Ceritasilat Novel Online

Playboy Dari Nanking 15

Playboy Dari Nanking Karya Batara Bagian 15 juga karena melihat tak ada lagi orang menyerangnya, peperangan di bawah tinggal denting-denting lemah. "Ouh, di mana aku..." Di mana kita" Aduh, dadaku sesak, suamiku. Aku ingin mati!" "Sst, tak boleh!" Dewa Mata Keranjang ' terkejut, menotok dan membelai rambut isterinya itu. "Kau masih hidup, niocu. A-da aku di sini. Ah, kita dikejarkejar, tapi sekarang musuh tiada lagi. Keparat, di mana si Fang Fang itu?" "Fang Fang?" sang isteri bertanya, lemah. "Apakah muridmu itu ada di sini?" "Ya, tadi membantuku, niocu. Tapi sekarang lenyap. Jangan-jangan mencari pacar di lain tempat!" "Hush!" sang isteri meronta. "Jangan menuduh yang macam-macam, suamiku. Betapapun dia pemuda yang baik. Kalau benar begitu maka kaulah biang keladinya, memberi contoh yang buruk kepada murid!" "Ah, sudahlah, masa aku kau omeli begini" Susah-payah aku menolongmu, nio-cu, dan upahnya bukan omel. Lihat, aku luka-luka dalam melindungimu!" "Ooh, maafkan. Aku.... aku tak ingat, suamiku. Sudahlah, di mana kita dan hendak kaubawa ke mana aku ini!" "Kita di Liang-san, aku hendak membawamu bersembunyi di taman Air Terjun DewaDewi. Aku hendak mengobatimu!" "Ah, terima kasih. Kalau begitu bawalah!" namun ketika kakek ini berkelebat dan menyimpan tongkatnya, tubuh sang isteri dipanggul maka Mien Nio melihat mayatmayat yang bergelimpangan itu, juga May-may dan tiga yang merintih-rin-tih. "Tunggu...!" seruan itu mengejutkan Dewa Mata Keranjang. "Berhenti dan letakkan aku di sini, suamiku. Lihat dan tolong dulu May-may dan yang lain-lainnya itu!" "Apa?" sang kakek melotot. "Kau gila" Kau tidak ingat bahwa mereka itulah yang melukaimu?" "Tidak, ada akibat tentu ada sebab, suamiku. Jelek-jelek mereka adalah isterimu juga. Turunkan aku, dan lihat mereka!" Bukan hanya kakek ini saja yang terkejut. May-may, yang kesakitan dan patah tulang pundaknya sampai terbelalak dan lupa kepada rasa sakitnya. Tiga yang lain juga begitu dan Dewa Mata Keranjang sendiri tampak tertegun, bengong, i Namun ketika Mien Nio meronta turun dan terhuyung menghampiri para madunya itu, berlari-lari kecil maka wanita i-ni menjerit dan mendekap mulutnya melihat pundak May-may yang sengkleh. "Oh, kejam. Tak berperasaan!" dan menangis membebat luka itu, merobek baju sendiri tiba-tiba Mien Nio menolong dan meratapi nasib empat nenek-nenek itu, mengutuk dan memaki suaminya dan bengonglah May-may dan lain-lainnya itu. Mereka melihat betapa Mien Nio tak sakit hati atau dendam kepada mereka, padahal merekalah yang melukai dan menghantam wanita itu. Namun ketika pundak empat nenek-nenek itu dibebat dan Mien Nio mengeluarkan banyak tenaga, Dewa Mata Keranjang sendiri masih bengong dan melongo di sana, tak berbuat sesuatu tibatiba Mien Nio roboh terguling dan muntah darah. "Ooh, telan pil ini!" May-may tiba-tiba menggerakkan tangannya yang tidak patah untuk merogoh dan mengeluarkan sebutir pil. Dewa Mata Keranjang sendiri belum melakukan itu karena tak sempat, dia tadi dikejar-kejar dan dikeroyok banyak musuh, satu di antaranya adalah May may itu! Tapi ketika May-may mengambil dan memberikan sebutir obat, Dewa Mata Keranjang tersentak tiba-tiba kakek itu berkelebat dan menendang obat di tangan bekas isterinya itu. "Jangan terima, siapa tahu itu adalah racun!" May-may terkejut. Dewa Mata Keranjang tak percaya kepadanya dan pucatlah nenek itu. Mien Nio sendiri juga terkejut tapi tiba-tiba bangun terhuyung, menyambar dan mengambil pil yang jatuh di tanah itu. Dan ketika Dewa Mata Keranjang bergerak dan hendak mencegahnya, wanita itu melotot maka Mien Nio berkata bahwa mereka tak perlu curiga. "May-may memberiku, tulus. Aku percaya itu bukan racun dan betul-betul o-bat!" "Ah, tapi kau hendak dibunuhnya, Mien Nio. Kau berulang-ulang mendapat siksa dan makian mereka. Buang, dan minum saja obat pemberianku!" "Tidak," wanita ini menolak, Dewa Mata Keranjang tertegun melihat obat di tangannya tak diterima. "Aku percaya, suamiku. May-may kali ini sungguh-sungguh kepadaku. Kalaupun racun, biarlah a-ku menebus dosa membayar kebenciannya!" dan menelan pil itu tak menghiraukan suaminya yang pucat dan khawatir maka Mien Nio sudah memasukkan obat ke mulutnya, langsung tertelan tapi ternya ta tak ada apaapa. Wajah wanita itu bahkan memerah tanda sehat dan May-may tampak berseriseri. Memang dia memberikan obat dan bukannya racun, Mien Nio benar. Dan ketika tak lama kemudian Mien Nio sudah sembuh tak muntah darah lagi, wanita itu terisak maka May-may mengguguk ketika Mien Nio menghampiri dan memeluknya. "May-may, terima kasih. Kau telah menyembuhkan aku!" dan merangkul serta memeluk yang lain, nenek Bhi Cu dan Lin wanita ini memberikan ciuman dan kata-katanya yang tulus. "Aku gembira kalian tak apa-apa. Marilah, ikut aku dan kita hidup bahagia di puncak!" "Ohh, tidak..!" May-may tiba-tiba meloncat bangun, tersedu. "Aku terharu olehmu, Mien Nio. Kau wanita yang berbudi dan madu yang baik. Ah. biarlah kau bahagia dengan Cing Bhok!" "Benar," Lin Lin dan yang lain juga tersedu meloncat bangun, pundak mereka sudah dibebat wanita ini. "Kau mulia dan berbudi, Mien Nio. Biarlah Cing Bhok menjadi milikmu dan kami pergi!" "Tidak," Mien Nio terkejut. "Kalian tak usah ke mana-mana, toa-ci (kakak). Kalian di sini dan tinggal bersamaku!" "Terima kasih!" namun nenek-nenek itu berkelebat dan pergi. "Biar lain kali saja kami datang, Mien Nio. Sekarang berbahagialah dengan Cing Bhok dan kami cukup puas kalau laki-laki itu tak melupakan kami!" Mien Nio tertegun. Dia berteriak dan mau lari mengejar namun sebuah lengan yang kuat mencekalnya. Itulah lengan si Dewa Mata Keranjang karena kakek ini tak mau isterinya mengejar nenek-nenek itu. Sinar mata Dewa Mata Keranjang tampak begitu bahagia dan hidup. Kakek ini kagum sekaligus semakin "jatuh cinta" lagi kepada isterinya. Mien Nio memang isteri yang baik dan berbudi. Sebagai wanita maupun madu Mien Nio bukanlah wanita mengecewakan. Sikapnya penuh pengertian dan tulus. Ah, jarang mencari wanita semacam ini! Maka ketika empat nenek-nenek itu pergi sementara Bi Giok dan lain-lain juga sudah menyingkir maka mereka berdua yang tinggal tanpa kawan tiba-tiba membuat Dewa Mata Keranjang memeluk dan... mencium isterinya itu, melumat bibirnya sampai Mien Nio terkejut. "Mien Nio, kau wanita istimewa. Ah, bahagia hatiku mendapat isteri semacammu ini. Ha-ha, kalah mereka, Mien Nio. May-may dan lain-lain melihat dirimu lebih agung dan mulia, tak egois. Rasakan itu!" "Eh, lepaskan!" Mien Nio meronta, kaget karena beberapa bayangan tiba-tiba bergerak naik, menuju mereka. "Ada orang-orang mendatangi, suamiku. Lihat, Bugoanswe dan Koktaijin datang!" Kakek itu melepaskan isterinya. Mien Nio betul karena jenderal Bu dan menteri Kok muncul. Mereka diiring para pembantunya dan peperangan di bawah selesai, kakek itu sadar. Dan ketika dua pembesar itu berkelebat dan sudah berada di depan mereka maka Bu-goanswe menjura dan berseru, wajahnya yang penuh keringat dibiarkan basah. "Dewa Mata Keranjang, terima kasih. Para pemberontak telah dapat kuhancurkan tapi Gak-taijin dan para pembantunya lolos!" "Kau membiarkan mereka lari," Koktaijin menegur sambil tersenyum-senyum, melirik tapi jelas tak puas akan hasil peperangan ini. "Kalau kau tak berlama-lama dengan bekas isteri-isterimu tadi tentu gubernur she Gak itu dapat kita tangkap, lo-enghiong. Sayang kau tak mengejar dan segera membekuk mereka!" "Wah-wah, jangan salahkan aku!" si kakek terbahak, tahu akan pujian tapi sekaligus juga teguran itu. "Aku sendiri sibuk menolong isteriku ini, taijin. Lihat pakaianku robek-robek pula. Sebenarnya, kalau tak ada Fang Fang di sini aku tak sanggup mengusir cecunguk-cecunguk itu. Eh, mana dia" Ke mana muridku pergi?" "Kami melihatnya di gunung sebelah barat. Dia tadi membantu kami sebentar tapi dikejar-kejar oleh bekas kekasihnya!" "Apa?" "Hm, kami tak tahu apa yang terjadi, Dewa Mata Keranjang. Tapi Eng Eng dan Ming Ming serta Ci Leng kulihat mengeroyok muridmu. Fang Fang terdesak atau barangkali memang tak dapat menghadapi bekas pacar-pacarnya!" "Ah, begitukah" Dan pemuda itu sekarang ke barat gunung" Wah, kalian urus dulu pekerjaan kalian, goanswe. Aku hendak menyusul muridku karena jangan-jangan dia diperdaya!" "He!" Bu-goanswe terkejut, berteriak dan memanggil kakek itu, yang berkelebat dan terbang ke barat. "Tunggu sebentar, Dewa Mata Keranjang. Bagaimana dengan tokoh-tokoh pemberontak yang belum kita tangkap. Apa yang akan kaulakukan!" "Aku akan menyusul kalian. Cegat dan tunggu di kota raja!" "Apa?" "Ya, Cak-taijin pasti ke kota raja, Bu-goanswe. Tokoh utama ada di sana. Dia akan ke kota raja dan minta bantuan tokoh itu!" "Siapa dia, kami tak tahu!" "Aku juga belum tahu, tapi ikuti dan bayangi saja gubernur itu. Turut katakataku!" dan ketika kakek itu lenyap dan menghilang ke barat, Bu-goanswe dan Koktaijin saling pandang dengan terkejut, heran dan terkejut karena Dewa Mata Keranjang berkata bahwa Gak-taijin melarikan diri ke kota raja, hal yang tak disang ka dan amat berani maka dua orang itu melompat dan cepat berseru pada para pengiringnya agar turun dan kembali ke - kota raja. "Ikuti kata-katanya. Pergi dan pulang ke kota raja!" Semua bergerak turun. Bu-goanswe dan Koktaijin terheran-heran dan kalau bukan kakek itu yang bicara tentu mereka tak mau percaya. Bayangkan, mana a-da musuh bersembunyi di kandang lawan. Datang ke kota raja sama saja dengan datang menghadap kaisar, minta hukuman! Tapi karena dua orang itu percaya bahwa Dewa Mata Keranjang tak mainmain, kakek itu bicara serius maka begitu lenyap dan meninggalkan mereka maka dua pembesar inipun berkelebat turun dan menyuruh pasukannya bergerak pulang. Banyak yang bertanya-tanya kenapa Gak-taijin yang kabur justeru dicari di kota raja, padahal tak mungkin gubernur itu datang ke sana, seperti ular mencari gebuk! Namun karena pimpinan sudah bicara begitu dan pasukan tinggal menurut maka semua bergerak dan kembali ke selatan. Dewa Mata Keranjang sendiri sudah berkata akan menyusul dan Bu-goanswe maupun Koktaijin amat mengharapkan bantuan kakek hebat itu. Tanpa kakek itu tak mungkin mereka dapat mengalahkan pemberontak, apalagi Gak-taijin dibantu orang-orang macam nenek May-may dan Cap-ji Koai-liong serta si setan pemabok suami isteri, meskipun delapan dari Cap-ji Koai-liong itu akhirnya tewas terbunuh. Dan ketika dua orang itu kembali ke selatan dan pegunungan Liang-san kembali sunyi maka di tempat lain terjadi peristiwa menegangkan, yakni Fang Fang yang bertemu dengan bekas kekasih-kekasihnya! -o~dewikz~abu~-o - Waktu itu, seperti diketahui, Fang Fang terjun dari atas membantu gurunya. Seperti garuda menyambar atau elang menyergap mangsa pemuda ini mengibas dan memukul mundur musuh-musuh gurunya. Sylvia yang ada di gendongan harus sering berteriak tertahan atau meramkan mata kalau Fang Fang menangkis atau mematahkan senjata-senjata lawan, setelah dekat. Dan karena pemuda ini memiliki tambahan sinkang dari hasil latihan dua bulan bersamadhi maka setiap kibasan atau angin pukulan Fang Fang menyebabkan musuh terlempar atau mencelat bergulingan, bahkan Cap-ji Koai-liong juga berseru keras ketika terpelanting dan mencelat tergulingguling! "Lepaskan.... lepaskan aku. Biar aku menghadapi mereka, Fang Fang. Biarkan aku membantumu!" Sylvia berseru, meronta namun tak dapat melepaskan diri karena Fang Fang menotok dan mencengkeramnya erat. Pemuda itu berkata biarlah gadis itu bersamanya, musuh terlalu banyak sementara Michael menghilang di a-tas sana, setelah tadi ditolong atau diselamatkan empat nenek Bhi Cu dan lain-lain. Dan ketika Fang Fang berkelebatan dan membuat musuh harus menjauhi gurunya, karena gurunya sibuk melindungi Mien Nio maka Fang Fang yang bermaksud membuat lingkaran lebar lalu menghalau dan mendesak hingga gurunya dapat bernapas lega. Namun tiga bayangan tiba-tiba menyambar dan membentaknya dari kiri dan kanan. Mereka itu adalah bayangan-bayang an hijau merah dan kuning. Fang Fang terkejut karena bersamaan dengan itu menyambar pula bau harum, tanda bahwa pendatang ini adalah wanita. Dan ketika benar saja mereka adalah tiga orang gadis cantik, yang menyerang dan membentaknya beringas maka Fang Fang tertegun karena itulah Eng Eng dan Ming Ming serta Ci Leng! "Fang Fang, tamat riwayatmu. Keparat, di mana-mana selalu membawa gadis cantik!" Fang Fang terkejut. Eng Eng yang menyerang dari kiri langsung melepas pukulan Kilat Biru dan tangan kiri gadis itu menghantam dengan amat dahsyatnya. Pakaiannya sampai berkibar sementara itu dari kanan dan depan menyambar Ming Ming dan Ci Leng, murid Ok-tu-kwi si setan pemabok itu. Ci Leng mempergunakan tusuk kondenya sementara Ming Ming meledakkan rambut, persis gurunya dengan serangan Sin-mauw-kang (Rambut Sakti). Dan karena tiga orang gadis itu menyerang dengan marah dan serangan mereka merupakan serangan maut, Ming Ming meledakkan rambutnya ke mata sementara Eng Eng dan Ci Leng mengarah ulu hati dan bawah pusar maka Fang Fang yang kaget namun cepat memutar lengannya ini membentak dan menangkis pukulan-pukulan mereka. "Heii, kalian kiranya..... des-dess!" Tangan Kilat Biru terpental, Eng Eng mencelat dan terbanting sementara Ci Leng dan Ming Ming menjerit tertolak pukulan mereka. Rambut gadis itu meledak namun membalik melecut pipinya sendiri, pedang di tangan Ci Leng tertekuk dan bengkok! Dan ketika tiga gadis itu berteriak melempar tubuh dan Fang Fang tertegun sejenak, tak menyangka kedatangan bekas kekasih-kekasihnya ini maka Eng Eng meloncat bangun dan menerjang lagi. "Bunuh pemuda ini, dan tikam gadis bule itu!" Fang Fang terkejut. Selanjutnya Eng Eng sudah menyerang kalap dan mencabut pedangnya pula. Dengan pedang di tangan kanan dan Bhi-kong-ciang di tangan kiri murid nenek Lin Lin itu menyerang Fang Fang dengan amat hebatnya. Fang Fang berkelit dan menghindar sana-sini namun kini pedang dan pukulan-pukulan gadis itu mengarah ke Sylvia pula, penuh kebencian dan menyuruh dua temannya yang lain untuk melakukan hal yang sama. Dan ketika Ming Ming maupun Ci Leng menyerang Sylvia yang ada di gendongan Fang Fang, membentak dan bertubi-tubi melancarkan serangan maka Fang Fang sibuk karena harus melindungi gadis kulit putih itu pula. "Gila, kalian gila! Tak boleh kalian menyerang gadis ini, Eng Eng. Dia tak memiliki permusuhan dengan kalian. Seranglah aku, jangan dia!" "Keparat, hidung belang! Siapa yang ada bersamamu berarti musuh kami Fang Fang. Kalau kau tidak melindunginya serahkan dia kepada kami. Buang, lemparkan!" "Hm, ini bukan barang mati. Gadis ini manusia! Eh, kau tak boleh bicara seperti itu, Eng Eng. Justeru kaulah yang harus menghentikan seranganmu dan kenapa kau marah-marah begini!" "Keparat, untuk apa bertanya lagi" Kami datang untuk mencincangmu, Fang Fang. Kau mempermainkan dan menghina kami..... haittt!" dan Eng Eng yang berteriak sambil menggerakkan pedang akhirnya menusuk dan menyerang dada Fang Fang, dikelit tapi pedang tiba-tiba membalik menikam Sylvia. Fang Fang terkejut dan menampar. Dan ketika pedang tertolak dan melengkung seperti sabit maka Eng Eng terjengkang karena Fang Fang mengibas dan mendorongnya dengan pukulan jarak jauh. "Kalian tak tahu diri, datang-datang ingin membunuh orang lain. Hm, baiklah, terpaksa kuhajar!" Fang Fang bergerak ke kiri kanan, menampar dan menyampok dan tiga gadis itu kalang-kabut menghadapi angin pukulannya. Dengan dorongan atau kibasan perlahan saja Fang Fang telah membuat mereka jatuh bangun. Dan ketika pedang di tangan Ming Ming akhirnya patah dan terlepas dari tangannya, tusuk konde di tangan Ci Leng juga patah dan hancur dibuang maka Fang Fang berseru meminta mereka mundur, tak tega merobohkan, apalagi membuatnya luka. "Nah, mundur. Kalian bukan tandinganku. Guru-guru kalian sendiri tak sanggup melawan aku. Mundur, dan pergilah!" Namun Eng Eng melengking. Pedang yang hancur di tangan dan sudah dibuang tibatiba diganti dengan seorang orok merah. Tadi gadis itu berkelebat dan kini muncul dengan anak di tangannya itu, bocah perempuan yang menangis-nangis tak keruan. Dan ketika Eng Eng menerjang dan anak di tangannya itu diputar untuk dipakai menyerang Fang Fang maka Fang Fang tertegun dan pucat mukanya. "Itu.... itu Kiok Eng! Ah, itu anakku, Eng Eng. Dari mana kaudapatkan dan bagaimana tiba-tiba ada di sini!" "Jahanam terkutuk, tak usah banyak mulut! Hayo kaudorong dan pukul aku lagi, Fang Fang. Pukul dan biarkan anak i-ni mampus menerima pukulanmu!" Fang Fang pucat. Kiok Eng, puterinya dengan Ceng Ceng, tiba-tiba muncul dan ada di tangan Eng Eng. Murid Bhi-kong-ciang Lin Lin itu beringas dan menerjang memutar-mutar anaknya. Kiok Eng menjerit-jerit dan tentu saja hati Fang Fang serasa diremas-remas. Anaknya dijadikan senjata dan Eng Eng tampak kalap. Sekali dia salah tangan maka anak perempuannya itulah yang bakal hancur. Dan ketika Fang Fang pucat dan mundur-mundur, Sylvia di gendongannya mulai kendor mendadak gadis itu terjatuh ketika terlepas. "Sing-crat!" rambut gadis itu terbabat pedang bengkok. Ci Leng menyerangnya dan Sylvia berteriak melempar tubuh bergulingan. Totokannya tiba-tiba bebas. Dan ketika gadis itu pucat karena Ci Leng mengejar dan terkekeh menyerangnya, pandang mata murid Ok-tu-kwi itu penuh dengki dan dendam maka Fang Fang sadar Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dan cepat membentak ke a-rah gadis baju kuning itu, menangkis a-tau menerima pukulan Ci Leng. "Ci Leng, enyahlah kau.... dess!" murid Ok-tu-kwi itu menjerit, terlempar dan terbanting roboh dengan pukulan membalik mengenai dirinya sendiri. Tangkisan Fang Fang memang terlalu kuat, pemuda itu cemas dan marah. Dan ketika Ci Leng tak bangun lagi entah pingsan atau tewas maka Fang Fang beringas memandang Eng Eng, yang menyerang dan membentaknya dari belakang. -o~dewikz~abu~-o - Jilid : XXVII "KAU PUN mampus!" Namun bentakan atau serangan Eng Eng ini tak mengenai Fang Fang. Pemuda itu berkelit dan ketika Eng Eng melotot serangannya luput maka Fang Fang mengibas dengan cepat. Gadis itu berteriak ketika tiba-tiba angin pukulan Fang Fang mengangkat tubuhnya, terlempar dan terbanting. Namun karena Fang Fang tak berani keras-keras karena di tangan lawan terdapat pucerinya, Kiok Eng yang melengkinglengking maka gadis itu dapat bangun berdiri dan menerjang lagi, lebih sengit. "Fang Fang, kaubunuhlah aku. Atau aku yang akan membunuhmu!" "Hm!" Fang Fang mendengus, berhati-hati mengarahkan serangannya. "Serahkan puteriku, Eng Eng. Dan jawab dari mana kaudapatkan itu. Apakah kau penculiknya!" "Tak usah dijawab!" Ming Ming memekik dan membantu Eng Eng, menyerang lagi. "Kita permainkan anaknya, Eng Eng. Serahkan dia kepadaku dan kita lempar-lempar seperti bola!" "Hi-hik!" Eng Eng mengangguk, merasa dapat mempermainkan Fang Fang. "Usulmu bagus, Ming Ming. Memang benar kita permainkan dia agar bapaknya teraduk-aduk. Nih, terima dan tangkap!" gadis itu melempar Kiok Eng, disambar dan ditangkap temannya dan Ming Ming menyerang Fang Fang dengan anak kecil itu. Tekanan ke kaki Kiok Eng diperkeras sehingga sang bocah menangis menjerit-jerit, kesakitan. Dan ketika Fang Fang melotot karena puterinya disakiti, dua gadis itu menerjang bergantian maka dia menghantam Eng Eng namun secepat kilat Ming Ming melemparkan puterinya untuk dipakai menangkis. "Dess!" Fang Fang terpaksa menarik pukulannya dengan jalan menangkis sendiri. Dia jadi berang dan marah karena anaknya dipakai sebagai tameng, balik menghantam Ming Ming namun Eng Eng ganti menolong temannya itu, dengan cara melempar Kiok Eng menangkis pukulan bapaknya. Dan karena hal ini terjadi berkali-kali dan Fang Fang susah merebut puterinya, karena yang satu pasti akan menyerang sekaligus melindungi yang lain maka Fang Fang yang tak berani keraskeras menurunkan tangan besi akhirnya menjadi permainan dua gadis itu, merah padam. "Hi-hik, majulah. Bunuh kami atau anak ini, Fang Fang. Ayo, maju dan hantam lagi!" "Kalian gadis-gadis kejam!" Sylvia, yang tadi bergulingan diserang Ci Leng sudah meloncat bangun dan membentak dua gadis itu. Sejak tadi gadis ini memperhatikan dan tahu kesulitan Fang Fang. Dia tahu Fang Fang tak berani keras-keras membalas karena takut mengenai puterinya sendiri, jadi Eng Eng maupun Ming Ming mendapat keleluasaan bergerak untuk menekan Fang Fang. Tapi ketika gadis itu marah dan membentak Eng Eng, yang kini menjauhkan diri dari pertempuran di leher gunung maka Sylvia tiba-tiba melolos tali dan dengan tali ini dia melasso atau menjerat Eng Eng. "Heiii...!" Eng Eng terkejut, mengelak dan berseru keras. "Jangan macam-macam, gadis bule. Kubunuh kau nanti!" "Bunuhlah, kalian pengecut!" dan tali yang kembali menyambar dan melasso Ming Ming kini membuat murid nenek May-may itu mencak-mencak dan menjauhkan diri, dilasso dan mengelak lagi dan Sylvia akhirnya mengganggu Eng Eng atau Ming Ming berganti-ganti. Mereka itu tak dapat membalas karena Fang Fang melindunginya, jadi Sylvia bergerak leluasa dan Fang Fang tertawa bergelak. Sekaranglah dia mendapat kesempatan dan Eng Eng maupun Ming Ming memaki-maki. Dan ketika keduanya sibuk karena Sylvia menjerat dan selalu hendak menangkap mereka, seperti pemburu yang siap menjerat harimau akhirnya Ming Ming terpelanting terkena pukulan Fang Fang, tepat di saat melempar Kiok Eng kepada temannya. "Aduh!" Eng Eng terkejut. Dia menerima dan sudah menangkap Kiok Eng ketika temannya itu roboh. Ming Ming terbanting dan tak dapat bangun berdiri, merintih dan gadis itu rupanya kesakitan. Dan ketika Fang Fang berkelebat dan membentak kepadanya, agar menyerahkan anak perempuan itu maka Eng Eng pucat dan tiba-tiba menendang pasir yang berhamburan ke mata Fang Fang. "Kau terimalah ini...... wut-wut!" Fang Fang terkejut, menampar dan merendahkan kepalanya dan terkamannyapun otomatis gagal. Eng Eng berkelebat dan menendangi lagi batu-batu kecil di atas permukaan tanah, bahkan akhirnya apa saja karena Fang Fang sudah hendak mengejarnya lagi. Dan ketika gadis itu melengking karena kecewa dan marah, Ming Ming tak bangun lagi karena pingsan akhirnya gadis ini memutar tubuhnya dan melarikan diri, ke barat. "Heii...!" Fang Fang berseru. "Berikan anakku, Eng Eng. Serahkan dia dan tak akan kuserang kau!" "Seranglah, aku tak takut!" gadis itu mengancam, balas membentak. "Sebelum aku terbunuh tentu anak ini mampus, Fang Fang. Seranglah dan bunuhlah aku!" Fang Fang terkejut. Eng Eng terbang sambil mencengkeram batok kepala anaknya. Kalau dia berani menyakiti gadis itu tentu Eng Eng akan segera membunuh anaknya. Celaka! Dan ketika apa boleh buat Fang Fang mengikuti sambil memperpendek jarak, diam-diam menyiapkan totokan jarak jauh maka Eng Eng dilihatnya memasuki taman Air Terjun Dewa Dewi. "Heii!" Fang Fang kembali berseru. "Apa yang mau kaulakukan, Eng Eng. Kenapa masuk ke situ. Awas, kau bisa masuk tak bisa keluar!" "Biarlah, biar aku mati!" gadis itu tancap gas. "Aku tak perduli keselamatanku Fang Fang. Kalau kau membiarkan aku sendiri maka anak ini akan kuberikan kepadamu, di luar sana. Tapi kalau kau mengikuti dan hendak menyerang aku maka ancamanku tetap. Anak ini kubunuh!" Fang Fang menggigit bibir. Kalau bukan Eng Eng yang bicara tentu dia tak mau memberi ampun. Tapi gadis itu adalah kekasihnya, setidak-tidaknya bekas kekasih karena kalau disuruh berbaik lagi tentu Fang Fang mau. Bagi Fang Fang, asal cantik dan menarik hatinya maka dia tak menolak, darah mudanya cepat bangkit berdiri dan mudah bergairah. Tapi karena saat itu Eng Eng marah-marah dan mengancam anaknya, padahal berbulan-bulan dia mencari dan belum menemukan anaknya itu maka Fang Fang menahan diri dan menguntit sambil diam-diam berpikir. Dulu Eng Eng pernah masuk ke Air Terjun Dewa Dewi karena dialah yang mengajak, waktu mereka asyik berasyik-masyuk sebagai kekasih. Kini gadis itu hendak ke sana dan rupanya hendak bersembunyi, karena di dalam taman itu terdapat banyak lika-liku lorong-lorong pat-kwa (segi delapan) yang rahasia, memang tepat untuk dipakai bersembunyi karena tak sembarang musuh dapat menemukan jejaknya. Namun karena dia adalah penghuni Liang-san dan tentu saja tahu akan rahasia loronglorong itu, Fang Fang diam-diam tertawa maka dia membiarkan saja gadis itu lari ke sana, diam-diam akan menyergap begitu gadis itu lengah. Namun ketika Eng Eng siap memasuki daerah itu, sebuah hutan kecil di mana sebentar lagi dia akan menghilang tiba-tiba muncul bayangan kuning yang membentak murid nenek Lin Lin itu. "Eng Eng, serahkan anak itu kepadaku!"Eng Eng terkejut. Saat itu tinggal beberapa langkah lagi dia memasuki hutan, lenyap dan akan segera bersembunyi di balik kerimbunan pohon-pohon bambu yang tersebar lebat. Sekali dia masuk memang tak akan mudah dicari, biar oleh Fang Fang sekalipun. Tapi begitu bayangan kuning itu membentak dan Eng Eng serta Fang Fang sendiri terkejut, mengira itu adalah bayangan Ci Leng karena Ci Leng juga mengenakan baju kuning maka Fang Fang terhenyak sementara Eng Eng juga tersentak karena itu ternyata adalah Ceng Ceng, murid Lui-pian Sian li Yan Bwee Kiok alias ibu dari anak yang dibawanya itu! "Heiiii..... tar-dess!" Eng Eng terjengkang. Ceng Ceng muncul secara tiba-tiba dan di waktu menyerang juga menyambarkan sinar hitam. Itulah cambuk yang amat lihai, warisan wanita sakti Dewi Cambuk Kilat. Dan karena gadis itu menyerang secara mendadak sementara Eng Eng juga gugup dikejar Fang Fang maka begitu dibentak dan diserang sinar hitam ini tiba-tiba Eng Eng menangkis tapi cambuk melejit dan sudah mengenai pipinya. "Keparat!" Eng Eng bergulingan meloncat bangun. "Kau curang dan licik, Ceng Ceng. Menyerang dan muncul dari samping. Rasakan, aku juga dapat membalasmu!" namun ketika Ceng Ceng mengelak dan meledakkan cambuknya kembali, Eng Eng kalap maka sebuah totokan jarak jauh bercuit dan meluncur dari tangan Fang Fang, yang merasa itulah saat yang tepat untuk merampas anaknya kembali. "Eng Eng, serahkan anak itu kepadaku!" Eng Eng menjerit. Diserang dari muka dan belakang tiba-tiba dia gugup, menghindar serangan cambuk namun terkena totokan Fang Fang. Dan ketika gadis itu roboh sementara Kiok Eng hendak dicengkeram batok kepalanya, Fang Fang berkelebat dan melumpuhkan tangan gadis itu maka si bocah terlempar dan menjerit melengking. Dan saat itu cambuk Ceng Ceng bergerak mendahului, melibat dan sudah menyambar anaknya. Dan ketika Fang Fang tertegun tapi berseri-seri, anak itu sudah di tangan ibunya maka muncullah Bhi-kong-ciang Lin Lin yang gusar melihat muridnya roboh. "Keparat, kalian mengeroyok" Dua orang merobohkan muridku" Jahanam, rasakan ini, bocah. Dan kemarikan anak itu... wut-dess!" dan Ceng Ceng yang berteriak dan terlempar bergulingan tahu-tahu terlepas anaknya dan sudah disambar nenek itu, Lin Lin atau Dewi Kilat Biru yang marah-marah melihat muridnya dirobohkan. Dan ketika nenek itu berkelebat dan membebaskan totokan Eng Eng, gadis itu berseri dan tertawa melompat bangun maka anak di gendongan subonya itu dirampas! "Hi-hik, bagus, subo. Mereka ini manusia-manusia sombong yang congkak dan curang. Kalau Fang Fang membela siluman ini biarlah kuhadapi dia dan kau bunuh si Fang Fang itu!" Ceng Ceng terkejut. Eng Eng sudah membentak menyerangnya dan anak perempuan itu dikempit di bawah ketiak. Kiok Eng melengking-lengking namun Eng Eng tak perduli, terkekeh dan sudah melepas pukulan-pukulan Kilat Biru di mana Ceng Ceng sudah didesak dan ditekan. Dan ketika Ceng Ceng mengelak dan memaki-maki, lawan tak perduli dan terus menyerangnya maka dua gadis itu segera bertanding dan Fang Fang melotot. "He!" pemuda itu mau melompat maju, dihadang si nenek Lin Lin. "Jangan bawa-bawa anak itu, Eng Eng. Serahkan kepada ibunya dan kalian bertempurlah secara jantan!" "Tak ada yang jantan, mereka semua betina!" Bhi-kong-ciang Lin Lin membentak, bersinar-sinar memandang Fang Fang "Kalau kau ingin maju dan mainmain mari denganku, Fang Fang. Tak dapat membunuh gurumu biarlah membunuh dirimu!" Fang Fang marah. "Locianpwe mau ikut campur urusan anak-anak muda" Locianpwe mau membela murid yang salah?" "Heh, tak ada yang salah, Fang Fang. Kaulah yang salah kenapa hidung belang seperti gurumu. Hayo, maju dan kuhajar kau. Jangan banyak mulut!" dan ketika nenek itu berkelebat dan menyerang Fang Fang, yang berkelit dan sudah diserang lagi maka berkelebat sebuah bayangan hitam di mana Bwee Kiok atau Dewi Cambuk Kilat muncul, langsung menotok Eng Eng. "Bocah, serahkan anak itu!" Eng Eng mengaduh. Dia tak tahu kedatangan lawannya ini dan tentu saja serangan Dewi Cambuk Kilat tak dapat dielak. Wanita itu setingkat gurunya dan Eng Eng roboh terpelanting. Dan ketika anak di tangannya terlepas dan sudah dililit atau digubat cambuk, Ceng Ceng girang karena gurunya datang maka Lin Lin atau Dewi Kilat Biru melotot melihat muridnya dirobohkan oleh lawan yang bukan setanding. "He, tua bangka tak tahu malu!" nenek itu melengking. "Kau merobohkan muridku dan berani menghina yang muda" Eh, tua sama tua, Bwee Kiok. Jangan menyerang yang muda kalau kau berani... wut!" dan si nenek yang berpindah dan melepas pukulannya, meninggalkan Fang Fang akhirnya membuat Dewi Cambuk Kilat terkejut tapi menangkis. "Dess!" Fang Fang tertegun. Dua wanita sakti itu sama-sama terpental dan nenek Lin Lin memaki-maki. Nenek itu gusar tapi berjungkir balik menyerang lagi, melepas pukulannya. Dan ketika cambuk menerima dan ledakan keras menggetarkan tempat itu maka dua orang itu sudah bertanding sementara Eng Eng sudah meloncat bangun dan menyerang Ceng Ceng kembali. "Gurumu sudah datang, tapi suboku juga ada di sini. Nah, mari kita lihat siapa yang roboh, Ceng Ceng. Kau atau aku!" dan Ceng Ceng yang terkejut karena diserang ganas, berkelit dan meledakkan cambuknya akhirnya membentak dan melayani pula Eng Eng. Di sana gurunya membawa Kiok Eng dan dia boleh merasa aman. Ceng Ceng menggerakkan cambuknya dan sudah berkelebatan naik turun mengimbangi lawan. Dua orang gadis itu sama-sama hebat, mereka sama-sama murid wanita sakti yang juga sama-sama setingkat. Maka begitu keduanya bertanding sementara Fang Fang menonton, Ceng Ceng diam-diam gemas memaki maka di pihak Dewi Cambuk Kilat justeru nenek ini yang kelihatan terdesak. Lin Lin atau Dewi Kilat Biru itu menyerang dengan ganas, nenek itu menghadapi lawan tanpa beban. Tapi karena Bwee Kiok atau guru Ceng Ceng itu mem bawa Kiok Eng, cucu muridnya maka nenek itu kelihatan keteter dan cambuk di tangannya sering terpental bertemu pukulan Kilat Biru. "Serahkan anak itu kepadaku!" Fang Fang berseru, melihat juga jalannya pertandingan ini. "Kau tak dapat berkonsentrasi penuh, locianpwe. Berikan Kiok Eng kepadaku dan layani lawanmu sepenuh perhatian!" Namun Ceng Ceng berteriak mencegah. Gadis itu berseru agar subonya tidak menyerahkan anak itu kepada ayahnya, Ceng Ceng berapi-api memandang Fang Fang. Dan ketika Fang Fang tertegun karena Ceng Ceng terpelanting oleh serangan Eng Eng, yang mempergunakan kesempatan itu selagi Ceng Ceng berseru pada subonya maka gadis itu terbanting sementara pukulan Kilat Biru menyambar dan mengejar Ceng Ceng lagi. "Dess!" Ceng Ceng mengeluh. Gadis itu bergulingan dan Fang Fang melihat bahaya yang mengancam gadis ini. Eng Eng berkelebat dan tertawa melepas pukulan lagi, Kilat Birunya menyambar. Tapi ketika Fang Fang berkelebat dan mendorongkan tangannya, menangkis, maka Eng Eng terbanting dan justeru gadis itu yang berteriak dan mengaduh-aduh. Ceng Ceng meloncat bangun tapi gadis itu tiba-tiba menubruk Fang Fang, bukannya berterima kasih melainkan malah menyerang. Dan ketika Fang Fang terkejut dan mengelak maka Eng Eng meloncat bangun dan menyerangnya pula, melupakan permusuhannya dengan Ceng Ceng. "Bagus, bunuh dan cincang pemuda ini, Ceng Ceng. Nanti kita selesaikan urusan kita di belakang!" "Heii..!" Fang Fang membentak. "Jangan gila, Ceng Ceng. Aku membantumu. Ambil anakmu itu dan pergilah dari sini!" "Keparat!" Ceng Ceng melengking. "Aku tak sudi melihatmu bersama gadis lain, Fang Fang. Lebih baik kubunuh kau atau kau yang membunuhku!" Fang Fang kelabakan. Diserang dari muka dan belakang dia tak begitu kebingungan. Tapi bahwa Ceng Ceng tiba-tiba juga menyerangnya dan melupakan permusuhannya dengan Eng Eng, padahal gadis itu menyerang dan kalap membabi-bu-ta ingin membunuhnya maka Fang Fang gemas dan marah juga. Akhirnya dia bergerak dan apa boleh buat ujung lengan bajunya dikibaskan. Dan begitu dua gadis itu tertampar maka mereka terbanting dan roboh terguling-guling. Namun saat itu nenek Lin Lin dan Bwee Kiok melengking marah. Mereka melihat Fang Fang merobohkan murid-murid mereka itu. Dan ketika masing-masing sama menghentikan serangan dan melotot kepada Fang Fang, aneh sekali, maka tiba-tiba keduanya bergerak dan menyerang pemuda itu, juga melupakan sejenak permusuhan mereka sendiri. Dan karena Fang Fang tak menyangka dan keduanya sudah menubruk dengan cepat maka Fang Fang terhantam pukulan Kilat Biru sementara cambuk di tangan Dewi Cambuk Kilat menjeletar mengenai pipinya. "Tar-dess!" Fang Fang jadi kaget dan marah sekali. Dia terpelanting tapi sudah berdiri lagi, menerima dan menangkis pukulan-pukulan dua nenek itu. Dan ketika di sana Ceng Ceng dan Eng Eng juga sudah meloncat bangun maka dua gadis itu juga menyerangnya dan mengeroyok Fang Fang. "Gila!" pemuda ini membentak. "Aku tak ada urusan dengan kalian, ji-wi locian-! pwe. Pergi dan jangan menyerang aku kalau tak ingin kubalas!" "Balaslah, keparat jahanam!" nenek Lin Lin melengking. "Aku tak takut padamu, Fang Fang. Biar gurumupun di sini aku tak takut!" dan ketika nenek itu membentak dan menyerang lebih gencar, Dewi Cambuk Kilat juga membantu dan meledak-ledakkan cambuknya maka Fang Fang dikeroyok dan maju mundur menghadapi lawan-lawannya ini. Eng Eng dan Ceng Ceng bersatu sementara subo-subo mereka juga bergerak dan menyambarnya naik turun. Tapi ketika nenek Lin Lin mendesis dan memegangi pangkal lengannya, nenek itu sebenarnya terluka tapi menahan sakitnya maka Fang Fang tahu bahwa hanya Dewi Cambuk Kilat Yan Bwee Kiok yang benar-benar berbahaya. Tapi pemuda ini tak takut. Fang Fang telah melindungi dirinya dengan sinkang dan mulailah dia menerima pukulan-pukulan itu. Ledakan cambuk atau pukulan Kilat Biru tak dihindarkannya lagi, dia ingin pamer dan menunjukkan kesaktiannya. Dia gemas kepada nenek-nenek ini. Dan ketika tubuhnya mementalkan ujung cambuk sementara Bhi-kong-ciang yang dilancarkan nenek Lin Lin juga membalik dan memukul tuannya sendiri akhirnya si Cambuk Kilat maupun Bhi-kongciang Lin Lin pucat. Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kau pamer kepandaian" Sinkangmu kuat dan mampu menahan pukulanku" Keparat, jangan sombong, Fang Fang. Biarpun kau boleh lihai tapi aku akan mengadu jiwa denganmu..... dess!" dan si nenek yang kembali nekat dan marah menyerang Fang Fang tiba-tiba menghantam a-tau memukul sekuat tenaga. Nenek ini penasaran karena berkali-kali pukulannya membalik, kian lama kian kuat dan dia bukannya mundur melainkan naik pitam dan berkeras kepala. Tapi begitu pukulannya mengenai Fang Fang dan sinkang di tubuh pemuda ini otomatis menolak maka nenek itu menjerit dan tangan kirinyapun patah. "Aduh!" Fang Fang tak mau sudah. Dia gemas dan marah kepada nenek keras kepala i-ni. Dia ingin memberi hajaran dan berkelebatlah dia ketika si nenek terpelanting. Dan ketika nenek itu menjerit dan Fang Fang menggerakkan dua jarinya maka nenek itu roboh dengan dua tanda hitam di dahinya. "Tuk!" Fang Fang tak berhenti sampai di sini. Dia bergerak dan meliukkan tubuh ketika cambuk di tangan Cambuk Kilat menjeletar di samping kepalanya. Ceng Ceng dan Eng Eng juga menggerakkan pukulan masing-masing dan Eng Eng tampak berteriak ketika subonya roboh. Tapi begitu Fang Fang meliuk dan mengguncang tubuhnya seperti anjing mengibas bulu maka tiga wanita itu terpental dan Eng Eng langsung pingsan. "Robohlah!" Dewi Cambuk Kilat dan muridnya menjerit. Mereka terpelanting dan bocah di tangan wanita itu terlempar. Terhadap Ceng Ceng dan gurunya ini Fang Fang tidak terlalu keras menurunkan pukulan. Dan ketika mereka terbanting dan tak dapat bangun berdiri, merintih-rintih di sana maka Fang Fang sudah menyambar puterinya dan saat itu berkelebat bayangan gurunya, Dewa Mata Keranjang. "Berhenti!" kakek itu melayang dan terkejut. "Jangan bunuh mereka, Fang Fang. Tahan dan kendalikan dirimu!" "Aku hanya merobohkan," Fang Fang membalik dan mengusap keringat. "Mereka terlalu mendesakku, suhu. Tapi anakku ternyata ketemu. Lihat, ini dia!" Dewa Mata Keranjang terbelalak. Dia memang mengejar dan mencari muridnya ini setelah Bu-goanswe memberi tahu ke mana muridnya itu pergi. Tapi melihat Lin Lin dan Bwee Kiok tak bergerak di tanah, Lin Lin malah tampaknya pucat maka kakek itu berkelebat dan menghampiri nenek ini, disusul oleh Mien Nio karena isterinya itu memang dibawa. Dua laki-laki dan perempuan ini sudah berlutut dengan muka cemas, Dewa Mata Keranjang bahkan tampak terbakar. Tapi ketika dilihatnya Lin Lin tak tewas melainkan pingsan, tangan kirinya patah maka Mien Nio menangis dan cepat menolong madunya itu. "Jangan salahkan Fang Fang. Muridmu itu pasti didesak dan dipaksa!" "Benar," Fang Fang juga berlutut di samping gurunya ini. "Mereka tak rnendengar kata-kataku, suhu. Sudah kusuruh ber kali-kali tapi tetap nekat menyerangku. Aku menyesal tapi apa boleh buat!" "Untung kau tak membunuhnya!" sang suhu menggeram tapi lega. "Kalau kau membunuhnya tentu kau akan berhadapan dengan aku, Fang Fang. Jangan sombong dan mentang-mentang meskipun kepandaianmu sekarang sudah melebihi aku!" "Eh, kenapa mengancam!" Mien Nio memperingatkan. "Mereka inilah yang terlalu, suamiku. Tapi di atas semuanya itu maka kaulah biang keladinya. Sudah, enci Lin sudah sadar dan cepat pulihkan dia!" Dewa Mata Keranjang bersinar-sinar. Dia lega bahwa Fang Fang tak sampai membunuh musuh-musuhnya ini. Betapapun mereka adalah isteri-isterinya juga. Dan ketika Lin Lin mengeluh dan membuka mata, sadar, maka kakek itu beralih dan melompat ke arah Bwee Kiok, isteri satunya. "Kau tak apa-apa?" "Aku tak apa-apa, muridmu hebat. Ah kepalaku sedikit pusing, Cing Bhok. Fang Fang benar-benar hebat dan luar biasa sekali!" "Hm, bangunlah, minum obat ini. Kenapa kalian bertempur dan bagaimana muridmu ada di sini!" "Ceng Ceng merebut anaknya. Kami bertempur karena soal itu..." "Eh, bocah itu"' Dewa Mata Keranjang tiba-tiba terbelalak memandang anak yang menangis di gendongan Fang Fang, anak yang tadi disambar bapaknya. "Jadi anak itu adalah Kiok Eng" Cucu muridku?" "Benar, juga cucuku, Cing Bhok. Dan kami bertanding karena ini!" dan ketika kakek itu terbelalak tapi berseri-seri, berkelebat dan menyambar anak itu maka Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak. "Ha-ha, ini kiranya. Eh, kalau begitu sudah ketemu, Fang Fang. Tak usah dicaricari lagi karena bocah ini sudah di tangan kita!" "Tidak, itu anakku!" Ceng Ceng tiba-tiba membentak dan berkelebat merampas. "Kembalikan kepadaku, locianpwe. Atau aku akan mengadu jiwa dengan siapa pun kalau mengambil anakku ini..... plak!" dan Ceng Ceng yang menjerit karena ditangkis, Dewa Mata Keranjang mengecutkan ujung bajunya maka gadis atau wanita itu berjungkir balik dan mencabut cambuknya lagi, menjeletarkannya nyaring. "Subo, anakku tak boleh dibawa orang lain. Tolong aku atau biar aku mati terbunuh!" dan Ceng Ceng yang sudah menerjang dan mengamuk lagi lalu menyerang kakek itu yang tentu saja dikelit atau disampok mudah. Dewa Mata Keranjang bukanlah lawannya dan kakek itu terbelalak memandang gadis ini. Kalau bukan Ceng Ceng tentu sudah dikibasnya roboh. Tapi ketika anak di gendongannya menangis dan melengking-lengking, sang kakek bingung maka dia melemparkannya kepada Fang Fang dan Ceng Ceng pun lalu menyerang pemuda itu. "Berikan kepadaku. Kalian laki-laki tak mungkin dapat merawatnya!" Fang Fang mengelak. Diserang dan dipatuk cambuk dia tentu saja tak gentar. Ceng Ceng menyerangnya lagi tapi dia bingung oleh tangis Kiok Eng yang menjadi-jadi. Bocah itu meronta-ronta dan rupanya ingin kembali kepada ibunya itu, sang anak sudah mengenal ibunya. Dan ketika Fang Fang bingung dan mengelak sana-sini, membentak agar Ceng Ceng tidak menyerangnya maka berkelebatlah bayangan Mien Nio menyambar Kiok Eng. "Serahkan kepadaku, dan kalian berhentilah!" dan ketika Fang Fang tertegun dan membiarkan anaknya disambar subonya itu, Kiok Eng berhenti menangis maka Mien Nio cepat mengangkat tangan ketika Ceng Ceng hendak menyerangnya. "Stop!" seruan itu menghentikan Ceng Ceng. "Aku tak bermaksud merampas anak ini, Ceng Ceng. Kalau kau ingin bawalah, aku tak berniat mengambil yang bukan hakku!" lalu menyerahkan anak itu kepada ibunya wanita inipun berseru, "Sekarang siapa pun tak boleh merampasnya. Kiok Eng sudah kembali kepada ibunya, urusan ini selesai!" Ceng Ceng tertegun. Dia tak menyangka sikap wanita itu dan menerima anaknya. Anak ini tadi dirampas Eng Eng dan Ming Ming, dia mengejar dan sampailah ke tempat itu. Namun ketika dia terisak dan girang, Kiok Eng menangis tapi diciumi ibunya maka Eng Eng berkelebat dan tiba-tiba menyerang, sadar dari pingsannya. "Anak itu tak usah dibiarkan hidup, biar kubunuh!" Ceng Ceng terkejut. Tentu saja dia marah dan membentak Eng Eng, berkelit tapi Eng Eng membalik dan sudah melepas pukulan Kilat Birunya. Dan ketika gadis itu mengamuk dan memaki-maki, Dewa Mata Keranjang dan lain-lain terkejut maka Ceng Ceng sudah menangkis dan Eng Eng menjerit, roboh terpelanting. Gadis itu berteriak dan mendekap perutnya dan Ceng Ceng serta yang lain-lain heran. Ditangkis tangannya tapi yang didekap kok malah perut. Tapi ketika Eng Eng bangkit lagi dan menyerang marah, Fang Fang siap bergerak menotok Eng Eng tibatiba muncul bayangan Ming Ming yang langsung menyerang Ceng Ceng pula, datang dengan muka pucat dan terhuyung-huyung, dari bawah gunung. "Bagus, kita bunuh ibu dan anak ini, Eng Eng. Lalu bapaknya'" Semua lagi-lagi terkejut. Ming Ming muncul sambil marah-marah, terhuyung dan menyerang Ceng Ceng dan segera murid Dewi Cambuk Kilat itu dikeroyok. Tapi ketika Ceng Ceng terbelalak dan marah sekali, Kiok Eng di gendongannya menangis lagi mendadak Ming Ming dan Eng Eng roboh dan muntah-muntah, ketika dipukul mundur. "Aduh, keparat. Kaubunuhlah aku!" "Benar, aku juga tak ingin hidup, Ceng Ceng. Bunuhlah aku daripada menanggung malu!" Fang Fang tak tahan. Dia kaget dan terheran-heran kenapa Eng Eng dan Ming Ming mendadak begitu lemah. Keduanya mendekap perut dan masing-masing sama-sama muntah, Fang Fang tak mengerti. Tapi ketika Ceng Ceng berkelebat dan mengayun cambuknya, Ceng Ceng marah dan hendak membunuh tiba-tiba Fang Fang sudah berkelebat dan menahan cambuk itu, disusul Mien Nio yang berkelebat dan melihat keadaan dua gadis ini. "Kalian hamil, perut kalian berisi!" Ceng Ceng dan lawan-lawannya tersentak. Mereka tak menyangka seman wanita itu namun Bwee Kiok dan Lin Lin tiba-tiba berkelebat dan menghampiri pula, memeriksa. Dan ketika dua gadis itu benar-benar dinyatakan hamil, Lin Lin dan Bwee Kiok tertegun maka dua gadis itu menangis dan memaki-maki Fang Fang. "Terkutuk, jahanam keparat. Kaubunuhlah aku, Fang Fang. Bunuhlah aku daripada menanggung malu!" dan keduanya yang terhuyung dan menubruk Fang Fang, malu dan gusar tiba-tiba sudah mendaratkan pukulannya di tubuh pemuda itu, yang bengong dan mendelong saja. "Buk-bukk!" Fang Fang tak apa-apa. Pemuda ini tak bergeming karena tenaga saktinya sudah menolak sendiri. Eng Eng dan Ming Ming menyerang lagi namun pukulan mereka malah membalik. Dan ketika dua gadis itu terbanting dan tersedu-sedu, muntah lagi maka berkelebat bayangan nenek May-may yang menyambar Ming Ming. "Sudahlah, tak mungkin menang menghadapi musuh-musuh kita, Ming Ming. Lebih baik pergi dan lain kali membalas dendam!" "Benar," nenek Lin Lin tiba-tiba berkelebat dan menyambar muridnya pula. "Tak ada gunanya lagi kita di sini, Eng Eng. Lebih baik pergi dan kelak membalas sakit hati!" "Heii..!" Fang Fang terkejut tapi tak jadi mengejar, melihat sorotan Ceng Ceng yang penuh benci dan marah kepadanya. "Lain kali kita bicarakan ini, Eng Eng. Tapi aku siap bertanggung jawab kalau itu atas perbuatanku!" "Cih!" Ceng Ceng berkelebat dan turun gunung. "Kau membawa malu dan aib bagi gadis-gadis muda, Fang Fang. Tak tahu malu dan mata keranjang!" "Heii!" sang subo berkelebat dan mengejar sang murid. "Tunggu aku, Ceng Ceng. Jangan sendiri dan searah dengan mereka!" lalu ketika wanita itu terbang dan meluncur menyusul muridnya, Dewa Mata Keranjang dan lain-lain tertegun di situ maka Dewi Cambuk Kilat itu mengirim teguran dari jauh, ditujukan kepada kakek itu, "Dewa Mata Keranjang, lihat hasil didikanmu ini. Muridmu menghamili wanitawanita cantik. Bagaimana tanggung jawabmu kalau kelak semuanya menuntut bapaknya" Mereka akan diisi api kebencian oleh ibunya, dan kau tak boleh cuci tangan kalau sudah begini!" "Ha-ha!" aneh sekali kakek itu tiba-tiba tertawa bergelak. "Justeru aku girang dan senang kalau Eng Eng dan lain-lainnya itu hamil, Bwee Kiok. Berarti aku akan mendapat cucu-cucu dari muridku ini. Ah, Fang Fang ternyata lebih hebat daripada aku. Aku tak pernah mampu menghasilkan keturunan-keturunan dari per buatanku itu tapi justeru muridku dapat. Ha-ha, aku mau bertanggung jawab. Aku akan memelihara mereka dan mendirikan sebuah kerajaan kecil dari hasil keturunan muridku itu. Wah, aku bakal memperoleh banyak cucu. Ingin kuhitung berapa kekasih-kekasih muridku ini dan siapa yang pintar menghasilkan keturunan!" "Gila!" wanita itu berseru dari jauh. "Kau tidak waras, Cing Bhok. Kau tua bangka tak tahu malu!" namun ketika kakek itu tertawa bergelak dan semakin gembira saja, menghitung-hitung kekasih Fang Fang dan membandingkannya dengan kekasih-kekasihnya sendiri maka Mjen Nio berkelebat dan mengerutkan kening menegur Dewa Mata Keranjang. "Kau tak perlu menyakiti hati isteri-isterimu. Kalau kau tak suka lebih baik diam, jangan berolok-olok. Memangnya mereka tidak berperasaan dan sama seperti laki-laki" Kau tak bijaksana, suamiku. Menganggap wanita seperti pengeraman yang menetaskan anak-anak. Sudahlah, sekarang apa yang akan kaulakukan dan apakah jadi ke kota raja'" "Wah, tentu jadi!" kakek itu teringat, melompat dan menyambar isterinya. "Kalau bukan kau yang mengingatkan barangkali aku lupa, Mien Nio. Ah, maafkan. Aku lupa kau di sini dan jangan sakit hati atas kata-kataku tadi!" "Aku tidak sakit hati," wanita itu bersikap tenang dan wajar, keibuan. "Aku tahu kesukaan dan watakmu, suamiku. Kau selalu haus wanita cantik dan ingin bermainmain. Aku tak cemburu ataupun marah karena aku juga bukan satu-satunya isterimu!" "Wah-wah, apa-apaan ini!" kakek itu memeluk dan mencium. "Kau satu-satunya yang kucinta, Mien Nio. Kau yang paling kucinta dari mereka-mereka semuanya itu. Hayo, jangan menyindir suamimu! "Aku tidak menyindir," sang isteri berkelit dan mengelak, jengah karena ada Fang Fang di situ. "Jangan seperti anak-anak muda saja, suamiku. Ada Fang Fang di sini!" dan ketika kakek itu tertawa dan terbahak, menoleh pada Fang Fang yang cepat melengos tak mau melihat gurunya maka Dewa Mata Keranjang berseru. "Lihat, Fang Fang tak melihat kita. Dia sendiri yang malu!" Namun Mien Nio menampar. Melihat suaminya main peluk dan mau mencium lagi, Dewa Mata Keranjang memang betul-betul mata keranjang maka wanita i-tu membalik dan marah. Dan ketika suaminya tertegun dan mundur, Mien Nio bersikap keras maka kakek itu menyerir ngai, buru-buru merobah sikap. "Sudahlah.... sudah, aku tak mainmain lagi. Kalau kau memang tak mau kucium dan kupeluk lagi siapa yang akan memaksa" Marilah, kita ke kota raja, nio-cu. Aku sekarang ingat bahwa pertolonganku kepada Bu-goanswe belum selesai. Mari berangkat dan kita ajak Fang Fang!" "Fang Fang memang sudah siap. Tapi kaujelaskan dulu apa yang akan kaulakukan!" "Hm, benar. Baiklah, akan kuberi tahu dia!" dan ketika kakek itu menggapai dan memanggil muridnya, Fang Fang masih mendelong oleh kepergian kekasih-kekasih-nya tadi maka gurunya menerangkan bahwa tugas mereka belum selesai. Gak-tai-jin melarikan diri ke selatan dan mereka harus mengejar, menangkap. Dan ketika Fang Fang hanya mengangguk-angguk dan mengiyakan saja, pikirannya masih kacau oleh kehamilan Eng Eng dan Ming Ming maka gurunya menepuk pundaknya untuk segera berangkat, membuatnya kaget. "Kau tak perlu manggut-manggut saja seperti ayam mematuk padi. Hayo bantu aku dan kita tuntaskan pekerjaan Bu-goanswe!" Fang Fang bergerak. Gurunya sudah meluncur dan terbang ke bawah. Sang isteri sudah disambar dan dibawa serta. Tapi ketika Fang Fang teringat Sylvia dan terkejut tak melihat gadis itu, juga Michael yang menjadi biang gara-gara mendadak dia tersentak ketika bayangan gadis itu muncul, dari bawah gunung. "Fang Fang, terima kasih atas pertolonganmu. Tapi sekarang kita tak usah bersama-sama lagi!" "Benar," sesosok bayangan lain berkelebat dan muncul pula. "Aku berterima kasih untuk pertolonganmu kepada adikku Fang Fang. Tapi sebaiknya setelah ini kita tak usah bertemu lagi!" Fang Fang tertegun. Sylvia dan kakaknya muncul, mau disapa tapi berkelebat pula bayangan-bayangan lain. Dan ketika Leo dan gurunya muncul, berkelebat dan datang maka Fang Fang berhenti dan otomatis menoleh, gurunya lenyap dan sudah jauh di bawah sana. Rupanya orang-orang ini muncul setelah gurunya menghilang. "Leo..." Fang Fang bingung, menegur pemuda itu lebih dulu, bukan Sylvia atau kakaknya, James. "Kau... kau di sini" Kalian bersama-sama?" "Maaf," Leo memberi hormat. "Aku datang karena Michael, Fang Fang. Dan ini guruku juga ikut..." "Ya-ya, aku tahu. Dan anda, ah... anda di sini paman Frederick" Anda juga-mau menangkap si Michael itu" Anda datang terlambat?" "Hm, aku sudah lama di sini, berputaran. Sejak Bu-goanswe menyerang pasukan Gaktaijin aku sudah ikut secara diam-diam. Tadi dia di puncak gunung, lalu lenyap. Apakah kau tahu, Fang Fang" Di mana bedebah terkutuk itu" Dia menyalahgunakan kekuasaan gubernur jenderal. Kami hendak menangkap dan membawanya pulang ke negeri kami!" "Aku tak tahu, tapi tadi memang ada di atas. Barangkali, ah... tentu ikut Gaktaijin. Ke kota raja! Apakah paman mau ke sana?" "Kalau begitu tentu aku mengejarnya. Aku harus membawanya pulang atau negerimu bisa salah paham dengan negeri kami. Baik, kita cari dia di sana, Leo. Mari!" dan kakek tinggi besar ini yang berkelebat dan menyambar Leo lalu minta diri kepada Fang Fang untuk terbang turun gunung. Leo tak sempat bercakap-cakap lagi dan diseretlah pemuda itu oleh gurunya. Dan ketika mereka lenyap dan tinggal Fang Fang bertiga, Sylvia terisak berkelebat mengejar maka gadis itupun berseru menyusul gurunya. "Tunggu..!" Fang Fang terkejut. "Aku juga, Guru. Jangan tinggalkan kami atau jahanam itu merat lagi!" "Benar," James ganti bergerak turun gunung. "Aku juga tak mau lama-lama tinggal di sini lagi, Sylvia. Mari kita kejar dan bekuk jahanam itu!" dan James yang melewati dan berkelebat di depan Fang Fang akhirnya berseru agar Fang Fang tak usah mengikuti. Pemuda itu dipersilahkan mengambil jalan lain saja daripada searah. James berkata secara dingin bahwa Fang Fang beruntung sekali memiliki tiga orang ibu dari tiga orang anaknya sekaligus, kata-kata atau sengatan yang membuat Fang Fang terkejut dan bergetar, mukapun merah padam. Tapi ketika semuanya lenyap dan pertemuan sekilas itu membuat perasaan Fang Fang tertusuk, gerak-gerik dan sepak terjangnya sudah diketahui kakak beradik i-tu maka Fang Fang tersenyum pahit teringat kepada Ming Ming dan lain-lainnya itu. Dia merasa pedih namun hasil dari perbuatannya telah berbuah. Eng Eng dan Ming Ming hamil, Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dia akan punya keturunan lagi dari gadis-gadis itu. Dan ketika Fang Fang merasa ngeri bahwa jangan-jangan kekasih-kekasihnya yang lain juga begitu, hamil, maka Fang Fang terhuyung menutupi muka merasa takut, jerih. Jerih terhadap hasil perbuatannya kelak! "Suhu, kenapa aku terjebak seperti ini" Kenapa mereka semua itu hamil dan akan punya anak" Ah, kalau tahu begini tentu aku berpikir seribu kali, suhu. Kau benar-benar membuat aku seorang manusia yang kelak dituntut oleh anak-anaknya sendiri. Kau terlalu!" Namun Dewa Mata Keranjang tak mendengar keluhan muridnya itu. Kalaupun tahu barangkali Dewa Mata Keranjang akan terbahak-bahak. Dia sudah mengatakan banyak anak banyak kegembiraan. Kakek itu tak mempunyai keturunan meskipun galanggulung dengan demikian banyak wanita, isteri-isterinya itu. Maka ketika muridnya dinilai "lebih berhasil" karena dapat membuahkan keturunan, berarti dia akan mempunyai cucu-cucu murid maka Dewa Mata Keranjang tentu saja tak perduli kesusahan Fang Fang. Dia rindu akan generasi penerus, calon putera-puteri yang kelak dapat meneruskan kisahnya. Dan ketika Fang Fang dapat melakukan itu dan keturunan pemuda itu sama dengan keturunannya sendiri, karena Fang Fang adalah murid satu-satunya maka Dewa Mata Keranjang justeru merasa gembira dan bahagia! Dia tak perduli apa yang terjadi kelak dengan ayah dari anak-anak itu. Dia tak perduli Fang Fang. Dan karena Fang Fang sudah berhasil melaksanakan keinginannya dengan memberikan benih-benih keturunan di tubuh Eng Eng dan Ming Ming, mungkin gadis-gadis lainnya lagi maka Dewa Mata Keranjang tak bingung atau gelisah seperti muridnya itu. Fang Fang bahkan dianggapnya bodoh. Tak tahu "keberuntungan akan "re-jeki" yang diterima, benih yang berhasil dibuahkan di "tubuh gadis-gadis itu. Maka ketika Fang Fang justeru menggigit jari dan diamdiam gentar kalau dituntut a-nak-anaknya, yang tentu akan dididik dan diisi benih kebencian oleh ibu-ibunya itu maka Dewa Mata Keranjang sendiri terbahak dan berseri-seri mengetahui muridnya begitu pandai punya anak! Dewa Mata Keranjang meluncur dan terus terbang menuju kota raja, Fang Fang disuruhnya menyusul dan menyelesaikan pekerjaan terakhir itu. Dan ketika Fang Fang akhirnya juga bergerak dan terhuyung meneruskan perjalanannya, turun gunung, maka kakek itu sendiri sudah jauh dan berada di depan. Malam itu mendung tebal menggantung di kota raja. Awan hitam sejak sore sudah memenuhi udara di tempat ini dan sesekali kilatan petir tampak menyambar. Guntur belum menggelegar namun ancaman langit hitam yang kian bergulung dan memenuhi kota raja pasti akan segera terdengar. Sudut-sudut kota tampak lengang. Tak ada gerakan-gerakan di situ dan para penjaga pintu gerbang tampak malas berdiri. Malam kian gelap dan beberapa lampu teng segera dinyalakan, beberapa di antaranya terdiri dari lampu-lampu kertas yang berwarna-warni. Hijau kuning dan merah. Dan ketika gerimis mulai turun dan halilintar mulai menggelegar, penduduk buru-buru menutup pintu dan anak-anak kecil menyelinap di balik selimut ibunya, ketakutan, maka untuk pertama kali terdengar suara guntur yang menggelegar. "Blarrr!" Letupan bunga listrik ini mengguncangkan kota raja. Sebatang pohon besar ambruk dan hujanpun tiba-tiba turun dengan lebatnya. Air bagai dicurahkan dari langit dan anak-anak kecil berteriak. Mereka segera mendengar suara halilintar lagi, bersahut-sahutan, bukan sekali atau dua melainkan berkali-kali. Dan ketika gemuruh air hujan membuat sungai mulai meluap dan Coa-kiang (Sungai Ular) yang membelah kota raja mulai naik permukaannya maka tiga jam kemudian kota raja dibisingkan oleh suara hujan dan petir yang menyambar-nyambar. Geledek atau halilintar kian memekakkan telinga, suaranya dahsyat menggelegar hingga beberapa rumah roboh, yakni rumah-rumah bambu yang berdiri di tepian Sungai Ular. Dan ketika air naik semakin tinggi sementara hujan bukannya mereda, bahkan semakin lebat dan keras maka menjelang tengah malam kota rajapun banjir. Dan bunyi kentongan mulai dipukul orang, diiring teriakan atau pekik kaget penghunipenghuni rumah yang rumahnya tiba-tiba hanyut, terbawa bandang sungai Coa-kiang "Tolong..... tolong....!" Jerit atau tangis ini menggugah penghuni-penghuni kota raja. Mereka yang berada di tengah kota juga mulai dipanikkan oleh air yang menggenang tinggi. Mereka yang rumahnya berloteng cepat-cepat naik ke atas. Hanya beberapa jam saja air pun sudah setinggi lutut, tak lama kemudian naik ke paha dan sebentar kemudian air pun sudah mencapai dada! Dan ketika kota raja benar-benar panik karena lolong atau jerit mereka yang menangis bercampur-baur dengan pekik atau sumpah serapah kaum hartawan yang rumahnya diserbu air maka perahu atau getek-getek pisang mulai berhamburan. "Tolong rumah si A-tong itu. Gubuknya hanyut!" "Ya, dan anak-anaknya terbawa air, Sui-ma. Kau yang pandai berenang harap mencari dan menemukan anaknya. Heiii... itu mereka!" dan ketika belasan gedebokgedebok pisang membelah banjir bandang, mereka itulah petugas-petugas keamanan yang bekerja menolong penduduk maka rintih atau erangan mereka yang tertimpa rumah-rumah roboh juga tak kalah memalukannya. "Itu Ong-twako terjepit. Heii, dia tertimpa betandar!" "Benar, dan itu istennya. Ah, cepat tolong dan kita ke sanaf" Hiruk-pikuk dan ratap tangis akhirnya menjadi satu. Hujan yang mengguyur masih deras dan lebat, guntur di atas juga menggelegar-gelegar mendirikan bulu ro-ma, belum lagi oleh lolong anjing atau hewan ternak yang terjebak air. Semuanya sahut-menyahut seolah ingin lebih dulu diperhatikan. Layaknya, seperti dunia mau kiamat. Dan ketika sinar terang di langit yang gelap memecah angkasa dan para penjaga pintu gerbang mengkerut sambil menutupi telinga mereka, suara yang dahsyat menggelegar hingga meruntuhkan beberapa dinding bata maka di saat semua kepanikan dan banjir bandang i-tu terjadi maka berkelebat beberapa bayangan yang memasuki pintu gerbang sebelah barat. "Buka, atau kalian mati!" Empat penjaga ternganga keheranan. Bentakan atau seruan itu seperti iblis yang menyelinap di balik gelegar dan dahsyatnya suara hujan. Enam tubuh melayang dari atas meluncur turun ke bawah, persis seekor burung atau rajawali yang datang dari luar. Dan ketika mereka ternganga karena bayangan-bayangan ini melompati tembok kota yang tinggi, ringan dan enteng seperti manusia-manusia tak berbobot maka satu di antaranya sudah lebih dulu menginjak tanah dan mengebutkan ujung bajunya yang basah kuyup, kaku oleh air hujan. "Prakk!" Dua penjaga seketika roboh. Mereka berteriak tapi jatuh tersungkur, kepalanya pecah. Dan ketika dua yang lain terkejut dan menyambar senjata, karena tadi mereka mendelong dan ndomblong saja seperti orang tersihir maka bayangan yang lain yang juga sudah tiba di tanah tiba-tiba terkekeh dan menyemprotkan percikan arak. "Crot-crot!" Dua penjaga itu roboh pula. Mereka tak sempat menjerit karena butir-butir a-rak yang kecil menembus dahi mereka, persis puluhan jarum yang seketika mengenai otak! Dan ketika mereka terguling dan enam bayangan itu sudah sampai ke tanah maka yang pertama berseru agar cepat membuka pintu gerbang. "Biarkan Gak-taijin masuk. Buka dan tutup kembali, cepat!" Dua di antara mereka membuka palang pintu. Cepat dan gesit seperti silumansiluman cekatan mereka ini sudah mendorong dan membuka pintu gerbang. Hujan masih turun dengan lebat namun o-rang-orang ini tak menghiraukan pakaian mereka yang basah kuyup. Empat ekor kuda meringkik di luar dan tampaklah sebuah kereta sedang menunggu, saisnya meledakkan cambuk. Dan ketika kuda dihentak dan kereta dihela, yang lain berkelebatan menghabisi beberapa penjaga yang datang melihat, karena di samping empat penjaga itu juga masih terdapat beberapa yang lain, maka terdengarlah jerit atau pekik kematian dari penjaga-penjaga sebelah barat pintu gerbang ini. Mereka roboh dipukul atau disemprot a-rak, jatuh tumpang tindih menimpa teman-temannya terdahulu. Dan ketika penjaga habis dibabat dan kereta sudah memasuki kota maka pintu ditutup dan dipa-lang lagi, kokoh. "Cepat, kita langsung ke istana!" Datang dan hadirnya serombongan o-rang-orang ini tak menarik perhatian. Mereka meluncur dan melaju ke tengah-tengah kota, lolong atau jerit tangis di kiri karian tak dihiraukan. Maklumlah, kota raja sedang panik oleh banjir bandang itu, juga robohnya rumah-rumah penduduk dan anak atau hewan ternak yang hanyut Tapi ketika rombongan ini semakin ke tengah dan mau tak mau terhalang air sungai yang meluap, kota raja dipenuhi air di mana-mana maka kuda meringkik karena tak dapat berjalan baik, jalan di depan tak dapat dilihat lagi. "Turun, kita mencari perahu!" Seseorang menguak tirai kereta. Seorang laki-laki setengah baya tampak mengernyitkan keningnya, disusul kemudian oleh seraut wajah tampan seorang pemuda berambut pirang, yang juga menguak tirai kereta dan memperhatikan banjir besar itu. Dan ketika apa boleh buat mereka harus turun sementara laki-laki itu tampak ragu dan gentar, dia bukan lain adalah Gak-taijin maka enam bayangan di depan bergerak menghampiri. "Taijin tak usah khawatir, kami akan selalu mengawal. Naiklah, pundakku cukup kuat!" "Kau... kau akan membawaku begini" Tidak apa-apa?" "Tidak, naiklah, taijin. Itu ada orang-orang mendatangi dengan perahu pisang. Cepat!" Gak-taijin disambar. Orang-orang ini, yang bukan lain adalah Twaliong dan tiga adiknya, karena delapan dari Duabelas Naga Siluman itu mati terbunuh, sudah bergerak bersama si penyemprot arak yang bukan lain Ok-tu-kwi dan isterinya, si binal Yok Bi. Mereka melarikan diri dari Liang-san dan malam itu tiba di kota raja. Apa yang dikatakan Dewa Mata Keranjang benar, tokoh-tokoh pemberontak ini pergi ke kota raja. Dan ketika e-nam orang itu sudah bergerak melindungi gubernur she Gak, yang duduk dan berkedip-kedip di pundak Twaliong maka Yok Bi yang mendengus melihat orang-orang di perahu pisang sudah memberi isyarat kepada suaminya untuk membunuh orang-orang itu. "Habisi, dan rampas perahunya!" Si Pemabok terkekeh. Orang-orang yang mendatangi sudah dekat dan mereka itu terbelalak melihat delapan orang ini, apalagi si pemuda bule karena sudah lama kota raja tak diisi oleh orang-orang kulit putih ini. Tapi ketika mereka sudah dekat dan mau bertanya ada apa serombongan orang itu di situ, seolah menunggu maka Ok-tu-kwi berkelebat dan menyemburkan araknya ke arah mereka. "Pergi, dan robohlah!" Orang-orang itu berteriak. Sama seperti para penjaga di pintu gerbang tadi tibatiba saja mereka terlempar dan berpelantingan. Hujan arak itu seperti hujan jarum dan muka mereka seperti ditusuki. Si Pemabok mempergunakan kepandaiannya hingga serangan araknya menembus kulit memasuki tulang, tentu saja orang-orang itu tak kuat. Dan ketika mereka roboh dan terjungkal ke dalam air, satu tersangkut di tepian perahu maka Ok-tu-kwi sudah berada di sini menendang lakilaki itu. "Heh-heh, ke marilah, Twaliong. Bawa dan amankan Cak-taijin di sini!" Semua berlompatan. Hujan masih cukup deras tapi orang-orang itu tak perduli. Gak-taijin juga membiarkan pakaiannya basah kuyup karena keadaan memaksa, mereka harus cepat-cepat ke istana. Dan ketika perahu atau gedebok pisang itu bergerak dan diluncurkan maka sebentar kemudian orang-orang ini ke jantung kota. Tangis dan jerit memilukan tak menggerakkan hati mereka untuk menolong, ada urusan pribadi yang jauh lebih penting daripada jerit tangis itu. Dan ketika Si Pemabok maupun isterinya atau Twaliong berkali-kali menggerakkan kaki atau tangan untuk mengusir pendatang-pen datang yang mendekat maka tak lama kemudian rombongan ini sudah sampai di istana. "Lewat belakang, jangan di depan!" Namun istana juga banjir. Meskipun tidak setinggi dada atau paha seperti halnya di tempat lain namun istanapun tergenang air setinggi lutut. Para penjaga berkecipak ketika harus mondar-mandir berjaga, anjing melolong atau mengaung ketika melihat rombongan orang-orang ini Namun ketika Yok Bi membungkamnya dengan satu lemparan batu hitam maka anjing itu roboh dan tidak melolong lagi karena kepalanya pecah. "Jahanam, mengganggu saja orang yang mau lewat! Apakah ada yang melihat kedatangan kita?" "Rupanya tidak. Tapi, hee...!" sang suami menoleh. "Ada penjaga melihat kita, isteriku. Bunuh dia sebelum bertanya.... dor!" sebuah letusan tiba-tiba terdengar, Yok Bi kalah cepat bergerak oleh tembakan yang dilepas Michael. Pemuda itu yang tadi bergerak dan mendahului si nenek. Dan ketika Ok-tu-kwi mengutuk geram karena tembakan itu dapat mencurigakan yang lain, suaranya dapat terdengar ke dalam maka penjaga itu roboh sementara Gak-taijin dan lain-lain terkejut tapi nenek itu tersenyum. "Bagus, kau bertindak tepat, Michael. Tak apa meskipun kau mendahului aku. Tapi jangan lepaskan lagi tembakan, nanti semua bisa keluar!" "Maaf," pemuda itu tegang, mengusap keringat. "Kita harus mencari pangeran, locianpwe. Atau semua bakal dikejar dan tertangkap musuh!" "Tak ada musuh!" Ok-tu-kwi tiba-tiba mendengus. "Kita di tempat aman, Michael. Cun-ongya akan melindungi kita dan memberi tempat aman. Kau tak perlu ketakutan!" "Tapi Bu-goanswe dan lain-lain ada di belakang, juga Dewa Mata Keranjang dan Fang Fang yang amat lihai itu!" "Ih, kau takut?" So Yok Bi tiba-tiba terkekeh. "Jangan takut," lengannya langsung merangkul. "Asal kau dekat aku tentu aman, Michael. Sudahlah, ke sini dan jangan jauh-jauh.... ngok!" dan si nenek yang mencium pipi si pemuda tiba-tiba membuat suaminya melotot namun aneh sekali kakek itu tak berani marah. Si Pemabok itu mendengus lagi namun melengos. Dan ketika Michael terkejut mundur namun ditangkap lagi, disambar dan dipepetkan ke tubuh si nenek maka pemuda itu nyaris dihimpit. "Kau tak perlu menjauh, kita semua harus bersatu. Kalau kau pergi jangan harap aku menolongmu lagi, Michael. Ingat kejadian di Liang-san itu kalau aku tak cepat-cepat membawamu pergi!" "Hm, aku bukan menjauh," pemuda itu ngeri memandang, setengah jijik! "Aku hanya tak suka kau menciumku di depan suamimu, locianpwe. Jangan begitu agar dia tak marah kepadaku!" "Hi-hik, si Pemabok berani marah?" nenek itu terkekeh. "Kuketok kepalanya nanti, Michael. Salah-salah bisa kukuliti dia hingga tak berdaging lagi. Sudahlah, jangan ribut dan ke mari kau!" dan ketika nenek itu merapatkan tubuhnya di tubuh si pemuda sementara Michael tak berani menghindar lagi, diam-diam memang dia telah menjadi kekasih si nenek maka Ok-tu-kwi pura-pura tak tahu dan berkelebat ke belakang gedung. Twaliong sudah menurunkan Gak-taijin dari atas pundaknya dan gubernur itu berjalan berhati-hati di belakang empat orang ini. Pembicaraan si nenek tentu saja pura-pura tak didengarnya karena diapun tahu apa yang terjadi. Tapi karena So Yok Bi bukan o-rang baik-baik dan pemuda bule itupun adalah sahabat pentingnya, pemasok senjata-senjata api di mana masing-masing pihak sama-sama membagi keuntungan maka gubernur itu diam saja ketika ketegang an kecil ini terjadi di belakangnya. Dan akhirnya nenek Yok Bi berindap sambil menggerayangi tubuh Michael, terkikik dan sesekali berhenti sebentar untuk mencium si pemuda. Kalau saja Michael tidak dalam keadaan terjepit tentu dia tak mau melayani nenek itu. Si Kuda Binal i-ni terkesan kasar dan menjijikkan, tuatua tak tahu malu! Tapi ketika semua bergerak dan gedung bagian belakang sudah diinjak, Ok-tu-kwi dan Twaliong serta yang lain-lain berkelebat masuk maka beberapa dayang atau pelayan laki-laki terkejut. "Heii... upph!" Si Pemabok menyergap dan" menotok mereka. Seorang di antaranya dibungkam dan kakek ini terkekeh-kekeh bertanya di mana Cun-ongya. Gak-tai-jin tampak menyusul dan pucatlah pelayan itu ketika melihat ini. Betapapun gubernur itu diketahui sebagai seorang pemberontak, malah angkatan perang istana sudah dikerahkan untuk menggempur pemberontak, yang dipimpin gubernur ini. Maka ketika tahu gubernur itu tiba-tiba ada di situ, matanya menyelidik dan mencari-cari ke sana ke mari maka pelayan itu tak dapat menjawab dan tiba-tiba dia berteriak ketika Ok-tu-kwi mencekik lehernya. "He!" pelayan itu berjengit. "Di mana majikanmu, tikus busuk. Beritahukan kepada kami atau kau kubunuh!" "Augh, am... ampun. Aku... aku tak tahu. Tapi mungkin di kamar atas!" "Hm, di loteng?" "Beb.... benar...!" "Kalau begitu tidurlah... bluk!" dan laki-laki itu yang menjerit dan berteriak roboh tiba-tiba terkulai kepalanya karena sudah dipatahkan Ok-tu-kwi. Si Pemabok memberi tanda dan Twaliong serta adik-adiknya bergerak, memukul dan menendang pelayan-pelayan atau dayang yang lain. Dan ketika mereka berpelantingan dan menjerit roboh, semua dibunuh dalam sekejap maka Ok-tu-kwi bergerak dan naik ke atas. "Mari, ongya ada di sana!" Gak-taijin dan lain-lain mengikuti. Suara hujan di luar yang menutup suara jerit atau pekik tadi tak terdengar pengawal di luar. Kentongan masih bertalu-talu tanda kepanikan di luar belum reda, banjir atau rumah hanyut memang masih ramai diributkan. Dan ketika delapan o-rang itu bergerak dan berkelebatan ke a-tas, Gak-taijin diseret atau dibawa Twaliong maka satu demi satu kamar-kamar di situ dibuka. Ok-tu-kwi menendang kamar-kamar ini dan terjadilah kepanikan sejenak. Kamar-kamar itu adalah kamar para selir di mana mereka tentu saja berteriak kaget, ada yang masih belum berpakaian karena rupanya baru saja bersolek, atau siap berdandan. Padahal malam sudah larut tapi justeru itu yang membuat mata Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Twaliong dan adik-adiknya tak berkedip, begitu pula Michael. Tapi ketika Yok Bi membentak dan menendang para selir itu, tak suka mata lelaki melotot di sini maka pintu ditutup kembali dan mereka mencari ke lain tem-" pat. "Jangan seperti kucing melihat dendeng. Keluar dan cari Cun-ongya di lain tempat!" Twaliong dan lain-lain mengumpat. Kalau saja urusan tak begitu penting dan mereka masih lengkap tentu Si Kuda Binal itu akan disemprot. Tapi keadaan memaksa. Mereka tak boleh bertengkar sendiri dan Cun-ongya memang harus ditemukan. Dan ketika Gak-taijin juga berkata begitu bahwa mereka tak boleh berhenti, wanita-wanita cantik itu hanya sebagai penggoda saja maka mereka naik lagi ke atas karena gedung atau tempat tinggal Cun-ongya ini terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama dan kedua sudah mereka periksa namun sang pangeran tak ada. Kamar-kamar sudah dibuka tapi Cun-ongya belum ketemu. Dan ketika lantai terakhir juga didatangi tapi pangeran Cun tak ada, Gak-taijin mulai pucat dan gelisah maka Michael tiba-tiba berkata agar turun lagi ke lantai dua. "Untuk apa?" "Mencari seseorang yang dapat memberi tahu di mana pangeran itu. Aku curiga pada salah seorang selir!" "Ah, hidung belang!" Yok Bi menyemprot. "Kau ternyata masih juga mengilar melihat selir-selir tadi, Michael. Sungguh menyebalkan dan tidak patut!" "Nanti dulu!" pemuda ini berseru. "Satu di antara mereka patut dicurigai, locianpwe. Aku menduga bahwa selir yang satu ini dapat memberi tahu di mana Cunongya!" "Selir yang mana?" "Yang telanjang itu, yang tidak berpakaian!" "Keparat, pikiran yang betul-betul kotor!" namun ketika nenek itu menampar dan menggerakkan tangan, Michael meloncat dan berlindung di balik Twaliong maka pemuda ini memberikan alasannya. "Tunggu, jangan tergesa. Lihat dan pikirkan kenapa malam begini selir itu masih bersolek, locianpwe. Kalau bukan hendak melayani Cun-ongya mau apalagi" A-ku menduga dia mau dipakai, nah, tangkap selir ini dan kita kembali lagi ke bawah!" Semua tertegun. Ok-tu-kwi mengeluarkan seruan tertahan tapi tiba-tiba tertawa aneh. Twaliong dan tiga adiknya juga begitu dan merekapun tiba-tiba berseri. Apa yang dikatakan pemuda ini masuk akal. Tak mungkin seorang selir, malam-malam begini, berdandan dan bersolek. Kalau bukan mau melayani tuannya mau apalagi" Maka begitu mereka mengangguk dan Gak-taijin juga sependapat tiba-tiba saja Oktu-kwi dan empat Naga Siluman itu berkelebat ke bawah. "Benar, omongan bocah ini boleh juga. Kita tangkap dan bawa selir cantik itu. Mudah-mudahan belum lenyap!" "Tak mungkin dia lari," Ji-liong (Naga Kedua) berseru, "lsterimu tadi menendangnya sampai kelengar, Ok-tu-kwi. Kalau tidak ada orang menolong tentu dia masih kita dapatkan!" "Betul, mari ke sana dan tangkap si cantik itu!" Twaliong dan adiknya dahulu-mendahului. Mereka gembira mendapatkan pekerjaan ini karena berarti mereka dapat memegang-megang tubuh selir cantik itu. Minimal, mereka dapat mengusap bagian-bagian tubuh yang dikehendaki. Itu sudah cukup melampiaskan gairah mereka yang tiba-tiba membara. Dan ketika pintu kamar itu ditendang dan dua tubuh masih membujur di situ, satu di antaranya ialah dayang atau pelayan wanita selir itu maka Twaliong berkilat matanya berkelebat masuk, menyusul Ok-tu-kwi yang sudah lebih dulu tiba. "Sadarkan dia, cepat tanya tentang Cun-ongya!" Berkata begini, jari-jari Twaliong sudah meremas tubuh selir cantik itu. Selir ini memang pingsan karena tadi dengan marah Yok Bi menendangnya gemas. Nenek itu gusar karena semua mata temannya melotot, mata para lelaki yang ngi-lar melihat tubuh selir itu. Dan ketika Twaliong meremas dan pura-pura membantu, tapi matanya jelalatan memandang tubuh telanjang itu maka tiga adiknya juga berkelebat masuk dan langsung saja menyambar atau meremas tubuh telanjang ini, sama-sama melotot! "Wah, sadarkan. Dan lihat betapa mulus tubuh si cantik ini!" "Dan kita nikmati nanti, bersama!" "Jangan, ada isteriku di sini.... brakk!" dan pintu yang kembali ditendang karena tadi ditutup Su-liong (Naga Keempat) akhirnya benar-benar disusul masuknya bayangan Yok Bi. Nenek itu sudah khawatir dan cemburu jangan-jangan suaminya main gila, meskipun suaminya itu sudah kurang jantan dan karena itu membiarkan saja dia bergalang-gulung dengan laki-laki lain. Dan ketika benar saja dia melihat lima laki-laki itu berjongkok dan meremas-remas tubuh si selir, yang masih pingsan dan telanjang maka nenek itu menendang dan membentak temantemannya itu. "Minggir, biarkan aku yang menyadarkan!" dan ketika Twaliong dan lain-lain terpaksa melempar tubuh bergulingan, nenek itu marah maka Yok Bi sudah menyambar kain dan menutupi tubuh selir i-tu, menotoknya untuk menyadarkan. Tapi ketika selir itu mengeluh dan sadar, Twaliong dan tiga adiknya meloncat bangun ternyata empat Naga itu marah. "Nenek siluman, berani kau menyerang kami" Apa yang kauandalkan hingga kami harus kau hina seperti inr" Keparat, kami tak terima. Mampuslah dan hadapi kami!" -o~dewikz~abu~-o - Jilid : XXVIII "HEIL.!" Ok-tu-kwi tentu saja terkejut, berteriak tertahan. "Apa yang kalian lakukan ini, Twaliong" Kita teman, bukan musuh. Tahan dan jangan buru-buru menyerang isteriku.... plak-plak-plak!" dan si Pemabok yang berkelebat dan terpaksa membantu isterinya, empat Naga i-tu marah dan terhuyung sudah cepat melerai dan menggoyang-goyang tangannya, bulibuli dicabut dan arak menyemprotnyemprot ke atas. "Tak perlu menyerang teman di saat seperti ini. Isteriku memang salah tapi tak seharusnya kita saling berhantam sendiri. Stop, dengar dan lihat Gak-taijin datang!" dan ketika gubernur itu muncul dan tertegun di pintu, tadi dia ditinggalkan para pembantunya ini maka Twaliong dan adik-adiknya sadar namun mata mereka masih memancarkan hawa amarah "Kami dipukul, dan tentu saja balas memukul. Kalau isterimu berani menyerang kami lagi tentu kami akan melupakan persahabatan!" "Apa yang terjadi?" Gak-taijin tertegun, sudah melangkah masuk. "Kalian bertempur dan saling serang sendiri" Ah, tak boleh ini, Twaliong. Ada urusan bisa dibicarakan dan ada perselisihan bisa didamaikan. Kita sedang mencari perlindungan atau semua kita bisa celaka!" "Nenek siluman itu menyerang kami!" Twaliong menuding. "Dan kami tentu saja membalasnya. Apakah taijin bisa menegurnya agar tidak lancang lagi?" "Apa yang kaulakukan?" Gak-taijin memandang nenek Yok Bi. "Kenapa menyerang Twaliong dan adik-adiknya ini?" "Mereka meraba-raba dan meremas-remas tubuh selir ini. Aku tak suka. Mereka hidung belang yang melupakan tugas!" "Hm, begitukah?" Gak-taijin terkejut, segera mengerti. "Kalau begitu kalian semua salah. Masalah wanita bisa kucarikan nanti setelah bertemu Cun-ongya. Tapi Yok Bi juga tak selayaknya memukul teman sendiri hanya untuk masalah ini." "Benar, dia marah-marah kalau melihat kami meremas atau meraba-raba tubuh wanita, taijin, tapi diam saja kalau berciuman atau lengket-lengketan dengan Michael!" "Sudahlah," gubernur itu melerai. "Bukan waktunya untuk bertengkar, Twaliong Kalau Yok Bi ingin mengompres selir ini untuk bertanya di mana ongya biarlah kalian mundur dulu. Wanita memang sebaiknya dihadapi oleh wanita!" lalu ketika empat Naga itu mengejek dan mundur, si nenek merah mukanya namun tak bisa membantah, memang dia tidak adil karena tadi diam saja ketika berangkul-rangkulan dengan Michael maka Gak-taijin sudah memintanya untuk menanyai si cantik itu. Selir ini gemetar karena lima laki-laki ada di kamarnya, ditambah lagi dengan gubernur Gak yang baru muncul dan bayangan pemuda bule di luar pintu. Michael menjaga dan melihat itu dari luar, diam-diam mengumpat karena Yok Bi memang nenek keterlaluan. Dia sendiripun sebenarnya juga ingin masuk dan meremas-remas tubuh selir cantik itu, sayang kedahuluan teman-temannya dan pemuda ini menahan gairah yang tiba-tiba bangkit. Maklumlah, selir itu memang cantik dan mulus, lebih-lebih lagi karena montok! Laki-laki mana tak mengilar" Tapi ketika Yok Bi sudah membentak dan mencengkeram selir ini, bertanya di mana Cun-ongya maka sambil menggigil selir itu menuding, ke tembok. "Di.... di situ. Ongya ada di balik lemari....!" "Apa" Bersembunyi di lemari" Kalau begitu biar kuperiksa!" dan si nenek yang berkelebat dan mendorong lemari sudah bersiap-siap untuk menemukan lawannya. Tapi ternyata tak ada apa-apa, lemari itu hanya berisi pakaian selir ini dan nenek itupun marah, menganggap selir ini dusta. Tapi ketika selir itu menangis dan menuding ke tembok, yakni tepat di belakang lemari ini maka bergeraklah Gaktaijin dengan wajah berseri-seri. "Ongya ada di balik pintu rahasia, jangan ditakut-takuti selir ini!" "Begitukah?" "Ya, sekarang suruh selir ini membukanya!" dan ketika selir itu diangkat bangun dan Gak-taijin memerintahkannya membuka, selir itu ketakutan dan melaksanakan tugasnya maka benar saja sebuah tombol ditekan dan terbukalah sebuah pintu masuk di balik dinding! "Ha-ha, sekarang aman. Masuk dan a-jak selir ini. Suruh dia menutup kembali!" Gak-taijin mendahului melompat. Twaliong dan lain-lain tertegun, semua tak mengira bahwa di situ terdapat sebuah dinding rahasia. Pantas Cun-ongya tak dapat diketemukan! Tapi ketika semua berlompatan masuk dan Michael bergerak paling akhir maka mulailah selir itu dipaksa menunjukkan di mana pangeran itu berada. Tangga yang naik turun mereka lalui, berkelok dan melurus dua kali. Dan ketika sebuah ruangan besar mereka dapatkan, di bawah tanah, maka selir itu berhenti dan menangis di sini, menuding sebuah pintu masuk yang tertutup. "Aku... aku tak berani masuk. Ongya ada di dalam...!" "Kau tidak bohong?" "Tidak, tapi kedatangan kalian pasti mengejutkannya, taijin. Dan aku pasti kena marah. Silahkan kalian ketuk dan jelaskan bahwa semuanya ini bukan atas kehendakku!" "Baiklah, terima kasih. Kami akan mengetuk tapi kalau kau bohong kau akan kuberikan kepada pembantu-pembantuku ini, lalu dibunuh!" dan Gak-taijin yang memberi Isyarat kepada Ok-tu-kwi lalu minta agar si Setan Pemabok atau Setan Judi itu mengetuk pintunya. Ok-tu-kwi melangkah dan mengetuk tapi tiba-tiba dinding pintu tergetar. Dan ketika kakek itu terkesiap karena dia tak sadar menginjak lantai berbahaya tiba-tiba lantai itu terjeblos dan kakek ini terpelanting ke bawah, tepat bersamaan dengan terbukanya pintu itu. "Heiiii...!" Yok Bi dan lain-lain terkejut. Nenek ini membentak dan seketika melepas ikat pinggangnya, menjeletarkannya ke lubang menyambar suaminya itu. Dan ketika si Pemabok menangkap dan menerima ujung tali ini, disendai dan disentak naik maka dengan muka pucat namun marah Ok-tu-kwi berjungkir balik keluar lubang, tepat di saat lubang itu menutup kembali dengan otomatis. "Keparat, bedebah jahanam. Sungguh kurang ajar sekali!" "Sst, tak perlu marah. Tempat ini memang penuh alat-alat rahasia, Ok-tu-kwi. Tapi itu juga bukan salah Cun-ongya karena kita masuk seperti pencuri. Sebaiknya kita meminta selir itu mengetuk pintu. Di depan ada pintu lain yang tertutup dan ruangan ini rupanya berlapis-lapis!" Gak-taijin, yang tertegun tapi lega melihat pembantunya selamat sudah membujuk dan menyabarkan si Pemabok ini. Kalau Ok-tukwi berteriak-teriak dan mereka main serampangan saja, memaki a-tau marah-marah kepada Cun-ongya dikhawatirkan bahwa jebakan-jebakan lain a-kan mencelakai mereka. Siapa tahu Cun-ongya bergerak dari dalam dan mereka roboh satu per satu, sebelum berhadapan sendiri dengan Cun-ongya itu. Maka ketika dia mengedip dan memandang selir i-tu, yang menggigil dan gemetar di sana maka si Pemabok menggeram dan berkelebat menerkam wanita ini. "Kau mau menjebak aku, kubunuh nanti. Hayo buka pintu yang lain itu dan jangan sekali-kali menyuruh kami lagi!" "Am.... ampun...!" selir itu terbang semangatnya. "Aku... aku tak menjebak siapasiapa, taihiap. Aku... aku memang tak berani!" "Tapi sekarang kau harus melakukan itu. Atau kuanggap kau sengaja mencelakai aku dengan berpura-pura tidak tahu!" "Aduh, jangan dicekik. Biarlah kulaksa-nakan perintahmu!" dan si selir yang berteriak dilepas Ok-tu-kwi lalu berlari-lari ketakutan membuka pintu di depan. Memang di ruangan ini ada dua pintu besar, yang pertama tadi sudah menjebak Oktu-kwi namun untung dapat lolos berkat bantuan isterinya. Sekarang pintu kedua ini dan semua mata berdebar memandang itu. Dan ketika selir itu tersedu-sedu ke pintu ini, lari begitu saja secara serampangan maka begitu dia tiba di situ tanpa pikir panjang lagi tangannya menarik dan membuka pegangan atau "handel" pintu. Tapi begitu pintu terkuak dan berderit, Gak-taijin dan lain-lain terbelalak memandang maka tiga batang panah tiba-tiba menyambar dan menghunjam tubuh selir itu dari balik dinding. "Aduh... cep-cep-cep!" Gak-taijin dan lain-lain terkejut. Mereka melihat selir itu roboh namun pintu terbuka lebar, seseorang ada di dalam dan Ok-tu-kwi berseru keras mendahului yang lain-lain, berkelebat dan segera disusul oleh yang lain-lain. Dan ketika berturut-turut lima orang itu ada di dalam dan tertegun memandang tumpukan petipeti harta, orang yang ada di dalam menoleh pada mereka maka berserulah semua nya memanggil orang ini. "Cun-ongya!" Pria berpakaian indah itu tersenyum. Dia mengangguk dan bersinar-sinar memandang tamu-tamunya ini, Gak-taijin menyelinap dan sudah berdiri di situ pula. Dan ketika orang-orang itu tertegun dan takjub memandang peti-peti harta, karena semuanya terbuat dari emas dan isinya benar-benar membuat mata melotot maka pangeran itu tertawa menjumput sekepal emas permata. "Ha-ha, kalian, Gak-taijin" Datang di malam-malam begini" Ah, kalian rupanya mengilar kepada benda-benda ini. Boleh kalian ambil kalau suka!" "Tidak," Gak-taijin cepat sadar dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, menangkap sesuatu yang aneh dari nada bicara pangeran itu. "Kami datang bukan untuk harta pusaka, ongya, melainkan minta perlindungan dari musuh-musuh kami!" "Hm, begitukah" Musuh-musuh yang mana" Dan apakah kedatangan kalian diketahui orang lain" Kalian sembrono dan pantas dihukum. Berani datang ke kamar rahasiaku!" "Maafkan kami," gubernur she Gak bangkit berdiri. "Kami sudah mencari paduka secara baik-baik, ongya, namun tak ketemu. Kami dipaksa keadaan, terpaksa berbuat begini." "Hm, dan ada orang lain yang melihat kalian?" "Tidak." "Tapi selirku terbunuh!" "Maaf, kami tak bermaksud membunuhnya, ongya. Dia tewas karena nasibnya jelek!" "Tapi kalian pasti melewati para pengawal atau selir-selirku yang lain, juga pelayan!" "Semua sudah kami bereskan, tak akan ada yang tahu!" "Maksudmu kalian membunuhnya?" "Kami dipaksa keadaan," gubernur ini berkelit secara halus. "Kami benar-benar tak berdaya, ongya. Dan kini mohon perlindunganmu agar menyelamatkan kami dari musuh-musuh yang ada di belakang!" "Hm!" suara itu disusul oleh lemparan emas permata ke dalam peti, berkerincing. "Kalian ganas dan kejam, taijin. Seharusnya tak usah selir-selirku dibunuh. Kalian terlalu!" "Kami dipaksa keadaan," gubernur itu mengelak lagi. "Siapapun tentu kami bunuh, ongya, kalau keselamatan kami diancam. Paduka tentu lebih tahu ini!" Cun-ongya tertawa mengejek, mengangguk-angguk. Dari nada suara Gak-taijin itu dia tahu bahwa diapun bisa dibunuh kalau membahayakan keselamatan gubernur itu, juga kawan-kawannya. Dan karena Gak-taijin rupanya betul-betul terjepit dan keadaannya tak menguntungkan, Ok-tu-kwi dan lain-lain saling pandang diberi isyarat maka dengan tenang pangeran ini menarik kursi dan m duduk, mempersilahkan yang lain. "Sebaiknya ceritakan apa yang terjadi sebelum aku dapat memberikan pertolongan. Dan kalian...." Cun-ongya menunjuk Ok-tu-kwi dan kawan-kawannya itu. "Duduklah, Ok-tu-kwi. Dan dengarlah ancaman Gak-taijin ini yang begitu manisnya." "Ampun!" gubernur itu terkejut, membelalakkan mata. "Hamba tak mengancam paduka, ongya. Sungguh mati hamba tak berani mengancam paduka!" "Ha-ha, aku tahu. Tapi sudahlah, ceritakan apa yang terjadi dan kenapa kau terbirit-birit ke sini!" "Pasukan Bu-goanswe menghancurkan kami. Kami dipukul habis-habisan karena Dewa Mata Keranjang dan muridnya itu juga ada di sana!" "Hm, Fang Fang?" "Benar, pemuda itu, ongya. Dia sedemikian hebatnya hingga melebihi gurunya sendiri. Tanya Ok-tu-kwi dan lain-lainnya ini!" "Tapi sudah dua bulan ini pemuda itu lenyap. Kita sama tahu bahwa Fang Fang tak malang-melintang lagi di dunia kang-ouw!" "Dia bertapa, pangeran," Ok-tu-kwi tiba-tiba berseru. "Dan begitu dia muncul Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tiba-tiba saja kami yang hampir dapat membunuh gurunya mendadak gagal dan pecah berantakan!" "Dan kami sekarang tinggal berempat," Twaliong, orang tertua dari Cap-ji Koailiong menyambung, giginya berkerot-kerot. "Dewa Mata Keranjang dan muridnya itu membuat susah kami, ongya. Kalau saja pemuda itu tak di sana tentu kami sudah menghancurkan musuh-musuh kami!" "Ceritakan yang baik," Cun-ongya berkerut kening memandang gubernur she Gak. "Agaknya ada hal-hal yang di luar perhitungan kita, taijin. Coba ulangi dan ceritakan secara lengkap kejadian itu." Gak-taijin mengangguk. Gubernur ini menelan ludah sebelum mengulangi ceritanya, bahwa pasukannya dipukul hancur begitu murid Dewa Mata Keranjang itu muncul, padahal mereka sudah mendesak dan hampir memperoleh kemenangan di mana musuh melarikan diri ke Liang-san. Dan ketika di puncak gunung itu mereka mengalami kekalahan total, pasukan hancur karena orang-orang macam. Ok-tu-kwi dan temantemannya ini dikalahkan Fang Fang yang membantu gurunya maka gubernur itu berapi-api mengepal tinju, menutup. "Kami menelan kekalahan gara-gara bocah ini. Setelah dia mengacau di See-wai dan menangkap bupati-bupati lain maka kami mengira dia tak akan muncul lagi setelah menghilang dua bulan. Tak tahunya bocah itu ada di Liang-san dan Dewa Mata Keranjang rupanya tahu. Sekarang kami kehilangan pasukan, ongya. Dan hampir semua sekutu-sekutu kami tak ada lagi yang dapat mengangkat senjata!" "Berarti perdagangan senjata selesai," Cun-ongya mengangguk-angguk, tersenyum aneh. "Kalau begitu bagaimana pendapatmu, Michael" Adakah yang dapat dilakukan lagi setelah ini?" Semua orang menoleh. Cun-ongya memandang pemuda kulit putih itu dan tiba-tiba semua perhatian tertuju ke sini. Michael, pemuda itu, tersenyum licik dan tertawa aneh, maju selangkah. Dan ketika dia membungkuk dan memberi hormat, baru kali itu diajak bicara maka pemuda ini menjawab, "Menurut pendapatku perang untuk sementara memang harus diakhiri. Perdagangan senjata selesai, meskipun suatu saat kelak dapat dihidupkan lagi. Orang-orangmu ini terlalu bodoh, pangeran. Tapi boleh juga karena keuntungan yang sama-sama kita nikmati sudah cukup besar. Negeriku dapat kubujuk untuk mengalihkan dagang senjatanya dengan negara lain. Dan kalau sewaktu-waktu ongya merasa perlu boleh menghubungi kami lagi untuk menumpuk kekayaan. Ha-ha!" Ok-tu-kwi dan lain-lain terkejut. Di depan pangeran pemuda itu berani tertawa begitu lebar, seolah di rumah sendiri. Tapi ketika mereka merasa ganjil dengan pernyataan itu, bahwa perang dapat disulut dan didalangi tokoh-tokoh penting, kiranya telah terjadi jual beli di belakang layar, demi mengeruk keuntungan yang amat besar tiba-tiba Ok-tu-kwi menyeringai dan mengangguk-angguk. "Ah, kiranya semua ini adalah permainan paduka, Cun-ongya" Paduka sengaja menciptakan kerusuhan untuk mengambil keuntungan dari kekacauan ini?" "Hush, tutup mulutmu!" Yok Bi, yang cerdik dan tidak sesembrono suaminya membentak. "Kau bicara dengan pangeran, Pemabok. Dan dia adalah atasan junjungan kita!" "Benar," Gak-taijin pura-pura menegur, seperti ketakutan rapi matanya berseriseri. "Kau jangan menuduh yang bukan-bukan, Ok-tu-kwi. Apa yang dilakukan Cunongya pada hakekatnya memberi makan kepada kita, senang-senang!" "Dengan perdagangan senjata api" Jual beli di balik layar" Ha-ha, cerdik sekali, Gak-taijin. Dengan adanya kerusuhan-kerusuhan begitu maka ongya dan kau dapat mengenyam keuntungan berlipat ganda, sementara kami hanya mendapat upah ala kadarnya saja. Ah, kami protes. Imbalan buat kami harus ditingkatkan sepuluh kali lipat!" "Hm, kalian bicara ngawur," Cun-ongya tersenyum dan tiba-tiba bangkit berdiri. "Kalau masalah keuntungan tidaklah terlalu untung, Ok-tu-kwi, cukup untuk makan dan menghidupi seorang isteri. Kekayaanku adalah warisan keluarga, bukan melulu dari perdagangan senjata gelap. Kalau kau ingin menikmati harta karun boleh saja kau ambil sepuluh kantung emas berlian itu!" dan tertawa memandang kakek ini, yang terkekeh dan menggelogok araknya tiba-tiba pangeran membalik dan menendang meja di deparinya. Dan begitu terdengar suara keras dan semua terkejut, kamar itu bergemuruh dan roboh tiba-tiba dari segala penjuru menyambar anak-anak panah atau tombak yang menyerang mereka. "Heiii...!" Kejadian itu sungguh di luar dugaan. Cun-ongya, yang sudah berlari dan memencet tombol lagi tiba-tiba lenyap di balik dinding. Dari mana-mana berhamburan anakanak panah itu dan peti-peti harta jatuh diguncang getaran keras. Langit-langit kamar itu roboh dan lantainyapun berderak seakan diguncang gempa. Mereka yang tadi tak menaruh kecurigaan karena pangeran berada di tengah tiba-tiba sudah kehilangan lawannya karena Cun-ongya lenyap di pintu rahasia. Dan ketika semua itu ditambah lagi oleh desing atau sambaran senjata-senjata maut, tombak dan anak-anak panah menyerang dari segala penjuru maka Ok-tu-kwi membentak dpn isteri serta keempat temannya juga bergerak dan menangkis hujan serangan i-tu, ada yang terpental tapi satu dua lolos. Ok-tu-kwi menjerit karena pangkal lengannya tertusuk, isterinya juga berteriak karena sebatang tombak menancap di paha. Dan ketika empat dari Cap-ji Koai-liong juga berseru keras menghalau sambaran senjata-senjata gelap, empat dinding di kamar itu tiba-tiba berlubang semua meluncurkan tombak atau anak-anak panah ini maka sebuah jeritan mengiringi kegaduhan itu karena Gak-taijin lebih dulu terpanggang tubuhnya. "Aduh...!" Semua pucat. Bagai mendapat mimpi buruk tahu-tahu mereka melihat tubuh majikan mereka itu penuh dengan tombak dan anak-anak panah. Tentu saja tewas seketika. Tak kurang dari seratus panah dan tombak menancap di tubuh Gak-taijin, tembus dan darah segar bercucuran bagai kran bocor. Sungguh mengerikan! Dan ketika kamar itu roboh padahal Ok-tu-kwi dan teman-temannya ini menangkis sana-sini, sibuk menghalau dan menyelamatkan diri maka gemuruh langit-langit yang ambruk menyusul hiruk-pikuknya peti-peti harta, yang terlempar dan tertindih mengeluarkan ledakan-ledakan keras. "Semua keluar!" Namun teriakan atau seruan si Pemabok Itu menggelikan. Ok-tu-kwi lupa bahwa semua arah sudah tertutup. Pintu yang tadi ada di luar tahu-tahu hancur ditimpa dinding tembok, padahal itu adalah pintu satu-satunya dari mana mereka tadi datang, juga tentunya dari mana tadi Cun-ongya masuk. Maka begitu dia berteriak tapi semua penjuru berdetak bagai diserang ratusan gajah, debu dan meja kursi mencelat bersamaan dengan ratusan tombak atau panah maka dua jeritan ngeri lagi terdengar dan si Pemabok tak tahu siapa yang roboh binasa itu. Dia sendiri sudah melihat sebuah lubang dan dimasukinyalah lubang ini, masuk dan menyelinap bagai seekor tikus. Tapi ketika dari lubang itu mendesis seekor ular besar dan tahutahu sebuah mulut menganga akan mencaploknya, Ok-tu-kwi kaget dan mengayun bulibulinya maka ular itu hancur dan pecah kepalanya. "Ke mari!" Si Pemabok ditarik seseorang. Isterinya, yang juga sedang menyelamatkan diri dari runtuhan kamar tiba-tiba menyambarnya keluar. Ok-tu-kwi terkejut tapi membiarkan diri ditarik karena isterinya itu melihat lubang lain di bawah, bukan di samping melainkan di bawah. Dan ketika isterinya itu terjun dan membawanya turun, Ok-tu-kwi terbeliak tapi siap mari bersama isterinya maka isterinya i-tu berseru agar dia menggerak-gerakkan bulibuli araknya menjaga keseimbangan. "Jangan diam saja. Tolol! Ayun sebelah tanganmu untuk menjaga keseimbangan!" Ok-tu-kwi sadar. Dalam keadaan seperti itu di mana kepanikan melanda mereka, masing-masing tentu ingin menyelamatkan diri dan tak perduli yang lain maka dia menggerak-gerakkan tangannya menjaga keseimbangan. Tubuh mereka meluncur turun dan tiba-tiba bertemu benda lunak dingin. Suara ceprot juga mengiringi jatuhnya tubuh mereka itu. Dan ketika mereka tahu-tahu sudah berada di rawa berlumpur, busuk, maka Ok-tu-kwi tersentak karena tubuhnya terus terhisap ke bawah. "Augh... auph!" Si Kuda Binal juga sama-sama terkejut. Ketika tubuhnya amblas dan terus terhisap ke bawah, seperti suaminya, maka nenek inipun terkesiap dan mengkirik. Yok Bi menjejak ke bawah namun celaka justeru tertarik ke dalam, menjerit dan selendang yang dipegangnya tiba-tiba digerakkan ke kiri, menjeletar dan tiba-tiba menyangkut sesuatu, ujung sebuah batu. Dan ketika nenek itu menarik dan tubuhnya terangkat naik, untung, maka nenek itu sudah berjungkir balik dan hinggap di dinding sumur dengan selamat. "Tolong..!" Seruan itu tak perlu diulang. Suaminya, yang sudah tersedot dan tinggal sedada tiba-tiba mengeluh dan minta tolong. Nenek itu kembali menggerakkan selendangnya dan dibelitlah leher suaminya itu. Dan ketika Yok Bi menyentak dan menarik kuat maka Ok-tu-kwi terangkat dan melayang ke arah isterinya ini, menyumpah serapah. "Aduh, keparat jahanam. Kita terjeblos ke tempat tinja!" "Apa?" "Tinja! Kita terlempar ke sumur tinja, Yok Bi. Kau tolol dan goblok sekali membawa aku terjun ke tempat ini. Aduh, aku ingin muntah.... huakk!" dan si Pemabok yang benar-benar muntah dan mencak-mencak akhirnya membuat si nenek juga terbelalak dan muntah-muntah, melihat air kekuning-kuningan dan nenek itu roboh pingsan. Tak kuat! Dan ketika si Pemabok terbelalak dan kaget melihat isterinya pingsan, ini berarti pekerjaan baginya maka suara gemuruh atau runtuhan kamar lenyap tak terdengar lagi. Di lubang sumur itu juga berjatuhan keping-keping papan. Ok-tu-kwi harus menutup mata kuat-kuat setiap kali bunyi "ceprot" terdengar di situ, yakni ketika keping-keping papan atau runtuhan tembok kamar meluncur di sumur tinja ini. Baunya sungguh luar biasa sekali, cukup menguras isi perut untuk muntah-rmuntan! Tapi ketika si Pemabok itu melihat tusuk konde isterinya, bergerak cepat dan sudah menusuk-nusuk dinding sumur untuk membuat jalan naik maka kakek itu merayap dari bekas lubang-lubang tusukan untuk mendaki ke atas. Isterinya dipanggul dan susah payah juga si Pemabok ini keluar sumur. Empat kali dia muntah lagi karena uap tinja mengiringinya naik, sungguh kakek ini marah besar. Dan ketika dia melompat dan tiba di atas, isterinya membuka mata dan kebetulan sadar maka masing-masing melihat bahwa pakaian mereka berlepotan benda kuning. Barangkali, tinja seluruh istana tumplek-blek di situ! "Huakk..!" Yok Bi hendak pingsan lagi, disambar atau ditarik suaminya menuju ke sebuah kamar mandi. Ok-tu-kwi sendiri tanpa banyak cakap sudah langsung mencebur ke bak mandi yang masih utuh itu, berjingkrak-jingkrak. Kamar sudah hancur namun bak mandi ini masih utuh, untung juga. Dan ketika isterinya juga mencebur dan suami isteri itu memaki-maki Cun-ongya, membersihkan tubuh dan melepas pakaian kotor maka dalam keadaan telanjang bulat begitu sekonyong-konyong muncul pengawal dan teriakan-teriakan gaduh. "Heii... itu mereka. Tangkap pengacau!"Suami isteri ini terkejut. Mereka sedang sama-sama bugil karena sibuk membersihkan tubuh. Bau tinja rasanya tak hilang-hilang dan mereka terutama Yok Bi tak habis-habisnya kecipak-kecipuk, bahkan, jebar-jebur dan tak tahu bahwa Cun-ongya telah memanggil pengawal untuk mencari mereka. Kalau ada yang meloloskan diri maka harus dibunuh. Ini perintah. Maka begitu kamar rahasia itu hancur dan suami isteri ini selamat, meskipun terluka maka Yok Bi tiba-tiba melengking dan melayang keluar dari dalam bak mandi, telanjang bulat! "Heiii...'" Pengawal terbelalak. Dalam marah dan gusarnya barangkali nenek ini lupa bahwa tubuhnya tak tertutup selembar ka-inpun, enak saja melayang keluar dan kakinya bergerak ke kiri kanan melepas tendangan. Tentu saja pengawal melotot karena tertegun dan geli. Bayangkan, nenek itu melayang keluar dengan kaki terpentang lebar pula. Tapi begitu mereka ternganga dan tak dapat menahan geli, Yok Bi sudah melayang dan menghantam mereka maka dua pengawal itu roboh dengan kepala pecah! "Ahh, awas...!" yang lain segera sadar dan berteriak. Nenek itu telah membunuh dan melengking untuk kedua kalinya, berkelebat dan menyambar mereka. Dan ketika berturut-turut kaki dan jari nenek itu menampar maka enam pengawal tewas seketika dan roboh menjerit. "Heii..!" si Pemabok sadar dan meloncat keluar pula. "Kau tak berpakaian, Yok Bi. Kau telanjang bulat. Jangan macam-macam memamerkan tubuhmu yang buruk!" "Kau juga!" nenek itu membalik, membentak suaminya. "Kaupun telanjang, Pemabok. Jangan memamer-mamerkan tubuhmu yang keriput kalau punya rasa malu!" Ok-tu-kwi terbelalak. Lupa bahwa ia-pun telanjang tiba-tiba kakek ini menyambar mayat pengawal. Di situ ia membelejeti pakaian mayat itu dan tergesa-gesa memakainya sendiri. Tapi baru masuk selutut tiba-tiba muncul Bu-goanswe dan Koktaijin. "Kau kiranya!" bentakan itu mengejutkan si Setan Pemabok. "Mampuslah, Ok-tu-kwi. Dan benar kiranya bahwa kalian ada di kota raja.... dess!" dan si kakek yang mencelat dan kaget menerima serangan tiba-tiba berteriak karena celana yang mau dipakai memberebet lebar, robek selangkangannya dan tentu saja si Pemabok yang sial ini menjerit. Dia terguling-guling oleh pukulan Bu-goanswe dan meloncat bangun tapi dikejar lagi, jatuh dan terlempar dan sibuklah kakek itu mengelak sana-sini. Dan karena dia masih telanjang karena pakaian mayat itu tak sempat dipakainya, keadaan sungguh runyam maka nenek Yok Bi juga mendapat serangan Koktaijin yang membentak dan menerjang masuk. "Des-dess!" Nenek itu mengeluh tertahan. Lain suaminya lain pula dia. Karena kalau suaminya jelek-jelek sudah menyambar mayat pengawal, melepas dan mau mengenakan pakaian mayat itu adalah nenek ini yang tak sudi karena para pengawal itu adalah lakilaki. Si nenek terlalu sombong untuk mengenakan pakaian mayat-mayat itu, tak mau tahu keadaan darurat. Maunya dia akan mencari pelayan wanita atau siapapun asal wanita untuk dibelejeti pakaiannya, tak menduga kalau Koktaijin dan Bu-goanswe tiba-tiba muncul di situ. Maka begitu diserang dan Koktaijin bukan orang biasa, jenderal itu ahli pukulan Iweekeh maka dia terpelanting karena di samping kaget dia juga gugup dan malu, bergulingan menjauhkan diri. "Tak tahu malu, menyerang nenek-nenek telanjang'" Yok Bi mencaci maki. "Hayo beri kesempatan untuk berpakaian, Koktaijin. Baru setelah itu kau boleh hadapi aku!" Koktaijin tertegun. Si nenek bergulingan menjauh dan tiba-tiba dia tak mengejar, rikuh. Apa yang dikata memang betul juga dan iapun merah mukanya melihat keadaan nenek itu. Bukan maksudnya menyerang nenek-nenek yang telanjang bulat. Tapi ketika ia memberi kesempatan dan nenek itu meloncat bangun tiba-tiba Yok Bi membalik dan melarikan diri, tangannya melempar pelor-pelor ledak yang berbahaya. "Awas.... dar-dar-dar!" Koktaijin melempar tubuh ke kiri. Si nenek kabur dan saat itu Ok-tu-kwi juga terkekeh menyusul isterinya. Asap hitam menghalangi pandangan dan kaburlah dua orang itu keluar. Gedung Cun-ongya tiba-tiba menjadi ramai karena ratusan pengawal berjaga di situ, mengepung. Kiranya, hancur dan runtuhnya kamar rahasia tadi telah mengundang orang-orang ini, apalagi Bu-goanswe dan pasukannya telah datang, terkejut oleh banjir dan kekalutan penduduk oleh air yang berlebihan. Di mana-mana terdapat perahu getek namun Bu-goanswe segera mendengar keributan di gedung Cun-ongya ini, datang dan menyiapkan pasukannya di luar. Dan ketika Koktaijin juga memerintahkan anak buahnya berjaga di situ, sebagian menolong penduduk maka Yok Bi dan suaminya lenyap sementara di sebelah barat istana tibatiba terdengar keributan dan bentakan-bentakan. "Cap-ji Koai-liong ada di sini. Heii, Cap-ji Koai-liong ada di sini!" Bu-goanswe dan Koktaijin sama-sama menggerakkan kaki. Mereka marah oleh hilangnya Ok-tu-kwi suami isteri, kini tiba-tiba di sebelah barat terdengar teriakan-teriakan itu. Dan ketika dua orang itu bergerak dan mengejar ke sini, dua bayangan mengamuk dan merobohkan pasukan mereka maka dua menteri negara ini gusar karena Twaliong dan Ji-liong ada di situ. "Bedebah!" Bu-goanswe mendahului dan menggerakkan kedua tangannya menghantam. "Mana majikanmu, Twaliong. Menyerahlah atau kau mati!" Twaliong, laki-laki ini, mengelak dan menggerakkan ruyungnya. Ternyata dia selamat dan berhasil keluar dari runtuhan kamar rahasia. Dua anak panah menancap di pundaknya namun mereka mencabut dan mematahkannya. Ji-liong sang adik tak bernasib lebih baik daripada kakaknya dan mereka gusar oleh perbuatan Cun-ongya. Dua sute mereka tewas oleh senjata-senjata di dalam, kini mereka keluar dan coba menyelamatkan diri namun tak tahunya Bu-goanswe tiba di situ. Pasukannya baru datang dan mengepung di empat penjuru, tentu saja mereka pucat dan tak melihat jalan keluar. Dan karena jalan keluar hanya merobohkan pengawal dan itu sudah dilakukan oleh mereka ini maka belasan pengawal roboh binasa dibabat ruyung, sayang keburu didatangi Bu-goanswe ini dan Twaliong menangkis pukulan lawan. Dan ketika ruyungnya terpental karena kalah tenaga, dia luka-luka sementara lawan segar bugar maka Twaliong bersuit keras melayang ke atas genteng, memberi abaaba adiknya. "Lari, lewat atas!" Bu-goanswe membentak. Jenderal tinggi besar ini berkelebat ketika lawan melayang berjungkir balik, Koktaijin juga menyusul karena Ji-liong mengikuti kakaknya ke atas genteng. Dan ketika dua orang itu digempur pukulan, Twaliong dan adiknya baru saja menginjakkan kaki maka mereka terpelanting dan jatuh lagi ke bawah. "Keparat!" Twaliong timbul nafsu membunuhnya. "Kau boleh membinasakan kami, Geger Putri Istana 3 Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Para Ksatria Penjaga Majapahit 5

Cari Blog Ini