Ceritasilat Novel Online

Sengatan Satu Titik 5

Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo Bagian 5 "Namanya sekarang adalah Pak Tua Konyol." "Pak Tua Konyol" Hehe, kurasa nama yang pertama jauh lebih baik." "Sebenarnya ia pun lebih suka namanya yang pertama, tapi Karena sebuah kejadian konyol, maka ia pun terpaksa mengganti namanya." "Kejadian apa?" "Suatu hari Istri Pak Tua Lucu kaget setengah mati ketika mendapati satu karung uang perak di depan rumahnya. Tentu saja Pak Tua Lucu terlebih kaget lagi." "Satu karung uang" masa uang pun dihitung dalam jumlah karung"." "Ya, makanya Pak Tua Lucu pun mulai menyangka nasibnya akan berubah. Peruntungannya sebagai orang miskin dirasakannya mulai hilang pamornya. Maka dia pun membawa sekarung uang itu ke pasar. Ingin dibelinya segala benda yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ selama ini hanya dapat dilihatnya, sekaligus ia ingin memproklam irkan dirinya menjadi orang kaya." "Ide yang bagus." "Tentu saja itu sebuah ide yang bagus, tapi ide yang bagus pun ada kalanya tidak berjalan mulus." "Kenapa?" "Karena di tengah perjalanan ia bertemu dengan si Penipu Wajah Putih." "Penipu berwajah putih?" "Ya. Orang-orang menamainya demikian karena sekalipun ia selalu menipu, tapi korban yang ditipunya tak pernah menyangka bahwa ia penipu. Karena itulah ia dinamakan Penipu Wajah Putih. Kalau boleh dikatakan ia adalah jenius penipu yang tidak muncul sekali dalam tiga generasi." "Ketika Penipu Wajah Putih melihat Pak Tua Lucu membawa karung yang kelihatan berat, dengan matanya yang tajam ia sudah melihat kilatan uang perak di karung itu. Maka ia pun mulai memasang tampang sebagai seorang saudagar yang sangat kaya. Penipu Wajah Putih berkata, "Pak T ua, apa kau ingin uang di karung itu bertambah lima kali lipat?" Pak Tua pun berkata, "Tentu saja.?"kalau begitu berikan uang itu padaku, akan ku belanjakan kain sutra yang terbaik dari negeri cina kemudian kau akan menjualnya dengan harga sepuluh kali lipat. Kau akan mendapatkan setengah untungnya." "Kalau hanya dengan perkataan itu Pak Tua Lucu benarbenar percaya kepada Penipu Wajah Putih, kurasa ia benarbenar konyol. Bukan saja konyol tapi juga sangat tolol." "Sebenarnya Pak Tua Lucu pun tidak begitu saja percaya kepada Penipu Wajah Putih. Namun mau tidak mau ia harus percaya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Oh?" "Karena ia melihat golok tipis berkilat perak di pinggang Penipu Wajah Putih. Dan ia sangat tahu kepandaian kedua dari Penipu Wajah Putih selain menipu adalah memainkan golok tipi s itu." "Maka ia pun percaya." Risang Ontosoro tertawa. Cara tertawanya juga unik, seakan-akan rubah cilik yang ditipu mentah-mentah oleh seekor ayam. Sekalipun samar, sempat juga Risang me lihat bahu Pandan Kenanga bergetar. Mereka tiba di depan jalan buntu. Atau tepatnya sebuah lempeng batu yang seakan dipapas halus. Pandan Kenangan mengeluarkan kunci berkilat keemasan dari dalam ikat pinggangnya, memasukkannya ke lubang di sudut bawah, memutarnya beberapa kali dan lempeng batu itu segera berderak. Membukanya lempeng batu itu membuka satu dunia baru yang sama sekali berbeda. Ruangan ini tidak terlalu besar, namun cukup luas juga. Yang istimewa adalah seluruh terang di ruangan ini berasal dari puluhan perabot bersinar keemasan yang dipajang di setiap sudut. Ranjang kukuh yang berkilat keemasan. Kasur bersulam emas. Cawan yang memantulkan bias keemasan. Pendeknya, ruangan ini seakan ditatah dari bongkahan emas raksasa yang tiba-tiba muncul dari bumi. Risang tidak pernah melihat emas sebanyak itu. Juga tidak pernah membayangkannya. Di ujung ruangan yang berbentuk seperti rongga alam itu terdapat mata air yang bergemericik lirih. Yang unik, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ gelombang air yang meriak di genangan air mungil ini juga membias keemasan. "Ruangan ini disebut Lanskap Emas Bawah Bumi. Merupakan salah satu tempat larangan di Istana Bulan Teratai ini." "Nama yang bagus." "Bukan saja namanya bagus, jalan ke sini juga sangat berbahaya." "Maksudmu lorong tikus itu?" "Kau menyebutnya lorong tikus, tapi seandainya kau tidak bersamaku, badanmu mungkin tidak akan utuh lagi sebelum kau melalui kelokan yang pertama." "Tadi bukannya kau mengatakan kau akan menyelamatkanku dari perempuan tua itu?" "Dan bukankah aku sudah menyelamatkanmu?" "Tapi kau hanya membawaku dari satu ruangan ke ruangan yang lain." "Ruangan ini adalah tempat terlarang di Istana Bulan Teratai. Tidak akan ada orang yang berani masuk kesini, juga tidak akan ada yang berpikir bahwa kau akan lari ke sini." "Juga tidak akan ada yang berpikir bahwa kaulah yang mengajakku ke sini." ~Dewi-KZ~ Bab XV, Buhul Darah Pandan Kenanga hanya tersenyum. Diletakkannya buntalan pakaiannya ke pembaringan. Tubuhnya berputar ke sudut sana, menyulut dupa. Harum menyebar. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Meski Risang juga seperti manusia lain yang suka dengan bau harum, tapi entah kenapa tubuhnya yang terlatih dengan Panca Rasa merasakan sesuatu yang berbeda dalam bau harum ini. Sesuatu yang membuatnya bulu kuduknya berdiri. Selesa i menyulut dupa, Pandan Kenanga menghilang ke sebuah pintu kecil. Ketika muncul kembali, saat itulah Risang Ontosoro seakan merasakan dirinya terjatuh ke sebuah lubang hitam. Yang ia lihat sekarang adalah seorang wanita yang sangat cantik, dengan daya tarik kental memancar dari seluruh bagian tubuhnya. Semacam kecantikan yang membuat lelaki jenis apapun mabuk kepayang. Sejenis daya tarik yang membuat lelaki macam apapun bersedia berbuat apa saja untuk sekadar memegang tangan si dia. "Kau bisa sampai di tempat ini dalam keadaan sadar, sungguh membuatku harus kagum padamu." Kata-katanya meluncur seolah pesona embun yang menetes dari kelopak mawar merah segar. Risang tertawa. Ia memang mempunyai semacam penyakit, bahwa dalam keadaan yang paling genting, ia akan tertawa. Tentu saja ia sudah tahu dengan jelas keadaan apa yang sedang dihadapinya sekarang. Ia pun tahu siapa yang rubah siapa yang ayam. "Bukankah kau yang menuntunku kesini?" Pandan Kenanga tersenyum, sekali lagi pesona yang memabukkan tersebar, "Sekalipun begitu, bahwa kau tidak berbuat macam-macam dengan berjalan di belakangku, itu sudah merupakan prestasi tersendiri." "Oh, aku mengerti sekarang." "Katakan." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Mula-mula kau merayu semua pemuda yang ada ditempat ini dengan datang ke kamarnya. Seorang perempuan kalau sudah berani datang ke kamar pemuda memangnya apa yang dia inginkan kan sudah jelas?" "Dan kau ternyata cukup kuat untuk tidak tergoda." "Kalau itu gagal, kau akan mengajak mereka melarikan diri dengan menyebarkan isu tentang Penyedotan tenaga itu dan kau rayu mereka di perjalanan dengan kata-katamu atau gerakan tubuhmu." Pandan Kenangan kembali tersenyum, "Tubuhmu sangat bagus, otakmu ternyata juga tidak jelek." "Kalau itupun gagal, kau masih punya jurus terakhir. Yaitu dengan dupa perangsang birahi itu." "Aku harus kagum terhadap kepekaan tubuhmu, tapi harus kuingatkan bahwa tidak akan ada seorang pun yang akan menolongmu ke sini." "Oh?" "Karena tempat ini memang tempat terlarang." "Memangnya tempat apa ini?" Pandan Kenanga tersenyum, jarinya yang panjang lentik menyibak anak rambut yang terurai di dahi, "Ini adalah kamar peraduan dari Putri T eratai Kumala." Risang melenggong, "Pendiri Istana Dasar Teratai?" "Oh" Kau juga tahu tentang dia?" Putri Teratai Kumala dipandang sebagai salah satu keajaiban dunia persilatan. Hanya orang tuli saja yang tidak pernah mendengar namanya. "Dan di kamar tokoh legendaris ini lah kau mengerjai semua pemuda yang kau temui." Kata Risang dengan nada ironis. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Pandan Kenanga tertawa geli, "Aku tidak serakus itu. Aku hanya penujui pemuda yang cocok dengan seleraku." "Untuk kau sedot tenaganya?" "Kau benar-benar pintar. Dan sekarang kau sebaiknya tidak melakukan perlawanan. Meskipun kuakui kekuatan hatimu untuk tidak tergoda, tapi dupa yang kau sedot itu sudah mengunci jalan tenaga murnimu. Sekali kau mengerahkan hawa murni, sembilan nadi di dadamu akan pecah." Senyum kepuasan mengembang di wajah Pandan Kenanga. Semacam senyum yang muncul ketika seekor kucing berhasil mempermainkan tikus diantara cakar-cakarnya yang lembut namun tajam. Mendadak Risang Ontosoro tertawa. Suara tertawanya bahkan cukup keras. "Apa yang kau tertawakan?" Seekor tikus yang sedang terjepit tidak akan tertawa sekeras ini. "Kau mengatakan diriku pintar, tapi didalam hati pasti kau menganggap dirimu jauh lebih pintar dariku." Pandan Kenanga diam mendengarkan, juga membenarkan. Jujur saja, ia memang menganggap dirinya cukup pintar, lagi pula sangat menarik. "Tapi apa kau tahu bahwa seorang yang menganggap dirinya terlalu pintar kebanyakan adalah orang tolol yang harus dikasihani?" "Apa yang ingin kau katakan?" senyum di wajah Pandan Kenanga mulai membiaskan kebengisan. "Kuceritakan kau kisah Pak Tua Tolol Konyol dan Penipu Wajah Putih itu. Dalam terkaanmu, siapakah yang tertipu?" Anak muda ini dengan santainya malah menanyakan cerita karangannya itu. Sungguh Pandan Kenanga harus mengakui kalau Risang Ontosoro memang lain dari yang lain. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Namun karena merasa penasaran, juga yakin pemuda itu tak akan terlolos dari tangannya, dijawabnya juga pertanyaan Risang, "Tentu saja si T ua Tolol itu." Tawa Risang semakin berderai, "Kalau begitu kau lebih tolol dari dia." Wajah Pandan Kenanga memerah sengit, selama hidupnya tak pernah ada orang berani memakinya terang-terangan di depan hidungnya begitu. Dengan santai Risang melanjutkan, "Sekalipun Pak Tua itu sering konyol dan bertindak tolol, tapi kecerdasannya tidak dibawah orang lain. Bahkan sebagian sahabatnya menganggapnya seabagai seorang jenius yang jarang ada bandingannya. Justru karena kejeniusannya itulah sering orang tidak paham dengan apa yang dia lakukan. Di dunia ini kan banyak orang jenius yang dianggap tidak waras." "Sebelum ia menemukan sekarung uang di muka rumahnya itu, ia te lah bertaruh dengan salah seorang sahabatnya bahwa ia sanggup menangkap basah si Penipu Wajah Putih. Maka ia pun memasang trik demikian. Dipinjamnya uang dari pengadilan negeri dengan jaminan ia akan menangkap basah si Penipu Wajah Putih berikut barang buktinya. Maka ketika Penipu Wajah Putih melarikan karung itu, sepasukan tentara telah mengikutinya dan menangkapnya seperti tikus got yang masuk perangkap." "Lalu untuk apa kau ceritakan cerita tolol itu?" Risang Ontosoro memandang perempuan itu tajam, ucapnya sekata demi sekata, "Karena kau pun serupa dengan Penipu Wajah Putih itu" Dada Pandan Kenanga mulai mengombak. Kepalannya mengencang. "Maksudmu ada orang yang mengikutiku?" "Wajahmu cantik, otakmu pun tidak jelek." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Mendadak Pandan Kenanga tertawa. Semakin lama, semakin melengking tertawanya. "Kau pikir aku akan mempercayai ucapan tololmu itu, Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tempat ini terjaga dengan delapan puluh satu macam rintangan, semut pun tidak akan sanggup masuk ke sini?" "Termasuk Pandan Kumala?" Pundak Pandan Kenanga tergetar, "Dalam dua jam ke depan ia tidak akan keluar dari sanggar semedinya. Kebiasaan itu tak pernah berubah dari sepuluh tahun yang lalu." Risang Ontosoro terdiam, ditatapnya sepasang mata Pandan Kenanga dengan tajam, "Aku hanya ingin mengatakan sesuatu kepadamu." "Katakan." "Seseorang sebaiknya tidak menganggap tolol orang lain. Karena di dunia ini tidak ada yang perkiraan yang pasti terjadi. Tak ada terkaan yang pasti benar." Otot-otot hijau mengencang di kepalan Pandan Kenanga. Risang Ontosoro sebaliknya tetap santai. Dengan seenaknya dijatuhkannya tubuhnya ke kasur empuk. Dengan suara serak malas dia menggumam, "Kalau tidak keluar sekarang, memangnya mau tunggu sampai ekormu putus?" Tak ada jawaban. Sunyi yang hening. Mendadak atap kamar berderak. Lalu seperti terangkat oleh Sesuatu, lempengan berbentuk lingkaran di atap kamar itu membuka ke atas. Detik kemudian bagaikan daun kuning yang luruh sesosok berpakaian putih berkibaran melayang turun. Siapa lagi kalau bukan Pandan Kumala. Pandan Kenanga tersurut mundur. Tak tersangkanya kail yang dilemparkannya malah tersangkut mulut sendiri. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Pandan Kumala memandang adik seperguruannya dingin. Sinar matanya seperti sembilu yang tajam mengiris. "Sudah kuduga kaulah si pembuat onar. Kau rakus terhadap kecantikan, diam-diam kau praktekkan resep sesat yang ditulis Iblis Tinju Neraka. Selama ini entah berapa puluh pemuda yang jadi korbanmu, kalau aku tidak bertindak sepantasnya, sungguh aku malu terhadap diriku sendiri." Kamar itu sekalipun terbuat dari emas, namun siapapun yang berada didalamnya saat ini sama sekali tak merasakan kehangatan dari mutu manikam itu. Meski terlihat bias jeri di wajah Pandan Kenanga, namun sikapnya masih tenang, "Kalau kau sudah tahu akulah orangnya, kenapa tidak kau bunuh aku dari dulu?" "Tidak kubunuhmu karena aku tidak pernah membunuh orang tanpa alasan. Harus ku cari bukti terlebih dahulu. Hanya orang berdosa yang pantas dihukum. Ini adalah peraturan perguruan kita turun temurun, memangnya otakmu sudah lamur?" Tiba-tiba Pandan Kenanga tertawa, dengan tarikan wajah yang sulit dimengerti ia berteriak sumbang, "Kau berbicara tentang peraturan dan dosa. Memangnya matamu hanya dapat melihat orang lain dan tak bisa mengenali diri sendiri" Memangnya perbuatanmu di Dipa Saloka belum cukup untuk memasukkanmu ke tiang gantungan"." Pandan Kumala terdiam. Anehnya ia seperti tidak bermaksud membungkam mulut adik seperguruannya itu. Pandan Kenanga kembali meraung, "Kau pikir tidak ada orang yang tahu perbuatanmu terhadap Dyah Surya" Persekongkolanmu dengan Iblis Kepala Besar dan usahamu untuk mencaplok mustika Kepala Naga?" Dengan nafas tersengal Pandan Kenanga melanjutkan, "Dalam peraturan nomor satu Guru melarang semua anggota Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ perguruan untuk ikut campur urusan Tiga Istana Abadi. Siapapun yang melanggarnya harus dibunuh. Memangnya otakmu sudah mati?" "Sudah selesai kau bicara?" pandan Kumala berujar dingin, sama sekali tak terlihat perubahan emosi di nada suaranya."Kuberi kau kesempatan melawanku. Kalau aku mati, kau bisa bebas. Tak ada yang tahu urusan ini selain orang yang berada di kamar ini." "Ku tahu aku tidak akan mampu melawanmu. Tapi aku sudah cukup puas bisa mengatakan apa yang ingin ku katakan. Seseorang bertanggung jawab terhadap apa yang ia lakukan. Sekalipun perempuan sesat sedikitnya aku masih murid perguruan Bulan Teratai. Nah silahkan." Kata-katanya ternyata cukup tegar. Sampai Risang pun tak mengira bahwa dalam situasi terjepit seperti ini wanita ini masih bisa berucap gagah. Mau tak mau timbul juga rasa sayang dihatinya. Tangan kanan Pandan Kumala bergerak. Sinar perak berkelebat seperti kilat di tengah kegelapan. Entah dari mana sebilah pedang lantas terhunus. Dalam waktu yang hampir bersamaan pedang itu sudah sampai di dada Pandan Kenanga. Pandan Kenanga memejamkan matanya. Kepalannya terkepal kencang. Air mata menetes seperti embun yang menitik dalam fajar yang remang. Namun begitu kepalanya tetap tegak. Air mukanya tetap keras. Darah merembes di badan pedang. "Ilmu Pedang Pelangi Satu Warna," gumam Risang setengah terkejut. Setahunya ilmu pedang itu milik Istana Dasar Teratai. Namun melihat beberapa perkataan Pandan Kenanga tadi agaknya memang ada hubungannya antara Istana Bulan Teratai dengan Istana Dasar Teratai. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Benar, inilah I lmu Pedang Pelangi Satu Warna, bagaimana pendapatmu?" dengus Pandan Kumala. Pedang ditangannya tadi sudah hilang entah kemana. "Sangat bagus." Risang memuji setulus hati. Penguasaan ilmu pedang yang dipamerkan Pandan Kumala tadi memang mengagumkan. Kecepatan yang tak tertandingi. Keganasan yang tak ada bandingannya. Sekali menusuk langsung meminta nyawa. Tak ada variasi, tak ada basa-basi. Risang Ontosoro memandang tubuh Pandan Kenanga yang terbujur dengan bunga darah yang mengembang, pelanpelan. Betapa cantiknya seseorang, tapi kalau sudah tak bernyawa lagi, siapakah lagi yang bersedia mencecap keindahannya. Betapa eloknya sekuntum bunga, kalau sudah gugur tertiup musim, adakah kumbang yang bersedia memungutnya. Kemudian ditatapnya Pandan Kumala yang tampak termenung-menung. Cahaya mata anak muda ini menampilkan sorot yang amat aneh. Ia tidak berkata. Ia pun tak ingin merusak suasana sunyi ini. Akhirnya Pandan Kumala yang memecah hening, "Apa kau tahu kenapa tidak ku bunuh dia?" Risang diam mendengarkan. Ia pun tahu sekalipun darah merembes keluar dari dada Pandan Kenanga, tapi luka itu hanya dikulit luar. Tak sampai memecah jantung. "Karena seorang kalau sudah berhadapan dengan kematian tapi masih tetap tegar, maka orang demikian, bagaimanapun perbuatannya, kuanggap tak pantas dibunuh." Pandan Kumala melanjutkan dengan suara setengah serak, namun tetap dingin. Hujan tak selamanya menakutkan. Matahari tak setiap kali menyilaukan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Risang Ontosoro menatap matahari yang berkerlip kemerahan. Cahayanya hangat. Di depannya tersaji teh hangat. Perasaannya pun sudah terlebih hangat. Setiap kali disaksikannya sifat kebaikan manusia hatinya selalu merasa hangat. Pandan Kumala boleh jadi salah seorang yang akan jadi lawannya. Namun toh itu urusan kelak. Y ang penting sekarang ia bisa melihat bahwa perempuan itu masih menyimpan sifat yang menghangatkan. Setidaknya ia masih sebagai manusia yang bertindak sebagai manusia. Pandan Kumala sendiri memandang anak muda itu lekatlekat. Cahaya matanya menyorotkan bias unik. Semacam kasih sayang yang murni, yang bersih dari birahi. Tetes hujan yang terang menitik di lembar-lembar daun. "Bagaimana kau tahu kalau aku mengikuti kalian?" "Aku tidak tahu. Aku hanya merasa bahwa kau menangkapku bukan karena aku sebagai diriku sendiri. Kau hanya menjadikanku umpan." Pandan Kumala mengangguk, "Benar, aku memang hanya bermaksud menjadikanmu umpan, tak peduli kau adalah siapa." "Makanya sebenarnya kau tidak bermaksud menangkapku sebagai Risang Ontosoro. Tujuanmu hanya mencari seorang pemuda yang dapat kau jadikan pancingan." Risang memandang perempuan setengah baya itu dan tertawa, "Setelah kesimpulan awal ini tentunya tidak sulit untuk menebak bahwa seorang yang memancing tidak akan meninggalkan umpan yang dilepaskannya." "Rupanya aku cukup beruntung menemukan pemuda sepintar dirimu." "Kau untung, aku konyol." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kau pun cukup beruntung. Setidaknya aku tidak membunuhmu setelah aku tahu bahwa kau adalah Risang Ontosoro." "Ya, sebenarnya aku pun cukup heran kenapa kau tidak membunuhku?" Pandan Kumala tersenyum aneh. Perlahan tubuhnya membalik. Angin danau mengibarkan pakaian putihnya hingga sosoknya tampak seperti dewi yang turun dari kahyangan. Risang Ontosoro memandangi kepergian Pandan Kumala dengan tatapan hangat. Perlahan kepalan tangannya membuka. Kertas itu masih ada di tangannya. Kertas dengan tulisan tertanda Arya Dipa Loka. Secarik kertas itu mengandung pesan bahwa tak seorangpun di Istana Bulan Teratai yang dapat dipercaya. Namun agaknya satu-satunya hal tidak dapat dipercaya adalah pesan itu sendiri. Matahari sebentar lagi tenggelam. Tapi Bulan sudah mengintip di ujung ufuk. Sekalipun manusia kerap menjumpai keputus asaan, harapan tak pernah benar-benar tenggelam. ~Dewi-KZ~ Di senja yang sama. Jalanan itu begitu ramainya sehingga suara sendiri pun sulit terdengar. Disini orang berteriak menawarkan dagangannya, disana orang melakukan pertunjukan monyet ogleng. Gerobak sapi dan kereta kuda saling berpapasan. Sesekali terdengar umpatan. Bermacam orang bercampur, bermacam suara teraduk. Tapi dari berbagai macam hal itu hanya satu yang menarik perhatian Arya. Seorang bocah yang terlihat sinting sedang terlongonglongong melihat pertunjukan sirkus monyet. Sekalipun semua Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ orang sama tertawa, anehnya bocah itu seperti tak menganggap bahwa pertunjukkan itu lucu. Tarikan wajahnya datar saja. Seakan yang dilihatnya adalah sebatang pohon tua yang sedang ditebang. Disamping bocah itu berdiri seorang cebol dengan kepala diatas rata-rata. Kebalikan dari si bocah sinting, berkali-kali gelak tawanya terdengar keras, berbareng dengan tepukan tangannya yang nyaring. "Minggir," seorang penunggang kuda dengan pakaian bagus memelototkan matanya ke arah Arya yang memang berdiri di tengah jalan. Orang itu mengangkat pecut kudanya ke atas, seolah seorang bapak yang ingin menghukum anaknya karena tidak makan obat. Arya segera melangkah ke pinggir. Mendadak sebuah suara merdu mengagetkannya, "Hei, bukankah kau anak muda itu?" Ketika Arya berpaling, seraut wajah cantik dengan pakaian khas kota raja tampak memandangnya dengan gembira. Ketika matanya menatap laki-laki penunggang kuda tadi kembali seraut wajah yang sudah dikenalnya, Braja Lelana. Dengan sendirinya perempuan berkuda disampingnya adalah Sukma Maningrum. Braja Lelana pun kelihatan terkejut, "Arya Dipa Loka!!" dengan cepat tubuhnya sudah meloncar turun, "Maafkan aku terhadap sikapku tadi." "Tapi ditengah jalan begitu kau terlihat terbengongbengong, maka aku menyuruh Kakang Braja Lelana untuk menegurmu." Arya tertawa, "Setidaknya aku tidak sampai berkenalan dengan pecut di tangan Kakang Braja Lelana." Braja Lelana tertawa, "Tentu saja tidak, bahkan kalau aku benar-benar menggunakan tenagaku." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Apa yang kau lakukan disini?" Sukma Maningrum bertanya dengan antusias. Pemuda itu memang telah menarik perhatiannya sejak pertama kali mereka bertemu. "Seharusnya kau tidak menanyakan itu. Seorang pengelana seperti Arya akan dapat kau jumpai dimana saja." Braja Lelana menegur. Bibir Sukma Maningrum segera mengerucut, "Siapa suruh kau bicara. Memangnya aku bertanya kepadamu?" Arya tertawa. Pertemuan tak terduga ini benar-benar menjadi pelepas urat saraf baginya setelah beberapa waktu mengalami kejadian yang menegangkan. "Aku hanya mencoba melihat keramaian di Jatingaleh ini." "Ya, jika kau ingin berkumpul dengan orang, Jatingaleh adalah tempat yang tepat. Disini dapat kau jumpai orang dari berbagai macam bentuk dan jenis." "Termasuk jenis orang yang suka campur pembicaraan orang lain sepertimu." Tukas Sukma maningrum cepat. Arya tertawa. Dua kali mereka bertemu dan suasana diantara kedua suami istri itu tetap riang jenaka. "Kulihat pucat di wajahmu semakin berkurang, tampaknya kau semakin sehat akhir-akhir ini?" perkataan Braja Lelana boleh jadi hanya sapaan akrab seorang sahabat, namun Arya Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo merasakannya dengan penuh minat. Bukan saja pucat di wajahnya semakin berkurang, semangat di dadanya pun semakin berkobar. "Atau kau sudah menemukan bunga cantik yang pantas kau seduh madunya?" tukas Suka Maningrum dengan kerling menggoda. Arya tertawa. Entah kenapa bayangan Arum Puspita mendadak lewat di benaknya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Kusarankan bila kau mencari jodoh, carilah yang sedikit pendiam. Isteri yang cerewet akan membuat hidupmu tak karuan." Braja Lelana berkata dengan tubuh sedikit didoyongkan ke depan dan suara setengah berbisik. Kontan Sukma Maningrum mendelik gusar. Tapi mendadak matanya menunjukkan ekspersi terkejut. "Ada apa" Apa sebutir telor masuk ke tenggorokanmu?" Sukma Maningrum tidak menjawab. Paras mukanya serius. Perlahan tangannya meraba gagang pedang yang tercekal di tangan kirinya. Braja Lelana sedikit heran dengan perubahan muka isterinya. Seingatnya hanya dalam waktu tertentu saja paras mukanya isterinya bisa berubah begitu serius. Ketika matanya memandang arah yang dilihat isterinya, paras mukanya mendadak menampilkan ekspresi tegang, "Setan Kepala Besar," desisnya. Yang tak berubah adalah paras muka Arya. Tenang dan tetap menampilkan senyumnya yang khas. Ia pun tak bergerak ketika perlahan-lahan suami isteri itu mendekati Setan Kepala Besar yang sedang asik menonton pertunjukan tari monyet. Setan Kepala Besar yang berdiri seenaknya sambil satu tangan mencekal tangan kanan Gagang Gerhana agaknya merasakan hawa pembunuhan yang mendekat. Tanpa menoleh, tubuhnya mendadak terapung ke udara, melewati jajaran orang-orang dan dengan ringan hinggap di ujung jalan tepat ketika dua batang pedang menusuk punggungnya. Gerakannya yang tepat itu menyelematkannya dari serangan gabungan Braja Lelana dan Sukma Maningrum. Walaupun begitu samar-samar dirasakannya punggungya perih. Agaknya ujung kedua pedang itu sempat menyerempet kulit punggungnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Setan Kepala Besar menyipitkan matanya, lekat mengamati kedua penyerangnya. Braja Lelana maupun Sukma Maningrum juga menatap tajam sosok berkepala besar itu. Tak ada kata diantara mereka. Beberapa detik ketiga orang itu bersitegang dalam diam. Mengamati lawan, mencari lubang kelemahan. Braja Lelana memegang gagang pedangnya erat-erat. Perlahan butiran keringat merembes di dahinya. Ia sudah mengenal iblis ini, sebagaimana Setan Kepala Besar sudah mengenal mereka. Dua tahun lalu bersama isterinya dan dua orang pendekar dari kota raja ia bertempur mati-matian melawan Iblis ini. Hasilnya mereka berlima samasama terluka. Untung saja mendadak lewat sepasukan kerajaan yang sedang berpatroli sehingga memaksa Setan Kepala Besar yang berada dalam keadaan tidak lebih baik darinya dan teman-temannya kabur. Belakangan salah satu pendekar yang membantunya itu tewas karena luka-lukanya. Betapa penyesalan Braja Lelana dan rasa dendamnya sehingga membuatnya meninggalkan kedudukan di kota raja dan mengelana sebagai pendekar pengembara. Tujuannya hanya satu, menyelesaikan utangpiutang ini dan kalau perlu beserta rentennya. Sekarang ia menemukan musuh besarnya ini disini. Disamping semangatnya berkobar dengan api dendam yang sudah sekian lama tersekam, diam-diam ia juga mengkhawatirkan isterinya. Dahulu, dengan berlima mereka tidak dapat mengungguli iblis ini. Walaupun belakangan ia dengan keras melatih diri, namun ia pun yakin Iblis Kepala Besar juga tak mungkin hanya malas-malasan saja. Setan Kepala Besar dengan sendirinya mengerti perasaan lawan. Hakikatnya ia pun merasakan dendam yang sama. Dua tahun ia harus meringkuk dan berjuang keras menyembuhkan luka yang dideritanya. Hal itu sudah cukup bagi seorang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ sepertinya untuk menancapkan papan kematian di wajah musuh besarnya. Namun betapapun keadaan sudah sedemikian panas, otaknya masih bekerja dengan baik. Saat ini mereka berada di tengah jalanan ramai. Orangorang dengan penuh minat menonton mereka bertiga lebih dari ketertarikan mereka terhadap pertunjukan tari monyet tadi. Sekalipun ia tidak telalu hirau dengan orang-orang itu namun sewaktu-waktu pasukan Jatingaleh bisa datang. Lebihlebih Lembu Patik Pulung bukanlah lawan yang empuk. Yang lebih penting ia tidak boleh terlihat oleh Demang Kademangan itu mengingat pekerjaan besar di pundaknya. Satu-satunya yang membuatnya gelisah adalah bocah Gagang Gerhana itu. Pandan Kumala menyuruhnya menjaganya, dan ia tahu betul apa akibatnya kalau sampai tugas ini gagal. Namun jangankan mengambilnya, sekali bergerak mungkin sepasang pedang Braja Lelana dan Sukma Maningrum akan memaksanya turun tangan. Setan Kepala Besar merasa tak punya pilihan lain. Sekali menjejak, tubuhnya melayang ke belakang, dan sebelum Braja Lelana dan Sukma Maningrum sempat mengantisipasi gerakan musuh besarnya itu tubuh Setan Kepala Besar sudah hilang di tengah celah perumahan penduduk. Arya yang dengan tenang memperhatikan dari samping merasa Setan Kepala Besar mengerling ke arahnya sedetik tadi sebelum ia meloncat. Dengan sendirinya Arya tahu, pertimbangan paling besar bagi Setan Kepala Besar adalah kehadiran Arya di tempat itu. Pandan Kumala tentu sudah menggambarkan secara persis potensi menggidikkan dalam diri Arya kepada sekutunya itu sehingga tokoh seperti Gagak Jemarit harus mati dalam sekali gerakan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sekali Arya ikut campur, tidak akan ada kesempatan lagi buat Setan Kepala Besar untuk hidup, apalagi kabur. Meski ia pun tidak terlalu yakin bahwa Arya akan membiarkannya kabur. Mengingat hubungan dirinya dengan Pandan Kumala. Ia hanya berpegang pada perhitungan sederhana. Terhadap tata letak Jatingaleh ia telah mempelajarinya beberapa bulan, dengan sendirinya ia lebih hafal dari pada Arya yang hanya sesekali singgah di Kademangan itu. Tubuhnya yang kecil juga mempunyai manfaat tersendiri dalam medan yang banyak terdapat perumahan dan ramai oleh lalu lalang orang. Hal yang aneh adalah ternyata Arya tidak mengejarnya. Pemuda itu dengan tenang masih berdiri di tempatnya. Braja Lelana dan Sukma Maningrum sempat melompat mengejar. Namun pengetahuan keduanya tentang tata letak Jatingaleh memang tidak dapat membandingi Setan Kepala Besar. Akhirnya keduanya hanya bisa menghela nafas, entah dengan nada lega atau masygul, dan kembali ke tempat Arya berdiri. "Aku tidak menyangkan Setan keparat itu ternyata berada disini." "Setidaknya kita tahu bahwa ia belum lagi mampus." Timpal Sukma Maningrum. "Kalian berdua agaknya mempunyai perhitungan masa lalu terhadap Setan Kepala Besar." Ujar Arya dengan tenang. "Ya, bahkan tidak ringan perhitungannya." Desah Braja Lelana. "Siapa bocah ini?" tanya Sukma Maningrum dengan alis berkernyit ketika melihat Arya menggandeng tangan seorang bocah yang tampak linglung. Arya tertawa dan menjawab asal-asalan, "Tentu bukan anakku. Sebiji isteri saja belum kudapat. Sebaiknya kalian Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ secepatnya menyingkir, sebentar lagi mungkin prajurit Jatingaleh akan datang." Braja Lelana mengangguk dan berujar dengan nada sesal, "Kenapa kau tidak pergi bersama kami. Kami tinggal di penginapan yang cukup bagus. Kita bisa merayakan pertemuan ini dengan beberapa masakan istimewa." Arya menggeleng, "Aku harus mengantarkan bocah ini. Mungkin orang tuanya akan keculitan mencarinya." Tolaknya dengan tertawa. Setelah menatap Gagang Gerhana sebentar dan mengangguk maklum, Braja Lelana segera menarik tangan isterinya. Arya menatap sepasang pendekar itu sampai sosok keduanya tenggelam dalam kerumunan. Tangan Gagang Gerhana terasa balas menggenggam tangannya. Ketika Arya menatap bocah itu, kebetulan Gagang Gerhana, yang selama ini tidak pernah menatap siapapun secara fokus, juga sedang memandangnya. Bola mata bocah itu terlihat menyimpan emosi yang sulit dimengerti. Bersamaan Arya juga merasakan darah didadanya berdesir oleh pergolakan perasaan yang tidak sepenuhnya dipahaminya. ~Dewi-KZ~ Bab XVI, Raja Iblis Tinju Es Diantara riuh orang ramai sayup-sayup Arya mendengar derap belasan kaki kuda yang dilarikan. Tak disangsikan lagi, mereka adalah prajurit Jatingaleh yang mungkin dikirim oleh Kademangan sehubungan dengan kekacauan yang terjadi. Arya segera menarik Gagang Gerhana menjauh. Bocah itu sepertinya menjadi sangat penurut, kemanapun tanganya Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ ditarik, kesitu pula kakinya melangkah. Sama sekali tak ada penolakan. Tiba di sebuah penginapan yang memasang merek 'Kembang Fajar' di depannya, Arya membelok dan sete lah menyapa penjaga ala kadarnya ia langsung masuk ke kamar yang disewanya. Sempat di lihatnya mata si penjaga yang keheranan melihat Gagang Gerhana. Namun ia tahu itu bukan masalah yang berarti. Di sebuah penginapan, siapa membawa siapa adalah hal jamak dan biasanya para pelayan maupun penjaga dapat menjaga mulut mereka rapat-rapat. Namun seorang muda sepertinya menuntun bocah yang kelihatan linglung betapapun merupakan satu hal tersendiri. Sesungguhnya apa yang membuat Arya membawa Gagang Gerhana juga tidak sepenuhnya dipahami oleh pemuda ini sendiri. Ketika melihat Setan Kepala Besar membawa Gagang Gerhana siang tadi, yang terpikir di otaknya adalah kemungkinan untuk menjadikan kedua orang itu petunjuk guna menemukan Pandan Kemala, yang mungkin berhubungan juga dengan Ki Awu Lamut. Tujuan kedatangan Arya ke Jatingaleh ini sebenarnya mengikuti tanda khusus yang di buat oleh Arum Puspita agar jejaknya bisa diketahui olah Arya. Anehnya tanda itu berhenti di Gerbang Kademangan Jatingaleh. Karena tidak menemukan tanda lain lagi maka Arya memutuskan untuk masuk ke Jatingaleh dan mencoba mencari jejak sekuat tenaganya. Sudah beberapa hari ia berkeliling di seluruh jalanan Jatingaleh dan yang didapatnya hanya perut yang melilit dan debu yang bertumpuk di dahinya. Sampai sore itu ia me lihat Gagang Gerhana yang dituntun oleh Setan Kepala Besar. Ketika melihat kedua orang itu, lantas saja otaknya menghubungkan keterlibatan Pandan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Kumala dalam penculikan Arum Puspita dan Ratna Dewi. Maka ia pun memutuskan mengikuti Setan Kepala Besar dan Gagang Gerhana. Tak tersangka terjadi peristiwa tadi. Sebuah perasaan yang tak dipahaminya mendorongnya untuk membawa Gagang Gerhana yang ditinggalkan Setan Kepala Besar. Semacam rasa tanggung jawab yang aneh. Sekalipun ia tahu diantara mereka berdua terdapat hubungan darah yang rapat, namun karena tak sekalipun sebelumnya Arya bertemu secara langsung dengan Gagang Gerhana dan keadaan Gagang Gerhana yang tidak sepenuhnya normal menjadikan hubungan itu berjalan tidak sewajarnya. Itu pula yang mencegahnya untuk mengejar Setan Kepala Besar. Saat ini pun ia bingung. Apa yang akan ia lakukan terhadap bocah ini" Sambil termenung-menung, dipandanginya Gagang Gerhana yang asik dengan tingkah lakunya sendiri. Dalam keremangan mentari sore yang bersinar jingga, bola mata Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Gagang Gerhana memperlihatkan semacam tabir bening. Meski tampak acuh tak acuh namun setiap cahaya yang menyorot dari matanya terasa tajam menusuk. Di dunia ini sudah maklum bahwa manusia dilahirkan dengan bakat yang berbeda. Bakat pula yang menentukan kesuksesan seseorang. Terdapat seorang calon penyair legendaris, dalam umur lima tahun ia sudah dapat merangkai kata layaknya remaja yang jatuh cinta. Seorang jenius dalam bidang catur, sejak umur tiga sudah mampu menerapkan tiga kali tujuh langkah catur yang rumit. Namun ada pula segala kesuksesan dan kesempurnaan itu diraih dengan kerja keras yang tekun. Umpamanya seorang yang tuli, karena latihan dan gemblengan yang luar biasa ia menjadi seorang yang paling tajam telinganya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Dengan pengamatannya yang khas, Arya segera mengetahui bahwa Gagang Gerhana adalah tipe orang yang pertama. Pancaran cahaya matanya yang tajam berkilat menandakan bakatnya yang tinggi di dalam ilmu silat. Mungkin potensi kecerdikannya juga tidak dibawah orang lain. Namun semua itu tertutup dengan kelinglungannya. Namun sebab apa anak ini menjadi begini rupa, seingatnya seorang anak akan menjadi sinting sebagian besar karena tidak mendapat porsi kasih sayang yang cukup dari orang tuanya. Mengingat kembali tempat tinggal Pandan Kumala yang terletak jauh di puncak bukit, Arya menghela nafas panjang. Rupanya perselisihan puluhan tahun lalu berbuntut tidak pendek. Akibat yang dibawanya juga rupanya lebih mengerikan dari apa yang dibayangkannya. Lamat-lamat, di kedalaman sanubarinya Arya merasakan sendu yang pilu. Seandainya kejadian itu tak terjadi, tentu keluarganya akan hidup tentram. Dirinya tak perlu menjadi petualang tanpa rumah seperti sekarang ini. Bocah Gagang Gerhana ini juga tak usah menjadi sedemikian mengenaskan keadaannya. Namun kejadian di dunia ini memang lebih aneh dari rangkaian kata 'seandainya'. Siapa yang salah, siapa yang benar, benar-benar seperti lorong labirin yang terus berputar tak henti. Sebenarnya dirinyakah yang terlalu besar meledakkan emosi" Ataukah Ayahnya yang terlalu kukuh dengan apa yang di yakininya. Untuk pertama kalinya Arya merasakan bulu kuduknya meremang. Bukan ketakutan, lebih tepat semacam perasaan bersalah yang tiba-tiba membanjir. "Apa wajahku sangat jelek?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Pertanyaan ini mendadak saja terlontar dari mulut Gagang Gerhana. Nada bicaranya polos, tapi fasih. T idak m irip dengan bocah sepuluh tahun yang belum pandai bicara. Untuk sejenak Arya terhenyak. Sebenarnya Arya akan lebih terkejut lagi seandainya tahu bahwa selama hidupnya Gagang Gerhana tidak pernah bicara kepada siapapun. Termasuk kepada ibunya. "Tidak, tentu tidak." Tergagap juga Arya menjawab. "Lalu kenapa matamu melotot memandangku?" Sekilas Arya tidak bisa membedakan apakah pertanyaan ini benar-benar pertanyaan atau makian. Maka ia hanya tertawa saja, "Apa benar mataku melotot?" "Kupikir malah sudah hampir keluar dari tempatnya." Kembali Arya tertawa. Bocah cilik ini ternyata tidak tolol. "Bukankah kau mencari dua orang gadis dan seorang tua?" Pertanyaan yang dilontarkan dengan muka polos ini hampir membuat Arya berjingkrak. "Dari mana kau tahu?" Gagang Gerhana tertawa ketolol-tololan, "Dari mana kutahu" Tentu saja ada yang mengatakannya kepadaku. Kalau tidak bagaimana aku tahu?" Sinar mata Arya seketika berbinar, "Apa kau juga tahu dimana mereka?" "Mereka siapa?" "Dua orang gadis dan seorang tua?" Gagang Gerhana tertawa. Tertawa yang polos. Tidak kelihatan menyembunyikan sesuatu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Bukankah kau bisa menemukan mereka disetiap jalan yang kau temui?" Tentu saja, dua orang gadis dan seorang tua adalah klasifikasi umum. Siapapun bisa menemukan dua orang gadis dan seorang tua dimana saja. Arya menatapa bocah itu lekat-lekat. Sepasang mata yang bening balas memandangnya tanpa kedip. Mata itu tak mencerminkan tipu muslihat yang jahat. Benar-benar sinar mata seorang bocah yang polos. "Apa seseorang menyuruhmu mengatakan ini kepadaku?" Gagang Gerhana tertawa. Kali ini dia tidak menjawab. Hanya sepasang matanya yang berkedip-kedip. Arya juga tak memaksanya menjawab, karena saat itu juga terdengar tiga kali suara ketukan pintu. Tak seorang pun yang mengetahui bahwa dirinya menginap di tempat ini. Pelayan juga tak akan sembarangan mengetuk pintu. Ia telah berpesan tadi. Lalu siapa yang mengetuk pintu kamarnya. Ketukan pintu itu tak terdengar lagi. Namun Arya tahu orangnya masih menunggu di depan. Bayangan sepasang sepatu yang putih mungil tampak memanjang. Sekarang pintu itu telah terbuka. Dan sekali lagi Arya memaksakan sepasang matanya untuk tidak melompat keluar. Umur perempuan ini boleh dikatakan tidak muda lagi. Namun dalam kematangan usianya, pesona yang memancar dari setiap pori-pori wajahnya tak kalah dengan daya tarik wewangian tubuh perawan. Pakaiannya putih berkibar pelan. Dia pun tidak mengenakan penghitam bulu mata, karena bulu mata aslinya memang jauh lebih indah dari pada segala macam polesan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Kekagetan Arya ini mungkin akan bertambah menjadi kepanikan seandainya anak muda ini tahu bahwa perempuan inilah Pandan Kenanga. Pandan Kenanga yang telah ditusuk luka oleh Pandan Kumala ternyata berdiri segar bugar disini. "Kaukah Arya Dipa Loka?" suaranya masih semerdu burung berkicau. "Benar, apa aku pernah berhutang pada nona?" agak tergagap Arya menjawab. "Kau tidak berhutang kepadaku. Aku pun bukan lagi seorang Nona cilik." Sekalipun bukan lagi seorang nona cilik, tapi aura yang memancar dari sikap dan tutur tingkahnya malah lebih menarik dari pada seorang nona cilik. "Kalau begitu..." "Aku tidak lain hanya seorang kurir saja." Kalau kurirnya saja sudah seperti ini, maka betapa penting surat yang dibawanya jangan lagi dipertanyakan. "Apakah salah seorang sahabatku yang mengutus nona?" Pandan Kenangan tertawa, "Bukan saja sahabat. Malah boleh dikatakan keluarga." Sepasang mata Arya sontak berkilat, "Apakah dari Pandan Kumala?" Pandan Kenanga tertawa manis, "Dalam selintasan kau sudah bisa menebaknya. Agaknya hubunganmu dengannya cukup istimewa." Arya menghela nafas, "Hubunganku dengannya memang agak istimewa. Silahkan nona berikan suratnya lalu selekasnya aku akan menutup pintu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Menjublek juga Pandan Kenanga. Selama malang melintang di dunia persilatan, belum pernah dirinya digebah mentahmentah begini. Wajahnya yang tadi berpendar riang seketika juga berubah dingin, "Ia tidak mengirimkan surat, hanya beberapa patah kata." Belum lagi perkataannya selesai tubuhnya sudah menyusup ke depan. Sekali sambar langsung meraih tubuh Gagang Gerhana. Betapa cepat gerakannya, sekalipun tokoh sekelas Kiai Santun Paranggu juga mungkin hanya segini saja. Namun sayang sekarang ia berhadapan dengan Arya. Arya yang sekarang juga tidak sama dengan Arya yang kemarin. Penghayatan terhadap Kitab Teratai sekalipun baru pada tahap pertama namun betapapun sudah menunjukkan peningkatan yang luar biasa pada kemampuan anak muda ini. Sedetik lebih cepat satu jari Arya menutuk pergelangan tangan Pandan Kenanga yang terulur. Merasakan angin yang berciut tajam, Pandan Kenanga menarik tangannya. Dalam waktu bersamaan lututnya terangkat menghantam dada. Jurus ini sebenarnya tidak pantas dimainkan seorang gadis. Namun semakin tidak dapat di tebak semakin efektif sebuah jurus. Agaknya lutut yang berbalut kain sutra putih berkibaran itu akan tiba di dada Arya ketika tiba-tiba tubuh pemuda itu seakan patah. Separo pinggang ke atas tertekuk ke bawah, sementara bagian bawah tetap tegak kokoh. Pandan Kenanga tersenyum kecil. Gerakan tubuh Arya itu seakan membuka pintu yang sangat lebar untuk menyarangkan pukulan. Bagian pinggang yang tertekuk itu tentu adalah bagian yang sangat lemah. Sekalipun mungkin terlindungi dengan lapisan tenaga dalam, namun tidak akan cukup kuat menahan pukulan yang dilancarkan sepenuh tenaga. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Diawali angin yang berdesir tajam, Pandan Kenanga memukul keras ke arah pinggang yang tertekuk itu. Tampaknya Arya tidak akan mampu mengelakkan pukulan itu. Sekalipun bisa juga akan terlambat selangkah. Dan pukulan itu memang telak mengena. Namun senyum Pandan Kenanga seketika hilang ketika merasakan tangannya seperti menghantam segumpal baja yang licin. Benar tenaga pukulannya telak menggempur, tapi arus tenaga itu seperti terpeleset. Bersamaan dengan itu tubuh Arya mendadak meluncur ke belakang. Tangannya meraih Gagang Gerhana, menerobos dinding, dan dalam sekejap lenyap di tengah remang cahaya rembulan. Betapa cepat dan tangkas gerak-geriknya kini giliran Pandan Kenangan yang dibuat tertegun. Pandan Kenanga tentu saja tak ingin kehilangan ikan di depan mata. Kakinya menjejak lantai, seketika tubuhnya melayang ke depan. Namun belum lagi menerobos dinding serangkum angin tajam seperti menggencet tubuhnya. Dalam waktu bersamaan dirasakannya kaki kirinya lumpuh. Tubuh pun ambruk. Dalam sekejap Pandan Kenanga menjublek, tak tahu apa yang terjadi. Sekalipun diketahuinya bahwa seorang yang sudah mencapai puncak penguasaan tenaga dalam dapat melakukan serangan melalui perantara angin. Namun biasanya serangan itu tidak akan seefektif dan setajam bila dibandingkan dengan serangan yang langsung melalui anggota badan atau senjata. Apalagi kalau dilakukan terhadap orang seperti dirinya yang juga sudah meyakinkan tenaga dalam tinggi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Namun kenyataannya kedua kakinya seperti lumpuh ditutuk orang. Memangnya anak muda itu menguasai kepandaian siluman yang dapat menutuk orang dari jarak jauh. Tak terasa bulu kuduk Pandan Kenangan meremang. Selama hidup belum pernah ditemukannya orang dengan kepandaian begini tinggi. Sesaat dipikirkannya pulang pergi apa ia harus mengejar Arya atau tidak. Namun toh kalau mengejarnya juga belum pasti bisa menyusul anak muda itu. Kecepatan gerakan yang dipamerkan Arya sedetik tadi sudah menunjukkan kelas ilmu meringankan tubuhnya yang mungkin setingkat diatas dirinya sendiri. Kalau toh ia dapat menyusulnya, tidak pasti pula ia dapat mengalahkan pemuda itu dan merebut Gagang Gerhana. Bagaimana kalau Arya sengaja memasang perangkap untuk menjebaknya" Setelah terdiam sejenak segera ia melayang ke barat sana. Sebenarnya kepandaian Arya sendiri tidaklah sebegitu menyeramkan. Hanya tadi ia menggunakan sedikit trik. Ketika tubuh bagian atasnya patah kebelakang tadi sekejap jarinyajarinya telah meremas lembut jalan darah di kaki Pandan Kenanga. Remasan ini, dengan perhitungan tenaga yang sangat teliti, akan menyebabkah kaki kiri Pandan Kenanga lumpuh dalam waktu yang diperhitungkan. Teori remasan ini sebenarnya sudah diketahuinya dulu. Ia pun pernah mendengar kepandaian semacam ini. Namun baru ketika ia meyakinkan K itab Teratai di Vila Bambu m ilik K i Awu Lamut itu ia menemukan jalan dan cara pengaturan tenaga yang pas, sehingga beberapa teori ilmu s ilat yang sebelumnya tidak mampu dilakukannya sekarang sudah mungkin untuk diterapkan ke dalam praktek. Tentu saja ini pun suatu kegembiraan tersendiri baginya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Bersamaan tadi ia juga mengirim angin serangan sehingga ditengah kekagetannya perempuan adik Pandan Kumala itu menyangka kepandaiannya yang kelewat tinggi. Bahkan ketika bayangan Pandan Kenanga melayang keluar dan langsung menuju arah barat, Arya melihatnya dengan Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo jelas, karena sesungguhnya ia pun tidak pergi kemana-mana. Ia hanya mendekam di atas atap. Dengan senyum tersungging di bibir anak muda ini pun mengikuti bayangan putih dari baju Pandan Kenanga yang berkibaran itu. Dalam gebrakan yang hanya dua tiga jurus tadi, ia telah dapat memastikan bahwa ada hubungan cukup erat antara Pandan Kenanga dan Pandan Kumala. Kemungkinan besar adalah saudara seperguruan. Maka diputuskannya melepas teri untuk menjaring kakap. Yang aneh, Gagang Gerhana yang dikempitnya seperti mengetahui apa yang ada di pikiran Arya. Bocah cilik itu sama sekali tidak bersuara atau me lakukan gerakan yang dapat mengganggu penguntitan Arya. Dengan berloncatan dari atap rumah ke atap rumah Pandan Kenanga seperti juga Dewi malam yang turun dari kahyangan. Setelah beberapa kali berputaran akhirnya perempuan adik Pandan Kumala itu tampak melayang masuk ke sebuah jendela yang terbuka. Dengan bertengger di sebuah batang pohon Arya memandang rumah besar itu tajam. Tak salah lagi itulah rumah Demang Lembu Patik Pulung. Apakah Pandan Kumala bersekongkol dengan Lembu Patik Pulung, tapi mengapa dalam perkelahian kemarin ia malah membantu pihak Dipa Saloka" Memangnya dalam masalah ini pun ada satu siasat terselubung" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sebetulnya Arya ingin me longok ke dalam, namun mendadak dirasakannya sepasang kakinya terpaku. Seketika otot-otot di seluruh tubuhnya pun menegang. Samar-samar tubuhnya merasakan semacam hawa membunuh yang tajam luar biasa. Dalam kepekatan malam hawa membunuh itu serupa dupa bius yang ditiup oleh sekurumunan iblis. Sekalipun tak berbentuk, tak terlihat, namun entah mengapa bulu kuduk terasa merinding. Dengan kepekaannya yang terlatih, ditambah penghayatannya terhadap kandungan Kitab Teratai Arya bisa menduga bahwa hawa iblis ini berasal dari seorang yang berkepandaian tinggi luar biasa. Ia juga tahu bahwa orang itu sudah bersiap-siap menyerangnya. Sekalipun belum bergerak, namun seakan mata telinga orang itu sudah bergerak ke seluruh tubuh Arya. Mencari setitik kelemahan yang akan menjadi pintu untuk mengirim pemuda itu ke Akherat. Semakin lama hawa itu semakin tajam. Udara pun mendadak berubah dingin membekukan. Arya tahu sebentar lagi pertarungan yang menyangkut hidup matinya akan segera dimulai. Ia pun sebenarnya tidak terlalu risau dengan dirinya. Mati hidup baginya bukanlah persoalan besar. Namun dalam kempitannya masih ada Gagang Gerhana. Bocah ini bukan saja adiknya, namun juga satu-satunya hal yang membuatnya harus tetap hidup. Karena ia lah yang mengambilnya dari Setan Kepala Besar maka ia pula yang harus mengembalikannya ke tempatnya yang layak. Maka ia harus tetap hidup. Maka ia tidak boleh bergerak. Lawan ada di tempat terang, sedang ia tak melihat satu sosokpun. Bahwa suara nafas atau hawa panas yang biasanya keluar dari tubuh manusia juga tak ditemukannya. Terang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ orang ini adalah seorang pentolan dunia persilatan dengan peyakinan ilmu yang luar biasa. Awan hitam menutup rembulan. Bintang-bintang pun seakan tenggelam dalam kegelapan yang berdenting, bersendawa membawakan lagu sunyi. Dalam sepi yang siap pecah itu tiba-tiba menyusup sealur nada tiupan suling. Bagaikan jalur-jalur air yang merembes pelan-pelan, tiupan seruling itu menembus benteng baja yang terbentuk dari pertarungan diam antara dua orang yang sedang berlaga. Seiring dengan tiupan seruling, yang seakan-akan datang dari empat penjuru angin, pelan-pelan Arya merasakan hawa membunuh yang mengurung dirinya menguap kemudian mulai memudar. Tentu saja Arya tahu inilah saat yang tepat untuk mundur teratur. Sejenak dirasakannya dadanya bergolak panas. Betapapun selama ini tak pernah ia mundur dari medan laga, betapapun ganasnya, betapapun garangnya. Sekarang ia harus mundur, dengan sendirinya hatinya merasa penasaran. Namun Arya, sekalipun masih cukup muda untuk dapat dengan mudah mengekang panas di darahnya, mempunyai hidup yang tak hanya memberikan kepuasan. Selama tujuh tahun ia tertempa oleh hujan badai yang seakan meluluh lantakkan langit. Kepedihan dan keputusasaan membuat jiwanya tergembleng kokoh. Di dunia ini entah berapa banyak manusia, yang dikelilingi oleh kecukupan dan kemapanan. Mereka merasakan hidup hanya sebagai lagu dari kepuasan dan kesenangan yang bertubi-tubi. Maka ketika badai datang, mereka pun ambruk seperti helai padi. Namun ada pula sementara orang yang setiap hari, setiap saat harus mempertahankan hidup mereka. Kesengsaraan, duka, derita, seperti pukulan godam pada besi panas yang tak Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ henti hinggap di tengkuk mereka. Tetapi ketika kesulitan datang, merekalah yang pertama kali menyambut. Tegak tegar di tengah amuk topan. Maka tanpa menunjukkan rona perubahan di mukanya Arya pun melayang ke belakang. Tubuhnya masih tetap menghadap kedepan. Samar-samar di pekatnya gelap di kejauhan sana tercetak sesosok bayangan memanjang. Siapakah peniup seruling itu" Ia pun tidak tahu. Hanya lamat-lamat diingatnya bahwa bahwa diantara pernik-pernik bambu di kediaman Ki Awu Lamut itu pernah terdapat sebatang seruling bambu berawarna kuning muda. Siapa juga bayangan hitam itu" Seorang yang pasti belum pernah ditemuinya. Mengingat hawa membunuh yang dimiliki orang itu, hati pemuda itu kembali bergidik. Hawa membunuh itu bukanlah hawa membunuh biasa. Didalamnya terkandung entah kekuatan apa yang mampu mengurung lawannya dalam bius dupa. Dari manakah mendadak muncul tokoh sehebat ini" Sambil me layang Arya kembali mengingat luka didada ayahnya. Satu nama terngiang di telinganya. Raja Iblis Tinju Es. Benarkah dia yang muncul. Namun urusan apa yang menyebabkan Raja Iblis yang telah sekian tahun lamanya tak terdengar kabar beritanya itu mendadak muncul dan bahkan bersekutu dengan Demang Lembu Patik Pulung. Apakah juga karena Wahyu Kepala Naga" Sebenarnya sebeharga apa Wahyu Kepala Naga sehingga berbagai tokoh yang telah lama mengasingkan diri kembali bermunculan" Ia telah mendapatkan Kitab Teratai, dan kenyataannya itu tak lain hanya sebatas Kitab Ilmu s ilat biasa, walaupun juga tak bisa dikatakan biasa. Namun tokoh sekaliber Raja Iblis Tinju Es pasti tidak akan tergiur oleh berbagai kitab Pusaka, mengingat kesaktiannya yang sudah ngedap-ngedapi. Tapi toh ia keluar juga, maka pasti Wahyu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Kepala Naga merupakan sesuatu yang lain. Yang sangat berharga. Tak terasa Arya sudah sampai di depan penginapannya. Melalui dinding yang bolong ia bisa melihat jelas keadaan kamarnya. Tidak ada perubahan. Letak kasur dan bahkan cangkir teh masih di tempatnya. Satu-satunya perbedaan adalah disitu telah tambah satu orang. Orang yang seharusnya tak berada disini. Ia pun tak pernah membayangkan bahwa orang ini akan ada disini.T etapi kenyataannya ia telah duduk dengan tenang di depan meja kecil itu. Pandangannya tampak menerawang jauh ke rembulan yang mulai tersibak. Pakaiannya yang putih berkibaran diperma inkan angin, rambutnya yang panjang terurai tampak melambai. "Kau sudah pulang," kata-katanya wajar, sama sekali tak mengunjukkan suatu perasaan. Arya tak menjawab. Pelan-pelan ia masuk melalui lubang dinding dan melepaskan Gagang Gerhana, yang seketika berlari ke pangkuan perempuan itu. Memandangi Gagang Gerhana, sepasang mata perempuan itu membiaskan air yang bening. Tangan kanannya mengelus kepala bocah kecil itu yang entah kenapa kembali tampak linglung. "Kau tentu heran kenapa aku disini?" Pandan Kumala bertanya sambil menatap Arya. Tatapan inilah yang membuatnya minggat meninggalkan rumah tujuh tahun yang lalu. Sepasang mata inilah yang membuat ibunya harus hidup tak tentram. Sepasang mata ini juga yang mengharuskan ayahnya kandungnya menghunus keris ke dadanya. Betapapun sabarnya tak urung sepasang mata Arya memerah. "Aku maklum pandanganmu terhadapku, namun aku harus memberitahumu juga bahwa sebuah persoalan tak bisa dipandang dari sudut lumrah saja. Banyak hal di dunia ini Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ yang bahkan menghayalkannya pun kau tak pernah, tetapi dalam kenyataan telah terjadi. Namun aku pun tidak memintamu untuk melupakannya, apalagi memaafkanku." Tangan Arya mulai bergetar. Mending kalau tak diingatkan, begitu Pandan Kumala menyebut persoalan itu, luka yang menganga di hatinya seketika seperti kembali disiram garam. Ada sementara persoalan di dunia ini yang memang tak bisa disembuhkan oleh waktu. "Saat ini Kakang Demang masih terluka. Sekalipun tidak menengoknya, aku pun tahu kalau ia belum lagi sadar. Seorang kalau sudah terkena Pukulan Gajah Pengeduk Lumpur, sekalipun diobati oleh lidah naga juga tak akan sembuh dengan cepat. Bahwa ia masih bernafas saja sudah terhitung nasib baik." Pandan Kumala seperti mengerti bahwa pemuda itu tak akan menganggapi ucapannya, maka kembali ia meneruskan, "Dahulu, dalam suatu kesempatan Dyah Surya pernah mengatakan kepadaku, bahwa meski kau sangat cerdas, juga berbakat dalam ilmu silat, namun hatimu lemah. Terlalu gampang diombang-ambing oleh gejolak hati. Diluar kau tampaknya begitu keras, namun didalam kau sangat lunak, persis tahu yang dilabur dengan aspal." Dyah Surya adalah ibu Arya. Arya tentu saja tak lupa dengan nama ibunya. Ia hanya tak ingat sejak kapan ibunya pernah bertemu dengan wanita ini, bahkan mengatakan sesuatu tentang dirinya. "Siang-siang ia telah memperkirakan bahwa sifat mu ini akan menjadi bencana di kemudian hari." Seulas senyum rawan tampak terbayang di bibir Pandan Kumala, "Seorang ibu mengetahui anaknya seperti menghafalkan garis tangan sendiri, namun seberapa besar anak memahami kehendak hati sang ibu?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sambil mengelus-elus kepala Gagang Gerhana kembali ia melanjutkan, "Selama hidup aku tak pernah meminta kepada siapapun, selanjutnya juga tak akan. Hanya sekali ini aku memintamu untuk menjaga bocah ini. Mungkin tidak mudah, tapi betapapun dalam diri kalian mengalir darah yang sama. Kurasa hal itu akan memudahkan kesulitan yang tercipta." Setelah terdiam beberapa saat, dan memandang Gagang Gerhana sekejap Pandan Kumala melangkah ke pintu, membukanya pelan, dan keluar dari situ. Arya masih terdiam, sepatah katapun tidak diucapkannya. Sampai sekian lamanya ia masih tertegun ditempat. Ketika malam mulai mendekati fajar, barulah kelopak matanya mendadak terpejam. Ia tak ingin air matanya meleleh. Namun siapa yang sanggup menghentikan hati yang pedih. Sekalipun rasa sakit dapat ditahan, namun darah yang mengalir dari luka tetap akan mengalir. Cahaya fajar memerah di ufuk timur. Kokok ayam jago mengawali hari bagi umat manusia, untuk bertanggung jawab, untuk mencari jawab. ~Dewi-KZ~ Bab XVII, Aji Langit Bumi Teruruk Es Demang Lembu Patik Pulung memandangi secangkir madu di depannya. Madu adalah minuman yang paling berkhasiat, siapapun tahu itu, tapi orang yang setiap hari minum delapan cangkir madu memang tidak banyak. Lembu Patik Pulung sangat suka terhadap madu. Setiap hari paling sedikit ia menghabiskan sepuluh cangkir madu. Lagi pula cara minumnya sangat cepat. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Apapun yang dimakannya boleh terserah kepada juru masak, pun tak terlalu dipusingkan apakah keasinan atau kepedasan. Asal disampingnya ada madu, maka makanan apapun baginya menjadi sangat lezat. Namun sekarang ia mendadak kehilangan seleranya. Secangkir madu yang biasanya diminumnya sekali teguk itu hanya dipandanginya serupa memandangi kerbau bunting. Sama sekali tidak ada selera. Namun sebenarnya bukan hanya Lembu Patik Pulung yang bersikap begitu. Setiap orang diruangan itu hampir semuanya memperlihatkan mimik muka yang sama. Makanan dan minuman yang tertata di meja seakan sudah menjadi setumpuk tahi. Sama sekali tidak ada yang menyentuhnya. Hal ini bukan karena mereka semua telah menderita penyakit cacingan semua. Hanya karena diruangan itu telah bertambah satu orang. Bukan saja perawakan orang ini luar biasa anehnya, cahaya kelabu yang menyorot dari sepasang matanya pun seakan memaksa setiap orang yang ditatapnya menundukkan kepala. Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bukan karena takut atau segan, tapi lebih karena terlalu mual. Mata itu tidak mirip mata manusia, lebih persis mata batu. Pandan Kenanga mencoba mengerling sedikit. Baru saja matanya menumbuk pandangan orang ini seketika bulu di kuduknya mengkirik. Biasanya sekalipun melihat darah menyembur pun ia tak berkedip, bahkan bisa tetap tersenyum manis, namun entah kenapa sepasang mata batu yang bersinar kelabu ini begini menggidikkan. Mimpi pun ia tak pernah mengira bahwa Raja Iblis Tinju Es adalah orang macam begini. Lalu orang macam apa seharusnya Raja Iblis Tinju Es. Dia pastilah seorang berperawakan tinggi besar, dengan cambang bawuk lebat, otot-otot sebesar semangka, lagi pula bersuara sekeras geledek. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Kenyataannya orang yang terkenal sebagai dedengkot golongan rimba hijau yang tak pernah kenal tandingan ini hanya seorang kakek yang separoh rambut dikepalanya sudah rontok. Wajahnya lebih mirip jerangkong yang dilapisi arang. Jari-jari tangannya serupa cakar ayam yang sudah digoreng sepuluh kali, dengan kuku-kuku panjang yang menghitam. Pakaian yang dikenakannya pun compang-camping. Orang ini lebih tepat dikatakan sebagai mayat yang telah ratusan tahun terpendam. Mata yang bersinar kelabu itu tak menyiratkan kehidupan. "Kenapa Guru tak membunuhnya?" akhirnya Lembu Patik Pulung berhasil juga mengeluarkan kata-katanya. Telah sekian lamanya sejak Arya meninggalkan tempat itu. Benar memang terkaan pemuda itu bahwa orang dengan hawa pembunuhan menggidikkan itu tidak lain adalah Raja Iblis Tinju Es. "Aku tak boleh membunuhnya," bahkan suara yang keluar dari tenggorokannya pun serupa gesekan kayu kering. Lembu Patik Pulung memandangi Raja Iblis dengan heran. Tak terkecuali juga Hanggarawura dan Pandan Kenanga. Dengan sangat teliti mereka merencanakan tipu menjaring kakap ini. Tak tersangka setelah Pandan Kenanga berhasil memancing Arya dan hanya tinggal membunuh pemuda itu Raja Iblis Tinju Es malah berdiam diri. Bahkan Ranti Sumirah yang tak puas dan sudah melayang hendak menangkap Arya kena dicengkeram kepalanya oleh Raja Iblis dan seketika diremukkan mentah-mentah. "Kalian tentu sangat heran bukan." Setelah tertawa yang mirip suara tong rusak diseret, Raja Iblis kembali berkata, "Kalian tentu menyangka suara seruling itulah yang menyebabkanku mengurungkan niat." Sekalipun tidak mengiyakan, Lembu Patik Pulung juga tidak menyangkal. Betapapun terdapat juga perkiraan demikian dalam hati mereka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Hehe, sekalipun orang yang meniup seruling itu memang punya sedikit nama, namun kalau hanya hanya dia tua bangka tak akan bisa menghentikan satu gerakanku." "Sebabnya aku tidak membunuh pemuda itu adalah karena aku merasa sayang. Pemuda yang punya keberanian seperti itu sekarang ini sudah sangat jarang. Kalau ku bunuh satu tentu menjadi tidak menyenangkan." Sungguh kalau bukan Raja Iblis Tinju Es ingin rasanya Lembu Patik Pulung menyumpal mulut orang ini dengan sol sepatu. Perkataan yang dikemukakannya hakikatnya hanya kentut belaka, mana dapat dipahami sebagai ucapan dari seorang dedengkot Iblis. "Apalagi anak dalam kempitannya itu begitu manis dan menarik, membuat hatiku serasa dikili-kili." Raja Iblis Tinju Es tertawa berkepanjangan. Pandan Kenangan diam-diam menghela nafas. Pentolah penjahat yang kesaktian dan kekejiannya tanpa tanding, dapat meremukkan batok kepala seperti meremas tahu ternyata seorang sinting. Tapi memang tidak dapat menyalahkan dia. Seorang kalau fisiknya saja sudah berubah begitu hebat, maka jiwa dan sukmanya pasti juga menderita kelainan yang susah disembuhkan. "Kalau begitu, perlu apa kau membunuh Ranti Sumirah?" kali ini Hanggarawura yang bertanya. Sekalipun bukan isterinya, namun selama ini sudah banyak waktu ia bersamasama dengan perempuan itu. Betapapun menumbuhkan perasaan tersendiri. Raja Iblis Tinju Es tertawa mengejek, "Kau merasa penasaran bukan. Kalau memang merasa penasaran kenapa tidak kau balik membunuhku." Seketika pucat wajah Hanggarawura, "Ah, mana saya punya nyali sebesar itu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Raja Iblis tertawa, "Soalnya kau memang tidak mempunya kemampuan sama sekali. Makanya sekalipun mulutmu cukup lebar namun nyalimu malah amat kecil. Yang kukuatirkan kalau sampai nyali mu pecah maka daging di tubuhnya akan berubah pahit, tidak enak lagi disate." Suara tertawa Raja Iblis yang mirip rintihan setan itu semakin keras. Perkataannya yang ingin menyate orang itu diucapkan dengan enteng, serupa hal itu sudah amat terbiasa baginya. "Baiklah, kalau tidak kukatakan mungkin mati pun kau tidak tenang. Ku bunuh perempuan itu karena aku terlalu muak dengan mukanya. Hakikatnya muka seperti itu sudah tak layak lagi hidup di muka bumi, maka aku pun percepat kepergiannya. Kalau toh setiap orang harus mati, mati lebih cepat kan tidak ada bedanya, benar tidak?" Tentu saja Hanggarawura tidak berani menyalahkan. "Mestinya mukamu itu juga terlalu memuakkan. Tapi terhitung kau masih punya keberanian untuk bicara, bolehlah hidup beberapa hari lebih lama." Keringat sebesar kacang berjatuhan layaknya gerimis dari dahi Hanggarawura. Selama ini ia amat mengagulkan kepandaiannya, kedudukannya di kota raja juga tidak rendah, mana ada orang yang berani sembarangan buka mulut di depannya. Tapi sekali ini bukan saja teman perempuannya telah dibunuh mentah-mentah, malah nyawanya juga tak bisa dipastikan kesinambungannya. Kontan ia melirik Lembu Patik Pulung dengan mendongkol. Orang itulah yang mengusulkan sekaligus mengundang kedatangan Raja Iblis Tinju Es. Kalau sekarang muncul garagara maka dia pula yang harus menanggungnya. Tak dinyana paras muka Lembu Patik Pulung tidak berubah. Seakan-akan hal seperti ini sudah dalam Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ perhitungannya. Karuan tambah menggelegak dada Hanggarawura. "Yang menarik bagiku hanya lah Wahyu Kepala Naga, kalau hanya ingin membunuh orang, memangnya kalian ini bukan orang?" Ketika menyinggung kepala naga seketika cahaya muka Raja Iblis Tinjui Es bersinar aneh. Di tengah gema suara Raja Iblis itu mendadak menyelusup angin yang membawa suara lain. "Wahyu Kepala Naga benar-benar benda yang menarik, bahkan Raja Iblis Tinju Es pun hadir meramaikan. Kalau aku tidak menyambut lebih dahulu kan jadinya terlalu tidak sopan." Nada suara ini tidak keras, pun diucapkan dengan gaya biasa, sama sekali tidak terburu-buru. Seperti ia menyapa kepada sahabat lama saja. Waktu itu mereka memang lagi duduk di pendopo rumah Demang Lembu Patik Pulung. Dalam bayangan sinar obor yang disulut beberapa tampak dari kejauhan sana muncul seorang kakek yang memikul dua keranjang bambu. Cara berjalan kakek ini kelihatan amat payah, untuk melangkah saja harus mengerahkan setaker tenaganya, apalagi di bahunya masih tersampir pikulan dengan dua keranjang bamboo yang tampak tidak ringan. Namun walau kelihatan amat payah, dalam sekejap saja si kakek ini sudah tiba di depan pendopo. Demang Lembu Patik Pulung menyipitkan matanya. Selama ini benar dirinya tidak terlalu berkecimpung di dunia persilatan, namun hampir semua tokoh persilatan dikenalnya, sedikitnya ia tahu asal-usul nya. Tapi kakek ini kelihatan seperti orang yang terlalu biasa, tidak memperlihatkan keistimewaan apapun. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Pandan Kenanga malah sudah menghela nafas, mengira Raja Iblis akan sontak menghancurkan tulang-tulang kakek pendatang ini. Hanya Maling Tiga Ratus Kaki saja, yang sejak tadi tak mengeluarkan suara, mendadak sepasang matanya memancarkan sorot aneh. Maklum sebagai Maling kawakan ia sudah terbiasa untuk memperhatikan hal-hal terkecil. Sekarang ia pun dapat melihat bahwa meski kakek ini tak ubahnya orang tua dusun kebanyakan namun sepasang kakinya begitu bersih, tak setitik debu pun yang mengotori kakinya. Tampaknya pandangan Raja Iblis Tinju Es pun tak kalah cermatnya dari Maling Tiga Ratus Kaki. Sekian lamanya ia berdiam, baru setelah kakek itu menurunkan pikulan di bahunya dengan amat kesulitan dan duduk dengan terengahengah di tikar pandan, seulas senyum yang tampak amat ganjil membayang di sudut bibir pentolan penjahat itu. Maling T iga Ratus Kaki sedang mengira-ira apakah orang ini yang meniup seruling. Tapi tak sebatang seruling pun terselip di pinggangnya. Kakek ini, yang seluruh rambut di kepalanya berwarna seputih salju dan wajah yang memerah dengan baju wulung yang tak dikancingkan duduk dengan enak. Sebuah caping bamboo tampak tergantung di lehernya. Matanya menatap Raja Iblis tajam. Sepasang mata ini coklat bening bagaikan batu koral di dasar laut. Raja Iblis tertawa riang, "Bagus, bagus, kalau kau pun muncul barulah agak menarik." Kakek itu balas tertawa, "Kalau kau pun ikut keluar, bagaimana aku tega mengendon terus." "Kukira selama ini kau sudah jadi pupuk tanah, tak tersangka masih bisa segar bugar. Bahkan kelihatan enak sekali penghidupan mu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Hidup ini hanya sekali, kalau tak dinikmati baik-baik kan jadi terlalu mubadzir." Menatap mata kakek itu yang bening coklat, sepasang mata kelabu Raja Iblis TInju Es mendadak berkilat, "Kalau kau sudah datang kenapa tidak kita mulai saja permainan ini?" Walaupun diucapkan dengan tawar, tapi entah tenaga gaib apa yang menyertai sehingga udara mendadak terasa dingin menusuk. Semakin lama hawa dingin semakin menggila, seakan mendadak seantero es di kutub utara menggumpal di tempat itu. Hanggarawura sudah menggigil dengan mata melotot sebesar ikan mas koki, sementara Demang Lembu Patik Pulung kelihatan berusaha keras menahan hawa dingin itu. Keringat sebesar kacang menetes-neter dari dahinya. Keadaan Pandan Kenanga dan Maling Tiga Ratus Kaki pun tak jauh beda. Padahal Raja Iblis Tinju Es tidak kelihatan memperlihatkan suatu gerakan, namun tampaknya hanya dari pori-pori kulit saja ia sudah bisa menyalurkan tenaganya, mempengaruhi udara sekitar. Kepandaian seperti ini meski menghayalkannya pun Pandan Kenanga tak pernah. Tak dinyana kakek itu masih kelihatan adem ayem. Bahkan dengan caping bambunya ia mengipas-ngipas seenaknya. "Hebat, betul-betul hebat. Aji Langit Bumi Teruruk Es ini benar-benar membuatku mataku terbuka lebih lebar." Tampaknya kakek itu hanya mengipas-ngipas biasa, namun samara-samar Lembu Patik Wulung merasakan hawa hangat yang menguar setiap kali kipas itu bergerak. Semakin lama perbedaan semakin jelas. Udara di sekitar Raja Iblis Tinju Es tampak memutih membeku. Dinginnya bukan alang kepalang. Sementara sekitar tubuh Kakek Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ bercaping bamboo itu ada hawa hangat yang mengalir terus menerus. Tak tahan dengan hawa dingin yang mencekam, merasuk tulang sum-sum, Hanggarawura menggembor keras. Dipaksakannya untuk mengeluarkan seantero tenaganya. Matanya melotot sebesar gundu, mulutpun terbuka lebar, tapi tak secuil suara pun yang keluar. Tampaknya tak lama hari orang dari Kota raja itu akan menyusul teman perempuannya. Mendadak Kakek bercaping tertawa pelan, tak kelihatan tubuhnya bergerak tiba-tiba tubuhnya melayang kebelakang. Sekali tangannya menggapai dua keranjang satu pikulan segera ikut melayang. "Permainan yang bagus, Iblis tua, tapi sementara ini aku masih ingin hidup enak. Apalagi kalau aku mati siapa yang akan jadi tuan rumah nanti dalam pertemuan di Lautan Awan. Untuk itu kita lanjutkan saja permainan ini pada waktunya nanti." Belum lagi gema suaranya hilang, tubuhnya sudah hilang tertelan gelap. Setelah kepergian kakek itu hawa dingin perlahan juga memudar. Karuan Hanggarawura Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo yang memang berkepandaian paling cetek diantara mereka merasa dibetot dari pintu neraka. Sekalipun begitu sekujur rambutnya sudah membeku putih dan kulit tubuhnya mengerut. Raja Iblis tertawa, "Rama, ramai, tua bangka peniup suling datang, moyangnya pun tak ketinggalan. Tampaknya aku juga harus memanggil anggota keluarga yang lain." "Guru, siapakah orang tua tadi, " Lembu Patik Pulung tak dapat menahan rasa penasarannya. "Tolol, selama ini apa kau tidak pernah mendengar nama Amuk Nanggala." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Bagaikan sembilan petik meledak dikepalanya, Lembu Patik Pulung sampai terjingkrak. Bagaimana tidak, selama ini legenda yang menceritakan tentang Kiai Amuk Nanggala seperti menempatkan orang tua itu di jajaran penghuni langit. Betapa agung dan suci. Siapa yang mengira bahwa kakek bertampang biasa yang memikul dua keranjang besar dengan kepayahan itu adalah tokoh yang dilegendakan selama berpuluh tahun. Wajah Pandan Kenanga juga seketika memerah. Tadi sempat dilihatnya Kiai Amuk Nanggala meliriknya sekilas. Lirikan yang seperti sengaja tidak sengaja itu bagai mengandung arti yang menggidikkan. "Makanan sudah pada dingin, kenapa tidak lekas ganti dengan yang panas?" Bukan saja mendingin hakikatnya semua makanan dan minuman sudah menjadi es batu semua. ~Dewi-KZ~ Arya seperti lagi bermimpi menunggang awan. Berkali-kali tubuhnya seakan terlonjak. Namun serupa juga dirinya lagi pesiar ke kutub utara sana. Seluruh tubuhnya bagai direndam dalam cairan es abadi di pucuk bumi itu. Sebenarnya apa yang terjadi, ia sendiri juga tak ingat dengan jelas. Ia hanya tahu setelah kepergian Pandan Kumala mendadak seluruh tubuhnya menggigil. Semua jalan darah ditubuhnya bagai tersumbat oleh berton-ton es. Ketika membuka mata, dilihatnya sepasang mata yang bersinar teduh. Kemudian se lembar wajah tua dengan rambut semuanya hampir memutih. Baru saja ia mau mengangkat kepalanya, segera dirasakannya tulang-tulang lehernya bagai diganduli seribu balok batu. "Sebaiknya kau menenangkan dirimu. Tempat ini mana enak, sejuk lagi. Tak usah khawatir salah satu barangmu ada Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ yang kecolongan." Suara ini bukan suara nenek tua itu. T entu saja Ia mengenal suara ini, karena inilah suara khas bernada riang dari Risang Ontosoro. Dengan berusaha keras menolehkan kepalanya, dilihatnya Risang duduk ongkang-ongkang di jendela sana. Dibelakangnya membayang siluet gunung yang membiru terbungkus awan putih. Mimik muka anak muda itu tampaknya tak berubah. Tetap riang jenaka. Salah satu tangannya bahkan memegang ketela bakar yang masih mengepul. Mulutnya mencecap-cecap enak. "Bibi, bagaimana keadaannya?" tanyanya sambil mencomot ketela bakarnya. "Asal kau tidak banyak mengoceh maka keadaannya akan segera membaik." Risang tertawa, "Apalagi aku terus-terusan mengoceh, siapa tahu keadaannya akan membaik dengan cepat." "Kalau begitu aku yang akan jatuh sakit." Risang Ontosoro kembali tertawa riang. Selanjutnya Arya sudah tak mendengar lagi percakapan mereka. Sepasang matanya mendadak terasa mengantuk. Pun mungkin karena hatinya merasa tentram. Dia tahu Risang adalah sahabatnya. Di dunia ini manakah ada kehangatan yang lebih dari kehangatan seorang sahabat dikala kita merasa kesulitan. Matahari digeser Rembulan. Siang pun berganti malam. Kerik jangkrik terdengar bersimphoni dengan desis angin yang membelai dengan dingin sejuk. Saat ini Arya sudah dapat duduk, meski untuk mengerahkan tenaga masih belum boleh. Di depannya Gagang Gerhana meringkuk di depan api unggun dengan sebelah tangannya mengusap-usap lututnya yang terasa dingin. Disisi lain Risang Ontosoro duduk sambil mengipas-ngipas ketela yang dipanggang di atas api unggun. Sementara agak ke Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ sebelah kanan duduk seorang nenek tua dengan sepasang mata teduh itu. Walaupun tubuhnya masih terasa kaku Arya memaksa diri untuk membungkuk sedikit kepada Nenek tua itu. Si Nenek tertawa, "Tak perlu banyak sungkan. Sesungguhnya sudah lama aku berniat bertemu dengannmu, Cuma tubuh tuaku ini sudah tak cocok lagi untuk pesiar kesana kemari, siapa tahu si Bengal satu ini ma lah membawamu kesini." Arya agak heran, seingatnya belum pernah ia punya suatu hubungan dengan nenek ini. "Bibi ingin bertemu denganmu bukan karena kau berhutang kepadanya, maka kau pun tak usah merasa terlalu sungkan." Tukas Risang Ontosoro yang agaknya dapat membaca pikiran Arya. Si Nenek tua tertawa, "Biasanya perbuatanmu selalu membuat uban dikepalaku bertambah, namun sekali ini tampaknya aku harus memujimu." "Ah, terima kasih, jangan terlalu sungkan." Balas Risang Ontosoro dengan tawa berderai. "Sesungguhnya sejak kapan dan bagaimana saya berada disini?" pertanyaan inilah yang selalu tengiang-ngiang di benaknya. Begitu mendapat kesempatan tentu saja keluar duluan. Nenek itu menghela nafas sambil tersenyum, "Untuk ini harus minta kepada anak Bengal itu untuk menuturkan pengalamannya. Cuma agaknya ceritanya harus sedikit diperingkas, karena kalau tidak aku khawatir telingaku yang tua ini tidak akan kuat menampung semuanya." Arya tertawa, diliriknya Risang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tanpa diminta pun Risang sudah tak tahan untuk bercerita, maka dengan mendehem keras ia mengawali kata-katanya. "Sebenarnya waktu itu aku sedang berjalan-jalan malam. Mendadak aku melihat bayangan Pandan Kemala melenggang di didepanku." "Apa dia tidak mengenalmu?" tukas Arya cepat. "Kalau dalam keadaan seperti ini tentu saja ia akan mengenali. Cuma waktu itu aku lagi apes, perut kempis, kantong pun kempes, maka sorenya aku bekerja pada seorang petani untuk mengangkut kotoran sapinya guna dijadikan pupuk. Karena terlalu lelah, maka aku pun belum sempat mencuci tangan dan mukaku." Arya tersenyum. Pandan Kumala adalah orang yang gandrung dengan kebersihan, dengan sendirinya tidak akan memperhatikan seorang anak muda yang belepotan kotoran sapi di muka dan tangannya, mana bau lagi. "Karena tidak ada pekerjaan, maka iseng-iseng aku pun diam-diam mengikutinya. Siapa tahu ia langsung ke sebuah penginapan. Dengan keadaanku yang runyam waktu itu kalau mau masuk ke penginapan, sekalipun tidak digebah keluar sedikitnya juga akan disiram air cucian, maka aku pun berjalan memutar dan mencoba mengintip ke kamar yang kukira didiami oleh perempuan tua itu." "Memangnya kepandaianmu bertingkah seperti kucing mendeliki tikus itu sudah terlupa olehmu?" tanya si Nenek dengan tertawa. Risang menggeleng, "Kepandaian perempuan tua itu terlalu tinggi, kalau aku mengendap di atap tentu akan diketahui olehnya. Siapa tahu ketika aku mengitari rumah itu mendadak aku melihat ada dinding kamar yang bobol. Tak di nyana pula si perempuan tua malah duduk tepat didepan lobang yang bobol itu." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Maka kau pun serupa dapat kalung sebesar ban gerobak. Memangnya sampai kapan penyakitmu yang suka mencampuri urusan orang lain itu dapat kau tinggalkan?" tukas si nenek sambil menghela nafas panjang. "Sebenarnya tidak ada maksudku mencampuri urusannya. Cuma lagak-lagu perempuan tua itu memang kelewat ganjil, apalagi hitung-hitung aku mewakili para peronda yang terpulas, kan boleh dihitung sebagai amal kebaikan?" jawab Risang sambil tertawa. "Kemudian kau pun datang. Karena terlalu jauh dengan sendirinya aku pun tidak mendengar percakapan diantara kalian. Maka aku pun tidak ambil pusing. Pula aku yakin kalau perempuan tua itu tidak akan melabrak dirimu." Sebenarnya bukan tidak mendengar, yang tepat adalah ia tidak mau mendengarkan. Menghargai rahasia sahabat adalah salah satu kehormatan. Dengan sendirinya Arya paham maksud Risang Ontosoro ini. Dengan tersenyum ia melirik anak muda itu. "Bagaimana kau tahu dia tidak akan melabrak diriku?" Risang memandang Arya lekat, "Waktu aku berada di Istana Bulan Teratai tempat kediaman perempuan tua itu ada seseorang yang mengirimkan surat atas namamu. Maka kusimpulkan antara dirimu dan perempuan tua itu terdapat hubungan yang lumayan akrab. Dengan sendirinya mustahil dia akan melabrak kau." Arya memandang Risang heran, "Ada orang yang mengirimkan surat kepadamu atas namaku, tapi kenapa aku sendiri tidak tahu menahu terhadap urusan ini?" Risang tertawa, "Kau tanya kepadaku, aku harus tanya kepada siapa?" "Mungkin kau pernah berhubungan dengan anggota Istana Bulan Teratai?" timpal s i Nenek. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Arya menggeleng, "Mendengarnya pun aku baru kali ini." "Kalau begitu pasti ada orang yang mencatut namamu." "Tapi untuk apa?" Semua orang tertegun. Gemeretak kayu yang terbakar mengisi kekosongan malam. Selang beberapa lama si nenek berkata dengan suara mengambang, "Menurutku, ada hubungan antara Istana Dasar Teratai dengan Istana Bulan Teratai. Mengingat apa yang diceritakan oleh Risang maka kemungkinan besar mereka ingin merecokimu karena menginginkan KitabTeratai yang ada padamu." Risang mengangguk-angguk, katanya dengan suara gegetun, "Waktu kulihat Pandan Kumala menusuk adik seperguruannya dengan satu jurus ilmu pedang Pelangi Satu Warna itu kupikir maksudnya benar-benar tulus, siapa tahu kalau disinipun terselip satu muslihat tersendiri. Mungkin dia ingin menunjukkan kebaikan hatinya itu kepadaku sehingga kelak aku tidak akan berjaga-jaga terhadapnya." Si Nenek tersenyum, "Itu juga belum tentu. Segala sesuatu memang tidak bisa dilihat dari segi lumrah saja, namun ada kalanya kita pun lupa bahwa pada manusia yang terjahat sekalipun pasti tersimpan dalam dirinya benih-benih kebajikan. Betapapun tidak ada manusia yang seratus persen berjiwa setan." Risang merasa seperti diperingatkan. Penyakit banyak curiga memang ada kalanya menumbuhkan kewaspadaan, tapi kalau kita bisa melihat segi kebaikan dari setiap perbuatan orang lain kenapa kita selalu harus melihatnya dari segi yang tidak baik. "Tapi bukankah Bibi mengatakan bahwa hawa dingin yang menyerang dua puluh tiga jalan darah di tubuh Arya berasal dari Aji Langit Bum i teruruk es milik Raja Iblis Tinju Es?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Benar,"jawab si Nenek sambil mengangguk, "menurut apa yang kuketahui, di dunia ini tidak ada ilmu yang begini keji sehingga mampu membekukan lawan dengan mempengaruhi udara seperti Aji Langit Bumi Teruruk Es milik Raja Iblis tua itu. Hm, kalau iblis tua itu sudah muncul mungkin hanya Kakang Amuk Nanggala saja yang dapat mengatasi," "Kedatangan Pandan Kemala tepat setelah aku bertemu dengan Raja Iblis Tinju Es, mungkinkan ada hubungan antara mereka?" Si Nenek mengangguk-angguk, "Aku yakin ada. Cara kerja Aji Langit Bumi Teruruk Es adalah sedemikian perlahannya sehingga bagi orang yang tidak memiliki kepekaan yang cukup, ia baru akan sadar setelah setengah jalan darahnya beku. Tapi bagi orang sepertimu tentu berbeda. Apalagi kau sudah menghayati Kitab Teratai, daya kepekaan dalam tubuhmu dengan sendirinya lain dari pada yang lain, seharusnya kau dapat merasakannya sehingga dapat kau atasi saat itu juga." "Tapi si Perempuan tua itu datang tepat setelah Arya terkena Aji Langit Bumi teruruk es sehingga Arya tidak punya kesempatan untuk memeriksa dirinya sendiri." Sambung Risang cepat, "Dengan begini bukankah secara tidak langsung perempuan tua itu pun turut mempercepat kematianmu?" "Tapi ia menitipkan Gagang Gerhana kepadaku, mustahil kalau ia berniat mencelakaiku," sahut Arya sambil melirik Gagang Gerhana. Yang dilirik tetap mendekam diam di depan api unggun. Sepasang matanya menatap api yang menjilat dengan linglung. "Dalam hal ini perempuan tua itu pasti mempunyai muslihat tertentu. Apalagi dia pun tahu pasti kalau kau tidak akan mencelakai anaknya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Seekor kelinci kecil putih melompat-lompat ke arah api unggun, mungkin merasa tertarik dengan kehangatan yang teruar. Telinganya yang panjang bergerak-gerak nyaman Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ketika hangat api unggun membelai bulu-bulunya yang putih halus. Sepasang matanya yang merah bening menatap ke Gagang Gerhana. Sebaliknya sepasang mata bocah itu pun kebetulan lagi menatap ke arah si kelinci. Sekilas bias lembut terpantul dalam empat pasang mata yang bertatapan itu. ~Dewi-KZ~ Kedua anak muda itu berjalan berendeng pundak. Yang satu berwajah dingin kaku, namun sepasang matanya memancarkan cahaya hangat, sedang yang lain riang jenaka. Tak usah dipikir lagi sudah tentu kedua orang itu adalah Arya dan Risang Ontosoro. Gagang Gerhana berjalan di belakang Arya dengan kepala menoleh kesana-kemari. Sesekali ia berlarian mengejar pasangan burung yang asik berpacaran di tanah gembur. Sekian lamanya kedua orang muda terdiam satu sama lain. Mendadak Risang tertawa. "Kenapa kau tidak bertanya?" Arya tersenyum, "Kalau toh kau tak hendak memberitahukannya, kenapa aku harus menanyakannya. Apapun toh aku percaya kepadamu" Risang tertawa, "Baik juga. Hal-hal yang ingin kau tanyakan itu memang lebih baik kalau tidak kau tanyakan sekarang. Kelak dengan sendirinya kau akan tahu sendiri," setelah merandek sejenak kembali ia melanjutkan, "Cuma boleh ku beritahukan kepadamu bahwa tempat yang barusan kita tinggalkan tadi adalah Istana Seribu Kosong." Risang menyangka Arya akan berjingkrak terkejut. Siapa tahu Arya tetap adem ayem saja, seperti sudah mengira demikian lah halnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Apa kau sudah tahu sebelumnya?" tanya Risang dengan heran. Arya tersenyum, "Apa aku sudah lupa bahwa aku sekarang adalah ketua Istana Dasar Teratai. Istana Lautan Awan, Istana Dasar Teratai, dan Istana Seribu Kosong adalah tiga serangkai abadi. Sebagai ketua Istana Dasar Teratai bagaimana aku bisa tidak tahu hal ihwal kedua istana Lainnya?" Arya kembali melanjutkan sambil tertawa, "Terus terang, sebenarnya sejak aku membuka mata segera kuketahui bahwa Nenek tua itu adalah Sekar Gumintang, dengan sendirinya tempat itu adalah Istana Seribu Kosong." ~Dewi-KZ~ Bab XVIII, Mencari Kulit Naga "Dari mana kau tahu" Memangnya kau pernah bertemu dengan beliau?" "Aku pernah melihat gambar lukisannya di Istana Dasar Teratai." Risang mengangguk-angguk. Mereka berjalan santai menuruni lereng gunung. Meski di beberapa tempat terdapat tebing yang lumayan terjal maupun jurang-jurang kecil yang menganga namun langkah kaki kedua orang ini tak pernah terganggu. Gerombolan burung bercanda mesra diantara lebat dan teduhnya ranting pohon. Gagang Gerhana tampak tertawatawa sambil tangannya menggapai gerombolan burungburung itu. Anak kecil itu seperti kembali menemukan dunianya yang lama tak dikunjunginya. Rona wajahnya merah matang. Kegembiraan yang polos memancar dari sela-sela sorot matanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Melihat burung-burung itu aku jadi teringat ayah bunda yang kutinggalkan dirumah. Terasa sudah lama sekali aku tak bertemu dengan mereka." Demikian Risang Ontosoro menggumang sambil kakinya menyepak terbang sebatang ranting kering. Arya tersenyum, "Betapapun kelak kalian akan bertemu lagi. Perpisahan hanya terjadi karena ia menegaskan pertemuan, pertemuan setelah perpisahan tentunya jauh lebih menyenangkan dan menggembirakan hati. Lagi pula apa yang akan kita lakukan ini merupakan tugas besar dari Eyang Sekar Gumintang, apapun kita tidak boleh lalai." Kata-katanya ini terdengar menghibur, namun sekilas matanya berkilat rawan. Maklum ia sendiri sudah tak punya ibu yang akan menyambut hangat, pula hubungannya dengan Ayahnya juga tak seperti hubungan orang tua-anak pada umumnya. Ditambah petaka yang timbul di keluarganya barubaru ini. Beberapa kedukaan ini kalau orang lain mustahil kalau tidak lekas gantung diri. Namun anak muda yang belum seluruhnya pulih dari keracunan ini malah masih bisa menghibur temannya. Tak terasa Risang mengerling sejenak ke arah Arya. Pandangan pemuda itu tampak jatuh ke kaki langit sana, menatap entah apa di kejauhan yang tak telihat. Betapapun ia maklum perasaaan Arya. Ia sendiri agak menyesal telah mengeluarkan kata-kata demikian. Selang sejenak ia tertawa riang, "Kau memang lebih penurut dibanding aku," katanya dengan tertawa, "Cuma kalau sekadar minum teh sambil makan buntut goreng masakah bisa dianggap melalaikan tugas?" "Di lereng gunung seperti ini, satu potong manusia pun tak ada, dari mana pula mendapatkan warung teh?" Risang tertawa bergelak, katanya sambil menepuk-nepuk dada sendiri, "Warung makan memang tak ada. Cuma kutahu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ satu tempat disekitar sini yang bisa menghidangkan dua cangkir teh dan seporsi buntut goreng buat kita." Tempat ini memang tak terduga. Dari mana pun kau memandangnya, yang tampak hanya rumpun bamboo belaka. Siapa yang menyangka ditengah rumpun bamboo yang lebatnya melebihi jenggot orang arab itu terdapat satu gubuk berloteng yang menawan. Di depan gubuk itu beberapa bangau berparuh panjang enak-enak berjemur dengan kaki menapak di tepi kolam mungil. Gemericik air terjun kecil mengundang beberapa ekor ikan untuk bermain berlompatan. "Hm, tempat yang baik." Gumam Arya dengan decak kagum. "Ah, masakah hanya sekadar baik. Hakikatnya sekalipun kau mencari sampai ke kutub utara tak akan kau temukan tempat senyaman ini." Arya hanya tersenyum. Hanya ketika matanya menumbuk gubuk bamboo itu dari dekat seketika hatinya berdesir. Bamboo-bambu yang menjadi bahan utama pembuatan gubuk ini ternyata sama persis dengan dengan bamboo yang digunakan untuk membangun vila bamboo tepi danau milik Ki Awu Lamut. "Apa kau merasa aneh?" tanya Risang yang agaknya dapat membaca sorot heran dari sepasang mata Arya. Arya menggeleng, "Aku hanya merasa pernah melihat tempat ini sebelumnya," "Apa benar?" "Ya, tapi tidak disini?" Risang tertawa bergelak. Tangannya menepuk-nepuk pundak Arya. "Kalau tidak disini memangnya di DipaSaloka?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Satu suara gelak tawa tiba-tiba menyelusup keluar dari celah-celah bambu, "Bukan di DipaSaloka, tepatnya di tepi danau Bulan. Begitu bukan?" Ketika pintu gubuk tebuka, seorang kakek tinggi besar, dengan brewok seputih susu, berjalan terpincang keluar. Arya membelalak, Ki Awu Lamut. Orang yang dicarinya ubek-ubekan setengah mati ini ternyata berada disini. "Beberapa hari tidak ketemu, agaknya pengalamanmu tambah banyak" sapa Ki Awu lamut sambil menepuk-nepuk pundak Arya. Risang Ontosoro tertawa bergelak, "Kau tidak menyangka bukan kalau orang tua ini berada disini bukan?" "Kau potong kepalaku delapan belas kali pun aku tidak akan menyangkanya," "Sebenarnya bukan maksudku untuk memperdayaimu, Cuma ada beberapa hal yang membuatku mau tidak mau harus sedikit ma in kucing-kucingan. Sesungguhnya aku pun rada tidak enak hati membuatmu kelimpungan begitu." Sahut Ki Awu Lamut riang. "Cuma aku meyakinkannya bahwa kau tidak akan sampai mati gemas hanya karena ada orang yang menculik adik dan kekasihmu," sambung Risang Ontosoro sambil tertawa. "Betapapun hatiku rada merasa bersalah, karena itu marilah ku suguhkan secawan teh untukmu." Meja bamboo berbentuk bundar itu sudah penuh terisi berbagai macam makanan. Ada nasi putih yang mengepul, buntut goreng dengan bau mengundang, ikan gurame bakar, sepoci teh yang kelihatan hijau bening. Tanpa sungkan Risang Ontosoro langsung mengambil sepotong buntuk sapi goreng. Sementara Arya masih Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ termenung-menung. Semakin lama semakin dirasakannya sahabatnya ini tambah misterius. Ki Awu Lamut tertawa, "Kau tentu ingin menanyakan adik dan teman perempuanmu itu?" Arya tersenyum. Hal itu sejak tadi memang ingin ditanyakannya. Hanya hatinya tidak enak untuk bertanya duluan. Setelah tertawa riang Ki Awu Lamut melanjutkan, "Mereka tidak disini. Cuma kau pun tidak perlu khawatir. Ada saatnya nanti kalian akan bertemu. Yang harus kau lakukan sekarang adalah melaksanakan apa yang dikatakan Sekar Gumintang. Keselamatan dunia persilatan sekarang ini terletak di tangan kalian berdua." Arya agak melengak. Perkara Eyang Sekar Gumintang memberinya tugas rahasia hanya diketahui oleh mereka bertiga, lalu dari mana orang tua ini mengetahuinya" Tapi sebelum Arya membuka mulut, lebih dahulu Risang Ontosoro menukas, "Kau pasti heran dari mana orang tua ini bisa tahu tentang urusan ini." Seketika Arya tertawa tertegun,"Apa kau bisa membaca pikiran orang?" Risang tertawa tergelak, "Tentu saja aku tidak bisa membaca isi perutmu. Cuma aku sendiri juga merasa heran kenapa orang tua berjenggot lebat ini tahu tentang urusan ini." Ki Awu Lamut tersenyum, "Kalau aku tidak tahu, lalu siapa yang tahu?" "Apa kau harus tahu?" Tanya Risang dengan tertegun. "Dengan sendirinya aku harus tahu." "Kenapa?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sekali ini Arya juga ikut memandang orang tua ini dengan penuh perhatian. Maklum urusan ini memang rada misterius. Apa maksud sebenarnya Ki Awu Lamut menculik Ratna Dewi dan Arum Puspita sehingga sampai sekarang belum mau memberitahukan ditambah keberadaan Kitab Teratai Membuka di gubug bambunya lalu pengetahuannya tentang urusan mereka berdua. Melulu salah satu saja sudah menegaskan bahwa kedudukan orang tua ini tidaklah biasa. Padahal sejak dulu Arya mengenal Ki Awu Lamut hanya sebagai dukun obat saja. Perlahan Ki Awu Lamut menghela nafas panjang, seperti menahan beban yang sangat berat. Memangnya apa pula yang ditanggung oleh orang tua ini. Lalu sekata demi sekata meluncurlah satu kalimat yang membuat Risang melupakan buntut goreng yang sedang dikunyahnya. Mulutnya melongo seperti orang yang tiba-tiba melihat sapi bertelinga gajah. "Karena aku adalah suaminya." Kalimat ini begitu mengejutkannya sampai Arya sendiri juga menjublek sekian lamanya. Agaknya Risang belum dapat memahami maksud dari kalimat pendek ini. "Kau adalah suaminya siapa?" tanyanya gelagapan. "Dengan sendirinya suaminya si Nenek yang barusan kalian temui." Jawab Ki Awu Lamut dengan senyum pedih. "Yang barusan kami temui adalah Bibi Sekar Gumintang. Masa kau adalah suaminya Bibi Sekar Gumintang." "Ya, sedikitpun tidak salah. Tanggung barang tulen." Tergesa-gesa Risang menceguk segelas air untuk melancarkan kunyahan buntut goreng yang tersangkut di tenggorokannya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Lalu mendadak ia menarik tangan Arya dan diseretnya menuju halaman depan. "Perkataan orang tua jenggot lebat ini apa kau percaya?" Tanya Risang sambil matanya melotot ke Arya. "Aku percaya." "Tapi aku sudah kenal dengan Bibi Sekar Gumintang bahkan sejak aku masih di perut ibuku dan tak pernah sekalipun ku ketahui B ibi punya seorang suami." Arya menghela nafas rawan, "Cerita yang menyedihkan tentu tak diceritakan kepada anak kecil." "Lalu bagaimana kau percaya" Kau toh tak pernah mendengarnya" Arya mengangguk-angguk, "Dari beberapa hal yang dilakukan orang tua itu aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia memang suami dari Eyang Sekar Gumintang." "Dan kenapa beberapa hal itu tidak kau ceritakan kepadaku?" Arya tertawa, "Selama berkumpul denganmu memangnya ada berapa kesempatan bagiku untuk buka mulut." "Sekarang kuberi kesempatan bagimu untuk buka mulut." Lebih dahulu Arya menghela nafas, "Ini mungkin berkaitan dengan Istana Seribu Kosong. Menurut pengalamanku, Tiga Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Istana Abadi diberi nama menurut keadaan tempat dan lingkungan sekitar istana itu berada. Misalnya Istana Dasar Teratai terletak di dasar bumi, Istana Lautan Awan berada di tepi pantai dengan awan yang menutupi puncaknya. Hal ini kau tentu tahu." Risang mengangguk cepat-cepat. "Maka Istana Seribu Kosong sendiri pasti juga terletak pada tempat yang tersurat pada namanya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Omonganmu pertama tadi aku mengerti, tapi yang kedua ini hakikatnya seperti kentut." Tukas Risang cepat, "Kau sendiri sudah menyaksikan Istana Seribu Kosong adalah tempat tinggal Bibi Sekar Gumintang di puncak gunung sana. Memangnya apa pula yang kau peroalkan?" "Inikan rekaanmu sendiri, memangnya Eyang Sekar Gumintang pernah mengatakan bahwa tempat tinggalnya adalah Istana Seribu Kosong?" Risang seketika terdiam menjublek. Selama ini memang tidak pernah didengarnya nenek tua itu mengatakan tempat tinggalnya adalah Istana Seribu Kosong. Tapi karena banyak orang yang mengatakannya maka ia menjadi berkeyakinan begitu. Tapi ia pun tak terlalu menyalahkan dirinya sendiri. Banyak hal memang yang kita yakini sebagai benar atau salah tidak atas pertimbangan akal dan hati kita tapi melulu karena kebiasaan dan omongan orang lain. "Memangnya bukan?" Arya malah balik bertanya, "Kalau memang gedung tua itu adalah Istana Seribu Kosong, kenapa Kitab Teratai Membuka malah kutemukan di gubug milik Ki Awu Lamut tepi danau sana, bukannya di di gedung tua tempat tinggal Eyang Sekar Gumintang". Kau toh tahu persis bahwa Kitab Teratai Membuka disimpan di Istana Dasar Teratai, Teratai Menutup di Istana Seribu Kosong sementara Wahyu Kepala Naga tersimpan di Lautan Awan." Risang memiringkan kepalanya, "Ya, urusan ini memang agak janggal." Setelah terdiam sejenak dengan cepat ia menambahkan, "Tapi soal peny impanan kitab itu toh bisa berpindah dengan mudah. Tentu tak sulit untuk memindahkan satu lemari kitab dari satu tempat ke tempat lainnya, apalagi toh hanya satu kitab." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Arya tertawa, "Memangnya kau lupa, bahwa Kitab Teratai Membuka yang tesimpan di Istana Seribu Kosong itu bukannya tertulis dalam lembaran lontar atau kertas atau sutra tapi terukir dalam genteng batu. Satu genteng satu huruf. Memindahkan satu lemari kitab memang mudah tapi memindahkan ratusan genteng tentu lain urusannya. Belum lagi mencari tempat yang cocok sehingga urutan kalimatnya tidak kacau." Risang Ontosoro kembali memiringkan kepalanya, "Hm, perkataannmu ini agaknya masuk akal juga." Kembali Arya menambahkan, "Juga kabar yang luas beredar di kalangan persilatan mengatakan bahwa diantara Tiga Istana Abadi yang paling manonjol dalam ilmu s ilat keras adalah Istana Lautan Awan, yang paling tinggi dalam kerumitan dan kelembutan adalah Istana Dasar Teratai, sementara dalam ilmu pengobatan Istana Seribu Kosonglah yang paling tinggi. Menurut pendapatmu bagaimana ilmu pengobatan Ki Awu Lamut?" "Ya, kutahu orang tua jenggot rumput itu memang punya sedikit kepandaian mengaduk panci obat." "Ada satu lagi, ketika kemarin Eyang Sekar Gumintang memberi kita tugas untuk mencari Kulit Naga, ia tidak menjelaskan dengan tepat apa maksud dari Kulit Naga itu dan hanya mengatakan bahwa Kulit Naga adalah pasangan dari Wahyu Kepala Naga, sebagaimana Kitab Teratai Membuka berpasangan dengan Kitab Teratai Menutup. Ia menyuruh kita untuk menanyakan apa maksud Kulit Naga itu terlebih jelas kepada orang yang lebih tahu dari padanya. Bukankah ini menjelaskan bahwa rahasia yang diketahuinya tidak lebih banyak dari apa yang diketahui oleh Ki Awu Lamut?" Risang Ontosoro kembali terlonjak, "Jadi menurutmu apa yang diketahui orang tua jenggot rumput itu jauh lebih banyak dari pada apa yang diketahui B ibiku?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Aku bahkan merasa yakin kalau ketua yang sebenarnya dari Istana Seribu Kosong bukanlah Eyang Sekar Gumintang, tapi adalah Ki Awu Lamut." Arya menyambung, "Seribu Kekosongan artinya yang tampak bukanlah yang berarti, kosong adalah ruang tanpa batas. Manusia tak melihat kosong, tapi kekosongan selalu bersama manusia. Kukira pepatah ini sesuai dengan apa yang Kisah Tiga Kerajaan 3 Pendekar Hina Kelana 14 Kembalinya Siluman Harimau Kumbang Manusia Pemuja Bulan 1

Cari Blog Ini