Sam Po Kong 1
Sam Po Kong Karya ??? Bagian 1 SAM PO KONG (Cerita ini diprosakan dari bentuk aslinya sebagai skenario film yang dirancang oleh Rumah Produksi Annzora Ideacitra Semarang) SETELAH berjam-jam melaju di jalanan panjang yang lumayan meletihkan, akhirnya bus carteran yang membawa anak-anak sekolah dari kawasan Grogol, Jakarta Barat, tiba di Simongan, Semarang. Bus itu berhenti di halaman muka kelenteng Sam Po Kong. Seorang lelaki berambut panjang, yang oleh anak-anak sekolah itu dijuluki Tukcer, singkatan Tukang Cerita, adalah guru sejarah yang memimpin rombongan itu. Dia berhenti di bangunan pertama di mulut kelenteng. "Nah, anak-anak, inilah kelenteng Sam Po Kong. Kalian boleh terkejut. Tapi aku minta kalian percaya pada ceritaku, bahwa tempat ini dipercaya banyak orang dari abad ke abad sebagai makam bahariwan Muslim, Ceng Ho. Dia diutus oleh Kaisar Ming ke sini dan dalam pelayaran yang terakhir, kapalnya karam di sini, dan selanjutnya wafat di sini," kata Tukcer. Anak-anak itu melihat ke sana ke mari, kemudian duduk bersila mengelilingi Tukcer. "Tokoh Ceng Ho, yang sering juga disebut dengan banyak nama, misalnya Sam Po Tay Jin, Sam Pao Toa Ren, dan lain-lain, termasuk yang paling populer Sam Po Kong, ini harus diakui, sangat unik," kata Tukcer. Seorang anak yang dari tadi menggigit-gigit permen karet menepuk lutut sang Tukcer. Tampaknya dia yang paling berminat mengetahui cerita tentang Ceng Ho yang Sam Po Kong itu. Sambil menepuk lutut Tukcer, dia berkata, "Uniknya bagaimana, Pak Tukcer?" "Begini," kata Tukcer, menghela nafas terlebih dulu, lalu mengembusnya. "Ceritaku tentang Sam Po Kong ini berbeda dari sejarah yang ditulis oleh beberapa ahli sejarah, baik yang ahli sejarah Belanda, Prancis, maupun Cina. Oleh sebab itu, kalau kalian ingin mengetahui ceritaku tentang Sam Po Kong, pertama, aku minta kalian harus berpihak dulu pada kebenaran yang aku tawarkan. Menurut penelitian sejarah yang paling akhir, Ceng Ho tidak pernah ke Semarang. Padahal menurut sumber sejarah yang lain, disebut dengan jelas bahwa Ceng Hong pernah memimpin salat Jumat di sini. Nah, itulah uniknya." Anak yang bertanya tadi, kembali bertanya, "Yang sebenarnya bagaimana, Pak Tukcer?" Tukcer tertawa pendek. Katanya, "Cerita sejarah tidak ada yang disebut paling benar. Sebab, semua cerita sejarah dibuat berdasarkan kemauan untuk membuat Halaman 1 dari 62 orang percaya pada kebenaran yang hendak diacu. Makanya, bisa juga dibilang, sebuah cerita sejarah, bagi pihak yang tidak percaya, dianggap tidak benar. Yang penting dari sikap kalian sekarang terhadap cerita yang aku tawarkan ini, adalah percaya bahwa sebuah serita sejarah harus selalu berpihak. Cerita sejarah tidak sama seperti buku telepon di mana semua nama dihadirkan dengan kedudukan sama penting. Dalam cerita sejarah, ada nama yang baik, ada juga nama yang jahat, dan banyak pula nama yang harus hilang sebab dianggap tidak penting menentukan bagan: bagan dalam prosa disebut "plot" bagan dalam film diejawantahkan melalui konsep "gambar bergerak." "Tunggu, Pak Tukcer," kata anak yang paling serius menguping cerita sang Tukcer. "Sekarang kalau menurut Pak Tukcer, Ceng Ho ini nama yang baik atau jahat?" Lagi Tukcer tertawa pendek. Tapi dia menjawab dengan sikap yang sangat madya. "O, sudah tentu, menurutku, dalam plus-minusnya-sebab manusia sejati tidak bisa terus-menerus plus dan tidak bisa pula terus-menerus minus-harus dibilang manusia Ceng Ho itu sangat luar biasa. Ini termasuk cara generasi penerus memberi apresiasi kepada cerita-cerita sejarah. Yaitu, harus dikatakan: Ceng Ho itu sakti, cerdikcendekia, bijak-bestari, kemudian jangan lupa dia pendekar dan dia kasim. Kalau tidak begitu, mana mungkin Zhu Di, kaisar Ming, memilihnya untuk memimpin ekspedisi pelayaran ke sini demi kebesaran Dinasti Ming." Dan, Tukcer menutupkan mata, mengajak anak-anak sekolah itu membayangkan Ceng Ho. Dan, hadirlah gambaran-gambaran hidup dalam imajinasi mereka, mundur sekian abad, dimulai dari tahun 1400-an nun di negeri Cina sana. *** Malam itu Ceng Ho sedang sujud di Masjid Jing Jue di Nan Jing menunaikan salat isya. Sebagai keluarga muslim taat, Ceng Ho yang putra Mi Jin berjuluk Ma Ha Ji atau Haji Ma, tak pernah mengabaikan salat. Kini, ketika dia sedang melakukan salat di masjid, tak dia ketahui dua pasang mata dari luar masjid sedang mengintai, disuruh oleh seseorang yang belum diketahui. Maka tanpa beban, dan tanpa menaruh curiga, walaupun itu tidak berarti dengannya ia kehilangan kewaspadaan, seusai sembahyang Ceng Ho leluasa keluar dari masjid, berjalan di tengah gelap menuju pulang. Sekonyong-konyong ia terjaga. Dua orang yang tadi mengintai itu kini berada di depan jalannya, di bagian yang amat pekat, karena malam tiada berbintang, mengadang di situ dan siap menyerang Ceng Ho dengan pedang-pedang terhunus. Ceng Ho segera waspada, menghitung gerakan yang paling kecil sekalipun, untuk menghadapi orang-orang yang tidak dikenalnya itu. Matanya tajam. Dia menunggu. Dia mungkin mengira bahwa tidak mungkin hanya dua orang itu saja yang berada di sekitar jalanan gelap ini. Pasti ada orang-orang lain. Dan, sangkanya tidak meleset. Memang masih ada orang-orang lain yang sudah menghunus pedang mereka, yang akan mengeroyok Ceng Ho. Tiga orang muncul berbarengan di belakang Ceng Ho. SAM PO KONG [2] Halaman 2 dari 62 Tak berapa lama, hanya hitungan detik, setelah kaki-kaki mereka benar-benar merasa tegak di tanah, serempak dari arahnya masing-masing mereka menyerang Ceng Ho. Dengan tangan kosong, berhubung Ceng Ho baru pergi ke rumah ibadah, ditangkisnya serangan tikus-tikus itu. Dan, memang, karena orang-orang itu hanya pendekar kelas tikus got, satu persatu mereka berhasil dikalahkan oleh Ceng Ho. Satu per satu Ceng Ho menangkap dan menotok tak berkutik. Salah seorang berusaha lari. Melihat yang empat keok, tewas mengenaskan dan konyol, maka yang satu terakhir ini cepat-cepat mengambil langkah seribu: berlari. Tapi Ceng Ho meloncat seperti terbang, kedua kaki terangkat dari bumi, kemudian di jarak yang jauh di depan, di muka orang itu, Ceng Ho berdiri mengadang. Dengan sekali bergerak, yaitu melalui perhitungan jitu, Ceng Ho berhasil pula menangkap tikus got yang satu ini. Dengan suatu keterampilan yang alih-alih Ceng Ho memutar tangan orang itu, siap hendak mematahkannya. Orang itu berteriak ketakutan, meminta ampun, putus asa. ''Ampun, Tuan, ampun,'' katanya gemetar, setengah menangis setengah menyembah. ''Jangan bunuh aku, Tuan Ceng Ho.'' Ceng Ho tak melepaskan. ''Siapa kalian"'' ''Kami bukan siapa-siapa,'' jawab orang itu. Ceng Ho menariknya. ''Dari mana kamu tahu namaku"'' ''Kami hanya disuruh.'' ''Siapa yang menyuruhmu.'' ''Kami sendiri tidak kenal orangnya.'' ''Bohong!'' Ceng Ho membentak, mengencangkan tangannya. Orang itu mengaduh-aduh. ''Betul, Tuang Ceng Ho. Betul, Ampuni aku.'' ''Baik,'' kata Ceng Ho menghempas, dan orang itu berpelanting ke tanah. ''Kalau begitu, bilang, siapa nama orang yang menyuruh kalian.'' Orang itu kelihatan sangat ketakutan, merinding, namun juga mencoba tulus dalam keadaan yang tidak menguntungkan ini. Dia komat-kamit hendak mengatakan sesuatu, memandang ke kiri ke kanan yang gelita karena malam kian merangkak. Tiba-tiba, dalam, keadaan seperti bingung, tanpa diketahui siapa pun, sebuah senjata pipih dan kecil, terbang dari kegelapan, langsung mengena leher orang itu. Sekejap saja orang itu mati terkulai di tanah. Ceng Ho terkesiap. Jengkel. Geregetan. Dia memandang ke kanan, ke bagian yang gelap sangat, tapi yang menurut nalarnya merupakan tempat dilemparkannya senjata pipih yang mematikan itu. Dia berteriak keras, nyaring, mengumpat ke arah itu. ''Hei, setan!'' katanya. ''Siap kamu"! Keluar kamu dari situ.'' Halaman 3 dari 62 Tiada jawaban. Tiada tanda-tanda akan kemungkinan seseorang yang berjiwa jantan mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. * * * Beberapa saat kemudian, Wan San masuk tergopoh-gopoh ke sebuah rumah. Siapa Wan San" Dialah orang uang melemparkan senjata hebat itu. Dia datang menemui tuannya: tuan yang mengupahnya melakukan pekerjaan tak jantan. Tuannya itu Dang Zhua. Sang tuan sedang duduk menunggu berita dengan perasaan tidak tenang. Di hadapannya duduk pula Hua Xiong. Begitu Wan San masuk, Dang Zhua berdiri. Kelihatan sekali keadaan dirinya yang tak sabar menunggu jawaban Wan San. Kata pertama yang diucapkannya adalah keinginannya untuk memperoleh jawaban yang menyenangkan. ''Berhasil"'' tanya Dan Zhua. Wan San sulit menjawab. Kalaupun dia tidak menjawab yang benar berikut ini, Dang Zhua dapat menduganya. Katanya, ''Maaf. Mereka tidak berhasil.'' Dang Zhua geram. ''Apa maksudmu mereka tidak berhasil" Katakan!'' ''Ya,'' jawab Wan San dengan sulit, namun terucapkan pula dengan jelas. ''Mereka tidak berhasil menyingkirkan Ceng Ho.'' Dang Zhua menghardik keras. ''Gila!'' katanya. ''Mereka itu lima orang. Ditambah dengan kamu, seluruhnya setengah lusin. Mana bisa enam orang kalah hanya oleh satu orang.'' Wan San pelegak-peleguk. Dia mengakui kenyataan ini dengan sangat pahit. ''Tapi Ceng Ho memang sakti.'' Dang Zhua menjadi kampungan. Dia meludah. ''Cuh! Kalian pendekar apa" Bagaimana mungkin enam orang pendekar kalah pada satu orang thay chien *) dari Yuan Nan"'' Didorongnyan dada Wan San. ''Pendekar macam apa kalian" Benar-benar gila. Apa yang harus aku katakan pada Menteri Liu"'' Dengan kepercayaan diri yang tidak terlalu utuh, Wan San coba menyakinkan sesuatu yang sebetulnya dia sendiri tak yakin. Katanya, ''Tidak perlu pesimistis, Tuan. Kalau saya berkata tidak berhasil, itu tidaklah otomatis berarti gagal''. Masih ada besok yang lebih baik. Saya bersumpah, besok, dengan melipatgandakan pendekar yang lebih tangguh, saya jamin thay chien dari Yun Nan itu akan lewat, selesai, habis.'' ''Tidak bisa,'' kata Dang Zhua. ''Besok pagi kaisar akan mengumumkan keputusannya untuk menugaskan Ceng Ho sebagai laksamana yang akan memimpin misi pelayaran muhibah ke negeri-negeri selatan, Campa, Jawa, dan terus ke India, Arab.'' Halaman 4 dari 62 Seraya membungkuk dengan sikap sembah dan takzim Wan San berkata, ''Kalau begitu, saya atur sekarang juga, Tuan. Tuan akan mendengar kabar langsung dari mulut saya sebelum matahari terbit pagi nanti.'' Dang Zhua melemparkan pandangan kepada Hua Xiong, lalu berdiri berkacak pinggang di muka Wan San. Suaranya menumpul. Katanya. ''Apa kamu yakin"'' ''Yakin, Tuan Dang Zhua,'' jawab Wan San. ''Saya bertaruh mati untuk tuan kalau saya gagal.'' ''Kalau begitu, cepat, laksanakan,'' kata Dang Zhua. ''Baik, Tuan,'' kata Wan San, memberi hormat kepada Dang Zhua dan Hua Xiong. Wan San meninggalkan rumah Dang Zhua, melaksanakan perintah itu. Hua Xiong pergi ke rumah Menteri Liu yang tadi sudah disebut oleh Dang Zhua. Malam makin malam. SAM PO KONG [3] Yang disebut Menteri Liu, tak lain dan tak bukan adalah Liu Ta Xia, menteri ekonomi dan keuangan dalam pemerintahan Zhu Di, sang kaisar. Liu Ta Xia tampak tegang. Ketegangannya terlihat pada sikapnya yang mondarmandir di ruangan besar rumahnya. Melihat itu Hua Xiong menenangkannya, berlaku sok arif, dan hal itu sebetulnya tidak pas untuk manusia sekelas cecunguk. ''Tenanglah, Tuan Menteri,'' kata Hua Xiong. ''Sebentar lagi Dang Xhua akan hadir di sini memberikan laporan keberhasilan pendekar-pendekar upahannya. Mereka itu orang-orang yang paling canggih bergerak dalam gelap, menjalankan tugas menghentikan manusia dari kodratnya.'' Liu Ta Xia menarik baju Hua Xiong. ''Jangan berkicau. Buktikan lebih dulu.'' ''Percayalah, Tuan Menteri,'' kata Hua Xiong. Liu Ta Xia mengempaskan Hua Xiong. ''Kamu harus tahu, ini masalah besar: masalah yang menyangkut ribuan manusia, termasuk aku, kamu, dan seluruh negeri akan terkena batu akibat anggaran belanja negara yang terisap dan kebobolan demi ambisi kaisar yang tidak jelas. Supaya ambisi itu padam, sumbunya, Ceng Ho harus dihabiskan. Kamu mengerti"'' Hua Xiong menghormat. ''Tenanglah, Tuan Menteri.'' ''Jangan asal buka mulut kamu,'' kata Liu Ta Xia. ''Apa yang membuatmu yakin"'' ''Maaf, Tuan Menteri,'' kata Hua Xiong. ''Dang Xhua tidak mungkin keliru memilih ular. Dia sendiri pandai menjadi tikus.'' Lalu, sekonyong-konyong terdengar seseorang membuka pintu. Kedua orang, baik menteri maupun Hua Xiong serta-merta menoleh ke pintu itu. Di situ muncul Dang Zhua tergopoh-gopoh. Keringat berbintik di dahinya. Dia berdiri bingung. Halaman 5 dari 62 Liu Ta Xia melihat sesuatu yang mungkin membuat hatinya tawar. Maka dia maju mendekati Dang Xhua, menjejalkan pertanyaan yang menunjukkan keinginannya untuk memperoleh jawaban yang semoga menggirangkan hati. Dia tarik baju Dang Xhua. ''Jangan bilang tugasmu gagal,'' kata Liu Ta Xia. ''Dari sikapmu yang persis seperti tikus basah, sudah kelihatan gambaran sial, cialat. Ayo, katakan.'' Dang Xhua berusaha menegakkan benang basah. Kalimatnya tidak lancar mengalir dari mulutnya. Katanya, ''Bukan gagal, Tuan Menteri. Ini hanya persoalan waktu. Dalam banyak waktu, ada satu waktu di mana keberhasilan masih tertunda.'' Liu Ta Xia menarik baju Dang Xhua. Dia menekan. ''Tidak usah berbelit,'' kata dia. ''Berbicara yang sebenarnya. Apa yang terjadi"'' ''Maaf, Tuan Meteri. Seperti yang baru saya katakan, malam yang sedang berjalan ini keberhasilan belum tercapai. Tapi, malam ini belum mendekati pagi. Malam ini masih malam. Percayalah, Tuan Menteri, sebelum matahari terbit di ujung malam, ular yang melaksanakan perintah rahasia ini akan menyelesaikan tugasnya dengan sukses. Sebelum fajar, Wan San sudah akan mengabarkan kepada kita tentang kematian Ceng Ho.'' Liu Ta Xia memandang nanar ke wajah Dang Zhua. Ada asap di kepalanya yang membuatnya gusar. Sementara di hatinya kelihatannya ada magma yang terusmenerus hendak melanda siapa saja yang dianggapnya musuh. Benih-benih pikiran dan perasaan yang membuat Liu Ta Xia menjadi begini, asalnya semata karena dia tidak setuju gagasan sang kaisar, Zhu Di, mengutus pelayaran muhibah ke selatan dan terus ke timur yang dipimpin oleh Ceng Ho. Selalu dia berkata di belakang sang kaisar: ''Kalau benar Zhu Di hanya bermaksud mengutus Ceng Ho ke negeri selatan sebagai utusan muhibah, mengapa negara harus mengeluarkan anggaran begini besar, membuat 208 kapal, armada, dan orang bersenjata 28.000 orang, dan dana pelayaran untuk 7 kali mengarungi laut dari Laut Cina Selatan sampai ke Jawa"'' Karena tak setuju pada gagasan Kaisar Ming itu, Liu Ta Xia diam-diam melakukan gerakan rahasia untuk menyingkirkan Ceng Ho. Dia berpikir, kalau Ceng Ho yang selama ini sangat dipercaya oleh Zhu Di mati, selesailah gagasan sang kaisar untuk melaksanakan misi muhibah yang aneh itu. Dia memercayakan tugas gelapnya itu kepada Dang Zhua dan Hua Xiong, sebab kedua orang ini adalah abdi-abdi yang bekerja padanya dengan kepatuhan yang melebihi batas absurd. **** Sam Po Kong Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Demikianlah Wan San yang dipercaya oleh Dang Zhua dan Hua Xiong, kini, di malam yang merangkak menuju larut, telah berhasil mengumpulkan pendekar-pendekar bayaran, sejumlah dua belas orang, berangkat ke rumah Ceng Ho untuk melaksanakan tugas rahasia itu. Kedua belas orang itu mengendap-endap di dalam gelap. Mereka membagi diri dalam empat kelompok, muncul ke situ dari arah utara, selatan, barat, timur. Wan San terbang dengan gesit ke atas atap. Dia satu-satunya di antara semuanya yang mengenakan tutup hitam di mukanya. Halaman 6 dari 62 Mereka mengintai. Mata Wan San tak berkedip melihat ke bawah, ke ruang tidur Ceng Ho. Di situ Ceng Ho tidur tak nyenyak, memikir-mikir tentang serangan hampir tiga jam yang lalu. Dia curiga, jangan-jangan salah seorang yang melarikan diri tadi itu akan kembali lagi. Pikiran ini yang membuatnya tak nyenyak begini. Selalu, ketika pikirannya tak tenang, tidurnya pun menjadi terganggu. Dalam keadaan begitu, dia merasakan sesuatu. Bunyi yang tak bergetar di atas atap rumahnya cukup terekam dalam telinganya. Keruan dia terjaga. Matanya terbuka lebar. Dia pun segera waspada. Dia bangkit dari tempat tidurnya. Berjalan ke depan. Dia terkejut, walaupun ini tidak berarti dia terguncang, sebab ternyata sudah ada empat orang di dalam rumahnya. Keempat orang itu langsung menyerangnya dengan pedang-pedangnya. Mula-mula Ceng Ho menangkis hanya dengan menggunakan tangan kosong. Dan, dia memang sangat piawai melakukan itu, sehingga keempat orang itu merasa tak percaya diri selain mata-mata naluri untuk membunuh belaka. SAM PO KONG [4] Tetapi kemudian muncul lagi empat orang ke dalam serambi dan menyerang Ceng Ho dengan sangat liar. Akhirnya, menanggapi dengan perbuatan dan perhitungan, Ceng Ho pun mengambil pedang, lalu melayani kedelapan orang itu. Perkelahian pun berlangsung seru. Namun sudah suratan kedelapan orang pendekar bayaran itu tumbang, tewas, satu per satu tergeletak sia-sia di lantai. Empat orang yang tersisa yang tergolong lebih cekatan dan lebih sangar menyerang Ceng Ho dan menggiring ke halaman. Agak lama perkelahian di luar ini. Sebab keempat orang terakhir, dengan satu orang yang menutup muka sebagai pemimpin, berkelahi dengan ilmu tinggi. Sungguhpun begitu akhirnya mereka semua kalah oleh Ceng Ho. Satu per satu pula keempat pendekar tangguh itu dikalahkan Ceng Ho. Mereka tumbang di tanah. Kini tinggal satu orang yang menutup muka tersebut. Dengan kelincahan yang hebat Wan San membuat Ceng Ho terpesona pada kemampuannya berkelahi dengan pedang. Namun harus sekali lagi dikatakan, pendekar hebat pada giliran terakhir ini harus juga mengakui keunggulan Ceng Ho. Dia harus mengaku bukan dengan katakata, melainkan menerima kekalahan yang tak sempat terucapkan. Dia tidak bisa berkata apa-apa, sebab di ujung perkelahian itu pedang Ceng Ho telah menebas perut dan dia pun mati konyol di situ. Apabila ingin bicara, dia bicara sebelum mengembuskan nafas terakhir. Mula-mula Ceng Ho memotong kain hitam yang menutup mukanya dengan ujung pedang yang tajam dan lancip. Begitu kain tersingkap, Ceng Ho terkejut memandang muka orang itu. ''Wan San"'' desisnya, hampir tak percaya. ''Apa maksudmu hendak membunuhku"'' Wan San menceracau. ''Terkutuk kamu oleh Dewi Penguasa Langit Barat dan Langit Timur: Xi Wang Mu dan Dong Wang Gong." ''Siapa yang menyuruhmu"'' tanya Ceng Ho. Halaman 7 dari 62 ''Jangan harap rahasia ini kamu ketahui,'' ucap Wan San ketus, menyeringai sehingga gigi-giginya tampak seperti gigi hewan pemangsa. ''Rahasia ini akan kubawa bersama kematianku.'' Dan, dia balikkan arah pedang dan menikam perut dalam-dalam. Ceng Ho termangu. Apa boleh buat. Rahasia itu tetap rahasia. *** Dang Zhua dan Hua Xiong pasti kecele. Tetapi mereka juga tegang. Setidaknya Liu Ta Xia akan mendamprat mereka sebab Wan San tidak muncul sampai fajar menyingsing di ufuk yang sama dengan kemarin. Dang Zhua dan Hua Xiong menunggu di depan rumah Liu Ta Xia dengan gugup dari menit ke menit. Begitu matahari menerangi bumi, berangsur-angsur mereka yakin telah terjadi sesuatu di luar rencana. Risiko paling buruk pun sudah terlintas sebagai gambar aneh dalam pikiran mereka. Ketika ufuk timur mengabu-abu, Liu Ta Xia mondar-mandir di serambi besarnya, lantas menuding Dang Zhua dan Hua Xiong di kursi mereka. Katanya antara cemas dan geram, ''Sebentar lagi matahari keluar di sana. Lantas apa yang mau kalian katakan sekarang" Mana berita tentang keberhasilan orang kalian"'' ''Maaf, Tuan Menteri,'' ujar Dang Zhua. Hanya itu yang sempat terkatakan lewat mulutnya. Liu Ta Xia kini tampak lebih cemas daripada tadi. Katanya, ''Lima pukul waktu setelah matahari keluar, Kaisar akan memberikan sabda tentang Ceng Ho yang akan memimpin pelayaran muhibah yang memboroskan keuangan negara.'' Dang Zhua memberanikan diri memberikan saran, ''Setidaknya lima jam cukup untuk merancang gagasan baru, Tuan Menteri.'' Liu Ta Xia marah. ''Lancang!'' katanya, ''Jangan bermain-main dengan waktu. Hukum alam atas hadir atau tersingkir sangat ditentukan oleh kemampuan manusia memanfaatkan waktu.'' Hua Xiong lebih tegas keberaniannya memberikan pendapat pada sang menteri. Katanya, ''Tenanglah, Tuan Menteri. Sudah saya katakan Dang Zhua tidak mungkin salah memilih ular. Ular yang mengemban tugas rahasia ini pasti berhasil. Cepat atau lambat kita akan masuk ke dalam waktu yang membuat kita memikirkan tindakan selanjutnya.'' ''Wan San ular yang tidak terlacak,'' kata Dang Zhua. ''Dia pasti memegang rahasia.'' ''Kenapa kamu bilang begitu"'' ''Sebab, waktu memang sangat perkasa, Tuan Menteri. Siapa tahu sang waktu menghendaki lain.'' Liu Ta Xia berteriak. Dia marah betul. Dia tahu apa yang sedang dipikirkan Dang Zhua. ''Jangan main-main kamu!'' katanya. ''Fajar sudah menyingsing. Apa kamu mau bilang ularmu itu gagal"'' ''Kalau ular gagal, setidaknya tikus masih tetap sanggup bermain pada malam gelap"'' Halaman 8 dari 62 ''Besok masih ada malam, Tuan Menteri,'' kata Dang Zhua. ''Tikus tidak pernah berhenti bermain dalam gelap. Tikus pun sanggup bermain di comberan sekalipun. Akulah tikus, Tuan Menteri.'' Liu Ta Xia cemberut. Sulit bagi dia menerima berita buruk yang mungkin saja datang sekejap lagi. Sang waktu jua yang akan menjawab. *** Dang Zhua, Hua Xiong, dan Liu Ta Xia tinggal menunggu waktu itu. Berita yang menggemparkan. Dan, mereka tidak tahu Ceng Ho yang membuat itu. Apa yang diperbuat Ceng Ho" Tadi, ketika malam masih hitam, sehabis mengalahkan dan mematikan semua begundal yang diupah Dang Zhua dan Hua Xiong, Ceng Ho menyeret dan membawa semua mayat mereka ke jalanan menuju ke pasar dan memberdirikan mayat-mayat itu di sana. Seluruh mayat berjumlah 18 sosok. Mereka adalah orang-orang yang mati di jalanan menuju ke rumah Ceng Ho dari perjalanan sehabis salat isya tadi dan yang mati di dalam rumah dan halaman rumahnya. Mayat-mayat itu dia buat seperti orang-orang yang berdiri bersandar di tembok. Setelah melakukan itu, Ceng Ho kembali melanjutkan tidur. ****** Kini, di pagi hari, terjadi kegemparan. Mulut sambung-menyambung dari jalanan ke pasar sampai ke rumah Liu Ta Xia, memberitakan tentang mayat-mayat tersandar di tembok jalan menuju ke pasar. Pembantu-pembantu di rumah Liu Ta Xia pun gaduh menggunjingkan mayat-mayat itu. Pada waktu itu Liu Ta Xia baru saja hendak tertidur karena letih melek sampai fajar. Dua orang dekatnya, Dang Zhua dan Hua Xiong, malah sudah tertidur di kursi depan serambi rumah Liu Ta Xia. Mendengar kegaduhan itu Liu Ta Xia terjaga. ''Ada apa itu"'' tanya dia ke pembantu rumahnya. ''Orang-orang di pasar geger, Tuan Menteri.'' ''Kenapa"'' tanya Liu Ta Xia. SAM PO KONG [5] ''Ada delapan belas mayat diberdirikan di tembok jalan menuju pasar, Tuan Menteri.'' "Apa katamu"'' "Saya tidak bohong, Tuan Menteri. Saya pun baru dari sana, melihat dengan mata kepala sendiri.'' Halaman 9 dari 62 Liu Ta Xia berteriak marah, ''Sudah, diam!'' Dan dia berputar-putar dalam serambi. Saat melihat Dang Zhua dan Hua Xiong masih tertidur di kursi, dia mengambil seember air, lalu membanjurkan ke muka Dang Zhua dan Hua Xiong. Keduanya terbangun, kaget, dan akhirnya melompat. Kata Liu Ta Xia dengan geram, ''Kalian semua cuma burung-burung hwa-mei, berkicau tanpa bukti.'' **** Antara percaya dan penasaran, akhirnya Liu Ta Xia berjalan cepat ke jalanan yang menuju ke pasar tersebut. Dang Zhua dan Hua Xiong mengikuti juga. Sebagai orang besar, menteri, keruan dia mendapat hormat dari orang-orang yang berpapasan dengannya. Setelah tiba di tempat kedelapaan belas mayat yang diberdirikan di tembok itu, wajah Liu Ta Xia berubah dari merah ke putih. Dia menarik baju Dang Zhua, tetapi kemudian melepaskan kembali, menyadari kalau-kalau orang akan memperhatikan tindakannya. Meski mengendurkan tangan, tidak surut panas hatinya terhadap Dang Zhua. ''Huh, tikus macam apa kamu ini"'' kata Liu Ta Xia. ''Pandir, tolol, dungu. Jangan pula kamu mengaku ularmu itu cerdik.'' Dang Zhua tak membantah. Dia menundukkan kepala sebagai orang yang kalah, rugi, dan sial. Begitu juga Hua Xiong. ''Sekarang terserah nasib,'' kata Liu Ta Xia, ''kalian hanya tikus-tikus got yang buruk.'' Liu Ta Xia berputar badan. Dengan jengkel, menyesal, dan kemarahan yang kian besar, dia langsung berjalan meninggalkan tempat itu. Dang Zhua dan Hua Xiong mengikuti dari belakang. Baru saja berapa belas meter Liu Ta Xia melangkah, dari arah depan muncul Ceng Ho. Keduanya sama-sama terkesiap. ''Ceng Ho"'' kata Liu Ta Xia menyapa lebih dulu. ''Selamat pagi, Tuan Menteri,'' kata Ceng Ho ramah. ''Kamu baru datang untuk melihat ini"'' tanya Liu Ta Xia. ''Ya. Maaf, Tuan Menteri,'' jawab Ceng Ho, ''kelihatannya Tuan Menteri datang lebih pagi daripada saya.'' ''Coba periksa siapa mereka itu"'' ''Baik Tuan Menteri, akan saya lakukan.'' Ceng Ho maju. Liu Ta Xia membalik memandang Ceng Ho. ''Kelihatannya mereka orang-orang ManCu.'' ''Dari mana Tuan tahu"'' Halaman 10 dari 62 Liu Ta Xia agak kagok. Dia seperti orang buta mencari-cari pegangan. Katanya, ''Saya hanya menduga-duga.'' Liu Ta Xia berlalu. Ceng Ho memandang dari belakang. Dari wajah Ceng Ho terlihat sesuatu yang mengusutkan pikiran. Dia tidak menaruh curiga apa-apa terhadap Liu Ta Xia, walaupun dia tahu betul menteri itu tidak pernah mendukung gagasan Kaisar untuk mengutus misi muhibah ke selatan. *** Mau tak mau pemajangan mayat-mayat di tembok jalanan menuju ke pasar telah menjadi gunjingan dan topik percakapan yang tak henti-henti. Pergunjingan itu terjadi pula di sebuah rumah minum yang ramai di kota. Dua orang duduk dengan dua cangkir ciu sedang asyik bertutur. ''Hanya orang yang betul-betul sakti yang mampu membunuh delapan belas orang lantas memasang mayat-mayat itu di tembok seperti patung-patung penjaga kota,'' kata seseorang yang arif. Dia bernama Tan Tay Seng, penyair musafir yang selalu membawa tehyan.*) ''Kira-kira siapa ya"'' kata yang seorang. ''Mungkin Ceng Ho,'' kata Tan Tay Seng. ''Apa urusannya"'' ''Siapa tahu orang-orang itu mau menjajal kesaktiannya.'' ''Kenapa begitu"'' ''Ya, entah,'' jawab Tan Tay Seng, ''tapi, katakanlah itu seperti hukum pasar. Mereka menjual, Ceng Ho membeli. Dan karena yang menjual tidak punya pengetahuan berdagang, mereka langsung gulung tikar.'' ''Kenapa kamu mengira yang melakukan itu Ceng Ho"'' ''Aku tidak bilang, 'aku yakin.' Tadi aku bilang, 'mungkin ' Ceng Ho.'' ''Kalau memang itu mungkin Ceng Ho, lantas apa alasan dia membeli yang dijual"'' ''Siapa tahu ada permainan tingkat tinggi di baliknya. Dagang eceran menghasilkan pukulan kecil. Delepan belas orang sekaligus yang mati menunjukkan ini perdagangan dengan modal besar. Aku tidak peduli siapa yang bermain. Buatku keadaan ini menarik. Itu saja.'' Lantas Tan Tay Seng meneguk isi cangkirnya. Gila juga. Pagi baru saja berawal, tapi dia sudah meneguk ciu. Besok lusa orang akan mengetahui bahwa dia pemuda yang tidak bisa disepelekan. Dia termasuk cempiang yang tangguh. **** Tan Tay Seng pun melangkah santai. Dia melihat ke arah istana Ming. Itulah lambang kebesaran Cina pada masa depan. Dia hanya memandang sekilas. Mungkin Halaman 11 dari 62 dia tahu, mungkin juga tidak, sebentar lagi Zhua Di, sang kaisar, akan mengumumkan gagasannya untuk mengirimkan misi muhibah ke selatan. Menterimenteri akan hadir di sana. Semuanya. Di mana Liu Ta Xia menjelang jam-jam pengumuman yang akan dilakukan Zhua Di" Liu Ta Xia berada di suatu tempat tersembunyi. Di sana ada salah seorang istri raja. Kedengarannya Liu Ta Xia sedang merayu, atau mungkin juga memengaruhi pikiran sang permaisuri. ''Begini, Tuan Putri,'' kata Liu Ta Xia. ''Aku hanya khawatir. Keputusan Kaisar yang diumumkan nanti adalah gagasan yang tidak masuk akal. Selain merupakan pemborosan, keuntungannya sama sekali tidak terbayang. Di samping itu, alasan misi muhibah terlalu mengada-ada. Kalau betul itu misi muhibah, kenapa di dalam pelayaran itu dianggarkan 27.800 tentara" Baik tentara yang sudah ada maupun tentara-tentara milisi. Siapa yang percaya itu"'' ''Apa boleh buat, Menteri Liu,'' kata sang permaisuri. *** Catatan: * ) tehyan adalah sejenis alat gesek yang tergolong tua. Kini terlestari dalam susunan waditra untuk titi laras slendro Betawi. SAM PO KONG [6] Karya Remy Sylado Ya, sudah. Apa boleh buat" Liu Ta Xia terpaksa pergi dengan berat kaki ke tempat sang kaisar akan mengumumkan gagasan itu. Dia duduk di sebelah kanan, berhadapan dengan Ceng Ho yang berada di sebelah kiri. Setelah semua berada di balairung barulah Zhua Di datang. Dia kemudian duduk di kursi kebesaran. "Perhatikanlah sekeliling ini, Ceng Ho," kata sang kaisar, Zhua Di. "Aku juga meminta semua yang hadir di sini memperhatikan Ceng Ho. Hari ini aku akan bersabda kepada semua yang hadir, suka atau tidak suka mendengarkan keputusanku mengangkat Ceng Ho selaku Sam Po Kong untuk memimpin pelayaran Sam Po Kong Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo muhibah ke selatan. "Muhibah ini sangat penting bagi Negeri Cina. Sebab dengan tindakan ini orang di seluruh dunia akan memandang Tiong Kok sebagai pusat negeri dan mengenang Dinasti Ming sebagai lambang peradaban paling tinggi dan kebudayaan paling dibya. Citra Tiong Kok dan Dinasti Ming akan sangat ditentukan oleh kemampuan Ceng Ho memimpin pelayaran muhibah. Saya minta semua memberi hormat kepada Sam Po Kong." Semua memberi hormat kepada Ceng Ho. "Sekarang kita ingin mendengar apa kata Ceng Ho," kata Zhu Di seraya mengangkat tangan kanan, menyuruh Ceng Ho bicara. Ceng Ho memberi hormat khusus kepada Zhua Di. Dia berkata dengan sangat takzim, "Hamba patuh, Paduka Kaisar. Hamba sudah mengabdi dengan patuh dan setia kepada Dinasti Ming sejak hamba muda belia, sejak pemerintahan ayahanda Paduka, Zhua Yuan Zhang, hingga pemerintahan Paduka. Hamba, putra Ma Ha Zhi, Halaman 12 dari 62 orang Yun Nan, yang ketika itu bernama Ma He, sudah menjadi sida-sida bagi Ming. Hamba pun sudah berperang demi Paduka untuk mengalahkan bala tentara Zhu Yun Wen di Nan Jing. Maka, daulat Paduka Zhua Di yang bijak bestari, sekarang pun hamba tetap patuh dan setia kepada segala keputusan Paduka." "Aku senang mendengar itu, Ceng Ho," kata Zhu Di. "Semua yang hadir di sini sekarang perlu tahu, ada banyak tugas harus dikerjakan Sam Po Kong. Aku akan memerincinya sekarang." Jeda sejenak. Zhu Di melihat semua yang berada di balairung. "Begini... walaupun yang akan aku sebut pertama dan kedua berikut bukan prioritas utama, keduanya harus diingat Ceng Ho sebagai tanggung jawab yang penting." "Hamba siap mendengar dan melaksanakan, Paduka Kaisar," kata Ceng Ho merukuk di hadapan Zhu Di. "Pertama, mencari dan menangkap raja terguling Zhu Yun Wen yang mungkin melarikan diri ke Campa atau mungkin juga ke Siam. Kedua, menangkap juga bajak laut Cina, Cheng Chi Yi, yang sekarang mengangkat diri menjadi raja di Palembang." "Daulat Paduka, insya Allah demi pertolongan-Nya, hamba berjanji di hadapan Paduka Kaisar yang bijak bestari untuk melaksanakan amanat ini demi kejayaan Ming dan kebesaran Tiong Kok," kata Ceng Ho. "Setelah itu hamba sekarang siap mendengarkan prioritas utama apa yang harus hamba laksanakan." "Baik," kata Zhua Di. "Prioritas utama Sam Po Kong dalam pelayaran ke selatan sebagai misi muhibah adalah menjalin hubungan persaudaraan dengan negeri-negeri berpenduduk muslim, terutama dengan orang-orang Cina yang menjadi mubalig di tanah Jawa. Harus ditekankan, mereka semua adalah saudara-saudara kita. Setelah itu jangan lupa menjalin hubungan karib dengan masyarakatnya, membuka jaringan perdagangan di bawah pedoman saling menguntungkan dalam persaudaraan yang tulus. Karena itu jika ada anggota kita dalam ekspedisi yang menyimpang dan tidak berjalan di atas alur kebijakan ini, sebagai pemimpin kau punya hak bertindak, menindak, bahkan menghukum." "Daulat Paduka, insya Allah hamba laksanakan perintah Paduka Kaisar," kata Ceng Ho. "Negara menganggarkan dana untuk ekspedisi ini tujuh kali pulang-pergi pelayaran, 208 unit kapal serta 28.000 awak. Kau pun punya hak menyeleksi orang-orang yang akan berlayar. Jangan bawa orang yang tidak sepaham dengan gagasan ini," kata Zhua Di. Di tempatnya Liu Ta Xia melengos dengan mulut melengkung ke bawah. Itu dia buat sebagai ganti menggeleng yang hampir dilakukannya. Dan, kendati melengos, tidak menarik perhatian seperti seandainya dia menggeleng, Zhu Di dapat menangkap isyarat tertentu yang tumbuh di bawah hati kecil Liu Ta Xia. Karena itu berkatalah Zhua Di dengan memandang tajam ke arah Liu Ta Xia. "Kelihatannya Menteri Ekonomi dan Keuangan Liu Ta Xia hendak berkata sesuatu. Apakah dugaanku tidak salah, Liu Ta Xia?" Halaman 13 dari 62 Liu Ta Xia berperangah. Kekagetannya membuat kagok. Selintas dia tampak seperti orang yang baru tergelincir. Kata-katanya terpatah, tapi dia cepat menguasai diri. "Tidak Paduka." Zhua Di sekadar memberi telinga. Pertanyaan berikut bukan menguji, melainkan barangkali memancing. Katanya, "Apa maksud Anda, 'Tidak'" Apakah itu berarti: aku tidak salah menduga" Atau, apakah itu berarti: Anda tidak hendak berkata apaapa?" Liu Ta Xia menjadi culun bukan atas kemauannya, melainkan penemuan diri yang tak lepas dari sekadar mengenal naluri bersejarah dari kodratnya sebagai orang bawahan Kaisar. Katanya dengan kesungguhan tidak terncana, "Apa pun Paduka Kaisar. Aku memang tidak hendak berkata apa-apa." "Baguslah," kata Zhua Di. SAM PO KONG [7] Kejadian itu semula tidak diwasangkai Ceng Ho. Sekeluar dari balairung dan ketika berjalan di sudut istana bersama Wang Jing Hong, Ceng Ho bahkan tidak menyadari sesuatu yang mencurigakan. Wang Jing Hong yang membangkitkan kewaspadaannya. "Apakah Anda menangkap kesan tertentu dalam sikap Menteri Liu Ta Xia tadi"'' tanya Wang Jing Hong. "Katakan,'' kata Ceng Ho. "Apa yang kaulihat"'' "Aku kira Kaisar cukup jeli melihat sehingga bertanya begitu kepada Liu Ta Xia.'' Ceng Ho meyakinkan dirinya sesuatu yang sebetulnya tidak beralasan untuk bersikap begitu. Katanya datar, "Memang bagitu gaya Kaisar.'' "Tidak,'' kata Wang Jing Hong menyangah Ceng Ho. "Percayalah,'' kata Ceng Ho mencoba meyakinkan dengan sedapat mungkin agar Wang Jing Hong percaya. "Aku sudah ikut dia sejak umur 12 tahun, sejak aku dikasimkan. Maka aku tahu batul gayanya.'' "Ya, mungkin juga aku keliru,'' kata Wang Jing Hong tak kekurangan rasa percaya diri. "Tapi menurutku, sikap Liu Ta Xia yang menggeleng kepala dan melengos, menyembunyikan air muka di bawah Kaisar, adalah bukti telah berlangsung perasaan yang menunjukkan ketidaksukaannya.'' Ceng Ho menalar sejenak. "Itu jamak,'' kata dia, mengantar pikiran yang tetap hendak mengatakan dirinya lebih mengenal perangai sang kaisar, dan bahwa sebagai menteri yang mengurus ekonomi dan keuangan, Liu Ta Xia wajar menjadi bengitu. Katanya, "Kalau sampai Liu Ta Xia menjerit pun, itu wajar. Dia menteri ekonomi dan keuangan. Dia kewalahan menghitung-hitung anggaran menyangkut gagasan besar sang kaisar. "Menurutku bukan hanya itu,'' kata Wang Jing Hong bersikeras. "Kelihatannya ada yang Liu Ta Xia sembunyikan. Ketika dia berkata tidak hendak berkata apa-apa, di Halaman 14 dari 62 dalam sebetulnya tersembunyi dengan rapi apa-apa yang tidak terucapkan oleh mulut.'' "Ah, jangan berprasangka buruk,'' kata Ceng Ho dengan nada yang mengarahkan Wang Jing Hong agar bersikap madya. "Kau tahu prasangka buruk dengan gampang membuat kebebasan berpikir kita mundur 100 tahun.'' Ceng Ho menghentikan langkah. Dia tengadah ke langit. Matahari merangkak ke sore hari. *** Menjelang malam, ketika sore tinggal kerangka, Liu Ta Xia duduk dengan perasaan kalah. Dua orang terpercayanya, Dang Zhua dan Hua Xiong, berada di kitaran. Jengkel sekali hati Liu Ta Xia ketika dengan suara dengki berkata kepada kedua orangnya itu, "Kayaknya Kaisar sudah disihir oleh tay-jin *) dari Yun-Nan itu. Sekarang aku tidak punya cara lain yang dapat menyingkirkan Ceng Ho.'' Dang Zhua menunduk. Kesopanannya berlebihan. "Bolehkah aku bertanya, Tuan Menteri"'' "Apa pertanyaanmu"'' tanya Liu Ta Xia. "Yang betul mana: apakah Tuan Menteri tidak suka pada gagasan Kaisar untuk membentuk ekspedisi mahal itu ataukah Tuan Menteri tidak suka secara khusus pada Ceng Ho"'' "Kedua-duanya,'' jawab Liu Ta Xia. "kalian tidak perlu tanya alasannya. Tapi kalau kalian ingin tahu hal sebenarnya, jawabnya karena pertama, dia tay-jin dan kedua dia bukan Xu Xian Jiao **). Sementara itu, karena ternyata dia memang sakti, aku harus berpikir menemukan siasat baru. Dan aku akan memberikan kesempatan sekali lagi kepada tikus got macam kalian beraksi.'' "Kami siap melakukan apa saja pada Ceng Ho demi Tuan Menteri,'' kata Dang Zhua. "Yang penting aku baru saja memutuskan untuk memulai peperangan hari ini juga. Tugas kalian adalah membuat gunjingan-gunjingan jelek tentang Ceng Ho, terutama tentang pelayaran muhibah itu. Boleh jadi aku pun akan mengupayakan kalian masuk sebagai peserta istimewa dalam pelayaran itu.'' Hua Xiong menundukkan kepala, menyatakan antara hormat dan suka ceria. Katanya seperti diucapkan Dang Zhua, "Kami siap melakukan apa saja demi Tuan Menteri.'' "Begini,'' kata Liu Ta Xia, berpikir sejenak, dan dengan begitu terjadi jeda, lalu menemukan gagasan lancung yang membuatnya atoh bagai rajawali di angkasa menempuh puting beliung. "Dalam gunjingan itu, yang kalian lakukan di sembarang kesempatan, katakan ekspedisi yang menyertakan 27.800 orang, yang dibulatkan menjadi 28.000 orang, itu semata-mata untuk mencari 'cap kerajaan' yang dicuri seekor gajah putih. Siapa pun yang mendengarkan gunjingan kalian harus dibikin percaya bahwa ekspedisi itu konyol. Besok, pada masa datang, orang akan bingung meneliti sejarah bahwa kebesaran Ming dilingkupi oleh gagasan konyol gajah putih yang bisa mencuri cap kerajaan.'' Halaman 15 dari 62 Dang Zhua dan Hua Xiong tersenyum. Kepatuhan sering membuat orang tampil dungu. Secara bersamaan kedua orang dekat Liu Ta Xia itu berkata, "Kami siap melakukan semuanya demi Tuan Menteri.'' *** Maka sesuai dengan harapan Liu Ta Xia, mulailah Dang Zhua dan Hua Xiong kasakkusuk di pelbagai tempat di mana orang mudah termakan dusta. Pada malam hari keduanya pergi ke rumah minum Lin. Tulisannya: Artinya: tetangga. Terlihat dari jauh. Catatan: *) tay jin adalah kasim **) Xu Xian Jiao arti harafiahnya 'agama leluhur', yaitu sinkretisme Kong Hu Cu, Tao, Buddha, lewat penghayatan memuja Fo Zhu (Buddha), Pu-Sa (Boddhisatva), Lou Han (Arhat), dan Xian (Dewata). SAM PO KONG [8] Lin bukan sekadar rumah minum biasa. Di bagian depan memang tertata meja-kursi untuk orang yang ingin minum. Tetapi di bagian belakang ada beberapa kamar dengan perempuan-perempuan sundal berdandan menor siap ditumpaki. Jadi, Lin menyediakan minuman dan pelacur. Katakanlah Lin adalah rumah bordil. Sebagai rumah bordil, Lin termasuk berkelas. Ke situlah Dang Zhua dan Hua Xiong pergi. Mereka duduk di bagian tengah. Ada orang lain lagi di sekitar mereka. Sambil duduk di kursi Dan Zhua dan Hua Xiong berpenampilan seakan-akan murung. Pengelola Lin yang telah kenal benar pada Dang Zhua dan Hua Xiong menghampiri dan bertanya, "Tumben kalian kelihatan murung. Ada apa?" "Aku pusing memikirkan negara," kata Dang Zhua. "Masa pelayaran Ceng Ho ke selatan semata-mata untuk mencari cap kerajaan yang dicuri seekor gajah putih." Semua yang berada di bagian depan rumah bordil Lin serta merta mengarahkan mata mereka ke Dang Zhua. Ada yang tersenyum. Ada pula yang merengut. "Maka daripada pusing minumlah sampai mabuk," kata pengelola Lin. Lalu dia menundukkan kepala sedikit ke arah muka Dang Zhua dan berkata dengan suara dikecilkan. "Aku punya barang baru dari utara. Ada lima orang. Tinggal pilih. Umurnya sama-sama baru 15 tahunan. Mereka benar-benar akan menghibur orang yang pusing." "O, Dang Zhua malah ingin dihibur sundal yang berumur 90 tahun," kata Hua Xiong. "Apa kamu punya stok yang 90 tahun?" Pengelola Lin tertawa kecut. "Gila," katanya. Halaman 16 dari 62 "Tidak," kata Hua Xiong. "Ini serius. Dang Zhua pusing. Dia ingin mati juga melalui nenek-nenek 90 tahunan." Pengelola Lin membuka sedikit bagian atas pakaiannya sehingga payudaranya mengintip. Katanya, "Kenapa harus mati kalau bisa menikmati hiburan dari tubuh perempuan. Hiburan akan membikin orang bersemangat hidup." "O, Encik belum tahu ceritanya ya?" kata Dang Zhua. Pengelola Lin menggelengkan kepala. "Belum. Ada apa?" "Begini ceritanya, Cik," kata Dang Zhua. "Kakak Hua Xiong berumur 28 tahun. Tiga bulan lalu dia kawin dengan perempuan tua berumur 90 tahun yang kaya raya. Dia berharap setelah kawin sebulan dengan nenek 90 tahun itu, sang nenek mati dan kekayaannya otomatis menjadi miliknya. Ternyata, setelah sebulan kawin, kakak Hua Xiong yang baru 28 tahun itu yang kedapatan mati. Tahu kenapa, Cik?" "Tidak," jawab yang ditanya. "Menurut hasil pemeriksaan sin-seh, orang muda 28 tahun itu mati lantaran keracunan mengonsumsi susu yang kedaluwarsa," kata Dang Zhua. "Apa?" "Ya, Cik," kata Dang Zhua. "Begitulah nasib. Pasti orang muda itu keranjingan banget mengisap-ngisap susu nenek-nenek." "Gila." "Memang gila. Tetapi kalau Encik punya stok 90 tahun, sekali lagi, aku ingin jajal." "Ah, sudahlah," kata Hua Xiong. "Sekarang antar saya ke barang baru yang katamu 15 tahunan." Hua Xiong berdiri dari kursi. Pengelola Lin berjalan di depan, masuk ke dalam. *** Ketika Hua Xiong masuk ke dalam, Dang Zhua menghabiskan dulu arak yang dapat memabukkan. Dia memegang cawan sambil tertawa-tawa liar di situ. Setelah itu dia masuk pula ke dalam, ke kamar paling belakang. Dia langsung meloncat dengan gaya orang-ombak, menjatuhkan diri ke ranjang, tengkurap di situ. Perempuan sundal yang berada di ranjang itu terkejut dan sedikit terguncang. Maklum, gadis itu anak orang miskin yang dijual untuk menjadi pelacur: suatu hal yang lazim terjadi sejak zaman Han. Begitu menjatuhkan diri ke atas ranjang, Dang Zhua tidak hanya tengkurap atau terlentang. Tapi dia segera melakukan kerajinan tangan: menggerayangi perempuan muda itu. Halaman 17 dari 62 Oleh nasib yang tidak menguntungkan belaka, bukan atas maunya, perempuan itu terpaksa menerima ini sebagai suatu kodrat yang semoga tidaklah kekal. Katakanlah, perempuan muda yang masih belasan tahun usianya itu menanggapi dengan dingin. Hal itu membangkitkan celoteh seenaknya di mulut Dang Zhua. "Hei, kenapa kamu seperti mayat?" kata Dang Zhua. "Dingin kembaran es. Tidak ada gairah, tidak ada kehidupan." "Maaf, Tuan," kata perempuan itu ragu. "Kenapa?" tanya Dang Zhua. "Kamu masih baru?" "Ya, Tuan." "Baru apa" Baru cebok?" Perempuan itu diam. Tiada kata dari mulutnya. Dang Zhua merangkul dengan cara sumerowak, menjatuhkan diri ke atas ranjang dan menindihnya. Perempuan itu memucat. Tak lama kemudian dia menangis tanpa suara. Hanya luh cair keluar dari kelopak matanya. Tampaknya dia terpukul. Keadaan itu malah membuat Dang Zhua keranjingan. Katanya seraya mengguncangguncang tubuh perempuan itu, "Hei, jangan menangis. Kenapa kamu menangis" Apa kamu tidak tahu siapa saya" Saya ini johan, jagoan, cempiang yang akan ikut dalam misi muhibah Ceng Ho ke selatan untuk memburu cap kerajaan yang dicuri dan dibawa lari seekor gajah putih. Lihat mukaku ini. Namaku Dang Zhua." SAM PO KONG [9] Perempuan itu bengong. Bukan tenang, dia malah merinding seperti kedinginan. Karena itu Dang Zhua jengkel, ''Alah, menangis melulu kamu.'' Sam Po Kong Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Perempuan itu tengkurap. Tubuhnya sengal-sengul menahan isak. ''Huh, menjengkelkan. Seperti anak anjing,'' kata Dang Zhua sambil bangkit dan pergi meninggalkan kamar. Sang pengelola Lin seperti heran melihat Dang Zhua. Katanya dengan senyum nakal, ''Kok cepat sekali"'' Dang Zhua geram. Dia menyemprot dengan kata bernada ketus. ''Huh, barang barumu itu patung bernafas.'' ''Kenapa"'' tanya pengelola Lin. ''Menjengkelkan,'' sahut Dang Zhua singkat. Dia duduk kembali di kursi yang tadi di bagian depan rumah bordil merangkap rumah minum ini. Halaman 18 dari 62 ''Menjengkelkan kenapa"'' tanya pengelola Lin dengan niat yang biasa dilakukan orang seprofesi dengannya, yang harus membuat tamu tidak kapok. ''Apa perlu gadis lain"'' ''Tidak,'' sahut Dang Zhua. ''Barang barumu yang itu keburu membuat seleraku buyar.'' ''Kalau begitu, ganti dengan yang lain. Sebentar lagi yang di kamar tiga selesai. Nama julukannya T'o. *) Pasti dia akan membuat malam makin panjang.'' ''Persetan,'' kata Dang Zhua. ''Sudah, jangan berdiri di situ seperti patung. Tuangkan lagi arak buatku.'' ''Baik. Baik,'' kata sang pengelola Lin. Dia berputar hendak ke samping, ke tempat tataan minuman, dan bersamaan dengan itu cempiang yang sudah banyak teruji keunggulannya, yaitu orang Hok Kian yang musafir, penyair dan pegesek teh-yan, Tan Tay Seng, masuk pula ke sini. Dia langsung duduk di pojok. Beberapa pasang mata langsung melihatnya. Pengelola Lin mendatanginya. Dia memberi senyum yang klise dan bertanya dengan menggerak-gerakkan tangan, ''Anda orang baru di sini"'' Tan Tay Seng hanya memandang muka pengelola Lin tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun dia memberi senyum yang diterjemahkan sebagai kata pembenaran. ''Mau coba anggurku"'' tanya pengelola Lin. ''Yang paling memabukkan,'' jawab Tan Tay Seng. ''Tentu,'' jawab pengelola Lin. ''Aku bisa melakukannya, mencampuri sari anggur paling anggur yang lebih memabukkan daripada anggur Ti Hsi **) sekalipun.'' ''Bagus,'' kata Tan Tay Seng. ''Dan, kalau Anda perlu mengendurkan saraf, kami punya stok gadis-gadis belasan tahun dari utara. Masih baru.'' Tan Tay Seng tertawa terbahak-bahak sehingga semua mata melihatnya, termasuk Dang Zhua. ''Baiklah,'' kata Tan Tay Seng. ''Aku membutuhkan perempuan dan anggur yang sanggup melahirkan ilham dari air mata dan mabuk, diantarkan ke gapura rindu dan dendam pada ketagihan atas nama cinta yang berpadu dusta.'' ''O ya, pasti, pasti,'' kata pengelola Lin. ''Keduanya bakal Anda peroleh di sini. Kalaupun ada dusta di sini, kami menjualnya dengan kesungguhan. Yang penting Anda senang, kami pun senang.'' Sedikit-sedikit Dang Zhua melirik ke arah Tan Tay Seng. Yang dilirik pun menyadari itu. Halaman 19 dari 62 *** Di mejanya Dang Zhua telah menghabiskan beberapa cawan arak sehingga badannya bagai orang-ombak. Manakala Hua Xiong keluar dari kamar, dilihatnya Dang Zhua telah tak sadarkan diri di meja depannya. Di situ Dang Zhua tertidur dengan kepala basah. Hua Xiong menggugahnya ''Dang Zhua, bangun.'' Dang Zhua seperti melindur, ''Kenapa"'' ''Ayo kita pulang,'' kata Hua Xiong. Kepala Dang Zhua terasa berat. ''Apa kamu sudah selesai"'' ''Sudah. Ayolah.'' Hua Xiong membantu memberdirikan. ''Bagaimana rasanya"'' Dang Zhua bertahan di kursinya. ''Rasanya sama seperti semua perempuan. Cuma ini bedanya, dia masih perawan.'' Mata Dang Zhua nanar. Seakan ada pengalaman baru yang menyengat kesadarannya. ''Apa kamu bilang"'' ''Ya, aku bilang, yang baru aku pakai itu masih perawan,'' kata Hua Xiong. ''Apa" Apa telingaku tidak salah mendengar"'' ''Ya, telingamu tidak salah mendengar,'' kata Hua Xiong. ''Gadis itu dijual bapaknya ke Lin sebab bapaknya dililit utang.'' ''Ha-ha-ha. Berarti kamu baru saja menjadi guru"'' ''Apa maksudmu"'' ''Ya. Kamu terpaksa mengajar anak ingusan untuk memasukkan belut ke dalam gua persembunyiannya.'' ''Ayo, sudahlah. Kita pulang,'' kata Hua Xiong menarik dan membopong keluar. Malam sudah sangat larut. Sebentar lagi subuh. *** Pada waktu subuh Ceng Ho berjalan bergegas-gegas menuju ke suatu tempat. Sambil berjalan cepat, sayup-sayup terdengar dari arah barat, ke tempat tujuannya itu, sipongang suara muazin mengimbaukan salat, ''Ashshalatu khairu minannaum...'' Halaman 20 dari 62 Ceng masuk ke dalam masjid itu, bersembahyang di situ. Kali ini tidak ada lagi mata yang mengintai. *** Catatan: *) T'o berarti kepuasan. **) Ti Shi adalah nama seorang pembuat minuman dari dongeng abad ke-4 Masehi yang konon membuat orang lelap dalam mabuk sepanjang 1.000 hari. SAM PO KONG [10] Meskipun yang mengintai tidak ada lagi seperti kemarin, bukan berarti orang yang menginginkan dia celaka sudah berhenti melakukan kejahatan. Siang nanti, ketika orang mulai bekerja merampungkan kapal-kapal, khususnya kapal besar yang akan digunakan Ceng Ho, terlihat bagaimana Dang Zhua dan Hua Xiong datang ke rumah Liu Ta Xia dan langsung duduk di situ. Tak lama kemudian tampak pula Liu Ta Xia dengan segala kelebihan dan kekurangan - dikatakan kelebihan karena dia cerdik dan sewaktu-waktu, seperti sekarang, menjadi licik; dan dikatakan kekurangan karena dia kadung menaruh rasa percaya kepada dua orang yang sebetulnya bodoh - datang dan duduk di hadapan Dang Zhua dan Hua Xiong. "Seperti kataku kemarin, aku akan berupaya memasukkan kalian ke dalam rombongan misi muhibah Ceng Ho," kata Liu Ta Xia dengan sangat bangga. "Tapi, kupikir, siasat ini tidak sederhana bagi orang seperti tikus got macam kalian." Dang Zhua dan Hua Xiong saling pandang dengan wajah lugu dan cenderung dungu. "Tapi, kalau kalian berada dalam ekspedisi Ceng Ho itu, kalian harus memiliki keahlian khusus. Sekarang aku ingin bertanya pada kalian berdua: apa interes kalian selain menjadi maling?" "Ah, Tuan Menteri bercanda," kata Dang Zhua. "Sudah pasti interes semua lelaki di dunia adalah perempuan. Rekreasi yang paling menyenangkan: payudara besar, pinggul besar, tapi pinggang kecil, gua kecil, singset." "Tadi malam aku mendapatkan itu, Tuan Menteri," kata Hua Xiong. "Otak kalian memang dari dulu cuma sebatas puser ke bawah," kata Liu Ta Xia. "Kalau kalian tidak punya keahlian khas, kalian tidak mungkin bisa berkomunikasi dengan Ceng Ho, dan itu berarti mubazir mengupayakan kalian masuk dalam ekspedisi pimpinan Ceng Ho." "Tidak, Tuan Menteri, percayalah kami bisa diandalkan," kata Dang Zhua. "Mana mungkin?" kata Liu Ta Xia. "Apa kalian tidak tahu, Ceng Ho itu tay-jin?" "Apa masalahnya, Tuan Menteri?" tanya Hua Xiong. Halaman 21 dari 62 "Kalian doyan perempuan. Mana mungkin kalian berkomunikasi secara akrab dengan tay jin?" "Apa ruginya kalau terjadi jarak dengan Ceng Ho?" tanya Hua Xiong. "Tolol," kata Liu Ta Xia. "Bagaimana kalian mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan kalau kalian tidak dekat. Jangan lupa ilmu Sun Tzu?" *) Dang Zhua yang bertanya sekarang, "Jadi apa yang harus kami lakukan?" Liu Ta Xia tak segera menjawab. "Aku sedang berpikir." "Begini, Tuan Menteri Liu," kata Hua Xiong hendak bermegah-megah mengilas balik masa kanaknya. "Sewaktu anak-anak aku sudah terampil menghafal seluruh isi kitab suci Ko Ong Kuan Si Im Keng. Apakah ini boleh dianggap sebagai keahlian khusus?" Liu Ta Xia berpikir, "Tunggu," kata dia. "Biarkan aku berpikir dulu." Sambil membiarkan Liu Ta Xia berpikir, mengerutkan kening, membayang-bayang sesuatu yang menguntungkan, berkata Hua Xiong dengan lebih memegahkan diri, "Aku malah masih menghafal dengan lancar sampai sekarang, bukan saja kitab Buddha, melainkan juga Tao dan Kong Hu Cu." Liu Ta Xia memandang tajam ke muka Hua Xiong. Dengan pandangan yang tidak berkedip, maka dalamnya ada perasaan ragu yang kemudian menjadi tidak percaya pada pernyataan Hua Xiong itu. Karena itu, berkata Liu Ta Xia dengan nada menekan, "Betul begitu?" Hua Xiong plegak-pleguk. Ini meyakinkan bahwa dia hanya berbual. Katanya, "Setidaknya itu cita-citaku, Tuan Menteri." "Cocotmu!" kata Liu Ta Xia. "Tapi, saya tidak dusta, Menteri Liu," kata Dang Zhua. "Kalau soal hafalmenghafal saya sangat teruji. Sebagai penganut Zu Xian Jiao, bukan hanya kitab Ko Ong Kuan Si Im Keng yang aku hafal, melainkan juga Dao De Jiang." "O, ya," kata Liu Ta Xia dengan ceria. "Kalau begitu aku sudah menemukan jawaban dalam pikiranku. Tepat sekali, ya, aku akan masukkan kalian berdua dalam ekspedisi itu, menyamar di sana sebagai penasihat spiritual Buddha dan Tao." Dang Zhua dan Hua Xiong saling berpandang, bertanya sesuatu yang tidak terucapkan. Melihat itu Liu Ta Xia bertanya. "Kenapa" Kalian tidak sanggup?" "Bukan, Tuan Menteri," kata Dang Zhua dan Hua Xiong bersamaan. "Bukankah Ceng Ho itu muslim, Tuan Menteri?" lanjut Dang Zhua. "Jangan potong omonganku," kata Liu Ta Xia. "Dengar baik-baik, supaya kalian tidak bertanya-tanya terus. Ceng Ho memang muslim, dan sebagai muslim dia masih berhubungan darah dengan Suo Fei Er, atau nama Arabnya: Sayidinia Syafii. Suo Fei Er itu menyerahkan diri kepada Kaisar Song pada 400 tahun yang lalu. Tapi kalian tidak usah pusing. Di dalam ekspedisi itu, orang Islamnya hanya dihitung dengan jari. Jumlah terbesarnya tetap adalah yang memuja Jing Tian Zun Zu. Karenanya, Halaman 22 dari 62 kalian bukan orang asing di kapal itu. Kalian harus cerdik melebihi ular, tapi kalian tetap harus mampu menjaga penampilan melebihi ketulusan merpati. Kalian mengerti?" Kedua-duanya, Dang Zhua dan Hua Xiong, menjawab serempak dan yakin, "Mengerti." "Dan, yang paling utama, jaga rahasia ini," kata Liu Ta Xia sangat serius. "Segala macam musibah dan hal-hal buruk dalam pelayaran itu nanti harus kalian yang merekayasa. Kalian harus bisa membuat catatan-catatan jelek dari ekspedisi yang pertama ini agar tidak ada lagi lanjutan ekspedisi kedua sampai ketujuh. Kalian mengerti?" Catatan: *) Sun Tzu adalah kawruh filsafat perang Cina. SAM PO KONG [11] Kedua-duanya, Dang Zhua dan Hua Xiong, secara bersamaan sekali lagi mengucapkan kata yang tadi sudah mereka ucapkan, ''Mengerti.'' ''Bagus,'' kata Liu Ta Xia. ''Ini yang aku sebut sebagai suatu permainan takdir. Bertarung boleh kalah, tapi bergumul harus selalu menang. Kalian mengerti"'' Sekali lagi, kedua orang kepercayaan Liu Ta Xia, Dang Zhua dan Hua Xiong, menjawab, ''Mengerti.'' Liu Ta Xia puas. Dia senang membayangkan keberhasilan. Sikap tak setujunya pada gagasan pelayaran yang dipimpin Ceng Ho berubah menjadi sikap tak suka kepada Ceng Ho. *** Hebatnya Liu Ta Xia, di belakang Ceng Ho bisa mengekspresi sikap tak suka menjadi dengki yang beralasan. Tapi di depan Ceng Ho, apalagi ketika Ceng Ho berada bersama-sama dengan Zhu Di, dia dapat berlaku santun, bahkan menghargai dengan sikap yang hampir dapat dibilang tidak masuk akal. Suatu siang Zhu Di mengajak menteri-menteri, termasuk tentu saja Liu Ta Xia, melihat-lihat pengerjaan kapal paling besar yang akan digunakan Ceng Ho. Dalam melihat-lihat kapal itu Ceng Ho memperkenalkan juga nakhoda yang dipilih sebagai penanggung jawab navigasi, Wang Jing Hong. Di suatu ruang tengah dalam perut kapal mereka berhenti, sebab Zhu Di tertarik melihat sesuatu yang tampak tak lazim sebagaimana bentuk fisik kapal umumnya. ''Kenapa di bagian ini tidak dibuat lepas saja supaya luas dan jembar"'' tanya Zhu Di. ''Memang di bagian ini dirancang sebagai susunan ruang-ruang, Paduka,'' jawab Ceng Ho. ''Ini untuk membuat kerangkanya menjadi lebih kuat, lebih kukuh, lebih pegas.'' Halaman 23 dari 62 ''Seberapa kuat"'' tanya Zhu Di. ''Kalau sampai terbentur karang, setelah diempas badai misalnya, dan taruhlah sebagian badannya ada yang rusak atau bahkan hancur, dengan bentuk kerangka seperti ini kapal tidak mungkin tenggelam.'' Zhu Di berdecak. ''Apa yang membuatmu yakin"'' Liu Ta Xia juga menunjukkan sikap mengagumi. ''Pasti sudah diuji coba,'' katanya. ''Ini memang bukan soal keyakinan, Paduka Kaisar,'' kata Ceng Ho. ''Ini berdasarkan percobaan-percobaan dan pengalaman. Paduka Kaisar tahu, ayah hamba, Ma Ha Zhi, sudah berkali-kali berlayar ke barat lewat selatan sampai ke jazirah Arab.'' Liu Ta Xia mencoba mengusik. Tadi dia menunjukkan sikap mengagumi, sekarang dia menguji. ''Dulu, apakah ayah Anda juga memulai pelayaran dari utara sini"'' ''Memang tidak,'' kata Ceng Ho. ''Beliau berlayar melalui Yun Nan.'' ''Anda tahu, mengapa aku bertanya begitu"'' tanya Liu Ta Xia. ''Sebab, aku hanya ingin mengingatkan, medan di Laut Cina Selatan dari utara sini, dari Nan Jing, konon tidak sama.'' ''Anda memang betul, Tuan Menteri,'' kata Ceng Ho. ''Tapi insya Allah, berkat restu Kaisar, kami akan sanggup mengatasi segala aral melintang.'' Dan Ceng Ho menepuk bahu Wang Jing Hong. ''Wang Jing Hong adalah mitra kami yang paling bisa dipercaya. Bukankah dari ajaran ayahanda Paduka Kaisar kami belajar bahwa dalam semua pekerjaan harus ada mitra yang sehati. Mitra yang sejati adalah mitra yang sehati.'' ''Kau betul sekali, Ceng Ho,'' kata Zhu Di. Dan dia berjalan ke bagian buritan, diikuti semuanya. Sambil berjalan ke situ, dia berkata, ''Mitra yang paling benar dalam semua usaha yang berisiko tinggi, sebagaimana tugasmu sekarang, adalah mereka yang memiliki rasa percaya yang sama, walaupun dalam kemampuan berpikir yang berbeda.'' Di tengah sana dia berhenti lagi karena merasa percakapan ini harus didengar dengan serius. ''Ingat, Ceng Ho, kau memimpin bukan saja militer dalam misi muhibah ini nanti, melainkan juga sipil. Militer sudah punya disiplin. Gampang diatur. Sipil yang sulit diatur. Sipil yang sudah menjadi kerumunan selalu menjadi sama seperti kawanan serigala. Soalnya mereka tidak punya disiplin yang sama seperti militer. Makanya dengan kapal ini kau harus memimpin mereka mewakili kebesaran Tiong Kok dan kejayaan Ming.'' ''Daulat Paduka Kaisar.'' Sam Po Kong Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo *** Zhu Di benar-benar hanya memercayai Ceng Ho. Apa yang baru dikatakan masih akan diingat-ingat dalam kalimat yang berbeda pada hari-hari mendatang. Pada suatu hari Zhu Di berdiri di sebelah Ceng Ho, menyaksikan latihan militer di sebuah lapangan. Mereka berada di bagian yang agak tinggi, sebuah podium yang dari atasnya dapat melihat seluruh bagian lapangan. Halaman 24 dari 62 Sambil menyaksikan orang-orang yang berlatih berperang itu, berkata Zhu Di, ''Yang jangan sampai kaulupakan, ekspedisi kita ini harus dilihat sebagai perluasan perdagangan di satu pihak sekaligus kerja sama kebudayaan di lain pihak. Tapi kau harus juga bisa mengatasi secara militer segala macam hambatan yang mengacaukan serta melecehkan Tiong Kok dan Ming. Jangan sampai berharap surga lantas yang didapat neraka.'' ''Ya, Paduka, saya akan camkan itu,'' kata Ceng Ho. ''Tentara kita ini bisa diandalkan. Mereka akan saya gembleng, bukan hanya di darat, melainkan juga di laut.'' 12 ''Lantas bagaimana dengan orang-orang sipil yang bisa ikut dalam pelayaranmu itu"'' tanya Zhu Di. ''Dari mereka, walaupun mereka sama seperti kawanan hewan yang tak bisa diatur, toh diharapkan kemampuan dagang mereka membuka peluang bisnis dengan negara-negara di selatan.'' ''Ya, Paduka,'' kata Ceng Ho. ''Pendaftaran untuk orang-orang sipil yang mau berniaga di Jawa akan dimulai besok.'' *** Kertas-kertas pengumuman bagi khalayak yang berminat melakukan hubungan dagang di Jawa telah dipasang di tempat-tempat ramai. Salah satu ditempelkan juga di dinding rumah minum merangkap rumah bordil Lin. Di dalam sana tampak orangorang yang biasa berlangganan di sini. Termasuk, orang-orang yang sekadar numpang lewat untuk mencari hiburan. Di antara orang-orang yang beraneka ragam kemauan itu terlihat juga Dang Zhua dan Hua Xiong di meja tengah dan Tan Tay Seng di pojok ruang. Tampaknya Tan Tay Seng sedang menikmati mabuknya. Dalam mabuk begitu malah kreativitasnya mengalir. Dia berpuisi di situ dan menyanyikannya dengan menggesek-gesek teh-yan. Melihat kelakuannya yang eksentrik, tampak sikap tak suka di wajah Dang Zhua. ''Tambah lagi ciunya,'' kata Tan Tay Seng sambil mengangkat cawan. ''Oh, aku sedang menikmati kembaraku ke selatan, ke Borobudur, mengukir huang-mei-tiau di langitnya, menikmati butir-butir emas yang mengubah butir-butir pada di sawah. Ayo, tuangkan ciu, kuukirkan harum bunga selatan dalam nyanyianku pada hari esok.'' Orang-orang melihatnya sebagai orang mabuk saja jengkel dan nyinyir, terkecuali Dang Zhua dan Huan Xiong yang tampak gusar. Tan Tay Seng tak peduli. Dia telah lupa diri. Walau begitu, dalam keadaan begini dia bisa menyanyi, mengiringi nyanyiannya dengan teh-yan. ''Yang kasim dari Yun Nan negari Akan menjadi orang besar sejati Dikenang nama di sejarah bahari Sebagai Sam Po Kong nan bestari.'' Halaman 25 dari 62 Begitu dia menyanyi. Dan dia menyanyi dengan acuh tak acuh, tak peduli apa ada atau tidak yang menyukainya. Nanti, sebentar lagi, dia akan mengetahui bahwa ada orang yang terganggu mendengar nyanyian orang mabuk. Orang yang tak suka mendengar nyanyian Tan Tay Seng itu adalah Dang Zhua. Dang Zhua menghardik Tan Tay Seng. ''Hei, pemabuk, hentikan suara kentutmu. Alat musikmu itu pun terdengar seperti gergaji tumpul.'' Tan Tay Seng tidak menggubris. Malah jika dia perlu menanggapi Dang Zhua, dia akan menggunakan kata-kata yang mungkin membuat Dang Zhua naik pitam. ''Hei, apa pedulimu"'' kata Tan Tay Seng. ''Mulut, mulutku sendiri; suara, suaraku sendiri, kok bolehnya situ yang usil.'' Lalu dia berseru kepada pengelola Lin. ''Ayo, Cik, tuangkan lagi ciu buatku, mumpung sendi-sendi dalam tubuhku masih bergairah, wahai dewa mabuk, mabuki aku, biar aku terbang menemui dewa langit utara Xuan Tian Shang Ti*) dan memberi salam tabik dengan bunga-bunga kepada dewa penguasa langit selatan Wu Fu Da Di. **) Dengar, kupingkanlah nyanyianku.'' Dan Tan Tay Seng menyanyi lagi dengan acuh, menggesek-gesekkan teh-yan dengan terampil. ''Ceng Ho yang memimpin pelayaran Meninggalkan Tiong Kok ke selatan Untuk mencari itu cap kerajaan Yang dicuri gajah putih sialan.'' Baik Dang Zhua maupun Hua Xiong, apalagi orang-orang lain, di rumah minum dan rumah bordil Lin terkesiap mendengar nyanyian Tan Tay Seng. Bagi Dang Zhua, nyanyian Tan Tay Seng itu merupakan kejutan: betapa gunjingan yang disebarkannya telah ditampa orang banyak, setidaknya satu, Tan Tay Seng. Namun, sungguhpun Dang Zhua dan Hua Xiong sama-sama terkesiap mendengar nyanyian Tan Tay Seng, kemarahan yang telah berada di hatinya tak hendak dia perintahkan untuk surut. Adalah Hua Xiong yang lebih dulu tak kuasa menahan emosi. Dia menyerang Tan Tay Seng karena jawaban Tan Tay Seng tadi yang mengatakannya usil. Dia tidak menduga sama sekali Tan Tay Seng selain seorang penyair dan penyanyi adalah juga pendekar yang hebat. Catatan: *) Nama Xuan Tian Shang Ti di Indonesia lebih dikenal dalam ejaan Hok Kian: Hian Thian Siang Te. **) Wu Fa Da Di dalam ejaan Hok Kian di Indonesia lebih dikenal sebagai Ngo Hok Tay Te. 13 Maka, ketika Dang Zhua menyerang Tan Tay Seng tanpa memperhitungkan kemungkinan ditangkis dan dibalas, dia pun terlambat. Tidak ada pujian buat orang yang keliru bertindak lantaran salah berhitung. Tangkisan Tan Tay Seng betapapun telah membuat keseimbangan pikirannya terganggu. Dang Zhua menyerang lagi. Halaman 26 dari 62 Tan Tay Seng lebih siap. Dengan gerakan-gerakan amat lincah dan cepat, hanya dalam waktu sangat singkat, Dang Zhua sudah keok seperti ayam jago yang terlempar oleh taji lawan. Melihat Dang Shua kalah, Hua Xiong pun geram dan menyerang Tan Tay Seng dari samping. Terjadi pukul-memukul. Tetapi itu tidak berimbang. Sudah jelas kentara Tan Tay Seng bukan anak muda sembarangan. Dia betul-betul seorang cempiang. Dengan kedua tangan dia berhasil melumpuhkan Hua Xiong. Bersama dengan Dang Zhua, keduanya tergeletak seperti ikan hiu di atas meja lelang pasar ikan, tiada lagi sima yang boleh dibanggakan. Di atas kedua orang kepercayaan Liu Ta Xia itu Tan Tay Seng berdiri berkacak pinggang, menawar tantangan bagi siapa pun yang mau menerjang lagi. "Masih ada yang penasaran?" kata Tan Tay Seng. "Kalau ada yang berminat, aku pun masih bersemangat. Mumpung mabuk, dan dalam mabuk aku dikawal oleh tiga puluh enam panglima langit, San Shi Liu Guan Jiang."*) Lalu Tan Tay Seng mengambil cawan, mengarahkan itu ke pengelola Lin. "Ya, tambah lagi ciunya. Tambah satu, tambah dua, tambah tiga, dan aku ingin tidur di sebuah dusta, mimpi bersama tiga klangenan T'ang **), antara Tu Fu, Li Tai Po, Ts'en, Ts'an, Pu Chu Yi, Li Shang Yin.... ***) Tampaknya semua orang yang berada di situ memilih bersikap tidak bermusuhan. Itu sikap yang aman, memang. Tan Tay Seng menjadi tokoh yang melahirkan bisikbisik. Orang akan berbisik tentang dia jika melihatnya berjalan di tempat ramai. Untung, orang tidak berbisik-bisik tentang kejelekannya, tetapi tentang ketangguhan dan kepiawaiannya berkelahi. *** Demikian juga terjadi pada pagi itu. Menjelang tengah hari Tan Tay Seng kelihatan berjalan di jalanan menuju ke pasar. Di tembok yang pernah diberdirikan mayatmayat itu terlihat plakat kerajaan dipasang oleh petugas kerajaan. Setelah plakat itu terpasang, orang-orang berkumpul membacanya. Ada seseorang yang lantas menceletuk setelah membaca plakat itu. Katanya, "Apaapaan ini" Dicari orang-orang sipil yang kuat dan punya pengetahuan tertentu untuk dikembangkan di negeri-negeri selatan." Seseorang yang lain malah mencibir menanggapi. "Huh, untuk mati konyol di Laut Selatan bersama tay-cin dari Yun Nan. Kurang kerjaan?" Orang yang berdiri di samping tampaknya tidak senang mendengar pernyataan itu. Dia menuding dan menghardik. "He, Bung, jangan sembarang buka bacot kamu. Jangan menghina Ceng Ho." Bukan undur dari sikapnya membuka mulut tadi, orang ini malah mengucapkan kata-kata bernada menantang. Katanya dengan ketus, "Memangnya siapa yang melarang aku kalau aku ingin buka bacot seperti ini." "Tapi jangan bawa-bawa Yun Nan. Aku juga orang Yun Nan." Halaman 27 dari 62 Bukan kendur, malah orang yang kepalang berbicara keras itu makin menunjukkan sikap siap menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi. Dengan berani dia berkata, "Memangnya kenapa kalau kau ingin bilang Ceng Ho itu Yun Nan, dan aku tidak percaya pada Yun Nan." Sekonyong-konyong tangan orang yang marah itu bergerak ke arah muka yang satunya. Tangan itu mengena bagian tubuh yang diharapkan oleh yang memukul itu. Yang terkena pukul lantas menjawab. Dan begitu keduanya siap memasang kudakuda untuk siapa yang lebih dulu punya peluang mengalahkan, syahdan Tan Tay Seng bertindak, berdiri di tengah-tengah, melerai. "Sudah! Jangan berkelahi," kata Tan Tay Seng. Walau begitu kedua orang yang berselisih pandangan itu tak berhasil diteduhkan. Yang kiri meloncat, menyerang yang kanan. Tan Tay Seng berteriak, "He, jangan berkelahi kataku, hei." Namun tetap saja kedua orang itu berkelahi, tak mau mendengar teriakan Tan Tay Seng. Yang disebut ini mengentakkan kaki, memperagakan perasaan jengkelnya. "Ya, sudah, berkelahilah kalian," kata Tan Tay Seng. "Biar aku memainkan tehyan." Tak cuma ngak-ngik-nguk, dia malah menyanyi: Aku berhenti terbang di langit Nan Jing Bertengger di pohon atas Sungai Liu Ja Menyaksikan dua ekor pendekar kecowak Yang bertikai tentang tay-jin dari Yun Nan Tay-jin dari Yunan diberi tugas oleh Kaisar Memburu sampai ke Campa atau ke tanah Siam Menangkap seekor gajah putih pencuri Yang telah melarikan cap kerajaan Ming." Orang-orang yang berada di situ tertarik melihatnya. Mereka pun ramai melendong, berkerumun, mengitari Tan Tay Seng. Sementara itu Tan Tay Seng dengan naif sekali, seperti seorang anak kecil yang bermain-main dengan dunianya, tidak peduli apakah ada atau tidak orang yang menyaksikan. Salah seorang di antara kerumunan itu bertanya kepada Tan Tan Tay Seng, "He, Bung, dari mana kamu tahu cerita seekor gajah putih melarikan cap Kerajaan Ming?" Catatan: *) Hok Kian: Sa Cap Lak Kwan Ciang. Halaman 28 dari 62 **) T'ang adalah dinasti yang dari namanya lahir sebutan Tanglang untuk Tionghoa. ***) Tu Fu, Li Tai Po, Ts'en, Ts'an, Pu Chu Yi, Li Shang Yin adalah nama para penyair terpandang Cina. 14 Dengan santai Tan Tay Seng menjawab, ''Ilham seorang penyair bisa lahir di rumah bordil. Apa kalian tidak suka"'' Ada yang berdiri di depan kerumunan itu melempar sekeping uang, dan sambil melakukan itu, dia pun berkata, ''Nyanyikan lagi, ayo.'' ''Terima kasih,''kata Tan Tay Seng. Dia buka topinya lantas mengarahkan ke kerumunan itu, mengharapkan sawer. ''Aku akan nyanyikan lebih seru lagi.'' Orang-orang itu pun memberikan sawer. Yang lain berbisik-bisik. Setelah itu Tan Tay Seng berlakon. Kali ini dia membuat orang-orang itu terkesima. Dia menyanyi, bermain teh-yan, tapi juga melakukan gerakan-gerakan silat yang cekatan. Nyanyian yang dia peragakan merupakan kisah yang sangat populer di Cina sejad abad ke-2 Masehi, yaitu tentang dua orang wanita yang memperebutkan seorang bayi - kisah yang ditulis di Feng Shu T'ung oleh Ying Shao - mirip cerita Nabi Sulaiman dalam sumber Perjanjian Lama Nasrani. Yang dinyanyikan Tan Tay Seng benar-benar merupakan tontonan teater seorang diri. Untuk peran wanita, dia menyanyikan dengan membuat suara seperti suara perempuan, dan untuk peran Huang Pa, tokoh menteri kepala yang juga sangat terkenal dalam periode Sam Kok, dia membuat suaranya geros dengan perwatakan amat berwibawa. Orang-orang yang menyaksikan terhibur. Mereka berbisik-bisik sebagai cara lain untuk memuji dia. *** Lain lagi dari Dang Zhua dan Hua Xiong. Mereka melaporkan dengan dengki kepada Liu Ta Xia bahwa mereka dikalahkan oleh seorang Hok Kian yang menggesek tehyan dan menyanyi seenaknya. Kata Dang Zhua sambil menunduk-nunduk, ''Memang, dalam berkelahi dia telah mengalahkan kami, Tuan Menteri. Tapi, yang penting, dia sudah termakan oleh gunjingan yang kami sebarkan melalui rumah bordil.'' ''Apa"'' Liu Ta Xia belum menangkap arah bicara Dang Zhua. ''Tidak salah, Tuan Menteri,'' kata Dang Zhua. ''Dia pasti mendapat ilham nyanyiannya tentang gajah putih yang mencuri cap Kerajaan Ming itu melalui rumah bordil Lin.'' Selintas tampak rasa termegahkan di wajah Liu Ta Xia. ''Kalian tahu, siapa dia"'' tanya sang menteri sambil duduk. ''Tidak jelas latar belakangnya, Tuan Menteri,'' jawab Dang Zhua, melirik kepada Xua Xiong, meminta dengan gerakan tertentu supaya Hua Xiong yang memberi keterangan kepada sang menteri. Halaman 29 dari 62 Maka kata Hua Xiong dengan cepat, namun dengan nada yang menunjukkan keraguan dan mencari pembenaran terhadap diri sendiri, ''Yang jelas, dia pasti orang Fu Kien, entah Hok Kian entah Hok Cia.'' ''Dungu,''kata Liu Ta Xia agak kecewa. ''Kenapa kalian tidak mencari tahu"'' Dang Zhua serta merta menawarkan inisiatif yang terlambat, katanya, ''Apa perlu kami selidiki siapa dia"'' Liu Ta Xia berdiri dari kursinya. ''Huh, tidak perlu.'' ''Kenapa, Tuan Menteri"'' tanya Hua Xiong. ''Aku baru saja menyimpulkan itu tidak perlu. Sebab, mendengar cerita kalian itu, aku menyimpulkan dia hanya seorang penyair pelagu yang setengah matang.'' Baik Dang Zhua maupun Hua Xiong tertawa, dan tawa mereka sebetulnya tidak lahir dari emosi tertentu, tetapi dari cara paling terhitung untuk menjilat. ''Aku punya rumus untuk mengalahkan penyair pelagu, dan kalian harus sanggup melaksanakan,'' kata Liu Ta Xia. ''Senjata paling ampuh dan gampang menjatuhkan para penyair pelagu atau seniman umumnya adalah uang. Terhadap uang mereka selalu berpura-pura suci, seakan-akan tidak perlu. Padahal, asal pemegang kekuasaan tahu caranya, yaitu mulai dari cara mendulang sampai menyuap, seniman itu sama seperti piyik burung elang: menelan tanpa pertimbanganpertimbangan apakah yang dibawa induknya itu racun atau bukan racun.'' Lagi, Dang Zhua dan Hua Xiong tertawa untuk memberi kesan bahwa mereka Sam Po Kong Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mendengar ucapan yang bermutu dari seorang yang mereka percayai memiliki kehebatan tertentu. Liu Ta Xia sangat menikmati cara kedua orang kepercayaannya itu menjilat kepadanya. Katakanlah, dia adalah garuda, bukan elang, yang sedang berdiri di atas gunung Kun Lun Shun sana yang bergeming oleh terpaan angin ribut. ''Jadi, orang Hok Kian itu tidak penting untuk digubris lagi, Tuan Menteri"'' tanya Hua Xiong. Tidak segera Liu Ta Xia menjawab. Ternyata pertimbangannya tadi memiliki sayapsayap masalah. Maka katanya setelah terpercik permenungan singkat, ''Sejauh tidak berhubungan dengan Ceng Ho memang dia tidak penting.'' ''Kalau sampai terjadi hubungan"'' tanya Dang Zhua. ''Berjaga-jaga,'' jawab Liu Ta Xia singkat. *** Apakah Ceng Ho tidak juga berjaga-jaga" Suatu malam dia bahkan terjaga ketika sudah tidur di rumahnya. Malam itu sepi. Senopati Pamungkas 2 Pendekar Rajawali Sakti 75 Kabut Hitam Di Karang Setra Hong Lui Bun 22