Suling Pusaka Kumala 9
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 9 bermaksud untuk membasmi cabang Pek-lian kauw karena biarpun tadinya mereka berdua tidak ada permusuhan dengan Pek lian-kauw, namun perkumpulan itu telah membantu Thian-te Sam-ok untuk memusuhi mereka, bahkan menjebak mereka dengan tempat-tempat jebakan mereka. Karena Eng-ji dan Han Lin mempergunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja mereka sudah tiba di depan pintu gerbang pagar dinding perkumpulan itu. Akan tetapi di sana tampak sepi saja tidak tampak seorangpun. "Hemm, agaknya mereka sudah meninggalkan perkampungan, seperti yang kuduga, Lin-ko." kata Eng-ji penasaran. Mereka memasuki perkampungan dan benar saja. Perkampungan itu kosong, tidak tampak seorang pun manusia. Agaknya dua orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw itu sudah mengetahui betapa Thian-te Sam-ok telah kalah dan melarikan diri. Karena menduga bahwa para pemuda yang sakti itu tentu akan membuat perhitungan dengan mereka, maka mereka sudah cepat-cepat mengosongkan perkampungan dan melarikan diri. Setelah melihat bahwa perkampungan itu benar-benar telah kosong ditinggalkan penghuninya, Eng-ji lalu membakar semua rumah yang berada di situ! Api mengamuk, berkobar menelan habis semua benda yang berada di situ. Puaslah hati Eng-ji melihat api berkobar membasmi bekas sarang cabang Pek-lian-kauw itu. Akan tetapi setelah melihat api berkobar besar, Han Lin yang teringat kepada Kiok Hwa lalu mengajaknya kembali ke kuburan ibunya. "Mari kita tinggalkan, tempat ini, Eng-ji. Kembali ke kuburan ibuku." Eng-ji mengerutkan alisnya. Hatinya panas membayangkan bahwa Han Lin tergesa-gesa karena ingin segera berkumpul kembali dengan Kiok Hwa. Akan tetapi dia tidak membantah dan mereka berdua lalu meninggalkan perkampungan yang telah menjadi lautan api itu dan kembali ke tempat di mana jenazah Chai Li dikubur dan di mana Kiok Hwa menanti mereka. Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, mereka tidak menemukan Kiok Hwa! Han Lin terkejut dan bingung, mencari sana-sini dan memanggil-manggil nama Kiok Hwa. Akan tetapi Eng-ji diam-diam maklum bahwa Kiok Hwa telah pergi. Ternyata Kiok Hwa melakukan apa yang pernah dikatakan kepadanya bahwa Eng-ji lebih cocok dengan Han Lin dan gadis baju putih itu telah mengalah dan diam-diam pergi meninggalkan mereka berdua. Dia merasa terharu sekali dan duduk bertopang dagu di dekat gundukan tanah kuburan. Han Lin kembali dari mencari-cari dan menghampiri Eng-ji. "Ia tidak ada. Ah, ke mana perginya dan mengapa ia pergi tanpa berpamit kepada kita?" Dia mengeluh lalu menjatuhkan diri terduduk di depan makam ibunya. "Aku yang kehilangan besar sekali, Lin-ko. Tahukah engkau bahwa aku.. aku amat mencintanya" Aku telah jatuh cinta kepadanya sejak pertemuan kami yang pertama kali." Setelah berkata demikian Engji memandang Han Lin dengan sinar mata tajam penuh selidik. Han Lin tidak terkejut mendengar ini karena memang sudah diduganya bahwa Eng-ji mencinta Kiok Hwa. Dia hanya mengangguk dan berkata, "Aku tidak heran kalau engkau jatuh cinta kepada-nya. Ia memang seorang gadis yang balk sekali, berbudi mulia." Ucapannya terdengar lirih dan mengandung kesedihan. Hatinya memang terasa sedih bukan main. Baru saja dia ditinggal mati ibunya dan kenyataan ini merobek-robek hatinya dan membuatnya merasa ngelangsa sekali. Kini ditambah lagi dengan kepergian Kiok Hwa tanpa pamit kepadanya! Mengapa" Bukankah mereka saling mencinta" Ah" dunia rasanya sunyi sekali setelah kini Kiok Hwa pergi. "Lin-ko, memang enci Kiok Hwa seorang gadis yang luar biasa. Apakah.....apakah engkau juga...... tidak jatuh cinta kepadanya?" Pertanyaan Eng-ji ini terdengar seperti sambil lalu saja, akan tetapi sebenarnya merupakan pertanyaan yang serius dan sinar matanya menatap mata Han Lin seperti hendak menjenguk isi hati pemuda itu. Han Lin memandang Eng-ji dan melihat betapa sinar mata pemuda remaja itu mencorong dan memandang kepadanya penuh selidik. Ah, untuk apa mengaku cinta kepada Kiok Hwa di depan pemuda ini" Hanya akan menimbulkan perasaan yang tidak enak saja. Maka diapun lalu menggeleng kepalanya dan kembali berlutut di depan makam ibunya sehingga Eng-ji tidak bertanya lebih jauh. Han Lin mencari sebatang pohon muda lalu memindahkan pohon itu di bagian atas dari makam ibunya, menanamnya dengan baik, kemudian dia menggelindingkan sebuah batu besar yang dipergunakan sebagai tanda atau nisan kuburan ibunya. Dengan pisau tajam yang telah merenggut nyawa ibunya, dia membuat ukiran huruf-huruf di atas batu itu yang berbunyi : Di sini kuburan ibunda tercinta..Chai Li. Kemudian dia teringat akan pesan terakhir ibunya bahwa dia harus mencari ayahnya, maka dia mengajak Eng-ji untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke kota raja. 00-dewi-00 Sudah lama sekali kita meninggalkan pemuda yang mengaku bernama Coa Seng atau A-seng, yang dengan tipu daya yang keji dan amat cerdiknya telah dapat menipu Cheng Hian Hwesio sehingga dia dapat diambil murid oleh hwesio tua yang sakti itu dan diberi pelajaran ilmu silat yang tinggi! Kemudian, setelah dapat menguasai hampir semua ilmu silat tinggi dari Cheng Hian Hwesio, dia membunuh Nelayan Gu dan Petani Lai, dum orang murid dan juga pelayan Cherng Hian Hwesio. Bahkan dia nyaris dapat membunuh Cheng Hian Hwesio sendiri. Namun gagal karena ketika dilawan gurunya itu, dia masih kalah setingkat dalam hal tenaga sakti. Kemudian, dia menipu Han Lin, bermalam di kamar Han Lin dan mencuri Suling Pusaka Kemala milik Han Lin dan melarikan diri! Siapakah sebenarnya Coa Seng atau A-Seng itu" Dia adalah seorang pemuda bernama Ouw Ki Seng. Sejak kecil dia telah ditinggal mati ayah ibunya dan dia oleh kedua orang pamannya yang menjadi ketua dan wakil ketua Ban-tok-pang (Perkumpulan Selaksa Racun), sebuah perkumpulan sesat yang berada di sebuah di antara puncak-puncak di Pegunungan hai-san. Kedua pamannya itu bernama Hiw Kian dan Ouw Sian yang menjadi ketua dan wakil ketua Ban-tokpang. mereka ini pernah menjadi murid Toa Ok dan menguasai ilmu pukulan Ban-tok-Ciang, maka mereka mendirikan perkumpulan dengan nama Ban-tok-pang, disesuaikan dengan nama ilmu mereka Ban-tok-lang (Tangan Selaksa Racun). Sejak kecil Ouw Ki Seng merupakan seorang anak yang nakal dan cerdik bukan main. Kenakalan dan kecerdikannya ini membuat kedua orang pamannya berhati-hati dan biarpun mereka mendidik Ki Seng dan mengajarkan ilmu silat namun pemuda itu tidak diberi pelajaran ilmu-ilmu simpanan mereka, apalagi Ban tok-ciang yang ampuh. Di dalam hatinya, Ki Seng merasa penasaran dan sakit hati, namun dia tidak memperlihatkannya dan tetap bersabar. Pada suatu hari, Ban-tok-pang kedatangan seorang tamu yang dihormati oleh ketua dan wakilnya. Tamu itu adalah lah Suma Kiang yang telah dikenal sejak lama oleh Ouw Kian dan Ouw Sian sebagai Huang-ho Sin-liong. Ketika mendengar bahwa tamu itu seorang datuk yang berilmu tinggi, diam-diam timbul keinginan di hati Ki Seng untuk menjadi muridnya. Akan tetapi dia tidak berani menyatakan keinginan hatinya. Setelah Suma Kiang meninggalkan Ban-tok-ciang, diamdiam Ki Seng mengikuti dari jauh dan tanpa disengaja dia melihat Suma Kiang dan Suma Eng, yaitu puteri Suma Kiang yang ikut ayahnya menjadi tamu Ban-tok-pang, mendaki puncak dan menyerang Nelayan Gu dan petani Lai yang dikalahkan oleh Suma Kiang. Akan tetapi, ketika Cheng Hian Hwesio muncul, Suma Kiang dapat dikalahkan dengan mudah oleh hwesio tua yang sakti itu. Setelah melihat peristiwa ini, Ki Seng tidak jadi minta untuk dijadikan murid oleh Suma Kiang. Sebaliknya dia mengincar Cheng Hian Hwesio yang sakti untuk menjadi gurunya. Maka, diaturnyalah siasat yang amat keji itu. Dia membunuh sepuluh orang dusun, kemudian lari ke puncak menemui Cheng Hian Hwesio dan menceritakan betapa keluarganya dibantai orang jahat. Bahkan dia nekat berlutut selama dua hari dua malam tanpa makan minum dan bertekad untuk tidak bangun lagi sebelum Cheng Hian Hwesio menerimanya sebagai murid. Keteguhan hatinya ini menarik perhatian Cheng Hian Hwesio. Tipu dayanya yang keji dapat mengelabui Cheng Hian Hwesio sehingga akhirnya dia diangkat menjadi murid! Setelah membunuh Nelayan Gu dan Petani Lai dan gagal membunuh Cheng Hian Hwesio, kemudian berhasil mencuri Suling Pusaka Kemala milik Han Lin, Ki Seng lalu melarikan diri pulang ke Bantok-pang. Ouw Kian dan Ouw Sian sudah mendengar bahwa keponakan mereka berhasil diterima sebagai murid oleh Cheng Hian Hwesio dan mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Maka setelah pemuda itu pulang, mereka menyambut dengan gembira dan menjamu pemuda itu dengan sebuah pesta keluarga yang meriah. Mereka semua menghadapi meja dengan gembira. Ouw Kian yang berusia lima puluh tahun dan bertubuh tinggi besar, mukanya penuh brewok duduk di kepala meja, wajahnya tampak riang. Dialah ketua Ban-tok-pang. Wakil ketua adalah adiknya sendiri, Ouw Sian yang berusia empat puluh delapan tahun dan bertubuh tinggi kurus bermuka kuning. Wajahnya tampak agak muram karena memang orang ini tidak pernah memperlihatkan kegembiraan dan selalu murung. Kalau kakaknya, Ouw Kian terkenal lihai mempergunakan pedang, Ouw Sian bersenjatakan siang-to (sepasang golok) dan tentu saja kedua kakak beradik ini merupakan ahli-ahli ilmu pukulan Ban-tok-riang yang ampuh. Karena merasa bangga dan gembira, Ouw Kian sendiri menyuguhkan beberapa cawan arak kepada Ki Seng untuk menyatakan selamat atas keberhasilan pemuda itu. Mereka makan minum dengan gembira dan sambil makan minum, keluarga itu minta kepada Ki Seng untuk menceritakan semua pengalamannya. Setelah makan minum selesai, mereka masih bercakapcakap di meja makan. "Ki Seng, sungguh aku merasa girang sekali dengan kepulanganmu membawa ilmu kepandaian yang tinggi. Engkau dapat memperkuat kedudukan Ban-tok-pang, membantu aku dan pamanmu Ouw Sian." kata Ouw Kian dengan gembira. "Paman, kedudukan yang diberikan kepada seseorang haruslah disesuaikan dengan tingkat kepandaian orang itu. Setujukah paman dengan pendapatku itu?" Tanpa mencurigai maksud ucapan itu, Ouw Kian mengangguk. "Tentu saja aku setuju sekali!" "Dan bagaimana dengan engkau, paman Ouw Sian" Setujukah paman dengan pendapatku bahwa kedudukan seseorang harus disesuaikan dengan tingkat kepandaian orang itu?" "Hemm, aku setuju akan tetapi apa maksudmu dengan ucapan itu?" tanya Ouw Sian, agak curiga. "Maksudku, tingkat kepandaian Paman Ouw Kian tentu yang tertinggi di Ban tok-pang, maka dia diangkat menjai ketua dan kepandaian Paman Ouw Sian berada di bawahnya, maka hanya menjadi wakil ketua. Bukankah begitu?" "Benar, betul sekali!" kata Ouw Kian masih belum dapat menduga ke arah mana tujuan kata-kata Ki Seng itu. Jilid XVI "WAH, sekarang aku datang. Untuk menentukan kedudukanku, tentu sudah sepatutnya kalau aku diuji dan siapa pengujinya kalau bukan Paman Ouw Kian atau Paman Ouw Sian sendiri" Paman berdua hanya baru mendengar bahwa aku telah mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, akan tetapi tanpa menguji, bagaimana kedua paman akan menjadi yakin akan kemampuanku?" "Bagus, memang sudah sepantasnya begitu. Biarlah sekarang juga, kami akan mengujimu. Sian-te (adik Sian), cobalah engkau dulu yang menguji Ki Seng. Engkau harus bersilat sungguh-sungguh dan mengeluarkan semua kemampuanmu, baru kita dapat menilai sampai di mana tingkat kepandaiannya. Mari kita pergi ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat)." Dia mengajak semua keluarganya, termasuk isterinya, dua orang anak laki-laki berusia tiga belas dan dua puluh lima tahun isteri Ouw Sian dan seorang anak perempuan Ouw San yang berusia sembilan belas tahun, untuk menonton ujian kepandaian silat Ki Seng itu. Bahkan beberapa orang anggauta Ban-tok-pang yang menjadi pembantu-pembantu, yang merupakan tokoh-tokoh Ban-tokpang yang sudah memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup, ikut pula menonton. Ouw Sian berhadapan dengan Ki Seng di lian-bu-thia, ditonton oleh keluarga dan para pembantu. Semua orang berwajah gembira karena mengharapkan pertunjukan yang menarik dan tentu saja tidak ada bahayanya karena adu kepandaian itu hanya merupakan ujian belaka, tidak sungguhsungguh. "Ki Seng, engkau hendak menggunakan senjata apakah" Pilihlah di rak senjata itu. Aku sendiri akan menggunakan siang-to (sepasang golok) ini!" kata Ouw Sian sambil mencabut sepasang goloknya yang biasanya tergantung di punggungnya. "Suhu mengajarkan bahwa segala benda di dunia ini dapat saja dijadikan sebagai senjata, kecuali kaki dan tangan sendiri." kata Ki Seng dengan senyum dingin. Dia tidak berbohong karena memang demikian yang diajarkan Cheng Hian Hwesio. Buktinya, Nelayan Gu dapat mempergunakan dayung sebagai senjata, dan Petani Lai juga dapat mempergunakan sebatang cangkul sebagai senjatanya yang ampuh. Dia melirik ke arah kursi dan menyambung, "misalnya kursi itu, dapat saja kupakai sebagai senjata untuk menghadapi serangan golokmu, Paman Ouw Sian." Dua orang pimpinan Ban-tok-pang itu mengerutkan alisnya. Mereka menganggap Ki Seng terlalu sombong. Baru belajar Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo silat lima tahun sudah berani menantang untuk menghadapi Ouw Sian dengan sepasang goloknya yang amat lihai hanya dengan bersenjatakan sebuah kursi kayu! "Ki Seng, jangan gegabah. Sepasang golok pamanmu Ouw Sian amat hebat, bagaimana akan kau lawan dengan sebuah kursi" Pilihlah pedang atau golok!" kata Ouw Kian. "Tidak, paman, aku cukup mengguna-kan kursi kayu ini dan seandainya aku kalah oleh Paman Ouw Sian, biarlah aku menempati kedudukan sebagai anggauta biasa saja." Ucapan ini walaupun dikeluarkan dengan sederhana, namun mengandung tantangan yang memandang rendah Ouw Sian! Ouw Kian dan Ouw Sian adalah murid-murid Toa Ok. Mereka merasa diri mereka sudah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silat, maka melihat sikap dan mendengar ucapan Ki Seng, tentu saja mereka menjadi penasaran sekali. Terutama Ouw Sian, wajahnya yang biasanya kekuningan kini menjadi agak merah dan dia sudah menjadi marah. "Baiklah, Ki Seng, engkau yang berjanji sendiri. Kurasa tingkat kepandaianmu juga tidak terlalu jauh dari tingkat seorang anggauta perkumpulan kita yang biasa. Nah, mari kita mulai!" Setelah berkata demikian, Ouw Sian sudah menyilangkan sepasang goloknya di depan dada dan memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Melihat ini, Ki Seng mengambil sebuah kursi kayu berkaki empat. Dia menganggap kursi itu merupakan senjata yang cukup baik untuk menghadapi sepasang golok pamannya. "Aku sudah siap, Paman Ouw Sian!" katanya lantang dan sikapnya biasa saja. Dia berdiri tegak dan memegang kursi itu secara terbalik sehingga empat buah kaki kursi berada di depan. Ouw Sian merasa dipandang rendah sekali. Dia mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada keponakannya yang bersikap jumawa ini. Akan dihancurkannya kursi yang dipegangnya, kemudian dia akan merobohkan Ki Seng dengan tendangan kakinya. Maka dia lalu memutar sepasang goloknya di atas kepala dan berseru, "Awas, Ki Seng, lihat seranganku!" Dan diapun menyerang dengan dahsyatnya. Dia memperhitungkan bahwa serangan sepasang goloknya tentu akan ditangkis dengan kursi itu dan itulah saatnya sepasang goloknya membikin remuk kursi itu menjadi berkeping-keping. Akan tetapi ternyata tidak terjadi seperti yang ia sangka. Ketika sepasang goloknya menyambar, mengancam tubuh Ki Seng dengan bacokan dan tusukan, pemuda itu sama sekali tidak menggunakan kursi itu untuk menangkis, melainkan dia mengelak dengan gerakan cepat sekali sehingga mengejutkan hati Ouw Sian. Akan tetapi hati orang tinggi kurus ini selain terkejut, juga penasaran sekali melihat betapa amat mudahnya Ki Seng mengelak dari serangan-serangannya, seolah penyerangannya itu tidak ada artinya dan dipandang rendah. Dia lalu mempercepat gerakan sepasang goloknya dan menyerang dengan hebat. Akan tetapi dia terkejut sekali ketika kehilangan Ki Seng! Pemuda itu berkelebat dan lenyap dari depannya dan tahu tahu telah berada di belakangnya! Demikian cepat gerakan tubuh Ki Seng seolah olah dia pandai menghilang saja. Ouw Sian memutar tubuhnya dan menggunakan sepasang goloknya untuk membacok dengan cara menyilang dan menggunting Sekali ini Ki Seng menggerakkan kursi nya dua kali, akan tetapi dia tidak menangkis dengan memapaki pedang, melainkan menghantam dari samping mengenai badan golok. "Trang-trang......!!" Demikian kuatnya tangkisan itu membuat Ouw Sian menjadi terpelanting dan terhuyung! Tentu saja kursi itu tidak menjadi rusak karena menangkis dari samping, tidak bertemu dengan mata golok yang tajam. Ouw Sian menjadi semakin terkejut dan dia hampir tidak percaya bahwa tangkisan kursi itu dapat membuat dia terhuyung. Dari terkejut, heran dan penasaran, dia menjadi marah. Wakil ketua Ban-tok-pang ini bukanlah orang yang dapat menerima kekalahan. Dia selalu mengagulkan kepandaian sendiri dan tidak memandang mata kepada orang lain. Karena marahnya, lupalah dia bahwa yang dihadapinya adalah keponakan sendiri dan dia sedang menguji kepandaian sang keponakan itu. Kini dalam pandang matanya, yang dihadapinya adalah seorang musuh besar yang telah membuat dia malu! Dia mengeluarkan suara gerengan dahsyat lalu menyerang dengan dahsyat pula, sepasang goloknya berubah menjadi tangan-tangan maut yang siap mencengkeram dan membinasakan Ki Seng! Namun Ki Seng tersenyum dingin. Diapun tahu akan kemarahan pamannya dan bahwa kini pamannya sudah mata gelap dan penyerangannya adalah untuk mematikannya. Akan tetapi dia bersikap tenang saja karena maklum bahwa dia dapat mengatasi pamannya ini dengan mudah. Ketika golok kiri pamannya menyambar lagi, dia mengelak ke kanan dani sebelum golok kanan bergerak, dia sudah mendahului pamannya, menggunakan kursi untuk balas menyerang dan menghantami ke arah tangan kanan Ouw Sian. Kaki kursi itu menotok ke arah siku dan seketika lengan kanan Ouw Sian menjadi kaku dan golok kanannya terlepas dari pegangan. Hal ini membuat Ouw Sian semakin marah dan tanpa memperdulikan apapun dia sudah menubruk dan melancarkan pukulan Ban-tok-ciang yang ampuh itu ke arah tubuh Ki Seng! Jari-jari tangan terbuka itu menyambar ke arah dada dengan kecepatan luar biasa dan mendatangkan hawa panas yang beracun. "Wuuuuttt......!" Pukulan Ban-tok-ciang itu meluncur ke arah dada Ki Seng. Melihat ini, Ki Seng tersenyum dan sinar matanya mencorong, berubah kejam. Tahulah dia bahwa kalau Ouw Sian dibiarkan hidup, kelak hanya akan menjadi orang yang memusuhinya. Maka, cepat dia menangkis serangan itu dengan tangan kirinya dan tangan kanannya secepat kilat menotok dengan satu jari. Itulah It-yang-ci dan dengan tepat sekali jari telunjuk kanannya masuk dan menotok dada Ouw Sian bagian kiri. "Tukkkk.....I" Ouw Sian mengeluh dan roboh terjengkang, tewas seketika karena totokan tadi telah merusak jantungnya! Ouw Kian terkejut bukan main ketika adiknya roboh dan tidak bangkit kembali. Apalagi ketika dia melihat betapa mata adiknya mendelik dan tidak bergerak-gerak. Cepat dia meloncat ke dekat adiknya dan berjongkok untuk memeriksa. Matanya terbelalak ketika dia mendapat kenyataan bahwa adiknya ternyata telah tewas! Dia lalu bangkit berdiri, memutar tubuhnya menghadapi Ki Seng dengan mata melotot. "Ki Seng.....!!" bentaknya dengan kemarahan luar biasa. "Apa yang telah kaulakukan ini" Engkau telah membunuhi pamanmu Ouw Sian!" "Hemm, paman sendiri tentu tahu bahwa yang menggunakan Ban-tok-ciang dan bermaksud membunuhku adalah Pa-man Ouw Kian. Aku hanya membalas apa yang hendak dia lakukan terhadap diri-ku." jawab Ki Seng dengan sikap tenang-tenang saja, bahkan pandang matanya menantang. "Ki Seng, engkau anak durhaka. Engkau telah membunuh Ouw Sian dan karena itu aku harus menghukummu!" bentak Ouw Kian marah dan dia sudah mencabut pedangnya. Ki Seng mengerutkan alisnya. "Hemm kalau paman hendak menyusulnya, mari kuantarkan paman!" Ucapan ini bagaikan minyak yang disiramkan kepada api kemarahan Ouw Kian, membuat kemarahannya semakin berkobar. "Anak setan, mampuslah engkau!" Setelah berkata demikian, Ouw Kian menyerang dengan pedangnya. Melihat ini, Ki Seng membungkuk dan menyambar sebatang golok milik Ouw Sian yang tadi terjatuh dan dia menangkis dengan golok itu ketika pedang menyambar. Sementara itu, ketika mendengar bahwa suami dan ayah mereka telah tewas, isteri Ouw Sian dan anak perempuannya lalu menubruk mayat Ouw Sian sambil menangis. Perkelahian antara Ouw Kian dan Ki Seng makin hebat dan ketika tangkisan golok Ki Seng membuat tangannya tergetar dan pedangnya terpental, Ouw Kian menjadi terkejut sekali dan segera meneriaki para pembantunya untuk turun tangan membantunya. Lima orang pembantu ketua itu lalu mencabut golok masing-masing dan berlompatan maju mengeroyok Ki Seng. Serangan Ouw Kian dan para pembantunya itu merupakan serangan mematikan karena mereka semua sudah bertekad untuk membunuh pemuda yang berbahaya itu. Akan tetapi Ki Seng kini mengamuk, dan goloknya berkelebatan, menjadi sinar yang bergulung-gulung dan belasan jurus kemudian, lima orang pembantu ketua itu roboh satu demi satu dan tewas seketika karena golok di tangan Ki Seng menyerang dengan amat hebatnya! Melihat itu Ouw Kian menjadi marah akan tetapi juga gentar. Bagaimana juga, dia tidak dapat menghindarkan diri lagi dan ketika dia menangkis golok yang menyambar dahsyat, pedangnya terpental dan terlepas dari tangannya. Pada saat itu tangan kiri Ki Seng sudah meluncur ke depan dan totokan satu jari yang demikian dahsyatnya sehingga gerakan itu mengeluarkan suara mencicit. Itulah It-yang ci yang dipergunakan untuk menyeran ke arah ulu hati. "Tukk....!!" Tubuh Ouw Kian terjengkang lalu roboh menggelepar, mulutnya muntahkan darah segar dan dia hanya dapat terbelalak, tangannya menuding ki arah Ki Seng dan diapun tewas seketika Pada saat itu terdengar teriakan nyaring. Ouw Cun, putera Ouw Kian yang berusia dua puluh lima tahun sudah menerjang dengan sebatang pedang di tangannya. Juga Ouw Ci Hwa, puteri Ouw Sian yang tadi menangisi ayahnya kini menyerang dengan sebatang pedang. Bahkan janda kedua orang pimpinan Ban-tok-pang itu sudah mencabut pedang dan ikut menyeroyok untuk membalas kematian suami mereka. Ki Seng tersenyum lebar. Golok di tangannya berkelebat dan Ouw Ci Hwa, gadis berusia sembilan belas tahun itupun roboh mandi darah, dadanya terobek golok dan dia tewas di dekat jenazah ayahnya. Ouw Cun dengan marah dan nekat menubruk maju dengan pedangnya, dibantu oleh dua orang janda yang juga sudah nekat. Ki Seng memutar goloknya. "Trang-trang-tranggg......!" Tiga batang pedang itu terpental dan terlepas dari tangan tiga orang pengeroyok itu dan sebelum mereka sempat menghindar, golok di tangan Ki Seng menyambar-nyambar dan robohlah tiga orang itu, tewas seketika terkena bacokan golok yang dilakukan dengan tenaga dalam yang amat kuatnya. Sunyi di tempat itu. Kesunyian yang mencekam. Para anak buah Ban-tok-pang yang tadi berlari-lari mendatangi ruangan yang menjadi tempat pembantaian itu berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat. Di lantai berserakan sebelas orang yang telah menjadi mayat dan darah membanjiri lantai itu. Ki Seng berdiri tegak, memandang ke kanan kiri, menyapu wajah-wajah para anak buah Ban-tok-pang, Sinar mata Ki Seng mencorong ketika dia mengamati wajah-wajah para anggauta itu sehingga setiap orang anggauta yang bertemu pandang dengan dia merasa ngeri dan menundukkan muka. Para anggauta Ban-tok-pang adalah orang-orang yang sudah biasa melakukan perbuatan sewenang-wenang dan kejam, tidak mengenal rasa takut. Akan tetapi kini menghadapi Ki Seng yang membantai sebelas orang, di antaranya paman-paman dan bibi-bibinya sendiri, mereka menjadi ketakutan dan merasa ngeri. "Hayo siapa lagi yang berani menentang aku?" bentak Ki Seng sambil mengelebatkan goloknya. Tak seorang pun berani menjawab, bahkan tidak ada yang berkutik. Dua orang di antara para anggauta itu melangkah maju dan memberi hormat kepada Ki Seng. "Ouw-kongcu (tuan muda Ouw), tidak ada seorangpun di antara kami yang akan menentang kongcu." kata seorang di antara mereka. Dua drang itu adalah A Kiu dan A Hok, dua orang anggauta Ban-tok-pang yang memang sejak dahulu menjadi sahabat Ki Seng, bahkan kedua orang ini yang menemuinya di waktu malam ketika Ki Seng membunuh Nelayan Gu dan Petani Lai. "A Kiu dan A Hok, kalian berdua menjadi dua orang pembantuku. Hei i kalian semua, kalau tidak ada yang berani menentangku, kalian semua harus berlutut. Akulah yang menjadi pangcu (ketua) Ban-tok-pang mulai saat ini!" kata Ki Seng sambil meluncurkan goloknya ke atas lantai sehingga golok itu menancap sampai ke gagangnya di lantai. Mendengar ini, semua anggauta lalu menjatuhkan diri berlutut dan serempak mereka berseru. "Pangcu......!" Hati Ki Seng merasa senang sekali. "Bagus, aku akan memimpin kalian dan membuat Ban-tok-pang menjadi perkumpulan terbesar. A Kiu dan A Hok, pimpin orang-orang ini untuk mengubur mayat-mayat itu dan membersihkan ruangan ini. Aku hendak beristirahat!" Setelah berkata demikian, Ki Seng memasuki gedung itu, masuk ke dalam kamar besar yang biasanya ditempati ketua Ban-tok-pang dan di lain saat ia telah tidur mendengkur di atas pembaringan! Pada keesokan harinya, Ki Seng memeriksa gedung itu dan mengumpulkan emua barang-barang berharga yang kini menjadi miliknya. Kemudian ia memerintahkan A Kiu A Hok yang diangkatnya menjadi pembantu-pembantunya untuk menggerakkan anak buahnya mengadakan pesta untuk merayakan pengangkatan diri nya sendiri sebagai ketua Bantokpang. Semua anggauta diharuskan ikut berpesta pora. Pesta itu dilakukan semalam suntuk dan para anak buah itu rata-rata merasa senang karena mereka tahu bahwa ketua baru yang sekarang ini adalal seorang yang sakti, jauh lebih lihai di bandingkan para pimpinan mereka yang telah tewas. Hal ini tentu saja membesarkan hati mereka. Ketua mereka yang baru ini seorang yang masih amat muda, baru dua puluh satu tahun usianya, tampan sekali dan gagah perkasa! Hati siapa tidak akan bangga menjadi anak buahnya" Ban-tok-pang adalah sebuah perkumpulan sesat yang terkenal suka mempergunakan racun. Sesuai dengan namanya Ban tok-pang (Perkumpulan Selaksa Racun) perkumpulan ini terkenal sekali dalam mempergunakan senjata beracun, juga sarang mereka penuh dengan jebakan jebakan yang mengandung racun berbahaya. Sebelum menjadi murid Chen Hian Hwesio, Ki Seng sudah hafal akan racun-racun yang dipergunakan Ban-to pang. Setelah dia menjadi ketua, di Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo memperbarui jebakan-jebakan itu untuk mencegah orang luar memasuki perkampungan Ban-tok-pang. juga dia melarang anak buahnya untuk melakukan perampokan seperti yang biasa mereka lakukan. Biasanya, para anak buah Ban-tokpang tidak segan-segan untuk melakukan pencurian dan perampokan, dan membunuh kalau ada yang melawan. "Kita adalah sebuah perkumpulan besar, harus dapat menjaga nama dan kehormatan. Mulai sekarang, kalian tidak boleh mencuri atau merampok. Kalau ada yang melanggar, akan dihukum mati!" kata Ki Seng. Para anggauta itu tidak ada yang berani membantah. Akan tetapi A Kiu yang diangkat menjadi pembantu, lalu maju dan berkata, "Akan tetapi, Ouw-kongcu..." "Bodoh! Jangan sebut aku kongcu lagi. Aku adalah ketua kalian, mengerti?" "Ah, baiklah, pangcu dan maafkan saya. Akan tetapi, pangcu, kalau kami dilarang untuk melakukah pencurian atau perampokan, lalu dari mana kita akan memperoleh hasil untuk membiayai kehidupan kita yang sebanyak puluhan orang ini?" kata A Kiu. "Benar, pangcu. Biasanya, kita mempergunakan hasil pencurian dan perampokan untuk biaya hidup lima puluh orang anggauta kita." A Hok membenarkan rekannya. "Jangan khawatir, akan ada orang-orang lain yang mencarikan biaya untuk kita. Mari kalian berdua, A Kiu dan A Hok, ikut dengan aku!" ajak Ki Seng dan dua orang itupun tidak banyak membantah lagi, lalu mengikuti pemuda itu keluar dari perkampungan mereka. Sudah merupakan peraturan tidak tertulis dari Hek-houwpang untuk mengharuskan setiap orang yang lewat melalui daerah kekuasaan mereka di lereng sebelah timur Pegunungan Thai-san untuk membayar "pajak", istilah yang diperhalus dari perbuatan merampok. Maka, ketika Ki Seng, A Kiu dan A Hok melangkah tenang di lereng itu, tiba-tiba dari balik pohon-pohon dan semak belukar berloncatan belasan orang yang rata-rata bertubuh tegap dan kuat, bersikap kasar dan bengis, dan di dada baju mereka terdapat gambar seekor harimau hitam. Setiap orang dari mereka memegang sebatang golok yang tajam mengkilap. "Berhenti.....!" Seorang di antara mereka yang bermuka hitam dan menjadi pemimpin mereka, mengacungkan golok dan membentak dengan suara garang. Belasan orang itu kini mengepung tiga orang yang tampak tenang-tenang saja. Ki Seng melangkah maju menghadapi si muka hitam. Dengan sikap tenang dia berkata, "Sobat, apa artinya ini" Mengapa kalian menghentikan dan mengepung kami bertiga?" "Kalian bertiga harus membayar pajak jalan kepada kami karena kalian melanggar wilayah kami. Hayo cepat keluarkan semua bawaan dan harta kalian untuk kami ambil separuhnya. Jangan membantah atau melawan karena kami akan membunuh kalian kalau berani melawan. Dan jangan mainmain. Kami adalah orang-orang Hek-houw-pang yang menguasai wilayah ini!" Ki Seng mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Ah, kiranya orang-orang Hek houw-pang! Bukankah ketua kalian adalah Toat-beng Hek-houw dan wakil ketua kalian Tiat-ciang Hek-houw" Kebetulan sekali, aku memang ingin bertemu dan bicara dengan mereka. Hayo bawalah kami menghadap dua orang pimpinan kalian itu!" Tentu saja tokoh Hek-houw-pang itu tidak memperdulikan kata-kata ini dan dia bahkan marah sekali. "Lancang sekali mulutmu! Siapakah engkau yang berani hendak bertemu dengan para pimpinan kami" Hayo cepat keluarkan semua milikmu kalau tidak ingin mampus!" Sambil berkata demikian, si muka hitam mengelebatkan goloknya penuh ancaman. "A Kiu dan A Hok, wakili aku dar hajar mereka!" kata Ki Seng kepada dua orang pembantunya. A Kiu dan A Hok adalah dua orang tokoh Ban-tok-pang yang berpengalaman Mereka adalah orang-orang yang telah mendapatkan kepercayaan para pimpinar Ban-tok-pang yang telah tewas maka mereka berdua sudah diberi pelajaran ilmu pukulan Ban-tok-ciang dan memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi. A Kiu yang berusia lima puluh tahun itu bertubuh tinggi besar dan membawa sebatang pedang di punggungnya. A Hok bertubuh kecil kurus akan tetapi gerak-geriknya gesit, usianya sekitar empat puluh lima tahun dan diapun membawa sebatang pedang di punggungnya. Mendengar perintah ketua baru mereka, keduanya lalu melangkah maju dan A Kiu berkata kepada si muka hitam dengan suara membentak bengis, "Mundurlah kalian dan jangan ganggu kami lagi!" Akan tetapi melihat dua orang itu maju seperti menantang, si muka hitam berseru kepada kawan-kawannya, "Serbu! Bunuh!!" Belasan orang itu bergerak dengan golok mereka, akan tetapi A Kiu dan A Hok mendahului mereka, menggerakkan tangan kanan dan sinar-sinar kecil hitam meluncur ke arah para pengepung. Terdengar jerit-jerit mengerikan dan robohlah enam orang. Mereka berkelojotan dan tak lama kemudian mereka tewas dengan muka berubah menghitam. Ternyata mereka telah menjadi korban jarum-jarum beracun yang amat ampuh. Melihat ini si muka hitam terkejut, akan tetapi juga marah sekali. Dia menerjang dengan goloknya, di kuti sisa kawan-kawannya yang masih ada sebelas orang. Dua belas orang itu menerjang dan menyerang A Kiu dan A Hok dengan golok mereka. A Kiu dan A Hok mencabut pedang mereka dan mengamuk. Tingkat kepandaian dua orang ini memang sudah cukupi tinggi dan ilmu pedang mereka juga hebat, maka biarpun dikeroyok dua belas orang, mereka tidak terdesak, bahkan sebaliknya mereka dapat melukai empat orang dan mendesak para pengeroyoknya.! Akhirnya si muka hitam sendiri tertusuk pedang A Kiu yang mengenai pundak kanannya. Goloknya terlepas dan maklumlah dia bahwa melawan terus sama dengan bunuh diri. Maka dia meneriaki kawan-kawannya untuk melarikan diri, meninggalkan mereka yang tewas dan terluka parah. "Kejar mereka sampai ke sarangnya!" kata Ki Seng dan diapun membayangi segerombolan orang yang melarikan diri itu, di kuti oleh A Kiu dan A Hok. Akan tetapi sebelum memasuki perkampungan Hek-houwpang, baru tiba di luar pintu, mereka melihat berbondongbondong para anggauta Hek-houw-pang telah keluar dari pintu gerbang perkampungan, mengikuti dua orang laki-laki yang gagah perkasa. Ki Seng yang pernah datang ke perkampungan Hek-houw-pang bersama mendiang Nelayan Gu dan Petani Lai segera mengenal dua orang pimpinan Hekhouwpang itu. Si muka hitam menunjuk ke arah Ki Seng, A Kiu dan A Hok dan dua orang pimpinan Hek-houw-pang bersama semua anak buahnya segera menghadapi tiga orang itu di depan pintu gerbang. Toat-beng Hek-houw, ketua Hek-houw-pang yang bertubuh sedang tegap dan bersikap gagah itu memandang ke arah Ki Seng dan dua orang pembantunya dengan alis berkerut. Dia sudah tidak ingat lagi kepada Ki Seng yang lima tahun lalu pernah datang ke sarangnya. Tiat-ciang Hek-houw, wakil ketua yang bertubuh tinggi besar itupun tidak mengenal Ki Seng dan dua orang pembantunya. Ki Seng yang dihadang itu berhenti melangkah dan berhadapan dengan dua orang pemimpin Hek-houw-pang. Dia ter-| senyum dan berkata, "Bagus sekali kalian yang datang sendiri menemuiku, Toat beng Hek-houw dan Tiat-ciang Hekhouw. Aku memang ingin bicara dengan kalian berdua!" Dua orang pimpinan Hek-houw-pay itu tidak merasa heran kalau pemuda itu mengenal nama mereka karena mereka berdua memang terkenal sekali untuk daerah itu. Akan tetapi mereka merasa heran sekali melihat sikap Ki Seng yang sama sekali tidak menghormatinya, bahkan suaranya seperti menantang! "Orang muda, engkau dan dua orang kawanmu telah berani membunuh beberapa anak buah kami, untuk itu kalian harus mati di tangan kami. Katakanlah siapa engkau dan mau apa engkau mencari kami, jangan kalian mati tanpa nama!" kata Toat-beng Hek-houw sambil menahan kemarahannya karena dia sudah mendengar pelaporan si muka hitam bahwa enam orang anak buahnya telah tewas dan beberapa orang luka-luka. Ki Seng tersenyum, senyum dingin yang membuat wajannya yang tampan itu tampak mengandung sesuatu yang menyeramkan. Matanya mencorong seperti mata harimau dan senyumnya mengandung penuh ejekan dan memandang rendah. "Toat-beng Hek-houw, ketahuilah bahwa aku adalah pangcu (ketua) dari Ban-tok-pang. Kedatanganku ini untuk bertemu dan bicara dengan pimpinan Hek-houw-pang." Toat-beng Hek-houw terkejut bukan main. Dia sudah mendengar tentang Ban-tok-pang dan menurut apa yang pernah didengarnya, para pimpinan Ban-tok-pang adalah keluarga Ouw. Sama sekali tidak disangkanya bahwa ketuanya masih begini muda, seorang pemuda remaja atau yang belum dewasa benar, paling banyak dua puluh satu tahun usianya! Akan tetapi mendengar bahwa pemuda itu ketua Ban-tokpang, dua orang pimpinan Hek-houw-pang bersikap hati-hati. "Hemm, kalau benar engkau Ban-tok- pangcu, lalu apa yang hendak kau bicarakan dengan kami?" tanya Toat-beng Hek-houw. "Hemmm, apakah kalian tidak meng-undang kami untuk masuk dan bicara didalam" Layakkah kalau kita bicara diluar seperti ini?" tanya Ouw Ki Seng. Toat-beng Hek-houw mengerutkan alisnya. "Bagaimana kami dapat menerima dan menyambut kalian sebagai tamu yang terhormat setelah kalian membunuhi dan melukai anak buah kami?" "Anak buak kalian itu mencari mati sendiri. Mereka telah berani menghadangi kami dan mencoba untuk merampok kami. Nah, sekarang kalian mau mengundang aku bicara di dalam atau tidak?" "Hemm, kalau engkau hendak bicara di sini saja juga sudah cukup. Apa yang hendak engkau bicarakan dengan kami"!" "Tidak banyak. Aku hanya minta agar kalian menyerahkan semua tempat perjudian dan tempat pelesiran di kota-kota sekitar sini kepada kami dan setiap hasil rampokan yang kalian lakukan harus diserahkan separuhnya kepada kami. Aku minta agar kalian mengakui Ban-tok-pang sebagai perkumpulan yang membawahi Hek-houw-pang dan mengakui aku sebagai pimpinan!" Toat-beng Hek-houw dan Tiat-ciang Hek-houw terbelalak dan muka mereka menjadi merah sekali karena marah. Sungguh pemuda itu mengajukan tuntutan yang berlebihan dan sangat menghina mereka! Dengan suara gemetar saking marahnya Toat-beng Hek-houw membentak. "Keparat! Bagaimana kalau kami menolak semua permintaanmu itu?" Ouw Ki Seng tersenyum dingin. "Kalau begitu, terpaksa kalian berdua akan kubunuh dan Hek-houw-pang kupaksa menjadi cabang Ban-tok-pang, siapa yang menentang akan kubunuh!" "Jahanam sombong! Engkaulah yang akan kami bunuh!" Setelah berkata demikian, Toat-beng Hek-houw memberi isarat kepada para anak buahnya, kemudian dia mencabut pedangnya dan menyerang Ki Seng dengan dahsyat. Tiat-cang Hek-houw juga mencabut pedang dan menyerangnya. Menghadapi serangan dua orang itu, Ki Seng bersikap tenang saja. Dengan lincahnya dia melompat ke belakang sehingga serangan kedua orang pimpinan Hek-houw-pang itu mengenai tempat kosong. Kembali dua orang itu menerjang dengan ganasnya. Namun, Ki Seng bergerak cepat sekali. Tubuhnya seperti berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara dua sinar pedang kedua orang pengeroyoknya. Sementara itu, melihat puluhan orang anak buah Hekhouwpang sudah bergerak mengepung, A Kiu dan A Hok mencabut pedang masing-masing dan mereka meng-amuk. Pedang mereka menyambar-nyambar dan dengan cepat sekali mereka telah merobohkan empat orang yang berada paling depan. Mereka lalu dikepung dan dikeroyok karena para anak buah Hek-houw-pang itu tidak ada yang berani membantu dua orang pimpinan mereki yang mereka anggap pasti akan mampu mengalahkan pemuda yang mengaku sebagai ketua Ban-tok-pang itu. Akan tetapi kenyataannya terjadi tidak seperti yang mereka harapkan dan bayangkan. Toat-beng Hek-houw dan Tiat-ciang Hek-houw sudah memainkan pedang mereka dengan cepat dan kuat, mengerahkan sepenuh tenaga mereka, namun tetap saja pedang mereka tidak mampu menyentuh tubuh Ki Seng yang melawan dengan tangan kosong saja! Pemuda itu bergerak amat lincahnya dan membiarkan kedua orang lawannya melancarkan serangan bertubi-tubi sampai belasan jurus tanpa dibalasnya. "Kalian belum mau menyerah?" bentak Ki Seng karena sebetulnya dia ingin agar kedua orang pimpinan Hek-houwpang ini taluk kepadanya dan menjadi pembantupembantunya. Akan tetapi, karena sejak tadi hanya mengelak saja tanpa membalas, dua orang ketua Hek-houw-pang itu menganggap dia takut, maka mereka menyerang terus semakin gencar dan tentu saja tidak mau menyerah. Setelah membiarkan dua orang itu menyerangnya secara bertubi selama belasan jurus dan mereka tetap tidak mau menyerah, Ki Seng menjadi marah. "Baik, kalau begitu matilah kalian!" bentaknya dan tiba-tiba dia mengelak dengan loncatan ke atas, lalu berjungkir balik, menukik dan kedua tangannya bergerak menyambar seperti seekor ular terbang menyerang ke arah kedua orang pimpinan Hek-houw-pang itu. "Tukk! Tukk!" Dua orang itu tidak dapat menghindarkan diri dari totokan It-yangci yang amat dahsyat dan jari tangan Ki Seng telah menotok kepala mereka. Tampaknya totokan itu tidak terlalu kuat, akan tetapi akibatnya, dua orang itu terjungkal dan tewas seketika! Melihat dua orang pemimpin mereka tewas, para anak Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo buah Hek-houw-pang menjadi terkejut bukan main. Pada saat itu, Ki Seng berseru dengan suara lantang. "Ketua dan wakil ketua kalian telah tewas! Siapa yang tidak mau menyerah akan mati juga! Lemparkan senjata kalian dan berlututlah, baru kami akan mengampuni nyawa kalian!" Mendengar ini, para anak buah Hek-houw-pang yang sudah ketakutan itu lalu membuang senjata masing-masing dan menjatuhkan dirinya berlutut menghadap ke arah Ki Seng. A Kiu dan A Hok berhenti mengamuk dan merekapun berdiri di belakang Ki Seng dengan hati bangga. Mereka berdua tidak pernah dapat membayangkan betapa pemuda itu dengan amat mudahnya telah membunuh ketua dan wakil ketua Hekhouwpang yang terkenal gagah itu. Mereka sendiri sudah merobohkan belasan orang anak buah Hek-houw-pang, akan tetapi hanya melukai mereka dan tidak sampai membunuh mereka seperti yang dipesankan Ki Seng sebelum mereka menyerbu ke situ. Ki Seng menginginkan agar anak buah Hek-houw-pang tidak dibunuh karena dia ingin mereka menjadi anak buahnya untuk memperkuat kedudukan Ban-tok-pang. "Kalian sudah menyerah" Bagus! Mulai sekarang, Hekhouwpang dan semua usahanya berada di bawah pengawasan kami, dan Hek-houw-pang menjadi perkumpulan yang berada di bawah kekuasaan Ban tok-pang. Mulai sekarang, yang menjadi pemimpin Hek-houw-pang adalah A Hok! A Hok, engkau kuserahi tugas memimpin Hek-houwpang. Umumkan hal ini kepada seluruh anak buah Hek-houwpang yang mengurus rumah-rumah judi dan rumah-rumah pelesir di semua tempat." A Hok merasa girang sekali. Tak pernah dia membayangkan bahwa dia akan, "naik pangkat" sedemikian cepatnya, tahu tahu telah menjadi ketua Hek-houw-pang! "Baik, pangcu!" katanya girang. "Kalau ada yang membangkang bunuh saja!" kata pula Ki Seng. "A Kiu, mari kita pergi mengunjungi Pek-eng-pang, Aku ingin melihat-lihat keadaan di sana." Setelah menyerahkan semua urusan mengenai Hek-houwpang kepada A Hok juga urusan mengenai keluarga kedua orang ketua lama yang tewas itu, Ki Seng lalu mengajak A Kiu untuk pergi dari situ. Anggauta Pek-eng-pang yang masih muda, berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun dan bertubuh tinggi tegap itu berlari-lari secepatnya. Terengah-engah dia tiba di perkampungan Pek-eng-pang. Teman-temannya menyambutnya dengan heran. Mereka bertanya mengapa dia berlari-lari seperti itu. Akan tetapi pemuda itu hanya menggeleng kepala dan bergegas lari ke dalam mencari Pekeng Pang-cu Ciang Hok, ketua perkumpulan Pek-eng-pang (Perkumpulan Garuda Putih). Setelah mendapat keterangan bahwa sang ketua berada di dalam rumah nya, dia lalu memasuki rumah ketuanya dan minta kepada para penjaga untuk disampaikan kepada ketuanya bahwa dia mohon menghadap karena akan memberikan pelaporan yang teramat penting. Tak lama kemudian dia sudah menghadap Pek-eng Pang-cu Ciang Hok. Ciang Hok adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, bertubuh tegap dan rambutnya dibiarkan terurai di punggungnya. Jenggot dan kumisnya pendek dan tebal, dan alisnya hitam tebal. Dengan sikap tenang dan alis berkerut dia menyambut anggauta yang menghadap dengan napas masih terengah-engah itu. "Mengapa engkau seperti orang ketakutan begitu" Apa yang hendak kau lapor-kan?" tegur sang ketua, tak senang melihat anggautanya begitu penakut. "Ada berita yang amat mengejutkan pangcu. Saya mendengar dari seorang anggauta Hek-houw-pang yang melarikan diri bahwa Hek-houw-pang geger, ketua dan wakil ketuanya terbunuh dan banyak pula anak buahnya yang lukaluka. Serangan itu dilakukan oleh tiga orang yang mengaku datang dari Ban-tok pang dan kini mereka menguasai Hek houw-pang dengan kekerasan." Ciang Hok mengerutkan alisnya dani mengelus jenggotnya yang tebal dan pendek. "Hemmm, mengapa engkau ributi ribut setengah mati" Apa yang terjadi pada Hek-houw-pang tidak ada sangkut pautnya dengan kita sama sekali!" "Pangcu, saya khawatir sekali kalau-kalau mereka akan menyerang kita juga." kata pelapor itu. Pek-eng Pang-cu Ciang Hok tersenyum tenang, penuh kepercayaan kepada diri sendiri. "Kita melakukan pekerjaan sebagai piauwsu (pengawal barang kiriman), mencari nafkah secara halal, tidak pernah mengganggu siapapun juga, mengapa ada orang hendak menyerang kita" Kalaupun ada yang menyerang, apa yang harus kita takuti" Kedudukan kita cukup kuat, anggauta kita tidak kurang dari enam puluh orang dan aku sendiri tidak takut menghadapi siapapun yang berniat buruk terhadap perkumpulan kita. Engkau masih muda, di mana nyalimu" Keluarlah dan beritahu kepada semua anggauta untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan, akan tetapi jangan gegabah bertindak sebelum ada perintah dariku." Pelapor itu lalu keluar dan memberitahukan temantemannya tentang perintah sang ketua. Ciang Hok adalah seorang ahli silat yang pandai. Dia telah menguasai ilmu silat yang disebut PekEng Sin-kun (Silat Sakti Garuda Putih). Pekeng Sin-kun adalah ilmu silat yang menggubahnya sendiri dari ilmu silat Bu-tong-pai yang pernah dipelajarinya. Karena dasarnya adalah ilmu silat Bu-tong-pai, maka tentu saja ilmu silat itu cukup hebat dan selain dapat dimainkan dengan tangan kosong, dapat pula dimainkan dengan pedang dan disebut Pek-eng Kiam-sut (Ilmu Pedang Garuda Putih). Karena memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh, apalagi anak buahnya merupakan juga murid-muridnya yang sudah digembleng dengan ilmu silat selama bertahun-tahun, dia merasa bahwa kedudukannya cukup kuat dan dia tidak takut menghadapi ancaman dari manapun juga datangnya. Karena kepercayaan kepada diri sendiri inilah maka dia berani membuka Piauw-kiok (perusahaan pengiriman barang) untuk mengawal barang barang kiriman dan menjaganya dari gangguan perampok. Matahari telah condong ke barat ketika Ki Seng dan A Kiu tiba di depan pintu gerbang perkampungan yang menjadi pusat Pek-eng-pang. Pek-eng-pang memilih tempat di lereng itu sebagal perkampungannya, walaupun pekerjaan mereka berada di kota karena hanya orang-orang kota yang menjadi pedagang yang suka mengirim barang dagangan yang berharga untuk dikirim dan dikawal. Di atas pintu gerbang terdapat papan nama bertuliskan Pek-eng-pang dengan hurufhuruf besar dan ada sehelai bendera bergambar garuda putih berkibar di tempat jaga di pintu gerbang itu. Ki Seng pernah datang ke tempat ini bersama mendiang Petani Lai dan Nelayan Gu, lima tahun yang lalu. Dia tahu bahwa sikap Pekengpang tidak seperti orang-orang Hek-houw-pang, tidak kasar dan bengis. Juga ketuanya adalah seorang gagah, tidak seperti ketua Hek-houw-pang yang mengandalkan pengeroyokan. Oleh karena itu, diapun mengambil sikap lain dalam menghadapi Pek-eng-pang. Ketika Ki Seng dan A Kiu tiba di depan pintu gerbang, belasan orang yang berjaga di situ, yaitu para anak buah Pekengpang yang melaksanakan perintah ketua mereka untuk bersiap siaga, berdiri dan keluar dari gardu penjagaan. Seorang di antara mereka yang menjadi kepala jaga segera menegur dua orang pendatang itu. "Siapakah ji-wi (anda berdua) dan ada keperluan apakah mendatangi tempat kami?" Pertanyaan itu tegas akan tetapi cukup hormat. Ki Seng memandang kepada mereka, lalu berkata dengan nada suara halus. "Aku bernama Ouw Ki Seng, ketua dari Ban-tok-pang dan ini adalah pembantuku bernama A Kiu. Kami datang untuk bertemu dan bicara dengan ketua kalian. Pek-eng Pang-cu." "Orang muda, harap jangan berkati bohong. Aku sendiri sudah pernah bertemu dengan para pimpinan Ban tok-pang. Mereka adalah orang-orang yang sudah setengah tua, ketuanya adalah Pangcu Ouw Kian dan wakilnya bernama Ouw Sian. Bagaimana engkau berani mengaku bahwa engkau yang menjadi ketua Ban-tok-pang?" kata kepala jaga, seorang yang usianya sudah lima puluh tahun dan bertubuh tinggi kurus. Ki Seng tersenyum. "Benar apa yanh kaukatakan, paman. Akan tetapi kedua orang pemimpin Ban-tok-pang itu sekarang telah meninggal dunia dan sebagai penggantinya, akulah yang kini menjadi ketua Ban-tok-pang. Harap sampaikan kepada loenghiong (pendekar tua) Ciang Hok, dan dia tentu akan mengerti setelah bicara dengan aku." Pada saat itu muncul seorang gadis berpakaian serba kuning. Gadis ini berusia kurang lebih delapan belas tahun, wajahnya cantik sekali, manis dan menggairahkan. Bentuk tubuhnya ramping padat, rambutnya panjang sampai ke pinggang, sebagian disanggul dan sebagian pula dibiarkan menjuntai ke bawah. Alisnya kecil panjang melengkung indah, menghias sepasang mata yang tajam bersinar, dengan kerlingan setajam gunting. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya selalu dibayangi senyum manja. Ia melangkah maju dan mengerutkan alisnya sambil memandang kepada Ki Seng. "Siapakah yang ingin bertemu dengan ayahku?" tanyanya dengan suaranya yang nyaring dan merdu. Ki Seng memandang dan dia terpesona. Pemuda ini belum pernah bergaul dengan wanita, belum pernah jatuh cinta kepada seorang wanita, bahkan belum pernah memikirkan tentang wanita sama sekali. Akan tetapi, begitu melihat gadis itu, darah mudanya bergolak dan dia terpesona. Belum pernah dia melihat seorang atau sesuatu yang membuat jantungnya terguncang sedemikian rupa. Dari ujung rambut sampai kaki yang bersepatu hitam itu, gadis itu memiliki daya tarik yang luar biasa sekali baginya. Setiap bagian tubuh gadis itu mempesona, bahkan suaranya terdengar sedemikian merdunya sehingga Ki Seng seperti kehilangan kesadaran dan hanya berdiri memandang dengan mulut ternganga! Sebaliknya, gadis itupun termangu ketika melihat bahwa yang ditegurnya adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan ia merasa geli melihat pemuda itu hanya ternganga memandangnya. Akan tetapi ada rasa rikuh menyelubungi rasa girang karena dari pengalamannya dipandang mata pria yang terkagum-kagum kepadanya, ia dapat menduga bahwa pemuda tampan inipun kagum melihatnya. Hatinya merasa girang dan juga bangga! "Hei, aku bertanya kepadamu! Siapakah engkau yang ingin bertemu dengan ayahku?" kembali ia menegur dan kini langsung memandang wajah Ki Seng. Ki Seng gelagapan, seolah baru saja disentakkan kembali ke dunia. "Eh..... ohh.... aku, aku yang ingin bertemu dengan Pekeng Pangcu. Apakah dia itu ayahmu, nona?" Akhirnya dia dapat menguasai ketegangannya dan berbalik mengajukan pertanyaan yang terdengar ramah dan sopan. "Dia adalah ayahku. Siapakah engkau dan apa perlumu mencari ayah?" Ki Seng menjura dengan sikap hormat. "Aku bernama Ouw Ki Seng, dan aku ingin bertemu dengan Pek-eng Pang-cu untuk membicarakan urusan yang penting sekali." Gadis itu mengamati Ki Seng, meman dang dengan penuh selidik dari kepala sampai ke kaki. "Hemm, engkau datang sebagai kawan atau lawan?" Kembali Ki Seng tertegun mendengar pertanyaan yang merupakan todongan ini. Akan tetapi, kemunculan gadis ini, perjumpaannya dengan gadis itu telah sama sekali mengubah semua rencana terhadap, Pek-eng-pang dalam hatinya. "Aku...... datang sebagai kawan tentu saja!" katanya cepat setelah agak tergagap sedikit. Gadis itu mengerutkan alisnya, "Hemm, sebagai kawan" Agaknya engkau tidak pantas menjadi sahabat ayahku. Pertama, usiamu tidak sebaya dengan dia, dan ke-dua, apakah kepandaianmu sudah patut untuk dijadikan sahabat ayahku" Para sahabat ayahku tentu orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!" Ki Seng makin tertarik kepada gadis ini. Bicaranya begitu ceplas-ceplos, terbuka dan jujur, "Aku juga memiliki ilmu kepandaian yang kiranya tidak akan mengecewakan ayahmu, nona." jawabnya sambil tersenyum. "Hemm, aku meragukan hal itu. Beranikah engkau kalau kuuji dulu sebelum engkau menemui ayahku" Kalau kepandaianmu hanya dangkal saja, engkau tidak pantas minta bertemu ayah dan urusanmu cukup kau bicarakan dengan anak buah Pek-eng-pang, atau paling-paling juga kau bicarakan dengan aku sudah cukup. Beranikah engkau?" Ki Seng tersenyum lebar. Makin tertarik hatinya. Dalam pandangannya, gadis itu selain cantik menarik juga amat lucu dan manja, menyenangkan sekali baginya. "Tentu saja aku berani, nona, asal nona tidak terlalu kejam kepadaku dan menggunakan tangan besi terhadap diriku." "Jangan khawatir! Ini hanya ujian saja, dan memang aku suka sekali bertanding ilmu silat. Karena itu, kita bertanding tangan kosong saja, tanpa senjata." "Baiklah, nona." "Mari ikut aku ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) di belakang, mari kita mengambil jalan memutar lewat taman bunga." kata gadis itu, mendahului Ki Seng sebagai penunjuk jalan. Ki Seng mengikutinya dari belakang dan A Kiu mengikuti di belakangnya. Para anak buah Pek-eng-pang yang ingin sekali melihat nona mereka "menguji" tamu itu, menjadi tertarik sekali dan ikut pula memasuki taman untuk pergi ke ruangan berlatih silat yang berada di bagian belakang rumah itu. Mereka ini tahu mengapa si gadis mengambil jalan lewat taman bunga menuju ke belakang. Gadis itu takut kalau perbuatannya "menguji" tamu diketahui ayahnya. Gadis yang pemberani dan keras hati itu hanya merasa takut kepada ayahnya saja. Setelah tiba di dalam ruangan yang luas dan kosong itu, gadis yang lincah itu menghadapi Ki Seng dan bertanya "Hayo, siapa yang akan maju lebih dulu, engkau ataukah temanmu itu?" Ia menunjuk kepada A Kiu. "Temanku ini hanya pengikut, kalau hendak menguji, Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo akulah yang harus diuji," jawab Ki Seng tenang. "Bagus, bersiaplah, orang she Ouw!" seru gadis itu dan ia segera memasang kudakuda. Karena ia seorang ahli Pek-eng Sin-kun (Silat Sakti Garuda Putih) maka ia memasang jurus pembukaan yang disebut Pek-eng-tiam-ci (Garuda Putih Pentang Sayap), kaki kiri berdiri tegak, kaki kanan diangkat sampai ke lutut kaki kiri, kedua lengan terpentang ke kanan kiri, kedua tangan ditegakkan dengan jari-jari menunjuk ke atas. Sikapnya gagah sekali seperti seekor burung garuda yang hendak terbang! Ki Seng menjadi semakin kagum dan dia berkata sambil tersenyum manis. "Nona, karena engkau sudah mengetahui namaku, maka sebelum kita bertanding, harap nona suka memperkenalkan nama. Aku hanya tahu bahwa nona sebagai puteri Ketua Ciang Hok, tentulah bermarga Ciang." "Aku bernama Ciang Mei Ling. Sudahlah jangan banyak cakap dan bersiaplah jntuk menghadapi seranganku!" kata Mei Ling tanpa bergerak dari pasangan kuda-kudanya. "Sejak tadi aku sudah siap, nona Ciang Mei Ling. Namamu begitu indah......" "Awas, lihat seranganku!" bentak Mei Ling dan iapun sudah menyerang ke depan. Lengan yang berkembang tadi terayun dan sambil membanting kaki kanan ke depan, tangan kanannya mengirim pukulan langsung ke arah dada Ki Seng. Ki Seng yang tadinya berdiri santai saja, melihat datangnya pukulan yang cukup cepat dan kuat mendatangkan angin pukulan yang menyambar itu, mengelak dengan menarik kaki kirinya ke belakang dan miringkan tubuhnya sehingga, pukulan tangan kanan Mei Ling luput dan lenyap di samping dadanya. Akan tetapi gerakan gadis itu memang cepat sekali. Begitu pukulan itu luput, ia sudah menggeser kakinya dan menekuk lengan kanannya sehingga kini siku kanan nya meluncur ke arah dada Ki Sengl. Pemuda itu tentu saja dapat mengikuti gerakan cepat ini dan diapun menggunakan tangan kirinya untuk menangkis serangan siku itu. Akan tetapi Ki Seng menggunakan sin-kang yang membuat tangannya menjadi lunak dan kuat. Ketika siku Mei Ling bertemu dengan tangan kiri Ki Seng, gadis itu merasa betapa sikunya bertemu dengan daging lunak yang seolah menyedot tenaga serangannya! Ia terkejut dan cepat melompat ke belakang lalu kakinya mencuat dengan tendangannya yang cepat ke arah perut pemuda itu. Kembali Ki Seng mengelak dengan loncatan ke samping. Akan tetapi kaki kiri gadis itu bukan hanya melakukan serangan satu kali saja, melainkan merupakan tendangan berganda! Begitu luput, kaki itu ditekuk pada lutut dan sudah menendang lagi, mengikuti ke mana pemuda itu mengelak. Sampai empat kali kaki itu menyerang bertubi-tubi, dan yang terakhir kalinya ditangkis oleh tangan yang lunak namun kuat dari Ki Seng. Mei Ling merasa penasaran bukan main setelah melihat betapa serangannya yang bertubi-tubi itu semua dapat dielakkan atau ditangkis oleh pemuda itu. Selama ini belum pernah ada seorangpun, wanita maupun pria yang mampu mengalahkannya. Tingkat kepandaiannya sudah hampir dapat menandingi tingkat kepandaian ayannya! Akan tetapi sekali ini, serangannya yang bertubi dan dilakukan dengan sungguhsungguh itu semua dapat dihindarkan pemuda itu dengan baik dan tampaknya amat mudah! Penasaran membuat ia marah dan sambil berseru nyaring ia menyerang lagi. "Hyaaaatttt.....!" Kedua tangannya kini membentuk cakar garuda dan bergerakgerak ke depan, menyerang dengan cakaran dan cengkeraman ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari lawan. Sasaran nya adalah lambung, tenggorokan, dan muka! Akan tetapi kembali Ki Seng hanya mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak, dia sengaja membiarkan Mei Ling menyerang sampai tiga pulu jurus lebih tanpa membalas satu kalipun juga. Hal ini membuat gadis itu merasa gemas dan marah. Ia. merasa dipandang rendah sekali. Maka ketika ada kesempatan, ia berseru, "Balaslah kalau engkau mampu!" Ditantang begini, Ki Seng tersenyum dan tiba-tiba tangannya terjulur ke depan meluncur dengan cepat sekali ke arah hidung Mei Ling, seolah hendak memegang hidung gadis itu. Tentu saja Mei Ling cepat mengelak dengan merendahkan tubuh dan menundukkan kepalanya dan pada saat itu ia merasa ada sesuatu hinggap di kepalanya. Ketika ia meloncat ke belakang dan meraba rambutnya, ternyata hiasan rambutnya yang terbuat dari emas ditabur permata telah lenyap dari kepalanya. Ketika ia memandang ke arah pemuda itu, ternyata perhiasan kepala itu telah berada di tangan Ki Seng! Wajah Mei Ling berubah merah dan tahulah ia bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa sehingga dengan sekali serangan saja sudah dapat mengambil hiasan rambutnya! Kalau dikehen-daki tentu saja tangan pemuda itu tidak hanya mengambil hiasan rambut, akan tetapi melakukan serangan yang akan membahayakan nyawanya. Dengan dirampasnya hiasan rambut itu berarti ia sudah kalah mutlak dan hal ini tidak mungkin dapat dibantahnya lagi. "Maafkan aku, nona Ciang Mei Ling!" kata Ki Seng dengan lirih dan sekali tangannya bergerak, ada sinar meluncur ke arah kepala Mei Ling dan tahu-tahu hiasan rambut itu telah terselip pula di rambutnya tanpa melukainya sedikitpun. seolah dipasang oleh sebuah tangan yang tidak tampak. Pada saat itu terdengar suara bentakan halus. "Apa yang terjadi di sini?" Ki Seng memandang dan dia segera mengenal pria yang gagah perkasa itu. Dia adalah Pek-eng Pangcu Ciang Hok yang pernah dijumpainya ketika dia ber-kunjung ke perkampungan perkumpulan itu bersama mendiang Petani Lai dani Nelayap Gu. "Eh, orang muda, siapakah engkau?" tanya pula Ciang Hok sambil memandang kepada Ki Seng. Ki Seng tersenyum ramah, lalu memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada. "Apakah saya berhadapan dengan yang terhormat locianpwe (orang tua gagah) Ciang Hok ketua Pek-eng-pang?" Dia pura-pura bertanya dan suaranya terdengar lembut dan sikapnya sopan. "Benar, orang muda. Aku adalah Ciang Hok ketua Pek-engpang. Siapakah engkau dan bagaimana engkau dapat berada di sini" Apa yang telah terjadi?" "Maafkan saya, locianpwe. Nama saya Ouw Ki Seng, ketua Ban-tok-pang." "Apa" Bukankah ketua Ban-tok-pang adalah Ouw Kian dan wakilnya adalah Ouw Sian kakak beradik itu?" "Benar, mereka adalah paman-paman saya, locianpwe. Akan tetapi kedua orang paman itu telah meninggal dunia dan sayalah yang menggantikan mereka menjadi ketua Ban-tokpang." "Hemm, begitukah" Lalu apa yang menjadi keperluanmu datang berkunjung ke sini dan apa yang telah terjadi di sini?" Dia bertanya dan menoleh untuk memandang kepada puterinya yang menunduk sambil tersenyum-senyum manja. "Maaf, Ciang-locianpwe. Ketika saya dan pengikut saya ini, A Kiu, tiba di depan perkampungan, saya bertemu dengan Nona Ciang Mei Ling. Nona Ciang mengatakan bahwa untuk dapat bertemu dengan locianpwe saya harus diuji lebih dulu. Saya diajak ke sini kemudian saya diuji ilmu silat oleh Noa Ciang Mei Ling. Harap locianpwe sudi memaafkan karena saya terpaksa datang ke lian-bu-thia ini." Ciang Hok mengerutkan alisnya dan memandang puterinya. "Benarkah itu, Mei Ling" Engkau telah menguji kepandaian silatnya?" Gadis itu kembali tersenyum lalu mendekati ayahnya dan memegang lengan ayahnya dengan manja. "Benar, ayah. Aku pikir, orang sembarangan saja tidak pantas untuk minta bertemu dengan ayah, maka aku sengaja menguji kepandaian silatnya." "Dan hasilnya?" "Aku kalah, ayah." "Hemmm.......!" Kini Ciang Hok memandang kepada Ki Seng dengan penuh perhatian. Orang yang dapat mengalahkan puterinya tidak boleh dipandang ringan karena tingkat kepandaian puterinya itu sudah mendekati tingkatnya sendiri. "Ouw-pangcu, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apakah keperluanmu datang berkunjung ke Pek-eng-pang?" "Karena saya telah menjadi ketua Ban-tok-pang dan mengingat bahwa perkumpulan kita sama-sama berada di wilayah Thai-san, maka saya datang berkunjung untuk memperkenalkan diri dan mengikat persahabatan." Ciang Hok mengangguk-angguk dan senang hatinya mendengar ini. Pemuda ini cukup tampan dan pembawaannya gagah, juga sopan, ramah dan halus tutur sapanya. Juga sebagai orang tua dia dapat menarik kesimpulan, melihat sikap puterinya, bahwa puterinya agaknya tertarik kepada pemuda yang telah mengalahkannya itu. "Kalau begitu, silakan masuk, Ouw-pangcu, dan pengikutmu yang bernama A Kiu itu. Kita bicara di dalam." "Terima kasih, Ciang-locianpwe." jawab Ki Seng dengan girang. Setelah bertemu dan berkenalan dengan Ciang Mei Ling, rencananya berubah sama sekali. Tadinya dia berniat untuk menguasai Pek-eng-pang pula seperti- dia telah menguasai Hek-houw-pang, kalau perlu mem bunuh ketuanya. Akan tetapi setelah bertemu Mei Ling, dia mengubah sama sekali rencananya itu sehingga diam-diam A Kiu merasa heran bukan main. Ciang Hok juga dapat menghargai persahabatan dengan seorang ketua perkumpulan yang amat terkenal seperti Bantokpang, walaupun sebenarnya dia merasa agak risi mengingat bahwa Ban-tok-pang adalah sebuah perkumpulan sesat yang kabarnya amat kejam dan suka mempergunakan racun terhadap musuh-musuhnya. Akan tetapi karena sikap Ouw Ki Seng yang demikian ramah dan sopan, rasa risinya menjadi hilang dan dia sudah menjamu pemuda itu dengan sebuah pesta kecil. Yang duduk di sekeliling meja pesta itu adalah Ciang Hok, isterinya, Ciang Mei Ling, lalu dua orang tamunya, Ouw Ki Seng dan A Kiu. Dengan sopan dan sikap yang menyenangkan sekali, Ki Seng tiga kali mengangkat cawan araknya untuk menghormati Ciang Hok, lalu isterinya, kemudian Mei Ling. Sikap ini amat menyenangkan keluarga itu dan mereka segera merasa akrab. Ciang Hok dan isterinya merasa tertarik sekali, dan suka kepada pemuda ini. Masih begitu muda menjadi ketua sebuah perkumpulan besar, dan melihat kenyataan bahwa dia mampu mengalahkan Mei Ling mudah diduga bahwa dia juga telah memiliki kepandaian tinggi. "Ouw-pangcu, kalau boleh aku bertanya, apakah pangcu sudah berumah tangga?" Ki Seng tersenyum mendengar pertanyaan ini. "Sama sekali belum, locianpwe." "Ah, Ouw-pangcu, harap jangan menyebut aku locianpwe. Setelah kita berkenalan, lebih akrab kalau engkau menyebut pangcu atau paman saja kepadaku." "Baiklah, Paman Ciang dan terima kasih atas kehormatan yang diberikan kepada saya." "Engkau sudah menjadi ketua sebuah perkumpulan besar seperti Ban-tok-pang, mengapa belum beristeri?" "Ah, saya masih terlalu muda, paman, baru berusia dua puluh satu tahun, juga baru saja menjadi ketua." "Akan tetapi tentu sudah mempunyai seorang tunangan, seorang calon isteri." kata Ciang Hok. Secara otomatis Ki Seng melirik ke arah Mei Ling yang duduk di depannya di seberang meja dan dia tersenyum, agak tersipu dan menggeleng kepala. "Juga belum, paman." Pada saat itu, terdengar bunyi genderang dipukul di luar gedung tempat tinggal Ketua Ciang. "Ah, rombongan piauwsu (pengawal kiriman barang) telah pulang!" kata Ciang Hok dan diapun bangkit dari tempat duduknya. Mei Ling dan ibunya juga bangkit berdiri dan mengikuti Ciang Hok keluar. Dengan sendirinya Ki Seng dan A Kiu juga bangkit berdiri dan mengikutil mereka keluar yang agaknya hendak menyambut kedatangan para piauwsu yang baru pulang dari mengawal barang. Biasa nya, para piauwsu yang kembali dara kota itu membawa barang-barang belanjaan untuk mereka dari hasil yang mereka peroleh dari biaya pengawalan barang. Bahkan Nyonya Ciang dan anak perempuannya memesan beberapa bahan pakaian kepada pimpinan piauwsu dan sekarang tentu saja dengan girang mereka menyambut kedatangan rombongan itu untuk "melihat" pesanan mereka. Akan tetapi alangkah terkejut hati keluarga Ciang ketika melihat keadaan belasan orang piauwsu itu. Jumlah piauwsu yang mengawal kiriman itu berjumlah tujuh belas orang karena sekali ini barang yang dikawal amat berharga, dan ketujuh belas orang piauwsu itu rata-rata piauwsu pilihan atau para murid tingkat pertama yang sudah memiliki ilmu kepandaian yang lumayan tingginya, rata-rata telah menguasai ilmu silat Pek-eng Sin-kun dan ilmu pedang Pekeng Kiam-sut. Akan tetapi mereka kembali tanpa membawa kereta yang biasa mereka bawa untuk memuat dan menarik barang kiriman, dan mereka semua dalam keadaan luka-luka! Bahkan ada tiga orang yang lukanya berat sehingga harus digotong. "Apa....... apa yang terjadi.....?" Ciang Hok bertanya kepada seorang piauwsu yang berwajah brewokan dan bertubuh tinggi. Piauwsu ini adalah kepala dari rombongan piauwsu yang mengawal barang berharga itu. "Ah, celaka, pangcu!" kata piauwsu brewok itu dengan muka pucat. Pangkal lengan kanannya masih dibalut dan ada bekas darah pada balutan itu. "Kami dihadang perampok di lereng Bukit Merak. Kami melawan akan tetapi perampok itu lihai sekali, kami semua terluka dan kereta bersama barangbarang itu dibawa pergi perampok!" Ciang Hok mengerutkan alisnya. Sudah puluhan kali dia sendiri mengawal barang lewat Bukit Merak, akan tetapi belum pernah menghadapi gangguan perampok. "Berapa orang banyaknya perampok itu?" "Hanya seorang saja, pangcu." Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ciang Hok terbelalak. "Hanya seorang saja dan kalian tujuh belas orang kalah olehnya?" teriak Ciang Hok penasaran. "Siapakah orang itu?" Ciang Mei Ling yang juga merasa penasaran lalu menyambung ucapan ayahnya. "Paman, ceritakan sejelasnya bagaimana terjadinya peristiwa perampokan itu." Piauwsu brewok itu lalu menghela napas panjang dan bercerita dengan sikap yang lebih tenang. "Ketika kereta kami tiba di lereng Bukit Merak, suasananya tenang dan sunyi. Kami sama sekali tidak menyangka buruk ketika tiba-tiba dari atas lereng turun seorang wanita yang memakai sebuah payung merah. Akan tetapi tentu saja kami tertarik sekali karena penglihatan itu sungguh luar biasa dan aneh. Di tempat yang sunyi itu tampak seorang wanita muda yang cantik, berpakaian mewah memakai payung seperti orang sedang berjalan-jalan saja. Akan tetapi ketika kami berpapasan, wanita itu sengaja menghadang di tengah jalan sehingga terpaksa kereta barang kami yang ditarik dua ekor kuda itu kami hentikan agar jangan menabraknya." "Hemm, tindakannya itu aneh, apakah kalian tidak mencurigainya?" tanya Ciang Hok. "Kami sama sekali tidak curiga, pangcu. Ia hanya seorang wanita yang tampaknya baru berusia kurang lebih dua puluh tahun, selain cantik juga pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang yang kaya raya, dan iapun sama sekali tidak membawa senjata. Akan tetapi ketika kami bertanya dan menegurnya supaya menyingkir dan minggir, ia mengatakan bahwa ia menghendaki kereta barang kita! Tentu saja kami marah dan timbul pertengkaran, kemudian kami berusaha menangkapnya karena dari tingkah dan ucapannya jelas bahwa ia seorang perampok yang hendak merampok kereta barang yang kami kawal. Akan tetapi, ternyata ia lihai bukan main. Ia menggunakan sehelai sabuk merah sebagai senjata dan kami semua tidak mampu menandinginya, bahkan kami semua dapat ia robohkan dengan menderita luka-luka. Ia lalu meloncat ke atas kereta, memukul jatuh kusirnya dan ia mengusiri sendiri kereta itu, melarikannya menuju ke atas bukit. Kami tidak kuasa mengejarnya, pula kami memang bukan tandingannya, maka terpaksa kami pulang dan melaporkan kepada pangcu." 00dewi00 Jilid XVII "APAKAH ia tidak meninggalkan nama?" tanya Ciang Mei Ling penasaran sekali. "Kami juga meneriakinya agar ia meninggalkan nama dan ia berseru bahwa namanya Sian Hwa Sian-li (Dewi Bunga Dewa)." Cang Hok mengerutkan alisnya. "Sian Hwa Sian-li" Hemm, tak pernah aku mendengar ada tokoh dengan julukan seperti itu. Ouw-pangcu, apakah engkau pernah mendengar nama julukan itu?" Tanya Ciang Hok kepada Ki Seng yang sejak tadi hanya mendengarkan saja. "Belum pernah, Paman Ciang." jawab Ki Seng. "Julukan itu bukan seperti julukan seorang tokoh sesat," kata Mei Ling. "Lebih pantas menjadi julukan seorang pertapa wanita." "Siapapun adanya wanita itu, ia telah merampok barang berharga yang menjadi tanggungan kita. Aku harus mengejarnya ke Bukit Merak sekarang juga!" kata Ciang Hok penuh kemarahan sambil meraba golok besar yang tergantung di punggungnya. "Ayah, biar aku saja yang akan mencari dan menghajarnya, lalu merampas kembali barang tanggungan kita!" kata Mei Ling dengan sikap gagah. "Ia seorang wanita muda, akulah lawannya!" "Aku akan menemanimu, Nona Ciang!" kata Ki Seng sambil memandang wajah gadis itu. Kemudian disambungnya cepat sambil memandang kepada Ciang Hok. "Paman Ciang, ijinkan saya membantu untuk merampas kembali kereta barang itu, sebagai tanda persahabatan antara kita." Ciang Hok mengangguk-angguk. "Terima kasih atas bantuanmu, Ouw-pangcu. Akan tetapi karena urusan ini cukup gawat, aku sendiripun akan pergi mencarinya. Biarlah kita pergi bertiga, siapa tahu kalau-kalau wanita itu mempunyai kawan-kawan di sana." Demikianlah, Ciang Hok, Ciang Mei Ling dan Ouw Ki Seng berangkat menuju ke Bukit Merak. Mereka bertiga menunggang kuda dan untuk keperluan itu, Ciang Hok telah menyediakan tiga ekor kuda terbaik. oo000oo Karena hari telah menjadi malam, dan cuaca yang gelap tidak memungkinkan mereka melanjutkan perjalanan, Ciang Hok mengajak dua orang muda itu untuk berhenti di sebuah dusun. Dia sudah mengenal baik kepala dusun karena dia sering melakukan pengawalan barang lewat dusun itu. Kepala dusun menerima mereka dengan ramah dan selain menjamu mereka makan malam, juga menyediakan tiba buah kamar untuk mereka. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciang Hok sudah berpamit dari tuan rumah untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Merak yang jauhnya dari situ masih setengah hari perjalanan naik kuda. Ketika mereka bertiga tiba di kaki Bukit Merak, suasana di tempat itu sudah sunyi karena jauh dari dusun-dusun. Jalan raya yang kasar itu memang melewati Bukit Merak, mendaki lereng bukit itu. Matahari telah naik tinggi ketika mereka bertiga melarikan kuda mendaki lereng bukit. Tiba di tempat di mana para piauWsu kemarin dulu dihadang dan dirampok seperti diterangkan para piauwsu, Ciang Hok menghentikan kudanya, diturut oleh Mei Ling dan Ki Seng. Mereka bertiga memandang ke sekeliling yang tampak sunyi, tidak ada seorangpun di sekitar situ. "Sunyi sekali di sini, ke mana kita harus mencarinya?" kata Mei Ling. "Menurut keterangan mereka, kereta barang itu dilarikan menuju ke puncak bukit. Mari kita kejar ke sana, mungkin penjahat itu bersembunyi di bagian atas bukit." kata Ciang Hok. Tiba-tiba Ki Seng berkata, "Lihat, siapa itu yang datang!" Ayah dan anak itu menoleh kepadanya dan melihat bahwa Ki Seng menunjuk ke arah belakang dari mana mereka tadi datang dan mereka berdua terbelalak melihat seorang wanita berjalan datang. Wanita muda berpakaian mewah dan berpayung merah! Ciang Hok segera meloncat turun dari atas kudanya, di kuti oleh Mei Ling dan Ki Seng. Ki Seng memandang dengan kagum. Gadis itu berusia kurang lebih dua puluh tahun. Cantik jelita dengan dandanan yang mewah dan rapi. Rambutnya hitam panjang, digelung tinggi di atas kepala dan dihias dengan burung Hong dari emas permata. Telinganya memakai anting-anting yang juga terbuat dari emas permata. Demikian pula lehernya dihias kalung dan pada kedua lengan tangannya terhias gelang emas. Pakaiannya dari sutera halus berkembang. Pinggangnya yang ramping memakai sabuk merah. Payung yang dipegangnya juga berwarna merah dan payung itu ujungnya runcing, gagangnya terbuat dari perak. Ia berjalan menghampiri dengan ayunan kaki berlenggang seperti langkah seorang penari yang pandai, berlenggang-lenggok. Pinggang yang ramping itu seperti patah-patah ke kanan kiri dan pinggul yang besar itu membuat ayunan ke kanan kiri. Wajahnya yang cantik menjadi semakin manis karena ia tersenyum dan sepasang matanya yang tajam itu mengamati mereka bertiga lalu berhenti pada wajah Ki Seng dan tersenyum melebar sehingga tampak kilatan giginya yang putih. Kulitnya putih kuning dan mulus. Sungguh merupakan seorang gadis yang cantik, bahkan dalam pandangan Ki Seng kecantikan wanita itu menandingi kecantikan Mei Ling! Ciang Hok juga tertegun dan agaknya dia merasa agak rikuh untuk menegur seorang gadis cantik seperti itu. Mei Ling yang tidak ragu lagi bahwa inilah orangnya yang merampok kereta barang para piauwsu, segera melangkah maju menyambut kedatangan gadis berpayung itu. Payung berwarna merah itu mendatangkan bayang-bayang merah sehingga wajah gadis itupun menjadi agak kemerahan, menambah kejelitaannya. "Berhenti dulu!" bentak Mei Ling setelah ia berhadapan dengan gadis berpayung itu. Gadis itu berhenti melangkah dan memandang kepada Mei Ling, mengamatinya dari kepala sampai ke kaki dan tetap tersenyum manis dengan sikap tenang sekali. "Apa yang kau kehendaki, adik yang manis?" tanyanya, sikapnya mengejek dan memandang rendah. Mei Ling menudingkan telunjuk kanan nya ke arah muka gadis itu dan bertanya, "Apakah engkau yang berjuluk Sian Hwa Sian-li?" Wanita itu tersenyum dan memainkan matanya yang tajam, kerlingnya menyambar ke arah Ki Seng. "Hemm, matamu tajam juga, adik yang manis. Memang benar akulah yang disebut Sian Hwa Sian-li. Dan engkau siapakah?" "Aku bernama Ciang Mei Ling, puteri dari ketua Pek-engpang. Benarkah engkau telah merampok dan melarikan kereta berisi barang-barang yang dikawal oleh para piauwsu Pekengpang dan melukai mereka?" Wanita itu memutar-mutar payung yang dipanggul di atas pundak kirinya dan tertawa sehingga deretan giginya tampak berkilauan. "Kalau benar, engkau mau apa, Ciang Mei Ling?" Pertanyaan ini diajukan seperti bertanya kepada seorang anak kecil, nadanya mengejek dan memandang rendah sekali. "Kembalikan kereta berisi barang-barang itu!" bentak Mei Ling sambil mencabut pedangnya dan mengelebatkan pedangnya itu di depan Sian Hwa Sian-li yang masih tersenyum mengejek. "Hik-hik, ambil ah dariku kalau engkau mampu!" "Perempuan jahanam, engkau patut dihajar!" bentak Mei Ling yang sudah menjadi marah sekali dan ia menggerakkan pedangnya lalu berseru, "Lihat pedangku!" Pedang itu ia gerakkan dengan tusukan yang meluncur cepat ke arah dada Sian Hwa Sian-li. "Singgg...!" Pedang itu berdesing seperti anak panah ketika menusuk ke arah lawan. Akan tetapi Sian Hwa Sian-li bersikap tenang saja dari. ia menggerakkan payung yang tadi dipanggulnya di pundak kiri itu dengan tangan kiri, menghadang pedang Mei Ling. "Tranggg.....!" Ujung payung yang runcing itu sudah menangkis pedang dan Mei Ling merasa betapa tangannya yang memegang pedang terguncang hebat. Diam-diam ia terkejut dan maklum bahwa lawannya memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Namun, gadis perkasa ini tidak menjadi gentar dan ia menyerang lagi dengan gencar dan dahsyat. Karena maklum bahwa lawannya adalah seorang yang tangguh maka ia lalu mainkan pedangnya dengan ilmu pedang Pek-eng Kiam-sut. Pedangnya menyambar-nyambar laksana seekor garuda menerkam mangsanya. "Trang-trang-trang.....!" Kembali pedang yang menyerang secara bertubi-tubi itu tertangkis oleh payung dan tiba-tiba payung itu menutup lalu ujungnya yang runcing meluncur dan menusuk ke arah lambung Mei Ling! Dara perkasa ini pun cepat mengelak dan pedangnya balas menyerang. Terjadilah saling serang yang hebat, dan payung itu terbuka tertutup membingungkan Mei Ling. Setiap kali menghadapi serangan berbahaya, payung itu terbuka dan berubah menjadi semacam perisai yang kokoh kuat karena tulang-tulangnya terbuat dari baja murni yang kuat dan kalau digunakan untuk menyerang, payung itu tertutup dan dalam keadaan tertutup payung itu dapat digunakan untuk menusuk atau juga memukul. Setelah lewat lima puluh jurus belum juga ia dapat mengalahkan Mei Ling yang melakukan perlawanan dengan gigih walaupun ia sudah dapat mendesaknya, Sian Hwa Sian-li menjadi penasaran dan tiba-tiba tangan kanannya melolos sabuk sutera merah dari pinggangnya. Ketika ia menggerakkan tangan kanan itu, tampak sinar merah bergulung-gulung seperti kilat menyambar ke arah kepala Mei Ling! Dara ini cepat menggerakkan pedangnya ke atas untuk menangkis dan sekaligus memutuskan sabuk sutera merah itu. Akan tetapi ujung sabuk sutera merah itu, seperti seekor ular saja, telah menggulung dan membelit ujung pedang sehingga pedang Mei Ling tidak dapat ditarik kembali. Pada saat itu, payung itu tertutup dan meluncur ke arah dada Mei Ling dengan cepat sekali. Mei Ling terkejut. Tak mungkin menangkis karena pedangnya masih tertahan oleh belitan sabuk. Maka ia menarik pedang dengan tenaga sepenuhnya sambil menambah tenaga dengan berat badannya yang ditarik condong ke belakang untuk mengelakkan tusukan payung. Pada saat itu, secara tiba-tiba Sian Hwa Sian-li melepaskan libatan sabuknya dan tidak dapat dicegah lagi, tubuh Mei Ling terjengkang ke belakang dengan kerasnya, terdorong oleh tenaga tarikan dan berat badannya sendiri. Untung bahwa Mei Ling telah memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi dan memiliki ketenangan. Ia masih dapat mematahkan tenaga dorongan itu dengan cara melompat ke belakang membuat pok-sai (salto) sampai tiga kali sebelum kakinya hinggap di atas tanah, walaupun dalam keadaan terhuyung-huyung. Wajahnya berubah kemerahan. Nyaris ia terancam maut di ujung payung lawan. "Mundurlah, Mei Ling!" kata Ciang Hok yang sudah mencabut golok besarnya dan dia melompat ke depan menghadapi gadis berpayung yang kini tersenyum-senyum mengejek itu. Melihat ayahnya maju, dan merasa bahwa ia tidak mampu menandingi lawan, Mei Ling mundur ke dekat Ki Seng yang hanya berdiri menonton. "Sian Hwa Sian-li, kami tidak ingin bermusuhan denganmu. Kami datang dan minta dengan baik-baik agar barang dalam kereta dikembalikan kepada kami. Barang-barang itu bukan milik kami, hanya menjadi tanggung jawab kami sebagai piauwsu yang mengawal barang itu. Harap engkau suka memandang persahabatan di dunia kang-ouw dan mengembalikan barang-barang itu kepada kami." Pada saat itu Sian Hwa Sian-li melihat Ki Seng dan segera perhatiannya tertuju kepada pemuda yang tampan dan tinggi tegap itu. Senyumnya melebar sehingga deretan giginya yang putih mengkilap dan matanya mengerling tajam. Ia seolah tidak mendengar ucapan Ciang Hok karena perhatiannya tertuju kepada Ki Seng. Melihat wanita cantik itu hanya senyum-senyum dan melirik-lirik kepada Ouw Ki Seng, Ciang Hok mengerutkan Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo alisnya dan bertanya lagi dengan suara nyaring. "Sian Hwa Sian-li, jawablah ucapanku!" "Eh..... oh......apa" Apa yang kauucapkan tadi?" tanya Sian Hwa Sian-li sambil memandang ketua Pek-eng-pang itu. Ki Seng yang sejak tadi memperhatikan wanita itu diamdiam merasa geli, juga merasa senang hatinya. Dia telah tertarik sekali kepada Sian Hwa Sian-li sejak pertama kali melihatnya. Sungguh seorang wanita yang amat cantik, juga memiliki mata dan mulut yang menggairahkan dan menggemaskan. Apa lagi dia melihat bahwa wanita itu bermain mata dan tersenyum-senyum manis kepadanya! Biarpun selama ini Ki Seng belum pernah bergaul dengan wanita, bahkan tidak pernah memperhatikan wanita dan untuk pertama kalinya hatinya tertarik adalah ketika bertemu Ciang Mei Ling, akan tetapi dia dapat merasakan bahwa Sian Hwa Sian-li menaruh hati dan suka kepadanya. "Kukatakan tadi kepadamu agar engkau suka mengembalikan barang-barang dan kereta yang kaurampas dari tangan para anak buah kami. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu dan kalau engkau mengembalikan kereta dan isinya kepadaku, kita habiskan perkara antara kita sampai di sini saja." kata pula Ciang Hok. Sian Hwa Sian-li yang sudah membuka payungnya dan memanggul payung itu di pundak kiri dengan tangan kirinya, memutar-mutar payung itu dan tersenyum. "Agaknya engkau ini yang menjadi ketua Pek-eng-pang, Benarkah?" tanyanya. "Benar, aku adalah Ciang Hok, pangcu (ketua) dari Pekengpang. Kami harap sekali lagi agar engkau mengembalikan kereta dengan isinya kepada kami." Kembali Sian Hwa Sian-li memutar-mutar payung di atas pundaknya dan ia pun berkata dengan suaranya yang merdu dan lantang. "Pangcu, aku telah merampas kereta dan isinya menggunakan kepandaian, karena itu kalau mampu, pergunakanlah kepandaianmu untuk merampasnya dariku. Kalau engkau dapat mengalahkan aku, kereta dan isinya itu boleh kau ambil kembali dan tidak ada satupun dari isinya yang berkurang." "Engkau adalah seorang wanita yang memiliki kepandaian tinggi. Apakah dengan perbuatanmu ini engkau ingin disebut sebagai seorang perampok?" kata pula Ciang Hok penasaran. Dia ingin agar wanita itu menjadi malu dan mengembali kan barangnya tanpa harus bertanding karena tadi dia melihat betapa lihainya wanita itu ketika bertanding melawan Mei Ling dan dia sendiri sangsi apakah dia akan mampu mengalahkan wanita berpayung itu. Mendengar ucapan Ciang Hok itu, Sian Hwa Sian-li tertawa. Ketika mulutnya terbuka karena tawa itu, Ki Seng yang sejak tadi mengikuti setiap gerakgeriknya, melihat di antara deretan gigi putih itu tampak lidah yang ujungnya merah dan rongga mulut yang lebih merah lagi. Selama ini belum pernah dia memperhatikan penglihatan seperti ini dan jantungnya berdebar. Wanita ini sungguh cantik luar biasa dan memiliki daya tarik yang amat kuat, pikirnya. Tampaknya sebaya dengan Mei Ling, tidak lebih dari dua puluhan tahun usianya, walaupun Ki Seng dapat menduga bahwa wanita itu tentu lebih tua dari tampaknya, melihat sikap dan gerak-geriknya yang matang dan terkendali. "Heh-heh-hi-hik! Ciang-pangcu, aku bukan seorang perampok murahan! Akan tetapi sekarang aku adalah penguasa Bukit Merak, oleh karena itu, siapapun juga yang lewat di jalan melalui Bukit Merak ini, harus mendapat ijin dariku. Akan tetapi para piauwsu anak buahmu tidak mau menghormati aku dan mengakui kekuasaanku. Oleh karena itu aku tahan kereta mereka dan semua isinya, hendak kulihat kalian dapat berbuat apa!" "Hemm, begitukah, Sian Hwa Sian-li" Kalau begitu, biarlah sekarang aku yang menyatakan hormatku kepadamu dan aku yang mintakan ijin untuk mereka. Lain kali kalau mereka mengawal barang lewat di tempat ini akan kupesan mereka agar menghadapmu untuk menyampaikan hormat mereka." "Tidak semudah itu, Ciang-pangcu. Aku sudah merasa tersinggung, dan aku katakan tadi, aku merampas kereta itu menggunakan kepandaian. Karena itu, seperti kebiasaan dunia kang-ouw, engkau pun harus mempergunakan kepandaianmu kalau ingin mendapatkannya kembali!" Dalam ucapan yang dikeluarkan dengan suara halus merdu itu terkandung tantangan! "Bagus! Kalau begitu terpaksa aku harus mempergunakan kekerasan seperti yang kau kehendaki, Sian Hwa Sian-li!" kata Ciang Hok dengan muka berubah merah dan tangan kanannya sudah mencabut sebatang golok besar yang tadi tergantung di pinggangnya. Sian Hwa Sian-li juga maklum bahwa lawannya sekali ini tentu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dibandingkan Mei Ling, maka iapun sudah menggerakkan tangan kanannya untuk melolos sabuk merah yang tadi sudah dikenakan kembali melingkari pinggangnya yang amat ramping itu. Sambil memutar-mutar payung di pundak kirinya dan menggantungkan sabuk merah di tangan kanan, Sian Hwa Sian-li melangkah maju menghampiri Ciang Hok. "Perlihatkan kemampuanmu, Ciang-pangcu!" katanya dan kembali matanya mengerling ke arah Ki Seng disertai senyuman memikat. "Sian Hwa Sian-li, lihat serangan golokku!" Ciang Hok membentak dan dia pun segera menggerakkan goloknya menyerang dengan jurus Tiong-sin-hian-in (Menteri Setia Persembahkan Cap Kebesaran). Golok menyambar ke depan dan tangan kiri juga membantu tangan kanan memegang gagang golok sehingga tusukan itu dilakukan dengan pengerahan tenaga kedua tangan. Golok meluncur dengan amat cepat dan kuatnya. Akan tetapi dengan gerakan tubuh yang ringan sekali. Sian Hwa Sian-li telah mengelak ke samping sambil memutar payungnya yang menyambar ke depan untuk menghalau golok lawan, kemudian dari samping, sabuk merahnya menyambar dan menotok ke arah pelipis kiri Ciang Hok. Serangan balasan inipun cepat dan berbahaya sekali karena kalau ujung sabuk merah itu sampai mengenai sasaran di pelipis, dapat merenggut nyawa lawan! Ciang Hok maklum akan datangnya se rangan maut, maka diapun sudah melangkah mundur dan menarik goloknya lalu memutar tubuh dengan jurus Sin-eng-hoan-sin (Garuda Sakti Memutar Badan). Tubuhnya berputar satu kali dan tiba-tiba goloknya mencuat dan menyambar ke arah leher lawan! Sian Hwa Sian-li memutar pergelangan tangan kirinya dan payungnya yang masih terbuka itu menangkis golok. Tak dapat dicegah lagi golok beradu dengan ujung payung, keras sekali. "Tranggg.......!" Bunga api berpijar dan Ciang Hok merasa betapa tangannya tergetar hebat dan cepat dia menarik goloknya agar tidak sampai terlepas dari pegangannya. Tahulah dia bahwa wanita cantik itu memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya. Diapun cepat memutar goloknya dan memainkan ilmu golok Pek-eng To-hoat (Ilmu Golok Garuda Putih) yang merupakan ilmu andalan Pek-Eng-pang. Goloknya berubah menjadi gulungan sinar putih dan mengeluarkan suara berdesingan. Akan tetapi Sian Hwa Sian-li menghadapi gulungan sinar golok ini dengan tenang saja. Ia menggerakkan payungnya sehingga tertutup dan kini ia mainkan payung yang tertutup itu sebagai sebatang pedang, mengimbangi putaran golok lawan, sedangkan sabuk merahnya siap untuk melakukan serangan selingan. Terjadilah pertandingan yang seru. Akan tetapi setelah pertandingan berlangsung tiga puluh jurus, Ki Seng melihat dengan jelas betapa Ciang Hok akan kalah. Goloknya kini hanya bergerak untuk mempertahankan diri saja dari desakan sepasang senjata yang amat lihai dari lawan. "Haaai i i tttt........ singgg.....!!" Golok menyamoar dahsyat karena dalam keadaan terdesak itu, Ciang Hok yang merasa penasaran mengerahkan seluruh tenaganya dan membalas serangan bertubi lawan dengan bacokan golok dalam jurus Pek-ho-to-coa (Bangau Putih Sambar Ular). Bacokan itu hebat sekali, menyambar dari atas ke bawah ke arah leher lawan. Seperti tadi ketika mengalahkan Mei Ling, sabuk merah Sian Hwa Sian-li meluncur dan menyambut golok itu, ujungnya melilit bagaikan ular dan golok itu tertahan di udara. Pada saat mereka bersitegang saling tarik, payung itu menyambar ke bawah. Dua kali payung itu me-notok ke arah lutut Ciang Hok dan ketua Pek-eng-pang ini tidak mampu mengelak. Kedua lututnya tersentuh ujung payung dan diapun jatuh berlutut! Kini payung itu meluncur dan menyambar ke arah kepala. Akan tetapi tiba-tiba payung itu bertemu dengan sebuah lengan yang amat kuat sehingga payung itu terpental kembali. Sian Hwa Sian-li terkejut dan cepat melompat kebelakang sambil menarik sabuk merahnya. Ketika dengan kaget dan heran ia memandang, ternyata yang menangkis payungnya tadi adalah pemuda yang sejak tadi telah amat menarik perhatiannya. Pemuda yang tampan gagah dan sikapnya tenang sekali itu. Sementara itu, Mei Ling segera membantu ayahnya untuk bangkit dan Ciang Hok mengundurkan diri sambil terpincang-pincang. Untung wanita itu tidak mempergunakan seluruh Lenaganya ketika menotok dengan ujung payungnya tadi sehingga tulang lututnya tidak patah dan tidak ada otot yang putus. Kini Ki Seng berhadapan dengan Sian Hwa Sian-li. Sejenak kedua orang itu hanya saling pandang. Keduanya tersenyum karena dari tatapan mata keduanya jelas sekali memancarkan kekaguman. Senyum Sian Hwa Sian-li manis sekali karena wanita ini menjadi semakin kagum. Kalau tadi ia hanya kagum melihat ketampanan dan kegagahan sikap Ki Seng, kini kekagumannya meningkat melihat betapa pemuda itu sanggup menangkis payungnya dengan lengan dan membuat payungnya terpental. Hal ini hanya berarti bahwa pemuda itu memiliki tenaga yang kuat sekali. "Sian Hwa Sian-li, tidak ada gunanya engkau mendesak orang yang sudah kalah. Kalau hendak bertanding, akulah lawanmu!" kata Ki Seng dengan suaranya yang lembut dan sikapnya yang halus, matanya menggerayangi tubuh wanita itu dari kepala sampai ke kaki. Melihat ini, Sian Hwa Sian-li memperlebar senyumnya dan sebelum mengeluarkan katakata, lebih dulu ia menjilat bibirnya dengan lidahnya yang merah. "Orang muda yang gagah, siapakah engkau dan apa hubunganmu dengan Pek-eng-pang maka engkau mencampuri urus-anku dengan mereka?" suaranya seperti orang bernyanyi. "Aku bernama Ouw Ki Seng, ketua Ban-tok-pang yang berada di Puncak Bi-ruang di Thai-san." "Ahh! Kiranya ketua Ban-tok-pang yang telah terkenal di seluruh dunia kang-ouw! Dan mengapakah Ban-tok Pangcu mencampuri urusanku dengan Pek-Eng-pang?" "Ketahuilah, Sian Hwa Sian-li. Pada saat ini aku menjadi tamu dari Pek-eng-pang. Di antara kedua perkumpulan itu terdapat hubungan persahabatan. Karena itu, sebagai sahabat Pek-eng-pang, aku tidak dapat melepas tangan begitu saja. Kuharap engkau suka memandang aku sebagai ketua Ban-tokpang untuk mengembalikan kereta berikut isinya kepada Ciang-pangcu yang tidak ingin bermusuhan denganmu." Sian Hwa Sian-li tersenyum manis. "Sebetulnya, setelah Pek-eng Pangcu dan puterinya tidak dapat mengalahkan aku, maka kereta berikut isinya itu sudah mutlak menjadi hak dan milikku. Akan tetapi karena Ouw-pangcu dari Ban-tok-pang yang memintakannya, baiklah aku akan menurut omonganmu, akan tetapi dengan dua syarat. Kalau kedua syarat itu tidak dipenuhi, sampai bagaimanapun uga aku tidak akan mengembalikan kereta dan barang-barang itu." "Katakan, apa kedua syarat itu?" tanya Ki Seng sambil menatap wajal cantik itu sambil tersenyum. "Pertama, engkau harus mampu menandingiku aku selama seratus jurus" tantang wanita itu sambil memutar pa yungnya di belakang pundaknya. Ki Seng mengangguk. "Aku sanggul melakukan hal itu. Asalkan engkau tidak mempergunakan tangan kejam, kiranya aku akan mampu bertahan melayanimu sampai seratus jurus. Apa syaratnya yang kedua?" "Syarat ke dua tidak sukar untuk engkau lakukan. Kalau engkau sudah mampi menandingi aku sampai seratus jurus, aku akan mengembalikan kereta beserta seluruh isinya. Akan tetapi tidak ada orang lain yang boleh pergi bersamaku ke puncak Bukit Merak untuk mengambilnya kecuali engkau, Ouw-pangcu. Engkau harus mengambilnya dari puncak dai berdiam di sana sebagai tamuku selama tiga hari. Bagaimana?" Mendengar syarat yang ke dua itu Ouw Ki Seng tersenyum dan jantungnya berdebar aneh. Sedangkan Ciang Hok dan Mei Ling, terutama gadis itu, mengerutkan alisnya dan menganggap usul itu tidak tahu malu! Seorang wanita mengundang seorang pemuda menjadi tamunya selama tiga hari! Akan tetapi karena mereka sudah kalah, pula karena mereka mengharapkan dikembalikannya kereta beserta semua isinya, mereka hanya mengerutkan alis dan tidak dapat memberi komentar apapun. "Bagaimana, Ouw-pangcu" Kalau engkau tidak bersedia memenuhi kedua syaratku itu, lebih baik engkau pergi saja bersama Ciang-pangcu dan jangan mengganggu aku lebih lama lagi!" "Syaratmu yang kedua cukup pantas. Aku sanggup melaksanakannya!" kata Ouw Ki Seng yang merasa suka sekali kepada wanita cantik dan aneh itu. Wanita seperti itu lebih baik menjadi kawan daripada menjadi lawan, dan akan menjadi seorang pembantu yang baik dan menyenangkan. Wajah yang cantik itu berseri dan kerling matanya semakin tajam ke arah wajah Ki Seng. "Bagus, kalau begitu mari kita mulai bertanding. Ingin sekali kuke tahui sampai di mana kemampuanmu!" Setelah berkata demikian, Sian Hwa Sian-li memutar payungnya dan melambai-lambaikan ujung sabuk merahnya. Akar tetapi Ki Seng hanya berdiri tegak menanti saja sambil mengikuti gerak-gerik wanita itu. Melihat betapa Ki Seng tidak segera mengeluarkan senjatanya, Siar Hwa Sian-li berkata sambil menghentikan putaran payungnya. Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ouw-pangcu, harap segera keluarkan senjatamu!" Ki Seng tersenyum. "Kita bukan musuh dan tidak sedang bertanding untuk saling membunuh, mengapa menggunakan senjata" Pula, aku tidak mempunyai senjata apapun, dan aku akan menghadapimu dengan kaki tangan kosong saja." Biarpun ucapan Ki Seng ini halus dan tidak dimaksudkan untuk menghina, akan tetapi wajah Sian Hwa Sian-li menjadi kemerahan dan ia merasa dipandang rendah! Pemuda itu akan menghadapi payung dan sabuk merahnya dengan tangan kosong" Kalau saja ia tidak sudah terlanjur tertarik hatinya oleh wajah dan sikap pemuda itu, tentu ia akan menyerangnya dengan serangan maut. Akan tetapi, ia menekan rasa penasaran di hatinya, lalu menancapkan ujung payungnya yang sudah tertutup itu ke atas tanah. "Baiklah, aku akan menggunakan sabukku ini saja agar jangan sampai melukaimu terlalu parah. Nah, lihat seranganku!" Tiba-tiba ujung sabuk sutera merah itu meluncur cepat dan sudah menotok ke arah jalan darah di pundak kiri Ki Seng. Serangan itu tampaknya saja ringan, akan tetapi sesungguhnya hebat sekali. Sabuk yang digerakkan dengan saluran tenaga sakti itu ujungnya menjadi keras dan kuat dan meluncur untuk menotok jalan darah Kin-ceng-hiat-to di pundak kiri. Kalau jalan darah Jni terkena dengan tepat, tubuh bagian kiri dari pemuda itu akan menjadi lumpuh sejenak. Akan tetapi, Ki Seng juga maklum akan lihainya serangan ini. Kalau dia menghendaki, tentu saja dengan pengerahan ilmu kekebalannya, dia akan mampu menerima totokan ini tanpa terpengaruh. Akan tetapi dia memperlihatkan kelincahannya dan cepat sekali tubuhnya bergerak, berkelebat dan dia sudah mengelak sehingga sambaran ujung sabuk merah itu luput. "Bagus!" Sian Hwa Sian-li memuji melihat gerakan yang amat cepat dari Ki Seng. Ia lalu mempergunakan seluruh kecepatan gerakannya dan seluruh tenaga saktinya untuk mengirim serangan beruntun. Sabuknya lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar merah yang indah dan panjang, berputar-putar dan bergulung-gulung mengejar ke arah Ki Seng, kemanapun tubuh itu bergerak! Kegembiraan Sian Hwa Sian-li menjadi-jadi ketika Ki Seng dapat menghindarkan serangannya yang dilakukan bertubitubi itu. Belasan jurus sudah ia menyerang dengan cepat sekali, namun semua serangannya itu kalau tidak dielakkan, tentu ditangkis oleh Ki Seng dan gagal mengenai tubuhnya. Bukan main kagum dan gembiranya hati Sian Hwa Sian-li. Ia semakin tergila-gila kepada pemuda itu yang bukan saja tampan dan gagah, akan tetapi juga ternyata memiliki Kepandaian yang amat hebat pula. Setalah menghindar terus sampai dua puluh jurus, mulailah dia membalas dengan tamparan dan tendangan yang semua ditujukan ke daerah tubuh yang tidak berbahaya seperti pundak, pangkal lengan, pinggul dan paha. Dan serangan balasannya itu ternyata membuat Sian Hwa Sian-li repot sekali untuk mengelak. Terjadi keanehan dalam hati Ki Seng. Sebelum ini, kalau berhadapan dengan lawan, dia selalu menurunkan tangan kejam dan dengan hati dingin dia akan membunuh lawannya. Akan tetapi sekali ini, berhadapan dengan Sian Hwa Sian-li, dia bukan saja tidak mau membunuh atau melukainya, bahkan timbul keinginannya untuk menggoda. Setiap kali tamparan atau totokannya akan mengenai tubuh lawan, begitu jarinya menyentuh kulit, dia tidak jadi menampar atau menotok, melainkan mengelus dan membelai! Akan tetapi gerakannya demikian cepat sehingga Ciang Hok dan Ciang Mei Ling yang menonton pertandingan itu tidak melihatnya. Tentu saja Sian Hwa Sian-li merasakannya dan wanita ini menjadi girang bukan main. Pemuda ini ternyata bahkan melebihi apa yang diharapkan dan disangkanya. Lihai bukan main sehingga dengan tangan kosong tidak hanya mampu menandinginya, bahkan agaknya kalau dikehendaki, dengan mudah mampu merobohkan-nya! Lebih gembira lagi hatinya melihati kenyataan betapa Ki Seng tidak ingin melukai atau merobohkannya, bahkan meng-elus dan membelai! Bagi Ciang Hok dan Ciang Mei Lina yang menjadi penonton, pertandingan itu berjalan seru bukan main, juga amat indahnya. Gulungan sinar kemerahan dari sabuk sutera merah itu membentuk lingkaran lebar dan dua bayangan itu seperti berkelebatan dan menari-nari di dalam lingkaran itu. Gerakan kedua orang itu terlalu cepat untuk dapat mereka ikuti dengan pandang mata. Sian Hwa Sian-li merasa senang bukan main. Ia adalah seorang wanita petualang yang sudah malang melintang di dunia kang-ouw selama bertahun-tahun, bukan saja bertualang dalam pertandingan silat melawan siapa saja yang dianggap pantas menjadi lawannya. Akan tetapi juga bertualang dalam mengumbar cinta berahi. Ia seorang wanita yang mata keranjang. Oleh karena itu, bertemu dengan Ki Seng, ia segera tergila-gila dan jatuh cinta. Apalagi setelah mendapat kenyataan bahwa Ki Seng memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripadanya dan ternyata pemuda itu tidak mau mengalahkannya, hanya menggoda dan mengelus dan menowel. Akan tetapi dari elusan dan belaian yang kaku itu iapun mengetahui bahwa Ki Seng adalah seorang pemuda yang tidak biasa bergaul dengan wanita. Hal ini bahkan menambah kegembiraan hatinya. Untuk lebih dalam menguji kepandaian pemuda yang luar biasa itu, tiba-tiba Sian Hwa Sian-li melompat dan menyambar payung yang tadi ditancapkan di atas tanah. Kemudian secepat kilat ia menyerang Ki Seng dengan payung dan sabuk merahnya! Melihat kini wanita itu menggunakan dua macam senjatanya yang li-hay, Mei Ling merasa khawatir sekali. Akan tetapi Ciang Hok yang merasa bahwa pertandingan itu tentu sudah lebih dari seratus jurus, berseru. "Sian Hwa Sian-li, seratus jurus sudah lama terlewat, berarti engkau telah kalah!" Akan tetapi, wanita itu tidak menjawab bahkan menyerang Ki Seng dengan lebih dahsyat lagi. Diserang menggunakan ilma senjata yang ampuh itu, Ki Seng merasa bahwa kalau dia tidak turun tangan mengalahkan, tentu dapat berbahaya juga bagi dirinya. Maka, tiba-tiba tangan kirinya meraih dan menangkap ujung payung, kemudian tangan kanannya secepat kilat menotok dengan It-yang-ci! Demikian cepat gerakannya sehingga sebelum Sian Hwa Sian-li dapat mengelak, tahu-lahu jalan darah di pundaknya telah tertotok dan seketika tubuhnya menjadi kaku tak dapat digerakkan. Tentu saja Sian Hwa Sian-li menjadi terkejut sekali, akan tetapi ia merasa betapa jari-jari tangan pemuda itu mengelus dan menekan pundaknya dan iapun dapat bergerak kembali! Tahulah ia bahwa pemuda itu benar-benar lihai sekali dan kalau dikehendakinya, ia tentu sudah roboh sedari tadi. Maka iapun cepat melompat kebelakang, melibatkan sabuk sutera merahnya ke pinggang, dan memanggul payungnya yang sudah terbuka kembali. Ia tersenyum ke arah Ciang Hok dan membungkuk ke arah Ki Seng. "Aku mengaku kalah, Ouw-pango, Engkau telah mampu menandingi aku selama seratus jurus. Sekarang tinggi syarat ke dua. Engkau harus pergi bersamaku untuk mengambil kereta dan semua isinya, dan menjadi tamu kehormatanku selama tiga hari tiga malam!" Ki Seng menghadapi Ciang Hok dan Ciang Mei Ling, lalu berkata, "dan Pangcu, harap suka menanti sampai tiga hari lamanya. Saya akan membawa kereta berikut isinya kembali kepadamu!" Ciang Hok merasa girang sekali melihat pemuda itu telah mampu menandingi Sian Hwa Sian-li yang lihai selama seratus jurus dan mendapat janji bahwa kereta berikut isinya yang dirampas Wanita itu akan dikembalikan kepadanya. Akan tetapi dia juga merasa tidak enak karena pemuda itu harus pergi bersama wanita berbahaya itu selama tiga hari. seolahTiraikasih Website http://kangzusi.com/ olah usaha mendapatkan kereta kembali itu hanya dipikul oleh Ouw Ki Seng seorang dan dia tinggal enak-enakan saja menanti hasilnya di rumah! "Kami sungguh telah membikin repot Ouw-pangcu," katanya sambil memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan didepan dada. "Ah, tidak mengapa, locianpwe. Bukankah di antara kita telah terjalin persahabatan" Sudah menjadi kewajiban searang laki-laki untuk menolong sahabatnya. Selamat tinggal, locianpwe, dan selamat tinggal, nona Ciang Mei Ling, aku harus ikut pergi bersama Sian Hwa Sian-li." katanya sambil memberi hormat yang dibalas oleh Ciang Hok dan puterinya. Kemudian dia menoleh kepada wanita berpayung itu dan berkata, "Marilah, Sian Hwa Sian-li, kita pergi mengambil kereta itu." Sian Hwa Sian-li tersenyum dan memutar payungnya. "Mari, Ouw-pangcu." Setelah berkata demikian, ia memuta dengan gerakan seperti seorang penari membelakangi Ciang Hok dan Mei Ling kemudian dengan langkah gontai ia berjalan pergi. Lenggangnya lemah-gemulai dan karena pinggangnya amat kecil dan ramping, maka pinggulnya tampak besar membusung dan ketika ia melangkah pinggulnya bergoyanggoyang seperti menari-nari. Akan tetapi gerakan langkah kakinya amat cepat dan tubuhnya meluncur cepat ke depan, di kuti Ki Seng yan berjalan di sampingnya. Ciang Mei Ling berdiri bengong, memandang ke arah tubuh belakang Sia Hwa Sian-li dan alisnya berkerut, wajahnya tampak muram. Ciang. Hok melihat keadaan puterinya ini dan dia berkata "Kenapakah, Mei Ling" Engkau kelihatan seperti orang yang murung. Bukanka Ouw-pangcu sedang mengambil kembal kereta kita?" "Ayah, aku mengkhawatirkan Ouw pangcu. Wanita itu sungguh berbahaya sekali, seperti seekor ular berbisa yang cantik." "Aah, apa yang dapat ia lakukan terhadap Ouw-pangcu" Tadi jelas bahwa ia telah mengaku kalah. Aku yakin Ouwpangcu akan berhasil membawa kereta Kita." Dia lalu memegang tangan puterinya. "Hayo kita kembali, pulang!" Ciang Mei Ling mengikuti ayahnya. Akan tetapi yang ia khawatirkan bukan seperti yang disangka ayahnya. Naluri Kewanitaannya membisikkannya bahwa wanita itu amat berbahaya bukan karena ilmu silatnya, melainkan karena kecantikan dan kegenitannya. Ia khawatir apakah Ki Seng akan mampu dan kuat mempertahankan diri terhadap rayuan wanita yang seperti siluman itu. Dan ia cemas. Hatinya sudah terpikat oleh ketua Ban-tok-pang yang muda itu semenjak ia dikalahkan olehnya. Apalagi mendengar pengakuan Ouw Ki Seng bahwa dia belum menikah dan belum bertunangan. Diam-diam ia mengharapkan untuk dapat menjadi jodoh ketua yang menarik hatinya itu. Sian Hwa Sian-li kini tidak berjalan biasa lagi, melainkan berlari dengan cepat sekali mendaki bukit. Kiranya ie telah mengerahkan seluruh gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan berlari cepat sekali biarpun ia masih memakai payungnya, Tubuhnya meluncur bagaikan larinya seekor kijang muda. Ia sengaja mengerahkan seluruh tenaganya untuk menguji kemampuan Ki Seng. Akan tetapi, betapa kagum dan girang hatinya melihat pemuda itu tetap dapat berlari di sampingnya dan dapat mengimbangi kecepatannya. Seorang pemuda pilihan yang jarang terdapat, pikirnya. Ki Seng sendiri menanti perkembangan apa yang akan dialaminya dengan wanita itu. Hatinya berdebar tegang. Akar tetapi diapun tidak mengurangi kewaspadaan karena dia maklum bahwa wanita ini selain lihai, juga cerdik dan berbahaya sekali, di samping menggairahkan dan menarik Jerat Peri Kembangan 1 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Pendekar Aneh Dari Kanglam 6