Tanah Warisan 10
Tanah Warisan Karya Sh Mintardja Bagian 10 Lamat-lamat mereka mendengar tengara, suara kentongan dikejauhan. Nada kentongan itulah yang membuat dada mereka berdebar-debar. Titir. Dan mereka menjadi semakin yakin, ketika suara titir itu segera menjalar keseluruh padesaan di Kademangan Candisari. "He, kau dengar suara titir itu?" bertanya salah seorang pengawal kepada kawannya. "Ya, titir." "Dan kau tahu artinya?" "Bahaya yang paling mengancam Kademangan." Tiba-tiba di antara mereka Temunggul menjadi gemetar. Terngiang kata-kata Ki Demang di Kademangan pagi tadi. Jika demikian maka suara titir itu adalah pertanda datangnya bahaya dari padepokan Panembahan Sekar Jagat. Dengan suara gemetar ia berkata kepada Ki Jagabaya yang berada di antara mereka pula, "Kita harus segera kembali." Wajah Ki Jagabaya pun menjadi tegang, "Ya, tetapi bagaimana dengan Bramanti?" "Ia sedang mengurusi keluarganya." "Seharusnya ia mendengar suara titir itu." Temunggul mengerutkan keningnya. Katanya, "Panggiring sudah ada disini, dan kini kita mendengar kentongan titir. Apakah ada hubungannya antara kegagalan Panggiring membujuk keluarganya untuk mendapatkan tempat tinggal di Kademangan ini dengan suara titir itu?" "Maksudmu, bahwa Panggiring itu pulalah yang kini datang ke Kademangan dengan nama Panembahan Sekar Jagat?" Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian katanya, "Persetan. Tetapi kita harus berada di Kademangan. Mungkin gardu-gardu yang hanya ditunggui oleh beberapa orang itu kini telah disapu bersih, justru sebagian terbesar anakanak muda yang tidak sedang bertugas lagi berada disini." "Ya, kau benar," sahut Ki Jagabaya. Namun sebelum mereka mengambil keputusan, mereka melihat sesosok bayangan berlari-lari. Bramanti. "Bagaimana dengan suara titir itu?" bertanya Temunggul ketika Bramanti telah berada di lingkungan anak-anak muda yang kebingungan. "Kita pergi ke Kademangan. Aku urungkan niatku untuk menemui kakang Panggiring. Kita selesaikan 308 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan dulu persoalan kita dengan Panembahan Sekar Jagat." "Justru setelah usaha Panggiring gagal." Bramanti mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Aku tidak tahu. Siapapun yang bernama Panembahan Sekar Jagat itu, kita harus menyelesaikan." Bramanti tidak menunggu jawaban lagi. Segera ia berlari-lari menuju ke Kademangan. Menurut perhitungannya Panembahan Sekar Jagat pasti akan langsung menuju ke tempat itu, karena ia tahu bahwa pusat penjagaan para pengawal berada di Kademangan itu. Para pengawal, anak-anak muda dan bahkan orang tua-tua pun segera mengikutinya. Mereka sadar, bahwa apabila benar Panembahan Sekar Jagat datang, maka Kademangan Candisari akan berada dalam kesulitan. Menurut beberapa orang, Panembahan Sekar Jagat adalah seorang yang tidak dapat dikalahkan oleh siapapun juga. Bahkan satu dua orang telah menambah keterangan, bahwa Panembahan Sekar Jagat mempunyai aji Pancasona. Ia tidak akan dapat mati, selama ia masih menyentuh tanah. Sambil berlari-lari Bramanti masih sempat berteriak, "Temunggul, anak-anak muda seluruh Kademangan harus bersiap. Mereka harus membawa senjata mereka. Yang sempat membuat diharap membawa obor-obor dari jenis apapun juga. Tidak ada yang menjawab. Namun dengus nafas mereka, seakan-akan dengus nafas seekor harimau yang terluka. Satu dua orang sempat singgah ke rumah masing-masing untuk mengambil obor minyak jarak, atau obor kecil dari biji-biji jarak kepyar, atau obor belarak. Dalam pada itu, Ki Tambi yang sedang memapah Nyai Pruwita pun mendengar suara titir itu pula, sehingga dadanya menjadi berdebar-debar. "Titir itu?" bertanya Nyai Pruwita. Ki Tambi menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Itu adalah suatu sikap hati-hati. Mungkin tidak ada apa-apa, namun mungkin anak-anak itu melihat sesuatu yang mereka curigai." "Bukankah kentong titir pertanda ada Rajapati." "Maksud Nyai, pembunuhan?" Perempuan tua itu mengangguk. "Ya. Tetapi kali ini kita disini telah mempunyai semacam perjanjian. Kentong titir mempunyai arti tersendiri. Bahaya yang besar sedang mengancam Candisari." Nyai Pruwita itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun terasa tubuhnya memang agak gemetar. "Kita pergi kemana?" bertanya perempuan itu kemudian. "Aku ingin mengantarkan Nyai dahulu, kemudian aku akan pergi ke Kademangan, untuk melihat, apakah 309 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan yang datang itu benar-benar yang kita tunggu selama ini." "Siapa?" "Panembahan Sekar Jagat." "Panembahan Sekar Jagat?" perempuan itu menjadi tegang, "Dimana Bramanti" Ia adalah salah seorang yang telah melawan Panembahan Sekar Jagat atau utusannya secara terbuka. Bramantilah yang akan mendapat perhatian khusus dari Panembahan Sekar Jagat itu. Ia harus bersembunyi. Ia harus bersembunyi." "Ia akan dapat menjaga dirinya Nyai. Anakmu adalah seorang anak muda yang luar biasa. Ilmunya telah meyakinkan seluruh isi Kademangan, bahwa hanya anakmulah yang akan dapat melawan Panembahan Sekar Jagat." "Tetapi tidak seorang pun yang dapat meremehkan, siapakah yang lebih unggul di antara mereka berdua." "Seluruh Kademangan meletakkan harapan kepada Bramanti." "Aku tidak peduli. Kademangan ini telah merampas kebahagiaanku. Kademangan ini pulalah yang telah menolak kehadiran Panggiring, dan sekarang Kademangan ini akan merampas Bramanti. Tidak. Tidak. Aku tidak mau kehilangan semuanya. Suamiku, Panggiring dan sekarang Bramanti." Kita Tambi menjadi bingung menghadapi Nyai Pruwita yang kehilangan akal. Perempuan itu agaknya memang sudah tidak dapat diajak berbicara lagi. "Baiklah Nyai," berkata Ki Tambi kemudian, "Aku akan mencari Bramanti. Tetapi sebaiknya Nyai pulang dahulu. Suara titir itu pun masih belum dapat kita pastikan artinya." Nyai Pruwita mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia berbisik, "Apakah kentong itu ditujukan kepada Panggiring?" "Tidak. Tentu tidak. Panggiring bukan seorang pengecut. Ia adalah laki-laki jantan. kalau ia berkata pergi, maka ia pun akan pergi. Aku kira suara itu tidak ada sangkut pautnya lagi dengan Panggiring." Perempuan tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun lambat, namun mereka berdua akhirnya telah memasuki pedesaan. Betapa gelisahnya Ki Tambi namun ia masih mencoba menahan diri. Dengan sareh ia memapah Nyai Pruwita naik ke pendapa, kemudian membawanya masuk ke rumahnya. Perlahan-lahan dilayaninya perempuan itu duduk di amben bambu di ruang tengah. "Nyai," berkata Ki Tambi, "Aku langsung mita diri. Mudah-mudahan tidak ada apaapa di pedesaan ini." Nyai Pruwita mengangguk-anggukkan kepa-lanya. Katanya, "Ki Tambi. Bawa anakku pulang. Bawa Bramanti kembali kepadaku. Aku menyesali sekali bahwa aku telah mengatakan keadaannya yang sebenarnya." Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Ia pun telah mengatakannya pula. Jauh lebih banyak dari yang dikatakan oleh Nyai Pruwita. 310 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Tetapi Ki Tambi tidak mempunyai banyak waktu. Sambil melangkah ia menjawab, "Aku akan membawa Bramanti pulang. Tunggulah dengan tenang disini Nyai." Sejenak kemudian Ki Tambi telah melangkah tlundak pintu. Setelah menutup pintu itu kembali, maka ia pun langsung menghambur ke halaman dan berlari-lari ke Kademangan. Belum lagi ia melampaui gardu pertama, ia telah melihat kesibukan yang luar biasa. Anak-anak muda di gardu itu telah berdiri berderet-deret di pinggir jalan dengan senjata telanjang. "Apa yang telah terjadi?" bertanya Ki Tambi. "Panembahan Sekar Jagat telah datang." "Panembahan Sekar Jagat sendiri?" "Kamai belum melihatnya sendiri." Ki Tambi mengerutkan keningnya. Kemudian ia berkata, "Panembahan Sekar Jagat hanya satu. Seandainya Panembahan Sekar Jagat benar-benar orang yang tidak terkalahkan, namun anak buahnya adalah orang-orang yang berdaging lunak seperti kalian. Ujung-ujung senjata kalian tidak akan mengulang untuk kedua kalinya. Sedang Panembahan Sekar Jagat sendiri, serahkan kepada Bramanti." Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Namun mereka sudah bukan anak-anak muda Candisari beberapa saat yang lalu. Kini mereka bertekad untuk mempertahankan kampung halaman mereka sampai kemampuan yang penghabisan. "Inilah saatnya," berkata Ki Tambi, "Kalian tidak dapat lagi tidur bermalasmalasan. Atau memanjakan diri kalian sendiri. Kalian harus berhadapan dengan kenyataan, bahwa pada suatu saat kalian harus bersikap terhadap tanah ini. Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. "Hati-hatilah," pesan Ki Tambi yang kemudian segera melangkah dengan tergesagesa meninggalkan gardu itu. Semakin dekat dengan Kademangan, Ki Tambi merasakan, bahwa suasana memang menjadi semakin panas. Tidak hanya anak-anak muda, tetapi hampir setiap laki-laki telah keluar dari rumahnya dengan senjata di tangan. Ketika Ki Tambi sampai ketikungan terakhir, maka langkahnya terhenti. Ia melihat sekelompok anak-anak muda berdiri disebelah menyebelah jalan. Beberapa orang di antara mereka berada di dalam pagar batu. "He, kenapa kalian berada disini?" "Di depan itu adalah laskar Panembahan Sekar Jagat," jawab salah seorang dari mereka. "He?" Ki Tambi terkejut, "Mereka sudah berada di Kademangan?" "Ya. Sebagian dari mereka berada di halaman. Sebagian yang lain berada di luar." 311 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan "Apakah kau melihat Bramanti?" "Bramanti berada di halaman itu pula." "Jadi, maksudmu Bramanti tidak mengadakan perlawanan?" "Bukan begitu. Mereka sedang berbicara. Panembahan Sekar Jagat mempunyai beberapa tuntutan." "Apakah Bramanti hanya seorang diri?" "Tidak. Temunggul, Ki Jagabaya dan hampir semua pengawal berada disana. Mereka telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dan kami pun hanya menunggu perintah. Kami berada di luar kepungan laskar Panembahan Sekar Jagat. Tugas kami adalah memecahkan kepungan itu dari luar. "Apakah hanya kalian saja yang berada disini?" "Ya. Tetapi disetiap jalan yang menuju ke Kademangan, telah dipersiapkan sekelompok pasukan. Kami akan menyerang dari segala arah apabila pertempuran terjadi. Sedang di dalam kepungan terdapat para pengawal yang dipimpin oleh Bramanti. Dada Ki Tambi menjadi berdebar-debar. Ia ingin masuk ke halaman Kademangan supaya ia dapat melihat perkembangan keadaan. Tetapi apakah ia dapat menerobos kepungan yang dilakukan oleh orang-orang Panembahan Sekar Jagat" Karena itu maka ia pun bertanya pula, "Apakah kepungan itu terlampau rapat?" "Kami tidak tahu pasti. Mungkin kepungan itu tidak tertembus sama sekali." Tetapi Ki Tambi bukan orang yang mudah berputus asa. Maka katanya, "Aku akan mencari celah-celah yang dapat aku susupi. Aku tidak yakin bahwa lingkaran kepungan itu demikian rapatnya, sampai kerumpun-rumpun bambu dikebun belakang, atau sampai ke pinggir parit dibawah pohon cangkring." Anak-anak muda itu tidak menyahut. Tetapi kepala mereka terangguk-angguk. Dengan hati-hati Ki Tambi pun melangkah maju. Tetapi ia kini tidak melalui lorong yang langsung menuju ke regol Kademangan. Dicarinya jalan lewat jalurjalur setapak dikebun-kebun disekitar Kademangan menuju ke halaman belakang yang rimbun. Ki Tambi itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Panembahan Sekar Jagat mempunyai kecakapan khusus sehingga anak-anak muda Candisari menganggap bahwa halaman Kademangan memang sudah terkepung rapat. "Bahkan orang-orang di halaman itu pun pasti menyangka, bahwa kepungan ini tidak terputus," katanya di dalam hati. "Aku kira mereka pasti sudah mengadakan gelar sandi, berkeliaran disekitar Kademangan sehingga membuat kesan seolah-olah laskar mereka cukp banyak dan berhasil mengepung Kademangan." Namun Ki Tambi yang pernah melakukan petualangan sampai ke pesisir Utara itu masih mampu mencari celah-celah yang dapat dilaluinya. 312 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Sambil merunduk-runduk dan menahan pernafasannya, Ki Tambi menjadi semakin dekat. Diseberangi sebuah parit kecil, kemudian berlindung dibelakang gelapnya bayangan daun cangkring yang rimbun. Perlahan-lahan ia maju. Setapak demi setapak. Sehingga akhirnya ia sampai ke dinding belakang Kademangan. "Hem, jalan ini terbuka," desisnya. Tetapi dinding bagian belakang ini agak tinggi. Ki Tambi itu pun kemudian mencoba untuk memanjat. Dengan serta merta ia pun segera meloncat masuk. Tetapi begitu kakinya menjejak tanah dua ujung tombak telah melekat di dadanya. "He, lihat. Aku Tambi," desisnya. "Oh," mata tombak itu pun kemudian merunduk," Ki Tambi. Maaf, aku tidak dapat segera mengenal." "Bagus. Kalian menjadi kian tangkas," desis Ki Tambi, kemudian, "Dimana Bramanti?" "Di halaman." "Apakah Panembahan Sekar Jagat berada di halaman pula?" "Ya," jawab salah seorang dari keduanya. Ki Tambi mengerutkan keningnya. Dipandanginya kedua orang itu berganti-ganti. Kemudian orang-orang lain yang berada disekitarnya. Ternyata bahwa di kebun belakang Kademangan itu telah penuh dengan para pengawal. Hampir pada setiap batang pohon bersandar anak-anak muda yang bersenjata telanjang. "Aku akan menemui Bramanti," berkata Ki Tambi. "Hati-hatilah. Tetapi tidak begitu banyak orang Panembahan Sekar Jagat yang ada di bagian belakang. Sebagian terbesar dari mereka berada di depan." Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Justru mereka memusatkan orang-orang mereka untuk masuk dari jurusan ini," jawab salah seorang pengawal. Ki Tambi mengerutkan keningnya, "Mungkin. Tetapi aku baru saja menyusup dari jurusan ini. Agaknya mereka telah melakukan suatu gerakan yang dapat membingungkan kita." Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sementara Ki Tambi melangkah memutari rumah Kademangan menuju ke halaman depan. Sejenak mereka tertegun ketika ia melihat seseorang yang duduk di atas punggung kuda putih. Ditangannya tergenggam sebuah trisula bertangkai pendek. Tidak lebih panjang dari lengan tangan orang yang memeganginya. "Hem, inikah orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat?" berkata Ki Tambi di dalam hatinya. Namun Ki Tambi masih tetap berdiam diri. Perlahan-lahan ia bergeser mendekati Ki Jagabaya yang berdiri tegang. Di sampingnya Temunggul mematung dengan wajah yang merah padam. Bramanti berdiri agak kemuka. Beberapa langkah dihadapan orang yang duduk di atas kuda putih. 313 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan "Menurut pengamatanku, orang itu sama sekali bukan Panggiring," desis Ki Tambi di dalam hati. "Sekarang mereka akan dapat menarik kesimpulan bahwa dugaan anak-anak itu keliru." "Bagaimana?" terdengar suara Panembahan itu menggelegar, "Aku sudah berlaku adil." Ki Tambi mengerutkan keningnya. Kemudian ia berbisik kepada Temunggul, "Apa yang ditawarkannya?" "Ia akan mengambil Bramanti, tanpa mengusik orang lain, karena yang telah membunuh Sapu Angin adalah Bramanti." Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia terkejut ketika ia mendengar orang yang duduk di atas kuda putih itu berkata, "He, kau orang baru, apakah yang kau tanyakan?" "Tuntutanmu," jawab Ki Tambi tanpa mengenal takut. Semua orang berpaling kepadanya. Bramanti pun berpaling pula. Sementara Ki Tambi melangkah maju, "Apakah dasarmu, bahwa kau hanya sekadar ingin mengambil Bramanti" Apakah kau anggap dengan demikian persoalan akan selesai" Seandainya demikian, kami bukan tikus-tikus yang paling bodoh," Ki Tambi berhenti sejenak, lalu, "Tetapi apakah kau yang bernama Sekar Jagat?" Orang itu tidak segera menyahut. Dipandanginya orang tua yang dengan berani telah mendekatinya. "Siapa kau?" "Akulah yang bernama Ki Tambi." Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Kau terlampau sombong orang tua. Apakah kau sangka namamu dapat mengejutkan aku?" "Tidak. Aku tidak ingin mengejutkan kau." "Terima kasih. Kau memang baik hati," jawab Sekar Jagat sambil tersenyum. "Aku juga ingin memperkenalkan diriku. Namaku sudah kau sebut. Dan kini aku mengharap bahwa permohonanku kepada rakyat Candisari akan dikabulkan. Hanya seorang diantara kalian. Itu pun yang telah nyata bersalah." Ki Tambi tidak segera menjawab. Dipandanginya Bramanti yang berdiri tegak seperti patung. Namun tiba-tiba Ki Tambi berkata lantang, "Itu omong kosong. Tidak ada orang yang pernah bersalah terhadap kalian. Kalianlah yang bersalah terhadap kami," kemudian ia berpaling kepada Bramanti. "Apakah jawabanmu?" "Terserah kepada rakyat Candisari," desis Bramanti, "Kalau kita mempunyai harga diri, maka kita akan menghancurkan pasukan Sekar Jagat." Sebelum Ki Tambi menyahut, Ki Jagabaya, melangkah maju pula, "Aku sudah menggenggam senjata." "Nah, kau dengar Sekar Jagat," teriak Ki Tambi yang perasaannya memang sedang melonjak-lonjak tidak karuan, "Kami juga bersenjata seperti kalian. Apakah kau tidak melihat" Kami bukan kambing perahan yang dapat kau perlakukan sewenangwenang." 314 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Panembahan Sekar Jagat mengerutkan keningnya, kemudian, "Tetapi aku sudah mendapat kekuasaan untuk melakukannya dari pemimpin tertinggi kalian, Ki Demang Candisari." "Omong kosong." "Bertanyalah kepadanya. Ia ada bersama kami." Temunggul mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia maju, ketika ia melihat seseorang muncul dari belakang beberapa pengawal terpercaya Panembahan Sekar Jagat. "Jadi kaukah itu Ki Demang?" teriak Temunggul. Ki Demang yang kemudian berdiri disamping Panembahan Sekar Jagat menganggukkan kepalanya, "Aku tidak akan berpura-pura lagi. Sebenarnyalah aku telah meletakkan perlindungan wilayah ini dari keganasan para penjahat di bawah kaki Panembahan Sekar Jagat. Karena itu kalian jangan berbuat bodoh. Kalian harus mengorbankan anak Pruwita ini. Anak seorang pejudi, pemeras dan seorang penjahat yang licik tidak ada taranya." "Cukup," teriak Temunggul dan Bramanti hampir berbareng. Sementara Temunggul berkata terus, "Jadi inilah penjelasan dari sikapmu itu Ki Demang. Sehingga kau telah membujuk aku untuk melakukan pembunuhan atas Bramanti?" Ki Demang tidak ingkar. Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, "Ya. Itulah. Nah, sekarang pertimbangkan." "Persetan," Ki Tambilah yang berteriak. "Kami akan bertempur. Kami sudah siap dari ujung sampai ke ujung Kademangan. Kalian akan kami tumpas seperti menumpas tikus disawah." Tetapi Panembahan Sekar Jagat justru tertawa sambil berkata, "Kau memang orang tua yang sombong. Tetapi baiklah aku jelaskan. Kademangan ini telah terkepung. Kalau kalian tidak menyerahkan Bramanti, maka Kademangan ini akan menjadi karang abang." Ki Tambi mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Kau tidak dapat mengelabuhi orang tua-tua Sekar Jagat. Mungkin kau dapat menakut-nakuti anak-anak. Tetapi aku telah melihat dengan mata kepalaku sendiri, bahwa orang-orangmu tidak lebih dari sebaris laskar yang kelaparan disekitar halaman Kademangan ini. Itupun tidak melingkar rapat. Sedang diluar kepungan ini anak-anak muda telah siap untuk menghancurkan kalian. Nah, apakah kau masih akan menyombongkan dirimu dan pasukanmu?" Panembahan Sekar Jagat mengerutkan keningnya. Dan ia masih mendengar Ki Tambi berkata, "Kemudian, seandainya kau ingin membakar Kademangan ini, kami tidak akan berkeberatan. Maksudku rumah Demang yang telah menjual Kademangannya. Bakarlah. Jadikanlah karang abang. Kami akan berterima kasih." Ki Demang mengumpat tidak habis-habisnya sedang Panembahan Sekar Jagat bertanya dalam nada yang berat, "Itukah permintaanmu" Permintaan kalian?" "Persetan," Ki Jagabaya yang menjawab, "Ayo, lakukanlah." Panembahan Sekar Jagat merenung sejenak. Sekali ia berpaling dan beberapa orangnya melangkah 315 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan maju. Bramanti masih berdiri dengan dada berdebar-debar. Ia menyadari, bahwa orangorang itu adalah orang-orang yang cukup buas, sehingga mereka akan dapat melakukan apa saja. Perintah Sekar Jagat bagi mereka adalah keharusan sampai saat ajalnya. Karena itu, untuk menghindari korban yang mengerikan akan berjatuhan, Bramanti berkata lantang, "Panembahan Sekar Jagat. Kau jangan mencoba menakut-nakuti rakyat Candisari sekarang. Mereka bukan lagi pengecut seperti beberapa saat yang lampau. Namun seandainya kau ingin berbuat jantan, dan untuk menghindari korban yang tidak perlu, marilah kita berbuat seperti laki-laki." Suara Bramanti itu menggelegar memenuhi setiap dada. Bahkan Panembahan Sekar Jagatpun menjadi termangu-mangu karenanya. "Marilah kita bertaruh," berkata Bramanti. "Apakah yang akan kita pertaruhkan anak penjudi," sahut Sekar Jagat, bahkan ia sempat menambah, "Bukankah darah ayahmu menurun juga kepadamu." "Diam," teriak Bramanti, "Aku ingin mempertaruhkan nyawa. Kita berperang tanding. Kalau kau menang, kau dapat membunuh aku dan mencincang tubuhku. Tetapi kalau kau mati, maka anak buahmu akan menjadi tawanan kami, sampai saatnya kami menyerahkan mereka kepada kekuasaan tertinggi. Mataram." "Omong kosong dengan Mataram yang belum dapat berdiri tegak," sahut Panembahan Sekar Jagat. "Tetapi tawaranmu sangat menarik." "Nah, marilah. Kita bertempur di halaman ini." Panembahan Sekar Jagat termenung sejenak. Sehingga sejenak halaman itu menjadi sepi. Tetapi sepi yang tegang. Tiba-tiba tanpa mengucapkan sepatah katapun Panembahan Sekar Jagat turun dari kudanya. Dijinjingnya trisulanya sambil melangkah beberapa langkah maju. Dilepaskannya saja kudanya sehingga salah seorang anak buahnya dengan tergesa-gesa menangkap kendalinya. "Kau adalah anak muda yang jantan Bramanti," berkata Panembahan Sekar Jagat. "Nah, kalau begitu marilah, aku penuhi permintaanmu." Suasana yang tegang itu menjadi semakin tegang. Dengan hampir tidak berkedip mereka memandangi Panembahan Sekar Jagat dan Bramanti berganti-ganti. Panembahan Sekar Jagat, adalah seorang yang bertubuh kecil pendek terpelihara rapi. Pakaiannya pun adalah pakaian yang baik dan mahal. Orang-orang di halaman itu tidak dapat melihat wajah itu dengan sempurna. Tetapi mereka menduga bahwa Panembahan Sekar Jagat berumur kira-kira dipertengahan abad. "Bersiaplah anak muda," suara Panembahan Sekar Jagat sareh, "Sebaiknya kita segera mulai. 316 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Bramanti mengangkat dadanya. Ia pun maju setapak. Kemudian berkata lantang, "Menepilah. Lihatlah, apakah yang akan terjadi. Kalian sudah mendengar, apa yang akan kami lakukan." Ki Tambi mengerutkan keningnya. Ia masih berdiri di tempatnya. Bahkan ia pun kemudian melangkah maju mendekati Bramanti sambil berkata, "Hati-hatilah Bramanti." Bramanti tidak menjawab. Dipandanginya Ki Tambi sekilas. Orang tua itu baru saja mengumpatinya. Tetapi ini terasa, betapa orang tua itu mencemaskan nasibnya. Perlahan-lahan Bramanti menganggukkan kepalanya. "Nah, berilah anak itu petunjuk agar ia tidak mengecewakan," desis Sekar Jagat. "Aku tidak perlu memberinya petunjuk apapun. Tidak ada seorang pun yang dapat menyamainya. Sapu Angin itu mati dengan beberapa kejap saja," jawab Ki Tambi. Panembahan Sekar Jagat mengerutkan keningnya. Kemudian trisulanya pun merunduk perlahan-lahan. Desisnya, "Minggirlah. Kami memerlukan tempat yang cukup." Maka orang-orang yang berada di halaman itu pun segera menyibak. Namun dengan demikian, orang-orang yang berdiri agak jauh menjadi semakin mendekat. Mereka ingin melihat apa yang akan terjadi kemudian dengan kedua orang itu. Meskipun demikian Temunggul masih sempat berbisik kepada salah seorang pengawal, "Jangan lengah, awasi anak buah Sekar Jagat. Mungkin ada di antara mereka yang akan berbuat curang." Pengawal itu pun menganggukkan kepalanya, dan perintah itu segera menjalar dari telinga ke telinga. Sementara keduanya saling berhadapan, dan masing-masing telah menggenggam senjata masing- masing dengan eratnya, maka sebuah bayangan di ujung Kademangan berjalan dengan kepala tunduk. Langkahnya satu-satu seakan-akan diberati oleh segumpal batu hitam. Namun ia masih tetap berjalan meskipun semakin lambat. Tiba-tiba bayangan itu berhenti. Sejenak ia berhenti mematung, namun kemudian dipalingkannya wajahnya. Dihisapnya udara malam yang sejuk itu dalam-dalam, seakan-akan ia mencoba mendinginkan hatinya yang sedang menggelepar. Orang itu, Panggiring, kini berdiri tegak sambil memandangi Kademangan yang akan ditinggalkannya. Usahanya untuk kembali ke kampung halamannya ternyata sama sekali tidak memberikan buah seperti yang diharapkan. "Aku tidak akan melihatnya lagi," desisnya. "Tetapi itu adalah salahku." Tiba-tiba terbayang sejenak masa kanak-kanak. Bagaimana ia dipukuli oleh ayah Bramanti yang sedang kalah dilingkaran judi, justru pada saat ia memberitahukan bahwa Bramanti sedang dalam keadaan sakit yang gawat. Kemudian ia terusir dari kampung halaman, mengembara tidak tentu tujuan. Setiap orang selalu mengusirnya seperti mengusir burung disawah. Terkenang olehnya, bagaimana ia hampir kelaparan di pinggir sawah tanpa seorang pun yang mengasihinya. Dan terkenang pula olehnya, bagiamana ia menjadi putus asa, dan kehilangan akal, 317 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan sehingga tiba-tiba saja ia telah menerkam seorang gadis kecil yang sedang pergi ke sawah, membawa makanan untuk ayah atau kakaknya yang sedang bekerja. Kemudian dirampasnya makanan itu, dibawanya bersembunyi ke dalam gerumbul. Panggiring menggeleng-gelengkan kepalanya. Hampir saja ia mati tercekik justru karena ia menyuapi mulutnya terlampau banyak. Sedemikian laparnya, sehingga ia ingin menelan sebungkus nasi itu sekaligus. "Itulah permulaannya," desisnya. Dan seterusnya terbayang apa yang terjadi, seperti ia melihatnya sendiri dalam suatu rangkaian peristiwa yang baru saja kemarin terjadi. Perampasan, pencurian kecil-kecilan dan perampokan terhadap penjual makanan dan minuman. Terkenang pula olehnya, ketika pada suatu ketika ia dikejar-kejar oleh orangorang sedesa karena ia mencuri. Dengan terengah-engah ia terperosok ke dalam sebuah gerumbul. Ia terbebas dari orang-orang yang mengejarnya ketika tiba-tiba saja bahunya ditepuk oleh seseorang yang tidak dikenalnya. Demikian takutnya, sehingga tanpa mengucapkan sepatah katapun ia langsung menyerang orang itu. Tetapi ia terpelanting jatuh. Seakan-akan tulang-tulangnya terasa berpatahan. Hatinya menjadi semakin kecut ketika ia melihat orang itu justru tertawa. Katanya, "Kau berbakat. Kau berhasil lolos dari orang-orang bodoh yang mengejarmu. Mari ikut aku." Saat itu ia menjadi kebingungan sejenak. Namun akhirnya ia mengikutinya. "Hem," Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Hari-hari berikutnya ia adalah seorang penjahat yang semakin lama menjadi semakin besar sebesar nama orang yang membawanya itu. Panggiring itu pun kemudian tersandar pada sebatang pohon preh beberapa patok dari desa. Pohon preh disimpang tiga. Disitulah Bramanti duduk termangu-mangu pada saat ia datang untuk pertama kali di Kademangannya kembali setelah bertahun-tahun ditinggalkannya. Panggiring yang bersandar pohon preh itu mendengar juga titir yang mengumandang diseluruh Kademangan yang kini justru telah berhenti. Ia sadar bahwa titir itu sama sekali Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tidak ditujukan untuknya, karena justru beberapa orang yang mengikutinya telah dengan tergesa-gesa bahkan berlari-lari kembali ke Kademangan. Namun dada Panggiring itu menjadi berdebar-debar ketika ketajaman matanya menangkap sesosok tubuh yang berjalan perlahan-lahan mendekatinya. Perlahan-lahan ia ragu-ragu. Panggiring masih tetap berdiri ditempatnya. Dan sesosok tubuh itu menjadi semakin dekat. Beberapa langkah daripadanya bayangan itu berhenti. Panggiring masih belum beranjak dari tempatnya. Tetapi ia menjadi heran ketika ia mengetahui bahwa yang mendekatinya adalah seorang perempuan. 318 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Dan perempuan itu adalah gadis yang bernama Ratri. Ternyata orang-orang yang mengerumuni Panggiring dan Bramanti disawah sama sekali tidak menaruh perhatian atasnya, karena perhatian mereka tertumpah pada kakak beradik itu. Ketika kemudian terdengar kentong titir, maka orang-orang lain semakin tidak memperhatikannya lagi. Mereka berlari-lari dengan tergesagesa ke Kademangan, sehingga Ratri kemudian tertinggal sendiri. Tetapi ketika kini ia berdiri beberapa langkah dihadapan Panggiring, tubuhnya menjadi gemetar karenanya. Tiba-tiba saja terbersit ketakutan yang amat sangat. Kenapa ia telah berbuat begitu gila, mengikuti Panggiring yang sudah lama tidak dijumpainya" Apakah Panggiring yang sekarang masih sebaik Panggiring yang dahulu" Bulu-bulunya meremang ketika ia sadar bahwa Panggiring adalah seorang penjahat yang tidak ada taranya. Ia bukan saja merampas hartabenda, tetapi juga merampas kehormatan gadis-gadis. Dan kini Panggiring itu berdiri dihadapannya seorang diri. Ratri menjadi hampir pingsan ketika laki-laki yang bernama Panggiring itu melangkah mendekatinya. Apalagi ketika semakin dekat, ternyata semakin nyata bahwa Panggiring itu sama sekali sudah berubah. Wajahnya sama sekali bukan wajah yang selama ini dibayangkannya. Wajah ini adalah wajah yang kasar, dan bahkan wajah yang penuh dengan noda-noda dan bekasbekas luka. "Kenapa aku menjadi gila" Kenapa?" Ratri menyesal bukan buatan. Dan laki-laki berwajah kasar, sekasar batu padas itu menjadi semakin dekat. Namun ketika ia mendengar suara laki-laki itu, hatinya tersentuh. Suara itu dikenalnya. Suara Panggiring. Tetapi ia heran bahwa laki-laki itu bertanya, "Siapa kau?" Sejenak Ratri memandang laki-laki itu. "Kenapa ia bertanya?" Dan pertanyaan itu diulanginya, "Siapa kau?" Ratri menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab, "Ratri." Panggiring mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia mengulangi nama itu, "Ratri, Ratri," tetapi kemudian ia bertanya, "Dimana rumahmu?" Ratri menjadi semakin heran. Ternyata Panggiring telah melupakannya. "Aku anak Candisari. Apakah kakang Panggiring lupa padaku?" Panggiring mencoba mengangguk-angguk. Tetapi ia masih belum dapat mengenal anak itu. "Aku Ratri kakang. Ratri." Perlahan-lahan kepala Panggiring terangguk-angguk dan terangguk-angguk. Dan perlahan-lahan ia berhasil mengingat kembali seorang gadis kecil yang manis. Tetapi tidak ada kesan apapun pada Panggiring selain Ratri adalah seorang anak yang manis, yang seperti anak-anak yang lain, sering nakal dan manja. 319 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Dan tiba-tiba ia bertanya, "Kenapa kau kemari?" Suara itu masih bernada lembut seperti yang dahulu sering didengarnya. Tetapi setiap kali tatapan mata Ratri menyentuh wajah laki-laki itu, terasa kulitnya meremang. "Bukan, bukan wajah itu yang selalu membayang," terdengar suara didalam lubuk hatinya yang paling ujung, "Wajah yang aku sangka Panggiring ternyata adalah wajah Bramanti. Dan Bramanti ternyata tidak melupakan aku setelah sekian tahun berpisah. Tetapi Panggiring sama sekali tidak teringat lagi masa kanak-kanak itu." Dalam pada itu Ratri mendengar Panggiring berkata, "Pulanglah Ratri. Berbahaya bagimu disini. Apakah kau tadi tidak mendengar suara titir?" Pertanyaan itu ternyata membuat Ratri semakin kecut. Dan tanpa sesadarnya ia berkata, "Aku takut kakang." "Takut?" Panggiring mengerutkan keningnya. "Kalau kau takut kenapa kau kemari?" Ratri terdiam. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Tetapi hatinya menjadi bertambah ngeri. Ia tidak berani kembali karena suara titir itu, dan ia menjadi semakin ngeri berdiri dihadapan Panggiring tanpa orang lain. Panggiring pun terdiam sejenak. Ditatapnya saja gadis yang aneh itu. Namun sejenak kemudian ia berkata, "Marilah, aku antar kau sampai ke pinggir desa." Ratri mengangkat wajahnya sejenak. Katanya, "Apakah kau benar-benar akan meninggalkan Kademangan ini?" Panggiring menganggukkan kepalanya. Sekilas terbayang dikepala Ratri, bahwa Panggiring pasti bukanlah orang kebanyakan, kalau ia mampu menjadi seorang kepala perampok yang disegani. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata, "Apakah kau tidak berhasrat membantu mereka yang sedang berusaha mengusir Panembahan Sekar Jagat itu?". Panggiring tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah gadis yang masih berdiri kaku dihadapannya. Namun tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya, "Aku sudah berjanji kepada diri sendiri, bahwa aku tidak akan lagi mempergunakan kekerasan untuk maksud apapun." "Tetapi, tetapi seisi Kademangan Candisari berada di dalam ketakutan." Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan terdengar suaranya, "Candisari sudah tidak memerlukan aku lagi. Untuk melawan Panembahan Sekar Jagat, Candisari sudah memiliki Bramanti. Ia adalah seorang anak muda yang mumpuni." Ratri tidak segera menjawab. Tetapi tersirat kekecewaan di hati laki-laki itu. Betapa ia mencoba menerima keadaannya, namun ternyata didasar hatinya terpercik pula kekecewaan yang membekas. Tetapi ditahankannya kekecewaannya itu untuk tetap mengendap di dasar yang paling dalam. Dalam kediamannya itu Ratri mendengar Panggiring berkata, "Lekaslah Ratri, aku antar kau sampai ke pinggir desa. Kemudian kau pergi ke gardu yang terdekat. Di dalam gardu itu pasti ada dua atau tiga 320 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan orang. Dan kau dapat berlindung kepada mereka." Sekilas Ratri memandang wajah laki-laki yang bernama Panggiring itu. Sekali lagi terasa bulu-bulunya meremang. Wajah itu keras dan kasar sekasar batu-batu padas digerojogan. Namun demikian kata-katanya masih terasa lembut. Seperti suara dan kata-kata Panggiring yang pernah didengarnya beberapa tahun yang lampau. "Marilah," berkata Panggiring kemudian. Tanpa menjawab lagi Ratri kemudian memutar dirinya dan berjalan tergesa-gesa kembali ke pedesaan beberapa patok dihadapannya. Meskipun demikian setiap kali ia berpaling untuk melihat laki-laki yang berjalan dibelakangnya. Kadang-kadang tumbuh juga kengerian dihatinya, kalau tiba-tiba saja laki-laki itu menerkamnya. Tetapi laki-laki itu berjalan beberapa langkah daripadanya. Sama sekali tidak menjadi semakin dekat, justru menjadi semakin jauh. "Ratri," berkata Panggiring setelah mereka mendekati sudut desa, "Aku tidak dapat mengantarmu lebih dekat lagi. Aku akan mengotori Kademangan Candisari, karena tangan dan tubuhku telah penuh dengan noda-noda yang tidak terhapuskan. Selamat malam. Aku akan meninggalkan Kademangan ini untuk seterusnya." Ratri tertegun sejenak. Perlahan-lahan ia menjawab, "Jadi kau benar-benar akan pergi?" "Ya Ratri." "Dan kau tidak mau membantu mengusir mereka yang sedang memeras Kademangan ini?" "Aku tidak dapat Ratri. Aku pasti akan dianggap bersalah." Ratri menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar, bahwa di seberang tikungan itu ada sebuah gardu. Karena itu, maka tiba-tiba ia berkata sambil berlari, "Terima kasih Panggiring. Aku akan pergi ke gardu itu." Sepeninggalan Ratri, Panggiring masih berdiri sejenak di tempatnya. Masih ada juga seseorang yang mau menyapanya, meskipun hanya sepatah dua patah kata, dan tanpa dimengerti maksudnya. Perlahan-lahan kepala Panggiring terangguk-angguk. Kemudian ia memutar dirinya dan berjalan meninggalkan padukuhan Candisari. Meskipun kini langkahnya terasa semakin berat, tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus pergi. Sekilas terbayang juga perkelahian antara orang-orang Candisari dan orang-orang Panembahan Sekar Jagat. "Hem," Panggiring mendesah, "Panembahan Sekar Jagat agaknya seorang yang pilih tanding. Apakah Bramanti mampu melawannya?" Tetapi kakinya masih juga melangkah satu-satu. Semakin lama semakin menjauhi kampung halaman. Sementara itu Ratri datang berlari-lari di gardu yang pertama-tama ia jumpai. Kedatangannya benar-321 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan benar telah mengejutkan beberapa orang yang sedang berada di gardu itu. "Ratri," sapa salah seorang di antara mereka, "Darimanakah kau?" "Aku?" Ratri tergagap, "Dari sawah." "Malam-malam begini?" "Tetapi itu tidak penting, antarkan aku pulang." "Siapa yang harus mengantarmu" Kami yang dua harus segera pergi ke Kademangan, sedang yang lain, yang tiga harus tetap tinggal di gardu ini." "Salah seorang dari yang tiga itu." "Tidak berani. Terlampau berbahaya." "Jadi" Dua orang mengantarkan aku." "Yang seorang tidak berani tinggal seorang diri di gardu." "Lalu." "Pergilah bersama keduanya yang akan pergi ke Kademangan. Kau akan diantarkan pulang, kemudian mereka akan pergi ke Kademangan untuk memperkuat kesiagaan para pengawal disana." "Baiklah." Dan sejenak kemudian Ratri bersama dua orang anak-anak muda meninggalkan gardu yang kini tinggal ditunggui oleh tiga orang yang gelisah. Mereka tidak berani berada di dalam gardu. Mereka takut tiba-tiba mereka telah diterkam oleh orangorang Panembahan Sekar Jagat. Karena itu, mereka bertiga duduk saja di atas pagar batu disamping gardu, dibelakang rimbunnya dedaunan. Namun Ratri kemudian sama sekali tidak ingin pulang kerumahnya. Ia memaksa untuk ikut saja ke Kademangan. "Kau gila Ratri. Apakah kau tidak tahu, bahwa disana mungkin sekali akan terjadi peperangan?" "Tetapi aku lebih aman berada disana. Kalau keadaan memaksa aku akan bersembunyi di rumah-rumah terdekat. Tetapi kalau aku tinggal dirumah, mungkin ada di antara mereka yang mencari aku." Kedua anak muda itu tidak dapat memaksa Ratri pulang. Gadis itu ternyata ikut bersama mereka ke Kademangan, meskipun kemudian ia berhenti agak jauh. Dengan badan gemetar gadis itu berlindung dibalik pagar sebuah halaman rumah yang luas. "Aku akan bersembunyi di dalam rumah ini. Dirumahku sendiri aku tidak mendapat perlindungan. Ayah pasti berada di halaman ini pula bersama Ki Jagabaya dan orang-orang lain." Tetapi yang sebenarnya tersirat di dalam hati Ratri adalah kecemasannya tentang kemungkinan yang dapat terjadi atas Bramanti. Seperti pada saat ia tanpa dapat dikendalikan lagi ingin bertemu dengan 322 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Panggiring, maka kini ia telah berbuat serupa. Ia ingin melihat akhir dari perkelahian yang sedang berkecamuk di halaman. Kini perlahan-lahan ia menyadari, bahwa Panggiring bukan suatu kenyataan yang diharapkannya. Laki-laki itu tidak lebih dari orang lain yang tidak lagi dapat mengenalinya. Dan tanpa disadarinya tiba-tiba timbullah pertanyaan dihatinya, "Kenapa ia menyangka bahwa anak muda yang bernama Bramanti itu Panggiring?" Kini ia mengerti, bahwa kenyataan yang dihadapinya itu dianggapnya sebagai suatu angan-angan yang bertolak dari perasaan kekanak-kanakannya. Tetapi dalam keadaan yang demikian Bramanti sedang berada di dalam bahaya, karena ia sedang berkelahi melawan Panembahan Sekar Jagat, seorang melawan seorang. Demikianlah yang sedang terjadi di halaman Kademangan. Bramanti dengan pedang pendeknya bertempur mati-matian melawan Panembahan Sekar Jagat yang memegang sebatang trisula bertangkai sepanjang lengannya. Pertempuran di antara kedua orang itu semakin lama menjadi semakin seru. Ternyata Bramanti adalah seorang anak muda yang memiliki kemampuan yang luar biasa. dan kini ternyata, bahwa dengan tangasnya ia mampu melawan trisula itu dengan pedang pendeknya. Dengan lincahnya ia berloncat-loncat seperti burung sikatan. Namun tiba-tiba saja pedang pendeknya mematuk-matuk dengan dahsyatnya. Tetapi lawannya adalah seorang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat. Seorang pemeras yang tidak ada taranya di daerah Selatan. Tidak hanya di sekitar Kademangan Candisari. Dalam kesibukan membangun diri, Mataram masih belum dapat berbuat terlampau banyak, sehingga Candisari, Prambanan, membujur ke Timur, seakan-akan tidak lagi mendapat perlindungannya. Panembahan Sekar Jagat adalah seseorang yang telah masak untuk melakukan pekerjaan yang dipilihnya. Ia adalah seorang yang dapat berbuat apa saja tanpa berkesan dihatinya. Apalagi lawan, kawan dan anak buahnya sendiri, tidak terkecuali. Kalau ia ingin membunuh, maka ia pun segera membunuh. Meskipun demikian ia terpaksa sekali-kali mengumpat melawan anak muda yang bernama Bramanti. Anak yang tangguh dan tangkas tiada taranya. Belum pernah ia menemui lawan seperti anak ini. Namun dengan demikian, Panembahan Sekar Jagat menjadi semakin lama semakin marah. Dari matanya seakan-akan memancar bara api yang paling panas. Sekali-kali ia menggeretakkan giginya, dan bahkan kemudian ia menggeram, "Kau memang ingin aku cincang Sabuk Tampar." Bramanti tidak menjawab. Peluhnya telah membasahi seluruh tubuhnya. Setiap kali ia terkejut apabila ujung trisula lawannya hampir menyentuh keningnya. Bahkan semakin lama semakin sering. Ujung trisula itu rasa-rasanya menjadi semakin lama semakin banyak. Tidak hanya bermata tiga, namun serasa menjadi bermata sepuluh, lima belas. O, bahkan kemudian seakan-akan trisula itulah yang menjadi sepuluh dan lima belas, sehingga ujungnya menjadi semakin banyak. Bramanti mengerahkan segenap kemampuan dan ilmu yang ada padanya. Dipusatkannya segenap kekuatan lahir dan batinnya. Ia tidak mau terpengaruh oleh kecepatan bergerak tangan Panembahan 323 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Sekar Jagat. Ia tidak mau dibingungkan oleh ujung-ujung senjata yang hanya sekadar semu. Tetapi ia tahu pasti, ujung trisula yang hanya sebuah itu adalah tiga pucuk. Dengan sepenuh kemampuan Bramanti mengimbangi kecepatan bergera lawannya. Pedang pendeknya menyambar-nyambar seperti seberkas kumbang yang beterbangan diseputar lawannya. Mereka yang menyaksikan pertempuran itu terpaku ditempatnya seperti kehilangan ke- sadaran. Baik orang-orang Panembahan Sekar Jagat, maupun para pengawal Kademangan Candisari. Wanda Geni yang memiliki kemampuan yang cukup itupun berdiri tegak seperti tiang Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dengan mulut ternganga. Ia belum pernah menyaksikan pertempuran demikian dahsyatnya. Desak mendesak, dorong mendorong silih berganti. Ia belum pernah melihat Panembahan Sekar Jagat memerlukan waktu yang sekian banyaknya untuk menyelesaikan lawannya. Namun kini, mereka bahkan masih saja seimbang. Ki Demang Candisari pun berdiri termangu-mangu. Sama sekali tidak terlintas dikepalanya, bahwa anak Pruwita yang terbunuh itu benar-benar mampu bertempur melawan Panembahan Sekar Jagat. Apalagi Ki Jagabaya, Temunggul, Panjang, Suwela dan kawan-kawannya. Mereka hampir tidak mengerti, bagaimana perkelahian yang demikian itu dapat terjadi. Malam yang semakin dalam langsung menukik ke akhirnya. Semburat warna merah membayang dilangit. Dan ayam jantan yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi di Kademangannya, masih juga berkokok bersahut-sahutan. "Setan alas," geram Panembahan Sekar Jagat, "Kau memang anak yang luar biasa. Agaknya kau masih sempat sekali lagi memandang fajar yang mekar dilangit." Bramanti tidak menjawab. Tetapi nafasnya telah menjadi semakin memburu. Segala macam kemampuan dan ilmu yang pernah diterimanya telah ditumpahkannya dalam perlawanannya atas Panembahan Sekar Jagat kali ini. Namun ternyata bahwa kali ini ia bertemu dengan seorang yang tidak dapat dikuasainya dengan ilmunya itu. Ternyata bahwa Panembahan Sekar Jagat memiliki kelebihan dari lawannya yang masih terlampau muda itu. Sekar Jagat memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak untuk mengenal kelemahan lawan. Dan kali ini Panembahan Sekar Jagat dengan tersenyum di dalam hati berkata kepada diri sendiri, "Kalau kau terlampau banyak menghamburkan tenaga anak muda. Sebentar lagi kau akan kelelahan. Meskipun aku tidak dapat mengalahkan ilmumu, tetapi apabila tenagamu susut, maka kau akan segera dapat aku kuasai. Kau akan segera menjadi tontonan, bagaimana Panembahan Sekar Jagat menghukum orang yang berani menentangnya." Dan perhitungan Panembahan Sekar Jagat itu ternyata tepat. Betapapun dahsyatnya ilmu Bramanti, tetapi Panembahan Sekar Jagat lambat laun berhasil menguasainya. 324 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Pengalaman yang panjang, serta sifat-sifatnya yang tidak pernah ragu-ragu melihat darah mengalir, telah membuatnya kali ini berhasil mendesak Bramanti. Cahaya dilangitpun menjadi semakin lama semakin terang. Beberapa orang yang berdiri diseputar halaman segera dapat melihat, selain keringat, pakaian Bramanti telah diwarnai oleh bintik-bintik darahnya. Ternyata ujung trisula Panembahan Sekar Jagat telah berhasil menyentuhnya beberapa kali. "Ha," berkata Panembahan Sekar Jagat, "Kau akan segera melihat matahari yang terakhir. Kemudian setiap orang akan melihat kau terikat disebuah tiang ditengah-tengah halaman ini. Semua orang harus melukaimu dan menitikkan air garam ke luka itu." Suasana menjadi semakin lama semakin tegang. Tenaga Bramanti memang sudah mulai susut. Setiap kali ia terdesak dan berputaran. Bahkan beberapa kali Bramanti terdorong, dan hampir-hampir saja ia jatuh terlentang. Hanya karena tekadnya yang menyala di dadanya, ia masih mampu melakukan perlawanan. Ki Tambi berdiri membeku ditempatnya. Nafasnya pun ikut terengah-engah pula. Ada juga orang yang dapat melampaui kemampuan Bramanti. Dan kini Bramanti benarbenar berada dalam bahaya. Tetapi Ki Tambi bukan seorang pengecut. Sekilas ia sambarkan wajah Temunggul yang merah membara. Urat-uratnya seakan-akan menonjol dikeningnya. Demikian tegangnya ia menyaksikan perkelahian itu, sehingga ia tidak lagi menyadari keadaan disekitarnya. "Kalau Bramanti memang harus kalah," berkata Ki Tambi di dalam hatinya. "Seluruh isi Kademangan harus mengangkat senjata." Tetapi Ki Tambi menyadari, bahwa dengan demikian hati para pengawal pasti sudah tergetar. Bramanti adalah kebanggaan mereka, dan Bramanti telah dikalahkan. Semua orang yang menyaksikan perkelahian itu terkejut ketika mereka melihat benturan senjata keduanya. Ketika matahari telah menjatuhkan sinarnya pada kedua orang yang sedang bertempur itu, maka sebuah benturan yang dahsyat telah terjadi. Bramanti yang kelelahan tidak dapat lagi bertahan lebih lama, sehingga ia terdorong beberapa langkah surut. Tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya lagi ia jatuh terlentang, dan senjatanya terlepas dari tangannya. Sejenak, semua orang diam membeku. Bahkan darah para pengawal Kademangan, Temunggul, Ki Tambi, Ki Jagabaya, serasa berhenti mengalir. Dengan pandangan kosong mereka melihat Panembahan Sekar Jagat itu berdiri bertolak pinggang beberapa langkah dari Bramanti. Kemudian terdengar suara tertawanya membelah keheningan. "Hem," desahnya, "Kau memang anak yang luar biasa. Kau mampu menitikkan keringatku. Aku harus bertempur mengerahkan segenap kemampuanku untuk mengalahkan kau. Tetapi akhirnya, kau hanya sekadar menunggu matahari terbit. Dan kau akan mendapat hukuman picis di halaman Kademangan ini, setelah aku merobek perutmu, dan mematahkan tanganmu. Jangan takut, kau tidak akan segera mati karena kau harus mengalami rasa sakit dan ketakutan, penyesalan dan kekecewaan. Kemudian aku akan membutakan matamu dan membiarkan kau sembuh, karena aku mempunyai seorang dukun yang baik. Persetan dengan ceritera tentang orang-orang buta dan orang-orang cacat. 325 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Orang yang lengkap dengan ilmu Sapta Pangrungu, Sapta Pamiyat dan Sapta Pangrasa, dengan kelebihan jasmaniah dan kelengkapan indera akan pasti lebih baik dari mereka yang cacat. Aku akan membuktikannya, dan kau akan menjadi percobaan. Aku akan menyempurnakan inderaku dan kau dapat mencari dalam kegelapan butamu. Lain kali kita akan bertemu, apakah kau akan dapat mengalahkan aku." Bramanti tidak menjawab. Tetapi yang dilakukan oleh Panembahan Sekar Jagat adalah siksaan yang tiada taranya. Meskipun ia sadar, tetapi ia tidak mengeluh. Ketika Bramanti mencoba bangkit, tiba-tiba saja ujung trisula Panembahan Sekar Jagat telah berada setebal daun dihadapan mata Bramanti, sehingga Bramanti terpaksa mengurungkan niatnya. "Jangan mencoba melawan. Aku masih mempunyai berjenis-jenis cara untuk menghukummu." Tidak terdengar sebuah desispun dari mulut Bramanti. Apalagi sebuah keluhan. Ditatapnya mata Panembahan Sekar Jagat dengan tajamnya. Panembahan Sekar Jagat mengerutkan keningnya melihat ketajaman mata Bramanti. Sama sekali tidak terbayang ketakutan, kecemasan penyesalan dan perasaanperasaan yang diharapkannya. "Setan alas. Kenapa kau tidak merintih he?" Bramanti tidak menyahut. Tetapi ia terdorong dan sekali lagi terbaring menelentang ketika kaki Panembahan Sekar Jagat mengenai dagunya. "Kau memang keras kepala. Aku tidak tahan menunggu terlalu lama untuk melubangi matamu." Panembahan Sekar Jagat tiba-tiba menjadi semakin buas. Matanya menjadi merah dan giginya gemeretak menahan kekecewaannya. Ternyata Bramanti sama sekali tidak merengek dan merintih seperti yang diharapkannya. Namun dalam keadaan itu, selagi dengan penuh nafsu yang menyala didadanya, Panembahan Sekar Jagat melangkah semakin mendekat, seluruh halaman itu seakan-akan terguncang ketika Panembahan Sekar Jagat itu tiba-tiba berhenti. Bahkan Panembahan Sekar Jagat itupun terkejut pula bukan buatan. Dalam ketegangan itu melayanglah sebuah kepingan perak yang berkilat-kilat tepat dihadapan kaki Panembahan Sekar Jagat. Panembahan Sekar Jagat tertegun sejenak. Dengan tangkai trisulanya ia mendorong benda itu lebih mendekat. Dan tiba-tiba dengan tangan gemetar dipungutnya kepingan perak itu, dan dengan suara gemetar ia berdesis, "Candisari." Dan semua jantung serasa berhenti berdetak ketika dari antara mereka yang berdiri mengitari halaman itu terdengar suara yang berat tertahan, "Panembahan Sekar Jagat, aku datang menemui tantanganmu." Ketika setiap mata berpaling ke arah suara itu, mereka melihat seseorang yang bertubuh kekar, berwajah sekeras batu padas di gerojogan meloncat masuk ke arena. Ternyata semula tidak ada seorang pun yang memperhatikan kehadirannya. Namun kini tiba-tiba setiap mulut berdesis, "Panggiring. Ya, Panggiring." 326 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Ketegangan dihalaman itu menjadi semakin memuncak. Setiap dada menjadi bergejolak. Perlahan-lahan Panggiring berjalan mendekati Panembahan Sekar Jagat. Tatapan matanya yang setajam ujung pedang itu langsung menusuk kemata Panembahan Sekar Jagat. Baik Panembahan Sekar Jagat, maupun Bramanti yang masih terlentang ditanah, sejenak tidak bergerak. Mereka memandang langkah Panggiring yang tenang dan meyakinkan. Bagaimanapun juga, terasa sesuatu berdetak dijantung Bramanti. Apalagi Ki Tambi. Langkah Panggiring kali ini bukan langkah Panggiring semalam yang berjalan sambil menundukkan kepalanya. Tetapi Panggiring yang ini, maju selangkah demi selangkah dengan dada tengadah. "Maaf Panembahan Sekar Jagat," berkata Panggiring, "Baru sekarang aku datang memenuhi undanganmu. Aku berterima kasih, karena kau telah sudi mengundang aku yang selama ini berkuasa tanpa tanding di pesisir Utara. Agaknya kaupun merasa tanpa tanding dijaluran Selatan pulau ini, apalagi pada saat Pajang tenggelam dan lahir suatu pemerintahan baru yang masih belum mapan. Panembahan Sekar Jagat agaknya telah dapat menguasai terkejutnya. Karena itu ia berkisar sambil menjawab, "Huh, ternyata kau datang setelah sekian lama menjawab tantanganku. Kemanakah kau selama ini Panggiring?" "Aku tidak ada ditempat Panembahan. Aku sedang mengitari semenanjung Melayu, menyusuri laut Cina Selatan, untuk melihat dengan mata kepala sendiri kekuatan Naga Kuning yang menurut ceritera menakutkan. Tetapi ternyata mereka tidak lebih dari anak-anak yang baru belajar berenang dilaut yang diam." "Persetan," potong Panembahan Sekar Jagat. "Kau mengigau. Aku jangan kau takuttakuti dengan ceritera ngayawara itu." Tiba-tiba Panggiring tertawa. Suaranya mengerikan seakan-akan mengguncang setiap dada mereka yang mendengarnya. "Kau takut mendengar ceritera itu" Baiklah. Aku tidak akan berceritera tentang petualangan. Sekarang, aku telah datang memenuhi tantanganmu." "Baik. Baik. Kita akan meminjam arena ini." "Aku terima usulmu," jawab Panggiring. "Tetapi agaknya kau masih lelah bermainmain dengan anak ini. Supaya adil aku akan memberimu kesempatan beristirahat Mungkin sehari atau dua hari, supaya ilmumu yang hanya sekadarnya itu dapat pulih kembali." Panembahan Sekar Jagat menggeretakkan giginya. Dan tiba-tiba ia berteriak, "Tidak. Aku tidak memerlukan apa-apa. Sekarang juga kita bertempur. Aku kira kaupun tidak akan lebih baik dari anak ini. Dan aku akan menghancurkan kau lebih lumat dari Bramanti yang sombong ini." Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sekali lagi ia tertawa pendek. Disapunya setiap wajah dengan tatapan matanya. Ki Tambi, Ki Jagabaya, Bramanti yang perlahan-lahan kini duduk ditanah, anak-anak muda pengawal Kademangan dan beberapa orang anak buah Panembahan Sekar Jagat. 327 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Sejenak ia menengadahkan kepalanya memandang cerahnya langit dan segarnya sinar matahari pagi yang bermain di dedaunan. Kemudian ia menjawab, "Baiklah Panembahan. Kalau kau memang merasa cukup mampu untuk bertempur sekarang, marilah. Bagiku lebih cepat memang lebih baik. Aku harus segera meninggalkan Kademangan ini. Tetapi tentu tidak mungkin selagi aku belum memenuhi tantanganmu, supaya tidak menjadi duri dalam hidupku selanjutnya." "Persetan," Panembahan Sekar Jagat menggeram. Panggiring tersenyum. Ia bergeser beberapa langkah sambil memandang ujung trisula Panembahan Sekar Jagat yang bergetar. Tiba-tiba saja ia merunduk memungut pedang Bramanti yang tergolek di tanah. "Aku meminjam pedang pendekmu Bramanti," berkata Panggiring. "Dimana senjatamu sendiri," teriak Panembahan Sekar Jagat sebelum Bramanti menyahut. "Aku tidak membawa senjata. Aku memang merasa tidak perlu memerlukan senjata. Hanya supaya kau merasa lebih terhormat aku meminjam senjata Bramanti. Panembahan Sekar Jagat yang agak ketinggi-tinggian itu menggeretakkan giginya. Kemarahannya benar-benar telah membakar ubun-ubunnya, sehingga sambil melangkah maju ia berkata, "Kau memang terlampau sombong. Selama ini di pesisir Utara kau hanya melihat kelinci-kelinci. Tetapi di sini kau bertemu dengan harimau." "Tidak," jawab Panggiring. "Di sebelah Timur Cirebon aku membunuh dua ekor harimau sekaligus dengan jari-jariku." "Gila, gila," teriak Panembahan Sekar Jagat, "Kita akan segera melihat, siapakah yang menjadi seorang pembual diantara kita." Panggiring mengangguk sambil melangkah maju. "Baik. Kita segera mulai." Panembahan Sekar Jagat tidak berbicara lagi. Kini ia bersiaga. Kakinya seakanakan berakar dalam-dalam menghujam kebumi, sedang kedua tangannya menggenggam tangkai trisulanya erat-erat. ia merendah sedikit diatas lututnya, sedang kakinya merenggang setengah langkah. Panggiring masih menimang-nimang pedang pendek Bramanti yang akan dipergunakannya untuk melawan trisula Panembahan Sekar Jagat. Ditatapnya wajah lawannya yang licin, serta janggutnya yang terpelihara rapi. Pakaiannya yang bagus yang kini telah basah oleh keringat, selagi ia bertempur melawan Bramanti, dan keringat karena kemarahan yang menyesak didadanya. Sejenak mereka berdiri berhadapan. Panggiring melihat dengan sepenuh kesadarannya, bahwa Panembahan Sekar Jagat memang seorang yang pilih tanding. Ia telah lama mengikuti perkelahian Panembahan itu melawan Bramanti, sehingga dengan demikian ia mengerti betapa besar kemampuannya menggerakkan senjatanya itu. Panembahan Sekar Jagat yang telah bersiaga sepenuhnya itu bergeser maju selangkah. Panggiring pun kemudian menyilangkan pedang didadanya. 328 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Kini keduanya telah berhadapan. Beberapa langkah mereka bergeser. Wajah-wajah mereka menjadi tegang, dan mata mereka tidak bergerak dari ujung senjata lawan masing-masing. Semua orang yang berdiri diseputar arena menahan nafas. Wajah-wajah mereka pun menjadi tegang pula. Mereka sama sekali terikat oleh dua orang yang berdiri di tengah-tengah halaman Kademangan. Sementara itu Bramanti perlahan-lahan berdiri dan bergerak menepi. Ia sadar, bahwa perkelahian yang bakal terjadi tidak akan kalah dahsyatnya dengan perkelahian yang baru saja dialaminya. Menurut pendengarannya Panggiring adalah seorang yang luar biasa. Agaknya kakaknya itu telah mengikuti perkelahian tanpa setahunya. Kalau Panggiring tidak mempunyai perhitungan tertentu, ia pasti tidak akan berani turun di arena. Sesaat kemudian ujung trisula Panem- bahan Sekar Jagat bergetar. Panggiring yang Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo telah bersiap sepenuhnya segera menyadari keadaan, karena itu, maka ketika ujung trisula itu tiba-tiba saja mematuknya, ia telah siap untuk menghindarinya. Demikianlah, perkelahian telah berulang kembali dihalaman Kademangan itu. Kini antara dua orang yang merajai daerah yang luas di pesisir Utara dan didaerah sebelah Selatan. Keduanya adalah orang-orang yang namanya cukup menggetarkan. Panggiring dan Panembahan Sekar Jagat. Sekar Jagat yang berkelahi dengan kemarahan yang menyala di dadanya, segera melibat lawannya seperti angin pusaran. Trisulanya mematuk-matuk, kemudian menyambar-nyambar dalam jarak yang mendatar. Namun lawannya adalah seekor burung rajawali yang perkasa. Tangan Panggiring kadang-kadang mengembang seperti sayap. Dengan ringannya ia melontarkan dirinya, kemudian menukik dengan ujung pedang pendeknya menerkam lawannya. Tetapi Panembahan Sekar Jagat cukup tangkas. Ujung-ujung trisulanya yang mendebarkan itu langsung menyongsong dada lawannya. Namun Panggiring pun tidak membiarkan dadanya berlubang tiga buah. Dengan menggeliat ia menarik pedang pendeknya, kemudian memukul sisi ujung-ujung trisula itu dengan sekuat tenaganya. Sebuah benturan kemudian terjadi sehingga bunga api memercik ke udara, menyalakan sepercik kecemasan setiap hati yang menyaksikannya. Tetapi dengan suatu loncatan yang manis Panggiring kemudian telah berdiri tegak di atas kedua kakinya, sedang Panembahan Sekar Jagat tergeser selangkah surut. Tetapi kedua kakinya kemudian seakan-akan telah menghujam kembali dalam-dalam sampai ke pusat bumi. Mereka yang menyaksikan perkelahian itu, seakan-akan tidak sempat untuk bernafas. Mata mereka tidak lagi berkedip meskipun debu yang putih telah membuat mata itu menjadi pedih. Tetapi mereka tidak mau kehilangan gerak yang kadang-kadang tidak mereka mengerti itu sedikitpun juga. Bramanti yang kini berdiri tegak dipinggir arena menyaksikan pertempuran itu dengan pandangan yang hampir tidak terlepas sesaatpun juga. Justru karena ia mengerti apa yang telah terjadi, maka hatinya menjadi tegang bukan buatan. Ia melihat dengan pasti ujung-ujung senjata itu menyambar-nyambar, dan kemungkinan-kemungkinan 329 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan yang mendebarkan jantung. Ia dapat memperhitungkan setiap gerak Panembahan Sekar Jagat, maupun yang dilakukan oleh Panggiring dan ia pun dapat menduga, jalan pikiran keduanya untuk mengatasi keadaan masing-masing. Justru karena ia berada diluar perkelahian itulah kini ia dapat melihat, Panembahan Sekar Jagat memang memiliki ilmu yang luar biasa. Gerakannya terlampau cepat, dan kadang-kadang diluar dugaan. Dengan demikian maka bagaimanapun juga ia kini mengakui di dalam hati, memang sulitlah baginya untuk mengalahkannya, bagaimanapun juga ia berusaha. Tetapi sejalan dengan itu, ia tidak juga dapat melepaskan pengakuannya atas kemampuan Panggiring. Berita tentang namanya yang bergema di pesisir Utara, bukanlah cerita ngaya-wara yang tidak berdasar. Kini ia menyaksikan bagaimana Panggiring berkelahi melawan Panembahan Sekar Jagat yang telah mengalahkannya. Kini ternyata pada Bramanti, bahwa dengan demikian, lencana Panggiring memang dapat menggetarkan setiap jantung. Dan wajarlah kiranya apabila lencana bergambar candi itu di dada Ki Tambi akan mampu melindunginya dari kejahatan. Perkelahian yang terjadi di halaman Kademangan Candisari memang hampir tidak masuk akal mereka yang menyaksikannya. Keduanya seolah-olah sudah bukan manusia wajar lagi. Benturan kekuatan mereka yang terjadi pada ujung-ujung senjata, seakan-akan merupakan benturan lidah api yang meledak di langit musim kesanga. Kemudian disusul dengan suara gemuruhnya guntur dan meloncatnya api membakar udara yang menjadi semakin panas. Panembahan Sekar Jagat berkelahi seperti seekor harimau yang lapar, sedang Panggiring berlaga seperti seekor burung rajawali. Ujung-ujung trisula Panembahan Sekar Jagat menerkam dari segala penjuru bagaikan kuku-kuku yang tajam dan mengerikan, sedang pedang pendek ditangan Panggiring bagaikan paruh seekor burung raksasa yang dahsyat. Matahari memanjat dilangit semakin tinggi. Panasnya sudah mulai terasa menggatalkan kulit. Tetapi tidak seorang pun yang menghiraukan lagi keringat yang membasahi pakaian dan kulit mereka. Mata mereka terpaku di arena, menyaksikan dua orang raksasa yang sedang bertaruh nyawa. Namun lambat laun, keseimbangan perkelahian itu mulai bergerak. Panggiring benar-benar seorang pemimpin perampok yang pilih tanding. Tangannya yang kokoh kuat dengan sebuah pedang pendek benar-benar menjadi tangan-tangan maut yang sedang menari-nari mengitari Panembahan Sekar Jagat yang mencoba mempertahankan diri. Bramanti menahan nafasnya ketika ia melihat perkembangan dari perkelahian itu. Agaknya Panembahan Sekar Jagat benar-benar telah memeras kemampuan yang ada padanya, sedang Panggiring pun telah berkelahi sekuat-kuat tenaganya. Dalam penumpahan segenap ilmu itu, masing-masing sampai pada puncak usahanya untuk membinasakan lawannya. Dalam saat-saat yang demikian, sekali lagi ujung-ujung senjata Panembahan Sekar Jagat berhasil menyentuh lawannya seperti pada saat ia bertempur melawan Bramanti. Sekali-kali ujung trisula itu sempat menyobek kulit Panggiring. Bramanti menjadi semakin tegang ketika ia melihat darah menitik dari kening Panggiring yang nyaris berlubang, kemudian pakaian Panggiring menjadi merah pula, karena punggungnya sobek menyilang 330 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan meskipun tidak begitu dalam. Tetapi luka dan bau darah itu agaknya benar-benar telah membuat Panggiring menjadi garang. Sekian lama ia berusaha untuk membuang senjatanya dan tidak mau lagi mengotori tangannya dengan tindak kekerasan apapun alasannya. Namun ia adalah seorang manusia biasa. Seorang manusia yang masih dipengaruhi oleh perasaan dan sifat-sifatnya. Agaknya luka dan darah itu telah mengaburkan tekadnya untuk tidak menodai lagi tangannya dengan darah. Dan sebenarnyalah Panggiring tidak ingin membunuh dirinya di halaman Kademangan Candisari, yang pasti akan disusul dengan pembantaian yang mengerikan. Karena itu maka sejenak kemudian Panggiring memusatkan segenap kemampuannya. Wajahnya yang tegang menjadi semakin merah membara. Dalam ketegangan yang semakin membara, tiba-tiba terdengar Panggiring berteriak tinggi. Pedangnya terangkat, seakan-akan hendak menusuk langit. Hanya sejenak, dan sejenak kemudian Panggiring benar-benar bagaikan burung rajawali yang kehilangan anaknya, menyambar lawannya dengan dahsyatnya. Perkelahian yang semakin sengit telah terjadi. Tetapi kali ini Panembahan Sekar Jagat tidak dapat berbangga karena ia berhasil melukai lawannya. Dalam beberapa saat ternyata bahwa ujung pedang pendek Panggiring telah berhasil menyentuhnya pula. Ketika Panembahan Sekar Jagat menusuk Panggiring dengan trisulanya, justru Panggiring berhasil menyusup maju dan dengan ujung goloknya ia mencoba menikam dada lawannya. Tetapi dengan tangkas Panembahan Sekar Jagat mencoba menghindarinya. Kegagalan itu telah membuat Panggiring semakin marah, kemudian digerakkannya pedang itu mendatar setinggi dada. Sekali lagi Panembahan Sekar Jagat mencoba bergeser surut. Tetapi gerakan yang cepat berikutnya, Panggiring berhasil menggores pundak kiri lawannya, kemudian serangannya yang berganda, membuat Panembahan Sekar Jagat terdorong ke belakang. Untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan berikutnya, Panembahan Sekar Jagat justru berguling ke belakang, kemudian melanting dengan lincahnya sambil memutar trisulanya. Saat-saat yang datang berikutnya adalah saat-saat yang paling tegang. Keduanya seakan-akan telah menjadi gila. Bukan saja Panembahan Sekar Jagat, tetapi Panggiring pun seolah-olah telah berubah menjadi semakin buas dan liar. Dan dalam puncak ketegangan, terdengarlah sebuah keluhan tertahan. Bramantilah yang pertama-tama melihat Panembahan Sekar Jagat terdorong surut sambil memegangi dadanya. Dari sela-sela jarinya melelehlah darah yang merah. Tetapi Panembahan Sekar Jagat bukan seorang yang lekas menjadi putus asa. Meskipun dadanya telah terluka, tetapi tatapan matanya justru menjadi semakin menyala. Sambil menggeram ia mengangkat trisulanya, kemudian meloncat maju seakan-akan ingin menerkam Panggiring dan merobek-robeknya. Panggiring masih sempat menghindar. Sambil menggeser diri, ia menggerakkan pedang pendeknya mendatar. Dari bawah ayunan trisula ia mencoba menjulurkan tangannya sejauhjauhnya dapat dijangkau. Sekali lagi Panembahan Sekar Jagat berdesah. Sekali lagi pedang pendek Panggiring menyambar. Kali ini mengenai lambung. 331 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Panembahan Sekar Jagat yang terluka itu, menjadi semakin buas. Sambil berteriak nyaring ia melontarkan dirinya kembali, seakan-akan justru menjadi semakin garang. Kini ia menyerang Panggiring dengan sebuah putaran. Karena Panggiring masih menghindar sambil meloncat, maka ia pun segera memburunya. Dengan sekuat tenaganya ia mengayunkan trisulanya. Kali ini terlampau rendah. Panggiring yang baru saja menjejakkan kakinya, tidak segera dapat meloncat kembali. Yang dapat dilakukan adalah menangkis serangan itu. Tetapi agaknya ayunan trisula itu terlampau kuat, sehingga benturan yang terjadi kemudian adalah benturan yang sangat dahsyat. Panggiring mencoba mengungkit trisula itu ke atas. Tetapi ia tidak berhasil sepenuhnya, sehingga trisula itu sekali lagi menyambar pundaknya. Beberapa langkah ia terhuyung-huyung. Tetapi ia tidak mau kehilangan kesempatan yang terbuka. Selagi Panembahan Sekar Jagat mencoba memperbaiki genggamannya atas senjatanya, pada saat itulah Panggiring meloncat sambil menjulurkan pedangnya lurus-lurus ke depan. Panembahan Sekar Jagat tidak sempat mengelakkan dirinya. Ia mencoba menangkis serangan itu dengan trisulanya yang belum mapan. Tetapi kali ini tidak berhasil. Tangkai trisulanya justru mengenai dada Panggiring yang berdesah tertahan. Namun dalam pada itu pedang Panggiring telah berhasil menembus dada lawannya. Panggiring tidak sempat menarik pedangnya. Ketika Panembahan Sekar Jagat kemudian terhuyung- huyung surut, kemudian roboh ditanah. Panggiring melepaskan pedangnya, dan bahkan ia sendiri menjadi pening. Tetapi ketika terdengar desah nafas terakhir Panembahan Sekar Jagat, Panggiring masih tetap berdiri sambil merenggangkan kakinya ke arah kaki lawannya. Sesaat arena dan seluruh halaman itu menjadi sepi. Semua mata terpaku pada apa yang telah terjadi di halaman. Dua orang yang mempunyai nama yang menakutkan agaknya telah benar-benar menyabung nyawa. Dan demikianlah akhir dari perkelahian itu. Panembahan Sekar Jagat terbunuh. Ketika orang-orang yang menyaksikan kematian Panembahan Sekar Jagat itu masih terpukau ditempatnya, tiba-tiba Ki Tambi meloncat ke depan sambil berteriak nyaring, "Nah lihatlah kalian he orang-orang Sekar Jagat. Pemimpinmu telah mati. Dan kalian kini berhadapan dengan seluruh kekuatan Candisari. Lihat. Disini berdiri dua orang kakak beradik yang tidak ada taranya. Panggiring dan Bramanti. Apakah kalian akan melawannya." Orang-orang Panembahan Sekar Jagat seolah-oleh membeku ditempat masing-masing. Mereka tidak dapat mengingkari kenyataan penglihatannya, bahwa Panembahan Sekar Jagat telah terbunuh. Dan mereka pun mendengar apa yang diteriakkan oleh Ki Tambi, bahwa kini berdiri dua orang kakak beradik yang nggegirisi, Panggiring dan Bramanti. "Kalau kalian mempunyai otak, kalian pasti akan lebih baik menyerah. Kami akan memperlakukan kalian sesuai dengan keharusan yang berlaku. Dan kami berharap bahwa dalam waktu singkat Mataram telah dapat menampung kalian, apapun hukuman yang akan ditimpakan." Orang pertama di dalam pasukan Sekar Jagat itu kini adalah Wanda Geni. Tanpa dapat berbuat apa-apa lagi ia melemparkan senjatanya ketanah sambil berkata, "Aku menyerah." Ki Tambi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Bagus. Bagus. Kau cukup bijaksana," kemudian diedarkannya tatapan matanya sambil berkata, "Temunggul, Temunggul. Lucuti mereka semua." 332 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Tetapi Ki Tambi tidak segera menemukan Temunggul. Ketika ia melihat Panjang, maka ia pun segera berteriak, "Panjang, lakukan bersama semua pengawal." Tetapi sebelum Panjang beranjak, mereka melihat Temunggul menyusup maju sambil menggandeng Ki Demang Candisari. Katanya, "Ia akan mencoba melarikan dirinya." Kini semua mata terpaku kepada Ki Demang. Dan Temunggul berkata, "Ialah yang pernah membujukku membunuh Bramanti. Untunglah bahwa otakku masih jernih. Ternyata bahwa Ki Demang menjadi salah seorang penunjuk jalan bagi Panembahan Sekar Jagat dan sudah barang tentu ia pun mendapat banyak daripadanya." Ki Demang tidak menjawab, tetapi kepalanya tunduk dalam-dalam. Ia sama sekali tidak lagi berani menatap wajah rakyat di Kademangannya Candisari. Dalam pada itu terdengar suara perempuan yang berdiri di antara para pengawal, "Panggiring, kau selamat?" Panggiring yang berdiri membeku tiba-tiba berpaling. Dilihatnya seorang perempuan tua berjalan tertatih-tatih di antara para pengawal yang lagi sibuk melucuti senjata orang-orang Panembahan Sekar Jagat. "Ibu," desis Panggiring. Ketika perempuan itu memasuki halaman, maka dengan serta merta Panggiring pun berlari mendapatkannya. Seperti semalam kini ia berjongkok pula di hadapan ibunya. Tetapi kali ini ditatapnya tangannya sendiri yang masih dilumuri darah yang memancar dari Panembahan Sekar Jagat. Dengan suara parau ia berkata, "Terpaksa, terpaksa aku lakukan ibu. Ternyata aku masih sekali lagi membunuh meskipun aku pernah berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Tetapi, tetapi tangan yang sedang aku coba untuk membersihkannya, kini telah diwarnai oleh darah. Darah." Tangan Panggiring itu menjadi gemetar. Dibelainya kepala Panggiring sambil berdesis, "Tapi dengan demikian kau telah menyelamatkan beratus-ratus nyawa Panggiring, termasuk nyawa adikmu." Sejenak Panggiring mengangkat kepalanya. Namun kepala itu kemudian tunduk kembali memandangi jari-jari tangannya yang merah oleh darah. "Aku telah membunuh satu orang lagi," desisnya, "Terpaksa. Terpaksa aku melakukannya." "Tetapi yang satu ini tidak perlu disesali," desis ibunya sambil membelai kepala anaknya itu seakan-akan tidak akan dilepaskannya lagi. "Kau telah menyelamatkan seluruh Kademangan ini Panggiring," terdengar suara berat dibelakang anak muda yang berjongkok itu. Panggiring perlahan-lahan berpaling. Dilihatnya Ki Jagabaya berdiri tegak berdampingan dengan Ki Tambi, sedang beberapa langkah dibelakang mereka, Bramanti berdiri termangu-mangu. 333 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan "Bramanti," panggil ibunya, "Kemarilah. Bukankah kau juga selamat?" Bramanti maju beberapa langkah. Namun kemudian langkahnya terhenti. Dipandanginya Panggiring yang kemudian berdiri pula perlahan-lahan. Sejenak keduanya saling berpandangan. Tetapi sejenak kemudian Braanti menundukkan Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kepalanya sambil berdesis, "Maafkan aku kakang." "Bramanti," Nyai Pruwita terpekik. Kemudian berlari-lari ia memeluk anak lakilakinya yang muda sambil menahan isak tangis, "Anakku." Bramanti menundukkan kepalanya. Sementara Nyai Pruwita kemudian membimbingnya menemui kakaknya. "Kalian telah kembali," Nyai Pruwita tidak dapat menahan air matanya yang mengalir dipipinya. Dan suaranya tersendat-sendat, "Kalian telah terluka. Marilah, aku ingin membersihkan luka-luka kalian di rumah." Tidak saja anak-anak muda, tetapi hampir semua laki-laki telah menjadi siaga. Mereka meletakkan senjata-senjata mereka dekat dengan pembaringan. Setiap saat mereka akan dapat meraih dan segera mempergunakan senjata-senjata itu. Yang dibakar oleh kegelisahan yang hampir tidak tertahankan adalah Ki Demang. Matahari sudah menjadi semakin jauh ke Barat, namun Temunggul masih belum menemuinya dan mengatakan bahwa Bramanti telah dibunuhnya. "Apakah anak itu tidak berhasil?" desisnya, "Jika demikian maka Panembahan Sekar Jagat akan mengambil cara yang disukainya. Menghancurkan Kademangan ini apabila Bramanti masih tetap melawan dan apalagi apabila di dalam pertempuran itu jatuh korban. Kematian Sapu Angin telah merupakan perlawanan yang tidak dapat dimaafkannya lagi." "Apa boleh buat," Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. "Tetapi dengan demikian pekerjaanku menjadi semakin berat. Aku harus membangun kembali Kademangan ini." Dalam kegelisahan setiap kali Ki Demang selalu menjenguk langit yang semakin suram. Warna merahpun kemudian membayang di ujung pepohonan. Satu-satu burung blekok beterbangan kembali kesarangnya. "Gila," desis Ki Demang itu, "Temunggul tidak mampu melakukan pekerjaannya, atau...." Ki Demang berhenti sejenak. "Atau anak itu akan berkhianat?" Ki Demang menjadi semakin gelisah karenanya. Semakin rendah matahari yang menggantung di udara, semakin suram cahaya langit, maka hati Ki Demang menjadi semakin berdebar-debar. Setiap kali ia mengintip ke halaman, dan setiap kali ia melihat anak-anak muda yang berjalan hilir mudik, hatinya serasa menjadi semakin kecut. Agaknya ia benar-benar telah semakin jauh dari mereka. Ki Demang itu telah menjadi semakin jauh dari lingkungannya. Dalam kesibukan yang memuncak di Kademangan Candisari, Ki Demang merasa terlampau terasing. Terlampau sendiri. Dan bahkan kesibukan di halaman rumahnya itu serasa telah menyengat-nyengat perasaannya. 334 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan "Apakah Temunggul benar-benar berkhianat?" Ki Demang menjadi semakin cemas. Kesiagaan di halaman rumahnya membuatnya seperti berdiri di atas bara. "Mereka akan menangkap aku. Setan, Temunggul benar-benar berkhianat. Ia sama sekali tidak membunuh Bramanti. Tetapi agaknya ia bahkan telah bersepakat dengan Bramanti." Ki Demang mengumpat-umpat tidak habis-habisnya, "Mungkin mereka telah bersetuju untuk membagi kepentingan masing-masing. Yang seorang akan menjadi seorang Demang setelah aku mereka singkirkan dan yang seorang akan mendapatkan Ratri. Gila, anak-anak sekarang memang sudah menjadi gila." Dan dalam kegelisahannya, Ki Demang pun membenahi pakaiannya. Kemudian menyandang sebilah pedang dilambung dan kerisnya di punggung. "Aku tidak akan dapat tinggal diam. Ternyata tidak seorang pun lagi yang dapat aku percaya di Kademangan ini. Terpaksa aku mengorbankan segala-galanya." Ki Demang pun kemudian menutup semua pintu. Tidak seorang pun lagi yang tinggal di dalam rumah itu. Keluarganya benar-benar telah diungsikannya. Dan di Kademangan itu sendiri kemudian dengan hati-hati keluar dari pintu belakang. Melintasi kebun dan keluar dari regol butulan yang hampir tidak pernah dibuka. Dengan tergesa-gesa Ki Demang menyusur jalan padukuhannya yang sudah mulai gelap. Tanpa berpaling ia meninggalkan rumah dan halamannya, bahkan lingkungannya. Namun dengan harapan, bahwa ia akan kembali dan membangun Kademangannya yang sudah tidak menghiraukannya lagi itu menjadi sebuah Kademangan yang baru. Nyai Pruwita pun kemudian membimbing kedua anaknya itu tanpa menghiraukan orang lain. Baginya, ia adalah orang yang paling berhak atas kedua anak muda itu. Namun tiba-tiba langkahnya tertegun ketika ia mendengar suara seorang gadis, "Bramanti." Bramanti berpaling, bahkan ibunya dan Panggiring berpaling pula. Seorang gadis berdiri termangu-mangu di samping regol halaman Kademangan. dan gadis itu adalah Ratri. "Ratri," desis Bramanti. Sejenak anak muda itu memandangi ibunya. Dan ternyata ibunya cukup bijaksana untuk melepaskannya. Perlahan-lahan Bramanti mendekati Ratri. Tatapan mata gadis itu terasa langsung menembus jantungnya seperti tetesan embun di terik panasnya udara. Meskipun demikian ia berdesis, "Apakah kau menanyakan kakang Panggiring?" Ratri menggelengkan kepalanya, "Tidak Bramanti. Ternyata aku tidak mengharapkannya. Aku telah mencampurbaurkan penglihatanku atasmu pada saat kita pertama bertemu setelah sekian lama berpisah, dan kenangan atas Panggiring di masa kanak-kanak." "Sekarang?" 335 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan Ratri menundukkan kepalanya. Desisnya, "Sejak pertama kaulah yang sebenarnya aku sangka Panggiring atau barangkali kaulah yang sebenarnya aku bayangkan atau kenangan masa kanan-kanakku itu pada Panggiring." Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling ia melihat ibunya masih membimbing Panggiring berjalan tanpa menghiraukan apapun juga. Bramanti tergagap ketika ia mendengar Ratri bertanya, "Kau terluka?" Bramanti mengangguk, "Ya. Sedikit. Kakang Panggiring telah menyelamatkan nyawaku." Marilah, aku bersihkan luka itu. Kamu mau pulang juga bukan?" Bramanti memandang wajah Ratri sejenak, kemudian sambil tersenyum ia mengangguk. "Ya, marilah." Keduanya pun kemudian berjalan meninggalkan regol halaman. Kademangan yang masih ribut dengan para pengawal yang sedang melucuti senjata anak buah Wanda Geni dipimpin oleh Ki Jagabaya sendiri. Sementara Ki Tambi memandangi langkah-langkah Panggiring bersama ibunya dan Bramanti bersama Ratri sambil tersenyum. Di belakangnya beberapa langkah, Temunggul berdiri berpegangan pada sebatang pohon manggis. Dengan dahi berkerut merut, dipandanginya langkahlangkah itu juga semakin jauh. Tiba-tiba Temunggul terkejut. Seorang gadis telah menggamitnya sambil berbisik, "Kau tidak mengantarkannya lagi?" Temunggul berpaling. Dilihatnya gadis bermata cerah kawan Ratri yang diantarkannya malam-malam pada saat ia dicegat oleh Wanda Geni. Sambil tersenyum Temunggul menjawab, "Buat apa aku tergila-gila kepada seorang gadis yang tidak mencintaiku." "Kalau ada yang mencintaimu?" Temunggul tertawa. Keduanya kini menatap langkah-langkah Panggiring bersama ibunya dan Bramanti bersama Ratri semakin lama semakin jauh. Sedang matahari di langit semakin lama semakin cerah. Selembar awan yang putih lewat didorong oleh angin yang lembut mengalir ke Utara. Dan burung-burung liar masih saja berkicau seakan sedang mendendangkan kidung gembira. Dan Kademangan Candisari pun memang sedang bergembira, menyongsong hari depan yang cerah. Tamat 336 Manusia Seribu Wajah 3 Rajawali Emas 23 Misteri Pedang Pusaka Golok Kumala Hijau 1