Banjir Darah Di Borobudur 1
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo Bagian 1 Koleksi Kang Zusi Banjir Darah di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo Jilid 1 Kisah ini terjadi pada waktu agama Hindu dan Agama Budha berkembang luas, dan berpengaruh serta berkuasa di pulau jawa. Seribu tahun lebih yang lalu kedua agama ini yang datangnya dari India, membawa kebudayaan yang tinggi kepada rakyat di Pulau Jawa. Betapapun besar dan hebat pengaruh agama-agama dan kebudayaan dari luar ini, namun tak dapat menghilangkan ciriciri yang khas pada bangsa pribumi, tak dapat melebur sama sekali kepribadian asli daripada penduduk pulau jawa. Kepribadian asli ini ada pada tiap bangsa dimanapun juga, kepribadaian yang bertumbuh di tanah air sendiri, yang terbentuk sesuai dengan keadaan alam, watak dan selera bangsa itu sendiri. Oleh karena inilah, maka agama dan kebudayaan luar yang masuk ke pulau jawa ini, setelah berkembang biak dan dapat di terima oleh seluruh rakyat, menjadi berubah sifatnya daripada aslinya. Hal ini terjadi karena agama dan kebudayaan itu tak dapat di terima bulat - bulat begitu saja oleh penduduk pribadi, akan tetapi disesuaikan dengan kepribadian sendiri. Yang tidak sesuai dirubah sedemikian rupa sehingga cocok dan enak bagi selera sendiri. Koleksi Kang Zusi Maka bukanlah hal yang mengherankan apabila kedua agama besar yang berkuasa di Pulau Jawa, yaitu Agama Hindu dan Agama Budhha, dapat hidup bersama dengan rukun di Pulau Jawa padahal di tempat asalnya kedua agama ini dijadikan sebab dan dasar pertikaian dan peperangan. Kenyataan ini menjadi betapa mulia, bijaksana, dan penuh cinta damai adanya watak daripada kepribadian rakyat yan menjadi penduduk pribumi du Pulau jawa. Agama apa saja, kebudayaan yang bagaimanapun juga, memasuki tanah air, diterima dengan ramah, akan tetapi tidak secara membuta. Pengaruh- pengaruh dari luar itu takkan dapat memaksa ataupun membujuk bangsa pribumi, akan tetapi diterima dengan penuh kebijaksanaa dan kesadaran, dipakai mana yang dirasa baik, dibuang mana yang dirasa kurang. Kebijaksanaan ini tidak hanya nampak pada sikap rakyat jelata, bahkan di pelopori oleh Raja sendiri yang berkuasa di masa itu. Raja tidak melarang rakyatnya memeluk agama yang mana saja, baik Agama Hindu, maupun Agama Buddha, di pandang tinggi dan hal ini terbukti sampai sekarang dengan adanya candicandi tempat pujaan penganut Agama Hindu maupun Agama Buddha. Kisah ini terjadi antara tahun 700 sampai 850 pada waktu maan di jawa tengah berkuasa dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Mataram dan Kerajaan Syailendra. Raja di Mataram adalah sang Prabu Sanjaya, yang selain pandai memegang kendali pemerintaan, juag amat sakti mandraguna sehingga dengan balatentaranya yang kuat , Sang Prabu Sanjaya menaklukan banyak raja-raja kecil di Pulau jaawa bahkan sampai di tanah seberang lautan. Kerajaan Mataram beragama Hindu dan menyembah dewa-dewa, di antaranya yang mendapat tempat tinggi adalah batara Aviwa yang juga disebut batara Guru dan kadang-kadang menjadi dewa pembinasan yang disebut Batara Kala Koleksi Kang Zusi Kerajaan Syailendra yang tadinya menjadi negara taklukan dari Kerajaan Mataram dirajai oleh Sang Prabu Samaratungga, atau Maha Raja Samaragrawira. Raja inipun terkenal sebagai seorang raja yang adil dan bijaksana sehingga rakyat yang berada di bawah pemerintahannnya hidup makmur. Raja ini, berbeda dengan Kerajaan Mataram yang memeluk Agama Hindu, beragama Buddha dan sedemikianpun seluruh keluarganya. Betapapun bijaksananya kedua raja ini dan betapapun taatnya rakyat kedua kerajaan, namun perbedaan kepercayaan ini tetap saja merupakan perbedaan faham yang sering kali menimbulkan bentrokan antara orang-orang yang berdarah panas dari kedua belah fihak. Memang sedemikianlah keadaan para pemeluk agama semenjak dahulu sehingga kini. Para pemeluk agama yang pengetahuannya tentang pelajaran agamannya itu baru setengah-setengah dan msih amat dangkal, selalu menyombogkan agamannya sendiri dan merendahkan agama kepercayaan lain orang. Berbeda dengan para pendeta atau pemeluk agama yang benar-benar sudah mendalam pengetahuannya dan yang telah menjalankan ibadat yang suci dengan penuh kesetiaan dan kesadaran, mereka telah menjadi orang yang bijaksana dan tahu menghargai serta menghormati kepercayaan orang lain. Sering kali terjadi bentrokan-bentrokan kecil antara orang-orang dari dua golongan ini, terutama sekali apabila golongan yang satu mendirikan sebuah candi tempat pemujaan, selalu diejek dan diganggu oleh golongan lain sehingga menimbulkan pertengakaran dan perang kecil-kecilan. Permusuhan mempunyai sifat panas bagaikan api, kalu tak segera di padamkan dan menjala, dapat berubah menjadi lautan api di mana Dewi Koleksi Kang Zusi Agoi berpestapora dan mengamuk. Demikianpun dengan perselisihan-perselisihan kecil itu, lambat laun menjalar sampai kedalam keraton kedua kerajaan! Kedua raja tentu saja menjaga kedaulatan dan kekuasaan masing-masing dan mulailah terjadi permusuhan dan persaingan antara kedua raja yang berlainan agama ini. Tidak saja berebut dalam hal memperbesar pengaruh dan memperluas wilayah kekuasaan, akan tetapi juga bersaing dalam hal pendirian candi-candi. Kerajaan Mataram membangun banyak sekali candi-candi pemujaan pada Dewata menurut kepercayaan Agama Hindu, sedangkan Maha Raja samaratungga membangun candi-candi Agama Buddha untuk menyaingi lawannya itu. Di dalam keadaan yang kacau dan penuh permusuhan inilah, kisah ini terjadi dan dimulai! *** Musim kemarau mengeringkan air-air sawah dan sungai-sungai kecil. Bahkan Kali Praga yang biasannya mengalirkan air bening melimpah-limpah itu, kini nampak hampir kehausan dan megap-megap tertimpa cahaya matahari yang amat teriknya. Batu-batu besar menonyol mengantikan kedudukan air yang telah habis ditelan dan diminum oleh hambasahaya Ratu Segara Kidul, sekitar Kali Praga nampak senyi senyap. Sunyi dan mati karena tidak ada angin sedikitpun, seakanakan Sang Batara Bayu. Dewa Angin itu juga menderita kepanasankarena teriknya matahari dan sedang beristirahat. Pohon-pohon dengan daun-daunnya yang mengering itu diam tak bergerak sediam batu-batu yang menonjol di dalam kali yang kering. Hanya sedikit air keruh di tengah-tengah kali yang menonjol di dalam kali yang nampak hidup, bergerak perlahan bagaikan ular yang sudah sekarat, mencari jalan menurun di anatara batu-batu kali itu. Seakan-akan mencari tempat teduh untuk berlindung dari kemurkaan Sang Batara Surya. Sesungguhnya, keadaan tidak semati itu, karena dipinggir sungai, duduklah seorang pemuda diatas rumput kering. Memang, nampaknay pemuda ini juga sudah berubah menjadi patung batu, karena ia duduk diam tak bergerak Koleksi Kang Zusi sedikitpun. Hanya dadanya yang telanjang itu masih menyatakan bahwasannya ia masih hidup, karena masih bergerak naik turun dalam pernapasan. Pemuda ini masih remaja, usianya takkan lebih dari tujuh belas tahun. Dia seorang pemuda yang elok sekali, raut mukanya tajam dan sempurna, tak ubahnya seperti wajah Sang Arjuna tengah bertapa di tepi sungai. Kulit tubuhnya, dari mukanya yang tampan, sampai kepada dadanya yang bertelanjang dan kakinya yang nampak dari betis ke bawah, amat bersih dan halus, akan tetapi matang dalam panggangan sinar surya. Lengan tangannya yang bulat berisi, dadanya yang bidang, pinggang yang kecil dan betisnya yang penuh dan kuat itu menujukkan bahwa di dalam tubuh pemuda ini tersimpan tenaga yang kuat dan kesehatan yang sempirna. Wajahnya yang tampan itu mempunyai cahaya yang berbeda dengan pemuda-pemuda biasa di dusun-dusun. Sepasang matanya bening dan terang, mempunyai sinar tajam yang menembus apa yang dilihatnya. Keningnya lebar dan mulutnya, ditarik angkuh, membuat mukanya tampak agung. Rang yang melihat pemuda ini tentu akan menduga bahwa ia adalah seorang berdarah keraton atau setidaknay keturunan bagsawan dan kesatria. Dugaan ini memang tidak terlalu keliru, karena sungguhpun pemuda ini memang bukan putera bangsawan, namun ia adalah putera seorang Pendeta Agama Buddha yang bernama Sabg Wiku Dutaprayoga, yang selain menjadi pendeta juga bekerja sebagai ahli pembuat senjata keris, pedang dan lain-lain dari Maha Raja Samaratungga dari Kerajaan Syailendra. Sang Wiku Dutaprayoga berasal dari Mataram dan belum lama ia memeluk Agama Buddha. Maha raja Samaratungga tertarik akan kepandaiannya membuat senjata dan mengangkatnya sebagai ahli pembuat keris di kerajaannya, kemudian memberinya banyak hadiah dan kedudukan tinggi. Koleksi Kang Zusi Pada waktu itu , ia masih beragama Hindu dan memuja Trimurti, yaitu Tiga Suci , Dewa Brahma, Syiwa, dan Wisnu. Setelah bekerja di Kerajaan Syailendra dan mempelajari filsafah Agama Buddha, hati sang panembahan Dutaprayoga tertarik dan kemudian ia dianugrahi gelar Wiku oleh Maha Raja Samaratungga. Istrinya yang amat keras hati dan menjadi pemuda Trimurti yang amat tekun dan setia, ketika melihat suaminya mengikuti aliran Agama Buddha, menjadi patah hati dan bersedih sehingga ia membuang diri sampai tewas di kali Paraga pada saat kali itu banjir. Semenjak itu, Sang Wiku Dutaprayoga hidup berdua dengan seorang puteranya yang telah di tinggalkan oleh ibunya pada waktu itu ia berusia sepuluh tahun. Pemuda yang kini duduk termenung di pinggir Kali Praga itulah putera tunggal Sang Wiku Dutaprayoga. Ia bernama Indrayana dan semenjak kecil ia telah mendapat gemblengan ilmu kepandaian oleh kedigdayaan dari ayahnya yang juga terkenal amat sakti dan digdaya, kalau melihat orangnya yang demikian halus dan lemah lembut , tampan dan sopan seperti orang bambang ahli tapa brata, oarang takkan mengira bahwa pemuda yang lemah lembut ini memiliki tenaga yang dapat mengalahkan seekor banteng liar, memiliki kesigapan bagaikan seekor burung srikatan, kecekatan dan ketrampilan seperti seekor monyet putih. Sukarlah membayangkanbetapa jari-jari tangan yang kecil dan berkulit halus itu dapat menempa sepotong baja yang sedang membara, memijit-mijit dan membentuk baja menjadi sebilah keris ampuh bagaikan orang bermain-main engan tanah lempung saja. Memang, Indrayana telah mewarisi ilmu kesaktian ayahnya. Menurut pantasnya, pemuda ini tentu merasa puas dan bahagia. Kedudukan ayahnya cukup tinggi , terhormat dan disegani oleh rakyat jelata dan pembesar, dicintai oleh Sang Parabu Samaratungga sendiri. Dia sendiri telah mewarisi kepandaian tinggi, berwajah elok dan menjadi impian para dara jelitadi kerajaan itu, makan cukup pakaiaan tak kurang. Akan tetapi mengapa ia sering kali duduk termenung di tepi Sungai Praga" Koleksi Kang Zusi Sesungguhnya , banyak sekali hal berkecambuk dalam hati dan pikiran pemuda ini. Hal-hal yang membuatnya seringkali melamun, bermuram durja, gelisah, duka, dan kecewa. Pertama-tama ia selalu teringat akan budayanya yang telah membuang diri sampai tewas di Sungai Praga. Kedua, hatinya berduka menyaksikan pertikaianpertikaian yang tiada habisnya antara orang-orang Mataram dan orang-orang Syailendra, antara pemuja Agama rimrti dan Agama Buddha. Dalam hal ini, ia sependapat dengan ayahnya. Juga Sang Wiku Dutaprayoga selalu berduka kalau mendengar akan pertikaian itu. Betapapun juga, Sang Wiku maklum bahwa kedua agama ini semua baik dan murni, mengandung pelajaran kebatinan yang tinggi dan yang dapat menuntun manusia ke arah jalan yang benar, membuka mata manusia untuk mengenal diri pribadi, dan mengingatkan mereka akan asalnya. Adapun hal ketiga, yang membuat hati Indrayana selalu rusuh dan binggung, adalah persaingan pembuatan candi. Ia telah emnjadi seorang penduduk dan rakyat Kerajaan Syailendra, maka tentu saja terkadang harapan di dalam hatinya untuk melihat bahwa candi-candi yang didirikan oleh Kerajaan Syailendra lebih agug, lebih besar, lebih mewah dan indah. Akan tetapi, ahli-ahli ukir di Mataram selalu membuktikan bahwa dalam hal kesenian, merekalah yang lebih uanggul dan lebih ahli. Indrayana, di samping kepandaian-kepandaian yang diwarisinya dari ayahnya, juga suka sekali akan kepandaian seni ukir. Ia mempelajari seni ukir. Ia mempelajari seni ukir dari ahli-ahli pahat dan ukir yang tersohor di Syailendra, akan tetapi hatinya masih belum puas. Ia selalu terbentur kepada kenyataan bahwa keahlian dalam hal seni ukir sudah tak dapat menyamai kepandaian ahli di Mataram sebagaimana terbukti daripada hasil-hasil ukiran yang halus dan indah di candicandi yang didirikan oleh orang Mataram. Sering kali ia berdiri termenung di depan candi-candi Syiwa dan lain-lain untuk mengagumi keindahan patung-patung yang diukir di situ. Patung-patung itu dalam pandangannya seakan-akan hidup, seakan-akan di bawah kulit patung itu betul-betul terdapat urat-urat yang mengalirkan darah. Sepasang mata patung-patung itu seperti hidup dan berkedipkedip kepadanay untuk memamerkan keindahannya. Buah dada Koleksi Kang Zusi yang membusung dan indah bentuknya dari patung-patungwanita naik turun berombak, seakan-akan menahan gelora napasnya yang menjadi berahi karena ditatap oleh mata seorang pemuda tampan dan elok seperti Indrayana. Dan kalau sudah mengagumiini semua, ia pulang dan mengadu kepada ayahnya mengeluh panjang pendek. Indrayana, anakku. " ayahnya berkata sambil menghela napas. " Tak perlu engakau merasa iri hatimelihat hasil ukiran orang-orang Mataram. Disana memang terdapat banyak sekali ahli-ahli ukir yang pandai dan sakti ." " Akan tetapi, ayah, Mustahil sesuatu kepandaian itu hanya dimiliki oleh seorang atau segolongan orang-orang saja. Kalau kita benar-benar mengusahakannya untuk mempelajari dengan rajin dan tekun, mengapa tidak bisa " Apa yang dapat dilakukan oleh orang lain, pasti akan dapat kita lakukan pula asal saja mendapat petunjuk dan bimbingan orang yang pandai. Aku ingin sekali mempelajari ilmu itu samapi dapat, ayah. Hanya soalnya, dimanakah aku dapat mencari seorang guru yang pandai " " Ayahnda tersenyum. " Indrayana, memang sudah seharusnya demikian semangat dan pendirian seorang pemuda. Pantang mundur dalam menghadapi cita-cita, takkan berhenti sejenakpunsebelum tercapai kandungan hati! Namun, kau harus mengerti bahwa dalam segala sepak terjang kita, kita harus mempergunakan pertimbangan dan kedewasaan. Betapapun tekun, rajin dan bersemangat adanya seseorang dalam mengerjakan sesuatu, apabila tindakannya hanya serampangan dan sembrono tanpa perhitungan masak-masak, maka hasil kerjanya kiraku takkan sempurna sebagaimana yang diharapkan semula ! Engkau tentu bukan termasuk golongan yang bertindak secara serudukan seperti kerbau gila itu, bukan " " Koleksi Kang Zusi Indrayana menundukkan kepalanya. " Ayah, anak-anakmu mendengarkan dengan penuh perhatian. Teruskanlah wejanganmu yang amat berharga, ayah. " " Anakku, segala macam karya seni yang ada di dunia ini membutuhkan bakat dan watak dalam bidang masing-masing. Bakat atau watak ini telah ada dalam diri tiap manusia semenjak mereka terlahir. Disebut bakat setelah anak menjadi besar dan ternyata dari perbuatan-perbuatannya atau hasil-hasil karyanya. Akan tetapi pada hakekatnya adalah pengalaman-pengalaman yang terbawa dari kehidupan yang lampau. Oleh karena itu, bakat ini tak dapat dipaksakan pada diri seseorang. Mengertikah kau, anakku " " " masih belum jelas benar, ayah " " Indrayana, engkau memang berbakat untuk menjadi ahli pembuat keris. Tahukah engkau, apa akan jadinya kalau seorang pembuat keris yang pandai dan sakti, memaksakan diri membuat sebatang keris dari bahan logam yang tidak baik seperti misalnya tembaga " " " Keris itu akan jadi, akan tetapi tak mungkin dapat merupakan keris yang baik dan ampuh, " jawab bapaknya. Nah demikianlah pula dengan bakat seseorang. Tembaga tidak berbakat untuk di jadikan keris, maka, biarpun telah diusahakan oleh seorang ahli yang amat pandai, namun tetap saja bahan yang tidak berbakat baik itu takkan dapat menjadi sebatang keris yang sempurna. Biarpun dia belajar penuh ketekunan dan kerajinan, sungguhpun ia digembleng oleh seorang guru yang maha sakti, tak mungkin ia akan menjadi ahli ukir yang baik dan hasil ukirannya takkan sempurna pula. " Koleksi Kang Zusi Indrayana tertegun dan mengangkat muka memandang ayahnya. " Jadi...menurut pandangan ayah, aku tidak berbakat untuk menjadi seorang ahli ukir" Akan tetapi, aku suka sekali akan ukiran-ukiran yang indah, ayah ! " Ayahnya tersenyum sabar dan tenang sepertibiasanya. " Kau memang seorang pemuda yang penuh semangat dan ingin memahami segala macam hal. Ini memang baik sekali, anakku, dan ayahmu merasa bangga melihat api semangatmu yang bernyala-nyala itu. Akan tetapi kau harus ingat bahwa di dalam dunia ini, ilmu kepandaian tidak ada Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo batasnya bagaikan Segara Kidul. Tak mungkin kau akan dapat mencakupnya semua. Bakat dan wadah untuk menampung kepandaian pada seseorang diumpamakan hanya sebesar payung batok kelapa, bagaimana mungkin untuk menampung semua air dari segara kidul " Kalau engkau tidak puas dengan yang segayung itu saja dan menghendaki lebih, banyak bahayanya kau akan keluar dari sana dengan gayungmu tinggal kosong ! dari pada terjadi hal demikian, jauh lebih baik mengisi gayungmu dengan air yang sebersih-bersihnya sampai penuh betul ! " Demikianlah wejangan ayahnya yang masih saja bergema dalam telinga Indrayana ketika ia duduk melamun di pinggir kali Praga. Kemudian pikirannya melayang jauh dan ia teringat kepada ibunya yang telah meninggalkannya semenjak ia masih kecil. Sungguhpun ibunya telah pergi lebih dari tujuh tahun yang lalu, akan tetapi Indrayana masih dapat membayangkan wajah ibunya yang cantik manis, senyumnya yang ramah dan sabar, pandangan matanya yang halus penuh kasih sayang. " Ibu......" Indrayana mengeluh dengan bisikan perlahan. Hatinya terserang rasa rindu yang memerihkan hatinya, rindu kepada ibunya yang telah meninggal dunia. Koleksi Kang Zusi Dalam rindu dendamnya yang hebat, batu-batu besar di tengah sungai itu kelihatan seperti ibunya dalam berbagai-bagai keadaan. Ada yang seperti ibunya tengah duduk, ada yang berjogkok, berlutut bahkan ada yang seperti ibunya berbaring. " Ibu......" Kembali ia mengeluh dan tak terasa pula ia bangkit berdiri diatas rumput kering dan melompat turun ke dalam sungai yang kering dan melompat turun kedalam sungai yang kering itu. Kemudian ia menghampiri sebuah batu besar sambil matanya memandang tanpa berkedip, batu besar yang kelihatan seperti ibunya tengah duduk bersimpuh itu. " Ibu, aku akan menghidupkamu kembali, ibu, " katanya dengan tak sadar. Indrayana lalu menggosok-gosok kedua telapak tangannya, mengerahkan aji kesaktiannya, kemudian ia mulai bekerja. Dengan sepuluh jari tangannya yang berubah menjadi seperti pahat dan pisau baja, ia mulai mencongkel, mengukir dan membentuk batu karang besar itu, mencontoh gambar yang timbul dalam angan-angannya ketika ia merasa rindu kepada bundanya tadi. Dari pagi sampai matahari naik tinggi, Indrayana bekerja tak kenal lelah. Batu karang menghitam itu telah mulai berbentuk seperti tubuh seorang wanitayang duduk bersimpuh. Akan tetapi makin dekat bentuk batu itu menyerupai manusia, makin kecewa dan berdukalah hati Indrayana. Seperti yang sudah-sudah ! Selalu kedua tangannya tak kuasa mencontoh gambar dalam angan-angannya. Sama sekali tak sesuai, sama sekali tidak Koleksi Kang Zusi menyerupai bentuk tubuh dan potongan wajah ibunya. Beberapa kali ia mengosokgosok batu bagian muka itu bagaikan dipahat saja, akan tetapi makin lama makin jauhlah bedanya wajah patung itu denagn wajah ibunya. Perasaan kecewa membuat Indrayana menjadi marah. Tiba-tiba tangan kanannya menebas kearah leher patung itu dan patahlah batu karang itu dengan mudahnya. " Setan ! " Indrayana memaki perlahan. " Setan dan iblis air sungai yang mengganggu ! " Akan tetapi yang menjawab makiannya hanya suara air yang mencari jalan-jalan diantara batu-batu iblis dan setan air menertawakan kemarahannya. Indrayana makin marah dan kecewa. Ia menusuk-nusukkan jari tangannya kepada batu yang tadi hendak dijadikan patung ibunya itu dan dimana saja jari tangannya menusuk, tentu batu itu berlobang. Memang dahsyat dan hebat sekali aji kesaktian Indrayana ini. Jangankan kulit seorang manusia yang menjadi lawannya, bahkan batu karang yang sedemiikian kerasanya dengan mudah ditusuk oleh jari-jari tangannya. Tiba-tiba terdengar suara yang halus berkata dari tepi sungai. " ya Jagat Dewa Batara ! Alangkah lucunya anak ini. Mengapa menyakiti diri sendiri " Batu karang yang demikian kerasnya ditusuk-tusuk, tentu saja jari tangannya yang sakit. ". Baru saja ucapan ini habis diucapkan, Indrayana menjerit dan memegangi tangan kanannya yang berdarah. Ternyata ketika ia mendengar ucapan itu, tiba-tiba batu karang itu menjadi keras sekali dan jari tangan kanannya Koleksi Kang Zusi yang ditusukkan terbentur pada batu yang tiba-tiba kerasnya melebihi baja sehingga jarinya menjadi luka berdarah dan terasa sakit sekali. Indrayana marah sekali dan cepat menegok. Ia melihat seorang kakek tua yang rambutnya panjang dan rambut serta kumisnya putih semua, berpakaian sebagai seorang pendeta Agama Hindu, sedang berdiri memegangi tongkatnya yang panjang di tepi sungai dan berhadapan dengan pendeta itu. hmm, anak muda yang tangkas ! " kakek itu memuji. Akan tetapi Indrayana menyangka bahwa ia tentu berhadapan dengan iblis penjaga sungai yang menganggunya, segera maju selagkah dan menyerang dengan pukulan tangan kirinya yang ampuh dan kuat. Pukulan kedua tangan Indrayana tak boleh dipandangringan, karena pemuda ini telah diisi aji kesaktian yang disebut Astadenta atau Tangan gading. Pukulan tangannya sama kuatnya dengan tenaga seekor gajah yang menyerang dengan gadingnya ! Akan tetapi kakek itu tidak mengelak maupun menangkis sedikit juga, hanya memandang dengan mata berseri seakan-akan merasa geli hati melihat tingkah laku seorang bocah nakal. Ketika tangan kiri Indrayana tepat mengenai dada kakek itu, kelihatannya dari luar seakan-akan tangan itu hanya menempel saja seperti seekor lalat hendak memukul pohon waringin, sedangkan Indrayana merasa seperti memukul pakaian yang tidak ada tubuhnya di sebelah dalamnya ! baju pendeta yang dipukulnya itu seakan-akan kosong, seperti juga kakek itu tidak bertubuh. Ia menjadi penasaran dan berkali-kali ia memukul, akan tetapi tetap saja, sama halnya dengan memukul air Kali Praga dikala sedang banjir. Makin kuatlah dugaan Indrayana bahwa kakek ini tentulah bukan seorang manusia, melainkan iblis penjaga sungai. Ia membungkuk dan tiba-tiba menyergap kedua kaki kakek itu. Giranglah hatinya ketika kedua tangannya merasa bahwa kakek ini sesungguhnya mempunyai sepasang kaki yang kurus. Ia mengerahlan tenaga, hendak diangkatnya tubuh kakek itu hendak Koleksi Kang Zusi dibantingkannya kedalam Sungai Praga yang kosong ! Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika ia tidak mampu mengangkat tubuh kakek yang kecil kurus itu ! Indrayana mengerahkan tenaga dan aji kesaktiannya, akan tetapi kedua tangannya seakan-akan lumpuh dan semua tenaga telah meninggalkan raganya. Jangankan mengangkat tubuh kakek itu mengerakkan sedikitpun ia tak mampu ! Terkejutlah sekarang Indrayana. Ia melangkah mundur tiga tindak dan mulutnya berkemak-kemik membaca mantera mengusir setan. Namun tetap saja kakek itu tidak lenyap seperti halnya seorang mahluk halus atau setan kalau mendengar mantera itu, bahkan tersenyum-senyum dan matanya tetap berpengaruh itu, " Indrayana, bukankah kau putera Wiku Dataprayoga " Kau benar-benar bersemangat seperti ayahmu diwaktu masih muda. " Pendeta itu lalu tertawa terkekeh dengan girangnya. " Tentu saja kau tidak mengenalku, karena pertama kali engkau melihatku adalah ketika kau masih kecil sekali, baru berusia bebrapa bulan. Ha, ha, masih jabang bayi dalam gendongan mendiang ibumu ! Indrayana, aku adalah Begawan Ekalaya, pernahkah ayahmu menyebut nama ini " " Untuk sejenak Indrayana berdiri bagaikan patung dan memandang kepada kakek itu dengan mata terbelalak. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut dan menciumi kaki kakek itu. " Eyang bengawan....mohon ampun sebesarnya atas kelancaran cucumu tadi ! " Begawan Ekalaya hanya tertawa dan mengelus-elus kepala Indrayana, Memang sesungguhnya begawan Ekalaya ini adalah eyang dari Indrayana sendiri, karena begawan ini adalah ayah dari Sang Wiku Dutaprayoga. Koleksi Kang Zusi Pendeta tua yang sakti ini bertapa di puncak Gunung Muria, sebuah gunung di atas pulau kecil di seberang pantai Pulau Jawa bagian Utara. Memang sebelum menjadi orang Mataram dan kemudian berpindah ke syailendra. Sang Wiku Dutaprayoga berasal dari Muria. Indrayana sering kali mendengar cerita ayahnya tentang kakeknya ini, dan menurut ayahnya, eyangnya ini adalah seorang pertapa yang amat sakti mandraguna. " Kalau saja kau dapat menerima bimbingan eyangmu di Muria, " ayahnya pernah berkata, " tentu kau akan mendapat banyak sekali kemajuan, Indrayana. Akan tetapi sayang sekali eyangmu Begawan Ekalaya adalah seorang begawan yang memuja Para Dewata di Kahyangan, sedangkan kita telah menjadi murid-murid Sang Buddha. Tentu eyangmu tidak akan senag melihat keadaan kita. " Maka setelah kini tiba-tiba berhadapan dengan eyangnya itu dan yang tadi telah dibuktikan sendiri kesaktiannya yang luar biasa, Indrayana memeluk kaki eyangnya dan merasa girang sekali, juga khawatir kalau-kalau eyangnya ini akan memarahi ayahnya, ia teringat betapa tadi eyangnya telah mengganggunya ketika ia mencoba untuk melampiaskan marahnya dengan menusuk batu karang dengan jarinya, maka setelah menyembah dengan khidmat, ia lalu bertanya, " eyang, apabila eyang merasa hamba bersalah dengan menusuk-nusuk batu karang tadi, mohon petunjuk dari eyang. " Terdengar kakek sakti itu berkata dengan suara bersungguh-sungguh, " Tentu saja engkau bersalah, Indrayana Engkau telah menghina Dewa Koleksi Kang Zusi Brahma, melanggar larangan Dewa Wisnu, dan merendahkan tugas Dewa Syiwa ! " Bukan main terkejutnya hati Indrayana mendengar bahwa perbuatannya tadi telah menyinggung kehormatan dewata-dewata besar ! Karena pemuda ini menundukkan mukanya, ia tidak melihat betapa eyangnya memandangnya dengan bibir tersenyum, akan tetapi suaranay tetap bersungguh-sungguh ketika ia melanjutkan katakatanya, " Betara Brahma adalah Pencipta seluruh alam dan segala macam isinya, termasuk batu-batu karang di tengah Kali Praga ini Engkau telah merusaknya tanpa alasan sama sekali, bukankah itu berarti bahwa engkau tidak menghargai keindahan ciptaan Batara Brahma " Ini penghinaan namanya dan jangan sekali-kali engkau melakukan hal seperti itu, cucuku ! " Indrayana menyembah. " Akan hamba perhatikan, Eyang Begawan. " Kemudian Begawan Ekalaya berkata lagi, " engkau tentu tahu pula bahwa Betara Wisnu Pemelihara alam dan sekalian isinya. Sang Hyang Wisnu selalu melarang siapa saja yang berlancang tangan merusak keindahan alam begitu saja tanpa sebab. Maka perbuatanmu merusak batu mempergunakan kesaktianmu itu merupakan pelanggaran pada larangan Sang Hyang Wisnu, seakan-akan engkau menantangnya dengan memperhatikan kedigdayaanmu ! " Indrayana terkejut sekali, akan tetapi ia hanya menyembah, dan tak berani membantah. " Engkaupun merendahkan tugas Sang Hyang Syiwa, karena Betara Syiwa Koleksi Kang Zusi sajalah yang berhak untuk membinasakan atau merusak sesuatu, karena pebinasaan atau pengrusakan yang dilakukan oleh Sang Hyang Syiwa adalah pembinasaan yang sudah semestinya, sudah sewajarnya, menurut hukm alam bahwa segala apa di dunia ini tidak kekal adanya dan sewaktu-waktu akan mengalami kehancuran dan pengleburan. Maka, jangan sekali-kali engkau berani mendahului kehendak Hyang Syiwa. Manusi hanya boleh melakukan pelanggaran apabila perbuatannya itu didasarkan pada alasan yang baik dan kuat. Apakah alasanmu menusuk-nusuk batu karang dan menghancurkannya, cucuku " " Dengan malu-malu sambil menundukkan kepala, Indrayana menjawab, " Eyang Begawan, sesungguhnya tadi hati hamba sedang amat kalut dan kecewa. Untuk memperingati mendiang ibunda yang telah meninggalkan hamba, hamba ingin sekali membuat patung dari batukarang itu. Akan tetapi, ternyata hamba tidak sanggup mengukir patung ibunda. " " Segala pekerjaan yang dilakukan dengan tak semestinya, tentu akan mengalami kegagalan. Untuk melakukan pekerjaan mengukir patung telah diadakan alat-alat tertentu, bukan hanya dengan jari-jari tangamu yang kasar itu ! " " Hamba mohon petunjuk, Eyang Begawan. Hamba ingin sekali menjadi seorang ahli ukir yang pandai, sepandai ahli-ahli yang membuat patung di candi-candi Syiwa itu ! " Kakeknya tertawa perlahan. " Mudah saja engkau bicara, Indrayana ! Belajar menjadi ahli pembuat patung bukanlah semudah yang kau kira. Engkau harus tahan tapa, harus belajar dengan rajin dan di samping itu harus membersihkan dan menyucikan hatimu agar engkau menjadi cukup bersih untuk menerima wahyu Dewata. Karena tanpa wahyu Dewata, tak Koleksi Kang Zusi mungkin dapat menciptakan patung-patung dewata yang Agung ! Pekerjaan membentuk manusia adalah karya Betara Brahma, bukan pekerjaan tangan manusia biasa. Hanya dengan wahyu betara Brahma di dalam kedua tangan dan kesepuluh jarimu, barulah engkau akan dapat membuat patung yang benar-benar menyerupai manusia hidup ! " " bertapapun sukarnya, hamba hendak mempelajarinnya, Eyang. " " Baik, kalau engkau ingin menjadi seorang eprtapa, kauikutlah dengan aku ke Muria. Ahli seni adalah seorang ahli tapa pula. Mari kita menemui ayahmu, Indrayana. " Indrayana lalu mengiringkan eyangnya menuju kerumah ayahnya. Dari jauh telah terdengar dering besi beradu, tanda bahwa ayahnyasedang menempa besi panas untuk dibentuk menjadi senjata tajam. " Dutaprayoga selalu tekun dan rajin. " Begawan Ekalaya berkata perlahan dan Indrayana dapat menagkap keharuan yang tersembunyi di dalam suara itu. Sang Wiku telah dihadiahi sebuah rumah gedung di dalam kotaraja oleh Maha Raja Samaratungga, akan tetapi untuk tempat kerjanya, Wiku Dutaprayoga memilih tempat yang sunyi, di dalam sebuah hutan di lembah Kali Praga itu, dimana ia dapat bekerja bersama puteranya tanpa mendapat gangguan dari siapapun juga. Tempat kerjanya itu sederhana saja, terbuat dari kayu-kayu hutan, merupakan sebuah pondok kecil segi empat yang beratap papn. Ketika mendengar pintu dibuka dari depan, Sang Wiku menegok dan menunda Koleksi Kang Zusi pekerjaanya. Ia tertegun ketika melihat siapa orangnay yang datang bersama puteranya. Untuk beberapa lama ia tak dapat mengeluarkan kata-kata, sehingga Begawan Ekalaya yang lebih dahulu menegurnya. " Dutaprayoga, kau baik-baik sajakah " " Sang Wiku segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. " Rama Begawan...." Suaranya terdengar amat terharu karena ia sama sekali tak pernah menyangka bahwa ayahnya suka mengunjunginya setelah ia menjadi seorang pendeta Buddha. " Hamba tidak tahu bahwa Rama begawan datang berkunjung sehingga tidak mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya. Mohon ampun, rama...." Begawan Ekalaya mengangkat bagun putranya itu dan memandang dengan mata pebuh perhatian kepada muka puteranya, lalu ia mengangguk-angguk dan berkata puas, " Bagus, bagus ! hanya kulitnya saja yang bertukar warna, akan tetapi isinya masih sama ! " Wiku Dutaprayoga tentu saja mengerti kata-kata ramandanya ini, maka ia lalu menyembah dan berkata, " Setiap sungai mempunyai aliran masing-masing, Rama Begawan. Namaun tak dapat disangkalpula bahwa semua aliran itu menjurus ke satu tempat, yaitu samudra luas ! " Begawan Ekalaya tertawa terkekeh dengan senangnya. " Indah sekali perumpamaanmu itu, Dutaprayoga. Ketahuilah bahwa kedatanganku ini bermaksud hendak membawa cucuku si Indrayana ke Muria. Sudah tiba waktunya bagi dia untuk mempelajari ilmu kebatinan dan mengetahui Koleksi Kang Zusi rahasia hidup, karena ia telah cukup dewasa. " " Hamba hanya mengatakan syukur dan terima kasih bahwa Rama Begawan yang sudah sepuh masih berkenan mencapikan diri memberi bimbingan kepada Indrayana. Hanya hamba minta waktu hari tiga, karena Indrayana hendak hamba bawa menghadiri upacara pendirian candi yang baru dibangun agar dapat menambah pengalamannya dan dapat pula bertemu dengan Sang Prabu Samaratungga. " Mendengar ucapan Wiku Dutaprayoga ini Sang Panembahan Ekalaya menghela napas dan berkata perlahan, " garis-garis karma memang tak dapat dibelokkan oleh usaha manusia. Engkaulah yang menentukan, anakku. Aku akan kembali dulu ke Muria, tinggal terserah kepadamu dan kepada Bagus Indrayana. Aku akan menanti di puncak Muria sambil memuja kepada Dewata untuk keselamatan kalian berdua. " Setelah berkata demkian, pertapa tua ini lalu berjalan tersaruk-saruk keluar dari pondok itu. Bunyi tongkatnya terdengar satu-satu, akan tetapi ketika Indrayana mengejar keluar, kakek sakti itu tak kelihatan pula bayangannya ! Makin kagumlah Indrayana terhadap eyangnya yang benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa tingginya. Ia lalu berlari masuk kembali dan menceritakan kepada ayahnya akan semua pengalamannyaditepi Kali Praga tadi. Ayahnya hanya tersenyum mendengar penuturannya ini dan akhirnya berkata, " Engkau bahagia bisa dapat bimbingan dari eyangmu, Indrayana. Sekarang bersiaplah engkau, karena besok pagi-pagi kita harus berada di kaki Candi Lokesywara yang baru dibangun. Sang Prabu dan para pamong praja akan hadir disana meresmikan pembukaan candi itu, maka inilah Koleksi Kang Zusi kesempatan terbaikmu untuk bertemu muka dengan Sang Prabu dan para pembesar dan pendeta-pendeta lain. " " Ayah...... selain Sang Prabu dan para pembesar, apakah..apakah puteri kedaton, Sang Dyah Ayu Pramodawardani juga akan hadir " " Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Wiku Dutaprayoga tersenyum. " Untuk penghormatan kepada Sang Lokesywara, biasanya para puteri juga datang menghadiri upacara itu. " Berdebarlah jantung Indrayana. Semenjak masih kecil ia telah mendengar nama Pramodawardani disohorkan sebagai seorang puteri yang cantik jelita dan ayu, mengalahkan kecantikan Dewi Ratih. Baginya nama ini sudah sangat terkenal, semenjak kecil sudah menjadi buah bibir, akan tetapi setelahia menjadi dewasa, nama ini mulai menyentuh hatinya dan membuat ia ingin sekali melihat dan menyaksikan sendiri puteri yang kini telah menjadi dewasa pula itu. Tak mudah untuk dapat bertemu muka dengan Pramodawardani, karena Sang Puteri yang indah ayu ini adalah Puteri Mahkota yang amat terkasih dari Sang Maha Raja Samaratungga, seorang puteri yang paling tinggi dan mulia di seluruh wilayah Kerajaan Syailendra ! *** Pagi-pagi hari sekali sang Wiku Dutaprayoga beserta Indrayana telah tiba di Candi Lokesywara yang baru selesai dibangun. Para Wiku, pendeta-pendeta Buddha dan ponggawa kerajaan telah berkumpul disitu, mengatur persiapan untuk menerima kedatangan dan kunjungan Sang maha Raja Samaratungga bersama seluruh keluarga kerajaan dan para bayangkari keraton. Semua pekerjaan dan persiapan ini diatur dan dipimpin oleh Sang maha Dharmamulya, yaitu kepala sekalian pendeta Agama Buddha, seorang pendeta tua yang berkepala gundul dan yang menjadi orang paling berkuasa di daerah Kerajaan Syailendra. Sesungguhnya, pada pendapat para pendeta, Maha Wiku Dharmamulya Koleksi Kang Zusi kurang cakap dan tidak tepat untuk menjadi Maha Wiku, karena pendeta itu terlalu kukuh dan keras dalam peraturan agama, bahkan terlampu keras sehingga kadangkadang kekerasan hatinya itu tidak tepat terdapat dalam watak seorang pendeta linuwih. Ia di angkat menjadi Maha Wiku berkat jasa-jasa ayahnya, yakni mendingan Maha Wiku Dharmamurti yang benar-benar telah berjasa dalam menegakkan dan memperluas Agama Buddha. Karena mengingat jasa-jasa Maha Wiku Dharmamurni, maka Sang Prabu Samaratungga mengangkat putera tunggal pendeta itu, yakni Maha Wiku Dharmamulya, untuk menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal dan diberi gelar Maha Wiku Selain keras hati, juga pendeta kepala ini amat membenci penganut-penganut Agama Hindu terutama sekali membenci pemuja Batara Syiwa. Oleh karena itu di dalam hatinya ia merasa tak senang ketika Wiku Dutaprayoga diangkat menjadi Wiku oleh Sang Prabu karena pada pendapatnya, seorang bekas pendeta pemuja Trimurti tidak patut menjadi pendeta Buddha ! Akan tetapi, pendeta kepala ini tentu saja tidak berani membantah keputusan yang keluar dari mulut raja yang berkuasa. Pada jaman itu orang masih memegang teguh apa yang disebut " sabda ratu ", yaitu ucapan seorang raja sekali keluar dari mulut merupakan hukum yang tak dapat dirubah lagi. Selain dari pada itu, Wiku Dutaprayoga berwatak halus dan selalu mengalah dan sama sekali tidak terlihat tanda-tanda bahwa pendeta baru ini akan membahayakan kedudukannya, serta melihat pula kenyataan bahwa pendeta ini adalah seorang yang sakti mandraguna dan amat berjasa kepada raja dalam pembuatan keris-keris pusaka ageman ( yang dipergunakan oleh ) Sang Prabu dan para senopati di Kerajaan Sailendra. Maka selama ini, karena tidak ada alasan. Maha Wiku itu tak pernah menggangu Sang Wiku Dutaprayoga, sungguhpun pendeta ini cukup maklum akan dendam dan iri hati yang mengotori batin pendeta kepala itu. Setelah matahari telah melakukan tugasnya dengan baik, mengusir sisa-sisa kegelapan sang malam, terdegarlah suara gamelan yang merdu dan Koleksi Kang Zusi tampaklah rombongan Sang Prabu yang diiringkan oleh para pengawal barisan tamtama dan yang paling belakang mengiringi gamelan yang ditabuh di sepanjang jalan. Para rakyat yang berbaris dikanan kiri jalan segera berlutut menyembah untuk memberi penghormatan kepada junjungan mereka itu. Sang Prabu Samaratungga duduk di atas kuda putihnya dengan sikap yang agung dan gagah. Wajahnya berseri gembira dan bibirnya selalu tersenyum. Permaisuri dan sekar kedaton duduk didalam tandu yang tertutup oleh tirai sutera halus sehingga dari dalam mereka dapat melihat ke luar akan tetapi panangan mata dari luar hanya dapat melihat bayangan mereka saja. Para ponggawa, pengawal dan barisan tamtama yang menjaga keselamatan keluarga raja ini semua tampak gagah-gagah dan mewah belaka, mengagumkan semua mata yang memandangnya. Degup jantung Indrayana makin mengencang dan semenjak tadi sepasang matanya ditujukan kepada tandu dipikul oleh enam orang wanita cantik. Tandu inilah yang diduduki oleh Sang Dyah Ayu Pramodawardani. Memang puteri ini mempunyai tata susila yang amat tinggi dan terkenal sekali. Ia tidak memperkenalkan tandunya dipanggul oleh orang-orang lelaki. Oleh karena itu maka pemikul tandunya semua perawan-perawan belaka yang cantik-cantik pula. Ada belasan orang dara jelitayang bertugas memikul tandunya ganti-berganti. Tandu dari permaisuri dan puteri-puteri lainnya dipikul oleh pemikul-pemikul laki-laki yang bertubuh kuat dan berwajah sopan dan keren. Kalau semua tandu diturunkan di depan bangunan tarup yang sengaja didirikan untuk tempat berteduh keluarga raja dan para penumpangnya turun dari tandu dan berjalan kaki memasuki bangunan itu sehingga para penumpang dapat menyaksikan keindahan rupa dan pakaian Sang Permaisuri Koleksi Kang Zusi dan puteri-puteri lain, adalah Sang Puteri Pramodawardani sendiri yang memerintahkan kepada para pemikulnya untuk memikul tandu itu terus memasuki bangunan. Setelah tiba di sebelah dalam, barulah ia turun dari tandunya dan duduk ditempat yang telah disedikan oleh para pendeta. Tempat untuk para puteri inipun tertutup oleh tirai sutera hijau pupus yang menghalangi pandangan mata para rakyat yang berlutut di luar bangunan panggung itu. Bukan main kecewa dan mendongkolnya hati Indrayana. Saat yang telah lama dinanti-nantikanitu setelah tiba, ternyata hanya mendatangkan rasa kecewa di dalam hatinya. Ia telah membayangkan betapa akan senangnya dapat mencuri pandang kepada wajah puteri jelita itu, dan entah telah berapa kali ia telah bermimpi melihat wajah puteri yang cantik jelita itu. Akan tetapi, ternyata setelah puteri itu berada ditempat yang sedemikian dekatnya, ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melihatnya. Jangankan memandang wajahnya, melihat jari kakinyapun tak dapat. " Alangkah angkuh dan sombongnya ! " Indrayana berpikir dengan hati yang mendongkol. " Sampai bagaimana hebatkah kecantikannya maka ia sedemikian sombong " Apakah ia menganggap bahwa pandangan mata orang lain terlalu kotor untuk dapat melihat kecantikannya " Sang Candra yang sedemikian elok dan cantiknyapun masih tidak sesombong dia dan sedikitnya sebulan sekali pasti akan memperlihatkan wajah sepenuhnay kepada seua orang yang ingin mengagumnya ! Apakah wajahnya lebih elok daripada bulan purnama " " Demikianlah, setelah para pendeta mulai menjalankan upacara dan telah terdengar mereka membaca doa dan mantera, Indrayana sama sekali tidak memperhatikan upacara itu dan pikirannya penuh dengan lamunan tentang puteri yang membuatnya menjadi gemas itu. Koleksi Kang Zusi Tiba-tiba terdengar suara ribu-ribut di depan candi dan Sang Prabu sendiri sampai turun dari tempat duduknya dan turun pula dari anak tangga panggung itu untuk menyaksikan peristiwa yang terjadi dari dekat. Indrayana juga tersadar dari lamunannya dan ia melihat seorang petapa yang berjenggot panjang, berpakaian putih dan bermata tajam sedang melangkah lebar ke arah candi. Sungguhpun tubuhnya hanya kurus kering, namun pada pundak kirinya ia memanggul ebuah patung batu yang amat indah ukirannya. Di kanan kiri pintu masuk di kaki candi itu terdapat patung Dewi kembar yang menjadi pelayan dan pengikut Dewi Tara, yaitu syakti atau isteri dari Sang Lokesywara . Dewi kembar ini duduk di atas bunga teratai yang terdukung oleh Naga dan Nagi, sepasang ular sakti itu. Petapa yang memanggul patung itu lalu mengunakan tangan kanan untuk menggeser patung Dewi kembar kekanan kiri sehingga di atas pintu itu terdapat tempat yang kosong, lalau ia meletakkan patung yang dipanggulnya tadi di atas pintu itu. ! Terdengar seruan-seruan kagum ketika semua mata memandang kearah patung itu. Inilah patung Dewi Tara yang indah bukan main, tiada bandinganya ! Di dalam Candi Lokesywara itu memang ada juga sebuah arca dari Dewi Tara, akan tetapi apabila dibanding dengan arca ini, maka arca yang berada di sebelah dalam itu tampak buruk, bagaikan tembaga bersanding batu pualam ! ukiran-ukirannya sedemikian halus, indah dan hidup sehingga seakan-akan semua orang melihat Dewi Tara sendiri melayang turun dari Sorgaloka dan berdiri di atas pintu candi itu ! Tak mungkin ada seorangpun ahli ukir di seluruh Syailendra yang dapat membuat patung sehebat itu, pembuatnya tentu adalah seorang Mataram, seorang pemuja Trimurti, pemuja Betara Brahma, Wisnu, dan Syiwa ! Pada saat semua orang menahan nafas karena selain kagum akan keindahan patung itu, juga kagum dan heran melihat keberanian petapa Koleksi Kang Zusi asing itu sehingga keadaan menjadi sunyi, terdengar bentakan keras dan Maha Wiku Dharmamulya melompat ke arah pertapa yang masih berdiri tersenyum-senyum memandangi patungnya dengan puas. " Keparat jahanam ! Engkau berani menghina kami " " Sambil berkata demikian, Maha Wiku Dharmamulya mencabut keris pusakanya dan menyerang lambung pertapa itu. Akan tetapi, tiba-tiba ada tangan yang menyekap pergelangan tangan kanannya dan tangan ini ternyata kuat sekali. Ketika Dharmamulya menegok, dengan marah ia melihat bahwa penahannya itu bukan lain adalah Sang Wiku Dutaprayoga. " Wiku Dutaprayoga, mengapa engkau menahan niatku " " Maha Wiku Dharmamulya membentak marah. " Maha Wiku yang mulia, ingatlah bahwa keris ini adalah buatanku. Perasaan hatiku tidak dapat membiarkan orang lain mempergunakannya untuk membunuh orang tak berdosa. " " Seorang bedebah yang sengaja datang mangacau dan menghina candi suci kita, tidak berdosa " " " Setidaknya dengarlah dulu keterangannya, dan sang Prabu sendirilah yang berhak memutuskan apakah dia berdosa atau tidak ! " jawab Wiku Dutaprayoga. Sementara itu, petapa yang membawa patung Dewi Tara itu tersenyum sambil memandang kepada Dutaprayoga, " Ba, sungguhpun engkau berganti jubah, ternyata kebijaksanaanmu ternyata masih tak berubah. Koleksi Kang Zusi Dutaprayoga. ! " Kemudian pertapa itu lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada Sang Prabu samaratungga kemudian berkata, " Maafkan aku, Sang Prabu, apabila tindakanku ini dianggap lancang dan mengacau keadaan. Sesungguhnay tiada maksud buruk dalam niatku, tak lain hanya hendak mempersembahkan sebuah patung Dewi Tara ini kepadamu. Candi Lokesyawara ini dibangun di tempat yang baik dan mempunyai tugas yang baik pula, maka sayang kalau tidak ada arcanya yang baik. Biarlah Sang Betari Tara akan memberi berkah kepada candi ini ! " Orang-orang yang berada disitu, terutama sekali Maha Wik Dharmamulya, menjadi marah sekali mendengar ucapan dan melihat sikap yang sama sekali tidak menghormati Maha Raja Samaratungga itu. Pertapa itu seakan-akan sedang bicara kepada seorang kawannya sendiri ! Akan tetapi, Sang Prabu Samaratungga adalah seorang yang berpemandangan luas dan memiliki kebijaksanaaan yang tinggi. Sungguhpun ia beragama Buddha, namaun ia tak pernah membenci pemeluk agama lain. Permusuhannya dengan Kerajaan mataram sesungguhnya bukan timbul dari hatinya yang memendam atau membenci, akan tetapi hanya ditimbulkan oleh keagungan seorang raja yang harus membela agama dan kepentingan rakyat. Kini menghadapi pertapa itu, Sang Prabu tersenyum dan berkata dengan senang dan halus. " Paman begawan, terima kasih atas sumbanganmu yang amat indah untuk candi ini. Akan tetapi, harap engkau suka menaruhkan patung itu di atas pintu belakang candi, jangan di pintu depan. " Ucapan sang Prabu Samaratungga ini sebenarnya mengandung dua maksud. Pertama-tama ia menerima pemberian patung itu agar jangan mendatangkan sakit hati kepada si pemberi, dan kedua ia minta agar patung itu ditaruh di pintu belakang sehingga dengan demikian ia takkan menyinggung perasaan para wikunya sendiri. Sang Prabu mengharapkan Koleksi Kang Zusi bahwa penerimaan yang bersarat ini akan memuaskan hati kedua fihak yang sedang panas itu. Akan tetapi, pertapa itu menjadi merah wajahnya mendengar ucapan ini dan ia berkata sambil menahan kemarahannya, " Sang Prabu, keaslian tembaga takkan lenyap biar oleh sepuhan emas sekalipun ! Pada luarnya kau menerima persembahanku dan bersikap manis, akan tetapi itu hanya sepuhan belaka. Di sebelah dalam kau menghinaku ! Bagaimana patung Dewi Tara yang mulia ditaruh di pintu belakang " itu penghinaan namanya. " " Adi Panembahan Bayumurti ! " tiba-tiba Wiku Dutaprayoga berseru, " mengapa engkau tak melihat kebijaksanaan Sang Prabu " Mengapa engkau tak mengerti kebijaksanaa besar ini " Di manakah kewasapadaanmu " " " Ha. Dutaprayoga, sekarang nampaklah juga bahwa kaupun membela agama barumu bagus ! " Akan tetapi Sang Prabu Samaratungga memberi isyarat kepada Wiku Dutaprayoga yang hendak membantah lagi. Sang Prabu mengangkat tangan kanannya dan berkata pertapa yang bernama Panembahan Bayumurti ini dengan suara masih halus dan tenang, " Paman begawan, jangan salah terima ! Menaruhkan seorang wanita di pintu belakangsekali-kali bukanlah penghinaan. Bukankah memang menjadi bagian para wanita berada di pintu belakang " Adakah dapur yang ebrada di depan rumah " " Koleksi Kang Zusi Panembahan Banyumurti tersenyum, " Sang Prabu, kau cerdik ! Memang benar tempat wabita di bagian belakang rumah, akan tetapi Dewi tara bukanlah wanita sembarangan wanita ! " " Betapapun juga, dia adalah seorang syakti atau isteri dan tetap saja tempatnya adalah di sebelah dalam dan belakang " Tiba-tiba Panembahan Bayumurti tertawa bergelak, ia melompat ke arah kaki candi dan berdiri di depan patungya yang indah tadi. Ia lalu mengeluarkan kesaktiannya dan kedua tangannya setelah menyembah lalu meraba muka patungya yang cantik dan indahnya itu. " Sang Prabu, lihatlah baik-baik. Apakah patung ini masih tetap harus ditaruh di belakang " " Sang Prabu Samaratungga memandang dan berdebar jantungnya. Juga seua orang yang memandang kepada patung itu mengeluarkan serua tertahan. Patung itu kini telah berubah raut mukanya, dan persis sekali menyerupai wajah Sang Kusumaning Ayu Pramodawardani ! Memandang arca itu seakan-akan melihat Sang Puteri Mahkota sendiri ! Akan tetapi maha Raja Samaratungga tetap berlaku tenang dan sekali lagi menegaskan, " Diapun harus berada di belakang, itulah kewajiban seorang wanita sejati ! " Setelah berkata demikian, Sang Prabu memeramkan matanay sejenak ia telah mengeluarkan putusan bagi patung itu, bagi puterinya sendiri, dan ia tetap pada pendiriannya. Memang puterinya adalah puteri mahkota yang akan mengantikan kedudukannya, akan tetapi tetapi saja puterinya harus menikah dan setelah menjadi seorang isteri, adalah kewajiban yang terutama untuk melayani suami, untuk membereskan keadaan di dalam dan di belakang rumah. ! Koleksi Kang Zusi Panembahan Bayumurti tertawa bergelak, " Bagus, Sang Prabu, bagus ! Cipta pendeta Sabda ratu, dua hal yang tak dapat diingkari lagi kenyataannya ! Nah, selamat tinggal ! " Maha Wiku Dharmamulya semenjak tadi telah menahan amarahnya, kini melihat Panembahan Bayumurti hendak pergi, ia cepat menghadang dan membentak, " Dukun lepus tukang tenung ! Setelah kau melakukan kegaiban sulap dan menipu kami, jangan harap dapat pergi begitu saja ! " Sambil berkata demikian, Maha Wiku Dharmamulya lalu mengulur tongkatnya dipukulkan kearah kepala panembahan itu. Bayumurti maklum akan kehebatan dan keampuhan tongkat tongkat ini. Biarpun ia memiliki kesaktian yang tinggi, namun berbahayalah apabila tongkat itu sampai mengenai tubuhnya. Ia cepat melompat jauh ke belakang dan sambil tersenyum-senyum ia melarikan diri. Kejar....! Tangkap....!! " seru Maha Wiku Dharmamulya dengan geramnya. Para pengawal dan para wiku segera bangun dan mengejar panembahan Bayumurti. Akan tetapi gerapan panembahan Bayumurti luar biasa cepatnya bagaikan tiupan Sang Bayu, aka sebentar saja para pengejarnay telah tertinggal jauh sekali. Kalau semua orang memperhatikan dan menunjukkan pandangan matanya kepada panembahan yang aneh itu, adalah Indrayana seorang hanya mengerling sebentar saja, karena ia tidak pernah melepaskan pandang matanya dri tirai sutera hijau pupus yang menyembunyikan para puteri, terutama Puteri Mahkota. Koleksi Kang Zusi Pada saat keributan terjadi, tiba-tiba tirai itu tersikap sedikit dan tersembullah sebuah lengan tangan. Terbelalak mata Indrayana melihat lengan itu. Alangkah indahnya lengan itu, sempurna lekuk-lekuknya, kulitnya halus putih kekuningan bagaikan gading gajah yang tiada cacat. Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dari lengan yang indah itu seakan-akan keluar cahaya yang indah dan keharuman semerbak. Tak salah lagi, pikirnya, inilah tangan lengannya ! Lengan Kusuma Jelita Pramodawardani! Siapa lagi orangnya yang mempunyai lengan seindah itu " Puteri biasa saja, bahkan bidadari sekalipun, tak mungkin mempunyai lengan seindah itu. Ia memandang ke kanan kiri dan melihat semua orang tengah memperhatikan kepada pertapa itu. Cepat Indrayana melompat bagaikan seekor burung srikatan memasuki pintu besar panggung itu dan sebelum para puteri yang berada di dalam sempat menghalanginya, ia memegang tirai sutera hijau pupus itu dan membukanya! Wajah cantik jelita, elok ayu, dan agung yang menyambutnya dari balik tirai, wajah orang pemilik lengan itu, benar-benar membuat Indrayana bagaikan terkena hikmah. Ia berdiri setengah berlutut, tangan kanan memegang ujung tirai, tangan kiri menekan dada karena dadabya serasa akan pecah tak kuat menahan degup jantungnya yang mengelora. Maqta itu bagaikan bintang pagi, indah cemerlang bersinar lembut penuh kemesraan. Dan bibir itu ! Belahan kulit tipis halusmembayangkan daging dan darah yang merah segar membasah dengan bentuk yang indah sempurna. Indrayana terpesona dan hanya memandang dengan mata terbelalak dan mulut menganga. Pramodawardani juga terkejut dan tercengang melihat tirai itu dibukakan orang sedemikian tiba-tiba dan ia memandang kepada pemuda yang sedang berlutut di depannya itu tanpa berkata-kata. Hatinay kagum melihat ketampanan dan keberanian pemuda ini, akan tetapi pikirannya marah menyaksikan kukurangajarannya ini. Koleksi Kang Zusi " Dia adalah Raden Bagus Indrayana, puetera dari Sang Wiku Dutaprayoga. " kata seoarang dara pelayan sambil memandang kagum. Memang Indrayana amat terkenal di antara dara pelayan dan hampir semua perawan di kotaraja, kecuali puteri-puteri kedaton dan bangsawan tinggi, telah tahu pula siapa adanya Sang Bagus Indrayana yang namanya saja apabila disebut orang dapat mempercepat jalannya darah dalam tubuh mereka. Pramodawardani pernah mendengar nama pemuda ini desebut-sebut oleh para pelayannya yang memuji-muji pemuda itu. Kini mendengar nama ini ia sekali lagi memandang kepada Indrayana dan berkata sambil mencibirnya yang merah, membuat wajanay tampak lebih manis lagi. Hm, begini sajakah macamnya Indrayana" Pemuda kurang ajar, untuk kelancanganini kau akan dihukum penggal kepala ! " Dalam keadaan masih terpesona, Indrayana tersenyum dan menjawab, " Jangankan hanay kuhum penggal kepala, biarpun akan hancur lebur seluruh tubuh, hamba rela dan puas. Nikmat dan bahagia yang tercurah kepada hamba dalam pertemuan ini, jauh lebih besar daripada segala macam hukuman ! " Pada saat itu, karena tirai dibuka, barulah Pramodawarnadi dapat memandang patung Dewi Tara yang berada di atas pintu epan candi itu, sedemikian pula para pelayannya dan juga puteri lain. Terdengar jerit tertahan ketika puteri itu memandang wajah patung itu dan juga para pelayan berseru kaget dan heran. Koleksi Kang Zusi " Itu adalah patung Kusumaning Ayu Pramodawardani sendri ! " bisik seorang pelayan dengan mata terbelalak. Memang, persamaan muka patung itu dengan Pramodawardani amat mengherankan. Baru sekarang pula Indrayana memalingkan muka dan memandang ke arah patung itu dan diapun tertegun. Pada saat itu, para perwira dan juga Maha Wiku Dharmamulya melihat bahwa Indrayana berada di depan tirai penutup ruang tempat para puteri, maka bukan main marah para wiku. Juga Sang Prabu Samaratungga sendiri melihat hal ini menjadi marah. " Pemuda dari manakah berani berlaku kurang patut dan melanggar kesusilaan " " serunya marah dan beberapa orang prajurit telah melompat ke atas untuk menangkap pemuda itu. Pramodawardani sendiri cepat menarik tirai yang masih terpegang oleh Indrayana sehingga tirai itu tertutup kembali. Indrayana maklum akan pelanggaran yang dilakukannya, maka sambil tersenyumsenyum bahagia dan kedua matanya bersinar-sinar penuh seri gembira, ia melompat keluar panggung. Dengan hormat dan khidmat ia menyembah di hadapan Sang Prabu Samaratungga, kemudian ia melompat lagi keluar candi. Para wiku dan tamtama mengejar hendak menangkapnya, sungguhpun Sang Prabu sendiri belum memberi perintah untuk menangkap pemuda itu. Indrayana mengulurkan tangan, mengambil patung Dewi Tara yang diletkkan oleh Panembahan Bayumurti tadi di atas pinyu, lalu memondongnya dan melompat pergi dari tempat itu. Koleksi Kang Zusi " Indrayana ! " terdengar suara ayahnya berseru menegur. Indrayana berpaling dan tersenyum kepada ayahnya. " Ayah, aku hendak menyusul Eyang Begawan ! "dan pemuda itu terus melanjutkan larinya yang amat cepat sehingga percuma saja para perwira dan tamtama mengejarnya. Maka Wiku Dharmamulya dan para wiku lainnya lalu menyerbu dan menangkap Wiku Dutaprayoga, lalu diseretnya ayah Indrayana itu di depan Maha Raja Samaratungga. " Gusti Prabu, Wiku Dutaprayoga harus di beri hukuman yang layak ! " Seru Wiku dengan amat marahnya, " Sudah terang dia mempunyai hubungan dengan pertapa yang datang mengacau tadi, dan mungkin dia yang merencanakanbersama untuk menghina Candi Sang Lokesywara yang suci. Kedua kalinya, dia sengaja menghalangi hamba ketika hamba hendak memberi hukuman kepada pertapa keparat tadi, tanda bahwa memang dia benar-benar mempunyai hubungan, karena dahulu ia adalah kawan sekepercayaan dan seilmu. Ketiga, putera tunggalnya telah menjalankan pula melanggar adat berani menghina dan membuka tirai tempat peristirahatan para puteri, dan bahkan berani pula mencuri dan membawa lari patung ! " kali ini, Maha Raja Samaratungga tak dapat menahan sabar lebih lama lagi. Kekurangajaran Indrayana yang ebrani menggangu puterinya sudah amat keterlaluan, akan tetapi keberaniannya mengambil patung itu, melewati batas. " Masukkan dia dalam kurungan dan carilah pemuda itu ! " katanya singkat, kemudian dengan wajah muram raja ini lalu memberi tanda untuk kembali ke dalam istana. Koleksi Kang Zusi Indrayana yang membawa patung berlari cepat bagaikan seekor rusa muda, meninggalkan Ibu Kota Syailendra. Pemuda ini sama sekali tak pernah menyangka bahwa perbuatannya yang amat berani itu menyebabkan ayahnay ditangkap dan dikurung. Indrayana berlari menuju ke utara, sepanjang Kalai Praga, lalu menyusur pantai Kali Elo. Hati pemuda ini girang dan bahagia sekali. Di depan matanya terbayang wajah dan bentuk tubuh Sang Dyah Ayu Pramodawardani, puteri mahkota yang cantik jelita melebihi segala Bidadari Khayangan itu. Entah berapa kali sudah Indrayana memandangi wajah patung yang dipondongnya berhenti berlari, membelai-belai patung itu, dipeluk dan diciuminya dengan penuh kasih sayang sampai membisikkan dengan nama mesra. " Pramodawardani...... adinda sayang...... ! Alangkah cantik manis wajahmu, algkah halus kulitmu....... Sinar matamu menembus jantungku, senyum bibirmu meruntuhkan imanku ! Aduh, adinda...... Wardani....... Kekasihku....... ! " Ia lalu memeluk leher dan pinggang patung itu dan mendekap dada patung yang montok itu erat-erat pada dadanya sendiri, lupa sama sekali akan keadaan di sekelilingnya dan merasa seakan-akan patung itu adalah Sang Puteri sendiri. Akan tetapi, kalau kemudian ia merasa betapa dada patung itu tidak membalas getaran gelora dadanya, betapa tangan patung itu tidak membalas belaian dan bibir serta hidung patung itu tidak membalas ciumannya, sadarlah ia bahwa yang sedang dibelai, dicumbu dan digandrungi itu tak lain hanyalah sebuah arca batu yang mati. Setelah demikian, baru pemuda itu duduk di dekat patungnya sambil melamun dengan pandangan sayu dan wajah muram. Bagaimana ia dapat tergila-gila kepada seorang Puteri Mahkota, calon pengganti Sang Prabu Koleksi Kang Zusi Samaratungga, calon ratu. Sedangkan ia hanya putera seorang pembuat keris, putera seorang wiku sederhana. Tak terasa lagi Indrayana menutup mukanya dengan kedua tangan dan betapapun ia telah menguatkan hatinya, tetap saja dari celahcelah jari tangannya nampak air mata menitik keluar. Betapapun juga, arca batu itu merupakan hiburan baginya, merupakan penawar rindu. Kepada patung ini ia bicara, membuka segala rahasia hatinya, berlaku seakan-akan patung itu adalah Pramodawardani sendiri. Seakan-akan ia sedang melakukan perjalanan yang amat menyenaangkan dengan puteri kekasihnya itu. Pada suatu hari, di dalam perjalanannya menuju ke Gunung Muria menyusul eyangnya itu, Indrayana tiba di lereng Bukit Ungaran. Ia tidak mau menunda perjalnannya, masuk keluar hutan dan melompati jurang-jurang yang menghadang di depannya. Ketika ia masuk pula ke dalam sebuah hutan yang amat liar dan penuh dengan pohon-pohon jambe berlompatan ke luar belasan orang tinggi besar. Melihat pakaian mereka yang serba hitam itu, teringatlah Indrayana akan cerita orang bahwa di dalam hutan-hutan yang liar terdapat segerombolan perampok yang amat besar pengaruhnya dan amat banyak pengikutnya, yaitu yang menamakan dirinya Gerombolan Serigala Hitam ( Jambuka Ireng ). Menurut khabar yang didengarnya, gerombolan ini dikepalai oleh seorang Pendeta hindu yang meyembah Betari Durga dan yang berkawan dengan sekalian iblis dan setan yang menjadi hambanya sahaya betari Durga, Ratu sekalian iblis itu. Banyak sekali berita yang aneh-aneh dan menakutkan diceritakan orang tentang pendeta Hindu itu, sehingga Indrayana yang menghadapi serombongan orang-orang tinggi besar berpakaian hitam itu berlaku amat hati-hati. " Saudara-saudara ini siapa dan ada keperluan apakah maka menghadang perjalananku " " tanya pemuda itu dengan suara tenang. Seorang di antara tiga belas orang berpakaian hitam itu, orang yang tertua dan berkumis tebal dan melintang bagaikan kumis Sang Gatutkaca, Koleksi Kang Zusi melangkah maju dan tertawa bergelak, " Bocah bagus dan halus seperti arjuna ! Engkau hendak mengetahui siapa kami " Dengarlah baik-baik, engkau sedang behadapan dengan sepasukan perajurit jambuka Ireng ( Serigala Hitam ) ! Namaku Reksasura dan aku adalah pemimpin dari pasukan kecil ini. Eh, jejaka yang bagus dan elok, engkau siapakah dan hendak pergi ke manakah " " " Aku adalah seorang kelana yang hendak menikmati keindahan alam mayapada di mana saja kedua kakiku membawa aku tiba. Namaku dan tujuanku tidak ada artinya dan tidak ada hubungannya dengan kalian semua, " jawab Indrayana. " Ha, ha, ha ! Tinggi hati dan angkuh, tanda darah bangsawan ! ocah bagus, nama dan tujuanmu memang tidak perlu bagi kami, akan tetapi memang tidak demikian dengan patung yang enkau pondong itu ! Patung itu indah sekali dan cantik jelita, kami amat perlu dengan patung-patung macam itu. Engkau harus meninggalkan patung itu kepada kami, baru engkau boleh melanjutkan perjalananmu melalui hutan ini ! " Indrayana merasa marah sekali mendengar patungnya diminta. Orang boleh minat apa saja dari padanya, segala harta benda yang ia miliki dapat ia berikan kepada orang dengan rela dan senang hati, akan tetapi patung itu " Seakan-akan orang minta kekasihnya ! Aku pernah mendengar bahwa Srigala Hitam hanya memuja seorang Dewi, yaitu Betari Durga. Patung ini bukan patung Sang Betari Durga, untuk apa Koleksi Kang Zusi kalian minta " " Reksasura tertawa terbahak-bahak dan berkata, " memang, Betari Durga adalah sembahan kami, pemberi kesaktian dan kekuatan, pembasmi musuh-musuh kami. Akan tetapi, Sang Betari sebagai Ratu tertinggi dan terbesar, mempunyai banyak pelayan dan pengiring yang terdiri dari dara-dara jelita. Patung ini cukup cantik jelita dan menarik hati, pantas menjadi pelayan barudari Sang Betari. Sayangnya tubuhnya tertutup pakaian, akan tetapi mudah saja, kami akan dapat mengilangkan pakaian yang menutupi tubuhnya yang indah itu ! " Kembali Reksasura tertawa bergelak. " Engkau menghina agama para Syailendra ! " Indrayana ! " Indrayana membentak, " berani benar engkau mengucapkan kata-kata kotor di hadapan arca Sang Dewi Tara, syakti dari Sang Lokesywara ! " Kembali Reksasura tertawa bergelak, kini kawan-kawanya juga ikut menertawakan Indrayana. " Anak muda, jangan kau mencoba untuk menipu atau menakut-nakuti kami. Di tempat kami banyak terdapat arca Dewi Tara yang indah-indah, dan kami sudah kenal baik kepadanya. Seperti juga lain dewi-dewi dan bidadaro-bidadari serta dara-dara jelita, kesemuanya tidak ada kecualinya, menjadi abdi pelayan dari Sang Maha Batari Durga ! Dan patung yang kau pondong itu sungguhpun bentuk tubuhnya semontok bentuk tubuh Dewi Tara, akan tetapi wajahnya bukan wajah Dewi itu. Ha ha jangan kau hendak mencoba menipu kami, bocah bagus ! " Indrayana teringat akan cerita orang bahwa kaum Serigala Hitam ini memang sudah terkenal sebagai pengumpul patung-patung wanita yang indah-indah dan cantik. Sudah sering kali merampoki candi-candi hanya untuk membawa lari patung-patung bidadari dan wanita cantik. Maka bukan hal yang mengherankan apabila eksasura itu faham betul akan bentuk dan wajah patung Dewi Tara. Koleksi Kang Zusi " Memang patung ini telah dirubah. " Indrayana mengaku terus terang, " akan tetapi perubahan ini bahkan menjadi pantangan besar bagi kalian untuk menjamah dan menghina patung ini. Ketahuilah, hal orang-orang sesat, bahwa patung ini adalah arca orang-orang sesat, bahwa patung itu adalah arca Kusumaning Ayu Pramodawardani. Sang puteri mahkota dari kerajaan Syailendra ! Oleh karena itu, janganlah mengangguku dan biarkan aku lewat. Kalau kalian menghina patung ini berarti kalian berhianat kepada Sang Prabu dan puterinya ! " Reksasura dan kawan-kawan saling pandang dan timbul sinar gembira pada mata mereka. " Bagus ! Kebetulan sekali, anak muda, telah lama kmi mendengar kecantikan Puteri Pramodawardani. Sayang sekali tidak pernah ada patungnya yang dapat kami bawa untuk mengias candi kami. Sekarang kau membawa patung yang kami inginkan itu dan benar saja. Pramodawardani ternyata cantik jelita, tak kalah oleh dewi-dewi Khayangan lainnya. Serahkanlah patung itu kepada kami ! " Kau berani menghina junjunganmu " " bentak Indrayana. " Tidak ada lain junjungan bagi kami kecuali Sang Maha Betari Durga ! jawab Reksasura, " Keparat ! " Indrayana tak dapat menahan marahnya lagi. " Kalian berani menghadang perjalanan Raden Indrayana sama dengan sekawanan tikus berani menggangu seekor harimau ! " " Babo-babo ! Sumbarmu seperti seorang jagoan, anak muda ! Benar-benar tidak kauserahkan patung itu kepadaku " " Koleksi Kang Zusi " Kalau belum pecah dada Indrayana tak mungkin kau akan menjamah patung yang suci ini " ! jawab pemuda itu dengan gagah. " Bocah sombong ! Kalu begitu, akulah yang akan membikin pecah dadamu ! " Orang ini bermuka hitam, berkepala gundul dan sepasang matanya bundar bagaikan jengkol. Setelah berseru keras, ia lalu menubruk maju dan menggunakan tangan kanannya menembak ( memukul dengan telapak tangan ) dada Indrayana yang telanjang. Tangan ini lebarnya hampir menyamai lebar dad Indrayana, kulit telapak tangan tebal dan keras, jari-jarinya sebesar pisang emas dan ketika tangan itu memukul, sambaran anginnya terasa meniup tanda bahwa tenagan pukulan itu hebat sekali. Dengan pukulannya ini, si gundul bermuka hitam ini dapat merobohkan sebatang pohon yang sepelukan orang besarnya. Kalau yang ditebaknya itu dad orang lain, agaknya di muka tebal ini akan dapat membuktikan ancamannya tadi, akan tetapi kini ia menghadapi Raden Indrayana pemuda gemblengan yang semenjak kecil mempelajari ilmu kepandaian tinggi dan aji kesaktian dari ayahnya, seorang pertapa yang sakti. Selain mempelajari ilmu kedigdayaan, juga Indrayana adalah seorang ahli tapa yang kuat dan tekun sehingga ia memperoleh kekuatan batin dan tenaga dalam yang tak kelihatan, akan tetapi yang jauh lebih besar kekuatannay daripada tenaga luar atau besar yang timbul dari otot-otot yang terlatih. Ketika telapak tangan yang tebal dan lebar itu menghantam dada Indrayana terdegar suara, " Blek !! " dan menurut pantasnya, dada Indrayana tentu akan remuk dan setidaknya tubuhnay akan terpental jauh karena tenaga dorongan yang luar biasa itu. Akan tetapi, sungguh aneh, karena bukan saja tubuh Indrayana tidak bergeming seakan-akan tadi yang menyambar dadanya hanyalah seekor lalat belaka, bahkan lawannya segera menjerit kesakitan danmemegangi tangan kanan dengan tangan kirinya, Indrayana tentu saja tidak ma membiarkan dirinya dipikul tanpa membalas. Cepat bagai kilat menyambar, kakainya bergerak maju dan membuat gerakan dua kali, sekali dengan tangan kanan dari sekali dengan kaki kiri. Koleksi Kang Zusi Tangan kanannya itu dengan jari-jari terbuka menyodok lambung si muka hitam, Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sedang kakinya menyepak ke arah tulang kering lawan. Aduh...... aduh...... tobat, tobat...... ! " Si gundul bermuka hitam itu mengeluh, sebentar memegang tangan kanan, sebentar menekan perut yang tiba-tiba menjadi mulas dan kedua kakinya berjingkrak karena tulang kering kakinya yang dimakan oleh tendangan Indrayana terasa sakit sekali menusuk jantung. Dua orang anggota gerombolan itu menjadi marah dan cepat menerjang dari kanan kiri sambil memukul kepala dan tubuh Indrayana. Pemuda yang hanya melawan dengan satu tangan itu, karena tangan kirinya memondong patungnya, cepat mengelak dan mendoyongkan tubuh ke belakang, akan tetapi cepat pula menyusul ke kanan dan mengulur tangan kanan menjambak rambut penyerang dari kanan, kemudian pada saat penyerang dari kiri menyerbunya, ia menyentak keras dan menarik rambut lawan sebelah kiri yang mau menyerang. " Bruk...... ! Aduh..... aduh..... ! " Dua tubuh yang tinggi besar itu bertubrukan dan dengan cepat sekali kepala mereka saling membentur seperti dua kepala mereka saling membentur seperti dua buah kepala besar dibenturkan. Seketika itu juga, benjol besar membengkak keluar dari bagian kepala yang diadu tadi membuat mata mereka gelap melihat bintang-bintang menari, kepala menjadi pening dan untuk kiri seperti orang mabuk berpitaran bertubrukan sekali lagi tanpa disengaja dan keduanya roboh terlentang tak dapat bangun lagi. Bukan main marahnya hati Reksasura melihat kekalahan tiga anak buah pasukan Serigala Hitam yang rata-rata memiliki tenaga dan kepandian bertempur yang lumayan, karena semuanya mendapat latihan. Bagaimana Koleksi Kang Zusi mungkin tiga orang kawannya itu roboh dalam segebrakan saja menghadapi anak muda yang masih pantas disebut anak-anak ini " Reksasura tentu saja memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada anak-anak ini " Reksasura tentu saja memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada anakanak buahnya, maka dengan hati penuh geram dan marah, ia lalu mencabut senjatanya yang mengerikan. Senjatanya ini adalah sebatang klewang yang amat lebar dan tajam, akan tetapi pada panggung klewang itu bukan rata seperti klewang biasa, melainkan bergigi tajam seperti gigi gerqji ! " Indrayana, cabutlah senjatamu kalau kau memang benar laki-laki ! " Ucapan yang sebetulnay keluar karena kesombongan Reksasura ini, telah menolong nyawanya dari bahaya maut, karena kalau saja ia tidak berkata demikian, tentu Indrayana akan marah sekali dan akan membinasakannya. Pemuda ini menganggap betapapun juga Reksasura masih berwatak gagah dan tidak mau menyerang orang yang bertangan kosong dengan senjata tajam. Ia tersenyum dan sambil memeluk erat-erat patung yang dianggapnya Pramodawardani sendiri yang sedang dilindunginya, ia berkata, " Reksasura, jangankan baru kau sendiri dengan senjatamu itu yang maju menyerangku. Birpun kau maju berbareng dengan semua anak buahmu dan mengeroyokku dengan seribu senjata, aku Raden Indrayana takkan mundur setapakpun dan tak usah mempergunakan senjataku ! Kau majulah ! " Reksasura tak dapat menahan marahnya lagi. " Kau orang Syailendra memang sombong ! Rasakan ketajaman senjataku ! " Klewangnya menyambar ke arah leher Indrayana dalam serangan yang amat cepat hebat. Melihat kehebatan serangan ini, Indrayana mklum bahwa lawannya bukan orang lemah, maka ia berlaku hati-hati sekali. Dengan lincah ia melompat dan mengelak dari sambaran klewang itu, lalu membalas dengan pukulan tangan kanannya ke arah siku lawan yang sebelah kanan dan mengirim serangan selanjutnya bertubi-tubi dan cepat sekali Koleksi Kang Zusi sehingga klewangnya berkelebatan dan berkilauan. Melihat gerakan lawannya, diam-diam Indrayana memuji juga sesungguhnya permainan klewang itu bukanlah ilmu sembarangan akan tetapi mempunyai gaya dan gerakan yang amat baik dan tangguh. Patung yang dipondongnya menghalangi pergerakannya untuk melepaskannya ia merasa enggan maka ia lalu mengambil keputusan untuk mempercepat jalannya pertempuran. Tiba-tiba Indrayana berseru dan tubuhnya berkelebat cepat sekali, melebihi cepatnya gerakan klewang lawannya. Tentu saja Reksasura menjadi terkejut dan heran ketika tiba-tiba tubuh lawannya yang masih muda itu lenyap dan hanya nampak bayangannya saja berlompatan di sekelilingnya, sukar sekali untuk diserang bagaikan seekor burung srikatan yang gesit sekali. Tiba-tiba Reksasura merasa siku lengan kanannya sakit sekali dan tangan itu seakan-akan menjadi lumpuh, maka terpaksa ia melepaskan klewangnya yang telah berpindah ke tangan Indrayana ! Reksasura hendak menyerang dengan kepalan tangannya, akan tetapi tiba-tiba tangannya terasa bukan main sakitnya sehingga terpaksa ia membatalkan niatnya dan hanya memegangi siku kanannya dengan muka meringis. Anak buahnya yang melihat betapa senjata pemimpin mereka dengan cepat dan aneh telah terampas oleh pemuda itu, serentak maju mengeroyok dengan senjata mereka. Akan tetapi, sekali saja Indrayana memutar klewang rampasannya, terdengar suara nyaring dan empat batang golok lawan dan berterbangan dan patah menjadi dua ! Para pengeroyok alin melihat kehebantan ini menjadi gentar dan mereka menjadi mundur tanpa dikomando lagi. Indrayana tersenyum dan melemparkan klewang itu ke atas, lalu menggerakkan tangannya dan ketika klewang itu melayang turun, ia mengetok tiba-tiba pada tengah-tengah klewang itu dan " krek ! " patahlah klewang mengerikan itu tepat pada tengahnya ! " Senjata buruk ! hanay pantas untuk menakut-nakuti anak kecil saja ! " Koleksi Kang Zusi kata Indarayana. " Reksasura, biarlah pengalamn ini kaujadikan pelajaran dan peringatan agar lain kali jangan engkau sekali-kali berani menyebut nama Kusumaning Ayu Puteri Mahkota Pramodawardani " Setelah berkata demikian, Indrayana membawa patungnya dan melanjutkan perjalanannya. " He, Indrayana ! Engkau telah menghina kami pasukan Srigala Hitam, kauingatingatlah bahwa akan tiba saatnya kami membalas dendam ! " Jilid 2 Akan tetapi Indrayana taidak mau mendengar ancaman ini dan melanjutkan perjalanannya. Ia mengusap pipi patung itu dan berkata perlahan, " Manisku Pramodawardani, jangankan baru orang-orang kasar itu saja hendak merampasmu, biar Dewa sekalipun takkan dapat mengambil engkau dariku semudah itu ! " Dalam pandangannya, bibir patung itu seakan-akan tersenyum manis, maka dengan mesra Indrayana lalu menciumnya. Baru sadarlah ia ketika hidung dan bibirnya bertemu dengan batu yang dingin dan kasar ! Ia menarik napas panjang lalu berlari cepat menuju ke Gunung Muria. Ia telah memasuki wilayah Mataram ketika seorang petapa tua menghadang di tengah perjalanannya. Tadinya Indrayana tidak memperhatikan, akan tetapi ketika kakek yang berdiri di tengah jalan itu mengangkat tangan kanannya, ia memandang dan alangkah herannya bahwa kakek itu bukan lain adalah Panembahan Bayumurti pertapa yang mengganggu pembukaan Candi Lokesywara dengan persembahannya patung Koleksi Kang Zusi Dewi Tara yang kini dipondong oleh Indrayana, lalu berkata tersenyum, " Ha, hendak kau bawa kemanakah patung Dewi Tara itu " " Merahlah muka Indrayana Kalau pertapa yang sakti ini tahu akan semua pengalamannya, tentu ia tahu pula bahwa ia telah gandrung-gandrung dan tergilagila kepada patung yang dianggapnya Sang Ayu Pramodawardani itu. " Ini bukan patung Dewi Tara...... patung...... patung...... " dengan ucapan gagap ini Indrayana lalu mengangkat patung itu dan memandangnya. Tiba-tiba matanya terbelalak dan tak terasa patung itu terhempas dari tangannya, jatuh ke atas tanah dan patah lehernya ! ternyata muka patung itu tidak menyerupai wajah Pramodadawardani lagi, akan tetapi meyerupai wajah Dewi Tara sebagaimana yang sering dibuatkan patungnya oleh para ahli seni pahat. " Ha, ha ! " Pane,bahan Bayumurti tertawa. " Pandangan mata memang hanya tipuan dan palsu belaka, Indrayana. Engkau hendak pergi ke tempat pertapaan enyangmu, Begawan Ekalaya, bukan " Cepat, mari engkau ikut aku ke pondokku. Lekas, betulkan di sana. Tidak ada waktu lagi anak muda, cepat ! " Ajakan ini sedemikian berpengaruh sehingga Indraana tak kuat menahan kehendak sendiri. Ia membungkuk, mengambil patung yang telah patah lehernya itu, lalu berjalan mengiringkan pendeta yang sakti itu menuju ke sebuah hutan kecil. Kedatangan mereka disambut oleh sepasang anak muda elok sekali. Yang seorang adalah seorang pemuda sebaya dengan Indrayana, cakap, tampan, Koleksi Kang Zusi dan gagah sekali. Sepasang matanya amat berpengaruh dan tajam dan dari bentuk mukanya dapat diduga bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan., melainkan keturunan bagsawan tinggi. Pakaiannya berbeda dengan pakaian pemuda biasa, bahkan pada tangannya tampak gelang ukiran dari pada emas. Begitu bertemu pandang, Indrayana menjadi kagum dan juga timbul rasa hormat dan sukanya kepada pemuda itu, dan diam-diam ada juga sedikit perasaan iri, karena dalam hal kecakapan dan kegagahan, pemuda ini benar-benar merupakan saingan berat ! Ketika ia melirik kepada orang kedua, kembali ia tertegun. Orang kedua adalah seorang adra yang usianya paling banyak enam belas tahun. Berneda dengan pemuda itu, dara ini pakaiannya sederhana sekali, akan tetapi justruh kesederhanaan pakaiannya ini makin menonjolkan kecantikannya yang asli dan murni. Seorang juita yang jarang ada duanya, terutama mulut yang selalu tersenyum manis dan sepasang mata yg bening kocak itu. Bagaimana di dalam hutan kecil, di pondok reyot dari panembahan ini terdapat dua orang manusia yang cakap seperti Dewa Komajaya dan cantik seperti Dewi Komaratih ini " Panembahan Bayumurti memperkenalkan kedua orang muda itu kepada Indrayana dengan amat terburu-buru dan sederhana. " Ini adalah muridku bernama Raden Pancapana, dan ini adalah anak tunggalku bernama Candra Dewi. Duduklah, Indrayana, duduklah. Dan kalian juga, Raden dan Dewi. Kalian bertiga dengarlah pesanku terakhir. " Sungguhpun Indrayana dapat melihat kekejutanyang tiba-tiba menyerang dara itu dan juga Raden Pancapana, namun keduanya dapat menenangkan perasaan dan duduk dengan tenang. Hal ini amat mengagumkan hatinya, karena ternyata bahwa kedua orang muda itu telah mempunyai cukup tenaga batin untuk menekan segala perasaan hatinya. " Indrayana, dengarlah. Ayahmu dan aku adalah sahabat karib ketika Koleksi Kang Zusi ayhmu belum menyebrang ke Syailendra dulu. Kami berdua sefaham, senasib sependeritaan, bahkan betapapun didalam satu gua. Akhirnya ayahmu mendapat kurnia dari Hyang Agung sehingga pandai membuat senajata, sedangkan aku hanya mendapat kurnia sebagai seorang pembuat patung saja. Seperti kau lihat sendiri, maksud baikku untuk mempersembahkan sebuah patung ternyata diterima dengan salah pengertian oleh Maha Raja Samaratungga. Hal itu tidak apa, karena Sang Prabu itu masih mempunyai alasan yang mengandung kebijaksanaan. Akan tetapi Maha Wiku Dharmamulya telah mempergunakan kesempatan itu untuk memperlihatkan dendam dan bencinya kepada kami orang-orang Mataram dan kepada kepercayaan dan agama kami. Ayahmu telah membuktikan kebijaksanaannya dan berusaha menolongku, maka sekarang, akupun harus membalas budinya itu. Ia berada dalam bahaya. " " Indrayana terkejut sekali, " Dalam bahaya " Siapakah yang mengganggu ayah " tanyanya kurang percaya. " Siapa lagi kalau bukan Maha Wiku Dharmamulya yang meminjam kekuasaan Maha Raja Samaratungga. Bahkan kau sendiripun dan aku juga takkan mudah melepaskan diri dari jangkauan tangan Maha Wiku yang panjang dan penuh dendam, Indrayana. " Pada saat Indrayana hendak bertanya, tiba-tiba terdengar suara orang dan derap kaki banyak sekali kuda menuju ke dalam hutan itu dan Panembahan Bayumurti berkata, " Indrayana, kalau kau mau belajar seni pahat dan ukir murid dan puteriku, kau akan dapat membuat patung orang yang kau kasihi, akan tetapi kau harus berjanji mau mengajak murid dan puteriku menuju ke Gunung Muria dan menghadapkan mereka kepada eyangmu agar mendapatkan bimbingan. Yang datang itu adalah orang-orang syailendra, biarlah aku yang menghadapi mereka Kalian bertiga berangkatlah sekarang juga ke Muria ! " " Rama panembahan...... " dara jelita itu berseru sambil memandang kepada Koleksi Kang Zusi ayahnya. Jidatnya yang bagus itu berkerut dan matanya memandang ragu. Panembahan Bayumurti menghampiri putrinya dan mengelus-elus rambut anaknya yang hitam, halus dan panjang itu. " Dewi, bocah ayu jangan gelisah. Kau pergilah dan ikut kedua orang pemuda ini. Pasti akan selamat " " Rama panembahan, aku lebih suka mati disampingmu daripada hidup jauh ari padamu, rama..... " Derap kaki kuda telah tiba di luar pondok dan di antara suara pikuk itu terdengar suara ketawa Panembahan Bayumurti yang nyaring ketika ia mendengar ucapan puterinya itu. " Anakku yang manis, anakku yang denaok ! Siapa mau kau mati di ampingku " Kita takkan mati nak, sebelum Hyang Yamadipati mengulurkan tangannya. Jangan rewel, engkau pergilah ! Raden Pancapana, tolonglah kau jaga adikmu Si Dewi yang nakal. Nah, kalian bertiga, berangkatlah dari pintu belakang. Tidak ada waktu lagi ! " Setengah ditarik lengannya oleh raden Pancapana, Candra Dewi berjalan ke luar dari pintu belakang, sebentar-sebentar menengok memandang ayahnya, didikuti Indrayana dari belakang. Patung yang patah lehernya itu ditinggalkan di dalam pondok. Setelah sekarang tidak menyerupai Pramodawardani, tak perlu ia bawa-bawa sepanjang jalan. Koleksi Kang Zusi " Bayumurti dan Indrayana, menyerahlah sebelum kami menggunakan kekerasan ! " terdengar Maha Wiku Dharmamulya di luar pondok. Ternyata bahwa Maha Wiku itu datang sendiri memimpin pengejaran dan bersama dia ikut pula seorang pertapa berjubah kuning yang berkepala gundul dan bertubuh tinggi besar bagaikan seorang raksasa. Memang dia ini bukanlah seorang Jawa, akan tetapi adalah seorang pendeta Buddha yang datang dari tanah Hindu dan bernama Wisananda. Pendeta Wisananda ini baru beberapa bulan berada di Kerajaan Syailendra dan ternyata bahwa selain dia pandai sekali dalam hal pelajaran Agama Buddha, juga memiliki kesaktian yang tinggi dan memiliki pula ilnmu sihir dan gaib yang mengagumkan orang. Maha Wiku Dharmamulya segera menghubungi dan mendekatinya, sehingga sebelum pendeta dari tanah hindu itu kenal dengan orang lain, telah menjadi sahabat dan pembantunya yang amat setia. Mendengar serua Maha Wiku Dharmamulya, Panembahan Bayumurti lalu keluar dari pondoknya sambil membawa arca Dewi Tara yang patah lehernyanya itu. Ia tersenyum menghadapi Maha Wiku Dharmamulya lalu berkata, " Dharmamulya, engkau datang mau apakah" Apakah engkau hendak mengambil patung ini" Akan tetapi harus kubikin betul dulu, karena lehernya patah ! " Sambil betkata demikian, kedua tanagn pendeta ini bergerak memasang kepala patung yang patah itu pada lehernya, memencet-mencet dan mengelus-elus sebentar dan...... patung itu telah menjadi lebih baik kembali. Panembahan Bayumurti lalu meletakkan patung itu di atas tanah dan berkata, " Nah, sekarang sudah baik kembali, kalau hendak kau bawa, bawalah ! " Terdengar serua kagum, " Ahli patung yang luar biasa ! " Biarpun seruan itu di ucapkan dalam Bahasa Hindu, namun Panembahan Bayumurti yang sudah kenyang mempelajari kitab-kitab Weda, tentu saja dapat mengerti, maka ia tersenyum sambil memandang kepada orang yang mengeluarkan seruan memuji itu. Ternyata bahwa yang memuji itu adalah Wisananda, pendeta Buddha dari Hindu itu yang merangkap kedua tangan memberi penghormatan kepada Bayumurti. Di negerinya, ahli pembuat patung amat Koleksi Kang Zusi dihormati, baik oleh pendeta pemeluk Agama Hindu kuno maupun oleh pendetapendeta Budha dan dianggap sebagai seorang ayang amat tinggi kedudukannya, sejajar dengan para pendeta tinggi dan amat dihormati. Akan tetapi pada saat itu, Maha Wiku Dharmamulya melihat berkelebatnya tiga bayangan orang-orang muda melarikan diri dari pintu pondok sebelah belakang. " Nah, itu dia si pemberontak Indarayana ! tangkap ! " Beberapa orang perwira segera menyerbu dan berusaha menangkap indrayana, akan tetapi belum sempat mereka menjatuhkan tangan, Indrayana telah mendahului mereka dengan gerakan kaki tangannya sehingga tiga orang perwira yang menyerang di muka bergulingan mengaduh-aduh. Para perwira dan tamtama segera mengepung dan menyerang bagaikan semut, akan tetapi kini bukan hanya Indrayana yang menyambut mereka, juga Raden Pancapana membantu Indrayana menghadapi para pengeroyok itu. Melihat sepak terjang Raden Pancapana yang sekali bergerak saja sudah menjatuhkan lima orang pengeroyok, terkejut dan kagumlah Indrayana. Tidak saja dalam ketampanan dan kegagahan, juga dalam ilmu kepandaian dan kedigdayaan. Ksatriya ini ternyata tidak berada di sebelah bawah tingkahnya. Ia makin gembira dan bersama Raden Pancapana lalu mengamuk. Para pengeroyok dianggap tumpukan rumput kering saja. Sekali dorong roboh bergulingan, sekali tendang cerai berai dan simpang siur. Candra Dewi hanya berdiri menonton dan sepasang matanya yang indah itu bersinar gembira memandang kagumkepada Indrayana tanpa diketahui oleh yang dipandangnya. Melihat sepak terjang kedua orang yang dahsyat itu, Maha Wiku Dharmamulya maklum bahwa orang-orangnya takkan dapat berhasil untuk menangkap Indrayana, maka ia lalu berkata kepada Pendeta Wisananda. Koleksi Kang Zusi " Saudara Wisananda, harap kau suka mengulurkan tangan membantu kami dan menagkap pemuda itu ! " Ia menuding ke arah Indrayana. " Dia adalah seorang pemuda yang telah mengina Sang Prabu dan berani menghina Candi Lokesywara yang Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kita bangun. " Panembahan Bayumurti memandang tajam dan alagkah terkejutnya ketika ia melihat tubuh pendeta Hindu itu berkelebat dan tahu-tahu Pendeta Wisananda telah berdiri menghadang perjalanan Indrayana, Raden Pancapana, dan Candra dewi. Di tangannya terdapat sebatang tongkat panjang yang entah dari mana diambilnya. Melihat gerakan pendeta asing ini, Indrayana dan raden Pancapana terkejut dan maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendeta berilmu tinggi, maka kedua orang muda itu lalu mencabut keris pusaka masing-masing dan menyerbu ke depan. Akan tetapi, sambil tertawa Wisananda mengerakkan tongkatnya menangkis dan sekaligus kedua keris pemuda-pemuda itu beradu dengan tongkatnya yang ampuh. Indrayana dan kawannya terkejut sekali ketika merasa betapa telapak tangan mereka perih dan panas sekali. Sebelum mereka hilang kagetnya, tiba-tiba tangan kiri Wisananda menyambar dan sehelai tambang berwarna biru meluncur dari tangan kiri itu ke arah Indrayana. Pemuda ini mencoba untuk menangkis, akan tetapi begitu lengan kanannya bertemu dengan tambang, tahu-tahu tambang itu terus melibat bagaikan ekor ular dan sebentar luar biasa itu ! Indrayana mengerahkan tenaga dan kesaktiannya, akan tetapi ia tak berdaya. Tambang itu terlalu kuat dan mempunyai daya yang mujizat sehingga makin keras ia memberontak. Makin erat pula ikatan pada tubuhnya ! Raden Pancapana hendak menolongnya, akan tetapi tongkat Wisananda terputar cepat dan mencegahnya mendekati tubuh Indrayana yang telah terikat erat dan tidak berdaya itu sehingga Pancapana terpaksa mundur lagi sambil menangkis dan mengelak dari serangan tongkat yang amat cepat dan berbahaya itu. Koleksi Kang Zusi Tiba-tiba nampak bayangan yang amat cepat berkelebat dan terdengar bentakan. " Wisananda ! Jangan engkau menghina anak muda. Kalau engkau mempunyai kepandaian, lawanlah, aku, sama tua ! " Ternyata bahwa Panembahan Bayumurti telah melompat dan kini dengan sekali renggut saja ia telah melepaskan tambang yang mengikat tubuh Indrayana ! " Pergilah ! " katanya kepada Indrayana. " Pergi dan bawalah murid dan anakku serta ! Biarlah aku menghadapi orang-orang mabok angkara ini ! " Indrayana tidak berani membantah dan ia lalu melanjutkan perjalanannya bersama Raden Pancapana dan dara jelita Candra Dewi. Tak ada seorangpun rombongan dari Syailendra ini yang berani mencegah mereka, karena di situ terdapat panembahan Bayumurti yang berdiri dengan tenang dan tersenyum. Melihat cara penembahan Bayumurti melepaskan ikatan Indrayana, maklumlah ia bahwa pendeta ini memiliki kesaktian yang tak boleh dipandang ringan. " Wisananda ! " Bayumurti menantang lagi. " Mengapa engkau tidak bergerak " Apakah engkau hanya berani menjatuhkan tangan kepada orang-orang muda saja " " Pendeta Bangsa Hindu itu menggelengkan kepala, " Aku segan untuk bertempur melawan seorang ahli seni yang kukagumi. " Maha Wiku Dharmamulya sudah sampai di situ pula. Dengan marah ia Koleksi Kang Zusi menuding kepada Bayumurti dan berkata, " Bayumurti ! Engkau seorang Mataram mengapa tidak tahu malu dan mencampuri urusan orang-orang Syailendra " Indrayana adalah orang Syailendra dan sudah menjadi hak kami untuk menangkapnya atas perintah Maha Raja kami, mengapa engkau berani mencampurinya " " " Mataram dan Syailendra hanyalah sebutan orang belaka, " jawab panembahan Bayumurti dengan tenang, " akan tetapi Indrayana, enagkau atau aku juag manusia biasa yang sama-sama berkulit dagimg. Melihat seorang manusia dikejar-kejar dan hendak dikuasai oleh orang-orang lain yang terdorong oleh nafsu angkara murka, tentu saja sudah menjadi kewajibanku untuk menolongnya. " " Bayumurti, engkau ternyata sombong dan mengandalkan kepandaianmu. Penangkapan atas diri Indrayana adalah perintah Maha Raja Samaratunggakarena Indrayana telah melakukan pelanggaran dan kekurangajaran di hadapan raja. Sekarang engkau menghalangi kami menangkapnya, itu berarti engkau telah menghina titah raja. Apakah engkau berani mempertanggungjawabkannya dan meghadap kepada Sang Prabu " " " mengapa tidak berani " Aku memang hendak pergi ke sana, hendak membebaskan Wiku Dutaprayoga yang telah kena fitnah oleh ketajaman lidahmu ! Akulah yang bertanggunjawab untuk semua perkara ini, baik urusan mengenai diri Wiku Dutaprayoga maupun mengenai urusan puteranya, Indrayana ! " Demikianlah, rombongan pasukan Syailendra yang dikepalai oleh Maha Wiku Dharmamulya itu kembali ke Kerajaan Syailandra sambil membawa Panembahan Bayumurti di tengah-tengah mereka. Koleksi Kang Zusi Rakyat yang telah mendengar tentang ditangkapnya Wiku Dutaprayoga dan dikejarnya Indrayana putera Wiku itu, menyambut kedatangan rombongan itu dengan heran, karena mereka tidak melihat Indrayana tertangkap, sebaliknya rombongan itu membawa seorang pendeta Mataram yang nampak tenang dan tersenyum-senyum saja. Akan tetapi banyak orang, terutama para dara, merasa lega karena Indrayana yang mereka sayang itu tidak tertangkap. Ketika mereka mendengar bahwa pendeta ini adalah pendeta yang telah mengacaukan pembukaan Candi Lokesywara dan telah menyumbangkan sebuah patung Dewi Tara yang kemudian dirobahnya menjadi patung Puteri mahkota, orang-orang lalu berduyun-duyun datang untuk menyaksikan pendeta yang aneh san pandai itu. Maha Wiku Dharmamulya lalu membawa sendiri pendeta Mataram itu menghadap kepada Sang Prabu Samaratungga. Maha Raja inipun agak tercenggang ketika melihat bahwa yang dihadapkannya bukan Indrayana pemuda yang berani dan kurang ajar itu, melainkan pendeta yang telah menggegerkan pembukaan candi. Hati Sang Prabu kurang enak melihat wajah Panembahan Bayumurti yang memandangnya dengan tajam, karena Sang Prabu maklum bahwa pendeta ini adalah seorang yang sakti dan tidak enaklah untuk berurusan atau lebih-lebih bermusuhan dengan orang yang berwajah tenang, bermata tajam dan bibir selalu tersenyum itu. Dengan sabar Maha Raja Samaratungga mendengarkan laporan Maha Wiku Dharmamulya tentang penangkapan atas diri Indrayana yang di gagalkan oleh Bayumurti yang kini datang mempertanggung jawabkan perbuatannya itu. " Panembahan Bayumurti. " berkata Sang Prabu dengan muka muram. " Kau adalah seorang panembahan, seorang ahli kebatinan yang seharusnya mengutamakan perbuatan baik dan ketentraman. Akan tetapi mengapa engaku sengaja mendatangkan kekacauan dan sengaja menghalangi kehendakku menangkap Indrayana, seorang hambaku sendiri " Panembahan Bayumurti, bukankah ini berarti bahwa kau telah berlaku keterlaluan dan Koleksi Kang Zusi kau terlalu mengunggulkan kesaktianmu " " Maha Raja Samaratungga menahan napas untuk menekan gelora kemarahannya. " Atau kau sengaja melakukan hal ini untuk menghinaku " Ketahuilah, hai panembahan sesat, raja junjunganmu sendiri di Mataram tridak berani berlaku kurang hormat seperti ini terhadapku ! " Panembahan Bayumurti yang tadinya tersenyum-senyum, kini menahan senyumannya dan memandang dengan sungguh-sungguh, lalu memberi hormat kepada raja besar itu. " Sang Parabu yang bijaksana dan budiman, " katanya tenang, " hamba cukup menghargai paduka, bahkan persembahan patung itupun hamba maksudkan sebagai tanda penghargaan hamba. Paduka adalah seorang raja besar, berbeda dengan raja di Mataram yang makin kehilangan pamornya, karena kurang bijaksana dan tidak dapat mengatur pemerintahan seperti paduka. Hamba sekali-kali tidak berniat hendak mengacaukan Negara Syailendra. " " Kalau memang demikian pendirianmu, mengapa kau selalu menghalangi tugas Maha Wiku yang bertidak atas perintahku " Mengapa pula kau menolong Indrayana dan sesungguhnya, apakah maksudmu datang di Syailendra " Apakah karena kau terbawa oleh arus pertikaian antara agamamu dan Agama Buddha " Ketahuilah, bahwa kami sendiri menganggap segala pertikaian itu sebagai kebodohan anak-anak kurang mengerti akan keadaan yang sebenarnya. Aku sendiri tidak suka menyaksikan segala macam permusuhan itu terjadi. Apakah kau sengaja datang menghina para penganut Buddha di kerajaanku ini " " " Dijauhkan oleh dewata pikiran macam itu dari kepala hamba ! " jawab Panembahan Bayumurti. " Sesungguhnya, Sang Prabu yang mulia, tak hendak mendahului kehendak Dewata, akan tetapi waktunya akan segera tiba di mana Tanah Jawa akan tentram bahagia, tidak ada pertikaian dan perbedaan faham antara Syailendra dan Mataram. Kedua agama akan hidup Koleksi Kang Zusi rukun dan penuh pengertian, saling mengalah. Bahkan bukan tidak mungkin kedua agama akan di junjung tinggi bersama oleh kerajaan di Jawa ! hamba datang hanya sebagai pelopor, hendak memperlebar jalan terlaksananya hal yang amat baik dan sempurna itu, Sri Baginda ! Hendaknya diingat bahwa segala macam kebahagiaan itu tidak dapat datang begitu saja, tanpa mengalami kepaitan dan kesukaran terlebih dahulu. Banyak rintangan nampak di depan, banyak...... ah, banyak sekali, Sang Prabu, akan tetapi, dewi kemurahan semua Dewata, juga kemurahan Sang Buddha yang paduka puja, akan tibalah saat yang baik itu ! " Tutup mulutmu yang mengoceh tidak karuan ! Tiba-tiba Maha Wiku Dharmamulya yang duduk di dekatnya membentak. Akan tetapi sebelum Maha Wiku ini melanjutkan bentakannya, Maha Raja Samaratungga memberi tanda dengan tangannya agar pendeta kepala itu berdiam diri, kemudian ia tersenyum dan berkata kepada Panembahan Bayumurti, " Segala harapanmu itu baik-baik saja, Bayumurti. Akan tetapi engkau telah menyimpang daripada percakapan semula. Yang hendak kuketahui hanya mengapa engkau menghalangi kehendakku menangkap Indrayana ! " " Gusti Prabu yang bijaksana ! Paduka tentu tidak khilaf lagi tentang hukum sebab dan akibat. Segala tindakan Wiku Dutaprayoga yang kini ditangkap, dan juga tindakan Indrayana yang melarikan patung, itu semua hanyalah akibat. Mengerjar dan menyalahkan akibat tanpa menengok lagi sebab-sebabnya adalah perbuatan yang sesat dan bodoh, sama halnya dengan menyiramkan minyak wangi pada sebuah kamar yang berbau busuk karena ada bangkai tikus di bawah balai-balai, tanpa mencari bangkai itu dan membuangkannya ! Dalam hal ini, yang menjadi sebab adalah hamba sendiri dan perbuatan hamba ! Kalau hamba tidak datang mempersembahan patung kepada paduka, tentu Maha Wiku Dhamamulya tidak marah dan hendak menikam hamba dan Wiku Dutaprayoga tidak membela hamba serta menghalangi maksud dan kehendak Sang Maha Wiku. Kalau hamba tidak merobah patng itu seperti Puteri Paduka, tidak nanti Indrayana akan Koleksi Kang Zusi mencuri patung itu dan menjadi orang buruan ! Dengan demikian, pokok pangkalnya semua peristiwa ini adalah perbuatan hamba dan hambalah yang harus menerima amarah paduka ! Hamba yang kan mempertanggungjawabkan perbuatan Wiku Dutaprayoga dan puteranya itu dan kalau paduka hendak menjatuhkan hukuman, jatuhkanlah kepada hamba ! Hamba menuntut kebebasan Wiku Dutaprayoga dan Indrayana ! " Maha Raja Samaratungga tertegun mendengar ucapan ini. Ia merasa terheran mengapa Kerajaan Mataram makin mengecil dan menyuram, pada hal negara itu mempunyai banyak orang-orang pandai dan waspada seperti pendeta ini ! Semenjak Sang Prabu Sanjaya meninggal dunia dan singgasana Mataram diduduki oleh Raja Panamkaran, mulai nampaklah kemunduran besar pada kerajaan itu. " Panembahan Bayumurti, engkau benar-benar aneh. " " Gusti Prabu, memang manusia ini makhluk yang paling aneh di atas dunia ! " Belum pernah Maha Raja Samaratungga melihat seorang pendeta yang pandai, ramahtamah dan berani seperti pendeta ini, maka timbullah rasa suka dalam hatinya. " Biarlah, kubebaskan Wiku Dutaprayoga dan kuampunkan kekurangajaran Indrayana. Juga engkau boleh pergi dengan bebas, asal saja jangan kauulangi perbuatanmu yang dapat menimbulkan salah faham kepada hamba sahaya di kerajaanku. Tentang harapan dan cita-cita yang baik iti, " sampai disini Maha Raja Koleksi Kang Zusi Samaratungga tersenyum dan matanya berseri, " biarlah kauserahlan kepada kebijaksanaan para Dewata, karena itu bukanlah tugas kita manusia ! " " Sang Prabu ! " tiba-tiba Maha Wiku Djarmamulya menyembah, " hamba tidak setuju kalau pendeta ini di lepaskan begitu saja ! Ini berarti merendahkan derajat Kerajaan syailendra sendiri, Gusti ! " Maha Raja Samaratungga berkata dengan sabar, " Maha Wiku, aku tidak bisa mengangkat dan mengagulkan derajat sendiri." " Akan tetapi, selain itu, pendeta inipun telah menghina Agama Biddha ! Sepak terjangnya jelas meremehkan agama kita dan hal ini kalau didiamkan saja amat berbahaya, Sang Prabu ! Kalau pendeta yang menghina agama kita ini dibebaskan begitu saja, hamba khawatir kalau-kalau sebentar lagi pendeta Trimurti dan semua penganutnya akan berlaku kurang ajar dan sewenang-wenang terhadap kita ! " " Akan tetapi, aku telah memberi kebebasan kepadanya, Maha Wiku, dan sabda seorang Ratu tak dapat disangkal pula. " " Memang demikianlah hendaknya, Sang Prabu, akan tetapi, pendeta ini masih harus berurusan dengan hamba. Sebagai pendeta kepala, hamba berhal pula mengadilinya, berdasarkan kesalahan kedosaannya terhadap agama kita. Perkenankanlah hamba bicara dengan pendeta sesat ini, Gusti. " Terpaksa Maha Raja Samaratungga memberi perkenan, karena iapun tidak merasa enak hati kalau sampai mengecewakan hati Maha Wiku yang Koleksi Kang Zusi berpengaruh itu. " Bayumurti ! " kata Dharmamulya dengan muka keren. " Sebagai seorang pendeta, apakah kau begitu tak tahu malu untuk menarik kembali kesanggupanmu yang telah keluar dari mulutmu yang palsu " Kau telah mengatakan bahwa kau akan mempertanggungjawabkan kesalahan Dutaprayoga dan Indrayana. Kau sanggup untuk menerima hukuman yang dijatuhkan kepada mereka bukan " " " Aku mengerti maksudmu, Maha Wiku Dharmamulya, teruskanlah ! " " Sesungguhpun Sang Prabu telah mengampuni kedua orang ayah dan anak itu, namun sebagai pendeta kepala, akupun berhak mengadilinya. Menurut hukum, orang yang berani menghina pendeta kepala, dapat dihukum kubur hidup-hidup, orang yang berani mencuri patung dari candi, dapat dihukum penggal kepala. Apakah kau masih berani menerima hukuman yang hendak kujatuhkan kepada mereka " " " Tentu saja berani, Dharmamulya. Teruskanlah ! " " Ucapan dan kesanggupan seorang pendeta takkan diingkari lagi ! " Dharmamulya memperingatkan " Tentu, tentu, hukuman apakah yang henak dijatuhkan " " Penggal kepala atau kubur hidup-hidup ! Nah, engkau pilihlah ! " Koleksi Kang Zusi " Maha Wiku, mengapa sekeras itu " " tiba-tiba Sang Prabu Samaratungga berkata mencela. Akan tetapi dengan masih tersenyum, Panembahan Bayumurti berkata lantang, " Dharmamulya, aku tahu bahwa hatimu penuh nafsu dan dendam. Aku tidak mengakuio bahwa Indrayana mencuri patung, akan tetapi aku akui bahwa Dutaprayoga telah berani melawanmu untuk tak membelaku. Maka biarlah kupilih kubur hidup-hidup untuk menebus dosa Dutaprayoga ! " Maha Raja Samaratungga terkejut sekali dan hendak mencegah hal ini, akan tetapi baru saja ia hendak bicara, ia melihat betapa Panembahan Bayumurti memandangnya dengan mata bersinar dan bibir tersenyum seakan-akan memberi tanda agar Sang Prabu jangan merasa gelisah dan khawatir. " Maha Wiku Dharmamulya, sebelum aku menjalani hukuman yang hendak kaujatuhkan, aku minat agar supaya Dutaprayoga dibebaskan dulu dan dapat bertemu muka dengan aku. " Setelah Maha Wiku Dharmamulya minta perkenan Maha Raja Samaratungga, maka pendeta Maratam yang berani dan aneh itu digiring ke luar. Panembahan Bayumurti benar-benar kelihatan tenang dan gembira dan ketika Wiku Dutaprayoga dikeluarkan dari tahanan dan memandangnya dengan heran, ia lalu menghampiri bekas sahabatnya itu, dan setelah mereka berada berdua saja, ia berbisik. " Dutaprayoga, engkau tentu maklum pula bahwa yang kulakukan ini semata-mata untuk kebaikanmu. Puteramu selamat, dan engkau Koleksi Kang Zusi menghendaki agar kesemuanya ini berjalan lancar dan beres, engkau perglah ke tempat pertapaan kita di Gunung Kidul dan kelak aku akan menyusulmu ke sana. " Dutaprayoga maklum akan kesaktian bekas sahabatnya ini dan maklum pula bahwa biarpun Bayumurti usianya masih lebih muda daripadanya, namun dalam segala hal, Bayumurti memperlihatkan kelebihannya. Bahkan ayahnya sendiri, Sang Panembahan Ekalaya, selalu memuji keberaniannya, kesaktiannya, dan kegagahan pertapa Bayumurti. Setelah Dutaprayoga pergi meninggalkan Kerajaan Syailendra, Panembahan Bayumurti lalu dimasukkan ke dalam tahanan, menanti upacara perjalanan hukuman baginya yang akan dilakukan pada malam bulan purnama, dua hari kemudian. Hukuman yang amat mengerikan, yaitu dikubur hidup-hidup hukuman yang merupakan hukuman adat dan yang sesungguhnya sudah lama tak pernah dilakukan oleh maha Raja Syailendra, akan tetapi kini akan dilakukan oleh Maha Wiku Dharmamulya, seorang pendeta kepala yang diracuni batinnya oleh dengki, iri, dan angkara murka ! *** Taman Listyaloka yang berada di belakang istana Maha Raja Simaratungga adalah sebuah taman yang luar biasa indahnya. Ratusan macam bunga yang indah-indah mekar berseri di dalam taman. Harum semerbak bunga mawar yang bermacam-macam bentuk dan warnanya itu, ditambah pula dengan sedapnya bunga-bunga melati dan menur, bunga cempaka, kenanga, kaca piring, dan kantil. Segala keindahan dan Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo keharuman yang dikumpulkan menjadi satu di dalam Taman Listyaloka yang menakjubkan itu selain menarik perhatian kumbang-kumbang dan kupu-kupu serta burung-burung kecil yang berterbangan dari pohon ke pohon. Koleksi Kang Zusi Memang indah sekali Taman Listyaloka, bahkan tamansari yang terkenal sekali di Kerajaan Mataram, takkan dapat melebihi keindahan Taman Listyaloka dari istana Syailendra ini. Apalagi kalau pemilik taman itu berada di dalam taman, maka akan bertambahlah kecantikan dan keindahan taman itu. Apabila Sang Putera Pramodawardani berada di dalamnya, maka taman itu akan berubah seperti Taman Indraloka di Khayangan Batara Indra, karena puteri jelita itu tidak kalah elok dan cantiknya oelh putei atau bidadari Khayangan yang manapun juga ! Akan tetapi, pada senja hari itu, keadaan di Taman Listyaloka tidak seperti biasa. Tidak gembira dan tidak brsinar, seakan-akan muram dan sunyi. Ke manakah perginya burung-burung, kumbang dan kupu-kupu yang biasanya meramaikan taman bunag itu " mereka masih ada, akan tetapi burung-burung itu bersembunyi di dalam pohon, mendekan di atas cabang tak bergerak bagaikan sedang tidur, kumbangkumbang bersembunyi di dalam kelompok bunga sedangkan kupu-kupu yang biasanya menari-nari itu kini menempel pada daun-daun bunag tanpa bergerak sedikitpun. Semua tampak berduka seakan-akan berkabung. Mengapa demiian " Kalau kita menengok ketengah taman, di dekat empang bunga teratai di dekat pancuran air, maka akan melihat sebab kesunyian dan kemuraman itu. Di atas bangku terbuat dari batu hitam yang terbentuk indah dan mengkilat, duduklah Kusumaning Ayu Pramodawardani sambil menyangga dagu dengan tangannya. Keningnya yang indah itu berkerut, wajahnya muram dan berkali-kali terdengar tarikan napas halus. Banyak orang berkata bahwa kalau sang puteri ini tersenyum, maka dunia kan ikut tersenyum dengan dia, akan tetapi kalau dia bermuram durja, maka dunia akan menjadi gelap dan suram pula. Memang, siapakah orangnya dan mahluk manakah yang takkan menjadi kecil hati dan ikut berduka melihat keadaan sang jelita yang bermuram durja itu " Semenjak peristiwa di depan Candi Lokesywara itu, sang puteri merasa tersinggung hatinya. Ia merasa amat kagum melihat keberanian dan kegagahan Indrayana, akan tetapi juag mearsa kecewa menagap pemuda yang menjadi kembang bibir para dara itu sedemikian kurang ajar kepadanya. Pramodawardani adalah seorang puteri yang tinggi hati dan ia sekali-kali tidka merasa puas bahwa ada seorang putera wiku berani berlaku sedemikian lancang terhadapnya. Pramodawardani selalu di manja Koleksi Kang Zusi dan merasa dirinya putera mahkota, ia menghendaki penghormatan sebesarnya dari siapapun juga. Diam-diam ia merasa bangga kepada diri sendiri bahwa ternyata pemuda yang sudah terkenal menggocangkan iman di dada para jelita itu, tidak berhasil menggoncangkan imannya yang teguh kuat. Ia memang amat tertarik dan kagum melihat wajah elok dan tampan itu, akan tetapi sama sekali keliru kalau orang mengira bahwa dia " jatuh hati " ! Kusumaning Ayu Pramodawardani bukanlah Tiga Maha Besar 14 Pendekar Gila 16 Istana Berdarah Harimau Mendekam Naga Sembunyi 5