Ceritasilat Novel Online

Suling Pusaka Kumala 5

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 5 Menaklukkan orang lain adalah berjaya, menaklukkan diri sendiri adalah kuat perkasa. Mengetahui batas kecukupan berarti kaya, tidak mengenal cukup berarti murka. Enggan meninggalkan kedudukan akan terbelenggu, mati tanpa tersesat berarti panjang usia." "Bagus. Akan tetapi jangan hanya pandai menghafalkan saja ujar-ujar atau pelajaran itu, melainkan harus dicamkan benar dan dilaksanakan dalam kehidupanmu. Kalau kita melaksanakan dalam hidup, maka barulah tidak sia-sia Sang Bijaksana Lo-cu memberikan pelajaran itu." "Omitohud, indah sekali wejanganmu itu, Lo-jin. Memang sesungguhnyalah, Han Lin. Menghafal selaksa kata-kata mutiara yang indah-indah tiada gunanya sama sekali, kalau hanya sekadar dihafalkan. Akan tetapi melaksanakan satu saja kata-kata mutiara itu akan membuat kita dapat melalui jalan kebenaran. Kami ber dua orang-orang tua yang sudah mulai kehilangan tenaga dan semangat, hanya dapat mengundurkan diri di tempat sunyi sambil memberi doa restu kepadamu." "Terima kasih, ji-wi suhu." "Sekarang berkemaslah karena hari ini juga engkau harus turun gunung." kata Bu-beng Lo-jin. "Aku hanya mempunyai sebuah pesan. Kalau engkau turun gunung dan melalui pegunungan Lu-liang-san, jangan lupa singgahlah ke sebuah puncak di Lu-liang-san di mana Sungai Fen-ho masuk ke Sungai Huang-ho. Puncak itu adalah Puncak Burung Hong, di mana terdapat sebuah guha besar yang disebut Guha Dewata. Di depan guha itu, di atas batu-batu besar, terdapat sebatang pedang yang menancap di atas batu. Pedang itu adalah sebuah pusaka langka dan ampuh sekali yang disebut Im-yang -kiam dan sudah sejak ratusan tahun menancap di situ. Ada ukiran tulisan pada batu yang mengatakan bahwa siapa yang mampu mencabut pedang Itu berhak memilikinya, akan tetapi sampai sekarang tidak ada orang yang mampu mencabutnya. Nah, aku ingin engkau singgah di sana dan cobalah engkau mencabut pedang itu, Han Lin. Kalau engkau mampu mencabutnya, berarti engkau berhak memilikinya. Pedang itu mempunyai riwayat yang amat terhormat, sebagai pedang milik seorang gagah, pahlawan sejati yang patriotik." "Omitohud, pinceng pernah mendengar adanya Im-yangkiam itu, Lo-jin. Akan tetapi belum pernah mendengar riwayatnya. Dapatkah engkau menceritakan riwayat pedang aneh itu?" "Pedang itu milik seorang panglima Kerajaan Sung yang bernama Kam Tiong. Ketika Kerajaan Sung diserbu oleh bangsa Mongol dan akhirnya dapat dikuasai bangsa Mongol, Panglima Kam Tiong merupakan seorang panglima yang gigih melakukan perlawanan. Namun, dia melihat pengkhianatan beberapa orang menteri dan panglima yang bersekutu dengan bangsa Mongol sehingga Kerajaan Sung jatuh. Dia menjadi demikian menyesal dan sakit hati. Ketika kota raja Sung jatuh, dia melarikan diri dan menjadi pertapa di Puncak Burung Hong di pegunungan Lu-liang-san. Kemudian dia menghilang, tak seorangpun tahu di mana kuburnya. Akan tetapi dia meninggalkan pedang yang ditusukkan menancap pada batu itu dan meningalkan pesan dengan tulisan berukir di batu bahwa siapa yang mampu mencabut pedang pusaka itu, dia berhak memilikinya. Tusukan pedang di batu itu merupakan pelampiasan penyesalan dan kemarahannya yang melihat bebe-rapa orang menteri dan panglima seolah "menjual" Kerajaan Sung kepada musuh. Demikianlah ceritanya." "Menarik sekali. Kalau begitu pinceng juga menganjurkan agar engkau mencoba coba, Han Lin. Siapa tahu engkau berjodoh dengan pedang itu." kata Cheng Hian Hwesio. "Akan tetapi, suhu. Pedang itu sudah berada di sana selama ratusan tahun. Tentu sudah didatangi banyak sekali orang gagah dari seluruh penjuru." "Memang, banyak sekali para datuk dan tokoh kang-ouw datang ke sana untuk mencabut pedang pusaka itu, akan tetapi tiada seorangpun berhasil. Pedang itu seolah telah menjadi satu dengan batu dan tidak dapat d cabut lagi." "Kalau demikian banyaknya orang gagah yang berilmu tinggi tidak berhasil mencabut pedang itu, bagaimana pula teecu....." "Omitohud, jangan berkata demikian, Han Lin, sebelum engkau sendiri mencobanya. Di dalam kehidupan ini ada apa yang dikatakan jodoh. Kalau engkau berjodoh dengan pedang itu, bukan tidak mungkin engkau yang akan dapat mencabut dan memilikinya." "Benar, Han Lin." "Akan tetapi, kenapa ji-wi suhu sendiri tidak mencoba untuk mencabutnya" Dengan tingkat kepandaian ji-wi suhu, mungkin saja pedang itu dapat dicabut?" "Omitohud, untuk apa pedang bagi pinceng" Menyembelih ayampun pinceng tidak pernah." "Akupun bukan orang yang suka memiliki pedang, Han Lin. Tongkat bambu ini cukup untuk mengusir setan, kalau ada yang mencoba menggangguku. Engkau cobalah, hitung-hitung mewakili kami." "Baiklah, suhu. Akan teecu kunjungi tempat itu dan akan teecu coba. Pedang pusaka itu milik seorang pahlawan yang gagah perkasa, tentu bertuah." "Han Lin, pinceng telah mengajarkan kepadamu bagaimana untuk memperguna-kan It-yang-ci untuk pengobatan. Pinceng akan lebih senang kalau engkau pergunakan It-yang-ci untuk pengobatan daripada untuk merobohkan orang." "Teecu mengerti, Losuhu." Han Lin lalu berkemas. Tidak banyak yang dibawanya. Hanya beberapa potong pakaian yang dibungkus dengan kain kuning dan beberapa potong uang emas dalam kantung. Uang itu pemberian Bu-beng Lo-jin. Sambil memegang sebatang tongkat bambu diapun memberi hormat dengan berlutut sebagai penghormatan terakhir atau salam perpisahan. "Ji-wi suhu, teecu mohon pamit dan senantiasa mohon doa restu dari ji-wi suhu." Dua orang kakek itu mengangguk-angguk dan menggerakkan tangan kanan, Bu-beng Lo-jin tersenyum lebar dan sepa sang mata Cheng Hian Hwesio berlinang. Bagaimanapun juga, pemuda itu adalah cucu-buyut keponakannya sendiri! 0oo-dewi-oo0 Pegunungan Cin-ling-pai memanjang dari utara ke selatan. Sungai Huang-ho mengalir di sepanjang pegunungan ini dan banyak mendapat tambahan air dari sumber-sumber yang mengalir di pegunungan itu. Pegunungan yang amat panjang ini mempunyai banyak sekali bukit dan puncak-puncak yang berbahaya. Hanya beberapa bukit rendahan saja yang dihuni manusia. Di lereng-lereng dari bukit-bukit ini terdapat pedusunan sederhana dari para petani gunung. Akan tetapi banyak puncak yang sama sekali tidak dihuni manusia, bahkan jarang atau bahkan tidak pernah terinjak kaki manusia. Satu di antara puncak-puncak yang tidak pernah didatangi manusia bahkan para pemburupun tidak berani mendaki puncak yang amat berbahaya, dengan hutan-hutan liar yang penuh binatang buas, adalah Puncak Ekor Naga. Memang dilihat dari jauh, puncak ini bentuknya seperti ekor naga. Akan tetapi pada suatu pagi, seorang laki-laki dan seorang gadis remaja mendaki puncak itu dengan gerakan cepat. Setengah berlari mereka mendaki puncak dan memasuki hutan yang lebat itu. Laki laki itu sudah berusia enam puluh tahunan, bertubuh tinggi kurus dengan muka merah, dahinya lebar dan sepasang matanya sipit. Mulutnya selalu tersenyum sinis, dan mata yang sipit itu kadang mencorong liar. Jenggotnya sudah penuh uban dan berjuntai sampai ke lehernya. Tangan kanannya memegang sebatang tongkal ular hitam. Adapun gadis remaja itu berusia kurang lebih tiga belas tahun. Wajah gadis remaja itu cantik manis, dengan mata yang lebar dan kocak. Mulutnya manis sekali dengan bibir yang selalu merah basah dan murah senyum mengejek. Lesung pipit di pipi kanannya dan tahi lalat kecil di pipi kirinya membuat wajah itu manis sekali, apalagi kalau tersenyum. Akan tetapi sinar mata yang kocak itu kadang-kadang mengeras dengan pandangan yang tajam menusuk. Biarpun usianya baru tiga belas tahun, namun sudah tampak tandatanda bahwa ia akan menjadi seorang, gadis yang bertubuh langsing dan padat. Gerak-geriknya lincah dan ringan sekali ketika ia mendaki puncak itu sambil setengah berlari. Mereka itu bukan lain adalah Huang-ho Sin-liong Suma Kiang dan anak yang sudah dianggap puterinya sendiri, yaitu Suma Eng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah Suma Kiang dikalahkan Cheng Hian Hwesio di Puncak Awan Putih, dia tidak mau lagi tinggal di pegunungan Thai-san dan dia membawa Suma Eng ke Lu-liang-san untuk menghadap seorang supeknya (uwa gurunya) yang bertapa di Puncak Ekor Naga di Lu-liang-san. "Hati-hati, Eng Eng. Tempat ini berbahaya. Aku mencium bau binatang buas!" kata Suma Kiang kepada puterinya "Hutan ini tentu dihuni banyak binatang buas yang berbahaya." "Ayah, perlu apa kita takut terhadap binatang buas" Kalau mereka berani muncul, tentu akan kubunuh dengan pedangku!" jawab Suma Eng dengan suara tegas penuh keberanian. "Awas, Eng Eng, di atasmu!" tiba-tiba Suma Kiang berseru. Cepat gadis remaja itu memandang ke atas dan pada saat itu, seekor ular yang ekornya melibat dahan pohon dan kepalanya bergantung ke bawah berayun dan menyambar ke arah Suma Eng! Gadis remaja itu dengan sigapnya mengelak sehingga sambaran moncong ular itu luput. Sedikitpun dara cantik itu tidak merasa ngeri atau takut. Dengan gerakan yang cepat sekali tangan kanannya sudah mencabut Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) yang bersinar hijau itu dan ia menanti dengan gagah. Ular sebesar paha orang dewasa itu agaknya tidak melihat bahaya. Dia penasaran sekali ketika sambarannya tadi luput dan kini dia sudah terayun kembali dan menyambar dengan cepat sambil uembuka moncongnya dan mengeluarkan suara mendesis! Kembali Suma Eng mengelak dengan merendahkan tubuhnya sehingga kepala ular itu menyambar lewat di atas kepalanya dan sebelum ular itu dapat membalik dan menyerang lagi, gadis remaja itu telah meloncat seperti terbang dan sinar hijau berkelebat. "Crakkk....!" Darah muncrat dan tubuh ular itu terlepas dan dahan, jatuh ke atas tanah menyusul kepalanya yang lebih dulu terpisah dari badan dan jatuh. Tubuh ular tanpa kepala itu berkelojotan sebentar lalu diam tak bergerak. Suma Eng melihat pedangnya. Sedikitpun tidak ternoda darah, menunjukkan betapa cepatnya gerakan memenggal leher ular itu tadi. "Bagus!" Suma Kiang memuji dengan girang dan bangga. Biarpun masih belum dewasa, Suma Eng telah memiliki ilmu pedang yang cukup tangguh. "Sekarang kita cari biruang. Di daerah sini terdapat biruang hitam yang buas. Aku ingin melihat apakah engkau berani melawan seekor biruang." "Tentu saja aku berani, ayah!" kata Suma Eng penuh semangat sambil menyarungkan kembali pedangnya. Mereka berjalan terus dan di tempati terbuka di depan mereka melihat seekor biruang yang cukup besar. Seekor biruang jantan yang sedang mendongkel-dongkel tanah mencari sesuatu. "Nah itu dia! Beranikah engkau melawan biruang itu, Eng Eng?" tanya Suma Kiang. Suma Eng memandang binatang itu dai matanya bersinarsinar penuh semangat "Tentu saja aku berani, ayah. Lihat, aku akan membunuh biruang itu!" Dengan tabah Suma Eng lalu mempercepat langkahnya lari menghampiri biruang itu. Suma Kiang berlari di belakangnya dan datuk inipun siap untuk sewaktu waktu melindungi puterinya kalau-kalau terancam bahaya. Biruang itu mendengar langkah kaki lalu memutar tubuhnya dan mengangkat kedua kaki depannya. Tingginya dua kali tinggi Suma Eng! Matanya mencorong dan melihat gadis remaja itu, dia memperlihatkan taringnya dan menggrreng. Akan tetapi Suma Eng tidak menjadi takut dan ia sudah memcabut pedangnya, berindap-indap menghampiri lebih dekat, tubuhnya ringan dan gesit, matanya menatap tajam wajah biruang itu. Ketika bertemu pandang, biruang itu mengedipkan mata beberapa kali seperti silau. Semua binatang selalu silau kalau bertemu pandang dengan manusia yang tidak merasa takut. Dia sudah menoleh ke belakang seolah segan untuk berkelahi melawan manusia. Akan tetapi Suma Eng menantang. "Hayo, biruang jelek. Lawanlah aku dan aku akan membunuhmu!" Kakinya menendang sepotong batu yang terlempar menyambar ke arah biruang itu. Akan tetapi binatang yang besar itu ternyata gesit juga. Dengan mudah dia mengelak dari sambaran batu yang ditendang Suma Eng dari dia menjadi marah. Dia menurunkan kaki depannya, menggereng-gereng seperti menggertak. Suma Eng tidak menjadi gentar, bahkan ia sudah menerjang ke depan, membacokkan pedangnya ke arah dada biru-ang itu. Biruang itu bangkit berdiri dan menyampok dengan kaki depan kanannya, tepat mengenai dari arah samping. Kuat bukan main sampokan itu. Saking kuatnya sehingga pedang itu terpental dan tubuh Suma Eng ikut pula terpental dan cepat gadis remaja ini bergulingan! karena pada saat itu, biruang sudah menubruknya. Kalau ia tidak bergulingan, tentu ia kena ditubruk dan celakalah ia kalau sampai empat kaki yang berkuku panjang itu dapat mencengkeramnya. Suma Eng melompat lagi dan kini ia lebih berhati-hati. Ia tahu bahwa binatang itu bertenaga besar sekali dan kaki depannya amat kuat sehingga berani menangkis pedangnya. Kalau ia kurang hati hati pedangnya dapat tertangkis dan terpental lepas dari pegangannya. Maka, kini ia tidak menyerang lagi melainkan menunggu serangan binatang itu. "Grrrr......" Biruang itu menggereng dan tiba-tiba ia menubruk ke depan. Suma Eng melihat betapa tubuh yang Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo besar itu menerkam ke arahnya, namun baginya gerakan binatang itu lamban saja sehingga dengan amat mudah ia sudah mengelak dengan loncatan ke samping, Ia mengelak lagi ketika biruang itu membalik dan menubruk lagi. Suma Eng menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak terus, sengaja mempermainkan biruang itu agar menjadi marah dan lengah. Ia memaki-maki untuk memancing kemarahan biruang itu. "Biruang jelek! Engkau seperti tikus besar, jelek dan bau!" Suma Eng memaki maki sambil berloncatan mengelilingi biruang itu. Biruang itu berdiri di atas dua kaki belakangnya dan kini mencoba untuk menerkam dengan kedua kaki depannya. Suma Eng kembali mengelak dan ketika ia melihat biruang itu agak lengah, membuka kedua kaki depan lebar-lebar, secepat kilat pedangnya menusuk ke arah dada binatang itu. Tusukannya selain cepat juga amat kuat karena ia mengerahkan tenaga sin-kangnya. "Singgg..... ceppp.....!" pedang itu amblas ke dalam dada biruang sampai setengahnya! Begitu menancap, Suma Eng mencabut lagi sambil melompat ke belakang sehingga ia lolos dari sambaran kaki depan biruang. Biruang itu menggerengTiraikasih Website http://kangzusi.com/ gereng, darah mengulir keluar dari luka di dadanya. Dia kesakitan dan agaknya menjadi jerih karena tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya dan lari dari situ sambil berteriakteriak. "Bagus, Eng Eng. Engkau telah mampu mengalahkannya!" teriak Suma Kiang dengan girang. "Akan tetapi aku belut dapat membunuhnya, ayah!" kata Suma Eng menyesal. "Siapa bilang" Tusukan pedangmu tadi sudah cukup dalam untuk melukai bagian dalam dadanya. Dia tentu akan mati di tempat persembunyiannya." "Ayah, ada lagi!" Tiba-tiba Suma Eng berteriak sambil menuding ke depan dengan mata terbelalak. Suma Kiang membalikkan tubuhnya dan diapun terbelalak kaget karena di sana berdiri seekor biruang kulit putih yang besarnya luar biasa! Ada dua kali tubuhnya besar biruang itu. "Wah, hati-hati, Eng Eng, dia berbahaya sekali!" seruanya lirih. "Mari kita pergi saja dari sini!" "Tidak, ayah. Aku akan melawannya!" kata gadis remaja yang tidak mengenal takut Itu. Suma Kiang memandang dengan khawatir sekali dan diapun mencabut sepasang pedangnya. Suma Eng sudah tiba di depan biruang putih itu. Tiba-tiba ia mendapat akal yang berani sekali. Sambil mengeluarkan teriakan keras, gadis itu menggulingkan tubuhnya ke depan, bergulingan cepat dan pedangnya menyerang ke arah kedua kaki belakang yang berdiri itu! Akan tetapi ternyata biruang itu, biarpun memiliki tubuh yang amat besar, dapat bergerak lincah. Dia dapat mengelak dari sambaran pedang itu dan melompat ke atas, kemudian menurunkan kedua kaki depannya dan menubruk ke arah Suma Eng! "Awas, Eng Eng!" Suma Kiang berseru kaget. Akan tetapi Suma Eng yang masih rebah di atas tanah sudah menggulingkan tubuhnya dengan cepat bagaikan seekor binatang trenggiling dan tubrukan biruang itu pun mengenai tempat kosong! Sebelum binatang itu mampu menyerang lagi, Suma Eng sudah melompat berdiri pula dan memasang kudakuda, siap untuk menghindarkan diri dari serangan biruang itu. Ia hendak menggunakan siasat yang sama dengan ketika mengalah-kan biruang hitam tadi, yaitu membiarkan binatang itu menyerang terus sampai terlengah sehingga ia dapat menusukkan pedangnya ke arah perut atau dada. Akan tetapi biruang itu kini sudah berdiri lagi di atas kedua kaki belakangnya dan kedua kaki depan yang menjadi seperti sepasang tangan itu siap untuk menyerang. Dia melangkah perlahan ke depan, kedua kaki depan siap di kanan kiri dan setelah dekat, kedua kaki itu menyambar dan kanan kiri dengan kuat dan cepat. Suma Eng mengelak mundur dan ketika tangan atau kaki depan yang kanan menyambar lagi, ia menyusup ke bawah kaki yang menyambar itu dan dari situ ia menusukkan pedangnya. "Cessss.....!" Pedangnya menusuk dada bawah lengan, akan tetapi tidak terjadi apa-apa. Ia merasa seperti menusuk setumpuk kapas saja dan ketika pedang dicabut, tidak tampak binatang itu terluka, bahkan kaki depan kanan kembali menyambar disusul pula dengan kaki depannya yang kiri dan hampir saja kepala Suma Eng kena disambar kaki depan kiri yang lebih besar dari kepalanya! Akan tetapi gadis remaja itu memang memiliki kecepatan gerakan yang cukup hebat, maka ia masih berhasil menghindarkan diri dari kaki depan itu. Suma Eng terkejut bukan main. Pedangnya sudah jelas menusuk dada sampai hampir setengahnya, akan tetapi mengapa biruang itu tidak terluka" Seperti menusuk kapas, atau seperti menusuk bayangan saja! Dengan marah ia lalu melompat ke atas dan mengayunkan pedangnya, dengan cepat sekali sambil melompat itu ia menebas leher biruang itu. "Singgg.... wusssshhhh.....!" Kembali pedangnya mengenai leher, akan tetapi biruang itu tidak apa-apa dan pedangnya seperti menembus leher tanpa merasakan apa-apa seolah leher itupun hanya bayangan saja! "Ayah.....!!" Suma Eng berseru, kini terkejut dan gentar. Kalau binatang itu tidak dapat terluka oleh pedangnya, tentu ia berada dalam bahaya besar sekali. Sejak tadi Suma Kiang juga sudah memperhatikan perkelahian antara puterinya dan biruang itu dan melihat pula keganjilan itu. Biruang itu tidak dapat terluka oleh pedang, Kalau tidak terluka karena kebal, hal itu masil tidak mengejutkan. Akan tetapi ini bukan karena ketebalan kulit atau kekebalan karena pedang itu tembus dan seperti mengenai bayangan belaka. "Eng Eng! Mundur kau....!" Serunya. Akan tetapi biruang itu telah menerkam ke arah Suma Eng dan gadis itupun cepat menghindarkan diri dengan lompatan ke samping. Suma Kiang berkemak-kemik dan menudingkan telunjuknya ke arah biruang itu. Dia menggunakan sihirnya karena menduga bahwa ini tentu permainan sihir. Mendadak biruang itu terpecah menjadi dua dan muncul dua biruang yang sama besarnya! Suma Eng menjerit kecil dan cepat ia melompat mendekati ayahnya. Suma Kiang juga terbelalak. Sihirnya tidak dapat mempengaruhi biruang jadi-jadian itu bahkan kini berubah menjadi dua, menggereng dan mengancam dengan buasnya. Tiba-tiba dia teringat dan cepat Suma Kiang menjatuhkan diri berlutut. "Supek yang mulia, maafkan teecu berdua yang datang untuk menghadap supek!" Mendengar ini, Suma Eng terkejut sekali dan baru menyadari bahwa biruang itu adalah binatang jadi-jadian yang diciptakan oleh uwa kakeknya yang menurut ayahnya merupakan seorang yang memiliki kesaktian hebat. Ia adalah seorang anak yang cerdik sekali, maka tanpa diperintah iapun sudah menjatuhkan diri berlutut meniru perbuatan ayahnya. Sambil berlutut ia melirik ke depan, ke arah dua ekor biruang putih itu dan tiba-tiba ada asap mengepul dan dua ekor biruang itupun lenyap. Di tempat binatang-binatang itu kini berdiri seorang kakek yang sudah tua sekali. Usianya tentu lebih dari tujuh puluh tahun, jenggotnya panjang putih, matanya mencorong tajam dan tubuhnya tinggi kurus sekali seperti tengkorak. Pakaian kakek itu serba kuning potongan pakaian tosu (pendeta To) atau pertapa. Kedua ujung jubahnya amat panjang sehingga hampir menyentuh tanah kalau tangannya tergantung lepas-lepas. Rambutnya yang sudah putih itu digelung dan di kat dengan kain berwarna putih. "Ha-ha-ha-ha! Kiranya engkau Suma Kiang! Aku tertarik sekali kepada bocah perempuan itu, maka aku sengaja ingini melihat ketabahan dan kelincahannya lalu menggodanya. Haha, ternyata ia sama sekali tidak takut bahkan melawan mati matian. Siapakah anak ini, Suma Kiang" Apakah ia muridmu?" "Bukan hanya murid, supek. Akan tetapi juga anak. Ia anak tecu, namanya Suma Eng. Hayo, Eng Eng, beri hormat kepada uwa-kakek gurumu!" "Teecu Suma Eng menghaturkan hormat kepada su-pekkong (uwa kakek guru)!" "Ha-ha, bagus! Suma Eng. Kalau engkau mendapat latihan yang baik, kelak engkau bahkan lebih hebat daripada ayah mu. Ha-ha-hal" Tentu saja ayah dan anak itu gembira sekali mendengar ini, karena memang kedatangan mereka ke tempat tinggal kakek ini adalah untuk minta digembleng ilmu-ilmu yang tinggi. "Supek, sesungguhnya kunjungan teecu berdua ini adalah untuk minta petunjuk supek." "Mari kita bicara di pondokku. Aku-pun ingin bicara, sudah bertahun-tahun aku tidak pernah bicara dengan siapapun juga!" kata kakek itu gembira dan tanpa menoleh lagi dia lalu melangkah pergi dari situ mendaki puncak. Suma Kiang bergegas mengajak putennya untuk mengikuti. Agaknya kakek itu memang sengaja hendak melihat bagaimana mereka, terutama gadis remaja itu, mengejarnya, maka dia melangkah dengan cepat, tentu saja tidak terlalu cepat karena dia hanya ingin menguji Suma Eng. Suma Kiang tentu saja dengan mudah mengikuti supeknya yang berjalan tidak terlalu cepat. Akan tetapi bagi Suma Eng, langkah uwa-kakeknya itu sudah cepat sekali sehingga ia harus mengerahkan tenaga untuk mengejarnya sehingga ia tidak sampai tertinggal jauh. Siapakah kakek tua renta yang aneh itu" Kalau kita tahu bahwa Suma Kiang seorang datuk yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu saja kakek itu sebagai uwa gurunya memiliki kesaktian yang amat hebat. Kakek itu menyebut dirinya sebagai Hwa Hwa Cinjin dan puluhan tahun yang lalu dia adalah seorang datuk yang amat terkenal dengan wataknya yang aneh. Akan tetapi dia terkenal pula sebagai tokoh golongan yang tidak bersih. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun dan di antara saudara-saudara seperguruannya, yaitu guru Suma Kiang dan para paman-gurunya, hanya dia seorang yang masih hidup. Selama belasan tahun ini, Hwa Hwa Cinjin bertapa di Puncak Ekor Naga di Cin-ling-san dan tidak pernah terdengar namanya di dunia persilatan. Bahkan dunia ramai tidak mengenalnya dan tidak pernah melihatnya karena kakek ini memang menjauhkan diri dari dunia ramai dan hanya bertapa. Akan tetapi dasar seorang datuk yang tidak bersih, dia bertapa bukan untuk menebus dosa dan mencari jalan terang, melainkan untuk memperdalam ilmuilmu nya, yaitu ilmu silat dan ilmu sihirnya! Setelah tiba di depan pondoknya, sebuah pondok bambu dan kayu sederhana yang berada di purcak itu, Hwa Hwa Cinjin berhenti dan membalikkan tubuhnya, tertawa senang melihat Suma Eng dapat tiba pula di situ tidak tertinggal jauh walaupun mukanya kemerahan dan lehernya basah oleh keringat. Diam-diam dia menjadi semakin senang dengan anak perempuan itu. "Supek-kong tampaknya berjalan dan melangkah biasa saja, akan tetapi bagaimana dapat demikian cepatnya melebihi orang lari?" Suma Eng bertanya kepada kakek itu setelah ia tiba di depannya. "Itulah Ilmu Liok-te Hui-teng (Lari Terbang di Atas Bumi), kalau sudah kaukuasai engkau dapat berlari secepat terbang. Maukah engkau mempelajarinya?" Tiba-tiba Suma Eng menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek Hwa Hwa Cinjin. "Tentu saja teecu suka mempelajarinya!" "Ha-ha-ha, Suma Kiang. Anakmu ini cocok dengan aku!" "Teecu merasa beruntung sekali, supek. Memang kunjungan teecu berdua ini untuk memohon kepada supek agar sud memberi bimbingan kepada Suma Eng." "Eh" Kenapa engkau mempunyai pikiran begitu" Bukankah kepandaianmu sendiri sudah memadai untuk mendidik puteri mu sendiri?" "Itulah, supek. Teecu merasa bahwa kepandaian yang teecu miliki tidak ada artinya. Berkali-kali teecu dikalahkan orang, dan teecu menginginkan agar kepandaian puteri teecu melebihi teecu, agar kelak dapat membalaskan kekalahan teecu dari orang-orang itu." "Oho! Ada yang dapat mengalahkan-mu" Engkau yang sudah menguasai Ciu-sian Tung-hoat (Ilmu Tongkat Dewa Arak) dan Coa-tok Siang-kiam (Sepasang Pedang Racun Ular)" Siapa mereka yang dapat mengalahkanmu itu?" Suma Kiang menghela napas panjang. Hatinya masih merasa penasaran sekali mengingat betapa dia kehilangan Chai Li dan Cheng Lin, karena dikalahkan orang. "Pertama tecu kalah ketika bertanding melawan Toa Ok." "Toa Ok" Kau maksudkan Toat-beng-kui (Setan Pencabut Nyawa) itu" Hemm, dia memang lihai, akan tetapi tidak semestinya engkau kalah oleh dia. Lalu siapa lagi yang dapat mengalahkanmu?" "Menghadapi Toa Ok, teecu masih dapat melakukan perlawanan. Akan tetapi menghadapi hwesio tua yang bertapa di Puncak Awan Putih di Thai-san itu, sungguh teecu merasa seperti seorang anak anak yang tidak berdaya, Dalam beberapa gebrakan saja teecu telah tertotok dan tidak berdaya!" Hwa Hwa Cinjin membelalakkan mata nya. "Hemm, begitukah" Dan siapa hwe-sioa tua yang amat sakti itu?" "Teecu tidak tahu siapa dia, hanya dua orang pembantunya mempunyai ciri yang khas. Yang seorang adalah seorang nelayan yang membawa dayung baja dan orang kedua adalah seorang petani yang membawa cangkul sebagai senjata." "Ahhh....! Hwesio yang mempunyai pembantu seperti pengawal Aku dapat menduga siapa dia. Dia tentu Cheng Hian Hwesio! Tidak aneh kalau engkau, kalah menghadapi dia, karena dia adalah seorang yang menguasai ilmu sakti It-yangci. Aku sendiri, biarpun tidak akan kalah olehnya, setidaknya juga tidak mudah untuk mengalahkannya. Sudahlah, aku akan menurunkan semua ilmu simpananku kepada Suma Eng agar kelak ia dapat menjunjung tinggi nama kita. Tinggalkan ia di sini bersamaku selama lima tahun." "Baik, dan terima kasih, supek." Kemudian kepada puterinya dia berkata, "Eng Eng, engkau baik-baiklah belajar kepada supek. Hari ini juga aku akan meninggalkanmu di sini." Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Akan tetapi, ayah hendak pergi ke manakah" Apakah ayah tidak bisa tinggal di sini pula bersama supek-kong dan aku?" "Tidak bisa. Supek menghendaki aku pergi dan aku hanya akan mengganggu ketekunanmu kalau aku berada di sini. Aku akan mengembara dan lima tahun kemudian aku akan menjemputmu di sini." Mereka memang orang-orang yang memiliki watak aneh. Murid keponakannya baru saja tiba dan sudah disuruhnya pergi lagi meninggalkan putennya di situ, demikian anehnya watak Hwa Hwa Cinjin. Suma Kiang juga tidak keberatan dan dengan mudah saja dia meninggalkan puteri yang dicintanya. Bahkan Suma Eng juga sudah menunjukkan watak yang keras dan aneh. Ia tidak tampak sedih atau terharu ditinggal ayahnya di tempat yang asing baginya itu, apalagi mereka akan berpisah selama lima tahun! Dari sini saja dapat dibayangkan betapa keras dan tabahnya hati gadis remaja ini. Demikianlah, mulai hari itu Suma En tinggal di Puncak Ekor Naga di Cin-ling-san, menerima gemblengan ilmu-ilmu dari uwa-kakek gurunya. Dua ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya, yaitu Ciu-sian Tung-hoat dan Coa-tok Kiam-hoat (Ilmu Pedang Racun Ular), disempurnakan oleh Hwa Hwa Cinjin menjadi ilmu yang amat ampuh. Di samping menyempurnakan dua ilmu yang telah dikuasai Suma Eng, diapun menurunkan ilmu pukulan Pek-Lek ciang-hoat (Ilmu Silat Halilintar) dan juga ilmu sihir yang mengandalkan tenaga khi-kang. Selama lima tahun Suma Eng belajar dengan giat dan tekun sekali sehingga ia memperoleh kemajuan yang hebat. Akan tetapi ada sesuatu kesedihan yang kadang mengganjal hati Suma Eng, yaitu kalau ia teringat akan ibunya. Seperti anak-anak biasa, sejak kecil ia merindukan ibunya. Akan tetapi setiap kali ia bertanya kepada ayahnya di mana ibunya, ayahnya selalu mengatakan bahwa ibunya telah mati. Kalau ia mendesak kepada ayahnya agar menceritakan tentang ibunya, ayahnya bahkan membentaknya dengan marah, dan ketika ia menanyakan dari mana ibunya berasal, ayahnya hanya mengatakan dengan singkat bahwa ibunya orang dari dusun Ban-Li-cung di kaki pegunungan Thai-san. Nama dusun ini tak pernah terlupakan oleh Suma Eng dan timbul niatnya bahwa sekali waktu ia pasti akan berkunjung ke dusun itu untuk mencari keterangan tentang ibunya. Hwa Hwa Cinjin yang sudah tua renta itu agaknya senang sekali kepada Suma Eng. Melihat ketekunan dan juga kecerdikan gadis itu, yang dengan mudah mampu menerima pelajaran ilmu yang tinggi-tinggi, kakek itu lalu menurunkan semua ilmunya. Agaknya sebelum dia mati, dia ingin mewariskan ilmu-ilmunya kepada seseorang dan sekarang dia telah menemukan ahli warisnya, yaitu Suma Eng. Dengan amat cepatnya waktu berlalu dan tahu-tahu Suma Eng sudah tinggal di Puncak Ekor Naga selama lima tahun! Pada suatu hari, di kebun belakang pondok di Puncak Ekor Naga itu tampak seorang gadis yang sedang duduk bersila di atas sebuah batu datar. Gadis itu berusia delapan belas tahun, cantik jelita wajahnya, manis dengan tahi lalat di pipi kiri, matanya yang terpejam itu dilindungi bulu mata yang panjang lentik, tubuhnya yang duduk bersila dengan punggung tegak lurus itu ramping padat mempesona. Pakaiannya berwarna nrerah muda dan tampak ringkas. Di punggungnya tergantung sebatang pedang sehingga gadis itu tampak cantik jelita dan juga gagah sekali. Gadis itu bukan lain adalah Suma Eng yang kini telah menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun. Pagi itu dia sudah berlatih silat dan setelah lelahi berlatih silat tangan kosong, silat pedang dan silat tongkat, ia lalu duduk bersila di situ untuk menghirup hawa murni dan memulihkan tenaga menghilangkan kelelahan. Tiba-tiba telinganya yang memiliki pendengaran amat tajam dan terlatih, dapat menangkap suara yang tidak wajar yang datang dari depan pondok. Cepat ia meloncat turun dari atas batu dan dengan gerakan seperti seekor burung terbang, ia sudah lari menuju depan pondok. Ketika tiba di depan pondok, ia tertegun. Uwa-kakek gurunya, Hwa Hwa Cinjin yang sudah tua renta itu, sedang berdiri di luar pintu dan sedang mengadu tenaga sakti melawan empat orang! Hwa Hwa Cinjin berdiri dengan tubuh direndahkan dan kedua tangannya didorongkan ke depan, bertemu dengan dua tangan yang juga didorongkan menyambut tangan Hwa Hwa Cinjin. Dua tangan ini milik seorang kakek berusia tujuh puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan berpakaian mewah. Di belakang kakek tinggi besar ini masih berdiri secara berbaris tiga orang lagi. Seorang berusia enam puluhan tahun yang bertubuh sedang juga mendorongkan kedua tangan ke depan menempel pada punggung laki-laki tinggi besar tadi. Di belakang laki-laki ke dua ini berdiri seorang wanita cantik berusia hampir empat puluh tahun juga menempelkan kedua tangan di punggung laki-laki ke dua, dan di belakang sendiri berdiri seorang wanita pula yang berusia enam puluh tahun namun masih nampak cantik jelita dan mewah. Mereka semua mengerahkan tenaga sin-kang dan di kepala mereka mengepul uap putih. Sekali pandang saja tahulah Suma Eng apa yang sedang terjadi. Empat orang itu sedang mengadu tenaga sin-kang melawan kakek gurunya! Mereka berempat menyatukan tenaga sin-kang dan melalui kakek terdepan mereka berusaha sekuatnya untuk mengalahkan Hwa Hwa Cinjin. Dan melihat keadaan kakek gurunya yang sudah berpeluh dan seluruh tubuhnya gemetar, mengerti pula Suma Eng bahwa kakek gurunya terdesak dan dalam bahaya besar. Tanpa membuang waktu lagi ia melompat ke belakang gurunya lalu mendorongkan kedua tangannya, ditempelkan ke punggung gurunya dan nengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Akibat bantuan Suma Eng ini hebat sekali. Empat orang yang sedang mengeroyok Hwa Hwa Cinjin itu terpental ke belakang dan roboh tunggang langgang saling tindih! Tentu saja mereka terkejut sekali dan hampir tidak percaya bahwa tenaga yang luar biasa besarnya itu datang dari seorang gadis muda belia. Mereka maklum bahwa kalau gadis itu membantu Hwa Hwa Cinjin, mereka tidak akan menang. Apalagi Hwa Hwa Cinjin yang biarpun sudah terdesak, kini masih tampak segar dan kokoh kuat. "Pergi......!" kata kakek pertama yang paling tua dan empat orang itu lalu melompat jauh dengan cepat sekali dan pergi meninggalkan Puncak Ekor Naga. Suma Eng yang merasa penasaran hendak mengejar, akan tetapi tidak jadi karena ia melihat betapa uwa-kakek gurunya terhuyung dan dari mulutnya keluar darah segar! "Supek-kong (uwa kakek guru).....!" katanya khawatir. Akan tetapi kakek itu terhuyung dan roboh. Cepat Suma Eng menangkap tubuh itu dan merangkulnya sehingga tidak jatuh akan tetapi ternyata kakek itu telah pingsan! Suma Eng lalu memondong tubuh Hwa Hwa Cinjin dan membawanya memasuki pondok. Dia merebahkan tubuh kakek itu ke atas pembaringan kayu dalam kamar Hwa Hwa Cinjin dan cepat melakukan pemeriksaan. Melihat keadaan kakek itu berbahaya sekali, isi dadanya terguncang dan tampak tanda-tanda bahwa dalam dada itu penuh hawa beracun, ia lalu menotok beberapa jalan darah di pundak dan leher untuk menghentikan pendarahan. Kemudian setelah membuka baju kakek itu, ia menempelkan kedua telapak tangannya ke atas dada yang berwarna agak kehitaman itu dan mengerahkan sinkang untuk mengukir hawa beracun dan dalam dada Hwa Hwa Cinjin. Tiba-tiba Suma Eng terkejut dan melepaskan kedua telapak tangannya dari dada kakek itu. Ada hawa yang amat panas menyambut kedua tangannya. Jilid IX HWA HWA CINJIN membuka kedua matanya dan mengeluh lirih. Suma Eng segera mendekatkan mukanya dan bertanya, "Supek-kong, bagaimana rasanya badan supek-kong?" Kakek itu memandang kepada Suma Eng, mulutnya menyeringai seperti kalau dia tertawa. Biasanya, kakek ini memang suka sekali tertawa, dalam keadaan bagaimanapun dia selalu tertawa. Akan tetapi sekarang agaknya rasa nyeri membuat dia tidak dapat mengeluarkan suara tawa. "Mereka menyerangku dengan Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun), dalam tubuhku penuh hawa beracun...." "Siapakah mereka yang menyerangmu tadi, supek-kong?" Kakek itu agaknya berdaya mengumpulkan semua tenaga yang tersisa untuk dapat bicara, "..... mereka itu.... Thian-te Sam-ok (Tiga Jahat Bumi Langit) dan yang seorang wanita mungkin murid mereka." "Hemm, Thian-te Sam-ok" Mengapa mereka menyerangmu, supek-kong?" "Ha-ha-ha..... uh-uh-uhhh.....!" Karena tertawa ini, kakek itu terbatuk-batuk dan darah segar keluar dari mulutnya. Suma Eng cepat membersihkan bibir kakek itu dengan sehelai saputangan. "Mereka memang musuh lama. Tidak pernah menang melawanku dan tadi mereka muncul setelah berhasil menemukan tempat pertapaanku ini. Aku sudah terlalu tua, tenagaku banyak berkurang namun aku masih dapat bertahan menghadapi mereka. Akan tetapi mereka mempergunakan Ban-tok-ciang yang penuh dengan hawa beracun yang busuk......" dia terengah-engah. "Supek-kong....!" seru Suma Eng dengan khawatir. "Sudahlah, jangan banyak bercakap, supek-kong harus beristirahat untuk memulihkan tenaga." Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak ada gunanya..... seluruh tubuhku telah keracunan..... tak mungkin disembuhkan lagi. Dengar baik-baik pesan ku, Eng Eng......" Dengan alis berkerut dan sikap bersungguh-sungguh, Suma Eng mengangguk. "Teecu mendengarkan, supek-kong!" "Setelah aku mati, bakar pondok ini dan biarkan jenazahku terbakar di dalamnya. Lalu taburkan dan biarkan hanyut abu jenazahku ke Sungai Huang-ho di bawah lereng itu...." "Baik, supek-kong." kata Suma Eng tegas. "Kemudian jangan lupa, kelak carilah Thian-te Sam-ok dan bunuh mereka......" "Baik, supek-kong. Akan teecu bunuh mereka satu demi satu " kata pula Suma Eng sambil mengepal tangan kanan. "Ha-ha, aku puas sudah.... bantulah aku bangkit duduk...." Suma Eng membantu kakek itu duduk bersila di atas pembaringannya. Setelah duduk bersila dengan tegak, kakek itu mengambil napas dalam sekali dan tubuhnya menjadi kaku, masih duduk bersila akan tetapi matanya terpejam dan napasnya putus! Kiranya tadi dia mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk bicara dan setelah berhenti bicara, tenaga dan daya tahannyapun habis dan dia menghembuskan napas terakhir dalam keadaan masih duduk bersila. "Supek-kong.....!" Suma Eng memanggil, lalu menyentuh nadinya dan mendekatkan tangannya ke depan hidung kakek itu. Maka tahulah ia bahwa gurunya itu telah tewas. Biarpun hatinya merasa sedih, Suma Eng tidak menangis, hanya memandang kepada jenazah yang duduk bersila itu dengan mata penasaran. "Supek-kong, tenangkan arwahmu, teecu pasti akan membunuh Thian-te Sam-ok!" Kemudian ia teringat akan pesan kakek itu untuk membakar pondok, la lalu berkemas, mengumpulkan semua miliknya yang kiranya dapat ia bawa merantau, membungkus semua pakaian dalam sebuah buntalan kain biru. Setelah itu, ia mengumpulkan daun dan kayu kering, menumpuknya di dalam dan di luar sekitar pondok kemudian membakar pondok itu. Api berkobar melahap pondok, menimbulkan suara berkerotokan. Suma Eng menjauhi pondok dan duduk di bawah pohon memandang api yang bernyala besar, dan pada saat itu terbayang olehnya semua kebaikan Hwa Hwa Cinjin selama ia berguru kepada kakek tua renta itu. la mengepal tangan kanannya dan mulutnya mengeluarkan bisikan lirih. "Awas kalian, Thian-te Sam-ok. Aku akan membalaskan kematian supek-kong!" Berjam-jam ia menunggu sampai seluruh pondok terbakar habis. Setelah semua api padam, la lalu mencari di antara puing dan menemukan abu putih setumpuk, abu jenazah Hwa Hwa Cinjin. Dengan hati-hati ia mengumpulkan abu itu dan memasukkan dalam buntalan kain kuning yang memang sudah ia persiapkan, lalu membungkus abu itu dalam kain kuning. Setelah itu, ia menggendong dua buntalan itu, yang sebuah buntalan pakaiannya dan yang sebuah lagi dan kecil adalah buntalan abu jenazah gurunya. Maka berangkatlah ia meninggalkan Puncak Ekor Naga, menuruni puncak menuju ke Sungai Huang-ho yang mengalir di bawah lereng sebelah selatan. Suma Eng berjalan seenaknya sambil melamun. Ia teringat akan ayahnya. Di mana ayahnya berada" Dahulu ayahnya mengatakan bahwa setelah lewat lima tahun, ayahnya akan datang ke Puncak Ekor Naga untuk menjemputnya. Bagaimana kalau nanti ayahnya datang dan melihat pondok sudah terbakar habis dan ia sudah tidak berada di sana" Ia terpaksa harus membakar pondok untuk menaati pesan supek-kongnya, dan sekarang ia harus pergi menebarkan abu jenazah itu ke Sungai Huang-ho. Teringat akan ayahnya, ia merasa rindu juga dan segera ia kembali ke Puncak Ekor Naga yang belum jauh ia tinggalkan. Di depan pondok itu terdapat sebuah pohon besar dan Suma Eng lalu mencabut pedangnya. Sinar kehijauan tampak ketika ia mencabut Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau), kemudian ia mencorat-coret dengan ujung pedangnya pada batang pohon. Ia meninggalkan beberapa huruf untuk memberitahu kepada ayahnya kalau ayahnya datang ke Puncak Ekor Naga. "Supek-kong telah meninggal dunia. Aku membawa abunya untuk dihanyutkan di Sungai Huang-ho dan setelah itu aku akan merantau ke selatan." Demikianlah coretan-coretan berupa huruf-huruf yang dibuat di batang pohon itu. Kalau ayahnya datang ke Puncak Ekor Naga, ayahnya tentu akan melihat tulisan itu dan akan mengerti. Setelah elesai meninggalkan pesan lewat coretan di belakang pohon, Suma Eng lalu menuruni kembali puncak itu dan kini ia mempergunakan ilmu berlari cepat dan sebentar saja sudah tiba di lereng. Tiba-tiba muncul belasan orang yang keluar dari balik semak belukar dan pohon-pohon yang banyak terdapat di luar hutan itu. Mereka terdiri dari laki-laki berusia antara dua puluh lima sampai empat puluh tahun, sikap Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mereka kasar dan bengis dan tangan mereka memegang sebatang golok yang tajam. Biarpun Suma Eng belum pernah mengalami hal seperti ini, namun dari cerita ayahnya ia dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan segerombolan perampok yang biasa menghadang orang lewat dan merampas barangnya. Melihat belasan orang itu sengaja menghadang di depannya, Suma Eng bertanya dengan suara nyaring, "Siapakah kalian dan mau apa kalian menghadang perjalananku?" "Mau apa" Ha-ha-ha, apa-apa kami mau! Terutama buntalan di punggungmu itu!" kata seorang yang brewokan dan berkulit hitam. "Orangnya kami juga mau!" terdengar orang lain dan semua laki-laki itu tertawa bergelak. Mereka menyeringai dan sikap mereka kurang ajar sekali. "Hushh!" kata si brewok yang tampak nya adalah pemimpin mereka. "Sekali ini orangnya untukku dan barang-barangnya kita bagi rata!" Suma Eng mengangguk-angguk dan senyumnya melebar. Orang-orang itu tidak tahu betapa bahayanya kalau Suma Eng sudah tersenyum lebar seperti itu. Ini tandanya bahwa ia marah sekali. Ia marah bukan karena dihadang hendak dirampok, melainkan marah karena kata-kata mereka yang kurang ajar terhadap dirinya. "Hemm, mengerti aku sekarang! Jadi kalian ini adalah anjing-anjing perampok yang tak tahu diri dan kurang ajar" Bagus, kebetulan sekali, nonamu juga sedang gatal tangan dan akan mengirim nyawa kalian ke neraka! Kalian mau mengambil buntalan- buntalan ini?" la menurunkan dua buntalannya dan meletakan di atas tanah. "Nah, siapa mau boleh ambili" katanya. Setelah buntalan itu turun dari punggungnya, baru tampak oleh para perampok itu bahwa gadis itu membawa sebatang pedang di punggung mereka. Akan tetapi tentu saja mereka tidak gentar oleh ucapan Suma Eng. Gadis muda seperti itu, akan mampu berbuat apakah terhadap mereka" Maka, dua orang segera menubruk hendak mengambil buntalan itu. "Plak! Plak!" Dua kali tangan kiri dan kanan Suma Eng bergerak menampar dan tepat mengenai muka dua orang itu tanpa dapat dielakkan atau ditangkis karena perhatian mereka ditujukan kepada buntalan itu dan tamparan yang dilakukan Suma Eng cepat seperti kilat. Dua orang itu terpelanting roboh, berkelojotan dan tewas dengan mata mendelik. Semua orang terkejut melihat betapa di muka dua orang rekan mereka itu terdapat tanda telapak tangan hitam. "Dan siapa mau memiliki aku" Boleh ambil!" Suma Eng membusungkan dadanya seperti hendak menyerahkan dirinya. Kepala perampok yang brewokan dan berkulit hitam itu menjadi marah sekali. Dia membuka bajunya sehingga tampak dadanya yang berbulu dan membentak, "Gadis setan berani engkau membunuh anak buahku?" Dia lalu menubruk, seperti seekor biruang yang menubruk sambil mengembangkan kedua lengan seperti hendak menerkam Suma Eng. Gadis itu menggerakkan kedua tangan menangkis dan ketika lengan tangan kepala rampok itu terpental ke kanan kiri dan dadanya terbuka lebar, tangan kirinya menghantam dengan telapak tangan terbuka kearah dada itu. "Bukk.....!!" Tubuh kepala perampok Itu terpental ke belakang dan roboh terjengkang, berkelojotan lalu tewas. Di dadanya yang hitam itu tampak bekas telapak tangan yang lebih hitam lagi! Melihat pimpinan mereka roboh dan tewas, para perampok itu terbelalak dan menjadi marah sekali. Mereka adalah orangorang yang busa mengandalkan kekuatan tidak mempergunakan pikiran sehingga mereka tidak menyadari bahwa mereka berhadapan dengan orang yang memiliki kesaktian. Belasan orang itu lalu menggerakkan golok mereka dan menerjang Suma Eng dari berbagai jurusan. Suma Eng maklikn bahwa biarpun ilmu kepandaian para perampok itu tidak seberapa, namun karena belasan orang maju bersama, maka dapat membahayakan keselamatannya juga. Hal ini membuatnya makin marah dan dengan mempergunakan kecepatan gerakannya, ia berloncatan dan menyusup di antara mereka, menggunakan ilmu silat yang disebut Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Memasuki Serbuan Ratusan Golok). Tubuhnya berkelebatan, lenyap bentuknya hanya tampak bayangan yang berkelebatan di antara golok-golok itu dan kedua tangannya sibuk membagibagi tamparnn yang dilakukan dengan ilmu Toat-beng Tokciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa). Hanya terdengar suara piok-plak plak dan disusul jeritan dan robohnya para perampok. Satu demi satu mereka roboh dan semua tewas dengan tanda telapak jari tangan hitam dan mata mendelik! Setelah hampir semua dari mereka roboh dan tewas, tinggal dua orang yang masih hidup, barulah mereka menyadari dan dua orang itu lalu membalikkan tubuh dan lari tunggang-langgang Suma Eng tertawa mengejek, memungut dua batang golok dari atas tanah dan sekali ia lontarkan golok itu, dua sinar menyambar ke arah orang yang melarikan diri dan di lain saat mereka berteriak dan roboh menelungkup dengan punggung ditembusi golok. Suma Eng menepuk-nepuk kedua tangan seperti hendak membersihkan dari debu sambil tersenyum puas. Matanya bersinar-sinar dan ia merasa bangga sekali atas kemampuan dirinya. Kalau saja ayahnya dan supek-kongnya menyaksikan apa yang baru saja ia lakukan, mereka tentu akan merasa senang dan bangga sekali. Ia memandang belasan mayat yang berserakan itu dan menggumam sendiri, " Anjing-anjing perampok hina, baru kalian tahu sekarang akan kelihaian nonamu!" Dia mengambil buntalannya, menggendong lagi buntalan pakaian dan buntalan abu jenazah gurunya, lalu melanjutkan perjalanannya. Hari telah jauh siang ketika ia tiba di kaki pegunungan dan memasuki sebuah dusun yang cukup ramai. Ketika melihat sebuah warung makan di tepi jalan, barulah terasa olehnya betapa perutnya lapar sekali dan teringatlah ia bahwa sejak pagi ia belum makan apapun atau minum apapun. Bau sedap masakan yang memakai bawang menusuk hidungnya dan membuat perutnya menjadi semakin lapar. Ia lalu memasuki warung itu. Sebuah warung makan yang sederhana namun cukup besar dan mempunyai tujuh meja. Tiga buah meja telah dihadapi tamu, dan ia lalu memilih meja kosong dan duduk di bangku. Buntalannya ia lepas dari punggung dan ia letakkan di atas meja, tanpa melepas pedangnya dari punggung. Seorang pelayan, satu-satunya pelayan di warung itu, seorang yang usianya sudah setengah tua, lima puluhan tahun, menghampirinya. "Nona hendak memesan makanan dan minuman?" "Ambilkan air teh cair, arak lunak setengah guci kecil dan nasi serta dua macam masakan yang enak dari dagingi ayam dan sapi." "Baik, nona." Pada saat itu, tamu yang makan di meja sebelah, tiga orang banyaknya, telah selesai dengan makanan mereka dan mereka sudah hendak meninggalkan meja. Seorang di antara mereka mengeluarkan sebuah pundi-pundi kecil untuk mengeluarkan uang. Pada saat itu barulah Suma Eng teringat bahwa membeli makanan dan minuman haruslah membayar, padahal ia sama sekali tidak mempunyai uang sepeserpun! Ia memandang orang yang memiliki pundi-pundi uang itu. Pemilik pundi-pundi uang itu mengeluarkan beberapa potong uang dan dibayarkan kepada pelayan, kemudian menyimpan kembali pundi-pundi uangnya di dalam saku bajunya yang longgar. Suma Ing tersenyum. Ada jalan untuk dapat membayar harga makanan dan minuman, pikirnya. Ia menanti sampai tiga orang itu bangkit berdiri dan melangkah melewati dekat mejanya. Tiba-tiba ia berdiri dan menghadang laki-laki yang memiliki pundi-pundi uang itu dan menepuk pundaknya sambil tersenyum girang. "Hei ! Tan-twako (kakak Tan), engkau hendak pergi ke manakah?" Laki-laki itu memandang dengan bingung akan tetapi tersenyum girang karena yang menegurnya adalah seorang gadis yang amat cantik. "Aku.... aku bukan orang she (marga) Tan....." katanya ragu. "Nona siapakah?" "Ah, maafkan aku. Wajahmu mirip sekali dengan Tantwako." kata Suma Eng, tersipu lalu kembali duduk di kursinya. Tiga orang itu melanjutkan langkah mereka sambil tertawa-tawa. Orang yang ditegurnya tadi berkata kepada dua orang temannya. "Sungguh sayang aku bukan orang she Tan, kalau iya, alangkah senangnya mengobrol dengan si cantik jelita itu." Dan tiga orang itu tertawa-tawa lagi sambil keluar dari warung makan. Sementara itu, sambil mengulum senyum, Suma Eng menyelipkan pundi-pundi uang yang telah diambilnya dari kantung orang tadi ke dalam buntalannya. Suma Eng lalu makan dengan enaknya. Setelah selesai makan dan membayar harga makanan dan minuman, ia lalu menggendong lagi buntalannya dan beranjak meninggalkan warung makan itu. Akan tetapi baru saja ia tiba di depan warung, terdengar teriakan orang dan tiga orang laki-laki tadi datang berlarian. Pemilik pundi-pundi tadi menuding-nuding kepadanya. "Itu ia! Cepat jangan sampai ia lari!" Akan tetapi Suma Eng tidak lari dan memandang kepada mereka dengan sikap he ran. la melirik ke keranjang sampah di depan warung, di mana baru saja ia melemparkan pundi-pundi kosong itu dan semua uang yang tadi berada di pundi-pundi kini telah berada dalam buntalan pakaiannya dengan aman. "Hei, nona. Kembalikan pundi-pundi uangku!" Laki-laki itu menghampiri Suma Eng dan menudingkat telunjuknya ke arah muka gadis itu. "Hemm, apa maksudmu" Aku tidak tahu tentang pundipundi uangmu!" jawab Suma Eng dengan tenang. "Engkau tentu yang mengambil pundi-pundi uangku. Sejak aku keluar dari warung ini, selain engkau tidak ada orang lain lagi yang mendekati aku. Hayo turun kan dan buka buntalanmu, akan kuperiksa. Pundi-pundi uangku tentu berada dalam buntalanmu itu!" kata pula pemilik pundi-pundi. "Asalkan engkau mau melayani kami bertiga selama sehari semalam, biarlah pundi-pundi itu tidak usah kau kembali-kan!" kata seorang di antara mereka ber tiga sambil menyeringai. Ucapan dan sikap inilah yang membuat Suma Eng menjadi marah, Ia melepaskan buntalannya dan membuka buntalan itu di atas tanah di depan mereka. "Nah, kalian lihat. Mana pundipundi itu" Kau kira aku tidak punya uang dan mencuri pundipundimu" Lihat, akupun mempunyai cukup banyak uang." katanya sam bil memperlihatkan uang dalam buntalan, uang pindahan dari pundi-pundi. Tentu saja orang tidak akan mampu mengenali uang, karena uang itu di mana-manapun sama saja. Pundi-pundi yang menjadi tanda milik orang itu sudah tidak ada! Banyak orang berdatangan dan merubung tempat itu untuk menonton apa yang terjadi. Tiga orang itu tidak menemukan pundi-pundi dalam buntalan dan si pemilik pundi-pundi berkata, "Tentu kau-sembunyikan dalam bajumu!" "Kita geledah saja pakaiannya!" kata pula yang tadi mengeluarkan ucapan kurang ajar. Suma Eng menggendong lagi buntalannya dan nenghadapi tiga orang yang sudah siap untuk menggeledah pakaiannya itu ia berkata, "Kalian hendak menggeledah pakaianku. Silakan, kalau kalian mampu!" Seperti tiga ekor anjing berebutan tulang, tiga orang lakilaki itu menjulurkan tangan-tangan yang penuh gairah hendak mengerayangi tubuh Suma Eng. Gadis itu mengelak ke belakang dan ketika tiga orang itu mengejar, kedua tangannya bergerak cepat sekali. "Plak-plak-plak-plak-plak-plak!" Dengan kecepatan yang tidak dapat di kuti pandang mata, tiga orang itu masingmasing telah kena ditampar pipi kiri dan kanan mereka. Mereka mengaduh-aduh dan terhuyung sambil menggunakan kedua tangan memegangi kedua pipi mereka yang bengkakbengkak dan bibir mereka yang berdarah karena gigi mereka banyak yang copot! "Masih ingin menggeledahku?" tanya Suma Eng yang hanya menggunakan tenaga ketika menampar, tidak mengerahkan pukulan beracun. Biarpun ayahnya selalu menasihatkan padanya agar membunuh setiap orang yang berani menentangnya, namun gadis ini tidaklah sekejam ayahnya. Para perampok itu memang dibunuhnya karena kesalahan mereka sudah jelas. Akan tetapi tiga orang ini tidak bersalah apa-apa kecuali bersikap kurang ajar, bahkan uang mereka telah ia curi. Karena itulah maka ia hanya menghajar mereka dengan tamparan itu saja. Tiga orang itu merasa kesakitan dan juga ketakutan. Mereka lalu melarikan diri sambil memegangi kedua pipi mereka. Para penonton banyak yang tertawa melihat peristiwa yang mereka anggap lucu. itu. Akan tetapi banyak pula yang memandang kepada Suma Eng dengan jerih, apalagi melihat sebatang pedang tergantung di punggung gadis itu. Suma Eng tidak memperdulikan pandang mata semua orang itu dan ia melanjutkan perjalanan dengan cepat meninggalkan dusun itu. Setelah senja tiba, belum juga ia bertemu dusun lain dan terpaksa ia berhenti di luar sebuah hutan, membuat api unggun di bawah sebatang pohon besar dan melewatkan malam di tempat itu. Ia tidak dapat tidur pulas membiarkan dirinya terancam bahaya di tempat terbuka itu, akan tetapi hal ini bukan merupakan persoalan baginya, la sudah dilatih oleh Hwa Hwa Cinjin dan sudah biasa duduk bersila dalam samadhi. Dalam keadaan seperti ini, tidak bedanya dengan orang tidur karena semua urat syaraf di tubuhnya beristirahat sepenuhnya, namun kesadarannya selalu siap sehingga sedikit saja terdengar suara yang tidak wajar akan cukup untuk membangunkannya. Dapat dikata bahwa ia tidur dalam keadaan sadar! Demikian pula, kalau api unggun hampir padam, ia dapat merasakannya, terbangun dan menambahkan kayu bakar pada api unggun. Dan1 panasnya api unggun itu mengusir nyamuk dan hawa dingin. Suma Eng membuka matanya. Api unggun sudah hampir Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo padam dan hawa udara masih dingin. Akan tetapi karena sinar matahari pagi sudah mulai menerangi tanah, iapun tidak membesarkan api unggun. Pagi telah tiba. Sejenak ia enikmati suasana pagi yang cerah itu. Kicau burung di atas pohon, diseling kuruyuk ayam jantan dari hutan, mendatangkan suasana yang tenteram dan penuh emangat hidup. Suma Eng bangkit berdiri, menggendong buntalannya dan meninggalkan bawah pohon untuk mencari anak sungai atau sumber air. Akhirnya ia enemukan pancuran air di dalam hutan itu segera ia membersihkan dirinya degan air yang jernih itu. Segar sejuk rasanya. Kemudian ia lalu mengikuti aliran air dari pancuran itu karena maklum bahwa Sungai Huang-ho tentu sudah dekat dan air yang mengalir dari pancuran itu akhirnya tentu akan terjun ke dalam Sungai Huang-ho. Ternyata air itu masuk ke dalam sebatang anak sungai yang lumayan besarnya dan ia lalu menyusuri tepi anak sungai ini, mengikuti jalannya yang menuju ke barat. Perutnya terasa lapar. Melihat betapa banyaknya ikan yang berenang di anak sungai itu, ia lalu mengambil sebatang ranting, diruncingkannya ujungnya dan dengan senjata ini ia menuruni tepi sungai. Sebentar saja, dengan rantingnya, ia telah dapat menangkap dua ekor ikan sebesar tangannya. Lalu dibuatnya api unggun dan dipanggangnya ikan itu. Akan tetapi ketika dimakannya, ia menyeringai. Rasa daging ikan itu hambar. Tentu saja hambar. Segala macam daging akan terasa hambar dan tidak enak kalau dipanggang atau dimasak tanpa bumbu terutama garam, la sama sekali tidak berpengalaman melakukan perjalanan seorang diri, maka iapun tidak membawa garam maupun bumbu masak lainnya. Dibuangnya ikan-ikan itu dan setelah mencuci tangannya, ia melanjutkan perjalanannya. Setelah hari menjadi siang, barulah anak sungai itu terjun ke dalam Sungai Huang-ho. Suma Eng menjadi girang sekali. Inilah tempatnya di mana ia harus menaburkan abu jenazah Hwa Hwa Cinjin seperti yang dipesan oleh kakek itu. Akan tetapi ia tidak mempunyai perahu. Bagaimana dapat menaburkan abu itu" Dari tepi" Penaburan itu tentu tidak sempurna, dan abunya akan banyak yang terjatuh di tepi sungai karena terbawa angin ketika ia taburkan. Suma Eng menjadi bingung dan duduk di atas sebuah batu besar. Tempat itu sunyi, dari mana ia akan dapat menyewa perahu" Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan wajahnya berseri, la melihat sebuah perahu hitam didayung oleh seorang laki-laki setengah tua. "Paman.....1 Paman tukang perahu! Kesinilah, aku ingin menyewa perahumu!" Teriak Suma Eng sambil mengerahkan tenaga dalamnya sehingga suaranya melengking nyaring dan dapat terdengar dari jauh. Tukang perahu itu juga mendengarnya dan berdiri di perahunya sambil memanjang ke arah pantai di mana Suma Eng melambai-lambaikan tangannya. "Ke sinilah, paman! Aku akan menyewa perahumu menyeberang, berapa saja sewanya akan kubayar!" kembali Suma Eng berseru. Agaknya tukang perahu itu mengerti baik dan iapun duduk kembali mendayung perahunya menuju ke pantai di mana Suma Eng berdiri. Gadis itu men jadi girang bukan main. Setelah perahu itu tiba di pinggir, Suma Eng melihat bal tukang perahu itu bertubuh tinggi besar dan biarpun usianya sudah setengah tua, tampak sehat dan kokoh kuat. Sebuah caping besar menutupi kepalanya. Tidak tampak alat jala atau pancing di perahu seperti dimiliki tukang perahu yang pekerjaannya sebagai nelayan. Akan tetapi Suma Eng tidak memperhatikan hal ini. Ia sudah terlalu girang ada perahu di situ dan si tukang perahu mau mendatanginya untuk disewa perahunya. "Paman, aku hendak menyeberang dan sekalian hendak menaburkan abu jenazah) di tengah sungai. Seberangkan aku dan aku akan membayar berapapun yang engkau minta." Tukang perahu itu mengamati wajah dan tubuh Suma Eng, juga mengamati buntalan yang berada di punggung gadis itu. Akhirnya dia mengangguk. "Baiklah nona. Naiklah ke perahuku. Akan tetapi maklumlah, tidak ada pelindung dari panas matahari di perahuku." "Tidak mengapa, paman." kata Suma Eng yeng segera melangkah ke atas perahu. "Pinjamkan saja capingmu itu kepadaku." Tukang perahu menyerahkan capingnya dan ketika dia menanggalkan capingnya, baru tampak bahwa rambutnya di kat bagian atasnya dengan sehelai pita merah dari sutera. Akan tetapi hal ini tidak menarik perhatian Suma Eng yang sudah memakai caping dan duduk di atas perahu. Tukang perahu lalu mendayung perahunya ke tengah sungai yang lebar itu. Perahu meluncur cepat ke tengah sungai. Akan tetapi perahu itu tidak langsung menyeberang, melainkan menghilir-milir dengan cepatnya. Melihat ini, Suma Eng berkata, "Paman, aku ingin menyeberang, bukan ingin ke hilir." "Akan tetapi, nona. Di seberang sana terdapat tepi sungai yang terjal dan melupakan bagian dari bukit berhutan yang liar. Aku membawa nona sedikit ke hilir karena di sana terdapat pedusunan. Apakah nona tidak lebih senang mendarat di pedusunan itu?" "Ah, begitukah" Baik, teruskan mendayung. Tentu saja aku lebih suka menyeberang ke pedusunan itu." Perahu meluncur terus. Karena mengikuti aliran air ditambah kekuatan dayung, perahu itu meluncur cepat sekali. Tak lama kemudian, tiba-tiba dari tepi sungai sebelah sana, muncul tiga buah perahu besar yang masing-masing ditumpangi sedikitnya sepuluh orang. Melihat ini, Suma Eng tidak menduga buruk karena perahu mereka sudah tiba dekat pantai. Pantai sana sudah dekat walaupun ia belum melihat ada pedusunan di sana, melainkan pohon-pohon dan semaksemak belukar. Mendadak tukang perahu itu bersuit nyaring tiga kali dan dia mendayung perahunya menyongsong tiga buah perahu besar itu. Melihat ini, barulah Suma Eng merasa heran. Akan tetapi ia mengira bahwa perahu mereka itu sudah hampir tiba di tempat tujuan dan si tukang perahu hendak mendayung perahu mendekati daratan. Akan tetapi tiga perahu besar itu bergerak mengepung perahu kecil yang ditumpanginya "Hei, apa artinya ini, paman?" tanya Suma Eng sambil bangkit berdiri, Ia memandang ke arah tiga perahu besar dan para penumpangnya terdiri dari laki-laki kasar yang menyeringai memandang ke arahnya dan apa yang tampak menyolok dari mereka adalah pita rambut mereka yang kesemuanya merah! "Artinya, nona, bahwa engkau kini sudah dikepung oleh kawan-kawanku. Menyerahlah dan berikan semua milikmu agar kami tidak perlu melakukan kekerasan." kata tukang perahu yang kini sikapnya berubah sama sekali. Diapun bangkit berdiri dan tahu-tahu sudah memegang sebatang golok yang tajam mengkilat. Seorang laki-laki tinggi besar yang berdiri di kepala perahu besar yang berada terdekat dengan perahu kecil itu berseru dengan suaranya yang lantang, "A-sam, jangan lukai gadis itu! Tangkap dan bawa ke sini!" Suma Eng menjadi marah bukan main. Kini mengertilah ia bahwa ia berhadapan dengan bajak sungai seperti yang sering ia dengar dari ayahnya. Ayahnya adalah seorang datuk Sungai Huang-ho, dan semua bajak sungai di situ tunduk belaka! kepada ayahnya. Biarpun demikian ia tidak mau menggertak mereka dengan nama ayahnya, la sudah terlampau marah dan mengambil keputusan untuk memberi, hajaran kepada para bajak sungai itu. "Hemm, kiranya kalian ini adalah anjing-anjing bajak sungai yang tidak tahu diri dan sudah bosan hidup!" la melepaskan buntalan abu jenazah gurunya, menaburkan abu itu ke dalam sungai sampai habis, melepaskan buntalan pakaiannya ke atas perahu dan mencabut pedangnya. Melihat gadis itu menaburkan abu dari buntalan, A-sam, tukang perahu itu, tidak mencegahnya. Akan tetapi ketika melihat gadis itu mencabut pedang yang mengeluarkan sinar kehijauan dia terkejut. Apalagi ketika tiba-tiba sinar kehijauan itu meluncur ke arahnya. Dia cepat menggerakkan goloknya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk membuat pedang itu terpental dari tangan pemegangnya. "Singgg..... trang......!" Golok itu patah menjadi dua, disusul leher A-sam yang putus terbabat sinar kehijauan dan kepalanya terpental dalam air sungai! Suma Eng menendang dengan kaki kirinya dan tubuh itupun terlempar dari tercebur ke dalam sungai. Perahu bergoyang goyang keras dan perahu besar yang ditumpangi kepala bajak yang tinggi besar itu sudah menempel dekat perahu kecil, bahkan hendak menabraknya. Suma Eng maklum bahwa kalau perahunya ditabrak, tentu akan terguling dan iapun akan terjatuh ke dalam air. Maka sebelum perahu kecil itu tertabrak, ia sudah mengenjot tubuhnya, melompat ke atas perahu besar! Kepala bajak itu bersama anak buahnya segera menyambutnya dengan juluran tangan, seolah sekumpulan kanak-kanak lendak memperebutkan seekor burung. Akan tetapi sinar hijau berkelebat dan empat orang roboh mandi darah dan tewas seketika. Melihat ini, semua bajak itu terkejut dan mereka lalu menyerang dengan golok mereka, dipimpin oleh kepala bajak yang memegang sebatang pedang. Menghadapi hujan serangan golok ini, Suma Eng mengenjot tubuhnya dan meloncat ke atas atap perahu besar itu, dan dari atas atap ia menerjang lagi ke bawah. Bagaikan seekor burung walet tubuhnya menyambar dan empat orang kembali roboh mandi darah. Sisanya, tiga orang termasuk kepala bajak, menjadi jerih menyaksikan kehebatan gerakan Suma Eng dan tanpa dikomando lagi mereka melompat ke dalam air, meninggalkan perahu mereka. Akan tetapi mereka bukan hanya mencebur sekedar untuk melarikan diri. Mereka lalu memegang perahu dari bawah dan mengguncang perahu itu, berusaha untuk menggulingkan perahu! Suma Eng terkejut sekali ketika perahu yang sudah ditinggalkan para bajak itu terguncang hebat, la berusaha mengatur keseimbangan tubuhnya agar jangan terlempar dari perahu, akan tetapi perahu terguncang semakin keras, la melihat betapa perahu kecil yang ditumpanginya tadi telah terbalik. Maka ia menoleh ke kanan, ke arah perahu besar kedua yang sudah mulai mendekat. Setelah memperhitungkan jaraknya, ia mengenjot tubuhnya lagi, dengan cepat dan ringan tubuhnya melompat ke atas perahu besar kedua. Para bajak sungai di perahu itupun menyambutnya dengan serangan golok. Akan tetapi sambil melompat Suma Eng sudah memutar pedangnya sehingga pedang itu lenyap berubah menjadi sinar kehijauan yang bergulung-gulung. "Trang-trang.... trak-trakk!" Empat batang golok patahpatah begitu bertemu gulungan sinar kehijauan itu disusul suara jeritan empat orang dan robohnya empat tubuh mereka yang mandi darah. Lima orang yang lain terkejut dan merekapun berlompatan ke dalam air sungai. Mereka melihat betapa hebatnya gadis itu memainkan pedang, hal yang sudah mereka saksikan ketika Suma Eng mengamuk di perahu pertama tadi. Mereka berlima lalu mengguncang perahu itu dan kembali Suma Eng harus mempertahankan keseimbangan tubuhnya yang ikut terguncang. Ketika ia sudah tidak dapat bertahan lagi, ia melompat ke perahu ke tiga yang tidak berapa jauh dari perahu ke dua itu. Bagaikan seekor burung terbang, ia melayang ke perahu ke tiga. Akan tetapi di sini ia tidak disambut dengan golok, karena semua yang berada di perahu itu sudah melihat sepak terjang gadis itu di perahu pertama dan ke dua. Mereka semua lalu melompat keluar dari perahu, terjun ke dalam air dan mengguncang perahu ke tiga! Sedapat mungkin Suma Eng mempertahankan diri agar jangan sampai jatuh keluar perahu. Akan tetapi guncangan itu semakin kuat, membuat perahu miring dan hampir terbalik. Suma Eng menyarungkan lagi pedangnya di punggung dan dengan susah payah ia mengatur keseimbangannya, melompat ke sana -sini di atas perahu itu dan akhirnya kakinya terpeleset dan iapun terjatuh ke dalam air sungai. Pada saat itu tampak meluncur perahu kecil. Penumpangnya hanya seorang. seorang pemuda berpakaian serba kuning. Pemuda ini melihat betapa Suma Eng berada di atas perahu besar kosong yang digoncang dari bawah oleh banyak laki-laki. Dan dia melihat pula betapa gadis itu terjatuh ke dalam air Ia gelagapan timbul tenggelam, tanda hahwa gadis itu tidak pandai berenang! Melihat ini, pemuda itu lalu meloncat ke dalam air lalu berenang dengan amat cepatnya ke arah Suma Eng. Gadis itu telah menjadi lemas dan banyak menelan air. Ketika akhirnya pemuda itu dapat meraih dan merangkulnya, Suma Eng jatuh pingsan sehingga dengan mudah pemuda itu dapat mengangkat dan membawanya berenang tanpa perlawanan. Beberapa orang bajak yang melihat ini, segera berenang mendekati dan mereka menjulurkan tangan untuk merampas tubuh Suma Eng. Namun, biarpun lengan lengannya memanggul tubuh Suma Eng, tangan kiri pemuda itu dapat digerakan ke sana-sini membagi-bagi pukulan dan semua pukulannya mengenai sasaran, membuat para pengeroyoknya terpelanting! Pemuda itu lalu berenang dengan tepat ke arah perahunya yang hanyut terbawa air. Cepat dia menangkap perahunya, melepaskan tubuh Suma Eng ke dalam perahu dan dia sendiri lalu naik dan masuk ke dalam perahunya, menyambar dayung perahunya. Pada saat itu, berapa orang bajak sungai sudah berenang mendekati perahunya. Pemuda itu lalu mengayun dayungnya ke kanan kiri, memukul para bajak sehingga mereka terpaksa menjauh. Dengan cekatan pemuda itu lalu mendayung perahunya ke tepi sungai. Cepat sekali perahu itu meluncur, menandakan betapa kuatnya pemuda itu mendayung perahu. Setelah tiba di tepi, dia menarik perahunya naik dan mengikat tali perahunya ke sebatang pohon. Setelah itu baru ia menghampiri Suma Eng yang masih telentang pingsan di dalam perahu. Melihat betapa perut gadis itu agak menggembung, tahulah dia apa yang harus dilakukannya. Dia mengangkat tubuh Suma Eng dan dijungkir balikkan tubuh Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo gadis itu sehingga air mengalir keluar dari mulut dan hidung Suma Eng! Semua air yang tadi tertelan masuk ke perutnya kini mengalir keluar. Setelah itu, dia merebahkan kembali Suma Eng telentang, kini memindahkan ke atas rumput di tepi sungai. Gadis itu menggeletak dengan wajah pucat dan tidak bergerak sama sekali. Pemuda itu mendekatkan jari tangannya ke depan mulut dan hidung Suma Eng dan dia terkejut. Celaka, pikirnya. Gadis ini napasnya terhenti! Sebagai seorang yang sering melihat korban yang tenggelam dalam air dan tahu akan cara pengobatannya, dia mengambil keputusan tetap. Dia menyingkirkan semua rasa rikuh, dan tekadnya hanya untuk menyelamatkan nyawa seorang manusia tanpa memperdulikan lagi akan sopan santun dan kesusilaan. Dengan tangan kirinya dia mengangkat leher gadis itu, dengan tangan kanan membuka mulutnya dan menutup hidungnya, kemudian melupakan segalanya kecuali niatnya hendak menolong, diapun mempertemukan mulutnya dengan mulut gadis yang ternganga itu dan meniup sekuatnya! Dia mengangkat mulutnya, lalu menempelkan lagi dan meniup lagi. Perbuatan ini diulanginya sampai lima kali dan dengan girang dia melihat betapa gadis itu sudah dapat bernapas kembali! Dia merebahkan lagi kepala Suma Eng yang terbatuk-batuk dan gadis itu cepat meloncat bangkit. Wajahnya menjadi merah sekali, sambil berbatuk-batuk ia memandang kepada pemuda itu dan menudingkan telunjuknya ke arah muka orang. Bagaimana ia tidak akan marah. Pada ciuman keempat tadi saja ia sudah siuman dari pingsannya dan melihat serta merasakan dengan penuh kesadaran betapa pemuda itu kembali "mencium"nya untuk terakhir kalinya! Ia hendak meronta ketika dicium dan mulut pemuda itu meniup kuat sehingga ia terbatuk-batuk, akan tetapi entah mengapa, mungkin saking kaget dan marahnya, ketika dicium untuk terakhir kalinya tadi, ia tidak mampu bergerak, semangatnya seperti tenggelam. Baru setelah ia meloncat bangun, ia menjadi marah sekali. "Jahanam keparat engkau!!" Bentaknya dan tangannya sudah menampar ke arah muka pemuda itu. Akan tetapi dengan sigapnya pemuda itu mengelak mundur. Cepat sekali gerakannya sehingga tamparan itu luput. "Nona, mengapa engkau menyerangku?" Pemuda itu bertanya dengan heran dan terkejut. Suma Eng menatap wajah itu. Wajah yang tampan dan gagah, tubuh yang tegap dan sedang besarnya. Akan tetapi hal Ini tidak mengurangi kemarahannya. "Jahanam engkau!" Dan ia menyerang lagi dengan tamparan, sekali ini lebih cepat lagi. Akan tetapi kembali pemuda itu melompat ke belakang dan ketika Suma Eng menyambung serangannya dia menangkis. "Dukkk!" Pertemuan dua lengan itu membuat si pemuda terhuyung dan hal ini membuat dia terkejut bukan main. Dia merasakan betapa kuatnya tenaga yang ada pada lengan kecil mungil itu. "Nanti dulu, nona. Dengarkan dulu kata-kataku, setelah itu kalau engkau tetap hendak menyerangku, silakan!" Suma Eng menahan serangannya. "Engkau hendak bicara apa lagi" Engkau berani..... men.....ciumku selagi aku pingsan!" Kemarahan membuat suaranya tergagap, juga ia merasa malu bukan main 1an merasa terhina. "Nona, kalau nona sudah mengetahui ahwa nona pingsan, bagaimana dalam keadaan pingsan nona dapat berada di tepi sungai ini" Lihat, pakaian nona basah kuyup seperti juga pakaianku. Aku telah menolongmu dari bahaya tenggelam dalam sungai setelah engkau terjatuh dari perahu, dan aku yang menghalau para bajak yang hendak menyerangmu selagi engkau akan tenggelam. Aku menaikkan engkau ke perahuku dan membawamu sampai ke tepi sungai ini....." "Apakah untuk semua itu engkau harus menciumku" Apakah engkau merasa berhak melakukan apa saja terhadap diriku setelah engkau menolongku" Engkau harus menebus dengan nyawamu!" Suma Eng sudah hendak bergerak menyerang lagi, akan tetapi pemuda itu berseru. "Nanti dulu, untuk itupun aku mempunyai penjelasan. Ketahuilah nona. Setelah engkau kubawa ke tepi, aku melihat perutmu kembung penuh air. Maka aku terpaksa harus menjungkirbalikkan tubuhmu sehingga semua air keluar dari mulutmu. Akan tetapi kemudian aku melihat bahwa napasmu terhenti! Engkau terancam maut karena paru-parumu tidak bekerja. Dan aku tahu bahwa untuk menyelamatkanmu dari ancaman maut, jalan satu-satunya hanya meniupkan hawa melalui mulut ke dalam paru-parumu sehingga paru-paru itu bekerja kembali dan engkau dapat bernapas lagi. Sama sekali aku tidak berniat berbuat tidak sopan atau melanggar susila. Yang teringat olehku hanya untuk menyelamatkan sebuah nyawa, tidak ada apa-apa lagi. Kalau engkau tidak percaya kepadaku dan hendak mem bunuhku, silakan!" Pada saat itu, tampak banyak orang muncul dari sungai dan berteriak-teriak, "Itu mereka! Tangkap! Bunuh!" Dua puluh lima bajak berloncatan ke tepi sungai dengan golok di tangan, dipimpin oleh kepala bajak yang tinggi besar itu. Mereka semua marah bukan main karena gadis itu telah membunuh banyak kawan mereka. Suma Eng menjadi marah kepada para bajak sungai itu. Tanpa banyak cakap lagi ia mencabut pedang Ceng-liong-kiam dari punggungnya dan menyambut para bajak sungai yang menyerang. juga pemuda itu mencabut sebatang pedang lalu melawan ketika dia dikeroyok banyak bajak sungai. Ternyata pemuda itu lihai juga. Gerakan pedangnya indah dan bagi ahli pedang kalau melihat gerakan pedangnya tentu akan mengetahui bahwa dia memainkan ilmu pedang dari partai persilatan Kun-lun-pai. Pedangnya bergerak naik turun seperti seekor naga bermain di angkasa dan banyak golok terpental ketika bertemu dengan pedangnya, bahkan beberapa batang golok terlepas dari pemegangnya. Akan tetapi, pemuda itu tidak menggunakan pedangnya untuk merobohkan para pengeroyok, melainkan menggunakan kedua kaki dan tangan kiri nya untuk merobohkan mereka tanp membunuh. Dalam beberapa gebraka saja sudah ada empat orang bajak sunga yang roboh oleh tendangan atau tamparannya. Gerakan Suma Eng jauh lebih ganas Ketika pedangnya berdesing dan membentuk sinar kehijauan yang bergulunggulung, cepat sekali pedang itu mendapatkan korban. Berturut-turut lima orang pengeroyok sudah roboh dan tewas seketika, terbacok atau tertusuk pedang. Melihat betapa lihainya gadis dan pemuda itu, kepala bajak sungai berteriak memberi aba-aba dan mereka semua lalu berloncatan ke dalam air sungai, menyelam dan berenang melarikan diri. Suma Eng berdiri di tepi sungai, pedang di tangan dan ia membanting kaki dengan gemas. "Sayang mereka melarikan diri lewat air. Kalau lewat darat, mereka akan kubunuh semua!" katanya. Pemuda berbaju kuning Itu menyarungkan pedangnya dan menghampiri Suma Eng. "Nona, kalau ada kesempatan, jauh lebih baik memberi ampun kepada mereka daripada membunuh mereka. Berilah kesempatan kepada mereka untuk bertaubat dan hidup melalui jalan benar." Suma Eng memutar tubuhnya dan memandang kepada pemuda itu. Ia kini tidak marah lagi. Ia telah ditolong, bahkan diselamatkan nyawanya. Bagaimana ia dapat marah" Tentang "ciuman" itu, karena itu perlu untuk menyelamatkan nyawa, sebaiknya akan ia lupakan saja, kalau dapat. "Mereka bertaubat" Jangan mimpi, sobat. Tidak ingatkah engkau, berapa anyak orang yang tidak berdosa mereka bunuh, wanita lemah mereka hina" Orang orang seperti itu tidak akan mau bertaubat, dan sudah saatnya nereka itu dihukum mati!" Pemuda itu menghela napas panjang akan tetapi tidak membantah. "Nona, bajumu basah kuyup, aku khawatir kalau engkau akan masuk angin dan sakit." Hampir Suma Eng tertawa. Ia masuk angin" Betapa lucunya ucapan itu. Tubuhnya yang terlatih dan kuat, sehat dan segar bugar, tidak mungkin masuk angin. Akan tetapi ia segera merasakan betapa tidak enaknya mengenakan pakaian yang basah kuyup! Ia menoleh ke arah sungai dan berkata dengan gemas. "Keparat-keparat itu! Buntalan pakaianku hanyut dan hilang entah ke rnana! Berikut uangku! Aku tidak dapat berganti pakaian, keparat!" Pemuda itu tampak bengong melihat gadis itu marahmarah dan maki-makian demikian mudahnya meluncur dari sepasang bibirnya yang manis dan merah basah itu. "Nona......" dia menahan kata-katanya, takut kalau-kalau gadis itu akan marah. Suma Eng menengok dan memandang kepadanya dengan alis berkerut. "Engkau mau bicara apa sih" Katakan, apa maumu?" Pemuda itu semakin gugup. "Nona, kalau sudi, engkau dapat berganti pakaian dan pakailah satu stel pakaianku yang kering dan bersih." Tanpa menanti jawaban dia lalu mengambil buntalan pakaiannya dari perahu, membuka dan mengeluarkan sestel baju dan celana yang baru dan bersih berwarna kuning. Tanpa berkata-kata lagi dia menyerahkan setumpuk pakaian itu kepada Suma Eng. Gadis itu ragu-ragu akan tetapi menerima juga ketika melihat bahwa pakaian itu bersih dan kering. Akan tetapi ia ragu-ragu lagi. Bagaimana ia dapat berganti pakaian" Agaknya pemuda itu maklum akan hal ini. "Nona, di sana ada batu besar. Engkau dapat berganti pakaian di balik batu itu." Suma Eng menoleh dan benar saja. Tak jauh dari situ terdapat sebuah batu besar dan ia sama sekali tidak akan tampak kalau berada di balik batu itu. Ia mengangguk lalu melangkah ke arah batu besar dan menghilang di balik batu. Pemuda itu lalu duduk menghadap ke arah air sungai sambil melamun. Dia merasa betapa hatinya terpikat dan jatuh terhadap gadis itu. Betapa cantik jelitanya, manis menarik. Dia tertarik sekali dan timbul rasa sayang kepada gadis itu. Gadis yang lihai bukan main. Melihat sepak terjangnya tadi ketika menghadapi pengeroyokan para bajak, dia dapat menduga bahwa gadis itu memiliki ilmu kepandaian silat yang amat hebat namun juga ganas sekali! Akan tetapi sayang, gadis itu liar dan ganas sekali! Begitu mudahnya membunuh orang! Gadis ini membutuhkan bimbingan karena kalau tidak ia dapat terjerumus ke dunia sesat yang penuh kekejaman. Sayang sekali kalau sampai terjadi demikian. Gadis itu masih demikian muda. "Wah, aku menjadi seperti laki-laki!" terdengar suara dan pemuda itu memutar tubuh. Dia melihat gadis tadi sudah mengenakan pakaian miliknya, agak kebesaran dan tampak lucu karena pakaian itu pakaian pria sedangkan tata-rambut itu masih menujukkan bahwa ia seorang wanita. "Nona, kurasa itu bahkan baik sekali. Kenapa engkau tidak menyamar saja sebagai pria" Atur rambutmu itu agar tata rambutnya seperti tata-rambut pria. Sebagai pria engkau tentu tidak akan mengalami gangguan dalam perjalanan, lebih leluasa." Wajah Suma Eng berseri dan matanya bersinar-sinar. "Ah, bagus juga pendapat-rnu itu! Akan tetapi bagaimanakah dandanan rambut seorang pria" Aku tidak bisa...." "Maaf, kalau boleh aku membantumu. Rambutmu itu harus di kat ke atas dengan pita rambut. Aku masih mempunyai beberapa helai pita rambut." Pemuda itu mencari-cari dalam buntalannya dan mengeluarkan sehelai pita rambut berwarna biru. "Maaf, kalau boleh, aku dapat menata rambutmu seperti seorang pria, nona." "Tentu saja boleh. Lakukanlah!" Suma Eng lalu duduk di atas batu dan pemuda itu lalu menata rambutnya. Dia mengedarkan sebuah sisir dan menyisir rambut Suma Eng ke atas, lalu mengikatnya dengan pita rambut biru. "Untung engkau tidak biasa memakai hiasan telinga dan daun telingamu juga tidak dilubangi sehingga engkau kini tampak sebagai seorang pemuda remaja aseli. Kalau engkau dapat membesarkan sedikit suaramu, tentu tidak ada seorang pun yang menduga bahwa engkau seorang wanita." Suma Eng merasa gembira sekali Seperti seorang anak kecil ia lalu turun dari atas batu, berlagak dan mengambil sikap seperti seorang pria tulen dan berkata dengan suara dibesarkan, "Aku Suma Kongcu (Tuan Muda Suma) dari kota raja Peking, perkenalkanlah!" Lagaknya dibuat buat seperti seorang pria tulen dan pemuda itu mau tidak mau tertawa dibuatnya karena tingkah gadis yang lucu itu. Melihat pemuda itu tertawa, Suma Eng baru ingat bahwa pemuda itu telah menolongnya dan bahwa ia sama sekali belum mengenalnya, maka lapun bertanya. "Sobat, siapakah namamu?" "Aku she (marga) Gui bernama Song Cin. Aku berasal dari Lok-yang di Propinsi Ho-nan dan baru saja aku turun gunung setelah beberapa tahun belajar ilmu silat di Kun-lun-pai." "Hemm, jadi engkau murid Kun-lun-pai" Pantas engkau lihai. Akan tetapi bagaimana engkau pandai bermain di air?" "Kampung halamanku di dusun Si-tek-bun daerah Lok-yang di tepi sungai Huang-ho dan ayahku menjadi pedagang ikan. Aku sejak kecil sudah biasa bermain di Sungai Huang-ho, maka aku pandai berenang." "Saudara Gui Song Cin, aku berterima kasih atas pertolongan tadi, juga atas pemberian pakaian ini. Aku bernama...." "Engkau she Suma......" potong Song Cin dan Suma Eng tersenyum. "Benar, aku she Suma dan namaku Eng. Aku biasa dipanggil Eng Eng." "Dari manakah asalmu, Eng-moi (adik Eng). Aku boleh menyebutmu Eng-moi, bukan?" "Hemm, boleh saja karena engkau tentu lebih tua. Usiaku baru delapan belas tahun. Engkau tentu lebih tua." "Aku sudah dua puluh satu tahun. Dari mana engkau berasal dan siapakah erang tuamu, Eng-moi?" "Orang tuaku tinggal ayahku saja. akan tetapi dia seorang perantau yang tidak diketahui di mana dia sekarang, Aku juga baru saja turun gunung, dari Puncak Ekor Naga di Cin-lingsan." "Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama besar Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo gurumu di sana, Eng-moi?" tanya Song Cin sambil menggantungkan matanya pada bibir gadis itu. Betapa manisnya bibir itu, apalagi kalau tersenyum. "Kuberitahu juga engkau tidak akan mengenalnya, Cin-ko (kakak Cin). Almarhum guruku itu berjuluk Hwa Hwa Cinjin, seorang pertapa di Puncak Ekor Naga di pegunungan Cin-lingsan." "Hwa Hwa Cinjin" Aku belum pernah mendengar nama itu. Mungkin kalau para suhu di Kun-lun-pai sudah mendengarnya." "Tentu saja. Guruku itu dahulu terkenal sekali di dunia persilatan." "Tentu gurumu itu sakti dan memiliki kepandaian yang sangat tinggi." "Tentu saja, Cin-ko. Kurasa tidak ada orang di dunia ini yang mampu menandingi mendiang guruku itu. Ayahku juga seorang yang terkenal di dunia kang-ouw. Ayah adalah murid keponakan dari mendiang Hwa Hwa Cinjin. Julukan ayah ku adalah Huang-ho Sin-liong, namanya Suma Kiang." Suma Eng memperkenalkan dengan nada penuh kebanggaan. Gui Song Cin mengerutkan alisnya. "Huang-ho Sin-liong" Ah, aku pernah mendengar julukan itu dari guruku. Kabarnya dia seorang datuk yang menguasai Lembah Sungai Huang-ho, akan tetapi telah bertahun-tahun tidak pernah muncul !agi." "Memang selama bertahun-tahun Itu ayahku merantau ke utara. Sekarang aku pun sedang mencarinya." Percakapan terhenti dan suasana menjadi hening. Song Cin menatap wajah gadis itu dan ketika Suma Eng kebetulan juga memandangnya, dua pasang mata bertemu dan jantung Song Cin terguncang. Betapa indahnya sepasang mata itu! Dalam pandangannya, segala gerak gerik gadis itu amat mempesona, begitu cantik jelita dan manisnya seperti gambaran seorang bidadari! Terasa benar oleh Song Cin betapa dia sudah jatuh cinta ada gadis itu. Cinta mendatangkan khayalan yang muluk-muluk dan indah-indah. Padahal, pada hakekatnya cinta asmara adalah Nafsu yang terselubung pakaian yang svrba indah dan halus sehingga tampak bersih dan mengharukan. Cinta adalah Nafsu sex yang wajar, dan seperti biasanya nafsu selalu berpamrih. Pamrihnya adalah kesenangan bagi dirinya sendiri, nafsu adalah aku yang ingin memiliki, ingin senang sendiri. Kalau kita meneliti kepada diri sendiri, mengamati dengan waspada "cinta" kita yang kita anggap suci dan mulia, maka akan tampaklah bahwa di balik semua kehalusan dan keindahan itu bersembunyi nafsu yang mengerikan. Kita mencinta pacar kita, bahkan isteri kita. Akan tetapi cinta kita itu berpamrih untuk kesenangan diri kita sendiri. Kalau si pacar atau isteri itu tidak mencinta kita, tidak melayani kita dengan baik, kalau tidak setia, ke manakah larinya cinta kita yang kita dengungdengungkan itu" Bukan hanya akan lenyap, bahkan mungkin berganti benci! Cinta kita itu hanya seperti jual beli di pasar saja. Kita beli dengan cinta kita, akan tetapi kita minta balasan yang lebih lagi. Memang sebuah kenyataan yang pahit sekali. Cinta asmara yang sejak dahulu dipuja-puja semua orang, sehingga nuncul istilah-istilah cinta suci, cinta murni dan sebagainya, setelah diamati benar-benar, ternyata hanyalah harimau berbulu domba! Cinta asmara tidak lain hanyalah gairah berahi, tidak lain hanyalah nafsu sex yang berpakaian indah. Apakah kalau begitu kita harus meniadakan cinta jelmaan nafsu sex ini" Tentu saja tidak, karena hal Itu tidak mungkin. Sejak kita lahir, kita telah disertai nafsu nafsu, di antaranya nafsu sex. Akan tetapi nafsu ini hanyalah peserta, hanya pelayan, untuk melengkapi hidup ini karena tanpa adanya nafsu sex, manusia tidak akan berkembang biak. Kita dapat mempergunakan nafsu sex ini pada tempatnya yang wajar, misalnya dalam hubungan suami isteri. Akan tetapi kalau kita lengah, dan nafsu sex ini menguasai kita, mencengkeram hati akal pikiran kita, maka nafsu sex dapat menjerumuskan kita ke dalam perbuatan-perbuatan yang sesat, seperti misalnya pelacuran, perjinahan, perkosaan. Seperti dengan nafsu-nafsu lain, nafsu sex merupakan peserta yang teramat penting bagi kehidupan, akan tetapi di lain pihak dia juga dapat menjerumuskan kita ke dalam malapetaka kalau kita sampai dicengkeramnya. Lalu bagaimana baiknya" Nafsu itu lawan akan tetapi juga kawan. Nafsu itu kawan kalau kita mampu mengendalikannya, dan menjadi lawan kalau kita dikuasainya. Jadi jalan keluarnya, kita hanya dapat mengendalikannya. Akan tetapi mampukah kita" Mengendalikan nafsu apapun merupakan pekerjaan yang teramat sukar sekali, bahkan hampir tidak mungkin. Kalau kita hanya mempergunakan hati akal pikiran saja untuk mengendalikan, kebanyakan kita akan gagal karena hati-akalpikiran sendiri sudah bergelimang nafsu sehingga bukannya mengendalikan nafsu, bahkan membela dan membenarkan nafsu. Semua pencuri di seluruh dunia ini tahu belaka bahwa mencuri itu tidak baik, akan tetapi mereka tidak dapat menghentikan perbuatan mereka karena hati akal pikiran mereka bahkan membela perbuatan mencuri itu dengan berbagai dalih. Karena terpaksa, karena ingin menghidupi keluarga, dan sebagainya lagi. Satu-satunya jalan untuk dapat menguasai nafsu sendiri hanyalah datang dari Tangan Tuhan. Kita serahkan segalanya kepada Tuhan dan mohon bimbinganNya dan atas kehendakNya sajalah nafsu dalam diri kita dapat kita kuasai. Hati akal pikiran, yaitu kesatuan dari aku, hanya mengamati saja sambil pasrah kepada Kekuasaan Tuhan. Si aku tidak bergerak lagi, yang ada hanyalah Kewaspadaan, yaitu waspada dalam mengamati diri sendiri luar dalam, dengan mawas diri. Dalam menghadapi segala kepalsuan sebagai ulah nafsu ini, ada satu pegangan hagi batin untuk memperkuat diri. Pegangan itu ialah Kewajiban. Kalau kita memegang teguh dan melaksanakan kewajiban dalam kehidupan, maka batin kita kuat menghadapi segala godaan dan serangan yang datangnya dari nafsu kital sendiri. Kewajiban itu ada di segala waktu. Kewajiban sebagai seorang anak, kewajiban sebagai seorang sahabat, kewajiban sebagai seorang kekasih, sebagai seorang suami atau isteri, sebagai se-orang ayah atau ibu, dan seterusnya. Memenuhi semua kewajiban sambil menyerahkan diri kepada Kekuasaan Tuhan akan membuat kita menjadi manusiai seutuhnya, menjadi manusia yang selalu memenuhi kewajiban, kewajiban sebagai manusia, sebagai warga negara dan bang-sa. Gui Song Cin jatuh dalam perangkap cinta. Tidaklah aneh kalau dia jatuh cinta kepada Suma Eng. Sembilan dari sepuluh orang pria tentu akan mudah jatuh cinta kepada gadis itu karena gadis itu memang cantik jelita! Andaikata gadis itu buruk rupa, belum tentu Song Cin! akan jatuh cinta. Begitu perasaannya jatuh cinta, berarti dia telah memberi beban duka kepada batinnya. Melihat gadis itu bangkit berdiri dan berkata, "Nah, aku harus pergi sekarang', dia merasa terkejut dan juga khawatir. Dia akan ditinggalkan oleh orang yang membuatnya tergila gila ini! Dan hal ini, perpisahan ini, agaknya tidak mungkin dapat dicegah lagi. Dia akan merasa kesepian, rindu dan kehilangan! "Eng-moi, engkau hendak pergi ke lanakah?" tanyanya cepat seolah hendak mencegah kepergian gadis itu dengan pertanyaan ini. "Aku hendak mencari sarang dari para bajak sungai bertali rambut merah itu. Semua pakaian dan uangku habis, hanyut di sungai karena ulah mereka. Mereka arus membayar untuk semua kehilangan nu!" kata Suma Eng tegas. Wajah Song Cin berseri penuh harapan. "Apakah engkau sudah tahu di mana sarang bajak sungai itu, Eng-moi?" Suma Eng memandang bingung dan nenggeleng kepalanya. "Apakah engkau tahu, Cin-ko?" Song Cin mengangguk. "Aku tahu. Aku pernah mendengar tentang Bajak Ikat Rambut Merah ini. Mari kutunjukkan!" "Bagus! Mari kita berangkat, Cin ko." Dua orang itu segera pergi dari sit mendorong perahu dan naik ke perahu kecil itu, kemudian Song Cin mendayuni perahu itu ke barat. "Agaknya engkau mengenal daerah ini dengan baik, Cinko." kata Suma Eng. "Tentu saja aku banyak mengenal tempat di sepanjang Sungai Huang-ho ini Kampung halamanku, dusun Si-tek-hui berada di tepi Huang-ho, tidak begitu jauh dari sini, dua hari perjalanan dengai perahu ke hilir." "Jauhkah sarang bajak itu, Cin-ko?" "Kalau aku tidak salah duga, sebelum sore kita sudah akan tiba di sana. Mereka mempunyai sebuah perkampungan bajak di tepi sungai. Akan tetapi setelah kita tiba di sana, apa yang hendak kau lakukan Eng-moi?" "Apa yang hendak kulakukan terhadaf anjing-anjing itu" Tentu akan kubasmi mereka sampai habis, terutama pemimpin mereka, akan kubunuh!" Song Cin merasa bulu tengkuknya berdiri. Alangkah ganasnya gadis ini. "Akan tetapi, Eng-moi, engkau tidak boleh membunuh mereka semua!" "Mengapa tidak boleh" Mereka itu teluh menggangguku, melenyapkan pakaian lan uangku, dan hampir saja membunuhku!" kata Suma Eng dengan penasaran. "Memang mereka jahat dan pekerjaan ereka memang merampok. Akan tetapi ingatlah, mungkin mereka itu juga mempunyai anak isteri yang tentu akan menderita kalau engkau membunuhi ayah dan uami mereka." "Hemm, kalau menurut engkau bagaimana?" "Sebaiknya suruh saja mereka menyerah, mengembalikan atau mengganti milik mu yang hilang, kemudian mereka disuruh berjanji untuk bertaubat, sarangnya bakar dan mereka diharuskan kembali hidup sebagai rakyat yang baik. Kiranya tu sudah lebih dari cukup, Eng-moi." "Kita lihat saja bagaimana sikap mereka nanti. Kalau mereka tidak mau menyerah dan menyerangku, tentu mereka akan kubunuh." "Aku mendengar bahwa Bajak Ikat Rambut Merah memiliki seorang ketua yang lihai sekali, Eng-moi. Kita harus berhatihati." "Wah, aku tidak takut! Dan setelah aku menyamar sebagai pria, sebaiknya tempat umum engkau tidak menyebut aku Eng-moi. Sebutan itu tentu akan membuat semua orang terheran dan kemudian tahu bahwa aku seorang wanita Maka percuma saja penyamaranku." Jilid X SONG CIN tersenyum dan mengangguk. "Maafkan aku, engkau benar juga, Eng-moi...... eh, maksudku siauw-te (adik laki-laki)." "Bagus, engkau harus menyebutku siauw-te. Aku mulai senang dengan penyamaranku ini. Mari kita percepat lajunya perahu agar cepat tiba di tempat tujuan." Benar saja dugaan Song Cin. Matahari baru mulai condong ke barat ketika perahu mereka tiba di sebuah perkampungan yang berada di tepi sungai. Mereka melihat betapa perkampungan itu dikelilingi tembok yang tinggi dan ada pintu pagar yang besar menghadap ke sungai. Song Cin mendayung perahunya ke tepi dan menarik perahu itu ke darat, lalu mengikatkan tali perahu kepada sebuah batu besar. Kemudian kedua orang muda itu melangkah menghampiri pintu gerbang pagar itu. Baru saja mereka tiba di situ, enam orang yang memakai ikat kepala merah menyambut mereka dengan sikap garang. Mereka semua memegang sebatang golok dan memandang kepada dua orang itu itu dengan sinar mata mengancam. Akan tetapi, seorang di antara mereka tadi ikut membajak dan biarpun ia tidak mengenal Suma Eng yang kini berpakai pria, dia masih mengenal Song Cin yang tadi menolong gadis itu dan merobohkan beberapa orang anak buah bajak sungai. Maka, dengan panik orang itu lalu kembali ke dalam pintu gerbang dan terdengarlah kentungan dipukul gencar sebagai tanda bahaya! Suma Eng dan Song Cin melihat betapa banyak orang berlari lari dari dalam pintu gerbang menuju keluar dan sebentar saja mereka berdua telah dikepung oleh kurang lebih tiga puluh orang anak buah bajak sungai, Akan tetapi agaknya para bajak sungai itu masih menunggu komando, karena mereka tidak segera mengeroyok dan menyerang, melainkan mengepung saja dengan ketat. Suma Eng bersikap tenang saja. Ia bnhkan tersenyumsenyum melihat pengepungan itu dan ia membiarkan Song Cin yang menghadapi mereka. Ia hendak melihat bagaimana pemuda itu akan menghadapi para bajak. Kalau menurut ia, ingin rasanya ia bergerak mengamuk membunuhi para bajak yang mengepungnya ini, akan tetapi karena ada Song Cin di situ iapun menyerahkan saja kepada pemuda itu. "Kami berdua hendak bicara dengan ketua kalian!" kata Song Cin dengan sikap gagah. "Akulah ketuanya!" Terdengar suara parau dan muncul seorang laki-laki yang bertubuh pendek gendut, bermuka bundar dan tampaknya lucu dan kekanak-kanakan, akan tetapi melihat sepasang mata-yang bersinar tajam, dapat diduga bahwa dia adalah seorang yang memiliki kepandaian dan kecerdikan. Hal inipun dapat diduga melihat kenyataan bahwa ia dapat menjadi kepala dari segerombolan bajak sungai yang ganas. Tanpa memiliki ilmu kepandaian tinggi bagaimana mungkin dia dapat memimpin segerombolan bajak yang terdiri dari puluhan orang" Pakaian kepala bajak itu terbuat dari kain tebal dan bersih, berwarna biru, Rambutnya digelung ke atas dan di kat dengan pita merah. Di punggungnya tampak sebatang pedang dengan ronce-ronce merah. Kakinya memakai sepatu satin sebatas bawah lutut dan di pinggangnya terdapat sederetan senjata rahasia pisau pendek atau belati, berjumlah tiga belas batang. Penampilannya lucu, akan tetapi juga menyeramkan. Song Cin mengamati kepala bajak itu, Dia sudah mendengar bahwa bajak sungai Ikat Kepala Merah mempunyai seorang pemimpin yang lihai. Agaknya inilah orangnya. "Sobat," kata Song Cin. "Kami berdua datang untuk berdamai dengan kalian." Kepala bajak sungai itu berjuluk Huang-ho Tiat-go (Buaya Besi Sun Huang-ho) dan bernama Lo Kiat. Mendengar ucapan Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Song Cin, dia memandang heran lalu tertawa bergelak sambil menengadah sehingga tampak perut gendut di balik baju itu bergoyang-goyang. Dia telah mendengar tentang kegagalan anak buahnya membajak seorang wanita, dan tadi menerima laporan bahwa pemuda yang bicara itu adalah orang yang menolong wanita yang terbajak itu. Tentu saja dia merasa heran mengapa orang itu kini datang mengajak berdamai! "Ha-ha-ha, kalian datang mengajak berdamai" Apa maksudmu?" "Maksudku begini. Pagi tadi anak buahmu telah mencoba untuk merampok orang nona dan anak buahmu dihajar ampai kocar-kacir. Akan tetapi nona itu kehilangan buntalan berisi pakaian dan uangnya. Sekarang, saudara ini, adik dari nona itu, bersama aku datung untuk minta kerugian kepada kalian yang telah membuat buntalan itu hilang. Kalau kalian menyerah dan mengganti kerugian itu, kamipun tidak akan mengganggu kalian." "Ha-ha-ha, enak saja engkau bicara, telah membunuhi beberapa orang anak buah kami, sekarang datang malah menuntut kerugian! Kalau kami menolak bagaimana?" "Kalau menolak kami akan membasmi dan membunuh kalian semua!" T1K7 tiba Suma Eng yang sudah tidak sabar lagi berkata dengan suara dibesarkan. Mendengar ucapan ini, kepala bajak itu menjadi marah sekali. Sepasang matanya seperti memancarkan sinar berapi mukanya berubah merah dan kedua tangannya dikepal. Juga para bajak yan mengepung menjadi marah dan mereka mengacung-acungkan goloknya dengan sikap mengancam. "Singgg.....!" Huang-ho Tiat - go Lo Kiat mencabut pedangnya yang berkilauan saking tajamnya, jari telunjuk kirinya ditudingkan ke arah muka Suma Eng. "Bocah lancang mulut! Agaknya engkau telah bosan hidup maka berani mengeluarkan kata-kata sombong! Berani engkau mengancam Huang-ho Tiat-go Lo Kiat yang menguasai seluruh Lembah Huang-ho ini!" "Hah, segala Bo-bwe Jau-go (Buaya Jahat Tanpa Ekor) berani bicara besar! Engkaulah yang bosan hidup dan biarlah yang akan mengantarmu ke dasar neraka!" kata pula Suma Eng sambil tersenyum lebar mengejek. Dapat dibayangkan betapa marahnya Huang-ho Tiat-go Lo Kiat. Dia merasa dipandang rendah sekali, dimaki-maki di depan anak buahnya! "Serbuu! Bunuh.....!!" Dia membentak memberi aba-aba kepada anak buahnya dan dia sendiri sudah menerjang Suma Eng, diturut oleh anak buahnya. Sekali- tidak kurang dan enam orang menyerang Suma Eng dengan golok mereka. Sedangkan Song Cin pun tidak terluput dari pengeroyokan. Sebetulnya Lo Kiat ingin menghadapi Song Cin yang menurut anak buahnya merupakan seorang yang lihai, akan tetapi karena panas dan marah sekali terhadap Suma Eng, dia menyerang gadis yang menyamar pemuda itu yang belum diketahui bagaimana kepandaiannya. Melihat tujuh orang menyerangnya itu Lo Kiat dan enam orang anak buahnya, Suma Eng bersikap tenang saja. lalu mempergunakan kecepatan gerakan tubuhnya, berkelebat dan lenyap dari depan mereka yang mengeroyoknya! Selagi tujuh orang itu terkejut dan bingun Suma Eng telah berada di belakang mereka dan sekali kedua tangannya menyambar, dua orang pengeroyok roboh dan berkelojotan karena mereka terkena pukulan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Deiaci Pencabut Nyawa)' Huang-ho Tiat-go Lo Kiat menjadi terkejut setengah mati nelihat ini. Tak disangkanya bahwa pemuda itu sedemikian lihai dan ganasnya. Maka diapun Ia menyerang dengan pedangnya. Serangannya seperti kilat menyambar dan bukan saja cepat melainkan juga mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat. Melihat serangan ini berbahaya juga, Suma Eng melompat ke belakang sambil meraba pedangnya. "Singgg.....!" Sinar kehijauan berkelebat ketika Ceng-liong kiam tercabut dari sarungnya. Lo Kiat cepat mengejar dan menyerang lagi dengan dahsyat. Suma Eng menangkis dengan pedangnya. "Tranggg......"' Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua pedang bertemu. Ternyata pedang di tangan Lo Kiat tidak rusak dan hal ini saja membuktikan bahwa pedangnyapun sebatang pedang yang ampuh dan baik. Suma Eng balas menyerang namun dapat dielakkan pula oleh si gendut pendek. Ternyata, biarpun tubuhnya gendut pendek, Lo Kiat dapat bergerak dengar cepat sekali. Para anak buahnya kini mengepung Suma Eng dan menyerang dari segala penjuru. "Tranggg.....!" Pedang Suma Eng membabat berputar menangkis banyak golok dan dua batang golok menjadi patah karenanya. Patahnya golok disusul menyambarnya sinar hijau dan dua orang anggauta bajak yang kehilangan golok itu berteriak dan roboh mandi darah, tewas seketika! Para pengeroyok menjadi gentar. Hanya Lo Kiat yang masih menyerang dengan dahsyat, sedangkan yang lain hanya mengepung sambil mengacung-acungkan golok saja. Song Cin sibuk sekali. Dia dikeroyok oleh belasan orang anak buah bajak! Pemuda ini memainkan pedangnya dengan hati-hati dan dengan tenaga terbatas karena dia tidak mau main bunuh. Sudah ada empat orang roboh oleh pedangnya akan tetapi tidak satnpun mati, akan tetapi pengeroyokan masih saja ketat dan di dihujani serangan golok. Terpaksa pemuda tokoh Kun-lun-pai ini memutar pedangnya melindungi diri. Sinar pedangnya bergulung-gulung menjadi perisai, seolah-olah tubuhnya terlindung benteng baja yang mengelilinginya sehingga dari arah manapun golok menyerang, golok itu selalu bertemu dengan tangkisan pedang yang kokoh kuat. Akan tetapi karena pengereyoknya banyak sekali, bahkan kini yang tadinya membantu Lo Kiat juga ikut mengeroyok Song Cin sehingga jumlah mereka hampir tiga puluh orang, Song Cin menjadi repot juga. Kalau dia mempergunakan kekejaman membunuh mereka, kiranya dia masih akan merobokan sebanyak -banyaknya pengeroyok. Namun pemuda tokoh Kun - lun - pai itu sudah menerima gemblengan dari para tosu Kun-lun-pai, bukan hanya gemblengan ilmu silat, akan tetapi juga gemblengan batin maka dia tidak tega untuk sembarangan membunuhi para anak buah para bajak sungai. Sedapat mungkin dia hanya merobohkan mereka dengan tendangan, tamparan tangan kiri atau kalau merobohkan dengan pedangnya, dia tidak melukai bagian tubuh yang membahayakan nyawa, hanya melukai paha, pundak dan sebagainya. Pertandingan antara Suma Eng dan Lo Kiat berjalan semakin seru. Kepala bajak itu merasa semakin terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa lihainya "pemuda" itu. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, bahkan mengeluarkan semua ilmu pedangnya, namun sama sekali dia tidak mampu mendesak lawannya yang amat muda itu. Ilmu pedang pemuda itu amat aneh dan memiliki perubahanperubahan yang sama sekali tidak dapat dia menduganya. Beberapa kali hampir saja dia menjadi korban pedang bersinar hijau itu dan yang menggemasan hatinya, setiap kali dia nyaris terkena pedang, pemuda itu tertawa mengejek, Lo Kiat mengerahkan tenaganya dan membacok dari kanan ke kiri. Pedangnya membabat ke arah pinggang lawan dan gerakan ini dilakukan cepat sekali karena dia mengerahkan seluruh tenaganya. Melihat serangan yang berbahaya ini, Suma Eng mengelak ke belakang sehingga babatan pedang Lo Kiat luput. Akan tetapi pada saat itu yang memang sudah diperhitungkan oleh kepala bajak sungai itu Lo Kiat menggunakan tangan kirinya, berulang-ulang mencabut pisau belati dan setiap kali tangan kirinya bergerak, sebatang hui-to (pisau terbang) menyamba ke arah bagian tubuh yang mematikan dari Suma Eng. Mula-mula pisau pertama menyambar ke arah muka. Ketika Suma Eng mengelak, pisau kedua sudah menyambar ke arah lehernya! Kembali gadis itu mengelak dan pisau ke tiga dan ke empat sudah cepat menyambar ke arah kedua pundak, lalu pisau ke lima menyambar ke ulu hati! Suma Eng menjadi gemas dan kini ia memutar pedangnya menangkis. Biarpun tiga belas batang pisau menyambar secara bertubi-tubi dan mengarah bagian tubuh yang berbahaya, tapi Suma Eng dapat menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan. Marahlah gadis itu. "Buaya darat, sudah habiskah pisau terbangmy" Nah, sekarang nyawamu yang habis!" bentak Suma Eng dan tubuhnya meluncur bagaikan terbang, pedangnya menyerang ke arah dada lawan dengan kecepatan kilat. "Wuuuuuuttt...... trang.....!!" Pedang Suma Eng ditangkis sehingga terpental, akan tetapi cepat sekali pedang itu membalik dan kini dari menusuk menjadi membabat pinggang! Lo Kiat cepat melompat ke belakang sehingga babatan pedang itu luput, akan tetapi kembali pedang itu sudah menyambar ke arah lutut kanan! Diserang serara bertubi-tubi itu, Lo Kiat menjadi terdesak juga. Dengan pedangnya dia menangis pula, akan tetapi karena keadaannya udah terdesak, dia tidak mampu menghindar lagi ketika tangan kiri Suma Eng membarengi serangan pedang ke lutut itu dan menampar ke arah dadanya. "Tranggg...... plakkk..... auughhh.....!!" Tubuh Lo Kiat terjengkang, mulutnya muntahkan darah segar dan matanya mendelik. Dia tewas seketika terkena pukulan Toat-beng Tok-ciang yang amat ampuh dan keji. Suma Eng memandang kepala bajak itu, kemudian ia mendengar ribut-ribut dari belakangnya. Ketika ia menengok, ia melihat Song Cin dikeroyok banyak sekali orang yang mengeroyoknya sambil berteriak-teriak dan ternyata Song Cin terdesak oleh pengeroyokan demikian banyaknya orang. Melihat ini, Suma Eng lalu melompat ke depan, ringan dan cepat sekali lompatannya. Begitu tiba di luar kepungan, ia mengamuk dengan pedangnya dan dalam beberapa detik saja empat orang telah roboh mandi darah dan tewas seketika! Para pengeroyok itu terkejut sekali dan ketika mereka melihat betapa ketua mereka telah roboh dan tewas, pembantu ketua yang bertubuh tinggi besar itu segera berseru nyaring. "Lari.....!" Akan tetapi baru saja mulutnya mengeluarkan teriakan itu, diapun mengaduh dan roboh mandi darah, lehernya kena disambar pedang di tangan Suma Eng. Melihat ini, para anak buah bajak sungai menjadi semakin panik dan tanpa dikomando lagi mereka lalu melarikan diri cerai berai tanpa menoleh lagi. Sebagian besar dari mereka lari ke arah sungai dan menceburkan diri, selanjutnya mereka menjauhkan diri dengan berenang dan ada yang sempat menaiki perahu mereka yang bercat hitam. "Mari kita geledah sarang mereka lalu basmi sarang itu!" ajak Suma Eng ke pada Song Cin yang hanya menurut saja, Masih mending bahwa gadis itu tidak membunuh semua bajak, pikirnya. Ngeri juga hatinya membayangkan keganasan gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu. Mereka memasuki perkampungan bajak dan tercenganglah Raja Lihai Langit Bumi 1 Siluman Ular Putih 15 Pengasuh Setan Rahasia Kunci Wasiat 5

Cari Blog Ini