Ceritasilat Novel Online

Mantra Penjinak Ular 1

Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo Bagian 1 Mantra Penjinak Ular Kuntowijoyo "SEBUAH Desa, Sebuah Mitos". Begitulah subjudul Kuntowijoyo mengawali cerita bersambungnya yang dimuat di Kompas mulai hari ini, berjudul Mantra Pejinak Ular. Menokohkan Abu Kasan Sapari yang dipercaya oleh kalangan terdekatnya sebagai masih keturunan pujangga besar Ronggowarsito, cerita ini berlatar belakang kehidupan sosial berikut dunia batin masyarakat desa di wilayah kebudayaan Jawa, Surakarta, dan sekitarnya, taruhlah seperti Klaten serta daerah lain yang berasosiasi pada desa-desa di lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah. Dalam setting budaya Jawa berikut warna Islam yang selalu mewarnai karya-karya Kunto, Abu Kasan Sapari bertumbuh dalam suatu proses dialektik dengan zaman yang terus bergerak, pada kurun waktu kira-kira menjelang akhir abad ke-20. Abu Kasan Sapari mewarisi bakat mendalang dan segala olah batin dari para leluhurnya. Itulah yang membuat seorang tua-datang entah dari mana-tiba-tiba pada suatu hari menemuinya dan mewariskan mantra atau ilmu penjinak ular. Sebagai dalang, sebagai pegawai kecamatan di desa di kaki Gunung Lawu, atau sebagai siapa saja manusia Indonesia yang hidup pada periode zaman ini, pasti mengalami, bersentuhan, bertubrukan, atau sedikitnya menjadi saksi, bagaimana mesin politik Orde Baru-Soeharto beroperasi. Situasi berikut yang dihadapi Abu Kasan Sapari adalah bagaimana Abu, dengan segala pemahamannya yang khas atas dunia, menghadapi apa yang disebut Kunto sebagai "mesin politik". Si "mesin politik" yang menjadi antagonis mengingatkan bagaimana kekuasaan politik di akhir abad ke-20 Indonesia beroperasi sampai ke desa-desa. Sesuai dengan sifat cerita dan sikap yang dipilih Kunto di situ, perbenturan antara sebuah pribadi di desa dengan "mesin politik" dilukiskan tidak dalam tabrakan yang seru, namun liris dan menyentuh rasa keadilan. Kuntowijoyo, kelahiran Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943, sejarawan terpandang pengajar di Universitas Gadjah Mada, sudah lama dikenal sebagai penulis yang piawai. Beberapa karyanya, seperti novel Pasar, meraih hadiah Panitia Hari Buku, 1972. Naskah dramanya, Topeng Kayu, mendapat hadiah kedua Dewan Kesenian Jakarta, 1973. Bagi harian Kompas sendiri, Kunto istimewa. Cerpen-cerpennya yang dimuat di harian ini selalu terpilih oleh tim penyeleksi cerpen-cerpen pilihan Kompas baik sebagai cerpen pilihan maupun cerpen terbaik. Dengan subjudul "Sebuah Desa, Sebuah Mitos" sebagai pembuka cerita bersambungnya kali ini, seperti ada sebuah ancar-ancar, desa yang hendak digambarkan Kunto barangkali memang hanya akan tinggal sebagai mitos. Kedamaian, keindahan, keluguan, dan kecantikan alami tokoh wanita di situ, konflik politik pada tingkat lokal, semua terpotret seperti sebuah unikum yang tidak bergerak-atau kalau bergerak pun sangat pelan. Spirit itu menyatu dengan presentasi yang mengalir damai seperti air di sungai dan parit-parit di desa-desa di lereng Gunung Lawu. Selamat menikmati. (bre) 1 SEBUAH DESA, SEBUAH MITOS Ketika sang kakek-ayah dari ayah-mengetahui bahwa bayi yang dalam kandungan akan diberi nama Sapari kalau laki-laki dan Sapariah kalau perempuan, kakek keberatan dengan kata 'sapar', katanya, "Sudah pasti anak itu lahir tidak di bulan Sapar!" Dengan malu-malu sang calon ayah menjawab, "Memang tidak diambil dari bulan lahirnya. Tapi bulan jadinya." Ayah itu lalu menghitung dengan jarinya dan mengucapkan dengan mulutnya, "Sapar, Mulud, Bakda-Mulud, Jimawal, ... " kemudian tersenyum sedikit-sedikit dan semakin lebar, mengetahui bahwa anaknya thok-cer, sebab di bulan Sapar juga ia mengawinkan anaknya. Bayi itu lahir laki-laki. Di rumah, ditolong oleh dukun berijazah setempat yang paling favorit. Setiap kali ke Puskesmas, dokternya-wanita, masih kanak-kanak penampilannya, tapi amat cerdas, ramah, dan terampil-selalu mengatakan bahwa kesehatannya bagus. Karena itu, dia dilahirkan oleh dukun, tidak oleh dokter seperti anak priayi. Setelah dibersihkan, ibunya bangun dan mengucapkan azan dan qamat, karena ayah bayi itu tak pandai mengucapkan adzan sepatah pun. Ibu bayi itu pernah menyuruh suaminya untuk belajar sembahyang, tetapi selalu dikatakannya, "Nantilah, orang Jawa itu kalau saya sudah sembahyang, sembahyang sungguhan. Luar dalam." "Lha iya, sungguhan. Tapi kapan mulai?" "Nanti itu ya nanti." Suaminya sudah berpuasa, tapi entahlah belum mau sembahyang. Dan juga berpantang semua larangan Tuhan. Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah, meminta restu. Sambil menyerahkan kembali bayi itu dikatakannya kepada dua orangtuanya, "Hati-hati memelihara anak ini. Besok dia akan jadi pujangga. Aku mendapat firasat, ketika aku keluar dari makam ada rombongan orang membarang, menyanyi, dan menabuh gamelan. Anak itu memiringkan telinganya, seperti mendengar sinden dan klenengan." Pesinden itu bukan sembarang orang, tapi penyanyi yang paling terkenal di desa sekitar. Ia paling laku, paling cantik, banyak orang tergila-gila. Ia punya nadar kalau ia jadi "orang" akan nyinden di depan makam. Hari itu adalah pelaksanaan nadar. Bayi merah itu sudah dimintakan restunya dengan cara mengibaskan selendang ke badannya. Sudah itu kakek keliling desa dan kepada teman-temannya yang dijumpai di sawah, di kebun, di jalan, atau sengaja dia menggedor rumah, akan dikatakannya dengan bangga, "Ketahuilah, aku punya cucu laki-laki! Ini!" Dikatakannya, seolah-olah punya cucu laki-laki adalah kebanggaan satusatunya. Pada hari ke lima, diadakan sepasaran dengan mengundang macapatan dan gamelan sederhana. Dengan bangga kakek itu mengumumkan bahwa cucunya diberi nama Abu Kasan Sapari. Abu diambil dari nama sahabat Nabi Abu Bakar, Kasan adalah nama cucu Nabi, dan Sapar adalah bulan perkawinan kedua orangtuanya. Diharapkannya bahwa nama itu ada pengaruhnya pada jabang bayi yang baru lahir. Kemudian dengan suara serak seseorang tua melagukan Dandanggula, peninggalan Sunan Kalijaga yang berisi doa keselamatan: Anakidung rumeksa ing wengi teguh ayu luputa ing lara kalisa bilai kabeh jim setan datan purun paneluhan tan ana wani miwah panggawe ala gunaning wong luput agni atemahan tirta maling adoh tan ana ngarah mring mami tuju dudu pan sirna (Ada nyanyian menjaga malam aman sentosa tidak terkena penyakit 2 luput dari semua penderitaan jin dan setan tidak mau mengganggu santet tidak berani mendekat dan semua perbuatan jahat guna-guna dari orang salah api menjadi air pencuri jauh tidak menuju saya maksud jahat akan musnah) Pembacaan macapat itu ditutup dengan kenduri dan doa yang dipimpin oleh modin desa. Kakek itu adalah juru kunci makam Ronggowarsito di Desa Palar, Klaten. Makam itu sebenarnya sebuah kompleks, karena di situ juga dikuburkan orang-orang besar Surakarta. Ia mewarisi pekerjaan dari ayahnya, ayahnya dari ayahnya, dan seterusnya. Orang yang menjadi juru kunci pertama masih saudara dekat dengan Ronggowarsito-dengan demikian Abu Kasan Sapari dapat mengaku masih sedarah dengan Sang Pujangga Terakhir. Dulu Palar adalah desa perdikan, desa yang dibebaskan dari pajak dengan maksud supaya seluruh penghasilan desa diperuntukkan guna keperluan makam. Praktis, lurahnya sama dengan juru kunci makam. Tetapi ketika desa perdikan itu dihapuskan pada 1915, juru kunci makam tidak lagi otomatis menjadi lurah desa. Waktu pilihan lurah, juru kunci cum lurah pada waktu itu suka ma-lima, yaitu madon, minum, madat, main ("wanita, minuman keras, mengisap candu, judi") sehingga tidak terpilih jadi lurah. Keluarga juru kunci tidak pernah maling, namun ma-empat itu cukup menjadikannya cacat di depan masyarakat desa. Masyarakat akan membiarkan kelakuan yang jelek pada orang biasa, tapi tidak pada lurah. Sejak itu jabatan lurah tidak pernah dipegang keluarga besar juru kunci. Mereka jadi petani biasa, mula-mula kaya tapi lama-lama sawah mereka semakin sempit. Sekarang juru kunci adalah juru kunci. Yang menjadi lurah desa ialah Mas Guru, ayah Abu hanyalah penduduk desa biasa. Kakek itu begitu senang punya cucu lakilaki, sebab cucunya dari anak-anak yang lain semuanya perempuan. Pagi sekali ketika cucu laki-laki itu agak agal dijemputnya, dan seperti mainan, akan dibopongnya jalan-jalan sambil dinyanyikannya, "Lir-ilir lir-ilir tandure wus sumilir, ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar." ("Tanaman sudah tumbuh, hijau sekali saya kira temanten baru.") Pada sore terang bulan kakek itu akan membawanya ke tepi sawah, sebab di tempat itu bulan tidak terhalang pohon-pohon dan rumah-rumah. Sambil mengharap berkah bulan ia akan berkata, "Run-turun. Bulan, minta kuningmu. Bulan, minta cahayamu." Di siang hari akan dibawanya berkeliling untuk ditunjukkan teman-temannya. "Ini, cucuku. Laki-laki betul. Lihatlah, kacuknya (kelamin anak laki-laki)." Kawan-kawan tuanya yang berhenti bekerja dari sawah atau sedang berteduh di bawah pohon datang merubung. "Wah, kacuknya besar. Ini yang membuat perempuan tergila-gila". "Ada tahi lalat di pahanya. Itu tandanya dia akan tahan lama." "Tidak usah menghabiskan duit untuk obat kuat." "Membuat wanita megap-megap seperti mujair kehabisan udara." "Maka, para perempuan pun klenger kena senjata Prabu Baladewa yang bernama Alugara, dok-dok-dok. Alu bentuknya bulat panjang sesuai dengan namanya, gara artinya geger; jadi, alugara ialah alu yang bikin geger. Para perempuan mengerang-ngerang ... minta ... tambah, dok-dok. Ooo...." "Ee, bukan para perempuan, tapi perempuan saja. Cucu saya hanya kenal satu wanita, istrinya." *** Ketika Abu Kasan Sapari berumur satu tahun, datang kakek-nenek dari pihak ibu dengan dokar yang dibawanya dari desa. Dokar itu berbunyi cring-cring-cring, kudanya besar, sehat, dokarnya penuh hiasan, menandakan pemiliknya orang kaya. Dengan penuh harap mereka turun, kedatangan mereka bermaksud menagih janji: mereka berhak memelihara anak itu setelah berumur setahun. Kakek itu juga yang mengusulkan nama 'Abu Kasan' kalau laki-laki dan 3 'Fatimah' atau apa saja kalau perempuan. Sekalipun sudah dipersiapkan sebelumnya dan ibunya sudah me-nyapih bayi dalam umur 10 bulan, hingga Abu tidak lagi minum dari susu ibunya, rasanya berat juga bagi si ibu untuk berpisah. Ibu itu menangis di kamar, dan ketika suaminya mencoba menghibur, "Tidak apa-apa. Nanti kita buat lagi." Tangis istrinya semakin keras. Lalu dikatakan oleh suami, "Malah kebetulan, kita kembali jadi temanten baru lagi." "O, dasar laki-laki!" kata istrinya. Selain ibunya, kakek yang biasa menimang ikut kehilangan. Alasan kakek itu, "Apa dikira kita tak bisa memberi makan?" atau "Apa kurangnya kita, coba!" Ayah Abu berkata, "Sudahlah. Yang membuat saja sudah boleh. Kok ribut." Ayah itu memutuskan, katanya, "Janji itu ya janji. Harus ditepati, bagaimapun beratnya." Mereka tidak bisa mencegah, sebab itu salah satu syarat perkawinan. Kakek-nenek dari ibu sudah berkorban sekian lama dengan melepaskan anak perempuan satusatunya. Sesampai di desa baru, kakek-nenek tahu bahwa kelahiran Abu belum disambut dengan akikah. Maka dipotonglah dua ekor kambing jawa. Betul kambing begituan lebih berbau, tapi dagingnya lebih enak. Anak-anak akan bermain teka-teki, "Ada kambing menari di atas sendok, apa?" Jawabnya: gulai kambing!Kambing-kambing dimasak, dan malam hari diundang kelompok slawatan. Kelompok itu akan memulai pertunjukan dengan seruan untuk bersama-sama membaca shalawat, "Shalu 'alaih!". Kemudian rebana dibunyikan oleh beberapa orang yang memegang rebana dengan tangan kiri dan memukulnya dengan tangan kanan. Riwayat Nabi dari buku Barzanji dinyanyikan bersama-sama, "Ya Nabi, salamun 'alaik. Ya Rasul, salamun 'alaik. Ya habibi, salamun 'alaik." ("Wahai Nabi, sejahtera bagimu. Wahai Utusan, sejahtera bagimu. Wahai Kekasih, sejahtera bagimu"). Dapat dikatakan anak perempuan yang dihasilkan kakek-nenek dari ibu Abu itu seperti barang temuan. Sudah tujuh tahun kakek-nenek berkeluarga tetapi belum juga dapat anak. Semua usaha sudah dikerjakan. Orang-orang pintar sudah dikunjungi. Dukun pijat sudah, periksa dokter sudah. Rebutan gunungan waktu sekaten sudah. Agak syirik-syirik sedikit berdoa di kuburan keramat juga sudah.Disuruh banyak makan daging sudah. Disuruh suami-istri bertemu tiap hari sudah. Akhirnya ketika ia mendengar Kiai Shamad dari kampung sebelah akan naik haji, kakek-nenek mengucapkan selamat jalan dengan permintaan khusus supaya didoakan punya anak.Kiai itu mencatat dalam bukunya. Kalau ini pun tidak berhasil,dia akan menyerah pada takdir. Waktu kiai itu kembali, dia menjenguknya. Kiai mengatakan bahwa doanya sudah dibaca di depan Ka'bah, dan menanyakan apakah dia tidak lupa berdoa waktu berhubungan dengan istri. Dia menjawab tidak pernah lupa. Kiai itu kemudian menuliskan doa khusus untuk dibaca sehabis sembahyang oleh suami istri, sebanyak tiga puluh tiga kali. Dan benarlah lahir anak perempuannya. Waktu itu ibu (calon) Abu berdagang pakaian dari pasar ke pasar dengan sepeda merek Raleigh yang bisa bunyi ck-ck-ck dan ayah (calon) Abu menjualkan ternak apa saja milik para tetangga. Maka bertemulah ayah-ibu Abu. Ayah Abu suka membeli soto dekat ibu Abu berjualan. Sudah lama dia berpikir bagaimana cara kenal. Kata ayah Abu pada penjual soto, tetapi cukup keras untuk didengar ibu Abu. "Kok ada gadis manis, apa sudah ada yang punya?" Kata ibu Abu pada penjual soto: "Katakan padanya, kalau sudah ada. Yang punya adalah bapak-ibu." "Kalau yang punya adalah bapak-ibu apa boleh aku ngebun-ebun enjing, anjejawah sonten" " Maksudnya, apa boleh dia melamar. Ibu Abu tidak dapat menjawab, mukanya merah. Penjual soto bertanya, "Bagaimana?" Tidak ada jawaban. Tapi di luar dugaan ibu Abu mengulurkan tangan. Itu cara baru yang dipelajari dari bioskop. Keduanya bersalaman. Kehangatan tangan itu masih dikenang, ketika lima hari kemudian mereka bertemu. Demikianlah mereka berdua bertemu, jatuh cinta pada pandangan pertama, melamar, dan kawin. Ibu Abu memang sengaja dibiarkan berdagang kecil-kecilan di pasar, meskipun kakeknya sudah jadi juragan. Alasan kakeknya, "Hidup itu seperti bola. Kadang-kandang di atas, kadang-4 kadang di bawah. Ketika kita di atas harus siap untuk di bawah. Jadilah seperti induk ayam, kais-kaislah rejekimu dengan tangan sendiri." Diputuskan bahwa si ibu akan menyertai sementara, sampai anak itu lengket dengan kakek-neneknya. Membuat lengket itu mudah, ada rapalnya. Kalau sudah waktunya anak ditinggalkan, juga perkara gampang. Orang dapat pergi ke kiai untuk membuat anak"lupa" pada ibunya, dan ibu "lupa" pada anaknya. Segalanya bisa diusahakan, ada caranya. Pada waktu itu kakeknya masih jaya. Alat tenunnya (ATBM) ada 50-an, sehingga rumahnya akan gemuruh dengan suara tenun, "Cek-klek, cek-klek, cek-klek." Bayangkan, lima puluh orang, belum terhitung tukang wenter, tukang sekir, yang membuat benang berjejer sebelum ditenun. Pabrik itu menghasilkan kain kotak-kotak seperti dipakai koboi, kain putih polos, kain lurik, dan kain selimut lorek-lorek. Makanan kecil dan minum buruh Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ditanggung perusahaan, karena itu masih harus diperhitungkan tukang masak dan pencuci gelas. Buruh-buruh itu suka bernyanyi sambil bekerja. "Sun iki dhutaning nata," ("aku ini utusan raja"), dari dongeng ketika Damarwulan mengalahkan Minakjingga, raja Blambangan. "Tak lela-lela ledhung," buaian untuk bayi di gendongan. Alat-alat itu memenuhi rumah: pendapa, gandhok, emper, masih ditambah emplekemplek di sana-sini. Abu dapat jatah daging, nasi rajalele, susu kaleng-di minum dengan air panascokelat bubuk, roti marie, dan hampir tiap pagi beli getuk yang masih hangat. Abu juga mendapat pengasuh khusus. Bila terang bulan akan diajaknya Abu ke pelataran dan sambil menggendong akan dikatakannya pada bulan, "Bulan-bulan gede. Minta bagusnya sedikit saja." Kecantikan yang diminta itu akan turun pada wajah, dan pengasuh itu akan menirukan caranya turun, katanya, "Plek-plek-plek." Kata pertama yang diucapkan oleh Abu ialah mbah-mbah, kakek-nenek. Itu biasa, karena memang ia tinggal dirumah kakeknya. Tetapi kata kedualah yang agak luar bisa. Kata kedua-tepatnya bunyi-ialah br-br sambil meringis. Itu dipelajarinya dari kuda waktu makan rendeng dan dedhak, daun kacang dan bekas tumbukan beras. Dia memang suka bermain-main dengan kuda. Itulah satu-satunya hal yang membuat kakeknya meneteskan air mata ketika harus menjual dokar dan kudanya. Suara gemuruh di rumah itu tiba-tiba mereda, kabarnya karena di bagian lain negeri yang kaya ini pabrik-pabrik tekstil dibangun. Alat-alat tenun jadi kayu tua, sebagian dijual sebagai bahan bangunan-untuk menutup utang, sebagian nongkrong saja, tempat laba-laba bersarang. Kali ini hidup kakek itu di bawah. Semua kemewahan pergi, termasuk susu kaleng, cokelat, roti marie, dan getuk Abu. Kakek tidak putus asa, ditekuninya kembali pekerjaan sebelum jadi juragan tenun, mengerjakan tiga orang untuk menjahit celana dan baju, lalu dengan dagangan itu dia keliling mengikuti hari pasar. Pada waktu Abu masuk sekolah, ia mendaftarkan diri sebagai cucu pedagang pasar, bukan cucu juragan. Dari semua kemewahan, hanya daging yang dipertahankan untuk Abu. Kakeknya berpendapat bahwa daging adalah kunci kepandaian, "Belanda itu pandai-pandai karena mereka makan daging." Demikianlah meskipun kakek dan nenek hanya makan sambal dan kerupuk, untuk Abu selalu ada daging. Abu sungguh disayang oleh kedua kakek-neneknya. Alasannya, "Anak-anak adalah masa depan kita," seperti selalu dikatakan kakek itu. Mereka punya lonceng yang nyaring bunyinya untuk mengingatkan Abu yang sedang bermain-main jauh dari rumah bahwa waktu makan sudah tiba. Kata kakeknya, "Selain makan daging, disiplin juga perlu." Kakek atau nenek akan membunyikan lonceng itu. Tetangga yang tahu Abu masih keluyuran akan bilang padanya, "Pulanglah, embahmu mencarimu." Tidak ada jalan lain bagi Abu kecuali pulang. Neneknya melarang dia ke sungai, dan memanjat pohon tinggi, "Kau harus jadi priayi, maka jangan bertingkah seperti petani," katanya. Kakeknya berkata suatu kali, "Jadi orang kecil itu susah. Nasibmu seperti bola, di sepak kesana kemari". Rupanya "filsafat bola" juga masih terpakai, mengerti atau tidak, itulah yang dikatakannya pada Abu kecil. "Kami tidak bisa memberimu kekayaan, tapi tuntutlah ilmu. Kata Nabi, tuntutlah ilmu walaupun sampai negeri Cina. Ilmu itu di saku tidak kentara, dibuang tidak bersuara." Karena itu, selain sekolah di SD, Abu masih harus ke sekolah Diniyah, dan mengaji di surau. Dan 5 selepas Isya' waktu terang bulan, anak-anak lain masih bermain-main, kakeknya akan menyuruhnya pulang, meskipun ia sedang main sembunyi-sembunyian di pematang dekat surau. "Calon priayi tidak boleh begadang," katanya. Pada hari Minggu pagi, waktu anak-anak lain main bola, Abu akan diantar kakeknya ke dalang Notocarito (nama sebenarnya adalah Bakuh), kawannya di sekolah Jawa (Sekolah Angka Loro) dan mengaji di masjid dahulu yang mempunyai seperangkat gamelan dan satu set wayang. Selain menjadi dalang, dia juga bekerja sebagai pegawai kesenian-sungguh seorang priayi tulen menurut gambaran kakek itu. Di sana Abu kecil belajar apa saja (istilahnya nyantrik): membersihkan gamelan, menggotong gamelan, melihat orang belajar dalang, melihat orang menatah wayang, mendengarkan gamelan ditabuh. Di tempat itu sepertinya kekerasan hati kakeknya luluh-lantak oleh bunyi gamelan. Kakeknya bahkan seperti lupa melarangnya, meskipun ia seharian hanya bermain dengan monyet milik Pak Bakuh! Ketekunannya nyantrik di rumah Notocarito sudah menghasilkan bukti. Di SD kelas V ia jadi dalang cilik yang punya nilai tertinggi di Festival Dalang Cilik sekabupaten Klaten. Di SMP ia menjadi juara dalang cilik se-eks Karesidenan Surakarta. Dan di SMA ia mewakili sekolahnya menjuarai Festival Dalang Pelajar se-Jawa Tengah. Pada waktu itulah dia kenal dengan seorang dalang senior dari Palur, Ki Lebdocarito, yang ternyata masih mindo kakeknya. Perkenalan itu berpengaruh besar pada jalan hidupnya kemudian. Sejak di SMP, dan dia sudah biasa bersepeda ke rumah ibunya, ia tahu bahwa Ronggowarsito dikubur di sana. Tetapi kuburan itu tidak berarti apa-apa. Baru sejak SMA-lah ia sadar apa arti Ronggowarsito, dia masih sedarah. Mula-mula sosok pujangga itu kabur, tapi makin lama makin jelas. Ia makin mengerti arti Palar baginya, dan nama pujangga itu pun masuk dalam doanya. 3 Menjelang Abu Kasan Sapari lulus SMA, Ki Lebdocarito, mindo-sama buyutkakeknyayang sudah dikenalnya datang. Setelah duduk dan sekadar basa-basi, katanya dengan penuh tatakrama: "Begini, Dimas. Adapun maksud kedatangan saya pertama ialah untuk silaturahmi, menyambung persaudaraan. Kedua, tidak kalah penting dari yang pertama. Saya merasa sudah diselamatkan oleh almarhum Bapak di sini, waktu malaise dua tahun saya tinggal di sini. Kalau Dimas mengizinkan biarlah saya membalas budi almarhum dengan mengangkat nak Abu Kasan Sapari sebagai anak. Jangan khawatir, setiap minggu dia bisa pulang ke sini. Mungkin Palur lebih dekat ke Solo dari pada sini. Itu kalau dia berminat melanjutkan sekolah, dari pada mondok. Wong rumah saya kosong, anak-anak sudah pergi." "Wah, itu persoalan besar, Kangmas. Saya berunding dulu dengan orang tuanya." "Kami berharap sekali." Musyawarah antara kakek-nenek dan orang tuanya hanya menghasilkan bahwa segalanya terserah Abu sendiri. Dan ia mengatakan akan sembahyang istikharah, maneges kersaning Allah, menanyakan kehendak Tuhan. Pagi harinya ia menyatakan 'ya', setelah bermimpi naik trap-trapan memasuki suatu gedung. Tidak ada kesulitan dia masuk Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Surakarta jurusan pedalangan. Tinggallah dia di Palur di rumah Ki Lebdo. Apa yang hanya pada hari Minggu ditemukannya di rumah Notocarito di temukannya sekarang di rumah, siang malam pagi sore. Abu Kasan Sapari tidak canggung dengan benda-benda itu. Pada tahun kedua ia sudah menjadi pengendang. Sedikit-sedikit sudah mencipta gending dolanan yang dibawakan pesinden waktu adegan gara-gara. Pada waktu itulah dia menyadari bahwa bakat terbesarnya ialah di lapangan, bukan di kelas. Di lapangan dia bisa tidak mengantuk sama sekali sepanjang malam, tapi di kelas sering dia tidak bisa menahan kantuk, bahkan tertidur pulas. Di rumah Ki Lebdo, Abu dapat mempergunakan sebuah sepeda motor bebek. Kata Ki Lebdo suatu kali, "Tidak ada lagi yang dapat kau pelajari di sini. Kalau kau mau belajar, pergilah pada Anom Suroto di Kartasuro atau Manut Sumarsono di Tegalpandan." Maka hampir setiap kali Ki Anom Suroto atau Ki Manut Sumarsono mendalang, dan tempat itu bisa dicapai dengan sepeda motor, dia pasti ikut dalam rombongan. Pada tahun ketiga, kalau ada permintaan mendalang, Ki Lebdo selalu menanyakan pada yang datang, "Apa bisa diwakilkan?" Kalau orang yang datang setuju, pekerjaan itu akan diserahkan 6 pada Abu. Anak-anaknya sendiri yang berjumlah delapan itu satu pun tak ada yang jadi dalang. Meskipun kata orang pulung dalang itu menurun. Ia berpesan jangan ada anaknya yang jadi dalang. Dalang itu susah, pada waktu orang lain tidur nyenyak ia harus bekerja. Waktu dia bekerja, di belakang layar orang bisa tidur, makan, atau berjudi. Yang punya rumah bisa pesan lakon apa saja: Dari "Gatotkaca Krama" kalau punya hajat mantu, "Wahyu Makuta Rama" untuk perayaan 17 Agustus, sampai yang aneh-aneh, seperti "Petruk Sunat". Dari yang sangat pakem (baku) sampai yang paling carangan (cabang). Ki Lebdo sendiri selalu memilih yang berdasar pakem, lakon yang aneh-aneh akan diserahkannya pada Abu. Ia menyimpulkan bahwa enak yang punya uang, dari pada dalangnya. "Jadilah yang punya uang, jangan jadi dalang," nasihatnya pada anak-anak. Maka anak-anak semua "jadi orang", kecuali dalang. Ada yang jadi insinyur gula, ada yang jadi pegawai tinggi, ada yang jadi perwira tinggi, ada yang kerja di bank, ada yang jadi dosen, dan ada yang jadi bisnisman. Dalam suatu musyawarah keluarga ketika anak-anak berkumpul, Ki Lebdo mengutarakan maksud untuk mewariskan gamelan dan wayang pada Abu, semuanya setuju. Kemudian ditulislah surat wasiat. 4 Abu Kasan Sapari merasa bahwa ia tak cocok untuk meneruskan sekolah. Dengan ijazah SMA-sebenarnya ia sudah lulus BA, jadi sarjana kurang skripsi, tapi posisi itulah yang diperlukan-dia melamar pekerjaan jadi pegawai lokal, dan ditempatkan di kecamatan Kemuning, sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu. Dia ditempatkan di Bangdes (Pembangunan Desa). Dipikirnya tidak enak terus-menerus tinggal di rumah Ki Lebdocarito. Dengan alasan biarlah Abu mencari pengalaman, maka Ki Lebdo pun melepaskannya. Ia mendapat seekor kuda-sebab di kecamatan bukit itu kuda lebih berguna dari pada sepeda motor-supaya dapat pergi ke desa-desa. Tidak ada kesulitan dengan kuda, sebab di masa kecilnya ia biasa bergaul dengan kuda. Tugas pertamanya ialah mengikuti kursus di sebuah lembaga teknologi pedesaan. Yang selalu ditanyakannya pada diri sendiri: Apakah tugasnya yang baru menjauhkan atau mendekatkannya pada Ronggowarsito, mengajarkan kebijaksanaan hidup" Tidak lupa dia membawa alat-alat tatah pembuat wayang.* MANTRA II MANTRA 1 Di Kemuning, Abu Kasan Sapari menyewa rumah. Kandang kuda dibuatnya di depan. Tapi satu hal yang menyulitkannya, betul sewa rumah di tempat itu murah, tapi untuk mandi orang harus ke sendang di atas yang jauhnya dua kilometer. Ada sumur, tetapi sangat dalam, dan tak ada air bila musim kering. Air itu masih harus dibagi dengan tetangga, kadang-kadanghabis, dan bisanya hanya untuk mengisi gentong atau padasan. Dia beruntung, bisa naik kuda ke sendang, dan kembali membawa air. Jadi, diputuskannya hanya mandi sekali sehari di sendang sepuas-puasnya seperti semua orang. Ketika dia berkeliling desa, dengan kuda inventaris, topi pedagang krupuk, tas sekolah yang digantung menyilang pundak, tiba-tiba tangan kanannya ke udara, ibu jarinya bergeser dengan telunjuknya, berbunyi "cetit", "Aku tahu!" Ya, ia tahu: orang-orang desa harus diajak membangun saluran air dari sumber dekat sendang sampai desa. Langkah pertama, menurut kursus, ialah sosialisasi gagasan. Waktu dia memandikan kuda dengan sikat dan seember air yang diambil dari sendang, sambil menyaksikan buih keringat kuda bercampur sabun yang putih, katanya pada setiap orang, "Bagaimana kalau kita bangun saluran air, Mas" Bagaimana kalau kita bangun saluran air, Pak?" Di surau waktu diadakan pengajian-yang orangnya sedikit, karena susah mencari air wudlu-dia minta waktu, "Bagaimana kalau kita bangun saluran air, Bapak-bapak dan Ibu-ibu?" Pak Lurah 7 dimintanya untuk mengumpulkan anggota-anggota LMD, dan kemudian dia menguraikan gagasannya. "Bagaimana kalau kita bangun saluran air?" Gagasan tentang saluran itu meledak seperti petasan di dusun yang gersang itu. Orang berembuk di kelurahan. Ia mengusulkan membuat saluran dari bambu saja; lebih alami, praktis, tidak usah beli sebab hampir setiap rumah ada bambunya. Setelah dihitung-hitung, orang lebih suka pakai pralon. Kata mereka pralon lebih awet, ukurannya sama, lebih mudah nyambungnya. Bambu bisa dijual ke kota, dan ditukarkan pralon. Diputuskan bahwa air akan disalurkan ke tiga tempat: kalurahan, masjid, dan gardu siskamling. Akan dibuat MCK di situ. Abu Kasan Sapari diserahi orang untuk menjadi Kepala Proyek. Ia tahu apa yang harus dikerjakan: membuat kolah-kolahan di sumber atas, memasang pralon, menyambung pralon, membenamkan ke tanah di jalanan, minta izin orang-orang yang pekarangannya kelewatan, membuat kran-kran. Singkatnya, selesailah pipanisasi dusun itu. Orang terbebas dari membawa klenthing tempat air naik-turun bukit. 2 Abu ingin membayar jerih payah orang-orang yang bergotong-royong membangun saluran. Sebagai orang yang pernah tinggal di Palur, ia tahu persis bahwa hari-hari ini ada cembeng di pabrik gula Tasikmadu, perayaan tanda dimulainya musim giling. Perayaan itu dimaksudkan untuk menghibur para buruh, tetapi penduduk sekitar pabrik dan orang yang jauh juga datang. Ada pasar, ada pameran, ada pertunjukan. Abu terpikir pergi, juga karena dia turut mempersiapkan kecamatannya untuk pameran. Kedudukannya sebagai staf kecamatan membuat dia tahu di mana bisa pinjam truk dan sopirnya. Ada desa yang subur di kecamatan itu yang bertanam kubis, wortel, dan bunga-bunga yang biasa mengangkut barang-barang dengan truk ke pasar. Orang-orang dusun sepakat untuk berangkat sehabis Maghrib. Cembeng itu tak ubahnya seperti pasar malam. Ada draimolen, itu kuda-kudaan yang berputar, yang hanya bermain di siang hari. Ada permainan ketangkasan dengan melempar gelang logam pada sasaran. Ada ketangkasan tembak-tembakan. Ada orang jualan makanan yang tidak dibuat di rumah: bolang-baling, donut, martabak, terang-bulan, tahu-pong dengan petis. Di stand pameran, setiap kecamatan di Karangmojo memamerkan keistimewaannya. Kemuning memamerkan produk-produk pertanian, seperti kentang yang besarnya sekepala bayi, wortel yang panjangnya se- ulaika (panjang sekali), meja-kursi bambu, teh rakyat, dan anyaman bambu dari sebuah desa. Bedanya dengan pameran lain, kalau pameran biasa penjaganya gadis-gadis cantik, pameran kecamatan itu dijaga oleh pegawai laki-laki yang berseragam KORPRI. Selain itu, cembeng yang berlangsung seminggu itu adalah musim panen bagi para pedagang K-5 dan kagetan (mendadak). Di cembeng, ketika Abu sedang menghadapi segelas wedang jahe di warung tiban dekat tiang listrik yang khusus dibuka waktu itu, seseorang menyentuh pundaknya. Sentuhan itu terasa lembut, tetapi berat. "Nah, kaulah yang saya cari selama ini." Ketika Abu menoleh, dilihatnya seseorang dengan iket lepasan, baju surjan lurik, dan sarung kotak-kotak. Dari cambang, kumis, dan janggutnya yang putih serta jari-jarinya yang berotot di bawah lampu listrik tampak bahwa orang itu adalah pendekar. Laki-laki tua itu memintanya berdiri dan mengajaknya ke tempat sepi. Entah apa sebabnya, seperti kena sihir, ia mengikuti. Sampailah keduanya di tempat sunyi. "Ini rahasia. Daun dan rumput tak boleh mendengar," kata orang itu. Di kejauhan terdengar pengeras suara dengan musik dangdut. "Kau tidak boleh meninggal sebelum mengajarkan ilmu ini pada orang yang tepat." "Apa itu?" "Mantra pejinak ular." Kemudian orang itu mencari telinga kanan Abu, dan membisikkan sebuah kalimat. "Paham?" Kemudian orang itu kembali berbisik di telinga kanan Abu. "Sudah, ya?" Abu mengangguk. "Mantra itu tidak boleh salah ucap. Bacalah itu setiap kali kau menghadapi ular." 8 "Mantranya kok bahasa Arab, ya?" "Ya, ini semua dari Al Quran. Kita orang Jawa itu yang jadi jawabnya, pernyataannya. Pada zaman dulu, ada banjir bandang di Negeri Kanjeng Nabi Nuh. Kanjeng Nabi Nuh yang sudah menyiapkan kapal, naik kapal bersama orang-orang beriman, dan binatang sepasang-sepasang. Termasuk sepasang ular yang kemudian menurunkan ular-ular di seluruh dunia. Mantra itu menandakan bahwa kita adalah anak-cucu Kanjeng Nabi Nuh." Abu mencoba mengingat kalimat itu lagi, dan melapalkannya pelan-pelan. "Bagus, itu sudah betul. Ada laku yang harus dijalankan dan wewaler, pantangan yang tak boleh dilanggar. Lakunya adalah kau harus ngebleng tidak makan-minum selama tiga hari, kemudian mutih tidak makan garam selama tujuh hari. Wewalernya mudah, tapi sulit dijalankan. Kau tidak boleh melangkahi ular sekalipun ular itu sudah jadi bangkai. Kau juga tidak boleh membiarkan ada ular mati tanpa dikuburkan. Kalau tercium bau bangkai ular di mana pun, kau harus menguburkannya. Tuhan akan menunjukkan beda bangkai ular dengan bangkai lain, seperti kodok. Juga Tuhan akan menunjukkan tempatnya. Lebih dari segalanya, kau harus memperlakukan ular dengan sayang. Ketahuilah, ular itu saudaramu juga. Selanjutnya, kau jangan sampai menyakiti hati ular. Hati ular itu seperti hati Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo manusia, mereka juga punya perasaan. Caranya" Engkau tidak menyengsarakan mereka, berbuat baiklah. Hubungan kita dengan ular ialah hubungan persahabatan. Bukan penguasaan." Orang tua itu menjauh, sambil memukul jidatnya dikatakannya: "O, ya. Kau tidak akan mati, kalau tidak mewariskan ilmu ini." Orang itu tertawa panjang, lega. Kemudian menghilang dalam gelap. Abu masih tertegun, merenungkan kejadian yang dialaminya. Disekanya mata. Tidak, itu bukan mimpi bukan sulapan. Kenyataan itu dialaminya dengan badan wadhag, pasti sungguh-sungguh terjadi. Buktinya, ia ingat dengan jelas mantra yang harus diucapkan. Badannya basah, berkeringat dingin. Ia kembali ke warungnya tadi. Dalam perjalanan pulang ia diam saja, berdiri kaku di atas truk yang terbuka. Dibiarkannya angin malam menerpa tubuhnya, apalagi truk itu berjalan pelan karena jalan menanjak dan berliku-liku. Dalam pikirannya ialah orang tua yang tiba-tiba muncul dan tiba-tiba menghilang itu. Ia tidak tahu siapa namanya, dari mana asalnya. Jadi orang terpilih itu memang sukar. Tetapi bahwa ilmu baru sudah dalam jangkauan tangan, membuatnya gembira. Ketika ia meloncat turun dan mengucapkan terima kasih pada sopir kegembiraan yang tak ada taranya masih dibawanya. Ia bertekad untuk melaksanakan semua petunjuk orang tua itu. Di kantornya ada sebuah surat tentang lomba desa sekabupaten. Tugasnya ialah supaya predikat Desa Teladan itu jatuh di salah satu desa di Kemuning. Pak Camat mempercayakan padanya. Setelah berpikir, ada dua hal yang akan dikerjakannya. Pertama, ia akan menggerakkan orang untuk membuat pagar hidup. Pagar hidup tepat untuk desa pegunungan. Lebih alamiah daripada pagar tembok, lebih murah, lebih awet, dan lebih manfaat. Kedua, tiap desa harus punya kelompok klenengan. Dari semua desa yang sudah dihubunginya ialah desa tempat tinggalnya yang paling siap. Rencananya dikemukakannya pada Pak Camat, dia manggut-manggut, tersenyum, dan menepuk-nepuk pundak Abu, "Laksanakan, ya," katanya. "Ya,Pak," kata Abu. Dia sendiri akan mempersiapkan murid-murid SMP yang diajarinya kesenian. Khusus mengenai pagar hidup ia minta Lurah mengumpulkan kepala somah yang rumahnya di pinggir jalan protokol desa. Setelah mereka berkumpul di Balai Desa Abu Kasan Sapari dengan pakaian KORPRI berpidato: "Kembalilah pada alam. Sebab, ketika dilahirkan kita dibersihkan dengan air yang diambil dari sendang, milik alam. Kita makan dari sawah yang terletak di alam. Kita membangun rumah dari bambu, dari kayu, dari batu, semuanya dari alam. Insya Allah kita pun akan mati dan kembali ke alam. Setuju, Bapak-bapak?" "Setujuuu!" jawab yang hadir. "Nah, kalau begitu buatlah pagar dari tanaman. Yang sudah telanjur membuat ya diputihkan, dan di dalamnya ditanam pohonan." Tidak hanya itu, orang malah juga menanam mawar, bunga matahari, ceplok piring, dan kembang sepatu. Rupanya Abu telah jadi panutan di desanya. Mungkin karena sukses soal air itu. Orang desa itu mudah, kalau sudah cocok kerja apa pun mereka mau. 9 Seluruh usaha kecamatan diarahkan ke desanya. Penataran P-4, perpustakaan desa, kursus baca-tulis (Abu sangsi apakah orang-orang desa masih bisa membaca), papan tulis untuk data desa, dan usaha-usaha rumah (peternakan kambing, peternakan bebek, dan pembuatan emping mlinjo). Apa boleh buat, semuanya harus serba cepat. Dikerahkannya para mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) yang sedang Kuliah Kerja Nyata (KKN) untuk membantu. Pak Camat berpesan supaya Abu tidak ngoyo, santai saja. "Santai saja, itu sudah jatah Kemuning." Lho! Jadi Pak Camat sudah tahu kalau akan menang. Pada hari dilaksanakan lomba, orang memasang bendera dan umbul-umbul di kecamatan. Desa yang diunggulkan juga dipasangi bendera Merah-Putih dan umbulumbul. Direncanakan akan datang Pak Bupati beserta staf, dan Bu Bupati disertai beberapa penggerak PKK kabupaten. Rombongan Bupati, Bappeda, dan panitia lomba akan disambut di kecamatan, kemudian dibawa ke desa. Tenda dipasang di kecamatan, kursi-kursi, teratak, dan gamelan. Ada juga ular-ularan,balon, dan ada surprise berupa sebuah kue. Kue itu masih disimpan di dalam, tidak seorang pun tahu untuk apa. Ketika panitia datang, melihat hiasan-hiasan dan balon seorang anggota bilang, "Wah, kok seperti ulang tahun". Pak Camat memberi isyarat dengan menyilangkan telunjuknya di mulut. Acara dimulai. Protokol dengan bahasa Indonesia logat Jawa mempersilakan Ketua Panitia alias Pak Camat sendiri untuk memberi sambutan selamat datang. Setelah basa-basi selesai, katanya berlagak komentator tinju, "Dan sekarang..." Kue dikeluarkan. "Kami tahu, hari ini adalah ulang tahun Pak Bupati." Pak Bupati baru ingat kalau hari itu adalah Hari Ulang Tahunnya. Setelah sambutan-sambutan selesai, kemudian ada panembromo, anak-anak SMP maju. Niyaganya juga anak-anak SMP dengan baju beskap biru dan ikat kepala ungu. Panembromo itu dengan tembang solo, bowo, oleh Abu Kasan Sapari. Seorang murid laki-laki mendeklamasikan sebuah sajak berbahasa Indonesia, dengan iringan gamelan. Semuanya berisi seruan pada petani untuk meningkatkan produksi. Wartawan dari surat-surat kabar dan majalah yang terbit di tigakota, Solo, Yogya, dan Semarang,meliput peristiwa itu. Protokol mengumumkan bahwa pertunjukan terdiri dari pencak silat stroom, ngremo, tarian,nyanyi dangdutbukan kroncong, itu kuno, kata anak-anak muda- dengan band lokal (yang biasanya setahun hanya tampil dua kali, waktu 17-an dan Syawalan), pethilan, dan drama anak-anak. Setelah pencak silat, seorang mahasiswa asal Paciran, Bojonegoro, ngremo (pendahuluan untuk ludruk), ia bernyanyi: ngisor nongko, ono gemake ngakune ndeso, maju pikire (di bawah nangka, ada gemaknya mengaku orang desa, maju pikirannya Kalimat kedua adalah plesetan dari 'ngakune joko, limo anake' ['mengaku jejaka, lima anaknya']) dahulu kuda menarik bendi, sekarang bendi menarik kuda dahulu orang suka mengaji, sekarang orang suka naik kuda (Kalimat kedua adalah plesetan dari 'dahulu pemuda menarik pemudi, sekarang pemudi menarik pemuda') sak bejo-bejone, wong kang lali isih bejo, wong kang eling lan waspodo (semujur-mujurnya orang yang lupa diri masih mujur orang yang ingat dan waspada) gula Jawa digawe glali, sapune ta lenono para kanca ojo lali, ngibadahe di kencengono (gula Jawa dibuat gulali, sapunya supaya diberi tali teman-teman jangan lupa, ibadahnya yang sungguhan) 10 Orang asyik mendengarkan nyanyi dangdut seorang pemudi-yang aduhai untuk ukuran kecamatan Kemuning- meliuk-liuk, menggemaskan. Para lelaki menahan tenggorokannya agar tidak bergerak. Pemuda-pemuda menempelkan tangan dimulut: suiiit, suiiit. Kalau tidak ada pembesar, mereka akan berteriak-teriak. Tibatiba di bagian belakang ada keributan. Kursi-kursi besi beradu, ke-lon-tang kelon-tang, orang berusaha lari. Penyanyi dan band berhenti. Penonton perempuan berlarian sambil berteriak-teriak. "Ular, ular!" kata orangorang. Abu Kasan Sapari meloncat dari tempat duduknya. Ia menuju kursi-kursi yang telah dikosongkan. Dilihatnya orang membuat lingkaran, dan ular itu masih di sana, di bawah kursi-kursi. Ular itu menjalar. Dan orang sibuk menghindar. Di tangan para lelaki ada bata, batu, dan potongan-potongan kayu. Tampak betul bahwa mereka siap menghadang ular itu. "Jangan dibunuh ular itu!" teriak Abu.Begitu saja kata-kata itu keluar dari mulutnya. Tiba-tiba-memang tiba-tiba-ia jatuh kasihan pada ular itu. Maka ia masuk di antara kursi yang telah dikosongkan. "Jangan mendekat, Abu". "Itu bukan ular sawah!" "Ular itu berbisa!" Tapi Abu tidak peduli, seperti kesetanan ia menyibak kursi-kursi. Menangkap ular dengan tangannya, membawanya berlari keluar halaman kantor dibawah tatapan mata orang banyak. Aman sudah. Orang membuang batu, bata, dan kayu. Orang-orang kembali duduk. "Halo, halo. Pertunjukan akan dimulai." Abu Kasan Sapari membawa ular itu ke gerumbul pohonan bambu yang agak jauh dari pelataran kecamatan. Ada tumbuhan liar, batu, dan kebun kosong. Ular itu masih di tangan Abu. Ia menengok ke kanan dan ke kiri. Tidak ada orang. Ia berjongkok. "Mengapa kau datang menonton, pertunjukan itu untuk bangsa manusia. Tidak untuk bangsa ular," katanya. Ia sendiri heran, ternyata ia telah berbicara dengan ular itu. Abu membuka tangannya, melepas ular itu. Sebentar ular berhenti, Abu mengerti itu artinya ucapan terima kasih, kemudian menghilang di semak-semak. Ia berdiri, baru menyadari sepenuhnya apa yang telah terjadi dan ia tersenyum. Ia telah menguasai ilmu pejinak ular. Hore! 4 Ada sebuah surat yang dikirim ke kantornya oleh seorang transmigran asal Kemuning yang sudah sukses hidupnya di Kalimantan Timur, surat itu berisi permintaan agar kantornya meyakinkan Sumiati bahwa bertransmigrasi adalah keharusan. Agar Sumiati mau menggabung dengan abangnya. Abang itu sendiri sudah berusaha membujuk adiknya, tetapi selalu gagal. Adiknya baru saja lulus SMP, kebetulan di lokasi transmigrasi ada sebuah SMA. Itu kalau mau sekolah, kalau mau kawin sudah ada yang tanya. "Bicara baik-baik dengan dia. Yakinkanlah bahwa mangan ora mangan waton ngumpul itu sudah kuno," pinta orang itu. Maka berangkatlah Abu Kasan Sapari. Dengan kudanya dan sebuah cethok (alat penggali tanah). Sebuah cetok" Ya, ia sekarang kemana-mana selalu membawa alat itu. Berkat pengalamannya, tentu. Sekali ia pergi ke kantor tanpa cetok. Di jalan ia mengetahui dengan hidungnya bahwa ada bangkai ular di tepi jalan. Ia turun dari kudanya mencari arah bau itu. Masya Allah! Bangkai ular di tepi jalan, mungkin karena lemparan batu orang. Biasanya, ular tidak mati, tetapi berganti kulit. Dan itu pasti dilakukan di tempat tersembunyi, gerumbul, atau lubang, atau liang. "Eh, siapa orangnya telah membunuhmu" Sungguh kurangajar, membunuh makhluk Tuhan tak bersalah." Ia menggali tanah dengan tangannya, mengangkat bangkai ular dengan tangannya, dan menimbuni dengan tanah dengan tangannya. Sampai di kantor ia terlambat, tangannya kotor, dan berbau. Ia menemui gadis itu. Rumahnya di tepi jalan. Lebih tinggi dari jalan, dengan pagar batu. Ada pohon-pohon jeruk keprok di sekitar rumah. Anak yang baru lulus SMP itu bongsor, dan eh termasuk cantik. Sayang juga kalau ia harus pergi, andaikata wayang begitu dia seperti Banowati, isteri raja Astina, tapi tergilagila dengan Arjuna. Sebentar Abu berpikir, pilih jadi Suyudana, raja Astina, atau Arjuna. Sekali itu dia gagal meyakinkan, tetapi beberapa butir jeruk ada di tasnya waktu kembali. 11 Barangkali sekali itu dia gagal karena sebenarnya ada pamrih. Jatuh cintakah dia pada Sumiati" Ya, semacam itu tapi bukan. Sengaja dia lewat rumahnya pagi-pagi waktu ke kantor. Agak berputar sedikit tidak apa, itu hanya berarti dia harus beberapa menit lebih awal. Sekedar untuk melihat gadis itu, tersenyum waktu gadis itu melambai, sebelum gadis itu pergi ke kota. Sekali dia mampir ke rumah gadis itu, hanya untuk diberitahu bahwa gadis itu sudah memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Jawa, tidak jadi transmigran. Ini berarti dia harus pergi dari desa, dan Abu kehilangan tangan kuning yang melambai. Lambaian itu makin lama makin dirindukannya. Tentu saja kalau gadis itu pergi, segalanya akan berakhir. Tapi, hitung-hitung itu menguntungkan buat Abu. Mumpung benih itu belum tumbuh jadi pohon. Untuk beberapa lama, ia masih lewat rumah gadis itu. Kalau-kalau, dia tiba-tiba pulang. Suatu hari dia tertawa keras menyadari kebodohannya. ABU KASAN SAPARI TENTANG ALAM II Dulu seorang dosen Abu di STSI Surakarta pernah bilang supaya mahasiswa membiasakan diri untuk menuliskan pikiran-pikirannya. Inilah yang ditulis Abu dalam buku kerja. Rupanya ia rajin menulis waktu jatuh cinta pada Sumiati. Hal ini diakuinya dalam buku hariannya. Alam. Jatuh cinta itu alamiah. Yang dilarang agama adalah berzina. Maka jatuh cinta itu sah, seperti sahnya orang minum air, makan nasi, ke kantor, nonton wayang, dan menyanyi. Itu semua, karena alamiah. Tuhan memanjakan alam. Surat-surat dalam Al-Quran kebanyakan merujuk ke alam. Alam adalah hasil karya-Nya. Ia berkata " kun fayakun" maka jadilah alam ini. Tidak ada satu surat pun dari 114 surat dalam Al-Quran yang merujuk ke teknologi, misalnya " demi sepeda motor. Kata dosen filsafat saya manusia mempunyai peradaban justru karena berjuang menundukkan alam. Saya pikir "menundukkan" itu langkah yang salah. Itu semacam kesombongan, arogansi manusia. Yang benar ialah manusia harus berdamai dengan alam. Sebelum ada sekolahan, manusia berguru pada alam. Dengarkan pepatah, "Bagai ilmu padi, makin tua makin merunduk", "Siapa menanam, mengetam", dan "Menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri". Pengarang A.A. Navis bilang, "Alam terkembang menjadi guru." Mungkin itulah filsafat asli Minang, Jawa, atau Indonesia, ilmu petani yang tidak makan sekolahan. Orang biasa mengartikan kata "iqra' dalam ayat pertama Al-Quran sebagai keharusan mencari ilmu. Itu boleh saja. Tapi saya akan menambahkan satu hal lagi: kata itu harus juga diartikan mencari keindahan, termasuk pariwisata dan seni. Jadi alam itu bukan hanya obyek ilmu, tapi juga obyek seni. Orang dapat mencari ilmu di bulan. Tapi para penyair, pelukis, dan pemusik yang melukiskan bulan harus dianggap sebagai mengagungkan Nama Tuhan. Bukit. Sebelum sekolah aku berpikir bahwa dunia ini terletak di antara Gunung Merapi di barat dan Gunung Lawu di timur. Alangkah naifnya pikiranitu! Ternyata, dunia itu luas. Itu aku tahu dari pelajaran geografi di SD. Sekarang, setiap hari aku berada di sini: di kaki Gunung Lawu. Aku dapat melihat matahari yang kemerahan. Aku juga dapat melihat pohon-pohon di punggung bukit dengan latar belakang warna merah itu. Pantas saja orang segan bertransmigrasi meskipun dengan iming-iming tanah gratis dua hektar. Mungkin bukan soal kuno atau tidaknya semboyan mangan ora mangan waton kumpul. Termasuk Sumiati. Awas, dilarang jatuh cinta pada anak-anak di bawah umur. Dilarang itu artinya jangan. Tahu! Tahu, pak. Ibarat sawo dia masih sepet. Puah! Gunung Lawu itu dulu dianggap keramat. Ditunggui raja jin bernama Sunan Lawu. Sekarang, entah kemana jin itu bersembunyi, tetapi orang dengan membayar seribu rupiah dapat melewati puncaknya. Kata orang, Solo dan Madiun tidak lagi dibatasi oleh Gunung Lawu, tapi dihubungkan oleh gunung itu. Orang tidak perlu takut ampak-ampak, asal mesinnya masih bagus tidak ada kekhawatiran apa pun. Tidak ada lagi perampok, orang yang lewat tidak perlu tebal kulitnya, malah lebih perlu tebal sakunya. Jalannya mulus, beraspal, dan ramai. 12 Orang Jawa itu tidak adil. Gunung diletakkan terbawah dalam hirarki.Orang yang tidak bisa kromo akan dibilang oleh orang kota: "Bahasamu jelek, kampungan." Orang-orang kampung akan bilang: "Bahasamu jelek macam orang desa saja." Orang desa bilang: "Bahasamu morat-marit macam orang gunung." Coba, mereka sudah lihat Sumiati, tentu berubah pikiran mengenai gunung. Oh, Nduk. Cah ayu! Dalam buku pelajaran Bahasa Jawa milik Ibuku disebutkan Tawangmangu sebagai kota yang terletak di bukit. Memang tempat itu indah. Dari desaku dulu Tawangmangu nampak gemerlap lampu-lampunya. Dulu saya berpikir, kapan dapat ke sana. Dengan sepeda motor kecamatan, dan Sumiati di boncengan dapat saja aku ke sana sewaktuwaktu. Kita dapat duduk dibawah pohon,menyewa tikar, omong-omong, dan makan sate kelinci. Sementara angin sejuk menerpa. Aduh, nikmatnya. Tuhan memuliakan bukit. Ketika Tuhan akan menyebutkan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya didahuluinya ayat itu dengan sumpah kepada buah Tin, pohon Zaitun,bukit Tursina, dan daerah yang penuh berkah.Nabi Musa ditunjukkan kekuasaan Tuhan dan menerima "Ten Commandment" di atas bukit. "Khotbah di Atas Bukit" Nabi Isa juga dikenang umat manusia. Batu. Orang gunung suka membuat rumah, pagar, dan jubin dari batu. Orang mengeraskan jalan ialah dengan batu. Pasir pada hakekatnya adalah batu kecil-kecil. Semen juga dibuat dari batu. Pendek kata, hutang budi orang kepada batu sangat besar. Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tetapi orang sungguh tidak berterima kasih. Apa-apa yang jelek dijatuhkan pada batu. Batu itu bagai kejatuhan abu panas. Kalau orang dapat halangan akan dibilang "kesandung batu", orang yang apes dibilang "kena batunya", orang yang keras kepala dibilang "kepala batu". Coba, tiba-tiba batu menghilang! Baru semen menghilang dari pasaran saja, orang sudah bingung. Memang kalau batu lagi masih panas dan cair alias lava, batu disingkiri orang. Tetapi setelah dingin jadi rebutan. Di perbatasan Yogya-Magelang ada sungai namanya Kali Krasak, sungai itu sering jadi tempat mengalir lahar Gunung Merapi. Akibatnya, setiap hari berpuluh-puluh truk dapat mengangkut pasir dari sana. Di sekitar Gunung Merapi, terdapat batu-batu. Dari mana batu-batu untuk candi Borobudur, Mendut, Kalasan, Prambanan, dan Sewu kalau tidak dari batu-batu Gunung Merapi" Demikian juga, orang Jawa dikubur di bawah batu. Mungkin orang berpikir kalau sudah berlindung di bawah batu itu aman dari siksa kubur. Ada batu yang membuat sebuah kota dikunjungi jutaan orang. Ayo, kota mana dan apa nama batunya" Jawabnya, namanya kota Mekah, dan batunya bernama Ka'bah. Di Ka'bah ada batu hitam, namanya Hajar Aswad. Khalifah Umar mengatakan kepada batu sederhana itu: "Sekiranya aku tidak melihat Nabi menciummu, aku tidak sudi menyentuhmu dengan bibirku." Ini masih cerita sekitar Tanah Suci. Air yang disaring oleh batu-batu ternyata menjadi air zam-zam yang banyak mineralnya. Sekarang, kabarnya Garuda menghadiahi setiap jamaah haji dengan satu jiligen zam-zam. Air tanah biasa tidak seberuntung air zam-zam yang keluar dari batu-batu! Aku diceritai kawan yang ikut misi kesenian ke Timor Timur. Katanya dalam perjalanan darat dari Dili ke Baucau ada sebuah gunung batu pualam. Wah, kalau gunung itu saja dilelang untuk membiayai pembangunan Timtim, bagaimana. Supaya pembangunan daerah itu tidak mengurangi APBN. Masih tentang batu tapi soal lain. Menurut Kedaulatan Rakyat yang saya baca di kantor, sudah ada MBI, singkatan dari Masyarakat Batumulia Indonesia. Itu pasti didirikan oleh para penggemar batu akik. Zamrud, mirah, pirus! an Langit. Tidak pernah ada penyair yang tidak pernah menyebut langit. Deminian juga anakanak, mereka suka bernyanyi; " Bintang kecil, di langit yang tinggi. " Orang tua menasehati anaknya:" Gantungkan cita-citamu setinggi langit. " Tidak diketahui bagaimana serorang pilot akan menasehati anaknya. Orang yang sedang menderita mempersangkakan seolah-olah langit akan runtuh. Kata orang di Mekah tidak ada awan sehingga langit selalu biru. Orang yang 13 sedang di laut melihat langit cekung, dan tepi-tepinya bertemu dengan air. Akhir-akhir ini harga cabe sangat tinggi, orang menyebutnya " harganya melangit". Ada motif batik, namanya Sekar Langit, bunga langit, wah wah alangkah indahnya. Pendek kata "langit" digunakan orang untuk mengungkapkan harapan dan kecemasan, namun pada umumnya berarti yang baik dan yang indah. Orang yang hanya memikirkan akhirat dan melupakan dunia, disebut orang hanya memikirkan langit dan melupakan bumi. Orang sekarang suka membicarakan bagaimana "membumikan" Al-Quran. Tetapi tidak ada yang berfikir bagaimana "melangitkan" manusia. Saya kira itu tidak adil. Dalam kisah Isra' Mikraj disebutkan bahwa Nabi naik ke langit hanya untuk diberi Nur Tuhan. Dalam dongeng-dongeng pewayangan, kayangan, tempat para dewa adalah di langit. Raksasa Newatakawaca pastilah sakti mandraguna sehingga ia dapat mengobrak abrik langit. Namun manusia yang gentur tapanya bisa lebih sakti dari para dewa. Arjuna alias Ciptoning dapat mengalahkan Newatakawaca, dan dihadiahi bidadari paling top, Dewi Supraba. Batara Indra turun dari langit bersama para dewi yang jumlahnya sembilan, menjadi prototype Tari Bedaya. Orang Jawa bilang langit itu kosong alias awing-uwung ternyata keliru. Langit itu padat penghuni, ada nur Tuhan, ada dewa-dewa, ada para malaikat, ada rohroh. Kalau ada roh gentayangan, itu artinya hanya berjalan-jalan saja di bumi, tidak bertempat di langit. Tuhan mengibaratkan jiwa yang mati jadi hidup berkat siraman agama, seperti hujan yang turun dari langit dan membuat pohon-pohon di bumi menggeliat. Kalimat Thayibah digambarkan seperti pohon yang akarnya menghujam ke bumi dan cabng-cabangnya menggapai langit. Juga disebutkan dalam agama langit itu berlapis tujuh, ada yang menghubungkannya dengan jumlah planet, ada yang menghubungkannya dengan perbedaan tekanan udara. Yang benar yang mana, wallahua'lam. JIN. Orang Jawa bilang jim untuk jin, sebaliknya mereka bilang yatin untuk yatim. Biar saja, itu bukan urusan pegawai kecil seperti saya, tapi urusannya ahli bahasa. Jin adalah mahluk alamiah, seperti halnya batu, bukit, dan langit. Ceritanya tetangga saya di Palur pernah berurusan dengan jin. Tetangga saya itu punya pembantu, nah sang jin jatuh cinta pada pembantu. Suatu kali jin itu mengatakan bahwa pembantu punya tahi lalat dipunggung. Sejak itu pembantu tahu jin bahwa jin selalu mengintipnya ketika mandi, pakai kain atau tutup apa saja. Tentu saja, tidak enak mandi dengan cara itu. Pembantu melapor pada majikan. Majikan minta tolong pada orang yang pandai mengusir jin. Singkatnya jin nakal itu dibuang ke Laut Selatan, tempat kerajaan jin. Jin itu hanya jadi pembantu di tempat yang baru. Sebab disana banyak jin bangsawan, jin jagoan, jin priyayi, dan tentu jin biasa-biasa saja. Dan rajanya adalah Nyi Lara Kidul. Pelajaran dari cerita ini ialah orang itu ojo dumeh, jangan mumpung, jangan mumpung berkuasa, lalu sewenang wenang. Jangan mumpung kaya lalu menghamburkan uang. Waktu saya kecil, surau dekat rumah ada penunggunya, seorang jin. Ini sungguhsungguh seorang bukan seekor, sebab sifat-sifatnya seperti orang. Jin itu punya nama, suka mengaji dan dapat marah, dan dapat jatuh kasihan. Perihal nama itu orang-orang surau memberi jejuluk. Karena tugasnya ialah menjaga surau, orang menamakannya mbak Jaga. Ceritanya maka dia ada di surau, karena waktu naik haji seseorang di kampung pergi ke Mesjid Jin dan membawanya pulang untuk jadi khadam, pembantu. Ketika orang itu mau mati ditanyalah jin apa mau kembali ke Arab atau tinggal. Jin mengatakan lebih baik tinggal, karena orang Jawa itu halus-halus, dan orang Arab itu kasar-kasar. Disepakati bahwa ia akan akan tinggal di surau, sebab tidak seorang anaknyapun yang mau ketempatan. Nah, dia tinggal di surau, kata orang di pengimanan. Pada suatu sore sehabis Maghrib, kami akan mengaji. Biasanya ada sembilan kitab. Tapi waktu itu kurang satu, kami tahu bahwa itu pasti sedang dipinjam mbah Jaga. Sore berikutnya Kitab itu sudah dikembalikan. Kami tidak berani tidur di pengimanan. Sebab, Mbah Jaga akan marah dan memindahkan orang itu ketempat lain, misalnya ke serambi. 14 Yang paling dikasihi ialah pak Wardino, yang biasa mengisi bak wudhu surau. Sering, ketika pagi hari bak wudhu sudah penuh, padahal pak Wardino tidak nongol karena sakit. Siapa menimba, kalau bukan Mbah Jaga. MANUSIA Ketika selesai menciptakan manusia yang bernama Adam, Tuhan memerintahkan malaikat untuk menghormat dengan bersujut. Ah, alangkah mulianya manusia! Tapi iblis membantah perintah Tuhan itu. Katanya: "Bagaimana mungkin kami menghormatinya, dia Engkau jadikan dari tanah, sedangkan kami dari Api!" Ada orang yang yang tak bisa mempertahankan kemuliaan itu, lalu jadi leletheking jagad. Bahwa manusia dibuat dari tanah itu betul. Kata guru saya di Madrasah dulu, meskipun kita sudah mandi dua kali sehari, masih juga ada kotoran di tubuh kita, apalagi orang yang mandinya hanya setiap Suro, kalau ada. Manusia memang makhluk istimewa.Waktu masih bayi ia lemah, tapi waktu sudah dewasa ia kuat bukan main, penuh kemungkinan. Ada yang jadi camat, ada yang jadi dalang, ada yang polisi. Yah, jangan lupa: ada yang jadi presiden. Waktu kecil ia harus dibantu, pendek kata kalah dengan anak ayam. Ada anak ayam yang keluar dari telur, setelah mencucuk sendiri dinding telur. Begitu keluar, anak ayam bisa berlari. Anak bebek bisa berenang. Anak manusia harus serba dibantu. Untuk makan saja ia perlu disuapi. Ia harus juga sekolah, saya belum pernah melihat ada anak sapi kuliah. Pada umur 10 ia bisa minta sepeda, pada umur 15 minta sepeda motor, dan pada umur 25 minta kawin. Oh, Sumiati. I love you! Tenan, banget lho. Kuda. Seorang yang dulu jadi kavaleri di Legiun Mangkunegaran, kemudian jadi lurah di Palur (sudah pensiun, atau malah sudah meninggal, entahlah) mengatakan bahwa menjadi lurah itu tak ubahnya dengan menunggang kuda. Orang menunggangkuda itu harus menyatu rasa dengan kudanya. Kalau begitu ada tiga gaya orang memerintah. Yaitu memerintah gaya gajah, gaya kuda, dan gaya anjing. Tentang gajah saya tahu dari sirkus, tentang kuda dari Pak Lurah, dan tentang anjing dari certia kawan yang ikut rombongan kesenian ke Belanda. Gajah itu meskipun tubuhnya besar tapi mudah dididik. Ada gajah bisa dididik main bola, mengangkat balok kayu, atau duduk di kursi. Dengan upah permen coklat gajah bisa disuruh apa saja. Maka ada istilah "sepak bola gajah" karena orang bermain bola atas dasar pesanan. Gajah itu seperti orang bodoh, tidak punya kemauan sendiri. Jadi, memerintah gaya gajah itu ialah cara memerintah dengan membodohi rakyat. Rakyat tidak punya kemauan, yang punya kemauan ialah yang memerintah. Gaya kuda seperti dilaksanakan Pak Lurah berdasarkan keselerasan, keserasian, dan keseimbangan-demikian menurut dosen Penatar P-4 dulu-antara yang diperintah dan yang memerintah. Umpamanya, warga berpikir bahwa sudah waktunya ada kerja bakti memperbaiki jalan, lurah harus dapat menangkap isyarat itu. Kalau warga suka klenengan, lurah harus bisa pegang salah satu alat. Setidaknya bersimpati, seperti yang dikerjakan Pak Lurah dengan kegemaran anak muda, misalnya sepak bola. Lurah akan datang, dasar dulu dia juga bermain bola. Nah, gaya anjinglah yang paling menyusahkan. Kata kawan saya, anjing itu manjanya bukan main. Kalau pagi harus jalan-jalan,ada makanan khusus untuk anjing, ada sikat bulu khusus, dimandikan, kalau sakit harus dibawa ke dokter. Ada pepatah Jawa yang menunjukkan bahwa anjing itu sama dengan raja. Orang yang pekerjaannya makan dan tidur akan dibilang, makan seperti raja tidur seperti anjing. Kalau jadi lurah, jangan memanjakan masyarakat. Nanti seperti mengasuh anjing jadinya, kita bukannya memerintah, tetapi jadi budak. Pemimpin itu harus punya visi, mampu melihat ke depan. 15 Angin. Untung kita tidak usah membayar untuk mendapatkannya alias gratis. Coba, kalau harus membayar, yang dapat hidup pasti yang punya duit saja. Tuhan itu Maha Adil. Di Negeri Belanda, kata orang, banyak kincir angin. Orang menumbuk gandum, dengan tenaga angin. Wah, kalau dulu orang Jawa menumbuk padi dengan kincir angin, pasti tidak ada kothekan, suara berirama keras dari alu dan lesung. Lalu tidak ada Ketoprak Lesung. Untuk mengusir raksasa yang akan makan bulan, orang Jawa juga kothekan. Semua itu tidak akan ada kalau dulu orang pakai kincir angin. Sekarang orang menggunakan tenaga angin untuk pembangkit listrik. Saya kira itu betul. Dengan listrik orang bisa memasang huller supaya padi tidak usah ditumbuk. Listrik juga dapat digunakan untuk penerangan, mengangkat air, menghidupkan teve, mendinginkan ruangan, memasak, menarik lokomotif, menjalankan mesin, dan sebagainya. Rumah orang Jawa menghadap ke utara atau selatan, tidak timur atau barat, ternyata ada hubungannya dengan angin. Hanya masjid dan surau menghadap ke timur. Dulu alasannya menghadap utara atau selatan karena meniru atau menghadap keraton. Itu sah-sah saja, tapi yang penting soal angin itu. Angin membawa embun dari laut, lalu jadi awan, lalu jadi hujan. Lalu dari hujan tumbuh pohon. Lalu pohon-pohon berkumpul, jadi hutan. Untuk mengundang angin, anak-anak akan menyanyi, "Mbok-mbok pe, mbok pe, barata sing gedhe, tak opahi duduh tape". Buaya. Ada teka-teki. Kalau kecil merayap di dinding, kalau agak besar suka di atap, kalau besar sekali hidup di sungai. Apa" Reptil. Di dinding namanya cicak,di atap namanya tokek, di sungai namanya buaya. Dengan tembang Megatruh, diceritakan perjalanan Jaka Tingkir alias Mas Karebet dari padepokan Banyubiru ke Demak lewat Bengawan Solo. Pada abad ke-16 Bengawan Solo pasti masih banyak buayanya. Sigra milir sang gethek sinangga bajul kawan dasa kang jageni ing ngarsa miwahing pungkur tinepi ing kanan kering sang gethek lampahnya alon. (Segera hanyut rakit didukung buaya empat puluh buaya yang menjaga di muka dan di belakang di tepi kanan dan kiri rakit berjalan perlahan-lahan) Pada Zaman Jepang, Gesang mencipta nyanyian kroncong "Bengawan Solo". Kawan dari Palembang heran, kenapa sungai yang hanya sebesar pematang itu disebut bengawan, padahal Musi hanya disebut sungai. Eh, ini soal buaya atau soal sungai! Kembali ke soal buaya. Kabarnya di Afrika buaya juga jadi hidangan. Bayangkan, bagaimana kalau tiba-tiba dalam piring Anda ada anak buaya! Ini namanya satu lawan satu. Di tempat lain buaya makan orang, di Afrika buaya dimakan orang. Buaya sekarang diternakkan orang, untuk diambil kulitnya. Ada tas kulit buaya, sepatu kulit buaya, sabuk kulit buaya. Awas barang tiruan! Buaya dulu juga jadi merek pensil, dan sekarang merek baju kaos. Rempah-rempah. Belanda sampai di Indonesia karena rempah-rempah. Tanpa rempahrempah, orang hanya makan dengan garam dan gula. Tentu saja itu tidak sophisticated. Tapi kata 16 kawan, masakan Belanda itu anyep, tidak ada rasanya. Ada malah ikan yang dimakan mentah, hanya pakai garam dan bawang. Masakan Jawa lain, sebelum dimasak ada yang digoreng dulu, ada yang bumbunya harus digoreng. Gulai bumbunya sampai tiga belas. Apa tidak hebat" Orang Amerika yang sekolah di STSI dulu tidak doyan cabe. O, ya. Kata orang, orang Indonesia itu berkeringat sehabis makan, tapi orang Barat berkeringat sehabis kerja. Itu sebabnya Indonesia dulu tidak maju. Kata penatar P-4, Indonesia dijajah 350 tahun. Kata dosen sejarah saya, itu hanya mitos, itu bohong. Mungkin kurang, mungkin lebih. Aceh, misalnya, baru awal abad-20 dijajah. Irian dijajah sampai 1963. Dan Timtim" Sekarang kita masih dijajah, tidak penjajahan politik, tapi ekonomi dan kebudayaan. Ya lumayan, daripada semua dijajah. Ya politiknya, ya ekonominya, ya kebudayaannya. Tebu. Di pintu setiap tempat pesta perkawinan-oh, Sumiati-akan dipasang sepasang tebu. Itu lambang antebing kalbu, kemantapan hati. Artinya, sepasang pria dan wanita telah bertekad mengarungi hidup bersama. Tetapi itu pasti adat baru. Tebu baru dikenalkan oleh bangsa Portugis. Yang jelas, orang-orang Cina sudah menanam tebu untuk VOC di sekitar Jakarta. Dulu orang bikin gula dari kelapa, maka merah putih disebut juga gula kelapa. Orang-orang tua dulu berbicara dengan lambang-lambang, tidak thok leh alias to the point. Tapi sering orang salah menafsirkan lambang-lambang itu, kadang orang hanya menangkap secara letterlijk, padahal hanya lambang. Misalnya, di Bayat, Klaten, di bukit Jabalkad, di makam Sunan Pandan Arang ada sebuah tempat air dari tembikar yang berlobang-lobang. Orang yang hanya menangkap yang lahir akan bilang, "Wah tempayan yang demikian, bagaimana mengisinya!" Memang itu hanya perlambang. Arti yang ada di balik tempayan itu ialah bahwa otak itu tidak akan penuh meskipun menampung banyak ilmu. Kembali soal tebu. Sawah kakek ditanami tebu model TRI. Setiap kali panen, bikin pusing. Soalnya pabrik sering tidak cocok dengan petani masalah taksiran kandungan gula. Akibatnya, petani gurem selalu rugi. Revolusi Industri di Indonesia ditandai dengan berdirinya pabrik-pabrik tebu. Pada saat it masuklah kapitalisme. Sejak itulah Indonesia menjadi bagian dari ekonomi dunia. Akibatnya, ketika di tahun 1930 ada malapetaka ekonomi dunia, Indonesia juga tersangkut. Rupanya, malapetaka dunia itu mempunyai pengaruh pada riwayat hidup saya. Kalau tidak ada malaise, Ki Lebdocarito tidak akan datang, dan riwayat hidup saya akan lain. Logam. Kepyak yang bisa bunyi crek-crek-crek dalam wayang dan gamelan itu biasanya terbuat dari perunggu, yaitu campuran dari tembaga dan timah. Dalam wayang ada 15 macam bunyi-bunyian, biasanya hanya dimainkan oleh 10 orang, jadi harus ada yang dapat memainkan dua instrumen. Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Gamelan merupakan bukti bahwa nenek-moyang kita itu sudah hidup menetap, bercocok tanam dan beternak. Artinya, tidak lagi berburu dan berpindah-pindah tempat. Bagaimana tidak, untuk menggotong gamelan kesana-kemari itu sulit. Gamelan itu dapat membuat orang trance. Kalau gamelan hanya dipukul ning-nong terus menerus pasti dapat menyihir pendengarnya. Ada lagi gamelan kontemplatf, coba dengarkan gamelan sekaten, itu seperti orang berzikir yang setelah sampai langit lalu dibawa kembali ke bumi. Sama-sama logam ada logam mulia atau tosan aji atau wesi aji. Misalnya keris. Keris yang bukan semata-mata barang hiasan, khasiatnya macam-macam. Ada yang bisa untuk mendiagnosa penyakit, ada yang bisa menyembuhkan, dan ada yang bisa untuk nyumpah. O, ya. Saya pernah melihat sendiri keris yang bisa berdiri diujungnya, kabarnya karena ampuh atau perbuatan jin. (Dalam catatan Abu yang terakhir, nama Sumiati tidak lagi muncul. Mungkin Abu sudah lupa karena banyak pekerjaan , atau memang sudah dilupakan Tuhan, wallahua'lam).* 17 Dengan kudanya Abu mendekati pasar di dekat kantor kecamatan. Hari masih pagi, agak dingin di tempat itu, tetapi pasar itu sudahhidup sejak habis subuh. Hari itu Hari Pasar. Orang membawa kambing,kerbau,dan sapi di pasar ternak di sebelah selatan pasar, yang ada kayu-kayu tempat orang menalikan ternaknya. Los-los pasar juga sudah penuh.Mulai terdengar orang tawar-menawar, kumandang pasaritu. Abu berpikir, inilah kumandang pasar yang disebut oleh Ronggowarsito atau pujangga yang lain. Kalau pasar ilang kumadhange, wanita akan ilang wirange, kalau pasar hilang kumandangnya wanita akan hilangrasa malunya. Itulah kebudayaan kota, sebab toko-toko menempelkan harga, hingga orang tidak perlu menawar. Pasar itu ramai, orang-orang yang sedang menawarkan dagangan. Ia menambatkan kuda di sebuah pohon waru, kemudian menuju bangku panjang di sebuah warung. Sudah ada tiga orang lain sedang makan. Mereka pasti mengantar para istri yang berdagang. Mereka bergeser memberi tempat. Abu melangkah, lalu duduk. "Kok njanur gunung, tumben pagi sekali," kata perempuan setengah tua yang punya warung. "Iya, mau keliling." Perempuan itu memberikan segelas teh dan sepiring nasi di meja, dengan cepat seperti mesin. Abu mencuci tangan, mulai makan. Ketika Abu sedang makan, seorang laki-laki memperlihatkan isi tenggok pada para lelaki di warung itu. Suaranya agak pelan, ragu-ragu, tidak profesional. Kayaknya ia orang baru dalam dunianya alias pedagang kagetan. "Obat kuat, obat kuat! Kalau mencangkul, tahan lama, tidak ada encok, tidak ada pegel, tidak ada masuk angin." Orang itu pergi. Rupa-rupanya ia tahu, tidak seorang pun di warung itu punya potongan untuk jadi pembelinya. Setelah orang itu pergi seperti terkejut Abu menghentikan makan. Abu merasa ada yang tidak enak, lalu bertanya pada penjaga warung. "Apa yang ditawarkan?" "Ah, masa Pak Abu tidak tahu." "Tidak." "Sungguh?" "Sumpah, tidak tahu." "Sekarang kan sedang model.Entah, begitu mudah orang memperolehnya. Itu tadi potongan ular." Pernyataan itu mengejutkannya, katanya: "Ular dipotong-potong begitu?" "Ya, tapi itu untuk yang sudah beristri." "Masyaallah! Potongan ular! Direbus!" Abu meninggalkan piringnya yang baru setengah dimakan. Ia berlari mengelilingi pasar mencari penjual itu. Penjual itu sedang sibuk membungkus dagangannya dengan daun jati. Ia dikerumuni para lelaki. Ada perempuan yang dengan malu-malu membeli, "Untuk kakek saya" , katanya. Ada barang 20 potong sudah laku hampir dalam sekejap. Rupanya orang percaya bahwa ular adalah obat kuat. Dengan makan ular, badan akan panas, dan segalanya memuai. Abu menyibak kerumunan itu. Sambil tersengal-sengal, katanya: "Stop! Stop! Akan kubeli semuanya." Terdengar orang bergumam. Di antaranya: "Ck, ck. Berapa istrinya?" "Satu saja sudah begini," orang itu mengepalkan tangan dan mengencangkan otot lengannya. "St, st. Ini kan Ki Abu Kasan Sapari!" Rupanya nama itu punya arti. Orang-orang terdiam. Kata Abu: "Jangan dijual lagi, Pak. Tunggu di sini, saya akan pulang mengambil uang. Berapa semua?" Orang itu menghitung potongan ular, Abu melengos tidak sampai hati melihat potongan-potongan itu. Penjual menyebut jumlah dan harga. Kerumunan bertambah banyak, ingin tahu yang terjadi. Abu pergi, dan penjual duduk di bawah pohon munggur. Abu membayar makanan di warung. "Tidak dihabiskan?" "Sudah kenyang." 18 Abu mengambil kuda, menuntunnya ke kecamatan dan menambatkan pada sebuah patok. Belum ada orang di kantor. Ia membuka kantor, mengeluarkan sepeda motor, lalu menghilang. Dunia ini serasa gelap. Ia kembali ke pasar, membayar, menerima bungkusan plastik hitam. Menciumnya. Ia tahu kemana harus dibawa plastik itu. Dengan sepeda motornya ia pergi ke bawah, ke sebuah sungai yang berbatu-batu dan deras. Ia mengeluarkan potongan-potongan ular, dan dengan mantra yang biasa ia menghanyutkan setiap isinya, lalu membuang plastik hitam. Ia terduduk di tepi jalan. Merenungi nasib ular yang sial itu. Pelan-pelan air matanya membasahi pipi. Bayangkan. Ular itu punya anak-anak. Ia sedang dalam perjalanan mengunjungi anak-anaknya sebab sudah janji. Tapi, tiba-tiba orang menangkapnya, mengurut badannya sampai remuk tulangnya. Lalu dipotong kepalanya. Lalu dipotong-potong badannya. Kemudian direbus dalam dandang di atas air mendidih. Diberi garam, bawang, dan mrica. Anak-anaknya masih di sana, menunggu-menunggu. Tetapi induknya tidak pernah akan datang, sudah jadi potongan-potongan. Abu tidak bisa menahan tangisnya. 2 Kemudian Abu kembali, melihat-lihat pasar. Ketika melihat dagangan orang ia lari ke tempat sepi. Lalu, "Hoo-ek, hoo-ek" , ia muntah-muntah. Beberapa perempuan mengira dia masuk angin, lalu memijit-mijit pundaknya. Tetapi Abu menunjuk ke satu arah. "Itu, potongan ular itu." "Ini bukan ular tapi kutuk, ikan gabus." "Ya, to?" "Iya." Untuk menebus kesalahan ia membeli ikan itu. Tetapi, ketika ia akan makan ikan itu di rumah, yang ada di benaknya ialah ulardan sekali lagi hoo-ek, hoo-ek. Maka dibuangnya ikan tak berdosa itu. 3 Suatu hari ia sengaja datang pagi. Setelah menambat kuda di kecamatan dan memberinya makan dengan sebuah ember Abu berjalan menuju pasar. Yang paling mengasyikkannya ialah orang-orang yang sengaja datang pada hari itu untuk berjualan. Sebuah mobil menawarkan segala macam ramuan asli. Sebuah mobil yang lain menggelar baju-baju. "Obral besar! Obral besar" , kata sebuah pengeras suara. Ada mobil BKKBN mempropagandakan "keluarga kecil, keluarga sejahtera" . Ada juga dijual kondom-kondom KB. Anak-anak yang berangkat sekolah mengerumuni mobil itu, tetapi ada yang mengusir mereka. "Ini tidak untuk anak kecil!" Semuanya pakai pengeras suara, sepertinya tanpa itu dagangan tak akan laku. Abu tertarik dengan sebuah kerumunan orang, kata penjualnya lewat pengeras suara. "Kadas, kudis, kurap, panu, rangen, koreng, gatal-gatal, segala sakit kulit akan hilang. Hanya dalam satu malam, hanya dalam satu malam sudah akan terasa hasilnya." Orang itu menjual obat dalam bungkus-bungkus plastik transparan. Ia melambaikan plastik itu dan berkeliling di tengah kerumunan. Seorang pemuda yang jerawatnya sebesar bisul mendekat. "Jangankan jerawat, udun juga hilang dengan obat ini. Sore makan, jangan heran jangan terkejut, kalau pagi hari sudah kering, ring. Tanpa bekas. Abon satu bungkus hanya seribu! Siapa cepat dapat, tidak cepat terlewat!" Pemuda jerawatan mengeluarkan uang, memberikan uang itu, lalu menerima bungkusan dari penjual. Tidak seorang pun tahu bahwa dia adalah dolop yang sengaja dipasang untuk melariskan dagangan. "Abon?" pikir Abu. Ia berjongkok mendekati penjual itu. "Abon apa?" tanyanya. "Abon yang membuat badan panas," kata penjual itu pada orang-orang yang berkerumun, jawaban yang tidak khusus untuk Abu. "Kulit panas, penyakit mengering. Ditanggung lebih murah dan lebih mujarab dari obat-obat toko ." 19 "Abon apa, Pak." "Saudara-saudara. Ini abon, abon ular." "Abon ular?" "Betul, saudara-saudara. Ini abon ular, asli. Bukan plastik bukan keluwih. Kalau tidak percaya, boleh coba." Seseorang dari kerumunan mencicipi abon itu. "Asli," katanya. Abu bergantian melihat plastik-plastik dalam dos kertas, penjual, dan kerumunan orang. Badan Abu dingin, keringatnya deras keluar. Ia terduduk, tak berdaya. "Masya Allah! Abon ular!" dunia berputar-putar di kepalanya, dan tiba-tiba jadi gelap. Abu jatuh pingsan. Orang-orang menggotong Abu ke kantor pasar. Di kantor itu ia dikenal baik. "Ki Abu Kasan Sapari," kata mereka. Di kantor itu memang tersedia PPK, dan orang menggosoknya dengan balsem supaya badannya panas. Ketika tersadar ia segera berdiri: "Abon!" Tidak seorang pun mengerti maksudnya. Orang mau mencegahnya, tapi ia sudah di luar. Ia berlari ke tempatnya tadi. Tapi penjual abon sudah pergi, yang masih di situ hanya penjual pakaian. Abu menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi penjual abon itu tak nampak. Ia menghampiri penjual ronde di dekat tempat tadi, tapi perempuan itu menggeleng. Abu mengelilingi pasar, tapi penjual itu sudah tidak ada lagi. Kemudian berdiri terpaku. Beberapa lama, ia baru ingat kalau harus ke kantor. Kadang-kadang terpikir pada Abu untuk pergi pada Pak Camat atau Kepala Pasar untuk menyatakan bahwa pemburuan dan jual-beli ular dinyatakan terlarang. Tapi pikiran itu dibuangnya, sebab kedengarannya tidak masuk akal. Melalui peraturan, tidak akan digubris orang. Jadi ia memutuskan masalah ular ialah masalah kesadaran, bukanmasalah kekuasaan. 4 Abu bersiul-siul. Kudanya berlari santai, di atas jalan yang dikeraskan dengan batu. Ke-ti-plak, ke-ti-plak. Tiba-tiba ia dikejutkan, orang berkerumun di sebuah tegalan ketela. Ia menghentikan kudanya. "Ini mesti ular berbisa." "Bawa ke dokter!" "Bawa ke dukun!" "Siapa punya tosan aji atau batu akik?" Abu turun menuju kerumunan itu. Ia melihat seorang laki terbaring di tengah kerumunan, kesakitan. Ia menanyakan apa yang terjadi. "Digigit ular!" Aduh, ular lagi. Abu mendekat. Ia tidak yakin betul, tapi ada dorongan yang terelakkan untuk menolong orang. Kulit pun membiru, tanda racun sudah menjalar ke seluruh tubuhnya. Kakinya kaku. Badannya kejang-kejang. "Mana yang luka?" Orang menunjukkan kakinya yang digigit ular. Abu mengucapkan bismillah dan membaca mantra. Di sedotnya luka itu dengan kuat. Diulanginya sampai tiga kali. Pelan-pelan laki-laki itu membuka matanya, warna biru menghilang dari kulitnya. Abu sendiri keheranan, ternyata ia bisa menyembuhkan orang digigit ular. "Ular! Ular!" kata orang itu sambil bangun. Seorang perempuan, istri lelaki yang digigit ular itu menubruk Abu. "Oalah, untung ada kau." Kemudian ia mengucapkan terima kasih atas pertolongannya. Berulang-ulang. Sementara orang belum bubar ada yang mendengar suara "kresek-kresek-kresek" pada daun-daun kering. Betul! Seekor ular kecil sebesar ibu jari tangan belang-belang kulitnya berjalan santai di atas daun-daun kering. "Ular! Awas jangan sampai lepas!" 20 Ular itulah yang telah menggigit, seperti seorang kriminil, ia datang lagi untuk melihat hasil kerjanya, barangkali. Orang pun menyiapkan batu-batu. "Kurang ajar!" "Mati kau sekarang!" Abu melihat ada kemarahan pada wajah-wajah mereka. "Tunggu!" "Jangan mendekat. Itu berbisa!" Abu membungkuk-bungkuk di bawah semak-semak. Dan, ya! Ular itu sudah di tangannya. Kerumunan itu mundur memberi jalan pada Abu. Dengan ular di tangan dan tatapan mata orang, Abu berjalan ke kudanya, lalu naik dan pergi. Orang-orang hampir tak percaya itu terjadi. Ketika kuda tidak tampak lagi baru orang-orang tersadar: itu sunguh-sungguh terjadi di depan hidung mereka. Mereka bubar, laki-laki yang digigit ular bahkan telah lupa kalau ia pernah digigit. 5 "Sudah waktunya kita berdamai dengan ular!" kata Abu dalam suatu rapat LMD (Lembaga Masyarakat Desa) Kalurahan. Tegalmulyo mewakili PLK (Pengawas Lingkungan Kecamatan). Ia sudah dikirim seminggu penuh untuk latihan pelestarian lingkungan se-eks Karesidenan Surakarta. "Ular adalah makhluk Tuhan juga, jadi kita masih saudara". Seorang menunjukkan jari: "Pak, boleh tanya?" "Boleh." "Ular itu dua macam. Ada ular yang jinak, ada ular yang berbisa. Bagaimana kalau ular itu berbisa?" "Ya, pokoknya jangan memusuhi. Kalau kita tidak mengganggu ular, ular juga tidak akan mengganggu kita. Manusia dan ular punya dunia sendiri-sendiri. Ular punya dunia, manusia punya dunia. Biarkan sungai mengalir, biarkan burung terbang, biarkan ular berdesir." Terdengar gumam. Ada yang setuju, ada yang tidak. "Menyakitkan hati sekali kalau ada sabuk dari kulit ular beneran. Untunglah, yang dijual di toko-toko hanya ular plastik," kata Abu. "Pak, seumpama, ya. Artinya, mudah-mudahan tidak ada. Tetapi kalau ada yang digigit ular berbisa, bagaimana?" "Laporkan ke kecamatan. Akan kita bentuk tim medis untuk menangani masalah itu." Kemudian Abu melanjutkan. "Bapak-bapak dan Saudara-saudara. Apakah artinya itu" Kita harus memelihara lingkungan kita, jangan malah merusak. Umpamanya, kita jangan menebangi pohon seenaknya. Jaman dulu Gunungkidul itu tertutup hutan. Air melimpah, tidak ada kekeringan. Tetapi karena ulah manusia,sekali lagi, karena ulah manusia Gunungkidul menjadi gundul,sendang habis, sungai-sungai kering. Setiap musim kering sekarang untuk minum saja harus dikirim dari Yogya. Bukan tidak mungkin cucu-cucu kita akan mengalami hal yang sama. Prinsip melestarikan lingkungan ialah membiarkan sesuatu di tempatnya." Di desa lain pokok yang selalu dikemukakan Abu ialah soal ular dan hubungannya dengan pelestarian lingkungan. Tidak ada lagi keluhan soal ular. Misalnya, seorang penduduk sedang kerja di ladang, ia akan melihat bahwa ada ular berarti ada kawan. Ular-ular yang berbisa tidak berani muncul untuk mengganggu manusia, sebab kawan-kawan sejenis akan mengeroyoknya. 6 Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Entah bagaimana caranya,anak-anak SMP di Kemuning waktu olahraga di lapangan kecamatan semuanya memakai kaos oblong dengan sablon gambar ular dan tulisan, "Ular adalah saudara kita" . Gambar dan tulisan itu sebentar saja telah jadi mode di kalangan remaja. Toko-toko yang ada di sekitar pasar semuanya menjual kaos dari segala ukuran. Anak-anak yang lebih besar,pemuda-pemuda tani, buruh,pedagang, merasa ada yang kurang kalau belum memiliki kaos dengan gambar dan tulisan itu. 21 Regu bola voli, sepak bola, badminton, dan pencak silat yang memakai gambar ular dan tulisan itu memenangkan pertandingan. Genteng-genteng rumah yang sebelum1965 dilabur putih dengan tulisan "Manipol-Usdek" kini digambari ular dengan tulisan besar-besar-setiap huruf satu genteng-Saudara Kita. Kalau dulu berarti bahwa yang punya rumah revolusioner, sekarang berarti bahwa yang punya rumah peduli lingkungan. Dari semua kegembiraan itu Pak Camatlah yang mendapat pujian. Dan Pak Camat tidak lupa menepuk-nepuk pundak Abu Kasan Sapari. 7 Di pinggir sebuah petak sawah, seorang gadis cilik sedang bermain umpetan dengan kawannya. Ibunya yang sedang menanam padi mengawasi anaknya sambil bekerja. "Sudah, aku kalah." Kawannya keluar dari semak-semak. Kawannya itu ternyata seekor ular! Ibunya berteriak-teriak, tetapi anak perempuannya tertawa-tawa. 8 Seperti biasanya, setiap musim panen pada musim kemarau di lapangan Kemuning selalu ada kompetisi sepak bola antar-desa memperebutkan Bupati Cup yang digilirkan pada pemenangnya. Yang dapat dimiliki secara permanen oleh ps-ps(perkumpulan sepak bola) ialah Camat Cup. Penonton dan para supporter asyik meneriaki pemain bola: "Masak larinya medal-medol kayak perempuan!" "Ayo jangan kalah sama kuda!" "Kalau tulangnya kurang keras, bisa diganti tulang banteng!" "Aaa!" Pada waktu itu ada penonton yang menunjuk ke sebuah tempat, pohon-pohon krangkungan dan jarak-yang di tempat lain sudah 25-an tahun hilang. Orang-orang di dekatnya lalu mengikuti telunjuk itu: "Ular kok mau nonton bola." "Nonton bola, apa nonton orang?" "Kalau mau nonton bola ya kesini!" Rupanya ular itu agak pemalu, dan kembali menelusup ke bawah pohonan perdu. Pada suatu hari pasar. Meskipun sudah dengan pengeras suara dan sengaja dibawanya seseorang yang dilehernya seekor ular menggantung, tetapi tidak ada kerumunan di sekitar penjual jamu tradisional itu. Ia heran, biasanya orang datang bahkan tanpa ular. Ketika tahu bahwa ular termasuk binatang yang dilindungi di Kemuning, ia segera pergi meninggalkan tempat itu. Orang tidak lagi kagum pada pemelihara ular, sebaliknya malah membencinya. 10 Suatu hari di Pasar Kemuning. Orang-orang masih asyik berjualan. Pohon-pohon beringin yang tumbuh rindang di pasar itu menyejukkan udara yang mestinya gerah. Burung-burung banyak bersarang di pohon itu. Seorang perempuan yang menjual tape mau pulang, sebab dagangannya sudah habis. Dia terkejut: "Lho! Topiku di mana" Pasti disembunyikan kiainya." Tidak sekali itu ia yang berjualan di bawah beringin kehilangan topinya. Ia mendongak: "Kembalikan topiku." Dari atas pohon topi terjatuh. Siapa telah mengambil topinya" Seekor ular bangsa siluman yang menunggu pohon itu telah meminjam topinya untuk bermain-main dengan anaknya. 22 11 Seperti sulap, rupanya berita tentang ular dan pelestarian lingkungan itu telah sampai Jakarta. Akibatnya, peringatan Hari Lingkungan akan dipusatkan di Kemuning. Peringatan itu akan dihadiri sendiri oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup, Suwarno Kusumohatmoko. Ki Lebdocarito pernah bercerita pada Abu bahwa nama Kusumohatmoko ialah nama yang beken di lingkungan Legiun Mangkunegaran. Yang wallahu a'lam ialah hubungan legiun dan jabatan menteri. Abu berpikir bahwa itu politik tingkat tinggi, bukan urusan dia sebagai orang kecil. Pada waktu itu akan berkumpul para pemenang (I, II, dan III) lomba Darling (Sadar Lingkungan) dari tiga propinsi, yaitu pabrik-pabrik yang mengelola limbah dengan baik. Untuk kesekian kalinya, Pak Camat menepuk-nepuk pundak Abu dan berkata: "Pokoknya saya percaya seratus persen, seratus delapan puluh derajat padamu, eh tiga ratus enam puluh derajat!" Keesokan harinya Pak Camat nylonong ke kamar Abu. Katanya: "Wah saya tak sabar mendengar rencana itu." "Saya ada pikiran begini, Pak. Kita dirikan tenda, kita buat panggung, dan kita wayangan." "Setuju! Lakonnya apa?" "'Perjamuan Ular', Pak." "Ceritanya gimana?" "Yang pakem, apa yang carangan?" "Yang pakem dulu, lalu yang carangan." "Yang pakem begini. Prabu Parikesit diramal seorang pendeta bahwa ia akan mati karena gigitan ular. Karena ular itu pasti tempatnya di bawah, dekat tanah, maka dia membangun menara yang tinggi sekali. Seekor naga, Naga Taksaka, berusaha merenggut jiwanya. Tapi apa akal, Prabu Parikesit tinggal di menara dijaga prajurit. Suatu kali dia melihat kesempatan. Seorang pendeta menghaturkan jambu air pada raja, ia menjelma jadi ulat dalam buah jambu. Tanpa curiga jambu pun sampai di meja raja. Maka Naga Taksaka keluar dan jadi naga yang sesungguhnya. Menggigit Raja Parikesit sampai meninggal. Prabu Janamejaya, anak Parikesit, ingin balas dendam. Diadakanlah sesaji ular, supaya ular dari seluruh dunia masuk dalam api pembakaran." "Yang carangan?" "Prinsipnya ialah membalas dendam itu bukan budaya Indonesia. Budaya kita menekankan harmoni, rukun, ada pepatah rukun agawe santosa, sama dengan "bersatu kita teguh". Lakonnya begini, Pak. Prabu Janamejaya tidak mengadakan "sesaji ular" tapi "perjamuan ular". Ia berpendapat bahwa matinya Prabu Parikesit itu takdir, pepesthening Hyang Widi, bukan karena gigitan ular. Ia ingin memutuskan mata-rantai balas dendam antara manusia dan ular. Bagaimana kalau begitu, Pak?" "Wah, itu ide yang brilyan." Entah bagaimana ceritanya, tetapi hampir semua orang tahu bahwa Abu punya ilmu pejinak ular.* VV DEMOKRASI MENURUT ABU KASAN SAPARI Berkat keberhasilannya memimpin Kemuning, Pak Camat dipromosikan jadi Pembantu Bupati di daerah Semarang. Perpisahan dengan Pak Camat dan serah-terima jabatan kepada Camat baru itu akan diramaikan dengan wayangan semalam suntuk. Di bawah ini adalah skenario wayangan yang dibuat oleh dalang Ki Abu Kasan Sapari. Judulnya "Bambang Indra Gentolet Takon Bapa" atau "Bambang Indra Gentolet Menanyakan Sang Ayah". Wayang, seperti teater yang lain, terdiri dari tiga babak. Babak pertama adalah pengenalan persoalan, babak kedua krisis, dan babak ketiga adalah pemecahan. Selingan atau gara-gara dapat dilakukan di antara babak. Seni adalah lambang. Cerita di bawah ini mengisahkan partisipasi rakyat dalam pemerintahan. Itulah esensi demokrasi, kedaulatan rakyat, menurut dalang Ki Abu Kasan Sapari. Abu sadar betul bahwa wayang harus menghibur, jauh dari semboyan-semboyan politik, wayang harus tampak tanpa beban apa pun. 23 Bambang Indra Gentolet Takon Bapa Babak I Adegan 1 Jejer. Padepokan Wanaraharja. Dalang: Kata yang empunya cerita, di hutan Wanaraharja. Wana artinya hutan, raharja artinya selamat, jadi Wanaraharja ialah hutan yang serba selamat. Memang, sesuai dengan namanya, di situ serba selamat. Harimau bersahabat baik dengan rusa, buaya bersahabat dengan kambing, anjing tidak pernah bertengkar dengan kucing. Ibarat bunga, nama Wanaraharja harum sampai di mana-mana. Hutan Wanaraharja terletak dilereng gunung berapi yang sudah berhenti hingga tanahnya loh jinawi, tumbuhlah semua yang ditanam. Subur bila ditanami padi, baik kalau ditanami sayuran, cocok andaikata ditanami jagung, kelapa yang ditanam besarnya segajah-gajah. Penghuni Wanaraharja adalah Hajar Subangun [HS], Endang Rara Daulati [ERD], dan Bambang Indra Gentolet [BIG]. Lampu warna merah. HS sedang omong-omong dengan ERD, tiba-tiba seorang cantrik datang. Dalang: Tujuh belas tahun yang lalu, di Padepokan Wanaraharja .... Cantrik: Mohon ampun kalau saya mengganggu. Ada raksasa-raksasa yang suka makan kerbau, sapi, dan rusa. Mereka rakus bukan main, mosok satu kali makan seekor kerbau habis. Tentu saja tanpa dimasak,tanpa garam, tanpa sambal, tanpa merica. Mereka membuang tulang di sungai sampai sungainya kayak dibendung, mbludag. Ternak digiring pergi dan sawah-ladang dirusaki. HS: Ini namanya tumbu dapat tutup, malah kebetulan. Cantrik: Lho! HS: Iya. Begini saja. Umumkan kalau saya mengadakan sayembara. Hadiahnya tidak tanggung-tanggung. Siapa yang dapat mengusir para raksasa, kalau laki-laki muda akan saya jadikan suami ERD, kalau perempuan akan saya angkat jadi saudaranya. Dalang: (Di kelir nampak Petruk). Masih sama lakonnya tapi ganti ceritanya. Siapa yang sedang berjalan" Di KTP nama resminya ialah Petruk. Tapi jejuluknya ialah Kantong bolong, sebab kantongnya selalu bolong, tidak pernah bisa menyimpan uang-karena tidak ada yang disimpan. Juga disebut Ronggungjiwan-loro mertanggung, siji kedawan-artinya, dua tidak nyampai, satu terlalu panjang. Dengan kapak tangan di pinggang, ia menjelajahi hutan, menaiki bukit, menyeberangi sungai untuk mengejar burung perkutut yang bunyinya yahut. Cantrik: (Memukul bende di tangan). Pengumuman, pengumuman! Barang siapa dapat mengusir para raksasa, kalau laki-laki muda akan dikawinkan dengan putri Ki Hajar, kalau perempuan akan jadi saudaranya! Pengumuman selesai. (Memukul bende). Petruk: Betul apa, Mase" Eh, Mas" Cantrik: Jangan Mase. Jangan Mas. Tapi Ki, begitu! Dalang: Maka Petruk pun lalu coba-coba ikut sayembara. Perang dengan para raksasa. Para raksasa kalah sebagian karena dikili-kili, sebagian karena diamuk dengan pethel, lalu lari tunggang-langgang. Petruk dibawa menghadap HS. Nampak HS di kelir. Cantrik dan Petruk masuk. Cantrik: Inilah orang yang dapat mengusir para raksasa. Namanya Petruk. (Menengok kepada Petruk). Kau ini orang atau jin" Makan nasi atau kemenyan" Petruk: Jelas orang, kok. Lihat kakiku kan menginjak tanah. Makannya nasi, malah tiga piring. Cantrik: (Berbisik pada Petruk). Mantu pendeta harus tahan lapar dan tidak ngantukan. HS: Sabda pendeta itu tidak akan ditarik kembali. Petruk, kau jadi menantuku. Mari masuk Tamansari. (Mereka menghilang). 24 Adegan 2 Lampu biasa. Di pagi hari terdengar kicau burung. HS sedang berbicara dengan ERD. Rerasan kalau anak ERD yang bernama BIG sudah waktunya mengabdi ke kerajaan. HS: Anakmu sudah besar. Ilmu silatnya sudah tinggi, tidak lagi memalukan. Membaca, menulis, berhitung sudah memadai. Tata krama, bahasa, sopan-santun sudah mumpuni. Maka, tunggu apa lagi, kalau tidak mengabdikan ilmunya" ERD: Kalau pendapatmu demikian, saya juga setuju. HS:Ah, yang bener saja. Nanti kangen! ERD: Sumpah kok, Ayah. Tidak lama kemudian datanglah BIG. BIG: Semua teman kok punya bapak, saya kok tidak. Apa betul ayah saya jin" Eyang, Ibu" HS: Tentu saja kau punya ayah manusia, dan bukan anak jin. Hanya sekarang tidak di sini. Ayahmu bernama Petruk dari Karang Gedempel, Amarta, yang sekeluarga menjadi punakawan Raden Arjuna. ERD: (Menembang). Dhuh kulup putraningsun. Wancine wusprapti. Becik sira neng praja. Suwiteng narpati. [Hai, putraku. Kiraku sudah waktunya kau pergi ke kerajaan, mengabdi pada raja]. (ERD memberikan kapak tangan sebagai bukti). Ini serahkan Bapakmu dan salamku. Adegan 3 BIG berangkat. Pengikutnya istimewa: gajah, harimau, celeng, kijang, menjangan, kuda, sapi, dan kerbau. Binatang udara, seperti elang, gagak, dan merpati, terbang lewat udara. Ada juga buaya dan ular.. oOo Selingan 1Selingan 1 Dalang: Gara-gara! Siti Kamar Mandi disebut juga Siti Bakilah-karena pekerjaannya ialah mengisi kulah-dan Biyungnya. Mereka ikut sedih karena momongannya, BIG pergi. Babak II Adegan 4 ak II Jejer Kerajaan Puserbumi. Raja dan Patih kesatria, tapi Senapati dan para tumenggung badannya kesatria dengan wajah raksasa. Raja: Rakyat semakin banyak memerlukan tanah yang semakin luas. Yang makan bertambah,tapi yang dimakan tetap. Menurut perhitungan para ahli, 25 tahun lagi kita tidak akan bisa memberi makan penduduk. Sudah waktunya kita memperluas kerajaan. Senapati: Katakan saja, kerajaan mana yang akan direbut" Raja: Saya dengar berita, kerajaan Amarta subur. Kiranya itulah yang menjadi sasaran kita. Senapati: Setuju! Mereka lalu berangkat. Adegan 5 Perang Kembang antara BIG dan binatang-binatang dengan para raksasa dari Puserbumi. Cakil menghadapi BIG. Cakil: (Dengan sempritan). Prit, prit! Berhenti, berhenti. Siapa namamu, dari mana asalmu" Kalau kulihat-lihat, ini kesatria bukan, petani juga tidak. Cah bagus, jangan mati tanpa nama. BIG: Orang kok tidak pernah mengaca. Cakil: Kalau aku jelas. Meskipun badanku kecil, jelek-jelek aku ini termasuk raksasa prajurit. 25 BIG: Raksasa kok tidak menakutkan. Jangan mengaku-aku, to. Cakil: Lho! Kok tidak percaya kalau aku raksasa. (Ia mengeluarkan suara tenggorokan tapi kecil). BIG: Tidak menakutkan. Cakil: Itu karena aku termasuk raksasa priyayi. BIG: Kalau mengaku priyayi yang agak halus, to. Kalau tingkahmu begijikan begitu kan tidak meyakinkan. Cakil: Kalau tidak yakin terimalah ini! Mereka pun berperang. Cakil kalah dan lari. Kemudian disusul perang antara raksasa melawan binatang. Raksasa kewalahan dan lari. Adegan 6 Jejer Amarta. Prabu Darmakusuma bertahta, dihadap Pendawa dan anak-anaknya, Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Gatotkaca dan Abimanyu. Datanglah Prabu Kresna. Mereka semua menghaturkan sembah. Kresna: Saya tidak tahu, kok ada dorongan ke sini. Bagaimana keadaan Amarta, Yayi Samiaji" Darmakusuma: Baik-baik saja. Kresna: Werkudara, bagaimana keadaan Jodipati" Werkudara: Wah, kalau bertanya itu jangan secara umum begitu, tapi lebih terperinci. Kresna: Bertanya saja kok salah. Ya sudah, bagaimana pertanian, terutama urusan pengairannya" Werkudara: Nah, begitu. Jadi jelas. Ada waduk yang sampai sekarang belum beres urusannya. Namanya Kedungombo. Kresna: Arjuna, bagaimana Sembadra, Srikandi, dan Larasati" Arjuna: Kanda itu jangan bikin malu di depan umum, to. Masak semua isteri disebut. Kresna: Oalah, Adik saya. Begitu saja kok pura-pura malu. Malu atau bangga" Ingat lho,orang lain satu saja tidak habis. Nakula-Sadewa, bagaimana kadipatenmu" Nakula+Sadewa: Baik-baik, Kanda. Kresna: Gatotkaca dan Abimanyu" Gatotkaca+Abimanyu: Baik-baik, Wak Prabu. Pada waktu itu masuk penjaga perbatasan. Penjaga: Celaka, celaka. Di perbatasan ada musuh dari Puserbumi. Mengusir semua orang dari rumah. Prajurit-prajurit sudah kalah. Kresna memberi pertimbangan supaya mengirim Gatotkaca dan Abimanyu. Yang tua-tua mengamati dari jauh. Adegan 7 Perang. Gatotkaca dan Abimanyu kalah,melapor. Kresna mengatakan memang kalah dan menang itu biasa. Jadi kalau lagi menang jangan menepuk dada, kalau kalah jangan kecil hati. Dia menyarankan supaya Arjuna berangkat minta nasihat Begawan Abiyasa. Adegan 8 Jejer Astinapura. Raja Suyudana dihadap saudara-saudaranya. Juga hadir Resi Durna, Patih Sengkuni, dan Adipati Karna. Mereka membicarakan ulang tahun raja. Suyudana: Aku berkeinginan kali ini ulang tahun raja dirayakan dengan pesta besar-besaran. Pakai kembang api impor. Sengkuni: Itu betul, Sang Prabu. Supaya, orang tahu bahwa Raja Astina adalah raja besar. Supaya, orang tahu bahwa Astina punya tentara besar. Supaya, orang tahu bahwa rakyat Astina 100 persen mendukung raja. Supaya, orang tahu bahwa kekuasaan raja itu tak terbatas. Durna: Stop, stop. Kok nrocos kayak talang bocor. Kekuasaan boleh tidak terbatas, tetapi bungkusnya harus yang baik-baik. Jadi tidak semata-mata, tidak menyolok begitu. Sengkuni: Nanti dulu to, Pakde. Bicaralah yang konkret, yang nyata. Jangan berteori saja,di awang-awang. Bicara itu mbok yang membumi, to. 26 Suyudana: Bagaimana pendapat, Adipati" Karna: Ya, asal tidak berlebih-lebihan. Sengkuni: Kalau saya kok agak ngoyo sedikit tak apa. Tujuannya jelas. Kalau dirayakan kecil-kecilan itu malah akan mencemarkan nama Raja. Suyudana: Kau belum bicara, Dur. Dursasana: Saya ini monat-manut saja. Mana saja baiknya. Suyudana: Adik-adik lain, bagaimana" Kurawa : (koor) Setuju! Sengkuni: Saya punya pikiran mengadakan berbagai macam perlombaan, seperti balap kuda dan balap kereta. Suyudana: Kalau begitu pelaksanaannya saya serahkan pada Paman. Sengkuni: Beres, beres. Suyudana: Di mana arena balap itu akan dibangun" Sengkuni: Desa Karangwuni. Dursasana: Lho! Itu kan dekat Karang Gedempel, sudah termasuk Amarta, to Man. Sengkuni: Itu urusan saya. Kalian tahu beresnya saja. Di bawah pimpinan Sengkuni, orang Kurawa, Prajurit, dan pekerja berangkat. oOo Selingan 2 Dalang:Gara-gara!Semar, Gareng,dan Petruk di tengah jalan mengikuti Arjuna. Babak Babak III Adegan 10 Padepokan Wukir Retawu. Suasana sepi, tapi asri. Abiyasa dengan para cantrik. Disusul kedatangan Arjuna dan para punakawan. Mereka menghaturkan sembah. Abiyasa: Selamat datang, Cucuku. Selamat datang Semar, Gareng, dan Petruk. Arjuna: Saya datang ke sini, Eyang. Pertama-tama untuk menghaturkan sembahsungkem dari kakak-kakak, adik-adik, anak-anak, dan seluruh kawula Amarta. Selain itu kami diutus untuk memohon nasihat Eyang. Kerajaan Amarta sekarang sedang diserang musuh yang sakti mandraguna. Abiyasa: Cukup, cukup. Tidak usah diteruskan ceritamu, aku sudah mengerti. Ketahuilah, cucuku. Pertama, sekarang dunia sedang berubah. Ada peribahasa, "Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati. Artinya, yang kecil berkuasa, yang besar kehilangan kekuasaan. Raja tidak lagi berkuasa. Kekuasaan harus ditopang oleh orang banyak. Kekuasaan itu tidak di tangan raja, tidak di tangan orangorang besar, tapi di tangan mereka yang ada di bawah, mereka yang sekarang kita sebut wong cilik, yang disebut rakyat. Kekuasaan itu dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyatlah yang berhak mengawasi kekuasaan, tidak sebaliknya. Karena itu berkuasa tidak boleh seenaknya sendiri, ojo dumeh. Kedua, kita harus menghormati rakyat. Karena, mereka punya hak-hak asasi, yang dianugerahkan Tuhan. Seorang penguasa adalah pelaksana, pengemban amanat Tuhan. Adapun hak-hak itu di antaranya adalah hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak memiliki. Hak hidup, artinya orang tidak boleh dibunuh, dan dijamin matapencariannya. Orang tua, jompo, dan yatim piatu harus dipelihara. Hak kemerdekaan, artinya orang tidak boleh diperbudak, ditekan, sebaliknya harus dijamin kemerdekaan beragama dan kemerdekaan ikut mengurus kerajaan. Hak memiliki, artinya ialah setiap orang dijamin untuk menikmati hasil kerjanya, kekayaannya. Ketiga, penguasa itu harus adil. Artinya, adil kepada sesama tanpa pandang bulu. Meskipun seseorang itu kerabat, teman, atau sekeyakinan, yang hitam harus dikatakan hitam, yang putih harus dikatakan putih. Jadi, paugerannya ialah rakyat, hak, dan adil. Itu yang harus menjadi landasan dalam memerintah. Khusus mengenai kesulitan Amarta, nanti akan datang penolong yang berasal dari wong cilik. Maka, katakan pada saudara-saudaramu untuk tidak usah khawatir. 27 Kemudian Arjuna dan para punakawan mengundurkan diri. Adegan 11 JejerAmarta. Kresna, Darmakusuma, adik-adik-kecuali Arjuna-dan para cucu. Arjuna dan para punakawan datang. Darmakusuma: Selamat datang! Bagaimana saran Eyang Abiyasa" Arjuna: Menurut Eyang Abiyasa kita tidak perlu khawatir sebab pada waktunya akan datang orang kecil sebagai juru selamat. Eyang berpesan supaya kita memperhatikan tiga paugeran dalam memerintah. Pertama, kekuasaan itu di tangan rakyat tidak di tangan para pembesar kerajaan. Kedua, rakyat itu punya hak, dan para pembesar harus menjamin terlaksananya hak itu sebagai amanat Tuhan. Ketiga, para pembesar harus bertindak adil, tidak boleh pilih-kasih, meskipun pada kerabatnya. Pada waktu itu masuk seorang petani. Darmakusuma: Ada keperluan apa kok tergesa-gesa" Dari mana kau, Pak" Petani: Saya lurah desa Karangwuni di perbatasan. Wah, desa kami sedang geger. Orang Astina memancangkan patok-patok, kata mereka di situ akan dibangun arena balap kuda dan balap kereta. Darmakusuma: Sekarang begini saja. Kembalilah ke desa, tenangkan semua orang. Kami segera menyusul. Petani mundur. Masuk BIG. Petruk: Duduknya yang sopan, tidak boleh jegang begitu! BIG: Menurut adat kami inilah yang sopan, Pak. Darmakusuma: Sudah-sudah, janngan mempersoalkan sopan-santun. Memang desa mawa cara, negara mawa tata, lain tempat lain kebiasaannya. Siapa namamu, dari mana asalmu, ada keperluan apa" BIG: Nama: Bambang Indra Gentolet. Asal: Padepokan Wanaraharja. Keperluan: mencari ayah saya yang bernama Pak Petruk. Darmakusuma: Apa engkau membawa barang bukti yang menguatkan pengakuanmu" BIG menyerahkan barang bukti berupa kapak tangan. Darmakusuma: Bagaimana Petruk, apa betul benda ini milikmu" Petruk: Betul. (Kepada BIG). "Oalah,Le!" Gareng: Kalau saya kok sudah menduga, ini mesti anaknya Petruk. Melihat srogalsrogolnya itu. Kresna: Ini namanya kebetulan. Yayi Samiaji, suruh dia dan para punakawan menyelesaikan dua perkara. Kesatu mengusir musuh dari Puserbumi, kedua musuh dari Astina." Bubaran. Para punakawan dan BIG segera berangkat. Adegan 12 Perang para punakawan, BIG, dan binatang-binatang dengan raksasa dari Puserbumi, banyak yang mati dan yang hidup melarikan diri. Kemudian juga perang melawan kesatria dari Astina, mereka kewalahan dan melarikan diri. Adegan 13 Semua sudah selesai, Amartamengadakan syukuran, andrawina. Sebagai tamu kehormatan BIG+Petruk menari. Itulah akhir cerita "Bambang Indra Gentolet Takon Bapa". Tancep Kayon (Tamat) 28 VI WAHYU POHONAN 1 Abu Kasan Sapari sangat cocok dengan camat barunya. Pengetahuan teoretisnya banyak, tapi pengalaman lapangannya nol besar. Jadi kebalikan dari dia. Langkah pertama bagi camat baru ialah mengumpulkan para lurah dan pegawai kecamatan. Camat baru itu lulusan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan), Jakarta. Abu menilai camat baru adalah seorang profesional tulen, bukan "orang baik" macam camat lama. Umurnya masih sangat muda dibanding camat lama, namun jauh lebih bersemangat. Setidaknya, ia bukan tipe "camat santai". Kabarnya dia sudah dicap bahwa kariernya seumur hidup hanya akan setingkat camat. Karena dinilai tidak loyal-istilahnya tidak monoloyalitas-dia tidak akan pernah menjadi Sekda Kabupaten, meskipun sebenarnya waktunya sudah sampai. Abu menyimpulkan menurut prejengannya (penampilannya) bahwa camat baru itu pastilah suka berterus-terang, tidak mudah tersinggung. Kalau Jawa ya Jawa pesisiran-lah, tapi jelas bukan orang Solo. Ia juga punya latar belakang agama yang lebih kental, suka mengutip Hadits Nabi. Itu memudahkannya untuk berhubungan dengan para lurah, karena persamaan referensi. Abu jadi orang kepercayaan Pak Camat, secara pribadi, dan karena tugasnya di Bangdes. Dalam rapat pertama dengan para lurah dan pegawai Pak Camat sudah mengeluarkan jurus Hadits Nabi: "Bapak-bapak. Kita semua adalah pemimpin,akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Begitulah menurut Nabi", katanya memulai pidato. "Lurah bertanggung jawab atas kelurahannya, camat atas kecamatannya, juru penerang atas tugasnya, polisi atas keamanan wilayahnya, dan seterusnya. Tidak seorang pun boleh mengaku bukan pemimpin. Suami bertanggung jawab atas keluarganya, istri bertanggung jawab atas kekayaan keluarga. Pembantu rumah tangga bertanggung jawab atas pekerjaannya. Kita semua adalah pemimpin. Ada pertanyaan Bapak-bapak?" Seorang lurah menunjukkan jari. "Kalau semua pemimpin, siapa yang rakyat?" "Ya kita semua. Jadi sekaligus kita semua adalah pemimpin dan rakyat. Misalnya lurah adalah pemimpin di desanya, tapi sekaligus bagian dari desanya, dan bagian dari rakyat Indonesia. Setuju, Bapak-bapak?" "Setujuuu!" kata mereka. Seperti diketahui, para lurah biasa bersama-sama bilang 'setuju!' pada pidato pimpinan. 2 Supaya mempunyai visi dan missi di kecamatannya, bulan pertama bagi camat baru adalah waktu orientasi. Dalam kesempatan itu Abulah yang mengantarnya, karena dialah yang paling kenal lapangan. Dari hasil peninjauannya ke lapangan itulah dia mengumpulkan bahan pidato pengarahannya untuk konferensi mingguan. Setelah para lurah selesai dengan urusan soal PBB, statistik, dan sebagainya berkumpullah mereka untuk mendengarkan briefing tentang beberapa masalah aktual, seperti imunisasi, pertanian, keamanan, dan program lantainisasi (lantai ubin untuk keluarga Pra-Sejahtera). Kemudian mereka mendengarkan pengarahan dari Pak Camat: "Bapak-bapak, saya sudah keliling. Ternyata pemanfaatan lahan sangat minimal di sini. Seolah-olah orang berpikir, 'Wong begini saja sudah hidup, kok repotrepot'. Cepat puas, itulah ciri kita sebagai masyarakat pertanian. Sikap serba menerima itu harus diubah menjadi hidup yang lebih dinamis kalau kita ingin survive dalam era globalisasi," ia berhenti untuk melihat reaksi yang hadir apakah kata-katanya dipahami. Ia melanjutkan, "Sebagai pamong, kita harus bisa memandang jauh ke depan. Kali ini saya ingin menganjurkan agar di setiap pekarangan ditanam pohon jati. Pohon itu nanti akan mendatangkan uang, tidak sekarang tidak tahun depan, tapi suatu kali nanti untuk anak-cucu. Kita harus meninggalkan sesuatu untuk generasi yang akan datang. Sekarang orang berbuat sebaliknya, tambang digali, bukit dibongkar, dan hutan ditebang seenak udelnya, tidak sedikit pun terpikir menyisakan untuk anak-cucu.Kita harus berani mengubah mental aji mumpung 29 semacam itu, meskipun orang lain akan menganggap kita bodoh.Dengan hanya menanam di pagar, setiap rumah bisa menanam lima sampai 25 batang. Mari kita bekerja untuk generasi yang akan datang. Bayangkan kalau 15, 25, atau 50 tahun lagi ditebang pohon-pohon itu, berapa harganya" Baru-baru ini seorang kawan telah membeli rumah, sawah,dan naik haji hanya dengan menjual pohon-pohon jati yang ditanam 50 tahun yang lalu oleh bapaknya, di pagar yang tidak terpakai. Dinas Pertanian akan menyediakan bibitnya. Sudah ada koordinasi dengan Perhutani. Ada pertanyaan?" "Ada. Tanya, Pak. Ini instruksi atau hanya anjuran?" "Instruksi." Program camat itu kemudian dikenal dengan "jatinisasi". Abulah yang diminta untuk menyukseskannya. Bibit-bibit jati kemudian didatangkan. Tetapi, tunggu punya tunggu tidak seorang lurah pun mengambil untuk rakyatnya. Para lurah hanya mengambilnya untuk ditanam sendiri. "Jatinisasi" ternyata tidak populer di masyarakat. Pada konferensi berikutnya lurah-lurah mengatakan kalau telah gagal meyakinkan penduduk. Pak Camat heran mengapa gagasan yang cemerlang itu tidak mendapat sambutan. Ia gelisah dengan kenyataan itu. Ia biasa bekerja di belakang meja, penolakan rakyat adalah pengalaman pertamanya; pengalaman baru yang menyakitkan. Pasti ada yang salah, dia berpikir. Tidak ada orang lain yang sesuai untuk diajak bicara soal "jatinisasi" itu selain Abu dari Bangdes. "Kenapa orang tak suka?" tanya Pak Camat pada Abu ketika ia dipanggil menghadap di kamar kerjanya. "Kenapa orang tidak memikirkan masa depan?" terusnya. "Rambut bisa sama hitamnya, Pak. Tapi pikiran bisa lain," jawab Abu. "Saya bisa memikirkan alternatif-alternatif. Misalnya mendorong orang untuk menanam cengkih. Tapi nanti orang akan menuduh saya berkolusi dengan BPPC atau pabrik rokok. Kalau jamur dikira kongkalikong dengan perusahaan pengalengan jamur. Kalau ayam dikira bersekongkol dengan pabrik makanan unggas." "Itulah, Pak. Mengelola orang itu lain dengan menulis angka di belakang meja. Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kecamatan itu isinya orang, bukan barang. Saya setuju dengan jatinisasi, tapi caranya perlu diubah." "Caranya bagaimana" Kita tidak boleh mundur. Mundur hancur." "Menurut kursus teknologi pedesaan dulu, kaidah pertama ialah sosialisasi". 3 "Camat itu ibarat raja di kecamatannya," kata Pak Camat pada Abu. "Seorang dosen di IIP, Almarhum Pak Soemarsaid Moertono yang saya masih selalu terbayang-bayang sosoknya, mengatakan bawa raja itu mempunyai tiga macam wahyu. Wahyu nurbuwat, artinya raja mempunyai kekuasaan, raja dapat menentukan abang-birunya kerajaan, kalau sekarang ya hijau-kuning-merahnya wilayah. Kedua, wahyu hukumah artinya wewenang mengadili, yang sekarang ada pada pengadilan. Ketiga, wahyu wilayah, artinya ia adalah wali Tuhan, harus menjadi contoh bagi masyarakatnya." Abu gelisah dengan pernyataan itu. Katanya: "Jangan nurbuwat-nurbuwatan to, Pak. Jangan tuntas, tuntunan dari atas begitu. Itu filsafat kuna, waktu orang masih bodoh. Sekarang tidak mungkin lagi. Kita perlu bermusyawarah dulu dengan penduduk. Apa yang mereka inginkan. Memerintah itu seperti orang naik kuda, kita harus manunggal dengan kuda," Abu teringat lurah bekas kavaleri yang mengibaratkan rakyat dengan kuda yang harus dimengerti kemauannya. "Wah, kau lebih pintar dari ijazahmu, lebih matang dari umurmu. Meskipun tidak setuju, pikiran itu boleh juga." Ketika Abu keliling dengan sepeda motornya, ia disambut dengan tergopoh-gopoh oleh Lurah Girimulyo. "Akibat dari instruksi jatinisasi itu saya ditinggalkan penduduk. Coba, PakAbu. Lurah tidak disuruh menyambut waktu pernikahan. Lurah juga tidak diminta menyambut waktu ada kematian." "Ah, itu hanya kebetulan, Pak." 30 "Kebetulan" Tidak mungkin. Ini cara penduduk untuk menyatakan ketidaksetujuan. Itu namanya protes diam-diam." Semua lurah yang dikunjungi hari itu menyatakan hal yang sama. Juga lurah yang dikunjungi hari-hari berikutnya. Ia melapor pada Pak Camat. Tapi camat itu mengatakan: "Gunakan segala cara. Sebelum ini berhasil tidak akan ada program lain. Dinas pertanian kabupaten sudah ada rencana pemanfaatan pekarangan secara tumpangsari." Aksi boikot penduduk tidak mempengaruhi kehadiran para lurah pada konferensi bulanan, yang dijatuhkan pada setiap tanggal 17 itu. Tetapi banyak lurah mengatakan pada Abu bahwa mereka datang sekadar memenuhi formalitas. 4 Sebagai biasanya, perayaan Agustusan di Kecamatan Kemuning, selain upacara Sumpah Palapa 24 Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru Karma Manusia Sesat 2

Cari Blog Ini