Memanah Burung Rajawali 28
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 28 "Anak perempuan ini telah terkena tangan beracun Ngo Tok Sin-ciang dari Khiu Cian Jin, paling lama ia hidup hanya tiga hari, perlu apa kau masih menyayangi dan melindunginya?" Mendengar itu, Kwee Ceng kaget sekali, lekas-lekas ia menoleh kepada Oey Yong. Ia melihat muka si nona seperti ditawungi sinar guram. Dengan lantas ia lompat kepada kekasihnya itu. "Yong-jie, bagaimana kau rasa?" ia menanya, suaranya menggetar. Oey Yong merasai dada dan perutnya panas, sebaliknya kaki tangannya dingin. Ia menyahuti: "Engko Ceng, selama tiga hari ini, jangan kau meninggalkan aku pergi sekalipun cuma setindak. Dapatkah?" "Setengah tindak juga aku tidak akan tinggalkan kau..." menjawab si anak muda cepat sedang hatinya mencelos. Rupanya si nona telah mendengar perkataannya si nyonya tua itu. "Sekalipun tidak berpisah setengah tindak, temponya cuma lagi tigapuluh enam jam...! berkata si nyonya dingin. Kwee Ceng mengangkat kepalanya, memandang nyonya itu. Ia tidak bisa berbuat lain daripada menunjuk roman minta dikasihani, ialah agar nyonya itu jangan mengeluarkan kata-kata yang dapat melukai hatinya Oey Yong.... Sebenarnya Eng Kouw masih hendak memuasi kejelusannya ketika ia menmpak roman si anak muda ang lesu itu, ia lantas berpikir: "Adakah Thian mengirim dua orang ini ke mari untuk aku membalas sakit hatiku ini?" Ia mengangkat kepalanya, memandang langit. "Oh, Thian, Thian...." keluhnya. Justru itu di luar terdengar pula suara berisik dari orang-orang Khiu Cian Jin, rupanya mereka masih mencari di sekitar situ dan sekarang kembali mendekati rumah yang dikurung dengan rawa lumpur, yang pepohonannya merupakan rahasia keder. Terang mereka menyangka si muda-mudi berada di dalam rumah tetapi mereka tidak berdaya untuk memasukinya. Lewat lagi sesaat dari arah rimba terdengarlah suaranya Khiu Cian Jin, si ketua Tiat Ciang Pang: "Sin-soan-coe Eng Kouw, Kiu Tiat Ciang mohon bertemu denganmu!" Suara itu datang dengan melawan angin tetapi karena dikeluarkannya dengan bantuan tenaga dalam yang mahir, terdengarnya terang sekali. Eng Kouw bertindak ke jendela. Ia pun mengempor tenaga dalamnya. Ia menyahuti dengan suara yang panjang: "Aku ini biasanya tidak menerima kunjungan orang luar. Apakah kau tidak ketahui bahwa siapa datang ke tempatku ini, rawa lumpur hitam, dialah bagiannya mati, tidak bagian hidupnya"!" Di sana terdengar pula suaranya Khiu Cian Jin: "Ada dua orang muda, satu pria dan satu wanita, masuk ke dalam rawa lumpr hitam kau ini, maka aku minta sukalah kau menyerahkan mereka padaku!" "Siapakah yang dapat masuk ke dalam rawa lumpur hitamku ini?" berkata Eng Kouw. "Sekarang ini ada tengah malam buta rata, maka janganlah kau mengganggu tidur orang yang nyenyak!" "Baiklah kalau begitu!" terdengar lagi suara Khiu Cian Jin. "Jangan kau berkecil hati!" Suara itu bernada tak berani memandang enteng kepada si nyonya. Habis itu terdengarlah suara berisik yang pergi jauh. Eng Kouw berpaling pada Kwee Ceng. "Kau ingin menolongi adikmu ini atau tidak?" ia tanya. Kwee Ceng melengak, lalu ia menjatuhkan dirinya berlutut. "Jikalau locianpwee suka menolong..." katanya. "Locianpwee!" kata si nyonya, bengis. "Apakah aku sudah tua?" "Tidak, tidak terlalu tua," sahut Kwee Ceng cepat. Sinar matanya Eng Kouw berpindah dari si anak muda ke jendela, dari mulutnya terdengar kata-kata ini: "Tidak terlalu tua...Hm, itu artinya sudah tua...!" Kwee Ceng menjadi bingung. Rupanya perkataannya itu telah menyinggung si nyonya. Ia tidak tahu mesti membilang apa. Eng Kouw menoleh pula. Sekarang ia melihat kepala orang berkeringatan. "Kalau orangku itu dapat menyayangi aku satu persepuluh saja dari si bocah tolol ini," pikirnya. "Ah, tidakkah sia-sia belaka hidupku ini..." Lalu ia bersenandung dengan perlahan: "Empat buah perkakas tenun...maka tenunan burung wanyoh bakal terbang berpasangan....Sayang, belum lagi tua tetapi kepala sudah putih.... Gelombang musim semi, rumput hijau, di musim dingin di dalam tempat yang tersembunyi, saling berhadapan mandi baju merah........" Mendengar itu Kwee Ceng heran. "Ah, rasanya aku kenal syair ini..." pikirnya. Tapi ia tidak ingat, siapa pernah membacakan itu. Itulah bukannya Cu Cong, gurunya yang nomor dua dan juga bukan Oey Yong. Maka dengan perlahan, ia menanya si nona: "Yong-jie, siapakah yang mengarang syair ini" Apakah artinya itu?" Si nona menggeleng kepala. "Aku mendengar ini baru untuk pertama kali," sahutnya. "aku tidak tahu siapa pengarangnya. Sayang belum tua tetapi kepala sudah putih...Sungguh suatu kata-kata yang bagus!" Kwee Ceng masgul, sudah ia tidak ingat, Oey Yong pun tidak tahu, sedang si nona terpelajar, luas pengetahuannya. Pikirnya: "Syair bukan buatan Oey Yong, tentu bukan karya ayahnya. Habis siapakah" Toh aku ingat aku pernah mendengarnya..." Eng Kouw pun lantas berdiam. Ia lagi memikirkan segala apa yang telah berlalu. Ia nampak sebentar bergirang sebentar berduka. Kemudian ia mengangkat kepalanya dan berkata: "Adikmu ini terhajar tangannya Kiu Tiat Ciang Pang, entah ada benda apa yang menghalanginya sehingga ia tidak mati lantas, meski begitu, tidak peduli bagaimana dia tidak bakal dapat bertahan lewat tiga hari. Ah, lukanya ini cuma ada satu orang yang dapat menolongnya..." Kwee Ceng lagi menjublak ketika ia mendengar kata-kata terakhir itu, hatinya lantas memukul keras saking girangnya, maka ia lantas menjatuhkan diri berlutut pula di depan nyonya itu, ia mengangguk tiga kali hingga kepalanya membentur tanah. Ia lantas memohon: "Tolong loo...oh, tidak, tidak! Tolong kau menolongi adikku ini, budimu tidak nanti aku lupai..." "Hm!" bersuara Eng Kouw, dingin. "Mana aku mempunyai kepandaian untuk menolongi orang" Kalau aku pandai, musahil aku berdiam di ini tempat membeku menderita kesengsaraan ini..." Kwee Ceng berdiam saja. "Nyata kau beruntung," kemudian nyonya itu berkata pula: "Kamu telah bertemu denganku yang mengetahui tempat kediaman orang itu, dan beruntung pula, tempatnya tidak jauh, maka di dalam tempo tiga hari, kamu dapat tiba di sana... Hanyalah sukar untuk dibilang orang itu suka menolongi atau tidak." Kwee Ceng girang bukan kepalang. "Aku nanti meminta, memohonnya!" ia berkata. "Aku percaya tidak nanti ia tidak menolong kalau ia melihat bahaya lagi mengancam...." "Apa itu melihat bahaya mengancam tidak menolong?" kata Eng Kouw. "Kebaikan apa kau telah berikan padanya" Kenapa dia mesti menolong kamu?" Suara itu menggenggam kegusaran. Kwee Ceng mengerti, ia tidak berani menyahuti. Si nyonya bertindak ke kamar luar, di sana ia duduk di kursi, kepalanya ditunduki. Ia memegangi pit, entah dia menulis apa. Habis menulis, suratsuratnya itu dilepit, lantas dibungkus rapi dengan masing-masing sepotong cita, yang terus ia jahit, kemudian ia menjahit dan menjahit lagi hingga merupakan tiga kantung. Habis itu, baru ia kembali ke kamar bundar itu. "Sekeluarnya dari rimba ini, menyingkirlah kamu dari kepungannya Tiat Ciang Pang," ia berkata. "Kamu menuju langsung ke timur laut, terus sampai di kecamatan Tho-goan. Di sana barulah kamu membuka kantung yang putih itu. Seterusnya tindakan apa yang kamu harus lakukan, di dalam situ ada ditulis jelas. Sebelum kamu sampai di sana, ingat baik-baik, jangan kamu buka surat ini!" Kwee Ceng girang sekali, ia menghanturkan terima kasih berulangkali. Kemudian ia menyodorkan tangannya untuk menerima kantung-kantung itu. Eng Kouw menarik pulang tangannya. "Tunggu dulu!" katanya. "Jikalau orang itu tidak sudi menolong, yah sudah saja, tetapi apabila dia suka menolongi hingga adikmu ini ketolongan, aku hendak minta suatu apa." "Budi ini mesti dibalas," berkata Kwee Ceng. "Cianpwee menitahkan saja!" Eng Kouw tertawa dingin ketika ia berkata: "Jikalau adikmu ini tidak binasa, maka di dalam tempo satu bulan ia mesti kembali ke mari dan di sini ia mesti tinggal bersama aku selama satu tahun!" Kwee Ceng heran. "Kenapa begitu?" tanyanya. "Kenapa begitu?" balik tanya si nyonya. "Apakah sangkutannya itu sama aku" Aku cuma tanya kau, kau suka atau tidak?" "Kau menghendaki aku mengajari kau ilmu hitung Kie-bun-sut, bukan?" Oey Yong campur bicara. "Apakah susahnya itu" Baik, aku memberikan janjiku!" Eng Kouw mendelik kepada si anak muda. "Percuma jadi laki-laki, kau tak bisa melawan kecerdikan adikmu satu persepuluh!" ia mengejeknya tetapi ia menyerahkan tiga kantung kainnya itu. Kwee Ceng menyambuti. Ia melihat satu kantung putih, satu merah dan satu lagi kuning. Ia lantas menyimpan itu baik-baik. Ia memberi hormat sambil menjura tetapi Eng Kouw menyingkir, tak mau ia menerima hormat itu. Ia kata: "Tak usah kau mengucap terima kasih padaku, aku juga tidak sudi menerimanya. Kamu dan aku bukan sanak bukan kandung, perlu apa aku menolongi adikmu ini" Taruh kata kita bersanak, juga tak usah kau menjadi begini bersyukur. Adalah janji kita yang mesti ditepati. Aku bilang padamu, aku menolongi adikmu untuk diriku juga. Hm, siapa tidak berbuat untuk dirinya, dia dimusnahkan Langit dan Bumi!" Kwee Ceng heran sekali. Suara itu pun tak sedap untuk kupingnya. Oleh karena ia memang tidak pandai bicara, ia tidak tahu mesti membilang apa. Ia sekarang cuma mengingat keselamatannya Oey Yong. Eng Kouw mengawasi pula si pemuda dengan mata mendelik. "Kau telah bercapai lelas satu malaman," katanya. "Kmau juga tentu telah lapar, maka baiklah kamu dahar bubur!" Oey Yong sudah lantas merebahkan diri di atas pembaringan, ia beristirahat separuh pulas separuh sadar. Kwee Ceng menjagai dia di sampingnya, pikirannya tidak tentram. Eng Kouw, yang pergi ke dalam, tak lama datang pula dengan membawa sebuah tetampan, di atas mana ada dua mangkok bubur yang masih panas, asapnya masih mengepul-ngepul. Harum bubur itu. Sebagai temannya ada daging ayam dan ikan. Kwee Ceng lantas saja terbangun selera makannya. Ia memang saudh lapar sekali. Ia tidak menyangsikan pula si nyonya. Tadi ia mengkhawatirkan Oey Yong, ia lupa makan. Maka ia menepuk-nepuk belakang tangan kekasihnya itu. "Yong-jie, mari dahar!" katanya. Oey Yong membuka matanya, ia menggeleng kepala perlahan. "Dadaku sangat sakit, aku tidak mau dahar," sahutnya. "Hm!" Eng Kouw tertawa dingin. "Ada obat untuk melenyapkan rasa nyeri tetapi kamu bercuriga!" Oey Yong tidak ambil peduli sindiran itu. "Engko Ceng, mari kasih aku sebutir pil Kiu-hoa Giok-louw-wan," kata dia. Pil itu ada pil pemberiannya Liok Seng Hong semasa di Kwie-in-chung, si nona simpan itu di dalam sakunya, ketika Ang Cit Kong dan Kwee Ceng terluka di tangan Auwyang Hong, mereka makan obat itu beberapa butir, benar obat itu tidak dapat menyembuhkan tetapi bisa menghilangi rasa sakit. Kwee Ceng menyahuti, ia membuka kantung si nona dan mengeluarkan obat yang diminta itu. Ketika Oey Yong menyebutkan namanya obat, hati Eng Kouw terkesiap, begitu lekas ia melihat pil merah itu, ia kata dengan bengis: "Adakah ini Kiu-hoa Giok-louwwan" Kasih aku lihat!" Kwee Ceng heran mendengar suara orang demikian aseran, ia menoleh. Maka ia melihat mata si nyonya bersinar tajam. Ia menjadi lebih terheran lagi. Tapi ia menyerahkan semua sekantung obat itu. Kapan Eng Kouw menyambutnya, ia merasakan bau harum dari obat itu menyampok hidungnya. Ia lantas merasakan tubuhnya adem. Ia mengawasi si anak muda, terus ia menanya; "Obat ini ada obat dari Tho Hoa To, darimana kamu mendapatkannya" Lekas bilang! Lekas!" Suaranya itu bengis tetapi bengis bercampur nada sedih. Dalam herannya, Oey Yong berpikir: "Dia hendak mempelajari ilmu Kie-bun-sut, apakah ia mempunyai hubungannya sama salah satu murid ayahku?" Kwee Ceng sendiri sudah lantas menjawab: "Adikku ini ialah putrinya pemilik Tho Hoa To!" Mendadak Eng Kouw berlompat berjingkrak. "Anaknya Oey Lao Shia"!" dia berteriak. Kedua matanya lantas bersinar bengis, kedua tangannya terus dipentangkan, agaknya hendak dia menubruk si nona di depannya itu. "Engko Ceng, kembalikan tiga kantung itu!" kata Oey Yong. "Karena dialah musuh ayahku, kita jangan menerima budinya!" Kwee Ceng mengeluarkan kantungnya hanya ia berayal mengembalikannya. Ia bersangsi. ?"Letaki, engko Ceng!" kata pula Oey Yong. "Belum tentu aku mati! Mati pun boleh apa!" Belum pernah Kwee Ceng tidak meluluskan sesuatu kehendaknya si nona, maka ia meletakinya tiga kantung surat wasiat itu. Eng Kouw memandang keluar jendela, perlahan terdengar keluhannya: "Oh, Thian, Thian...!" Kemudian dengan lantas ia pergi ke kamar sebelah, di sana ia membaliki tubuhnya, entah apa yang ia lakukan. "Mari kita berangkat!" mengajak Oey Yong. "Aku sebal melihat perempuan ini!" Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, si nyonya sudah kembali. "Aku hendak memperlajari ilmu Kie-bun-sut, perlunya untuk memasuki Tho Hoa To," ia berkata, "Sekarang gadisnya Oey Lao Shia ada di sini, aku menyakinkannya seratus tahun juga tidak ada gunanya. Dasar nasib, apa mau dibilang" Nah, pergilah kamu! Bawalah kantung itu!" Ketiga kantung itu, bersama kantung obat, ia sesapkan di tangannya si anak muda. Kepada Oey Yon ia berkata: "Obat Kiu-hoa Giok-louw-wan ini untukmu ada bahayanya tidak ada faedahnya, maka janganlah kau makan pula, hanya kalau nanti kau sudah sembuh, jangan kau lupa janji kita satu tahun itu! Ayahmu telah membikin rusak seluruh penghidupanku, maka semua barang makanan di sini, lebih suka aku memberikannya anjing yang makan, tak sudi aku memberikannya kepada kamu!" Lantas bubur dan dua rupa masakannya itu ia lemparkan keluar jendela! Oey Yong gusar bukan kepalang, mau ia membuka mulutnya, atau mendadak ia sadar, maka ia lantas pegangi Kwee Ceng, untuk bangun berdiri. Dengan tongkatnya, ia menulis tiga baris huruf di atas pasir, setelah mana ia mengajak si anak muda itu bertindak ke luar. Kapan ia sudah tiba di pintu luar, Kwee Ceng berpaling ke belakang, dengan begitu ia bisa melihat Eng Kouw, yang semenjak tadi berdiam saja, lagi mengawasi ke tanah, agaknya dia berdiri bengong, rupanya dia tengah menghitung........ Sesampainya di muka rimba, Kwee Ceng menggendong Oey Yong, lalu ia bertindak pergi mengikuti jalan masuknya tadi. Selama itu, ia menutup mulut, karena pikirannya dipusatkan kepada tindakan kakinya itu supaya ia tidak salah jalan. Adalah setibanya di luar, di tempat aman, baru ia menanya si nona apa yang ditulisnya tadi. Oey Yong tertawa. "Aku menulis tiga macam hitungan untuknya," sahutnya. "Dia boleh memikirkan itu setengah tahun, tidak nanti dia mendapatkan jawabannya. Biarlah rambut putihnya menjadi tambah uban! Siapa suruh dia bersikap demikian kurang ajar!" "Sebenarnya dia bermusuh apa dengan ayahmu?" "Aku tidak tahu. Tidak pernah aku mendengar ayah mengomonginya." Ia hening sedetik. Lantas ia menanya: "Dimasa mudanya, dia mestinya cantik sekali. Benar tidak engko Ceng?" Selagi menanya begitu, di hatinya ia menduga apa mungkin nyonya itu pernah saling menyinta dengan ayahnya... "Biar dia cantik atau tidak," Kwee Ceng menyahut. "Dia lagi memikirkan tulisanmu itu, umpama kata dia mendadak menyesal, tidak nanti dia dapat menyusul kita." "Entah apa dia tulis di dalam kantungnya itu?" tanya Oey Yong. "Jangan-jangan dia tidak bermaksud baik. Apakah tidak baik kita membuka dan melihatnya?" "Jangan, jangan!" Kwee Ceng mencegah. "Biar kita turut pesannya, sampai di kecamatan Tho-goan baru kita buka..." Oey Yong sangat terpengaruhkan keinginan tahunya, ingin ia melihatnya, tetapi Kwee Ceng tetap mencegah akhirnya ia suka mengalah. Sementara itu tanpa terasa sang malam telah berlalu, sang fajar datang menggantikannya, Kwee Ceng naik ke atas sebuah pohon tinggi, untuk melihat kelilingan. Ia tidak melihat orang-orang Tiat Ciang Pang, maka hatinya lega. Ia lantas bersiul memanggil kuda serta burungnya, yang muncul dengan cepat. Yang datang belakangan ialah kedua burung rajawali. "Mari kita berangkat," kata si anak muda setelah ia dan si nona sudah berada di punggung kuda mereka. Justru itu waktu, di pinggiran rimba terdengar suara orang berseru-seru, lalu terlihat munculnya beberapa puluh orang. Merekalah orang-orang Tiat Ciang Pang, yang tak putus asa meskipun Eng Kouw telah menampik mereka, dengan terpaksa mereka menanti sambil menyembunyikan diri, baru mereka keluar setelah Kwee Ceng Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mengasih dengar suaranya yang nyaring memanggil kuda dan burungnya. "Maaf, tak dapat kami menemani kamu!" berkata Kwee Ceng kepada mereka itu seraya ia mengeprak mengasih kudanya lari, maka dalam tempo yang pendek, di kuda merah meninggalkan jauh sekali kawanan pengepungnya itu. Di waktu tengah hari, Kwee Ceng telah melalui perjalanan beberapa ratus lie, maka ia lantas berhenti di tepi jalan, di mana ada sebuah warung nasi. Si situ ia bersantap. Oey Yong lagi sakit, ia makan sedikit bubur. Habis makan anak muda ini menanya tuan rumah tempat itu apa namanya. Ia diberi tahu bahwa ia berada di dalam wilayah kecamatan Tho-goan, maka tidak ayal lagi ia mengeluarkan kantung putihnya, untuk dibuka dan diperiksa. Di dalam situ ada sehelai peta bumi dengan dua baris yang berbunyi: "Jalan mengikuti petunjuk dalam gambar ini. Di ujung jalanan ini ada sebuah air tumpah yang besar, di samping mana ada sebuah rumah yang atap. Sampai di situ bukalah kantung yang merah." Tanpa ragu-ragu, Kwee Ceng menuruti surat wasiat itu. Ia mengasih kudanya lari sampai sekira delapanpuluh lie, sampai jalanan nyata makin jauh makin sempit. Lagi delapan atau sembilan lie, jalanan merupakan jalanan selat yang sempit, di kiri-kanan ialah tembok gunung. Jalanan demikian kecil hingga muat hanya satu orang. Kuda merah juga tidak dapat jalan di situ. Saking terpaksa, Kwee Ceng menggendong pula Oey Yong dan kudanya ditinggalkan, dibiarkan mencari makanannya sendiri. Bab 61. Tukang pancing, tukang kayu, petani dan pelajar Bab ke-61 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong. Satu jam Kwee Ceng jalan terus. Kadang-kadang ada tempat demikian sempit hingga untuk lewat di situ, Oey Yong mesti dipondong, tubuhnya dikasih miring. Ketika itu ada bulan ke tujuh, matahari sangat terik, akan tetapi di situ puncak gunung menghalangi pengaruhnya sang Batara Surya, maka juga jalanan di selat itu sebaliknya menjadi adem. Kwee Ceng jalan terus sampai ia merasa lapar, maka ia mengeluarkan bekalannya ransum kering, ia menangsel perut sambil jalan, karena ia tidak mau menyianyiakan tempo. Ia telah makan habis tiga biji kue. Tepat ketika lehernya kering karena ingin minum, kupingnya mendengar suara air. Dengan lantas ia percepat tindakannya. Semakin lama suara air semakin nyaring. Ia mesti jalan mendaki. Akhirnya si anak muda tiba di atas bukit. Maka dari situ ia dapat melihat iar tumpah itu, yang besar sekali, airnya meluncur ke bawah, jatuh terbanting keras. Itulah sebab suara yang nyaring tadi. Ketika ia mengawasi, di samping air tumpah itu ia tampak sebuah rumah atap. Ia lantas mencari sebuah batu besar di mana ia berduduk. Ia lantas mengeluarkan kantung yang merah, yang terus dibuka. Di dalam situ ada sebuah surat wasiat yang berbunyi: "Lukanya anak perempuan ini cuma Toan Hongya yang dapat menolongi..." Membaca surat itu, Kwee Ceng terkejut. "Toan Hongya!" katanya kepada Oey Yong. "Bukankah dialah Lam Tee si Kaisar dari Selatan yang namanya kesohornya dengan nama ayahmu?" Sebenarnya Oey Yong sudah lelah sekali tetapi mendengar disebutnya nama Kaisar dari Selatan itu, Lam Tee, ia menjadi ketarik hatinya. "Lam Tee?" katanya. "Ya, aku pernah mendengarnya dari ayah. Toan Hongya itu adanya di Taili di Inlam dimana ia menjadi raja. Apakah itu bukan..." Ia berhenti berkata karena mendadak hatinya menjadi sangat dingin. Bukankah Inlam itu ada satu propinsi yang jauh sekali, yang tak dapat dicapaikan dengan perjalanan hanya tiga hari" Ia lantas menguatkan hatinya, untuk berduduk sambil menyender pada tubuh si anak muda. Ia mau melihatnya sendiri suratnya Eng Kouw itu. Begini bunyinya surat dari kantung wasiat yang merah itu: "Lukanya anak perempuan ini cuma Toan Hongya yang dapat menolongi... hanya Toan Hongya itu banyak perbuatannya yang tak selayaknya, karena mana dia jadi tinggal menyembunyikan diri di Tho-goan, hingga orang sangat sukar menemuinya. Kalau orang bicara dengannya dengan minta diobati, itulah justru pantangannya yang paling besar. Kalau maksud itu diutarakan, belum lagi orang masuk ke rumahnya, orang bakal dibikin celaka lebih dulu oleh si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar. Maka itu untuk bertemu dengannya, kamu mesti mendusta. Kamu bilang saja bahwa kamu datang atas nama gurumu, Ang Cit Kong, untuk bertemu sama Toan Hongya, untuk menyampaikan berita penting. Apabila kamu telah bertemu sama Toan Hongya, maka kamu serahkanlah isinya kantung kuning. Kehidupanmu tergantung dengan ini." Habis membaca, Kwee Ceng menoleh kepada Oey Yong. Ia melihat si nona mengerutkan keningnya. Ia menanya: "Yong-jie, kenapa Toan Hongya melakukan banyak perbuatan tak layak" Kenapa justru permintaan tolong diobati adalah pantangan yang terlebih besar lagi" Dan apa itu artinya kecelakaan di tangan si tukang pancing, tukang kayu, petani dan pelajar?" Si nona menghela napas. "Engko Ceng, janganlah kau menganggap aku terlalu pintar hingga semua-semuanya aku mesti ada jawabannya." sahutnya. Kwee Ceng terkejut, ia mengawasi tanpa menanyakan lagi. Ia pondong nona itu. "Baiklah, mari kita turun!" ujarnya. Tapi, sebelum mulai bertindak, ia mengawasi pula ke bawah ke air tumpah. Di tepi air, di mana ada sebuah pohon yangliu, ia melihat seorang tengah berduduk, kepala orang itu ditutup sama tudung bambu. Karena jaraknya jauh, ia tidak dapat melihat tegas. Terpaksa, ia terus berjalan turun. Terpengaruh oleh keinginannya lekas-lekas sampai, terbantu oleh jalana di situ tak sesukar tadi, lekas juga Kwee Ceng tiba di bawah, di tepian air tumpah itu. Sekarang ia melihat orang tadi sedang duduk sambil memancing ikan. Air tumpah jatuhnya sangat keras, air pun mengalir deras luar biasa, di mana bisa ada ikan di situ" Taruh kata ada ikannya, mana sempat ikan itu mencaplok umpan pancing" Maka anehnya yang orang memancing ikan di air sedemikian itu. Pemuda itu tidak berani lancang mengganggu orang. Lebih dulu ia mengawasi saja. Ia mendapatkan si tukang pancing berumur tigapuluh tujuh atau tigapuluh delapan tahun, kulit mukanya hitam seperti pantat kuali, mukanya berewokan, bulunya kaku seperti kawat. Kedua mata orang terus dipakai mengawasi tajam ke arah air. Setelah mengawasi sekian lama, ia turunkan Oey Yong, supaya si nona dapat duduk menyender di pohon, untuk beristirahat, ia sendiri pergi ke tepian, untuk melihat di kobakan air tumpah itu ada ikan apa. Orang itu tetap diam saja, mereka tidak ditegur sama sekali. Sekian lama Kwee Ceng mengawasi, tiba-tiba ia melihat berkelebatnya sinar kuning di dalam air itu. Si tukang pancing nampak girang, sebab mendadak jorannya melenkung tertarik ke arah air. Karena ada satu makhluk yang memakan umpan pancing itu - makhluk yang seluruhnya berwarna kuning emas. Saking heran, si anak muda berseru sendirinya: "Eh, binatang apakah itu?" Berbareng sama seruannya si anak muda itu, seekor binatang yang serupa itu melesat pula menyambar pancing, maka si tukang pancing menjadi girang sekali, dengan erat-erat ia mempertahankan jorannya, yang sebaliknya jadi makin melengkung. Rupanya kuat sekali merontanya si ikan aneh itu, sebentar kemudian, patahlah joran itu, kedua ikannya berloncat ke air, terus berenang pergi, lenyap di kolong batu. Meski air sangat deras, ikan itu tak hanyut terbawa air. Si tukang pancing lantas memutar tubuhnya, dia mengawasi Kwee Ceng dengan mata mendelik dan muka merah, tandanya ia murka sekali. "Hai, bangsat cilik busuk!" dia mendamprat. "Setengah hari dan setengah mati aku menantikan di sini, sekejap saja kau membikin kaget dan kabur binatang yang aku lagi pancing itu!" Terus ia mengangkat tangannya yang besar, seperti dia hendak menyerang, hanya entah kenapa, dia menahannya, hingga tangannya itu mengasih dengar suara meretek. Kwee Ceng tahu ia telah mengganggu orang itu, ia tidak menjadi gusar. "Maaf, paman," katanya merendah. "Sebenarnya bukan maksudku mengganggu padamu. Sebenarnya ikan apakah itu?" Orang itu masih tetap gusar. "Buka matamu!" katanya sengit. "Apakah itu ikan" Itulah Kim Wawa!" Kwee Ceng tertawa. Ia tetap tidak gusar. "Mohon tanya paman, apa itu Kim Wawa?" ia tanya. Ia tidak mengerti makhluk itu dinamai "Kim Wawa" atau "Anak Emas". "Kim Wawa ialah Kim Wawa!" orang itu berteriak semakin gusar. "Eh, bangsat bau, perlu apa kau banyak bacot"!" Tetap Kwee Ceng mengendalikan diri. Ia membutuhkan petunjuk untuk mencari Toan Hongya. "Maaf, paman," katanya, sembari ia memberi hormat pula. Tapi Oey Yong tak dapat bersabar seperti engko Ceng-nya itu. "Kim Wawa ialah ikan wawa yang berwarna kuning emas," ia campur bicara. "Apakah yang aneh pada ikan itu" Di rumahku, aku memeliharanya beberapa pasang!" Tukang pancing itu heran mendengar si nona mengetahui tentang ikan itu, tetapi hanya sebentar ia tercengang, segera ia mengasih dengar suaranya yang tak sedap: "Hm, kau ngepul ya" Kau memeliharanya beberapa pasang! Aku tanya padamu, apakah perlunya Kim Wawa itu?" "Apa perlunya?" sahut si nona sabar. "Aku melihatnya ikan itu bagus, dia dapat bersuara yayaya, seperti anak kecil, maka aku lantas memeliharanya, untuk dibuat main!" Mendengar keterangan orang, tak salah, pengail itu mulai menjadi sabaran sedikit. "Eh, anak," katanya kemudian, "Kalau benar kau memelihara ikan itu, kau harus mengganti aku satu pasang!" "Perlu apa aku mesti mengganti padamu?" si nona menanya. Orang itu menunjuk Kwee Ceng, dia menyahutinya:" Aku mengail, aku dapat satu ekor, lantas dia berteriak tak karua-karuan, hingga muncul satu seekor yang lain, hingga kejadian patahlah joranku. Kim Wawa ini sangat cerdik, selanjutnya dia tak bakal kena dikail lagi, maka itu kalau kau tidak disuruh mengganti, habis bagaimana?" "Tatuh kata kau dapat memancingnya, kau cuma dapat satu," kata lagi Oey Yong. "Apa mungkin kau dapat mancing sekali dua?" Ditanya begitu, orang itu berdiam. Ia menggaruk-garuk kepalanya. "Kalau begitu, kau menggantilah seekor!" katanya kemudian. Oey Yong tertawa. Ia berkata: "Jikalau sepasang Kim Wawa dipisahkan hidup-hidup, maka tak lebih daripada tiga hari, baik yang jantan maupun yang betina, duaduanya bakal mati sendirinya." Mendengar begitu, lenyaplah kesangsiannya si pengail, dengan lantas ia menjura kepada sepasang muda-mudi itu. Ia berkata pula: "Baiklah, anggaplah aku yang tidak benar! Sekarang maukah kau membagi aku satu pasang?" Oey Yong tersenyum. "Lebih dulu kau mesti menerangkan padaku, perlu apa kau dengan ikan emas itu?" ia tanya. Orang itu berdiam, agaknya ia bersangsi. Tapi cuma sejenak, lantas ia membuka mulutnya. "Baiklah, aku nanti menjelaskan kepada kamu," katanya. "Paman guruku, seorang India, beberapa hari yang lalu telah datang ke mari mengunjungi guruku. Ia telah mendapat tangkap itu sepasang ikan emas, ia girang bukan main. Ia membilangi kita bahwa di negerinya itu ada semacam binatang yang berbisa sekali, yang sangat sukar untuk disingkirkan, kecuali dengan ini ikan, yang menjadi binatang pelumahnya. Dia menyerahkan ikan itu kepadaku, untuk aku merawatnya beberapa hari, nanti setelah ia selesai berbicara sama guruku, diwaktu ia berangkat pulang, hendak ia membawanya sekalian, untuk dipelihara di sana, siapa tahu..." "Siapa tahu kau telah berlaku tidak hati-hati dan kau membuatnya terlepas!" Oey Yong mendahului. Pengail itu kaget: "Eh, mengapa kau tahu?" tanyanya heran. "Tidakkah gampang menduga itu?" berkata si nona tersenyum. "Ikan itu memangnya sukar dipeliharanya. Aku sendiri mulanya memelihara lima pasang dan kemudian kabur dua pasang." Matanya si tukang pancing bersinar. Agaknya ia sangat tergiur. "Nona yang baik, kau bagilah aku sepasang," ia minta. "Kamu masih mempunyai dua pasang lagi, tidakkah itu cukup" Kalau paman gusar, itulah hebat untukku..." "Untuk membagi kau satu pasang, itulah urusan kecil sekali;" berkata si nona, tetap manis. "Hanya aku hendak menanya kau, kenapa kau mula-mulanya galak sekali?" Orang itu jengah, dia bingung. Ia mau tertawa tetapi pun gagal..... "Ah, nona yang baik," akhirnya ia kata, "Kau ini tinggal di mana" Apakah tidak jauh dari sini?" "Kalau dikata dekat, tidak dekat," sahutnya, "Kalau dikata jauh, ya tidak jauh, tetapi kalau beberapa ribu lie, ya ada..." Tukang pancing itu kaget, lantas kumisnya bangun berdiri. "Hai, budak cilik!" dia membentak, "Kiranya kau lagi permainkan tuanmu!" Dia sudah lantas mengangkat kepalannya yang besar, hendak ditimpahkan kepala orang, akan tetapi kapan dia melihat seorang nona cilik dan nampaknya lemah, dia batal sendirinya. Kwee Ceng sendiri sudah lantas bersiap, untuk menjambret tangan orang itu. Oey Yong tertawa. Sama sekali ia tidak takuti ancaman itu. "Kenapa terburu nafsu?" katanya. "Aku telah memikirkan jalannya. Eh, engko Ceng, coba kau tolong panggil si rajawali putih!" Anak muda itu tidak dapat menerka hati kawannya akan tetapi ia menuruti. Kapan si pengail mendengar suara orang, ia terkejut. Suara itu nyaring mendengung, berkumandang di lembah-lembah. Maka sekarang ia kata di dalam hatinya: "Baiklah tadi aku tidak lantas bertempur dengannya, kalau tidak, aku bisa celaka...." Tak lama datanglah sepasang rajawali mereka. Oey Yong minta Kwee Ceng mengambil babakan pohon, di situ dengan jarumnya ia mencacah beberapa baris tulisan, singkat bunyinya: "Ayah! Aku menghendaki sepasang Kim Wawa, maka suruhlah si rajawali membawanya. Dari anakmu, Yong." Melihat itu barulah Kwee Ceng mengerti, maka ia menjadi girang sekali. Ia lantas menyiapkan tali, ialah ikat pinggangnya yang ia kutungi, lalu dengan itu ia ikat surat babakan pohon itu pada kakinya si rajawali yang jantan. Oey Yong pun lantas berkata kepada si rajawali itu: "Kau bawa ini ke Tho Hoa To, lekas pergi dan lekas kembali!" Kwee Ceng masih khawatir burungnya itu kurang mengerti, ia menunjuk ke Timur dan tiga kali menyebutnya: "Tho Hoa To!" Sepasang burung rajawali jinak itu berbunyi berbareng, lantas keduanya terbang pergi, setelah berputaran di tengah udara, mereka menuju ke timur, sebentar saja mereka lenyap di antara gumpalan mega. Si Tukang pancing melongo matanya dan terpentang mulutnya. "Tho Hoa To...Tho Hoa To..." katanya kemudian, seperti mengoceh tidak karuan. "Pernah apakah kamu dengan Oey Yok Su Loosianseng?" Baru sekarang Oey Yong memprlihatkan aksinya. "Ialah ayahku! Habis kenapa"!" sahutnya, temberang. "Oh!" seru orang itu heran. Oey Yong tidak menggubris sikap orang itu, ia tanya: "Dalam tempo beberapa hari saja, burung itu bakal membawa datang ikan itu kemari. Tidak terlambat, bukankah?" "Harap saja..." kata orang itu, matanya mengawasi sepasang anak muda itu, agaknya ia bersangsi. Kwee Ceng memberi hormat. "Aku belum menanyakan nama she dan nama yang besar dari paman," katanya. Orang itu tidak menyahuti, sebaliknya ia menanya: "Perlu apa kau datang ke mari" Siapakah yang menyuruhnya?" Kwee Ceng terus membawa sikapnya yang menghormat. "Aku yang muda ada mempunyai urusan untuk mana aku memohon bertemu sama Toan Hongya," ia memberitahukan. Ia sebenarnya mau memberi keterangan seperti petunjuknya Eng Kouw, akan menyebutkan nama gurunya, Ang Cit Kong, tetapi ia tidak biasa mendusta, mendadak ia merasa tak dapat ia mengatakan itu. "Guruku tidak dapat menemui orang!" orang itu kata dengan keras. "Mau apa kau mencari guruku itu?" Untuk sejenak Kwee Ceng terbenam dalam kesangsian. Ia sebenarnya mau terus bicara secara sebenarnya, tapi mendadak ia ingat keselamatannya Oey Yong. Tidakkah ia nanti menggagalkan si nona" Bukankah tak apa ia mendusta kali ini" Selagi ia bersangsi, si pengail telah mendapat lihat kesangsiannya itu dan melihat tegas si nona, yang lagi sakit. "Kau mencari guruku untuk minta diobati, bukankah?" dia menanya. Disenggapi begitu, pemuda itu tak dapat mendusta lagi. Ia mengangguk. "Benar," sahutnya, sedang hatinya menyesal tak dapat mendusta.... "Untuk menemui guruku, jangan harap!" kata tukang pancing itu bengis. "Biar aku ditegur guru dan pamanku, aku tak menghendaki lagi ikanmu itu! Lekas pergi!" Kata-kata itu ketus dan pasti, bagaikan pantek paku, Kwee Ceng menjadi berdiri menjublak, untuk sesaat itu, ia merasakan tubuhnya dingin seluruhnya. Sesaat kemudian barulah ia dapat berkata pula. "Nona yang terluka ini dan membutuhkan pengobatan adalah putri yang dicintai dari Oey Tocu dari Tho Hoa To," ia berkata, ia pun menjura. "Sekarang ini, nona Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ini pun menjadi Pangcu dari Kay Pang. Maka itu paman, aku minta, dengan memandang Oey Tocu dan Ang Pangcu itu, sukalah kau menunjuki kami jalan, supaya kami diajak bertemu menemui Toan Hongya." Mendengar disebutkannya Ang Pangcu, roman si tukang pancing sedikit berubah, akan tetapi ia menggeleng kepala. "Nona ini pangcu dari Kay Pang?" tanyanya. "Aku tidak percaya!" Kwee Ceng menuju kepada tongkat Lek-tiok-thung di tangannya Oey Yong. "Itulah tongkat Tah-kauw-pang dari Ang Pangcu," ia berkata. "Tentunya paman mengenali tongkat itu..." Tukang pancing itu mengangguk. "Pernah apakah kamu dengan Kiu Cie Sin Kay?" ia tanya pula. "Ialah guru kami." "Oh..." si tukang pancing bersuara perlahan. "Jadinya kamu datang ke mari mencari guruku ini karena disuruh gurumu, bukan?" Lagi-lagi Kwee Ceng dibikin ragu-ragu. Ia ingat baik-baik ajarannya Eng Kouw untuk mendusta tetapi itu bertentangan dengan kejujurannya. "Benar!" Oey Yong segera mendahului menjawab. Orang itu bertunduk, terang ia ragu-ragu. Terdengar ia berkata dengan perlahan: "Bagaimana sekarang" Kiu Cie Sin Kay dengan guruku itu bersahabat luar biasa erat..." Oey Yong ynag cerdik mengerti kesulitan orang itu, ia lantas berkata: "Guru kami menitahkan kami mencari Toan Hongya, disamping untuk minta dia menolong mengobati aku juga karena ada urusan penting yang mesti disampaikan!" Mendadak orang itu mengangkat kepalanya. Kembali terlihat ia menjadi bengis. "Benar Kiu Cie Sin Kay yang menitahkan kamu menemui Toan Hongya?" ia tanya keras. "Ya," menyahut Oey Yong. Orang itu menegaskan pula: "Benar Toan Hongya, bukannya orang lain?" Nama Toan Hongya itu ditekan keras, mendengar itu, Oey Yong menduga pasti ada sebabnya sesuatu, tetapi karena sudah terlanjur, ia tidak dapat lain jalan. "Ya," ia menyahut pasti, mengangguk. Pengail itu maju dua tindak. Tiba-tiba ia berseru: "Toan Hongya sudah mati!" Oey Yong dan Kwee Ceng kaget bukan kepalang. "Mati?" tanya mereka berbareng. "Ketika Toan Hongya mati, Kiu Cie Sin Kay ada disampingnya!" berkata si tukang pancing itu, suaranya tetap keras. "Maka itu cara bagaimana dia boleh menitahkan kalin pergi mencari lagi kepada Toan Hongya" Hayo bilang, siapakah yang menitahkan kamu" Dengan datang kemari, kamu membawa akal busuk apa" Lekas bilang!" Segara ia maju setindak lagi, tangan kirinya dikipaskan sebagai ancaman, tangannya menyambar ke pundaknya si nona. Kwee Ceng memang selalu bersiap, maka itu, melihat sikap garang dari orang itu, ia menghadang pula di depan Oey Yong, kedua tangannya bersikap dengan jurusnya "Melihat naga di sawah". Manampak ini, orang itu heran. Itu tandanya si anak muda tak mau menyerang kepadanya. Meski begitu, ia melanjuti sambarannya. Karena ini mendadak ia merasakan benturan pada tangannya itu, yang bergemetar, terus ia merasakan dadanya panas, sedang tangannya itu mental balik. Dengan lantas ia lompat mundur, ia khawatir nanti diteruskan diserang anak muda itu. Selagi berlompat ia ingat pembicaraan Ang Cit Kong bersama gurunya tentang ilmu silat. Ia ingat, anak muda ini bersilat dengan Hang Liong Sip-pat Ciang. "Teranglah mereka ini muridnya Ang Pangcu, tidak boleh aku berbuat salah terhadap mereka," begitu ia lantas mendadat pikiran. Ia lantas mengawasi Kwee Ceng, siapa terus menunjuk sikap menghormat meski terang barusan ia menang unggul, tidak ada romannya yang puas atau temberang. Tapi ia masih berkata: "Jiewi benar ada murid-muridnya Kiu Cie Sin Kay tetapi jiewi datang kemari bukan atas titah gurumu itu, benar bukan?" Kwee Ceng tak tahu maksud orang tetapi rahasia hatinya telah dapat diterka, dengan terpaksa ia mengangguk. Tukang pancing itu tidak lagi bersikap bengis seperti semula. "Walaupun Kiu Cie Sin Kay sendiri yang terluka dan datang ke mari, masih siauwko tidak dapat mengantarkan dia naik ke gunung untuk bertemu sama guruku, maka itu haraplah jiewi memaafkannya," katanya. Sekarang ia menyebut diri dengan "siauwko" artinya " yang muda" "Apakah benar meskipun guruku sendiri yang datang, masih tidak dapat?" Oey Yong menegsakan. "Tidak dapat!" menyahut orang itu, kepalanya digoyang. "Biarnya dipukul sampai mati, tidak dapat!" Oey Yong mencurigai orang ini. Bukankah dia menyebut Toan Hongya gurunya dan dia juga membilang Toan Hongya sudah mati" Kenapa ia menyebutnya waktu Toan Hongya mati Kiu Cie Sin Kay berada di sampingnya" Tidakkah itu aneh" "Tidak bisa lain, gurunya mesti ada di atas gunung!" ia lantas mengambil keputusan. "Tidak peduli dia Toan Hongya atau bukan, kita mesti menemuinya!" Maka ia mengangkat kepalanya, mendongak ke atas gunung, yang puncaknya seperti masuk ke dalam awan. Itulah puncak lebih tinggi beberapa kali lipat daripada puncak Tiong Cie Hong dari Tiat Ciang San. Benar-benar puncak itu sulit untuk dinaiki. Kemudian ia mengawasi air tumpah. Ia memikirkan jalan untuk dapat mendaki gunung itu. Tengah ia mengawasi itu, ia melihat berkelebatnya sinar kuning di dalam air. Segera ia bertindak ke tepian sambil ia mengawasi jauh. Maka terlihatlah olehnya dua ekor ikan tadi berada di bawah batu, ekornya berada di luar guanya itu.... Ia lantas menggapai Kwee Ceng. Anak muda itu mendekati. Ia pun lantas melihat ikan itu. "Nanti aku turun dan menangkapnya," kata Kwee Ceng. "Jangan!" mencegah si nona. "Air deras, mana kau dapat berdiri diam di air" Janganlah berlaku tolol...!" Akan tetapi Kwee Ceng berpikir, kalau ia menempuh bahaya dan menangkap ikan itu, untuk diserahkan pada si pengail, mungkin hati orang ini berubah. Ia pun tidak dapat menyia-nyiakan waktu lewat berlarut-larut, itulah membahayakan Oey Yong. Karena ia tahu, nona itu bakal mencegah padanya, maka diam-diam ia lompat ke air tanpa ia membuka lagi sepatu dan pakaiannya. "Engko Ceng!" Oey Yong berteriak kaget. Ia lantas bangun, tetapi kedua kakinya bergoyang, serta tubuhnya terhuyung pula. Si tukang pancing kaget, ia lompat menyambar nona itu, kemudian ia lari ke arah gubuk, agaknya dia lantas mencapai sesuatu guna menolongi si anak muda. Oey Yong berduduk di batu, ia mengawasi ke arah Kwee Ceng, yang dapat berdiri tegak di air, gempurannya air tumpah yang dahsyat tak dapat membikin tubuhnya itu bergeming, maka legalah hatinya. Kwee Ceng sendiri sudah lantas bertindak untuk menangkap ikan. Ia membungkuk, kedua tangannya dianjurkan perlahan-lahan, sikapnya waspada. Nyata ia bisa bekerja sebat dan jitu juga tangkapannya. Dua-dua tangannya bisa mencekal ekornya ikan emas itu, hanya ketika ia mengangkatnya, ia tidak berani mencekal keras-keras, ia khawatir ikan itu mati. Kesempatan ini digunai kedua ekor ikan itu yang badannya licin, waktu keduanya berontak, mereka dapat lolos dan melentik pula ke air, di mana mereka selulup pula masuk ke kolong batu! Oey Yong menjerit saking menyesalnya karena sayang ikan itu lolos. Justru itu di belakangnya pun ada orang yang berseru. Ketika ia berpaling, ia melihat si tukang pancing lagi berdiri bengong di belakangnya, pundaknya memanggul sebuah perahu kecil dan tangannya mencekal sepasang pengayuh. Rupanya dia hendak menolong orang kecebur. Kwee Ceng tidak lantas berlalu dari air tumpah. Ia tetap berdiri tegar. Ia membungkuk pula. Kedua tangannya di ulur ke kolong batu, ke gua tempat ikan tadi lari sembunyi. Tapi ia tidak mau menangkap ikan, yang tidak terlihat, hanya ia memegang batu, untuk diangkat. Ia girang ketika ia merasa batu itu bergerak sedikit. Maka sekarang ia menyiapkan tenaganya, untuk jurusnya "aga terbang ke langit". Dengan mendadak ia mengangkat batu itu, terus dilemparkan ke sampingnya, di lain pihak, kedua tangannya menyambar ke air. Maka sejenak itu juga, kedua tangannya telah mencekal masing-masing seekor Kim Wawa! Batu besar itu terbanting ke air di samping, berisik suaranya, air muncrat dan mengalir tambah keras. Kwee ceng sendiri tidak terhuyung tubuhnya ketika ia mengangkat dan melemparkan batu itu. Si tukang pancing heran dan kagum, tetapi sekarang ia memikir daya untuk menolong Kwee Ceng naik ke darat. Pemuda itu berada di tempat sekira dua tombak. Dengan kedua tangan memegang ikan, sulit untuk dia menggunai lagi tangannya itu, atau ikan itu bakal terlepas pula. Akhirnya ia menyodorkan pengayuhnya, ia ingin anak muda itu mencekalnya, tanpa ia ingat tangan orang lagi memegang ikan.... Tapi Kwee Ceng tidak berkhawatir, setelah melihat ke tepian, ia menjejak dengan kaki kanannya, dengan begitu dia dapat berlompat ke pinggir, di sini ia menaruh kaki kirinya, untuk menjejak pula, maka di lain saat, ia sudah berada di atas di antara si nona dan si tukang pancing. Oey Yong kaget, girang dan kagum. Sungguh ia tidak menyangka demikian pesat sudah kemajuannya pemudanya ini. Tentu sekali sesaat itu ia tidak ingat bahwa Kwee Ceng telah mempertaruhkan jiwanya cuma untuk menolong dia. Sebenarnya anak muda itu sendiri bergidik kalau ia ingat perbuatannya yang nekat itu. Lain orang yang tercengang ialah si tukang pancing. Ia heran dan kagum. Maka sekarang tahulah ia, anak muda itu lihay tenaga dalamnya dan ilmu ringan tubuh, jangan dibicarakan lagi tentang nyali yang besar. Segera setelah itu, Kwee Ceng tertawa. Kedua Kim Wawa di tangannya, sambil meronta-ronta telah mengasih dengar suaranya yang berisik, yang benar seperti gegowakannya seorang bocah! "Ah, pantas dia dipanggil Kim Wawa!" katanya lagum. Kemudian ia mengulurkan tangannya kepada si tukang pancing, untuk menyerahkan ikan itu. Orang itu terlihat alisnya bergerak, tanda dari kegirangannya. Ia pun lekaslekas menurunkan pengayuhnya. Ketika ia sudah mengulurkan tangannya, mendadak ia menariknya pulang. "Kau lemparkanlah kembali ke air, aku tidak menghendaki itu!" katanya. "Kenapa begitu?" tanya Kwee Ceng heran. "Meski aku menerima ikanmu, tidak dapat aku mengantarkan kau kepada guruku," dia menyahut. "Menerima budi tetapi budi itu tidak dibalas, itulah perbuatan yang akan mendatangkan tertawanya orang-orang gagah di kolong langit ini!" Kwee Ceng heran hingga ia tercengang. "Paman," katanya kemudian, sungguh-sungguh, "Kau tidak dapat meluluskan permintaan kami, pada itu mesti ada sebabnya, baiklah kami tidak hendak memaksakannya. Tapi kedua ekor ikan ini tidak berarti, inilah bukan budi, maka itu paman ambillah!" Ia mengulur pula tangannya, ia menyerahkan ikan itu. Kali ini si tulang pancing menyambuti, hanya romannya sangat likat. Kwee Ceng berpaling kepada Oey Yong, ia kata: "Yong-jie, hidup dan mati itu takdir, umur manusia tak dapat dipastikan, maka kalau benar-benar kau tidak dapat disembuhkan, di dunia baka itu ada jalannya, maka di sana pastilah akan ada engko Cengmu yang akan tetap menemanimu! Mari kita pergi!" Mendengar suaranya anak muda itu, merah matanya Oey Yong. Tapi ia sudah memikir sesuatu. Ia tidak lantas menyahuti si anak muda. "Paman," ia berkata kepada tukang pancing itu, "Kau tetap tidak dapat memberi petunjuk pada kami, tidak apalah, hanya ada satu hal yang aku tidak mengerti. Jikalau kau tidak menjelaskannya itu, mati pun aku tidak meram..." "Apa itu?" menanya si tukang pancing heran. "Kau lihat puncak itu licin bagaikan kaca," berkata si nona. "Bukankah tidak ada jalan untuk mendakinya" Maka umpama kata bersedia akan mengantarkan kami, apa salahnya?" Orang itu berpikir: "Telah pasti aku tidak dapat mengantarkan dia, maka apa halangannya kalau aku memberikan keteranganku kepadanya?" Maka ia menajwab: "Kalau dikata sukar, memangnya sukar, tetapi kalau dibilang gampang, benar-benar gampang sekali. Di sebelah sana, di ujung gunung itu, air tumpah tak sekeras di sini maka jikalau aku duduk di atas perahu besiku dan aku mendayung, aku dapat maju dengan melawan air. Kalau satu orang diantarkan satu kali, maka dua kali saja lantas dua orang dapat tiba di atas!" "Oh, kiranya begitu!" berkata si nona. "Nah, ijinkan kami pergi!" Nona ini lantas berbangkit, untuk memegangi tubuh Kwee Ceng, siap untuk berlalu. Kwee Ceng memberi hormat pada orang itu tanpa membilang apa-apa. Tukang pancing itu mengawasi orang, kemudian ia lari ke gubuknya, sebab ia khawatir ikannya nanti terlepas pula. Begitu orang masuk ke dalam, Oey Yong lantas berkata: "Lekas ambil perahu dan pengayuhnya itu! Mari kita pergi ke atas!" Kwee Ceng terkejut, ia melengak. "Ini...ini kurang bagus..." katanya ragu-ragu. "Baiklah!" seru si nona. "Kau mau jadi kuncu, nah jadilah kuncu!" Kwee Ceng bingung: "Mana lebih penting, menolong Yong-jie atau jadi kuncu?" demikian otaknya bekerja sulit. Justru itu, Oey Yong dengan susah payah, sudah bertindak pergi. Cuma sedetik saja, ia lantas mengambil keputusannya. Ia lari ke perahu, ia angkat itu, ia melemparkannya ke air, ke atasan air tumpah itu, kemudian ia pergi menyambar kedua pengayuhnya. Tindakannya yang terakhir adalah menolong Oey Yong untuk lari ke atas, hingga dilain saat mereka sudah berada di atas di mana mereka tampak perahu tadi. "Ser!" demikian suara terdengar, suara dari senjata rahasia. Dengna mendak, Kwee Ceng membebaskan diri dari senjata rahasia itu, yang jatuh ke dalam perahu mana tepat datang ke dekatnya. Maka bersama-sama Oey Yong, ia lompat naik ke perahu itu, untuk segera dikuyah mudik... Si tukang pancing terdengar caciannya tapi tak nyata apa katanya... Kwee Ceng lantas mengayuh. Mulanya dengan tangan kiri, sebab ia masih memegangi Oey Yong, ketika perahu itu maju, ia melepaskan si nona, ia mengayuh dengan tangan kanannya itu. Demikian selanjutnya, setiap mengayuh, perahunya maju beberapa kaki.... "Budak busuk! Perempuan hina!" demikian sang angin membawa dampartan si tukang pancing, mendengar mana, Oey Yong tertawa, "Lihat, dia masih menganggapnya kau orang baik! Akulah yang dia caci!" katanya. Kwee Ceng lagi mengayuh, matanya mengawasi ke depan, ia tidak mendengar guraunya si nona. Ia mesri memakai tenaga dan pikirannya. Perahu itu besar kepalanya dan enteng buntutnya, dia maju melawan air, yang boleh dibilang deras juga. Beberapa kali ia hampir terpukul mundur. Dengan menggunai tipu dari "Sin Liong pa bwee" atau "Naga sakti menggoyang ekor" dengan cepat ia dapat menguasai kedua pengayuhnya itu, kedua tangannya bergerak dengan cepat dan kuat dan rapi. Senang Oey Yong melihatnya, dengan gembira ia kata: "Meski si tukang pancing tadi yang mengayuh, tidak nanti dia dapat mengayuh selekas ini!" Perahu itu maju terus, setelah lewat sekian lama, air menikung, habis itu maka terlihatlah permukaan air yang airnya tenang, di kedua tepinya ada tumbuh pohon yangliu. Itulah kali kecil yang lebarnya setombak lebih. Di situ pun ada banyak pohon tho. Kalau itu waktu musim semi, pastilah indah pemandangan alamnnya. Sebagai gantinya bunga tho, di tepian ada banyak bunga putih yang kecil-kecil, yang baunya harum. Dua-dua muda-mudi ini heran dan kagum. Tidak dinyana, di atas gunung ini ada tempat sepermai itu. Iseng-isng Kwee Ceng mengayuh dalam, hampir ia membuatnya pengayuhnya terlepas. Di luar dugaannya, kali itu dalam tak terjajakan oleh pengayuhnya itu. Di bawahpun air menggolak. Sekarang kenderaan air dapat dikayuh maju perlahan-lahan, keduanya dapat menikmati pemandangan alam yang indah, makin jauh nampkanya makin menarik hati. "Jikalau lukaku ini sukar diobati," kata Oey Yong menghela napas. "Biarlah aku terkubur di sini, tak usah aku turun lagi..." Kwee Ceng berduka, hendak ia menghiburi si nona itu atau ia melihatnya di sebelah depan mereka ada sebuah terowongan, darimana ada terhembus bau harum yang keras sekali. Perahunya telah lantas masuk ke dalam gua itu yang airnya mengalir sedikit keras. Segera kuping mereka mendengar suara apa-apa. "Suara apakah itu?" si pemuda tanya. "Entahlah," sahut si nona menggeleng kepala. Terowongan itu tidak panjang, sebentar kemudian mereka telah keluar di ujung yang lain. Segala apa menjadi terang seperti tadi. Bahkan sekarang mereka bersorak. Di depan mereka terlihat air mancur yang besar sekali, tingginya setombak lebih dan airnya meluncur tinggi bagaikan tiang menjulang ke udara. Itulah yang mangasih dengar suara tadi. Sampai di situ, habislah kali di atas gunung itu dan sumbernya kali ialah air mancur ini. Kwee Ceng membantu Oey Yong naik ke darat, kemudian ia menarik perahunya ke batu, setelah mana bersama si nona ia memandangi air mancur itu. Di antara sinarnya matahari, air itu mengasih lihat bianglala yang intadh. Tak tahu mereka bagaimana harus memuji keindahan itu, mereka duduk diam sambil berpegangan tangan. Mereka masih kesengsem ketika mereka mendengar suara nyanyian yang seperti keluar dari arah belakang bianglala itu. "Kota dan kalinya rusak semua! Mana si pencinta negara" Memikirkan kemakmuran dan keruntuhan, itulah penderitaan. Dinasti Tong bangun, itu artinya dinasti Swie roboh. Jadi miriplah dengan naga yang berubah-ubah. Cepat, langit dan bumi salah! Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lambat, langit dan bumi salah!" Lantas juga terlihat si penyanyi, tangan kirinya membawa sebatang kayu cemara, tangan kanannya mencekal sebuah kampak. Maka teranglah, dia seorang tukang kayu - ya seorang tukang mencari kayu bakar. Setelah melihat pakaian orang itu, Oey Yong ingat tulisannya Eng Kouw, ialah: ".......Kalau orang bicara dengannya dengan minta diobati, orang bakal terbikin celaka lebih dulu oleh si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar....." Tadi mereka bertemu sama tukang pancing. Dan ini, bukankah ini dia si tukang kayu" Apakah mereka bakal bertemu sama petani dan si pelajar" Siapa empat orang ini" Murid atau pelayankah dari Toan Hongya" Ia menjadi masgul. Untuk melewati si tukang pancing demikian sukar, maka entah ini tukang kayu. Bukankah nyanyian dia ini bukan nyanyian sembarang" Entah bagaimana lagi dengan si petani dan si pelajar" Kembali terdengar orang itu bernyanyi: "Dari atas jembatan, memandang jauh, Hawa dari kerajaan, telah runtuh.... Di atas panggung tak terlihat kepala perang.... Semenjak dulu, hanya seputaran, semua musnah. Pahala, tidak kekal! Nama juga tidak kekal!" Perlahan jalannya si tukang kayu itu, lalu ia mengawasi si muda-mudi, acuh tak acuh lantas ia bekerja, mengampak kayu di pinggiran gunung. Oey Yong melihat tubuh orang yang kekar dan roman gagah, gerak-geriknya seorang panglima perang, maka coba dia itu bukan dandan sebagai tukang kayu dan lagi berada di hutan ini, dia pasti dapat menjadi seorang kepala perang. Ia lantas ingat keterangan gurunya bahwa Lam Tee, si Kaisar dari Selatan, ialah Toan Hongya, telah menjadi kaisai di Taili, Inlam, maka apa mungkin tukang kayu ini asalnya ialah panglima perangnya" Nyanyian orang, pula suaranya, semuanya luar biasa. Lagi sekali tukang kayu itu bernyanyi: "Puncak gunung bagaikan bertumpuk, Gelombang seperti berangkara murka, Di jalanan kota Tongkwan sana, Memandang ke barat, hati ragu-ragu, Melihat istana, semua runtuh menjadi tanah... Bangun, rakyat bersengsara! Musnah, rakyat bersengsara!" Mendengar kata-kata yang terakhir itu, Oey Yong ingat ayahnya sering mengatakan: "Apa itu segala kaisar dan panglima perang" Semua itu mahkluk jahat tukang membikin rakyat celaka! Merubah kerajaan, menukar she, semua itu menyusahkan rakyat saja!" Maka tanpa merasa, gadis itu memuji: "Nyanyian yang bagus!" Tukang kayu itu berpaling, ia menancapkan kampaknya di pinggangnya. "Bagus" Apanya yang bagus?" dia menanya. Oey Yong hendak menyahuti ketika mendadak ia ingat: "Dia gemar bernyanyi, kenapa aku tidak mau membalas dia dengan nyanyian juga?" Maka ia bersenyum, lalu ia bernyanyi dengan suara perlahan: "Gunung-gunung hijau saling menanti, Mega-mega putih saling mencintai, Tak bermimpikan jubah sulam dan sabuk emas, Cukup dengan sebuah gubuk, Dengan bunga hutannya mekar. Siapakah yang memusingi: Siapa bangun, siapa roboh, Siapa berhasil, siapa gagal" Cukup dengan gubuk dan satu sendok! Melarat, semangat tak berubah! Berhasil, cita-cita tak berubah!" Nona ini lantas menyangka pasti si tukang kayu ialah panglimanya Lam Tee, panglima yang sekarang lagi hidup bersembunyi - yang dulunya pasti berkuasa besar atas bala tentara, maka itu ia memperdengarkan nyanyiannya itu, untuk menimpali nyanyian orang. Dugaannya memang tepat karena si tukang kayu menjadi girang, sambil menunju ke samping gunung, dia kata: "Naiklah!" Di samping gunung itu ada sebuah batu yang besar mirip dengan langan tangan, ketika Kwee Ceng dan Oey Yong memandang ke atas, mereka hanya melihat awan dan bangkonya rotan. Meski begitu, si anak muda lari menghampirkan rotan itu, untuk disambar, untuk dipakai melapai naik! Kwee Ceng cuma mengerti separuh dari semua nyanyian itu, di sebelah itu, yang ia paling khawatirkan ialah si tukang kayu nanti mengubah pikirannya, maka ia tidak mau membuang tempo lagi. Dengan kedua tangannya bekerja cepat, dengan lekas ia telah naik belasan tombak tingginya. Di situ, ia masih dengar nyanyian si tukang kayu: "....dulu hari itu orang berebutan, Sekarang bagaimana" Menang, semua menjadi tanah! Kalah, semua menjadi tanah!" Oey Yong di punggungnya si anak muda tertawa. "Engko Ceng," katanya, "Kalau menurut dia itu, kita tak usah datang ke mari untuk minta diobati!" Kwee Ceng heran hingga ia melengak: "Apa!" dia tanya. "Semua orang toh bakal mati, bukan?" kata si nona tertawa. "Orang sembuh, dia berubah menjadi tanah! Orang tak sembuh, dia berubah menjadi tanah juga!" "Fui!" si anak muda mengasih dengar suaranya. "Sudah, jangan dengari ocehannya!" Oey Yong itu benar lucu, ia tidak menghiraukan si anak muda, dia bernyanyai perlahan: " Hidup, kau menggendong aku! Mati kau menggendong aku juga!" Kwee Ceng berdiam, ia kewalahan. Ia lebih memerlukan menggunai terus kedua tangannya, untuk naik ke atas, sampai mereka memasuki awan atau kabut. Ketika itu musim panas tetapi hawa dingin. "Di hadapan kita ini terdapat segala pemandangan alam yang indah dan luar biasa," kata si nona kagum, "Umpama kata aku tidak bakal dapat disembuhkan, taklah kecewa perjalanan kita ini..." "Yong-jie, ah..." berkata si anak muda, masgul: "Jangan menyebut-nyebut tentang mati atau hidup, bisakah?" Si nona tertawa, dengan perlahan ia meniup pundak orang. "Eh, jangan main-main!" kata Kwee Ceng, yang merasakan pundaknya panas dan gatal, "Awas, nanti tanganku terlepas, nanti kita jatuh mati berdua..." "Bagus!" berseru si nona. "Nah, kali ini bukanlah aku yang menyebut-nyebut hidup atau mati!" Saking kewalahan, pemuda itu cuma bisa tertawa. Lewat sekian lama, setelah melapai terus dengan tetap rajinnya, tibalah mudamudi ini di bongkot rotan itu, ialah puncak gunung, yang merupakan sebuah tanah datar. Hanya belum sempat Kwee Ceng menurunkan tubuhnya Oey Yong, keduanya terkejut akan mendadak mendengar suara berisik seperti batu besar jatuh di susuli jeritan kerbau berulang-ulang, di susul lagi sama bentakan satu orang. "Heran, mengapa di atas gunung begini ada kerbau?" kata si anak muda, yang lantas lari ke arah darimana suara datang. Ia tidak sempat menurunkan Oey Yong, yang berkata: "Bukankah ada si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar" Nah, kalau ada si petani mesti ada kerbaunya!" Segera mereka mendengar lagi suaranya kerbau, dan sekarang mereka lantas melihat binatang itu, yang tengah mengangkat kepalanya, keletakannya luar biasa sekali, ialah tubuhnya terlentang di atas batu karang besar, keempat kakinya merontaronta tanpa dapat bangun, sedang batunya bergoyang-goyang. Di bawah batu itu dengan memasang kuda-kuda, satu orang mengangkat terbuka kedua tangannya, dipakai menampah batu itu berikut kerbaunya. Yang lebih hebat, orang itu berdiri di tempat di mana tidak ada tempat mundur lagi. Kalau tangan orang itu tak kuat menahan, kerbau dan batu itu mesti jatuh, atau orang itu ketimpa atau jatuh bersama kerbau itu, atau sedikitnya orang itu bakal patah tangan atau kakinya. Rupanya kerbau itu lagi makan rumput, dia terpeleset dan jatuh di batu itu, lalu orang itu mencoba menolongi dengan kesudahannya mereka sama-sama terancam bahaya. Melihat keadaan manusia dan kerbau itu, Oey Yong tertawa. Katanya: "Tadi orang baru menyanyikan lagu San Po Yang, sekarang ini lagu San Po GU!" Lagu yang dinyanyikan si tukang kayu tadi ialah lagu "San Po Yang" atau "Kambing di atas lereng", dan si nona menyebutnya "San Po Gu", ia menukar "Kambing" dengan "kerbau" (Gu) Di atas puncak itu ada sawah lebar belasan bauw yang tengah ditanami. DI pinggir sawah ada sebuah pacul. Orang yang menahan batu berikut kerbau itu bertubuh telanjang dan kakinya melesak di lumpur sebatas dengkul. Sembari mengawasi, Oey Yong pikir kerbau itu beratnya di atas dua ratus kati dan berat batunya tak berjauhan, maka itu bisalah dimengerti kuatnya orang itu, yang ia duga mestilah si petani yang dimaksudkan dalam suratnya Eng Kouw. Kwee Ceng sudah lantas mengasih turun si nona, ia terus lari hendak membantui orang itu. "Tahan, jangan kesusu!" si nona mencegah. Tapi si anak muda itu murah hatinya, dia terus lari, tiba di samping si petani, ia berjongkok, sambil memasang kuda-kudanya, dia mengangkat kedua tangannya guna membantu menahan batu seraya dia berkata pada orang itu: "Aku nanti menahan batu ini, kau tolong singkirkan dulu kerbau itu!" Orang itu menurut, akan tetapi ia melepaskan dulu sebelah tangannya, yang kanan, tangan kirinya menahan terus, rupanya ia khawatir si pemuda tak kuat. Tapi anak muda itu bukan cuma menahan, ia mengangkat batu itu hingga terangkat sedikit, hingga tangan si petani terlepas dari batu. Kapan ia melihat orang cukup kuat, ia lantas molos keluar, untuk lompat naik ke sebelah atas, darimana barulah ia mau menarik kerbau itu, hanya lebih dulu daripada itu, ia mengawasi si anak muda yang datangnya tiba-tiba sekali. Segera ia menjadi heran. Ia melihat seorang bocah umur tujuh atau delapanbelas tahun. Yang aneh, orang itu menahan batu berikut kerbau tanpa terlihat menggunai banyak tenaga. Ia menjadi heran dan bercuriga, sebab ia merasa ia sendiri sangat kuat. Ia melihat ke bawah, ia menampak Oey Yong, seorang bocah yang lain, bahkan ia mendapatkan nona itu lesu, sebagai seorang lagi sakit. "Sahabat, untuk urusan apakah kau datang ke mari?" ia tanya, herannya bertambah. "Aku mao memohon bertemu sama gurumu, Tuan," Kwee Ceng menyahut terus-terang. "Untuk urusan apakah?" orang itu menanya pula. Kwee Ceng melengak, ia belum menyahut, atau terdengarlah suaranya Oey Yong: "Kau singkirkan dulu kerbau itu, sebentar kau menanya perlahan-lahan, tak nanti kelambatan! Kalau dia keterlepasan tangan, apakah bukan kerbau dan manusia akan jatuh bersama?" Dalam herannya, si petani berpkir: "Dua orang ini datang untuk suhu mengobati mereka, maksud mereka baik, hanya heran kenapa kedua suheng di sebelah bawah tidak melepaskan panah nyaringnya" Kalau mereka ini datang dengan membolos, terang mereka mestinya lihay. Kalau dugaanku ini benar, baiklah aku gunai ketika selagi dia tidak dapat meloloskan diri, aku tanya dulu dia biar terang..." Maka ia menanya: "Apakah kamu datang untuk minta diobati?" Kwee Ceng mengangguk. Ia pikir, sudah terlanjur omong sebenarnya, baiklah ia berterus-terang terus. Melihat orang mengangguk, paras si petani berubah. "Nanti aku tanya dulu!" katanya. Dengan gerakan yang nampaknya enteng sekali, ia berlompat turun. "Eh!" Kwee Ceng memanggil, "Kau bantui aku menurunkan dulu batu besar ini!" "Sebentar saja aku kembali!" berkata si petani tertawa. Melihat kelakuan orang itu, Oey Yong sudah dapat lantas menerka maksudnya. Dia mau membikin Kwee Ceng lelah, setelah itu dengan gampang dia nanti mengusir mereka berdua. Karena menduga begini, ia menyesal yang ia lagi sakit hingga ia tidak dapat membantu engko Ceng-nya itu. Tentu sekali ia bingung, sebab tak tahu ia, berapa lama si petani bakal pergi! "Eh, paman, mari!" ia memanggil. Ia bingung berbareng mendongkol pula. Petani itu berhenti, ia tertawa dan berkata: "Dia bertenaga besar, buat satu jam atau tiga perempat, tidak apa, kau jangan takut!" Ini jawaban membuat si nona gusar. "Dengan baik hati engko Ceng menolongi padamu, kau sebaliknya hendak menyiksa," pikirnya. "Apakah kau kira sedikit waku satu jam atau seperempat itu" Biaklah, kau perlu diberikan sedikit pengajaran..." Demikian lantas ia mendapat pikiran, maka ia kata pula pada petani itu. "Paman, bukankah kau hendak menanyakan gurumu dulu" Itulah pantas. Tapi di sini ada sepucuk surat, dari guruku, Ang Cit Kong, untuk dihanturkan kepada gurumu itu, maka tolong kau bawa sekalian." Mendengar disebutnya nama Ang Cit Kong, petani itu mengasih dengar suara terkejut. "Oh, kiranya nona muridnya Kiu Cie Sin Kay?" katanya. Terus ia menghampirkan, untuk mengambil surat yang dimaksudkan itu. Dengan ayal-ayalan Oey Yong membuka kantung di punggungnya, ia beraksi mau mengeluarkan suratnya, tetapi ia terlebih dahulu mengambil baju lapisnya, sembari berbuat begitu, ia menoleh kepada Kwee Ceng. Mendadak ia memperlihatkan roman kaget, ia pun berteriak: "Oh, oh, celaka! Tangannya itu bakal nowah! Paman, kau tolongilah dia!" Petani itu tercengang sebentar, lalu ia tertawa. "Tidak apa-apa," katanya. "Mana suratmu?" "Kau tolongi," kata Oey Yong pula. "Kau tidak tahu, sukoku itu lagi meyakinkan ilmu silat Pek-khong-ciang, kemarin ini tangannya direndam dalam air obat, belum habis latihannya itu, kalau dia menggunai tenaganya terlalu lama, tangannya itu bisa terluka..." Oey Yong tahu dari ayahnya tentang bagaimana Pek-khong-ciang, Tangan Memukul Udara, harus dipelajari, maka itu, ia hendak mengakali di petani ini. Si petani tidak paham, ilmu Pek-khong-ciang itu sebagai murid lihay, ia pernah mendengarnya dari gurunya, maka itu, mendengar perkataan si nona, ia jadi berpikir: "Kalau tanpa sebab aku mencelakakan murid Kiu Cie Sin Kay, bukan saja suhu bakal menegur aku, hatiku sendiri pun tidak enak. Sekarang ini dia datang dengan maksud baik. Hanya aku menyangsikan si nona kecil ini, dia omong benar atau dia lagi menggunai akal liciknya untuk menipu aku agar aku membebaskan kawannya itu..." Oey Yong melihat orang bersangsi, ia angkat baju lapisnya dan berkata pula: "Ini baju lapis joan-wie-kah dari Tho Hoa To, yang tak menpam senjata, tolong paman mengerebongkannya di pundaknya, kalau sudah dikerebongi, biarlah batu itu diletakkan pula di pundaknya, dengan begitu, dia tidak nanti dapat pergi, dia pun tak usah terluka. Bukankah itu bagus untuk kedua belah pihak?" Si petani juga pernah mendengar tentang baju lapis itu, ia hanya tetap ragu-ragu ketika ia menyambuti baju itu. Oey Yong senantiasa mengawasi orang, ia melihat orang tetap bersangsi, maka ia berkata pula: "Guruku telah mengajari aku tidak boleh aku berdusta terhadap lain orang, maka itu mana berani aku membohongi kau, Paman" Jikalau paman tidak percaya, kau cobalah bacok beberapa kali baju lapisku ini!" Si petani mengawasi si nona, ia mau percaya orang jujur. Ia berpikir pula: "Kiu Cie Sin Kay itu orang tua dan terhormat, kata-katanya ada kata-kata bagaikan emas atau kumala, guruku pun sangat menghargainya, sedang nona ini tak macamnya tukang mendusta..." Karena berpikir demikian, ia lantas mencabut golok pnedek di pinggangnya, terus ia membacok baju lapis itu, sampai beberapa kali. Benar ia mendapat kepastian, abju itu tidak rusak. Sekarang ia baru percaya benar. "Baiklah!" katanya kemudian, "Nanti aku mengerebongkannya!" Petani itu tidak menyangka sama sekali, bahwa walaupun roman Oey Yong sangat polos dan kekanak-kanakan, otaknya sangat tajam, dibatok kepalanya banyak akalnya. Maka ia menghampirkan Kwee Ceng, ia meletakkan baju itu di lengan si anak muda, siap untuk dikerebongi, setelah mana ia memegang batu, untuk diangkat. Sembari berbuat begitu, ia kata: "Kau lepaskan tanganmu, kau pakai pundakmu untuk menahan batu!" Dengan menyender pada batu, Oey Yong mengawasi petani itu tajam-tajam, begitu lekas ia melihat orang mengangkat batu, mendadak ia memanggil Kwee Ceng: "Engko Ceng, Hui liong cay thian!" Kwee Ceng mendengar itu, ia mengerti maksud si nona itu. "Hui liong cay thian" itu ialah salah satu jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang yang berarti "aga terbang di langit". Itu pun artinya, ia harus terbang. Maka begitu ia merasai tindihan kendor, ia menarik tangan kanannya, tangna kirinya ia loloskan di bawah tangan kanannya itu, lalu kakinya menjejak, tubuhnya melessat ke samping Oey Yong! Bukan main sebatnya ia bergerak dengan jurus "Hui liong cay thian" itu. "Kurang ajar" maki si petani begitu lekas ia ketahui bahwa ia sudah kena ditipu mentah-mentah. Sebab dalam sekejab itu, ialah yang sekarang mesti berdiri diam menahan pula batu serta kerbaunya itu! "Engko Ceng, mari kita pergi!" kata Oey Yong. Ia memperlihatkan roman sangat puas, sembari menoleh kepada si petani, ia berkata: "Paman, tenagamu sangat besar, kau dapat menahan batu itu untuk satu jam atau tiga perempat, tidak nanti terjadi bahaya apa-apa, kau jangan khawatir....!" "Hai, budak cilik!" maki si petani. "Secara begini kau akali si orang tua! Kau bilang Kiu Cie Sin Kay dapat dipercaya, tapi dengan begitu kau meruntuhkan nama Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo baiknya, kau bocah cilik!" Oey Yong tidak gusar, ia bahkan tertawa. "Apakah yang runtuh?" ia berkata. "Memang guruku itu membilangi aku bahwa aku tidak boleh berdusta akan tetapi ayahku mengatakannya memperdayakan orang bukanlah suatu perkara hebat! Karena aku suka mendengar perkataan ayahku, jadi guruku tidak dapat berbuat apa-apa atas diriku!" "Siapa ayahmu?" tanya si petani mendongkol sekali. "Eh, bukankah aku telah memberikan kau tetika untuk menguji baju lapisku itu?" si nona membalikkan. "Ah, biar mampus, biar mampus!" mengutuk petani itu. "Hai, kiranya kau budak setan, kaulah anak setan perempuan dari Oey Lao Shia! Ah, kenapa aku begini tolol"!" "Memang!" kata pula Oey Yong, tetapi tertawa. "Kata-kata guruku memang berat bagaikan gunung, dia belum pernah mendusta, adalah sukar untuk mempelajari itu, sedang aku juga tidak berani mempelajarinya! Menurut aku, peljaran ayahkulah yang cepat!" Lagi-lagi si nona tertawa, lalu ia menarik tangan Kwee Ceng untuk diajak pergi. Mereka mengikuti jalanan, untuk ke depan. Kwee Ceng girang dan heran. Ia tidak mengerti kenapa Oey Yong mengakali si petani, hingga petani nitu sendiri yang memapah pula batu serta kerbaunya itu. Tak lama sampailah mereka di ujung jalan itu. Di depan mereka melintang sebuah jembatan bagaikan penglari batu, lebarnya kira setengah kaki, kedua ujungnya duduk di antara kedua puncak, karena ada kabut atau awan, ujungnya yang lain tak nampak. Kalau batu itu terletak di tanah, kecil pun tak berarti, sekarang itulah sebuah jembatan, bawah itu ada jurang yang dalam, sungguh berbahaya. Dengan melihat saja ke bawah, hati sudah ngeri. "Sungguh pandai sekali Toan Hongya menyembunyikan diri," kata Oey Yong menghela napas. "Umpama ada seorang bermusuh hebat dengannya, kalau musuh itu dapat mencari sampai di sini, mungkin sakit hatinya akan berkurang separuh...." "Kenapa si tukang pancing mengatakan bahwa Toan Hongya sudah mati?" tanya Kwee Ceng. "Perkataannya itu membuat hatiku tidak tentram...." "Ya, memang mengherankan," sahut si nona. "Melihat romannya, dia tidak berbohong. Dia juga mengatakan guru kita melihat sendiri kematian Toan Hongya itu..." "Ah, sudahlah!" kata Kwee Ceng akhirnya. "Sudah sampai di sini, tidak bisa lain, kita mesti jalan terus...!" Ia lantas berjongkok, untuk Oey Yong menggemblok di punggungnya, setelah mana ia berjalan cepat di jembatan batu itu. Ia menggunakan ilmu ringan tubuh "Keng-kang Tee-ciong-sut" Sebenarnya jembatan batu itu tidak rata dan juga licin sekali, siapa jalan dis itu, semakin perlahan, semakin banyak ketikanya untuk terpeleset dan jatuh, maka Kwee Ceng sebaliknya berjalan seperti berlari. Hanya ketika sudah melalui kirakira delapan tombak, Oey Yong lantas teriak: "Awas, di depan itu putus!" Kwee Ceng pun telah melihat itu, ia tidak berpikir untuk mencari tahu, kenapa bisa terjadi begitu, ia hanya menjejak, untuk mengenjot tubuh, maka dilain saat ia sudah berlompat ke seberang. Oey Yong tidak menghiraukan lagi kematian, ia cuma merasa perbuatan si anak muda sangat berbahaya. Selewat dari situ, ia tertawa. Ia kata: "Engko Ceng, terbangmu masih tetap kalah dengan si rajawali!" Nyatanya jalanan terputus itu, tetapi ada sambungannya pula, bukan hanya ada satu itu, sebaliknya bahkan ada tujuh rintasan, tetapi ketujuh-tujuhnya dapat dilewati Kwee Ceng, maka dilain saat tibalah mereka di ujung jembatan yang terakhir, yang terputusnya agak lebar. Habis itu barulah tampak sebidang tanah datar. Di situ terdengar suara orang membaca kitab. Kwee Ceng menghentikan tindakannya. Ia mengawasi bagian yang terputus itu, yang lebarnya beberapa tombak lebih. Tepat di atas tanah itu, yang ceglok, di situ ada seorang yang berdandan sebagai pelajar duduk bersila, tangannya memegang buku, mulutnya membaca. Surat bacaan tadi keluar dari mulut dia ini. Di belakangnya ada sebuah lagi jalan yang putus dan ceglok. "Sukar..." si anak muda mengeluh. "Tidak sukar aku melompat ceglokan ini hanya di situ bercokollah si pelajar ini! Mana dapat aku melompati dia" Kalau tidak, di sini tidak ada jalan lain... Di mana aku mesti menaruh kakiku?" Terpaksa ia berkata: "Paman aku yang muda mohon bertemu dengan gurumu, maka itu, tolong paman memimpin aku menemuinya." Pelajar itu tidak menyahut, mungkin dia tidak mendengar, sebab dia lagi asyik sekali membaca kitabnya, sambil kepalanya digoyang-goyangkan. Lagi sekali Kwee Ceng mengajaknya bicara, suaranya dikeraskan, tetapi masih si pelajar diam saja. "Yong-jie, bagaimana?" akhirnya Kwee Ceng tanya pada kawannya. Oey Yong tidak lantas menjawab. Ia memperhatikan tempat di mana di pelajar dudukl. Di situ mereka tidak bisa bertempur, sebab salah satu atau dua-duanya tentu akan celaka. Pula, taruh kata mereka menang, kemenangan itu tidak ada artinya. Bukankah mereka datang untuk memohon sesuatu" Mana dapat mereka mencelakakan orang" Maka atas pertanyaan Kwee Ceng itu, ia mengerutkan alisnya. Dari apa yang ia dengar, si pelajar lagi membacakan kitab Loen Gie, terang dan lancar suaranya. "Untuk membikin dia membuka mulutnya, tidak ada lain jalan daripada membuat hatinya panas." Kemudian nona ini membuka berpikir. Maka berkatalah ia mengejek: "Biarpun Loen Gie dibaca beribu kali putar balik, kalau tak mengerti maksud Guru Besar Khong Coe tentang peribudi besar toh percuma!" Pelajar itu tampak terkejut, ia mengangkat kepalanya. "Apakah itu peribudi besar?" tanyanya. "Aku mohon pengajaran." Oey Yong memandang pelajar itu, yang usianya limapuluh lebih, yang kepalanya ditutup dengan kopiah sabuk Siauw-yauw-kin, tangannya memegang kipas dan jenggotnya panjang. Dia benar mirip seorang pelajar. "Apakah kau tahu ada berapa banyak murid Khong Coe?" ia menanya, suaranya tetap dingin, tertawanya mengejek. "Apakah sukarnya?" jawab pelajar itu dengan tertawa. "Murid Khong Coe ada tiga ribu orang dan yang paling pandai tujuhpuluh dua!" "Dari tujuhpuluh dua murid itu, orangnya ada yang tua dan ada yang muda," kata si nona. "Tahukah kau, berapa yang tua dan berapa yang muda?" Pelajar itu tercengang. Di dalam kitab Loen Gie hal itu tak dibicarakan, dan di kitab-kitab lain pun tidak dicatat. "Aku mengatakan kau tidak mengerti bunyinya kitab, apakah aku salah?" tanya Oey Yong disengaja. "Tadi aku mendengar kau membaca, yang dewasa lina enam orang dan yang bocah enam tujuh orang. Bukankah lima kali enam menjadi tigapuluh orang" Bukankah enam kali tujuh menjadi empatpuluh dua" Jadi yang muda itu empatpuluh dua orang" Bukankah kalau kedua jumlah itu dijumlah lagi. semuanya jadi berjumlah tujuhpuluh dua" Hm! Kau belajar tetapi tanpa berpikir, hm, sungguh celaka!" Pelajar itu tahu orang merebut alasan dengan dipaksakan, tanpa merasa, ia tertawa. Meskipun demikian, ia kagum akan kecerdikan si nona. "Nona kecil, kau sungguh pandai!" katanya. "Aku kagum kepadamu! Kamu hendak mencari guruku, untuk urusan apakah itu?" Oey Yong berpikir dengan cepat: "Jikalau terang terang aku memberitahukan, bahwa aku hendak minta diobati, pasti dia menggunakan segala macam cara untuk menghalang-halangi. Tapi pertanyaan ini juga tidak dapat tidak dijawab. Baiklah, dia membaca kitab Loen Gie, baik kejejal dia dengan ujar-ujar Khong Coe juga!" Maka ia tertawa dan menyambut: "Nabi itu tidak dapat aku menemuinya, maka dapat menemui kuncu juga bolehlah! Jikalau ada sahabat yang datang dari tempat yang jauh, bukankah itu menggirangkan?" Pelajar itu dongak, ia tertawa lebar. "Bagus, bagus!" katanya. "Sekarang aku hendak mengajukan tiga pertanyaan padamu, jikalau kau dapat menjawabnya, akan aku membawa kau kepada guruku, jikalau ada satu saja yang kau tidak mampu menjawabnya, maka persilahkan kamu berdua pulang kembali!" "Ah, hebat, hebat!" Oey Yong mengeluh. "Aku tidak pernah membaca banyak kitab, jikalau pertanyaanmu sulit, sungguh aku tidak dapat menjawabnya..." "Tidak sukar, tidak sukar!" si pelajar tertawa. "Di sini ada sebuah syair, yang melukiskan tentang diriku, untukmu cukup kau menjawabnya dengan mempat huruf. Kau coba saja!" "Baik!" si nona menjawab. "Jadi inilah tebak-tebakan! Teka-teki itu menarik hati! Silahkan kau menyebutnya!" Si pelajar mengurut kumisnya, ia membaca; "Enam kitab telah lama penah di dada, satu pedang sepuluh tahun digosok di tangan..." "Aha!" memuji Oey Yong sambil mengulur lidah, "Inilah namanya Bun Bu Coan Cay! Sungguh hebat!" Ia memotong untuk memuji orang pandai dua-dua dalam ilmu surat (bun) dan silat (bu) Si pelajar tertawa, ia melanjuti: "Di atas bunga Heng ada satu batang melintang, karena khawatir rahasia langit nanti bocor janganlah membuka Mulut. Satu titik bertumpuk-tumpuk besar bagaikan gantang, menutupi Setengah pembaringan hingga tak nampak apa-apa. Habis nama lalu menanti menggantung kopiah untuk pulang. Tahukah tuan asal-usul diriku ini?" Oey Yong segera berpikir. Ia lantas memegang pokok pertanyaan itu: "Habis nama lalu menanti menggantung kopiah untuk pulang. Tahukah tuan asal-usul diriku ini?" "Kalau melihat romannya, dulunya ia mesti seorang menteri di dalam pemerintahan Toan Hongya," demikian pikirnya. "Kemudian ia menggantung kopiahnya, dia meninggalkan pemerintahan, mengundurkan diri untuk tinggal menyembunyi di gunung atau rimba. Apakah sukarnya teka-teki ini?" Maka ia lantas menjawab: "Huruf Enam itu kalau di bawahnya ditambah satu satu huruf Satu ditambah lagi huruf Sepuluh, itu jadinya huruf Sin. Huruf Heng itu kalau di atasnya ditambah Satu huruf yang melintang dan dibuang huruf Mulut dibawahnya, maka jadilah huruf Bie. Setengah Pembaringan itu kalau ditukar dengan huruf Besar dengan huruf besar itu ditambah Satu titik di atasnya, itulah huruf Cong. Kalau huruf Habis itu di buang kopiahnya, ialah atasannya, maka jadilah dia huruf Goan. Jadi semua itu bunyinya ialah Sin Bie Conggoan! Maaf, maaf, kiranya aku berhadapan sama yang mulia Sinbie Conggoan!" Pelajar itu terbengong. Ia mengganggapnya teka-tekinya itu sulit. Atau taruh kata orang dapat menjawabnya, mesti lewat dulu sekian lama, tidak sedemikian cepat. Dua orang itu berada di jembatan tunggal itu, meski si pemuda lihay, tidak nanti ia sanggup menggendong orang berdiam lama-lama di situ, ia menyangka mereka bakal tahu diri dan mundur sendirinya. Siapa sangka, Oey Yong telah menjawabnya cepat luar biasa, seperti tanpa mikir lagi. Oleh karena ini, karena si nona cerdas luar biasa, ia lalu memikir untuk mengajukan pertanyaan yang sukar. Ia lantas memandang ke sekitarnya. Di pinggiran gunung ia menampak sekumpulan semacam pohon palem, yang daunnya bergoyang-goyang mengikuti tiupan angin, bagaikan kebutan kipas. Sebagai seorang conggoan- tamatan tertinggi dari HanlimAcademy - ia lantas mendapat pikiran. Maka ia menggoyang-goyangkan kipasnya, terus ia berkata: "Aku ada mempunyai sebuah syair bagian atasnya, aku minta nona suka tolong menyambungi bagian bawahnya." Oey Yong meleletkan lidahnya. "Oh, inilah yang dinamakan twie dan twie ini tak demikian menarik hati seperti teka-teki!" katanya. "Tapi baiklah, silahkan kau menyebutkannya!" Bab 62. It Teng Taysu Bab ke-62 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong. Pelajar itu menunjuk dengan kipasnya ke kumpulan pohon palem itu, ia membacakan syairnya itu, atau lian, yang dikatakan bagian atasnya: "Sang angin meniup-niup pohon palem, bagaikan seribu tangan menggoyang-goyang sang kipas." Syair itu di satu pihak menggambarkan pemandangan alam - ialah yang pohon, di lain pihak menunjuki juga hal dirinya si pelajar - ialah kipasnya, maka Oey Yong lantas berpikir: "Tidak dapat aku menjawab dia dengan hanya menunjuk serupa benda, mesti juga ada arti yang merangkap di dalamnya." Ia lantas memandang ke sekitarnya, hingga ia melihat di depannya, di tanah datar, sebuah bangunan sebagai kuil atau biara, di depan mana ada sebuah pengempang teratai. Ketika itu bulan ke tujuh hampir habis, daun teratai sudah kering kebih dari separuhnya. Lalu ia tertawa dan berkata: "Jawabanku itu untuk menyambungi sudah ada hanya aku khawatir aku berbuat salah terhadap kau, paman, jadi tidak leluasa untuk aku mengatakannya...." "Tidak apa, kau sebut saja!" menyahut si pelajar. "Jangan kau gusar, paman..." "Tentu sekali tidak." Oey Yong menunjuk kepada kopiah siauw-yauw-kin di kepala pelajar itu. "Baik?ah!" katanya. "Sambunganku bagian bawah dari syairmu itu ialah: 'Diantara daun teratai separuh kering, satu memedi kaki tunggal memakai siauw-yauw-kin." Mendengar itu, si pelajar tertawa terbahak-bahak. "Bagus, bagus!" ia memuji. "Bukan saja jawabannya sangat tepat juga itu dijawabnya cepat sekali." Kwee Ceng mengawasi ke daun-daun teratai di pengempang itu, ia melihat ada selembar daun hampir kering yang duduknya begitu rupa hingga mirip dengan satu setan satu kaki yang memakai kopiah siauw-yauw-kin itu! Maka ia juga tertawa. "Hus, hus, jangan tertawa!" kata si nona pada kawannya. "Tungkulan kau tertawa, kakimu bisa terpeleset, nanti kita berdualah yang bakal menjadi si setan-setan yang tidak memakai kopiah siauw-yauw-kin itu!" Si pelajar sendiri sementara itu tengah berpkir. "Dia tidak dapat dirobohkan dengan twie yang umum saja, dia mesti menyaksikan yang sangat sukar." Lalu ia ingat halnya di masa bersekolah, gurunya pernah memberikan ia twie yang sudah puluhan tahun belum pernah ada lain orang yang dapat menimpalinya. Ia hendak mencoba ini. Ia kata: "Sekarang aku mempunyai satu lian lagi, aku minta nona kecil menimpalinya. Inilah Kim Sek pie pee, delapan raja besar semua serupa kepalanya." Mendengar itu tanpa merasa Oey Yong tercengang. Kim sek pie pee itu, ialah alatalat tetabuhan semacam gitar, memang semua empat-empat hurufnya berkepala dengan huruf-huruf Ong = Raja di atasnya. Inilah benar-benar syair atau lian yang sulit untuk ditempeli (twie). Si pelajar mengawasi orang, senang hatinya menampak si nona menghadapi kesulitan. Ia lantas berkata: "Lian bagian atas ini memangnya sukar, aku sendiri tidak dapat menimpelinya dengan pasti, hanya karena kita sudah omong terlebih dahulu, umpama kata nona tidak dapat menempalinya, seperti janji kita, silahkan kamu kembali saja!" Justru orang "mengusir" justru Oey Yong mendapat pikiran. Ia tertawa. "Untuk menimpali itu, tidaklah sukar!" katanya. "Hanya aku merasa kurang enak di hati menyebutkan itu. Tadi saja aku telah berbuat salah terhadap paman, sedang sekarang aku bakal menyinggung berbareng kamu berempat si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan palajar." Pelajar ini tidak mempercayai orang. "Untuk menimpali saja sudah sukar sekali, apapula dengan sekaligus mengenai empar orang," pikirnya. "Benarkah itu?" Lalu ia membilang: "Asal kau dapat menimpali dengan tepat, bergurau sedikit tidak apa! Si nona tertawa. "Kalau paman bilang begitu, baiklah, lebih dulu aku minta maaf!" katanya. "Sambungannya lian paman itu ialah: Ci Bie Bong Liang, ialah empat setan cilik dengan masing-masing ususnya!" Cie bie bong liang itu ialah setan hutan, setan gunung, setan tukang makan batok kepala orang dan peri, semua empat huruf berpokok dengan huruf Kwie = Setan. Mendengar itu, si pelajar terperanjat, lekas-lekas ia berbangkit untuk untuk menjura dalam seraya tangannya dikibaskan. "Aku menyerah, Nona," katanya. Oey Yong pun lekas-lekas memberi hormat. "Jikalau bukannya paman beramai sangat bersungguh-sungguh menghalang-halangi kami berdua mendaki gunung, sebenarnya juga lian paman ini sangat sukar untuk dijawab!" "Hm!" si pelajar bersuara seraya ia lantas minggir. "Silahkan!" katanya. Ia memutar tubuh dan berlompat dari tempat menghadangnya itu. Kwee Ceng mendengar pembicaraan orang dengan perhatian, ia sebenarnya khawatir Oey Yong gagal, maka bukan main girangnya ia mengetahui si nona menang, segera ia berlompat, mulanya di tempat bekas si pelajar, lalu terus ke rintangan lainnya yang paling belakang. Melihat orang menggendong tetapi gerakannya demikian hebat, si pelajar menghela napas sendirinya dan di dalam hatinya ia berkata: "Aku bangga atas kepandaianku ilmu surat dan ilmu silat, sekarang ternyata, dalam ilmu surat aku tak ada seperti si nona, dalam ilmu silat tak ada seperti si pemuda, sungguh aku mesti malu..." Ketika ia melirik kepada si nona, nyata sekali nona itu sangat girang akan kemenangannya, rupanya ia memikir ia telah merobohkan satu conggoan. Maka ia pikir, "Baiklah aku ganggu dia, supaya ia jangan terlalu girang." Maka ia lantas berkata: "Nona, meskipun ilmu suratmu lihay, tetapi di dalam halnya prilaku, kau ada cacadnya." Oey Yong tertawa. "Di dalam hal ini aku minta petunjukmu," ia bilang. Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Bukankah di dalam kitab Beng Coe ada bilang, yang dibilang adat-istiadat ialah pria dan wanita tak dapat saling bersentuh tangan?" katanya si pelajar. "Sekarang lihat sendiri, Nona adalah seorang gadis dan dengan engko kecil ini, kamu bukanlah suami-istri, maka kenapa nona membiarkan ia menggendong padamu" Beng Hoe-coe membilang, cuma kalau sang ipar perempuan kelelap maka sang ipar lelaki dapat menolongnya. Nona ini tidak kelelap, Nona pun bukan iparnya engko kecil ini, kenapa dia menggendong Nona" Itulah sangat besar melanggar adatistiadat." Mendengar sindiran atau ejekan ini Oey Yong berpikir: "Hm! Engko Ceng toh sangat baik denganku. Memang dialah bukan suamiku, suko Liok Seng Hong membilang demikian, sekarang ini conggoan membilang demikian juga..." Ia tidak suka mengalah, maka sambil mainkan mulutnya, ia berkata: "Beng Hoe Coe itu memang paling suka mengaco-belo! Dapatkah kau percaya kau percaya kata-katanya itu?" Mendengar demikian, si pelajar menjadi gusar. ia tidak senang Beng Hoe Coe dikatakan mengaco-belo. "Beng Hoe Coe ialah seorang nabi, seorang rasul, mengapa kata-katanya tak dapat dipercaya?" dia tanya keras. Oey Yong kata tertawa, bagaikan bersenandung, ia kata: "Seorang pengemis mana mempunyai dua istri" Seorang tetangga mana mempunyai demikian banyak ayam" Di jaman itu masih ada kaisar dari kerajaan Ciu, kenapa orang mesti omong banyak dengan raja-raja Gui dan Cee?" Mendengar kata-kata si nona, pelajar itu berdiri menjublak. Ia mengetahui baik sekali kata-kata nona ini. Apa yang disebutkan Oey Yong adalah syair karya ayahnya sendiri. Oey Yok Su pintar akan tetapi tabiatnya aneh, maka itu, sering ia membuat syair dengan apa ia mengejek Khong Coe dan Beng Coe. Kalau bukan begitu, dialah bukan Tong Shia di Sesat dari Timur. Beng Coe itu pernah bercerita dari halnya seorang dari negeri Cee mempunyai seorang istri serta seorang gunidk, toh untuk hidupnya, ia pergi mengemis sisa sayur dan nasi dingin, dan halnya seorang yang setiap hari mencuri seekor ayam tetangganya. Dua cerita itu disyairkan dengan maksud akan dipakai menipu orang. Tentang yang lainnya: jaman itu ialah jaman perang antara negara (Cian Kok), itu masih ada raja dari kerajaan Ciu, maka itu Tong Shia menanya, kenapa Beng Cu bukannya menunjang raja Ciu, dia hanya pergi kepada raja muda Liang Hui Hong dan Cee Soan Ong kepada siapa Beng Cu meminta pangkat" Tong Shia menganggapnya itu bertentangan sama prilakunya seorang nabi atau rasul. Pelajar ini berpikir: "Si orang negeri Cee dan si tetangga itu cuma cerita, cuma cerita, perumpamaan saja, hanya yang mengenai Beng Coe itu, mungkin Beng Coe sendiri di alam baka sukar menjawab..." Ia melirik pula si nona, ia berpikir lagi: "Dia masih begini muda, kenapa dia begini cerdik?" Meski apa yang ia pikir itu, si pelajar membungkam. Ia hanya memimpin dua mudamudi itu. Ketika melewati pengempang, ia memandang kepada daun teratai yang tadi disebutkan si nona itu, kemudian ia melirik kepada si nona. Oey Yong tertawa dan melengos! Tidak lama sampailah mereka di kuil, si pelajar mengundang kedua tetamunya masuk ke kamar sebelah timur, di mana lantas ada kacung pendeta yang menyuguhkan the. "Jiewi, harap tunggu sebentar, hendak aku mengabarkan guruku," kata si pelajar. "Eh, tunggu dulu," berkata Kwee Ceng. "Itu paman petani, di lereng gunung di tengah menahan batu yang ada kerbaunya, dia tidak dapat meloloskan dirinya, baiklah paman pergi menolong dia." Mendengar ini, si pelajar kaget. Hingga tanpa bilang apa-apa lagi, dia lantas lari keluar. "Nah, lekaslah buka itu kantung yang kuning!" kata Oey Yong kepada kawannya. "Ah," kata si pemuda, "Kalau kau tidak menyebutnya, pasti aku lupa." Ia lantas mengeluarkan kantung kuning itu, untuk memerika isinya. Itulah kertas putih tanpa huruf, hanya ada gambar, yang meggambarkan seorang India yang menjadi raja, dengan pisau raja itu telah memotongi dagingnya hingga tak ada tubuhnya yang utuh, sedang darahnya berhamburan. Di depan raja ini ada sebuah dacin, alat peranti menimbang: di ujung yang satu ada seekor burung dara putih dan di sebelah yang lain ialah dagingnya itu. Daging lebih banyak, burung dara lebih kecil, tetapi buktinya, burung dara lebih berat. Di samping dacin ada seekor burung elang, yang romannya sangat bengis. Sekian lama Oey Yong mengawasi gambar itu, ia tidak mengerti maksudnya. Kwee Ceng pun tidak tahu apa artinya itu, karena si nona diam saja, ia turut berdiam. Maka ia gulung gambar itu, utuk dipegangi dengan digenggam. Tidak lama terdengar tindakan kaki yang berat dan berisik, lalu nampak si petani datang dengan dipegangi si pelajar, romannya sangat gusar. Rupanya ia mendongkol sebab kena diakali hingga ia seperti tersiksa. Dia terus dibawa masuk ke dalam kuil. Selang tak lama, muncullah satu kacung pendeta. Dia memberi hormat dengan merangkpa kedua tangannya. Ia menanya. "Jiewi datang dari tempat yang jauh, entah ada urusan apa?" "Kami sengaja datang untuk mohon menghadap Toan Hongya," Kwee Ceng menyahuti. "Kami minta tolong agar kedatangan kami disampaikan." Pendeta itu merangkap kedua tangannya. "Toan Hongya sudah lama tak ada lagi di dalam dunia ini, maka sayang sekali, jiewi telah bercapai lelah tanpa ada hasilnya. Silahkan dahar dulu, sebentar nanti siauw-ceng mengantarkannya turun gunung." Kwee Ceng berdiam, karena ia kecele sekali mendapat jawaban itu. Tidak demikian dengan Oey Yong, yang telah melihat kuil itu dan sekarang si pendeta cilik ini. Ia menduga sesuatu. Ia mengambil gambar dari tangannya Kwee Ceng, ia kata: "Aku telah mendapat luka parah, sengaja aku datang ke mari untuk minta gurumu suka menolongi, dari itu sehelai kertas ini tolong kau menyampaikannya kepada gurumu itu." Kacung itu menerima, ia tidak berani membuka gambar itu, hanya setelah memberi hormat, ia masuk ke dalam. Tapi tidak lama ia keluar pula, sembari menurunkan alisnya, sambil memberi hormat, ia berkata: "Silahkan jiewi masuk." Itulah undangan, maka Kwee Ceng menjadi girang sekali. Ia lantas pegangi Oey Yong, untuk diajak mengikuti kacung itu. Kuil itu kecil tetapi dalam. Kwee Ceng berdua Oey Yong jalan di satu jalanan batu hijau yang lecil melewati sebuah tempat di mana ada ditanam banyak pohon bambu, yang daunnya lebat, keadaannya sunyi dan tenang, hingga siapa berada di situ, ia tentunya terpengaruh suasana kesucian. Di dalam rimba bambu itu terlihat sebuah rumah batu terdiri dari tiga ruang. Si kacung pendeta lantas membuka pintu, untuk mempersilahkan kedua tetamunya masuk ke dalam. Ia berdiri di pinggaran dengan sikapnya yang sangat menghormat. Kwee Ceng girang. Ia bersenyum kepada pendeta itu, sebagai tanda terima kasihnya. Bersama Oey Yong, ia jalan berendeng masuk ke dalam. Di atas meja kecil ada pedupaan dari kayu garu. Di kedua samping itu ada berduduk masing-masing seorang hweeshio atau pendeta. Yang satu mukanya hitam, hidungnya mancung, matanya dalam. Dialah seorang India. Yang lainnya, yang bajunya kasar, mempunyai alis putih yang panjang, ujung alisnya meroyot turun di ujung matanya. Wajah pendeta ini menunjuk ia murah hati, benar sinar matanya rada guram, mungkin tercampur kedukaan, tetapi umumnya dia halus dan agung. Si pelajar dan si petani berdiri di belakang pendeta alis panjang ini. Oey Yong bertindak tanpa sangsi lagi. Ia menarik tangan Kwee Ceng, untuk menghampirkan pendeta itu, sambil membungkuk ia berkata: "Teecu Kwee Ceng bersama Oey Yong menghadap Supee." Kwee Ceng terkejut mendengar nona itu memanggil supee atau paman guru, meski begitu tanpa bersangsi lagi dia menekuk kedua kainya untuk mengangguk sampai empat kali. Pendeta alis panjang itu bersenyum, ia bangun untuk berdiri, tangannya diulur mengasih bangun pada mereka itu. Ia pun tertawa dan berkata: "Saudara Cit telah mendapatkan murid yang baik sekali dan saudara Yok mendapatkan anak yang manis! Menurut katanya mereka ini..." ia menunjuk kepada si petani dan si pelajar, "Lihay ilmu surat dan ilmu silat kamu berdua, jauh melebihkan murid-muridku yang bodoh itu. Haha, sungguh kamu berdua harus diberi selamat!" Mendengar suara itu, Kwee Ceng merasa pasti orang adalah Toan Hongya, maka ia heran kenapa seorang raja boleh berubah menjadi hweeshio dan heran juga bahwa Toan Hongya dikatakan sudah mati, toh orang masih hidup segar-bugar. Pula ia heran yang Oey Yong lantas mengetahui pendeta itu adalah Toan Hongya sendiri. Lalu terdengar si pendeta menanya Oey Yong: "Apakah ayahmu dan gurumu mu baikbaik semua" Ketika dulu hari kita berapat di gunung Hoa San di mana kita merundingkan ilmu pedang bersama ayahmu, ayahmu itu masih sebatang kara, siapa sangka baru berpisah dua puluh tahun, dia telah mendapatkan satu anak perempuan yang cantik dan pintar! Apakah kau ini mempunyai saudara tua dan muda, enci atau adik" Dan kakek luarmu itu, dia orang gagah yang manakah?" Ditanya begitu, matanya Oey Yong menjadi merah. "Ibuku cuma melahirkan aku seorang," sahutnya. "Ibu pun telah meninggal semenjka siang-siang. Siapa itu kakek luarku, aku tidak tahu..." "Oh," kata pendeta itu, yang dengan perlahan menepuk pundak orang, sebagai tanda menghibur. "Aku telah bersemadhi tiga hari dan tiga malam, baru saja aku pulang. Apakah kamu sudah lama menunggu aku?" Oey Yong berpikir: "Dilihat dari sikapnya ini, dia sangat menyukai kami. Maka mungkin di sepanjang jalan tadi, yang menyulitkan kami adalah bisanya muridnya itu..." Karena itu, ia lekas menyahut: "Teecu juga baru tiba. Syukur beberapa paman telah mempersulit di tengah jalan, kalau tidak, tentulah kami sudah tiba semenjak tadi-tadi, hingga dengan supee tengah bersemadhi mungkin tibanya kami akan sia-sia belaka." Mendengar itu, si pendeta tertawa riang. "Mereka itu sangat khawatir aku bertemu sama orang luar," katanya. "Sebenarnya, bukankah kau bukannya orang luar" Ah, anak, muridmu tajam sekali, dasar turunan! Baiklah kamu ketahui, Toan Hongya sudah tidak ada lagi dalam dunia ini, sekarang aku dipanggil It Teng Hweesio. Gurumu ketahui ketika aku mulai menganut agama, ia menyaksikannya, ayahmu mungkin belum mengetahuinya." Baru sekarang segala apa terang bagi Kwee Ceng. Toan Hongya telah menjadi Hweeshio, dia memakai nama It Teng itu, pantas dia dikatakan sudah menutup mata. Memang siapa menyucikan diri, dia bagaikan menjelma pula. "Suhu mengetahui tentang supee ini, kalau suhu menyuruh kita ke amri, tidak nanti ia menyebut pula Toan Hongya, hanya It Teng Taysu." Maka itu, benar-benar Oey Yong cerdik sekali, ia lantas dapat menerka! "Memang juga ayah tidak tahu," berkata Oey Yong. "Benar," It Teng pun bilang sambil ia tertawa. "Tentang gurumu itu, mulutnya itu lebih banyak yang masuk, sedikit yang keluar, yang dimakan banyak, yang dibicarakan sedikit, maka itu urusan aku si pendeta tua tentulah dia tak suka bicarakan itu sama lain orang. Kamu datang dari tempat jauh, kamu sudah dahar atau belum" Ah...." Mendadak pendeta ini terkejut, lalu ia menarik tangan Oey Yong ke depan pintu di mana ia mengawasi dengan tajam, di sinar matahari. Di sini dia nampak seperti kaget. Kwee Ceng benar tak gelap pikirannya tetapi tahulah ia bahwa It Teng Taysu tentu telah mendapat lihat sakitnya Oey Yong, maka itu, hatinya jadi sangat pedih, lantas saja ia menjatuhkan diri di depan pendeta itu, berulang-ulang ia mengangguk. It Teng meluncurkan sebelah tangannya, akan mengangkat bangun bocah itu. Kwee Ceng merasakan satu tenaga besar membentur tangannya, ia tidak berani menentang itu, ia lantas mengikuti, maka ia berbangkit dengan perlahan-lahan. Sembari bangun, ia berkata: "Teecu mohon supee suka menolongi jiwanya sumoy ini..." It Teng mengangkat si anak muda dengan mengandung dua maksud, satu untuk mengasih bangun benar-benar, yang lain guna mencoba tenaga dalam bocah itu. Umpama Kwee Ceng melawan, tidak nanti ia membikin orang terluka atau terpelanting, di dalam hal itu, ia pandai mengendalikan tenaganya. Sebaliknya, meskipun Kwee Ceng mengikuti, ia merasa bahwa anak muda ini juga pandai mengendalikan tenaganya, maka itu ia menjadi kagum. "Saudara Cit mendapat murid yang bagus sekali," pikirnya. "Pantas murid-muridku kalah..." Sementara itu, habis orang berkata, Kwee Ceng kaget sekali. Mendadak ia merasa tubuhnya kena tertarik hingga ia maju satu tindak, ketika ia mencoba menahan diri, mukanya menjadi merah tahu benar lihaynya pendeta tua itu. Sebenarnya ia menduga It Teng sudah berhenti menguji padanya, ia mengendorkan diri seperti wajar, tidak tahunya, ia diuji terus. Sekarang ia menginsyafi benar lihaynya Tong Shia dan See Tok, Lam Tee dan Pak Kay. It Teng dapat melihat sinar mata anak muda itu, ia heran dan kagum, ia menepuk perlahan pundak orang, sembari tertawa ia kata: "Anak, kau telah mempunyai kepandaianmu ini, sungguh inilah dukar didapat." Dilan pihak, pendeta ini masih belum melepaskan tangannya yang satu lagi yang memegangi tangan Oey Yong, maka ia lantas menoleh kepada si nona. Hanya kali ini ia tidak lagi tertawa hanya bersenyum, cuma dengan sungguh-sungguh dengan perlahan sekali, ia bilang: "Anak, jangan kau takut, kau tetapkan hatimu." Lalu ia menuntun nona itu, untuk dikasih duduk. Oey Yong sangat bersyukur. Seumurnya belum pernah ia merasa orang perlakukan ia begini manis dan halus, tidak juga ayahnya yang aneh itu. Ayahnya itu menyayangi ia, tetapi sikap mereka berdua mirp sahabat erat, tidak pernah si ayah menunjuk tegas cinta kasihnya seorang ayah sebagaimana umumnya. Maka itu, tanpa merasa, ia menangis. "Jangan menangis, anak yang baik, jangan menangis," It Teng menghibur. "Tubuhmu sakit, bukan" Nanti supeemu mengobati kau hingga sembuh." Hanyalah semakin halus ia pendeta berbicara, semakin sedih hatinya si nona, hingga ia menangis tersedu-sedu tak hentinya. Kwee Ceng girang mendengar It Teng memberi janjinya itu, tetapi kebetulan ia mengangkat kepalanya dan melihat si petani dan si pelajar, ia terkejut. Dua orang itu memandang dia dengan wajah bermuram durja tanda dari kemurkaan. Ia berpikir: "Kami bisa masuk sampai di sini, semua itu mengandal kepada kecerdikannya Oey Yong, yang pandai menggunai tipu daya, tidak heran, selagi It Teng Taysu begini baik, kenapa keempat muridnya menggunai segala jalan untuk menghalang-halangi kami?" Pemuda ini baru berhenti berpikir ketika ia mendengar It Teng menanya Oey Yong. Katanya: "Anak, bagaimana caranya kau terluka, dan bagaimana jalannya hingga kau dapat masuk ke mari, coba kau tuturkan pada supeemu." Oey Yong memberikan keterangan bagaimana ia terlukakan Khiu Cian Jin, yang mula ya ia tidak tahu ada yang tulen dan ada yang palsu, karena kesangsiannya itu, ia mandah saja kasih dirinya dihajar. Mendengar disebutknya nama Khiu Cian Jin, It Teng Taysu itu mengerutkan alis, hanya sejenak, lalu ia dapat bersenyum pula, ia nampak tenang seperti biasa. Oey Yong si cerdik bicara sambil diam-diam memperhatikan si pendeta itu, maka air muka orang itu tidak lolos dari pandangan matanya yang tajam. Begitu ketika ia menutur sampai di bagian mereka bertemu Eng Kouw di rimba rahasia dan rawa lumpur hitam, ia juga mendapatkan si pendeta itu berubah lagi romannya, si pendeta seperti tengah mengenang peristiwa lama. Karena ini, ia menunda penuturannya itu. "Kemudian bagaimana?" tanya It Teng, yang menghela napas. "Kemudian kami sampai di kaki gunung," melanjuti Oey Yong yang terus menceritakan bagaimana mereka dipersulit si tukang pancing, tukang kayu, yang memberi mereka lewat dengan gampang, sebaliknya, mengenai tiga yang lain, ia sengaja menambah-nambahkan hingga si petani dan pelajar mendongkol bukan buatan. "Yong-jie, jangan omong sembarangan," beberapa kali Kwee Ceng campur bicara. "Paman-paman itu tak ada sedemikian galak...." Oey Yong berani bicara begitu rupa, karena ia tahu, di depan gurunya, mereka itu tidak nanti berani berbuat sesuatu atas dirinya. Ia memang sengaja hendak mengocok isi perut mereka itu. "Anak-anak itu benar perbuatannya kurang bagus terhadap anak-anak kecil," kata It Teng kemudian. "Biarlah sebentar aku menyuruh mereka menghanturkan maaf kepada kamu." Oey Yong melirik dua murid itu, selagi ia bercerita terus sampai ia memasuki kuil ini, akhirnya ia tambahkan. "Begitulah teecu lantas memberikan gambar itu untuk supee periksa. Sedari itu waktu, baru mereka tidak berani menghadang kami lagi." It Teng nampaknya heran. "Eh, gambar apakah itu?" ia tanya. "Itulah gambarnya burung elang, burung dara dan daging yang dipotong," menyahut si nona. "Kau serahkan itu pada siapa?" It Teng tanya pula. Belum lagi Oey Yong menyahuti, si pelajar telah merogoh sakunya dan mengeluarkan gambar itu. "Gambar itu ada pada teecu, suhu," ia berkata. "Tadi suhu belum selesai bersemadhi, gambar itu teecu tidak berani lantas menyerahkannya." It Teng menyambuti gambar itu. "Lihatlah!" katanya. "Jikalau kau tidak menyebutkannya, mana aku bisa melihat ini?" Ia membuka gambar itu perlahan-lahan, terus ia lihat. Cuma sekelebatan, ia lantas tertawa dan kata: "Kiranya orang khawatir aku tidak suka menolong kau, Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo maka ia menggunai gambar ini untuk membangkitkan kemendongkolanku, agar hatiku menjadi panas. Tidakkah dengan begitu ia jadi memandang enteng sekali kepada aku si pendeta tua?" Oey Yong tidak menjawab, ia hanya melirik si petani dan pelajar, hingga ia kembali melihat muka orang suram, agaknya hati mereka cemas dan tetap mendongkol. Ia menjadi heran sekali. Ia tanya dirinya sendiri: "Kenapa mereka tak senang mendengar It Teng Taysu berniat mengobati aku" Kenapa mereka seperti menghendaki kematianku" Adakah itu disebabkan obatnya ada obat dewa?" Ia mengawasi pula si pendeta, yang lagi memperhatikan gambar itu, yang bahkan dibawa ke terangnya matahari, untuk ddiperiksa dengan teliti. Dia bukannya membaca hanya memperhatikan kertasnya. Beberapa kali kertas itu disentil-sentil, dan air mukanya di pendeta menandakan ia ragu-ragu. "Adakah lukisan ini lukisannya Eng Kouw sendiri?" ia menanya. "Benar." Pendeta itu berdiam sejenak. "Kau melihatnya dengan matamu sendiri?" Pertanyaan ini heran, maka Oey Yong mengingat-ingat kejadian hari itu. Ia menjawab: "Di waktu Eng Kouw menulis, ia membelakangi kami berdua, aku cuma melihat ia menggoyangi pit, entah dia menulis surat atau melukis gambar." "Kau membilang masih ada dua kantung surat lainnya. Mana, kasih aku melihatnya." Kwee Ceng menyerahkan dua lembar surat wasiat itu. It Teng mengawasi sekian lama, lalu air mukanya berubah. "Benarlah!" katanya kemudian. Ia menyerahkan surat itu pada si nona seraya berkata: "Saudara Yok itu seorang pelukis pandai, kau putrinya, kau tentu mengerti segala apa. Kau lihat ketiga surat itu, ada apakah yang berlainan?" Oey Yong menyambuti dan memeriksa. "Ini dua kerta giokpoan yang biasa," ia berkata. "Dan gambar ini memakai kertas ciu-song." It Teng mengangguk. "Mengenai lukisan, akulah si orang diluar kalangan," katanya pula. "Coba kau bilangi aku pandanganmu tentang gambar ini. Oey Yong meneliti. "Supee pura-pura menjadi orang di luar kalangan!" katanya tertawa. "Sebenarnya supee telah melihatny, ini bukan gambar lukisannya Eng Kouw sendiri!" Kembali berubah air mukanya It Teng. "Jadi benar ini bukannya lukisannya Eng Kouw sendiri?" katanya. "Aku melihatnya dari jalan pikirannya, bukannya dari gambarnya." Oey Yong menarik tangan orang. "Mari lihat huruf-hurufnya kedua surat ini," ia berkata. "Bagaimana halus tekukannya dan indah. Huruf-huruf di dalam gambar sebaliknya kaku! Ah, inilah lukisannya seorang laki-laki! Memang, mestinya dia seorang pria, hanya sayangnya dia tidak mempunyai minat menggambar, lukisannya tak ada harganya. Tetapi tulisannya ini, karena ia menggunai tenaganya, telah menembus ke belakang kertas... Air bak ini juga mestinya telah lama sekali, jangan-jangan lebih tua dari usianya..." It Teng Taysu menghela napas. Ia menunjuk kepada sebuah kitab di atas meja, ia menyuruh si pelajar mengambilnya untuknya. Oey Yong membaca judulnya kitab, maka ia kata di dalam hatinya; "Dia mau bicara tentang kitab suci dengan aku, mana aku mengerti...." Itulah sebuah kitab suci dan pula cetakan tua. It Teng membuka lembarannya kitab itu, lalu di samping itu ia meletaki gambar dari Eng Kouw. "Kau lihat!" katanya. "Eh, kertasnya sama!" kata Oey Yong heran. Pendeta itu mengangguk. Kwee Ceng tidak mengerti, sambil berbisik ia tanya si nona, kertas apanya yang sama. "Kau lihat sendiri dan bandingkanlah," kata Oey Yong. "Bukankah kertasnya gambar Penunggang Kuda Iblis 3 Wiro Sableng 105 Hantu Jatilandak Kelelawar Hijau 13