Mantra Penjinak Ular 2
Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo Bagian 2 bendera juga akan diadakan wayangan. Pak Camat datang memanggil Abu ke kantor. Camat yang sekarang selalu memanggil Abu ke kantor; berbeda dengan camat dulu yang biasa nylonong ke kantornya. Abu sadar benar tentang perbedaan camat lama dan camat baru, tetapi dia hanya tersenyum melihat tingkah orang. Waktu sekolah dulu ia sering diajak mengantar turis ke berbagai pertunjukan kesenian. Rumus "tout comprendre est tout pardonner" (mengerti berarti memaafkan) untuk para turis diberlakukannya untuk camat baru. "Pak Abu, apa lakon kita?" Camat baru itu biasa memanggilnya dengan 'pak', mungkin karena dia bukan semata-mata pegawai tapi juga dalang. "'Wahyu Pohonan'. Bapak kan sedang punya proyek jatinisasi?" "Setuju." "Pohon jati, lho Pak. Bukan pohon lainnya. [Maksudnya bukan Randu]. Wayang itu jangan terlalu banyak pesan. Nanti sifat tontonannya hilang." "Ya, ya. Saya mengerti. Saya mendukung." Betul, waktu itu di kota kecamatan dan di desa-desa orang akan mendengarkaan sebuah tape gamelan sampakan dan sebuah dokar dengan penumpangnya membawa sebuah horn. Setiap kali tape sampakan itu berhenti, akan terdengar dari pengeras suara, "Halo, halo. Nanti Sabtu malam atau malem Minggu, tanggal 19 Agustus di halaman kecamatan akan diadakan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk oleh dalang Ki Abu Kasan Sapari dengan lakon 'Wahyu Pohonan' alias 'Kresna Murca'". Ada peristiwa yang pasti menjengkelkan Pak Camat. Kursi-kursi depan yang disediakan untuk para lurah dan istri hanya terisi sepertiganya. Meskipun kehadiran itu sukarela, tetapi setengahnya bersifat dinas. Bagi Pak Camat kenyataan itu menggelisahkan. Dia mondar-mandir memegang-megang tangannya. Berbisik-bisik pada panitia supaya kursi-kursi depan diisi keluarga pegawai kecamatan. Sebentar saja kursi-kursi itu penuh. Aksi boikot para lurah jelas disebabkan instruksi "jatinisasi". Jadi penduduk memboikot lurah, lurah membikot camat. Klop! 5 Lakon itu menceritakan bahwa Batara Kresna menghilang dari kerajaan. Pada waktu yang sama ternyata Amarta diserang pageblug (epidemi), sore sakit pagi mati, pagi sakit sore meninggal. Sementara itu Amarta dimintai tolong Astinapura yang sedang diserang musuh yang sangat sakti, sehingga tidak seorang pun dapat mengalahkan rajanya. Karena pusing memikirkan dua hal itu Prabu Darmakusuma menyuruh Arjuna minta nasihat Abiyasa. Abiyasa memberi nasihat tentang pageblug dan tentang musuh yang mengancam Astina. Mengenai yang pertama, ia menganjurkan agar setiap rumah dipagari dengan pohon jati dan agar setiap orang selalu eling (ingat) kepada Tuhan. Eling itu seperti pohon yang kokoh, yang akarnya jauh menghunjam ke bumi dan cabangnya menembus langit. Eling adalah pemahaman yang benar tentang keesaan Tuhan, perkataan yang lurus, dan perbuatan yang baik. Mengenai musuh yang menyerang Astina, dianjurkannya supaya yang menghadapi raja sakti itu ialah wanita, yaitu Subadra. Tidak dengan senjata, cukup dengan berteriak 'kakang, kakang'. Akhir cerita, raja sakti berubah ke asalnya, yaitu Kresna, pageblug pun hilang. 31 6 "Lho, kok bukan pohon Randu" Nanti saya kena marah lagi," kata Pak Camat pada Abu di kamar kerja camat bergurau. "Jati atau Randu, Pak?" "Jati ya jati saja." "Kesenian itu berbeda dengan kekuasaan. Kesenian membujuk, kekuasaan memaksa. Kesenian berbicara dengan lambang, kekuasaan thok-leh. Kesenian itu sinamun ing samudana, tersamar, tidak langsung. Semua ada tempatnya. Orang Jawa itu tanggap, Pak. Jangan blak-blakan, jangan menggurui, jangan dikatakan semuanya." "Ya kalau orang mengerti, kalau tidak bagaimana?" "Kalau tidak, ya diulang-ulang sampai orang mengerti. Kesadaran itu datangnya harus dari dalam, tidak bisa dipaksakan dari luar. Perkara orang tidak mau sadar juga, itu sudah di luar urusan kita." Camat mengira wayang itu tidak akan efektif. Tetapi, di luar dugaan semua orang, bibit-bibit jati di kecamatan habis dalam beberapa hari. Ibaratnya, "larang diserang,murah dirayah" (mahal dibeli, murah dijarah). Kecamatan terpaksa menghubungi pihak Perhutani untuk mendapatkan bibit-bibit baru. "Sudah menanam pohon jati?" orang akan bertanya pada tetangga. "Belum!" "Wah, kau ketinggalan zaman! Tidak berpikir masa depan." 7 Dalam rapat dinas di Kabupaten, Bupati menyinggung-nyinggung bahwa ada camat yang gagal memimpin daerahnya. Camat kita merasa bahwa dialah yang dimaksud. Dia sudah dag-dig-dug ketika seorang pegawai mengatakan bahwa Pak Bupati mengundangnya. Lhadalah! Dia disuruh menutup pintu,agar orang lain tak mendengar. Pintu ditutup, jeglek! Di luar sangkaannya Bupati mengulurkan tangan. "Selamat, ya!" Agak ragu-ragu dia menerima tangan Pak Bupati. "Tapi jangan heran kalauada oknum politikyang terlalu bersemangat dan menginginkan pohon Randu, dan bukan pohon jati. Ini tidak menyenangkan, tapi itulah realitas kita. Kalau saya ya dua-duanya.Keduanya adalah loro-loroning atunggal, dua sisi dari mata uang yang sama, jadi tak terpisahkan. Yang satu pembangunan ekonomi, yang lain pembangunan politik. Jati adalah point of entry yang baik bagi masuknya pohon Randu. Yang bener menurut kita belum tentu kebeneran untuk orang lain. Karena itu pandai-pandailah berenang, supaya tidak tenggelam." 8 Ada orang melapor ke kecamatan bahwa di desa Candisari ditemukan pecahan tembikar dan uang dari emas dekat sebuah gundukan yang dipercaya orang ada candinya. Sementara pihak kecamatan menghubungi dinas-dinas yang berwenang, situs Candisari diamankan. Sebenarnya tanpa dijaga pun tidak ada orang berani mendekat, sebab orang percaya bahwa gundukan itu dijaga ular-ular piaraan Sunan Lawu, raja siluman penjaga Gunung Lawu. Ular-ular itu bersembunyi di sebuah gua dekat patung kuna. Dinas SPSP (Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala) Jawa Tengah datang untuk meneliti tempat itu. Patung-patung kuna ditemukan, dan dipastikan bahwa tempat itu perlu digali. Lurah Candisari mengajukan dua syarat. Pertama,ular-ular di sana dihilangkan. Sebab, dulu pernah ular-ular mengamuk karena seseorang berusaha mencangkul tanah untuk tegalan di tempat itu. Tiba-tiba saja ular ditemukan di mana-mana: di kamar mandi,dekat gentong, di kebun, bahkan dalam rumah. Kedua, diadakan selamatan dengan menanggap wayang. Seseorang pernah bermimpi bahwa ia didatangi orang tua,dan mengatakan bahwa ia mau pergi kalau diantar dengan pementasan wayang. Camat menerima kedua syarat itu, dengan pikiran 32 pada Abu. Mengenai wayang jelas Abulah orangnya. Akan tetapi mengenai ular Pak Camat minta Abu mencari dukun untuk mengusir ular itu. Tetapi, Abu berpikir lain. Pekerjaannya yang pertama-tama adalah menyelamatkan ular-ular itu. Pada suatu hari Abu datang ke Candisari. Orang-orang mengkhawatirkan dirinya ketika ia mendekati gua. Orang banyak berdatangan ke situs untuk menyaksikan apa yang akan dikerjakannya. Ternyata, Abu keluar dari gua dengan ular sebesar paha melilit tubuhnya, lalu dibawanya pergi dengan sepeda motor. Ular, entah siluman atau bukan. "Percayalah, ular tidak akan mengganggu lagi," katanya pada orang yang masih berkumpul dekat situs. Tidak seekor ular pun nongol di rumah penduduk. Ada berita bahwa ular-ular pergi begitu saja, setelah Abu berhasil meyakinkan Sunan Lawu bahwa waktunya sudah tiba bagi ular untuk meninggalkan tempat itu. Seorang penduduk mengatakan bahwa ia melihat, malam-malam ada rombongan ular keluar dari tempat itu. Kemudian Abu menemui Lurah Candisari untuk keperluan wayangan itu. Disepakati bahwa dalam kesempatan itu akan dipentaskan lakon Babad Alas Wanamarta (Membuka Hutan Wanamarta). "Tidak akan ada sesajen," kata Abu. "Itu tidak termasuk permintaan dalam mimpi." Candi "baru" itu kemudian diberi nama Candi Kemuning. 9 Nama Kemuning muncul di koran-koran. Adanya candi "tiban" itu telah menjadikan Kemuning objek wisata budaya. Bersama dengan Sukuh dan Ceta, lengkaplah kepurbakalaan di daerah itu. Selain itu, di Kemuning ada kebun-kebun teh (dan pabriknya), kebun kopi,hutan karet, dan belakangan orang juga menanam sayur. Pemerintah Mangkunegaran dulu menyewakan daerah itu pada pekebun-pekebun Belanda, sekarang sebagian dimiliki pemerintah sebagian perkebunan rakyat. Kemuning dapat jadi tempat agro-wisata. Lebih indah dari Tawangmangu, tempat peristirahatan itu. Dari Kemuning orang dapat menikmati matahari kemerahan waktu terbit dan tenggelam. Ditambah dengan adanya jalanjalan yang mulus sampai puncak-puncak bukit-untuk ini Pemerintah Orde Baru patut mendapat acungan jempol-Kemuning bisa berkembang. Betul, beberapa bulan kemudian seorang investor menemui Pak Camat. Investor itu dibawa camat dan Abu berkeliling. "Kami akan menyulap Kemuning jadi daerah wisata," kata investor. "Caranya?" "Kami akan bangun hotel berbintang, asal ada tanahnya." "Tentu. Berapa hektar saja." Kabar mengenai bakal ramainya Kemuning itu segera tersebar ke seluruh penjuru kecamatan. Mula-mula berita itu milik sedikit orang, ibu-ibu PKK, para lurah, dan pegawai kecamatan, kemudian tersebar. Tua-muda, laki-perempuan semua membicarakan bakal ramainya Kemuning. Wah, wah! Di pasar, di pos-kamling,di pesta-pesta perkawinan dan sunatan, di masjid, di surau, di kebun, bakal ramainya Kemuning selalu menjadi bahan pembicaraan yang menarik. Wah, wah! Pak Camat sendiri dalam koferensi lurah-lurah dan pegawai kecamatan mengumumkan kesepakatan dengan seorang investor. Lurah-lurah berebutan menawarkan tanah kas desa untuk menjadi lokasi hotel itu. Dengan mudah investor mendapatkan tanah. Karena hotel dibangun dalam hubungannya dengan agro-wisata, maka sawah, kebun, tegal, dan tanaman jeruk harus ditata. Selain sedap dipandang, juga diharapkan bahwa para turis (wisman, wisnu) dapat ke kebun, ikut memanen tanaman. Disepakati bahwa apel, rambutan, dan anggur akan ditanam di Kemuning. Yang menjadikan heboh ialah pasar dan terminal harus dipindah. Bekas pasar akan dijadikan taman, hijau dan penuh bunga. Terminal yang sekarang untuk berhenti colt juga harus dipindah, karena tidak memenuhi syarat keindahan, sesuai dengan pola tata ruang. Investor menyodorkan rencana penataan ruang, tidak saja di sekitar hotel tapi di seluruh kecamatan. "Kami akan menyulap kecamatan ini menjadi model kecamatan bukit masa depan," kata investor pada camat. Pak Camat pun senyum-senyum harap-harap cemas, harapan bahwa kecamatannya akan 33 maju, dan cemas kalau rakyat tidak bisa diajak kerja sama. Penataan ruang itu dibeberkan langsung oleh perusahaan di depan pertemuan para lurah. "Bapak-bapak harus kerja keras," kata pemapar. Lurah kotalah (maksudnya lurah yang membawahi ibu kota kecamatan) yang paling banyak garuk-garuk kepala. "Bagaimana caranya memindahkan pasar?" pikirnya. "Memindahkan terminal mudah, tapi memindahkan pasar?" Seingatnya pasar itu sudah di sana sejak dulu, mungkin sejak adanya masyarakat di Kemuning. Kekhawatiran lurah itu menjadi kenyataan. Dalam rapat LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) warga menolak rencana pemindahan pasar. Hasil rapat itu diberitahukan pada camat dalam pertemuan mingguan. "Ini pemberitahuan sebuah keputusan, jadi bukan soal setuju atau menolak. Pasar itu dibangun di atas tanah negara. Dan negara bermaksud memindah pasar itu. Titik. Kalau setiap kali dimusyawarahkan, kapan majunya! Pengalaman di tempat lain, kalau pasar dan kios sudah dibangun orang berebutan menempati." Sebuah pasar baru dibangun. Kios-kios didirikan, los-los diletakkan. Dalam waktu singkat, enam bulan, sebuah pasar baru sudah berdiri. Para pedagang diminta pindah. Memang rupanya Pak Camat benar. Untuk penyewaan kios, camat sudah mengatur dengan BRI (Bank Rakyat Indonesia) agar yang tak punya uang untuk menyewa kios dan los diberi kredit. Camat itu tahu persis apa yang harus dikerjakan.Orang memanfaatkan kesempatan itu. Camat itu memang kerjanya rapi, tapi sedikit otoriter. Ketika los-los pasar lama dirobohkan, orang-orang yang menonton di pinggir menangis. Los-los itulah yang memberi mereka makan. Pasar lama selesai dibongkar, pasar baru selesai dibangun, para pedagang pindah ke pasar baru. Rumput-rumput Manila, bougainville, dan bunga mawar ditanam di bekas pasar. Kata Pak Camat kepada para lurah: "Masa lalu harus memberi tempat bagi masa depan!" 10 Camat kita menunjukkan bakatnya yang luar biasa sebagai juru runding. Dia pantang mundur, blak-blakan, bersih, dan lebih dari segalanya, ia sungguhsungguh memikirkan wilayah dan rakyatnya. Dalam perundingan dengan investor hotel, dia berhasil membujuk supaya pasokan buah-buahan dan tenaga menguntungkan petani dan tenaga kerja di wilayahnya. Tidak ada dalam benaknya pikiran mendapatkan kesempatan memperkaya diri. Padahal ke- sempatan itu sebenarnya berlimpah-limpah. Tanah negara yang dipakai untuk hotel dirundingkannya sebagai modal usaha, tidak dijual. Namun, ia tidak bisa mencegah ketika tanah-tanah penduduk yang dipakai hotel ditukar dengan sepeda motor. Abu berpendapat bahwa Pak Camat sungguh patut mendapatkan julukan "Camat Teladan", seperti selalu diberikan Bupati setiap 17 Agustus. Hanya kurang dari dua tahun kecamatan telah menuju perubahan. Tetapi Abu salah sangka, tidak demikian yang terjadi. Camat tidak bisa berbuat apa-apa ketika Mesin Politik berusaha untuk memindahkan sebelum waktunya, dan rasanan itu sudah beredar di Kemuning jauh sebelumnya. Pasalnya, lurah-lurah yang dijagoi Randu banyak yang kalah di kecamatannya. Gara-gara itu ia dinilai tidak serius memperjuangkan Randu. Ada andil Abu dalam kegagalannya, dan itu membuat Abu tidak enak dengannya pada hari-hari terakhirnya.* VII ABU VERSUS MESIN POLITIK, BOTOH, DAN DUKUN 1 BU VERSUS MESIN P Di Kemuning ada sembilan lurah yang habis masa jabatannya dan Pilkades akan dilaksanakan serentak di seluruh kecamatan. Balon-balon (bakal calon) lurah harus mendaftarkan diri di kecamatan, kemudian sebuah tim penguji yang diketuai camat akan mengadakan ujian. Tim penguji berhak menentukan siapa yang dapat menjadi calon. Ada perbedaan pendapat antara Mesin Politik dan Pak Bupati. Dalam pertemuan dengan para camat sekabupaten Bupati 34 memberi "Petunjuk Politik" agar jarak antara pengumuman dan pemilihan dipanjangkan kira-kira dua minggu. "Itu baru fair kepada rakyat", katanya. Mesin Politik menghendaki agar jarak waktu antara pengumuman dan pelaksanaan pemilihan itu singkat saja, umpamanya tiga hari, sehingga hanya orang-orang pilihan Mesin Politik akan menang, sebab merekalah yang paling siap, paling terorganisir, orang-orangnya pasti lulus ujian, dan Mesin Politik itu weruh sakdurunge winarah (tahu sebelum kejadian) karena ada rekayasa. Biasanya calon yang dijagoi Randu pasti menang. Menang sebelum pemilihan. Maka pagi sekali begitu kantor buka, dan Pak Camat melihat kuda Abu di tambatan, ia segera pergi ke kamar Abu untuk memanggil ke kamarnya. Pak Camat bercerita bahwa kemarin beberapa orang dari Mesin Politikdatang kepadanya, memintanya supaya ia mengumumkan balon-balon yang lulus tiga hari sebelum hari-H (Hari Pemilihan). Alasan yang dikemukakan ialah soal keamanan: Tidak baik ada ketegangan berlarutlarut antar penduduk. Kepada orang-oang itu Pak Camat mengatakan bahwa ia memahami sepenuhnya, tetapi masih menunggu instruksi tertulis dari Bupati. Katanya pada Abu: "Saya adalah bawahan bupati. Menurut peraturan saya harus patuh pada Pak Bupati". Lalu sambil duduk ia memperlihatkan selembar kertas dengan tandatangan Bupati. Surat itu berisi instruksi supaya pemilihan lurah dilaksanakan dua minggu sesudah pengumuman, agar para calon dan pendukung dapat berbenah diri. "Bagaimana pendapatmu?" "Wah, kalau saya ya harus menurut instruksi. Manut itu enak, Pak. Artinya lepas Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dari tanggung jawab." "Begitu, ya?" Pak Camat mengangguk-angguk. "Iya, Pak." Pak Camat melepas Abu dari kamar dengan lega. Entah apa sebabnya Pak Camat menganggap Abu Kasan Sapari mewakili hati nurani, yang polos, terbebas dari segala macam polusi. Ia memerintahkan Sekcam (Sekretaris Kecamatan) untuk membuat konsep SK Camat yang berisi bahwa Pilkades diadakan dua minggu setelah pengumuman. 2 Hari berikutnya setelah pengumuman ada kesibukan luar biasa di Kemuning. Mesin Politik berusaha supaya calonnya terpilih. Dikabarkan bahwa sebagai balasan atas dukungan Mesin Politik, para calon menjanjikan tanah kas desa untuk kegiatan apa saja dari Mesin Politik. Selain itu juga dijanjikan bahwa kalurahannya akan menjadi basis utama dari Mesin Politik. Yang tidak pernah dijanjikan-tapi sewajarnya demikian-ialah bahwa uang kas desa akan dipakai untuk keperluan dana kampanye pemilu Mesin Politik. Meskipun demikian, karena kucuran dana dari atas telah mencukupi dan uang kas desa praktis tidak pernah disentuh. Kampanye Pilkades pun mulai. Bahasa yang dipakai oleh para kader (petugas kampanye) hampir sama. Mereka akan mulai dengan pernyataan dan pertanyaan, "Kedatangan saya kemari ialah pertama untuk silaturahmi. Kedua, untuk bertanya apa Anda sudah punya calon." Kalau orang yang diajak bicara mengatakan 'belum' baru disebutkan nama dan tanda gambar calon. Kabar mengenai pemilihan lurah di Kemuning sudah didengar oleh media massa yang telaten nongkrong di Pemda. Seorang wartawan dari Suara Bengawan menemui Pak Camat dan oleh camat diverwijs pada Abu Kasan Sapari. Abu mengatakan bahwa banyak hal menarik yang perlu diberitakan. Kemudian dia bercerita tentang campur tangan Mesin Politik, adanya botoh, dan peran dukun dalam Pilkades. Wartawan itu diberi kebebasan untuk meliput. Dia juga memberikan jadwal dia akan mendalang untuk mendukung calon. Wartawan itu berjanji akan datang nonton, untuk mengetahui efektivitas kesenian dalam politik. Wartawan itu mempunyai sepeda motor, sehingga tidak ada kesulitan untuk hilirmudik. Laporan wartawan itu akan dimuat berturut-turut di koran selama dua minggu, untuk memberi gambaran dari dekat mengenai pemilihan lurah, demokrasi di tingkat desa. Sejak saat itulah Abu Kasan Sapari akrab dengan kawan wartawannya. Wartawan itu anggota AJI (Asosiasi Jurnalistik Indonesia). Masih muda, bersemangat. Ia mengatakan pada Abu bahwa jurnalisme dipilihnya sebagai profesi, dan sebagai alat untuk memperjuangkan keadilan dan 35 demokrasi. Ia hanya mengandalkan hati nurani, tidak segan-segan melakukan kritik kepada siapa pun. Randu, botoh, dukun, dan tokoh-tokoh lokal berusaha mempengaruhi jalannya pemilihan lurah dengan berbagai cara. Kemenangan dalam pemilihan lurah mempunyai makna sendiri bagi yang berkepentingan. Bagi Mesin Politik kemenangan Pilkades berarti kemenangan dalam pemilu nanti, uang bagi botoh, prestise bagi dukun, dan sekadar rezeki bagi orang-orang lain. Di sini akan diceritakan bagaimana mereka bersaing, dan siapa yang memenangkan pertarungan. 3 Gondangsari adalah desa yang paling strategis di kecamatan. Desa itu desa terkaya di kecamatan. Sawah-sawahnya subur, ada perusahaan kulit, ada perusahaan batik, ada perusahaan mebel, ada perusahaan kaleng bekas yang membuat kompor dan ember, ada perusahaan anyaman. Pendek kata desa itu tidak melulu desa pertanian. Orangorang dari desa sekitar berdatangan ke Gondangsari untuk bekerja. Pemudapemudanya menjadi idola gadis-gadis sekitar, ada perkumpulan larasmadya-tembang dan tabuhan-yang biasa ditanggap orang-orang dari desa sekitar. Listrik PLN sudah masuk, jalan antarkecamatan beraspal membentang di tengah desa. Desa itu menjadi desa Pelopor P-4. Jalan-jalan desa sudah dikeraskan dengan batu, berkat AMD (ABRI Masuk Desa) tahun sebelumnya. Jumlah radio tak terhitung, pesawat TV lebih dari sepuluh. Orang-orang desa suka menonton acara-acara TV yang sengaja dipasang di ruang tamu untuk tontonan umum. Selain itu ada beberapa orang berlangganan koran. Maka jangan heran kalau orang desa Gondangsari dapat menyebut nama-nama Boris Yelsin, Fidel Ramos, dan Yasser Arafat. Mereka juga tahu soal tambang emas Busang, Situbondo, dan Tasikmalaya. Itu semua berkat banyaknya pengusaha. Kepada para pengusaha kecil itulah Mesin Politik menjanjikan akan mengucurkan KUK (Kredit Usaha Kecil). Tidak mengherankan kalau Randu menang di situ. Seorang calon lurah mengadakan wayangan semalam suntuk, dalangnya adalah Abu Kasan Sapari. Pertunjukan wayang kulit dimulai. Tetapi, kursi-kursi disediakan kosong, tenda yang dipasang seolah-olah tak berguna. Kursi-kursi depan hanya diisi para undangan dan kader. Kursi belakang yang disediakan bagi penonton umum nyaris kosong, ketika calon lurah berpidato. Juga ketika dia menyerahkan wayang pada Abu-upacara penyerahan wayang yang jelas-jelas meniru para pembesar yang diketahui melalui TV. Orang-orang ngumpet di rumah, barangkali sungkan kalau-kalau ketahuan kaki-tangan Mesin Politik. Menonton wayang berarti mengkhianati janji, sebab mereka sudah terima uang. Mereka hanya mendengar pidato calon lurah dari rumah-rumah, karena pengeras suara yang keras dapat mencapai telinga mereka. Namun, menjelang tengah malam, orang satu per satu keluar rumah, mula-mula dalam bungkus sarong. Bunyi gamelan sungguh tak terlawan. Setelah mereka yakin isu tentang adanya kaki tangan Mesin Politik ternyata hanya satu cara memenangkan pemilihan, mereka membuka sarong dan makin mendekat. Penonton makin lama makin banyak, akhirnya mbludag sampai jalanan. Bagi mereka yang menonton wayang, amanatnya jelas: "Pilihlah Kipas", meskipun wayangnya sama sekali tak menyinggung. 4 Selama dua minggu desa Pandanwangi dijaga polisi. Mobil, sepeda motor, sepeda, dan pejalan kaki tidak lepas dari pertanyaan polisi: dari mana, ke mana, ketemu siapa, dan untuk apa. Soalnya ada kabar bahwa para botoh dari kota telah menjadikan pilihan lurah sebagai arena perjudian. Mereka menjagoi salah satu calon, mensuplai uang untuk kampanye, dan membagi uang pada tokoh-tokoh kunci. Ada perintah dari camat untuk mengisolir desa itu sampai dengan hari H, supaya tidak ada pengaruh luar. Namun, seperti kata pepatah, "Sepandai-pandai tupai melompat, sekali akan gawal juga". Banyak cara untuk menerobos blokade polisi. Tidak lewat jalan, pesan dan uang bisa dititipkan orang yang biasa pulang-pergi, anak-anak sekolah, orang-orang ke pasar, dan cara lain. Yang dikhawatirkan benar oleh orang (termasuk Pak Camat) ialah seseorang yang sesumbar pasti memenangkan pemilihan. Pak Camat menyesal karena telah meluluskan orang itu. Orang itu terkenal thuk-mis (tidak tahan melihat wanita cantik), tapi 36 pemurah, kaya (ia punya truk), dermawan, dan suka bekerja (tidak pernah absen ronda dan gotong-royong). Kabarnya seorang botoh dari kota menjagokan dia. Relasinya banyak. Karena itulah ia juga kenal dengan botoh yang menjagoinya. Dengan alasan, toh semua calon berusaha memenangkan pemilihan, seseorang lain menjagoi tokoh lain. Jadilah pemilihan lurah di Pandanwangi sebagai taruhan. Kabarnya kalurahan lain juga jadi perjudian, tapi Pandanwangilah yang paling menyolok. Nah, kepada Abu Kasan Saparilah orang berharap. Sebenarnya calon yang minta tolong Abu adalah tokoh masyarakat desa. Dia seorang guru madrasah, masih muda ( umurnya 40-an) bisa memimpin doa waktu ada yang punya hajat (metu , manten, mati), menjadi kontak tani, mantan Ketua Karangtaruna, pendidikannya sampai MAN (Madrasah Aliyah Negeri), tapi terkenal cerdas. Para penduduk iuran untuk menyewa tenda, kursi, dan ibu-ibu memasak makanan kecil untuk suguhan. Gamelan yang terpaksa didatangkan dari desa lain diangkut dengan satu-satunya gerobak yang ada. Mereka ingin menjadikan tokohnya lurah di desa itu. Dapat dipastikan kursi-kursi sudah penuh ketika pidato dan ketika wayang dimulai. Orang-orang yang sudah menerima bayaran dari pesaing juga hadir. Mereka tidak pernah berjanji apa-apa, jadi merasa tidak terikat. Dapat rezeki itu jangan ditolak, perkara memilih itu rahasia. Guru madrasah Pandanwangi itu terpilih jadi lurah. 5 Seorang guru SLTP mencalonkan diri. Kawan-kawannya menganjurkan untuk tidak mencalonkan saja. Kata mereka seorang guru adalah guru, tidak sepantasnya mencalonkan diri jadi lurah. Pekerjaan guru itu di depan kelas mengurus murid, tidak di belakang meja mengurus rakyat. Mencalonkan diri jadi lurah sama saja dengan legan golek momongan (mencari-cari pekerjaan). Para pesaingnya berat, pemilik toko , anggota koramil, sekdes, dan kaur sosial. Sebenarnya Abu tidak yakin, tetapi apa boleh buat, wong teman. Guru itu mencalonkan diri, soalnya sekarang guru sedang jadi favorit orang desa. Abu Kasan Sapari mendalang untuk dia. 6 Pada hari-H, pagi sekali sebelum matahari terbit dan sebelum orang-orang datang, sesuai dengan anjuran dukun seorang calon lurah berangkat menuju sendang. Ia lalu mencopot pakaian dan menceburkan diri di sendang. Biasanya orang mandi dengan cara menciduk air dari sendang. Sebenarnya dingin juga mandi dengan cara itu.Tapi dia mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Ia yakin betul akan memenangkan suara, karena dukun sudah menjamin. Ia tidak takut apa pun, meskipun saingan terberatnya wayangan semalam suntuk. Dia sudah mengimbanginya dengan lek-lekan selama tujuh malam. Untuk mencegah kantuk, orang bermain kartu Cina, dengan sedikit taruhan. Dukun telah memilihkan gambar yang tepat, yaitu "Obor". Dia juga telah memenuhi saran dukun untuk nyekar di makam cakal bakal desa. Semua orang yang akan memilih dia berangkat dari rumahnya. Tentu saja dengan kenduri alias makan pagi. Maka pagi itu di rumahnya seperti ada pesta. Ada sedikit upacara sebelum berangkat, dipimpin oleh seseorang (dukun adalah milik semua orang, jadi tidak mungkin ia hadir in person), dengan doa campuran bahasa Arab dan Jawa. Orang sedesa tahu bahwa calon itu mendapat dukungan dari dukun. Meskipun TPS (Tempat Pemungutan Suara) itu dekat saja, tapi mereka diharuskan mengambil jalan berputar. Mereka juga diharuskan berangkat pagi sekali, sebelum TPS buka. Jadilah mereka seperti pawai. Sebenarnya tiga hari sebelum hari-H adalah "Hari Tenang", tidak boleh ada kampanye, tapi tidak ada peraturan yang melarang orang untuk berangkat bersama. Calon dukungan dukun itu tidak terpilih. 7 Pengumuman pemilihan itu menunjukkan bahwa calon Mesin Politik menang di lima kalurahan, kalah di empat desa. Dukungan Abu Kasan Sapari masuk tiga, satu gagal, yaitu guru SLTP itu. Politik tingkat desa itu oleh koran Suara Bengawan digambarkan sebagai setengah jujur 37 setengah tidak. Sebab, ada keterlibatan sihir. Sihir itu bernama Mesin Politik, botoh, dukun, dan kesenian. Sihir itu meskipun tidak melanggar peraturan, tetapi mempengaruhi kemurnian suara. Orang terpengaruh oleh gaya, tidak oleh isi. Karena disebut-sebut kesenian, Abu mengerti bahwa yang dimaksud adalah wayangan. Abu segera pergi untuk menemui wartawan. "Saya hanya menulis berdasarkan hati nurani. Tidak kurang tidak lebih," kata wartawan itu. "Mungkin dia benar," pikir Abu. Sejak itulah Abu Kasan Sapari selalu bertanya-tanya bagaimana mendudukkan kesenian, supaya kesenian terbebas dari politik, atau sebaliknya politik dari kesenian, pendek kata keduanya terpisah: kesenian itu otonom. Kesenian adalah keindahan, sedangkan politik adalah kekuasaan. Biarlah orang lain mengotori politik, asal bukan kesenian. Mesin Politik mengotori hati nurani dengan jabatan, botoh dengan uang, dukun dengan klenik, dan ada kemungkinan kesenian mengotori hati nurani justeru dengan keindahan. Mengotori dengan keindahan" Keindahan harus menbuat orang bijaksana, mempertajam hati nurani, bukan membuatnya hati nurani tumpul. 8 Bupati datang di Kemuning untuk melantik lurah-lurah baru. Mesin Politik yang ikut dalam rombongan Bupati berbisik pada Pak Camat: "Kami tahu, siapa aktor intelektual yang menyebabkan kami gagal." Pada waktu itu sedang terkenal istilah 'aktor intelektual', pemicu segala macam keonaran. Aktor intelektual yang dimaksud mungkin dirinya sendiri, mungkin orang lain. Camat mengatakan, "Bukan gagal. Hanya tidak seratus persen." Ia sudah merasa ada sesuatu yang akan terjadi. "Ingat, target Pilkades dan Pemilu kita ialah seratus persen. Itu kalau kau masih mau jadi Sekda," bisik Mesin Politik lagi. Perasaan was-was camat terjawab beberapa minggu kemudian. Dengan berat ia pergi ke kamar Abu-tidak memanggil seperti biasa-di tangannya ia menenteng sebuah surat tembusan. Di tempatnya Abu juga sedang membaca sebuah surat. Segera saja dia tahu bahwa surat itu bunyinya sama. "Itulah yang disebut kenyataan," kata Pak Camat. "Sayang kerja sama kita berakhir begini." "Saya mengerti, Pak." "Sekarang giliranmu, lain kali giliranku. Tahukah kau, mengapa aku praktis tidak pernah naik pangkat" Mengapa aku ditempatkan di kecamatan bukit ini?" "Ya, kurang lebih." Surat itu berisi tentang pemindahan Abu dari kecamatan itu. "Maafkan, semua kesalahan saya, Pak." "Tidak ada kesalahan, tidak ada yang harus dimaafkan. Kita semua menghadapi soal yang sama. Jangan bilang-bilang, kita sama-sama menghadapi keangkuhan kekuasaan." Entah apa sebabnya Abu menyeka matanya. 9 "Jangan merusak, jangan menghina orang," kata guru pembina kepada Osis. Anakanak akan mendatangi kantor camat untuk unjuk rasa. Ada rapat guru yang khusus membahas soal itu. Dalam rapat itu para wali kelas berani menjamin bahwa segalanya akan berjalan mulus. Maka mereka pun melepas anak-anak. Anak-anak pengurus Osis dari SLTP dan MTs (Madrasah Tsanawiyah) tempat Abu mengajar kerawitan dan tari siang itu telah sepakat untuk memprotes pemindahan Pak Abu yang mereka cintai. Hampir semua murid mengikuti mereka. Sambil berteriak-teriak, "Pak Abu! Pak Abu!"mereka menuju kecamatan membawa spanduk dari apa saja: kertas koran, kertas gambar. Di kertas itu tertulis: "Abu". Hanya satu kain putih yang panjangnya tiga meter dengan tulisan yang sangat jelas terbaca. OSIS dua sekolah itu telah mensponsori pembelian kain. Di kain itu terbaca: "Kembalikan Pak Abu". Pohon-pohonan dekat kecamatan ditulisi dengan kapur, "Abu". 38 Mereka menirukan apa yang dibaca di koran atau ditonton di TV. Pak Camat keluar untuk menemui para demonstran ABG itu. "Adik-adik, atas nama Pemerintah Kecamatan, kami mengucapkan terima kasih pada kalian. Kami pun tak bisa berbuat apa-apa. Percayalah, memang sudah waktunya Pak Abu pindah, ini demi kebaikannya sendiri." Ada gumam panjang di kerumunan anak-anak itu. Terdengar isakan serentak dan menangis bersama, "Huk-huk-huk". Beberapa siswa menangis sungguhan. Akhirnya mereka membubarkan diri. 10 Dua minggu kemudian camat baru datang, serah terima, menggantikan Pak Camat yang dipindahtugaskan. Dengan geleng-geleng kepala para pegawai kecamatan menyambut Sertijab camat mereka. Ketika sebuah truk mengangkut barang-barang camat yang pindah dan sebuah colt membawa dia dan keluarganya, para pegawai mengantar sampai kendaraan lenyap dari mata mereka. Kemudian mereka kembali diam-diam ke meja. Mereka terheran-heran. Mereka tidak paham. Apa yang telah terjadi"* VIII ABU KASAN SAPARI DAN LINGKUNGANNYA 1 Abu Kasan Sapari dipindahkan ke kecamatan Tegalpandan, jauh lebih dekat dan mudah bila ingin ke ibu kota Kabupaten Karangmojo. Mungkin karena tidak ada kecamatan yang lebih gunung daripada Kemuning, atau mungkin sebab yang lain. Ini namanya bukan dibuang tapi dimanjakan, pikirnya. Dia tidak peduli. Yang sangat disukainya ialah tempatnya sekarang dekat dengan Palur, sewaktu-waktu ia dapat pulang ke rumah Ki Lebdocarito dengan bis. Terminal bis hanya beberapa langkah dari kantornya. Dia tidak lagi di Bangdes tapi di Statistik, mengurusi angka Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo angka, tidak berhubungan dengan wilayah dan orang. Tidak apa, toh masih juga mengabdi pada negara. Ibarat kerbau, Abu seperti pulang kandang, sebab dia bisa melajo dengan bis dari Palur. Pagi-pagi dia melapor pada Camat Tegalpandan. Ia menunjukkan surat dan Camat menunjukkan mejanya, pekerjaannya, dan sebuah skema mengenai jaringan kerja. Untuk sementara ia pulang ke Palur. Tapi kemudian dirasanya lebih baik berdiri sendiri. Ia memutuskan untuk mencari rumah sewa dekat kantornya. "Ada," kata temannya. "Boleh disewa seluruhnya, boleh separo." Kemudian dia menyewa separo rumah kotangan (tembok di bawah, gedek di atas). Rumah seluruhnya terlalu besar untuknya. Lumayan, katanya, bisa untuk berteduh. Tidak kepanasan, tidak kehujanan. Maka tinggallah Abu Kasan Sapari di situ, hanya sepuluh menit berjalan kaki dari kantor, lewat jalan besar, gang sempit, pasar, dan terminal. Rumah itu memang dirancang sedemikian rupa, supaya bisa ditempati dua keluarga. Tegalpandan-kota kecamatan yang juga kota tempat Pembantu Bupati-lebih kota dari Kemuning, tetapi lebih desa dari Karangmojo. Ada pasar dengan los-los, warung, kios, dan di sekitar terminal ada toko-toko . Pohon beringin tua tumbuh lebat di terminal, tidak seorang pun tahu kapan ditanam dan siapa menanam. Begitu tua pohon itu, sehingga dulu ada orang yang menganggapnya bertuah. Orang yang akan mantu memakai rantingnya sebagai hiasan dengan harapan mempelai akan panjang umur subur makmur, mencari daun lumah-kurep (jatuh menghadap ke atas dan ke bawah) dengan harapan mempelai akan rukun, segera punya anak. Ringin artinya juga mari kepengin (tidak kepengin), sebab orang yang sudah kawin harus berhenti menginginkan pasangan. Tidak diketahui siapa yang memulai,tapi setiap bulan Mulud pasti ada pertunjukan wayang di situ. Kemudian perayaan itu tetap, namun orang sudah lupa dengan beringin bertuah dan menganggapnya perayaan itu sebagai bersih desa biasa. Pada waktu itulah warga desa Tegalpandan yang merantau datang untuk ziarah, bertemu keluarga, dan berkumpul dengan teman-teman lama. 39 Beberapa meter dari terminal itulah terletak kantor kecamatan, Polsek, Koramil, dan sebuah gedung serba guna yang bisa untuk pertemuan,rapat,dan mantenan. Abu tahu apa yang harus dikerjakannya: mengurus surat pindah, kartu C-1, KTP baru, perkenalan dengan warga RT, dan ikut Siskamling. 2 Camat Tegalpandan tahu belaka sebab-sebab kepindahan Abu. Maka ketika ada waktu dikatakannya, "Jangan menyalahgunakan kesenian." "Ya, Pak. Tetapi," lalu ia pun behenti. Sebenarnya Abu ingin menerangkan panjang-lebar, tapi dipikirnya itu namanya mencari-cari musuh. Ia terkejut ketika ia tahu bahwa orang tahu ia bisa mendalang. Rupanya berita-berita tentang dia sudah tersebar di kalangan pejabat, aktivis Mesin Politik,dan masyarakat. Ada andil teman yang wartawan itu rupanya. "Jangan lupa, saya tidak anti-kesenian," kata Camat lagi, "saya hanya mengingatkan." Yang tidak diketahui orang ialah dia menyesal telah membuat camat yang baik gagal, mengalahkan Mesin Politik, botoh,dan dukun. Dalam hal ini dia setuju dengan semboyan Sosrokartono, menang tanpa ngasorake ("menang tanpa mengalahkan"). "Tetapi bagaimana?" pikirnya berulang-ulang, "itu tak terelakkan." Betul dia menang,tetapi ia mengalahkan. Maka ketika camat Tegalpandan mengatakan padanya untuk tidak menggunakan kesenian dalam pemilihan lurah dia menyatakan "ya, tetapi". "Tetapi"-nya ialah orang lain harus berhenti menggunakan kekuasaan, uang, dan sihir. Kabar bahwa ia dipindah dari Kemuning tersebar di luar Tegalpandan berkat media massa. Ia dijadikan sampel kasus mengenai demokrasi di tingkat desa. Seorang mahasiswa Ilmu Politik dan seorang mahasiswa Administrasi Negara datang padanya untuk bertanya ini-itu. Dikatakannya bahwa dia hanya menjawab pertanyaan tentang fakta, tidak tentang opini-meniru ucapan wartawan temannya. Sebenarnya ia tidak mau kesenian melukai siapa-siapa, termasuk orang-orang Mesin Politik, botoh, dan dukun. Ia tahu, dia tidak bisa mengharap semua orang arif seperti Abiyasa, bijak seperti Kresna, lurus seperti Bima, pemurah seperti Darmakusuma. Dunia penuh keserakahan Rahwana, kelicikan Sengkuni, punya watak candala (rendah) seperti Kurawa. Keduanya adalah hiasan hidup. Hidup hanya dengan Abiyasa adalah sepi. Hidup hanya dengan Sengkuni penuh cakar-cakaran. Maka, Rahwana ya boleh, Kurawa ya boleh. Asal tahu batas, aturan, korupsi ya boleh asal jangan banyak-banyak. Abu bergabung dengan kelompok kesenian di Tegalpandan. Dia mulai sering mengikuti pertunjukan wayang Ki Manut Sumarsono seperti dulu. Seperti dulu juga ia bersedia meskipun hanya sebagai tukang angkat-angkat gamelan. Ia dipercaya untuk mendalang pada peringatan hari lahir Ki Manut Sumarsono. Selain itu, Ki Manut Sumarsono punya cara sendiri untuk mempromosikannya. Mula-mula Ki Manut akan memulai, kemudian dia melanjutkan. Sesudah itu kadang-kadang orang yang datang pada Ki Manut Sumarsono akan di-verwijs padanya. Sementara pamornya sebagai dalang mulai merangkak naik, Pak Camat berhenti mengutik-utik soal kesenian dan politik. Tidak pernah lagi terdengar ucapan, 'jangan menyalahgunakan kesenian'. Bahkan, Pak Camat jadi teman baiknya. Ada kepentingan yang sama. Pak Camat bermaksud menjadikan kecamatannya sebagai kecamatan budaya. Kecamatan itu sudah punya modal, Ki Manut Sumarsono. 3 Suatu siang di rumah yang separonya terdengar suara mesin jahit. Ada orang di sana, pikirnya. "Siapa di situ?", katanya keras dari dalam rumah. Dari seberang tembok terdengar orang menjawab. "Saya",kata suara. Suara itu begitu halus, seperti menyanyi.Perempuan" Ia berpikir kenapa yang punya rumah tidak bilang-bilang kalau ia menyewakan rumahnya. Abu Kasan Sapari penasaran. Hampir berlari ia ke pintu sebelah. Ia mengetuk. "Saya. Tetangga," katanya. Terdengar suara sandal diseret, lalu pintu itu terbuka. 40 Abu ingin masuk, tapi langkahnya terhenti. "Boleh juga perempuan ini," pikirnya. Orang itu mengulurkan tangan, disambutnya. "Nama saya Lastri, Sulastri". Abu mau menyebut nama,tapi perempuan itu bilang. "Saya sudah tahu nama sampeyan Abu Kasan Sapari. Ya, Pakde sudah mengatakan kalau sampeyan menyewa rumah yang separo. Masuklah! Tapi maaf, masih berantakan. Belum sempat mengatur, ada jahitan yang harus selesai." Abu tidak masuk tapi memandangi ruangan itu. Ini baru benar-benar rumah, rumah seorang perempuan pasti lebih rapi dari rumahnya. Ada meja kursi tamu, dari kain beludru. "Terima kasih, saya ada pekerjaan ." Pada suatu kesempatan, pemilik rumah mengatakan bahwa Lastri adalah keponakannya, jadi bukan penyewa. Pakde itu dulu pegawai Pemda yang ditempatkan di Tegalpandan, tapi kemudian pindah. Mula-mula Lastri tinggal di rumah itu bersama Pakde dan Budenya yang tidak punya anak, sebelum menikah. Lastri mempunyai TV berwarna agak kecil. Abu pergi ke rumah Haji Syamsuddin untuk nonton berita, bola, dan tinju. Selebihnya Abu akan tinggal di rumah, menatah-natah belulang kerbau. 4 Berita bahwa Lastri menempati rumah yang praktis serumah dengan Abu Kasan Sapari segera tersebar. Itu karena dulu Lastri seorang primadona di Tegalpandan. Membuka jahitan di pasar Tegalpandan, setelah tamat SKK (Sekolah Kesejahteraan Keluarga). Ia adalah penyanyi kroncong di sebuah klub amatir, yang pasti muncul di pesta-pesta di kecamatan itu. Ia menikah, suaminya meninggal, belum punya anak. Jadi, janda kembang-lah. Setahun setelah suaminya meninggal, ia memutuskan untuk kembali ke pasar. Mertuanya berusaha mencarikan suami, tapi ditolaknya. Dikatakannya bahwa ia ingin hidup sendiri tanpa kesibukan rumah tangga.Meskipun mertuanya, Pakdenya, dan orangtuanya menyuruhnya tinggal di tempat mereka, ia berkeras untuk kembali ke pasar. Maka Pakdenya memberikan tempat itu. Akhirakhir ini, setelah menikah, kesibukannya bertambah: banyak orang memintanya jadi juru rias temanten. "Hati-hati," kata kawan-kawan Abu di kantor. "Dia lebih pengalaman." Kawan-kawannya di kantor itulah yang mengatakan tempat Lastri membuka kiosnya. Suatu hari Abu ke kantor tidak lewat jalan biasanya, sengaja demikian. "Lho, di sini to," kata Abu pura-pura belum tahu. "Di manalagi, kalau tidak di sini?" jawab Lastri. Sejak itu pergi dan pulang Abu selalu melewati tempat itu, tidak bosan-bosannya. Entah karena apa dengan gembira ia selalu lewat di situ, sekalipun kadang-kadang Lastri tidak ada. Ia merasa kios itu juga kiosnya. Abu juga diberitahu bahwa Lastri adalah penyanyi. Sore-sore dia mendengar nyanyian dari ruang sebelah, dinding kotangan itu sama sekali tidak kedap suara. "Yen ing tawang ana lintang ...." Setelah nyanyian itu selesai dia mengetuk pintu untuk mengatakan: "Mbak, eh Jeng, eh Mbak." "Yu, begitu." "Siapa lebih tua?" "Tidak peduli, pokoknya panggil 'yu'." "Ya, sudah. Yu, suaramu bagus lho, bisa dijual." "Terima kasih. Tapi saya hanya menjual jasa, tidak menjual suara." "Lho, jangan sombong. Siapa tahu." "Alah, saya tahu, kok. Kalau sampeyan pinter ndalang. Sampeyan terkenal sekali, lho. Semua orang pasar tahu." "Iya, to". "Iya, masa saya bohong." 5 Suatu pagi Abu sedang lewat dekat kios Lastri, ketika ada ribut-ribut di dalam pasar. "Ular, ular!" kata orang banyak. 41 Seekor ular sebesar dua empu jari kaki dan panjang satu meter merayap di antara dagangan. Para perempuan berlari meninggalkan dagangan mereka, dan para lelaki dengan apa saja di tangan membentuk lingkaran. Ular itu tidak terlalu bodoh, ia menyusupnyusup di antara dagangan, sehingga hanya dikepung para lelaki, tapi selamat dari kemarahan orang. Abu menyibakkan para pengepung. "Jangan dibunuh!" Kemudian dia jongkok. Orang-orang menurunkan tangan. Memandangi Abu yang merunduk- runduk. Abu bersiul. Dalam sekejap ular itu sudah berada di tangannya. Ia lari keluar pasar, diikuti mata-mata yang tidak mengerti. Di luar desa, dengan mudah ditemukannya gerumbul pohonan liar tempat dia melepas ular itu. "Kau boleh jalan-jalan. Tapi jangan ganggu orang." Kabar bahwa Abu menangkap ular di pasar bukan saja tersebar pada orang-orang pasar, tapi juga anak-anak sekolah yang suka mampir ke pasar, sopir dan kenek bis, penjaga sepeda dan sepeda motor, dan para lelaki yang mengantar istrinya ke pasar. Pendek kata siapa saja yang pagi itu terwakili di pasar. Entah apa sebabnya, anak-anak mulai membuntuti dia. Itu menjadikannya risih, sehingga dia akan berangkat kantor pagi-pagi supaya tidak berpapasan dengan anak-anak sekolah. Siang hari dia akan pulang agak lambat, namun pasti ada saja anak sekolah yang jalan-jalan ke pasar. Dia bisa terlepas dari dibuntuti, tetapi tidak bisa terlepas dari tatapan mereka. Mengapa dia merasa risih" Pada waktu kecil, Abu dan kawan-kawannya suka membuntuti dan mengganggu perempuan gila di desa. Anak-anak tahu bahwa perempuan itu gila karena ditinggal kekasih. Anak-anak akan menyebut sebuah nama, dan perempuan itu akan menangis. Anak-anak baru berhenti menggoda bila perempuan itu mulai melempari mereka dengan apa saja. Maka ketika Lastri mengatakan bahwa Abu mendapat julukan baru di pasar, Abu menjadi kecut. "Sampeyan makin terkenal lho di pasar." " Hh?" "Jangan terkejut kalau sampeyan terkenal sebagai Si Dukun Ular." Kata-kata itu diambil dari film silat televisi yang lagi ngetop di situ. 6 Rumah sewa itu mempunyai sumur dan MCK sendiri-sendiri di dalam,tapi kadangkadang seperti orang lain Abu lebih suka ke sungai untuk mandi, terutama sore hari kalau terasa udara panas. RT membuat tempat mandi dari tembok tanpa tutup tetapi cukup tinggi. Ada tempat mandi laki-laki ada tempat mandi perempuan. Tempat mandi itu sebenarnya adalah mata air. Sungai itu deras, berbatu-batu, dan dangkal. Tegalpandan masih tergolong gunung, sekalipun tidak tinggi betul. Suatu sore ketika Abu ke sungai sepertinya orang-orang sedang bubaran dari kumpul-kumpul. Abu curiga. " Apa" " ia bertanya. " Ada ular di tepi sungai. " Abu melihat bangkai ular yang remuk kepalanya, remuk sebagian badannya, ada batu-batu, ada bata-bata. Ini harus dikuburkan, pikirnya. Setelah sepi orang, dia memungut bangkai itu dengan tangannya. Dibawanya pulang, diambilnya cethok, kemudian ular itu dikubur di belakang rumah, di sela-sela pohon ketela. Ternyata perbuatannya itu diketahui orang juga. Karena, beberapa hari kemudian Lastri bilang: "Para tetangga heran mengapa bangkai ular itu dipungut dan dikubur." 7 Atas rekomendasi Ki Manut Sumarsono, Abu Kasan Sapari mendalang pada suatu resepsi pernikahan. Sehabis Maghrib sebuah Colt berhenti di muka rumah untuk menjemput Lastri. Dan Sulastri pergi bersama orang itu. Kemudian Colt yang sama datang untuk menjemput Abu. Ia sudah 42 berdandan lengkap, pakaian seorang dalang. Ikat kepala, beskap, kain, keris, sabuk, kemben, dan selop. Penjemput mengatakan bahwa tidak ada kesulitan menemukan rumahnya, sebab alamatnya sama dengan alamat Bu Lastri yang merias pengantin. Jadi Lastri juga merias temanten, pikir Abu. Penjemput mengatakan bahwa orang memilih Lastri karena pengantin selalu tampak lebih cantik, barangkali saja kena imbas Lastri. Abu tahu bahwa Lastri ramah, tetapi bahwa dia cantik ia baru mendengarnya, namun ia sangat setuju. Ketika Abu datang resepsi itu segera dimulai. Ada tenda-tenda, lampu neon, pemudi cantik berjejer dekat buku tamu. Abu dipersilakan duduk di kursi di deretan depan, sebelum wayang dimulai. Pada waktu itulah Abu melihat betapa Lastri cekatan, berdandan, dan tampak menguasai benar upacara perkawinan. Abu berdiri, bisik-bisik pada juru foto supaya periasnya difoto yang banyak. Abu mau memberitahukan alamatnya, tapi tukang foto mengatakan bahwa Abu tidak perlu memberitahukan alamatnya. Di rumah Abu bilang: "Yu, Yu. Saya semalam mimpi lihat bidadari." "Saya malah ketemu Damarwulan beneran." "Betul, pa?" "Betul. Sayang hanya sekilas. Damarwulannya ganteeeng sekali, lho." "Jangan-jangan Semar dikira Damarwulan?" "Ah, itu sama saja dengan mengatakan saya tidak awas." "Ya tidak begitu, to." Beberapa hari kemudian Abu mengetuk pintu Lastri: "Yu, Yu. Saya tunjukkan gambar bidadari itu, tapi jangan marah, ya." Abu memperlihatkan foto-foto. "Huh, kayak gini kok dibilang bidadari," kata Lastri. "Kalau batari ya boleh, tapi Batari Durga, lho." Batari Durga adalah dewi yang berwajah raksasa. " Sesuka saya, to. Kowe kok tela, apa gaplekmu. " [Kamu kok iri, apa punyamu]. "Pantesnya itu ditaruh di bawah amben untuk menakut-nakuti tikus." "Ini akan saya besarkan, diberi pigura, ditaruh di dinding." "Setiap pagi diberi kembang setaman, setiap malem Jumat dibakari kemenyan." "Itu kan tenung namanya." "Tidak usah ditenung saja sudah nempel." "Sungguh, pa?" "Lha katanya mau ditaruh di dinding. Apa tidak nempel?" Tentu saja Lastri tidak bilang bahwa ia juga menyimpan foto Abu yang sedang duduk di kursi depan itu. Sejak itu nama Lastri terdengar sangat merdu di telinga Abu. Sejak itu pula orang akan sering mendengar dia menembangkan Dandanggula, " Nimas ayu ingkang Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo milangoni, buron arum ingkang sabeng wana, yen panggih iba rasane." [Adik cantik yang menggetarkan hati, buruan harum berkeliaran di hutan, kalau ketemu betapa senang rasanya]. 8 Sebagai penghuni laki-laki Abu Kasan Sapari dapat giliran ronda untuk kepala keluarga. Giliran Abu sebenarnya hanya sekali sebulan, tapi bila sempat hampir seminggu sekali ia akan keluar. Ia rajin keliling hanya untuk bisa bilang, " Lek, lek. Yu Lastri". Lalu akan terdengar suara halus dari dalam, " Sudah dengar. " Kalau demikian, pagi harinya Lastri akan mengantar makanan kecil dan berkata, " Ini upahnya diwakili ronda. Airnya masak sendiri. "Kadang-kadang ditambah dengan, " Kecuali kalau mau ke sebelah. " Di gardu Abu terkenal sebagai tukang dongeng, ahli filsafat kecil-kecilan,dan cagak lek (membuat terbangun) hidup. Sebutan tukang dongeng itu didapatnya karena dia suka bercerita 43 Ramayana dan Mahabarata yang belum pernah didengar orang, karena karangannya sendiri. Suaranya dapat besar, dapat kecil, dapat kasar, dapat halus seperti wanita. Komentar orang, "Dia seperti buku." "Seperti ketoprak." "Seperti dalang." "Tidak hanya seperti." "Sudah jadi dalang, kok masih mau ronda." Julukan filsuf itu didapat ketika orang dibuat sadar bahwa mata orang sebenarnya satu, tidak dua. Seseorang tertidur. Kata Abu: "Lho, kok matanya cuma satu." " Ah, masak iya! " kata yang lain. "Kalau memang dua, coba apa bisa satu tidur satu terjaga" Maka mestinya nyanyian itu berbunyi, 'Satu mata saya'." Lain kali Abu akan bertanya: "Di mana bekas telapak burung kuntul di udara?" Orang-orang akan terdiam, tidak bisa menjawab. "Tidak di langit, tidak di udara. Tapi dalam pikiran, dalam hati, dan dalam rasa. Begitu juga Tuhan." Orang juga suka kalau ia datang, sebab orang akan tetap terjaga. Artinya Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong akan keluar di gardu Siskamling. 9 Keberadaan Abu jadi hiburan tersendiri bagi Haji Syamsuddin, belantik paling kaya di kecamatan yang tinggal di dekat rumah. Bukan saja di surau,tapi dia juga minta agar waktu rondanya sama dengan waktu ronda Abu. Selebihnya, Abu yang semakin sering diminta untuk mendalang juga selalu mengajaknya. Pada bulan baik untuk mantu seperti bulan Besar jadwalnya padat. Sebagai dalang baru, tarifnya rendah, terjangkau. Dengan mudah dia bisa memakai wayang, gamelan, dan niyaga dari Palur. Dia bisa datang saja dan mendalang, juga bisa mengusahakan kelengkapannya. 1O Ada pilihan lurah di Wonosari. Pak Camat Tegalpandan suka dengan seorang calon, berjanji akan mendukung sekuatnya. Pak Camat terpikir tentang Abu, karena rupanya pertunjukan wayang sangat efektif sebagai sarana kampanye. Tidak ada kampanye lain yang bisa berlangsung semalam suntuk. Kroncong, pengajian, slawatan, pidato-pidato palingpaling hanya jam-jaman. Yang bisa semalam suntuk hanya wayang dan semaan Qur'an. Semaan tidak menghibur, terlalu serius, maka kemungkinannya hanya wayangan. Sayang, Pak Camat pernah bilang pada Abu untuk tidak mencampurkan kesenian dengan politik. Oleh karena itu dia menyuruh seseorang untuk mendekati Abu. "Tolonglah camat kita," kata orang itu. "Ya, tapi jangan mendalang." Abu sudah kapok-pok-untuk mencampurkan kesenian dengan politik. Dia tidak ingin mengecewakan siapa-siapa. "Tapi ini penting." "Tidak ya tidak." Kemudian orang itu pergi kepada Lastri dan memintanya untuk membujuk Abu. "Apa hak saya?" "Kau kan." "Apa?" "Calonnya!" "Ah, kok enak saja." Di luaran, di kecamatan, di pasar, dan di terminal telah berkembang rerasan bahwa Abu akan mengawini Lastri. Orang-orang akan berhenti bekerja dan diam-diam memperhatikan Abu dan Lastri, kalau mereka sedang lewat. " Wajahnya sudah mirip, " kata orang. Entah bagaimana, setiap kali teringat Lastri pikiran Abu selalu Lastri, sama dengan perempuan lain di pasar, takut dengan ular. Atau, karena dia semasa mahasiswa pernah mendengar 44 seorang da'i mengutip Sayidina Ali yang menyamakan perempuan dengan ular. Perempuan itu sama seperti ular, halus dijamahnya tetapi beracun. Rupanya Sayidina Ali-lah yang telah menyelamatkan Lastri dari Abu, Abu dari Lastri. 11 Rumah sewa Abu dan Lastri kemudian dikenal sebagai rumah seniman. Abu sebagai dalang, Lastri sebagai penyanyi. Mereka senang-senang-susah, karena orang mulai menyebut mereka sebagai pasangan yang serasi. Pasalnya sangat mudah diterka. Bulan Mulud tiba. Di terminal ada wayangan. Untuk keperluan itulah pada suatu hari Pak Camat dan Pak Lurah datang ke kamar tempat Abu menghitung angka-angka memintanya mendalang. " Dakwah boleh,tapi politik jangan, " kata Camat. Bagaimana definisi politikmenurut Pak Camat tidak pernah ada penjelasan. Abu menerka politik yang dimaksud Pak Camat ialah segalanya yang berhubungan dengan kekuasaan, berpihak pada salah satu OPP atau orang. Maka jadilah Abu mendalang. Adapun bagi Lastri menyanyi adalah pekerjaannya sebelum dan sesudah kawin. Demikianlah ketika di salah satu pinggir terminal dibangun panggung untuk tujuh belasan Lastri kebagian menyannyi. " Jangan marah, ya Yu, " kata Abu pada Lastri suatu sore. "Mengapa harus marah?" "He, he. Orang bilang kita pasangan yang serasi." "Serasi, seimbang, selaras. Kok seperti penataran P-4." Lastri pernah ikut penataran untuk pengusaha kecil. "Saya serius, lho Yu." "Saya juga sungguh-sungguh, kok." "Sungguh, to Yu?" " Sungguh! Semarang kaline banjir." [Aja sumelang yen ora dipikir. . Jangan khawatir kalau tidak dipikir]. " Kalau begitu apa saya boleh bermain-main di halaman" " [Ngarep-arep. Mengharapkan]. "Malah kebetulan ada yang jaga!" Mereka lalu diam.* IX ULAR 1 Di belakang rumah sewa Abu ada sebentang sawah. Ada sungai, batu-batu, kebun kosong, dan gerumbul liar pohonan perdu. Suatu siang terdengar ribut para perempuan yang sedang menanam padi. Seorang laki-laki yang sedang membajak berhenti. Abu bersama orang-orang desa keluar. Ada ular sebesar betis anak-anak mengejar tikus sawah, mengejutkan para perempuan itu. " Ular! Ular! " teriak mereka. Sepasang kerbau dengan alat pembajak berlari-lari, menerjang galengan. Para lelaki segera bersiap dengan batu di tangan. " Jangan! " kata Abu pada para lelaki dengan batu-batu di tangan. " Akan saya tangkap. " Ular itu tersembunyi di pematang, di bawah pohon-pohon pisang yang banyak di tanam di sana. Abu mendekati ular itu. Daun-daun pisang kering tersingkap oleh tangannya: tampaklah seekor ular, seperti seorang hukuman yang menunggu vonis. Dengan kecepatan yang luar biasa, ular itu membelit tubuh Abu. " Tenanglah, kau aman, " bisik Abu. Seperti mengerti ular masih membelit tubuh Abu, tetapi tidak kencang. Kepalanya menggantung, dipegang, sambil mengelus-elus kepala itu Abu berkata pada orang-orang desa, petani, dan para perempuan: "Tidak apa-apa. Ular ini akan tinggal di tempat saya." Ular itu dibawanya pulang. Ular itu sejenis ular sawah yang tidak berbahaya. Belang pada badan itu sangat indah di mata Abu. Siang itu ia menyuruh orang untuk membuat kandang dan menaruh ularnya di sana. Pagi sekali sebelum ke kantor dia ke pasar untuk membeli ayam. 45 Berita bahwa Abu memelihara seekor ular itu segera menyebar. Beberapa orang pedagang datang, melihat, dan menawar ular itu. Melihat belang ular itu mereka selalu ck-ck-ck, dan berhasrat besar mengulitinya. Akan tetapi, tidak seorang pun mendapatkannya. "Saya akan memeliharanya sebagai klangenan, " kata Abu. Hampir setiap rumah memelihara klangenan. Burung dara, kucing, jalak, kutilang,parkit. Ada yang suka tosan aji, batu mulia, bonzai. Orang kaya memelihara kuda, kapal pesiar, mobil balap. Negeri akan tenang bila semua orang punya klangenan. Supaya hidupnya sempurna, orang laki-laki dewasa harus punya wisma, wanita, curiga, kukila, dan turangga (rumah, istri, keris, burung, dan kuda). Haji Syamsuddin punya segalanya, termasuk kukila, sebab ia suka memelihara burung perkutut. Dia sering ikut lomba, pernah sekali dapat nomor satu sekabupaten, dan burung itu ditawar lima juta. Dia tidak mau melepaskan burungnya. Sebulan kemudian burung itu mati. " Memang bukan rezeki saya, " komentarnya waktu itu. Abu Kasan Sapari sudah punya curiga, senjata. Kata kakeknya dari pihak ayah keris itu dulu milik Ronggowarsito. Sekarang apa salahnya dia pelihara ular" Ular adalah kukila-nya. Sedikit-sedikit pasti lengkap. Tinggal lagi rumah, istri,dan kendaraan. Rasa-rasanya, soal istri segera terpecahkan. 2 Berita bahwa Abu Kasan Sapari memelihara ular segera menyebar. Orang-orang pasar, pos Siskamling, dan para tetangga tahu belaka. Sehabis kantor orang-orang tua laki-laki dan perempuan, pemuda, dan anak-anak berdatangan ingin melihat ular itu. Untuk tiga hari pertama Abu masih melayani mereka. Tetapi, lama-lama ia bosan juga dengan para penonton. Ia tidak bisa istirahat. Lastri bilang pada Abu, " Wah, rumah sampeyan jadi kebun binatang tiban, ya" " Ular itu jadi sangat dekat dengan Abu. Bila di rumah Abu akan menutup pintupintu dan membiarkan ular itu merayap-rayap. Di kandang, ular itu cenderung melingkar. Ular itu tumbuh cepat. Ular itu pun rupanya cepat belajar. Hanya dalam waktu beberapa bulan ia sudah menguasai bahasa isyarat. Bila Abu bersiul sekali artinya ular harus naik meja. Kalau bersiul dua kali ular harus turun. Kalau bersiul tiga kali artinya ialah tiang tengah harus dibelit. Keempat menari. Kecerdasan itulah yang membuat Abu dengan sukarela membeli seekor ayam setiap minggu. Beberapa teman Abu dari kantor yang pemberani pernah menyaksikan pertunjukan itu. " Ini bisa diajak mbarang, " kata mereka. Tentang apakah ular termasuk klangenan orang berbeda pendapat. RT sengaja mengundang Abu untuk bermusyawarah. Para wanita mengemukakan keberatan. " Bagaimana nanti kalau ular itu jadi besar" Itu berbahaya, kalau lepas, " kata mereka. Rumah-rumah di sekitar pasar itu sangat padat. Kebanyakan kaum laki-laki yang hadir bersikap netral. Rapat RT itu berakhir dengan jaminan Abu bahwa ia tak akan membiarkan ularnya lepas. Abu sangat peduli dengan pendapat Lastri. "Bagaimana, Yu Las?" Lastri mengangkat bahu, " Terserah," katanya. Abu mengerti dari nada bicaranya ('terserah'-nya kok seperti tidak rela) Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ada ular praktis dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan tetapi, Abu nekad. Laki-laki tidak boleh mundur hanya karena rintangan. "Yu, yang penting bukan ularnya, tapi apa yang di balik ular itu," katanya. "Ular hanya lambang." Abu pernah bercerita soal cita-citanya, keinginannya, dan angan-angannya. Jadi, kataLastri: "Saya sudah tahu lambang apa." "Tahu" Apa, coba!" "Lingkungan." "Lho! Kok tahu?" "Tahu saja. Anunya siapa dulu dong?" "Anu itu apa?" 46 "Anu ya anu, kok malah anu." "Wah, cerdas, sungguh." "Anu artinya teman. Jangan ge-er." Terlalu bangga. Soal ular itu Lastri mengatakan bisa mengerti Abu, tapi juga bisa memahami orang-orang. Katanya masalahnya ialah bagaimana menjelaskan soal ular pada orang banyak. 3 Abu punya pikiran bagus. Ada sedikit uang padanya. Ia pergi ke Gedung Serbaguna. Kemudian ia menghubungi temannya yang jadi wartawan. Ia minta diumumkan bahwa akan ada pertemuan para penggemar ular di Gedung Serbaguna Tegalpandan pada hari anu, tanggal anu, dan jam anu. Sepulang dari menghubungi teman wartawan, ia menemui Lastri. Abu memulai pembicaraan tentang hakikat manusia, tentang manusia yang dijadikan Tuhan bebeda-beda, tentang pentingnya saling mengenal, tentang perlunya tolongmenolong karena termasuk dalam kelompok saling mengenal, tentang .... "Kok berputar-putar, to. Maksudnya saja apa?" "Mau mengatakan terus terang rasanya tidak enak." "Apa to?" "Yu, Yu. Eh, eh. Sebenarnya mau minta tolong. Mau tidak, ya?" "Minta tolong apa?" "Disediakan snack sederhana untuk tiga puluh orang." Keesokan harinya berita bahwa akan ada pertemuan para penggemar ular sekabupaten Karangmojo dimuat. Bersamaan dengan itu dimuat pula interview dengan Abu. Pokoknya pertemuan itu bermaksud untuk menyadarkan orang akan pentingnya lingkungan. Di luar dugaan yang datang ada lima puluhan orang, termasuk wartawan. Menurut para wartawan peristiwa itu unik, belum pernah ada sebelumnya. Biasanya ular adalah simbol laki-laki, kejahatan, kekuatan, atau kesehatan. Tapi sekarang dianggap sebagai simbol lingkungan. Abu sebagai pemrakarsa diminta jadi ketua, kedudukan sekretariat bergilir, tapi dimulai dari Karangmojo. Organisasi itu diberi nama MPU (Masyarakat Penggemar Ular) Nogogini, akan didaftarkan sebagai ormas di kabupaten, dan minta pengakuan dari Departemen Lingkungan. Programnya adalah penataran pawang; membuat buku pegangan; mempersiapkan muktamar se-eks Karesidenan Surakarta, dan merencanakan logo. Untuk menunjang gerakan sadar lingkungan dalam waktu dekat akan diselenggarakan wayangan di bonbin Jurug. Selesai pertemuan, kata Abu kepada Lastri: " Wah, yang datang kok banyak sekali, ya Yu." "He-eh." "Kalau begitu nomboknya berapa?" "Mentang-mentang kaya, ya." "Ya, tidak begitu. Hutang itu harus dibayar. Orang Jawa itu yang dipercaya lathi-nya." Lathi artinya ikrar. "Kok pakai hutang-hutangan segala. Saya ini kaya, lho." "Kalau begitu ya anggap saja sedekah. Biar ada pahala-nya." 4 Sebagai Ketua MPU Nogogini, kesibukan Abu bertambah. Meskipun demikian, masih ada kesempatan berhari Minggu dengan jalan-jalan ke Palur, menemui kawan-kawannya di STSI, sekadar leyeh-leyeh di lincak (kursi bambu) di beranda depan mendengarkan Lastri melembur jahitan sambil menyanyi, atau omong-omong ke sana-ke mari dengan Haji Syamsuddin. Suatu hari Minggu dia diundang bonbin Jurug. Undangan itu untuk Bapak dan Ibu. Maka Abu memberanikan diri bilang ke Lastri: "Hari Minggu ya libur, to Yu." "Libur untuk apa?" "Jalan-jalan, yo." Kemudian Abu menunjukkan undangan itu. Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo 47 "Ini kan undangan untuk Bapak dan Ibu." "Keberatan?" "Ya tidak. Tapi tidak baik." "Tidak ada undang-undangnya." Bonbin itu terletak di pinggir jalan Solo-Karangmojo di tepi Bengawan Solo.Untuk menarik wisatawan domestik, kebon binatang itu setiap hari Minggu mengundang artis lokal untuk menyuguhkan atraksi, di hari-hari besar artis-artis nasional juga didatangkan. Sebuah panggung di bangun secara khusus untuk keperluan itu. Hari itu ada pertunjukan dangdut dengan salah seorang penyanyinya berkalung ular. Ular itu sebenarnya belang-belang, tapi karena di TV sedang ada tayangan White Snake, ular itu disebut White Snake, dan penarinya Lady White Snake. Begitu dikenal acara itu sehingga di papan pengumuman acara tertulis, "Dangdut Bersama Lady White Snake". Para mahasiswa suka memlesetkan nama itu dengan "Lady White Snack", artinya "Lady Penganan Putih" alias "Lady Kerupuk". Tidak segan-segan penyanyi dililit ular sambil menari dan bernyanyi, meliukliuk, mengelus-elus kulitnya, melakukan adegan jorok yang hanya dimengerti oleh orang-orang tertentu. Anak-anak muda yang mengerti menarik napas. "Ih, joroknya!" kata Lastri. "Apa yang jorok?" "Alah, kura-kura dalam perahu." Seusai musik dangdut Abu menemui penari dan memperkenalkan diri sebagai Ketua MPU Karangmojo. "Apakah kau punya mantra ular?" Wanita itu menggeleng. "Apakah kau punya ilmu khusus?" Wanita itu menggeleng. "Kalau begitu, apa rahasianya?" "Rahasianya" Mm, perlakukan ular seperti kau ingin diperlakukan. Kasih sayang, makan kenyang, jangan dipaksa. Pendek kata, kalau kau sayang padanya, dia sayang padamu." 5 Siang itu Abu juga sempat ketemu dengan pawang ular yang bertugas di bonbin itu. "Apa kau punya mantra?" "Tidak." "Ilmu?" "Pasti. Tukang kayu belajar menggergaji, sopir belajar nyetir. Srati gajah harus menguasai ilmu pergajahan. Pawang ular belajar bagaimana bergaul dengan ular." "Tidak ada laku dan pantangan?" "Tidak." Abu pulang dengan kesimpulan bahwa mantra, laku, dan pantangan adalah salah satu cara, tapi bukan satu-satunya. 6 Sebagai realisasi kerja sama antara MPU dan bonbin ada pertunjukan wayang di bonbin. Pertunjukan itu diadakan dalam rangka Hari Lingkungan Sedunia. Abu mengusulkan lakonnya adalah "Perjamuan Ular" sebagaimana pernah dimainkannya di Kemuning. Jadi! Sebelum pertunjukan itu dimulai dibacakan sambutan tertulis Menteri Lingkungan. Sambutan itu berisi dua hal. Pertama, reservasi binatang dalam bonbin hanyalah salah satu cara pelestarian lingkungan. Cara lain ialah mengembalikan binatang pada habitatnya. Kedua, industrialisasi akan menghadapi tantangan berat soal pelestarian lingkungan. Setelah pementasan ada semacam "pengadilan" atas lakon itu oleh penonton. Penonton 1: "Tidak mengikuti pakem." Penonton 2:"Tidak apa! Ada yang lebih menyimpang dari itu." 48 Ki Manut Sumarsono di-interview sebuah koran. Ia mengatakan bahwa lakon itu masalah kreativitas dalang. Katanya, selain soal lingkungan, yang penting ialah soal budaya, yaitu digantikannya budaya dendam oleh budaya cinta. Ditanyakan, kenapa dalang tidak memilih menciptakan lakon baru" Dijawab bahwa mungkin misi soal lingkungan bisa diterjemahkan dalam lakon baru, tapi misi kebudayaan akan lebih efektif dengan mengubah lakon lama. Dendam itu juga soal lama, jadi harus diubah dengan memutarbalikkan lakon lama. Surat kabar yang sama juga memuat wawancara dengan Rektor STSI Surakarta. Dia mendukung pementasan itu. Sang wartawan mengingatkan: "Abu Kasan Sapari itu sarjana STSI kurang skripsi, lho Pak." "Mosok, saya lupa." 7 Abu baru saja pulang dari kantor, ketika dua orang datang dan langsung menyebut Abu dengan "Kamerad". Dua orang itu tahu betul kalau Abu adalah Ketua MPU Nogogini serta bisa mendalang. Mereka mengatakan bahwa mereka terkesan dengan pementasan "Perjamuan Ular". Mereka memperkenalkan diri sebagai Ketua dan Sekretaris Partai Hijau Daerah Jawa Tengah, sebuah partai yang berusaha menyadarkan pentingnya lingkungan. Mereka mengundang Abu untuk datang ke sebuah rapat. Abu akan diusulkan sebagai Ketua Departemen Propaganda. Abu menyanggupkan datang, sekalipun hatinya tidak sreg, sekadar ingin tahu saja. Dua orang itu meninggalkan sebuah buku Manifesto Partai Hijau. Ia tidak menandatangani daftar hadir, kata teman-temannya di sekolah dulu daftar hadir tidak usah ditandatangani kalau kita tidak tahu persis duduk perkaranya. Kebanyakan yang hadir adalah aktivis mahasiswa kira-kira 25 orang. Rapat membahas kelengkapan susunan pengurus. "Ini adalah embrio Partai Hijau di Jawa Tengah", kata Pimpinan sidang, Ketua Partai Hijau. "Kita akan melakukan propaganda, kemudian organisasi, kemudian aksi." Abu Kasan Sapari diperkenalkan sebagai kandidat Ketua Departemen Propaganda. Semua setuju. "Nanti dulu," kata Abu. "Kenapa harus partai?" Ia teringat pertentangannya dengan Mesin Politik. "Setahu saya, untuk urusan lingkungan, politik lebih menyulitkan ketimbang memudahkan." Pertanyaan itu dijawab oleh Ketua dengan menunjukkan contoh-contoh konkret tentang hubungan antara keputusan politik dengan masalah lingkungan. Pendirian pabrik, pemberian HPH, dan kontrak karya penambangan tidak pernah murni ekonomi, tapi juga politik. Terjadi perdebatan antara pro dan kontra-partai. Mereka yang tidak setuju dengan partai tidak sengaja telah mengangkat Abu sebagai juru bicara. "Dibentuk saja LSM," usul Abu. "Politik itu soal kalah-menang. Padahal soal lingkungan bukan soal kalah-menang. Siapa pun yang berkuasa akan menghadapi masalah lingkungan." Beberapa hari kemudian Abu membaca berita di surat kabar bahwa polisi telah menangkap dua orang pendiri Partai Hijau, mereka akan diadili dengan dakwaan melanggar undang-undang No. 3/1985 mengenai kepartaian dan subversi. "Partai boleh dilarang, tetapi masalah lingkungan tidak boleh terabaikan," pikirnya. 8 "Yu, Yu. Ke sini saya ceritai," kata Abu pada suatu sore. Lastri membawa kursi plastik ke dekat lincak. "Mau cerita apa?" "Kancil." "Kancil mencuri ketimun?" "Ya. Tapi ini lain." "Ya, Pak Guru." "Pada suatu pagi, kancil berjalan ke sawah untuk mencuri ketimun. Themlekthemlek." Telapak tangan Abu di udara, bergoyang-goyang. "Tidak usah pakai themlek-themlek. Apa jalannya kancil tleser-tleser seperti ular?" 49 "Kancil sudah hapal ceritanya. Ia pun sudah membaca cerita yang pakem. Ia harus mendekati orang-orangan, memukulnya, lalu kaki dan tangannya lengket. Sebab, petani telah menaruh getah di situ. Betul, ia mendekati orang-orangan, karena itulah darmanya sebagai kancil. Dekat sekali, dilihat-lihatnya, ia kaget, 'Lho! Kok, tidak ada getahnya'. Ini mesti ada yang salah, pikirnya. 'Tidak, tidak ada yang salah,' kata seseorang. Orang itu adalah petani pemilik sawah. Ia lalu membawa kancil ke kebunnya, mempersilakan kancil makan ketimun sepuasnya. 'Bener, nih"' 'Bener! Dengar itu.' Dari jauh terdengar takbiran. 'Hari ini adalah Idul Fitri. Semuanya sudah dimaafkan.' Maka tidak ragu-ragu lagi kancil makan. Kremus-kremus. Pak Tani mengajak kancil ke rumah. Alangkah terkejut kancil, di pelataran rumah banyak binatang sedang bermain-main. Main kejar-kejaran antara ular dengan tikus sawah; sembunyi-sembunyian antara serigala dengan kambing; dan lomba lari antara elang dengan ayam. Kancil mengucek-ucek matanya. 'Tidak, kau tidak salah lihat,' kata Pak Tani. 'Hari ini permusuhan dihentikan.' 'Semua saja berhenti bermain. Kita makan!' Mereka berhenti bermain, mengerumuni meja. Di meja tersedia ketupat, sambel goreng tempe, dan bubuk kedelai. 'Jangan ragu-ragu, ditanggung halal!' Seperti tidak makan seminggu semua makan. Selesai makan mereka bermain tarik-tarikan, talinya putus. Karena sudah putus, ceritanya selesai." "Horeee!" kata Lastri bertepuk tangan seperti murid TK. "Lagi, lagi!" "Sudah. Talinya sudah putus, kok." "Wah, itu bisa dikaryakan." Lastri mengejutkan Abu. Ia terdiam sebentar, lalu ibu jari dan telunjuknya bertemu. Cetet! "Aku tahu! Akan kubuat wayang fabel! Terima kasih ya, Yu." 9 Sebuah pintu di Solo diketuk. Seorang laki-laki keluar. Sambil membenarkan sarong laki-laki itu berkata: "Lho, Abu! Kami tahu kegiatanmu." Laki-laki itu adalah Ketua Jurusan Pedalangan, STSI Solo. "Aku akan membuat skripsi." 10 Kedatangan Abu Kasan Sapari telah ditunggu di kantor kelurahan. Dia dilaporkan bahwa telah membuat takut dan resah dengan memelihara ular. Bahkan orang banyak berkesimpulan bahwa kedatangan Abulah penyebab dari banyaknya ular. Seekor ular muncul di kebun ketela, seekor lagi di sumur umum dekat pasar, seekor lagi di dekat beringin. Kabarnya, malah seekor ular jadi-jadian telah menghuni pohon itu. Masalah Abu dan ular itu telah membagi warga menjadi dua: yang mendukung Abu dan yang menentang. Haji Syamsuddin adalah pendukung fanatiknya. Dan para penentang kebanyakan berasal dari dusun sebelah timur pasar. Dua kubu itu telah berdebat dalam sebuah kumpulan desa yang membahas soal keamanan lingkungan. "Para tetangga dekat saja tidak keberatan, mengapa yang jauh keberatan", kata Haji Syamsuddin. Kata-kata Haji Syamsuddin itu dibantah oleh seorang perempuan yang menggendong anaknya yang sambil menangis mengatakan, "Itu karena kau tak ada anak. Coba, kalau anakmu bermain-main dekat rumahnya, bagaimana?" Kunjungan Abu ke kelurahan hanya mengambil kesimpulan bahwa dia berjanji untuk me- ngunci rapat-rapat kandang ular dan rumahnya. Abu merasakan ada perubahan. Pedagang ayam, tempat dia membeli makanan untuk ularnya, tidak lagi melayaninya sambil tertawa, tapi kemudian melayani tanpa senyum tanpa bicara. 11 "Yu,Yu. Jujur saja ya, saya tanya sungguh-sungguh," kata Abu pada Lastri. "Saya tahu. Pasti soal ular itu." Lastri sudah tahu bahwa Abu dipanggil ke kelurahan. 50 "Ya, bagaimana pendapatmu?" "Dulu saya jijik." "Sekarang?" "Sekarang, ya tidak begitu jijik. Apa boleh buat wong itu kesenangan sampeyan. Kesenangan sampeyan berarti kesenangan saya." "Sungguh?" "Habis, kita mmm bertetangga. Kata orang, tetangga itu harus saling asuh, saling asah, saling asih." "Saling asih,ya. Jangan lupa, lho." "Iya,iya." X DI LUAR STRUKTUR, DI DALAM SISTEM 1 DI Bahwa Abu Kasan Sapari suka mendalang untuk calon kepala desa (cakades) yang bermusuhan dengan calon Mesin Politik sudah diketahui pegawai kecamatan dan Camat Tegalpandan sejak duluan lewat jalur birokrasi dan Mesin Politik. Dan bahwa orang banyak di seluruh eks-Karesidenan Surakarta tahu hal itu, karena mereka membaca koran. Tetapi berita itu juga disebarkan oleh orang-orang Kemuning yang menjual sapi, kerbau, dan kambing di pasar Tegalpandan. Para belantik akan berangkat pada dini hari dengan truk penuh sapi, kerbau, atau kambing-tidak lagi berjalan membawa obor di tangan seperti dulu-tapi di kepala mereka membawa berita soal pilkades di desanya. "Coba, Kang. Kalau Pak Abu masih di sana Padi tidak akan kalah." "Coba. Kalau dia masih di sana Jagung tak akan kalah." "Kalau saja dia tak dipindahkan, tentu Obor menang." Setiba mereka di pasar hewan, omongan itu merembet ke warung-warung nasi, ke kios-kios pasar, dan ke para bakul. Itu diketahuinya waktu Lastri bilang, "Sampeyan itu terkenal, lho! TVRI Stasiun Pasar Tegalpandan baru-baru ini menyiarkan bagaimana sampeyan mendalang untuk cakades." O, jadi itu. Pantas saja orang-orang tua di pasar suka berbisik-bisik kalau dia lewat. Karenanya, ia dikenal bukan saja di kalangan anak-anak yang menganggapnya sebagai dukun ular, tapi juga orang-orang tua terutama yang peduli politik yang menganggapnya sebagai pelawan Mesin Politik. "Semoga panjang umurnya. Semoga tidak masuk penjara," batin mereka. "Jadi pegawai ya harus kosekuen. Jadi pegawai jangan macam-macam," batin yang lain. Tetapi, tidak seorang pun tahu bahwa Abu menyesalkan perbuatannya tidak ada yang tahu. Karena perbuatannya camat Kemuning dipindahkan, dan itu memberinya rasa bersalah yang besar. Bukan hanya dia, tapi juga orang lain, ikut menanggung akibatnya. Namun, hobi lama Abu Kasan Sapari untuk menyalahi Mesin Politik kambuh lagi di kecamatan Tegalpandan. Pesan Camat untuk tidak mencampurkan politik dengan kesenian rupanya sudah dilupakannya. Ia tidak tega melihat seorang cakades diminta mundur oleh Mesin Politik. Orang itu datang pada Abu. "Hanya Pak Abu yang dapat menyelamatkan," katanya. "Tolong nasib saya dan nasib warga pendukung." "Saya pikirnya semalam, ya." Abu gelisah. Ia dipindah dari Bangdes ke bagian Statistik ialah soal dalangmendalang itu. Ia juga sudah mendengar bahwa camat Kemuning yang baik itu dipindahkan. Maka penyesalan juga menghantui pikirannya. Ia betul-betul tidak mau mencelakakan orang lagi. Kegelisahan itu membawanya pada Lastri. "Yu, Yu. Saya minta pertimbangan. Seseorang minta saya mendalang untuk memenangkannya dalam pilkades." "Jangan mau. Itu politik." 51 "Nanti dulu, to. Prinsipnya memang begitu, tapi ini soal istimewa. Cakades yang ini diminta mundur untuk memuluskan jalan bagi calon yang dijagoi Randu. Itu kan tidak adil." "Ya terserah saja." "Kalau saya dipecat, bagaimana?" "Ya wiraswasta, to." "O, begitu. Nanti Yu Lastri tidak menyesal?" "Lho, kok saya to?" "Ya ... setidaknya tidak punya teman jadi pegawai, begitu maksudnya." Lastri menyerahkan hal itu pada Abu. Abu cenderung menerima tawaran cakades itu, meski sebenarnya berat hatinya. Itu akan berarti bahwa ia sudah nekad. Risiko paling kecil ialah dimarahi, diskors, dipindah lagi, atau paling-paling dipecat, ya biar saja. Kepalang basah. Namun petang harinya ada tamu yang sudah dikenalnya, seorang fungsionaris Mesin Politik Tegalpandan. "Pak Abu ingin kaya tidak?" "Tidak ingin kaya, cuma butuh duit seperti orang lain." "Lha, bicara soal duit. Bagaimana kalau permintaan untuk mendalang di rumah Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo cakades itu ditolak?" "Maksudnya bagaimana?" "Maksudnya ... eh, tidak mendalang dengan kompensasi sejumlah uang." Abu menolak dengan cara sebaik-baiknya. "Jangan ditolak, to. Ini demi Pak Abu sendiri. Susahnya apa mengatakan tidak pada orang itu." "Wah, itu rasanya tidak adil. Kasihan." "Saya ke sini justru karena kasihan Pak Abu. Mbok sudah mengalah saja, kita ini kan orang kecil." "Kalau orang kecil disuruh mengalah terus, kapan menangnya?" "Tidak. Ada ungkapan wani ngalah dhuwur wekasane. " Berani mengalah, menang pada akhirnya. " Wekasane itu kapan, Pak. Jangan-jangan besok pagi kiamat." Tidak berhasil membujuk Abu Kasan Sapari fungsionaris itu pulang. Katanya, "Kalau ada apa-apa jangan salahkan saya, lho." 2 Abu jadi mendalang untuk cakades. Cakades itu kalah dalam pilihan lurah. Mesin Politik ternyata jauh lebih perkasa. Fungsionaris Mesin Politik datang lagi. "Nah, apa kata saya?" "Apa boleh buat." "Berpolitik itu jangan tanggung-tanggung." "Saya tidak berpolitik." "Tidak berpolitik itu politik. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita semua berpolitik. Dalam politik ada ungkapan 'kalau kau kalah, bergabunglah dengan yang menang'. Kedatangan saya kemari untuk mengajak Pak Abu bergabung. Bagaimana?" "Tidak saja, Pak." "Mbok ya yang agak praktis!" 3 (Hari lain muncul interviu di koran tentang sikap Abu Kasan Sapari. Interviu dikerjakan olehteman wartawannya. Inilah interviu yangoleh sang wartawan diberi judul yang mentereng, "Dalang: di Luar Struktur, di Dalam Sistem". Setelah memberi pengantar bahwa Abu Kasan Sapari adalah satu sajadari ribuan pekerja seni yang emoh berpolitik, wartawan itu menulis). Bagaimana kalau Anda diminta Mesin Politik untuk ikut kampanye Pemilu" t kampanye PemilNanti dulu. Kita mesti membedakan dua hal, yaitu dalang dengan seni pedalangan dan dalang sebagai pribadi. Dalam hal pertama, para dalang jangan mempergunakan seni pedalangan untuk keperluan politik, artinya mendalang dalam rangka kampanye suatu parpol 52 tidak boleh secara mutlak. Tetapi dalam hal kedua, diam-diam seorang dalang boleh menggunakanhaknya sebagai warga negara untuk menjadi pendukung parpol. Hanya saja kalau sampai ketahuan orang lain itu berarti cacat budaya yang dapat mempunyai akibat-akibat buruk bagi-nya, seperti tersingkir dari komunitas dalang. Karenanya saya sendiri tidak akan mengerjakan hal kedua itu. Kalau begitu seorang dalang harus Golput, dong" Bukan itu artinya. Dia bisa jadi simpatisan suatu parpol dan harus mencoblos pada saatnya. Jadi seorang dalangmenjadi donatur, pendukung, dan simpatisan parpol boleh-boleh saja. Asal jangan jadi anggota dan tidak boleh terang-terangan. Dalang itu warga negara yang terpasung jadinya" Itu terserah yang mengatakan. Tergantung cara pandang. Boleh dilihat sebagai pasungan, boleh dilihat sebagai kebebasan. Tapi itulah konsekuensi profesi. Apakah itu juga berarti seorang dalang tidak boleh mendalang selama musim kampanye" Bukan begitu maksudnya. Seorang dalang bisa saja mendalang selama musim kampanye, asal untuk kepentingan pribadi seperti perkawinan, sunatan, ulang tahun, syukuran, dan hajatan lainnya. Asal bukan untuk parpol. Bagaimana kalau ditanggap untuk ultah parpol, misalnya" Bisa saja. Asal ada jarak waktu tertentu dengan kampa-nye politik, dan tidak berbicara politik praktis. Lagi pula lakonnya harus dia sendiri yang menentukan. Kalau begitu seni pedalangan harus lepas darim politik" sDalang itu seperti halnya ulama, sastrawan,seniman, dan ilmuwan tidak boleh menggunakan profesinya untuk kepentingan suatu parpol. Dalang itu bagian dari masyarakatnya dalam arti terikat dengan unggah-ungguh, hukum, dan perundangundangan persis seperti orang lain, tapi tidak boleh berpolitik melalui parpol. Politik dalam arti pencerahan politik, pendidikan politik, dan kesadaran sebagai warga negara itu sehat untuk kesenian, sebab itulah salah satu fungsi sosial dari dalang. Fungsi lain ialah pencerahan moral, etika, kesadaran hukum, kesadaran lingkungan,kesadaran bermasyarakat, dan sebagainya. Apa ada rencana untuk mendirikan paguyuban" Ya, begitulah. Program kerjanya" Peningkatan profesionalisme. Termasuk profesionalisme saya sendiri. Dalam gambaran saya di setiap profesi itu ada tingkatan-tingkatan. Seorang dalang seperti saya tidak sama tingkatnya secara profesional dengan Ki Manut Sumarsono. Saya masih patut jadi bala-dupakan alias orang yang disuruh-suruh, seperti-kalau ada-mengurus paguyuban itu. 4 Koran yang memuat interviu dengan Abu Kasan Sapari kebanjiran surat. Pada umumnya mereka mengatakan bahwa interviu itu menunjukkan visi dan misi pedalangan yang jelas sebagai sebuah profesi yang mandiri. Mereka juga menyatakan akan bergabung seandainya didirikan sebuah paguyuban. Surat-surat itu dimasukkan amplop besardan dibawa sendiri oleh wartawannya diberikan pada Abu. Wartawan itu menyanggupkan diri untuk selalu meng- cover kegiatan-kegiatan Abu selanjut-nya. Abu mengatakan bahwa ia akan membaca surat-surat itu lebih dulu, baru memutuskan apa yang akan dikerjakan. Interviu itu pula yang sekali lagi menghadapkan Abu pada Mesin Politik. Seorang fungsionaris Mesin Politik bagian kesenian Dati II Karangmojo diantar fungsionaris dari Tegalpandan mengunjunginya. "Setiap orang, setiap pekerjaan itu ada harganya," kata fungsionaris bagian kesenian itu. "Tugasmu sangat ringan, malah tidak ada yang harus dikerjakan." "Maksudnya apa, Pak?" "Maksudnya, mm, Pak Abu jangan mengerjakan apa-apa dan jangan bicara apa-apa menjelang Pemilu ini. Dan untuk itu kami akan memberikan kompensasi." Abu menangkap arah pembicaraan itu. "Maksudnya saya jangan mendirikan paguyuban dulu?" 53 "Persis! Apa yang lebih enak dari itu" Thenguk-thenguk nemu kethuk, tidak mengerjakan apa-apa tapi dapat sesuatu." "Wah, saya tak dapat berjanji." Mereka pulang, "Batu karang, batu karang!" komentar fungsionaris Karangmojo. Entah, bagaimana Mesin Politik berpikir, rupanya perihal paguyuban pedalangan itu menjadi perkara besar. Untuk keperluan itu Abu pergi pada Ki Manut Sumarsono. Ia mendapat keterangan bahwa untuk keperluan kampanye Mesin Politik berencana mengumpulkan para dalang. Di setiap desa akan diselenggarakan wayangan. Sebagai dedengkot para dalang, ia sudah disowani Mesin Politik untuk diminta restunya. Demi sopan-santun dan hubungan baik ia hanya mengatakan, 'Silakan, silakan saja. Saya tidak merestui tetapi juga tidak akan menghalang-halangi.' "Maka, kalau kau punya rencana mendirikan paguyuban, ya cepat-cepat saja," kata Ki Manut. "Aku di belakangmu." Pulang dari rumah Ki Manut, Lastri menemuinya. "Jangan marah. Saya hanya menyampaikan, menyampaikan saja, lho." Ia menyebut nama, "Katanya sebaiknya sampeyan tidak usah mendirikan paguyuban pedalangan. Mereka sudah mengantongi lampu hijau dari Ki Manut Sumarsono." "Pesan sudah saya terima, perkara dijalankan itu soal lain, Yu." "Ya, pokoknya saya sudah menyampaikan." "Kalau saya mendirikan juga?" "Katanya sampeyan bisa diperkarakan." "Wah, kok enak jadi penguasa itu. Jagung bakarane, Yu." Abu mengatakan bahwa ia sanggup menanggung akibatnya. "Kalau begitu saya setuju." "Setuju, toYu?" "Ya, setuja-setuju saja. Meskipun ikut deg-degan." 5 Abu Kasan Sapari telah me- ngantongi alamat-alamat mereka yang bersimpati, calon anggota paguyuban itu. Lalu me-ngelompokkan mereka ke dalam kabupaten-kabupaten. Ia menghubungi kawan-kawannya dari STSI untuk mengurus orang-orang di luar Karangmojo. Kawan-kawan yang juga telah membaca interviunya menyambutnya dengan bersemangat. Mereka berkumpul, "Saudara-saudara, juru bicara kita mau angkat suara," kata Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa STSI. Mereka membagi tugas. Abu bertugas di Karangmojo. Ada dua puluh orang di Karangmojo yang sudah menyatakan akan bergabung. Langkah pertama seperti dikerjakannya dengan MPU Nogogini ialah mengumpulkan orang. Orang-orang di Tegalpandan dihubunginya secara langsung dengan sepeda motor yang dipinjamnya dari Haji Syamsuddin. Orang-orang di luar kecamatan hanya dikirim undangan dan diumumkan lewat koran. Ia tidak berkewajiban mengurus izin, hanya memberitahu polisi. Ia datang pada Lastri. "Yu, mau minta tolong lagi." "Membuat makanan kecil." " Lho, kok sudah tahu?" "Itu namanya jalma limpat seprapattamat. Ha ... ha. Tapi untuk orang berapa?" "Tiga puluh, begitu." "Nanti kurang lagi?" "Tidak. Undangan hanya dua puluh. Kali ini harus mau saya bayar." 6 Abu Kasan Sapari menyewa Gedung Serbaguna. Minuman yang dapat disediakan penjaga gedung. Makanan kecil yang harus disediakan sendiri juga sudah tersedia. Teman wartawan sudah datang. Satu teman kandidat dalang didikan Ki Manut datang. Seorang lagi. Seorang lagi. Itu semua kawan dekat Abu yang dihubungi langsung. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. 54 Abu melongok-longok, setengah jam kemudian tambah satu. Abu mulai gelisah. Jangan-jangan mereka tidak datang. Padahal ia sudah berusaha. Sungguh! Sampai jam dua belas tidak tambah orang. "Bagaimana ini?"tanya Abu pada kawan-kawan yang hadir. "Terus saja," kata seorang. "Sebuah organisasi hanya perlu tiga orang. Satu Ketua, satu Bendahara, dan satu Sekretaris. Kita sudah ada empat orang. Sudah lebih dari cukup. Bisa ditambah Pembantu Umum. Yang perlu ialah terdaftar," kata yang lain. "Kalau begitu namanya apa?" Abu sudah punya sejumlah nama, "Pokoknya pakai 'Paguyuban Pedalangan'. Di belakangnya bisa 'Independen, Netral, Bebas, Indonesia, atau Mandiri'" "Independen!" "Setuju!" "Jadi: Paguyuban Pedalangan Independen." Kemudian mereka membentuk kepengurusan. Abu Kasan Sapari jadi Ketua. Orang-orang lain Sekretaris, Bendahara, dan Pembantu Umum. "Maaf, ya. Jauh-jauh disuguhi kegagalan," kata Abu kepada wartawan. "Ini juga fakta jurnalistik. Tapi jangan marah kalau nanti beritanya lain." Mereka mengantar pulang piring-piring suguhan. Kebetulan Lastri di rumah. "Kok dibawa pulang?" "Wah, dagangannya tidak laku, Yu." "Sudah saya duga. Orang mesti takut datang." Kata Lastri soal 'takut' itu terngiang-ngiang di telinga Abu. Ketika dia mencoba menghubungi kawan-kawannya di STSI ternyata juga tak seorang pun berhasil. Anehnya, pemberitaan di koran pagi harinya menyatakan bahwa di Karangmojo sudah terbentuk Paguyuban Pedalangan Independen. Berita itu diberi judul, "Para Dalang Menolak Politisasi Kesenian". Selanjutnya dikatakan bahwa yang hadir dalam pertemuan itu tiga puluh orang. Berita itu juga mengulas bahwa kata 'independen' yang juga digunakan oleh KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu) rupa-rupanya sudah menjadi kata sehari-hari bagi pejuang demokrasi. Abu Kasan Sapari membaca berita itu di kantor. Kawan-kawannya menyelinap ke kamarnya dan mengulurkan tangan. Hanya Pak Camat yang kelihatan cemberut waktu berpapasan dengannya, sambil berkata, "Sudah kubilang, jangan mencampurkan kesenian dengan politik." Lastri yang juga membaca berita di kios berkata: "Ihik. Sampeyan ini pejuang demokrasi, to?" "Wah, jangan ngece begitu, Yu." "Saya hanya mengikuti kata koran." "Ya begitu, tapi jangan begitu." "Yang datang banyak, mosok suguhannya tidak habis." "Saya juga heran, empat kok bisa jadi tiga puluh." Sore hari teman wartawan itu datang di Tegalpandan. Belum sempat ditanya dia bilang: "Aku tahu kau heran. Aku telah menyulap angka." Lalu dia menjelaskan bahwa esok hari akan ada pernyataan pers dari Mesin Politik bahwa mereka sudah mengumpulkan para dalang untuk keperluan Bapilu (Badan Pemenangan Pemilu) se Kodya Surakarta sebanyak 150 orang. Mereka memutuskan untuk menggunakan media tradisional pedalangan untuk kampanye. Dalang-dalang akan diterjunkan di seluruh eks-Karesidenan Surakarta selama masa kampanye. " Lho! Dalang di Kodya Solo bisa dihitung dengan jari." "Itulah soalnya! Seorang teman yang datang mengatakan bahwa jumlah yang datang hanya sepuluh orang. Nah, mereka sudah melipatgandakan lima belas kali. Kita paling-paling hanya melipatgandakan sepuluh kali. Adil, to?" "Tapi itu menipu pembaca." "Itulah politik!" "Saya malu." "Itu namanya psy-war. Ingat, Pemilu tinggal setengah bulan." 55 7 Sore hari Abu menutup pintu dan jendela. Membenahi meja-kursi. Ia kepingin sekali bermain dengan ularnya. Hari-hari terakhir ini ia sibuk mengurus pedalangan, sehingga lupa segalanya. Setelah kegagalan di Gedung Serbaguna itu ia memutuskan sebaiknya ia mengurus diri sendiri, perempuan di rumah yang sebelah, dan klangenannya. Dikeluarkannya ular dari kandang. Ia bersiul-siul. Ular itu merayap-rayap ke atas meja. Terus saja ia bersiul dan ular itu meliuk-liuk sebisanya seperti menari. Lagi enakenak bermain, pintu diketuk orang. "Ya, sebentar." Ia mengemasi meja-kursi, mengembalikan ular ke kandang, lalu membuka pintu dan jendela. "Wah, silakan masuk." "Sore-sore kok pintu dan jendela ditutup, kayak manten baru saja." Orang yang dikenalnya sebagai Ketua Umum Mesin Politik Tegalpandan itu lalu mengatakan, "Saya hanya mengantarkan, Bapak ini adalah Ketua Badan Seleksi Caleg Dati II Karangmojo." Abu mempersilakan mereka masuk. "Terimalah ucapan selamat kami. Kami dari DPD telah memilih Pak Abu sebagai caleg jadi," kata Ketua Badan Seleksi. "Pak Abu lolos ketimbang sembilan calon lain." Abu bingung. Ia tak pernah menghubungi atau dihubungi siapa-siapa. Kejadian itu sangat tiba-tiba. "Saya-saya tak tahu apa-apa!" "Ya, Pak Abu tidak tahu. Tapi kami punya banyak telinga. Ini kehormatan. Jangan ditolak." "Tapi saya tak pernah mengharapkan." "Banyak memang peristiwa di dunia ini yang berada di luar harapan." Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. "Aneh! Lalu apa maumu" Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?" "Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian." "Kalau itu maumu, kami tidak memaksa. Kami hanya ingin berbuat baik. Tapi, ya sudah. Kami beri waktu untuk berpikir satu kali dua puluh empat jam. Sesudahnya tanggung sendiri akibatnya. Ingat, kami juga bisa main kasar, lho!" Abu Kasan Sapari heran, besar benar harga dirinya" Mungkin karena Bapilu Mesin Politik sudah memutuskan menggunakan media pedalangan untuk kampanye" Kedudukannya sebagai Ketua Paguyuban Pedalangan Independen jadi penting" Organisasi pedalangan tanpa anggota, eh "tiga puluh" orang itu" Jadi, ini semua pasti gara-gara angka yang ditulis wartawan itu. Abu pergi pada Lastri. "Yu, Yu." "Stop, stop. Soal Ketua Paguyuban itu, to?" "Ini mesti gara-gara Yu Lastri yang selalu setuja-setuju." "Kok saya yang disalahkan?" "Ya, karena itu Randu mau mengangkat saya jadi caleg." "Ah, peruntungan sampeyan itu di kesenian, tidak di politik. Tidak punya potongan jadi politisi." "Tidak punya potongan, bagaimana kalau punya jahitan?" "Jahitan ya tidak punya." Abu berkesimpulan bahwa Lastri tidak setuju. Semalam-sehari dibiarkannya berlalu, artinya dia menolak tawaran jadi caleg jadi dari Mesin Politik. Beberapa hari kemudian sebuah pers release dari bagian reserse Kepolisian Karangmojo mengabarkan bahwa ada gerakan anti-Pancasila di Tegalpandan dengan ketuanya AKS. Teman-teman sekantor Abu hanya diam, termasuk Pak Camat. Di rumah Lastri terheran-heran. "Kok begini jadinya" Ini tidak adil. Ini tidak adil." Abu yang tidak mengira orang bisa sekeji itu menjawab dengan hati yang ditenangtenangkan, "Terjadilah yang akan terjadi. Kita orang kecil hanya bisa pasrah pada Tuhan, mengadu padaNya. Becik ketitik, ala ketara. " (Baik ketahuan, jahat terlihat).* 56 XI SENI ITU AIR 1 Sebuah mobil pengangkut tahanan dari Polres Karangmojo berhenti di depan kantor Kecamatan Tegalpandan. Semua pegawai melongok lewat jendela. Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. Mereka menemui Camat,menuju ke kamar kerja Abu Kasan Sapari, menunjukkan sebuah surat. "Kami dari Polres, Anda kami tahan," kata seorang."Boleh-boleh, silakan," kata Abu seperti sudah mengharapkan. Kemudian Abu berbisik-bisik dengan kawannya sekantor untuk memberitahukan penahanannya kepada Lastri dan Haji Syamsuddin, menyerahkan kunci, menitipkan rumah untuk mengurus lampu-lampu dan jendela. Diiringi mata yang heran dan bertanya-tanya dari seluruh pegawai Abu pergi bersama tiga polisi itu, "Apa kesalahannya?" Kebanyakan mereka hanya kenal Abu Kasan Sapari sebagai orang sopan-santun, suka mendongeng, suka menolong, seorang dalang, dukun ular. Tidak mengira sedikit pun bahwa dia punya urusan dengan polisi. Sesampai di Kepolisian Karangmojo, Abu dimasukkan kamar tahanan. Tiga orang polisi melapor pada Kepala Polisi bahwa tugas sudah dilaksanakan. "Mana orangnya?" Ia sudah tanda tangan penangkapannya, tetapi sepertinya ia tahu nama itu. "Siap, Pak. Di ruang tahanan." "Di tahanan?" "Ya, Pak." Ia melihat dokumen. "Lho, kok anti-Pancasila, subversi, makar" Perintah penangkapan yang saya tandatangani hanya soal kriminal biasa," katanya. "Kalau begitu ini tugas tentara, bukan polisi." Kepala Polisi menuju ke kamar tahanan. Terkejut melihat Abu. Dikenalnya betul wajah tahanan itu. " Lho, kau to Abu Kasan Sapari itu?" "Iya, Pak." "Kalau begitu ... jangan khawatir. Kau banyak teman di sini. Kalau ada yang kurang beres, bilang saya." Kepala Polisi itu kenal baik dengan Abu Kasan Sapari, karena dia belajar mendalang dan karawitan di rumah Ki Lebdocarito, seperti juga banyak pejabat Kabupaten Karangmojo. Ia menemui agen polisi yang tadi membawa Abu. "Apa tidak salah tangkap?" "Tidak, Pak. Identitasnya jelas." Kemudian dia pergi pada Kepala Penyelidikan dengan pertanyaan yang sama, mendapat jawaban yang kurang-lebih sama. "Itu sudah sesuai prosedur, Pak. Berdasarkan laporan dari Kantor Sosial Politik." Kepala Kantor Sosial Politik yang mengurusi perizinan itu adalah fungsionaris Mesin Politik. Ia sudah pergi ke Komandan tentara dengan alasan ada gerakan anti-Pancasila, tapi tentara menolak, "Wah, jangan gampang-gampang main tangkap begitu." Ia memutuskan untuk mencari akal. Teman Abu memberitahu Lastri sore hari bahwa Abu dibawa polisi Kabupaten. Di rumah Lastri merasa ada yang kurang malam harinya: tidak ada Asmaradana dan Dandanggula dari rumah sebelah, sesuatu telah hilang. Jelas yang hilang itu ialah Abu. Sekalipun ia sudah menduga peristiwa itu akan terjadi. Ia gelisah semalam suntuk. Dipikirnya dunia ini tak adil. Ia tahu persis bahwa Abu tidak bersalah. Polisi! Sore hari Haji Syamsuddin datang juga untuk menyalakan lampu dan menutup jendela. Kunci pintu diserahkan Haji Syamsuddin, dan bukan pada Lastri. Itu pasti kesengajaan Abu supaya ia tidak terpaksa melihat kandang ular. Ketika melihat Lastri, Haji Syamsuddin yang tahu perasaan Lastri berkata ringan, "Itulah politik, Jeng. Nanti juga selesai. Tenang saja." Ia 57 berkata demikian karena pamannya pernah ditahan Polisi pada tahun 1960 selama sebulan karena menjadi pengurus Masyumi. Keesokan harinya Lastri datang di Kapolres, membawa celana, baju, dan sarong. Mata Lastri berkaca-kaca. "Tidak usah susah, Yu." "Siapa susah" Masak ditahan di kantor polisi lagi. Kayak ...." "Bilang saja kayak maling, curanmor, penjambret." Kemudian Lastri memberikan bungkusan. "Kok ini masih baru, Yu?" "Habis, mau ke sebelah takut ular." "Takut, to?" "Ya takut kok, masak ada ularnya." "Ular bisa dibuang kalau perlu." Abu mengamati celana dan baju itu, mencoba-coba. Celana dan baju itu pas benar ukurannya. "Kok tahu ukuran saya?" "Itulah istimewanya penjahit. Penjahit itu begitu lihat orang, ia tahu ukuran pakaiannya." "Tetapi lain kali jangan, ah." "Ya pasti tidak, kalau tidak terpaksa. Tidak mau pakai, ya?" "Bukan begitu. Memberi ya memberi, tapi jangan mahal-mahal." "Ya, sudah! Tidak jadi, kalau begitu. Mana!" Lastri bergerak mau mengemasi barang-barang itu. Tetapi dengan cekatan Abu menyembunyikannya di belakang punggung. "Tidak begitu maksud saya. Sayang dipakainya. Ini terlalu bagus. Begini saja, lain kali bilang Pak Syamsuddin untuk mengambilkan pakaian-pakaianku." Ketika Lastri berpamitan sekali lagi matanya berkaca-kaca. Abu menangkap kesedihan Lastri. "Tidak usah dipikir berat-berat. Saya kan laki-laki." "Apa di sini juga ada larangan untuk berpikir?" "Tidak. O, ya. Minta Pak Syamsuddin cari orang untuk mengurus ular." "Jangan dipikirkan rumah. Pokoknya segalanya beres." Lama Abu merenungi koridor tempat kepergian Lastri. Rupanya untuk kesekian kalinya ia jatuh cinta! Lastri memutuskan untuk menjenguknya tiap hari. Modiste akan ditutupnya lebih awal. Pekerjaan-pekerjaan kasar dapat diserahkan pada dua orang pembantunya. Kabar bahwa Abu Kasan Sapari ditahan polisi itu segera tersebar. Mula-mula di kantor, lalu di pasar, kemudian praktis di seluruh kota gurem itu. Orang membicarakannya di perhelatan perkawinan, di sepasaran bayi, di pelayatan, di sawah, di surau. Orang-orang gardu Siskamling kehilangan. Bagi mereka semua kabar bahwa seseorang ditahan polisi itu menimbulkan tanda-tanya. Dengan caranya sendiri orang menghubungkan penahanannya dengan politik. Maklum Pemilu sudah dekat. "Kabarnya ia ditahan karena suka mendalang." "Mendalang ditahan?" "Bukan mendalangnya, tapi melawan Randunya." Untuk sebagian orang Abu berubah menjadi pahlawan, untuk sebagian yang lain orang salah, untuk sebagian lagi biasa-biasa saja. Orang pun tahu bahwa tiap hari Lastri menjenguknya. Ia selalu mendapat pertanyaan para tetangga, di pasar, bahkan dari para langganan yang jauh. "Sudah ada kabar?" "Kapan dia bebas?" 2 Wartawan kita membaca laporan dari koresponden Karangmojo tentang penahanan itu. Segera ia pergi ke kantor polisi Karangmojo. Ia juga menemui Ki Manut Sumarsono, Haji Syamsuddin, Sulastri, pegawai-pegawai kecamatan, Pak Camat, dan Lurah Tegalpandan. Di Karangmojo ia gagal menemui Kapolres, karena yang bersangkutan sedang keluar kota. Inilah tulisannya: 58 Dalang Ditahan: Seni Itu Air ang Ditahan: Seni itu Air Solo (SB).OAbu Kasan Sapari (26), seorang dalang muda dari Tegalpandan yang juga pegawai Kantor Statistik setempat, kini berada di kamar tahanan Mapolres Karangmojo. Belum diketahui alasan penahanan itu, tetapi diduga ada kaitannya dengan kegiatannya akhir-akhir ini, yaitu menghimpun para dalang dalam satu wadah. Sumber yang tak mau disebut namanya mengatakan bahwa ada konspirasi politik di balik penahanan AKS. Akhir-akhir ini sebuah kekuatan politik ingin merekrutnya untuk keperluan kampanye tapi ditolaknya. AKS berpendapat bahwa seni itu seperti air. Artinya, kalau ada yang benjol-benjol dalam masyarakat seni akan menutupinya, menjadikannya datar. Kalau ada api seni akan menyiramnya. Mengutip ajaran Sunan Drajat, AKS berpendapat bahwa seni memberi air mereka yang kehausan, memberi payung mereka yang kehujanan, memberi tongkat pejalan yang sempoyongan. Sebaliknya, seni yang hanya menjadi antek politik akan mengingkari tugasnya sebagai seni. Kawan-kawan dan para tetangga menunjukkan keheranannya mengapa AKS ditahan, padahal ia orang baik, suka menolong, periang, dan suka ngobrol di gardu Siskamling. Bagi para tetangga satu-satunya kemungkinan ditahan ialah karena AKS memelihara ular di rumahnya. Seperti pernah diberitakan ia juga Ketua Masyarakat Pencinta Ular Nogogini. (JP) 3 Di Palar para tetangga orangtua Abu Kasan Sapari yang sedang sibuk mempersiapkan pamiwahan temanten ribut. Sebuah koran berpindah dari tangan ke tangan. Mereka membaca berita tentang penahanan Abu Kasan Sapari. "Jelas Abu kita, siapa lagi!" "Kabarnya ia memang jadi dalang." "Pasti dia berani menentang Pemerintah." "Pemerintah atau Randu?" Jurukunci makam Ronggowarsito waktu itu-terhitung masih paman Abu-orang paling tua di desa yang juga dijuluki Ahli Babad menyambung: "Kalaupun itu Pemerintah ya sudah betul. Sudah sesuai dengan sejarah. Menurut sejarahnya Eyang Ronggowarsito itu pangkatnya tidak lebih dari kliwon karena berani menentang Raja. Padahal mestinya Eyang sudah berhak jadi bupati." Kalimat Jurukunci itu mengakhiri pembicaraan. Mereka baru ingat untuk memberitahu orangtua Abu Kasan Sapari. Seorang pergi ke rumah orangtua Abu. Ditahan polisi bukan berita besar di desa itu. Ada beberapa orang desa yang sudah mengalami ditahan, diinterogasi. "Oalah, Le," kata Ibu Abu setelah membaca berita itu. "Segala sesuatu pasti ada hikmahnya," kata pembawa berita. "Hikmah ya hikmah. Tapi jangan polisi, to." Singkat cerita, mereka segera meluncur dengan Kijang ke kantor polisi Karangmojo. Di kantor polisi orangtua Abu terheran-heran, sebab tidak ada tanda kesusahan sedikit pun pada Abu. Abu mencium tangan kedua orangtuanya. Orangtua mena- nyakan kesalahannya, Abu mengatakan bahwa ia tidak tahu. Ibu menanyakan tentang dalang-mendalang. Dijawab dengan gelengan kepala. "Di proses saja juga belum," kata Abu. "Diapakan saja kau," tanya ayah. "Ya disuruh makan kenyang, tidur cukup, olahraga." "Tidak disiksa, to?" "Mana ada orang berani menyiksa saya?" "Jangan kemaki. Saya dengar ditahan itu artinya disiksa. Di setrum, disulut rokok, disuruh merangkak di atas kedelai?" "Tapi, alhamdulillah anak Bapak-Ibu tidak." "Lha iya. Wong ditahan di kantor polisi kok tidak tampak susah, kok malah mrusuh [gemuk bercahaya]?" kata Ibu Abu. "Habis, di sini malah tidur teratur, makan tak usah masak." 59 Pembicaraan terhenti. Seorang polisi lewat. "Bagaimana dengan ular itu?" tanya Ibu pelan. "Itu hanya klangenan, Bu." "Klangenan ya boleh. Tapi jangan ular, jangan harimau, jangan buaya. Kakek-kakek kita paling-paling pelihara kucing, lutung, perkutut, dan kuda. Soalnya Ibu takut kalau kau syirik." "Syirik" Ya boleh jadi, meskipun sedikit." "Kalau syirik jangan, lho." Waktu itu Lastri muncul. Abu berbisik pada kedua orangtuanya: "Inilah yang menjenguk saya tiap hari." "Tiap hari" Kalau begitu istimewa." "Ya, begitulah. Saya kan sudah besar, Bu-Pak." "Syukur, kalau begitu. Bapak-Ibu cuma merestui." Lastri mendekat. Membawa bungkusan, diserahkan pada Abu. "Kenalkan ini Bapak-Ibu saya." Lastri mengulurkan tangan, mencium tangan Ibu, yang segera menarik tangannya. Demikian juga ayah Abu. Penolakan itu sepertinya mengejutkan Lastri. Suasana jadi kaku. "Maaf kami tak biasa cium tangan, kecuali pada orangtua," Ibu menerangkan. "Anggap saja Yu Lastri ini anakmu, kalau dia mau," kelakar Abu. "Ah! Jangan ngarang kamu, Abu," kata Ibu. "Ngarang tidak, Yu?" "Terserah!" " Lho, kok terserah." Ketika orangtua Abu pamit pulang, Ibu berbisik pada Abu: "Kalau itu kami setuju." 4 Pemilu, 1997. Abu Kasan Sapari memilih di Rutan (Rumah Tahanan) Karangmojo. Mesin Politik menang di Karangmojo, tetapi hanya dengan enam puluh persen suara. Bahkan, di kompleks perumahan kepolisian dan tentara Mesin Politik kalah. Ini di luar kebiasaan.ABRI mengambil jarak yang sama pada semua peserta Pemilu. Perolehan suara itu di luar dugaan, dan berada jauh di bawah target kabupaten yang delapan puluh persen. Kegagalan mencapai target itulah yang mendorong Bapilu Mesin Politik mengadakan evaluasi. Mereka menyimpulkan bahwa kegagalan itu disebabkan karena mereka tidak bisa memakai sarana tradisional, tidak menyelenggarakan wayangan, wayang orang, dan ketoprak, karena para seniman tidak mau terlibat dalam politik praktis. "Aku tahu biang keroknya," kata fungsionaris kesenian DPD Randu. Di kepalanya hanya ada satu orang, Abu Kasan Sapari. Oleh karena itu pengurus memutuskan untuk membuat memo supaya Abu diproses sesuai rencana. Abu Kasan Sapari diperiksa polisi untuk menyusun BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Ia di-suruh menyebutkan nama, pekerjaan , nama-nama orangtua, paman, dan saudara-saudaranya, serta pekerjaan mereka. Terlibat perkara polisi" Tidak seorang pun. Apakah ada di antara mereka semua yang terlibat G-30S/PKI" Tidak seorang pun. Ekstrim kanan, tidak seorang pun. "Apa Saudara tahu mengapa Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ditahan?" tanya polisi. Abu menggeleng.Tidak ada barang bukti, tidak ada kesaksian, tidak ada laporan tertulis. Polisi pemeriksa geleng-geleng. Pemeriksa lapor atasan bahwa tidak ditemukan tanda-tanda kriminalitas, juga tanda-tanda ekstrim kiri dan ekstrim kanan. Kepala Polisi merundingkan soal Abu Kasan Sapari dengan kepala bagian penyelidikan, "Sudah kuduga. Kita dijadikan tukang pukulnya, centengnya. Kita diperalat. Kita tidak mau demikian, kita netral, kita tidak ke kanan tidak ke kiri." Mereka bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan. Seorang polisi menyerahkan secarik kertas pada Kepala Polisi. "Ada memo dari Randu." "Isinya?" "Supaya menyukseskan pemeriksaan terhadap AKS." "Sudah diperiksa, to?" "Sudah, tapi tidak ditemukan indikasi apa-apa." 60 "Kalau begitu memo ini mbelgedes!" "Mbelgedes!" Kepala Polisi lalu membuat SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). 5 Rombongan mahasiswa STSI Surakarta datang di depan Kantor Kepolisian Karangmojo. Mereka naik sebuah bis carteran, sepeda motor, dan kendaraan umum. Mereka berjajar di muka kantor. Mereka membentangkan spanduk-spanduk. "Bebaskan AKS." "ABRI netral?" "Seni bukan politik." "Stop Politisasi Seni". Ini agak luar biasa, tidak pernah ada demo mahasiswa sejak 1966 ketika mahasiswa mendemo Bupati yang PKI. Demo belum umum, apalagi di kota kabupaten itu. Orang-orang lewat berhenti untuk nonton. Pegawai Pemda yang masih satu kompleks meletakkan pulpen dan buku-buku di meja,menonton. Pimpinan rombongan dengan megaphone di tangan berdiri di tengah-tengah, berpidato tentang seni yang universal, kemerdekaan seni, otonomi seni, seni yang hanya berpihak pada kemanusiaan. Setiap jeda disambut dengan teriakan-teriakan: "Setuju!", sambil mereka menggerak-gerakkan spanduk. Kepala Polisi dan staf keluar menemui mahasiswa. Pimpinan mahasiswa mengulurkan megaphone. Kepala Polisi berpidato: "Adik-adik! ABRI dan Polisi netral dalam Pemilu. Polisi itu seperti seniman, tidak berpolitik. Jangan sangsi lagi. Lihatlah justru di Kasatriyan ABRI dan di Kompleks Polisi yang menang Parpol, bukan Randu. Besok pagi AKS akan kami bebaskan". "Hidup ABRI!" "Hidup polisi!" Para mahasiswa lega. Mereka membubarkan diri. Hanya pimpinan mahasiswa masih berun-ding tentang waktu pembebasan. Siang itu Kantor Polisi ke- datangan tamu lagi. Pengurus HAM cabang Surakarta dan Ikadin datang untuk keperluan yang sama. Mereka juga mendesak supaya Abu Kasan Sapari dikeluarkan. Kalau tidak, polisi bisa di PTUN-kan (Pengadilan Tata Usaha Negara). 6 Pagi itu sebuah sedan patroli polisi dan di belakangnya puluhan kendaraan roda dua meluncur dari Karangmojo ke Tegalpandan. Bunyi sirine yang meraung-raung menyebabkan kendaraan yang berpapasan berhenti. Iring-iringan itu berhenti di depan Kantor Kecamatan Tegalpandan. Para pegawai, beberapa calon penumpang bis yang kebetulan parkir di depan kantor kecamatan ingin tahu apa yang terjadi. Kebetulan hari itu Hari Pasar di Tegalpandan. Jadi keramaian pedagang sampai di depan kantor. Segera berita bahwa Abu sudah kembali tersebar. Dua orang polisi mengiringi Abu Kasan Sapari menemui Camat. Puluhan sepeda motor juga berhenti. Mereka menyerahkan surat-surat pada Camat. Permintaan maaf dari polisi kalau-kalau telah mengganggu pekerjaan kecamatan. Satunya lagi jaminan dari Kepala Polisi bahwa Abu Kasan Sapari tidak bersalah apa pun. Abu mengucapkan terima kasih pada polisi dan mahasiswa yang mengantar. Mobil polisi dan sepeda motor mahasiswa pergi. Camat lalu mengumpulkan pegawai-pegawai di bangsal. Mereka bergantian menyalami Abu. "Pak Abu, kami semua ikut bergembira. Jangan terus bekerja. Pulang dulu," kata Camat yang mendadak jadi baik. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba datang kerumunan orang. Sangat banyak. Beberapa pemuda dengan jaket hijau dan sedikit dengan jaket merah mengatur orang yang datang. Seseorang dengan megaphone berteriak sambil mengepalkan tangan. "Hidup Pak Abu!" "Hidup!" "Hidup pahlawan rakyat!" "Hidup!" 61 Seorang pemudi berjaket hijau mengalungkan bunga di leher Abu. Dengan gugup Abu menerima kalungan itu. "Pidato, Pak," seorang pemuda berjaket hijau memberikan pucuk megaphone. Abu menerima gagang itu dan mulai pidato. "Saudara-saudara, terima kasih. Kehormatan ini sungguh di luar dugaan." Abu mengembalikan gagang megaphone itu. "Hidup Pak Dalang!" "Hidup!" "Hidup seni!" "Hidup!" Orang-orang pun membubarkan diri. Abu pulang. Ia sudah punya rencana. Orang pertama yang akan ditemuinya ialah Lastri, Haji Syamsuddin, kemudian ularnya. Ia nyelonong begitu saja di kios Lastri. Lastri tampak gugup. Meskipun, seseorang sudah memberitahukan kepulangan Abu Kasan Sapari. "Lho, sudah pulang pahlawannya, to." "Apa kalau pahlawan itu tidak boleh pulang?" "Bukan begitu. Mana teman-teman mahasiswa itu?" "Sudah kembali." "Masak tidak disuruh mampir." "Kalau mereka mampir, mau disuguh apa?" "Kok lupa punya ... teman." "Ya sudah. Suguhannya untuk saya saja." "Mau mbakmi" " Artinya, makan bakmi. "Saya Mbak Lastri saja!" "Merayu, ya?" "Saya jujur, kok." Keduanya terdiam sejenak. Ada setan lewat, barangkali. "Ah! Ada-ada saja, sampeyan itu." Lastri tertawa. "Tawa itu lho yang bikin ka-ngen." "Pulang dari sekolah di kantor polisi tambah berani, ya." "Habis. Apalagi yang ditakuti?" 7 Abu mampir di rumah Haji Syamsuddin untuk menjemput kunci pintu. Sampai di rumah, Abu menutup pintu dan jendela. Ular bergerak-gerak untuk menyatakan rasa sayang. Abu membuka kandang. "Suit, suit," ia bersiul. Ular bergerak ke atas meja. Menari-nari. Pintu diketuk. Abu mengemasi meja dan kursi. Membuka pintu. Pak Bayan (kepala dusun) muncul dan mengulurkan tangan. "Selamat datang kembali." "Begini. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi,nasib itu di tangan Tuhan. Tibatiba saja Pak Abu dijemput polisi, padahal mimpi pun tidak. Tiba-tiba jadi pahlawan,padahal mimpi pun tidak. Jadi, memang nasib itu tidak bisa diduga. Tiba-tiba lagi Pak Abu sudah di sini kembali, tanpa direncana, tanpa diduga." Ada tanda-tanda Pak Bayan akan bicara berputar-putar. Abu tidak sabar. Di kantor Golok Maut 2 Pendekar Bodoh 1 Tongkat Dewa Badai Pusaka Pulau Es 8