Pendekar Slebor 22 Manusia Pemuja Bulan Bagian 1
MANUSIA PEMUJA BULAN
Serial Pendekar Slebor Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor .Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau Seluruh buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Arya Winata
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Serial Pendekar Slebor dalam Episode
Manusia Pemuja Bulan
128 Hal 1 Purnama sejak tadi sudah membedah alam ditemani
bintang-bintang yang bertaburan di langit cerah. Bulan penuh saat ini tak
ubahnya seorang ratu jelita yang didampingi para dayang.
Di lereng Gunung Pengging, malam yang biasanya
sepi kini nampak ramai sekali. Penduduk yang hidup di sekitar gunung itu
berbondong-bondong mengunjungi
lereng. Mereka duduk bersila, membentuk lingkaran yang di tengahnya terdapat
sebuah api unggun.
Suasana nampak sepi, meskipun banyak sekali
penduduk yang baru saja hadir. Mereka pun tak bersuara, bagaikan ada sesuatu
pantangan yang melarang untuk mengeluarkan suara. Semuanya menunduk, sementara
api unggun di tengah-tengah terus menyala.
Sekitar enam orang berpakaian merah yang
mengenakan topeng berwarna merah juga, tampak mulai bergerak ke dekat api
unggun. Kemudian mereka
menyebar, dan berlutut mengelilingi.
Baru saja berlutut, mendadak keenam orang itu
bertingkah seperti kesurupan. Dengan tubuh mengejang-ngejang mereka menyembah ke
arah rembulan. Tak lama, muncul seorang laki-laki berjubah serba
hitam dari kegelapan. Kemunculannya memang tidak
terlihat. Tahu-tahu dia sudah menyisih jalan, dan berada di dekat api yang
menyala di kelilingi enam orang berpakaian dan bertopeng merah yang masih
bertingkah seperti orang kesumpan.
Mata laki-laki berjubah hitam yang baru datang itu tajam memandang ke
sekitarnya, memperhatikan orang-orang yang duduk bersila tetap dengan kepala
tertunduk. "Terima kasih atas kedatangan kalian, wahai para pengikutku," ucap laki-laki
berjubah hitam tiba-tiba dengan suara berat.
Begitu laki-laki itu terkena jilatan cahaya api unggun tampak jelas bentuk
wajahnya yang berbentuk tirus.
Bibirnya tipis berlekuk ke atas, menampakkan kec ulasan.
Hidungnya agak panjang dan sedikit bengkok. Kedua
matanya tak ubahnya mata harimau yang mencorong
tajam. Begitu pula alisnya yang naik ke atas. Rambutnya yang panjang tergerai,
dipermainkan angin.
Kini, angkatlah wajah kalian. Lihatlah sesembahan
kita yang telah berdiri tegak di mata langit...," lanjut laki-laki ini.
Perlahan-lahan orang-orang yang berada di tempat
ini mengangkat kepala, menatap rembulan yang tetap bersinar.
"Hmmm.... Kalian adalah pengikut-pengikutku yang setia.... Bagus! Karena Dewa
Bulan akan marah bila kalian tidak ikut dalam upacara ini...."
Laki-laki berjubah hitam yang oleh orang-orang itu dikenal dengan nama
Wedokmurko itu tersenyum puas.
"Upacara akan kita segerakan, mengingat korban sudah didapatkan... Kini,
mulailah kalian menyanyikan lagu pujaan untuk Dewa Bulan," ujar Ki Wedokmurko.
Semua orang yang ada di situ tetap menatap
rembulan. Sementara kali ini mulut mereka komat-kamit melantunkan senandung
pelan yang telah diajarkan Ki Wedokmurko. Dan suasana pun terasa menggiriskan,
oleh teriakan keras dan gerak limbung enam orang berpakaian dan bertopeng merah.
Lalu entah dari mana datangnya tiba-tiba saja satu sosok tubuh melayang dan
jatuh di tengah-tengah
lingkaran. Sosok itu dalam keadaan pingsan, dibalut pakaian berwarna hitam.
"Lihatlah.... Dewa Bulan telah merestui kita, karena telah mengambil sesembahan
itu...," kata Ki Wedokmurko dengan suara mengeras.
Suara senandung itu semakin lama semakin keras
terdengar. "Wahai, Dewa Bulan.... Kami berada di sini untuk memujamu. Dalam hembusan angin
dingin, dalam kabut menebal yang perlahan-lahan membasahi sekujur tubuh
kami.... Namun, kami tidak mengenal diam, tidak mengenal lupa. Kini, kami
persembahkan seorang gadis yang masih suci, agar menjadi temanmu di atas sana.
Dewa Bulan yang perkasa...., terimalah sesembahan kami ini....
Dengan harapan, agar kau jauhkan kami dari penderitaan yang berkepanjangan. Dan,
makmurkanlah hidup kami
ini...." Lalu orang-orang itu menghentikan senandung. Dan mereka melihat lakilaki berjubah hitam itu tengah mengangkat kedua tangannya ke atas dengan kepala
menengadah. Dari mulutnya meluncur kata-kata seperti mantera. Semakin lama
semakin mengeras. Dan tiba-tiba saja gadis yang terkulai di atas tanah lenyap!
Sementara tubuh Ki Wedokmurko pun ambruk
dengan kedua tangan menyentuh tanah.
Keringat membanjir di seluruh tubuhnya, seperti orang habis melakukan perjalanan sangat
melelahkan. Dan perlahan Ki Wedokmurko bangkit dan berdiri
tegak. Matanya memandang angker ke sekelilingnya.
"Dewa Bulan telah menerima sesembahan kita....
Dan percayalah, dia tak akan membiarkan kita hidup dalam kesusahan. Wahai,
pengikutku yang setia.... Setiap malam J umat kit a akan tetap melaksanakan
upacara memuja Dewa Bulan. Sekarang, katakanlah.... Apa keluhan kalian...."
Serentak terlihat banyak orang-orang yang mengacungkan tangan. Ki Wedokmurko menunjuk seorang laki-laki tua kira-kira
bcrusia tujuh puluh tahun yang segera bangkit dituntun seorang gadis cantik
jelita. "Hmm.... Kenapa denganmu, Ki?" tanya Ki Wedokmurko. Sementara yang lain memperhatikan dengan rasa
tegang, juga tidak sabar menunggu giliran.
"Ketua Wedokmurko. Hamba bernama Mayang, sedang kakek hamba bernama Seta. Sudah lima tahun ini kakek hamba menderita batuk
yang berkepanjangan.
Kalau batuknya kambuh, sampai muntah darah...," jelas
gadis cantik berkain kemben batik yang mengaku bernama Mayang.
"Itu soal mudah. Sangat mudah."
Seperti layaknya seorang tabib, Ki Wedokmurko
memeriksa tubuh Ki Seta yang sudah terbatuk-batuk.
Batuknya terdengar sangat keras dan memilukan.
"Hmm... rupanya, Dewa Bulan marah padanya,
Nini...," lanjut laki-laki berjubah hitam itu dengan suara berat. Wajah Mayang
terperanjat "Mengapa, Ketua?" tanya Mayang.
"Karena..., dia menyimpan banyak harta yang tidak pernah dipersembahkan kepada
Dewa Bulan..." Kali ini Mayang menoleh pada kakeknya.
"Aki, benarkah yang dikatakan ketua?" tanya gadis itu dengan kening berkerut.
Rasanya, Mayang tidak pernah mendengar tentang
harta milik kakeknya. Bagaimana mungkin kakeknya yang diketahuinya miskin itu
memiliki harta banyak" Harta apa"
Hidup mereka sudah pas-pasan. Masih untung kakeknya memiliki sebidang tanah yang
bisa ditanami umbi-umbian dan dedaunan. Sehingga. cukuplah untuk makan seharihari. Tetapi soal harta"
Ki Seta menganggukkan kepala sambil terbatuk.
Laki-laki tua ini kelihatan sangat menderita dengan batuknya.
"Oh, harta apakah itu, Aki?" tanya Mayang semakin tidak sabar.
Ki Seta menarik napas panjang. Kelihatannya, dia
enggan menceritakan soal harta yang telah lama
dirahasiakannya. Namun melihat wajah Mayang yang
begitu penasaran, apalagi Ketua Wedokmurko sudah
menekannya, maka mau tak mau dia harus menceritakannya.
"Mayang... aku memang merahasiakan soal itu.
Karena tak baik bagimu untuk mengetahuinya.... Huk..
huk... huk..," kata Ki Seta dengan susah payah.
"Kenapa, Aki" Lebih baik Aki mengatakannya saja daripada sakit batuk terus
menerus...," ujar Mayang yang kali ini kelihatan cemas bila memikirkan sakit
batuk kakeknya.
"Huk huk huk.... Ketua...," kata Ki Seta susah payah.
"Aku akan menyerahkan seluruh hartaku itu kepada Dewa Bulan.... Tapi,
sembuhkanlah penyakitku ini...."
"Ha... ha.. ha. .!"
Ki Wedokmurko terbahak-bahak. "Apakah kau tidak percaya dengan ku, Ki" Hhh! Aku
adalah utusan Dewa Bulan, yang sudah tentu tidak akan menyelewengkan
amanat siapa pun untuknya...," lanjut Ki Wedokmurko.
"Bukan.... Bukan itu maksud Aki, Ketua...," sergah Mayang dengan takut-takut. Ia
ngeri melihat pancaran mata Ketua Wedokmurko yang menakutkan. "Maksud Aki...,
dia akan segera menyerahkannya nanti...."
"Dengan kata lain, kakekmu tidak percaya?" tukas Wedokmurko dengan suara keras.
Kali ini bukan hanya Mayang yang mendadak pias.
Tetapi, juga yang hadir di sana. Mereka tahu, apa akibatnya bila Ki Wedokmurko
sudah marah. Dan itu berarti sama saja dengan membangkitkan kemarahan Dewa
Bulan. "Aki..., katakanlah...," ujar Mayang.
Tetapi wajah Ki Seta tetap tegar. Bibirnya hanya
mengulas senyum meskipun kelihatan sangat tersiksa dengan batuknya.
"Ketua..., aku akan mengatakannya bila batukku sudah diobati...," tegas lakilaki tua ini sekali lagi.
Memerahlah wajah Ki Wedokmurko mendengar
kata-kata Ki Seta. Sementara, Mayang makin kelihatan ketakutan.
"Aki...."
"Grrr! Rupanya laki-laki tua ini tidak mempercayaiku sebagai Manusia Pemuja
Bulan. Dengan kata lain, dia juga tidak percaya pada kalian ssmua yang telah
memasrahkan diri pada Dewa Bulan. Mungkin saat ini aku.... Grrr!
Akkgghhh! Grrr!"
Tiba-tiba tubuh Ki Wedokmurko limbung ke kanan
dan ke kiri. Wajahnya kelihatan semakin mengerikan.
Tangannya mengacung pada Ki Seta.
"KiSeta...," panggil Ki Wedokmurko.
Suaranya bergetar. "Dewa Bulan telah marah kepadamu.... Aku tidak sanggup menahannya....
Cepat, katakan. Di mana harta itu berada.... Kalau kau mengatakannya, niscaya
Dewa Bulan akan mengampuni semua kelancanganmu...."
Tetapi sikap Ki Seta tetap tegar. "Aku akan
mengatakannya, bila kau bisa menyembuhkan sakit
batukku ini...." Aki!" sentak Mayang.
"Kau diam, Mayang.... Huk.. huk... huk... Ini urus-mku, biar aku yang
menyelesaikannya.... Wedokmurko, ketahuilah.... Akulah satu-satunya orang yang
mungkin tak percaya pada pemujaan terhadap Dewa Bulan ini. Kita sejak lama
diharuskan menyembah kepada Gusti Al ah.
Tetapi mengapa kau.... Huk.. huk.. huk.. menyuruh kami menyembah Dewa Bulan?"
Sebentar Ki Seta menghentikan kata-katanya untuk
menarik napas dengan susah payah.
"Dulu, sebelum kedatanganmu:..,
kami yang menghuni lereng Gunung Pengging selalu hidup aman
penuh keakraban. Tetapi sejak kau datang, semuanya menjadi sirna. Justru
ketakutan yang diam-diam merayapi hati kami...," lanjut Ki Seta.
"Aki!" sentak Mayang kaget sambil melirik wajah Ki Wedokmurko yang semakih geram
dengan tubuh masih
limbung ke kanan dan ke kiri
"Mayang..., ketahuilah.... Aku tidak percaya pada manusia seperti ini. Sebelum
kedatangannya, kita tidak pernah mengorbankan
nyawa dara perawan yang mendadak saja lenyap begitu dia mengatakan kalau Dewa Bulan menerima sesajen
kita. Sudah berapa kali" Sudah lima
perawan dikorbankan. Apakah kita masih mengorbankan yang lainnya, hah"! Mengapa harus
sesembahan seperti itu" Mengapa tidak dengan yang
lainnya saja, hah"! Mengapa?" sergah Ki Seta dengan suara semakin mengeras.
Kali ini laki-laki tua itu memandang ke sekeliling kearah para penduduk yang
berada di sana.
"Di samping itu..., kita juga harus..., aaakkhhh!"
Mendadak saja tubuh Ki Seta terhuyung ke belakang
dan ambruk. Dadanya sudah bolong. Tampak asap
mcngepul keluar dari sana. Seketika Mayang menubruk tubuh kakeknya.
"Aki i...!" jerit gadis itu menangis.
Namun tubuh laki-laki tua itu sudah tak bergerak,
karena nyawanya sudah meninggalkan jasadnya. Dengan mata basah oleh airmata,
Mayang berbalik ke arah
Wedokmurko yang sudah tegak kembali. Sementara, enam laki-laki berpakaian dan
bertopeng merah itu tetap bergerak
dengan suara-suara mencekam, seakan membuat suasana tambah mengcrikan.
"Ketua..., apakah Aki tidak bisa diampuni" Ampuni dia, Ketua! Kembalikan lagi
nyawanya!" pinta Mayang, menjerit.
Pendekar Slebor 22 Manusia Pemuja Bulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nini... Akimu telah berbuat kesalahan. Sehingga Dewa
Bulan menjadi murka.... Aku tidak dapat mencegahnya...," kata Ki Wedokmurko dingin, sedingin tatapannya.
"Mengapa kakekku tidak bisa diampuni" Mengapa?"
seru Mayang masih menangis.
"Karena..., dia telah berani melanggar perintah Dewa Bulan...." Mayang menangis
sambil merangkul kembali tubuh kakeknya yang telah menjadi mayat. Sementara yang
hadir tak bisa berbuat apa-apa. Mereka pun diam-diam mcnyalahi Ki Seta yang
telah berani lancang
membantah perintah Dewa Bulan. Dan diam-diam pula, mereka pun bertanya-tanya,
harta apa yang dimaksudkan Ketua Wedokmurko"
Wedokmurko lantas mengedarkan matanya berkeliling. "Ini adalah contoh orang yang berani membantah
perintah dari Dewa Bulan.... Orang yang tidak mempercayai akan kesaktian dan
kehebatannya. Hhh! Siapapun yang membantahnya, maka akan mati. Kalian
mengerti"!" jelas Ki Wedokmurko, tajam.
"Mengerti i...!"
Terdengar sahutan secara serempak dari orangorang di sekeliling api unggun.
"Dan kalian akan tetap patuh padanya?" "Patuuuh...!"
Kembali sahutan terdengar.
"Bagus! Sekarang, kuburkan mayat itu! Nini..., apakah
kau mau agar Akimu diampuni?"
tanya Wedokmurko menatap tajam. Membuat siapa pun yang
melihatnya akan langsung mengkeret.
Mayang mengangguk tanpa menoleh. Matanya yang
berair menatap lekat pada kakeknya yang terbujur kaku.
Kepiluan sangat terasa di hatinya.
"Kalau begitu, malam Jumat yang akan datang..., kau menjadi sesembahan dari Dewa
Bulan! Upacara seIesai!"
lanjut Ki Wedokmurko, seraya mengibaskan jubahnya. Dan mendadak saja, sosoknya
lenyap seperti ketika datang tadi. Setelah Ki Wedokmurko menghilang, enam orang
berpakaian dan bertopeng merah pun perlahan-lahan
melangkah dari lingkaran orang-orang itu. Nyala api unggun semakin tipis.
Sebagian lenyap karena kayu-kayu yang membakarnya sudah habis. Juga karena
terkena angin yang berhembus semakin dingin.
Gerakan enam orang itu tak ubahnya bagaikan robot
belaka, lalu perlahan-lahan lenyap dari pandangan.
Tepat ketika mereka semua tak terlihat lagi, barulah orang-orang itu berlarian
mendekati Mayang yang masih menangisi mayat kakeknya.
Mereka melihat jasad Ki Seta dengan dada bolong.
Tak seorang pun yang melihat tenaga atau serangan apa yang mengenai Ki Seta.
Karena tahu-tahu, dia sudah ambruk.
"Sudahlah, Mayang.... Akimu memang salah. Dia
telah berani membantah perintah Dewa Bulan...." hibur salah seorang yang
berkumis tebal.
Mayang hanya mengangguk-angguk.
Beberapa pemuda gagah segera mengangkat mayat Ki Seta, lalu beramai-ramai membawanya
turun dari lereng Gunung
Pengging. Selebihnya sepi. Hanya angin yang berhembus
semilir. *** Sebenarnya, sebagian penduduk yang mendatangi
lereng Gunung Pengging, ada juga yang membenarkan
kata-kata Ki Seta. Yah! Sebelum kedatangan Manusia Pemuja Bulan, segala
sesuatunya di desa dekat lereng Gunung Pengging aman dan semuanya berjalan
lancar. Tetapi setelah kedatangan Manusia Pemuja Bulan
yang meminta dirinya disebut sebagai Ketua, keadaan mulai berubah. Laki-laki
yang selalu berjubah berwarna hitam
itu selalu mendatangi desa mereka, dan mengatakan hukuman Dewa Bulan akan datang bila tidak menyediakan sesajen.
Memang, pertama kalinya para penduduk di sana
tidak mau mengindahkan kata-kata laki-laki berjubah hitam itu. Mereka tak acuh
saja. Karena selama ini yang ada di hati mereka, hanya Gusti Allah yang patut
disembah. Namun, malam-malam berikutnya, terjadilah sesuatu
yang mengerikan. Karena mendadak saja, api bagai
gulungan panjang, bergulung-gulung dari atap rumah satu ke atap lainnya.
Membakar apa saja. Hingga mereka
menjadi kalang kabut. Di sela-sela keributan dan
kesibukan memadamkan api, terdengar suara keras Ki Wedokmurko yang mengatakan
kalau itu adalah hukuman dari
Dewa Bulan karena para penduduk tidak mengindahkan kata-katanya sebagai utusannya!
Lambat laun ketakutan mulai merayapi hati setiap
penduduk. Karena, bukan hanya bencana kebakaran saja
yang melanda. Bahkan angin topan pun datang bergulung-gulung, menimpa mereka.
Juga ditemukan pula beberapa ekor ternak mati secara aneh.
Sejak itu, satu persatu para penduduk di sana pun
mulai mengikuti Ki Wedokmurko yang selalu mengadakan upacara di lereng Gunung
Pengging. Yang ikut itu selalu aman, tanpa gangguan. Yang belum mengikuti
jejaknya, selalu saja mendapat gangguan yang dikatakan Ki
Wedokmurko sebagai hukuman Dewa Bulan.
Hingga kemudian, seluruh penduduk di desa itu pun
mengikuti jejak Manusia Pemuja Bulan karena tidak ingin mendapatkan hukuman.
Tak seorang pun yang berani membantah ketika Ki
Wedokmurko meminta harta benda, makanan enak, juga pakaian yang bagus. Bahkan
setiap malam Jumat, para penduduk
yang mempunyai anak gadis harus mengorbankannya kepada Dewa Bulan.
Ada rasa sedih yang tak terhingga sebenarnya di hati mereka, mengorbankan anak
gadis untuk Dewa Bulan
Seperti yang sudah-sudah, anak gadis mereka dalam
keadaan pingsan dalam upacara itu. Lalu kemudian, tahu-tahu lenyap dari
pandangan. Entah ke mana. Apa yang terjadi terhadap mereka" Apa yang dialaminya"
Semua berjalan lancar selama tiga bulan. Dan
kejadian barusan di lereng Gunung Pengging itu,
sebenarnya membuka mata mereka pula, kalau yang
dikatakan Ki Seta memang benar. Tetapi, apakah mereka berani melawan perintah
Manusia Pemuja Bulan" Apakah mereka akan membiarkan diri dan keluarga
mendapatkan hukuman dari Dewa Bulan"
*** 2 Mayat Ki Seta dikuburkan keesokan harinya. Pelayat yang datang sangat menyesali
tindakan bodoh Ki Seta yang berani menentang kehendak dan perintah Dewa Bulan.
Hingga akhirnya, dia menerima ajal yang mengerikan.
Dan hari-hati berikutnya yang justru sedih dan
merasa sepi adalah Mayang. Gadis ini tak mengerti, mengapa Ketua Wedokmurko
tidak memintakan ampunan
pada Dewa Bulan" Mengapa dia tidak menolong Aki"
Sungguh! Hati gadis itu sangat sedih.
Kini Mayang sebatang kara di dunia ini. Kedua orang tuanya telah lama meninggal
dunia. Sejak itu dia tinggal bersama kakeknya yang telah menduda. Namun mcskipun
begitu, masih ada sesuatu yang menjadi perta-nyaannya.
Harta apakah yang disembunyikan Ki Seta" Di mana harta itu disembunyikan"
Mengapa kakeknya selama ini tidak pernah memberitahukan soal harta itu. Harta
apa" Namun, kesedihan karena ditinggal mati kakeknya,
Mayang pun tak memikirkan soal harta itu lagi. Yang dipikirkannya sekarang,
malam J umat yang akan datang, dia menjadi giliran sesembahan kepada Dewa Bulan.
Mayang bersedia saja melakukannya, karena itu
adalah jalan satu-satunyabagi kakeknya untuk diampuni Dewa Bulan.
Mayang kini mulai merasakan sepi dalam kesendiriannya. Dia masak seperti biasanya. Namun kali ini untuk makan sendiri
saja. Sungguh, jelas sekali perbedaannya. *** "Sampurasuuunnn!" Tiba-tiba terdengar suara orang bersalam di depan pintu.
Mayang yang masih sibuk memasak air bergegas ke
depan setelah merapikan pakaiannya. Meskipun masih sedih karena ditinggal
kakeknya, namun sifatnya yang!
memang rajin tidak pemah ditinggalkannya.
"Rampeeesss!" sambut Mayang, sambil melangkah menuju pintu.
Gadis berusia delapan belas tahun itu membuka
pintu untuk tamunya.
"Oh, Kang Medi," desah Mayang begitu pintu tetM
kuak. Dan gadis ini langsung mengenali tamunya.
"Silahkan masuk, Kang...."
Seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima
tahun masuk. Dia duduk di kursi yang sudah agak rusak.
namun masih layak diduduki. Laki-laki ini cukup tampan, dengan rahang kukuh dan
sepasang mata memancarkan
sinar membara. Dari pakaiannya yang cukup bagus,
agaknya laki-laki bernama Medi ini cukup kaya.
Mayang pun sudah tahu tentang tabiat laki-laki ini yang memang mata keranjang.
Namun gadis ini bersikap tenang saja. Karena toh pikirnya, Medi hanya bertamu
Mungkin pula sekali lagi menyampaikan bela sungkawa atas kematian kakeknva.
"Bagaimana,
Mayang. Apakah kau kesepian sepeninggal kakekmu?" tanya Medi, begitu duduk di kursi ruang tamu.
Begitulah, Kang.... Biasanya aku selalu ditemani
kakek, kini tinggal sendiri," sahut Mayang, juga duduk menghadapi tamunya.
Bibir Medi tersenyum-senyum. Matanya semakin liar
memperhatikan sekujur tubuh Mayang bagaikan hendak menelannya bulat-bulat.
"Mayang.... Sebenarnya, kakekmu itu memang telah melakukan kesalahan.
Seharusnya, kehendak Ketua
Wedokmurko yang menjadi Utusan Dewa Bulan tidak boleh ditentang. Kedatangannya
mengabarkan sesuatu yang
menggembirakan, kalau Dewa Bulanlah yang paling kuasa di dunia ini," kata Medi.
Mayang menundukkan kepalanya.
Bila teringat tentang kakeknya, hatinya sedih sekali.
"Kau benar, Kang... Aku sendiri tidak mengerti, mengapa Aki berbuat seperti itu.
Bahkan menentang.
kehendak Dewa Bulan," desah Mayang.
"Itulah yang kusesali. Sehingga.... kau akhirnya yang akan menjadi korban...."
"Maksud Kang Medi?" tanya Mayang mengangkat kepalanya, menatap Medi yang
tersenyum-senyum.
"Bukankah malam Jumat depan adalah giliranmu
untuk dipersembahkan pada Dewa Bulan?"
"Ya! Karena menurut Ketua Wedokmurko.... bila aku tidak berkenan atau bersedia,
maka dosa-dosa kakekku tidak akan diampuni Dewa Bulan...."
Medi mengusap-usap dagunya yang klimis. Matanya
yang liar semakin jelalatan. Menurut kata hatinya, sangat sayang sekali gadisgadis manis dan cantik itu dikorbankan kepada Dewa Bulan. Gadis-gadis yang
begitu dikorbankan, mendadak lenyap entah ke mana. Menurut Medi, mungkin mereka
mati. Dan sekarang, Mayang..., yang diam-diam dicintainya itu akan dikorbankan. Hhh!
Sayang sekali. Bukan kah lebih baik dinikmati dulu baru dikorbankan"
Berpikir seperti itu, Medi pun memulai memasang
perangkapnya. "Mayang..., apakah kau tidak sayang dengan wajah dan tubuhmu?" tanya laki-laki
ini sambil tersenyum.
Kening Mayang berkerut, merasa aneh dengan
pertanyaan Kang Medi. Karena, sepertinya, laki-laki ini pun menentang Dewa
Bulan. Padahal, Mayang sedang bersiap-siap untuk menunggu malam Jumat depan
untuk mengorbankan diri kepada Dewa Bulan sebagai penebus dosa-dosa kakeknya. Dan
gadis ini merasa yakin kalau Medi sudah memasang perangkapnya.
"Mengapa Kang Medi berkata begitu?" tanya Mayang.
Medi tersenyum lagi. Matanya mengedip.
"Kau cantik, Mayang.... Kau ayu. Sayang bila untuk dikorbankan kepada Dewa
Bulan...."
"Aku tidak berani membantah perintah Manusia
Pemuja Bulan alias Ketua Wedokmurko," tukas Mayang.
"Apakah Kang Medi tidak tahu, bagaimana akibatnya kalau berani menentang
kehendaknya?"
"Kau benar, Mayang. Akan tetapi, mengapa kau
begitu merelakan tubuhmu dijadikan sesajen Dewa
Bulan?" tanya Medi.
"Karena..., aku menghendaki seluruh dosa-dosa Aki dihapuskan Dewa Bulan....
Itulah sebabnya, aku bersedia dijadikan sesajen, Kang Medi...."
Sepasang mata Medi yang liar semakin jelalatan.
Sayang sekali, sayang sekali. Lalu mendadak saja Medi bangkit, pindah duduk di
samping gadis itu. Sementara Mayang hanya diam saja.
"Mayang...,"
Medi memulai niat busuknya. Kedatangannya ke kini
Pendekar Slebor 22 Manusia Pemuja Bulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selain ingin melihat keadaan Mayang,
juga ingin mengambil kesempatan. Sudah lama dia menginginkan
Mayang. "Tahukah kau..., kalau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Dewa Bulan tak akan pernah
kembali lagi?" lanjut Medi.
"Aku tahu, Kang."
"Tidak sayangkah kau dengan tubuh dan wajahmu vang jelita ini?"
"Maksud Kang Medi?"
"Maksudku..., apakah tidak dimanfaatkan dulu
tubuhmu ini, Mayang?"
Mayang mengerutkan keningnya.
"Aku tidak mengerti, Kang..."
Medi mengembangkan senyumnya. Duduknya pun
semakin merapat.
"Kau paham akan maksudku, Mayang. Kau tahu,
karena kau sudah dewasa, bukan?"
Mayang terdiam seraya menundukkan kepala.
Sikapnya mencerminkan kepasrahan belaka.
Tiba-tiba Medi menyergap Mayang. Dan mereka
sama-sama terjerembab ke lantai. Lalu dengan buas laki laki ini menciumi sekujur
wajah dan meraba sekujur tubuh
gadis itu. Herannya, Mayang diam saja. Tidak berbuat apa-apa. Meladeni tidak,
berontak pun tidak.
Medi yang merasa mendapat angin. perlahan-lahan
melucuti pakaian Mayang satu persatu. Inilah kesempatan yang sangat langka
sekali. Sebuah kesempatan yang telah lama
ditunggu-tunggunya.
Dan yang tak pernah disangkanya, gadis itu hanya mandah saja. Diam-diam Medi merasa sangat beruntung
dengan datangnya I
Manusia Pemuja Bulan, sehingga ia mendapatkan apa
yang telah lama dicarinya.
"Kau cantik, Mayang.... Kau cantik... "
Napas laki-laki mala keranjang ini memburu dengan
suara bergetar. Tangannya meraba sekujur tubuh Mayang dengan buas.
Namun sebelum sempat Medi membuka celananya
sendiri untuk merenggut milik Mayang yang paling
berharga, mendadak saja....
Brrr...! Serangkum angin yang kuat menderu ke arah Medi
Dan.... Prakkk! "Aaa...!"
Medi kontan terlontar dengan kencangnya, menabrak pintu rumah. Tubuhnya terbanting ke tanah dengan keras, lalu menemui
ajalnya setelah kelojotan sejenak.
Sementara itu, seolah tidak mengalami suatu
kejadian yang mengerikan, Mayang mengenakan lagi
pakaiannya- Dia berdiri tegak, melihat sosok Medi yang sudati menjadi mayat.
Pandangannya dingin dan kaku, ketika melihat satu sosok berpakaian dan bertopeng
merah muncul dan mengangkat mayat Medi. Sebentar
kemudian sosok itu berkelebat entah ke mana.
*** "Seorang pemuda berpakaian hijau pupus dengan
selembar kain bercorak catur, melanglah di jalan setapak.
Sikapnya riang sekali. Sepertinya dia sangat menikmati
udara pagi yang cerah.
Wajah pemuda ini tampan, meskipun rambutnya
gondrong takberaturan. Di atas matanya yang kelihatan cerdik itu bertenggcr dua
buah alis hitam legam laksana seekor elang sedang mengarungi samudera luas.
Pemuda yang kelihatan gembira itu tiba-tiba
menghentikan langkahnya, ketika....
"Berhenti kau, Pemuda Busuk!"
Terdengar suara yang membuat pemuda ini menoleh
"Jangan kabur kau!"
"Bunuh saja dia!"
"Bikin mampus saja!"
Kening pemuda ini jadi berkerut melihat puluhan
laki-laki berduyun-duyun berlari mendekatinya. Di tangan mereka terdapat
bermacam senjata dengan wajah
beringas dan marah. Dan pemuda ini jadi semakin tak mengerti.
"Tenang, Saudara-saudara.... Ada apa ini?" tanya pemuda ini dengan suara tenang
dan pandangan mata
jernih. "Jangan banyak omong!" bentak salah seorang pemuda yang berkumis tebal dengan
rambut di kat. "Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu itu, heh"!"
Pemuda berbaju hijau pupus itu makin mengerutkan
keningnya lagi.
"Mempertanggung jawabkan perbuatanku" Aku
berbuat apa" Lihat, di tanganku tidak ada jemuranyang kubawa. Tapi, ah tanggung
kalau hanya jemuran!" tukas pemuda ini, bukannya takut malah mengajak bercanda
"Bangsat! Rupanya kau pintar omong juga, hah"
bentak pemuda berkumis itu lagi sambil mendekatkatkan lagi wajahnya ke muka
pemuda ini. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu yang telah
membunuh Medi. Kali ini pemuda berbaju hijau pupus dengan kain
bercorak catur di bahu itu terjingkat. Bukan karena tuduhan tadi, tapi karena
bau mulut lelaki di depannya.
"Membunuh Medi" Siapa Medi" Kambing congek
peliharaanmu" Bagaimana mungkin" Aku baru saja tiba di desa ini. Lalu, mengapa
tiba-tiba kau menuduhku telah membunuh kambing yang bernama Medi?"
"Guoblok! Medi itu adalah warga kami. Dan kami menemukan mayatnya di tepi kali
sebelah utara sana Dan kau sendiri sebelumnya dilihat salah seorang dari kami
sedang mandi di sana juga, bukan"!" bentak laki-laki berkumis itu, merasa kesal
bukan main. Pemuda itu terdiam, lalu mengangukkan kepalany!
"Temanmu benar. Aku memang mandi di sana.
Tetapi bukan berarti telah membunuh orang yang bernama Medi. Kalian salah
sangka...."
"Ala..., sudah Kang Sawedo.
Jangan banyak bercakap lagi! Dia harus mampus!" seru salah seorang yang memegang parang tidak
sabar. "Ya, bunuh saja!" sambut yang lain.
"Bunuh!"
"Bunuh!' Pemuda berpakaian hijau pupus yang tak lain Andika alias Pendekar Slebor itu
melihat gelagat tidak menguntungkan.
Dia tadi memang mandi di kali sebelah utara sana, tetapi tidak
melihat ada mayat di sana. Jangankan membunuhnya, melihatnya saja tidak. Pasti Orang-orang ini salah sangka.
Sebelum orang orang itu bertindak, mendadak....
"Tahan semuanya! Jangan gegabah!"
Terdengar sebuah suara mencegah.!"
*** 3 Dari balik kerumunan para penduduk, menyeruaj
seorang laki-laki berpakaian ringkas berwarna biru.
wajahnya kukuh dengan kumis tipis. Matanya memancarkan sinar kesejukan. Rambutnya di kat secarik kain keningnya.
"Hmmm.... Jangan bertindak sembarangan. Jangan menuduh terlalu cepat!" ujar
laki-laki ini di hadapan orang-orang itu, langsung membelakangi Andika.
"Kakang Menggolo! Jangan halangi kami untuk
membunuhnya! Pemuda itu jelmaan setan! Dia harus
hadapkan pada Manusia Pemuja Bulan!" teriak laki-laki berkumis tebal yang
dipanggil Sawedo.
"Ya, benar! Dia harus dihukum oleh Dewa Bulan
"Kakang Menggolo.... Jangan memaksa kami untuk berbuat yang tidak-tidak terhadap
Kakang! Minggir! biarkan pemuda
itu mempertanggung jawab kan seluruh perbuatannya!"
Seruan-seruan keras
bernada menentang itu terdengar, namun laki-laki berpakaian biru berusia kira-kira tiga puluh dua
tahun yang dipanggil Menggolo tetap tegar berdiri. Wajahnya tetap tenang.
Sementara di belakangnya, kening Andika berkerut.
Siapakah Manusia Pemuja Bulan itu" Siapa pula Dewa Bulan" Andika yang berotak
encer itu pun diam-diam yakin, kalau telah terjadi sesuatu yang aneh desa ini.
Matanya tanpa sadar melirik Gunung Pengging yang tertutup kabut.
"Saudara-saudaraku! Kita jangan main hakim
sendiri. Kita memang menemukan mayat Medi di tepi
sungai sebelah utara sana. Dan kebetulan, Maruko melihat pemuda ini mandi di
sana. Tetapi bukan berarti dia yang telah membunuhnya. Karena menurut Maruko
sendiri, mayat Medi ditemukan di dekat sebatang pohon kelapa.
Sementara, dia melihat pemuda itu ketika hendak
melaporkan berita kematian Medi kepada kita. Apakah tidak mungkin kita melakukan
kesalahan?"
"Kakang, jangan menghalangi niat kami!" ujar Sawedo.
"Sawedo!' bentak Menggolo dengan suara menggelegar. "Jangan main hakim sendiri! Lebih baik tanya dulu pada pemuda
berbaju hijau pupus itu"!"
"Sudah bisa dipastikan, dia akan membantahnya.
Mana ada maling yang mau mengakui dirinya sebagai
maling, hah"!" seru Sawedo yang di ringi teriakan keras yang lainnya.
Perlahan-lahan wajah Menggolo kelihatan memerah.
"Aku tidak ingin kita melakukan kesalahan...," kata Menggolo datar.
"Baik!" kata Sawedo kemudian. "Kita akan menanyai pemuda itu! Kakang
Menggolo...! Bila dia mengatakan tidak
membunuh Medi. maka, harus mencari pembunuhnya!"
Andika diam-diam menghela napas panjang. Sementara Menggolo berbalik, menatap Pendekar Slebor dalam-dalam.
"Apa yang kau ketahui, temang pembunuhan itu.
Anak Muda?" tanya Menggolo.
"Aku tidak tahu menahu soal itu. Bahkan, aku tidak melihat mayatnya," kilah
Andika. "Anak muda..., siapakah namamu?" tanya Menggolo yang diam-diam meyakini katakata pemuda itu.
Sejak tadi pun Menggolo sudah yakin kalau pemuda
itu tidak bersalah. Dia bisa melihat ketenangan dan sinar kejujuran di mata
Pendekar Slebor.
"Namaku Andika."
"Hmmm..., Andika... Kau dengar sendiri, bukan"
Nyawamu saat ini dimaafkan..., tetapi kau harus mencari siapa pembunuh Medi
sebenarnya?" kata Menggolo, tersenyum ramah.
Kalau mau mcnuruti kata hatinya, Andika ingin
mendengus keras-keras. Nyawanya saat ini dimaafkan"
Enak saja! Bukannya sombong, dengan sekali samber saja, dia bisa memusnahkan
mereka. Pendekar Slebor berpikir
demikian, karena merasa dikecilkan.
Tetapi Andika tidak menampakkan kesombongannya
saat ini, karena ingin mengetahui apa yang telah terjadi di desa ini. Terutama,
siapakah Manusia Pemuja Bulan itu"
"Baiklah, Kakang Menggolo.... Aku menuruti perintah itu...," desah Pendekar
Slebor memanggil Menggolo dengan sebutan kakang, sambil menatap Sawedo yang
tersenyum puas. Sial! Ingin rasanya Andika menabok bibir yang tersenyum
melecehkan itu.
Menggolo berpaling pada yang lainnya lagi.
"Nah, kalian mendengar kata-katanya itu?"
Sawedo lagi-lagi mengambil alih pembicaraan.
"Bagus! Dan kami ingin membuktikan kebenaran
kata-katanya itu! Teman-teman. kita kembali untuk
menguburkan mayat Medi!"
Lalu orang-orang itu pun segera meninggalkan
tempat ini. Tinggal Menggolo yang hanya menghela napas tanjang. Diam-diam, di
hatinya mulai terusik sesuatu.
Sesuatu yang membangkitkan kesadarannya. Terutama, kata-kata Ki Seta sebelum ajalnya.
*** "Kakang Menggolo.... Mengapa kau tidak berbuat
seperti mereka tadi?" tanya Pendekar Slebor kemudian.
Saat ini angin berhembus. Sinar matahari semakin panas, menembus melalui
rimbunnya pepohonan.
Pendekar Slebor 22 Manusia Pemuja Bulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menggolo berbalik. Matanya tepat menatap mata
Andika, lalu bibirnya tersenyum. "Tidak."
"Kenapa?"
"Karena, aku yakin..., bukan kaulah yang telah melakukan perbuatan itu,
Andika...," jelas Menggolo.
Andika tersenyum. "Terima kasih, Kakang." Menggolo mengangkat kepalanya.
"Sebenarnya, hendak ke manakah kau ini?" tanya Menggolo.
"Aku" He he he.... Tidak ke mana-mana. Pekerjaanku hanya mengembara dari satu
tempat ke tempat lain. Dari
satu negeri ke negeri lain," jelas Pendekar Slebor enteng.
"Ya! Tetapi..., aku yakin..., ah! Sudahlah. Kau tinggal di mana di daerah ini,
Andika?" tanya Menggolo. Dan mendadak saja wajahnya kelihatan memucat.
Perubahan wajah Menggolo tidak luput dari
pandangan Andika yang diam-diam perasaannya semakin yakin mengatakan, kalau
telah terjadi sesuatu di daerah ini Tetapi Pendekar Slebor berlagak tidak
melihatnya. "Aku" Wah! Hanya bumilah yang menjadi tempat
tinggalku," seloroh Andika.
Menggolo tidak menghiraukan selorohan. Tangannya
mendadak saja menarik tangan Andika.
"Kita pergi dari sini! Tinggal di rumahku saja!" ajak Menggolo.
*** Di rumah Menggolo, Andika dijamu makan sekedarnya. Istrinya yang berwajah cukup ayu itu yang menyediakan. Andika yang
memang sudah dari semalam tidak makan, bagai menemukan harta karun. Memaka
lahap meskipun masih berusaha kelihatan sopan.
Lalu setelah kenyang, Pendekar Slebor bersama
menggolo duduk di beranda belakang, menghadap sepetak ladang pisang. Segelas
kopi pahit dan sepiring ubi rebus telah dihidangkan oleh istri Menggolo yang
bernama Narti. Andika yang memang menunggu kesempatan untuk
bertanya tentang Manusia Pemuja Bulan, segera menanyakannya. Namun bukannya menjawab, Menggalo
malah menghela napas berkali kali
"Andika..., lebih baik kau tidak usah menanyakan soal itu," kata Menggolo
kemudian. "Kenapa" Takut kalau aku mengadu, ya?" canda Andika."Bukan, bukan soal itu.
Tetapi, keadaan akan berbahaya bila kau banyak bertanya tentang Manusia Pemuja
Bulan," sergah Menggolo, kali ini suaranya agak
takut-takut. "Kenapa" Apakah dia suka makan orang" Kalau soal itu sih, tidak usah takut. Aku
biasa menaklukkan binatangg buas," seloroh Andika diiringi tawanya. Padahal
hatinya sangat penasaran ingin mengetahui tentang Manusia
Pemuja Bulan. Diam-diam Andika pun memperhatikan lagi wajah
Menggolo, yang semakin tegang. Hmmm.... Kalau begitu..., memang ada sesuatu yang
telah terjadi di desa ini. Dan Pendekar Slebor akan menyelidikinya.
Andika tidak lagi meneruskan pertanyaannya, karena melihat wajah Mengolo semakin
bertambah tegang saja.
Tetapi kemudian...
"Dia adalah manusia yang dipuja oleh orang-orang di daerah ini. Termasuk aku dan
istriku...," jelas Menggolo, mengejutkan Andika.
"Siapa?" tanya Andika berlagak tidak mendengarnya.
Padahal dia ingin melihat perubahan wajah Menggolo.
Setelah dilihatnya Menggolo mengangkat kepalanya ia berkata, "Jadi... Menusia
Pemuja Bulan itu sangat dipuja?"
Menggolo menganggukkan kepala.
"Yah..., juga sangat ditakuti," desah Menggolo.
"Kenapa?" cecar Andika.
"Karena..., dia adalah utusan Dewa Bulan."
"Dewa Bulan" Siapa pula itu?"
"Andika..., jangan bertanya begitu enteng. Kau bisa dikutuknya! Kau akan
mendapat hukuman! Kesaktian
Dewa Bulan sangat tinggi. Dia bahkan bisa mengetahui sesuatu yang belum terjadi.
Dia juga akan mendengar kata-katamu itu. Cepatlah minta amun, Andika.... Cepat!"
seru Menggolo dengan wajah bingung.
" Ampunkan aku, Dewa Bulan...," ucap Andika, meskipun
tidak mengerti. Dan itu hanya untuk menenangkan Menggolo yang nampak ketakutan.
Kini Pendekar Slebor melihat Menggolo mendesah
lega. "Ah! Kalau saja kau tidak minta ampun padanya
niscaya...."
Menggolo terdiam. Kata-katanya terputus. Lalu
mendadak dia mendengus sambil menggeleng-gelengkan kepala."Tidak, tidak! Aku
tidak percaya Manusia Pemuja Bulan! Aku tidak percaya pada Dewa Bulan! Hhh! Apa
yang dikatakan Ki Seta benar! Semenjak kedatangan Manusia Pemuja Bulan, keadaan
desa ini menjadi kacau balau.
Tidak ada lagi kedamaian dan persaudaraan seperti itu....
Hhh! Ki Seta memang benar. Dia benar! Dan karena itulah dia dibunuh! Tetapi
siapa yang membunuhnya" Kalau
Manusia Pemuja Bulan yang bernama Wedokmurko itu
tidak mungkin. Karena, aku tidak melihat gerakannya kalau dia membunuh Ki Seta.
Ah! Pasti Dewa Bulan. Ya, Dewa Bulan... Oh, ampunkan hamba, Dewa Bulan.,
ampunkan hamba...."
Pendekar Slebor yang sejak tadi memperhatikan
laki-laki yang duduk di hadapannya mengerutkan keningnya, melihat perubahan sikap Menggolo. Kalau tadi begitu ketakutan dan
menyuruhrrya meminta ampun pada Dewa
Bulan, kemudian sikapnya seperti seorang penantang. Seseorang yang berani karena merasa yang dilakukannya benar. Namun
pada sikap yang terakhir, justru berubah kembali menjadi ketakutan. Bahkan harus
menyembah seolah-olah yang ditakuti ada di hadapannya.
Perasaan Andika semakin kuat mengatakan, kalau
ada seseuatuyang terjadi di sini. Sesuatu yang membuatnya ingin mengorek lebih dalam lagi.
"Kakang Menggolo...! Kenapa, Kakang?" tanya Pendekar Slebor berlagak pilon.
Menggolo menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya
berkeringat. "Ah! Aku tidak tahu, Andika.... Aku tidak tahu...."
"Kenapa, Kakang" Apakah kau lupa namamu sendiri?"
tanya Andika sambil nyengir. Menggolo tersenyum tipis.
"Aku tidak mengerti pada diriku sendiri, Andika."
"Kalau begitu. kau boleh bertanya pada istrimu. Dia
pasti tahu. Soalnya kan..., hanya dia yang bisa melihat dirimu. Iya kan, Kang"
Ayo, jangan bohong! Aku melihat kok, kalian berdua saling tatap di atas ranjang
kalau malam. Nah! Kalau lupa bentuknya, tentunya istrimu ingat, Kang. Kau bisa
bertanya pada istrimu kalau memang kau lupa...."Gurauan Andika membuat Menggolo
tersenyum. Hatinya merasa senang pada pemuda tampan berpakaian hijau pupus itu.
"Ah! Kau memang pandai menghibur, Andika. Kau berusaha membuat orang lain
senang," puji Menggolo.
"Karena, aku menyukai kegembiraan, Kang," sahut Andika."Demikian pula aku. Juga
orang-orng di daerah ini.
Juga, alam di sekitar sini. Tetapi, itu dulu. Dulu sekali, sebelum kedatangan
Manusia Pemuja Bulan. Yah!
Semuanya menjadi berantakan. Apa yang dikatakan Ki Seta memang benar...," tutur
Menggolo. "Kang Mcnggolo..., sebenarnya apakah yang telah terjadi di daerah ini?" tanya
Andika, menggunakan kesempatan.
Andika melihat Menggolo menghela napas panjang.
Ditunggunya sesaat, tidak ingin memotong pembicaraan.
Karena, sepertinya Menggolo sudah bisa menguasai
dirinya."Andika..., sungguh! Aku benar-benar tidak mengerti dengan perasaanku
sendiri. Di satu segi, aku takut. Takut sekali. Di segi lain, sejak Ki Seta
berani menentang keputusan Manusia Pemuja Bulan, kesadaranku seolah bangkit.
Yah! Kuakui..., daerah ini sekarang sudah berada di ambang kehancuran," tutur
Menggolo lagi. "Apakah sebabnya, Kang...?" cecar Andika.
"Manusia Pemuja Bulan. Yah.... Dialah penyebab semua ini."
"Bagaimana sebenarnya, Kang?"
Lalu menggolo menceritakan tentang kejadiankejadian yang dialami daerah itu, hingga kejadian yang
menimpa Ki Seta.
"Jadi.... malam Jumat nanti, giliran Mayang cucu Ki Seta yang akan menjadi
korban?" tanya Andika kemudian.
"Kau benar, Andika. Sudah sepuluh perawan tak berdosa yang dikorbankan untuk
Dewa Bulan. Karena, kalau
kami tidak mau melaksanakan, akibatnya kehancuran akan menimpa daerah ini seperti beberapa waktu lalu...."
Andika terdiam.
Otaknya yang cerdik dapat menduga. kalau seseorang yang memiliki kesaktian telah memanfaatkan orang-orang
di daerah ini, yang begitu ketakutan. Tetapi, seperti yang dikatakan Menggolo
tadi, ke manakah perginya gadis-gadis yang dijadikan tumbal"
Katanya, muncul begitu saja dalam keadaan
pingsan, lalu lenyap begitu saja. Menurut Manusia Pemuja Bulan, gadis-gadis itu
sudah berada di sisi Dewa Bulan.
Berarti, sesajen yang diberikan diterima.
"Kang Menggolo.... Di mana biasanya upacara itu diadakan?" tanya Andika.
"Di lereng Gunung Pengging."
"Di manakah Manusia Pemuja Bulan itu tinggal?"
"Tak seorang pun yang tahu, Andika. Dia datang dan muncul begitu saja."
"Kang Menggolo.... Kalau begitu, malam Jumat
depan, ajaklah aku bergabung dengan yang Iain untuk mengikuti upacara itu,"
pinta Andika. Menggolo hanya menganggukkan kepala. Nampaknya hatinya lega setelah berhasil menguasai diri dan mengatakan seluruh
kejadian demi kejadian kepada Andika."Satu lagi pintaku. Di manakah rumah
Mayang?" Menggolo menyebutkan di mana letak rumah Mayang.
Tiba-tiba saja kepalanya mendongak, menatap
Andika."Andika.... Bila melihat pakaianmu, sudah jelas kau orang dari dunia
persilatan. Benarkah dugaanku itu.
Andika?" tanya Menggolo.
Andika mengangguk.
"Ya."
"Oh, Tuhan.... Terima kasih. Hei!" Menggolo terkejut sendiri. Andika
memperhatikannya.
"Mengapa, Kang Menggolo?"
Menggolo memegang tangan Andika. Wajahnya
gembira. "Andika.... Tidakkah kau tadi mendengar kalau aku menyebutkan kata Tuhan?"
"Ya," sahut Andika, pendek.
"Oh! Kalau begitu..., aku masih mempercayaiNya.
Yah! Aku memang tidak mempercayai Dewa Bulan yang
dijadikan sesembahan," tegas Menggolo.
Andika tersenyum.
"Kang Menggolo.... Karena sebenarnya, di dasar hatimu yang paling dalam, kau
mengingkari kehendak Manusia Pemuja Bulan untuk menyembah Dewa Bulan.
Karena sesungguhnya, nuranimu telah mengatakan yang sebenarnya, kalau yang patut
disembah hanyalah Gusti Al ah...," ujar Pendekar Slebor, sok memberi nasihat.
"Ya, ya... Kau benar, Andika. Hmm.... Kalau kau memang orang dunia persilatan,
aku pernah mendengar soerang pendekar muda yang arif bijaksana dan selalu
menolong orang lemah," kata Menggolo.
"Siapakah dia, Kang Menggolo?"
Menggolo terdiam, seperti berpikir.
"Kalau tidak salah dengar, pendekar itu berjuluk Pendekar Slebor. Andika...,
tahukah kau di mana dia?"
"Maksud Kang Menggolo, Pendekar Slebor?"
"Ya! Aku ingin meminta bantuan pendekar perkasa itu. Kau tahu, di mana dia,
Andika?" Andika tersenyum.
"Kang Menggolo tidak perlu mencarinya jauh-jauh. Karena sekarang ini dia berada
di hadapan Kakang."
"Apa..."!"
*** 4 Seperti yang diberitahukan Menggolo, keesokan
paginya Andika mendatangi rumah Mayang. Rumah yang terletak menyendiri di ujung
desa hanya kecil saja, namun berkesan apik dan rapi. Andika yakin, yang menghuni
adalah orang yang rajin menjaga kebersihan.
Tetapi yang membuat kening Andika berkerut, ketika melihat kenyataan kalau di
depan rumah itu berdiri tiga orang lelaki berbadan tegap. Mereka mengenakan
pakaian dan topeng berwarna merah, menutupi seluruh kepala dan wajah. Hanya
matanya saja yang terlihat dan tampak bersinar dingin.
"Ada perlu apa kau, Anak Muda?" tanya salah seorang sambil bersedekap. Sikapnya
seperti seorang jagoan. Nada suaranya menyentak. Dengan sekali bentak, dia
mungkin ingin menggertak Andika.
Tetapi yang dihadapi adalah pendekar urakan yang
sudah tentu hanya tersenyum-senyum saja. Meskipun, otaknya berputar memikirkan
siapa ketiga manusia itu.
"Hei, Orang Pakaian Merah! Aku ingin menemui
kekasihku! Nah! Sekarang katakan, apakah dia ada"!"
Pendekar Slebor 22 Manusia Pemuja Bulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sahut Andika dengan suara menyentak pula. Bahkan sudah memasang sikap tengil,
dengan dagu terangkat dan bibir mencibir.
Andika melihat sepasang mata itu bersinar merah.
"Apa yang kau katakan, hah"!" kata laki-laki itu dengan suara ditekan. "Tidak
ada kekasihmu di sini! Lebih baik pergi saja dari sini, sebelum kemarahan kami
naik!" "Nah, nah.,.. Kok aneh" Jelas-jelas ini rumah kekasihku. Nama kekasihku Mayang,"
kilah Andika, jengkel melihat sikap ketiga orang itu. "O ya, kalau kau sendiri
mau apa" Oho! Aku tahu sekarang. Kalian bertiga ini pasti orang-orang yang
datang untuk menjaga kekasihku,
bukan" Bagus! Kalau begitu, minggirlah. Tuanmu berkenan ke rumah itu."
Dari sikap bersedekapnya, orang yang bertanya tadi
menurunkan tangannya. Kakinya melangkah, menahan
langkah Andika. Sementara yang dua lagi, tetap dengan kedua kaki terbuka dan
tangan bersedekap di dada.
"Lho, Iho..." Kenapa ini" Minggir! Kalau tidak, nanti aku tidak gaji, ya?" ejek
Andika. Sebenarnya, Pendekar Slebor paling tidak suka
melihat orang yang suka meremehkan orang lain seperti ini. Apalagi sikapnya
begitu memuakkan. Hanya yang membuatnya merasa heran, apakah sebenarnya
ketiganya memang penjaga Mayang" Wah! Kalau begitu, tentunya Mayang bukan gadis
sembarangan. Tetapi kata Menggolo, gadis itu kini sebatang kara.
Hidup dalam kemiskinan, meskipun mempunyai harta yang dikatakan Ki Seta sebelum
ajalnya. Tetapi, tak ada yang mengetahui di mana harta itu berada.
Berpikir seperti itu, Andika yakin kalau ada sesuatu yang semakin aneh saja di
sini. Pertama, siapa ketiga orang berpakaian dan bertopeng merah ini" Kedua,
harta apakah yang diributkan, sehingga Ki Seta mempertahankannya
dan menemui ajal secara mengenaskan. Mata di balik topeng itu memancarkan sinar amarah.
"Anak muda! Sudah kukatakan, lebih baik pergi dari sini!" Andika menggaruk-garuk
kepala yang tak gatal.
"Wah! Ini bagaimana, sih" Aku hendak menemui
kekasihku, kok dilarang" Memangnya kamu bapaknya, ya"
Kalau bapaknya, mengapa mukamu ditutup seperti itu"
Aha! Aku tahu, aku tahu. Pasti ada bopengnya. kan?" ledek Andika sambil nyengir.
Sebagai jawaban, orang bertopeng merah itu
melepas sebuah pukulan lurus ke wajah Andika. Wuttt!
"Uts.. !"Dalam sikap mengejek, Andika hanya memiringkan kepala sedikit saja.
Maka, pukulan itu meleset.
Melihat pukulannya meleset, orang bertopeng merah
itu semakin ganas. Kembali diserangnya Andika dengan
cepat. "Hei ittt!" seru Andika, sambil melompat. "Kalem saja. Bung! Aku tidak
lari!" Orang itu terus memburu Andika dengan seranganscrangan berbahaya. Tangan dan kakinya berkelebat cepat ke arah bagian tubuh
Andika yang mematikan. Namun
pemuda yang mewarisi ilmu Pendekar Lembah Kutukan itu dengan mudah
menghindarinya. Sepintas saja sudah
terlihat, kalau. kesaktian orang bertopeng merah itu kalah jauh dibanding
Pendekar Slebor.
"Bangsat! Pantas kau berani bertingkah, Anak
Muda!" seru laki-laki itu geram sambil menyerang lagi.
Wuuuttt! "Heaaa! Sabar, Bung.... Sabar! Kiamat masih jauh!"
ejek Andika sambil terus menghindari serangan. Namun mendadak Pendekar Slebor
menghentikan gerakannya.
Saat lawannya menyerang, dengan manis ditangkapnya tangan itu, lalu dipuntirnya.
Seketika Andika memukul punggung laki-laki ini. Desss.. ! "Aaakh...!"
Laki-laki bertopeng merah tersungkur disertai jerit kesakitan.
"He he he., lumayan juga kulitmu!" ejek Andika sambil terkekeh.
Begitu bangkit, orang itu berbalik. Kedua tangannya cepat dikibaskan dengan
kegeraman menjadi-jadi. Lalu dengan suara keras, tubuhnya meluruk menerjang.
"Heaaa! Mampuslah kau!"
"Uts.. !"
Andika cukup memiringkan tubuhnya, menghindar.
Sehingga serangan yang penuh tenaga itu pun luput dari sasaran
Sementara itu, dua orang berpakaian dan bertopeng
merah yangsejak tadi hanya tegak bersedekap, kini saling berpandang. Mereka
marah melihat kawan mereka
dipermainkan pemuda beralis seperti kepakan sayap elang itu. Maka seperti
mendapat aba-aba, keduanya maju ikut menyerang Andika.
"Wah, ini kacau!" seru Andika berlagak kebingungan.
"Hei, Monyet-monyet Bertopeng! Aku Tuanmu, yang ingin bertemu kekasihku!"
Tetapi ketiga orang bertopeng terus menyerang. Dan yang paling ganas adalah
orang yang pertama tadi, yang sudah jengkel dipermainkan Andika.
Andika yang semakin yakin kalau ada sesuatu yang
terjadi, kali ini pun bertindak. Dia merasa sudah cukup dipermainkan. Maka
dengan kecepatan mengagumkan,
tubuhnya berkelebat sambil melepas pukulan dahsyat.
Des! Des! Des! "Aaakh...!"
Dalam sekali gebrak saja, ketiga orang bertopeng itu sudah ambruk dalam keadaan
pingsan. Andika mengangkat alisnya. Nyengir.
"Hanya begitu saja sudah sombong!" kata Andika sambil menepuk-nepuk kedua
tangannya. Lalu dia
menepuk-nepuk pakaiannya, seolah menyingkirkan debu.
Kini Pendekar Slebor melangkah ringan memasuki
rumah itu. Tepat pada saat itu pintu rumah Mayang
terbuka. Andika melihat seraut wajah jelita, namun penuh
kedukaan berdiri di hadapannya. Tubuhnya nampak layu dengan mata memancarkan
kesedihan. "Inikah Mayang?" desis Pendekar Slebor di hati.
"Kakang....
Aku tidak mengenalmu. Tetapi kusarankan, agar meninggalkan rumah ini..." kata gadis cantik yang memang
Mayang. Kening Andika berkerut. Sungguh tak pernah
disangka kalau sambutan Mayang seperti ini.
"Mayang..., aku atang untuk menolongmu...," jelas Andika setelah berpikir.
"Untuk menolongku?"
Mayang mencibir, meskipun jelas sekali dalam
kedukaan. "Ya."
Hanya itu yang bisa dikatakan Andika, karena tidak
tahu harus berkata apa. Gadis itu menggeleng.
"Kakang..., tidak ada yang perlu ditolong.... Aku baik-baik saja...," tegas
Mayang. "Tetapi...."
"Pergilah dari sini, Kakang...," potong Mayang.
Menghadapi gadis yang kaku tak ubahnya mayat
seperti ini, Andika yang biasanya lincah, kini mati kutu. Dia tidak tahu harus
berbuat apa. Tetapi keingin tahuannya tentang kesediaan Mayang yang hendak
dijadikan lumbal oleh Manusia Pemuja Bulan, semakin mendesaknya.
"Mayang..., aku datang ingin menolongmu," tegas Pendekar Slebor sekali lagi.
"Maaf, jangan dipotong dulu.
Apakah kau bersedia dijadikan tumbal oleh Manusia
Pemuja Bulan?"
"Kalau itu yang Kakang ingin ketahui..., yah! Aku bersedia...."
"Namaku Andika...."
"Sekarang, tinggalkanlah tempal ini, Kang Andika...,"
ujar gadis ini.
"Mayang, mengapa kau bersedia melakukannya"
Apakah kau tidak tahu kalau Manusia Pemuja Bulan
hanyalah orang sesat yang memanfaatkan keluguan kalian dengan kesaktiannya?"
Gadis itu tersenyum hambar.
"Jangan menghina Ketua Wedokmurko, Kang Andika.
Kau akan mengalami hal yang mengerikan sekali. Seperti Aki," ujar Mayang.
"Kakekmu meninggal bukan karena amarah Dewa
Bulan, tetapi dibunuh Manusia Pemuja Bulan," tukas Andika."Kang Andika salah.
Dewa Bulan marah pada Aki, karena tidak memberitahukan harta apa yang disembunyikannya. Bukan Ketua Wedokmurko yang membunuh
Aki! Tetapi, Dewa Bulan yang marah pada Aki,"sergah Mayang, mantap.
Kali ini Andika benar-benar mati kutu, tidak tahu
cara menghadapi gadis ini.
"Mayang..., seharusnya kau mengerti, bahwa aku"
Brakkk! Kata-kata Andika terpotong, karena Mayang sudah
mcnutup pintu. "Monyong!" sungut Pendekar Slebor. "Aku jadi penasaran ingin mengetahui kayak
apa sih Manusia
Pemuja Bulan itu?"
*** Andika kembali lagi ke rumah Menggolo, hendak
menanyakan tentang ketiga orang berpakaian dan
bertopeng merah di rumah Mayang tadi. Juga memberitahukan sikap bulat Mayang yang tetap bersedia menjadi korban Dewa Bulan.
Yang mengherankannya wajah Mayang begitu kaku,
tak ubahnya mayat hidup. Setiap kali berkata-kata tadi, tak ada perubahan wajah
sesuai kata-katanya. Tak lebih bila dikatakan, Mayang seperti tengah menghafal
kalimat-kalimat saja sebagai jawaban.
Andika pun semakin bergegas ke rumah Menggolo.
Namun alangkah terkejutnya Andika, ketika dari
kejauhan terlihal kerumunan orang di rumah Menggolo.
Batinnya bergetar. Apakah sesuatu telah terjadi"
Bergegas Pendekar Slebor melangkahkan kakinya.
datang ke sana. Namun belum lagi ia berbuat apa-apa.
"Itu dia orangnya!"
Orang-orang itu kontan berbalik, menatap Andika
dengan wajah garang dan tatapan marah.
"Hhh! Sudah kukatakan kemarin, kalau pemuda
inilah yang membunuh Medi! Dan sekarang,
dia membunuh Kang Menggolo dan istrinya!"
Andika masih ingat, kalau yang membentak itu lakilaki berkumis tebal yang dikenal bernama Sawedo.
"Saudara Sawedo..., sabar dulu. Ada apakah ini"
Apakah yang dialami Kang Menggolo dan istrinya?" tanya Andika tanpa bisa
menyembunyikan ketegangannya.
"Jangan banyak omong! Kau harus mempertanggungjawabkan
perbuatanmu yang telah membunuh Kang Menggolo dan istrinya!" dengus Sawedo.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Sawedo sudah maju
dengan golok besar di tangannya. Cepat dibabatkannya golok itu.
"Hih!"
Bet...! Andika berkelit. Kini Pendekar Slebor tahu, kalau ajal telah menjemput Kang
Menggolo dan istrinya. Oh, Tuhan...!
Siapakah yang telah membunuhnya" Apakah ini petaka yang dikatakan Menggolo
kctika bercerita tentang Manusia Pemuja Bulan"
Namun Pendekar Slebor sudah tidak bisa berpikir
lagi. Karena sekarang bukan hanya Sawedo yang menyerangnya. Berpuluh-puluh laki-laki dengan senjata di tangan telah memburunya.
"Sabar! Sabar! Kita semakin salah paham!" ujar Pendekar Slebor, sambil terus
berkelit menghindari serangan.
"Manusia hina!" maki Sawedo geram sambil mengayunkan kembali golok besarnya.
"Kau balas pertolongan Kang Menggolo dengan mencabut nyawanya!"
"Kalian salah paham!" seru Andika. "Aku tidak membunuh siapa-siapa!"
Namun tak seorang pun percaya akan kata-kata
Andika. Terutama, Sawedo. Dia sejak pertama memang tidak mempercayai Andika.
Namun karena merasa Kang Menggolo yang bertanggung jawab, sesuai janji Andika
untuk menangkap pembunuh Medi, makanya Sawedo
membiarkan Andika dibebaskan. Tetapi sekarang, semua kecurigaannya terbukti.
Andika sendiri mendengus melihat orang-orang itu
menyerang dengan ganas. Tak ada jalan lain kecuali melarikan diri dari tempat
itu. Dan Andika tahu, ini hanyalah kesalah pahaman telah terjadi. Kalau dirinya
masih berada di sini, tidak mustahil orang-orang itu akan
bertambah kalap.
Maka begitu mendapat kesempatan, Pendekar
Slebor melenting tinggi ke udara, melewati kepala orang-orang yang mengepungnya.
Begitu menjejak tanah,
tubuhnya langsung berkelebat meninggalkan tempat ini.
Orang-orang itu pun langsung memburu Andika
dengan seruan-seruan keras. Namun sudah tentu mereka lidak mampu mengejar Andika
yang memiliki ilmu lari secepat angin.
*** 5 Tak seorang pun yang tahu kalau di bagian kanan
Gunung Pengging terdapat sebuah gua. Tempatnya gelap dan sepi, terhalang
tetumbuhan merambat. Letaknya
memang sulit dicapai, berada di sisi sebuah jurang.
Bahkan terhalang rimbunnya semak belukar.
Hanya Manusia Pemuja Bulan dan orang-orang
berpakaian dan bertopeng merah saja yang tahu kalau di sana ada sebuah gua. Di
sanalah tempat persembunyian Wedokmurko,
bersama pengikut-pengikutnya
yang berpakaian dan bertopeng merah.
Malam ini, suasana di sekitar gua itu tetap sunyi, gelap, sekaligus menyeramkan.
Di luar gua,berkeliaran beberapa orang yang berpakaian dan bertopeng merah.
Sementara di salah satu bagian gua, teri hat sebuah api unggun menyala,
menerangi sekitarnya.
Pendekar Slebor 22 Manusia Pemuja Bulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di antara jilatan cahaya api unggun, laki-laki
berjubah hitam dan berwajah tirus sedang duduk berlutut, di hadapan sebuah pilar
batu. Di atas pilar terdapat satu sosok tubuh yang tergolek lemah dalam keadaan
telanjang bulat.
Mulut laki-laki yang tak Iain Ki Wedokmurko alias
Manusia Pemuja Bulan komat-kamit, membaca mantc-ra.
Lalu diambilnya dupa yang mengepulkan asap di antara kedua kaki gadis itu.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba Ki Wedokmurko terbahak-bahak, suara-nya
menggema keras.
"Aku hanya membutuhkan empat orang perawan lagi untuk menyempurnakan ajian
Kelelawar Iblis Merah 1 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Golok Halilintar 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama