Rahasia Gelang Pusaka 5
Rahasia Gelang Pusaka Karya Okt Bagian 5 "Sungguh, aku beda jauh bila aku dibanding dengannya ... " keluhnya karena sangat masgul. Ia menggeleng kepala. Bu Tim juga bingung. "Kalau kita menerjang, kita cuma bakal mati seperti dua orang itu ... " demikian pikirnya. Selagi dua orang ini berpikir si orang aneh sudah bertindak lebih jauh. Dia melemparkan joran di tangannya, lantas dengan sehelai sutera hitam, dia menutupi mukanya. Habis itu, tubuhnya mencelat ke arah tubuhnya Pek Kut Sin Kun. Tepat di saat ia mendekati Siauw Lim Kie Su Koan mendadak ia memutar tubuhnya, terus ia lompat ke pepohonan lebat di mana dia menghilang! Aneh kelakuan itu. Itulah saat ia mendapatkan kitab Siauw Lim Pay itu, atau ia meninggalkannya secara tiba tiba sekali. Ia nampak bingung, juga ia takut tidak keburu mengangkat kaki ... Bu Tim dan Tang Hay Hie In heran bukan main, keduanya mengawasi ke arah di mana orang itu menghilang. Berbareng dengan itu, didalam lembah itu, juga ada berkelebat satu bayangan orang. Hanya sekejap, bayangan itu pun lenyaplah. Yang tampak cuma warnanya yang abu abu. Tak ketahuan dia dari mana datangnya dan bagaimana wajahnya. "He!" mendadak Tang Hay Hie In berseru, matanya mendelong. "Mana Siauw Lim Kie Su Koan" Mana Cay Hoan Giok Tiap...?" Bu Tim pun terperanjat, ia melongo juga. Memang, Kie Su Koan dan Cay Hoan Giok Tiap hilang secara tiba tiba. Tapi hanya sejenak, keduanya lantas bergerak melompat ke arah Ie Kun beramai. "Lay Ong! Kami datang! Lekas tolong Ie Kun" demikian mereka berseru. Tang Hay Hie In melompat kepada Bu Beng Tongcu, yang napasnya sudah empas empis perlahan. Tanpa merasa sayang sedikit juga, ia lantas menjejalkan sebutir pilnya ke dalam mulutnya bocah tak bernama itu. Itulah tablet "Cian Toan Siok Beng Wan" yang tersohor kemustabannya. Lay Ongpun bagaikan disadarkan seruan itu, ia lompat kepada Ie Kun, yang ia sambar tubuhnya, buat dipondong, untuk terus dibawa lari keluar lembah! Bu Tim menolong Gian Hong menjemput jorannya, lantas ia menyusul Lay Ong meninggalkan lembah itu, di belakangnya mengikut si nelayan dari Tang Hay yang tetap memondong tubuh Bu Beng Tongcu. Tidak lama tibalah sudah mereka disebuah kota kecil dimana mereka lantas mencari pondokan. Pemilik pondokan heran melihat rombongan tetamunya, kata ia didalam hatinya: "Aneh mereka ini! Tua dan muda campur baur! Yang tua mungkin berumur mendekati seratus tahun! Ada juga yang romannya jelek hingga dia tak miripnya dengan manusia, sedang yang sakit itu, ia seperti lagi mengeluh merintih... Heran juga baju mereka! Ada yang putih, ada yang kuning, ada juga yang hijau! Herannya, buat apakah joran panjang itu" kenapa ada yang pakaiannya robek tidak keruan macam" Orangnya cuma lima tetapi matanya warna warni!... Toh terutama datang, dengan manis ia menyambut para tetamunya itu, kata ia ramah. "Tuan tuan, kami mempunyai kamar kamar pilihan, kami juga menyimpan arak yang harum!" Terus ia memimpin mereka masuk ke dalam. Bu Tim berlima mengambil dua buah kamar. Yalah Lay Ong bersama Ie Kun, dan Ie Kun tidak terluka, ia cuma sangat letih, maka itu ia melainkan membutuhkan waktu untuk beristirahat, buat menyalurkan pernapasannya. Tidak demikian dengan Bu Beng Tongcu. Dia menjadi korban "It Cie khie Kang." ilmu totokan "Satu jeriji " dari seorang tua biasa itu. Dia tertotok pada jalandarah hoa kay, jantungnya bergerak, darahnya beku darah itu dapat menutup kerongkongannya. Syukur ia cepat menelan pil mustajab, kalau tidak tentulah napasnya sudah tertutup dan nyawanya putus. Walaupun demikian, dia membutuhkan perawatan. Maka Bu Tim Siangjin lantas bekerja sama Giam Hiong untuk membicarakan dan mengasih obat obat makan dan obat pakai. Setelah itu bersama sama Lay Ong, bertiga mereka duduk bersantap. Selagi dahar dan minum, mereka saling memberi penuturan tentang pengalaman masing masing selama dua hari yang baru lewat. Tang Hay Hie In bersama Bu Beng Tongcu dan si pendeta. Lay Ong berduka ketika ia kata: "kalau begitu, peristiwa di Cit Lie Lim itu pasti perbuatan orang yang tadi membikin kabur pada siorang tua aneh! Dia sangat lihay, tubuh nya sangat ringan! Sebenarnya, siapakah dia" Mengingat usia kita, seharusnya kita ketahui atau ingat siapa dia itu." Tang Hay Hie In mencegluk araknya hingga beberapa cawan. "Cobalah pendeta Yauw Bu dari dua ratus tahun dulu belum menutup mata atau dia hidup pula, perbuatan ini pasti perbuatannya. Dialah yang terkenal sebagai jago Bu Lim yang gemar membunuh orang...." "Jikalau Yauw Bu masih hidup, dia telah berusia dua ratus tujuh puluh tahun," berkata Bu Tim Siangjin. "Tak mungkin orang dapat hidup lamanya dua ratus tujuh puluh tahun!" Ia pun menggeleng geleng kepala. "Untuk mencari tahu dia siapa, rasanya tak sukar," kata Lay Ong kemudian. Ia lantas mengasih lihat romannya ingin tidur matanya terus meram melek... "Bagaimana itu?"tanya Tang Hay Hie In. "Siapakah dia" "Kita cari si orang aneh tadi!!!" Bu Tim heram. "Mustahilkah dia mengetahui?" ia tanya. "Pasti dia ketahui!" Lay Ong memastikan. "Bagaimana kau dapat membilang demikian?"Tang Hay Hie In menyela. Alis putihnya Lay Ong terbangun. "Kenapa kamu menjadi butek pikiran tidak keruan?" katanya. "Jikalau orang tua aneh yang lihay itu tidak tahu, maka tadi tentulah lawanya Ie Kun dan Bu Beng Tongcu, juga jiwaku, bakal turut melayang seperti jiwanya Pek Kut Sin kun!" "Oh!" seru Bu Tim dan Tang Hay Hie In. Mereka tersadarkan Lay Ong. Memang mungkin orang aneh itu ketahui siapa yang membuatnya jeri dan kabur, jikalau tidak, tidak ti dia menyingkir secara demikian tergesa gesa sebelum dia mengambil dahulu Siauw Lim Kie Su Koan dan Cay Hoan Giok Tiap. Pastilah orang itu jauh terlebih gagah daripadanya hingga dia takuti demikian macam. Sementara itu, mereka juga lantas ingin sibocah tukang tolak kereta serta keretanya yang berat luar biasa itu" Siapa kusir cilik itu" Apakah muatan keretanya" Kemanakah kereta itu mau dibawa pergi" Mungkinkah sikusir cilik, atau penumpang keretanya, yang menyambar Kie Su Koan dan Cay Hoan Giok Tiap itu. "Maka itu mari kita susul sikusir cilik!" Tang Hay Hie In menyarankan, Lay Ong kumat penyakit doyan tidurnya. "Jikalau begitu, tolong kamu berdua saja yang pergi menyusul! katanya, ogah ogahan. Belum lagi Bu Tim Siangjin atau Tang Hay Hie In memberikan jawabannya, atau mereka dikejutkan suara keras dari Ie Kun: "Suhu! Bu Beng Tongcu lenyap!" Dan belum lagi suara sianak muda berhenti, atau orangnya sudah muncul. Sebab dia keluar sambil berlari lari. Lay Ong bertiga heran mereka terperaniat. Serentak mereka lari kedalam kamar. Benar saja Bu Beng Tongcu sudah tidak ada. Terang si Bocah Tak Berguna telah lari dengan cara diam diam. Maka mereka menjadi heran, hingga pikiran mereka bekerja pula. Kenapa bocah itu lari" Kenapa dia tidak menghaturkan terima kasih lagi" Bukankah dia mengandung sesuatu maksud, umpama kata dia hendak menentang mereka" Lantas mereka berdamai. Setelah itu, mereka mengambil keputusan: Bu Tim Siangjin bersama Tang Hay Hie In akan pergi mencari It Yang Cu dari Khong Tong Pay, ditengah jalan, mereka sekalian mendengar dengar perihal gerak gerik orang orang rimba Persilatan. Kepada It Yang Cu akan diajukan permintaan supaya dia memilih seorang yang dapat diutus ke Lam Hay Laut Selatan, guna mencari orang aneh, untuk menanyakan orang aneh itu tentang siapa si perampas Kie Su Koan dan Cay Hoan Giok Tiap. Mereka menduga siorang aneh kembali ke Lam Hay sebab ia gagal dengan usahanya, karena murid nya terbinasa. Teutgnya di Lam Hay itu, ia lagi memikir daya upaya untuk nanti muncul dan beraksi pula, It Yang Cu dapat mengutus ketiga muridnya menyambut siorang aneh, dia tentu dapat juga mengutus seorang lainnya lagi. Tugas Lay Ong bersama Ie Kun ialah mencari si kusir cilik. Karena urusan ini, si tua Pemalas tidak dapat main malas malasan lagi atau molor lebih jauh. Andaikata si kusir tak dapat dicari, mereka mesti berikhtiar dengan lain jalan apa saja, asal pokok tujuannya mencari dan mendapatkan Kie Sun Koan dan Cay Hoan Giok Tiap. Selesai berdamai, lantas mereka berangkat dengan berpisahan dalam dua rombongan. Lay Ong bersama Ie Kun mengambil jalan yang ditunjuki Tang Hay Hie In dan Bu Tim Siangjin, guna menyusul si kusir cilik beserti keretanya. Jalan belum seberapa jauh, tiba tiba Lay Ong mendapat pikiran. "Ie Kun, baik kita juga berpencaran!" kata dia. "Kau pergi sendiri mencari sikusir cilik, aku akan pergi mencari Cit Sat Im Siu serta Thian Thie Toojin." Ie Kun heran. Luar biasa pikiran mendadak gurunya ini. "Buat apa suhu mencari mereka itu berdua?" tanyanya. "Ci Sat Im Siu menjadi gurunya Bu Beng Tongcu dan Tian Thie Tojin ialah kakak seperguruannya," Lay Ong memberi keterangan. "Hendak aku menemukan mereka itu guna menanyakan asal usulnya Bu Beng Tongcu". Si Tua Pemalas ini tetap memperhatikan Bu Beng Tongcu, ia ingin ketahui riwayat nya. "Baiklah, suhu" kata sang murid "Aku harap suhu berhati hati. Dimana nanti kita bertemu pula?" "Tentang itu nanti juga ada ketikanya!" menjawab sang guru, yang tidak dapat menyebut suatu tempat pertemuan. Bahkan ia segera juga memisahkan diri. Ie Kun awasi gurunya sampai guru itu sudah tidak nampak pula. Buat sejenak, ia berdiri menjublak, pikirannya seperti kosong. Ia kesepian dan kecele karena kepergian gurunya. Tetapi apa boleh buat, maka dilain saat, iapun berangkatlah. Ia maju terus mengikuti jalan yang ditunjuk Bu Tim berdua. Hati pemuda ini jua terasa berat. Sekarang ia sempat memikirkan tentang dirinya. Benarkah ayahnya yalah Tiat Kiam Sie seng" Dan gurunya itu kenapa siguru mau mencari tahu asal usulnya Bu Beng Tongcu" Ia ingat pendengarannya hal ketika It Koay Jie Loo dan Sam Siu membunuh Tiat Kiam Sie seng di lembah Toan Hun Kok, Tiat Kiam Sie seng suami istri menggendong masing masing seorang anak kecil. Tentang itu sesama hidapnya Kouw Siu gurunya, sering si pendeta menyebutnya hanya tidak jelas. Yaiah sampai di akhirnya Kouw Siu Taysu tidak pernah menyebutkan siapakah kedua anak itu. Bukankah salah seorang anak itu aku adanya" demikian ia menerka akhirnya. Habis, siapakah itu bocah yang lainnya" Tak mungkin dialah Bu Beng Tongcu. Kalau dia mesti berpotongan tubuh dan beroman jelek dan menakuti sebagaimana adanya dia sekarang:... Keras Ie Kun berpikir, tidak juga ia memperoleh jawabannya. Tak ada pemecahannya! Hanya ia telah merasa pasti bahwa ayah bundanya yalah Tiat Kiam Sie seng suami isteri itu. Dengan melegakan hati, Ie Kun berjalan terus. Malam telah tiba. Langit tidak berawan maka nampaklah bintang bintang serta si Puteri Malam yang bagaikan sihir Jagat terang cemerlang. Sang malam sunyi senyap. Ie Kun berjalan tanpa merasa jeri. Lantas ia lari dengan Cit Cee Tun, ilmu ringan tubuh yang istimewa itu. Ini maju terus sampai mendadak ia mendengar bunyi roda roda kereta. Suara itu datang dari arah depannya. Lantas ia memasang mata. Benarlah disana ada sebuah kereta. Melihat itu, ia menjadi girang sekali. Lantas ia perkeras larinya. Sebentar saja ia mencapai jarak kira empat atau lima puluh lie. Ia lari terus. Aneh kereta didepan itu. Kereta itu pun dilarikan keras sekali. Hingga jarak di antara mereka tetap puluhan lie itu! "Aneh," pikir Ie Kun. "Tak mungkin aku tidak dapat menyusul dengan Cit Cee Tun! Toh dia tetap berpisah jauh dari aku..." Dalam penasaran, Ie Kua lari lebih keras pula. Ia mengejar selama setengah jam, ia tetap tak sanggup menyandak. Ia tidak menyangsikan ilmu larinya, ia hanya memikirkan anehnya gerobak itu atau kusirnya. "Tak mungkin sikusir cilik ketahui aku lagi menyusul dianya..." ia pikir, "hanya, ilmu apakah yang dia sedang gunakan maka aku tidak dapat menyandaknya?" Pihak pengejar berkeras, pihak yang di kejar tetap lari keras juga. Sebentar saja, mereka sudah melalui beberapa puluh lie. Masih tidak ada hasilnya sipengejar! "Ah, dia tentu mengarti semacam ilmu sesat..." akhirnya Ie Kun menerka. Tanpa ilmu itu tidak boleh jadi aku tidak dapat menyusul dia..." Maka ia perkeras pula larinya. Kembali terjadi hal yang aneh. Justeru Ie Kun keras sekali justaru jarak diantara mereka jadi misah lebih jauh daripada tadi tadinya! Hampir Ie Kun putus asa. Atau mendadak.. Kereta didepan itu berhenti bergerak ! Bukan kepalang girangnya Ie Kun. Ia terus lari menyusul. Kali ini ia berhasil menghampirkan sampai dekat. Kereta itu dapat dicandak selagi diberhentikan di tepi jalan. "Kakak kusir cilik! Kakak kusir cilik!" demikian Ie Kun memanggil manggil. Tidak ada jawaban. Sikusirpun tidak nampak. Kereta itu sunyi saja. "Kakak kusir cilik !" Ie Kun mengulangi panggilannya. Ia tetap tidak memperoleh jawaban. Tetap si kusir tak muncul. "Jikalau aku menyingkap tenda kereta itulah perbutan tidak pantas dari aku..." pikir Ie Kun kemudian.... "Perlu aku memanggil manggil sampai aku mendapat jawaban, atau aku meminta perkenan dahulu supaya sikusir atau penumpang kereta sudi menemukan aku..." Sia sia Ie Kun memanggil. Tetap tidak ada jawaban, tetap tidak ada yang menampakkan diri. Ia toh masih bersabar. Tidak mau ia bertindak lancang, hingga ia bakal ditegur tidak tahu adat. "Kakak kusir cilik! Kakak kusir cilik!" ia memanggil manggil pula. Kali ini ia memanggil sampai seratus kali mungkin. Masih juga tidak ada penyahutan. Ia heran dan penasaran. "Biar aku coba!" pikirnya. Ia menghampirkan kereta, ia memegang dan menolaknya. Ia percaya, dengan kereta di tolak, penumpangnya tidak akan berdiam saja. Ia pun menyangka, si kusir cilik lagi pergi mengumpatkan diri. "Atau mungkin si penumpang pergi menyingkir juga." Lalu terjadi hal diluar dugaan. Kereta itu ditolak terapi tidak pergeming. Ketika Ie Kun menggunai tenaga lebih besar lagi, kereta teap berdiam saja. Ia merasa ia bagaikan lagi menolak gunung Tay San! "Aneh !" pikirnya. Ia melengak sejenak lantas ia mencelat mundur. Ia jadi ingat keterangannya Tang Hay Hie In dan Bu Tim Siangjin mengenai kereta kecil tetapi sangat berat ini. Mereka itu berdua tak kuat menggeraknya, jangan kata mengangkat. Terus ia mengawasi. Timbul pula herannya. Kereta itu, yang beroda dua tidak ada yang pegangi, kenapa dia tak roboh" Saking teran, Ie Kun berpikir terus, ia menduga duga. "Mungkinkah didalam kereta ini ada penumpangnya yang seorang luar biasa?" pikirnya kemudian. Ia berdiri sejauh satu tombak lebih, ia mengawasi tajam, "Kalau benar di dalamnya ada orang luar biasa, inilah ketika yang baik untukku" Hanya, bagaimana aku harus bertindak?" Sia sia belaka pemuda ini mengasa otaknya. Ia tidak memperoleh sesuatu pikiran. Toh ia penasaran, tak mau ia mengalah mentah mentah. Ia terus berpikir keras. Sekarang ia ingat akan dua hal aneh. Tadi ia tidak sanggup mengejar kereta, meskipun ia sudah menggunai Cit Chee Tun Hoat! Dan sekarang, selagi ia merasa ia betenaga besar, ia tidak dapat menolak kereta ini hingga bergerak! "Bagaimana sekarang" Apakah baik aku singkap saja tendanya?" demikian ia kata dalam hatinya. "Ah, tidak dapat aku menyikapnya! Itulah perbuatan tidak pantas, aku dapat dipersalahkan..." Ia pun akan merasa sangat malu apabila kembali ia nampak kegagalan. Ie Kun menjadi berhayal. Ia membayangi penumpang kereta itu sebagai seorang pandai luar biasa. "Mungkin dia mirip seorang rasul, romannya welas asih yang sikapnya agung. Kalau benar, sungguh ia beruntung, tentu akan merasa berbahagia. Tapi, kalau sebaliknya. Kalau penumpang kereta itu bengis mirip hantu atau siluman bagaimana" Tentu ia bisa celaka... Di dalam kesangsiannya itu, Ie Kun toh bertindak maju. Mau ia menghampirkan kereta sampai dekat. Tanpa merasa, tubuhnya menggigil. Dengan sendiri nya, ia lantas batuk batuk. Dan ketika ia sudah berada dekat sekali, tiba tiba ia menekuk lututnya. "Aku... aku.. Oe Ie Kun..." katanya bermohon, "Jikalau aku telah berbuat kurang hormat, aku mohon diberi maaf." Suaranya pemuda ini ada menggetar, seperti menggetarnya tangannya waktu ia mengulurnya dengan perlahan. Toh ia ajukan terus tangannya itu mendekati, Rahasia Gelang Pusaka Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mendekati kereta... 16. Mayat mayat dalam sumur Selagi tangannya mendekati tenda tangan Ie Kun itu menggetar semakin keras. Ia bersitegang hati, ia bergelisah tidak keruan. Karena itu, berapa kali ia sudah menarik pulang tangannya, atau saban saban ia mengajukannya pula. Toh ia menguati hati. Di akhirnja, hampir jeriji tangannya menowel tenda atau mendadak : "Tahan!" Itulah suara yang datangnya dari arah belakang! Bukan main kagetnya Ie Kun, mukanya sampai menjadi pucat, keringatnya nengucur keluar, ketegangan hatinya memuncak. Ia bukan takut, ia hanya kaget sekali. Ia bersangsi. Tanpa merasa, ia telah menarik pulang tangannya. Lalu terdengar pula suara di belakang itu, suara yang bernada kebocah bocahan : "Bagus! Siapa berani lancang menyingkap tenda kereta itu" Apakah kau tidak takut mati ?" Hati Ie Kun bercekat. Ia menggigil sendirinya. Ia terbangkit tanpa menoleh ke belakang. Ia mau berpaling, ia toh ragu ragu. Ia jeri. Toh, tidak dapat ia tidak menoleh, akan melihat orang yang mencegahnya itu... "Mungkinkah dia si kusir cilik ?" pikir nya. Ia menerka sedemikian karena ia mendengar suara orang. Kalau benar, dari manakah datangnya dia. Kemana dia pergi tadi" Toh tadi aku telah melihat kelilingan, aku tidak menampak dia. Tadi aku memanggil dia berulang ulang tetapi aku tidak memperoleh jawaban ... kapannya dia muncul" Kenapa aku tidak mendengar suara apa apa" Mungkinkah ini disebabkan dia sangat mahir ilmu ringan tubuhnya" Aneh! Kenapa dia seperti hendak mempermalukan aku" Atau mungkinkah dia bermaksud baik" Dia lihay kalau dia bermaksud busuk, sembarang saat dia dapat mencelakai aku ... batuan dia mencegah aku menyingkap kereta sebab katanya itulah berbahaya. Taruh kata dia tidak bermaksud baik, tentu itu bukan maksud jahat ... Terus Ie Kun berpikir sebelum ia menoleh ke belakarg. Baru kemudian, karena ia tidak mendengar suara apa apa lagi, ia memutar tubuhnya perlahan lahan. Ia pun sambil berkata : "Kakak kusir kecil maafkan aku..." Bocah itu berdiri tegak matanya memandang tajam sinarnya mirip kilat berkelebat. Dia berdiam saja. Tak bergeming, tak bersuara. "Kakak kusir kecil," kata Ie Kun setelah mengawasi sekian lama... "Aku mengucap terima kasih kepadamu yang telah menolong aku dari ancaman malapetaka ..." "Siapa telah menolong padamu" Cara bagaimana kau ketahui bahwa aku telah menolongmu?" tanya sibocah tawar. Itulah pertanyaan yang bertentangan sendirinya. Sudah si bocah menanya siapa yang menolongi, diapun menanya kenapa orang ketahui bahwa dia telah menolongnya. Di lain pihak, Ie Kun pun sangat kesusu menghaturkan terima kasihnya, karena ia belum memperoleh kepastian. Siapa dapat memastikan bahwa kusir cilik ini yang membuat kaburnya si orang aneh itu" Bukankah ketika itu Ie Kun sudah bergulingan di tanah terancam daun daun hebat dari musuhnya hingga dengan sendirinya ia tidak tahu apa apa lgi" Bahkan Tang Hay Hie In, Bu Tim Siangjin dan Lay Ong pun tidak melihat siapa yang membuat musuhnya itu lari terbirit birit. Cuma setelah itu, setelah berkelebatnya satu bayangan tubuh abu abu, lantas Siauw Lim Kie Su Koan dan Tay Hoan Giok Tiap lenyap tidak keruan paran. "Kaulah yang menolong aku, Kakak kecil," kata Ie Kun. "Jikalau tidak, temulah aku telah terbinasa di tangannya lawanku yang bergelar Ko Tok Siu itu. Karena itu, harus aku menghaturkan terima kasih padamu." "Baiklah," kata si kusir cilik kemudian. "Kau telah dapat melihat aku. Ilmu silatmu tidak dapat dicela." "Tidak, kakak kecil. Sebenarnya pelajaranku masih sangat tidak berarti. Karena ini aku justeru ingin meminta pengajaran dari kau ..." "Kalau begitu aku mohon bertanya she mu kakak kecil ..." "Namaku juga tidak darat diberitahukan kepadamu." "Bagaimana kakak kecil kalau kau membayar pulang Siauw Lim Kie Su Koan dan Tay Hoan Giok Tiap padaku" Dapatkah?" "Itulah benda pusaka Tiauw Lim Sie, cara bagaimana dapat kau menyebutnya sebagai milikmu?" si bocah balik bertanya. Ie Kun mengawasi kusir cilik itu. "Kakak kecil kau tahu atau tidak pentingnya kedua rupa benda itu?" tanyanya. "Tentu aku tahu," sahut si bocah, yang terus memperhatikan roman sungguh sungguh. "Jikalau tidak, perlu apa aku menyimpannya" Mustahilkah kau tidak tahu bahwa didalam situ ada terkandung suatu rahasia besar sekali" Jikalau kedua benda itu terjatuh didalam tangan seoraag maka seluruh kaum Bulim bakal tercelakakan! Sekarang ini semua barang itu tidak dapat diserahkan kepada kau, sebab kau tidak mempunyai kesanggupan untuk melindunginya. Jikalau dibelakang hari kau dapat menjadi beng cu, yaitu, kepala ikatan kaum Rimba Persilatan, untuk menghentikan segala perselisihan kaum itu, maka dapat kau pergi ke gua Ngo Hoa Tong di gunung Ngo Bi San untuk mengambilnya kau tahu sekarang bukan" Telah aku memberitahukanmu!" Ie Kun terkejur Pikirnya... "Aku menjadi bengcu kaum Bu Lim yang lihay, sangat banyak! Satu Ko Tok Siu saja telah membuat aku roboh dan hampir hilang jiwa! Bagaimana mudah urtuk menyebut bengcu..." "Kakak kecil," katanya habis berpikir itu: "Sekarang kau tidak mau menyerahkan kedua benda kepadaku, akan tetapi bagaimana andaikata ada orang lain yang pergi ke Ngo Hoa Tong dan merampasnya?" Kusir cilik itu mengerutkan keningnya. "Ngaco belo!" katanya, "Siapakah yang berani merampas itu" Asal ada yang berani mencoba maka dia, atau mereka, sebanyak mereka datang, sebanyak mereka akan terbinasa! Jikalau kau tidak percaya, nah, kau suruhlah mereka mencobanya!" Tepat kata kata si bocah, tepat tenda kereta bergerak lantas terlihat berkelebatnya satu bayangan putih yang kecil, yang melesat kepehon di sisinya Ie Kun. Anak muda itu terperanjat, akap tetapi ia toh bertindak menghampirkan untuk melihat jelas. Maka ia mendapatkan sehelai kertas putih bersih. Apa yang luar biasa yalah ujungnya kertas itu nancap masuk kedalam babakan pohon, hingga ujung yang lainnya bergerak bergoyang goyang. Ilmu silat apakah yang digunakan itu buat membikin kertas tipis, dan lunak nancap di dalam babakan pohon" Ilmu silat "Daun Terbang" dari Ko Tok Siu juga tidak siliehay itu. Karena ini, Ie Kun berdiri menjublak. Ia heran, dan kagum. Ketika ia bagaikan sadar dan ia berpaling, ia melihat si kusir cilik cudah pergi sambil mendorong keretanya! Hanya apa yang aneh lekas sekali ia mendorongnya, hingga sedetik kemudian dia sudah lenyap di malam yang gelap .... Tentu sekali, pemuda ini menjadi menyesal dan berduka. Pasti tidak dapat ia menyusul bocah itu tak peduli ia mahir sekali ilmu lari ringan Cit Chee Tun hoat. Pula tidak ada gunanya untuk menyusul kalau si kusir cilik tidak sudi menyerahkan barang barang pusaka itu. Maka ia harus mundur teratur ... Lama Ie Kun mengawasi ke arah si kusir kereta, ia seperti kehilangan sesuatu, kemudian ia menoleh pula ke kertas putih tadi, yang masih nancap di batang pohon. Secara iseng ia mengulur tangannya memegang kertas itu. Untuk mencabut, ia berlaku hati hati sekali. Dengan sebat ia mengerahkan tenaga dalamnya. Kalau ia berlaku sembrono, pasti kertas itu bakal robek sendirinya. Ketika ia sudah menarik keluar, ia menjadi heran. Kertas itu bukan kertas belaka hanya ada tulisannya, bahkan bunyinya membuatnya kaget. Kertas itu beruliskan : Lay Ong lagi terancam bahaya, lekas pergi menolong dia!" "Suhu!" Ie Kun berseru saking kaget. Lantas ia menjadi bingung. Di mana sekara gurunya berada" Kemana ia mesti pergi menyusul atau mencarinya" Dalam bingungnya itu, ia lari ketimur. Ia malah menggunai Cit Chee Tun hoat. Maka ia lari sangat cepat, bagaikan anak panah meluncur! Di waktu langit mulai terang, tibaah Ie Kun di kota Lay Bu yang besar di timur gunung Tay San. Karena masih pagi hampir tak ada orang yang berlalu lintas. Di luar kota, di depan beberapa rumah, cuma tampak penghuninya lagi menyapu. Akan tetapi di sebuah tegalan di luar kota itu, ia melihat sesuatu yang mengherankan. Tegalan itu rata, ada lima orang berkumpul situ masing masing memegang sesapu, pacul dan sekop. Mereka bukan lagi menyapu hanya seperti lagi melenyapkan sesuatu tanda. Kelima orang itu menghentikan kerjaannya selekasnya mereka melihat Ie Kun, yang datang dengan lari sekeras kerasnya. Mereka mengawasi bengong, agaknya mereka heran sekali Ie Kun sebaiknya heran melihat gerak gerik mereka iu, karenanya, ia juga mengawasi mereka. "Siapa kau ?" tegur salah seorang. "Kau siapa ?" Ie Kun balik bertanya. Ia bingung, suaranya perlahan. Hanya sejenak, ia bersenyum sendirinya, terus ia tanya pula: "Aku mohon tanya, kakak, apakah di sini ada lewat satu orang?" "Satu orang?" jawab salah satu dari kelima orang. "Tujuh atau delapan orangpun sudah datang tadi! Bahkan mereka bertempur hebat! Habis ada yang mati, yang hidup itu celaka duabelas telah mengangkat kaki, tak mau mereka mengubur korban korbannya, hingga sekarang kamilah yang menjadi kena getahnya! Sudah satu jam kami bekerja disii menggali lobang dan menguruk mayat mayat itu !" Suara orang ini mengandung nada kemendongkolan. Habis kerkata ia mengulapkan tangannya, terus ia mengajak keempat kawannya pergi menuju kekota, tindakannya cepat seperti oreng berlari lari. "Kakak, tahan!" Ie Kun memanggil. "Aku hendak menanya sesuatu!" Iapun berlompat kedepan lima orang itu, untuk memegat, untuk segera menanya pula: "Siapa siapakah itu yang telah terbinasa?" Ia bingung, ia ingat gurunya. Jangan jangan gurunya turut roboh sebagai salah seorang korban itu. Karena ini wajahnya lantas menjadi guram. "Buat apakah kau menanyakannya?" tegur salah seorang. "Nampaknya kau juga orang Kangouw!" Ia menegur sambil matanya dipentang lebar lebar, terang ia sangat membenci, peristiwa pertempuran yang mengambil korban jiwa itu. "Maaf, kakak," kata Ie Kun pula, mendesak, "aku minta sukalah kamu menunjuki aku, supaya aku bisa melihat, siapakah itu yang telah terbunuh?" Ia berkata sambil ia memberi hormat dengan menjura. Orang itu menjadi heran. "Sebenarnya kau mencari siapakah?" tanya dia. "Guruku"." sahut Ie Kun. "Berapa tinggi usianya?" "Kira delapan puluh tahun." "Orang yang mati itu benar berusia kira sebegitu. Nah, pergilah kau lihat!" "Dimana adanya dia, kakak?" "Didepan sana, sekira seperjalanan dua li dari sini. Disana, ditepi jalan, ada sebuah sumur tua dan kering. Kami melemparkan mayat mereka kedalam sumur itu." Berkata begitu, orang itu menunjuk ke sebelah depan, kearah tanah rendah. Ie Kun bingung, lupa segala apa, ia lantas lari ketempat yang ditunjuki itu. Kembali ia menggunai Cit Chee Tun hoat, hingga ia seperti juga lari terbang. Tentu sekali ia membuat kaget dan heran kelima orang itu, hingga mereka pada mengulur lidah mereka! Baru setelah sianak muda pergi jauh, merekapun sadar, lantas mereka menuju kedalam kota. Ie Kun kabur dengan pikiran kacau. Ia seperti mendapat firasat buruk, hingga air matanya sudah lantas mengembang. "Pastilah guruku telah menampak bencana..." demikian ia pikir. "Terang orang didalam kereta itu menunjuki aku bahwa suhu terancam bahaya. Dia tentunya seorang berilmu dan mengerti tentang ilmu meramalkan." Sementara itu, segera sudah pemuda kita sampai dibawah tanjakkan, dijalan yang rendah seperti ia ditunjuki. Ia lantas mencari sumur kering yang disebutkan itu. Akhirnya ditepi gili gili sawah, yang tertutup rumpun terlihat sebuah, yang sudah teruruk tanah. Tidak ayal lagi, ia menggunai kedua tangannya menggali tanah urukan itu. Ia bekerja dengan lupa segala apa cepat dan bertenaga. Ia kaget berbareng girang dan berduka ketika ia melihat dua kaki orang. Ia lantas pegang itu dan menariknya keatas. Hanya sebentar, ia sudah lantas meliha satu mayat. Muka mayat itu kotor dengan darah dan tanah, lidahnya melelet keluar, matanya seperti lompat keluar juga. Begitu ia mengawasi, begitu Ie Kun lompat mundur. Ia terperanjat, hatinya giris. Ia pula mengenali, itulah korban pukulan "Cwie Sim Cit Sat Ciang!" Itulah ilmu pukulan yang dimiliki cuma oleh Cit Sat Im Siu serta muridnya, yaitu Bu Beng Tongcu. Maka itu, korban ini mesti korbannya guru itu atau muridnya. Hanya, siapakah dia" Pasti dia bukan gurunya Lya Ong! Gurunya berpakai serba putih, pakaian mayat ini sebaliknya biru. Kemudian ia mengawasi pula kedalam sumur, Menurut katanya lima orang tadi yang terbinasa ialah beberapa orang. Maka didalam sumur itu. mesti ada kurban kurban lain nya lagi. Ia terus menggali pula. Segera ia mendapatkan sebuah mayat lainnya. Mayat itu juga bukan gurunya. Hatinya menjadi senikil lega. Melihat keadaan sumur itu, Ie Kun menduga tidak akan ada mayat yang ketiga. "Suhu tidak mati tetapi kemana suhu pergi?" Tanya ia dalam hatinya. "Bahaya apakah yang mengancam suhu" Suhu membilangi aku bahwa ia mau mencari Cit Sat Im Su kemanakah ia mencarinya" Disini ternyata Cit Sat Im Su atau muridnya, sudah melakukan pembunuhan hebat ini." Hati si anak muda lega sedikit. Mayat gurunya tidak kedapatan, itulah bukti bahwa gurunya tidak mati disini! "Tapi tadi kata lima orang itu yang bertempur ialah tujuh atau delapan orang. Siapakah mereka itu" Dengan matinya dua kurban ini, kemana perginya lima atau enam yang lainnya" Apakah diantara mereka itu terdapat guruku?" "Karena ia tidak memperoleh jawaban, Ie Kun meninggalkan sumur itu. Tapi terlebih dulu ia uruk pula kedua mayat itu, supaya tubuh mereka tidak terlantarkan. Ia pergi naik keatas tanjakan. Ia memandang keempat penjuru mengawasi sampai lama. Ia tidak melihat siapa juga. Ia pun menjadi bersangsi, Ia harus menuju ketimur atau keutara" Di sebelah barat terlihat gunung Taysan yang tinggi dan agung. Disebelah timur ialah gunung Ie San. Dan dist belah selatan gunung Cok Lay San. Tengah Ie Kun mengawasi ke bawah tanjakan, ia melihat dua orang lagi berjalan ke arahnya. Lekas lekas ia mendekam, untuk mengintai. Ingin ia tahu siapa mereka itu. Ketika kedua orang itu sudah datang lebih dekat ia mendapati orang orang yang pernah dikenalnya. Dengan sendirinya giranglah hati nya. Dua orang itu pria dan wanita. Yang pria yaitu Yo Thian Hoa. Sedangkan yang wanita, ialah Pek Ie Lie Bun Hong, si nona serba putih. Ia hanya heran yang Yo Thian Hoa masih hidup, Thian Hoa pernah terhajar Thia Thie Tojin yang pukulannya yaitu Pek Pou Twe Hun Ciang, dapat mengakibatkan keracunan. Rupanya, setelah lari kabur, orang she Yo itu mendapat pertolongan obat mujarab. Dengan dia muncul pula pasti Thian Hoa hendak melakukan sesuatu. Tentang Bun Hong dialah si nona yang ia kenal baik dan bersama siapa ia pernah menderita sengsara dipulau Cit Chee To. Karena ini, dalam girangnya ia lompat keluar dari tempatnya sembunyi terus ia berseru dengan gembira: "Yo Loocianpwe! Nona Bun!" Kedua orang itu merandak "Kau siapa?" tanya Thian Hoa, heran. "Ie Kun!" seru si nona. "Oh, Oe Ie Kun!" seru pula Thian Hoa, selekasnya si anak muda sudah lompat kedepan mereka, yang merasa heran. "Kenapa kau berada disini?" "Eh eh apakah kau tidak tahu tentang gurumu?" Bun Hongpun bertanya. Ie Kun mengawasi dua orang itu. "Aku justeru lagi mencari guruku!" sahutnya. "Apakah locianpwe dan nona tahu dimana sekarang guruku berada?" Bun Hong membanting kaki. Heran ia orang yang kehilangan gurunya. "Ie Kun, hebat!" katanya. "Kau tahu, gurumu telah dilukai pukulan Cwi sim Cit Sat Ciang dari Bu Beng Tongcu, dan setelah terluka, ia telah ditawan Pui Thian Bin dari Tiat Ciang Pang!" Ie Kun kaget tidak terkira, mukanya menjadi pucat dan guram bergantian, tanpa merasa air matanya meleleh turun. "Oh, Thian!" keluhnya. "Locianpwe, nona, dimanakah guruku itu ditawannya?" "Disini, diluar kota Bu lay ini," sahut Bun Hong. "Juga Po kiak Twi Hong Kay serta Jie Jiak Suhu, pendeta Siauw Lim Sie yang diutus gerejanya mencari Cay Hoan Gio Tiap, telah terbinasa disini ditangan Bu Beng Tongcu. Benarkah kau tidak tahu apa apa mengenai mereka berdua?" Suara nona ini ramah sekali. Rahasia Gelang Pusaka Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ie Kun menggeleng kepala. "Aku cuma melihat dua mayat," sahutnya. Dan ia menjelaskan halnya dua mayat yang ia bongkar dan diuruk pula, ia tetap berduka. "Sekarang ini percuma kau berduka saja. Sebaiknya kau lekas pergi dan berdaya," kata Yo Thian Hoa. "Nona Bun mari kita lekas menyingkir dari sini, jikalau orang melihat kita, bisa disusul." "Locianpwe," kata Ie Kun, "Aku minta tolong Locianpwe memberi keterangan dimana sekarang ini guruku berada ..." "Tetapi Ie Kun," kata Thian Hoa. "Musuh berjumlah banyak, mana dapat kau pergi kepada mereka itu" Bukannya aku takut tetapi menurut aku, kau harus berdaya upaya dulu." "Tidak locianpwe!" kata si anak muda. "Aku hendak menolong guruku." "Tak dapat kau berlaku sembrono!" Bun Hong turut mencegah. Nona ini bingung karena orang ini nampak nekad, tanpa berpikir dulu. "Disana ada Pui Thian Bin, ketua Tiat Ciang Pang, serta orang orang sebawahannya, seperti tongcu dari tujuhbelas hun tong atau cabangnya, begitu juga Cit Sat Im Siu, Bu Beng Tongcu, Tian Tie Tojin si imam tua, Ciauw Bin Giam To ketua Thian Cong Pay dan Goat san gan Mo Hong Keng si orang tua berjubah putih. Jumlah mereka semua ada beberapa puluh orang. Sekarang mereka lagi berkumpul di kuil tua di atas gunung Cok Lay San. Gurumu justeru dikurung di dalam kuil itu. Memang buat menolong gurumu, kau tak usah jerikan bahaya, hanya di dalam keadaan seperti sekarang ini, tak dapat kau terburu napsu. Syukur jikalau kau berhasil, tetapi bagaimana kalau kau gagal dan mendapat bahaya" Tidakkah kau kecewa" Bahkan jiwa gurumu bakal terancam! Maka itu mari kita lekas menyingkir dari sini, mari kita mencari satu tempat dimana kita dapat berpikir dengan aman." Ie Kun tidak dapat merubah pikirannya. "Nona Bun, silahkan kau dan Yo Loocianpwe menyebutkan satu tempat pertemuan untuk kita," kata ia, suaranya tetap. "Nanti sehabisnya aku pergi menolongi gurumu, akan aku susul kami. Aku mesti pergi ke Cok Lay San!" Baru saja sianak muda berkata demikian, atau Yo Thian Hoa sudah berseru tertahan: "Ada orang mengejar kita!" Bun Hong terkeju. Segera ia menoleh. Maka ia lantas melihat tiga orang tengah lari mendatangi. Sebaliknya daripada terkejut, Ie Kun sudah lantas menghunus pedang bambunya, terus ia bersiul nyaring, dan sebelum tiga orang itu sampai padanya, ia sudah lompat mencelat untuk memapaki. "Pui Thian Bin, tuan kecilnya justeru hendak mencari kau!" serunya. Memang juga, satu diantara ketiga orang itu yalah siorang she Pui ketua dari Tiat Ciang Pang. Dia tidak terkejut karena sambutan luar biasa itu, malah dia lantas berkata keras : "Kiranya kaulah turunannya Tiat Kiam Sie seng! Baru sekarang aku mendapat tahu! Apakah kau sangka aku sit?an besar she Pui akan memberi ijin buat kau menaruh kaki didalam dunia Kang Ouw" Hm! Jangan harap" Bukankah kau hendak bertemu muka dengan si tua bangka pemalas?" Ketika itu Sin kang Yo Thian Hui pun bertindak maju, sambil mencekal toyanya, ia berdiri dua tombak didekat Ie Kun, bersiap sedia menyambut serangan. Bun Hong turut bersiap sediaan, memang nona ini, setelah dia mucul pula dari Ay Lau San, dia mendapat tugas dari Sam Im Sin Nie untuk menemui dan mengajak Ie Kun, guna membicarakan suatu urusan. Dia memang ingin bertemu dengan sianak muda terhadap siapa dia berkesan manis, maka selagi anak muda itu menghadapi ancaman bencana, tidak dapat dia menonton saja. Bersama sama Pui Thian Bin itu yalah Bu Beng Tongcu dan Soat San Gan Mo Heng Keng, si Belibis dari Gunung salju. Mereka memang lagi mencari musuh, tidak heran jikalau mereka pun dapat bersiap siapa. Mndengar suaranya Pui Thian Bin itu. Ie Kun terbawa bergelak. "Pui Thian Bin!" katanya nyaring. "Sebagai turunan dari Tiat Kiam Sie seng suami istri, akan selalu bersiap sedia untuk menghadapi segala hanatu yang dahulu hari dilembah Toan Hun Kok sudah melakukan kejahatan yang melewati batas peri kemanusiaan! Coba aku tidak menyebut sekarang, pasti aku tidak tahu bahwa kaulah salah seorang yang dulu hari itu sudah melakukan kebusukan tersebut! Sekarang aku sudah mengetahui kaulah sijahat itulah musuhku, jikalau tuan kecilmu membiarkan kau dapat mengangkat kaki dari sini, kecewa aku menjadi anak orang." Habis berkata begitu, Ie Kun berseru: "Sin Hong Kie Sie!" Sebelum suarnya itu berhenti, tubuhnya sudah mencelat maju untuk menerjang dengan pedangnya. Seruannya itu yalah seruan tipusilatnya, yang artinya itu: "Angin keramat bergerak." Thian Bin terkejut bukannya dia menangkis dia justeru lompat mundur setombak jauhnya. Akan tetapi dialah seorang yang berpengalaman, begitu dia mundur, begitu dia lompat maju kesisi lawan untuk dari sisi itu membabat ke pinggang sianak muda. Dia bergerak dengan sangat cepat. Ie Kun membikin punah serangan lawan nya dengan satu gerakan dari Cit Cee Tun hoat. Ia juga bergerak dengan sangat gesit dan lincah. Setelah itu ia maju pula untuk menyerang lagi. Bahkan beruntun sampai tiga kali! Inilah ketiga pukulan "Po Tok Hian" "Ban Hoat Kwie Cong" dan "Cin Hoo Ho Han" yang masing masing berarti "Bambu pecah berbunyi nyaring", "Seaksa ilmu kembali ke asal" dan "Bima Sakti memancar" "Maka sejenak itu Pui Thian Bin seperti dikurung kilauan pedang. Heran juga Thian Bin. Baru sekarang ia ketahui lihaynya si anak muda. Karena mulanya ia memandang ringan sekarang ia kena terdesak lantas ia berdaya untuk merobah perimbangan. Ia berseru, tubuhnya pun bergerak. Ia menggunai ilmu ringan tubuh "Hoan Heng Ie Eng" atau "Merobah wujud memindahkan bayangan". Ia berlompat kekiri dan kekanan menyingkir dari tiap ancaman bahaya. Maka itu, keduanya bergerak sebagai dalam rupa bayangan saja. Selewatnya serangan Ie Kun itu, Thian Bin menyelat mundur setombak lebih dari tempatnya berdiri itu ia mengasih dengar tertawa menyeramkan. Ie Kun sebaliknya berdiri tegak dan tenang mengawasi lawan dengan sikap adem. "Pui Thian Bin, ada apalagi kepandaian kau" Menentang sianak muda, kau keluarkanlah semua!" Berkata begitu ia menyimpan pedang bambunya seraya ia berkata pula. "Untuk melanyan anjing tua sebagai kau, tuan kecilmu tak usah menggunai gegaman! Akan aku pakai saja kedua tanganku yang kosong! Akau aku antarkan arwahmu keneraka!" Thian Bin gusar sekali. Dia merasa sangat terhinakan "Aku Pui Thian Bin aku tidak akan mau sudah saja denganmu!" bentaknya. "Sekarang hendak aku tanya dahulu kau tentang satu urusan habis itu, nanti kita mulai bertemu pula!" "Aku sebaliknya aku ingin bertemu dulu denganmu, baru kita bicara!" kata Ie Kun, sikapnya mengejek. Habis berkata ia lantas menyerang pula kali ini dengan "Cian Kouw Lui Tong," atau "Tambur perang berbunyi laksana guntur." Thian Bin berkelit, terus dia tertawa tawar. Dia merasa bahwa kali ini tidak dapat dia tidak bertempur untuk melanyani musuh muda ini. Tapi dia tak mau nanti dicela atau diejek dan memasuki pedangnya kedalam sarungnya, untuk juga berkelahi denga tangan kosong seperti lawannya itu. Dia hanya mau menyerang terlebih dahulu. Untuk itu, mulanya dia mengambil sikapnya tangan kanannya di angkat tinggi sambil kaki kanannya digeser ke kanan sembari maju itu ia menyerang pundak kiri Ie Kun. Itulah tipusilat "Geng Khong Tam Jiauw" atau menyangkram udara." Lantas pukulan itu disusul dengan serangan tangan kiri dengan tipu silat "Loan San Pek Houw" atau "Menghajar harimau di puncak gunung" Ancamannya yalah pundak lawan akan tetapi kenyataan nya dia mengincar jalan darah hoa kay di atas dada. Ie Kun mundur tiga tindak setiap tindak untuk setiap serangan habis itu ia membalas pula. Kembali ia mengunai "Ciau Kouw" "Lui Tong" Dengan iai, ia menyapu ancaman lawan. Kedua pihak penonton menyaksikan pertempuran dengan membungkam, akan tetapi perhatian mereka diberikan sepenuhnya mereka melihat dua orang itu seimbang lihaynya maka mengarti perlu mereka bersiap sedia menolong andaikata ada jagonya yang terancam maut. Memang siapa berlambat sedikit saja atau dia keliru menggeraki tangan atau kakinya, dia bisa celaka. Ie Kun waspada. Ia menutup diri rapat rapat. Kembali Pui Thian Bin melakukan penyerangan yang dahsyat, sambil ia berseru keras. Itulah pukulan dengan tipu silat "Soan Hong Sauw Lok Yap" atau "Angin puyuh menyapu daun rontok". Mulanya kedua tangannya diterlentangkan, lalu balik menjadi terkurap. Ie Kun melihat bahaya ia berkelit dengan gerakan "Thian Peng Tee Liat "Langit ambruk, bumi gempa." Kembali Thian Bin menjadi kagum sekali. Belum pernah ia melihat gerakan gesit seperti lawannya itu. Lantas ia menyusul dengan serangan Kuku besi, menyambar batok kepala sianak muda. Ie Kun menerka niat lawan. Ia tidak kerkelit atau menangkis. Ia hanya menanti sampai tangan lawan tiba mendadak ia menyambuti untuk menangkap pergelangan tangannya guna menket nadinya. Itulah bergerak sangat berbahaya. Melihat itu sinona dan Yo Thian Hoa kaget sekali. Mereka menganggap sianak muda menempuh bencana. Thian Bin lihaynya. Ia membatalkan serangannya sebelum lengannya tertangkap. Kedua belah pihak penonton kagum, mereka sampai memuji. Tandingan itu tandingan setimpal sekali. Tengah mereka bertempur itu mendadak keduanya mengasih dengar suara dingin "Hm!" lalu keduanya lompat mundur masing masing. "Pui Thian Bin! seru Ie Kun "Awas !" "Ya, anjing kecil she Ie!" Thian Bin menjawab. "Mau apakah kau?" Ie Kun tidak menjawab, ia hanya maju menyerang pula. Ia lompat maju. Ia menyerang dengan "Cit Che Ciang hoat" yaitu tipusilat "Tujuh Bintang" yang semuanya terdiri daripada empat puluh sembilan jurus, sedangkan kakinya bergerak dengan tuntunan "Cit Che Pou hoat atau "Tindak Tujuh Bintang." Menyaksikan cara berkelahi itu penonton kedua pihak pada mengundurkan diri jauh jauh kuatir nanti mereka menjadi sasaran yang tak di ingin. Sedangkan Pui Thian Him kagum dan heran. Dia tidak pernah menyangka lawan itu liehay demikian macam. Tadi Thian Bin datang tanpa ketahui bahwa di antara musuh berada Oe Ie Kun. Dia melihat bayangan dua orang berlari lari dia lari menyusul. Dia cuma menduga kepada musuh, dia tak tahu Yo Thian Hoa dan Nona Bun Hong. Lebih lebih dia tidak tahu akan adanya si anak muda. Thian Hoa dan Bun Hong sebenarnya datang untuk melakukan penyelidikan kebetulan saja mereka mendapat tahu halnya Lau Siu tertawan dan melihat siapa siapa berada di dalam rombongan musuh. Mereka kena dipergoki, karena itu, mereka menyingkir, sampai mereka bertemu Ie Kun. Didesak Ie Kun, Thian Bin terperanjat. Untuk menolong diri, ia bersilat pula dengan tipusilat "Hoan Heng Ie Eng," dengan begitu tubuhnya terus berkelit tak hentinya sampai habis empatpuluh sembilan jurusnya. Ie Kun Ia bebas tetapi ia letih sekali, dari embun embunannya sampai terlihat mengepulnya hawa putih abu abu. Baru Ie Kun hendak menyerang lebih jauh kepada musuhnya, atau ia mendengar kata kata keras ini : "Biarkan aku dengan "Cwie Sim Cie Sat Ciang" membereskan ini bocah cilik!" Itulah suaranya Bu Beng Tongcu! Begitu habis ia berkata, begitu si Bocah tak bernama berlompat maju, menyelak di antara dua orang yang lagi bertempur seruh itu : 17. LOLOS ! Ie Kun menghadapi lawannya yang baru. "Sederajatkah untuk kau menempur aku?" tegurnya, dingin. Matanya Bu Beng Tongcu, si kate dan jelek, bercahaya tajam. Dia juga tertawa dingin. Kata dia sama dinginnya : "Orang she Ie, kita mempunyai perhitungan, kita harus bereskan itu! Dulu hari itu kau mengandal kepada gurumu serta juga Pek Kut Sin Kun, kau telah mengejar aku sampai di lembah gunung Tay San, hingga aku terhajar totokan si orang tua yang aneh itu, hampir saja aku kehilangan jiwaku! Sekarang perhitungan itu harus dibereskan denganmu!" Ie Kim tertawa bergelak. "Aku tanya kau, kenapa kau biasa hidup sampai sekarang ini?" tanya, ia memang ingin ketahui, sesudah terluka parah, siapa menolong sicebol ini dan mengobatinya hing ga dia sembuh. "Itulah Tang Hay Hie In, situa bangka she Giam!" sahut Bu Beng Tongcu. Ia sengaja menyambut demikian sebab ia anggap tak usah sianak muda rewel menanya nanya. "Memang dia yang mengobati kau," kata Ie Kun, "Tetapi apa yang aku ingin ketahui ialah selagi kau terluka, siapa yang sudah melayani siorang aneh hingga dia meninggalkan kau! Tanpa ada orang yang menolongmu, tidak nanti Tang Hay Hie In menolong mengobatimu! Mungkin ketika itu kau mampus bersama Pek Put Sin Kun!" Habis berkata, kembali sianak muda tertawa. "Orang she Ie, jangan banyak lagak!" bentak Bu Beng Tongcu pula. "Jaga gurumu yang baik dan kau sendiri, ketika itu kamu sama sama menjadi sisa mampusnya orang tua yang lihay itu, karena itu, mana ada ketika buat kamu menolongi aku" Untuk menolong dirimu sendiri, kamu sudah tidak sempat! Hm," "Tak peduli pihakku atau bukan yang menolongi kau, kau toh tetap pada lain orang yang menolongnya," kata p?la Ie Kun. "Kalau manusia, kau harus ingat budi orang! Sebenarnya siapakah kau" Pantas kau tidak mempunyai she dan nama!" Ie Kun memutar kata katanya karena ia ingin memancing, buat mendapat tahu she dan nama sicebol dan jelek itu. Bu Beng Tongcu berdiam, tangannya menggaruk garuk kepala. Pertanyaannya Ie Kun sukar buat di jawab. Memang, ia belum tahu she dan namanya sendiri. Semua penonton turut diam mengawasi si cebol. Dua dua Pui Thian Bin dan Mo Hong melainkan ketahui kawan itu muridnya Cit Sat Im Sie tetapi tak tahu mereka asal usulnya dan kenapa juga orang memakai nama Bu Beng Tongcu, yang berarti "anak kecil tak benama." Sin Kay Yo Thian Hoa dan Pek Ie Lie Bun juga mengawasi Bu Beng Tongcu, lalu kepada Ie Kun, kawannya itu. Mereka heran kenapa Ie Kun bicara demikian macam. Mereka pula tidak tahu kenapa Bu Beng Tongcu bungkam. Ie Kun tidak tahu bahwa bocah didepan nya itu ialah saudara kandungnya sendiri. Ia cuma sering mendengar gurunya serta Tang Hay Hie. Ia bercerita hal asal usulnya Bu Beng Tongcu itu gelap, tak ketahuan she dan namanya, bahwa tahu tahu dia sudah jadi muridnya Cit Sat Im Siu yang telengas itu. Bahwa Lay Ong gurunya mau mencari Cit Sat Im Siu untuk menanyakan hal ichwal muridnya dia itu. Apa yang aneh lainnya dari Bu Beng Tongcu ialah cebolnya itu. Tak mungkin dia cebol sejak dilahirkan. Besar kemungkinan dia menjadi katai tidak keruan karena buatan manusia karena paksaan. Sesudah saling berdiam sekian lama, Ie Kun tanya si cebol: "Bu Beng Tongcu, kau tahu atau tidak maksudanya guruku, yaitu Lay Ong, pergi kepada pihakmu" Guruku itu hendak mencari tahu tentang dirimu! Sungguh menyedihkan yang seorang manusia hidup di dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan ibu nya." Bu Beng Tongcu berdiam terus tetapi ia tetap mengawasi anak muda didepannya. Pui Thian Bin mendengar tegas kata katanya Ie Kun. Ia dapat membade maksud orang mendadak ia menyela: "He, bocah kau cerdik, ya! Kau tidak sanggup melawan dia, sekarang kau menanya dia begini macam! Teranglah kau hendak mengadu biru dalam urusan keluarga orang! Apakah kau hendak mencoba merenggangkan dia dari gurunya" Hm! Kalau kau berani, kau lawanlah dia lagi sepuluh jurus!" "Jangan kata baru sepuluh jurus, dua puluh atau tiga puluh lagi juga belum ada artinya!" sahut Ie Kun tenang tetapi temberang. "Aku justeru mau belajar kenal dengan kau sendiri!" Berkata begitu Ie Kun bersenyum terhadap Bu Beng Tongcu, sedang terhadap ketua Tiat Ciang Pang itu ia mengawasi dengan roman bengis dan mengejek. Sebelum Pui Thian Bin menjawab Ie Kun Bun Hong juga turut bicara. Ia hanya bicara kepada Bu Beng Tongcu. Katanya "Eh, Bu Beng Tongcu, kau dengar atau tidak perkataannya Ie Siauwhiap ini" Orangtuanya Ie Siauw hiap yaitu Tiat Kiam Sie seng suami isteri sedangkan ayahku yalah Bun Tiong Bng dan ibuku orang she Thio! Bagaimana dengan kau" Kau bernama Bu Beng Tongcu itu artinya kau lah bocah yang tidak punya nama" Apakah juga ayah dan ibumu tidak punya she dan nama seperti kau sendiri ?" Suara nona ini bernada mengejek dan habis menanya itu, ia tertawa. "Kau benar!" berkata Bu Beng Tongcu. Ia bukannya gusar, hanya tiba tiba ia memutar tubuhnya, buat lari pergi dari hadapan semua orang. Menampak demikian maka Sin Kay Yo Thian Hoa. Si pengemis, tertawa berkakak, kata Rahasia Gelang Pusaka Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dia keras dan nyaring: "Pui Pangcu! Nyata kamu telah melakukan sesuatu yang kamu tidak dapat umumkan kepada orang banyak! Pang cu, sekarang Ie Kun hendak menbereskan perhitungan lamanya denganmu." Diam diam Thian Bin menjadi bingung. Dengan perginya Bu Beng Tongcu, ia menjadi kehilangan satu kawan. Berbahaya. Dilain pihak, dengan Bu Beng Tongcu pulang, mungkin dia itu bakal membikin kacau terhadap gurunya. Tapi seorang yang cerdik. Segera ia mendapat pikiran. Lantas ia menoleh kepada Mo Hong Keng, yang semenjak tadi kerdiam saja. Ia mengedipi mata, ia membuat main mulutnya, lantas secara mendadak ia berlompat pergi! Bun Hong lantas menghampirkan Ie Kun, untuk mencekal dan menarik lengannya. "Ie Siauwhiap." katanya, "kata katamu membuat Bu Beng Tongcu berubah pikiran, maka sekarang gurumu pasti telah bebas!" "Belum tentu, Nona Bun,"sahut sianak muda. "Pihak sana berjumlah banyak!" Pemuda ini tetap tak tenang hatinyai "Ie Kun!" Yo Thian Hoa campur bicara, "Mari kita pergi ke kota Lay bu untuk membicarakan daya upaya membantui mereka itu. Mungkin di bukit Cok Lay San orang akan lantas bertarung !" Begitu ia berkata Sin Kay lantas bertindak pergi. Ie Kun ingin menyusul Pui Thian Bin ke Cok Lay San, siapa tahu si pengemis Sakti begitu berkata begitu berangkat pergi. "Ya, mari kita pergi!" Bun Hong pun berkata. Melihat demikian, pemuda ini tidak bisa berbuat lain daripada mengikuti Thian Hoa. Tiba di dalam kota, paling dulu mereka bertiga mencari rumah makan, untuk mengisi perut mereka. Setelah ia minum arak, Sin pay lantas menjadi seger pula. Begitu juga muda mudi itu selekasnya mereka bersantap, Ie Kun dahar dengan lahapnya. Habis itu lantas ia menyarankan buat mereka segera menuju ke Cok Lay San. Yo Thian Hoa Bun Hong akur. Ketika mereka pergi ke luar kota, hari sudah magrib. Bahkan tak lama lagi, jagat lantas menjadi gelap. Tapi mereka berjalan terus, bahkan sambil berlari lari. Belum lama, di depan mereka berkelebat satu bayangan orang. "Dia bersendirian saja! Siapakah dia?" kata Ie Kun di dalam hati. "Tak mungkin guruku yang telah ditolongi secara diam diam oleh Bu Beng Tongcu ..." Karena ini ia lari menyusul. Sin Kay dan Bun Hong mengikuti sekeras kerasnya. Mereka juga mengenal ilmu lari mereka yang ringan. Selagi mereka berlari lari, mendadak mereka mendengar rintihan, yang datangnya dari pepohonan lebat di sisi jalan. Ie Kun heran hingga ia lantas berhenti berlari. Hanya, justeru ia berhenti justeru bayangan di depan itu lenyap! Ie Kun mendengari, lalu ia menoleh ke belakang, melihat kepada ke dua kawannya. Mendadak ia menjadi kaget. Inilah sebab ia melihat Sim Kay Yo Thian Hoa tidak keruan ruan dan tanpa bersuara, mendadak terguling roboh. Bun Hong lari di depan sebelah Sin Kay, dia terkejut lompat menubruk si pemuda! "Ada orang bersembunyi!" berbisik si nona. Ie Kun kaget hinga parasnya berubah menjadi pucat, dengan sebelah tangan memeluk tubuh si nona, ia lantas melesat naik ke sebuah pohon kayu di sampingnya. Di situ keduanya berdiam sambil memasang telinga dan mata. Tak terdengar apa juga, tak tertampak sesuatu... Di dalam gelap, masih terlihat tubuh Sin Kay rebah tak bergeming dan tak bersuara, tanpa rintihan. Agaknya ia telah terbokong jitu dan roboh untuk terus putus jiwa .... Siapakah sipenyerang" Diakah musuh" Ke manakah perginya dia" Kenapa dia tak nampak" Kenapa dia justeru menyerang Sin Kay dan bukannya ia atau Bun Hong" Keras Ie Kun berpikir akan tetapi tidak berani ia membuka suara menanya nona didalam rangkulannya. Ia melihat bahwa suasana sangat berbahaya. Cuma di depan mereka tadi ada si bayangan, yang larinya sangat pesat. Dia itu mahir ilmu ringan tubuhnya. Siapa dia" Selagi suasanya sunyi, tiba tiba muda mudi ini mendengar suara rintihan keluar dari pepohonan yang lebat. Disisi jalan itu memang terdapat rimba. Itulah terang orang yang terluka! Kalau ada orang luka, mungkin juga ada yang terbinasa! Siapakah bertarung di dalam rimba itu" Yo Thian Hoa Dia terobohkan, terbokong. Siapa penyeranguya itu" Kenapa dia tidak memunculkan dirinya" Apakah dia sudah kabur" Ataukah dia tetap bersembunyi" "Kalau dia sudah pergi dapat aku menghampirkan Sin Kay buat melihatnya?" pikir Ie Kun pula. "Perlu aku melihat mukanya, mungkin dari situ akan ketahuan siapa pembunuhnya. Aku pula dapat sekalian masuk ke dalam rimba, untuk melihat orang yang luka itu... Ada orang luka berarti ada orang masih hidup dan orang hidup pasti memberikan sesuatu keterangan... Tapi, kalau dia masih bersembunyi, kalau aku keluar, aku bisa celaka ditangannya, Sin Kay mau bekerja untukku, mana dapat aku tidak mencari balas untuknya" Maka keras anak muda ini mengasa otaknya. Selama itu Bun Hong membalas memeluki si anak muda, tak mau ia melepaskannya. Ie pun tak mau berani berkutik. Hanya berdua mereka melihat kesegala arah. Mereka mendapatkan gelap disekitar mereka. Tak sesuatu yang aneh yang tampak, tak juga ada gerakan apa apa. Sekalipun angin tak bertiup, hingga rimba bagaikan rimba mati. Teranglah itu malam suatu malam yang tenang. "Nona, kau tunggu di sini," kemudian Ie Kun kata juga. "Hendak aku turun buat melihat lihat ..." Ia bicara di telinga si nona suaranya sangat perlahan. Mudah saja ia berbisik sebab tubuh mereka bagaikan melekat menjadi satu. "Jangan." mencegah si nona, "itulah berbahaya!" Bun Hong bicara perlahan sekali sekali hingga suaranya mirip suara nyamuk ... (BERSAMBUNG JILID 10) RAHASIA GELANG PUSAKA Oleh : O. K. T. Jilid ke : 10 Di dalam keadaan seperti ini, muda mudi ini tak ingat akan soal asmara, baru kemudian si nona sadar, lantas ia menjadi jengah sendirinya. Tapi pikirnya, apa aku bisa bikin" "Ie Siauw hiap, tak dapatkah kau menggeser sedikit?" akhirnya ia kata juga, perlahan. Ia pun mencoba melepaskan lengan si anak muda yang merangkul padanya, yang jerijinya berada di buah dadanya. Baru setelah si nona berkata itu, Ie Kun pun sadar, hingga hatinya menjadi berdebaran. "Maaf," katanya seraya terus ia melepaskan rangkulannya. "Ie Siauwhiap." kata si nona, yang sebaliknya mencekal tangan orang. Ia merasakan tangannya bergetar bagaikan terkena aliran listrik, ia pun tidak dapat menyebut apa apa lagi. Ia cuma merasai manis ... "Adik Hong, kau baik sekali," kata Ie Kun, yang terus mencium mulut orang yang kecil mungil sebagai buah engtoh. Nona Bun tidak menolak, dia berdiam saja, cuma tangannya, yang dipakai mencekal tangan si anak muda, sekarang dipakai merangkul pinggang pemuda itu. Memangnya diantara mereka, selama tujuh hari berada di pulau Cit Chee To, secara diam diam telah tumbuh benih asmara bukan mereka yang mengatur, hanya keadaan mereka wajar, mereka direkoki sang suasana. Maka mereka mirip sepasang burung wanyoh, atau bebek mandarin, yang menclok pada sebuah tangkai ... "Bagaimana sekarang?" tanya Ie Kun kemudian. "Kita tidak melihat atau mendapatkan sesuatu. Tak dapat kita terus berdiam secara begini! Kau tidak takut bukan?" "Tidak!" sahut si nona. "Mari kita turun, asal kita berhati hati. Lebih dulu kita lihat Yo Locianpwe, sebenarnya dia roboh karena apa ..." Ie Kun akur, maka berdua mereka lompat turun dari pohon itu. "Engko Ie Kun," si nona tanya, "Kita lihat dulu Yo Locianpwe atau kita periksa dahulu rimba...?" Bun Hong mengikuti sejarak dua tombak. Meski tidak ada musuh disitu, keduanya waspada, selalu melirik ke kiri dan kanan. Tiba tiba Ie Kun merandek, melihat itu si nona merandek juga. Hatinya Ie Kun gancang, matanya menatap mendelong ke depan. "Mungkinkah ada orang yang telah menggeser tubuhnya Yo Locianpwe?" katanya di dalam hati. Bu Hong heran melihat kawannya merandek. Ia menghampiri beberapa tindak. "Ada apa, engko Ie Kun ?" tanyanya. Dalam bingungnya, Ie Kun bukan menjawab hanya balik bertanya : "Kenapa Yo Locianpwe tidak ada, ya ?" Sekarang si nonalah yang heran. "Benarkah?" ia menegas. Ia lantas melompat maju. Ia mendapat kenyataan, tubuh Yo Thian Hoa tidak ada di tempat dimana tadi dia roboh dan rebah diam saja. "Ya, tidak ada disekitar situ! "Sungguh aneh! Tadi toh dia roboh di situ dan terus rebah tak berkutik! Dari atas pohon, kita masih melihatnya walaupun dengan samar samar ..." demikian keduanya berpikir. "Adik Bun, mari kita lihat ke dalam rimba ..." Ie Kun kemudian mengajak, sedangkan tangannya menarik lengan si nona. Nona Bun menurut. Selintasan mereka berjalan, mereka tidak menemukan apa apa. Mereka penasaran, mereka bertindak terlebih jauh. Kali ini mereka mendapatkan mayatnya empat orang. Dengan pedang bambunya, Ie Kun menolak nolak mayat mayat itu. Orang bukan cuma sudah mati tapi sudah beku juga! Apa yang aneh, keempat mayat sama seperti kedua mayat di luar kota Lay bu, semuanya menjadi korban pukulan Cit Sat Cwie Sim Ciang! Lain keanehan yaitu, tadi masih terdengar rintihan mereka, kenapa sekarang mereka sudah mati kaku" Di antara empat mayat itu, tidak ada satu yang dikenal. Untuk sejenak, muda mudi itu berdiri terpaku. Mereka bingung. Mana Yo Thian Hoa" Apakah ia perlu dicari terus" Bagaimana dengan bayangan orang yang menghilang tadi" Siapakah dia" Bagaimana harus menyusul atau mencarinya" Dalam bingungnya, dua orang ini bertindak keluar rimba. Keduanya lantas berdamai. Akhirnya mereka berkeputusan akan pergi dulu ke Cok Lay San, ke kuil disana. Maka mereka berjalan bersama di dalam tempat yang gelap. Malam tetap sunyi dan gelap. Tidak ada angin berkesiur. Karena itu, berdua mereka berjalan tindak demi tindak, saking perlahannya. Sembari jalan, mereka memasang mata, melihat lihat dan waspada. Mereka pula memikirkan tentang orang orang yang berkumpul di dalam kuil di gunung Cok Lay San itu. Sang alam juga membawa lakon. Sedangkan malam sunyi, hingga angin tidak ada mendadak sang angin tiba, lalu disusul sang hujan. "Bagaimana, engko!" kata Nona Bun. "Hujan turun dan semakin besar!" "Tapi, adik Hong, kita mesti berjalan terus!" kata si anak muda. "Kita mesti mendapatkan tempat berlindung ..." Kembali terjadi perubahan. Tadinya malam gelap, mega bergumpal, akan tetapi hujan turun, langit terang. "Memang kita mesti mencari tempat berlindung" si nona pun berkata. "Musuh bergelap, kita berterang, kita tetap terancam bahaya ..." Ie Kun menunjuk ke arah kiri. "Bukankah kita dapat singgah di sana?" tanyanya. "Asal ada tempat berlindung! Mari!" Berkata begitu, si nona menarik tangan si pemuda. Segera mereka masuk ke dalam San Sin Bio, yaitu kuilnya si malaikat gunung. Ruang sesak karena kuil sangat kecil. Di sini keduanya duduk numprah di lantai. Karena baju mereka demak, mereka duduk rapat seperti diatas pohon tadi, supaya mereka memperoleh hawa hangatnya masing masing. Di muka umum. Ie Kun alim, akan tetapi di sini berduaan saja, ia jadi suka bicara. "Adik Bun, kau baik sekali," katanya. "Banyak kau telah membantu aku. Selanjut nya tidak kita berpisah pula ..." Hati si nona demikian juga. "Hatiku tidak senang, engko Ie Kun," kata si nona kemudian. "Ah ya, adik, kenapa jantungmu memukul?" tanya si anak muda yang merabah dada orang. Ia menanya sedangkan sebenar nya, hatinya sendiri turut berdebaran. Mereka berpelukan pula, mereka menantikan sang waktu. Kira jam empat, barulah hujan berhenti, lantas langit mulai terang. Tidak lama, datanglah sang fajar. Sekarang dengan berdiri di muka kuil, mereka bisa melihat jauh kedepan. Di depan mereka terbentang sebuah jalan kecil yang panjang. Mereka pun berada ditempat yang tinggi. Tengah mereka mengawasi, tiba tita mereka melihat seorang lari mendatang. Ie Kun pergi ke depan kuil. "Adik Hong, lekas siap," katanya selekasnya ia melihat seorang itu. "Ada apakah?" si nona tanya. "Ada orang mendatangi!" "Lekas sembunyi!" kata si nona. Ie Kun lari balik kedalam kuil. Ia bersembunyi akan tetapi ia mengintai. Hanya sejenak, orang itu tampak tegas Ie Kun terperanjat. Ia mengenali yang datang itu yalah Lay Ong si orang tua berbaju putih, yang menjadi gurunya. Dari berkuatir, ia menjadi girang sekali. "Suhu !" serunya seraya ia terus lari ke luar. Belum berhenti panggilan itu, atau si anak muda melihat ada satu orang lain yang berlari lari mendatangi dibelakang gurunya. Pek Ie Lojin sendiri tidak berhenti berlari walaupun ada panggilan muridnya itu. Rupanya orang di belakang itu lagi mengejar si orang tua. Menampak demikian, Ie Kun tidak berani memanggil pula. Sebaliknya ia lompat mundur, untuk pergi ke belakang kuil di mana ia menyembunyikan diri di antara pepohonan tangannya segera menyiapkan beberapa biji cit chee piauw, bersedia menyerang apabila perlu. Hanya kepada Bun Hong ia memesan : "Adik Bun, jangan keluar! Guruku sudah berlari lewat, di belakangnya ada yang mengejar beberapa orang! Mereka itu lagi datang mendekati ..." Memang, selama itu, pihak pengejar itu telah datang semakin dekat. Merekalah tiga orang bahkan lantas mereka dikenali sebagai Thian Tie Tojin adik seperguruannya Cit Sat In Siu, Ciauw Bin Giamlo ketua Tiam Chong Pay, serta Soat San Gan Mo Hong Keng yang kaum Bu Lim tak ada yang tak mengenalnya! 18. Seorang bocah angon ... Panas hatinya Ie Kun kapan ia sudah mengenali semua pengejar itu. Ia belum tahu pasti tentang kekuasaannya Tiat Kiam Sie seng suami isteri di lembah Toan Hun Kok tetapi menurut apa yang sebegitu ia dengar, antara pengeroyok ayah bundanya itu terdapat orang orang yang disebut Jie Loo It Koay dan Sam Siu, ialah Thian Tie Toojin, Ciauw Bin Giamlo dan Soat San Gan bertiga! Mereka pula orang orang yang diluar kota Lay bu sudah membinasakan Po Kiak Twie Hong Kay dan Jiak Jie si pendeta Siauw Lim Sie, serta menawan gurunya. Merekalah yang berkumpul di Cok Lay San, yang merencanakan perbuatan perbuatan jahat! Dan lagi, karena urusan Cay Hoan Giok Tiap dan Kie Su Koan dari Siau Lim Pay, mereka itu menjadi musuh musuhnya sendiri! Justeru orang datang dekat, justeru Ie Kun sudan siap sedia. Tepat ketika Mo Hong mulai masuk dijalanan kecil untuk memasuki kuil San Sin Bio, mendadak dia menjerit dengan tubuhnya roboh terguling, cuma dua kali dia bergulingan, lantas dia tak berkutik pula! Thian Tie Toojin lagi berlari lari ketika ia melihat setuah cit chee piauw menyambar ke arahnya, dengan sebat ia lompat berkelit kesamping, terus ia menoleh kebelakang, untuk melihat robohnya Soat San Gan. si Belibis Gunung Salju, kawannya itu menyusul menjerit dan robohnya Mo Hong Keng. Ciauw Bin Giamlo juga menjerit, dan roboh seketika nyawanya pergi terbang melayang menyusul arwah kawannya itu. Thian Tie Toojin bebas pula dari piauw yang ketiga berkah kewaspadaan dan kegesitannya. Sekarang ia mendapat tahu dari mana datangnya serangan gelap itu, maka ia berlompat, untuk lari kepepohonan lebat di belakang kuil si Malaikat Gunung. Ia percaya kelihayannya, bukannya ia lari ia justeru maju! Oe Ie Kun kuatir orang nanti melukai Bun Hong yang masih berdiam didalam kuil ia keluar dari tempatnya sembunyi, ia memapaki si imam lihay. Melihat Ie Kun, darahnya siimam bertambah bergolak. "Kiranya kau bocah, busuk!" teriaknya, memandang hina. "Si kutu busuk Lay Ong sudah lolos, maka sama saja jikalau aku bekuk padamu!" Rahasia Gelang Pusaka Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Mau apa kau menangkap guruku?" Ie Kun tanya. Ia berlaku sabar hingga ia tidak menghiraukan penghinaan si imam. Thian Tie memperlihatnya sikap sangai jumawa. Ia maju lagi dua tindak. Matanya pun mencilak. "Bocah, tidak dapat kau menyembunyikan lagi asal usul dirimu!" katanya nyaring. "Kaulah sianak celaka turunannya Tiat Kiam Sie Seng! Sekarang kami sudah mengetahui jelas! Apakah kau kira kami masih dapat memberi hidup pada kamu guru dan murid?" "Hantu jahat!" seru Ie Kun yang tertawa lebar. Katanya pula: "Jikalau kau tidak mengasi tahu, aku masin belum jelas tentang diriku sendiri! Sekarang tanya tahulah aku bahwa kamulah musuh musuh besarku yang dahulu hari mencelakai ayahbundaku! Hari ini tuan mudamu hendak mengambil keputusan but membereskan semua!" Saking murka, romannya Ie Kun menjadi bengis, sedangkan rambutnya pada bangun berdiri, begitupun sepasang alisnya. Ia sudah lantas menyiapkan tenaga dalamnya, untuk segera menyerang. Hendak ia menyerang tipu silat "Thian Hian Sam Sie." "Tunggu dulu!" Tie berseru."Biarkan aku mengumumkan dahulu dosa dosamu, supaya kau nanti mati puas!" Imam ini berani sebab dia tak memandang mata kepada sianak muda. Ia menyangka orang cuma lihay sebab piauwnya itu. "Hantu, kau bicaralah!" Ie Kunpun berkata. "Aku juga akan membikin kau mampus puas!" Thian Tie tertawa lebar. "Inilah dosamu yang pertama." berkata dia : "Kemarin kau telah mengasut Bu Beng Tongcu hingga dia berobah pikirannya! Peduli apa Bu Beng Tongcu mencuri obat gurunya buat mengobati luka luka pukulan Cie Sat Cwie Sim Ciang! Mengapa kau bicara yang tidak tidak untuk memisahkan kami?" "Apa lagi?" Ie Kun tanya menentang. "Inilah dosamu, atas mana kau meski tertanggung jawab!" kata pula Thian Tie. "Sesudah paman guruku, Cit Im Su mengetahui duduknya hal meskipun Bu Beng Tongcu tidak keburu menolongi si Malas dia toh sudah kabur terlebih dahulu! Karena itu sampai sekarang, Pui Thian Bin dan lainnya yang mengajar, masih belum kembali! Nah, kau dengan bocah bukankah kaulah yang menyebabkan gara gara itu?" Mendengar begitu. Ie Kun berpikir. Mungkin beberapa orang yang terbinasa di dalam rimba itu yalah orang orangnya Pui Thian Bin. Dan yang kabur cepat itu tentulah Bu Beng Tongcu sehabisnya dia melakukan pembunuhan. Semua korban mati karena karena pukulan Cit Sat Bie Sim Ciang itu pastilah bukan perbuatannya Cit Sat Im Su. Hanya ia tidak mengerti, siapa yang membokong Sin Kay Yo Thian Hoa. Ia membawa Bun Hong jadi tak sampai ikut menyusul, untuk mencari tahu orang itu. Habis mendengar perkataan si iman, Ie Kun menepuk dada. "Toodjin, akan mengikuti semua!" kata nya gagah. "Semua mua karena gara garaku. Aku berani bertanggung jawab buat kebinasaannya itu segala hantu yang pernah mencelakai Tiat Lim Sie seng didalan lembah Toan Au Kok! Baiklah kau ketahui sekarang ini aku lagi bersiap sedia untuk membasmi semua orang jahat yang menjadi musuhku itu, guna aku menghibur arwahnya ayahbundaku di tempat yang langsengi" "Jangan jumawa!" berkata si imam. "Ingin aku lihat kau mau menghibur ayahbundamu atau jiwamulah yang sekarang bakal pergi menghibur sekalian korban korbanmu itu! Aku si imam tua, ingin aku menyepurnakan hidupmu setelah mana akan aku menyempurnakan juga hidupnya gurumu!" Dengan kata kata "menyempurnakan" si toodjin maksudkan hendak ia mambinasakan pemuda ini. "Tunggu dulu hantu tua! Hendak aku tanya kau kemaren malam sibocah tak ternama telah meninggalkan kalangan sesat untuk memasuki dunia lurus akan tetapi kenapa baru sekarang kamu mengejar mengejar guruku?" "Itulah sebab situa tak mau mampu menyembunyikan diri diluar kuil dan baru saja kami memengokinya! Hayo sekarang kau tanyalah segala apa akan aku beri keterangan padamu?" Meski ia berkata demikian Thian Tie toh berlompat untuk menerjang sianak muda. Ia mengenai kedua tangannya. Sebelumnya kedua tangan itu tiba pada sasarannya anginnya sudah menghembus terlebih dahulu. Karena ia berlompat tinggi tubuhnya seperti melayang diudara.... Walaupun orang berlaku tidak secara laki laki dan sangat mendadak. Ie Kun telah berjaga jaga tak kena ia diserang secara tiba tiba itu. Dengan gerakan Cit Chee Tun hoat yang lincah, ia menggeser tubuhnya kesamping sejauh tiga kaki disebelah kiri si imam. Si imam sendiri, sebaliknya melotot matanya, sebab kegagalannya itu. Dia tidak menyangka bahwa bokongannya itu gagal. Habis itu, dialah yang kelabakan. Ie Kun tidak cuma berkelit, ia membalas menyerang dengan tipu silat "Tek Seng Touw" atau "Memetik bintang". Itulah salah satu jurus dari Cit Chee Ciang boat, ilmu silat tangan kosong "Tujuh Bintang". Semua mua ilmu silat itu mempunyai empat puluh sembilan jurus. Thian Tie juga lihay sekali, sembari tertawa, tubuhnya mencelat menyingkir dia mengapungi diri, ketika dia turun ditanah, dia bersikap duduk bersila, Begitu lekas dia menginjak tanah, begitu lekas juga dia berlompat kembali, buat melakukan serangan pula. Dan dia menggunakan pukulan Cit Sat Cwe Sim Ciang! Yang hebat ialah ketika tangan kanannya meluncur imam itu mengeluarkan bau bacin. Bukan cuma Ie Kun yang terkejut, juga Bun Hong, yang telah muncul dari dalam kuil sesudah dia merapihkan pakaiannya, sebab dia mengenali ilmu silat itu. Ie Kun terkejut, tapi ia tidak menjadi gugup atau bingung, dengan sebat ia berkelit, dengan tindakan Pak Kwa Heng hoat ajaran gurunya, Lay Ong. Ia bergerak dengan sangat gesit dan lincah. Setelah itu sama gesitnya ia menyerang pula, Beruntun ia menggunakan tiga jurus Cian Kouw Lui Tong, Cio Po Thian Keng dan Thian Peng Tee Liat, dari ilmu silat, Thian Hian Sam Sie, karena ia mendongkol, ia menggunakan tenaga sepenuhnya hingga terdengarlah suara sangat berisik seumpama kata tambur perang mengguntur atau langit ambruk atau bumi gempa. Di dekat dekatnya cabang cabang pohon patah putus dan berjatuhan dengan rontoknya daunnya, sampai debupun mengepul naik. Hingga buat sejenak itu, disitu tak tampak apa apa! Begitu lekas suasana sirep. Ie Kun menjadi heran. Thian Tee Tojin tak tampak tak ada bekas bekasnya. Yang mengatakan ialah Bun Hong juga lenyap tidak keruan paran! "Adik Bun." si anak muda memanggil, kekuatirannya lantas timbul. Tidak ada jawaban! "Ah, jangan jangan dia menemui bencana!..." pikirnya bingung, Ia pun heran. Thian Tie dapat lolos dari serangannya yang maha dahsyat itu dan berbareng pun membawa kabur pada kekasihnya! Dalam bingungnya Ie Kun lantas mencari berputaran di sekitar terapat itu. Ia pergi sejauh setengah lie, hasil tidak ada. Jangan kata Bun Hong hal hal yang mencurigai pun tak tampak. Karena Thian Tie lenyap, terang sudah dia dapat lolos! Ie Kun berdiam di dalam rimba dibelakang kuil terpisahnya lima tombak lebih. Di situ ia bercelingukan ke empat penjuru. Itulah tempat dari mana ia bisa memandang ke pelbagai jurusan. Ia mencari dengan mulut bungkam sebab sia sia belaka tadi ia berkaokan tak hentinya. "Engko Ie Kun ..." tiba tiba terdengar satu suara panggilan, suara itu lama dan merdu terdengarnya. Itulah suara wanita. Ie Kun terperanjat hingga ia tercengang matanya mendelong kearah kuil. Hanya sejenak girangnya bukan buatan. Tanpa bersangsi pula, ia lompat jauh, untuk lari ke San Sin Bio. Karena ia mengenali suaranya Bun Hong. "Adik Bun! Adik Bun!" panggilnya berulang ulang. "Kemana kau pergi" Oh, kau membuat aku kaget sekali..." "Oh, engko Ie Kun" kata si nona. "Kau bukanlah lawan Thian Tie!..." Nona itu bukan menjawab hanya berkata: Ie Kun heran. Iapun perasaran. "Bukanlah dia telah kabur karena hajaranku?" tanya dia. "Bukan, engko Ie Kun," sahut sinona. "Ketika kau hajar dia buat pertama kali, dia sudah lantas lompat berkelit, selagi debu mengepul, dia lompat kebelakangmu sekira dua tombak. Sedangnya dia berdiri dibelakangmu, engko, aku berada dibelakang dia, kau terus menerjang kedepan, kau tidak melihat kebelakang, disaat pohon pohon roboh, dia mencoba menyerang kau dengan Cit Sat Cwie Sim Ciang. Itulah ancaman bahaya untukmu. Dia juga cuma mengawasi kau, dia tidak melihat aku. Sebelum serangannya meluncur, aku mendahului menyerangnya. Aku keausu, tidak sempat aku mengumpul tenaga, akan tetapi itu sudah cukup membuatnya kaget, maka dalam takutnya, ia memutar tubuh dan terus lari kabur!" Bun Hong bukan melainkan menyerang, ia terus mengejar si imam, selagi ia memburu, satu kali ia memanggil "Engko Ie Kun!" hanya sikakak tidak mendapat dengar, dia lagi tercengang keheranan sebab lawannya lenyap tidak keruan paran. Sebat sinona mengejar si iman, itulah yang membuatnya kehilangan kekasihnya hingga dia heran dan kaget dan mencari dengan bingung. Tidak berhasil Nona Bun menyusul Thian Tie. Imam itu dapat lari keras sekali, dari terpisah dekat, dia menjauhkan diri, hingga dia lenyap dalam rimba di Cok Lay San. Ketika sinona pulang kekuil. Ie Kun lagi mencari jauh dilain arah, maka juga mereka tidak saling bertemu dan sinonapun tidak dapat mendengar panggilan si pemuda. Barulah setelah sama sama berada dekat satu pada lalu, mereka dapat saling mendengar. Ie Kun bersyukur. Ia menghatukan terimakasih kepada kekasihnya, yang telah menolongnya, kalau tidak tentu ia bakal bercelaka di bokong si imam lihay. "Teranglah, sekarang lawan kita yang terlihat yalah Thian Tie!" katanya kemudian. Bun Hong mengangguk, lalu bersenyum. Ia senang Ie Kun selamat. "Sudahlah, jangan kita bicara pula dari hal si imam," kata ia. "Paling benar mari kita pergi cari gurumu!" Ie Kun mengangkuk, akan tetapi ia berpikir. "Adik Bun." katanya, "Thian Tie kabur ke Cok Lay San, disana mungkin dia mempunyai urusan apa apa. Entah apa yang dia lagi atau akan lakukan?"" "Itu artinya kau ingin pergi kesana?" tanya si nona. "Bagaimana pikirannya, adik" Apakah itu perlu?" "Kau sendiri, apakah musuhmu mau pergi kegunung itu?" sinona balik bertanya. "Tentulah pertama tama untuk membuat penyelidikan. Umpamakata kita ketemu orang jahat, sekalian kita basmi mereka, supaya kelak di belakang hari mereka tidak dapat mengganas pula!" "Kau keliru," kata sinona. Sekarang ini yang paling perlu yaah mencari gurumu. "Gurumu baru lolos dari tempat musuh, ia tentu ketahui keadaan musuh itu. Buat apa kita menyia nyiakan waktu pergi kegunung itu?" Ie Kun setuju, maka lantas keduanya berangkat pergi ke Lay bu, ketika mereka sampai, mereka bergentayangan di jalan jalan besar mencari Pek Ie Loojin Lay Su. ketika itu sudah tengah hari. Mereka mencari tanpa tujuan sebab tak ketahuan Lay Su berada di mana. Kecuali jalan jalan besar dan kecil, mereka memasuki juga rumah rumah makan dan penginapan. Tidak ada hasil mereka jadi masgul. "Oe Ie Kun!" tiba tiba terdengar suara panggilan di saat muda mudi itu mulai putus asa. Keduanya menoleh dengan cepat, terutama Ie Kun. Segera sianak muda menjadi girang luar biasa, walaupun mulanya dia melengak! Itulah Sin Kay Yo Thian Hoa, yang tadi malam kena terbokong lawan yang tak diketahui siapa adanya, yang disangkanya sudah mati seketika. "Loocianpwee!" seru Ie Kun. yang lantas lari menghampirkan. Bun Hong lari bersama. "Aneh!" kata mereka. Inilah sebab sipengemis Sakti tidak kurang suatu apa. "Kamu pergi kemana?" Thian Hoa tanya sebaliknya. "Loocianpwee," kata Bun Hong perlahan, disini bukan tempat bicara, mari kita mencarinya dahulu." "Baik," sahut Thian Hoa, tertawa. "Sudah kumat ketagihanku minum arak, maka pergilah kau mencari sebuah rumah makan di mana aku bisa berpesta pora! Kamulah yang yang mengundang aku berjamu!" Habis berkata, kembali dia tertawa gembira. Ie Kun dan Bun Hong bersenyum! Mari, loocianpwee," kata si pemuda, yang terus mengajak jago tua itu ke sebuah rumah makan dimana mereka mencari meja dan lantas memesan barang makanan. Dengan begitu juga, sembari bersantap, Ie Kun dan Bun Hong dapat menuturkan lakon mereka mulai mereka dikaget kuatirkan robohnya si Pengemis Sakti itu tidak keruan ruan, kemudian Ie Kun menambahkan. "Kami menerka loocianpwee kena terbokong. Sebenarnya, bagaimanakah duduknya kejadian?" "Memang benar aku bertemu musuh," sahut Yo Thian Hoa. "Siapakah dia, loocianpwee?" Bun Hong tanya. "Bagaimana pengalaman loocianpwee?" "Aku tidak kurang suatu apa," sahut Sin Kay, hanya disebabkan mengejar musuh, aku jadi berpisah dengan kamu. Hari ini aku sengaja menantikan disini karena aku percaya kamu bakal datang kemari," Thian Hoa bicara sambil bersantap, bicaranyapun wajar saja, Ie Kun dan Bun Hong heran. Mereka tak mengerti. Terang terang mereka melihat orang roboh, kenapa sekarang dia membilang dia mengejar musuh" Apakah dia bukan lagi mendusta, buat menutupi rasa malunya" Itulah dugaan belaka, tak berani mereka mengutarakannya. Mereka kuatir siorang tua tersinggung dan menjadi kurang senang karenanya. "Loocianpwee, berhasilkah kau mengejar musuh?" tanya Bun Hong kemudian. Yo Thian Hoa tidak menjawab langsung, hanya dia menutur: Ketika mereka melihat bayangan orang didepan. Ie Kun yang paling dulu lari mengejar. Bun Hong dan Thian Hoa ketinggalan dibelakang. Di antara mereka ini berdua, Bun Hong berada didepan siorang tua, mereka berdua terpisah kira tiga tombak. Bun Hong berhenti berlari ketika Ie Kun menghentikan pengejarannya. Justru keduanya berhenti, dan tidak merasa. Itulah rupanya disebabkan cuaca gelap dan ia tengah mengawasi Ie Kun. Thian Hoa berada disebelah belakang, ia melihat orang hendak membokong si nona. Ia lantas bertindak cepat dan sebat. Ia berlompat kepada orang itu dan menotoknya membuat roboh. Bun Hong mendengar suara tubuh roboh, ia lantas menoleh. Ia lantas menerka Thian Hoa. Sedangkan sebenarnya, Sin Kay yang merobohkan musuh tidak dikenal itu. Hanya, habis menerjang, Sin Kay lompat ke sisi, buat menyembunyikan diri. Dia kuatir nanti ada musuh lainnya, hendak dia menjaga, buat melindungi sinona. Lalu dia mencari kelilingan didalam rimba itu. Ketika dia muncul pula, Ie Kun dan Bun Hong sudah tak nampak. Dia lantas menduga muda mudi itu tentu mengejar terus bayangan tadi, untuk melihat siapa pembokong itu. Untuk kagetnya, ia mendapatkan Cit Sat In Siu. Dia justru ada orang lompat keluar dari antara pepohonan lebat. Orang itu berlompat kearah si nona tetapi si nona sendiri tidak melihat kaget dan heran, hingga dia lompat mundur dua tindak. Dia bukan lawan Cit Sat In Siu tetapi aneh dia dapat menotok roboh jago itu. Dia tidak tahu Cit Sat In Siu lagi menggunai akal muslihat. Hal yang benar ialah: Cit Sat In Siu lagi mencari muridnya, yaitu Bu Beng Tong cu. Ketika itu Bu Beng Tongcu sendiri baru saja membinasakan empat orang sebawahannya, ketua Tiat Ciang Pang yang bersembunyi didalam rimba itu, habis itu dia lari ke luar dari rimba, untuk mengangkat kaki. Bayangannyalah yang terlihat Ie Kun bertiga, hingga dia dikejar. Cit Sat In Siu melihat dua orang berlari lari, yaity Bun Hong dan Yo Thian Hoa. Ia tidak melihat tegas ia menyangka Bun Hong yalah Bu Beng Tongcu, maka ia lompat keluar buat menahannya. Belum lagi ia menyerang lantas ia melihat seorang berpakaian serba putih. Ia lantas mengarti bahwa ia salah melihat maka ia sudah lantas menghentikan majunya Di lain pihak ia mau menyangka bahwa orang yang lari belakangan itu ... yaitu Sin Kay ... dialah Bu Beng Tongcu. Ia tahu menghentikan tindakannya, atau orang sudah sampai dan meonotoknya. Sebenarnya ia mau mengasi dengar suaranya atau ia membatalkan itu. Inilah sebab ia kuatir, kalau ia membuka mulut. Bu Beng Tongcu nanti mengenalinya dan kabur. Segera ia menggunakan akal. Ketika diserang, ia berkelit, akan tetapi ia berapura roboh, seperti orang kena tertotok. Ia duga, sesudah ia roboh. Bu Beng Ton cu batal menghampirkan padanya, buat mengambil obat "Cit Sat Biauw Tan" buatannya, itulah obat untuk menyembuhkan pukulan Cit Sat Cwie Sim Ciang ketika Bu Beng Tongcu mengobati Lay Siu, dia cuma mendapatkan sedikit dari obat itu maka juga ada kemungkinan dia akan mengambil lagi. Ia percaya, karena si murid mendurhakakan, murid itu pasti akan datang pula. Demikianlah ia rebah terus. Ia pikir, mudah ia membekuk si murid selagi si murid mengeledah tubuhnya. Terkaannya itu tepat. Orang benar datang pula. Ia hanya tidak mengira, orang bukannya Bu Beng Tongcu, dan juga baru saja datang dekat, orang sudah lompat mundur pula. Ketika itu ia masih menyangka muridnya, yang rupanya lantas mengenali padanya. Ketika itu pula ia berniat membunuh muridnya, supaya si murid tidak mendurhaka terus dan menimbulkan bencana tak diinginkan. Ketika Sin Kay mundur, ia berlompat bangun. Rahasia Gelang Pusaka Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Segera ia mendapat kenyataan, orang itu bukan muridnya, maka tanpa menghiraukan lagi si Pengemis Sakti, ia pergi kabur. Ia lari ke depan buat menyusul Bu Beng Tongcu. Yo Thian Hoa melihat Cit Sat Im Siu lari kearah larinya Ie Kun dan Bun Hong, ia lantas menyusul. Ia kuatir Cit Sat Im Stu nant mengganggu muda mudi itu. Ia hanya tidak tahu. Ie Kun dan Bun Hong justru bersembunyi di atas pohon. Maka ia lari terus menyusul Cit Sat Im Siu. Demikian sebab nya, Ie Kun dan Bun Hang heran atas lenyapnya "mayatnya" Sin Kay. Yo Thian Hoa menyusul terus terusan, dari malam yang gelap sampai fajar tiba. Ia terpaksa berhenti karena letih dan berdahaga. Terpaksa ia pergi ke kota, mengharap harap tibanya Ie Kun berdua Bun Hong. Ia girang sekali yang pengharapannya terkabul. Maka sekarang bertiga mereka berkumpul bersama dan minum bersama juga. Ia mengiringi beberapa cangkir arak, baru ia berceritera. Kata ia penutupnya : "Hampir juga, Bun Hong, tadi malam kamu tentu dapat beristirahat puas !" Dua dua muda mudi itu merah pipinya. Memang tadi malam mereka leluasa main asmara. Tidak dapat mereka menjelaskan itu. Ie Kun gugup Bun Hong tunduk .... "Bagaimana, eh ?" tanya Thian Hoa, mengawasi. "Kamu tidak percaya keteranganku atau kamu tak suka mendengarinya?" Bun Hong tidak mau orang menjadi curiga, lekas lekas ia mengangkat kepalanya. Ia pun melirik pada si anak muda. "Kau keliru, locianpwe!" sahutnya, lekas. "Tadi malam kami bersembunyi di atas pohon. Salahnya yalah telah tidak memanggil pada locianpwe, hingga kami menyebabkan locianpwe menderita." "Tidak apa, anak. Kamu tahu, penuturan ku belum habis." Ie Kun dan Bun Hong mengangkat kepala mengawasi. Sin Kay melanjuti keterangannya : Sebenarnya Cit Sat Im Siu lenyap ketika dia dikejar sampai di bukit Ie San, sesudah fajar menyingsing. Thian Hoa penasaran, ia menyusul terus, sampai ia berada di sebuah tanah datar di tengah bukit itu. Di situ ia lantas mendengar embe embeannya anak kambing. Ia heran di dalam gunung ada kambing. Untuk mendapat kepastian, ia bertindak ke arah dari mana suara anak kambing itu terdengar. Ia bertindak dengan perlahan Tidak lama maka ia melihat seorang anak penggembala bersama sekumpulan kambingnya. Bocah itu berumur sebelas atau dua belas tahun tubuhnya cuma tertutup dengan daun daunan. Apa yang aneh dari dianya yalah, dia berkepala gedeh tetapi bertubuh kecil. "Hai, anak penggembala!" ia memanggil. Bocah itu mengangkat kepalanya dan menoleh. "Ada apa?" sahutnya. "Apakah kau hendak mencuri kambing ?" "Bukan! Kalau aku mau mencuri, masa aku panggil kau " "Aku hendak menanya padamu!" "Tak dapat !" kata bocah itu. "Guruku telah membilangi aku, kalau ada orang datang kesini siapa pun dia harus aku hajar dia dengan toya, jikalau orang itu dapat menyambut, baru aku disuruh mengantarnya kepada guruku! Apakah kau mau bertemu dengan guruku?" Berkata begitu, dengan memegang sepotong bambu, si panggembala menghampirkan. Bambu itu panjang dua kaki dan besar nya seperti jeriji kelingking. Thian Hoa merasa lucu, ia tertawa. "Sahabat cilik, akupun membekal toya!" katanya. "Kaku benar perkataanmu, nak mariah kita berdua bermain main!" Anak itu berkata benar benar. Begitu Sin Kay menantang, begitu dia meluncur, terasa siuran anginnya yang dingin sedang ujungnya yang tajam lantas mengenai pundak kanan si Pengemis Sakti sampai si pengemis terdesak mundur sambil dari mulutnya ke luar jeritan "Aduh!" 19 Si buta dan si bocah Sin Kay Yo Thian Hoa lihay, tongkatnya yang terdiri dari bambu hijau itu menjadi gegamannya selama beberapa puluh tahun. Dengan senjata istimewa itu, belum pernah ia menemui lawan yang setimpal. Siapa sangka sekarang, didalam segebrakan saja, ia telah dipaksa mundur oleh seorang bocah angon umur sebelas atau dua belas tahun, yang gegamannya pun sepotong bambu kecil, bahkan pundaknya terasakan nyeri sekali! Karena itu, habis mundur segera ia maju pula, untuk menyerang pundak kiri bocah itu. Kalau bocah itu orang biasa, dia terancam bahaya. Serangan si pengemis luar biasa sekali, akan tetapi dia lain dari bocah yang lain. Dia berlaku tenang ketika dia mengegos tubuhnya sambil dia menangkis. "Heran" pikir si pengemis djagoan. Justeru itu waktu, dari sisi mereka terdengar suara tertawa mengejak. Sin Kay mendengar itu, segara ia melirik. Untuk herannya ia untuk kagetnya ia melihat Cit Sat Im Su tengah menonton pertempurarnya itu. Orang memperlihatkan sikap mengancam. Mau atau tidak hatinya bercekat. Di samping si bocah ia laig lagi menghadapi lawan yang tangguh. Si bocah angon juga mendengar tawa dingin itu, bukan dia berkelahi terus mendadak dia lompat minggir, sambil berdiri diam, dia mengawasi Cit Sat Im Su dan tertawa. Hanya habis tertawa dia menoleh pula, pada lawannya dan berkata: "Pengemis tua hitunglah bahwa kau sanggup menyambut satu jurus seranganku! Sekarang kalau kau hendak menemui guruku mari kauturut padaku." Baru kata kata yang terakhir diucapkan atau arangnya sudah lompat pergi! Yo Thian Hoa bingung. Pergi atau jangan" Kalau ia pergi ia belum tahu siapa gurunya bocah itu. Kalau ia tidak pergi Cit Sat Im Su tengah mamandangnya dengan bengis. Menghadapi Cit Sat Im Su kedudukkannya berbahaya, Sebaliknya kalau ia pergi, mungkln ia akan dapat bantuan gurunya si bocah walaupun ia tidak kenal, bahkan belum tahu siapa guru itu. Di dalam keadaan seperti itu, tidak dapat pengemis ini ragu ragu atau berayal, Maka tanpa merasa ia mengangkat kakinya, bertindak mengikuti sibocah angon. Tiba tiba! Tiba tiba Cit Sam Im Su mencelat berbareng terdengar tertawanya yang dingin tahu tahu dia sudab menghadang di depan si pengemis, bahkan dengan dingin, dia berkata : "Pengemis bangkotan! Apakah kau mau mengangkat kaki" Tak semudah itu, eh !" Benar benar orang ini lihay dan telengas. Kata katanya itu dibarengi dengan serangannya, dia menggunakan tipu silat Cit Sat Tiwee Sim Ciang yang dinamakan "Siang Sat Pok Hwee," atau "Sepasang malaikat menghadiri rapat". Serangan itu yang diarahkan kedada, ketiga jalan darah terlebih dahulu mendatangkan hembusannya hawa yang dingin menggigilkan. Menghadapi lawan tangguh itu, Yo Thian Hoa siap sedia. Tak sudi ia keras melawan keras. Meski ia bersenjata tidak mau ia menangkis. Sebaliknya dia justeru lompat nyamping jauhnya satu tombak, sembari lompat ia berseru: "Hari ini aku si pengemis tua mengaku runtuh! ..." Lompatnya itu jutru ke arah si bocah angon karena ia ingin menarik perhatiannya bocah itu supaya orang membantunya." Tepat sekali dugaannya si pengemis Sakti si Pengemis Pengejar Angin. Bocah itu mendengar suaranya, dia lantas berpaling terus dia melompat kembali, pesat seperti melesat nya anak panah. Maka juga didalam sedetik dia sudah berdiri diantara kedua orang itu. Terus dengan suara tawar dia kata pada Cit Sat Im Su. "Pengemis tua ini menjadi tetamuku! Siapakah yang berani ganggu dia" Jalanlah" Kata kata yang belakangan itu ditujukan kepada Yo Thia Hoa. Lalu tanpa menanti ketika lagi bocah itu mencekal tangannya si pengemis, buat ditarik buat diajak berjalan pergi! Cit Sat Im Su bukan sembarang orang. Segera dia dapat melihat bocah angon itu bukan sembarang bocah, hanya dia heran kalau dia ingat usia baru sepaluh tahun lebih sedikit. Akan tetapi dia tidak takut. Sebelum orang pergi jauh, mendadak dia menjejak tanah, untuk berlompat tinggi kearah sibocah sembari berbuat begitu, dia juga mengarahkan tenaga ditangannya. untuk menyerang bocah itu! Dia berlompat pesat dia menyerang cepat! Bocah itu seperti yang dapat melihat orang membokongnya, tanpa ia menoleh atau menggeser tubuh dia menyampok dengan tangan tangan kanannya kesamping membikin tubuh Yo Thian Hoa terpental mundur setombak berbareng dengan itu dengan tongkat dengan tongkat bambunya ia menyambut penyerangannya, ia arah lengannya di bagian nadi! Cit Sat Im Su terperanjat. Dia dapat melihat sambutan yang membahayakan itu. Tidak ada lain jalan lekas lekas dia membatalkan penyerangannya. Dia mesti menolong diri dahulu. Menyaksikan demikian si bocah memutar tubuh terus dia menyerang. Tidak sempat Cit Sat Im Siu menggunai pukulan kematiannya Cit Sat Cie Sim Ciang! Dia pun tidak dapat menangkis. Maka terpaksa dia berkelit tubuhnya diputar hingga dia berbalik mengadapi pula penyerangannya. "Sar! Ser!" Demikian si bocah melanjuti serannya. Ia mendesak. Yo Thian Hoa berdiri di pinggiran dia heran dan kagum. Akhirnya dia menjadi girang. Tidak dia sangka seorang bocah angon demikian liehay. Syukur tadi dia tidak main gila dia melainkan bergurau. Cit Sat Im Su cerdik sekali. Atas desakan lawan ia bersiul keras dan panjang sebelum suaranya berhenti ia sudah mencelat jauh, untuk terus memutar tubuhnya dan pergi lari! Menyaksikan demikian si bocah tidak mengajar. Dia hanya menarik pulang tongkat bambunya. Sembari memutar tubuh kearah sipengemis dia berkata: "Marilah, pengemis tua!" Dia pun berlompat untuk berjalanlah terus. Melihat lagaknya, dia seperti tidak memikirkan lagi pertempuraanya barusan. Yo Thian Hoa menenteramkan hati. Ia ikut berjalan. Ternyata ia mesti jalan dijalan sukar dan berbahaya di gunung itu yang pun banyak pohon cemaranya yang tinggi tinggi hingga ujungnya seperti menjulang ke langit... Perjalanan Sin Kay bukannya perjalanan enak. Si bocah bukan berjalan hanya berlari lari. Dia tidak menghiraukan tempat yang dilalu dia tak mengubris jalanan sukar. Yo Thian Hoa berpengalaman, ilmu ringan tubuhnya sempurna akan tetapi buat dapat mengikuti sibocah angon dekat dekat inilah ia tidak sanggup. Jarak mereka tetap sejauh tiga tombak. Apa yang aneh kalau diawasi sibocah bukan seperti lagi lari lari hanya dia mirip orang lagi berjalan dengan lompat berulang ulang tak cepat perlahan. Perjalanan dilanjuti sampai di tempat di mana tidak ada bekas bekas orang berlalu lintas akan tetapi dengan berjalan terus sekira semakanan nasi Thian Hoa mendapatkan mereka tiba di mulut sebuah selat. Selama itu mereka sudah melewati dua buah puncak. Mulut selat itu sempit tiba maut dua orang jalan berendeng. Dia sisi itu ada batu gunung yang merupakan. Di situ Thian Hoa lihat ada ukiran huruf huruf cepat atau koh cie yang terang diukir dengan jeriji tangan yaitu jari tangan Kim kong cie. Huruf huruf nya indah. Bunyinya itu yalah. Selat buntu tempat terlarang. Jangan masuk tanpa diundang! Melihat pemberitahuan itu Sin Kay heran dan kagum. Ia jadi berpikir. Tengah orang berpikir, si bocah angon, sudah bertindak memasuki mulut selat itu. Maka mau atau tidak si pengemis mengikuti nya. Tiba di sebelah dalam Thian Hoa mendapatkan lembah tidak lebar cuma berapa lie di sekitarnya. Jauh kira satu lie lebih terlihat bangunan yang merupakan tiga undak luas belasan tombak di tengah tengah itu terlihat sebuah para para dari besi dimana tergantung pelbagai macam alat senjata. Selagi Thian Hoa mengawasi para para senjata itu tiba tiba ia ditarik si bocah angon yang mengajaknya sembunyi didalam rumpun rumput di sisi mereka. Sembari menarik bocah itu berbisik, "Lekas sembunyi! Selagi guruku berlatih dia melarang..." Belum berhenti suara sibocah. mendadak terdengar pekiknya kera beberapa kali. Thian Hoa lantas menoleh, mengawas kearah dari mana suara datang. Ia lantas menampak empat ekor kera besar berbulu putih berjalan keluar dari dalam gubuk berlompatan ketanah lapang, menghampirkan para para besi, untuk lantas memernahkan diri diempat penjuranya. Menyusul itu, Thian Hoa mendengar siulan yang nyaring, yang berkumandang didalam lembah, yang bagaikan menulikan telinga, setelah mana tertampaklah munculnya seorang tua yang bertubuh kurus kering, yang rambutnya sudah putih semua. Dia keluar dari dalam gubuk untuk terus lompat kesisi para para besi itu. Si bocah angon membentur Thian Hoa pada pundaknya sambil dia berbisik: "Lekas mendak!" Thian Hoa menurut, ia lantas jongkok. Meski begitu, dari antara rumput rumput itu, ia masih dapat mengintai dengan nyata. Jarak diantara ia dan para para itu kira kira lima puluh tombak... Melihat datangnya siorang itu keempat kera mengangguk dan bersuara. Rupanya mereka menyambut sambil memberi hormat. Si orang itu mengulapkan tangannya, terus dia berdiri tegak. Karena orang tua itu berdiri menghadapi dia, Thian Hoa lantas mendapat kenyataan bahwa mata orang buta dua duanya. Ia heran. Dengan perlahan, orang tua itu bertindak ke tengah para para yang bundar. Selekasnya ia berada dalam para para itu, ia dengan cepat mengangkat lengan kanannya. Sebelum tangan itu dikasi turun pula keempat kera lantas mengasi dengar suaranya yang berisik, dengan berbareng mereka menjambret masing masing sebuah benda bundar mirip gelang, yang mereka betot sekuat tenaga mereka. Atas itu maka pelbagai senjata, yang berada pada para para itu, semua bergerak sendirinya, melesat kepada si orang tua, hingga segera juga dia kena terkurung. Akan tetapi dia tidak menghiraukan nya, sambil bersiul, menggeraki kedua belah tangannya, yang tangan bajunya lebar, sedang tubuhnya terus bergerak juga, berputaran. Dia nyeplos tak hentinya di antara serangan pedang dan golok golok itu. Selagi si orang tua itu dikeroyok macam macam senjata itu, keempat kera membetot betot, menarik narik makin cepat dan keras, karena itulah gelang gelang yang menjadi alat penggeraknya pelbagai senjata itu, bergeraknya juga bertambah cepat. Dengan senjatanya, si orang tua pun bergerak makin cepat pula. Selama itu tak nampak dia repot atau bingung. Yo Thian Hoa gagah tetapi ia toh kagum. Itulah latihan silat tangan kosong melawan tujuh senjata yang istiwewa. Latihannya sendiri bissa saja. Yang istimewa yalah orang dalam lingkungan terkurung, orangnyapun sudah tua, tubuhnya kurus kering, dan terutama orang buta kedua matanya. Jadi orang tua ini mengandalkan telingaaya sebagai ganti matanya. Ia tidak bisa melihat tetapi pandai mendengar. Tengah latihan berlangsung itu selagi Thian Hoa berpikir heran tiba tiba terdengar si orang tua berseru, sedangkan kedua tangannya dikibaskan dengan berbareng. Sebelum seruan sirap maka itu disusul dengan suara nyaring dari bentrokannya pelbagai senjata itu, yang lantas pada jatuh ke tanah. "Hian Thian Kong Khie!" Thian Hoa berseru kagum, menyebut namanya ilmu silat itu. "Perlahan!" berbisik si penggembala, yang menaruh jeriji tangannya pada mulut nya sendiri, kemudian dengan perlahan, dia berbisik pula. "Kiranya, orang tua, kau kenal Hian Thian Kong khie" Mukanya Yo Thian Hoa menjadi merah ia mengangguk. Tetapi ia mengawasi ketengah lapangan. Habis berseru itu siorang tua berhasil panjang lantas ia lompat keluar kurungan para para. Keempat kera melihat orang tua itu berlalu, merekapun berlompatan mendekati rumah gubuk, untuk masud kedalamnya, buat dilain saat muncul pula dengan masing masing membawa selambar papan besar dan lebar, yang masing masing ada lukisannya merupakan orang orangan berikut pelbagai hiat atau jalandarah, otot ototnya. Terus mereka mengatur diri diempat penjuru, terpisahnya satu dari lain dua atau tiga belas tombak. Sesudah mereka menancap rapi papan bergambar itu mereka berlari lari pula masuk kegubuk. Kali ini mereka kembali sambil membawa papan papan besi, yang mereka terus berdirikan dibelakangnya masing masing papan kayu itu. Si orang tua buta sementara itu sudah bertiniak ketengah tengah kurungan papan papan kayu yang berlapiskan papan papan besi itu. Disitu ia berdiri medap ke selatan. Ia melihat kesekitarnya rupanya ia memeriksa dahulu, habis itu. ia menggeraki kedua belah tangannya dikibas kibaskan. "Tuk! Tuk! Tuk!" demikian terdengar suara nyaring berulangkali, disusul dengan suara tang tiog tong sama banyaknya. Itulah suara yang disebabkan menyambar nyambanya biji biji catur yang putih, yang ditimpukkan si orang tua yang mengenai tepat jalandarah hian khie dari gambar orang di papan papan itu , yang tembus, terus mengenai papan besi, hingga terdengarlah suara nyaring itu. Rahasia Gelang Pusaka Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Melihat biji biji catur itu. Thian Hoa terperanjat. "Mungkinkah dia!" katanya di dalam hati. Tetapi, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh. siorang tua sudah mengulangi latihannya menimpuk dengan biji biji catur itu, mengenai pelbagai jalandarah berbahaya dari keempat lukisan tubuh manusia itu semuanya mengenai tepat, semua biji catur tembus diantara papan dan bentrok dengan lembaran lembaran besi di belakang papan papan itu. Itulah yang dipanggil kepandaian "Lain cucu hiat" ilmu timpukkan berantai. Pelajaran itu juga umum, tetapi yang aneh dari orang tua ini ialah ia dapat menyerang saling susul keempat penjuru dan dengan kekuatan tenaga yang luar biasa, sebuah papan tembus dan keras menyerang lembaran besi. "Dia tak salah lagi!" pikir Thian Hoa. Maka lantas ia Ingin menyingkir dari tempat itu. Sebelum orang dapat pergi, suaranya si orang tua buta sudah lantas terdengar. Katanya "Ceng jie! Sahabat karib telah tiba, mengapa kau tidak lekas mengundang masuk kedalam gubuk kita?" Mendengar itu, tibalah niat Thian Hoa mengangkat kaki. Sebaliknya, dengan menebali kulit muka, ia lantas berbangkit bangun. Si penggembala pun berbangkit dengan cepat hanya dia sambil terus menggeleng geleng kepala dan kata: "Kali ini habislah..." Dengan separuh menarik ia ajak Thian Hoa bertindak kedalam tanah lapang. Di dalam keadaan seperti ini, Thian Hoa dapat membawa diri. Masih ada beberapa tombk terpisahnya ia dan si orang tua buta ia sudah lantas memberi hormat sambil menjura seraya berkata. "Yo Thian Hoa yang muda menghadap Kok Loocianpwee." Mendadak orang tua buta itu tertawa nyaring. Diapun kata: "Aku mendengar kau berjalan dengan membawa bawa tongkat bambu, rupanya kau seorang pengemis !" Thian Hoa heran. Hendak ia menjawab, atau sibocah telah mendahuluinya. "Memang dialah seorang pengemis," katanya. "Dia membawa bawa tongkat peranti mengemplang anjing! Sebenarnya tidak ada maksud dia untuk menemui lojinke akan tetapi karena dia memaksakan diri menyambuti sepotong bambuku, aku lantas memaksa mengajaknya ke mari ..." Mendengar keterangan itu, parasnya si buta berobah. "Benar benar guru yang pandai mengeluarkan murid yang lihay!" Katanya. "Pada lima puluh tahun dulu ada seorang yang bergelar Ciu Kit Oet tie, yang dengan sebatang tongkat bambu hijaunya telah tak mendapat tandingan di dalam dunia Rimba Hijau, adakah dia itu gurumu?" Hati Thian Hoa bercekat. Ia lantas menjawab tak lancar : "Benar ialah guruku yang rendah, hanya pada duapuluh tahun yang lampau ia telah menutup mata ..." Si tua dan buta bersiul lama, lalu dia kata sengit. "Sayang! Sayang! Kalau begitu sia sia belaka aku Gin Kie Kok Hong bercapai lelah selama tigapuluh tahun. Didalam dunia Rimba Persilatan ada pembicaraan yang jelas tentang budi dan permusuhan, dan di jaman dahulukala juga ada peribahasa yang mengatakan, kalau seorang ayah berhutang anaknya yang lunasinya. Mesti begitu hal ini aku tidak mau berlaku keterlaluan. Karena Ciu Kit Oet tie sudah meninggal dunia kau sebagai muridnya, sedikit banyak kau harus mewakilkan almarhum gurumu membereskan hutang lama ... Tapi aku Kok Hong aku tidak mau sebagai yang tua menghina yang muda, yang kuat memperhina yang lemah, maka itu, mari aku atur begini saja. Asal kau dapat lolos dari Tiat Kee Liok Hap Bu Kwie Tin, kau boleh anggap bahwa hutang gurumu telah terbayar lunas!" "Tiat Kee Liok Hap Bu Kwie Tin" berarti dia atau barisan rahasia, yang bersatu padu, yang dari mana orang tidak dapat pulang lagi . . , . Habis berkata begitu, kedua biji mata putih dari si buta dan mencilak, menyatakan dia sangat penasaran dan menyesal, meski begitu, wajahnya terus nampak lebih tenang banyak. Yo Thian Hoa menjadi orang yang beradat keras, kalau tadi ia suka merendahkan diri, itulah disebabkan ia merasa sangat terpaksa, sekarang ia ditantang, tidak dapat ia merendah terus. Ia merasa tersinggung. Maka ia lantas kata "Ayah berhutang anak membayar, guru bersangkutan murid membereskan, itulah sudah selayaknya! Kau pun baik sekali. Kok Locianpwe sebab kau tidak mau turun tangan sendiri memberi pengajaran padaku! Percayalah, locianpwe, selama Yo Thian Hoa masih hidup tak nanti dia melupakan ini budi yang besar sekali ..." Gin Kie cu Kok Hong, si Biji Catur Perak, tertawa nyaring, "Sungguh tak kecewa kau menjadi muridnya Ciu Kit Oet tie!" pujinya. "Tuan, umpama kata kali ini kau tidak merasa puas tidak apa, suka aku Kok Hong bersabar sampai sembarang waktu, sebab dapat aku menantikan lagi tigapuluh tahun. Baiklah harap kau maafkan aku yang aku tidak dapat menerima pengajaran dari kau!" Thian Hoa dapat menangkap artinya pernyataan itu : Kek Hong tidak mau melayani ia bertempur dan orang suka menunggu sampai lagi tigapuluh tahun, karena ini ia lantas berkata. "Terima kasih, Kok Locianpwe! Jikalau aku masih dapat hidup selama tigapuluh tahun, pasti kelak akan aku datang kemari untuk aku menambah pengetahuan ku ..." Gin Kie Cu tertawa dingin, dia menggapai kepada si pengembala. Bocah itu mengarti, ia sudah lantas menghampirkan para para besi, untuk terus bekerja. Yalah ia mengangkat dan merapihkan semua alat senjata tadi. Keempat kera mengerti maksud orang, tanpa diperintah lagi, mereka lantas mengambil kedudukannya masing masing seperti semula tadi, yaitu memegang gelang uniuk menarik dan mengerjakan pesawat rahasia itu selekasnya mereka menerima isyarat. Yo Thian Hoa memperlihatkan roman sungguh sungguh sebab hatinya tegang, hanya sejenak, lantas ia menekan tanah dengan tongkatnya. untuk berlompat masuk ke dalam kalangan para para. Tapi belum sampai ia menjejak tanah, atau mendadak terdengarlah satu seruan nyaring halus, mulanya doa keagamaan, lalu kata kata ini : "Gin Kie Cu, perbuatanmu ini bukankah menujuki pandanganmu yang cepat?" Menyusul suara itu maka terlihatlah lompat lompat datangnya seorang niekouw atau bikshuni, usia pertengahan, yang berpakaian sutra patin. Melihat demikian Thian Hoa menunda menjejak tanah. Ia lantas mengawasi si pendeta wanita, yang datangnya seperti juga dia terbang turun dari udara. Gin Kie Cu kaget dan heran, ia mendongkol. Maka hendak ia membuka mulutnya, atau si bocah angon sudah mendahului. "Bong Kok ialah tempat di mana orang dilarang masuk kecuali dengan undangan!" katanya, keras. "Siapa mau menghadap guruku, dia harus menyambut dahulu padaku barang satu jurus!" "Bong Kok" yalah namanya lembah itu. "Lembah Buta." Begitu ia menutup mulutnya, begitu si bocah meluncurkan tongkat bambunya ke muka si bhiksuni. Parasnya wanita itu berubah, atau hanya sejenak, segera ia menjadi tenang pula. Ia sudah berkelit dari serangan pengembala cilik itu, hanya dengan kebutannya, yang berada di tangannya, ia mengebut perlahan. Hanya dengan satu kali kebut, bocah itu mesti mundur beberapa tindak! Bocah itu tahu diri, ia tidak maju pula hanya dia mengoceh seorang diri : "Dia ini jauh terlebih tangguh daripada si pengemis tua!" Sampai di situ, Gin Kok Cu membentak "He Ceng Jie, jangan kurang ajar! Lekas kau menghunjuk hormat kepada Loocianpwee Sam Im Sin Nie!" Ia berhenti sebentar, ia tidak menanti Ceng Jie, si anak Ceng, memberi hormat ia meneruskan berkata pula: "Bencana Rimba Persilatan sudah mulai, sekarang, Su thay berkunjung ke Bong Kok tentulah ada petunjukmu!" Bukan cuma si Ceng, juga Yo Thian Hoa turut memberi hormat. Sam Im Sin Nie memuji si Ceng yang bakatnya bagus, kemudian ia menunjuki roman sungguh sungguh dan menegur Sin Kay: "Ancaman bencana di Tiok Lay San masih belum sirap, eh pengemis tua kenapa kau bolehnya berkesempatan datang ke Bong Kok itu untuk mencari gara gara" Silahkan kau lekas pergi!" Yo Thian Hoan menurut perintah, ia menyahuti "Ya," lantas mengoloyor pergi ke luar dari selat itu. Gin Kie Cu tidak menyetujui sikapnya Sam Im Sin Nie menyuruh orang pergi akan tetapi ia tidak menentang dari itu ia mem Akan tetapi, belum jauh si pengemis meninggalkan mulut selat mendadak Sin Nie menyusul dan memegatnya, untuk ia segera berkata padanya: "Bu Beng Tongcu sudah mendurhaka terhadap gurunya, tidak lama lagi dia bakal kembali ke jalan yang lurus. Berhubung dengan itu Lay Ong telah pergi menyusul anak itu. Karena ini, ada kemungkinan rombongannya Cit Sat Im Siu mendapat tahu dan akan menyusul juga. Sekarang ini mempunyai satu urusan lain, aku musti pulang ke kelintingku, oleh karena itu jika lari di tengah jalan kau bertemu dengan muridku, Bun Hong, tolong kau memberitakukan agar dia lekas pulang ..." Yo Thian Hoa tendak menyahuti bahwa ia mengarti akan tetapi, belum sempat ia membuka mulutnya, bhiksuni itu ssudah mendahuluinya pergi. Segera setelah itu, ia menjadi bersanksi harus pergi ke mana. Ia berpikir tidak lama. Lantas ia mengambil keputusan akan pergi ke Cok Lay San, untuk melihat gerak geriknya kaum Tiat Ciang Pang. Ia harap nanti memperoleh sesuatu kabar penting di sana. Maka segeralah ia menuju ke barat daya, kegunung. (BERSAMBUNG KE JILID 11) RAHASIA GELANG PUSAKA Oleh O. K. T. Jilid ke 11 Tak terlalu jauh terpisahnya Cok Lay San dari Bong Kok, lembah Buta itu. Di sana, kuil Cok Lay Bio, berdiri madap ke timur, letaknya di bagian bukit yang berbahaya, yaitu bagian depannya curam, bagian belakangnya lamping bukit yang tinggi dan lancip. Itulah tempat indah buatan alam. Sambil berlari lari Thian Hoa dengan cepat melewati dua puncak. Tepat ia mulai melihat kuil Cok Lay Bio, di sana ia melihat cahaya api terang, berkobar naik ke udara. Ia tidak mau sembrono, tidak mau lantas pergi menghampiri. Ia mengawasi dahulu sekian lama, sesudah tidak melihat suatu gerakan, baru ia maju lebih jauh. Mendadak terlihat dua orang, bagaikan bayangan, bergerak di antara sinar api dan lantas lenyap. Dari jauh, nampak itulah dua orang wanita. Ia maju pula, sambil berjaga jaga, supaya orang tidak melihat padanya. Hanya sebentar, sampailah pengemis in di dekat Cok Lay Bio. Ia menjadi heran. Kuil sudah tidak ada lagi, yang nampak ialah sisa atau puingnya, yang masih ada apinya. Disitu tidak ada seorangpun juga dari kalangan Tiat Ciang Pang. Menyaksikan keadaan itu, mau atau tidak Thian Hoa menjadi mencurigai dua orang wanita tadi, lantas ia mencoba mencari. Ia pergi ke arah di mana tadi dua orang itu lenyap. Tengah ia mencari, mendadak ada jeritan yang menyayat, yang datangnya dari arah belakangnya. Ia terkejut, sebelum nya menoleh, lantas ia pergi bersembunyi sesudah itu, baru ia berpaling dan melihat untuk mengintai. Di tempat belasan tombak, disana terlihat Gin Kie Cu bersama muridnya si anak Ceng itu. Mereka berendeng. Thian Hoa terkejut, hatinya berdebar. Ia heran hingga ia tanya dirinya sendiri. "Mungkinkah mataku lamur maka tadi aku melihat mereka sebagai bayangan merah dari dua orang wanita?" Tengah ia bimbang itu, tiba tiba ia mendengar teguran nyaring dari si bocah angon "He, pengemis tua, kenapa kita bertemu pula?" Nyatalah orang telah mendapat lihat si pengemis walaupun dia sudah menyembunyikan diri. Menyusul teguran si pengembala cilik itu, tubuh Gin Kie Cu sudah mencelat mendatangi sembari lompat, dia memperdengarkan tertawanya yang dingin. Menampak demikian, Thian Hoa menjadi tidak puas, maka itu dia mendahului menegur. "Pemilik dari Bong Kok, rupanya kau masih belum puas! Baiklah ..." Belum berhenti suaranya Thian Hoa. ia sudah merasa ada tenaga lunak menolak tubuhnya. Sebenarnya ia hendak memberi penjelasan sekarang tidak ada ke empatan nya lagi, untuk membela diri, ia menekan dengan tongkatnya, untuk mencelat ke samping. Gin Kie Cu luar biasa liehay, baru orang mencelat atau tubuhnya sudah mendahului, untuk menghadang. Selain kaget, Thian Hoa juga lantas mengeluarkan keringat dingin. Ia berkuatir sekali. Di saat ia merasa bahwa dirinya terancam itu sekonyong konyong ia mendengar suara tertawa nyaring dan manis, yang mana disusul dengan tolakan dari tenaga lunak yang tak henti hentinya, yang membuat tenaga menolak dari Gin Kie Cu tadi terdorong ke pinggir. Baru setelah itu, hatinya si pengemis menjadi tetap. Sekarang ia melihat dihadapannya berdiri seorang wanita setengah tua yang melintang diantara ia dan Kok Hong. Sedangkan seorang wanita lain, yang berbaju merah juga lagi mengawasi si bocah angon. Iapun segera mengenali si wanita. Maka berbareng dengan hatinya lega, ia tertawa dan berkata. "Aku berterima kasih yang selama di Cit Chee To aku telah dikasi pinjam perahu, dan sekarang ..." "Jangan banyak bicara," kata si wanita yang bukan lain dari Ang Hun Pek Kut Kie Siu, yang matanya melirik tajam. Setelah itu, dia memandang Gin Kie Cu, dan tertawa nyaring tetapi nadanya mengejek lantas berkata, "Cit Chee Piauw Sim Ie ada yang tulen ada yang palsu, maka itu, mungkinkah Gin Kie Cu Kok Hong ada yang tulen dan ada yang palsu juga" Walaupun matamu telah dirusak Ciu Kit Oet tie akan tetapi nyalimu yang besar rupanya masih tetap ada, maka sekarang hendak aku tanya, kau masih ingat atau tidak itu hutang lama dari tiga puluh tahun dahulu di Touw Liong Po?" Garuda Mata Satu 1 Wiro Sableng 053 Kutukan Dari Liang Kubur Hina Kelana 32