Ceritasilat Novel Online

Ching Ching 10

Ching Ching Karya ??? Bagian 10 merah sampai ke kuping. Untung Li Hai tak sempat melihat karena gelap, pula tak berani bergerak, takut kepergok orang. Gadis itu tak tahu. Mendengar perkataan Chang Lun, Wang Lie Hai merasakan jantungnya memukul terlalu cepat hingga kini pucat mukanya. "Cerewet!" caci Chang Houw. "Seperti aku tak tahu kalau kau dan Lan Sioe Yin ..." Pemuda itu tak dapat melanjutkan perkataan. Tak perlu, karena ibu mereka mengerti apa sudah kejadian. "A-houw, maksudmu kau suka pada Lie Mei Ching?" Sunyi sesaat. Kim-koay-coa melanjutkan, "Tidak jelek. Ia gadis yang cerdik luar biasa, pemberani pula. Kalau kau dapat mempengaruhi dia menjadi anggota keluarga, akan baik bagimu. Kau akan menjadi jjj, seperti yang kaucita-citakan. Ya, ya. Sekali melihat, aku tahu dia ada punya bakat pula. Nanti dapat kuambil menjadi murid. Ia akan jauh lebih bagus daripada Pak aaa, adikku seperguruan yang susah diajari." Ching-ching menjebi. Tidak kesudian ia mengangkat guru pada Kim-koay-coa. Tak sudi! "Tapi kau harus ingat, A-houw. Demi mencapai cita-citamu, apabila gadis itu dan keluargana menolak bekerja sama, jangan sungkan lagi. Singkirkan semua! Hampir pagi sekarang. Nio harus segera balik. Kalian pergilah. Besok boleh kita ketemu lagi di sini." "Nio, sebelum berpisah, aku ingin menanyakan, ke manakah perginya A-thia" Aku Ching Ching 299 tak ada melihatnya dalam pertemuan tadi." "Ayahmu masih ada urusan yang belum selesai, tapi ia dalam keadaan baik. Kalian tak perlu berkuatir. Pergilah!" "Nio, jaga diri!" Kedua pemuda she Chang itu pergi. Setelah tak kelihatan anaknya, Kim-koay-coa turut pergi pula. Enteng sekali tindakannya. Dalam masa sebentar kedengaran tindakannya sejauh 300 tombak di muka. Arahnya kembali ke Pek-eng-pay. Begitu keadaan sunyi, Ching-ching dan Li Hai keluar dari tempat mereka sembunyi. "Hebat, bahkan Kim-koay-coa mau ambil mantu kepadamu," ejek Wang Li Hay sinis. Ching-ching berlagak tidak mendengar. Ia taruh jari di muka dan berpikir-pikir. "Kim-koay-coa itu salah satu dari para eng-hiong. Begitu pula Gin-koay-coa. Mereka mendengar semua apa yang diomongkan dan tahu juga apa bakal dilakukan. Pantaslah dari dulu Kim-gin-siang-coa-pang susah dibasmi. Dan pula tak ada yang pernah tahu muka sepasang siluman itu. nYatanya mereka menyaru seorang eng-hiong, siapa bakal mengira. Huuh, aku kepingin tahu siapa mereka." "Sekarang juga kita sudah tahu." "Kita tahu?" Ching-ching bertanya. "Kau katakan, siapa suami-istri yang selalu bersama tapi kali ini memencar?" "Wu-yi-siang-sian?" Wang Li Hai mengangguk. "Tapinya, mereka sudah tua. Delapan puluh tahun kira-kira, sedangkan anak mereka baru dua puluhan tahun. Apakah mereka baru punya anak waktu umur enam puluh?" "Kau mana tahu kalau mereka cuma anak angkat" Begini saja. Kita diam-diam cari bukti bahwa Wu-yi-sian-lie adalah juga Kim-koay-coa. Baru boleh kita beritakan kepada yang lain." "Terserah kepadamu," kata Ching-ching. Hari telah menjadi pagi. Di Pek-eng-pay bagian pelayan ada keributan. Lie Chung Yen memutuskan supaya memeriksa siapa dari mereka yang telah memasukkan racun ke dalam makanan. Para pelayan yang kebagian tugas dapur ditanyai. Tentu saja mereka tak tahu apa-apa. Lie Chung Yen menyuruh mereka pergi sebelum siang. A-ping, pelayan Lan Sioe Yin juga terkena, ia mendengar hal ini. Ia lari melapor pada nonanya sembari menangis. Terang saja Sioe Yin buru-buru menghampiri pehpehnya dan membujuk membatalkan niatan. Lie Chung Yen menolak. Sebagai tuan rumah di sini, ia mesti tegas bertindak kalau tak mau dilecehkan lain hari. Diam-diam Sioe Yin membisiki pelayannya. "A-ping, larilah ke kamar Siauw-sio-cia. Minta tolong bikin beres soal ini!" A-ping lantas menurut kata. Ia menggedor kamar Ching-ching. Gadis itu biasanya gampang mendusin, tetapi tidak ini hari. Jalan-jalan semalam membuatnya mengantuk sampai pagi. Namun, pada akhirnya bangun juga dia oleh ribut-ribut yang dibuat A-ping. "Siapa?" tanyanya sambil membuka pintu. Ia kaget melihat A-ping berlutut di depan pintu kamarnya. "Apa-apaan" Kau memang kurang ajar membangunkan sepagi ini, tapi aku tokh tak akan membunuhmu. Tak perlu kau menyembah segala." "Siauw-sio-cia, tolonglah saya!" "Mau tolong apa?" "Loo-ya mau memecatku dan yang lain yang kebagian di dapur kemarin. Dia menyangka kami yang meracuni makanan dan kami tak berani bilang kalau Toan Kouwnio yang ...." "Berani kau mencurigai A-coe!" Ching-ching menggebrak meja. "Boro-boro meracuni orang. Membunuh semut juga ia tak tega!" Ching Ching 300 "Maafkan!" A-ping mulai menangis. "Hei, jangan bikin banjir kamarku dengan air matamu. Bantu aku bebenah. Nanti kubereskan urusan ini pada A-thia!" Ching-ching bergegas-gegas mencari thia-thianya yang ditemui di kamarnya sedang menyiapkan panjar buat mereka yang dipecat. Kiranya ia juga tak tega mengusir orang tanpa bekalan. "A-thia," Ching-ching menyapa. "Ah, kebetulan kau datang. Tolong bantu membagikan uang ini kepada ..." "A-thia betul-betul mau mengusir mereka semuanya?" "Apa lagi yang dapat dilakukan" A-thia tak tahu mana dari mereka yang bersekongkol dengan orang luar. Untuk amannya, biar mereka pergi semua." "Thia, bukan mereka yang meracun kita," Ching-ching teringat kejadian semalam. "Justru satu dari para eng-hiong!" "Jaga mulutmu!" bentak Lie Chung Yen. "Berani-beraninya kau menuduh sembarangan." "Thia juga menuduh. Thia mana tahu kalau ada orang diam-diam masuk ke dapur. Kemarin semua orang sibuk, tak ada yang menjagai dapur terus-terusan." "Boleh jadi, tapi itu karena kelalaian. Mereka patut dipecat!" "Thia, tapi itu tidak adil!" "Sudah pintar kau ya, sudah berani mengajari thia-thiamu?" Lie Chung Yen merasa tak senang. "Bukannya begitu, tapi ..." "Cukup! Keluar! Sebelum habis sabarku!" Lie Chung Yen betul-betul marah sekarang. Ching-ching adalah seorang bandel. Sebetulnya ia ingins egera pergi, menunjukkan bahwa ia tak suka sikap ayahnya. Tapi ia juga seorang cerdik. Gadis itu tahu, gara-gara soal ini salah-salah ia musuhan dengan aya sendiri. Pula ia telah berjanji pada A-ping. Dan ayahnya pernah bilang, janji dari seorang pendekar mesti ditepati meski harus mengorbankan jiwa. Kali ini ia mesti kesampingkan dulu amarahnya. Dan ia tahu satu cara meluluhkan hati ayahnya. "Thia," Ching-ching berlutut. "Ampuni anak. Bukannya mau bermulut lancang, semata-mata karena kasihan pada pelayan kita. Ampuni mereka, Thia." Lie Chung Yen kaget. Ia tahu, Lie Mei Ching anaknya tak mau berlutut minta ampun kalau tidak disuruh. Tapi sekarang, ia memohon! Tak bisa ditahan, hati Lie Chung Yen jadi tergetar juga. "Bukannya Thia tidak kasihan," ia tak membentak lagi. "Tapi mau ditaruh di mana mukaku kalau tak ada tindakan atas kejadian kemarin itu. Thia cuma mau menghukum seorang yang bersalah saja, tapi Thia tak tahu yang mana." Ia membangunkan anaknya. "Thia, andaikata Anak menemui seorang yang bersalah, apakah akan dibebaskan yang lain?" "Tentu, asal kau dapat menemuinya sebelum sore." Ching-ching setuju. Dalam pikirnya, sampai sore masih ada waktu mencari akal. Keluar dari kamar ia nyengir. Heh, gampang betul permintaannya terkabul. Cuma berlutut dan merengek sedikit, langsung ayahnya luruh. Pantas Lan Fung sering menangis. Habisnya, dengan begitu, kemauannya akan segera diturut. Sekarang ia tinggal mencari tmepat sepi supaya dapat berpikir tenang. Ribut-ribut itu nyatanya didengar pula oleh Thio Lan Fung. Ia segera ingat kalau kemarin dilihatnya Toan Coe memasukkan sesuatu ke dalam masakan. Ia memutuskan akan mengatakan hal itu kepada Wang Li Hai. Dicarinya pemuda itu, yang ketemu sedang membujuk A-coe yang sedang menangis Ching Ching 301 sesenggukan. Ia merasa heran. Apakah Lie Hai sedang memarahi A-coe" Tidak, mukanya tak kelihatan marah. Bingung malahan. Ia mendekati dua orang itu. Melihat ada orang lain, A-coe malah lari ke kamarnya. "Hai-ko, ada sesuatu yang mesti kuberitahukan." "Nantilah saja," Lie Hai tak menaruh perhatian. Ia berjalan pergi sembari mengerutkan kening. Thio Lan Fung merasa tak suka. Barusan Li Hai mau bercakap dengan A-coe, kenapa sekarang menemuinya pemuda itu tak mau" Hati Thio Lan Fung menjadi jelus. Ia menghampiri kamar Toan Coe. "Toan Kouw-nio, ada sesuatu hal mau kubincangkan padamu!" "Aku sedang tak minat berbincang," kedengaran suara serak dari dalam." "Yang ini aku yakin kau mau dengar, sebelum kuberitakan kepada yang lain," Thio Lan Fung mengancam. Toan Coe ingat pula Lan Fung memergoki perbuatannya kemarin. Saat ini justru ia sedang gundah soal tersebut, maka ia buru-buru membuka pintu. "Ada apakah" Apa mau kaubincangkan?" "Di sini tak aman. Kau tak mau orang lain mendengar, bukan" Baiklah kita cari tempat sepi." Toan Coe menurut. Mereka pergi ke hutan kecil. Tak ada yang datang ke sana. "Toan Kouw-nio, aku tahu kay yang beri racun dalam makanan." "Bukan aku!" serga Toan Coe. "Aku tak ada niat meracuni - " "Jangan berdusta. Kemarin aku memergokimu memasukkan sesuatu dan sikapmu melihatku begitu ketakutan. Apa lagi kalau bukan sedang berbuat jahat?" "Itu bukan racun. Itu cuma - " "Tak usah beralasan!" Toan Coe menangis lagi. Semalaman dia berpikir. Diam-diam ia sendiri mempercayai bahwa isi bungkusan yang disangkanya bumbu itu sebenar-benarnya adalah racun. Ia tak tahu siapa yang memberikan, tapi ia merasa amat bodoh untuk mempercayai orang. "Toan Kouw-nio, andaikata Hai-ko tahu - " "Jangan! Jangan bilang Hai-ko. Aku mohon!" Toan Coe meratap. "Baiklah, aku tak akan bilang siapa-siapa, asal kau mau penuhi satu syarat!" "Apakah syaratnya?" "Mulai dari hari ini kau tak boleh mencari Hai-ko lagi!" Toan Coe kaget. Tak boleh mencari kepada Hai-ko" Tak boleh ketemu" Tak boleh bicara dengannya" Toan Coe merasa lebih baik mati saja daripada mesti memenuhi syarat itu. "Tidak mungkin! Aku tak dapat!" "Toan Kouw-nio, adalah lebih baik kalau Hai-ko tak tahu perbuatanmu. Apa yang akan dia lakukan kalau kukatakan padanya" Barangkali ia akan mengusirmu pergi!" "Tidak mungkin! Hai-ko amat menyayangku. Ia tak akan mengusirku. Tidak akan!" "Ha-ha-ha!" Thio Lan Fung tertawa geli. "Hai-ko amat menyayangmu" Jangan mimpi. Ngaca dulu. Lihat baik-baik mukamu di balik cadar itu..." "Thio Lan Fung! Sungguh tega kau berkata demikian!" kedengaran suara dari atas. Sebuah bayangan turun di hadapan mereka. Ia tak lain adalah Ching-ching yang sedang mencari ketenangan di atas pohon. Siapa tahu malah datang orang lain bertengkar di bawahnya. "Lie Mei Ching, apa kau sedang lakukan di sini?" "Bukan urusanmu, manusia rendah!" "Jaga mulutmu! Jangan kau hina orang lain seenakmu!" "Kau sendiri, bukankah telah menghina A-coe?" Ching Ching 302 "Kau ... tukang nguping!" "Tak jauh beda denganmu. Mulutmu busuk!" "Diam kau, kalau tak mau kubikin putus lidahmu!" Thio Lan Fung menarik pedang. "Lidahmu yang mesti dibabat!" Ching-ching tak mau kalah, meloloskan pedangnya juga. Toan Coeyang melihat senjata melotot ketakutan. Ia tak mau orang saling bunuh cuma gara-gara dirinya. "Ching-ching, jangan!" ia memohon di sela isak tangis. "Minggir!" Ching-ching membentak. Thio Lan Fung telah membuka serangan. Dalam kemarahannya ia telah menggunakan jurus yang paling dahsyat yang ia punya. Ching-ching tak menyangka bakal diserang habis-habisan pada jurus pertama. Mula-mula ia kerepotan menangkis, tapi sebentar kemudian ia telah dapat membalas menyerang lawan. Untung bagi keduanya, ilmu mereka ada sama tingkatan, hingga masing-masing masih dapat menghindari pedang dan tidak mendapat luka. Akan tetapi, Ching-ching ada lebih banyak pengalaman. Maka dari itu, ia berada di atas angin. A-coe kuatir bukan main. Ia cepat berlari ke rumah hendak minta tolong. Yang ditemuinya pertama kali adalah Wu Fei. "Engko Fei, tolonglah!" "Tolong apa?" "Itu di ... di sana," Toan Coe menunjuk. "Di sana ada apa" Apakah macan?" "Bbbbu ... bukan ... itu ..." "Engko Fei, adakah melihat Ching-ching?" kentara Yin Hung tak senang. "Aku mencari-cari dari tadi tidak ketemu. Hoy, Toan Kouw-nio, kenapa mukamu pucat begitu" Salah makan obat" Oh ya, kau dicari Hai-ko barusan." "Khoe Kouw-nio, tolonglah!" "Itu Hai-ko, minta tolonglah padanya." Toan Coe sudah lemas badannya. Waktu mendekati Li Hai, hampir ia malah menubruk pemuda itu. "A-coe, ada apa?" Wang Li Hai berkuatir. "Ching-ching dan Thio Kouw-nio berkelahi di hutan kecil." "Apa" Mereka berkelahi" Aku mau lihat. Pasti seru!" komentar Wu Fei. "A-fei, bukan waktunya bercanda!" Li Hai segera mendului lari ke tempat yang disebut Toan Coe. Wu Fei menyusul sementara Yin Hung menuntun Toan Coe yang tak sanggup cepat-cepat berjalan. Sesampainya di hutan kecil, Ching-ching tengah mendesak Thio Lan Fung yang keteteran. "Sudah kukira, Ching-ching pasti menang," kata Wu Fei pada kawannya. Namun, Li Hai telah mencelat ke antara dua gadis itu dan sekali gebrak telah merampas dua pedang mereka. "Apa-apaan kalian! Apakah mau saling bunuh?" "Hai-ko dia telah menghinakan aku," kata Lan Fung minta dibela. "Tukang ngadu! Kau sendiri yang duluan menghinakan A-coe!" "Itu tidak benar. Dia saja mau cari gara-gara padaku." "Kau sendiri bohong! Hai-ko, kalau tidak percaya, boleh tanyakan A-coe!" "A-coe, apakah betul Lan Fung telah menghinamu?" Toan Coe tak tahu bagaimana mesti menjawab. Ia melirik kepad Ching-ching, lalu kepada Thio Lan Fung. Gadis she Thio itu menggerakkan bibir menyebut awas! Tanpa suara. "A-coe, katakanlah," desak Li Hai. Toan Coe menggeleng sekali, kemudian berlari ke rumah sambil menangis Ching Ching 303 menggerung, sampai-sampai Lie Hai heran melihatnya. "Huh, apa kataku," Thio Lan Fung tersenyum merasa menang. Ching-ching mendelikkan mata pada gadis itu. "Jelas A-coe tak berani bilang. Kau sudah mengancam dia kalau ..." Ching-ching terdiam. Ia tak mau mengadukan percakapan A-coe dan Lan Fung. Dalam hatinya ia menimbang. Jangan-jangan, benar Toan Coe yang meracuni mereka kemarin. "Mengancam apa" Hayo jawab. Kau saja cuma mau memfitnah!" Wang Lie Hai cepat melerai. "Sudahlah. Lain kali jangan sampai bertempur antara kawan sendiri." Perkataan Li Hai akan segera menyudahi persoalan andai saja ia tak bertindak keliru. Sewaktu berkata, matanya tertuju kepada Ching-ching. Gadis yang sudah kesal itu merasa dituduh. "Kau pun sudah tak percaya padaku. Kalau begitu, pergilah dengan kecintaanmu!" ia berteriak dan lantas minggat. "Ching-ching!" Li Hai hendak menyusuli, tetapi saat itu Thio Lan Fung mengaduh sembari memegangi kaki. "Kenapa?" "Kakiku sakit ditendang tadi. Aku kuatir terluka di dalam." Khoe Yin Hung sekali melirik sudah tahu akal-akalan Thio Lan Fung. Ia menghardik, "Thio Lan Fung, kau kelewatan!" katanya. Dengan bergegas ia mengejar Ching-ching sobatnya. Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Khoe Yin Hung baru sanggup mengejar sewaktu mereka sudah memasuki desa. Ching-ching bungkam. Yin Hung juga tak berani bicara. Tapi ia tahu, kalau sobatnya sudah melampiaskan kekesalan, ia akan menjadi baik kembali. Setelah cukup jauh dari Pek-san-boe-koan, Ching-ching berhenti berlari. Ia tak dapat menahan perasaannya lagi. Air matanya kini bercucuran. Gadis itu menangis sejadi-jadinya sembari duduk menyembunyikan muka di antara dua lututnya. "Kouw-nio, kenapa menangis di jalanan?" seseorang bertanya beberapa lama sudah Ching-ching menangis. Gadis yang masih sesenggukan itu tak menjawab. Ia mau menangis di jalan, di rumah, urusan apa sama orang" "Eh, Kouw-nio, aku mau menanya jalan ke tempatnya Raja Obat. Apakah kau tahu?" Ching-ching menunjuk ke satu arah tanpa mengangkat muka, tanpa berkata-kata. "Ke sana?" orang itu keheranan melihat arah yang ditunjuk. "Turun lagi" Tadi aku lewat situ, tak ada apa pun juga. Apakah kau tak salah tunjuk?" "Cerewet!" bentak Ching-ching sambil mengusap air mata. "Aku tunjuk ke situ, ya ke situlah!" bentaknya memelototi orang yang sok tahu itu. Orang itu balas melotot. Kemudian dua-duanya sama membelalak. "Kau!" seru orang itu. "Ngapain kau keliaran di sini?" "Orang tua bau! Kau sendiri ada urusan apa?" "Huh, iblis betina! Mimpi apa semalam sampai sial bertemu denganmu?" orang itu, yang tak bukan adalah Boe-beng-lo-jin, musuhnya bebuyutan, balas memaki. "Hei, orang bau, kau kemari apakah sendirian" Mana muridmu?" "Tak ada urusan muridku denganmu!" "Tentu saja ada. Apakah lupa bahwa muridmu adalah juga suami kecilku?" "Hihihi. Dedemit macam kau mana pantas jadi pendamping murid Boe-beng-lo-jin?" "Kau itu yang tak pantas jadi gurunya. Hih, guru tak becus, macam apa begitu?" "Mulutmu masih lancang. Awas nanti kusuruh muridku menjahitkannya." "Mulutmu yang sebarangan berkata. Nanti kubilang Siauw Kui supaya menyumpalnya." "Ha, Siauw Kuimu itu sudah terlupa padamu!" "Bohong! Hayo, mana dia" Di mana dia disembunyikan" Biar kaudengar sendiri bahwa Siauw Kui belum lupa padaku." Ching Ching 304 "Kau kecele. Rupanya muridku sudah sungguh melupakanmu. Buktinya, ia tak datang mencarimu, padahal sudah lebih setahun ia menamatkan ilmunya." Ching-ching terperangah. Betulkah Siauw Kui sudah tamat pelajaran setahun lalu" Apakah benar Siauw Kui lupa padanya" Mungkinkah Siauw Kui, Siauw Kuinya, menemukan gadis lain" "Dunia tidak sebesar kandangmu yang bau," kata Ching-ching, lebih menghibur diri. "Mana tahu dia sedang mencari aku sekarang ini." "Keliru! Belakangan ini ia sedang ada di - " "Ching-ching, ke mana saja kau" Siauw Hung dan Kong-kongmu sedang kuatrikan engkau, dan kau malah duduk-duduk saja di sini," sebuah suara menyapa gadis itu. "Hai-ko, ini ada kakek bau menggangguku!" Ching-ching mengadu. "Kau!" Boe-beng-lo-jin yang melihat Wang Li Hai lagi-lagi terkejut. "Dan dia - " "Soe-hoe!" Lie Hay tak kalah kaget. "Sedang ap - Tee-coe memberi hormat." "Kau panggil apa padanya?" Ching-ching terkejut. "Dia memanggilku Soe-hoe, gadis tuli. Dan jangan kau melotot begitu kepadaku." "Tapi ... berarti ... Apakah kau saudara seperguruan Siauw Kui?" "Ching-ching, inilah aku, Siauw Kui. Hanya namaku saja diganti menjadi Wang Lie Hay." "Hiii, kau jangan bercanda," Ching-ching tak percaya. "Ini betul aku. Lihatlah!" Lie Hay membuka bajunya sebelah atas, mengasi lihat pundaknya yang kekar. Di pundaknya itu terdapat bekas luka berbentuk bulat dengan dua titik di tengah. Ching-ching terperanjat. Ia ingat lagi masanya dulu bersama Siauw Kui. Tak usah ragu lagi. Dua titik di tengah itu adalah bekas gigitan ular. Dan parut melingkar itu adalah bekas giginya sendiri. "Kau betul Siauw Kui?" "Masih tak percaya?" "Kau ... kau jahanam!" Ching-ching membanting kaki dengan kesal. "Jadi, selama ini kau menipu aku?" "Bukan begitu, tapi - " Lie Hay alias Siauw Kui hendak menyangkal. "Kurang ajar, selama ini kau senang-senang sama iblis betina itu ya?" Boe-beng-lo-jin memotong perkataan. "Murid murtad, kau tak dengan kataku?" "Soe-hoe - " "Bukankah sudah kubliang, jangan cari-cari iblis jelek ini!" "Kau sendiri jelek!" sahut Ching-ching sengit. "Dasar tak becus! Lihat apa sudah kaujadikan Siauw Koeiku, setan tua!" "Hayaaa, Lie Hay, gurumu dimaki-maki, apakah kau diam saja" Kasi dia pengajaran!" Boe-beng-lo-jin melotot. "Kau sendiri mesti diajar!" Ching-ching mendengus sebal. "Apa" Kau menantang" Hayo lawan aku kalau berani. Kepingin tahu, sampai di mana ilmumu!" "Kenapa tidak?" Ching-ching yang sudah kesal maju hendak melabrak Boe-beng-lo-jin dengan pukulan. "Ching-ching, jangan!" Wang Lie Hay menangkis. "Kalian mau main keroyok" Bagus, dua-dua majulah!" kata Ching-ching. "Ha, mengeroyok kau apa gunanya. Lawan muridku pun belum tentu menang!" "Oh, rupanya kau mau sembunyi di belakang murid" Huah, sungguh perbuatan gagah!" Ching-ching menyindir tanpa berhenti bergerak dilayani Wang Lie Hay. "Menghina kau ya!" Boe-beng-lo-jin tak mau kalah, maju pula melancarkan pukulan. "Soe-hoe, jangan!" seru Wang Lie Hay sambil menangkis pula serangan gurunya. "Suhu biarlah Tee-coe yang menggantikanmu!" seru Li Hai. Ching Ching 305 Baik Ching-ching maupun Bu-beng-lo-jin sama-sama melotot kepadanya. Keduanya tahu, Li Hai tak mungkin tega menyakiti mereka. Lantas, kenapa dia menawarkan diri buat melawan Ching-ching" Bu-beng-lo-jin yang lebih polos sifatnya tak ambil peduli. Ia mengangguk senang sembari mesem bangga. "Kau memang murid yang tak buat gurumu kecewa. Baiklah kau lawan iblis itu. Aku juga enggan mengotorkan tanganku olehnya." "Hoo, setan tua ini rupanya mau sembunyi di balik punggung muridnya" Ih, tak tahu malu," Ching-ching sinis berkata. "Apa kau kata?" Bu-beng-lo-jin bangkit lagi kemarahannya. "Kau pikir aku takut menghadapimu?" Ia hendak maju. Wang Li Hai melihat gelagat tidak baik, ia cepat mendului ke hadapan Ching-ching. "Jangan banyak cakap lagi, marilah segera selesaikan masalah ini," katanya. "Siauw Kui, rupanya benar-benar kau dicekoki ajaran gurumu. Baik! Aku hadapi kau, baru kuhabisi guru jelekmu itu," Ching-ching berkata. Kekecewaan terlihat di wajahnya. Li Hai tak tega melihat gadisnya berduka. Ia cepat berbisik, "Kita main-main saja, pukulanmu jangan keras-keras, ya!" Tapi Ching-ching, seperti tidak mendengar, lantas saja melancarkan serangan. "Aku mau lihat sampai di mana gurumu mengajar murid!" Wang Li Hai kaget malihat datangnya serangan yang begitu cepat dan berbahaya. Begitu menyerang Ching-ching sudah memakai jurus andalannya, Lian-hoa-ban-hoan-ciang (Pukulan berantai selaksa teratai). Pukulan ini jarang dapat dihindarkan lantaran amat cepat berturutan. Pula di dalamnya banyak pukulan tipuan. Sebuah pukulan yang tampak berbahaya bisa saja hanya berupa jebakan, dan begitu dihindari, sebuah pukulan lain yang tak tahu kapan datangnya sudah mengena telak di tempat yang fatal! Biarpun sudah sering melihat jurus ini, tak urung Li Hai kerepotan juga menghadapi lantaran ia tak menduga Ching-ching akan langsung menyerang dengan jurus ini. Setahunya murid-murid Pek-san-boe-koan tak boleh memakai ilmu dari luar perguruan. Lalu kenapa Ching-ching ..." Li Hai tak sempat berpikir lama, gadis yang mengamuk di hadapannya sudah bergerak lagi menerjang. Kali ini Wang Li Hai sudah bersiaga. Ia memapaki gadis ini. Tapi kali ini Ching-ching menggunakan jurus yang banyak terdapat perubahan-perubahan yang cepat. Nanti ia menggunakan im-jiu, di waktu lain hampir bebareng berobah memakai yang-kong. Jurus ini sempat membuat Li Hai kelimpungan beberapa lamanya. Apalagi serangan Ching-ching mengarah ke tempat-tempat yang berbahaya yang jika tidak dihindarkan tentulah ia akan binasa atau paling tidak bercacat seumur hidupnya. "Bocah tolol!" maki Bu-beng-lo-jin yang melihat muridnya melawan cuma separuh hati. "Mana semangatmu. Jangan mau mati konyol di tangannya setan perempuan itu!" "Diam kau, setan tua!" Ching-ching balas memaki. "Tak usah banyak mulut, tunggu saja giliranmu." Sembari berkata, Ching-ching memukul ke arah si orang tua. Tenaganya menimbulkan angin berkesiuran. Si tua lekas menangkis dengan tenaga dalam. Anehnya, kesiuran angin langsung buyar tepat sebelum lwee-kang Bu-beng-lo-jin memapakinya. Mengetahui dirinya kena dikelecehi orang, si tua itu merah padam mukanya. Dalam kemarahannya, ia sangat ingin membinasakan Ching-ching dengan tangan sendiri. Ching Ching 306 Tapi pamornya di mata Li Hai merosot kalau ia tak berlaku ksatria. Di lain pihak, tampaknya Li Hai juga tak sungguh-sungguh menghadapi lawan. Kalau begini, nanti Ching-ching yang akan menganggap dia tak becus mengajar murid. "A-hai, kalau kau tak dapat kalahkan siluman iblis itu, putus hubungan kita guru dan murid!" Bu-beng-lo-jin mengancam lantaran tidak ketemu jalan lain. Wang Li Hai terkesiap. Sedikit banyak ia menghormati gurunya, si orang tua tak bernama itu. Ia tak rela lepaskan hubungan mereka. Terlebih lagi kalau ia tak lagi menjadi murid, mana dia punya muka memakan pengajaran gurunya di lain hari. Sekarang ini Li Hai ada dipandang orang lantaran bekalnya itu. Diam-diam ia menyayangi kedudukannya sekarang. Pula dalam hatinya, Li Hai pernah merasa minder lantaran merasa tak punya apaapa dibanding Ching-ching. Makanya ia belajar keras buat menyamai gadis itu. Selama ini Ching-ching ada memandang dia sebagai pendekar muda yang terhormat. Bukan sebagai Siauw Kui yang dapat dibentak-bentak dan disuruh-suruh semaunya. Tidak. Ia tak mau kehilangan semua itu. Tapi apabila dia menang melawan Ching-ching, tidakkan nanti gadis itu mendendam dan menjadi benci kepadanya" Lalu buat apa ia punya kepandaian tinggi apabila dibenci gadis kecintaannya" Benar-benar ia tak dapat memutuskan! Lantaran bimbang dalam hatinya, Li Hai terlambat melihat serangan yang datang. Ia merasakan kesiuran angin yang dahsyat mengarah ke jantungnya. Telapak tangan Ching-ching memukul telak ke ulu hati. Sejenak Li Hai sesak napasnya dan tergetar jantungnya. Untuk tak sampai terluka dalam. Rupanya Ching-ching belum keluarkan seantero tenaganya. Dalam pada itu Ching-ching sebenarnya sudah kagum pada Siauw Kuinya yang kini tak gampang-gampang bisa dirobohkan. Tapi dalam hati ia masih menyimpan sedikit sakit hati lantaran pemuda itu memilih membela suhunya ketimbang membela dia. Lantaran kemarahannya, Ching-ching menyerang tak setengah-setengah meski ia masih memilih-milih jalan yang kira-kira masih dapat ditangkis atau dihindarkan. Sebenarnya hal ini tidak perlu. Sekali melihat saja, gadis itu sudah tahu tingkat kepandaian orang. Menyerang sungguh-sungguh pun belum tentu Siauw Kui dapat dikalahkan. Terlebih lagi sekarang Ching-ching dalam keadaan terluka dan lama tak menggunakan tenaganya. Mata gadis itu mulai berkunang-kunang setelah beberapa kali melepas serangan. Ia tahu ia pasti kalah. Tapi seandainyapun kalah, ia lebih suka kalah terhormat. Siauw Kui mesti menyerang dia secara bersungguh! "Siauw Kui, setelah berguru sekian tahun, tak dinyana kau masih tak lebih sebagai setan kecil yang tak ada guna!" memaki Ching-ching. Sepintas ia melihat perubahan air muka si pemuda. Merasa mendapat angin, ia lantas melanjutkan, "Benar, kau memang tidak berbakat dan tolol pulan. Hatimu lembek terhadap lawan, mana bisa jadi seorang pendekar besar. Dan gurumu sama tololnya memilih engkau sebagai murid." Kali ini Wang Li Hai alias Siauw Kui termakan omongan orang. Mukanya berubah kemerahan dan matanya menyala-nyala. Ia tidak berkata-kata tetapi serangannya menjadi terlebih cepat dan berbahaya. Dalam hatinya Ching-ching tertawa. Siauw Kui masih tetap Siauw Kui-nya yang masih mendengar kata-katanya. Siauw Kui yang gampang dikendalikan cuma dengan kepandaian bersilat lidah. Gadis itu menjadi gembira dan terlebih semangat sekarang. Puluhan jurus sudah lewat. Ching-ching sudah lemah. Pandangannya sebentar gelap sebentar terang. Tindakannya tidak secepat tadi. Kali ini ia cuma bisa bertahan, Ching Ching 307 tetapi itu pun sudah terlalu payah. Buktinya Li Hai berhasil memukul kempungannya! Semua pertahanannya bobol sudah. Gadis itu terbatuk memuncratkan darah. Kakinya lemas dan badannya tumbang. "Ching-ching!" Wang Li Hai berseru kuatir dan cepat merangkul gadis itu supaya tak terbanting ke tanah. Ia tampak was-was melihat rupa gadis itu yang pucat. "Bunuh dia, bodoh! Bunuh!" teriak gurunya. "Kalau tidak, seumur hidupmu kau tak dapat lepaskan dirimu dari siluman itu!" Wang Li Hai seolah tidak mendengar. Ia malah mengusap darah yang mengucur dari mulut Ching-ching dengan lengan bajunya sendiri. "Goblok. Kalau kau tak mau, biar aku yang turun tangan!" Bu-beng-lo-jin bergegas menghampiri dan bersiap meremukkan tengkorak Ching-ching sekali pukul. "Jangan!" Wang Li Hai menangkis pukulan gurunya. Tangannya sampai kesemutan lantaran kalah tenaga. Tapi Ching-ching tidak binasa. Demi langit dan bumi, ia tak mau melihat kejadian sedemikian. "Gara-gara wanita kau mati-matian" Apakah pantas" Lebih baik kau saja yang binasa!" Bu-beng-lo-jin mengangkat tangannya sekali lagi. Wang Li Hai menunduk. Ia sudah tahu sifat suhunya yang keras hati dan susah ditebak. Ia dapat saja memohon ampun dan gurunya pasti mengampuni. Tapi Bu-beng-lo-jin belum tentu mau melepaskan Ching-ching. Dalam hatinya pemuda itu bertekad. Kalau mati, biarlah mereka mati berdua! "Suhu, maafkan teecu tak dapat membalas budi," kata Li Hai tenang. Ia memejamkan mata. Dapat dirasakannya tangan Bu-beng-lo-jin terayun. Ia dapat merasakan juga betapa orang tua itu menjerit dalam hatinya dengan pilu. Tapi menuruti adatnya, Bu-beng-lo-jin tak dapat menarik kembali tangannya yang sudah turun. Li Hai sudah pasrah. Digenggamnya tangan Ching-ching erat-erat. Ia merasakan kesiuran angin dekat kepalanya. Tiba sudah ajalnya! Tap! Sebuah tangan lain menangkis pukulan Bu-beng-lo-jin. Li Hai membuka mata melihat siapa melakukan itu. Dan terkejutlah ia mendapati Ching-ching yang menggunakan tangannya menangkis serangan Bu-beng-lo-jin. Gadis itu tidak pucat lagi. Sebelah matanya berkedip ke arah Li Hai dan bibirnya tertarik memamerkan cengiran bandel. Detik berikutnya gadis itu sudah melompat berdiri. "Bu-beng-lo-jin, benar kataku. Kau tolol tak ada dua." "Budak setan, dasar apa kau memaki aku?" "Kau mau membunuh muridmu satu-satunya, apakah bukan tolol namanya" Seumur hidup kau cari, belum tentu ada orang yang sama bernasib sial mau angkat guru kepadamu. Apa tidak nanti kau yang menyesali diri?" Bu-beng-lo-jin terdiam. Ia memang tak tega membinasakan murid sendiri. Tapi di hadapan Ching-ching tak mau ia mengakuinya. Ching-ching sudah tahu isi hati orang. Ia lantas tertawa besar. "Sombongmu juga belum lenyap. Siauw Kui, sana haturkan terima kasih pada gurumu." Wang Li Hai sudah tahu maksud orang, lantas saja ia menyoja dan berkat, "Terima kasih atas budi suhu yang telah melepaskan teecu." "Hmm, yah bangunlah," kata Bu-beng-lo-jin yang kini sudah terlebih gembira romannya. "Tapi siluman itu belum boleh kuampuni." "Perlu apa aku minta ampun?" "Eh, kau tahukan aku sudah melepas budi padamu" Kenapa kau tak mengucap terima kasih?" "Siapa kesudian!" Ching-ching memberi punggung kepada Bu-beng-lo-jin. "Gadis tengik!" maki orang tua itu sembari ikut membelakangi. Ching Ching 308 Wang Li Hai melihat keadaan, kuatir nanti terjadi lagi pertempuran. Ia lantas menghadap suhunya. "Suhu, biarlah teecu mewakili buat memohonkan ampun." Pemuda itu lantas pay-koay tiga kali. "Heeeh, lantaran kau sudah bermohon, baiklah kuampuni jiwanya kali ini." "Siapa sudi terima - " Ching-ching sudah hendak mulai bertengkar lagi. Tapi Wang Li Hai lekas berdiri membekap mulut gadis itu. "Ini sudah sore," katanya. "Mati kuantarkan kau ke rumah kong-kongmu." "Aku cape!" kata Ching-ching. "Aku tak mau pergi." "Kalau kau lelah, biar aku gendong," kata Li Hai. Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ching-ching menjebi dan senang hati naik ke punggung Wang Li Hai. Ia mau digendong bukan lantaran kolokan, tetapi memangnya sudah tak sanggup lagi berjalan. Kakinya lemas dan kepalanya pusing. Begitu Li Hai tidak melihat, muka Ching-ching segera pucat lagi. Barusan ia memakai ilmu mawar merah mawar putih, yang menggunakan tenaga dalam buat merobah roman. Mukanya dapat dibikin merah macam orang mabuk, hitam seperti keracunan, ataupun pucat selayaknya mayat. Ini berguna buat mengelabui orang dan sekarang terutama ia tak mau Li Hai kuatir atas keadaannya. Seperti yang dikatakannya, Li Hai mengantarkan ke pondok Tabib Yuk. Ia mampir sebentar dan berbicara dengan Khoe Yin Hung sekalian memperkenalkan suhunya pada gadis itu. Yin Hung melayani Bu-beng-lo-jin baik sekali. Si Tua itu nampak senang. Di pojokan Ching-ching melecehkan. Setelah bercakap-cakap ke sana ke mari, Yin Hung pada akhirnya mengemukakan bahwa ia ingin pulang. "Pulang" Kenapa?" tanya Li Hai. "Aku sudah pergi terlalu lama. Sudak saatnya balik ke rumah. Lagipula sebentar ladi popo-ku she-jit. Pantasnya aku yang mempersiapkan segala sesuatu." "Aku juga mau pulang," kata Ching-ching tiba-tiba. "Aku kangen pada Nio. Pula hampir lewat sebulan sekarang. Kalau nanti Kim-gin-siang-coa menyerang, aku harus ada di sana membela keluargaku." "Benar. Ilmumu boleh dikata tinggi," ujar Li Hai. "Oh ya, omong-omong kenapa kau gunakan ilmu itu" Bukankah Pek-san-bu-koan melarang menggunakan ilmu dari partai lain" Tidak cukupkan kau buat kesalahan itu sekali?" "Aku sudah tak ada urusan dengan Pek-san-bu-koan," kata Ching-ching sedih. "Aku berbuat salah tempo hari dan tak ada ampun bagiku. Suhu telah putuskan hubungan guru dan murid denganku." Tahu-tahu kedengaran Bu-beng-lo-jin tertawa besar. "Apa yang lucu"!" tanya Ching-ching galak. "Kau! Kau diusir oleh gurumu" Ha-ha, sungguh tindakan pandai. Aku salut dengan bekas gurumu itu. Wah, lain kali aku mesti mampir memberi selamat. Ha-ha, gadis banyak lagak ternyata tak becus jadi murid." "Bungkam!" teriak Ching-ching seraya menyampok dengan poci teh. Poci itu melayang cepat tanpa tumpahkan isinya. Tiba di dekat Bu-beng-lo-jin, barulah menuang teh itu ke kepala si Tua itu. Bu-beng-lo-jin bukan sembarang orang. Ia sudah tahu tindakan Ching-ching. Maka dari itu ia dongakkan kepala menerima air dengan mulutnya sambil mengambil poci itu. "He-he, sungguh santun. Engkan mau menyulangi aku teh sepoci. Hi-hi, mari minum sama-sama." Bu-beng-lo-jin balas melempar poci kepada Ching-ching. Belum separuh jalan, poci itu sudah balik lagi. "Tak sudi aku minum bersamamu!" kata si gadis. "Kau boleh minum sendiri sampai perutmu kembung." Ching Ching 309 Poci itu menungging lagi. Tapi sewaktu Bu-beng-lo-jin membuka mulut buat menyambuti, mendadak poci itu pecah berantakan. Airnya tumpah ke muka Bu-beng-lo-jin. Sementara mulut poci jatuh menyumbat mulut orang tua tak bernama itu. "Hi-hi, sungguh bagus. Baru sekali aku lihat orang kehujanan di dalam rumah." Ching-ching bertepuk tangan. "Bu-beng-lo-jin, kalau tak punya hun-cwee, belilah, jangan pakai mulut poci begitu." "Puh!" Boe-beng-lo-jin membuang benda di mulutnya sambil menggebrak meja sampai patah keempat kakinya. Ia menantang, "Kau betul tak boleh diampuni! Kalau berani, hayo kita selesaikan dengan mengadu jiwa!" "Boleh!" sambut Ching-ching ikut melotot. "Ching-ching!" dua suara menegurnya bersamaan. Satu adalah Wang Lie Hay, seorang lagi tak lain adalah Tabib Yuk yang baru datang. "Apa-apaan?" tegur tabib sakti itu. "Kong-kong!" Ching-ching menyapa. "Oh, ini kong-kongmu?" Boe-beng-lo-jin menuding. "Kau! Kau tidak becus mengajar cucumu. Makin besar makin dia kurang ajar." "Kong-kong, jagnan percaya. Dia sendiri yang kelewatan. Disuguhi malah merusak meja dan memecahkan poci." "Ching-ching, jaga kelakuanmu!" tegur kong-kongnya. Gadis itu seketika terdiam. Tabib Yuk berbasa-basi sejenak dengan Boe-beng-lo-jin. Sebagai seorang dari kalangan Kang-ouw, tata sopan santun ini sudah berakar padanya. Sebaliknya, Boebeng-lo-jin yang merasa dihormat orang menjadi jumawa. Untunglah ia tak punya banyak waktu menjelek-jelekkan Ching-ching. Wang Lie Hay keburu pamit pada tuan rumah dan tentu saja ia harus ikut pergi. Begitu kedua tamu tak kelihatan lagi, Tabib Yuk segera duduk berhadapan dengan Ching-ching. "Kau sudah menemui suhumu" Hukuman apa yang kauterima?" Sekali lagi Ching-ching menceritakan apa yang terjadi. "Apakah Soe-heng betul-betul tak memberimu ampun?" Tabib Yuk keheranan. "Kalau begitu, biar aku yang memohonkan kepadanya!" "Kong-kong, jangan! Tak usahlah membuat beliau repot-repot lagi. Lagipula dengan tidak menjadi murid Pek-san-boe-koan kini aku lebih bebas bertindak." "Tapi - " "Uaah, sudah sore. Aku capek. Istirahat dulu ah." "Tunggu!" Tabib Yuk mencegah. "Mukamu pucat. Lukamu mestinya terbuka lagi. Ke sinilah kembali dulu." Kong-kongnya itu memeriksa tak berapa lama. Dengan meraba nadi ia sudah tahu penyakit orang. "Benar kataku. Hatimu tergoncang dan lukamu terbukan kembali. Untungnya lwee-kangmu sudah bagus. Dan lwee-kangmu yang terpendam kini berputar-putar di tubuhmu dan mau menyembuhkan lukamu pula. Malam ini kau cukup siu-lian dan minum obat. Niscaya besok pagi kau merasa enakan. Kalau kau siu-lian tiga malam berturutan, musnah sudah lukamu." "Kong-kong memang paling hebat. Orang lain tidak tahu, tapi Kong-kong tak dapat ditipu," Ching-ching memuji. "Tak usah menyanjung. Sana pergi mengaso. Kumasakkan obat untukmu." Begitu kong-kongnya berlalu, sirna sudah senyum di wajah Ching-ching. Ia menunduk muram. "Ada apakah?" tanya Yin Hung. "Aku mau pulang." "Pulang" Kenapa?" "Tak ada gunanya lagi aku tinggal di sini. Pek-san-boe-koan sudah tak anggap aku Ching Ching 310 sebagai murid.T ak punya muka aku berdia di wilayah mereka." "Hmm, yah aku mengerti," kata Khoe Yin Hung. "Kalau kau pulang, aku juga mau pergi." "Kau" Bagaimana dengan Hai-komu?" Ching-ching mendadak teringat. Wang Lie Hay bukankah adalah Siauw Koeinya" Mana boleh ia membiarkan gadis lain mendekati" Maka dari itu, ia buru-buru menyambung ucapannya. "Tapi kalau kau memang mau pergi, ya tidak apa-apa. Ke mana tujuanmu?" "Aku juga mau pulang. Sebentar lagi ulang tahun Po-po. Aku tentu harus bantu-bantu di rumah." "Po-pomu she-jit kapan?" "Bulan depan. Tapi sampai sekarang aku tak tahu kado apa yang pantas buat beliau." "Aku tahu! Mintakan Kong-kong membuat resep racun yang langka! Po-pomu pasti girang menerima." "Tapi, apakah Kong-kongmu suka memberikannya?" "Tunggu saja. Ditanggung besok malam kita sudah dapat dan paling banter besok pagi sudah dapat berangkat. Kau berkemaslah. Sebelum pergi nanti, kita mengunjungi Hay-ko dulu di kota!" Sementara itu di tengah kota, berdiam di penginapan yang dimilikinya, Wang Lie Hay termenung sendiri. Suhunya sudah ada yang melayani. Kesibukan mengurus tamu yang membancjir juga ada yang mengatasi. Ia punya banyak waktu buat dirinya sendiri. Wang Lie Hay sedang merenungkan sendiri apa yang nanti bakal terjadi setelah kini gurunya datang. Pula Ching-ching telah mengetahui siapa dia yang sebenarnya. Apakah sikap gadis itu berubah" Kalau dulu sikapnya hanya sebagai kawan biasa, mungkinkah sekarang menjadi terlebih akrab seperti pada saat mereka pertama kali bertemu dul" Lie Hay memang merindukan saat-saat seperti dahulu itu. Tapi, bisakah terulang" Bagaimana kalau Ching-ching tidak berubah sikap dan cuma menganggap kawan saja" Dan kalau benar ia nanti kembali seperti dulu, bagaimana sikapnya kepada Khoe Yin Hung dan In Sioe Ing" Apalagi terhadap Thio Lan Fung! Mendadak pintu kamarnya diketuk orang. Lie Hay segera mendusin dari lamunan. "Kong-coe, ada seorang nona mencarimu! Seorang nona" Siapa kira-kira" Apakah Ching-ching" Mau apa gadis itu" Wang Lie Hay buru-buru keluar menemui pelayan. "Di mana dia?" "Di kamar utara," kata si pelayan. Lie Hay bergegas menuju tempat yang disebut kamar utara, yang tak lain adalah kamar makan istimwa di mana orang menjamu kawan yang dihormati secara mewah. Demikian pula kamar barat, selatan, dan timur. Di tempat-tempat itu orang dapat berbincang-bincang secara leluasa, tanpa perlu kuatir terdengar atau terlihat orang lain. Letaknya yang agak memencil membuat orang merasakan ketenangan tanpa peduli di luar kamar ada keributan. Daya tarik ini menyebabkan para pejabat sering mampir di sana. Wang Lie Hay sebagai pemilik, tidak tahu bagaimana losmen sekaligus rumah makan yang dibelinya menjadi sedemikianb esar. Ia cuma tahu memberi modal, segala pengurusannya disrahkan kepada Yang liang-koei. Dan si pengurus itu ternyata orang jujur. Begitu Lie Hay tiba, ia langsung berikan hasil keuntungan. Tapi majikannya itu cuma mengambil seperlunya, sisanya diberikan pada Yang liang-koen. Kiranya itulah yang dijadikan modal usaha. Wang Lie Hay menghampiri gadis yang berdiri memandang keluar jendela. Ia agak kecewa gadis itu bukan Ching-ching. Ching Ching 311 "Hay-ko! Thio Lan Fung yang menyadari oarang datang langsung menyapa. "Fung-moay!" Lie Hay balas menyapa. "Kupikir kau sedang di perjalanan ke rumahmu setelah kau dijemput abangmu tempo hari." "Kau tak senang aku kemari" Baiklah aku pergi!" Thio Lan Fung bertindak. "Fung-moay, jangan begitu. Tentu saja aku senang kau datang." Wang Lie Hay tidak berdusta. Secara jujur ia senang pada Thio Lan Fung, senang pula gadis itu menyempatkan diri untuk mampir. Terus terang Lie Hay ada merasa bangga. "Aku hanya merasa heran saja." "Gie-ko tidak berniat membawaku pulang. Alasannya saja supaya dapat keluar dari ... Sudahlah, jangan bicarakan tentang dia lagi. Aku - " "Haaa!" sebuah seruan mengagetkan muda-mudi itu. "Kucari-cari nyatanya kau sedang berdua dengan dia! Eh, kau bukan gadis yang tadi!" "Soe-hoe!" Lie Hay langsung memanggil. "Soe-hoemu?" Thio Lan Fung seperti tak percaya. Tapi melihat betapa Lie Hay menghormat, ia pun lantas menjura. "Cian-pwee, Boan-pwee Thio Lan Fung menyalam." "Eh, ya ya ya." Boe-beng-lo-jin yang tak terbiasa cuma dapat menjawab demikian. "Euh, muridku, ini sudah waktunya makan." Wang Lie Hay segera memanggil pelayan, memesan segala macam makanan. Di dekatnya Boe-beng-lo-jin tersenyum-senyum bangga. Lihatlah muridnya, hasil didikannya. Belum ada setahun di luaran sudah jadi bos besar, jadi pemuda yang dikejar banyak gadis pula. Siapa takb angga punya murid sedemikian. "Fung-moay, kau menginaplah beberapa hari di sini," Wang Lie Hay menawarkan. Memang itu maunya Lan Fung. Tapi ragu-rag ia menoleh kepada Boe-beng-lo-jin. "Ya, ya, menginap saja!" Orang tua itu lekas berkata, "Lebih baik kau menemani muridku daripada nanti dia kesepian." "Soe-hoe!" Lie Hya menegur. "Daripada kau berkawan dengan setan betina bernama Ching-ching itu!" soe-hoenya membandel. Mendengar nama saingannya disebut dengan rasa benci, hati Thio Lan Fung melonjak girang. Kiranya guru Lie Hay juga membenci dia. Hah, itulah bagus. Bagus sekali. "Apakah kau kenal dengan gadis Ching-ching itu?" Boe-beng-lo-jin bertanya. "Tentu saja. Si tukan cari ribut itu," Thio Lan Fung menunjukkan rasa tak senangnya pada Ching-ching. "Betul, betul! Tukang cari ribut. Tepat sekali. Tuh, A-hay, apa kataku. Jangan dekati setan itu. Kouw-nio ini juga tahu dia itu biangnya ribut!" Wang Lie Hay cuma mesem saja. Ia tak suka gurunya menjelek-jelekkan orang. Apalagi orang itu adalah Ching-ching. Ia juga tak suka Lan Fung ikut-ikutan. Tapi pemuda itu enggan mengungkapkan apa yang dirasakannya. Untunglah saat itu pelayan membawa hidangan. Percakapan yang menyenangkan bagi Boe-beng-lo-jin dan Thio Lan Fung terputus. Tapi kedua orang itu telanjur senang satu sama lain. Paling tidak mereka punya satu kecocokan. Maka dari itu, keduanya cepat merasa akrab. Bahkan pada waktu makan, Thoi Lan Fung banyak melayani Boe-beng-lo-jin. Mengambilkan sayur, menuang arak. Dan si orang tua tak bernama itu senang diperlakukan sedemikian. Ia pun jatuh sayang pada Thio Lan Fung. Secara diam-diam disandingkannya gadis itu dengan muridnya. Cocokkah" Wah, ternyata betul sangat cocok. Thio Lan Fung punya wajah yang cantik. Jauh melebihi si iblis kecil Ching-ching dan pedang yang dia bawa menunjukkan bahwa dia bukan gadis sembarangan. Sikapnya telaten, sopan, hormat, dan jelas mau melayani Soe-hoe dan Lie Hay. Huah, sungguh pantas dijadikan murid-mantu. Ching Ching 312 "Cian-pwee, silakan!" "Ya, ya, cukuplah aku sudah kenyang. Ngantuk sekarang. Maklum sudah tua, cepat capek, lain dengan kalian. Eh, malam ini terang bulan. Kenapa kalian tidak jalan-jalan?" Lan Fung langsung menoleh pada Lie Hay, memandang penuh harap. Dan Wang Lie Hay tentu saja tidak menolak. Saat berikutnya keduanya sudah berjalan-jalan di tengah kota yang cukuplah ramainya itu. Pagi hari Ching-ching dan Yin Hung sudah bersiap akan berangkat. Tabib Yuk ikut repot mengingatkan ini-itu yang mesti dibawa. Setelah semuanya beres, kedua gadis itu berpamitan. "Yuk Toa-hoe, kami permisi dulu," kata Yin Hung. "Sampaikan salam selamatku buat nenekmu." "Kong-kong, aku pergi." "Kau hati-hatilah di jalan. Meski kau bukan lagi murid Pek-san-boe-koan, jangan sembarangan bertindak." "Kong-kong juga jaga diri baik-baik. Sampaikan salamku pada saudara-saudara di Pek-san-boe-koan. Dan Kong-kong, berjanjilah akan membuat Ngo-soe-heng, eh, maksudku Wu Fei Ko-ko menjadi sembuh." "Tak usah kausuruh, aku pasti akan berusaha menyembuhkan dia." "Aku tahu. Kalau nanti Wu Fei tak sembuh, Kong-kong mesti mencopot gelar Yok-ong-phoa." "Sudah, kau pergilah. Kalau tidak, nanti tak kukasih kau pergi." "Baiklah, Kong-kong, selamat tinggal." "Kapan kau ada waktu, janganlupa mampir kemari!" seru Tabib Yuk dari jauh. Ching-ching membalas dengan lambaian tangan. Mau tak mau ia sedih juga. Setelah perpisahan ini, entah kapan mereka dapat bersua algi. Seperti yang sudah diatur kemarin hari, Ching-ching dan Yin Hung mampir dulu ke tempat Wang Lie Hay. Kebetulan pemuda itu ada di tempatnya. Ia heran megnetahui Ching-ching akan pulang sedimikian cepatnya. "Kau mau berangkat sekarang?" tanyanya memastikan. "Langsung pulang?" "Sebenarnya aku mau mampir dulu ke rumah Siauw Hung. Hendak menyampaikan kado ulang tahun dari Kong-kong." "Hay-ko, sebenarnya aku mau kau ikut, tapi kau tentu tak dapat meninggalkan soehoemu," kata Khoe Yin Hung menyesal. "Siapa bilang tidak bisa?" mendadak Ching-ching berseru. "Siauw Koei, lekas kau bebenah. Kau ikutlah dengan kami." "Tapi - " "Sudah, sana pergi beres-beres." Begitu Lie Hay pergi, Yin Hung tak dapat tidak menanya. "Apa kau sebut Hay-ko tadi?" "Siauw Koei, kenapa?" "Aku baru dengar. Semenjak kapan kau menyebut dia begitu?" "Semenjak dulu sewaktu pertama bertemu. Aku juga baru tahu ia ada satu kawan lamaku. Lantaran soe-hoenya kemarin." "Kau sampai tak kenal" Apakah ia banyak berubah?" "Yah, dia sekarang lebih jangkung, putih, gagah. Wah, kalau kau lihat dia dulu, tak bakal kau sudi jadi kawannya!" "Tak mungkin!" sanggah Khoe Yin Hung dengan muka merah. Ia suka pada Wang Lie Hay, tak peduli seperti apa rupanya. Pada saat itu dua orang yang sedang berjalan masuk sambil bercakap-cakap melihat Ching Ching Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo 313 mereka. Kebetulan Ching-ching juga memandang. Serempak ketiganya membuang muka ke lain-lain arah. "Thio Kouw-nio, mari kita bercakap-cakap di pojokan sana saja," ajak Boe-beng-lo-jin, tak menganggap kepada Khoe Yin Hung yang menjura memberi hormat. "Wah, Siauw Hung, kau merasa tidak, rasanya ada yang berbau busuk di sekitar sini." Ching-ching mendengus-dengus mendekat kepada dua orang yang baru datang. "Wah, di sini baunya paling luar biasa." "Apa maksudmu?" Thio Lan Fung tersinggung lantaran Ching-ching ada di dekatnya. "Eh, Siauw Hung, apakah kau mendengar sesuatu?" Ching-ching berlagak tidak mendengar. Tinggal Khoe Yin Hung merasa terjepit. Membenarkan Ching-ching, ia merasa tak enak pada Boe-beng-lo-jin. Mau menyangkal, Ching-ching adalah kawannya. Akhirnya ia memilih diam saja. Untunglah Lie Hay segera datang. Ia membawa bekalnya , tapi rupanya masih menampakkan kebingungan. Apalagi melihat soe-hoenya dan Thio Lan Fung. Pemuda itu semakin salah tingkah. "Mau ke mana?" tanya soe-hoenya melihat buntalah yang dibawa. "Siauw Koei akan pergi bersama kami!" sahut Ching-ching ketus. "Dengan kamu" Tidak boleh!" "Siapa boleh melarangku" Siauw Koei, mari pergi!" "Hay-ko!" Thio Lan Fung ikut menarik Lie Hay ke lain arah. "Kalau kau pergi, aku ditemani siapa?" "Si Setan Tua itu pasti tak keberatan menemanimu," ketus Ching-ching. "Sudahlah, jangan ribut-ribut. Kenapa tidak semuanya saja pergi" Dengan demikian, she-jit Po-po akan semakin meriah." "Begitu lebih baik," kata Lie Ha sambil cepat melepaskan diri dari Lan Fung dan Ching-ching. "Fung-moay, benahilah barang-barangmu. Soe-hoe, biar aku yang bantu beres-beres." "Buat apa" Aku tak mau pergi bersama setan betina itu." "Siapa yang mengharapkanmu ikut," tukas Ching-ching. Setengah menyeret, Wang Lie Hay ditariknya pergi tanpa memberi kesempatan untuk pamitan lagi. Khow Yin Hung masih tahu sopan. Ia memberi hormat dulu kepada Boe-beng-lo-jin sebelum pergi, baru kemudian menyusul. "Dasar iblis cilik!" gerutu Boe-beng-lo-jin. Ia menoleh pada Thio Lan Fung yang cemberut lantaran ditinggal. "Kau menunggu apa" Lekas susul muridku. Jangan kaubolehkan dia berduaan saja dengan iblis itu!" Tanpa memikir dua kali, Thio Lan Fung lekas menyusul. Saking terburu-buru ia sampai lupa pamitan dulu. Tapi Boe-beng-lo-jin tidak peduli. Ia sendiri sibuk menyumpah-nyumpahi Ching-ching yang membawa kabur muridnya. Dua hari berjalan bersama-sama, baik Khoe Yin Hung maupun Thio Lan Fung sudah dapat melihat perubahan sikap Ching-ching dengan Lie Hay. Kalau sebelum ini di antara mereka cuma sebagai kenalan saja, sekarang keduanya berlak sebagai pasangan muda-mudi yang sudah saling mengenal semenjak kecil. Ini tentu saja membuat kedua gadis yang sama-sama menaruh hati pada Lie Hay itu menjadi tidak senang. Bahkan Khoe Yin Hung menjauhi juga sahabatnya. Ching-ching bukannya tak menyadari, tapi ia terlebih tak peduli. Sejak dulu Siauw Koei adalah miliknya. Siapa yang boleh merebut darinya" Mereka sampailah di sebuah desa tak jauh dari Ban-tok-lim, tempat kediaman Khoe Yin Hung. Seperjalanan lagi akan sampailah mereka di Ban-tok-pang. Tapi hari Ching Ching 314 telah gelap. Malam itu mereka menginap dulu di rumah seorang petani tua yang mau memberi tumpangan. Tengah malam, ketika sedang lelap tertidur, mendadak kedengaran suara orang ribut-ribut. Sebagai orang kalangan Kang-ouw, empat muda-mudi ini segera keluar dari rumah untuk melihat apa gerangan telah kejadian. Nyatanya ketika sampai di luar, langit sebelah utara telah menjadi terang kemerahan. "Apakah fajar datang terlalu cepat?" tanya Lan Fung heran. "Ini belum lewat tengah malam, tolol, bagaimana bisa muncul fajar. Itu adalah api." "Kebakaran!" Wang Lie Hay menegaskan. "Kebakaran besar!" Khoe Yin Hung sedari tadi diam saja. Matanya nyalang ke api di kejauhan. Mendadak mukanya pucat dan lantas berlari ke arah kebakaran. "Siauw Hung, mau ke mana?" Lie Hay menegur. Tapi Khoe Yin Hung berlari terus. Sekali ini ia tak mendengar panggilan Lie Hay. "Kenapa dia?" Lan Fung tak kalah bingung. "Jangan-jangan ...!" Tak membuang waktu lagi, Ching-ching dan Lie Hay menyusul Yin Hung. Di belakang mereka, Lan Fung mengikuti. "Meski Khoe Yin Hung tak terlalu cepat berlari, tapi kawan-kawannya ada menghadapi kesukaran buat menyusul. Sebentar-sebentar keduanya berhenti, menajamkan mata dan telinga buat mencari ke mana kiranya Yin Hung memilih jalan. Lantara tak ada bulan malam itu jadi teramat gelap. Tapib agi Lie Hay yang pernah lama hidup tanpa cahaya, hal itu tak terlalu jadi masalah. Malah ia masih dapat melihat rumput yang rebah lantaran diinjak orang. Denganb egitu mereka jadi terlebih yakin. Hampri dua pertanak nasi mereka berlari. Cahaya api semakin terdekati. Yin Hung tetap tak kelihatan. Tapi mereka semua sudah tahu ke mana tujuan, tak ada tandanya pun dapat menduga. Makin ke sana, jalanan yang bulak-biluk menjadi terlebih tak rata. Bayangan Yin Hung juga sudah tak jauh di depan. Tapi kemudian ada yang lain yang menghalangi penglihatan, yaitu kabut putih kehijauan yang wangi sekali. "Bau apa ini" Wangi sekali!" Thio Lan Fung mengendus-endus. "Jangan! Ching-ching lekas menutup pernapasan dan membekap hidung Lie Hay. Tapi terlambat mengingatkan Lan Fung yang sempoyongan rubuh ke tangah. "Tutup jalan pernapasanmu, kabut awan ini beracun!" Ching-ching berseru. Ia lantas mengeluarkan sapu tangan, mengambil sepotong dahan dari poinggir jalan di mana banyak tumbuh semacam pohon bercabang banyak. Wang Lie Hay mengawasi saja apa yang dilakukan Ching-ching. Gadis itu meremas potongan dahan di dalam sapu tangannya. Tersiarlah bau menyengat. Ching-ching mengikatkan sapu tangannya ke kepala Lan Fung buat menutupi hidung dara yang jatuh semaput itu. "Begini dia tak bakal mati," ujarnya, lalu memotong dua cabang lagi dan memberikan satu buang Wang Lie Hay. "Kunyahlah, tapi jangan ditelan. Ayo cepat, kita mesti menyusul Siauw Hung." "Thio Kouw-nio bagaimana?" "Tak ada waktu. Biarkan saja di situ. Sebentar kemudian dia akan mendusin sendiri. Sekarang ini Siauw Hung terlebih gawat. Aku kuatir ia bertindak yang bukan-bukan." Sembari berlari, Lie Hay mengunyah potongan dahan yang diberi Ching-ching. Puah, dalam keadaan biasa, tak akan mau ia memasukkan mulut barang seperti ini. Rasanya pahit, getir. Dengan bau yang luar biasa pula. Meski begitu, karena ia Ching Ching 315 tak mau sempaut seperti Lan Fung, ditahannya saja mualnya lantaran dahan bau itu. Tak berapa lama, asap putih yang menyelubungi mereka lenyaplah. Mereka kini berada di depan sebuah hutan kecil. "Awas, jangan sembarangan melangkah. Nih, baluri dulu badanmu dengan ini!" Ching-ching memberikan sebotol obat. Wang Lie Hay menurut saja. Ia percaya pada Ching-ching. Hutan kecil itu tidak seberapa dalamnya. Cuma sangat lebat sehingga orang yang tidak tahu, dapat mengira itu adalah sebuah belantara luas. Lewat dari hutan, mereka tibalah dis ebuah lapangan yang amat luas berumput hijau kebiruan. Tak jauh di depan tampaklah Yin Hung berlari ke arah kebakaran besar di tengah-tengah lapangan itu. "Siauw Hung!" Lie Hay mengejar. Yin Hung terus saja berlari seperti yang kesetanan, memanggil-manggil nama poponya. Lie Hay berhasil menyusur sewaktu mereka sampai di pelataran Ban-tok-pang yang terang benderang lantaran cahaya api. Yang membuat mereka terkejut adalah melihat banyaknya mayat bergelimpangan di pelataran itu. Kelihatan pula bekas-bekas orang berkelahi. Yin Hung mendekati salah satu mayat. Ia langsung menjerit begitu mengenali. "Pah Siok-siok! Siok-siok!" Ia menghampiri yang lain. "Chen Kouw-kouw! Apa yang terjadi" Mana Po-po?" Mendadak Yin Hung sadar. Mereka semua sudah mati, tak dapat lagi menjawab pertanyaannya. Yin Hung berdiri dan mendelong. Ia tak mendengar Ching-ching memanggil namanya. "Siauw Hung, di sini ada yang hidup! Siauw Hung!" Lantaran Yin Hung tak bergeming, terpaksalah Lie Hya menyeretnya ke dekat sesosok tuuh bersimbah darah yang masih bernapas. Satu-satu ... seperti sudah tak kuat. Tapi ia masih dapat menyapa nonanya meski sudah payah. "Sio ... cia!" Yin Hung melihat kepadanya. Gadis itu buru-buru berjongkok di dekat anka buahnya. "Toa Sinag! Ini kenapa" Apa yang telah kejadian?" "Ini ... oleh ... Kim-gin ..." "Kim-gin-siang-coa-pang?" Ching-ching memotong. "Tapi kenapa?" "Sudah lewat ... ulang tahun ... tak mau datang ..." "Undangan Kim-gin-siang-coa!" Ching-ching berseru. "Mereka berkata hendak membasmi partai yang tidak memberi muka!" "Po-po mana?" Yin Hung bertanya panik. "Jawab aku, Po-po ada di mana?" "Loo-nay-nay, dia ada di ... kamar ... ra - ha - sia ..." Itulah kata-kata terakhir Toa Siang yang segera terbang jiwanya setelah berkata. Khoe Yin Hung tak menyadari kematian anak buahnya. Ia menoleh ke api yang berkobar-kobar tak terlalu jauh dari tempatnya sekarang. Gadis itu bengong menjublak sesaat. Tahu-tahu ia melompoat, berlari ke arah api seakan hendak menembusinya. "Siauw Hung!" Ching-ching lantas mengejar hendak mencegah. Lie Hay juga segera bangkit. Tapi mendadak kepalanya terasa begitu enteng sampai terasa mau terbang. Terbang! Lie Hay ambruk ke tanah, tak ingat apa-apa lagi. Ching-ching mempercepat larinya. Yin Hung tak boleh masuk ke sana, ke api yang menyala. Tak ada apa-apa lagi yang bisa diselamatkan dari dalam sana. Tidak juga Khoe Lan Fey. Yin Hung tak akan dapat menyelamatkan po-ponya yang pasti sudah jadi abu. Dan gadis itu akan bernasib sama bila nekad hendak masuk ke sana. Ching Ching 316 Semakin dekat dengan api, justru semakin jauh Ching-ching dan Yin Hung. Diam-diam Ching-ching merasa heran. Gin-kangnya ada terlebih baik, jauh lebih baik dari Yin Hung. Lantas kenapa ketinggalan" Gadis itu mengempos semangat. Yin Hung sudah terlalu dekat ke api. Ia tak boleh masuk ke sana! Nekad, Ching-ching melompat menubruk sobatnya, jatuh ke tanah. Gadis itu menggulingkan diri menjauhi api, Yin Hung diseretnya juga. "Lepaskan!" Yin Hung berteriak. "Aku mesti selamatkan Po-po! Kau lepaskan!" "Siauw Hung, Po-pomu tak bisa diselamatkan lagi." "Bohong! Po-po ada di sana. Aku mesti ajak keluar. Dia tak tahu ada kebakaran!" "Siauw Hung! Siauw Hung, dengar, po-pomu sudah mati tahu! Mati! Bahkan dewa takd apat membuat dia hidup kembali!" "Dusta kau! Belum lihat mayat Po-po, mana boleh kau berkata begitu" Lepaskan aku! Aku mau pergi." "Tidak! Aku tak mau biarkan kau bunuh diri!" "Aku tidak mau bunuh diri, aku mau tolongi Po-po! Kau lepaslah aku, Ching-ching. Aku bermohon padamu!" Ching-ching tak peduli Ia malah menyeret sobatnya menjauhi gedung besar yang mulai runtuh lantaran terbakar. Yin Hung tak kehilangan akal. Biarpun ia berontak sebagaimana, tetap saja tangan Ching-ching tak dapat lepas. Akhirnya Yin Hung mengambil tusuk rambutnya dengan sebelah tangan yang bebas. Dengan sekuat tenaga ia menancapkan benda itu ke tangan Ching-ching. Ching-ching meraskaan pedih di tangannya. Gadis itu menggigit bibir menahan sakit. Tapi ia tak menoleh. Tangannya pun tak mau lepas, meski setelah itu ia masih merasakant ikaman Yin Hung berkali-kali. Melihat usahanya tak berhasil, Yin Hung membuang tusuk rambutnya. Ia memancangkan kaki ke tanah, tapi terang saja kalah tenaga dari Ching-ching. Gadis itu tak bisa berpikir lain daripada duduk di tangah membiarkan Ching-ching menyeretnya. "Ching-ching, kalau kau tak lepaskan aku, aku tak mau jadi temanmu! Aku tak mau bicara seumur hidup, aku akan bunuh kau!" Ching-ching tetap tak menyahut. Yin Hung melirik betis Ching-ching. Ia tahu gadis she Lie itu tak pernah meninggalkan pisaunya dan selalu melekatkan di tempat sama, di balik sepatunya. Secepat-cepatnya Yin Hung menyambar ke arah sana. Dapat! Ching-ching kurang cepat menyadari. Ia baru melihat Yin Hung menggenggam belati. "Aku akan bunuh kau kalau tak lepaskan aku." "Aku lepas kalau kau tak balik ke sana." "Baiklah!" "Sayangnya, aku tak percaya. Dan aku juga tak percaya kau dapat membunuhku." "Kau benar, aku tak mungkin dapat membunuhmu. Baik, dengan satu tangan aku masih mampu menyelamatkan Po-po!" Yin Hung mengayunkan pisau hendak menebas tangan sendiri. Ching-ching keburu sadar. Pula dia terlebih waspada. Kakinya cepat melayang, menendang pisau terpental, masuk ke sarungnya yang tersembunyi di balik sepatu. Bersamaan dengan itu, tangannya melayang menampar Yin Hung yang teriak-teriak mengancam akan bunuh diri bila tak segera dibiarkan menolong po-ponya. "Dengar!" Ching-ching berjongkok di hadapan sobatnya yang begitu kaget ditampar olehnya. "Kalau po-pomu memang bisa ditolong,a ku dan Hay-ko sudah menolongnya sedari tadi. Kami lebih cepat dan jauh lebih kuat darimu. Tapi ilhat ke sana! Ching Ching 317 Lihat ke tengah api itu! Lihat rumah yang nyaris rata dengan tanah! Apa yang bisa kauselamatkan dari situ?" "Po-po. Po-po ada di dalam." "Dia sudah mati!" "Tidak!" "Dia mati!" "Tidaaak!" Yin Hung berteriak. "Po-po tak boleh mati!" Di mulut, Yin Hung boleh bilang tak mungkin,t api di dalam hatinya gadis itu mulai percaya. Itulah kenapa dia yang sedari tadi berontak, kini cuma duduk teriak-teriak sembari mencucurkan air mata memanggil-manggil po-ponya yang tak juga keluar dari api. Ching-ching tak berkata apa-apa. Ia sudah tahu perasaan Yin Hung. Gadis itu memeluk sobatnya erat-erat. Tahu-tahu ia merasakan Yin Hung lemas. Gadis she Khoe itu semaput, pingsan. Mulanya Ching-ching mengira Yin Hung lemas karena sedihnya. Tapi kemudian ia sendiri meraskan kepalanya sendiri enteng. Pandangannya mulai tidak jelas. Tahulah Ching-ching ada sesuatu yang tidak beres. Ia teringat Siauw Hung berkata hawa di sekitar Ban-tok-pang ada mengandung racun. Gadis itu lekas mengeluarkan sian-tan yang bisa menangkal segala racun dan menelannya sebuah. Ia juga menjejalkan satu ke mulut Siauw Hung, lalu ia mencari Lie Hay dengan matanya. Melihat Wang Lie Hay semaput, Ching-ching lekas mendekat dan mengeluarkan lagi sebutir sian-tan. Sesudah itu ia menyeret Lie Hay dan Siauw Hung menjauh dari tempat yang sudah seperti neraka itu. Pagi harinya Wang Lie Hay terbangun dan melihat Thio Lan Fung berada di sampingnya. Nyatalah ia berada di sebuah kamar sederhana. Entah bagaimana ia bisa ada di situ. "Hay-ko, kau sudah bangun." Thio Lan Fung bangkit dari duduknya. "Fung-moay, ini aku berada di mana" Siapa membawaku kemari?" "Semalam kau tak sadar. Orang sekampung yang menolongmu pulang." "Lalu yang lain" Ching-ching dan Yin Hung?" "Mereka ada di kamar lain." "Aku mesti menengok." Lie Hay bangkit. "Tak usah. Ching-ching sudah menemani Khoe Yin Hung. Mereka sedang berbincang-bincang dan tentunya tak suka diganggu. Hay-ko, kau istirahat sajalah." Apa yang dikatakan Thio Lan Fung hampir benar. Ching-ching memang menemani Yin Hung, tapi keduanya sama berdiam diri. Yin Hung sedih karena semua kerabatnya telah binasa. Ia menyesal terlambat pulang. Kalau tidak ... Tapi kalaupun ia lebih cepat datang, apa yang dapat dilakukan" Bukankah itu berarti ia ikut mati" Kepandaiannya masih di bawah tingkatan Po-ponya. Dan kalau Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo neneknya tak bisa berbuat banyak, apalagi dirinya. Pula, ia belum kepingin mati sekarang. Tidak! Nanti ia tak dapat bersama-sama Hay-konya lagi. Hay-konya" Betulkah Wang Lie Hay adalah miliknya" Kepunyaannya" Yin Hung sendiri masih bersangsi. Sementara Ching-ching memikirkan ayah-ibunya sendiri. Sudah lewat tempo yang diberikan Kim-gin-siang-coa-pang datang ke she-jit si Ular Betina. Lalu apa hukumannya" Apakah dibasmi semua sama seperti kerabat Yin Hung" Kim-gin-siang-coa-pang adalah partai yang kuat. Mustahil dilawan Pek-eng-pay sendirian. Pula mereka terkenal beringas. Sekali menantang, tak akan mundur Ching Ching 318 setapak. Sekali mengancam, pasti terlaksana. Semakin dipikir, Ching-ching semakin berkuatir. "Lie Mei Ching, Hay-ko mau ketemu kau," seruan Thio Lan Fung menggugah kedua gadis itu. "Sebentar aku ke sana," sahut Ching-ching. "Siauw Hung, aku pergi sebentar." Yin Hung mengangguk dan memalingkan muka ke tembok. Benar apa yang ditakutkannya Semenjak tahu bahwa Lie Hay bukan lain adalah Siauw Koei, Ching-ching semakin dekat pada pemuda itu. Lie Hay kadang lupa, yang bersamanya bukan Ching-ching seorang. Thio Lan Fung juga sering terlupakan. Mendadak Yin Hung tersentak. Selama ini yang menjadi saingannya merebut perhatian Lie Hay adalah Lan Fung. Itu pun ia hampir-hampir terkalahkan. Kini Ching-ching juga mendekati pemuda pujaannya. Bukankah ia semakin tersisih" Sebentar saja Lie Hay tak akan ingat pernah mengenal dia. Yin Hung merasa sendirian di dunia ini. Keluarganya musnah sudah. Pemuda pujaannya telah direbut orang. Orang itu adalah sahabatnya sendiri. Bahkan sobatnya tega mengkhianati dia! Lalu buat apa ia hidup lebih lama di dunia" Tak ada gunanya. Yin Hung bangkit dari tempat tidur. Ia sudah bertekad akan menghabisi nyawanya sendiri! "Bagaimana Siauw Hung?" tanya Lie Hay begitu bertemu Ching-ching. "Bagus ya. Aku datang belum disapa, kau sudah menanya orang lain," Ching-ching bercanda mengomeli. "Siauw Hung baik. Cuma masih sedih saja. Kau sendiri?" "Aku sudah tak apa-apa. Kau kelihatan pucat. Apakah sakit" Ataukah tidak tidur semalaman?" "Setelah semalam kauharapkan aku tidur" Siauw Hung saja mendusin sebelum menyingsing fajar." "Aku ingin menengok dia. Tapi Fung-moay melarang." "Kau terlalu menurut pada gadis she Thio itu." "Aku juga menurut padamu bukan?" "Aku lain urusan." Ching-ching cemberut. Pada tempo bersamaan Thio Lan Fung masuk membawa semangkuk sop untuk Lie Hay. "Hay-ko, diminumdulu sopnya selagi masih panas." "Mana buat Siauw Hung" Biar aku yang antarkan!" kata Ching-ching. "Eh, aku ... aku cuma buatkan untuk Hay-ko. Kupikir kau sudah mengurus temanmu itu." "Katakan saja kau tak mau buang tenaga untuk orang lain selain buat Hay-ko, sebab kau ada maksud tujuan sendiri." "Aku tidak!" "Sudah, jagnan bertengkar. Biarlah sop ini untuk Yin Hung. Kasihan dia." "Tapi itu kubuat untukmu ...," Lan Fung tidak rela. "Aku juga tak mau Yin Hung makan sopmu. Kalau-kalau teracuni hati jahatmu!" Thio Lan Fung sudah angkat tangannya hendak menampar mulut lancang si gadis she Lie, tapi Ching-ching terlalu lincah menghindar dan pergi ke dapur. Ia mau menunjukkan masakan Thio Lan Fung tak akan dapat menandingi apa yang akan dibuatnya. Tak sampai sepertanak nasi, tercium aroma harum sampai ke kamar Lie Hay. Aroma itu semakin wangi saja sewaktu Ching-ching masuk membawa dua buah mangkuk berisi sop. "Siauw Koei, ini kubuatkan untukmu. Habiskanlah. Aku mau mengantar yang ini buat Siauw Hung!" Sudah berkata demikian, ia keluar dari kamar itu. Namun sebentar kemudian ia Ching Ching 319 sudah kembali lagi. Mukanya menunjukkan rasa kuatir. "Adakah kalian melihat Siauw Hung lewat" Ia tak ada di kamarnya!" "Paling sedang jalan-jalan menenangkan pikiran. Dia sudah besar, dapat menjaga diri. Buat apa kau repot?" "Ia sedang berduka. Aku kuatir ia bertindak bodoh. Ah, tak ada guna berbantah denganmu. Aku pergi saja!" Cing-ching hendak berlalu. "Ching-ching, tunggu, aku akan bantu!" Wang Lie Hay berusaha bangkit. Ia menarik tangan Ching-ching dan lekas melepas genggaman sewaktu melihat gadis itu meringis kesakitan. Barulah Lie Hay melihat telapakan tangan gadis itu penuh luka bekas tikaman. "Tanganmu kenapa?" tanyanya berkuatir. "Tidak apa,c uma luka sedikit. Hayolah, kalau mau ikut, lekasan!" "Hay-ko, keadaanmu belum pulih betul. Sebaiknya kau istirahatlah saja," Thio Lan Fung mencegah. "Tapi ..." Lie Hay nampak ragu. Melihat semua itu, Ching-ching mendadak merasa tak senang. Ia menjadi tak sabaran. Lekas ditepislah tangan Lie Hay, ia sendiri berlari pergi. Lie Hay terkejut akan kelakuan gadis itu, tapi ia menyangka Ching-ching terlalu menguatirkan Yin Hung dan sungkan membuang tempo. Maka dari itu, ia tidak merasa sakit hati. Akan tetapi, Thio Lan Fung lebih menyelami perilaku orang. Ia tahu belakangan ini Ching-ching berkawan akrab dengan Lie Hay lebih dari sahabat. Dan melihat Lie Hay mendengar perkataan Lan Fung, tentu saja gadis itu jadi cemburu. Tahu demikian, Lan Fung menjadi girang bebareng kuatir. Girang lantaran ia dapat membuat Ching-ching uring-uringan, kuatir lantaran takut Lie Hay terebut pula hatinya. Dalam hati, Lan Fung bertekad, biar jalan bagaimana, Lie Hay tak boleh direnggutkan orang dari sisinya! Ching-ching tak melihat bayangan Yin Hung di mana-mana. Ia sudaht anya kiri-kanan tapi tak ada yang tahu ke mana sobatnya itu pergi. Mendadak terpikir barangkali Yin Hung balik ke Ban-tok-lim. Secepat-cepatnya ia ke sana, tapi ternyata sia-sia saja. Yin Hung tak di sana. Gadis itu kembali ke kampung sambil mengira-ngira di mana adanya Yin Hung. Separo jalan ia bertemu dengan seorang tukang kayu yang membawa selampai merah. Ching-ching tertarik selampai sutra yang tidak biasa dimiliki orang sembarangan. Masih ia kebingungan, datang pula seorang gadis desa. Dandanannya biasa, tapi perhiasan yang dikenakannya dikenali Ching-ching, yaitu kepunyaan sobatnya! "He!" Ching-ching berseru. "Kau, tunggu." Gadis desa itu menoleh heran. "Kau panggil akukah?" "Ya. Aku hendak menanya. Perhiasan-perhiasan ini kaudapat dari siapa?" tanya Ching-ching terburu-buru. Mendadak gadis desa itu pucat mukanya lantaran takut. Kakinya gemetaran. "Apakah punyamu?" Ching-ching bertanya lebih halus. "Kau ... kau mau" Ambillah. Nih, nih, ambil semua." Gadis itu mencopot semua, memberikannya kepada Ching-ching. "He, aku tanya kaudapat dari mana?" "Sumpah, aku tidak mencurinya." "Aku bukannya tuduh - " "Ada orang di pinggir jurang. Ayahku luka, dia mau lompat ke bawah - " gadis itu berbicara kalang-kabut. "Ayahmu" Lompat?" "Sio-cia itu mau buang jiwa. Aku dan ayahku melarang. Dia suruh pergi. Titipkan Ching Ching 320 selampai merah buat orang she Wang. Upahnya dia kasihkan semua barang." "Di mana dia tadi katamu?" "Di jurang. Sana itu." Ching-ching lantas mengandalkan ginkangnya mengudak ke arah yang ditunjuk. Tak peduli gadis desa itu lari sambil menangis kepada ayahnya, si tukang kayu, melapor semua barang sudah dirampok lie-cat. Ching-ching betul-betul kuatir sekarang. Ia takut tak keburu menyelamatkan Yin Hung yang mau buang jiwa, kata si gadis tadi. Meski sedari mulai ia kuatir Yin Hung bertindak bodoh, tapi dalam hati Ching-ching tak mau mempercayai hal demikian bakal terjadi. Tapi toh ia berlari secepat angin mencari Khoe Yin Hung yang sudah di mulut jurang! Khoe Yin Hung benar-benar berniat menghabisi jiwa sendiri. Ia sudah memikir lama di jalanan tadi. Andaikata ia hidup, tentulah hidupnya tak lebih dari belas kasihan kawan-kawannya yang lain, seperti Ching-ching atau Wan Lie Hay. Dia tak mau lihat orang lain mengasihani dia. Dia bukan pekemis miskin yang boleh dikasihani. Dan terlebih dari itu, ia tak mau melihat gadis lain bersama Lie Hay. Terlebih bila gadis itu adalah Ching-ching. Ia tak mau jadi penghalang di antara mereka. Tapi setelah sampai di tepian jurang dan melongok ke bawah, tak kelihatan olehnya ujung jurang yang amat dalam itu. Mau tak mau hatinya menjadi keder. Ia mulai memikir apa yang terjadi bila ia mati. Ia belum pernah mati. Apakah mati itu enak" Betulkah ia tak akan merasakan apa-apa setelah mati" Lalu orang yang sudah mati, ke manakah perginya" Dan betulkah kata orang, roh orang yang mati tidak tenang akan jadi setan gentayangan" Apakah dia nanti akan gentayangan tanpa tujuan" Yin Hung jadi merasa kasihan pada diri sendiri. Mengasihani nasibnya yang tidak beruntung. Ia lantas ingat pada neneknya. Semasa neneknya masih hidup, ia tak merasakan sedemikian susah. Dan ayah serta ibunya yang sudah duluan meninggalkan dunia fana ... Khoe Yn Hung makin mantap menyusul mereka. Tapi baru saja melangkah setindak mendekat ke jurang, berkelebatanlah wajah Lie Hay dan Ching-ching bergantian di matanya. Dua orang itu. Yang satu adalah pujaan hatinya, yang lain adalah sobatnya. Dua orang yang selama ini begitu baik. Ia belum sempat membalas budi keduanya. Namun, bukankah dengan kematiannya Ching-ching tak akan teralangi lagi berdekatan dengan Siauw Koeinya" Itu sudah boleh disebut membalas jasa orang. Tapi pada Wang Lie Hay" Yin Hung teringat sapu tangans utera merah pemberian neenknya. Selampai itu bukan barang biasa, tapi adalah dari serat sutra yang direndam darah tiga binatang beracun, yang kalau bersatu darahnya justeru menangkal racun. Sudah tiga tahun direndam lalu disimpan di antara dua buah pek-giok tiga tahun lagi. Sudah itu baru disimpan di dalam kotak dari kayu Sim-hio-bok yang wangi. Pembuatan satu selampai saja makan waktu sembilan tahun, tentu juga selampai itu adalah serupa barang mestika. Mukjizatnya adalah apabila seorang terluka dalam lantarans uatu racun jahat, sehingga tak sadar diri lebih dari tiga hari, selampai itu boleh dijadikan kompres. Dalam semalam, niscaya semua racun di badan orang akan keluar bersama keringat dan terhisap selampai itu. Sudah demikian, selampai itu boleh direnam air panas tiga malam berturutan dan boleh gdigunakan lagi. Sayangnya, cuma boleh dipakai tiga kali sebelum musnah semua mukjizatnya. Meski begitu, barang demikian tetaplah sebuah mestika yang tentunya akan sangat berguna bagi seseorang seperti Wang Lie Hay. Mendapat pemikiran demikian, Yin Hung kemudian menitip pada dua orang yang Ching Ching 321 lewat. Sesudah itu, ia berdiri di pinggiran jurang, memikir buat terakhir kali sebelum menamatkan riwayatnya sendiri. Khoe Yin Hung masih berdiri mendelong di tempatnya ketika mendengar namanya dipanggil orang. "Siauw Hung!" Tak usah menoleh, Yin Hung sudah tahu sipaa yang datang dan dia juga tahu, kalau tidak sekarang merlompat ke bawah, maka ia tak akan punya ketika lagi! "Siauw Hung!" Teriakan Ching-ching seperti mau membelah langit melihat kawannya hilang ditelan jurang tak berdasar yang menganga seperti mulut besar. Gadis itu buru-buru mendekat, melihat kebawah. Tampaklah badan Yin Hung meluncur cepat ke bawah. Ching-ching melihat sekeliling. Kemudian tanpa memikir dua kali, ia turut melempar diri menyusul Yin Hung! Khoe Yin Hung merasakan kosong di bawah badannya. Dirasanya juga angin dingin menerpa dari arah bawah. Mendadak gadis itu ketakutan. Ia berteriak keras. Meski demikian ia yakin, penderitaannya akan segera berakhir dan ia akan berkumpul kembali bersama keluarganya. Sayang, rupanya Giam-lo-ong belum mau mencabut jiwanya. Dari bawah, Yin Hung merasakan tenaga yang mendorongnya beberapa tombak ke atas. Belum lagi berhenti, tenaga tak kelihatan itu mendorongnya pula. Terus begitu sampai Yin Hung melewati tepi jurang dan satu benda kecil membuat si nona terpental dan tersungkur di rerumputan. Yin Hung belum lagi sempat memikir kejadian barusan ketika penolongnya keluar dari dalam jurang dengan gerakan luar biasa indah, seperti layaknya burung hong yang sedang terbang. Lebih kaget lagi Yin Hung melihat, sang penolong tak lain adalah Ching-ching. Lie Mei Ching, sahabatnya! Yin Hung terkejut bukannya apa, tapi melihat tingginya tingkat kepandaian Ching-ching, ia menjadi kesima. Namun, kemudian kembali muncul rasa jelus di hatinya. Lihatlah dia. Begitu lihay dan mulia pula. Mana dapat aku persandingkan diri dengannya, pikir Yin Hung. Ching-ching dalam pada itu sudah mendekati sahabatnya. Begitu tiba, ia bertolak pinggang. Matanya melotot dan mulutnya lantas membuka. "Apa kauperbuat?" "Kenapa tak kaubiarkan saja aku mati?" "Eh, kau belum pamit padaku, mana boleh mengunjungi akhirat lebih dulu" Hayo, sekarang bilang padaku, kenapa mau mati buru-buru?" "Semua adalah gara-garamu juga. Pergi! Biarkan aku mati!" kata Yin Hung. "Atau, kau kubunuh!" "Eh - " Belum lagi sempat berkata, napas Ching-ching mesti lekas ditarik pulang lantaran Yin Hung telah menyerang dengan seantero tenaganya. "Kau ditanya sungguhan malah mengajak main-main?" tegur Ching-ching menghadapi Yin Hung dengan bercanda. Mana tahu dia pada saat itu sobatnya dalam keadaan terkecewa luar biasa. Ching-ching jadi tersentak kaget waktu kuku jari Yin Hung telah menyerempet mukanya sehingga terasa pedih. "Siauw Hung, kau salah makan obat atau apa" Kau benar mau bunuh padaku?" "Ya, aku mau bunuh kau, dan Thio Lan Fung, dan In Sioe Ing dan semua gadis yang berani mendekati Hay-ko!" Melihat nona itu begitu bersungguh, Ching-ching tak berani berayal lagi. Ia lekas menggunakan ilmu totoknya yang jitu. Dalam sekejapan mata, Yin Hung telah berdiri kaku. "Lantaran Hay-ko" Lantaran Lan Fung dan Soe-cie" Kenapa tunggu ini hari" Ching Ching 322 Bukankah kemarin-kemarin hari kau ada banyak sempat?" "Kemarin hari tak ada Hay-ko aku masiha da Po-po buat menyayang. Sekarang aku sendirian, Hay-ko tak sudi, tak ada peduli padaku. Guna apa aku hidup?" "Apakah kau mau bilang aku tak mempedulikanmu" Lantas buat apa repot aku menolongi kamu?" Ching-ching mendengus kesal. "Kau juga tak peduli lagi. Kini kau akrab dengan Hay-ko, aku boleh dianggap tak ada!" Yin Hung adalah seorang yang polos, ia tak tahu mana boleh dikatakan mana tidak. Maka itu dia tak menutupi apa perasaannya kepada Ching-ching. "Kau salah menduga. Tak sekali-kali aku dan dia anggap angin padamu." "Oh" Lantas kenapa kaurebut Hay-ko - " Dituduh secara demikian, meski oleh sobatnya sendiri, sudah terang Ching-ching tidak terima. "Kalau mau bilang merebut, sesungguhnya kaulah yang mrebut dariku. Aku dan Siauw Koei bertemu lebih dulu. Ia malah mengakui aku sebagai 'istri kecil', kau tahu?" Yin Hung terdiam. Ia mengakui apa yang dibilang adalah benar. Sesungguhnya ia sendiri yang berkhianat kepada sahabat. Memikir demikian, ia menjadi begitu malu sampai menitikkan air matanya. Melihat demikian Ching-ching merasa tak tega. Ia tahu betul perasaan Yin Hung pada kecintaannya. Tapi apakah ia sendiri rela membagi Siauw Koei dengan gadis lain" Dalam hatinya Ching-ching percaya, Siauw Koei tak akan mendua hati. Dan lagi, Yin Hung tak ada harapan mendapat perhatian pemuda itu. Namun, bila Chingching meminta, pemuda itu mesti akan lebih telaten terhadap Yin Hung. "Baiklah," kata gadis itu. "Begini saja. Kau boleh urus Hay-komu dan aku cuma urus aku punya Siauw Koei!" "Kau entah sudah gila atau terlalu mulia. Hay-ko dan Siauw Koei adalah satu raga satu jiwa. Bagaimana dipisah" Aku tak mau menghalangi kamu berdua. Hanya hati-hatilah pada Lan Fung. Jangan kasih dia sempat. Aku ... Aku baiklah hanya mengawasi dari neraka," kata Yin Hung setengah ketawa separo menangis oleh tawaran Ching-ching. Si nona galak yang tahu temannya tiada semangat, lantas menjadi kesal bukan buatan. Ia melepas Yin Hung. "Aku mau tolongi, kau malah hilang semangat. Aku Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mau bilang apa" Kau mau apa pun tak akan kuhalangi," bentak gadis itu. "Baiklah kalau kau kepingin mampus, sana lompat ke bawah!" Sudah berkata demikian, gadis itu malah menyesal sendiri. Apalagi sewaktu Yin Hung makin mendekati jurang. Tapi sudah terlanjur pula Ching-ching menyuruh, tak mau ia menghalangi. Lekas ia putar otak mencari siasat. "Hayoh, kau menunggu apa lagi" Lompatlah. Paling Po-pomu penasaran lantaran tak ada yang membalaskan dendamnya!" Yin Hung menghentikan tindakannya. Melihatnya ragu-ragu, Ching-ching seperti mendapat angin, buru-buru melanjutkan. "Mati secara begini, orang akan menertawakan, menyebutmu tolol, dan kau akan segera terlupa. Padahal, ada cara lain bunuh diri yang tidak bikin malu." "Apa?" Yin Hung berbalik menghadap Ching-ching. Sobatnya itu cuma mesem saja. Diam-diam ia menaksir jarak antara Yin Hung dengan jurang. Masih terlalu dekat. Kalau salah langkah, melayang jiwa sobatnya. "Marilah kuberitahukan padamu!" Ching-ching duduk di tanah. Yin Hung tampak ragu. Ia diam saja di tempatnya tak mau beranjak. Tapi, Ching-ching ada satu jalan. "Mau jalan yang enak" Gampang. Pada waktunya nanti, bolehlah kautantangi Kim-gin-siang-koai-coa. Lawan mereka habis-habisan. Ilmumu tak seberapa. Kau mesti mati. Tapi paling tidak orang-orang akan Ching Ching 323 mengingatmu sebagai gadis gagah. Paling bagus kau dianggap lie-hiap. Setidaknya itu lebih baik daripada mati konyol di dasar jurang." Selama bicara, makin lama Ching-ching makin pelankan suara. Tanpa terasa Yin Hung melangkah setindak demi setindak mendekati, berarti makin jauh dari jurang. Ching-ching bersorak dalam hati. Terlebih sewaktu Yin Hung membenarkan perkataannya dan mau diajak kembali ke rumah. "Huh, kau aneh-aneh saja. Mau membunuh diri, kenapa lari ke jurang segala. Susah apa angkat pedang tusuk badan sendiri" Hei, tapi jangan coba-coba sekarang sebab ada cara yang terlebih bagus. Bukankah?" Tapi Yin Hung tak kepingin bicara. Ia diam saja meski sobatnya mengoceh. Biarlah, pikir Ching-ching. Paling tidak ia masih punya waktu menggugah semangat orang. Kalau berhasil,Yin Hung tak bakal gampang-gampang mati. Tidak juga di tangan sepasang siluman ular itu. Tiga hari mereka tinggal di desa itu. Selama itu Yin Hung terus-menerus berlatih. Kadang-kadang Ching-ching atau Lie Hay memberi petunjuk kepadanya. Meski kini nona she Khoe itu mencurahkan perhatian pada ilmunya, ia tak bisa menyangkali merasa senang bila Lie Hay yang mengawasi. Ching-ching tahu ini. Ia sengaja mengatur supaya lie Hay banyak bertemu dengan Yin Hung. Entah kenapa, ia lebih lega bila Lie Hay ada bersama sobatnya itu ketimbang Lan Fung. Selain daripada itu, ia percaya dengan begitu Yin Hung tak akan coba-coba lagi bertindak bodoh. Malam hari itu mendadak saja Ching-ching teringat tujuannya semula untuk pulang ke rumah. Ia membicarakan dengan yang lain-lain sebelum tidurnya. "Beberapa hari ini perasaanku tak enak. Kupikir lantaran kejadian yang menimpa Khoe Loo-hoe-jin," kata Ching-ching melirik Yin Hung. Selama ini tindakan bodoh Yin Hung hanya berdua yang tahu. "Tak tahunya aku rindu pada Thia dan Nio. Lagipula aku kuatir mereka sudah mendapat kabar dan menantikan aku." "Kalau begitu, bseok pagi-pagi sekali kita pergi, "Lie Hay menyahut. "Tapi Hay-ko, kau belum sehat betul!" Lan Fung mencari alasan. "Sudah dari kemarin-kemarin aku pulih," Lie Hay berkata heran. Kenapa Lan Fung bilang ia tidak sehat" Ching-ching tahu kenapa. Lantaran Lan Fung tak senang padanya, maka ia tak mau pula singgah. Hampir si nona membuka mulut menyindir, tapi kemudian Yin Hung mengatakan sesuatu yang membuatnya urungkan niat. "Aku tak ikut. Sebelum lewat seratus hari kematian Po-po aku tak mau jauh-jauh pergi." Ching-ching menyesal. Lantaran pikirkan rindu sendiri, ia melupakan kesedihan orang lain. Ia bukannya tak tahu, kini setiap pagi sebelum sang fajar datang, Yin Hung pergi ke kuburan neneknya dan setelah mentari terbit gadis itu pulang cuma buat berlatih. "Kalau begitu, biar tunda saja kepulanganku," katanya. Ching-ching tak mau nanti Yin Hung merasa kesepian dan mengulangi tindakannya tempo hari. "Tak usah, aku tak apa-apa sendirian. Kau jangan kuatir, aku tak akan bertindak yang bukan-bukan." Yin Hung mengetahui pemikiran sobatnya. "Eh, kita berkawan, seiring seperjalanan. Kalau kau tak dapat biarlah ditunda." Ching-ching memberi putusan. "Kalau tak ada lagi yang dibicarakan, aku mau tidur," kata Lan Fung. "Kita juga butuh istirahat." Ching-ching berdiri. "Siauw Hung, mari tidur." "Aku ada sedikit urusan. Kau duluanlah." Yin Hung pergi ke kebun belakang sedangkan Lie Hay pindah ke ruangan lain. Ching Ching 324 Tinggal Ching-ching dan Thio Lan Fung, tetapi keduanya sama tidak menganggap kepada yang lain. Maka, malam menjadi semakin sepi. Namun sebentar kemudian kedengaran suara orang berlatih di kebun belakang. Kiranya Yin Hung tengah perlatih. Biarlah, Ching-ching enggan menegur. Dilarang juga percuma. Malam kian larut, tapi Ching-ching masih tak dapat memejamkan mata. Ia terus-terusan ingat pada orangtuanya, pada piauw-cienya. Ketika Yin Hung masuk ke dalam kamar, si nona berlagak pulas. Tapi waktu Yin Hung lelap, justru ia sendiri masih jaga. Semakin sepi, semakin rindu Ching-ching pada keluarga. Semakin ia ingin pulang. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi. Sendirian. Tempat itu tak seberapaa jauh dari rumahnya. Cukup dua hari perjalanan dengan berkuda. Apabila sekarang berangkat, esok petang tentulah ia sudah tiba. Ching-ching bangkit perlahan dari pembaringan, supaya tidak membangunkan yang lain-lainnya. Tapi, sebelum pergi, ia mesti meninggalkan pesan tentunya. Lekas ia mencari kertas dan tinda. Setelah menulis sura tyang ditujukan pada Siauw Koei di sampulnya, ia pun pergilah. Pagi-pagi sekali, seperti kemarin-kemarin Yin Hung hendak pergi ke kubur neneknya. Ia keheranan tidak ada Ching-ching di sampingnya. Sewaktu matanya melihat surat di meja, ia lantas mengerti. Lekas dibangunkannya Lie Hay, memberikan surat itu. "Apa katanya?" Yin Hung tak sabar. "Dia mau pulang sendiri. Kita disuruh menunggu. Oh ya, dia juga menyuruh membayar kuda yang diambilnya semalam." Lie Hay tidak mengatakan bahwa Ching-ching menyuruhnya banyak meluangkan waktu buat Yin Hung. Ia disuruh banyak memberi petunjuk dalam latihan dan sedapat mungkin menemani ke mana Yin Hung pergi. Meski keheranan, perintah Ching-ching mesti diturut. Apalagi nona itu berjanji hendak menceritakan sebabnya kelak. Diam-diam pemuda itu menyesali. Ching-ching menyuruhnya menemani Yin Hung. Itu berarti seratus hari lamanya ia tak dapat bersua dengan gadisnya. "Eh, Siauw Hung, mau ke mana?" mendadak Lie Hay menyadari Yin Hung sudah beranjak. "Mau ke pekuburan Po-po." "Aku menemanimu!" kata Lie Hay buru-buru. Tak mau ia mengecewakan Ching-ching nanti. Biarlah sekarang ini diturut dulu apa maunya. Tempat tinggal Khoe Yin Hung sebetulnya tak begitu jauh dari rumah Ching-ching, tetapi gadis itu telah salah perhitungan. Kuda yang dia tunggangi bukan kuda jempolan dari Mongol yang bisa lari terlebih cepat daripada kuda biasa. Akan tetapi, tentu saja tidak terlalu mengecewakan mengingat ia tidak terburu-buru dan tak mau banyak bercapai lelah. Namun, sebagai akibatnya ia terlambat dua hari. Tempat tinggalnya baru kelihatan saat mentari menjelang silam lewat empat hari perjalanan. Ching-ching membedal kudanya kencang sekali. Ia ingin segera tiba di rumah. Bertemu dengan piauw-cienya, ibunya, ayahnya, semuanya. Bahkan ia ingin bertemu Boe Sin Mei yang pernah menyaru jadi dirinya. Nona she Lie itu menghentikan kuda di depan pintu. Segera saja ia melihat hal yang tidak wajar. Papan nama Pek-eng-pay telah patah jadi dua, tergeletak di tanah. Hal itu tak mungkin menampak bila bukan lantara satu kejadian luar biasa. Seketika Ching-ching merasa tak tenang. Apalagi, ia kemudian merasakan kesunyian yang mencekam di sekelilingnya. Tak ada suara sama sekali. Matahari telah Ching Ching 325 seilam, bulan-bintang belum menampakkan diri. Keadaan kian gelap dan sepi. Namun, sebagai orang muda yang sudah sering merantau, Ching-ching tak lekas menjadi ketakutan. Ia malah mewaspadai segala apa. Pelan-pelan ia mendekati pintu besar yang tertutup rapat. Didorongnya pelan pintu yang seketika menjublak terbuka itu. Bunyinya menderit seperti jeritan saja di tengah kesunyian. Masuk pekarangan, Ching-ching belum juga mendengar segala apa. Si nona segera mengernyitkan dahi keheranan. Tak suka ia keadaan begini. Mengharap ada yang menyahut, ia lantas berteriak memanggil. "Thia! Nio!" serunya lantang. "Yin Ciecie!" Suaranya yang jernih lantang menggema di semua tempat, tapit etap saja tak ada sahutan. Entah ke mana perginya semua orang. Apa telah terjadi malapetaka dan ayahnya berniat pindah" Lekas Ching-ching masuk ke dalam rumah buat memastikan. Terperanjatlah ia sebab menemukan bekas-bekas pertempuran. Di keadaan yang gelap itu, ia bisa membaui lamat-lamat amisnya darah. Pula samar-samar matanya dapat melihat meja-kursi yang jungkir balik. Tapi, ia tak menemukan sosok manusia di ruangan itu. Ching-ching lantas menyalakan pelita di ruangan dengan batu api di saku. Kini ia dapat melihat semuanya terlebih jelas. Ruangan yang berantakan dan ceceran darah di tanah. Darah itu sudah kering, kehitaman. Ching-ching merabanya dan mencongkel sedikit dengan belatinya. Belum begitu lama rupanya. Kejadian itu lewat baru sekitar dua-tiga harian. Tapi kejadian apa sampai meninggalkan begitu banyak darah" Tepatnya bekas darah. Ada jejak-jejak kemerahan dari beberapa tempat menuju ke dalam. Ching-ching mengikuti jejak itu. Di dalam, keadaannya sama saja. Berantakan. Tapi Ching-ching tidak heran lagi. Perhatiannya semua tertuju pada jejak yang dibuntutui, yang terus menuju pekarangan belakang. Menginjak pekarangan itu, terbelalaklah mata Ching-ching bahna kagetnya. Ia berdiri menjublak melihat pemandangan di hadapannya. Perkarangan yang indah, tertata rapi, dan terawat baik kini sudah lenyap. Bunga-bunga indah dengan harum semerbak di tempat luas itu berganti papan-papan nama. Tempati itu yang tadinya memberikan kenyamanan kini berubah menjadi pekuburan yang menyeramkan. Ada ratusan papan nama di sana, dimulai dengan nama Lie Chung Yen. Beberapa lama Ching-ching berdiri menjublak. Tak tahu ia mesti berbuat apa. Melihat papan nama ayahnya, ibunya, piauw-cienya, dan lain-lain murid ayahnya, si nona merasa sebagian jiwanya melayang entah ke mana. Sesaat ia rasa tak percaya, sesaat kesedihan menguasai dirinya, tapi kemudian kemarahan meluap-luap di dadanya. Namun, tak ada lain yang dikerjakan. Ia cuma berdiri saja. Pandang matanya kosong menatap satu titik. Bahkan tak ada air mata menetes. Terlalu dalam perasaan hatinya. Tak dapat keluar meski lewat seketel air mata. Entah berapa saat ia berdiri begitu, ketika kemudian sadar akan satu suara. Suara cangkul membentur tanah, terus, berulang-ulang berirama. Lekas ia memburu datangnya suara. Diharapkannya ada orang dapat memberi penjelasan apa telah kejadian. Jauh di pojok pekarangan, di antara deretan pekuburan yang masih baru, ia melihat sesosok tubuh mengayun cangkul. Pelan, tidak ada tenaga, tapi pasti. Ching-ching makin mendekat pada orang yang sudah tak eruan paran dengan rambut acak-acakan dan percik-percikan darah mewarnai semua bagian bajunya. Ching-ching mesti maju dekat sekali untuk mengenali orang. "A-ping"!" ia menyebut nama pelayan piauw-cienya. Suaranya gemetaran, akan tetapi cukup lantang buat didengar orang. Tapi si pelayan yang dipanggil sepertinya tidak mendengar. Tangannya terus saja bergerak membuat lubang yang Ching Ching 326 sudah cukupan dalamnya itu. "A-ping!" Ching-ching mengulangi panggilan. Ia memandang berkeliling. Tak ada satu mayat ketinggalan, buat apa satu lubang kubur lagi" "A-ping, kau bikin apa?" Si nona menggoncang badan orang. Cangkul direbut dan dibuang. Muka si pelayan dihadapkan padanya. Nyaris ia berteriak ngeri. Muka A=ping sudah tidak seperti muka orang. Pucat melebihi mayat, tapi ada bekas-bekas darah di mukanya. Matanya tak ada cahaya kehidupan. Keadaannya seperti setan yang kembali dari neraka. Mau tak mau Ching-ching bergidik. Ia terus memanggil-manggil nama si pelayan buat menyadarkan, namun tak ada reaksi sama sekali. Dalam putus asa, Ching-ching melayangkan tangannya ke muka orang. Justru dengan tamparan yang pedas dengan suara menggelegar itu, A-ping menjadi tersadar. Matanya berkesip dua kali, baru ia melihat dengan jelas. Mulutnya komat-kamit beberapa lama sampai sebuah suara serak berbareng dua butir air mata keluar. "Siauw-cio-cia ... oh Siauw-sio-cia!" Sudah itu badannya roboh. Untung Ching-ching cepat menangkap. A-pin yang pingsan dibaringkannya di tanah, agak jauh dari lubang. Di dekatnya ada sebilah papan nama. Ching-ching membaca nama yang tertera. Cuma ada satu huruf. Ping! Rupanya A-ping telah menggali kubur untuk dirinya sendiri! Semalaman Ching-ching merawat pelayan itu. Untung ia tahu pengobatan buat orang yang kelelahan atau terpukul jiwanya sampai semaput. Sudah dua kali mengurut di beberapa jalan darah tertentu, pagi itu A-ping sadarlah. "Bagus kau sudah bangun. Sekarang pertama-tama kau mesti makan." Ching-ching yang sudah menyiapkan semangkok bubur lantas menyuapi. "Sio-cia, biar saya sendiri." A-piong mengulur tangannya. Ia sungkan dilayani nonanya. "Tanganmu gemetaran. Kalau buburnya tumpah, nanti kau kelaparan. Sudah, biar aku menyuapimu. Kau tinggal buka mulut, susah apa?" "Tapi, Siauw-sio-cia - " "Jangan banyak rewel!" bentak Ching-ching. "Sejak kapan kau berani melawan perintah nonamu?" A-ping tidak membantah lagi. Meskipun mulutnya pahit dan lehernya sakit, bubur bikinan Ching-ching ditelannya sampai habis. Ia juga tak banyak rewel disuruh minum segala obat. Berkat perawatan Ching-ching yang telaten dan separoh memaksa, tak sampai tiga hari A-ping sudah tidak pucat dan tidak lagi gemetaran. Setelah si pelayan lebih sehat, baru ia berani tanya segala apa. "A-ping, malapetaka apakah menimpa keluarga di sini hingga begitu banyak orang mati?" "Aku ... itu ..." A-ping menunduk, tak dapat menjawab. Di matanya terbayang kengerian yang sangat serta kedukaan teramat dalam. "Siapa yang membunuh mereka" Apakah musuh Thia" Perguruan mana" Berapa orang yang menyerbu ke sini?" Mendadak saja A-ping terisak, lalu menangis sesenggukan. Ching-ching jadi tak enak hati. Namun, beberapa hari ini telah ia cukup menahan sabar. Dendamnya telah berkobar terlebih disulut penasaran. Siapa gerangan begitu tega membantai seantero perguruan" "A-ping, kau bilanglah. Ceritakan semua padaku, supaya kelak aku tahu pada siapa mesti menuntut balas dendam dan sakit hati perguruan kita." "Sio-cia ... dendam ini memang mesti dibalas. Itulah pesanan Toa-sio-cia. Kata Ching Ching 327 Nona, kalau kau tidak pulang, nanti aku mesti membalas. Aku tak ada guna, nona sendiri tak dapat dibela, bagaimana sanggup membalas?" Sabar Ching-ching menunggu tangisan budak itu menjadi reda. "Kau ceritakanlah dari mula. Separo-separo aku tak menangkapnya." Tahu-tahu A-ping berlutut di hadapan Ching-ching. "Setelah budak bercerita, harap Nona sudi ampunkan!" "Kau tak ada salah. Hayo bangun dan cerita sebelum aku hilang sabar!" Sebetulnya bagaimanakah perguruan Pek-eng-pay terbasmi dan hanya menyisa A-ping seorang" Pelayan itu satu-satunya dari mana Ching-ching dapat tahu kejadian semua, namun A-ping hanya tahu sebagian. Meski begitu, nonanya dapat menerka seluruh peristiwa, sementara kejadian sesungguhnya adalah demikian ... Setelah semua tamunya pulang sehabis pertemuan para eng-hiong, Lie Chung Yen memanggil semua pegawai dan semua muridnya berkumpul. Tentu saja semuanya ingin tahu mengapa, apalagi ketika kemudian Lie Chung Yen berbicara didampingi sang istri yang dalam keadaan biasa tak pernah campur-campur urusan. Apa gerangan yang mau dibicarakan" Semua orang di rumah itu telah kumpul di satu tempat, di antara mereka tentulah berbisik-bisik satu sama lain mengira-ngira. Tapi, begitu Lie Chung Yen angkat sedikit sebelah tangan, seketika sepi mencengkam di tempat itu. "Kamu orang tentu sudah tahu undangan yang dikirim oleh Kim-gin-siang-coa-pang. Kamu tentu sudah mendengar juga sikap tindakan partai sesat itu, Maka jauh-jauh Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo hari aku sudah memutuskan tak akan pernah bersekutu dengan mereka ..." Kata-kada Lie Chung Yen langsung disambut seruang mendukung dari kesemua muridnya. Begitu gemuruh sorak mereka, sampai Chung Yen perlu mengangkat dua tangan guna membikin tenang. "Senang hatiku mengetahui kamu orang setuju, tapi hendaknya kamu berpikir juga akibat di masa datang. Lantaran putusan ini, bukan tak mungkin mereka akan datang dengan niat membinasakan semua. Bukan aku mau merendahkan partai sendiri, tapi untuk menang melawan Kim-gin-siang-coa-pang, aku sungguh merasa bersangsi sekali. Maka itu aku sudah memikir untuk membubarkan saja partai kita ini." Kembali suasana ramai oleh seruan terkejut dan heran. Banyak yang tak mengerti alasan dan maksud pembicaraan Lie Chung Yen. "Soe-hoe, persoalan yang ini kami tak dapat memberikan persetujuan." Setelah beberapa lama seorang wakil murid-muridnya mengutarakan pendapat hasil bicara antara mereka sendiri. "Kami tak takut melawan Kim-gin-siang-coa-pang. Kita tak usah lari serabutan menghindar." "Aku tak berkata kamu tak ada nyali, aku juga bukan menyuruh kamu lari. Tapi, mengingat sifat kejam partai iblis itu, aku cuma menghindarkan pertumpahan darah. Lebih baik dunia kehilangan satu partai daripada ratusan nyawa tak bersalah. Maka dari itu, mulai semenjak sekarang kamu semua adalah orang bebas. Tak ada dari kamu yang sebagai budak atau sebagai anggota partai. Kamu semua boleh pergi ke mana suka. Aku telah sediakan sedikit bekal buat kamu. Coe-wie selamat berpisah!" Lie Chung Yen merangkap tangan di depan dada, sudah itu ia keluar ruangan tanpa menunggu lagi. Di belakangnya, istrinya dan Lan Sioe Yin sibuk membagikan ratusan kantong bekal kepada orang-orang mereka, yang menerima dengan hati pilu. Tak tahan dengan keadaan mengharukan, Lie Hoe-jin kembali ke dalam dengan berlari. Sudah nyonya mereka pergi, datanglah yang lain-lain mengerubuti Lan Sioe Yin. "Toa-sio-cia, sebenarnya apakah persoalannya betul sedemikian berat?" Ching Ching 328 "Tidak salah. Kalau bukan persoalan luar biasa, tak akanlah Sioko-siok membubarkan partai." "Apabila kami pergi, lalu sekalian keluarga Lie bagaimana?" "Siok-siok akan berdiam. Siok-bo mau diungsikan ke Lok-yang, namun Siok-bo berkata tak mau dipisah dari Siok-siok. Aku juga tak mau beranjak setapak. Apa pun terjadi nanti, kami hadapi berempat." "Berlima!" cetus Sie Ling Tang mengembalikan kantong uangnya ke dalam kotak. "Aku juga tak tahu mesti pergi kemana. Kerabatku cuma keluarga Lie. Aku tak ada sanak yang lain. Pula Soe-hoe adalah yang memelihara aku semenjak kecil. Sekarang beliau dalam kesusahan, mana boleh aku pergi begitu saja. Aku bukan orang tak berbudi macam demikian." "Tan Toa-ko benar. Aku juga tak dapat pergi." "Aku juga tak sudi." Makin lama semakin bnayak yang mengembalikan uang ke kotak. Semua murid anggota Pek-eng-pay memilih mati bersama mempertahankan perguruan ketimbang pergi dari sana. Para pelayan setia turut pula beserta mereka. Kecuali beberapa pelayan yang bekerja belum lama, semua tinggal di tempat. Lan Sioe Yin terharu atas ketulusan mereka. Gadis itu lantas saja mencucurkan air mata tanpa dapat berkata-kata. Boe Sin Mei saja yang menggantikannya berbicara. "Tak tahu bagaimana aku mewakili Gie-hoe berterima kasih kepada semua. Biarlah aku mewakili menyoja kepada kalian." Boe Sin Mei merangkap tangan dan membungkuk tiga kali. "Jie-sio-cia, janganlah terlalu sungkan," kata yang lain. "Kita sudah berkeputusan, pantasnya Soe-hoe diberi tahu," Sie Ling Tan berkata. "Tan Ko-ko, aku menemanimu menghadap Gie-hoe." Sin Mei buru-buru mau ikut. "Tak usahlah," jawab Ling Tan, dan lantas bergegas ke kamar gurunya. Tak berapa lama kemudian, Lie Chung Yen kembali ke hadapan murid-muridnya diiringi muridnya kesayangan. Muka guru besar itu nampak tegang dan angker. Suaranya menggelegar sewaktu mendengar. "Aku sudah dengar putusan kalian. Menurutku itu satu putusan yang salah besar. Tinggal di sini sama saja kamu membunuh diri dengan restuku. Tidak, tidak boleh. Kamu sekalian mesti pergi. Perlukah aku mengusir?" "Soe-hoe!" serentak murid-muridnya berlutut. "Pek-eng-pay adalah rumah kami, Soe-hoe dan Soe-bo orangtua kami, Soe-heng dan Soe-tee sudah seperti saudara sedarah sedaging, mana boleh kita tercerai berai?" "Soe-heng benar. Meski bagaimana, d sini adalah rumah dan keluarga yang mesti dibela. Biarpun mati tak ada rasa menyesal." "Tidak salah. Kita adalah keluarga besar. Apapun yang terjadi, marilah dihadapi bersama." Semua kata-kata bersemangat itu disetujui oleh anggukan mantap dari yang lain-lain. Keputusan mereka tak dapat diubah lagi. Tidak juga oleh Lie Chung Yen. Mau tak mau pemimpin Pek-eng-pay itu merasa terharu oleh kesetiaan murid-muridnya. Romannya yang angker hilang, namun suaranya masih menggelegar. "Kalau itu keputusan kamu, aku tak bisa omong apa-apa lagi. Namun harap coe-wie memikirkan sekali lagi baik buruknya. Semua tetap seorang bebas. Barangsiapa berubah pikiran, tak ada yang boleh melarangnya pergi." Lie Chung Yen lupa, semua muridnya yang dididik keras sudah beradat pendekar. Mereka menghargai dirinya tinggi. Apa yang sudah diucapkan pantang ditarik pulang. Dalam hati mereka semua berkobar tekad, biarpun dengan taruhan jiwa dan Ching Ching 329 darah, Pek-eng-pay akan mereka bela sekuat tenaganya. Semenjak hari itu di Pek-eng-pay mulai dilakukan persiapan. Semua murid berlatih keras dari fajar hingga mentari tenggelam. Tak ada seorang yang mengeluh. Semua murid ingin memperbaiki diri supaya dapat melawan murid-murid Kim-gin-siang-coa nanti. Sebab itulah, Lie Chung Yen jadi lebih sibuk. Ia mesti melatih muridnya, mengatur pertahanan, mengurus penjagaan. Meski lelah Chung Yen tampak lebih bersemangat. Di hatinya ada setitik harapan untuk mempertahankan perguruan. Cuma satu yang masih memberati pikirannya. Ia tak tahu di mana Ching-ching, puteri satu-satunya. Suatu malam Mei Lin istrinya datang membawa persoalan ini pula. "Yen Ko-ko, belakangan hari ini aku terus memikirkan anak kita. Menurutmu, apakah baik jika kita mengirim orang buat menjemput?" "Lin-moay, pada pendapatku, adalah lebih baik jika Ching-ching tinggal bersama gurunya. Di sana ia terlebih aman." "Aku tahu. Tapi ... ah, aku merasa berdoa berpikiran begini. Tapi, aku lebih suka Ching-jie ada bersama kita meski nantinya ia tidak selamat." "Lin-moay, kau omong apa"! Apakah kau sudah tidak sayang pada anak kita?" "Justru aku amat sayang padanya. Aku takut tak ada kesempatan kita bersua dengannya. Tak ada sempat kita menyayangnya. Nanti dia sendirian di dunia, tak ada sanak, tak ada saudara, tiada orangtua. Kalau demikian, bukankah lebih baik ia ikut bersama-sama dengan kita?" "Tidak! Biar bagimana ia mesti hidup!" "Tapi nanti tak ada yang mengurusnya." "Selama ini dia hidup tanpa kita yang urus." "Itulah. Aku ibunya, tentu aku ingin mengurus anakku tersayang. Semenjak anak-anak dia sudah direnggutkan daripadaku. Menjelang dewasa ia kembali, tapi justru aku yang akan dijemput maut." "Lin-moay, kau jangan omong yang tidak-tidak. Andaikata kau mau bertemu Ching-jie, masih sempat pergi ke Pek-san-boe-koan bersama Yin-jie dan aku akan suruh Ling Tan menemani." "Betul?" tanya Han Mei Lin girang. "Kapan kita ke sana?" "Kau boleh berangkat kapan kau mau." "Kau sendiri?" "Aku mesti mengurus perguruan." "Tapi ..." "Lin-moay, kalau kau sayang dan mau mengurus Ching-jie, pergilah ke Pek-san-boe-koan. Tinggalkan tempat ini sebelum Kim-gin-siang-coa datang." "Kalau kau tak pergi, aku juga tak pergi." "Tapi bukankah ..." "Hahhh, biarlah semuanya terserah kepada takdir saja." Dengan menunduk menyembunyikan bimbang di hati, Han Mei Lin meninggalkan suaminya tercenung. Lewat di pelataran, mendadak Mei Lin mengenali sosok bayangan kemenakannya berjalan bergegas. "Yin-jie, hendak ke manakah?" Yang ditegur kaget. Gugup ia menoleh kepada bibinya. "Eh, Siok-bo, belum tidur?" "Kau sendiri tak hendak beristirahat?" "Aku ... aku hendak memeriksa ronda." "Ah, kalau begitu lekaslah." "Ya, Siok-bo." Lan Siu Yin terbirit-birit pergi. Han Mei Lin merasakan kelakuannyayang aneh, tapi ia tak banyak curiga. Kebetulan malam itu Sie Ling Ching Ching 330 Tan memimpin perondaan. Mungkin Sioe Yin mau menemuinya, persis seperti dirinya sendiri semasa gadis yang sembunyi-sembunyi hendak bertemu dengan Chung Yen. Ah, kalau saja Thian memberi umur panjang, kelak ia akan merangkapkan jodoh Sioe Yin dengan Ling Tan. Han Mei Lin sama sekali tidak menduga, bukan Ling Tan yang ditemui Sioe Yin, melainkan Chang Loen, musuh mereka. Sioe Yin menemuinya di hutan kecil. "Yin-moay," sambut si pemuda she Chang begitu melihat siapa yang datang. "Bun-ko," Sioe Yin balas menyapa. Sejenak sepasangan insan itu berpandangan melepas rindu. "Bagaimana keadaanmu, Yin-moay?" "Aku baik. Kau sendiri?" "Jarang berjumpa kau membuat aku susah makan susah tidur. Lihatlah, aku makin hari makin kurus." "Dusta, kau malah semakin gemuk." "Itu lantara kau jarang jumpa, maka kaulihat aku gemukan. Yin-moay, aku sungguh merindukan kau." "Aku juga sudah bosan bertemu malam-malam. Aku ingin seperti orang lain yang dapat melihat pemandangan siang hari bersama-sama." "Dalam keadaan begini, hal tersebut tidaklah mungkin. Ekcuali kau atau aku mengkhianati partai kita atau kabur diam-diam. Namun tak berarti kita lolos dari tangan mereka." "Tidak, kau tak mau kau menjadi pengkhianat, tapi aku juga tak dapat tidak, harus membela pamanku. Ciang Cun Ko-ko, tak dapatkah kau mencari jalan yang lain?" "Pikiranku juga sudah buntu. Omong-omong, bagaimana keadaan pamanmu?" "Paman baik, cuma sibuk memikir dan menyiapkan segala sesuatu. Bun Ko-ko, kapankah partaimu akan datang membalas" Bolehkah kau cari jalan supaya pamanku sekeluarga dapat selamat?" "Aku sebetulnya tak ingin hal begini kejadian, tapi abangku orangnya tak kenal ampun. Nantilah kubujuk dia supaya memberi ampun kepada kalian." "Kau memang baik hati. Sayang, abangmu dan ayah-ibumu ada di jalanan tidak lurus." "Biar bagaimana mereka adalah juga keluargaku." "Ciang Bun Ko-ko, bila abangmu datang menyerbu nanti, apakah kau ikut?" "Kuharap demikian, supaya nanti sempat aku menyelamatkanmu. Kau kelihatan kuatir, apakah kau tak percaya kemampuanku?" "Bukan. Tapi ... Bun-ko, andaikata kau harus ikut, hati-hatilah. Kudengar Paman sudah rencana memasang bai-hok di beberapa tempat." "Kau takut aku tak selamat" Lantas apakah kau sudah tahu letak bai-hok itu?" "Sekarang ini belum, tapi Bun-ko kau datanglah tiga hari lagi, aku akan cari tahu. Tapi, berjanjilah cuma kau saja yang boleh tahu mengenainya." "Jangan kuatir. Bahkan abangku tak akan kuberi tahu." "Baiklah. Aku mesti lekas pulang. Bun-ko, jaga dirimu." "Kau pun berhati-hatilah." Bayangan Lan Sioe Yin menghilang ditelah kegelapan malam. Bersamaan dengan itu, sebuah bayangan lain tiba di hadapan. "Nio!" Chang Lun memberi hormat. "Bagaimana?" "Kiranya semua akan beres. Tiga hari lagi gadis itu akan membawa strategi pertahanan mereka." Ching Ching 331 "Bagus. Sesungguhnya aku tidak menguatiri Lie Chung Yen, tapi menurut kabarnya ia seorang yang cerdas. Kalau kita tak tahu rencana kekuatannya, bisa banyak korban. Padahal, amsa ini kita butuh orang buat membantai mereka yang tidak kasih muka saat pesta kemarin." "Nio, dalam pertempuran nanti, bolehkah aku selamatkan satu orang?" "Kau suka gadis barusan" Tidak boleh! Tidak boleh selamatkan siapa-siapa, supaya Anak Harimau 15 Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H Pedang Keadilan 13

Cari Blog Ini