Ketika Dewa Memaksa 1
Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? Bagian 1 KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA Prolog: Cerita wayang kontemporer berikut ini telah saya coba bangun kembali dalam beberapa bulan terakhir ini. Idenya datang saat saya mendengarkan kaset wayang berjilid dengan judul: Antasena Gugat, yang dimainkan oleh Ki Timbul Hadiprayitno. Untuk mereka yang telah menunggu-nunggu maupun bertanya, terutama Pak Irwan Boediharjo, Pak Harjanto Djunaidi, dan Astari, maka inilah hasilnya. Semoga anda bisa puas. KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (1) Buat: Anastasia Listiawan Siapa tak mengenal Bethara Guru" Raja para dewa ini bertahta di Jonggring Saloka, negeri para dewa dan dewi. Ia adalah sosok dewa yang pintar dan berwibawa. Ia dewa yang dermawan dan punya rasa humor yang tinggi, walau humornya bukan humor kelas abang becak. Siapa saja yang ada didekatnya bukan hanya senang dan terhibur, namun juga menaruh rasa hormat. Bethara Guru memiliki beberapa gelar, yang salah satunya adalah Sang Hyang Jagat Nata, artinya dewa yang memiliki kekuasaan dalam menata kehidupan dunia. Adapun dunia yang dikuasainya terdiri dari bagian: Jagat Inggil, dunia atas (dunia para dewa), Jagat Madya, dunia tengah (dunia mahkluk halus), dan Jagat Ngandap, dunia bawah (dunia para manusia). Sang Hyang Jagat Nata juga punya beberapa gelar lainnya, yaitu: Sang Hyang Jagat Pratingkah, Sang Hyang Udipati, Sang Hyang Milengis, Sang Hyang Manik Maya, Sang Hyang Catur Buja (karena memiliki empat bahu dan empat tangan), Sang Hyang Randu Wanda. Dengan berbagai macam gelar yang disandangnya itu, semakin sempurnalah keberadaan Bethara Guru. Ia selalu menjadi contoh dan cermin bagi para orang tua yang ingin anak-anaknya punya banyak gelar. Tidak peduli apakah gelar itu harus dibeli. Dengan berbagai gelar yang disandangnya itu pula Bethara Guru makin dihormati dan dikagumi dimana-mana. Karismanya semakin memancar. Dan dengan karisma dan penampilannya saja, ia seperti mampu memberikan rasa aman dan optimisme bagi para mahkluk yang kebetulan berada di sekelilingnya. Tentu saja keberadaan yang nyaris sempurna itu di dukung pula oleh penampilan yang menajubkan. Contohnya: kalau pas lagi berpergian, ia selalu menunggang kendaraan kesayangannya, yaitu seekor sapi sakti bernama Andini. Ia lebih suka naik sapinya yang tanpa 'air-bag' maupun 'anti-lock brake system' itu, dari pada naik mobil limosinnya yang anti peluru. Nasehat keluarganya yang kawatir kalau ia kecelakaaan karena naik sapi, apalagi tanpa sabuk pengaman (seat belt) tidak digubrisnya. Pernah di daerah Virginia ia kena tilang gara-gara tidak 'bukle-up'. Di pagi yang cerah itu, Bethara Guru memanggil para dewa bawahannya. Nampaknya ada sesuatu urusan penting yang ingin ia bicarakan dengan para kawulanya itu. Sudah sebulan ini negara Jonggring Saloka dilanda keresahan. Kawah Candradimuka, yang sering disebut manusia sebagai Neraka Jahanam, menggelegak dan laharnya menyembur-nyembur kian kemari. Bersama dengan itu, suasana tegang nampak terlihat dimana-mana. Dewa dan dewi yang ditemui dijalan selalu bermuka masam dan menampakkan sikap marah jika disapa. Gempa melanda seluruh negeri dan mengakibatkan kerusakan hebat di sebagian negeri. Suasana di dalam istanapun tak kalah kacaunya. Gempa bumi membuat rusak Tamansari, yaitu taman yang menjadi kebanggaan negara Jonggring Saloka karena keindahannya. Walau pembangunan kembali taman itu nantinya masih bisa dilakukan selama masih mampu ngutang kepada World Bank dan IMF, namun cukup membuat resah pemerintahan negara itu. Di negeri itu ternyata praktik korupsi, dan juga praktik kolusi serta nepotisme, masih ada dimana-mana, tapi mereka sekarang tak bisa melakukannya seenaknya seperti dulu. Maksudnya, mereka sekarang melakukannya dengan diam-diam dan ngumpet-ngumpet. Ketika tiba di Paseban Agung, tempat dimana raja biasa menerima para punggawanya, para dewa segera menghaturkan sembah ke singgasana. Setelah itu mengambil tempat menurut hirarki masing-masing. Dewa yang rendah pangkatnya, duduk dibelakang yang pangkatnya lebih tinggi, dan begitu seterusnya. Sudah empat jam ini Bethara Guru duduk termenung di singgasananya. Tidak ada satu katapun keluar dari mulutnya. Walau begitu para bawahannya tidak ada yang berani memulai berbicara. Mereka menunggu sabda raja. Begitulah peraturan protokoler kerajaan Jonggring Saloka yang diterapkan dengan ketat. Jika ada yang menyalahinya, konsekwensinya tidak langsung dirasakan pada saat itu juga. Paling-paling besoknya pangkatnya turun, atau jabatannya dicabut. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (2) Para dewa yang menghadap rajanya terpekur tanpa suara. Duduk di barisan depan adalah Bethara Narada, sang patih Jonggring Saloka. Walaupun sudah cukup tua umurnya, namun masih gesit tindakannya. Hal itu akibat jamu galian Sehat Lelaki yang tenggaknya tiap pagi. Juga jamu Pasak Bumi dan ramuan Jaran Goyang, tiap seminggu sekali. Sang Narada yang memiliki perawakan pendek itu bukan hanya sakti, namun juga bijaksana. Ia tak segan-segan memberi nasehat yang sejujurnya. Kritik dan saran membangun. Bahkan terhadap rajanya, Sang Hyang Bethara Guru, sekalipun. Dan sang raja telah hapal akan sifat patihnya. Selain Patih Narada nampak hadir pula masing-masing Dewa Masno dan Dewa Sriyono. Keduanya putra Bethara Guru sendiri. Di Jonggring Saloka siapa yang tak kenal Dewa Sriyono. Ia adalah Juru Catat kerajaan. Entah karena pekerjaannya atau karena sifatnya, putra Bethara Guru yang satu ini paling suka cari perhatian ayahnya. Tapi warga lain sering menyebutnya: cari muka. Ada sesuatu yang disembunyikannya. Mungkin ia minta pindah jabatan. Atau mungkin ia sangat berambisi diberi jabatan lain oleh ayahnya. Tak ada yang tahu persisnya. Tidak seperti Dewa Sriyono, Dewa Masno lebih pendiam. Ia jarang bercakap kalau tak perlu. Tapi biarpun pendiam, kesaktian dan keberaniannya telah terkenal diseantero Jonggring Saloka. Para dewa yang lebih tua sering memanggilnya: Si Rookie. Angin bertiup semilir. Hari ini udara di Jonggring Saloka nampak cerah. Kemarin ramalan cuaca di telivisi mengatakan bahwa tidak akan ada hujan. Para peramal cuaca di kerajaan ini tidak perlu menggunakan peralatan radar Doppler yang canggih untuk memantau keadaan cuaca. Karena mereka sendirilah pencipta cuaca itu. Mereka adalah para dewa yang memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap baik buruknya cuaca di jagat raya. Semilirnya angin memberi sedikit nafas kelegaan. Bersamaan dengan itu, sabda Bethara Guru pun mulai bergulir. Ia mulai menanyakan khabar patihnya. Kemudian anak-anaknya, serta para hadirin yang hadir di tempat itu. Akhirnya, semakin lengkaplah kesejukan suasana di pendopo Paseban Agung. Suasana yang tadinya terasa tegang dan sesak, kini sudah mulai mengendur. Ketika merasakan cairnya suasana itulah, pada gilirannya Bethara Narada bertanya sambil menyembah: "Kalo saya boleh tanya, ada apa Adi Guru memanggil saya?" "Kakang Narada. Sudah tiga bulan ini Jonggring Saloka dilanda keresahan. Kawah Candradimuka menggelegak. Laharnya menyembur-nyembur. Gempa bumi membuat terjadinya kerusakan dimana-mana. Jika keadaan ini tidak segera ditangani, tentu akan merusak bukan hanya negeri ini, namun juga seluruh jagat raya," kata Bethara Guru menampakkan keprihatinannya. Setelah hening beberapa saat, Bethara Guru melanjutkan ucapannya. Namun untuk kali ini cukup mengagetkan Patih Narada: "Apa kira-kira kakang Narada tahu penyebab keadaan ini?" "Mohon ampun, Adi Guru. Tapi apa itu namanya tidak keliru?" sanggah Patih Narada. Melihat rajanya bingung pada sanggahannya ia melanjutkan: "Maksud saya begini, paduka. Bukankah paduka penguasa seluruh Jagat Raya ini" "Nah, kalau saya kan cuma patih. Biarpun umur lebih tua dan juga punya kuasa untuk mengetahui keadaan, tapi bukankah saya tetap hanya seorang patih. Padukalah yang memiliki kekuasaan atas Jagat Raya ini. Karena itu, saya yakin tentu lebih mengetahui keadaan ketimbang saya. Apa bukan seharusnya sayalah yang bertanya pada paduka, tentang penyebab keadaan ini?" Jawaban Patih Narada yang 'to the point' itu cukup mengagetkan Bethara Guru. Walaupun pahit namun mengandung kebenaran dari analisa yang tajam. Tapi Bethara Guru masih berkelit sambil mencoba memberi gambaran yang membingungkan pada keadaan yang sebenarnya: "Kakang Narada ini patih dan saya adalah raja. Seorang patih harus mampu meraba jalan pikiran raja. Seorang raja harus minta pendapat patih jika ingin membuat keputusan penting. Semua itu untuk kebaikan jalannya pemerintahan. Nah, sekarang, apakah kakang Narada mampu membaca jalan pikiran saya?" "Ehemm, sebelumnya saya mohon beribu maaf, jika ucapan saya ini salah ataupun terlalu lancang. Jika saya boleh menjawab, adapun yang mengakibatkan terjadinya kekacauan di jagat raya ini, tak lain dari ulah Adi Guru sendiri," kata Patih Narada. Kalimatnya menggigit. Pedas. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (3) Jika raja lain, mendengar kalimat patihnya, kalimat yang mendekati tuduhan seperti itu, tentu akan sangat murka dan menghukumnya. Namun, tidak demikian halnya dengan Bethara Guru. Hubungannya dengan patihnya sudah seperti dua bersaudara. Apalagi kerajaan Jonggring Saloka tanpa Patih Narada, ibarat sayur lodeh tanpa santan. Tak bisa terbayangkan keadaannya. "Nahh, sekarang berhubung sudah semakin terbuka, kebetulan sekali. Saya malah ingin bertanya," kata Patih Narada. "Sebenarnya apa yang Adi Guru telah lakukan hingga mengakibatkan bergolaknya Kawah Candradimuka" Karena tampaknya ada tindakan paduka tidak didiskusikan dengan para dewa lainnya. "Atau begini saja. Jika Adi Guru menginginkan jagat raya tenang kembali, silahkan Adi Guru 'curhat' sedang punya problem apa, nanti biar semua dewa para kawula ikut membantu menyelesaikannya. Tapi kalau Adi guru tak mau berterus terang, ya...jangan harap jagat raya akan tenang kembali seperti sedia kala." Bethara Guru nampak berpikir sejenak. Tawaran itu pahit rasanya. Tapi apa yang dikatakan patihnya benar. Lagi pula ia tak punya banyak pilihan. Saat ini, ia benar-benar membutuhkan bantuan orang-orang kepercayaannya untuk menyelesaikan persoalan ini secepatnya. Agar keadaan jagat raya yang gonjang-ganjing tidak berlarut-larut. "Kakang Narada benar," kata Bethara Guru. "Jagat Mercapada ini kacau dan Kawah Candradimuka bergolak karena ulah saya. Tanpa meminta pendapat dewa lainnya, saya telah menghukum mati kepada titah, kepada seorang manusia. Titah itu ialah Antasena. Padahal ia tak punya salah apa-apa...." "hmmm.." guman Patih Narada. Padahal dalam hati ia bersorak: Nah, bener kan gua bilang apa! Bethara Guru akhirnya mengakui juga, bahwa terguncangnya jagat raya adalah akibat tindakannya. Ia telah menghukum Antasena dengan menyeburkannya ke Kawah Candradimuka. Akibatnya, kini kawah itu menggelegak dan membuih. Dan gempa bumi dahsyat susul-menyusul. "Sebelumnya mohon maaf. Jika saya boleh tanya, apa sebenarnya yang menyebabkan paduka menghukum Antasena?" tanya Patih Narada dengan penasaran. Bethara Guru diam sejenak seperti sedang mencari-cari jawaban yang tepat dari pertanyaan patihnya. "Begini, kakang Narada. Sebenarnya ada tiga sebab mengapa saya menghukum Antasena." "Tiga sebab" Antara lain?" tanya Patih Narada makin penasaran. Rasa penasaran itu terutama didorong oleh keingin-tahuannya pada alasan boss-nya sampai bisa menghukum orang yang tak bersalah. Karena tindakan itu sangat bertentangan dengan sifat-sifat bijaksana boss-nya sebagai pemimpin selama ini. "Pertama. Seperti kakang Narada ketahui, perang besar Baratha Yudha yang akan datang, antara keluarga Pandawa dan keluarga Kurawa, sudah tak bisa dihindari lagi. Perang itu adalah perang yang menentukan eksistensi kedua belah pihak. Nah, jika Antasena pada akhirnya dijadikan Senapati (jendral yang memimpin peperangan) oleh pihak Pandawa, maka jalannya perang jadi tidak seimbang." "lho, kenapa begitu, Adi Guru?" "Kakang Narada kan tahu, Antasena itu adalah kesatria yang sakti. Ia mahkluk yang tak mengenal rasa sakit, bahkan tak mudah untuk menemui kematian. Jika ia oleh pihak Pandawa sampai dijadikan Senapati, bisa jadi pihak Kurawa akan tumpas dan musnah seketika. Sedangkan di pihak Pandawa, yang seharusnya gugur di medan laga itu, akan tetap hidup. Itu berlawanan dengan kodrat." "hmm..ya. Terus?" "Kedua. Antasena itu adalah satu-satunya titah yang tidak sopan. Ia tidak pernah mau hormat dan menyembah pada saya. Padahal saya ini seorang raja. Penguasa jagat raya. Sedangkan ia hanya manusia biasa. Apa itu namanya nggak kurang ajar. Nah, jika hal ini didiamkan, saya yakin nantinya akan banyak manusia lain yang mengikuti tingkah lakunya. Banyak manusia yang tidak menaruh hormat dan respek pada saya lagi." "Lalu yang ketiga?" "Kakang Narada tahu sendiri bahwa anak saya, Dewa Serani, tergila-gila pada Jenokowati, sebelum Jenokowati dijodohkan dengan Antasena. Nah, jika Dewa Serani sampai tidak bisa mendapatkan Jenokowati, ia pernah mengancam akan bunuh diri nyemplung ke kali Ciliwung. Bahkan pernah di depan ibunya ia pernah ngancam mau minum obat nyamuk cair Baygon. Nah, supaya Dewa Serani tak berbuat nekat, dan supaya bisa lancar perjodohannya dengan Jenokowati, maka tidak ada pilihan lain kecuali saya turuti kemauannya. Untuk itu saya musnahkan Antasena terlebih dahulu." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (4) Suasana di pendopo Paseban Agung kembali hening setelah Bethara Guru selesai bicara. Raja Jonggring Saloka itu telah mencoba mengungkapkan alasan-alasannya mengapa ia membunuh Antasena. Namun berbagai alasan yang diungkapkannya itu toh tetap terasa janggal, terutama bagi patihnya, Bethara Narada. Namun patihnya diam saja, walaupun dalam hati kurang menyukai tindakan rajanya. Begitu pula dengan kedua anak Bethara Guru. Mereka berdua diam saja. Namun masing-masing punya beda pandangan. Dewa Masno pandangannya tak beda jauh dengan Patih Narada. Sedangkan Dewa Sriyono bersikap masa bodoh. Ia tak peduli apakah tindakan ayahnya benar atau salah. Yang penting asal tidak merugikan dirinya. "Mohon maaf, Adi Guru," kata Patih Narada tiba-tiba. "Jika Adi Guru mulai bertindak sewenang-wenang seperti itu, berarti mulai hilang pula sifat bijaksana Adi Guru. Ditambah jika Adi Guru sering bikin keputusan sendiri tanpa minta pendapat para dewa bawahan. Dengan begitu, berarti para bawahan itu sudah tidak diperlukan lagi. Sudah tidak ada gunanya lagi. "Nah, kalau memang para bawahan tidak diperlukan lagi, ya silahkan saja bikin keputusan sendiri dan menjalaninya sendiri. Tapi kalau Adi Guru masih mau mendengarkan para bawahan, termasuk saya, maka saya akan mencoba membantah argumentasi yang baru saja paduka ungkapkan." "Maksud kakang Narada?" tanya Bethara Guru kurang mengerti.. "Maksud saya begini. Mungkin Adi Guru sendiri tahu, kodrat semua manusia sudah tertulis di Kitab Kejadian Jonggring Seloka. Begitu juga dengan kodrat Antasena. Dan kalau tidak salah, dalam kodratnya, Antasena itu telah sirna meninggalkan dunia jauh-jauh hari, sebelum perang Baratha Yudha dimulai. Nah, apa mungkin orang sudah mati kok bisa jadi Senapati di medan perang" "Kedua. Antasena itu anak kesayangan para dewa. Walaupun Antasena itu manusia yang nggak sopan dan tidak pernah memperlihatkan rasa hormat, tapi sebenarnya ia manusia yang baik. Ia manusia yang memiliki jiwa jujur dan suci. Ia bukan tipe orang yang dipermukaannya manis tapi di dalam busuk. Selain itu, ia pun suka menolong sesamanya tanpa pamrih. Dan bahkan, ia disukai oleh banyak orang yang telah mengenal sifat baiknya itu. "Saya yakin Adi Guru pun tahu, Antasena itu orang yang hormat pada para dewa. Tapi cara Antasena hormat dan menyembah dewa adalah dengan tindakkannya, bukan cuma pakai omongan saja. Antasena nyembah para dewa bukan dengan cara diperlihatkan ke orang-orang, supaya orang-orang tahu kalau dirinya suci. Tidak seperti banyak orang-orang yang hipokrit. "Orang hipokrit biasanya memang kelihatan berdoa kusyuk, tapi tahu-tahu kelakuannya rusak. Suka memfitnah dan menjelek-jelekkan orang lain. Atau kusyuk berdoa, tapi tahu-tahu main gasak atau menghancurkan milik orang lain. Itu semua bukan tipenya si Antasena." Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mendengar argumentasi patihnya, Bethara Guru tak mampu berkata-kata. Raja yang berkuasa di jagat raya itu tak bisa berkelit. Semua yang terkandung dalam argumentasi patihnya tak ada yang salah. Dan dalam hati ia pun membenarkan pula. Bethara Narada melanjutkan: "Kalau saya boleh jujur, saya kira tindakan Adi Guru itu cuma mau menuruti kemauannya Dewa Serani saja. Jadi kesalahan Antasena saya kira tak usah dicari-cari, kalau memang perkiraan saya itu benar." Suasana paseban sepi. Bethara Guru terdesak. Walaupun egonya sebagai seorang raja yang sangat amat berkuasa cukup tinggi untuk direndahkan bawahan, tapi kali ini ia tak punya pilihan lain. Egonya kalah. Ia tahu semua ini adalah obat bagi penyelesaian kacaunya keadaan. "Betul, kakang Narada. Saya cuma ingin menuruti kemauannya Dewa Serani..." "Nahhh...gitu dong...semua kan bisa lega sekarang. Mengakui kesalahan itu memang sulit dilakukan, Adi Guru. Ngaku salah, apalagi terus minta maaf, bukanlah sebuah kekalahan. Itu ciri-ciri kebijaksanaan," kata Bethara Narada mencoba memberi pengertian. Seolah-olah raja yang diajaknya bicara adalah anak kemarin sore. Sebenarnya Patih Narada tidak bermaksud memojokkan rajanya sendiri. Apalagi ia sangat menghormati rajanya. Tapi biar bagaimanapun bijaksananya seorang raja, kalau tidak mau belajar dari kesalahannya, sikap bijaksananya itu hanyalah kekosongan belaka. Balok kosong (kartu gaple): kartunya sama besarnya seperti yang lain tapi isinya nggak ada.. Dan patih Narada tidak ingin rajanya jadi raja "balok kosong" "Tapi, kakang Narada," kata Bethara Guru tiba-tiba. "Apakah tindakan saya menuruti kemauan Dewa Serani itu salah" Bukankah Dewa Serani itu anak saya" Ada pribahasa: Anak bertindak, orang tua harus berani tanggung jawab." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (5) Bethara Guru masih mencoba mendebat patihnya. Biar nggak dibilang bodoh sebagai pemimpin. Memang, sejak masih muda, ia terkenal tukang berdebat. Tapi debat kusir. Terkadang, caranya berdebat malah bikin orang tambah bingung. Bahkan hingga kinipun sikapnya itu belum berubah. Cuma patihnya saja yang tahu bagaimana cara mendebatnya. "Adi Guru benar. Anak berperilaku, orang tua harus berani bertanggung jawab," kata Patih Narada. "Tapi ya dilihat dulu, perilaku si anak bener apa nggak. Kalau memang perilaku si anak benar, ia patut dipuji. Tapi kalau perilakunya nggak bener ya harus diberitahu supaya bisa jadi bener. Lha sekarang, kenapa Dewa Serani berperilaku nggak benar, kok Adi Guru malah berusaha membenarkannya" Malah berusaha mendukungnya" Apa itu sikap orang tua yang bijak" "Kalau Adi Guru ingin memberikan kejayaan dan kemuliaan kepada Dewa Serani itu silahkan. Tapi kejayaan dan kemuliaan itu ya terus jangan dicomot atau direbut dari orang lain. Contohnya seperti saat ini. Adi Guru berusaha memberikan kejayaan kepada Dewa Serani, tapi dengan jalan merebut Jenokowati. Lha, Jenokowati itu kan sudah berjodohan dengan Antasena. Sudah jadi miliknya Antasena. "Saya harap Adi Guru tidak lupa, bahwa kekuasaan yang Adi Guru miliki itu berfungsi untuk menata dan mengayomi. Dan bukannya untuk menguasai. Kalau seorang penguasa kerjanya cuma menguasai, bertindak semaunya, dan bikin susah rakyatnya, apakah ia masih layak diberi kekuasaan?" Bethara Guru, penguasa jagat raya itu diam mendengar argumentasi patihnya. Hatinya berkecamuk saling bertubrukan. Antara membenarkan kata-kata patihnya dengan tetap berpegang teguh pada kebenaran tindakannya. Tapi saat ini, kadar egoisme dalam diri raja Jonggring Saloka ini memang pas lagi tinggi-tingginya. Karena rajanya masih diam, Bethara Narada kembali bertanya: "Coba, kalau Antasena itu benar-benar musnah, kalau keluarga Pandawa tidak terima terus bagaimana?" "..ya, kalau sudah kepepet, Pandawa kita musnahkan sekalian..." jawab Bethara Guru enteng. "Nah, kalau seluruh keluarga Pandawa dimusnahkan, lalu pelindungnya nggak terima?" "Pelindung Pandawa, siapa?" tanya Bethara Guru pura-pura. Namun sebenarnya ia sudah tahu siapa yang dimaksud patihnya. "Kakang Semar.." jawab Bethara Narada. "Lho, kakang Semar itu kan cuma pengasuh alias Baby Sitter. Apa kakang Narada lupa kalau saya ini raja" Sang Hyang Jagat Nata" Penguasa tiga jagat, termasuk jagatnya para dewa" Bukankah kakang Semar pun seharusnya tunduk pada saya?" kata Bethara Guru dengan nada yang benar-benar arogan. Tapi dalam hati sebenarnya ada juga rasa kawatir, jika memang harus berhadapan dengan Semar, yang tak lain adalah titisan Bethara Ismoyo. Dewa Ismoyo turun ke bumi dengan tugas mengasuh para kesatria yang berada di pihak yang benar. Patih Narada nampak tersenyum simpul setelah mendengar jawaban-jawaban rajanya. Katanya kemudian:"Betul! Adi Guru itu rajanya para dewa. Dan memang dewa itu tempatnya di atas, sedangkan manusia di bawah. Tapi mohon Adi Guru tidak lupa, segala tingkah laku para dewa yang ada di atas itu diketahui dan dimonitor terus oleh manusia yang di bawah. Dan para manusia meniru segala sikap dan tindakan para dewa. "Nah, mungkin ada baiknya jika para dewa yang berada di atas itu bersikap dan bertindak yang bener. Bukannya seperti yang saya lihat sekarang ini. Manusia yang di bawah nggak pada macem-macem, kok malah dewanya yang pada kebanyakan tingkah. Udah gitu tingkahnya pada nggak becus lagi." Ketika sedang terjadi perdebatan seru antara raja dan patihnya itu, tiba-tiba datang kepala pengawal istana sambil gopah-gopoh. Mukanya kelihatan stress, pertanda ada problem yang tak mampu dipecahkannya. Ketika sampai di tangga pendopo Paseban Agung, prajurit itu menjatuhkan diri. Lalu, sambil menyembah ke arah singgasana rajanya ia berkata: "Mohon ampun paduka. Ada dua kesatria datang berboncengan naik motor besar. Yang berbadan kekar memaksa masuk. Katanya ingin bertemu paduka. Tak ada penjaga yang kuasa menahannya....." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (6) Belum sampai terdengar rekasi dari singgasana kepada prajurit pelapor, seorang kesatria nampak berjalan menuju pendopo Paseban Agung. Jalannya gagah dengan kepala mendongak. Sungguh kurang ajar. Ya, sungguh kurang ajar karena dianggap terlalu berani menginjak-injak etiket di lingkungan istana. Siapapun tahu, seseorang harus berjalan jongkok, atau paling tidak membungkuk, jika ingin menghadap raja. Namun ternyata laporan prajurit itu benar. Tamu yang baru datang berbadan kekar. Perawakannya tinggi besar. Gagah. Wajahnya mirip Arnold Shcwazernagger. Ia memakai jaket kulit buntung berwarna hitam. Di punggung belakang jaket itu tertulis: Harley Davidson. Sebuah bandana biru terikat di kepalanya. Sedangkan kaos yang dikenakannya, di bagian dada terbaca: "First War And Then Love." Tanpa permisi terlebih dahulu, tamu itu langsung berjalan menuju ke singgasana sang raja. Para dewa hanya terbengong- bengong pada ketidaksopanannya. Ketika sang tamu telah berada di hadapan raja, ia segera duduk sebelum sebelumnya menghormat pada raja. Bethara Guru, yang tak kalah terkejutnya dari para dewa lain, masih belum mampu mengeluarkan sabda. Namun dalam hati ia kagum pada postur tubuh kesatria muda tamunya. Ingin sebenarnya ia memiliki postur tubuh seperti itu dari dulu. Tapi karena kesibukannya mengatur negeri hingga ia akhirnya sering lupa pergi ke Gym berolah raga. Ketika akhirnya Sang Jagat Nata sadar dari lamunannya, ia bertanya pada patihnya: "Tampaknya ada manusia naik ke Jonggring Saloka. Apa kakang Narada tahu siapakah dia?" "Wah, rasa-rasanya kok saya pernah kenal ya. Tapi...mungkin ada baiknya jika Adi Guru saja yang meminta keterangan padanya," jawab Patih Narada. Setelah berdiam beberapa saat, Bethara Guru mengikuti anjuran patihnya: " Wahai manusia! Siapa namamu, nak" Dan dari mana asalmu?" "Sebelumnya gua mengucap sembah sujud ke hadapan elu, paduka dewa. Tapi sebelumnya gua mau tanya: apa elu raja dewa yang bertahta di khayangan dan yang berjuluk Sang Hyang Jagat Nata?" tanya kesatria itu. Walaupun kurang sopan, namun suaranya yang berat itu terdengar jelas. "Kamu benar. Sayalah Bethara Guru, raja penguasa semua mahluk jagat raya." "Hmm...kalau elu memang raja segala mahluk jagat raya, gimana elu kagak bisa ngenalin rakyat elu sendiri. Gua kan rakyat elu. Bahkan, elu dan para dewa sekalian kan yang ngukir jiwa raga para manusia seperti gua eni?" tanya kesatria itu. Bethara Guru tersinggung. Dan ia berusaha menahan diri. Tapi dalam hati ia membenarkan ucapan manusia dihadapannya itu. Ia sendiri heran, bagaimana ia bisa tidak kenal manusia yang satu ini. Biasanya kalau ada yang menghadap, dengan segera ia akan mengenalinya. Maka, untuk menutupi rasa malunya, ia mencoba minta pendapat patihnya: "Bagaimana kakang Narada?" "Ya, memang bener juga sih dia," kata Narada. "Memang sudah seharusnya kita, terutama sekali Adi Guru, mengenal semua rakyat. Tak terkecuali mereka itu para manusia biasa." Merasa tersudut, Bethara Guru tak mau jatuh gengsinya. Ia tak mau disalahkan. Walaupun kenyataannya salah, sebagai raja, ia tak bisa disalahkan. Segala sepak terjang raja adalah kebenaran yang absolut yang tak bisa dibantah. "Seharusnya memang aku mengenalmu," kata Bethara Guru memulai alasannya agar tidak kehilangan wibawa. "Tapi saat ini banyak yang sedang aku pikirkan: Perang Irak, Perang Palestina-Israel, SARS di Asia, penyakit AIDS di Afrika, dan lain-lain. Nah, saking banyaknya masalah yang sedang aku pikirkan, mungkin saja ada satu atau dua nama manusia yang belum sempat terbaca olehku. Maka itu hendaknya kamu mengerti." "Baik kalo gitu," kata kesatria itu. "Kalau memang paduka dewa pengen tahu siapa nama gua, gua ini bernama Kuncoro Manik. Adapun keperluan gua dateng kemari, pertama, gua pengen menghaturkan sembah sujud gua ke hadapan elu. Kedua, gua pengen tahu, siapa sih sebenernya bapak dan ibu gua?" Kembali tak mampu memberi jawaban langsung, Bethara Guru berpaling pada patihnya: "Bagaimana kakang Narada?" "Gimana ya" Hmm...menurut saya sih, silahkan Adi Guru menanyakan hal itu kepada sang putra Sriyono. Lha, dia itu kan juru catat kerajaan. Tentunya segala kejadian dibumi ada tertulis dalam buku Kitab Kejadian Jonggring Saloka yang jadi tanggung jawabnya." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (7) Dari singgasananya, Bethara Guru melambaikan tangan memanggil Dewa Sriyono. Anaknya itu telah dibebani tugas sebagai juru catat kerajaan. Pekerjaannya adalah mencatat segala kejadian yang terjadi di jagat raya, termasuk di dalamnya peristiwa kematian dan kehidupan. "Sriyono," kata Bethara Guru setelah anak itu mendekat, "coba engkau periksa di Kitab Kejadian Jonggring Saloka, keturunan siapakah Kuncoro Manik. Kalau ia keturunan dewa, sebutkan saja namanya, biar aku yang berurusan dengannya." Memang para dewa di khayangan terkadang masih suka kesengsem pada para wanita di bumi. Padahal di khayangan sudah tak terbilang banyaknya para dewi yang cantik rupawan. Tapi ternyata, kecantikan wanita bukan nilai utama bagi para dewa. Tubuh yang bahenol dan ginuk-ginuk, serta warna kulit yang memerah akibat terbakar mataharilah yang sering membuat mereka tergila-gila. Yang sering membuat mereka "lupa daratan". "Baik, pak. Saya akan segera periksa, keturunan siapakah manusia ini," jawab dewa Sriyono sigap karena merasa mendapat pekerjaan penting. Ia lalu mengambil buku Kitab Kejadian dari tas yang selalu dibawanya kemana-mana. Kitab Kejadian dibuka dan diteliti isinya. Satu per satu riwayat hidup para manusia dengan inisial K dicoba baca. Karena Kitab Kejadian itu adalah buku pusaka sakti, maka proses pengecekannya mirip analisa di data base komputer di Pentagon, yang memiliki kecepatan 3,06 Giga Byte. Dengan kecepatan analisa seperti itu, proses pencarian tidak berlangsung lama. Hingga akhirnya terdapat nama-nama antara lain: Kunarwoko, Kuncung, Kundun, Kunti, Kuntjoro-Jakti. Lima belas menit kemudian dewa Sriyono memberi laporan kepada ayahnya: "Sudah saya teliti, pak. Ternyata tidak ada nama dan sejarah Kuncoro Manik dalam Kitab Kejadian ini." "Apa"!" Bethara Guru tersentak di singgasananya. "Lho, bagaimana bisa?" "Nama Kuncoro Manik tidak ada dalam buku Kitab Kejadian ini, pak." ulang Dewa Sriyono yang nervous melihat reaksi bapaknya. "Yang ada nama Kuncoro-Jakti, tapi menurut keterangan di buku ini, dia menteri ekonomi sebuah negara yang lagi kusut sistim negaranya." "Bagaimana kakang Narada" Kitab Kejadian kerajaan ternyata tidak memuat nama Kuncoro Manik," tanya Sang Bethara Guru pada patih andalannya. "Wah, kacau dah. Lha, terus gimana, ya" Apa memang sudah di cek bener-bener" Apa sudah diteliti anak-anak yang lahir dari bayi-tabung dan kloning" Nah, kalo memang nggak ada, terus Kuncoro Manik itu lahir dari apa?" tanya balik patih Narada dengan penuh keheranan pula. "Lalu, mesti bagaimana ini kakang Narada?" tanya Bethara Guru seperti kehilangan akal. "Ya, saya kira, silahkan saja Adi Guru memutuskan permasalahan ini. Kalau memang Adi Guru masih menghargai saya sebagai seorang patih, kemarin-kemarin kalau ingin membuat sesuatu keputusan, kan nggak ada salahnya diskusi dulu dengan para bawahan. Tapi kalau semua maunya dijalani sendiri, ya beginilah akhirnya." Mendengar komentar patihnya, Bethara Guru kini bertambah bimbang. Satu masalah belum selesai, sekarang malah sudah datang lagi masalah baru. Rasanya semakin banyak saja masalah yang harus diselesaikannya. Itu artinya ia harus menunda liburannya. Padahal bersama permaisurinya, ia sudah booking tiket liburan ke Bali. "Kuncoro Manik, ketahuilah. Para dewata saat ini sedang dalam keadaan sibuk. Jadi suasananya lagi kurang baik," demikian sabda Sang Hyang Bethara Guru pada akhirnya. "Nah, pas engkau datang, suasana disini bukannya membaik tapi kok malah kelihatan tambah runyam. Sekarang pergilah engkau keluar, dan tunggulah di halaman istana. Barangkali setelah engkau di luar, pikiranku bisa jernih kembali. Atau mungkin malah bisa tahu siapa orang tuamu...." "Baik kalau itu perintah paduka dewa. Gua bakal nunggu di luar sampai ada panggilan," kata Kuncoro Manik. Sebelum bangkit dari duduknya ia menghormat seadanya. Lalu permisi pergi menuju ke halaman. Tak lama sesudah Kuncoro Manik keluar dari paseban menuju ke halaman istana, Bethara Guru lagi-lagi bertanya pada patihnya: "Bagaimana kakang Narada" Kejadian buruk kok susul menyusul begini?" "Ya gimana ya," jawab Bethara Narada. "Sekarang ini, sekali lagi saya justru ingin mengingatkan kembali kesalahan yang telah Adi Guru lakukan. Tapi sebelumnya saya mohon beribu maaf. Maksud saya begini Adi Guru. Adi Guru menceburkan Antasena ke Kawah Candradimuka itu saya anggap membunuh manusia tak berdosa. Nah, kejadian sekarang ini tentu dari akibat kesalahan yang paduka telah perbuat. Siapa menabur angin, ia akan menuai badai." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (8) Persoalan yang kini muncul ternyata cukup menambah beban pikiran Bethara Guru. Selain itu juga membawa ancaman pada posisi kepemimpinan dan kewibawaannya sebagai penguasa. Oleh sebab itu ia tak mau persoalan ini menjadi berlarutlarut. Ia bertekad menyelesaikannya secepat mungkin, dan dengan caranya sendiri. "Sudah, sekarang begini saja," kata Bethara Guru pada patihnya. "Kakang Narada temui Kuncoro Manik. Dan perintahkan kepadanya agar ia turun saja dulu ke bumi. Lain kali saja suruh datang kembali. Kalau dengan cara baik-baik ia tidak mau menuruti perintah, apa boleh buat, kita paksa saja ia turun. Dan kalau ia juga membangkang, kita musnahkan saja." Sabda Pandita Ratu, sabda mutlak yang tak boleh dibantah. Perintah itu tak pernah dikeluarkan Bethara Guru sebelumnya. Para dewa kaget semua, termasuk Bathara Narada. Tapi tak ada yang berani komentar. Perintah raja adalah kebenaran yang tak bisa dibantah. Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Maka jawab patih Narada: "Siap! Segala perintah Adi Guru akan saya junjung tinggi dan laksakanan!" Dengan iringan para bangsawan istana, Patih Narada segera menuju ke halaman istana. Walaupun sebenarnya perintah itu tidak sesuai dengan kata hatinya, namun harus tetap dijalankan. Pejabat yang dianggap tak mau menjalankan perintah atasan, akibatnya bisa dimutasi atau dipensiunkan secara dini. Bahkan yang paling sial, dipecat dengan tidak hormat. Ketika rombongan itu menuju ke halaman istana, di pintu luar sudah menunggu masing-masing Bethara Indra, Bethara Brahma, dan Bethara Yamadipati. Ketiga dewa itu agak gugup melihat wajah Bethara Narada yang keruh. Tak ada satupun yang berani mulai menyapa. Mereka tahu arti dibalik kekeruhan wajah patih kerajaan itu. Ketika dirasa waktunya sudah tepat, Dewa Indra memberanikan diri bertanya: "Paman Narada, apa ada perintah Sang Hyang Bethara Guru yang musti kita jalankan?" "Begini anak-anak sekalian," kata Patih Narada sambil menghentikan langkahnya. Seketika itu juga rombongan ikut berhenti mendengarkan. "Nampaknya kita harus menanggung sebuah pekerjaan yang kurang menguntungkan. Padahal kerjaan itu boleh dibilang tidak ringan." "Pekerjaan apa, paman Narada?" tanya mereka hampir serempak. "Dengarkan baik-baik semua," kata Bethara Narada. "Sang Hyang Bethara Guru tadi memberitahu padaku bahwa ia telah membunuh seorang manusia. Saya tak perlu memberitahu kalian siapa yang telah dibunuhnya itu. Nah, ketika sedang membicarakan masalah itu datang seorang kesatria yang ngaku bernama Kuncoro Manik. "Kuncoro Manik datang ke Jonggring Saloka ini sebenernya cuma mau tanya, dia itu anaknya siapa. Setelah diteliti di Kitab Kejadian kerajaan, ternyata nama Kuncoro Manik tidak ada. Hal itu aneh sekali karena semua nasib maupun kodrat manusia di bumi tak pernah luput dari catatan dalam kitab itu. "Kalau riwayat hidup Kuncoro Manik sampai nggak bisa ditemukan di kitab itu, maka turunlah wibawa buku itu. Dengan turunnya wibawa buku pusaka itu, turun pula wibawa para dewata. Karena para dewalah yang penulis kitab itu." Mendengar keterangan Bathara Narada, semua dewa menatap kepada Dewa Sriyono. Yang ditatap hanya bisa mengangkat kedua bahunya, seolah-olah berkata: "Lho, mana gua tahu?" "Lha, terus gimana, paman Narada?" tanya Dewa Brahma. "Nah, akhirnya. Bethara Guru minta Kuncoro Manik menunggu di halaman istana. Begitu ia keluar, Bethara Guru memerintahkan kita untuk menyuruh Kuncoro Manik pulang kembali ke bumi. Karena kehadirannya saat ini dianggap malah bikin gelapnya suasana khayangan. Perintah selanjutnya, kalau Kuncoro Manik sampai tak mau pulang, kita diperintahkan untuk memaksanya. Dan kalau masih tetap membangkang, kita diperintahkan memusnahkannya." Sementara yang lain kaget, Dewa Yamadipati yang punya kerjaan sebagai dewa pencabut nyawa, komentar: "Hmmm, jangan takut, man. Kalau dia nekat nggak mau pulang, biar nanti saya yang eksekusi. Biar tak cabut nyawanya." "Kamu serius nih?" "Lho, emangnya tampang saya nggak serius apa, man?" Bethara Narada yang tahu tingkat keberanian Dewa Yamadipati cuman nyengir. Katanya: "Emang kamu berani sama Kuncoro Manik satu lawan satu?" "Ya jangan sendirian dong, man..." jawab Yamadipati yang tiba-tiba nampak ragu. "Susah senang kan kita tanggung rame-rame....." "Alaaa, emang dasar nyalimu kecil," kata Patih Narada. "Dengarkan semua! Kuncoro Manik berani datang kemari dan nanya ini-itu tentu dia punya modal kesaktian. Maka itu kita jangan meremehkannya. Sebaliknya, kita harus hati-hati. Jangan menyombongkan diri." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (9) Sementara itu di halaman istana Kuncoro Manik telah berkumpul kembali dengan seseorang yang ditinggalkannya ketika ia tadi masuk ke dalam sendirian. Orang itu berpenampilan sederhana. Pakaian yang dikenakannya adalah pakaian seorang Pendita, seorang rohaniwan. Tapi karena kesederhanaannya itu, orang yang tidak tahu bakal menyangkanya sebagai Tukang Bakso. "Bagaimana jawaban mereka, anakku?" "Mereka nyuruh gua nunggu disini, paman. Pas tadi gua tanya, ternyata mereka nggak tahu siapa orang tua gua. Itu dewa-dewa udah pada gila 'ngkali, ya. Katanya dewa-dewa itu maha tahu dan punya wawasan luas. Masak riwayat hidup orang bisa ilang begitu aja. Kalo kantor kelurahan sih mungkin masih masuk di akal," jawab Kuncoro Manik penuh kekesalan. "Lalu apa rencanamu?" tanya sang Pendita lagi. "Kita tunggu aja dulu, paman. Mudah-mudahan sih mereka menepati janji. Kalau dewa kagak mampu ngasih tahu riwayat hidup gua, berarti mereka kagak becus menata jagat raya. Dan kalau gua sampai diusir, bakal gua obrak-abrik khayangan sini." "Kalau memang begitu kehendakmu, nak. Aku hanya bisa bilang supaya engkau hatihati." "Tapi paman bakal ngebantu gua kan kalo ada apa-apa?" "Jangan takut, nak. Pamanmu tak akan tinggal diam, jika kamu memang dalam keadaan bahaya." Tak lama Kemudian Bethara Narada datang sambil kipas-kipas. Sedangkan rombongannya mengamat-amati dari jauh. Patih Jonggring Saloka itu sudah memberitahu rombongannya bahwa ia akan bicara dengan Kuncoro Manik secara baikbaik. Kalau tujuan itu ternyata gagal, mereka akan menggunakan rencana yang kedua, yaitu mengusir tamunya secara paksa. "Aku Bethara Narada, nak. Patih Jonggring Saloka. Tujuanku kemari ingin menyampaikan sabda Sang Hyang Bethara Guru..." Tiba-tiba Patih Narada menghentikan kalimatnya. Perhatiannya tertuju pada sosok di samping Kuncoro Manik. Kecurigaannya muncul. "Hm, tapi mong-ngomong, siapakah yang berada disampingmu itu, nak?" "Saya Begawan Pulasara, paduka Narada. Saya pamannya Kuncoro Manik." "Lho, kalau kamu pamannya, bagaimana sampai bisa nggak tahu orang tuanya Kuncoro Manik?" "Begini, paduka Narada," jawab Begawan Pulasara memulai penjelasannya. "Kuncoro Manik saya temukan ketika ia telah menjelang dewasa. Selama ini sayalah yang membesarkannya, dan ia memanggil saya: paman. Karena akhir-akhir ini ia selalu menanyakan siapa ayah dan ibunya, maka saya bawa saja ia kemari. Menurut perkiraan saya, tentu para dewa, yang memiliki catatan tentang kodrat para manusia, pasti mengetahuinya." Mendengar keterangan tamunya, Bethara Narada nampak sedikit kecewa. "Sudah begini saja, Kuncoro Manik. Tadi Bethara Guru bilang supaya engkau pulang saja dulu. Keadaan Jonggring Saloka saat ini sedang kusut. Ia anggap kedatanganmu cuman bikin suasana tambah ruwet. Nah, barangkali saja di lain waktu, saat keadaan sudah tenang, beliau berkenan mencarikan orang tuamu. Dan kalau memang udah ketemu, kamu pasti bakal ditilpun apa dikirimi e-mail." "Huuhhh!!" dengus Kuncoro Manik. Ia berusaha menahan kegeramannya. "Dewa kok kata-katanya kagak ada yang bisa dipegang. Katanya para dewa itu bijak, nggak mencla-mencle. Tapi ternyata yang satu bilang A, yang lain bilang B. Tadi Bethara Guru nyuruh gua nunggu di halaman ini karena akan mencari tahu siapa orang tua gua. Eh, kok malah gua sekarang disuruh pulang. Pokoknya gua kagak terima! Gua tetep mau ketemu Bethara Guru!" "Eeiitt, entar dulu toh. Kamu ini mbok jangan ngambek kayak anak kecil gitu," kata Narada mencoba meminta pengertian anak muda dihadapannya itu. "Gua kagak peduli. Dewa pada kagak bener semua. Punya pendapat beda-beda! Kagak ada yang bisa dipercaya!" "Inget lho, kita udah nyuruh pulang baik-baik. Apa kamu tetep mau nekat" Jangan sampai nanti kita suruh pulang secara paksa, ya" Apa kamu suka kalo di deportasi" Lihat itu disana. Para dewa dan prajurit Jonggring Saloka sudah bersiap-siap memaksamu pulang jika kamu tetep mbandel. Apa kamu nggak takut?" kata Patih Narada mencoba menggertak tamunya. Maksudnya agar tamunya itu berpikir dua kali jika menolak pengusiran secara halus ini. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (10) Para dewa dan prajurit Jonggring Saloka melangkah maju. Dari isyarat tangan yang diberikan Bethara Narada, mereka tahu bahwa negosiasi telah gagal. Karena rencana pertama gagal, tentu rencana kedua yang akan segera mereka jalankan, yaitu mengusir tamunya secara paksa. Senjata-senjata telah dipersiapkan. Semuanya runcing dan tajam. Melihat gerombolan Jonggring Saloka mendekat, Kuncoro Manik mencium gelagat kurang baik. Ia segera berdiri bertolak pinggang. Kali ini kesabarannya sudah hilang. Patih Narada mundur tiga langkah. Tubuh yang tua itu agak gentar melihat sosok tinggi dan kekar yang ada di hadapannya. Sementara itu, Begawan Pulasara masih duduk dengan tenang seperti tak terjadi apa-apa. Hanya mulutnya saja komat-kamit seperti sedang mengucap doa. Kuncoro Manik memaki dengan geram: "Emang elu kira gua anak kecil, takut sama senjata mainan kayak gitu" Jangankan yang begituan. Elu keluarin yang lebih runcing dan yang lebih tajem juga gua kagak bakalan mundur! Maju bareng sini elu semua biar gua gebuk bareng!" Para dewa dan prajurit kerajaan yang tadi sudah bergerak maju, kini menjadi ragu. Langkah-langkah berat terhenti. Mendengar gertakan lawan, keberanian mereka berubah menjadi kewaspadaan. Mereka tahu, gertakan itu tak sekedar mainmain. "Hei, Kuncoro Manik. Kamu tahu kan siapa saya?" tanya Patih Narada kepada Kuncoro Manik. "Gua kagak peduli siapa elu! Elu mau pejabat kek, elu mau anggota DPR kek, gua kagak peduli! Terus mau lu apa"!" "Eeeiii.. ini anak malah nantang orang tua," kata Patih Narada. Namun toh dalam hati ia kagum juga pada nyali anak muda itu. "Dikira Narada ini nggak pernah berkelahi ya" Berani sama Bethara Narada berarti kamu udah bosan hidup, tahu" Minta dicabut nyawamu kayak aku nyabut uban?" "Kalau lu berani, nih elu cabut nyawa gua sekarang juga!" jawab Kuncoro manik sambil membusungkan dadanya. "Eeee..bener-bener nantang nih anak! Berani beneran kamu sama orang tua?" "Apa yang musti ditakutin. Apalagi sama orang tua yang kagak patut dihormatin macem elu!" "Busyet, bener-bener nantang nih anak," kata patih Narada sambil memberi isyarat kepada dewa Sriyono untuk maju dan meringkus si Kuncoro Manik. Yang diberi isyarat rupanya salah paham hingga cuman bengong. Patih Narada membentak: "Hei memble! Jangan bengong disitu aja kamu! Ada orang tua mau berantem malah cuman memble doang!" "Lho, mohon maaf, paman Narada. Saya kira paman mau turun tangan sendirian..." kata Sriyono gugup. "Turun tangan sendirian" Orang tua disuruh berantem terus kalian pada asyik nonton, begitu" Enak aja. Sudah sana! Kamu bekuk sana!" Bethara Narada meninggalkan gelanggang menuju ke tepian. Ia malas turun tangan bukan karena takut, melainkan tahu kalo dalam posisi salah. Tindakannya sejauh ini dilakukan hanya karena tidak ingin menentang perintah atasan. Merasa mendapat restu, Dewa Sriyono yang terkenal sok jagoan langsung maju ke depan. Tas kopernya dititipkan pada ajudannya. Jalannya tampak di gagahgagahkan. Ia tak mau kelihatan penakut dan lemah di depan warga Jonggring Saloka yang mulai berdatangan. Apalagi diantara warga itu, tampak para dewi dan bethari yang juga mulai ikutan nonton. Dihampirinya manusia dihadapannya. Dengan sikap meremehkan ia bilang: "He, Kuncoro Manuk apa Kuncoro Manik. Siapa namamu terserahlah! Kamu kan udah dikasih tahu kalo harus pulang secara baik-baik. Seharusnya kamu merasa beruntung, tahu nggak. Sekarang aku peringatkan sekali lagi, pulang! Jangan sampai aku gunakan kekerasan." "Heh, jangankan cuman elu sendirian, semuanya maju bareng juga gua kagak bakalan lari," jawab Kuncoro Manik. Sambil berkata begitu ia mantapkan kuda-kudanya. Ia mempersiapkan diri dengan ilmu kuntow Bangau Putih yang dipelajarinya di Gonzaga selama ini. Gerakannya ringan tapi membutuhkan banyak energi. Makanya kalau habis latihan silat, ia sering mampir di Union Station nyari nasi rames di restoran Cina "Panda Express." Dewa Sriyono mengeluarkan jurus Dewa Menggenggam Bumi. Jurus silat ini hadiah Kho Ping Ho buat para dewa di khayangan. Banyak dewa mempelajarinya karena merupakan jurus yang ampuh. Jika kena kibasan jurus ini, dewa maupun manusia, akan remuk tulangnya. Tak ada tukang urut patah tulang yang mampu menyembuhkannya. Sekalipun tukang urut itu berasal dari Cimande maupun Cikini. "Kurang ajar kau manusia bangsat! Nih terima pukulanku..." tangan kanan Dewa Sriyono menebas ke depan. Loncatannya membelah udara siang yang pengap. Benar-benar serangan mematikan. "Ciiaaatttt!!" (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (11) Dewa Sriyono menyerang musuhnya bagaikan kucing menerkam tikus. Tangannya diayunkan ke arah dada lawan. Kalau hanya dewa atau manusia biasa, tanpa kesaktian, mungkin sudah tewas terkena pukulan jarak jauhnya. Tapi ia salah perhitungan, karena ternyata lawannya cukup tangguh. Dengan mudah sang lawan menghindar dari serangannya. Kuncoro Manik melihat pertahanan lawan yang tak terjaga. Dipatuknya punggung lawannya dengan jurus Bangau Menotok Kodok. "Hiyaaa!!" "Pletaakk!!" Lawannya terhuyung pusing kebelakang. Kini Dewa Sriyono tak berani menganggap enteng lagi lawannya. Konsentrasinya ditajamkan. Serangannya lebih terarah mencari bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan. Dengan tak sabar telah dikeluarkannya jurus baru yang tak kalah dahsyatnya, jurus Dewa Membelah Duren. Kuncoro Manik terdesak ke tepian sumur. Jalan keluar untuk menghindar nampaknya telah tiada. Namun ia tetap berusaha keras untuk menangkis serangan lawannya. Walau begitu sebuah pukulan akhirnya mendarat juga di dadanya. "Dezzz!!" Para dewa dan prajurit khayangan berteriak girang. Sedangkan para dewi menjerit tak tega sambil menutup mata dengan jaritnya. Jarit itu tersingkap di bagian betis dan paha. Melihat pemandangan gratis itu, para penonton, terutama yang laki-laki, pada menelan ludah terpesona. Mereka sesaat lupa pada perkelahian yang sedang terjadi di tengah arena. Kuncoro Manik salto kebelakang dan hinggap ditepian sumur yang lain. Bagaikan seekor bangau yang hinggap di atas pematang sawah. Ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan Sinkang (ilmu tenaga dalam)-nya ternyata telah mencapai taraf sempurna. Pukulan lawan tidak dirasakannya sama sekali. Melihat hal itu, mau tak mau lawannya semakin waspada. "Hiyaaaatttt!!!!" Tanpa menunggu lebih lama lagi, Kuncoro Manik balas menyerang lawannya. Dikeluarkannya jurus Angin Puyuh Menggulung Samudra yang dipelajarinya selama ini di Parang Tritis. Tentunya tempat berlatih telah mendapat ijin Nyai Roro Kidul terlebih dahulu. Sekali lawannya menggebrak, Dewa Sriyono tak mampu menghindar. "Derr!!" Tubuh yang kurus itu bagaikan orang-orangan sawah kena seruduk kerbau yang sedang birahi. Mental. Nafasnya tersengal-sengal. Sesak. Menyesal ia kelewat banyak ngrokok selama ini. "Sr?s??g!!" Ketika sudah berhasil menguasai dirinya, Dewa Sriyono mengeluarkan golok pusakanya. Golok yang bernama si Gablek itu hadiah dari si Pitung. Baunya wangi karena tiap Jumat Kliwon selalu dimandikan dengan kembang tujuh rupa. Melihat lawannya mencabut golok pusaka, Kuncoro Manik segera merapal mantra pemberian seorang kiai dari Jombang. Ketika golok tajam itu menyambar lehernya, Kuncoro Manik tak bergeming. Para dewi khayangan kembali menjerit ketakutan sambil menutup mata. Tapi kali ini tanpa menyingkapkan jaritnya. Para penonton lelaki pada kecewa. Harapan dapat tontonan gratis, amblas. "Crraangg!!" terdengar dua benda beradu. Golok yang mendarat tepat dileher itu mental kembali seperti habis membacok tiang baja. Ternyata Kuncoro Manik tak mempan dibacok. Rupa-rupanya ia tadi telah merapal mantra Ilmu Kekebalan Tubuh. Secepat kilat, di luar perhitungan, Kuncoro Manik berhasil menyambar tangan lawannya. Dengan sekali gentakan, golok berhasil direbutnya. Lalu dibuangnya. Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Saat belum lenyap rasa kaget sang lawan, ia jegal tubuh lawan itu hingga terbanting ke tanah. Jatuhnya nyaring: "Dabblugg!!" "Addaaaoooww!!" teriak Dewa Sriyono kesakitan. Sambil terseok-seok Dewa Sriyono merangkak ke pinggir gelanggang. Dan berhenti tepat di muka Dewa Masno yang sedang berkacak pinggang. "Makanya jadi dewa jangan sok 'blagu," kata Dewa Masno. "Itu hasilnya kalau jadi dewa sering menyombongkan diri. Sering sok sakti. Kemana-mana cari perhatian. Kalau nggak dapet perhatian teriak-teriak nyari perhatian. Maunya minta di nomor satukan karena merasa paling penting." Mendengar kata-kata abangnya itu Dewa Sriyono cuma bisa meringis Tangan kanannya memegangi pinggangnya. Sedangkan tangan kiri mengelus-elus jidatnya yang memar. Katanya dengan terbatabata: "Tapi Kun..co..ro Manik...ternyata ..me mang...sa sakti..kang Masno..." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (12) Dewa Sriyono masih meringis-ringis menahan sakit. Tampangnya yang memelas itu menandakan bahwa ia sudah kapok. Dan juga ngeri. Benjut di kepalanya semakin terlihat. Sedangkan gusinya perih karena tadi giginya copot dua biji. Padahal kemarin baru saja pasang gigi palsu. "Apa kira-kira kakang Masno bisa mengalahkan Kuncoro Manik?" tanya Dewa Sriyono pada kakaknya. "Kalau kakang Masno mampu mengalahkannya, mulai besok saya akan berguru kepada kakang." Mendengar ucapan adiknya, Dewa Masno naik semangatnya. PD-nya menggelembung bagai balon yang ditiup. Di dalam angannya terbayang wajah adik-adiknya yang lain yang bakal ikutan berguru. Mereka tentu akan lebih hormat dan kagum padanya. Belum lagi para dewi dan bidadari, terutama mereka yang saat ini menonton di pinggir lapangan, mereka semua bakal terpesona. "Biar saktinya kayak apa, Kuncoro Manik itu kan cuman manusia," kata Dewa Masno. "Kalau dewa bisa kalah sama manusia, berarti bukan manusianya yang sakti, tapi dewanya yang lagi apes. Sudah sana, minggir! Biar Kuncoro Manik aku jadikan abu!" Dewa Masno segera berkonsentrasi memusatkan pikiran. Di kerajaan ini ia terkenal sebagai anak muda yang sedang naik daun. Kesaktian andalannya adalah kemampuannya mengeluarkan hawa panas dari mulutnya. Apapun yang terkena tiupan hawa panas itu bakal gosong. "Hei, Kuncoro Manik! Aku, Bethara Masno, yang bakal mengusirmu!" teriak Dewa Masno. "Jangankan cuma elu, semua maju bareng gua kagak bakal lari!" kata Kuncoro Manik. "Memang kurang ajar kamu ya! Nih, terima pukulan Badai Gurun Pasir! Huppss!!" Dewa Masno mulai mengatur pernafasannya. Kedua tangannya menggapai energi yang ada disekelilingnya. Badai Gurun Pasir adalah jurus kombinasi yang telah lama dipelajarinya. "Hiiaaaattt!!" "Dh??r!" Serangan jurus itu ternyata sungguh hebat. Lawan dibuat tak berdaya. Jalan keluarnya selalu tertutup oleh tiupan-tiupan hawa panas. Setiap gempurannya ampuh dan mematikan. Kalau lawan sedikit lengah pasti bakalan jadi areng. Kuncoro Manik cukup kerepotan. Ia terpaksa menghindari setiap serangan dengan hati-hati. Untung gerakannya lincah dan atletis. Semua itu berkat disiplin latihan yang dilakukannya seminggu tiga kali di Fitness Center. Jurus lawan diimbangi oleh Kuncoro Manik dengan jurus Janda Genit. Jurus yang lemah gemulai itu merupakan jurus kegemarannya. Dan yang lebih tinggi lagi tingkatannya dari jurus itu masih ada jurus Janda Gatel. Semua jurus itu merupakan kumpulan jurus-jurus ilmu silat Kecap Cap Bango yang dipelajarinya di perguruan Gonzaga. Serangan hawa panas Dewa Masno beberapa kali luput. Salah satu serangan yang luput mengenai pohon beringin pajangan istana: "Byaaarrrr!!" Pohon beringin itu rontok semua daunnya. Hangus jatuh ke tanah. Sedangkan dahan dan rantingnya menjadi kering. Gosong. Untung nggak ada anggota Partai Beringin disitu. Kalau ada, mungkin juga bakal hangus nggak sempet ikut pemilu. "Ciaattt!!" "Wozzz!!" "Hiyaaaattt!!" Perkelahian antara Dewa Masno dan Kuncoro Manik berlangsung seru. Ternyata dua kesatria itu merupakan lawan yang seimbang. Penonton pada berdecak kagum setiap melihat kelincahan gerakan mereka. Kecuali para dewi dan bethari. Mereka pada berteriak-teriak kawatir dan ketakutan. Dewa Masno memang sakti. Tapi sayang, seperti dewa lainnya, ia pun punya sikap tinggi hati. Lebih-lebih terhadap manusia. Mereka selalu menganggap remeh. Mentang-mentang para dewa ini rata-rata punya pendidikan luar negeri, lalu mereka anggap manusia lebih bodoh dari mereka. Selain itu mereka menganggap manusia selalu lebih rendah derajatnya. Akan tetapi di lain pihak, banyak juga manusia yang ingin memiliki kedudukan seperti para dewa. Biar bisa disanjung-sanjung, dihormati, dilayani, diikuti perintahnya, ditakuti, dan juga didewa-dewakan oleh sesamanya. Manusia-manusia macam ini adalah manusia-manusia munafik. Karena sikap merendahkan lawan, Dewa Masno menjadi ceroboh. Dengan tak sengaja telah ia buka pertahanannya. Ia menganggap lawannya tak akan mampu menyerang dalam posisi yang sulit. Ketika sadar akan kecerobohannya itu, ia telah terlambat. Sebuah pukulan mengenai pelipisnya: "Pleettaakk!!" "Aaacchhh!!" Ketika Dewa Masno masih terhuyung-huyung, Kuncoro Manik tak menyia-nyiakan kesempatan. Sebuah tendangan dikirimkan. Tepat mengenai rahang samping sebelah kanan lawan. Tendangan yang disertai tenaga dalam itu terasa seperti sepuluh kali lipat pukulan Mike Tyson. Lawannya terpental jauh. Kemudian jatuh berdebam. K.O. seketika. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (13) Kemarahan Dewa Brahma mencapai puncaknya. Terutama ketika dilihatnya Dewa Masno terkapar pingsan. Ia tak rela melihat rekan-rekannya dipermalukan. Apalagi hanya oleh seorang manusia. Sebagai seorang dewa, harga dirinya terasa direndahkan. Rata-rata para dewa, dan banyak juga para dewi, ogah belajar dari pengalaman. Mereka nggak mau introspeksi. Karena merasa punya wawasan luas, merasa sakti, dan merasa diri sudah bijaksana sehingga mereka menganggap diri mereka selalu benar dan selalu suci. Hal itu pula yang dialami Dewa Brahma saat ini. Ia anggap tindakannya mengusir tamunya sudah benar. Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Dewa Brahma segera memusatkan pikirannya. Ia sebutkan sebuah mantra sakti peninggalan nenek moyangnya. Sesaat kemudian, kedua tapak tangannya nampak menghitam. Ia telah keluarkan jurus andalannya, yaitu jurus Lebur Bumi. Jurus ini menggunakan pukulan jarak jauh yang dahsyat. Jurus kejam yang cukup ditakuti di kerajaan Jonggring Saloka. Pukulan jurus ini mampu mengeluarkan gelombang api yang membara. Di pinggir lapangan, Begawan Pulasara yang duduk bersila komat-kamit mulutnya. Mirip seperti orang sedang berdoa. Rupanya pendita sakti itu tengah menghimpun tenaga dalam. Jari jemari tangan yang ada di atas dengkul menunjuk ke arah Kuncoro Manik. Tanpa menimbulkan kecurigaan orang, ia telah salurkan tenaga dalamnya dari jarak jauh. Melihat Dewa Brahma mempersiapkan jurus Lebur Bumi, semua dewa dan dewi, serta prajurit Jonggring Saloka pada lari terbirit-birit. Mereka tahu akan kedahsyatan jurus ini, sehingga memilih mencari tempat nonton yang lebih aman. Beramai-ramai mereka mengintip melalui lubang-lubang di pagar tembok istana. "Hei Kuncoro Bangsat! Siap-siap mampus kau kali ini!" teriak Dewa Brahma geram. "Jangankan cuman pukulan elu seorang. Elu pukul gua berame-reme gua kagak bakalan mundur, dewa-dewa geblek!" teriak Kuncoro Manik memanas-manasi lawannya. "Bangsat, lu! Hiaaaaaaa!!" "Jeeggeeerrrrr!!!" Bunyi pukulan Dewa Brahma bagaikan bunyi petir di siang bolong. Menggelegar memekakkan telinga. Para dewi dan bethari menjerit kaget. Terkena pukulan itu, lawannya terpental duapuluh meter ke belakang. Gulungan api membakar badannya. Dewa Brahma tertawa: "Hahahaha...ternyata cuma segitu aja kemampuanmu, bangsat!" Ketika para dewa dan prajurit istana sedang bersorak menyambut kemenangan mereka, Kuncoro Manik tiba-tiba bangkit. Penonton kaget bukan main. Belum pernah mereka saksikan pemandangan seperti yang terjadi saat ini. Mulut mereka menganga. Sementara itu, api masih membakar Kuncoro Manik. Tapi dengan tenang ia melangkah keluar dari kobaran api. Setelah terbebas, dikibaskannya debu yang menempel di jaketnya. Ternyata jaket Harley Davidson yang saat ini dipakainya memang ampuh. Jaket hadiah ulang tahun dari pamannya itu ternyata jaket tahan api. Melihat pemandangan di depannya, Dewa Brahma jadi gentar. Tapi ia berusaha menguasai dirinya. Ia tak ingin terlihat takut, apalagi hanya oleh seorang manusia. Kuncoro Manik kini membetulkan letak kuda-kudanya. Rupanya tadi waktu diserang, kuda-kudanya belun mantap. Ketidaksiapannya itulah yang membuatnya roboh kena terjang pukulan lawan. Beruntung sekali ia menggunakan jaket saktinya. Dan tentu saja bantuan tenaga dalam jarak jauh dari Begawan Pulasara. Tiba-tiba lawannya melayangkan pukulannya lagi: "Ciiiiaaaaatttt!!" Namun kali ini Kuncoro Manik telah siap. Bahkan diam-diam ia telah mempersiapkan jurus baru. Jurus Gunung Es Titanik. Cuma dikeluarkannya kalau menghadapi lawan yang menggunakan jurus-jurus panas. "Hiiyyaaattt!!" Kuncoro Manik segera menyambut pukulan lawan dengan pukulan balik. Pukulan jurus Gunung Es Titanik memang dahsyat. Suhu yang menyertai pukulan itu adalah minus 500 derajat Fahrenheit. Absolute zero. Pada suhu itu, bahkan sebuah partikel atom pun akan berhenti. Beku. "Buummm!!" Pertemuan dua kekuatan bagaikan bunyi rudal Patriot mengenai rudal Scud. Kali ini gantian Dewa Brahma yang terpental. Ia tak menyangka pukulan balik lawannya demikian hebatnya. Tulang-tulangnya terasa ngilu. Sementara sekujur badannya terasa meriang. Ia menggigil kedinginan seperti ayam kecemplung sumur. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (14) Melihat Dewa Brahma kalah, para dewa dan prajurit Jonggring Saloka segera keluar dari balik tembok istana. Muka mereka kelihatan sangar-sangar memancarkan kebencian. Kemarahan mereka telah mencapai puncaknya. Tapi mau bertindak pada takut, karena tahu akan kesaktian musuhnya. "Serbu!" teriak salah satu diantara mereka. Teriakan tak disengaja itu telah menjadi semacam aba-aba untuk menyerang. Tanpa menunggu aba-aba selanjutnya mereka telah berhamburan ke arah musuhnya. Senjata-senjata tajam dan mengkilat susul-menyusul keluar dari sarangnya. Dengan mengeroyok secara beramai-ramai, keragu-raguan dalam diri mereka masing-masing lenyap seketika. Tapi kali ini Kuncoro Manik tak mau ambil resiko. Ia tak mau gegabah karena tahu para penyerangnya memiliki kesaktian yang tak boleh dianggap remeh. Dengan tetap tenang diserapnya seluruh tenaga dalam yang dikirimkan Begawan Pulasara dari jarak jauh. Setelah itu disiapkannya jurus pamungkas miliknya: Pukulan Gelombang Tsunami. "Hiyaaaaattt! Ciaaattt! Heeaaa!" Terdengar teriakan-teriakan yang membahana dari sekeliling Kuncoro Manik. Serbuan itu disambutnya dengan tamparan, tabokan, gebukan, dan gebrakan. "Hiyaatt..Plak!..Adooww!" "Ciiaaat...Buukk!...Aduuh Mak!" "Heeyyaaa!..Br???ngg!...Aduuh Mas!" Tukang mie t?k-t?k yang kebetulan jualan disitu nggak sengaja kena gebuk. "Oh, maaf pak. Tolong jualannya minggir sedikit pak..." "Ya, mas..." Ternyata, bagi para dewa dan prajurit Jonggring Saloka, bermodal semangat saja tidaklah cukup. Dengan ginkang dan sinkang yang sempurna, Kuncoro Manik menguasai musuh-musuhnya. Satu per satu musuhnya tumbang di tangannya. Yang masih sehat pada lari pontang-panting. Namun yang laripun tak luput dari gebrakannya. Ia tiup bekas tapak-tapak kaki mereka: "Wuusss...Weesss..Wusss...Wuusss..." Bethara Narada yang malas turun tangan, heran melihat Dewa Yamadipati, dewa pencabut nyawa, lari sambil membawa-bawa sapu menuju ke arahnya. "Hei, Yamadipati. Kamu itu dewa apa Dinas Kebersihan Jakarta"! Ada dewa berantem kok bawa-bawa sapu. Mau ngapain"!" "Wah..kacau man..ka..cau..man..haahh.." Dewa Yamadipati berhenti sambil ngosngosan nafasnya. Jidatnya kelihatan pada benjut. "Kuncoro Manik, man, ternyata memang...sakti..sekali...man...." "Iya, sakti sih sakti. Tapi kenapa kok berantem pakai sapu segala" Emangnya nggak ada senjata lain apa?" "Jangan salah sangka dulu, man. Paman Narada kan tahu Kuncoro Manik tadi itu ngamuk habis-habisan. Banyak dewa dan prajurit yang kena gampar. Beberapa bahkan sudah pada tergeletak pingsan. Nah, saya juga sempat kena gaplok tiga kali. Karena nggak tahan, makanya saya kabur. Yang lain juga saya lihat pada ikutan kabur satu per satu..." "Terus?" "Lha, pas saya nyoba lari, belum sampai sepuluh meter tiba-tiba saya jatuh. Pas saya nengok ke belakang, busyeeett....Saya jatuh itu lantaran Kuncoro Manik meniupi bekas tapak kaki saya. Pantes, yang lain juga pada berjatuhan. Nggak tahunya Kuncoro Manik meniup bekas tapak kaki mereka itu. Bener-bener ilmu gendeng, man. Baru pertama kali ini saya lihat ada ilmu kayak begitu." "Ilmu gendeng, ilmu gendeng. Ya, kamu itu yang gemblung. Nah, terus itu sapu buat apa?" "Saya tadi punya akal, man. Saya cari aja sapu. Supaya tapak kaki saya nggak membekas di tanah, maka saya lari mundur sambil nyapu menghilangkan jejak tapak kaki saya itu. Pinter kan saya, man?" "Emang pinter, tapi tetep aja gemblung." "Yang penting kan bisa selamet, man. Bukankah itu artinya saya bayak punya akal, man?" "Biar banyak akal tapi tetep aja pengecut. Dewa apaan kamu, ngelihat temen digebukin orang malah kabur nyari selamat sendiri. Sudah, sekarang ikut saya. Kita beri khabar Bethara Guru, bahwa keadaan tidak bisa lagi dikendalikan." "Ya, man..." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (15) Oh, dewata mengapa tak kau sadari juga khilafnya sikapmu. Rupanya ego-mu yang setinggi gunung sudah tak mampu lagi menyadari tingginya batang-batang ilalang" Patih Narada, diiringi Dewa Yamadipati dan beberapa prajurit pengawal istana yang masih selamat dari amukan Kuncoro Manik, bergegas menuju ke bagian dalam istana. Mereka mau lapor pada Bethara Guru, raja khayangan Jonggring Saloka, tentang gagalnya tugas mengusir tamu mereka itu. Sepuluh menit kemudian, Bethara Guru keluar memakai piyama. Bobok siangnya terganggu. Di wajahnya tercermin kegusaran yang terpendam. Apalagi di dalam tadi, ia telah di 'briefing' oleh para pengawal pribadinya tentang kejadian di halaman istana. Sambil menyembah, Bethara Narada mengadu: "Wah, ketiwasan Adi Guru. Ternyata Kuncoro Manik sakti sekali. Tidak ada dewa yang mampu menandinginya. Bahkan mereka satu per satu roboh di tangannya. Dan ia tetap ngotot ingin bertemu paduka." Bethara Guru nampak diam berpikir. Rupanya persoalan tidak semudah yang ia perkirakan semula. Kini ia sendirilah yang harus turun tangan menandingi kesaktian tamunya itu. Tiba-tiba raja Jonggring Saloka itu berkata: "Tunggu sebentar." Lalu, ia masuk ke dalam. Tak lama kemudian ia keluar. Baju perang komplit telah disandangnya. Melihat penampilan sang raja, para kawulanya maklum. Nampaknya situasi kali ini sudah jadi serius. Dengan iringan para kawula, Bethara Guru keluar menuju ke halaman istana. Suasana terlihat berantakan. Tapi keadaan sudah mulai terkendali. Para dewa dan prajurit yang pingsan maupun luka-luka semua sudah dibawa mobil ambulan ke RSCM. Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sebagian dibawa ke Rumah Sakit St. Carolus. Untung tidak ada yang meninggal. Rata-rata hanya pingsan terkena tamparan Kuncoro Manik. "Pendita yang dari tadi mengawasi Kuncoro Manik itu siapa, kakang Narada?" tanya Bethara Guru di pintu gerbang menuju halaman istana. Ada sedikit kecurigaan dalam benaknya. Ia seperti merasakan adanya kekuatan terpendam dari energi yang mengelilingi pandita itu. "Menurut keterangannya, ia bernama Begawan Pulasara," demikian Patih Narada memberikan penjelasan kepada rajanya. "Dia mengaku pamannya Kuncoro Manik. Namun rupanya hanya paman angkat. Katanya, ia bertemu Kuncoro Manik setelah anak itu menanjak dewasa. Jadi diapun tidak tahu-menahu ayah ibunya Kuncoro Manik." Bethara Guru menghampiri pendita itu. Begitu sudah dekat, energi itu tiba-tiba lenyap. Kecurigaannya sedikit demi sedikit pupus. Kini pendita di hadapannya itu nampak seperti rohaniwan biasa, tanpa kekuatan apa-apa. "Apa benar engkau pamannya Kuncoro Manik?" "Benar paduka, saya paman angkatnya Kuncoro Manik. Adapun nama saya: Begawan Pulasara." "Hmm.. apa kamu benar-benar tidak tahu siapa orang tuanya si Kuncoro Manik?" "Ketika saya saya temukan dan angkat anak, Kuncoro Manik telah menjelang dewasa. Jadi saya tidak tahu siapa orang tuanya." Kuncoro Manik yang dari tadi berusaha menahan emosinya, tiba-tiba angkat bicara: "Gimana nih Pak Guru" Gua tadi dateng kesini baek-baek cuman mau nanya siapa orang tua gua. Bukannya dapet jawaban bener, malah dikeroyok rame-reme. Sekarang gua kagak terima!" Bethara Guru nampak diam. Ia mencoba berpikir keras. Rupanya persoalan yang satu ini telah menjadi dilema. Kalau tidak ia selesaikan secepatnya tentu akan jadi berlarut-larut, dan lebihlebih akan mengganggu ketenteraman negara. Kalo negara nggak tenteram perekonomian bakal berantakan. "Kakang Narada," kata Bethara Guru tiba-tiba. "Daripada persoalan ini berlarut-larut, bagaimana kalau Kuncoro Manik saya angkat saja menjadi anak?" "Saya sih, setuju aja. Kebetulan Kuncoro Manik sakti mandraguna. Jadi malah bisa kita buat perisai negara Jonggring Saloka. Kemarin kita udah bagus-bagus punya Kopassus, eeeh sialnya mereka malah punya banyak masalah, wah jadi batal deh..." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (16) Bethara Guru, raja Jonggring Saloka, memutuskan untuk mengangkat Kuncoro Manik sebagai anaknya. Namun keputusan itu dibuat semata-mata hanya demi menghindar dari persoalan yang sebenarnya: supaya Kuncoro Manik melupakan tuntutannya untuk mencari orang tuanya. Selain itu ada dua keuntungan yang bisa di dapatkan Bethara Guru dengan mengangkat Kuncoro Manik sebagai anak. Pertama, dengan kesaktian yang dimilikinya, Kuncoro Manik bisa menjadi perisai negara, jika negara mendapat serangan dari luar. Kedua, kewibawaannya tidak jadi runtuh gara-gara tak mampu menemukan orang tua Kuncoro Manik. "Baiklah," demikian Bethara Guru memulai sabdanya. "Kuncoro Manik, mulai saat ini engkau aku angkat sebagai anak." Mendengar keputusan final itu, bahkan Kuncoro Manik sendiri kaget. Diangkat anak oleh dewa, apalagi dewa penguasa jagat raya, tentu membawa gengsi tersendiri. Tapi rupa-rupanya masih ada sesuatu yang mengganjal hati Kuncoro Manik. "Makasih banget, pak. Mudah-mudahan gua kagak salah sebut kalo mulai sekarang gua panggil elu bapak," kata Kuncoro Manik. "Jadi bener nih mulai sekarang gua ini anak raja?" "Betul, nak. Mulai sekarang engkau adalah anak seorang raja. Dan terserah engkau ingin memanggilku bapak, atau ayah, atau papa, atau babe, atau daddy," jawab Bethara Guru. "Ok?, pak! Sebagai anak raja, gua ada satu permintaan. Kalau bapak kagak keberatan, gua juga pengen jadi raja." "Kira-kira kerajaan mana yang kau inginkan, nak?" tanya Bethara Guru bingung. Ia masih belum mengerti maksud Kuncoro Manik. Kuncoro Manik diam sejenak. Sebetulnya tuntutannya itu hanya sekedar ingin memberi pelajaran kepada raja sombong, ayah angkatnya yang satu ini. Mentangmentang punya kekuasaan terus mau bikin keputusan seenak jidatnya. Dan juga mau bertindak seenak perutnya. "Gua emang pengen jadi raja. Tapi kagak mau kalo pakai cara merebut kerajaan laen," jawab Kuncoro Manik. "Kalau jadi raja pake cara begitu pasti bakal bikin ribut. Yang gua maksud adalah gua pengen jadi raja yang kekuasaannya bisa sama seperti kekuasaan elu, pak." Gila!! Semua dewa berteriak dalam hati. Namun mulut mereka tetap terkunci rapatrapat. Membisu. Dalam hati mereka terus memaki, benar-benar keterlaluan si Kuncoro Manik. Sudah dikasih hati, ngrogoh jantung. Sudah untung diangkat anak, sekarang malah minta jadi raja yang kekuasaannya sama seperti kekuasaan ayah angkatnya. "Kuncoro Manik, anakku," kata Bethara Guru. Nadanya disabar-sabarkannya, walaupun mukanya nampak merah menahan amarah. "Jika memang begitu kehendakmu, itu artinya engkau ingin menjatuhkan kewibawaanku." "Lho, jangan kesinggung dulu, pak. Gua bukannya pengen ngejatohin wibawa elu. Gua cuma minta supaya kalo gua berkuasa, kekuasaan gua bisa sebesar kekuasaan elu. Kalo itu elu anggep ngejatohin wibawa elu, ya terserah lach yaow...." Emosi Bethara Guru sudah mencapai puncaknya. Manusia di depannya ini benar-benar kurang ajar. Dan memang harus dihajar biar kapok. Kalo perlu dihajar sampai nggak bisa bangun lagi. Hanya ada satu cara menghajar manusia sakti macem begini: "Kuncoro Manik! Baik kalau itu kemauanmu. Tapi ada satu syaratannya." "Ok?. Apa syaratnya?" tanya Kuncoro Manik menantang. "Keinginanmu bisa tercapai asal kau kuat menahan pusaka Cis Jaludoro di tanganku ini. Kalau engkau memang mampu menahan gempuran pusakaku ini, aku bakal berhenti jadi raja. Kerajaan Jonggring Saloka akan kuserahkan padamu," kata Bethara Guru geregetan. Para dewa dan prajurit istana kaget bukan main. Yang tadinya ngantuk langsung hilang ngantuknya karena kelewat kaget. Tapi ada juga yang bludreknya kambuh gara-gara kelewat kaget. Dan suasana paseban mulai gaduh. Perasaan ngeri menyelimuti para hadirin. Bukan ngeri karena kerajaan bakal jatuh ke tangan orang lain, tapi karena tahu apa itu Cis Jaludoro. Pusaka Cis Jaludoro adalah pusaka utama kerajaan Jonggring Saloka. Dikeluarkan hanya kalau negara dalam keadaan gawat darurat. Pusaka ini berbentuk keris. Sarungnya terbuat dari emas murni hasil galian Freeport McMoRan di Papua Barat. Dihiasi manik-manik intan berlian hadiah dari Afrika Selatan. Kekuatan senjata ini sungguh dahsyat. Sekali gempur sebuah gunung bisa rontok jadi gurun. Pusaka yang diwariskan secara turun temurun oleh penguasa Jonggring Saloka ini dulu pernah digunakan untuk menghancurkan kota Sodom dan Gomorah. Peristiwa itu terjadi pas masa pemerintahan dipegang oleh Partai Republik yang konservatif. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (17) Cis Jaludoro adalah pusaka andalan kerajaan khayangan Jonggring Saloka. Pusaka itu merupakan benteng terakhir para dewa. Sudah beberapa kali digunakan untuk menangkis serangan-serangan musuh yang sakti. Dan selalu sukses. Tidak pernah ngadat alias mogok. "Ok?, pak. Kalau itu emang mau lu, nih, gua serahin dada gua. Tapi, kali ini elu jangan sampai ingkar janji ya," kata Kuncoro Manik tak menunjukkan kegentaran barang sedikitpun. "Paman Narada, elu pokoknya gua jadiin saksi ya?" "Ya..ya..iya nak. Aku saksikan dari sini..." jawab Bethara Narada. Ada nada kekawatiran dalam jawaban patih Jonggring Saloka itu. Bukan karena ia tahu apa itu Cis Jaludoro, tapi karena kesombongan sikap rajanya yang terlalu sesumbar dalam menggunakan senjata itu. "Bersiap-siaplah...," kata Bethara Guru sambil mengeluarkan pusaka dari warangkanya, dari sarungnya. Begitu berada di luar warangkanya, warna pusaka itu berubah jadi cemerlang. Senjata itu bagaikan menyerap seluruh cahaya alam semesta. Kekuatannya membuat gemetar siapa saja yang berada di sekelilingnya, termasuk para dewa sendiri. "Gluduuukk...Gluuuddukk..Gedebuumm!!" Senjata itu ditusukkan tepat ke tengahtengah dada Kuncoro Manik. Bunyinya menggelegar bagai petir menyambar-nyambar di siang bolong. Para dewi menjerit, bahkan ada yang menangis terisak-isak. Beberapa dewa memejamkan matanya karena tak tega. Berkali-kali Cis Jaludoro ditusukkan ke dada Kuncoro Manik. Hingga akhirnya Bethara Guru merasa letih sendiri. Sementara itu, dada Kuncoro Manik masih utuh. Tak ada satu goresanpun nampak disana. Bahkan merasa sakitpun tidak. Gila! pekik para dewa dalam hati. Benar-benar ilmu aneh. Semua dewa nampak tercengang. Rasa kagum mereka bercampur dengan rasa heran. "Adi Guru," sapa Bethara Narada tiba-tiba. "Sudah, sudah. Adi Guru harus menerima kenyataan. Yang namanya pusaka itu, kalau dia memang ampuh, sekali ditusukkan akan kelihatan hasilnya. Tapi, kalau memang tidak ampuh ya sudah. Tidak usah ditusukan berkali-kali seperti itu. Apalagi malah buat ngiris-iris tangan segala. "Keampuhan pusaka itu tergantung dari sial atau tidak yang menggunakannya. Kalau si pengguna pusaka itu pas lagi sial, biar pusakanya super sakti, pasti nggak bakal mempan digunakan." "Lalu, bagaimana kakang Narada" Apa memang hari ini saya lagi sial?" tanya Bethara Guru pada patihnya. Wajahnya nampak frustasi. "Ya, gimana. Saya kira sih, Adi Guru harus berani menerima kenyataan. Selain itu, janji harus ditepati. Kalau tidak, maka saya takut kewibawaan Adi Guru bakal terpuruk lagi." "Ya, kakang Narada," kata Bethara Guru. Lalu, ia menatap anak angkatnya sambil berkata sayu: "Anakku, Kuncoro Manik. Karena kamu sanggup menahan pusaka Cis Jaludoro maka aku akan menepati janjiku. Mulai saat ini aku akan mundur jadi raja. Dan kamulah sekarang yang bertahta di khayangan Jonggring Saloka." "Busyeeet! Beneran nih" Apa gua kagak mimpi bisa jadi raja?" tanya Kuncoro Manik kaget. "Ya, nak. Engkau sekarang raja jagat raya." "Hmm, makasih banget, pak. Tapi, kejadian ini bukan salah gua, lho. Ini terjadi karena bapak sendiri kan yang menginginkannya. Bapak sendiri yang mulai. Sebenernya, gua tadi cuma bilang bahwa gua ingin punya kekuasaan seperti yang bapak miliki. Jadi bukan berkuasa atas negara ini." "Iya, nak. Itu betul." "Nah, kalau sekarang gua jadi raja, berarti apa gelar gua sekarang?" "Ya, nak. Sekarang engkau bergelar Prabu. Prabu Kuncoro Manik." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (18) Prabu Kuncoro Manik akhirnya menduduki tahta Jonggring Saloka menggantikan Bethara Guru. Untuk mencegah raja yang digantikannya itu terkena "Post Power Syndrome", maka ia mengangkatnya sebagai penasehat kerajaan. Tugas penasehat adalah memberi saran dan masukan pada kebijaksanaan yang sedang dijalankan sang raja. Ada dua hal yang menyebabkan Prabu Kuncoro Manik masih memberi jabatan pada Bethara Guru. Pertama, ia tak mau ayah angkatnya itu kehilangan muka, karena telah dibuat malu. Kedua, supaya Bethara Guru, yang bekas penguasa dan tahu banyak mengenai situasi dan kondisi kerajaan, tidak merongrong kewibawaannya selama ia memerintah. "Lalu, Paman Begawan Pulasara gua jadiin Kepala Seksi Keamanan dan Politik. Sanggup kan, paman?" "Ya, nak. Aku sanggup," jawab Begawan Pulasara. "Terus aku gimana dong" Masa aku cuman B?T? aja nih," tanya Bethara Narada tiba-tiba. Biar bagaimanapun jiwa bekas patih kerajaan itu tetaplah jiwa seorang bangsawan. Dan bagi kaum bangsawan maupun priyayi, jabatan adalah penting sekali artinya. Melebihi kepentingan diri dan bahkan keluarganya sendiri. "Kakek Narada mau kan kalo tetap jadi patih kerajaan ini?" tanya Kuncoro Manik. "Wah, gimana ya. Tapi, ok? d?h. Sanggup deh," jawab Dewa Narada berbasa-basi. "Terus aku gimana dong?" tanya Dewa Yamadipati sambil mengelus-elus jidatnya yang masih benjut. "Abang Yamadipati juga bakal pegang jabatan semula, yaitu Ketua Seksi Pencabutan Nyawa. Gimana" Sanggup?" "Oh yah. Bagus. Sanggup deh," jawab Dewa Yamadipati lega. Dia memang sudah ahli dalam hal-hal nyabut nyawa. Kalau dia sampai dimutasi, apalagi ke Seksi Bendahara, tentu ia bakal pikir-pikir. Soalnya Seksi Bendahara kerjanya cuman ngitung keluar masuk duit doang. Udah gitu masih sering dimaki-maki orang, karena dikira pelit ngeluarin duit kerajaan. Padahal dia kagak punya kekuasaan untuk melakukan hal itu. Para dewa ini memang terkenal sembarangan kalo menggunakan uang. Mentang-mentang uang itu uang kerajaan, bukan uang pribadi, makanya suka cu?k. Kecenderungan mereka dalam memboroskan uang kerajaan kuat sekali. Mereka sanggup obral duit besar-besaran, apalagi buat nyari pujian, nama baik, dan sanjungan. Seminggu kemudian, dalam suasana udara nan sejuk karena habis hujan, dan langit yang cerah, para dewa dikumpulkan. Rata-rata mereka sudah boleh pulang dari rumah sakit. Sebagai penguasa baru, Prabu Kuncoro Manik nampaknya berkepentingan untuk memberitahukan jalan pikiran maupun kebijaksanaannya dalam memerintah kerajaan pada pertemuan itu. Untuk mencegah timbulnya keresahan, Prabu Kuncoro Manik memang sengaja tidak merubah jabatan maupun mengadakan mutasi besar-besaran di pemerintahan. Ia hanya memberikan kesempatan kepada para dewa yang memegang jabatan, untuk membenahi Departemennya maupun Seksinya masing-masing. Agar mereka bisa berkerja dengan lebih efektif dan efisien. Dalam ceramah itu pula, ia perlu memberitahu bahwa ia tidak ingin ada miskomunikasi berkembang dalam pemerintahannya. Semua harus terbuka dan transparan. Danjuga ia ingin agar para bawahannya tidak bersikap masa bodoh dalam melakukan tugasnya. Para dewa harus punya kesadaran untuk selalu bertanggung jawab. Mendengar wejangan rajanya yang baru, para dewa dan penduduk Jonggring Saloka mengangguk-angguk seperti setuju. Namun dalam hati lain lagi bunyinya. Yah, mau apa lagi" Kebanyakan pada dewa memang bermental "Status Quo". Jadi merupakan hal yang sulit untuk merubah sifat maupun sikap mereka itu. Sampai jagat kiamatpun barangkali belum tentu bisa. "Nah, sekarang gua ada satu pertanyaan. Apakah suatu hari nanti akan ada perang besar yang bernama: Bharata Yudha?" tanya Prabu Kuncoro Manik kepada Bethara Guru. "Betul, nak. Perang besar antara keturunan Pandawa dan keturunan Kurawa itu memang sudah menjadi kodratnya jagat raya," jawab ayah angkat merangkap penasehatnya itu. "Apa memang kodrat itu tidak bisa digagalkan?" "Digagalkan" Tidak. Tidak bisa, nak. Karena kodrat manusia sudah tertulis dan harus dijalani." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (19) Perang besar Baratha Yudha yang akan datang memang sudah jadi kodrat manusia yang harus dijalani. Namun, Prabu Kuncoro Manik, raja baru di Jonggring Saloka, yakin bahwa perang besar itu bisa digagalkan. Atau paling tidak dihindari. "Gimana kagak bisa dihindari" Kan yang 'njalanin kodrat itu manusia sendiri?" demikian argumen Kuncoro Manik terhadap para dewa. "Perang kan bisa ngebikin malapetaka buat kemanusiaan. Nah, kalau manusianya sendiri punya keinginan buat menghindari terjadinya malapetaka, itu artinya perang masih bisa digagalkan." Mendengar alasan yang cukup masuk akal dari orang yang menggantikannya sebagai raja itu, Bethara Guru cuma bisa membisu. Tapi sesaat kemudian: "Gimana kakang Narada?" "Ya, kalau saya bilang sih, itu kan haknya Kuncoro Manik sebagai raja. Mengenai bagaimana kelanjutannnya, ya nanti terserah kebijaksanaan Sang Hyang Widiwasa," jawab Bethara Narada enteng. Sang Hyang Widiwasa, atau Sang Hyang Wenang, adalah dewanya para dewa. Orang Cina menyebutnya Thian. Orang bule menyebutnya God. Ia berkuasa atas semua mahkluk yang ada di jagat raya, baik dewa, manusia, dan juga para mahkluk halus. "Mong-ngomong, apa sih yang menyebabkan terjadinya perang Bharata Yudha itu?" tanya Prabu Kuncoro Manik. Ia cuma ingin meyakinkan dirinya kalo apa yang di dengarnya selama ini tidak salah. "Penyebabnya, saat ini keturunan Kurawa menguasai kerajaan Astina yang bukan haknya," jawab Bethara Guru. "Padahal, kerajaan itu sebenarnya adalah milik keturunan Pandawa, saudara sepupu mereka. Nah, kembalinya kerajaan itu ke tangan Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo keturunan Pandawa, hanya bisa dilakukan melalui perang besar itu." "Lha, itu kan namanya para dewa kagak adil semua," kata Prabu Kuncoro Manik kepada para dewa yang ada dihadapannya. Mendengar kritik itu, para dewa dalam hati dongkol. Tapi mau protes nggak ada yang berani. Biar begitu, Prabu Kuncoro Manik sudah tahu. Ia tahu, walaupun ia kini sudah resmi diangkat jadi raja para dewa, namun sebagai manusia, ia yakin dirinya tetaplah dipandang rendah. Wejangannya cuma masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Dewa tetaplah dewa. Mereka selalu merasa bahwa derajatnya berada setingkat di atas manusia. Serba merasa tahu. Serba benar. Selain itu ada alasan lain mengapa para dewa ini ngotot sekali tidak ingin melihat gagalnya perang Baratha Yudha. Alasannya itu: karena perang ini merupakan sebuah tontonan besar bagi para dewa sendiri. "The Show of The Century". Ibarat pertandingan tinju antara Muhammad Ali melawan Joe Fraizer. Mike Tyson lawan Evander Hollyfield. Atau ibarat piala dunia sepak bola antara kesebelasan Brasil lawan Jerman. Dalam perang Baratha Yudha nanti akan ditampilkan pertandingan adu kekuatan dan kesaktian, baik dari pihak Pandawa maupun pihak Kurawa. Buat nonton pertandingan itu, banyak diantara para dewa yang sudah memesan tempat duduk jauh-jauh hari sebelumnya. Baik melalui agen-agen maupun calo-calo. Bahkan ada yang berani membayar mahal supaya bisa dapet tempat paling depan. Yang enak yang punya jabatan. Mereka ini, terutama para anggota Dewan Perwakilan Dewa, terkadang tinggal angkat tilpun minta disediakan tempat duduk yang baik oleh pihak panitia. Dan pihak panitia mau nggak mau terpaksa menurutinya. Karena kalo nggak, bakalan bisa berabe. Saat ini, para anggota Dewan Perwakilan Dewa itu ibarat raja-raja kecil yang harus selalu dituruti keinginannya. Padahal mereka ngakunya wakil rakyat. "Kalau memang para dewa semua adil, Prabu Duryudana yang sekarang berkuasa di kerajaan Astina, harus dipaksa mengembalikan kerajaan itu pada pihak Pandawa. Kalau dia kagak mau berarti memang dia ini biang keladinya. Dan perlu dimusnahkan. Kalau biang keladinya dimusnahkan, kan perang kagak bakalan jadi. "Yang namanya perang, biar bagaimanapun bentuknya bakal menimbulkan korban yang kagak sedikit. Terutama sekali di pihak rakyat kecil. Banyak istri-istri yang bakal menjadi janda karena kehilangan suaminya, begitu juga suami kehilangan istri, anak kehilangan orang tua, dan seterusnya. Itu sebabnya kenapa gua pengen menggagalkan perang Bharata Yudha." Pada dewa tetap diam. Mereka mendengarkan dengan serius sambil manggut-manggut. Namun hati masing-masing rusuh: memprotes, menentang, cuek, bahkan mencibir. Ada manusia kok berani ngajari dewa, huh! (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (20) Keinginan Prabu Kuncoro Manik, raja Jonggring Saloka, untuk menggagalkan perang Baratha Yudha sudah tidak bisa dibendung lagi. Dan tak ada dewa yang berani menentang tindakannya itu. Dalam hukum kerajaan, seorang bawahan harus menuruti perintah raja. Kalau tidak, akibatnya bisa macam-macam. Mulai dari mutasi dan pemecatan, sampai dengan pengucilan, dan bahkan penjara maupun eksekusi. Bethara Guru yang nampak bimbang bertanya pada Kuncoro Manik: "Lalu, apa rencanamu, nak?" "Rencana gua gini. Paman Begawan Pulasara gua mau utus ke negara Astina untuk ngeboyong Dewi Banowati. Berhubung Prabu Duryudana kalau sama permaisurinya itu cintanya setengah modar, pasti ia bakal menyusul kemari kalo tahu Banowati ada disini. Nah, kalau Duryudana udah sampai disini, biar gua suruh dia supaya nyerahin kerajaannya ke pihak Pandawa. Dengan begitu perang Baratha Yudha bakal bisa dihindari. Tapi kalau dia nolak, biar tahu rasa dia. Gimana paman" Setuju kan?" "Ya, nak. Aku akan melaksanakan perintahmu. Mohon pamit, sekarang juga aku berangkat," kata Begawan Pulasara singkat tanpa basa-basi. Setelah menyembah, dan mendapat restu dari raja, ia segera mengundurkan diri. Waktu mau berangkat, bagian protokol istana menawarinya menggunakan mobil Mercy terbaru keluaran tahun 2004. Tapi dia menolak. Ia lebih memilih naik mobil Toyota Corrola bekas yang ada di gudang istana. Tak lama kemudian Prabu Kuncoro Manik memberi perintah patihnya: "Nah, Paman Narada. Elu gua utus turun ke bumi buat manggil Prabu Kresna, raja Dwarawati. Kresna sebagai pelindung dan penasehat keluarga Pandawa, mau gua minta juga supaya menggagalkan perang Baratha Yudha. Buat jaga-jaga, Paman Narada boleh bawa semua dewa dan prajurit pilihan Jonggring Saloka." "Wah, aku sih siap, nak. Tapi kalau Prabu Kresna nggak mau diajak kemari," tanya Patih Narada ragu. "Ya, kalau sampai tugas itu gagal, Paman Narada yang bakal gua cemplungin sekalian ke Kawah Candradimuka," kata Kuncoro Manik dingin, tapi dalam hati tersenyum. Ancaman kosongnya ternyata berhasil. "Waduuhhh! Modar aku!" kata Narada. "Hei Yamadipati, gimana ini" Jangan bengong aja kamu! Ada orang tua lagi kesusahan kok malah ngelamun!" Bethara Narada nervous mendengar ancaman Kuncoro Manik. "Ya, turutin aja, man. Paman Narada dapet iringan pengawalan para dewa dan prajurit pilihan, kenapa takut" Masa kalo rombongan kita banyak, kita nggak bisa maksa Kresna sih," jawab Dewa Yamadipati, dewa pencabut nyawa. Walaupun jawaban itu cukup membesarkan rasa percaya diri, tapi Bethara Narada kurang bisa diyakinkan. Ia tahu siapa Kresna. Setelah rencananya mulai kelihatan jalan, Prabu Kuncoro Manik segera memanggil kepala bagian protokoler istana. Ia mau pergi ke panti pijat, karena badannya terasa pegal-pegal. Oleh protokol istana ia ditawari kereta kencana kerajaan, yang gemerlapan warnanya, melebihi gemerlapnya kereta kerajaan Inggris Raya. Tapi ia menolak, dan minta naik mobil Volvo model lama. Ketika ditawari pengawalan Secret Service, sekali lagi dia menolak. Alasannya dia mau santai, tak mau kaku. Tak lama kemudian, mobil beserta sopirnya tiba. Prabu Kuncoro Manik segera naik ke dalamnya. Begitu berada di dalam ia kaget. Ternyata sopirnya sudah tua sekali. Rambutnya putih beruban tanpa tersisa sedikitpun hitamnya. Walaupun sopir tua itu kelihatan sehat, tapi badannya nampak kurus kering. Wajahnya letih. "Nama bapak siapa?" tanya Kuncoro Manik. "Saya Dewa Paijo. Tapi panggil saya Paijo saja, paduka," kata sopirnya merendah. "Ngomong-ngomong paduka mau ke panti pijat yang mana?" "Yang paling bagus di negri ini, panti pijat mana, pak?" tanya Prabu Kuncoro Manik, yang akhirnya manggil 'pak' kepada sopirnya untuk menghormatinya. "Kebanyakan mereka yang seneng pijet, terutama para pejabat, pasti nyari yang satu itu. Namanya Panti Pijat 'Sekar Asmara'. Pemiliknya istri pensiunan pejabat. Tukang pijitnya para bidadari yang masih muda, cantik dan bahenol. Rata-rata anak kuliahan. Tapi walaupun muda, pijitannya siiip, kata mereka yang pernah kesana." "Baik. Kalau gitu kita kesana." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (21) Mobil Volvo dan penumpangnya meluncur menuju panti pijat "Sekar Asmara". Panti pijat paling nge-top di seluruh kerajaan Jonggring Saloka itu terletak di perumahan elit kerajaan. Pemilik sekaligus pengelolanya adalah seorang istri pensiunan pejabat. Dulu waktu masih bertugas, pejabat itu cukup disegani kawan maupun lawan. Hingga kinipun masih begitu. Karenanya, usaha panti pijat itu tak ada yang pernah berani mengusik-usik. Padahal menurut khabar burung, kegiatan di dalamnya termasuk "Full Body-part Massage". "Ngomong-ngomong, umur Pak Paijo berapa" Kok kelihatannya masih kuat kerja?" tanya Prabu Kuncoro Manik pada sopirnya. "Umur saya enampuluh delapan tahun, paduka," jawab Dewa Paijo. "Sebenarnya saya sudah beberapa kali minta pensiun. Tapi tidak diijinkan. Alasan mereka: kerjaan saya belum ada yang bisa menggantikan. Ya, apa mau dikata" Memang kebanyakan anak-anak muda belum banyak tahu jalan seperti saya. Tapi saya pikir, mereka kan bisa belajar. Kalau tidak diberi kesempatan, apalagi kesempatan untuk berbuat salah, bagaimana mereka bakal maju"..." "Hmmm ya, ya masuk akal," kata Kuncoro Manik. Dari nada bicaranya, nampaknya dewa yang satu ini ingin 'curhat', pikir Kuncoro Manik. Suatu kebetulan, karena iapun ingin tahu lebih jauh situasi dan kondisi negara ini. Biasanya rakyat kecil lebih jujur dalam menerangkan keadaan sekitarnya. Maka ia pancing dengan pertanyaan: "Apa menurut bapak regenerasi di kerajaan ini kurang berjalan lancar?" "Menurut saya sih, memang kurang. Gimana mau lancar kalau golongan tua masih terus ingin menguasai semua lahan" Nggak mau pensiun-pensiun. Nah, golongan mudanya cuma bisa nunggu terus sambil bengong. Yang beruntung, biasanya yang mau tunduk dan bisa 'njilat, memang mendapat posisi jabatan. Tapi tetaplah cuma bawahan dengan semboyan 'yes, sir' atau 'yes, madam'. "Situasi seperti itu makin parah dengan keadaan perekonomian yang lemah akibat krisis berkepanjangan, 'rule and law' yang tidak bener aturan mainnya, dan KKN yang masih subur. Belum lagi adanya masalah-masalah seperti separatisme, konflik antar etnik, pemboman, premanisme, dan lain sebagainya. Makanya kemajuan negara jadi terhambat." Mendengar cerita langsung dari sosok rakyat jelata itu, Prabu Kuncoro Manik makin mendapat gambaran yang luas tentang keadaan negara yang dipimpinnya. Rupanya sistim negara banyak yang harus diperbaiki. Selain itu disiplin harus diterapkan secara keras. Tapi apa ia mampu melakukan semua itu, kalo mental rakyatnya yang pada 'sakit' sudah demikian akut" Dengan penasaran ia bertanya: "Pak Paijo dulu lulusan mana?" Jawab Dewa Paijo merendah: "Oh, saya cuma lulusan UGM, paduka. Dan sempat beberapa tahun di Cornell..." "Ooooh..." desah Prabu Kuncoro Manik, yang 'Drop Out' dari STF Driyarkara itu. Sepeninggal Prabu Kuncoro Manik dari istana, datanglah Dewa Serani. Anak Bethara Guru yang jiwanya borjuis ini nakal dan paling susah diatur. Kerjanya kelayapan dengan mobil Porche hadiah ulang tahun dari ayahnya. Dengan modal tampang, yang memang cukup lumayan, Dewa Serani kencan kesanakemari. Ceweknya ganti-ganti. Mulai anak pejabat, turis bule, sampai p?r?k kelas teri. Untung selalu pakai kondom, jadi sampai sekarang selalu terhindar dari AIDS. Dan kalau lagi nggak pacaran, kerjanya nongkrong atau pesta dengan anak-anak pajabat dan bangsawan lain. Rupanya Dewa Serani nggak sadar kalau bapaknya tiap hari kerja mati-matian 'mark-up' proyek untuk bisa membuat keluarganya hidup di atas garis kekayaan. Iapun nggak sadar kalau bapaknya harus bersusah payah memanipulasi keuangan negara supaya ia bisa sekolah ke luar negri, ibunya bisa jalan-jalan ke Amrik atau Eropa, dan sekeluarga bisa secara rutin belanja ke Singapura. Dan saat ini, Dewa Serani sedang naksir berat seorang cewek, namanya Dewi Jenokowati. Cewek itu anak Raden Janoko atau Raden Arjuna, salah seorang dari lima bersaudara keluarga Pandawa. Dewa Serani telah berhasil meyakinkan orang tuanya bahwa ia ingin berkeluarga. Tapi ia cuma mau berkeluarga dengan Dewi Jenokowati. Orang tuanya cukup senang dan mendukung rencana itu. Mereka memang selalu berharap, barangkali saja kalau anaknya sudah berkeluarga kelakuannya akan berubah menjadi lebih baik. Namun rupanya lain yang tersirat dalam kodrat. Dewi Jenokowati sudah jodohnya Raden Antasena. Bahkan sudah menikah dan baru saja pulang 'honeymoon' dari kepulauan Lombok. Antasena sendiri adalah anak bungsu dari Bimasena, juga keturunan Pandawa. "Sembah saya pada ayahnda. Semoga ayahnda tidak kekurangan suatu apapun. Semoga kerajaan ini tetap jaya dan sentosa ditangan ayahnda," kata Dewa Serani. Ia belum tahu kalau ayahnya sudah turun tahta. Nampaknya ayahnya juga tidak mau memberitahukan kondisi yang sebenarnya. Malu. Dan takut anaknya kecewa. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (22) Langit mendung kelabu. Udara lembab tak berangin. Di paseban istana, Bethara Guru menatap anak kesayangannya. Ia senang dengan kedatangan anak itu. Wajahnya mirip permaisuri yang dikasihinya. Anak yang cerdas, dan selalu menurut perintah orang tua. "Kenapa engkau nampak resah, nak?" tanya Bethara Guru. "Sudah beberapa minggu ini saya tak bisa tidur, ayah," kata Dewa Serani memulai pengaduannya. "Mau makan juga kurang enak rasanya. Perasaan saya tidak bisa tenang. Semua itu karena bayangan Dewi Jenokowati yang selalu muncul dalam angan-angan." "Ya, aku tahu itu, nak. Tapi aku minta engkau tidak usah melarikan diri kepada hal-hal yang negatif. Karena aku dengar engkau sekarang banyak memakai sabu-sabu dan ecstasy." "Saatnya nanti, saya akan berhenti, ayah. Tapi hidup saya hampa tanpa Dewi Jenokowati. Kalau ayahnda tak mampu menjodohkan saya dengan dia, saya gantung diri saja." Dewa Serani nampak sedih dihadapan ayahnya. Anak nakal yang manja itu memang semakin hari semakin kelihatan kurus. Hasratnya untuk mendapatkan Dewi Jenokowati, tidak bisa dibendung lagi. Ia tahu, ayahnya, apalagi ibunya, bakal iba melihat keadaannya. Keadaan yang seolah-olah tragis karena ditambah dengan ratapan palsu. "Anakku," demikian sabda Bethara Guru. "Apa yang jadi kemauanmu itu telah aku pikirkan sejak lama. Ketahuilah nak, Antasena saat ini sudah mati." "Apakah itu benar, ayah" Antasena sudah mati?" tanya Dewa Serani. Matanya langsung tampak berbinar-binar. Ingin rasanya ia bersorak dan melonjak girang sampai ke langit ke tujuh mendengar berita itu. "Benar, nak. Jasad Antasena sudah kucemplungkan ke Kawah Candradimuka. Tapi aku minta engkau jangan bilang siapa-siapa. Karena aku tidak mau rencanaku ini diketahui siapapun, kecuali orang-orang yang bisa kupercaya." Semangat Dewa Serani langsung menyala. Tubuh yang tadinya lesu sekarang kelihatan segar. Ia kini lega setelah mendengar salah satu penghalang, bagi bersatunya antara dirinya dengan Dewi Jenokowati, telah tersingkirkan. "Terima kasih, ayah. Lalu, apa yang musti saya kerjakan sekarang?" "Nah, sekarang turunlah engkau ke bumi. Temuilah Arjuna. Kalau bapaknya Jenokowati itu merelakan anaknya engkau lamar, maka berilah segala apa yang dia mau: Pangkat" Jabatan" Kedudukan" Kekayaan" Atau apapun yang dia mau. Tapi kalau Arjuna tidak rela menyerahkan Jenokowati, engkau bereskan saja dia sekalian," kata Bethara Guru dingin. Mendengar sabda ayahnya, hati Dewa Serani kembali melambung tinggi. Kini ia telah benar-benar mendapat restu dari ayahnya. Maka ia yakin tak akan ada lagi yang mampu menghalangi niatnya. Sambil menyembah Dewa Serani berkata: "Ayah, saya akan pergi sekarang. Mohon doa restu!" Dewa Serani kemudian berangkat. Karena terlalu percaya diri, ia tidak membawa pasukan untuk melaksanakan niatnya. Ia cuma mengajak pembantunya, Togog. Mereka berdua menuju ke kerajaan Madukara, tempat Arjuna memerintah. Tak lama setelah Dewa Serani pergi, Patih Narada yang dari tadi terkantuk-katuk di pojokan segera beringsut mendekat kepada Bethara Guru. Ia tadi sempat tersentak mendengar sabda bekas rajanya itu pada anaknya. "Adi Guru! Urusan dengan Dewa Serani itu tadi bagaimana?" tanya Patih Narada kawatir. "Saya suruh dia menemui Arjuna untuk meminang Jenokowati. Sekaligus untuk memberi khabar kalau Antasena telah meninggal dunia. Dengan pemberitaan itu, tentu Arjuna akan rela melepas anaknya untuk berjodohan dengan Dewa Serani," jawab Bethara Guru ringan. "Kalau Arjuna nggak rela melepas anaknya, terus bagaimana?" "Kakang Narada tak usah kawatir. Saya telah perintahkan Dewa Serani untuk memusnahkan Arjuna sekalian." "Holly Crap!!!" teriak Bethara Narada. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (23) "For what is man profited, if he shall gain the whole world, Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo and lose his own soul?" ---Matthew 16:26 Bethara Narada kaget bukan main mendengar keterangan Bethara Guru. Tindakan bekas rajanya memberi restu kepada Dewa Serani, untuk menghabisi Arjuna bukan saja membahayakan, namun juga mengkawatirkan. Besar sekali perubahan yang terjadi pada diri Bethara Guru, pikir Patih Narada. Dulu, ketika baru pertama kali terpilih sebagai raja, seluruh rakyat Jonggring Saloka mengelu-elukannya. Ia disambut dengan optimisme. Menjadi harapan akan terjadinya perubahan pada segala bidang di kerajaan itu. Perubahan seperti itu memang benar terjadi, tapi ternyata cuma sesaat. Dan sekarang, bukan saja keputusan-keputusannya mengandung semangat negatif, bahkan terkadang kontroversial. Dan itu biasanya dilakukan tanpa berembuk dulu dengan para rekan maupun bawahannya. Dari sikap itu saja sudah terlihat bahwa Bethara Guru semakin menjadi individu yang arogan. "Wah, beribu maaf Adi Guru," kata Patih Narada. "Tapi saya kira tindakan yang Adi Guru lakukan tadi itu salah. Ingat, Adi Guru sekarang ini sudah bukan raja disini lagi. Bukankah sekarang ini Adi Guru hanya berkedudukan sebagai penasehat?" Mendengar kritik itu, Bethara Guru seperti tersentak sadar. Namun kesadaran yang terlambat: "Jadi, apa tindakan saya kali ini keliru lagi, kakang Narada?" "Ya, keliru lach yauuuwww......" kata Patih Narada kesel. "Wah, kalau Kuncoro Manik tahu, belum tentu ia akan setuju dengan tidakan Adi Guru barusan tadi. Boleh jadi malah marah." "Lalu, saya musti bagaimana, kakang Narada?" tanya Bethara Guru. "Ya, silahkan saja ditindak lanjuti. Pokoknya saya nggak ikut-ikutan lah," kata Patih Narada dongkol. Ia sendiri sedang puyeng memikirkan tugas yang dibebankan padanya oleh Prabu Kuncoro Manik. Penguasa baru itu telah memerintahkannya untuk memanggil Prabu Bethara Kresna ke khayangan. Walaupun kedengarannya mudah, namun ia tahu kenyataannya bakal berlainan. Prabu Kresna bukan orang sembarangan. Ia titisan Dewa Wisnu, dewa kebahagiaan, yang amat disegani oleh para dewa sendiri karena kebijaksanaannya. Raja Dwarawati itu dijuluki Andeng-Andeng Jagat alias Tahi Lalat Jagat. Kesaktiannya benar-benar tiada tandingan. Senjata pusakanya banyak. Yang terkenal diantaranya Kembang Wijaya Kusuma. Setangkai kembang yang mampu menghidupkan orang mati. Selain itu masih ada Cakra, panah tanpa busur. Panah sakti itu mampu merontokkan sukma lawannya. Selama ini tak ada yang kuat menahan gempuran senjata itu, bahkan para dewa sekalipun. "Wah, urusan saya sendiri gampang-gampang susah," kata Patih Narada. "Entar kalau udah sampai Dwarawati saya yakin urusannya kan bakalan kusut...." "Sudah, kakang Narada tak usah terlalu kawatir dengan tugas yang terbeban saat ini. Apapun hasilnya saya akan ikut bertanggung jawab." Bethara Guru mencoba meyakinkan. Tapi yang diyakinkan nampak ragu. "Yah udah, gini aja deh," kata Patih Narada. "Adi Guru silahkan tinggal di istana saja. Biar saya dan para dewa, serta pasukan khayangan turun ke bumi. Berhasil tidaknya tugas saya, itu urusan nanti." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (24) Pagi itu cerah. Mentari sedang memanja bumi dengan sinarnya. Langit biru tak berawan menjadi latar belakang warna Astinapura, ibukota kerajaan Astina. Di istana sedang terjadi kesibukan. Walaupun hari itu bukan 'hari pasowanan' (hari-hari yang telah ditentukan bagi para bangsawan untuk menghadap raja), namun para pejabat diharuskan menghadap. Astina adalah negri yang kaya dan sering disebut orang: sorga di dunia. Tanahnya subur hasil muntahan lahar dan abu gunung berapi. Pepohonan rimbun menghijau dengan aneka ragam buah-buahan. Kembang-kembang berbagai warna memancar menyongsong fajar. Meniupkan aroma bahagianya kehidupan. Segalanya melimpah di negeri katulistiwa itu. Termasuk air yang memancar dari tanah tak ada habisnya. Air itu bening dan manis rasanya. Mampu mengobati bukan hanya dahaganya raga, namun juga jiwa. Fauna berbagai jenis, baik yang liar maupun yang dipelihara, hidup sehat dan gemuk. Sedangkan di lautan ikan melimpah ruah sampai tak muat dijala. Namun sayang, kekayaan alam Astina yang melimpah itu tidak mampu dimanfaatkan untuk kesejahteraan seluruh penduduknya. Hanya para elit kekuasaan, orang kaya yang punya koneksi dan kaum bangsawanlah yang berkenan menikmatinya. Rakyat yang bodoh, tak memiliki sarana untuk mengembangkan hartanya, bukannya ditolong tapi malah makin dibodohi. Kreativitas mereka terhambat, atau bahkan terkadang sengaja dihambat oleh tangan-tangan jahil para oknum penindas. Di negeri yang kaya itu, para pemimpin hanya pintar berteriak-teriak untuk kepentingan posisi, baik diri sendiri maupun kelompoknya. Mereka tak mampu memberi contoh yang baik. Sehingga yang muncul adalah rakyat yang mencontoh pemimpinnya sebagai koruptor, oportunis dan hipokrit. Agama dikedepankan, tapi relegiositas mengalami kemunduran besar. Para elit kekuasaan di negeri Astina berkuasa untuk kepentingan pribadi masingmasing. Rakyat hanya dijadikan obyek, yang kalau sudah tidak berguna, diabaikan. Bagaikan tebu, habis manis sepah dibuang. Para penguasa dan wakil rakyat, yang seharusnya merupakan abdi masyarakat, malah menjadi majikan masyarakat. Buat mereka, rakyat hanyalah buruh, budak dan bedinde. Yang tenaga dan jiwanya bisa seenaknya mereka hisap untuk melanggengkan kekuasaan. Pendidikan nasional, yang seharusnya mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin masa depan, akhirnya hanya berhasil mencetak kaum robot. Mesin tanpa rasa iba. Dunia pendidikan ini bahkan masih sering digunakan sebagai tempat menggarap kepentingan pribadi maupun kelompok. Dari hasil garapan ini, munculah perubahan diri menjadi manusia-manusia bermental preman. Yang lebih senang mengandalkan kekerasan dan tawuran ketimbang menggunakan otak. Adapun raja yang berkuasa di negeri Astina, saat ini adalah Prabu Duryudana. Yang berjuluk pula Prabu Joko Pitono, atau Prabu Gendariputra. Anak Prabu Destarata dan Dewi Gendari. Ia anak pertama dari seratus bersaudara. Mereka ini disebut wangsa Kurawa. Ketika semua pejabat dan bangsawan telah berkumpul di paseban, tak berapa lama kemudian, Prabu Duryudana berkenan keluar. Pakaian kebesarannya dari kain sutera keemasan, berkilauan tertimpa cahaya siang. Ia dikawal prajurit-prajurit wanita pilihan yang cantik-cantik mempesona. Mereka ini bertugas menjaga keselamatan sang raja. Setelah duduk di singgasananya, sang raja kembali tenggelam dalam lamunannya. Diam seribu basa. Seperti ada sesuatu permasalahan pelih yang tak mudah di pecahkannya. Melihat pemandangan itu, para kawula hanya mampu duduk menunggu dan berdiam pula. Karena pantang bagi mereka untuk bicara sebelum sang raja berkenan terlebih dahulu bicara. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (25) Suasana di Paseban Agung istana kerajaan Astina masih sepi seperti di kuburan. Suara-suara lalat yang berterbangan sungguh terdengar dengan nyata. Binatang sampah itu mencari bau-bau aneh di sekitar mereka. Bau keringat para bangsawan yang belum mandi karena takut terlambat menghadiri pertemuan. Bau tengik keringat manusia katulistiwa yang bercampur dengan parfum-parfum mahal bikinan Paris. Para bangsawan masih duduk terpekur menunggu sabda rajanya. Jangankan bersuara, bahkan bergerakpun tak ada yang berani. Tidak patut menurut etika istana. Sehingga jidat mereka yang basah berkeringat segera jadi tempat bermain dan berpacaran lalat-lalat kurang ajar. Ada nama-nama besar yang saat ini sedang duduk di hadapan Prabu Duryudana, maharaja kerajaan Astina. Mereka, para pejabat dan bangsawan terpandang ini, diantaranya: Patih Sengkuni, Begawan Drona, Prabu Karna, dan Raden Kartomarmo. Mereka adalah orang-orang terdekat dan kepercayaan raja. Para bangsawan ini masing-masing punya keahlian maupun kesaktian. Mereka cukup disegani oleh rakyat Astina. Tapi sayang, sifat-sifat mereka yang buruk sudah terkenal pula di manca negara. Sehingga orang segan, dan bahkan takut berurusan, karena setiap kata yang meluncur dari mulut mereka itu, ibarat semburan berancun seekor ulah kobra. Ada pula diantara orang-orang pilihan raja ini yang memiliki kharisma. Namun kharisma itu akhirnya hanya digunakan untuk kepentingan diri sendiri maupun kelompoknya. Dengan kharisma itu mereka menjual idealisme dan cita-cita semu. Dengan kharismanya itu mereka ingin tetap berkuasa. Karena dengan berkuasa seseorang bisa punya 'privelege', disanjung-sanjung dan dipuja-puja. Duduk paling depan adalah patih kerajaan Astina, Patih Sengkuni. Waktu masih muda panggilannya Raden Haryo Suman. Ia adik Dewi Gendari. Sehingga dengan demikian ia adalah paman kandung Prabu Duryudana sendiri. Patih Sengkuni berasal dari kerajaan kecil Peloso Jenar. Ia tipe bangsawan yang hipokrit. Mampu bersikap ramah pada siapa saja sehingga orang akan senang kepadanya. Namun, sikap ramahnya itu bagaikan sarang laba-laba. Orang yang sudah merasa lekat sulit untuk melepaskan diri, sebelum akhirnya dimangsa. Selain itu, Patih Sengkuni tak segan-segan menghancurkan reputasi siapapun, bahkan mereka yang dekat dengannya sekalipun. Memang kesaktiannya tidak seberapa, namun kata-katanya tajam beracun. Dengan kata-katanya, ia mampu merubah karakter seseorang yang memiliki sifat malaikat, menjadi seperti bersifat setan. Ia manipulator yang tangguh. "Paman, Paman Haryo. Aku lihat para perisai kerajaan Astina, sudah pada datang," kata Prabu Duryudana tiba-tiba tersadar dari lamunannya. "Yyy..ya bagaimana" Em..ya Anakprabu?" jawab Patih Sengkuni agak terkejut. Kemudian segera membetulkan letak duduknya. Setelah itu dengan iringan sembah yang kelihatan sekali menjilat berkata: "Apakah Anakprabu sudah berkenan bersabda" Kalau sudah, silahkan Anakprabu berkenan menyapa mereka." Prabu Duryudana segera menyapa satu per satu. Dimulai dari gurunya, Begawan Drona, seorang pendita sakti. Rohaniwan yang cukup disegani dimana-mana dan telah lama mengabdi pada keluarga Astina. Ia bukan saja guru para wangsa Kurawa, namun juga wangsa Pandawa sebelum mereka terbuang dalam pengasingan. Ilmunya banyak, baik ilmu perang, perkelahian, maupun ilmu kanuragan. Wawasannya yang luas cukup disegani kawan maupun lawan. Dan ia bangga karena punya titel sekolahan dari berbagai mancanegara. Namun sayang, Begawan Drona lebih cenderung suka pada hal-hal yang menyangkut keduniawian. Karena itu, ia lebih sering terlihat berada di lingkungan kekuasaan, ketimbang di padepokan, sanggar tempat ia mengajar. Dan iapun lebih menghormati orang yang punya jabatan, pangkat, kekayaan dan titel, ketimbang rakyat jelata maupun para umat pengikutnya. Setelah itu Prabu Duryudana menyapa Adipati Karna. Raja kerajaan Awangga ini telah lama mengabdi pada keluarga Kurawa. Dan karena loyalitasnya yang tinggi, serta kesaktiannya yang mumpuni, maka ia mendapat jabatan penting di kerajaan Astina. Sayang kesatria yang tangguh dan juara dunia memanah ini punya sifat buruk. Ia seorang yang temperamental, emosian. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (26) Melihat kedatangan orang-orang dekatnya, Prabu Duryudana nampak lega. Walau terkadang masalah yang sulit sering dipecahkannya sendiri, namun kali ini ia perlu minta bantuan orang lain. "Mungkin Bapa Begawan Dorna bertanya dalam hati, kenapa saya panggil sekarang ini. Untuk itu saya minta maaf." "Ooo, tidak perlu paduka minta maaf pada saya," kata Dorna penuh hormat. "Justru saya berterima kasih karena paduka sudi memanggil saya. Orang tua ini, telah siap menerima perintah baginda. Mohon ampun. Kiranya ada persoalan apa hingga paduka memanggil saya" "Apa saat ini paduka ingin memperdalam ilmu-ilmu lahir maupun batin" Apa paduka ingin belajar ilmu-ilmu spiritualitas, kerohanian, maupun ilmu kanuragan" Atau paduka ingin belajar ilmu hitam seperti: sant?t" p?l?t" babi ng?p?t" sihir" belut putih" jaran goyang" Atau paduka ingin menambah susuk di badan supaya para c?w?k makin tergila-gila?" "Bapa Dorna, bukan itu yang saya inginkan..." "Hm, bukan itu" Kalau begitu apa baginda ingin memperdalam ilmu peperangan" Ingin mempelajari stategi perang Sun Tzu" Genghis Khan" Sudirman" Tommy Frank" Atau ingin memperdalam ilmu perkelahian?" "Bukan, Bapa Drona. Mungkin lain kali saja saya minta pelajaran ilmu-ilmu itu." "Oh, silahkan. Pokoknya kapan saja paduka membutuhkan, saya siap sedia membimbing. Paduka tinggal memanggil saya, " kata Begawan Drona. Pendita elit itu memang selalu ingin tampil sebagai seorang rohaniwan yang sakti, cerdas, dan punya wawasan luas dalam berbagai hal. Setelah diam beberapa saat, Prabu Duryudana berkata: "Begini, Bapa Begawan. Saya bingung mengurai arti mimpi, yang saya dapat beberapa waktu lalu. Saya sudah berusaha mengurai arti mimpi itu dengan menggunakan berbagai macam buku primbon, bikinan dalam maupun luar negri. Tapi tetap nggak ketemu..." "Ooo, cuma persoalan mimpi toh. Tak perlu kawatir," kata Drona dengan sombong. "Bagaimana jalan cerita mimpi paduka itu" Coba, nanti biar saya uraikan artinya." Prabu Duryudana mulai menceritakan kisah dalam mimpi itu: Saat itu Prabu Duryudana dan permaisurinya, Dewi Banowati, dengan iringan seluruh keluarga besar Kurawa sedang piknik ke pantai Ancol. Tiba-tiba datang ombak besar menuju arah mereka. Warna ombak lautan yang biru itu tiba-tiba berubah menjadi merah, serupa warna darah. Ketika sudah dekat, ombak darah itu muncrat seperti ingin melunturkan kecantikan dan keelokan Dewi Banowati. Melihat kejadian itu, Prabu Duryudana tertegun dengan perasaan marah dan kesal. Namun tak mampu berbuat apapun. Sehingga yang timbul hanyalah rasa sesal yang mendalam. Tak lama kemudian, air darah itu berubah menjadi air yang bening. Di dalam air itu muncul bayangan wajah dua orang keluarga Pandawa, yaitu Arjuna dan Bima. "Ohhh, begitu toh. Mimpi bagus itu. Mimpi siiipp.." kata Begawan Dorna dengan mimik meyakinkan. Ia tahu, sebagai seorang rohaniwan yang disegani, dan sebagai penasehat spiritual yang mumpuni, kata-katanya di dengar oleh semua orang di Astina, termasuk oleh sang raja. Biarpun begitu, dalam hati kecilnya ada sedikit keraguan akan ucapannya sendiri kali ini. "..hmm..jadi...arti mimpi baik, Bapa Begawan?" tanya Prabu Duryudana. "Siip..eh, baik, paduka. Jangan kawatir. Begini: Ombak itu melambangkan kejadian. Darah itu merah, dan merah itu artinya suka atau senang. Jadi akan ada kejadian yang mampu memberikan rasa senang atau suka pada diri paduka. "Sedangkan Dewi Banowati terkena ombak artinya, ia akan menjadi sumber kegembiraan dan kesukaan paduka. Ia akan melahirkan anak-anak, pangeran-pangeran dan putri-putri yang akan menjadi generasi penerus tahta Astina. Dan arti mimpi terakhir, air keruh menjadi air bening, artinya kerajaan Astina, akan memancar dan jaya di bawah kekuasaan Prabu Duryudana." "Lalu, para saudara Pandawa yang muncul dalam air bening itu" Arjuna" Bima?" tanya Prabu Duryudana penasaran. "Alaaahhh, Arjuna dan Bima itu kan cuma pada iri hati aja. Mereka sirik. Nggak boleh lihat saudaranya berkuasa, bawaannya ngintip-ngintip kesenangan orang aja. Pokoknya paduka nggak usah kawatir. Kita punya banyak kesatria yang bisa diandalkan, kalau memang ada yang mencoba mengancam negara ini. Kita juga punya banyak sekutu yang siap membela," kata Drona bangga. Terlalu percaya diri. (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (27) Tiba-tiba Adipati Karna menyembah kepada Prabu Duryudana. Lalu, ia berkata dengan gagah: "Hamba harap paduka tak perlu merasa kawatir. Jika memang ada musuh yang mengancam negeri ini, biarlah mereka berhadapan dengan saya!" "Hmmm, terima kasih kakakku Karna," jawab Prabu Duryudana, senang melihat loyalitas senapatinya. Saat suasana paseban kembali hening, datanglah kepala pengawal istana dengan tergopoh-gopoh. Ia menyembah hingga mukanya mencium tanah. Setelah itu melapor: "Ampun paduka. Seorang pandita kampung nekat ingin bertemu dengan paduka...." Belum sampai selesai pengawal itu melapor, tiba-tiba muncul seorang pandita berpakaian sederhana. Namun pada sosok yang sederhana itu seperti terpancar kekuatan dahsyat yang tersembunyi. Hanya orang-orang yang berilmu tinggi yang dapat merasakannya. Ketika sampai di hadapan Prabu Duryudana, sang pandita segera menghaturkan sembah sebagaimana layaknya seorang kawula menyembah pada raja. Baru kemudian ia duduk dengan tenang. Pada wajahnya tak ada tergambar kegentaran sedikitpun. Suasana di paseban tiba-tiba diselubungi kegelisahan. Ketika Dewa Memaksakan Kehendaknya Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Wajah-wajah mangkel campur marah mewarnai wajah-wajah para bangsawan maupun pejabat kerajaan. Tapi belum ada yang berani berkata sepatahpun mendahului rajanya. Mereka cuma bungkan, sambil sesekali melirikkan mata curiga dan sengit kepada tamunya. "Ampun paduka. Tadi tamu ini di pintu gerbang kerajaan...." Belum sampai kepala pengawal itu menyelesaikan kalimatnya, ia telah mendapat lambaian tangan sang raja. Pertanda ia harus segera meninggalkan tempat itu. Maka, sambil mengangkat sembah berkali-kali, pengawal itu mengundurkan dirinya. Hilang kebalik gerbang. "Kalau tidak salah penglihatanku, dihadapanku ini ada seorang pandita. Engkau ini siapa dan dari mana asalmu?" tanya Prabu Duryudana keheranan. "Paduka yang mulia, saya mengucapkan sembah ke hadapan paduka. Kedatangan saya ke Astina untuk mengabarkan bahwa di khayangan Jonggring Saloka telah ada penguasa baru, bernama Prabu Kuncoro Manik. Adapun Sang Hyang Bethara Guru, saat ini telah turun tahta, dan kedudukannya hanyalah sebagai penasehat kerajaan." "Hmmm...lalu engkau ini siapa?" tanya Prabu Duryudana semakin bingung. "Saya adalah pandita utusan khayangan. Nama saya Begawan Pulasara." "Hmm, ya..Begawan Pulasara. Lalu, ada keperluan apa engkau datang kemari?" "Mohon ampun paduka, jika ada kata-kata saya nanti yang mungkin salah. Pertama, saya ingin menyampaikan salam Prabu Kuncoro Manik kepada paduka. Kedua, adapun maksud kedatangan saya sebenarnya ke negeri Astina ini, karena diutus untuk memboyong permaisuri paduka, Dewi Banowati. Alasannya, karena Dewi Banowati ingin dijadikan bidadari di khayangan." Seketika itu pula suasana di paseban ribut. Bagai lebah mendengung, para pejabat dan bangsawan istana berguman satu dengan yang lain menyatakan kekagetan dan keheranannya. Sementara itu Prabu Duryudana merah padam mukanya menahan amarah. Tiba-tiba Adipati Karna menyembah rajanya sambil berteriak: "Panc?n ?dan (memang gila)! Mohon maaf paduka. Boleh atau tidak boleh, saya ingin minta ijin paduka. Saya yang akan menjawab permintaan pandita ini!" "Ya, silahkan kakakku Karna..." kata Prabu Duryudana yang sudah mengetahui temperamen senapatinya. "Begawan Pulasara! Ketahuilah, aku Adipati Karna, senapati negara ini," kata Karna sambil mengepalkan tinju di dadanya. "Ya, bagaimana tuan Adipati?" tanya Begawan Pulasara tenang. "Nah, ketahuilah juga, bahwa baik buruknya keadaan negara ini menjadi tanggung jawabku. Karena permintaanmu untuk memboyong permaisuri Dewi Banowati berhubungan dengan baik buruknya keadaan negara ini, maka tanggung jawabku jugalah yang akan memutuskan permintaanmu itu. "Lalu, keputusan tuan Adipati?" "Saat ini aku belum bisa memutuskan. Keluarlah! Tuggu aku di luar! Akan aku beritahukan keputusanku nanti di luar!" "Baik jika demikian tuan Adipati. Saya akan menunggu tuan di halaman luar." Lalu, Begawan Pulasara menyembah pada Prabu Duryudana. "Hamba mohon pamit dulu, paduka." (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (28) Ketika tamunya sudah keluar, suasana paseban kembali gaduh. Dengung suara bagai seribu lebah yang sedang marah. Tapi begitu tangan Prabu Duryudana terangkat keatas baru suasana menjadi tenang. "Mohon ampun, paduka," kata Adipati Karna sambil mengangkat sembah. "Saya telah ceroboh mendahului paduka, karena tak mampu menahan emosi. Keinginan pendita tadi untuk memboyong permaisuri Dewi Banowati, saya anggap sebagai sebuah penghinaan. Bukan hanya penghinaan terhadap paduka, tapi juga bagi seluruh penduduk Astina." Prabu Duryudana nampak limbung: "Bagaimana pendapat Bapa Begawan Dorna?" "Apa yang dikatakan 'nak Adipati Karna betul, paduka. Saya kira kalau tadi didiamkan, bukan cuma sampai disitu saja permintaannya. Bahkan kewibawaan paduka bisa ikut diinjak-injak," jawab Drona mantap. Ia diamdiam masih memendam rasa kesal terhadap tingkah laku pendita kampung tadi. Sebagai seorang pendita jet-set, ia tersinggung karena tidak dipandang sebelah mata sedikitpun. "Kalau begitu, apa rencana kita selanjutnya?" Kali ini raja Astina itu benarbenar seperti kehabisan akal. "Mohon maaf, paduka," kata Adipati Karna sambil menyembah. Kali ini ia seperti merasa mendapat lampu hijau. "Pandita itu nanti akan saya suruh pulang. Jika tidak mau, maka akan saya paksa. Mohon Bapa Begawan Dorna ikut mengamat-amati tindakan saya dari jauh." "Oh, jangan kawatir 'nak Adipati. Saya akan ikut amat-amati," jawab Dorna penuh keyakinan. Walau tidak begitu kawatir, ia tetap merasa perlu waspada. Dengan iringan sembah, Prabu Duryudana beranjak dari singgasananya. Setelah raja agung yang kurang punya pendirian itu masuk ke dalam, terjadi kesibukan di paseban. Para bangsawan dan pejabat Astina mulai mempersiapkan strategi untuk mengusir tamunya. Begitu ada kata sepakat, mereka beramai-ramai segera menuju ke halaman istana. Adipati Karna maju sendirian meninggalkan rombongan, ketika mereka tiba di pintu gerbang. Yang lainnya menunggu sambil mengamati-amati dari jauh. "Adipati Karna, kamu memang memiliki sikap kesatria. Tidak lama aku menunggu, rupanya kamu segera keluar," kata Begawan Pulasara pada kesatria di hadapannya. "Kurang ajar. Rupanya sekarang hilang sopan santunmu, ya," kata Adipati Karna yang merasa disepelekan. Padahal di dalam tadi, pendita ini begitu menghormatinya. "Orang yang minta selalu dihormati itu biasanya orang yang gila hormat. Orang yang minta selalu disanjung-sanjung itu biasanya orang ambisius yang gila sanjungan. Nah, sekarang pokoknya terserah kamu deh. Aku tunggu jawabanmu." "Hei, rohaniwan tengik! Kamu nggak usah berlagak jagoan. Karena sebentar lagi kamu bakalan tahu akibatnya. Ketahuilah, aku akan serahkan permaisuri Dewi Banowati kalau kamu sanggup melangkahi mayatku." "Adipati Karna," kata Begawan Pulasara sambil tersenyum. "Kamu bakal menyesal berkata begitu." "Bangsat! Sini tak injek-ijek jadi tempe kamu. Hiyyaaatttt!!" Adipati Karna meloncat menerkam lawannya. Seluruh tenaganya dihimpunnya dalam pukulan dahsyat yang terarah pada musuhnya. Angin pukulan itu menderu. Begawan Pulasara yang kecil perawakannya, masih berdiri dengan tenang. Kudakudanya ia mantapkan. Tangan kirinya ditariknya kesamping dengan telapak yang mengepal. Sedangkan tapak tangan kanannya yang terbuka dimajukannya menyambut pukulan musuh. "Brakkk!!" Bunyi pukulan yang bertemu itu mirip tukang es nabrak tong sampah. Adipati Karna mental terkena pukulan balik lawan. Badan yang terpental itu salto beberapa saat di udara, sebelum akhirnya mendarat bagaikan seekor elang hinggap di pucuk pepohonan. Walaupun demikian dadanya terasa sesak. Begawan Pulasara membetulkan kembali letak kuda-kudanya. Ketika beradu pukul tadi badannya sempat bergeser sedikit kebelakang. Namun tidak terpancar rasa sakit sedikitpun pada wajahnya. Ia cuma tersenyum. "Kurang ajar! Ciiiaaattt!!" Adipati Karna kembali meloncat menerkam musuhnya. Ia kini tidak mau mengambil resiko mengadu tenaga dalam lagi. Ia keluarkan jurus baru, Ombak Tangkubanprahu. "Ciatt!!" (Bersambung) KETIKA DEWA MEMAKSAKAN KEHENDAKNYA (29) Jurus Ombak Tangkubanprahu yang dimainkan Adipati Karna memang hebat. Jurus itu telah dipelajarinya selama puluhan tahun. Pukulan jarak dekatnya membahayakan. Dan setiap sabetan tapak tangannya bagaikan sabetan dayung yang memecah air. Begawan Pulasara mencoba bertahan. Namun ia nampak kurang lincah. Di tengahtengah serangan musuhnya, tubuhnya bagaikan seekor kecebong yang terombang-ambing di air comberan. Sementara lawannya terus mendesak membabibuta. "Aduhhh!!" Tiba-tiba Adipati Karna memekik sambil meloncat mundur dari gelanggang. Sekujur tubuhnya terasa kesemutan seperti baru saja mendapat tagihan dari PLN. Wajahnya berubah pucat. Maka, secepatnya ia bersemadi untuk menguasai diri kembali. Patih Sengkuni mendekatinya: "Lho, 'nak Adipati, sampeyan kok mundur kenapa?" "Wah, paman Sengkuni. Ternyata pendita itu memang sakti. Pukulan saya tidak dirasakannya. Malahan begitu dia tiup tengkuk saya, nggak tahu gimana, tubuh saya langsung meriang..." "Lha, terus gimana dong" Di pihak Kurawa, ya cuma sampeyan yang bisa jadi andelan. Nggak ada lagi," kata Patih Sengkuni agak kawatir. Tapi akalnya segera jalan. "Kalau sampeyan nyerah, berarti permaisuri Dewi Banowati bakal kena boyong. Lha, apa nggak sedih Prabu Duryudana nanti?" Ternyata kipasan kata-kata itu manjur. Adipati Karna mulai mengeluarkan senjata pusaka andalannya. Sebuah panah sakti. Made in Jonggring Saloka, bukan made in China. Kabar burung bilang bahwa pusaka sakti itu hasil curian dari gudang senjata para Dewa. Apakah ada permainan dengan petugas" Tak ada yang tahu juga. "Sudah, paman nggak perlu kawatir. Sebentar lagi pendita itu bakal jadi bubur." Patih Sengkuni mundur beberapa langkah. Ia memang belum pernah melihat Adipati Karna menggunakan senjata pusakanya. Tapi dari cerita mulut ke mulut, ia dengar bahwa senjata yang dinamai Konta itu sangat ampuh. Tak pernah ada satu mahklukpun yang mampu lolos hidup-hidup ketika jadi sasarannya. Bahkan kutu di kepala. Adipati Karna, juara panah Olympic, membidikkan Konta tepat ke dada lawan. "Woozzzz!!" Senjata sakti lepas dari busurnya. Bunyinya terdengar mirip peluru kendali Stinger. "Zduuueerr!!" Bunyi senjata tepat mengenai sasarannya. Ledakannya memekakkan telinga. Warga Astina bersorak gembira di pinggir lapangan, termasuk Patih Sengkuni menyunggingkan senyum kemenangan. Kumisnya yang tipis mirip pisau yang hendak mengiris bawang. Baru kali ini ia melihat dengan mata kepala sendiri keganasan senjata Konta. Beberapa saat kemudian, kegembiraan para penonton lenyap. Berubah jadi kengerian. Ternyata musuhnya masih hidup. Bahkan terlukapun tidak. Cuma menggaruk-garuk dadanya seperti habis tertabrak kecoak. "Hah" Lo, sampeyan kenapa 'nak Adipati?" tanya Patih Sengkuni kembali menghampiri Karna. Begawan Dorna ikut dibelakangnya. Mereka berdua nampak heran melihat Senapati Astina jatuh terduduk lemes tanpa daya. "Maafkan saya, paman. Tenaga dan kesaktian saya tiba-tiba seperti lenyap," kata Adipati Karna sambil mencoba bangkit. Tapi kemudian oleng dan kembali jatuh. "Seperti ada kekuatan yang menyedot tenaga dan kesaktian saya, paman." "Wah, kacau nih kalau begini." kata Patih Sengkuni. Lalu, pada Begawan Dorna ia bilang: "Gimana nih, kakang Dorna. Kalau 'nak Adipati kalah, mau nggak amu, sampeyan andalan terakhir. Saya pengen lihat apa memang pengakuan sampeyan di depan Anakprabu Duryudana sebagai pendita serba bisa tadi bener. Kalo nggak bener, mendingan mutasi aja ke padepokan di pelosok terpencil." Sesungguhnya bukan karena ancaman Patih Sengkuni yang menyebabkan Begawan Dorna ingin segera meringkus lawannya. Tapi karena ia ingin menunjukkan, bahwa tidak sia-sialah selama ini Prabu Duryudana memilihnya sebagai rohaniwan andalan kerajaan. Pendita yang didengar setiap katanya. Bahkan fatwa-fatwanya dituruti orang. Ia tidak ingin prestise-nya turun. "Begawan Pulasara!" teriak Dorna. "Kamu tahu kan siapa saya" Lebih baik Raden Banyak Sumba 2 Pendekar Hina Kelana 19 Sepasang Walet Merah Tokoh Besar 1