Ceritasilat Novel Online

Asmara Dibalik Dendam 3

Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 3 batin sedikit demi sedikit dari cengkeraman nafsu daya rendah. *** Lautan Kidul merupakan samudera yang teramat luas. Dari pantai Jawa dwipa (Pulau Jawa) orang dapat menyaksikan dan mengagumi kebesaran samudar itu yang tidak nampak batasnya ke arah selatan. Dari pantai itu, kalau orang memandang keselatan, dia seolah akan merasa bahwa selebihnya ke arah selatan, dunia itu nampak air belaka.Air laut yang membiru dengan gelombang yang dahsyat memecah di pantai. Gunungkarang yang merupakan tanggul di pantai selatan itu dengan kokohnya menyambut hantaman ombak dahsyat, mengeluarkan suara menggelegar seperti halilintar mengamuk, disusul suara ngese seperti air mendidih. Setiap orang yang berdiri seorang diri di pantai, menyaksikan kebesaran dan kekuasaan alam ini, orang itu akan merasa betapa dirinya kecil tak berarti, sama kecilnya dengan butir-butir pasir di pantai. Dia akan merasa betapa dirinya itu kecil tanpa arti, bahwa dunia tidak akan berubah dan tidak akan kehilangan andaikata saat itu dia melempar diri di antara gelombang dan ditelan air. Dunia akan tetap bekerja seperti biasa, dan diapun akan lenyap dilupakan orang! Alangkah bedanya perasaan seseorang setelah berada seorang diri di antara kebesaran alam dengan ketika dia berada di antara orang-orang lain. Dia akan merasa dirinya besar, penting, dan harus diperhatikan orang lain. Dia akan merasa dirinya paling besar dan paling berarti. Wanita itu duduk di atas batu karang di tepi pantai yang sunyi itu. Pantai itu tidak pernah dikunjungi orang karena memang sukar didatangi, penuh dengan batu karang yang runcing tajam, dan gelombang lautan kadang menutupi semua batu karang dengan dasyatnya. Akan tetapi wanita itu sudah mengenal tanda-tanda gerakan gelombang dan tahu benar bahwa saat matahari mengurangi cahayanya dan condong ke barat, gelombang lautan tidak akan mencapai batu karang yang didudukinya. Ia duduk melamun, tidak bergerak seperti sebuah arca. Arca yang indah sekali. Tubuhnya yang hanya mengenakan kain yang menutupi dari dada ke bawah, ramping padat, tubuh seorang wanita yang sudah matang sepenuhnya. Kulit pundak, leher dan lengannya sebetulnya putih kuning mulus, akan tetapi agaknya terik matahari membakar kulit itu sehingga menjadi agak coklat kemerahan. Rambutnya hitam panjang ngandan-andan dibiarkan terurai tidak digelung atau diikat karena rambut itu masih basah setelah mandi keramas tadi. Rambut itu menutupi punggung dan sebagian lagi terurai di depan menutupi bukit dadanya yang nampak di balik kainnya. Ia tidak mengenakan perhiasan apapun, akan tetapi kesederhanaan ini tidak mengurangi kejelitaannya, bahkan tidak mengurangi keanggungannya. Ia cantik dan anggun dan orang akan mudah menyangka ia penjelmaan Sang Ratu Kidul sendiri! Helaan napas halus keluar dari sepasang cuping hidung yang tipis itu, dan sepasang mata bintang itu menjadi redup seperti tertutup mendung. Kalau sudah begini, nampaklah bahwa ia bukan lagi wanita remaja, melainkan sudah dewasa sekali. Biarpun demikian, karena ia cantik jelita, maka ia nampak jauh lebih muda dari pada usia yang sebenarnya. Usianya sudah tiga puluh enam tahun, akan tetapi ia kelihatan seperti baru tigapuluh tahun saja. Tiba-tiba ia mengepal tinju kanannya mengacungkannya ke arah gelombang lautan yang mengganas, seolah ia melihat ada orang yang berada di atas gelombang itu. "Pangeran Panjiluwih tunggu saja andika akan menerima pembalasanku! " Wanita itu adalah Dewi, atau dahulu, delapan tahun yang lalu ia masih bernama Dewi Muntari. Bukan seorang wanita biasa saja, melainkan seorang puteri istana. Puteri Sang Maha Prabu Jayabaya. Hidup berbahagia bersama suaminya yang tercinta, Raden Mas Rangsang, dan puterinya yang tunggal, Niken Sasi. Aakn tetapi, ketika ia sedang melakukan wisata bersama suami dan puterinya di lereng gunung Anjasmoro, keluarga ini diserang gerombolan penjahat. Pasuakn pengawal mereka melarikan diri, Raden Mas Rangsang tewas. Ia berhasil menyuruh puterinya melarikan diri, sedangkan ia sendiri ditawan oleh kepala gerombolan. Gerombolan itu bertemu dengan Ki Kolokrendo si tengkorak hidup yang mirip Danyang Durno, yang bahkan lebih keji dan mengerikan dibandingkan para anak buah gerombolan itu. Akhirnya, Ki Kolokrendo yang berniat jahat terhadap dirinya, tewas oleh Ni Durgogini yang sakti mandraguna dan iapun diambil murid oleh nenek tua-renta yang gendut itu. Oleh Ni Durgogini yang menjadi gurunya, ia diajak pergi ke pantai Lautan Kidul, di sebuah bukit kapur yang menjadi tempat tinggal nenek itu. Ternyata Ni Durgogini amat segan dan hormat kepada Sang Prabu Jayabaya, oleh karena itu ketika mendengar bahwa Dewi adalah puteri raja besar itu, ia bersikap baik sekali, bahkan menurunkan semua aji kesaktiannya kepada murid ini. Didorong dendam sakit hati, Dewi mendapatkan semangat yang bernyala-nyala dan ia belajar dengan tekun sekali tanpa mengenal lelah. Dan ternyata sebagai keturunan Sang Prabu Jayabaya darah satria mengalir di dalam tubuhnya dan bakatnya unggul sekali. Hal ini membuat Ni Durgogini menjadi semakin gembira mengajarkan ilmuilmunya. Tak terasa waktu berjalan dengan amat cepatnya. Delapan tahun telah lewat sejak Dewi mempelajari ajijaya-kawijayan di bawah bimbingan Ni Durgogini. Dan selama waktu delapan tahun itu, Dewi telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Kalau sedang mencurahkan perhatiannya terhadap satu hal, wanita lebih tekun dari pada pria. Dewi mempelajari kanuragan dengan luar biasa tekunnya karena untuk itu ia mempunyai satu cita-cita, yaitu membalas atas kematian suaminya dan lenyapnya puterinya. Memang, gerombolan yang melakukan kejahatan itu terhadap keluarganya sudah tertumpas dan mati semua. Akan tetapi dalangnya, yang mengatur semua itu, masih belum terbalas. Dan dalangnya adalah Pangeran Panjiluwih, seperti pengakuan Ki Blendu yang memimpin gerombolan itu. Pada sore hari itu, ketika Dewi duduk di atas batu karang mengamati gelombang dahsyat yang bergulung-gulung, ingin rasanya ia menumpahkan dendamnya kepada ombak samudera itu. Ia melihat seolah ombak yang bergulung-gulung itu merupakan musuh yang mengancamnya. Ia merasa sudah kuat sekarang untuk menghadapi musuh yang manapun. Baru tadi pagi Ni Durgogini menyatakan kepadanya bahwa kini semua ilmu yang dikuasai nenek sakti itu telah diajarkan semuanya kepadanya.Bukan hanya ilmu bela diri silat tangan kosong maupun menggunakan senjata keris telah dipelajarinya dengan tuntas, bahkan juga aji-aji kesaktian telah dikuasainya. Di antaranya yang paling dasyat adalah Aji Trenggiling Wesi yang membuat tubuhnya menjadi kebal, tak dapat terluka oleh senjata lawan. Kemudian Aji Jaladi Geni [Ilmu Lautan Api] yang mendatangkan hawa panas seperti api keluar dari kedua telapak tanganya sehingga jarang ada lawan yang mampu bertahan menghadapi aji kesaktian ini. Masih ada lagi aji Jerit Sardulo Krodo [Teriakan Harimau Marah] yang dapat melumpuhkan lawannya seolah-olah lawan itu menghadapi seekor harimau yang sedang mengaum-aum! Setelah udara di barat terbakar cahaya kemerahan, Dewi lalu bangkit berdiri di atas karang, memandang lepas ke laut yang tak terbatas itu, lalu berloncatan dari batu ke batu yang tajam itu. Biarpun telapak kakinya kelihatan putih mulus kemerahan dan halus, namun ternyata telapak kaki itu menginjak batu karang yang runcing tajam itu tanpa mengalami luka atau nyeri sedikitpun. Sungguh, kalau ada yang meliahatnya di saat itu, tentu tidak akan ada yang percaya bahwa ia adalah seorang manusia biasa. Cantik jelita, dengan rambut panjang terurai berloncatan seperti itu! Agaknya hanya peri penjaga lautan yang mampu berlompatan seperti itu. Sementara itu, sekitar dua kilometer dari situ, Ni Durgogini sedang duduk di depan guanya yang berada di antara batu-batu karang. Sebuah gua di dinding karang yang tersembunyi di tempat yang sunyi itu. Tiba-tiba telinga nenek tua renta yang masih berpendengaran tajam itu menangkap suara orang bercakap-cakap dan juga langkah kaki mereka menuju ke tempat itu. Ia merasa heran sekali dan juga marah. Siapa orang-orang yang berani lancang mendatangi tempat tinggalnya yang keramat itu" Karena merasa penasaran, Ni Durgogini lalu menyambar sebatang tongkat yang bentuknya seperti ular kering, dan iapun berloncatan dari tempat duduknya tadi ke atas batu-batu karang menuju ke arah datangnya suara orang-orang itu. "Hi-hi-hi-hik! " Suara tawa yang nyaring dan bergema aneh ini mengejutkan enam orang pria yang sedang melangkah perlahan-lahan di antara batu-batu karang sambil bercakapcakap. Mereka adalah enam orang pria yang nampaknya gagah perkasa, berusia antara tigapuluh sampai limapuluh tahun dan dari bentuk pakaian dan terutama kain kepala dapat diduga bahwa mereka tentulah orang-orang dari daerah timur. Mendengar suara tawa yang mengerikan itu, enam orang tadi sudah berloncatan dengan sigapnya, lalu memperhatikan ke arah datangnya suara tawa yang seperti tawa kuntilanak itu. Dan ketika mereka melihat Ni Durgogini mereka segera berhenti melangkah dan memandang dengan penuh perhatian. Kemudian, seorang di antara mereka berseru, "Ia adalah Ni Durgogini! " Enam orang itu nampak terkejut. Akan tetapi pemimpin mereka, seorang laki-laki berusia limapuluh tahu, tidak nampak gentar ketika dia maju menghampiri Ni Durgogini, diikuti oleh lima orang kawannya. Laki-laki yang berkumis sekepal sebelah itu memandang dengan sinar mata penuh selidik. "Hi-hi-hi-hik! Kalian pasti orang-orang dari Blambangan! Mau apa datang melanggar wilayah tempat tinggalku ini" Apakah kalian berenam sudah bosan hidup dan arwah kalian ingin menjadi abdi Gunung Kidul" Hi-hi-hi-hik! " Laki-laki berkumis tebal itu tanpa rasa takut menghadapi Ni Durgogini, bertolak pinggang lalu berkata dengan sikap angkuh. "Ni Durgogini, orang-orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku, datuk dari Teluk Banyubiru, sama sekali tidak gentar menghadapimu.Aku adalah Menak Koncar, bersama teman-teman mengemban perintah Gusti Adipati Blambangan untuk mencari keris pusaka Tilam Upih. Nah, kalau engkau mengetahui di mana adanya keris pusaka itu, katakan kepada kami, Ni Durgogini dan kami akan memberi imbalan berharga kepadamu. Akan tetapi jangan sekali-kali engaku membohongiku karena tidak ada orang yang berani berbohong kepadaku tetap hidup! " "Hi-hi-hi-hik! Menak Koncar, andika anjing-anjingBlambangan berani bersuara besar di sini" Biarpun aku sudah tua, akan tetapi belum terlalu berat bagiku untuk membasmi kalian berenam! Andaikata aku mengetahui tentang Tilam Upih pun tidak akan kuberitahukan kepada kalian. Nah, kalian mau apa" " "Kakang Menak Koncar, nenek tua renta ini mencurigakan sekali. Ia tinggal di pantai Laut Kidul, dan orang macam ia inilah yang sepantasnya mengetahui di mana adanya keris pusaka Tilam Upih! Kita tangkap dan siksa ia agar mengaku di mana adanya keris pusaka itu! " kata seorang di antara mereka yang bertubuh seperti raksasa kepada Menak Koncar, pemimpin mereka. Menak Koncar memang sudah mencurigai nenek yang mengerikan itu, maka mendengar ucapan pembantunya, dia lalu menudingkan telunjuknya kepada Ni Durgogini sambilmembentak memberi aba-aba kepada anak buahnya. "Tangkap nenek ini! " Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan melengking nyaring dan terbawa angin dari samudera, terdengar seperti auman seekor harimau yang marah! Enam orang Blambangan itu terkejut dan menoleh ke arah lautan dari mana terdengar auman mengerikan itu. Dan mereka semua terbelalak melihat sosok tubuh wanita yang ramping itu, dengan rambut panjang hitam terurai, berlompatan dari batu ke batu seperti seekor kera saja. Semua orang tertegun mengikuti gerakan wanita itu sehingga mereka sejenak melupakan Ni Durgogini. Perjalanan dari tepi lautan mendaki ke tebing di mana terdapat goa tempat tinggal Ni Durgogini itu merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Selain tebing itu terjal sekali, juga mendaki ke situ harus melallui batu-batu karang yang kasar, runcing tajam. Akan tetapi tubuh wanita itu dengan cepatnya berloncatan dan sebentar saja ia sudah tiba di depan enam orang laki-laki yang kini menjadi semakin terpesona. Kalau tadi mereka kagum melihat seorang wanita dapat bergerak selincah itu, kini mereka terpesona melihat wanita itu ternyata cantik jelita bukan main, kecantikan alami yang membuat mereka merasa dalam mimpi bertemu seorang dewi kahyangan! Bahkan orang yang delapan tahun yang lalu sudah mengenal baik Dewi Muntari pun kalau sekarang berhadapan dengan dewi, tentu akan pangling dan tidak menduga sama sekali bahwa wanita berurai rambut ini adalah puteri Raja Daha. Dewi kini tidak pernah merias diri, wajahnya tidak pernah bertemu bedak dan gicu, juga di tubuhnya tidak ada sepotong barang perhiasan yang menempel. Kecantikannya yang sekarang adalah kecantikan yang alami, yang khas, bagaikan kecantikan setangkai mawar hutan liar bermandikan embun. "Kanjeng bibi, siapakah mereka ini dan apa kehendak mereka" " tanya Dewi kepada gurunya. Ia memang selalu menyebut bibi kepada gurunya karena Ni Durgogini tidak pernah mau disebut guru. Nenek ini ternyata merasa sungkan dan takut kepada Sang Prabu Jayabaya, maka tidak mau disebut guru oleh puteri raja itu, takut kalau mendapat marah! "Hi-hi-hi-hik! Mereka itu adalah anjing-anjing Blambangan yang hendak memaksaku menunjukan kepada mereka di mana adanya keris pusaka Tilam Upih." Sebagai puteri raja, tentu saja Dewi pernah mendengar tentang keris pusaka yang pernah dimiliki mendiang Sang Prabu Airlangga itu karena keris pusaka Tilam Upih itu menjadi semacam kisah atau dongeng bagi keluarga istana. Pusaka itu lenyap dan ayah handanya memang berusaha untuk menumukannya kembali. Sekarang, orangorang Blambangan mencari keris pusaka itu, bahkan hendak memaksa gurunya menunjukkan di mana adanya. Tentu saja ia menjadi marah sekali. "Dan kanjeng bibi hendak memberi tahu mereka" "tanyanya. "Hi-hi-hi-hik, mana mungkin" Andaikata aku mengetahuinya pun, tidak akan kuberitahukan kepada mereka. Akan tetapi mereka hendak memaksa, hendak menangkap aku dan menyiksaku! " "Babo-babo, keparat! Lagaknya seperti dapat melangkahi Gunung Semeru! Kanjeng bibi harap menonton saja, biar aku yang akan membasmi gerombolan anjing ini! " Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya bergerak, ia telah melayang ke atas dan berjungkir balik beberapa kali. Ketika ia turun, ia sudah berdiri di atas batu karang, berhadapan dengan enam orang itu. Menak Koncar yang memimpin rombongan orang itu dan yang mengaku sebagai datuk Teluk Banyubiru, agaknya baru sadar dari keadaan terpesona tadi. Dia mengelus jenggotnya dengan tangan kiri, menghela napas beberapa kali lalu berkata, "Tobat-tobat, ada wanita begini jelitanya, seperti seorang dewi kahyangan. Eh, wong ayu, kami tidak ingin bermusuhan dengan seorang wanita jelita seperti andika. Aku ini Menak Koncar sudah terkenal paling lunak dan menyayang wanita jelita. Aku kaya raya berkedudukan tinggi, menjadi orang kepercayaan Sang Adipati Blambangan. Karena itu marilah kita bersahabat saja, wong ayu dan kalau andika mau ikut berasamaku, andika akan kujadikan isteri mudaku yang tersayang." Mendengar ucapan ini, lima orang pemgikutnya tertawa-tawa gembira. Akan tetapi wajah Dewi menjadi merah sekali, sepasang mata yang bening itu tiba-tiba mencorong dengan cahaya berapi, bibirnya gemetar saking marahnya. Tanpa dapat mengeluarkan kata-kata lagi saking marahnya, tubuh Dewi menerjang maju dan tangan kirinya menampar. Saking marahnya, tangan kiri itu mengandung aji pukulan Jaladi Geni. Nampak cahaya kemerahan ketika telapak tangan itu menyambar dan terasa hawa yang amat panas. Orang terdekat yang menghadapi serangan itu maklum bahwa dia menghadapi pukulan ampuh. Ternyata enam orang jagoan Blambangan itu bukanlah orang-orang sembarangan saja.Orang tinggi kurus yang menerima tamparan tangan kiri Dewi, dapat cepat mengelak dan melompat dari batu karang di mana tadi berdiri. "Wuuuuttt................pyaarrrr............! " Batukarang itu pecah berhamburan terkena hantaman telapak tangan kiri Dewi. Bukan main kagetnya hati enam orang jagoan Balmbangan itu. Terutama sekali Menak Koncar. Tak disangkanya sama sekali bahwa wanita jelita itu memiliki aji pukulan sedemikian ampuhnya. Menak Koncar sendiri, seorang jagoan yang sakti, mengenal pukulan ampuh dan dia tidak berani memandang rendah, tidak berani main-main lagi. "Bunuh wanita berbahaya ini! Bentaknya memberi komando dan dia sendiri sudah menghunus kerisnya yang panjang berlekuk tigabelas. Keris itu terkenal dengan dapur Naga Siluman, selain terbuat dari besi aji yang mat kuat, juga keris itu dilumuri racun yang mapuh sekali. Denga keris di tangan, Menak Moncar melompat dan menyerang Dewi dari arah kiri. Kerisnya menyambar dengan tusukan yang dahsyat. "Singggg........wuuuutt......! " Bagaikan seekor burung walet, tubuh yang diserang keris itu sudah lenyap dari atas batu karang tadi, membuat Menak Moncar tertegun. Kiranya wanita itu telah meloncat dengan cepatnya ke kanan dan sudah menerjang ke arah seorang pengeroyok. Orang itu menusukkan kerisnya, akan tetapi denag cekatan Dewi menangkis lengan yang menusukkan keris, kemudian tangan kanannya mendorong dengan telapak tangan terbuka ke arah dada lawan. "Desss..........! " Tubuh itu terlempar jauh ke belakang dan tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh itu terlempar ke bawah tebing! Orang yang terkena hantaman di dada itu masih belum tewas dan terdengar jeritnya mengerikan ketika tubuhnya melayang ke bawah tebing, di mana batu-batu karang yang keras, tajam dan runcing sudah menanti untuk melumatkan tubuhnya. Melihat ini, dua orang yang memegang golok membacokkan senjata mereka ke arah punggung dan lambung Dewi darI sebelah kanan dan belakang. Dewi dapat mendengar gerakan penyarangan itu, ia memutar tubuhnya dan melompat ke belakang sehingga Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo serangan itu luput. KetiKa dua orang itu maju lagi, Dewi menggerakkan kepalanya dan rambutnya yang hitam, panjang dan harum itu menyambar bagaikan pecut ke depan. Prat-prattt!" Dua kali ujung rambut itu melecut muka dua orang itu, hampir mengenai mata mereka sehingga mereka terhuyung ke belakang sambil memejamkan mata. Akan tetapi pada saat itu, Dewi menerjangnya dengan dua kali tendangan. "Dukk......dukkk........!" dua tubuh lawan itu terpental dan kembali terdengar lengking panjang mengerikan dua orang itu terlempar ke bawah tebing. Tentu saja Menak Koncar dan dua orang kawannya menjadi terkejut bukan main. Terkejut akan tetapi juga marah dan penasaran. Sama sekali tidak pernah tersangka oleh Menak Koncar bahwa tiga orang kawannya dalam waktu singkat telah tewas di tangan wanita jelita itu. Dewi tidak berhenti sampai di situ saja. Tubuhnya sudah menerjang lagi ke depan, sekali ini ia menyerang Menak Koncar dengan loncatan yang disambung dengan tendangan di udara. Tendangan terbang ini berbahaya sekali, selain tidak terduga dan cepat, juga tenaga tendangan ditambah dengan tenaga loncatan tubuhnya sehingga merupakan tendangan maut yang berbahaya. Akan tetapi Menak Koncar sudah memasang kuda-kuda di atas batu karang dan begitu tendangan datang, dia menggunakan tangan kirinya untuk menangkis dari samping.Sambil menangkis dia mengerahkan tenaganya dan tangkisan itu sedemikian kuatnya sehingga tubuh Dewi menyeleweng kesamping. Akan tetapi gerkan Dewi benar-benar tangkas seperti burung. Ia sudah dapat turun pula ke atas batu karang pada saat Menak Koncar mengejarnya dengan tusukan keris Naga Silumannya. Keris itu menyambar dahsyat ke arah dada yang padat membusung itu dan kalau mengenai sasaran, sudah pasti dada itu akan ditembusi keris berlekuk tigabelas itu! Namun, tidak percuma Dewi sudah mewarisi seluruh aji yang diajarkan Ni Durgogini. Ia sudah menjadi seorang wanita yang digdaya dan sakti mandraguna. Karena sudah tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak dari tusukan keris selagi tubuhnya baru saja turun, ia nekat dan mengerahkan Aji Trenggiling Wesi, yang seolah-olah menyelimuti seluruh tubuhnya dengan aji kekebalan. "Syuuuuuttt......tukkk!" Keris Naga Siluman itu menhgenai dada di atas kemben dan.....mental kembali, tidak mampu menembus atau melukai kulit yang lunak dan putih mulus dari dada itu. Dan selagi Menak Koncar terbelalak, tangan kiri Dewi sudak menampar ke arah kepalanya. Biarpun dalam keadaan terkejut, Menak Koncar masih sempat menundukkan kepala untuk mengelak. "Plakkk........!" Tangan itu masih saja mengenai pundaknya, membuat tubuh Menak Koncar terpelanting. Akan tetapi jagoan dari Banyubiru ini ternyata hebat juga. Dia terpelanting, namun dapat mematahkan dorongan itu dengan berjungkir balik tiga kali. Sementara dua orang kawannya sudah cepat maju menggerakkan golok mereka untuk menyerang Dewi. Seorang menyabetkan goloknya untuk memenggal leher yang indah dan putih mulus itu, sedangkan orang kedua membabatkan goloknya menyerampang ke arah kaki wanita jelita itu. Dewi melihat bahwa gerakan kedua orang penyerangnya ini tidak secepat dan sekuat Menak Koncar, maka iapun bersikap tenang saja. Golok yang membabat lehernya ia elakkan dengan merendahkan tubuh dan menundukkan kepala sehingga golok itu menyambar lewat di atas kepalanya. Sedangkan golok yang menyerampang kakinya, ia sambut dengan tendangan kakinya yang tepat mengenai tangan yang memegang golok sehingga senjata itu terlepas. Dewi cepat menyusulkan tendangan kepada orang yang menyerang kakinya, dan tangan kanannya menyambar dari samping ke arah kepala penyerang pertama. "Wuut-wuuuut ........plak-desss........!" Dua orang itu menjerit dan tubuh mereka terpelanting. Dewi menyusulkan tendangan keras dua kali dan tubuh kedua orang itupun terlempar ke bawah tebing menyusul tiga orang kawan mereka yang sudah lebih dulu terjungkal dan tewas di bawah tebing, disambut batu-batu karang dan gelombang mengganas. "Jahanam keparat! Kubunuh kau! Bukan Menak Koncar namaku kalau akau tidak dapat membalas kematian lima orang kawanku!" Menak Koncar membentak marah sekali dan diapun mengeluarkan teriakan melengking. Itu adalah aji Petak Gelap Saketi, yaitu teriakan yang dikeluarkan untuk melumpuhkan semangat lawan-lawan yang kurang kuat batinnya, mendengar teriakan ini, akan tergetar seluruh tubuhnya, terguncang batinnya dan lumpuh seluruh syarafnya sehingga mudah ditundukkan. Gemetar juga tubuh Dewi menghadapi aji ini, akan tetapi ia sendiri juag memiliki aji yang sama sifatnya, yaitu jerit Sardulo Kroda. Maka, iapun mengeluarkan jerit melengking itu untuk melawan aji lawan. Terdengar dua macam pekik yang berlawanan, dan akibtanya, tubuh Menak Koncar terhuyung-huyung dan mukanya menjadi pucat sekali. Melihat keadaan lawan ini, Dewi lalu menerjang dengan kedua tangan terbuka, mengirim serangan. Kedua tangannya bergantian melakukan serangan tamparan atau cengkeraman,bertubi-tubi, dan Menak Koncar juga berusaha melindungi dirinya dengan mengelebatkan kerisnya. Akan tetapi dia kalah cepat dan ketika tangan kiri Dewi mencuat, sebuah tendangan mengenai tangan yang memegang keris. "Plakk! Ahhh.....!"Keris itu terlepas dari pegangan dan sebelum jatuh di antara batu-batu karang, Dewi menangkapnya dengan tangan kanan. Melihat kerisnya sudah terampas lawan dan tangan kanannya seperti lumpuh terkena tendangan tangan kanan yang amat keras tadi. Menak Koncar kehilangan semangatnya bertanding. Dia yakin bahwa dia tidak akan menang melawan wanita itu dan kalau pertandingan dilanjutkan, sama halnya dengan membunuh diri saja. Maka, dia lalu berusaha melarikan diri. Sekali meloncat dia telah berada di atas batu karang di depan. Selagi dia hendak meloncat lagi ke batu karang yang lebih jauh, tiba-tiba dia merasa punggungnya nyeri seprti digigit ular. Rasa nyeri itu makin menghebat menyerang dadanya dan iapun tidak dapat menahan lagi, terhuyung dan terjungkal ke bawah tebing dengan keris Naga Siluman menancap di punggungnya. Kiranya keris itu tadi dilontarkan oleh Dewi dan tepat sekali mengenai punggungnya. Melihat enam orang lawanya semua terjungkal di tebing dan tewas, Dewi tertawa.Suara tawanya merdu dan nyaring melengking, bergema disambut ombak. Mengerikan sekali melihat wanita cantik itu tertawa, seperti seorang iblis betina! "Hi-hi-hi-hik! Bagus sekali, Dewi! Andika membuatku merasa puas dan bangga. Kiranya tidak sia-sia selama bertahun-tahun ini andika belajar ilmu dariku. Andika murid yang baik sekali. Enam orang tadi memang sudah sepatutnya mampus. Mereka kurang ajar dan memandang rendah kepada kita." Dengan beberapa loncatan Dewi sudah tiba di depan Ni Durgogini dan berkata, "Semua ini berkat budi Bibi dan aku berterima kasih sekali." Mendengar ucapan Dewi itu, tiba-tiba saja Ni Durgogini terhuyung ke depan, lalau merangkul leher Dewi dan dari kerongkongannya terdengar suara yang menyayat hati itu, setengah menangis dan setengah tertawa. "Hi-hi-hi-hi-hi-hih..........!" Dewi terkejut. Ia sudah mengenal benar suara gurunya ini dan dapat membedakan mana suara gembira dan mana suara bersedih. Sekali ini suara gurunya adalah suara bersedih, menangis! "Eh,bibi! Apa yang terjadi" Apakah bibi terluka......?" Ni Durgogini tidak menjawab, melainkan menangis terus, berha-ha-hi-hi-hi di atas pundak Dewi. Dewi membiarkannya saja, menuntun gurunya memasuki goa dan mereka berdua lalu duduk bersial berhadapan di lantai goa yang ditilami jerami kering dan hangat. "Nah, bibi. Sekarang ceritakan, kenapa bibi berduka?" Ni Durgogini memandang muridnya. Kedua matanya tidak basah, akan tetapi kini kedua matanya menajdi sipit hampir terpejam dan dari balik pelupuk mata itu nampak pandang mata yang redup bagikan dian kehabisan minyak. "Dewi, aku meratapi nasib diriku sendiri. Aku menyesal sekali memakai nama eyang-buyut- guruku yang dahulu juga berjuluk Ni Durgogini. Akan tetapi ia memang seorang petualang dan selalu mengejar kesenangan duniawi. Ia memang menderita, akan tetapi juga sudah menikmati segala penderitaannya. Kalau aku" Ahh, aku tidak terlalu mengejar kesenangan. Aku tidak mencampuri urusan kenegaraan, akan tetapi hidupku selalu merana. Sejak muda aku selalu dikecewakan pria, dan hanya seorang pria saja yang kusembah, kuhornati dan kujunjung tinggi di dunia ini. Pria itu adalah kanjeng ramamu, Sang Prabu Jayabaya. Beliau seorang pria yang bijaksana dan aku pernah berhutang nyawa kepadanya. Namun sayang, aku seorang petualang, beliau seorang Maharaja, dan beliau jauh lebih muda dariku, dua tiga puluh tahun lebih muda. Aku selalu dipermainkan pria sehingga sselam hidupku, tujuh orang pria yang pernah mendampingiku,akhirnya semua terpaksa kubunuh, yang terakhir adalah Ki Kolokrendo yang selain menjadi suamiku, juga menjadi muridku sendiri. Aahh, hidupku tak pernah berbahagia. Aku tidak pernah melakukan kejahatan, tidak pernah menggangu orang. Aku membunuh orang hanya kalau dia mengganguku. Akhirnya aku bertemu engkau, Dewi. Dan selama delapan tahun ini hidupku ada artinya. Akan tetapi sekarang........aahh, hi-hihi-hih, sekarang terpaksa pula kita harus berpisah." "Ehh" Mengapa, bibi" Kita tidak harus saling berpisah. Aku akan tetap tinggal di sini bersamamu." "Hi-hi-hi-hih, sama sekali tidak mungkin, Dewi. Lupakah andika bahwa andika masih mempunyai banyak sekali tugas dalam hidupmu" Ingat, andika harus menyelidiki siapa yang melakukan pembunuhan terhadap suamimu, siapa menjadi dalangnya" Dan andika juga harus mencari anakmu yang hilang." "Akan tetapi aku tidak ingin meninggalkan bibi seorang diri di sini. Marilah ikut bersamaku, bibi. Kita pergi berdua!" "Tidak, aku sudah lemah sekali,Dewi. Lelah luar dalam, lelah lahir batin mengarungi hidup ini, Ahhh, terkutuklah aku. Mengapa aku dulu menguasai Aji Penyu Dheles itu" Terkutuklah aku........hi-hi-hi-hih!" "Aji Penyu Dheles" Apakah itu, bibi" Kenapa bibi belum pernah menceritakan kepadaku, juga tidak mengajarkan?" "Ah, jangan andika mempelajari itu, Dewi. Aji itu merupakan kutukan bagiku dan sekarang aku menyesal sekali telah menguasai aji itu. Aji itu membuat usiaku menjadi panjang sekali, seperti usia seekor penyu (kura-kura). Kautahu" Kurakura itu dapat hidup sampai ratusan tahun! Dan aku....ah, celaka,apa artinya hidup terlalu lama" Hanya untuk memperpanjang derita siksaan hidup! Mata makin lamur, telinga semkin tuli, lidah dan hidung mulai melemah, kesehatan mundur, tenaga makin habis, tubuh digerogoti usia tua akan tetapi nyawa tidak juag mau loncat! Semua ini gara-gara Aji Penyu Dheles! Dan dalam keadaan semakin lemah, ada saja orang orang-orang datang memusuhiku. Apa ini bukan siksaan namanya" Aduh Gusti, mengapa tidak segera diakhiri saja kehidupan seperti ini?" Nenek itu lalu menangis dengan suara yang khas. Dewi memandang gurunya dengan mata terbelalak. Nampak jelas sekali olehnya hikmah pelajaran dari pengalaman gurunya itu. Memang aneh mendengar orang berkeluh kesah karena panjang usia! Semua orang hidup di dunia ini menghendaki umur panjang. Dan gurunya sudah memiliki Aji Penyu Dheles yang membuat usianya dapat panjang sampai seratus tahun lebih, dan apa jadinya" Gurunya itu tidak merasa bahagia, malah merasa tersiksa dan kini menangis mohon kepada dewata agar dicabut saja nyawanya! Di sisni jelas nampak betapa jauh bedanya antara apa yang diharapkan dengan kenyataannya. Kenyataan tidak selalu seindah yang diharapkan,bahkan apa yang diharap-harapkan itu mungkin saja setelah terdapat menjadi sesuatu yang menyengsarakan. Demikian pula dengan apa saja di dunia ini, bukan hanya usia panjang. Orang mengejar dan memperebutkan kedudukan dan akhirnya setelah memperoleh kedudukan dai menjadi sengsara karena kedudukannya itu, yang ternyata tiodak senikmat ketika masih dalam pengejaran. Harta benda juga demikian. Jarang di antara mereka yang berharta dapat benar-benar menikmatai harta bendanya, bahkan lebih banyak mendatangkan kejengkelan dan kesusahan. Hanya mereka yang belum memiliki emas dapat mengagumi kemilau emas. "Bibi, kalau bibi tidak mau ikut pergi bersamaku, lebih baik aku berada saja di sini menemanimu." akhirnya Dewi menghibur. "Ah,tidak,tidak! Hi-hi-hi-hik, tidak!" Nenek itu mengetuk-ngetukkan ujung tongkatnya keatas batu karang. "Untuk apa aku dengan susah payah mengajarkan semua aji itu kepadamu kalau engkau hanya tinggal di sini". Ingat, aku menghendaki agar engkau melanjutkan apa yang selama ini telah kulakukan. Merantau, kalau bertemu dengan orang jahat, bunuh jangan beri ampun! Dan engkau harus berdarma bakti kepada kerajaan Daha, membersihkan kerajaanaan ayahandamu dari orang-orang jahat yang menodai nama harum ramandamau! Andika tahu apa yang dicari oleh anjing-anjing Blambangan tadi" Keris pusaka Tilam Upih! Hi-hi-hik, kiranya keris pusaka itu telah muncul kembali dan menjadi perebutan. Dewi, pusaka itu adalah pusaka milik kerajaan Daha, menjadi lambang kerajaan Daha. Karena itu, sudah menjadi tugasmu pula untuk menemukannya. Kau wakililah aku untuk mencari keris pusaka itu dan mengembalikannya kepada ayahmu. "Baiklah, bibi. Akan kutaati perintah bibi. Akan tetapi, biarpun aku tahu bahwa keris pusaka itu oleh kanjeng rama telah diramalkan akan muncul ke mana aku harus mencarinya" Akupun sudah pernah mendengar bahwa keris itu berasal dari Lautan Kidul dan akan muncul di Lautan Kidul pula, akan tetapi pesisir kidul merupakan pesisir yang panjang sekali, sepanjang Nusa Jawa. Ke manakah aku harus mencari, bibi?" "Hi-hi-hik,orang lain tentu tidak akan tahu di mana adanya pusaka Tilam Upih itu, akan tetapi aku tahu. Mendiang suamiku, Ki Kolokrendo, mempunyai adik seorang laki-laki bernama Ki Koloyitmo. Akhir-akhir ini terjadi hal yang aneh kepadanya. Orang kasar dahulunya hanya hidup sebagai begal itu kabarnya kini menjadi orang besar. Mula-mula di menguasai Nusa Kambangan, bahkan kemudian terdengar berita bahwa dia telah berhasil mendirikan sebuah kerajaan kecil di sana dan dia yang menjadi rajanya! Hi-hi-hi-hik, tidak mungkin seorang kasar seperti dia dapat menjadi raja kalau saja dia tidak mendapatkan wahyu kerajaan. Dan siapa tahu, wahyu itu berujut keris pusaka Tilam Upih. Kalau dia menemukan Tilam Upih, bukan tidak mungkin dia dapat menjadi raja. Nah, karena itu, pergilah engkau ke Nusa Kambangan, Dewi. Selidikilah, dan kalau kemudian engkau mendapatkan bahwa benarbenar dia memiliki Tilam Upih, rampaslah keris pusaka itu dan kalau perlu bunuhlah dia." Dewi menjadi girang sekali mendengar ini. "Kalau begitu, aku akan segera pergi menyelidiki ke Nusa Kambangan, bibi!" "Akan tetapi berhati-hatilah engkau,Dewi. Soal aji jaya-kawijayan, aku tidak percaya bahwa engkau akan kalah olehnya. Akan tetapi, keris pusaka Tilam Upih itu ampuh sekali, gawat keliwat-liwat. Kita tidak akan mampu bertahan menerima serangan keris pusaka ampuh itu. Karena itu berhati-hatilah dan lebih baik menghindar kalau dia menggunakan keris pusaka itu. Jangan sekali-kali berani mencoba kekuatan Aji Trenggilin Wesi terhadap keris itu. Dewi menganguk. "Aku mengerti, bibi. Aku akan mempergunakan kecepatan gerakan untuk menghindar kemudian merampas keris pusaka itu." "Bagus, akan tetapi ada lagi yang mengkhawatirkan. Aku pernah mendengar bahwa Ki Koloyitmo kabarnya juga telah mendapatkan pusaka ampuh Wijoyokusumo yang hanya tumbuh seabad sekali di Nusa Kambangan." "Hemm,apakah keampuhan setangkai kembang saja, bibi?" "Hi-hi-hi-hik,apakah engkau sudah lupa akan kisah lama, Dewi" Kembang Wijoyokusumo adalah milik Sang Hyang Wishnu, bukan sembarang kembang melainkan pusaka yang dapat menghidupkan orang dari kematian yang tidak wajar. Nah, dengan pusaka itu, di tangannya, seolah Ki Koloyitmo memiliki nyawa rangkap dan tidak mudah membunuhnya!" "Akan ku perhatikan baik-bai, bibi. Aku tidak bermaksud membunuhnya kalau saja dia mau menyerahkan Tilam Upih kepadaku." "Hi-hi-hi-hik,aku yakin bahwa engkaulah yang akan berhasil merampas keris pusaka itu. Nah, sekarang berangkatlah,Dewi. Keberangkatanmu merupakan hiburan besar bagiku karena aku akan dapat mengenangmu dengan puas hati bahwa engkau sedang mewakili aku mendapatkan keris itu. Mudah-mudahan saja kita masih akan dapat saling bertemu lagi. Aku akan selalu berada di goa ini, karena aku sudah mengambil keputusan uantuk tidak lagi mencampuri urusan dunia ramai dan akan menanti sampai Sang Yamadipati datang mengambil nyawaku." Dewi lalu berkemas, Tegang juga rsa hatinya. Setelah delapan tahun mengasingkan diri bersama Ni Durgogini, oia merasa aneh dan asing sekali membayangkan bahwa ia akan terjun ke dunia ramai, bahkan memperebutkan Tilam Upih dan menyelidiki dalang pembunuhan suaminya, lalu mencari puterinya, Niken Sasi! Tugas pekerjaan yang bertumpuk itu menyalakan semangatnya dan setelah berkemas, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Dewi sudah berpamit dari gurunya dan meninggalkan goa tepat tinggal Ni Durgogini. *** Sang Maha Prabu Jayabaya{1135-1157} adalah raja Daha atau Kediri dan dijamannya inilah Jenggalamenjadi satu kembali dengan Kediri seperti di jaman Sang Prabu Airlangga, sebelum kerajaan itu dipecah menjadi dua, yaitu Jenggala dan Panjalu atau Kediri{Daha}.Sang Prabu Jayabaya memiliki gelar yang panjang, yaitu lengkapnya : Sang Maha Panji Jayabhaya Sri Dareswa ra Madhusudanawataraninidita Suhertsingha! Akan tetapi nama besar Sang Prabu Jayabaya amat terkenal karena beliau amat pandai mempergunakan tenaga orang-orang bijaksana dan para ahli diundang dan diberi kedudukan penting. Tidaklah mengherankan kalau negara berada dalam keadaan tenteram dan rakyatpun hidup penuh kebahagiaan dalam suasana tenteram dan damai. Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sang Prabu Jayabaya sediri seorang ahli sastra yang amat bijaksana dan sakti mandraguna. Namun tiada henti-hentinya dia memperdalam pengetahuan dalam berbagai ilmu dan dikabarkan orang bahwa beliau adalah seorang pujangga yang sidik paningal dan tahu sebelum terjadi. Namun, tentu saja sebagai seorang yang sidik paningal, yang dikabarkan sebagai titisan Sang Hyang Wishnu, Sang Prabu Jayabaya tidak mau mendahului kebendak para dewata dan tidak berani pula membuka rahasia alam dengan menceritakan apa yang akan terjadi secara terang-terangan. Diapun cukup bijaksana untuk menerima apapun yang terjadi, baik maupun buruk, memang sudah digariskan oleh dewata, karenanya, mengubah atau menghalanginya akan merupakan dosa besar sekali. Pada suatu hari, Sang Prabu Jayabaya mengundang semua nayaka praja, para senopati dan para penasehat. Di antara mereka terdapat Empu Sedah dan Empu Panuluh, dua orang empu yang amat terkenal karena mereka telah membuahkan hasil karya besar. Cerita terkenal "Bharatayudha" adalah hasil tulisan kedua orang empu ini. Memang, kisah wayang purwo Mahabarata berasal dari India dan penulisan kedua orang empu itu bersumber dari cerita dari India itu,akan tetapi hasil tulisan mereka bukan hanya sekedar menyadur cerita India melainkan disesuaikan dengan keadaan dan kebudayaan rakyat sehingga tidak berbau asing. Penulisan Bharatayudha terpengaruh oleh keadaan di dalam negeri. Telah terjadi perang saudara antara Daha dan Jenggala yang berakhir dengan menyatunya kedua negara bersaudara ini dan demikian pula cerita Bharatayudha. Terjadi perang saudara antara kaum Kurawa dan Pendawa yang berakhir dengan kemenangan pihak Pendawa. Persidangan yang diadakan Sang Prabu Jayabaya iniada kaitannya dengan hasil karya besar itu, yiitu untuk merayakannya. Di samping itu juga membicarakan keadaan dalam negeri, terutama di bidang keamanan dan juga tentang keris pusaka Tilam Upih yang sedang dicari, bukan saja oleh pihak kerajaan, melainkan oleh semua orang gagah yang seolah hendak memperebutkannya. Sang Prabu Jayabaya menugaskan seorang senopati yang terkenal gagah perkasa, yaitu Lembudigdo, untuk mencari keris pusaka Tilam Upih. "Senopati Lembudigdo, engkau kami beri tugas ganda. Ada berita baha di pulaupulau selatan ada gerakan-gerakan yang sifatnya menntang kerajaan Daha. Terutama sekali kerajaan baru di Nusa Kamabangan. Nah, menjadi tugasmu untuk melakukan penyelidikan dan kalau memang benar demikian, jangan ragu lagi, perintahkan mereka untuk tunduk dan kalau mereka membangkang, terpaksa harus dipergunakan kekerasan. Akan tetapi, jaga sedemikian rupa agar jangan sampai jatuh banyak korban. Cukup untuk memberi pelajaran agar mereka menaluk sebelum banyak yang tewas." "Hamba siap, ada sebuah tugas lagi yang tidak kalah pentingnya, Lembudigdo. Selain menyelidiki keadaan para gerombolan di pulau-pulau selatan itu, juga selidikilah kalau-kalau keris pusaka Tilam Upih sudah muncul. Andika harus dapat merampas keris pusaka itu dari tangan siapapun, karena keris pusaka itu adalah keris kerajaan dan akan menimbulkan malapetaka kalau terjatuh ke tangan orang jahat yang tidak berhak." "Hamba siap melaksanakan perintah!" kata senopati itu dengan suara tegas dan sikap yang tegap gagah. Sang Prabu Jayabaya tersenyum menyaksikan sikap panglimanya. "Lembudigdo, apakah andika telah mengetahui bagaimana bentuk dan macamnya Tilam Upih?" Ditanya demikian, senopati itu gelagapan. Memang,bermimpipun belum pernah dia melihat keris pusaka itu. Dia menyembah dan menjawab gugup, "Hamba.......ini.....ini.....hamba belum mengetahuinya. Mohon beribu ampun, gusti........" "Ha-ha-ha, belum pernah melihatnya bukan merupakan kesalahan yang perlu diampuni, Lembudigdo. Kami sendiripun belum pernah melihatnya karena keris pusaka itu lenyap pada jaman eyang Prabu Rake Halu Shri Lokeshwara Dharmawangsha Airlangga Anantawikrama Tunggadewa. Akan tetapi, kami kira para pinisepuh yang ahdir dalam persidangan ini tentu ada yang mengetahuinya. Kami kira Kakang Empu Sedah dapat menerangkannya." Sang Prabu Jayabaya menoleh kepada Empu Sedah dengan sinar mata bertanya. Empu Sedah memang lebih tua dari pada Sang Prabu Jayabaya. Usianya sudah empatpuluh lima tahun, sepuluh tahun lebih tua dibandingkan junjungannya itu.Dan sebagai seorang empu dan pujangga, pengetahuannya luas. Dia menghaturkan sembah lalu berkata. "Sesungguhnya, Kanjeng Gusti.Hamba pernah mendengar penggambaran tentang Kyai Tilam Upih. Ciri-cirinya pusaka itui berlekuk tiga, kembang kacang, sogokan Srawean, Heri pandan, Greneng Pada gigir pusaka bagian atas berpamao perak mencorong dan itulah bagian yang baik dari pusaka itu. Akan tetapi bagian bawahnya berpamor hitam dan bagian ini ganas buakn main, lagi ampuh." "Nah, andika telah mendengar jelas. Senopati Lembudigdo" Keris bentuk dan macam itulah yang harus kau temukan." Senopati itu menyembah. "Hamba telah mengetahuinya dengan jelas, Kanjeng Gusti. Semoga dengan restu paduka hamba akan berhasil menemukan pusaka itu." Tiba-tiba Empu Panuluh yang berusia limapuluh tahun itu menghaturkan sembah. "Beribu ampun hamba berani menghaturkan suatu peringatan, Gusti." "Empu Pnuluh, setiap peringatan merupakan sesuatu yang amat berharga dan patut dibalas dengan ucapan syukur dan terima kasih. Katakanlah, peringatan apa yang ingin andika sampaikan kepada kami?" "Ampun, Gusti. Sejak jaman dahulu setiap pusaka yang ampuh dan baik selalu mendatangkan berkah dan anugerah kepada siapa yang memilikinya, sebaiknya, setiap pusaka yang ampuh dan mengandung hawa yang jahat akan mendatangkan malapetaka bagi pemiliknya. Kyai Tilam Upih memang pusaka ampuh dan juga telah ditangani oleh mendiang Gusti Prabu Airlangga sendiri sehingga mengandung kebikan, namun sayang pusaka itu memang pada awalnya sudah memiliki kandungan hawa yang tidak baik. Oleh karena itu, tentu akan mendatangkan malapetaka yang tidak diinginkan kepada pemiliknya." Sang Prabu Jayabaya mengangguk-angguk. "Benar ucapanmu, Empu Panuluh. Dan kalau menurut perhitunganmu, malapetaka apakah yang dapat didatangkan Tilam Upih kalau berada di tangan kami?" "Ampun hamba, Gusti. Hamba tidak berani mendahului kehendak Hyang Widhi, akan tetapi biasanya, keris pusaka yang berhawa hitam itu pasti akan membawa korban di antara keluarga pemiliknya." Kembali Sang Prabu Jayabaya mengangguk-angguk. "Jagat Dewa Bathara! Segala kehendak Hyang Widhi Wasa pasti akan terlaksana tanpa ada kekuasaan apapu yang sanggup mengubahnya. Empu Panuluh, andika pasti memaklumi pula bahwa siapapun orangnya, kalau dia sudah dipilih untuk menjadi korban Sang Hyang Syiwa, maka orang itu memang sudah digariskan sesuai dengan karmanya sendiri. Oleh karena itu, tidak ada penyesalan apapun." "Hamba tidak dapat lain kecuali menyetujui sabda paduka yang bijaksana dan mulia." Empu Panuluh menghaturkan sembah. Pada saat itu, seorang pria muda berusia tigapuluh tahun, berwajah tampan, menghaturkan sembah. "Kanjeng Rama, hamba menghaturkan sembah dan perkenankan hamba mengajukan usul hamba." Sang Prabu Jayabaya memandang dan tersenyum. Yang bicara ini adalah Pangeran Arya Iswara, yaitu pangeran mahkota atau calon pengganti kedudukan raja Kediri kalau Sang Prabu Jayabaya sudah mengundurkan diri. "Puterada pangeran, di dalam persidangan, hak bicara menyatakan pendapat adalah hak setiap orang yang hadir. Kalau andika memiliki pendapat dan usul, cepat katakan karena setiap pendapat tentu ada manfaatnya bagi sidang." kata Sang Prabu sambil tersenyum memberi semangat. Kembali pangeran yang tampan itu menghaturkan sembah, lalu berkata, "Kanjeng Rama, pusaka Tilam Upih adalah pusaka keraton, berarti ada hubungan erat dengan keluarga kerajaan sehingga sudah semestinyalah kalau keluarga kerajaan sendiri turun tangan dalam usaha menemukan karena menjadi kebutuhan pribadi keluarga. Tentu saja paduka tiodak mungkin dapat meninggalkan tahta hanya untuk mencari pusaka itu, akan tetapi hamba dapat mewakili paduka untuk mencari dan menemukannya. Sudah menjadi kewajiban hamba pribadi kiranya untuk menemukan pusaka keluarga kita itu, Kanjeng Rama. Hamba akan menemani Paman Lembudigdo mencari pusaka Tilam Upih, yaitu apabila paduka mengijinkan." Semua orang yang hadir menganguk-angguk setuju dan kagum kepada pangeran ini. Tidak seperti pangeran kerajaan kebanyakan yang hanya suka pergi berburu dan bersenang-senang saja, pangeran Arya Iswara ini terkenal sebagai seorang pemuda yang rajin dan gemar belajar bukan hanya mempelajari kesusasteraan dan kesenian, kan tetapi juga ulah keperajuritansehingga dia terkenal sebagai seorang muda yang digdaya dan sakti mandraguna seperti ayahnya. Akan tetapi sebelum Sang Parabu Jayabaya menaggapi usul ini, tiba-tiba terdengar suara orang terbatuk-batuk. Orang itu adalah seorang pria yang usianya sekitar enampuluh tahun, wajahnya mirip wajah Sang Prabu Jayabaya, tubuhnya sedang namun tegap dan sinar matanya mencorong.Dia ini memang seorang pangeran, kakak tiri Sang Prabu Jayabaya, yaitu seorang pangeran dari selir. Namanya adalah Pangeran Wijayanto atau lebih terkenal dengan sebutan Pangeran Sepuh, karena hanya dia seoranglah pangeran Kakak Sang Prabu yang masih hidup. Sang Prabu Jayabaya menoleh kepadanya dan bertanya ramah. "Andika kenapakah, kanda pangeran?" "Uugh-ugh-ugh.......maafkan hamba, yayi prabu. Mendengar ucapan angger Pangeran Arya Iswara tadi, hamba merasa amat bangga dan juga terharu sekali sehingga hamba terbatuk-batuk. Akan tetapi sebelum paduka menjatuhkan keputusan, hamba kira ada baiknya kalau hamba mohon paduka mempertimbangkannya masak-masak lebih dulu. Angger Pangeran Arya Iswara adalah seorang pangeran pati seorang putera mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan paduka sebagai raja Kediri. Dia adalah seorang yang teramat penting.Oleh karena itu, sungguh berbahaya sekali kalau paduka memperkenannya pergi mencari Tilam Upih. Kita semua tehu bahawa keris pusaka iti kini dikejar dan diperebutkan orang-orang gagah senusantara, sehingga bahaya besar akan mengancam diri Angger Pangeran Arya Iswara. Masih kurangkah para senopati dan juga pangeran lain di kerajaan Kediri maka menugaskan pekerjaan berbahaya itu kepada seorang pangeran pati" Hamba kira Pangeran Panjiluwih cukup pantas untuk mewakili kakaknya sang pangeran pati untuk pergi mencari keris pusaka itu bersama para senopati. Demikianlah pendapat hamba, adinda prabu!" "Hamba siap melaksanakan perintah paduka. Kanjeng Rama. Tidak perlu Kakanda Pangeran Mahkota yang pergi,hamba sanggup mencari pusaka itu sampai dapat!" kata Pangeran Panjiluwih, seorang pangeran berusia duapuluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar dan gagah perkasa, dengan kumis yang tebal melingkap di kanan kiri hidungnya, bagaikan Sang Arya Gatutkaca! Sang Parabu Jayabaya menganguk-angguk sambil tersenyum tenang. "Sungguh bijaksana sekali pendapat kanda Pangeran Sepuh, dan agaknya sudah bulat tekadmu untuk mewakili ramandamu,Panjiluwih. Baiklah, kami perkenankan Pangeran Panjiluwih untuk menemani Senopati Lembudigdo mencari keris pusaka Tilam Upih. Dan andika, Arya Iswara, andika jangan pergi, biarkan andindamu yang mewakilimu." "Hamba menaati perintah paduka kanjeng rama." kata Pangeran Arya Iswara dengan senyum tenang, lalu menoleh kepada adiknya dan berkata lirih. "Andika harus berhati-hati melaksanakan tugas berat itu, adinda pangeran." Pangeran Panjiluwih tidak menjawab, hanya melirik ke arah pangeran pati itu sambil mengangguk sedikit, akan tetapisenyum licik tersembunyi di balik kumisnya yang tebal. Pangeran Panjiluwih menghaturkan sembah kepada sang prabu sambil berkata, "Ampun Kanjeng Rama. Biarpun hamba maklum bahwa tugas mencari keris pusaka itu merupakan tugas yang tidak mudah dan berbahaya, namun hamba bersumpah akan mencari sekuat kemampuan hamba. Dan untuk mempertebal keyakinan hamba akan keberhasilan hamba, maka hamba mohon sudilah kiranya Kanjeng Rama memberikan sebuah pusaka kepada hamba untuk bekal dan pelindung diri dalam perjalanan." Sang Prabu Jayabaya tersenyum. "Jagat Dewa Bathara! Ternyata andika seorang yang cukup cerdik, angger. Baiklah. Kami memiliki sebuah pusaka, sebatang keris pusaka bernama Kyai Gliyeng. Berkat keampuhan keris ini, andika dapat mengharapkan ditemukannya kembali keris pusaka Tilam Upih itu. Biasanya, kalau para dewata menghendaki Kyai Gliyeng dapat menunjukkan arah hilangnya sebuah benda yang dicari. Nah, inilah Kyai Gliyeng, kuserahkan kepada nadika untuk membantu pencarian Tilam Upih!" Terima kasih, Kanjeng Rama!" kata Pangeran Panjiluwih girang sambil menghaturkan sembah dan menerima keris Kyai Gliyeng itu. Persidangan lalu dibubarkan dan Pangeran Panjiluwih mengadakan perundingan dengan Senopati Lembudigdo untuk melaksanakan perintah Sribaginda mencari pusaka yang hilang seabad yang lalu. Mereka membentuk sebuah pasukan khusus terdiri dari limapuluh orang dan mulailah mereka berangkat menuju ke selatan. Di samping itu,merekapun menyebar para penyelidik ke seluruh bagian pantai dari timur ke barat. *** Niken Sasi menuruni lereng terakhir dari Gunung Anjasmoro. Ia meninggalkan gurunya dan melakukan perjalanan dengansantai sambil menikmati keindahan pemandangan alam di sepnjang perjalanan menuruni gunung itu. Ia merasa seperti hidup baru, memulai lembaran baru dalam hidupnnya. Karena ia sendiri tidak tahu kapan ia akan kembali ke gunung Anjasmoro, maka ia ingin menikmati keindahan tempat itu untuk terakhir kalinya sebelum ia pergi melaksanakan tugas yang berat. Kini ia tiba di tempat di mana dahulu ayah igunya diserang gerombolan penjahat. Gurunya sudah memberitahu bahwa gurunya telah mengubur janazah ayahnya di tempat itu, di bawah pohon kenanga dan makam itu ditandai dengan batu besar. Sebelum meninggalkan kaki gunung, ia ingin lebih dulu menemukan makam ayahnya . Akhirnya, ia dapat menemukan makam itu, di bawah pohon kenanga, dan batu besar sebagi nisannya. "Kanjeng rama..........!" Niken Sasi berlari menghampiri makam itu dan iapun menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. Hatinya terasa perih, akan tetapi ia tidak menangis. Tidak, ia adalah seorang dara perkasa yang pantang untuk menangis. Ia membayangkan wajah ayahnya yang tampan dan gagah. Kemudian ia teringat pula kepada ibunya dan hatinya menjadi semakin perih kalau ia membayangkan ibunya. Apa yang telah terjadi dengan ibunya" Masih hidupkah ibunya, ataukah sudah tewas pula seperti ayahnya"Ia pasti akan menyelidiki hal ini, menyelidiki siapa yang telah membunuh ayahnya dan mengapa pula orang tuanya dibunuh. Akan tetapi hal itu akan dilakukannya setelah ia berhasil dengan tugas pertama, yaitu mencari keris pusaka Tilam Upih. Setelah merasa cukup puas dan lama berada di makam ayahnya, Niken Sasi lalu bangkit berdiri dan siap hendak meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, tiba-tiba ia terkejut melihat munculnya belasan orang dari balik semak belukar dan pohon. Tujubelas orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar itu mengepungnya dan yang mengejutkan dan mengherankan Niken Sasi adalah melihat betapa belasan orang itu semua mengenakan saputangan hitam yang menutupi muka mereka dari mata kebawah. Karena kepala merekapun mengenakan pengikat kepala dari kain hitam, maka yang nampak hanya sepasang mata mereka yang saja yang memandang dengan liar dan ganas. Niken Sasi memang terkejut dan heran. Akan tetapi sama sekali ia tidak merasa takut dan dengan tenang ia menghadapi para pengepungnya. "Siapakah kalian dan apa maksud kalian mengepungku?" tanyanya dengan suara yang merdu, lembut namun berwibawa. Akan tetapi belasan orang itu tidak memperdulikan pertanyaannya dan serentak lalu mereka menerjang, dengan tendangan kaki, pukulan tangan dan mencengkeram jari-jari tangan yang penuh semangat. Marahlah Niken Sasi. "Manusia-manusia busuk!" bentaknya dan tubuhnya sudah bergerak cepat sekali, berkelebatan di antara belasan orang pengeroyoknya. Terdengar suara lengkingan berkali-kali disusul robohnya beberapa orang pengeroyok. Niken Sasi berkelebat menjauhkan diri dari serangan banyak orang itu, dan ketika mereka mengejar, ia membalik dan balas menyerang. "Haiiiiiiittt.......yahhhh......! bentaknya dan setiap kali kakinya mencuat dalam tendangan atau tangannya menyambar dalam tamparan tentu ada seorang pengeroyok yang terpelanting robih dan baru setelah agak lama dapat bangkit kembali. Belasan orang itu mempercept pengeroyokan mereka, dan serangan mereka semakin gencar. Namun sungguh aneh belasan orang pria yang kuat mengeroyok seorang dara dengan hujan serangan tak sekalipun dari semua serangan pukulan dan tendangan itu dapat mengenai tubuh Niken Sasi. Jangankan mengenai kulit tubuhnya. Menyerempet pakaiannyapun tidak. Demikian cepatnya gerakan Niken Sasi. Inilah Aji Tapak Srikatan yang membuat tubuh dara itu dapat berkelbatan bagaikan burung srikatan lincahnya. "Hiaaaaaatttt........!" Kembali beberapa orang berpelantingan sehingga belasan orang itu hampir semua sudah merasa akan roboh terpelanting. Agaknya belasan orang itu menjadi marah dan begitu terdengar seruan "Bunuh.........!!!" sebagai isyarat, mereka semua telah mencabut senjata mereka! Tujuh belas orang itu kini memegang senjata tajam, ada yang memegang golok yang besar dan panjang, ada pula yang memegang pedang dan ada juga yang memegang keris. Berkialuan senjata Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo senjata itu terkena sinar matahari dan keadaan mereka menyeramkan sekali. Akan tetapi Niken Sasi tidak menjadi gentar malah tertawa. Suara tawanya merdu dan hanya sebentar mulutnya terbuka, memperlihatkan giginya yang putih mengkilap. Hatinya merasa gembira karena baru sekarang ia membuktikan sendiri bahwa segala macam aji yang dipelajarinya dari gurunya, ternyata dapat membuat ia pandai membela diri dengan baiknya sehingga para pengeroyokan belasan orang itu dirasakannya ringansekali. Bru sekarang ia membuktikan sendiri bahwa ia telah menjadi seorang dara yang digdaya dan sakti mandraguna. Kebanggan dan kegembiraan tanpa rasa sombong memenuhi hatinya dan kepercayaan terhadap dirinya sendiri menjadi menggunung. "Kalian ini mengapakah mengeroyok akau" Katakan siapa kalian, dan apa artinya pengeroyokan ini, mungkin aku masih dapat mengampunimu!" Akan tetapi, ucapan ini disambut serangan serentak dari berbagai penjuru. Keris, pedang dan golok menyambar-nyambar, mengancam keselamatan Niken Sasi. Akan tetapi gadis itu memang sudah siap siaga. Ketika dari semua penjuru para pngeroyoknya menyerbu, tiba-tiba saja pengeroyoknya menyerbu, Tiba-tiba saja orang yang mereka serang itu telah lenyap. Hanya nampak bayangan berkelebat ke atas dibarengai suara tawa dan ketika mereka mencari sambil memutar tubuh, ternyata Niken Sasi telah berada di luar kepungan mereka. Setelah melihat para pengeroyok membalikan tubuh hendak mengejarnya, mulailah Niken Sasi menggerakkan kaki tangnya dengan cepat. Mereka yang berada di depan berusaha menggerkkan senjata mereka, akan tetapi mereka kalah cepat. Sebelum senjata mereka mampu menyerang, tamparan dan tendangan telah membuat mereka terpelanting ke kanan kiri dan sekali ini tendangan dan tamparan itu lebih keras lagi sehingga mereka yang roboh itu mengaduh-aduh dan berusaha bangkit. Pedang, golok dan keris beterbangan dari tangan meraka yang roboh. Akan tetapi, orang-orang bertopeng itu masih nekat mengeroyok dengan lebih ganas. Karena jumlah lawan yang banyak, Niken khawatir kalau-kalau ada senjata nyasar mengenai dirinya, maka iapun melompat jauh ke belakang,lalu menggosok-gosok kedua tangannya mengerahkan Aji Hasta Bajra. Ia tidak menanti sampai kedua telapak tangannya panas sekali karena ia ingin membatasi tenaganya dan setelah kedua telapak tangan itu agak panas, dan melihat mereka sudah mengejarnya lagi, ia lalu memasang kuda-kuda dan kedua tangannya didorongkan ke depan dengan telapak tangan terbuka. "Blaarrrrrr........!" Empat orang yang berada paling depan tiba-tiba terjengkang ke balakang menabrak teman-temannya seperti disambar petir dan mereka pingsan seketika, kawan-kawannya yang ditabrak berpelantingan. Pada saat itu, muncul seorang pemuda tanpa banyak cakap lagi mengamuk, menampar dan menendangi para pengeroyok itu sehingga mereka menjadi semakin mawut dan kacau. Akhirnya, mereka yang belum terluka parah menyambar tubuh temannya yang terluka dan segera melarikan diri.Niken Sasi merasa heran melihat munculnya pemuda itu, akan tetapi ketika melihat bahwa yang muncul membantunya adalah Gajahpuro, iapun meresa senang dan tersenyum. Gajahpuro juga tidak mengejar orang-orang yang melarikan diri itu, melainkan cepat menghampiri Niken Sasi. Niken.......! Engkau tidak apa-apa?" tanya pemuda itu yang kelihatan khawatir sekali. Niken Sasi tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Gerombolan penjahat itu tidak melukai aku, Kakang Gajahpuro. Sukur engkau datang membantuku." "Siapakah mereka itu, Niken" Dan mengapa pula mereka mengeroyokmu?" Niken Sasi menggeleng kepalanya dan iapun mengambil buntalan bekal pakaiannya yang tadi ia lepaskan dan sampirkan di semak-semak. "Aku tidak tahu mereka siapa dan mengapa mereka mengeroyokku. Mereka tidak ada yang mengaku." Gajahpuro mengepal tinjunya, dan memukul telapak tangan kiri dengan gemas. "Ah, kalau tahu begitu, tentu kutangkap seorang di antara mereka untuk ditanya. Kurang ajar sekali mereka!" "Sudahlah, kakang. Aku kan tidak terluka dan mereka itu sudah melarikan diri. Akan tetapi bagaimana engkau mendadak dapat muncul membantuku" Kenapa engkau berada di sini,kakang Gajahpuro?" "Aku memang pergi menyusulmu, Niken. Engkau pergi tidak berpamit padaku dan ketika tadi aku mendengar bahwa engkau sudah pergi, aku segera mengejarmu dan melihat engkau dikeroyok di sini aku lau membantumu." "Ah, kakang Gajahpuro. Kemarin aku sudah menceritakan kepada semua murid bahwa aku pergi untuk melaksanakan perintah Bapa Guru mencari Tilam Upih untuk dihaturkan kepada KerajaanDaha, dan juga untuk mencari para pembunuh orang tuaku." "Karena itulah aku merasa khawatir. Engkau seorang gadis remaja pergi sorang diri menempuh bahaya! Bagaimana hatiku tidak merasa khawatir"Maka aku lalu menyusulmu karena aku hendak menemanimu dalam me;aksanakan perintah Bapa Guru." Niken Sasi tersenyum memandang wajah pemuda ganteng itu.Gajahpuro memang selalu bersikap manis kepadanya dan ia menganggapnya sebagai teman sejak kecil yang baik sekali. "Terima kasih, kakang Gajahpuro. Akan tetapi aku tidak ingin ditemani karena Bapa Guru memerintahkan aku pergi sendiri. Aku tidak ingin melawan perintah Bapa Guru." "Ah, Niken! Bapa Guru tidak akan mengetahui bahwa aku menemani dan membantumu!" "Tidak,Kakang. Urusan mencari para pembunuh orang tuaku merupakan urusan pribadi yang harus kupertanggung-jawabkan sendiri. Orang lain tidak boleh mencampuri." "Akan tetapi, aku dapat membantumu mencari Tilam Upih." "Kalau engkau hendak membantuku, mencari keris pusaka itu, silakan. Akan tetapi jalan kita bersimpang. Aku ingin merantau dan melakukan perjalanan seorang diiri." Gajahpuro tidak membujuk-bujuk lagi, memandang gadis yang dicintainya sampai lama, kemudian dai menghela napas dan berkata. "Aku tahu, Niken. Engkau tidak mau aku temani karena engkau merasa sudah cukup kuat. Engkau bahkan lebih sakti daripada murid-murid Bapa Guru yang lain. "Kulihat tafi engkau telah menguasai Hasta Bajara!" Niken Sasi terkejut. "Engkau melihatnya , kakang" Harap engkau berbaik hati untuk tidak bercerita kepada siapapun, apa lagi kepada Bapa Guru yang tentu akan merah mendengar aku mempergunakan aji itu walaupun keadaan tidak terpaksa sekali." "Tenanglah, aku tidak akan bercerita. Akan tetapi kita akn bertemu kembali, Niken. Aku akan membantumumencari Tilam Upih yang besar kemungkinan kita akan saling bertemu dalam usaha mencari keris pusaka itu." "Baiklah, kakang. Sekarang aku hendak melanjutkan perjalananku. Selamat berpisah, kakang Gajahpuro." Pandang mata pemuda itu nampak kecewa sekali. Menurut perhitungannya, gadis itu tentu akan girang ditemani melakukan perjalanan, ada kawan yang membantunya. Siapa kira, gadis itu menolaknya dan tidak mempunyai alasan lain untuk mendesak. "Baiklah,Niken. Semoga para dewa melindungimu dan engkau akan berhasil." "Terima kasih Kakang. Engkau memang baik sekali!" Mereka berpisah dan ucapan terakhir Niken Sasi itu setidaknya merupakan hiburan bagi Gajahpuro. Mereka berpisah mengambil jalan masing-masing. Setelah tiba di luar dusun pertama di kaki Gunung Anjasmoro. Niken Sasi melihat seorang kakek berjalan datang dari arah depan . Ia segara mengenal kakek itu. Paman Joyosentiko, serunya. Paman datang dari manakah?" Kakek itu adalah Ki Joyosentiko, seorang anggota tua dari Gagak Seto. Sebetulnya dia masih kakak seperguruan dari Ki Sudibyo, akan tetapi tingkat kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan adik seperguruan yang menjadi ketua Gagak Seto itu. Di pergurun Gagak Seto, Ki Joyosentiko ini bertugas mengajarkan kesussastraan kepada para murid. Menurut peraturan yang diadakan Ki Sudibyo, semua murid Gagak Seto harus mempelajari kebudayaan, karena dia berpendapat bahwa ilmu kedigdayaan tanpa disertai ilmu kebudayaan, dapat membuat murid menjadi seorang yang hanya menurutkan nafsu sendiri mengandalkan kesaktiannya. Ki Joyosentiko mengangkat tangan ke atas." Aku memang sengaja menantimu di sini, Niken. Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu sebelum engkau melanjutkan perjalananmu. Mari kita pergi ke gubuk di tengah Ladang itu agar dapat bicara dengan leluasa." "Baik, paman." Niken Sasi menghormati orang tua ini karena segala macam kesenian ia pelajari darinya, juga tentang adat istiadat dan kesusilaan. Setelah mereka duduk berhadapan, Ki Joyosentiko berkata dengan suaranya yang lembut dan tenang. "Angger, Niken Sasi. Aku mendengar bahwa engkau mendapat tugas dari gurumu untuk mencari Tilam Upih, dan juga untuk mencari para pembunuh ayah bundamu." "Benar, paman." "Dan aku mendengar pula bahwa engkau kelak akan diangkat menjadi ketua Gagak Seto menggantikan adi Sudibyo, benarkah?" Niken Sasi memandang tajam wajah pamannya! Ia menganggap bahwa hal itu tidak perlu dirahasiakan lagi. "Memang demikianlah kehendak Bapa Guru, paman. "Aku melihat bahwa pilihan Bapa Gurumu tidak keliru. Walupun andika murid wanita, namun andika lebih maju daripada yang lain, baik kemajuan lahir maupun batin. Bahkan lebih lagi tadi akupun sempat menyaksikan engkau menguasai Hasta Bajra." Niken Sasi membelalakan matanya. "Paman melihatnya" Paman tahu siapa gerombolan jahat yang tadi mengeroyokku?" Kakek itu menggeleng kepala. "Aku sendiri tidak mengenal mereka karena mereka bertopeng. Akan tetapi peristiwa itu menunjukkan betapa berat tugasmu dan engkau haruslah berhati-hati dan waspada. Ingat, jangan sembarangan mempercayai orang karena di dunia ini lebih banyak terdapat orang yang berwatak palsu daripada orang yang tulus benar. Akan tetapi yang hendak kuberitakan ini adalah soal yang lain lagi, yaitu mengenai diri bapa gurumu." Pandang sepasang mata yang jeli itu penuh selidik menatap wajah Ki Joyosentiko yang sudah terbiasa keriput. "Ada apakah dengan Bapa Guru, paman?" "Tahukah andika, Niken, bahwa bapa guru selalu sakit-sakitan, tubuhnya menjadi lemah dan dia kehilangan tenaga saktinya, juga selalu terbenam kedalam kesedian?" Niken Sasi mengerutkan alisnya, akan tetapi ia harus membenarkan pendapat pamannya dan ia menganggu-angguk. "Memang demikian, paman. Akan tetapi, saya tidak tahu mengapa demikian. Mengapa Bapa Guru kelihatan seperti lemah berpenyakitan dan wajahnya selalu diliputi wan kedukaan. Tahukah paman mengapa Bapa Guru bersedih seperti itu?" Ki Joyosentiko menghela napas panjang beberapa kali, lalu berkata, "Aku merasa iba sekali kepada Adi Sudibyo, walaupun semua ini terjadi karena kesalahannya sendiri pula. Hatinya terlampau keras, dan sudah menjadi wataknya, sejak muda bahwa dia tidak mau kalah oleh siapapun. Nah, dengarkan ceritaku Niken. Hal ini perlu kau ketahui agar engkau mengerti benar persoalannya yang terjadi dalam keluarga Bapa Gurumu yang akan kau gantikan kedudukannya di Gagak Seto." Niken Sasi mendengarkan dengan penuh perhatian. Kembali Ki Joyosentiko menghela napas lalu mulai dengan ceritanya. "Kurang lebih duapuluh tahunyang lalu, di perguruan Gagak Seto ini terdapat seorang murid wanita bernama Ni Sawitri. Ia seorang yatiam piatu dan setelah menjadi murid di Gagak Seto, ia amat dekat dngan aku sehingga menganggap aku sebagai ayah angkatnya sendiri. Dalam perguruan terdapat pula seorang murid pria bernama Margono dan di antar kedua orang muda ini terjalin hubungan cinta kasih yang mendalam." Karena kakek itu berhenti bercerita, Niken lalu mengomentari, "Mereka berdua tentu berbahagia sekali, paman." Akan tetapi kakek itu menggeleng kapala dan menghela napas panjang. "Mestinya begitu. Akan tetapi sudah di tentukan oleh dewata agaknya bahwa nasib mereka tidaklah demikian gemilang.Ternyata Adi Sudibyo yang ketiaka itu berusia empatpuluh tahun dan masih membujang,jatuh cinta pula kepada Ni Sawitri. Inilah awal malapetaka itu. Ki sudibyo meminang muridnya sendiri dan Ni Sawiitri tidak berani menolaknya. Sejak kecil ia yang sudah yatim piatu diteriama menjadi murid Gagak Seto, berarti ia berhuatang budi besar sekali kepada Ki Sudibyo. Biarpun perasaanya hancur lebur, ia tidak berani menolak pinangan gurunya. Aku yang mengetahui persoalan ini sudah memberi ingat kepada Adi Sudibyo bahwa Ni Sawitri sudah mempunyai pilhan hati, akan tetapi Ki Sudibyo malah marah-marah dan menuduhku menghalangai kehendaknya. Nah, pernikahan itupun dilangsungkan. Hanya aku yang mengetahui betapa hancur rasa hati Ni Sawitri dan juga kekasihnya, Margono. Kurang lebih tiga bulan kemudian Margono jatuh sakit dan penyakitnya sedemikain beratnya sehingga orang sudah putus harapan untuk dapat menyembuhkannya. Ni Sawitri yang sudah tiga bulan menikah, memperoleh kesempatan untuk menjenguk dan terjadilah pertemuan antara kedua kekasih ini yang membangkitkan kenangan lama dan sekligus menjadi obat yang amat mujarab bagi Margono. Dia sembuh dan pertemuan itu menjadi semacam tekad mereka berdua. Tanpa diketahui siapapun, pada suatu malam, kedua orang itu minggat meninggalkan perkampungan Gagak Seto!" Kembali kakek itu menghela napas panjang dan Niken Sasi merasa tertarik sekali. Sungguh sukar ia dapat membayangkan gurunya yang demikian berwibawa dan halus budi, dapat memaksa seorang wanita berpisah dari kekasihnya dan menjadi isterinya! "Cinta memang dapat meimbulkan perbuatan yang aneh-aneh dan sukar dipercaya akal sekat," kata Ki Joyosentiko, seolah dapat membaca pikiran Niken Sasi. "Lalu bagaimana tanggapan Bapa Guru setelah melihat mereka berdua itu melarikan diri, paman?" "Nanti dulu, sebelum aku melanjutkan ceritaku, aku ingin lebih dulu mendengar pendapatmu tentang perbuatan mereka itu. Hal imi penting sekali untuk menentukan sikapmu kelak setelah engkau menjadi ketua Gagak Seto." Tanpa ragu lagi, dengan suara yang pasti, Niken Sasi menjawab. "Saya tidak dapat menyalahkan mereka berdua itu, paman. Walaupun hal ini merupakan pengkhianatan terhadap Bapa Guru dan membuat Bapa Guru tentu sja merasa terhina dan duka, akan tetapi hal itu adalah kesalahan Bapa Guru sendiri. Tidak semestinya dai memaksa Ni Sawitri untuk menjadi isterinya, apa lagi Ni Sawitri telah memiliki seorang kekasih. Bapa Guru sudah mengetahui karena paman telah memberi tahu, akan tetapi Bapa Guru nekat." "Bagus! Kalau begitu pendapatmu,aku berani melanjutkan ceritaku karena sikapmu kelak sudah kuketahui. Nah, ketika gurumu mendengar tentang minggatnya isterinya bersama Margono, dia menjadi marah bukan main dan segera melakukan pengejaran. Akan tetapi semua usahanya gagal dan dia mencari terlalu jauh." "Hemm,agaknya paman mengetahui tempat persembunyian mereka akan tetapi tidak mau memberitahu kepada Bapa Guru." Kakek itu menganguk-angguk. "Bukan hanya mengerti, bahkan aku membantu mereka dan menyembunyikan mereka di dalam goa tidak jauh dari puncak Gunung Anjasmo. Baru setelah keadaan aman dan gurumu tidak mencari sendiri lagi, aku melepaskan mereka. Mereka melarikan diri jauh sekali, akan tetapi karena gurumu masih terus mengirim murid-murid untuk melakukan pencarian, mereka harus selalu berpindahpindah dan aku sendiri tidak tahu di mana anak angkatku dan suaminya itu berada." Kembali di berhenti. "Lalu bagaimana, paman?" "Ki Sudibyo sungguh keras hati. Dia diracuni dendam. Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yaitu setelah sepuluh tahun lamanya Ni Sawitri melarikan diri, dia masih saja menyuruh murid-muridnya melakukan pencarian. Yang diutus adalah Klabangkoro. Padahal aku sendiri mengetahui dengan jelas bahwa dahulu, si Klabangkoro itu juga jatuh hati kepada Ni Sawitri, akan tetapi tidak pernah ditanggapi oleh wanita itu. Jadi, ketiak disuruh oleh girimu, Klabangkoro juga mempunyai dendam pribadi, Dan sekali ini, usahanya berhasil. Dia dan temantemannya dapat menemukan Ni Sawitri dan Margono di Bukit Bathok dan berhasil membunuh Ni Sawitri dan Margono." Niken Sasi bangkit berdiri dengan mata terbelalak. "Alanglah kejamnya!" bentaknya . "Tenanglah, Niken. Demikianlah kalau orang sudah dibuat gila oleh cinta asmara yang bukan lain hanya nafsu yang sudah memuncak,dan kematian setiap orang sudah ditentukan oleh para dewata sesuai dengan karma masing-masing. Dan sejak menerima berita bahwa Margono suda terbunuh, akan tetapi bahwa Ni Sawitri juga tewas, KI Sudibyo menjadi semakin rusak hatinya sehingga mempengaruhi kesehatannya. Bertahun-tahun dia tenggelam dalam kedukaan. Mungkin juga timbul penyesalan dalam hatinya." "Kalau begitu, hal itu adalah salahnya sendiri. Setiap orang sudah pasti akan angunduh wehing pakaryaan{ memetik buah perbuatannya}." "Memang benar, angger. Akan tetapi patut dikasihani Ki Sudibyo. Semua itu dilakukan demi cintanya kepada Ni Sawitri. Dan dia hanya dapat menikmati kebahagian hidup sebagai suami isteri bersama Ni Sawitri selama tiga bulan saja. Karena itulah maka aku merasa iba kepadanya. Yang kukhawatirkan adalah putera dari Ni Sawitri." Niken Sasi terbelalak memandang kakek itu. "Mereka mempunyai putera" Bagaimana dapat lolos dari pembunuhan itu" Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Mereka mempunyai seorang anak laki-laki. Menurut cerita para murid, ketika mereka sudah membunuh Margono dan Ni Sawitri juga tewas membunuh diri, anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun itu mengamuk. Anak itu tentu sudah dapat dibunuh pula kalau tidak muncul seorang kakek tua renta yang menyelamatkannya. Kakek itu amat sakti dan mengusir Klabangkoro dan kawan-kawannya." "Bapa Guru juga mendengar tentang nak itu?" "Tentu saja. Akan tetapi agaknya hatinya sudah luluh dan hancur mendengar kematian Ni Sawitri sehingga dia tidak memperdulikannya lagi. Padahal dia tahu benar bahwa kelak besar kemungkinan anak itu akan membalas dendam kematian orang tuanya." "Hemm, tentu saja. Dan anak itu kini sudah dewasa, paman" Sepuluh tahun yang lalu dia berusia sepuluh, tentu sekarang sudah berusia duapuluh tahun. "Benar, karena itulah aku bercerita kepadamu. Aku khawatir anak itu datang membalas dendam dan agaknya engkau yang harus menghadapinya karena engkau akan menjadi ketua." "Paman kau tidak menyalahkan anak laki-laki itu kalau dia hendak membalas dendam. Akan tetapi karena aku adalah murid Bapa Guru, maka sudah menjadi kewajibanku untuk membela Bapa Guru. Kalau bocah itu datang dengan niat membunuh Bapa Guru, saya akan menasihatinya agar dia tidak melakukan hal itu, dengan mengingatkan kesalahan yang telah diperbuat orang tuanya terhadap Bapa Guru. Kalau dia nekat, terpaksa akan saya lawan!" "Memang seharusnya demikian. Akan tetapi ada satu rahasia yang sampai saat ini hanya diketahui olehku seorang dan sekarang rahasia itu akan akan kubuka kepadamu. Ketahuilah, pemuda itu sama sekali tidak boleh membalas dendam, tidak boleh membunuh Ki Sudibyo karena Ki Sudibyo adalah bapak kandungnya." Niken Sasi yang tadi sudah duduk kembali, kini meloncat lagi dan matanya terbelalak bundar. "Apa......." Apa maksud paman?" katanya bingung. "Ketika Margono daqn Sawitri bersembunyi, Sawitri yang sudah seperti anakku sendiri, membuat pengakuan kepadaku bahwa ia sudah mengandung selama dua bulan. Jadi, anak itu adalah anak kandung Sudibyo, bukan anak kandung Margono." "Dan Bapa Guru tahu pula akan hal itu?" Ki Joyosentiko menggeleng kepala. "Tidak, tidak kuberitahu karena kenyataan itu tentu akan semakin menghancurkan hatinya. Aku tidak tega Niken." "Ampun, Gusti.........! Kenapa mereka melakukan perbuatan seperti itu" Bapa Guru sudah jelas bersalah karena memperisteri wanita yang sudah mempunyai kekasih, kemudian keasalahannya menjadi semakin berlarut ketika dia menyuruh bunuh Margono sehingga Ni Sawitri ikut pula tewas. Ni Sawitri juga bersalah karena setelah ia menikah dengan Bapa Guru, apalagi sudah mengandung, mengapa ia mengkhianatinya dan minggat bersama kekasihnya" Juga Margono bersalah. Dia merampas isteri orang lain yang sudah mengandung,merusak pagar ayu namanya. Wah, tiga orang berbuat kesalahan dan akibatnya mengerikan.!" "Akan lebih mengerikan lagi kalau kelak anaknya membalas dendam kepada bapak kandung sendiri!" Niken Sasi mengangguk-angguk. "Sekarang saya mengerti mengapa paman menceritakan semua ini kepada saya. Baiklah, paman. Saya berjanji akan menghalangi pembunuhan antara ayah dan anak kandung ini. Kalau sudah tiba saatnya bertemu dengan anak itu, akan saya beritahu kepadanya perkara yang sebenarnya dan saya akan mencegah dia melakukan pembalasan terhadap Bapa Guru. Juga saya yang akan memberitahu Bapa Guru kelak bahwa pemuda itu adalah putera kandungnya." "Terima kasih kepada Gusti Yang Maha Agung!" Ki Joyosentiko memanjatkan puji. "Hanya andika seorang yang akan mampu menyelamatkan mereka, Niken Sasi. Sekarang legalah hatiku setelah aku menceritakan segalanya kepadamu.Nah, andika boleh melanjutkan perjalanan sekarang." "Baik,paman dan selamat tinggal." "Selamat jalan dan semoga para dewata akan melindungimu, angger!" Niken Sasi meninggalkan gubuk itu dan mengerahkan aji Tapak Srikatan yang membuat larinya seperti seekor burung sedang terbang terbang cepatnya, diikuti pandang mata Ki Joyosentiko yang mengangguk-angguk sambil tersenyum puas. *** Niken Sasi sama sekali tidak mengetahui bahwa semua gerak-geriknya semenjak meninggalkan perkampungan Gagak Seto selau diawasi orang. Ke manapun ia pergi, selalu selalusaja ada orang yang membayanginya. Ketika ia mengadakan pertemuan dengan Ki Joyosentiko, juga tidak terlepas dari pengamatan orang-orang itu. Akan tetapi Ki Joyosentiko bertindak cerdik, mengajak ia bercakap-cakap disebuah gubuk di tengan sawah sehingga tidak mungkin ada orang dapat mendekati gubuk itu tanpa diketahui. Orang yang membayangi Niken hanya mampu mengintai saja dari jauh, tahu bahwa ia bercakap-cakap dengan Ki Joyosentiko, akan tetapi tidak dapat mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Dan pertemuan itupun tidak menimbulkan kecurigaan, karena Ki Joyosentiko adalah paman guru Niken Sasi sendiri. Perjalanan Niken Sasi tidak menemui kesulitan. Karena ia bersikap ramah dan juga membawa bekal uang, maka di mana saja ia diterima penduduk dusun untuk melewatkan malam. Pada suatu hari tibalah ia ditepi Sungai Lesti, di kaki Gunung Kelud. Tempat itu sunyi, jauh dari dusun dan selagi ia melihat-lihat ke kanan kiri untuk mencari perahu penyeberangan, tiba-tiba bermunculan dua belas orang laki-laki yang segera mengepungnya. Melihat pakaian mereka yang ringkas, dada telanjang dan sikap mereka yang kasar, Niken Sasi waspada. Mereka itu jelas bukan petani biasa, lebih pantas menjadi orang-orang yang biasa memaksa kehendak mereka dan tidak pantang melakukan kejahatan. "Bojleng-bojleng belis laknat!" seorang di antara mereka yang mata kirinya terpejam dan hanya mempunyai sebuah mata kanan yang melotot menyeramkan berseru sambil menyeringai sehingga nampak giginya yang besar-besar menguning. "Ada bidadari dari kahyangan berjalan seorang diri. Siapakah andika, cah ayu, dan hendak pergi kemanakah?" Sementara itu, sebelas orang kawannya juga menyeringai gembira dengan pandang mata seolah hendak menelan bulat-bulat seluruh tubuh Niken Sasi. Bahkan ada yang menjulurkan lidah yang meneteskan air liur bagaikan srigalasrigala kelaparan melihat seekor domba yang lunak dan gemuk gadingnya. Biarpun nada pertanyaan itu tidak sopan, akan tetapi karena orang bertanya, Niken Sasi menjawab juga,dengan suara datar, "Namaku Niken Sasi dan aku hendak pergi ke Lautan Kidul. Siapakah kalian dan mau apa kalian mengepungku" Biarkan aku lewat!" "Hoa-ha-aha.........!" Si Mata satu yang tinggi besar seperti raksasa itu tertawa, diikuti anak buahnya yang juga terkekeh-kekeh. "Ayu manis dan centil! Kawan-kawan,apakah pantas ia menjadi isteri baruku?" Semua orang tertawa, "Pantas sekali, kakang Mamangmurko!" kata mereka. "Wah, jangan-jangan ia ini Kanjeng Ratu Kidul atau hulubalangnya!" tiba-tiba terdengar seorang di antara mereka berseru dan mendengar seruan itu, tiba-tiba saja suara tawa mereka terhenti seperti orang-orang terpijak. Dan semua orang termasuk si mata satu, kini terbelalak mengamati Niken Sasi dengan penuh kecurigaan dan rasa takut. Niken Sasi maklum apa yang berada dalam benak orang-orang tahyul dan kasar itu. Mereka tentu amat takut kalau-kalau ia penjelmaan Kanjeng Ratu Kidul atau hulubalangnya, maka iapun menggunakan kesempatan itu agar jangan terganggu perjalanannya. "Aku memang seorang senopati dari Kanjeng Ratu Kidul!" katanya lantang sambil bertolak pinggang. "Aku baru pulang melaksanakan tugasku ke puncak Gunung Kelud dan sekarang hendak kembali ke Lautan Kidul. Hayo cepat kalian sediakan sebuah perahu untuk menyeberangi sungai ini!" Suaranya terdengar lantang berwibawa, sikapnya gagah dan duabelas orang itu surut ke belakang,lalau berbisik-bisik dengan ketakutan. "Hayo cepat sediakan perahu!"kata si mata satu yang namanya Mamangmurko itu. Dia sudah ketakutan sekali. Siapa yang tidak takut akan kemurkaan Kanjeng Ratu Kidul, Ratu dari Samudera Selatan yang terkenal ganas itu" Duabelas orang itu lalau berlarian, kemudian menyeret keluar enam buah perahu kecil dari balik semak-semak di tepi sungai. Perahu-perahu itu mereka turunkan ke atas air dan Mamangmurko membungkuk di depan Niken Sasi sambil berkat, "Silakan Den Roro.......!" Niken Sasi mengangguk dan tersenyum. Ia tidak merasa janggal mendengar sebutan Raden Roro itu, karena sesungguhnya ia bahkan berhak mendapat panggilan yang lebih mulia lagi. Bukankah ia cucu Sang Prabu Jayabaya di Daha" Ia lalau melangkah ke dalam sebuah perahu dan perahu-perahu itu meluncur menyeberagi Sungai Lesti.Karena sungai Lesti, anak sungai Brantas itu ketiak tiba disitu masih belum besar benar, sebentar saja perhu-perahu itu telah tiba di sebelah selatan sungai dan para anak buah gerombolan itu berloncatan ke daratan. Demikian pun Niken Sasi melangkah keluar dari dalam perahu, mendarat di atas tepi sungai yang berumput. Akan tetapi pada saat itu, seorang di antara mereka berseru, kawan-kawan, kita tertipu! Kalau nona ini seorang senopati dari Kerajaan Kidul, mana mungkin ia ikut dengan kita naik perahu" Seorang senopati dari Kerajaan Kidul tentu tidak takut air, apalagi hanya air sungai! Ia ini bukan senopati Kidul, melainkan gadis biasa yang telah membohongi kita." Mendengar ini, Niken Sasi melangkah ke depan dan bertolak pinggang. "Hemm, siapa berani mengatakan bahwa aku penipu dan berbohong" Siapa yang tidak percaya bahwa aku senopati Kidul boleh maju dan menguji kesaktianku." Orang berteriak tadi kini didorong-dorong temannya. Karena dia tadi meneriakkan bahwa gadis itu bukan senopati Kidul, maka dia pula yang harus mengujinya. Dia seorang pria berusia tigapuluh tahun yang bertubuh kekar, kaki tangannya di lingkari otot-otot seperti tali tambang. Biarpun agak jerih, dia memberanikan diri untuk membuktikan tuduhanya tadi. Baik,akau yang akan menguji andika!" katanya dan tanpa menanti jawaban lagi, langsung saja dia menubruk ke depan untuk merangkul dan meringkus dara jelita itu. "Wuuutt..........brukkk.....!" Pemuda itu tidak merangkul Niken yang tiba-tiba lenyap dan menubruk tanah. Dia terkejut dan penasaran, melompat bangun,membalikkan tubuhnya dan kembali dia menerjang, kembali ingin memeluk. Kembali Niken Sasi mengelak. Melihat temannya berusaha menubruk dan merangkul sedangkan gadis itupun hanya mengelak, teman-temannya menjadi iri dan merekapun serentak bergerak mengejar dan menubruk Niken Sasi, seolah sekawanan anak yang bergembira mengejar-ngejar seekor kelinci! Kini Niken Sasi menjadi marah. Melihat duabelas orang itu semua berebutan dan berusaha untuk memeluknya, ia pun tidak hanya mengelak melainkan juga menangkis, menampar dan menendang. Dan terdengarlah teriakan-teriakan mengaduh dan tubuh para pengeroyok itu berpelantingan. Mendapat hajaran ini, duabelas orang itu kembali menjadi ketakutan karena kini mereka percaya bahwa dara itu benar-benar sakti. Kalau ia senopati Kidul, celakalah mereka! Maka dipimpin oleh Mamangmurko, mereka semua brelutut dan menyembah-nyembah kepada Niken Sasi. "Gusti Puteri Senopati, hamba semua mohon ampun....." kata Mamagmurko dengan bibir berdarah karena tadi dia menerima tamparan tangan kiri Niken Sasi. Enak saja, tadi menyerang dengan niat buruk, kini minta ampun, pikir Niken Sasi. Kemudian ia teringat. Bekal uang yang diterimanya dari Ki Sudibyo memang cukup banyak, akan tetapi ia melakukan perjalanan jauh dan tidak diketahui kapan berakhir, maka ia membutuhkan banyak uang untuk biaya perjalanan. "Hayo keluarkan semua uang yang berada di pakaian kalian. Keluarkan semua dan kumpulkan. Awas,jangan menyembunyikan karena aku akan mengetahui dan siapa menipu akan kuseret nyawanya ke Lautan Kidul!" Tak seorangpun dari mereka berani membantah atau berani menyembunyikan sesuatu dan keluarlah semua milik mereka dari sabuk dan saku mereka, ditumpuk di atas tanah. Dari barng-barang itu, mudah diduga bahwa gerombolan itu adalah perampok karena bermacam barang perhiasan wanita terdapat dalam tumpukan itu, selain uang dan emas. Niken Sasi lalu membungkus semua harta itu dan memasukkannya ke dalam buntelan pakaiannya. "Hemm, biarlah sekali ini kalian kuampuni. Akan tetapi mulai sekarang kalian harus menghentikan pekerjaan jahat. Jangan lagi merampok dan mengganggu orang. Awas, kalau kelak kulihat kalian masih berbuat jahat, aku pasti akan mencabut nyawa kalian!" Setelah berkata demikian, Niken Sasi menggunakan aji Tapak Srikatan dan sekali meloncat ia telah berada di tempat jauh dan segera ia berlari cepat seperti terbang. Duabelas orang itu memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.Akan tetapi, Mamangmurko lalu bangkit brediri, mengepal tinju dan memaki-maki. Bojleng-bojleng, jahanam busuk, kita telah tertipu! Bocah setan itu tentu saja bukan senopati Kidul. Karena kerajaan Kidul terkenal kaya raya dan batu-batunya saja emas, bagaimana mungkin ia merampas uang dan perhiasan kita" Kita telah tertipu!" Ia menyumpah-nyumpah. "Akan tetapi harus diakui bahwa ia sakti mandraguna, kakang Mamagmurko. Kita tidak dapat menandinginya. Gerakannya seperti terbang saja." "Dan pukulannya juga ampuh, masih terasa panas bekas tangannya!" kata yang lain. Mamangmurko menjadi semakin jengkel. "Dasar kita yang sedang sial, bertemu dengan gadis seperti itu. Habislah semua hasil pekerjaan kita selama berbulanbulan." "Akan tetapi kita dapat mencari lagi dan kita tidak perlu takut, karena gadis itu pasti tidak akan mengetahuinya." kata yang lain. "Awas saja dara itu! Kalau sekali lagi lewat di sini, aku akan mengerhkan banyak kawan untuk menagkapnya ancam Mamangmurko dengan geram. Dan gagallah usaha Niken Sasi untuk memaksa kawanan gerombolan itu untk mengubah jalan hidup mereka . Mereka kembali menjadi perampok yang ganas. Sementara itu, Niken Sasi melanjutkan perjalannya menuju selatan setelah melewatkan malam di sebuah dusun kicil, pada keesokan harinya tibalah ia di dusun Lodaya yang cukup banyak penghuninya. Seperti dalam perjalanannya yang sudah dilaluinya, ketika memasuki dusun Lodaya di siang hari itu, Niken Sasi menjadi perhatian banyak orang. Dandanannya memang tidak banyak berbeda dari gadis-gadis dusun lainnya. Akan tetapi kulitnya yang putih kuning, wajahnya yang cantik jelita, dan keberadaanya seorang diri, menarik perhatian orang. Dara secantik jelita itu, yang dari kulitnya, wajahnya dan gerak-geriknya jelas menunjukkan bahwa ia bukan seorang gadis dusun biasa, berkeliaran seorang diri! Niken Sasi merasa lapar dan ia mencari-cari kedai nasi di dusun itu. Akhirnya ia menemukan beberapa buah warung di dekat pasar yang mulai sunyi dan ia memilih warung terbesar dan memasukinya.Ada beberapa buah bangku panjang di dalam warung, menghadapi meja panjang yang penuh makanan. Terdapat lima orang tamu di kedai nasi itu dan mereka semua pria. Melihat masuknya seorang dara jelita, lima orang pria yang berusia dari tigapuluh sampai empat puluh tahun itu menengok dan mengikuti gerak-gerik Niken sambil menatap wajah cantik itu penuh kagum. Penjaga warung itu seorang wanita berusia hampir empatpuluh tahun, masih membekas kecantikan wajahnya dan pakaiannya bersih, wajahnya dibedaki dengan rambut digulung rapi, sikapnya ramah dan agak genit. Melihat munculnya Niken , penjaga warung itupun memandang heran. Biasanya, kalau ada tamu wanita yang memasuki warungnya, tentu tamu wanita itu datang bersama suaminya atau keluarga lain. Belum pernah ada dara apalagi demikian ayunya, datang seorang diri. Makanya ia menyambut dengan ramah dan pandang mata heran. "Silakan duduk, adik manis. Apa yang dapat kubantu untukmu?" Niken agak ragu melihat bangku-bangku itu sudah diduduki para tamu pria. Akan tetapi, lima orang tamu itu serentak bangkit berdiri dan dengan suara saur manuk ( burung bersautan ) mereka merpersilakan Niken duduk. "Mari, dududk di bangku ini, jeng......!" Mulut mereka menyeringai dan pandang mata terpesona. Akan tetapi Niken Sasi melihat sebuah bangku panjang di sudut yang masih kosong dan iapun memilih bangku itu untuk menjadi tempat duduknya. "Terima kasih, mbakyu, saya ingin makan. Apakah mbakyu menjual nasi?" "Oh,ada! Ada nasi gudangan, nasi tumpang, nasi pecel. Tinggal pilih dik.'' kata wanita itu. "Pilih saja nasi gudangan, jeng. Ditanggung enak. Sayurnya dan kenikir, daun bayam, daun pepaya, dicampur daun singkong, kacang panjang dan kecambah, sedap dan gurih bukan main!" kata seorang laki-laki yang kumisnya panjang. "Ah pilih saja nasi tumpang, jeng!" kata yang alin, yang tubuhnya kurus. "Semua sayur itu disiram sambal tumpang tempe bosok,wah, lezat dan sedap bau jeruk purut, dan selain membuat orang bernafsu besar untuk makan juga melegakan perut!" "Dan jangan lupa goreng tempenya, jeng!" kata orang ketiga sehingga ramailah keadaan di dalam warung itu. "Kalau aku pilih nasi pecelnya. Sambelnya kental dan pedasnya cukup, menggoyangkan lidah!" kata orang keempat. Niken Sasi tersenyum ramah kepada empat orang itu, akan tetapi perhatiannya tertuju kepada pria ke lima yang tadi tidak dilihatnya. Pria ini duduknya di sudut menyendiri dan sejak tadi dia tidak ikut bicara, bahkan menengokpun tidak kepadanya! Juga pria ini masih muda sekali, paling banyak duapuluh tahun usianya,masih seperti bocah yang mentah! Agaknya malu-malu untuk memandang seorang gadis. Entah mengapa,melihat ada seorang pria yang acuh saja kepadanya, Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo melirikpun tidak hati Niken terasa panas seolah pria itu memandang rendah padanya! "Beri aku nasi pecelnya sepincuk mbakyu, minumnya the panas manis secangkir." katanya kepada penjaga warung itu dan melihat betapa empat orang laki-laki itu tersenyum-senyum kepadanya,iapun membalas dengan senyuman manis. Akan tetapi kembali senyumnya menghilang ketika ia melihat pemuda itu masih membuang muka dan mengacuhkannya. Tentu saja ia tidak ingin diperhatikan laki-laki, akan tetapi diacuhkan seperti itu sungguh membuat perutnya terasa panas. Justeru kalau ada laki-laki yang memperhatikannya, Niken akan acuh saja.Maka kini melihat ada seorang pemuda sama sekali tidak memperdulikan kehadirannya, hal ini amat menarik hati Niken dan ia bahkan yang memperhatikan pemuda itu melalui kerling matanya. Dia seorang pemuda tampan. Pakaiannya seperti pemuda dusun biasa, akan tetapi keadaan pakaiannya itu sama sekali tidak mampu menyembunyikan keadaan dirinya yang amat berbeda dibandingkan pemuda dusun biasa. Dia memiliki kepribadian yang lain dan luar biasa. Sikapnya acuh dan pendiam, sinar matanya berbeda jauh dari sinar pemuda biasa yang nampak bodoh dan ingin tahu. Sinar matanya lembut dan dalam, seolah penuh pengertian, dan kadang ada kilatan aneh mencorong dari manik matanya. Dan pemuda ini mempunyai kepribadian yangamat menarik hati Niken Sasi. Anggun dan berwibawa. Agaknya pemuda itupun baru sajamasuk karena di atas meja di depannya hanya nampak secangkir minuman teh panas.Dan memang benar demikian karena setelah melayani pesanan nasi pecel kepada Niken, sepincuk nasi pecel yang kelihatannya enak, wanita tukang warung itu lalu bertanya kepada pemuda itu. "Bagaimana, den bagus, apakah andika sudah menentukan pilihan?" Andika ingin makan nasi apa?" Dari sebutan den bagus itu, Niken Sasi dapat menduga bahwa pamuda itu tentulah bukan penduduk Lodaya, dan karena dia oemuda asing dan penampilannya memang mengesankan sebagai seorang yang luar biasa, maka wanita penjaga warung itu menyapanya dengan sebutan den bagus, sebutan yang biasanya ditujukan kepada pemuda putera bangsawan atau setidaknya kepala dusun. Aku juga minta nasi pecel sepincuk, mbakyu." kata pemuda itu setelah mengerling ke arah pincuk yang dipegang Niken Sasi. Niken Sasi tidak peduli,setelah mencuci tangannya dengan air kendi, iapun mulai makan nasi pecelnya. Dan ternyata memang benar. Nasi pecel itu enak sekali.Nasinya hangat dan pulen, pecelnya juga terasa sedap dan lezat. Pemuda itu minta tambah sepincuk lagi, akan tetapi Niken Sasi merasa cukup. Setelah makan dan minum, Niken Sasi membayar harga makanan dan minuman, lalu meninggalkan warung. ia melihat pemuda itu masih makan, sama sekali tidak menengok kepadanya! "Huh, pemuda tinggi hati, angkuh dan sombong. Kau kira dirimu itu siapa!" Niken Sasi memaki dalam hatinya dengan hati panas. Biarpun Niken Sasi bukan seorang dara yang haus pujian pria, akan tetapi karena baru sekali ini ia melihat seorang pria yang begitu acuh dan memandang rendah kepadanya, hatinya menjadi panas juga. Beberapa kali ia memandang ke arah pemuda itu sebelum meninggalkan warung itu,akan tetapi pemuda itu tetap saja tidak melirik ke arahnya. Setelah keluar dari warung nasi itu. Niken dengan santai lalu berjalan jalan di dusun itu.Sebuah dusun yang cukup besar dan karena ia sudah semakin mendekati daerah Laut Kidul,maka ia mulai memperhatikan tempat itu untuk memperhatikan tempat itu untuk melakukan penyelidikan tentang pusaka Tilam Upih yang hilang. Ia mulai mencari tempat untuk bermalam karena ia ingin tinggal di Lodaya selama beberapa hari. Melihat sebuah rumah sederhana berdiri agak menyendiri di sudut dusun itu,Niken Sasi tertarik dan menghampiri. Rumah itu mempunyai perkarangan yang luas dan dipekarangan itu tumbuh empat batang pohon nyiur yang sudah sarat dengan buah kelapa. Melihat buah kelapa muda yang hijau, Niken menelan ludah, membayangkan kesegaran air dawegan hijau yang tentu akan nikmat sekali diminum di waktu hari sepanas itu. Akan tetapi sampai lama ia menanti, tidak juga ada orang yang membuka pintu rumah dan keluar dari dalam rumah itu. Ia menjadi tidak sabar setelah menanti lama, lalu dihampirinya dan diketuknya daun pintu itu. "Tok-tok-tok........kulonuwon.......!" Setelah bebrapa kali mengetuk pintu dan mengucapkan salam tanpa ada jawaban, Niken menduga bahwa rumah itu agaknya kosong. Dan keinginannya minum dawegan [kelapa muda] hijau sudah begitu mendesak dan membuat kerongkongannya terasa haus sekali. Ia kembali ke pekarangan dan setelah beberapa lamanya berdongak memandangi buah kelapa muda itu, memilih-milih, ia lalu mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangan dan sekali membuat gerakan dengan tangannya, batu itu menyambar ke atas dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti oleh pandangan mata. "Wuuuutt........takk!" batu itu jatuh lagi bersama sebutir buah kelapa yang dibidik oleh Niken. Batu itu ternyatatepat mengenai gagang kelapa muda itu tanpa mengganggu butiran kelapa yang lain. Dengan gembira Niken mengambil dawegan hijau itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar seruan seorang wanita, Siapa berani mencuri dawegan kami?" Tentu saja Niken terkejut bukan main sehingga hampir saja kelapa muda itu terlepas dari tangannya. Ia menengok ke belakang dan sama terkejutnya dengan wanita itu, yang kini memandangnya dengan mata terbelalak. "Nimas ayu Niken......!" "Jinten, andika Jinten......" Bagaimana dapat berada di sini, Jinten?" kata Niken yang mengenal pelayan yang biasa membantunya melayani gurunya itu. Mereka saling berpegang tangan. "Nah, panjang ceritanya, Nimas Ayu. Mari masuk ke dalam rumah dan kita bicara. Ini adalah rumah saya, di mana saya hidup bersama seorang paman saya." Baiklah, dan.....eh, dawegan ini, maafkan....." Tentu saja Niken merasa canggung dan malu. "Bawa saja ke dalam, Nimas Ayu. Andika ingin minum dawegan" Nanti kukupaskan, memang segar sekali minum air dawegan di siang hari begini.Dan dawegan hijau kami manis sekali." Dengan ramah Jinten mengajak Niken memasuki rumahnhya, sebuah rumah sederhana. Mereka lalu duduk di sebuah balai-balai dan Jinten mengupas dawegan itu. Benar saja, air dawegan itu manis dan segar, juga daging dawegannya lezat sekali. "Nah, ceritakan bagaimana tiba-tiba aku dapat bertemu denganmu di sini, Jinten" Kapan engkau meninggalkan Gagak Seto, dan kenapa engkau pergi dari sana?" "Nimas ayu, setelah andika pergi, saya merasa kesepian sekali dan menjadi tidak kerasan lagi. Kebetulan paman saya datang berkunjung menengokku, maka saya lalu mengambil keputusan untuk pulang ke dusun, ikut paman saya. Sehari setelah andika pergi, saya pergi dari sana dan saya langsung menuju dusunLodaya ini." "Ah, pantas saja engkau dapat datang lebih dulu di sini dari pada aku. Aku mengambil jalan berkeliling dan sering berhenti di suatu tempat." "Nimas ayu, andika hendak pergi ke manakah?" "Aku hendak pergi ke pantai Lutan Kidul , Jinten." "Wah, masih jauh sekali, nimas. Dan matahari sudah condong ke barat. Panasnya seperti membakar. Karena kita kebetulan bertemu di sini, saya harap andika suka melewatkan malam di sini dan baru besok pagi-pagi melanjutkan perjalanan." "Hem, aku hanya akan merepotkanmu saja ,jinten." Ah, tidak, nimas ayu! Kita telah tinggal serumah selam bertahun-tahundan sekarang tidak mungkin saya melepas andika begitu saja. Tinggallah di sini semalam, Nimas ayu dan nanti saya perkenankan kepada pamanku, Paman Kartiko." Karena iapun tidak tergesa-gesa, akhirnya Niken merasa tidak enak untuk menolak dan iapuntinggal di rumah Jinten itu. Tak lama kemudian, seorang laki-laki berusia empatpuluh tahunan yang berpakaian seperti petani datang dan Jinten cepat memperkenalkan laki-laki itu kepada Niken sebagai pamannya. Kartiko, paman Jinten itu, bersikap hormat kepada Niken dan tak lama hadir di situ, cepat keluar lagi sehingga Niken merasa enak dan betah karena di rumah itu hanya ada ia dan Jinten. Bahkan ketika Jinten masak-masak, menyembelih ayam kemudian menghidangkan makan malam di ruangan tengah, sang paman tidak juga kelihatan. Untuk basa-basi Niken menanyakan kepada Jinten. "Ke mana pamanmu, Jinten" Kenapa tidak diminta makan malam bersama?" "Ah, pamanku adalah seorang dusun yang sederhana dan pemalu, nimas ayu! Silakan makan dulu, biar paman Kartiko tidak mungkin akan mau makan bersama andika.Mari, silakan." dengan ramah dan akrab Jinten melayani Niken makan. Jinten, engkau sekarang bukanlah pelayanku lagi. Engkau bahkan kini menjadi nonna rumah dan aku tamunya, karena itu janganlah melayani aku seperti seorang pelayan. Mari kita sama-sama makan. Aku terpaksa menolak kalau engkau tidak mau menemaniku makan bersama." Jinten menarik napas panjang. "Ahh, nimas ayu. Sebetulnya ingin sekali saya melayani andika makan,akan tetapi kalu andika memaksa, abiklah saya temani andika makan." Jinten lalu mengambil nasi dan lauk pauk untuk dirinya sendiri dan setelah melihat Jinten makan, baru legalah hati Niken Sasi. Tentu saja ia percaya kepada Jinten yang sudah bertahun-tahun hidup dengannya di Gagak Seto. Akan tetapi sekarang mereka bukan berada di perkumpulan itu lagi dan Jinten buak apa-apa. Oleh karena itu, biar tidak menaruh curiga,ia harus waspada. Jinten memang pandai memasak. Hidangan yang disugukan itu lezat dan biarpun Jinten belum merasa lapar benar, Iapun makan agak banyak. Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa kepalanya pening, pandang matanya berputar, seluruh ruangan di depannya seperti bergoyang-goyang. Biarpun ia belum pernah keracunan, akan tetapi pernah ia mendengar dari gurunya tentang makanan yang mengandung racun, yang membuat orang terbius dan tak sadarkan diri. Ia terkejut. Apakah Jinten sengaja memberinya makanan beracun" Ia cepat menoleh kepada Jinten, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat gadis pelayan itu sudah terkulai di atas tikar, agaknya tertidur atau pingsan! "Celaka........!" Ia cepat bangkit dan meloncat, akan tetapi kepalanya terasa berat sekali dan semakin pusing sehingga ia tetpelanting roboh di atas lantai. Pada saat itu terdengar suara tawa yang lantang dan menyeramkan dan muncul belasan orang laki-laki dalam ruangan itu. Niken Sasi terkejut sekali, juga marah. Tahulah ia bahwa ia telah masuk perangkap. Entah bagimana makanan itu mengandung racun, akan tetapi pasti bukan jinten yang melakukannya karena wanita itupun terkulai pingsan keracunan. Ia mencoba untuk mengerahkan tenaganya dan bersiap siaga untuk melakukan perlawanan akan tetapi kepeningan kepalanya tidak dapat ditahan lagi dan iapun terpelanting dan terkulai tak sadarkan diri. "Cepat, ikat kaki tangannya!" terdengar seorang di antara mereka berseru dan nak buahnya lalu mengikat kaki tangan Niken Sasi. Sementara itu Jinten sudah bergerak dan ternyata ia tidak pingsan seperti yang diduga Niken Sasi. Kemudian, limabelas orang laki-laki itu memanggul tubuh Niken Sasi,di bawa pergi meninggalkan dusun Lodaya tanpa ada orang lain mengetahui karena memang rumah itu berdiri terpencil di sudut dusun. Seperti kita ketahui, Jinten telah menjadi tangan kanan Klabangkoro. Ia pula yang memata-matai Ki Sudibyo ketika bercakap-cakap dengan Niken Sasi dan membuka rahasia Ki Sudibyo yang hendak mengangkat Niken Sasi menjadi ketua dan mengutus murid itu mencari pusaka Tilam Upih. Setelah Klabangkoro dan Mayangmurko menyusun siasat bersama Ki Brotokeling ketua Jambuka Sakti, Jinten lalu mendapatkan tugas penting, yaitu menghadang perjalanan Niken Sasi. Hal ini mudah dilakukan karena memang sejak berangkat dari Anjasmoro, perjalanan dara itu selalu dibayangi oleh orang-orang yang menjadi anak buah Klabangkoro dan juga Brotokeling. Siasat pertama, yaitu menonjolkan Gajahpuro agar dapat mendekati dan menemani Niken Sasi dengan membantu gadis itu dari pengeroyokan segerombolan orang, ternyata telah gagal. Niken Sasi tidak mau ditemani pemuda itu sehingga sukar diharapkan Niken akan jatuh hati kepada Gajahpuro. Apalagi pemuda putera Klabangkoro ini memiliki watak yang berbeda dengan ayahnya. Pemuda itu pasti akan menolak kalau mengtahui akan siasat yang diatur ayahnya untuk menjebak Niken Sasi. Dia memang mencintai Niken,akan tetapi cintanya tulus, bukan cinta nafsu yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh orang yang dicintanya. Setelah siasat pertama gagal kini Klabangkoro melakukan siasat kedua, yait menagkap Niken Sasi. Hal ini dilakukan hati-hati dan dengan jebakan. Jinten disuruh maju untuk menjebak Niken Sasi karena mereka sudah tahu bahwa Niken Sasi benar-benar telah menjadi seorang dara yang sakti mandraguna. Dengan menggunakan racun pembius yang amat kuat, akhirnya Niken Sasi dapat dibuat tak sadarkan diri dan tidak berdaya. Setelah berhasil menjalankan perannya menjebak Niken Sasi yang sudah berhasil dibawa oleh gerombolan Jambuka Sakti seperti direncanakan, Jinten lalu berkata kepada Kartiko yang sebenarnya adalah seorang pembantu, bukan pamannya. "Paman Kartiko, engkau jagalah di sini. Aku akan pergi melapor kepada kakang Klabangkoro!" Gadis yang sudah diangkat menjadi selir oleh Klabangkoro itu lalu pergi meninggalkan rumah yang terpencil itu. Klabangkoro dan anak buahnya juga berada di dusun Lodaya untuk mengatur siasat. Mereka bertempat tinggal di sebuah rumah besar yang mereka sewa untuk keparluan itu. Ketika mendengar laporan Jinten bahwa Niken Sasi tekah dapt ditangkap, Klabangkoro menjadi gembira bukan main. Dia merangkul Jinten dan menciuminya Kekasih Sang Pendekar 1 Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Rahasia Istana Kuno 1

Cari Blog Ini