Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 11

Badik Buntung Karya Gkh Bagian 11 dengan Withian- cit-ciat-sek, tapi sejak lama pernah dengar namanya. Kini Wi-thian-cit-ciat-sek ternyata muncul atas bocah keras kepala yang menjadi musuhnya ini, bila sekarang tidak diberantas dan ditumpas, bila dia sampai melatihnya sampai sempurna kelak pasti bakal merupakan lawan tangguh yang paling berbahaya bagi dirinya. Dasar culas dengan dingin mulutnya menggeram seperti binatang kelaparan. Thianhi insaf tibalah kini saatnya bagi dirinya untuk berjuang bagi hidup dalam menghadapi mara bahaya yang mengancam ini. Sedikit berpikir segera mulutnya bersuit panjang, tiba-tiba tubuhnya meluncur terbang lempang dan lurus ke depan, ditengah jalan tubuhnya menjulang ke atas lalu menukik pula meluncur dengan kecepatan kilat, dimana tubuhnya bergerak memutar seruling ditangan melancarkan pula tipu-tipu Wi-thian-cit-ciat-sek, yang diarah adalah batok kepala Bu-bing Loni. Tidak malu Bu-bing Loni diagungkan sebagai jago pedang nomor satu di seluruh dunia ini, tanpa gugup ia sambut serangan hebat Thian-hi ini dengan tipu-tipu Hui-sim-kiamhoat yang sakti itu, dimana kekuatan tenaganya terpancar dari ujung pedangnya serangan seruling Thian-hi kena tergetar miring. Tapi Wi-Thian-cit-ciat-sek memang bukan olah-olah hebatnya, ditengah udara Thian-hi terbang berputar, sedikit serulingnya bergerak saja, setabur kekuatan hawa yang berkisar besar menerjang ke arah Bu-bing Loni. Dengan tenang Bu-bing Loni pandang permainan Thian-ni, cukup ia gerakkan pedangnya pula setiap jurus serangan Thian-hi kena dibendung diluar lingkaran. Tapi tak urung hatinya kaget juga. dia heran bahwa kepandaian Hun Thian-hi bisa maju pesat sedemikian tingginya, Wi-thian-cit-ciat-selk yang digjaya dan hebat ini memang bukan ilmu sembarang ilmu yang dapat dihadapi secara serampangan, untung latihan Hun Thian-hi belum matang. Kalau tidak mungkin hari ini dirinya sendiri yang bakal terjungkal ditangan musuh mudanya ini. Melihat rangsakannya berulang kali selalu gagal Hun Thian-hi semakin gugup dan kaget. Memang tidaklah malu Bu-bing Loni disebut tokoh kosen nomor satu di seluruh dunia ini. dibanding Tiang-pek-lokoay boleh dikata terlalu jauh bedanya, tidaklah heran bahwa Ang-hwat-lomo juga gentar terhadapnya. malah begitu takut dan takutnya ini tidaklah bukan beralasan. Sekarang Thian-hi baru insaf jangan kata untuk menang, supaya tidak kalah saja juga rasanya tidak mungkin lagi, aku tidak bisa mati demikian saja dan tidak bisa mati secara konyol. Sembari tempur Hun Thian-hi memutar otak, akhirnya ia berkeputusan. seketika tubuhnya melambung tinggi pula, disaat Bu-bing Loni hanya bertahan menyelami serangan Wi-thian-citciat-sek, tiba-tiba ia meluncur jauh dan lari sipat kuping ke depan sana. Bu-bing menggerung gusar, sebagai tokoh yang banyak pengalaman perbuatan Hun Thian-hi masa dapat mengelabui kejelian matanya, begitu tubuh Hun Thian-hi melambung ke depan, ia lantas dapat meraba maksud tujuan Hun Thian-hi, tahu-tahu tubuhnya pun sudah berkelebat mengejar. "Mau lari kemana kau?" jengeknya sambil menghadang jalan lari Thian-hi. Thian-hi tidak bicara, serulingnya menggempur dengan seluruh kekuatannya. Bubing menyeringai dingin ringan sekaii ujung pedangnya menutul ke depan, ia balas serang dada Hun Thian-hi sebelum serangannya tiba. Sementara itu. tenaga Hun Thian-hi sudah terkuras tidak sedikit, apalagi serangannya selalu gagal. tenaganya sudah habis lagi, ia insaf bahwa dirinya tidak akan mampu menempur Bu-bing lebih lanjut terpaksa ia puter tubuh dan lari lagi. "Mau lari pula kau" Cobalah rasakan Lian-hoan-sam-kiamku ini!" - Pedang panjang ditangan Kanannya teracung, hawa pedang segera merembes keluar dari batang pedang, seiring dengan gerak pedang tubuhnya ikut menggeser kedudukan, hawa pedang yang semakin padat laksana lembayung segera menyapu dan merangsak ke arah Hun Thian-hi. Thian-hi menyedot napas panjang, ia insaf bahwa dirinya hari ini sulit menyelamatkan diri pula, terpaksa harus mengadu jiwa. cepat seruling disapukan miring ke depan, ia sambut rangsekan hebat musuh ini dengan Wi-thian-cit-ciat-sek pula. Bu-bing sudah tidak perlu gentar menghadapi serangan Wi-thian-cit-ciat-sek, namun ia sendiri belum mendapatkan cara untuk memecahkan perlawanan Thian-hi ini, kecuali dengan kekuatan Lwekangnya yang ampuh untuk menekan seret gerak serangan musuh tiada jalan lain untuk mengatasinya. Begitulah sekilas ia berpikir tiba-tiba tajam pedangnya meluncur laksana bintang jatuh melesat ke ulu hati Hun Thian-hi. Thian-hi menekuk dengkul mendakan tubuh untuk menghindar, bersamaan tangannya menggentak senjata dengan tipu-tipu Wi-thian-cit-ciat-sek menghalau rangsekan Bu-bing selanjutnya. Bu-bing sudah berkeputusan hari ini betapapun ia harus bunuh Thianhi dengan pedangnya, memang dengan perhitungan yang cukup masak, serangan kali ini hanya gertak sambel belaka, tiba-tiba badannya menerjang maju ke depan, berbareng pedang panjang dibalikkan berputar terus disambitkan lempang ke depan, ia sudah kerahkan seluruh Lwekangnya utk melontarkan pedang, tujuannya sekaii gebrak harus berhasil melumpuhkan perlawanan Hun Thian-hi. Tapi kepandaian Hun Thian-hi sekarang sudah bukan olah-olah tingginya, begitu melihat serangan balasan serulingnya mengenai tempat kosong mulutnya lantas membentak mengguntur, berbareng kaki kiri menggeser setengah langkah badan ikut berputar setengah lingkaran. serulingnya lantas menjungkit dari bawah ke atas, ia sendal ke arah pedang panjang lawan yang meluncur tiba dengan kekuatan dahsyat itu. Usaha Thian-hi memang berhasil, ujung serulingnya telah dapat menyungsang pedang lawan tapi diluar perhitungannya bahwa lontaran pedang Bu-bing kali ini menggunakan seluruh Lwekangnya yang ada, apalagi ia hanya sempat menggerakkan tenaga dengan kudakuda sedikit jongkok dan tubuh miring, maka tenaga sendalannya bukan saja tidak berhasil menyampok jatuh pedang musuh, malah luncuran pedangnya menusuk ke atas sedikit dan tahu-tahu amblas ke dalam pundak kirinya, begitu deras daya luncuran pedang ini sehingga pundaknya tertembus lewat sampai ke punggung, keruan sakitnya bukan kepalang, sesaat seperti seluruh badan menjadi kejang. Tujuan serangan Bu-bing adalah Jian-kin-hiat, jalan darah di atas pundak, namun hanya terpaut beberapa mili saja yang kena cuma tulang pundak Thian-hi saja. Tapi hasil tusukan pedang cukup menghabiskan tenaga perlawanan Hun Thian-hi, mandah saja dicincang atau disiksa oleh musuh. Dengan terpaku oleh selaras pedang yang menembus pundak kirinya, Thian-hi mengeraskan hati berdiri tegak, separo tubuhnya sudah basah kuyup oleh darah, tangan kanan masih kencangkencang menggenggam seruling, dengan pandangan berapi-api ia deliki Bu-bing Loni. "Kau masih ingin melawan?" ejek Bu-bing Loni. Terasa oleh Thian-hi kesakitan yang luar biasa di pundaknya kiri, darah menyembur semakin deras. seluruh tubuhnya semakin lemah dan seperti hampir lumpuh, diam-diam ia tutup jalan darah sendiri berusaha membendung darah yang bocor keluar. Tapi luka yang begitu berat, mana mungkin dapat ia atasi begitu saja di saat ia harus menghadapi musuh yang masih mengancam jiwanya ini. Pelan-pelan selangkah demi selangkah Bu-bing mendesak maju. Thian-hi gentakkan serulingnya menyerang, namun tenaganya sudah lemah, sekali raih saja Bu-bing berhasil merampas serulingnya, sebat sekali ia merabu beruntun ia tutuk tiga jalan besar di atas tubuh Thian-hi. Setelah Thian-hi tidak berdaya, ia menyeringai dingin, otaknya menerawang, cara bagaimana ia harus memberi hukuman pada Hun Thian-hi. Sekonyong-konyong kupingnya mendengar pekik burung dewata yang penuh kekuatiran dan takut, berubah air mukanya, cepat ia menengadah ke belakang sana, hatinya menjadi terkejut, belum pernah terjadi hal seperti sekarang, kecuali ketemu lawan berat, atau ketemu orang yang sudah dikenal, burung dewata tidak sembarangan berpekik demikian. Dengan sebelah tangan mengempit Hun Thian-hi ia berlari-lari menuju ke selatan, setelah keluar dari hutan, ia mendongak, tampak burung dewata sedang bertempur hebat dengan seekor burung rajawali yang cukup besar pula. Beringas muka Bu-bing. Begitu melihat kedatangan Bu-bing burung dewata berusaha menukik turun, tapi selalu kena dihalangi dan terdesak naik pula ke tengah udara. Bubing menjadi gusar mulutnya menjebir hina, kelihatannya burung rajawali ini peliharaan orang, setelah mengukur jarak ketinggiannya, hidungnya mendengus, batinnya, "Kau kira jarak begini tinggi aku tidak mampu naik?" segera ia letakkan tubuh Thian-hi di tanah, tubuhnya mendadak mencelat tinggi ke tengah udara, laksana burung besar kedua tangannya berkembang terus meluncur tinggi tepat sekali hinggap di atas punggung burung dewata, berbareng ia ayun pedang di tangannya membacok ke arah burung rajawali. Rajawali itu berpekik kejut dan ketakutan, agaknya ia tahu akan kelihayan Bubing Loni. cepat ia melambung tinggi terus terbang meninggi hendak lari. Tapi Bu-bing sudah keburu gusar, pedang panjang disambitkan seperti anak panah melesat ke arah burung rajawali itu. Burung rajawali itu memang cukup cerdik ia jumpalitan sekali terus menukik turun, tapi sudah terlambat tak urung sayapnya sudah tertusuk pedang, terdengar mulutnya berpekik kesakitan, membawa pedang yang menancap di badannya ia terbang rendah terus menghilang di balik lembah sebelah sana. Bu-bing menyeringai sinis dengan kemenangan, waktu ia menunduk melongok ke bawah, Hun Thian-hi yang diletakkan di tanah tadi sudah tidak kelihatan pula bayangannya, sejenak ia terlongong, lantas meluncur turun memeriksa dan mencari ubek2an, namun tidak berhasil menemukan jejaknya. Sungguh terbakar rongga dadanya, gusarnya bukan kepalang, siapakah yang telah memancing dirinya dengan burung rajawali tadi lalu menolong pergi Hun Thian-hi. Terpaksa ia naik ke punggung burung dewata, ia periksa dan obrak-abrik seluruh pelosok gunung ini namun hasilnya nihil. Akhirnya dengan rasa gusar dan penasaran ia tinggal pergi. Bu-bing tak habis herannya, ia bertanya-tanya dalam hati siapakah yang tahu jelas akan tabiatnya dapat mengatur tipu daya sebegitu rapi dan cermat sekali, bukan saja dirinya dapat dikibuli jejak musuhpun tak berhasil dicarinya." Dalam pada itu, Thian-hi sejak ditutuk tiga jalan darah besar di atas tubuhnya lantas jatuh pingsan, tutukan hebat itu melumpuhkan seluruh sendi2 badannya, apalagi pundaknya terluka parah, keadaannya sangat lemah dan payah. Entah berapa lama kemudian, waktu pelan-pelan ia rasakan pulih kesadarannya, pelan-pelan ia membuka mata, terasa ia rebah di atas ranjang batu, lambat laun pandangan matanya menjadi terang, terlihat bentuk sesosok tubuh orang yang sangat dikenalnya berdiri di hadapannya, keruan kagetnya bukan main, hampir saja ia melonjak bangun. Orang yang berdiri di hadapannya ini bukan lain adalah Ham Gwat. Melihat Thian-hi sadar dan membuka mata. Ham Gwat berkata lirih dan lemah lembut, "Hunsiauhiap! Bagaimana perasaanmu?" Dengan terlongong Thian-hi pandang sepasang mata Ham Gwat yang bening cerah, ia heran bagaimana mungkin dia mendadak muncul di hadapannya, bukankah dia sudah minggat dan melepaskan diri dari ikatan sama Bu-bing Loni. Sebenar-benarnya apakah yang telah terjadi" Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Adakah terjadi sesuatu atas dirinya" Serta merta mulutnya menggumam tanya, "Kenapa kau berada disini?" Dengan seksama Ham Gwat juga awasi wajah orang, sahutnya lirih, "Kau jangan kesusu tanya. Jelasnya sekarang kau sudah aman, Bu-bing Suthay sekarang sudah pergi!" Sekian lama Thian-hi terlongong, pelan-pelan ia berkata pula, "Kiranya kaulah yang menolongku!" Ham Gwat manggut-manggut, pandangannya mendelong ke arah jauh sana, ujarnya, "Bukan begitu sebetulnya. Luka-lukamu belum lagi sembuh, kelak kau akan tahu duduk perkara sebenarbenarnya." Melihat Ham Gwat tak mau banyak bicara, Thian-hi pejamkan matanya, Sungguh tak nyana bahwa di tempat ini ia bakal bersua kembali dengan Ham Gwat, banyak kata yang sebenarbenarnya ingin diutarakan, namun tak kuasa diucapkan. Tiba-tiba Ham Gwat bersuara, "Sudah jangan terlalu banyak pikiran, istirahat saja supaya lukamu lekas sembuh!" "Berapa lama lagi baru luka-lukaku bisa sembuh?" "Tiga lima hari tentu bisa sembuh!" Mencelos hati Thian-hi, tiga lima hari lagi, bagaimana mungkin dirinya bisa menyusul ke Siongsan Siau-lim-si dalam jangka waktu sepuluh hari yang ditentukan itu" Bukankah menyianyiakan perkara besar. Ham Gwat mengawasinya dengan tajam, katanya, "Tiada gunanya kau menyusul ke Siong-san, ketahuilah bahwa Tok-sim-sin-mo sudah menyebar jaringan kaki tangannya ke-manamana menanti kau masuk ke dalam perangkapnya. Sekarang dia tidak berani mendesakmu menjadi anggota, tujuan yang utama adalah melenyapkan jiwamu yang dipandang saingan terberat bagi kehidupan gerombolannya!" "Bagaimana juga situasi yang akan kuhadapi nanti, betapapun aku harus menyusul kesana," kata Hun Thian-hi tegas. "Memang kau harus pergi ke sana. Baiklah akan kubantu kau tepat pada waktunya dapat menyusul ke sana!" - sekian lama ia termangu memandangi Thian-hi lalu katanya pula, "Aku keluar sebentar, kau istirahatlah baik-baik" ia memutar tubuh terus keluar dari kamar batu itu. Mengantar punggung Ham Gwat pikiran Thian-hi melayang tak menentu arahnya. Ia merasa bahwa diri Ham Gwat ini penuh diliputi kemisteriusan, jejaknya tidak menentu dan sulit diraba juntrungannya. Entah cara bagaimana ia bisa menolong dirinya dari cengkeraman Bu-bing Loni. Entah berapa lama ia termangu dan berpikir, selama itu tak memperoleh kesimpulan yang diharapkan, akhirnya ia menghela napas panjang. Mendadak didengarnya derap langkah lirih yang mendatangi dengan cepat, waktu ia berpaling, dilihatnya yang muncul adalah Siau Hong. Sembari berseri tawa Siau Hong maju menghampiri, serunya lincah, "Sungguh berbahaya keadaanmu kemarin, syukur Siocia menggunakan akal memancing Suthay dan berhasil menolong kau, kalau tidak mungkin saat ini kau sudah menderita oleh siksaannya yang kejam itu!" "Cara bagaimana kau bisa sampai di tempat ini?" tanya Thian-hi. Siau Hong meleletkan lidahnya, sahutnya, "Aku sendiri juga tidak tahu, siocia yang membawa aku kemari, kebetulan mendengar pekik burung dewata, siocia lantas suruh aku sembunyi, belum lama setelah dia pergi, ia perintahkan Kim-ji memancing pergi Suthay, lalu ia berkesempatan menolong kau kemari. Tapi Kim-ji sendiri sekarang juga terluka parah." Bab 21 Hun Thian-hi terlongong heran, tanyanya, "Siapakah Kim-ji itu?" "Kim-ji adalah seekor burung rajawali yang besar. Pemberian dari seorang kakek tua ubanan kepada siocia!" Baru sekarang Thian-hi menjadi sadar, mungkin Ham Gwat memperoleh suatu pengalaman aneh di tempat ini bersua dengan seorang tokoh kosen aneh, entah siapakah beliau" "Keadaanmu sungguh sangat berbahaya, banyak orang ingin membekuk kau, sedang kau berkeras kepala ingin ke Siau-Iim-si, aku menjadi kuatir dan takut bagi keselamatanmu!" "Kenapa kau kuatir dan takut bagi diriku?" Siau Hong mengejapkan matanya, sahutnya tertawa jenaka, "Kenapa tidak" Bukankah kau seorang baik! Sayang nasibmu terlalu jelek, jikalau aku punya kepandaian silat yang tinggi tentu aku bantu kau!" "Aduh sungguh bahagia dan terima kasih pada kau!" "Kau harus terima kasih kepada siocia baru betul!" demikian goda Siau Hong sembari tertawa penuh arti. "Sudah tentu, bukankah kali ini dia yang menolong jiwaku." "Bukan itu yang kumaksudkan. sungguh bodoh kau, aku tak mau bicara lagi padamu." - Lalu ia berlari keluar dan menghilang. Thian-hi tercengang, ia menjadi bingung, tak tahu dia kemana juntrungan maksud kata-kata Siau Hong, pikir puhja pikir ia menjadi keletihan, akhirnya ia himpun semangat dan mengatur napas mulai samadi. Kecuali luka dipundaknya kiri masih terasa sakit. mungkin karena terlalu banyak mengeluarkan darah sehingga kepalanya terasa pusing dan mata berkunang-kunang. Serta merta terpikir dan terbayang lagi wajah Ham Gwat, entah kemana dia selama ini" Sedang ia termangu, derap langkah lirih mendatangi pelan-pelan, yang muncul memang Ham Gwat adanya. Setelah tiba disamping Thian-hi, Ham Gwat berkata, "Bagaimana kau ini. dari keadaanmu ini jelas bahwa tadi kau tidak istirahat secara baik-baik!" Thian-hi tertawa kikuk, sahutnya, "Banyak urusan yang tidak bisa tidak harus kupikirkan." - Tak tertahan ia tertawa geli. "Kau punya janggalan hati, tiada halangannya turun berjalan-jalan. cuma badanmu rada lemah karena terlalu banyak keluar darah, jalan-jalan melemaskan otot dan melapangkan pikiran juga ada faedahnya bukan!" Thian-hi termangu tak bicara. "Aku masih ada urusan," demikian ujar Ham Gwat. "Kau jalan-jalan sendiri atau nanti aku panggil Siau Hong untuk temani kau?" Pelan-pelan Thian-hi merangkak bangun, katanya tertawa dibuat-buat, "Tak usahlah! Aku jalanjalan sendiri saja." Ham Gwat termenung sebentar, mulutnya terbuka namun urung bicara, setelah Thianhi berdiri ia berkata, "Kalau begitu aku pergi dulu!" - Ia tinggal pergi. Hun Thian-hi menjadi merasa hambar melihat sikap Ham Gwat yang tidak menentu itu, kadangkadang hangat simpatik, dilain saat dingin, wajahnya tak pernah mengulum senyum manis, akhirnya Thian-hi tertawa geli sendiri. Batinnya, "Bagaimana aku ini, seorang laki-laki sejati kenapa tak punya pendirian tetap, seumpama aku punya rasa cinta terhadap Ham Gwat, tak seharusnya aku berpikiran tidak genah, apalagi aku belum begitu mengenal pribadi dan keadaannya, mana bisa bicara soal cinta terhadap dia!" Pelan-pelan ia menggeremet maju dan keluar dari kamar. Begitu berada diluar didapatinya dirinya berada di dalam sebuah hutan bambu, hawa disini rada sejuk dingin, sebuah jalan berliku memanjang tepat di depan pintu. Pelan-pelan Thian-hi menyelusuri jalan kecil ini keluar dari hutan bambu. Tanah luas dan subur terbentang dihadapannya, kembang liar tumbuh dimana-mana. Pikiran Hun Thian-hi lantas melayang, sekarang sudah musim semi, selama kelana setahun ini bukan saja tidak membawa hasil yang diharapkan malah dirinya memikul dosa berlimpah dan berkepanjangan tiada penyelesaian, sehingga gurunya sendiri berpendapat bahwa aku sudah tersesat semakin dalam dan mengusir dari perguruan. Ia menghela napas dengan murung, kepalanya mendongak celingukan kesekelilingnya. Terpikir oleh Thian-hi bahwa segala sesuatu dalam lingkungan yang melibatkan dirinya adalah begitu aneh begitu misterius. Sekarang ini betul-betul ia belum mengetahui keadaan sekeliling Ham Gwat, sebetulnya siapakah yang telah ditemui oleh Ham Gwat" Ibu Ham Gwat Ong Ging-sia sangat terkenang dan ingin jumpa dengannya. entah apakah dia tahu bahwa ibu kandungnya masih hidup dan sehat walafiat di dunia ini, haruskah aku memberitahu hal ini padanya" Thian-hi sendiri tak kuasa memberi jawaban. Kini pikiranmja melayang pada persoalan dirinya sendiri, Wi-thian-cit-ciat-sek belum lagi sempurna. Bu-bing Loni begitu lihay pula, bila tidak ditolong oleh Haim Gwat, mungkin dirinya sudah ajal ditangannya. Begitulah duduk di atas tanah berumput ia menengadah mengawasi mega yang mengembang dilangit, terpikir olehnya apa yang harus kulakukan selanjutnya" Tengah pikirannya melayang mendadak terasa olehnya dibelakangnya ada seseorang, gesit sekali tiba-tiba ia membalikkan tubuh, pendatang ini kiranya adalah Ham Gwat, ia menghela napas lega, ujarnya, "Kiranya kau!" Sorot mata Ham Gwat memancarkan senyum manis, tiba-tiba ia menunduk malu-malu, katanya, "Tak tahu aku apa yang sedang kau lakukan disini, aku datang menengok kau!" "Wah banyak terima kasih akan perhatianmu!" "Tadi kau termangu dan asjik berpikir, kedatanganku malah mengejutkan kau, maaf ya!" "Aii, berkelebihan ucapanmu. Kau harus salahkan aku berlaku kurang waspada!" "Tentu kau merasa sangat heran terhadapku bukan?" tiba-tiba tanya Ham Gwat. "Tidak! Aku hanya merasa kau rada misterius sepak terjangmu Sulit diraba, aku merasa ada sesuatu yang kurang kupahami atas dirjmu!" "Kelak pasti kau akan paham!" desis Ham Gwat lirih. Sampai disini mereka tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Thian-hi merasa kehabisan kata-kata, setiap kali berhadapan ia menjadi mati kutu dan tak kuasa membuka isi hatinya. "Mengandal ketekunan dan keyakinanmu pasti kelak kau berhasil. Wi-thian-citciat-sek sudah berhasil kau pelajari kelak tentu kau akan menjagoi dan memimpin rimba persilatan. Sayang kau sekarang belum dapal menyelami intisarinya, perlahan-lahan aku yakin akan dapat membantu kesukaranmu ini." Thian-hi lantas bangkit, katanya, "Kalau begitu kuharap nona sudi memberi petunjuk!" "Bukan diriku yang kumaksud. Aku kenal seorang kosen yang aneh, tentu beliau dapat bantu kau, bila Kau sudi, aku dapat membawamu kepada beliau." "Apakah beliau sudi menerima aku?" "Mungkin, tapi coba kutanyakan dulu, kau tunggu sebentar disini!" lalu ia membalik tubuh dan menghilang di rumpun bambu. Setelah Ham Gwat tidak kelihatan, Thian-hi bertanya-tanya dalam hati, entah siapakah tokoh kosen yang dimaksudkan" Tengah pikirannya bekerja, sekonyong-konyong dilihatnya sesosok bayangan hitam berkelebat lewat, sekilas pandang saja ia dapat mengukur betapa tinggi kepandaian orang itu, keruan terkejut hatinya. Memang luncuran tubuh orang itu juga mendadak berhenti, agaknya iapun sudah melihat kehadiran Thian-hi di tempat itu, kiranya itulah seorang nenek tua renta yang ubanan. Dengan cermat Thian-hi awasi nenek tua ini tanpa bicara, hatinya kejut dan heran, ilmu silat nenek tua ini begitu lihay, sekarang berhenti dan mengawasi dirinya, kelihatannya sudah kenal pada dirinya. Nenek tua itu menyeringai iblis, katanya, "Kau tidak kenal aku, tapi aku kenal kau, kau adalah Hun Thian-hi, ya bukan?" "Siapa kau?" tanya Thian-hi melongo. "Tiada halangannya kuberitahu pada kau, aku bernama Kiu-yu-mo-lo, kukira kau sudah kenal nama besarku itu bukan?" Thian-hi benar-benar terperanjat, batinnya, "Kiu-yu-mo-lo sudah muncul kembali, dia memperoleh Hian-thian-mo-kip, kepandaian silatnya sekarang tentu sudah teramat lihay, entah apa tujuannya dengan menampakkan dirinya ini?" Kiu-yu-mo-lo menyeringai tawa dua kali, ujarnya, "Kiranya kau tidak mampus, dimana Tok-simsin- mo" Aku ingin mencarinya untuk membuat perhitungan padanya!" - sebelum Thian-hi sempat menjawab, mendadak Kiu-yu-mo-lo menubruk maju serta berkata, "Mari kau ikut aku saja!" Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hun Thian-hi menjejakkan kakinya mundur dengan cepat, namun kedua telapak tangan Kiu-yomo- lo bergerak mencomot dan meraih dari kanan kiri, dua gelombang tenaga lunak menerpa keluar dari telapak tangannya mencengkeram ke arah Hun Thian-hi. Thian-hi mengeluh dalam hati, sungguh celaka pengalamannya hari ini, baru saja dirinya keluar jalan-jalan menyegarkan badan tak nyana kepergok oleh Kiu-yu-mo-lo yang kebetulan lewat, dia punya pertikaian dengan Sutouw Ci-ko yang belum terselesaikan, tentu diapun tak mau melepaskan dirinya. Thian-hi berdaya berkelit sekuat tenaganya, sayang darahnya keluar terlalu banyak sehingga kelincahan gerak-gerik tubuhnya banyak berkurang, namun Lwekangnya memang jauh lebih hebat dibanding dulu, meski gerak-geriknya rada lamban, sekuatnya ia masih berhasil lolos dari sergapan Kiu-yu-mo-lo yang pertama. Keruan Kiu-yu-mo-lo sendiripun bukan kepalang kejutnya, jikalau hari ini ia tidak berhasil membekuk Hun Thian-hi, cara bagaimana ia harus mencari Pek-kut-sin-mo dan Tok-sim-sin-mo kelak" Terdengar ia menggeram murka, tubuhnya bergerak begitu lincah dan sebat sekali, sekali berkelebat, kelima jarinya secepat kilat mencengkeram kejalan darah di pundak Thian-hi. Insaf bahwa dirinya tidak akan mampu membebaskan diri lagi, saking gugup Thianhi berteriak, "Tahan!" Tapi serangan Kiu-yu-mo-lo tidak berhenti karena bentakannya ini, tahu-tahu Thian-hi rasakan kepalanya berat, mata berkunang-kunang, pundak kirinya sudah dicengkeram keras oleh jari-jari Kiu-yu-mo-lo yang kurus dan berkuku runcing itu, jengeknya, "Apa yang hendak kau katakan?" Memandang muka orang Hun Thian-hi menjadi kecewa dan putus asa, Kiu-yu-mo-lo bicara setelah berhasil meringkus dirinya, untuk mengulur waktu sudah tak mungkin lagi, tawar2 saja ia menyahut, "Sekarang tak ada apa-apa lagi!" "Kau kira aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan?" jengek Kiu-yu-mo-lo, "Sangkamu aku hanya ingin tahu jejak Tok-sim-sin-mo belaka" Apa yang ingin kudapat belum tentu bisa kuperoleh dari atas tubuhmu!" Mendengar nada perkataan orang, tahu Thian-hi bahwa Kiu-yu-mo-lo ini tentu sangat congkak dan takabur akan kepandaian dan kemampuannya sendiri, maka ia bersuara, "Tidak!" "Kau masih punya teman bukan?" Kiu-yu-mo-lo menyeringai sadis, "Kau main ulur waktu supaya kawanmu menolong kau bukan?" "Pikiranmu ini sungguh sangat menggelikan." Terpancang hawa membunuh dalam sorot mata Kiu-yu-mo-lo, namun sekilas lantas lenyap. Ejeknya, "Lalu kau tadi menyuruh aku 'tahan' apa maksudmu" Berani kau mentertawakan aku?" Thian-hi mandah tersenyum ewa, batinnya, "Kiu-yu-mo-lo tentu sudah sekian lama mengasingkan diri, sembari mengobati luka-lukanya sembari mempelajari ilmu yang diperolehnya dari Hiari-thian-mo-kip itu. Sekarang sudah berhasil jadi ia berani muncul di Bu-lim untuk mencari perhitungan sama Tok-sim-sia-mo dan Pek-kut-sin-mo, secara kebetulan di tempat ini melihat diriku, tahulah dia bahwa Tok-sim-sin-mo tentu juga sudah lolos, dia menyangka bahwa aku tentu dapat mengetahui dimana jejak Tok-sim-sin-mo, tentu dia minta aku membawanya mencari musuh besarnya itu...." Karena rekaannya ini segera ia buka bicara, "Tok-sim-sin-mo sekarang menjadi Pangcu Hekliong- pang, kekuatannya sudah menjangkau selatan dan utara sungai besar, dia punya persenjataan Pek-tok-hek-liong-ting yang amat ampuh lagi, kau berani mencari dia, bakal konyol belaka." Kiu-yu-mo-lo menjengek mulut, matanya bersinar beringas, mulutnya terbungkam. Melihat sikap orang senang hati Thian-hi, ujarnya, "Banyak kejadian di Kangouw belakangan ini yang tidak kau ketahui. Semua kejadian itu banyak yang punya sangkut paut terhadap dirimu!" Kiu-yu-mo-lo termangu, entah, apa yang sedang dipikir, sesaat kemudian ia bersuara, "Kau sudah angkat Tok-sim sebagai gurumu bukan?" $ "Kau kira aku sudi?" jawab Thian-hi tawar. "Meski ilmu silatku tidak becus masa aku sudi angkat guru padanya" Ketahuilah dia sedang menarik Pek-cianpwe yaitu saudara kecilmu yang ketiga untuk membantu pergerakkannya, tapi beliau pun tidak sudi!" Melihat orang tidak mengunjukan reaksi apa-apa, Thian-hi lantas meneruskan, "Belum lama aku berpisah dengan beliau, sekarang dia bersama Sutouw Ci-ko!" "Sangkamu aku mencari kau karena segala urusan tetek bengek itu?" demikian tukas Kiu-yumo- lo dengan keras, "Ketahuilah aku masih punya urusan lain yang lebih penting." "Hwe-tok-kun sekarang bersama Ang-hwat-lo-mo, mereka sama mendirikan sebuah partai lain sebagai tandingan yang kuat dari Hek-liong-pang pimpinan Tok-sim-sin-mo!" "Aku tidak peduli segala peristiwa itu, bukan itu tujuanku ...." - tiba-tiba tangannya mencengkeram lebih keras serta membalik tubuh secara mendadak, sehingga mereka sama berputar. Ham Gwat berdiri tegak tiga tombak di belakang sana. Biji matanya memancarkan sorot aneh mengawasi Kiu-yu-mo-lo. "Siapa kau?" tanya Kiu-yu-mo-lo. Ham Gwat berdiri tegap tak bersuara, lambat laun sinar matanya tenang kembali, seakan-akan selamanya perasaannya begitu tenang tapi dingin dan kaku. Secara langsung terasa oleh Kiu-yu-mo-lo bahwa Ham Gwat bukanlah orang yang gampang dapat digertak dan gebah pergi begitu saja, sebelah tangannya membalik beruntun ia menutuk beberapa jalan darah ditubuh Hun Thian-hi, lalu dengan waspada ia awasi Ham Gwat. "Kenapa kau harus menutuk jalan darahnya?" tanya Ham Gwat pelan-pelan. "Persetan dengan kau" Siapa kau?" teriak Kiu-yu-mo-lo, suaranya melengking tinggi. Kelihatannya Ham Gwat memeras otak, entah apa yang sedang dipikirkan, sekian lama ia berdiam diri. Kiu-yu-mo-lo sendiri menjadi risi dan bingung, serunya geram, "Kutanya kau apakah kau tidak dengar?" Tawar2 saja Ham Gwat pandang orang, ia sedang menggunakan kecerdikan otaknya mencari akal cara untuk menolong Thian-hi. Tanpa bicara tiba-tiba ia membalik tubuh terus jalan kembali dari arah datangnya semula. Dada Kiu-yu-mo-lo menjadi terbakar, dengan wataknya yang begitu berangasan dan congkak itu, masa dia terima dipandang hina dan tidak direwes oleh Ham Gwat, dengan murka ia menghardik, "Berhenti!" Seperti tidak mendengar Ham Gwat terus berjalan ke depan pelan-pelan. sedikitpun ia tidak peduli apakah orang akan marah atau mencak-mencak. yang terang ia kerahkan Lwekang tingkat tinggi mengembangkan Ginkang Ling-khong-pou-si, tubuhnya bergerak laksana awan mengembang dan air mengalir melesat terbang cepat sekali. Karuan Kiu-yu-mo-lo semakin murka. sambil mengempit Thian-hi segera ia kembangkan ilmu ringan tubuhnya mengejar ke arah Ham Gwat. Ham Gwat berjalan beberapa langkah lebih dulu, Kiu-yu-mo-lo sendiri juga mengempit Hun Thian-hi, sudah tentu kecepatan gerak tubuhnya tidak dapat mengungguli Ham Gwat. Sementara itu Ham Gwat sudah berkelebat memasuki hutan bambu, semakin murka Kiuyu-molo dibuatnya, diam-diam iapun merasa kejut akan Lwekang Ham Gwat yang tinggi dan Gingkangnya yang lihay, masa gadis kecil yang masih remaja tidak kuasa dikejar olehnya, apa pula yang telah berhasil dilatih selama beberapa bulan mengasingkan diri belakangan ini. Tok-sim-sinmo sudah lolos dari belenggu kurungan, dilihat keadaan sekarang, apakah dirinya dapat menghadapi Tok-sim-sin-mo kelak menjadi suatu pertanyaan besar, tengah pikirannya melayang, dilihatnya Ham Gwat sudah tiba di belakang sebuah gunung dan membelok kesana terus memasuki hutan pohon jati dan menghilang. Kiu-yu-mo-lo menjerit enteng, cepat ia menyedot napas tubuhnya lantas menerjang ke depan laksana anak panah. Tanpa sangsi dan banyak pikir ia terus menerobos masuk ke dalam hutan jati itu, namun jejak Ham Gwat sudah menghilang, sambil mengempit Hun Thian-hi ia melangkah terus ke depan, pikirnya, setelah menembus hutan pohon jati ini hendak kulihat kemana pula kau lari. Begitulah Kiu-yu-mo-lo berlari-lari kencang mengejar terus ke depan, kira-kira setengah jam sudah berlangsung pengejaran itu, selama itu tidak kelihatan bayangan Ham Gwat tapi hutan jati ini tidak kunjung habis dari kaget lambat laun hati Kiu-yu-mo-lo menjadi ciut dan takut, waktu ia angkat kepala, pohon nan subur itu sedang berkembang mengluarkan baunya yang wangi, waktu ia celingukan kian kemari jalan menjadi buntu, sekelilingnya dilingkungi oleh pohon-pohon besar kecil yang tumbuh subur. Sekian lama ia berdiri terlongong, semakin pikir hatinya semakin ciut dan kejut, tak tahu dia cara bagaimana dirinya nanti keluar dari hutan jati yang lebat dan membingungkan ini. Pikir punya pikir Kiu-yu-mo-lo menggeram dengan aseran, tiba-tiba ia berlari lagi menerobos hutan, tapi loncatan tubuhnya hanya tiga empat kaki tingginya, seolah-olah daun-daun pohon di atas kepalanya tak mampu dicapainya. Bukan kepalang kejut hatinya, seketika ia menjadi sadar dan terpikir olehnya suatu kabar berita yang pernah didengarnya dulu, seketika mukanya berubah pucat, tangannya menjadi lemas, Hun Thian-hi yang dikempit di bawah ketiaknya melorot jatuh di tanah. Ia berdiri terlongong dengan putus asa. Menurut kedaan yang dihadapinya sekarang, apakah dirinya sudah masuk ke dalam barisan Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin" Sejak dulu pernah kudengar nama barisan yang hebat itu, apakah hari ini aku mengalami sendiri jatuh ke dalam barisan penggugah iblis itu" Karena dipengaruhi oleh pikirannya ia berdiri tegak terkesima dengan muka pucat, bila sudah terjebak masuk ke dalam barisan menggugah iblis itu seumpama kepandaian maha lihay setinggi langi tpun jangan harap dapat keluar dari kurungan, demikianlah keadaan dirinya sekarang harus pasrah nasib jiwa sendiri tergenggaan ditangan orang. Waktu ia angkat kepala celingukan sekelilingnya hening lelap. Mendadak teringat olehnya akan Hun Thian-hi segera ia menyeringai dingin, teriaknya, "Apakah jiwa Hun Thian-hi tidak kalian hiraukan lagi" Awas kubunuh dia!" sembari mengancam ia angkat tangannya mengincar batok kepala Hun Thian-hi, sedang kuping dipasang serta mata memeriksa keadaan sekelilingnya. Sekonyong-konyong sebuah suara yang lirih seperti bunyi nyamuk terkiang dipinggir kupingnya, "Setelah masuk ke dalam Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin masih berani timbul angan2 jahatmu?" Berubah air muka Kiu-yu-mo-lo, kiranya benar-benar dirinya sudah terjebak ke dalam Thay-siciang- soat-lian-mo-tin konon kabarnya barisan ini setiap seabad muncul sekali di Kangouw, tujuannya adalah menggugah kesadaran jiwa setiap gembong iblis yang sudah terlalu banyak membuat kejahatan, tapi selama itu tiada seorangpun yang tahu alamat dan keadaan sebenarbenarnya dari barisan yang lihay itu. tapi itu kenyataan bukan khayal belaka, dan buktinya sekarang dirnya telah berada di dalam barisan yang sangat ditakuti oleh kaum sesat itu. Ilmu silat yang dipelajari dari Hian-thian-mo-kip belum lagi mendapat hasil yang memuaskan, sungguh penasaran kalau dirinya harus berkorban secara konyol disini. setelah terlongong, akhirnya ia berseru, "Hun Thian-hi berada ditanganku, dia menggembol rahasia Nihay-ki-tin, dengan segala rahasia yang berharga itu untuk menebus jiwaku, apakah belum setimpal" Ingatanku sekarang masih segar bugar, bila kudapati rahasia Ni-hay-ki-tin itu pasti akan kuhancurkan lebih dulu, kuharap kau tidak menyesal setelah terlambat!" Sesaat kemudian suara lirih seperti nyamuk itu berkata lagi, "Kejahatan yang kau pernah lakukan terlalu banyak. dosamu tak berampun, masih kan berani menggunakan Hun Thian-hi untuk mengancam padaku. dosamu lebih tak bisa diampuni lagi. kau kira kau masih segar dan Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo belum hilang ingatan" Bila ingatanmu masih segar, sejak tadi kau sudah keluar dari barisan itu!" - Lenyap suaranya suasana sekelilingnya kembali menjadi lelap. Dengan rasa kebencian yang berlimpah Kiu-yu-mo-lo mengumpat caci. pelan-pelan tangan yang terangkat tinggi diturunkan, rasanya kurang tepat bila membunuh Hun Thianhi sekarang. pikirnya bila Hun Thian-hi berada ditanganku. dengan adanya sandera yang kuat ini akan kulihat sampai kapan kau kuat bertahan mengurung aku. Begitulah ia lantas duduk bersimpuh, tangan kanannya masih mencengkeram pergelangan tangan Hun Thian-hi, ia pejamkan mata dan pelan-pelan mulai melatih ilmu yang dipelajari dari Hian-thian-pit-kip. Angin menghembus sepoi-sepoi, dedaunan pohon disekitarnya terdengar berkeresekan seperti bergerak. Kiu-yu-mo-lo duduk tenang tanpa bergerak. tahu dia bahwa Thay-siciang-soat-lian-motin sudah mulai bergerak. tapi terpikir olehnya bahwa semua itu tak lebih sebagai pandangan khayal yang mengaburkan ingatan manusia belaka, asal aku kuat mengendalikan hati dan pikiran, apa yang harus kutakuti! Hawa nan sejuk di dalam hutan semakin terasa panas, pohon-pohon disekelilingnya kelihatannya berubah menjadi serba merah, seluruh hutan jati ini seperti terbakar jago merah yang membara lambat laun kobaran api semakin besar, seluruh hutan jati ini menjadi lautan api. Kian lama Kiu-yu-mo-lo merasa seluruh badan makin panas seperti dipanggang, sungguh tidak tartahan lagi suhu panasnya. Ia menengadah celingukan ke arah sekitarnya, tampak dimana-mana api sudah menjilat semakin besar, berulangkali ia ingin bangkit dan lari keluar dari lingkungan kobaran api ini, tapi selalu gagal dan urung, akhirnya ia duduk bersimpuh kembali. Akhirnya Kiu-yu-mo-lo berpikir; bila aku benar-benar ingin lari juga tidak mungkin lolos dari Kepungan kobaran api yang begini besar. Seumpama mati juga ikhlas karena Hun Thian-hi akan menyertainya ke jalan alam baka, bila kalian memang tidak ingin menyelamatkan jiwa Hun Thianhi, apa boleh buat, biar aku gugur bersama dia. Demikian ia berpikiran secara nekat Karena tujuan orang mengurung dirinya di dalam barisan ini terang bertujuan untuk menolong Hun Thian-hi. Dengan adanya Hun Thian-hi sebagai sandera apa lagi yang perlu dilakuti. Sementara itu bara api disekitarnya lambat laun mulai mengecil dan akhirnya padam. Empat penjuru menjadi gelap gulita, pulih seperti sediakala. hutan jati yang lebat dan sejuk, sunyi dan lelap. Kiu-yu-mo-lo menjadi terlongong, baru sekarang ia sadar, kiranya tadi matahari sedang terbenam, sebaliknya dirinya mengira dirinya terkurung di dalam lautan api. Begitulah ia termangu-mangu, tiba-tiba terasa hawa mulai dingin dan angin menghembus keras. Kiu-yu-mo-lo mandah mendengus hidung, waktu ia melirik ke arah Hun Thian-hi yang rebah disampingnya. tampak orang seperti tertidur pulas tak kurang suatu apa, ia kertak gigi pikirnya pasti aku terombang-ambing di dunia khayalan belaka, kenapa aku urus segala gejala yang menyesatkan ini" Batinnya memang merasa akan gejala yang tidak wajar itu dan tak mau peduli lagi, tapi hembusan angin kenyataan semakin dingin seperti hampir membekukan seluruh sendi tulangnya. Ia kertak gigi dan berpikir, "Hembusan angin dingin betapapun tidak akan mempersukar dan meruntuhkan kekuatan batinku!" - begitulah ia duduk tenang tanpa bergeming. Berselang tak berapa lama, hawa semakin dingin tiba-tiba ia membuka mata mengawasi Hun Thian-hi, tiba-tiba timbul pikirannya, "Bila dia siuman bagaimana perasaannya?" - Segera ia kebutkan lengan, bajunya membebaskan seluruh jalan darah Thian-hi yang tertutuk. Pelan-pelan Hun Thian-hi siuman dan membuka mata, kuatir orang melarikan diri cepat-cepat Kiu-yu-mo-lo menggencet urat nadi pergelangannya. Pelan-pelan Hun Thian-hi merangkak bangun duduk bersila, sekilas ia pandang Kiu-yu-mo-lo tanpa bersuara, ia tidak tahu cara bagaimana dirinya bisa sampai di tempat itu, yang terang dirinya masih tertawan oleh Kiuyu-mo-lo jadi Ham Gwat tak berhasil menolong dirinya. Sikap Hun Thian-hi tenang dan acuh tak acuh akan keadaan sekelilingnya, Kiu-yumo-lo jadi heran. tanyanya, "Tahukah kau dimana sekarang kita berada?" Thian-hi memandangnya tawar, ia rada curiga akan sikap pertanyaan Kiu-yu-mo-lo ini, mimpipun ia tidak mengira bahwa dirinya ternyata ikut terjeblos di dalam barisan menggugah iblis yang lihay itu. Tanpa bersuara ia menundukkan kepala. Kata Kiu-yu-mo-lo menjelaskan, "Ketahuilah kita berdua sudah terperangkap ke dalam Thay-siciang- soat-lian-mo-tin oleh kawan baikmu itu!" Thian-hi tersentak kaget sambil menengadah mengawasi Kiu-yu-mo-lo, sungguh kejut dan girang pula hatinya, sungguh tidak nyana bahwa dirinya sekarang berada di dalam Thay-si-ciangsoat- lian-mo-tin. Entah dengan cara apa Ham Gwat bisa berhasil mengurung Kiu-yu-mo-lo ke dalam barisan ini. "Kelihatannya kau sangat girang ya?" Thian-hi tertunduk diam. Kiu-yu-mo-lo menjadi berang, jengeknya, "Jangan kau merasa senang lebih dulu. Ketahuilah bila, aku tidak bisa keluar kau pun takkan bisa hidup. Dengan ada kau disini, betapa pun mereka takkan berani berbuat apa-apa terhadap diriku." Thian-hi manggut-manggut, ujarnya, "Benar-benar, aku sendiri menjadi tidak tega bila kau terkurung sendirian disini, Apalagi bila kau dapat keluar paling tidak dapat memberi tekanan berat terhadap Tok-sim-sin-mo!" Mendengar nada perkataan Hun Thian-hi berubah cegitu cepat, sesaat Kiu-yu-mo-lo menjadi melongo dibuatnya. Tanpa hiraukan Kiu-yu-mo-lo. Thian-hi bersimpuh dan mejamkan mata, pelanpelan ia kerahkan Pan-yok-hian-kang untuk memulihkan kesegaian badannya. Sementara itu Kiu-yu-mo-lo sudah merasa hawa semakin dingin sehingga badannya yang tua renta itu gemetar. Dilihatnya Thian-hi duduk tenang-tenang seperti tidak kurang suatu apa, hatinya merasa aneh tak habis herannya, akhirnya iapun menghimpun semangat dan memusatkan pikiran mulai samadi. Hari kedua, waktu terang tanah badan Hun Thian-hi sudah pulih kesegarannya, sebaliknya keadaan Kiu-yu-mo-lo semakin lesu dan jompo. Hun Thian-hi menjadi heran dan bertanya-tanya. Tapi terpikir olehnya mungkin Kiu-yu-mo-lo sudah terseret ke dalam alam khayal yang mulai menyedot sukmanya yang sesat kalau keadaah begitu terus berlarut dalam jangka dua hari lagi mungkin dia sendiri takkan kuasa mengendalikan dirinya lagi. Sebetulnya Kiu-yu-mo-lo juga menyadari akan hal ini. Waktu ia melihat cara latihan Thian-hi yang begitu wajar dan tenang, Lwekangnya yang tinggi dan ampuh itu sebetulnyalah bahwa dirinya takkan mampu lagi mengendalikannya, diam-diam terpikir cara lain untuk mengatasinya. Hun Thian-hi menyedot hawa segar, Kiu-yu-mo-lo segera melepaskan cengkeraman tangannya katanya, "Jangan mimpi kau dapat lari dari hadapanku!" Hun Thian-hi mandah tertawa ewa, jalan darah pergelangannya dicengkeram musuh sehingga ia tak kuasa menyempurnakan latihannya menurut kesukaan hatinya, tapi dari persentukan tangan ini diam-diam ia dapat mengukur sampai dimana sebenar-benarnya kepandaian sejati Kiu-yu-molo. sebenar-benarnyalah bahwa Lwekang Kiu-yu-mo-lo jauh di bawah perkiraannya semula, juga terlalu jauh dibanding dengan Tok-sim-sin-mo. Tak tahu kenapa ia harus kelana pula di Kangouw sebelum ilmu yang dipelajari dari Hian-thian-mo-kip sempurna, malah katanya hendak membuat perhitungan dengan Tok-sim-sin-mo apa segala. Atau mungkim dia punya tujuan lain, justru yang ketemu adalah dirinya. "Lekas kau suruh perempuan baju hitam itu melepas kita keluar!" demikian desak Kiu-yu-mo-lo dengan aseran. Hun Thian-hi tersenyum, sahutnya, "Aku sendiri pun ingin keluar, tapi bila kau ikut keluar pasti dia tidak akan melepaskan kau. Ka-yap Cuncia sudah membelenggu kau selama lima puluh tahun, hukuman selama itu masih belum bisa membuat kau bertobat dan mencuci hati membina diri, kembali menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, sebaliknya kau berbuat kejahatan pula di Bulim, aku sebagai manusia biasa tak kukenal parbedaan antara berat dan ringan. Coba bila kau sendiri yang menjadi dia, bagaimana sikap dan apa yang akan kau lakukan?" Kiu-yu-mo-lo menyeringai sinis. katanya, "Kau menggembol rahasia Ni-hay-ki-tin, bekal yang kau bawa itu jauh cukup dapat menjadikan kau bersimaharaja di Bulim, masa kau sendiri tidak tahu atau pura-pura tidak tahu!" Hun Thian-hi tartawa tawar, ujarnya, "Maksudmu Badik buntung itu bukan" Ketahuilah bahwa Badik buntung sudah terjatuh ketangan Bu-bing Loni, kau belum tahu." Kiu-yu-mo-lo rada tercengang, tanyanya, "Serangkanya juga maksudmu?" Melonjak keras jantung Hun Thian-hi, pikirnya, "Apakah rahasia Ni-hay-ki-tin itu berada di atas serangka Badik buntung itu?" - ia manggut-manggut membenar-benarkan. Kiu-yu-mo,lo menghela napas lesu, dengan putus asa ia menunduk, katanya sesaat kemudian, "Kalau begitu, tiada halangannya kuberitahu soal ini kepada kau. Ketahuilah rahasia Ni-hay-ki-tin di seluruh kolong langit ini hanya aku dan Tok-sim-sin-mo serta I-lwe-tok-kun bertiga yang tahu, Samte atau Pek Si-kiat kita kelabui, sengaja kami tidak mau memberitahu padanya." Bercekat hati Hun Thian-hi, kiranya mereka bertiga sama dalam satu gerombolan. "Bicara terus terang, yang benar-benar tahu jelas segala rahasia ini bukan melulu kami bertiga saja." demikian sambung Kiu-yu-mo-lo. "Itulah Ling-lam-kiam-ciang Coh Jian-jo, dia paling tahu dan jelas sekali mengenai rahasia ini, ketahuilah bahwa Ni-hay-ki-tin adalah warisan dari leluhurnya. turun temurun sampai jaman ini, tapi Badik buntung selalu berpindah tangan. Kami bertiga pun tiada yang mau mengalah satu sama lain, kami masing-masing insyaf diri sendiri tidak akan kuat menghadapi dua orang yang lain maka tiada berani sembarangan turun tangan merebut Badik buntung itu." Sampai disini ia menepekur sekian saat baru melanjutkan, "Coh Jian-jo pernah tertawan oleh kami bertiga, sayang ia berhasil melarikan diri. Dan tidak lama setelah kejadian itu Si-gwa-sam-mo sama dikurung oleh Ka-yap Cuncia di dalam Jian-hud-tong!" "Jadi maksudmu rahasia Ni-hay-ki-tin itu sebetulnya berada di atas serangka Badik buntung itu?" tanya Hun Thian-hi. Kiu-yu-mo-lo manggut-manggut, sahutnya, "Mungkin begitu. tapi kebenar-benarannya harus tanyakan langsung kepada Coh Jian-jo!" Diam-diam Thian-hi mengutuk kejahatan Mo-bin Su-seng, meski dia sudah dibikin cacat dan dipunahkan ilmu silatnya oleh Ka-yap Cuncia, namun masih tidak mau menyerah, begitu tamak dengan segala kelicikan dan kekejamannya berusaha mendapatkan Badik buntung sehingga dunia persilatan menjadi geger dari kemelut karena perebutan Badik buntung itu, secara licik ia hendak menunggangi keuntungan dalam perebutan ini, yang diincar melulu serangkanya saja, untung dalam dua kali peristiwa perebutan itu tidak tercapai harapannya. Teringat oleh Thian-hi akan serangka Badik buntung yang sekarang masih tersimpan di dalam kantong bajunya, ingin rasanya dikeluarkan untuk diperiksa, sebetulnya macam apakah rahasia menemukan Ni-hay-ki-tin itu, sehingga menimbulkan perebutan manusia-manusia tamak dan mengambil banyak korban. "Mungkin kau heran, kenapa kami ingin memiliki Ni-hay-ki-tin itu bukan?" demikian tanya Kiuyu- mo-lo, "Bahwasanya jarang kaum persilatan yang tahu, mereka menyangka disana terpendam harta benda yang tak ternilai harganya, sebetulnyalah disana tiada sepeserpun barang-barang berharga, yang ada hanyalah pelajaran ilmu silat yang maha lihay." "Tapi sekarang kau telambat untuk dapat memilikinya!" "Tidak, kukira aku masih punya harapan untuk keluar, setelah keluar aku akan langsung mencari Bu-bing Loni!" Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Anggapmu Bu-bing Loni kamu keroco" Janganlah kau lupa beliau adalah keturunan dari ilmu Hui-sim-kian-hoat dari Ngo-bi-pay!" Kiu-yu-mo-lo menjadi tertegun, katanya, "Kalau keturunan murid Ngo-bi-pay emangnya mau apa. Anggapmu aku tidak kuasa menempur dia?" "Kukira kau bukan tandingannya, semestinya kau sendiri juga jelas akan hal ini. Tentu kau menghadapi kesukaran dalam berlatih Hian-thian-mo-kip bukan?" Mendelik gusar biji mata Kiu-yu-mo-lo, desisnya, "Darimana kau bisa tahu" Kau ...." mendadak ia sadar mana boleh dia membocorkan rahasia ini begitu saja sehingga Hun Thianhi ikut mengetahui, meskipun batinnya sangat berang, tapi segera ia tutup mulutnya. "Pelajaran Hian-thian-mo-kip tidak bakal berhasil dilatih dalam waktu singkat, jelas kau pasti menemui kesukaran, tapi sudah mendapat hasil yang lumajan, kuatir bila Tok-simsin-mo lolos dari belenggu dan sukar diatasi, kau ingin pula mengangkangi Ni-hay-ki-tin itu, maka terpaksa kau muncul pula di Kangouw, benar-benar tidak?" Kiu-yu-mo-lo menyeringai dingin, katanya, "Analisamu memang benar-benar, yang penting aku hanya ingin mencari seseorang, orang ini dapat membantu aku menyempurnakan latihan pelajaran yang termuat di dalam Hian-thian-mo-kip itu!" Berkilat mata Hun Thian-hi, mulutnya bungkam. Kiu-yu-mo-lo menengadah memandangi pohon-pohon jati nan jauh di depan sana, suaranya lirih, "Kau belum tahu akan kelicikan dan keganasan Tok-sim-sin-mo, dia merupakan satu pasangan dengan I-lwe-tok-kun itu, tapi daya pikirnya masih rada ketinggalan oleh kecerdikan Ilwe- tok-kun Kalau aku bisa keluar dari barisan ini tujuan yang pertama aku harus bunuh dia!" Hun Thian-hi tersenyum geli, katanya, "Duduk saja tenang-tenang, selama hidup ini takkan ada harapan dapat keluar!" Kiu-yu-mo-lo menghela napas rawan, ujarnya, "Kau kira Thay-si-ciang-soat-lianmo-tin ini begitu gampang" Kecuali yang pasang perangkap sengaja melepas kita, kalau tidak selama hidup ini kau dan aku memang harus tetap disini, jangan harap bisa keluar!" Melihat orang menghela napas Hun Thian-hi rada heran, Kiu-yu-mo-lo sudah mulai lemah, agaknya batinnya mulai sadar. Terpikir olehnya bila setiap hari berada di tempat ini apalagi pikiran dan pandangan selalu tenggelam dalam khayalan, betapapun sebagai manusia biasa kita takkan kuat bertahan, justru Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin merupakan alat penyadar dan penggugah kesesatan yang tidaklah gampang dihadapi begitu saja! Sambil terengah-engah Kiu-yu-mo-lo bangkit sembari menyeret Hun Thian-hi, katanya, "Kau ikut aku, jangan mimpi untuk lari. jika kau lari, segera kubunuh kau!" lalu mereka beranjak ke depan, entah kemana tujuannya. Begitulah pelan-pelan ia seret Thian-hi maju terus ke depan, entah berapa lama dan berapa jauhnya, mendadak dilihatnya di depan Sana terbentang daun-daun pohon nan subur menghijau, itulah rumpun pohon-pohon bambu yang kelihatan sangat menyolok dan menyegarkan. Dengan kejut ia kucek2 kedua matanya, ia ragu-ragu dengan apa yang dia lihat, tapi kenyataan apa yang dia lihat ini bukan khayalan belaka, keruan bukan kepalang girang hatinya, syukurlah akhirnya toh aku bisa keluar dari kurungan pohon jati ini. Tengah Kiu-yu-mo-lo kegirangan, mendadak terasa tangannya kesendal oleh saluran tenaga dalam yang kuat, kontan pegangan kelima jarinya terlepas, sembari menggerung gusar ia membalik tubuh, kedua telapak tangannya bersama menepuk ke arah Hun Thian-hi. Gesit sekali Hun Thian-hi sudah menyurut mundur terus menggelinding dan menghilang di dalam rumpun daun-daun semak belukar. Kiu-yu-mo-lo tidak berani mengejar, ia takut kehilangan kesempatan untuk keluar dari barisan, terpaksa ia mengumpat caci dan melampiaskan gusarnya dengan menghantamkan tangannya ke arah semak-semak, keadaan yang rapi dari semak pohon-pohon itu seketika menjadi porak peronda, daun berguguran. Waktu Kiu-yu-mo-lo membalik tubuh, tampak daun-daun menghijau di depan Sana masih kelihatan, pelan-pelan ia lantas beranjak menghampiri, setelah dekat itulah serumpun hutan bambu, keluar dari hutan bambu ini dihadapannya berdiri tegak sebuah bangunan gedung berloteng, sejenak ia berdiri menjublek, pikirnya, setelah sampai disini kenapa harus takut-takut masuk kesana. Begitulah ia maju lagi setiba diambang pintu ia mendongak tempak di atas pintu bertuliskan empat huruf besar "Thay-si-yu-king" (Alam khayalan), mencelos hatinya, setitik harapan yang bersemi dalam sanubarinya tadi seketika amblas, kabut berbondongbondong mengepul dari tanah disekitar kakinya, lambat laun dirinya seperti dibungkus oleh kabut putih yang bergulung-gulung itu, selayang pandang melulu warna putih yang tidak berujung pangkal lagi. Pikirannya Kiu-yu-mo-lo juga menjadi kosong dan seperti memutih sama sekali, Sekian lama ia menjublek, akhirnya meloso duduk kelelahan. otaknya sudah berhenti bekerja. yang terasa bahwa sang waktu selalu berhenti di dalam kejap yang sama, dunia ini terasa sepi dan hening seolah-olah tiada kehidupan lagi dimajapada ini, hatinya semakin dikili2 seperti ingin meronta, rela sudah bila aku mati saja daripada tersiksa macam ini! Entah berapa lama, keadaan masih seperti itu, sungguh sedih dan rawan sekali batin Kiu-yumo- lo, akhirnya ia berteriak-teriak seperti orang gila sesambatan, namun yang didengar hanyalah gema suaranya sendiri dari empat penjuru. Akhirnya ia berhenti berteriak. dengan putus asa ia celingukan ke sekitarnya, 'aku sudah kejeblos ke dalam alam khayal yang menyesatkan pikiran. mungkin selama hidup ini tidak akan bisa keluar lagi.' Duduk bersimpuh pikiran Kiu-yu-mo-lo sekarang mulai bekerja, tapi kalut dan berpikir secara abnormal. Terpikir olehnya bila dia berhasil keluar pekerjaan apa yang harus dia lakukan, aku akan bunuh seluruh manusia yang tidak kusenangi, aku harus mendapatkan Ni-hay-ki-tin, menjadi jago silat nomor satu di seluruh kolong langit yang tiada tandingan, barisan macam setan yang menyesatkan ini akan kuhancur leburkan, tidak ketinggalan pencipta dari barisan gaib inipun akan kusiksa sampai mampus.... Begitulah alam pikirannya melayang-layang. entah berapa lama ia memutar otak, kadangkadang mulutnya menggeram, tangan menepuk tanah, matanya berkilat menyapu sekelilingnya, tapi yang dilihatnya sama adalah alam keputihan yang menyilaukan pandangan matanya, akhirnya ia menghela napas. Sekarang otaknya terasa kosong pula, yang terpikir tadi melulu hanyalah khayalan hatinya belaka. pikiran yang tidak mungkin dicapai dan dilakukan olehnya. Kini teringat olehnya akan waktu mudanya. sejak ia masih bocah mengangkat guru belajar silat sampai dia kelana di Kangouw, ganti berganti pengalaman dulu terbayang dikelopak matanya, heran dia kenapa aku bisa mengenangkan masa lalu, belum pernah aku terkenang akan masa yang telah silam itu tapi masa silam yang penuh kenangan itu sekarang terbayang dalam alam pikirannya. Hatinya mulai mengeluh dan merasa derita. Terbayang betapa takut hatinya waktu pertama kali ia membunuh orang, dari kelakuan lurus aku semakin terperosok kejalan sesat dan menyeleweng dari ajaran guru, akhirnya malang melintang sebagai salah seorang dari Si-gwasam-mo yang ditakuti, perbandingan dari awal mula dan babak terakhir ini, perubahan yang begitu cepat betulbetul membuat sanubarinya merasa heran dan kejut. Dalam Jian-hud-tong tanpa disadarjnya ia menetap lima puluh tahun lamanya, meski dalam waktu yang begitu lama selalu aku berpikir mencari akal untuk meloloskan diri untuk menuntut balas kepada Ka-yap Cuncia. terutama waktu secara tak terduga memperoleh Hianthian-mo-kip, angan2 untuk menuntut balas semakin membakar sanubarinya. Tatkala itu aku bertahan untuk hidup dan hidup ini memang untuk menuntut balas, tapi bagaimana sekarang" Entahlah aku tidak tahu lagi. di dalam dunia kehidupan yang serba memutih ini, apa pula yang harus kutuntut untuk kubalas" Lambat laun ia menyesal dan putus asa, "Thay-siciang-soat-lianmo- tin tidaklah begitu gampang dibobol atau dipecahkan seperti dugaannya semula, keadaan yang abstrak tidak berbentuk ini, betapapun jauh lebih hebat lebih sukar dihadapi daripada belenggu rantai dari Ka-yap Cuncia. Untuk meloloskan diri harapannya sangat nihil. Kiu-yu-mo-lo menepekur lagi, pikirannya melayang kembali mengenang pengalamannya dahulu, ia duduk dengan hampa dan perasaan kosong. entah apa yang harus dilakukan, ia mandah terima nasib saja. Lambat laun ia merasa menyesal dan bertobat. perbuatannya dululah yang justru membuat dirinya sekarang menerima akibatnya ini. Dengan mendelohg ia pandang ke sekelilingnya tak berani ia kenang masa silam pula, ia menjadi sebal dan gegetun karena keadaan sekelilingnya" tetap sama tak pernah berubah seakan-akan sang waktu berhenti berjalan tak bergerak lagi. Dibanding di dalam Jian-hud-tong jauh lebih sunyi dan lelap. Tak tahan lagi ia bergegas melompat bangun, kedua telapak tangannya terayun menepuk dan menghantam serabutan ke segala penjuru, kemana angin pukulannya yang dahsyat itu menyamber keluar, sedikitpun tidak dengar desir angin atau gelombang pergerakan akibat dari pukulannya, akhirnya ia berteriak melengking putus asa, tapi gema teriakannya pun tak terdengar lagi, ia meloso duduk lemas, airmata meleleh keluar. suaranya sendiri pun tak kuasa dikendalikan lagi. Dengan lemas ia bersimpuh memejamkan mata, lambat laun timbul rasa sesal dalam benaknya dan rasa menyesal ini semakin besar sampai mengetuk sanubarinya, ja, sepak terjang dulu waktu masih muda harus disesalkan, batinnya mulai bertobat. Hati kecilnya berteriak dengan kekosongan jiwa yang menggersang, sungguh ia sendiri pun tidak nyana bahwa akhirnya ia harus menyesal, terasa betapa kerdil jiwanya ini begitu bejat dan kejam serta telengas hidup jiwanya ini, suka membunuh dan selalu ingin membunuh seolah-olah jiwa manusia tidak berharga sepeserpun, membunuh manusia seperti membabat rumput layaknya. Sebenar-benarnyalah setiap manusia sangat menghargai jiwa masing-masing. tapi kenapa aku tidak menghargai jiwa mereka" Karena rasa sesalnya ini sekian lama ia terlongong. Baru sekarang ya sadar dan insaf bagaimana mungkin dirinya terjeblos ke dalam barisan penggugah iblis ini, seharusnya ia tidak punya rasa benci dan dendam, apa pula salahnya jiwaku tergugah dari kesesatan disini! Detik demi menit berlalu, lambat laun keadaan sekitarnya terasa mulai berubah, keadaan menjadi terang benderang dan bercahaya menyegarkan hati, namun ia masih duduk tenang tak bergerak. Dalam pada itu. setelah luput dari pengejaran Kiu-yu-mo-lo Hun Thian-hi berhasil lari sembunyi ke dalam gerombolan semak-semak rumput tinggi, waktu ia merangkak bangun dan celingtikan tiba-tiba dari semak-semak rumput di depannya sana muncul sebuah wajah nan jelita, itulah Ham Gwat yang muncul dari balik semak-semak sana, berdiri tegak dihadapannya, dengan cermat ia pandang dirinya. Thian-hi menjadi haru dan sangat berterima kasih, katanya melangkah mendekat, "Kali ini nona pula yang menolong jiwaku!" "Bukan aku melulu yang menolong kau," ujar Ham Gwat pelan-pelan, "Lo-cianpwe yang kukatakan itu ingin menemui kau, mari kau ikut aku menemui beliau!" Tanpa bicara Hun Thian-hi ikut di belakang Ham Gwat, hatinya dirundung berbagai pikiran hatinya rada malu dan menyesal, biasanya aku selalu membanggakan dan mengagulkan kepandaian sendiri, beberapa kali kena diringkus atau tertawan oleh musuh selalu Ham Gwat yang menolong diriku. Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari hutan jati, Hun Thian-hi berpaling ke belakang sungguh ia hampir tidak percaya bahwa hutan jati ini adalah Thay-si-ciang-soatlian-mo-tin yang tenar dan ditakuti di Bulim, jadi orang aneh yang ingin ditemui atas prasaran Ham Gwat ini pasti Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo adalah Thay-si Lojin yang kenamaan di seluruh kolong langit tapi belum ada orang pernah melihat akan ujudnya. Kalau begitu sungguh beruntung nasib Ham Gwat. Ham Gwat membawa Thian-hi memasuki sebuah kamar batu, kata Ham Gwat, "Silakan kau masuk sendiri menemui beliau, kutunggu kau disini!" "Terima kasih!" kata Thian-hi, sejenak ia pandang Ham Gwat lalu pelan-pelan berjalan-jalan masuk. Dalam kamar batu yang remang-remang tampak duduk bersila seorang tua. setelah dekat baru jelas bahwa kedua kaki orang tua ini sudah buntung, kelihatannya terpotong oleh senjata tajam. Raut wajah orang tua ini sudah penuh keriput. namun selebar mukanya mengulum senyum manis, dia mengangguk kepada Thian-hi, segera Thian-hi berlutut dan menyembah, sapanya, "Wanpwe Hun Thian-hi menghadap Cianpwe!" "Lekas bangun," ujar si orang tua lemah lembut, menurut kata Gwat-ji kau adalah keturunan atau ahli waris dari Wi-thian-cit-ciat-sek?" Thian-hi manggut-manggut, sahutnya, "Terima kasih pada Cianpwe yang telah menolong jiwaku." Si orang tua menggoyang tangan, ujarnya, "Kau tak usah sungkan, sebagai ahli waris "Withian- cit-ciat-sek seharusnyalah aku menolong kau, apalagi kau harus segera menyusul ke Siaulim- si bukan!" Lalu ia melanjutkan, "Menurut Gwat-ji kau hanya memperoleh Kiam-boh dari Withian- cit-ciat-sek itu, tapi belum mempelajarinya secara sempurna, intisari yang dalam itu?" Hun Thian-hi manggut-manggut, sahutnya, "Memang begitu, harap Cianpwe suka memberi petunjuk," dari lubuk hatinya yang dalam timbul suara perasaan bahwa si orang tua dihadapannya ini agaknya bersikap sangat baik terhadap Ham Gwat. kalau tidak salah mungkin punya hubungan dalam yang sangat erat. sehingga iapun bersikap ramah dan baik terhadap aku. tapi dari sorot matanya itu kelihatan bahwa hatinya pasti dirundung janggalan hati yang belum terlampias. Kata pula si orang tua sembari tertawa, "Ham Gwat bersikap baik terhadap kau, kaupun bagus, aku.... kuharap kau ingat kata-kataku ini, berlakulah baik terhadapnya, dia...." sampai disini ia menghela napas, lalu melanjutkar dengan suara lebih lirih, "Bila kau tahu riwayat hidupnya. pasti kau akan merasa dan tahu bahwa hidupnya sungguh harus dikasihani!" Hun Thian-hi terbungkam menunduk, akhirnya tak tertahan ia bertanya, "Cianpwe tahu akan riwayat hidupnya?" Pelan-pelan orang tua manggut-manggut, ujarnya, "Ya, tapi dia sendiri justru tidak tahu." Heran dan terperanjat hati Thian-hi, heran dia kenapa orang tua ini bisa tahu jelas akan riwayat hidup Ham Gwat, tapi kenapa tidak memberitahu kepadanya, entah apakah sebabnya. Dengan seksama orang tua awasi Thian-hi, sesaat baru buka suara, "Kaupun sudah tahu riwayat hidupnya bukan?" Thian-hi rada sangsi, dia tidak tahu apa hubungan orang tua ini dengan Ham Gwat, namun tentu tiada maksud jahat terhadapnya, akhirnya ia manggut-manggut, sahutnya, "Tahu sedikit."' Terpancar cahaya tegang dan rasa heran dari sinar mata si orang tua, tanyanya, "Darimana kau ketahui" "Kudengar langsung dari penuturan ibundanya!" Tergetar badan si orang tua, matanya semakin berkilat dan memancarkan sinar aneh, bibirnya gemetar, agaknya banyak kata-kata yang ingin diucapkan tapi urung, akhirnya ia tertunduk. Heran Thian-hi dibuatnya, hatinya bertanya-tanya, tapi ia tutup mulut. Berselang lama si orang tua menepekur, akhirnya ia angkat kepala dan berkata, "Kalau begitu, banyak omongan yang perlu kuberitahu pada kau. Tapi kau harus berjanji sementara tidak memberitahu hal ini kepada Ham Gwat!" Thian-hi menjadi ragu-ragu malah, tanyanya, "Apakah aku perlu mengetahui hal-hal itu?" Orang tua itupun berpikir, katanya, "Tahukah engkau siapakah aku" Aku adalah Suheng ibundanya, juga menjadi Suheng dari Bu-bing Loni. Tapi aku banyak berbuat kesalahan terhadap ayah bundanya, agaknya Ham Gwat sudah mendapat firasat ini, dia selalu tidak mau menerima segala bantuanku, tapi kali ini demi kau dua kali ia memohon kepada aku!" Kejut dan girang pula hati Thian-hi, sungguh tak diketahuinya akan terjadinya hal-hal itu. Orang tua ini pasti sedang menyesali perbuatannya dulu, entahlah kesalahan besar apa yang dulu sudah dia perbuat atas diri ayah bunda Ham Gwat. "Selama hidupku ini aku hanya sesalkan perbuatanku itu," demikian tutur si orang tua, "Tapi kesalahanku itu selama hidup ini mungkin takkan mungkin dapat kutebus lagi." ia menghela napas rawan. "Tahu bersalah dapat mengubahnya itulah perbuatan seorang susilawan, kenapa pula harus berkeluh kesah, cobalah kau lakukan segala sesuatunya yang kau pandang baik demi perikemanusiaan, mungkin Segala perbuatan dharma bhaktimu itu akan menebus segala dosa2 yang lalu. Kau belum lagi pernah melaksanakan darimana kau bisa tahu bahwa kesalahanmu takkan dapat ditebus" Orang tua itu manggut-manggut, ujarnya, "Kau sudah pernah ketemu ibunya, kau harus tahu yang mencelakai ibunya adalah Bu-bing Loni, tapi algojonya adalah aku. Aku pernah sirik dan menjelusi ayahnya, sehingga aku melakukan segala perbuatan tercela yang tidak mungkin dapat kusesali pula selama hidup ini, aku ingin menyesal dan sesalanku itu harus kutebus pada diri Ham Gwat, namun dia selalu menampik secara halus segala bantuanku!" "Tapi yang jelas akhirnya kau sudah menyesal bukan?" tanya Hun Thian-hi prihatin. Orang tua tertawa tawar, kepalanya menengadah matanya mengawasi jauh ke depan, sesaat baru bersuara, "Akhirnya! Akhirnya Bu-bing membacok buntung kedua kakiku ini, mempunahkan seluruh ilmu silatku lagi, tatkala itu baru aku sadar, baru aku merasa menyesal setelah kasep. Untung Thay-si Locin sudi menerima aku sebagai muridnya, setelah beliau wafat aku lantas berdiam disini mengurus dam menjaga Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin ini!" "Tidak terlambat, belum terlambat, kau sudah pernah menyesal, maka sesalanmu itu belum lagi terlambat, ketahuilah bahwa kesadaran dari sesal itu selamanya tidak mengenal terlambat." Tanya si orang tua ragu-ragu, "Dimanakah ibunda Ham Gwat sekarang" Bagaimana keadaannya?" "Beliau sekarang baik-baik, dia tidak akan menyalahkan kau!" jawab Thian-hi tersenyum. Si orang tua terduduk, akhirnya dia berkata tertawa, "Seumpama dia tidak mau memberi ampun padaku, akupun harus bertobat kepadanya, aku harus menerima segala hukuman karena dosa2ku itu!" Kembali mereka tenggelam dalam alam pikiran masing-masing, sesaat lamanya tak bicara. "Tak lama lagi kau harus segera menyusul ke Siau-lim-si," demikian ujar si orang tua membuka kesunyian. "Sudah tentu, disana kau memerlukan tenagamu sendiri untuk menyelesaikan segala pertikaian. Wi-thian-cit-ciat-sek belum kau sempurnakan, aku sendiri tiada mampu membantu kau, cobalah kau gembleng dan kau latih sendiri menurut praktek. Tapi perlu kuberitahu pada kau, sudah ratusan tahun lamanya Wi-thian-cit-ciat-sek malang melintang di dunia persilatan, dia melulu hanya sejurus saja, kau harus ingat, sejurus, hanya sejurus saja!" Bercekat sanubari Thian-hi, maka permainan Wi-thian-cit-ciat-sek secepat kilat lantas terbayang dalam kelopak matanya, memang melulu hanya sejurus dengan tujuh kembangan yang penuh variasi yang sulit diraba, menggunakan dasar Lwekang tinggi, serta gerak ilmu pedang yang lihay tiada taranya, dalam sekejap kilasan mata beruntun melancarkan tujuh gerak kembangan jurus pedangnya. Otaknya timbul tenggelam membayangkan serentetan ilmu yang sudah menghayati batinnya. Betapa girang hatinya, jika bisa terlaksana seperti yang terbayang dalam angan2nya ini mungkin gerak pedang yang digdaya, ini takkan ada lawannya dikolong langit ini. Tersipu-sipu ia menyembah serta berseru kegirangau, "Terima kasih akan petunjuk Cianpwe!" "Tak perlu sungkan-sungkan," ujar si orang tua tertawa, "apa yang kujelaskan tadi kudapat baca dari catatan peninggalan Thay-si Locin, sayang ilmu silatku sendiri sudah punah!" Mulut Thian-hi mengiakan lirih, ia rada kejut, sangkanya sebagai murid Thay-si Lojin tentu ilmu silatnya lihay luar biasa, siapa nyana beliau ternyata. tak bisa main silat. "Sekarang kau boleh keluar, Ham Gwat tentu sedang tunggu kau diluar pintu." Thian-hi maklum segera ia bangkit dan mohon diri lalu keluar dari kamar batu. Benar-benar juga Ham Gwat sedang menunggu dirinya diluar, begitu melihat Thian-hi keluar segera ia bertanya, "Kau kembali dulu mengobati luka-lukamu, setelah sembuh segera menyusul ke Siongsan!" Thian-hi mengiakan sambil menyatakan terima kasih. Ham Gwat berdiri menanti sambil mengawasinya tajam, entah mengapa Thian-hi tak berani adu pandang, cepat ia menunduk menghindari pandangan orang. Terpancar sinar aneh dari biji mata Ham Gwat, kelihatan sorot matanya itu rada mengandung kekecewaan, akhirnya mulutnya berkata lirih, "Tak perlu sungkan, kau pun pernah menolong aku!" Terketuk sanubari Thian-hi, iapun merasakan kemana juntrungan pandangan Ham Gwat tadi, ia dapat membayangkan apa yang sedang berpikir dalam benak Ham Gwat, tapi bisakah aku memberitahu kepadanya" Tak lama kemudian ia sudah berada di kamar batunya, Ham Gwat berdiri sebentar lalu pamit dan meninggalkannya. Perasaan Thian-hi menjadi hambar, duduk bersimpuh pelan-pelan ia kerahkan Panyok-hiankang untuk mengobati luka-luka dalamnya. Sekejap saja tiga hari telah berlalu, kesehatan Hun Thian-hi sudah pulih sebagian besar, selama tiga hari ini Ham Gwat entah kemana tidak pernah muncul menemui dirinya, mungkin ada keperluan menempuh perjalanan ke tempat yang jauh. Thian-hi tanya pada Siau Hong, kelihatannya Siau Hong rada berat menerangkan, katanya Ham Gwat sudah berpesan supaya dia tidak banyak bicara soal dirinya. Fajar telah menyingsing, sang surya menyinarkan semarak merah bercahaya. Waktu Hun Thian-hi bangun tidur, datanglah Siau Hong ke dalam kamarnya, kiranya ia sudah mempersiapkan hidangan, Setelah makan sekadarnya Thian-hi berkata, "Siau Hong, aku ingin hari ini juga berangkat. ingin aku ketemu Siociamu untuk nyatakan terima kasihku padanya!" Siau Hong tertawa, ujarnya, "Siocia sudah tahu, beliau suruh aku memberitahu pada kau tak usah banyak sungkan lagi, Kim-ji (burung rajawali) sudah menunggu di depan pintu. kau naik burung menuju ke Siong-san, kelak masih ada kesempatan bertemu!" Hun Thian-hi terlongong, mulutnya sudah terbuka tapi tak kuasa berbicara. Kata Siau Hong pula, "Sudah jangan melamun, kata-kata Siocio tidak akan salah." Mendelu rasa hati Thian-hi, pikirnya; kenapa Ham Gwat berlaku demikian terhadap diriku, si orang tua itu mengatakan bahwa dia sangat baik terhadapku. memang sikap dan lakunya sangat baik terhadap aku, namun kenapa ia menghindari pertemuan dengan aku, sebelum aku berangkat untuk meninggalkan dia kenapa tidak mau datang, mungkinkah ada suatu persoalan yang tidak disenangi akan diriku" Demikian hatinya mereka-reka, akhirnya ia tertunduk. Melihat keadaan Thian-hi berkilat biji mata Siau Hong, matanya melirik keluar lalu pelan-pelan maju mendekat dan katanya lirih, "Bodoh. Kelakuan Siocia ini adalah demi kebaikanmu, hayo berangkat, jangan melamun lagi!" Tergetar sanubari Thian-hi, dengan kaget ia angkat kepala mengawasi Siau Hong. Siau Hong kegelian menutup mulut terus berlari keluar. Thian-hi menjublek lagi ditempatnya, dia masih belum paham kemana maksud juntrungan katakata Siau Hong tadi, tapi ia percaya bahwa Siau Hong tidak akan ngapusi dirinya, akhirnya bergegas ia memburu keluar, terpikir olehnya Kim-ji pernah memancing Bu-bing Loni sehingga terluka parah oleh pedangnya, sekarang aku harus meniliknya dan melihat bagaimana keadaan sebenar-benarnya. Diambang pintu kamar batu. Benar-benar juga berdiri seekor burung rajawali Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo besar. Tingginya melebihi badan manusia, matanya merah berkilat, lehernya berkilau mas membundar, sekilas pandang perawakannya memang sangat angker dan gagah. Melihat Thian-hi sudah keluar segera Siau Hong berlari datang, serunya, "Coba kau lihat, bagaimana Kim-ji ini?" "Sangat gagah dan kereng, seperti seorang jendral saja layaknya!" Siau Hong senang dan tertawa geli, dengan tangannya ia peluk leher burung rajawali serta katanya, "inilah orang yang tempo hari kau tolong itu, dia adalah sahabat karib Siocia kami, bawalah dia pergi ke Siong-san!" Rajawali itu berpaling dan memandang tajam kepada Hun Thian-hi, mulutnya bersuara rendah. Siau Hong menggerakkan tangan minta Hun Thian-hi maju mendekat, dengan tertawa ia berkata sambil mengelus-elus bulu leher sang burung, "Terima kasih akan pertolonganmu kepadaku tempo hari!" Burung itu berpekik keras sekali lalu manggut-manggut. kedua sayapnya dipentang lebar. Terlihat oleh Thian-hi sepasang sayap burung itu terbentang ada dua tombak lebih, diam-diam ia kejut dan girang. Kata Siau Hong, "Dia minta kau lekas naik, cepatlah kau berangkat saja." Setelah berada dipunggung burung rajawaJi, Thian-hi mengapai tangan kepada Siau Hong serunya, "Selamat bertemu!" Bab 22 Siau Hong membalas lambaian tangan. serunya, "Berangkatlah, mungkin bersama Siocia kami juga akan menyusul kesana, hati-hatilah kau, Tok-sim-sin-mo sangat jahat." Thian-hi manggut-manggut, sementara itu burung rajawali sudah mengembangkan sayapnya terus melambung ke tengah udara, sebentar saja mereka sudah berada ditengah angkasa menuju ke Siong-san. Ooo)*(ooO Senjakala tiba, Thian-hi pun tiba di Siong-san, burung rajawali segera menukik turun dan hinggap di atas puncak yang berdekatan. Setelah turun dan menginjak tanah Thianhi menepuk leher Kim-ji serta berkata, "Kim-ji! Silakan kau pulang, sampaikan salam hormat dan terima kasih pada majikanmu!" Kim-ji berbunyi sekali sambii manggut-manggut terus terbang kembali dan menghilang. Setelah Kim-ji tidak kelihatan lagi, Thian-hi celingukan memandang sekitarnya, lalu pelan-pelan ia menuju ke Siau-lim-si. Tempo hari ia pernah ikut Hwesio jenaka kemari tapi diwaktu malam. keadaan disini tidak diingat terlalu jelas, maka sekarang dia harus main selidik dan celingukan mencari jalan lalu pelan-pelan menuju ke Siau-lim-si. *** Setelah melompati pagar tembok Hun Thian-hi melesat naik sembunyi di atas puncak pohon, dengan ke jelian matanya ia mengawasi keempat penjuru, rada jauh di depan sana terdapat sebidang hutan bambu, tergerak hati Thian-hi, pikirnya, "Bukankah disana tempat tinggal Thiancwan Taysu" Thian-hi berlaku sangat hati-hati, setelah melihat sekelilingnya sunyi sepi tanpa ayal segera ia melesat ke arah hutan bambu sana, karena sekelilingnya tidak terjaga, maka tubuhnya seenteng burung langsung meluncur tiba dan hinggap di atas pucuk sebatang bambu. Waktu ia menunduk memandang kebawah, tampak olehnya seorang Hwesio tengah duduk bersimpuh berhadapan dengan seorang tua bermata putih kemilau, itulah Thian-cwan Taysu dan Tok-simsin-mo dua orang. Terdengar Tok-sim-sin-mo sedang berkata pada Than-cwan Taysu, "Hun Thian-hi segera bakal tiba. Sangat kebetulan kedatangannya, sekaligus aku bisa menumpasnya bersama Siau-lim kalian." lalu ia terkekeh-kekeh dingin. Thian-cwan Taysu pejamkan mata, sesaat baru bicara, "Mungkin tidak begitu gampang, kunasehati pada kau supaya cepat merubah haluan dan lakukan perhitungan lain, ketahuilah Ilwe- tok-kun dia tidak akan membiarkan cita-citamu ini terlaksana seenak udelmu sendiri." Tok-sim-sin-mo menjengek hidung, ancamnya, "Bila dia berani masuk ke Tionggoan, mungkin datangnya hidup tapi takkan dapat pulang dengan jiwa masih hidup ke Thian-lam." Thian-cwan duduk tenang tak menghiraukan dia lagi. Dengan pandangan dingin berkilat Tok-sim-sin-mo pandang Thian-cwan Taysu lekatlekat, sekonyong-konyong ia menengadah menyapu pandang ke pucuk bambu. Berdetak jantung Thian-hi, pikirnya, "Hati-hati jangan sampai konangan olehnya!" ia menahan napas, otaknya harus bekerja cepat mencari cara untuk bertindak nanti. Tok-sim-sin-mo menunduk lagi. Hun Thian-hi celingukan ke sekelilingnya, tak terlihat sebuah bayangan orangpun, sebuah pikiran mendadak berkelebat dalam benaknya, "Dalam keadaan sekarang ini, Tok-sim-sin-mo hanya. seorang diri, kenapa aku tidak turun saja berhadapan secara langsung" Dengan kekuatan dua orang untuk membekuk Tok-sim-sin-mo rasanya segampang membalikkan telapak tangan!" Karena dilandasi pikirannya ini, segera tubuhnya melejit maju lalu melayang turun dengan ringan ke bawah. Begitu mendengar kesiur angin lambaian baju Hun Thian-hi, sebat sekali kelihatan Tok-sim-sinmo melejit mundur dua tombak, sepasang matanya berkilat mengawasi Hun Thian-hi. Terpancar rasa heran yang aneh dari sorot matanya itu. Begitu hinggap di tanah Hun Thian-hi tersenyum simpul, ia celingukan ke kanan kiri lalu maju dua langkah di hadapan Thian-cwan serta memberi hormat membungkuk badan, "Wanpwe Hun Thian-hi menghadap pada Taysu!" Thian-cwan Taysu juga membuka mata mengawasi dirinya dengan heran, katanya, "Hun-sicu apakah baik selama berpisah ini?" "Terima kasih akan perhatian Taysu. Kudengar katanya Tok-sim-sin-mo berada disini maka Wanpwe juga menyusulnya kemari!" Dengan sikap dingin mulut Tok-sim-sin-mo mengulum seringai sadis, katanya, "Ternyata kau berani datang seorang diri. Besar benar-benar nyalimu!" Hun Thian-hi berpaling memandang ke arah Tok-sim-sin-mo sekejap lalu berkata pula kepada Thian-cwan Taysu, "Taysu! Tok-sim-sin-mo si durjana ini jangan diberi pengampunan lagi.... kenapa tidak dilenyapkan saja!" Thian-cwan Taysu menghela napas panjang, tak bicara. Tok-sim-sin-mo tertawa panjang, serunya, "Kau ingin mengeroyok aku bersama dia bukan" Kalau begitu salah besar perhitunganmu, ketahuilah ilmu silatnya sudah punah sejak lama!" Tersentak jantung Hun Thian-hi. Terdengar Tok-sim-sin-mo menjengek pula, "Kedatanganmu hari ini justru menempuh jalan kematian!" baru habis ucapannya seekor burung dara melayang turun dari angkasa terus hinggap di tangan Tok-sim-sin-mo. Berubah air muka Tok-sim-sin-mo, dari kaki burung ia mengambil selarik surat terus dibaca, tampak berubah hebat air mukanya, desisnya dengan mata mendelik, "Kiranya begitu, jadi kau sudah berserikat bersama I-lwe-tok-kun." Timbul rasa heran dalam benak Thian-hi, kenapa Tok-sim-sin-mo mengajukan pertanyaannya ini, sepintas lalu pikirannya bekerja, lantas ia menjadi paham, "Mungkin Anghwat-lo-mo dan Ilwe- tok-kun sudah meluruk bersama ke Tionggoan, dan mungkin juga sedang menempuh perjalanan kesini sehingga dia menuduh diriku punya intrik dengan mereka." Tengah mereka bersitegang leher berdiri diam berhadapan, sekonyong-konyong sesosok bayangan merah melambung datang memasuki gerombol hutam bambu, begitu hinggap di tanah baru kelihatan jelas, itulah Ang-hwat-lo-mo adanya. Di belakangnya menguntit seorang tua bertubuh kecil kurus. Begitu hinggap di tanah mereka berpaling ke kanan kiri, akhirnya pandangan Ang-hwat-lo-mo berhenti pada tubuh Hun Thian-hi. Dari belakang dibalik rumpun bambu sana terdengar derap lirih orang banyak. tampak Bingtiong- mo-tho Su-kong Ko dan Lam-bing-it-hiong Siang Bu-wong dan lain-lain beranjak masuk. Ada dua diantaranya tidak dikenal oleh Thian-hi. Mereka berdiri siap siaga. Terdengar Ang-hwat-lo-mo berkakakan dua kali sikapnya sangat congkak, setelah berpaling ke arah Thian-cwan Taysu ia bicara pada Hun Thian-hi, "Berani kau tidak menyusul ke Thian-lam. Ketahuilah gurumu Lam-siau Kongsun Hong sudah berada di tempat kediamanku, kenapa kau tidak mau datang?" Tok-sim-sin-mo tertawa lebar, jengeknya dingin kepada Ang-hwat-lo-mo, "Tak kunyana kau bisa datang begitu cepat!" "Benar-benar aku telah datang, dan hanya membawa Seorang sahabat belaka." sambung Anghwa- lo-mo dengan sombong sambil menunjuk orang kate di belakangnya, serunya pula, "Mari kuperkenalKan, inilah Ting-hou-it-koay Lenghou Khek!" Thian-hi mengamati si orang tua kate, dalam hati ia berkata, "Kiranya orang ini adalah ayah Kim-i Kongcu yang kubunuh Sing-hou-it-koay, entah mengapa selama ini dia tidak meluruk mencari diriku." Tok-sim-sin-mo mandah tersenyum ejek, tanpa bicara ia maju menghampiri kehadapan Thiancwan Taysu terus duduk. Ang-hwat-lo-mo juga tertawa-tawa, dengan ulapan tangan ia mempersilakan Singhou-it-koay duduk, sedang dia sendiri juga lantas duduk. Melihat Tok-sim-sin-mo tetap berdiam diri akhirnya Ang-hwat-lo-mo bergelak tawa. serunya, "Bagaimana! Apakah si tua dari Si-gwasam-mo menjadi gentar dan ketakutan terhadap diriku?" - ia bergelak tawa pula!" Tok-sim-sin-mo masih menyeringai iblis saja tanpa memberi reaksi. Sungguh hatinya murka sekali akan sikap takabur Ang-hwat-lo-mo, namun ia punya perhitungan dalam situasi seperti sekarang ia harus bertindak hati-hati. terpaksa bersabar ulur waktu dan mencari jalan yang lebih mantap dan matang. Menghadapi sikap tenang Tok-sim-sin-mo rada kejut perasaan Ang-hwat-lo-mo, bila Tok-simsin- mo mengumbar nafsu amarahnya, dia akan merasa terhibur dan senang malah, karena itu menandakan bahwa pihak lawan tiada persiapan. tapi sekarang Tok-sim-sin-mo bersikap diam menanti dan tidak banyak bicara. terang kalau punya persiapan yang sudah matang, jangan karena urusan kecil melalaikan tugas besar" Demikian pedoman kerja pihak lawan. Maka dengan cermat ia menyelidik keadaan empat penjuru, tapi tiada persiapan apa-apa. Sekonyong-konyong tampak pula berkelebat dua sosok bayangan hitam yang melesat masuk ke dalam hutan bambu ini. waktu Thian-hi angkat kepala yang datang ini kiranya adalah salah seorang dari Tiang-pek-siang-ki yaitu Ciang-ho-it-koay Cukat Tam, seorang yang lain laki-laki tua beruban yang mengenakan juhah kuning. Ang-hwat-lo-mo terbahak-bahak. serunya, "Sungguh hari ini sangat beruntung. Tiang-peksiang- ki sudi berkunjung datang bersama, hari ini Siau-lim-si bakal menjadi tempat kumpulan tokoh-tokoh kosen yang cukup ramai dan menyenangkan!" - kelihatan betapa rasa girang hatinya melihat kedatangan kedua orang tokoh dari Tiang-pek-san ini, entah apa tujuan kedatangan kedua orang ini" Menghadapi dirinya atau mencari perkara kepada Tok-sim-sin-mo" Tanpa merasa Hun Thian-hi melirik lebih tajam ke arah orang tua berjubah kuning, kiranya orang tua ini bukan lain adalah Ce-han-it-ki, It-ki dan It-koay sama muncul di tempat ini, entah apa tujuannya. Melayangkan pandangan matanya Ce-han-it-ki membuka suara, "Kedatangan kami hanya ingin ikut menyelesaikan perkara di Siau-lim-si sini, tentu Tok-sim-sin-mo sudah berada disini bukan?" Sementara itu Ciang-ho-it-koay juga sudah melihat kehadiran Hun Thian-hi. mulutnya menggerung gusar, matanya mendelik besar ke arah Thian-hi. mukanya diliputi hawa membunuh. dengan lirikan tajam iapun melerok ke arah Ang-hwat-lo-mo. Tok-sim-sin-mo masih tetap bersikap tenang tanpa peduli percakapan dan kedatangan lain orang. Adalah Ang-hwat-lo-mo yang bersorak dalam hati begitu mendengar Ce-hanit-ki hendak Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mencari Tok-sim-sin-mo, musuh yang utama justru adalah ToK-sim-sin-mo, maka segera ia bersuara menuding kepada Tok-Sim-sin-mo, "Tuan inilah tertua dari Si-gwa-sam-mo itu." Dengan cermat Ce-han-it-ki mengawasi Tok-sim-sin-mo. mulutnya terkancing tak bersuara. "Bocah keparat!" seru Ciang-ho-it-koay kepada Hun Thian-hi, "Panjang benar-benar nyawamu, belum mampus kau ya! Hari ini aku tidak akan memberi ampun lagi pada kau. setelah urusan disini selesai, kuharap kau jangan lari" - Lalu ia berpaling ke arah Ang-hwatlo-mo dan sambungnya, "Demikian juga kau!" Melihat sikap Tok-sim-sin-mo yang jumawa itu mendengus berang Ce-han-it-ki, kakinya beranjak menghampiri ke belakang Tok-sim-sin-mo. Dengan gaya tetap duduk bersila mendadak tubuh Tok-sim-sin-mo mencelat naik ke tengah udara, berhenti sebentar seperti mengembang lalu terbang berputar setengah lingkaran, menghindar diri bila Ce-han-it-ki menyergap dari belakang. Keruan seluruh hadirin melengak dibuatnya, betapa mereka takkan terkejut melihat pertunjukan Cin-kang Leng-kong-pau-si maha lihay dan menakjubkan itu, seluruh hadirin adalah tokoh-tokoh kosen yang bisa juga mempertunjukan Ginkang macam begitu, sulitnya untuk berhenti mengembang sebentar ditengah udara itulah yang tiada seorangpun mampu melaksanakan, bukanlah tidak beralasan bila mereka sama terkejut. Dari luar lantas berkelebat masuk pula sebuah bayangan orang, yang datang ini adalah Pek Sikiat. Begitu tiba sepasang matanya segera menyapu selidik keseluruh gelanggang, melihat Hun Thian-hi juga sudah hadir, kelihatan ia rada terkejut. Melihat Pek Si-kiat juga datang sungguh girang Thian-hi bukar main, pihak sendiri terhitung tambah seorang tenaga yang sangat dapat diandalkan. segera ia memburu maju serta menyapa, "Paman Pek, kau baik!" Pek Si-kiat manggut-manggut. sahutnya, "Sungguh tidak nyana kaupun sudah tiba, aku bergegas menyusul kemari dari barat daya. sangkaku bisa datang lebih cepat dari kedatanganmu, siapa duga aku terlambat satu tindak!" Ce-han-it-ki dan Ciang-ho-it-koay rada asing terhadap masing-masing Pek Si-kiat dan Tok-simsin- mo, dengan penuh rasa curiga dan tanda tanya mereka awasi dua orang tokoh dari Si-gwa-jimo bergaantian. mereka tidak tahu akan hubungan dua orang ini. Melihat kehadiran Pek Si-kiat, Tok-sim-sin-mo bangkit berdiri, serunya kalem, "Memang kedatanganmu sedang kutunggu!" "Masih ada aku seorang lagi!" terdengar orang berkata dingin dari luar hutan dalam kejap lain ia sudah meluncur turun dan hinggap di tanah. Pendatang baru ini bukan lain adalah Situa Pelita. Thian-hi kaget dibuatnya, kenapa hari ini seluruh tokoh-tokoh lihay sama meluruk datang. Situa Pelita mendelik dan berludah ke arah Ang-hwat-lo-mo, pelan-pelan ia memutar tubuh lalu berkata kepada Tok-sim-sin-mo, "Kau memaksa dan menindas seluruh golongan dan aliran persilatan di Tionggoan menutup pintu dan menyimpan pedang, sekarang kau pun main kekerasan pula terhadap Siau-lim, selama kaum gagah masih hidup jangan harap kau dapat melaksanakan angan2 gilamu, seluruh kaum persilatan akan bangkit dan menumpas kau. Sebentar lagi Ce-hun dan Hoan-hu juga akan meluruk kemari untuk membuat perhitungan pada kau, jangan kau takabur dan bersimaharaja disini!" Tok-sim-sim-mo memicingkan mata, dengan mengejek dingin ia pandang Situa Pelita, bentaknya, "Besar benar-benar bualanmu, siapa kau?" Malu dan murka pula hati Situa Pelita, di hadapan sekian banyak tokoh-tokoh kosen Tok-simsin- mo bersikap begitu merendahkan terhadap dirinya, sambil membanting kaki ia menggerung gusar. serunya, "Kau dibekap lima puluh tahun oleh Ka-yap Cuncia, sudah tentu kau tidak kenal aku." Pelan-pelan Tok-sim-sin-mo duduk kembali, katanya kalem, "Kalau begitu, kunanti setelah bantuan kalian datang semua baru bicara lagi!" Situa Pelita mengalihkan pandangan matanya yang berapi-api ke arah Ang-hwat-lomo. Ce-han-it-ki berpaling ke arah Cukat Tam, ujarnya, "Begitupun baik!" bersama Cukat Tam mereka duduk berendeng. Baru sekarang Thian-cwan Taysu membuka mata, dengan pandangan kalem ia awasi seluruh hadirin satu persatu, akhirnya ia menghela napas panjang. "Kenapa Taysu menghela napas!" tanya Situa Pelita. Thian-cwan Taysu menunduk, sesaat kemudian baru bicara, "Jalan suci cukup panjang, akal iblis harus dijaga, para sicu harus hati-hati, janganlah sampai diperalat oleh musuh." Thian-hi pun merasakan akan situasi yang terpecah belah diantara sekian banyak hadirin ini, hati masing-masing punya rasa permusuhan terhadap yang lain, terutama Ciang-hoit-koay dan si Tua Pelita punya pertikaian sama dirinya, entah apa yang bakal mereka lakukan terhadap dirinya sebelum Ce-hun dan Hoan-hu keburu datang, demikian juga rasa permusuhan mereka terhadap Ang-hwat-lo-mo. Terdengar Ang-hwat-lo-mo tertawa besar, serunya, "Harap kutanya pada kalian, apa tujuan kita kemari?" Bagi golongan putih semua sama pasang kuping dan meningkatkan kewaspadaan mendengar pertanyaannya itu, mereka gentar dan rada jeri menghadapi iblis ini, semua orang tahu bahwa orang ini adalah iblis laknat yang harus ditumpas dari percaturan hidup manusia, entah mengapa hari ini mendadak mengajukan pertanyaan ini" Entah apa tujuannya! Thian-cwan Taysu menanggapi dengan helaan napas panjang lagi, matanya dipejamkan. Kata Ang-hwat-lo-mo pula, "Kita jangan mengulur waktu lagi, dosa2 Tok-sim-sin-mo tidak terampun lagi, demikian juga aku punya pertikaian terhadap kalian, tapi kenapa sekarang harus persoalkan pertikaian kecil ini, yang penting kita harus bersatu lebih dulu menumpas kelaknatan sepak terjang Tok-sim-sin-mo, soal urusan kita marilah kesampingkan dulu!" Mendengar propokasi ini Tok-sim-sin-mo tidak bisa tinggal diam, segera iapun menimbrung, "Kau sangka aku gentar terhadap kalian semua!" lalu ia mendengus, pelan-pelan bangkit sambil mendelik ke arah seluruh hadirin. Hati Ciang-ho-it-koay menjadi jeri, serunya, "Kalau begitu mari kita sama-sama menumpas Toksim- sin-mo lebih dulu!" Situasi menjadi tegang, semua orang saling pandang. Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat mundur ke samping, mereka insaf bahwa Tok-sim-sin-mo bukanlah kaum keroco yang mudah ditundukkan. Terutama senjata Pek-tok-hek-liong-tingnya itu sulitlah dihadapi, mana boleh bertindak begitu ceroboh. Tok-sim-sin-mo menyeringai sadis, sambil tertawa sinis ia pandang Thian-hi berdua lalu melambaikan tangau. serunya, "Kalian sudahkah pernah dengar nama Pek-tok-hekliong-ting?" seiring dengan ucapannya ini dari empat penjuru segera terpancang puluhan laras Pek-tok-hekliong- ting ke arah seluruh hadirin. Keruan berubah pucat muka seluruh hadirin, mereka adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi adalah mustahil bila tidak mengenal asal usul kehebatan Pek-tok-hek-liong-ting. Tok-sim-sin-mo menyeringai lagi. ujarnya, "Kalian sendiri agaknya sudah bosan hidup, janganlah salahkan aku bila aku turun tangan kejam pada kalian. Tapi aku tidak akan turun tangan sekarang, tadi kudengar Ce-hun dan Hoan-hu juga akan datang, baiklah aku tunggu kedatangan mereka baru bekerja!" Meski Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat sudah mundur disamping, namun merekapun masuk dalam kepungan. Diam-diam ia menerawang situasi dalam gelanggang, ia maklum untuk melarikan diri sendiri adalah tidak sulit bagi dirinya, apalagi Wi-thian-cit-ciat-sek sekarang sudah dapat diselami dalam sanubarinya, petunjuk si orang tua itu sungguh sangat berharga sehingga ia dapat menembus kesukaran yang dialami dalam latihannya. Hanya latihan prakteknya saja memang belum sempurna dan matang. Para hadirin terdiri dari golongan sesat dan aliran lurus, kedua belah pihak sama punya rasa permusuhan yang menghayati sanubari masing-masing, mana mungkin dia turun tangan menolong mereka" Sedang Ang-hwat-lo-mo adalah tokoh kosen dari golongan sesat. Meski dalam nada perkataan Tok-sim-sin-mo tadi tidak menaruh sebelah mata pada dirinya, tapi Thian-hi jelas mengetahui bahwa Ang-hwat-lo-mo bukan tokoh sembarang tokoh yang boleh dipandang ringan, entah mengapa Tok-sim-sin-mo begitu menghina dan memandangnya rendah. Tapi dapatkah dia tidak menolongnya" Bukan saja dia sendiri yang harus lolos, bahwa seluruhnya hadirin jelas bersikap memusuhi Tok-sim-sin-mo, bila mereka semua roboh Siau-lim-si pun bakal runtuh secara total dapatkah aku menguasai situasi" Hatinya sedang bimbang, seluruh hadirin tiada satu pun yang buka suara, seolaholah mereka sedang dicekam tekanan batin akan ancaman kematian yang sedang dihadapi ini, begitu Ce-hun dan Hoan-hu datang, semua orang tidak akan bisa hidup lebih lama lagi. Sang waktu berjalan terus, hati masing-masing tengah memikirkan urusan sendiri, sudah tentu apa yang mereka pikirkan satu sama lain berlainan. Tok-sim-sin-mo mengulum senyum sinis, biji matanya yang memutih berkilat dengan dingin memandangi seluruh hadirin, begitu Ce-hun berdua tiba. segera ia akan bikin mampus semua orang yang hadir disini. Mata Hun Thian-hi berkilat, akhirnya sambil kertak gigi ia membuka suara kepada Tok-sim-sinmo, "Kuharap sementara ini jangan kau terlalu takabur, tempo hari aku tidak berbuat kelebihan terhadap kau karena Wi-thian-cit-ciat-sek memang belum sempurna kulatih, sekarang, apakah kau ingin coba perbawa Wi-thian-cit-ciat-sek yang tulen?" Thian-hi maklum untuk meloloskan diri dari Kepungan adalah mudah. Tujuan Toksim-sin-mo adalah menumpas seluruh hddirin lalu menghadapi dirinya seorang, bagi dirinya untuk mengatasi situasi gelanggang supaya semua orang dapat menyelamatkan diri adalah terlalu sulit dan berat, tapi aku sudah hadir dan ikut terjun dalam gelanggang yang genting ini, masa aku harus mundur dan ragu-ragu, terpaksa harus kucoba lebih dulu. "Anggapmu dengan kekuatanmu seorang dapat menandingi kakuatan Pek-tok-hek-liongting?" demikian jengek Tok-sim-sin-mo, tiba-tiba tangannya bertepuk lagi, dari empat penjuru muncul pula puluhan laras Pek-tok-Hek-liong-ting. Tercekat hati Thian-hi, tanpa ayal segera tubuhnya mencelat terbang lempang ke depan, sembari melesat terbang ini, tangannya meraih keluar serulingnya terus menerjang keluar. Tok-sim-sin-mo berjingkrak gusar. tangan kanan segera diangkat tinggi, seketika puluhan laras Pek-tok-hek-liong-ting terpancang ke arah Hun Thian-hi, dimana terdengar pegas2 berbunyi, udara seketika diliputi hujan Hek-liong-ting yang menerjang bersama ke arah Thian-hi. Pek-tok-hek-liong-ting merupakan senjata rahasia yang paling ganas dan jahat dikalangan persilatan bukan saja perbawanya sangat besar, di bawah ciptaan seorang ahli sehingga dia dapat meluncur dengan kekuatan deras yang hebat sekali, apalagi setiap pakunya sudah direndam racun berbisa yang sangat jahat, begitu kena kulit lantas melepuh, meresap ke dalam darah jiwa segera bakal melayang. Seluruh hadirin sama merasa kuatir bagi Hun Thian-hi, meskipun diantara mereka ada yang berasa benci dan ingin membunuhnya, tapi serta melihat sepak terjangnya sekarang tiada yang tidak merasa kagum dan memuji dalam hati. Sungguh mereka akan merasa sayang dan gegetun bila seumpama dia berkorban demi keselamatan lain orang, bila diantara mereka ada yang memiliki kepandaian setinggi dan setingkat dengan Hun Thian-hi belum tentu mereka rela untuk berkorban diri demi keselamatan orang lain menghadapi keganasan Pek-tok-hekliong-ting seorang diri. Demikianlah sambil mengeluarkan suara desisan yang ramai seluruh paku2 naga hitam yang tak terhitung banyaknya itu serabutan saling samber ditengah udara. Tampak tubuh Hun Thian-hi Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo jumpalitan setengah lingkaran ditengah udara, mulutnya bersuit panjang bagai pekik naga yang marah mengalun tinggi menembus angkasa. Bersama dengan itu Wi-thian-cit-ciat-sek telah dikembangkan. Dimana seruling pualamnya bergerak seketika terbit gelambung kabut memutih mengepul kesekitar gelanggang, kelihatan batang seruling itu rada tergetar, diantara pergerakan yang beberapa mili itu saja ia sudah melancarkan tenaga hebat yang tak terbendung. tujuh jalur gelombang tenaga dengan kekuatan berkisar yang dahsyat memberondong keluar dari tujuh jurusan yang berlainan, berbareng menyambut maju ke arah Hei-liong-ting yang beterbangan diudara. Para tokoh-tokoh kosen yang hadir semua menjadi melongo dan menahan napas, mereka manjadi kesima dan seperti lupa diri menyaksikan pertempuran hebat yang tiada bandingannya di seluruh dunia persilatan. Seperti telah diketahui bahwa Wi-thian-cit-ciat-sek adalah ilmu pedang tingkat tinggi yang tiada taranya yang diagungkan dalam dunia persilatan, bersama Hui-sim-kiam-hoat mempunyai perbawa dan menjunjung keangkerannya masing-masing, tapi dia menpunyai bidang yang lain dari Hui-sim-kiam-hoat itu yaitu cara Kui-sim-kiam-hoat melancarkan tenaganya memerlukan gerakan besar, justru berlainan dengan Wi-thian-cit-ciat-sek. cukup dengan gerakan yang beberapa mili meter belaka sudah dapat mengembangkan tenaga atau melancarkan kekuatan dahsyat yang tiada bekas dan tidak kelihatan. Begitu kekuatan dua rangsakan yang berlawanan saling bentrok, Pek-tok-hek-liongting kepergok oleh perbawa kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek, daya luncurannya yang cepat dan hebat itu seketika menjadi merandek dan lembek tenaganya. Begitu Hun Thian-hi kerahkan seluruh kekuatan Lwekangnya, seluruh Pek-tok-hekliong-ting seperti berhenti ditengah udara, akhirnya bergerak berpular menurut tuntunan tenaga gerakan seruling Hun Thian-hi terus meluncur keluar dan berjatuhan tercerai berai diluar hutan. Diam-diam Hun Thian-hi bersyukur, ia sendiri menjadi sangsi bahwa dirinya sekarang telah membekal Lwekang yang begitu dahsyat. Sebaliknya mata Tok-sim-sin-mo memancarkan sinar aneh yang menakutkan dengan dada berkembang kempis ia menatap Hun Thian-hi lekat-lekat. Dari iuar hutan tampak melangkah masuk Ce-hun Totiang dan Hoan-hu Popo. dibelakangnya mengintil pula Bun Cu-giok dan Ciok Yan, melihat keadaan situasi gelanggang, seketika mereka pun melengak dan mencelos Setelah menyapu pandang seluruh hadirin berserulah Tok-sim-sin-mo, "Penyelesaian urusan hari ini baiklah aku tunda sementara waktu, biar kita selesaikan lain kesempatan saja, sekarang aku permisi lebih dahulu!" lalu ia pimpin Lam-bing-it-hiong dan lain-lain meninggalkan hutan bambu itu. "Nanti dulu!" tiba-tiba terdengar Situa Pelita dan Ciang-ho-it-koay membentak bersama sebelum Tok-sim-sin-mo dan lain-lain tinggal pergi. Tok-sim-sin-mo membalikkan tubuh, ganti berganti ia pandang kedua orang ini sambil memicingkan matanya. Seru Ci-ing-ho-it-koay Cukat Tam, "Anggapmu hari ini dapat tinggal pergi sesuka hatimu?" Tok-sim-sin-mo terkekeh dingin, katanya memandang ke arah Hun Thian-hi, "Kekuatan Pektok- hek-liong-ting tadi kalian sudah menyaksikan, diantara Kalian siapa lagi yang mampu bertahan dari serangannya?" - Lalu ia menambahkan kepada Hun Thian-hi, "Jangan lupa, Sutouw Ci-ko sudah minum obat racunku!" lenyap suaranya tubuhnya pun berkelebat keluar menghilang. Mendengar ucapan Tok-sim-sin-mo sebelum berlalu itu Pek Si-kiat menjadi tertegun. serunya kepada Thian-hi, "Apa benar-benar ucapannya?" Pelan-pelan Hun Thian-hi manggut-manggut, ia tidak bersuara lagi. Seluruh pandangan hadirin tertuju ke arah Hun Thian-hi, semua adalah tokob2 kosen tapi dalam hati mereka maklum, bahwa tiada diantara mereka yang kuat melawan Hun Thian-hi lagi. Pek Si-kiat menjadi gugup serunya pula, "Kalau begitu mari lekas kita kejar!" Hun Thian-hi hanya tersenyum tawar, matanya memandang pada para hadirin. Situa Pelita segera menjengek dingin, "Ingin lari segampang itu kau?" Pek Si-kiat menggeram gusar, matanya mendelik, semprotnya kepada Situa Pelita, "Sombong benar-benar kau. mengandal kau seorang berani menahan kami?" Saking murka Situa Pelita tergellak tawa. serunya, "Hun Thian-hi berbuat dosa dan durhaka, dosa2nya tak berampun lagi, kau sendiri jiwamu belum tentu dapat kau selamatkan berani kau hendak melindungi orang lain?" Bertaut alis Pek Si-kiat, bentaknya, "Jikalau Hun Thjan-hi tadi tidak mengunjuk kepandaiannya, sejak tadi kalian sudah mampus di bawah serangan Pek-tok-hek-liong-ting sekarang berani kau mengumbar mulut!" Seketika Situa Pelita terbungkam seribu basa, memang kenyataan ucapan Pek Sikiat dan tidak dapat dibantah lagi, betapapun lincah lidahnya pandai bermain sekarang dia terbungkam mulutnya. Thian-cwan Taysu pelan-pelan bangit berdiri, katanya, "Kalian harus tahu bahwa kematian Butong Ciangbunjin Giok-yap Cinjin bukan terbunuh oleh Hun Thian-hi, untuk hal ini aku berani mengatas nama seluruh keagungan nama Siau-lim-pay sebagai jaminan, bila urusan ini masih berkepanjangan biar akulah yang bertanggung jawab." Ucapan Thian-cwan Taysu ini seketika membuat seluruh hadirin tertegun kaget. Demikian juga Hun Thian-hi tidak kepalang kejutnya, sungguh haru dan terima kasih yang tak terhingga kepada padri agung ini. Sungguh tidak habis herannya mengapa Thian-cwan Taysu mau menjamin akan kesucian dirinya, sebagai bekas Ciangbunjin dari Siau-lim-pay yang terdahulu, ucapannya dapatlah mewakili nama seluruh partai Siau-lim. Ucapannya ini tak perlu disangsikan lagi sekaligus akan mencuci bersih segala dosa2 berlimpah yang dituduhkan atas dirinya. Tapi Ang-hwat-lo-mo memang licik segera ia coba mendebat, "Tapi ada orang melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Hun Thian-hilah yang membunuh Gjok-yap. Coba kau jelaskan?" Dasar licin ia mempunyai perhituagan demi keuntungannya sendiri. Bahwa Hun Thanhi rela mengabaikan dendam pribadi dan mengunjuk kepandaian yang tiada taranya demi menolong jiwa seluruh hadirin tadi, meski pun Lam-siau Kongsun Hong berada dicengkeraman tangannya. Thian-hi pun takkan mau diperas dan diancam oleh dirinya. Apalagi kepandaian silat Hun Thian-hi sudah begitu hebat, beberapa waktu lagi tentu ilmu silatnya bakal lebih maju, bila sekarang tidak mencari kesempatan untuk melenyapkan jiwanya, kelak mungkin merupakan lawan terberat yang bakal merugikan kepentingannya. Sekarang perhatian seluruh hadirin terpusatkaa pada Thian-cwan Taysu. terdengar sipadri agung inj menjawab pelan-pelan, "Itu hanya sekedar permainan Mo-bin Suseng belaka, kalian semua harus percaya akan ucapanku!" "Ucapan Thian-cwan Taysu selamanya memang benar-benar," demikian jengek Anghwat-lomo, "Sebagai tokoh yang diagungkan kaum persilatan sudah pantas kalau kami percaya setiap nasehatnya. Tapi kami pun harus sadar, bahwa ilmu silatnya sudah dipunahkan oleh Tok-sim-sinmo, kami sendiri pun sudah kenal akan permainan Tok-sim yang keji dan licin itu, apakah Thiancwan Taysu melulu hanya dipunahkan ilmu silatnya?" - Sampai disini ia bergelak tawa, lalu sambungnya lagi mempertegas tuduhannya tadi, "Ingat ada orang yang melihat sendiri bahwa Hun Thian-hilah yang membunuh Giok-yap Cinjin!" Nada perkataannya jelas menerangkan akan kesangsian hatinya bahwa kemungkinan besar Thian-cwan Taysu sudah diperalat oleh Tok-sim-sin-mo, entah itu dengan cara obat beracun atau dengan jalan keji yang lain. Thian-cwan angkat kepala, pancaran matanya main selidik dimuka semua hadirin. melihat sikap mereka ia tahu bahwa situasi tidak menguntungkan bagi Hun Thian-hi, terpaksa ia berkata pula, "Aku hanya dapat menerangkan seringKas tadi, terserah kalian mau percaya" Aku tiada punya hak untuk tanya pada kalian. Tapi kalian juga harus ingat dan sadar bahwa Ang-hwat adalah gembong iblis yang durjana pula!" Lalu ia berpaling ke arah Hun Thian-hi serta katanya pula, "Hun-sicu, karena sedikit kecerobohan. Lolap sehingga aku perintahkan Suteku pimpin anak muridnya mengejar dan mengepung Sicu. sekarang aku sudah berusaha sekuat tenagaku untuk menebus kesalahan itu, harap Hun-sicu suka maklum dan memaafkan dosa2 ini!" "Terima kasih Lo-cianpwe." ujar Hun Thian-hi menjura, "Begitu besar kepercayaan Cianpwe terhadap diriku, betapa besar rasa terima kasih Hun Thian-hi!" Thian-cwan Taysiu manggut-manggut sembari menghela napas, ia berpaling kekanan diri. dalam hati ia membatin, "Dengki dan dendam kesumat, membuat semua orang ini luntur hatinya" - Lalu katanya pula kepada Thian-hi, "Siau-sicu harap berlaku hati-hati. Lolap segera minta diri terlebih dulu. Siau-sicu kali ini telah menolong bencana yang bakal menimpa dan menimbulkan kemusnahan bagi Siau-lim kita, Lolap beserta, seluruh anak murid Siau-lim akan selalu mengingat kebaikan ini sepanjang masa." - Selesai berkata pelan-pelan ia tinggal keluar hutan bambu. Ia insaf sebentar lagi tempat ini tentu bakal timbul pertempuran besar. Melihat Thian-cwan Taysu sudah pergi, tertawalah Ang-hwat-lo-mo, serunya, "Kalian tentu heran kemanakah juntrunganku bukan" Kenapa aku bicara seperti tadi, kelihatannya sedang mengadu domba kalian. Bicara terus terang, meskipun karena kalian tapi juga karena aku sendiri. Dulu aku pernah menolongnya karena dia bejat, tapi ilmu silatnya tidak becus. Dan sekarang dia tidak berubah baik, malah bergaul keluntang keluntung dengan salah seorang Sigwa-sam-mo yaitu Pek-kut-sin-mo itu. tapi ilmu silatnya sudah tinggi tiada tandingan, bila hari ini kita tidak memberantasnya, kelak siapa yang kuasa mengendalikan dirinya?" Seluruh hadirin menjadi saling pandang, hampir tiada seorang yang hadir merasa simpatik dan bersahabat terhadap Hun Thian-hi, pertunjukan kehebatan ilmu pedangnya justru menimbulkan rasa sirik dan dengki hati mereka, kalau bisa melenyapkan jiwa Hun Thian-hi memang merupakan keentengan suatu beban yang sekarang terasa memberati sanubari masing-masing. Pek Si-kiat terkial-kial dingin, suara tawanya panjang bergelombang, dengan tajam ia menyapu pandang keseluruh hadirin, jengeknya dingin, "Hun Thian-hi adalah ahli waris dari Wi-thian-citciat- sek. murid angkat dari Ka-yap Cuncia. diantara kalian siapa yang berani bicara bahwa pandangan kalian jauh lebih cermat dari Ka-yap Cuncia" Demi kepentingan pribadi kalian sendiri sehingga kalian rela melakukan perbuatan tercela yang memalukan!" Ce-hun Totiang yang baru datang segera tampil ke depan, katanya dingin, "Siapa yang bisa memberi bukti bahwa bukan dialah yang membunuh Suhengku Giok-yap Cinjin" Ketahuiliah banyak orang menyaksikan bahwa dialah yang membunuh Giok-yap Cinjin!" Terbakar rongga dada Pek Si-kiat, amarahnya tidak terkendali lagi, dengan delikan mata berapiapi ia pandang Ce-hun Tocang. dengusnya, "Pertanyaanmu memang tepat. Apakah benarbenar ada seseorang yang telah melihat Hun Thian-hi menghunjamkan Badik buntung kedada Giok-yap Cinjin" Hayo jawab!" Ce-hun Totiang tertegun, mulutnya kememek tak mampu menjawab, sesaat kemudian ia berkata tersekat, "Sudah cukup bila ada orang melihat dia sedang mencabut Badik buntung dari dada Suhengku. Apalagi Badik buntung memang miliknya dan berada ditangannya, Badai Rimba Persilatan 1 Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu Lencana Pembunuh Naga 8

Cari Blog Ini