Ceritasilat Novel Online

Ching Ching 15

Ching Ching Karya ??? Bagian 15 itu ! Ching-ching tak keburu berbuat. Ia tahu cemeti bergerak amat cepat. Entah ginkangnya sendiri apakah dapat menandingi kelebatan cemeti maut itu. Namun demikian dengan penuh perhitungan Ching-ching berani melompak memapaki senjata orang dengan pedangnya sendiri. Cemeti meski serupa barang lemas, tapi dengan tenaga yang tepat dapat membelah manusia menjadi dua kiri-kanan. Namun manusia adalah benda yang padat bentuknya. Akan tetapi menghadapi sebilah pedang, yang menggeletar sama lemasnya Ching Ching 461 siapa yang kira-kira menang" Apa cemeti akan tertabas, atau pedang malahan kutung" Ching-ching lupa memperhitungkan, cemeti milik Kim Koay Coa bukanlah senjata sembarangan, tapi lebih merupakan mestika. Pedangnya sendiri, meski masih merupakan senjata pilihan, belumlah seberapa dibanding cambuk kulit ular itu. Jsteru pedang si nona malahan yang rompal jadinya. Akan tetapi halangan dari pedang memberi ketika buat Ching-ching menendang Yin HUng mencelat kesamping. Ia sendiri hendak lekasan menghindar. Mana tahu cambuk yang ketemu senjata malahan bisa berbiluk membelit lehernya!! "Sudah lama aku ingin membunuhmu keparat cilik. Kali ini tiada seorang bisa minta ampunan buatmu!" "Ching-Ching!" Yin Hung yang terbanting menjerit melihat betapa leher Chingching terbelit cambuk orang. Suaranya yang melengking menarik perhatian, sebagian orang yang berdekatan. Lainnya mana peduli. Mereka mencurahkan perhatian sepenuhnya pada pertempuran. Siapa yang sedang terancam bahaya, yang penting badan sendiri mesti juga dijaga. Namun seseorang menerobos kerumunan. Menggenjot badan hingga mencelat di udara dan menabas cemeti orang dari angkasa. "Let go!" dia membentak. Kim Koay Coa terkejut. Melihat tebasan orang, mau tak mau ia tarik cemetinya. "Chang Houw, what are you doing?" "Mother, forgive my disrespect," sahut Chang Houw pendek. "Stinking devil! Come on and fight me! I'm not afraid to face both of you at once!" Dari samping Bu Beng Lo Jin melompat mendekat dan langsung saja melancarkan serangan pada Kim Koay Coa. Si nyonya yang sedang marah oleh kelakuan anaknya lantas saja menggenjot cemeti ke arah si kakek. Bu Beng Lo Jin berkelit, tapi tak urung cemeti berhasil mengenai lengannya di batas pundak. Bu Beng Lo Jin merasakan pedih seketika. Ketika ditengok, ternyata lengannya telah terbabat kutung! "Iblis busuk! Pay for my teacher's hand!" dalam pada itu Wang Li Hai juag telah menyusul tiba dan langsung melancarkan serangan pada Kim Koay Coa. "Mother, let me handle him!" Chang Houw lantas memapaki Li Hai. Kembali keduanya bergebrak. Wang Li Hai bertempur seperti orang kesetanan. Ia hampir-hampir tidak pedulikan keselamatan sendiri. Keadaannya jadi berbahaya sekali. Satu ketika Chang Houw sempat melancarkan serangan dan mengenai kempungan si pemuda she Wang. Li Hai sempat muntah darah. Chang Houw tidak sia-siakan ketika, lantas lancarkan serangan susulan. "Watch out!" dari samping Ching-ching berseru memperingati. Sembari bersuara, ia lempar beberapa senjata rahasia ke arah Chang Houw. Ia tak ingin melukai, hanya sekedar mengusir pemuda she Chang itu guna memberi ketika pada Li Hai buat berkelit. Mana tahu ada orang yang lebih dulu bertindak. Entah darimana datangnya, tahu tahu seorang nona telah membuang diri menabrak Li Hai, mendorongnya ke samping. Namun tindakannya itu masih kurang lekas, sehingga bukan saja malahan mengalangi gerakan Li Hai, senjata rahasia Ching-ching malahan ada yang menancap di badannya! Masih untung Chang Houw menghindari beberapa senjata yang lain sehingga menarik balik serangannya. Thio Lan Fung terbanting ke tanah disertai jerit terkejut dari Mulut Chingching, Khu Yin Hung dan teriakan Wang Li Hai sendiri. Ching Ching 462 "A-Fung!" Li Hai memburu. "Hai-ko?I--I die only for you." sehabis berkata Yin Hung lantas terpejam matanya. "Chang devil, I must kill you today!" Wang Li Hai jadi kalap dan lantas saja menyerang Chang Houw membabi buta. "Good. I've been waiting for a long time for a chance to fight you to the death," sahut Chang Houw melayani serangannya. Sesudah bertempur beberapa lama tadi, Chang Houw telah mempelajjari gerak Li Hai. Ia sudah mengetahui dimana titik-titik kelemahan. Kalau tadi ia tidak lantas turun tangan, hanyalah lantaran ingin tahu sampai dimana kehebatan si pemuda. Tapi lantaran kejadian barusan, dimana seorang nona bersedia mengorbankan diri untuk Wang Li Hai dan Ching-ching juga membantu mengerubuti, mendadak Chang Houw merasa iri. Wang Li Hai, apa kelebihamu sampai semua nona tekuk lutut padamu. Kenapa kau meski telah memiliki nona lain tapi tetap tak hendak melepaskan seorang Ching-ching" Demikian Chang Houw membatin. Semakin bertambahlah iri hatinya sehingga napsu untuk membunuh Li Hai semakin besar. Dengan begitu serangan yang dilancarkan juga semakin hebat. Pada dasarnya Wang Li Hai memang berada dibawah tingkatan Chang Houw. Mendapat-serangan serangan dahsyat, hampir ia tak dapat berkutik. Hanya dengan modal semangat dan dendam saja ia bisa bertahan dan sesekali membalas. Namun tenaganya mulai terkuras. Chang Houw tidak sia-siakan kesempatan. Sekali waktu ia lancarkan pukulan dahsyat menghantam jantung orang. "Go to hell!" desisnya. Wang Li Hai terlempar beberapa tombak ke belakang, mulutnya menyemburkan darah segar. Pemuda itu jatuh tak berkutik lagi. Ching-ching tengah melayani beberapa jagoan hitam yang mengerubuti, namun perhatiannya teruh terarah pada Li Hai dan Chang Houw. Begitu melihat Wang Li Hai terhantam jatuh, serta-merta si Nona lupa keselamatan sendiri. Sekali ia memutar pedang membuat menyingkir semua musuhnya. Ia sendiri menghampiri Chang Houw dengan hati mambara. "Devil Chang Houw, on guard!" Chang Houw tak menduga serangan Ching-ching, namun sebagai pesilat kelas satu ia lantas berkelit. Ching-ching menyerang lagi dengan jurus-jurus mematikan. Chang Houw terpaksa jungkir balik beberapa kali buat menghindar. "Miss Lie, this .... you've promised...." Ching-ching memang belum melupakan janjinya untuk tidak bergebrak dengan Chang Houw di pertempuran. Diingatkan demikian, gerakan si nona menjadi lambat. Kentara hatinya bimbang. Tapi lantas ia melirik ke arah Li Hai yang tidak bergerak lagi. Disampingnya tampak Khu Yin Hung menangisi. "To hell with all the promises!" desis Ching-ching. Mendadak pedang ditangannya berputar cepat, mengayun kedepan, menembusi badan orang! Chang Houw seperti tidak merasakan tajamnya pedang yang menembusinya. Ia memandang saja si nona she Lie sembari tersenyum. "I knew?," katanya. "I knew that one day I would die by your hand." Ching-ching kaget sendiri menyadari serangannya tidak digubris dan Chang Houw malahan menerima saja badannya ditembusi orang. Tidak melawan, tidak berkelit. Seolah menyediakan diri untuk dibunuh. "Fool!" bentak Ching-ching. "Why didn't you fight back?" Ching Ching 463 "If life has no more meaning, why should I live any longer?" Chang Houw malahan mendekat kepada Ching-ching. Langkahnya terhuyung. "Lie Mei Ching, I'll ask you one last time. Do you really ... really has no feelings for me whatsoever?" Chang Houw terus mendekat, memandang lekat majah Ching-ching. Menatap jauh ke dalam mata bening gadis yang dicintainya, seolah dengan begitu dapat mengetahui isi hati si nona. Ching-ching undur beberapa tindak. Ia tidak menjawab. Hanya matanya tidak berkedip balas menentang mata si pemuda she Chang. Mata hitam itu berkilat. Chang Houw tersenyum. Matanya meredup. "No regrets! I've no regrets!" Chang Houw bergumam. Habis berkata ia roboh ke tanah, tepat didepan kaki Ching-ching. Si nona hanya bisa memandang. Mendelong beberapa lamanya, melupakan sekelilingnya. "Houw-jie!" Kim Koay Coa melihat anak kesayangannya mati cuma bisa menjerit. Iblis itu memburu, memeluk mayat anaknya dna meangisi beberapa lama. Ternyata iblis Siluman ular ini masih memiliki kecintaan terhadap anaknya sendiri. "Stinky wench, die!" Gin Koay Coa yang datang belakangan memburu pula. "You have to go with my son to hell!" Siluman itu maju memapak Ching-ching yang masih terbengong bengong. Si Nona diam saja seolah tidak menyadari datangnya bahaya. Namun serangan Gin Koay Coa keburu ditangkis oleh sebuah pedang. Di depan Chingching kini berbaris pendekar-pendekar Pek San Bu Koan. "Today we will make you pay for our teacher's death. Jaga serangan!" Bersama saudara-saudaranya Miaw Chun Kian mengayun pedang. Membentuk satu barisan dengan gerakan serasi, melancarkan jurus mematikan. Akan tetapi serangan itu dengan mudah dipatahkan Si siluman ular perak. Segera saja mereka bertempur seru. Ching-ching masih saja bengong ditempatnya memandangi Kim Koay Coa yang menagisi anaknya. Ia tidak melihat betapa saudara-saudara seperguruannya mulai keterteran menghadai si ular perak Gin Koay Coa. Mendadak si Nona merasa pipinya pedas. Ia baru tersadar. Ternyata Chia Wu Fei sudah berdiri di hadapannya. Dialah yang barusan menamparnya. "Are you going to stand there all day" Can't you see that our brothers are fighting to avenge our teacher" Do you just want to watch" Pemuda itu membentak dengan marah. Baru Ching-ching menoleh. Tiga saudaranya yang lain memang tengah kerepotan menghadapi Gin Koay Coa. Chia Wu Fei sudah kembali lagi membantu saudaranya yang lain. Ching-ching masih mengawasi dari pinggir. Dipandanginya saja kakak seperguruannya itu seperti orang linglung. Wu Fei juga menoleh padanya. Sungguh suatu tindakan sembrono dan berbahaya. Ditengah ia bertempur, semestinya perhatian hanya tertuju kepada musuh. Dengan melirik sedikit saja berarti ia sudah membuka satu titik kelemahan. Sebagai pesilat, Gin Koay Coa juga melihat kesempatan. Dengan segera dilancarkannya serangan ke arah Wu Fei. "Suheng, be careful!" Saat itu Ching-ching baru tersadar sepenuhnya. Secepat angin ia memburu ke arah saudara seperguruannya. Untung pedangnya dapant mendahului menangkis senjata orang. Nyawa Wu Fei terlepas dari maut hanya dengan jarak waktu sekejapan mata itulah. Gin Koay Coa diam diam terkejut dan mengagumi kecepatan tindakan si nona. Baru kali ini ia melihat gerak secepat itu. Bahkan Chang Houw anaknya yang memiliki Ching Ching 464 kepandaian tinggi juga belum tentu dapat menandingi kecepatannya. Teringat Chang Houw, kembali berkobar kemarahan si Siluman Ular. Ia langsung menyusulkan serangan. Dalam pada itu Kim Koay Coa juga sudah tersadar dari kesedihannya. Matanya langsung mencari pembunuh anaknya. Terlihatlah Ching-ching diantara saudarasaudaranya tengah bertempur melawan Gin Koay Coa. "Dirty wench! Die!" Kim Koay Coa segera menyusul ke tengah pertempuran. Celakalah para pendekar Pek San Bu Koan. Menggempur Gin Koay Coa seorang mereka masih belum tentu menang. Kini datang pula pasangannya membantu, semakin sukarlah keadaan mereka. Pasangan siluman itu lebih mengarah jiwa Ching-ching daripada yang lainnya. Mereka benar benar ingin menghabisi si nona she Lie. Namun itu juga tidak mudah. Disamping si nona memiliki kepandaian lumayan, ia juga bertempur dalam barisan San Hoa Tin yang mengandalkan kerjasama yang saling melindungi. Hampir-hampir tiada kelemahan buat diserang. Jangankan Ching-ching, mau mencelakai saudaranya yang lain juga sulit. Akan tetapi biar bagaimana tingkatan mereka jauh lebih tinggi. Setelah bertempur beberapa lama kedua pasangan ini mulai dapat mempelajari gerakan perubahan barisan. Menunggu ketika yang tepat, akan dapatlah kiranya menghancurkan pertahanan lawan. Dan kesempatan itu datang sewaktu kelima saudara Pek San Bu Koan membentuk perubahan barisan. Ketika yang hanya sekejapan mata ini dipergunakan sebaik baiknya. Gin Koay Coa menyerang Miaw Chun Kin dan Sioe Ing, isterinya memapaki Yuk Lau dan Wu Fei dalam waktu berbareng. Saat itu Ching-ching yang terbebas maju menyerang dengan pedang lemasnya. Mana tahu ditengah jalan kedua siluman itu malahan membatalkan serangan dan secara bersamaan menghantam Ching-ching. Sungguh, kelima orang muda itu tiada menduga gerak tipu yang dilancarkan secara harmonis itu. Seperti juga pasangan siluman itu berkepala satu tapi berbadan dua sehingga tipuan yang dilakukan tidak kentara sama sekali. Para pemuda itu masih mencoba melawan, namun Ching-ching kiranya sukar diselamatkan. "I'm dead!" Pikir Ching-ching yang berusaha memutar pedangnya guna melindungi diri. Namun cambuk Kim Koay Coa terlanjur memecah pertahanannya. Selagi Gin Koay Coa melancarkan pukulan maut, cambuk itu meliuk liuk hendak menembusi lehernya! Ching-ching berkelit. Mana tahu cambuk Kim Koay Coa serupa juga benda hidup yang segera ikut berubah arah, Ching-ching tak sempat berkelit lagi. Lerernya terjerat tak dapat lepas dan Cambuk itu membelit dengan kuat seolah hendak meremukkan tulang lehernya. Ching-ching tak bisa bernapas. Seketika mukanya membiru akibat kurang hawa. Badannya lemas tak sanggup melawan lagi. Pandangannya berubah merah semua, ketika mendadak kupingnya masih mendengar satu suara wanita. "Who dares hurting my grand-nephew?" Jeratan di lehernya mendadak lepas. Ching-ching hampir terbanting ke tanah kalau saja tidak ada Wu Fei yang lekas menyambutinya. Gadis itu memaksa diri membuka mata guna melihat siapa gerangan yang menolongnya. "Su-bo?" memang ternyata yang datang itu adalah gurunya yang menetap jauh di Sha-Ie. Setelah tahu orang, si nona tergeletak tak sadarkan diri. Kedatangan Lung Yin dan murid-muridnya mengejutkan semua orang. Apalagi melihat kehebatan wanita yang sudah tidak muda lagi itu. Diam-diam semua bertanya-tanya dalam hati siapakah gerangan tokoh ini yang dalam beberapa gebrakan saja mampu membuat Kim Koay Coa keteteran. Ching Ching 465 Namun kedatangan bantuan yang tidak disangka-sangka ini menambah semangat para pendekar. Sebaliknya dengan antek-antek Kim Gin Siang Coa, melihat pemimpin mereka tak sanggup banyak melawan, semangat merekapun kendorlah. Alhasil dalam beberapa waktu lamanya keadaan berbalik. Golongan putih kini berada diatas angin. Pertempuran Lung Yin dengan Kim Gin Siang Coa Pang terlebih seru lagi. Gian Koay Coa tidak membiarkan isterinya terpukul mundur dan lantas maju membantu. Sayang meskipun demikian mereka rupanya bukan tandingan orang asing yang membawa seratus pasukan wanita ini. Pula Lung Yin bukannya orang yang suka mengulur waktu. Sekali bertindak, rupanya sudah dipertimbangkan secara masak. Ia tidak banyak menggunakan kembangan ilmu. Setiap serangan dilancarkan tanpa tipuan ataupun gerakan yang tidak perlu. Ini sungguh berbeda dengan Ilmu kembangan silat Tionggoan yang banyak menggunakan gerakan selain untuk menipu juga untuk memperindah. Tak heran Kim Gin Siang Coa perlu waktu guna mempelajari serangan lawan. Sayang Lung Yin tidak mau memberi kesempatan untuk itu. Kapannya mereka lengah, ia segera manyerang dan jarang dapat dihindari dengan mudah. Beberapa gerbrakan saja Lung Yin sudah tahu kalau kepandaian Gian Koay Coa ada disebelah bawahan isterinya. Namun apabila dihitung pengalaman, jelaslah pengalaman siluman jantan ini lebih banyak makanya ia lebih dapat menghindar. Sedangkan Kim Koay Coa boleh jadi tinggi ilmuunya namun tidak sabaran dalam menyerang sehingga banyak buka kelemahan. Bagusnya kedua pasaangan ini rupanya saling mengerti satu sama lain. Kim Koay Coa banyak menyerang selagi Gin Koay Coa menutupi lowongan yang ada. Tapi biar bagaimana kepandaian kedua siluman ular itru masih disebelah bawahan Lung Yin. Meski boleh dibilang keduanya jarang dapat dicari tandingannya, tapi dalam hal ilmu tidaklah sebanding. Beberapa jurus kemudian Lung Yin memperoleh ketika menyereang. Tanpa ampun ia mengarahkan senjatanya yang serupa tombak pendek ke arah Kim Koay Coa yang lengah. Pada saat bersamaan, Siluman ular emas itu tengah melancarkan serangan pula. Ia terlalu girang melihat Lung Yin tidak mengelak ataupun menangkis. Terburu napsu ia mengayun cambuk. Tahu-tahu saja jantungnya sendiri sudah terancam senjata lawan. Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dalam pertarungan antar jago, menang-kalah kadang ditentukan oleh sekejapan mata. Apabila melakukan kesalahan sedikit saja, mautlah ganjarannya. Dan Kim Koay Coa sadar juga akan hal ini. Melihat Gin Koay Coa juuga tak dapat menangkis serangan, kelihatannya sejenak kemudian ia akan segera tertembusi tombak. Mana tahu saat itu Gin Koay Coa demi melihat pertahanannya bobol sehingga mengancam jiwa isterinya menjadi gelap mata. Secara nekad ia memukul mundur isterinya. Sedapat mungkin tombak Lung Yin yang meluncur dihadang. Akan tetapi senjata Lung Yin juga serupa mestika. Bendungan serangan Gin Koay Coa tidak menghalangi jalannya. Terdengar satu pekik tertahaan disusul lolongan orang melengkin tinggi. Gin Koay Coa tak sempat bicara, lehernya telah tertembusi senjata. Kiim Koay Coa yang melihat ini segera manjerit. Tanpa pedulikan lagi Lung Yin yang masih bersiaga, ia meloncat menubruk suaminya. Apa daya jiwa Gin Koay Coa sudah terlanjur melayang. Saking kaget dan sedihnya, Kim kOay Coa meraung raung seperti orang gila. Ia sudah tak pedulikan lagi sekelilingnya. Mulutnyamenceracau tak keruan. Andaikata Lung Yin berniat membunuhnya, adalah sangat mudah sekali. Tapi wanita itu hanya berdiam diri menonton kejadian dihadapannya. Anak buah Kim gin Siang Coa mendengar juga jeritan junjungan mereka. Ketika Ching Ching 466 melihat satu pemimpinnya mati sedangkan yang lain seperti hilang akal, terbanglah semangat mereka. Pasukannya menjadi kacau balau. Kini lebih mudah lagi ditumpas. Tak sedikit yang lantas buang senjata menyerahkan diri, Sebagian lagi langsung kabur begitu sempat. Golongan sesat itu sudah kocar-kacir. Dari para pendekar sebenarnya tak sedikit yang gatal tangan ingiin segera bunuh juga pada Kiim Koay Coa. Namun mereka sungkan pada Lung Yin. Di dunia Kang Ouw ada peraturan tidak tertulis yakni apabila seorang tengah berduel, maka orang yang menang sajalah yang boleh mencabut nyawa pihak yang kalah. Orang lain dilarang campur tangan. Karenanya mereka diam saja. Pun ketika mendadak Kim Koay coa bangkit kabur sembari membawa mayat suaminya. Pertempuran telah usai. Mendadak suasana jadi hening. Semuanya mengamati 'tamu' yang baru datang. Apalagi dandanan Lung Yin dan antero muridnya tidak biasa, datang datang lantas membantu dan malahan sanggup memukul mundur musuh. Siapakah gerangan orang-orang ini" Tapi Lung Yin sendiri seolah tak peduli pandangan selidik orang lain. Ia menghampiri Ching-ching yang langsung menyoja sembari menyapa. "Subo!" Lung Yin menyahut dalam bahasa Mongol. "I knew the news about your death was false. You've caused trouble. It's time you come home. Your country is in need of you." "But..." Lung Yin tidak menyahut lagi. Sapaan beberapa orang yang ingin berkenalan pun hanya dijawab dengan anggukkan kepala. Menyangka orang tidak mengerti bahasa mereka, para pendekar itu menelan saja rasa penasaran dalam hati. Biarlah, urusan begini toh nanti bisa ditanyakan pada Ching-ching. Suasana kembali hangat/ Mereka saling menyalami satu sama lain atas keberhasilan hari ini. Meskipun dalam hati masih ada sedikit kekecewaan karena kemenangan bukannya mutlak hasil perjuangan sendiri. Masing masing mengakui, kalau bukannya ada bantuan tak terduga dari pasukan tak dikenal, dan jagoan kosen yang masih belum ketahuan namanya, belum tentu mereka dapat pukul mundur lawan. Tapi itu bukan soal. Yang penting tercapai maksud mereka menumpas Kim Gin Siang Coa Pang. *** It had been a week since the big battle in Red Valley. It was uneventful during that time for the warriors. Everybody was tending to their wounds, healing themselves in their homes. Even though the leader of the Snake Clan had not been captured, everybody believed that they would not cause any trouble at least for a year or two. The Warrior Society can be at peace for the time being. Other than small crimes by bandits, nothing else happened. Just like any other places, the Eight Forrest looked quiet from outside. But that peaceful quality was not in accord with the state of the girl sitting along in the inner garden. She was none other than Lie Mei Ching. The girl seemed content watching the wide-spread blue sky, where white clouds buoyantly treaded, adorning the earth's rooftop. But her gaze was beyond those clouds. She sighed occasionally. Evidently she was trying hard to make a decision. "Hey, sis. Daydreaming or waiting for inspiration?" a boy interupted her peace. Lie Mei Ching didn't look. She knew who it was by his voice. "Hi, Fei, haven't seen you all morning. You slept in, huh?" "No, no, you slept in. I looked for you all over the place all morning. And here you are, hiding. Don't you want to see the others?" Ching Ching 467 "Grandpa already has somebody else to tend to his needs. Lots of other girls are helping to clean up the mess. I'll only be intruding. I'm out of everybody's way here." "You're too much, you know that" Everybody's asking about you, how you're holding up, and what do you do" You hide here, shutting out from everyone, giving me all the trouble of answering all those questions about you. I had to tell them that you were resting in your room. If anybody knows you're here, he'll think that I'm a liar." "I didn't ask you to lie. That's your own doing. What's that got to do with me?" Her words were scolding, but she sounded like complaining. Like it or not, Wu Fei was bewildered to see his sister so upset. So he quit teasing her and asked her earnestly. "Did your teacher scold you" Did she tell you to go back to Sha'ie" If you don't want to, you can run away for a couple of months. Tiong-goan is so vast, you can hide and travel at the same time." "Actually, she didn't tell me to do anything. She allowed me to decide for myself. Justru itu yang membikin aku berat pikiran," Ching-ching answered. "That's even better. Just say you don't want to go back. Case closed." "But I don't know what I want. I don't know if I want to go back or stay here." "If you're that confused, just weigh the gains and losses. Whatever gains more for you, you do. It's that simple. I can help you if you can't do it yourself. I think if you'd be better off staying here in Tiong-goan. You have lots of friends here. You have high status in spite your age. That should help you make a name for yourself later." Lie Mei Ching cuma mesem kecut. Kiranya perkataan Wu Fei tidak meredakan gundah di hatinya. Wu Fei saw this, and immediately corrected himself. "Ah, I know that there's really only one thing that bothers you. It's about Wang Li Hai. You don't know how he feels about you. Right?" Ching-ching was silent. Tidak membantah, mengiyakan juga tidak. "I shouldn't say this, but since you're so troubled, I will. You know, bro Wang's also confused. That's all I have to say." Then Wu Fei moved to leave Ching alone. He looked back twice. Seeing Lie was just terpekur, he left with his head down. Ching-ching watched the clouds in the sky. She's really confused now. Suddenly her ears caught the sound of cloth sweeping the ground. She looked over. A girl in a long white dress was approaching. "Pek-ie-cie," Ching-ching greeted. The girl in white smiled gently to her. With a graceful gait, she came closer, but her lips was quiet. "Pek-ie-cie, did Teacher send you to tell me something?" "She only said that a night has passed. We leave this afternoon." A cloud passed over Ching's face. "That soon" Can't she give me any more time" One more day?" "You know how she is," the girl in white said. "Yes, I do." Ching-ching sighed. They were silent for a moment. "Ching-moy, actually I overheard your conversation. I know what troubles you," the girl in white said after a few moments. "You do?" Ching-ching said curtly. She wasn't sure anybody could understand whatever was in her heart. But she kept silent. Ching Ching 468 "Ah, what pain that love causes the heart, no medicine ever can cure it," Pek-ie said after confirming the problem. "I've never been in love, I dare not say anything. But someone gave me an advice once. When you meet someone you truly love, don't let him go until you're sure he doesn't love you back. Or you'll regret it for the rest of your life." "Eh?" "I think you should decide before it's too late. Don't ruin anyone else's happiness, but don't sacrifice your own." Pek-ie got up. "I'll ask Teacher to wait for one more day. But I can't hold her any longer than that. Use your time wisely. We set sail tomorrow night." The brief words from her sister was enough to set Ching's heart at peace. When Pek-ie's shadow was out of sight, Ching had already made a decision. Thio Lan Fung mengusap usap luka diperutnya. Ai, sungguh ia merasa beruntung dapat hidup setelah menderita luka tikaman seberat itu. Memang tabib Yok Ong Phoa tidak bernama kosong. Kalau bukan lantarannya mana bisa lukanya begitu cepat menyembuh. Lebih bersyukur lagi lantaran luka tersebut, Wang-Li-Hai jadi sering datang menjenguk. Tiap kali datang selalu menanyakan keadaan. Pabila dijjawab baikan, segera wajahnya berseri. Ah, apalagi yang bisa membuat Lan Fung sedemikian berbahagia daripada perhatian orang kepadanya " Sebenarnya untuk semua ini ia merasa perlu berterimakasih pada gadis she Lie itu. Coba kalau ia tidak salah tangan melempar Hui-to kebadan orang, mana Thio Lan Fung mendapat rejeki besar" Sudah namanya melambung lantaran sedia berkorban demi seorang kosen, sudah mendapat perawatan paling telaten, mendapat perhatian sang kekasih pula. Sungguh bahagia. "Miss Thio, there's someone to see you," seorang murid perempuan Pek San Bu Koan yang bertugas menjagai diamemberitahu. Di pintu terlihat Wang Li Hai. Setelah dipersilakan masuk lantas mendekati si nona. "Fung-moy, how's your wound?" tanya si pemuda. Setiap hari yang ditanya itu itu pula, tapi Thio Lan Fung tidak merasa bosan. Malah makin hari makin enak kedengaran di telinga. "It's a lot better," jawab Lan Fung sembari tersenyum. Melihat si nona nampak segar dan memang baikan,seketika Wang Li Hai bertambah lega. Selama beberapa hari ini si nona she Thio seperti menyalahkan Ching-ching. Setelah sembuh tentu sakit hatinya banyak berkurang. Apalagi yang mengobati juga adalah engkong angkatnya si nona she Lie. Sedikit banyak Wang Li Hai sendiri merasa bersalah pada si nona Thio. Lantaran dirinyalah ia sampai terluka begitu rupa. Maka buat menebus hampir tiap waktu ia menjenguk Thio Lan Fung. "Hai-ko, have you seen Lie Mei Ching?" tanya Lan Fung. "No." Si pemuda Wang Li Hai kebat kebit hatinya. Ia sudah hapal apa yang dikatakan si nona she Thio selanjutnya. "She haven't come to see me. I wonder if she's embarrased. Hai-ko, have you told her that I've already forgotten her kesalahan and she can see me anytime?" "I?I haven't seen her either." Diam diam Thio Lan Fung senang hati. "Bagus kalau dia tak ketemu Hai-ko. Berarti waktu senggang Hai-ko tidak dihabiskan bersama gadis busuk itu." ia membatin. Lain pikiran Lan Fung, lain pikirnya Li Hai. Dalam hati ia bertanya tanya kenapa Ching-ching tak mau menemuinya beberapa hari ini. Apa masih sakit hati disalahkan tempohari" Akan tetapi ia sudah minta maaf. Dan si nona juga tidak Ching Ching 469 nampak mendendam. Lalu kenapa " "Hai-ko, what's on your mind?" tanya Thio Lan Fung. "Ah, eh, tidak. Aku memikir kapan kau sembuh benar benar." gelagapan Li-Hai mendusta. "Hai-ko jangan terlalu pikirkanku. Kesehatan Hai-ko sendiri mesti banyak dipikir." Wang Li Hai cuma sekedar mesem saja. "Oh, ya. Apakah sudah didapat kabar mengenai Kim Koay coa Mo Ing?" "Belum. Kalangan Kang Ouw belum menemukan jejaknya. Sudah diketahui orang ramai kalau untuk sementara Yok Ong Phoa buka praktek disini merawat yang sakit. Anak-muridnya Pak San Bu Koan ada di sini juga. Maka kalau ada kabar tentu lekas dikirim kemari." "Kalau sudah ada kabarnya, apa Hai-ko mau berjanji hendak segera memberitahu padaku ?" "Tentu." sahut Wang Li Hai cepat. Thio Lan Fung memamerkan senyum senang. "Ah, kau tentu sudah lelah. Sekarang kau istirahatlah." kata Li Hai. "Hai-ko where are you going?" "Waiting for news from outside. If there's any, I'll let you know right away." Thio Lan Fung tertawa. "But don't be too long," pintanya manja. Wang Li Hai mengangguk. Ia segera meninggalkan kamar. Sesampainya diluar, yang pertama dituju adalah hutan bambu di belakang #. Biasanya Ching-ching senang berjalan jalan disana. Terutama meniup daun bambu yang tipis sehingga menimbulkan suara nyaring. Sayang Wang Li Hai tidak tahu. Justru hampir bersamaan ia mencari di hhutan bambu, Ching-ching tengah mencari dia di kamarnya Lan Fung. Nona she Lie itu melirik sebentar ke dalam kamar. Ketika melihat Lan Fung sedang tidur, sedangkan yang dicari tidak ada, maka ia segera keluar lagi. Dipanggilnya seorang murid Pek San Bu Koan yang bertuugas membantu mengurus si nona she Thio. "Ah-Lan, adakah kau melihat Wang-kongcu ?" "Barusan ia disini, tapi sekarang sudah pergi." Ching-ching menghela napas. "Barangkali aku memang tak ada jodoh dengan dia." gumamnya. "Apa, Ching cici?" gadis itu meski umurnya lebih tua dari Ching-ching, namun berhubung si nona pernah jadi sucinya, ia tetap memanggil secara menghormat. "Tidak ada apa-apa. Kira kira kemana perginya?" "Tidak tahu. Tapi ia janji pada Thio-kouwnnio perginya takkan lama." "Begitu. kau tunggu sebentar, kumau titip surat buat Wang-Kongcu." Si nona she Lie segra menghilang. Ketika kemudian kembali, ada sesampul surat di tangannya. "Ah-Lan, sekali ini terpaksa aku merepotkanmu. Harap kau sampaikan ini pada kongcu. Penting. Jangan sampai hilang." pesan Ching-ching. "Ching-ci kenapa tak menemui dia sendiri ?" "Ku tak dapat. Aku harus pergi supaya dia bisa memikir tenang barang sejenak. Ah-Lan, ku tak tahu besok bertemu lagi atau tidak. Kalau ku tidak kembali, harap kau pamitkan pada sekalian orang disini." Gadis yang dipanggil Ah-Lan itu mengkerut alis. "Ini urusan apa " Kenapa cici bisa tak kembali ?" "Ai, kau ini selalu mau tahu saja urusan orang." "Memang sudah sifatku demikian. Hayo, Ching-ci kau harus bikin jelas perkara Ching Ching 470 kalau tidak ku tak mau dimintai tolong." Mula mula Ching-ching berat hati menjelaskan. Tapi berhubung ia tak mau yang lain tahu urusan, lagian Ah-lan ini meski usil tapi tak suka mengumbar omong, maka keraguannya segera lenyap. "Baik, kuberitahukan. Tapi kau harus janji tidak melakukan tindakan untuk menghalangi." "Tapi kalau kau nekad menempuh bahaya, masa aku tak boleh halangi ?" "Biar apapun tidak boleh. Lagipula aku bukan mau nekad cari celaka." "Baiklah." Akhirnya Ah-Lan setuju. "Suhuku mengajak aku pulang ke Sha-Ie. Tapi ......" "Aku sudah tahu selanjutnya." potong Ah-Lan." Tentu ini menyangkut juga Wang-Kongcu dan Thio-Kouwnio. Betul tidak ?" Ching-ching mengangguk. Ah-Lan terdiam. Sesungguhnya ia seorang gadis cerdas. Maka ia dapat menerka isi surat. Tentunya Ching-ching menulis surat untuk menuntut Wang Li Hai memilih antara dirinya dan Thio Lan Fung. Tapi selama menunggu keputusan ia tak mau berada dekat situ. Tapi menanti di tempat lain. Apabila Li-Hai sudah memutuskan, dia boleh menyusul Ching-ching ke satu tempat yang ditentukan, maka Ching-ching tak jadi berangkat ke Sha-Ie. Akan tetapi apabila Li Hai tidak menyusul, berarti ia memilih Lan Fung dan Ching-ching juga tak mau bertemu lagi dengan mereka. Ah-Lan seorang gadis muda. Ia dapat mengerti perasaan si nona she Lie. Maka tak menghalangi lagi. Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ching-ci, hanya satu hal lagi mau kutanya. Dimana kau menunggu dan kapan suhumu berangkat " "Aku tak keberatan memberitahukan padamu tempatnya. Tapi apapun nanti jadinya, kau tak boleh pengaruhi pikiran dia. Tak boleh memaksa orang." "Baik. Boleh kau beritahukan tempatnya ?" "Tempatnya di Hui Hong Cui Kok(pendopo pelangi yang dikelilingi air) di tepi sungai. Bila waktu Ngo sie(tengah hari) ia belum datang, selamanya jangan harap melihatku lagi." "Baiklah Ching-ci. Jangan kuatir, Wang Kongcu pasti segera mendapat pesanmu." Ching-ching mengangguk. Kemudian sambil menenteng sedikit barang miliknya, ia segera pergi. Di balik pintu kamar, Thio Lan Fung mengintip kepergian si nona. Ia telah mendengar semua pembicaraan. Mendadak ia menjadi berkuatir sekali. "Hai-ko tak boleh baca suratnya!" ia membatin."Hai-ko tak boleh pergi dari sisiku!" Mendadak pintu dibuka perlahan. Thio Lan Fung kaget setengah mati. "Thio-Kouwnio, mau kemana ?" "Aku....aku tidak kemana mana. Hanya ketika panggil padamu kiranya kau tidak mendengar. Maka aku menyusul keluar." "Kouwnio mau ambil apa?" "Ah, tidak. Hanya sekedar sepi tak ada kawan berbincang." "Baiklah kupapah sampai ke pembaringan. Lalu akan kutemani engkau." "Boleh juga. Oh, Lan-cici, tadi kulihat Lie Kouwnio berikan sesuatu padamu. Apa itu ?" Ah-Lan melirik curiga gadis yang tengah dipayangnya. "Bukan apa-apa. Hanya sebuah surat." "Buat siapa" Boleh kulihat ?" "Aku sendiri tidak keberatan. Tapi surrat itu bukan buat Thio-Kouwnio. Kalau Ching Ching 471 kuberikan padamu, namanya lancang." sambil mengelak Ah-Lan menyindir. Thio Lan Fung menggerundel dalam hati. Tapi ia sendiri sudah bertekad mendapatkan surat itu. Namun Ah-Lan ini bukan sembarang gadis. Ia tak dapat dibujuk. Harus diakali, lalu dibungkam mulutnya supaya tidak ceriwis. Selagi Lan Fung membikin rencana, Ah-Lan juga bersiap menyahut kalau si nona mendesak lagi. Pokoknya biar bagaimana surat itu harus sampai ke tangannya Wang Li Hai saja. Orang lain, apalagi Thio Lan Fung tak boleh melihat. Lan Fung berbaring lagi di tempat tidur. Ia mengajak Ah-Lan bicara macam- macam. Tapi soal surat tak disebutnya lagi. Ah-Lan menjawab semua dengan sopan. Tapi ia tetap berjaga. Tengah berbincang bincang, tahu tahu Thio Lan Fung memegangi perutnya yang luka. Mulutnya mendesis kesakitan. "Aduh, perutku. Ah, lukaku terbuka lagi. Oh, pasti banyak darah yang keluar." "Kenapa?" tanya Ah-Lan. "Kau sakit" Kucarikan Susiok(paman guru)." "Tapi darah di perut ini tak boleh keluar. Aku bisa mati. Tapi kupunya salep dalam buntelan di sebelah kakiku. Cici, tolong ambilkan." "Baik." Ah-Lan segera berdiri dan melongok ke rangjang bagian kaki. Ia melihat buntelan yang disebut, maka segera membungkuk dan mencari cari. 'Tuk' tahu tahu Ah-Lan merasa pundaknya tertutuk. Segera badannya kaku dalam keadaan bungkuk begitu. Hiat-to (jalan darah) gagunya juga menyusull kena ditutuk. Maka gadis itu tak dapat berbuat apa-apa waktu Lan Fung menggerayangi sakunya dan mengambil surat dari Ching-ching. Segera dibaca pula surat itu. Namun ia menduga isinya. Tanpa banyak menunggu lekas surat itu dimasukkan lagi dalam sampul. "Lie-Mei Ching, malang sungguh nasibmu. Silakan saja kau menunggu di pondok sana. Sampai kau pergi esok juga Hai-ko takkan menemuimu. Selamanya Hai-ko takkan menjumpaimu lagi." Setelah itu Lan Fung menyalakan api. Surat beserta sampulnya dibakar sekalian. Setelah hangus terus abunya dibuang di kolong ranjang. Lan Fung melirik Ah-Lan."Kau juga tak boleh dibiarkan hidup. Kalau tidak tentu setelah bebas tutukanmu kau segera cerita kanan kiri. Sayang sungguh." Lan Fung mendekati murid Pek San Bu Koan yang tertutuk. Tahu tahu terdengar suara dua orang tengah berbincang. Makin lama makin dekat. Thio Lan Fung jelas mendengar suara Wang Li Hai. Yang seorang lagi kalau bukannya Yuk Lau mestilah Wu Fei. Mendadak nona she Thio kelabakan. Ia menengok sekeliling mencari tempat buat menyembunyikan Ah-Lan. Tapi di kamar itu mau menyembunyikan dimana lagi selain.....Tentu saja. Dikolong ranjang buat sementara paling aman. Kain seprai yang panjang menutupi kolongnya itu amat jarang disingkap orang. Apalagi bila ada yang tidur diatasnya. Lekas Lan Fung menyeret si nona yang tertutuk itu ke bawah. Kemudian disurukkannya ke kolong ranjang. Setelah itu cepat cepat si nona lompat naik ke tempat tidur masuk di bawah selimut. Hampir bersamaan pintu dibuka secara perlahan dari luar. Menyusul Li Hai melongok ke dalam. Melihat si nona Thio terjaga, ia membuka pintu lebih lebar dan masuk ke dalam kamar. Dibelakangnya mengikuti Wu Fei. "Fung-fung, ada tamu." kata Li Hai. "Thio kouwnio, bagaimana keadaanmu ?" bertanya Wu Fei. "Banyak lebih baik." sahut si nona. "Eh, mana Ah-Lan?" Wu Fei menanyakan adiknya seperguruan. "Bukankah ia mesti menungguimu disini ?" Ching Ching 472 "Tadi ia keluar dan sampai sekarang belum kembali." "Tidak semestinya ia meninggalkanmu sendiri. Bagaimana kalau ada apa apa?" Wu Fei mengomel. "Aku sudah baik. Ditinggal sendiri juga tak mengapa." "Kalau begitu biar kutunggui saja sampai nona Lan datang." Li Hai menawarkan diri. Sebetulnya Lan Fung girang bukan kepalang. Senang sekali kalau Li Hai mau menunggui. Tapi sekarang ada urusan yang mesti segera dibereskan sendiri maka ia berlagak mau menolak. Lain lagi dengan pikiran Wu Fei. Ia mengharap Li Hai mau bertemu dulu dengan Ching-ching. Mana lagi nona bandel itu belum ketemu sampai sekarang. Kalau Ching-ching tahu Li Hai sedang menunggui Thio Lan Fung, bisa jadi nona itu minggat sekalian. Maka sebelum Lan Fung berkata apa-apa, Wu Fei buru buru mendahului. "Aduh, kalau lantaran kupunya sumoy tak becus lantas merepotkan Wang-heng, sungguh aku yang merasa tak enak hati. Sudahlah. Biar kupanggilkan yang lain. Tunggu sebentar." Wu Fei melesat keluar. Thio Lan Fung dan Wang Li Hai sama terkesima melihat orang sedemikian repot. Tapi belum lagi keduanya sempat saling omong, Wu Fei sudah kembali bersama tiga orang sumoynya yang lain. "Ah-Mei, Ah-Nio, Ah-Kau, kalian jagalah nona Thio ini. Sekejap juga tak boleh dibiarkan sendiri. Mengerti ?" "Ya, suheng." "Nanti kalau Ah-Lan datang suruh mencari aku. Biar kudamprat sekali." "Ya, suheng." Wu Fei mengangguk puas. Ia menoleh pada Wang Li Hai. "Wang-heng, sekarang kau boleh tenang hatimu. Thio Kouwnio dijaga tiga orang, mau kenapa-napa juga susah." "Memang begini lebih baik." Kata Li Hai tertawa." Terimakasih Cia-heng." Thio Lan Fung mengumpat dalam hati. Sial betul. Sekarang lebih susah lagi ia membereskan Ah-Lan. Kalau cuma seorang, bisa saja disuruh ini-itu supaya pergi. Tapi tiga" Dengan perintah khusus sama sekali tak boleh meninggalkannnya sendiri pula. Sungguh berabe. Namun dalam hati ia mengucap syukur juga. "Untung tenagaku sudah banyak pulih. Totokanku takkan lepas dalam dua belas jam. Membereskan AhLan boleh ditunda saja." Di kolong ranjang, Ah-Lan dongkol bukan buatan. Ia dapat mendengar suara Lan Fung. Suara Wu Fei juga dikenali. Jaraknya sedemikian dekat, tetapi ia tak dapat bertindak apa-apa. Saking kesalnya sampai titik air matanya. Tapi apa boleh buat. Kali ini ia memang tidak berdaya. Sampai malam tiba, Lan Fung belum juga mendapat kesempatan buat bereskan urusan. Bahkan saat mau tidur, seorang dari tiga gadis itu tetap menjaga. Seorang lagi diam diluar bergantian dengan yang lain. Ketika basa-basi Lan Fung mempersilakan orang beristirahat, tegas mereka menolak. Ketiga gadis itu sama tidak berani membantah perintah suheng mereka. Lan Fung terpaksa berbaring saja. Tapi gulak gulik sebagaimana tetap juga tak dapat tidur. Sepanjang malam ia memikir cara buat menyingkirkan Ah-Lan besok pagi pagi. Tahu tahu saat hampir subuh terdengar suara geretakan dari kolong ranjang. Lan Fung kaget. Apakah Ah-Lan sudah lepas totokannya " Tapi waktu dua belas jam belum lagi lewat. Ching Ching 473 Memang demikian ternyata. Ah-Lan bergulingan keluar dari kolong ranjang. Seketika ketiga gadis yang menunggui Thio Lan Fung melongo. Bahkan ketika Ah-Lan bergerak cepat menotok jalanan darah Lan Fung yang belum turun dari tempat tidur mereka tak dapat berbuat apa-apa. Seluruh kejadian itu berlangsung amat cepatnya. Baru ketika Lan Fung sudah tak berkutik, ketiga gadis ini menegur serempak. "Lan suci, kau apa apaan?" "Suci, kenapa kau bisa keluar dari kolong situ ?" "Apa yang kau buat ?" Ah-Lan berdiri tegak memandangi ketiga adik seperguruannya. Tangannya menuding kepada Lan Fung. "Dia ini bukan perempuan baik-baik. Justru tadi dia yang menotokku dan mendorong masuk situ. Kalau bukan kalian menurut perintah Suheng dan tidak keluar kamar tentu aku sudah dia bunuh." "Kenapa dia mau bunuh padamu ?" "Sebab satu surat yang diberikan Ching-ci padaku untuk disampaikan pada Wang-kongcu." "Surat apa?" "Itu rahasia orang. Mana kutahu isinya." Ah-Lan menutupi." Tapi dia sudah membaca kemudian membakarnya." "Suci, Ching-Cici menghilang entah kemana. Apa dia pesan padamu kemana perginya ?" "Ya. Aduh, iya. Aku mesti ke kamar Wang-kongcu sekarang!" Ah-Lan hendak berlari keluar. "Suci, mana boleh!" serempak ketiga gadis itu mengalangi."Seorang perempuan sendirian ke kamar laki laki. Apa kata orang nanti ?" "Tapi ini penting!" kata Ah-Lan. "Aku kuatir terlambat." "Sebentar matahari terbit. Masa kau tak dapat menunggu ?" "Baiklah." Ah-Lan duduk di kursi dalam kamar itu. Tak sengaja matanya melihat Lan Fung. Tahu tahu ia uring uringan lagi." Perempuan hina! Dulu kau bikin perkara dengan Ing-suci sampai menyebabkan matinya. Kini kau juga mau mengalangi perjodohan orang." Ketiga gadis yang lain meski tidak berkata-kata ikut memandang benci pada Lan Fung. Mereka adalah adik seperguruan dibawah pimpinan In Sioe Ing. Mengingat apa yang terjadi pada suci mereka sedikit banyak disebabkan nona she Thio ini, terang saja semuanya bersikap dingin kepada si nona. Keadaan Lan Fung saat itu sungguh tidak enak. Ia ditotok dalam keadaan tidur tidak, duduk juga tidak. Tentu saja ototnya amat pegal. Belum lagi pandangan keempat nona tajam menusuk. Kalau bisa, rasanya ingin Lan Fung amblas saja ke dalam tanah. Terlebih mengingat nanti Wang Li Hai akan tahu segala perbuatannya. Benar benar Lan Fung merasa malu, sedih dan berduka. Hingga tak terasa airmatanya menitik keluar. Lima gadis itu menunggu terbitnya matahari dengan tidak sabar. Ketika sang surya baru saja menyembul dari balik awan, Ah-Lan sudah berlari ke kamarnya Wang Li Hai. Begitu tiba, lekas digedornya pintu kamar. Ah-Lan tak usah menunggu lama. Segera juga Li Hai keluar. Mendengar gedoran pintu seperti orang terdesak, sebagai kalangan pesilat Li Hai segra bersiaga. "Ada kejadian apa ?" tanyanya. Ketika melihat siapa, terus saja ia terbeliak kaget. "Lan kouwnio! Kemarin kau menghilang bersama dengan Ching- ching. Sekarang.......Apa ada satu kejadian menimpa dia?" Ching Ching 474 "Ya. Kong-cu mesti segera datang ke.....eh, bukan begitu pesannya. Kongcu diminta memikir tenang untuk.....eh. Apa sih kemarin itu ?" karena terburu buru Ah-Lan malah tak tahu bagaimana menyampaikan pesan orang. "Cepat! Ada apa sebetulnya?" Pintu kamar di sebelah kamar Li Hai terbuka. Kepala Wu Fei menongol keluar. "Ada ribut-ribut apa?" tanyanya. Begitu melihat Ah-Lan ia lekas menyusul keluar. "Ah-Lan, kemarin kemana" Kau lihat Ching-moy tidak" Apa dia bersamamu" Kemana perginya ?" Wu Fei memberondong bertanya. "Suheng!" melihat kakak seperguruannya Ah-Lan menjadi terlebih lega. "Ching-ci. Dia akan pergi kalau terlambat." "Terlambat apa " Bilang yang jelas." Maka Ah-Lan mulai bicara. Ia menceritakan semua. Mengenai surat yang dibakar Lan Fung, bagaimana ia dilumpuhkan si nona. Terkesan mengadu, tapi memang begitu kejadiannya. Ah-Lan bukan orang yang suka membumbui cerita. Mendengar semua, berubah air muka Li Hai. Dengan mengkertak gigi ia lantas berjalan ke kamarnya Lan Fung. Sesampai disana, ia melihat semuanya seperti yang diceritakan Ah-Lan. Terlihat juga Kain seprai yang tersingkap. Di kolong ranjang situ memang pernah ada orang. "Lan-Fung, setelah ini aku mau bicara!" katanya dari pintu kamar. Sewaktu Ah-Lan masuk ke dalam, Li Hai menunggu diluar. Sejenak kemudian Lan Fung keluar digiring Ah-Lan. Nona itu sudah didandani sekedarnya. Paling tidak pakaiannya sudah cukup rapi buat ketemu orang. Tapi roman si nona berantakan sungguh. Mukanya pucat, basah oleh airmata. Sungguh membikin iba. Tapi justeru Wang Li Hai tidak melihat itu semua. Dengan mengkertak gigi ia menegur. "Ah-Lan sudah bilang tentang surat yang kau bakar. Aku tak mau banyak mempersoalkan. Cukup kau beritahu saja apa yang Ching-ching bilang." "Dia....dia bilang mau berpamit. Tapi kuatir berubah pikir bila bertemu Hai-ko maka ia mengirim surat." Lan Fung masih coba berdusta. Ah-Lan melotot dibelakangnya hendak membantah. Tapi Wu Fei yang ikut disitu lekas menempel telunjuk ke bibir. Batal si nona bicara. "Betulkah ?" nadanya Li Hai makin meninggi."Cuma sebuah surat pamit, perlukah kau bakar segala ?" Tahu-tahu Lan Fung meraung. Badannya terguncang oleh sedu-sedan. "Bahkan Hai-ko juga sudah tak percaya kepadaku. Memang nasibku yang malang. Sudah ditinggal mati ibu, ayah gugur di medan tempur. Siapa lagi mau menyayang aku " huhu." Melihat si nona menangis sampai tersedak sedak. Li Hai jadi tak tega. Ketika bicara lagi suaranya terdengar lebih sabar. "Aku mau percaya kalau kau katakan yang sebenarnya." "Buat apa" Hai-ko tentu sudah tahu semua. Tak usah kuomong lagi. Kalau Hai- ko mau mengejar budak she Lie itu, pergilah." Lan Fung kembali menggerung. "Fung-fung, bukan begitu. Aku cuma mau kau bertindak jujur. Janganmenggelap seperti pengecut. Aku sungguh kecewa...." Li Hai menunggu. Tapi Ah-Lan tak mau orang berayal lagi. Lekas ia buka mulut. "Tempatnya di Hui Hong Cui Kok. Ching-ci cuma memberi waktu sampai tengah hari. Sebaiknya Kong-cu bergegas." Wang Li Hai tak memikir orang tahu darimana. Lekas ia putar badan mengambil menuju pintu gerbang. Lan Fung melihat orang hendak pergi, tangisannya makin keras. " Ibu, ayah, Ching Ching 475 anakmu nasibnya begini sengsara. Tak ada sanak, tak ada kadang. Teman juga tak punya. Baiknya aku menyusul kalian saja. Huhu!" Lan Fung masih tersedu. Tahu tahu badannya limbung. Mukanya pucat dan roboh ke tanah. Tangannya yang memegangi perut berlumuran darah. Untung Ah-Lan masih berdiri di belakangnya sehingga ia tak terbanting jatuh. "Lukanya terbuka!" Li Hai terkejut. Lekas ia memondong si nona kedalam kamar. "Ah-Lan, lari panggil susiok!" berteriak Wu Fei, ia sendiri terus menyusul masuk. Li Hai sudah membaringkan Lan Fung. Tangannya juga sudah bekerja menutukjalan darah sehingga darah tak terlalu banyak keluar. Tabib Yuk datang. Semua menyingkir memberi tempat buat memeriksa. Setelah pegang nadi, dan meraba luka, tabib Yuk geleng-geleng kepala. Keruan Li Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hai kuatir bukan main. Lekas ia mendului bertanya. "Apa dia bisa selamat ?" "Tentu saja. Ini cuma luka terbuka yang berdarah. Tidak terlampau parah. Cukup dua-tiga hari istirahat dan diberi obat. Sama saja seperti luka tertabas pedang. Yang kusesalkaan adalah tampaknya Thio Kouwnio sengaja celakai diri sendiri." "Memang. Kulihat dia pegang pegang perut, ternyata remas lukanya sendiri." kata Ah-Lan yang terlanjur benci pada orang. "Ah-Lan!" Wu Fei menegur. Matanya melirik Wang Li Hai. Tapi pemuda itu tampak sedang menerawang, tidak gubris perkataan Ah-Lan barusan. "Susiok, lanjutnya bagaimana?" "Sebentar kubikinkan obat. Tapi Thio Kouwnio mesti dijaga supaya jangan berbuat macam-macam.Biarpun lukanya enteng kalau banyak keluar darah tentu jadi payah juga." sehabis berkata tabib Yuk keluar. Wang Li Hai masih berdiri memandangi Thio Lan Fung. Tertampak wajah yang mengibakan hati. Tak mengerti dia mengapa si nona begitu nekad menyakiti diri sendiri. Justru sekarang keadaannya jadi sulit. Kalau Lan Fung ditinggal, ia tak tega. Tapi kalau menunggui disitu, bagaimana dengan Ching-ching" Tak terasa pemuda itu menghela napas. Tahu-tahu kelopak mata Lan Fung bergerak. Mulutnya komat kamit. "Hai-ko jangan pergi!" mendadak ia berteriak sambil hendak berbangkit. Keruan lukanya sakit lagi. Lan Fung cuma bisa meringis. "Aku disini." buru buru Li Hai mendekati. "Hai-ko, aku... tadi kulihat kau pergi." "Tidak. Dari tadi aku disini." Ah-Lan yang melihat itu mencibir lagi."Banyak tingkah !" ia menggumam. Ia menduga Lan Fung cuma berpura-pura. Pura-pura sakit supaya dapat mengalangi Li Hai pergi. Tak terasa Ah-Lan melirik keluar. Hari sudah terang. Matahari telah tinggi. Wang Li Hai belum juga pergi. Padahal dari (situ) ke sungai besar jaraknya lumayan jauh. Kalau pemuda itu berayal, dapatkah nanti mengejar Chingching" Atau justru hati pemuda itu sudah terpaut orang lain " Saat itu Wu Fei memikir hal yang sama. Bolak balik ia melihat matahari. Sikapnya juga terlebih gelisah. Kemudian ia gerakkan tangan panggil si gadis Ah- Mei, membisiki sesuatu. Segera saja Ah-Mei keluar. Ah-Lan mengawasi Wang Li Hai. Pemuda itu juga nampak tidak tenang. Roman mukanya berubah ubah. Tapi ia duduk di tepi pembaringan. Tangannya menggenggam tangan Lan Fung yang putih-pucat. Tidak, lebih tepat Lan Fung yang memegangi erat-erat. Ah-Lan mendengus sebal. Selama itu pandangan mata Lan Fung tidak berkisar dari wajah Wang Li Hai. Ching Ching 476 Hatinya selalu menjadi tenang melihat rupa pemuda itu. Menjadi pendamping seorang yang gagah dan tampan. Siapa tidak bangga" Tapi ia akan segera kehilangan pemuda itu. Harus diatur suatu tindakan! Wang Li Hai yang dipandangi sedemikian rupa mau tak mau jadi jengah sendiri. Ia berlagak membetulkan selimut si nona. "Kau akan segera baik lagi. Istirahat dua-tiga hari juga akan segera sembuh." "Hai-ko." si nona memanggil dengan suara gemetar. Kelopak matanya juga ikut bergetar. Butir air bening mengalir lagi dari matanya. Sungguh Wang Li Hai tak tahan melihat pemandangan sedemikian. Lekas ia berlagak membetulkan selimut sekali lagi. "Hai-ko, pandanglah aku." pinta Lan Fung. Li-Hai menurut. "Aku....aku mengaku. Aku memang yang membakar surat untukmu. Aku juga yang melumpuhkan Lan-cici, tapi sungguh tiada niatan jahat. Aku melakukan semuanya lantaran kuatir kehilanganmu. Hai-ko, kalau kau tidak ada, dengan siapa lagi kuhidup didunia?" Lan Fung sesenggukan." Aku tak mau kau baca surat itu. Kutahu kau pasti tak kembali kalau membacanya. Kau pasti meninggalkan aku. Aku tidak mau, huhu." Wang Li hai tak tahu mesti bicara apa. Ia diam saja. "Dalam suratnya Lie Mei Ching bilang, ia mau kau memilih antara dua. Aku atau dia. Kalau kau pilih aku, ia akan pergi, kau takkan pernah menemuinya lagi. Berarti kalau kau memilih dia aku....aku...." perkatan Lan Fung terpotong. Roman Wang Li Hai berubah melembut. Ia tahu si nona memang tak punya siapa-siapa lagi. Satu-satunya tempat bersandar adalah dia. Tapi...... Baik Ah-lan maupun Wu Fei melihat perubahan roman muka itu. Keduanya menjadi tegang. Mereka sama berdiri di pihak Ching-ching. Tentu mereka juga yang penasaran kalau sampai Li Hai tak jadi pergi cuma lantaran si nona penyakitan. Lan Fung melihat orang mulai bimbang. Makin ia memelas." Hai-ko, Jangan tinggalkan aku. Maukah kau berjanji?" Wang Li Hai tak dapat langsung bicara. Biar bagaimana sebagai seorang laki-laki sekali berucap susah dipungkiri. Permintaan Lan Fung menyangkut kebahagiaannya seumur hidup. Bagaimanapuun ia mesti memiikir dulu. Lan Fung kuatir orang berubah pikiran. Lekas ia menjalankan siasat lain. Dengan suranya yang lemah gemetaran ia berkata. "Kalau Hai-ko memang jemu padaku, aku juga takkan halangi lagi." seraya mulutnya berkata demikian, tangannya melepaskan pegangan dan menggeser ke arah perut. Lan Fung memang tidak mengancam secara berterang. Tapi tindakannya itu sama juga menodong Wang Li Hai. Kuatir orang celaka gara gara dirinya. Li Hai lekas mengambil tangan si nona dan menggenggamnya erat. Kemudian dengan membulatkan tekad ia buka suara. "Fung-fung, aku....." Ucapan Wang Li Hai berhenti ditengah. Wu Fei menepuk pundaknya sambil bicara,"Nona Thio tak boleh terlalu lelah. Nanti kau boleh ajak omong lagi. Sebentar susiok Toa-hu(paman tabib) datang. Biar dia mengobati Thio Kouw-nio dengan leluasa. "Benar." Ah-Lan juga berdiri di pinggir ranjang."Wang Kong-cu jangan kuatir, kami bertiga berjanji akan menjaganya baik baik." Wang Li Hai mengangguk. Setengah diseret ia dibawa keluar oleh Wu Fei. Ia tak melihat betapa Lan Fung melotot kesal. Ah-Lan yang berdiri di samping si nona she Thio itu menutupi pandangan. Ia juga tak mendengar Lan Fung bersuara. Dikiranya orang memang sudah terlalu lelah. Sama sekali pemuda ini tak menduga, Ching Ching 477 ketika Ah-Lan datang mendekat, hiat-to si nona sudah ditotok orang. Wu Fei mengajak Li Hai berjalan jalan ke kebun hutan bambu. Di sana sangat sepi. Kecuali suara keresek dedaunan dan binatang-binatang kecil, tak ada yang mengganggu ketenangan di sana. "Wang-Heng, kutahu kau sedang berada di antara dua jalan. Manapun yang kau tempuh itu menyangkut kebahagiaanmu kemudian hari. Aku tak ingin kau terpengaruh orang dalam mengambil keputusan, maka sengaja kubawa kesini supaya dapat berpikir tenang. Waktumu tidak banyak, tapi paling tidak lebih baik daripada mengambil keputusan terburu-buru. Nah, silahkan kau merenungkan." "Terimakasih, Cia-heng." kata Li Hai. Wu Fei mengangguk. Kemudian ia sendiri meninggalkan pemuda itu sendiri. Ketika sudah berjalan ratusan tindak, ia berhenti dan mengawasi Li Hai dari jauh. Wu Fei ingin tahu juga siapa diantara dua yang dipilih Li Hai. Dalam hati ia mengharap Ching-ching yang menangkan pemuda itu. Dengan demikian si nona akan bahagia dan ia juga turut gembira. Namun Wu Fei juga tahu perasaan hati Wang Li Hai yang sesungguhnya. Maka itu ia tak banyak bicara, cuma menarik Li Hai dari pengaruh Lan Fung. Wang Li Hai sendiri adalah yang benar-benar tersiksa. Setiap malam memang ia memikirkan tentang perasaannya sendiri. Kemana hatinya penuju " Ching-ching dan Lan Fung sama-sama ia sukai. Sama sama punya daya tarik sendiri. Dengan Lan Fung tentu dia merasa menjadi seorang gagah tiada bandingan. Sudah pasti ia merasa senang dekat nona itu. Tapi dengan Ching-ching lain lagi. Nona bandel itu susah ditebak maunya. Sebentar lembut, sebentar galak. Sungguh membuat penasaran. Dengan Ching-ching ia tak pernah bosan. Mengingat itu ia memilih Ching-ching, takut kalau kelak bosan menghadapi Lan Fung yang begitu - begitu juga. Meski orangnya lebih cantik, tapi belasan tahun lagi apa tidak keriput juga" Namun kalau ia memilih Ching-ching, ada satu ganjelan yang tak dapat dihilangkan. Gadis itu sering merendahkan dia. Meski sekarang ilmunya boleh dibilang tak kalah dari si nona, tapi Ching-ching sering masih menganggap dia sebagai Siaw Kui, anak desa yang bodoh. Meski Li Hai tahu sikap itu cuma sesekali saja munculnya, tetap ia merasa tidak genah. Padahal Lan Fung menganggapnya hampir hampir seperti turunan dewa, yang dipuja lebih dari siapapun juga. Makin dipikir, Li Hai makin bingung. Belum lagi merasa tegang. Andaikata ia terlambat, maka ia tak bisa ketemu Ching-ching. Padahal sekarang hatinya sendiri belum dapat memutuskan. Wu Fei yang menunggu di kejauhan tak kalah gelisah. Ia bolak-balik memandangi matahari, mengharap tempatnya tidak berpindah. Tapi hukum alam mana bisa ditentang. Makin siang tentu matahari makin tinggi. Wu Fei tahu waktunya hampir habis. Ia mendekati lagi Wang Li Hai yang duduk menunduk dengan menutup muka. "Wang-heng, sudah ada keputusan ?" tanyanya pelan. Wang Li Hai mengangkat kepala. Mukanya keruh tanda pikiran belum lagi terang. "Cia-heng, kiranya kumusti minta pendapatmu." "Tidak dapat. Ini sepenuhnya keputusanmu sendiri. Tapi waktu sudah sangat mepet. Boleh kutanya siapa pilihanmu?" "Entah." kata Wang Li Hai. "Ching-ching takkan menunggu lebih lama." Wu Fei mengingatkan. Wang Li Hai memandang tajam muka Wu Fei. Ia sudah tahu perasaan pemuda itu terhadap bekas sumoynya. "Cia-heng, diluar pertimbanganku mengenai hal ini, kuingin tanya stu hal Ching Ching 478 kepadamu. Kutahu perasaan hatimu pada Ching-ching, tapi kenapa kau begitu baik kepadaku. Tidakkah kau merasa cemburu?" Wajah Wu Fei merah jengah. Ia cengar-cengir dulu sebelum menjawab. "Siapa bilang aku tidak cemburu" Aku sirik setengah mati kepadamu. Kalau bisa kuingin hapuskan saja kau dari muka bumi. Tapi kalau kutunjukkan perasaaan begitu, bukankah nanti Ching-moy yang susah. Lihat saja urusanmu sekarang. Siapa yang pusing coba?" "Kau kenali Ching-moy sudah lama. Kau tahu dia tak sudi mengalah. Tapi sekarang ia seperti hampir menyerah. Apa kau mengerti kenapa?" "Kau kenal dia lebih dulu daripadaku. Mestinya kau lebih tahu." Wang Li Hai tercenung. Ia ingat, ini kali kedua Ching-ching melakukan hal demikian. Dulu, di dalam gua ia juga ditinggal supaya dapat lebih tenang berguru pada Bu Beng Lojin. Hasilnya kini ia menjadi pendekar muda yang sudah punya nama dan disegani. Kalau dulu Ching-ching tidak meninggalkannya, mana ada kejadian begini. Dan tindakannya kali ini apa memiliki tujuan yang sama" Demi kebaikannya sendiri" Supaya ia lebih tenang nanti berdiri di tengah rimba persilatan" Tanpa dipusingkan dua gadis yang saling cemburu berebut perhatiannya " Wang Li hai terus bertanya dam hati. Wu Fei sekali lagi memandang ke langit. Ia menghela napas. "Sudah." katanya menyesal."Wang-heng, mari kita menengok nona Thio saja. Barangkali ia ingin kau temani." "Tidak!" tahu tahu Wang Li Hai bangkit berdiri. Ia berlari ke arah barat. "Wang-Heng, mau kemana ?" "Menyusul Ching-ching!" berseru si pemuda. Seketika wajah Wu Fei berseri. "Kau salah jalan! Larilah ke gerbang. Sudah siap seekor kuda. Ambil jalanan kecil lewat sebelah utara kota. Nanti membelok ke barat, maka kau lebih cepat tiba." Li-Hai putar haluan. Sambil berlari ia berteriak."Nanti kusuguh tiga cawan arak buatmu, Cia-heng." Seperti yang dikatakan Wu Fei, di dekat gerbang seekor kuda yang baik sudah disiapkan. Ah-mei berdiri disana menunggu. Ketika melihat Wang-Li-hai nona itu menggebah kuda. Sekarang kuda lari ke utara, Wang Li hai mengejar dan lompatcemplak ke atasnya. Dengan begitu ia bisa persingkat waktu puluhan detik. Tapi ia sudah benar terlambat. Waktu puluhan detik itu sangat berharga. Wang Li Hai membedal kudanya mati-matian ke arah utara mengikuti jalan kecil yang disebut oleh Wu Fei. Ternyata memang kuda itu dapat berlari kencang sekali. Tentunya Wu Fei telah memilihkan yang terbaik. Sesekali Li Hai melihat bayangan ditanah. Bayangan sudah semakin pendek. Ia mesti cepat! Sungai besar masih jauh. Belum lagi ia tak tahu tempat yang namanya Hui Hong Cui Kok itu. Celakanya lagi tahu-tahu jalanan kecil yang dilaluinya terpotong. Di depannya tumbuh semak belukar yang amat lebat. Padahal di kirikanannya adalah pepohonan. Semua sama besar sama tinggi, entah dia mesti belok kemana. Li-Hai turun dari kuda dengan kecewa. Jangan-jangan Wu Fei salah memberitahu jalan" tapi sekarang tak mungkin putar-balik. Sudah terlalu jauh jara yang ditempuh. Wang Li Hai berjonkok. Ia masih dapat melihat samar-samar bekas jalanan lurus. Langsung menuju ke arah tumbuhnya semak. Segera pemuda itu mengikuti perlahan. Di bawah semak belukar, tampak bekas jalanan menembus. Pemuda itu lantas menyingkapkan semak. Ia membabat habis tumbuhan yang Ching Ching 479 menghalangi itu dengan pedang yang tergantung di pelana kuda. Untung Wu Fei sudah mempersiapkan segala sesuatu. Kalau tidak tentu ia habis waktu dan tenaga cuma buat menyingkirkan semak yang lebat-tinggi itu. Setelah melewati rintangan tersebut, Wang Li Hai terus membedal kuda. Binatang itu sampai mengeluarkan uap asap dari hidung, tapi larinya sedikitpun tidak kendor. Wang Li Hai menoleh lagi ke tanah. Bayangan kuda disitu sudah tidak kelihatan teraling badan kuda yang besar. Berarti matahari sudah tepat diatas kepala. Waktu yang diberikan Ching-ching sudah habis. Namun Li-Hai masih punya harapan si nona mau menunggu beberapa saat. Siapa tahu " Maka ia tidak kendor semangatnya. Kira-kira sepasangan hio kemudian, Wang-Li Hai tiba di tepian sungai. Kini ia tinggal mencari yang namanya Hui Hong Cui Kok. Ternyata tidak begitu sulit mencari tempat yang disebut. Hanya saja teraling satu bukui kecil di pinggiran sungai situ. Setelah melewati bukit itu segera terlihat satu rumah-rumahan di bagian sungai. Bagian sungai disitu membiluk dari aliran semestinya sehingga membuat satu kolam di pinggiran. Pendopo Pelangi itu berdiri di tengah kolam ini. Untuk pergi ke sana mesti melewati jembatan merah. Wang Li hai segera turun dari kudanya dan berlari ke tengah sana. Sambil mendekat ia berseru memanggil nama orang. "Ching-ching!" namun tak ada sahutan. Li Hai mengerahkan ginkang melompati beberapa bilikan jembatan. Ia kuatir kalaukalau si nona........... Ternyata Li-Hai memang harus kecewa. Di pondok itu tak ada siapa siapa. Lemas seluruh badan Li-Hai. Ia terlambat. Ching-ching sudah pergi. Saking menyesalnya Li Hai sampai teru menggelosor ditanah. Ia berbaring tengkurap beberapa lama. Hatinya kosong, hampa, kecewa. Pemuda itu memejamkan mata. Terbayang wajah si nona. Hampir-hampir Li-Hai tidur disitu ketika tiba-tiba terdengar satu suitan nyaring. Pernah dengar suara yang sama, yakni sewaktu Kim Koay Coa kabur membawa mayat suaminya yang terluka. Jangan-jangan siluman itu ada disekitar sini " Mendadak Li-Hai merasa Ching-Ching masih ada di sekitar situ. Dan kini sedang dalam keadaan bahaya! Cepat si pemuda memburu ke arah datangnya suara. benar juga. Kira-kira tiga li jauhnya, diantara pepohonan yang tumbuh di pinggiran sungai situ dua orang sedang bertempur mati-matian. Li-Hai dapat mengenali, satu diantara dua adalah Ching-ching. Dan tampaknya nona itu mulai kepayahan menghadapi Kim Koay Coa yang menyerang serabutan. Siluman itu seperti tidak perduli diri sendiri, terus saja menyerang tanpa bertahan. Sedangkan Ching-ching terus bertahan, tidak punya kesempatan membalas. Makin dekat, makin jelas penglihatan. Li Hai mendapati kedua orang yang tengah bertempur itu sama parah lukanya. Pecut Kim Koay Coa sudah merobek kuli si nona. Sedangkan Ching-ching kini cuma bersenjatakan belati tunggal. Yang sebuah lagi tentu sudah tergubat dan dibuang musuhnya. Bagaimanapun senjata pecut lebih ganas dari sebilah belati yang cuma bisa berguna dalam jarak yang dekat. Ketika Li-Hai datang, leher si nona she Lie telah terbelit tali pecut. Tapi Kim Koay Coa tidak maksud mencekik orang sampai mati. Ia menyentakkan pecutnya dan senjata lemas panjang itu tergulung. Dengan demikian Ching-ching ikut maju mendekati si siluman ular emas. Nona itu hampir habis daya. Betapa tidak, lehernya tercekik erat. Napasnya tidak bebas. Tenaga jadi kurang, pikiran juga tidak terang. Dalam keadaan begitu mana bisa melawan" Ching Ching 480 Kim Koay Coa menyeringai. Sudah pasti kemenangan ada ditangan. Ia mengumpulkan segenap tenaga. Membentak sekali, terhantam telak perut si nona. Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Namun Ching-ching bukan orangnya yang gampang menyerah. Setelah tahu pasti kalah, ia bertekad mati bersama. Maka bersamaan Kim Koay Coa memukul, saat itu juga ia lemparkan belatinya ke dada orang. Kim Koay Coa tengah mengeluarkan seantero tenaga. Sedikitpun tidak menduga orang masih dapat melawan. Apalagi belati yang dilempar sedemikian kuat, dari jarak yang dekat pula. Ia tak sempat menangkis atau menghindar. Belati itu tembusi dadanya. Malahan daya pendorongnya masih sempat melemparkan siluman betina itu beberapa tindak ke belakang. Kim Koay Coa roboh ditanah dengan dada bolong. Sudah barang tentu bocor mengucur darahnya. Ching-ching sendiri tak kalah payah. Isi perutnya terhantam telak. Nyaris ia semaput seketika. Tapi kemudian dirasakan badannya dipangku orang. Gadis itu paksakan diri membuka mata. Dilihatnya seraut wajah Wang Li Hai. Seketika si nona berkerut kening. "Kau.........?" "Ya, ini aku." Li Hai melepas tali pecut yang masih melibat leher Ching- Ching. "Kau...masih mau datang." si nona bicara saja sudah payah. Suaranya serak tak enak didengar. Napasnya tersengal. "Kubawa kau pada Kong-kongmu!" kata Li-Hai dan terus meondong tubuh gadis itu dengan tergesa. "Tak ... berguna. Tak ... kan selamat." "Kong-kongmu tabib sakti. Kau pasti sehat lagi." "Biar ... dewa ... juga ... tak bisa." Ching-ching paksakan diri tersenyum. "Cucu ... Yok ong ... Phoa lebih ... lebih tahu." "Ching-ching!" Wang Li Hai tak tega melihat si nona yang nampak begitu menderita. Segera saja airmatanya turun bercucuran. "Kau ... pulang! Selamat ... dengan Lan ... si nona masih ingin bicara. Tapi cuma mulutnya komat-kamit. Tak ada suara yang keluar. "Kau omong apa" Jangan cakap yang tidak-tidak! Sekarang juga kubawa kau pulang." "Kuharap ... kau ... tidak datang." Wang Lie Hai mengira dia salah dengar. "Aku datang. Ching-ching, aku sudah datang." Gadis itu menggeleng. "Suratku ... kau tak ... baca?" "Lan Fung membakarnya. Tapi bukankah kau menyuruhku memilih antara kau dan dia. Kalau kudatang maka kita selamanya takkan berjumpa Lan Fung lagi?" "Gadis ... bodoh. Dalam surat ... kubilang ... aku tak mau ketemu kau lagi. Selamanya. Ini ... kali terakhir. Kalau ... kau ... yang mau." "Apa" Tapi .... Apa maksudmu ?" "Siaw Kui, sebelum .... Sebelum aku mati, aku mau katakan terus terang kepadamu. Orang ... orang yang ada di hatiku, bukan kamu!" Wang Li Hai terkejut. Mukanya yang pucat semakin pasi. Tapi lantas ia menggelengkan kepala sembari tersenyum. "Tidak! Kau bohong! Ching-ching, kau akan pulih. Tak usah kau membohongi aku demikian cuma untuk mempersatukanku dengan Yin Hung." "Bukan dusta!" Ching-ching tersengal. "Sungguh ... bukan engkau." "Siapa?" suara Wang Li Hai gemetar menduga-duga. "Apa kakak seperguruanmu Chia Wu Fei?" Ching-ching tidak menjawab. Matanya terpejam. Di bibirnya tersungging senyum. Ia tak akan pernah menjawab pertanyaan Wang Li Hai. "Wang-heng! Ching-ching!" tahu-tahu di belakang Li Hai sudah berdiri seorang Ching Ching 481 pemuda. Li Hai tak tahu kapan dia datang, kapan dia mendekat. Tahu-tahu pemuda itu sudah berlutut di sampingnya. "Dia bilang bukan aku yang ada dihatinya. Dia bohong bukan?" Wang Li Hai bergumam setengah bertanya setengah mengeluh. Suaranya gemetar, matanya basah. "Dia tidak berdusta," kata pemuda di sampingnya, suaranya sama bergetar. "Bukan kamu." "Apakah kamu?" tanya Wang Li Hai menoleh. "Bukan," sahut Wu Fei. "Bukan juga aku." "Lantas siapa?" "Kalau kamu lihat nama siapa yang diukirnya di tiang belandar Teng (paviliun) di tengah danau, kamu akan tahu." "Siapa?" "Pergi, lihatlah sendiri." "Aku tak mau tinggalkan Ching-ching di sini." Chia Wu Fei mengawasi Wang Li Hai dengan tajam sampai pemuda she Wang itu gentar sendiri. Tak pernah dia diawasi sedemikian rupa oleh orang lain. "Selama hidupnya, meskipun bukan kamu yang ada di hatinya, tapi selalu menemanimu. Sekarang, setelah begini apakah kau masih tidak ijinkan aku dan dia berdua barang sesaat?" "Aku ...." Wang Li Hai tak bisa berkata lagi. Dengan berat hati ia tinggalkan juga. Kini tinggal Chia Wu Fei memangku gadis she Lie yang diam membisu. Dipandanginya wajah gadis itu. Diperbaikinya letak rambutnya, dihapusnya percik darah dari wajahnya sembari menggumam. "Selama hidupmu, aku tak berani mengatakannya. Selagi kau hidup tak berani kubilang perasaanku yang seungguhnya. Tapi tadi ketika hampir kau pergi mendadak aku ingin menyampaikan, mendadak hilang keraguan. Biarpun aku harus bersaing dengan Wang Li Hai. Selama ini kusangka dialah orang yang ada di hatimu. Dan aku benci Wang-heng karena merasa berkali-kali ia telah mengkhianatimu. "Setelah kutahu bukan dia yang ada di hatimu, mendadak semangatku berkobar. Dan tadi, waktu kusampaikan itu kepadanya, sesungguhnya hatiku penuh kebencian. Aku senang melihat dia merana. Tapi itu hanya buat sementara. Sumpah, aku lebih senang kalau ternyata benar benar dia yang ada di hatimu, kemudian kau boleh bahagia bersamanya. Biar aku cuma dapat menyaksikan tanpa merasakan. Asalkan aku masih dapat melihatmu tertawa, bercanda ... terlambat. Semuanya sudah terlambat!" Mendadak Chia Wu Fei sesenggukan. Memeluk badan Ching-ching erat erat. "No. It's not too late!" mendadak Wu Fei mendengar suara halus ditelinganya. "Fei-koko, if I survive, what do you want to give me?" Chia Wu Fei mengawasi si nona dipangkuannya yang tersenyum meskipun masih amat pucat wajahnya. Ching-ching belum mati. Antara terkejut dan senang pemuda itu menangis dan tertawa berbarengan. "Anything you want. Even my life." "Good. Could you bring me to my teacher?" "Sure! Sure! But Wang Li Hai?" "Don't mind him. Paling nanti dia memakimu sebagai maling mayat. Let's go before he gets back!" Lantaran Ching-ching belum dapat berdiri, Chia Wu Fei menggendongnya pergi. "Siauw-soe-moay, I really thought you were dead." "Me too. Tapi kiranya Suhu kita melindungi." "Suhu kita?" "Pedang yang suhu berikan masih kubawa dipinggang. Sewaktu dipukul tadi, yang Ching Ching 482 kena adalah kepala pedang yang dari batu giok. Kiranya sekarang sudah hancur berantakan. Eh, Wu Fei-koko, apa kau masih mau menemaniku seumur-umur?" "Ching-ching jangan bercanda. Aku tahu aku bukan orang yang kau cinta." "Si orang she Chang sudah mati. Apa kau lebih suka aku menyusul dia?" Wu Fei tertawa saja. Suaranya makin lama semakin lenyap, seperti juga ia membawa Ching-ching semakin lama semakin jauh dari tempat itu. Tamat__________________________ Ching Ching 483 Pertemuan Di Kotaraja 15 Pedang Siluman Darah 3 Titisan Budak Iblis Warisan Berdarah 1

Cari Blog Ini