Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 7

Badik Buntung Karya Gkh Bagian 7 terhadap dirinya, bergegas ia menyembah, "Terima kasih akan petuah Sinceng." "Sayang aku tidak akan lama lagi tinggal di dunia yang fana ini, banyak urusan yang harus kuserahkan padamu untuk kau kerjakan." demikian kata Ka-yap sambil tertawa. Thian-hi dan Pek-kut-sin-kun sama terkejut, "Apa kata Taysu?" teriak Pek-kutsin-mo. "Tiada kenangan abadi di dalam dunia fana ini, Pek-sicu, maukah kau kelak membantu Hunsicu melakukan tugasnya?" "Petunjuk Taysu, aku Pek Si-kiat masa tidak tunduk, apakah Taysu terluka karena pertempuran dulu itu, kalau benar-benar, sungguh aku sangat menyesal." Teringat oleh Thian-hi akan ucapan Tok-sim-sin-mo, memang benar-benar bahwa Kayap Cuncia menderita luka dalam yang sangat parah, menurut perhitungan Tok-sim-sinmo tentu Kayap sudah mati, tapi kenyataan sekarang Ka-yap masih belum wafat, namun dalam waktu dekat ini bakal wafat. tanpa merasa ia menunduk dengan rasa duka dan pedih. "Hidup atau mati sudah menjadi takdir Thian. Lolap sudah melampaui seabad, usia yang terlalu tua, kenapa Pek-sicu harus kuatir bagi aku." - lalu ia melanjutkan, "Sekarang Kiu-yu-mo-lo sudah bebas, lak lama lagi Tok-sim-sin-mo juga bakal lolos, dalam dunia ini takkan ada seorang pun yang mampu menundukkan mereka. Lwekang Lolap sendiri sebagian besar juga sudah bujar!" Mendengar Lwekang Ka-yap Cuncia sudah bujar, terkejut Hun Thian-hi, serta merta ia bertanya, "Sin-ceng tahukah kau akan Bu-bing Loni?" "Ya, Bu-bing sudah memperoleh intisari Hui-sim-kiam, namun mana dia kuasa merintangi Toksim- sin-mo dan Kiu-yu-mo-lo meloloskan diri!" Hun Thian-hi menjadi bungkam, dari nada perkataan Ka-yap Cuncia, jelas memang diakui bahwa Hui-sim-kiam-hoat Bu-bing Loni tiada taranya dan tiada tandingan dikolong langit, meski dirinya pernah menelan buah ajaib, apa pula yang dapat dilakukan. Terdengar Ka-yap Cuncia berkata pula: Tadi kulihat Kiu-yu-mo-lo sudah pergi, dia menggondol seorang gadis, apakah temanmu?" Bercekat hati Thian-hi, cepat ia bertanya, "Sin-ceng, bagaimana keadaannya sekarang?" Ka-yap pejamkan mata dan berpikir sesaat lamanya, pelan-pelan jia buka mata serta berkata, "Kau tak usahlah gugup, aku bisa membereskan soal ini." Berhenti sebentar, lalu, melanjutkan, "Mengandal Lwekang yang kau bekal sekarang masih jauh dari pada cukup, kelak kau harus menjadi pemimpin kaum pendekar di dunia ini, kau harus punya Lwekang yang hebat melebihi kaum persilatan umumnya, dari perjalananku keselatan kali ini terhitung tidak sia-sialah hasil yang kucapai. Wi-thian-cit-ciat-sek telah terjatuh ketanganku, untuk menandingi Hui-sim-kiam-hoat hanya Wi-thian-cit-ciat-seklah!" "Taysu." sela Pek-kut-sin-mo Pek Si-kiat "Apakah Hui-sim-kiam-hoat itu adalah ilmu warisan dari Hui-sim?" Ka-yap Cuncia manggut-manggut, ujarnya, "Hui-sim Sinni adalah Ciangbunjjn Ngobi-pay pada ratusan tahun yang lalu, Ngo-bi-pay merupakan pentolan teragung dikalangan Bulim pada jaman itu dengan sebatang pedang Hui-sim berhasil menindas para gembong-gembong iblis yang merajalela, akhirhja setelah beliau wafat Hui-sim-kiam-hoat juga ikut lenyap, tapi sekarang telah muncul ditangan Bu-bing Loni!" Merandek sebentar lalu meneruskan, "Sekarang kau belum boleh unjuk muka di depan umum, perjalanan jauh keselatan kali ini, aku menemukan sebuah negara kecil di Thianyam, tiada seorang dari Tionggoan yang bisa menjejakkan kakinya di tempat itu, kau harus mempelajari dan menyelami pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek dan Pan-yok-hian-kang disana, Withian-cit-ciat-sek merupakan pelajaran pedang tingkat wahid, melulu beberapa hari saja takkan mungkin dapat dicangkok pelajarannya, kalau bukan seorang cerdik pandai takkan dapat menyelami intisari pelajarannya yang paling tinggi, apalagi harus senyawa dan membekal Lwekang yang dalam dan kokoh kuat baru dapat mengembangkan kehebatannya.... Kau harus segera menuju kesana, kalau tidak kau takkan berhasil mencapai hasil yang diharapkan di Tionggoan ini" Kejut dan girang pula perasaan Thian-hi, dalam hati ia membatin; apakah benarbenar begitu sukar pelajaran Wi-thian-ciat-sek itu" Kata Ka-yap Cuncia pula, "Tapi kau harus mematuhi sebuah pesanku, sebelum kau berhasil dalam pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek, jangan sekali2 kau mainkan ilmu silat, jangan sampai masyarakat umumnya tahu bahwa kau adalah seorang kosen dalam bidangmu. Kalau kau membangkang, bencana bakal menimpa dirimu bila para gembong-gembong iblis meluruk datang, sebeJum pelajaranmu berhasil kau bakal konyol ditangan mereka." Mendengar orang berpesan begitu serius, Thiian-hi semakin prihatin keringat dingin membasahi tengkuknya, cepat ia menyahut, "Sekali2 Wanpwe tak...." kemudian baru bersuara, "Wi-thian-citciat- sek ku kan berani menggunakan ilmu silat." Dengan seksama Ka-yap pandang Thian-hi, sesaat kemudian baru bersuara, "Withian-cit-ciatsek kuserahkan kepada kau, dimana ada pelajaran Pan-yok-hian-kang juga, mari kau ambillah." ia angsurkan sejilid buku tipis terbungkus sutera kepada Hun Thian-hi. Dengan kedua tangannya Thian-hi menerima serta menyatakan terima kasih," Ka-yap berpesan lagi, "Sebelum kau berhasil dan sukses, kularang kau meninggalkan tempat itu, aku akan selalu jsampingmu." - Sebentar ia pejamkan mata, sesaat lalu berkata kepada Pekkut- sin-mo Pek Si-kiat, "Apa yang telah kukatakan kepadanya kau pun sudah dengar, nanti sebentar aku punya pesan lain untuk kau!" "Setelah pelajaranmu sukses." demikian kata Ka-yap terhadap Thian-hi, "Kau harus minta bantuan Pek-sicu. Walaupun dulu dia disebut salah seorang dari Si-gwa-sam-mo, soalnya karena dulu ia ketiban bencana, dimana seluruh keluarganya musnah, karena tekanan batin yang terlalu berat sehingga pikirannya tersesat. Sekarang ia telah menyesal dan kembali kejalan yang lurus soal di Tionggoan kau tak usah kuatir, aku bisa mengurusnya bersama dia, kau boleh belajar dan memperdalam ilmu dengan tekun dan rajin saja." Hun Thian-hi mengiakan, hatinya menjadi lega dan terhibur. Asal Ka-yap sudi bicara sekecep saja. tanggung kaum persilatan di Tionggoan akan patuh dan tunduk pada katakatanya, dosa2 tanpa alasan yang dituduhkan pada dirinya akan himpas seluruhnya. Demikian juga soal Sutouw Ci-ko Ka-yap sendiri juga sudah melulusi untuk mengurusnya. "Gembong-gembong silat dari berbagai aliran dan golongan diluar gua seribu Buddha masih belum bubar, tentu berabe kau keluar dari sana, aku punya jalan rahasia lain dapat membawamu keluar dengan selamat. Harta benda tak bernilai di dalam gua ini terlalu banyak, jalan-jalan rahasia yang menyesatkan tak terhitung banyaknya, aku kuatir kelak....s ampai disini ia berhenti, matanya menjadi redup dan ragu-ragu, Thian-hi celingukan kekanan kiri. lapatlapat ia pun merasakan firasat apa-apa. Terdengar Pek Si-kiat bergelak tawa, serunya, "Sekarang masih ada aku disini, takut apa?" "Besok pagi kau boleh ikut aku menuju ke Thian-bi-kok!" Demikian kata Ka-yap. Ooo)*(ooO Dalam pada itu dengan menggondol lari Sutouw Ci-ko yang tertutuk jalan darahnya Kiu-yu-molo terus berlari-lari tanpa tujuan, setelah napas ngos2an baru berhenti dar membebaskan jalan darahnya. Pelan-pelan Sutouw Ci-ko bangun duduk lalu celingukan kesekitarnya tanpa bicara.... "Budak aju," kata Kiu-mu-mo-lo kepada Sutouw Ci-ko, "Dimanakah pohon buah ajaib itu" Lekas katakan, kalau tidak jangan kau salahkan aku berlaku keji kepadamu." Sutouw Ci-ko menunduk tanpa bicara. ia tahu bahwa Kiu-yu-mo-lo menjadi percaya obrolannya setelah ia menyebut nama Go-cu Taysu, sekarang ia bicara jujurpun tidak akan dipercaya olehnya. Kiu-yu-mo-lo menggeram gusar, katanya, "Jikalau kau mau terangkan mungkin aku suka ambil kau sebagai murid, kuajarkan pelajaran silat tingkat tinggi, malah kepandaian baru yang baru saja dapat kuperoleh yaitu Hian-thian-mo-kip juga akan kuajarkan kepadamu. Tapi bila kau tetap tutup mulut" Hm ...." Sutouw Ci-ko tetap bungkam, mendadak ia berpikir, masa aku harus mati secara konyol begini, bukanlah luka-luka Kiu-yu-mo-lo belum sembuh, kalau saat ini tidak dapat menumpasnya, kelak tentu menjadi bibit bencana. Lekas-lekas ia angkat kepala serta katanya, "Aku tak perlu belajar kepandaianmu, yang penting setelah memperoleh buah ajaib kau harus kembali lagi ke Jian-hud-tong, bila adikku masih hidup kuharap kau sudi menolongnya keluar, begitu saja harapanku." Jang dipikir oleh Kiu-yu-mo-lo hanyalah buah ajaib. dengan tertawa melengking ia berkata, "Boleh, boleh, itu soal gampang, bila adikmu mati aku pun rela membalaskan dendamnya, membunuh bangkotan tua itu." Mendengar lengking suara orang saja cukup membuat Sutouw Ci-ko bergidik merinding, pelanpelan ia menghela napas, katanya, "Buah itu berada di Hwi-king-ouw dipuncak Thiansan." Kiu-yu-mo-lo terloroh-loroh girang, menurut pendapatnya setelah mendapat buah ajaib, tentu dia dapat menjagoi dan bersimaharaja di Bulim, dia memiliki Hian-thian-mo-kip, bila kepandaian ini dapat dipelajari dengan sempurna mendapat bantuan buah ajaib tentu ia dapat malang melintang semau gue. Dengan mengempit Sutouw Ci-ki di bawah ketiaknya, tubuhnya mencelat terbang secepat anak panah terus menuju ke Thian-san. Entah berapa jauh sudah ia menempuh perjalanan, sekonyongkonyong sebuah bayangan laksana angin lesus telah mengejar datang, begitu cepat gerak tubuh itu tahu-tahu sudah melesat ke depan menghadang di depan Kiu-yu-mo-lo. Keruan Kiu-yu-mo-lo terkejut, walaupun ia masih terluka, malah mengepit seseorang lagi, namun tak terpikirkan olehnya ada tokoh mana yang mampu mengejar dirinya. Segera ia menghentikan langkahnya, dengan cermat ia awasi orang di depannya, lalu bertanya dengan nada ingin, "Siapa kau?" Pendatang ini bukan lain adalah Situa Pelita, mulutnya menyungging senyum sinis serta dengus dingin, nenek tua renta di depannya ini ternyata begitu sombong dan takabur, jengeknya dingin, "Aku bernama Situa Pelita. Siapa kau" Kenapa berada di dalam Gua seribu Buddha?" Kiu-yu-mo-lo melengking terloroh-loroh lagi dengan suaranya seperti bunyi kokok beluk, katanya, "Ternyata ada orang berani menghadang jalan Kiu-yu-mo-lo, berani pula menyebut nama mengagulkan diri dihadapanku." Situa Pelita tersentak kaget seperti disengat kala, air mukanya berubah, nenek tua renta ini kiranya adalah salah satu dari Si-gwa-sam-mo yang bernama Kiu-yu-mo-lo. Lima puluh tahun sudah tak pernah ketemu, ternyata sekarang muncul lagi dikalangan Kangouw.... Sejenak ia tenangkan pikiran, lalu berpikir, "Terhadap Ang-hwat-lo-mo yang diagulkan sebagai Iblis besar nomor satu di seluruh Bulim masa kini saja aku tidak gentar, masa aku harus takut menghadapi nenek rejot tinggal kulit membungkus tulang ini!" - sambil menyeringai sinis segera ia berkata, "Si-gwa-sam-mo melulu gabungan badut2 kecil belaka, berani begitu sombong mengundal mulut besar!" Kiu-yu-mo-lo terloroh-loroh kering dua kali, serunya, "Kami bertiga sudah lima puluh tahun tidak muncul di Kangouw, kiranya sudah banyak dilupakan oleh kaum persilatan. Ingin aku melihat betapa tinggi kemampuan para angkatan muda dari kalangan lurus." Kiu-yu-mo-lo pelan-pelan meletakan Sutouw Ci-ko di atas tanah, dilain kejap tiba-tiba kedua telapak tangannya sudah terangkat memukul ke arah Situa Pelita dengan dahsyat. Kelihatannya cara pukulannya biasa saja, namun hakikatnya sudah mengerahkan kekuatan Kiuyu- ciang-lat yang sangat berbahaya dan ampuh, Segulung angin dahsyat yang dikerahkan dari pukulan tenaga dalam segera menerpa ke arah musuh. Melihat datangnya serangan dahsyat ini. Situa Pelita tidak berani menyambut dengan cara kekerasan, sebab sekali mengandal kegesitan tubuhnya ia mengegos mundur. Kiu-yumo-lo terkial-kial laksana bayangan mengikuti bentuk tubuhnya terbang mengejar tampak Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kedua telapak tangannya terkembang menggetar, gelombang demi gelombang angin pukulan yang menderu hebat terus bergulung menerjang ke arah Situa Pelita dari berbagai penjuru. Kontan Situa Pelita merasa tenaga pukulan Kiu-yu-mo-lo adalah sedemikian dingin membekukan darah, kuatir tenaga sendiri tak mampu bertahan dan tak kuat melawan, akhirnya bakal celaka sendiri terpaksa ia main kelit mengandal Ginkangnya yang tiada taranya itu. Namun serta dirinya dirabu sedemikian gencar dengan serangan ganas, timbul juga amarahnya, dalam suatu kesempatan ia berhasil lolos mencelat mundur, serempak ia tarikan juga kedua kepalan tangannya memukul dengan kekuatan tenaganya memukul miring dari samping kiri, berbareng tubuhnya mencelat terbang mumbul terus mendesak maju, tahu-tahu telapak tangannya sudah terjulur menampar pipi Kiu-yu-mo-lo dari sebelah pinggir. Melihat orang berkelahi main sergap dan tidak berani melawan secara berhadapan, Kiu-yu-molo menjenget dingin, enteng sekali telapak tangannya kiri terangkat terus memapak ke arah tamparan Situa Pelita. Dalam melancarkan serangannya ini Situa Pelita sudah matang dalam perhitungan, melihat aksi lawannya ini, selicin belut tahu-tahu ia menyergap ke belakang orang, sembari lancarkan pukulan dahsyat juga, sasarannya adalah punggung Kiu-yu-mo-lo. Lima puluh tahun yang lalu nama Kiu-yu-mo-lo sudah cukup menggetarkan berbagai kalangan persilatan, sudah tentu ia punya bekal kepandaian yang lihay, masa mandah saja diserang oleh Situa Pelita, tidak kalah gesitnya tubuhnya berputar, lagi-lagi telapak tangannya kanan sudah memapak menangkis pula. Situa Pelita menjadi gusar, batinnya, "Masa kekuatan pukulan dua telapak tanganku tidak kuasa melawan sebuah pukulan tanganmu?" seiring dengan pikirannya, serempak kedua telapak tangannya menghantam dengan kekerasan tujuannya hendak memukul mundur Kiu-yu-molo. Namun Kiu-yu-mo-lo sendiri juga tahu bahwa lawannya ini tidak boleh dipandang ringan, masa begitu goblok ia mau menempuh bahaya, jurus permainannya ini tidak lain hanyalah pancingan belaka, gerak geriknya serba guna bisa kosong dapat diisi juga. Begitu Situa Pelita mendesak maju, cepat sekali ia menarik tangannya kanan, berbareng tubuhnya berputar terbang, beruntung kedua kepalan tangannya menggenjot bergantian kepada Situa Pelita. Melihat lawan bermain begitu lincah dan berbuat licik, mendadak mencebak dengan pukulan berisi menjadi kosong, keruan bukan kepalang kejut Situa Pelita, tak kalah sebatnya ia berloncatan, sambil mainkan pukulannya secara gencar, namun usahanya sia-sia untuk membendung arus tenaga pukulan lawan, akhirnya terpaksa ia harus menyembut dengan kekerasan. Dengan menyeringai dingin Kiu-yu-mo-lo kerahkan tenaganya, Situa Pelita menyambut dengan tergesa-gesa, begitu kedua pukulan saling beradu, seketika ia rasakan segulung hawa dingin meresap ke dalam telapak tangannya terus merembas masuk ke dalam badan melalui sendi2 tulang dan urat nadinya. Sudah tentu tersirap kaget Situa Pelita, cepat ia empos semangat dan kerahkan hawa murni untuk menutup semua jalan darahnya, namun demikian tak urung mukanya sudah pucat pasi tak enak dipandang. Kiu-yu-mo-lo terkekeh-kekeh mengumbar rasa puas yang tak terhingga, tubuhnya mencelat naik dan menerjang kembali dengan pukulan hebat yang mendampar laksana hujan topan diprahara mengincar kepala Situa Pelita. Situa Pelita insyaf bahwa dirinya sudah terluka dalam yang cukup parah, mana berani ia melawan dan mengulur waktu lagi, dasar Ginkangnya memang hebat luar biasa, seenteng asap badannya melambung tinggi terus terbang laksana burung camar melarikan diri sipat kuping. Karena menguatirkan keadaan Sutouw Ci-ko, maka Kiu-yu-mo-lo segan mengejar, cepat ia putar balik, dilihatnya Sutouw Ci-ko masih berdiri menjublek disana tanpa bersuara, begitu tenang dan agaknya sangat asjik menonton pertempuran yang hebat tadi sehingga tidak ingin tinggal pergi. Diam-diam Kiu-yu-mo-lo mengucapkan syukur dalam hati, bila Sutouw Ci-ko mau lari, waktu Situa Pelita baru datang tadi mestinya ia punya cukup waktu untuk melarikan diri, bagaimana juga ia tidak akan mampu mengejar, apalagi tentu Situa Pelita akan melibatkan dirinya dan merintangi dirinya mengejar. Walaupun ia tidak takut menghadapi Situa Pelita, namun tak perlu disangsikan lagi pasti Sutouw Ci-ko sudah berkesempatan menghilang. Sekarang kenyataan dia tetap berdiri disitu, jelas sudah rela mengikuti dirinya. Sebetulnya Sutouw Ci-ko punya perhitungannya sendiri, bila mau lari sejak tadi memang ia sudah lolos, tapi apakah ia boleh lari" Bukankah dia harus menuntut balas, betapapun tak bisa membiarkan Kiu-yu-mo-lo bebas keluntang-keluntung kemana dia suka. Menurut hematnya dengan kekuatan gabungan gurunya dan Hwi-king Lojin pasti dapat mengalahkan Kiuyu-mo-lo, namun setelah menyaksikan pertempuran yang seru tadi, diam-diam bercekat hatinya, dengan membekal luka dalam yang cukup parah ternyata Kiu-yu-mo-lo masih kuasa mengalahkan Situa Pelita. Tengah ia tenggelam dalam renungarunya, terdengar Kiu-yu-mo-lo berseru, "Mari berangkat!" Waktu Sutouw Ci-ko angkat kepala, tahu-tahu Kiu-yu-mo-lo sudah mengepitnya terus dibawa lari, perjalanan kali ini ditempuh dengan cepat, selama tiga jam Sutouw Ci-ko hanya pejamkan mata, terasa angin menderu keras dipinggir telinganya. yang terpikir dalam benaknya hanyalah Hun Thian-hi, entah bagaimana keadaannya, masih hidup atau sudah mati. Entah sudah berapa lama lagi, akhirnya Kiu-yu-mo-lo berhenti dan menurunkan Sutouw Ci-ko katanya, "Istirahat dulu sebentar!" Sutouw Ci-ko membuka mata, ia pandang keadaan sekelilingnya, ternyata mereka berada di atas sebuah bukit, rumput hijau nan subur seperti permadani terbentang luas tak berujung pangkal, di sebelah sana hanya terdapat beberapa buah pohon yang jarang tersebar diberbagai tempat. Tanpa bersuara Sutouw Ci-ko duduk menggelendot di atas sebuah pohon kecil, otaknya berpikir membayangkan Gurunya, Hwi-king-ouw dan Hun Thian-hi. Dengan cermat Kiu-yu-mo-lo pandang Sutouw Ci-ko, lama kelamaan hatinya menjadi ketarik pada gadis ini, Sutouw Ci-ko sudah meninggalkan kesan mendalam bagi sanubarinya. Menurut ketenaran namanya, andaikata Sutouw Ci-ko berhasil menunjukkan Buah ajaib, jiwanya juga tidak akan selamat dari tangannya yang sudah lama berlepotan darah. Ia heran dan bertanya-tanya, kenapa Sutouw Ci-ko tidak melarikan diri. Ia heran apa yang tengah dipikirkan Sutouw Ci-ko" Apakah dia selalu terkenang akan adiknya" Maka bertanyalah ia, "Tok-sim-sin-mo jauh lebih telengas dari aku, adikmu itu mungkin tidak terlepas dari kekejamannya. "Berkat buah ajaib pasti aku dapat menyembuhkan luka-luka dalamku, tatkala itu pasti aku bantu kau menuntut balas, ingin aku angkat kau sebagai muridku ...." Sutouw Ci-ko tetap bungkam dan tidak bergerak, Kiu-yu-mo-lo menjadi rada gemas, katanya, "Bagaimana," selamanya aku belum ketarik pada seseorang apa kau tidak senang dan sudi menjadi muridku?" Melihat Sutouw Ci-ko tidak memberi reaksi, Kiu-yu-mo-lo menjadi dongkol, desisnya, "Bagaimana" selamanya aku belum pernah penujui orang, sekarang kuangkat kau menjadi muridku apa kau tidak kegirangan?" Sutouw Ci-ko mengerling, katanya sesaat kemudian, "Kalau bukan karena adikku itu, aku tiada minat untuk hidup lagi, bila benar-benar dia telah meninggal, apa pula artinya aku hidup merana?" "Jadi kau tidak ingin hidup?" jengek Kiu-yu-mo-lo tertawa kering, "Lima puluh tahun lamanya aku dikurung di dalam Jian-hud-tong oleh Ka-yap Cuncia, tapi aku ingin hidup, sebaliknya di alam bebas begini kau ingin mati." Sutouw Ci-ko menunduk tak bicara lagi. Kata Kiu-yu-mo-lo lebih lanjut, "Apa betul orang itu adalah adikmu" Dari nada dan rasa prihatinmu kulihat bukan melulu antara kakak beradik saja hubungan kalian." Tergetar sanubari Sutouw Ci-ko, pelan-pelan ia mendongak memandang langit nan cerah membiru, ia membatin, "Apa betul" Mati hidup Hun Thian-hi kau jadikan pegangan mati hidupmu, hubungan ini memang melampaui hubungan antar kakak beradik." "Apa betul dia adalah adik kandungmu?" desak Kiu-yu-mo-lo dengan sinis. "Kau tidak perlu urus soal ini, itu adalah urusanku sendiri." senggak Sutouw Ciko gemas. Kiu-yu-mo-lo terkekeh-kekeh dingin, ejeknya, "Sekarang kau pikirkan dia. juga tak berguna, dia tentu sudah mampus, jenazahnya saja kau tak mampu melihat dan menemukan lagi. Maka turutlah nasehatku, kelak aku akan bantu kau menuntut balas, kalau tidak, huh, aku kuatir jiwamu sendiripun kau tak mampu menjaganya." Sutouw Ci-ko tertawa tawar acuh tak acuh, diam-diam ia tengah terpekur apakah perlu ia harus menggantungkan mati hidup dirinya kepada keselamatan Hun Thian-hi. Terdengar Kiu-yu-mo-lo mendengus dan berkata, "Mari melanjutkan perjalanan lagi!" tanpa menanti Sutouw Ci-ko membuka suara, sekali jinjing terus dikempitnya dibawa lari bagai terbang. Tanpa terasa tiga hari telah berlalu, dengan menjinjing tubuh Sutouw Ci-ko, hari itu Kiu-yu-molo sudah tiba di pesisir danau kaca terbang, keadaan Hui-king-ouw hening tentram, di pinggir danau tumbuh sebarisan pohon-pohon bunga Bwe yang rindang, di sebelah timur dan barat kedua tepi danau tampak dibangun sebuah gubuk dari anyaman daun-daun welingi. Sampai disini baru Kiu-yu-mo-lo merasa lega dan menghela napas panjang, setelah menurunkan Sutouw Ci-ko ia berkata, "Sudah tiba di Hwi-king-ouw, dimana tempat buah ajaib, lekas bawa aku kesana!" Dari kejauhan Sutouw Ci-ko mendelong mengawasi gubuk sebelah timur, hatinya kebat-kebit dan segan, meski sejak kecil ia dibesarkan oleh gurunya, namun betapapun ia sudah diusir dari perguruan, apakah ada muka ia menemui gurunya lagi. "Ajo, lekas!" desak Kiu-yu-mo-lo gegetun. Sesaat Sutouw Ci-ko menjadi sangsi, teringat olehnya kata-kata Hun Thian-hi terhadap dirinya tempo hari, tanpa merasa pelan-pelan ia menggerakkan langkahnya menuju ke arah gubuk itu. Melihat Sutouw Ci-ko menuju ke arah gubuk itu, timbul rasa curiga Kiu-yu-mo-lo, tanyanya, "Kemana kau!" "Gubuk itu adalah tempat tinggalku, sudah lama aku berdiam disana." "Maksudmu kau tinggal dalam gubuk itu menjaga buah ajaib itu?" Dengan sangsi Sutouw Ci-ko manggut, kakinya melangkah terus. Orang yang tinggal dalam gubuk sudah mendengar percakapan dan kedatangan mereka, tampak pintu terbuka keluarlah seorang perempuan pertengahan umur, begitu melihat Sutouw Ciko berubah air mukanya, putar tubuh terus masuk ke dalam gubuk lagi. Melihat gelagat yang ganjil ini Kiu-yu-mo-lo menyeringai dingin, tanyanya, "Siapa dia" Akal busuk apa yang tengah kau rancang?" Sekilas tadi Sutouw Ci-ko sudah melihat gurunya Pek-bwe Siancu Tang Siau-hong, namun gurunya tak mau peduli lagi pada dirinya, saking duka air mata mengembeng di kelopak matanya, otak menjadi bebal sehingga ia tidak hiraukan pertanyaan Kiu-yu-mo-lo. "Jangan kau main gila dengan aku," demikian kata Kiu-yu-mo-lo, "aku tidak gampang bisa kau tipu!" - lalu sebelah tangannya mencengkeram jalan darah di pundak kiri Sutouw Ci-ko, katanya pula, "Selama ini aku tidak membuat kau menderita, ketahuilah belum pernah selama hidup aku memberi kelonggaran kepada tawananku." - lalu ia terkekeh-kekeh begitu kelima jarinya mencengkeram semakin keras, seketika Sutouw Ci-ko rasakan seluruh badan lemas lunglai tak bertenaga lagi, tanpa kuasa ia meloso roboh di tanah. Pintu gubuk terbuka lagi, tampak Pet-bwe Siancu dengan muka merengut membesi dingin membentak seraya menuding, "Hentikan! Siapa bernyali besar berani bertingkah di Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo danau kaca terbang!" Kiu-yu-mo-lo terkial-kial dingin, tangannya melepas Sutouw Ci-ko, tiba-tiba tubuhnya melejit terbang secepat kilat tahu-tahu sudah berada dihadapan Tang Siau-hong, sembari menyeringai dingin ia mendesis, "Lima puluh tahun aku tidak muncul di Kangouw, kiranya tiada seorangpun yang kenal lagi kepada aku." Sebenar-benarnya Tang Siau-hong tahu siapakah sebetulnya Kiu-yu-mo-lo itu, serta melihat keadaan Sutouw Ci-ko yang mengenaskan rebah di tanah, hatinya menjadi gusar, semprotnya, "Kenapa begitu kejam kau aniaja anak kecil." Kiu-yu-mo-lo tertawa aneh, dulu golongan hitam atau putih bila mendengar namanya saja mesti lari terbirit2 ketakutan, namun sekarang tiada seorang pun yang memberi muka kepadanya, semakin pikir semakin jengkel, pikirnya; Kalau aku tidak memberi tanda mata apaapa, tentu kalian tidak akan ingat siapa aku ini. Tiba-tiba secepat kilat kedua telapak tangannya berkiblat terus menghantam ke arah Tang Siau-hong. Berdiri alis Tang Siau-hong, meski pun Sutouw Ci-ko sudah diusir dari perguruan, namun rasa kasih sayangnya terhadap gadis remaja yang diasuhnya sejak kecil masih tetap kental, sudah tentu ia tidak tinggal diam melihat orang menganiaja Sutouw Ci-ko begitu rupa, dengan murka ia pun menggerakkan kedua tangannya memukul ke arah Kiu-yu-mo-lo. Sedetik sebelum kedua pukulan lawan saling bentur, sekonyong-konyong ia merasakan firasat jelek, segesit tupai melompat enteng sekali ia jejakkan kakinya jumpalitan mundur ke belakang. Terdengar Kiu-yumo- lo terloroh-loroh menggila, kedua telapak tangannya ditarikan semakin cepat dan melancarkan serangan yang gencar. Untuk sesaat Tang Siau-hong yang belum sempat pernahkan diri menjadi kelabakan dan terdesak di bawah angin, sedikitpun ia tidak mampu balas menyerang. Pada saat itulah pintu gubuk disebelah utara sana terbuka, melangkah keluar seorang kakek tua, yaitu Hwi-king Lojin adanya. melihat pertempuran yang gawat ini, segera tubuhnya mencelat terbang, ditengah udara ia bersuit panjang melengking tinggi, seenteng burung walet tubuhnya beirlari terbang melewati permukaan air danau terus menerjang ke arah Kiu-yu-molo. Melihat Hwi-king Lojin menyerang datang, bertambah murka hati Kiu-yu-mo-lo. Dia insaf bahwa dirinya terluka dalaim yang cukup parah, kalau satu lawan satu jelas ia lebih unggul dan pasti menang, namun melawan keroyokan dua orang ia menjadi mati kutu, terang tenaganya bakal terkuras habis untuk membela diri saja. Sebat sekali kakinya melangkah berputar, selicin belut selincah kera ia berloncatan mencari posisi penyerangan dari berbagai penjuru, bertempur main petak melawan kedua lawannya. Semakin tempur diam-diam Hwi-king Lojin bertambah kejut, kecuali Bu-bing Loni belum pernah ia menemukan musuh sehebat dan setangguh seperti nenek rejot ini. Segera ia membuka suara bertanya kepada Tang Siau-hong, "Siau-moay! Siapa dia, ini?" "Kiu-yu-mo-lo!" sahut Tang Siau-hong singkat. Terperanjat Hwi-king Lojin serunya, "Bangkotan tua renta ini ternyata merajap keluar lagi dari liang kuburnya!" Kiu-yu-mo-lo berteriak melengking saking gusar mendengar olok2 orang, kedua telapak tangannya bergerak seperti kupu2 lincah menari di atas kuntum bunga. Tapi kepandaian Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong tidaklah lemah, apalagi lwekang Hwi-king Lojin jauh lebih tinggi dari Tang Siau-hong, dengan gabungan kekuatan mereka, untuk waktu dekat mereka berhasil mendesak Kiu-yu-mo-lo di bawah angin. Kiu-yu-mo-lo berkaok2 dengan beringas seperti kesetanan gerak-geriknya seperti serigala kelaparan yang ingin menelan bulat2 lawannya, namun sedemikian jauh ia terdesak dan tak mampu menempati posisi yang lebih menguntungkan. Sekejap saja ratusan jurus sudah berlalu, Kiu-yu-mo-lo insaf bahwa bertempur terus tidak akan menguntungkan dirinya, tibatiba tubuhnya mencelat mumbul, beruntun ia tepukan telapak tangannya berantai empat lima kali, waktu Hwiking dan Tang Siau-hong menyambut pukulannya, sigap sekali tubuhnya melayang jauh terus meluncur turun disamping Sutouw Ci-ko, sekali raih ia cengkeram tengkuk Sutouw Ci-ko. Tercekat hati Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong mereka menjadi keder dan kuatir atas keselamatan Sutouw Ci-ko, sesaat mereka berdiri melongo tak berani bertindak lebih lanjut. Kiu-yu-mo-lo menyeringai iblis, desisnya, "Ketahuilah hari ini aku sedikit terluka, maka kuhentikan saja pertempuran sampai disini." Dengan mengalirkan air mata Sutouw Ci-ko berteriak kepada Hwi-king Lojin dan Tang Siauhong: "Suhu, Supek, jangan kalian hiraukan aku, bunuh saja iblis laknat ini!" Kiu-yu-mo-lo menjadi geram, dengan jengkel tangan kanannya bergerak, beruntum ia tutuk beberapa tempat jalan darah penting ditubuh Sutouw Ci-ko. Kontan Sutouw Ci-ko mengeluh panjang terus jatuh pingsan. Kejut dan perih perasaan Tang Siau-hong, baru saja ia hendak memburu maju, namun sorot panjangan Kiu-yu-mo-lo yang tajam bengis mengancam itu mengurungkan niatnya. Sebetulnya ia sudah sangat benci dan tidak mau gubris lagi Sutouw Ci-ko, seumpama Sutouw Ci-ko mati ia pun takkan bersedih, dasar sifat manusia memang bijaksana dan luhur, melihat anak asuhannya sejak kecil kena siksa dan menderita ia menjadi terpukul perasaannya dan menjadi gugup akan keselamatannya. Terdengar Kiu-yu-mo-lo mendengus ejek, "Kalau kalian ingin dia tetap hidup hanya ada satu cara untuk menolong jiwanya. Lekas serahkan Kiu-thian-cu-ko kepadaku!" "Apa?" seru Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong berbareng. "Bagaimana! Tidak mau serahkan?" desak Kiu-yu-mo-lo mengancam. Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong mengeluh dalam hati, namun apa daya, terpaksa mereka saling pandang saja tanpa buka suara, dalam hati masing-masing sedang berpikir cara bagaimana mencari akal untuk mengatasi situasi tegang ini. "Jiwa bocah ini sebagai tumbal dari buah ajaib itu terserah cara bagaimana kalian hendak menyelesaikan jual-beli ini." Setelah merenung sesaat lamanya, Tang Siau-hong buka bicara, "Apakah yang kau maksudkan Kiu-thian-cu-ko?" "Benar-benar!" dengus Kiu-yu-mo-lo, cahaya matanya memancar terang, "Muridmu ini membawa aku kemari, tentu kau juga tahu dimana jejak buah ajaib itu!" Hati Tang Siau-hong menjadi rada marah dan sesalkan tindakan Sutouw Ci-ko yang ceroboh dan brutal itu, hidungnya mandah mendengus tanpa buka suara lagi. Segera Hwi-king Lojin menalangi, setelah tertawa kering ia berkata, "Gurunya pun tidak tahu dimana buah ajaib itu berada, justru karena dia tidak mau beritahu kepada gurunya maka gurunya ini mengusirnya dari perguruan. kalau mau tanya, silakan tanya kepadanya saja!" Mereka maklum bahwa maksud tujuan kedatangan Kiu-yu-mo-lo adalah buah ajaib itu, maka segala tanggung jawab urusan ini ditumplekkan kepada Sutouw Ci-ko, demi mencapai tujuan dan hasratnya tentu Kiu-yu-mo-lo takkan mencelakai jiwa Sutouw Ci-ko. Dengan memicingkan mata Kiu-yu-mo-lo pandang air muka kedua musuh tua ini gantiberganti dengan cermat, diam-diam hatinya mengumpat caci akan kelicikan akal Sutouw Ciko, serta merta terbayang olehnya waktu Tang Siau-hong pertama kali melihat Sutouw Ci-ko tadi sikapnya memang kurang senang dan tak mau gubris padanya. Sejenak ia berpikir, lalu berkata, "Baik! Sementara ini aku percaya akan obrolan kalian, akan kuperas keterangannya." selesai berkata ia memutar tubuh hendak tinggal pergi. "Nanti dulu!" teriak Tang Siau-hong, melihat orang hendak membawa Sutouw Ci-ko ia menjadi gugup. "Kenapa?" tanya Kiu-yu-mo-lo sambil berpaling, "Apa kalian hendak menahan aku?" - wajahnya mengunjuk senyum sinis yang menyebalkan. Hwi-king segera memberi aba-aba kepada Tang Siau-hong serempak mereka bergerak pencar kedua arah cepat sekali mereka mencari kedudukan menggencet Kiu-yu-mo-lo di tengah antara mereka. Kiu-yu-mo-lo menyeringai dingin, ujarnya, "Kalian sangka aku takut, kalau kalian tidak mau lepas aku, terpaksa kita harus gugur bersama, atau kalian sudah tidak hiraukan lagi mati hidup bocah ini?" Hwi-king rada sangsi, katanya, "Kalau kulepas kau, apakah jiwanya masih bisa hidup?" "Itu terserah kepada sikapnya selanjutnya!" jengek Kiu-yu-mo-lo dingin. "Serbagai murid murtad aku tidak mengharapkan dia lagi," demikian kata Tang Siau-hong tanpa emosi, "Tapi kami pun tidak bisa melepas kau membuat keonaran di kalangan Kangouw." Berubah air muka Kiu-yu-mo-lo, kalau Tang Siau-hong berdua tidak mementingkan jiwa Sutouw Ci-ko dirinya betul-betul bisa konyol di tempat ini. Dengan tertawa dingin segera ia berkata, "Kau sangka aku takut kepada kamu berdua?" di mulut ia bicara garang, hakikatnya hatinya sangat membenci Sutouw Ci-ko, diamdiam ia menerawang mencari akal cara bagaimana harus meloloskan diri, kalau Sutouw Ci-ko tidak tahu tempat dimana beradanya buah ajaib itu, sungguh ingin rasanya ia bunuh bocah kurang ajar ini. Mulut Tang Siau-hong memang mengancam dengan angkernya, namun iapun ragu-ragu untuk bertindak Jikalau Sutouw Ci-ko tidak berteriak supaya mereka tidak hiraukan jiwanya lagi, mungkin sekarang ia sudah bertindak demi kepentingan kaum persilatan umumnya, namun situasi sekarang sudah membuatnya serba sulit. Melihat kedua lawannya tidak bergerak, diam-diam timbul rasa curiganya, pikirnya, "Bukankah kalian juga tidak tega melihat kematian Sitouw Ci-ko" Sama saja mereka pun ingin mendapatkan buah ajaib itu!" Sejak mula Kiu-yu-mo-lo hanya memikirkan kepentingan pribadinya untuk memperoleh buah ajaib itu, mimpipun ia tidak mengira bahwa sejak permulaan ia sudah masuk perangkap Sutouw Ci-ko. Sekonyong-konyong timbul sebuah pikiran dalam benaknya; Sekarang aku sedang kepepet, kalau mereka ngotot menahan aku, aku pun tak mampu meloloskan diri, sepucuk buah ajaib itu berbuah enam butir, hanya perlu sebutir saja aku sudah cukup, lebih baik kuajak mereka kompromi saja. Sutouw Ci-ko berada di tanganku, masa mereka tidak mau terima saran baikku ini. Tengah ia berpikir2, tiba-tiba tampak sesosok bayangan orang melambung tiba, begitu menginjak tanah baru terlihat tegas, itulah seorang laki-laki tua bermuka putih tanpa jenggot, begitu melihat kedatangan orang ini bermula Kiu-yu-mo-lo sangat kejut dan heran, namun dalam kilas lain hatinya menjadi kegirangan. Karena orang tua ini bukan lain adalah Pek-kut-sin-mo Pek Si-kiat yang juga telah menghilang selama lima puluh tahun itu, entah cara bagaimana pula ia berhasil lolos dari belenggu. "Samte!" teriak Kiu-yu-mo-lo kegirangan, "Kau pun datang kesini! Lekas bantu aku." Bukan kepalang kejut Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong, Pek-kut-sin-mo juga meluruk datang. Si-gwa-sam-mo malang melintang dan sudah menghilang sejak lima puluh tahun yang lalu dari dunia persilatan, sungguh tak duga hari ini bakal muncul dua diantara tiga, ini benar-benar sangat mengejutkan dan menakutkan. Kedatangan Pek-kut-sin-mo seketika lebih menyempitkan kedudukan mereka berdua, mungkin untuk mati pun tidak akan bisa dengan jasad tetap utuh. Meski ajal betapa pun harus turun tangan lebih dulu, serempak mereka membentak bersama terus menyerang ke arah Kiu-yu-mo-lo. Kiu-yu-mo-lo terkekeh-kekeh. Mendapat bantuan Pek-kut-sin-mo umpama musuh ditamboh dua lagi iapun tak perlu takut, pelan-pelan ia letakkan Sutouw Ci-ko di atas tanah, gesit sekali ia menggerakkan kedua kepelannya menyambut serbuan musuh.... Sedikit bergerak tubuh Pek-kut-sin-mo melesat masuk ke dalam kalangan Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pertempuran, dimana kedua kepelannya bergerak seketika segulung uap putih dari kekuatan angin pukulannya menyampok mundur Hwi-king dan Tang Siau-hong. Serasa arwah sudah keluar badan kejut Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong, insaf mereka bahwa diri sendiri bukan lawan musuh, sebat sekali mereka melompat mundur rada jauh, namun begitu mereka segan untuk melarikan diri. Kiu-yu-mo-lo terloroh-loroh kering, katanya kepada Pek-kut-sin-mo, "Samte! Pekkut-sinkangmu jauh lebih maju dari lima puluh tahun yang lalu!" Kedengaran oleh Pek-kut-sin-mo akan pujian orang yang mengandung rasa kekecutan hatinya maksud tujuannya kemari bukan melulu untuk itu, segera ia buka bicara, "Ji-ci! Apakah bocah ini bernama Sutouw Ci-ko?" Berubah serius air muka Kiu-yu-mo-lo, sekilas ia menyapu ke arah Hwi-king berdua lalu menjawab, "Benar-benar! Dia tahu dimana buah ajaib berada, kalau ketemu boleh kami bagi dua sama rata dengan kau." "Ji-ci terluka di dalam bukan?" tanya Pek Si-kiat dingin Kiu-yu-mo-lo tersenyum ewa. Melihat Kiu-yu-mo-lo dan Pek-kut-sin-mo main debat sendiri sudah tentu Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong menjadi senggang dan tidak mau tinggal pergi saja, betapa pun Sitouw Ci-ko harus ditolong. Sebagai kawan lama sudah tentu Pek Si-kiat tahu tabiat dan karakter Kiu-yu-molo, dengan mendengus ia berkata, "Kalau tidak aku tidak mau turut campur pertikaian kalian" Dengan sendirinya Kiu-yu-mo-lo juga tahu bahwa Pek-kut-sin-mo selamanya berlaku kejam dan telengas terhadap orang luar, diantara mereka bertiga hanya dia yang berhati jujur dan lapang dada, entahlah kenapa hari ini sikapnya begitu, akhirnya ia membuka suara, "Samte! Apa hendak kau kangkangi sendiri?" Pek-kut-sin-mo bergelak tawa, serunya, "Ketahuilah Sutouw Ci-ko tidak tahu menahu tentang buah ajaib itu. yang terang aku mendapat perintah dari Ka-yap Cuncia kemari, untuk menolong Sutouw Ci-ko juga untuk minta kembali Hian-thian-pit-kip." Laksana geledek mengguntur dipinggir telinganya Kiu-yu-mo-lo melonjak kaget, tiba-tiba ia melengking tinggi seraya melemparkan tubuh Sutouw Ci-ko ke tengah udara begitu keras lemparannya sampai badan Sutouw Ci-ko melambung tinggi dan jauh, berbareng ia sendiri lantas melenting jauh melarikan diri. Kuatir diketahui oleh Pek-kut-sin-mo maka waktu melontarkan tubuh Sutouw Ci-ko ia tidak berani membuat cedera ditubuhnya. Keruan bukan kepalang gusar Pek Si-kiat. Ia insaf bahwa Hwi-king dan Tang Siauhong tidak akan mampu menolong Sutouw Ci-ko. terpaksa ia melejit tinggi menolong jiwa Sutouw Ci-ko. Mendengar Pek-kut-sin-mo diutus oleh Ka-yap Cuncia, Hwi-king dan Tang Siau-hong menjadi girang, serempak mereka bergerak bersama Tang Siau-hong memburu ke arah Sutouw Ci-ko sedang Hwi-king Lojin mengejar dan merintangi jalan mundur Kiu-yu-mo-lo. Dilain pihak Kiu-yu-mo-lo tahu bahwa dirinya bukan tandingan Pek-kut-sin-mo, maka begitu melejit jauh terus lari sipat kuping, waktu Hwi-king Lojin mengejar tiba di belakang dan menyerang dengan sebuah pukulan tangan. ia mandah saja kena hantaman sampai muntah darah, mulutnya berteriak kesakitan, suaranya serak dan panjang sampai bergema dialam pegunungan, namun kakinya bergerak lebih cepat lagi, sebentar saja ia sudah menghilang. Waktu Pek-kut-sin-mo berhasil menolong Sutouw Ci-ko, sementara Kiu-yu-mo-lo pun sudah lari jauh, dengan gegetun ia membanting kaki, sungguh ia sangat menyesal terburu nafsu membuka mulut. Tapi nasi sudah menjadi bubur, menyesal pun sudah kasep. Dengan mendelong Tang Siau-hong mengawasi Sutouw Ci-ko ditangan Pek-kut-sin-mo, ia tidak berani maju memapah. Setelah berkeluh kesah sendiri baru Pek Si-kiat teringat akan Sutouw Ci-ko yang dipondongnya itu, cepat-cepat ia membebaskan tutukan jalan darah Sutouw Ciko. Pelan-pelan Sutouw Ci-ko membuka mata, setelah celingukan kekanan kiri, tibatiba merangkak bangun terus berlutut dihadapan Tang Siau-hong, serunya sesenggukan, "Suhu!" "Siapa Suhumu?" jawab Tang Siau-hong ketus. Tangis Sutouw Ci-ko semakin jadi, terdengar Pek Si-kiat bertanya, "Apa yang telah terjadi, coba tuturkan kepada aku!" Kesannya sangat baik terhadap Hun Thian-hi, melihat keadaan Sutouw Ci-ko yang bersedih ini tak tertahan lagi lantas mengajukan pertanyaan. Sutouw Ci-ko angkat kepala, dia tahu bahwa orang tua irnilah yang tadi membebaskan tutukan jalan darahnya, melihat sikap kaku dan kukuh Tang Siau-hong terpaksa ia menjawab pertanyaan Pek Si-kiat, "Te-rima kasih pada Cianpwe telah menolong jiwaku." Pek Si-kiat menyengir dengan girang, seolah-olah baru pertama kali inilah selama hidup ia pernah berbuat kebaikan, sekarang baru pertama pula ada orang menyatakan terima kasih kepadanya. Setelah mengawasi Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong lalu ia berkata tertawa, "Bocah ini baik dan cantik rupawan lagi, untuk urusan apa kalian tidak mau kenal dia lagi?" Tahu bahwa Pek-kut-sin-mo diutus oleh Ka-yap, Tang Siau-hong mengira bahwa Pekkut-sinmo tentu sudah kembali kejalan lurus, terpaksa ia membungkuk serta menyahut, "Cianpwe tidak tahu, sekarang ia sudah menyeleweng...." Pek Si-kiat merengut dan rada gusar, katanya, "Mungkinkah Ka-yap Taysu menyusuh aku menolong seorang jahat" Jika kau tidak mau, biar dia ikut aku saja!" Segera Sutouw Ci-ko menyembah lagi kepada Tang Siau-hong. selanya, "Suhu tidak sudi aku kembali, sebetulnya aku belum pernah melakukan kejahatan apa, di dunia ini aku sudah sebatangkara, aku tidak ingin hidup lebih lama lagi, mohon Subu suka mengakui aku sebagai murid sebelum ajal ini." - Sampai kata-kata terakhir suaranya hampir lenyap oleh sengguk tangis dan air mata yang membanjir sedih. "Apa," teriak Pek Si-kiat keras, "Hun Thian-hi mohon Ka-yap Cuncia supaya aku menolong kau, kenapa kau ingin mati pula?" "Apa?" Sutouw Ci-ko juga berjingkrak kegirangan, "Apa benar-benar dia?" Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong beradu pandang, dalam hati mereka berpikir, "Bagaimana bisa terlibat pula dengan Hun Thian-hi!" "Benar-benar," jawab Pek Si-kiat, "Dia selamat dan ikut bersama Ka-yap Cuncia diangkat sebagai murid angkat, diberi pelajaran Pan-yok-hian-kang dan Wi-thian-cit-ciatsek, mungkin dalam satu setengah tahun ini kau tidak bisa bertemu dengan dia." Saking kegirangan suara, Sutouw Ci-ko sampai gemetar, katanya tersekat, "Aku....aku mengira dia tentu sudah mati!" - Sekarang dia menangis karena kegirangan. Mendengar semua kejadian ini melulu karena tujuan dan kemauan Ka-yap Cuncia. Apalagi Hun Thian-hi yang berjuluk Leng-bin-nio-sin itu juga telah diangkat menjadi muridnya. Ka-yap adalah tokoh teragung nomor satu pada ratusan tahun yang lalu, sungguh tak nyana beliau masih hidup, setiap ucapannya lebih mempertebal kepercayaan dirinya sendiri, hanya kejadian ini benar-benar diluar dugaan. Sesaat melongo akhirnya Tang Siau-hong bertanya, "Cara bagaimana kau berkenalan dengan Hun Thian-hi?" Dengan mengembeng air mata, Sutouw Ci-ko menjawab sambil tersenyum senang, "Dia terhitung adik angkatku!" Dengan tajam Tang Siau-hong menatap Sutouw Ci-ko, dalam hati membatin, "Melihat gelagatnya bukan melulu hubungan antar kakak beradik .... tapi masih ada Bun Cu-giok lagi, ai, memang sudah ditakdirkan kiranya!" Terdengar Sutouw Ci-ko berkata lagi, "Bermula dia berangkat kemari bersama aku, dia mendapat tugas dari majikan Ngo-hong-lau untuk menemui Hwi-king Supek!" "Kakak misanku?" seru Hwi-king Lojin terkejut, "Dimana beliau sekarang?" Sutouw Ci-ko beragu sebentar, lalu menjawab, "Beliau tidak suka orang lain tahu alamatnya. Beliau memberi sebatang Hwi-hong-siau kepada Thian-hi, tapi waktu sampai di Giok-bun-koan kami bentrok dengan seorang tuan yang bernama Situa Pelita, dia melarang kami kemari!" Hwi-king Lojin tidak tanya lebih lanjut, dengan rawan ia menghela napas. Dengan tertawa berseri Pek Si-kiat pandang Sutouw Ci-ko sungguh girang dan berterima kasih pula Sutouw Ci-ko, katanya, "Dapatkah aku mengetahui nama Cianpwe yang mulia!" "Akulah Pek-kut-sin-mo!" jawab Pek Si-kiat sambil tertawa lebar. Sutouw Ci-ko melengak kaget, rada lama kemudian baru berkata, "jangan kau gertak orang, aku tidak takut." Pek Si-kiat terbahak-bahak, serunya, "Hampir saja Hun Thian-hi mampus ditanganku, sungguh kamu berdua bernasib mujur, terjeblos ke dalam Sip-kut-tam tidak mati, kalau orang lain, sudah mati konyol tanpa bekas lagi." Sutouw Ci-ko menenangkan hatinya lalu bertanya, "Sekarang dimanakah Hun Thianhi?" "Aku juga tidak tahu, cuma hari ini kiu-yu-mo-lo berhasil lolos membawa serta Hian-thian-pitkip, kelak tentu menimbulkan banyak bencana, Ka-yap Taysu menugaskan banyak urusan yang perlu kulaksanakan. Aku betul-betul ketarik kepada kau, lain waktu aku pasti datang menjenguk kau kemari." Sutouw Ci-ko berjingkrak kegirangan, tanyanya, "Kapan kau akan datang?" "Tidak perlu kuatir untuk menemukan kau" Kau tak usah gelisah!" - demikian kata Pek Si-kiat seraya melambaikan tangan terus berlari pergi dengan cepat. Pelan-pelan Sutouw Ci-ko membalik badan, dengan penuh rasa kasih sayang Tang Siau-hong mengelus rambutnya serta berkata, "Nak, mungkin aku terlalu terburu nafsu salahkan kau." Sutouw Ci-ko menubruk ke dalam pelukan Tang Siau-hong dan menangis gerunggerung. "E, eh, kenapa ni" Kukira kau bukan bocah lagi, lima tahun sudah, masa sikapmu masih aleman seperti kanak-kanak" demikian goda Tang Siau-hong. Sutouw Ci-ko angkat kepala seraya membasut air matanya, pelan mereka menggeser menuju ke dalam gubug sambil berpelukan, saat itu sinar matahari sudah tergantung tinggi ditengah cakrawala. Waktu mereka memandang sekelilingnya, ternyata Hwi-king Lojin sudah tinggal pergi diamdiam, Tang Siau-hong berdua menjadi geli dan saling pandang. Ooo)*(ooO Waktu sinar cahaya sang surja mulai menongol keluar dari peraduannya menyorot sebuah tebing tinggi ratusan tombak, cuaca masih terlalu pagi, tebing itu terlalu tinggi dan lurus lempang, seperti dipapas dengan kapak atau senjata tajam lainnya. Dibawa tebing sebelah sana pelan-pelan mendatangi seorang pemuda cakap ganteng, pendatang ini bukan lain adalah Hun Thian-hi, setelah sampai di bawah tebing ia mendongak meneliti tebing tinggi ini. Jikalau dapat melampaui tebing tinggi maka di dalam sana adalah sebuah negara kuno yang terasing dari dunia luar di daerah selatan ini yaitu Thian-bi-kok seperti yang dikatakan oleh Ka-yap Cuncia itu. Menurut pesan Ka-yap Cuncia ia harus memanjat tebing tinggi ini dan menyelundup masuk kenegeri kuno bernama Thian-bi-kok ini. Setelah meneliti sekian lamanya diam-diam Thian-hi mengerut alis, tebing setinggi ratusan tombak begini cara bagaimana bisa masuk kesana, entah cara bagaimana orang yang menemukan negara kecil itu bisa masuk kesana. Pelan ia berjalan menyusuri kaki tebing mencari jalan. Tiba-tiba dilihatnya disebuah lekukkan diujung tebing sana ada sebaris retakan batu, garis retak ini sudah penuh ditumbuhi lumut sangat licin susah untuk tempat berpegang atau berpijak, boleh dikata sulit sekali untuk dapat memanjat ke atas. Sekian lama ia berpikir mencari akal, akhirnya dilolos keluar seruling dipinggangnya, diam-diam ia kerahkan tenaga murni sekali tusuk ternyata mudah sekali serulingnya amblas ke dalam batu tebing. keruan girangnya bukan kepalang, lekas ia keluarkan pula kutungan serulingnya sendiri, tusuk demi tusuk bergantian dengan gegamannya ia mulai merambat ke atas. Entah berapa lama Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kemudian dengan susah payah akhirnya ia berhasil mencapai puncak tebing juga, namun terasa kaki linu pinggang pegal, telapak tangan pun lecet. Dengan menghela napas lega ia berpaling memandang kebawah, tebing sedemikian tinggi, setapak demi setapak ia berhasil manjat ke atas, hampir ia tidak percaya akan kenyataan ini. Setelah beristirahat seperlunya pelan-pelan ia mulai beranjak masuk ke dalam sebuah lembah, di dalam lembah tumbuh hutan lebat, tiada kelihatan jejak manusia seorangpun. Dengan hati-hati Thian-hi menyusuri hutan lebat ini terus maju ke depan. entah berapa lama kemudian, akhirnya pohon-pohon mulai jarang tibalah ia diujung hutan, lapatlapat dikejauhan sana kelihatan perumahan orang, ladang sawah nan subur, lebih jauh di depan sana samar-samar kelihatan bentuk sebuah kota. Bab 14 Dengan saksama Hun Thian-hi memandang ke depan nan jauh sana, dalam hati ia menerawang, betapapun aku harus melihat-lihat situasi dan keadaan kota di depan itu. Begitulah melalui gili2 sawah ia terus maju ke depan, langsung menuju kekota. Tak lama kemudian ia sudah tiba diambang pintu kota, tamtak orang berlalu lalang dengan ramainya, kiranya itulah sebuah kota yang cukup besar. Sambil celingukan kekanan kiri seperti orang desa yang pertama kali masuk kota Hun Thian-hi maju terus ke depan melihat-lihat keadaan kota kuno yang terasing dari dunia luar ini. Tiba-tiba dilihat orang-orang yang berlalu lalang dikejauhan menjadi ribut dan berlari-lari minggir kedua samping jalan, tampak sebarisan sepasukan seragam hijau membedal kudanya mendatangi bagai terbang. Cepat-cepat Thian-hi juga ikut menyingkir kepinggir, namun sekilas dilihatnya tak jauh di depan sana seorang anak kecil tengah berlari ditengah jalan, tanpa banyak pikir lagi segera ia memburu maju menarik bocah kecil itu, namun saat mana juga barisan berkuda itupun sudah tiba, baru saja Thian-hi hendak gunakan Ginkangnya untuk melesat berkelit, mendadak teringat akan pesan Ka-yap Cuncia, supaya orang lain tidak tahu bahwa dia seorang persilatan, orang-orang yang berkerumun disekitar jalanan itu menjadi menjerit ngeri dan gempar, tak ampun lagi Thian-hi keterjang ke depan, meminjam daya terjangan ini ia menggelundung kesamping sambil mengempit bocah itu. Kuda itu lantas berdiri dengan kedua kaki belakangnya sambil bebenger panjang. penunggangnya tak kuasa mengendalikan kudanya lagi terus lompat turun. terpaksa rombongan berkuda itu harus berhenti semua. Dari pinggir jalan sebelah sana memburu seorang gadis dengan muka pucat, katanya kepada Hun Thian-hi. "Banyak terima kasih akan pertolonganmu!" sekali tarik ia terus bopong bocah itu terus bawa lari dan menghilang dipagar manusia yang menonton dipinggir jalan. Belum lagi Thian-hi sempat inenjawab, tiba-tiba didengarnya sebuah bentakan caci maki, segulung angin menerpa tiba mengarah mukanya, baru saja ia hendak berkelit tapi kuatir diketahui ia bisa main silat terpaksa pura-pura terhujung mundur dan tepat sekali terhindar dari serangan keras yang mengarah mukanya. Melihat lecutannya tidak mengenai sasarannya, orang itu semakin marah, maju setapak ia ayun pula cambuknya menghajar kepada Thianhi. Thian-hi tak berani, menghindar lagi, sekali ia berkelit tentu bisa mengunjuk kepandaiannya silat, dia pun tak berani mengerahkan tenaga untuk melawan sekali kena pecut, kontan terasa kulitnya pedas dan kesakitan, waktu matanya melirik baju yang dipakainya sudah kojak2 kena pecutan, kulithja pun membekas segaris merah darah, Mendapat hasil orang itu semakin bernafsu, lagi-lagi pecutnya terayun tinggi, Thian-hi menjadi berangan, namun apa boleh buat betapapun ia tidak boleh mengunjuk kepandaiannya silat, terpaksa mandah saja kena lecut sampai babak belur. Sambil menghajar orang itu memaki, "Bocah keparat. Besar nyalimu berani menghalangi perjalanan rombongan dari istana, sudah bosan hidup ya?" - sembari maki pecutnya sekali lagi melecat dengan keras. Baru saja ia hendak meneruskan hajarannya, dari kejauhan tiba-tiba seseorang berteriak mencegah, "Hentikanlah!" Dari luar kota sana mendatangi serombongan pasukan berkuda, penunggangnya mengenakan seragam Busu, Pemimpinnya yang terdepan adalah seorang laki-laki berperawakan tinggi besar berusia pertengahan, laki-laki tegap ini bertanya, "Apakah Tan Siangkok ada?" Begitu melihat laki-laki pertengahan umur ini orang itu berubah air mukanya, cepat ia turunkan tangannya, sahutnya, "Ma-ciangkun, orang ini berani menghadang ditengah jalan, terpaksa harus kuhajar. Joli Siangya sebentar lagi bakal tiba." Thian-hi angkat kepala mengamati laki-laki pertengahan yang dipanggil Maciangkun itu, tampak mukanya kereng sikapnya gagah, kedua biji matanya berkilat terang, naganaganya membekal Lwekang yang cukup tinggi juga. Ma-ciangkun itu mengamati Hun Thian-hi sebentar lalu berkata, "Kalau begitu jangan sampai mengejutkan Siangkok, orang ini biar kubawa pergi dia berani menghadang jalan, dihajar dua kali lecutan juga sudah cukup, bagaimana menurut maksudmu?" Cepat orang itu membungkuk, sahutnya, "Cukup hanya sekecap kata saja Ma-ciangkun boleh bawa orang ini." Ma-ciangkun manggut kepala lalu mengulapkan tangan ke belakang, seorang bawahannya segera menuntun seekor kuda diberikan kepada Thian-hi, lalu katanya kepada Hunhian-hi, "Mau kau ikut aku!" "Terima kasih akan pertolongan Ma-ciangkun!" sahut Thian-hi sambil menekuk dengkul kirinya. Agaknya Ma-ciangkun itu sudah biasa mendengar pernyataan terima kasih, cukup ia goyang tangan saja terus membedal kudanya ke depan. Sebetulnya Thian hi tidak mau ikut, namun melihat sikap Ma-ciangkun terpaksa ia naik ke atas kuda. Punggungnya ada dua jalur berdarah bekas kena cambukan tadi, semua orang dikedua pinggir jalan yang menonton menjadi bergidik dan mengelus dada, Thian-hi sendiri juga menjadi kikuk dan malu ditonton begitu banyak orang. Setelah melewati beberapa jalan raja dan membelok kesebuah gang besar tibalah mereka di depan sebuah gedung mentereng, Ma-ciangkun segera melompat turun dari atas kuda, para Busu pengawalnya segera mertuntun kudanya masuk. Dengan langkah tegap dan cepat ia berjalan masuk naik undakan batu hijau, sikapnya sungguh gagah dan penuh wibawa. Hun Thian-hi tidak tahu orang macam apakah Ma-ciangkun ini namun melihat sikapnya yang gagah dan perwira serta pakaiannya yang serba lengkap dengan pangkat militernya, tentu seorang pejabat tinggi pemerintahan, setelah turun dari kudanya ia berdiri menjublek tak tahu harus berbuat apa. Setelah beranjak diundakan batu baru Ma-ciangkun seperti teringat kepadanya, segera ia merandek dan berpaling serta menggapai tangan, lalu berjalan masuk lagi. Melihat orang memanggil dirinya dengan ragu-ragu akhirnya Thian-hi ikut beranjak masuk, setelah melewati pintu besar tibalah mereka disebuah ruang besar, Ma-ciangkun itu menanggalkan jubah perangnya seraya bertanya kepada Thian-hi, "Siapa namamu?" Thian-hi menjadi sangsi sesaat lamanya, menyebut nama aslinya pun tidak seorang pun yang bakal mengetahui, segera ia menjawab, "Aku bernama Hun Thian-hi!" Ma-ciangkun manggut-manggut, ujarnya, "Sepak terjangmu dari kejauhan tadi sudah kulihat, kau cukup berani, dengan keadaanmu yang lemah itu kau berani menolong orang, sungguh tidak tahu diri. jikalau bukan karena bernasib baik sejak tadi kau sudah mampus." "Terima kasih akan budi pertolongan Ma-ciangkun!" segera Hun Thian-hi menjura. Kelihatan Ma-ciangkun merasa simpatik terhadapnya, dengan tertawa ia berkata lagi, "Tak perlu ditaruh dalam hati. Kulihat kau seorang sekolahan bukan?" Tujuan Hun Thian-hi justeru hendak menutupi keadaan dirinya yang sebenarbenarnya, segera ia manggut-manggut serta menjawab dengan hormat, "Benar, benar, aku seorang pelajar!" Ma-ciangkun tertawa-tawa ujarnya, "Kulihat usiamu masih terlalu muda, apalagi seorang pelajar yang punya keberanian yang pantas dipuji, sungguh sukar didapat, sungguh aku ketarik kepada kau, adakah famili lain dirumahmu?" "Ajah bundaku sudah lama wafat, hanya aku sebatangkara!" "Itulah baik," ujar Ma-ciangkun sesaat berpikir, "Kalau kau sudi, aku punya seorang putra, apakah kau mau jadi gurunya?" Sungguh girang dan senang Thian-hi sukar dilukiskan. sungguh tak nyana olehnya baru pertama kali ia datang lantas mendapat tempat menetap yang cukup aman dan selamat, setelah terlongong sebentar ia menyaJhut, "Terima kasih kepada Ma-ciangkun!" "Sejak hari ini juga kau kuangkat menjadi guru anakku dan menempati bilik sebelah barat sana. Aku bernama Ma Bong-hwi, lekas kau pergi ganti pakaian dan menemui aku diruang belakang." - Selesai bicara terus tinggal pergi ke dalam. Seorang pelayan segera membawa Thian-hi kesebuah kamar pakaian untuk mengganti bajunya yang sudah butut dan kojak2 tadi. tak lama kemudian ia sudah beranjak menuju keruang dalam. Gedung panglima besar ini kiranya cukup mentereng dan megah, segala perabotnya serba mewah, seorang pelayan menuntunnya menelusuri serambi panjang yang belak-belok ditanam bunga, lalu memasuki sebuah bangunan besar yang terdiri dari sebuah ruangan besar. Tampak Ma Bong-hwi sudah menunggu disana bersanding seorang wanita pertengahan umur. Selamanya Thian-hi belum pernah menghadapi keadaan serba megah dan angker ini, begitu memasuki kamar besar itu sikapnya menjadi prihatin dan kikuk, dengan laku hormat segera ia memberi hormat kepada Ma Bong-hwi dan wanita pertengahan umur itu. Disamping perempuan itu berdiri seorang laki-laki berusia 12-an, begitu melihat Hun Thian-hi masuk segera berpaling dan bertanya kepada Ma Bong-hwi, "Ajah, apakah dia ini bakal guruku?" Ma Bong-hwi manggut-manggut sambil berseri tawa, segera ia silakan Thian-hi duduk. Tahu Thian-hi bahwa bocah laki-laki ini adalah bakal muridnya itu tanpa merasa ia awasi bocah ini dengan seksama, bocah ini cukup tampan dan jenaka, lincah lagi berani, sepasang biji matanya bundar bening mengawasi Hun Thian-hi tanpa berkedip, kelihatannya sangat nakal. Segera Ma Bong-hwi memperkenalkan Hun Thian-hi, bocah itu bernama Siau-hou, Perempuan pertengahan umur itu adalah istrinya. Ma Siau-hou meninggalkan ibunya, maju mendekati ke depan Hun Thian-hi lalu berputar mengelilingi Thjan-hi seperti memeriksa sesuatu barang yang menarik perhatiannya. Hun Thian-hi menjadi jengah dan risi. Dalam hati ia membatin; 'bocah ini cukup nakal, mungkin rada sukar mengatasinya.' Segera Ma Bong-hwi mengucapkan kata-kata sapa-sapi sekadarnya serta menjelaskan keadaan dirinya. dengan patuh Thian-hi mengiakan saja. Akhirnya Ma Bong-hwi surah seorang pelayan mengantar Bun Thian-hi pergi memeriksa kamar dan ruang bukunya. Di dalam kamar buku ini terletak sebuah harpa, terdapat sebuah meja tulis juga serta beberapa buah kursi, keadaan kamar tidurpun serba lengkap dan nyaman. Dengan menghela napas panjang pelan-pelan ia duduk di atas sebuah kursi, pelayan itu segera minta diri terus keluar pintu. Diam-diam Thian-hi merasa was-was dan hampir tidak percaya akan pengalaman sendiri, sungguh suatu pengalaman yang cukup aneh dan menggetarkan sanubarinya. Tengah ya melayangkan pikirannya, mendadak terdengar derap langkah lirih tengah mendatangi, diam-diam ia terkejut, namun ia cukup waspada untuk tidak mengunjuk kepandaian silatnya, terpaksa ia pura-pura tidak dengar saja. Tak lama kemudian derap langkah lirih itu sudah sampai di depan pintunya, dengan acuh tak acuh Thian-hi pura-pura tidak dengar, di dalam kamar ia berjalan bolak-balik menggendong tangan membelakangi pintu kamar. Sesaat kemudian baru ia memutar tubuh, tampak orang itu adalah putra Ma Bong-hwi yang bernama Ma Siau-hou itu, dia tengah longak-longok ke dalam. Begitu Thian-hi putar tubuh dan melihat dia, bocah itu menjadi kaget dan mengkeret sembunyi dibalik pintu, sesaat kemudian baru Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo berani berjalan keluar. Dengan tersenyum Hun Thian-hi segera menyapa, "Ada urusan apa Siau-hou" Kemarilah!" Pelan-pelan Ma Siau-hou berjalan masuk, dengan terlongong ia awasi Thian-hi, sesaat kemudian baru buka suara, katanya, "Hun-losu (pak guru), aku datang untuk merundingkan suatu hal dengan kau!" "Ada urusan apa boleh silakan silakan saja!" "Aku tidak ingin membaca buku. dan kau pun tak usah ajarkan aku membaca?" "Lalu apa yang hendak kau pelajari?" "Kau bawa sebatang seruling, kau ajarkan aku meniup seruling saja, belajar membaca aku tidak suka!" Thian-hi merenung sesaat baru menjawab, "Kau mau belajar meniup seruling pun boleh, asal kau sudah belajar membaca lalu kuajarkan kau meniup seruling!" "Tidak mau! Aku tidak punya begitu banyak tempo. Waktu yang lain aku harus berlatih silat" Thian-hi menjadi serba sulit, bocah ini sungguh sukar dilayani, akhirnya ia mengada2 saja, "Waktu terlalu panjang untuk belajar, aku bisa mengatur waktumu secukupnya." Ma Siau-hou miringkan kepala berpikir. tanpa bicara lagi segera ia berlari keluar. Diam-diam Thian-hi mengerut kening, entah cara bagaimana ia harus menghadapi kebinalan bocah ini. Tak lama kemudian cuaca sudah mulai gelap, setelah makan malam Thian-hi teringat akan Withian- cit-ciat-sek pemberian Ka-yap Cuncia itu, sembunyi di dalam kamar tidurnya pelan-pelan ia keluarkan buku itu dan dibaca di bawah penerangan pelita. Omslag buku tipis itu terbuat dari sutra halus, dengan saksama ia periksa dari halaman ke halaman terakhir, buku itu melulu memuat gambar2 manusia dalam berbagai bentuk dengan keterangan huruf yang cekak saja. Seluruhnya ada tujuh jurus gerak pedang serta empat posisi duduk. Keempat posisi duduk ini kelihatan rada baru, mungkin tambahan belum lama berselang. Diam-diam Thian-hi membatin mungkin inilah posisi duduk pelajaran dari ilmu Pan-yok-hian-kang, Dengan saksama Thian-hi memeriksa dan mempelajari ajaran Wi-thian-cit-ciat-sek yang menggetarkan kolong langit ini, sesaat ia menjadi melongo, beruntun ia membalik lembar demi lembar, ternyata ketujuh gambar jurus ilmu pedang itu semuanya sama dan persis benar-benar. Keruan bukan main kejut hatinya, setelah diteliti dari sebarisan huruf2 kecil yang memberi keterangan itu baru ia paham duduk perkara sebenar-benarnya, tampak di baris paling depan ada sebuah pernyataan yang cukup serius, huruf2 itu berbunyi; Perhatian: Tanpa mempelajari Panyok- hian-kang, takkan dapat menyilami intisari Wi-thian-cit-ciat-sek." Baru sekarang Thian-hi dapat menghela napas berlega hati, segera ia tutup buku itu, rada lama kemudian baru ia buka pula, setelah sampai halaman terakhir ia amat-amati posisi2 duduk itu dengan seksama, dibawahnya ada kalimat yang memberi penjelasan dan keterangan prakteknya dengan sempurna. Perlahan-lahan ia mendongak sambil menepekur sesaat kemudian baru mendadak seperti teringat memahami, sekali lagi ia meneliti keempat posisi duduk itu, lalu memadamkan pelita, duduk bersila mulai memusatkan pikiran dan berlatih. Di luar dugaan latihannya berhasil dengan baik, hawa murni dapat dituntun berputar selingkaran dalam tubuhnya, waktu ia membuka mata terasa badannya enteng segar dan nyaman, keruan girang hatinya bukan buatan, memandang keluar jendela, kelihatan cuaca sudah terang tanah. Segera ia bangun dan berjalan keluar, dengan langkah ringan ia memasuki taman bunga. Mendadak didengarnya suara orang mendatangi, sekilas saja lantas ia tahu itulah Ma Bong-hwi beserta anaknya, mereka tengah mendatangi ke arahnya. Thian-hi berpaling ke kanan kiri, jelas tiada tempat untuk sembunyi terpaksa pura-pura tidak tahu dan tidak dengar saja terus berlenggang ke depan sambil menikmati bunga2 yang mekar segar. Sebentar saja Ma Bong-hwi dengan Ma Siau-hou sudah mendekat, begitu melihat Hun Thian-hi, Hun Thian-hi segera menyapa lebih dulu, "Ma-ciangkun! Selamat pagi!" Ma Bok-hwi juga berseri tawa, sahutnya, "Kau juga bangun pagi2 benar-benar, matahari belum lagi terbit kau sudah berada disini. Apakah semalam tidurmu nyenyak?" Belum lagi Thian-hi sempat menjawab, dari samping Siau-hou sudah menyela dengan suara keras, "Kenapa ayah perlu tanya lagi, tentu dia mengatakan tidur nyenyak sekali." "Hus, bocah kecil sembarangan omong!" segera Ma Bong-hwi membentak anaknya. Thian-hi mandah tertawa tawar saja tanpa bersuara. Siau-hou berkata lagi, "Ajah! Pak guru pintar meniup seruling, suruh dia mengajar aku. Aku tidak mau belajar membaca." Ma Bong-hwi pelototi Siau-hou lalu berkata kepada Hun Thian-hi, "Kau bawa sebatang seruling, tentu kau pandai meniupnya, kalau ada tempo tiada halangannya kau ajarkan Siauhou." Hun Thian-hi tersenyum, jawabnya, "Seruling ini kuperoleh dari seorang Cianpwe sebagai tanda kenangan. Aku sendiri tidak begitu baik meniupnya, digantung disini juga sebagai perhiasan saja!" "Pak, guru!" seru Siau-hou sambil berlari ke depan Hun Thian-hi, "bolehkah pinjam lihat serulingmu ini?" Hun Thian-hi tanggalkan serulingnya lalu diberikan kepada Siau-hou, dengan saksama Siau-hou membolak-balik dengan semaunya, katanya, "Bagus sekali Bolehkah kuperlihatkan kepada bibiku?" "Siau-hou," segera Ma Bong-hwi membentak, "lekas kembalikan, mana boleh begitu nakal." Dengan cemberut dan monyongkan mulut Ma Siau-hou angsurkan kembali seruling itu kepada Thian-hi. Ma Bong-hwi berkata lagi, "Aku akan berlatih silat kesana dengan Siau-hou, silakan kau jalanjalan dalam taman bunga ini." Thian-hi manggut sambil mengiakan. mengantar Ma Bong-hwi dan putranya pergi jauh dengan pandangan mendelong, dalam hati ia membatin; 'bocah ini sungguh binal dan susah dilayani.' Hun Thian-hi tak punya selera jalan-jalan lagi, setelah berputar rada jauh lalu kembah ke kamarnya. Setelah makan pagi, tampak Ma Siau-hou berlari datang, tangannya menjinjing sebatang seruling kehitaman terbuat dari besi. Begitu masuk pintu Ma Siau-hou lantas berlari duduk di atas sebuah kursi bundar katanya tertawa kepada Thian-hi, "Kau boleh mulai ajarkan aku meniup seruling. Baru saja kutemukan. seruling ini!" Hun Thian-hi mengerut kening, katanya, "Baik! Lagu apa yang suka kau pelajari?" Ma Siau-hou berpikir sambil miringkan kepalanya, pikir punya pikir akhirnya ia berkata, "Aku juga tidak tahu, lagu apa yang sering dipetik oleh bibi." Berhenti sebentar lalu melanjutkan sambil loncat berdiri, "Kau tunggu sebentar, ada sejilid buku musik, biar kuambil kemari." Habis berkata lalu berlari-lari pergi. Thian-hi jadi berpikir cara bagaimana baru ia berhasil memberi pelajaran kepada Ma Siau-hou, tak lama kemudian Ma Siau-hou memburu tiba pula serta berseru kepada Thian-hi, "Coba lihat, kubawa kemari!" Begitu melihat buku yang dibawa Ma Siau-hou itu kontan berubah air muka Hun Thian-hi. Buku musik yang tipis dan sudah tua itu di atas sampulnya ada tertera tulisan yang berbunyi, "Tayseng- ci-lao." (Lagu sempurna abadi). Hun Thian-hi adalah murid Lam-siau (seruling selatan), aliran Lam-siau dapat menggetarkan Bulim lantaran ilmu pelajaran Thian-liong-cit-sek dan Siau-im-pit-hiat, terutama pelajaran menutuk jalan darah menggunakan gelombang irama serulingnya ini, sudah tentu hasil pelajaran yang sempurna ini membuat Hun Thian-hi tambah luas dan dalam mengenai pengetahuan musik, waktu mulai terjun kedunia persilatan ia sudah menggemparkan Kangouw karena berhasil menutuk roboh begitu banyak gembong silat ternama, namun sejak itu tiada kesempatan menggunakan lagi, sebab setiap musuh yang dijumpai belakangan Lwekangnya semua cukup tinggi dan lebih lihay dari kemampuannya. Dari penuturan gurunya ia tahu bahwa waktu kakek gurunya masih hidup, hanya karena dapat mencangkok sebagian dari "Tay-seng-ci-lao" ini sehingga ia cukup malang melintang menjagoi Kangouw. Tapi sejak kakek mojang meninggal pelajaran ini tidak diturunkan kepada gurunya, sekarang, Tay-seng-ci-lou ternyata muncul di tempat ini. Betapa ia takkan kejut dan heran. Sebelumnya ia tidak pernah perhatikan siapakah bibi Siau-hou itu tapi sekarang membuatnya was-was dan waspada, gedung besar ini kiranya juga menyembunyikan seorang tokoh aneh, semula ia menyangka dirinya bisa aman dan tentram sembunyi di tempat ini, ah sungguh menggelikan. Sebentar ia mem-balik-balik, airmukanya semakin pucat, cepat ia berkata dengan nada rendah, "Siau-hou! Kau tak boleh ambil buku ini, lekas kembalikan!" Baru saja suaranya lenyap, muncullah seorang gadis diambang pintu kamarnya, begitu Siauhou menoleh lantas berdiri dan berteriak, "Bibi!" Gadis itu tanpa buka bicara, cepat-cepat ia meraih buku Tay-seng-ci-lao itu lalu bergegas keluar lagi dengan terburu-buru. Gadis itu pergi datang begitu cepat, sehingga Thian-hi tak berhasil memperhatikan wajahnya, yang jelas ia mengenakan pakaian serba hijau mulus, perawakannya langsing menggiurkan, selain itu tiada apa yang dapat disimpulkan. Namun untuk sekilas saja cukup membuat jantung Thian-hi mendebur keras, diam-diam ia mengeluh celaka, kalau darinya pura-pura tidak tahu masih mending, tadi ia suruh Siau-hou mengembalikan, kalau ucapannya ini didengar oleh bibinya itu, wah, bukankah membongkar jejaknya sendiri. Sesaat kemudian baru pikirannya tenang kembali, dilihatnya Siau-hou masih menjublek diam, akhirnya ia angkat kepala berkata kepada Thian-hi, "Selamanya bibi belum pernah bersikap begitu kasar terhadap Siau-hou, buku itu telah direbutnya kembali." Hati Thian-hi semakin gelisah, lebih jelas lagi ucapan Siau-hou, bahwa bibinya itu tentu sudah mengetahui kedok aslinya. Pikir punya pikir akhirnya ia keluarkan serulingnya, katanya, "Kau ingin belajar meniup seruling" Tapi kau harus tahu, untuk meniup seruling sebelunnnya kau harus belajar teorinya dulu, dan untuk mempelajari teori ini kau harus belajar membaca pula, semakin pintar membaca, cara meniup serulingnya pun semakin bagus." Habis berkata ia angKat serulingnya, mulai meniup sebuah lagu kanak-kanak yang sangat popular di Kang-lam, yaitu lagu 'dendang jenaka', iramanya mengalun lincah dan merdu, sekian lama Siau-hou sampai terpesona mendengarkan. Mendadak Thian-hi menghentikan lagunya serta berkata, "Siau-hou kau suka lagu ini" Apa kau mau belajar" Saking girangnya Ma Siau-hou manggut-manggut sekuat tenaganya. Hun Thian-hi ada ganjalan hati, maka segera ia mengakhiri sampai disitu saja, katanya, "Untuk belajar meniup kau harus belajar membaca dulu hari ini cukup sekian saja. Besok boleh dimulai!" Ma Siau-hou lari pergi berloncatan, diam-diam ia berpikir, aku harus belajar lebih pandai meniup seruling dari guru. Thian-hi jadi tersenyum geli, tahu ia bahwa Siau-hou sekarang sudah punya kegemaran, apalagi sudah punya kepercayaan terhadap dirinya, mau dengar kata nasehatnya lagi. Entahlah apakah bibinya itu bakal membongkar rahasianya tidak. Duduk seorang diri di dalam kamar ia menjadi bebal dan gundah. Diam-diam terpikir oleh Thian-hi, "Orang macam apakah sebenar-benarnya bibi Siau-hou itu." Begitulah sampai lohor, keadaan masih tetap sunyi aman, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Thian-hi sendiri menjadi tidak sabar lagi segera keluar dari kamar bukunya terus berjalan keluar gedung. Maksudnya. hendak jalan-jalan dan melihat-lihat keadaan kota besar ini, tempo hari ia belum sempat menyaksikan keramaian kota seluruhnya. Para Centing banyak yang sudah mengenal dirinya, maka dengan leluasa ia dapat keluar gedung. Setelah berada diluar pintu gerbang Thian-hi. menyelusuri jalan be"ar Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terus berlenggang ke depan, dilihatnya didua sisi jalan semua adalah bangunan gedung besar dan mentereng, naganaganya jalan ini merupakan komplek perumahan para pejabat tinggi pemerintah setempat. Thian-hi berjalan terus sambil menikmati pemandangan beraneka warna dari bangunan gedung yang banyak ragam dan modelnya, tapi sebegitu banyak keadaan disini tidak ubahnya seperti keadaan kota2 besar di Tionggoan, boleh dikata tiada perbedaannya yang menyolok. Thian-hi berlenggang terus ke depan, dari depan sana berjalan pelan-pelan mendatangi seekor kuda putih yang ditunggangi seorang pemuda ganteng mengenakan jubah sutra yang serba perlente. Tangannya pelan-pelan mengayun dan mempermainkan pecut pendek, wajahnya berseri tawa riang gembira, mungkin hatinya sedang senang. Dimana kudanya lewat orang-orang yang berlalu lalang di jalan segera menyingkir memberi jalan, sedapat mungkin menyingkir jauh, seolah-olah ada sesuatu di atas pemuda itu yang menakutkan. Thian-hi sendiri menjadi heran, dengan seksama ia perhatikan Kongcu jubah sutra itu, wajahnya kelihatan tersenyum simpul, mulutnya bersiul-siul riang, entah kenapa orang itu menyingkir ketakutan. Sementara itu tunggangan Kongcu jubah sutra itu sudah mendekat, sekilas dilihatnya Hun Thian-hi berdiri di tengah jalan tiada niat menyingkir, kontan wajahnya cemberut dan kurang senang, segera ia menghentikan kudanya, baru Thian-hi tersentak sadar, tersipu-sipu ia menyingkir ke pinggir jalan, dalam hati ia membatin, "Sekali2 aku tidak boleh membuat keributan disini!" Kongcu itu tersenyum lagi, baru saja hendak tinggal pergi, mendadak dilihatnya sebatang seruling putih gading yang tergantung di pinggang Thian-hi itu, segera ia berseru, "Hai, berhenti, kemari kau!" Hun Thiah-hi melengak, tak tahu dimana ia telah membuat salah terhadap Kongcu ini, setelah membalik tubuh ia berdiri di tempatnya mengawasi Kongcu perlente itu. "Apa kau tidak kenal aku sebagai putra kesayangan dari Sianghu (istana) yang bernama Tan Goan-mo?" demikian tanya Kongcu itu uring-uringan. Hun Thian-ki kaget tersipu-sipu ia membungkuk sambil menyapa, "Kongcu! kau baik, entah untuk apa kau panggil aku?" Tan Goan-mo mendengus hidung, ujarnya, "Ternyata kau kenal aku juga, kenapa tadi tidak menyapa lebih dulu, apa aku dulu yang harus menyapa kepada kau?" Apa kerjamu disini." Thian-hi tidak ingin membuat perkara, segera ia minta maaf. Anggapannya dengan minta maaf tentu urusan menjadi beres, diluar tahunya bukan saja urusan selesai sampai disitu malah hampir saja merembet kepada Ma Bong-hwi. Sayang tadi ia tidak mengatakan bahwa dirinya sebagai guru sekolahan di gedung kediaman Ma-ciangkun, tentu selanjutnya tiada perkara apa lagi. "Baru sekarang kau minta maaf demikian jengek Tan Goan-mo, "Kau berani kurang ajar kepada aku, maka serahkan seruling di pinggangmu itu sebagai penebus dosamu." Thian-hi semakin tertegun bingung, sahutnya, "Mana boleh jadi!" Berubah air muka Tan Goan-mo, teriaknya, "Apa" Tidak boleh" Mari kau ikut aku ke gedung balai kota!" Diam-diam timbul hawa amarah Thian-hi, tapi setelah dipikir lebih lanjut segera ia berkata, "Tan-kongcu, seruling ini adalah tanda mata yang diberikan oleh seorang Cianpwe mana boleh diberikan kepada orang lain! Kalau Kongcu ingin memiliki seruling kelak tentu kucarikan sebatang yang lain yang lebih bagus lagi!" "Bedebah!" maki Tan Goan-mo dengan murka, "Tar!" cambuknya melecut mengenai dagu Thian-hi, Thian-hi menjadi gemas dan membatin; kenapa keluarga dari Sianghu begitu brutal dan bersimaharaja! Sementara itu pecut Tang Goan-mo sudah menyamber tiba lagi, cepat-cepat Thian-hi melangkah mundur menghindar. "Berani kau berkelit?" maki Tar Goan-mo lebih murka, lagi-lagi pecutnya terayun menghajar kepada Thian-hi. Sudah tentu Thian-hi tidak mau dihajar semena-mena, ia berhasil menghindar lagi. Keruan semakin berkobar amarah Tan Goan-mo. Dari sebelah belakang mendatangi pula seekor kuda, Tan Goan-mo segera berpaling dan berteriak, "Hoan Kim-pa! Mari kau bantu menghajar bocah kurangajar ini!" Waktu Thian-hi angkat kepala, dilihatnya pendatang ini adalah seorang laki-laki besar bermuka hitam mengenakan pakaian warna hijau, mendengar teriakan Tan Goan-mo segera ia melompat turun katanya kepada Tan Goan-mo, "Kongcu, siiakan kau lihat saja!" - sambil menenteng cambuknya yang besar dan panjang ia mendekati Thian-hi. Bercekat hati Thian-hi, kelihatannya laki-laki ini bukan orang biasa, agaknya membeka! kepandaian silat yang cukup lumajan, pakaiannya sederhana dan preman, mungkin bukan orang dari istana atau anggota Busu. Sambil menyeringai sadis Hoan Kim-pa mengayun cambuknya, Tar! Tar! langsung ia memecut ke arah Thian-hi. Sudah tentu Thian-hi tidak rela dihajar begitu saja, cepat ia mundur ke belakang dua langkah dengan pura-pura terhujung, untung bisa terhindar. Namun ayunan cambuk Hoan Kim-pa tidak berhenti, lagi-lagi ia melangkah maju, beruntung ia memecut lagi dua kali. Kedua serangan pecut terakhir ini sebetulnya sudah tak mungkin dihindari lagi. Betapa murka hati Thian-hi, namun terdesak oleh keadaan, apa boleh buat ia berusaha mundur lagi selangkah, ia berhasil menghindari pecutan pertama, sedang pecutan kedua dengan telak mengenai pundaknya, kontan bajunya sobek, pundaknya pun berdarah. Hampir Thianhi tak kuasa menahan gelora amarah hatinya, cara turun tangan Hoan Kim-pa ini sungguh sangat kejam dan keji, bila ada kesempatan pasti kubalas penasaran ini. Hoan Kim-pa menyeringai semakin kejam, ia mendesak lebih dekat lagi. Sekonyongkonyong terdengar suara kelintingan yang riuh dan congklang kuda yang ramai tengah mendatangi. Seketika berubah air muka Tan Goan-mo, cepat ia ulurkan tangannya, segera Hoan Kim-pa menurunkan cambuknya. Sebuah kereta kencana yang terukir indah ditarik enam ekor kuda putih berlari kencang mendatangi, yang mengendalikan kereta ternyata adalah seorang gadis rupawan berbaju merah, begitu cepat keretanya mendatangi, melihat keramaian ini segera ia berseru heran dan menghentikan kereta, meski dengan cekatan ia berhasil menghentikan kudanya tak urung kudanya sudah melampaui ke depan tiga tombak jauhnya, segera ia putar keretanya mendekat ke arah mereka bertiga. Tersipu-sipu Tan Goan-mo maju menyapa dengan hormat, "Tuan putri! apa kau baik?" Ganti berganti Tuan putri mengawasi mereka bertiga lalu bertanya kepada Tan Goan-mo, "Apa yang telah terjadi disini?" Tan Goan-mo tersenyum, sahutnya, "Orang ini punya sebatang seruling pualam semu merah, aku ingin membelinya untuk dipersembahkan kepada Tuan putri, tapi orang ini tidak mau menjual" Sementara itu, Hun Thian-hi juga sudah mengamati Tuan putri itu, matanya begitu bening dan jeli, sungguh seorang putri remaja yang cantik rupawan, begitu mahir ia mengendalikan keretanya, mungkin sudah biasa, demikian ia membatin. Di lain pihak Tuan putri juga tengah mengawasi Thian-hi, katanya kepada Goan-mo, "Jika dia tidak suka jual ya sudah, apa kau telah memukul dia?" Tan Goan-mo berpaling ke arah Thian-hi dengan mata mendelik gusar, lalu menjawab pertanyaan Tuan putri dengan tertawa, "Seruling pualam semu merah itu sungguh baik sekali, bukankah Tuan putri paling gemar warna merah. Maka aku ingin membelinya untuk Tuan putri." Mulut Tuan putri mengiakan dengan lirih, lalu berkata kepada Thian-hi, "Seruling pualam semu merah milikmu itu bolehkah kupinjam lihat sebentar?" Hun Thian-hi bersangsi sebentar, lalu menanggalkan serulingnya diangsurkan kepada Tuan putri. Dengan seksama Tuan putri perhatikan seruling itu, kelihatannya sangat ketarik, ia mendongak ke arah Thian-hi, melihat sikap Thian-hi yang wajar tiada maksud hendak berikan kepada dirinya, ia menjadi kecewa, apa boleh buat akhirnya ia kembalikan kepada Thian-hi. Dengan kedua tangannya Thian-hi menerima kembali serulingnya, Tuan putri lantas tanya pula, "Kau bisa memiliki seruling sebagus ini, tentu bukan sembarangan orang, dimana kau tinggal sekarang?" Sejenak beragu Thian-hi lantas menjawab, "Aku tinggal di gedung Ma-ciangkun." "Di gedung Ma-ciangkun?" tanya Tuan putri menegas. Thian-hi manggut-manggut. Dari belakang sana mendatang sepasukan pengawal yang mengenakan mantel serba merah. Tuan putri berpaling seraya berkata, "Aku harus segera pulang, kalian tidak perlu bertengkar lagi." Selesai berkata ia ayun pecutnya membedal kuda keretanya kencang-kencang. Rombongan pengawal merah itu segera mengejar di belakangnya. Dengan murka Tan Goan-mo pandang Hun Thian-hi, dengusnya dingin, "Kiranya warga dari Ma-ciangkun, tak heran berani bertingkah terhadap aku Tan Goan-mo!" - lalu ia ulapkan tangan bersama Hoan Kim-pa naik kuda tinggal pergi, kejap lain mereka sudah menghilang di pengkolan jalan. Setelah Tan Goan-mo tak kelihatan, Thian-hi masih berdiri menjublek, hatinya berpikir anggota keluarga dari Sianghu kenapa begitu telengas dan bertingkah kasar. Mungkin negeri ini tidak begitu makmur dan aman sentosa. Tapi entahlah Siangkok (perdana menteri) seorang baik atau orang jahat kejam. Hilang selera jalan-jalannya tadi, segera ia jalan pulang, ditengah jalan teringat pula akan bibi Siau-hou yang serba misterius itu, entah bagaimana keadaannya sekarang, sebetulnya orang macam apakah dia, Tay-seng-ci-lau kenapa bisa berada di tangannya. Demikian Thian-hi bertanya-tanya dalam hati. Sekembali Thian-hi di gedung Ma-ciangkun, sampai petang mendatang keadaan masih tetap tenang dan tiada terjadi apa-apa, lambat laun Thian-hi baru merasa tentram. Malam itu, ia mengulang lagi pelajarah Pan-yok-hian-kang. Hari kedua baru ia mulai ajarkan Siau-hou meniup seruling dan membaca buku. Sebagai murid tunggal Lam-siau, Lam-siau sebagai keturunan aliran kenamaan pula di daerah Kanglam, seluruh kepandaian sastra dan ilmu silatnya sudah diturunkan semua kepada Thian-hi. Untuk mengajar kepada Siau-hou adalah soal sepele bagi Thian-hi.... Apalagi Siau-hou sangat ketarik dan punya minat besar mempelajari Seruling, sudah tentu segala petunjuk dan nasehatnya dipatuhi. Sang waktu berjalan dengan cepat tanpa terasa, tahu-tahu tiga bulan sudah lewat, waktu pertama kali datang, beruntun terjadi dua perkara, sejak itu ia tidak berani keluar pintu lagi, dengan tekun ia memperdalam pelajaran Pan-yok-hian-kang. Agaknya kerjaan Ma Bong-hwi juga sangat banyak dan sibuk, jarang mereka bertemu muka. Selama itu belum pernah ada kesempatan ia melihat bibi Siau-hou, waktu yang cukup lama ini sudah mempererat hubungannya dengan Siau-hou semakin intim. Tiga bulan telah lewat, diam-diam Thian-hi berpikir; sudah tiga bulan aku mempelajari Pan-yokhian- kang, kalau sekarang aku mulai mempelajari Wi-thian-cit-ciat-sek, kukira tiada halangannya. Setelah hari menjadi gelap ia mulai mem-balik-balik buku pelajaran Wi-thian-citciat-sek. Dari jurus pertama secara seksama ia perhatikan ganti berganti sampai jurus ketujuh, setelah selesai diamdiam bercekat sanubarinya. Tiga bulan yang lalu waktu ia melihat ketujuh jurus itu kelihatannya serupa dan tiada perbedaannya, namun sekarang terasa jauh berlainan sama sekali. Ketujuh jurus ini hanya terpaut beberapa mili saja, namun di dalam pergerakan pedang yang hanya beberapa mili dalam waktu singkat itu, ternyata tersembunyi kekuatan yang luar biasa besarnya. Diam-diam kejut dan girang pula hatinya, dengan penuh perhatian ia menekuni dan mempelajari dengan hati-hati, namun sedemikian jauh ia masih kurang paham cara Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bagaimana ia harus menggunakan tenaga besar yang tersembunyi itu Begitulah dilihat lalu dipikir, dipikir dan diperiksa lagi dengan seksama, tanpa merasa ia habiskan waktu semalam suntuk tanpa membawa hasil. Malam kedua ia menyelami pelajaran Wi-thian-ci-ciat-sek lagi kira-kira sampai tengah malam, terasa sesuatu keganjilan olehnya, mendadak diluar diatap rumah sana ia mendengar lambaian ujung baju orang berjalan malam. Thian-hi terkejut, timbullah kewaspadaannya, cepat ia padamkan pelita dan menyimpan buku Wi-thian-cit-ciat-sek ke dalam bajunya, dengan tenang ia duduk menanti dan mendengarkan dengan cermat. Orang itu berjalan berputar-putar di atas genteng, tahu Thian-hi bahwa orang ini pasti bukan lewat jalan saja, terang sengaja sedang mencari tahu atau main selidik, entah siapa dan darimana dia bernyali besar berani meluruk ke gedung Panglima besar. sedikit mengempos napas ringan sekali Thian-hi melayang keluar dari jendela terus berkelebat sembunyi di bawah atap. Selepas pandangannya yang cukup tajam pada malam hari, kelihatan orang itu masih terpaut puluhan tombak disebelah sana, rupanya tidak begitu tegas, hanya kelihatan muka sampingnya mengenakan pakaian serba hitam legam, ia berdiri sekian lama, seolah-olah sedang berpikir apaapa. Diam Thian-hi membatin, "Sungguh besar nyali orang ini, di atas gedung Panglima besar masih berani berdiri main terang-terangan, seolah-olah sangat ceroboh dan takabur." Setelah berhenti sekian lamanya, orang itu berputar-putar lagi di atas genteng. Cepat Thian-hi mengkeret mepet tambok. Seperti tiada orang lain saja orang itu berkelebat melompat turun ditaman bunga, ternyata berdiri anteng tak bergerak lagi. Sejenak kemudian terdengar ia menghela napas panjang, naik ke atas genteng hendak tinggal pergi. Thian-hi masih ingat akan peringatan Ka-yap Cuncia ia tidak berani mengejar, baru saja ia hendak tinggal masuk kembali ke kamarnya, dari dalam rumah samping sana terdengar seseorang berkata, "Hai, kenapa tinggal pergi!" Jelas terdengar oleh Thian-hi bahwa itulah suara Ma Bong-hwi. Kejap lain tampak Ma Bong-hwi melompat naik ke atas genteng sambil menenteng pedang, pakaiannya ringkas, katanya kepada orang itu, "Kau sengaja kemari hendak bertemu mengapa mau pergi?" Orang itu pandang Ma Bong-hwi seraya bertanya, "Apakah aku berhadapan dengan Maciangkun?" "Benar-benar! Siapa kau" Ada urusan apa malam2 kemari?" demikian tanya Ma Bonghwi. "Aku yang rendah Hou Cong-ceng!" sahut orang itu, "Entah apakah Ciangkun masih ingat?" "0, kiranya kau!" sahut Ma-ciangkun. "Ma-ciangkun bertindak terlalu jujur dan tegas dalam segala urusan, sehingga menimbulkan sirik orang. Ada orang mengutus aku kemari untuk membunuh Ciangkun, untuk selanjutnya harap Ciangkun suka hati-hati, aku harus segera pulang." Diam-diam Thian-hi mengeluh kiranya orang memang sengaja hendak mengunjukkan jejak sendiri, namun sedemikian jauh dirinya tidak dapat mengetahui. "Nanti dulu!" terdengar Ma Bong-hwi menahan, "Coba kau beri keterangan lebih jelas!" Hou Cong-ceng rada sangsi, akhirnya berkata, "Maaf, aku tak bisa banyak bicara, dulu Ciangkun pernah tanam budi terhadap aku, maka aku tidak peduli keselamatan sendiri memberi kisikan kepada Ciangkun, bila diketahui orang lain, tentu jiwaku terancam bahaya, sekarang juga aku harus mengundurkan diri." Habis berkata terus berlari pergi. Ma Bong-hwi terlongong di atas genteng, sekian lama ia tidak bergerak, agaknya otaknya sedang diperas untuk memikirkan persoalan rumit ini, rada lama kemudian baru ia turun ke dalam taman dan berjalan masuk ke dalam rumah. Baru saja Thian-hi hendak kembali ke kamarnya, sekilas dilihatnya di para2 bunga sebelah kiri sana mendekam sebuah bayangan orang, bercepat hatinya, tadi Hou Cong-ceng bilang bahwa dia menyerempet bahaya kemari memberi kisikan, dan takut diketahui orang lain. Ternyata sejak tadi orang ini sudah mencuri dengar disitu, dengan seksama Thian-hi perhalikan orang itu, tampak pelan-pelan ia menggeremet keluar dari rumpun bunga Seruni hendak melarikan diri. Segera Thian-hi paham duduk perkara sebenar-benarnya. Insaf ia kalau orang ini sampai dapat lolos dengan selamat, pasti jiwa Hou Cong-ceng terancann bahaya, entah siapa yang mengutus dia menyelundup kemari. Thian-hi ingin bertindak, tapi tidak leluasa untuk mengunjukkan diri, akhirnya ia meremas pecah genteng menjadi sebuah batu kecil, dengan kedua jarinya menyelentik ringan mengarah belakang kepafa orang itu. Kontan terdengar orang itu berteriak kesakitan. Cepat Thian-hi kembali ke dalam kamarnya, terdengar suara Ma Bong-hwi berteriak, "Siapa!" Lalu disusul dengusannya lagi, "Lari kemana kau?" Terdengar senjata berdentang beradu, beberapa jurus kemudian terdengar pula orang itu menjerit. Tahu Thiau-hi bahwa orang itu sudah kena dibunuh oleh Ma Bong-hwi, dengan lega iapun berbaring untuk istirahat. Hari kedua air muka Ma Bong-hwi tampak kecut, begitu melihat Thian-hi. Siau-hou lantas mengoceh, katanya, "Guru! Semalann rumah kita kebobolan pencuri, apa kau tahu?" Thian-hi menggeleng pura-pura terperanjat, serunya, "Apa benar-benar?" Siau-hou, manggut-manggut dengan sungguh, katanya, "Kau tak tahu, orang itu adalah seorang anak buah ayah sendiri, tapi sudah dibunuh oleh ayah. Jikalau aku belum tidur, wah pasti hebat tontonan ini." Thian-hi tertawa-tawa, ujarnya, "Kau masih kecil, jangan turut campur urusan orang tua, lebih baik kau pelajari isi buku yang sangat bermanfaat ini!" Dengan lucu Siau-hou pandang Thian-hi, sambil tertawa cengar-cengir, lalu goyang2 kepala, seolah-olah ada banyak urusan jauh ia lebih tahu, dari Thian-hi, seumpama dituturkan belum tentu Thian-hi paham. Sudah tentu Thian-hi makfum akan maksud Siau-hou, namun iapun tak banyak bicara lagi, seperti biasa ia ajarkan Siau-hou meniup seruling dan membaca buku. Malam itu Hun Thian-hi mengulangi latihan Wi-thian-cit-ciat-sek, sedemikian jauh dapatlah diselami perbedaan dari ketujuh jurus permainan pedang, dengan pejamkan mata ia menepekur berusaha memecahkan inti rahasianya, setiap gerak perubahan ketujuh jurus ilmu pedang ini satu sama lain berbeda dan berlainan arah dan sasaran, tenaga yang dilontarkan pun juga berlainan, dengan tangannya ia bergerak-gerak menirukan dalam gambar, namun terasa kurang leluasa, lantas terpikir olehnya untuk mencoba dan mempraktekkan latihan ini dengan pedang sungguhan. Selain Badik buntung Thian-hi tidak membekal senjata tajam apapun, kecuali menggunakan serulingnya, namun di tempat sempit begini mana mungkin, bila sampai konangan orang lain dan dlketahui dirinya bisa main silat tentu berabe dan terbukalah kedoknya. Tapi intisari dan kehebatan dari ilmu pedang ini harus dipraktekkan atau harus latihan menggunakan pedang, baru bisa diselami. Akhirnya ia bangkit menyimpan Kiamboh Wi-thian-citciat- sek, lalu berjalan keluar ketaman, ia tahu di tempat sepi paling ujung belakang sana ada sebuah gunungan palsu, sebidang tanah datar di belakang gunung palsu inilah yang paling sepi dan tidak pernah diinjak kaki manusia. Secara diam-diam Thian-hi menuju kesana, setelah celingukan kesekitarnya dan jelas tak ada orang lain, hatinya rada lega dan gembira, namun hatinya. masih merasa kuatir, segera ia berjalan memutar memeriksa keadaan sekitarnya baru kembali lagi ke belakang gunungan palsu itu. Pelanpelan ditanggalkan serulingnya, segera ia pasang kuda-kuda dan mulai bergaja, namun terasa seruling di tangannya ini kurang cocok dipakai sebagai gaman pedang. Ia mengerut kening, batinnya, "Kenapa aku harus takut dan beragu menggunakan alat senjata, atau akan batal berlatih Wi-thian-cit-ciat-sek saja!' Kejap lain ia sudah menghimpun tenaga dan pusatkan semangat, tiba-tiba tubuhnya mencelat mumbul, tubuhnya berputar setengah lingkaran ditengah udara, dimana tangan kanannya bergerak jurus pertama dari Wi-thian-cit-ciat-sek mulai dikembangkan, waktu serulingnya menutuk keluar, segulung hawa tenaga semi merah kontan memberondong keluar dari batang seruling itu melesat ke depan, namun hanya sekejap mata saja lantas sirna. Sebetulnya Thian-hi bermaksud melanjutkan gerak susulannya, namun tenaganya sudah tak kuasa lagi menyambung, terpaksa ia meluncur turun ke tanah, duduk di atas gunungan palsu, ia berpikir dan menyelaminya dengan seksama. Tak lama kemudian ia mempraktekkan sekali lagi, begitulah secara tak mengenal lelah ia ulangi terus permainan jurus pertama ini sampai akhirnya ia paham sendiri dan dapat diapalkan diluar kepala., hatinya rada gembira, untuk gerak yang terakhir ia sudah berhasil mengendalikan tenaga kekuatan jurus pedang itu sesuka hatinya. Tatkala itu hari sudah mulai terang, terpaksa Hun Thian-hi menghentikan latihannya. Meski semalaman tidak tidur dan berlatih dengan capek lelah lagi, dasar latihan Panyok-hian-kangnya sudah kuat, pernah menelan buah ajaib lagi, maka Lwekangnya boleh dikata sudah sangat tinggi jarang tandingan, biasanya cukup cuma semadi beberapa waktu saja sudah cukup, dan tidak perlu tidur lagi. Setelah mendongak melihat cuaca, dengan memejamkan mata ia mengingat kembali permainan jurus pertama ini, untuk selanjutnya ia melatih Thian-liong-cit-sek, tak lupa ia berlatih juga Gin-ho-sam-sek yang diajarkan oleh Soat-san-su-gou itu. Gin-ho-sam-sek sekarang boleh dikata sudah mendarah daging, bisa dilancarkan sesuka hatinya secara mudah. Begitu pula Thianliong- cit-sek lebih apal lagi. Setelah langit semakin terang cepat-cepat Thian-hi kembali ke dalam kamarnya untuk istirahat. Keesokan harinya setelah pulang dari piket tampak air muka Ma Bong-hwi sangat murung, Hun Thian-hi menjadi curiga, namun tidak leluasa menanyakan karena persoalan pribadinya, apalagi dirinya berusaha menyembunyikan keadaan sebenar-benarnya, mana boleh banyak turut campur urus perkara orang lain. Dalam hati ia hanya menerka2 bahwa mungkin Ma Bong-hwi menghadapi urusan yang tidak menyenangkan hati. Pikir punya pikir, akhirnya Thian-hi berkeputusan untuk tinggal diam berpeluk tangan saja. Malamnya setelah duduk samadi berlatih Pan-yok-hian-kang, menjadi kebiasaan untuk hari2 selanjutnya ia mulai tenggelam dalam memikirkan pemecahan rahasia inti jurusjurus Wi-thjan-citciat- sek. Semalam suntuk ia bersusah payah tanpa hasil m mahami jurus kedua. Setelah makan pagi, seperti biasa Siau-hou datang belajar, namun kali ini tidak membawa Seruling besinya. Begitu masuk Siau-hou lantas berkata, "Pak guruku! ayahku panggil kau, ada urusan hendak dibicarakan dengan kau!" Hun Thian-hi rada melengak, selama ini Ma Bong-hwi belum pernah ajak dirinya bicara, sekarang diluar dugaan memanggil aku, entah ada urusan apa, menguntungkan atau merugikan dirinya. Ia berpikir sebentar lalu berkata kepada Siau-hou, "Siau-hou! Apa kau tahu untuk urusan apa?" Siau-hou menggeleng, katanya, "Aku tidak tahu.". Tapi segera ia merendahkan suara dan menambahi dengan sungguh-sungguh, "Tapi aku tahu, tentu soal yang sangat penting." Sangsi dan lebih curiga lagi Hun Thian-hi, sebetulnya untuk urusan penting apakah. Selamanya Ma Bong-hwi anggap dirinya sebagai penolong jiwa dirinya diluar dugaan hari ini dia sudi mencari dirinya, sungguh sulit diduga dan diraba juntrungnya. Akhirnya ia manggut-manggut, "Baiklah. segera aku datang!" Siau-hou segera berlari pergi. Setelah dipikir2 ia tidak bisa ambil kesimpulan positip, terpaksa ia beranjak keluar. Begitu tiba di ruang belakang, kelihatan Ma Bong-hwi sudah menanti disana, Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo begitu melihat Hun Thian-hi masuk segera ia bangkit berdiri seraya berkata tertawa, "Losu! Apa kau baik?" "Selamat pagi, Ma-ciangkun!" segera Thian-hi menyapa dan memberi hormat. "Maciangkun hari ini tidak keluar, entah untuk urusan apakah Ma-ciangkun mengundang aku?" ~Lahirnya ia berlaku tenang, tapi batinnya kebat-kebit, entah mengapa Ma Bong-hwi hari ini berlaku sangat sungkan dan ramah terhadap dirinya. Ma Bong-hwi tertawa kikuk serta berkata lembut, "Sudah tiga bulan Losu berada disini, selamanya Siau-hou sangat nakal tak mau dengar nasehat, berkat didikan Losu sekarang dia mau mendengar katamu. Sebagai seorang tua selamanya tidak pernah aku mengurusnya, terhadap Losu juga terlalu bebas tanpa sungkan-sungkan lagi." "Ah, ucapan Ma-ciangkun membuat aku menjadi risi, Ma-ciangkun adalah tuan penolongku, apalagi berkat Ma-ciangkun sudi menerima aku berteduh disini, sehingga aku tak terlantar, Hun Thian-hi sangat berterima kasih tak terhingga." sekilas matanya melirik, ternyata ruang besar ini menjadi begitu sunyi karena tiada orang lain, jelas para pelayan sudah diperintahkan mengundurkan diri semua, hal ini lebih mempertebal kecurigaan Thian-hi. "Ternyata Losu suka berkelakar." demikian ujar Ma Bong-hwi tertawa, "Akulah yang terlalu ceroboh, adik kandungku justru menyalahkan kelalaianku ini, selalu mengagulkan diri sebagai tuan penolongmu, sebetulnya.... ai!" Melonjak jantung Thian-hi, adik kandungnya (perempuan), bukankah berarti bibi Siau-hou. kalau begitu tentang dirinya bisa main silat sudah dapat diketahui olehnya" Terpikir sampai disini tanpa merasa keringat dingin telah membasahi sekujur badannya. Thian-hi menjadi tergagap tak bisa bicara, terang dia tak bisa menyangkal dan tidak bakal mengakui, kalau menyangkal bahwa dirinya bisa main silat, ucapan Ma Bong-hwi tadi tidak atau belum secara langsung ditujukan kepada dirinya, jelas malah akan memperlihatkan kedoknya sendiri, tapi kalau ia tidak bersuara berarti membenar-benarkan. Akhirnya Thian-hi buka suara dengan menyengir, "Ma-ciang-kun, aku tidak paham apa yang kau maksudkan." "Adikku pernah berkata, tidak seharusnya aku bersikap terlalu dingin terhadap kau. Apakah Losu sesalkan perbuatanku ini?" "Ucapan Ma-ciangkun terlalu berat untuk kuterima, sikap Ma-ciangkun sangat baik terhadapku. Hun Thian-hi merasa sangat berhutang budi dan entah kapan dapat membalas kebaikan ini." Ma Bong-hwi berkata, "Aku tengah dihadapi sebuah perkara yang sangat menyulitkan kedudukanku, adikku bilang supaya aku minta bantuan kepada Sian-seng, katanya kecuali Sianseng tiada orang lain yang bisa membereskan. Aku harap Siangseng suka bantu kepada kesukaranku ini." Berubah air muka Thian-hi, katanya, "Tenagaku pasti sangat terbatas, aku kuatir akan mengecewakan harapan Ciangkun belaka." - diam-diam ia mengeluh dalam hati, entah cara bagaimana ia harus mengambil sikap, kalau tahu bakal terjadi kejadian hari ini, lebih baik siangsiang aku tinggal pergi saja, soalnya ia terlalu kemaruk akan keselamatan diri sendiri sehing-ga sekarang sulit membebaskan diri dari pertanggungan jawab ini. "Selamanya adikku tidak bicara sembarangan, dia beritahu kepada aku bahwa Siangseng adalah seorang kosen yang menyembunyikan diri. Bila aku punya kesukaran selalu dialah yang bantu aku membereskan kesulitanku, setiap ucapannya selalu tepat tak pernah salah." "Ma-ciangkun terlalu memuji, Hun Thian-hi mana terhitung seorang tckoh aneh apa segala, ini betul-betul suatu hal yang menggelikan belaka" "Malam tempo hari bukankah Siangseng juga telah menanam budi kepada aku, jika tiada mendapat bantuan Sianseng tentu mata2 yang menyelundup itu tak bisa diringkus dan dibereskan." Mendengar lebih lanjut Thian-hi semakin menjublek ditempatnya, mulutnya terkancing rapat tak kuasa bicara lagi. Ternyata siang-siang jejaknya sudah dapat dilihat oleh orang, perbuatannya tempo hari menurut anggapannya sudah sangat tersembunyi, tak konangan juga. Kalau begitu perihal dirinya bisa main silat jelas sudah diketahui oleh mereka, entahlah waktu aku latihan ilmu pedang apakah juga sudah diintip oleh mereka. Thian-hi menjadi serba salah, tak tahu bagaimana ia harus bertindak, akhirnya ia berkata dengan hambar, "Ma-ciangkun! Apa katamu" Aku tidak mengerti!" Dengan kecewa Ma Bong-hwi pandang dia, akhirnya menghela napas rawan, ujarnya, "Apakah Sianseng betul-betul tidak sudi membantu?" Lambat laun Hun Thian-hi tertunduk, hatinya menjadi gundah, sepihak ia pernah mendapat pertolongan orang, sebagai seorang gagah apakah ia mandah saja melihat kesulitan orang, sungguh malu rasanya bila dirinya berpeluk tangan melihat orang ketimpa malang. Terdengar Ma Bong-hwi berkata lagi, "Adikku menyangka bila aku mau mohon bantuan, tentu Sian-seng suka membantu. Kukira dugaannya sekali ini meleset." Tersentak sanubari Thian-hi. Katanya, "Bila aku dapat, sekuat tenagaku aku suka membantu." Setelah memberi jawaban ini baru ia sadar, kenapa tadi aku selalu menghindari, sebetulnya Ma Bong-hwi mengalami kesukaran apa aku toh belum menanyakan jelas, bila sudah jelas duduk perkaranya, kan lebih gampang untuk menolaknya. "Apa betul!" Ma Bong-hwi berteriak kegirangan. Thian-hi manggut-manggut, tanyanya, "Mengenai soal apakah, harap Ma-ciangkun suka jelaskan." "Asal Siangseng suka membantu tanggung urusan ini bisa dibikin terang." demikian kata Ma Bong-hwi berseri tawa. Kedengarannya Ma Bong-hwi sudah anggap bahwa Thian-hi pasti mau membantu, keruan Thian-hi rada gugup, cepat ia menambahi, "Ma-ciangkun, tenagaku seorang sangat terbatas...." Baru sampai disini ucapannya, mendadak terdengar suara "tring" yang nyaring dari kamar sebelah, itulah suara petikan sinar harpa yang nyaring merdu, begitu mendengar suara petikan harpa ini seketika berubah air muka Thian-hi. Diam-diam Thian-hi mengeluh dalam hati, bibi Siau-hou itu pasti hendak menggunakan Tayseng- ci-lau (lagu sempurna abadi) untuk mendesak dirinya mengunjukan ilmu silatnya. Baru saja terkilas pikirannya ini, petikan gelombang suara harpa kedua sudah kedengaran lagi, kali ini lebih kuat, tajam dan melengking menusuk telinga, kontan melonjak hati Thian-hi. Thian-hi tengah mencari akal cara bagaimana baru dia bisa tidak mengunjukkan kepandaian silatnya, sebuah pikiran berkelebat secepat kilat dalam benaknya, hanya satu cara saja, meskipun hasil cara ini sangat minim terpaksa harus dicoba dulu. Segera ia menanggalkan serulingnya terus ditempelkan dibibirnya, dengan pejamkan mata ia mulai meniup serulingnya, tujuannya berusaha membendung gema suara harpa. Tapi Tay-seng-cilau merupakan buah karja seorang ahli yang sangat lihay, setiap petikan suara harpa mengetuk sanubarinya seperti dadanya dipukul godam. Apalagi dengan cara dari dalam keluar, bukan dari luar ke dalam yang rada mudah ditangkis. Lambat laun Thian-hi kepayahan akhirnya tak kuasa meniup serulingnya lagi, bila dia tidak membekal ilmu sakti macam Pan-yok-hiankang, mungkin sejak tadi jantung di hatinya sudah hancur lebur. Dengan putus asa Thian-hi pandang Ma Bong-hwi, kelihatan orang berdiri seenaknya sambil menggendong tangan, seperti menikmati musik yang mengasjikkan. Kongsun Hong guru Thian-hi pernah menuturkan, bahwa Tay-seng-ci-lau punya keanehan yang mujijad, dapat dilancarkan sesuka orang yang melagukan, tanpa dapat mengganggu atau memcelakai orang lain, namun kekuatannya sungguh luar biasa dan sulit dibayangkan. Tak kuat mendengar irama petikan harpa, terpaksa Thian-hi kerahkan Pan-yok-hiankang untuk melindungi jantungnya, segera ia duduk bersila dan samadi, seketika terasa irama harpa itu kena terusir dari dalam badannya, pikirannya yang kalut dan gundah tadi pun lantas tersapu bersih. Agaknya irama harpa juga tidak mau mengalah, beruntun ia merubah nada dan berganti lagu, mulailah lagu Sempurna abadi dikembangkan lebih lengkap. Tapi setelah Thian-hi berhasil samadi menggunakan Pan-yok-hian-kang, bukan saja tidak kena diganggu usik, malah dengan cermat ia bisa meng-ingat2 irama lagu Tay-seng-ci-lau yang hebat ini. Sambil mengingat lagu, diam-diam hatinya merasa heran, orang yang memetik harpa ini kelihatan tidak bisa ilmu silat, alangkah lucu dan anehnya, begitu pintar orang dapat mengetahui segala seluk beluknya, namun sedikit pun ia tidak bisa main silat, ini benarbenar aneh bin ajaib. Atau mungkin dia sengaja mengalah atau hendak memberi muka kepadanya" Atau sengaja ia hendak menyembunyikan kepandaian silatnya" Tay-seng-ci-lau merupakan lagu tiada taranya yang dapat mencabut jiwa hanya dalam lintasan petikan senar harpa saja, tapi orang ini tidak pandai silat, kejadian ini betapapun sangat mengejutkan. Tiba-tiba irama harpa berhenti. Thian-hi juga lantas menyedot hawa sejuk, Ma Bong-hwi segera maju menghampiri serta berkata, "Ternyata Sianseng benar-benar seorang tokoh aneh, aku biasa mengagulkan diri sebagai orang kosen, tapi sungguh diluar dugaan Sianseng adalah lebih kosen lagi. Begitu lama menyembunyikan diri di rumah kita tanpa diketahui." Dengan murung Thian-hi bangkit berdiri, secara tak sengaja ia sudah melanggar pantangan Kayap Cuncia. Jikalau.... bilamana berita beradanya ia disini sampai tersiar ke Tionggoan, mungkin sebuah tragedi yang menimbulkan banjir darah bakal terjadi. Bab 15 Melihat sikap murung Thian-hi Ma Bong-hwi menjadi heran. Dari kamar sebelah berjalan keluar seorang gadis, waktu Thian-hi angkat kepala seketika ia berdiri kesima, gadis ini begitu canck rupawan lagi, seumpama dibanddng dengan Ham Gwat juga tidak kalah ayunya. Kalau mimik wajah Ham Gwat selalu kaku dingin tanpa expresi sebaliknya gadis di depannya ini bermuka merah jengah laksana buah Tho yang sedang masak. Melihat Thian-hi memandang kesima pada dirinya, tersipu-sipu ia menunduk malu. Mendadak Thian-hi sadar akan sikapnya. yang kurang hormat, cepat-cepat ia menundukkan kepala. Ma Bong-hwi bergelak tawa, ganti berganti ia pandang mereka berdua, katanya, "Inilah adikku Ma Gwat-sian!" Gwat-sian berarti dewi bulan. Dengan tertawa malu-malu Ma Gwat-sian bersuara, "Laguku tadi tentu mengotori pendengaran Sianseng belaka." "Petikan harpa Ma-siocia mungkin tiada bandingannya dikolong langit ini," demikian puji Thianhi. "Sebagai orang biasa, dapat mendengar irama dewa sungguh bahagia selama hidup Pendekar Bloon 10 Pendekar Naga Putih 52 Penyembah Dewi Matahari Asmara Penggoda 2

Cari Blog Ini