Mantra Penjinak Ular 3
Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo Bagian 3 polisi ia sudah belajar untuk blak-blakan. "Intinya saja, Pak." "Begini, lho. Para tetangga itu khawatir, kalau-kalau Pak Abu pergi lagi, ular itu kan jadi tidak terpelihara. Kalau-kalau, ya hanya kalau-kalau, tiba-tiba ular itu keluar dari kandang karena kelaparan, bagaimana?" "Jangan khawatir. Ular saya jinak, kok. Ingin bukti?" Abu menuju kandang dan membuka tutupnya. Lalu dia bersiul-siul, menunjuk ke dipan. Ular itu menari-nari di sana. "Jinak, bukan Pak?" Pak Bayan berdiri. Mulut- nya menganga. Tangannya bergerak-gerak, seperti menolak. Mundur-mundur ke pintu. 62 "Sudah, sudah." Ia lalu pergi begitu saja. Abu merasa sesuatu tak beres. Ada firasat buruk. Bahkan Pak Bayan ketakutan dengan ularnya.* II SAJAK-SAJAK CINTA XII SENI ITU AIR (Abu Kasan Sapari menulis geguritan - puisi bebas bahasa Jawa - dalam tahanan Mapolres. Sebagai tampak dalam puisi ini ia tambah-tambah jatuh cintanya pada Lastri, dapat dikatakan mabuk kepayang. Kumpulan sajak itu akan dijilidnya dengan sampul merah jambu dan diberinya nama Geguritan Asmaradana. Akan diserahkan pada Lastri ketika tiba waktunya. Inilah sebagian terjemahan sajak-sajaknya. Terjemahannya kata demi kata dan tidak selancar aslinya, tetapi biarlah demikian. Aneh, tidak ada bau sel tahanan, dendam politik, dan tipu-daya Randu. Puisi-puisi di bawah ini terasa kekanak-kanakan. Di depan Lastri Abu menjadi kanak-kanak kembali"). Di Rumpun Bambu burung Kecil Pada suatu kali dalam perjalanan Di suatu rumpun bambu kutemukan Sebuah sarang dan di dalamnya Seekor burung kecil yang manis Burung kecilku yang manis Senyum di wajahnya Menyambut pengembara Lagu didendangkan Aku pun berhenti Kemudian beberapa saat Angin pun datang Burung kecilku bernyanyi Aku semakin tenggelam Burung kecilku yang manis Maukah menyambut cintaku Cinta pengembara yang gairah Cinta pengembara yang gelisah Dan ketika sekali lagi angin men desah Aku pun teringat: pengembara tak boleh berhenti di jalan Burung kecilku yang manis Katakan cintamu padaku Cintamu air bening sahara Cintamu penghapus duka Lalu sesudah itu sambil berjanji Suatu kali akan kembali, aku pun melangkah Wahai perjalanan masih jauh Wahai perjalanan masih jauh *** Seekor Kambing Hitam dan Tua Di tengah padang bersama gembala 63 Seekor kambing hitam dan tua Berdiri di ambang senja Menatap betapa luasnya dunia Terpaku di atas kaki Tubuhnya menghadap senja Matahari di atas desa Merah warna menyala Angin mengelus bulu-bulu Angin membisik telinga Angin membasah tubuh Angin menampar, menampar Bulat merah matahari Terbayang di bawah alis mata Warna merah matahari Terpanggang jauh dalam mata Hamparan rumput padang Terbayang di bawah alis mata Warna hijau rumput padang Terbentang jauh di mata Lengkung langit senja Terbayang di bawah alis mata Lembayung langit senja Terpasang jauh di mata Gembala menjentik ekornya Kambing hitamku tercinta Hari ini tanggal sembilah Zulhijah Besok pagi kau di korbankan Di tengah padang bersama gembala Seekor kambing hitam dan tua Melalap rumput padang Untuk terakhir kalinya Angin membelai-belai tubuh Seekor kambing hitam dan tua Meloncat-loncat riang Meloncat-loncat riang Tersenyum entah pada siapa Tersenyum entah karena apa *** Jangan Bernyanyi di Sini Burung hitam putih di lehernya Melintas di atap rumah Melengking nyanyi sedih Malam bertambah kelam 64 Nenek tua di atas dipan Mendekap cucunya Tenanglah, tidak apa Aku tetap menjaga Jangan bernyanyi di sini Burung hitam putih di lehernya Burung hitam celaka dibawanya Kami masih terjaga Doa-doa sudah diucapkan Kidung malam didendangkan Bunga-bunga disebarkan Di sudut rumah sesajian Bau kemenyan sedap menyegarkan Bernyanyilah, tapi jangan di sini Sebarlah malapetaka, tapi jangan di sini Puaskan dendam, tapi jangan di desa Tuangkan azab, tapi jauh di puncak gelap Burung hitam putih di lehernya Jangan bernyanyi di sini Sebuah Rumah di Tengah Padang Kulihat rumah itu dari kejauhan Berdiri kukuh dalam lindung bayang-bayang Berdandan hijau daun-daunan Pohon randu memuntah kapuk-kapuk Kutilang meloncat dahan-dahan Rumput ilalang mengepung pelataran Lumut merambat ke tembok-tembok Butir embun membasah dinding-dinding Sinar lembut matahari merata atap Aku terkenang sebuah tempat Tidak di dunia ini Tapi mungkin dalam mimpi abadi Tempat tinggal teduh dalam khayal Melabuhkan pedih karena lama berjalan Angin puyuh dari selatan Jangan diganggu bangunan di tengah ladang Rumah dan pelabuhan para pejalan Tambatan capai menepis debu Naungan terik siang membakar Burung-burung, burung bernya nyi dan dendang Tinggallah di dahan pohon randu Lagukan merdu menghibur rumahku Rumahku dibangun dalam rindu sepi bertalu Ketika sudah lama menatap Tak satu pun menerima harap Di situ dalam lingkar hijau pupus Kan kuendapkan sedu sedan lama tersimpan Sampai dasar sungsum ketenteraman 65 Rinduku selama ini dalam pengejaran Rinduku selama ini dalam pengejaran *** Angsa Putih Bermain dalam Hujan Gerimis menetes-netes dahan Memantul air kolam Hingar percik di permukaan Seraut sinar masih tergoyang Tersembunyi di pasir hitam Angsa putih-putih Mengibas ekor-ekornya Bergumpal bulu-bulunya Terjatuh basah atas gerimis Angsa putih-putih Memandang ke dasar kolam Ikan kuning-kuning Malu-malu berenang Angsa putih-putih Mencebur air kolam Lingkaran makin membesar Kacau di permukaan Air memercik bulu putih-putih Sementara gerimis dikibaskan Ramai air kolam Ramai senja mengelam Damai air kolam Damai pedusunan Sudikah angsa putih-putih Berenang bersama Dalam gerimis di air kolam Pestamu dan pestaku disatukan Dukamu dan dukaku dipadukan Tenggelam di air kolam Biarlah gerimis menggoda riang Gerimis menghapus kelam Dari bulu-bulu putihmu Dari baju-baju putihmu Angsa putih-putih Sudikah bersama Bermain dalam hujan Bermain di air kolam *** Sungaiku Membelah Pedusunan Lewat tengah pedusunan Sungaiku mengalir pelahan 66 Aku terjuntai di tepi Menatap reranting bergoyang Menatap reranting kedinginan Daun-daun pohon di tepi Terangguk sepi Ketika dengan lembut air pun berpaut Di sini di lidung air sungai Kulihat waktu berlalu Dirundung sedu Kacau bayang-bayang wajah waktu Dengan muram berlalu, tak sepatah berseru Sungaiku, manakah di antara zat-zatmu Adalah percik Amazone dan Mississippi Adalah riak Wolga dan Donau Adalah ombak Seine dan Rhine Adalah alir Bengawan Solo Adalah zat-zat segala sungai Yang mengalir di mana-mana di bumi Sungaiku, dalam percik tepimu Teringat kembali Menyusun simfoni Tentang angin puput yang meniup pohon birka Tentang salju menggayut pucuk cemara Tentang lurus pohon akasia Tentang desir pohon bambu Tentang desau daun anggur angin menggeliat di musim gugur Sungai, bersama beningmu Mengalir warna merah jingga kuning hijau biru nila ungu Sampai Australia sampai Afrika sampai Amerika sampai Eropa sampai Asia Selamat jalan Sampai Antartika sampai Laut Utara sampai Laut Cina sampai Mediterania Selamat jalan sampai di mana-mana *** Kebangkitan Dua ekor prenjak Hinggap di pucuk cempedak Siapa datang hari ini Dua ekor prenjak Riang suara gelak Siapa disambut angin sepoi Dan muadzin tua Di atas tikar sujudnya Mengangkat tangan Puji syukur Ya Rabbi Pucuk rumah desa Menunduk bersama 67 Pucuk pohon desa Merunduk bersama Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Siapa datang hari ini Dan muadzin tua Berdiri di pintu masjid Telah pulang hari ini Si anak hilang Si anak hilang Bertubuh pualam Bermata bening zam-zam, wahai Di keningnya terpahat Hamzah di padang Uhud, ketika Darah menetes dari lambungnya Bukit-bukit merunduk, ketika Isa mengucap khotbah Laut membelah, ketika Musa dalam pengejaran Ismail mengucap 'Ya', dalam Kilau pedang Bapanya Telah datang hari ini Si anak hilang *** Wajah Dunia yang Pertama Dik Lastri sedang mengaji Aku termangu sendiri di kamar Wajah dunia yang pertama Putih-putih salju Mengalir dari ayat-ayat Damailah hingar-bingar hari ini Lumat dalam alun bunyi Maka Adam dan Hawa pun putih kembali Maka anak-anak Adam dan Hawa Dentang senapan terlindih sepi Pekik pertempuran terhenti Para serdadu bersama terbantai Tersayat keramat ayat-ayat Tidak terdengar lagi hingar-bingar hari ini Ketika senja terbenam Ayat-ayat menghilang Dunia pun jadi hitam Dalam gelap malam Terdengar lagi hiruk-pikuk hari ini 68 Wajah dunia yang pertama Ke mana bersembunyi Dalam deru mesin atau mulut bedil Kurindukan lagi wajahmu yang pertama Tidakkah akan kembali bersama ayat-ayat suci Tidakkah akan bertemu lagi Salam sampai akhir nanti XIII MENCARI AKAR (Abu Kasan Sapari pulang ke desa tempat dia dibesarkan. Kakek bercerita). 1 Kami juga dengar kau disidangkan, tapi belum sempat menjenguk. Alhamdulillah, kau sudah pulang, tak kurang suatu apa, malah sepertinya tambah gemuk. Ditahan" Sudah betul, kau harus jadi pemberani. Kita ini jelek-jelek keturunan orang berani. Mula-mula desa kita adalah sebuah perdikan, artinya tidak perlu setor pajak pada raja. Eyang pendiri desa kita waktu masih muda menjadi prajurit keraton. Dia berhasil menyelamatkan raja Pakubuwana II dari Surakarta dari perampok waktu raja menyamar untuk melihat-lihat kerajaannya. Maka ia mendapat hadiah sebuah hutan gung liwang-liwung, hutan lebat. Kalau orang sekarang mendapat hutan itu ibarat dapat rezeki nomplok. Siapa mendapat HPH tinggal ongkang-ongkang di kota, duit terus mengalir. Ia dapat menyewakan HPHnya. Dulu tidak. Dapat hutan artinya dia harus babad, membuka hutan supaya jadi desa. Konon hutannya angker, pohon-pohon besar, banyak jin priprayangan, dan binatang buas. Bagaimana tidak angker, dulu hutan itu kerajaan jin. Bukan sembarang jin, tapi jin yang beringas dan galak-galak. Kalau ada jin bersalah dengan manusia, ke sinilah membuangnya. Kalau jin berkelahi dengan sesama jin, ke sinilah dihukum. Dia tidak surut, kehilangan nyali. Dia mengumpulkan orang. Pohon-pohon besar dan wingit ditebang.Dia sendiri selalu menunggui orang-orangnya. Sebab, waktu itusekarang saja juga demikian-pohon-pohon tua dan besar itu dikira banyak penghuninya, dikeramatkan. Orang semula takut menebang. Hanya setelah dia mengucapkan doa-doa pengusir jin, orang berani menebang. Pendek kata pekerjaan tebang-menebang selesai. Sawah-sawah dicetak, tegalan dibuka, jalan-jalan dibuat, rumah-rumah dibangun. Dia memagari desa dengan pagar yang tampak dan pagar tak tampak. Desa aman, damai, tenteram. Dia dan orang-orangnya menjadi penghuni pertama desa kita. Orang-orang lain berdatangan. Melihat ada sungai, air yang melimpah, bebas banjir, tidak ada binatang buas, tidak ada jin nakal, tidak ada pencuri. Eyang jadi lurah pertama. Meski masih muda, ia dicintai rakyat, disegani kawan, ditakuti lawan. Desa kita menjadi tempat hunian yang makmur. Sawah menguning seperti permadani. Sungai desa memberi ikan. Pekarangan ditanami sawo, jeruk, dan mangga. Lumbunglumbung padi ada di setiap rumah. Padi ditukarkan jadi pakaian, jadi meja-kursi, jadi gelang emas. Pada hari raya orang mengenakan pakaian bagus-bagus, perhiasan, dan wewangian. Orang desa kita juga merajai pasar, kerbau-kerbau membawa beras, sayur, kain ke pasar-pasar sekitar. Rupanya kemakmuran desa kita itu tidak berkenan di hati penduduk desa sekitar yang sudah lebih dulu ada, kasarnya membuat orang lain iri hati. Suatu kali penduduk desa kita sedang memikul beras di pasar, dan kebetulan menyenggol penduduk dari desa lain. Orang itu minta maaf, dan sudah dimaafkan. Tapi tidak berhenti di situ saja. Lain hari datang ratusan orang dari desa lain dengan kelewang, cangkul, arit, dan pedang. Terjadi perang antar desa. Tetapi, dasar para penghuni desa kita kebanyakan bekas prajurit, alhadulillah desa kita selalu menang perang. Eyang lalu diangkat jadi demang, lebih tinggi dari lurah tapi lebih rendah dari camat. 69 Jalan desa kita jadi jalan dagang, sebab terkenal aman. Setiap hari akan terdengar suara, kluntung-kluntung-kluntung, suara genta dari kerbau pembawa dagangan. Gangguan dari makhluk kasat mata tidak ada lagi. Suatu hari orang tergopoh-gopoh datang pada Eyang. Kemudian ada gangguan dari lelembut. "Celaka, Den Demang. Istri saya mengigau. Katanya penduduk telah menggusur rumahnya." Satu orang baru selesai bicara, seorang lagi datang. " Den, anak saya sakit panas. Malam hari datang rerupaan, mengancam akan mencekik kalau kami tak pindah." Seorang lagi datang, " Den, ayah mengamuk. Katanya akan membabat habis semua orang desa." Eyang sadar, ia berhadapan dengan makhluk halus. Ia bilang pada orang-orang, " Jangan khawatir! Ini mesti ulah Raja Gaple." Raja Gaple adalah sebutan untuk kepala lelembut yang tinggal di kuburan desa. Disebut "gaple" karena konon hobinya ialah judi. Orang yang malam-malam lewat dekat kuburan desa sering melihat dia sedang berjudi dengan teman-temannya. Eyang menghunus pedang wasiat, lalu malam-malam pergi ke kuburan. Tentu ia juga punya senjata batin. " He, Gaple. Keluar kamu! Jangan ganggu saudara-saudara Gaple tidak keluar, mana ia berani sama Eyang. Malam itu juga orang mendengar suara-suara di kegelapan, "Ampun-ampun. Kapok aku." Gaple sedang menghajar bawahannya yang nakal. Pagi hari orang-orang sembuh. Ceritanya ada kraman-pemberontakan-sudah mendekati keraton. Raja mengumpulkan para abdi dalem. "Siapa dapat menundukkan pemberontak kalau laki-laki saya ambil menantu, kalau perempuan saya jadikan anak angkat." Tidak seorang pun yang hadir berani mengangkat muka, apalagi menyanggupkan diri. Konon kepala pemberontak itu sakti mandraguna, pengikutnya saja tidak mempan senjata tajam dan senapan. Baru mendengar nama kepala pemberontak saja semua priyagung sudah kehabisan nyali, menjadi pucat-pasi macam kertas, menggigil. Kemudian raja bertanya pada peramal istana. "Yang dapat mengalahkannya ialah kepala perdikan yang dulu juga menyelamatkan Raja." Maka diutuslah orang menemui Eyang. "Ikulah sayembara." "Kami sudah melupakan perang dan kekerasan, kami pilih jadi petani," kata Eyang. Macam-macamlah usah orang untuk meyakinkannya mengikuti sayembara. Tidak digubris. "Kami tidak akan mengikuti sayembara, tetapi kalau raja memerintahkan tidak akan kami tolak." Utusan kembali. Raja menulis surat kekancing, mengangkatnya jadi senapati, dan memerintahkannya melawan pemberontak. Maka berangkatlah mereka. Seperti diramalkan, mereka menang. Eyang mendapat putri raja. Jadi, dari Eyang kita ini turunan prajurit dan dari Eyang Putri kita ini ada darah raja. Kisah ini saya ceritakan untuk membesarkan hatimu. 2 Gangguan selanjutnya datang dari binatang. Dulu ada hutan lebat, kemudian hutan dibabat. Tentu saja ini mengurangi hak binatang untuk mencari makan. Suatu hari orang melihat seekor harimau dekat sungai. Ternyata harimau semakin banyak. Kerbau, kambing, sapi jadi sasaran."Kyai, jangan ganggu kami. Kiai, jangan ganggu kami," kata orang desa. Tetapi, dasar binatang! Binatang ternak jadi tidak aman. Orang datang kepada Eyang, mengadu. Eyang tahu apa yang harus dikerjakan. Setiap kelompok, baik manusia, jin, atau binatang itu pasti ada kepalanya. Ia menemui Raja Harimau, meyakinkan bahwa jamannya sudah berubah. Bahwa Tuhan Maha Adil. Bahwa semua makhluk-Nya akan diberi makan. Bahwa desa adalah tempat manusia. Dianjurkannya harimau pindah tempat, di bukit-bukit, yang tidak dihuni manusia. Tidak ada ceritanya dari mana ia belajar bahasa binatang, yang penting desa lalu aman dari gangguan harimau. 70 Nama Eyang segera melambung, dari desa ke desa orang banyak membicarakannya, menambah-nambah sesukanya, ya sepanjang-panjang lorong masih panjang kerongkong. Pengalaman Eyang sebagai lurah dan demang, membawanya pada pengalaman-pengalaman baru yang sangat jauh dengan kepandaian semula sebagai prajurit. Coba, Eyang kemudian dikenal sebagai dukun penolak bala,sebagai orang yang berani menebang pohon-pohon keramat, dan sebagai orang yang bisa bicara dengan binatang. Di desa lain, ada pasangan pengantin baru yang sudah lama tak juga akur-akur, padahal mereka saling mencintai. Setelah ditanya dengan berputar-putar ke sanake mari, akhirnya ditemukan sebabnya. Pasalnya,setiap mau tidur bersama, pengantin laki-laki tampak berbulu seperti kera. Tentu saja itu bukan hanya membuat pengantin perempuan kehilangan selera, tapi juga lari ketakutan. Orangtua pengantin laki-laki datang pada Eyang untuk minta nasihat, "Tolonglah kami, Lurah Demang." Mau diterima, hal itu di luar kepandaian Eyang. Tidak diterima, nanti sangat mengecewakan. Akhirnya, kalah cacak menang cacak, coba-coba, ia menyanggupi juga. Ia berpikir keras. Pasti suami itu kena santet. Ia datang ke tempat itu, melihat keadaan suami, dan berdoa untuk menghilangkan sihir. Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Tepat sembilan bulan sepuluh hari kemudian seorang bayi lahir dari pasangan itu. Ini cerita Eyang jadi pengusir jin, penunggu pohon-pohon. Yang biasa banyak penunggu-nya memang pohon beringin, tapi ini cerita tentang pohon randu, besar, tua, tinggi, dan keramat di sebuah pekarangan. Orang dulu biasa menandai desanya dengan pohon, "Itu lho, desa yang kelihatan pohon anu-nya." Ada orang datang dan mengeluh pada Eyang, "Lurah, pohon randu di pekaranganku terlalu tinggi. Kalau tumbang pasti rumahku kerobohan. Tidak seorang pun berani menebang. Orang-orang takut, kata mereka pohon itu banyak penunggunya. Jadi orang takut kualat. Tolong ditunggui, supaya orang berani." Sehari sebelum hari penebangan, Eyang datang. Malam hari dia sengaja tidur dekat pohon untuk meminta para penghuni pergi. Bekalnya" Al-Qur'an. Eyang jadi semacam kuasa hukum yang punya pekarangan, ya pantasnya bawa Kitab Undang-Undang. "Lho! Kami lebih dulu di sini kok malah disuruh pergi. Ketemu berapa perkara?" "Iya, kampung itu milik manusia. Ini sudah sunnatullah. Ada perintah Tuhan pada manusia untuk bertebaran di muka bumi. Perintah itu untuk bangsa manusia, bukan untuk bangsa jin. Ini!" Eyang lalu membuka Al-Qur'an, menunjukkan ayat itu. "Jin bisa tinggal di mana saja. Di laut, di gunung, di batu-batu. Ada hujan tidak basah, ada matahari tidak panas, ada api tidak terbakar." Setelah berunding jin-jin setuju pergi, lalu boyongan malam itu juga. Malam itu orang-orang desa mendengar tapi tak melihat langkah ribut-ribut, kesiur angin, dan omongan-omongan, "Ayo, Kang. Ayo, Yu." Pagi harinya orang-orang pun menebang pohon. Waktu mereka menebang datang seorang perempuan tua. "Hentikan pekerjaan itu. Cucuku pasti kesurupan. Katanya rumahnya sedang dirobohkan." Orang segera melapor pada Eyang yang menunggui penebangan. Eyang pun ke rumah orang itu. "Ini tidak sesuai dengan kesepakatan. Pergi ya pergi," katanya kepada maklhuk halus dalam tubuh bocah itu. Seketika itu juga bocah itu sembuh. 3 Eyang bisa juga jadi dalang. Dulu ia terkenal di sekitar sini, malah sering mendalang di kota. Maka kalau Pak De dan kau sendiri bisa mendalang itu namanya sudah klop. Nah, seperti biasa dalam hidup ini, sepandai-pandai kau bergaul, selalu saja ada orang tidak suka padamu. Demikian juga Eyang. Sedang asyik-asyiknya dia mendalang, ada yang menyeterui. Wayang yang ditancapkan di batang pisang tidak bisa dicabut. Eyang tahu seseorang sedang berupaya untuk menjatuhkan kewibawaannya. Waktu itu Arjuna sedang menghadapi Cakil. Tiba-tiba saja Arjuna melemparkan panah, melemparkan keris. Keduanya mengenai tiang kayu, menancap. Arjuna bilang, "Heh, orang jahat. Apa maumu" Jangan sekarang, nanti saya layani." 71 Sudah itu wayang-wayang dengan mudah dicabut. Kemudian ada orang datang minta maaf. Tentu saja Eyang memaafkan, dan orang itu lalu jadi seperti saudara. Mengapa, demikian tanyamu" Orang dulu itu sportif, mau mengakui kekalahan. Selanjutnya tidak ada orang berani jahil pada Eyang. Ini masih kelanjutan cerita soal Eyang sebagai dalang. Eyang sudah bersepakat untuk mendalang di suatu pesta perkawinan. Waktu itu terang bulan, jadi Eyang memutuskan untuk datang pada waktunya. Datang tinggal njejak, artinya datang tinggal memulai. Meskipun Eyang juga punya seperangkat gamelan dan wayang, tapi waktu itu gamelan, wayang, dan niyaga sudah diusahakan orang yang mengundang. Waranggono alias penyanyi" Waktu itu belum ada, dalang ya menyanyi ya banyol. Ya mengajarkan kebijaksanaan, pokoknya komplitlah. Kisahnya Eyang harus melewati sebuah hutan, ya berani saja, masih sore, terang bulan lagi. Eyang naik kuda, rasanya sudah lama, kok tidak keluar-keluar dari hutan. "Lho! Ini kan pohon jati di tengah hutan itu, to." Eyang sadar bahwa dia hanya berputar-putar dalam hutan. Baru sadar, pasti dia sedang disesatkan dalam hutan. Tiba-tiba hutan jadi gelap. Pohon-pohon merunduk menghalangi jalannya. Tahulah dia penunggu hutan menjahilinya Kudanya meringkik keras, menyepak-nyepak dengan kaki depan, tak terkendali. Eyang turun dari kuda, lalu menghunus pedang, menantang, "Ayo! Jangan coba-coba bersembunyi! Aku tahu, siapa kau." Hutan jadi terang benderang kembali dan dia meneruskan perjalanan. Sampai di tempat, orang-orang sedang sibuk membenarkan letak gamelan. Sepertinya ada bekas orang ngamuk, mengangkati gamelan. "Apa yang terjadi?" Orang-orang hanya saling pandang. Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kami tidak tahu, Kiai." Mereka baru bicara, ketika tiba-tiba ada perempuan dengan rambut terurai datang, melabrak mereka. Katanya, "Mana makanku" Mana makanku?" Tahulah orang bahwa perempuan itu kemasukan jin perempuan. Pemilik rumah datang tergopoh-gopoh. "Jangan marah. Jangan marah. Akan kami sediakan," katanya. Eyang melarang pemilik rumah menyediakan sesajen kepada danyang desa. Melihat pemilik rumah berjanji kepada jin, kata Eyang, "Jangan! Akulah yang bertanggung jawab," kemudian kepada perempuan yang kemasukan, "Pergi! Atau kuusir dengan paksa." Kemudian perempuan itu bersimpuh, menyembah-nyembah, "Ampun, ampun, Kiai. Aku kapok." Perempuan itu lalu lemas, orang-orang menggotongnya masuk. Kata Eyang kepada yang hadir, "Jangan pernah menyerah pada lelembut. Itu syirik. Ketahuilah, manusia itu makhluk paling mulia!" Kemudian wayang pun dimulai. Suatu kali Eyang, gamelan, wayang, dan niyaga semuanya diboyong untuk ditanggap oleh seorang yang kaya-raya. Wah, suguhannya mengalir seperti air. Tiba-tiba cuaca berubah, jadi mendung. Dapat dibayangkan pasti petani bersorak, hujan memang sudah lama dinantikan. Karuan saja pemilik rumah minta supaya Eyang menolak hujan. "Tidak bisa, hujan itu sunnatullah. Anugerah untuk petani." "Tolong, Kiai. Tamu-tamu, penonton, nanti bagaimana?" Waktu itu sekaya-kaya orang, atap tambahan mesti pakai bertepe dari daun kelapa. Panas dapat menahan, tapi kalau hujan pasti ada bocornya. Benar, tamu-tamu kehujanan dan penonton sepi. Biasanya Eyang tidak sekeras itu, hanya pemilik rumah memang perlu diberi pelajaran. Lha wong menolak hujan itu sebenarnya bukannya menolak, tapi memindahkan. Jadi sebenarnya hujan malahan dapat dipindah ke atas sawah, tapi Eyang memang sengaja. 4 72 Ini pengalaman Eyang sebagai juru sunat. Juru sunat pada waktu itu orang istimewa. Selain penduduk masih sedikit, juga karena sunat itu dipandang sebagai peristiwa istimewa, waktu seorang pemuda sudah berani menyabung nyawa. Suatu kali seseorang datang pada Eyang, "Tolong Kiai Lurah Demang, anakku sudah berumur dua puluh tahun, tapi belum juga mau sunat." Waktu itu anak laki-laki baru sunat dekat sebelum kawin, tujuh belas, delapan belas, atau sembilan belas. Sunat lebih dilihat sebagai syarat kawin dari pada laku keagamaan. "Pasti ada yang tak beres," pikir Eyang. Eyang minta dipertemukan dengan pemuda itu. Setelah ngomong berputar-putar ketahuan bahwa seorang peramal mengatakan padanya bahwa dengan sunat berarti ajalnya akan sampai. Dengan susah payah akhirnya Eyang bisa meyakinkan pemuda itu bahwa lahir, jodoh, rezeki, nasib, dan mati itu sepenuhnya di tangan Tuhan. Pemuda itu mau sunat, asal juru sunatnya ialah Eyang. Wah, padahal Eyang bukan ahlinya. Ada Hadits Nabi yang menyatakan bahwa segala sesuatu itu harus diserahkan ahlinya. Maka Eyang minta waktu satu tahun. Demikianlah mulanya Eyang jadi juru sunat. Eyang kemudian magang kepada juru sunat paling terkenal saat itu. "Mosok Lurah mau jadi murid saya." "Iya. Jangan segan-segan memberi perintah," kata Eyang pada gurunya. "Meski saya sudah cukup umur, Guru." Gurunya bangga punya murid seperti Eyang. Lurah, demang, dalang, dukun. Eyang disukai gurunya karena cekatan, teliti, dan pembersih. Mula-mula hanya sebagai pembawa kotak pisau. Lalu dipercaya menggodok pisau supaya bebas-kuman, kemudian sebagai tukang pemecah telur untuk penahan rasa sakit, akhirnya pembuat ramuan-ramuan supaya cepat sembuh. Dan yang terakhir sekali Eyang dipercaya menggunakan pisau. Setelah diwisuda jadi juru sunat, Eyang mulai praktik. Tentu saja pemuda itu jadi orang pertama yang didandani Eyang. Sejak itu Eyang juga dikenal sebagai juru sunat. Meskipun hanya amatiran, tapi kerjanya profesional. Waktu itu juru sunat belum bisa jadi pekerjaan . Banyak yang minta disunat, hanya karena mengharap berkahnya. Setelah sungguh-sungguh jadi juru sunat ada-ada saja orang yang tidak suka. Ini masih cerita tentang pemuda yang dulu itu. Melihat anaknya sudah berani sunat, orangtuanya sudah mencarikan jodoh. Dua bulan setelah disunat, lukanya tidak juga sembuh, bengkaknya terasa tambah membesar. Padahal bulan dan hari pernikahan sudah ditentukan. Adalah aib besar, kalau pada hari perkawinan sunatnya belum sembuh. Dulu itu ada yang disebut gendhel, bekas sayatan yang membengkak. Untuk menyembuhkannya orang biasa mencari batu-batu yang panas dan ditempelkan, dengan harapan bengkak itu segera mengering. Tetapi, mungkin batu itu justru yang menyebabkan bengkaknya tidak juga sembuh. Istilahnya sekarang mungkin batu itu tidak steril. Pemuda dan orangtuanya gelisah, jangan-jangan ramalan itu benar. Mereka datang pada Eyang. Eyang membuat ramuan yang istimewa, dan melarang pemuda itu menggunakan batu. Setengah bulan kemudian bengkaknya kempes- pes. Sebagai tanda terima kasih, pada hari perkawinan Eyang mendapat kiriman makanan satu jodhang, satu kotak besar berisi makanan. Nah, soal sunat-menyunat itu hanya soal biasa, soal yang tidak aneh. Tidak ada jimat-jimatan, segalanya masuk akal. Tetapi, ada yang aneh. Ada yang tidak suka dengan sukses Eyang sebagai juru sunat. Suatu kali Eyang sedang bekerja. Pisau yang dipakainya rasanya sangat tajam, tapi tak juga mempan untuk mengiris kulit yang lunak itu. Eyang sudah mencobanya dengan menerbangkan kapas, lalu kapas yang terbang itu ditebas dengan pisau. Dan kapas itu terbelah. Kulit itu sepertinya belulang kering yang sangat alot. Tentu saja yang punya blingsatan, berteriak-teriak kesakitan, keringat mengalir. Semua yang hadir panik. Ada yang tak beres. Sadarlah Eyang bahwa seseorang sedang menjahilinya. Maka dengan mengucapkan bismillah dipakainya kukunya untuk bekerja. Dengan mudah Eyang menyelesaikan pekerjaan . Takut dengan pembalasan Eyang, orang yang menjahilinya datang dan minta ampun. Suatu sore Eyang sedang leyeh-leyeh di pendapa. Waktu itu hujan turun rintikrintik. Bulan tertutup mendung. Tidak terduga ada kereta kencana yang ditarik empat ekor kuda putih besar 73 berhenti di halaman. Ada orang turun, pakai kuluk, topi bulat datar puncaknya. Pakaiannya seragam abdi dalem keraton. Orang itu lalu duduk dan menyembah. Tentu saja perlakuan yang luar biasa itu mengejutkan Eyang. "Mohon maaf. Saya diutus Raja untuk menjemput Yang Mulia. Yang Mulia diminta untuk menjadi juru sunat, karena Putra Mahkota ingin sunat." Entah kenapa tiba-tiba Eyang merasa kalau memang hari itu sudah ada janji dengan orang itu untuk jadi juru sunat. Eyang segera mengemasi barang-barangnya. Bahkan Eyang lupa untuk pamit pada Eyang Putri. Dia naik kereta dan sss dalam sekejap sudah sampai di depan istana. Ternyata istana itu terang-benderang, atapnya dari emas, banyak undangan bersliweran, ada yang berkereta ada yang jalan kaki. Tampak bahwa kedatangan Eyang sudah ditunggu-tunggu. Seperti sudah seharusnya demikian, Eyang tidak merasa aneh ada abdi dalem membukakan pintu kereta, ada abdi dalem membawakan kotak sunatnya, ada abdi dalem merebus pisau-pisaunya, ada abdi mengantarnya ke tempat upacara. Nama tempat itu ialah krobongan, tempat duduk orang yang disunat dengan hiasan macammacam. Di sanalah Eyang dipertemukan dengan Raja. Eyang tahu kalau dia Raja dari tempat duduk dan para pembesar yang mengelilinginya. Eyang akan duduk di lantai dan menyembah. Raja melarangnya: "Sembah dan duduk di lantai hanya berlaku bagi orang dalam, sedangkan kau adalah tamu yang justru harus kami hormati." "Terima kasih, Raja," Eyang pun duduk di kursi. Baru sekali itulah ia duduk di kursi waktu menghadap raja. "Bagaimana, bisa kita mulai?" tanya Raja pada petugas. "Sudah, Raja." Kemudian gamelan berbunyi. Putera mahkota diiringkan ke krobongan. Eyang dipersilakan bekerja. Selesai. Eyang berpamitan pada Raja. "Kami tidak punya apa-apa. Ambillah yang di meja itu," kata Raja. Di meja ada beberapa bongkah emas. "Tidak, Raja. Kehormatan ini cukup sebagai upah." "Jangan begitu. Kau punya istri dan anak-anak. Ambillah untuk mereka, kalau tidak untuk kamu." Eyang tidak mengambil. Kemudian Raja berdiri, mengambil sebongkah emas, dan dijejalkan di saku Eyang. Lalu Eyang diantar pulang dengan kereta yang tadi dan turun di halaman. Pengantar pamit, masuk dalam kereta, dan menghilang. Eyang baru sadar kalau Raja Jin mengundangnya untuk jadi juru sunat. 5 Cepatlah kawin. Mumpung Kakek dan Nenek masih bisa menunggui.* XIX BUMI GONJANG-GANJING LANGIT MEGAP-MEGAP 1 Orang tua itu tiba-tiba sajamuncul di Pasar Tegalpandan. Hari itu Hari Pasar. Laki-laki itu berambut putih panjang yang dibiarkan terurai, sebuah sisir melingkar di kepala, cincin akik besar-besar di jari kanan dan kirinya, jubah putih, mengempit kain putih. Ia berjalan sambil melihat-lihat,nampak bahwa dia sedang mencari tempat. Beberapa laki-laki dan anak-anak mengikutinya, tertarik dengan penampilannya. Setelah menemukan sebuah gundukan agak meninggi, dia menoleh kanan-kiri, dan berhenti. Merasa cocok, ditebarkannya kain putih yang lebar, lalu duduk di atasnya. Sementara itu dalam waktu sekejap telah terbentuk lingkaran. Dia berdiri di gundukan dan mulai dengan pidato pengantar: 74 "Saudara-saudara pasti belum kenal saya. Maklum sekarang ini yang penting adalah Pak Presiden, Pak Gubernur, Pak Bupati. Rakyat seperti saya tidak perlu diperhitungkan, tidak perlu didengar, tidak perlu digubris, dilupakan. Dala kampanye Pemilu memang ada obral janji untuk rakyat, membangun ini itu. Tapi pelaksananya, wo, tahi kucing, jangan tanya. Nol besar. Diperkenalkan nama saya ialah Kismo Kengser, artinya "tanah tergusur". Sebelum jadi peramal, jelek-jelek saya ini petani kaya. Lha suatu hari Pak Lurah datang dan bilang, 'Negara butuh pengorbananmu'. Lurah minta supaya saya rela melepas tanah, sebab negara mau membangun sebuah terminal bis. Dasar orang kecil yang bodoh, tanah saya lepaskan dengan harga dua gelas kopi semeternya. Ee, tunggu punya tunggu di atas tanah saya berdiri rumah-rumah mewah. Tanah saya telah dijual pada perusahaan perumahan. Sampai sekarang, saya hanya gedek-gedek dan gigit jari. Ayo siapa duluan" " Seorang laki-laki dengan sarong maju. Lalu mereka duduk. Laki-laki bersarong itu berbisik, tapi cukup keras untuk semua orang dalam lingkaran. Ia mengemukakan bahwa ia peternak ayam ras. Tapi akhir-akhir ini harga makanan ayam melejit. Ayamnya banyak mati. Di mana letak keberuntung-annya" Berdagang, berternak kambing, atau kembali jadi petani" Laki-laki tua itu memejam mata sambil memegang telapak tangan laki-laki bersarong, kerumunan diam tidak berisik ingin mendengar jawabnya. Laki-laki tua berbisik di telinga, tapi bisikan itu cukup keras sehingga kerumunan itu mendengar. Katanya, "Ayam itu mati kena virus, namanya monopoli. Di bawah kekuasaan Soeharto, ekonomi kita memang dikuasai konglomerat. Kita dijajah lagi, tidak oleh bangsa lain tapi oleh bangsa sendiri. Mengenai usahamu, peliharalah ayam kampung atau bebek. Hindarilah ketergantungan pada pabrik." Laki-laki bersarong memberi uang pada laki-laki tua, lalu mundur. Laki-laki tua berdiri. Ia mulai lagi dengan pidatonya: "Kismo Kengser meramal bahwa pemerintah sekarang akan segera ambruk, sebab ketakadilan sudah ada di mana-mana. Para penguasa bukan lagi pamong, tapi maling betulan, maling berdasi, maling berbintang, maling berpendidikan. Persekongkolan penguasa, pengusaha, tentara, dan Randu untuk memeras rakyat. Mereka adalah badut-badut. Mengaku polisi padahal sebenarnya maling. Mengaku satriya padahal sebenarnya perampok-perampok. Apa yang dirampok" Hutan kita dibabat habis, perutbumi kita tambangnya dikuras, tanah dibukit-bukit dikapling, tidak tersisa unutuk anak-cucu, wong cilik digusur semena-mena. "Orang berbisik-bisik, lalu berkata, lalu berteriak: "Betul, betul. Betul, betul. Betul, betul!" Pidato orang tua itu makin berapi-api, mengepalkan tinju: "Pancasila, Saudara-saudara" Pancasila-pancasilaan,tahi kucing. Ini negara perampok, bukan negara Pancasila. Karenanya wong cilik seperti kita harus bersatu. Menggantung para perampok." "Setuju!" "Gantung!" "Hukum mati!" Tiga orang berseragam polisi masuk ke lingkaran. "Minggir, minggir!" Polisi itu mendatangi laki-laki tua. "Bapak kami tahan!" "Lho! Apa salah saya?" "Menyebar kebencian." "Kok polisi, bukan tentara" Mana surat tugas?" "Jangan banyak omong, ikut saja!" Laki-laki tua menggulung kain putih, mengikuti polisi, dan segera kabur. Kerumunan itu bubar, tapi di kepala mereka ada kesimpulan:Polisi sewenangwenang. Orang tua itu benar, pemerintah pasti akan segera turun. Ibarat ikan, dia menggelepar-gelepar waktu akan mati. 2 Tegalpandan dapat hujan kiriman, artinya hujan pada musim kemarau. Hujan lebat itu disertai angin ribut. Orang-orang berpikir bahwa hujan salah musim dan angin ribut pasti pertanda buruk. Orang takut keluar rumah, gardu Siskamling sepi. Hanya piket polisi di kecamatan yang 75 bertahan. Orang mengkhawatirkan beringin di terminal setiap kali ada angin besar. Orang sekitar terminal mendengar suara, "Rak-rak-reketeg! Brrruk!" Suara itu sebenarnya cukup keras, tapi tertutup oleh gemerosak hujan dan angin ribut. Lhadalah! Pagi hari, hujan dan angin reda. Orang-orang keluar ke terminal. Beringin itu tumbang! Pohon yang selama ini tegak menghadapi hujan dan angin itu terbujur, akar-akarnya mencuat di atas tanah. Orang-orang sekitar terminal merubung, orang-orang lain merubung. "Saya mendengar teriakan-teriakan, 'Rumah kita! Rumah kita!'" "Saya mendengar tangis perempuan, 'Mana anakku"'" "Saya mendengar suara gedebak-gedebuk, sepertinya peng-huni beringin itu sibuk." "Saya mendengar langkah orang banyak sekali, 'Ayo pindah, ayo pindah!'" Mereka mengurumuni pohon yang tergeletak di tanah. Mereka tertegun. Ada ketakutan di wajah mereka. Pohon tua, yang entah kapan menanamnya. Pohon yang sudah menyatu dengan Tegalpandan. Waktu mereka kawin meskipun sedikit harus mengambil hiasan daun-daunan berasal dari pohon itu. Orang-orang tua masih membakar kemenyan di bawahnya. Pagi itu ada aturan baru untuk bis. Orang-orang pasar juga memerlukan menengok beringin itu sebelum memasang dagangan. Kalurahan Tegalpandan rapat LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa). "Kita akan mengadakan selamatan," Lurah membuka pertemuan. Seorang yang dikenal sebagai guru SLTP dan aktivis Muhammadiyah bilang: "Nanti dulu, Pak Lurah. Beringin itu sudah sewajarnya tumbang. Daunnya terlalu rimbun, akar serabutnya tak kuat menyangga." "Lha, iya betul. Rimbunnya sudah dulu-dulu. Akar serabut ya sejak dulu. Hujanangin ya sudah dulu-dulu. Kok tumbangnya baru sekarang?" "Itu kebetulan saja!" "Ah, tak mungkin tak ada apa-apanya." "Mungkin betul kata peramal dulu itu, itu tandanya pemerintah yang perkasa akan runtuh." "Sst, sst. Dibatin saja." "Kalau begitu, apa peduli kita dengan beringin?" "Jangan beringinnya yang dipikir. Tapi warga desa." "Warga yang mana" Saya juga warga." "Buang-buang uang" Mubazir." "Ini namanya demokrasi." "Jangan dipolitisir." "Danyang ...." "Tidak ada danyang-danyangan. Kalau ada namanya jin." "Masak manusia kalah sama jin." "Ini tahun 1997, tidak 1799." Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Rapat desa itu deadlock alias tak menghasilkan keputusan. Tak menghasilkan keputusan artinya sudah ada keputusan bahwa tak akan ada selamatan. Pohon tumbang itu jadi tontonan gratis. Orang berdiri mengelilinginya. Ck, ck, besarnya. Ck, ck, akarnya. Ck, ck, daunnya. Untuk beberapa hari kegiatan desa ialah membersihkan reruntuhan pohon. Daunnya, cabangnya, dan akar tunggangnya. Pohon dan pangkalnya laku dijual. Ada tiga orang datang untuk membelinya. Maksud orang ialah hasil penjualan bisa untuk biaya selamatan. Tahu bahwa tidak akan ada selamatan, orang-orangtua kum-pul di sekitar pohon. "Sebenarnya beringin itu telah menyediakan sendiri biaya selamatan." "Sayang mereka yang ikut rapat itu kebanyakan anak kemarin." "Banyak orang baru. Banyak pendatang." "Selamatan itu tak perlu mahal. Cukup dengan seekor ayam, yang perlu doa Pak Modin." Selama beberapa hari tidak terjadi hal-hal yang istimewa. Tapi pada hari ke-5 sejak beringin itu tumbang orang mendatangi rumah Lurah. Semuanya merujuk ke pohon beringin. "Lurah, saya setengah bangun setengah tidur didatangi orang tinggi besar. Orang itu minta rumah." "Lurah, anak saya mengigau minta makan." "Lurah, anak saya tidak mau makan. Saya ke Puskesmas, katanya anak saya tidak apa-apa." 76 "Lurah, ayah saya sekarang suka marah-marah. Mengusir semua orang, termasuk saya." Lurah kebingungan. Untung pada hari ke-6 seorang dukun tua mendatanginya. Dia mengatakan: "Jangan menuruti LKMD. Kerjakan yang terbaik menurut Lurah." "Tetapi begitulah hasil musyawarah." "Ini bukan urusan musyawarah, tapi soal keselamatan. Tegas sedikit, begitu." Singkatnya Lurah berkeputusan untuk menyelenggarakan selamatan, tanpa LKMD, tanpa musyawarah. "Satu sen pun tidak diambil dari kas desa," katanya pada setiap orang. Lurah segera menghubungi Abu Kasan Sapari. Abu Kasan Sapari berjalan hilir-mudik di rumah. Ia pusing, secara resmi Lurah memintanya untuk mendalang dalam selamatan desa. Ia ingat, Eyangnya saja telah menebang pohon-pohon keramat tanpa upacara Sekian ratus tahun kemudian cucunya akan mendalang untuk selamatan karena pohon tumbang. "Ini benar-benar kemun-duran," pikirnya. Kepada Lurah dikatakannya bahwa dia minta waktu, soalnya rapat LKMD menolak selamatan. Akan dicobanya minta pendapat Lastri. "Mudah saja. Jangan sebut itu selamatan," kata Lastri. "Lalu?" "Ruwat Bumi, atau apa begitu." "Wah kok cerdas, Yu." "Itulah pengalaman Kakek saya." "Kakeknya juga suka mendalang, to?" "Iya, amatiran saja. Misalnya, kalau tujuhbelasan. Tapi sudah almarhum." "O, begitu. Lalu?" "Undang seorang ustadz untuk berceramah sebelum wayang dimulai." "Lalu?" "Jangan pakai sesaji. Kata orang, itu malah mengundang setan." "Lalu?" "Kok tanya terus." "Terima kasih, Yu. Ini benar-benar jalan tengah." Abu Kasan Sapari menyatakan setuju, dengan sejumlah persyaratan. Mereka semua puas. Jadilah! 3 Karena dianggap tidak sukses dalam Pemilu, Bupati Karangmojo diganti. Sejumlah camat juga diganti, termasuk Camat Tegalpandan. Para pegawai yang sudah biasa dengan urusan ganti-mengganti sesudah Pemilu tidak lagi heran. Bahkan orang bisa meramal: camat ini akan diganti, bupati itu akan dimutasi. Tidak ada upacara selain Sertijab (Serah Terima Jabatan). Kepada para lurah Camat Tegalpandan mengatakan, "Kita ini orang kecil, ya monatmanut saja. Lain dengan Bapak-bapak." Camat baru Tegalpandan dikabarkan sangat kukuh semangat Randunya. Sukses atau tidak Pemilu di desanya, di desa-desa Tegalpandan Mesin Politik tidak bisa berbuat apa-apa terhadap para lurah. Cara Mesin Politik menghukum desa hanya dengan mempersulit program listrik masuk desa, menelantarkan desa dalam pembangunan jalan, menghambat kredit untuk petani, dan tidak mengikutkan desa dalam program-program pembangunan. Calon yang dijagoi Mesin Politik, sebaliknya, akan mengobral janji, "Jalan!", "Kredit", atau "Listrik!" Demikianlah ketika ada lowongan untuk lurah-lurah baru di Tegalpandan, sebelas calon memperebutkan tiga posisi. Camat baru Tegalpandan sebagai Ketua Pemilihan Lurah tidak meluluskan beberapa calon non-Mesin Politik. Ia tahu siapa harus lulus dan siapa harus gagal. Maka, ketika jago dari Mesin Politik memenangkan dua dari tiga posisi lurah timbul keributan. Rakyat dari dua desa yang merasa calon lurahnya kalah oleh calon yang dijagoi Mesin Politik datang memprotes Camat baru. Mereka membawa spanduk dengan tulisan seadanya. "Camat Curang!" "Camat Licik!" "Rakyat tidak terima!" "Pengkhianat demokrasi! 77 "Camat kere!" "Ingat aspirasi masyarakat!" Bagaimanapun, lurah-lura Tegalpandan bersama delapan belas lurah lain di Karangmojo dilantik Bupati. Demo tak juga berhenti. Camat baru mulai risih, tapi tidak berani minta tolong polisi atau tentara. Kata komandan polisi dan tentara setelah Sertijab, "Kami hanya setia pada Pancasila dan negara." Maksudnya, kesetiaan mereka bukan pada Camat. Dia bergerak minta desa-desa yang dulu lurahnya disponsori Randu untuk mengirim pendemo. Katanya, "Tidak, saya tidak akan minta bantuan polisi untuk menyingkirkan mereka. Jumlah dibalas dengan jumlah," "Biar melek bahwa tidak hanya mereka yang pandai demonstrasi," "Tidak hanya dua puluh lima, lima puluh, tapi seratus orang." Itu artinya Pak Camat harus menyediakan uang konsumsi, "Sampai melarat pun sanggup," "Sampai kapan pun saya ladeni." Demikianlah orang-orang yang akan naik bis lewat terminal, akan menyaksikan pendemo dan kontra-demo kumpul-kumpul di depan kecamatan. "Hidup Camat!" "Dukung Camat!" "Singkirkan calon-lurah anti-Pancasila!" "Camat untuk Rakyat!" Mereka yang melihat hanya geleng-geleng kepala. Salah seorang berkomentar, "Memang Zaman Edan!" Akan tetapi, ketika Bu Camat menghentikan subsidi untuk membayar para kontrapendemo, Pak Camat mulai pikir-pikir. "Wah, jadi camat tambah melarat," pikirnya. Ketika dia mencoba minta bantuan Mesin Politik malah disalahkan. Kata mereka, "Salah sendiri," "Tidak usah digubris," dan "Anjing menggonggong kafilah berlalu." Maka, meskipun menyakitkan karena para pendemo ada di depan mata, ia minta juga kontra-demo dihentikan. Rasanya demo itu seperti klilip di mata. Tapi makin lama pendemo jumlahnya makin berkurang, dan akhirnya berhenti sendiri. Camat kembali gagah. Dalam konferensi dengan para lurah diumumkannya kemenangannya. "Saudara-saudara, demo itu ibarat obor blarak. Sebentar menyala, tapi sebentar kemudian mati." Lurah-lurah non-Randu merasa tertantang. Esok harinya ada demo. "Camat bukan Presiden!" "Rakyat tak digubris!" " Emoh Camat curang!" Demo itu juga akhirnya berhenti. Camat tambah arif. Ia tidak mengeluarkan pernyataan apa-apa. Hanya saja ia terpikir untuk syukuran. Maka ia pun menemui Abu dan menyatakan niatnya untuk syukuran atas stabilitas kecamatannya. "Saya moa-mau saja, Pak. Tapi apa itu tidak berarti membangunkan macan tidur. Pikirkan kembali, Pak." Ketika gagasan untuk wayangan itu disampaikan pada Bu Camat, sambil berkacak pinggang ditolaknya gagasan itu. "Tidak satu sen pun! Tidak satu sen pun!" Camat lemas, katanya sambil garuk-garuk kepala, " Waduh, mati aku!" 4 Ganti cerita. Apa yang terjadi pada Lastri" Ayah-Ibu Lastri datang. Setelah basa-basi, minum, dan istirahat, ayah berkata: "Jadi orangtua punya anak perempuan itu berat. Tetangga sebelah rumah itu punya perkutut. Perkututnya sudah mau dibeli 25 juta. Sangat mahal, tidak boleh. Ee, malam-malam perkututnya dicuri orang." "Maksudnya saya ada yang melamar, to?" "Iya, kok tahu." "Itu juga yang dulu Ayah-Ibu ceritakan." "Ya, to. Itu lho Nduk, sinder tebu Tasikmadu sudah beberapa kali datang ke rumah melamarmu," sambung Ibu. "Begini, Ayah-Ibu. Jangan dipikirkan berat-berat, nanti saya cari sendiri." "Kalau begitu kan jelas. Tapi jangan sembarangan, lho." 78 Kepada Ayah-Ibu bisa dijelaskan duduk soalnya. Tetapi, suatu hari Lastri menerima tamu perempuan pemilik sebuah kios di Pasar Tegalpandan. Kata tamu itu, "Ya berat-beratnya punya sepupu masih jejaka. Begini, Jeng. Jangan sakit hati, saya ke sini disuruh sepupu saya. Itu lurah baru [ia menyebut nama desa] katanya adalah aib bagi lurah masih bujangan, masih muda, baru dua tujuh, siapa jadi penggerak PKK,siapa harus mendampinginya dalam resepsi-resepsi" Dia sudah mantap kalau Jeng Lastri mau jadi istrinya. Dia sudah lihat, kok. Akhir-akhir ini dia rajin mengantar saya dengan mobilnya." Lastri mengatakan kalau dia belum berminat berumah tangga. Lain hari datang temannya di klub kroncong. "Begini, lho. Saya akan senang kalau kamu besok-besoknya mau jadi ipar saya. Adik saya itu kok tergila-gila sama kamu. Mula bukanya itu, dia lihat penampilanmu waktu kita nyanyi di Mojogedang. Dia nonton dengan teman-teman sekolahnya dari UNS. Caranya, mudah diatur. Berkenalan dulu saja. Kalau cocok dilanjutkan, kalau tidak ya tak apa. Mau, ya?" Kepada tamunya hanya dibilang bahwa dia belum berminat pacaran. Lain hari lagi datang Pak Lurah Tegalpandan. Ia membawa kaleng-kaleng roti kering sebagai oleh-oleh. "Wah, Pak Lurah. Kok tumben?" "Sudah saya duga, Nak. Engkau pasti terkejut." "Betul, Pak." "Begini, Nak. Kata Pak Ustadz yang baru-baru ini ceramah di terminal itu. Bahwa makhluk Tuhan itu berpasangan. Nah, saya ini mendapat amanat dari juragan truk yang baru-baru ini istrinya meninggal. Saya kira duda seperti dia pasangannya ya harus janda. Ini namanya baru pas. Itu pandangan orang setua saya. Saya ini orang kuna. Apa yang dicari dalam hidup ini, kalau bukan ...." Lastri tersinggung dikatakan 'janda', lalu menyela, "Tapi, Pak. Maaf, saya masih ingin sendiri." "Ya, jangan begitu. Pikirlah yang panjang." Setelah Lurah pergi, dia membawa kaleng-kaleng biskuit ke tempat sebelah. Matanya berkaca-kaca. Abu Kasan Sapari terkejut melihat dia membik-membik mau menangis. Lastri melempar kaleng-kaleng ke dipan. "Ini bagian sampeyan!" " Lho, ada apa ini?" Belum sempat pertanyaan itu dijawab, Lastri pergi sambil menutupi wajahnya. "Yu, Yu!" Abu Kasan Sapari terheran-heran. Mengejar Lastri masuk rumahnya. Tapi Lastri terus ke kamar, menutup pintu . Jeglek! Abu hanya termangu-mangu. Duduk di sofa, sambil sesekali batuk-batuk kecil sebagai tanda dia masih di sana. Setelah agak lama, Lastri keluar kamar. "Bagaimana ceritanya, to Yu?" "Itu, lho. Pak Lurah datang. Katanya saya mau dijodohkan sama juragan truk." "Terus bagaimana?" "Ya tidak mau!" " Lha mbok mau." " Sampeyan itu sungguhan, apa guyon?" "Ya pilih guyon saja, kalau berkenan di hati." Masih sama ceritanya, tetapi lain harinya. Bangun tidur Lastri merasa kepalanya pening. Dia segera lari menemui Abu. "Tolong, nanti mampir kios. Bilang anak-anak hari ini saya tak masuk. Kepala pening." Dengan senang Abu mampir kios. Ketika siangnya pulang, Abu curiga. Lastri tidak di rumah. Ia pesan tetangga bahwa periksa ke dokter. Abu segera menyusul. Dokter memberitahu bahwa Lastri dianjurkan mondok beberapa hari di Rumah Sakit Karangmojo untuk periksa. "Serius, dokter?" "Tidak tahu, maka sebaiknya mondok." Abu menyusul ke Rumah Sakit Karangmojo. Sampai di rumah sakit Abu segera menemui Lastri yang sedang periksa darah. "Sakit sungguhan, to Yu." 79 "Tidak. Cuma peningnya ini, lho. Seperti dipukuli." Lastri disuruh menunggu sampai besok. Pulang boleh, mondok juga boleh. Keesokan harinya diantar Abu kembali ke Karangmojo. Abu meninggalkan kantor, izin kalau keluarganya sakit. Dokter di Karangmojo mengatakan kalau segalanya negatif. Lalu menyarankan untuk ke rumah sakit di Solo yang punya USG dan CT Scan. Mereka berdua ke Solo. Hasilnya hari itu juga diketahui. Segalanya negatif, dan disarankan untuk pulang. Tapi, kalau ada perkembangan baru dapat periksa lagi. Sore hari Pak Lurah datang. Ia gelisah karena Lastri sakit sepeninggal dia. Ia datang dengan seorang dukun. "Sungguh, saya tak apa-apa," katanya. "Saya tidak menuduh siapa-siapa, kok Pak." "Kalau itu santet, Bapak ini tahu jenisnya dan membuka kira-kira pekerjaan siapa. Bagaimana, Pak?" Orang yang disebut dukun menggeleng. "Tidak ada, tak apa-apa." Setelah Lurah pergi Haji Syamsuddin suami istri datang. Ia hanya menyarankan untuk memperbanyak membaca istighfar dan mengaji. Ketika mampir ke tempat Abu Kasan Sapari, ia berbisik keras, "Sudah saya bilang, hanya kau yang bisa menyembuhkan. Itu lho, Ma'ul Hayat [Air Kehidupan]. Sungguh, kok. Percayalah." Artinya, hanya perkawinan yang bisa membuat Lastri sembuh.* XV WARISAN 1 Abu Kasan Sapari makin sibuk. Ia diminta untuk mendalang pada banyak acara syukuran. Temantenan dan sunatan tidak lagi menanggap wayang, tapi keroncong atau kasidah, lebih murah dan praktis. Ketika seorang lurah non-Randu mengadakan syukuran, dialah yang diundang. Lurah itu semula adalah sekdes (sekretaris desa), dia menjadi terkenal karena menolak uang sogokan ketika seorang pedagang minta KUT (Kredit Usaha Tani). "Bukan petani tak berhak minta KUT," katanya. Kebetulan lurah itu tinggi besar. Maka lakon yang dipertunjukkannya ialah "Bima Jadi Raja". Orang-orang non-Randu lalu banyak memintanya mendalang, dan orang-orang Randu akan minta dalang lain. Karena itu, kemudian ia dikenal sebagai 'dalang politik'. Sebutan itu menggusarkannya. Dalam kesempatan mendalang selalu menggunakan episode gara-gara untuk mengatakan bahwa wayang adalah seni, bahwa wayang adalah pencerahan, bahwa wayang adalah kebijaksanaan. Bahwa wayang tidak memihak orang tapi kebenaran. Berkali-kali Petruk akan bilang pada Gareng, "Dalang tidak main politik. Dalang itu ngudhal piwulang, artinya mengajar kebijaksanaan hidup." Tetapi, bagaimanapun ia berusaha sebutan sebagai 'dalang politik' sukar lepas darinya, seperti juga Ki Manut disebut orang 'dalang setan' karena sabetannya Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo (gerakan wayang) sangat mengagumkan, dan Ki Entus disebut 'dalang edan' karena Kresna dapat naik helikopter dan Gatotkaca pandai main pistol seperti koboi. Maka tidak salah kalau orang-orang pasar Tegalpandan juga mengenalnya sebagai 'dalang politik'. Untuk orang-orang pasar Tegalpandan, julukan 'dalang politik' itu mula-mula berubah jadi 'dalang politik non-Randu', dan kemudian jadi 'dalang politik anti-Randu'. Kenyataan bahwa ia sempat ditahan meyakinkan bahwa dia memang anti-Randu. Lastri memberitahu perubahan julukan itu: "Di pasar sampeyan dikenal sebagai dalang politik anti-Randu, lho." "Itulah, Yu. Yang mengganggu pikiran saya." "Ah, suara orang pasar kok dipikir. Suara itu pasti macam-macam." "Tidak dipikir bagaimana, wong saya bekerja untuk mereka." Ketika keluhan itu disampaikan pada Ki Manut Sumarsono, dalang senior itu memberi jalan, "Kalau begitu mendalanglah di rumah Pak Camat. Dia akan sunatan, gantikan saya." Karena kesibukan, Ki Manut terpaksa menolak permintaan Camat. Betul, ia pergi pada Pak Camat dan 80 menyatakan niatnya untuk mendalang menggantikan Ki Manut. Pak Camat keheranan, dia adalah Pembina Randu di kecamatannya, dan Abu 'dalang politik anti-Randu'. "Percayalah, Pak. Saya akan menjaga kehormatan sebagai dalang." "Saya tahu, saya tahu. Ki Manut tidak akan menjerumuskan saya." Taktik Ki Manut Sumarsono cespleng. Ibarat panas setahun terhapus hujan sehari, julukan sebagai 'dalang politik anti-Randu', julukan 'dalang politik non-Randu', bahkan julukan 'dalang politik' lenyap. Buktinya, para bakul di pasar tidak lagi menambahkan kata 'dalang politik' ketika Abu mendalang untuk juragan bis di Tegalpandan. Kenyataan itu dikabarkan Lastri pada Abu Kasan Sapari, "Soal 'dalang politik' sudah beres. Sampeyan bebas sekarang." 2 Abu Kasan Sapari diminta untuk mendalang pada HUT Pabrik Teh Botol di Palur. Wayangan akan dihadiri segenap pimpinan pabrik. Ketua Panitia mengatakan bahwa dalam gara-gara perlu disinggung soal peningkatan kesejahteraan buruh, kenaikan UMR (Upah Minimum Regional), dan hak cuti bagi wanita hamil. Lakonnya bisa apa saja, asal sesuai. Abu Kasan Sapari membuat lakon carangan, "Semar Nagih Janji". Konon Raden Arjuna berjanji pada Semar dan anak-anaknya bahwa ia akan memberikan sebidang tanah karena kesetiaan mereka mengabdi di Madukara. Tetapi, rupanya ia lupa pada janjinya karena kesibukan. Berkali-kali Semar mengingatkan hal itu, namun Raden Arjuna selalu menjawab dengan 'besok'. Tentu saja hal itu menjengkelkan Semar. Suatu hari Semar dan anak-anaknya menghilang. Madukara jadi lemah. Tidak bisa menahan serangan Astina. Tidak bisa menahan serangan dari kerajaan raksasa Sewuraja. Kadipaten Madukara dikapling-kapling. Raden Arjuna terpaksa lari ke Amarta mengadukan nasibnya. Dalam gara-gara keluar Limbuk (istri Petruk) dan Cangik (ibu Limbuk). Mereka membicarakan hak-hak wanita. Di akhir cerita, Kresna menganjurkan supaya Arjuna minta bantuan raja Atas Angin, yang ternyata Semar dan anak-anaknya. Mereka mau membantu asal Arjuna memenuhi janjinya pada Semar dan anak-anaknya. Musuh dari Astina dan Sewuraja dikalahkan oleh tentara gabungan dari Amarta dan Atas Angin. Raja Semar dan anak-anaknya badhar karena Limbuk dan Cangik maju perang atas saran Kresna. Seperti dalam dongeng murahan, setelah menonton wayang pimpinan pabrik sadar dan memberikan hak-hak yang dituntut para buruh. Abu Kasan Sapari jadi pahlawan pekerja. Penobatannya akan diselenggarakan dalam suatu acara syukuran yang juga diundang pimpinan perusahaan. Kali ini undangan untuk Abu juga dengan Bapak & Ibu. Untuk mengajak Lastri Abu takut ditolak. Maka ia hanya duduk lunglai di atas lincak di beranda. "Ada yang dipikir, ya?" tanya Lastri. "Lho kok tahu?" "Masak tidak. Jelas begitu." "Ya, mau minta bantuan tapi ragu-ragu." "Apa to?" Abu memberikan undangan itu. "O, ini to. Mudah saja. Berangkat sendirian." "Sendirian?" "Iya. Apa susahnya?" "Susahnya ya sendirian itu." "Lalu?" "Lalu, mmm, kira-kira saja, tidak juga tak apa. Wah, saya ini selalu merepotkan, selalu minta tolong, selalu ...." "Kok selalu-selalu, apa?" "Maukah Yu Lastri menemani saya?" "Ya mau saja. Repotnya apa?" "Mau to?" "Mau." "Ya alhamdulillah kalau begitu." Mereka ingin dapat keyakinan bahwa Abu benar-benar datang. Pemberian penghargaan itu sudah diagendakan, sebagai ajang unjuk kekuatan. Itu akan berarti bargaining power buruh 81 kuat. Dengan memberikan penghargaan, pimpinan perusahaan diharapkan tahu bahwa aksi-aksi mereka mendapat dukungan masyarakat. Kedatangan Abu dan Lastri-seperti juga para petinggi pabrik dan Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan)-disambut dengan barisan 'bhinneka tunggal ika'. (Itu juga politik: buruh itu solid dan rapi tapi tetap ramah). Mereka harus bersalaman dengan para pembesar, didudukkan dikursi depan. Lastri bisik-bisik pada Abu: " Lha sungguhan begini, kok tidak bilang-bilang." "Saya juga tak tahu." "Kalau tahu, kan dandanannya tidak begini." "Mau apa lagi" Begitu saja sudah ...." "Sudah apa?" "Ya sudah, begitu saja." "Ah, jangan ngece sampeyan itu!" Selanjutnya upacara-upacara mereka nikmati. Yang membuat Lastri terkejut ialah ketika MC memintanya untuk menyanyi. MC itu tahu betul bahwa Lastri penyanyi waktu jadi MC pada cembengan Pabrik Gula Tasikmadu di mana Lastri menyanyi untuk klub keroncongnya. "Ayo maju, Yu. Jangan membuat malu bangsa," kata Abu. Lastri maju dan menyanyi. "Lagi! Lagi!" Lastri menyanyi lagi. Dalam perjalanan pulang Abu bilang: "Suaramu semakin koong, lho Yu." "Kok koong, apa saya perkutut?" "Ya, sudah. Kalau begitu kayak Anik Sunyahni?" "Kalau hanya "seperti" artinya suara saya tiruan, ya?" "Tidak begitu maksudnya. Maksud saya sama-sama profesional. Dulu saya sudah bilang." (Pabrik itu jadi salah satu perusahaan yang nantinya tidak mengenal PHK). 3 Musim Agustusan tiba. Randu sekali ini ingin mengesankan bahwa ia punya perhatian besar pada sebangsa kebudayaan tradisional. Itulah sebabnya ia mengerahkan dalang dari luar Karangmojo untuk merayakan Agustusan di tingkat daerah dan cabang-cabang. Lakonnya berupa paket, yaitu "Semar Ratu". Konon ada raja yang keliwat sakti berhasil menaklukkan Amarta dan Astina. Para Pandawa dan semua pejabat Astina-termasuk Raja Suyudana-mengungsi ke Dwarawati, kerajaan milik Kresna. Mereka berkumpul mencari akal. Atas usul Kresna, mereka disuruh minta bantuan pada Raja Randuagung. Utusan berangkat. Raja Randuagung sanggup menolong asal Amarta dan Astina membuang dendam, tidak cakar-cakaran, dan memperhatikan kehidupan orang kecil. Setelah disanggupi, Raja Sakti dapat dikalahkan oleh Raja Randuagung. Ternyata, Raja Sakti adalah Batara Guru dan Raja Randuagung adalah Semar. Astina lupa daratan, dalam suka cita kemenangan mereka menuntut supaya Pandawa meninggalkan Amarta, sebab Amarta menurut mereka adalah wilayah Astina. Ki Manut Sumarsono tahu belaka rencana itu. Kedudukannya sebagai dalang senior membuat dalang dari luar Karangmojo terpaksa kulanuwun minta restu padanya sebelum mendalang di wilayahnya. Dia memanggil Abu Kasan Sapari. Katanya, "Intuisi saya mengatakan bahwa sudah tiba waktu-nya Rahwana dipecundangi kerakera. "Rama Tambak" adalah lakon yang pas saat ini." "Rama Tambak" menceritakan bagaimana kera-kera membantu Rama dengan membuat jalan laut yang menghubungkan daratan dengan Alengka. Raja Rahwana sudah keterlaluan angkara murkanya. Setelah jalan laut selesai, maka dengan mudah prajurit-prajurit Rama menyeberang. Mereka pun mengalahkan Alengka. Maka Agustusan di kecamatan-kecamatan Karangmojo penuh dengan wayangan. Panitia dari Cabang Randu memainkan lakon "Semar Ratu", dan panitia resmi kecamatan memainkan lakon "Rama Tambak". Para wartawan mem- blow up peristiwa itu. Interpretasi mereka masuk dalam berita. Malah dengan judul besar dan provokatif sebuah koran memasangnya sebagai headline: "Rama 82 Tambak Sebagai Prediksi Sejarah". Belum pernah sebelumnya sebuah lakon wayang mendapat pemberitaan begitu luas. Gubernur Jawa Tengah yang oleh stafnya disodori koran-koran marah-marah, "Apa-apaan ini?". Seperti diketahui Sang Gubernur adalah satu-satunya pejabat yang sejak dulu sibuk dengan Randuisasi di daerahnya; dengan fanatisme tinggi lagi. Pak Gubernur minta supaya Bupati Karangmojo dipanggil. "Ini kok bisa terjadi di daerahmu?" katanya sambil melempar koran ke wajah Bupati. Gubernur terkenal galak dan kasar. "Itu terjadi pada perayaan Agustusan, Pak." "Lha iya kok Pemda diam saja?" "Melarang orang merayakan Proklamasi?" "Merayakan ya merayakan. Pakai wayang ya pakai wayang. Tapi lakonnya jangan miring-miring begitu, jangan nyindir-nyindir begitu." "Itu hanya ulah para wartawan, wayangnya sendiri murni kesenian." Kembali ke Karangmojo, Pak Bupati mampir di rumah Ki Manut Sumarsono. Kata Ki Manut: "Dalang itu seniman, Pak. Seniman itu kalau tidak kurang-ajaran sedikit itu artinya tidak kreatif." Tidak ada kelanjutannya "Kasus Rama Tambak" itu. Hanya Pak Gubernur prengatprengut dengan Bupati Karangmojo kalau bertemu. 4 Ada telepon untuk Abu Kasan Sapari. Ki Lebdocarito sakit keras. Abu segera menelepon seseorang untuk memberi tahu kakek-neneknya dan menelepon orangtuanya di Palar. Ia merasa bahwa Ki Lebdo akan meninggal dunia. Ia adalah "anak" pertama yang sampai di tempat, anak-anak yang lain menyusul. Ki Lebdo masih sempat berpesan padanya untuk tinggal di Palur, melestarikan seni pedalangan, kelompok penabuh gamelan, dan bahwa ia mendapat warisan wayang dan gamelan. Kepada Ki Lebdo ia berjanji akan memenuhi semampunya. Ki Lebdo meninggal. Boleh dikatakan pada waktu itu para dalang dari seluruh Surakarta hadir pada upacara pemakaman Ki Lebdo, sebab ia terhitung sesepuh para dalang. Ki Anom Suroto mewakili Sena Wangi (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia) sekaligus mewakili Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) Jawa Tengah menyampaikan duka cita yang mendalam, ditutup dengan tembang Macapat Maskumambang untuk menyatakan bahwa dunia pedalangan seperti anak ayam yang kehilangan induk. Dalam pertemuan keluarga diputuskan bahwa anak perempuan yang bungsu akan menemani Nyi Lebdo sampai Abu Kasan Sapari memutuskan untuk tinggal di Palur. Selain itu, Abu dapat warisan tambahan dari "saudara-saudaranya", yaitu sebuah mobil yang dulu sering dipakainya mengantar Ki Lebdo. Mobil itu dibiarkannya tetap di Palur. Sekretaris Ki Lebdo menunjukkan pada Abu daftar kesanggupan untuk mendalang yang belum sempat dikerjakan. "Ini dibatalkan atau digantikan?" "Terserah mereka saja." Nama Abu Kasan Sapari rupanya cukup menjamin bahwa pertunjukan akan sukses, maka semuanya menyambut baik pergantian itu. Abu tahu bahwa ia harus memainkan wayang sesuai pakem, sebab Ki Lebdo termasuk dalang yang konservatif. Padahal, selama ini pedalangannya selalu inovatif dan kontekstual. Tetapi tak apa. Ketika seorang wartawan menanyainya perihal sikapnya, ia mengatakan, "Dalang itu seperti pasukan komando, ia harus survive di mana pun berada". 5 83 "Kalau saya tidak salah ingat, sampeyan itu kan Ketua MPU Nogogini, to?" kata Lastri pada suatu hari, "lha kok terus dingin-dingin saja." Tentu saja ia masih ingat betul, karena dengan dalih itu Lastri mau menemani Abu ke bonbin di Jurug. "Ingat ya ingat, tapi sekarang apa masih relevan?" "Maksudnya, kalau mati ya jelas di mana kuburnya, begitu." Maka dengan uang yang diperoleh dari menggantikan kedudukan Ki Lebdo, Abu akan sungguh-sungguh menangani MPU, yang selama ini telah dilupakannya karena asyik dengan pedalangan. Tapi Abu ragu-ragu seperti dikatakannya pada Lastri apakah organisasi semacam MPU masih diperlukan. Seperti diketahui Indonesia mulai mengalami Krisis Moneter. Lagi pula, menurut pengalamannya, mantra, wewaler (pantangan), dan laku (keharusan-keharusan)-seperti mengubur kembali ular-sudah tidak perlu dikerjakan kalau orang tinggal di kota. Ia sendiri hanya memerlukan mantra waktu ingin bermain-main dengan ular klangenannya. Ketika ia mencoba menghubungi pengurus MPU, rata-rata mereka bahkan sudah lupa kalau jadi pengurus MPU. "Saya pengurus, to?" kata seorang. "MPU tidak lagi cocok." kata orang lain. "Sekarang MPU tidak diperlukan," kata yang lain lagi. "Yang diperlukan ialah yang bisa membantu ekonomi." "Lupakan saja MPU." Abu menemui teman wartawan yang dulu ikut menyebarkan informasi, menanyakan pendapatnya tentang MPU. "MPU" Jangan menegakkan benang basah." "Dulu kok banyak peminatnya." Wartawan itu mencoba memberi keterangan, "Tidak ada yang abadi kecuali perubahan. Sejarah sudah berubah. Dulu orang mencoba melupakan bahwa secara politis kita tertindas. Sekarang orang berusaha bagaimana bisa bertahan hidup di masa krisis." Abu berpikir untuk mengubah MPU jadi MPL (Masyarakat Penggemar Lingkungan). Sampai di rumah Abu menemui Lastri. Sambil berseloroh dikatakannya: "Jaman sudah berubah, Yu." " Sampeyan sudah berubah, to?" Maksudnya apa Abu masih cinta padanya. Tidak mungkin ia berterus terang. Orang Jawa harus cepat mengerti meski sedikit saja dikatakan, dengan isyarat pula. "Ya tidak, to. Masak berubah. Yang berubah itu zamannya, bukan orangnya." "Syukurlah kalau begitu." 6 Pengalaman menggantikan Ki Lebdo dan pengalamannya sendiri jadi makalah dalam "Temu Pakar Wayang 1997" di Solo. Ia membawakan makalah tentang "ekonomi pewayangan". Menurut pengalamannya 85% dari konsumen wayang ialah konsumen kolektif (kepanitiaan), sedangkan konsumen individual hanya 15%. Makin ke kota makin besar konsumen kolektifnya, hanya di desa masih ada satu-dua konsumen individual. Bahwa "sejarah sudah berubah" yang dikemukakan teman wartawan mengenai MPU, dirasanya mengenai juga dunia pewayangan. Selesai presentasi, Rektor STSI Surakarta mendekat. "Kau punya bakat jadi sarjana, lho." "Tidak, Pak. Saya ingin jadi dalang, jadi seniman." Teman-temannya juga mengatakan bahwa sepantasnya ia jadi peneliti. "Tidak, jadi dalang lebih bermanfaat. Sebab, dalang berhubungan langsung dengan masyarakat. Peneliti tidak. Lagi pula saya tidak punya potongan." 7 84 Ada desas-desus bahwa Abu Kasan Sapari akan keluar dari PNS, dan menekuni pedalangan. Desas-desus itu sudah beredar di Kantor Kecamatan, di pasar, dan para tetangga.Itu sebabnya Pak Camat datang ke kamar Abu. "Kabarnya akan berhenti, ya?" "Tidak, Pak. Siapa bilang?" "Nanti dalangnya siapa?" Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tidak, Pak. Siapa bilang?" "Berhenti ya boleh. Asal masih di Tegalpandan." "Tidak, Pak. Siapa bilang?" "Tidak di Tegalpandan ya boleh. Asal masih mau kemari." "Tidak, Pak. Siapa bilang?" "Ya, sudah. Kalau tidak." "Tidak, Pak. Siapa bilang?" Kemudian kawan-kawannya pegawai datang. Mereka berjejal di pintu. "Kabarnya akan berhenti, ya?" "Tidak, siapa bilang?" "Berhenti ya berhenti. Tapi jangan lupa Tegalpandan." "Tidak, siapa bilang?" "Berhenti ya berhenti. Tapi jangan lupa dengan yang di kios." "Tidak, siapa bilang?" "Berhenti ya berhenti. Tapi jangan lupa dengan Lastri." Mendengar kata 'Lastri' baru Abu tersenyum. "Tidak, siapa bilang?" "Jangan lupa mengundang kami, lho. Kalau jadi manten." "Tidak, tidak." Mendengar nama Lastri disebut-sebut, jantungnya berdegup keras. Keinginannya untuk bertemu luar biasa. Inikah tanda-tanda cinta itu" Pulang kantor ia mampir di kios Lastri. Ia bersumpah pada dirinya sendiri, andaikata ia masih jadi pegawai di kecamatan setiap hari akan mampir di kios itu untuk sekadar bertemu dengan Lastri. Baru ia akan duduk di kios ketika seorang perempuan setengah baya datang, "Pak Abu akan keluar dari pegawai, ya?" Kemudian Lastri menerangkan bahwa orang pasar semuanya mendengar bahwa Abu akan berhenti, pindah Palur, dan jadi dalang. "Lho, siapa bilang?" "Mereka mengatakan bahwa sampeyan akan meneruskan pekerjaan Ki Lebdocarito almarhum?" "Lho!" Abu terheran-heran. Bagaimana orang bisa lebih tahu tentang dia daripada dirinya sendiri" Kios itu tiba-tiba penuh dengan orang pasar. "Kami dengar Pak Abu akan keluar, ya?" "Ya mungkin, ya tidak." "Ah, yang benar?" "Yang benar, ya mungkin ya tidak. Itu tergantung." "Tergantung siapa?" "Siapa, ya?" Lastri menyela, "Tergantung Pak Camat, siapa lagi?" "Kok Pak Camat, to?" "Lastri, begitu!" "Tergantung Lastri, ya?" "Ya mungkin, ya tidak," jawab Abu. "Kok ya mungkin ya tidak terus. Bagaimana, Jeng?" "Ya mungkin, ya tidak," kata Lastri. "Lha kok jawabnya sama." Kesimpulan pertemuan dengan orang-orang pasar ialah bahwa mereka setuju Abu Kasan Sapari mempersunting Lastri. Abu Kasan Sapari sedang menatah wayang ketika Haji Syamsuddin muncul: "Saya dengar akan keluar dari kantor, ya?" 85 "Kabarnya begitu." "Lho kok kabarnya. Yang benar itu yang mana?" "Mungkin ya, mungkin tidak." "Jangan mungkin, to." "Itu tergantung, Pak." "Tergantung siapa?" "Tergantung calon istri." "Jadi tergantung dia?" Mulut Haji Syamsuddin menunjuk ke tempat Lastri. "Kayaknya begitu." "Kalau begitu saya tanya dia, ya?" "Jangan, Pak. Jangan." Haji Syamsuddin melihat wayang-wayang itu, "Kau sedang wuyung dengan Srikandi, ya?" tanyanya. Wuyung artinya mabuk cinta. "Kok tahu?" "Ini kok semua Srikandi." Maksudnya Lastri yang cekatan, terampil, dan cantik seperti Srikandi. "Ya maklum Srikandi sedang laris di pasaran." Maksudnya banyak orang menaksir Lastri. Haji Syamsuddin lalu ikut berjongkok, dan berbisik: "Bagaimana dengan usulan saya mengenai Ma'ul Hayat?" Maksudnya mengawini Lastri. "Ya, itulah yang sedang saya pikirkan." Tetangga kanan kiri dan depan datang. Jumlahnya sebelas orang. Lastri mendengar mereka datang, lalu keluar. Seorang tetangga berkata: "Pak Abu, kami dengar ...." "Kau akan keluar," sahut Abu cepat. " Lho, kok tahu yang kami pikirkan?" "Tahu saja." "Terus apa?" "Kau akan pindah Palur." "Terus apa?" "Kau akan menikah." "Dengan siapa?" "Itu tergantung." "Tergantung siapa" Jeng Lastri, ya?" "Tolong, Yu. Jawab mereka," kata Abu kepada Lastri. "Tergantung ya tergantung," kata Lastri.* XVI CANGIK BERTANYA PADA LIMBUK 1 Abu berkeras supaya janji kepada diri sendiri terlaksana. Abu bermaksud menyelesaikan sekolah sebelum menikah. Soal sekolah itulah yang selama ini mengganjal. Untuk keperluan itu ia menyewa komputer dari rental, melembur malammalam di kantor. Listrik di rumahnya tidak cukup besar untuk menyalakan peralatan canggih itu. Ia minta izin Pak Camat untuk lembur dan untuk penggunaan listrik. Ia menulis tentang kemungkinan menjadikan wayang sebagai sarana pendidikan moral. Maka ia mondar-mandir Tegalpandan-Solo untuk konsultasi dengan pembimbing. Dia berpendapat bahwa kita perlu sebuah wayang yang sederhana, mudah dikerjakan oleh guru atau murid, tanpa pakem-pakem yang mengikat, dan selesai dalam waktu dua jam-an. Disebutnya pekerjaannya sebagai "wayang fabel", wayang kancil yang diperluas. Sebagai lampiran disertakannya sebuah naskah wayang fabel, yaitu "Gajah Jadi Raja di Negeri Kambing". Dosen pembimbing mengatakan bahwa yang tertulis itu sudah cukup, tetapi ia bermaksud untuk mengadakan pementasan wayang fabel itu. STSI menghasilkan sarjana atau seniman. Sarjana hanya perlu menulis "teori", dan seniman hanya perlu "praktik". Abu ingin jadi kedua-duanya. Lastri mengetahui Abu sedang sibuk. 86 "Sibuk, ya" Sedang apa?" "Ceritanya panjang. Nanti saja." "Kalau perlu bantuan, bilang saja." "Perlu sekali. Tapi tidak sekarang, nanti saja saya katakan. Tapi kalau saya mintai tolong pasti mau, ya?" "Ya mau saja. Namanya saja sudah dimintai tolong." "Ini sungguh, lho!" "Sungguh!" Abu harus menciptakan wayangnya sendiri. Karenanya ia menatah-natah setiap habis kantor. Bahkan sudah waktunya makan Abu masih bekerja. Lastri jatuh kasihan. "Kalau tidak sempat masak bilang saja." "Sudah ada yang masak, kok." "Siapa?" "Bu Sastro." Maksudnya warung makan Bu Sastro. "Masak makan di luar. Lha saya ini dianggap apa?" "Maksud saya, minta tolong ya minta tolong, tapi jangan keterlaluan, begitu." "Mulai besok pagi makanlah di sini." "Jangan, Yu, jangan. Itu tidak baik, apa kata tetangga nanti." "Apa peduli kita?" "Terima kasih, tapi betul-betul jangan. Tegalpandan bukan Jakarta, Yu." Selesai dengan pekerjaan membuat wayang, jadwal pementasan Abu ditentukan. Tidak di kampus, tapi sekaligus uji-coba di sebuah SMU. Abu harus membentuk tim terdiri dari dalang, niyaga, dan waranggana. Untuk itu ia menemui Lastri. "Sekarang, betul-betul mau minta tolong Yu Lastri. Sudah sanggup, jangan ditolak, lho." "Tukang jahit bisanya apa untuk menolong calon sarjana pedalangan?" "Jangan merendah, begitu. Tapi nanti dulu!" Abu berhenti sebentar, "Bagaimana Yu Lastri tahu bahwa saya akan ujian?" "Pertanyaannya seharusnya dibalik. Bagaimana saya tidak tahu bahwa sampeyan akan ujian?" "Ya, sudahlah. Aku mau minta tolong Yu Lastri jadi waranggana." "Tetapi, tetapi ...." "Janjinya akan menolong, lho." "Saya kira apa begitu, tapi bukan nyanyi." "Pokoknya sudah janji. Sudah telanjur tertulis di undangan." "Ya, sudah. Wah kalah saya!" Latihan untuk menyesuaikan waktu, sinkronisasi lakon, narasi,dalang, niyaga, dan waranggana diadakan di kampus. Abu Kasan Sapari minta cuti dari kantor dan Lastri menyerahkan pekerjaan pada pembantu-pembantunya. Abu Kasan Sapari juga mengambil mobil dari Palur. "Mbok kapan-kapan calonmu dibawa kemari," pesan Nyi Lebdo yang tanggap pasti mobil itu untuk menjemput pacar. "Lho kok tahu, Mbah De!" "Wajahmu itu, lho! Tak dapat menipu." "Gajah Jadi Raja di Negeri Kambing" itu begini. Raja Negeri Kambing kosong. Parlemen kambing mengadakan kontes untuk mengisinya. Banyak binatang ikut kontes; dari yang cerdik seperti halnya kancil, yang berbisa seperti halnya ular, yang cepat larinya seperti halnya kijang, sampai yang besar seperti halnya gajah. Parlemen memilih gajah. Mula-mula mereka senang, punya raja yang besar, kuat, dan gagah-perkasa. Akan tetapi, makin lama gajah makin kelihatan belangnya. Gajah mengundang saudara-saudaranya untuk tinggal di Negeri Kambing. Akibatnya, seluruh sumber daya hutan dihabiskan mereka: danau, rumput, dan pohon. Kambing-kambing masih harus membayar upeti berupa rumput yang makin lama makin langka.Tidak tahan, kambing-kambing pun melakukan exodus. Habis sumber daya hutan dan tidak ada lagi upeti, gajah-gajah pun juga meninggalkan tempat itu. Ketika kambing-kambing kembali, mereka tidak lagi suka kepada yang serba gagahperkasa tapi membuat sengsara, lalu memilih raja dari bangsa kambing sendiri. Mereka pun hidup bahagia selama-lamanya. Untuk jerih payah membuat uraian teoretik dan praktik mendalang Abu Kasan Sapari dinyatakan lulus. Sebenarnya dia bisa cum laude, tapi tidak bisa karena tahun kuliah sudah melonjok. Itu semua bisa diduga sebelumnya. Yang tidak diduga oleh Abu dan Lastri ialah ketika gambar Lastri berwarna dengan komentar "Bintang Baru dari Timur" terpampang di satu-87 satunya tabloid mingguan yang terbit di Solo. Ada uraian panjang lebar mengenai sekolah, pekerjaan , dan hobinya. Hal itu diketahui Lastri ketika beberapa anak usia SLTP mendatangi kiosnya. "Mbak Lastri, minta tandatangannya, dong." "Ada apa ini?" Lastri terkejut. Seorang anak mengeluarkan sebuah tabloid dari tasnya. "Mbak Lastri kan bintang." "Masak iya?" "Lihat ini!" Dalam tabloid itu dimuat gambar Lastri sedang tersenyum. Cantik, manis, dan muda. "Ini pasti sebuah kesalahan. Masak saya secantik itu?" batin Lastri. "Tapi mudah-mudahan itu benar," batinnya lagi. "O, itu!" Ia mengeluarkan pulpen dan menggoreskan tandatangannya di buku-buku yang disodorkan. Lastri diam-diam suruhan seorang pembantunya untuk membeli tabloid dua eksemplar. Sampai di rumah siang itu ia mengetuk pintu Abu Kasan Sapari, dan melemparkan sebuah tabloid, "Ini pasti pekerjaan sampeyan!" Dia pergi dan menutup pintu. Jeglek! . 2 Hari Wisuda datang. Orangtua Abu datang berdua. Setelah upacara selesai, seorang tukang foto mendekat dan mengambil gambar mereka didepan Sekolah Tinggi. "Abu kau janji membawa calonmu. Mana?" "Lupa, Bu." "Masak lupa, peristiwa sepenting ini biasanya dipakai alasan untuk show up." "Lupa itu artinya tidak ingat." "Ya sudah. Ini kami bawa mangga. Satu plastik untukmu, satu untuk dia." Abu tahu bahwa Lastri marah padanya, gara-gara tabloid itu. Tetapi memberikan mangga itu amanat. Maka diketuknya pintu Lastri. Sebuah plastik hitam di tangan. "Siapa?" "Saya, Yu. Abu." Lastri membuka pintu diam. Abu berdiri di depan pintu. Tidak seperti bisanya, ia tidak dipersilakan masuk. "Kalau salah, ya minta maaf." "Kalau, kalau. Kalau sudah telanjur bagaimana?" "Makanya saya datang pertama-tama untuk minta maaf. Kedua, ini plastik dari Bapak-Ibu untuk Yu Lastri." Mendengar kata 'Bapak-Ibu' Lastri merendahkan suaranya. Menerima plastik itu. "Ketemu Bapak-Ibu di mana?" "Mereka datang untuk menunggui wisudaku?" "Jadi sampeyan sudah wisuda, to?" "Sudah." "Lha kok ...." Maksudnya, 'lha kok saya tidak diberi tahu'. "Maaf, ya Yu. Tidak memberitahu. Takut kalau masih marah." "Tidak marah, bagaimana. Anak orang kok dijual seperti barang." "Maksudnya tidak sejelek itu, Yu." "Masak seenaknya berbuat tanpa izin yang punya!" "Sudah sudah, ya Yu. Sekali lagi maaf." Abu terus pergi, eh, berlari. 3 Beberapa hari Abu menatah wayang. Kali ini Limbuk, istri Petruk, dan Cangik, biyung alias ibu Limbuk. Setelah jadi, sehabis Isya' ia memegang wayang-wayang itu di tangannya. 88 Disandarkannya wayang-wayang di dinding tembok kotangan. Cangik adalah suara Abu, sedangkan Limbuk suara Lastri. Cangik: (Hati-hati, orangnya ceking, suaranya kecil) Mbuk, aku Cangik ibumu. Bangun, Nduk, bangun. (Ia mengharap ada jawaban dari rumah/kamar sebelah. Tapi tak ada suara. Ia mengeraskan suaranya). Mbuk, bangun! (Tetap tak ada jawaban). Ini masih ngambek atau memang tidur, ya" Eh, aku tahu kau tidak tidur. Kalau masih ngambek mbok ya bilang-bilang, jadi aku tahu. Limbuk: (Dari rumah/kamar sebelah terdengar tawa. Orangnya gemuk, suaranya besar). Ngambek kok disuruh bilang, Biyung itu aneh. Lagi pula soal ngambek" Sudah lupa, tu. Cangik: Lupa ya boleh, asal tidak lupa sama Mas Petruk, calon misoa- mu, eh, suamimu. Limbuk: Biyung ini bagaimana, to. Aku pengin dipersunting Mas Gatotkaca, kok mau dijodohkan dengan Mas Petruk" Cangik: Lha kalau yang melamarmu hanya Den Baguse Petruk,apa ya tidak diberikan" Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Limbuk: Dia ya lumayan, Yung. Bisa untuk memedi sawah [menakut-nakuti burung di sawah]. Cangik: Jangan dilihat rupanya, to Nduk cah ayu, yang penting kerjanya. Limbuk: Ah, jangan saru, to. Cangik: Saru bagaimana. Lihat misalnya cangkul. Cangkul itu bentuknya ya mesti melengkung begitu, supaya bisa nyangkul dalam-dalam. Seperti kata nyanyian, 'cangkul-cangkul yang dalam'. Limbuk: Ayo, Biyung kok mulai miring-miring. Yang ngajari siapa" Apa Pak Dalang Tegalpandan" Cangik: Lho, kok ngerti kalau miring-miring" Ahlinya, ya" Limbuk: Ah, bicara yang lain saja. Kan banyak yang perlu dibicarakan. Misalnya, Yung, tanyakan Mas Petruk sungguh-sungguh, Limbuk kan tidak ting-ting lagi, nanti dia menyesal. Cangik: Aku sudah bilang sama Mas Petruk. Katanya, tidak ting-ting tidak apa. Malah sudah pengalaman, bisa ngajari Mas Petruk. Limbuk: Jadi biyung sudah menerima lamaran Mas Petruk" Cangik: Sekarang ini bukan zamannya anak menurut orangtua, tapi orangtua menurut anak. Limbuk: Aku konservatif kok, Yung. Cangik: Artinya" Limbuk: Artinya, monat-manut saja. Mas Petruk ya mau, Mas Gatotkaca ya mangga. Cangik: Mas Gatotkaca itu sudah tunangan dengan Jeng Pregiwa-Pregiwati, kau Mas Petruk saja, ya Nduk. Bilang 'ya' gitu, biar hatiku puas. Limbuk: Bagaimana lagi, kan aku sudah tua. Cangik: Muda kinyis-kinyis begitu kok bilang tua. Umurmu berapa, Nduk" Kalau tujuh belas boleh" Limbuk: Ya, tambah, kok. Masak cuma tujuh belas" Ya, ndak boleh, kulaknya saja tidak segitu. 89 Cangik: Kalau tiga puluh bagaimana" Limbuk: Ya turun sedikit, to. Cangik: Pasnya saja berapa" Limbuk: Pasnya, mm, dua tiga. Cangik: Itu namanya sudah klop, Nduk. Mas Petruk dua enam. Limbuk: Umur tak jadi soal, asal tok-cer. Cangik: Ditanggung tok-cer, Nduk. Dibuktikan apa" Limbuk: Ih, benci aku. Cangik: Ingat, "gething nyanding" , benci malah dekat, lho. Eh, Nduk. Omong-omong ingin punya anak berapa" Limbuk: Maunya ya empat; dua laki-laki, dua perempuan. Kalau Mas Petruk maunya berapa, Yung. Cangik: Mas Petruk itu maunya kayak slogan BKKBN: dua cukup. Laki perempuan sama saja. Limbuk: Jalan tengahnya ya tiga. Cangik: Tiga" Mas Petruk pasti setuju, Nduk. Limbuk: Tapi, Yung. Mas Petruk itu Enggak lucu. Dinanti-nanti Limbuk kok tidak ada katanya, tidak melamar atau bagaimana begitu. Cangik: Kan sudah lewat aku" Limbuk: Itu saja tidak cukup. Cangik: Ya, katanya mau bilang langsung takut ditolak. Limbuk: Ditolak bagaimana, malah dinanti-nanti. Cangik: Ya, to" Memang Mas Petruk itu kurang tanggap sasmita. Ya maklum saja, itu bawaan bayi. Limbuk: Sebenarnya sejak dulu, sejak kulihat Mas Petruk aku sudah anu, kok. Cangik: Anu itu artinya apa" Limbuk: Anu itu yang bikin dag-dig-dug, tratapan, deg-deg pyur itu, lho. Cangik: Ehm, ehm. Jangan bilang gitu. Nanti Mas Petruk besar kepala. Limbuk: Aku jujur saja kok, Yung. Cangik: Nduk, Nduk. Ini serius, aku mau tanya. Ada tawaran kepada Mas Petruk untuk jadi kepala Deppen Karangmojo. Tawaran memang dari Randu, tapi tanpa komitmen apaapa. Limbuk: Sekarang tanpa komitmen, nanti terpaksa larut. Tak usah sajalah. Itu namanya jalan pintas. Pegawai rendahan bagian statistik kecamatan kok tiba-tiba saja jadi kepala dinas kabupaten. Bikin penyakit. Jangan politik-politikan. Itu tidak ngrejekeni. Yang lumrah saja. Cangik: 90 Kau kok pintar, Nduk. Kau ingin jadi istri dalang, to. Bukan istri kepala dinas" Limbuk: Istri apa saja boleh. asal caranya betul. Cangik: Dalang itu inkamnya tidak pasti, lho. Limbuk: Apa inkam penjahit itu pasti" Cangik: Apa tidak enak begini" Cah Ayu yang swasta, Mas Petruk yang pegawai. Namanya tumbu dapat tutupnya. Kalau krismon begini, kan tetap survive. Limbuk: Sama-sama swasta, malah puas yang mantenan. Cangik: Menurut kata orang, mantenan itu satu-dua jam cukup. Limbuk: Lha, Biyung nyrempet-nyrempet lagi, ya. Cangik: Kesrempet saja kepenak, apa itu, Nduk" Limbuk: Ah, Mas Petruk, eh Biyung, itu kok mesti begitu,lho! Benci, aku. Cangik: Gemes, aku! Limbuk: Gemes ya Gemes, tapi jangan sekarang. Cangik: Besok saja, ya. Besok, mau ya" Limbuk: Ya, mau saja. Kalau terpaksa. Kalau dipaksa. Cangik: Maunya dipaksa, ya" Limbuk: Terpaksa, dipaksa, memaksa, ah mana saja, asal enak. Cangik: Enak atau kepenak" Limbuk: Biyung itu jangan mengarah ke sana saja, to. Badanku jadi panas-dingin, lho. Cangik: Itu artinya kamu sudah kemecer, Nduk. Limbuk: Dibilang apa saja ya terserah. Wong nyatanya memang demikian. Eh, Biyung. Tolong bilang sama Mas Petruk. Aku tak mau dimadu. Cangik: Yang mau beristri dua itu siapa" Mas Petruk itu, katanya, 'Kalau dapat Jeng Limbuk ibarat makan pasti sepiring saja tidak habis'. Masak dia mau dua piring Limbuk: Bukan dimadu dengan orang. Cangik: Dimadu dengan apa, Nduk" Limbuk: Dengan apa lagi, mm, ular! Cangik: O, itu, to. (Terhenti. Lirih). Sudah kuduga, Nduk. Ya nanti kubilang. Limbuk: Jangan lupa, ya Yung. Sungguh kok, aku takut. Cangik: Iya, iya. Ia ... pasti ... ngerti. 91 Limbuk: Sepertinya ada yang mengganjal, ya" Cangik: Ti ... dak.Nduk, ini soal lain. Kalau sudah kawin, pindah mau atau tidak" Limbuk: Ya, manut Mas Petruk. Cangik: Mas Petruk ada rencana pindah Palur. Mau, ya Nduk. Limbuk: Ya mau saja. Cangik: Ee, Nduk, Nduk. Kupikir kau dan Mas Petruk itu pasangan yang cocok. Apalagi kalau engkau mau .... Limbuk: Jadi penyanyi profesional, to" Cangik: Kok tahu apa yang dipikir Mas Petruk" Limbuk: Ya tahu, to. Orang kan bisa membaca gelagat. Cangik: Lha kau setuju tidak dengan pikiran Mas Petruk itu. Limbuk: Pikir-pikir dulu, mosok jawabannya sekarang. 4 Abu melihat ke kandang ular. Air matanya meleleh, ia harus berpisah dengan klangenan itu. Dalam keadaan sedih dia tertidur. Eyangnya-ia tahu betul yang datang itu Eyangnya, entahlah kenapa-tiba dari Negeri Antah Berantah naik kuda semberani, tiba-tiba saja ia sudah di depan pintu. Abu membuka pintu dan Eyang menambatkan tali kuda pada sebatang pohon kecil di pagar. Laki-laki itu kekar, berambut putih, ikat kepala ungu. "Pohonnya terlalu kecil, Eyang." "Tak apa. Kuda ini sangat jinak, kok. Saya menambatkan hanya sebagai formalitas saja." Ia mempersilakan Eyangnya masuk. Eyangnya duduk di dipan, bersila. Ia lalu memasak air. Ia tahu, sebelum ada es orang Jawa bila merasa gerah obatnya ialah minum teh manis kental dan panas. "Jangan repot-repot, Eyang tahu kalau engkau belum beristri." "Tidak, Eyang. Ini hanya teh, kok. Tidak perlu tangan perempuan." "Tidak perlu tangan perempuan" Itu betul, untuk membuat teh. Tapi tidak untuk membangun rumah tangga. Untuk membuat anak-anak." "Ah, Eyang ini kok lucu. Ibunya calon anak-anak juga belum ada." "Lha Lastri itu apa, kalau bukan calonmu." "Ah, Eyang ini kok tahu-tahunya." "Tahu saja. Itu kan cover girl di tabloid itu, to?" "Ya, kalau mau. Kalau tidak, bagaimana?" "Jadi laki-laki yang pede, jangan ingah-ingih begitu." Setelah teh tersaji, Eyang mulai bicara serius. Ia membenarkan letak kakinya. "Begini, Abu. Eyang tahu Lastri minta kau tidak lagi memelihara ular." "Ya, itulah yang membuat saya berat." "Benar dia. Tidak ada perempuan yang suka dimadu dengan ular." "Berat, Eyang. Berat." "Percayalah saya. Mengelus-elus perempuan jauh lebih nikmat daripada mengeluselus ular." "Ah, Eyang ini." "Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu, teknologi, dan doa, bukan mantra." Eyangnya turun dari dipan, dan melesat dengan kuda semberani. Tiba-tiba saja seorang laki-laki tua berjanggut putih yang lain sudah ada di depannya. Abu ingat-ingat lupa dengan orang 92 itu, namun firasatnya membuatnya berpikir, "Untung, mereka tidak ketemu. Wah, kalau ketemu pasti terjadi perang mulut." "Lho, ini kan Kakek ...." "Betul, kita dulu ketemu di cembeng Tasikmadu." "Maaf, kalau saya tidak segera mengenal." "Tidak apa, Cucu." "Saya buatkan teh, Kakek pasti haus." "Tidak usah. Ini cepat-cepatan saja." Ia membawa Kakek masuk, dan mempersilakannya duduk di kursi. Kakek-seperti Eyang-memilih duduk bersila di atas dipan. "Begini. Kau terikat dengan perjanjian. Mantra pejinak ular itu harus langgeng, diturunkan dari generasi ke generasi. Mata rantai ilmu harus berlanjut, terusmenerus, dan abadi. Jadi, kau tidak bisa membuang begitu saja. Saya dulu juga mencari orang yang cocok dengan ilmu itu sampai tua. Kau tidak akan mati-mati sebelum menurunkan ilmu itu. Mengerti?" "Mengerti, Kek." "Sudah, saya pamit." Setelah Kakek pergi, Abu terbangun, tidak tertidur sampai azan Subuh tiba. Segera dia bangun, pergi ke surau. Ketika bertemu Haji Syamsuddin dikatakannya bahwa seusai shalat dia ingin bicara. Selesai shalat, kata Haji Syamsuddin: "Wah, ada apa?" "Begini, Pak. Saya akan melaksanakan anjuran mengenai Ma'ul Hayat itu. Tapi ada halangan." "Halangan" Laki-laki harus berani, rawe-rawe rantas, malang-malang putung." "Bukan itu, Pak. Lastri minta saya menyingkirkan ular." "Apa susahnya" Bawa saja ular itu ke kebun binatang." "Ular mudah, Pak. Tapi saya terikat dengan mantranya." "Mantra?" "Ya, Pak. Saya harus mencari orang yang mau ditulari mantra. Mantra harus diturunkan, berkelanjutan sampai kiamat tiba. Kalau tidak saya kena bebendu Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo [malapetaka], tidak akan mati-mati meski tua-renta "Jangan percaya! Itu gombal, itu sampah. Kau orang beriman. Karenaya malahan kau wajib memutuskan mata rantai sirik itu. Sekarang zaman modern, bukan zamannya mantra lagi." 5 Pulang dari surau Abu Kasan Sapari mengetuk pintu Lastri. Perempuan itu membuka pintu: "Yu, maaf ya. Mungkin tadi malam banyak kata-kata saya yang tidak senonoh. Itu karena ...." "Karena sihir malam, ya?" "Lho, kok?" "Itu syair nyanyian dangdut." "Ya, maklum saja. Darah muda." " Sampeyan tak usah merasa bersalah. Jangan-jangan saya malah senang dengan sebangsa yang tak senonoh itu. Yang berdosa itu mengerjakan, bukan berkata. Nyrempet-nyrempet mungkin berdosa, tapi hanya dosa kecil, yang hilang kalau kita rajin sembahyang." "Wah, Yu Lastri punya bakat jadi da'i eh da'iyah, ulama eh ulamiyah."* XVII TUHAN, BERI KAMI ILMU YANG BERMANFAAT TUHAN, HINDARKAN KAMI DARI MALAPETAKA 1 Lewat tengah malam. Seperti pencuri Abu Kasan Sapari mengendap-endap bersembunyi di semak-semak belakang rumah sewaannya. Ia berhenti di situ, memasang telinga. Tujuan terakhirnya ialahmenyelinap ke kandang kambing. Ia tahu persis kandang milik Haji Syamsuddin baru pagi-pagi akan dipakai, sebab besok hari Pasaran, Pahing, dan kambing-kambing akan 93 dibeli dari petani untuk dijual ke kota. Kandang itu berupa rumah yang terbakar waktu revolusi, dan dibiarkan tak diperbaiki. Beratap tapi tak berpintu, dan temboknya hitam karena lumut. Tidak, dia tidak akan lewat depan, ada patok-patok bambu di sana. Dia akan lewat lubang jendela yang tanpa gawangan itu, dan tinggal di sana sampai pagi. Malam gelap di bagian depan, karena lampu listrik yang lima wat kalah oleh gelap malam. Di depan rumahnya sebelas orang laki-laki berkumpul. Ada yang membawa petromax, sehingga tempat itu terang-benderang. Sebagian membawa pentung kayu. Sebagian membawa baterai di tangan kanan, membawa apa saja di tangan kiri: tongkat panjang dari besi, batu, dan golok. Senjatasenjata yang dipersiapkan untuk ular itu. Wajah mereka tertu-tup sarong ala ninja. Mereka tampak beringas. "Bunuh ular itu!" "Enyahkan ular itu!" "Usir dukunnya!" Gawat. Suara-suara itu tak dikenalnya. Para tetangga pastilah rikuh untuk berbuat itu. Betul kata Lastri bahwa orang akan berkumpul di gardu siskamling lewat tengah malam, membunuh ularnya, dan mengusirnya. Kerja siapa, ia tidak tahu. Lastri mendengar dari bakul-bakul bahwa banyak orang tak sabar lagi. Ular yang dipeliharanya dipersangkakan telah kelua dari kandang. Seekor ayam telah hilang. Kemudian seekor cempe, anak kambing, juga telah hilang. Seorang perempuan telah datang pada Lastri dan mengatakan," Tolong diberitahu Pak Abu bahwa nanti malam akan ada gropyokan". Sore hari Abu Kasan sapari mengundang orang-orang terhormat di lingkungannya. "Ular saya tak pernah keluar dari kandang," katanya. "Kalau ular itu makan ayam atau cempe pasti masih busung perutnya." Haji Syamsuddin, Pak RT, dan imam di Surau dimintanya menjenguk ularnya. Mereka melihat kandang kawat besar-besar dan berukuran tiga kali satu setengah meter."Tidak mungkin keluar," kata mereka. Tetapi terlambat, orang sudah memutuskan. "Dulu ayam, lalu cempe. Nanti anak-anak," kata orang. Semua orang tahu belaka kalau dia punya ular. Selain memang di kota kecamatan itu tak seorang pun bisa menyembu-nyikan apa-apa dari tetangga, juga setiap kali akan memberi ayam ularnya, ia membeli dari pasar. Ia sudah pergi kepada pemilik ayam dan anak kambing menerangkan segalanya dan meminta mereka menjenguk kandangnya. Mereka yakin ular itu tak mungkin keluar. Tetapi para tetangga yang lain datang padanya memintanya menge- nyahkan saja ular itu. Baru-baru ini malah Pak Bayan datang membawa surat dari lurah. Terdengar orang mencoba membuka pintu. Rumah itu bertembok di sekeliling, meskipun di dalamnya hanya kotangan. Suara-suara itu memecah malam. "Pak Abu keluar! atau kami masuk?" "Jangan dumeh sudah jadi orang besar." Maksudnya dielu-elukan orang banyak. "Jangan mentang-mentang jadi dalang kondang." "Mentang-mentang dekat koran." Ucapan-ucapan yang tak akan keluar dari mulut orang-orang yang kenal dia. Katakata diucapkan dengan penuh dendam, seolah-olah tak ada kebaikannya sama sekali. Terdengar jelas di telinga Abu. Lastri membuka pintu. Abu terkejut dengan kenyataan ini: bahkan cara Lastri membuka pintu dihapalnya. "Ee, mau masuk rumah orang kok tidak pakai kulanuwun." Orang berhenti mencoba membuka pintu rumahnya. "Kau lihat dia?" "Tidak. Mungkin tugas luar," kata Lastri. "Jangan-jangan kau sembu-nyikan di bawah kolong," kata orang. "Jangan-jangan dia bersembunyi di dalam selimutmu," kata yang lain. "Hus-hus. Marah ya marah, tapi jangan saru, to," kata yang lain lagi."Ular itu harus di lenyapkan." "Ya, tapi bicaralah dengan dia secara baik-baik," kata Lastri. "Kami tak sabar lagi!" "Bubarlah. Saya jamin," kata Lastri kemudian. "Pokoknya, kami tahu besok pagi ular itu sudah tidak ada!" Orang-orang pergi. 94 Abu tahu orang itu kalau hanya satu bisa penyabar, tapi kalau sudah orang banyak bisa sangat menakutkan. Tidak berani lagi dia tidur di rumah, gila, takut.Orangorang sudah bubar. Pulang satu-satu. Setelah tidak seorang pun terdengar, dia beranjak dari persembunyiannya. Mengetuk pintu belakang rumah Lastri. "Yu, bukakan pintu." Terdengar suara sandal di lantai. Agak sedikit diseret, itulah cara Lastri berjalan. Abu tahu itu. Pintu dibuka. "Ya, Allah, Sampeyan to!" Ia tahu perempuan itu akan menubruknya, tapi terhenti demi sopan-santun. Malam begini ia berpakaian awut-awutan dari baju panjang terusan sampai mata kaki. Abu seperti baru sadar kalau perempuan itu cantik. Mereka berbisik diterangi listrik lima wat. "Apa rencanamu" Aku yakin mereka datang lagi." "Aku takut tidur di rumah." "Kalau begitu di sini sajalah. Ditanggung aman." "Ya, aman. Tapi tidak baik." "Apa yang tidak baik?" "Ya, pokoknya tidak baik." "Lalu?" "Saya punya rencana ke Haji Syamsuddin." Orang tahu, kalau Abu dekat dengan haji itu. Teman ronda, teman ngobrol, dan teman di surau. Tidak ke rumahnya, tapi kandang kambingnya. Abu juga selalu diundang makan. Haji Syamsuddin tak punya anak, maka akan mengundangnya setiap kali ia dapat rezeki. Rezeki itu dapat dipastikan datang lima hari sekali, setelah dia mengirim kambing ke kota dengan truknya sendiri. "Abu, datanglah ada pecel lele." "Datanglah, ada tongseng kikil." "Datanglah, ada gurami." Sebagai ganti, setiap mendalangnya pe-ye alias payu alias laku, dia akan mendudukkan Haji Syamsuddin dekat waranggana. Semua orang tahu ia orang alimtermasuk para waranggana, sehingga mereka justru merasa aman-hanya dia punya selera yang tinggi dengan perempuan (Jangan bilang-bilang, kabarnya dia tidak koong, tidak jantan). Dialah salah satu pendukung berat agar Abu mengambil Lastri. "Ditanggung, di pasti begini," katanya suatu kali sambil mempertontonkan ibu jarinya. Dia mengaku sudah belajar katurangganing wanita, ciri-ciri perempuan. Akhir-akhir ini saja Abu akan kecewa bila haji Syamsuddin menunjukkan jempolnya, sepertinya dia tidak rela Lastri dinilai semata-mata dari segi fisik saja. Seolah-olah wanita itu hanya objek. Kata kawan-kawan di sekolahnya dulu yang suka berfilsafat tentang cinta: kalau kau melihat wanita sebagai objek, itu namanya nafsu; kalau kau menganggap wanita sebagai subjek semata, itu namanya persahabatan; dan kalau kau menganggap wanita sebagai objek dan subjek sekaligus, itulah yang disebut cinta. "Malam begini merepotkan orang," kata Lastri. Pada waktu itu terdengar pintu rumah Abu didobrak orang lagi. Abu segera kembali ke tempat persembunyiannya. Lastri ke luar lagi, katanya: "Saya kan sudah menjamin." "Kami tidak yakin jaminanmu." "Kami akan tunggu sampai dini hari. Di sini." "Kalau dia tidak datang juga, kami akan masuk." Mereka duduk di lincak atau mondar-mandir dengan pentung di tangan. Sekalisekali mereka akan memukul lincak atau tanah dengan apa saja yang di tangan. Mereka juga mengeluarkan rokok dari saku. Suara-suara mereka mbrengengeng seperti pasar, tapi terdengar lebih keras di malam hari. Di persembunyiannya Abu mendengar-dengarkan dan melongok-longok. Setelah jelas tidak ada orang di belakang rumah, Abu beranjak menuju ke persembunyiannya yang baru. Dengan mengendap-endap sampai juga dia di jendela. Setelah sekali lagi dilihatnya kanan kiri, ia melipat sarong, mencopot sandal jepitnya, dan meloncat ke dalam. Bau pesing menyerangnya. 95 Ia tahu, orang-orang Haji Syamsuddin sudah berusaha membersihkan tempat itu. Matanya jadi biasa dengan gelap. Ada panjatan di bawah jendela, ia masuk ke kandang. Tempat itu gelap, meskipun jauh di sana ada bola listrik. Ketika ia mengenakan kembali sandal dan membuka lipatan sarongnya, ia baru sadar kalau lantai di bawahnya pakai plester yang mengelupas di sana-sini. Dalam gelap ditemukannya tumpukan rumput, jadi ia pergi ke situ. Dapat duduk atau berbaring di atasnya. Ini lebih empuk dari kasurnya. Ah, badan itu kalau lagi mujur! Ia sedang merenungi nasibnya ketika didengarnya seseorang datang. Ia yakin tempatnya cukup terlindung. "Sst. Mas Abu." Itu Lastri, bau wangi bajunya (Abu mendengar untuk pertama kali dia dipanggil 'mas', sementara itu ia mengganti kata yang mestinya 'tubuhnya' dengan 'bajunya' dalam pikirannya) mengalahkan bau pesing. Kerincing di pergelangan tangannya juga terdengar. Pikir Abu, bagaimana dia tahu kalau ia di kandang kambing. Jangan-jangan dia mulai bisa membaca pikirannya. Kata orang, itu hanya terjadi pada suami-istri. "Saya tahu Mas di sini. Ini selimut. Kalau butuh teman besok-besok saja, ya." Abu berdiri dalam gelap dan menerima selimut itu. "Saya buatkan kopi, tapi airnya belum masak." Perempuan itu pergi. Entah kenapa, Abu mencium selimut pemberian Lastri. Bau soga dan kapur barus masuk hidungnya. Ah, ini bukan selimut, tapi kain batik. Diciumnya, sekali lagi dan sekali lagi dan sekali lagi kain itu, seolah dia-oh tidak-sedang mencium yang punya. Kain itu terlalu sayang untuk selimut di kandang kambing. Las, Las. Kain itu hanya dipegangnya, eh, dicium-ciumnya. Lastri datang lagi dengan termos berisi kopi. "Kalau mau lek-lekan juga boleh." Kemudian perempuan itu tertawa dengan berbisik. Sepertinya, tidak ada hal perlu disusahkan. Ada filsafat hidupnya yang disetujui Abu: Kesusahan itu datang karena kita cenderung mempersulit diri sendiri. Abu akan mengucapkan terima kasih bahwa Lastri ikut merasakan kesulitannya. Tapi, tampaknya pikirannya terbaca. "Tidak, tidak usah terima kasih segala. Antara ...," kemudian Lastri berhenti mendadak. Mungkin untuk memilih kata yang paling tepat. " Yaaah, antara teman senasib harus setia kawan." Kemudian perempuan itu pergi. Bau pesing tidak lagi tercium, mungkin karena Lastri, mungkin karena kain batik, mungkin karena terbiasa, mungkin karena hidungnya dipaksa untuk tidak mencium. Malam itu Abu Kasan Sapari tidak bisa memejamkan mata, ingatannya hanya pada Lastri, atau pada ularnya, atau pada kemarahan orang. Pada dini hari orang-orang mulai menggebrak-gebrak pintu dengan linggis. Mereka jadi lebih galak, lebih beringas. Makin lama makin banyak. "Bunuh ular!" "Usir dukunnya!" Mereka berdesakan di muka pintu, menanti linggis akan membukanya. Tetapi, tibatiba mereka lari tunggang-langgang. "Ular! Ular!" Di mata mereka ada ular sebesar pohon kelapa datang entah dari mana. 2 Memang sudah terpikir bagi Abu untuk melepas ular itu. Tinggal lagi menunggu waktu yang tepat. Sekarangkah waktunya" Sebentar antara tidur dan bangun, beberapa ekor ular datang padanya sambil meneteskan air mata. Kata mereka, "Jangan tinggalkan kami, jangan tinggalkan kami!" Dia memeluk ular itu satu-persatu, dan bilang, "Selamat tinggal, ya! Selamat tinggal." Terpejamkah Abu" Tidak mungkin. Terpejam itu bukan pekerjaannya. Melek semalam suntuk itu kebiasaan baginya waktu mendalang, apalagi dengan termos kopi bikinan Lastri. Ia juga belajar mengenal waktu. Jadi tahu persis bahwa Subuh akan segera tiba. Pada waktu seperti itulah dia biasa mengakhiri pertunjukan wayang. Ia sudah mengambil keputusan. 96 Ia mendekati jendela, menyingsingkan sarong, mencopot sandal jepit, menjatuhkan sandal dan kain ke bawah, memegang termos baik-baik dan meloncati jendela. Sesampai di bawah, merapikan sarong, mengenakan kembali sandal, mengepit kain, membawa termos, lalu berjalan ke kantor polisi. Polisi sama sekali tidak terkejut: biasa pagi-pagi begini datang peronda ke kantor untuk ngobrol, minum kopi, atau laporan. Tetapi sekali ini yang datang Abu Kasan Sapari. Mereka sudah saling mengenal. "Kok tumben," kata polisi. "Ceritanya panjang, tapi nanti saja. Antar saya pulang." Polisi itu menurut, tanpa bertanya lagi. Mengikuti Abu. Sampai di rumah, Abu minta polisi masuk. "Terima kasih. Di sini saja," lalu duduk di kursi bambu. Abu mengerti, polisi itu mesti takut dengan ular. Kalau polisi saja takut ular, apalagi orang lain, apalagi Lastri. "Takut ular, ya?" "Jujur saja, iya." Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri! Ia bermaksud memutus mata-rantai mantra itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada sangsinya, dia sanggup menanggung. " Sampeyan sudah pulang, to?" tanya Lastri dari sebelah. Abu heran kok ganti lagi dengan 'sampeyan'. Jangan-jangan tadi dia salah dengar. "Sudah." "Ya, syukur." Lewat pintu belakang ia menemui Lastri, mengembalikan kain dan termos. Menyerahkan jilidan merah jingga. "Apa ini?" "Baca saja". "Rencana sampeyan apa?" "Ke Solo! Saya akan membawa ular ke bonbin." Plong! Lastri keheranan. Sebenarnya ia ingin tahu sebab-sebab keputusannya, tapi diurungkannya. "Pagi-pagi begini?" "Ya." Di pintu keluar dikatakannya dengan lancar seperti sudah dihapalkannya: "Dan jangan lupa I love you, lho." "Ya, ya. Saya mengerti, kok." " Nyebar godhong kara, ya Yu." Maksudnya, sabarlah sementara. Pagi itu dia keluar dari rumahnya dengan sebuah kotak kayu. Lastri mengantar sampai halaman. Mantra Penjinak Ular Karya Kuntowijoyo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Abu mengucap terima kasih pada polisi yang mengantarnya sampai terminal. Sebuah bis akan mengantarnya ke bonbin yang terletak di tepi jalan itu. Setiap kali air matanya meleleh, setiap kali pula dipegangnya kotak kayu kuat-kuat dan dibayangkannya Lastri. Ia berketapan menjadi dalang, menjadi penerus tradisi Eyang dan tradisi Ronggowarsito: menghibur dan mengajarkan kebijaksanaan hidup. Langit memerah di atas Gunung Lawu.* (TAMAT) 97 Bentrok Rimba Persilatan 16 Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat Kesatria Berandalan 3