Pusaka Negeri Tayli 8
Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id Bagian 8 tak meninggalkan namanya ?" "Tidak." Merenung sejenak Cu Jiang lalu mempersilahkan Ban Ki Hong menyerang. Ban Ki Hong tenangkan perhatian. Sepasang mata tak berkelip memandang Cu Jiang. Melihat sikap dan gayanya, memang rapat dan tak memberi kesempatan lawan untuk mencari bagian yang lemah. Keduanya seperti dua buah patung batu. Saling pandang memandang tanpa berkedip. "Haaiit !" dua buah pekikan terdengar. Hampir serempak sehingga sukar dibedakan mana yang lebih dulu menghambur teriak dan serangan. Yang tampak hanya lingkar sinar yang mencurah bagai bunga, mirip pula dengan ratusan ular perak menari-nari. Hanya sekejap dan terdengarlah suara mengerang... 00^od^^wo^00 Jilid 14 Suara erangan tertahan dan jeritan kaget hampir serempak terdengar dan tahu2 pedang Ban Ki Hong menjulai ke tanah. Tubuhnya berhias empat lobang yang mengucurkan darah. Wajahnya lebih pucat dari orang mati. Sinar matanya redup. Cu Jiang tegak memandangnya. Beberapa saat kemudian tiba2 Ban Ki Hong menjerit: "Ceng-moay, aku bersalah kepadamu!" habis berkata dia terus hendak menikam tenggorokannya sendiri. "Tring " Cu Jiang acungkan jarinya dan pedang Ban Ki Hong pun jatuh ke tanah. "Toan-kiam jan-jin, seharusnya engkau dapat membunuh aku dengan jurusmu tadi. Mengapa tak engkau lakukan?" serunya. Cu Jiang tidak menyahut tetapi hatinya gelisah. ilmu pedang yang dimainkan Ban Ki Hong itu ternyata adalah ilmu simpanan dari ayahnya ialah ilmu pedang It- kiam-tuihun. Ia heran mengapa ayahnya mengajarkan ilmu pedang itu kepada Ban Ki Hong. "Toan kiam Jan jin, apakah engkau hendak menyiksa diriku ?" seru Ban Ki Hong. "Apa perlu harus begitu?" "Mengapa engkau tak membiarkan aku mati?" "Apakah jiwa begitu rendah harganya?" "Aku sudah tak berharga hidup lagi." "Ban Ki Hong, sedangkan sip-pat-thian-mo pun mati dibawah pedangku, apalagi engkau!" "Tak mampu melaksanakan cita2 ayah, menerima dendam penasaran isteri. Tidak berbakti dan tidak berbudi, perlu apa aku hidup di dunia..." "Jurus ilmu pedangmu tadi, cukup menggetarkan kaum persilatan. Mengapa tidak engkau gunakan untuk melakukan perbuatan2 yang berbudi agar arwah isterimu dapat mengasoh tenang di alam baka" Engkau malu hidup di dunia, tidakkah engkau akan lebih malu apabila bertemu dengan isterimu di alam baka?" Seketika wajah Ban Ki Hong berobah, Dari tegang menjadi duka dan akhirnya dengan penuh rasa sesal dia mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Nasihat anda yang berharga, menyadarkan pikiranku yang gelap. Mohon sejak sekarang jangan..." "Tunggu !" "Apa anda masih ingin memberi pesan lagi ?" "Dalam waktu setahun ini, jangan engkau gunakan jurus ilmu pedangmu itu. Kalau tak menurut engkau tentu akan mengalami bencana besar !" "Mengapa ?" Ban Ki Hong terkejut. Cu Jiang tak mau secara terus terang memberitahu bahwa jurus ilmu pedang It Kiam tui-hun itu adalah ilmu simpanan mendiang ayahnya. Apabila Ban Ki Hong menggunakan tentu musuh akan tahu dan menduga dia keluarga Lamkiong, dan pasti akan membunuhnya. "Maaf, aku belum dapat menjelaskan sekarang tetapi peringatanku itu memang keluar dari ketulusan hatiku." sahutnya. "O, aku memang memutuskan hendak hidup di pegunungan sepi untuk menemani arwah isteriku tercinta. Sejak saat ini aku takkan mengurus soal persilatan lagi." "Bagus." Cu Jiang gembira, "waktu isteri masih hidup tak dapat pegang janji, setelah isteri meninggalpun masih mempunyai kesempatan untuk menebus kesalahan." "Terima kasih." "Masih ada sebuah hal lagi. Apabila engkau tak keberatan, maukah menceritakan, tentang peristiwa dari orang asing yang memberikan ilmu pedang kepadamu itu?" Sejenak merenung Ban Ki Hongpun berkata. "Baiklah. Peristiwa itu terjadi secara tak terduga, Jago pedang itu bersama isterinya sedang menempuh perjalanan lalu dikejar musuh. Saat itu isteri si jago pedang sedang mengandung tak mampu lari. Sedang karena melindungi istrinya, jago pedang itupun menderita luka berat. Mereka lalu kerumahku minta perlindungan. Kusembunyikan mereka dan ketika kawanan musuh datang, kukelabuhi mereka dengan keterangan yang bohong. Setelah peristiwa itu selesai, jago pedangpun lantas memberikan Jurus ilmu pedang itu kepadaku." "Ah . .. ." Cu Jiang hampir mengucurkan air mata tetapi untung dia dapat menahan. isteri jago pedang itu tak lain adalah mamanya. Dan bayi yang dikandungnya itu adalah dirinya sendiri. Dengan begitu jelas bahwa Ban Ki Hong itu pernah menolong jiwa kedua ayah bundanya. "Apakah anda kenal dengan jago pedang itu?" tanya Ban Ki Hong. Cu Jiang bersangsi sejenak lalu mengatakan, kelak setelah ada bukti baru dia akan memberi keterangan lagi "Apakah anda masih hendak memberi pesan lagi ?" Cu Jiang teringat bahwa Ban Ki Hong telah melepas budi yang sedemikian besar kepada ayah-bundanya dan untuk itu ayahnya telah mengajarkan sejurus ilmu Pedang istimewa, Walaupun tanpa ikatan apa2, tetapi hal itu tak ubah sebagai ikatan perguruan. . "Bagaimana kalau kita bersahabat?" tiba2 Cu Jiang berseru. "Anda menjadi sahabatku?" Ban Ki Hong menegas. "Benar." "Sudah tentu aku aku menurut sekali" "Anda lebih tua. aku . . . sebagai siaute dan anda sebagai heng-tay!" "Ini ... ini ..." "Toako," cepat Cu Jiang menukas, "ikatan persahabatan kita ini merupakan jodoh yang dipertemukan pedang. Bagaimana asal usul diriku, untuk sementara tak dapat memberitahu dulu. Dalam hal ini kuharap toako suka memaafkan." Peristiwa saat itu telah menghapus semua derita perasaan Ban Ki Hong. Derita malu karena kalah, derita kehilangan isteri tercinta. "Baiklah, lote, aku menurut saja rencanamu." "Apakah toako hendak kembali ke gunung Bu-leng-san?" Teringat akan kematian isteri tercinta, Ban Ki Hong bercucuran air matanya. "Sudah tentu aku akan ke gunung lagi untuk menemani makam isteriku." "Baiklah, toako, kelak kita berjumpa lagi di gunung itu." kata Cu Jiang. "Hiante hendak ke mana?" "Masih banyak urusan yang hendak kulakukan. Kelak tentu akan kuceritakan semua kepadamu, toako." "Jadi sekarang kita akan berpisah?" "Musuhku terlalu banyak, kurang baik kalau kita selalu bersama." Ban Ki Hong menurut. Tiba2 Ban Ki Hong melemparkan pedangnya ke dalam sungai. "Hai, mengapa toako lakukan hal itu?" Cu Jiang heran. "Walaupun aku juga mempunyai dendam, tetapi aku harus putuskan janjiku terhadap isteri. Aku takkan menggunakan pedang lagi." "Bagus, toako, dengan demikian arwah ensoh pasti akan tenang di alam baka, " seru Cu Jiang. Memandang pada kain cadar yang menutup wajah Cu Jiang, Ban Ki Hong hendak berkata tetapi tak jadi. Rupanya Cu Jiang tahu maksud Ban Ki Hong, katanya: "Toako, maaf, untuk sementara waktu ini aku tak dapat menunjukkan mukaku." Ban Ki Hong tertawa dan memuji Cu Jiang cerdas dan tajam pandangannya. Dia segera minta diri. Setelah saling memberi hormat. Ban Ki Hong lalu melesat pergi. Cu Jiang masih tegak termenung memandang riak gelombang sungai. Ia merenungkan pula peristiwa kedua suami isteri itu. Apabila dia terus muncul dan menerima tantangan Ban Ki Hong. tentulah istrinya tak sampai bunuh diri. Tetapi iapun heran mengapa untuk hal itu, isteri Ban Ki Hong sampai melakukan perbuatan yang senekad itu " Dan diapun tak menyangka akhirnya mengikat tali persahabatan dengan Bin Ki Hong. Tengah melamun tiba2 ia merasa ada suatu getaran yang menyiak hawa udara. Jika tidak memiliki ilmu kepandaian yang tinggi tentu takkan mampu merasakan getaran itu. Cu Jiang menyadari bahwa dari arah belakang tentu terdapat orang yang mendatangi. Dan pendatang itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi. Tanpa berpaling, dia terus menegur: "Sahabat dari mana itu?" Sebuah suara yang tak asing nadanya segera menyahut: "Aku Ho Bun Cai!" Cu Jiang berbalik tubuh. Dua tombak jauhnya tegak seorang lelaki. Dia tak lain adalah Ho Bun Cai yang menjabat sebagai cong-koan atau pengurus rumah tangga Gedung Hitam. Melihat Ho Bun Cai muncul, Cu Jiang menduga bahwa ketua Gedung Hitam tentu juga berada disekitar tempat itu. Dendam membara pula di dada Cu Jiang. Ia memutuskan, bahwa dia harus mengorek keterangan dan mulut Ho Bun Cai ini. "Ho Bun Cai, congkoan dari Gedung Hitam, "seru orang itu setelah beberapa saat memandang Cu Jiang, "Toan-kiam jan-jin, mari kita bicara baik-baik." "Bagus, akupun memang bermaksud begitu," sahut Cu Jiang. "Kenalkah engkau dengan lelaki yang bertanding sejurus ilmu pedang dengan engkau tadi ?" Cu Jiang terkejut. Rupanya orang itu sudah lama bersembunyi dan menyaksikan peristiwa tadi. Diam2 dia bersyukur karena tak memberikan keterangan lebih luas kepada Ban Ki Hong. Tetapi pertanyaan menimbulkan hawa pembunuhan dalam hati Cu Jiang. "Anda sudah bersembunyi diatas tembok samping itu dan mendengarkan semua pembicaraan kami ?" "Aku tak menyangkal." "Lalu mengapa anda bertanya soal itu ?" "Sudah tentu ada maksudnya." "Katakanlah." "Tetapi lebih dulu jawablah beberapa pertanyaanku itu." "Apakah anda tahu juga akan jurus ilmu pedang orang itu?" "Tentu saja." "Apa namanya ?" "ilmu pedang satu Jurus It-kiam-tui hun-kiam dari Dewa pedang Cu-Beng Ko." Cu Jiang tak terkejut karena ilmu pedang mendiang ayahnya itu memang sudah sangat terkenal di dunia persilatan. "ilmu pedang itu memang sudah dikenal dalam dunia persilatan. Andapun tentu begitu." "Sekalipun begitu tetapi lain keadaannya !" "Apa maksudmu ?" "Engkau tentu tak menyangkal bahwa engkau merasa heran waktu orang itu mengeluarkan jurus ilmu pedang itu bukan ?" "Benar, lalu ?" "Dengan bukti itu aku melihat suatu ujung dari lingkaran . .." "Katakan!" "Pertama, engkau tentu pemuda yang melarikan diri dari penjara Gedung Hitam dahulu yakni Gok-jin ji..." Cu Jiang mendengus. "Taruh kata benar, lalu bagaimana ?" Nada Ho Bun Caipun makin tegang: "Engkau tentu mempunyai hubungan erat dengan pelajar baju putih itu. Sekali-kali bukan seperti yang pernah engkau katakan bahwa engkau melakukan permintaan dari pelajar baju putih itu." Hawa pembunuhan makin menebal di dahi Cu Jiang, "Berbahaya sekali penilaianmu itu?" "Mengapa ?" "Mungkin aku terpaksa harus turun tangan kepadaku." Wajah Ho Bun Cai agak berobah, serunya. "Untuk menghapus mulut, bukan?" "Mungkin saja begitu." "Tetapi Jika aku mempunyai penilaian baru lagi ?" "Penilaian apa ?" Ho Bun Cai mementang mata lebar2 dan berseru : Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Engkau ini adalah pelajar baju putih !" Cu Jiang menyurut mundur selangkah. "Siapakah pelajar baju putih itu?" serunya dengan nada tergetar. Wajah Ho Bun Cai berkerenyutan lalu berseru pelahan: "Putera mendiang Dewa pedang yang bernama Cu Jiang!" Tegang sekali wajah Cu Jiang. katanya tandas: "Anda tahu terlalu banyak !" "Engkau mengakui ?" Cu Jiang merabah tangkai pedang dan berseru: "Dan anda harus mati !" Tubuh Ho Bun Cai gemetar dan dahinyapun beralun kernyit. Diam2 Cu Jiang heran mengapa orang itu bersikap demikian. Memandang beberapa kali kearah pesisir sungai, Ho Bun Cai berkata pula. "Bukankah engkau datang dari Tayli ?" Kejut Cu Jiang sukar dilukiskan lagi. Mengapa Ho Ban Cai tahu semua tentang dirinya " Berbahaya, itu harus dirahasiakan sekali. "Kenalkan engkau dengan Poan toanio si wanita gemuk itu?" kembali Ho Bun Cai bertanya pula. Cu Jiang benar2 kewalahan kejutnya. Ia teringat ketika dibawa Ho Bun Cai ke Gedung Hitam, ditengah jalan bertemu kembali dengan wanita gemuk yang menjual kacang. Saat itu Ho Bun Cai tak menunjukkan reaksi apa2 kecuali mengajukan pertanyaan sederhana dan lalu memberi uang, suruh wanita gemuk itu jangan menampilkan diri di muka umum. Juga ia terkejut ketika bertemu wanita gemuk itu dalam keraton raja Tayli. Mengapa sekarang Ho Bun Cai tiba2 mengajukan pertanyaan tentang diri wanita gemuk itu " "Ya, kenal" sahut Cu Jiang. "Engkau tahu asal usulnya ?" "Soal itu .... aku tak tahu." "Dia bernama Cu Han Ih." "Hai, dia orang she Cu" seru Cu Jiang. "Bukan hanya she Cu, pun juga..." "Juga bagaimana ?" "Engkau mengakui apa yang kukatakan tadi semua ?" "Ya." "Baik," kata Ho Ban Cai, "sekarang aku hendak memberitahu kepadamu bahwa jejakmu selama berada di Tayli maupun datang ke Tionggoan sini, semua adalah dia yang menyelidiki." "Dia.... dia memberi berita itu kepada anda?" "Benar, tetapi dia hanya menyampaikan berita saja dan tak tahu jelas asal usul dirimu ..." "Siapakah sesungguhnya wanita itu?" "Dia adalah adik perempuan mendiang ayahmu, jadi bibimu." Cu Jiang seperti disambar petir kejutnya hingga dia sampai gemetar, terhuyung mundur tiga langkah. Sungguh tak pernah diduganya sama sekali bahwa wanita gemuk itu ternyata bibinya sendiri. Lalu terbayanglah dia akan peristiwa2 yang lampau. Ketika di kota Li jwan membuka rumah makan, wanita gemuk itu sangat memperhatikan sekali dirinya. Dia ketika ia menerima Amanat-maut dari Gedung Hitam, wanita gemuk itu berusaha untuk menyembunyikan dirinya dalam kamar rahasia. Akibatnya rumah makan itu dibakar habis oleh gerombolan Gedung Hitam. Cu Jiangpun teringat bahwa dalam pembicaraan, samar2 seadanya nyonya gemuk itu dapat mengetahui asal usul dirinya.... Jika benar seperti yang dikatakan Ho Bun Cai bahwa nyonya gemuk itu adalah adik perempuan ayahnya, tentu tidaklah mengherankan kalau nyonya gemuk itu diam2 selalu memperhatikan dan melindungi dirinya. Tetapi yang membuat Cu Jiang tak habis bertanya mengapa Ho Bun Cai yang menjabat congkoan dari Gedung Hitam, bisa tahu semua hal ini" "Mengapa anda bisa tahu jelas semua peristiwa ini ?" akhirnya ia meminta keterangan juga. Tiba2 mata Ho Bun Cai berlinang-linang. "Tahukah siapa aku ini sebenarnya ?" serunya dengan nada rawan. Cu Jiang terkejut, gelengkan kepala. "Aku ini sebenarnya adalah suhengmu sendiri!" Kali ini benar" Cu Jiang terkejut setengah mati. Hampir ia tak percaya akan apa yang didengarnya saat itu. Ho Bun Cai, cong koan dari Gedung Hitam itu suhengnya " Ah, tidak, tidak mungkin. Tetapi kalau tidak, mengapa dia bisa tahu jelas asal usulnya, keadaan rumah-tangga, tentang diri nyonya gemuk itu. Dan bahkan dia selalu mengejar jejak pelajar baju putih itu. Tindakan2 Ho Bun Cai sebagai tokoh penting Gedung Hitam benar2 tak sesuai dengan perintah perkumpulan itu. Adakah dia seorang mata2 yang menyelundup dalam tubuh Gedung Hitam. Diam2 timbullah percik harapan dalam benak Cu Jiang. Jika demikian halnya, tentulah dia mempunyai jalan untuk membongkar rahasia pemimpin Gedung Hitam. Tetapi seingatnya, waktu masih hidup, mendiang ayahnya tak pernah mengatakan pernah menerima murid. Apakah Ho Bun Cai itu menggunakan siasat halus dengan mengaku sebagai murid mendiang ayahnya" Kalau tidak, mengapa dia bisa menjabat sebagai Congkoan Gedung Hitam" Kalau memang bukan seorang yang setia, bagaimana ketua Gedung Hitam sampai begitu percaya mengangkatnya sebagai congkoan" Mungkinkah tokoh durjana macam ketua Gedung Hitam itu dapat dikelabuhi begitu mudah " "Anda .... mengatakan apa ?" akhirnya ia menegas. "Aku. . .. adalah suhengmu." "Engkau .... suhengku ?" "Sute, dengarkanlah. Selain aku, suhu memang tak pernah menerima murid lain. Dan beliau menerima akupun sangat dirahasiakan sekali. Tak ada seorang dalam dunia persilatan yang tahu hal itu!" Cu Jiang deliki mata. serunya. "Bahwa ayah diagungkan sebagai tokoh Dewa-pedang, semua orang persilatan tahu. Mengapa harus merahasiakan soal menerima murid ?" "Suhu memang memiliki pandangan jauh ke muka yang tajam. Pohon semakin tinggi semakin dilanda angin. Nama makin termasyhur makin terancam. Karena itu beliau lebih dulu telah mempersiapkan rencana." "Tetapi mengapa engkau menghamba sebagai congkoan pada gerombolan semacam Gedung Hitam itu?" "Demi menyelidiki sebuah rahasia!" "Rahasia apa?" "Tentang diri ketua Gedung Hitam itu!" "Apakah sudah berhasil?" Tiba2 seekor burung merpati terbang melintas di udara dengan mengedarkan bunyi kelinting. Wajah Ho Bun Cai berobah dan berseru gopoh: "Sute, lain kali saja kita bicara lagi!" habis berkata ia terus melesat dan lenyap dari pandang mata. Cu Jiang masih tertegun. Siapakah yang telah melepas burung merpati pos itu" Mengapa Ho Bun Cai begitu ketakutan terus bergegas pergi" Mengapa tidak sebelum dan sesudahnya tetapi tepat pada saat Ho Bun Cai sedang akan menuturkan soal penyelidikannya terhadap diri ketua Gedung Hitam, lalu tiba2 burung merpati pos itu tiba2 melayang di atas mereka" Sebenarnya Cu Jiang akan segera mengetahui rahasia yang diinginkan mengenai diri ketua Gedung Hitam atau tiba2 digagalkan oleh seekor buyung merpati. Dan masih banyak hal2 lain yang perlu ditanyakan. Sudah tentu Cu Jiang penasaran sekali. Tetapi tak dapat berbuat apa2. Ho Bun Cai, menurut pengakuannya, adalah satusatunya murid dari mendiang ayahnya. Menurut katanya pula, dia telah mendapat perintah rahasia dari suhunya supaya menyelundup kedalam Gedung Hitam untuk mencari tahu rahasia dari ketua Gedung Hitam. Dan hal itu sudah dilaksanakannya selama belasan tahun. Apakah selama itu masih belum berhasil menyelidiki suatu apa" Bukankah dia menjabat sebagai congkoan yang dekat sekali hubungannya dengan ketua Gedung Hitam" Dan jika dia mempunyai hubungan dengan nyonya gemuk, tentulah sebelumnya dia harus sudah tahu bahaya yang akan menimpa nyonya itu. Tetapi mengapa rumah makan nyonya gemuk itu sampai dibakar oleh kawanan Gedung Hitam. Banyak sekali rahasia yang menyelubungi diri Ho Bun Cai itu. Asal menuju gunung Keng-san tentu dapat menemuinya pula. Setelah meninggalkan pesisir dia mengambil jalan yang besar lagi. Belum seberapa jauh berjalan tiba2 ia melihat sebuah peti warna merah, melintang di tengah jalan. Tutup peti itu dibuang ke tepi jalan dan seorang perempuan menggeletak di samping peti mati itu. Sudah tentu Cu Jiang terkejut sekali menyaksikan pemandangan itu. Saat itu muncul empat orang busu yang berjalan lewat samping peti mati. Rupanya mereka juga terkejut melihat pemandangan di tengah jalan itu. Mereka menjerit dan saling berpandangan lalu lari menghampiri. Seketika wajah mereka pucat dan bergerak menyingkir. Sudah tentu Cu Jiang makin kaget. Dia lari menghampiri. Dan ketika menyaksikan peti mati itu, seketika tegaklah bulu romanya dan menjerit tertahan. Di dalam peti mati ternyata berisi sesosok mayat yang telah dipotong2. Sedang yang menggeletak di samping peti mati itu mayat seorang gadis. Beberapa peralatan dari petimati itu berserakan di sekelilingnya. Apakah artinya itu" Potongan kaki dan tangan dari mayat dalam peti mau itu tak mengucurkan darah lagi. Tentulah sesudah mati, baru korban itu dipotong-potong. "Ganas benar !" diam2 Cu Jiang memaki. Sesaat kemudian ia berjongkok untuk memeriksa mayat gadis itu. Tak terdapat barang sebuah luka pada tubuhnya, entah mati karena apa. Memegang tangannya, ternyata masih hangat. "Ah, belum mati, mungkin masih dapat ditolong." katanya seorang diri. Demi menolong jiwa, Cu Jiang tak mengacuhkan tata susila apa2 lagi. Ia membalikkan tubuh si gadis yang menggeletak miring. Gadis itu baru berumur 18 an tahun. Rambut terurai, mukanya basah dengan airmata tetapi masih cantik sekali. Ketika memandang ke tubuh nya, tergetarlah darah Cu Jiang. Baju nona itu sudah robek sehingga tampak sepasang buah dudanya. Buru2 Cu Jiang berpaling muka. Beberapa saat kemudian setelah menenangkan perasaan, akhirnya ia memutuskan, demi menolong jiwa, tak seharusnya ia mempunyai pikiran yang bukan2. Terlambat sedikit saja, jiwa nona itu pasti takkan tertolong lagi. Dia terus bertindak, memeriksa jalan darah tubuh si nona Hasilnya, ia mendapatkan bahwa jalan darah nona itu telah ditutuk orang. Jika tidak keburu ditolong, dia pasti mati. Tetapi walaupun memeriksa dengan teliti, ia tak dapat meneruskan jalan darah yang mana yang telah ditutuk itu. Lebih dulu ia akan membawa nona itu kesebuah tempat yang sepi dan pelahan-lahan berusaha untuk membuka jalan darahnya Tetapi saat itu terang benderang, berjalan dengan menggotong seorang nona tentu akan mengejutkan orang2. Namun kalau membiarkan saja nona itu menggeletak disitu, itu-pun menyalahi hatinnya sendiri sebagai seorang bu su. Dia berbangkit, memandang keempat penjuru untuk mencari tempat yang sesuai. Tiba2 ia melihat sebuah thiatpau atau lencana dari besi, menggeletak disamping peti mati. "Amanat-maut!" Ternyata orang Gedung Hitam yang melakukan kekejaman ini," serunya. Kini dia mengerti apa sebab beberapa busu yang lalu disitu tadi, tak berani campur tangan. Gedung Hitam mengganas lagi. Kini Cu Jiang makin mantap untuk menolong gadis itu. Ia berjongkok, menutupkan baju nona itu pada bagian dadanya lagi, lalu mengangkatnya. Tetapi ia tertumbuk pula akan mayat dalam peti yang telah dipotong-potong itu. Apa boleh buat, yang mati biarlah mati. Yang hidup perlu ditolong ditolong dulu. Biarlah mayat dalam peti itu diurus orang2 yang lewat disitu. Mayat dalam peti itu rautnya sudah berubah, umurnya lebih dari lima puluh. Entah apa hubungannya dengan gadis itu. Cu Jiang menendang Amanat maut, agar orang2 yang tiba disitu tidak takut untuk menolong orang tua yang sudah menjadi mayat itu. Kemudian dia terus melanjutkan perjalanan menyusur sepanjang sungai. Tetapi hampir satu li berjalan, masih juga ia belum melihat sebuah tempat yang sesuai. Tiba2 pada sebatang pohon yang tumbuh ditepi sungai, tertambat sebuah perahu nelayan. Segera ia menghampiri perahu itu dan berseru memanggil pemiliknya. Tukang perahu muncul. Melihat Cu Jiang membawa Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo seorang gadis, tukang perahu itu terkejut. "Apakah tuan hendak menyewa perahu?" "Membeli perahumu !" "Apa " Mau membeli ?" "Ya." "Tuan, aku mengandalkan perahu ini untuk cari makan. Tak kujual." "Berapa kira2 harga perahu semacam ini kalau masih baru?" "Tidak kujual!" "Hanya tanya saja berapa harganya?" "Kalau baru paling tidak antara sepuluh tail perak." "Bagaimana kalau kuberimu dua-puluh tail perak?" Beberapa orang yang muncul lagi dari dalam ruang perah itu pun tidak percaya. "Tuan mengatakan apa?" "Dua puluh tail perak untuk perahumu ini." Pemilik perahu mengusap-usap kepala dan sesaat kemudian berteriak. "Baik, kujuallah!" Cu Jiang merogoh kepingan perak, dilemparkan kepada pemilik perahu yang menyambuti dengan tertawa gembira. "Tuan mau mendayung sendiri atau suruh aku . . ." "Sendiri!" "Baik, kami akan turun." "Angkat semua barang-barangmu." Dengan gembira tukang perahu itu segera memindahkan semua barangnya, menyapu lantai geladak sampai bersih lalu mempersilakan Cu Jiang. "Tuan, perahu ini menjadi milikmu!" tukang perahu dan beberapa kawannya segera loncat ke daratan. Cu Jiang terus loncat ke dalam perahu. Meletakkan si nona di atas tempat tidur kayu yang butut dan dia sendiri terus naik ke atas geladak. Dan perahupun mulai meluncur terbawa arus. Tak berapa lama perahu tiba di sebuah rumpun ilalang. Cu Jiang hentikan perahu. Setelah menambatkan pada sebatang pohon, dia terus masuk ke dalam ruang. Gadis itu masih pingsan. Kalau tak lekas ditolong tentu mati. Cu Jiang mulai memeriksa lagi jalan darah nona itu. tetapi baru diketahuinya bahwa jalan darah yang tersumbat itu terletak pada bagian bawah perut. Ah .... Cu Jiang terkesiap. Bagaimana mungkin seorang pria akan mengurut jalan darah di bawah perut seorang gadis" Cu Jiang ki mengucurkan keringat dingin. Dia benar2 diuji hatinya. Betapa tidak, baju si gadis yang robek itu memperlihatkan dua gunduk buah dadanya yang putih. Sedang tubuh si gadis yang menyiarkan bau harum, benar2 membuat Cu Jiang berdebar-debar. Seharusnya dia suruh saja beberapa jago Tayli yang mengawalnya itu untuk melakukan pekerjaan menolong si nona. Tetapi kemanakah harus mencari mereka. Dan tentu memakan waktu menemukan mereka, si nona sudah tak dapat ditolong lagi. Akhirnya ia nekad. Dengan pejamkan mata ia mulai bekerja. Melepaskan baju si nona lalu membuka celananya dan pelahan-lahan tangannya mulai mengurut jalan darah dibawah perutnya. Tangannya gemetar dan bajunyapun basah kuyup dengan keringat. Orang yang telah menutuk jalan darah sinona itu memang ganas sekali serta memiliki ilmu tutuk yang lihay. Jika tak bertemu tokoh semacam Cu Jiang, tentu sukarlah nona itu tertolong jiwanya. Setelah selesai membuka Jalan darah sinona, Cu Jiang sandarkan diri pada dinding ruang dan napasnya terengahengah seperti orang yang habis kerja berat. Tak berapa lama, napas nona itu makin lancar dan tak lama kemudian dia membuka mata, memandang ke sekeliling. "Siapa engkau ?" tiba2 ia melonjak kaget ketika melihat Cu Jiang. "Toan-kiam-Jan-jin !" "Toan-kiam jan jin?" "Benar." Gadis itu menyiak rambutnya yang menutup muka. Ketika menunduk dan melihat bajunya robek2, marahnya bukan kepalang. "Kuhantam mampus engkau, iblis Jahanam !" serunya seraya menghantam. Karena jaraknya amat dekat, hampir berhadapan, maka Cu Jiang tak dapat menghindar. Jika menangkis, ia kuatir akan melukai nona. Terpaksa ia menyambar pergelangan tangannya. "Nona, engkau salah faham!" "Salah paham" Kalian kawanan anjing Gedung Hitam, harus dibunuh!" Ia meronta tetapi tak mampu terlepas. Akhirnya ia menghantam kepala Cu Jiang dengan tangan kiri. Tetapi kembali Cu Jiang menyambar pergelangan tangannya. "Nona harap tenang. Cobalah ingat lagi peristiwa yang engkau alami." "Tak perlu, engkau atau aku yang mati..." Karena kedua tangannya dikuasai, nona itu ayunkan kaki menendang dada Cu Jiang. Cu Jiang miringkan tubuh lalu mendorong si nona ke ranjang lagi:. "Salahkah aku karena menolongmu?" Dara itu tertegun lalu menangis. Cu Jiang melengos memandang ke luar jendela. pemandangan yang dihadapinya saat itu benar2 menggetarkan hatinya. "Harap nona jangan menangis. Aku hendak bertanya kepadamu." beberapa saat kemudian Cu Jiang berseru. Nona itu menurut tetapi masih terisak-isak, katanya: "Siapakah nama sauhiap?" "Toan-kiam-jan Jin." "Aku mohon tanya nama anda," "Aku tak punya nama lain." "Apakah sauhiap yang menolong aku?" "Ya " "Mengapa berada di perahu ini ?" "Untuk menolong jiwa nona." "Dan jenasah ayahku?" "Oh, itu .. .. ayahmu..." Airmata nona itu bercucuran lagi dan dengan mengertak gigi mengiakan. "Siapa nama nona?" "Pui Ji-Ji." Cu Jiang tergetar. Sungguh sebuah nama yang menarik. "Maukah nona Pui menuturkan tentang peristiwa yang nona alami ?" Ji ji mengusap airmatanya lalu dengan menahan isak bercerita: "Ayahku bernama Pui Lim, seorang busu. Ayah bekerja sebagai pengawal dari gedung Tio gisu dikota Seng tou. Mamaku sudah meninggal, kami hanya hidup berdua ayah dengan anak . . . "Ah, tahukah nona siapa pembunuh ayah nona itu ?" "Tahu. Kawanan iblis dari Gedung Hitam." "Apa sebabnya ?" "Kabarnya ketika Tio gi-su menjabat di kota raja, secara tak sengaja pernah mendapat sebuah mutiara dari seorang utusan negeri lain, mutiara itu disebut Hiat-liong-cu." "Hat liong-cu ?" Cu Jiang terkejut. "Ya. mutiara itu mempunyai khasiat untuk menolak bahaya api, air dan segala racun. Maka menjadi incaran orang persilatan ... "Lalu ?" "Sebulan yang lalu, pada malam hari datanglah seorang bunsu (sastrawan) yang menyampaikan perintah tuannya, minta supaya dalam waktu setengah bulan, ayah mencuri mutiara itu dan menyerahkan kepadanya. Kalau tidak. keselamatan Jiwa ayah tak terjamin." Cu Jiang mengangguk. Diam ia menduga, bun-su pertengahan umur itu tentulah Ho Bun Cai, yang mengaku sebagai suhengnya. Pui Ji ji mengucap airmatanya pula. "Ayah seorang yang berhati lurus. Sudah tentu dia tak mau melakukan pekerjaan hina itu terhadap Tio gisu yang baik budi. Tetapi dia takut akan ancaman gerombolan Gedung Hitam. Begitu sudah tiba waktu yang dijanjikan, ayah lalu minta berhenti, membawa aku pulang ke kampung halaman." Tetapi ketika tiba di Kun ciu, kita telah disergap mereka. Aku seorang anak perempuan, setelah ayah bundaku meninggal, bagaimana aku dapat hidup .... " Ia mengusap air matanya lagi. "Beberapa kali hendak bunuh diri, selalu digagalkan oleh orang yang baik hati. Kali ini bersama ayah pulang ke kampung, akhirnya dibunuh oleh musuh. Ayah dibunuh dan akupun juga dicelakai." sampai disini gadis itu menangis tersedu sedan. "Hutang jiwa harus bayar jiwa. Harap nona lihat saja." seru Cu Jiang dengan menggeram. Ji-ji memandang Cu Jiang lalu mendadak. Melihat bajunya compang camping ia menangis makin keras sehingga Cu Jiang sibuk menghiburnya. "Selama kawanan iblis itu masih merajalela memang banyak sekali orang sengsara. Nona termasuk salah seorang korban keganasan mereka." Ji-ji tiba2 berbangkit dan berseru: "Budi kebaikan siauhiap. kelak dalam penitisanku yang akan datang, tentu ku balas!" Habis berkata dia terus melangkah keluar. "Nona mau ke mana?" buru-2 Cu Jiang mau cegah. "Akan menyusul ayah!" "Ah, mengapa nona bertindak begitu" Apakah ayah nona akan meram di alam baka?" "siauhiap . . . aku . . . aku . . . bagaimana dapat hidup dalam dunia ini!" "Duduk dan marilah kita bicara yang tenang." Ji-ji menurut, lalu bertanya dengan masih terisak-isak: "Apakah .... yang harus kukatakan?" "Silahkan, apa saja yang nona hendak katakan." Sambil menunduk, nona itu berkata: "Ah, sebenarnya aku ini seorang manusia yang tak kenal budi . . ." "Ya, silakan bilang apa saja. Di sini tak ada orang lain. " "Walaupun aku bukan anak seorang keluarga ternama atau berpangkat, tetapi akupun mengerti tentang susila seorang wanita..." "Bagaimana?" "Ini... suruh harus mengatakan bagaimana?" "Tak apa. Nona hendak mengatakan apa saja, aku takkan marah." Pui Ji ji mengangkat muka memandang Cu Jiang, katanya: "Diambil isteri atau dijadikan pelayan, mohon siauhiap suka menerima diriku." Kejut Cu Jiang bukan kepalang. "Mengapa nona mengatakan begitu ?" Sambil terisak-isak Ji Ji berkata. "Aku bukan seorang gadis yang tak punya rasa malu. Jika siauhiap tak meluluskan, aku . . . lebih baik mati" "Eh, bagaimana begitu ?" Cu Jiang kelabakan dibuatnya. "Siauhiap sudah... menyentuh tubuhku. Bagaimana aku... dapat menikah dengan lain orang lagi ?" Cu Jiang tertawa meringis. "Nona, hal itu kulakukan demi membuka jalan darah guna menolong jiwamu. Sama sekali aku tak bermaksud melakukan perbuatan yang hina..." "Ya .... maka kecuali mati, tak ada jalan lain yang layak kutempuh !" "Nona juga seorang puteri persilatan, mengapa terlalu terikat pada peraturan yang begitu?" "Itu bukan tata aturan." seraya menarik dada bajunya sehingga kedua buah dadanya berguncang-guncang lagi. Sekilas teringat akan tindakannya membuka jalan darah nona itu, merahlah muka Cu Jiang. Betapapun dia seorang muda yang masih berdarah panas. Iapun teringat akan hubungannya dengan si Jelita Ho Kiong Hwa. Belum dia menyelesaikan perjodohan yang hendak diatur Ang Nio Cu. sekarang sudah bertambah dengan seorang nona lagi. "Ah, apa wanita itu memang tak layak ditolong ?" pikirnya. Teringat akan perjanjiannya dengan Ang Nio Cu, iapun terkesiap. Waktu perjanjiannya dengan Ang Nio Cu sudah lebih dari setahun. Bagaimana nanti kalau bertemu dengan Ang Nio Cu lagi " Dan bagaimana dia harus menyelesaikan gadis yang bernama Pui Ji-ji ini " "siauhiap, aku sudah menebalkan kulit muka untuk mengutarakan isi hatiku. Sekarang bagaimana jawaban siauhiap?" seru Ji-ji pula. Cu Jiang gemetar tangannya. Ia bingung. Kalau menolak tentulah akan menyinggung perasaannya dan tentulah nona itu akan nekad bunuh diri. Sampai lama ia memutar otak baru kemudian berkata: "Nona Pui, musuhku tak terhitung banyaknya. Entah pagi entah sore, setiap saat jiwaku terancam. Harap engkau pikir yang masak lagi." "Tidak! Keputusanku sudah tetap, tak dapat dirobah lagi!" "Percuma saja engkau ikut aku. Engkau tentu tak bahagia..." "Tidak peduli, siauhiap mati akupun akan ikut mati! " Mendengar kenekadan gadis itu, mau tak mau tergerak juga hati Cu Jiang. Terus terang, walaupun demi untuk melakukan pertolongan, tetapi dia telah menyentuh bagian Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo yang paling dirahasiakan oleh seorang gadis. Menilik wajahnya, Ji-jipun tak kalah dengan Ho Kiong Hwa, bahkan dengan puteri raja Tayli. Tetapi dia sendiri" Ah, ketika teringat akan wajahnya yang sudah rusak, dinginlah hatinya. "Tidak, aku seorang cacad!" Tanpa banyak pikir, Ji ji kontan menjawab: "Bagiku, bagaimanapun wajah dan keadaan siauhiap, pokok aku dapat melayani siauhiap!" "Pada satu saat nona pasti kecewa!" "Tidak!" teriak Ji ji. "Tetapi maaf, aku tak dapat nona." Mendengar itu Ji ji memandang rawan ke arah Cu Jiang, lalu berbangkit hendak melangkah keluar. Cu Jiang terpaksa mencegahnya lagi. "Apakah siauhiap meluluskan?" "Kita rundingkan lagi." "Aku tak berani mengharap menjadi isteri siauhiap. Pokok asal siauhiap suka menerima diriku, aku sudah bahagia." "Nona yakin kalau aku belum beristeri?" "Tak jadi apa. Sebagai isteri atau selir, pun boleh." "Jangan mencinta secara buta. Silahkan duduk," tiba2 Cu Jiang lepaskan cekalannya dan tiba2 Ji-jipun terhuyung jatuh ke dada pemuda itu. Cu Jiang bicara sambil duduk. Bahwa sesosok tubuh yang lembut dan harum tiba2 menekan dadanya, ia gugup dan hendak mendorongnya. Tetapi sepasang lengannya secara tak sengaja telah memegang dua gunduk daging lembut yang menghias dada si nona. Seperti kena aliran stroom, dia cepat2 menarik kembali. Ji-ji seperti tergelitik geli dan makin merapat ke dada Cu Jiang. Cu Jiang kehilangan diri dan terlongong. Hawa harum makin menyerbak hidung dan darah mudanya pun makin mengelora. Walaupun dia seorang patung malaekat yang terbuat dari baja, tetapi dalam menghadapi saat seperti itu, tentu akan luluh juga. Apalagi dia hanya seorang manusia biasa, seorang anak muda yang masih panas darahnya. Mempunyai gelora asmara atau perasaan. Tubuh Ji ji menggigil tak henti-hentinya. Bau harum dari tubuhnya makin membius. Suasana saat itu sunyi senyap sehingga napaspun terdengar. Darah Cu Jiang makin deras, jantungnya mendebur keras sekali dan napaspun makin berat. Tubuhnya terasa panas. Ji-ji menengadahkan muka. sepasang bibirnya yang mungil merah gemetar. Matanya memancarkan sinar bening yang penuh pesona. Ah, saat itu pria manakah di dunia ini yang sanggup menghadapi tantangan semacam itu" Cu Jiangpun berantakan imamnya. Ia dapat ditundukkan. Serentak kedua lengannya yang kokoh memeluk pinggang si nona, matanya menatap mata si dara. Dan Ji jipun pasrah bagai seekor domba. Pada lain kejap, dua pasang bibir telah merapat dengan hangat. Sejak dahulu kala hingga sekarang, seorang ksatria sukar untuk melawan godaan wanita cantik. Dan Cu Jiangpun tak terkecuali. Pada saat keduanya terbenam dalam kehangatan ciuman yang mesra. Tiba2 Cu Jiang melihat wajahnya terbayang pada biji mata Ji-ji. Ia melihat bahwa saat itu mukanya tertutup kain cadar. Dan seketika timbullah rasa ngeri apabila sekarang akan wajahnya yang telah rusak itu. Buruk muka! Cacat kaki! Tubuh berlumur darah musuh Bahu memikul beban berat! Serentak ia menyiak dara itu lalu berkisar ke haluan perahu dan menghembus napas longgar. "Sungguh berbahaya!" diam2 ia berseru. Karena didorong, Ji Ji terpelanting jatuh telentang. Dia menjerit kaget: "Koko. engkau kenapa ?" "Kita tak boleh melakukan begitu !" "Kenapa ?" "Soal yang menyangkut kepentingan seumur hidup, masakan diselesaikan karena secara kebetulan ?" "Tetapi .... aku sudah menjadi milikmu!" "Itu persoalan lain !" Ji ji tetap tak mau bangun dan mulai menangis seraya berseru rawan: "Koko, apakah engkau tak mau lagi kepadaku ?" Dengan mengertek gigi, Cu Jiang menjawab: "Aku tak mengatakan kalau tak menghendaki engkau." "Tetapi engkau memperlakukan begitu!" "Nona Pui . . ." "Mengapa tak mau memanggil namaku saja?" Cu Jiang terpesona lagi tetapi untung dia dapat menahan diri. "Ji ji . . ." "Ehm..." "Kalau kita mau menikah, harus ada yang menjadi perantara dan saksi." "Langit yang menjadi perantara, sungai menjadi saksi. Apakah itu tidak cukup?" "Tidak, Ji ji, harus tunggu sampai lain waktu." "Lalu aku.... seorang gadis yang sudah sebatang kara dan mengembara di dunia persilatan, apakah Gedung Hitam mau membiarkan saja?" Memang betul. Gedung Hitam pasti takkan membebaskan dia. Lalu bagaimana baiknya" Dia sendiri pun sudah sebatang kara. Tiada rumah tiada keluarga. "Ji-ji, apakah engkau punya keluarga yang dapat engkau ikuti?" serunya. "Oh, engkau hendak menghindari aku . . ." "Bukan begitu. Aku masih mempunyai banyak persoalan besar yang harus kukerjakan. Engkau harus mempunyai tempat tinggal yang aman." "Lalu besok bagaimana?" "Setelah urusanku selesai, aku tentu akan mengambilmu sebagai isteri." "Memperisteri diriku" Engkau... belum beristeri?" "Belum." "Kekasih?" Serentak terkilas bayang2 Ki Ing dan Ho Kiong Hwa dalam benak Cu Jiang. Walaupun kedua jelita itu memang menaruh hati kepadanya, tetapi belum dapat digolongkan sebagai kekasih. Maka dia pun gelengkan kepala dan menyahut: "Tidak punya." "Ah, aku sungguh beruntung sekali." Ji-ji tertawa cerah, Secerah bunga di pagi hari. Namun hati Cu Jiang kecut. Pada suatu saat apabila dara itu tahu wajahnya yang rusak, apakah dia akan tetap merasa bahagia " "Tak mungkin engkau bahagia !" katanya dengan hambar. "Mengapa ?" Ji-ji heran. "Bukan saja takkan bahagia, pun engkau bahkan akan kecewa !" Sambil menyiak rambutnya yang terurai Ji-ji deliki mata. "Mengapa?" "Aku seorang cacat!" Cu Jiang tertawa masam. "Kakimu pincang?" "Masih ada yang lebih hebat lagi." "Bagaimana hebatnya?" "Wajahku .... sudah rusak !" "Itu lebih baik!" "Apa maksudmu ?" "Aku tak kuatir engkau direbut orang." "Ah, itu nanya omongan iseng saja." "Koko, aku menginginkan hatimu, tak peduli engkau ini cacat bagaimana saja." Memang kebaikan seorang Jelita itu sukar sekali ditolak dan Cu Jiangpun tergerak mendengar pernyataan itu. Ia memeluk Ji Ji dan berkata dengan nada tegang: "Ji Ji, aku tak berharga untuk cintamu yang begitu besar." Ji-Jipun rebahkan kepala di dada Cu Jiang dan berbisik: "Koko, Jangan berkata begitu. Jiwaku adalah engkau yang telah menghidupkan." "Oh. engkau dasarkan pada membalas budi?" "Sebagian, tetapi yang penting..." "Apa ?" Ji ji menggeser kepalanya menyusup kedada pemuda itu dan dengan manja berkata: "Engkau sudah tahu tetapi pura2 tak tahu biar aku malu..." Cu Jiang mengusap-usap bahu si dara. "Ji ji, aku cinta kepadamu." katanya. "Ah, koko, aku seperti bermimpi mendengar ucapanmu itu. Matipun aku puas." Cu Jiang tak berkata lagi. Ia benar2 tenggelam dalam lautan asmara yang menghanyutkan. Kepasrahan Ji-ji dengan wajahnya yang cantik, senyum menggiurkan dan tubuh yang putih mulus membias keharuman itu, telah melelapkan kesadaran Cu Jiang. Dia sudah tak dapat menguasai diri lagi dan tangannyapun mulai melepaskan pakaian si dara dan... "Toan-kiam jan-jin, engkau cari mati!" tiba2 dalam saat yang gawat. Cu Jiang mendengar lengking seruan orang dari atas geladak. Tidak keras tetapi cukup menusuk telinga. Jelas orang itu tentu memiliki tenaga-dalam yang kuat " Cu Jiang terkejut. Nafsunya hilang seketika dan serentak dia loncat keluar ke geladak. Tetapi diluar hanya gerumbul rumput ilalang yang menggunduk di sekeliling dan debur arus sungai, tak tampak barang seorang manusiapun jua. "Koko, ada apa ?" Cu Jiang berpaling dan suruh dara itu tetap berada dalam ruang bawah. Setelah mengeliarkan pandang ke sekeliling penjuru, lalu berseru dengan sarat. "Sahabat dari mana itu " Mengapa tak mau unjuk diri?" "Toan-kiam Jan-jin, engkau cari mampus. Bukan begitukah caranya ?" Suara itu berasal dari balik pohon. Nadanya suara seorang wanita yang tak asing lagi. Cu Jiang tegang sekali. Orang itu tak lain adalah yang hendak ditemuinya tetapi ia takut bertemu, ialah Ang Nio Cu. Apakah semua yang terjadi dalam perahu itu telah diketahui semua olehnya " "Bukankah anda ini Ang Nio Cu ?" "Ho, kiranya engkau masih mengenal!" "Hendak memberi pesan apa?" "Engkau sudah mati dua kali." Cu Jiang terkejut. "Bagaimana aku sudah mati sampai dua kali?" "Tidak percaya?" "Bukan tidak percaya, tetapi tak mengerti." "Engkau ternyata juga romantis sekali sehingga tak tahu mati...." "Apa maksud anda ?" "Tanya sendiri kepada dirimu !" Wajah Cu Jiang merah tetapi dia terus menjawab: "Aku tak melakukan perbuatan seperti yang anda katakan itu." Ang Nio Cu tertawa sinis. "Masih menyangkal?" "Tak perlu." "Apakah engkau anggap aku terlalu usil mencampuri urusanmu?" "Aku tidak menganggap begitu." "Lalu mengapa tak mau mengakui?" "Ya, memang aku telah menolong seorang nona." "Dan perahu itu memang sebuah tempat in-de-boy yang asyik ...." "Hanya agar dapat tenang mengobatinya." "Dan untuk mengantar jiwamu." "Mengapa anda tak mau berkata terus terang?" Tiba2 dari bawah ruang perahu terdengar Ji-ji berseru terkejut: "Koko, aku takut." "Tak perlu," kata Cu Jiang, "orang itu tak bermaksud jahat." Ang Nio Cu tertawa dingin "Toan-kiam jan-jin, engkau sungguh tak tahu atau hanya pura2 saja?" "Benar2 aku tak mengerti ucapan anda, " seru Cu Jiang. "Engkau akan mengerti. Bawalah siluman rase itu ke darat sini!" "Apa" Siluman rase . . ." "Ya, jangan sampai dia dapat lolos!" Dari ruang perahu terdengar pula Ji-ji berseru gemas: "Koko, engkau percaya pada omonganku atau dia?" Cu Jiang agak bingung. "Aku tak mengerti bagaimana sebenarnya urusan ini" " "Sederhana sekali." "Sederhana?" "Benar. Hanya wanita yang tahu jelas hati wanita, " kata Ji ji. "Bagaimana?" tanya Cu Jiang. "Dia mungkin mencintaimu!" Tergetar hati Cu Jiang mendengar kata2 Ji-ji itu. "Ang Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Nio Cu tak mungkin mencintai dirinya. Tetapi wanita itu memang menjadi jomblang untuk menjodohkan dirinya dengan Ho Kiong Hwa. Tetapi apakah kata2 Ji-ji itu benar . . ." "Atas budi pertolongan anda kepadaku, aku pasti takkan melupakan . . . . " serunya kepada Ang Nio Cu. "Itu soal lain. " sahut Ang Nio Cu, "aku hendak menangkap siluman rase itu." "Mengapa?" "Apa engkau tergila-gila kecantikannya?" "Aku bukan manusia semacam itu!" "Kalau tidak, lekaslah lakukan permintaanku tadi." "Aku mohon penjelasan dulu." "Segera engkau akan tahu." "Apakah anda tak mau memberi keterangan?" "Tidak!" "Ini . . . apakah tidak berani anda mencelakai orang?" "Kecuali kalau engkau memang sudah tak ingin hidup lagi" "Harap anda jangan membuat teka teki ..." "Tahukah engkau dia itu siapa?" "Dia bernama Pui Ji ji, dicelakai oleh gerombolan Gedung Hitam . . ." "Dan engkau percaya?" "Aku melihat dengan mata kepala sendiri." "Seluruh peristiwa?" Cu Jiang terbeliak. "Dia menggeletak di tengah jalan dan kutolong . . ." "Seorang ksatrya akan dikelabuhi dengan cara keksatriyaan. Toan kiam-jan jin, masih banyak hal2 yang perlu engkau pelajari. Ilmu silat bukan suatu jaminan dapat mengatasi segala apa. "Apakah dia . . ." "Dia memainkan perannya dengan sempurna sekali. Dan ini memang keistimewaan dari wanita2 yang telah dilatih." "Dia menjalankan peran?" Tiba2 dari ruang perahu Ji-ji melengking keras: "Biar aku mengadu jiwa dengan dia ..." "Ji-ji, tenanglah, jangan keluar!" cegah Cu Jiang. "Tetapi koko .... apakah engkau mampu melindungi keselamatanku?" "Bila perlu, tentu." "Tetapi koko fitnah itu amat berbisa. Dia pandai mengada-ada untuk merangkai fitnah . . ." "Sudahlah, jangan bergerak." "Tetapi . . . aku . . . toh sudah tak menghiraukan soal mati hidup lagi!" serunya dengan nada marah dan putus asa. Dan arah daratan terdengar Ang Nio Cu berseru pula: "Toan kiam-jan-jin, pernahkah engkau mendengar nama Hoa Goet?" Tergetar hati Cu Jiang seketika. Baru beberapa hari saja dia menghadapi peristiwa gerombolan wanita2 cabul itu. Sudah tentu dia tahu. "Tahu," Cu Jiang menggeram, "mereka perempuan2 hina yang harus dilenyapkan." "Bagus, bunuhlah lebih dulu siluman dalam perahu itu!" "Dia .... juga . . ." Cu Jiang berputar tubuh memandang Ji ji. "Apakah engkau benar perempuan jalang dari gerombolan Hoa-gwat bun?" tegurnya dingin. Karena benci sekali kepada pemimpin Hoa gwat-bun yang telah bersekongkol dengan Sebun Ong untuk menipunya, maka begitu bicara dia terus gunakan kata2 yang kasar. Wajah Ji-ji berobah seketika. "Aku tak tahu apa itu Hoa gwat-bun. Fitnah itu benar2 merupakan siasat busuk dari orang Gedung Hitam!" serunya tak kalah keras. Cu Jiang tahu bahwa Ang Nio Cu merupakan musuh bebuyutan dengan Gedung Hitam. "Tak usah menyinggung-nyinggung Gedung Hitam. Bilang terus terang!" bentaknya. "Aku matipun tak apa, karena manusia semacam diriku yang bernasib jelek tentu tetap jamak," Ji-ji mengertek gigi, lalu melesat keluar. "Hai, mau apa engkau," Cu Jiang cepat menghadangnya. "Koko, engkau dan aku, dalam kehidupan sekarang tak dapat terangkap sebagai suami isteri, biarlah kelak dalam penitisan yang akan datang kita berjumpa lagi! " seru Ji ji dengan kalap. "Jangan sampai dia lolos!" teriak Ang Nio Cu. Tetapi pada saat itu Ji ji sudah loncat ke dalam air. Cu Jiang ulurkan tangan hendak menyambar tetapi saat itu lengannya terasa kesemutan seperti terkena tusukan. Terpaksa dia lepaskan cekalannya, blung. Tubuh Ji-Jipun tercebur dalam air dan tak lama lenyap ditelan arus. Cu Jiang memandang terlongong-longong kearah sungai. "Ai, dia nekad mengubur diri dalam sungai," pikirnya. Sampai lama tak terdengar suara Ang Nio Cu. Cu Jiang mulai curiga, pikirnya: "Dia mendesak orang sampai mati, apakah terus ngacir ?" "Mengapa anda tak berkata lagi?" serunya. Tak ada penyahutan. Cu Jiang mulai gelisah. Apakan benar2 Ang Nio Cu memang hendak memfitnah Ji-ji supaya mati" Kalau tidak mengapa sekarang dia diam saja " Pikir dia tiba pada suatu kesimpulan Bahwa oleh karena kepentingan peribadi, Ang Nio Cu tak segan untuk memfitnah seorang dan sehingga mati secara begitu sia-sia. Diam2 ia merasa bertanggung jawab akan kematian Ji ji. Mengapa dia begitu saja mau percayai omongan Ang Nio Cu. Tiba2 ia rasakan lengannya yang terkena tusukan tadi mulai menyerang ke atas bahunya. Ketika memeriksanya pada tempat bekas tusukan ia telah memupuk sebuah lingkaran darah warna merah hitam. "Racun!" seketika ia terkejut sekali. Segera dia kerahkan tenaga-dalam untuk menghentikan peredaran racun itu. Kini dia harus merombak semua pikirannya tadi. Pada waktu hendak mencebur ke dalam sungai dan dicekalnya, Ji ji telah menusuknya dengan benda beracun. Jelas apa yang dikatakan Ang Nio Cu itu benar semua. Sebun Ong menggunakan Cian Su Nio ketua Hoa gwatbun dan muridnya yang bernama Soh-hun li untuk menyamar sebagai Ratu kembang Tio Hong Hui dan anak gadisnya, telah terbongkar rahasianya. Mungkin mereka hendak menggunakan siasat racun untuk membunuhnya. Kepala Cu Jiang mulai terasa pusing, pandang matanyapun berkunang-kunang. Dia duduk bersandar pada dinding geladak. Kesadaran pikirannya mulai kabur. Entah sampai berapa lama, ketika membuka mata, ia masih dapatkan dirinya berada diatas perahu. Tetapi sudah berbaring diatas tempat tidur kayu dalam ruang perahu. Diatas geladak duduk seorang wanita yang mukanya ditutup dengan kain merah. Siapa lagi kalau bukan Ang Nio Cu. Cu Jiang coba untuk menyalurkan tenaga dalam, ia rasakan agak lancar. Hanya lengannya yang terluka tadi, seolah-olah tak ada atau mati-rasa. "Apakah aku . . . terkena racun?" "Ya." Ang Nio Cu menjawab dingin. "racun yang ganas sekali Racun Toan-bun tok dari perkumpulan Hoa-gwatbun!" "Toan bun-tok?" "Hm. racun yang tiada obatnya lagi. Sedang yang punya racun sendiri juga tak punya obat penawarnya. Kecuali terhadap musuh besar atau lawan yang harus dilenyapkan jiwanya, racun itu tak sembarangan digunakan." Serasa terbang semangat Cu Jiang mendengar keterangan itu. "Kalau begitu, aku .... pasti mati, " katanya dengan nada getar. "Mungkin!" Tiba2 Cu Jiang mendengar suara orang merintih pelahan. Ternyata dibawah kolong geladak yang terletak di muka tempat tidur itu menggeletak seorang dara yang basah kuyup. Hai, Pui Ji ji! Dengan mengertek gigi, Cu Jiang menggeliat bangun dan berseru geram: "Akan kubunuhnya . . ." "Jangan bergerak dulu." cegah Ang Nio Cu, "sudah kuminumkan pil tik-tok wan kepadamu. Tetapi dayanya hanya dapat melindungi jiwa dalam waktu yang terbatas. Jika engkau marah maka racun itu akan berkembang dan menyerang ulu hatimu. Biarlah sekarang dia merasakan buah yang di tanamnya." Cu Jiang memandang ke arah Ji ji yang ternyata seekor ular berbisa Gadis itu tengah memandangnya dengan sorot mata memohon kasihan. "Engkau bernama Rase Kumala! " bentaknya. "Ya..." "Murid dari Hoa gwat-bun?" "Hm." "Mengapa engkau mencelakai aku?" "Menjalankan perintah atasan." "Perintah dari Ciam Su Nio?" "Ya." "Mengapa?" "Entah." "Engkau . . . jalang hina, sampah dunia persilatan. Engkau bermain sandiwara dengan bagus sekali. Sekarang tamatlah riwayatmu." "siauhiap .... aku berbuat begitu lantaran terpaksa . . ." "Hm, benar, karena terpaksa. Entah berapa banyak jiwa yang melayang karena perbuatanmu yang terpaksa itu. Aku terpaksa harus mencincang mu . . ." Ang Nio Cu melesat ke muka. "Siluman ini pura2 membuang diri ke dalam sungai tetapi sebenarnya dia hendak meloloskan diri. Ketika aku menyelam ke dalam air ternyata dapat membekuknya." Kemudian ia alihkan mata memandang berkilat2 kepada Rase Kumala, serunya. "Rase kecil, engkau bunuh dirimu sendiri saja!" "Ang cianpwe." Rase Kumala merintih-rintih. "mohon suka mengampuni jiwaku seorang perempuan hina ini." "Seorang pendekar pedang yang menyinari dunia persilatan, saat ini sedang menghadapi kematian. Apakah engkau berharap hidup?" Tahu bahwa sia2 saja ia memohon hidup, Rase Kumala nekad. Mencabut tusuk kundai pada sanggulnya ia terus menusuk sikunya sendiri. Hanya dalam beberapa kejap saja, dari ketujuh lubang tubuhnya mengalirkan darah. putuslah jiwanya. "Apakah yang digunakan untuk menusuk tangannya juga tusuk kundai itu" " seru Cu Jiang. "Ya, memang benda itu," kata Ang Nio Cu. "dinamakan Toan hun-emn. Cobalah renungkan, betapa besar kesempatan yang diperolehnya untuk membunuh engkau?" Cu Jiang terkejut dan diam2 menyesal. Teringat akan adegan2 yang romantis itu, wajahnya makin merah. Memang benar, pada saat pikirannya limbung dirangsang nafsu, mudah sekali bagi Rasa Kumala untuk membunuhnya. Jika Ang Nio Cu tak keburu datang, dia tentu sudah mati. Dia makin mendapat pengalaman, betapa ganas, licik dan keji insan2 dalam dunia persilatan itu. Menurut Ang Nio Cu. racun Toan-bun tok itu tiada obatnya. Dengan begitu jelas dia tentu mati. Mati dia tak masalah. Tetapi kalau harus mati di tangan perempuan jalang semacam gerombolan Hoa-gwat-bun, dia benar2 tak rela. "Masih ingat perjanjian tempo hari?" tiba2 Ang Nio Cu menegurnya. "Masih." "Lalu bagaimana keteranganmu?" "Saat ini aku sudah terkena racun Toan hun tok. Aku tentu mati. Apa guna aku harus memberi keterangan?" "Tidak! Seorang ksatrya harus pegang janji. Selama engkau masih dapat bicara, harus melaksanakan janji itu!" Cu Jiang tertawa meringis. "Lalu . . . apa yang harus kukatakan?" "Cukup mengatakan, engkau suka atau tidak suka mengambil Ho Kiong Hwa sebagai isteri?" Sukar untuk mengatakan perasaan hati Cu Jiang saat itu. Dia ingin membuka kain penutup muka Ang Nio Cu. Ingin ia melihat bagaimana wajah yang sebenarnya dari wanita yang misterius itu. Masakan tahu dia pasti mati karena racun itu, masih tetap didesak untuk memberi jawaban tentang pernikahan dengan Ho Kiong Hwa. Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Apakah anda tak memikirkan kepentingan nona Ho?" tanyanya. "Kepentingan apa?" "Aku tak lama tentu mati. Apakah hal itu tidak menelantarkan hidupnya . . ." "Itu lain persoalan." "Anda tetap hendak menjadi jomblang untuk nya?" "Benar, semua aku yang memutuskan!" "Aku sungguh tak mengerti ..." "Tak usah banyak pikir, engkau suka atau tidak?" Cu Jiang kewalahan. Pikirnya: "Aku toh pasti mati. Dan karena menjaga gengsi maka Ang Nio Cu sampai bertindak begitu. Ia pun merasa bahwa dirinya tak sembabat menjadi jodoh Ho Kiong Hwa" Setelah merenung beberapa saat. akhirnya ia mengangguk : "Baik, aku menurut." "Tetapi apa keluar dari ketulusan hatimu?" "Tentu. Masakan dalam persoalan yang begitu penting, aku hanya berolok-olok ?" "Baik, ini sudah menjadi keputusan," kata Ang Nio Cu, lalu mengambil sebuah benda dan dilemparkan Cu Jiang, katanya: "Terimalah, itu tanda pengikat dari fihak isterimu." Cu Jiang menyambuti dan memeriksa. Sebuah kantong kecil sulaman. Dia tertegun. Sebenarnya dia sembarangan saja menyetujui karena toh tak dapat hidup lama. Tak kira Ang Nio Cu begitu serius dan menyerahkan tanda panjar pengikat perjodohan. "Bukalah, mengapa terlongong saja?" seru Ang Nio Cu pula. Cu Jiang meringis. Ia melakukan perintah. Ternyata kantong itu berisi sepasang anting-anting dari kumala hijau. "Engkau menyerahkan apa"* "Aku .... tak punya apa"." "Kalau begitu, pakai pedang ini saja," dari bajunya merah yang gerombyongan, dia mencabut sebatang pedang. "Memakai pedang anda sebagai pengikat?" Cu Jiang heran. "Pedang ini milikmu .. ." "O . . .. benar, milikku .. ." Ang Nio Cu mencabut pedang dari kerangkanya dan bertanya: "Apa masih mengenali ?" "Thiat-kiam." teriak Cu Jiang. Dia tak menyangka bahwa pedang thiat-kiam (besi) miliknya akan jatuh ditangan Ang Nio Cu. Kini baru dia teringat. Ketika dia dihantam dan dilempar ke dasar jurang oleh ketiga tokoh Sip-pat thian-mo, pedang itupun jatuh entah dimana. Tentulah Ang Nio Cu menemukannya disekitar lembah buntu itu. "Bagaimana ?" tegur Ang Nio Cu. "Baik," kata Cu Jiang. "Ingat baik-baik! Sejak saat itu nona Ho Kiong Hwa itu adalah calon isterimu yang resmi!" kata Ang Nio Cu dengan tandas. Cu Jiang meringis. Ia merasa seperti bermimpi. Kini dia sudah mempunyai isteri. Apabila racun itu tak dapat disembuhkan, bukankah Ho Kiong Hwa akan menjadi Ong bun-koa atau janda yang belum dikawin. Setelah menyimpan pedang thiat-kiam, berkata pula Ang Nio Cu : "Mari kita berunding mencari jalan menyembuhkan racun itu." Cu Jiang terkesiap. "Bukankah anda mengatakan bahwa racun Toan-bun-tok itu tiada obatnya lagi?" "Benar. Tetapi ada seorang yang mungkin dapat menyembuhkannya." "Siapa ?" "Dia berwatak nyentrik sekali, sukar diajak kenal. Tetapi demi menolong jiwa, terpaksa harus menempuh jalan itu..." "Siapakah dia itu?" "Ban Yok ih yang bergelar Kui-Jiu sin-Jin atau manusia sakti bertangan setan" "Kui-Jiu-sin Jin Ban Yuk Ih.. ..rasanya aku pernah mendengar nama itu." "Kepandaiannya dalam ilmu pengobatan, dalam dunia ini tiada yang melawan. Tetapi wataknya angkuh dan menjengkelkan sekali. Kecuali dia suka menolong sendiri, tak mungkin dia dipaksa untuk memberi obat kepada orang sekalipun akan diancam bunuh ...." "Apakah dia benar2 mampu menyembuhkan racun dalam tubuhku ?" "Kemungkinan besar." "Berapa lama aku dapat hidup?" "Aku mempunyai sepuluh butir pil Bi-tok-wan, dapat membekukan racun itu supaya jangan menjalar. Kalau tiap hari makan sebutir, engkau pasti mampu bertahan hidup sampai sepuluh hari..." "Sepuluh hari!" "Ya." "Di mana tempat tinggal Kui-jiu-sin-Jin Bun Yok Ih itu?" "Didalam lembah dibelakang puncak Sin li hong gunung Busan." Sejenak memperhitungkan perjalanannya, Co Jiang berkata: "Masih keburu, tetapi..." "Tetapi bagaimana?" "Apakah dia mampu menyembuhkan racun itu masih menjadi pertanyaan, Dan apakah dia mau memberi obat, juga masih menjadi soal." "Asal mampu menyembuhkan saja. suka tak suka, mau tak mau, dia harus mengobati" "Memakai kekerasan "* tanya Cu Jiang. "Cara apapun dihalalkan asal dapat mencapai tujuan." "Kalau begitu harap tunjukkan jalannya." "Aku akan menemanimu." Cu Jiang terkesiap. Ia tak nyana Ang Nio Cu yang dimasyhurkan dunia persilatan sebagai seorang momok ganas, ternyata baik sekali kepadanya. Dengan nada singkat Cu Jiang menyatakan bahwa dia tak berani merepotkan Ang Nio Cu. "Sudahlah, jangan banyak cakap. Apakah engkau dapat mendayung perahu?" tukas Ang Nio Cu. "Ya." "Mari kita berangkat dengan perahu." Sejenak merenung Cu Jiang menyatakan bahwa hal itu kurang leluasa. "Mengapa?" "Dengan naik perahu tentu sukar untuk menyembunyikan jejak. Dan akupun tak pandai berenang. Apabila musuh menyerang, tentu sukar untuk menghadapi. "Ya, benar juga. Kalau begitu kita masing2 mengambil jalan sendiri. Dan nanti bertemu di Busan, bagaimana?" Cu Jiang setuju. "Ingat, tiap hari harus minum sebutir pil Bik-tok wan itu, dan jangan marah!" Ang Nio Cu memberi peringatan lagi. "Ya, aku akan mengingat hal itu." Ang Nio Cu berkata sambil botol dilemparkan kepada Cu Jiang: "Itulah pil Pik-tok-wan hanya tinggal sembilan butir, dapat memperpanjang usiamu sembilan hari. Hati2 menjaganya." Sambil menyambuti, Cu Jiang menghaturkan terima kasih. "Kita berjalan berpisah, tenggelamkan saja perahu ini," kata Ang Nio Cu terus loncat ke darat dan tak berapa kejab sudah lenyap. Dengan gemas Cu Jiang memandang mayat Rase Kumala. kemudian dia menghantam papan lantai perahu, setelah itu loncat ke daratan. Perahu mulai menyelam dan tak lama sudah tenggelam. Karena buru2 menuju ke Busan, terpaksa ia putar kembali ke Kui-ciu. Tak sampai setengah li ia melihat sebuah tandu warna hijau dipikul oleh empat lelaki gagah, berjalan seperti terbang. Dalam sekejab saja sudah tiba. Jelas keempat lelaki pemikul tandu itu tentu bangsa kaum persilatan. Cu Jiang tak mau cari perkara. Ia menyingkir ke pinggir. Dan tandu itupun cepat sekali sudah berlalu. Tiba2 telinga Cu Jiang terngiang ia sebuah suara lembut sekali. Mungkin orang lain tentu tak mungkin dapat mendengar. "Itulah si pembunuh besar, lekas, jangan cari gara2 kepadanya! " ngiang suara lembut itu. "Apa dia Toan- kiam jan jin?" "Benar, memakai penutup muka, kakinya pincang, masakan ciri2 itu masih belum cukup jelas!" Cu Jiang berpaling memandang, Ia terkejut ketika melihat pada bagian belakang tandu itu terdapat pertandaan dari keempat kojiu dari Tayli yang mengikuti perjalanannya selama ini. Tanda rahasia itu berbunyi: "Tolong orang dalam tandu." O0oood0wooo0O Jilid 15 "Berhenti!" serentak Cu Jiang berteriak dan dengan beberapa loncatan dia sudah berada di depan tandu. Keempat pemikul tanda Itu berhenti dan letakkan tandu. Wajah mereka berobah tegang. "Siapa di dalam tandu" " seru Cu Jiang. Keempat pemikul itu saling bertukar pandang. Tiba2 dari dalam tandu terdengar lengking seorang wanita: "Siapa yang menghadang jalan itu?" Cu Jiang terkejut. Keempat Tay-li-ko-jiu tak mungkin keliru meninggalkan pertandaan bahaya. Tetapi nada perempuan dalam tandu itu seperti bukan orang yang membutuhkan pertolongan. Sejenak meragu, Cu Jiang segera mengambil keputusan. Betapapun halnya, dia harus memeriksa lebih dulu. "Toan kiam-jan-jin." serunya dengan nada tergetar. "Oh, Toan kiam-jan jin, sudah lama tak berjumpa. Mengapa menghadang jalan?" seru wanita dalam tandu. Cu Jiang gelagapan tetapi dia tetap berkeras, serunya : "Tandu ini agak mencurigakan, aku akan memeriksanya!" "Apa" Mau memeriksa?" "Ya." "Apakah engkau hendak melanggar peraturan?" "Katakanlah begitu. Lekas buka pintu!" "Toan-kiam-jan jin, ilmu silat mempunyai tata peraturan silat, masakan hendak digunakan untuk menggertak!" "Aku tak peduli!" "Aku seorang wanita baik, harap anda tahu aturan, jangan berbuat yang tak senonoh . . ." Cu Jiang sudah terlanjur bertindak dan dia malu untuk mundur. "Apakah menghendaki aku turun tangan?" Keempat pemikul tandu itu tampaknya memang orang persilatan tetapi semua takut kepada Toan-kiam jan jin. kecuali mengeluh kejut, mereka tak berani ikut bicara. Pintu tandu terbuka dan tampaklah seorang wanita muda yang cantik tengah duduk dalam tandu. Cu Jiang makin bingung. Keempat kojiu dari Tayli itu tak mungkin akan berolok-olok dengan dia tetapi mengapa mereka meninggalkan pertandaan rahasia di tandu itu" Ternyata dalam tandu itu kecuali seorang wanita muda yang cantik tak terdapat sesuatu yang mencurigakan lagi. Adakah karena diancam maka nyonya muda itu tak berani bergerak" "Harap beritahukan nama." akhirnya ia berseru. Dengan tertawa secerah musim semi, nyonya itu berkata: "Apakah perlu harus begitu?" Suara tawa itu amat memikat hati. Tetapi Cu Jiang sudah tak mau kena pengaruh lagi. "Tentu." sahutnya tegas. "Apa engkau kenal aku" Kalau aku memberi keterangan yang palsu, apakah engkau dapat membedakan?" Cu Jiang terbeliak. "Ya, mungkin benar. Sekarang silakan turun saja." Nyonya cantik itu kerutkan alis. "Aku harus turun?" serunya. "Ya." "Mengapa?" "Tak perlu tanya. " " Kalau aku tak mau?" "Apa yang kukatakan, tentu kulakukan." "Apakah anda hendak membunuh aku?" "Mungkin." "Sungguh tak ada aturannya. Engkau berjalan sendiri dan akupun naik tandu sendiri . . ." "Ah, terlalu banyak bicara, turun!" "Tetapi engkau harus memberi alasan!" "Aku hendak memeriksa tandu ini" "Aneh, kitakan belum saling kenal, mengapa engkau hendak mengganggu kami ...." Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Lebih baik engkau turut perintah saja." Terpaksa nyonya cantik itu turun dari pintu. Cu Jiangpun menghampiri ke pintu dan memandang ke dalam tandu. Ternyata tandu itu kosong melompong. Diam2 ia menghela napas dan meringis dalam hati. "Sudahkah?" nyonya cantik itu tertawa mengejek. "Pergilah!" terpaksa Cu Jing mundur teratur. Dengan tertawa nyonya cantik itupun segera melangkah masuk ke dalam tandu lagi. Tiba2 sekonyong-konyong dari dalam tandu terdengar suara orang bernapas. Telinga Cu Jiang yang tajam segera dapat menangkap suara itu dan terus membentak: "Tunggu!" Nyonya cantik Itu terkejut. Berputar tubuh dan menyurut mundur beberapa langkah. "Toan kiam Jan-jin, apa maksudmu?" "Apa yang berada dibawah dudukan itu ?" seru Cu Jiang. Seketika wajah nyonya cantik itu berobah dan menyurut mundur lagi. Keempat pemikul tandu itupun ikut mundur. Cu Jiang tak mau membuang tempo. Dia menghantam atas tandu dan mengangkat papan. Kejutnya bukan alang kepalang ketika melihat seorang manusia yang lebih menyerupai seorang manusia darah, berada dibawah tempat duduk. Orang itu telah dimasukkan kebawah tempat duduk sehingga tak kelihatan. Setelah tempat duduk dibongkar, barulah orang itu dapat terlihat. Seketika Cu Jiang terkejut demi melihat orang itu: "Dia !" Orang itu tak lain adalah Ho Bun Cai, congkoan dari Gedung Hitam yang mengaku sebagai suhengnya. Saat itu napasnya lemah sekali. Melihat kepandaian Ho Bun Cai, tentu yang merubuhkan dan memasukkannya kebawah tempat duduk tandu itu, memiliki kepandaian yang sakti. Begitu rahasianya terbongkar, wanita cantik dan keempat pemikul tandu itu terus melarikan diri. Ketika Cu Jiang menyadari, mereka sudah jauh sekali. Sebenarnya dia mampu mengejarnya tetapi menilik keadaan Ho Bun Cai yang sudah begitu payah, terpaksa dia harus menolongnya dulu. Ternyata tubuh Ho Bun Cai penuh berhias sabetan pedang sehingga dagingnya murmur. "Suheng, suheng !" Ho Bun Cai hanya bergerak sedikit tetapi tak memberi jawaban apa2. Cu Jiang segera mengangkat tubuh Ho Bun Cai dan dibawa kedalam hutan. Meletakkannya di tempat yang sunyi. Waktu ia memeriksanya, Cu Jiang makin lemas hatinya. Bukan saja urat-uratnya malang melintang tak karuan, pun urat nadi bagian hati telah putus. Jelas luka bagian dalam lebih parah dari bagian luar. Siapa yang telah melukainya sampai begitu hebat " Cu Jiang getun sekali karena tak dapat membekuk wanita cantik itu. Lalu bagaimana dia harus bertindak " Amarahnya berderai-derai membanjir. Satu satunya murid dari ayahnya, ternyata tak dapat ditolong Sesosok tubuh berkelebat dan muncullah seorang tua bongkok, Cu Jiang segera mengenalinya sebagai salah seorang dari Empat-kojiu Tayli. Namanya Ko Kun. "Apakah engkau yang membuat tanda rahasia itu ?" tegur Cu Jiang. "Ya." "Bagaimana peristiwanya ?" "Hamba mendapatkan korban itu menggeletak dipintu sebuah kuil di tepi sungai. Mulutnya menyebut Toan-kiamJan-jin. Itulah sebabnya hamba terus meninggalkan pertandaan rahasia. Tetapi pada saat itu muncul beberapa orang yang membawa tandu. Korban juga diangkut kedalam tandu. Oleh karena telah menerima titah baginda bahwa hamba sekalian tak boleh turun tangan, demi melaksanakan amanat baginda dan demi menjaga keselamatan negara serta ciangkun sendiri, maka diam2 hamba mengikuti tandu itu untuk mencari kesempatan meninggalkan pertandaan rahasia pada tandu itu." "Oh..." "Apakah masih dapat ditolong ?" "Sukar," sahut Cu Jiang dengan sedih. "Ini...." "Aku harus berusaha supaya dia dapat bicara !" Ko Kun membungkuk dan memeriksa urat-nadi. Sesaat ia gelengkan kepala: "Kecuali terjadi keajaiban, tak mungkin dia dapat ditolong lagi !" "Akan kusaluri tenaga-murni kedalam tubuhnya." "Mungkin tak dapat bahkan kebalikannya akan mempercepat kematiannya." "Tetapi aku perlu bertanya banyak sekali kepadanya." "Ciangkun...." "Jangan menggunakan sebutan itu." "Baiklah," kata Ko Kun, "hanya dengan memberikan saluran tenaga-murni secara pelahan-lahan, Mungkin saja dapat menyadarkannya." "Akan kucoba." "Demi menjaga rahasia diri, maaf, terpaksa aku harus pergi. ." "Silakan." Ko Kun terus lari dan menyusup kedalam hutan. Saat itu Cu Jiang seperti mau menangis. Pertama karena mendapatkan suhengnya tak tertolong jiwanya dan kedua karena dia masih mempunyai banyak sekali pertanyaan yang belum diketahui. Kalau suheng itu mati. rahasia itupun ikut lenyap. Rahasia diri ketua Gedung Hitam. Musuh-musuh mendiang orang tuanya dan sebab2 mengapa dirinya sampai dianiaya oleh orang. Kesemuanya itu masih merupakan teka teki besar yang belum terpecahkan. Bibinya, wanita gemuk itu, mungkin tahu semua peristiwa itu. Tetapi dia berada jauh di negeri Tayli. Sementara saat itu suhengnya menghadapi kematian dan dia sendiripun terkena racun sehingga tak dapat berbuat suatu apa. Merenungkan hal itu semua teringatlah ia akan suhunya, Gong gong-cu. Jika suhunya berada disitu, tentulah mudah bila diajak berunding... Ah... tiba2 ia teringat. Bukankah dia saat itu sedang menuju ke gunung Busan untuk mencari Kui jiu-sin-jin Bun Yok Ih yang kabarnya mempunyai kepandaian mengobati orang yang sudah mati dapat hidup lagi. Jika demikian apabila dia membawa suhengnya kesana, tentulah ada harapan jiwanya tertolong. Tetapi ah ... . Busan sedemikian jauh dan keadaan suhengnya sedemikian parah, apakah hal itu dapat tercapai. Setelah merenung sekian saat, ia memutuskan untuk memberi pertolongan sendiri. Dengan tangan kiri melekat ke pusar suhengnya, ia menyalurkan tenaga-murni. Kemudian tangan kanannya menutuk ketiga belas jalan darah tubuh suhengnya. Beberapa waktu kemudian barulah tampak mulut Ho Bun Cai mulai bergerak-gerak dan napaspun mulai mendengus, kemudian membuka mata. Tetapi sinar matanya tampak kuyu. "Suheng, suheng. apakah kenal kepadaku?" serunya tegang. Setelah mengulang berapa kali tampak bibir Ho Bun Cai mulai bergetar tetapi tetap terkatup. Rupanya dia hendak berkata tetapi tak dapat bersuara. Sikapnya mengunjukkan penderitaan yang hebat. Perasaan Cu Jiang makin rawan. Dia memperkeras saluran tenaga murninya sembari berseru memanggil: "Suheng, suheng." Dengan susah payah akhirnya mulut Ho Bun Cai dapat juga mengucap beberapa patah kata. "Bu-lim .... seng-hud . . . Sebun. . . Ong . . . balas dendam . .." dia hendak melanjutkan kata-katanya tetapi tak kuat. Matanya melotot dan seketika putuslah nyawanya. Cu Jiang memeluk tubuh suhengnya dan menangis tersedu-sedu. Sanak saudaranya dalam dunia ini, satu demi satu telah meninggalkannya. Betapapun keras hatinya namun hancur juga kesedihannya. Bu-lim-seng-hud si Buddha-hidup Sebun Ong itu si manusia agung yang palsu itu. Mengapa dia membunuh Ho Bun Cai" Apakah karena Ho Bun Cai itu congkoan dari Gedung Hitam. Tetapi apa bedanya Sebun Ong dengan ketua Gedung Hitam" Bukankah mereka setali tiga uang, sama2 manusia jahat" Apakah Ho Bun Cai tak dapat meloloskan diri dari genggaman Gedung Hitam" Dengan menilai beberapa kesan itu akhirnya Cu Jiang menyimpulkan bahwa wanita cantik dalam tandu itu tentulah salah seorang anak buah gerombolan Hoa-gwatbun. Sungguh tak terduga bahwa Sebun Ong dapat menguasai gerombolan perempuan2 jalang itu. Hm jika tak dapat membuka kedok manusia Sebun Ong, dunia persilatan tentu tak mau percaya bahwa apa yang mereka agungkan sebagai ksatrya berbudi luhur seperti Buddha-hidup ternyata seorang manusia jahanam. Cu Jiang teringat pula akan peristiwa ketika Ho Bun Cai ditantang oleh Tio Pit Bu. murid dari Hun-kong kiam Go Siok Ping. Ho Bun Cai mengatakan bahwa dia tak mau menggunakan jurus ilmu pedang yang dahulu itu. Dia duga yang dimaksudkan Ho Bun Cai itu tentulah sejurus ilmu pedang It kiam-tui-hun ajaran mendiang ayahnya. Ah, jika pada malam itu dia tak ikut campur dan membiarkan Tio Pit Bu mendesak Ho Bun Cai, tentulah dia segera dapat mengetahui diri Ho Bun Cai. Dan tentulah dia akan memperoleh banyak keterangan dari suhengnya itu. Dan mungkin peristiwa sedih seperti saat itu takkan terjadi. Tetapi kesemuanya itu sudah terjadi dan tak mungkin dirobah. Sesal kemudian tak berguna. Suhengnya telah mati dengan mengenaskan sekali. "Sebun Ong! Sebun Ong!" ia menggeram dengan penuh dendam kesumat. Kemudian ia mencari sebuah tempat di tepi sungai untuk mengubur Jenazah Ho Bun Cai. Ia mencari batu untuk nisan dan dengan jarinya ia menggurat beberapa patah kata: Makam Ho Bun Cai, murid Dewa-pedang. Karena menulis itu dia harus menggunakan tenagadalam dan saat itu dia rasakan badannya kurang enak. Tetapi dia tak menghiraukannya. Kesedihan dan kemarahan yang meluap-luap telah menegangkan uratsyarafnya. Selesai penguburan, dia memberi hormat yang terakhir dan siap hendak tinggalkan tempat itu. Sekonyong-konyong terdengar sebuah suara orang berseru dengan nada dingin: "Toan kiam-jan jin, tempat ini bagus sekali alam pemandangannya. Tepat kalau menjadi tempat peristirahatanmu selama-lamanya." Cu Jiang terkejut dan cepat berputar tubuh. Dua tombak jaraknya, tegak seorang yang berpakaian hitam dan mukanya bertutup kain hitam. Ah, orang itu adalah tokoh misterius yang paling termasyhur dalam dunia persilatan dewasa itu, yaitu ketua Gedung Hitam. Seketika meluaplah darah Cu Jiang, serunya geram: "Pohcu, selamat bertemu! " Ketua Gedung Hitam tertawa gelak2. "Toan kiam jin jin, apakah engkau pernah sesumbar hendak menghancurkan Gedung Hitam?" "Benar." "Mampukah engkau?" "Tentu!" "Ha, ha, ha, ha! Jangan keliwat tak tahu diri!" "Kenyataan nanti yang akan membuktikan!" "Aku harus bersyukur kepadamu karena engkau mau merawat mayat congkoan kami Ho Bun Cai," seru ketua Gedung Hitam. "Hm," Cu Jiang mendengus. "Mengapa engkau tahu bahwa dia itu murid dari Dewa pedang?" "Tak perlu engkau tahu." baru berkata begitu tiba2 Cu Jiang terkesiap. Congkoan dibunuh orang mengapa ketua Gedung Hitam itu tidak menanyakan sebab2 pembunuhan itu kebalikannya mengalihkan pembicaraan pada lain soal" Sungguh mengherankan! Saat itu Cu Jiang hendak bertanya tentang peristiwa pembunuhan kedua orang tuanya tetapi pikir2, sebelum ada bukti tentulah ketua Gedung Hitam itu akan menyangkal. Dan kalau mengemukakan peristiwa pembunuhan itu, bukankah dirinya sendiri tentu akan ketahuan. Saat itu dia sedang terkena racun, belum tahu bagaimana nanti Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo nasibnya. "Toan-kiam jan-jin." tiba2 ketua Gedung Hi tam berseru pula, "jangan2 engkau ini juga pewaris dari Dewa-pedang Cu Hong Ko?" "Kalau betul begitu, lalu bagaimana?" balas Cu Jiang. "Engkau sesumbar hendak menghancurkan Gedung Hitam," kata ketua Gedung Hitam, "atas dasar perhitungan apa?" "Perhitungan darah!" "Dalam peristiwa yang mana?" "Seharusnya engkau Sudah tahu jelas." "Banyak sekali aku berhutang kepada orang. Silakan engkau mengatakan sendiri!" Cu Jiang merenung. Jika mengatakan pada saat itu, tentulah dirinya akan ketahuan. Saat itu masih belum waktunya, lebih baik dia tak mengungkat peristiwa itu, Jika musuhnya bukan hanya terbatas ketua Gedung Hitam itu sendiri, bukankah mereka akan terkejut dan tahu lalu bersiap-siap" Serentak dia teringat akan pesan Ang Nio Cu bahwa selama dalam perjalanan untuk mencari obat ke Busan itu, sekali-kali jangan marah dan jangan berkelahi dengan orang karena hal itu akan mengakibatnya racun segera bekerja keras. "Aku tak mau membereskan hutan darah itu sekarang," seru Cu Jiang. "Kenapa ?" "Itu urusanku." "Tetapi aku justeru hendak mengambil batang kepalamu!" "Coba saja kalau mampu!" Tiba2 dari dalam hutan berhamburan keluar belasan sosok bayangan manusia. Cu Jiang mengerling pandang ke sekeliling dan melibat dua diantara orang2 itu terdapat dua orang tua yang tak asing baginya. Kedua orang itu adalah kedua jago silat yang menjadi pengawal Kopuhoa anak raja Biau waktu meminang puteri baginda Tayli dahulu. Kini jelas bagi Cu Jiang, bahwa anak raja Biau itupun sudah ditunggangi ketua Gedung Hitam untuk dijadikan alat memburu kitab pusaka Giok kah- kim-keng. Cu Jiang kenal dengan kedua kojiu itu tetapi sebaliknya mereka tak mengenali dirinya. Waktu di Tayli, dia mengenakan kedok sebagai panglima Tia-tin-ciang-kun. Dan dia pun tidak menggunakan pedang kutung seperti sekarang. Ha, kini makin jelas bahwa Gedung Hitam itu ternyata sangat bernafsu sekali untuk mendapatkan kitab Giok-kahkim-keng. Thian-hian-cu dan Go-leng-cu, berturut-turut telah menjadi korban mereka. Saat itu Cu Jiang tak dapat melanjutkan renungannya lebih lanjut karena bayangan orang2 itu makin menyempitkan kepungannya hingga hanya terpisah jarak lima tombak. Cu Jiang menyadari bahwa pertempuran berdarah tak dapat dihindari lagi. Bagaimana nanti akhirnya, ia tak dapat membayangkan. "Heh, heh, Toan-kiam-jan-jin." ketua Gedung Hitam tertawa mengekeh, "mengapa engkau tak mau memberitahukan asal usul dirimu lebih dulu ?" "Tak perlu!" "Bagaimana kalau engkau bunuh diri saja?" "Jangan mimpi!" "Kalau bertempur, engkau tentu akan mati lebih mengenaskan . . ." "Mungkin engkau ?" "Hm, mari kita lihat saja . .." Belum habis ucapan itu tiga Pengawal Hitam serentak maju dari tiga arah. Cu Jiang terkesiap. Ia mendapat kesan bahwa kesemuanya itu tentu sudah diatur lebih dulu. Gedung Hitam hendak menggunakan siasat bertempur secara bergilir untuk menghabiskan tenaganya. Dan yang terakhir baru ketua Gedung Hitam itu sendiri yang akan turun tangan. Saat itu dia masih terkena racun. Menurut Ang Nio Cu, dia tak boleh menggunakan tenaga dalam. Karena apabila dia menggunakan tenaga, racun itu tentu akan bekerja. Jika saat itu tidak hendak meloloskan diri, memang tidak sukar. Dengan ilmu langkah Gong-gong-poh-hoat, dia tentu mampu lolos dari kepungan musuh. Tetapi karena masih berdarah panas, dia tetap tak takut. Dan terutama nanti apabila menghadapi ketua Gedung Hitam, dia akan bertempur mati-matian. Sekalipun dia harus mati, asal durjana itu juga tewas, dia sudah puas. "Hm, apakah anda tak berani turun tangan sendiri?" serunya sambil memandang tajam kepada ketua Gedung Hitam. "Siapa bilang?" "Mengapa harus suruh mereka mengantar jiwa lebih dulu?" "Untuk melatih kepandaian mereka." "Ucapan yang indah. Tetapi tidakkah anda bermaksud hendak menggunakan siasat bertempur secara berantai?" "Andaikata begitupun tidak apa. Asal bisa mengambil nyawamu." "Anjing yang tak tahu malu..." Saat itu ketiga pengawal Hitam sudah maju dengan serangan pedang. Ditilik dari kehebatan serangan mereka tentulah mereka itu termasuk jago2 pilihan dari Gedung Hitam. Pelahan-lahan Cu Jiang melolos pedang keluar. Matanya memancarkan sinar berkilat-kilat buas. Dalam keadaan seperti saat itu, hanya tinggal satu pilihan, membunuh atau dibunuh. Suasana dalam ruanganpun segera berobah tegang regang, penuh dengan hawa pembunuhan. Ketua Gedung Hitam mundur sampai empat lima langkah. Serentak terdengar tiga buah aum pekik yang dahsyat dari ketiga Pengawal Hitam yang menyerbu dari tiga arah. Dengan menggigit gigi, Cu Jiang segera lancarkan jurus Thian te-kiau-toay atau langit bumi-saling-terangkap. Huak buk .... Terdengar jeritan ngeri dan sinar merah darah. Dua orang pengawal Hitam segera rubuh ke tanah. Sedang yang seorang terhuyung-huyung mundur dengan berhias tiga empat tusukan pedang. Seluruh anak buah Gedung Hitam yang berada di gelanggang situ, pucat seketika. Serentak tiga lelaki tua baju hitam masuk kedalam gelanggang. Salah seorang adalah jago yang menyamar sebagai pengawal putra raja Biau tempo hari. Jelas bahwa ketiga lelaki tua baju hitam itu lebih sakti dari kawanan Pengawal Hitam. Saat itu Cu Jiang rasakan kepalanya agak pusing", Ia menyadari dirinya akan tertimpah malapetaka. Diapun sudah membulatkan tekad. Sebelum dia rubuh, mudahmudahan dia dapat membunuh kepala Gedung Hitam itu. Ketiga lelaki tua baju hitam itu dengan menudingkan ujung pedang, pun sudah maju menghampiri. Yang menyerang lebih dulu, akan memiliki kesempatan lebih kuat. Cu Jiang teringat akan ajaran itu. Saat itu bukan menguji kepandaian tetapi sedang beradu jiwa. Kalau salah langkah, pasti akan mati dibawah ujung pedang musuh. Suatu hal yang membuat hatinya penasaran. Matipun dia tentu takkan meram, Bagaimana nanti dia harus mempertanggung jawabkan dirinya kepada raja Tayli, kepada Gong gong-cu dan kepada kawan-kawan yang telah mati terbunuh oleh keganasan musuh... Tiba2 ia mengembangkan ilmu langkah Gong-gong poh hwat Sekali menggeliat, dia terus melenyapkan diri dari hadapan ketiga lawan. Huak, huak, huak Terdengar tiga buah jeritan ngeri dan diatas tanah segera bertambah dengan tiga sosok mayat lagi. Ketua Gedung Hitam terkesiap. Seluruh anak buah Gedung Hitampun tercengang menyaksikan peristiwa luar biasa itu. Tetapi saat itu Cu Jiangpun terhuyung-huyung. Kepalanya makin pening. Sebelah tangannya mulai mati rasa. Dia menyadari bahwa keadaannya sudah makin gawat sekali. Jika tidak segera bertindak, tentulah dia akan mati dengan membawa dendam penasaran. Serentak dia melompat ke tempat ketua Gedung Hitam seraya membentak: "Cabut pedangmu!" Gerakan Cu Jiang itu memang diluar dugaan dan diluar dugaan pula ketua Gedung Hitampun mundur selangkah. Tiga jago pedang segera loncat menyerang Cu Jiang dari belakang. Tanpa berpaling, Cu Jiang mengayunkan pedangnya ke belakang. Terdengar dering yang tajam dan tiga butir kepala manusia terlempar jatuh. Yang dua orang tangannya juga putus. Tetapi Cu Jiang makin pening. Bahkan pandang matanya sampai berkunang-kunang, perutnya mual mau muntah, Itulah gejala dari bekerjanya racun. Namun dia tetap mengertek gigi dan bertahan berdiri tegak. Dia merasa bahwa ketua Gedung Hitam itu memang tengik sekali. Tak mau melayani tantangannya tetapi terus main mundur dan menyuruh anak buahnya yang maju dulu. Jika demikian, sia-sialah harapannya. Dia mati tanpa dapat menyentuh ketua Gedung Hitam yang dibencinya itu. Tiba2 ketua Gedung Hitam yang mundur sampai tiga tombak jauhnya. "Mundur !" serunya. Sekalian anak buahnya yang siap hendak menerjang Cu Jiang, serempak mundur dan tinggalkan tempat itu. Cu Jiang diam2 menghela napas longgar dalam hati. Ah, kalau saja ketua Gedung Hitam itu tahu akan keadaan dirinya saat itu, tak mungkin dia mau memberi perintah mundur kepada anak-buahnya. Sesaat Cu Jiang tertegun. Dia merasa seperti kembali dari akhirat. Diapun mulai merenungkan tindakan ketua Gedung Hitam tadi Apakah ketua Gedung Hitam itu takut kehilangan banyak sekali jago-jagonya " Atau sebab karena merasa tak mampu melawan musuh, mereka agar jangan kehilangan pamor di hadapan anak buahnya, ketua Gedung Hitam itu lalu memerintahkan mereka mundur " Tiba2 iapun teringat akan keadaan dirinya. Bukankah akan berbahaya sekali apabila musuh bersembunyi dan masih mengawasi dirinya " Diam2 Cu Jiang menggigil terus ayunkan langkah menuju ke jalan besar. Tetapi baru berjalan beberapa belas langkah, masih belum keluar dari lingkungan medan pertempuran tadi, ia rasakan pandang matanya gelap, kepalanya berat dan tubuhnya kaku sehingga dia tak kuat menggerakkan kaki lagi. Tubuhnyapun terhuyung huyung akan jatuh. Dalam keadaan antara sadar tak sadar, sekonyongkonyong ia melihat sesosok bayangan orang berkelebat di hadapannya. "Mati aku .. . ." hati mengeluh, tangan pun segera menyambitkan pedangnya ke muka dan orangnya terus rubuh. Pada waktu ia rubuh, ia masih sempat mendengar sebuah suara yang dikenalnya. Tetapi siapa orang itu atau bagaimana kelanjutannya dia tak mampu mengetahui lagi karena saat itu dia terus pingsan. Waktu dia membuka mata, ia dapatkan dirinya rebah di atas sebuah ranjang yang beralas jerami dan diterangi oleh sebuah pelita. Di manakah dia saat itu" Mengapa dia tak mati" Siapa yang menolongnya" Mengapa, bagaimana dan kenapa menghujam benaknya. "Adik kecil, apakah engkau masih kenal aku?" tiba2 terdengar sebuah suara. "O. lo koko." serentak Cu Jiang mengenal siapa orang itu dan berseru sambil bangkit. Kini dia baru mengetahui bahwa Thian-put thou Ciok Yau liu duduk di samping ranjangnya. "Bagaimana yang engkau rasakan" " tanya Ciok Yau Je pula. Cu Jiang berusaha hendak bangun tetapi tenaganya lunglai sekali. Ia mencoba pula untuk mengerahkan tenagamurni, juga tak mampu. Keadaan itu sama dengan orang yang tak dapat ilmu silat. Ia tertawa hambar. "Lo-koko, aku mungkin sudah tak berguna!" "Siapa bilang!" teriak Thian-put-thou dengan keras, "bagaimana engkau tak berguna lagi..." "Tetapi ilmu kepandaianku sudah lenyap!" "Ah, apakah yang telah terjadi pada dirimu?" Cu Jiang segera menuturkan semua yang di alaminya. Setelah terkena tusukan beracun dari anak buah Hoa-gwatbun, dia telah dikepung anak buah Gedung Hitam. Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lalu terjadi pertempuran berdarah yang menyebabkan racun dalam tubuhnya berkembang sehingga dia rubuh. Thiau-put thou kerutkan dahi. "Ah, kutahu engkau memang terkena racun. Tetapi aku tak menduga kalau engkau terkena racun Toan bun tok yang ganas itu..." "Lo-koko, tempat apakah ini?" "Rumah pondok Bulu-ayam. Kupilih rumah penginapan kecil ini agar tidak menarik perhatian orang." "Bagaimana lo-koko secara kebetulan sekali dapat berjumpa dengan aku?" "Ha, ha, memang suatu kebetulan yang jarang terjadi. Aku sedang mondar mandir di Kai-ciu, tak terduga telah berjumpa dengan sesosok tubuh yang menggeletak di tepi jalan. Ternyata dia adalah Gong Beng taysu, seorang tianglo dari vihara Siau lim yang telah menjadi sahabat baikku. Dia tak dapat menjawab pertanyaanku. Setelah kuperiksa ternyata dia terkena pukulan beracun Ngo tok ciang dari Ngo tok-mo, iblis ke tujuh dari gerombolan iblis Sip-pat-thian-mo. Segera kubawa ia menyingkir lalu aku nekad mencuri obat penawar racun di markas cabang Thian tong-kau di Kwi ciu." "Apakah Ngo-tok mo itu ketua cabang Thian-thong kau di Kwi-ciu?" "Benar." "Lalu ?" "Dengan susah payah akhirnya aku berhasil mencuri sebutir pil Hui-lok wan. Ketika aku tiba ditempat persembunyian. ternyata Gong Beng sudah meninggal. Terpaksa dengan hati masygul aku melanjutkan perjalanan lagi. Secara kebetulan kulihat engkau terhuyung-huyung rubuh. Aku bergegas lari menghampiri tetapi engkau terus melontarkan pedangmu kepadaku." "Maaf. lo-koko, kukira musuh yang datang.." "Ah, tak apa. Waktu kuperiksa nadi pergelangan tanganmu kudapatkan engkau tak menderita luka tetapi terkena racun. Maka pil Ho tok-wan yang sedianya hendak kuberikan kepada Gong Beng taysu itu, kuminumkan kepadamu..." "Oh, lo-koko, benar2 suatu kebetulan yang luar biasa !" "Tetapi Hoa tok-wan itu hanya mampu menahan racun Toan bun tok itu untuk sementara waktu tetapi tak dapat menghapus racun itu!" "Aku hendak ke gunung Busan untuk menemui Ang Nio Cu." "Ang Nio Cu?" "Ya" "Bagaimana engkau bersahabat dengan momok wanita itu?" "Aku banyak berhutang budi kepadanya." "Momok wanita itu memang misterius sekali. Kabarnya dia itu anak murid dari perguruan Hiat-ing-bun (bayangan darah). Siapakah sesungguhnya dia ?" "Maaf, lo koko. Walaupun aku bersahabat dengan dia, tetapi aku sungguh2 tak tahu bagaimana wajahnya yang asli." "O, begitu." "Dia hendak mengajak aku ke puncak Sin li-hong untuk meminta obat kepada Kui Jin-sin Jin." "Siapa" Kui-Jiu-sin jin?" "Ya. Apakah lo-koko kenal padanya?" Thian-put-thou kerutkan alis, katanya. "Mungkin hal itu sukar terlaksana." "Mengapa ?" "Kui jiu sin-jin itu seorang manusia yang terkenal aneh sekali wataknya. Sifatnya yang nyentrik, mungkin tiada keduanya di dunia ini. Dia tinggal di lembah Mo-jin-koh . . . ." "Apa " Mo jin koh !" "Ya. Mo jin kok atau Lembah-emoh-manusia." "Mengapa memakai nama itu ?" "Hm, dia sendiri yang menamakan tempat itu. Lembah itu merupakan sebuah tempat yang buntu, hanya terdapat sebuah jalan yang menuju ke lembah buntu itu. Lalu dia memperlengkapi lembah itu dengan bermacam-macam Ki bun (barisan aneh). Disebelah luar di tanami rumput dan bunga2 beracun. Tanpa mendapat ijinnya, tiada seorangpun yang boleh masuk. Itulah makanya disebut Mo Jin koh." "Tetapi kecuali ke sana aku tiada lain daya lagi." "Baiklah, aku bersedia menemanimu kesana." "Ah, hanya merepotkan lo-koko saja ...." "Jika engkau begitu, aku akan pergi." "Ya. ya, akan kubantu saja." "Juga tidak boleh." Cu Jiang tertawa lalu mengiakan. "Apakah engkau tak dapat jalan ?" tanya Thian-put-thou. "Hm . .. rasanya begitu." "Pada hal banyak sekali musuh2 yang menghendaki jiwamu." "Memang aku sedang mengalami kemalangan yang tak terduga." "Jika aku terang-terangan membawamu kesana, tentu akan timbul kesulitan Cu Jiang tertawa hambar dan mengiakan. Thian-put thou merenung sejenak. Tiba2 ia menepuk paha, serunya. "Ada ! Kita berdua minta nasi!" "Minta nasi?" Cu Jiang terbeliak. "Hm. kita berdua berganti dengan pakaian pengemis. Aku mempunyai beberapa kedok muka dan kita lalu menyamar sebagai pengemis. Tentu orang takkan tahu dan takkan mengganggu perjalanan kita." "Kalau mempunyai kedok muka, mengapa harus menyaru sebagai pengemis?" "Adik kecil, kakimu yang pincang itu tentu paling menarik perhatian orang. Jika menyaru sebagai pengemis dan berjalan dengan sebatang tongkat, tentu dapat mengelabuhi mata orang." "Kita berjalan siang malam. Kalau siang engkau berjalan sendiri, kalau malam baru engkau ku panggul." "Ah, lo-koko !" "Sudahlah, jangan banyak ini itu lagi." Cu Jiang bersyukur sekali dalam hati. Jika tidak bertemu dengan raja copet Thian put thou, dia tentu mengalami nasib yang mengenaskan sekali. Demikianlah dengan menyaru sebagai pengemis mereka lalu menempuh perjalanan. Dan selama dalam perjalanan itu mereka tak menemui gangguan apa2, tiba dengan selamat di gunung Busan. Diperhitungkan bahwa saat itu Cu Jiang sudah tujuh hari berpisah dengan Ang Nio Cu. Walaupun tiap hari makan sebutir pil Pit-tok wan, tetapi keadaannya makin payah. Adakalanya dia seperti tak sadar pikirannya dan hampir tak dapat melanjutkan perjalanan lagi. Untunglah Thian-putthou memberi bantuan kepadanya. Walaupun sudah tiba di gunung Busan tetapi untuk mencapai puncak Sin-li hong, merupakan suatu jarak perjalanan yang cukup sukar. Dalam penyamarannya sebagai pengemis itu, tentulah Ang Nio Cu sukar untuk mengenal mereka. Rupanya Thian-put-thou menyadari hal itu maka dia segera mencopot penyamarannya dan ganti pakaian seperti semula lagi. Dengan susah payah akhirnya dapat dia membawa Cu Jiang ke bawah kaki puncak Sin-li-hong dan menempatkannya di sebuah tempat yang cukup aman. Ia mengeluarkan ransum kering tetapi Cu Jiang sudah tak sadarkan diri dan tidak dapat makan dan minum lagi. Menunggu sampai setengah hari, masih belum juga Ang Nio Cu muncul. Thian put-thou mulai gelisah. Waktu sudah amat mendesak sekali. Kalau tak lekas mendapat pertolongan, Cu Jiang tentu mati. Sedang dia sendiri tak tahu bagaimana cara memasuki lembah itu. Dengan begitu jelas dia tak mungkin dapat mencari manusia aneh Kui-Jiu-sin jin. Saat itu mentari mulai condong ke balik gunung, cuacapun mulai meremang petang. Sayup2 terdengar lolong kawanan serigala dan binatang buas. Tak mungkin dia paksakan diri membawa Cu Jiang ataupun dia sendiri, menuju ke lembah Mo-jin koh. Akhirnya, dalam keputusan daya. Thian-put-thau melepaskan harapannya kepada Ang Nio Cu. Besok pagi terang tanah, dia akan membawa Cu Jiang untuk mencapai lembah Mo Jin koh. Hawa malam di gunung itu terasa dingin sekali. Terpaksa Thian-put thou menyalakan api unggun untuk menghangatkan badan. Disamping itu api unggunpun dapat mengenyahkan bangsa ular dan serangga. Maka dia terus keluar dari gua tempat persembunyian itu untuk mencari rumput kering dan kayu bakar. Tetapi sekitar tempat itu merupakan sebuah pegunungan karang yang tandus. Yang tumbuh hanya jenis pakis dan beraneka rumput. Apabila hendak mencari kayu bakar harus turun kedalam hutan yang jaraknya sepuluhan tombak dibawah. Tetapi dia tak enak kalau meninggalkan Cu Jiang yang masih pingsan itu seorang diri. Setelah memikir bolak balik, akhirnya ia memutuskan tetap akan mencari kayu bakar kehutan itu. Api unggun itu perlu untuk menghangatkan dingin. Asal dia cepat pergi dan cepat pulang, rasanya Cu Jiang tak perlu harus dikuatirkan keselamatannya. Maka diapun terus turun kebawah dan setelah mengumpulkan beberapa ranting kering, ia terus bergegas kembali lagi. Tiba di mulut gua, ia seperti tersambar geledek kagetnya. Cu Jiang sudah lenyap ! Setelah agak terang, dia mulai memeriksa keadaan gua dan sekitar. Dia tak melihat barang suatu jejak dan telapak kaki binatang ataupun bekas2 tubuh yang diseret keluar. Jelas Cu Jiang tentu bukan dimakan binatang buas melainkan oleh seseorang. Dan menilik peristiwa itu tak meninggalkan suatu bekas apa2, jelas orang itu tentu memiliki ilmu kepandaian yang sakti. Karena kalau tidak, tak mungkin kehadiran orang itu dapat mengelabuhi pendengaran dan penglihatannya. Apalagi dia hanya sebentar saja meninggalkan gua itu. Lalu siapakah orang itu " Ang Nio Cu " Mungkin. Dan mudah-mudahan saja dia. Tetapi kalau bukan dia, ah. celaka. Kalau saja Cu Jiang jatuh ketangan musuh, dia pasti akan mati .... Baru pertama kali sepanjang hidupnya, Thian put-thou merasa gelisah sekali. Pada hal biasanya dia terkenal sebagai manusia yang tak acuh segala apa di dunia ini. Kemanakah dia harus mencari Cu Jiang dalam malam yang segelap itu" Jangankan mencari, sedangkan berjalan saja sukar untuk melihat jalan. Tetapi bukanlah Thian-put-thou atau si Pencuri-sakti, apabila dalam menghadapi situasi begitu menjadi kelabakan. Dia memang cerdik. Dalam menghadapi kekacauan seperti itu. yang pertama-tama dilakukan adalah menenangkan pikirannya dulu. Setelah tenang, barulah dia mulai mengadakan analisa tentang peristiwa itu dan siapa2 yang patut dicurigai. Yang paling keras diduganya adalah Ang Nio Cu. Mungkin karena tetap hendak menjaga gerak geriknya yang serba misterius itu, Ang Nio Cu tak mau tindakannya diketahui orang. Maka diam2 dia mengikuti perjalanan Cu Jiang dan menggunakan kesempatan Thian-put-thou sedang turun kebawah mencari ranting kering Ang Nio Cu terus menyambar dan membawa Cu Jiang pergi. Kemungkinan yang kedua, jatuh pada fihak Gedung Hitam. Tetapi kemungkinan itu memang tipis. Karena setelah menyamar sebagai pengemis, kalau orang2 Gedung Hitam itu memang sudah mengetahui, tentu ditengah perjalanan mereka sudah turun tangan. Tak perlu menunggu sampai ditempat itu. Kemungkinan ketiga, diarahkan kepada musuh2 Cu Jiang yang secara tak sengaja ialah berpapasan di tengah jalan. Mereka segera menggunakan kesempatan untuk turun tangan. Sudah tentu kemungkinan ini yang paling tipis sendiri... Dengan begitu jelas bahwa kemungkinan pertama itu yang paling besar. Betapapun saktinya tetapi Ang Nio Cu itu seorang wanita. Dengan memanggul tubuh Cu Jiang tentulah langkahnya agak tak leluasa. Asal dia terus menyusul ke arah lembah Mo Jin koh, tentulah akan dapat menemui mereka. Dan apabila tiba di lembah itu ternyata tak menemui mereka, Jelas kalau Cu Jiang tentu tertimpah suatu peristiwa yang tak diharapkan. Setelah puas menganalisa, Thian-put thau lari menuju kearah lembah Mo-Jin-koh. Dalam malam segelap itu sukar untuk mencari jalan. Thian-put-thou hanya lari dengan berpedoman pada arah letak lembah itu. Jika memang Ang Nio Cu tidak sengaja menyembunyikan diri, tentulah dia akan dapat menyusul. Dan Thian put-thou mempunyai keistimewaan yang dapat diandalkan yakni pendengaran dan penglihatannya, luar biasa tajamnya. Melintasi puncak Sin li hong, dia mendengar gemericik suara air dari sebuah parit yang terbentang dihadapannya. Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ditengah parit itu. penuh dengan batu2 menonjol yang aneh bentuknya. Besar kecil seperti bayangan setan. Betapapun besar nyali si Thian-put thou itu, tetapi dia meremang juga bulu-romanya. "Haha..." tiba2 dari tengah parit itu terdengar suara tawa dingin tetapi tak ada orangnya. Tetapi Thian-put-thou malah bangkit semangatnya. Paling tidak dia telah bertemu orang entah kawan entah lawan. Dia tak mau bergegas mencari tahu tempat persembunyian orang itu melainkan hentikan langkah dan batuk2 lalu berseru. "Siapa ?" "Anda seharusnya dapat mengenali." sahut suara orang itu. Dan nadanya jelas seorang wanita. Girang Thiau-put-thou bukan alang kepalang. Ia merasa seperti terlepas dari himpitan batu besar. "Bukankah anda ini Ang Nio Cu ?" serunya. "Benar. Tengah malam buta anda berkeliaran ditengah lembah pegunungan yang sunyi, sungguh suatu kegemaran yang luar biasa..." "Hi, hi, haha sama-sama." "Apakah sebenarnya yang anda cari ?" "Papan merk ku jatuh !" "Apa ?" "Merk namaku jatuh." "Mengapa ?" "Kecuali hanya langit, segala apa dalam dunia ini dapat kucuri semua. Tetapi malam ini aku justeru kecurian." "Benda apa ?" "Seorang bocah besar!" "Pencuri tua, Jangan bergurau. Urusan ini gawat sekali." "Urusan apa ?" "Lekas usahakan supaya si maniak aneh dalam lembah ini keluar untuk mengobati Toan-kiam-jan-jin." "Ah, dimana dia ?" "Keadaannya gawat sekali." "Apakah engkau bukan manusia ?" "Hm." "Mengapa engkau tak mau melakukannya sendiri tetapi menyuruh aku si tua ini ?" "Bukan menyuruh tetapi meminta. Aku, Ang Nio Cu, baru pertama kali ini dalam hidupku meminta pertolongan kepada orang . . ." "Mengapa ?" "Anda tentu tahu bahwa mahluk aneh itu paling membenci kaum wanita. Kalau aku yang datang, tentu akan runyam." "Hm, beralasan juga .... tetapi..." "Tetapi apa?" "Ini berarti suatu tugas." "Bukankah dia itu adik kecilmu?" "Heh, heh. sudah tentu. Kalau tidak begitu, aku si pencuri tua ini tentu tak sampai begini kalap keluyuran ke tempat semacam ini !" "Sudah, kita putuskan begitu. Aku akan membantu secara bersembunyi." "Tetapi bagaimana kalau mahluk aneh itu berkeras tak mau keluar?" "Dengan kecerdasan yang anda miliki, anda tentu dapat mencari akal..." "Sukar dikata lebih dulu." "Kalau perlu boleh pakai segala cara ..." "Cara bagaimana?" "Sampai saatnya baru kukatakan. Sekarang silahkan !" habis itu terus diam tak ada suara terdengar lagi. Dengan tertawa kecut, Thian-put-thou geleng-geleng kepala. Karena Cu Jiang sudah berada ditangan Ang Nio Cu, Ia tak perlu cemas lagi. Biar nanti setelah terang tanah, baru dia mulai bekerja. Dari situ ke lembah Mo-Jin koh hanya terpisah beberapa li saja. Lebih baik ia tidur dulu untuk memulangkan semangat. Ia segera mendaki keatas sebuah batu besar lalu rebahkan diri tidur. Begitu bangun matahari sudah menjulang di timur. Dia membasuh muka di saluran air lalu makan ransum kering dan setelah itu baru turun, lari menuju ke lembah. Setengah jam kemudian, hari sudah terang benderang. Dia terus lari menuju kemulut lembah. "Lokoko . . ." tiba2 terdengar sebuah suara memangginya sehingga Thian-put thou melonjak kaget. Memandang kearah suara itu, dia terkejut girang. Di bawah sebatang pohon, tampak Cu Jiang rebah dengan tanpa memakai kain penutup muka sehingga wajahnya yang buruk itu tampak jelas. Thian put-thou segera lari menghampiri. "Adik kecil, bagaimana engkau sudah sadar ?" serunya gembira. Cu Jiang menghela napas panjang. "Ang Nio Cu-lah yang telah menolong aku. Sungguh merepotkan kalian." "Adik kecil, sudahlah. Jangan omong begitu. Mari kita mulai bergerak." "Aku tak bisa jalan." "Tak apa. Kita sedang meminta pertolongan orang, harus memakai peradatan. Biarlah aku yang akan mengundang tuan rumah." ia terus menghadap ke mulut lembah dan setelah mengumpulkan tenaga lalu berseru nyaring: "Thian-put thou Ciok Yan Je mohon menghadap pada tuan pemilik lembah ini !" Setelah menunggu beberapa saat. Thian-put-thou mengulang lagi teriakannya. Tetapi tetap tanpa suatu jawaban. Sampai sepeminum teh lamanya, keadaan tetap sunyi senyap. Thian-put-thou tahu bahwa kalau dengan menggunakan tata cara yang layak, tentu tak mungkin dapat bertemu dengan tuan rumah. Dia berpaling ke arah Cu Jiang. "Aku hendak memaki orang itu!" "Oh, harus dimaki ?" Cu Jiang tertawa. "Kalau tidak dimaki tentu tidak berhasil. Mahluk tua itu memang lain wataknya dengan orang biasa." "Setelah dimaki dan keluar, apakah akan di ajak berkelahi?" "Tidak! Aku mempunyai siasat yang bagus. Hanya dikuatirkan dia tetap tak mau keluar walau pun dimaki kalang kabut. " "Maki sajalah!" Setelah membasahi kerongkongan dengan ludah, ia menyeringaikan muka lalu mulai berteriak-teriak: "Ho, tolol, apakah begini caramu menyambut tetamu?" Menunggu sebentar, Thian-put-thou berseru lagi: "Hai, orang she Bun, engkau tak memandang mata kepada aku si pencuri tua ini" Bagus. Mari kita mengadakan perjanjian mati. Kalau tak bertemu muka, takkan pergi dari sini. Engkau tak berani keluar, aku yang masuk mencarimu. Jangan kira dengan mengandalkan permainanmu seperti anak kecil ini, dapat merintangi aku ..." Melihat sikap dan kerut wajah Thian-put-thou, diam2 Gu Jiang tertawa geli. Karena tak diacuhkan, Thian put-thou naik pitam. Dia memaki sekeras-kerasnya: "Bun Yok Uh, kalau engkau tetap seperti kura2 yang menyembunyikan kepala, terpaksa akan kubuka borokmu!" Rupanya ucapan itu membawa hasil. Dari dalam lembah segera terdengar suara penyahutan yang dingin: "Pencuri tua, jangan berkaok-kaok di sini. Apa sih borokku yang hendak engkau buka itu?" Thian-put thou tertawa gelak2. "Aku sih hanya bergurau, Bun lote, karena kuatir engkau menutup pintu tak mau terima tamu, mata sengaja kubikin panas hatimu!" "Silahkan bikin panas, toh ada2 saja. Aku tak mau menerima orang luar!" "Tidak mau mengingat betapa jerih payahku jauh2 datang kemari?" "Itu urusanmu, akukan tidak mengundang." "Bun lote, jangan begitu getas, dong. Kalau engkau benar2 mengundang, belum tentu aku mau datang." "Tentu saja. Kalau tidak mau minta tolong kepadaku, masakan engkau datang kemari .. ." "Orang yang pintar tentu sudah mengerti. Ya, engkau benar. " "Lebih baik engkau pulang saja, aku tak ada tempo." "Apakah engkau sungguh2 menolak seorang tetamu yang datang dari ribuan li?" "Terserah anda mau mengatakan apa saja. Aku orang she Bun, memang begini watakku. Banyak bicara tiada guna . . ." Thian put thou tertawa dingin: "Jika begitu, langit sungguh tak kenal orang!" "Apa maksudmu?" seru Kui jiu sin jin. "Seorang tabib itu tentu mempunyai budi welas asih untuk menolong orang. Langit seharusnya tak memberkahi engkau dengan kepandaian ilmu pengobatan." "Heh, heh, heh, heh, omong kosong semua!" "Bun Yok Uh, apakah engkau benar2 tak mau bertemu orang?" "Siapapun aku tak mau bertemu." "Hanya kaum perempuan dan manusia kerdil yang sukar dipelihara. Engkau memang seorang manusia kerdil," teriak Thian put thou. "Orang semacam dirimu, tak berhak menilai orang." "Pencuripun mempunyai tata susila. Orang she Bun, aku bukan manusia yang malu berhadapan dengan orang. Tetapi engkau?" "Silahkan, aku tiada waktu untuk adu lidah dengan engkau . . . . " "Bajingan tua..." Cu Jiang terkejut mengapa lo kokonya itu dapat memaki orang. Tetapi Thian put thou memberi kedipan mata kepadanya agar dia tenang saja. Sekonyong-konyong sesosok tubuh berkelebat dan muncul di mulut lembah. Seorang tua yang sudah berusia lanjut dengan berpakaian jubah yang hanya menutupi di bawah dengkulnya sehingga kakinya yang telanjang kelihatan. Sedang tangannya memegang susuk untuk menyerok obat. Wajahnya pucat ke biru-biruan dan memandang Thian put thou dengan penuh kemarahan. Thian put thou malah tertawa gelak2. "Bun lote, maafkan perkataanku yang kotor tadi!" Dengan mengertek gigi, Kui jiu sinjin berteriak: "Aku hendak mengambil jiwamu!" "Aku sih sudah tua, matipun tak sayang." sahut Thian put thou dengan masih tertawa meringis, "kalau minta nyawaku, sih boleh2 saja. Tetapi lebih dulu engkau harus mengobati adikku yang kecil ini, bagaimana?" "Jangan ngimpi, engkau!" "Apakah engkau benar2 tak mau melakukan?" "Mengapa aku harus melakukan ?" Thian put-thou menyeringai. "Engkau minta imbalan apa ?" "Engkau tentu tak dapat membayar!" "Gila, katakanlah!" "Jiwamu yang tua itu !" "Ambillah." Kui-jiu-sin-jin berseru dingin: "Pencuri tua, jangan engkau tertawa kegirangan, menghambur namun makian, mengejek orang sesuka hatimu. Seluas satu li dari lembah ini, telah kutaburi dengan racun aneh. Barang siapa masuk masuk kedalam lembah sampai setengah li dan dalam setengah jam tak keluar, tentu akan kemasukan racun itu. Dalam sehari tentu akan lenyap tenaganya. Kalau tak percaya, cobalah engkau salurkan hawa-napasmu!" Baik Thian-put thou maupun Cu Jiang terkejut dan serempak menyalurkan napas. Ah, ternyata tenagamurninya telak mengumpal tak dapat disalurkan lagi. "Bun Yok Uh," teriak Thian-put-thou marah sekali, "tak kira engkau telah tersesat kedalam aliran iblis! Dengan cara yang licik dan keji engkau telah mencelakai orang." Tiba2 seorang wanita yang mukanya bertutup kain kerudung muncul. "Orang she Bun, saat kematianmu sudah dekat!" "Siapa engkau?" seru Kui Jiu sin jin dengan suara tergetar. "Ang Nio Cu !" "O, Ang Nio Cu, tenaga kepandaianmu sudah banyak yang hilang. Engkau paling lama berada ditempat ini dan masih ada tiga orang anak-buahmu lagi ! Ha, ha, ha . . .." Ang Nio Cu mendegus dingin "Kui-jiu sin-jin," serunya, "telah kusiapkan beratus-ratus kati obat pasang pada kedua puncak dikedua samping lembah ini. Cukup untuk menimbuni lembahmu ini !" Wajah Kui-Jin sin-jin pucat seketika. "Engkau berani menghancurkan tempat tinggalku?" serunya. "Engkau berani meracuni orang, mengapa aku tak berani menghancurkan serangan ?" balas Ang Nio Cu. "Kita mati bersama-sama !" seru Kui-Jiu-sin-jin. "Apakah sampai mati engkau tetap tak mau mengobati orang?" "Tidak!" Dada Cu Jiang hampir meledak. Sayang saat itu dia tak dapat berkutik. Dia merasa menyesal dalam hati karena orang2 yang hendak menolong dirinya itu malah berbalik tertimpah bencana sendiri. Dia mati, memang sudah selayaknya. Tetapi lo koko dan Ang Nio Cu itu " Bukankah mereka harus korban untuk darinya" "Kui-jiu-sin-Jin," seru Ang Nio Cu dengan nada tergetar, "apakah engkau tak kecewa kalau mati ?" Pusaka Negeri Tayli Karya Can Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tidak !" "Asal aku memberi tanda, obat pasang itu pasti meledak!" "Silahkan! Aku masih mempunyai cukup waktu untuk membunuhmu lebih dulu!" "Belum tentu." "Kalian sudah terkena racun. Andaikata bisa lolos, toh tetap akan menjadi cacat seumur hidup. Apalagi kalian tak mempunyai kesempatan untuk lolos !" "Aku ingin supaya engkau yang mati lebih dulu!" Ang Nio Cu segera mengeluarkan sebuah benda sebesar genggam tangan. Warnanya hitam kelam. Lalu berseru: "Kui-Jiu-sin-Jin. kenalkah engkau dengan benda ini?" Wajah Kui Jiu-sin jiu berobah, tetapi suaranya masih tetap dingin: "Tak ada yang harus diherankan dengan peluru Bi lik tan semacam itu!" "Tentu lebih dari cukup untuk menghancurkan tubuhmu, bukan?" "Kan aku sudah bilang, kita bakal mati bersama-sama ?" Kui jiu-sin-jin benar2 manusia yang aneh wataknya. Sekalipun menghadapi maut, dia tetap keras kepala tak mau tunduk. Menilik gelagatnya, rupanya tiada lain jalan kecuali harus sama-sama mati. Tiba2 dengan kerahkan sisa tenaganya, Cu Jiang berseru: "Sudahlah, saudara berdua. Mati hidup itu sudah ada garisnya. Aku tak ingin melihat peristiwa yang mengenaskan hati.. . ." "Bun Yok Uh." tiba2 Thian-put thou tergerak hatinya,"biarlah dalam penitisan besok engkau menjelma menjadi kerbau yang akan disembelih dengan pisau dan dikuliti urat-uratmu." Kui-Jiu-sin Jin hanya mendengus tetapi tak mau menyahut. Karena tak mempan, Thian put-thou melanjutkan makiannya lagi: "Orang she Bun, Isterimu Cium Ngo Nio itu kelak dalam penitisannya tentu masih menjadi wanita cabul yang mempermainkan kaum lelaki. Dan engkau hanya menjadi binatang Kerbau yang akan disembelih dan dijadikan hidangan mereka !" Bukan kepalang kejut Cu Jiang. Kiranya Cian Ngo Nio, ketua gerombolan Hoa-goat-bun itu adalah isteri Kui-jiu-sin jin. Itulah sebabnya maka Thian-put-thou mengatakan bahwa Kui jiu sin jin itu paling benci kepada wanita. Muka Kui jiu tin jin merah seperti kepiting direbus. Uratnya berkerut-kerut dan tubuhnya gemetar. Matanya memancar sinar pembunuhan yang berkobar-kobar. Kata2 Thian put thou benar2 telah menyinggung perasaannya. Dan karena Kui jiu sin jin menggunakan racun untuk mencelakai orang, Thiau put thoupun terpaksa menyemprot dengan kata2 setajam itu. Ang Nio Cu mengangkat pelor Bik li tan dan berseru nyaring : "Orang she Bun, untuk yang terakhirnya jawablah. Engkau mau atau tidak mengobati racun yang telah mengendap ke dalam tubuh kita itu?" "Tidak bisa." cepat Kui jiu sinjin menjawab. "Terpaksa akan kulontarkan!" Dengan mengertek gigi, Kui jiu sin jin menyambut ancaman itu: "Lemparkanlah, tak nanti aku tunduk!" Ibarat sudah naik di punggung macan, Ang Nio Cupun terpaksa harus melakukan apa yang diucapkan itu. Pada saat malaekat elmaut hendak menaburkan keganasan, tiba2 sesosok bayangan melesat ke luar dari dalam lembah dan saat itu muncullah seorang pemuda gagah berpakaian hitam di sisi Kiu-jiu sin jin. "Mengapa engkau tak mau mendengar perintahku supaya jangan keluar?" tegur Kui jiu sin jin dengan nada tergetar. Sejenak pemuda itu memandang Thian put thou dan Ang Nio Cu lalu berkata kepada Kui jiu sin jin: "Yah, hancurkan mereka!" "Bagus kiranya kalian bapak dan anak sealiran. Tentu tidak kesepian, ya! " Mata pemuda itu memandang ke arah Cu Jiang yang menggeletak di samping. Tiba2 ia menjerit: "Ih, engkau!" serentak dia terus melesat menghampiri. "Mau apa engkau?" Thian put thoupun melesat dan membentak. Pemuda itu deliki mata kepada Thian put thou: "Jangan cengeng! saat ini anda tak kuat menerima tamparan sebuah jariku saja!" Thian put thou mendengus: "Hai, budak kecil, keadaanku bukan seperti yang engkau duga!" Melihat pemuda itu, Cu Jiang seperti sudah pernah bertemu tetapi lupa entah dimana. Pemuda itu tak menghiraukan Thian put thou melainkan menuding Cu Jiang. "Apakah saudara masih ingat padaku?" tegurnya. Cu Jiang kerutkan alis, sahutnya: "Seperti sudah pernah ketemu tetapi tidak ingat." "Aku adalah Bun Cong Beng!" "Bun . . . Cong . . . Beng .... o, benar . . . . " segera Cu Jiang terkenang akan peristiwa beberapa waktu yang lampau ketika ia tengah meneduh hujan ke dalam sebuah kuil di luar kota Kui-cu, dia berjumpa dengan rombongan anak buah Gedung Hitam yang dipimpin Pek poan-koan atau Hakim Putih yang meringkus seorang pemuda. Hakim Putih itu telah memaksa pemuda itu untuk Pukulan Naga Sakti 23 Bara Maharani Karya Khu Lung Macan Macan Betina 2