Ceritasilat Novel Online

Pusaka Negeri Tayli 3

Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id Bagian 3 sekali. Tentulah engkau juga punya simpanan kepandaian." Habis berkata dia terus menerkam. Sudah tentu Cu Jiang terkejut sekali. Terkaman orang aneh itu tak memberi kesempatan dia untuk menghindar lagi. Belum sempat ia mencari akal tahu2 tangannya sudah dicengkeram orang tinggi itu. Arus hawa lunak segera memancar dari ujung kuku jari orang itu. Pada lain saat Cu Jiang rasakan tubuhnya lemas tak bertenaga lagi, Ia hendak bicara tetapi mulut hanya menganga saja tak dapat bersuara. Dalam keadaan seperti itu tiada lain daya kecuali hanya pasrah nasib saja. "Apa maksud orang aneh ini " Mengapa dia mencelakai diriku ?" pikirnya. Diam2 ia harus mengakui kebenaran dari kata orang bahwa dunia persilatan itu penuh dengan hal2 yang aneh, berbahaya. Tiba2 orang aneh itu mengangkat tubuhnya lalu dipanggul diatas bahu terus dibawa lari secepat terbang. Tak berapa lama tibalah dia disebuah bangunan gedung besar. Cu Jiang sempat memperhatikan bahwa bangunan itu merupakan sebuah gedung yang sudah kosong dan tak terurus, halamannya penuh dengan rumput dan sarang gelagasi. Orang aneh itu bersuit keras lalu melambung keatas, melayang turun ke dalam gedung dengan gerakan yang seperti orang terbang. Pada lain kejap tampak sebuah ruang besar yang terang benderang. Sesosok2 tubuh manusia berhilir mudik tetapi tak terdengar suara apa2. Bum.... Cu Jiang dibanting di tanah sehingga tulangnya seperti patah, mata bekunang. Tetapi karena menderita tutukan yang aneh, dia tak dapat bersuara merintih apa2. Orang aneh itu menendangnya dan terbukalah jalan darahnya yang tertutuk itu. Cu Jiang terus berdiri. Begitu memandang ke sekeliling, semangatnya serasa terbang dan bulu romanya meregang berdiri semua, keringat dingin membanjir keluar. Di atas lantai rebah empat sosok mayat yang sudah rusak dan menyiarkan bau amat busuk. Di kedua samping, berdiri enam orang aneh yang wajahnya menyeramkan. Setiap orang aneh itu masing-2 menyeret seorang pemuda yang berumur sekitar dua puluhan tahun. Menilik dandanannya, keenam pemuda itu berasal dan keturunan yang berbedabeda. Hanya suatu ciri yang sama yalah mereka rata2 berwajah cakap. Keenam pemuda itu pucat lesi. Tubuhnya menggigil keras. Di tengah ruang duduk seorang tua berjubah hitam, wajahnya berwibawa tetapi dahinya memancarkan cahaya yang menyeramkan. Sesaat orang tua itu membuka suara, nadanya seperti bukan suara manusia hidup. "Lo-jit, engkau yang datang terakhir ?" Orang aneh yang membawa Cu Jiang tadi segera menyahut: "Hampir saja tak dapat menyerahkan apa-apa." "Engkau membawa mahluk aneh semacam itu?" "Lo toa, budak ini mempunyai bahan tulang yang luar biasa. Wajahnya" lo-toa, apakah tidak memenuhi syarat ?" sahut orang aneh yang membawa Cu Jiang itu. Mata orang tua berjubah hitam itu memandang Cu Jiang sehingga Cu Jiang sampai menggigil. Sinar mata orang berjubah hitam itu benar2 luar biasa tajamnya sehingga terasa seperti menembus ke ulu hati. "Ho, ho," orang tua Jubah hitam itu mengangguk2 seraya memuji. Cu Jiang benar2 tak tahu apa yang dihadapi itu. Orang tua jubah hitam berpaling kearah kedua samping dan berseru: "Tidak pakai semua !" Serentak keenam orang aneh itu menghantam keenam pemuda tawanannya. Terdengar jeritan ngeri ketika tubuh keenam pemuda itu hancur lebur. Melihat perbuatan yang sekeji itu hampir dada Cu Jiang meledak. Sepasang matanya seperti akan memancarkan darah. Baru pertama sepanjang hidupnya ia melihat perbuatan yang sekejam itu. Kiranya mayat2 yang berhamburan di lantai itu tentulah juga mengalami nasib serupa dengan ke enam pemuda itu. "Iblis keparat!" tanpa sadar, Cu Jiang berteriak memaki. Sepasang mata orang tua jubah hitam itu mendelik seperti mau menelan orang. Tiba2 dia tertawa gelak2: "Benar2 bernyali besar. Lo-jit, pilihanmu tepat sekali. Bahan macam itu baru layak menjadi pewaris kita bersama!" Mendengar itu barulah Cu Jiang tahu. Ternyata kawanan manusia aneh itu sedang mencari calon murid yang akan dijadikan ahli waris mereka. Hanya caranya memang kejam sekali. Kasihan sekali ke enam pemuda itu. Mereka harus mati tanpa dosa. Setelah beberapa saat memandang Cu Jiang, orang tua jubah Imam itu berkata pula: "Datanglah ke hadapanku sini!" Cu Jiang menyadari bahwa dirinya saat itu berada dalam genggaman orang2 jahat yang buas. Tak mungkin dia dapat lolos. Maka dengan kuatkan hati dia segera maju ke hadapan orang tua berjubah hitam. "Oh, orang cacat!" ke enam manusia aneh itu serempak berteriak Orang tua jubah hitam tertawa aneh: "Lebih baik. Ciri itu dapat mewakili ciri khas kita!" Habis berkata ia ulurkan tangan dan menjamah tubuh Cu Jiang. Tiba2 dia tertawa girang sekali. Setelah berhenti tertawa, orang tua jubah hitam itu berpaling memandang kepada ke enam orang aneh yang berada di samping kanan dan kiri. "Saudara2, kita harus cepat melaksanakan rencana kita. Kamu berenam, yang dua menuju ke markas Bu-tong-pay, yang dua ke vihara Siauw-lim dan yang dua ke perguruan Thay-kek-bun. Sekarang juga berangkatlah. Paling lama sebulan harus sudah kembali lagi ke sini." Ke enam orang aneh itu mengangguk lalu berbondong2 pergi. Kemudian orang tua jubah hitam itu berpaling kepada Cu Jiang, serunya: "Budak, peruntunganmu besar!" "Peruntungan apa?" Cu Jiang menggeram. "Kami bertujuh akan menggemblengmu menjadi jago nomor satu di dunia!" "Ah, sukar melaksanakan." "Apa" Engkau tak suka?" "Tak perlu kupikir lagi!" "Ho, masakan engkau boleh semaumu sendiri" Lo-jit . . " Orang aneh yang membawa Cu Jiang tadi segara menyahut: "Apakah toako hendak memberi pesan?" "Kukembalikan dia supaya engkau harus.... Tetapi jangan sampai terjadi apa2." "Takkan meleset," seru orang aneh seraya terus menutuk tubuh Cu Jiang, seketika Cu Jiang rasakan tenaganya lenyap bahkan berdiri saja tak kuat. "Hm, kalian buang tenaga percuma saja!" serunya geram. "Jangan ngaco belo!" orang aneh itu menyambar tubuh Cu Jiang terus dibawa lari ke dalam. Setelah melalui halaman yang tak terawat, mereka tiba di sebuah kamar yang hanya di terangi oleh sinar cuaca dari celah2 jendela. Di situ seperti terdapat tempat tidur dan selimut. "Untuk sementara waktu, engkau boleh pinjam tempat kediamanku di sini!" Bum .... Cu Jiang di lempar ke atas pembaringan, kemudian orang aneh itu keluar lagi dan menutup pintunya. Sambil tidur terlentang memandang ke atas, Cu Jiang tertawa hambar terhadap peristiwa2 aneh yang di alaminya selama ini. "Bagaimana aku dapat lolos dari cengkeraman iblis itu?" Cu Jiang mulai menimang2. Dia turun dari pembaringan tetapi tenaganya masih lemas sekali Namun dia paksakan diri juga walaupun langkahnya masih sempoyongan sehingga dia jatuh ke pembaringan lagi. Dia menghela napas putus asa. "Ah, untuk lolos dari tempat ini rasanya lebih tukar dari naik ke langit. Siapakah manusia2 aneh itu?" pikirnya. Tiba2 ia teringat akan pelajaran yang diberikan ayahnya tentang ilmu membebaskan diri dari tutukan. Segera ia duduk di pembaringan dan mulai menyalurkan pernapasan. Tetapi astaga. Ternyata sama sekali dia tak mampu melakukan pernapasan lagi. Jelas ilmu tutuk dari manusia aneh itu memang bukan olah2 hebatnya. Harapannyapun bagai awan tertiup angin. Akhirnya ia memutuskan lebih baik tidur di pembaringan saja. Pikirannyapun mulai melayang. Memang untuk melakukan pembalasan, harus menempuh dengan cara apa saja. Seperti keadaannya saat itu. Jelas dia sudah tak berdaya. Jika ia tetap berkeras kepala, tentulah tak mungkin dapat melaksanakan pembalasan dendamnya itu. Ah, lebih baik menurut saja bagaimana kehendak manusia2 aneh itu. bahkan ia akan memanfaatkan ilmu kesaktian yang diterimanya dari mereka untuk kelak melaksanakan rencananya. Jelas kawanan manusia aneh itu memiliki ilmu kesaktian yang hebat. Jika dia berhasil menyerap kepandaian mereka, bukankah ia akan menjadi seorang tokoh yang hebat. Dengan begitu masakan dia tak mampu menuntut balas. Tetapi diapun masih ingat. Bahwa sejak dulu sampai sekarang, perbuatan Jahat dan Baik itu takkan tegak berjajar. Dia sebagai putera seorang jago pedang yang termasyhur, apabila sampai ikut pada aliran Hitam, tentulah arwah kedua orang tuanya takkan meram di alam baka. Dia menduga lebih lanjut. Bahwa tindakan kawanan manusia aneh itu tentu mempunyai tujuan tertentu. Dia mau menerima pelajaran ilmu silat dari mereka atau tidak, tentu tetap akan dikuasai mereka. "Piagam Hitam!" Tiba2 ia teringat akan benda itu. Serentak semangatnya bangkit kembali. Piagam Hitam itu mempunyai pengaruh besar sekali atas anak buah Gedung Hitam. Apakah piagam itu juga dapat memberi pengaruh kepada kawanan manusia aneh itu supaya tunduk" Ah, mungkin saja. Pikirannya seraya longgar dan tak lama kemudian ia jatuh pulas. Ketika bangun, sinar matahari sudah menerobos masuk dari jendela. Di atas meja terdapat beberapa makanan bakpao daging sapi. Juga disediakan minuman teh. Pikir Cu Jiang, makan dulu baru nanti cari pikiran lagi. Ia segera duduk di pinggir pembaringan dan mulai makan. Hampir setengah jam lamanya ia makan. Setelah itu ia segera meronta turun dari pembaringan. Tetapi ia tak mampu membuka pintu. Apa boleh buat, terpaksa dia harus buang hajat ditempat itu. Seumur hidup baru pertama kali itu ia mengalami hal yang seperti itu. Kembali ia duduk diatas pembaringan. Tiba-tiba orang aneh tadi membuka pintu dan masuk, memandang kepadanya dan tertawa menyeringai: "Budak, seleramu makan hebat juga !" Walaupun bernada tertawa, tetapi sikapnya tertawa itu membuat orang gemetar. Cu Jiang segera mengeluarkan pending kumala lalu disongsongkan: "Apakah engkau kenal benda ini ?" Manusia aneh itu menyambuti lalu memeriksanya dan terus dikembalikan pada Cu Jiang lagi. "Barang mainan perempuan dan cewek2. Hm, apakah pikiranmu sudah limbung ?" serunya. Cu Jiang seperti diguyur air dingin. Ternyata pending kumala yang begitu ditaati oleh anak-buah Gedung Hitam, sedikitpun tak mempunyai pengaruh apa2 kepada manusia aneh itu. "Budak, sabarkanlah hatimu. Engkau akan tinggal disini sebulan lamanya. Sesudah itu dunia ini milikmu. Hai, mengapa engkau berak disini " Baiklah, pintunya tak kututup. Kalau mau buang air, engkau boleh keluar." "Hm..." Cu Jiang mendesus sebagai penyaluran. Orang aneh itu keluar dan kembali Cu Jiang rebah di pembaringan. Kini dia merasa sudah tiada harapan untuk lolos lagi. Karena itu diapun tak perlu tergesa-gesa mengejar waktu. Malam tiba. Orang aneh itu muncul membawa makanan. Tanpa berkata apa2, dia terus keluar lagi. Cu Jiangpun tak mau banyak pikir. Kalau di suruh makan diapun makan. Dia memang tak mau mati kelaparan. Dia harus hidup terus sampai rencananya selesai. Memang yang menjadi cita2 hidupnya, tak lain hanya menuntut balas dendam kematian ayah-bunda dan kedua adiknya. Hanya itu. Dia tak mengandung cita2 lain lagi. Habis makan, dia duduk lagi di dekat jendela. Memandang keluar jendela, bintangpun sudah rebah ke barat. Malam sudah larut. Tiba2 ia mendengar suara kelinting yang tajam. Suara kelinting sebenarnya biasa saja, tetapi di tempat dan suasana seperti itu mau tak mau Cu Jiang merasa aneh juga. Bermula Cu Jiang merasa meragukan telinganya. Tetapi setelah mendengarkan dengan seksama memang ia mendengar suara kelinting itu kedengaran seperti dari jauh tetapi dekat sekali. Sebentar dari arah barat tetapi sebentar lagi dari arah timur. Yang membuatnya heran ialah suara kelinting itu terdengar nyaring sampai menusuk telinga. Dan juga Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo berirama mengalunkan kerawanan musim rontok dan gemercik air mencurah dari gunung. Tanpa disadari, Cu Jiang terpikat perhatiannya. Akhirnya ia terbenam dalam alunan suara kelinting itu. Beberapa saat kemudian ia rasakan hatinya terang. Seolah seperti suatu tenaga aneh yang bertebaran dalam hatinya. Pelahan-lahan dia mulai turun dari pembaringan, melangkah ke luar, menuju ke arah suara kelinting itu. Setelah melintasi halaman, dia berhadapan dengan pintu. Dia merasa tubuhnya melayang ke atas dan melampaui pintu itu dan tiba2 suara kelintingpun lenyap. Tahu2 ia dapatkan dirinya berada di luar halaman. Apakah aku bermimpi" Tanyanya dalam hati. Ia menggigit jari tangannya. Ah, masih sakit. Jelas dia tak bermimpi, ia memandang ke sekeliling penjuru. Dalam kegelapan malam, sayup2 dia melihat sebuah hutan. Apakah artinya itu" Apakah ada orang sakti yang membantunya" Ah, tak mungkin. Buru2 dia salurkan pernapasan. Ah, ternyata darahnya telah lancar. Uratnya yang tertutukpun sudah bebas. Tenaganya kini pulih lagi. Dia terlongong-longong heran. Beberapa waktu kemudian baru dia berkata: "Orang sakti siapakah yang menolong aku ini?" Tiada penyahutan apa2. Sunyi senyap di sekeliling tempat itu. Se konyong2 dia mendengar suara bentakan yang nadanya seperti tak asing lagi: "Bagus. Kim Leng hujin, ternyata engkau masih hidup!" Cu Jiang tahu bahwa suara itu adalah suara orang tua berjubah hitam. Tetapi siapakah yang di sebut Kim Leng hujin atau nyonya Kelinting Emas itu" Mengapa suara kelinting itu dapat membebaskan jalan darahnya yang telah tertutuk oleh manusia aneh" Apakah Kim Leng hujin itu memang sengaja datang hendak menolongnya" Tiba2 terdengar suara si manusia aneh yang menawan Cu Jiang itu: "Mengapa nyonya hendak memusuhi kami bersaudara lagi?" Terdengar suara seorang wanita tua menyahut: "Tian Heng, akupun tak menyangka bahwa kalian bangsa yang suka menghindar dari kesukaran, ternyata juga masih hidup!" "Kim Leng hujin, jangan melukai perasaan orang!" Kim Leng hujin tertawa gelak2. "Ha ha, sebenarnya apa yang kukatakan itu hanyalah hal yang wajar." Kini Cu Jiang tahu bahwa orang tua jubah hitam yang menjadi pimpinan dari kawanan manusia itu, bernama Tian Heng. "Tak perlu adu lidah tajam. Apakah maksud kedatanganmu ini?" seru Tian Heng pula. "Aku sedang mencari orang?" "Mencari orang" Siapa?" Tergerak hati Cu Jiang. Ia segera pasang perhatian. "Putera dari Lau Toa Hu di Seng-tou." "Ha, ha, sungguh heran. Kim Leng hujin yang tak dapat didekati orang, ternyata menjadi..." "Tutup mulutmu!" bentak Kim Leng hujin, "anak itu adalah cucu keponakanku jauh." "Oh, makanya. Tetapi mengapa engkau mencari kemari?" "Kudengar kalian telah menangkap seorang pemuda yang berbakat bagus!" Saat itu baru Cu Jiang tahu bahwa wanita yang disebut sebagai Kim Leng hujin itu ternyata hendak mencari cucunya, bukan hendak menolong dia. Memang peristiwa dalam dunia ini sering kali terjadi secara kebetulan yang tak terduga-duga. Kim Leng hujin mencari cucunya dan membunyikan kelinting dan dialah yang menerima manfaatnya, jalan darahnya yang tertotok telah terbuka. Iapun teringat akan sepuluhan anak muda yang menjadi korban pembunuhan kawanan manusia aneh kemarin itu. Kemungkinan salah seorang tentulah putera dari Lau Toa Hu dari kota Seng-tou itu. "Di sini tak ada orang itu!" tiba2 Tian Heng pemimpin kawanan manusia aneh berseru. "Benar tidak ada?" Kim Leng hujin menegas. "Masakan bohong." "Tian Heng, kalau kelak aku dapat membongkar peristiwa itu?" "Aku menurut saja apa keputusanmu." "Baik," katanya. Karena merasa bahwa pembicaraan kedua orang itu tiada sangkut pautnya dengan dirinya, Cu Jiang segera mengambil keputusan untuk melarikan diri. Dia tak berani mengambil jalan besar. Juga tak mau kembali ke kota Kuiciu. Ia tahu kawanan manusia aneh itu tentu tak mau melepaskan dirinya begitu saja. Mereka tentu akan tetap mencarinya kemanapun saja. Maka dia tak mendengarkan lagi pembicaraan mereka dan terus lari masuk ke dalam hutan belantara. Menjelang terang tanah, dia sudah mencapai berpuluh2 li jauhnya. Andaikata dia tak cacat, mungkin sudah mencapai ratusan li. Saat itu dia berada di perbatasan Hin-san. Di sebelah timur adalah deretan pegunungan Keng-san. Dia segera mengambil jalan besar. Setelah berhenti di sebelah kedai, ia melanjutkan perjalanan lagi. Tetapi kemanakah dia harus pergi" Ah, dia tak punya tujuan tertentu. Tak berapa lama ia mendengar bunyi kelinting kaki kuda berlari. Buru2 dia tundukkan kepala dan menyingkir ke tepi jalan. Tetapi kuda itupun berhenti juga di sebelahnya. Sudah tentu Cu Jiang tak enak hati. "Nona, itulah dia!" tiba2 terdengar suara seorang gadis. Longgarlah perasaan hati Cu Jiang tetapi saat itu juga dia tegang sekali. Itulah suara dari Siao Hui bujang dari si jelita Ki Ing. Cu Jiang teringat bahwa dia pernah menggunakan Piagam Hitam atas nama jelita itu. Tak tahu ia bagaimana nanti akan memberi pertanggungan jawab kepada nona jelita itu. Pada saat itu nona cantik yang berada diatas kuda, berpaling ke arah Cu Jiang. Ah, siapa lagi kalau bukan si jelita Ki Ing. Jelita itu hentikan kudanya dan menegur: "Benarkah engkau mempunyai pending dari kumala hijau?" Cu Jiang terkejut dan menyahut dengan gelagapan: "Benar, nona... tetapi bagaimana nona tahu hal itu?" "Hai, kiranya engkau pandai berpura-pura. Hampir tak dapat mengenali engkau." "Apa kata nona ?" Cu Jiang tegang sekali. "Dari mana engkau memperoleh giok-pwe itu ?" Cu Jiang sudah mendapat akal. Dengan wajah serius ia menjawab: "Bukankah nama nona ini nona Ki Ing ?" "Bagaimana engkau tahu ?" balas si jelita. "Panjang juga kalau diceritakan ..." "Panjang atau pendek harus engkau ceritakan!" "Sungguh nona," kata Cu Jiang, "apabila nona tak bertanya, hampir saja aku lupa." "Ceritakan yang jelas." "Cerita itu harus mulai dari awal..." "Lekas!" "Aku seorang desa. Kadang aku berburu ke hutan. Belum lama ini ketika berada di gunung Thian san aku telah berjumpa dengan seorang kong cu yang tampan . . ." Ki Ing serentak loncat turun dari kudanya dan berseru tegang: "Seorang pemuda berbaju putih?" "Benar, nona," Cu Jiang mengangguk. "Teruskan..." "Tetapi kongcu itu telah menderita kecelakaan yang tak terduga...." Seketika berobah cahaya wajah jelita itu dan serentak ia berseru dengan nada gemetar: "Menderita kecelakaan bagaimana?" "Menderita luka parah sekali !" "Luka parah ?" "Ya." "Lalu ?" Cu Jiang segera mengambil pending kumala dari dalam bajunya dan berkata: "Dia minta tolong kepadaku untuk menyerahkan kembali kumala ini kepada nona. Dan dia bilang ...." Air mata si jelita mulai berlinang-linang hendak menetes. "Bilang apa?" serunya nada beriba-iba. Hati Cu Jiang seperti disayat-sayat rasanya. Namun kuatkan perasaannya. "Kongcu itu mengatakan," katanya, "dia kuatir takkan dapat hidup lebih lama di dunia. Benda itu tak boleh sampai jatuh ke lain orang, jika Thian masih memberi umur panjang kepadanya, belum tentu dapat berjumpa lagi dengan nona. Namun kalau memang ditakdirkan sampai disitu saja hidupnya maka cinta kasih nona itu pasti akan dibawanya ke akhirat dia bersumpah, kelak pada penitisan yang akan datang, tentu akan melaksanakan tali asmara dengan nona." Jelita Ki Ing tak tahan lagi untuk membendung air matanya yang berderai-derai menumpah ke tanah. Dengan suara sedih dia berseru: "Tidak... dia takkan mati... dia takkan..." Bujang Siau Huipun mengucurkan airmata. Buru2 ia mengusapnya dengan ujung baju. Menghadapi keadaan seperti itu, hampir saja Cu Jiang pingsan. Jelas sudah betapa besar dan suci kasih si jelita itu tertumpah kepadanya. Betapa ingin saat itu dia memeluk si jelita dan mengatakan: "Ing, kekasihku, engkau tak tahu betapa besar cintaku kepadamu...." Tetapi ah, nasib. Kini dia telah berobah menjadi seorang pemuda yang buruk wajah. Tidakkah si Jelita itu akan hancur hatinya apabila mengetahui keadaan dirinya saat itu" "Tidak ! Biarlah aku yang menderita sendiri!" "Tidak ! Bukan nasib, tetapi manusia gila itu yang membuat diriku begini sengsara. Tuhan tidak menakdirkan aku harus berwajah begini buruk. Ke dua orang tuaku pun melahirkan aku dengan wajah yang cakap. Hanya manusia jahanam itu yang telah merusak wajahku. Merekalah yang harus ku balas. Mereka harus mengalami penderitaan yang lebih hebat dari diriku." Setelah terjadi pergolakan dalam hatinnya, dapatlah Cu Jiang menemukan letak dirinya. Dia huras kuatkan hati. Dia harus hidup. Dia membuang kesamping segala penderitaan dalam asmara. Dia masih mempunyai tugas besar untuk menghimpas dendam berdarah dari keluarga dan dirinya sendiri. Kini dia telah menyerahkan kembali pending kemala itu kepada pemiliknya. Berarti dia telah menyelesaikan salah satu dari sekian rencananya. "Lalu apa katanya lagi ?" tiba2 Jelita itu bertanya. "Tidak ada lagi." "Bagaimana engkau tahu akan kegunaan giok pwe ini ?" tanya si Jelita pula. "Kongcu itu yang memberitahu kepadaku. Dia kuatir aku tak berhasil menyampaikan benda itu kepada nona." Ki Ing menyambuti pending kumala pengikat asmara itu Air matanya bercucuran.... "Nona." kata Siau Hui dengan lemah lembut, "orang baik tentu akan dilindungi Tuhan. Jangan nona kelewat bersedih sehingga dapat mengganggu kesehatan nona." Ki Ing memandang tajam2 kepada Cu Jiang serunya: "Engkau menggunakan pending ini untuk menolong seseorang ?" "Ya." "Apa hubungannya orang itu dengan dirimu ?" "Tak ada hubungan apa2, hanya karena belas kasihan saja." "Engkau sungguh bernyali besar...." "Mengapa ?" "Engkau tahu siapa yang menangkap orang itu ?" "Menurut kata2 yang kudengar, mereka adalah dari Gedung Hitam..." "O, engkau mengacau sekali. Sudah cukup kalau engkau tunjukkan benda ini untuk menolong jiwa orang, tetapi mengapa engkau masih mendesak mereka supaya melepaskan orang itu." Diam2 Cu Jiang merasa bahwa perbuatannya itu memang keterlaluan. Tetapi karena hal itu sudah terlanjur dan ia merasa bahwa sebagai seorang pemuda yang berjiwa kesatria harus berani bertindak menentang kelaliman, maka diapun harus berani mempertanggung jawabkan. Untung sekarang wajahnya telah tertutup dengan bekas2 noda hitam sehingga orang sukar untuk mengenalinya lagi. Beberapa saat kemudian ia meminta maaf: "Mohon nona suka memberi maaf." "Hm, sudahlah, karena sudah terlanjur, tak perlu diungkit lagi." "Sungguh tak kusangka.... bahwa giok-pwe yang begitu kecil ternyata mempunyai daya perbawa yang begitu hebat. Mohon tanya, apakah nona pemilik dari giok-pwe itu ?" Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Soal ini.... tak perlu engkau tanyakan. Apakah kongcu itu mengatakan namanya kepadamu ?" "Tidak." "Dimana dia mendapat luka?" "Di tengah gunung Bu-leng-san, kira2 perjalanan sehari dari Li jwan." "Siapa yang melukainya ?" "Kongcu tak mengatakan." "Apakah engkau tak berusaha untuk memberi pertolongan kepadanya ?" Cu Jiang membuat gerakan tangan seperti orang yang putus asa. "Kongcu itu aneh dan keras wataknya. Setelah menyerahkan giok-pwe ini dia terus suruh aku lekas pergi. Katanya, musuh masih berkeliaran disekeliling tempat itu. Dan katanya, lukanya itu luka dalam, tak sembarang tabib dapat mengobati." Walaupun terpaksa harus merangkai kata2 kosong, tetapi dapatlah alasan2 itu diterima akal. Dan dibawakan dengan cepat dan lancar, mau tak mau Ki Ing percaya juga. Sekalipun begitu perasaan Cu Jiang seperti di iris dengan pisau. Dia terpaksa harus berbohong demi menjaga agar nona itu jangan sampai hancur hatinya. Ki Ing menghela napas rawan. "Siapakah namamu?" tiba2 ia bertanya. "Ah, aku tak memakai nama lagi. Orang2 memanggil aku si Gok-jin-ji." "Gok-jin-ji?" "Ya." Gok-jin-ji artinya Anak sengsara. "Apakah karena khusus hendak mengantarkan benda ini lalu engkau turun gunung?" "Boleh di kata begitu." "Kalau begitu, silahkan engkau kembali ke gunung lagi." Cu Jiang gelengkan kepada, "Tidak, aku takkan pulang ke gunung lagi." Ki Ing kerutkan alis. "Kenapa?" "Aku sudah sebatang kara dan hidup sengsara. Tak punya sanak keluarga tak punya tempat tinggal dan masih cacat begini. Sering aku menerima hinaan dan cemoohan orang. Maka aku hendak mengembara saja untuk cari sesuap nasi." "Ah, kurasa tak perlu," kata Ki Ing, "antarkanlah aku ke tempat engkau bertemu dengan kongcu tempo hari. Setelah itu selesai kucarikan tempat untukmu menetap dengan tenang." "Ah, terima kasih atas kebaikan nona," sahut Cu Jiang. "O, kalau begitu, bagaimana kalau kuberimu uang untuk modal berdagang saja ?" "Terima kasih, kongcu sudah memberi tak sedikit uang kepadaku." "Apakah engkau tak mau menunjukkan jalan ?" "Bukan tak mau, nona. Tetapi aku sudah bersumpah takkan kembali ke gunung lagi." "Kalau kuwajibkan engkau menunjukkan jalan ?" "Sekalipun nona membunuh aku, aku tetap tak mau melanggar sumpahku." Seketika wajah si Jelita Ki Ing berobah. Tetapi pada saat itu terdengar gemuruh derap kaki kuda berlari. Pada lain kejap tampak empat ekor kuda mencongklang tiba. Ternyata mereka empat orang Pengawal Hitam. Melihat mereka seketika meluaplah kemarahan Cu Jiang. Ketika melalui tempat Cu Jiang bertiga dua orang Pengawal Hitam agak melambatkan kudanya, kemudian memacunya lagi kencang2. Mereka seolah tak menghiraukan ketiga anak muda itu. Cu Jiang merasa heran. Apakah kawanan Pengawal Hitam itu jeri akan Piagam Hitam" Sesaat Cu Jiang merasa makin heran akan diri si jelita Ki Ing yang tak diketahui riwayatnya itu. "Apakah nona itu..." Tiba2 timbul pikirannya untuk menyelidiki, katanya. "Dunia persilatan mengatakan bahwa kawanan Pengawal Hitam itu suka malang melintang mengunjuk keganasan. Tetapi rasanya kenyataannya lain." "Kenapa ?" Ki Ing bertanya dengan dingin. "Tidakkah nona tadi menyaksikan sikap kedua Pengawal Hitam yang memandang kita dengan pandang meremehkan ?" "Mungkin kita tak salah apa2." "Tetapi kurasa tidak..." "Lalu ?" "Karena mempunyai hubungan dengan nona." "Dengan aku" Hubungan apa?" "Karena nona sebagai pemilik Piagam Hitam, mereka tak berani..." "Engkau keliru." kata Ki Ing tetapi terus tak mau melanjutkan kata-katanya. Cu Jiang melanjutkan usahanya untuk menyelidiki. "Adakah tiada seorangpun dalam dunia persilatan yang tahu jelas akan keadaan Gedung Hitam ?" Ki Ing menatap sejenak pada Cu Jiang lalu menyahut dingin. "Mungkin." "Apakah nona juga tak tahu ?" "Ai, benar2 sangat rahasia sekali..." "Bagaimana, engkau mau menunjukkan jalan atau tidak ?" Cu Jiang tundukkan kepala lalu menyahut: "Aku tak mau melanggar sumpahku sendiri, mohon nona sudi memaafkan." "Baik, mengingat engkau telah melakukan permintaannya dengan baik untuk memberikan giok-pwe ini kepadaku, akupun tak mau menyusahkanmu !" habis berkata si jelita terus loncat keatas kuda dan mengajak Siau Hui pergi. Ooo0dw0ooO Jilid 5 Cu Jiang terlongong-longong memandang bayangan si jelita itu Hanya dengan kekerasan hatinya untuk menuntut balas dan mengingat wajahnya yang rusak, baru dia dapat menindas nyala api asmaranya. Tetapi dia tak mungkin dapat melupakan cinta kasih asmara dari dara jelita. Walaupun pada kehidupannya yang sekarang tak mungkin dia dapat bersanding dengan jelita itu tetapi kelak dalam penitisannya yang akan datang ia bersumpah akan memenuhi janji terhadap jelita itu. Bayangan Ki Ing lenyap dan lenyap pula percik asmara yang membara dalam hatinya. Kini perasaan hatinya hampa, sehampa cakrawala yang luas. "Bagus, budak! Engkau berani menolak rejeki besar" Ho, masakan engkau mampu terbang ke langit?" Tiba2 terdengar suara orang berseru dan seketika terbanglah semangat Cu Jiang. Cepat ia berputar tubuh. Ah, siapa lagi kalau bukan si manusia aneh yang berwajah seperti mayat itu. "Jika lo-toa tidak memilih engkau, saat ini tentu kuhancur leburkan tubuhmu!" seru manusia aneh itu. Nadanya yang seram, meregangkan bulu roma. Cu Jiang tahu bahwa sia2 saja untuk meloloskan diri. Melawanpun juga percuma. Maka ia bersikap tenang dan menyahut: "Hendak engkau apakan diriku ?" "Kubawa pulang!" "Itu tergantung aku suka atau tidak." "Ha, ha, ha." manusia aneh itu tertawa gelak2, "budak, engkau bermimpi disiang hari. Masakan engkau bebas berbuat sesuka hatimu." "Kalau aku melawan sampai mati. . ." "Matipun sukar bagimu. Kalau memang kami menghendaki jiwamu, tak mungkin engkau dapat lari, sekalipun engkau mau bersembunyi ke liang semut !" "Apakah di dunia ini terdapat cara mengambil murid dengan paksaan?" "Kami memang lain dari yang lain." "Paling tidak, kalian harus memberitahu kepadaku siapa sebenarnya kalian ini." "Apabila sudah tiba waktunya, tentu. Sekarang Jangan banyak bicara yang tak berguna." Cu Jiang tertawa hambar. Ia tertawa mengejek nasibnya yang buruk. "Hayo, berangkat!" tiba2 manusia aneh itu membentak. Tetapi pada saat itu juga terdengar suara kelinting menusuk telinga. Asalnya dari tengah hutan yang tak jauh dari tepi jalan. Cu Jiang tergerak hatinya. Ia tahu bahwa yang datang itu tentulah Kim Leng hujin. Manusia aneh keliarkan pandang ke sekeliling lalu menggeram marah: "Hai, nenek itu memang sengaja membentur kita bersaudara." Cepat ia berputar tubuh terus menyambar Cu Jiang tetapi pada saat itu juga terdengar suara orang melengking: "Ong Sip Bo. engkau hendak lari?" menyusul sesosok bayangan berkelebat menghadang Jalan. Manusia aneh terpaksa berhenti. Cu Jiang mengangkat muka dan melihat seorang wanita tua tegak dua tombak disebelah muka. Wajahnya dingin sekali. Cu Jiang segera menduga wanita tua itu tentulah Kim Leng hujin. Kim Leng hujin menyebut itu dengan nama Ong Sip Bo. Mungkin namanya memang begitu. "Hujin hendak memberi petunjuk apa kepadaku?" seru Ong Sip Bo si manusia aneh. Kim Leng hujin berseru dingin: "Ong Sip Bo, apakah engkau hendak melakukan perbuatan yang melanggar peraturan Thian" Dari mana engkau menangkap anak itu?" "Dia bakal menjadi pewaris kami bersama." "Pewaris dari kalian bersama?" "Benar." "Setan yang mengatakan begitu!" karena marah Cu Jiang berteriak. Manusia aneh marah. Ia keraskan kepitannya sehingga Cu Jiang meringis kesakitan karena tulangnya seperti patah. "Lepaskan anak itu!" tiba2 Kim Leng hujin berseru. "Kenapa?" "Tak boleh merusak tunas dunia persilatan!" "Kalau aku tak mau?" "Engkau Ong Sip bo, belum layak untuk mengucap kata2 tidak di hadapanku." "Apakah hujin benar-2 bermaksud hendak memusuhi kami bersaudara?" "Urusan di antara kita masih belum selesai. "Aku akan menyelidiki di mana putera dari Lan Tay Hu itu sampai ketemu. Apabila kalian yang mencelakainya, kalian harus mengganti kerugian." "Ya, tak usah membicarakan hal itu. Yang sekarang saja." "Sekarang kusuruh engkau lepaskan dia!" "Tidak bisa." "Coba katakan sekali lagi!" "Mau turun tangan?" "Jika perlu." "Kim Leng hujin, ketahuilah. Kami bersaudara selama ini tak pernah tunduk pada siapa saja. . ." "Aku tak peduli." "Jangan kira aku hanya seorang diri . . ." "Lepaskan dia!" seru Kim Leng hujin dengan tegas dan keras seraya mengangkat tangan kanannya ke dada. Pada lengannya tampak sebuah kelinting emas sebesar cawan arak. Warnanya kuning emas. Ong Sip Bo menyurut mundur selangkah. "Hujin, setiap dendam, kami bersaudara pasti akan membalasnya!" serunya dengan suara getar-getar seram. Kim Leng hujin tertawa dingin. "Itu urusan besok. Sekarang engkau lepaskan anak itu." "Kalau aku tak meluluskan?" "Tanganku ini akan memberi jawaban!" "Baik, jangan kira aku Ong Sip Bo takut kepadamu." Terdengar suara orang tertahan. Tubuh Cu Jiang terlempar sampai empat tombak jauhnya dan terbanting di tanah. Sebelum melemparkan, lebih dulu Ong Sip Bo sudah menutuk jalan darahnya. Kim Leng hujin memandang ke arah Cu Jiang. Ia kerutkan alis. Mungkin saat itu baru dia mengetahui betapa Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo buruk wajah Cu Jiang. Cu Jiang mempunyai kesan baik kepada wanita itu. Ia merasa berterima kasih. Memang kemarin tak sengaja wanita tua itu dalam mencari cucunya, tanpa sengaja telah menolong dirinya. Tetapi sekarang mungkin lain lagi artinya. Tanpa berkata apa2, Ong Sip Bo terus menerkam Kim Leng hujin. Karena merasa kepandaiannya kalah dengan wanita tua itu maka dia hendak turun tangan lebih dulu selagi orang belum siap. Terkaman yang di lakukan dengan kedua tangan itu cepatnya bukan kepalang, dahsyatnya bukan main dan ganasnya bukan olah2. Diam2 Cu Jiang leletkan lidah. Ia merasa, sekalipun waktu dirinya belum cacat tak mungkin dia mampu menghindari terkaman manusia aneh Ong Sip Bo itu. Diam2 tak habis herannya. Mengapa pada waktu akhir2 ini dia selalu bertemu dengan tokoh2 yang sakti. Tepat pada saat tubuh Ong Sip Bo bergerak, tubuh Kim Leng hujinpun sudah berkisar ke samping. Reaksinya ternyata cepat sekali. "Kelinting . . . ting ..." Kelinting emas yang berada pada lengan wanita tua itu segera berbunyi tajam. Suaranya seperti menusuk telinga, Beda dengan bunyi kelinting yang didengar Cu Jiang semalam. Jika semalam nadanya amat menyegarkan semangat dan sedap di dengar, saat itu seperti menusuk telinga dan penuh dengan hawa pembunuhan. Wajah yang pucat seperti mayat dari Ong Sip Bo tampak membeku, kedua kakinyapun melentuk setengah berlutut. Sepasang tangannya di taruh di dada dan telapaknya menghadap ke muka . . . Bagi ahli persilatan tentu segera tahu bahwa dia sedang melangsungkan pertempuran tenaga-dalam yang dahsyat. Cu Jiang baru pertama kali itu mengetahui bahwa suara kelinting dapat menghamburkan tenaga-dalam untuk menyerang orang. Diam2 Cu Jiangpun mengharap agar seperti semalam, Kim-Leng hujin mau membebaskan jalan darahnya yang tertotok. Tetapi dia harus menggigit jari. Tak berapa lama tampak Ong Sip Bo gemetar. Keringat sebesar kedelai bercucuran dari dahi dan kepalanya. Jelas tenaga dalamnya masih kalah setingkat dengan Kim Leng hujin. Dan siapa yang akan kalah atau menang sudah dapat diduga. Tiba2 terdengar suara mengerang pelahan dan Ong Sip Bo pun segera sempoyongan ke belakang sampai lima enam langkah. Mulutnya menyembur darah. Rupanya dia telah menderita luka dalam yang tak ringan. Tiba2 suara kelinting berhenti Semangat Cu Jiangpun tiba2 menyala. Ia mempunyai harapan lagi untuk tertolong. "Perhitungan ini kelak kita selesaikan lagi. Apa sekarang engkau masih hendak mengatakan apa2 lagi?" seru Kim Leng hujin dengan nada dingin. Ong Sip Bo tertawa menyeringai: "Aku selalu dapat membedakan antara budi dan dendam." Sambil mengangkat tangan memberi isyarat, Kim Leng hujin berseru: "Sekarang silahkan engkau pergi. Tiap saat aku siap menyambut kedatangan kalian. " "Aku masih mempunyai sebuah permintaan bahwa budak itu adalah pewaris dari kami bersaudara." "Benar" " "Ya." "Apakah dia suka?" "Soal itu bukan urusanmu!" "Haa. baik, " dengus Kim Leng hujin, "silahkan engkau pulang. " "Baik, kelak jangan engkau menyesal, " seru Ong Sip Bo terus melesat pergi. Kim Leng hujin menghampiri ke tempat Cu Jiang. Ia gerakkan tangan menampar ke udara dan tahu2 Cu Jiang dapat bergerak. Serentak pemuda itu melenting bangun lalu memberi hormat sedalam-dalamnya di hadapan Kim Leng hujin: "Terima kasih atas budi pertolongan locianpwe" "Tak usah," kata Kim Leng hujin, "siapa namamu?" "Aku ... ah, wanpwe bernama Gok-jin-ji. " "Gok-jin ji?" "Benar. " "Apakah engkau benar menjadi pewaris dari kawanan manusia iblis itu?" "Tidak, lo cianpwe.. Aku telah ditawan mereka." "Ya, kutahu. Itulah sebabnya kutolong engkau. Apakah engkau tahu keadaan pemuda2 yang senasib dengan engkau?" "Dengan mata kepala sendiri wanpwe menyaksikan mereka telah membunuh sepuluh pemuda ..." "Di mana?" "Gedung tua yang lo cianpwe pernah datang itu...." "Apakah diantaranya terdapat putera Lau Tay Hu dari Seng-mui?" "Soal itu wanpwe tak tahu. Apakah sebelum kesepuluh pemuda itu masih terdapat korban lainnya, juga wanpwe tak tahu. Apabila locianpwe dapat menemukan mayatnya, mungkin locianpwe dapat mengenali..." "Bagus !" seru Kim Leng hujin tetapi tiba2 ia mendengus dan kerutkan alisnya yang sudah putih, "Aah, salah." Cu Jiang terkejut. "Apa yang salah, locianpwe?" "Apakah ilmu tenaga-dalammu sudah mencapai tataran dapat menyatukan darah dengan hawa dalam tubuh?" "Ya, sudah dapat walaupun dipaksakan." "Cobalah engkau salurkan tenaga-dalammu ke arah jalan darah Ing-joan dan bu it, bagaimana keadaannya?" Cu Jiang terkejut. Segera ia kerahkan tenaga-dalam untuk melancarkan ke arah kedua jalan darah itu. Begitu mencoba seketika wajahnya berobah. "Benar, locianpwe, dalam jalan darah itu seperti terdapat suatu benda yang bergerak-gerak menusuk dengan tajam. . ." "Iblis yang ganas sekali!" "Apakah Ong Sip Bo itu telah menyusupkan sesuatu ke dalam tubuh wanpwe?" "Benar," kata Kim Leng hujin, "tampaknya dia hanya menutuk jalan darahmu. Tetapi diam2 dia telah melancarkan tangan ganas Im-sat-tui-beng-ci." "Im-sat tui-beng-ci?" ulang Cu Jiang. Im-sat-tui-beng-ci artinya ilmu Jari-penghancur nyawa. "Ya, apa engkau pernah dengar?" "Belum pernah." "Ilmu jari itu telengas sekali. Kecuali mereka, tiada seorangpun tokoh persilatan lain yang mampu memberi pertolongan." "O, tiada orang lain yang mampu menolong?" Kim Leng hujin mengangguk. Ia menghela napas. "Gok-jin ji, saat ini engkau hanya mempunyai sebuah jalan . . ." "Bagaimana?" seru Cu Jiang tegang sekali. Kim Leng hujin mengerut dahi lalu berseru dengan nada tegas: "Engkau harus kembali kepada mereka !" "Tidak bisa, locianpwe." "Jika begini engkau tentu mati." Semangat Cu Jiang serasa terbang mendengar kata2 wanita sakti itu. Namun dia tetap sekokoh batu karang pendiriannya. "Locianpwe," serunya dengan nada gemetar: "Mati biarlah mati, tetapi wanpwe tak mau menggabung pada Mo-to (aliran Jahat)." Kim Leng hujin berkata dengan rawan: "Ah, tak kira kalau engkau benar2 seorang anak yang berpambek tinggi. Setengah jam kemudian, tenagamu sudah lenyap. Dan besok pagi pada saat ini... darahmu akan bergelimpangan. Suatu siksa penderitaan yang tak dapat dibayangkan ngerinya. Maka lebih baik engkau ikut mereka dulu, pelahan-lahan mencari daya lagi. Jangan kuatir, aku selalu membantumu." Cu Jiang menghela napas. Dengan perasaan yang sedih dia berkata: "Apabila locianpwe mempunyai keperluan lain, silahkan locianpwe melanjutkan perjalanan." "Tetapi engkau . . ." "Akan kuserahkan nasibku kepada Allah !" "Nak, jangan berkeras kepala. Rasanya tiada jalan lain lagi kecuali itu." "Nasibku sudah kenyang dengan penderitaan. Mati hidup tiada artinya bagiku." Kim Leng hujin merenung sejenak lalu berkata: "Baiklah, engkau tunggu saja disini. Kalau lawan memang tak mau melepaskan engkau, mereka tentu akan datang kemari mencarimu. Aku perlu lekas mencari jejak cucuku yang hilang itu, terpaksa aku pergi dulu." Sebelum pergi kembali Kim Leng hujin memandang Cu Jiang dan berseru: "Kawanan Iblis itu senang sekali dengan bahan tulangmu yang bagus...." "Mohon tanya, siapakah mereka itu ?" "Durjana iblis yang telah termasyhur dalam dunia yaitu Kiu-te-sat !" habis memberi keterangan Kim Leng hujin terus melesat pergi. Seorang diri Cu Jiang masih termangu-mangu diam. Dia tak mengira bahwa kawanan iblis itu tak lain adalah Kiu-tesat atau Sembilan iblis neraka. Saat itu dia merasa tenaganya mulai hilang persis seperti yang dikatakan Kim Leng hujin tadi. Pada kedua jalan darah di punggungnya terasa sakit sekali. Walaupun perangainya amat tinggi hati dan didepan Kim Leng hujin menyatakan tak menghiraukan soal mati atau hidup, tetapi setelah berada seorang diri, dia menyadari bahwa mati hidup merupakan soal penting baginya. Dia bukan takut mati tetapi bila ia mati, dia tentu tak dapat melaksanakan angan-angannya untuk membalaskan dendam berdarah dari keluarganya. Dengan begitu dia tentu akan jadi setan penasaran. Cita-cita hidupnya hanya melakukan pembalasan. Jika hal itu sudah terlaksana, mati bukan soal lagi baginya. Dan untuk melaksanakan hal itu seharusnya dia tak menghiraukan lagi masuk menjadi murid dari perguruan apapun juga. Hm, apabila dia dapat menghisap ilmu kesaktian dan tentulah dia dapat melaksanakan pembalasan itu. Semasa hidupnya, mendiang ayahnya bergabung dalam aliran Cing-pay sehingga mendapat gelar agung Kiam-seng atau Nabi-pedang. Tetapi akhirnya bagaimana jadinya" Tiba pada kesimpulan itu pandangannya pun mulai mengalami perubahan. Perasaannyapun agak longgar. Maka dia lalu beralih ketepi jalan hutan itu. Menurut perhitungannya, Ong Sip Po tentu akan mencarinya. Setengah jam kemudian ternyata tiada orang yang datang, baik Ong Sip Po maupun kawan-kawannya. Dendamnya makin menebal. Dengan menahan rasa sakit yang sukar ditahan, dia segera rebahkan diri dibawah pohon dan mengerang-erang. Tiba2 sesosok bayangan berkelebat tiba dihadapannya. Ketika Cu Jiang memandangnya makin terperanjat. Kiranya yang datang itu bukan Ong Sip Po melainkan manusia aneh yang berwajah mengerikan, kepala lancip, brewok, Hidung besar, bibir tebal, kumis kuning yang jarang, mata runcing seperti tikus. Cu Jiang diam saja. "Hai budak, mengapa nenek itu tak membawamu pergi ?" tegurnya. Yang dimaksud nenek tua itu tentulah Kim Leng hujin. Tiba2 Cu Jiang teringat akan cerita mendiang ayahnya dulu tentang diri kesembilan iblis Kiu-te-cat itu. "Kiranya anda tentulah Song-bun sat Pik Thay Koan." serunya. "Hai, budak, siapa yang memberitahu engkau!" teriak manusia buruk itu. "Secara tiba2 saja aku teringat." "Benar, memang aku ini Song-bu sat Pik Thay Koan," akhirnya manusia buruk wajah itu mengaku. "Lalu anda akan bertindak bagaimana terhadap aku ?" "Engkau tentu sudah mengetahui riwayat kami bersaudara. Sekarang aku hanya ingin bertanya sebuah pertanyaan . . ." "Silahkan!" "Engkau sudah mempertimbangkan atau belum " Bagaimana, apakah engkau suka menjadi murid kami?" Setelah diam beberapa jenak, akhirnya Cu Jiang menyahut dengan mengertak gigi. "Baik. aku suka..." "Dengan sungguh hati?" "Tentu." "Tetapi jangan coba2 melarikan diri," kata Pik Thay Koan lalu menotokkan delapan jari tangannya ke tubuh Cu Jiang, Setelah itu dia tertawa mengekeh dan berseru: "Budak, bangunlah !" Rasa sakit pada tubuh Cu Jiang lenyap seketika. Tenaganyapun pulih. Cepat ia meloncat bangun. Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Pik Thay Koan meliriknya dan mengangguk: "mata LoJit nampaknya tajam sekali. Memang benar2 sebuah bahan yang bagus!" Sekonyong-konyong mata Cu Jiang tertumbuk pada pemandangan yang mengejutkan. Ia melihat tangan kiri Pit Thay Koan hilang jari tengahnya.. Seketika teringatlah dia akan pemandangan yang menyayat hati ditempat kedua orang tua dan adiknya dibunuh dahulu. Dia telah menemukan dua jari tangan dan sebuah lengan. Kedua jari itu, jari tengah dan jari telunjuk mungkin jari kelingking. Dia belum dapat memastikan adakah kedua jari dan sebuah lengan itu milik seorang atau beberapa orang. Dia telah melihat kesembilan iblis Kiu te-sat itu semua. Diantara mereka tiada terdapat ketiga manusia aneh yang telah menganiaya dan melemparkan dirinya kedalam jurang itu. Tetapi kalau menurut keadaan medan pertempuran itu, kemungkinan bukan hanya kesembilan iblis Kiu-te-sat itu, pun tentu terdapat juga ketiga manusia aneh dan mungkin masih ada beberapa orang lain lagi yang melakukan pengeroyokan kepada kedua ayah bundanya. Dia harus menyelidiki hal itu sampai jelas. Dan sungguh kesempatan yang menguntungkan sekali karena lawan telah menyukai dirinya. Dan sengajalah dia pura-pura jual mahal, serunya: "Ah, tetapi sayang, bahan itu sudah tiada gunanya lagi . . ." "Budak, jangan memandang rendah dirimu sendiri. Kami bersaudara pasti akan memberimu kepandaian sakti. Tak perlu kecewa karena cacad tubuh !" "Apakah sekarang kita akan berhasil ke gedung tua itu lagi?" "Tidak, kita sudah mendapat tempat lain yang lebih rahasia." "Di mana?" "Nanti engkau tentu tahu sendiri. Mari, akan kubantumu dalam perjalanan supaya dapat menghemat waktu, " kata manusia buruk itu terus mengangkat Cu Jiang dan mengepitnya lalu lari kencang. Dia tak mengambil jalan besar, melainkan melintasi hutan menuruni ke luar kota. Song bun-sat atau Iblis-pintu-neraka Pek Thay Koan memang hebat sekali kepandaiannya. Dua jam terus menerus lari secepat angin, tetapi dia tak lelah. Di sebelah muka merupakan deretan gunung yang berlapis-lapis. Sukar untuk mencari jalan tetapi Song-bunsat Pek Thay Koan dapat melintasinya seperti berjalan di tanah datar. Tak berapa lama mereka masuk ke dalam sebuah lembah. Pohon2 tumbuh tinggi, daunnya yang rindang, menutupi sinar matahari. Menilik batu2 berobah hijau terbungkus pakis dan tanah. tertimbun tumpukan daun2 yang tebal, jelas sudah lama tiada orang yang datang ke lembah itu. Meletakkan Cu Jiang, Pek Thay Koan berkata: "Budak, sudah tiba, berjalanlah sendiri perlahan-lahan. " Walaupun kaki kirinya cacad tetapi kepandaian Cu Jiang masih cukup baik. Dia dapat berloncatan memasuki hutan. Setengah jam kemudian baru tampak sinar matahari memancar pada sebuah tanah lapang. Rupanya sebuah tempat yang baru saja dibuat orang. Tanah lapang itu lebih kurang seluas setengah bahu. Padi ujung yang menempel batu karang, tampak beberapa rumah batu yang dikelilingi rumput dan pohon2 rotan. Suasananya menyeramkan. Song-bun sat Pek Thay Koan mengajak Cu Jiang masuk. Di dalam ternyata sudah menunggu dua orang. Yang satu si orang tua jubah hitam Tian Heng. Kini Cu Jiang sudah dapat mengetahui bahwa Tian Heng ini adalah kepala dari Kiu-te-sat dan bergelar Te-lengsat atau Iblis-penunggu-bumi. Dan yang satu adalah Ong Sip Po atau orang yang jatuh pada urutan ketujuh, bergelar Tui-beng sat atau Iblis-pemburu nyawa. "Toako ini orangnya sudah datang!" seru manusia buruk Pek Thay Koan. "Ah, bikin cape engkau saja, ji-te." sahut Te-leng-sat, tokoh kesatu dan Kiu-te-sat. Cu Jiang masih bersikap angkuh. Dia berdiri seperti patung. Tak mau memberi hormat dan tak sudi bicara. Karena kaki kirinya agak pendek sedikit maka berdiri dia miring ke sebelah kiri. Dalam rumah itu telah disiapkan sembilan buah kursi. Di tengah satu dan kanan kiri masing2 empat kursi. Song-bun-sat Pek Thay Koan duduk di sebelah dari kursi pertama. Sedang Tui-beng-sat Ong Sip Po duduk pada kursi kedua. Rupanya kesembilan durjana itu mempunyai disiplin yang baik sekali. Mereka menghormati kedudukan masing2. Sejenak memandang Cu Jiang, berserulah jubah hitam Tian Heng: "Budak, aku hendak bertanya kepadamu dengan sungguh2. Maukah engkau menjadi murid pewaris dari kami bersembilan saudara?" Dalam hati Cu Jiang tak sudi tetapi karena keadaan dan demi tujuannya, maka terpaksa dia mengangguk dan menyatakan kesediannya. "Apa yang menyebabkan engkau berobah pendirian?" "Nama besar dari anda bersembilan !" "Hm, dengarkanlah. Setelah persiapan2 selesai kami lakukan, barulah nanti diadakan upacara penerimaan murid." "Ya." "Dalam dunia persilatan tiada yang disebut benar atau salah. Yang lemah tentu dimakan yang kuat. Kekerasan merupakan keadilan. Engkau tak membunuh, tentu akan dibunuh. Mengertikah engkau" Apa yang disebut Ceng dan Shin ( putih dan Hitam ), sukar ditentukan. Mereka yang menepuk dada sebagai jagoan aliran Ceng-to, diam2 mereka merupakan manusia yang buas melebihi binatang. Dan yang dianggap sebagai kawanan aliran Hitam, belum tentu semua hitam . . ." Wejangan yang berdasar atas pandangan diri sendiri itu, membuat tubuh Cu Jiang gemetar. Tetapi diam2 diapun mengakui bahwa apa yang dikatakan kepala Kiu-te-sat itu tidak semua salah. Misalnya, mendiang ayahnya sendiri, tak membunuh orang tetapi akhirnya dibunuh orang. Tetapi Kiu-te-sat pun telah melakukan penjagalan terhadap belasan pemuda, hal itu takkan dapat dilupakan Cu Jiang, Adakalanya Baik dan Buruk itu sukar dibedakan tetapi ada kalanya memang menyolok sekali perbedaannya. Tokoh golongan Putih, betapapun jahatnya, tentu takkan melakukan perbuatan yang sedemikian ganas. Demikian tak terasa waktu berjalan cepat sekali. Sudah sepuluh hari Cu Jiang berada di pondok dalam lembah belantara itu. Sehabis makan pagi, dia bersama ketiga iblis itu duduk bercakap-cakap di ruang tengah. Tiba2 sesosok tubuh lari terhuyung-huyung. Mereka berempat serempak berbangkit. "Lo-ngo! " seru Song-bun-sat Pek Thay Koan. Blum.... tubuh orang itu membentur pintu dan terus rubuh ke lantai. Tubuh hitam Thian Heng cepat melesat ke muka: "Lo-ngo, kenapa engkau!" teriaknya. Tempat duduk Cu Jiang kebetulan dekat sekali dengan orang yang rubuh itu. Dia dapat melihat dengan jelas keadaannya. Tubuh orang itu berlumuran darah, sehingga napas menjadi lemah, mulut mengucur darah. Dia adalah lo-ngo atau urutan yang kelima dari sembilan durjana Kiu losat, Memakai gelar nama Toan-beng-sat atau iblis-pencabut nyawa. Song-bun-sat dan Tui beng-sat serempak membungkuk dan memeriksa nadi Toan-beng-sat itu. Seketika wajahnya berobah. Mereka mengangkat kepala dan berkata dengan nada tergetar kepada Te-leng-sat. "Toako, tiada.... tiada harapan lagi. Urat jantungnya sudah putus." Wajah Te-leng-sat Tian Heng, kepala dari kesembilan momok durjana membesi wajahnya. Sepasang matanya membara merah. Dan giginyapun terdengar bercaterukan. "Kasih sedikit hawa murni, aku hendak bertanya kepadanya." Tui-beng-sat atau Iblis-pemburu nyawa segera lekatkan jari tengahnya pada punggung Toan-beng-sat atau Iblispencabut nyawa. Tak berapa lama Toan-beng-sat dapat bernapas lagi dan pelahan-lahan membuka mata. Bibirnya tampak bergerak-gerak seperti hendak berkata tetapi tak bersuara. "Lo-ngo, kuatkan dirimu, bilanglah apa yang telah terjadi ?" teriak ketua kesembilan momok durjana itu. Setelah berusaha beberapa waktu, barulah orang kelima dari kawanan momok itu dapat berkata dengan lemah. "Aku... dengan Pat te.... tiba di markas .. . Thay kek bun... pulangnya. . . ." "Apakah kitab Thay-kek-sin-hwat-ciang sudah dapat engkau ambil?" "Ya ... sudah .. . tetapi dirampas ..... pat-te..." Pat-te artinya adik seperguruan yang kedelapan, atau tokoh nomor delapan dari kawanan mo sat. "Lo-pat bagaimana ?" "Dia dicelakai ?" "Lo-pat dicelakai ?" "Ya..." "Siapa yang berani mencabut kumis harimau?" "Siapa dia ?" "Sip... sip ..." "Apa?" "Sip-pat. . . hui-thian . . ." Habis berkata, kepala momok kelima itu terkulai melentuk dan jiwanyapun putus. Song-bun-sat dan Tui-beng-sat lepaskan tangannya. Mereka jatuhkan diri di tanah, matanya memancar ganas. Sambil mendeburkan kaki pada lantai, Te-leng-sat ketua dari kesembilan momok durjana itu berteriak. "Sungguh tak kira kalau lawan berani turun tangan lebih dulu !" Siapakah lawan mereka" Tanpa disengaja, Cu Jiang memperoleh suatu berita yang penting. Lawan kesembilan momok durjana itu tak lain adalah Sip-pat ( delapan belas ), Hui thian (terbang ke langit). Tetapi karena kata itu terputus dan tidak dirangkai dengan urut, Cu Jiang tak dapat mengetahui jelas apa sebenarnya yang dimaksudkan. Hanya satu yang dapat dijadikan kesimpulan bahwa tokoh yang mampu membunuh anggauta Kiu-te-sat itu tentulah orang tokoh yang hebat sekali kesaktiannya. Memang durjana2 macam Kiu-te-sat, harus di basmi dari dunia. Mereka berlumuran darah korban2 yang entah sudah beratus-ratus jumlahnya. Dia membunuh manusia seperti membunuh nyamuk, sedikitpun tiada mempunyai rasa perikemanusian. Toan-beng-sat serta apa yang disebut pat-to (adik seperguruan nomor delapan) yakni Tho ling-sat (Iblisbunga-tho), adalah kedua anggauta Kiu-te-sat yang mendapat perintah dari ketuanya untuk menuju ke markas Thay-kek-bun, Bu-tong-pay dan Siau-lim. Toan-beng-sat atau momok nomor lima ketika sudah tiba di markas Thay-kek-bun telah berhasil mendapatkan kitab pelajaran Thay-kek-sim-ciat-hwat dari perguruan itu. Tetapi entah bagaimana dia telah melakukan tindakan yang ganas... "Toako, rencana kita..." baru Song-bun sat atau momok kedua dari Kiu-te-sat berkata begitu, toako atau ketuanya sudah menukas. "Tetap dijalankan, kalau tidak kita tak dapat menghadapi lawan !" "Tetapi bagaimana dengan pat-te.... mudah-mudahan dia tidak berjumpa dengan . ." "Sudahlah, jangan berkata apa2 lagi !" kata Te-leng-sat ketua sembilan-momok. Tiba2 Tui-beng-sat atau momok ketujuh yang bernama Ong Sip Po seperti tersentak kaget, serunya: "Celaka !" Te ling-sat ketua Sembilan-momok deliki mata kepadanya: "Mengapa celaka ?" Tui-beng-sat memandang keluar pondok dan berkata. "Ngo-ko pulang dengan membawa luka parah. Tentu musuh akan mengikuti jejaknya. Mungkin saja saat ini tempat kita sudah di ..." Song-bun-sat atau momok nomor dua serentak melonjak berdiri: "Lalu bagaimana kita harus menghadapi?" Dengan geram Te-ling-sat atau ketua Sembilan-momok menggeram: "Jika musuh hanya seorang, kita bertiga dapat menghadapinya!" Wajah yang pucat dari Tui-beng-sat Ong Sip Po berkerenyitan, serunya. "Kalau lawan tidak hanya seorang?" Te-ling-sat ketua mereka, merenung sejenak lalu berkata: "Selama gunung masih menghijau, masakan takut tak mendapat kayu bakar. Untuk sementara waktu kita menyingkir dulu. Apabila rencana kita sudah selesai, kita jalankan lagi." Mendengar mereka menyebut-nyebut tentang rencana, diam2 Cu jiang terkejut. Apakah rencana mereka" Oh, mungkin menyangkut dirinya. Benarkah itu" Namun dia tak mau ikut bicara melainkan mendengarkan pembicaraan Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mereka dengan penuh perhatian. Tiba2 terdengar sebuah suitan nyaring. Nadanya mirip bunyi burung hantu, pun seperti lolong serigala. Tajam dan mengerikan telinga. Song-bun-sat Pik Thay Koan, momok kedua terperanjat, serunya: "Ah, dugaanku tak meleset, mereka benar2 datang!" "Kita masuk ke dalam hutan dan jalankan alat perkakas." kata Te-ling-sat, ketua momok dengan geram. Sambil menunjuk pada Cu Jiang, Tui-beng sat Ong Sip Po berseru. "Bagaimana dengan dia ?" "Masukkan kedalam ruang rahasia," seru Te-ling-sat kemudian berpaling dan mengajak momok kedua Songbun-sat Pek Thay Koan, "jite. mari kita berangkat dulu." Kedua momok itupun segera melesat keluar. Dan Tuibeng-sat Ong Sip Po segera menyambar tubuh Cu Jiang terus dibawa lari masuk ke belakang. Dibagian belakang rumah itu, merupakan karang kaki gunung. Ada sebuah bagian dari karang itu yang menonjol, lebarnya seperti sebuah meja kecil. Ong Sip Po menekan dengan tangannya dan batu nonjol itu segera berkisar, terbuka sebuah lubang guha. Sebelum sempat berbuat apa2, tahu2 Cu Jiang sudah dilempar kedalam lubang guha lalu ditutupnya lagi. Dilempar kedalam tempat yang begitu gelap, Cu Jiang tak dapat berbuat apa2 lagi. Dia terlempar jatuh ke lantai gua, kemudian bergeliat bangun dan duduk bersandar pada dinding gua. Dia bersemedhi menenangkan pikiran. Beberapa saat kemudian ia membuka mata dan mulai dapat melihat keadaan guha itu secara remang2. Tak berapa dalam. Mungkin hanya lima tombak. Sebelah luar sempit tetapi makin kedalam makin lebar. Gua itu kosong, tentu merupakan tempat persembunyian Kiu tesat apabila menghadapi ancaman bahaya. Atau kalau tidak, mungkin digunakan untuk berlatih ilmu. Sambil duduk bersandar pada dinding gua, dia merenung lebih lanjut. Siapa gerangan musuh yang mampu merontokkan nyali kawanan momok Kiu-te-sat itu " Memang menilik nada suitan yang begitu nyaring, dapatlah dia menduga bahwa orang itu tentu seorang tokoh yang hebat. Dia cenderung untuk menduga bahwa tokoh itu tentu bukan dari aliran Ceng to (putih) melainkan juga seorang durjana besar. Adakah pendatang itu yang telah membunuh Toan-bengsat dan Tho hoa-sat " Banyak hal yang melalu lalang dalam benaknya, tetapi dia hanya merangkai dugaan2 saja. Dia tak dapat berbuat apa2. Juga siapa yang menang diantara kedua pihak durjana itu baginya tiada keuntungan apa2. Rasanya sudah lama sekali, entah tak tahu dia sudah berapa lama berada dalam gua itu. Saat itu dia mulai gelisah. Kemanakah gerangan ketiga durjana tadi" Kalau mereka juga mengalami nasib seperti kedua kawannya Toan beng sat dan Tho hoa-sat, berarti dia harus berusaha sendiri untuk keluar dari gua situ. Serentak dia berbangkit dan mulai meraba-raba batu besar penutup gua itu. Ia mengharap mudah-mudahan akan menemukan alat pembuka pintu itu. Pintu batu itu memang berbentuk sedemikian rupa, hingga pas sekali, merapat seperti pintu. Karena sampai sekian lama tidak juga berhasil menemukan pintu, akhirnya ia merenungkan ketika Tuibeng sat melemparkan dia kedalam gua dan menutup gua itu. Setelah membayangkan gerak dan posisi Tui-beng sat Ong Sip Po, dan mulai lagi untuk mencari tombol itu. dan menekan-nekan dengan jarinya. Cu Jiang memang cerdas. Dengan cara itu akhirnya berhasillah dia. Ketika menekan pada suatu bagian, batu itu melesak kedalam dan pintu batu itu pun pelahan-lahan mulai berkisar kemuka. Sinar matahari nampak memancar ke dalam dan seketika itu guapun tampak terang. Karena sudah beberapa waktu berada dalam tempat gelap, maka dia menjadi silau melihat sinar matahari yang keras. Ia cepat2 menutupi kedua matanya. Beberapa saat kemudian barulah ia dapat membuka tangannya. Tapi tiba2 dia berteriak kaget ketika melihat ketiga durjana Kiu te-sat duduk bersila tak jauh dari pintu guha. Menilik kerut wajahnya, jelas mereka menderita luka parah. "Bagaimana kalian bertiga ini ?" tegur Cu Jiang. Tian Heng atau kepala dari kawanan durjana Kiu-te-sat berseru dengan nada gemetar: "Lekas bawa kami bertiga kedalam gua !" Sejenak Cu Jiang mengeliarkan pandang ke sekeliling. Setelah melihat tiada seorangpun yang tampak, baru dia bertindak. Lebih dulu dia mengangkat Te-ling sat Tian Heng kedalam gua. Ke dua Song bun sat Pek Thay Koan dan Tui-beng-sat Ong Sip Po. "Tutup pintunya," kata Tui-beng-sat Ong Sip Po dengan lemas. Cu Jiang terkesiap. "Bagaimana cara menutupnya?" "Mengapa tadi engkau dapat membuta ?" "Hanya secara kebetulan saja aku menekan-nekan pintu batu." "Hm. tekanlah sebelahnya !" Cu Jiang menurut. Begitu menekan, pintu batu itupun segera mengatup kembali. "Musuh itu ?" "Sudah ngacir pergi." "Apakah anda terluka?" tanya Cu Jiang. "Jangan banyak tanya, tunggu perintah saja !" hardik Tui beng-Sat Ong Sip Po. Cu Jiang memandang durjana itu tajam2, dia tak mau bicara lagi. Tiba2 Song bun-sat Pek Thay Koan berkata dengan nada sinis. "Budak, kalau saat ini engkau hendak turun tangan kepada kami bertiga, memang kami tidak berdaya lagi ..." Cu Jiang terkesiap tetapi cepat ia menjawab: "Aku tak punyai keinginan begitu. Dan lagi akupun tak mau menghantam orang yang sedang terluka." "Kalau mau pergi, engkaupun dapat juga!" "Aku tak mempunyai rencana begitu." "Bagus, budak, sesungguhnya aku senang sekali kepadamu, tetapi sayang .... ah . . ." "Sayang bagaimana ?" "Semua sudah hilang !" Mendengar itu Te-leng-sat Tian Heng cepat menukas: "Lo-ji, Jangan menghamburkan tenaga yang tidak perlu. Lekas kerahkan tenaga untuk mempersiapkan penyerahan yang perlu." Ketiga durjana itu serempak pejamkan mata. Kata2 terakhir dari ketua Kiu-te-sat untuk mempersiapkan penyerahan yang terakhir itu, benar-2 mengherankan perasaan Cu Jiang.. Apakah maksud durjana itu sesudah menderita luka yang membahayakan jiwanya " Orang yang mampu mengalahkan ketiga durjana itu jelas tentu bukan kepalang hebatnya. Alam pikiran dari kawanan durjana itu memang kadang berlainan dengan orang biasa. Seperti Song-bun-sat PekThay Koan. Durjana itu mengajukan pertanyaan yang aneh tadi kepada Cu Jiang. Memang jika Cu Jiang mau meninggalkan tempat itu, memang mudah. Ketiga durjana itu tak dapat berbuat apa2. Pun jika dia mau turun tangan menghancurkan mereka bertiga, juga semudah orang mematahkan ranting pohon. Ketiga durjana itu tak sudah tak berdaya sama sekali. Tetapi pemuda itu tak mau berlaku begitu, dia tak punya keinginan begitu. Dia bersandar pada dinding gua dan menunggu perkembangan selanjutnya. Te ling-sat Tian Heng tertawa rawan. "Budak, sebenarnya kami bersaudara hendak menjadikan engkau seorang jago tiada tandingannya dalam dunia persilatan. Sayang... Thian tak mengabulkan . . ." "Apakah maksudmu ?" Cu Jiang heran. "Kami bertiga sudah tiada gunanya lagi." "O, apakah .... menderita luka?" "Benar." "Sampai begitu parah ?" "Ya, memang." "Dengan kesaktian anda bertiga, apakah tak mampu mengobati?" "Tak ada seorangpun yang mampu." "Bagaimanakah luka itu?" Sepasang mata dari Te-leng-sat Tian Heng mendelik. Ia marah tetapi pada lain kejap matanyapun redup lagi. "Budak, tahukah engkau siapa yang datang itu ?" Hal itulah yang akan ditanyakan Cu Jiang, maka cepat2 ia berseru "Siapakah mereka ?" "Coba engkau renungkan. Siapakah tokoh dalam dunia persilatan yang mampu melukai Kiu-te-sat ?" Cu Jiang gelengkan kepala dan menyatakan tak tahu. "Hanya tenaga seorang saja mampu melukai kami bertiga, didunia ini kiranya hanya satu orang . . ." "Siapa ?" "Engkau pernah dengar yang disebut Sip-pat-thian-mo ?" "Sip pat thian-mo ?" ulang Cu Jiang. "Ya." Cu Jiang tergetar hatinya. "Kabarnya Sip-pat- thian-mo itu sudah meninggal dunia. Belasan tahun yang lalu terkubur didaerah Tian-hong. Anak buahnya pun sudah bubar . . ." "Sumber dari kabar burung, belum cukup meyakinkan. Tetapi bahwa mereka telah lenyap selama belasan tahun, memang benar." "Mengapa mereka lenyap secara tiba2 ?" "Hal itu memang belum diketahui pasti. Yang Jelas hari ini kawanan Sip-pat-thian-mo telah muncul. Pemimpin mereka yang disebut Hui-thian-sin-mo, paling sakti kepandaiannya." "Hui-thian-sin-mo ?" "Kecuali dia, rasanya dalam dunia persilatan ini tiada seorang tokohpun yang mampu dengan seorang diri dapat melukai kami bertiga." "Oh..." Mata Song-bun-sat Pek Thay Koan berkilat-kilat memancar ke empat penjuru, kemudian berseru tegang: "Toako, waktu sangat berharga, lebih baik membicarakan hal yang penting saja." Sambil mengertek gigi, Te-ling-sat Tian Heng menggeram: "Memang aku bersalah karena tak kuasa menahan kemarahan. Seharusnya aku tak turun mengunjukkan diri. Ah, Sekarang menyesalpun sudah terlambat . . ." "Toako, karena sudah begini, tak perlu harus bersedih. Lawan tak mungkin akan kasihan kepada kita." "Walaupun lawan juga menderita luka tetapi dia takkan mati. Sedang kita, telah berturut-turut lima saudara. . ." Tui-beng-sat Ong Sip Po yang berwajah pucat tampak berkerenyitan dan menggeram: "Sungguh2 mati dengan meram..." Te-ling-sat Tian Heng berpaling, kemudian berkata kepada Cu Jiang. "Budak, dengarkanlah. Sepuluh tahun yang lampau, kami ke sembilan saudara telah diagungkan oleh dunia persilatan dengan gelar Kiu-te-sat. Kiu-te-sat saling bermusuhan dengan Sip-pat-thian-mo. Mereka hendak melenyapkan Kiu te-sat tetapi tak berapa lama kemudian, mereka telah lenyap tanpa berita apa2 lagi. Tetapi akhir2 ini Sip-pat-thian-mo muncul lagi. Oleh karena itu kami sekalian hendak mencari seorang yang bertulang bagus untuk kami didik dan gembleng agar dapat menghadapi kawanan Sip-pat-thian-mo. Tetapi sayang, rupanya Thian tak meluluskan, rencana kami itu berantakan " Cu Jiang terkejut dan menyapukan pandang kearah ketiga durjana itu. Saat itu dia baru tahu akan rencana dari Kiu-to-sat. "Kami bertiga saudara, telah terkena ilmu Jari Thian mo ci dari Kui-thian-sin-mo, luka yang kami derita sekalipun dewa juga tak mampu mengobati. Setelah berunding, kami bertiga telah memutuskan sebuah rencana..." "Rencana bagaimana ?" "Dengan sisa2 tenaga yang kami miliki, kami bertiga akan memindahkan tenaga murni kami kedalam tubuhmu...." "Memberikan tenaga-sakti kepadaku?" Cu Jiang berseru kaget. "Ya, dan tak perlu terikat suatu hubungan apa2." "Tanpa ikatan apa-apa?" "Tanpa." Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tetapi pakai syarat, bukan ?" tanya Cu Jiang. "Budak, Jangan engkau memukul genderang terlalu keras. engkau memang cerdik maka tak berani kami menyodorkan syarat, cukup suatu permintaan saja." "Bagaimana, harap lekas mengatakan." "Gabungan tenaga sakti kami bertiga yang akan kami berikan kepadamu itu, ditambah pula dengan tenaga dalam yang sudah engkau miliki, rasanya dalam dunia persilatan jarang terdapat tokoh setingkat engkau kesaktiannya. Permintaan kami yang pertama ialah, kami harap engkau dapat membalaskan sakit hati kami." Setelah merenung beberapa jenak, Cu Jiang-pun berkata dengan nada berat: "Baik. soal itu aku berjanji akan melaksanakannya dengan sekuat tenaga." "Yang kedua," kata Tian Heng, "masih ada empat orang saudaraku yang kusuruh ke vihara Siauw-lim dan Bu-tongsan hingga kini belum kembali. Kuminta engkau mencari mereka. Mereka tentu dapat membantu untuk menyempurnakan kepandaianmu ..." "Ya, baiklah..." "Hanya dua buah permintaan itu saja." "Jika begitu, akupun hendak mengajukan permintaan . . ." kata Cu Jiang. "Permintaan apa ?" Sambil menatap Song bun sat Pek Thay Koan, Cu Jiang berkata: "Aku hendak mohon tanya sebuah hal kepada anda !" Song-bun-sat Pek Thay Koan deliki mata dan berseru: "Katakan !" "Jari anda yang kutung itu . . ." "Apa" Jari kutung ?" "Benar." "Perlu apa engkau menanyakan hal itu ?" "Itu persoalanku sendiri." Dengan mengertek gigi. Song-bun-sat Pek Thay Koan berseru: "Engkau minta aku menceritakan kembali peristiwa yang penuh dendam itu ?" "Aku harus meminta keterangan yang jelas," sahut Cu Jiang dengan tegas. "Hm. dengarkanlah. Peristiwa itu terjadi pada sepuluh tahun yang lalu. Jari itu telah terpapas kutung oleh tokoh nomor 16 dan kawanan Sip-pat-thian-mo yang bernama Cui-mo si Iblis pemabuk." "Peristiwa dari sepuluh tahun yang lalu ?" "Ya." "Benarkah itu ?" "Budak, apa maksudmu?" "Ah, tak apa2. Hanya setelah tahu jelas soal itu barulah aku mau menerima perjanjian anda sekalian." "Kenapa ?" "Maaf, aku tak dapat mengatakan hal itu." Tiba2 Te leng-sat Tian Heng mengangkat tangan dan bertanya: "Budak, apakah engkau masih hendak bertanya lagi ?" "Tidak." "Baik, duduklah dihadapan kami sini." Cu Jiang meragu sejenak tetapi ia terus melakukan perintah dan duduk bersila dihadapan ketiga durjana itu. "Apa yang kuminta engkau supaya melakukan dua buah hal tadi, engkau masih ingat, bukan ?" kata Te-ling-sat Tian Hong pula. "Ingat dan aku tentu akan melakukannya dengan sekuat tenaga," kata Cu Jiang. "Bagus sekarang pejamkanlah matamu dan bersiaplah untuk menerima curahan tenaga-sakti kami." Cu Jiang tegang sekali menghadap suasana yang berobah secara begitu besar dan mendadak. Dia tahu bahwa apabila ketiga durjana itu tak mau memberikan tenaga saktinya, tentulah tenaga-sakti mereka akan ikut lenyap dengan kematian mereka. Ketiga durjana itu melekatkan telapak tangannya menjadi satu, kemudian tangan kanan Te-ling-sat Tian Heng melekat pada ubun2 kepala Cu Jiang. Ah. ternyata tokoh2 durjana itu juga faham akan ilmu Gui-ting tay-hwat dari sumber perguruan agama. "Awas, sambutlah !" seru Tian Heng dan segera memancar dari kepala Cu Jiang. Tubuh Ci Jiang menggigil. Buru2 dia kerahkan semangatnya untuk menggabungkan hawa murni dalam tubuhnya, menyambut pancaran aliran hawa panas itu dan menyalurkan kearah seluruh jalan darahnya. Setelah itu dihimpunnya pula ke atas lagi. Aliran hawa panas itu makin lama makin keras dan deras. Sedikit saja Cu Jiang lengah untuk menaruh perhatian, dia pasti akan terjerumus kedalam keadaan apa yang disebut Co-hwe Jip-mo ("darah berjalan sesat"). Artinya, jika tidak mati urat nadinya putus, dia tentu akan cacat seumur hidup. Saat itu Cu Jiang seperti dibakar api. Panasnya bukan kepalang. Sesaat kemudian seperti dibenam dalam kubangan salju, dinginnya sampai menggigit tulang. Satu-satunya yang membikin kecewa hatinya, pancaran hawa panas dan dingin tak dapat menyalur ke bawah lutut di bagian betisnya yang pincang itu. Terakhir, hawa panas itu menghimpun jadi suatu aliran panas yang menerobos ke jalan darah Seng-si-hian-koan. Sekali.... dua kali . . . .Tiga kali .... Seperti terkena stroom listrik, bagian aliran darah Jin dan Tok pada punggung, serentak terbuka dan seketika itu Cu Jiangpun terlelap dalam kenyenyakan yang hampa. Pada saat dia tersadar, ia merasa dalam gua itu terang sekali. Ia menyadari bahwa hal itu berkat tenaga-dalamnya telah bertambah sakti. Kemudian dia berpaling. Ah. kejutnya bukan kepalang. Dilihatnya ketiga durjana duduk mematung. Entah kapan, ternyata mereka sudah melayang jiwanya. Setelah tertegun sejenak, Cu Jiang berbangkit, memberi hormat kepada ketiga durjana itu sampai tiga kali. Dalam anggapannya, sekalipun kejahatan ketiga durjana itu setinggi gunung dan sekalipun tidak ada ikatan sebagai guru dan murid tetapi Cu Jiang tetap menghargai budi bantuan mereka yang telah menyalurkan tenaga sakti kepadanya. Habis memberi hormat dan hendak berbangkit tiba2 ia melihat didepan mayat Te-ling sat Tian Heng terdapat beberapa lukisan yang aneh diatas tanah. Cu Jiang tak mengerti apa maksud tulisan yang diguratkan pada tanah itu. Adakah tulisan lama atau baru saja dibuat oleh Te ling sat Tian Heng waktu meninggal tadi. Guratan2 huruf itu masuk cukup dalam ke tanah. Jelas bahwa tulisan itu dibuat oleh jari tangan orang yang bertenaga dalam tinggi. Karena tak mengerti Cu Jiangpun tak mau mempelajari lebih lanjut. Dia segera berbangkit. Diam2 ia mendapat kesan bahwa gua itu memang sebuah tempat persembunyian yang baik sekali. Ia membuka pintu lalu menuju ke pondok dan mengangkut mayat Toan-beng-sat kedalam gua rahasia itu. Setelah itu ia menekan alat rahasia untuk menutup pintu gua. Saat itu sudah petang hari, Dia kembali lagi kedalam pondok. Besok pagi2 dia akan melanjutkan perjalanan. Setelah makan sisa hidangan, dia segera duduk bersemedhi memulangkan tenaga. Kini dia sudah mendapat tenaga-sakti dari ketiga durjana. Menurut keterangan Te ling-sat Tian Heng, setelah menerima saluran tenaga-sakti mereka, maka tenaga-dalam Cu Jiang tentu akan mendapat tambahan sama nilainya dengan berlatih selama tenaga-dalam yang dimilikinya semula, kemungkinan sekarang dia sudah memiliki tenagadalam seperti orang yang berlatih selama tiga puluh tahun. Dengan begitu tentulah dia mampu memainkan ilmu pedang warisan dari mendiang ayahnya yaitu It-kiam-tuihun atau Sebatang-pedang-mengejar nyawa. Tempo hari ketika ia memainkan ilmu pedang warisan ayahnya itu, pedangnya telah terlepas. Tetapi kini setelah memiliki tenaga-dalam yang begitu kokoh, tentulah dia takkan mengalami lagi hal seperti itu. Dan dengan ilmu pedang ciptaan mendiang ayahnya yang hebat itu, barulah dia mampu untuk menghadapi musuhnya. Berpikir sampai disitu, serentak terbayang pula wajah ayah, ibu dan kedua adiknya serta paman Liok dan anak perempuannya yang telah menderita kematian begitu menyedihkan. Dengan menahan dendam kesumat, dia mengangkat kepala, meraba kutungan pedang Seng-kiam yang selalu disimpan di dada bajunya. Gerahamnya bergemerutuk keras. Hutang darah harus bayar darah, hutang jiwa ganti jiwa. Sekaranglah saatnya ia akan muncul untuk mencari balas. Keesokan harinya dia segera berangkat tinggalkan lembah itu. Walaupun kaki kirinya cacat tetapi berkat tenaga-dalamnya telah mencapai tataran yang sedemikian hebat maka waktu ia gunakan ilmu meringankan-tubuh untuk lari, ternyata ringan dan cepat sekali. Kakinya yang timpang sebelah itu, tak menjadi halangan. Tiba diluar lembah ia berhenti sejenak. Tengah dia merasakan kelonggaran hati dapat melihat sinar matahari lagi tiba2 matanya tertumbuk pada suatu pemandangan disebuah batu karang besar. Seketika matanya mendelik dan bulu romanya meregang tegak. Diatas batu karang itu berjajar empat biji batang kepala manusia, gigi rompal bibir robek dan matanya melotot keluar sehingga tampak menyeramkan sekali. Melihat wajahnya, Cu Jiang serasa kenal mereka dan ketika diseksamakan, menggigillah tubuhnya. Keempat kepala manusia itu tak lain adalah keempat durjana Kiu-te-sat yang diperintah ketuanya untuk menuju vihara Siau-lim dan Bu-tong-san. Ternyata keempat anggauta Kiu te-sat itupun mengalami nasib yang sama. Yang membunuh mereka tentulah tokoh2 dari Sip-pat thian-mo. Dengan kematian keempat orang itu, praktis segenap anggauta Kiu te-sat akan terhapus dari dunia persilatan untuk selama-lamanya. Mengapa pembunuhnya menaruhkan kepala keempat durjana itu diatas batu karang" Apakah maksudnya " Yang jelas baginya, karena keempat durjana itu sudah terbunuh musuh, maka Cu Jiang pun telah bebas dan kesanggupannya untuk melakukan permintaan yang kedua dari Te ling-sat Tian Heng. Demikian akhir riwayat dari seorang durjana besar macam To ling-sat. Dan kematian yang diterimanya memang sesuai dengan dosa yang telah dilakukannya. Demi kemanusian, Cu Jiangpun segera hendak menanam keempat batang kepala itu. Ia membuat sebuah lubang. Tetapi tiba2 terdengar suara tawa yang keras. Cu Jiang terkejut. Ketika memandang ke muka, dari balik batu besar itu telah muncul seorang manusia aneh yang berjubah kuning emas, Tingginya lebih dari dua meter. Mulutnya lebar dan matanya lebih banyak bagian hitam dari yang putih, memancarkan sinar yang berkilat-kilat. Cu Jiang menduga bahwa orang itu tentu salah seorang tokoh dari kawanan Sip-pat-thian-mo. Apakah dia tokoh Hui thian sin mo yang telah melukai Te-ling-sat Tian Heng dan kedua durjana lainnya itu" Habis tertawa, orang aneh itu segera menghamburkan kata yang memekakkan telinga: "Hai, budak kecil, engkau pernah apa dengan kawanan Kiu-te sat itu?" Cu Jiang berdebar-debar. "Bukan apa-apa!" sahutnya. Manusia aneh itu kerutkan dahi. Rupanya dia muak juga melihat wajah Cu Jiang yang buruk. Kemudian berkata pula: "Apakah engkau murid Kiu te-sat ?" "Bukan!" "Lalu siapakah engkau ini?" "Setan keluyuran dalam dunia persilatan." "Heh, heh, mengapa engkau hendak mengubur keempat kepala manusia itu?" "Itu demi peri-kemanusian, setiap orang tentu memiliki." "Hm." "Apakah anda yang membunuh ke empat orang itu?" "Anggaplah begitu." "Siapakah nama anda?" "Engkau belum layak bertanya soal itu." Cu Jiang mendengus. "Lalu apa maksud anda?" Manusia aneh jubah emas itu memandang Cu Jiang beberapa jenak lalu tertawa aneh: "Aku telah khilaf tak dapat melihatmu. Sekarang telah mencapai tingkat yang berisi. Mungkin memang benar, dengan ilmu kepandaian cakar kucing yang dimiliki kawanan Kiu-te-sat itu, tentu tak mampu menggembleng bahan seperti dirimu." "Tetapi bagaimana?" "Engkau tentu mempunyai hubungan dengan Kiu te sat." Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kalau ya lalu bagaimana?" "Kalau begitu engkau harus menyusul mereka. . . ." Meluaplah kemarahan Cu Jiang. Dia memang sudah berjanji sanggup membalaskan sakit hati Kiu te-sat. Dan saat itu peluang yang baik. Tetapi diam2 ia cemas apakah dia mampu menandingi kesaktian manusia aneh ini. Sekali bertempur, manusia aneh dari sip pat-thian-mo itu tentu takkan berhenti sebelum dapat membunuhnya. "Maksud anda hendak membunuh habis-habisan?" serunya. Manusia aneh itu tertawa menyeringai, serunya: "Itu sudah menjadi peraturanku." Cu Jiang mengertek gigi. "Dalam kalangan Sip-pat-thian-mo, anda menempati kedudukan nomor berapa?" Tampak manusia aneh itu agak terkesiap. "Ho, budak kecil, kata-katamu itu makin menunjuk jelas bahwa engkau mempunyai hubungan dengan Kiu-te-sat. Kalau tidak bagaimana engkau tahu tentang diriku?" "Apakah aku menyangkal?" "Ho, engkau mengaku?" "Aku juga tak mengaku!" "Jawab pertanyaanku !" "Pertanyaan apa?" "Apalah Kiu te-sat itu masih ada yang hidup?" "Aku takkan menjawab sebelum anda menyebut diri anda dulu." Sekali menggeliat, manusia aneh itupun sudah melayang di hadapan Cu Jiang. "Engkau tak berhak untuk tawar menawar dengan aku." Dengan tak gentar, Cu Jiang menyahut. "Ah, masakan begitu..." "Dalam dunia persilatan belum pernah ada orang yang berani berkata begitu kepadaku ..." "Anggaplah kali ini memang suatu pengecualian!" "Ha, ha, ha . . . menggelikan! " dalam tertawa itu tiba2 terdengar suara ledakan keras. batu karang besar yang mempunyai garis tengah setombak, sekali manusia aneh itu gerakkan tangannya, segera meledak hancur lebur. Diam-2 hati Cu Jiang menggigil tetapi dia tetap mempertahankan keangkuhannya. Sedikit pun dia tak berkedip mata. Manusia aneh itu mengangguk-angguk. "Bagus budak, menilik nyalimu yang begitu besar, bolehlah aku memberi pengecualian. Dengarlah ! Apabila engkau sanggup menerima tiga buah pukulanku, akan kuberitahu namaku dan kulepaskan engkau pergi?" Cu Jiangpun dengan angkuh menjawab: "Silahkan mencobanya!" Walaupun mulut mengatakan begitu tetapi dalam hati sebenarnya Cu Jiang cemas juga. Ia tak tahu apakah mampu menyambuti tiga buah pukulan momok itu. Tetapi apa boleh buat. Dalam menghadapi saat seperti ini, terpaksa dia harus menghadapi. Apabila memang berbahaya, dia akan lari. Sambil ayunkan tangannya, manusia aneh itu berseru: "Awas, inilah pukulan pertama!" Seiring dengan kata2nya, tangannyapun segera mendorong ke muka. Sudah tentu Cu Jiang tak berani lengah. Dia kerahkan tenaga-dalam dan menyambutnya. Bum... Terdengar letupan keras disusul dengan batu dan debu yang beterbangan keempat penjuru. Kumandangnya jauh menggema di seluruh lembah. Cu Jiang terhuyung-huyung mundur sampai tiga langkah. Darahnya kontan bergolak keras. Manusia aneh itu masih tetap tegak di tempatnya. Hanya kakinya makin melesak ke dalam tanah. "Ha ha, ha sungguh menyenangkan sekali. Tak kira kalau budak semacam engkau ternyata mampu menyambut sebuah pukulanku!" Setelah menenangkan semangatnya, Cu Jiang pun menyahut: "Masih ada dua buah pukulan lagi!" Saat itu pikirannya sudah tak dapat menilai adakah lawannya itu musuh dari Kiu-te-sat yang harus dia balas. Dia menyadari bahwa kepandaiannya masih belum mampu untuk menghadapi manusia aneh itu. Sudah beruntung kalau dia tak mati dalam menerima tiga buah pukulan manusia aneh itu. Jelas lawan memukul dengan sederhana dan terang-terangan. Apabila dia menggunakan jurus ilmu pukulan, bukankah dirinya sudah hancur" "Pukulan kedua! " tiba2 manusia aneh itu berseru pula. Sebuah gelombang macam gunung rubuh segera melanda. Cu Jiang segera menghimpun dua belas bagian tenaga-dalamnya untuk menyambut. Kembali terdengar ledakan yang lebih keras dari pukulan pertama tadi. Cu Jiang terhuyung-huyung sampai tujuh langkah ke belakang dan hampir rubuh. Dengan sekuat tenaga, dia menelan darah yang hendak muntah dari mulutnya. Tetapi manusia aneh itupun juga tersurut ke belakang sampai tiga langkah. Tubuhnya berguncang-guncang dua kali. Cu Jiang tahu bahwa dirinya telah menderita luka dalam. Tetapi dia berusaha keras untuk menahan diri dan tetap tak mengunjuk sikap lemah. Manusia aneh itu memandang lekat2 pada Cu Jiang sekian lama. Kemudian ia tertawa keras. Lama dan panjang sekali. "Sungguh tak tersangka, bahwa dalam dunia persilatan jarang sekali orang yang mampu menerima dua buah pukulanku, tetapi budak kecil ini benar-benar hebat. Hai. budak, apakah kau masih sanggup menerima pukulanku yang ketiga." serunya. Dengan nada sarat, Cu Jiang menjawab: "Tiga pukulan itu adalah anda sendiri yang mengatakan!" "Benar, tetapi aku bersedia untuk memberi pengecualian kepadamu. " "Mengapa?" Daging muka yang menonjol dari manusia aneh itu tampak berkerenyutan. Dan setelah matanya yang hitam itu berkeliaran sejenak, dia berseru: "Karena dengan pukulan yang ketiga itu engkau pasti mati!" Diam2 tergetar hati Cu Jiang, namun ia tetap bersikap angkuh dan menjawab. "Ah, belum tentu!" "Budak, sepanjang hidupku baru engkaulah satu-satunya, orang yang berani bersikap congkak kepadaku." "Hm..." dengus Cu Jiang. "Baik, sambutlah pukulanku yang ketiga ini!" Serentak momok itu gerakkan kedua tangannya tetapi tak terdengar mengeluarkan suara apa2. Sekalipun begitu Cu Jiang tak berani memandang rendah. Dia tahu bahwa saat itu dia tengah menghadapi ujian mati atau hidup. Serentak diapun kerahkan seluruh tenagadalam untuk membalas. Adu tenaga-sakti yang berlangsung saat itu telah menimbulkan ledakan yang amat dahsyat sekali. Bagaikan dihantam dengan berpuluh-puluh godam, Cu Jiang tertatih-tatih ke belakang. Pandang matanya gelap, kepala berbinar-binar dan tulang belulangnya serasa lolos dari sendi persambungan, kaki dan tangannya seperti patah berantakan. "Tidak, aku tak boleh rubuh. Tak boleh rubuh !" dengan kekuatan yang sekeras baja ia berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan diri supaya tidak rubuh. Hanya dengan kemauan yang keras, akhirnya dapatlah ia pertahankan tubuhnya tak sampai jatuh. Rupanya manusia aneh baju kuning emas itu terkejut sekali sehingga ia tercengang beberapa saat. "Bagus! Bagus! Aku akan menetapi janjiku. Aku adalah yang bergelar Gong Mo (Iblis Gila) yang menduduki urutan ke 10 dan Sip pat thian-mo. Ingat baik2, budak. Ha, ha. ha, ha..." Dengan membawa tawa yang keras, iblis itu pun segera melesat pergi. "Benar, nama itu sesuai dengan tingkah lakunya. bahkan nada tawanyapun seperti tawa orang gila." Pada saat iblis gila itu lenyap, tubuh Cu Jiangpun berguncang-guncang dan bluk... akhirnya dia rubuh dan muntah darah. "Aku . . . apakah akan mati ?" pikirnya. Benda disekelilingnya tampak remang2, pikirannyapun mulai kabur. Dia ingin melakukan pernapasan untuk mengetahui bagaimana keadaan jalan-darahnya tetapi tenaganya lemas sekali. "Habis riwayatku ..." pikirnya. Ia merasa tentu akan mati. Darah masih bercucuran dari mulut dan api semangatnyapun makin padam. Mati. Dia tak merasa penasaran karena dia telah mampu menerima tiga pukulan dari salah seorang iblis Sip-patthian-mo yang menggetarkan seluruh dunia persilatan. Bahkan kawanan durjana Kiu-te-sat, tak seorang pun yang hidup menerima pukulan iblis itu. Tetapi kebanggaan itu tertumbuk dengan kenyataan yang pahit karena dia belum dapat melaksanakan tugas membalas sakit hati. Bahkan siapa musuhnya, pun dia tak sempat menyelidiki lagi. Ah, tidakkah kematian itu suatu kematian yang tak terelakannya " Samar2 dalam pandang matanya yang kabur itu dia seperti melihat sesosok bayangan hitam muncul dan makin lama makin bergerak mendekati ke tempatnya. Dia berusaha untuk mengetahui siapakah pendatang itu tetapi gagal. Pandang matanya seperti tertutup kabut. Dia mencoba untuk berseru tetapi kerongkongannya serasa tersumbat oleh suatu benda sehingga tak dapat bersuara apa2. Apakah pendatang itu si Iblis Gila yang datang lagi hendak mengambil jiwanya " Hatinya tergetar dan kesadaran pikirannya-pun agak terang, tetapi pandang matanya tetap masih pudar. Tiba2 bayangan hitam itu seperti lenyap dari pandang matanya. Sebagai gantinya ia rasakan tubuhnya seperti diserang berpuluh aliran angin gerakan jari. Aneh. Kesadaran pikirannyapun makin terang dan tenaganya juga makin pulih. Cepat dia hendak menggeliatkan tubuh berpaling ke belakang tetapi tiba2 terdengar suara seorang wanita berseru melarangnya: "Jangan bergerak dulu !" Cu Jiang tersentak kaget. "Siapa engkau ?" Wanita itu berkata pula: "Aku hendak bertanya beberapa patah kata kepadamu..." "Sukalah memberitahukan dulu nama anda." "Kuharap engkau Jangan bertanya soal itu. Dengarkan, bukankah engkau pernah melakukan pertolongan kepada seorang pemuda baju putih untuk mengantarkan Piagam Hitam ?" Cu Jiang terkejut seperti dipagut ular. Soal itu hanya puteri Jelita Ki Ing dan pelayannya yang tahu. Tetapi nada suara wanita yang bertanya kepadanya itu, jelas bukan suara si Jelita Ki Ing. Juga bukan pelayannya yang bernama Siau Hui. Tetapi mengapa dia tahu peristiwa itu" Mengapa dia menanyakan soal itu" Ia sudah puluhan hari berada dalam lembah rahasia tempat persembunyian kawanan Ku-te-sat, mengapa orang itu dapat mencarinya kesitu " 00odwo00 Jilid 6 Banyak sekali yang mengherankan pikirannya sehingga ia lupa untuk memberi jawaban. "Apakah engkau tak menjawab apa yang ku tanyakan ?" wanita itu mengulang pertanyaannya. "Dengar...." "Jawablah, apakah betul begitu ?" "Ya, tetapi . . ." "Tetapi bagaimana ?" "Bagaimana engkau tahu hal itu?" "Apakah itu sukar " Apakah kalau engkau bicara dengan orang, tak boleh orang yang berada di dekat situ mendengarkan ?" "Oh, kiranya wanita itu telah mendengar percakapannya dengan jelita Ki Ing tempo hari. Tetapi mengapa wanita itu menanyakan hal itu ?" "Mengapa engkau menanyakan soal itu itu ?" serentak Cu Jiang bertanya. "Jangan hiraukan hal itu. Kutanya lagi, bukankah Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo engkau mengatakan bahwa pemuda baju putih itu terluka dan berada di gunung ?" "Ya." "Engkau bohong!" seru wanita itu dengan nada sedingin es. "Aku .... bohong?" "Kini, orang telah menyelidiki sekitar tempat itu sampai seratus Ii, tetapi tak menemukan suatu jejak apa2, engkau telah merangkai suatu cerita bohong, rupanya tentu terdapat sesuatu apa2 di situ. Harap engkau berkata sebenarnya!" "Apa yang kukatakan itu memang sungguh!" "Jangan pura2. Bahwa engkau sanggup menerima tiga buah pukulan dari Iblis Gila, jelas engkau lebih sakti dari pemuda baju putih Cu Jiang ..." Kejut Cu Jiang bukan alang kepalang. "Engkau tahu.... dia bernama Cu Jiang?" serunya dengan gemetar. "Tentu saja tahu." "Siapakah engkau ini?" "Aku yang bertanya kepadamu, lekas jawab!" "Aku tak mempunyai keterangan lain lagi kecuali seperti itu." "Kalau begitu engkau memang kepingin mati!" Cu Jiang mengeluh dalam hati. Adakah dia harus membuka rahasia dirinya sendiri" Tetapi siapakah pendatang itu" "Apakah hubungan anda dengan Cu Jiang?" akhirnya ia mencari akal untuk menyelidiki. Rupanya wanita tak dikenal itu marah. Dia melengking tinggi: "Jangan banyak bicara! Di mana dia?" "Ditengah-tengah gunung Bu leng san." "Bohong!" "Ah, anda terlalu menghina orang." "Hm, jika engkau tak mau mengatakan sejujurnya, akan kusuruh engkau mati secara perlahan-lahan." "Apa yang harus kukatakan?" "Kutanya lagi. Apakah hubungan antara puteri cantik itu dengan pemuda baju putih?" "Soal itu tak dapat kuberitahukan." "Apakah engkau benar2 menghendaki supaya aku turun tangan?" Nada dan irama kata2 wanita itu serentak mengingatkan Cu Jiang pada seseorang. "Bukankah anda ini Ang Nio-cu" " tiba2 ia berseru. "Hai, mengapa engkau tahu?" wanita itu tersentak kaget. Cu Jiang sendiri juga ikut terkejut, ia menyadari bahwa pertanyaan itu salah sekali. Dengan begitu tanpa disadari dia telah membuka rahasia dirinya sendiri. Ang Nio-cu telah membuat makam untuk mengubur jenasah ayah bunda dan kedua adiknya. Budi itu takkan dilupakan Cu Jiang. Seharusnya saat itu dia mengaku saja siapa sesungguhnya dirinya itu. Tetapi tiba2 ia teringat bahwa bagaimana keadaan wanita itu yang sebenarnya, ia belum tahu. Yang diketahuinya, wanita itu disohorkan dunia persilatan sebagai momok perempuan yang ganas, ia tak tahu bagaimana hubungan Ang Nio cu dengan kedua orang tuanya dahulu semasa kedua orang tuanya itu masih hidup. Mengingat hal2 itu, diam2 menggigillah hati Cu Jiang. Ia menyadari bahwa apabila sampai menimbulkan kemarahan wanita itu, tentulah wanita itu akan bertindak menghancurkan dirinya. Mengingat pula bahwa wanita itu telah membuatkan makam untuk kedua orang tuanya, ia duga Ang Nio-cu itu tentu mempunyai maksud baik, jika ia sampai bertengkar dengan Ang Nio-Cu bukankah berarti dia tak ingat pada budi orang yang telah memberi kebaikan kepada kedua orang tuanya" "Andapun pernah membuatkan makam untuk Seng kiam." akhirnya ia mendapat pikiran dengan mengajukan pertanyaan. Ternyata Ang Nio-cu memang makin terkejut. "Engkau tahu juga hal itu. Engkau ini... sebenarnya siapa?" Sejenak berdiam, akhirnya Cu Jiang menemukan suatu perjanjian. "Bagaimana kalau kita sama2 membuka rahasia diri kita masing-2 ?" "Apa yang engkau kehendaki?" "Anda menerangkan hubungan anda dengan Seng-kiam dan akupun akan menerangkan peristiwa yang sebenarnya kuketahui!" "Jika aku tak mau mengatakan?" "Kalau begitu kitapun sama2." "Tetapi jiwamu saat ini berada dalam tanganku!" "Aku sudah tak menghiraukan lagi soal mati hidup." kata Cu Jiang dengan dingin. "O, tak ada tanda-2 yang kulihat bahwa engkau memiliki tekad begitu. Apakah engkau hendak mencoba tanganku?" "Ah, masakan aku berani mengatakan begitu, bahkan mendengar nama anda saja aku sudah mengagumi sekali." Ang Nio-cu terdiam beberapa saat. Kemudian tertawa. "Anggaplah engkau berhasil menawarkan perjanjian tadi. Kali ini Ang Nio-cu akan melanggar pantangan. Aku hanya mengagumi kepribadian Seng-kiam saja!" "Tempat persembunyian Seng-kiam tiada orang yang tahu. Bagaimana anda dapat tiba ditempat itu ?" "Pemuda baju putih itu yang menunjukkan jalan sendiri !" "O, anda mengikutinya secara diam2." "Engkau sudah terlalu banyak bertanya. Sekarang giliranmu yang harus memberi keterangan." Terlintas sesuatu dalam benak Cu Jiang dan dengan nada gemetar dia berseru. "Ijinkan aku bertanya sepatah lagi .. . hanya sepatah saja . . ." "Katakan !" "Siapa pembunuh Seng-kiam sekeluarga?" "Pertanyaan itu bukan pertanyaan yang sepele. Dan perlu apa engkau menanyakan hal itu ?" "Ada sebabnya." "Tetapi sikapmu terhadap puteri jelita Itu, seharusnya engkau tak mengajukan pertanyaan semacam itu ?" "Dulu dan sekarang memang lain." "Engkau tidak ketolol-tololan lagi?" "Hai." "Dengarkan. Aku terlambat datang setindak sehingga tak menyaksikan peristiwa itu. Tetapi kelak tentu dapat menyelidiki." Cu Jiang mengeluh kecewa. Tetapi ucapan Ang Nio-cu yang terakhir yang menyatakan bahwa kelak tentu dapat menyelidiki, menimbulkan rasa terima kasihnya terhadap Ang Nio-cu. Setelah merenung sejenak, barulah dia berkata pula. "Aku yang jelek ini tak lain adalah pemuda baju putih Cu Jiang itu sendiri!" Kejut Ang Nio cu lebih dari disambar petir. "Apa . . ." serunya gemetar, " engkau .. . engkau ini ... . Cu Jiang ....?" Dengan mengertak gigi, Cu Jiang berkata dengan nada sedih: "Ya, memang benar." "Engkau.... engkau.... meskipun nada suaramu memang mirip tetapi siapakah yang mau percaya .... " "Aku sendiri juga tak percaya. Tetapi aku harus menerima kenyataan pahit ini!" "Apakah engkau.... menggunakan ilmu merobah muka." "Tidak!" "Wajahmu .... kakimu ... . " "Inilah musuh yang mencelakai diriku sampai begini! " "Ai . . . . sungguh menyeramkan sekali." Sungguh di luar dugaan bahwa seorang momok wanita seperti Ang Nio cu ternyata dapat mengeluarkan kata2 yang begitu penuh rasa kasihan dan simpati. "Benar2 suatu hal yang sukar dipercaya." Seketika ia teringat akan anggapan "Te-ling-sat Tian Heng.". kepala dari kawanan Kiu- te-sat yang mengatakan, bahwa apa yang disebut aliran Putih dan Hitam dalam dunia persilatan itu memang sukar ditentukan. Ada tokoh yang dicap sebagai momok ganas, tetapi dia juga seorang manusia yang mempunyai hati kebaikan, masih ada setitik budi nuraninya yang baik. Seperti dia sendiri, kelak kalau melakukan pembalasan tentu akan mengadakan pembantaian hebat. Adakah tindakannya itu kelak dapat dianggap sebagai tindakan seorang dari aliran putih ataukah Hitam ! "Aku telah memberi keterangan, apakah anda memerlukan petunjuk lagi?" akhirnya ia berkata kepada Ang Nio-cu itu. Dengan nada gemetar, Ang Nio-cu meminta penegasan: "Cu Jiang, bagaimana sesungguhnya peristiwa itu terjadi?" "Ketika itu aku hendak pulang ke gunung. Kudapati keluargaku sudah dibantai habis-habisan. Tiba2 aku diserang oleh tiga manusia aneh lalu dilempar ke dalam jurang sehingga tubuhku jadi cacad begini." "Apakah engkau tahu siapa yang melakukan penganiayaan itu?" "Tidak tahu." "Bagaimana wajah mereka?" "Apabila bertemu tentu dapat mengenali." "Bagaimana keadaan tubuhmu sekarang?" Pertanyaan Ang Nio cu itu telah menyadarkan Cu Jiang, dia tahu kalau menderita luka dalam yang parah. Apabila terlambat mendapat pengobatan tentu jiwanya melayang. Tetapi apa daya, tenaganya masih belum pulih dan tenaga dalamnya masih tak dapat dihimpun. Jelas tak mungkin dia akan melakukan pengerahan tenaga-dalam untuk mengobati lukanya itu. "Tenaga-murni sukar kuhimpun !" "Begitu parah lukamu itu?" "Kukira aku tentu. . . ." "Pejamkan mata, jangan sekali-kali engkau mencuri lihat aku. Akan kuperiksa lukamu !" Berdebar keras hati Cu Jiang. Ia tahu wanita itu tak mau dilihat orang. Ia merangkai kesimpulan bahwa wanita itu tentu tak mengandung maksud buruk kepadanya. Kalau memang hendak membunuhnya tentu saat itu dia dapat melakukannya. Akhirnya Cu Jiang memutuskan. Terpaksa ia menurut perintah wanita aneh itu. "Hm." ia mendesah lalu pejamkan mata. Sesaat kemudian terasa dari belakangnya berhembus angin lemah dan segera ia rasakan jalan darah tubuhnya digerayangi oleh jari orang. Beberapa saat kemudian tiba2 Ang Nio-cu mendesis kaget. "Hai ...!" Cu Jiang terkejut dan tanpa disengaja membuka mata. Sesosok bayangan merah cepat menghilang dari pandang matanya. "Hai, mengapa engkau membuka mata?" teriak Ang Niocu dari jarak beberapa tombak jauhnya. "Maaf, aku tak sengaja," Cu Jiang meminta maaf. "Engkau telah terkena pukulan Thian-kong sat dari Iblis Gila, dan pukulan itu telah menyusup kedalam jalan darah tubuhmu ..." "Thian-kong-sat?" "Ya." "Lalu bagaimana?" "Saat ini aku tak berdaya menolongmu." Cu Jiang tertawa hambar. "Aku pasrah saja." "Tidak!" teriak Ang Nio-cu. Cu Jiang terkesiap. Apa maksud kata2 Ang Nio-cu itu" Dia tak tahu bagaimana harus berkata. Sesaat suasanapun hening. Sebenarnya dia tak ingin mendapat bantuan orang tetapi ia merasa ada beberapa hal yang harus ia nyatakan kepada wanita itu. "Atas budi kebaikan anda yang telah mengubur jenazah ayah bunda dan kedua adikku, sebelum mau mati, aku tentu akan membalas budi itu, " katanya. "Hm, siapa yang mengharap belas budi dari engkau," desah wanita itu dengan nada dingin. "Benar, tetapi kita masing2 mempunyai pendirian dan kepentingan sendiri." "Engkau tak boleh mati..." Kembali Cu Jiang tergetar mendengar ucapan itu dan serentak dia cepat menukas: "Aku tak boleh mati?" Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tidak boleh !" "Kenapa?" "Akan kubiarkan supaya engkau hidup terus." "Kenapa?" "Jangan bertanya!" Cu Jiang tutup mulut tetapi hatinya tetap heran atas tingkah laku momok wanita yang begitu aneh. Beberapa saat kemudian baru terdengar Ang Nio-cu berkata lagi: "Saat ini aku hanya dapat menolong untuk sementara waktu, tingkat dapat hidup sampai setengah bulan . . ." "Setengah bulan?" "Apakah engkau mempunyai tempat persembunyian. ?" Sejenak merenung. Cu Jiang berkata: "Ada. Di dasar jurang, bekas tempat persembunyian Kiute-sat.". "Baiklah, engkau tunggu saja di sana sampai setengah bulan." "Menunggu anda datang lagi" "Hm, aku hendak meminta obat ke suatu tempat, tetapi. . ." "Bagaimana?" "Biar bagaimana juga, aku harus berusaha supaya engkau hidup." Hati Cu Jiang tegang sekali. "Mengapa engkau bersikap begitu kepadaku?" serunya dengan gemetar. "Kelak engkau tentu tahu sendiri. " "Sebenarnya aku tak berani menerima budi kebaikan anda yang sedemikian besar." "Tutup mulut! Aku, Ang Nio-cu, akan melakukan apa yang kuinginkan!" Cu Jiang tertawa getir dan tak bicara apa2 lagi. Ia merenungkan tindakan wanita itu mendirikan makam untuk kedua orang tua dan adiknya. Karena sudah terlanjur menerima budi orang, mengapa ia akan menolak lebih lanjut. "Pejamkan mata dan ngangakan mulutmu!" tiba2 Ang Nio-cu berseru pula. Cu Jiang menurut. Baru membuka mulut, beberapa butir pil telah menyusup ke dalam kerongkongan dan turun kedalam perut. Pil berbau harum sekali, entah apa namanya. Kemudian ia rasakan beberapa jalan darah pada tubuhnya telah disengat oleh angin dari gerak tutukan jari. "Sampai jumpa setengah bulan lagi!" Kata2 yang terakhir itu terdengar jauh sekali. Jelas Ang Nio cu sudah lenyap. Begitu masuk ke dalam perut, pil itu segera memancarkan hawa hangat yang mengembang ke dada lalu mengalir ke seluruh tubuh. Bagian2 yang sakitpun terasa longgar tetapi tenaga murninya masih belum dapat dihimpun. Cu Jiang bangkit berdiri. Ada suatu perasaan hampa yang membuatnya terlongong2. Ia teringat akan peristiwa ketika dibawa Song bun sat turun ke dasar jurang dan akhirnya mendapat saluran tenaga sakti dari ketiga durjana Kiu te sat. Tetapi kini dia kembali lagi seperti orang biasa, orang yang tak memiliki ilmu silat. Mengingat bahwa kaki kirinya timpang, diam2 ia ngeri juga. Karena tak punya tempat tujuan terpaksa ia kembali ke dalam gua persembunyian Kiu te sat untuk menunggu Ang Nio cu yang akan datang setengah bulan lagi. "Siapakah sebenarnya Ang Nio cu itu?" Bagaimana wajahnya dan berapa usianya" Mengapa dia tak mau mengunjukkan wajahnya " Kemanakah dia hendak mencari obat " Kesemuanya itu merupakan teka teki dalam pikiran Cu Jiang. Teka teki yang tak dapat dipecahkannya. Akhirnya ia gelengi kepala dan tersenyum hambar lalu dengan tertatih-tatih ia mulai menuju ke lembah lagi. "Berhenti !" sekonyong-konyong terdengar sebuah bentakan bengis. Cu Jiang terkejut dan hentikan langkah lalu berputar tubuh.. . Ah. semangatnya serasa terbang ketika melihat sesosok manusia aneh dalam jubah warna putih. Siapa lagi orang itu kalau bukan Pek-poan koan atau hakim Putih dari Gedung Hitam. Tak jauh dibelakangnya tampak dua orang Pengawal Hitam. Dengan menyeringai, Hakim Putih itu memandang Cu Jiang lalu berseru sinis: "Budak buruk, bagus ya, engkau berani mati menjual nama pemilik Piagam Hitam dan memaksa aku supaya melepaskan tawanan penting, sehingga aku harus mempertanggung jawabkan. . ." Cu Jiang menelan ludah dan membantah: "Apakah Plakat Hitam itu palsu?" "Tidak palsu ! Tetapi pemilik Piagam Hitam tak pernah memberi perintah kepadamu supaya tawanan penting itu ku lepaskan." "Lalu anda hendak mengapakan diriku ?" "Merobek-robek tubuhmu !" Cu Jiang menggigit bibir kencang2 dan menyahut: "Silahkan, aku takkan melawan." Apabila tak terkena pukulan Thian-kong-sat dari Iblis Gila. tentulah Cu Jiang mampu menghadapi hakim Putih dari gerombolan Gedung Hitam. Tetapi saat itu keadaan dirinya tak lebih dari seorang pemuda biasa yang tak mengerti ilmu silat. Ah, apabila Ang Nio-cu agak terlambat sedikit perginya atau kalau dia tadi lekas2 turun ke lembah, mungkin akan lain keadaannya. Hakim Putih melesat maju dan dengan mudah sekali dia sudah dapat mencengkeram tubuh Cu Jiang. Kecuali meramkan mata menunggu kematian, Cu Jiang tak dapat berbuat apa2 lagi. Tiba2 salah seorang dari Pengawal Hitam itu berkata kepada Hakim Putih: "Lapor pada hu-hwat bahwa Bak-hu cu-jin (tuan dari Piagam Hitam) telah memesan kami bahwa kita dilarang mengganggu Jiwa anak ini." Cu Jiang terkesiap. Diam2 ia merangkai dugaan siapa pemilik Piagam Hitam itu. Rasanya tak mungkin kalau dia itu si jelita Ki Ing, karena tampaknya nona Itu tak dapat menguasai kawanan Gedung Hitam. Kebanyakan tentulah ayah atau salah seorang pamannya yang menjadi pemilik Piagam Hitam atau yang dipertuan dari Gedung Hitam. "Kapan dia mengatakan pesan itu ?" tanya Hakim Putih. "Belum lama ini." "Karena berani menjual nama pohcu (pemilik Gedung Hitam) maka pohcu amat marah sekali dan memerintahkan aku supaya membawa budak itu menghadap. Bukankah begitu ?" "Tetapi..." "Pedomanku hanyalah titah dari pohcu !" "Ya." Hakim Putih menatap Cu Jiang lalu tertawa mengekeh: "Budak cacad itu telah punah kepandaiannya, entah siapa yang mencelakainya. Aku juga segan turun tangan !" dia terus mengangkat tubuh Cu Jiang dan dilemparkan kearah sebuah batu besar yang terpisah beberapa tombak jauhnya. Serasa terbanglah semangat Cu Jiang. Jelas dia tentu hancur lebur apabila membentur batu besar itu. Tetapi dia tak mampu berbuat apa2 lagi "Ha, ha, ha, ha..." Serempak Cu Jiang merasa seperti meluncur turun dan disambut dalam tangan orang. Cepat ia berpaling dan melihat wajah seorang Sastrawan pertengahan umur. "Ih.,.." Hitam Putih mendesah hebat. Setelah diletakkan di tanah barulah Cu Jiang dapat mengetahui jelas bahwa yang menolong dirinya itu seorang lelaki berdandan seperti seorang sasterawan, usianya diantara empat puluhan tahun. Wajahnya berseri-seri, ramah dan tamah sekali. Tetapi ketika tertumbuk dengan pandang matanya, Cu Jiang terkesiap. Mata sastrawan im memancar tajam sekali, seperti ujung belati yang menusuk ulu hati. Pada saat Cu Jiang hendak mengucapkan terima kasih tetapi Hakim Putih sudah membuka mulut: "Lim congkoan, engkau juga datang....!" Mendengar nama Lim congkoan, semangat Cu Jiang makin menurun. Jelas pendatang itu sekaum dengan Hakim Putih. Congkoan adalah kepala pengurus. Sudah tentu pengurus dari Gedung Hitam. Kata2 yang sudah di ambang bibir, terpaksa ditelan kembali oleh Cu Jiang. Sastrawan pertengahan umur yang disebut Lim congkoan itu segera berkata: "Karena tokoh dari Sip pat thian-mo telah muncul di tempat ini, kita tak boleh main2." Hakim Putih menunjuk pada Cu Jiang: "Budak cacad ini ...." "Untung aku cepat datang," tukas Lim congkoan, "Pohcu kita menghendaki tawanan hidup agar dapat ditanya!" Cu Jiang menahan napas. Kepala dari Gedung Hitam hendak bertanya kepadanya sendiri. Ah, rupanya ia bakal mempunyai kesempatan berhadapan dengan momok misterius dalam dunia persilatan yang amat termasyhur itu. "Apakah tahu tujuan dari gerombolan Sip-pat-thian-mo yang muncul di sini?" tanya sasterawan pertengahan umur itu pula. Hakim Putih gelengkan kepala. "Tidak." "Pohcu memberi pesan kepadaku supaya disiarkan kepada anggauta kita. Sedapat mungkin berusaha menghindari jangan sampai bentrok dengan mereka!" "Oh..." "Apakah budak ini dapat kubawa?" "Silahkan." Sasterawan pertengahan umur itu segera mengangkat tubuh Cu Jiang, mengempitnya dan terus dibawa lari. Cu Jiang tak dapat berbuat apa2 kecuali pasrah nasib. Apakah orang ini hendak membawanya ke hadapan kepala Gedung Hitam" Kalau benar, ah, sungguh kebetulan sekali, ia tentu mempunyai kesempatan untuk menyelidiki, apakah pembunuh dari orang tuanya itu memang gerombolan Gedung Hitam. Tetapi ketika teringat bahwa dirinya telah terkena racun pukulan Thian-kong-sat dari si Iblis Gila dan pil pemberian Ang Nio Cu itu hanya dapat mempertahankan jiwanya setengah bulan saja, semangatnyapun dingin pula. Pikir2, memang sudah nasibnya dia harus mati dan pil dari Ang Nio Cu itu hanya menambah hutang budi pada orang. Sorenya mereka tiba di sebuah kota kecil. Sasterawan setengah tua melepaskan Cu Jiang dan keduanya segera berjalan masuk kedalam kota. Sekalipun kota didaerah pegunungan, tetapi cukup ramai perdagangannya. Sasterawan itu mengajak Cu Jiang masuk kedalam sebuah rumah penginapan. Dia suruh jongos membelikan seperangkat pakaian. Setelah menyuruh Cu Jiang ganti pakaian, keduanya segera menunjukkan perasaan lega. Cu Jiang tampak seperti seorang sastrawan berwajah buruk. Tetapi dia tak peduli. Ia duga sasterawan setengah tua itu tentu akan menghapus perhatian orang. Memang setiap orang yang berpapasan tentu akan terkejut dan memandang wajah Cu Jiang dengan perasaan seram tetapi pemuda itu kini sudah tak kaget lagi. Dia tenang2 saja. Setelah keluar dari kota, sastrawan setengah tua itu mengepit tubuh Cu Jiang lagi untuk dibawanya lari. "Engkoh kecil, siapakah namamu ?" tiba" orang itu bertanya. Cu Jiang tetap memberi jawaban seperti yang sudah2: "Tiada she tiada nama, cukup panggil si Gok-Jin-Ji saja." "Engkau tidak seperti pemuda desa!" "Mengapa ?" "Kulit dan sinar matamu, mengatakan engkau bukan berasal dan keluarga sembarangan. Dan lagi engkau mengerti ilmu silat, cerdas dan memiliki seperangkat bahan tulang yang bagus sekali. Penyamaranmu, hanya dapat mengelabui orang biasa." "Uh.." Cu Jiang segan membantah, "Maukah engkau Memberitahukan asal usul dirimu ?" "Maaf. tak dapat." "Engkau tahu apa yang bakal engkau hadapi dalam perjalanan kali ini ?" "Ah, paling2 mati." "Engkau congkak sekali tetapi sikapmu itu tak berguna. Tiada didunia ini orang yang sengaja hendak cari mati !" Cu Jiang tersenyum getir. Dia hanya dapat hidup setengah bulan, perlu apa2 harus banyak pikiran. "Mungkin diriku lain," katanya. Sasterawan setengah tua itu tertawa gelak2: "Apa sebab engkau harus lain ?" "Aku tak dapat mengatakan." Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Wajahmu tentu tidak begitu buruk sebelumnya." "Tentu." "Menilik bekas-bekasnya, tentu baru terjadi lebih kurang setahun. . . ." Cu Jiang tergetar hatinya. Mata sasterawan setengah tua yang bernama Lim congkoan nu sungguh tajam sekali. "Anggaplah begitu." "Mengapa engkau kehilangan tenagamu ?" "Belajar silat tidak sempurna." "Siapa yang melukaimu ?" Tiba2 Cu Jiang tertarik perhatiannya. "Entah, siapa orang itu." "Mengapa engkau berada di tengah gunung belantara?" "Mengapa anda bertanya begitu melilit ?" "Karena ingin tahu sejelas-jelasnya." "Maaf, aku tak dapat menjawab." "Engkoh kecil, kalau dihadapan pohcu engkau bersikap begitu, jelas hendak cari mati . . ." "Mengapa anda memperhatikan jiwaku?" "Hm, baiklah. Sampai disini saja pembicaraan kita." Menjelang malam mereka tiba disebuah kota kecil lagi. Seperti yang lalu, Sasterawan itu melepaskan Cu Jiang lagi berjalan sendiri. "Malam ini terpaksa kita harus beristirahat dikota ini," katanya. Mereka masuk kesebuah warung arak dan memesan hidangan. Tetamu2 terkejut melihat wajah Cu Jiang yang buruk. "Songcu, ci-hwa, kwaci, kacang." tiba2 terdengar orang menjajakan jualannya. Cu Jiang seperti kenal dengan suara orang itu. Cepat ia berpaling. Seorang wanita gemuk tengah membawa rantang masuk ke dalam warung arak itu. "Pergi ! Pergi! Kelain tempat saja, Jangan disini!" pemilik warung arak menghalaunya. Tetapi wanita gemuk itu tak menghiraukan dan tetap berteriak-teriak menjajakan jualannya. Tiba2 sasterawan setengah tua itu menggapainya . "Hai, penjual liongcu, kemari !" Wanita gemuk itu deliki mata kepada pemilik warung lalu melangkah ketempat sasterawan setengah tua itu: "Tuan mau beli apa ?" Ketika melihat wanita penjual itu, serentak tergetarlah hati Cu Jiang. Ia hendak menegurnya tetapi tiba2 tak jadi. Perempuan gemuk itu tak lain adalah pemilik rumah penginapan di Ei-jwan yang karena menolong dirinya, rumah makan itu telah dibakar oleh orang Gedung Hitam. Ternyata perempuan gemuk itu masih hidup. Tetapi mengapa dia berada di kota situ" Perempuan itu tentu tak kenal lagi kepadanya karena Cu Jiang yang dulu, jauh berlainan dengan yang sekarang, iapun tak berani menegurnya karena dikuatirkan perempuan itu akan mengenali suaranya. Akibatnya tentu berbahaya sekali. Sambil menyerahkan sekeping perak hancur Lim congkoan itu berkata: "Ambilkan untuk teman arak!" "O, tuan .... tak punya kembalinya." "Tak usah kembali, ambillah!" "O, terima kasih. Kupujikan tuan banyak rejeki, panjang umur," kata perempuan gemuk seraya membungkuskan kwaci dan kacang lalu diletakkan di meja. Hati Cu Jiang tak keruan rasanya. Dialah yang menyebabkan perempuan itu sampai merana dan menjual kacang. Tetapi karena Lim congkoan berada di situ, terpaksa dia tak berani berkata apa2. Entah bagaimana, perempuan gemuk itu berpaling ke arah Cu Jiang. "Aih . . .." ia menjerit kaget sehingga kacang dan kwacinya tumpah keluar. Buru2 dia memberi hormat dan menghaturkan maaf kepada Lim congkoan, lalu membungkukkan lagi. "Tak apa," kata Lim congkoan, "memang wajah sahabatku ini sering mengejutkan orang !" "Sudahlah, sudahlah," katanya kemudian, "cukup begitu saja." "Tetapi uang tuan tadi cukup untuk pembeli sepuluh keranjang daganganku . ." "Telah kukatakan," kata Lim congkoan, "ambillah !" Kembali wanita gemuk itu menghaturkan terima kasih. "Jika daganganmu ingin maju, engkau harus jualan ke lain kota yang besar. Di kota pegunungan yang sekecil ini, mana bisa tutup ongkos . . . ." "Tuan, selain cari makan, sebenarnya aku sedang mencari jejak seorang anakku yang hilang." Cu Jiang terkejut. Ia tahu wanita gemuk itu tak punya anak, bahkan belum bersuami. Tentulah dia hanya cari alasan saja untuk mengetuk rasa kasihan orang. "Oh, anakmu hilang ?" seru Lim congkoan. "Benar tuan," kata wanita gemuk. "dia adalah puteraku Suling Emas 10 Juragan Tamak Negeri Malaya Karya Widi Widayat Eng Djiauw Ong 31

Cari Blog Ini