, tidak terasa
lagi dia sesalkan dirinya sendiri, mengapa tadi dia tidak
kembalikan saja pada pemiliknya yang sah, yaitu Kim It
Peng, tapi setelah mengingat bahwa buku tersebut sudah
diserahkan oleh Kim It Peng sendiri kepada dirinya, maka
rasanya tidaklah bersalah, meski buku itu yang ada pada
dirinya tidak dikembalikanpun kepada pemiliknya, karena
sekarang buku itu telah menjadi miliknya yang sah.
Selagi dia berpikir begitu, tak terasa lagi haripun sudah
menjelang pagi, salju sudah berhenti turun dan langitpun
sudah terang cuacanya, sedangkan hawa udarapun menjadi
hangat agaknya. Pada hari itu awan sangat tipis sekali dan angin meniup
sepoi-sepoi basah, matahari muncul dengan sinarnya yang
gilang-gemilang. Matahari pagi itu memancarkan cahayanya yang lembut dan memantulkan cahayanya yang
merupakan sebuah sinar yang indah, waktu sinar matahari
ini jatuh keatas sisa salju menusuk mata.
Lie Siauw Hiong setelah melihat Bu Heng Seng yang
tergolong sebagai salah seorang antara Tiga Dewa Diluar
Dunia sudah hilang lenyap dari pandangan matanya, tidak
terasa lagi dia menghela napas.
Dipagi hari itu secara sekonyong-konyong saja, semula
terlihat sebuah bayangan manusia diatas salju yang putih.
Dibawah sorotannya matahari pagi, bayangan tersebut tibatiba berubah dan berbentuk menjadi dua, dan tampaknya
ada seseorang pula yang tengah mendatangi.
Dengan menggendong tangan Lie Siauw Hiong tengah
berdiri menikmati pemandangan didaerah itu yang indah
permai. Kemudian diapun berjalan perlahan-lahan. Waktu
melihat rumah gubuk Bwee Siok-sioknya, tidak terasa lagi
hatinya tersentuh dan menarik napas, tapi dengan segera
semacam perasaan aneh yang muncul pada dirinya,
membuat semangatnya bergolak-golak.
Dalam hati dia berpikir : "Asal saja pedang Bwee Hiang
sudah rampung dibikin, maka akupun tidak usah takut lagi
pada pedang 'Ie Hong'-nya Li Gok, malah dengan
munculnya kembali dikalangan Kang-ouw, akupun pasti
akan menyemarakkan kembali namanya Chit-biauw-sinkun, malahan dengan begitu akupun akan mencari pula
Hay thian-siang-sat untuk membalaskan sakit hati ayahbundaku !" Setelah berpikir sampai disitu, tidak terasa lagi
semangatnya terbangkitkan, tiba-tiba saja dia teringat akan
Gouw Leng Hong, kawannya yang mati-hidupnya masih
tak tentu rimbanya, hingga tidak terasa lagi hatinya pun
menjadi pilu sekali. Selagi melamun demikian, dua orang tampak mendatangi dengan pesat sekali. Waktu bajunya tertiup
oleh angin, barulah ia sadar akan kedatangan orang-orang
itu, dan ketika buru-buru dia menolehkan kepalanya
memandang, ternyata kedua orang itu dengan langsung dan
pesat sekali menuju kearah lingkaran beracun yang disebar
oleh Giok Khut Mo, hingga kini mereka telah berada
disuatu tempat kurang lebih tinggal lima tombak lagi
jauhnya dari tempat yang dituju mereka itu.
Melihat bahwa dia sudah tidak keburu lagi untuk
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menteriaki mereka, maka dengan hati gugup Siauw Hiong
segera menendangkan kakinya keatas tanah hingga
badannyapun lantas melesat menyusul mereka berdua.
Dengan menghempos semangatnya lantas dia menolak
mereka dengan tangannya sambil berkata : "Jangan maju
terlebih lanjut !" Kedua orang yang tengah mendatangi itu, ketika dengan
secara sekonyong-konyoing dirintangi orang, merekapun
menjadi terkejut sekali, karena dalam kesusunya, mereka
tidak lagi dapat mengelitkan diri, hingga dengan sangat
terpaksa merekapun balas menangkis terhadap orang yang
dianggap mereka menyerang itu.
Dan begitu ketiga pukulan saling beradu, Lie Siauw
Hiong merasakan satu tenaga yang luar biasa beratnya
menyampok dirinya, sehingga dia tidak dapat berdiri tetap
dan dengan terhuyung-huyung dia mundur beberapa
langkah kebelakang, sedangkan kedua orang yang
menerima pukulan Lie Siauw Hiong yang sedemikian
kerasnya itu, mereka yang sedang berlari-lari dengan
pesatnya diudarapun telah kena dipukul jatuh oleh
sipemuda. Selanjutnya Lie Siauw Hiong dengan tidak
menantikan sampai badannya dapat berdiri pula dengan
tetap lalu berkata : "Perlahan dulu, tanah disitu tidak boleh
dilalui ......" Kedua orang itu berdiri terpaku dengan perasaan
tercengang, kemudian mereka bertanya : "Apakah tuan
maksudkan bahwa daerah ini tidak boleh kami lalui ?"
Tempat berdirinya Lie Siauw Hiong adalah tepat
dibawah pohon Bwee, sinar matahari tidak dapat mencapai
tempat itu, itulah sebabnya kedua orang yang mendatangi
itu tidak dapat melihatnya dengan jelas, tapi sebaliknya Lie
Siauw Hiong dapat melihat mereka dengan nyata, maka
selanjutnya dengan perasaan heran sekali dia berkata : "Oh,
ternyata kalian adalah kedua saudara Kim ! Benar, tanah
tersebut mengandung racun yang sangat berbisa sekali,
hingga tidak perduli betapapun kalian mempunyai
kepandaian yang tinggi serta ilmu yang hebat, kalian pasti
tak dapat juga menandingi kehebatan racun tersebut, karena
pengaruh racun itu dapat segera membikin putus usus dan
mencabut nyawa kalian berdua dengan sekaligus !"
Ternyata kedua orang yang mendatangi itu adalah orangorang yang pernah bercakap-cakap dengan Lie Siauw
Hiong, yaitu waktu membicarakan tentang partai pengemis,
dan mereka ini bukan lain daripada dua saudara kembar
Kim, yaitu Kim Goan Pek dan Kim Goan Tiong.
Kedua saudara she Kim ini masih belum dapat
mengenali pemuda kita, hanya dengan perlahan-lahan
mereka meneliti tanah yang disebut beracun itu, kemudian
merekapun melirikkan mata mereka kearah pemuda kita
kembali. Dengan segera Lie Siauw Hiong menerangkan sebabmusababnya. Maka setelah mendengar penjelasan itu, tidak
terasa lagi kedua saudara she Kim itu menjadi sangat
terperanjat, hingga pada saat itu juga merekapun baru
mengenali, bahwa pemuda yang menghadang perjalanan
mereka itu bukan lain daripada Lie Siauw Hiong, yang
pernah mereka kenal dahulu, dengan demikian merekapun
menjadi sangat terharu, serta perasaan kangen merekapun
melonjak-lonjak demi bertemu kembali dengan sahabat
lama mereka itu. Kedua saudara kembar ini selalu bekerjasama dalam
penyerangan maupun dalam membela diri, begitulah
dengan mempersatukan pukulan mereka, barulah mereka
dapat melawan serangannya pukulan Lie Siauw Hiong tadi.
Kekuatan tenaga mereka tak boleh dipandang ringan,
karena didalam kalangan Kang-ouw orang yang dapat
menandingi mereka tidak banyak jumlahnya.
Begitulah setelah mengitari lingkaran daerah yang
beracun tersebut, kedua saudara kembar she Kim itu lalu
memberi hormat pada Lie Siauw Hiong, dan dengan
tergesa-gesa mereka berkata : "Terima kasih atas petunjuk
berharga yang diberikan oleh Lie Loo-tee, karena hari ini
kami mempunyai urusan yang penting, maka budi
kebaikanmu ini nanti saja kami balas." Setelah berkata
begitu, merekapun lalu melanjutkan perjalanan mereka
dengan laku yang tergopoh-gopoh.
Lie Siauw Hiong siang-siang merasa simpati dan
berkesan baik sekali terhadap kedua saudara kembar ini,
dan ketika dia melihat yang kedua orang ini karena
mempunyai urusan yang penting terpaksa berpisahan
dengan kesusu sekali, maka tidak terasa lagi saking
gugupnya dia berkata : "Karena kalian berdua mempunyai
urusan yang penting, maka akupun tidak dapat menghalanginya, cuma bila kalian membutuhkan tenagaku,
maka akupun tidak ragu-ragu lagi untuk membantumu
dengan sekuat usahaku."
Kedua saudara she Kim itu lalu memperlambat tindakan
mereka, hingga Kim Goan Pek mendapat kesempatan
untuk menjawab : "Pang-cu (pemimpin) kami menemui
kesukaran besar, kami tidak berani berlaku ayal-ayalan
......" Setelah berkata sampai disitu, Kim Goan Tiong yang
berdiri disampingnya lantas menyenggolnya, tampaknya
dia tidak sabaran sekali.
Dalam hatinya Lie Siauw Hiong mengetahui, bahwa
pang-cu yang dimaksudkannya tentulah anak kecil yang dia
jumpai tempo hari, maka ketika melihat bahwa sahabatnya
menemui kesukaran, diapun lalu berkata : "Dia menemui
kesulitan ditempat manakah?"
Kedua saudara she Kim itu sudah berlari jauh, maka
dengan suaranya yang nyaring mereka menjawab :
"Dipropinsi Ouw Lam! Kami tidak berani membuat kau
berabe saja, nanti kita jumpa pula !"
Begitu perkataan mereka habis diucapkan, bayangan
merekapun sudah lenyap pula.
Lie Siauw Hiong yang melihat kedua kakak-beradik itu
dandanannya masih tetap sama seperti dahulu, ...... yaitu
memakai topi yang bentuknya mirip kukusan dan memakai
pakaian yang terbikin daripada bahan belacu ...... Tiba-tiba
hatinya tergerak, diam-diam berkata : "Tadi terang-terangan
tampak Kim Loo Toa meminta bantuanku, tapi adiknyalah
yang tidak mau. Tampaknya bencana yang menimpah
partai pengemis kini tidaklah kecil adanya."
Kemudian diapun balik berpikir : "Orang-orang dari
partai Kay Pang (partai pengemis) tindak-tanduknya sangat
dirahasiakan sekali, tapi hati mereka rata-rata adalah baik
serta jujur, untung bagiku, aku tidak mempunyai pekerjaan
yang berarti, maka baiklah aku iseng-iseng pergi saja kesana
untuk melihat gelagat, dan bila mungkin, aku akan
membantu mereka dimana tenagaku diperlukan."
Setelah dia mengambil keputusan yang pasti, diapun
tidak berani berdiri disitu lama-lama, sambil memandang
kelangit diapun mengetahui, bahwa saat itu kurang-lebih
sudah pukul tiga agaknya, kemudian dia memeriksa
kembali terlebih dahulu keadaan disekitarnya, dan tatkala
nampak lingkaran yang berwarna abu-abu. Kegelap-gelapan
tadi sudah berubah menjadi putih kembali, tampaknya
racun itupun sudah punah.
Kemudian diapun berjalan pergi untuk menuju kerumah
gubuk Bwee Siok-sioknya. Begitulah setelah berjalan belum
berapa lama, diapun sudah sampai ditempat yang
ditujunya, lalu diapun berjalan masuk kerumah gubuk Bwee
Siok-sioknya itu. Dia telah berpisah selama bertahun-tahun dengan Bwee
Siok-siok-nya, maka pertemuannya kembali sekali ini tentu
saja membawa kenang-kenangan yang indah serta
mengharukan suasana pertemuan ini.
Bwee San Bin siang-siang sudah menunggu diruangan
tengah, ketika melihat Lie Siauw Hiong berjalan masuk,
diapun berkata : "Hiong Jie, lekaslah kau ceritakan
pengalamanmu selama satu tahun ini."
Dengan laku yang sangat hormat sekali, diapun
menerangkan segala sesuatu yang telah lampau selama satu
tahun ini, dengan tidak ada satu bagianpun yang terlompat.
Bwee San Bin dengan cermat memperhatikan cerita anak
muda ini, pada waktu mendengar bahwa Hauw Jie Sioknya
kena dibokong orang sehingga binasa, tidak terasa lagi dia
menggigit giginya saking sedihnya, sedangkan airmatanya
telah mengucur tanpa terasa pu1a.
Terlebih-lebih waktu dia mendengar cerita Lie Siauw
Hiong yang menemui keajaiban dipulau Siauw Ciap Too,
Bwee San Bin tampaknya sangat tertarik sekali, dan tatkala
Lie Siauw Hiong menerangkan, bahwa dengan tenaga
seorang diri dia telah berhasil melawan Hay-thian-siang-sat
sehingga melampaui seribu jurus lebih, Bwee San Bin
menunjukkan muka yang tercengang sekali. Syukur juga dia
telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ketika tadi
Lie Siauw Hiong bertempur dengan Bu Heng Seng, hingga
perasaan ragu-ragunyapun hilang sama sekali.
Sewaktu Lie Siauw Hiong menceritakan tentang
pertemuan dipuncak gunung Thay San, tidak terasa lagi
Bwee San Bin jadi menunjukkan senyuman yang
menandakan rasa puasnya. Peristiwa-peristiwa yang telah lampau selama setahun
ini, tentu saja banyak sekali dan memerlukan waktu yang
agak lama untuk menuturkannya, maka setelah bercerita
panjang lebar selama beberapa jam lebih, barulah Bwee San
Bin selesai mendengarkannya. Tapi selama mendengarkan
cerita tersebut sehingga diakhirnya, diapun tidak mengeluarkan komentar apa-apa. Tampaknya dia tengah
berpikir keras. Lie Siauw Hiong lalu berkata : "Pedang 'Ie Hong Kiam'nya bangsat tua Li Gok itu sesungguhnya sebilah senjata
yang hebat sekali, tajamnya tidak ada bandingannya,
entahlah apakah pedang 'Bwee Hiang Kiam' dapat
menandinginya ?" Berkata sampai disitu, dia lihat Bwee Siok-sioknya
tengah tenggelam dalam pikirannya, seakan-akan dia tidak
lagi mendengar kata-katanya. Tapi ketika baru saja dia
menutup mulutnya, Bwee San Bin lalu berkata : "Hui Tay
Su itu entah telah mengajarkan kau tipu pergerakan kaki
yang lihay bagaimana " Coba kau mainkan serta jalankan
satu kali untuk kulihat."
Lie Siauw Hiong lalu menganggukkan kepalanya sambil
berkata : "Kepandaian Kit Mo Pouw Hoat ini adalah
kepandaian yang paling dibuat andalan oleh Hui Tay Su
......" Seteiah berkata demikian, segera juga diapun
menjalankan pelajaran yang telah diterimanya dari Nikouw
tua itu. Bwee San Bin tampak tekun sekali memperhatikan
pergerakan kaki pemuda kita ini, kemudian ia lalu berkata :
"Benar saja pergerakan ini sangat hebat dan langka, dan
Tay Yan Sin Kiam-mu juga coba kau ulangi sekali lagi
untuk kuperiksa." Lie Siauw Hiong tanpa berpikir lagi lalu keluarkan tipu
'Hong-seng-put-sip' (gerakan tidak putus-putusnya) dan
'Hui-hong-coan-ciat' (memutari puncak gunung mengarah
jalan yang lurus), semuanya ada sepuluh jurus, tapi setelah
mengalami perubahan maka jumlahnya menjadi lima puluh
babak (jurus). Bwee San Bin sangat memperhatikan sekali atas
permainan dua macam pelajaran yang langka dan ajaib dari
Lie Siauw Hiong ini, kemudian barulah dia memberi
komentarnya : "Apakah kau sudah berusaha untuk
mempersatukan kedua pelajaran yang sangat luar biasa itu,
sehingga kakimu boleh bergerak dengan tipu 'Kit Mo Pouw
Hoat', sedangkan tanganmu boleh menyerang dengan
dengan 'Tay Yan Kiam Sek' ?"
Bwee San Bin sesunguhnya tepat sekali bila disebut
sebagai leluhurnya dari ahli silat, karena begitu dia berkata,
lantas dia dapat menunjukkan keluarbiasaannya, hal mana
telah membuat Lie Siauw Hiong menjadi sadar, hingga
dengan sekonyong-konyong perasaannya yang tertekan
selama ini, kini sudah terbuka sama sekali, maka dengan
girang sekali dia lalu berkata : "Oh, benar sekali !" Setelah
berkata begitu, diapun lalu memikirkan tindakan yang akan
diambilnya selanjutnya. Bwee San Bin yang menampak Lie Siauw Hiong mudah
menerima ajarannya, hatinyapun menjadi sangat girang
sekali, maka dipun tidak ingin mengganggu pada pemuda
kita ini terlebih jauh pula dan lalu berjalan masuk
kekamarnya sendiri, karena dia ingin melihat, apakah
pedang Bwee Hiang Kiam-nya yang tengah dia buat itu
sudah rampung atau belum "
Pedang Bwee Hiang Kiam ini boleh dikatakan salah satu
pedang yang langka sekali didunia ini, ditambah lagi
dengan olahannya yang terjadi dari campuran 'Pohon
bambu merah yang sudah ribuan tahun taunya', maka
kehebatannyapun dapat dikira-kirakan sendiri.
Chit-biauw-sin-kun terus menunggu disamping dapurnya, terus dia menantikan sampai hari menjadi
malam, barulah pedang Bwee Hiang Kiam-nya dikeluarkannya dari dapur peleburan, dan diwaktu dia
berjalan keluar dari dapurnya, dia lihat si pemuda kita
tengah berdiri diruangan tengah, tangannya digerak
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerakkan dalam jurus-jurus ilmu pedang, hingga hati Bwee
San Bin tergerak seketika, karena diapun mengetahui,
bahwa Lie Siauw Hiong telah dapat menciptakan sesuatu
ilmu yang luar biasa agaknya.
Setelah berselang sejurus lamanya, tampaknya dia tidak
bergerak pula, Bwee San Bin segera mengetahui, bahwa si
pemuda ini pasti tengah menghadapi sesuatu kesukaran
agaknya. Begitulah setelah Lie Siauw Hiong berulang-ulang
telah mencobanya sebanyak sembilan kali, barulah dia
dapat mengerti dengan jelas, dan sambil menengadahkan
kepalanya, dia melihat Bwee Siok-sioknya tengah berdiri
disampingnya, dan tatkala baru saja dia ingin memberi
hormat, sekonyong-konyong Bwee Siok-sioknya melemparkan sebilah pedang panjang kepadanya.
Lie Siauw Hiong tanpa banyak berpikir lagi lalu
menyambuti pedang panjang tersebut, yang lalu dimainkannya dengan jurus-jurus yang dia baru pahami
tadi. Pada saat itu hanya kelihatan sinar pedang bergulunggulung, pergerakan kakinya sangat lincah dan gesit,
ternyata benar saja dia telah mengalami kemajuan yang
demikian pesatnya. Begitulah Lie Siauw Hiong mengulangi latihannya,
semakin lama dia berlatih semakin paham dan matang
begitu pedangnya disabetkan dengan miring, lantas angin
yang keluar dari pedangnya itu menyampok dan
menyamber dengan kerasnya, hingga Bwee San Bin sendiri
yang sudah sangat tinggi sekali tenaga-dalamnya dahulu,
ketika menerima samberan angin pedang pemuda kita tidak
terasa lagi diapun berteriak kegirangan atas sukses yang
diperoleh muridnya ini. Setelah dia memainkan ilmu pedangnya empat kali,
barulah ia berhenti, Bwee Siok-sioknya yang menyaksikan
dari samping, tidak putus-putusnya menunjukkan senyumannya, suatu tanda bahwa hatinya sangat puas,
kemudian dengan suara yang menghormat sekali dia buruburu berkata : "Bwee Siok-siok, kedua pelajaran ini setelah
dipersatukan, benar saja keangkerannya bertambah dahsyat,
sekarang ditambah lagi dengan pedang istimewa ini, maka
apakah artinya lagi pedang kelima ahli silat dari lima partai
itu ?" Bwee San Bin menganggukkan kepalanya dan lalu
berkata : "Kau telah berlatih satu harian lamanya, pergilah
kau sekarang lekas makan !"
Sehabis makan, Bwee San Bin lalu menanyakan pada Lie
Siauw Hiong tentang kejadian yang dialaminya selama harihari belakangan ini, atas mana ia lalu menerangkan tentang
pertemuannya yang kedua kalinya dengan saudara she
Kim, dan juga diapun sekalian memberitahukan maksudnya untuk pergi ke Ouw Lam.
Bwee San Bin tentu saja memuji atas semangatnya yang
bergolak-golak itu, dan setelah beristirahat satu malam,
begitu pagi menyingsing diapun bersiap-siap untuk
berangkat. Lie Siauw Hiong yang baru saja kembali kerumah satu
hari lamanya, diapun sudah ingin pergi ketempat yang jauh
pula, tidak terasa lagi hatinya menjadi agak tidak tega
meninggalkan orang tua itu, sedang Bwee San Bin yang
menampak perasaannya itu, hanya tersenyum simpul dan
lalu dia memberikan pedang 'Bwee Hiang'-nya dan
diselipkan dibebokongnya Lie Siauw Hiong sambil
berpesan : "Pedang ini telah mengikuti aku mengembara ke
Kang Lam dan Kang Pak selama duapuluh tahun lamanya,
entah sudah menewaskan berapa banyak orang jahat, dan
hari ini diapun akan turut pula denganmu mengembara
dikalangan rimba persilatan, maka dengan sendirinya kau
harus menjaga nama baiknya 'Chit-biauw-sin-kun', seharusnya kaupun mesti membalas sakit hati orang tuamu,
dan akupun berpendapat yang 'Hay-thian-siang-sat'-pun
akan menerima kebinasaannya dalam ancaman pedang
ini." Perkataan yang merupakan wejangan dari Bwee San Bin
ini telah membangkitkan semangat Lie Siauw Hiong,
hingga pemuda itu merasakan, bahwa tanggung jawab yang
diserahkan kepadanya itu cukup berat, namun demikian
diapun menerimanya dengan segala senang dihati.
Setelah menerima pedang pusaka gurunya, Bwee San
Bin berkata pula : "Anak laki-lakinya Tan-kiam-toan-hun
mati hidupnya belum ada kepastiannya, bila kau
mempunyai waktu yang luang, kaupun boleh sekalian
menyerep-nyerepinya, dengan kepandaianmu yang dimiliki
sekarang, sudah boleh dikatakan kau telah dapat
melampaui kepandaianku waktu dahulu aku merantau
dikalangan Kang-ouw, dan sekarang kaupun tidak usah
pula meminjam atau menyamar memakai namaku lagi, tak
usah pula kau menonjolkan diri dengan tindak-tandukmu
seperti Chit-biauw-sin-kun pula, aku yakin bahwa kau pasti
akan dapat menjaga nama baikmu."
Begitulah setelah bercakap-cakap secara singkat, Lie
Siauw Hiong pun lalu meminta diri.
Pada saat itu salju sudah berhenti turun, langit terang
dan berwarna biru, matahari memancarkan sinarnya yang
gilang-gemilang, begitulah ditempat yang liar dan tidak
banyak jumlah penduduknya ini, Lie Siauw Hiong
kemudian mempergunakan ilmu membentangkan KengSin-Kang (meringankan tubub) dan berlari-lari pesat sekali
menuju ke Bin Kang. Salju ditanah belum lagi lumer
seluruhnya dan masih dapat dilihat bayangan pemuda kita
yang berbentuk panjang sekali, mengikuti larinya si
pemuda, hingga diatas salju berpeta segaris warna hitam
yang dengan cepatnya berlari lewat.
(Oo-dwkz-oO) Sungai Bin Kang termasuk satu jurusan dengan
mengalirnya sungai Tiang Kang, setelah mengalami
perubahan yang beribu-ribu tahun lamanya, maka sungai
ini berubah menjadi dua, dan See Liong Peng ini terpisah
dengan sungai Bin Kang tidak berapa jauh dan hanya
terpisah berapa puluh lie saja.
Lie Siauw Hiong yang berlari dengan pesatnya, tidak
lama kemudian telah menampak muara sungai itu
dihadapannya, dipinggir pantai itu banyak sekali orangorang yang hendak berlalu lalang, menampak banyak orang
disitu, maka Lie Siauw Hiong pun menghentikan larinya
dan dia hanya berjalan dengan perlahan-lahan saja.
Pada saat itu dipinggir pantai sudah penuh dengan
manusia yang hendak menyeberangi sungai, dan dipinggir
pantai perahu berderet-deret berlabuh disitu menunggu
muatan, dipangkalan tersebut banyak sekali para saudagar
dan orang-orang yang hendak naik maupun mengangkut
barang-barangnya dengan menggunakan perahu tersebut.
Suasana disitu ramai sekali.
Pelabuhan tersebut sebenarnya tidak terlalu ramai, tapi
waktu orang-orang hendak menyeberangkan muatannya
pada hari-hari tertentu, maka suasana disitu pun berubah
menjadi sangat ramai sekali, dan saking ramainya disitu,
maka orangpun pada berisik sekali saling bercakap-cakap.
Begitu Lie Siauw Hiong menghampiri ketepi pantai, maka
terdengarlah itu sudah disambut oleh awak perahu, lalu Lie
Siauw Hiong bertanya : "Apakah perahumu ini ingin
menyeberangkan orang, dan ingin pergi ke Sam Kiap ?"
Pemilik perahu tersebut menjawab : "Benar," dan diapun
mempersilahkan pemuda kita menaiki perahunya.
Tidak sampai sepeminuman teh lamanya, maka perahu
tersebutpun sudah bersiap-siap untuk berangkat. Pemilik
perahu tersebut lalu membuka tambatan perahunya, dan
sambil mencekal galah yang panjang sebagai pengayuh, dia
lalu jalankan perahunya mengikuti aliran sungai itu.
Lie Siauw Hiong lalu memandang pada sungai Tiang
Kang, dia hanya melihat sungai tersebut sangat tenang
sekali, dan saking luasnya sungai tersebut, sehingga tidak
kelihatan tepinya, kemudian waktu dia menoleh dan
melihat pada sungai Bin Kang, dia lihat sungai tersebut
hanya merupakan satu garis yang sangat kecil sekali, dan
jika dibandingkan dengan sungai Tiang Kang, entah berapa
jauh bedanya. Perahu yang berlayar mengikuti aliran sungai, lajunya
tidak terlampau pesat, pun tidak terlampau lambat, pemilik
perahu tersebut dengan tenangnya dapat mengendalikan
perahunya dengan baik, sehingga perahunya laju dengan
tetap. Hawa udara pada saat itu masih tetap dingin, para
penumpang pada berkumpul digeladak perahu, tapi Lie
Siauw Hiong yang ingin memandang keindahan alam, dia
menyendiri berdiri dikepala perahu.
Angin sungai mulai berhembus maju, demikian juga
perahu tersebutpun melaju lebih pesat lagi, dan tidak
sampai sepemakan nasi, ia sudah berlayar melalui sepuluh
lie jauhnya. Didepan terdapat Ceng Liong Tan yang
terkenal. Ceng Liong Tan ini adalah nama tempat yang
penuh bahaya, sejak dahulu sampai sekarang tempat
tersebut entah sudah makan berapa banyak perahu sehingga
para penumpangnya pada binasa, dan pemilik perahu yang
tadi berlaku ayal-ayalan, sampai disini tidak berani berlaku
lengah pula, buru-buru dia berdiri dan diapun menyuruh
para penumpangnya membawa barang-barangnya kedalam
ruangan perahu, untuk mencegah perahu tersebut agar tidak
terbalik. Air sungai mengalir semakin deras lajunya, sedangkan
perahunya bertambah pesat saja, seolah-olah terlepasnya
anak panah dari busurnya saja layaknya.
Ceng Liong Tan sudah tampak didepan mata mereka.
Tatkala jaraknya sudah dekat sekali dengan tempat itu,
pemilik perahu itu sambil berteriak keras, pengayuhnya lalu
dikerahkan ketimur, galahnya ditolakkan kebarat, begitulah
dalam waktu yang pendek dia sudah menjadi sangat sibuk
sekali dalam hal mengendalikan perahunya ini, karena
disitu banyak sekali terdapat batu-batu cadas yang pada
menonjol disana-sini, hingga disamping itu airpun
berpusing dengan derasnya.
Ditengah-tengah perjalanan mereka tempatnya sangat
sempit sekali, batu-batu cadas tampak menonjol disana-sini,
setelah mereka dapat melewati tempat itu dan dapat maju
terus bolehlah mereka bernapas agak lega sedikit.
Kemudian pemilik perahu tersebut berteriak pula pada
para penumpangnya : "Didepan kita lagi-lagi akan
menjumpai tempat yang lebih berbahaya lagi, harap kalian
berlaku tenang dan jangan sekali-kali berlaku panik tidak
keruan." Baru saja dia habis mengucapkan perkataannya ini,
sekonyong-konyong dari tepi pantai terdengar ada orang
yang berteriak : "Hei, pemilik perahu, aku ingin turut
bersama menyeberangi sungai !"
Mendengar suara teriakan tersebut, pemilik perahu itu
lalu menolehkan kepalanya kepantai dan dia nampak dalam
jarak enam tombak jauhnya ditepi pantai ada seseorang
yang sedang memanggil-manggil kepadanya.
Matanya Lie Siauw Hiong sungguh tajam sekali, dengan
sepintas lalu saja diapun sudah melihat jelas orang yang
memanggil tukang perahu itu, usianya ditaksir antara empat
puluh lima atau empat puluh enam tahun, dia berpakaian
sembarangan saja, mukanya penuh berewok, sedangkan
badannya mengenakan pakaian sebagai anak sekolahan.
Tukang perahu lalu menjawab sambil berteriak : "Orangorang yang menyeberangi sungai sudah penuh sesak,
bagaimana dapat ditambah dengan satu orang lagi"
Didepan adalah tempat paling berbahaya sekali dan akan
segera dilalui ......"
Tapi orang tersebut lalu berteriak pula : "Aku hanya
seorang diri saja, juga tidak membawa barang bawaan apaapa !" Tukang perahu tersebut tampak tidak sabaran sekali,
diapun balas berteriak : "Apakah kau tidak bisa melihat
sendiri, kini kita tengah diancam oleh bahaya maut ?"
Sehabis berkata begitu lalu perahu itu melaju dengan
pesat sekali. Lie Siauw Hiong lalu menolehkan kepalanya memandang pada orang tersebut, dan dia lihat orang itu
hanya menunjukkan senyuman dingin saja.
Air sungai mengalir dengan deras sekali, sehingga perahu
merekapun laju dengan pesat sekali.
Lalu tukang perahu berteriak : "Hati-hati ......"
Lie Siauw Hiong lalu melirikkan matanya memandang,
dan dia lihat ditengah-tengah sungai terdapat sebuah batu
raksasa yang menonjol sangat kokohnya, batu raksasa
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersebut seakan-akan menghadang majunya perahu-perahu,
jika perahu ingin melampauinya, hanya dapat melewat
dengan melalui kedua pinggirannya saja, dan diatas batu
raksasa tersebut terdapat tulisan : 'Bong Go Lay' (Pandang
Kearahku), tiga huruf. Tiga huruf ini diukir dengan sangat hidupnya dan
bertenaga sekali, seakan-akan huruf tersebut diciptakan oleh
para dewata saja layaknya, tapi ketiga huruf itu entahlah
hendak dimaksudkan apa. Air sungai mengalir begitu derasnya, seakan-akan bunyi
ribuan kuda yang berlari-lari, waktu air sungai menumbuk
kepada batu raksasa tersebut, maka berhamburanlah air
sungai itu bergulung-gulung merupakan ombak besar.
Gulungan ombak yang diciptakan oleh beradunya air
sungai pada batu itu, cukup untuk menenggelamkan sebuah
perahu yang bagaimanapun besarnya, dan sekalipun Lie
Siauw Hiong sudah memiliki kepandaian yang tinggi,
menyaksikan kebesaran alam ini tidak terasa lagi
hatinyapun menjadi jerih !
Perahu yang mereka naiki sudah terpisah kurang lebih
lima atau enam tombak lagi, dan lajunya perahu itu tidak
berkurang, sekalipun tukang perahu sudah berdaya-upaya
untuk menguranginya. Tukang perahu itu jadi agak gugup, dan dengan
mengangkat tinggi-tinggi galahnya dia berusaha mengendalikan perahunya. Lie Siauw Hiong lihat dagingnya tukang perahu penuh
berotot kuat sekali, dan pada saat itu dia tengah sibuk sekali
dalam usahanya mengendalikan perahunya itu.
Perahu itu lajunya memang sudah pesat, ditambah lagi
dengan tambahan pengayuh, hingga seakan-akan perahu
tersebut mau terbang saja layaknya. Justeru tepat pada
waktu itu, Lie Siauw Hiong merasakan bajunya tertiup
angin dan waktu dia balikkan kepalanya memandang, tidak
terasa lagi dia menjadi terperanjat sekali, dan suatu
keajaiban yang tidak mungkin dapat dipercaya oleh
seseorang mendadak muncul dihadapannya, bila tidak
menyaksikan dengan mata kepala sendiri disaat itu.
Orang yang penuh berewokan yang tadi terpisah begitu
jauh dengan tepi pantai, kini sudah berlompat kearah
perahu mereka, hingga pada saat itu para penumpang
lainnya sudah pada bersembunyi didalam perahu dengan
ketakutan setengah mati, sedangkan tukang perahu sedang
memusatkan seluruh perhatiannya kepada perahunya.
Dengan begitu, orang yang memperhatikan kedatangannya
itu, hanya Lie Siauw Hiong saja seorang. Orang tersebut
begitu lincah pergerakannya, hingga dengan sekali
menotolkan saja kakinya, badannya lantas melayang
dengan pesat sekali, maka bila dibandingkan dengan
lajunya perahu yang begitu pesat tampaknya, dia jauh lebih
cepat lagi agaknya. Seketika itu, orang itu telah
menggerakkan kembali sepasang kakinya, badannyapun
mengapung pula setinggi beberapa meter, seakan-akan dia
sengaja ingin mempersulit tukang perahu, karena dengan
melintang badannya, ia menjatuhkan diri dengan melalui
kepala tukang perahu yang memakai topi bambu yang
berdaun lebar itu. Orang tersebut ternyata mempunyai ilmu meringankan
tubuh yang cukup tinggi. Hal mana, telah dibuktikannya,
ketika ia meluncur dan hinggap dipuncak galah yang
dipergunakan untuk menolak dan menahan perahu oleh si
tukang perahu, ternyata si tukang perahu sama sekali tidak
merasa, bahwa diatas puncak galahnya ada seseorang yang
berdiri. Perahu itu laju dengan pesatnya, dan sekalipun
perahu itu tergoncang-goncang kena damparan ombak, tapi
orang yang berdiri diatas galah tukang perahu itu tidak
bergerak barang sedikitpun, kecuali bagian badannya yang
sebelah atas bergoyang-goyang sedikit untuk mengimbangi
dirinya, hingga tampaknya dia ini sangat tenang sekali.
Pertunjukan tersebut terang memperlihatkan yang dia
sudah tinggi sekali kepandaian Keng-sin-kang-nya, sampaikan Lie Siauw Hiong yang sudah memiliki
kepandaian tinggi pula, tidak terasa lagi turut merasa
tercengang sekali, apa lagi dengan kecepatan yang pesat
sekali dari lajunya perahu itu, orang tersebut tak dapat juga
dengan tepat jatuh diatas perahu, hingga kepandaiannya ini
boleh dikatakan bukan main hebatnya ! Diam-diam Lie
Siauw Hiong berpikir didalam hatinya : "Orang ini terang
mempunyai kepandaian yang cukup tinggi, cuma satu hal
yang disayangkan ialah, bahwa orang ini terlampau gemar
mempermainkan orang lain, maka teranglah bahwa dia ini
bukannya seorang ksatria sejati. Tampaknya dia sangat
tergesa-gesa sekali memburu perjalanannya, apakah bukan
mustahil diapun seakan-akan ingin memusuhi partai Kay
Pang di Ouw Lam itu " Setelah aku menyaksikan
perbuatannya ini, aku tidak boleh tidak menyelidiki asalusulnya terlebih dahulu." Begitu hatinya tergerak, diapun
sudah mempunyai rencana yang akan akan diambilnya
terhadap orang ini. Dalam waktu yang pendek, perahu itu sudah menjurus
langsung pada batu raksasa itu. Sekonyong-konyong
tampak tukang perahu menggerakkan tenaganya dengan
menggentakkan galahnya, seakan-akan dia hendak menghindarkan tubrukan dengan batu raksasa itu. Dan bila
perahu itu tidak dibelokkan arahnya, niscaya perahu itu
akan hancur lebur karena bertabrakan dengan batu raksasa
tersebut. Lie Siauw Hiong yang menyaksikan keadaan disekitarnya, tidak terasa lagi jadi berteriak tertahan,
sedangkan orang yang tengah mempertunjukkan kepandaian meringankan tubuhnya dengan berdiri diatas
galah si pemilik perahu, tampaknya diapun belum pernah
berjalan diair, maka waktu menyaksikan keadaan disaat itu,
tidak terasa lagi diapun berteriak pula dengan suara yang
tertahan. Seketika itu juga perahu tersebut telah menjurus pada
batu raksasa yang bertuliskan 'Pandanglah kearahku !' itu.
Badannya sipemilik perahu agak membungkuk untuk
memusatkan kekuatannya pada pengayuhnya, hingga
perahunya itu terus maju kemuka. Dikatakan lambat tapi
ternyata kejadiannya sangat cepat sekali, ternyata gelombang sungai yang tertumbuk pada batu raksasa
tersebut, lantas berpencar kedua jurusan dan perahu itu
yang kena terpukul oleh gelombang sungai menjadi agak
perlahan lajunya, tapi karena kerasnya gelombang sungai
menyentuh tubuh perahu, sehingga ketika perahu itu
mendekat batu raksasa badannya sudah berputar balik, dan
samping perahu itu menyentuh batu raksasa, kemudian
dengan cepat pula perahu itu laju melewati batu raksasa
tersebut dengan amannya. Tapi karena terlampau kerasnya perahu itu terputar,
maka menyebabkan Lie Siauw Hiong merasa agak pening
kepalanya, bagian sebelah kiri perahu itu menjadi timbul
tenggelam, hingga hampir saja kemasukan air sungai yang
terpisah hanya kurang lebih satu atau dua dim saja lagi,
sedangkan bagian lunas perahu sebelah kanannya sampai
naik melampaui permukaan air saking hebatnya goncangan
tersebut. Andaikata pada saat itu ada barang-barang yang
ditaruh digeladak perahu, maka tidak usah disangsikan lagi,
bahwa barang-barang itu pasti akan terlempar masuk
kedalam sungai. Sekalipun mengalami goncangan yang sangat hebat ini,
namun penumpang-penumpangnya tidak berteriak menandakan ketakutan, agaknya mereka sudah terbiasa
oleh pelayaran mereka sehari-hari.
Orang berewokan yang berdiri diatas galah itu merasa
terkejut sekali oleh perubahan yang sekonyong-konyong ini,
karena berat badannya tidak seimbang lagi dan buru-buru
dia melompat turun kegeladak perahu, tapi karena dia
lompat secara tergesa-gesa, maka jatuhnya badannya itu
agak keras sekali menyentuh geladak perahu, sehingga
dengan kontan hampir saja badannya terlempar jatuh
kedalam sungai yang deras mengalirnya.
Sebenarnya setelah dia menaruh kakinya dilantai perahu,
dia bermaksud untuk menggunakan ilmu 'Cian-kin-twi'
untuk memberatkan diri, tapi waktu dia lihat keadaannya
tidak berjalan sebagaimana mestinya, buru-buru badannya
dibungkukkan membentuk seperti busur yang melengkung,
karena dia melakukan tindakannya itu terlampau tergesagesa, lagi pula badannya jatuh begitu keras, sehingga perahu
itu menjadi oleng dan pemilik perahunya terlempar jatuh
kedalam sungai. Lie Siauw Hiong yang menyaksikan kejadian tersebut
menjadi sangat marah sekali, karena menolong orang
adalah tindakan yang paling utama, maka buru-buru dia
lompat sambil memegang tali temali diatas perahu itu,
kemudian dengan cepatnya badannya melayang dan
dengan cepat dan tepat dia masih dapat menangkap kaki
tukang perahu yang hendak kecebur kedalam sungai, dan
setelah berhasil menangkap kaki tukang perahu itu, Lie
Siauw Hiong lalu melemparkan kembali tubuhnya ketempat
pegang kemudinya. Sedangkan orang laki-laki berewokan itu nampaknya
mengetahui bahwa dirinya telah membuat onar, maka
dengan terpaku dia berdiri disitu, sedangkan tukang perahu
sendiri karena terkejutnya, mukanya berubah coklat seperti
tanah saja, dan walau bagaimanapun, dia tidak mengetahui
sebenarnya dari mana datangnya orang berewokan ini.
Lie Siauw Hiong yang merasa mendongkol lalu
mengeluarkan suara ejekannya, sedangkan didalam hatinya
ketika dia teringat akan sesuatu, marahnya menjadi meluap,
maka sambil duduk dia memandang batu raksasa yang
bertuliskan 'Pandanglah kearahku' tapi dia hanya melihat
air muncrat tinggi sekali, dan disebelah belakang
tampaknya lagi-lagi ada sebuah perahu tengah diancam
bahaya maut. Dalam hatinya dia berpikir : "Untuk menjadi seorang
pengayuh perahu yang cekatan dan sempurna, diperlukan
latihan dan pandangan yang tepat. Maka ambil saja,
misalnya kejadian tadi itu. Bila perahu itu sampai tak
bertolong dan mengarah kedua tepi batu raksasa tadi, maka
bukankah perahu itu akan menjadi hancur lebur tertumbuk
dengan batu raksasa tersebut " Maka jalan aman yang harus
ditempuh, mula-mula adalah terus menjurus kebatu raksasa
itu, tapi pada waktu yang tepat harus dialihkan kedua
pinggiran batu tersebut, sehingga perahu itu dapat dengan
selamat melampauinya. Terhadap batu raksasa itu, memang
cocok sekali jika diberi bertulis 'Pandanglah kearahku',
karena ternyata orang yang telah memberi peringatan
tersebut entah sudah mencucurkan berapa banyak tenaga
dan keringat baru dapat menciptakan tulisan itu, yang
merupakan pedoman seperti juga batu raksasa tersebut
sama fungsinya dengan mercu sinar dilautan bebas yang
penuh dengan batu-batu karang yang tidak tampak dimalam
gelap buta." Dalam waktu sekejap mata saja sudah ada tiga atau
empat perahu yang telah selamat melampaui tempat itu,
hingga Siauw Hiong yang melihat ketangkasan tukangtukang perahu itu, tidak terasa lagi ia merasa agak malu
oleh karenanya. Selagi pikirannya kacau, perahu itu tak terasa pula sudah
melewati pula jarak sejauh dua puluh lie lebih, dan didepan
mata selat Sam Kiap sudah terlihat dengan nyata,
sedangkan penumpang-penumpang yang lainnya sudah
bersiap-siap untuk menurunkan barang bawaan mereka.
Dalam pada itu diapun balik berpikir, barusan waktu dia
menolong tukang perahu, tidak seorangpun yang melihatnya, kemudian dia lalu bangun berdiri sambil
berkata : "Heng Tay (saudara) sungguh mempunyai
kepandaian Keng-sin-kang yang tinggi sekali ......"
Orang yang penuh dengan berewok itu ketika
mengetahui bahwa pemuda kita pun mempunyai
Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar Bwee Hoa Kiam Hiap Karya Liong Pei Yen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepandaian yang sangat tinggi sekali, sebenarnya dia tengah
merasa heran, diapun tidak mempunyai alasan untuk
menyelidiki si pemuda ini, tapi sekarang ketika pemuda itu
bertanya kepadanya, diapun lalu menjawab : "Tidak berani
terima atas pujian saudara itu, aku sungguh tidak berani
......" "Ternyata saudara tengah melakukan perjalanan dengan
tergesa-gesa bukankah ?" kata Lie Siauw Hiong.
Tatkala berkata sampai disitu, lalu dia pandang orang itu
dengan cermatnya, yang ternyata wajahnya tidak berubah
sama sekali, kemudian dengan suaranya yang lantang sekali
orang itu lalu menjawab : "Aku yang rendah she Ang,
namaku Ceng, apa yang dikatakan oleh tuan sungguh tepat
sekali, yaitu aku ingin pergi ke Ouw Lam untuk
menyambangi temanku."
Hatinya Lie Siauw Hiong terkejut bukan main, apa yang
diduganya sudah separuh merupakan kenyataan, diamdiam dia berpikir : "Orang ini jika benar-benar ingin
memusuhi partai Kay Pang, hmmmm ! Tampaknya kedua
saudara she Kim itu bukan menjadi lawannya yang
setimpal." Tapi mulutnya hanya berkata : "Aku Lie Siauw
Hiongpun ingin pergi ke Ouw Lam untuk bertamasya,
sungguh kebetulan sekali, jika Heng Tay tidak berkeberatan,
sudikah kiranya berjalan bersama-sama denganku ?"
Ang Ceng segera menjawab : "Omongan saudara Lie
terlampau merendah, aku bila dapat berjalan bersama-sama
denganmu, bukan saja disepanjang perjalanan akan aman
dan sentosa serta tidak kuatir akan gangguan apa-apa,
malah mungkin aku masih dapat meminta petunjukpetunjukmu yang berharga dalam kepandaianmu yang
sangat luar biasa itu."
Lie Siauw Hiong mangetahui apa maksudnya, maka
hatinya benar-benar merasa tidak puas. Terhadap orang ini
dia ada sedikit memandang rendah, dengan tertawa getir
dan sembarangan saja dia menjawab : "Mana bias,
kepandaianku sangat rendah dan terbatas sekali. Jika
dibandingkan dengan kepandaian Ang Ceng, mungkin juga
Si Cakar Rajawali 1 Candika Dewi Penyebar Maut I Menuntut Balas 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama