Ceritasilat Novel Online

Candi Murca 10

Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi Bagian 10 pada sebuah batu sebesar sapi, batu itu akan berantakan. Apalagi aji Riung Laut itu berada di dalam genggaman Kuda Rangsang, pemilik sebenarnya dari perguruan Pesanggaran sebelum direbut oleh Padmanaba, bahkan melalui Padmanaba atau Ki Ajar Kembang Ayun, Parameswara juga mewarisi aji pamungkas ilmu kanuragan itu. Hanya sayang Ken Arok bukanlah pemuda sembarangan. Sama sekali tidak ada yang mengetahui, kecuali Brahmana Lohgawe yang selama ini membayangi pemuda itu, dengan cara bagaimana sebenarnya Ken Arok menguasai ilmunya. Dengan mudah Ken Arok melenting menghindar menempatkan serangan kasat mata itu tidak bisa mengenai sasaran. Taji Gading yang juga berada dalam lindungan aji Panglimunan amat cepat menyusul melepas. Kepalan tangan kanan yang juga menggenggam kekuatan Riung Laut menyambar dekat sekali, nyaris menghajar kening pemuda bernama Ken Arok itu. Tetapi Ken Arok masih bisa menghindar. Pemuda itu seperti berjumpalitan tanpa sebab karena lawannya yang tidak kelihatan. Justru yang tidak diduga adalah, tiba-tiba Ken Arok mengayunkan serangan dengan arah yang tidak terduga, sebuah batu sekepalan tangan melesat cepat lolos dari tangan kirinya ke arah perempuan yang semula menjadi teman tidur Ranggasura. Dengan telak butir batu itu mengarah kening perempuan itu yang menyebabkan tulang tengkorak pelindung otaknya ambyar. Perempuan itu beruntung karena mati dengan tidak terlalu menderita, tubuhnya langsung ambruk dan tak perlu berkelejotan meregang nyawa. Nyawa yang bersemayam di tubuhnya dengan mudah melesat meninggalkan raga. Ken Arok benar-benar bermaksud menumpas habis lawannya. Menyadari hal itu Parameswara menjadi sangat cemas. Rupanya benar apa yang disampaikan Brahmana Lohgawe padanya, para perampok itu akan bernasib buruk karena berurusan dengan Ken 298 Arok. Meminjam istilah Brahmana Lohgawe, rupanya memang para perampok itu yang harus diselamatkan. Namun Parameswara tidak berbuat apa-apa. Pesona yang dilihatnya begitu kuat mencengkeram hatinya. Ketika Parameswara terlambat menyadari keadaan, tiga orang anak buah Kuda Rangsang terjengkang. Kali ini Parameswara tidak mengikuti dengan cara bagaimana Ken Arok mengail nyawa mereka. Habis sudah para perampok yang salah menggunakan tempat persembunyian itu, tumpes tapis tiada sisanya, kecuali dua orang pimpinannya. Sementara itu, auman menirukan suara serigala yang dilakukan Ken Arok telah mengundang serigala yang sesungguhnya yang jumlahnya terbaca dari suaranya. Tempat itu benar-benar riuh. Parameswara kemudian melihat beberapa ekor serigala yang hilir mudik menerobos ilalang, bau darah membuat serigala itu beringas. Parameswara bergegas bergeser mendekat ke belakang Dyah Narasari untuk melindungi gadis itu jika berada dalam bahaya. Narasari yang terikat pada tiang tak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Meski gadis itu juga menguasai ilmu kanuragan tinggi, akan tetapi tandang grayang Ken Arok membuatnya ketakutan. Narasari jelalatan melihat serigala yang hilir mudik amat tertarik pada mayatmayat yang bergelimpangan. Narasari sebagaimana Parameswara melihat seekor harimau besar muncul menyibak rimbun ilalang dan dengan tanpa sungkan menyeret salah satu mayat untuk dijadikan isi perutnya. Parameswara terus memerhatikan apa yang dilakukan Ken Arok, pemuda itu sekali lagi melolong lagi disambut dengan riuh oleh para serigala yang telah mengepung tempat itu. Segalanya menjadi lebih jelas karena langit belahan timur mulai semburat merah oleh bayang-bayang pagi yang mulai menyapa isi jagad raya. Ken Arok segera menggerakkan tangannya saling silang-menyilang, cahaya temaram yang menyelubungi tubuhnya masih terlihat lamat-lamat. Tiba-tiba Ken Arok melenting, tubuhnya mengapung di udara. Pada saat yang demikian itu rupanya Kuda Rangsang dan Taji Gading yang tidak kelihatan ujutnya kembali menyerang bersama-sama. Namun rupanya Ken Arok tengah melindungi tubuhnya secara alamiah. Serangan beruntun yang dilakukan Kuda Rangsang dan Taji Gading selalu tidak mengenai sasaran, seolah ada sesuatu yang melindungi tubuh itu. Hantaman dahsyat yang dilakukan Kuda Rangsang selalu membentur sesuatu yang tidak terlihat. Bahkan ketika sekali lagi Ken Arok itu mengaum, kali ini bukan suara serigala yang ditirukan namun suara harimau, perbawanya begitu dahsyat, mengakibatkan tubuh Kuda Rangsang dan Taji Gading yang bersembunyi di balik kekuatan aji panglimunan terlihat selintas walau untuk kemudian lenyap kembali. Auman itu rupanya mampu menembus aji panglimunan meski sesaat. Keadaan itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Hantu Padang Karautan itu. Dalam keadaan yang demikian itulah tiba-tiba Ken Arok melenting seperti belalang. Ketika masih di udara tubuhnya menggeliat dan berbelok arah secara tiba-tiba serta tidak terduga. Taji Gading yang bermaksud menghindar ke arah kanan tidak mengira lawannya juga melejit ke kanan maka sebuah benturan terjadi. Malang bagi Taji Gading karena laki-laki tua itu kamanungsan. Tubuhnya yang semula dilindungi aji panglimunan itu menampak lagi. Ken Arok tidak menunggu lagi. Ken Arok bermaksud menyelesaikan permainan itu mumpung Taji Gading yang jatuh berguling-guling itu belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi. Namun Kuda Rangsang yang melihat bahaya mengancam saudaranya segera memburu dengan ayunan tangan kanannya yang terjulur deras. Ken Arok dengan sigap 299 menggeliat. Hantaman yang dilakukan Kuda Rangsang itu tidak mengenai tubuhnya karena selapis udara yang padat dan kenyal seperti melindungi tubuhnya. Sebaliknya Ken Arok segera berputar menggunakan kaki kirinya sebagai tumpuan tubuhnya. Ayunan yang deras berputar mengebor udara. Ken Arok melejit dengan kaki kanan bergerak lurus menghajar lawannya. Deras sekali kaki kanan itu menghajar tubuh Kuda Rangsang. Hantaman yang sangat kuat dan penuh tenaga itu membuat Kuda Rangsang kamanungsan pula. Tubuh yang semula tidak kelihatan dalam balutan aji panglimunan itu menampak lagi. Kuda Rangsang serta Taji Gading bergegas bangkit dengan napas tersengal. Tiba-tiba Ken Arok berdiri tegak. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas. Kepalanya menengadah memandang langit. Auman harimau yang keluar dari mulutnya benar-benar menggetarkan udara dari ujung ke ujung padang ilalang menyebabkan daun- daun berguguran. Ken Arok seolah melakukan sebuah tiwikrama, memusatkan segala kemampuan yang dimilikinya untuk mengakhiri pertarungan yang terjadi. Di saat yang demikian itulah, ketika langit timur semakin semburat oleh cahaya kemerahan, Ken Arok pemuda aneh yang menguasai padang Karautan diselimuti oleh cahaya kebirubiruan. Apa yang dikatakan oleh Brahmana Lohgawe, betapa pemuda itu memiliki pertanda kasih dari para Dewa benar-benar dilihatnya. Parameswara melihat tubuh pemuda liar itu menyala benderang. Akhirnya Kuda Rangsang dan Taji Gading benar-benar menyadari, pemuda itu memang pemuda yang luar biasa dan tidak bisa dipandang remeh. Memanfaatkan waktu yang ada, Kuda Rangsang dan Taji Gading berloncatan saling mendekat. Keduanya bersama-sama memusatkan segenap perhatian pada aji Riung Laut di genggaman tangan mereka. Dalam keadaan yang demikian, rupanya aji panglimunan pun tak ada gunanya. Parameswara merasa degup jantungnya berpacu lebih kencang, dengan sekuat tenaga Parameswara berusaha agar tetap menguasai diri dan bisa berpikir jernih. Akhirnya Ken Arok yang semula berdiri tegak itu sekali lagi mengaum dahsyat sambil meloncat melontarkan kemampuan pamungkasnya. Kuda Rangsang maupun Taji Gading tidak mau mati begitu saja. Kedua lelaki bersaudara itu meloncat bersamaan menyongsong serangan Ken Arok di udara. Sebuah benturan dahsyat yang disusul oleh udara yang bergolak terjadi. Benturan itu menyebabkan Ken Arok melayang berbalik dan menggeliat di udara untuk kemudian turun di atas tanah dengan kaki kiri terjulur lebih dulu. Akan tetapi benturan itu rupanya amat dahsyat pengaruhnya bagi Kuda Rangsang dan Taji Gading. Kedua bersaudara itu terlempar berguling-guling dan terjerembab di tanah. Untuk beberapa saat lamanya Kuda Rangsang tidak mampu bangkit. Keduanya membutuhkan waktu beberapa jenak untuk memulihkan kesadaran. Namun darah telah meleleh dari sudut bibirnya, bahkan hidungnya. Sekali lagi Ken Arok mengaum, bermaksud mengakhiri pertarungan itu. Taji Gading dan Kuda Rangsang merasa, ajal sudah menjemput di depan mereka. Ken Arok menatap kedua calon korbannya dengan mata yang menyala. Dalam keadaan macam itu Kuda Rangsang dan Taji Gading terpaku pada satu jurus yang tersisa, jurus yang belum tentu ada gunanya dan apakah bisa digunakan menghadapi pemuda aneh itu, jurus itu adalah melarikan diri. "Bersiaplah, kuantarkan kalian menjenguk gerbang kematian," ucap Ken Arok itu dengan sangar. 300 Parameswara yang bagai dililit oleh pesona seperti tersadar, pemuda itu bergegas menghadang. "Kakang Parameswara," Dyah Narasari yang terikat pada sebatang kayu terpekik kaget. Parameswara bergegas menempatkan diri menghadapi Ken Arok membelakangi Taji Gading dan Kuda Rangsang. "Jangan Ken Arok," cegah Parameswara dengan suara bergetar. Ken Arok memandang Parameswara dengan tajam. Ken Arok tidak membalas pertanyaan itu dan pilih menunggu sahabat barunya itu melanjutkan ucapannya. "Aku mintakan ampunan untuk mereka. Jangan bunuh kedua orang itu," kata Parameswara selanjutnya. Ken Arok yang telah mengangkat tangan kanannya itu menurunkannya dengan pelan sambil berusaha meredakan gejolak kemarahan yang entah berasal dari mana serta tidak diketahui mengapa begitu membuncah dan menggelegak di segenap sudut hatinya. Mrinding bulu kuduk Parameswara melihat bagaimana mata Ken Arok itu menyala amat mirip mata kucing yang tertimpa cahaya bulan di malam hari. "Apakah kaubenar-benar memintakan ampunan untuk mereka?" tanya Ken Arok mempertegas. Parameswara mengangguk yakin. Parameswara melangkah mundur mengambil jarak. Hantu Padang Karautan memandang Taji Gading dan Kuda Rangsang bergantian, memerhatikan kedua lelaki itu sibuk membasuh darah yang meleleh dari sudut bibir dan hidungnya. Keadaan kedua orang itu benar-benar memprihatinkan, napas Kuda Rangsang tersengal mengombak ayun, sebaliknya berbeda dengan Kuda Rangsang, napas Taji Gading lebih tersengal lagi. "Pergi," bentak Ken Arok. Taji Gading dan Kuda Rangsang saling pandang. "Ayo, pergilah, sebelum aku mengubah keputusan," ancam pemuda liar itu dengan nada amat sangar. "Kalau kalian tak terima dengan keadaan yang kalian alami ini kalian boleh datang lagi kapan saja. Aku akan melayani dengan amat senang hati." Taji Gading dan Kuda Rangsang segera bangkit. Seumur hidup baru pertama kali itulah mereka mengalami peristiwa yang begitu memalukan. Menyadari bahwa ancaman pemuda aneh itu tak main-main, Kuda Rangsang dan Taji Gading bergegas meninggalkan tempat itu. Apa boleh buat, Kuda Rangsang bahkan dipaksa untuk tak peduli pada mayat anak lelakinya. Kuda Rangsang nyaris muntah melihat puluhan serigala mengerubuti anak lelaki yang amat disayanginya. Akan tetapi Kuda Rangsang benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa, lebih penting dari mengurusi mayat anaknya adalah menyelamatkan selembar nyawanya. Ketika Ken Arok tiba-tiba sekali lagi mengaum dengan suara amat mirip serigala itu, serombongan binatang itu tiba-tiba bangkit dan mengalihkan perhatiannya. Kuda Rangsang dan Taji Gading tersentak, mereka segera lari lintang pukang. Puluhan ekor serigala itu riuh rendah mengejar ke dua orang itu. Parameswara berdesir tegang saat membayangkan nasib Taji Gading dan Kuda Rangsang bakal sama buruknya di tangan serigala-serigala liar itu. Ken Arok berbalik dan tersenyum. "Tidak kautolong adikmu itu?" tanya Ken Arok. 301 Parameswara merasa seperti diingatkan. Parameswara segera menolong Narasari dengan melepas semua ikatannya. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Parameswara. Dyah Narasari hanya tersenyum. "Baik kakang," jawabnya. Parameswara masih belum yakin pada jawaban itu. "Benarkah kau tidak mengalami hal yang buruk di tangan mereka?" desaknya. Dyah Narasari memandang wajah kakaknya. "Pemuda bernama Ranggasura itu bermaksud buruk kepadaku. Akan tetapi paman Taji Gading masih menyimpan rasa kasihan kepadaku. Sejak aku tertangkap oleh orang- orang liar itu di timur Ywangga, Paman Taji Gading masih punya nurani dengan melindungi aku dari jarahan Ranggasura bahkan bersikeras melindungi aku ketika Kuda Rangsang berniat membunuhku." Masih banyak pertanyaan yang akan dilontarkan Parameswara, namun pemuda bernama Ken Arok itu lebih menarik perhatiannya. Parameswara berbalik dan mendekati pemuda itu. "Terimakasih untuk semua bantuannya," kata Parameswara. Ken Arok mengangguk dan memberikan senyum tulusnya. "Aku senang bersahabat denganmu," jawab Ken Arok. Ucapan itu benar-benar menyimpang dari pembicaraan. Namun justru karena itu Parameswara mulai mengenal sifat-sifat pemuda liar itu. Parameswara balas memberikan anggukan sebagai jawaban kesediaannya. "Kaubenar-benar tidak keberatan kalau aku ingin bersahabat denganmu?" Parameswara tersenyum sambil memberikan jabat tangan. Terasa sekali betapa kuat genggaman tangan Ken Arok itu. "Benarkah kau tinggal di tempat ini?" kembali Parameswara bertanya. "Ya," jawab Ken Arok mantab. "Aku tinggal di sini. Tak ada tempat lain yang lebih Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menyenangkan bagiku daripada Padang Karautan. Di sini di malam hari aku bisa melihat bintang-bintang yang tak terhitung berapa jumlahnya. Untuk beberapa hari lamanya, aku akan bertapa di sini." Parameswara heran. "Bertapa?" tanya pemuda dari Blambangan itu. Ken Arok berjalan memutar dan berbalik. "Ya," jawab Ken Arok yakin. Parameswara masih mengerutkan kening. "Bertapa" Di tempat seperti ini?" desak Parameswara. Ken Arok tertawa mendengar pertanyaan itu. "Aku akan bertapa seratus hari lamanya. Aku harap dengan apa yang aku lakukan itu, aku bisa meraih gegayuhan110 ku. Aku berhasil menggapai apa yang selama ini aku angankan. Jika urusanmu telah selesai, aku berharap kau akan datang ke sini." Parameswara tentu bertambah heran. "Kau memintaku untuk datang ke sini?" tanya pemuda itu. Kembali Ken Arok tersenyum. Parameswara melihat kenyataan yang menurutnya sangat aneh. Dari senyum yang mengembang itu Parameswara melihat Ken Arok sedang 110 Gegayuhan, jawa, cita-cita 302 berada dalam suasana gembira. Rupanya dengan amat mudah ia bisa gembira dan dengan semudah itu pula ia marah meski terusik oleh persoalan sederhana. "Ya." menjawab Ken Arok, "utamanya menjelang hari-hari akhir tapa brataku. Aku berharap kau mau menungguiku menjagaku agar tak seorang pun mengganggu." Ken Arok yang berdiri di atas tanah itu kemudian naik ke atas batu. Pandangan matanya ditebarkan ke segala penjuru. Pemuda yang tampan namun bengis itu benarbenar seperti penjilmaan Dewa kematian. Dyah Narasari yang menebarkan pandangan kepada segenap mayat yang bergelimpangan tidak kuasa menahan rasa ngeri. Serigala yang semula jumlahnya banyak tak lagi kelihatan bayangannya, pun juga harimau yang semula menyempatkan diri muncul di tempat itu. Bulu kuduk gadis bangkit. "Nah, aku ijinkan kau meninggalkan tempat ini," kata Ken Arok itu. Lagi-lagi, arah pembicaraan yang menyimpang itu membuat Parameswara bingung. Namun Parameswara memang tidak bermaksud mempersoalkan apa yang dikehendaki pemuda bernama Ken Arok itu. Parameswara segera meraih tangan Dyah Narasari dan diajaknya pergi meninggalkan tempat itu. Ken Arok melambaikan tangan, Parameswara dan Dyah Narasari bergegas membalas dengan lambaian tangan pula. Parameswara amat khawatir jika lambaian tangan itu tidak dibalas sudah cukup alasan bagi Ken Arok untuk berubah menjadi marah. Padahal kemarahan hantu dari Padang Karautan terbukti cukup mampu memaksa Kuda Rangsang terkencing-kencing. Ketika kakak beradik itu kemudian tiba di tepi tempat di mana Kuda Sapu Angin disembunyikan, di timur telah terang benderang oleh cahaya semburat matahari pagi hari. Parameswara memerhatikan arah yang semula ditinggalkannya. Namun Ken Arok tidak terlihat jejaknya, hanya saja tempat di mana pembantaian sebelumnya terjadi bisa ditandai dari asap yang masih mengepul. "Siapa pemuda tadi kakang?" tanya Narasari. Parameswara menggeleng. "Aku tak tahu. Tetapi ada yang mengatakan, dia anak Batari Durga," jawab Parameswara. Dyah Narasari tertegun mendapat jawaban itu. "Batari Durga?" tanya gadis itu. Parameswara tersenyum. Parameswara ingin melihat keadaan itu sebagai sebuah keganjilan atau cerita yang tidak perlu dipercaya. Akan tetapi bahwa Ken Arok memiliki pertanda gaib dalam ujut cahaya yang berpendar menyelimuti seluruh tubuhnya, keadaan itu tidak tercegah telah membuatnya bingung. Boleh jadi benar yang dikatakan Brahmana Lohgawe bahwa Ken Arok adalah pembawa pertanda kasih dari dewa-dewa, atau boleh jadi benar ia memang lahir dari buah perselingkuhan Batari Durga entah dengan siapa. Batari Durga sebenarnya berasal dari Uma permaisuri Batara Guru. Bila Ken Arok benar anaknya, mungkin benar merupakan hasil perselingkuhan Durga dengan Kala, atau Durga dengan semut, atau bekicot atau pepohonan yang tumbuh di Padang Karautan. "Apa benar dia anak Batari Durga kakang?" desak Dyah Narasari. Parameswara mengangkat bahunya sebagai ungkapan ketidak-tahuannya. "Pemuda itu hebat kakang," kata Dyah Narasari. "Ken Arok itu masih muda usianya, semuda kau. Namun kemampuan kanuragan nya luar biasa. Tidak masuk akal." Apa yang disampaikan Dyah Narasari itu mengingatkan Parameswara pada rasa takjubnya. Berpikir dengan cara bagaimanapun Parameswara tetap sulit menerima bagaimana cara Ken Arok yang masih semuda itu bisa menguasai ilmu kanuragan yang 303 ketinggiannya bagai tidak terukur. Melalui cara bagaimana Ken Arok itu bisa menguasai segala macam ilmu kanuragan itu" Mungkinkah semua kemampuan itu berasal dari berguru pada orang sakti" Parameswara harus jujur mengakui, ayahnya Ki Ajar Kembang Ayun di Kembang Ayun Pesanggaran akan mengalami kesulitan seandainya dihadapkan pada pemuda bernama Ken Arok itu, sebagaimana Taji Gading dan Kuda Rangsang mengalami kesulitan luar biasa menghadapi Ken Arok itu. Seberapa pun tinggi ilmu kanurahan ayah angkatnya, ketinggiannya tidaklah akan terpaut jauh dari Kuda Rangsang. "Apakah karena ia kekasih para dewa, maka kemampuan kanuragan yang tinggi itu langsung melekat dengan tubuhnya?" tanya Parameswara di dalam hati. Namun Parameswara memang tidak akan pernah menemukan jawabnya. Bahkan mungkin Ken Arok sendiri tak bisa mengerti mengapa pada dirinya melekat kemampuan kanuragan yang tak diketahui dari mana asalnya itu, pada kenyataannya, Ken Arok tidak pernah berguru pada orang sakti mana pun. Narasari masih ingin bertanya berbagai hal. Namun Parameswara mendahuluinya, "Mengapa kaubisa berada di tempat ini Narasari?" tanya Parameswara, "mengapa kau jatuh ke tangan orang-orang itu?" Dyah Narasari menundukkan kepala. Tumbuh semacam rasa bersalah di dalam hatinya. Dyah Narasari merasa dadanya sesak. "Banyak hal yang terjadi sepeninggalmu, kakang," jawabnya. Parameswara segera mengerutkan kening. Bagaimana keadaan kampung halaman sepeninggalnya, semua itu selalu menarik perhatiannya. "Ada peristiwa apa?" tanya Parameswara. Narasari menyempatkan termangu. "Sehari setelah kaupergi, ayah pergi pula. Ki Ajar meninggalkan perguruan Kembang Ayun ditemani kakang Mahisa Branjang." Parameswara heran. "Ke mana?" kembali Parameswara bertanya. Dyah Narasari membalas pandang mata kakaknya. "Ayah menyebut, Air Terjun Seribu Angsa di kaki Gunung Kampud. Ayah harus pergi ke tempat itu untuk sebuah pertemuan dengan para orang sakti. Kegelisahanku memikirkan ayah, mendorongku memutuskan meninggalkan perguruan membayangbayangi kepergiannya. Namun ternyata aku malah tersesat jauh. Ketika sampai di timur Ywangga aku jatuh ke tangan rombongan orang-orang itu. Namun untunglah ada Paman Taji Gading berada di antara mereka." Parameswara menatap Narasari lebih menyelidik. Persoalan Air Terjun Seribu Angsa memang sudah diketahuinya namun yang mengagetkan ayahnya ternyata pergi juga, padahal Ki Ajar Kembang Ayun sudah demikian tua, usianya menyebabkan mudah sakit. Udara yang dingin bahkan berkesanggupan meremas belulangnya. Parameswara berbalik dan memerhatikan asap yang masih membubung. "Ranggasura tidak melakukan apa pun kepadamu?" Dyah Narasari menggeleng. "Pemuda gila itu memang bermaksud menjamahku," kata Narasari. "Namun paman Taji Gading masih melindungiku dan tak membiarkan Ranggasura berbuat kurang ajar." Parameswara masih gelisah, jenis perasaan yang dengan mudah berubah ke jengkel. 304 "Seharusnya kau tidak meninggalkan perguruan," Parameswara menyalahkan adiknya. "Walau apa pun yang akan terjadi, seharusnya kau tetap berada di perguruan. Kemampuan kanuragan yang kaumiliki belum bisa dipergunakan untuk melindungi dirimu di belantara dunia persilatan ini. Apalagi kau seorang gadis." "Kakang tidak mencemaskan Rahastri?" tanya Dyah Narasari. Parameswara kaget. "Apa?" balas Parameswara terkejut. "Rahastri pergi meninggalkan perguruan sehari setelah kau meninggalkan Kembang Ayun," jawab Dyah Narasari. Parameswara mendadak merasa lehernya seperti tercekik menyebabkan sulit untuk bernapas. Rasa cemasnya terpancing, datang dengan meluap. "Rahastri pergi" Kenapa?" desak Parameswara yang gelisah. Dyah Narasari membaca kecemasan kakaknya. "Menurut Mbakyu Branjang, Rastri pergi untuk menemui calon suaminya." Parameswara seketika merasa dadanya ambyar. Bagaimanapun Ken Rahastri adalah gadis yang dicintainya. Kepadanya Parameswara menitipkan cintanya yang kemudian terpenggal. Jika sampai terjadi sesuatu yang buruk menimpanya, terlampau ngeri untuk membayangkan andai bencana menimpanya, justru karena Rahastri adalah seorang gadis yang cantik yang bisa mengundang lawan jenisnya untuk berbuat jahat. "Apa yang dilakukan kakang Branjang dengan kepergian Rahastri?" desak Parameswara yang tambah gelisah. Dyah Narasari yang menunduk sebentar itu menengadah lagi. "Kakang Branjang berusaha melacaknya, yang ia lakukan itu sambil mengawal perjalanan ayah ke Air Terjun Seribu Angsa." Akhirnya Parameswara mengangguk pelan, kecemasannya sedikit terurai. Bahwa saudaranya telah mengambil keputusan membayang-bayangi kepergian Ken Rahastri, hal itu agak membuatnya agak lega. Parameswara yakin Mahisa Branjang pasti menyebar beberapa orang murid perguruannya untuk membayang-bayangi perjalanan anaknya. Dyah Narasari menatap kakaknya dengan lebih lekat. "Kau kurus sekali. Apa saja yang terjadi padamu?" tanya gadis itu. Parameswara tidak berminat menceritakan pengalamannya selama berada di pesisir Ywangga. Matanya menerawang menyebar ke seluruh permukaan Padang Karautan. "Bagaimana dengan perjalananmu ke Kediri" Kau telah berhasil menemukan orang tuamu?" desak Narasari. Apalagi pertanyaan macam itu. Parameswara sama sekali tak berminat menjawab. Menggigil gemetar pemuda itu setiap kali teringat perjumpaannya dengan perempuan yang seharusnya dipanggil ibu. Menggigil Parameswara setiap ingat kisah masa lalunya yang terbuang karena dianggap binatang, yang kelahirannya amat diduga sebagai hasil perselingkuhan. Namun Dyah Narasari terus mendesak. "Ayo kakang. Aku adikmu. Aku berhak mendengar kisahmu." Ucapan Narasari malah memunculkan rasa risih di hati Parameswara. "Aku tidak mau bercerita apa pun Narasari. Mari, segera kita tinggalkan tempat ini," kata Parameswara. Parameswara kemudian membawa adiknya menuju rumah kosong di mana Sapu Angin disembunyikan. Ketika kuda itu dibawa keluar dari bilik persembunyiannya ia 305 segera meringkik senang. Narasari merasa gembira melihat Kuda Sapu Angin sebagaimana kuda ajaib itu juga terlihat senang. Kuda itu kembali meringkik sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Sapu Angin berlari berputar mengelilingi Parameswara dan Dyah Narasari. Narasari bergegas mendekat, mengelus-elus punggungnya dan memeluknya. Barangkali Kuda Sapu Angin merasa heran, mengapa di tempat yang jauh itu ia bisa bertemu kembali dengan salah seorang majikannya. "Kau masih ingat padaku?" tanya Dyah Narasari sambil melekatkan diri memeluk leher Sapu Angin. Parameswara tiba-tiba teringat pada seseorang. "Ayo kita menyisir kembali ke utara," ucap Parameswara. Parameswara meloncat naik yang kemudian disusul adiknya. Bagi Sapu Angin tidak masalah harus menyangga beban kakak beradik itu, karena merupakan hal yang sering ia lakukan di Blambangan. Ketika meninggalkan padepokan Kembang Ayun Dyah Narasari membawa kuda kesayangannya sebagaimana Parameswara juga memilikinya, akan tetapi Narasari terpaksa harus kehilangan kuda kesayangannya. Ketika di Ywangga ia bertemu dengan para perampok kaki tangan Kuda Rangsang, sejak saat itulah ia kehilangan kuda tunggangan itu. Dyah Narasari berharap pada suatu hari ia akan bertemu kembali dengan kuda itu. Kembali Parameswara butuh waktu lumayan panunjang untuk kembali ke tempat semula di mana sebelumnya ia bertemu dengan Brahmana Lohgawe. Matahari benderang yang mengiringnya memanjat semakin tinggi dan udara yang di malam sebelumnya amat dingin bergerak menjadi hangat. Parameswara melihat Brahmana Lohgawe ternyata masih menunggu. Melihat ada orang berpakaian cara Brahmana di tepian Padang Karautan yang mengerikan itu, Dyah Narasari segera meloncat turun dan memberikan penghormatan. Brahmana Lohgawe menerima penghormatan itu dengan mengangkat tangan kanannya. "Apakah berhasil kauselamatkan nyawa para perampok itu, anak muda?" tanya Brahmana Lohgawe yang baru muncul itu. Parameswara melangkah mendekat dan memberikan penghormatannya. "Maafkan aku Tuan Brahmana Lohgawe," jawabnya. "Aku terlilit pesona luar biasa yang dilakukan oleh Ken Arok itu sehingga aku hanya bisa mencegah Ken Arok untuk tidak membunuh dua orang yang tersisa." Brahmana Lohgawe diam. "Namun lebih dari itu, aku merasa gembira karena di tempat ini aku menemukan adikku," lanjut Parameswara. Brahmana Lohgawe menoleh pada Dyah Narasari dan memerhatikan raut mukanya dengan lebih cermat. Merasa diperhatikan Dyah Narasari kembali mengangguk dan tersenyum. Brahmana Lohgawe membalas senyum itu amat sejuk. Pandangannya kembali terpulang kepada Parameswara. "Lalu apa yang dilakukan pemuda liar itu?" tanya Brahmana itu. Parameswara segera mengunyah bagian akhir pesan yang disampaikan pemuda luar biasa penghuni Padang Karautan itu. "Ken Arok bermaksud bertapa seratus hari lamanya Tuan Brahmana. Aku mendapat kehormatan karena pemuda aneh itu mengulurkan tali persahabatan padaku. Ia meminta 306 kepadaku untuk membantu menjaganya ketika melakukan tapa brata, terutama pada hari- hari terakhir tapa bratanya. Brahmana menyimak penjelasan itu dengan cermat sambil menoleh ke arah timur. Di sana sang surya memanjat semakin tinggi. Mega tipis bergelombang terlihat merata di belahan selatan, bentuknya mirip buih ombak laut selatan. Di langit sebelah barat Dyah Narasari memerhatikan sebarisan burung blekok yang entah bermaksud pergi ke mana. Ada pula beberapa ekor kelelawar yang kamanungsan, kebingungan karena kesiangan. Namun perhatian Brahmana Lohgawe masih tetap terpusat kepada pemuda aneh Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo yang selama ini selalu dibayang-bayanginya. "Apakah pemuda itu menyebut gegayuhan nya, tujuan apa yang akan diraih dengan melakukan tapa brata di tempat ini sampai seratus hari lamanya?" tanya Brahmana Lohgawe. Parameswara dan adiknya saling berpandangan. Parameswara menggeleng. "Pemuda itu memang menyebut sebuah gegayuhan Tuan Brahmana. Tetapi ia tidak menyebut lebih rinci gegayuhan apa yang dicita-citakannya," Parameswara menjawab. Manakala sang waktu menukik sedikit lebih siang, Parameswara segera minta diri kepada Brahmana Lohgawe untuk melanjutkan perjalanan. Ketika melambaikan tangan kepada Brahmana Lohgawe, Parameswara merasa bulu kuduknya bangkit. Bagaimanapun tempat yang diberi nama Padang Karautan itu meninggalkan kesan yang mendalam di hatinya, jejak kesan yang ditinggalkan pemuda aneh bernama Ken Arok itu sungguh membekas. "Ke mana kita kakang?" tanya Dyah Narasari. Pertanyaan itu entah mengapa dirasakan tidak nyaman. "Ke sebuah tempat bernama Panjaringan," jawab Parameswara, "tempat itu berada di pesisir Laut selatan. Mungkin kita perlu waktu beberapa hari untuk bisa sampai di sana. Narasari merasa aneh dengan arah tujuan kakaknya. "Untuk urusan apa kita ke sana?" desak adiknya. Kembali pertanyaan itu terasa mengganggu. Parameswara yang menyempatkan mencari jawabnya akhirnya menemukan, adiknyalah yang dirasakan mengganggu itu. Ke depan, Parameswara merasa tidak bebas lagi dalam mengambil keputusan. "Mungkin seorang sahabatku, Swasti Prabawati membutuhkan pertolongan," jawab Parameswara. Dyah Narasari merasa sesuatu yang tak pada tempatnya. Arah yang dituju kakaknya terlalu menyimpang jauh dari arah Gunung Kampud. Narasari curiga kakaknya itu tidak peduli dengan dengan urusan ayahnya. "Apakah kakang tidak ingin pergi ke Air Terjun Seribu Angsa untuk melihat apa yang terjadi pada ayah?" desak gadis itu. Parameswara kesulitan menjawab pertanyaan itu. Parameswara pilih diam. "Kita harus ke sana kakang," desak adiknya. "Kalau benar gadis bernama Swasti Prabawati itu membutuhkan pertolongan, apakah hal itu lebih penting dari masalah yang dihadapi ayah?" Parameswara mulai jengkel. Bahwa adiknya ikut pergi meninggalkan perguruan Kembang Ayun sudah membuat Parameswara jengkel. Kini gadis itu bahkan bermaksud ikut mengatur perjalanannya. Kehadirannya benar-benar mengganggu, namun ia tidak 307 mungkin mengusirnya. Dengan bersusah-payah Parameswara menyembunyikan gejolak di dalam hatinya. "Jika saja aku bisa membelah diriku, maka semua tempat akan kudatangi. Semua pekerjaan akan kuselesaikan," kata Parameswara. Dyah Narasari merasa ada nada tidak senang pada ucapan saudara tuanya itu. Dyah Narasari kemudian merasa, keberadaannya menjadi sebuah gangguan bagi kebebasan Parameswara dalam menentukan arah perjalanan atau melakukan perbuatan apa pun. Dyah Narasari segera mengalihkan pembicaraan. "Kalau persoalanmu di Kediri telah selesai," pancing Dyah Narasari, "apakah kau tak bermaksud kembali ke Kembang Ayun" Lagi pula bukankah kau telah meninggalkan Kediri berarti kakang telah berhasil menemukan orang yang kakang cari. Ayolah kakang Parameswara, apa keberatan kakang bercerita mengenai upayamu mencari orang tua kandungmu." Pertanyaan itu membuat Parameswara semakin bertambah jengkel. Dengan agak kasar Parameswara menarik kendali kudanya, meminta agar Sapu Angin berhenti. Anak Ki Ageng Kembang Ayun itu meloncat turun. Dyah Narasari sedikit menyesal karena pertanyaan-pertanyaannya itu menyebabkan kakaknya tak senang. Namun Parameswara rupanya juga bingung, setelah turun Parameswara ternyata tidak tahu akan melakukan apa. Parameswara merasa kepalanya akan meledak, pemuda itu pun berjalan mondarmandir sambil sesekali mengepalkan tangan. Akhirnya Parameswara berhenti berulah, dan memandang adiknya. "Dengar Narasari," ucapnya tegas. "Aku tak mau pertemuanmu denganku ini akan mengubah segala rencana dan urusanku. Ulahmu meninggalkan perguruan membuat aku repot. Kini aku berkewajiban untuk mengawalmu. Itu sudah menyebabkan ruang gerakku tidak bebas lagi. Juga dengar Narasari, aku tidak senang kau mengungkit persoalanku di Kediri, aku tidak mau dengar lagi pertanyaan seperti itu. Dan aku juga tak ingin kau bertanya lagi soal mengapa aku harus pergi ke Panjaringan." Dyah Narasari terdiam. Parameswara yang gelisah itu duduk di atas sebuah batu di tepi sungai itu, matanya yang semula liar berubah sejuk melihat ikan-ikan yang berenang riang di sungai dengan air yang mengalir bening di depannya. Melihat air yang mengalir jernih itu tiba-tiba anak angkat Ki Ajar Kembang Ayun tergoda. Pemuda itu pun ambyur menyelam. Parameswara berenang dan mengayuh air. Narasari bingung melihat ulah kakaknya. Air yang jernih itu ternyata mampu mendinginkan kepala. Kemarahan yang bagai tanpa sebab yang semula menguasai hatinya telah pergi entah ke mana. Dyah Narasari terus memerhatikan ulah kakaknya. Akhirnya gadis itu tersenyum. Dyah Narasari segera menyusul ambyur ke dalam sungai pula. Kakak beradik itu saling menyiramkan air, berperilaku seperti anak kecil. Keduanya berlomba beradu cepat berenang ke arah hulu dan kembali lagi ke hilir, sambil sesekali terdengar jerit liar yang lepas dari mulut Dyah Narasari itu. Kuda Sapu Angin meringkik-ringkik senang. Sebagaimana kebiasaannya saat masih di Kembang Ayun ketika akan menginjak remaja, Dyah Narasari tak merasa sungkan untuk minta digendong oleh kakaknya. Dyah Narasari segera meloncat menubruk kakaknya minta digendong sambil menyelam. Namun Dyah Narasari segera tertegun. Gadis itu tersipu teringat kenyataan, Parameswara itu bukan kakak kandungnya. Parameswara mentas dari air dan telah duduk di atas kudanya. 308 "Ayo, kita lanjutkan perjalanan," ucap Parameswara. Seiring dengan waktu yang terus bergerak menapaki kodratnya, Kuda Sapu Angin yang membawa beban dua orang itu terus berderap ke arah selatan. Jika mereka melewati sebuah perkampungan, para penduduk menjadikannya sebagai sebuah tontonan. X Pada saat yang sama namun di tempat berbeda. Setelah menempuh perjalanannya selama beberapa hari dari Pesisir Ywangga di wilayah Parabalingga, Swasti Prabawati telah mendekati pesisir selatan. Gadis itu mulai harus menata degup jantung terbayang akan segera bertemu lagi dengan ayahnya. Semakin dekat dengan tempat itu, degup jantungnya semakin kencang, terangsang membayangkan pertemuannya dengan orang yang telah mengukir jiwa raganya melalui cara yang paling nista, pemerkosaan. Sepanjang perjalanan yang ditempuhnya Swasti Prabawati tidak bisa mengalihkan perhatian dari sosok macam apakah Narasinga. Jika Narasinga itu berada di depannya, tentu akan didamprat dicaci-makinya lelaki laknat itu habis-habisan. Dalam hati gadis yang cantik itu tumbuh telah mekar sebuah perasaan hina dan terhina. Untuk apa ia harus dilahirkan ke dunia ini kalau melalui cara yang nista seperti itu. Untuk semua itu Swasti Prabawati benar-benar siap membuat perhitungan dengan Narasinga. Gemuruh ombak di laut selatan ternyata berbeda dengan ombak laut utara yang tenang. Lembah dan bukit yang ditimbulkan oleh ombak laut selatan menimbulkan suara bergemuruh setiap kali pecah menjamah tepian. Namun pemandangan yang indah itu sama sekali tidak memecah perhatian Swasti Prabawati, yang terus berderap ke barat, menyusur sepanjang pantai dengan pasir yang lunak. Sebuah perkampungan yang tidak seberapa besar mencuri perhatiannya. Rumah-rumahnya sederhana dan jumlahnya tidak seberapa, mungkin tak lebih dari dua puluhan rumah. Swasti Prabawati berhenti dan meloncat turun. Seorang wanita nelayan keluar dari rumah gubuknya yang sederhana. "Maafkan jika aku mengganggu, Nyai," sapa Prabawati dengan ramah. "Aku butuh keterangan. Aku tengah menempuh perjalanan jauh tengah menuju ke tempat bernama Panjaringan." Perempuan nelayan itu memandang gadis itu dengan tatapan amat lekat. Swasti Prabawati merasa agak risih ketika pandangan itu seperti menjelajahi seluruh tubuhnya. Cukup lama perempuan tua itu memerhatikan raut wajahnya, turun ke dada, ke pinggul lalu kembali ke wajahnya. Swasti Prabawati tersenyum. "Apakah ada sesuatu yang aneh padaku, Nyai?" tanya gadis itu. Oleh alasan yang Swasti Prabawati belum tahu, perempuan tua itu tampak takjub "Dulu waktu aku masih remaja," ucap wanita itu, "aku mempunyai seorang teman, "wajahnya amat mirip denganmu, wajahmu dan wajah temanku bagai pinang dibelah dua." 309 Swasti Prabawati terlonjak. Swasti Prabawati merasa jantungnya mengayun lebih berderap bahkan sejenak kemudian ayunan jantungnya terhenti sama sekali dalam rangka memberi ruang kepadanya untuk melarutkan gegap gempita yang sedang ia rasakan. "Apakah aku sudah sampai di Panjaringan, Nyai?" tanya Prabawati gelisah. Sebagaimana yang diduga, wanita tua itu mengangguk. Prabawati segera menebar pandang untuk mencermati keadaan yang dua puluhan tahun lalu merupakan kampung halaman ayahnya. Di tempat inilah ayahnya bersama dua saudaranya yang lain tinggal, di tempat inilah ia dilahirkan dan di tempat ini pula Ibunya menemui Dewa yang mengatur hari kematiannya. "Perkampungan yang sepi ini, sampai di sebelah sana itu, disebut perkampungan Panjaringan," kata perempuan itu. Swasti Prabawati masih mengalami kesulitan mengatur degup jantungnya. "Benarkah Nyai pernah mempunyai teman yang wajahnya seperti aku?" desak Swasti Prabawati. Perempuan tua itu mengangguk. "Apakah nama perempuan itu Luh Saras?" lanjutnya. Selanjutnya giliran perempuan itu yang terlonjak kaget. Tak disangkanya gadis itu menyebut sebuah nama yang amat dikenalnya. Gelisah perempuan itu, jari-jari tangannya gemetar sulit dikendalikan. "Kau, kau siapa?" tanya perempuan itu amat gugup. Sejalan dengan jantungnya yang kembali mengayun, Prabawati kembali tersenyum. "Namaku Swasti Prabawati. Luh Saras itu Ibuku," jawabnya. Seketika perempuan tua itu lebih gemetar seperti nenek tua buyutan. Tangannya terjulur menggapai. Swasti Prabawati yang datang mendekat itu langsung dipeluknya. Perempuan tua itu bahkan menangis sesenggukan. Setelah lama tidak menangis karena tidak memiliki alasan untuk melakukan, kali ini perempuan itu benar-benar menangis. "Kau anak Saras temanku?" kembali perempuan itu bertanya. Swasti Prabawati mengangguk. "Ibumu sahabat kentalku nduk. Kami di masa muda teman bermain-main. Sayang sekali ia berusia muda. Dewa di langit tidak memberinya umur panjang." Swasti Prabawati tidak keberatan ketika perempuan itu menuntunnya masuk ke dalam rumah yang sederhana itu. Hanya ada bangku kayu yang lazim disebut dingklik111 sebagai tempat untuk duduk. Kedekatan wanita itu dengan mendiang Ibunya masih bisa terlihat dari tangisnya yang tak segera mereda. Swasti Prabawati merasa terharu sekaligus gelisah. Setelah sang waktu sedikit lewat wanita itu akhirnya tersadar dan berusaha tenang mendamaikan diri. "Kalau kauingin bertanya, dengan siapa aku tinggal di sini, aku hidup bersama dengan suami dan seorang anak lelaki yang sudah besar. Saat ini suami dan anakanakku sedang mencari ikan di laut. Sepekan lagi mereka akan kembali." Swasti Prabawati termangu dan menoleh ke arah laut lepas dengan ombaknya yang menggemuruh. Swasti Prabawati segera membayangkan betapa kerasnya kehidupan para nelayan itu yang harus tinggal di laut sepekan lamanya. Prabawati menebar pandang ke arah pantai yang kering dan panas dengan cahaya yang menyilaukan mata. Ombak pantai laut selatan sungguh amat berbeda jika dibanding dengan ombak laut utara yang tenang 111 Dingklik, jawa, kursi, termasuk kursi panjang atau bangku panjang 310 nyaris tanpa gejolak. Ombak laut selatan gemuruh susul-menyusul, ombak terdepan berebut dulu menjamah pantai untuk kemudian pecah dengan menghamburkan buih gelembung masih disusul oleh ombak di belakangnya yang tidak kalah ganas. Namun bibir pantai tak pernah mengeluh. Pesisir yang memanjang ke barat entah akan berujung di mana, sanggup meladeni apa pun yang dilakukan ombak gemuruh itu. "Di tempat yang keras seperti inikah ketiga bersaudara itu dahulu dibesarkan?" ucap Prabawati dalam hati. Sekian lama gadis itu menyangga sesak di dadanya. Sesak itu kian menjadi. Di tempat inilah dahulu kala ada tiga bersaudara, Narasinga dengan dua adiknya berebut seorang wanita. Narasinga yang kalap memerkosa wanita itu. Pemerkosaan yang menjadi awal dari kepahitan yang harus ditelan oleh anak yang terlahir dari perbuatan binatang itu. Anak yang terlahir itu adalah dirinya, Swasti Prabawati. Perempuan tua di depannya memandanginya tanpa kedip. "Siapakah nama Bibi?" tanya Prabawati. Perempuan itu tersenyum sambil mengunyah sirih. "Aku nyaris lupa dengan namaku sendiri nduk. Setelah aku bersuami, orang lebih senang menyebut nama suamiku." Prabawati mengerutkan kening. "Jadi Bibi lupa dengan nama Bibi sendiri?" desaknya. Parempuan itu tidak segera menjawab dan lebih mementingkan mengunyah sirihnya daripada segera menjawab pertanyaannya. Namun Swasti Prabawati dengan cukup sabar menunggu perempuan itu menjawab. "Tentu saja tidak," akhirnya ia berbicara. "Namaku Sedah Perakin. Setelah aku bersuami dan beranak, orang lebih sering memanggilku Nyai Punjer. Ki Punjer itu suamiku, Panjang Suh nama anak lelakiku semata wayang." Prabawati menatap lautan. Dan seberapakah luas laut itu sungguh teramat sulit mengukurnya. Apabila seseorang membutuhkan beberapa hari dan bahkan dalam hitungan bulan untuk mencari ikan di laut, maka kehidupan semacam itu benarbenar kehidupan yang keras dan bahkan menjadikan nyawa sebagai taruhan. Jika ada badai, atau ombak menggila, apa yang bisa dilakukan manusia yang kodratnya berada di darat sementara di laut sana ada banyak makhluk aneh yang bahkan sanggup menelan perahu. Bila perahu ditelan ikan, itu berarti termasuk dengan penumpangnya. Akhirnya, Prabawati tidak sabar untuk segera berbicara persoalan yang dibawanya. Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Jika Bibi mengenal Ibuku Luh Saras, apakah dengan demikian Bibi juga mengenal ayahku?". Nyai Perakin mengangguk. "Aku mengenal mereka semuanya dengan baik. Aku mengenal Narasinga, aku pun mengenal Sambu dan Paraban kembarannya. Aku mengetahui pula persoalan yang ada di antara mereka." Prabawati tidak merasa perlu meminta penjelasan. Persoalan apa yang timbul di antara tiga bersaudara itu di masa lalu, baginya sudah amat jelas amat gamblang karena Biku Paraban telah bercerita. "Bibi," kata Prabawati, "bibi tidak perlu menceritakan apa yang terjadi pada mereka di masa lalu. Persoalan apa yang terjadi di antara mereka aku sudah tahu. Yang penting bagiku di saat ini, aku sedang mencari ayahku Biku Sambu dan Narasinga. Bibi tahu di mana mereka berada?" 311 Alis Nyai Perakin segera mencuat. Pertanyaan Prabawati itu justru dirasa aneh. Prabawati melanjutkan. "Beberapa bulan lalu ayahku Biku Sambu pergi meninggalkan rumah. Aku sudah pergi ke mana-mana untuk menemukan jejaknya, sampai-sampai aku harus pergi ke Blambangan untuk mencarinya. Namun kemudian aku mendapatkan keterangan ayahku pergi ke Panjaringan. Katakan kepadaku Bibi jika benar mereka berada di sini, ke mana aku harus menemui mereka?" Nyai Perakin termangu larut dalam berpikir. Bahwa Biku Sambu datang berkunjung ke kampung halamannya hal itu sungguh tidak diketahuinya. Telah lama Biku Sambu dan dua saudaranya menghilang tidak ada kabar beritanya. Kini diperkirakan Biku Sambu itu telah kembali, hal apakah yang mendorong Biku Sambu untuk kembali" Setelah berpikir beberapa sesaat, tiba-tiba Nyai Perakin terlonjak. "Bagaimana Nyai?" desak Prabawati setelah melihat perubahan rona wajah Nyai Perakin. Wajah Nyai Perakin masih terlihat tegang. "Ibumu dimakamkan di tempat ini," jawabnya, "barangkali hal itu yang mendorong ayahmu datang di tempat ini." Serentak saja, perhatian Prabawati bagai terpancing. Prabawati merasa tidak sabar, gadis itu segera bangkit. "Jika demikian, mohon antarkan aku sekarang juga, Bibi." Di sebuah bukit atau yang lazim disebut sebagai gumuk, yang terletak di bibir pantai. Di sana Nyai Luh Saras dimakamkan. Dari ketinggian tempat itu, laut selatan terlihat luas tanpa tepi, membentang dari ujung barat hingga ujung timur. Sepanjang mata menatap, maka yang terlihat hanya ombak yang berdebur susulmenyusul sementara di arah belakangnya terlihat bukit berkapur dan berbatu-batu. Namun di ketinggian bukit ada elang terbang diam, rupanya elang itu terganggu oleh kemunculan seerkor harimau tutul yang tertarik pada sarangnya. Harimau tutul itu punya kemampuan layaknya seekor kucing yang amat lincah memanjat pohon. Jiwa gadis kaki Gunung Penanggungan itu bergetar ketika berjongkok di depan pusara Ibunya. Swasti Prabawati tidak sempat berpikir apa pun kecuali menuntaskan keinginannya untuk menumpahkan segala macam gumpalan sesak yang menjarah dengan amat kasar segenap isi dadanya. Dengan kedua tangannya Prabawati mendekap gundukan tanah makam yang amat tua itu. Beban berat yang selama ini disimpan di dalam dadanya meronta-ronta mencari jalan untuk ditumpahkan. Kelopak mata Prabawati mulai membasah. Bibirnya bergetar. "Ibu," suaranya terdengar serak. Nyai Perakin yang berada di belakangnya menghela desah resah. Apa yang terjadi di masa lalu, mungkin sekitar dua puluh tahun yang lalu bagai terputar ulang. Nyai Sedah Perakin juga merasa isi dadanya mengombak karena ia mengenal Luh Saras seperti mengenal diri sendiri. Pengenalannya atas Narasinga, Sambu dan Paraban, tak ubahnya pengenalannya pada segenap sudut perkampungan Panjaringan. Di depannya, duduk dengan bersimpuh Swasti Prabawati membutuhkan waktu untuk menenangkan diri. Saat akhirnya Prabawati berhasil menguasai diri, gadis itu mulai memerhatikan pusara. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. "Bibi pernah datang ke sini?" tanya gadis itu. 312 Nyai Sedah Perakin balas memandang. "Tentu saja aku sering datang ke sini," jawab Nyai Perakin "Meski Luh Saras telah lama tiada, namun aku merasa memiliki hubungan batin dengannya. Setidak-tidaknya tiap bulan aku datang ke sini untuk membersihkan tempat ini, mencabuti rumputrumput yang tumbuh." Prabawati manggut-manggut. Tatapan matanya tertuju pada bunga-bunga yang telah kering. "Kapan terakhir Bibi datang ke sini?" desak gadis itu. Pertanyaan itu tidak menyebabkan Nyai Sedah Perakin harus berpikir lebih dulu sebelum ia memberi jawaban. "Dua bulan lalu," jawab Nyai Perakin. Kecurigaan Swasti Prabawati kian menjadi. "Kalau begitu, siapa orang yang datang berkunjung ke sini dan menaburkan bungabunga ini" Menilik keadaannya, bunga-bunga ini belum terlampau lama kering. Lihatlah Bibi," lanjut gadis itu. Nyai Sedah Perakin terlonjak dan terpancing rasa herannya. Nyai Sedah Perakin akhirnya melihat memang ada yang aneh. Menurut ingatannya, telah dua bulan yang lalu ia menengok kuburan itu. Jika ada bekas bunga, jelas orang lain yang melakukan. Meski bunga itu telah layu namun pasti ditebarkan belum terlalu lama. "Siapa orang yang belum lama ini datang dan menaburkan bunga di sini, Bibi?" Nyai Perakin diam karena tidak memiliki jawabnya namun Prabawati curiga orang yang dimaksud adalah ayahnya. Biku Sambu yang telah lama pergi meninggalkan perguruan Pasir Wutah di kaki Gunung Penanggungan ~ sebagaimana yang dikatakan Biku Paraban ~ jika Biku Sambu pergi ke Panjaringan tentu untuk menengok pusara itu, sebab bagaimanapun juga kuburan itu adalah pusara isterinya. Tetapi di mana Biku Sambu berada" Prabawati larut dengan berbagai pertimbangan dan dugaan. "Setahun terakhir ayah Biku Sambu menggembleng diri meningkatkan kemampuan olah kanuragan. Ayah melakukan itu untuk menghadapi datangnya sebuah hari yang dianggapnya sebagai hari perhitungan, hutang nyawa bayar nyawa. Kedatangan ayah ke tempat ini adalah untuk bertemu dengan Narasinga. Di mana tempat pertemuan itu?" Prabawati kian larut dengan dugaan hatinya sendiri. Gadis itu kemudian bangkit. "Maafkan aku Bibi. Aku ingin berada di tempat ini sendiri. Tolong Bibi tinggalkan aku, setidak-tidaknya sampai besok aku tidak mau diganggu," Prabawati berkata lugas. Nyai Sedah Perakin yang merasa harus menempatkan diri sebagai tuan rumah yang baik kurang begitu sependapat dengan keinginan gadis itu. Namun Prabawati memang bulat dengan pendiriannya dan Nyai Perakin tidak bisa mengatur urusan tamunya. "Jangan cemaskan aku Bibi," Prabawati menenangkan. Sejalan dengan waktu yang terus bergulir. Nyai Perakin yang merasa tidak tega telah datang lagi di saat senja membawakan makanan untuk gadis anak sahabatnya yang mati muda itu. Makanan diletakkan di atas tikar yang dibentangkan di dekatnya. Swasti Prabawati duduk bersila dengan mata terpejam dan kedua tangan ditelungkupkan di depan dada. Dengan cara seperti itulah Prabawati mengheningkan cipta memusatkan nalar budi, membisikkan mantra doa mengiring arwah Ibunya yang telah lama pergi meninggalkannya. 313 Malam yang datang terasa bergerak jauh lebih cepat dan menusuk lebih tajam. Ombak laut selatan tiada henti-hentinya menggempur pantai, menghajar tebing dan menggerus pasir. Burung laut beterbangan dengan suaranya yang melengking sangat menyayat. Suasana yang mulai mendung menghadirkan gemuruh petir yang meledak menggelegar memekakkan telinga. Langit tampak hitam di mana-mana menyebabkan bintang-bintang tidak tampak ujutnya. Tak berapa lama kemudian, hujan pun turun dengan derasnya. Di rumahnya yang sederhana, Nyai Sedah Perakin mondar-mandir gelisah memikirkan tamunya yang berada di puncak bukit. Namun Nyai Perakin tidak bisa berbuat apa-apa, yang bisa ia lakukan hanya berharap semoga tidak terjadi sesuatu pada anak gadis sahabatnya yang telah lama tiada itu. Nyai Perakin berkomat-kamit dalam berdoa. Kegelisahan Nyai Perakin memikirkan gadis itu melebihi kegelisahan memikirkan suami dan anaknya yang mencari ikan jauh di lautan luas. Sebagai nelayan suami maupun anaknya tentu sudah menghitung bakal datangnya hujan atau badai, sehingga mereka bisa menghindarinya. Akan tetapi memikirkan Prabawati, Nyai Perakin merasa cemas seperti seorang ibu yang membayangkan bencana akan menimpa anak gadisnya. "Seharusnya aku tidak perlu cemas," ucap Nyai Perakin pada diri sendiri. "Apabila anak itu telah menempuh perjalanan jauh bahkan sampai di ujung timur pulau jawa ini, tentunya hujan deras ini tak akan berarti apa-apa baginya. Lagi pula, sebagai anak kakang Sambu, gadis itu tentu telah dibekali ilmu kanuragan yang tinggi yang bisa dijadikan bekal untuk menghadapi kehidupan yang keras." Kilat muncrat dan petir yang menyusul, membuatnya terjingkat. Prabawati tidak peduli dengan hujan yang turun deras. Gadis itu tak peduli dengan tubuhnya yang basah kuyup. Gemblengan yang lebih berat dari keadaan itu sudah pernah dialaminya. Kepedihan yang dialaminya serasa disempurnakan oleh hujan yang turun mengguyurnya Gadis itu tetap bergeming ketika badai kemudian benar-benar terjadi. Hujan yang turun disertai dengan angin yang berhembus sangat deras. Pohon kelapa meliukliuk diterjang kekuatan Dewa bayu. Beberapa di antaranya kemudian bahkan tumbang. Dua buah kilat di laut dan di daratan meledak nyaris dalam waktu yang bersamaan. Namun gadis itu tetap membatu. Akan tetapi tiba-tiba gadis itu terusik. Ada sesuatu yang hinggap di gendang telinganya, yang berhasil memaksanya untuk bangkit. Di antara hujan yang turun dengan deras, diperhatikannya suasana di sekitarnya. Gadis itu mulai menyaring suara-suara yang muncul, memilihnya dari suara angin yang berhembus menderu, memisahkan dari ledakan guntur yang berkesanggupan menjebol gendang telinga dan bahkan memilahnya dari desis seekor ular yang merayap tidak jauh darinya. Akhirnya Prabawati memang menemukan sesuatu. "Suara cambuk. Ada orang bertarung," desisnya. Prabawati berdiri tegak memerhatikan keadaan. Suara gemuruh hujan dan badai, suara debur ombak laut selatan serta petir menyalak membelah malam, kembali disaring untuk menemukan suara yang lain. Akhirnya gadis itu menemukan arah. Tanpa harus menunggu lagi, gadis itu melenting dan kemudian melesat cepat membelah malam dan turunnya hujan. 314 X "Kau mengira kau akan bisa memenangkan pertarungan ini, Sambu?" teriak seseorang yang memegang senjata cambuk bergerigi besi. Sesekali tangan kiri lelaki itu harus mengusap wajah karena hujan yang turun amat deras. Darah merah meleleh dari sudut mulut orang itu yang bisa dilihat dengan jelas terbantu oleh cahaya obor yang mobat-mabit mati-matian berusaha mempertahankan diri agar jangan sampai padam oleh gempuran angin. Obor itu beruntung karena terlindung dari hujan oleh rimbun daun-daun, lebih dari itu obor itu berada dalam genggaman Hantu Laut, jenis obor yang bahkan digunakan untuk menyelam sekalipun tidak akan padam. "Meski kau berguru kepada Dewa di langit, kau tidak akan bisa mengalahkanku. Tidak akan pernah Sambu," teriak orang bercambuk itu sekali lagi dengan suara yang lantang. Orang yang menjadi lawan bicaranya adalah adiknya sendiri, Biku Sambu hanya membalas segala caci-maki lawannya yang sekaligus kakaknya dengan hanya tertawa. "Kau berkata seperti itu seolah kau Tuhan, Narasinga," jawab Sambu dengan tegas. Mereka berdua yang berhadapan itu memang Biku Sambu dan Narasinga. Kakak beradik yang terlahir dari tetesan kama yang berasal dari Bapa yang sama dan disemai oleh biyung112 yang sama. Sebagai dua bersaudara mestinya mereka bersatu padu dalam menghadapi hidup akan tetapi yang terjadi justru sebuah permusuhan abadi. Dendam kesumat yang tak akan bisa dibasuh dengan penukar berbentuk apa pun. Sedangkan yang seorang lagi berdiri mematung di luar lingkaran perang tanding. Orang ke tiga yang hanya menjadi penonton itu mengenakan caping untuk melindungi wajahnya dari guyuran hujan yang deras. Tangan kanannya memegang obor yang punya kekuatan untuk jangan sampai padam meski angin yang amat deras melibasnya. Petir yang muncrat meninggalkan cahaya terang mampu memperjelas ujut orang itu yang amat beku. Orang itu adalah Hantu Laut dari pesisir Ywangga, yang telah hadir di tempat itu. Biku Sambu berdiri kokoh dengan kaki ditekuk ke depan. Tataran tenaga dahsyat berasal dari wilayah bawah sadarnya yang digunakan dalam perang tanding itu menanjak merambah jauh ke tingkat yang amat tinggi. Biku Sambu adalah pimpinan perguruan Pasir Wutah di kaki Gunung Penanggungan. Kemampuan kanuragan yang dikuasainya sulit untuk diukur, satu-satunya orang yang bisa menakar hanyalah Padmanaba, atau Ki Ajar Kembang Ayun dari bumi Pesanggaran karena di masa muda mereka bersahabat dan sering berlatih kanuragan bersama. Sebaliknya lawan yang dihadapi adalah saudara kandung sendiri, yang sebenarnya bersal sumber dari jalur perguruan yang sama akan tetapi telah mengembangkan ilmu kanuragan nya hingga menyimpang jauh dari induknya yang selanjutnya mempunyai kekuatan yang tidak kalah nggegirisi. Apalagi Narasinga tak lagi menggunakan pedang tipis sebagai senjata andalannya dan telah beralih menggunakan cambuk berjuntai lentur berjangkauan panjang ciri khas ilmu kanuragan yang dikembangkannya. Sejenak Biku Sambu telah mengambil ancang-ancang untuk menyerang maupun diserang. Dengan mendadak Biku Sambu melejit, bersamaan dengan Narasinga yang juga 112 Biyung, jawa, ibu 315 meloncat. Petir muncrat menerangi gerakan mereka yang bagaikan terbang Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo melengkung. Biku Sambu mencoba menerobos pertahanan Narasinga dengan ayunan pedangnya yang selalu bergetar dan bergerak berubah arah mencari celah. Akan tetapi Narasinga mampu menutup lobang dengan rapat dan cermat. Gerakan cambuknya meliuk-liuk lentur dan sesekali meledak menggelegar mencoba menyamai suara petir yang juga menggelegar. Biku Paraban, Hantu Laut dari pesisir Ywangga, atau yang juga dikenal sebagai Sang Pemancing terus memerhatikan perkembangan yang terjadi dengan cermat dan seksama. Hujan yang turun deras, kabut yang melayang dan gelap malam yang menyergap sama sekali tidak mengganggu mereka bahkan andaikata Paraban tidak menyumbang cahaya obornya, sama sekali bukan hambatan bagi Narasinga dan Biku Sambu untuk mengalirkan gemuruh amarah bagaikan banjir bandang. Jauh di dalam relung hatinya, Biku Paraban merasa pedih. Mereka bertiga saudara sekandung. Namun karena salah seorang di antaranya berperilaku seperti binatang telah menyebabkan hubungan saudara itu koyak rusak. Yang tersisa perseteruan yang hanya dihadapkan pada pilihan, membunuh atau dibunuh. Waktu yang sudah sekian lama berlalu, waktu yang telah dua puluhan tahun lewat, tidak berhasil membasuh kesumat di antara mereka. Narasinga melejit dan melenting mengambil jarak. Sebuah benturan tangan kiri melawan tangan kiri baru saja terjadi. Kilat muncrat. "Bukan main," kata Narasinga. "Hantaman tanganmu seperti ayunan palu Adi Sambu, kau nyaris membunuhku. Tetapi kalau aku mati dalam perang tanding ini, apakah yang akan kauperoleh" Akhir dari perang tanding ini akan memutar waktu kembali ke masa lalu dan membangkitkan Luh Saras dari alam kematiannya?" Narasinga tertawa bergelak. Hujan agak mereda. Sebuah kebetulan mendung agak menyibak di sebuah tempat di mana di arah sana bulan menampakkan wajahnya. Biku Sambu menggigil melihat kenyataan betapa Narasinga begitu meremehkan persoalan yang ada, menganggap persoalan itu hanya persoalan kecil yang tidak harus menyebabkan dua saudara berseteru sampai tua, yang beranggapan waktu yang sudah lama lewat seharusnya sudah menghapus semua dendam. "Ayolah, maafkan aku," teriak Narasinga. "Mari kita lupakan apa yang terjadi di masa lampau. Saat ini kita sudah tua, kita tidak perlu bertarung lagi seolah kita ini masih berdarah muda. Perang tanding ini tidak ada gunanya, tidak akan membangkitkan orang yang sudah mati. Atau kalau kau menghendaki ganti, aku bisa mencarikan sepuluh orang gadis sebagai penukar, sepuluh orang gadis yang cantik cantik dan benar-benar masih gadis. Pertimbangkanlah Sambu," ucap Narasinga. Tawaran itu justru menyebabkan darah Biku Sambu mendidih. "Binatang!" Biku Sambu mengumpat dan menggigil. Narasinga tertawa tergelak-gelak. Pada dasarnya Biku Sambu orang yang kurang pintar berdebat. Menghadapi mulut Narasinga, Biku Sambu tidak mampu mengimbanginya dengan kata-kata. Tangannya yang memegang pedang bergetar, gigi-giginya gemeretak menahan amarah yang nyaris meledakkan dinding kepalanya. Biku Sambu bersiap untuk meloncat menyerang. 316 Akan tetapi mendadak langkah kembaran Paraban itu terhenti. Perhatiannya tertuju pada sebuah arah. Narasinga dan Paraban juga memerhatikan arah yang sama. Paraban merasa jantungnya berhenti berdenyut, hal yang sama dirasakan saudara kembarnya. Dari arah yang sedang menjadi pusat perhatian, serasa berasal dari pekat dan biang gelap malam, muncul sosok tubuh yang berjalan dengan tenang. Swasti Prabawati yang telah lama bersembunyi di balik perdu dan di bawah guyuran hujan yang deras, ternyata tak mampu lagi menahan diri untuk tidak ikut campur. Hujan mereda. Kilat muncrat menerangi wajahnya. Biku Paraban menyumbang cahaya obornya menerangi wajah gadis itu. "Anakku," desis Biku Sambu. Swasti Prabawati menggigil. Bukan karena dinginnya hujan, namun oleh pesona pertemuan yang luar biasa itu. Swasti Prabawati yang cemas merasa lega karena berhasil menemukan ayahnya, sekaligus kesempatan itu menjadi arena pertemuannya dengan orang yang dikenalnya sebagai Narasinga. "Mundur ayah. Beri kesempatan padaku untuk menghadapinya." Swasti Prabawati menggigil. Kini gadis itu telah berhadapan dengan sosok yang amat dibencinya. Bayangan patung batu dalam goa di tepian pantai Ywangga Parabalingga seperti melekat di benak gadis itu. Swasti Prabawati merasa, inilah saatnya ia mewakili Ibunya untuk membuat perhitungan dengan orang yang telah menyengsarakan hidupnya dengan sempurna. Bukan saja menyengsarakan Nyai Luh Saras, akan tetapi juga anak yang terlahir dari pemerkosaan keji yang dilakukan Narasinga itu. "Kau Narasinga?" tanya Prabawati dengan nada datar dan sangar. Narasinga memandang Sambu. "Siapa gadis ini Sambu" Dia anakmu?" tanya Narasinga kepada Sambu. Namun Biku Sambu diam tidak menjawab. Biku Paraban Si Hantu Laut dari pesisir Ywangga melangkah mendekat dan mendampingi saudara kembarnya. Dua orang lelaki berwajah kembar itu memerhatikan Narasinga yang bingung. "Siapa gadis ini Sambu?" teriak Narasinga. Namun Biku Sambu berdiam diri. Dibiarkannya segala sesuatu yang akan terjadi mengalir seperti air. Bagai sebuah kebetulan hujan pun tidak berani mengganggu, hujan yang semula turun deras mendadak agak mereda. "Benarkah kau Narasinga?" Prabawati memecah hening. Hujan yang turun semakin mereda. Geluduk sesekali masih saja terdengar di kejauhan. Bahkan angin menyapu sebagian mendung yang tebal berarak ke arah barat. Bulan mulai muncul timbul tenggelam di antara awan. Cahayanya yang pucat mampu membantu mereka yang hadir di pesisir Panjaringan itu untuk lebih jelas menyimak apa yang terjadi. Prabawati merasa detak jantungnya telah berhenti. Pedang di tangan kanannya mulai bergetar. "Ya. Aku Narasinga," jawab Narasinga tegas. Jawaban itu membuat dada Prabawati membuncah. Bebannya berdesak-desakan membutuhkan penyaluran. Selangkah lagi ke depan Prabawati bergerak mendekat ke arah lelaki bernama Narasinga itu. 317 "Bagus sekali," kata Swasti Prabawati berbau getar, "sebaliknya aku merasa amat berkepentingan untuk memperkenalkan siapa diriku kepadamu Narasinga. Namaku Swasti Prabawati." Narasinga memahatkan nama itu ke dinding benaknya. "Prabawati," Narasinga mengulang. Swasti Prabawati bergerak memutari lelaki di depannya. "Ya. Aku Prabawati, yang akan menjadi Dewi Kematian yang bertugas mencabut nyawamu. Bersiaplah untuk mati karena perbuatan biadabmu terhadap Luh Saras." Suara Prabawati bergetar. Narasinga terlonjak amat kaget. Narasinga mendadak disergap oleh rasa curiga yang mencemaskan hatinya. "He, apa maksudmu?" desak Narasinga. Prabawati merasa lehernya seperti akan tercekik. "Kenanglah Narasinga," suara Prabawati terdengar lirih dan serak, penuh muatan kemarahan, "kenanglah saat-saat yang barangkali bagimu sangat menyenangkan ketika kau menjarah dengan paksa seorang perempuan lemah bernama Luh Saras. Aku yakin apa yang kaulakukan itu pasti masih ada dalam lipatan ingatanmu dan menjadi kenangan yang tidak akan kaulupakan sampai kapan pun. Perbuatan biadab yang kaulakukan atas wanita lemah Luh Saras itu telah membuahkan keturunan yang akan menuntut balas dengan mencabut nyawamu." Berderak isi dada Narasinga, berderak-derak. Lelaki tua itu terpaku bagaikan patung membeku. Ucapan gadis yang berdiri tegak dengan pedang telanjang di depannya itu bagaikan palu godam yang menghantam dadanya dan meremukkan isinya. Narasinga yang sudah gemetar itu semakin gemetar. Narasinga bingung. Prabawati menggetarkan pedangnya. Sisi pedang tipis yang tajam itu berkilatkilat diterpa cahaya bulan. Pedang itu kemudian diacungkan ke depan hidungnya. Prabawati melangkah mendekat hingga pedang itu benar-benar nyaris menyentuh hidung Narasinga. Tatapan matanya tajam dan sirik. Berkilat-kilat. "Abaikan ayahku Biku Sambu, kini aku yang ada di hadapanmu, ayo, lawan aku. Kalau kau tidak mau mati, lawanlah aku, sebaliknya aku juga memiliki kesempatan yang sama untuk membunuhmu." Narasinga membutuhkan waktu beberapa saat untuk menenangkan diri. Narasinga merasa seperti bermimpi. Namun pedang itu benar-benar teracung dan nyaris menyentuh hidungnya. Narasinga segera tersadar. "Tunggu," ucapnya setengah berteriak. Narasinga mundur selangkah. Narasinga menyempatkan memerhatikan ujut gadis itu dengan seksama. Ketika kilat kembali muncrat memnyumbang cahaya membantu Narasinga melihat memang ada kemiripan yang mutlak antara gadis itu dengan Saraswati. Bahkan Narasinga juga melihat ada ciri-ciri tertentu yang ia wariskan pada ujut gadis itu. Narasinga makin gemetar. Isi dadanya kian membuncah riuh rendah. "Benarkah semua ini?" Narasinga gugup. "Sambu, Paraban, katakan kepadaku, apa benar semua ini?" Biku Sambu dan Paraban tetap diam tidak menjawab. Masih dengan pedang yang teracung Prabawati melangkah mendekat. 318 "Benarkah, benarkah gadis ini adalah anakku?" tanpa sadar dari mulut Narasinga terlontar pertanyaan itu. Pertanyaan yang terlontar itu seketika merangsang Swasti Prabawati menggapai puncak kemarahannya. "Apa kaubilang?" teriak Prabawati marah. "Kau menganggap aku anakmu?" Prabawati tersengal. Napasnya berlarian. Sebaliknya dihadapkan kepada kenyataan yang tidak terduga itu, Narasinga benar-benar gugup. Selangkah Prabawati mendekati, selangkah pula Narasinga mundur. Narasinga memerhatikan gadis di depannya dengan cermat bergantian dengan menoleh pada kedua adiknya. Demikian bingung Narasinga sampai tidak bisa berbicara. "Kau menganggap aku anakmu ha?" cecar Prabawati sangar, "kau mengira karena kau yang telah meneteskan benih keparat itu lantas kau berhak menyebut diriku sebagai anakmu" Kau mengira aku merasa bangga terlahir ke dunia ini melalui cara itu" Kau mengira aku akan mengucapkan terimakasih karena dengan demikian aku ada di dunia ini" Keparat." Mata Prabawati melotot. Lehernya serasa akan tercekik. Narasinga benar-benar terpukul. Isi dadanya berderak. Selama ini tak terlintas sekilas pun di dalam benaknya bahwa apa yang dulu ia lakukan pada Saraswati akan membuahkan keturunan, rupanya apa yang dulu dianggap sebagai main-main berbuah hal yang tidak main-main. Anak itu kini telah menjadi gadis dewasa, dan ia datang untuk menuntut balas. Narasinga menggigil. Narasinga kemudian memandang Biku Sambu. "Sambu," suara Narasinga sangat serak. "Rupanya kau memang dengan sengaja menyiapkan permainan ini" Benar Sambu?" Sambu yang semula diam melangkah mendekat. Setelah sekian lama berpisah dari ayahnya, Prabawati memerhatikan Biku Sambu penuh perhatian. Akan tetapi rindu yang selama membuncah tersisih oleh kehadiran sosok bernama Narasinga. "Semuanya hasil perbuatanmu, Narasinga," Sambu angkat bicara. Narasinga masih merasa ragu. Narasinga belum merasa yakin, atau sesungguhnya Narasinga sedang berusaha menolak kenyataan. "Dia anakku?" desak Narasinga. Sambu lebih mendekat lagi bersamaan Paraban mendekat dan menyumbangkan cahaya obornya agar Narasinga bisa melihat dengan jelas bagaimana wajah Prabawati, wajah yang amat sempurna dalam menyamai ujut ibunya. "Jika yang kaumaksud, gadis itu terlahir dari buah perbuatanmu memerkosa Luh Saras memang benar. Tetapi apakah gadis itu merasa dirinya anakmu, tanyakan saja kepadanya," jawab Sambu dengan rangkaian kalimat yang datar. "Keparat!" Narasinga mengumpat. "Keparat kau Sambu. Kau pengecut. Beginikah caramu membalas dendam padaku?" Ucapan Narasinga itu malah menjadi minyak yang disiramkan pada api yang sedang berkobar. Prabawati semakin sulit menenangkan diri. Bayangan Ibunya yang meronta-ronta dipaksa melayani nafsu Narasinga seperti melekat di kelopak mata. Celakanya ~ dan Swasti Prabawati merasa sungguh amat menjijikkan ~ pemerkosaan itu membuahkan keturunan. Dirinyalah manusia baru yang terlahir dari tindak perbuatan biadab itu. Akan halnya Narasinga, lelaki tua itu tetap sulit menerima kenyataan harus 319 dihadapkan pada seorang gadis yang secara garis keturunan adalah anaknya, anak yang kini tengah mengacungkan pedang lurus terarah ke wajahnya. "Tunggu apa lagi" Mari kita bertarung," Prabawati menantang. Swasti Prabawati tak sekadar mengancam namun dibarengi itu dengan mengayun menggetarkan dua bilah pedangnya. "Tunggu dulu," Narasinga makin gugup, "ini kekeliruan. Ini jelas sebuah kesalahan. Kau...kau anakku." Prabawati yang tak peduli pada apa pun bentuk jawaban yang diterimanya segera mengambil ancang-ancang. "Aku tidak punya ayah Iblis. Matilah kau." Prabawati tidak perlu menunda lagi. Gadis itu menyerang Narasinga langsung dengan menggunakan semua kekuatan yang ia miliki. Pedang yang berada di tangan kanannya berputar cepat mengayun menebas. Bahwa Prabawati benar-benar melakukan dengan sepenuh hati terbaca hal itu dari setiap serangan yang ia berikan selalu dengan sepenuh tenaga. Setiap ayunan pedang tipisnya selalu meninggalkan jejak suara dengan nada tinggi. Kelabakan kalang-kabut Narasinga yang kebingungan dan nyaris kehilangan kesempatan menghindar. Namun dengan sangat gesit lelaki bercambuk itu menggeliat dan kemudian melenting mengambil jarak. Masalahnya Prabawati tidak membiarkan Narasinga melarikan diri. Dengan sekuat tenaga gadis itu meloncat menerjang bagaikan terbang. Tangan kanannya menjulur ke depan mengayun deras. Serangan beruntun yang merupakan ciri khas perguruan Pasir Wutah, terlihat sekali dalam gerakan itu. Narasinga terbelalak. Biku Sambu yang memerhatikan perjalanan pertempuran tak bisa menutupi kagetnya, Biku Sambu terbelalak. Sebaliknya Narasinga sungguh tercekat Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menyaksikan banjir serangan yang benar-benar tak terduga dan beruntun. Kembangan pedang itu bisa melintas ke arah mana pun, ke kanan dan ke kiri, bahkan seandainya ia meloncat menghindar ke atas. Apa boleh buat Narasinga segera memilih kemungkinan menghindar yang tersisa dengan menjatuhkan diri menelentang di tanah. Ketika ayunan pedang itu kembali lewat di atas tubuhnya, Narisinga bergegas melenting dan kembali mengambil jarak sekaligus mempersiapkan diri. Napasnya mulai tersengal, lawan yang dihadapinya, meskipun hanya gadis muda belia, namun terbukti memiliki tingkat ilmu kanuragan yang ternyata tidak bisa diremehkan. "Gila," desis Narasinga. Sebenarnyalah, Swasti Prabawati telah mengalami gemblengan yang keras selama mesu budi 113 di dalam sebuah goa di pesisir Ywangga melalui bimbingan pamannya, kemampuannya meningkat pesat. Tandang grayangnya gesit tidak terduga. Kemampuan geraknya amat lincah laksana burung sikatan yang tengah dilanda birahi. Melihat kenyataan macam itu Narasinga menjadi amat curiga gadis itu memang dengan sengaja digembleng dengan kemampuan kanuragan yang amat tinggi semata-mata untuk dihadapkan padanya. Narasinga menggigil. Narasinga benar-benar kecewa kepada ulah adiknya itu. Namun sejatinya Biku Sambu tidak kalah kagum dan kaget mendapati lompatan kemampuan yang dikuasai Prabawati. Sebagai ayah sekaligus gurunya, Biku Sambu tahu sampai pada tataran mana kemampuan yang dikuasai gadis itu, tetapi yang kini dilihatnya adalah lonjakan yang sangat jauh ke depan. Menilik gelagatnya, berbekal kemampuan yang dimilikinya itu maka Prabawati akan sanggup merepotkan Narasinga. 113 Mesu budi, jawa, berlatih keras lahir dan batin 320 Biku Sambu tidak perlu berlama-lama menduga apa yang terjadi. Biku Paraban mendekatkan telinga kepadanya, "setengah bulan anakmu berada di pesisir Ywangga. Aku telah menggemblengnya habis-habisan. Maafkan aku karena lancang, tanpa seijinmu aku melakukan itu." Biku Sambu tersenyum dan mengangguk pendek. Sebenarnyalah sebagai ayah dan sekaligus ibu yang membesarkan gadis itu mulai dari kecil, Biku Sambu tidak tega menggembleng Prabawati dengan latihan-latihan yang sangat berat. Untunglah Biku Paraban telah mewakilinya melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Perhatian kakak beradik berwajah sama itu kembali tertuju kepada dua orang yang telah saling berhadapan. Prabawati telah siap untuk kembali menyerang. "Tunggu. Tunggu dulu, aku akan bicara," kata Narasinga. Namun Prabawati bersikeras, sebuah serangan yang pasti akan mirip banjir lahar sedang disiapkan. "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi," jawab Prabawati amat tegas. Prabawati tak menunggu waktu bergeser meski barang sejenak. Dengan bertumpu pada kemampuan olah kanuragan dari garis perguruan Pasir Wutah yang telah dipelajari habis-habisan di Ywangga, Prabawati menyiapkan sebuah serangan susulmenyusul. Tak berselisih waktu dari tarikan napasnya yang tersengal, gadis itu tiba-tiba meloncat ke atas dan diam mengapung, namun sejenak kemudian Prabawati menggeliat cepat dan melesat berputar membetuk gerakan setengah lingkaran, tangan kanannya yang memegang pedang tipis berputar mengebor udara. Serangan yang ditawarkan kali ini benarbenar serangan yang meminta tebusan nyawa. Melalui jebakan yang disiapkan, Prabawati memutuskan mengebur tubuh lawannya dari belakang. Narasinga merasa isi dadanya tersayat. Remuk hati orang itu melihat gadis yang mencuri hatinya itu berniat membunuhnya. Narasinga tidak punya pilihan. Narasinga segera berputar dan kemudian melenting ke arah berlawanan untuk menghindarinya. Akan tetapi Prabawati telah telah menduga kemungkinan gerakan lawannya segera mengubah arah. Saat masih berjumpalitan di udara gadis itu menggeliat melalui gerakan dengan tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Dengan cara itu gadis itu mampu berbelok dan berguling. Pedangnya terjulur cepat menebas leher dan mengancam dada. Narasinga terpaksa meliuk untuk menyelamatkan diri. "Keparat," umpat Narasinga. Prabawati melontarkan tawaran serangan berikutnya. "Bagus," jawab Prabawati. "Jangan hanya mengindar, lawanlah aku." Tanpa harus menunggu lagi, Prabawati kembali mempersiapkan diri. Gadis itu telah menyediakan serangan beruntun berikutnya. Apa boleh buat, Narasinga memang serba salah namun Narasinga tak mau keadaan itu berlarut-larut. Narasinga yang semula merasa ragu itu segera mengimbangi. Jika semula Narasinga hanya menghindar dan menghindar, akhirnya Narasinga terpaksa balas menyerang karena apa yang dilakukan Prabawati benar-benar bisa membahayakan jiwanya. Pertarungan antara Narasinga melawan Prabawati berlangsung dengan seru. Bagai banjir lahar berasal dari kepundan gunung yang muntah Prabawati menyerang dengan ayunan-ayunan pedang beruntun, susul-menyusul seperti tiada habisnya sesuai sifat dasar ilmu kanuragan Pasir Wutah. Namun sebaliknya Narasinga adalah batu karang yang 321 amat tangguh dan sulit dirobohkan. Pertahanan Narasinga sedemikian rapat menjadi sebuah dinding tebal yang sulit ditembus. Namun Prabawati tidak patah semangat. Tidak berkesudahan gadis itu menerjang. Manakala waktu kemudian beberapa saat berlalu akhirnya terlihat Swasti Prabawati memang bukan tandingan Narasinga. Sekeras apa pun ia berusaha menembus pertahahan Narasinga selalu terbentur pada dinding yang tidak bisa dijebol. Prabawati menjadi jengkel dan tidak sabar. Namun Biku Paraban merasa puas. Sebenarnyalah Biku Paraban maupun Biku Sambu sudah menghitung dari awal bahwa Prabawati bukan tandingan Narasinga. Akan tetapi Biku Paraban dan Biku Sambu merasa puas karena melihat kemampuan gadis itu telah jauh meningkat. Kalau gadis itu belum bisa dihadapkan dengan Narasinga adalah wajar karena kemampuan kanuragan yang dikuasai Narasinga tidak ubahnya kemampuan kanuragan Biku Sambu atau Biku Paraban sendiri. Akan tetapi ke depan Biku Paraban yakin, jika Prabawati menggembleng diri dengan tekun maka kemampuannya akan makin jauh melesat dan besar kemungkinan akan melampaui kemampuan kanuragan yang dikuasai Narasinga. Sadar bahwa kemampuan ilmu pedangnya tidak bisa dipergunakan menghadapi Narasinga, Prabawati yang telah kalap itu tidak punya pertimbangan lain lagi. Dengan ayunan sekuat tenaga Prabawati melontarkan pedangnya. Pedang itu lepas dari tangannya melesat dengan cepat. Narasinga tidak mengira Prabawati akan melakukan serangan tidak terduga seperti itu, pedang yang lepas dari tangan itu meluncur deras ke arahnya. Narasinga terlambat menghindar. Pedang yang melesat itu menyambar lengannya dan menyobek baju yang dipakainya. Pedang lepas itu terus meluncur deras menerobos ranting dan dedaunan dan kemudian menancap pada pohon saman raksasa. Narasinga berdesis karena lengannya berdarah. Namun Narasinga kaget ketika melihat apa yang dilakukan gadis lawannya itu. "He, apa yang kaulakukan?" suaranya terdengar bergetar. Biku Paraban dan Biku Sambu membeku. "Pasir Wutah," bisik Prabawati, "bangunlah Pasir Wutah, aku membutuhkanmu." Bukan hanya Narasinga yang terperanjat melihat apa yang dilakukan gadis itu akan tetapi juga Biku Paraban dan Biku Sambu karena Pasir Wutah adalah ajian pamungkas yang hanya digunakan jika sudah tak ada jalan lain lagi yang bisa ditempuh. Ajian Pasir Wutah juga bisa berarti hanya ada dua kemungkinan baginya, membunuh atau dibunuh. Jika tidak ingin terbunuh maka harus berani mengambil pilihan membunuh. Tak mungkin bagi Biku Paraban dan Biku Sambu untuk mencegah karena mereka terlambat sesaat. Sementara gadis itu dengan sangat cepat telah berhasil mempersiapkan diri untuk melontarkan ajian Pasir Wutah. Prabawati yang dibakar dendam kesumat itu telah sampai pada keputusan, jika tidak berhasil menghabis lawannya, apalah gunanya hidup. Dengan agak menekuk tubuh, Prabawati mempersiapkan diri. Kaki kiri berada di depan membentuk kuda-kuda yang kukuh dan kaki kanan di belakang siap mengayun. Kedua telapak tangan gadis itu melekat menutupi ke dua telinga. Pada akhirnya kedua tangan itu bergerak pelahan membentuk sebuah kepalan yang siap dilontarkan. Kepalan tangan kiri di depan dada, kepalan tangan kanan siap mengayun dari pinggang kanan. Dengan teriakan yang amat keras Prabawati meloncat melesat cepat. 322 Narasinga merasa dadanya berdesir tajam. Narasinga segera melenting mengambil jarak untuk mempersiapkan diri pula. Dengan gerakan dan sikap yang sama, Narasinga terpaksa menyambut serangan itu dengan ajian serupa, sama-sama ajian Pasir Wutah. Menghadapi keadaan itu Narasinga memang tidak punya pilihan lain. Sebuah benturan kemudian terjadi. Meski tidak terdengar suara meledak, akan tetapi ketika peristiwa itu terjadi terasa sekali udara bergolak dan teraduk. Udara yang koyak Itu bergerak mengombak membentuk gelombang menyebar ke segala penjuru. Entah apa yang sebenarnya terjadi, demikian benturan terjadi Narasinga segera melejit menjauh. Akan halnya Swasti Prabawati berdiri seperti terhunjam di tanah. Sejenak kemudian gadis itu kehilangan tenaga. Prabawati terduduk di tempatnya dan terguling. Biku Sambu dan Biku Paraban segera berlarian mendekat. Bergegas keduanya memeriksa keadaan Prabawati. "Hanya pingsan," kata Paraban setelah meraba telapak tangan gadis itu. Biku Sambu merasa lega. Biku Paraban segera menggotong murid yang sekaligus keponakannya itu menepi. Pertarungan yang sempat terhenti antara Narasinga dan Biku Sambu tampaknya akan berlanjut kembali. "Licik. Pengecut," umpat Narasinga. Biku Sambu menggigil. Mulutnya terasa penuh dengan ludah. "Kenapa?" tanya Biku Sambu dengan suara bergetar. Narasinga membasuh lengannya yang berdarah. "Aku yakin, semua permainan ini memang kau sengaja. Kau telah merancangnya, mempersiapkan gadis itu untuk kauhadapkan kepadaku. Aku tidak mengira kau sanggup berbuat licik seperti itu Sambu." Biku Sambu tersenyum sinis. Pendapat Narasinga yang demikian memancing rasa jengkel. Mudahnya Narasinga menuduh orang lain, ia lupa dengan perbuatannya sendiri. "Mudah saja kau mengatakan aku pengecut," jawabnya, "mudah saja kaukatakan aku licik. Berkacalah, siapa sebenarnya yang pengecut. Setelah kau menjarah Luh Saras, kauminggat dan bersembunyi sekian lama. Kau melarikan diri dari tanggung jawabmu. Kautinggalkan Prabawati yang hamil akibat ulahmu. Siapa yang pengecut Narasinga" Kau pun menuduh aku licik karena aku mempersiapkan Prabawati untuk menghadapimu" Air mengalir itu kodrat. Sebagaimana gadis itu bersikap seperti itu kepadamu juga kodrat. Akibat terjadi karena ada sebabnya. Kau menanam pohon maka sekaranglah saatnya kaupetik buah perbuatanmu itu." Narasinga menggeretakkan gigi. Sebenarnyalah hatinya masih saja menggejolak. Keberadaan gadis bernama Prabawati itu sangat mengganggu hatinya. Bayangan Luh Saras yang mungkin mati penasaran arwahnya tentu tidak tenang, dan boleh jadi saat ini ikut mengintainya. "Sebaiknya kita lanjutkan perang tanding ini, Narasinga. Aku atau kau yang akan keluar dari perang tanding ini hidup-hidup." Narasinga tertawa bergelak. Suaranya terdengar nyaring melengking. "Supaya cepat selesai, mengapa kalian berdua tidak bersatu-padu bersama-sama mengeroyokku" Ayo Sambu dan Paraban. Meski kalian berdua bergabung menjadi satu, aku tidak akan berlaku pengecut melarikan diri dari arena ini," tantang Narasinga dengan suara bergetar. Paraban segera meradang. Paraban maju menempatkan diri. 323 "Itu yang kaukehendaki?" balas Paraban, "kaubenar-benar menghendaki aku ikut menerjunkan diri melawanmu, atau itu hanya sekadar caramu menyentuh perasaanku agar aku bersikap jantan tidak ikut mengeroyokmu?" "Majulah, jangan banyak omong," teriak Narasinga. Paraban membuka kembangan ilmu kanuragan. "Baik," jawab Paraban lantang. Paraban segera bergerak. Akan tetapi Biku Sambu tidak sependapat. "Jangan," cegah Biku Sambu. "Kau jangan ikut campur, apa pun yang akan terjadi, persoalan ini adalah persoalanku dengannya. Aku tidak menghendaki kau ikut campur." Biku Paraban tak membantah ucapan kakaknya dan harus menghormatinya karena ia lebih berhak menuntaskan pertarungan balas dendam itu. Bagaimanapun juga Biku Paraban harus menghormati kemauan saudara kembarnya yang berniat menyelesaikan persoalan itu dengan cara lelaki jantan. Perang tanding itu akan kehilangan bobotnya jika ia ikut campur menerjunkan diri. Persoalan penyelesaian harga diri semacam itu, meski taruhannya hidup atau mati, tidak seyogyanya dicampuri orang lain. Paraban melangkah mundur dan digantikan Biku Sambu yang segera mempersiapkan diri kembali. Langit yang terbebas dari mendung sangat membantu mereka untuk saling memerhatikan dan mengamati, bulan menerangi pertarungan itu dengan sempurna. Baik Narasinga maupun Biku Sambu tidak peduli dengan tanah yang telah berubah melumpur. Sambu segera mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, sebagaimana Narasinga juga telah berancang-ancang menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi. Didahului dengan teriakan amat keras Biku Sambu dan Narasinga saling meloncat menyerang. Kali ini keduanya merasa pertempuran itu tidak harus bergerak lamban selapis demi selapis, namun langsung menggebrak menjarah ketinggian puncak ilmu kanuragan yang mereka kuasai. Narasinga dan Biku Sambu adalah dua saudara sekandung, mereka berasal dari perguruan yang sama, sama-sama berasal dari Pasir Wutah. Itu sebabnya keduanya mengenal dengan baik gerakan lawannya, bahkan sebelum bergerak masing-masing sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan lawan. Jika demikian keadaannya, maka siapa yang mempunyai ketahanan lebih tinggi, maka dialah yang akan memenangkan pertarungan itu. Bagi siapa yang kalah, kematian harga penakarnya. Dengan amat cekatan dan trengginas Biku Sambu kembali melontarkan serangan beruntun. Narasinga yang telah menduga bagaimana kemungkinan gerakan yang akan terjadi, segera mempersiapkan penangkalnya. Dengan cermat Narasinga bergulingguling di lumpur dan kemudian melejit serta melontarkan serangan balasan. Tangan kanannya yang telah memegang lumpur dan tanah berpasir terayun deras, membuahkan semburan yang tajam. Biku Sambu gugup sesaat. Biku Sambu dan Paraban sama sekali tidak mengira Narasinga akan menggunakan cara yang curang itu namun dengan segera Biku Sambu dan Paraban ingat watak kakaknya, rupanya hal yang demikian merupakan perilaku yang Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sulit untuk berubah. Dengan cekatan Biku Sambu menyilangkan tangan melindungi wajah dari cipratan lumpur. Narasinga memanfaatkan keadaan itu, tiba-tiba tubuhnya melejit ke atas disusul berputar sekali di udara kemudian dengan kaki kanannya yang meluncur deras ke arah Biku Sambu. Menghadapi serangan yang demikian Biku Sambu tidak punya kesempatan untuk mengelak. Biku Sambu segera mundur dan menyapukan kaki kanannya dengan 324 gerakan melingkar menyongsong gerak serangan lawannya. Gerakan itu dilakukannya dengan sepenuh tenaga. Maka terjadi sebuah benturan yang amat keras. Keduanya bersama-sama jatuh berguling-guling di tanah berlumpur. Keduanya sama-sama meringis menahan nyeri akibat dari benturan yang terjadi. Namun dengan cekatan Narasinga melenting kembali mempersiapkan diri. Dengan cekatan pula Biku Sambu berjumpalitan menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi. Dua orang petarung yang menjadikan nyawa sebagai taruhan itu bergerak saling melingkar seperti dua ekor ayam jago yang tengah mengukur kemampuan lawan-lawannya. "Iblis!" umpat Narasinga. Biku Sambu tidak tinggal diam menerima umpatan yang demikian kasar itu. "Kamu yang iblis, matimu, kau akan menjadi intip neraka!" Tiba-tiba Narasinga kembali berbuat curang dengan menyapu lumpur menggunakan kaki kanan. Lumpur muncrat melesat ke arah Biku Sambu akan tetapi Biku Sambu telah mempersiapkan diri terhadap kemungkinan lawannya akan menggunakan cara-cara yang licik. Biku Sambu melejit ke samping untuk menghindar. Narasinga berancangancang untuk menyapu lumpur lagi. Akan tetapi serangan Biku Sambulah yang kemudian datang beruntun menerjang Narasinga. Narasinga yang tidak menduga berjumpalitan kalang-kabut. Dengan sekuat tenaga Narasinga menjejak tanah, mendorong tubuhnya melesat jauh ke atas. Akan tetapi Biku Sambu tidak membiarkan Narasinga pergi meninggalkan arena perang tanding, tak berselisih waktu dengan sekuat tenaga pula Biku Sambu menjejak tanah, mendorong tubuhnya terlontar ke atas memburu lawannya. Pada titik ketinggian dari loncatan yang terjadi, Biku Sambu dan saudara tuanya saling menyerang. Sebuah benturan segera terjadi. Udara teraduk karena benturan tangan mereka bukan benturan sembarangan, namun sentuhan tangan yang menggenggam kemampuan olah kanuragan tinggi yang mampu menjebol dinding batu setebal satu depa. Dengan berjumpalitan Narasinga dan Biku Sambu melayang turun. Narasinga yang telah menjejak tanah lebih dahulu segera menyapu dengan ayunan kaki kirinya. Akan tetapi yang tidak diduga oleh Narasinga, Biku Sambu mampu menggeliat memelintir tubuh serta mengubah arah. Tangan kirinya dengan telak menghajar kening Narasinga. Narasinga terputar, kunang-kunang langsung berhamburan jutaan jumlahnya. Narasinga terpaksa jatuh berguling-guling dan kemudian melenting. Begitu marah Narasinga, pohon pinang di belakangnya menjadi sasarannya. Ayunan kuat dan deras menggunakan telapak tangan kanan menyebabkan pohon pinang itu terpenggal roboh bersandar pohon saman. Biku Sambu berdiri tegak. "Keparat," teriak Narasinga yang marah. Biku Simbu menekuk sebelah kaki dengan kedua tangan siaga. "Kenapa?" Sambu balas bertanya sambil memberi kesempatan kepada Narasinga meredakan diri. Setelah pertempuran sekian lamanya berlangsung, rupanya Narasinga benar-benar sudah tidak telaten pada irama pertempuran yang terjadi, yang seolah tak segera diketahui kapan akan berakhir. Lelaki bercambang lebat itu segera mengubah gerakan kembangan ilmu silatnya, jika semula berkesan cepat dan gesit berubah menjadi lamban dan berat. 325 Biku Sambu tanggap atas apa yang terjadi. Kaki kirinya segera bergeser pelahan menggurat lumpur. Tangannya mengepal. Melihat perkembangan itu Biku Paraban yang menyaksikan merasa tegang. Bentuk perubahan kembangan yang dilihatnya itu merupakan pertanda bahwa Narasinga dan Biku Sambu telah memutuskan untuk memasuki puncak kemampuan masing-masing, yang naifnya, bersumber dari perguruan yang sama, Perguruan Pasir Wutah. "Pasir Wutah," bisik Biku Sambu. "Bangkitlah, aku mengandalkanmu untuk meraih apa yang selama ini aku rindukan." Jantung Biku Paraban berdegup kencang. Di sebelahnya Prabawati masih tidak sadarkan diri. Narasinga tiba-tiba meloncat cepat bersamaan waktunya dengan Sambu yang juga meloncat dengan cepat saling menyongsong. Ayunan tangan masing-masing meluncur deras menjemput lawan. Udara kembali bergetar ketika dua tangan itu akhirnya benar- benar berbenturan. Hentakan yang terlontar dari ajian pamungkas itu menyebabkan masing-masing terpelanting dan berguling-guling di tanah yang becek. Paraban merasa jantungnya seperti tak berdetak lagi melihat apa yang terjadi. Kilat kembali muncrat menerangi apa yang terjadi. Bulan timbul tenggelam di antara mega-mega yang melayang. Narasinga merasa dadanya tiba-tiba menjadi sesak. Demikian juga dengan Biku Sambu mendadak mengalami kesulitan bernapas. Bahkan keduanya merasa, darah segar telah meleleh dari mulut dan hidung mereka. Dengan bersusah-payah keduanya berusaha untuk bangkit kembali memanfaatkan sisa kekuatan yang masih ada. Namun Narasinga kemudian terhuyung-huyung. Lelaki itu nyaris terjerembab jatuh. Untung tangannya segera menyambar patahan pohon pinang yang tersandar pada pohon saman. Sebaliknya meski terasa sangat nyeri, namun Biku Sambu berhasil berdiri tegak. Narasinga berteriak keras. Tangannya yang masih menyimpan kekuatan aji Pasir Wutah mengayun deras menghantam pohon pinang yang disandarinya hingga patah dua. Dicengkeramnya pohon pinang itu dan kemudian diayunkannya kepada Biku Sambu, akan tetapi Biku Sambu tidak mau kepalanya dihajar dengan batang pinang itu. Dengan sigap tangan kanannya bergerak menangkap ujungnya, jari-jari tangannya mencengkeram dengan kuat. Kini keduanya kembali berhadapan dengan mata melotot. Narasinga menekan pangkal pohon pinang itu dengan sepenuh kekuatan, bahkan kekuatan ajian Pasir Wutah tersalur melalui cengkeraman yang kuat itu. Akan tetapi Biku Sambu mengimbanginya dengan cermat. Ujung batang pinang itu diremasnya hingga jari jarinya terbenam. Kekuatan aji Pasir Wutah yang dikuasainya juga tersalur pada batang pinang yang sama. Biku Paraban cemas. Biku Paraban melihat yang tersisa dari perang itu hanya siapa yang kalah dan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Siapa yang kalah pasti mati dan siapa yang menang bukan berarti keluar dari keadaan yang buruk. Menang menjadi arang, kalah menjadi abu. Dengan masing-masing mencengkeram ujung dan pingkal pohon pinang yang menjadi antara kedua seteru itu, Narasinga bergeser ke kiri, sebaliknya Biku Sambu tetap berdiri kukuh di tempatnya. Kekuatan aji pamungkas dari perguruan Pasir Wutah itu terus mengalir deras membanjiri batang pohon pinang itu, menggerataki seratseratnya dan memilah antara satu dengan yang lain, padahal bentuk serat pinang yang terurai tak ubahnya lidi. Sungguh seolah tidak terjadi sesuatu pada pohon pinang itu akan tetapi 326 sebenarnya di balik kulit yang membungkusnya, serat-serat pinang yang terbungkus kulit itu mulai bergerak, semakin terurai antara satu dengan lainnya. Namun Narasinga tidak peduli lagi, pun Biku Sambu juga tidak mempertimbangkan apa pun lagi. Bersama-sama kedua petarung itu akhirnya melontarkan kekuatan puncaknya. Pohon pinang berderak meledak. Narasinga tetap berdiri di tempatnya, Biku Sambu juga tetap berdiri di tempatnya. Hening yang datang mendadak menemani kedua petarung yang sedang sama-sama terhenyak. Waktu yang mengalir juga menemani ayunan degup jantung masing-masing yang masih terus bergerak. Sebaliknya Biku Paraban merasa sang waktu bergerak sangat lambat untuk kemudian berhenti sama sekali, bahkan bulan di langit tertegun, bahkan udara yang mengalir mendadak berhenti, bahkan hujan ikut menyesali diri. Sejenak kemudian Narasinga jatuh terduduk, disusul kemudian oleh Biku Sambu yang juga jatuh terduduk. Biku Paraban tersentak ketika melihat tangan Biku Sambu berdarah dan penuh dengan serat-serat yang menancap, bukan hanya pada telapak tangannya, tetapi juga dadanya. Sebaliknya keadaan Narasinga ternyata masih lebih baik dari Biku Sambu, tangan kanan Narasinga juga berdarah penuh serat-serat yang menancap di telapak tangannya. Dari sekilas melihat apa yang terjadi Biku Paraban bisa menghitung, bahwa keadaan Biku Sambu ternyata lebih parah. "Kakang," Biku Paraban mendekat dengan gugup. Biku Sambu berusaha tersenyum, dengan darah mengalir deras dari luka luka di tangan maupun di dada. Paraban sangat cemas. Dengan cekatan Biku Paraban segera memangku tubuh yang lemah itu. Gugup Paraban saat memeluk saudara kembarnya. "Akhirnya, apa yang kuinginkan tercapai," bisik Biku Sambu dengan suara lemah. "Aku akan segera menyusul isteriku. Akhirnya aku bisa seperti Bisma 114." Biku Paraban menggigil. Biku Paraban melihat, luka yang dialami Biku Sambu memang parah. Serat-serat batang pinang banyak sekali menancap di tubuhnya. Serat-serat pinang itu tentu ada yang telah menggapai jantung. Napas Biku Sambu mulai tersendat, bahkan darah merah mulai deras meleleh dari mulutnya. Dengan cekatan Biku Paraban berusaha menolong dengan menggerayangi beberapa buah simpul otot dan simpul syaraf tertentu yang terletak di leher dan dada untuk menghentikan perdarahan yang terjadi akan tetapi Biku Sambu menggeleng, memberi isyarat keberatan. "Jangan lakukan," bisik Biku Sambu menggunakan sisa tenaganya. Kemarahan Biku Paraban bagaikan terpancing, apalagi ketika sejenak kemudian terdengar suara tertawa. Narasinga yang sebenarnya juga terluka parah, ternyata masih bisa menyempatkan untuk tertawa menertawakan nasib buruk yang menimpa adiknya. Namun warna suara tawa itu terdengar getir dan serak. "Mampuslah kau Sambu," kata Narasinga di sela napasnya yang tersengal. "Kini rasakanlah kematian yang paling menyedihkan. Kepahitan yang kaualami benar-benar kepahitan hidup yang sempurna. Kau kehilangan orang yang kaucintai, bahkan meskipun 114 Bisma, tokoh dalam kisah Mahabarata yang menyesal telah kelepasan membunuh Amba, kekasih hatinya menggunakan anak panah. Bisma yang mestinya berhak atas takhta Hasinapura pilih hidup membujang di sepanjang waktu. Kematiannya terjadi di Perang Baratayuda melalui tangan Srikandi. Melihat Srikandi, Bisma melihat titisan Amba. 327 kau menggembleng diri sampai muntah darah, kau tidak akan menang melawanku. Sebentar lagi kau akan mati." Kembali Narasinga tertawa bergelak. Tertawanya terkekeh-kekeh amat geli. Justru karena itu darah muncrat dari hidungnya. Biku Paraban bergegas bangkit dan darahnya mendidih oleh amarah yang tidak tertahan lagi. Diletakkannya Biku Sambu yang semakin lemah dan terkulai. Biku Paraban melihat bahwa sosok Narasinga meskipun ia saudara kandungnya sendiri namun ternyata penjilmaan iblis. Jika dibiarkan maka iblis itu akan merusak dan meminta banyak korban padahal selama ini sudah terlampau banyak korban berjatuhan sebagai akibat dari kebrutalan perbuatannya yang gemar mengobral nafsu seperti anjing yang suka kencing di mana-mana, di pohon apa pun. Biku Paraban bangkit. Tangan kanannya mengepal di belakang, tangan kirinya berada di depan dada. Narasinga terbelalak melihat apa yang dilakukan Biku Paraban. "Gila. Apa yang akan kaulakukan itu?" gugup Narasinga. "Sudah terlampau banyak dosa yang kautimbun Narasinga. Aku tidak melihat sisi mana pun yang menyebabkan aku harus mengambil keputusan lain selain membunuhmu. Masih ada waktu untuk mempersiapkan diri. Bersiaplah untuk mati." Narasinga gugup gentar gemetar. Biku Paraban telah menyiapkan Aji Pasir Wutah dengan sempurna. Dengan keadaan yang sudah sedemikian parah, Narasinga benarbenar seperti sebutir telur yang akan remuk diinjak gajah. Dalam olah kanuragan kemampuan Narasinga dan Biku Sambu seimbang, namun jika dihadapkan dengan Biku Paraban yang tidak henti-hentinya menggembleng diri di pesisir Ywangga, Narasinga curiga dirinya bukan tandingan adiknya lagi. Apalagi dalam keadaan luka parah seperti itu. Biku Paraban yang sudah mata gelap itu telah siap mengayun tangan menghajarnya, menyempurnakan kematiannya. "Jangan," tiba-tiba terdengar suara lirih mencegah. Biku Paraban tertahan. "Jangan lakukan itu," Biku Sambu berkata lemah, suaranya nyaris tak terdengar. "Jangan kaukotori tanganmu dengan membunuhnya. Beri kesempatan dia hidup Paraban, biarlah panjangnya kehidupan yang tersisa akan menghukum perbuatannya." Biku Paraban termangu. Butuh waktu beberapa saat untuk meredakan diri. Namun tetap saja napasnya tersengal menahan amarah. Biku Paraban segera berjongkok. "Kematian ini pilihanku, Paraban," suara Biku Sambu semakin lemah, "kalau aku mau, Narasinga tidak bisa berbuat apa-apa terhadapku. Telah lama aku merindukan datangnya saat seperti ini. Isteriku telah lama menungguku di alam pangrantunan115, kinilah saatnya kami bersatu kembali. Aku titipkan anakku padamu." "Kakang Sambu," suara Paraban seperti tertelan di tenggorokan. Namun suara Biku Sambu telah tertelan bersamaan dengan mata yang terpejam. Lelaki yang angan-angan kebahagiaannya itu terenggut oleh saudara kandungnya sendiri telah kembali berpulang kepada Penciptanya. Mulutnya menyunggingkan senyum lega, atas terwujutnya apa yang dirindukannya selama ini. Biku Paraban merengkuh Sambu. Luka yang dialami saudara kembarnya adalah sakit yang sama ia rasakan. Lelaki yang sering dipanggil dengan nama Sang Pemancing dan keberadaannya ditakuti orang di Pesisir Parabalingga yang juga mendapat julukan 115 Alam pangrantunan, jawa, alam penantian setelah kematian 328 Hantu Laut itu di sepanjang umurnya tak pernah menangis. Kematian yang menimpa Luh Saras sekian tahun yang lalu mampu dihadapinya dengan tegar, namun kematian Biku Sambu kali ini benar-benar mengoyak hatinya. Mata Biku Paraban membasah. Namun laki-laki itu tidak terisak. Hening sesaat. Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Matikah dia?" tiba-tiba terdengar suara. Narasinga berusaha berdiri. Biku Paraban tak menjawab. "Matikah dia?" kembali Narasinga bertanya. Biku Paraban merasa dirangsang untuk kembali marah. Tetapi tangan Biku Sambu yang terkulai dalam pelukannya seperti mengingatkannya untuk tidak terpancing. Dengan tertatih-tatih, Narasinga berusaha mendekat, namun tenaga yang tersisa tidak mendukung apa yang diinginkannya. Narasinga kembali terjerembab di tanah yang berlumpur. "Kurasa kaupuas karena telah membunuhnya, Narasinga," kata Biku Paraban. "Kau telah menghancurkan hidupnya mulai dari saat ia masih muda dengan merusak wanita yang dicintainya. Sekarang kausempurnakan dengan membunuhnya. Kau tentu merasa puas." Narasinga berusaha menata napas. Namun tatapan matanya yang tertuju pada tubuh Biku Sambu yang tergolek beku, serta pada Prabawati yang masih pingsan, terus menerus merangsang gejolak. Sekuat apa pun Narasinga berusaha menenteramkan diri, kenyataan yang dihadapinya terlampau sulit untuk dianggap tak pernah ada. "Kaupuas, Narasinga?" kembali Biku Paraban mencecarnya. Narasinga merasa kedua kakinya tidak mampu menyangga tubuhnya. "Mengapa bisa begini?" desis Narasinga pada diri sendiri. Narasinga seperti orang yang baru tersadar dari mimpi buruk. "Mengapa bisa begitu?" teriak Paraban. "Kau akan menimpakan kesalahan itu kepada siapa" Kauberanggapan kakang Sambulah yang bersalah karena menghalangi keinginanmu" Begitu?" Mata Narasinga kian berkunang-kunang. Apa yang terjadi di waktu lampau seperti terulang kembali. Perilaku di masa mudanya bisa dikatakan liar. Entah sudah berapa gadis-gadis korban pelampiasan nafsunya. Di mana-mana Narasinga meninggalkan jejak dengan bau yang amat busuk. Salah satu dari korbannya adalah Luh Saras, seorang gadis yang amat cantik dan memukaunya. Gadis yang membuatnya tergila-gila itu ternyata menjatuhkan pilihannya kepada Biku Sambu. Narasinga yang mata gelap tidak bisa menerima kenyataan itu. Jika ia tak bisa memiliki Luh Saras, maka yang lain pun tidak. Akibat kekejian perbuatannya, Luh Saras ternyata meninggalkan prasasti nyata dan bernyawa, berujut sosok gadis Prabawati yang kini datang menggugatnya. Amat boleh jadi, sosok Prabawati itu mungkin tak hanya seorang, namun masih ada yang lain lagi dan yang lain lagi. Mulut Narasinga terkunci membeku. Pengakuan di dalam hatinya itu benar-benar membuat isi dadanya terkoyak. Di depannya Biku Paraban tetap tegak. "Bagaimana caranya, agar aku bisa menebus kesalahanku ini, Paraban?" suara Narasinga terdengar bergetar. Biku Paraban terkejut mendengar pengakuan yang tidak terduga itu. Biku Paraban tak menduga Narasinga menyimpan penyesalan. Benar-benarkah Narasinga menyesali 329 semua yang terjadi" Apa yang diucapkan Narasinga menyebabkan Paraban bingung untuk sesaat. Namun Biku Paraban segera teringat, apalah artinya penyesalan jika penyesalan itu tidak mengembalikan keadaan pada ujut semula. Menyesal dengan menangis meneteskan airmata darah sekalipun tak akan mengembalikan keadaan, tidak menghidupkan mereka yang sudah mati. Biku Paraban menatap Narasinga tanpa kedip. Setelah beberapa saat Biku Paraban memang melihat kebenaran yang diucapkan oleh Biku Sambu. Bahwa Narasinga harus dibiarkan hidup, terlalu enak baginya jika mati begitu saja. Jika Narasinga dibunuh, itu terlalu enak baginya. Narasinga harus merasakan semua akibat dari perbuatannya. "Pergilah," Biku Paraban berucap datar. "Tidak ada gunanya kau berada di sini lagi. Tidak ada gunanya kau menampakkan wajah penyesalanmu yang bagiku hanya palsu belaka. Kakang Biku Sambu benar, aku harus melepaskanmu karena dalam waktu dekat mungkin akan ada orang-orang yang mencarimu, keturunanmu yang kausebar di manamana kini telah dewasa dan mulai bertanya di mana dan siapa ayahnya. Pergi." Paraban mengakhiri ucapannya dengan setengah berteriak dan tangan mengepal. Dengan lemah lunglai, Narasinga menggunakan tenaga yang masih ada untuk bangkit. Beberapa saat lamanya Narasinga menatap tubuh Prabawati yang tergolek. Narasinga mulai membayangkan apa yang akan terjadi jika Prabawati itu siuman dan menemukan Biku Sambu sudah tidak bernyawa lagi. Dengan hati berantakan Narasinga gontai meninggalkan tempat itu. X Bekas arena perang tanding itu telah berubah seperti seperti ladang yang dibajak. Tanah teraduk jungkir balik tidak keruan. Langit yang semula mendung dan bahkan turun hujan badai dengan derasnya tidak ada bekas-bekasnya lagi. Angin laut telah menyapu mendung tebal entah ke mana. Hanya suara debur ombak laut selatan yang tidak pernah berubah. Prabawati yang pingsan mulai menggerakkan tangan. Mata yang terpejam itu kemudian terbuka. Swasti Prabawati membutuhkan waktu beberapa saat berusaha mengenali keadaan di sekitarnya. Mata gadis cantik itu bersirobok pandang dengan tatapan Biku Paraban. Prabawati segera duduk serta kembali memejamkan mata untuk mengumpulkan semua ingatan. Sesaat kemudian gadis itu telah membuka mata kembali. Swasti Prabawati menjadi gemetar dan gugup saat melihat Kisah Bangsa Petualang 12 Dewa Arak 75 Racun Kelabang Merah Meteor Kupu Kupu Dan Pedang 2

Cari Blog Ini