Ceritasilat Novel Online

Banjir Darah Di Borobudur 2

Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo Bagian 2 seorang dara biasa yang mudah jatuh cinta dan mudah terluka oleh panah asmara Betapapun juga, terharu juga hatinya menyaksikan sepak terjang Indrayana yang jelas sekali menyatakan betapa besar cinta kasih dan kekaguman pemuda itu terhadap dia. Patung yang menyerupai wajahnya itu sampai dicuri dengan nekad oleh oemuda itu ! Merah wajah Pramodawardani apabila ia terkenang akan hal ini. Kemudian ia mendengar betapa ayah pemuda itu, Sang Wiku Dutaprayoga, ditangkap, dan betapa ayahnya mengeluarkan perintah penangkapan atas diri Indrayana ! Betapa duak dan kecewanya. Ia maklum bahwa gara-gara ini pada hakekatnya berdasar ats kelemahan hati pemuda itu yang jatuh cinta kepadanya ! Dan kalau sampai terjadi malapetaka dan hukuman menimpa diri pemuda itu dan Wiku Dutaprayoga, maka karena dialah itu ! dia merasa berdosa, seakan-akan dialah yang menyebabkan kemalangan menimpa keluarga itu. Kemudian ia mendengar pual tentang kembalinya rombongan Mah Wiku yang tidak berhasil menangkap Indrayana akan tetapi bahkan membwa pendeta yang membuat patung itu ! Ia mendengar betapa pendeta Mataram yang aneh itu telah mengorbankan diri sendiri dan menyanggupi untuk memikul semua hukuman yang hendak dijatuhkan atas diri Indrayana dan Wiku Dutaprayoga, dan bahwa kemudian pendeta yang bernama Panembahan Bayumurti itu hendak dikukum kubur hidup-hidup oleh maha Wiku Dharmamulya ! " Alangkah kejamnya ! alangkah ngerinya ! " berkali-kali Sang Puteri mengeluh seorang diri. Terbayanglah pada wajahnya pendeta yang aneh Koleksi Kang Zusi itu, yang dengan usapan tangan pada patung Dewi Tara telah dapat membuat muka patung itu menjadi seperti mukanya sendiri ! Terbayanglah ia betapa pendeta itu selalu tersenyum ramah, sepasang matanya bersinar-sinar penuh seri gembira. " Alangkah ngerinya ! Mengapa Rama Prabu membiarkan saja hukuman yang keji ini berlaku atas diri pertapa itu " " Hati Pramodawardani menjerit-jerit ketika ia duduk melamun dengan bunga teratai merah dan putih itu. " Biarpun pertapa itu orang mataram, akan tetapi iapun seorang manusia. Mengapa Rama Prabu tidak melarang dilangsungkannya hukuman yang melanggar perikemanusiaan ini " " Dengan hati sedih dan penuh kasian kepada sang pertapa, Pramodawardani tak terasa lagi turun dari batu tempat duduknya, berlutut dan berdoa ke arah empang. Disitu terdapat bunga-bunag teratai dan daun-daun teratai yang lebar dan indah mengambang di atas air. Siapa tahu, kalau pada saat itu, terdapat Dewata yang sedang duduk bertapa di atas daun-daun teratai itu, karena daun-daun teratai memang tempat bertapa para Dewata yang berhati mulya. Bibir pramodawardani yang merah dan indah bentuknya itu berbisik-bisik, " Semoga Sang Buddha dan Para Dewata melindungi Panembahan Bayumurti daripada hukuman yang keji ini ! " Pada saat itu, terdengar tindakan kakiperlahan di belakang Sang Puteri, kemudian terdengar suara riang. " Ayunda yang baik, engkau sedang berbuat apakah di situ " " Pramodawardani sadar daripada sama diaya kemudian ia berpaling. Wajah yang tadinya muram itu menjadi terang bagaikan wajah bulan purnama terbebas daripada selimutan mendung, bibirnya tersenyum kembali dan seakan-akan mekarlah semua bunga di dalam taman pada saat Sang Puteri Koleksi Kang Zusi tersenyum amat manisnya itu. " Adikku yang manis, kau mengejutkan hatiku, akan tetapi berbareng juga menggembirakan perasaanku. " " Ayunda Wardani, " kata anak laki-laki yang masih kecil itu, " tadi kulihat kau bermuram durja dan bersamadi seakan-akan ada yang menggangu hatimu. Apakah gerangan yang mengesalkahatimu, ayunda " " Pramodawardani memandang kepada adiknya dengan penuh kasih sayang. Adindanya ini, yang bernama Balaputeradewa atau biasa disebut Balaputera saja, memang seorang nak yang amat cerdik. Kepada adiknya ini sukarlah untuk membohong dan sukar sekali untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan matanya yang tajam. Pramodawardani tidak ingin menceritakan hal-hal yang memusingkan pikirannya itu kepada Balaputera, karena dianggapnya bahwa balaputera masih terlampau kecil untuk mengetahui akan hal-hal itu, maka ia lalu memeluk adiknya dan membelaibelai rambutnya sambil berkata denagn penuh kasih sayang, " Balaputera, adinda sayang. Aku tidak menyusahkan sesuatu, hanya sebelum kau datang, aku merasa kesunyian seorang diri di dalam taman. " " Mengapa tidak kaulihat seorangpun emban dan pelayan " Ke manakah mereka, ayunda " " tanya Balaputera sambil memandang ke kanan-kiri. Koleksi Kang Zusi " Aku sudah bosan mendengar kelakar mereka yang tiada henti-hentinya, adikku, maka kusuruh mereka mengundurkan diri dan mengaso. Kasian juag mereka telah bekerja sepanjang hari, bukankah mereka itu manusia juga seperti kita yang dapat lelah dan capai " " " Kau memang berbudi dan berhati mulia, ayunda. " " jangan memuji, adikku. Ayundamu hanya seorang manusia biasa saja, dan sebagai manusia, kita harus menanam budi sebanyak-banyaknya di hati sanubari kita, karena jangankan kita yang disebut manusia, mahluk terkasih dari para Dewata, sedangkan binatangpun tahu akan budi kemuliaan. Kau belum mendegar cerita tentang Burung Platuk dan Singa " " Balapuetera berseri wajahnya. Kakaknya ini memang pandai sekali bercerita, maka melihat kesempatan ini, ia tidak mau menyia-nyiakannya. Sambil memegang tangan ayundanya yang halus dan lebih besar daripada tangannya sendiri itu, ia berkata mendesak manja, " Belum, ayunda. Kau berceritalah, aku senang sekali mendengar ceritamu yang indah-indah ! " Pramodawardani tersenyum dan setelah mencium kening adiknya dengan mesra, ia berkata, " Dalam sebuah hutan yang amat besar hidup seekor singa yang amat liar dan buas. Hampair setiap hari terdengar singa itu mengaum dan menggereng keras menggetarkan seluruh hutan. Itulah tanda bahwa singa itu sedang menagkap seekor binatang lain menjadi kurban dan mangsanya, yaitu kelinci, kancil, rusa, dan binatang-binatang lemah sebangsa itu. Gerengan singa buas itu selalu didiringi pekik ketakutan dan kesakitan dari kuraban yang diterkamnya." " Alangkah kejamnya singa itu ! " Balaputera mencela, " Memang, adikku, singa memang seekor binatang yang amat kejam dna ganas. Oleh karenanya Koleksi Kang Zusi ia disebut raja hutan, sungguhpun bukan merupakan raja yang bijaksana, melainkan seekor raja hutan yang amat kejam dan ganas. Akan tetapi, telah beebrapa hari tidak terdengar geraman dan auman kemenagan dari singa itu, yang terdeganr hanyalah gerengan-gerengan perlahan tanda kesakitan dan kelaparan dari raja hutan itu, diselingi sorak sorai yang gembira ria dari para binatang kecil. Hal ini memang mengherankan dan tidak sewajarnya. Maka seekor burung platuk yang berbulu indah dan berpatuk kuat terbang berpitar-putar di atas pohon-pohon untuk mencari tahu apakah gerangan yang terjadi dengan di raja hutan. Akhirnya dapat juga ia menemukan singa itu Kiranya singa itu tengah bergulingan di bawah pohon dalam keadaan hampir mati. Perutnya kempis tanda kelaparan, rahangnya terbuka lebar-lebar tak dapat ditutupkan kembali, ternganga bagaikan sebuah gau merah yang mengerikan. " " Mengapakah gerangan dia " " tanya Balaputera dengan penuh perhatian. Ayundanya demikian pandai bercerita, suaranya halus lembut dan merdu sedangkan wajahnya bergerak membayangkan keadaan ceritanya sehingga pangeran kecil itu seakan-akan melihat di depan matanya sendiri peristiwa yang sedang terjadi di dalam cerita ayundanya. " Demikian pula pertanyaan yang diajukan oleh di burung pelatuk. " jawab Pramodawardani kepada adiknya, " Ia bertanya kepada singa itu setelah terbang turun dan berdiri di atas cabang pohon di dekat si raja hutan. Singa merasa malu untuk menerangkan, akan tetapi akhirnya ia menjawab bahwa ketika ia sedang makan tubuh seekor kancil yang menjadi mangsanya tiga hari lalu, tulang punggung kancil yang nakal itu telah melintang dan terselit di tenggorokannya, sehingga tulang itu berhenti di tengah-tengah, tak dapat ditelan tak dapat pula dimuntahkan keluar, membuat mulutnya terbuka dan terganjal tak dapat ditutupkannya kembali. " Koleksi Kang Zusi " Nah, itulah upah si rakus ! " kata Balaputera. Kakaknya tersenyum memandangnya. " Demikian pula yang dikatakan oelh burung platuk itu, adikku. Ia juga menegur singa dan mencelanya terlalu rakus. Orang makan tak boleh terburu-buru, tak boleh terlalu lahap dan rakus, harus memilih dengan hati-hati benda yang hendak dimasukkan ke mulut dan perut, demikian burung pelatuk yang bijaksana itu memberi nasihat. Singa merasa menyesal sekali dan baru insyaf akan segala kesalhannya, akan segala kekejamannya, kemudian sambil menangis sedih dia mohon pertolongan burung pelatuk itu untuk mengambilkan tulang yang mengganjal kerongkaongannya. Tulang itu melintang di dalam tenggorokan, sedangkan mulut singa itu terbuka lebar-lebar mengerikan, terlihat giginya yang runcing dan tajam manakutkan, sedangkan tulang itu berada jauh dui belakang gigi-gigi itu. Untuk dapat mengeluarkan tulang itu, burung platuk harus memasukkan kepalanya di dalam mulut itu sampai dalam, dan apabila tulang itu telah dilepaskan, maka sekali saja singa itu menutupkan mulut, akan putuslah leher burung platuk. " Jangan biarkan ia memasukkan kepalanya di dalam mulut singa, ayunda ! " seru Balaputera gelisah. Ayunda tersenyum, " Adikku, burung pelatuk itu penjelmaan Sang Bodisattwa yang bersifat suci dan mulia. Untuk memberi pertolongan kepada sesama hidup, dia takkan pernah merasa ragu-ragu, jangankan baru menghadapi bahaya, sungguhpun dia harus berkorban apa saja nyawanya sekalipun, dia takkan mundur ! Demikianlan, burung pelatuk yang bijaksana itu tanpa ragu-ragu lagi lalu memasukkan kepalanya ke dalam gua merah yang mengerikan itu, menggunakan paruh yang kuat untuk mematuk tulang kacil yang melintang di tenggorokan singa dan berusaha mengeluarkannya. Akhirnya berhasillah dia menolong nyawa singa itu dari bahaya maut ! " " Alangkah mulia hati burung platuk itu ! " Balaputera memuji, " Akan tetapi, kalau aku menjadi burung pelatuk, aku tak sudi menolong singa Koleksi Kang Zusi jahat itu. Hanya burung pelatuk yang demikian bodohnya, menolong si jahat dengan bahaya maut mengancam nyawa sendiri. Seorang bijaksana tak dapat berlaku sebodoh itu ! " Pramodawardani mengerutkan keningnya yang berkulit halus kemerahan itu. Kemudian menggelengkan kepalanya dan berkata halus, " kau keliru Balaputera. Budi luhur lebih berharga daripada keselamatan tubuh sendiri, karena budi itu ada hubungannya dengan jiwa. Budi tak dapat sirna, sedangkan tubuh pasti akan musnah. Budi dan jiwa selalu ada dan takkan sirna slamanya, adikku, karena itulah maka Sang Bijaksana Buddha telah memebri banyak sekali contoh-contoh pelajaran. Jangan kau kira bahwa hanya binatang seperti burung platuk saja yang mau mengorbankan nyawa untuk menolong sesama hidup. Pernahkan kau mendengar cerita tentang Raja kaum Syibi " " Balaputera menggelengkan kepala dan kembali timbul kegembiraannya karena ayunda akan bercerita lagi. " Pada suatu ahari, seekor burung dara putih yang dikejar-kejar oleh seekor burung rajawali, terbang dan mencari perlindungan di atas pangkuan Raja Kaum Syibi. Balaputera menggelengkan kepala dan kembali timbul kegembiraan karena ayundanya akan bercerita lagi. " Pada suatu hari, seekor burung dara putih yang dikejar-kejar oelh seekor burung rajawali, terbang dan mencari perlindungan di atas pangkuan Raja Kaum Syibi. Dara putih itu dengan suara pilu dan ketakutan Koleksi Kang Zusi minta pertolongan Raja dari pengejaran burung rajawali yang sedang kelaparan dan hendak menjadikan burung dara itu sebagai mangsanya. Maka datanglah burung burung rajawali itu terbang dengan gagah dan dasyatnya, turun di depan Raja dan menurut dikembalikannya burung dara yang mendekam dengan tubuh gemetar di atas pangkuan raja. " Mengapa Raja itu tidak mengambil gendewa dan menahan saja burung Rajawali yang jahat itu " " Balaputera mencela. " Tidak, adikku, Raja itu maat bijaksana da ia tahu memang burung rajawali itu hanya makan daging dari burung-burung lainnya yang kecil-kecil seperti halnya singa tadi. Raja hendak mengganti ketagihan rajawali dengan daging yang lebih banyak dan lebih besar, akan tetapi rajawali tetap menolak. Bahkan ia lalu menuduh, kepada Raja itu berlaku tidak adil dan berat sebelah. Katanya bahwa raja hendak menolong burung dara dari bahaya maut akan tetapi sebaliknya hendak membuat si rajawali mati kelaparan dan hendak mengingkari apa yang telah menjadi dari hak si rajawali itu. Raja menyatakan bahwa ia telah berjanji hendak menolong burunh dara itu dari bahaya maut dan bahwa sebagai seorang yang menjunjung tinggi janji sendiri, Raja itu akan suka berkorban apa saja untuk menepati janjinya. Burung rajawali lalu minta agar supaya Raja mengganti burung dara itu dengan daging Raja itu sendiri, sebanyak dan seberat burung dara itu. " " Permintaan yang bukan-bukan dan gila ! " seru Balaputera. " Tidak, adikku. Burung Rajawali itu adalah penjelmaan Dewata yang hendak menguji kesucian hati Raja kaum Syibi itu. Ketika Raja mendengar permintaan ini, tanpa ragu-ragu sedikitpun ia lalu mencabut pedangnya dan mengiris dagingnya sendiri pada betisnya sebanyak dan seberat burung dara itu dan memberikannya kepada burung Rajawali ! " Koleksi Kang Zusi Mendengar ini, Balaputera sampai melongo saking kagumnya terhadap kemuliaan hari Raja kaum Syibi itu, " Demikianlah, Balaputera. Agama kita telah memberi contohcontoh dan pelajaran yang jelas tentang sifat welas asih. Kalau engkau melihat seorang berada dalam bahaya maut dan terancam keselamatannya, apakah yang harus kau lakukan sesuai dengan ajaran kita " " Karena semangatnya telah dibakar oleh dua buah cerita tadi, anak kecil itu menjawab dengan gagah, " Aku akan menolongnya ! " " Betulkah " Sungguhpun engkau sendiri akan terancam bahaya usahamu menolong itu " " " Tentu saja aku berani menghadapi segala macam bahaya, seperti burung pelatuk itu dan aku berani berkorban sampai Raja Kaum Syibi itu ! " kata pula Balaputera dengan gagahnya. Pramodawardani memeluk adiknya dan menciuminya. " Adikku sayang, tidak perlu engkau mengorbankan sesuatu dan tak perlu engkau menghadapi bahaya. Akan tetapi kalau engkau memang mau dan sanggup, sekarang juga engkau akan dapat menolong nyawa dan keselamatan seorang yang terancam hebat. " Balaputera memandang kepada kakaknya dengan matanya yang bening dan lebar, mata seorang anak-anak yang masih bersih batinnya. " Apakah maksudmu ayunda " " Koleksi Kang Zusi " Balaputera, engkau tentu sudah mendengar bahwa seorang pendeta Mataram hendak diberi hukuman kubur hidup-hidup " Alangkah ngerinya ! Apakah engkau tidak kasian mengenangkan nasibnya " Sungguh lebih menyedihkan dari pada nasib singa buas dan burung dara itu. Engkau akan menjadi seorang anak yang baik kalau dapat dan mau menolongnya. " " Akan tetapi, ayunda. Bukankah dia itu musuh kita " Dia seorang pendeta Mataram, seorang kapir....... " " sst, jangan berkata demikian, Balaputera, adikku. Betapapun juga, dia seorang manusia seperti kita. Apa lagi dia seorang pendeta dan ahli pembuat patung, kita harus menolongnya. " " Akan tetapi, dia sudah dijatuhi hukuman. " " Bukan ayah yang menghukumnya, akan tetapi Maha Wiku Dharmamulya ! Bayangkan, adikku yang budiman, pendeta tua yang lemah dan ramah tamah itu, pendeta pandai yang bertangan halus, yang dapat membuat patung yang indah-indah, ia akan dikubur hidup-hidup. Bayangkan betapa sengsaranya, dimasukkan lobang di dalam tanah, lalu ditimbuni tanah, tak dapat bernapas, gelap, pengap...... ah, alagkah ngeri dan sengsaranya...... " " Aku mau menolong dia ! " tiba-tiba Balaputera berkata gagah dan cepat. " Akan tetapi, bagaimana caranya, ayunda " " Pramodawardani memeluk hatinya dengan hati girang. " Ah, kau memang seorang yang berhati mulia, kau calon manusia besar ! Dengarlah, adikku Koleksi Kang Zusi sayang, kalau aku bukan seorang wanita, tentu aku akan bertindak sendiri, takkan menyusahkan engkau yang kecil. Aku takkan dapat leluasa bergerak diluar keraton. Akan tetapi kau bisa, kau mudah saja bermain-main di luar keraton. Dan mempunyai banyak kawan-kawan, anak-anak lelaki kecil yang suka kauajak bermain-main di lapangan. Kau lebih bebas. Dengarlah baik-baik. Malam nanti tepat pada tengah malam, di kala bulan purnama telah berada di atas kepala kita. Panembahan Bayumurti akan dikubur hidup-hidup di sebelah barat alun-alun. Kau dan kawankawanmu setelah semua orang yang melakukan hukuman keji itu pergi, perglah ketempat pendeta itu dikubur, kau suruhlah kawan-kawanmu menggali kuburan itu dan kau bebaskan pertapa yang malang itu ! Dengan demikian kau akan menolong nyawa seorang suci, adikku ! " " Bagaimana kalau ayah mengetahui hal ini " " Jangan takut ayah takkan marah. Kalau seandainya ayah marah akulah yang akan bertanggungjawab. Aku akan mengakui bahwa kau hanya bertindak atas suruhan dan bujukanku. Biarlah ayah marah kepadaku. " Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo " Ayah tak peranh marah kepadamu, ayunda. Ayah amat sayang kepadamu. " " Karena itu, jangan kau takut kalau seandainya ayah mengetahui perbuatanmu ini. Betapapun juga usaha kita ini adalah usaha baik yang keluar dari hati nurani kita. Usaha menolong nyawa seseorang . " " Kalau sampai Maha Wiku Dharmamulya mengetahuinya " " " Biarkan saja ! Ia akan berani ebrbuat apakah terhadap kita " " Koleksi Kang Zusi " Baiklah, ayunda Pramodawardani. Akan tetapi....... Bagaimanakah dengan Indrayna itu " " Pramodawardani memandang kepada adiknya dengan mata terbelalak lebar. " Apa maksudmu " " Balaputera tersenyum mengoda. " Ayunda, aku telah mendengar bahwa pemuda elok itu...... bahwa ia mencintaimu dan mencuri patungmu, bukan " " " Bedebah benar orang yang menceritakan hal itu kepadamu ! " Sang Puteri mamaki marah, " Ssst, ayunda. Tak baik memaki dan menyumpah orang ! " merahlah wajah Pramodawardani. " Orang itu...... Indrayana itu, Orang kurang ajar yang tidak ada hubungannya dengan persoalan ini. " " Sayang, aku selalu suka kepaad Indrayana. Semua kawanku menyatakan bahwa Indrayana amat gagah perkasa. Pernah dengan tangan kosong ia menangkap dan merobohkan seekor kerbau yang gila dan mengamuk ! Sayang sekali, ayunda, aku suka kepadanya. Sayang engkau tidak suka kepada orang gagah perkasa itu. " " Siapa bilang tidak suka ....... ! " Koleksi Kang Zusi " Jadi engkau suka kepadanya " " Balaputera berseri. " Kalau aku berkata bahwa aku bukannya ridak suka kepadanya, ini bukan berarti pula bahwa aku suka ! " " bukan tidak suka, dan juga bukan suka ! Aneh sekali, habis apakah perasaanmu terhadapnya, ayunda yang manis " Apa engkau tidak senang melihat Indrayana yang tampan dan gagah itu " " " Memang ia tampan dan gagah, " kata Pramodawardani terus terang Apakah engkau tidak kagum melihat keberanian dan ketangkaannya " " " Mungkin ia berani dan tangkas. " " Nah, mengapa tidak suka dan juga bukan membenci " " " Sudahlah, cukup engkau ketahi bahwa dia adalah seorang yang kuang ajar ! Aku tidak senang melihat orang berlaku kurang ajar ! Cukuplah tentang Indrayana, sekarang baik engkau bersiap dan mengumpulkan kawan-kawanmu. Hari telah mulai gelap ! " Demikian, pada malam hari itu, menjelang tengah malam, di waktu bulan sedang bulat-bulatnya, terjadilah pelaksanaan hukuman yang amat kejam Koleksi Kang Zusi itu Panembahan Bayumurti dikubur hidup-hidup di sebuah lobang yang dalam, kemudian ditimbuni tanah. Yang melaksanakan hukuman ini adalah algojo-algojo yang memang bertugas melaksanakan hukuman-hukuman mati. Upacara hukuman dikepalai oleh Maha Wiku Dharmamulya sendiri, bersama beberapa orang wiku pembantunya. Sesunggunya, hal ini tidak disetujui oleh pendeta Hindu Wisananda, pembantu Maha Wiku Dharmamulya, akan tetapi Maha Wiku itu tidak perduli, hanya berkata, " Sahabat Wisananda, mungkin hal ini agak ganjil bagimu. Akan tetapi ingat, kebiasaan di negerimu tidak sama dengan kebiasaaan di negeriku ! Hukuman ini penting sekali, untuk menyatakan kepada semua orang Mataram bahwa kita tak boleh dipermainkan begitu saja. " Maka dikuburlah Panembahan Bayumurti dan anehnya, selama dilakukan upacara, pendeta itu hanya atersenyumsenyum dan wajhnya berseri-seri, sama sekali tidak kelihatan seperti orang yang sedang menjalankan hukuman mati, bahkan seakan-akan seorang mempelai laki-laki yang sedang bersiap untuk menyambut mempelai wanita tak lama lagi ! Pemandangan pada malam hari itu amat menyeramkan. Bayangan Maha Wiku Dharmamulya yang berkepala gundul itu bagaikan bayangan seorang iblis sendiri tengah tersenyum-senyum menikmati kemenangannya. Hati para wiku lain merasa tidak enak dan di dalam lubuk hatinya,setiap orang wiku tidak menyetujui hukuman ini. Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang berani membantah pendeta kepala itu. Tentu saja Maha Wiku Dharmamulya yang sedang kemasukan bisikan setan-setan nafsu angkara mrka dan dendam itu tidak merasai kesalahan sendiri. Jangankan seorang manusia, seorang dewapun agaknya sukar untuk dapat menginsyafi kesalahan diri sendiri ! Diam-diam ia bahkan merasa bahwa sebagai pendeta kepala ia telah bertindak benar, telah dapat meninggikan agamnya, dapat membasmi sorang musuh agamannya, seorang kapir yang menghina Agama Buddha Didalam dirinya. Koleksi Kang Zusi Maha Wiku Dharmamulya merasa bahwa ia telah berjasa besar ! Bulan purnama agaknya merasa segan menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu, menyaksikan seorang dikubur hidup-hidup, maka tiba-tiba bulan bersembunyi di balik segumpal awan, membuat permukaan dunia yang tadinya terang benderang menjadi gelap. Hal ini mendatangkan perasaan lebih tak enak lalu mendesak kepada Maha Wiku Daharmamulya untuk meninggalkan tempat hukuman itu. Karena menganggap bahwa upacara itu telah beres, Maha Wiku Dharmamulya lalu memesan kepada tiga orang algojo untuk menjaga di tempat itu sampai fajar, sedangkan ia sendiri bersama semua wiku pergi meninggalkan tempat itu. Ketika orang petugas algojo itu adalah orang-orang kasar yang bodoh dan masih tebal kepercayaan mereka akan segala hal tahyul. " Kakang Dentalaya, " kata seorang diantara mereka kepada pemimpin mereka, " Untuk apakah kita menjaga di sini " Dingin dan tidak enak, lagi gelap " " Benar, pekerjaan kita kali ini sungguh tidak menyedapkan hati. Lebih senang kalau disuruh memenggal leher seorang hukuman. Sekali penggal dengan klewang beres ! " berkata orang ke dua. Pada saat itu, karena merasa kecewa melihat bulan menyembunyikan diri, seekor burung hantu memekik nyaring sehingga ketika orang algojo yang dapat melihat darah menyembur dari leher korban dengan senyum di bibir tiba-tiba menggigil dengan hati berdebar-debar tak tenang. Koleksi Kang Zusi " Kalian benar. " kata Dentalaya. " akupun merasa tidak enak kalau teringat akan wajah pendeta Bayumurti yang ramah tamah dan tersenyumsenyum menghadapi kematiannya itu. Biasanya orang yang akan menjalani hukuman mati tidak sedemikian itu mukanya. Aku lebih suka kalau melihat dia melolong-lolong minta ampun. Mari kita pergi saja dari sini, siapa tahu kalau-kalau pendeta ini adalah murid seorang iblis yang akan datang mengamuk dan membalas dendam kepada kita ! " Ucapan kepala mereka ini mendatangkan dorongan yang membuat ketiganya lalu pergi dari situ dengan langkah ringan dan cepat seakan-akan di belakang mereka telah mengejar seorang iblis yang menakutkan ! Kalau saja algojo-algojo yang berhati kejam akan tetapi penakut itu berani menengok lagi, tentu lari mereka akan lebih cepat lagi oleh karena seperti dugaan mereka, benar-benar telah muncul banyangan-bayangan pendek kecil dari belakang pohon-pohon. Bayangan-bayangan kecil initanpa banyak cakap lalu mengerjakan pacul yang mereka bawa untuk mengali kembali kuburan yang memendam tubuh Panembahan Bayumurti. Tentu para algojo itu akan menyangka bahwa bayanganbayanganini adalah setan-setan cebol atau bujang-bujang keplek yang menakutkan. Padahal sesungguhnya, mereka ini adalah anak-anak kecil yang dipimpim oleh Pangeran Balaputera dewa yang mentaati permintaan ayundanya ! Tak lama kemudian, terbongkarlah tanah kuburan yang mudah dipaculi itu dan alangkah herannya anak-anak itu ketika melihat bahwa tubuh yang dipendam itu sama sekali tidak mati, bahkan ketika kuburan telah terbongkar, mereka melihat tubuh Panembahan Bayumurti sedang enak duduk bersila dan kini memandang kepada mereka dengan mulut tersenyum. Kalau saja anak-anak itu tidak membongkar kuburan, agaknya pendeta inipun dapat keluar sendiri Memang Panembahan bayumurti adalah seorang sidik dan sakti mandraguna, yang mempunyai aji dan kepandaian luar biasa sehingga ia takkan mati kalau hanya menghentikan jalan pernapasan untuk beberapa Koleksi Kang Zusi lama saja. Kepandaiannya terlalu tinggi untuk dapat mati dikubur hidup-hidup. Oleh karena itu maka ia sengaja memilih hukuman itu. " Anak-anak yang baik ! " kata pendeta itu setelah anak-anak itu hilang rasa kagetnya. " Kalianlah yang akan menjadi pendeta-pendeta utama dari Agama Buddha. Di bawah pimpinan Pangeran Balaputera Dewa, kalianakan memkin jaya kerajaan yang beragama Buddha ! " Setelah berkata demikian, kali tubuh itu bergerak lenyaplah pendeta itu dari pandangan Balaputera dan kawan-kawannya. Tentu saja anak-anak itu menjadi ketakutan dan segera melarikan diri cerai-berai. Balaputera segera mendapatkan ayunda dan menceritakan pengalamannya. Pramodawardani menghela napas panjang dan berkata perlahan, " Sudah kuduga, adikku. Pendeta itu bukanlah orang sembarangan dan perbuatan Maha Wiku Dharmamulya sungguh memalukan kita ! Jangan kau ceritakan peristiwa itu kepada orang lain, adikku yang baik ! " Sang Puteri Pramodawardani tidak tahu bahwa adiknya tidak menceritakan semuanya. Bahkan kepadanya sendiri, Balaputera tidak menceritakan tentang kata-kata Pendeta Bayumurti tadi tentang kerajaan beragama Buddha yang kelak berada di bawah pimpinanya. Balaputera masih kanak-kanak. Usianya masih sebelas tahun, namun anak ini memang memiliki kecerdikan luar biasa. Ia maklum bahwa sebagai puteri sulung, kakaknya lebih berhak atas mahkota ayahndanya, maka tidak pada tempatnya dan kurang enaklah kalau ia menceritakan tetang ramalan Panembahan Bayumurti bahwa kelak ia yang akan membikin jaya kerajaan beragama Buddha. Tentu saja anak ini tidak sekali-kali menyangka bahwa ramalan pendeta sakti itu memang cocok, akan tetapi kerajaan beragama Buddha bukanlah Kerajaan Syailendra di Pulau Jawa, akan tetapi Kerajaan Sriwijaya di seberang. *** Berkat pertolongan Panembahan Bayumurti Indrayana dapat meloloskan diri dari cengkraman Maha Wiku Dharmamulya dan rombongannya. Raden Pancapana yang ternyata gagah perkasa itu bersama dara jelita Candra Dewi mentaati pesan Sang Panembahan, ikut pergi dengan Indrayana untuk bersama-sama menghadap Sang Pertapa Begawan Ekalaya di Muria. Koleksi Kang Zusi Kalau saja di antara mereka tidak terdapat seorang dara seperti Candra dewi, tentu Indrayana dan Raden Pancapana telah mengerahkan kepandaian mereka. Akan tetapi sungguhpun Candra Dewi adalah keturunan seorang ahli tapa yang sakti, tetap saja ia merupakan seorang wanita yang halus dan lemah lembut. Kulit telapak kakinyademikian tipis dan halus sehingga dara ini berjalan dengan mua tunduk, memilih tempat yang rata dan halus untuk kakinya berpijak, berjalan dengan langkah tenang dan halus tidak tergesa-gesa. Kedua taruna itu terpaksa berlaku sabar, mengiringkannya dengan perlahan dan perjalanan itu seakan-akan merupakan perjalanan tamasya belaka, sekali-kali bukan perjalanan orang-orang yang diburu musuh. Oleh karena itu, perjalnan yang amat sukar itu makan waktu lama sekali. Namun, betapapun sukar dan jauhnya perjalanan, candra Dewi memperlihatkan bahwa darah pertapa yang tahan menderita mengalir di dalam tubuhnya. Tak pernah terdengar keluhan dari bibirnya berbentuk indah, tak pernah keningnya yang halus itu berkerut, bahkan jarang sekali ia mengeluarkan kata-kata kalau tidak untuk menjawab sesuatu pertanyaan. Juga Raden Pancapana orangnya pendiam, betul-betul bersifat seorang ksatria utama, matanya bersinar-sinar tajam, bibirnya tersenyum ramah, akan tetapi jarang sekali bicara. Melihat keadaan kedua orang kawan seperjalanannya ini, Indrayana merasa kurang enak. Telah setengah hari mereka berjalan tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ia menjadi petunjuk jalan dan kedua orang itu hanya mengikutinya saja ke mana ia pergi ! Akhirnya dia tidak dapat menahan sabar lagi, dan mengambil keputusan harus memperkenalkan diri, harus mengetahui keadaan mereka dan menceritakan keadaannya sendiri lebih dulu agar hubungan mereka tidak sedemikian tawar. Tiba-tiba ia menunda perjalanannya dan berpaling kepada kedua orang kawan seperjalanan itu sambil tersenyum dan berkata Koleksi Kang Zusi " Maafkan aku, Raden Pancapana dan engkau juga, diajeng Candra Dewi. Kalau tidak berkeberatan, marilah kita beristirahat sebentar, karena diajeng Candra Dewi tentu lelah dan lapar. " Dengan sepasang matanya yang bening memancar dari balik bulu matanya yang lentik, Candra Dewi memandang kepada Indrayana dan berkata menahan senyum, : Aku tidak lelah dan juag tidak lapar. " Indrayana tertegun dan merasa serba canggung. Benar-benar gadis yang kuat dan tahan uji, pikirnya. Namun ia tak mau kalah dan bahkan duduk di atas rumput di pinggir jalan, di bawah pohon yang teduh. " Sesungguhnya, akulah akulah yang lelah dan lapar. Dan...... menurut pendapatku yang bodoh, agaknya sudah sepatutnya kalau kita bertiga berkenalan lebih erat, karena bukankah kita telah menjadi kawan-kawan senasib sependeritaan, sahabatsahabat seperjalanan dan kelak akanmenjadi saudara seperguruan pula " " Ia membalas pandang mata Raden Pacapana yang tajam menatapnya, lalu berkata lagi, " Harap maafkan aku yang kasar dan bodoh. Sesungguhnya, berdiam-diam seperti ini tak enak bagiku, aku sudah biasa bergembira. Biarlah kuceritakan keadaan diriku agar kalian dapat mengenalku lebih baik. " " Kami sudah tahu siapa adanya dirimu, kawan, " kata Raden Pancapana. " Engkau adalah Raden Indrayana, putera dari Wiku Dutaprayoga yang menjadi ahli keris dari Kerajaan Syailendra ! Indrayana tertawa girang, lalu berkata jenaka, " Ah ! Ini namanya tidak adil ! Kalian sudah mengetahui keadaanku sedangkan aku sama sekali belum Koleksi Kang Zusi tahu siapakah sebenarnya kalian ini ! " Raden Pancapana lalu duduk pula di atas sebuah batu tak jauh dari Indrayana dan dengan matanya memberi isyarat kepada Candra Dewi untuk duduk pula di atas rumput, lalu berkata, " Indrayana, engkau adalah putera seorang wiku Agama Buddha dan menjadi hamba dari Kerajaan Syailendra yang besar dan berpengaruh ! Untuk apakah engkau hendak mengenal orang-orang Mataram yang kecil seperti kami " Bukanlah engkau sudah tahu bahwa aku adalah murid dari panembahan Bayumurti dan diajeng Candra Dewi ini adalah puterinya " " Dengan amat heran Indrayana menatap wajah Pancapana dan ia menjadi terheran sekali melihat betapa pemuda itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya tadi. Tak terasa lagi Indrayana melompat bangun dan berkata dengan penasaran, " Eh, eh, bagaimanakah ini " Mengapa orang macam aku disebut besar karena hanya menjadi hamba dari Kerajaan Syailendra dan orang-orang seperti kalian menganggap diri kecil karena menjadi hamba Kerajaan Mataram " Janganlah bersikap demikian, kawan, kita sama-sama manusia yang hanya berbeda agama, akan tetapi sampai di manakah perbedaan itu " Anggapan kita sendiri juga yang membedakan, kawan. Hanya faham yang berbeda, akan tetapi tujuannya hanya satu ! Adakah agama yang mengajarkan keburukan " Adalah agama atau filsafat yang mendorong penganutnya melakukan kejahatan " Tidak ada ! Semua memberi pelajaran baik, dorongan ke arah perbuatan baik, menjunjung tinggi kegagahan, kebajikan kejujuran, dan kemanusiaan. Semua tergantung kepada manusia sendiri, kawan, tergantung kepada perbuatan si penganut agama. Betapapun tinggi dan pelajaran suci sesuatu agama, kalau yang mempelajarinya itu seorang yang beriman nejat, takkan ada gunanya sama sekali !! " Koleksi Kang Zusi Indrayana bicara dengan penuh nnafsu menggelora. Ia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, dengan dada terangkat, kepala dikedikkan dan sepasang matanya memandang tajam, bukan kepada kedua orang itu, akan tetapi ke atas, seakan-akan kepada langit ! Memang, adalam mengucapkan kata-katanya tadi, Indrayana merasa menyesal. Semenjak peristiwa yang dialami di Candi Lokesywara, ia merasa kecewa sekali. Kecewa melihat betapa pendeta kepala, yakni Maha Wiku Dharmamulya, yang dianggap paling tinggi, paling suci dan ahli dalam Agama Buddha, melakukan perbuatan yang mengecewakan hatinya. Sebaliknya ia merasa kagum melihat sepak terjang Panembahan Bayumurti ia menjadi binggung mengapa pendeta kepala dari agamanya demikian jahat sedangkan Pendeta Mataram demikian bijaksana. Maka terbukalah matanya dan teringatlah ia akan petuah ayahnya yang tiba-tiba meluncur keluar dari mulutnya ketika ia merasa penasaran melihat sikap Pancapana dan Candra Dewi. Pancapana dan Candra Dewi melihat sikap Indrayana seperti itu, memandang kagum dan seketika itu berubahlah sikap mereka. Pandangan mata Candra Dewi mengandung kekaguman yang amat mesra, sedangkan Pancapana lalu melangkah maju dan merangkul pundak Indrayna. Indrayana, betul seperti kata paman Panembahan Bayumurti. Kau adalah seorang ksatria yang gagah perwira, keturunan seorang pertapa yang bijaksana. Aku girang sekali dapat berkenalan dengan kau yang gagah ini. Indrayana. Mendengar ucapanmu tadi, lenyaplah segala keraguanku, Indrayana dan biarlah aku mengaku bahwa sesungguhnya aku adalah...... " Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo " Raden Pancapana...... ! " Tiba-tiba Candra Dewi menegur pemuda itu sambil memandang heran. Koleksi Kang Zusi Pancapana tersenyum dan setelah pemuda ini tersenyum, lenyaplah yang tadinya nampak pendiam dan bersungguh-sungguh itu. Wajahnya berubah terang dan berseri, cakap sekali. " Tidak apa, Candra, Indrayana, bagaimana kalau kau dan aku mengangkat saudara " Aku lebih tua dari padamu, maka kalau kau setuju, mulai sekarang, kau adalah adikku, dimas Indrayana ! " Bukan main besar dan girang hati Indrayana. Ia memegang tangan Pancapana eraterat, lalu berkata sambil tersenyum, " Baiklah kakangmas Pancapana, aku bersumpah akan tetap setia dan membelamu seperti seorang adik kandungmu sendiri ! " Kini wajah Candra Dewi memerah dan matanya berseri-seri girang. " Kalau begitu, tentu menjadi lain persoalannya, dan tentu saja tak perlu ada rahasia lagi yang harus disembunyikan, " katanya dengan senyumnya yang manis bagaikan madu. " Dengarlah baik-baik. Dimas Indrayana, " kata Pancapana sambil menarik tanagn Indrayana sehingga mereka duduk kembali di atas rumput, " Sesungguhnya aku adalah putera dari Rama Prabu Sanjaya di Mataram yang telah almarhum. " Terbelalak mata Indrayana memandang kepada pemuda itu. " Kau...... pangeran Pati dari Mataram " " ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan hendak menyembah kepada Pangeran Pancapana, akan tetapi Pangeran Koleksi Kang Zusi Pancapana memegang kedua pundaknya dan mencegah Indrayana melakukan penghormatan ini. " Dengar Indrayana. Tak perlu engkau melakukan banyak upacara seperti ini. Bukankah engkau sedah menjadi adikku sendiri " bersikaplah biasa, karena sesungguhnya, selain Paman Panembahan Bayumurti, diajeng Candra Dewi, dan engkau sendiri, tidak ada orang lain di seluruh Mataram yang mengetahui hal ini ! " Pangeran Pancapana lalu menceritakan pengalamannya dengan suara mengharukan. Sesungguhnya, ketika Kerajaan Mataram masih berada di bawah asuhan Sang Prabu Sanjaya, kerajaan itu menjadi kuat, makmur, dan mempunyai wilayah yang amat luas. Bahkan Kerajaan Syailendra tadinya mengakui kedaulatan Sang Prabu Sanjaya sehingga Kerajaan Syailendra boleh dibilang berada dibawah kekuasaan Mataram. Akan tetapi, kebesaran Mataram itu agknya hanya tergantung kepada kepribadian Sang Prabu Sanjaya, karena setelah Sang Prabu Sanjaya meninggal dunia, kejayaan Mataram mengalami kemunduran hebat. Tahta Kerajaan dipegang oleh Sang Prabu Panamkaran seorang pangeran yang menjadi adik misan mendiang Sang Prabu Sanjaya. Hal ini terjadi oleh karena putera Sang Prabu Sanjaya, yaitu Pangeran Pancapana, ketika ramandanya meninggal dunia, masih muda sekali. Bahkan ada usaha gelap dari para pengikut Sang Prabu Pabamkaran untuk melenyapkan dan membunuh Pangeran Pati Pancapana ini. Baiknya masih banyak hamba yang setia kepada mendiang Prabu Sanjaya, di antaranya adalah Panembahan bayumurti yang segera membawa pergi Pangeran Pancapana dan mendidiknya sebagai putera sendiri, bersama seorang puterinya, yaitu Candra Dewi. Semenjak baginda Panamkaran duduk di tahta Kerajaan Mataram, makin lemahlah kedudukan kerajaan ini. Banyak raja-raja kecil melepaskan diri dari kekuasaan mataram, sehingga Kerajaan Mataram yang tadinya besar Koleksi Kang Zusi dan luas sekali wilayahnya itu, makin lama makin kecil dan tak berarti. Raja-raja lain berani menentangnya, di antaranya adalah Kerajaan Syailendra berdekatan, maka kerajaan inilah yang akhirnya mempengaruhi Mataram dan banyak daerah yang tadinya menjadi daerah Mataram, perlahan-lahan menjadi daerah Syailendra terutama sekali karena berkembangnya Agama Buddha yang berpusat di Kerajaan Syailendra. Pancapana yang semenjak kecil dibawa oleh Panembahan Bayumurti, mempelajari banyak ilmu kepadaian, aji kesaktian, bahkan mempelajari seni pahat dan setelah dewasa, pageran ini pandai sekali membuat patung-patung yang indah. Terhadap Panembahan Bayumurti ia menggangap seperti seorang ayah sendiri, dan terhadap Candra Dewi, ia menganggap sebagai adik kandung sendiri. Baik Panembahan Bayumurti, maupun Candra Dewi dan Pancapana sendiri, menutup rapat-rapat rahasia ini sehingga pemuda yang tampan itu dianggap oleh orang lain sebagai seorang pemuda murid Panembahan Bayumurti belaka, dan nama Pangeran Pati Pancapana telah dilupakan orang dan disangkanya telah terbunuh pengikut-pengikut Baginda Panamkaran. Setelah bertemu dengan Indrayana, barulah Pancapana membuka rahasia, karena ia merasa suka dan percaya penuh kepada Indrayana. Tentu saja Indrayana merasa terharu sekali mendengar riwayat pangeran itu, dan untuk bebrapa lama ia hanya memandang dengan terharu. Kemudian ia berkata, " Kakangmas Pancapana, sudah terang bahwa kaulah putera mahkota dan menjadi Pangeran Pati dari Kerajaan Mataram. Mengapa kau tidak menuntut hakmu " Kaulah yang seharusnya menjadi raja mataram, bukan raja yang sekarang ini. " Jilid 3 Koleksi Kang Zusi Pangeran Pancana tersenyum. " Memang sudah menjadi cita-cita setiap orang gagah untuk mendapatkan haknya, terutama sekali kalau kulihat betapa Kerajaan Mataram makin lama makin lemah dan mengecil, menjadi kerajaan boneka yang mudah dipermainkan oleh kerajaan-kerajaan lain. Aku maklum bahwa Kerajaan Mataram yang dulu menjadi sebuah kerajaan yang terbesar, terpandang tinggi, kaya raya dan mempunyai rakyat yang hidup makmur, setelah Rama Prabu meninggal, sekarang menjadi sebuah kerajaan yang amat lemah, dipandang rendah, miskin dan rakyatnya papa sengsara. Hatiku perih kalau melihat keadaan ini dan di dalam lubuk hatiku, aku tentu akan bertindak untuk memulihkan kembali kejayaan Mataram. Namun, menurut petunjuk dari Paman Panembahan Bayumurti, aku harus bersabar dan sekarang belum tiba waktunya. Aku amat patuh atas nasihat ini, karena Paman Panembahan, selain menjadi guruku yang amat mulia, juga kuanggap sebagai pengganti orang tuaku yang harus kutaati. " Indrayana makin kagum mendengar ucapan pangeran itu. Baginya seperti juga watak ayahnya, agama adalah soal kedua, yang penting adalah sikap dan watak orangnya. Maka melihat kegagahan dan kebaikan serta kesetiaan yang sedemikian besarnya, ia merasa terharu sekali. Ia memegang lengan Pangeran Pancapana dan berkata dengan suara menggetar, " Kakangmas Pancapana, aku merasa berbahagia sekali dapat menjadi saudara angkatmu Kau adalah seorang ksatria utama yang patut dijadikan kawan dan saudara. Kau adalah seorang Pangeran Pati calon raja yang berjiwa besar, terutama sekali mendengar bahwa keinginanmu menduduki tahta Kerajaan Mataram adalah dorongan oleh keharuanmu melihat keadaan rakyat jelata yang miskin dan papa. Engkau patut sekali dibela dan dihormati. Maka kakangmas Pancapana, aku akan selalu berada di sampingmu, dan akulah yang akan membuatmu dalam usahamu menduduki kembali singgasana Kerajaan Mataram ! " Koleksi Kang Zusi Pangeran Pancapana tidak menjawab dan tidak dapat berkata-kata, hanya memeluk Indrayana dengan kedua mata basah. Ketika Indrayana menengok ke arah Candra Dewi, ia heran melihat gadis itu memandangnya dengan mata basah pula, dan betapa mesra pandang mata itu kepadanya ! Setengah dikatupkan, dengan bulu mata gemetar, manik mata berkaca-kaca dan menatapnay dari balik bulu mata itu, ujung hidungnya yang bangir itu mengembang dan bibirnya terbuka sedikit hingga terdengar perlahan napasnya yang memburu. Akan tetapi hanya sebentar saja, karena dara jelita itu segera membuang pandang matanya ke bawah ke atas tanah dan sambil menundukkan muka, kini kedua ibu jari kakinya bergerak-gerak mengores-gores tanah ! Indrayana berdiri terkesima, kagum dan takjub menyaksikan saat yang luar biasa sekali ketika gadis itu memandang dadanya berdebar tak menentu, dan matanya terbelalak bagaikan terkena pesona. Tiba-tiba suara ketawa Pangeran Pancapana memecahkan suasana hikmat itu, " Eh, dimas Indrayana Engkau tadi bicara tentang perut lapar, bukan " Baru sekarang akupun merasa betapa laparnya perutku ! " " O ya ! Sejak tadi akupun telah mendengar bunyi cacing menggeliat-geliat, di perut siapakah gerangan " " katanya sambil tersenyum girang. " Cacing di perutku adalah cacing sopan, " kata Pancapana sambil tertawa dan mengerling ke arah Candra Dewi, " tadi kudengar berkeruyuknya datang dari jurusan diajeng Candra ! " Candra Dewi yang tadinya duduk sambil menundukkan mukanya, kini tiba-tiba mengangkat muka dan memandang kepada Pancapana dengan mata melerok dan cemberut. " Sesopan-sopannya cacing, kalau tak diberi makan Koleksi Kang Zusi tentu akan mengeliat-geliat juga ! Di dalam perutku sih tidak ada cacingnya ! Perutku bersih dan sehat, mana cacing dapat menjadi penghuninya " " Indrayana tertawa terbahak-bahak. Ia merasa gembira sekali karena sekarang ternyata olehnya bahwa Pancapana dan Candra Dewi keduanya adalah orang-orang muda yang gembira dan suka pula berkelakar. " Ha, kalau begitu, tentu cacingkulah tadi yang berkeruyuk !" katanya. " Akan tetapi, jeng Dewi, tak mungkin kalau perutmu tidak bercacing ! Menurut pendapat ayahku, di dalam tubuh tiap manusia terdapat mahluk hidup yang lain, seperti cacing dan lain-lain. Tanpa ada mahluk hidup yang lain, manusia tak dapat hidup ! " " Akupun pernah mendengar tentang hal itu, " kata Pancapana, " bahkan Candra sendiri juga sudah mengetahuinya, bukan " " " Tidak. Tidak ! Di dalam perutku tidak ada cacingnya ! " Candra Dewi berseru dan berkeras. " Mungkin ada mahluk hidup lain, akan tetapi bukan cacing ! Aku tidak sudi dijadikan tempat tinggal binatang menjijikan itu ! " Kembali Indrayana tertawa gembira. Melihat dara itu mau bicara dan berkelakar, bahkan keliatan seperti marah-marah, baru ia mendapat kenyataan betapa manis dan cantiknya Candra Dewi. Betapa sehat kulitnya yang halus dan masak oleh sunar matahari itu. Pipinya yang segar kemerah-merahan mengingatkan ia akan kulit mangga golek yang telah masak. Kerling matanya tajam menyambar hati, senyumnya manis menyinggung jantung. Madu akan terasa pahit bila dibandingkan dengan kemanisan bibir dara ini. Ia tahu bahwa Candra Dewi masih malu-malu dan jarang sekali mau bertemu pandang dengan dia. Semua kata-kata yang diucapkan oleh gadis itu ditunjukkan kepada Pancapana, yang telah bertahun-tahun Koleksi Kang Zusi semenjak mereka masih kecil, telah menjadi kawan bermain dan telah dianggap sebagai kakak kandung sendiri. Akan tetapi, justruh kerling yang hanya sekalisekali menyambar ke arahnya secara " sambil lalu " itulah yang membuat Indrayana merasa dadanya berdebar-debar. Ia sama sekali tidak ingat bahwa bayangan wajah Puteri Mahkota Pramodawardani yang tadinya tak pernah meninggalkan pelupuk matanya, kini tidak kelihatan lagi bahkan ia telah lupa sama sekali akan puteri Syailendra itu ! Dan ketika Indrayana mencari buah-buah ia memilih yang paling masak dan paling baik untuk Candra Dewi. Melihat hal ini, Candra Dewi yang masih hijau dan bodoh serta belum dapat menyelami hati pria, bertanya dengan sungguh-sungguh, " Raden Indrayana, mengapa buah yang terbesar dan terbaik diberikan kepadaku seorang " Marilah kita bagi rata, untuk engkau dan jaga untuk Raden dan Pancapana...... " Dara itu menghentikan ucapannya ketia ia melihat betapa wajah Indrayana menjadi merah dan pemuda ini menundukakan mukanya ia mendengar suara tawa tertahan, ia segera menengok dan melihat betapa Pancapana menahan-nahan ketawanya sambil memandang kepada Indrayana dengan mata menggoda. " Makanlah, jeng Dewi. Indrayana sengaja memetik yang terbaik untukmu, mengapa engkau tidak dapat menghargai kasih sayang orang " " berkata Pancapana dengan suara menggoda. Kini perasaan wanita di dalam hati Candra Dewi membisikkan susuatu kepadanya yang membuat pipinya yang sudah merah makin menjadi merah lagi. " Sudahlah, jeng Dewi, jangan hiraukan orang yang suka menggoda, anggaplah saja ucapannya seperti suara...... " Indrayana tidak melanjutkannya. Koleksi Kang Zusi " ....... Seperti suara cacing perut tidak berteriak-teriak lagi, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Muria. Akan tetapi baru saja mereka keluar daru hutan itu, tiba-tiba dari sebelah kanan nampak debu mengebul tinggi dan terdengarlah derap kaku kuda yang menuju ke arah mereka. Pancapana dan Indrayana bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka berdiri berjejer di tepi jalan, sedangkan Candra Dewi berdiri di belakang mereka. Tak lama kemudian, nampaklah tiga belas ekor kuda yang ditunggangi oleh orang-orang tinggi besar dan buas pandang matanya. Melihat orang-orang yang berpakaian serba hitam itu, Pancapana merasa heran dan tidak mengenal mereka, akan tetapi ketika melihat seorang di antara dua orang pemimpin pasukan berkuda itu, terkejutlah Indrayana. Orang itu adalah Reksasura, kepala pasukan Srigala Hitam yang dulu pernah mencoba hendak merampas patungnya ! " Kakangmas Pancapana, " bisiknya perlahan, " awas, mereka itu adalah pasukan Serigala Hitam, penyembah Batari Durga yang terkenal buas ! " Pancapana juga terkejut. Ia pernah mendengar nama pasukan ini, maka ia merasa khawatir karena ia maklum bahwa pasukan ini terkenal amat buasa dan cabul, terkenal akan perbuatan mereka yang suka merampas dan mencuri wanita-wanita cantik ! " Ha-ha-ha ! Dicari di seluruh lorong langit tidak bertemu, tidak tahunya sekarang berjumpa di sini bersama seorang perawan denok ! Ha-ha, Indrayana. Bagus sekali, dengan tebusan perawan itu kuserahkan kepada kami, barulah kami dapat mengampuni dosa-dosamu ! " Indrayana adalah seorang pemuda yang cerdik. Melihat sikap Reksasura yang pernah dipukulnya kocar kacir itu kini nampak garang dan tabah, tentu orang kasar ini mempunyai andalan yang kuat. Ia lalu melirik dan Koleksi Kang Zusi memperhatikan orang yang berkuda di sebelah kanan Reksasura. Orang ini terang sekali bukan seorang Jawa, karena kulit mukanya berwarna hitam gelap. Keningnya tinggi, membuat sepasang matanya yang sudah dalam itu makin mendelong ke dalam kepalanya, dipayungi oleh sepasang alis yang panjang dan tebal. Hidungnya seperti hidung burung betet, melengkung dan melingkar ke bawah, agaknya amat berat sehingga kulit di bawah sedikit. Misalnya kecil panjang, berjuntai kebawah di kanan kiri mulutnya yang tipis merupakan garis melintang panjang. Karena bentuk mulut inilah maka ia nampak selalu seperti orang bersedihan seperti orang mau mewek. Telinganya yang panjang dan lebar itu masih nampak bagian bawahnya, karena bagian atasnya tertutup oleh kain pengikat kepala berwarna putih yang menutupi seluruh kepalanya sampai beebrapa kali libatan. Jenggotnya pendek dan kasar. Biarpun wajah orang hindu ini tidak aneh akan tetapi dari sinar matanya yang amat berpengaruh dan tajam, dapatlah Indrayana menduga bahwa orang ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan orang inipulalah agaknya yang diandalkan oleh Reksasura sehingga si kasar itu berani berlaku garang dan berlagak di hadapannya. " Reksasura, " kata Indrayana sambil tersenyum, " dulu ketika engkau berlaku lancang dan mengganggu perjalananku, aku masih berlaku murah dan tidak mencabut nyawamu yang kotor karena perbuatanmi yang penuh dosa. Sekarang kembali kau mengulangi perbuatanmu, apakah benar-benar kau sudah rindu akan panasnya api neraka " Apakah kau sudah membuat kelewang baru " Nah, cabutlah, akan tetapi kali ini jangan kau berkata bahwa aku Indrayana berlaku keterlaluan kalau aku bukanhanya akan mematahkan kelewangmu, akan tetapi juga mematahkan lehermu ! " " Indrayana, kau selalu berwatak sombong dan kau terlalu mengandalkan kepandaianmu sendiri ! Sekarang kau berhadapan dengan guruku, Bagawan Siddha Kalagana, pemimpin kami yang sakti mandraguna ! Kau tidak lekas berlutut minta ampun " " Koleksi Kang Zusi Diam-diam Indrayana terkejut dan ia memandang dengan penuh perhatian kepada Pendeta Hindu yang tinggi kurus itu. Juga Pangeran Pancapana terkejut sekali ketika mendengar bahwa orang Hindu itu adalah Begawan Siddha Kalagana yang telah didengar namanya sebagai seorang pertapa dan pendeta yang benar-benar sakti sekali. Indrayana adalah sorang putera pendeta, dan telah menjadi wataknya tidak mau menghina kepercayaan dan agama lain orang. Maka mendengar bahwa ia berhadapan dengan Begawan Siddha Kalagana, ia lalu merangkapkan telapak tangannya menyembah memberi hormat, lalu berkata. " Ah, tidak tahunya kami berhadapan dengan Sang Begawan Siddha Kalagana yang terkenal. Harap suka menerima pemberian hotmat kami orang-orang muda. Aku, Indrayana dari Syailendra, selalu menghormat para ahli tapa yang suci dan yang bijaksana, tahu akan rahasia hidup, maka aku tidak merasa takut berhadapan dengan Sang Begawan. Seperti biasa, kedatangan seorang ahli tapa tentu akan membawa bahagia dan penambahan pengetahuan. Sesungguhnya, ada keperluan apakah Sang Begawan datang menghadang perjalanan kami orang-orang muda " " Diam-diam Pangeran Pancapana tertegun dan kagum melihat sikap Indrayana yang amat tabah dan tenang itu. Juga Begawan Siddha Kalagana sendiri merasa tertarik dan kagum melihat Indrayana. Begawan ini sesungguhnya adalah seorang Hindu yang sudah amat tinggi usianya, akan tetapi, berkat ilmu kepandaiannya yang tinggi, ia masih nampak muda dan rambutnya masih hitam. Pendeta ini datang dari Hindu, Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo membawa agamanya sendiri, yaitu pemuja Batari Durga. Ia telah merasa tidak aman di negerinya sendiri, oleh karena di dalam kepercayaannya, pertapa ini menjalankan perbuatan-perbuatan yanga mat terkutuk dan keji. Pertapa ini memiliki ilmu-ilmu hitam atau ilmu sihir yang hibat dan aneh, Koleksi Kang Zusi juga memiliki kebiasaan yang amat menyeramkan. Untuk mencapai hasil dalam ilmuilmu hitamnya yang dikuasai setan dan iblis, ia tidak segan-segan untuk menculik perawan dan anak-anak kecil untuk dijasikan kurban. Sesungguhnya, di lubuk hatinya terdapat nafsu cabul yang hanya dikemudikan oelh iblis jahat, akan tetapi berkat ilmunya yang tinggi, ia dapat menipu para pengikutnya yang sebaliknya menggangapnya sebagai seorang pertapa yang sakti, suci dan mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Kini, melihat Indrayana dan Pancapana yang elok dan cukap bagaikan Sang Palguna da Sang Palgunadi, dua tokoh pewayangan yang terkenal tampan, juga melihat Candra Dewi yang cantik jelita bagaikan Dewi Shinta, bukan main senang hatinya. Ia telah merasa bosan dan muak melihat para murid dan anak buah serta pengikutpengikutnya yang kesemuanya merupakan orang-orang lelaki kasar dan buruk rupa, sehingga timbul keinginannya untuk mengambil dua orang pemuda ini menjadi murid dan pengikutnya. Sedangkan kemolekan wajah dan bentuk tubuh Candra dewi semenjak tadi telah membangkitkan nafsunya yang kotor. " Anak muda yang elok ! " katanya kepada Indrayana dengan suaranya yang mengandung kejanggalan suara orang asing. " Sungguh jarang terdapat orang-orang muda seperti engkau dan kawan-kawanmu ini ! Alangkah akan senang hatiku apabila kalian bertiga mau ikut aku ke tempat tinggalku untuk menjadi murid-muridku ! " " Terima kasih banyak atas kemurahan hati dan penawaran Sang Begawan, " jawab Indrayana " Akan tetapi ketahuilah, kami bertiga adalah murid-murid dari Eyang Begawan Ekalaya di Muria ! " Kalau orang-orang lain tidak dapat melihat perobahan pada air muka pertapa Hindu itu, adalah Indrayana dan Pancapana dapat melihat getaran pada manik mata yang tajam dan berpengaruh itu, Begawan Siddha Kalagana mengangguk-anggukkan kepalanya. " Pantas, pantas ! Pantas saja kalian begini elok, gagah perkasa, dan menarik. Diseluruh tanah Jawa ini Koleksi Kang Zusi hanya Begawan Ekalaya saja satu-satunya petapa yang kedudukannya setingkat dengan kedudukanku ! " " Alangkah sombognya ! " tiba-tiba terdengar suara halus dan dengan heran dan terkejut Indrayana dan Pancapana melihat bahwa yang mencela ini bukan lain adalah Candra Dewi ! dara ini adalah puteri Panembahan Bayumurti yang amat bangga akan kesaktian ayahnya, maka kini mendengar kesombongan pendeta asing ini, ia diam-diam merasa mendongkol sekali dan tak terasa pula mengeluarkan perasaan mendongkolnya itu dengan ucapan tadi ! Kini sepasang mata Begawan Siddha Kalagana tertuju kepada dara itu dan mulutnya makin menipis, " Ah, engkau patut sekali menjadi pengiring utama dari Sang Batari Mulia ! " katanya dan sambil memandang Indrayana, ia berkata, " Anak muda, sebagai murid-murid Ekalaya, kalian boleh dibilang masih menjadi muridmurid keponakanku sendiri ! Dan sebagai murid-murid keponakan, sudah sepatutnya kalau kalian berbuat sesuatu yang sifatnya berbakti kepadaku ! Aku melihat dara jelita ini berjodoh untuk menjadi muridku dan untuk menjadi pengiring Sang Batari Yang Maha Mulia, maka relakanlah puteri ini kubawa serta. Jangan khawatir, kalau gurumu bertanya, katakan saja bahwa akulah yang membawanya, tentu ia tak akan marah ! " Sebelum Indrayana dan Pancapana dapat melampiaskan amarah mereka ketika mendengar ucapan ini, tiba-tiba pertapa Hindu itu mengulurkan tangannya dan entah bagaimana, tubuh Candra Dewi seakan-akan terpegang oleh tangan yang kuat dan dilontarkan ke atas ke arah pendeta itu ! Candra Dewi bagaikan seorang yang sedang tidur, matanya meram dan tubuhnya lemas ketika tahu-tahu ia telah berada di dalam pelukan tanagn Begawan Siddha Kalagana di atas kuda ! " Pendeta keparat ! Lepaskan adikku ! " Pancapana berseru dan menubruk maju dengan tangan kanan diulur. Akan tetapi, terdengar seruan keras dan Koleksi Kang Zusi ketika pendeta Hindu itu mengebutkan ujung lengan jubahnya yang panjang, maka ujung lengan baju itu memukul ke arah dada Pancapana yang tiba-tiba terlempar ke belakang dan jatuh di atas tanah. Ia merasa kepalanya pening, akan pemuda ini telah mendapat gemblengan yang hebat dari penambahan Bayumurti, sehingga kebutan yang mengandung tenaga mujijat itu hanya membuatnya pening sesaat saja. Ia telah berdiri lagi, akan tetapi ia telah di dahului oelh Indrayana yang tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia mencabut keris pusakanya yang dibuat sendiri oleh ayahnya, yaitu keris baja putih yang bernama Brajadenta ( Kilat Putih ). Dengan gerakan trengginas bagaikan seekor burung elang menyambar, tubuhnya berkelebat ke depan menyerang begawan Siddha Kalagana sambil berseru, " Pertapa iblis ! Kau lepaskan jeng Dewi ! " Serangan yang dilakukan Indrayana ini hebat sekali dan kalau saja yang diserangnya bukan seorang pendeta yang amat sakti tentu serangannya ini takkan meleset dan takkan dapat dielakkan pula. Akan tetapi, pendeta Hindu itu benarbenar sakti dan hebat kepandaiannya. Begitu melihat sinar senjata itu dan melihat gerakan yang sedemikian cepatnya, ia maklum bahwa pemuda ini memiliki pula ilmu kepandaian dan kedigdayaan yang tak boleh dipandang ringan, maka cepat sekali tubuhnya bergerak dan tahu-tahu ia telah melompat turun dari atas kudanya ! " Keparat, jangan lari ! " teriak Indrayana yang menyerang lagi dengan nekad dan marah. " Eh, eh, anak muda, engkau benar-benar berani melawan aku " " kata pendeta itu yang memeluk tubuh Candra Dewi dengan tangan kiri, dan sekali tangan kanannya bergerak, maka ia telah mencabut keluar sebatang tongkat yang ternyata adalah seekor ular Cobra yang telah kering. Ular itu besar sekali, lebih besar dari lengan tangannya dan panjangnya kurang lebih sedepa. Tubuh ular yang telah kering itu bengkak-bengkok dan Koleksi Kang Zusi kepalanya amat mengerikan, karena mulutnya terbuka lebar. Pendeta Siddha Kalagana memegang senjata aneh akan tetapi cepat sekali ia memutar-mutar senjata itu yang menyambar-nyamar ke arah Indrayana. Emuda yang gagah perkasa ini sama sekali tidak merasa gentar atau jerih menghadapi senjata lawannya ini, akan tetapi ketika dari senjata aneh itu keluar bau yang amat amis menimbulkan muak, ia terkejut sekali. Ia maklum bahwa ular kering di tangan Bagaman Siddha Kalagana itu mengandung racun yang amat hebat dan berbahaya. Tak perlu terluka parah oleh senjata itu, baru kena digores sedikit saja oleh senjata itu, Indrayana lalu mengerahkan kepandaian dan kegesitannya, menggerakkan keris pusakanya untuk menjaga diri dan membalas dengan serangan-serangan hebat Dimas Indrayana, jangan takut, aku membantu ! " tiba-tiba Pangeran Pancapana berseru dan pedangnya di putar cepat menyarbu Bagawan Siddha Kalagana. Tadi, dalam keadaan marah, Pancapana telah berlaku kurang hati-hati sehingga ia terkena kebutan ujung lengan jubah pendeta itu. Untung pemuda ini memiliki kesaktian tinggi, kalau tidak, tentu kepalanya akan pecah terkena pukulan yang ampuh itu. Setelah kepalanya tidak pening lagi. Pancapana melompat berdiri. Melihat betapa Indrayana didesak oleh senjata ular yang hebat itu, ia cepat mencabut sebatang pedangnya lalu menyerbu. Serangan pedang di tangan kanan Pancapana ini kembali mengejutkan Begawan Siddha Kalagana. Ia mendapat kenyataan bahwa kepandaian Pancapana tidak lebih rendah daripada kepandaian Indrayana ! gerakan kedua orang muda itu gesit, cepat dan kuat sekali. Permainan mereka dalam gerakan senjata amat sempurna sehingga mereka merupakan lawan yang tangguh dan sukar dilawan. Diam-diam Bagawan Siddha Kalagana mengeluh di dalam hatinya. Kalau dia tidak sedang memondong tubuh Candra Dewi, belum tentu ia akan kalah menghadapi dua orang ksatria ini, akan tetapi kini gerakannya amat terbatas dan terhalang oelh tubuh dara itu. Ia tidak dapat mempergunakan ilmu sihir atau kesaktian yang timbul dari pada ilmu hitam, karena segala ilmu ini hanya bisa dilakukan apabaila telah dipersiapkan semula. Ilmu hitam hanya hanya memiliki daya sementara saja, dan untuk ini ia belum mangadakanpersiapan sebelumnya. Ia maklum bahwa untuk menjatuhkan kedua orang muda ini, tak mungkin dipergunakan ilmu-ilmu sihir yang rendah saja, karena dari cahaya muka dan sinar mata keduanya, ia maklum bahwa mereka memiliki tenaga yang Koleksi Kang Zusi cukup kuat. Akan tetapi, Begawan Siddha Kalagana adalah seorang yang amat cerdik dan memiliki banyak sekali akal-akal dan tipu muslihat yang curang. Melihat desakan kedua orang ia berseru, " Tahan senjata ! " Suara ini berpengaruh dan mengandung ancaman hebat, maka Indrayana dan Pancapana cepat melompat mundur dan memandang tajam. " Mundur kalian ! " negawan Siddha Kalagana berseru. " Kalau kalian masih berlaku nekad, terpaksa aku harus membunuh gadis ini lebih dulu, baru akan kutewaskan kalian ! " Sambil berkata demikian, pendeta itu menggangkat senjata ularnya dan mendekatkan kepala ular itu ke dekat leher Candra dewi yang masih pingsan. ! " Jangan....... ! " Tiba-tiba Indrayana berseru dengan suara gemetar. " Jangan bunuh dia ! " Bagawan Siddha Kalagana tertawa terbahak-bahak. " Ha-ha-ha ! Siapa mau membunuh dara jelita ini " Sayang kalau dibunuh ! Tidak, aku akanmembawanya ke Candi Sang Batari Yang Maha Mulia dan ia akan dipuja-puja di tempat itu ! " Bagawan Siddha Kalagana lalu memberi tanda kepada anak buahnya yang tadi pada turun dari kuda akan tetapi tak berani membantu pemimpin mereka karena mereka mklum bahwa kepandaian mereka masih jauh untuk dapat melawan kedua orang muda yang gagah itu. Kini semua pasukan Serigala hitam melompat ke atas kuda, juag Bagawan Siddha Kalagana melompat sengan sigapnya ke atas kuda putih yang telah disediakan oleh anak buahnya, kemudian ia berpaling kepada Indrayana dan Pancapana. " Sekali lagi, jangan kau halangi aku pergi membawa si denok ini, karena Koleksi Kang Zusi sekali saja engkau bergerak, si denok ini akan kulemparkan kepada kalian sebagai mayat ! " Ia tersenyum dan sepasang matanya bergerak liar. " Akan tetapi, aku tidak melarang kalau kalian memang memiliki kepandaian dan kegagalan, cobalah, kami siap menanti untuk menyambutmu ! " Setelah berkata demikian, Bagawan Siddha Kalegana menendang perut kuda dengan tumit kakinya dan binatang itu meringkik keras lalu melompat ke depan, terus berlari cepat menyusul pasukan Serigala Hitam yang telah berangkat lebih dulu ! Pancapana menggerakkan tangannya dan ia telah menurunkan gendewa dan anak panahnya, akan tetapi Indrayana cepat memegang lengannya. " Jangan, kakangmas Pancapana ! Apakah engkau ingin melihat jeng dewi dibunuh " Orang macam pendeta iti berhati kejam dan keji, ia tak akan ragu-ragu untuk membuktikan ancamannya. " " Habis bagaimana, dimas Indrayana " " tanya Pancapana dengan cemas dan binggung. " Apakah engkau akan membiarkan saja Candra Dewi diculik dan diganggu olehnya " " Indrayana mengertakkan giginya dan mengepal tinjunya. " Tidak ! Aku tak akan membiarkan dia diganggu oleh siapapun juga ! Biar kupertaruhkan jiwaku untuk menolongnya ! Akan tetapi, kita harus dapat melihat gelagat dan berlaku hatihati, kangmas. Bukankah tadi pendeta jahanam itu menantang kita untuk datang ke tempat tinggalnya " Nah, mari kita mengejar mereka dan berusaha menolong jeng Dewi. Kalau pendeta durhaka ini mengetahui bahwa kita mengejarnya, tentu ia tak akan sempat menggangu jeng Dewi ! " Karena tidak berdaya dan dikalahkan oelh tipu daya licin dan curang dari Begawan Siddha Kalagana, maka Pancapana terpaksa membenarkan Koleksi Kang Zusi pendapat Indrayana. Tidak ada jalan untuk menolong Candra Dewi dari bahaya. Kedua pemuda yang gagah perkasa itu lalu mengerahkan kesaktian mereka dan mempergunakan Ilmu Lari Cepat Maruta marga ( Jalan Angin ). Ubuh mereka merupakan bayangan yang cepat sekali bergerak maju, seakan-akan kedua kaki mereka tidak menginjak bumi ! *** Pedukuhan yang terjadi sarang oleh gerombolan Srigala Hitam terletak di sebelah barat pantai kali Serang. Serang itu merupakan sebuah perkampungan yang cukup besar dan ramai. Seluruh penduduk di situ telah menjadi pemeluk agama baru yang dibawa oleh Bagawan Siddha Kalagana, yaitu Agama Batari Durga. Kehidupan Bagawan itu beserta semua anak buahnya, yaitu yang merupakan pasukan Srigala Hitam, semuanya dijamin oleh para penduduk yang hidup sebagai petani dan nelayan. Penganut agama baru ini telah berkembang biak dan kini kampung itu menjadi makin besar karena orang-orang dari lain pedukuhan banyak pula yang datang menjadi pengikut Bagawan Siddha Kalagana. Karena pengaruh sihir dan tenung yang disebarkan oelh pendeta itu kepada penduduk yang bodoh dan tahyul, maka mereka itu tidak merasa betapa miskin keadaan mereka. Hampir sebagian besar penghasilan mereka diberikan kepada pendeta itu belaka. Mereka menganggap Bagawan Siddha Kalagana sebagai seorang Dewa kalon yaitu seorang dewata yang menjelma menjadi manusia. Mereka percaya penuh ketika pendeta itu menyatakan bahwa Begawan Siddha Kalagana sesungguhnya adalah Sang Hyang Syiwa sendiri. Dan sebagaimana telah diketahui oleh umum pada waktu itu, batari Durga adalah syakti ( isteri ) daripada Sag Hyang Syiwa ! Di tengah-tengah perkampungan itu, dekat sekali dengan pantai Kali serang di bagian menikung, oleh Begawan Siddha Kalagana dibangun sebuah candi yang amat luas. Sebetulnya bukan merupakan bangunan candi yang utuh, akan tetapi tepat disebut kelompok tempat pemujaan yang dijadikan Koleksi Kang Zusi pula tempat tinggalnya. Tempat ini dikelilingi oleh pagar bata yang tinggi, merupakan tempat tertutup. Tidak saja pagar batu itu tinggi, akan tetapi juga pada tiap sudut dipasangi tempat penjagaan, sehingga hampir merupakan sebuah benteng. Hanya ada dua buah pintu pada pagar batu itu, yaitu pintu gerbang besar yang berada di depan, dan sebuah pintu kecil di bagian belakang, yaitu yang menghaapi sungai. Tidak sembarang orang dapat memasuki pintu gerbang itu, kecuali pada waktu-waktu tertentu, yaitu pada waktu diadakan pemujaan di dalam candi yang terletak di tengah-tengah kelompok bangunan yang dikurung pagar bata itu. Pada waktu diumumkan saat pemujaan, maka pintu gerbang itu dibuka, dan orang-orang kampung diperkenankan masuk ke dalam untuk melakukan pemujaan secara berbareng di tenpat yang telah disediakan. Keadaan di dalam lingkungan pagar bata sungguh amat luar biasa. Pertama-tama di sebelah dalam pagar, terdapat rumah-rumah petak kecil yang berjajar, dan di sinilah para anak buah Serigala Hitam tinggal. Mereka ini tidak saja bertugas sebagai pasukan yang melindungi Agama Sang Batari Yang Agung, akan tetapi juga sebagai penjaga benteng dan sebagai murid-murid Bagawan Siddha Kalagana. Anak buah pasukan Serigala Hitam yang kesemuanya berjumlah tiga puluh sembilan orang ini, hidup membujang dan tidak beristri, karena " beristri " merupakan pantangan besar bagi seorang murid Sang Begawan. Ditengah-tengah lingkungan rumah-rumah para muridnya itu, terdapatlah apa yang disebut candi yang sebenarnya merupakan istana tempat tinggal Bagawan Siddha Kalagana itu. Sebuah bangaunan yang amat besar dan megah, yang dihias dengan patung-patung wanita telanjang yang amat indah buatannya. Bangunan ini mempunyai bagian-bagian terpisah. Ada bagian yang disebut ruang pemujaan, di mana terdapat sebuah patung Sang Batari Durga yang disembah-sembah. Ada pula bagian kesenian, di mana seringkali diadakan tari-tarian yang katanya untuk menghibur hati Sang Batari dan suaminya ( yaitu Pendeta itu ). Ada ruangan tempat pembuatan patungpatung di mana bekerja ahli-ahli pahat yang amat pandai. Ahli-ahli Koleksi Kang Zusi sebagian besar adalah hasil penculikan dari daerah Mataram dan Syailendra. Yang paling hebat adalah kamar tempat Sang Bagawan Siddha Kalagana, sebuah kamar besar dan penuh dengan patung-patung indah sekali. Kecuali pada waktu-waktu tertentu, semua bagian di dalam bangunan besar ini, terutama sekali kamar dari sang Batari dan Suaminya, amat dirahasiakan dan tak seorangpun, termasuk para anggota Srigala Hitam, diperbolehkan memasukinya. Kalau ada orang luar masuk ke dalam perkampungan di pinggir Kali Serang itu, ia akan merasa amat terheran-heran karena tidak melihat adanya gadis-gadis muda yang cantik. Yang ada hanya beberapa orang gadis saja, akan tetapi mereka ini bermuka buruk atau bercacad ! Akan tetapi, kalau sudah diberi tahu, mengertilah dia bahwa semua perawan yang berwajah lumayan dan bersih, diharuskan menjadi pelayan dari Sang Maha Batari ! Akan terheranlah orang apabila ia masuk ke dalam bangunan besar itu, karena di situlah semua perawan itu berada. Tidak kurang dari empat puluh orang gadisgadis muda mendiami bangunan itu, melakukan pekerjaan sebagai pelayan dan tempat itu merupakan sebuah penampungan anak-anak dara atau semacam harem dari seorang Pangeran atau Raja. Orang luar, termasuk juga para anggota Serigala Hitam, tidak boleh mengadakan hubungan dengan para " pelayan " Sang Batari ini. Hanya pada saat sang Batari mengadakan pesta, di mana diadakan tari-tarian diiringi oleh gamelan, barulah orang luar dapat melihat dan berhubungan dengan mereka itu. Dengan demikian, maka penghuni bangunan besar yang penuh dengan patung-patung indah itu, hanyalah Bagawan Siddha Kalagana sendiri bersama empat puluh orang Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dara jelita itu. Ketika Bagawan Siddha Kalagana dan rombongannya memasuki kampung halamannya, membawa Candra dewi yang cantik jelita, mereka di sambut dengan girang oleh penduduk. Tentu saja mereka tidak mengira bahwa Candra Dewi dibawa dengan paksa atau diculik, dan mengira bahwa Sang Maha Batari telah memilih seorang pelayan baru, dan ini berarti bahwa malam nanti akan diadakan pesta keramaian. Pesta inilah yang merupakan Koleksi Kang Zusi daya penarik bagi para pemeluk agama baru ini, karena di dalam pesta ini, Begawan Siddha Kalagana sengaja membuka kesempatan kepada semua orang untuk mengumbar hawa napsu, membiarkan iblis merajalela dan menguasai perasaan dan iman, sehingga di dalam pesta pora ini terjadilah hal-hal yang amat mengerikan. Hal-hal yang amat cabul dan yang kesemuanya dilakukan oelh orang-orang itu tanpa disadarinya, karena mereka berada dalam pengaruh mujizat, pengaruh setan dan iblis yang di " dalangi " oleh Begawan Siddha Kalagana. Malam itu Sang Purnama menyinari permukaan bumi sepenuhnya. Kalau di lain tempat bulan mendatangkan cahaya indah dan mengusir semua kengerian malam gelap, adalah di tepi Sungai Serang itu bahkan mendatangkan hawa dingin yang menyeramkan. Cahaya bulan yang keemasan itu seakan-akan menambah daya hidup dari para demit, setan, dan iblis di daerah itu, menimbulkan suara-suara yang aneh dan menyeramkan, dan tiap bayangan disinari bulan merupakan bentuk raksasa yang dahsyat. Keadaan sunyi sepi, kecuali dari arah benteng di pedusunan itu, di mana Sang Begawan Siddha Kalagana sedang mengadakan pesta dan dari sanalah datangnya bunyi-bunyian gamelan yang ganjil pula. Memang Bagawan Siddha Kalagana, selain membawa agamanya dan tari-tarian dan gamelan dari negerinya, gamelan dan taritarian yang biasanya di Tanah Hindu diadakan untuk memuja dewa Ular. Gamelan itu terdiri daripada bunyi-bunyian yang melengking, ke luar dari tiga batang suling berbentuk ular, diiringi oleh suara gendang yang dari jauh terdengar seperti suara air dipukul. Dusun itu nampak sunyi, karena semua penghuninya tidak melewatkan kesempatan itu untuk datang mengunjungi pesta Sang Batari Durga yang diadakan semeriah-meriahnya di ruang seni sebelah kiri bangunan besar itu. Air kali Serang mengalir perlahan, tidak memperdulikan semua peristiwa itu, mengalir terus menuju ke utara dengan tenangnya. Sebuah getek, yakni perahu terbuat daripada bambu yang diikat berjajar, bergerak perlahan terbawa oleh aliran air sungai, menuju ke dusun itu. Dua orang Koleksi Kang Zusi muda berdiri di atas getek sambil menggerakkan dayung dari bambu pula. Mereka ini bukan lain adalah Indrayana dan Pancapana yang mengikuti perjalanan rombongan Bagawan Siddha Kalagana yang membawa lari Candra Dewi. Setelah dekat dengan pedusunan itu mereka lalu mempergunakan jalan air karena lebih aman dan mudah memasuki dusun dari sungai daripada mengambil jalan darat. Mereka bermaksud memasuki dusun itu secara diam-diam agar dapat menyergap dan menolong kawan mereka dengan tiba-tiba dari dalam dusun. Ketika mereka telah tiba di dekat dusun, Indrayana melihat banda-benda terapung di atas air yang amat menarik hatinya. Sinar bulan tidak begitu terang, akan tetapi cukup manyinari banda-banda itu nampak seperti bertangan dan berkaki. " Kakangmas Pancapana, lihat ! Apakah yang terapung-apung itu " " Pancapana memandang dengan penuh perhatian. " Seperti tubuh manusia ! " serunya. " Mari kita dayung getek ke sana ! " Kedua orang itu meluncur cepat ke tempat benda-benda terapung-apung. Setelah dekat mereka memandang penuh perhatian. " Ya Jagad Dewa Batara ! " tiba-tiba Pancapana menyebut nama dewata dan mukanya berubah pucat. Juga Indrayana berdiri kesima bagaikan berubah menjadi patung. Ternyata bahwa benda-benda terapung itu benar-benar adalah tubuh tiga orang anak kecil yang telah menjadi mayat. Indrayana dapat menguasai perasaannya lebih dulu dan ia lalu mengulur tangan menjangkau sebuah daripada tiga mayat itu dan mengangkatnya ke Koleksi Kang Zusi atas getek. Meremang bulu tengkuk mereka ketika menyaksikan keadaan mayat anak kecil itu. Ternyata bahwa mayat itu terluka pada bagian dadanya. Bulukan luka sembarangan, akan tetapi agaknya dada itu memang dibuka dengan sebuah pisau tajam dan ternyata bahwa isi dada anak itu telah dikosongkan orang ! Agaknya jantung anak itu telah dicabut dari dalam ! " Gusti Yang Maha Agung ! " seru Indrayana. " Iblis manakah yang sanggup melakukan kekejaman seperti ini ! " Pancapana dan Indrayana saling pandang dan menduga-duga, akan tetapi tidak dapat menemukan jawabannya. " Mari kita angkat dan mengubur ketiganya dengan baik-baik, " kata Pancapana. Indrayana setuju dan mereka lalu berusaha mengambil dua mayat lain yang masih mengambang di atas air. Akan tetapi pada saat itu, air kali tergoncang hebat dan busa air memercik keras. Kepala seekor buaya besar tersembul di permukaan air dan menyambar ke arah mayat kecil itu ! " Kurang ajar ! " seru Pancapana marah dan secepat kilat pemuda perkasa ini telah mengambil gendewanya menjebret, dua batang anak panah meluncur cepat dan dengan tepat sekali menancap pada kedua mata buaya itu ! " Bagus sekali. Kakangmas Pancapana ! " Indrayana memuji sambil tersenyum memandang binatang yang kini berenang dengan liar di dalam air, memukul-mukulkan ekornya dan menggeliat-geliat. Air sungai menjadi hitam di bawah sinar bulan, tanda bahwa air itu telah bercampur dengan darah yang keluar dari sepasang mata buaya itu. Tak lama kemudian, tampaklah tubuh buaya yang besar itu mengambang dengan perutnya ke Koleksi Kang Zusi atas. Perut itu keputihputihan berbeda dengan punggungnya yang hitam dan kasar. Indrayana dan Pancapana lalu mengangkat dua mayat anak kecil tadi ke atas getek. Tiba-tiba air bergelombang makin besar dan kini tersembullah kepala belasan ekor buaya yang besar-besar ! Bukan main kagetnya Indrayana melihat hal ini. Menghadapi seekor dua ekor saja masih terkawan oleh mereka, akan tetapi belasan ekor binatang buas ini benar-benar merupakan bahaya maut. Sekali saja ekor mereka yang kuat itu memukul getek, mereka akan terguling di dalam air dan akan tewas ! " Dimas Indrayana, cepat dayung getek ke tepi ! " deru Pancapana. Mereka lalu mengerahkan tenaga dan mendayung getek itu ke pinggir, dikejar oleh barisan buaya itu. Setelah berada dekat tepi, Indrayana dan Pancapana melompat ke darat sambil memondong tiga mayat anak-anak itu. Mereka berdiri memandang ke air sambil mengeleng-gelengkan kepala. " Berbahaya sekali ! " kata Indrayana, melihat betapa dengan buasnya buaya-buaya itu menyambar getek. Terjadi pergulatan sebentar ketika binatang-binatang itu memperebutkan getek yang sudah kosong dan tak lama kemudian getek itu menjadi hancur lebur.! Pecahan-pecahan bambu terapung dan terbawa oleh air. Setelah melampiaskan amarah mereka kepada getek kosong itu, buaya-buaya itu lalu menyelam kembali dan lenyap dari pandangan mata. Juga buaya yang telah tewas karena dua batang anak panah Pancapana tadi tak nampak lagi, agaknya diseret ke dasar sungai oleh kawan-kawannya. Sungguh ajaib ! " kata Pancapana. " Selama kita naik getek, tak pernah kelihatan seekorpun buaya. Akan tetapi, mengapa di tempat ini terdapat begitu banyak buaya " " Koleksi Kang Zusi Indrayana menengok ke belakang, ke arah suara gamelan terdengar. " tidak aneh, kangmas, karena disini termasuk daerah yang dikuasai oleh pengaruh Bagawan Siddha Kalagana. Siapa tahu kalau-kalau buaya-buaya tadi adalah anak buahnya pula " " Mereka lalu menggali tanah di tepai sengai dan mengubur tiga mayat naka kecil tadi. Ternyata bahwa ketiganya telah lenyap isi dadanya dan melihat betapa kulit dada yang dibelek itu masih ada tanda-tanda darah, maka mereka dapat menduga bahwa peristiwa keji itu terjadi belum lama. Setelah mengubur ketiga mayat anak kecil itu baik-baik, kedua pemuda gagah perkasa itu lalu berjalan mengendap-endap menuju ke dalam dusun itu. Ternyata semua rumah di dalam dusun telah kosong dan tak seorangpun nampak berada di situ. Indrayana mengeleng-geleng kepala melihat keadaan rumah-rumah yang lebih patut disebut gubuk-gubuk miskin sekali itu, tak lebih baik dari pada gubukgubuk yang berada di tengah sawah dalam dusun-dusun di Kerajaan Syailendra ! Kemudian mereka menuju ke bangunan besar di tengah kampung itu. Begitu tiba di dekat pagar bata. Indrayana dan Pancapana merasa heran, karena sesungguhnya bangunan yang dikelilingi pagar kuat ini merupakan sebuah keraton kerajaan kecil. Apapula ketika melihat adanya penjaga-penjaga di sudut tembok. ! Mari kita serbu penjaga-penjaga itu ! " bisik Indrayana. " Jangan, " jawab Pancapana, " sebelum mengetahui bagaimana keadaan Candra Dewi, lebih baik kita menghindarkan setiap pertempuran. Mari kita masuk dari lain bagian yang tak terjaga ! " Koleksi Kang Zusi Mereka lalu mengambil jalan memutar dan tiba di sebelah kanan bangunan. Pancapana lalu mengunakan pedangnya untuk memotong sebatang cabang pohon yang panjang yang ada cawangnya, lalu mengaitkan cabang itu pada tembok di atas. Dengan mudah saja lalu ia lalu naik melalui cabang itu itu ke atas tembok dan memberi isyarat kepada Indrayana untuk naik pula. Demikianlah, tanpa diketahui oleh penjaga yang kurang memperhatikan karena mereka mencurahkan perhatian mereka kepada pesta yang sedang berlangsung di dalam dan menyesali nasib karena kebetulan sedang bertugas menjaga sehingga tidak dapat segera ikut menikmati pesta itu, kedua teruna itu dapat masuk dengan mudah. Sambil bersembunyi di bawah bayangan gedung itu, mereka mendekati bangunan dan diam-diam mereka amat kagum melihat ukiran-ukiran indah dan patung-patung yang dipasang di sekitar bangunan. Patung-patung itu kesemuanya telanjang dan amat indah buatannya. Terutama bentuk patung-patung itu, benar-benar dikerjakan oleh seorang ahli yang pandai. Akan tetapi perasaan kagum karena keindahan ukiran itu tercampur oleh perasaan segan, sungkan dan mual karena jelas sekali tampak bahwa si pembuat patung ingin menonjolkan sifat ketelanjagan patung itu sehingga mengarah kepada kecabulan. Agaknya pembuat patung itu sengaja mencurahkan keahliannya untuk membuat bagianbagian tubuh yang biasanya tertutup menjadi bagian yang paling menarik. Tiba-tiba terdengar Pancapana mengantuk perlahan. Indrayana menegok dan melihat kawannya itu sedang berdiri di depan sebuah patung yang juga bertelanjang bulat. Dan patung itu adalah patung Dewi Sri isteri daripada Sang Hyang Wisnu ! Setelah menyembah patung Dewi Sri itu, Pancapana lalu manrik tangan Indrayana untuk meninggalkan tempat itu dan ia menyumpah-nyumpah, " Ini penghinaan besar kepada para dewata ! Bagawan Siddha Kalagana itu agaknya gila ! " Koleksi Kang Zusi " Sssst..... " kata Indrayana sambil mendekatkan telunjuk pada bibirnya. " Dengar, kangmas, ada suara...... " Ketika mereka mendengarkan engan teliti benar saja, di antara suara gamelan yang dipukul di ruang sebelah kiri bangunan besar itu, terdengar suara lain, suara " tok, tok, tok, ! " seperti orang memukul-mukulkan sesuatu di atas batu. " Pemahat patung ! " bisik Pancapana. Dia sendiri adalah seorang yang telah mempelajari ilmu kesenian ini, maka suara itu cukup jelas baginya. " Semua orang berpestapora, mengapa pemahat patung itu bekerja seorang diri " Mari kita lihat ! " ajak Pancapana. " Akan tetapi, kita perlu mencari diajeng Dewi ...... " " Lebih baik mencari dari sebelah sini, kurasa Candra Dewi dikurung dalam bangunan ini. Marilah ! " Mereka lalu memasuki pintu bangunan itu dari sebelah kanan dan menuju ke arah suara orang memahat patung tadi. Lorong-lorong di dalam bangunan itu semua diukir indah dan diterangi dengan lampu-lampu minyak yang cukup terang. Pada dinding di kanan-kiri terdapat ukiran yang menggambarkan pada Dewa di Khayangan, akan tetapi semua dewata itu bersujud dan menyembah seorang dewi yang cantik jelita dan telanjang bulat yaitu Dewi Durga ! Alangkah ganjilnya gambar-gambar ini bagi Indrayana dan terutama bagi Pancapana yang memuliakan Dewa-dewa itu. Suara orang memahat batu itu makin keras dan akhirnya kedua pemuda itu mengintai ke dalam sebuah rungan yang terang-benderang dan luas. Mereka menahan napas ketika menyaksikan rungan yang luar biasa itu. Di situ penuh dengan patung-patung yang amat indah. Koleksi Kang Zusi Patung-patung wanita telanjang dalam berbagai kedudukan, dan mereka tidak kenal siapakah patung-patung itu, karena nampaknya seperti muka orang biasa, seperti wajah perawan-perawan kampung yang cukup manis. Sebagian besar daripada patung-patung itu masih belum selesai dan dapat diduga bahwa di situ biasanya bekerja banyak sekali ahli patung, karena masih nampak bekas-bekas tempat mereka bekerja. Akan tetapi, pada saat itu, yang bekerja di dalam ruangan besar itu hanya seorang saja, seorang laki-laki tua yang kurus kering dan berambut panjang. Dengan asiknya, pemahat tua itu sedang menyelesaikan sebuah patung yang lain daripada yang lain, karena patung ini bukan patung seorang wanita telanjang, melainkan patung Bagawan Siddha Kalagana sendiri. Kepala dan bagian tubuh atas telah selesai dan pemahat itu sedang berlutut, mengerjakan bagian bawah, Indrayana dan Pancapana saling pandang, karena takjub melihat keindahan patung itu. Mereka merasa seakan-akan berhadapan dengan Begawan itu sendiri. Demikian hidupnya patung itu sehingga mata patung itu seolah-olah bergerak dan hidup. Akan tetapi tiba-tiba Pancapana memegang lengan Indrayana dan berbisik dengan suara gemetar. " Dia adalah Panjipurna ahli patung Mataram ! " Sebelum Indrayana dapat bertanya, pangeran itu lalu manrik tangannya dan menyerbu ke dalam rungan itu. Akan tetapi, aneh sekali, ahli patung itu seakanakan tidak memperdulikan mereka, dan tetap bekerja dengan tekunnya. " Paman Panjipurna ! " seru Pancapana sambil mendekati orang itu. Barulah kakek itu menegok dan melihat Pancapana, ia memandang dengan benggong dan pucat. Kemudian tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan Koleksi Kang Zusi menangis ! " gusti Prabu, ampunkan hamba...... Sudah tibakah saatnya paduka datang menjemput nyawa hamba " " Pancapana tertegun. Orang itu tentu telah berubah ingatannya, dan menganggap bahwa dia adalah mendiang Sang Prabu Sanjaya, ayahnya ! Ia maju mendekat dan kembali ia tertegun ketika ia menyaksikan betapa kedua kaki kakek itu terikat oleh belenggu besi yang panjang sehingga tak mungkin kakek itu dapat melarikan diri ! " Aduh, paman Panjipurna, bagaimana kau sampai menjadi begini " " Setelah berkata demikian, tanpa membuang waktu lagi, Pancapana dan Indrayana lalu membuka rantai belenggu kaki orang tua itu. Baru saja pekerjaan ini selesai dan kaki orang tua itu telah bebas, tiba-tiba dua orang penjaga masuk ke dalam ruang itu. Mereka ini adalah anggota-anggota Serigala Hitam yang bertugas meronda tempat-tempat yang kosong itu, dan mereka memegang sebatang tembok yang runcing. " Eh, siapakah kalian ini " " bentak mereka ketika melihat Pancapana dan Indrayana berada di tempat itu. Akan tetapi, sebagai jawaban, kedua pemuda digdaya itu menyerbu. Dengan dua kali tonjokan saja kedua orang peronda itu roboh pingsan dan tak berdaya sama sekali ketika Indrayana dan Pancapana menggunakan rantai pengikat kaki Panjipurna tadi untuk membelenggu mereka berdua dan melempar tubuh mereka berdua di sudut ruang itu. " Raden, engkau siapakah " " Panjipurna yang seakan-akan baru sadar dari Koleksi Kang Zusi mimpi itu bertanya sambil memandang kepada Pancapana dengan takjub. Pancapana tersenyum. " Tentu engkau tidak mengenal lagi kepadaku, paman Panjipurna. Dahulu ketika engkau masih bekerja di istana Rama Prabu, aku masih kecil. Aku adalah Pangeran Pancapana ! " Aduh, Gusti Pangeran ...... ! " kakek itu lalu menjatuhkan dari menyembah sambil menangis karena terharu. Kemudian atas pertanyaan Pancapana, ia menceritakan pengalamannya yang mengerikan. Ia diculik oleh Bagawan Siddha Kalagana dan dibawa ke tempat itu. Telah banyak ahli-ahli ukir dan pahat berada di situ, akan tetapi mereka ini semua berada di bawah pengaruh dan tenung dari Bagawan yang sakti itu, bahkan telah memeluk agama yang disiarkan oleh Bagawan Siddha Kalagana. Hanya Panjipurna seoranglah yang masih kuat dan teguh imannya sehingga ia tidak sampai terbujuk. Hal ini hanya mungkin karena kakek seniman ini juga seorang ahli tapa yang telah memiliki batin sekali sehingga tak dapat terkena guna-guna dan tenung Sang Bagawan Siddha Kalagana. " Inilah sebabnya, maka bertahun-tahun hamba dibelenggu dan dipaksa bekerja di sini. Hamba tidak sudi mengerjakan patung-patung cabul itu, maka bangain hamba hanya membuat patung-patung lelaki, dan yang terakhir ini hamba dipaksa membuat patung Sang Begawan. " " Di manakah adanya lain-lain ahli patung yang bekerja " " tanya Pancapana. " Seperti biasa, Gusti Pangeran. Mereka itu ikut pula bersukaria dalam pesta gila itu. Karena hanya dalam pesta gila itulah mereka berkesempatan untuk bersukaria dan melampiaskan segala nafsu iblis ! " Koleksi Kang Zusi " Paman, kami berdua datang untuk mancari dan menolong seorang puteri yang Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo diculik oleh pendeta iblis itu. Di manakah kiranya disembunyikan kawan kami itu " " Panjipurna menarik napas panjang. " Memang bagawan itu jahat sekali. Hamba sendiri tidak pernah keluar dari ruang ini, gusti. Akan tetapi hamba tahu bahwa bagawan itu memiliki sebuah bilik istimewa di sebelah bangunan ini. Adapun ruang pesta gila-gilan itu berada di sebelah kiri. Kalian hati-hatilah, Bagawan Siddha Kalagana amat sakti, dan kaki tangannya banyak sekali. " " Jangan khawatir, paman. Kalau kami berhasil menyelamatkan kawan itu, kami akan berusaha menolongmu keluar dari sini pula. " Setelah berkata demikian, Pancapana dan Indrayana lalu keluar dari ruangan itu dan dengan hati-hati sekali mereka menuju ke dalam. Akhirnya karena tidak berhasil mendapatkan kamar rahasia dari pendeta iblis itu, mereka lalu menuju ke sebelah kiri untuk mengintai ruang pesta yang makin ramai itu. Ketika meteka telah tiba di tempat itu dan mengintai, hampir saja keduanya berseru saking heran, terkejut, marah, dan juga seram. Ruang yang disebut ruang senitari itu ternyata amat luas, empat kali lebih lebar daripada ruang tempat pembuatan patung tadi yang sudah cukup lebar. Berbeda denagn ruang-ruang lain, di sini tidak dipasangi penerangan lampu, akan tetapi gentengnya terbuka sama sekali sehingga penerangan yang masuk di dalam ruang itu sepenuhnya didapat dari sinar bulan purnama. Oleh karena itu, maka pemandangan di situ suram-suram, menyeramkan, akan tetapi juga romantis sekali. Oleh karena sinar bulan cukup terang, Indrayana dan Pancapana dapat melihat hiasan arca-arca dan ukiran-ukiran pada dinding ruang itu dan kedua pemuda itu menahan nafas saking kagum, heran , dan juga jengah. Mereka kagum, oleh karena seni pahat yang menghasilkan hiasan-hiasan itu sungguh-sungguh amat mengagumkan karena indahnya. Apalagi Indrayana yang berada di Kerajaan Syailendra, bahkan Pancapana sendiri yang berada di Mataram di mana banyak terdapat ahli-ahli patung yang pandai, juga takjub sekali Koleksi Kang Zusi menyaksikan patung-patung dan ukiran-ukiran yang sedemikian indahnya. Akan tetapi, yang membuat mereka terheran-heran, jengah, dan juga seram adalah keadaan segala macam ukiran dan arca itu. Semua arca yang berada di situ telanjang bulat, bahkan cabul sekali, lebih-lebih lagi ukiran-ukiran dan gambargambar pada dinding rungan itu. Bukan main kotor dan cabulnya. Ukiran-ukiran dan gambar-gambar itu menggambarkan dunia Kamawacara, yakni daerah keinginan nafsu dan duniawi yang membuat manusia sama dengan binatag. Dengan cara menyolok dilukis atau diukirkan pelanggaran-pelanggaran, perzinaan-perzinaan dan pencabulan yang tiada taranya, lukisan-lukisan manusia-manusia telanjang yang malakukan kehidupan seperti binatang, dan lain lukisan lagi yang kesemuanya menggambarkan hidup yang tenggelam dalam kenikmatan nafsu-nafsu buruk. Di tengah-tengah ruang yang amat lebar itu, berdirilah patung yang besarnya dua kali ukuran manusia biasa, dan inilah patung Batari Durga, shakti ( isteri ) dari Sang Hyang Syiwa. Akan tetapi bukan seperti patung Batari Durga yang dikenal oleh Pancapana dan Indrayana, melainkan patung Batari Durga yang bertelanjang bulat dan tidak mengenal malu sekali ! Di suatu sudut duduklah sekelompok orang yang manaruh gamelan. Kurang lebih seratus orang laki-laki dan wanita berjubah menjadi satu, duduk bersimpuh di ruangan itu dan semua orang menghadap kepada patung Batari Durga dengan penuh khidmat. Tujuh orang laki-laki tua yang berpakaian seperti pendeta, duduk pula bersimpuh di kaki patung itu dan kadang-kadang mereka menyanyikan lagu menurut irama gamelan itu, lalu diikuti oleh para pengunjung yang terdiri daripada orang-orang kampung di tepi Kali Serang. Di tempat sudut rungan itu mengembul asap kayu garu dan cendana dibakar, membuat rungan ini berbau harum dan sedap, bahkan semua patung yang berada di situ, terutama sekali patung Batari Durga yang di Koleksi Kang Zusi tengah-tengah, penuh dengan kembang melati dan mawar serta kenangan, sehingga keadaan di situ penuh dengan bau kembang yang harum pula. Hawanyapun sejuk dan segar, karena di atas terbuka sama sekali. Ketika kedua orang muda yang mengintai dengan hati berdebar-debar itu mencaricari dengan pandang mata mereka kalau-kalau terlihat Candra Dewi atau Bagawan Siddha Kalagana di situ, tiba-tiba semua orang yang menghadap patung Batari Durga itu meniarapkan tubuh mereka di atas lantai seakan-akan menyambut munculnya seorang Dewa atau Raja Besar. Dan yang disujudi itu muncullah dari sebuah pintu yang tertutup kain sutera kuning, diiringi oleh nyanyian-nyanyian para pendeta yang tujuh orang jumlahnya itu. Gamelan dibunyikan perlahan sehingga keadaan benar-benar menyeramkan. Akan tetapi Indrayana dan Pancapana hampir saja tak dapat menahan ketawa mereka karena geli dan jijik melihat keadaan Bagawan Siddha Kalagana yang muncul dari pintu. Pendeta itu sama sekali tidak berpakaian ! hanya sorban penutup kepala dan sehelai cewat sempit saja yang masih menempel pada tubuhnya. Tubuhnya kelihatan makin kurus dan makin tinggi, penuh dengan batu hitam terutama di dada, kaki dan lengan. Seperti seekor monyet ! Ia lebih pantas disebut monyet bersorban, bercawat daripada disebut manusia bertelanjang ! Akan tetapi, di samping kelucuan ini, memang benar ada sesuatu yang amat mengerikan keluar dari keadaan pendeta ini. Sepasang matanya seperti bukan mata manusia lagi, mencorong bagikan mata seekor ular, jalannya juga perlahan dan lemas bagaikan ular kobra merayap maju berlenggak-lenggok. Di samping kegelian hatinya. Indrayana dan Pancapana diamdiam mereasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Bukan manusia bagawan ini pikir mereka, melainkan seekor iblis jahat menjelma menjadi manusia Bagawan Siddha Kalagana lalu menghampiri patung Batari Durga itu, menjura di hadapannya kemudian ia memeluk pinggang patung itu dengan mesra seakan-akan seorang suami memeluk isterinya yang terkasih ! Teringatlah Indrayana dan Pancapana bahwa Bagawan Siddha Kalagana menganggap diri sendiri sebagai titisan Sang Hyang Syiwa, suami dari Koleksi Kang Zusi Batari Durga ! Menggigilah pundak Pangeran Pancapana ! Benar-benar suatu pelanggaran terhadap dewata, suatu penghinaan yang hebat sekali. Hanya orang berotak miring jualah yang berani melakukan penghinaan seperti ini ! Bagawan siddha Kalagan lalu duduk di atas sebuah kursi berukir gambar sepasang naga. Kursi itu tinggi dan terletak di sebelah kanan patung Batari Durga yang telanjang bulat itu. Alangkah lucunya pasangan itu dalam pandangan mata Pancapana dan Indrayana. Selain patung Batari Durga itu jauh lebih tinggi dan besar, juga keduanya merupakan lambang dari keindahan dan keburukan. Kalau patung Batari Durga itu merupakan tubuh seorang manusia wanita yang serba elok dan sempurna lekuk lengkungnya, adalah tubuh bagawan yang duduk di atas kursi itu merupakan potongan tubuh manusia yang gagal, setengah manusia setengah monyet ! Akan tetapi, alangkah ganjilnya, semua orang yang berada di situ bertiarap menghormat kepada manusia monyet yang menjijikan itu dengan penuh khidmat ! Pendeta Hindu itu lalu menggerakkan kedua tangannya, dilonjotkan kedepan seakan-akan hendak memberi berkah kepada semua orang, akan tetapi suaranya mengandung perintah ketika ia berkata, " Kawula ( hamba sahaya ) Sang Batari yang terberkah ! Sang Batari telah memilih seorang pelayan baru, oleh karena itu pada malam hari ini kami berkenan mangadakan pesta untuk merayakan peristiwa yang bahagia ini ! Akan tetapi ketahuilah bahwa pelayan baru kali ini bukanlah sembarangan pelayan, karena masih terhitung keluarga sendiri. Dia adalah puteri Batara Candra, namanya Candra Dewi. Batara Candra sendiri telah memberi ijin persetujuannya untuk memberikan puterinya kepadaku, untuk menjadi pelayan dan selir dari aku, Sang Hyang Syiwa. Semua ini telah dikehendaki oleh Sang Batari Yang Maha mulia ! " Setelah berkata demikian, ia menengok kepada tujuh orang pendeta menjadi pembantunya. " Panggil keempat puluh bidadari untuk mengadakan tari-tarian di sini dan Koleksi Kang Zusi menghibur setiap hati yang rindu dan sunyi, menyerahkan semua kepandaian dan kecantikan mereka. Jangan lupa, bawa ke sini pula tiga buah jantung murni yang akan menambah masa penjelmaanku dengan tiga windu lagi. " Tujuh orang pendeta itu lalu mengundurkan diri dan tak lama kemudian, dari dalam keluarlah empat puluh orang gadis yang daang berlari-lari kecil bagaikan terbang melayang, diiringi suara gamelan yang menyambut kedatangan mereka. Indrayana dan Pancapana merasa kagum sekali. Keempat puluh orang gadis itu masih amat muda dan rata-rata memiliki kecantikan muka yang cukup menarik. Mereka mengenakan pakaian yang amat tipis berwarna putih bening sehingga ketika mereka datang berlari kecil itu, tubuh mereka nampak membayang di balik pakaian yang amat tipis itu. Gerakan mereka lincah dan lemas, dan dalam keadaan yang suram-suram itu, dalam pakaian yang amat tipis, diiringi pula oleh gamelan yang ganjil bunyinya, mereka itu tiada ubahnya seperti keempat puluh Bidadari turun dari Khayangan. Dengan gerakan yang lemah gemulai mereka lalu menjatuhkan siri berlutut di depan Bagawan Siddha Kalagana. 19 Indrayana dan Pancapana melihat betapa semua mata memandang kepada empat puluh orang gadis cantik itu, dan mata orang-orang lelaki yang hadir di situ memancarkan cahaya penuh nafsu. Sementara itu gamelan berbunyi terus, akan tetapi keempat puluh penari itu tidak bergerak dan masih berlutut menyembah seakan-akan telah berobah menjadi patung. Seorang di antara ketujuh orang pendeta tadi maju menyerahkan sebuah cawan terukir berisi tiga potong benda kecil berwarna kehitaman. Bagawan Siddha Kalagana menerima cawan ini dengan muka berseri, kemudian sepotong demi sepotong ia mengambil dan menelan benda merah terserbut sambil memejamkan matanya. Tak terasa lagi Indrayana dan Pancapana saling pandang denagn mata terbelalak membayangkan Koleksi Kang Zusi kengerian hebat. Dengan mudah mereka dapat menduga bahwa benda-benda kecil merah yang ditelan oleh pendeta aneh itu tentulah jantung anakanak kecil yang mayatnya terapung di sungai tadi. Bagawan Siddha Kalagana mengambil dan menelan jantung anak-anak kecil untuk digunakan sebagai obat panjang umur. " Bawa anggur Sang Batari ke sini ! " seru Bagawan Siddha Kalagana setelah menelan habis tiga buah jantung anak-anak itu. Pendeta yang duduk di atas lantai lalu mengambil sebuah gemntong terisi penuh anggur merah. Untuk mengangkat gentong ini, diperlukan tenaga empat orang pendeta yang bertubuh kuat, akan tetapi setelah gentong diberikan kepada pendeta itu, dengan tangan kiri Bagawan Siddha Kalagana mengangkat gentong dan menungkan isinya ke dalam mulutnya begitu saja ! Tentu saja pertunjukan ini mendatangkan rasa kagum, takjub dan percaya akan kesaktian dalam hati para penonton, sungguhpun hak ini bukan merupakan hal aneh bagi Indrayana maupun Pancapana. Setelah puasa minum anggur itu, Bagawan Siddha Kalagana lalu menurunkan gentong anggurnya dan berkata sambil tertawa, " Sekarang, sebelum pesta dimulai, semua orang supaya minum anggur pemberian Sang Batari lebih dulu seperti biasa ! " Seakan-akan orang yang sudah ketagihan sekali, orang-orang itu berebut merangkak-rangkak maju mendekati pendeta-pendeta yang membagi-bagi minuman itu. Seorang mendapat anggur secawan kecil dan akhirnya, setelah para penari yang empat puluh orang jumlahnya itu diberi kesempatan minum terlebih dahulu, semua orang mendapat bagian dan gentong itu menjadi kosong dan dibawa keluar. " Bunyikan gamelan, menarilah untuk menghormati Sang batari, " kini Koleksi Kang Zusi Bagawan Siddha Kalagana berseru gembira sambil menepuk-nepuk tangannya. Maka berbunyilah kembali segala gamelan tadi dan kini terdengar irama yang amat ganas dan gembira, seakan-akan para penabuh telah menjadi panas darahnya karena minuman anggur merah tadi. Empat puluh orang pelayan atau pengiring Sang Betari, yang pada hakekatnya adalah selir-selir Sang Begawan Siddha Kalagana itu, kini bangkit berdiri dan menarilah mereka dengan gerakan-gerakan yang indah dan menggairahkan. Pada permulaannya, tarian mereka itu lemas dan halus dan benar-benar mengandung seni tari yang amat indah, akan tetapi makin lama, gerakan mereka menjadi makin cepat dan bunyi gamelan makin dahsyat. Penari-penari itu seperti mabok dan tak peduli lagi betapa karena gerakan mereka yang cepat, pakaian mereka kadang-kadanag terbuka sehingga memperlihatkan pemandangan yang tidak sopan. Para penonton juga kehilangan keseimbangan lagi. Kalau tadinya mereka bersikap sopan dan hormat, kini mereka mulai tertawa-tawa, bersorak-sorak, bahkan tubuh mereka tidak mau diam, berlenggang lenggok mengikuti irama gamelan. Indrayana dan Pancapana tertegun. Belum pernah selama hidup mereka melihat atau bermimpi melihat pemandangan seperti itu. Sudah gilakah semua orang itu, demikian pikir mereka. Lebih hebat ketika gamelan ditabuh makin hebat sehingga tak lama kemudian, pakaian-pakaian tipis yang yang hanya dilibatkan pada tubuhtubuh dara-dara ayu itu, berterbangan terlepas dari pundak dan memenuhi lantai, membuat mereka sama seperti patung-patung wanita yang berada di situ. Makin menggila pulalah sikap para penonton, terutama para mudanya. Dengan pandangan mata mereka, seakan-akan mereka hendak menelan bulat-bulat para penari yang bergerak-gerak di depan mereka itu. Tiba-tiba Bagawan Siddha Kalagana berseru sambil bertepuk tangan, " Bagus, sekarang semua menari ! Semua menari untuk menghibur Sang Maha Batari ! " Koleksi Kang Zusi Karena mereka semua itu sudah maklum bahwa hal ini akan terjadi, maka tadi para penonton sudah merupakan air bah yang tertahan oleh bendungan. Isyarat dan perkenan dari Begawan Siddha Kalagana ini bagaikan memecahkan bendungan itu sehingga air bah yang kuat itu membanjir keluar ! Bagaikan kemasukan iblis, orang-orang itu melompat berdiri, menari-nari, tertawa-tawa berteriak-teriak mengelilingi empat puluh orang penari yang membangkitkan gairah itu. Penontonpenonton perempuan tidak ketinggalan, merekapun lalu menari-nari dan di dalam keributan itu, laki-laki dan perempuan bertukar pasangan, suami menari dengan perempuan lain dan isteri menari dengan laki-laki lain ! Indrayana dan Pancapana saling pandang dengan penuh pengertian. Inilah yang menjadi sebuah daripada alat-alat pemikat dan penarik dari Begawan Siddha Kalagana. Dengan amat pandainya pendeta itu menggunakan kekuatan sihirnya, membuat orang-orang itu menjadi lemah imannya dan kehilangan semangat, kemudian memabokkan mereka dengan minuman merah itu dan yang terakhir sekali, memberi kebebasan kepada mereka menari serta bersentuhan dengan empat puluh orang dara ayu, selir-selirnya itu ! Beberapa orang penari yang sudah mabok betul-betul dengan mata sayu dan penuh nafsu menghampiri Bagawan Siddha Kalagana, menari-nari dengan pinggang berlenggang-lenggok seperti ular di depan dan mnegitarinya, bahkan mulai menarik-narik tangannya diajak menari bersama. Akan tetapi, dengan pandang mata bosan, Bagawan Siddha Kalagana mengebaskan tangannya, bahkan lalu berkata kepada mereka. " Bawa Sang Candra Dewi ke sini ! Malam ini kita merayakannya, maka hanya dengan dialah aku mau menari ! Sebelum melepaskan ikatannya, lebih dulu beri dia minum secawan madu merah ! " Koleksi Kang Zusi ketiga orang dara ayu itu nampak kecewa, akan tetapi mereka lalu tertawa cekikikan dan berlari-lari masuk untuk menjalankan perintah itu ! Pancapana dan Indrayana saling memberi isyarat dan bagaikan sudah berjanji terlebih dulu, mereka lalu meninggalkan tempat persembunyian mereka dan cepat mengikuti tiga orang dara yang masih telanjang bulat dan berlari-lari itu. Inilah kesempatan sebaik-baiknya bagi mereka. Ketiga orang penari akan membawa mereka ke tempat kurungan Candra Dewi. Kalau Indrayana dan Pancapana tidak mengikuti perjalanan tiga orang penari yang semangatnya telah dipengaruhi oleh tenung dan sihir Bagawan, agaknya takkan mungkin mereka dapat mencari kamar di mana Candra Dewi terkurung. Kamar itu adalah kamar Bagawan Siddha Kalagana sendiri, sebuah kamar yang besar dan indah, penuh pola ukir-ukiran cabul. Untuk dapat memasuki kamar itu ketiga penari tadi melalui tiga lapir pintu rahasia yang hanya dapat dilihat dan dibuka setelah menggeser patung-patung yang berada di luar kamar. Dengan hati-hati dan sembunyi-sembunyi kedua orang muda itu mengintai dan mengikuti tiga orang penari tadi, berjalan melalui sebuah lorong sempit. Tibatiba ketiga orang penari tadi menghentikan tindakan kaki mereka karena jalan itu buntu dan mereka menghadapi sebuah dinding batu yang tebal. Di sebelah kiri terdapat sebuah patung serigala batu itu, memutarnya ke kanan dan terdengarlah suara bergeret dengan terbukanya dinding batu itu ! Ketiga orang penari itu melangkah masuk dan tertutuplah kembali jalan tadi. Dilihat begitu saja agknya tak mungkin di situ akan terdapat sebuah pintu tembusan ! Indrayana dan Pancapana menjadi girang sekali dan setelah menanti beberapa saat, mereka lalu memutar leher serigala batu itu dan terbukalah pintu. Mereka cepat melangkah masuk dan melanjutkan pengejaran mereka. Kembali mereka sampai di jalan buntu dan terdapat pula sebuah patung serigala hitam yang lebih besar dan lebih dahsyat. Kedua orang pemuda itu Koleksi Kang Zusi mengira bahwa rahasianya terletak pula pada leher serigala batu itu yang harsu diputar, akan tetapi ternyata tidak sedemikian. Seorang penari lalu memasukkan tangan ke dalam mulut serigala batu yang lebar itu dan menarikknya maka Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terbukalah sebuah pintu pula pada dinding yang tadinya rapat itu ! Seperti juta tadi, Indrayana dan Pancapana berhasil masuk ke dalam pintu rahasia ini setelah merogoh mulut patung serigala dan menarik lidah patung anjing serigala itu. Dengan penuh perhatian mereka melanjutkan pengintaian. Kini mereka tiba di depan sebuah pintu, yakni pintu teakhir, akan tetapi syarat untuk membuka pintu ini bukan merupakan suatu rahasia, melainkan lebih hebat dan berbahaya lagi. Kini yang menjaga di depan pintu bukanlah seekor patung serigala yang mengandung rahasia, melainkan seekor serigala hitam tulen ! Serigala ini besar sekali dan bulunya hitam bagaikan arang. Sepasang matanya liar dan mengkilat, sedangkan moncongnya yang merah itu terbuka, lidahnya terjulur keluar di antara dua baris gigi yang runcing dan tajam melebihi pisau belati ! Setelah mengelus-elus leher dan menepuk-nepuk kepala serigala hitam yang besarnya seperti anak sapi itu. Ketiga wanita tadi lalu membuka daun pintu dan berjalan masuk dengan lenggang mereka yang amat menggiurkan. Pancapana dan Indrayana saling pandang. Tak ada lain jalan bagi mereka selain mencoba untuk menerobos jalan yang terjaga ini. Akan tetapi baru saja mereka muncul, serigala hitam itu tiba-tiba menggeram dan menyalak dengan hebatnya, lalu menerkam ke arah dua orang pemuda yang berani mendekatinya. " Kakangmas, awas ! " seru Indrayana yang berjalan di belakang Pancapana. Akan tetapi Pangeran itu adalah seorang pemuda yang cukup gagah. Di terkam sedemikian rupa oleh serigala yang menggerikan itu, ia berlaku tenang, miringkan Pasangan Naga Dan Burung Hong 4 Pengelana Rimba Persilatan Jiang Hu Lie Ren Karya Huang Yi Pedang Kiri Pedang Kanan 12

Cari Blog Ini