Badik Buntung 6
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 6 menjadi tanggungan pikirannya, seolah-olah dia sangat prihatin terhadap seseorang yang berada dekat bersama Bu-bing Loni, apakah Siau Hong punya hubungan erat dengan beliau" Ong Ging-sia angkat kepala, tangannya terulur panjang, kelima jarinya terpentang lalu dirangkapkan, sebuah pentung besi sebesar lengan bocah disampingnya kontan patah menjadi dua teremas oleh jari-jarinya. Keuua biji matanya yang picak mengalirkan air mata, desisnya perlahan, "Jiam-in-ciangku sudah sempurna, tapi apakah gunanya?" Pelan-pelan Ong Ging-sia menarik napas, lalu berkata kepada Hun Thian-hi, "Peristiwa yang lampau sudah berlalu, aku pun tak perlu ungkat2 lagi. Perihal kau menelan buah ajaib, Hwesio jenaka ada membicarakan kepada aku. Setelah kau menelan buah itu kau tidak mengerahkan Lwekang untuk melancarkan khasiatnya sehingga sekarang terkumpul di Pek-hwehiatmu Kecuali menggunakan Sian-thian-ciang guna menembus dan menjebol seluruh urat nadi dan jalan darah di seluruh tubuhmu, sukarlah dapat dikembangkan manfaatnya. Sebetulnya Go-cu Taysu beranggapan, lebih baik kau sendiri yang membujarkan, tapi keadaanmu sekarang tidak mungkin terlaksana. Hwesio jenaka minta kepada aku, tapi sayang sekali tenaga Jianthian-ciang yang kulatih itu walaupun hampir mirip dengan Sian-thian-cin-gi, tapi aku hanya berlatih selama dua puluh tahun, baru rampung dan sempurna, aku kuatir kalau aku bantu kau bukan saja tidak membawa manfaat malah bakal mencelakai jiwamu!" Hun Thian-hi tercengang, pikirnya, "Rupanya begitu ajaib adalah buah pusaka laksana makanan dewa yang mengeram kekuatan luar biasa, kenapa begitu saja manfaatnya atas diriku?" Tiba-tiba Ong Ging-sia bertanya kepada Hun Thian-hi, "Bukankah gurumu itu Kongsun Hong adanya?" "Benar-benar! Tapi guruku sekarang telah mengusir aku dari perguruan." "Dulu Hwe-siang-ki malang melintang di dunia persilatan, selamanya tak ketemu tandingan, tapi Lam-siau dan Pak-kiam sesampai pada generasi tingkat gurumu menjadi melempem, terpaut jauh sekali. Bakat gurumu sangat terbatas, dengan kepandaian Thian-liong-chitsek dan Siau~impit- hiat, dulu kakek gurumu benar-benar merupakan tokoh kosen yang sangat disegani seKali. Tapi sekarang Lwekang gurumu terlalu cetek, satu sepersepuluh dari kemampuan kakek gurumu dulu saja tidak memadai. Demikian juga keadaanmu, Lwekangmu kurang kuat." Hun Thian-hi tunduk tanpa bicara, gurunya memang pernah membicarakan hal ini, soalnya karena dulu kakek guru meninggal terlalu pagi, dan gurunya sendiri adalah belajar tanpa guru menurut Pit-kip peninggalan keluarganya, sudah tentu hasilnya jauh dari harapan. Kata Ong Ging-sia pula, "Kau sudah kemari tiada sesuatu yang dapat kuberikan kepadamu, serulingmu sudah patah, sekarang tak punya senjata yang cocok, aku punya sebatang seruling gading, inilah senjata kepercayaanku dulu, dengan membekal seruling ini, berangkatlah ke Thiansan dan cari Hwi-king Lo-jin, dia adalah adik iparku. Dia akan membantu kau dengan Sian-thiancin- gi menembus urat nadi dan jalan darah di tubuhmu." - lalu diangsurkan kepada Thian-hi sebatang seruling warna putih mulus. Hun Thian-hi nyatakan terima kasih, lalu menerima pemberian seruling itu, tampak olehnya seruling ini begitu mulus warna putih bersemu ke-merah2an, seluruh batangnya diukir lima ekor burung Hong yang sangat indah seperti hidup. Kata Ong Ging-sia dengan tertawa getir, "Dulu sebelum ayahku ajal beliau memberikan seruling ini kepadaku, ayah sangat cinta kasih terhadap kami lima bersaudara. Bagi kami masing-masing didirikan bangunan berloteng yang diberi nama Ngo-hong-lau, seruling ini dinamakan Hwi-hongsiau (seruling burung hong terbang), merupakan pertanda kewibawaan dari majikan Ngohong-lau itu, diantara kami berlima, ayah paling sayang pada aku, maka peninggalan ini diberikan kepada aku!" Dengan rasa penuh eman Thian-hi mengelus seruling semu merah itu, hatinya merasa iba, terpikir olehnya bahwa Ong Ging-sia ini dulu waktu masih mudanya pasti seorang gadis remaja yang cantik jelita, namun sekarang....kejadian di dunia ini sungguh sukar diduga dan diraba, siapa bakal mengira wajahnya sekarang begitu jelek menakutkan. Terdengar Ong Ging-sia melanjutkan perlahan, "Bukan saja Bu-bing Loni berhasil memperoleh rahasia pelajaran Hui-sim-kiam-hoat, di suatu pulau di lautan timur iapun telah menemukan kemujijatan, dalam kolong langit ini mungkin tiada seorang pun yang dapat melawan dia. Kau sudah menelan buah ajaib, bila khasiatnya bisa menghasilkan manfaat yang fatal, Lwekangmu bakal tidak di bawah Bu-bing Loni. Kalian harus tahu sekarang Bu-bing Loni sudah bisa melebur Sibu- sin-kang ke dalam permainan pedangnya untuk melukai lawan. Kalau Hui-sim-kiamhoat dilandasi dengan Si-bu-sin-kang yang begitu kokoh dan kuat dasarnya, jurus terakhir yang berantai sebanyak tiga lintasan kilat pedang itu tiada seorang pun yang dapat menandingi." Hun Thian-hi merenung sebentar lalu bertanya, "Tiga jurus berantai yang hebat itu bagaimana kalau dibanding Wi-thian-chit-ciat-sek" orang kosen itu." Demikian pikirnya. "Dari penuturan Ang-hwat-lo-koay Wanpwe mendengar katanya Wi-thian-chit-ciat-sek telah muncul kembali. Sekarang berada ditangan Ka-yap Cuncia!" ~lalu ia ceritakan tipu daya yang direncanakan Ang-hwat-lo-koay secara jelas. Ong Ging-sia terpekur sesaat lamanya, katanya, "Aku sendiri belum pernah menyaksikan Withian- chit-ciat-sek itu. Tapi konon adalah Kiam-sut tingkat tertinggi dari Lwekeh. Tapi Hui-simkiam- hoat dari Bu-bing Loni itu aku pernah melihat. Dua puluh tahun sudah, tentu ilmu kepandaiannya itu lebih maju, lebih matang!" Hun Thian-hi menjadi kecewa, pikirnya, "Kalau begitu benar-benar tiada sesuatu ilmu yang dapat menandingi Hui-sim-kiam-hoat Bu-bing Loni itu?" Sesaat Ong Ging-sia termenung lagi baru bicara, "Tapi menurut hematku Wi-thianchit-ciat-sek merupakan ilmu kepandaian yang tiada taranya di dunia ini, mungkin bisa menandinginya. Tapi menurut Ang-hwat-lo-koay katanya berada ditangan Ka-yap Cuncia. Selama ratusan tahun masa kini Ka-yap Cuncia merupakan tokoh wahid nomor satu dalam Bulim, andaikata beliau masih hidup dalam dunia fana ini, tanpa Wi-thian-chit-ciat-sek juga tak perlu gentar menghadapi Bu-bing Loni lagi. Tapi meski beliau masih hidup, usianya pasti sudah melebihi seabad, entahlah apakah ucapan Ang-hwat-lo-koay itu dapat dipercaya?" "Kecuali Ka-yap Cuncia, apakah benar-benar di dunia ini tiada seorangpun yang mampu melawan Bu-bing Loni" Masa Go-cu Taysu juga tidak ungkulan?" Ong Ging-sia berpikir sebentar, katanya, "Sudah tentu Go-cu Taysu tak menang melawan Bubing. Namun secara kenyataan Bu-bing pun tak berani berhadapan dengan Go-cu. Seumpama seluruh tokoh-tokoh kosen persilatan berkumpul dan bergabung juga belum tentu mampu menyelamatkan diri dari serangan tiga jurus berantai ilmu pedang yang terakhir. Tapi Bu-bing Loni sendiri juga belum pernah mainkan ilmu hebatnya itu di hadapan orang, karena ketiga jurus itu sangat menguras tenaganya!" Dingin perasaan Thian-hi mendengar uraian Ong Ging-sia ini. Apakah benar-benar Hui-simkiam- hoat begitu hebat" Ong Ging-sia berkata lagi, "Sejak Ang-hwat-lo-koay menghilang, khalayak ramai menyangka dia sudah meninggal, para iblis yang lain juga menjadi mengkeret dan sama mengasingkan diri. Sekarang Ang-hwat-lo-koay telah muncul kembali, gelombang pertikaian dan huru hara di Bulim bakal lebih hebat dan situasi bakal semakin genting. Apalagi selama berapa tahun memencilkan diri tentu Ang-hwat-lo-koay sudah punya bekal kepandaian yang lebih hebat, sehingga sekarang dia berani bersimaharaja kembali!" "Jurus pencacat langit pelenyap bumi ciptaannya itu sudah bukan olah-olah lihaynya, kalau masih punya jurus jahat lainnya lagi, wah, dunia bakal tidak aman lagi!" demikian Thian-hi mengeluh dalam hati. Sementara Sam-kong Lama yang sejak tadi diam saja pun ikut bercekat, beberapa lama berselang dunia persilatan aman sentosa aan sejahtera. Gelagatnya dalam waktu mendatang yang tak lama ini bakal geger dan kemelut. Kata Ong Ging-sia sambil menghela napas, "Seumpama membekal Sin-kang tiada taranya, apa pula paedahnya bagi aku?" "Memang tidak mengherankan keluh kesahnya ini," demikian batin Thian-hi, "Siau Hong berada di samping Bu-bing Loni yang kejam ini, sembarang waktu dia bisa turunkan tangan jahatnya." Kata Ong Ging-sia kepada Thian-hi, "Sekarang berbagai golongan dan aliran di Tionggoan tengah menyelusuri jejakmu, berita adanya kau di Bu-la-si ini juga bakal cepat tersiar ke-manamana, meskipun kau disini tidak akan berhalangan dan berbahaya, Sam-kong Lama akan selalu melindungi kau. Namun. kaum Bulim dari Tionggoan itu pasti akan berdaya upaya dengan berbagai cara menuntut pada Sam-kong atas dirimu. Mungkin Ang-hwat-lo-koay yang penasaran itupun akan kemari membekuk kau. Maka sebelum berita ini tersebar luas lekaslekas kau tinggalkan Bu-la-si saja. Mereka takkan menduga, bukan tidak sembunyi di tempat aman kau malah menempuh perjalanan jauh menuju ke Thian-san. Segera kau harus berangkat, sebelum jejakmu konangan oleh mereka kau harus sudah berada di Thian-san, begitu sampai disana carilah Hwi-king-ouw (danau kaca terbang), jiwamu pasti selamat dan aman!" Hun Thian-hi mengiakan sambil membungkuk tubuh, jejaknya sudah konangan, bagaimana juga jangan sampai merembet pada Sam-kong Lama, apalagi sekarang sudah punya tujuan tertentu yaitu ke Thian-san, Kekaligus disana bisa tilik pada Sutouw Ci-ko. Setelah menghaturkan sembah sujud dan terima kasih, Thian-hi mengundurkan diri bersama Sam-kong Lama, dengan rasa berat Sam-kong menahannya satu hari lagi, baru hari kedua ia berangkat menunggang kudanya. Terpaksa ia balik memasuki daerah Tionggoan lalu belok ke arah barat terus menuju keutara. Begitulah tahu-tahu sudah tiga hari selama perjalanan tanpa menemui rintangan. Di atas kuda ia menerawang sepak terjang selanjutnya. Manakala dirinya belum lagi tiba di Thian-san ditengah jalan sudah kepergok oleh musuh bagaimana. Tengah Thian-hi berpikir2, tiba-tiba jauh di depan Sana terlihat sebuah bayangan punggung orang yang seperti sangat dikenalnya.... Girang hatinya lekas-lekas ia keprak kudanya membedal ke depan. Mendengar derap langkah kuda dibelakangnya orang itu memoleh, jelas sekali dia bukan lain, adalah Sutouw Ci-ko. Dia menunggang seekor kuda warna coklat, tengah berlarilari kecil ke arah depan. Sekejap saja Thian-hi sudah menyusul tiba, tanpa merasa mereka tertawa saling berpandangan, sesaat kemudian baru Sutouw Ci-ko buka suara, "Bagaimana kau ini" Bukankah kau menuju ke Bu-la-si" Disana tiada seorang pun yang berani mengganggu usik padamu, kenapa kau gelandangan disini?" "Tak nyana bisa jumpa dengan kau ditengah jalan," kata Hun Thian-hi tertawa, "Aku mendapat sebuah tugas dari seseorang untuk ke Thian-san mencari Hwi-king Lojin!" Sutouw Ci-ko kejut2 girang, serunya, "Kau mencari Hwi-king Lojin, sungguh kebetulan, Hwiking Lojin bersemajam bersama guruku, sama berdiam dipuncak utara Thian-san, mereka berdua yang satu tinggal ditimur danau yang lain disebelah barat. Untuk keperluan apa kau mencari beliau?" Thian-hi tertawa-tawa, setelah rada sangsi ia menjawab, "Ada sedikit keperluan akan minta bantuannya!" Lalu ia ceritakan pengalamannya di Bu-la-si kepada Sutouw Ci-ko. Sutouw Ci-ko menghirup hawa, ujarnya tersenyum, "Sungguh aku turut senang bagi kau!" Thian-hi merasakan hatinya menjadi hangat, pedang dikembalikan kepada Sutouw Ciko serta Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo katanya, "Pedang ini milikmu, sekarang aku sudah punya gaman, pedang ini lebih baik kukembalikan saja." Sutouw Ci-ko menatap tajam, akhirnya menjawab, "Untuk pedang ini kuterima kembali. Tapi kuda putih jangan kau kembalikan juga kepada aku!" Begitulah untuk selanjutnya mereka berkawan melanjutkan ke arah tujuan yang sama, sepanjang jalan ini riang gembira, hubungan mereka menjadi semakin kental. Sambil mendongak Sutouw Ci-ko berkata, "Sungguh aku kepingin punya adik semacam kau." Lalu ia berpaling memandang Thian-hi, tanyanya: Apakah kau suka punya cici macamku ini?" "Sudah tentu aku sangat senang," Thian-hi tersipu-sipu. "Kalau begitu selanjutnya kau jadi adikku saja ya?" Thain-hi manggut.... "Adik Thian-hi!" teriak Sutouw Ci-ko dengan riangnya. Thian-hi mengiakan. Kata Sutouw Ci-ko dengan berseri, "Setelah sampai dipadang rumput, akan kukenalkan kau kepada sahabatku disana, inilah adikku Hun Thian-hi, tentu mereka akan kagum dan ketarik pada kau!" Begitulah sambil bersendau gurau mereka maju terus. Sutouw Ci-ko dibesarkan di daerah padang rumput, tehnik menunggang kudanya jauh lebih pandai. Meski kuda yang ditunggangi Thian-hi kuda jempolan, dia harus kerahkan tenaga dan segala daya upayanya baru berhasil menyandak. Akhirnya mereka larikan kudanya berendeng dan pelan-pelan! Entah berapa lama sudah mereka tempuh perjalanan, sekonyong-konyong pandangan Sutouw Ci-ko terlongong melihat seseorang dikejauhan sana. Thian-hi berpaling ikut memandang kesana, jauh disebelah sana tampak seorang pemuda yang mengenakan pakaian perlente, menunggang kuda menghampiri ke arah mereka, kudanya berlari pelan-pelan. Berubah ai rmuka Sutouw Ci-ko, hilang seri tawanya, katanya kepada Hun Thian-hi. "Dia itulah Kim-i-kiam-khek adanya!' Sementara itu, tunggangan Kim-i-kiam-khek sudah mendekat, dengan berseri tawa ia berkata kepada Sutouw Ci-ko, "Sudah lama aku tak jumpa kau. Apakah kau baik-baik selama ini?" Lalu dengan lirikan ujung matanya ia pandang kepada Hun Thian-hi. Dengan seksama Thian-hi amat-amati Kim-i-kiam-khek ini, usianya kira-kira tujuh delapan likuran. Tapi dari apa yang pernah didengar dari penuturan SutoUw Ci-ko oran ini berhati culas, banyak tipu daya serta licik, sunguh sukar diraba. Dengan muka masam Sutouw Ci-to berpaling kepada Thian-hi, "Dik, mari kita jalan!" "Bocah ini adikmu?" tanya Kim-i-kiam-khek dengan nada heran, "Kenapa aku belum pernah dengar sebelum ini?"' Hun Thian-hi menjadi muak melihat tampang orang, dengan menyeringai dingin ia keprak kudanya, bersama Sutouw Ci-ko menerobos lewat ke depan. Kim-i-kiam-khek menjadi penasaran, cepat ia membalikkan kuda dan mengejar dengan kencang, begitu kejar mengejar, sekejap saja lima li sudah dilampaui. Mendadak Sutouw Ci-ko menarik tali kekang menghentikan kudanya, katanya berpaling kepada Kim-i-kiam-khek, "Kenapa kau mengejar aku terus?" Sudah lama kita tak berjumpa bukan." ujar Kim-i-kiam-khek dengan cengar-cengir. "Ada beberapa patah kata hendak kukatakan kepada kau! Apa boleh?" Semprot Sutouw Ci-ko gusar, "Kau punya mulut sendiri, siapa larang kau bicara!" Sorot mata Kim-i-kiam-khek beralih kepada Thian-hi katanya, "Apakah dia benarbenar adikmu?" Hun Thian-hi menggeram gusar, katanya kepada Kim-i-kiam-khek, "Apa-apaan maksud katamu ini?" Kim-i-kiam-khek tertawa sinis, katanya, "Kuduga hubungan kalian tidak terpaut sebagai kakak beradik saja bukan?" Membesi muka Sutouw Ci-ko, "sreng!" ia melolos keluar pedangnya. Kim-i-kiam-khek berkata dingin kepada Hun Thian-hi, "Kau bisa mengakui bukan?" Sutouw Ci-ko "menggerakkan pedang menyerang kepada Kim-i-kiam-khek. Lekas-lekas Kim-ikiam- khek menarik tali kekang berkelit kesamping. tanpa balas menyerang. Thian-hi berseru kepada Sutouw Ci-ko, "Ci-ko cici, kenapa kau ladeni orang gila ini?" - dia maklum Kim-i-kiam-khek memang sengaja memancing kemarahan dirinya, mungkin dia berniat turun tangan keji kepada dirinya. Berkilat sinar mata Kim-i~kiam-khek, mulutnya terpentang tertawa lebar tanpa bersuara. seakan-akan menantang, "Apakah kau berani?" "Apa kau tidak ingin tahu siapa aku sebenar-benarnya?" tanya Thian-hi dengan seringai sinis. Kim.i-kiam-khek tetap bungkam. Thian-hi berkata dingin, "Aku inilah Leng-bin.mosim Hun Thian-hi!" Terkejut Kim-i-kiam-khek, katanya bergelak tawa, "Apakah Hun Thian-hi itu menakutkan" Kau menyamar atau meminjam namanya?" Thian-hi menjadi geli hatinya, "aku menyamar Hun Thian-hi" Berita tentang nama, julukannya itu memang rada keteelaluan. jikalau dirinya benar-benar bermuka dingin berhati iblis, tanggung Kim-i-kiam-khek ini tidak bakal dapat hidup lebih lanjut. Thian-hi mandah mendengus saja. Kim-i-kiam-khek semakin men-jadi2, katanya kepada Sutouw Ci-ko, "Jutru karena urusan Leng-bin-mo-sim itulah maka aku turun dari Thian-san. Siapa nyana adikmu ini berani mencatut nama Leng-bin-mo-sim!" "Anggapmu dia palsu?" jengek Sutouw Ci-ko, sampai disini tiba-tiba ia terhenyak, terpikir olehnya bila orang benar-benar tahu kata-kata Thian-hi adalah benar-benar, bukankah bakal menimbulkan kesukaran malah. Maka segera ia keprak kudanya serta berseru pada Thian-hi, "Mari lanjutkan!" Sekilas itu Thian-hi melihat perubahan airmuka Sutouw Ci-ko, dasar cerdik iapun dapat meraba kemana juntrungannya. Tercekat hatinya, kenapa aku begitu ceroboh dan tak kuasa menahan sabar, kalau sampai jejak dirinya tersiar luas bukankah bakal berabe. Bergegas ia congklang kudanya cepat-cepat. Sekian saat Kim-i-kiam-khek terlongomg ditempatnya, tiba-tiba ia tersentak dari lamunannya, pikirnya, "Kenapa aku begitu lena. jelas sekali dia adalah Hun Thian-hi, sungguh menggelikan aku menyangka dia mencatut nama orang!" Ingin dia mengejar, tapi bila kecandak, mungkin Thian-hi bisa bunuh aku supaya tutup mulut, lantas terkilas pikiran lain dalam benaknya, "Kenapa mereka harus lari" Apakah di belakang ada orang mengejar?" Sementara itu, Thian-hi dan Sutouw Ci-ko sudah lari jauh, melihat Kim-i-kiamkhek tidak mengejar. mereka perlambat lari kudanya, kata Thian-hi kepada Sutouw Ci-ko, "Tadi hampir saja aku membunuhnya!" "Kau" Apakah kau benar-benar Leng-bin-mo-sim" Ilmu silatnya sangat tinggi, aku saja bukan tandingannya!" Thian-hi maklum orang tidak percaya, iapun mandah tertawa-tawar, ujarnya, "Dia mengatakan turun gunung karena aku, entah dia punya urusan apa dengan aku?" "Sekarang tentu dia tahu bahwa aku tidak menipu dia. Mari kita lekas jalan, sekarang tidak perlu kau urus kenapa dia mencari kau. yang penting kita harus segera tiba di Thian-san." Thian-hi juga maklum, seluruh kaum persilatan dikolong langit tengah mengubek2 jejaknya, apa pula urusannya selain mencari perkara pada dirinya. Beberapa hari kemudian, dengan jalan cepat tibalah mereka di daerah Ho-say dimana mereka sudah dekat disikitar Tun-hong. Sepanjang jalan ini mereka melihat banyak orang berlalu lalang dengan mengenakan pakaian ketat. Diam-diam timbul kewaspadaan mereka, mereka berjalan tergesa-gesa tanpa melirik pun juga, Thian-hi tak tahu kemana dan apa tujuan mereka. Mereka maju terus, tanpa terasa satu hari telah mereka lewatkan lagi, namun mereka insaf bahwa musuh2 tangguh sudah mengintip disekitar mereka, sulit dapat dipercaya begitu cepat mereka telah meluruk tiba. Di tempat duduknya Hun Thian-hi berkata kepada Sutouw Ci-ko, "Ci-ko cici, lebih baik kau lekas pergi saja, aku pikir...." "Thian-hi!" seru Sut0uw Ci-ko tertawa merengut, "Kau panggil aku cici, sudah seharusnya aku melindungi kau, mana mungkin aku tinggal pergi, apa kau sangka aku begitu penakut?" Thian-hi tertawa dibuat-buat. katanya, "Jumlah mereka terlalu banyak. kau disisiku menjadi serba sulit untuk bergerak." "Jadi kau anggap aku mengganggu kau malah?" "Ya, begitulah maksudku." "Kenapa kau gunakan alasan ini untuk mengelakkan diriku, bukankah lebih baik kita bersama" Kedatangan musuh tidak sedikit jumlahnya, tapi belum kelihatan ada seorang pun yang benarbenar seorang tokoh Kosen, takut apa?" "Memang tokoh kosen belum muncul, bila muncul sulit kami untuk melarikan diri." lalu secara mendadak ia bertanya, "Ci-ko cici, bagaimana kalau kau naik kuda putih ini memburu ke Thian-san minta bantuan?" Sutouw Ci-ko beragu sekian lama, akhirnya berkata tersenyum, "Untuk sampai di Thian-san pulang pergi memerlukan sepuluh hari, lebih baik kita terjang keluar saja, begitu memasuki gurun pasir disana adalah tanah tandus yang merupakan duniaku sendiri, padang rumput juga banyak terdapat sahabat karibku, setelah tiba disana tak perlu kuatir lagi. Kecuali mereka menggunakan kekerasan, mungkin air minum saja sulit didapat!" Hun Thian-hi menjadi melongo, pengetahuan Sutouw Ci-ko ternyata begitu luas. Terdengar Sutouw Ci-ko berkata lagi, "Mungkin kau kurang percaya, bila kami bisa menerjang keluar dari kepungan mereka, secepatnya kami bakal tiba di padang rumput, tatkala itu setelah menyaksikan sendiri terserah bila kau mau percaya." Mendengar penjelasan ini Thian-hi rada terhibur, pikirnya, para pengejar dari Tionggoan itu pasti belum sampai, untuk menjebol kepungan yang merintang di depan sekarang, agaknya tak begitu sukar, namun entah siapakah pimpinan mereka. Begitulah mereka terus melanjutkan ke depan, tak lama kemudian terlihatlah jejak musuh, setelah menuruni segugusan pasir, tampak di depan sana berjajar sebaris kuda-kuda kekar menghadang di tengah jalan, dipimpin oleh Kim-ikiam- khek sendiri. Setelah rada dekat Hun Thian-hi berdua menghentikan kudanya. Dari samping segera menerjang keluar dua penunggang kuda, mereka bukan lain adalah Yan-bun-siangeng, dengan tunggangan dikeprak kencang menerjang datang. Di empat penjuru serempak muncul sebarisan berkuda mengepung mereka berdua. Thian-hi memicingkan mata menerawang situasi sekelilingnya, sebelah belakang adalah Intiong- it-ho Ling-ce-cu dan Ling-it Loto. Sebelah samping sana adalah Im-hong-jiu Lim Bing dan seorang tua lagi. Musuh sudah memblokir jalan mundurnya pula, terdengar Kim-i-kiam-khek bergelak tawa, serunya, "Para sahabat yang hadir ini kukira banyak yang telah kau kenal. Hanya Jiang-si-cu dan Ngo-tok-jiu Lim Han, dialah saudara tua dari Im-hong-jiu! Sekarang mari kuperkenalkan!" Thian-hi menyapu pandang para pengepungnya, mereka tak lain adalah undangan Kimi-kiamkhek, dengan tawa tawar ia menyahut, "Sungguh tak nyana, orang macam aku ini juga menggegerkan sedemikian banyak dedongkot2 silat besar." . Kim-i-kiam-khek bergelak tawa, serunya, "Memang tidak kunyana Ling-bin-mo-sim yang menggetarkan jagad ini kiranya orang macam tampangmu ini. Aku kuatir kabar itu terlalu digedekan melampaui kenyataan." "Tak nyana Kim-i-kiam-khek macammu ini juga melebihi kenyataan begitu pengecut mengundang begini banyak orang untuk mengeroyok orang. Hm, mengotorkan mulut dan memerahkan kuping saja kalau dipersoalkan ." demikian sindir Sutouw Ci-ko. Dasar licik Kim-i-kiam-khek tetap tertawa tawa tanpa tersinggung kelihatannya, katanya, "Aku mendapat pesan orang lain, sudah tentu harus kulaksanakan sesuai dengan rencana, betapapun aku harus punya persiapan yang lengkap bukan!" Hun Thian-hi tersenyum ewa, meski banyak para pengepungnya, situasi yang lebih genting dan lebih besarpun sudah pernah dihadapi, walau ilmu silat mereka tidak rendah, namun bila dibanding dengan Bu-bing Loni, boleh dikata punya perbedaan antara langit dan bumi. Sebetulnya dalam hati ia sudah ambil putusan untuk menggunakan jurus pencacat Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo langit pelenyap bumi, bagaimana juga aku tidak rela mati secara konyol, dan yang terpenting jangan sampai Sutouw Ci-ko kena terlukakan atau cidera. Terdengar Yan-bun-siang-ing mendehem keras, lalu berkata kepada Hun Thian-hi, "Selamanya kami berdua anggap kau adalah murid Lam-siau Kongsun Hong, tak nyana ternyata kaupun punya sangkut paut erat dengan Ang-hwat-lo-koay." "Apakah kalian punya parmusuhan dengan Ang-hwat-lo-hoay?" tanya Thian-hi. Ciok Sing tertawa panjang dengan nada dingin. katanya, "Bukan hanya permusuhan saja!" Sementara itu Sutouw Ci-ko menjadi heran dan kebat-kebit melihat sikap Thian-hi yang adem ajam, apakah Thian-hi punya andalan yang dibanggakan untuk mengatasi mereka" Kenapa begitu wajar dan kelihatan tidak takut atau gentar sedikitpun. Jelas kusaksikan sendiri ilmu silatnya tidak lebih unggul dari Bun Cu-giok, kenapa sikapnya begitu takabur. Terdengar Hun Thian-hi berkata kepada Yan-bun-siang-ing, "Begitulah baik, jikalau kalian sudi percaya, belum lama ini baru saja aku berhasil lolos dari kejarannya...." Yan-bun-siang-ing saling pandang lalu mendengus menyatakan kurang percaya. Tanpa hiraukan mereka lagi Thian-hi berpaling menghadapi Lim Bing, katanya, "Tempo hari kita pernah jumpa sekali, kau mengejar dan ingin meringkus aku, akupun tak perlu banyak kata lagi. Tapi sekarang perlu kutandaskan dan kuberi nasehat kepada kalian berdua, kalau tiada permusuhkan dendam kesumat, silakan kalian menyingkir cepat-cepat." Ucapannya memang bermaksud baik, namun Lim Bing menjengek dingin, makinya, "Hun Thianhi kematian sudah di depan mata, masih berani kau bicara besar menghina orang." Sekarang giliran In-tiong-it-ho Ling-ce-cu, berkata Thian-hi kepadanya, "Kau dan aku sudah lama berkenalan. Hari ini sudah tentu kau takkan sudi mundur, akupun tidak akan melepasmu lagi." "Hun Thian-hi," sela Kim-i-kiam-khek tertawa, "Para hadirin disini kebanyakan pernah menyaksikan ilmu silatmu, sekarang giliranku untuk belajar kenal sampai dimana tingkat kepandaianmu!" "Satu lawan satu, atau kalian maju bersama?" tantang Thian-hi tersenyum. "Satu lawan satu dulu, kalau aku kalah terpaksa kau dikeroyok." "Begitupun baik, siapa diantara kalian yang maju lebih dulu." "Kami berdua yang menempur kau lebih dulu" Yan-bun-siang-ing tampil ke depan. Hun Thian-hi insaf bahwa Yan-bun-siang-ing sukar dilayani, tempo hari gurunya bersama Pedang utara berdua melawan mereka juga cuma lebih unggul sedikit, walau dirinya sudah menelan buah ajaib, sayang satu sepersepuluh dari khasiatnya saja tak dapat memperlihatkan perbawanya, untuk menghadapi keroyokan mereka berdua, betul-betul merupakan lawan tangguh. Dia termenung sebentar, sementara Yan-bun-siang-ing sudah mengeluarkan Yan-hapto, katanya, "Bagaimana" Kau takut?" Thian-hi tersenyum hambar, sahutnya, "Apa hanya kalian berdua saja" Kupikir lebih banyak orang lebih menyenangkan, terutama paling kusambut gembira tuan Kim-i-kiam-khek dan Intiong- it-ho berdua untuk tampil sekalian!" Melihat Thian-hi begitu rendah menilai mereka Ciok Sing menjadi naik pitam, dengan menggerung ia berseru, "Kami berdua saudara jauh lebih cukup, buat apa tambah orang!" Sembari kata gesit sekali mereka turun dari tunggangan, begitu menggerakkan senjata terus menyerbu kepada Thian-hi. Thian-hi lompat berkelit turun dari kuda pula, sebelum kakinya menyentuh tanah tahu-tahu tangannya sudah menggenggam seruling putih bersemu merah itu. Dalam hati ia membatin, "Betapapun aku harus nekad dan bertindak secepat mungkin. para pengejar dari Tionggoan mungkin saat ini sudah bikin geger di Bu-la-si, tak lama lagi bakal menyusul tiba, kalau dapat lolos dari kejaran mereka ini, begitu memasuki gurun pasir, selamatlah kami berdua!" Sementara ia berpikir Yan-bun-siang-ing sudah merangsak datang dari kiri kanan. Thian-hi mengegos menyingkir, dia insaf para musuh yang dihadapi merupakan tokoh kejam yang ingin mengambil jiwanya, kalau terpaksa akupun harus bertindak tegas bunuh mereka. Terlihat Seruling di tangannya berkelebat menangkis, bersama itu Yan-bun-siang-ing sudah lancarkan serangan gabungan gelombang ketiga. Dalam situasi yang mendesak begini terpaksa jurus pencacat langit pelenyap bumi untuk ketiga kalinya dikembangkan pula. Jurus pencacat langit pelenyap bumi ini sudah diakui sebagai ciptaan tunggal yang ganas dari Ang-hwat-lo-mo yang sudah diakui sebagai iblis nomor satu di kalangan persilatan masa kini. Begitu jurus ganas ini berkembang, tampak selarik sinar putih kemerahan melebar laksana bianglala dalam gelanggang, Thian-hi sendiri setiap melancarkan serangan ganas ini pasti tidak mampu menguasai diri sendiri. Di saat melompat berkelit tadi sekaligus ia sudah menyingkir jauh dari kadudukan Sutouw Ci-ko. Maka begitu melihat cahaya merah berkelebat, Yang bun-sian-ing berseru kejut, serempak mereka lompat mundur berusaha lari menyingkir, namun sudah terlambat tanpa mengeluarkan suara bersama mereka menggeletak di tanah, ditengah leher mereka jelas bertapak sebaris garis merah. Pelan-pelan Thian-hi membasut keringat di dahinya, dengan pandangan tajam ia sapu para pengepungnya, termasuk Sutouw Ci-ko semua mematung di tempatnya. Bergegas Thian-hi memburu maju menepuk Sutouw Ci-ko serta berseru, "Cici, mari lekas pergi!" Sutouw Ci-ko tersentak seperti sadar dari lamunan, begitu mengempit perut kuda bersama mereka congklangkan ke depan. Kim-i-kiam-khek sendiri juga terlongong di tempatnya, betapa tenar dan tinggi kepandaian Yanbun- siang-ing, masa dalam segebrak saja mati ditangan Hun Thian-hi, walaupun mereka sadar, tapi siapa pula yang berani mengantar nyawa sendiri secara konyol. Sementara itu, dengan larikan kudanya berendeng Thian-hi menjadi semakin gelisah. Yan-bun-siang-ing pendekar angkatan muda yang menjulang namanya, tiada punya permusuhan yang mengikat, namun kenyataan sudah mati di bawah serulingnya. Malah Sutouw Ci-ko yang membuka kesunyian, katanya tertawa, "Kenapa kau" Begitu gelisah dan murung kelihatannya. Sebetulnya kalau kau tidak turun tangan ganas, mereka bakal bunuh kau." Thian-hi tertawa dibuat-buat, sahutnya, "Tapi mereka tak punya dendam permusuhan dengan aku. Seharusnya aku hanya memberi hajaran setimpal saja kepada mereka, tapi aku tak kuasa." "Soal itu tak perlu diperbincangkan lagi, yang terang sekarang kita sudah berhasil menjebol rintangan pertama. Depan sana tanpa rintangan lagi, setelah lewat Giok-bun-koan tanah nan luas itu adalah duniaku sendiri." Thian-hi berdaya untuk melegakan hati, katanya, "Sungguh aku kagum dan ketarik sekali, sejak kecil sudah hidup bebas dan berderap di padang pasir nan luas segar." "Apa benar-benar" Kalau begitu lekaslah jalan lebih cepat lebih baik." Bersama mereka pecut kuda lalu membedal bagai terbang ke depan. Hari kedua hampir magrib mereka sudah tiba di luar perbatasan Giok-bun-koan, dari jauh pintu gerbang sudah kelihatan. Thian-hi menjadi girang, tempat yang dituju sekarang sudah tiba, masa depan bakal langgeng tanpa mengalami berbagai kesukaran. Tengah ia berpikir2, Sutouw Ci-ko berkata, "Lekas! Dik! Mari berlomba, siapa lebih dulu sampai disana!" tanpa menanti jawaban ia keprak kudanya lebih dulu. Sudah tentu Thian-hi tak mau ketinggalan, cepat iapun congklang kudanya memburu dengan kencang. Waktu hampir sampai di pintu gerbang ia berhasil mengejar Sutouw Ci-ko, mereka lari jajar, baru saja hampir menerobos lewat pintu gerbang, sekonyong-konyong sesosok bayangan abu-abu meluncur turun dari tengah udara, segelombang angin pukulan telapak tangan seketika menyurut mundurkan Thian-hi dan tunggangannya. Menegak alis Hun Thian-hi, amarahnya berkobar gesit sekali ia mengendalikan tunggangannya lalu memandang ke depan, kiranya adalah Jan-teng Lo-jin. Dalam pada itu Sutouw Ci-ko sudah membedal lewat pintu gerbang Giok-bun-koan, tiba-tiba ia tidak dengar Thian-hi mengejar datang, dengan kaget ia berpaling dan menarik tali kekangnya, tunggangannya berdiri dengan kedua kaki belakang dan bebenger panjang, sedikit gunakan tenaga ia putar haluan kudanya membalik. Tampak Bun Thian-hi tengah dirintangi seseorang disana, cepat ia memburu balik. Setelah dekat terlihat Thian-hi tetap duduk di atas kuda sedang berhadapan dengan seorang tua ubanan, orang tua itu pejamkan mata dan duduk bersila di tanah. Hun Thian-hi terlongong ditempatnya, cepat ia mendekat dan bertanya, "Dik! Siapakah orang ini" Dia menghalangi kau!" "Beliau adalah Jan-teng Lojin! Dia...." Pelan-pelan situa Pelita membuka mata, katanya, "Hun Thian-hi, janjimu terhadapku tempo hari kau buang kemana lagi"' Tersipu-sipu Thian-hi melompat turun terus menyembah, sahutnya, "Cianpwe, Wanpwe terdesak oleh keadaan, terpaksa harus kulakukan!" "Tempo hari siapa yang bantu kau meloloskan diri dari kepungan?" jengek situa Pelita, Anghwat- lo-koay bukan?" Hun Thian-hi manggut-manggut dengan hambar, ia insaf bawa hari ini dirinya bakal menemui kesukaran lagi. Mengandal tenaga pukulan situa Pelita tadi, jelas dirinya bukan tandingan. Dengan murka situa Pelita mendengus, serunya, "Sebetulnya aku masih menaruh setitik harapan kepadamu, tapi sekarang aku jadi menyesal kenapa tempo hari aku tidak beri hukuman mati saja. sehingga dalam Bulim terjadi gelombang huru hara yang berkepanjangan!" Hun Thian-hi terbungkam. Dari samping Sutouw Ci-ko menyela bicara, "Lo-cianpwe, kabar angin di Kangouw tidak boleh dipercaya!" Tanpa melirik terhadap Sutouw Ci-ko, situa Pelita berkata kepada Hun Thian-hi, "Dulu melihat kau mengalami bencana, bermusuhan lagi dengan Bu-bing Loni, aku menaruh kasihan dan sayang akan bakat dan kepintaranmu, baru kuberi petunjuk sebuah jalan penerangan, sekarang...." ia berhenti sejenak lalu meianjutkan, "Dulu aku kebacut melepas budi kepada kau, maka hari ini akupun tidak sudi memukulmu mampus, cepat kau kembali! Tidak kuijinkan kau keluar dari Giokbun- koan!" Bagai mendengar guntur dipinggir telinga Hun Thian-hi tersentak kaget dan menjublek ditempatnya. Sutouw Ci-to juga tertegun. sejak mula ia tidak senang melihat sikap situa Pelita yang begitu sombong, ia berteriak dengan keras, "Itu tidak mungkin!" Hun Thian-hi menghirup hawa, dia pandang Sutouw Ci-ko memberi tanda supaya ia tidak banyak bicara, ia menyembah lagi serta berkata kepada situa Pelita: Cianpwe, Hun Thian-hi memikul dosa yang pantas dihukum mati. Tapi Cianpwe harus beri kesempatan kepadaku untuk mencuci bersih nama baikku. Aku percaya dosa Hun Thian-hi belum setimpal sampai harus dihukuan mati, Bila Cianpwe bijaksana. harap memberi jalan kepada Wanpwe." Situa Pelita mendelikkan matanya, makinya, "Dosa2mu pantas aku melenyapkan jiwamu, Keputusan sudah kuambil tidak mungkin digugat lagi!" Hun Thian-hi tertawa tawar, pelan-pelan ia bangkit serta katanya, "Selama hidup ini baru sekarang Hun Thian-hi minta2 kepada orang, soalnya sakit hati keluarga belum terbalas, tuduhan2 penasaran belum kuhimpas...." sampai disini ia merandek, ia tahu bila dia tak boleh keluar dari Giok-bun-koan, jelas Sutouw Ci-to juga pasti tak mau tinggal pergi begitu saja. Tiba-tiba ia tertawa melolong, serunya, "Cianpwe, jiwa Hun Thian-hi tidak perlu dibuat sayang. Aku tahu bila aku kembali kaum Bulim di Tionggoan pasti tidak mau melepas aku. Tapi Sutouw-cici tidak seharusnya ikut kerembet dalam persoalan ini, Cianpwe harus memberi ijin supaya aku dapat mengantarnya keluar Giok-bun-koan, sampai di Thian-san!" Situa Pelita merenung sesaat lamanya. sahutnya dingin, "Kalau mau pergi dia bisa jalan sendiri, aku tidak sudi banyak usil!" Sutouw Ci-ko tertawa kepada Hun Thian-hi. katanya, "Dik, kita senasib Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sepenanggungan. meski bukan saudara sekandung. namun hubungan kami lebih erat lebih kental, kalau kau tidak bisa keluar, aku pun takkan tinggalkan kau, kenapa kau minta2 kepada orang!" Sekonyong-konyong berkobar hawa amarah dirongga dada Hun Thian-hi, kalau dirinya tidak bisa keluar pasti Sutouw Ci-ko bakal ikut berkorban karena dirinya, dengan murka ia berkata pada Situa Pelita, "Masa kau tidak punya perikemanusiaan?" "Perikemanusiaan?" teriak Situa Pelita, matanya berkilat-kilat, "Ang-hwat-lokoay bunuh tujuh puluh lebih anggota keluargaku. dimana perikemanusiaannya?" Hun Thian-hi menggerung gusar, seutas sinar merah melayang ditengah udara, seruling ditangannya mendadak meluncur menutuk ditengah alis Situa Pelita. Situa Pelita terloroh-loroh dingin, tubuhnya melejit terbang berputar diudara. sebat sekali ia ulur tangan kanan, cukup dengan gerak ulur odot tangannya itu, ia sudah mendesak mundur Hun Thian-hi. Hun Thian-hi maju menyerang lagi dengan sengit, seluruh tenaga dikerahkan untuk melancarkan Thian-liong-cit-sek. laksana seekor naga terbang menari tubuhnya juga melejit mumbul ke atas, seruling ditangannya laksana ular hidup merangsak dengan gencar. Tapi dengan unjuk tawa dingin, kedua tangan situa Pelita ditarikkan rapat, tenaga pukulannya cukup menggetar mundur Hun Thian-hi lagi. Urusan sudah sedemikian lanjut, tanpa banyak pertimbangan lagi segera Sutouw Ciko melolos pedang iknut menyerang kepada situa Pelita. Situa Pelita menggertak keras, kedua tangannya melintang terus didorong ke depan, segelombang angin topan bagai hujan badai menerpa ke arah mereka berdua, kontan mereka terdesak mundur sempoyongan tiga tombak jauhnya. Hun Thian-hi berteriak, "Cianpwe, apa kau harus membiarkan Wanpwe tenggelam dalam tuduhan penasaran ini?" Situa Pelita tidak menjawab. "Dik," ujar Sutouw Ci-ko, buat apa kau banyak bacot terhadapnya, kalau tidak bisa terjang keluar, pasrah nasib saja." Hun Thian-hi terpekur di tempatnya, rada lama kemudian baru mengutik kepala berkata pada Sutouw Ci-ko, "Ci-ko cici, kau keluar seorang diri dari Giok-bun-koan, aku pasti berusaha untuk menyusul kau!" Sutouw Ci-ko tertawa-ewa, sahutnya menggeleng, "Apa-apaan katamu ini, tidak bisa!" "Cici," ujar Thian-hi rawan sambil menunduk, "Inilah sebuah permintaanku pada akhir hidup ini, masa kau tak sudi melulusi permohonanku ini?" "Tidak," sahut Sutouw Ci-ko tersenyum hambar, "urusan lain boleh dipertimbangkan, soal ini tidak tawar menawar lagi." Thian-hi menghela napas, ujarnya, "Beliau pernah tanam budi kepada aku." "Tapi, mari kita coba sekali lagi!" ajak Sutuow Ci-ko sambil tersenyum. Tegang hati Thian-hi, katanya, "Baiklah akan kucoba sekuat tenaga, harap Cici mundur rada jauh!" Setelah Sutouw Ci-ko mundur, Thian-ki mulai mengerahkan tenaga mengempos semangat, seluruh kekuatannya dipusatkan pada seruling ditangan kanan, dimana ia bergerak untuk kesekian kalinya ia lancarkan jurus Pencacat langit pelenyap bumi. Cahaya merah dadu berkembang melebur udara terus menerjang ke arah situa Pelita. Situa Pelita bergelak tawa dengan murkanya, seenteng asap tubuhnya melejit tinggi mengembangkan Ginkangnya yang tinggi tanpa kurang suatu apapun diantara gubatan cahaya merah dadu itu. Ditengah gelak tawanya, tiba-tiba ia menukik menerkam dengan rangsekan hebat. Thian-ki terkejut, serulingnya menggetar hebat melancarkan salah satu jurus dari Gin-hosam-sek yang terakhir, Tam-lian-hun-in-hap yang ampuh dan rapat, sembari membela diri ia balas menyerang akan rangsekan Situa Pelita yang lihay ini. Tapi dasar kepandaian terpaut terlalu jauh, betapa pun Thian-hi sudah kembangkan kemampuannya, tahu-tahu ia merasa pergelangan tangan kesemutan, seruling ditangannya sudah terampas oleh situa Pelita, bukan sampai disitu saja sepak terjang situa Pelita, dengan seruling rampasannya ia menutuk ke jalan darah Hou-ciat-hiat Thian-hi. Thian-hi tahu dirinya takkan luput dari kematian, dalam detik-detik menentukan itu ia sudah pejamkan mata saja menanti ajal. Tapi serambut sebelum seruling ditangannya mengenai sasarannya mendadak situa Pelita membatalkan niatnya. Dengan jumpalitan ia melesat mundur, dengan seksama ia amati seruling di tangannya, lalu katanya sambil membuang seruling ke arah Hun Thian-hi, "Sebetulnya siapapun yang berani menggunakan jurus Pencacat langit pelenyap bumi atas diriku harus kubunuh. Kali ini kau menggembol Hwi-hong-siau, mungkin kau punya hubungan erat dengan majikan Ngohong-lau, memandang muka beliau kuampuni jiwamu. Selanjutnya awas kalau kau berani menggunakan jurus ganas ini, takkan kuberi ampun lagi!" Hun Thian-hi menjemput kembali serulingnya lalu berdiri menjublek. "Thian-hi, apa kau takut mati?" tanya Sutouw Ci-ko sesaat kemudian. Dengan tertawa sombong Thian-hi menjawab, "Mana aku takut mati!" "Lalu kenapa sikapmu begitu bimbang. Kalau tidak bisa keluar Giok-bun-koan, mari kita terjang balik ke Tionggoan, seumpama mati harus secara gemilang!" Sungguh haru perasaan Thian-hi, dengan tertawa rawan ia berkata kepada Situa Pelita, "Dulu kau tanam budi kepadaku, kebaikanmu itu takkan kulupakan. Tapi peristiwa hari ini bilamana Hun Thian-hi masih tetap hidup, akan datang suatu ketika bakal menuntut balas." ~setelah berkata bersama Sutouw Ci-ko ia putar balik menunggang kuda. Dengan murung Situa Pelita angkat kepala memandang punggung mereka semakin jauh. Hatinya mulai menyesal, namun pikiran lain lantas menghibur sanubarinya, dengan putar balik ini cepat atau lambat mereka bakal menempuh jalan kematian. Tetapi gadis yang bernama Ci-ko itu, membuat hatinya kurang tentram. Sepanjang jalan ini Thian-hi berdua tidak banyak bercakap lagi, entah berapa jauh sudah mereka tempuh, akhirnya Sutouw Ci-ko membuka kesunyian, "Thian-hi! Kau memikul dendam kesumat keluarga, betapapun harus tetap hidup, kalau kau dapat hidup terus, seumpama aku harus berkorban juga rela." Tergugah perasaan Thian-hi, katanya tertawa: Cici, kenapa kau berkata begitu, bila kau mati, aku pun tak ingin hidup sebatangkara." Sutouw Ci-ko tertawa hambar tanpa bicara, tiba-tiba mukanya berubah tegang memandang ke depan. Tampak di depan sana mendatangi serombongan penunggang kuda, itulah rombongan Kim-i-kian-khek. Begitu melihat mereka berdua Kim-i-kiam-khek dan lain-lain, menjadi melongo di tempat duduknya. Thian-hi hanya mendengus saja, bersama Sutouw Ci-ko mereka maju lebih lanjut. Setelah dekat, berubah air muka Kim-i-kiam-khek, seringainya sinis, "Sungguh besar nyali kalian.... Seluruh tokoh kosen dari Tionggoan sudah memburu tiba, kalian berani putar balik." "Siapa diantar kalian yang berani maju!" demikian tantang Hun Thian-hi. Tiada seorang pun yang berani tampil ke depan. Sudah tentu siapa yang berani mengantar jiwa secara konyol di bawah serangan ganas Thian-hi. Bab 12 Thian-hi dan Sutouw Ci-ko bersama mengeprak kuda menerjang maju. Kim-i-kiam-khek dan lain-lain lekas-lekas menyingkir kesamping memberi jalan. Dengan menyeringai dingin Hun Thianhi berdua menerobos lewat dari rombongan mereka terus membedal ke arah timur. Memandang punggung Thian-hi berdua, Kim-i-kiam-khek menjengek dingin, "Mereka menuju ke timur hanya mengantar kematian belaka. Tak perlu kita banyak capek lagi." Kira-kira satu hari sudah lewat, Thian-hi terus menuju ketimur, kini mereka sudah memasuki daerah Tunyiong. Tiba-tiba tampak dua penunggang kuda mencoklang mendatangi dengan cepat. Dengan ketajaman mata Thian-hi. dari jauh ia sudah melihat jelas kedua orang ini mengenakan seragam putih. jelas adalah anak buah Partai Putih. Setelah dekat begitu melihat Thian-hi berdua, kedua orarg itu lantas menghentikan kudanya setelah saling pandang lantas maju bertanya kepada Hun Thian-hi, "Tuan ini apakah Hun Thian-hi Hun-tayhiap adanya?" "Benar-benar!" sahut Thian-hi lantang. Ia tahu bahwa rombongan kaum persilatan Tionggoan yang mengejar sudah tiba. "Pangcu kami ingin bertemu dengan kau," demikian salah seorang itu berkata, "Beliau memberi perintah bila bertemu dengan Hun-tayhiap, supaya mengatakan sebagai pendekar yang menggetarkan Bulim, bila tidak takut supaya tak usah lari lagi, sebentar beliau bakal sampai.' Thian-hi mandah tersenyum simpul, ujarnya, "Bun-pangcu akan tiba" Memang kami hendak menuju ke Tionggoan kalian boleh pulang dulu, laporkan pada Bun-pangcu bahwa kami segera datang!" Kedua orang merasa diluar dugaan, sekilas mereka pandang Hun Thian-hi dengan pandangan ragu dan bimbang, seolah-olah mereka curiga bahwa orang yang dihadapi ini bukan Hun Thian-hi. Melihat sikap mereka Hun Thiar-hi tersenyum geli. serunya, "Tidak akan salah, akulah Hun Thianhi adanya!" Bersama kedua orang itu merangkap tangan menjura lalu lari balik. Hun Thian-hi pandang Sutouw Ci-ko. mereka larikan kudanya pelan-pelan, ia insaf bahwa pertempuran mati hidup yang bakal menimbulkan banjir darah segera akan terjadi. mereka maklum lawan terlalu berat betapapun diri sendiri bukan tardingan mereka. Kira-kira setengah jam kemudian, tampak dikejauhan sana debu mengepul tinggi terbawa angin, serombongan orag berkuda tengah mendatangi dengan cepat, Berkilat biji mata Hun Thian-hi, betapapun ia tidak bisa menghilangkan rasa sesal dan terima kasihnya kepada Sutouw Ci-ko. Pelan-pelan ia menunduk. diam-diam ia berdoa kepada Thian yang maha kuasa supaya menolong jiwa Sutouw Ci-ko. Tak lama kemudian derap kaki kuda semakin riuh mendatangi, debu membumbung memenuhi angkasa.... Waktu Hun Thian-hi angkat kepala, puluhan muka yang sangat dikenalnya sudah berjajar dihadapannya. Terutama Bun Cu-giok yang paling dikenalnya, disampingnya bercokol seorang padri tua. Mata padri tua ini meram melek memancarkan sorot berkilau, wajahnya halus welas asih namun mengandung wibawa. Kelihatan Ci-hay berada dibelakangnya. Selayang pandang lantas Hun Thian-hi tahu bahwa padri tua yang dihadapi ini pasti adalah Siau-lim Ciangbunjin Te-ciat Taysu. Te-ciat Taysu meng-amat-amati Hun Thian-hi sebentar, lalu berkata, "Pihak Siaulim-pay kita selamanya tidak ikut mengurus pertikaian Bulim, tapi kali ini terpaksa sebagai Siau-lim-pay Ciangbunjin aku harus turun gunung sendiri, mengundang dan mengumpulkan para kawan pendekar untuk menghalau kamu." "Cayhe juga insaf melulu perdebatan mulut tidak akan dapat membereskan pertikaian," demikian ujar Hun Thian-hi tersenyum, "Sungguh aku sangat menyesal. hanya karena perkara yang tiada juntrungnya ini sampai membikin susah para pendekar. Apalagi tokoh agung sebagai Taysu ternyata pun ikut dipermainkan tanpa sadar, sungguh aku merasa penasaran dan malu." Sebagai pejabat tertua dari Siau-lim-pay yang diagungkan di kalangan Bulim, sebagai partai terbesar, Te-ciat Taysu mana sudi dicercah begitu hina, lambat-lambat ia berkata, "Sebetulnya aku sendiri tidak perlu datang. Tapi malam itu Sicu bertandang ke Siau-lim-si sayang Suheng melepasmu pergi, apalagi sepak terjangmu setelah turun gunung begitu buruk dan bikin keonaran di Kangouw. Sebagai Ciangbunjjn Siau-lim-pay, aku pantang membiarkan nama baik Siau-lim-pay hancur lebur karena perbuatanmu. Alasan pembelaanmu. Suheng sudah beritahu kepada aku. Beliau pun merasa sayang, dengan bakat dan kepintaranmu ternyata nyeleweng kedialan sesat. Sekarang kau harus segera bunuh diri, atau harus menerima hukum keadilan Bulim." Thian-hi bergelak tawa, serunya lantang, "Hun Thian-hi masih punya banyak urusan yang belum selesai dikerjakan, mana boleh bunuh diri. Taysu membawa begini banyak Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tokoh-tokoh silat Bulim kemari, aku lebih suka menantang berkelahi dengan kalian." Ci-hay segera tampil ke depan Te-ciat Taysu, katanya merangkap tangan, "Tit-ji suka menempur Hun Thian-hi seorang diri, bila kewalahan harap diganti orang lain!" Te-ciat Taysu sedikit mengangguk. Ci-hay segera maju ke depan Thian-hi, katanya, "Harap Sicu memberi petunjuk." "Ci-hay suhu, tempo hari kami pernah bersua, sebagai murid Lam-siau aku menggunakan seruling sebagai senjata, harap Ci-hay suhu suka memberi pelajaran." Ci-hay menunduk hidmat, sahutnya, "Siauceng menggunakan Cap-pwe-lo-han-ciang untuk menghadapi Thian-liong-chit-sek!" Thian-hi tertawa lebar, pelan-pelan ia keluarkan serulingnya, tanpa banyak bicara lagi ia mulai menyerang kepada Ci-hay. Gesit sekali Ci-hay berkelit, berbareng sebelah tangannya bergerak miring seperti golok membacok ke arah Hun Thian-hi, tenaganya begitu besar membawa deru angin yang Keras, terang Lwekangnya tidak lemah. Hun Thian-hi membekal seruling menempur lawannya yang bertangan kosong, sudah tentu ia tidak mau direndahkan. demi gengsi maka ia bergerak selincah mungkin untuk secepatnya dapat merobohkan lawan. Begitulah dengan gaya Sinyiong-wijiong tubuhnya melambung tinggi, Serulingnya menukik turun dengan jurus serangan Hun-liong-pian-yu mengetok kebatok kepala Cihay. Ci-ay adalah salah seorang angkatan muda Siau-lim-pay yang paling dibanggakan kepandaiannya. Melihat serangan dahsyat Hun Thian-hi, hatinya rada bercekat, ia tidak berani menyambut secara kekerasan. tangkas sekali ia menjejakkan kaki melejit mundur menghindar. Namun Hun Thian-hi sudah kebajut mengembangkan permainan Thian-liong-cit-sek untuk mengekang jalan mundur Ci-hay, dalam tiga puluh jurus musuh dibuatnya kelabakan seperti burung dalam sangkar, dalam suatu ketika dengan ringan sekali seruling Thian-hi dapat menutuk bolong lengan baju Ci-hay, kemenangan sejurus ini cukup membuat Thian-hi unggul segera ia lompat mundur. Demikian juga Ci-hay segera merangkap tangan bersabda Budha lantas mengundurkan diri. Dengan seksama Te-ciat Taysu pandangan Hun Thian-hi. hatinya dirundung rasa heran mengapa orang macam Hun Thian-hi bisa tersesat begitu dalam, benar-benar merupakan suatu kerugian bagi kaum persilatan khususnya. Melihat orang pandang dirinya begitu rupa, lambat-lambat Hun Thian-hi berkata, "Taysu! Persoalan hari ini merupakan tanggung jawabku seorang. Betapa, pun jangan sampai merembet Ci-ko cici." Sambil memicingkan mata Te-ciat pandang Sutouw Ci-ko. Su Touw Ci-ko mendengus, ancamnya, "Bila kalian mau bunuh dia, terlebih dulu harus bunuh aku!" Disebelah sana terdengar Bun Cu-giok terkekeh hina, maju beberapa langkah ia berkata kepada Te-ciat Taysu, "Taysu, urusan ini merupakan persoalan pihak Bu-tong kami, biar aku Bun Cu-giok yang bereskan Hun Thian-hi." Sutouw Ci-ko menggerung gusar tanpa buka suara. Terdengar Te-ciat Taysu tertawa, "Bunpangcu adalah murid tunggal Ce-hun Totiang, sudah tentu aku berlega hati. Bukan saja Hun Thian-hi murid Lam-siau Kongsun Hong, diapun memperoleh pelajaran dari Ang-hwatlo-mo, sekali2 Bun-pangcu jangan pandang ringan padanya. Jurus Pencacat langit pelenyap bumi itu harus hati-hati kau hadapi!" Bun Cu-giok mengiakan sambil memutar badan, cambuk perak dan pedang mas dikeluarkan bersama, Sutouw Ci-ko segera tampil di depan Thian-hi, katanya, "Biar aku yang layani dia." - Sembari bicara ia melolos pedangnya. Berubah air muka Bun Cu-giok, desisnya dingin, "Bukan kau yang ingin kugasak!" "Tapi akulah yang hendak menggasak kau!" kata, Sutouw Ci-ko dengan geram, "Lama tahun sudah kau sebagai pejabat Pangcu, ingin aku melihat sampai dimana kemajuan silatmu!" "Tar!" Bun Cu-giok mengayun cambuknya, serunya, "Siapa sudi menyinggung masa lalu!" "Bun-pangcu sudah lama kenal dia?" tanya Te-ciat Taysu. "Dia murid Thian-san Lolo yang telah dibuang, Giok-bin-hwi-hou Sutouw Ci-ko adanya. Dulu memang aku akrab dengan gurunya." "Ya, dan kau adalah murid kesayangan Ce-hun Totiang," jengek Sutouw Ci-ko. "Belum lama berselang kau dan Thian-hi adalah kenalan kental, sekarang menjadi musuh besar malah, apakah yang menjadi sebabnya, kukira kau paham sekali!" Bun Cu-giok berteriak gusar, pedang masnya terayun terus menyerang dengan sengit kepada Sutouw Ci-ko. Dalam gebrak permulaan masing-masing pihak memang sama keluarkan kepandaian simpanan yang hebat, tapi meski kepandaian Bun Cu-giok cukup tinggi, namun Sutouw Ci-ko menang dalam gerak kelincahan tubuhnya, ilmu pedangnya pun cukup tangkas dan gesit. untuk waktu dekat walaupun bersenjata dua gaman. Bun Cu-giok tidak kuasa mengurung musuhnya. Lima puluh jurus kemudian Bun Cu-giok kembangkan Eng-hong-cap-pwe-ciang dikombinasikan dalam permainan pedangnya. Tubuhnya mendadak bergerak semakin cepat. Sudah tentu Sutouw Ci-ko mengenal permainan jurus Eng-hong-cap-pwe-ciang lawan, diam-diam iapun bercekat hatinya karena gugup ia menjadi terdesak di bawah angin. Hun Thian-hi sendiri pernah juga menyaksikan permainan Eng-hong-cap-pwe-ciang, namun dalam kombinasi permainan pedang yang lihay ini sungguh membuatnya lebih takjub. Melihat Sutouw Ci-ko semakin terdesak, kelemahannya menjadi semakin kentara, tanpa banyak pikir lagi Thian-hi segera menerjang maju seraya membentak, cukup satu jurus serangan serulingnya lantas mendesak mundur Bun Cu-giok, katanya kepada Sutouw Ci-ko, "Serahkan padaku!" Hitam legam muka Bun Cu-giok, dengan menggeram seperti harimau kelaparan, ia mengumbar panas hatinya, "Ingin hari ini mencoba betapa besar perbawa jurus Pencacat langit pelenyap bumi yang paling kau banggakan itu!" Hun Thian-hi menyapu pandang seluruh hadirin, lalu berkata tawar, "Bun-pangcu sudi memberi petunjuk, Hun Thian-hi akan melayani dengan senang hati." - ia tahu musuh kuat mengepung sekitar gelanggang, kalau keadaan berlarut begini terus, mungkin Sutouw Ci-ko menjadi sulit menyelamatkan diri. Kalau aku gunakan pencacat langit pelenyap bumi, pasti situa Pelita akan muncul pula disini, mungkin beliau dapat menyelamatkan jiwanya. Tapi walaupun Bun Cu-giok dan Sutouw Ci-ko sudah putus percintaan, perjodohannya dengan Ciok Yan sudah terang jadi, betapapun Ciok Yan pernah jumpa beberapa kali dengan dirinya, dia seorang baik, apakah aku harus menurunkan tangan kejam kepada Bun Cu-giok" Tengah ia bimbang dan ragu inilah Bun Cu-giok sudah menggerakkan cambuk dan pedangnya menyerang kepada Hun Thian-hi. Dengan bergaman Seruling yang memang mencocoki seleranya Hun Thian-hi kembangkan Thian-liong-chit-sek menghadapi rangsakan Bun Cu-giok yang gencar dengan Enghong-cap-pweciang yang hebat. cambuk peraknya melontar2 seperti sapu jagat, demikian juga pedangnya laksana kilat menyamber, permainan kombinasi yang serasi ini sungguh membuat Hun Thian-hi terdesak kewalahan. Terdengar Bun Cu-giok menggertak sekali, kedua senjatanya dibaling2kan semakin cepat, bergantian menyerang dengan berbagai serangan yang cukup ganas, dalam keadaan terdesak keripuhan ini Thian-hi tak mampu lagi melawan dengan Thian-liong-chit-sek, terpaksa ia kembangkan Tam-lian-hun-in-hap jurus terakhir dari Gin-ho-sam-sek yang punya daya tahan dan serang yang ampuh. Sekarang Thian-hi dapat bertahan lebih mantap. Te-ciat Taysu mengenal itulah permainan jurus-jurus dalam ilmu Gin-ho-sam-sek, tanpa merasa ia mengerut kening dan berpikir; kepandaian silat yang diperoleh Thian-hi semua adalah jurusjurus ilmu tangguh yang tiada taranya di dunia, sekarang Lwekangnya masih terlalu rendah, kalau berlatih dengan tekun dalam jangka waktu tertentu, kelak tiada seorangpun dalam Bulim ini yang mampu menundukkan dia. Serangan Bun Cu-giok semakin membadai, namun perbawa Gin-ho-sam-sek memang bukan olah-olah hebatnya, cukup hanya menggunakan dua jurus saja Soat-san-su-gou dapat mengurung Bu Bing Loni yang tiada tandingannya itu selama satu hari satu malam, maka dapatlah dibayangkan kekuatannya. Lama sekali Te-ciat Taysu tunduk menepekur, ia tahu bahwa Bun Cu-giok takkan mampu mengambil kemenangan, ia berpaling ke arah Ci-hay, niatnya menyuruh Ci-hay maju mengerubut, tapi dalam pertempuran tadi ia dapat melihat Ci-hay menaruh simpatik kepada Hun Thian-hi, sesaat ia menjadi sukar mendapat keputusan. Untung saat itu Bu-tong Sam-lo-chit-cu tampil bersama kehadapan Te-ciat, katanya bersama, "Kami beramai ingin maju bantu meringkus Hun Thian-hi!" Te-ciat manggut-manggut, menjadi sangat kebetulan malah, demikian ia berpikir, urusan ini memang menyangkut pihak Bu-tong-pay, adalah jamak kalian sendiri yang menyelesaikan. Pucat muka Sutouw Ci-ko, cepat ia melolos pedang maju menghadang, namun mengandal kepandaiannya, cukup beberapa jurus saja Sam-lo-chit-cu berhasil mendesaknya mundur. Segera Sam-lo-chit-cu berpencar mengurung, serempak sepuluh pedang mereka bergerak menggunakan Cap-ciat-tin mengurung Thian-hi berdua. Taburan sinar pedang berkembang melebar selulup timbul ditengah gelanggang. Semakin tempur Bun Cu-giok menyerang semakin gencar. Hun Thian-hi berdua melawan keroyokan sebelas lawan, andaikata kepandaian setinggi langit juga bakal kewalahan. Thian-hi sudah kerahkan setaker tenaganya, namun terasa kilatan angin pedang begitu tajam menyamber2, setiap kilasan pedang musuh hanya terpaut setengah inci dari badannya, sementara pedang dan cambuk Bun Cu-giok juga terasa semakin menekan berat. Sekonyong-konyong Sutouw Ci-ko berteriak kejut, tahu-tahu pedang di tangannya tergentak lepas dari tangannya, sejalur sinar pedang berkelebat kontan lengannya kanan tergores luka berdarah. Thian-hi menggerung murka, serulingnya melengking tinggi melancarkan Pencacat langit pelenyap bumi, keruan Sam-lo-chit-cu dan Bun Cu-giok terkejut dan ketakutan, serempak mereka angkat pedang menangkis. Te-ciat juga terkejut, cepat ia meraih sebilah pedang dari salah seorang muridnya terus melesat terbang mengembangkan It-ti-to-kang, Ginkang tertinggi dari kepandaian tunggal Siau-lim-pay, bersamaan dengan itu pedangnya pun menyapu maju dengan kekuatan dahsyat, sinar gemerdep berkembang menungkrup ke arah Hun Thian-hi. Begitu senjata kedua belah pihak saling bentur, kontan Te-ciat merasa pedangnya tergetar hebat, seketika Hun Thian-hi kena tergetar mundur tiga langkah, terasa darah bergolak dalam rongga dadanya, sekuatnya ia menahan napas dan menelan mentah-mentah segumpal darah yang hampir menyembur keluar dari mulutnya. Dalam pada itu Sam-lo-chit-cu dan Bun Cu-giok menjublek di tempatnya, sebelas batang pedang dari sebelas orang sama kutung semua. Te-ciat juga terlongong, waktu ia menunduk dilihatnya pedang sendiri juga gumpil. Diam-diam bukan kepalang kejut hatinya. Ang-hwat-lo-mo si iblis itu sungguh menakutkan, siapapun dan betapapun tinggi kepandaian atau Lwekangnya bila menghadapi Pencacat langit pelenyap bumi, betapapun pasti kena cedera. Hun Thian-hi insaf, lama bertempur semakin tidak menguntungkan pihaknya, Sutouw Ci-ko juga berdiri tertegun. Tanpa banyak pikir lagi segera ia kempit tubuh Sutouw Ciko terus mencepat naik ke atas kuda putih dan dilarikan sekencangnya ke arah samping sana. Semua orang seperti tersentak dari mimpinya. Lekas-lekas Te-ciat Taysu melejit tinggi terus lari mengejar, tubuhnya melayang bagai seekor bangau terbang terus mengudak ke arah Thian-hi. Tunggangan Thian-hi adalah kuda jempolan yang dapat lari ribuan li sehari, mana mereka dapat menyandak. Kuda putih dipecut lari laksana angin lesus, waktu Thian-hi berpaling, dilihatnya Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo para pengejarnya berpencar, tampak Te-ciat Taisu mengejar paling dekat hanya terpaut lima tujuh tombak saja. Begitulah kejar-mengejar terjadi dengan sengit, para pengejarnya semakin tertinggal jauh, namun Thian-hi tahu bahwa musuh tersebar di mana-mana, kira-kira dua puluhan li kemudian, Teciat Taysu sudah ketinggalan dua puluhan tombak. Mendadak dari samping depan sana melayang terbang sesosok bayangan orang, waktu Thian-hi menegasi kiranya adalah situa Pelita. Mengandal Ginkangnya yang tinggi serta aneh itu, naga-naganya dirinya berdua sulit dapat lolos. Sementara itu Sutouw Ci-ko juga sudah melihat situa Pelita, segera ia berseru, "Mari menuju ke Jian-hud-tong saja!" - dengan tangkas kedua kakinya menjepit kuda serta dibelokkan ke arah kiri terus dicongklang semakin kencang. Situa Pelita sudah mengejar semakin dekat, Jiat-hud-tong juga sudah dekat di depan mata. Melihat Thian-hi menuju ke Gua seribu Buddha, ia menyeringai dingin, tiada seorangpun dapat keluar lagi dengan hidup dari gua itu" Selama berpuluh tahun, tiada seorangpun yang bisa keluar dengan masih hidup ke dalam Gua seribu Buddha. peduli kau seorang gembong silat yang punya kepandalan maha tinggi juga tidak berani sembarangan masuk kesana. Sebenar-benarnya Hun Thian-hi juga tahu akan hal ini, namun dalam keadaan yang kepepet begini, tiada jalan lain yang harus ditempuh, terpaksa harus mencari jalan hidup ke arah jalan kematian secara untung2an. Begitu masuk ke dalam gua, keadaan di dalam gelap gulita. Terdengar situa Pelita terbahakbahak diluar gua, serunya, "Kecuali kalian selamanya takkan keluar pula!" Lekas Thian-hi dan Ci-ko melompat turun, meminjam cahaya yang menyorot masuk dari pintu gua mereka menerawang sekelilingnya, tampak tinggi gua ada dua tiga puluh tombak, dalam dinding gua terukir banyak sekali Buddha2 dengan berbagai bentuk dan gaya, sebuah jalan berliku memanjang ke arah dalam nan gelap sana. Sekian lama mereka meng-amat-amati ditempatnya berdiri. Diluar gua terdengar derap langkah kuda yang guruh gemuruh, rombongan pengejar dari Tionggoan telah mengejar tiba. "Thian-hi!" kata Sutouw Ci-ko, "Mereka pasti mengejar masuk, mari maju lebih lanjut, meski harus mati juga rela daripada terjatuh ditangan mereka." Tengah Hun Thian-hi beragu. tampak sebuah bayangan telah berada diambang pintu gua. Tanpa banyak pikir lagi, segera Thian-hi tarik tangan Ci-ko terus berlari ke dalam. Pendatang itu bukan lain adalah Bun Cu-giok. Melihat mereka berlari masuk segera ia mundur dan keluar. Dengan bergandeng tangan Thian-hi berdua berlari maju, baru membelok dua pengkolan, terdengar gema suara aneh dari sebelah dalam Sana.... Keadaan dalam gua gelap pekat lima jari sendiri tidak kelihatan. Tanpa merasa mereka menjadi gemetar ketakutan. Setelah hening sesaat lamanya. Sutouw Ci-ko berkata, "Mari maju lagi, coba lihat suara apakah itu!" Thian-hi manggut-manggut, ia berjalan disebelah depan. setelah membelok lagi sekali, mendadak terasa kakinya menginjak tempat lunak terus ambles kebawah, keruan Thian-hi terperanjat, cepat ia menarik kakinya berusaha mundur, namun sudah terlambat, sebelah kakinya sudah ambles sampai kepahanya. terasa panas seperti direndam dalam tungku, sehingga kepalanya berkaringat. Cepat ia berseru, "Ci-ko cici, lekas mundur, tak bisa maju lagi!" Sutouw Ci-ko tersentak kaget, cepat ia ulur lehernya pandang kedepar, lapatlapat terlihat kabut putih bergulung di atas tanah dan berbuih, seolah-olah tengah berputarputar. Lambat laun terasa Hun Thian-hi semakin tersedot ambles. Bergegas ia menarik sebelah tangan Thian-hi, mereka tidak tahu bahwa Thian-hi sudah terjeblos masuk ke dalam rawa penyedot tulang yang paling ditakuti dikalangan Bulim, begitu Sutouw Ci-ko menarik Hun Thian-hi, kabut berbuih itu kelihatan berputar semakin cepat, daya sedotnya juga semakin kuat, saking bernafsu sampai Sutouw Ci-ko terhujung ketarik maju dan kakinya juga ikut terjeblos masuk ke dalam lumpur. Mereka meronta berusaha keluar, namun semakin bergerak, kaki ambles semakin dalam, apalagi seluruh badan juga terasa panas seperti dipanggang. Tiba-tiba Thian-hi rasakan dadanya dingin nyaman, teringat olehnya akan daun buah ajaib, lekas ia merogohnya keluar, tinggal empat lembar, dua diantaranya ia angsurkan kepada Sutouw Ci-ko, katanya, "Cici, lekas telan!" Begitu mereka menelan daon buah ajaib, suhu panas yang merangsang badan dari bawah rawa seketika hilang. seluruh badan kini terasa nyaman dan segar kembali. Tapi Sipkut-tam atau rawa penghisap tulang sungsum ini berputar semakin kencang, badan mereka tersedot semakin dalam. Keruan Thian-hi menjadi gugup, menghirup napas panjang kedua tangannya terangkat keluar lumpur terus menepuk kuat2 dipermukaan rawa. ia berusaha untuk melompat keluar, tak kira begitu ia kerahkan tenaga, badannya malah menceplos semakin dalam beberapa inci. Karena gerakan Thian-hi ini, seluruh. rawa menjadi bergelombang, daya putarnya semakin kencang, cepat sekali Thian-hi sudah terseret ke tengah rawa, namun setelah sampai ditengah keadaannya lebih mending malah, badannya tidak tersedot lagi. Mendadak ia menemukan sebuah keajaiban. sepasang titik sinar berkilat warna hijau mulus tengah menatap mereka berdua dari pinggir rawa sebelah Sana. Bukan kepalang kejut Thian-hi. Terdengar Sutouw Ci-ko berteriak, "Thian-hi, bagaimana keadaanmu?" Kabut putih menguap semakin banyak dan tebal dipermukaan rawa. seperti air mendidih bergolak keras dan semakin banyak. Thian-hi mendelong mengawasi depan, tampak olehnya sepasang mata hijau itu menatap tajam tanpa berkedip. tanpa bergerak ia menyahut, "Aku tak apa-apa, tak usah kuatir." - Selesai berkata ia berpaling, bayangan Sutouw Ci-ko sudah tidak kelihatan terbungkus kabut tebal. Karuan kaget ia dibuatnya, teriaknya keras, "Ci-ko cici, dimana kau?" Beruntun ia memanggil dua kali, baru mendengar sahutan Sutouw Ci-ko, "Thian-hi, aku...." sampai disini mendadak ia melengking tinggi suaranya lantas lenyap. Melonjak jantung Thian-hi teriaknya. cepat, "Ci-ko cici! Kenapa kau?" - Beruntun ia berkaok2 tanpa mendengar balasan. tanpa terasa matanya mengembeng air mata, ia tahu bahwa Sutouw Ci-ko pasti menemui bahaya, siapa nyana dirinya masih bertahan. sebaliknya orang sudah mendahului mangkat, Thian-hi menjublek ditempatnya, kabut semakin tebal dipermuKaan rawa, hampir tangan sendiri tak terlihat lagi. Tapi sepasang mata berkilat hijau dikejauhan sana masih kemilau menatap ke arah Thian hi. Dengan putus asa Thian-hi menggembor memanggil nama 'Ci-ko', namun tak mendengar reaksi! Dengan murung ia menunduk, Sutouw Ci-ko sudah lenyap, didengar dari lengking suaranya, pasti bukan ambles tersedot ke dalam rawa, mungkin mengalami bahaya lainnya. Thian-hi pejamkan mata, air mata mengalir deras, selamanya ia jarang menangis, sekarang entah mengapa ia tak kuasa menahan rasa pedih hatinya! Sutouw Ci-ko ikut berkorban demi dirinya, siapakah yang bersalah, dia tidak berdosa! Biji mata berkilat itu bergerak-gerak, akhirnya sebuah suara. yang rendah dingin berkata kepada Thian-hi, "Kau mau tidak kutolong?" Begitu mendengar suara manusia, Thian-hi tersentak kaget, dengan terbelalak ia pandang biji mata berkeliat itu, lama dan lama kemudian baru ia menghela napas ringan tanpa bicara. Orang itu bicara lagi dengan suara rendah seram, "Sungguh besar nyalimu dengan genduk itu berani lari masuk ke dalam Jian-hud-tong. Lima puluh tahun mendatang ini, ada orang masuk tiada orang keluar!" Thian-hi tidak hiraukan ocehan orang, dia berpikir, "Sutouw Ci-ko sudah mati, dia berkorban demi kepentinganku, jikalau dirinya bisa bertahan hidup, apa pula artinya?" Orang itu mendengus dengan geram, setelah bungkam sesaat lamanya ia berkata lagi, "Lima puluh tahun lamanya, baru pertama kali ini kulihat kalian berdua kejeblos ke dalam rawa tanpa mati.... Kalau orang lain, tulang belulangnya pun sudah terbakar habis!" Mendengat ucapan orang tergerak hati Thian-hi, cepat ia tanya, "Kau tahu kemana kawanku itu?" Orang itu mandah terkekeh dingin tanpa bicara. "Katakan. Nanti kubiarkan kau menolongku keluar." Orang itu menyeringai seram, katanya, "Tapi kau kuat bertahan di dalam rawa tanpa terbakar." "Tak mau ya sudah!" ujar Thian-hi. Orang itu tunduk menepekur, akhirnya berkata, "Kalau kutolong kau, apa kau mau melakukan segala urusanku?" "Kau harus beritahu dulu, kemana kawanku tadi." "Sudah tertolong orang, dia merupakan salah seorang dari kita bertiga yang dapat meloloskan diri selama lima puluh tahun di dalam gua ini." Thian-hi menjadi girang, tanyanya, "Siapakah dia?" "Jangan cerewet!" bentak orang itu. "Aku tiada tempo untuk ngobrol dengan kau, syaratku mau kau terima tidak?" Kiranya mereka bertiga terkurung di dalam gua ini, demikian Thian-hi menerka dalam hati. Seluruhnya berjumlah tiga orang, lolos satu tinggal dua, entah macam apa pula seorang yang lain itu. Setelah berpikir ia berkata, "Aku tidak tahu apakah syaratmu itu, masa begitu gampang harus setuju." Coba terangkan dulu?" Orang itu menjengek, pelan-pelan tinggal pergi. Tahu bahwa Sutouw Ci-ko sudah tertolong orang, Thian-hi jadi kegirangan, Ilmu silat orang itu pasti luar biasa, kalau tidak masa begitu mudah dapat menolong orang keluar dari rawa ini. Jelas jiwa Sutouw Ci-ko pasti selamat. Setelah rada jauh orang itu berpaling dan menegas, "Bagaimana setuju tidak"' "Tolong tidak terserah kau, aku tidak ambil pusing!" Melihat kekukuhan Thian-hi orang itu kewalahan, sesaat ia berkata lagi, "Meski sudah tertolong pergi. namun jiwa kawanmu itu juga bakal mampus belaka." Bercekat hati Thian-hi, tanyanya, "Apa maksud ucapanmu ini?" Orang itu terkekeh kering dua kali tanpa bicara. Thian-hi segera menambahi, "Dia sudah tertolong masa bisa mati. Jangan kau berkelakar dan menakut2i, aku bukan bocah umur tiga tahun, begitu mudah kau tipu." "Kau tahu siapa yang menolong kawanmu itu?" tanya orang itu menjengek jngin. "Siapa?" tanya Thian-hi gelisah. Orang itu diam saja. Thian-hi menghela napas, ujarnya, "Kalau dapat. menyelamatkan kawanku, aku rela melakukan segala perintahmu." Agaknya orang itu tengah berpikir tanpa bicara. Kini Thian-hi juga harus berpikir, ia tidak tahu siapakah orang ini, namun dari biji matanya yang berkilat hijau itu. terang bukan dari golongan lurus, Sesaat kemudian terdengar orang itu berkata, "Kau harus hati-hati!" Seiring dengan peringatannya kedua telapak tangannya terayun ke depan, dua gelombang tenaga lunak dingin menerjang kepermukaan rawa sehingga menimbulkan gelombang berderai, permukaan rawa menyeruak kesamping. segulung tenaga besar timbul dikaki Thian-hi terus menyodoknya naik. Sungguh kejut Thian-hi bukan kepalang, betapa tinggi kepandaian orang ini sungguh belum pernah dilihat sebelumnya, dalam hati berpikir, berbareng kakinya menjejak kuat2, kontan badannya lantas mencelat mumbul dan terbang miring kesamping dan meluncur turun hinggap di atas tanah. Heran hatinya, bahwa ilmu silat orang begitu tinggi, namun terkurung di dalam gua ini. Melihat Thian-hi sudah berhasil mendarat di tanah, orang itu juga lantas menghentikan aksinya. Dengan seksama Thian-hi amat-amati orang itu, tampak olehnya seluruh tubuh orang itu terbungkus dengan rambut panjang, hanya terlihat sepasang biji matanya yang berkilat tajam, tanpa merasa ia bergidik dan merinding. "Kalau orang lain siang-siang sudah mampus," demikian kata orang itu sesaat kemudian. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kulihat kau kejeblos masuk tapi tidak terbakar mati, kupikir mungkin kau berjodoh denganku, maka suka aku menolong kau." Thian-hi masih ragu-ragu, orang punya kepandaian begitu tinggi. kenapa tidak mau keluar, tanyanya, "Hairap tanya nama julukan Cianpwe yang mulia?" "Kau tanya asal usulku?" tanya orang itu lalu mendengus, "Akulah Si-gwa-sam-mo!" Thian-hi berjingkrak seperti melihat momok yang menakutkan, badan gemetar dan terhujung dua langkah ke belakang dengan terbelalak. "Akulah Tok-sim-sin-mo!" kata orang itu pula dengan nada dingin. Pucat pasi wajah Thian,hi, Si-gwa-sam-mo (tiga iblis dari dunia luar) ternyata berada disini. Ternyata siapapun orang yang memasuki Gua seribu Buddha ini tiada yang bisa keluar lagi dengan hidup karena adanya Si-gwa-sam-mo ini. Lima puluh tahun yang lalu secara mendadak Si-gwa-sam-mo sama menghilang, Ternyata mereka terkurung disini selama lima puluh tahun. Jadi Sutouw Ci-ko kemungkinan adalah tertolong oleh Kiu-yu-mo-lo, keselamatannya sungguh harus dikuatirkan. Dengan sikap dingin Tok-sim-sin-mo pandang Thian-hi, katanya, "Seluruh kolong langit tiada seorang pun yang tahu bahwa kami bertiga dikurung disini. Sekarang Kiu-yu-mo-lo sudah lolos. Tapi sudah terlambat, lima puluh tahun telah berlalu. tentu dia sudah mati." Thian-hi tidak tahu kemana juntrungan ucapan Tok-sim-sin-mo. Tiga pentolan ibiis terbesar di dunia berkumpul disini, benar-benar sesuatu hal yang luar biasa. mengandal kepandaian silat mereka bertiga yang begitu tinggi, entah siapakah yang begitu punya kemampuan untuk mengurung mereka di tempat ini. Terdengar Tok-sim-sin-mo mendengus lalu berkata lagi, "Meski Mo-lo dapat bebas lebih cepat. namun dia belum mendapat keuntungan, sedikitnya ia harus menghadapi dinding setahun lamanya baru tenaga murni dan Lwekangnya dapat dipulihkan." Pelan-pelan Thian-hi bernapas. setelah menenangkan hatinya ia berpikir; Tok-simsin-mo punya urusan yang perlu minta bantuanku, tak perlu takut lagi. Pelan-pelan Tok-sim-sin-mo meraih ke belakangnya mengambil seutas rantai besi yang halus dan berkata, "Kau lihat, inilah penyebab kenapa aku sampai terbelenggu disini." Rantai itu sebesar ibu jari, terurai memanjang ke belakang terporot dibatas sebuah batu hitam yang sangat besar. Diam-diam ia kaget, "Masa rantai sekecil itu dapat membelenggu Iblis yang kejam dan ganas ini?" "Kau sangka ini rantai besi umumnya?" tanya Tok-sim-sin-mo tertawa ejek, tibatiba sebelah tangannya terangkat tinggi terus mecuat ditengah udara, dinding batu disebelah depan sana lantas rontoh berhamburan. Sungguh kejut dan heran pula Thian-hi dibuatnya. Dari jarak dua tiga tombak Toksim-sin-mo mampu mencengkeram hancur batu keras menjadi hancur berkeping, kepandaian yang tinggi tiada tarannya ini, boleh dikata sangat menakutkan. "Inilah rantai yang dibuat dari Ham-thian-cin-kim. Kalau tidak masa aku mandah dibelenggu disini selama puluhan tahun!" - Sebentar merandek, lalu melanjutkan, "Terkunci di atas Kiu-thianham- giok, sampai sekarang sudah terbelenggu selama lima puluh tahun! Limapuluh tahun sudah. Kau tahu betapa lama dan panjang hari2 yang harus kulewatkan!" Sungguh tidak pernah terpikir oleh Thian-hi, dalam terbelenggu sedemikian lamanya ini, santapan apa yang dapat mereka makan. "Untung selama itu aku tidak mampus." demikian Tok-sim-sin-mo menutur, Lima puluh tahun aku makan kelelewar, minum air embun, akhirnya takkan lama lagi aku dapat bebas." "Siapakah orangnya yang mengurung kalian disini?" tanya Thian-hi. "Siapa?" tiba-tiba Tok-sim-sin-mo bergelak tawa menggila, "Kecuali dia siapa yang mampu membuat kami pasrah nasib terima dibelenggu disini, hanya dia itulah Ka-yap Cuncia, apa kau pernah dengar perihal dia?" Thian-hi menjadi paham, sahutnya, "Kiranya beliau! Ya, tidak perlu heran, Kecuali beliau. tiada seorang pun yang mampu mengalahkan Si-gwa-sam-mo." "Jangan kau anggap begitu gampang dia dapat mengalahkan kami bertiga, kecuali dia masih dibantu Hian-thian-kiam-khek dari Ui-san, Thian-toh-ih-su dari Kiu-hoa, akhirnya dua diantara mereka gugur tinggal Ka-yap seorang yang masih hidup." Habis berkata ia bergelak tawa lagi. "Lalu kalian?" "Ka-yap sendiri juga kena terpukul Kiu-yu-ciang, secara kekerasan akhirnya kami bertiga kena dibekuk olehnya, tanggung dia pun takkan lama hidup lagi." Thian-hi berkecek mulut, katanya, "Tapi aku dengar beliau pernah muncul di Thian-lam." Terbelalak bengis mata Tok-sim-sin-mo, dengusnya, "Apa benar-benar?" "Hanya kabar saja!" "Tidak mungkin lagi, kami bertiga sama terluka parah, dapat hidup sampai sekarang sudah merupakan suatu keajaiban, dia kena pukulan Kiu-yu-ciang. selain itu terluka besar kecil lainnya, mana bisa tetap hidup." "Masa bisa dipastikan, kalau kalian bisa hidup masa dia tidak bisa hidup?" Tok-sim-sin-mo menggeram gusar, serunya, "Bila dia sudah mati, akan kutiari muridnya, bunuh habis seakar2nya." "Kalau beliau tidak punya murid?" tanya Thian-hi. Tok-sim-sin-mo mendelik kepada Thian-hi, Thian-hi berkata lagi, "Hakikatnya tiada seorang murid Ka-yap yang pernah muncul di Bulim." "Terpaksa aku akan cabut nyawa setiap orang Bulim sebagai tumbal penderitaanku selama lima puluh tahun di dalam gua ini." Mendengar sumpah keji dari Tok-sim-sin-mo ini bergidik tengkuk Thian-hi. sesaat lamanya baru ia tenangkan pikiran, katanya, "Apa bisa mengandal tenagamu seorang" Betapa banyak tokoh kosen dari Bulim?" "Tokoh kosen apa, tokoh yang dapat melawan aku dalam Bulim hanya Ka-yap seorang, lain orang, tidak perlu dipersoalkan lagi." "Hui-sim-kiam-hoat sekarang malang melintang di Kangouw, apa kau punya pegangan dapat mengalahkan Hui-sim-kiam-hoat?" "Memang aku ingin mencobanya." "Kau sendiri sekarang belum terlepas, jangan kau mimpi melakukan urusan lain." "Menolong jiwamu justru untuk membebaskan belenggu ini." "Kau pikir aku sudi menolong kau" Sumpahmu tadi terlalu menakutkan." "Kau sudah kutolong, tidak bisa tidak harus dengar perintahku, seumpama ingin mati juga sukar dapat terlaksana." Jang menjadi kekuatiran Thian-hi hanya keselamatan Sutouw Ci-ko, segera ia berkata, "Jika kau mau menyerahkan kawanku itu, aku rela bantu mengerjakan urusanmu." "Kalian berdua kenapa tidak takut terhadap Rawa penghisap tulang sungsum." "Dimana kawanku itu?" Mendadak Tok-sim-sin-mo menyeringai dingin, lengannya terulur panjang, kelima jarinya mencengkeram dari jarak jauh ke arah Thian-hi. Kontan Thian-hi merasa segulungan angin dingin yang punya kekuatan daya sedot menerjang ke arah dirinya, lekas-lekas ia bergerak hendak berkelit, namun sudah terlambat. terasa lengan kanannya seperti terjepit tanggem, ternyata sudah tercengkeram erat oleh Tok-sim-sin-mo. Dengan ringan Tok-sim-sin-mo menjingjihg Thian-hi ke tempatnya, katanya, "Kau harus bekerja menurut petunjukku, kalau tidak akan kusiksa kau menjadi setengah hidup separo mati." Cengkeraman Tok-sim-sin-mo membuat seluruh badan Thian-hi gatal2 dan kesemutan, rasanya tak enak dilukiskan, dengan merinding ia berkata ketus, "Apa pun yang akan kau perbuat atas diriku, kau harus menyerahkan temanku itu." "Kiu-yu-mo-lo sudah membawanya pergi, kecuali aku bebas dan minta padanya, kalau tidak, hm, punya sepuluh jiwa juga sudah tamat seluruhnya." Thian-hi tertegun di tempatnya. Sambung Tok-sim-sin-mo, "Cukup sebuah perkataanku saja pasti dia mau menyerahkan kawanmu kepadaku. Tenaga murninya sudah ludas, untuk beberapa waktu takkan mampu membunuh orang, asal kau bantu aku segera. membebaskan diri saja." Thian-hi terlongong sekian saat, Kiu-yu-mo-lo sudah pergi, Tok-sim-sin-mo sendiri terbelenggu tak mampu berkutik, seumpama mampu ia pun tidak boleh melepas iblis laknat ini, meski ia bertujuan menolong jiwa Sutouw Ci-ko. Demikian Thian-hi menerawang tindakan sendiri. "Bagaimana, mau tidak, kau jawab satu patah kata saja." "Apakah kau mampu panggil Kiu-yu-mo-lo untuk melepas kawanku itu" Hari ini aku terjatuh ke dalam cengkeramanmu, kalau kulepas kau, aku lebih celaka di tanganmu." "Hanya untuk urusan kecil saja, masa aku harus menipu kau" "Baiklah," sesaat beragu akhirnya Thian-hi ambil putusan, "Tapi sumpahmu tadi terlalu kejam, kalau kau bisa lolos, akupun harus kau bebaskan." "Tidak menjadi soal, bukan saja kau, seluruh snak kandungmu boleh tidak usah mencelakai mereka." "Itulah yang paling baik. Ilmu silatmu begitu tinggi toh tak mampu membebaskan diri, cara bagaimana aku harus membantu kau?" "Gampang saja, kau buka gembok di belakang Kiu-thian-hom-giok ini...." Thian-hi memeriksa batu hitam besar di belakangnya, tahu ia bahwa Tok-sim-sin-mo tak kuasa memutar dan menjangkau kesana. Tapi ia masih heran Kiu-yu-mo-lo sudah dapat membebaskan diri, kenapa dia tidak datang membantu kawannya ini, sekarang malah minta dirinya membantu" Dalam hati ia merasa curiga, namun lahirnya tetap ia berkata, "Baik, biar aku ke belakang membuka, tapi kau tak boleh ingkar janji, bantu aku mencari kawanku itu." "Jangan kau main gila terhadapku, jiwa kawanmu berada di tanganku tahu." demikian ancam Tok-sim-sin-mo sambil melepas Thian-hi Thian-hi manggut-manggut, sebat sekali ia berlari ke belakang Kiu-thian-hamgiok, begitu tiba dibalik sebelah sana lantas ia melongok bertanya kepada Tok-sim-sin-mo, "Dimanakah Kiu-yu-molo berada, apakah kau tahu?" "Sudah tentu aku tahu, dia tidak akan pergi jauh berada dalam Jian-hud-tong ini." "Kenapa kau tidak suruh dia bantu kau melepaskan diri, sebaliknya menekan aku?" "Dia sudah lama pergi!" desis Tok-sim-sin-mo sambil memicingkan mata memandang Thian-hi. "Dia tahu kau berada disini, kenapa tidak mau bantu kau membebaskan diri?" "Dia sudah datang!" mendadak Tok-sim-sin-mo berpaling. Baru saja Thian-hi mau menoleh. sekonyong-konyong nalarnya merasa sesuatu yang kurang beres, secara reflek segera ia berkelebat menyingkir, segulung tenaga angin dingin menerpa ke belakang Kiu-thian-ham-giok, terlambat sedetik lagi, tentu jiwa Thian-hi sudah melayang. Hatinya menjadi kebat-kebit dan berdiri bulu kuduknya, untung tidak tertipu. Melihat serangan pukulannya tidak mengenai sasarannya, Tok-sim-sin-mo menggeram murka, namun apa boleh buat, sebentar ia merenung lalu terkekeh-kekeh seram, serunya, "Kau cukup cerdik tidak tertipu olehku. Bicara terus terang, aku sudah bertengkar dengan Kiu-yu-mo-lo, sudah tentu dia tidak sudi membantu aku. Kalau kau mau bantu, aku suka ambil kau sebagai muridku, setelah bebas segera mencari temanmu." "Jiwamu sendiri tergantung di tanganku masa bisa membantu aku malah." demikian jengek Thian-hi. "Kiu-yu-mo-lo dapat lolos, sebaliknya kau tidak, jelas dia lebih unggul dari kau." Tok-sim-sin-mo mendengus, desisnya, "Jika hari ini kau tidak lepaskan aku, kelak tentu kau akan menyesal sesudah kasep." "Kenapa aku harus menyesal!" ejek Thian-hi dengan tertawa lebar. "Tanpa kau bantu paling lama setahun secepatnya setengah tahun aku bakal dapat lolos sendiri, saat mana jangan kau harap dapat hidup senang." "Aku juga tidak tahu apakah aku bisa hidup selama itu, tapi bila sekarang kau kulepas, jiwaku akan lebih cepat melayang. Dan ini pasti benar-benar tak perlu disangsikan." Tok-sim-sin-mo menepekur sambil menghela napas, katanya, "Terus terang saja, diantara kami bertiga, hanya aku dan Kiu-yu-mo-lo yang punya keserasian pendapat, meski dia terbelenggu. Secara kebetulan ia menemukan sejilid Pit-kip, dengan bantuan Pit-kit itulah baru dia berhasil lolos. Tapi aku percaya kemampuannya masih belum kuasa menandingi aku. Pernah aku meminta pinjam padanya, dia berkukuh untuk mengangkangi sendiri akhirnya kami bertengkar. Lekas kau bantu aku, akan kubantu kau menuntut balas! Kalian berdua tentu terdesak lari Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kemari bukan?" "Terima kasih akan kebaikanmu. Aku sangat rela bantu kesukaranmu, namun aku tidak mungkin melakukan. Meskipun aku menjadi musuh besar kaum persilatan, namun aku tidak bisa bantu kau membebaskan diri." "Ilmu silatmu masih terpaut jauh sekali. Kau tidak mau membantu, jangan harap kau bisa keluar dari sini." "Menurut katamu Kiu-yu-mo-lo masih berada di Gua seribu Budha ini, apalagi tenaga murninya sudah ludes, kan menjadi kebetulan bagi aku, biarlah aku mencari dia saja." Tok-sim-sin-mo menggeram keras seperti singa kelaparan. Thian-hi menerawang sekelilingnya, tampak di atas sebelah sana terdapat sebuah lobang gua, dia tidak tahu kemana Kiu-yu-mo-lo telah lari, terpaksa harus dicari secara main gagap saja. Pelan-pelan ia merambat naik ke atas lobang itu secara hati-hati ia melongok ke sana, meski gelap masih dapat dilihat jelas, dalam gua sana tiada seorangpun. Si-gwa-sam-mo ada tiga iblis, Thian-hi sudah melihat satu dan yang muncul sudah dua, seorang lagi yang berjulukan Pek-kut-sin-mo entah terkurung disebelah mana, kalau tidak hati-hati dan kebentrok, pasti sukar dapat melarikan diri lagi. Dengan waspada dan bersiap siaga Thian-hi menggeremet maju terus, lobang ini rada rendah, terpaksa ia harus menundukkan kepala, semakin ke dalam semakin gelap, boleh dikata tiada setitik sinar apapun. Selangkah demi selangkah Thian-hi maju terus, terasa olehnya jalan gua ini semakin menanjak ke atas. tiba-tiba gua ini menjadi lebar dan luas, diam-diam ia menjadi girang, mungkin ia sudah tiba di ujung gua yang lain, hati-hati ia melongok keluar lagi, kiranya ia tiba di sebuah ruang gua besar, dalam ruang besar ini rada terang dan ada cahaya yang menyorot menerangi. Tinggi dua tiga tombak, dalamnya tak kelihatan ujung pangkalnya. Hun Thian-ki celingukan ke kanan kiri, tiada seorang pun, baru pelan-pelan ia merangkak masuk, ingin ia berteriak memanggil nama Sutouw Ci-ko, kalau dia berada disini tentu akan menyahuti. Tapi iapun takut kalau Pek-kut-sin-mo berada disini, jiwanya bakal terancam. Dengan tegak berdiri lambat-lambat ia maju beberapa langkah. Mendadak ia tersentak kaget dan menyurut mundur cepat-cepat memet dinding serta menahan napas. Dengan takuttakut, ia melongok ke arah samping kiri, di sana terdapat sebuah lobang, seseorang tua berambut panjang tengah duduk bersila membelakangi dirinya, di atas lehernya kelihatan mengenakan kalung hiasan tengkorak manusia.... Siapa lagi dia kalau bukan Pek-kut-sin-mo, iblis sakti tulang putih. Thian-hi tak nyana bakal kebentur dengan seorang iblis lagi, sungguh tidak beruntung. "Kau tidak perlu main sembunyi," terdengar Pek-kut-sin-mo berkata tanpa berpaling, "Sejak tadi sudah kuketahui kehadiranmu!" Thian-hi maklum bahwa derap langkah kakinya yang berat tentu sudah didengar oleh Pek-kutsih- mo yang berkepandaian tinggi itu, harapannya orang pun terbelenggu dengan rantai di atas Kiu-thian-ham-giok Terpikir sampai disini, segera ia menyurut tubuh hendak tinggal pergi. Sekonyong-konyong Pek-kut-sin-mo melambung tinggi terus meluncur turun di hadapan Thianhi, dengan pandangan dingin tidak bersahabat ia pandang Thian-hi. Berjingkrak Hun Thian-hi, batinnya: kenapa Pek-kut-sin-mo tidak terbelenggu, apalagi ilmu silatnya begitu tinggi, terang dirinya bakal konyol di tangannya. Lama Pek-kutsin-mo mengamatinya, dia pun tak berani bergerak. Mendadak Pek-kut-sin-mo mencengkeram dengan telak ke arahnya, gerakan orang begitu cepat, sebelum ia bergerak tahu-tahu sudah kena dijinjing. "Ternyata kau bisa masuk kemari. Lima puluh tahun sudah aku tidak pernah melihat manusia hidup." Thian-hi pejamkan mata pasrah nasib saja tanpa hiraukan kata-kata orang. Entah cara bagaimana orang dapat lolos, konon kabarnya Pek-kut-sin-mo diantara Si-gwa-sammo adalah iblis yang paling kejam dan telengas, namun ilmu silatnya justru yang paling rendah, entah cara bagaimana sekarang ia telah lolos dari kurungan. Sekian lama Pek-kut-sin-mo mengamati Thian-hi dengan seksama, akhirnya mendengus dan berkata, "Kau terjatuh di tanganku, hanya kematianlah yang harus kau tempuh, jangan harap dengan sikap galakmu ini kau akan bertahan hidup." Thian-hi mendelikkan matanya dengan beringas menatap muka Pek-kut-sin-mo. Pekkut-sin-mo menjadi semakin murka, tangannya terangkat hendak mengepruk. Sekarang baiklah kita mengikuti jejak Sutouw Ci-ko, waktu ia menyahuti seruan Thian-hi mendadak selarik tenaga besar tahu-tahu menjinjing tubuhnya ke atas, baru saja ia berteriak kejut jalan darahnya sudah tertutuk, seketika suaranya sirap. Waktu ia melirik, seseorang nenek tua mengempit tubuhnya dibawa lari terbang ke atas sebuah lobang gua lainnya, di kejap lain mereka sudah tiba di dalam sebuah ruang batu. Sinenek meletakkannya oitanah, napasnya sengal2, wajahnya kuyu dan kecapekan, ia duduk bersila tanpa bergerak, sesaat kemudian baru ia membuka matanya, napasnya sudah teratur kembali. Segera ia membuka jalan darah Sutouw Ci-ko, dengan mendelong Sutouw Ciko awasi nenek tua keriputan ini, bergegas berdiri terus putar tubuh hendak lari. Sinenek terkekeh dingin, tangannya meraut dari kejauhan, kontan Sutouw Ci-ko kena terseret mundur, terdengar sinenek bicara, "Jangan lari! Apa kau belum pernah dengar nama Kiu-yu-molo?" Pucat wajah Sutouw Ci-ko. sejak mula ia merasa bahwa sinenek bukan orang baik, namun ia tidak nyana sinenek ini adalah salah seorang' dari Si-gwa-sam-mo, hatinya menjadi takut dan ngeri. "Bangkotan tua itu tidak melihat." demikian ujar Kiu-yu-mo-lo, "Tapi aku melihat tegas, bocah itu memberi kau dua lembar daun Kiu-thian-cu-ko bukan?" Sutouw Ci-ko terlongong, sahutnya, "Benar-benar! Menang itulah daun buah ajaib!" "Darimana kalian mendapatkan daon itu?" tanya Kiu-yu-mo-lo dengan mata mendelik beringas. Melihat wajah orang tidak enak dipandang, Sutouw Ci-ko tahu orang pun tengah mengincar daun buah ajaib itu, dengan tertawa ia berkata, "Gampang saja, pergilah kau tolong adikku itu, dia masih punya beberapa lembar." Jelilatan biji mata Kiu-yu-mo-lo, dengan geram ya membanting tangan di tanah, ia tahu bahwa hati punya minat namun tenaga sendiri tidak mampu, sekarang dia sudah kehabisan tenaga untuk memutuskan rantai yang membelenggunya. Apalagi ia masih gentar menghadapi Toksim-sin-mo, maka ia hanya menggondol lari Sutouw Ci-ko yang jaraknya rada jauh dari Tok-simsin-mo. Tapi sekarang baru ia tahu bahwa Hun Thian-hi masih memiliki daon buah ajaib itu, sungguh ia sangat menyesal, kenapa tidak menyerempet bahaya menolong Hun Thian-hi saja, kalau sekerang balik kesana, tentu sudah kasep. "Apa benar-benar"'" demikian ia menegas dengan uring-uringan, tiba-tiba sorot matanya berkilat buas membayangkan nafsu membunuh yang tebal. Keruan Sutouw Ci-ko sangat terkejut, ia insaf bahwa Si-gwat-sam-mo rata2 bertangan gapah berhati kejam, sekali pukul mungkin Kiu-yu-mo-lo bisa membunuh dirinya. Otaknya yang cerdik segera mendapat akal, "Masih ada sepucuk buah ajaib yang lain disuatu tempat. Kira-kira dua bulan lagi buahnya bakal masak, jikalau kau sudi menolong adikku, kuajak kau ke tempat itu." Obrolannya ini melulu Jalan belaka. Dengan sinis Kiu-yu-mo-lo memandang Sutouw Ci-ko, ia kurang dapat mempercayai keterangan orang, tapi bila itu benar-benar ada, tentu sangat menguntungkan dirinya. Ia tahu bahwa Lwekang Tok-sim-sin-mo lebih tinggi dari kepandaiannya, jika bisa mendapatkan buah ajaib itu masa takut lagi menghadapi Tok-sim-sin-mo. "Bisa memperoleh sepucuk buah ajaib saja sudah merupakan suatu kurnia yang sulit didapat, masa masih ada pucuk yang kedua" Kau sangka aku bocah kecil yang gampang ditipu?" "Demi jiwa adikku, masa aku berani menipu kau" Seumpama aku benar-benar ngapusi kau mengandal kepandaian silatmu masa kuatir apa lagi. Ketahuilah kedua pucuk pohon buah ajaib itu tumbuh dalam suatu tempat yang sama!" - Dia pernah dengar penuturan Thian-hi tentang buah ajaib itu maka segera ia menambahi, "Bukan kami berdua yang menemukan pohon buah itu adalah seorang Hwesio tua bernama Go-cu Taysu yang telah menunggunya selama enam puluh tahun." Sebenar-benarnya Sutouw Ci-ko hanya meng-ada2 saja, namun serta ia menyinggung nama Go-cu, maka Kiu-yu-mo-lo lantas memancarkan sinar aneh yang cemerlang, tanyanya menegas, "Apa Go-cu?" "Apa kau kenal dia?" tanya Sutouw Ci-ko. Kiu-yu-mo-lo adalah iblis besar pada ratusan tahun yang lalu, masa tidak mengenal tokoh macam Go-cu, diam-diam girang hatinya setitik harapan telah menyenangkan hatinya. Pasti tidak salah lagi, mengandal dua bocah ingusan masa begitu gampang bisa mendapatkan Kiu-thian-cuko. kalau Go-cu itu dapat dipercaya dan masih diakal. Setelah mendengus ia berkata kepada Sutouw Ci-ko, "Kau bawa aku ke tempat dimana pucuk pohon buah ajaib itu berada." "Kau minta aku mencari Kiu-thian-cu-ko, maka kau harus menolong adikku dulu." "Sudah tentu! Tapi aku kalah menempur iblis tua itu! setelah mendapat Kiu-thiancu-ko baru aku mampu menolong adikmu." "Apa?" berubah air muka Sutouw Ci-ko. Kiu-yu-mo-lo menyeringai sinis, katanya, "Si-gwa-sam-mo terkurung bersama digua ini selama lima puluh tahun baru sekarang aku dapat lolos, orang tua yang kalian hadapi dalam rawa itu adalah Tok-sim-sin-mo, apa kau dapat mempahami keteranganku?" Pucat pasi wajah Sutouw Ci-ko, tamatlah riwayat Hun Thian-hi, jika tidak mati ambles ke dalam rawa pasti menjadi korban Tok-sim-sin-mo, kepala terasa berat matapun berkunangkunang, terhujung sempoyongan ia jatuh meloso, pingsan. Kiu-yu-mo-lo terloroh-loroh, dengan tajam ia pandang Sutouw Ci-ko yang pingsan tak bergerak kalau bukan ingin mendapatkan buah ajaib, sejak tadi ia sudah cabut nyawa Sutouw Ci-ko. Ia membangunkan Sutouw Ci-ko dengan meng-goyang2kan badannya, serunya, "Mari kau ajak aku mencari buah ajaib itu. kalau ketemu, kuberl jalan hidup padamu." Sutouw Ci-ko terlongong seperti orang linglung, matanya merah dan basah oleh air mata, sekian lama ia berdiam diri tak bergerak. "Baru pertama kali ini aku menolong jiwa manusia selama hidup. Kalau bukan karena buah ajaib itu, sejak tadi sudah kubunuh kau." Sesaat kemudian baru Sutouw Ci-ko sempat membuka mulut, katanya, "Tadi sengaja kutipu kau, sebetulnya tiada pohon buah ajaib yang lain, aku pun tidak tahu dimana buah itu berada." Tiba-tiba terpikir oleh Kiu-yu-mo-lo, "Tindak-tanduk Gu-cu sebagai naga yang kelihatan kepalanya. tidak kelihatan ekornya, kau kenal namanya, mana mungkin tidak tahu, terang sengaja hendak mengelabui aku." Karena pikirannya ia menjadi gusar, desisnya, "Kau anggap dapat menekan aku untuk menolong adikmu itu?" "Kau takkan mampu menolong dia," ujar Sutouw Ci-ko menggeleng,.Kau bunuh aku saja!" Kiu-yu-mo-lo menggerung serak, sebat sekali ia tutuk jalan darah Sutouw Ci-ko terus dikempit diketiaknya, dibawa lari melesat ke arah pintu gua. Diambang mulut Gua seribu Buddha kala itu penuh sesak berjejal para kaum persilatan, semua orang hanya berani longak-longok ke dalam, tiada seorang pun yang berani beranjak masuk. ' Kiu-yu-mo-lo menyangsikan keterangan Sutouw Ci-ko, tujuannya hendak menggondolnya keluar dari Jian-hud-tong, begitu cepat gerak tubuhnya laksana kilat berkelebat, waktu tiba diambang pintu ia rada merandek, terlihat ratusan orang tengah berjaga dan mengepung mulut gua. Dalam hati ia menjengek dingin, "orang-orang ini mencari mati kemari!" Sedikit merandek, laksana anak panah meluncur tubuhnya meluncur keluar gua. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Semua orang seperti melihat seekor burung melesat keluar secepat kilat. Sekilas Te-ciat sudah melihat jelas seorang nenek mengempit Sutouw Ci-ko, maka sambil membentak keras ia melompat naik ke atas seraya kerahkan delapan bagian tenaga murninya terus menepuk ke arah Kiu-yu-mo-lo. Melihat ada orang berani merintangi, Kiu-yu-mo-lo terloroh-loroh dingin, sebelah tangannya dijulurkan memapak, begitu pukulan kedua belah pihak saling bentrok. masingmasing terpental mundur terus menyurut tiga langkah. Keruan bukan kepalang gusar Kiu-yu-mo-lo, latihan selama lima puluh tahun di dalam Jian-hudtong terhitung sia-sia, baru saja keluar pintu lantas dirintangi orang, apa-apaan ini. Dilain pihak Te-ciat Taysu sendiri juga bukan olah-olah kejutnya, Siau-lim-pay diagungkan karena ilmu pukulannya yang lihay, dengan mengerahkan delapan tenaga murninya, dirinya masih tak kuasa berdiri tegak, sebagai seorang pejabat Ciangbunjin, mana mandah terhina dihadapan begini banyak orang. Kiu-yu-mo-lo melengking tinggi dengan murka, tubuhnya melompat naik ke atas terus menyerang dengan penuh kegusaran. Lekas-lekas Te-ciat Taysu juga mengaum seperti harimau berang, dengan kekuatan dua belas bagian tenaga murninya ia pukulkan telapak tangannya memapak ke arah serangan Kiu-yu-mo-lo. Begitu melihat kedahsyatan pukulan lawan, Kiu-yu-mo-lo insaf bahwa hawa murni sendiri sudah ludes tenaga juga kurang kuat, sebelah tangan saja takkan kuat melawan, sigap sekali ia lemparkan tubuh Sutouw Ci-ko ke tengah udara, serempak kedua telapak tangannya terus menekan ke arah pukulan Te-ciat Taysu. Melihat perbawa tekanan Kiu-yu-mo-lo, terkejut Te-ciat Taysu, tahu ia bahwa dirinya bukan tandingan lawan, namun untuk menghindar sudah terlambat, apalagi tekanan tenaga musuh bagai gugur gunung telah melanda tiba, terpaksa ia sambut dengan kekerasan. "Blum!" Terlihat Teciat Taysu terpental jumpalitan terus rebah tak bergerak lagi. Sementara itu, Kiu-yu-mo-lo terkekeh-kekeh seperti bunyi burung kokok beluk, setangkas burung walet tubuhnya jumpalitan ditengah udara, tepat sekali meraih tubuh Sutouw Ci-ko yang melayang turun, dalam kejap lain ia sudah terbang pergi laksana burung elang. Seluruh orang-orang gagah diluar Gua seribu Budha menjadi kesima kaget, orang aneh yang mendadak muncul ini begitu enteng membawa Sutouw Ci-ko pergi. Te-ciat sendiri begitu beradu pukulan lantas terbanting jatuh dan pingsan, terang terluka dalam yang sangat parah. Sekejap saja bayangan Kiu-yu-mo-lo sudah menghilang dikejauhan dengan mengempit Sutouw Ci-ko. Lalu kemanakah Hun Thian-hi" Tiada seorang pun yang berani masuk ke dalam Jian-hud tong. Dilain pihak, Thian-hi sudah pejamkan mata pasrah nasib saja, pukulan dahsyat Pek-kut-sin-mo dengan telak mengenai kepalanya, tapi mendadak ia merasa tenaga pukulannya yang hebat itu seperti tenggelam didasar lautan, sirna tanpa bekas, keruan bukan kepalang kejut Pek-kut-sin-mo, sesaat ia terlongong ditempatnya. Waktu pukulan Pek-kut-sin-mo mengenai kepalanya kontan Thian-hi merasa kepalanya tergetar seperti dipukul godam, namun sedikit pun ia tidak kurang suatu apa, seketika terasa segulung hawa hangat mengalir dan menerjang berputar keseluruh badannya. Mendadak teringat olehnya akan penuturan majikan Ngo-hong-lau, bahwa khasiat buah ajaib semua tersekam di dalam jalan darah Pek-hwe-hiatnya, sedang pukulan hebat Pek-kut-sin-mo tadi secara kebetulan tepat mengenai Pek-hwe-hiat, bukan saja kepalanya tidak pecah hancur dan mati, malah secara tidak sengaja orang telah bantu membujarkan khasiat buah ajaib ke dalam seluruh badannya. Thian-hi insaf kesempatan untuk melangsungkan hidup selanjumja hanya kilasan waktu saja cepat-cepat ia kerahkan hawa murninya menuntun hawa panas itu menjalar kesegala urat nadi dan jalan darah di seluruh tubuhnya. Hawa hangat itu secepat kilat sudah bergulung-gulung tiga putaran mengelilingi seluruh tubuh Thian-hi. Tatkala itulah pukulan kedua Pekkut-sin-mo sudah menepuk tiba kepunggung Thian-hi. secara gerak reflek Thian-hi bersuit panjang, tubuhnya mencelat bangun berbareng mengebaskan sebelah tangannya ke belakang menyambut pukulan Pek-kut-sin-mo. Dengan murka Pek-kut-sin-mo menambah tenaga dengan membarengi tangan kanan ikut memukul. gelombang badai segera menerpa dengan dahsyat ke arah Thian-hi. Dilain kejap kekuatan kedua belah pihak beradu ditengah jalan. Meminjam tenaga benturan kedua tenaga raksasa ini tubuh Hun Thian-hi mencelat terbang ke depan semakin menjauh. Sementara Pek-kutsin- mo tergetar mundur beberapa langkah. Gema benturan yang dahsyat mendengung di dalam gua nan sunyi itu, seperti gunung meletus..... Bab 13 Pek-kut-sin-mo menggembor panjang seperti geledek mengguntur, sebagai bangkotan silat dengan latihan masa lima puluh tahun di dalam gua masa setanding melawan bocah ingusan, bukankah sia-sia hidup lima puluh tahun dalam gua ini. Bagai elang menukik ke angkasa tubuhnya mumbul ke atas, serangan kedua sudah dilancarkan. Mendadak di belakangnya kedengaran sabda Buddha yang nyaring menggema. Lekas-lekas Pek-kut-sin-mo melorot turun serta berpaling ke belakang, dengan kejut kegirangan ia menubruk maju serta menyembah hormat, "Kayap Cuncia, kapan kau orang tua datang kemari!" Thian-hi sendiri kala itu tengah dimabuk kegirangan bahwa Lwekangnya ternyata maju berlipat ganda dalam sekejap waktu, ini terbukti bahwa khasiat buah ajaib sudah bujar dan mendarah daging di dalam tubuhnya karena pukulan Pek-kut-sin-mo tadi. Melihat Pek-kun-sin-mo begitu murka dan menyerang dengan kalap, ia lebih waspada dan siaga untuk menghadapi segala kemungkinan, sekonyong-konyong didengarnya sabda Buddha yang menggetarkan sanubarinya, di lain saat dilihatnya Pek-kun-sin-mo menubruk maju kehadapan seorang Hwesio tua dan menyembah hormat. Dengan tersenyum Hwesio tua itu mengelus kepala Pek-kun-sin-mo. Ka-yap Cuncia sudah tersohor dikolong langit, sekarang secara beruntung dirinya bisa jumpa di tempat ini, tersipu-sipu ia maju berlutut serta sapanya, "Tecu Hun Thian-hi, menghadap Sinceng!" "Kalian bangunlah!" ujar Ka-yap Cuncia tertawa. Berbareng mereka bangkit berdiri, dengan mendelik Pek-kut-sin-mo pandang Hun Thian-hi. Sebaliknya Thian-hi tengah pikirkan urusan lain, ia tak hiraukan sikap galak orang. Dengan tersenyum Ka-yap Cuncia berkata kepada Pek-kut-sin-mo, "Lima puluh tahun lamanya watak berangasan Pek-sicu masih belum luntur!" Terperanjat Pek-kut-sin-mo, cepat katanya, "Entah darimana bocah ini, kukira dia hendak mencari pusaka itu, maka tidak akan kuberi ampun!" "Dia kemari tentu punya tujuan," demikian ujar Ka-yap Cuncia, "bukankah kau sudah melulusi aku untuk tidak sembarangan membunuh orang. Kenapa tadi begitu gegabah. Untung khasiat kekuatan buah ajaib mengeram di Pek-hwe-hiat, kalau tidak masa jiwanya bisa hidup karena pukulanmu tadi." Ka-yap Cuncia pejamkan mata, sesaat kemudian ia berkata pula, "Lima puluh tahun yang lalu, karena kesalahan pikiran, demi kebajikan, sekarang berbuah meninggalkan bibit bencana. Kedatanganku ini justru untuk menyelesaikan urusan terakhirku selama hidup ini." "Apakah Taysu punya janggalan hati?" tanya Pek-kut-sin-mo. Ka-yap Cuncia tersenyum, pandangannya beralih kepada Hun Thian-hi, katanya, "Soal ini punya sangkut paut dengan Hun-sicu ini." Tersentak sanubari Thian-hi, percakapan Ka-yap dan Pek-kun-sin-mo sudah cukup membuatnya bingung dan keheranan, sekarang masih ada persoalan dari lima puluh tahun yang tertangguhkan itu punya hubungan erat dengan dirinya, betapa hatinya takkan kejut. "Dengan bocah ini?" tanya Pek-kut-sin-mo melengak. "Ya," sahut Ka-yap tersenyum. "Untuk urusan Hun-siculah aku menyusul kemari dari Thianlam." Demi aku" Demikian Thian-hi dirundung pertanyaan, begitu jauh Ka-yap menyusul kemari, entah untuk urusan penting apakah" Dengan tersenyum lebar Ka-yap mengawasinya, ujarnya, "Pengalamanmu aku tahu semuanya. Setelah mendengar berita itu, aku lantas tahu siapakah Mo-bin Suseng itu. Tak nyana, disaat aku tak berada dia kembali menimbulkan huru hara pula di Tionggoan." Tergetar hati Thian-hi, cepat ia bertanya, "Siapakah Mo-bin Suseng?" pertanyaan ini menjadi teka-teki selama puluhan tahun, tiada seorang pun yang tahu nama dan muka asli dan Mo-bin Suseng. Tapi terhadap setiap tindak tanduknya yang serba pintar dan rapi itu, semua orang menjadi gentar dan segan mendengar nama julukannya. Sekarang hanya Ka-yap Cuncia yang diagungkan sebagai tokoh nomor satu sejagad ini tahu seluk beluk perkara itu. "Ih-lwe-tok-kun, apakah kau masih ingat dia?" demikian tanya Ka-yap Cuncia terhadap Pek-kutsin- mo. Pek-kut-sin-mo manggut-manggut dengan hambar dan mendelong, entah untuk apa Kayap menyinggung tokoh jahat itu. Thian-hi juga melengak heran. Ih-lwe-tok-kun, itulah iblis besar setingkat lebih tua dari angkatan Ang-hwat-lo-mo, dulu pernah dengar nama ini, namun sudah lama dilupakan. Kata Ka-yap, "Mo-bin Suseng adalah duplikat Ih-lwe-tok-kun dulu itu." - pelanpelan ia menghela napas. Thian-hi menjublek, menurut kabarnya ilmu silat Mo-bin Suseng tidak terlalu tinggi, tapi sekarang diketahui bahwa tokoh jahat itu adalah seorang iblis besar yang telah lama menghilang itu, sungguh sukar dipercaya. Ganti berganti Ka-yap pandang mereka berdua. melihat mereka menaruh curiga dan keheranan ia tertawa geli, ujarnya, "Dulu sebelum aku bersua dengan kalian bertiga, pernah dipuncak Thaysan aku menempurnya selama tiga hari tiga malam, meski dia kalah, aku juga sedikit terluka. Kamu tahu selamanya belum ada seorang pun yang mati ditanganku, secara suka rela ia bersumpah tidak muncul lagi di Kangouw, maka ilmu silatnya lantas kupunahkan dan melepasnya pergi. Tapi sungguh tidak kuduga sedemikian jauh ia masih mencari Ni-hay-ki-tin, sehingga menimbulkan gelombang pertikaian di dunia persilatan." Lalu dengan tertawa ia berkata kepada Hun Thian-hi, "Urusanmu aku tahu dengan jelas, pandangan Soat-san-su-gou memang tepat, mereka benar-benar. Mereka tahu kau berani berkorban demi tidak melancarkan jurus Pencacat langit pelenyap bumi itu, jelas bahwa kau punya hati yang bijaksana, seseorang yang bajik tidak akan menyeleweng ke jalan yang sesat!" Sungguh girang dan menyesal pula hati Thian-hi mendengar pujian Ka-yap Cuncia Arca Dewi Bumi 1 Wiro Sableng 085 Wasiat Sang Ratu Pendekar Penyebar Maut 23